1
"Haaattt...!"
"Hiyaaa...!"
Teriakan-teriakan teras menggelegar memecah
kesunyian pagi di lereng Gunung Randu Alas. Beberapa
burung yang bertengger di sebuah cabang pohon di dekat
Memang hebat bukan main akibat yang ditimbulkan
teriakan-teriakan itu. Sekitar tempat itu bergetar hebat.
Pertanda pemilik suara teriakan itu memiliki tenaga dalam
tinggi!
Bunyi riuh-rendah itu ternyata berasal dari dua sosok
tubuh tengah terlibat pertarungan. Ciri-ciri mereka tidak
tampak jelas. Sebab, keduanya sama-sama bergerak cepat.
Yang terlihat hanya bayangan coklat dan kuning, yang tidak
jelas bentuknya. Namun yang pasti, kedua bayangan yang
saling belit dan sesekali terpisah sesaat itu mewakili sosok
yang tengah bertarung.
Sungguh hebat pertarungan itu. Bunyi mendecit,
mengaung, dan menderu, menyemaraki suasana
pertempuran. Suara-suara itu terdengar setiap kali sosok
bayangan coklat dan kuning melancarkan serangan. Tanah
pun terbongkar di sana-sini. Dan debu mengepul tinggi ke
udara.
Sementara itu, tak jauh dari kancah pertarungan
tampak dua sosok tubuh berdiri tegak dengan pandangan
tertuju ke arah pertempuran. Keduanya telah berusia lanjut.
Yang seorang adalah kate k berpakaian putih dan berkepala
botak. Tangan kanannya menggenggam sebatang kipas.
Sesekali kipas yang terlipat itu dikembangkan, kemudian
digunakan untuk mengipasi wajahnya.
Sosok yang satunya lagi bertubuh kecil kurus dan
berpakaian biru. Jenggot panjang kekuningan menghias
dagunya. Berkali-kali tangan keriput itu mengusap-usap
jenggotnya seraya menggeleng-gelengkan kepala. Semua itu
dilakukannya tanpa melepaskan pandangan dari kancah
pertarungan. Terlihat jelas kalau kakek itu sedang dilanda
rasa kagum. Itu terbukti beberapa saat kemudian.
"Kau kini patut berbangga hati, Kidang Loka. Murid-
muridmu ternyata tidak mengeoewakanmu. Tampaknya
mereka telah mewarisi seluruh kepandaian mu," ujar kakek
berpakaian biru.
"He he he...!"
Kakek berpakaian putih yang dipanggil Kidang Loka
terkekeh. Kipasnya dikembangkan, dan dikebut-kebutkan ke
wajah. "Kau terlalu memuji, Kerta. Apa artinya kepandaian
yang dimiliki murid-muridku, bila dibandingkan dengan
kemampuan murid-muridmu?!"
"He he he...!"
Kakek berjenggot kuning yang dipanggil Kerta dengan
nama sebenarnya Ganda Kerta itu tertawa pelan, tapi penuh
kekuatan. Tawa itu jelas mengandung tenaga dalam.
"Kau tidak berubah, Kidang Loka. Masih tetap rendah
hati seperti dulu. Benarlah kata pepatah, orang yang berilmu
tak ubahnya padi... semakin berisi semakin merunduk."
"He he he...! Kau bisa saja, Kerta," sambut Kidang
Loka di tengah tawanya.
Ganda Kerta tidak memberikan sambutan. Hanya
tawa terkekch yang dikeluarkannya. Hingga di tengah-tengah
riuh-rendahnya pertarungan, terdengar tawa-tawa lembut
menyeruak. Tawa-tawa pelan yang penuh getaran kuat.
Tawa itu baru terhenti ketika dari kancah per¬
tarungan terdengar teriakan-teriakan panjang. Itu teijadi
ketika dua sosok bayangan yang tengah bertempur sama-
sama melompat menerjang dengan kedua tangan
dihentakkan! Akibatnya....
Blam!
Bunyi keras seperti halilintar menyambar terdengar
ketika dua pasang tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi
berbenturan. Sesaat kemudian, tubuh dua sosok bayangan
itu terjengkang ke belakang.
"Hup!"
Berbeda halnya dengan sosok kuning yang mampu
mendarat di tanah, sosok coklat terhuyung-huyung hampir
jatuh. Untung, dia segera dapat memperbaiki kedudukan.
Dari sini dapat diketahui kalau tenaga dalam sosok coklat
berada di bawah lawan. Tapi, sosok coklat tidak menjadi
gentar. Begitu berhasil memperbaiki kedudukan, secepat itu
pula dia bersiap melancarkan serangan. Sosok kuning pun
tidak tinggal diam. Tampak jelas kalau dia telah siap
menghadapi serangan lawan. Tapi....
"Cukup!"
Seketika itu pula, seluruh otot sosok kuning dan
coklat yang telah menegang kaku mengendur kembali.
Mereka tidak berani membangkang cegahan itu karena tahu
siapa pemiliknya. Ya! Kidang Loka!
Tanpa diberi perintah, sosok coklat dan kuning yang
ternyata dua orang pemuda berusia dua puluh tahunan itu
menghampiri Kidang Loka. Lalu, keduanya memberi hormat.
"Hhh...!"
Setelah menatap wajah murid-muridnya berganti-
ganti, Kidang Loka menghela napas berat. Sementara di
sebelahnya, Ganda Kerta berdiri diam dengan tangan kanan
mengelus-elus jenggot.
"Sekali lagi perlu kutekankan. Kalian berdua adalah
saudara seperguruan. Pertarungan yang kuperintahkan tadi
agar kalian tahu kemajuan masing-masing dan tingkat yang
dimiliki. Jadi bukan untuk saling bunuh! Ingat, kalian
saudara seperguruan yang seharusnya saling membantu.
Mengerti?"
"Mengerti, Guru, jawab pemuda berpakaian kuning
dan coklat serempak sambil menganggukkan kepala.
"Bagus! Aku gembira kalau kalian menyadari hal itu,"
ucap Kidang Loka gembira. "Nah! Denta! Apa yang bisa kau
simpulkan dari pertarungan tadi?"
Braja Denta, pemuda berpakaian coklat, mengangkat
kepalanya yang sejak tadi ditundukkan. Sorot matanya
penuh dengan pertanyaan.
"Maafkan aku, Guru. Aku masih belum mengerti
maksudmu.... Maksudku..., aku belum mengerti hal yang
harus kusimpulkan."
"Aku ingin mendengar kesimpulanmu, mengenai
pertarunganmu dengan Salya," jelas Kidang Loka.
"Oh itu, Guru," Braja Denta mulai mengerti. "Salya
lebih unggul dariku. Terutama dalam hal tenaga dalam."
"Bagus kalau kau menyadarinya, Denta. Kau tahu
mengapa bisa demikian?" tanya Kidang Loka.
"Tahu, Guru," jawab Braja Denta mantap. "Karena
Salya lebih rajin berlatih dibandingkan aku."
"Nah! Itulah sebabnya. Salya lebih rajin berlatih. Dan
sebagai imbalannya, dia mampu mengunggulimu. Padahal
dia terhitung adik seperguruanmu. Karena kau lebih dulu
menjadi muridku, di samping usiamu yang sedikit lebih tua
darinya. Sebagai kakak seperguruan, seharusnya kau
memiliki kemampuan di atasnya. Kau mengerti
kekuranganmu, Denta?!"
"Mengerti, Guru," jawab Braja Denta sambil
menundukkan kepala.
Pemuda berpakaian coklat itu merasa malu mendapat
teguran. Itu berarti Kidang Loka menuduhnya telah bersikap
lalai! Apalagi teguran itu di ucapkan di depan Ganda Kerta.
Meskipun Ganda Kerta bersikap tidak peduli, tapi Braja
Denta tahu kalau kakek beijenggot kuning itu
me n den garkan.
Dan seiring dengan timbulnya rasa malu, menyeruak
pula perasaan marah. Marah pada Salya yang telah
menyebabkannya mendapat malu. Kalau Salya bersikap
sedikit mengalah, tentu tidak akan terjadi hal memalukan
seperti ini. Diam-diam rimbul rasa dendam di hati Braja
Denta pada adik seperguruannya.
Tidak ada seorang pun yang tahu perasaan yang
berkecamuk dalam dada Braja Denta. Sebab, pemuda
berpakaian coklat itu menundukkan kepala sehingga
perubahan wajahnya tidak terlihat.
•k-k-k
Sementara itu, Kidang Loka telah mengalihkan
perhatiannya pada Salya yang masih menundukkan kepala.
"Salya...," sapa kakek berpakaian putih itu. "Aku
bangga terhadapmu. Jerih payahmu tidak sia-sia. Kau telah
mencapai tingkat yang lumayan. Bahkan, kau telah mampu
mengalahkan kakak seperguruanmu. Aku sungguh bangga,
Salya."
"Ah! itu karena Kakang Braja Denta terlalu mengalah
padaku, Guru. Kalau tidak, mana mungkin aku bisa
mendesaknya? Mengimbanginya saja aku tidak akan
mampu," jawab Salya merendahkan diri. Tidak enak rasanya
mendapat pujian gurunya sedangkan Braja Denta menerima
teguran.
Deggg!
Bagian dalam dada Braja Denta terguncang keras
mendengar ucapan Salya. Rasa marah yang tengah melanda
membuatnya menganggap sikap rendah diri Salya sebagai
sindiran! Salya, dirinya, guru, dan Ganda Kerta tahu kalau
Salya memang lebih unggul. Lalu, mengapa pemuda
berpakaian kuning itu mengatakan kalau dirinya mengalah
padanya? Ini berarti Salya bermaksud mengejeknya! Hingga
rasa dendam dan sakit hati yang timbul pun mulai
membesar. Harus dibalasnya penghinaan ini! Demikian
keputusan yang diambil Braja Denta.
Dan kebencian Braja Denta terhadap adik
seperguruannya itu semakin memuncak, ketika mendengar
sambutan Kidang Loka atas ucapan Salya.
"Tidak, Salya. Braja Denta tidak melakukan tindakan
seperti yang kau katakan. Kau tidak perlu menutup-
nutupinya. Kau dan Braja Denta telah mendapatkan apa
yang kalian usahakan," jelas Kidang Loka.
Salya langsung terdiam. Pemuda itu tidak berkata
apa-apa lagi. Disadarinya kalau ucapan gurunya benar!
"Salya! Denta! Dengar baik-baik!" kata Kidang Loka
lagi.
Kali ini ucapan itu ditujukan pada kedua muridnya.
Mau tidak mau panggilan itu membuat Braja Denta
mengangkat wajah. Untung pemuda berpakaian coklat itu
telah berhasil menekan perasaannya. Sehingga tidak nampak
ada gambaran perasaan apa pun pada wajahnya.
"Perlu kalian ketahui..., waktu sepuluh tahun yang
kujanjikan telah kupenuhi. Berarti telah tiba saatnya bagi
kita untuk berpisah. Kalian harus meninggalkan tempat ini."
Kidang Loka menghentikan ucapannya sejenak untuk
mengambil napas. Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-
baiknya oleh kedua muridnya.
"Guru...!"
Hampir bersamaan Salya dan Braja Denta berseru
kaget. Mereka tidak menyangka akan secepat ini berpisah.
Kidang Loka memberi isyarat pada kedua muridnya
untuk tenang. Terpaksa, meskipun berat, kedua orang muda
itu menahan diri untuk tidak berbicara lagi.
"Keputusan ini tidak bisa ditawar-tawar lagi," potong
kakek berpakaian putih itu cepat sebelum Salya dan Braja
Denta melanjutkan keberatannya. "Tapi sebelum kalian pergi,
ada sesuatu yang ingin kuberikan."
Salya dan Braja Denta saling pandang. Sementara
Ganda Kerta hanya mengangguk-anggukkan kepala seraya
melanjutkan kegemarannya mengelus-elus jenggot Sikapnya
menunjukkan kalau dia telah mengptahui keputusan yang
akan diucapkan Kidang Loka.
Kidang Loka tersenyum lebar melihat kedua muridnya
berpandangan.
"Sebelum sesuatu itu kuberikan pada kalian, perlu
sedikit kujelaskan asal-usulnya. Yang harus kalian ketahui,
sesuatu itu berupa benda yang kudapatkan dalam
petualanganku mengarungi dunia persilatan."
Kembali kakek berpakaian putih itu menghenti-kan
ucapannya. Mungkin dia sengaja bertindak demikian agar
murid-muridnya dapat mencerna cerita yang akan
dikemukakan
Dan memang, begitu Kidang Loka selesai
berbicara,baik Salya maupun Braja Denta langsung bisa
menebak benda yang dimaksudkan. Mereka memang telah
mengetahui kalau kakek berpakaian putih itu memiliki dua
buah pusaka. Yang satu berupa golok dan dinamakan Golok
Api. Sedangkan yang lain berupa pedang, yaitu Pedang
Embun.
"Kira-kira lima belas tahun lalu, di dunia persilatan
muncul seorang tokoh sesat yang amat sakti! Dia beijuluk
Raja Sihir Berhati Hitam. Sesuai dengan julukannya, dia
memang memiliki ilmu sihir yang luar biasa di samping ilmu
silat. Tak terhitung lagi orang yang tewas di tangannya,
terutama tokoh-tokoh aliran putih."
Sampai di sini, Kidang Loka menghentikan ucapannya
sejenak untuk mengambil napas. Ganda Kerta yang berdiri di
sampingnya, mengangguk-anggukkan kepala membenarkan
cerita kakek berpakaian putih itu.
"Merasa tidak ada seorang pun yang dapat
mengalahkannya, tokoh sesaat itu semakin menjadi-jadi
dalam keangkaramurkaannya. Tiga tokoh aliran putih tidak
tinggal diam. Mereka mencari Raja Sihir Berhati Hitam.
Ketika bertemu, pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi."
Kidang Loka menghentikan ceritanya sejenak.
Ditelannya air liur untuk memulihkan suaranya yang
menjadi serak. Tampak jelas kalau cerita itu penyebabnya.
Hingga Salya dan Braja Denta menjadi heran. Tapi meskipun
demikian, mereka tidak memotong cerita itu. Dengan sabar
ditunggunya hingga kakek berpakaian putih itu melanjutkan
ceritanya kembali.
"Ternyata Raja Sihir Berhati Hitam memang amat
tangguh. Tiga tokoh golongan putih itu menghadapi
perlawanan yang amat sengit. Ratusan jurus mereka
bertarung. Baru ketika pertarungan melewati tiga ratus
jurus, datuk sesat itu dapat ditewaskan. Itu pun harus
ditebus dengan mahal. Dua dari tiga tokoh golongan putih itu
tewas."
"Hah..?!"
Hampir berbarengan seruan kaget itu keluar dari
mulut Salya dan Braja Denta. Kini mereka mengerti, mengapa
Kidang Loka tampak begitu terpengaruh dengan ceritanya.
Kedua pemuda itu menduga kalau guru mereka termasuk
salah satu di antara tiga tokoh golongan putih itu. Tapi
sebagai pendengar yang baik Salya maupun Braja Denta
tidak langsung mengajukan dugaan itu. Mereka berdiam diri
menunggu kelanjutan cerita Kidang Loka.
"Sebelum tewas dua tokoh golongan putih itu sempat
meninggalkan amanat pada rekannya yang masih hidup.
Dengan sangat kedua tokoh itu meminta agar rekan mereka
bersedia memelihara dan mendidik anak mereka. Tokoh yang
masih hidup itu bersedia memenuhi permintaan itu.
Keturunan dua rekannya yang saat itu masih berusia empat
tahun dipelihara dan dididiknya."
Seketika itu pula Salya dan Braja Denta saling
bertukar pandang. Sebuah dugaan kembali muncul di benak
mereka. Dugaan tentang siapa sebenarnya keturunan tokoh-
tokoh golongan putih yang meninggal itu.
"Bagaimana? Apakah sudah ada kesimpulan yang
dapat kalian tarik dari ceritaku itu?" tanya Kidang Loka
seraya menatap wajah muridnya satu persatu.
Untuk kedua kalinya Salya dan Braja Denta bertukar
pandang sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Hanya ada dua kesimpulan yang kudapatkan, Guru,"
jawab Salya.
"Hm...," Kidang Loka menggumam sambil
mengangguk-anggukkan kepala. "Kau bagaimana, Braja
Denta?"
"Aku juga hanya dapat menarik dua kesimpulan,
Guru," sahut pemuda berpakaian coklat itu.
"Katakanlah, Braja Denta. Aku ingin tahu kesimpulan
yang kau dapatkan dari ceritaku tadi."
Braja Denta tercenung sejenak. Agaknya, pemuda itu
tengah memikirkan kata-kata yang tepat untuk menyatakan
ke simpulan nya.
"Pertama, tiga tokoh golongan putih yang Guru
maksudkan adalah Guru sendiri bersama dua orang kawan,
Guru."
'Hm,. Lalu...?!" desak Kidang Loka setelah
mengernyitkan kening sesaat.
"Kedua, dua orang anak dari kawan-kawan Guru itu
adalah aku dan Salya," sambung Braja Denta.
Kidang Loka mengangguk-anggukkan kepala.
Kemudian perhatiannya dialihkannya pada Salya.
"Bagaimana denganmu, Salya?"
"Kesimpulan yang kudapat sama dengan kesimpulan,
Kang Braja Denta, Guru," jawab pemuda berpakaian kuning
itu pelan.
Kembali Kidang Loka mengangguk-angguk. Entah
sudah berapa kali kate k berpakaian putih itu berlaku seperti
itu. Sepertinya, mengangguk-angguk merupakan
kebiasaannya.
"Kesimpulan yang kalian dapatkan memang tidak
salah," ujar Kidang Loka.
"Kalau begitu..., boleh kami tahu nama atau julukan
ayah kami, Guru?! Kalau bisa juga dengan kuburannya.
Kami..., ingin berziarah ke makam mereka," pinta Braja
Denta.
"Tentu saja, Denta. Tanpa kau minta pun aku akan
menceritakan segalanya tentang, ayah kalian. Itu sudah
merupakan hak kalian berdua," ujar Kidang Loka pelan.
"Maafkan aku, Guru. Aku telah bersikap terlalu
lancang terhadapmu."
"Lupakan, Denta. Aku bisa memakluminya," sahut
Kidang Loka bijaksana. "Sekarang kalian dengar baik-baik.
Kedua kawanku itu. Ayah-ayah kalian adalah tokoh sakti dan
terkenal di dunia persilatan. Tentu sudah pasti mereka
memiliki julukan. Yang pertama berjuluk Raja Pedang.
Sedangkan yang satu lagi berjuluk Dewa Tangan Sakti. Orang
yang kusebutkan pertama kali adalah ayahmu, Denta."
"Jadi... ayahku berjuluk Dewa Tangan Sakti, Guru?!"
tanya Salya meminta kepastian.
"Benar, Salya," Kidang Loka menganggukkan kepala.
"Mereka dikuburkan di tempat yang terpisah. Ini atas
permintaan mereka sendiri. Masing-m-sing ingin dikuburkan
di sebelah makam istri mereka, yaitu ibu-ibu kalian."
Salya dan Braja Denta kembali saling pandang.
Sungguh tidak disangka mereka sama-sama yatim
piatu.
"Makam orangtuamu di Desa Alas Ngampar, Denta.
Sedangkan makam orangtua Salya di Desa Randu. Tanyalah
pada penduduk di sana. Mereka pasti tahu," jelas Kidang
Loka.
"Akan kami lakukan, Guru," jawab Salya dan Braja
Denta bersamaan.
Kidang Loka mengangguk-angguk. Kemudian, kakek
itu berdiam diri. Demikian pula Salya dan Braja Denta.
Kedua pemuda itu larut dalam alun pikiran masing-masing.
Suasana di tempat itu pun menjadi hening.
Tapi keheningan itu tidak berlangsung lama.
"Ah. Rupanya ada hal yang terlewatkan, yaitu
mengenai sesuatu yang ingin kuberikan pada kalian. Benda
itu berupa senjata pusaka, yang terdiri dari pedang dan
golok! Yang pertama bernama Ftedang Embun. Sedangkan
yang lain Golok Api. Inilah kedua pusaka itu!"
Hampir bersamaan Salya dan Braja Denta
memandang. Mereka pun melihatnya. Entah dari mana
mengambilnya, tahu-tahu di kedua tangan kakek berpakaian
putih itu tergenggam sebatang golok dan pedang.
"Pusaka ini akan kuwariskan pada kalian berdua.
Masing-masing senjata pusaka ini mempunyai keistimewaan
sendiri-sendiri. Aku harap kalian puas dengan kcputusan
yang akan kuambil nanti. Jelas?!"
"Jelas, Guru," jawab Salya dan Braja Denta sambil
menganggukkan kepala.
"Bagus! Nah, sekarang akan kuberikan pusaka-
pusaka ini pada kalian. Tapi, sebelum itu akan kuceritakan
sedikit mengenai keistimewaan masing-masing senjata. Apa
kalian mau mendengarkannya?!"
"Mau, Guru," jawab Salya dan Braja Denta serempak.
"Kalau begitu, dengarkan baik-baik."
Tanpa diminta dua kali, Salya dan Braja Denta
langsung memusatkan perhatian pada cerita yang akan
dlkemukakan Kidang Loka.
2
"Golok ini memiliki banyak keistimewaan," ucap
Kidang Loka memulai ceritanya, sambil mengangkat ke atas
tangan kirinya yang menggenggam senjata itu. "Senjata ini
sangat berbahaya bila berada di tangan seorang tokoh sesat.
Sebab, golok ini memiliki kemampuan dahsyat. Di samping
memang dirancang untuk menimbulkan keonaran."
Kidang Loka menghentikan ceritanya sejenak untuk
mengambil napas.
"Golok ini dinamakan Golok Api karena memang
mampu mengeluarkan api. Tentu saja bila orang yang
menggunakannya memiliki tenaga dalam yang mengandung
hawa panas, dan cukup tinggi tingkatannya. Sebagai senjata
pusaka, tentu Golok Api terbuat dari bahan-bahan yang amat
kuat. Jarang ada senjata yang tidak putus bila berbenturan
dengannya. Yang lebih mengerikan, Golok Api ini seperti
mampu mengisap darah. Maksudku, bila golok ini
ditusukkan pada tubuh seseorang dan didiamkan beberapa
saat lamanya, maka orang itu akan mati kehabisan darah!"
"Ck ck ck...!"
Tanpa sadar, Salya dan Braja Denta berdecak kagum
mendengar penuturan Kidang Loka tentang kedahsyatan
Golok Api. Tentu saja Kidang Loka mengptahui, tapi kakek itu
mengacuhkannya. Lalu tangan kirinya diturunkan. Kini
tangan kanannya yang diangkat, untuk mengunjukkan
Pedang Embun.
"Pedang Embun ini kalau dibandingkan dengan Golok
Api seperti tidak mempunyai kegunaan sama sekali. Karena
senjata ini memang bukan dirancang untuk penjnrangan."
Sampai di sini kate k berpakaian putih itu
menghentikan keterangannya. Dan seperti yang sudah
diduganya, baik Salya maupun Braja Denta kelihatan tidak
begitu tertarik mendengarnya. Tapi Kidang Loka bersikap
seolah-olah tidak mengetahuinya. Dengan nada suara sama
keterangannya segera dilanjutkan.
"Walaupun demikian, pedang ini tetap merupakan
senjata ampuh! Hanya saja Ftedang Embun tidak memiliki
kemampuan mengerikan seperti yang dimiliki Golok Api. Tapi
meskipun demikian, bila berhadapan dengan Pedang Embun,
Golok Api akan kehilangan kemampuannya. Nah! Itulah ke¬
ampuhan kedua pusaka itu. Ada pertanyaan?!" tutur Kidang
Loka menutup uraiannya.
Salya dan Braja Denta hampir bersamaan
menggelengkan kepala.
"Kalau demikian sudah tiba saatnya bagiku untuk
memberikan pusaka ini pada kalian. Tapi, ada satu hal yang
perlu kalian camkan! Aku tidak ingin ada yang merasa tidak
puas bila pusaka-pusaka ini kubagikan! Untuk menentukan
siapa yang berhak memiliki pusaka-pusaka ini aku tidak
bertindak sembrono. Semuanya telah kuperhitungkan
masak-masak. Dan aku yakin keputusan yang kuambil tidak
salah! Kalian mengerti?!"
"Mengerti, Guru," jawab Salya dan Braja Denta
dengan suara bergetar karena perasaan tegang.
"Bagus! Aku gembira kalian menyadari hal itu:
Sekarang, bersiaplah untuk menerima pusaka-pusaka ini."
Lagi-lagi Kidang Loka menghentikan ucapannya.
Ditatapnya wajah kedua muridnya berganti-ganti.
"Denta...!" panggil Kidang Loka dengan suara dan
sikap penuh wibawa. "Kemari...!"
"Baik, Guru," jawab Braja Denta seraya menghampiri
Kidang Loka.
Pemuda berpakaian coklat itu merasakan jantungnya
berdetak kencang. Agaknya, Braja Denta dilanda perasaan
tegang. Braja Denta menginginkan Golok Api jatuh ke
tangannya.
Kidang Loka tersenyum lebar. Kemudian,
diangsurkannya Pedang Embun pada pemuda berpakaian
coklat itu.
"Kupercayakan Pedang Embun ini padamu, Denta.
Aku berharap kau menggunakannya untuk menegakkan
keadilan di dunia persilatan."
Deggg!
Untuk kedua kalinya Braja Denta merasakan pukulan
keras di dalam dadanya. Rasa kecewa yang sangat mendera
hati pemuda itu. Tapi, dengan pandainya pemuda berpakaian
coklat itu menyembunyikan perasaannya. Bahkan, dia
menunjukkan seri gembira di wajahnya ketika
mengangsurkan tangan untuk menerima pemberian itu.
"Terima kasih, Guru!"
Kidang Loka menganggukkan kepala seraya
tersenyum.
"Salya...!"
Tanpa menunggu diperintah dua kali, pemuda
berpakaian kuning itu melangkah maju.
"Kupercayakan Golok Api ini padamu. Ftesanku,
jangan sembarangan mempergunakan senjata ini, Tapi,
pergunakan hanya pada saat-saat kau memerlukannya. Kau
mengerti?"
"Mengerti, Guru. Kuucapkan terima kasih atas
kepercayaan yang telah Guru limpahkan padaku," jawab
Salya. Disambutnya uluran tangan Kidang Loka yang
mengangsurkan Golok Api.
Kembali Kidang Loka mengangguk-anggukkan kepala.
"Nah! Sekarang kalian boleh melanjutkan latihan. Aku
dan Ganda Kerta mempunyai urusan lain yang perlu
dibicarakan. Kami pergi dulu."
"Baik, Guru," jawab Salya dan Braja Denta
berbarengan seraya membungkuk memberi hormat
Tapi Kidang Loka dan Ganda Kerta tidak sempat
melihatnya. Kedua kakek itu telah membalikkan tubuh dan
melangkah meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian,
tubuh mereka lenyap di balik gundukan batu besar. Kini
tinggal Salya dan Braja Denta di tempat itu.
*******kkk
"Pembagian ini tidak adil!" desis Braja Denta tidak
puas. Sepasang matanya menatap Salya penuh perasaan iri.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kang?" ucap Salya
bingung.
"Tidak mengerti?!" sinis pertanyaan Braja Denta. "Kau
jangan berpura-pura dungu, Salya! Aku yakin kau tahu
ketidakadilan tindakan guru!"
"Guru bertindak tidak adil?! Ah! Mengapa kau sampai
hati dan melancarkan tuduhan seperti itu, Kang?!" sergah
Salya tidak senang mendengar ucapan Braja Denta. "Aku
yakin guru telah bertindak seadil-adilnya!"
"Tentu saja kau beranggapan demikian. Sebab kau
selalu dibela guru!" tandas Braja Denta dengan suara
semakin meninggi karena terbakar emosi.
"Jaga mulutmu, Kang!" sentak Salya juga dengan
nada tinggi. "Tidak sepantasnya kau melancarkan fitnah
seperti itu!"
"Aku tidak memfitnah! Semua yang kukatakan ini
kenyataan. Ada buktinya!"
"Pembagian pusaka ini maksudmu?!"
"Ini baru salah satu bukti!" ujar Braja Denta keras.
Masih banyak hal lainnya yang menjadi bukti ketidakadilan,
guru!"
"Bisa kau membuktikannya?!" tantang Salya.
"Mengapa tidak?!" timpal Braja Denta dengan cepat.
"Kau ingat ucapan guru kan ketika kita selesai bertarung
tadi, hehhh?! Di depan Ganda Kerta dia memuji-mujimu
setinggi langit. Tapi terhadap-ku?! Aku malah dibodoh-
bodohi! Apa itu bukan bukti nyata kalau guru bertindak tidak
adil?"
"Kau salah duga, Kang! Guru tidak bermaksud
demikian. Aku yakin betul mengenai hal itu. Apa yang
dikatakannya memang tidak salah! Aku malah berani
mengatakan kalau dia amat menyayangimu. Terbukti, beliau
memberi nasihat padamu. Dan...."
"Omong kosong!" potong Braja Denta keras. "Kalau
guru hendak memberi nasihat, tidak sepatutnya dilakukan di
depan Ganda Kerta. Lagi pula, ucapan yang dikeluarkannya
tidak patut dikatakan nasihat! Aku yakin guru memang
sengaja merendahkanku di depan Ganda Kerta. Aku tahu apa
maksudnya!"
"Kakang! Hentikan fitnahan keji itu! Tak pantas
tuduhan-tuduhan itu kau alamatkan pada guru! Ingat! Dia
yang mendidik dan membimbing kita.... Dan...!"
"Cukup, Salya! Aku tidak mau mendengar ucapan
seperti itu lagi! Aku hanya ingin mengatakan ketidakadilan
tindakan guru! Aku pun tahu, mengppa dia memuji-mujimu
dan menjatuhkanku di depan Ganda Kerta! Aku tahu itu
memang disengaja! Dan, aku yakin kau juga mengptahuinya!"
"Kau boleh mengutarakan fitnah sesukamu, Kang.
Tapi, aku tidak mau mendengarnya!"
Setelah berkata begitu, Salya membalikkan tubuh dan
meninggalkan tempat itu dengan langkah-langkah lebar.
Pemuda berpakaian kuning itu sadar kalau Braja Denta saat
itu tidak mungkin bisa disadarkan, karena amarah yang
masih marajelela dalam jiwanya. Maka, pemuda itu pun
memutuskan untuk meninggalkannya.
Tapi baru beberapa tindak kakinya melangkah....
"Salya! Berhenti!"
Salya tahu kalau kakak seperguruannya yang
menyuruhnya berhenti. Tapi Salya menulikan telinga. Dan
terus saja melangkahkan kaki.
"Keparat!" maki Braja Denta geram, melihat
panggilannya tidak dihiraukan. Lalu, kakinya dijejakkan.
Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas dan
berputaran beberapa kali melewati kepala Salya. Dan....
Jliggg-
Ringan laksana jatuhnya sehelai daun kering, Braja
Denta mendarat di tanah dalam jarak dua tombak di depan
Salya.
"Apa maumu sebenarnya, Kang?!" tanya Salya seraya
menghentikan langkah. Nada suaranya menunjukkan kalau
pemuda berpakaian kuning itu mulai kehilangan kesabaran.
"Tidak banyak! Aku hanya ingin mengungkapkan
ketidakadilan guru terhadap kita berdua. Titik!" tandas Braja
Denta.
"Kalau aku tidak mau mendengarnya?!" tanya Salya,
ingin tahu kelanjutan tindakan Braja Denta.
"Berarti dugaanku benar! Kau telah mengetahui
ketidakadilan guru, dan mencoba menutupinya dariku!"
Terdengar bunyi gemeretak dari mulut Salya
mendengar alasan yang jelas dicari-cari itu.
"Sejak tadi pun aku sudah mendengarnya!" teras dan
bergetar suara Salya. Pertanda pemuda berpakaian kuning
itu tengah dilanda amarah yang menggelegak.
"Tapi kau belum mendengar alasanku menguraikan
ketidakadilan guru. Atau... kau sengaja menginginkan
persoalan ini mengambang?!"
"Terserah!"
Usai berkata demikian, Salya melesat meninggalkan
tempat itu. Rupanya, pemuda berpakaian kuning itu sudah
tidak ingin mendengarkan ucapan Braja Denta.
"Keparat!"
Braja Denta hanya bisa memaki! Disadarinya kalau
tidak ada gunanya melakukan pengajaran. Salya akan terus
menghindar. Akhirnya, Braja Denta melesat 1$ arah yang
ditempuh gurunya.
*****kkk
Braja Denta tidak membutuhkan waktu lama untuk
menemukan Kidang Loka dan Ganda Kerta berada. Pemuda
itu tahu betul tempat yang disukai gurunya untuk bercakap-
cakap, di dekat air terjun. Maka, ke sanalah dia menuju.
Braja Denta tahu gurunya akan duduk di baru besar
yang menonjol di pinggir sungai, tak jauh dari jatuhnya air
terjun. Dan Braja Denta pun tahu ada oelah di bawah baru
besar itu. Yang lebih penting lagi, dia tahu jalan menuju
tempat itu tanpa diketahui gurunya. Rupanya, Braja Denta
bermaksud mencuri dengar pembicaraan Kidang Loka dan
Ganda Kerta. Sebab, dia mempunyai dugaan hal yang akan
dibicarakan gurunya.
Braja Denta mengerahkan seluruh ilmu meringankan
tubuhnya. Hasilnya memang tidak mengecewakan. Bentuk
tubuh pemuda berpakaian coklat itu lenyap. Yang terlihat
hanya kelebatan bayangan coklat yang melesat seperti
melayang.
Tak lama kemudian, Braja Denta telah melihat Kidang
Loka dan Ganda Kerta tengah duduk bersisian sambil
menatap air terjun. Dengan mengendap-endap dan
mengambil jalan memutar, Braja Denta mendekati tempat
mereka.
Rupanya nasib baik berpihak pada Braja Denta.
Pemuda itu berhasil tiba di tempat yang diinginkan tanpa
diketahui Kidang Loka dan Ganda Kerta. Meskipun demikian,
pemuda berpakaian coklat itu tetap bertindak hati-hati. Braja
Denta tahu betapa tinggi kepandaian gurunya. Bahkan
Ganda Kerta pun bukan tokoh sembarangan.
Lagi-lagi keberuntungan menyertai Braja Denta. Di
saat dia memasang pendengarannya, terdengar Kidang Loka
membicarakan hal yang diduganya.
"Sekarang, ada baiknya kita masuk ke pokok
pembicaraan. Bagaimana kabarnya Wardani? Apakah dia
sudah menentukan pilihannya? Maksudku, siapa di antara
muridku yang akan dipilihnya, Salya atau Braja Denta?!"
"He he he...!" Ganda Kerta terkekeh sambil mengelus-
elus jenggot. "Wardani menyerahkan seluruh keputusannya
padaku. Terserah, katanya. Dijodohkan dengan Salya atau
Braja Denta dia bersedia. Sebab, mereka sama-sama gagah.
Wardani merasa sulit untuk menentukan pilihan."
"Ooo..., begitu?! Lalu... keputusanmu sendiri
bagaimana, Kerta?!" tanya Kidang Loka setelah mengangguk-
anggukkan kepala sebentar.
"Kuserahkan keputusanku padamu, Kidang Loka. Aku
yakin kau lebih mengetahui mana di antara mereka yang
lebih cocok untuk putriku," jawab Ganda Kerta terlihat
pasrah.
"Hehhh...?! Mengapa demikian, Kerta?! Apa tidak ingin
mempunyai calon menantu pilihanmu sendiri?!"
"Kuserahkan pilihanku itu padamu, Kidang Loka.
Siapa pun di antara mereka yang kau pilih, aku setuju. Aku
yakin pilihanmu tidak keliru!"
"Hm..J"
Kidang Loka menggumam pelan sambil mengpngguk-
anggukkan kepala. Kakek itu tidak segera memberikan
jawaban. Kelihatan jelas kalau dia tengah
mempertimbangkannya. Sementara Kidang Loka dan Ganda
Kerta tidak menduga bahwa tepat di bawah mereka, Braja
Denta tengah menanti jawaban gurunya dengan perasaan
tegang.
Memang beralasan kalau Braja Denta merasa tegang.
Sebab dirinya seperti juga Salya, menyenangi Wardani, putri
Ganda Kerta! Telah beberapa kali Wardani dibawa ke tempat
ini oleh kakek beijenggot kuning itu.
"Hhh...!" Kidang Loka menghembuskan napas
sebelum menentukan pilihan. "Kalau begitu, Wardani
kujodohkan dengan Salya. Dia lebih baik dibandingkan Braja
Denta."
"Kalau itu pilihanmu, aku setuju saja. Jika demikian,
besok aku akan pulang untuk mempersiapkan segala
sesuatunya," ucap Ganda Kerta setelah tercenung sesaat.
"Aku pun akan memberitahukan hal ini pada Salya.
Agar dia mempersiapkan semua yang diperlukan," timpal
Kidang Loka.
"Kalau begitu, kita cukupkan pembicaraan ini.
Bukankah begitu Kidang Loka?!"
Lalu, Ganda Kerta bangkit. Diikuti kemudian oleh
Kidang Loka. Dengan langkah perlahan, meieka
meninggalkan tempat itu. Kedua kakek itu tidak mengetahui
kalau tepat di bawah mereka dan hanya terhalang sebuah
batu, Braja Denta tertegun. Kedua tangan pemuda
berpakaian coklat itu mengepal keras penuh kekuatan. Braja
Denta tengah menahan luapan perasaan.
Dan memang demikian yang terjadi. Saat itu batin
Braja Denta tengah dilanda berbagai macam perasaan.
Kecewa, marah, terpukul, dan sedih bercampur jadi satu.
Semua itu menyebabkannya tertegun bingung. Tak tahu
harus berbuat apa!
Cukup lama juga Braja Denta berlaku seperti itu.
Rupanya batin pemuda berpakaian coklat itu terguncang
hebat. Kekecewaan demi kekecewaan yang bertubi-tubi
melanda, membuatnya tidak kuat bertahan. Mendadak....
"Oooh...!"
Sebuah keluh keputusasaan keluar dari mulut Braja
Denta. Sekujur tubuhnya mendadak lemas. Fteriahan-lahan
tubuh pemuda itu melorot turun. Hingga akhirnya....
Brukkk!
Braja Denta berdiri di atas pasir basah dengan kedua
lututnya. Punggungnya memang tegak, tapi kepalanya
tertunduk dan ditutupi dengan kedua tangan. Terlihat jelas
kalau Braja Denta tengah terpukul. Beberapa saat lamanya
dia berlaku seperti itu, sebelum akhirnya secara mendadak
sekujur tubuhnya mengejang. Kedua tangannya terkepal erat
penuh kekuatan!
"Ketidakadilan ini tidak bisa kubiarkan! Akan kuambil
semua yang menjadi hakku. Golok Api dan Wardani! Kalau
perlu secara paksa! Ya, dengan kekerasan! Jika kau
menghalangiku pula, guru, aku tidak segan-segan
membunuhmu! Haaattt...!"
Braja Denta mengakhiri tekadnya dengan teriakan
keras. Karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam,
keadaan di sekitar tempat itu pun tergetar hebat
Braja Denta tidak berhenti sampai di situ. Sambil
mengeluarkan teriakan menggeledek, kedua tangannya
didorongkan ke arah batu karang yang ada di dekatnya.
Wusss!
Deru angin teras terdengar seiring dengan dorongan
kedua tangan Braja Denta. Dan...
Blarrr!
Batu sebesar kerbau yang dijadikan sasaran pukulan
jarak jauh Braja Denta hancur berkeping-keping. Bunyi
hiruk-pikuk mengiringi berpentalannya pecahan batu-batu
itu!
"Ha ha ha...!"
Bagai orang gila, Braja Denta tertawa tergelak.
Tampak gembira sekali. Kemudian masih dengan tawa yang
belum putus, kedua tangannya kembali dihentakkan. Kali ini
ditujukan pada air terjun!
Wusss! Pyarrr!
Kumpulan air yang tengah meluncur jatuh langsung
buyar! Bahkan luncuran air itu terhenti sesaat. Sungguh
sangat kuat tenaga dalam Braja Denta.
Tapi itu belum membuat Braja Denta puas. Bagai
orang tidak waras, dia menyerang semua yang ada di situ.
Tidak hanya dengan pukulan jarak jauh. Tapi juga dengan
hantaman tangan dan kakinya.
Akibatnya sungguh hebat! Semua benda yang
berbenturan dengan kaki atau tangannya hancur
berantakan. Tapi Braja Denta tidak mempedulikannya. Terus
dicarinya sasaran lainnya. Braja Denta terus mengamuk.
Bahkan ketika akhirnya dia bosan menggunakan tangan
kosong, dicabutnya senjata yang baru diterima dari gurunya,
Pedang Embun!
Srattt!
Sinar terang menyilaukan mata berpendaran ketika
pedang itu keluar dari sarungnya. Sejenak suasana di tempat
itu sedikit terang.
Tapi Braja Denta tidak sempat memperharikan
keanehan itu. Begitu pedang itu terhunus, langsung saja
dipergunakan untuk mengamuk! Dan akibatnya memang
dahsyat! Semua benda yang dihantam Ftedang Embun
langsung putus!
Rupanya, Braja Denta bosan juga berlaku seperti itu.
Sesaat kemudian, Pedang Embun kembali dimasukkan ke
sarungnya. Kemudian, pemuda itu melesat meninggalkan
tempat itu sambil tertawa-tawa. Untung, saat itu Kidang Loka
dan Ganda Kerta telah berada amat jauh dari tempat itu
sehingga tidak mendengar keributan yang ditimbulkan Braja
Denta.
Wusss!
Deru angin keras terdengar, seiring dengan dorongan
dari kedua telapak tangan Braja
Denta. Dan....
Blarrr!
Batu sebesar ukuran terbau hancur berkeping-
keping, akibat amukan Braja Denta yang tidak
mempedulikan keadaan sekitarnya. Pemuda itu benar-benar
seperti orang gila!
3
Kekecewaan demi kekecewaan yang datang bertubi-
tubi membuat Braja Denta terpukul. Begitu puas termenung
dan tertawa-tawa, pemuda itu terdiam. Tarikan wajah dan
sorot matanya berubah dingin. Tak nampak ada gambaran
perasaan apa pun pada wajahnya. Dalam keadaan seperti itu,
Braja Denta meninggalkan tempat gurunya. Yang ada di
benaknya hanya satu, mengunjungi makam orangtuanya!
Braja Denta melakukan perjalanan dengan cepat.
Dengan ilmu meringankan tubuhnya, bukan hal yang sulit
baginya. Di sepanjang perjalanan pemuda itu bertanya pada
orang-orang yang ditemuinya, arah mana yang harus
ditempuh untuk menuju Desa Alas Ngampar. Braja Denta
memang tidak mengetahui letak desa itu.
Beberapa hari kemudian, pemuda itu sudah
memasuki Desa Alas Ngampar. Tanpa membuang waktu lagi,
Braja Denta segera mencari tempat pemakaman di desa itu.
Setelah sebelumnya bertanya pada salah seorang penduduk
desa. Maka, tanpa mengalami kesulitan Braja Denta berhasil
me ne mukan nya.
Tempat pemakaman itu terletak di pinggir desa.
Bahkan hampir berada di daerah perbatasan dengan desa
lain. Braja Denta menghentikan langkahnya di luar wilayah
pemakaman.
"Hhh...!"
Pemuda berpakaian coklat itu menghembuskan napas
berat. Ditatapnya hamparan gundukan tanah di depannya.
Dengan sepasang matanya, dicarinya letak makam ibu dan
ayahnya di antara sekian banyak makam yang bertebaran.
Dari salah seorang penduduk diketahui kalau makam
orangtuanya terletak di dekat pohon kamboja.
Tanda-tanda itu amat membantu Braja Denta. Tak
heran bila dalam sekejap pemuda berpakaian coklat itu dapat
menemukan tempat orangtuanya dimakamkan. Sebab, pohon
kamboja di tempat itu hanya ada satu. Lalu, Braja Denta
mengayunkan kaki memasuki wilayah pemakaman itu.
Tapi baru selangkah kakinya diayunkan, tiba-tiba
pemuda itu menghentikan langkahnya. Dia mendengar suara
orang bercakap-cakap. Dan ketika kepalanya ditolehkan,
tampak dua sosok tubuh tengah berjalan ke arahnya.
Kalau saja keadaan kedua sosok itu tidak terlalu
menyolok, mungkin Braja Denta tidak akan mempedulikan.
Tapi, ciri-ciri kedua sosok itu terlalu menyolok. Hingga Braja
Denta jadi mengurungkan maksudnya semula.
Pandangannya ditujukan ke arah dua sosok tubuh yang
semakin dekat dengannya.
Tidak aneh bila Braja Denta sampai meluangkan
waktu untuk melihat kedua orang itu. Betapa tidak? Yang
satu seorang gadis berpakaian putih dengan wajah cantik
jelita laksana bidadari. Rambutnya yang panjang dan hitam
dibiarkan terurai, hingga menambah kecantikannya. Sudah
dapat dipastikan tak akan ada seorang lelaki pun yang
membiarkan pemandangan indah ini lewat begitu saja!
Sosok kedua mempunyai ciri-ciri yang tidak kalah
menyoloknya. Sosok itu seorang pemuda tampan dan jantan.
Tubuhnya yang kekar dibungkus pakaian warna ungu. Dari
keadaan tubuhnya diperkirakan usianya tak lebih dari dua
puluh satu tahun. Tapi anehnya, rambut yang panjang
hingga sebagian menutupi guci perak yang tergantung di
punggung tidak berwarna hitam seperti layaknya rambut
orang muda. Rambut itu putih keperakan! Memang kelihatan
indah tapi aneh!
Sepasang muda-mudi berwajah elok itu agaknya tahu
ada orang yang tengah memperhatikan mereka. Sebab, Braja
Denta melakukannya dengan sangat menyolok. Tapi
keduanya mampu menahan diri dan bersikap tidak peduli.
Kedua kaki mereka terus saja melangkah. Tak lama
kemudian, sepasang muda-mudi itu melewati tempat Braja
Denta. Dan meninggalkannya, semakin lama semakin jauh.
Saat itu, barulah Braja Denta melanjutkan mak¬
sudnya yang tadi tertunda. Langkahnya diayunkan
memasuki wilayah pemakaman. Braja Denta tidak tahu kalau
sepasang muda-mudi itu sempat melihat tindakannya
sebelumnya membelok ke ujung jalan.
"Apa kau lihat orang yang berada di depan pe¬
makaman tadi, Kang?" tanya gadis cantik itu pada pemuda
tampan yang beijalan di sebelahnya.
"Ya. Lalu kenapa, Melati?" pemuda itu balas bertanya.
"Tidak apa-apa, Kang. Hanya..., eh! Apa kau tidak
tahu dia memperhatikan kita?" tanya gadis cantik itu yang
ternyata bernama Melati.
Dengan demikian, sudah dapat diterka siapa pemuda
tampan itu. Ya! Siapa lagi kalau bukan Aiya yang beijuluk
Dewa Arak!
"Tentu saja tahu, Melati. Tapi apa salahnya? Dia tidak
berbuat sesuatu yang merugikan kita. Lain masalahnya jika
dia melakukan tindakan yang tidak kita inginkan!" urai Aiya.
Melati terdiam. Disadarinya ada kebenaran yang tidak
bisa dibantah dalam ucapan pemuda itu. Meieka
meneruskan perjalanan tanpa berbincang-bancang lagi.
Hingga keheningan pun menyelimuti keduanya.
*******k-k-k
Sementara itu Braja Denta telah berhasii menemukan
makam kedua orangtuanya. Berbeda dengan sebagian besar
makam yang ada di situ, makam ayah dan ibunya terawat
baik. Bahkan nisannya masih ada. Demikian pula dengan
namanya.
Semua itu dilakukan oleh penduduk Desa Alas
Ngampar. Secara bergilir mereka merawat makam-makam
itu. Sebab, mereka merasa berhutang budi pada Raja Pedang.
Berkat Raja Pedanglah Desa Alas Ngampar aman. Tidak ada
seorang pun yang berani mengganggu desa itu sejak Raja
Pedang tinggal di situ. Raja Ftedang selalu melenyapkan
orang-orang yang hendak menimbulkan keributan di Desa
Alas Ngampar.
Itu sebabnya, mereka merasa kehilangan sekali ketika
Raja Pedang tewas. Sebagai balas jasa atas tindakan-
tindakannya dulu, para penduduk bersepakat untuk merawat
makamnya dan makam istrinya.
"A...Ayah... Ibu...," ujar Braja Denta dengan terbata-
bata dan bergetar.
Dengan agak bergegas, pemuda berpakaian coklat itu
itu menjatuhkan diri bersimpuh di makam orangtuanya.
"Ayah...!" kembali Braja Denta menggumamkan
panggilan itu. "Kalau saja kau masih hidup, mungkin aku
tidak akan mengalami hal seperti ini. Kawanmu telah
bertindak tidak adil, Ayah. Dia terlalu membela Salya, putra
kawan Ayah yang lain. Aku sakit hati, Ayah. Sakit...!"
Braja Denta menelungkupkan wajahnya di gundukan
makam Raja Pedang. Kedua bahunya berguncang-guncang.
Tapi tidak terdengar isak tangis keluar dari mulutnya. Braja
Denta memang tidak menangis. Pantang baginya meneteskan
air mata.
Braja Denta hanya membutuhkan tempat untuk
menumpahkan ganjalan di hatinya. Dengan mengutarakan
hal-hal yang menekan hatinya dadanya menjadi terasa
lapang. Braja Denta membutuhkan tempat untuk berbagi
rasa.
"Aku tidak rela disakiti, Ayah. Aku tidak rela dihina!
Akan kubalas sakit hati ini, Ayah!" sambung Braja Denta lagi.
Kemudian diam dan tidak berkata-kata lagi.
Rupanya Braja Denta telah merasa cukup puas
mengeluarkan ganjalan hatinya. Namun, meskipun begitu dia
tidak bangkit. Pemuda berpakaian coklat itu tetap
merebahkan tubuhnya dengan berbantalkan gundukan
makam ayahnya.
Perasaan hati yang telah agak tenang dan suasana di
bawah pohon yang cukup sejuk membuat Braja Denta
mengantuk. Beberapa hari ini dia memang kurang tidur.
Ditambah dengan kelelahan yang mendera karena terlalu
memaksakan diri dalam melakukan perjalanan. Lebih-lebih
lagi pemuda berpakaian coklat itu berbaring. Maka, tak heran
jika akhirnya dia tertidur!
Perlah ah-lahan kedudukan matahari pun bergeser.
Semakin lama semakin dekat pada tempat terbenamnya. Dan
Braja Denta tetap lelap dalam tidurnya. Pemuda itu tidak
terbangun sampai sang Surya tenggelam di ufuk barat,
meninggalkan bias-bias kemerahan di kaki langit.
Braja Denta baru terjaga dari tidurnya ketika sang
Dewi Malam telah menampakkan diri. Tapi walaupun begitu,
pemuda berpakaian coklat itu tetap bersikap tenang. Pemuda
itu tidak merasa takut meskipun berada di tengah
pemakaman di malam hari.
"Uuuh...!"
Sambil membuka mulutnya lebar-lebar, Braja Denta
menggeliatkan tubuhnya. Terasa nikmat sekali melakukan
gerakan itu. Setelah itu Braja Denta bangkit berdiri.
Mendadak....
Wusss!
Angin berhawa dingin berhembus teras. Berbeda
dengan tiupan sebelumnya. Braja Denta pun merasakannya.
Bulu kuduknya mendadak berdiri!
Dengan sedikit takut, Braja Denta mengpdarkan
pandangan berkeliling. Sekujur otot dan urat sarafnya
menegang. Braja Denta telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan yang tidak diinginkan. Tiba-tiba...
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa teras yang menggema di sekitar tempat
itu membuat Braja Denta terperanjat kaget. Nada tawa itu
begitu aneh. Ftelan, berat dan bergaung seperti bukan keluar
dari mulut manusia! Melainkan dari mulut hantu penjaga
kuburan!
Dugaan itu membuat bulu-bulu di tubuh Braja Denta
berdiri. Rasa takut mulai timbul di hatinya.
Tapi segera ditekannya perasaan itu. Apa yang harus
ditakuti? Diriku memiliki kepandaian. Hibur Braja Denta
dalam hati.
"Siapa kau?!" bentak Braja Denta memberanikan diri.
Setelah mengedarkan pandangan berkeliling, dan tidak
menemukan pemulik tawa aneh itu.
Memang harus diakui kalau arah tawa itu tidak bisa
dilacaknya. Tapi Braja Denta berani bertaruh asal suara itu
amat dekat dengan tempatnya! Anehnya, mengapa dia tidak
melihatnya. Padahal, suasana di tempat itu cukup terang
oleh sinar dewi malam.
"Siapa kau?! Kalau berani, tunjukan dirimu!" tantang
Braja Denta lagi seraya mengedarkan pandangan berkeliling.
Angin malam kembali bertiup. Kali ini lebih kencang
dari sebelumnya. Bersamaan dengan tiupan angin,
mendadak di hadapan Braja Denta hadir sesosok tubuh
tinggi besar!
"Ah!"
Tanpa sadar Braja Denta mengeluarkan jerit
kekagetan. Kakinya melangkah mundur. Kehadiran sosok
tinggi besar itu terlalu mendadak hingga mengejutkannya.
Tapi hanya sebentar Braja Denta larut dalam perasaan kaget.
Sesaat kemudian, pemuda itu mulai memperhatikan sosok
tinggi besar di hadapannya. Dan Braja Denta bergidik ngeri.
Dalam siraman sinar rembulan, terlihat jelas ciri-ciri
sosok tinggi besar itu. Sosok itu berpakaian serba hitam.
Kulit wajahnya §2lap. Kumis dan jenggotnya panjang dan
jarang-jarang. Namun yang membuatnya ngeri adalah sorot
mata sosok berpakaian hitam itu! Sorot matanya tajam
mencorong dan bersinar kehijauan. Mirip sorot mata harimau
dalam gelap!
"Jangan takut, Anak Muda. Percayalah, aku tidak
akan menyakitimu," ucap sosok berpakaian hitam berusaha
menenangkan hati Braja Denta.
Seperti juga tawanya, ucapan sosok berpakaian hitam
itu terdengar aneh. Ftelan, berat, dan bergaung seolah berasal
dari tempat yang amat jauh. Seakan berasal dari dunia lain!
Tentu saja hal itu semakin menambah rasa takut Braja
Denta. Apalagi, ketika pemuda berpakaian coklat itu melihat
bibir sosok itu tidak bergerak saat berbicara!
Dan perlahan-lahan rasa takut yang melanda hati
Braja Denta menghilang, ketika melihat sosok berpakaian
hitam tidak melakukan tindakan apa pun terhadapnya.
Sosok berpakaian hitam itu memang tidak bermaksud jahat.
Demikian pikir pemuda berpakaian coklat itu.
"Lalu..., apa maksud kedatanganmu kemari?" tanya
Braja Denta. Suaranya masih agak bergetar karena rasa
takut yang melandanya belum sepenuhnya lenyap.
"Menolongmu, Braja Denta!" jawab sosok berpakaian
hitam pelan.
"Kau..., siapa sebenarnya dirimu?! Dari mana kau
tahu namaku?!" tanya Braja Denta tanpa mampu
menyembunyikan rasa kagetnya.
"Ha ha ha...!" sosok berpakaian hitam tergelak.
"Ketahuilah, Braja Denta. Bukan hanya namamu yang aku
tahu. Tapi juga ayahmu, gurumu dan adik seperguruanmu.
Bahkan juga masalah yang kau hadapi saat ini. Aku tahu
semuanya, Braja Denta!"
"Aku tidak percaya!" seru Braja Denta teras. "Kau
bohong!"
"Ha ha ha...! Aku bohong, Denta?! Ha ha ha...!
Baiklah, agar kau percaya akan kubuktikan. Ayahmu
beijuluk Raja Pedang. Gurumu, Kidang Loka. Dan adik
seperguruanmu bernama Salya. Saat ini kau tengah dendam
pada guru dan adik seperguruanmu karena diperlakukan
tidak adil! Memang kau benar, Denta. Kidang Loka terlalu
menganak emaskan Salya!"
"Hahhh...?!"
Braja Denta tersentak mendengar pernyataan sosok
berpakaian hitam. Betapa tidak? Semua yang dikatakannya
benar. Tak ada satu pun yang salah! Lalu, dari mana sosok
berpakaian hitam itu mengetahuinya?
"Siapa kau? Mengapa kau mengptahui semua
masalahku.,.?" tanya Braja Denta lagi penuh perasaan heran.
"Siapa adanya aku nanti kau pun akan tahu, Braja
Denta, Yang terpenting kau harus tahu bahwa aku datang
kemari ingin menolongmu. Tanpa bantuanku, kau tidak akan
dapat membalas sakit hatimu. Jangankan menghadapi
gurumu, melawan Salya saja kau tak akan menang. Tapi bila
kau mau kubantu semua sakit hatimu akan terbalas. Bukan
itu saja, semua yang kau inginkan akan tercapai. Tak
terkecuali Golok Api dan Wardani! Bagaimana, Denta?!"
Braja Denta tertegun. Pemuda itu bingung. Kalau
menuruti perasaan hati, ingin rasanya diterima bantuan yang
ditawarkan sosok berpakaian hitam. Tapi, bagaimana
mungkin dia menerima bantuan orang yang sama sekali tidak
dikenalnya?! Bahkan tidak mau mengenalkan diri? Dan sosok
berpakaian hitam agaknya tahu kalau Braja Denta merasa
bimbang.
"Coba bayangkan Denta. Kedudukanmu adalah kakak
seperguruan, tapi mengapa kau justru dianaktirikan.
Wardani dijodohkan dengan Salya. Tidak hanya itu saja.
Golok Api pusaka yang amat dahsyat, diberikan pada adik
seperguruanmu itu. Sedangkan kau? Hanya sebuah pedang
yang tidak berguna! Tidak mempunyai kedahsyatan sama
sekali!" bujuk sosok berpakaian hitam.
Dan bujukan itu termakan Braja Denta. Ftemuda itu
mengangguk-agguk membenarkan ucapan sosok itu.
"Memang aku merasa sakit hati pada mereka. Baik
pada guruku maupun adik seperguruanku. Tapi apa dayaku?
Mereka memiliki kepandaian di atasku. Walaupun kau bantu,
belum tentu aku berhasil membalas sakit hati ini!" ucap
Braja Denta. Ada nada keputusasaan dalam suaranya.
"Ha ha ha...!" sosok berpakaian hitam tertawa. "Kau
meragukan kemampuanku, Denta?! Ha ha ha...! Lucu! Kau
tahu, jangankan Kidang Loka dan Salya. Tiga orang semacam
Kidang Loka pun jangan harap dapat mengalahkanku!" ujar
sosok berpakaian hitam menyombongkan diri.
"Apa semua yang kau katakan itu bisa dipercaya?!"
tanya Braja Denta ragu.
"Kau boleh membuktikannya, Denta!" tanpa ragu-ragu
sosok berpakaian hitam mengajukan diri. "Tapi aku
mempunyai satu syarat!"
Sepasang alis Braja Denta langsung berkerut.
Perasaan curiganya pun timbul.
"Rupanya kau hendak menipuku, hehhh?! Jangan
harap aku bisa kau tipu!"
"Kau terlalu curiga, Denta! Tapi kalau kau memang
tidak mau kubantu tidak apa! Aku tidak merasa rugi! Kau
boleh mati sengsara karena memendam sakit hati, Denta!
Dan Salya akan menari-nari penuh kegembiraan di atas
mayatmu! Tak lama lagi dia akan mendapat Wardani!"
Setelah berkata demikian, sosok berpakaian hitam
membalikkan tubuh. Melihat tindakannya, kelihatannya
sosok berpakaian hitam hendak meninggalkan tempat itu.
Tapi....
"Tunggu...!" cegah Braja Denta.
"Mengapa mencegahku?! Bukankah kau ingin
memendam sakit hatimu sampai mati?!" ejek sosok
berpakaian hitam tanpa membalikkan tubuh.
"Aku minta maaf atas kecurigaanku yang terlalu
berlebihan! Kumohon kau jangan pergi," pinta Braja Denta.
Semula Braja Denta memang merasa curiga pada
sosok berpakaian hitam. Tapi, ucapan terakhir sosok itu
membuat Braja Denta mengambil keputusan untuk
mengetahui lebih dulu syarat yang akan diajukan sosok
berpakaian hitam. Siapa tahu syarat itu tidak berat! Dan
siapa tahu sosok berpakaian hitam tidak membual tentang
kepandaiannya.
"Jadi kau menerima pertolonganku?!" tanya sosok
berpakaian hitam seraya membalikkan tubuh.
"Benar," Braja Denta mengangguk. "Tapi aku ingin
mengetahui syaratnya lebih dahulu. Bila persyaratan itu
tidak berat dan aku mampu melakukannya, maka dengan
senang hati akan kuterima pertolonganmu."
"Percayalah padaku, Denta. Syarat itu sama sekali
tidak berat. Bahkan amat ringan," sosok berpakaian hitam
berusaha meyakinkan Braja Denta.
"Bisa kau katakan sekarang?"
"Tentu saja, Denta!" mantap dan tegas kata-kata yang
keluar dari mulut sosok berpakaian hitam. "Syaratnya mudah
saja. Jauhkan pedang itu dari tubuhmu,"
"Hahhh...?!" Braja Denta terperanjat mendengar
syarat yang tidak disangka-sangka itu. Agak ragu-ragu
dicabutnya pedang yang tergantung di punggung. "Apakah
yang kau maksudkan pedang ini?!"
"Benar," jawab sosok berpakaian hitam singkat seraya
menganggukkan kepala.
"Tapi, kenapa?!" tanya Braja Denta heran.
S e ke lebat menyelinap perasaan curiga di hati Braja
Denta. Pedang yang dimaksudkan sosok berpakaian hitam
itu adalah pedang pusaka warisan gurunya, Pedang Embun!
Jangan-jangan sosok berpakaian hitam sengaja merancang
siasat itu untuk mencuri pedang itu!
"Buang jauh-jauh perasaan curigamu, Denta," ujar
sosok berpakaian hitam melihat Braja Denta tercenung. "Ada
alasan kuat yang membuatku sulit untuk membantumu jika
pedang itu ada pada dirimu."
"Bisa kau jelaskan alasannya?!" tanya Braja Denta
hati-hati, tidak sembarangan menuduh seperti sebelumnya.
Sosok berpakaian hitam tidak segera memberikan
jawaban. Sosok itu tercenung sejenak seperti tengah
mempertimbangkan pantas atau tidak pertanyaan itu
dijawabnya.
"Ceritanya cukup panjang, Denta. Aku tidak yakin
kau mau mendengarkannya," ujar sosok berpakaian hitam.
"Tidak apa. Aku bersedia mendengarkan. Aku sedang
tidak terburu-buru. Ceritakan saja, agar semua menjadi jelas
dan tidak ada keraguan padaku terhadap maksud baikmu,"
timpal Braja Denta.
"Hhh...! Baiklah, kalau memang itu yang kau
inginkan," ujar sosok berpakaian hitam mengalah. Ada rasa
enggan dan berat hati pada ucapan sosok itu. untuk
menyebutkan alasannya. "Kini dengarkanlah baik-baik
ceritaku ini."
4
"Puluhan tahun yang lalu aku adalah seorang tokoh
yang amat ditakuti. Sebab, kepandaian yang kumiliki sangat
tinggi. Belum pernah sekali pun aku menderita kekalahan.
Padahal telah ratusan kali aku terlibat pertarungan," sosok
berpakaian hitam memulai ceritanya. "Kenyataan itu
membuat musuh-musuhku merencanakan siasat untuk
melenyapkan aku."
Sosok berpakaian hitam menghentikan ceritanya
sejenak. Secara sambil lalu, ditatapnya wajah Braja Denta.
Ingin diketahuinya tanggapan pemuda berpakaian coklat itu.
Tapi Braja Denta diam saja. Meskipun tarikan wajah dan
sorot matanya menunjukkan kalau pemuda itu
mendengarkan ceritanya dengan penuh minat.
"Siasat licik mereka berhasil. Aku dapat mereka usir
dari dunia ini. Tidak hanya itu saja. Mereka menciptakan
sebuah pedang yang membuatku sulit untuk kembali ke
dunia. Itulah pedang yang kumaksud," sosok berpakaian
hitam mengakhiri kisahnya dengan menunjuk Pedang Embun
yang berada di tangan Braja Denta.
Braja Denta mengernyitkan kening. Kisah yang
diceritakan sosok berpakaian hitam sulit untuk diterima akal
sehatnya. Banyak hal yang masih belum dimengertinya.
"Bagaimana, Denta? Apa kau sudah mengerti,
mengapa aku menyuruhmu menjauhkan pedang itu dariku?"
tanya sosok berpakaian hitam, tak sabar melihat Braja Denta
hanya tercenung.
"Hhh...!" Hanya sedikit saja yang kumengerti.
Ceritamu sulit dipahami. Aku hanya dapat menyimpulkan
kalau kau takut pada pedang ini. Bisa kau ceritakan lebih
jelas lagi?!"
"Tidak, Denta. Aku sudah menceritakannya dengan
terperinci agar kau dapat mengerti. Rasanya memang, sulit
untuk dimengerti. Tapi agar kau percaya dengan kebenaran
ceritaku, kau boleh menyerangku. Caranya terserah padamu,
dengan syarat kau jangan mendekatiku. Jarak terdekat
antara kau dan aku sejauh dua tombak. Bila kau memaksa
lebih dekat lagi, aku akan celaka. Pedang Embun
menyebarkan hawa yang mampu membunuhku!" jelas sosok
berpakaian hitam.
Melihat sikap dan nada bicara sosok berpakaian
hitam, mulai timbul rasa percaya di hari Braja Denta.
Pemuda berpakaian coklat itu melihat kesungguhan dalam
ucapan dan sikap sosok berpakaian hitam. Terlihat jelas
betapa tokoh misterius itu amat takut pada Ftedang Embun!
"Baik. Aku akan menyerangmu. Tapi ingat, kau yang
mengajukan diri, bukan aku. Jadi aku tidak mau disalahkan
bila terjadi apa-apa atas dirimu!"
"Jangan khawatir, Denta. Aku tidak akan
menyalahkanmu bila terjadi hal yang tidak diinginkan atas
diriku. Percayalah. Tidak akan terjadi hal-hal buruk padaku.
Mulailah, Denta. Aku telah siap. Ingat! Jangan ragu-ragu.
Keluarkan seluruh kemampuanmu!" ada nada keyakinan
yang sangat dalam ucapan sosok berpakaian hitam.
"Baik!"
Braja Denta segera menyilangkan kedua tangannya di
depan dada. Kemudian perlahan-lahan tapi penuh kekuatan,
ditariknya kedua tangan itu ke sisi pingang. Bunyi
berkerotokan teras seperti tulang-tulang patah terdengar
ketika kedua tangan itu bergerak menuju tempat yang dituju.
Lalu....
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, Braja Denta mendorong
kedua tangannya ke depan. Seketika itu pula meluncur
serangkum angin berhawa panas ke arah sosok berpakaian
hitam.
Tapi sosok berpakaian hitam kelihatan tenang saja.
Dia berdiri tegak di tempatnya. Diam. Tidak terlihat tanda-
tanda sosok itu akan menanggapi serangan itu. Baik dengan
mengelak atau menangkis.
Dan ternyata tokoh misterius itu memang tidak
melakukan tindakan apa pun. Bahkan sampai pukulan jarak
jauh Braja Denta menghantamnya. Saat itulah teijadi
peristiwa aneh yang membuat sepasang mata murid Kidang
Loka ini membelalak lebar!
Tubuh sosok berpakaian hitam tidak bergeming dari
tempatnya! Padahal, Braja Denta sangat yakin pukulan jarak
jauhnya sudah mengpnai sasaran. Tapi mengapa tidak teijadi
akibat apa pun? Mendadak...
Brakkk!
Sebatang pohon besar yang berada tepat di belakang
sosok berpakaian hitam hancur berantakan mengeluarkan
bunyi hiruk-pikuk! Apa yang telah terjadi? Mengapa pohon
itu hancur berantakan? Apakah terkena pukulan jarak
jauhnya? Kalau benar, mengapa sosok berpakaian hitam
tidak mengalami kejadian apa pun? Seharusnya, bila benar
hancurnya pohon itu karena pukulan jarak jauh Braja Denta,
sebelum mengenai pohon itu, sosok berpakaian hitamlah
yang terkena lebih dulu! Karena tokoh misterius itu tepat
berada di bawah pohon!
Kejadian aneh itu membuat Braja Denta kebingungan.
Untuk beberapa saat lamanya pemuda itu tertegun, dengan
benak dipenuhi bebagai macam pertanyaan yang tidak
mampu dijawabnya.
"Ha ha ha...! Mengapa kau kelihatan bingung, Denta?!
Kalau ingin lebih jelas, seranglah aku dengan senjata
rahasiamu. Kidang Loka telah mengajarkan cara
melemparkan pisau terbang yang baik padamu, kan?!" ujar
sosok berpakaian hitam penuh kemenangan.
Tanpa membantah sedikit pun, Braja Denta segera
melaksanakan usul sosok berpakaian hitam. Diambilnya
beberapa batang pisau dari buntalan yang selalu dibawanya.
Memang, satu-satunya cara untuk mengungkapkan
keanehan tadi adalah dengan mengirimkan serangan senjata.
Kalau menggunakan senjata, dia bisa melihat apakah
serangan itu mengenai sasaran atau tidak!
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, Braja Denta mengibaskan
tangannya. Seketika itu pula tiga batang pisau terbang
meluncur deras ke arah sosok berpakaian hitam. Semua
mengarah pada bagian-bagian yang berbahaya. Ulu hati,
tenggorokan, dan ubun-ubun. Ini menandakan kalau Braja
Denta memang memiliki keahlian melempar pisau terbang.
Untuk kedua kalinya terjadi peristiwa menakjubkan.
Tapi, kejadian kali ini justru berhasil menjawab semua
pertanyaan yang menggayuti benak Braja Denta. Tampak
jelas ketiga pisau terbang itu mengpnai sasaran. Tapi tidak
menancap 1$ sana, melainkan terus meluncur.
Cap,cap, cap!
Lesatan pisau-pisau itu baru berhenti ketika
menancap di sebuah pohon yang terletak di belakang pohon
yang tadi hancur.
Kejadian ini telah membuat Braja Denta berhasil
menarik sebuah kesimpulan. Sosok berpakaian hitam
ternyata tidak berwujud manusia seperti dirinya. Sosok itu
tak ubahnya bayangan. Meskipun terlihat mata, tapi tidak
bisa disentuh! Ataukah itu yang dinamakan roh?! Tanya
Braja Denta dalam hati.
Dan Braja Denta tidak bisa berlama-lama tenggelam
dalam alun pikirannya.
"Ha ha ha...! Bagaimana, Denta?! Apakah sekarang
kau percaya kalau aku tidak bisa dilukai?!" ucap sosok
berpakaian hitam penuh kemenangan.
"Siapa kau sebenarnya? Manusia atau siluman?!"
tanya Braja Denta agak gugup.
Perasaan takut yang telah lenyap perlahan-lahan
timbul kembali.
"Hhh...!" Bukannya menjawab pertanyaan itu, sosok
berpakaian hitam malah menghela napas berat "Sebenarnya
aku manusia, Denta. Manusia seperti kau. Dapat merasakan
sakit bila dipukul. Tapi sekarang tidak lagi! Dan penyebabnya
seperti yang telah kuceritakan padamu, berkat siasat musuh-
musuhku! Sekarang aku hanya berupa roh! Sehingga betapa
pun saktinya aku, tanpa ada tempat berupa tubuh manusia,
aku tidak mempunyai kemampuan apa pun."
Tapi... mengapa kau mengatakan mampu
menolongku?!" tanya Braja Denta dengan alis berkemyit
dalam.
Pemuda berpakaian coklat itu kembali dilanda
kebingungan. Ucapan sosok berpakaian hitam ber-beda
dengan sebelumnya.
"Seperti telah kukatakan, kesaktianku baru akan
timbul bila ada manusia yag bersedia menjadi tempat bagi
rohku! Kebetulan aku bertemu denganmu. Melihat kau
memendam rasa sakit hati, kuputuskan untuk memilihmu
menjadi tempat rohku! Dengan adanya rohku pada dirimu,
kau bisa mendapatkan yang kau mau! Golok Api?! Wardani?!
Menguasai dunia persilatan?! Apa pun yang kau mau akan
bisa didapatkan! Aku seorang tokoh sakti pada puluhan
tahun lalu! Bagaimana, Denta?!" jelas sosok berpakaian
hitam berusaha merayu.
Braja Denta tidak segera menjawab. Pemuda itu
tercenung. Sungguh tidak disangka kelanjutannya akan
seperti ini. Sehingga kalau semula dia sudah merasa mantap
akan menerima tawaran sosok berpakaian hitam, kini
diputuskannya untuk mempertimbangkan kembali.
Bagaimana dia tidak bimbang? Raganya akan dipakai roh
sosok berpakaian hitam! Lalu, bagaimana dengan rohnya
sendiri?
"Bagaimana, Denta?" tanya sosok berpakaian hitam
tidak sabar. "Kau setuju dengan usulku?"
"Sebenarnya aku setuju. Tapi bila kau telah masuk ke
dalam diriku, bagaimana dengan rohku sendiri?!" Braja Denta
memutuskan untuk berterus terang.
"Ha ha ha...! Jangan khawarir, Denta. Rohmu tetap
ada di tubuhmu. Ragamu tetap satu. Tapi roh yang
menempatinya ada dua. Rohmu dan rohku!" jelas sosok
berpakaian hitam.
"Lalu..., siapa yang pegang peranan atas tubuhku?
Rohmu atau rohku?!" tanya Braja Denta lagi.
"Tentu saja rohmu, Denta! Sebab kau mempunyai
akal sehat. Pikiran. Dengan sendirinya, kau yang
mengendalikan tubuhmu. Bukankah itu berarti rohmu yang
menjadi penguasa atas tubuhmu. Sedangkan aku hanya
membantu bila kau menghadapi lawan tangguh. Mengapa
kau menanyakan hal itu?!" sosok berpakaian hitam balas
bertanya setelah memberi penjelasan pada pemuda
berpakaian coklat itu.
"Hanya ingjn tahu saja. Aku khawatir jika telah
memasuki ragaku, kau akan mengambil alih kepemimpinan.
Kemudian kau bebas memenuhi keinginanmu dengan
menggunakan ragaku. Sementara keinginanku tidak
terpenuhi," jawab Braja Denta sejujurnya.
"Ha ha ha...! Rupanya itu yang membuatmu merasa
bimbang, Denta?! Tidak usah khawarir. Percayalah, aku
berjanji akan membalaskan semua sakit hatimu, dan
mendapatkan semua yang kau inginkan!" janji sosok
berpakaian hitam sungguh-sungguh.
"Apakah janjimu bisa dipercaya?!" Braja Denta
meminta kepastian.
"Mengapa kau masih meragukannya, Denta. Apa kau
tidak membuktikan sendiri kebenaran setiap ucapanku?"
sosok berpakaian hitam balas bertanya.
"Bukannya aku tidak percaya. Aku hanya... yahhh,
khawatir saja. Dan...."
"Buang jauh-jauh perasaan khawatirmu itu," potong
sosok berpakaian hitam tak sabar. "Kau akan membuktikan
sendiri kebenaran janjiku."
Braja Denta langsung terdiam.
"Bagaimana, Denta. Bisa kita mulai? Cepatlah! Sebab
bila matahari telah terbit, aku tidak akan bisa masuk ke
dalam tubuhmu," terdengar jelas nada tidak sabar dalam
ucapan sosok berpakaian hitam itu.
"Baiklah, aku setuju," jawab Braja Denta tidak
mempunyai pilihan lain.
"Kalau begitu, singkirkan Pedang Embun dari
tubuhmu," ucap sosok berpakaian hitam cepat-cepat
"Lemparkan jauh-jauh. Toh senjata itu tidak berguna sama
sekali. Dibandingkan Gobk Api, dia tidak mempunyai
keistimewaan apa pun!"
Kali ini Braja Denta tidak membantah lagi. Meskipun
sebenarnya merasa sayang, dilemparkannya Pedang Embun
itu. Nanti dia pun akan mendapatkan gantinya. Sebuah
pusaka yang jauh lebih ampuh, Golok Api!
"Ha ha ha...!"
Sosok berpakaian hitam tergelak melihat Ftedang
Embun melayang-layang jauh. Perasaan gembira yang sangat
terlihat jelas dalam tarikan wajah dan sorot matanya.
"Bagus, bagus, Denta! Sekarang, kau bersiaplah...!"
Usai berkata demikian, tiba-tiba tubuh sosok
berpakaian hitam lenyap. Dan berganti dengan seberkas
sinar merah. Sinar itu melesat masuk ke tubuh Braja Denta.
Seketika itu pula, tubuh Braja Denta yang semula
tenang menggeletar hebat. Rasa panas yang sangat merayapi
sekujur tubuh pemuda itu. Ditambah dengan rasa sakit yang
tidak terperikan.
"Aaa...!"
Braja Denta melolong karena tak kuat menahan rasa
sakit dan panas yang mendera. Dalam cekaman penderitaan
yang dialami, Braja Denta mengguling-gulingkan tubuhnya
ke sana kemari. Untung saja makam orangtuanya terpisah
agak jauh dengan makam lainnya. Hingga tidak satu pun ma¬
kam yang terlanda gulingan tubuhnya.
Karena tak kuat menahan rasa sakit yang mendera,
Braja Denta jatuh pingsan! Untuk kedua kalinya, tubuhnya
tergolek lemas di pemakaman itu. Kalau tadi karena tak kuat
menahan rasa kantuk, kini disebabkan tak mampu
menanggung rasa sakit!
•k-k-k
Entah berapa lama dirinya pingsan, Braja Denta tidak
tahu. Yang jelas, ketika terbangun kegelapan masih
menyelimuti tanah pemakaman itu. Hari masih malam!
Perlahan-lahan Braja Denta bangkit. Saat itu pula
rasa heran menggayuti hatinya. Tubuhnya terasa ringan
sekali seperti melayang. Tidak hanya itu. Di bawah pusarnya
ada hawa hangat berputar.
Semua itu mengherankan Braja Denta. Dia jadi tidak
mengerti. Dicobanya untuk mengingat-ingat peristiwa yang
dialaminya. Braja Denta pun berhasil mengingatnya.
Benarkah ini semua karena masuknya sosok berpakaian
hitam ke dalam dirinya?
"Benar, Denta. Semua keanehan yang kau rasakan
karena aku telah masuk ke dalam tubuhmu," terdengar jelas
suara sosok berpakaian hitam. Tapi Braja Denta tidak bisa
memastikan dari mana datangnya. Seperti dari dalam
dadanya. Tapi mengppa terdengar jelas di telinga?
"Sekarang kau telah menjadi orang sakti, Denta!
Seluruh ilmu yang kumiliki dapat kau pergunakan sesuka
hatimu," lagi-lagi terdengar suara sosok berpakaian hitam.
"Kau lihat batu besar di sebelah kananmu itu, Denta?"
Braja Denta mengalihkan pandangan ke arah yang
dimaksud sosok berpakaian hitam. Pemuda itu pun
melihatnya. Sebuah batu yang kelihatan kokoh bukan main.
Besarnya tak kalah dengan seekor kerbau!
"Nah! Sekarang dekati batu itu, Denta," ucap suara itu
lagi.
"Apa yang hams kulakukan?" tanya Braja Denta
bingung. Meskipun demikian, tetap diikutinya perintah sosok
berpakaian hitam.
Dan Braja Denta tersentak kaget. Ketika dia melesat
ke sana, kecepatan gerakannya tidak bisa diatur. Tubuhnya
seperti didorong keras 1$ depan. Buru-buru dihentikannya
larinya.
"Apa... apa yang teijadi?" tanya Braja Denta bingung.
Bagaimana pemuda berpakaian coklat itu tidak
gugup? Dia tidak mampu menguasai diri!
"Tenang, Denta. Tidak apa-apa. Kau hanya belum
terbiasa dengan kemampuan barumu. Membutuhkan waktu
yang cukup lama untuk membiasakan diri dengan
tingkatanmu sekarang. Lebih baik kau pergunakan sebagian
kecil tenagamu. Yang penting kau harus tenang. Mengerti,
Denta?" Braja Denta mengangguk. "Nah! Sekarang hampiri
batu itu. Tenang saja. Tidak usah tergesa-gesa," nasihat
sosok berpakaian hitam.
Braja Denta tidak berani membantah. Diikutinya
saran sosok berpakaian hitam. Sesaat kemudian, dia telah
berada di depan batu besar itu.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanya Braja
Denta bingung. "Sebenarnya, apa maksudmu mengajakku ke
batu besar ini?"
"Aku ingin menunjukkan kedahsyatan ilmuku, Denta.
Tapi rasanya sulit juga kalau aku terus-menerus
memberitahumu. Bagaimana kalau kau biarkan aku yang
melakukannya untukmu?" ujar sosok berpakaian hitam
menawarkan diri. Braja Denta tercenung.
"Aku jadi bingung. Semula kau bilang seluruh
kesaktianmu akan menjadi milikku bila kau telah masuk ke
dalam diriku. Tapi mana buktinya? Kalau untuk
mengeluarkan ilmumu harus mendengarkan petunjukmu,
aku bisa tewas lebih dulu!" ucap pemuda berpakaian coklat
itu berapi-api.
"Ha ha ha...! Itu semua tergantung padamu, Denta.
Aku tidak berbohong sewaktu mengatakan kesaktian yang
kumiliki akan menjadi milikmu bila aku masuk ke dalam
ragamu! Tapi tentu saja kau tidak langsung menjadi sakti
begitu aku berada dalam ragamu! Ada kesaktianku yang
langsung bisa kau dapatkan, tapi ada pula yang tidak!"
Sosok berpakaian hitam menghentikan ucapannya.
Rupanya dia ingin memberi kesempatan pada Braja Denta
untuk mencerna kata-katanya.
"Kesaktianku yang langsung kau dapatkan adalah
tenaga dalam dan meringankan tubuh. Tanpa perlu kuberi
petunjuk, kau telah memiliki keduanya berlipat kali milikmu
semula," lanjut sosok berpakaian hitam. "Sedangkan
kesaktianku yang tidak dapat langsung kau rasakan berupa
ilmu-ilmu kesaktian. Baik ilmu tangan kosong maupun yang
menggunakan senjata. Juga ilmu-ilmu gaib. Tapi tanpa
kuberitahu gerakannya, kau tidak akan dapat
melakukannya. Untuk itu, berikan kesempatan padaku
untuk melakukannya. Kau hanya perlu mengosongkan
pikiran dan membiarkan anggota tubuhmu bergerak sendiri.
Bagaimana?" sosok berpakaian hitam mengajukan tawaran.
Braja Denta mengerutkan alis.
"Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, boleh aku
mengajukan pertanyaan?"
"Tentu saja boleh, Denta," jawab sosok berpakaian
hitam kalem. "Aku bersedia menjawab semua
pertanyaanmu,"
"Terima kasih. Aku hanya ingin mengajukan dua
buah pertanyaan. Siapakah kau sebenarnya? Dan siapa
musuh-musuhmu?"
Untuk sesaat tidak ada jawaban dari sosok ber¬
pakaian hitam. Hingga Braja Denta kebingungan. Tapi
keheningan itu tidak berlangsung lama. Beberapa saat
kemudian, pemuda berpakaian coklat itu mendapatkan
jawaban.
"Sebenarnya berat hatiku untuk mengatakan. Tapi
kuputuskan untuk memberitahukannya padamu. Sebab aku
tahu tanpa adanya kejujuran tidak akan ada keijasama yang
baik antara kita. Ketahuilah, aku adalah tokoh yang
diceritakan gurumu. Akulah yang beijuluk Raja Sihir Berhati
Hitam!"
"Apa?!"
5
Braja Denta sampai terlonjak ke belakang ketika
mengetahui siapa sosok berpakaian hitam itu. Sungguh tidak
disangka dirinya akan bersekongkol dengan musuh ayahnya!
Sekarang dia dapat menduga siapa musuh-musuh sosok
berpakaian hitam itu. Siapa lagi kalau bukan ayahnya. Dewa
Tangan Sakti dan KidangLoka!
"Jadi... kau manusia terkutuk itu?!" tanya Braja
Denta terbata-bata.
"Jangan ulangi makian itu, Denta. Jangan
membuatku marah. Akibatnya akan sangat tidak
menyenangkan bagimu!" ancam sosok berpakaian hitam yang
ternyata Raja Sihir Berhati Hitam.
"Oooh...! Ayaaah..., maafkan aku! Sungguh tidak
kusangka masalahnya akan serumit ini," teluh Braja Denta
penuh penyesalan. Didekapnya wajah-nya dengan kedua
tangan.
"Hentikan segala kecengengan itu, Denta. Aku paling
benci dengan orang yang cengeng!" tegas Raja Sihir Berhati
Hitam penuh wibawa.
"Tutup mulutmu!" bentak Braja Denta teras. Tarikan
wajahnya menyiratkan kebencian yang sangat. Kalau saja
Raja Sihir Berhati Hitam ada di depannya, mungkin sudah
diterjangnya. "Aku bukan orang semacam itu! Aku bukan
orang cengeng! Aku hanya menyesali, mengapa begitu mudah
tertipu oleh manusia terkutuk seperamu!"
"Kuperingatkan sekali lagi, Denta. Jangan coba-coba
memakiku! Apa kau tidak ingat dengan janji yang telah kita
sepakati?!"
"Tidak ada perjanjian di antara kita! Aku tidak sudi
membantumu melaksanakan niat busuk itu! Ayahku tidak
akan tenang di alam baka bila tahu aku bekerjasama
denganmu!" semakin meninggi kata-kata yang dikeluarkan
Braja Denta.
"Jadi..., maksudmu perjanjian di antara kita batal?
Boleh! Kalau itu yang kau inginkan, aku setuju. Asal kau
tahu saja, Denta. Batalnya perjanjian itu justru
menguntungkan diriku. Aku jadi tidak mempunyai kewajiban
untuk memenuhi keinginanmu!" beritahu Raja Sihir Berhati
Hitam.
"Tidak apa! Dengan begitu, aku pun jadi dapat
menggagalkan maksud busukmu!" tegas Braja Denta mantap.
"Ha ha ha...! Kau keliru, Denta! Meskipun perjanjian
kita telah kau batalkan, bukan berarti aku tidak bisa
melaksanakan keinginanku sebab aku sudah mempunyai
tempat! Dengan demikian, kesaktian yang kumiliki dapat
kupergunakan kembali. Ha ha ha...! Kau keliru, Denta!"
"Kuakui kau telah berhasil masuk ke dalam ragaku.
Tapi rohku masih ada. Aku masih hidup. Aku bukan benda
mati! Tak akan kubiarkan kau mempergunakan ragaku
seenakmu!" tegas dan mantap ucapan Braja Denta.
"Ha ha ha...! Lagi-lagi kau keliru, Denta. Kuakui saat
ini rohmu yang berkuasa atas ragamu. Tapi itu tidak akan
bertahan lama. Kalau aku mau, dengan mudah telah kuambil
alih kekuasaan ragamu sejak pertama kali masuk! Tapi itu
tidak kulakukan! Kau tahu apa sebabnya?"
Raja Sihir Berhati Hitam menghentikan ucapannya,
seperti hendak memberikan kesempatan pada Braja Denta
untuk memikirkan jawabannya. Tapi ketika sampai beberapa
saat tidak ada tanggapan dari pemuda berpakaian coklat itu,
Raja Sihir Berhati Hitam menjawabnya sendiri.
"Karena meskipun aku dikenal sebagai tokoh sesat,
pantang bagiku untuk mengingkari janji yang telah kubuat!
Maka kubiarkan rohmu yang memegang peranan atas
ragamu. Tapi sekarang lain masalahnya. Kau telah
memutuskan perjanjian. Jadi jangan salahkan bila
kekuasaan atas ragamu kuambil alih!"
Tidak akan kubiarkan kau melakukan itu, Manusia
Iblis!" tandas Braja Denta tegas.
"Ha ha ha...! Percuma, Denta. Apa yang bisa kau
lakukan!? Kalau aku mau, sekarang juga kekuasaan atas
ragamu kuambil alih. Tapi aku tidak ingin melakukannya
sekarang. Anggaplah itu sebagai tanda terima kasihku. Maka
pergunakanlah waktumu sebaik-baiknya, Denta. Aku
bersedia menjawab semua pertanyaan yang kau ajukan.
Utarakanlah. Sebanyak-banyaknya pun tidak apa," ujar Raja
Sihir Berhati Hitam penuh perasaan gembira.
Braja Denta menggertakkan gigi. Memang tidak ada
yang dapat dilakukannya sekarang. Kalau menuruti
perasaan, ingin diterjangnya Raja Sihir Berhati Hitam. Tapi
bagimana bisa? Tempat tokoh sesat itu berada dalam
tubuhnya!
Akhirnya Braja Denta memutuskan untuk
menenangkan hati. Dan mengatur pemapasan berulang-
ulang. Usahanya ternyata tidak sia-sia. Sedikit demi sedikit
amarahnya berhasil diredakan.
Lalu, Braja Denta memutuskan untuk menerima
tawaran Raja Sihir Berhati Hitam. Setidak-tidaknya dia jadi
tahu, mengapa Raja Sihir Berhati Hitam yang menurut
Kidang Loka telah mati, ternyata masih mampu hidup lagi.
Meskipun dengan menggunakan raga orang lain.
"Kuberi kesempatan sekali lagi padamu, Denta.
Barangkali ada hal-hal yang mengganjal hatimu. Katakanlah.
Atau... kau telah mengerti semuanya?!"
Raja Sihir Berhati Hitam mengajukan tawarannya
kembali setelah menunggu beberapa saat tidak ada
tanggapan dari Braja Denta. Memang meskipun rohnya
berada di dalam raga Braja Denta. Tapi apa yang dipikirkan
dan terpendam di hati pemuda berpakaian coklat itu tidak
diketahuinya. Sebab walaupun berada dalam satu raga,
pikiran mereka tidak bersatu.
Ini sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Walaupun
sebenarnya, Raja Sihir Berhati Hitam ingin dapat mengetahui
semua yang terbentuk di hati dan pikiran Braja Denta. Tapi
itulah kehebatan Raja Sihir Berhati Hitam! Dia tidak mau
mengingkari perjanjian yang telah dibuat.
"Memang banyak hal yang tidak kumengerti," ucap
Braja Denta pelan.
"Kalau begitu, utarakanlah. Aku akan menjawab
dengan sejujurnya," janji Raja Sihir Berhati Hitam.
Braja Denta menarik napas dan menghembuskannya,
seakan-akan tengah membuang beban berat yang mengganjal
dadanya.
"Guruku bercerita kalau dia bersama dua orang
kawannya telah berhasil menewaskanmu. Tapi mengapa kau
dapat hidup kembali, meskipun dengan menggunakan raga
orang lain? Padahal sepanjang yang kutahu, orang yang telah
mati tidak akan dapat hidup kembali," ujar Braja Denta
datar.
"Ha ha ha...! Itulah kehebatanku, Denta. Umumnya
orang yang telah tewas tidak akan bisa hidup kembali,
meskipun menggunakan raga orang lain. Tapi aku adalah
Raja Sihir Berhati Hitam! Sebagaimana seorang raja sihir,
tentu aku banyak memiliki ilmu-ilmu gaib yang menurut
pendapat orang mustahil untuk dilakukan."
Sampai di sini Raja Sihir Berhati Hitam menghentikan
penjelasannya. Itu disengajanya agar Braja Denta bisa
mengerti. Sebab hal yang akan diuraikannya tidak mudah
untuk dicerna akal sehat
"Ilmu-ilmu gaib itu sebagian besar kudapatkan
dengan cara tidak wajar. Tak jarang aku menggunakan
korban persembahan berupa manusia. Sebagai imbalannya,
aku mendapat ilmu-ilmu aneh yang tidak masuk akal. Satu
di antara ilmu yang kudapatkan adalah keampuhan
ucapanku. Semua ucapanku, apalagi yang berupa sumpah,
akan dapat terwujud! Entah bagaimana caranya, dan kapan
terjadinya."
Sejenak Raja Sihir Berhati Hitam menghentikan
ucapannya.
"Ilmu itulah yang kupergunakan saat aku menjelang
ajal karena keroyokan gurumu, ayahmu, dan Dewa Tangan
Sakti. Di saat sekarat itu kuucapkan sumpahku."
"Apa yang kau katakan saat itu, Raja Sihir?" tanya
Braja Denta tak sabar lagi memendam rasa ingin tahunya.
Raja Sihir Berhati Hitam tidak segera menjawab
pertanyaan itu. Dia tercenung sejenak seperti tengah
mengingat ucapan yang dulu dikeluarkannya.
"Begini, Denta. Kuakui kali ini aku kalah. Tapi, suatu
saat aku akan bangkit dan menebus kekalahanku. Aku akan
menitis pada salah seorang keturunan kalian yang bertindak
murtad!"
Suasana langsung hening ketika Raja Sihir Berhati
Hitam menyelesaikan ucapannya. Braja Denta termenung.
Tarikan wajah dan sorot mata pemuda berpakaian coklat itu
menyiratkan penyesalan yang sangat. Dalam hati
disayangkannya kecerobohan Kidang Loka. Kalau saja kakek
berpakaian putih itu memberitahu mengenai sumpah Raja
Sihir Berhati Hitam, mungkin semua peristiwa ini tidak akan
teijadi. Tapi nasi telah menjadi bubur! Tidak akan mungkin
bisa diubah lagi!
"Karena sumpahku itu, rohku melayang-layang ke
sana kemari. Puluhan tahun aku harus menahan diri.
Selama itu kuikuti kehidupanmu, Kidang Loka, dan Salya.
Sungguh tidak kusangka kalau akhirnya jalan terbuka
bagiku. Tak lama lagi dendam puluhan tahun akan
kutuntaskan! Ha ha ha...!"
Raja Sihir Berhati Hitam menutup ucapannya dengan
tawa panjang. Sebuah tawa kemenangan.
"Bagaimana, Denta?! Apakah masih ada pertanyaan
lainnya? Kalau ada, keluarkan saja. Biar semua yang
mengganjal di benak dan dadamu dapat tuntas saat ini.
Kalau tidak... sudah saatnya bagiku untuk mengambil alih
kekuasaan atas ragamu...!"
"Tidak! Tak akan kubiarkan kau melakukannya!" jerit
Braja Denta kalap.
Dalam cekaman perasaan takut dan cemas yang
menggelegak, Braja Denta melesat pergi. Seluruh ilmu
meringankan tubuhnya dikerahkan untuk secepatnya
meninggalkan tempat itu. Padahal, saat itu di dalam diri
Braja Denta tengah bergolak suatu kekuatan hebat
Braja Denta tidak dapat mengatur keseimbangan
lesatannya. Baru sekali melesat dia hampir terjatuh. Tapi
pemuda berpakaian coklat itu tidak peduli. Kakinya tetap
diayunkan. Yang ada di benaknya hanya satu, berlari-lari
sejauh-jauhnya dari tempat itu!
Tapi baru beberapa lesatan, Braja Denta memutuskan
untuk menghentikan larinya. Setelah beberapa kali dia
hampir menabrak pohon karena tidak mampu mengatur
kecepatannya. Pemuda berpakaian coklat itu membanting
tubuhnya, dan bergulingan di tanah untuk mematahkan sisa
lesatannya.
"Hup!"
"Ha ha ha...!"
Suara tawa keras yang menggema terdengar ketika
Braja Denta bangkit dari bergutingnya. Suara tawa itu seperti
memenuhi isi kepalanya, sehingga kedua telinganya tidak
dapat mendengar suara-suara lain. Yang terdengar hanya
suara tawa itu. Tawa Raja Sihir Berhati Hitam.
Menghadapi kenyataan ini, Braja Denta semakin
kalap. Kedua tangannya dikepalkan. Dan semua
kekuatannya dikumpulkan. Lalu dia berteriak sekuat-
kuatnya! Itu dilakukan Braja Denta untuk menghalau suara
tawa yang memenuhi kepalanya.
Sebenarnya, keras bukan main teriakan yang
dikeluarkan Braja Denta. Bahkan menggelegar seperti
halilintar menyambar. Tapi aneh, Braja Denta tidak
mendengarnya. Yang terdengar tetap tawa teras Raja Sihir
Berhati Hitam! Hingga Braja Denta bertambah kalap. Sambil
mengeluarkan teriakan sekeras-kerasnya, tangannya
didekapkan ke telinga. Pemuda itu berusaha membendung
pengaruh tawa Raja Sihir Berhati Hitam.
Sayang sekali usaha Braja Denta sia-sia. Bahkan
suara tawa itu terdengar semakin teras! Dengan diliputi rasa
panik yang menggelegak, Braja Denta mengamuk!
"Mampus kau, Manusia Siluman! Hih!" Braja Denta
menghentakkan kedua tangannya ke sana kemari. Tidak
hanya tangan. Juga kedua kakinya. Pemuda itu terus
bergerak seperti orang sedang bertarung.
Hebat bukan main amukan Braja Denta. Bunyi
menderu, me n gaun g dan me n cicit mengiringi setiap
gerakannya. Tanah terbongkar di sana-sini. Kalau saja saat
itu siang hari, mungkin debu tebal akan mengepul tinggi ke
udara. Untung saja Braja Denta mengamuk di sebuah tanah
lapang berumput yang cukup luas. Sehingga tidak teijadi hal-
hal yang membahayakan. Sebab Braja Denta tidak
mempedulikan keadaan sekitarnya.
Yang ada di benak Braja Denta hanya satu,
menghilangkan suara tawa yang memenuhi kepalanya. Dan
ternyata setelah mengamuk sejadi-jadi-nya, pengaruh suara
tawa itu agak berkurang. Kenyataan ini membuat semangat
Braja Denta bangkit. Hingga amukannya semakin diperhebat
Braja Denta mengpluarkan seluruh ilmunya. Dari
ilmu-ilmu dasar, sampai ilmu andalan. Dan kini pemuda
berpakaian coklat itu tengah menggunakan ilmu andalannya,
jurus 'Kalajengking'!
Braja Denta menyusun kedua tangannya membentuk
cakar aneh. Dengan kedudukan jari-jari seperti itu, dia
mengamuk. Bunyi cicitan senantiasa terdengar setiap kali
tangannya bergerak. Jurus 'Kalajengking' ternyata memang
sebuah jurus yang dahsyat. Tidak hanya kedua tangan itu
saja yang berbahaya. Kedua kakinya pun bisa mencuat mela¬
kukan serangan yang tidak terduga.
Tapi baru beberapa jurus Braja Denta memainkan
jurus 'Kalajengking', mendadak teijadi sebuah peristiwa yang
mengejutkan. Di saat pemuda berpakaian coklat itu tengah
mengayunkan tangan untuk melancarkan sebuah serangan
ke arah pelipis kiri, ayunan tangan itu terhenti di udara.
Seperti tertahan suatu kekuatan yang tidak nampak.
Braja Denta terkejut bukan main melihat kenyataan
ini. Sebuah kekuatan aneh memaksa tangannya bergerak ke
arah lain. Demikian kuat, sehingga Braja Denta yang
memaksakan diri untuk meneruskan penggunaan jurus
'Kalajengking' terpaksa mengerahkan seluruh tenaganya.
Suara ah ah uh uh keluar dari mulutnya, ketika Braja
Denta berusaha meneruskan jurus 'Kalajengking'nya. Tapi
betapa pun telah diusahakan, hasilnya tetap sama. Bahkan
perlahan-lahan tangan itu bergerak ke arah yang berlawanan.
Ke kanan! Dan terus terbawa ke sana.
Meskipun demikian, Braja Denta tidak putus asa.
Sisa-sisa tenaganya terus dikerahkan untuk mengarahkan
tangannya pada tujuan semula. Tapi tetap saja sia-sia!
Tangan itu terus terbawa ke kanan. Akhirnya, Braja Denta
tidak sanggup lagi bertahan. Pemuda itu pasrah. Dibiarkan
saja tangannya dibawa oleh kekuatan tak nampak itu.
Kepasrahan Braja Denta berakibat fatal! Kekuatan
yang menarik tangannya ternyata demikian dahsyat! Begitu
tidak ada perlawanan, tangan Braja Denta terbawa tarikan
itu. Karena arahnya terus ke kanan, tubuh Braja Denta pun
berputar. Bahkan demikian cepat!
Kini tubuh Braja Denta berputar seperti gasing.
Cukup lama juga, sebelum akhirnya berhenti secara
mendadak. Dan seiring dengan terhentinya putaran itu, Braja
Denta memasang kuda-kuda sejajar. Kedua kakinya agak
dibungkukkan, sedangkan kedua tangannya dengan jari-jari
terbuka lurus dijulurkan di depan dada. Mendadak....
"Ha ha ha...!"
Braja Denta tertawa bergelak. Keras, berat, dan
bergaung, seperti tawa hantu kuburan. Jelas tawa itu bukan
milik Braja Denta. Ini terbukti beberapa saat kemudian.
"Kidang Loka! Tunggulah...! Sebentar lagi dendam
kesumat puluhan tahun lalu akan kutuntaskan! Tidak hanya
kau yang akan kubunuh! Tapi juga semua orang yang
mempunyai hubungan denganmu! Baru setelah itu, dunia
persilatan akan kukuasai. Ha ha ha...!"
Roh Braja Denta sudah tidak mempunyai ke kuasaan
lagi atas raganya. Sekarang yang berkuasa di sana roh Raja
Sihir Berhati Hitam! Tokoh sesat yang mahir berbagai ilmu
gaib itu telah membuktikan kebenaran sesumbarnya, bahwa
tidak sulit baginya untuk menguasai raga Braja Denta!
Braja Denta, yang telah ditunggangi Raja Sihir Berhati
Hitam, terus tertawa-tawa. Terlihat jelas kalau dia sedang
gembira. Tawanya baru berhenti ketika langit di ufuk timur
memancarkan bias kemerahan. Pertanda tak lama lagi sang
Suiya akan muncul! Pagi akan datang menggantikan malam.
Saat itulah, Braja Denta melesat meninggalkan tempat itu.
6
"Hiya! Hiyaaa...!"
Ctarrr!
Bunyi lecutan cambuk, bentakan-bentakan keras
penunggang kuda dan derap langkah binatang itu membelah
suasana pagi.
Saat itu cuaca sangat cerah. Sang Suiya yang belum
lama menampakkan diri, memancarkan sinarnya yang
lembut ke bumi. Angin berhembus pelan. Lembut membelai
kulit.
Tapi suasana seperti itu tidak menarik perhatian
penunggang kuda. Dia seorang pemuda berpakaian kuning.
Berwajah tampan dan gagah. Tapi saat itu teriihat kusut dan
penuh debu. Agaknya, pemuda berpakaian kuning itu telah
menempuh perjalanan jauh dan melelahkan.
Ctarrr!
Pemuda berpakaian kuning kembali melecutkan
cambuknya ke bagian belakang kuda. Rupanya, pemuda itu
menginginkan binatang tunggang-annya berlari lebih cepat.
Padahal kuda berwarna ooklat mulus itu telah berlari sangat
cepat. Bahkan seperti tidak menginjak tanah. Debu yang
mengepul tinggi ke udara menjadi tanda betapa cepat
binatang itu berlari.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan bentakan-bentakan, entah
untuk yang keberapa kali, pemuda berpakaian kuning
melecutkan cambuknya kembali. Pandangannya di arahkan
ke depan.
Tiba-tiba sepasang mata pemuda itu membelalak
lebar. Sekitar lima belas tombak di depannya tampak berdiri
sesosok tubuh. Melihat letak berdirinya yang berada tepat di
tengah jalan, pemuda berpakaian kuning itu dapat menduga
sosok itu sengaja menghadang perjalanannya.
Menyadari hal ini, pemuda itu memperlambat laju
kudanya. Sementara pandangannya tetap di arahkan pada
sosok yang menghadang jalannya. Ingin diketahuinya, siapa
sosok yang begitu usil itu! Semakin lama jarak antara mereka
semakin dekat. Hingga ciri-ciri sosok itu semakin jelas
terlihat.
"Ahhh...!"
Jeritan kaget keluar dari mulut pemuda berpakaian
kuning ketika melihat jelas sosok yang menghadang
perjalanannya. Sosok itu ternyata seorang pemuda berusia
dua puluh tahun dan berpakaian coklat. Dari sikapnya dapat
diketahui kalau pemuda berpakaian kuning itu mengenai
penghadangnya. Terbukti beberapa saat kemudian.
"Kakang Braja Denta! Mengapa berada di sini, Kang?!
Guru amat mencemaskan keadaanmu," ujar pemuda
berpakaian kuning itu pelan.
Sambil berkata demikian, pemuda berpakaian kuning
melompat turun dari punggung kuda. Kemudian,
dituntunnya binatang itu menghampiri sosok itu yang
ternyata Braja Denta.
"Hm...!"
Tanggapan yang diberikan pemuda berpakaian coklat
hanya dengusan. Hingga pemuda berpakaian kuning terkejut.
Itu terlihat jelas pada riak di wajahnya. Tapi cepat-cepat
ditutupinya dengan senyuman lebar. Sedangkan kakinya
terus diayunkan mendekati Braja Denta.
"Tidak usah berpura-pura ramah, Salya!" sentak Braja
Denta kasar. "Kehadiranku di sini bukan untuk beramah-
tamah denganmu. Tapi untuk menuntaskan masalah kita!"
Seketika itu pula, pemuda berpakaian kuning yang
tidak lain Salya, menghentikan langkah. Pemuda itu segera
menyadari akan teijadinya peristiwa yang tidak diharapkan.
Maka dia bersikap waspada. Kini dirinya berdiri di hadapan
Braja Denta dalam jarak tiga tombak!
"Apa maksudmu, Kang? Aku tidak mengerti?" tanya
Salya berpura-pura tidak tahu.
Pemuda berpakaian kuning itu sengaja mengajukan
pertanyaan seperti itu untuk memastikan kebenaran
dugaannya. Dia menduga, Braja Denta sengaja mencegatnya
untuk mencari keributan
"Tidak usah berpura-pura, Salya!" sergah Braja Denta.
"Kau dan guru telah bersekongkol mengucilkan aku. Guru
menganak emaskan dirimu, sedangkan aku dianak tirikan!
Kau diberikan Golok Api dan Wardani! Tapi aku?! Sekarang
aku akan menuntut hak-hakku! Berikan Gobk Api padaku,
Salya! Atau... aku akan mengambilnya secara paksa!"
Sekarang Salya yakin kalau keributan antara dia dan
kakak seperguruannya tidak bisa dielakkan lagi. Maka tali
kekang kudanya dilepaskan.
"Pergilah, Kilat! Cari makanan!" perintah Salya pada
binatang tunggangannya.
Seperti mengerti perintah majikannya, kuda coklat itu
berlari mencongklang meninggalkan tuannya. Binatang itu
menuju hamparan rumput hijau yang terletak di kanan kiri
jalan.
Braja Denta menatap kuda coklat itu sesaat.
Mulutnya menyunggingkan senyum keji.
"Seekor kuda yang baik, hehhh...?! Sayang sekali dia
harus mati...!" datar ucapan Braja Denta.
Hati Salya langsung tercekat. Dia merasakan ada
ancaman atas diri kudanya dalam ucapan kakak
seperguruannya.
"Apa... apa maksudmu, Kang...?" tanya Salya.
"Sederhana saja," jawab Braja Denta tenang. "Aku
ingin membunuh kuda itu."
"Apa?!" sentak Salya kaget. "Kau gila, Kang! Jangan
harap aku akan membiarkanmu melakukan tindakan keji
itu!"
"Ha ha ha...!"
Tanggapan atas pernyataan Salya adalah tawa gelak
Braja Denta. Tawa itu terdengar menyeramkan karena
nadanya yang aneh, keras, berat, tapi bergaung. Bahkan
tanpa sadar bulu kuduk Salya merinding.
"Kau ingin mencegahnya, Salya?! Ha ha ha...! Cobalah
kalau kau mampu...!"
Setelah berkata demikian, Braja Denta menge-luarkan
siulan. Nadanya terdengar aneh.
kkk
Tindakan Braja Denta membuat Salya heran. Apa
yang hendak dilakukan Braja Denta? Tanya pemuda
berpakaian kuning itu dalam hati. Ternyata Salya tidak perlu
menunggu lama untuk mengetahui maksud siulan Braja
Denta. Karena sesaat kemudian, terdengar ringkikan
kudanya. Ringkik ketakutan dan kegplisahan.
Salya tampak keheranan. Apa yang teijadi dengan
binatang tunggangannya sehingga gelisah begitu? Dengan
agak terburu-buru, tanpa melepaskan perhatiannya pada
Braja Denta karena takut dibokong, Salya memandang
sekilas ke arah kudanya berlari.
Salya langsung terkejut! Binatang tunggangannya
tampak sangat ketakutan! Kudanya itu berlari cepat
meninggalkan tempat itu sambil mengeluarkan ringkikan
nyaring.
"Kilat...! Kembali...!" seru Salya keras.
Tapi kuda coklat itu tidak mempedulikan
panggilannya. Binatang itu terus berlari. Hingga Salya
bingung bercampur heran. Sebab, sebelumnya tidak pernah
sekali pun kuda itu membangkang perintahnya.
Tapi sebelum Salya berbuat sesuatu, terdengar bunyi
mendesis. Tidak hanya satu. Tapi banyak. Dan diiringi
dengan tersibaknya rerumputan di sekitar tempat itu.
"Aaakh...!"
Tanpa sadar Salya mengeluarkan jeritan kaget.
Karena pemandangan mengerikan yang tampak di
hadapannya. Ratusan, bahkan mungkin ribuan ular dari
berbagai jenis dan ukuran merayap cepat mengejar kudanya!
Untuk sesaat Salya melupakan kehadiran Braja
Denta. Pemandangannya terpaku pada ribuan ekor ular itu.
Berbagai pertanyaan bergayut di benaknya. Mengapa ular-
ular itu datang berbondong-bondong? Mengapa meieka
seperti mencecar kudanya?
"Kuda bagus itu tidak akan selamat."
Ucapan Braja Denta membuat Salya sadar dari
ketertegunannya. Segera perhatiannya dialihkan pada Braja
Denta. Pemuda berpakaian coklat itu balas menatapnya.
"Kuda itu akan mati dengan seluruh daging di
tubuhnya lenyap. Ular-ular itu akan berpesta pora,"
terdengar sangat yakin ketika Braja Denta mengpmukakan
pernyataannya.
Salya tersenyum untuk menutupi perasaan cemasnya
akan keselamatan kudanya.
"Kau keliru, Kang. Kuda itu bukan binatang
sembarangan. Di samping cerdik, larinya pun cepat. Dengan
mudah dia akan meninggalkan ular-ular yang memburunya."
"Jangan terlalu yakin, Salya," bantah Braja Denta.
"Apa kau tidak melihat hamparan rumput itu? Tempat
berakhirnya padang rumput ini tak kurang dua ratus tombak
dari sini. Sebelum kudamu yang cerdik itu tiba, ular-ular itu
telah berada di sana. Apakah kau masih berkeyakinan kuda
itu akan lolos dari maut?!"
Ada nada ejekan dalam ucapan Braja Denta. Apalagi
saat pernyataan itu ditutup dengan gelak tawanya yang aneh.
Tapi Salya tidak sempat memperhatikan semua itu.
Pandangannya telah dialihkan pada tempat hamparan
rumput itu berakhir. Seketika itu pula hatinya tercekat.
Kudanya baru mencapai setengah perjalanan. Padahal Salya
berani bertaruh kalau saat itu di ujung sana telah berkumpul
ratusan bahkan mungkin ribuan ekor ular. Binatang melata
itu telah siap menjarah tubuh kudanya.
"Kilat...!" teriak Salya bingung.
Pemuda berpakaian kuning itu menyadari kalau
nyawa kudanya tidak akan tertolong lagi. Jalan keluar bagi
binatang itu sudah tidak ada lagi. Di ujung ular-ular lain
menunggu, sedangkan di belakangnya mengejar. Kuda coklat
itu telah terkepung.
Salya tahu keberadaan ular-ular itu bukan terjadi
secara kebetulan. Ada sebuah kekuatan aneh yang memaksa
ular-ular itu berkumpul di situ dan mengejar Kilat. Tanpa
perlu berpikir lama, pemuda itu tahu siapa yang telah
mengumpulkan binatang melata itu. Siapa lagi kalau bukan
Braja Denta? Siulan itulah yang telah mendatangkan ular-
ular!
Sadar akan bahaya maut yang tengah mengancam
kudanya, Salya memutuskan untuk memberikan
pertolongan. Meskipun rasanya sulit untuk dilakukan, tapi
setidak-tidaknya tidak ada penyesalan di hatinya bila telah
diusahakan untuk memberikan pertolongan.
Setelah mengambil keputusan demikian, Salya
bergegas membalikkan tubuh dan melesat menuju arah yang
ditempuh kudanya. Tapi....
"Mau ke mana, Salya?!" Seiring dengan keluarnya
pertanyaan bernada bentakan itu, sesosok bayangan coklat
berkelebat melewati kepala Salya. Dan....
Jliggg!
Ringan laksana sehelai daun kering Braja Denta
mendaratkan kedua kakinya di depan Salya. Jarak antara
mereka terpisah sekitar dua tombak.
Salya tampak tersentak kaget. Dirinya telah
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, tapi
mengapa dengan demikian mudah Braja Denta berhasil
mencegatnya? Padahal Salya yakin Braja Denta tidak
mungkin dapat melakukan tindakan seperti itu!
Mungkinkah hanya dengan lenyap beberapa hari
kepandaian Braja Denta dalam ilmu meringankan tubuh bisa
meningkat sepesat itu? Rasanya mustahil! Salya lebih
condong pada dugaan kalau tadi dia bergerak kurang cepat!
Perasaan cemas akan keselamatan Kilat membuat
Salya tidak dapat berpikir jernih. Tadi dia telah menduga
ular-ular itu datang karena siulan Braja Denta. Mengapa itu
tidak menjadi pertanyaan baginya? Karena bukankah Kidang
Loka tidak pernah mengajarkan ilmu seperti itu?
"Kumohon kau bersedia menyingkir dari situ, Kang?"
pinta Salya.
"Dan membiarkan kau membantai ular-ular itu,
Salya?" ejek Braja Denta sinis. "Jangan harap!"
"Kakang..!"
Salya masih berusaha memohon ke sediaan kakak
seperguruannya.
"Tutup mulutmu, Salya! Biarkan binatang-binatang
itu dengan urusannya. Kita pun mempunyai urusan sendiri!"
potong Braja Denta keras.
"Kalau begitu, terpaksa aku akan menolongnya
setelah mengurusmu lebih dulu!" terdengar penuh kegeraman
ucapan Salya.
"Itu lebih baik!" sahut Braja Denta gembira. Karena
memang itu yang ditunggu-tunggunya.
Wuttt!
Salya mengawali jurus 'Kalajengking'nya dengan
sebuah sampokan 1$ arah pelipis!
"Hmh...!" dengus Braja Denta perlahan. Pemuda itu
tetap berdiri di tempatnya. Namun, begitu serangan
menyambar dekat, tangan kirinya segera digerakkan untuk
memapak. Hingga....
Takkk!
Dan pemuda berpakaian coklat itu segera
menghentikan ucapannya. Saat itu, Salya telah melancarkan
serangan ke arahnya. Tak tanggung-tanggung lagi, pemuda
berpakaian kuning itu menggunakan jurus 'Kalajengking'nya!
Salya mempunyai alasan kuat untuk langsung
menggunakan ilmu andalan itu. Diketahuinya kalau Braja
Denta memiliki tingkat kepandaian tinggi, yang hanya
berselisih sedikit dengannya. Bertindak setengah-setengah
hanya akan membuang tenaga dan waktu dengan sia-sia.
Wuttt!
Deru angin teras terdengar ketika serangan Salya meluncur.
Pemuda berpakaian kuning itu mengawalinya dengan sebuah
sampokan tangan kanan ke arah pelipis!
"Hmh.J"
Braja Denta mendengus melihat serangan itu.
Sikapnya tampak tenang. Pemuda itu tetap berdiri di
tempatnya. Tak ada tanda-tanda dia akan menangkis atau
mengelakkan serangan itu.
Baru ketika serangan itu menyambar dekat, tangan
kirinya digerakkan memapaki datangnya serangan. Dan itu
dilakukannya sambil lalu! Sikapnya menunjukkan kalau
serangan Salya bukan hal yang patut dihadapi sungguh-
sungguh.
Meskipun heran, Salya tak mempedulikannya. Saat
itu yang ada di benaknya hanya satu, merobohkan Braja
Denta secepatnya agar bisa menolong Kilat. Hingga....
Takkk!
"Akh...!"
Jeritan kesakitan terdengar ketika tangannya
berbenturan dengan tangan Braja Denta. Rasa sakit dan
ngilu mendera bagian yang beradu! Tidak hanya itu. Tubuh
pemuda berpakaian kuning itu terhuyung ke belakang.
Itu cukup untuk membuat Salya kaget. Benarkah
tenaga Braja Denta demikian kuat sehingga mampu
membuatnya terhuyung-huyung? Bukankah selama ini
tenaganya yang lebih kuat? Adakah sebuah kesalahan di
sini? Pertanyaan-pertanyaan itu menggayuti benak Salya.
Dan belum lagi kekagetan hatinya lenyap, dengan
kecepatan yang menakjubkan tangan kiri Braja Denta yang
tadi memapaki tangannya telah meluncur cepat. Dan....
Tappp!
Tahu-tahu pergelangan tangan kanan Salya berhasil
dicekal! Hingga pemuda berpakaian kuning itu menjadi
gugup. Segera Salya berusaha membebaskan dengan cara
menariknya. Tapi usaha itu hanya mudah direncanakan dan
dipikirkan, daripada dilaksanakan. Betapapun ia telah
berusaha sekuat tenaga menariknya, tetap saja tidak
bergeming.
"Keluarkan semua tenagamu, Salya," ujar Braja Denta
dengan senyum mengejek.
Untuk kesekian kalinya Salya harus menerima
kenyataan yang mengejutkan. Kini disadarinya Braja Denta
telah berubah. Braja Denta kini memiliki kepandaian yang
amat tinggi! Terbukti dia tak berhasil melepaskan tangannya
dari Braja Denta!
"Ha ha ha...!"
Berbeda dengan Salya yang mengeluarkan su-ara ah
ah uh uh dari mulutnya, Braja Denta tertawa-tawa. Padahal
bagi Salya, jangankan untuk tertawa, mengeluarkan ucapan
pun sulit! Dari sini saja bisa diketahui kalau tenaga dalam
Braja Denta berada jauh di atas Salya.
"Sekarang giliranku, Salya!" Setelah berkata begitu,
Braja Denta meremas tangan Salya.
"Akh!"
Salya melolong kesakitan seiring dengan terdengarnya
bunyi berkerotokan tulang-tulang hancur berpatahan. Dan
sebelum Salya sempat berbuat sesuatu, mendadak Braja
Denta menarik tangannya. Sehingga tubuh pemuda
berpakaian kuning itu tertarik ke depan. Sambungan tulang
bahunya terlepas karena kerasnya sentakan itu. Tindakan
Braja Denta tidak hanya sampai di situ. Tangannya bergerak
mengibas.
"Aaa...!"
Salya menjerit ngeri ketika tubuhnya melayang deras
ke belakang. Meskipun demikian, dia masih mampu
menunjukkan kalau dirinya bukan orang yang mudah
dipecundangi. Dengan satu gerakan manis, pemuda itu
berhasil mematahkan daya dorong tubuhnya, dan mendarat
di tanah dengan kedua kaki lebih dulu. Memang tidak begitu
mantap, karena dia sempat terhuyung-huyung. Namun begi¬
tu telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Salya langsung
mencabut senjatanya yang terselip di pinggang, Golok Api!
Srattt!
Secercah sinar kemerahan mencuat ketika golok
pusaka itu keluar dari sarungnya.
"Golok Api," desis Braja Denta dengan perasaan
tertarik
Dengan penuh minat pemuda berpakaian coklat itu
menatap gobk yang berada di tangan Salya. Tampak tersirat
kekaguman yang mendalam pada sorot mata Braja Denta. Itu
memang wajar. Sebab Golok Api memang patut untuk
dikagumi. Ada perbawa mengerikan yang memancar dari
badan golok merah membara seperti besi dibakar itu!
Salya tidak mempedulikan sikap Braja Denta. Semua
perhatiannya dipusatkan pada golok yang tergenggam di
tangan kirinya. Sebab jari-jari tangan kanannya telah
hancur?
Wuk wuk wuk!
Brrrlll...!
Api menyembur ketika Salya memutar golok itu.
Memang hanya kecil, tapi cukup untuk mengundang decak
kagum Braja Denta.
"Salya...! Mengapa kau memegang ular?!" ucap Braja
Denta dengan suara bergetar penuh kekuatan gaib. "Apa kau
tidak takut dipatuk?!"
7
Salya merasa heran mendengar ucapan Braja Denta.
Tapi anehnya ada suatu kekuatan yang memaksanya untuk
melihat golok yang tergenggam di tangannya.
"Ah...!"
Salya berseru kaget melihat yang tergenggam di
tangannya, seekor ular kobra! Yang lebih mengerikan, ular
itu telah siap mematuknya. Melihat ada bahaya maut tengah
mengancam dirinya, tanpa pikir panjang Salya melemparkan
ular itu!
Keanehan kcmbali teijadi. Begitu ular kobra itu jatuh
di tanah, tiba-tiba berubah menjadi... Golok Api! Salya pun
sadar kalau dirinya telah ditipu. Braja Denta pasti telah
menggunakan ilmu sihir untuk membuatnya melepaskan
Golok Api! Tapi dari mana Braja Denta mempelajari ilmu sihir
itu? Salya tidak habis mengerti.
Seiring dengan timbulnya kesadaran itu, cepat Salya
melesat 1$ tempat Golok Apinya tergolek. Pemuda berpakaian
kuning itu bermaksud mengambil kembali senjatanya. Tapi
Braja Denta tidak membiarkan hal itu teijadi. Pemuda itu
melesat menuju tempat Golok Api berada.
Kreppp! Tappp!
Bertepatan dengan tergenggamnya gagang Golok Api
itu oleh Salya, kaki Braja Denta menginjak gagangnya.
Padahal letak golok itu lebih dekat dengan Salya. Dan lagi
pemuda berpakaian kuning itu lebih dulu bergerak. Tapi
Braja Denta mampu menggagalkan tindakan Salya.
Tentu saja kenyataan itu membuat Salya terkesiap.
Tidak mungkin lagi baginya mendapatkan Golok Api. Apalagi
saat itu kedudukannya sangat tidak menguntungkan. Dia
berada dalam sikap merangkak. Sedangkan Braja Denta
berdiri tegak. Kedudukannya membuat lawan mudah
menjatuhkan serangan maut.
Menyadari akan kedudukannya yang berbahaya,
Salya tidak ragu-ragu lagi melepaskan senjata pusaka. Buru-
buru cekalannya dilepaskan. Lalu, tubuhnya dilempar ke
belakang. Dan pada saat yang bersamaan Braja Denta
mengirimkan tendangan ke arah kepala dengan kaki kirinya.
Wuttt!
Bukkk!
"Hukh!"
Keuntungan masih berpihak pada Salya. Berkat
tindakan cepatnya, tendangan Braja Denta tidak mendarat di
sasaran. Tapi mengpnai dada kanan sebelah atas. Cukup
keras! Hingga Salya mengeluarkan darah segar dari
mulutnya. Dan tubuhnya melayang jauh ke belakang seperti
layang-layang putus.
Saat itulah Braja Denta yang bermaksud melenyapkan
Salya, melompat menyusul. Kedua tangannya dengan jari-jari
tangan terbuka dihentakkan ke depan. Sudah dapat
dipastikan nyawa Salya akan melayang ke alam baka. Sebab
pemuda berpakaian kuning itu sudah tidak berdaya. Dia ti¬
dak mampu berbuat sesuatu.
Tapi rupanya Tuhan masih belum mau mencabut
nyawa Salya. Di saat yang amat gawat itu melesat dua sosok
bayangan. Putih dan ungu. Sosok bayangan putih
menangkap tubuh Salya. Sedangkan sosok bayangan ungu
memapaki hentakan kedua tangan Braja Denta dengan cara
yang sama!
Blarrr!
Benturan keras yang menggetarkan sekitar tempat itu
terdengar ketika dua pasang tangan yang dialiri tenaga dalam
tinggi berbenturan. Sesaat kemudian, tubuh Braja Denta dan
sosok bayangan ungu teijengkang ke belakang. Tapi dengan
gerakan manis yang indah dilihat, Braja Denta dan sosok
bayangan itu berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah
dengan mantap. Kemudian saling pandang dengan sorot mata
penuh selidik.
"Ah...!"
Hampir bersamaan jeritan kaget keluar dari mulut
Braja Denta dan sosok bayangan ungu. Bahkan sosok
bayangan putih pun mengeluarkan jeritan kaget pula,
meskipun agak terlambat. Ternyata mereka bertiga sudah
pernah bertemu sebelumnya. Di depan tanah pemakaman di
pinggir Desa Alas Ngampar.
Sekarang dapat diketahui siapa sosok bayangan putih
dan ungu itu. Ya! Dewa Arak dan Melati!
kkk
"Siapa kau? Mengapa mencampuri urusanku?" tanya
Braja Denta tidak senang.
"Aku Aiya. Aku tidak bermaksud ikut campur dalam
urusan ini. Hanya aku tidak bisa tmggal diam melihat
ketidakadilan berlangsung di depan mataku!" jawab Dewa
Arak mantap.
"Sombong! Rupanya kau sudah ingim mampus,
hehhh...?! Heh...!"
Usai berkata demikian, Braja Denta langsung
menerjang! Pemuda berpakaian coklat itu membuka
serangannya dengan sebuah tendangan terbang ke arah dada
Aiya.
Wuttt!
Dewa Arak tidak berani bertindak sembrono.
Disadarinya betapa berbahaya serangan semacam ini. Dia
tahu kalau ditangkisnya akan menimbulkan banyak
kerugian. Tenaga yang terkandung dalam serangan itu saja
sudah dahsyat. Apalagi ditambah dengan tenaga luncuran.
Maka kedahsyatannya jadi berlipat ganda. Dan bila
tendangan itu ditangkis kaki yang satunya pasti akan
menyusul. Padahal saat itu kedudukannya tidak
memungkinkan. Akhirnya, Dewa Arak memutuskan untuk
mengelak.
"Hih!"Dewa Arak mengelak dengan lompatan harimau
ke samping kanan. Kemudian dengan bertumpu pada kedua
tangan, tubuhnya digulingkan. Hasilnya, tendangan Braja
Denta mengenai tempat kosong!
"Hup!"
Begitu Braja Denta mendaratkan kaki di tanah, Dewa
Arak telah berhasil memperbaiki kedudukan. Sekarang
mereka berdiri berhadapan dalam jarak tujuh tombak!
Masing-masing bersikap waspada karena lawan berilmu
tinggi.
Mendadak Braja Denta memasukkan tangan
kanannya 1$ balik baju. Melihat hal itu Dewa Arak pun
bersiap-siap menghadapi. Pemuda berambut putih keperakan
itu menduga lawan akan mengeluarkan senjata rahasia.
Hanya sebentar tangan Braja Denta masuk ke balik
baju. Sesaat kemudian telah keluar kembali. Di tangannya
tergenggam sesuatu. Sayang Dewa Arak tidak sempat
melihatnya. Karena Braja Denta sengaja menyembunyikan.
Dengan mendadak dan tidak disangka-sangka, Braja
Denta melemparkan benda yang digenggamnya. Tidak
dilemparkan ke tubuh Dewa Arak, tapi dilemparkan ke atas.
"Lihat, Aiya! Naga peliharaanku akan
menerkammu...!" ucap Braja Denta penuh wibawa. Ada
getaran kuat yang mengandung kekuatan aneh di dalamnya.
Akibatnya memang hebat Dewa Arak melihat di
depannya, tepatnya di udara, tampak seekor naga. Warnanya
hijau. Dan ketika binatang itu membuka mulurnya, terlihat
gigi-giginya yang runcing bagai pedang.
"Brrrlll!"
Segundukan api menyambar ke arah tubuh Dewa
Arak ketika naga hijau itu meniup.
Dewa Arak tidak berani bertindak gpgabah. Bergegas
tubuhnya dilemparkan ke samping. Akibatnya, semburan api
yang keluar dari mulut naga itu menjilat tanah.
Baru saja Dewa Arak menjejakkan kaki di tanah, naga
itu kembali melancarkan serangan. Seperti juga sebelumnya,
binatang yang konon hanya ada dalam dongeng itu
menyemburkan apinya ke arah Dewa Arak. Lagi-lagi Dewa
Arak mengelakkan senjata itu dengan cara yang sama. Tapi,
kali ini Dewa Arak mengirimkan serangan pada naga itu.
Tangan kirinya dikibaskan.
Wusss!
Hampir berbarengan dengan tibanya semburan api
naga hijau itu ke tanah yang semula dijadikan tempat berdiri
Dewa Arak, serangan Dewa Arak telak mengpnai tubuh naga!
Pyarrr!
Ajaib! Begitu terkena hantaman itu tubuh naga hijau
hancur berantakan. Hingga memaksa Dewa Arak
menggulingkan tubuhnya menjauh, agar tidak terkena
percikan darah dan daging naga itu!
"Hup!"
Setelah bergulingan beberapa kali di tanah, Dewa
Arak bangkit. Pandangannya segera dilayangkan ke arah
tempat naga tadi hancur terkena pukulan jarak jauhnya. Tapi
tidak ada sesuatu pun dijumpainya di sana. Tidak ada
percikan darah, juga potongan-potongan daging. Yang
tergeletak di tanah hanya sebilah pisau yang hancur
berantakan!
Dewa Arak segera sadar kalau dirinya telah tertipu.
Yang dihadapinya tadi bukan naga sungguhan, melainkan
naga hasil ciptaan seorang tukang sihir yang hebat. Seketika
itu juga Dewa Arak teringat kembali pada Braja Denta. Tapi
pemuda berpakaian coklat itu telah pergi. Rupanya di saat
Dewa Arak tengah sibuk bertarung dengan naga ciptaannya,
Braja Denta melarikan diri.
Yang ada hanya Melati dan Salya. Gadis berpakaian
putih itu berdiri dengan sepasang mata memancarkan
kebingungan. Sementara di sebelahnya, Salya tergolek
pingsan.
"Sebenarnya..., apa yang teijadi, Kang?" tanya Melati
ketika Aiya menghampiri.
"Aku tak mengerti maksudmu, Melati?" Aiya malah
balas bertanya.
"Aku bingung, Kang. Tadi kulihat kau bertarung
dengan seekor naga yang entah dari mana munculnya.
Binatang itu menyerangmu membabi buta. Tapi tubuhnya
langsung hancur berantakan ketika pukulan jarak jauhmu
mengenainya. Anehnya, tidak ada potongan tubuh naga itu.
Yang ada hanya sebuah pisau!" Melati mengutarakan hal-hal
yang mengganjal hatinya.
"Itu sihir, Melati!" jawab Aiya tanpa menggurui.
Diam-diam pemuda berambut putih keperakan itu
memuji kedahsyatan sihir lawan. Padahal sihir itu ditujukan
untuknya, tapi pandang mata Melati ternyata terpengaruh
juga. Ini menunjukkan kalau sihir Braja Denta amat ampuh.
"Oooh...!"
Mulut Melati membentuk bulatan. Dan kepalanya
mengangguk-angguk tanda mengprti.
"O, ya. Bagaimana keadaan orang itu, Melati?" tanya
Aiya ketika pandang matanya tertumbuk pada tubuh Salya
yang tergolek.
"Dia terluka, Kang. Cukup parah. Tapi tidak
membahayakan nyawanya. Tapi sudah kuberikan obat yang
dapat meringankan luka-lukanya. Aku yakin tak lama lagi dia
akan sadar," jelas Melati.
"Syukur kalau begitu. Dengan demikian, pertolongan
yang kita berikan tidak sia-sia. Nanti bila dia sadar kita bisa
tanyakan penyebab pertempurannya dengan ahli sihir itu,"
ujar Aiya.
Melati hanya mengangkat sebelah alisnya yang indah.
Entah apa maksudnya. Hanya dia yang tahu.
"Kakang...!"
"Apa, Melati?" tanya Aiya sambil menatap wajah
kekasihnya penuh selidik.
"Bukankah orang itu yang kita temui di dekat
pemakaman di pinggir Desa Alas Ngampar?"
"Benar. Lalu, kenapa?" tanya Aiya belum mengerti
maksud pertanyaan kekasihnya.
"Tidak apa-apa, Kang. Aku hanya ingin menyatakan
kebenaran dugaanku. Maksudku..., aku yakin orang itu
tokoh sesat," ujar Melati mengemukakan dugaannya.
Dewa Arak mengangkat bahu.
"Mungkin kau benar, Melati. Tapi rasanya ada yang
lain pada diri orang itu. Maksudku, bila dibandingkan
dengan saat pertama kali kita bertemu. Saat ini aku
merasakan ada bau asing di dalam dirinya. Seperti ada
makhluk dari alam lain di dalam tubuhnya."
Melati terdiam. Sedikit pun tidak diremehkannya
keterangan Aiya. Sebab Melati tahu kekasihnya memiliki
perasaan yang peka. Sering kali dugaannya benar. Dewa Arak
mempunyai naluri yang kuat.
Di saat sepasang muda-mudi berwajah elok itu tengah
terdiam, dan tenggelam dalam alun pikiran masing-masing.
Tiba-tiba....
"Uuuh...!"
Terdengar suara keluhan. Memang tidak keras. Tapi
amat jelas tertangkap telinga Dewa Arak dan Melati. Serentak
keduanya mengalihkan perhatian ke arah suara itu.
Tampak tubuh Salya bergerak-gerak. Kelopak
matanya berkedip-kedip pertanda pemuda berpakaian coklat
itu telah sadar. Salya mengedarkan pandangan ke sekeliling
dengan alis berkemyit dalam. Rupanya dia masih belum ingat
akan kejadian yang dialaminya. Tatapan matanya berhenti
ketika membentur sosok Aiya dan Melati.
"Siapa kalian?" tanya Salya seraya mencoba bangkit.
Mulutnya menyeringai ketika rasa sakit mendera. Dengan
tatapan heran, diperhatikannya bagian-bagian yang terasa
nyeri. "Mengapa aku terbaring di sini?"
"Kami pengelana yang kebetulan lewat di sini. Dan
melihat kau terancam maut di tangan seorang pemuda
berpakaian coklat. Kami mencoba menyelamatkanmu dari
tangannya. Kini orang yang melukaimu kabur," jawab Aiya.
"Ah! Aku ingat sekarang! Ya! Aku bertempur dengan
kakak seperguruanku. Tapi aku kalah. Dadaku terkena
tendangannya. Ya...! Tidak salah lagi," ujar Salya. Dahinya
dikernyitkan untuk meng-ingat kejadian itu. "Terima kasih
atas pertolongan yang kalian berikan. Kalau tidak ada kalian
mungkin saat ini aku tinggal nama saja."
"Lupakanlah, Kisanak," sahut Aiya cepat. "Untung
saja orang itu tidak meneruskan tindakannya. Kalau tidak,
mungkin kami juga akan celaka di tangannya. O ya, apakah
benar dia kakak seperguruanmu? Kalau benar, mengapa dia
ingin membunuhmu, Kisanak?"
"Ceritanya cukup panjang.... Eh, boleh kutahu siapa
namamu, Kisanak?! Namaku Salya."
"Aku Aiya," jawab Aiya menyebutkan nama-nya. "Dan
kawanku ini Melati."
"Bagaimana, Aiya? Apakah kau masih ingin
mengetahui penyebab kakak seperguruanku ingin
membunuhku?"
"Kalau kau tidak keberatan, dengan senang hati kami
akan mendengarkan," sahut Aiya tenang.
"Kalau begitu, baiklah."
Salya lalu menceritakan semuanya. Tidak ada yang
dilewatkan. Entah mengapa terhadap Aiya dan Melati dia
percaya!
"Ah! Jadi dia memendam rasa dendam terha-apmu
dan gurumu?! Kalau begitu, dia pasti mendatangi gurumu!"
duga Aiya.
"Ah! Kau benar, Aiya! Kalau memang demikian, aku
harus segera kembali untuk memberitahukan beliau akan
ancaman Braja Denta. Aku khawatir beliau akan celaka di
tangan Braja Denta," ujar Salya penuh kecemasan.
Aiya dan Melati bertukar pandang.
"Apakah kc kh a wa tiran mu tak berlebihan, Salya?"
tanya Aiya mengingatkan. "Mana mungkin Braja Denta
mampu mencelakakan gurumu yang juga gurunya? Entah
kalau dia menggunakan siasat licik."
"Kau tidak tahu, Aiya. Braja Denta yang sekarang
jauh berbeda dengan Braja Denta beberapa hari yang lalu."
"Aku belum mengsti maksudmu, Salya?" ujar Aiya
tanpa menyembunyikan perasaan heran yang membias di
wajahnya.
Gambaran perasaan yang sama tersirat di wajah Melati.
"Beberapa hari yang lalu, Braja Denta bukan orang
yang pantas ditakuti. Aku tidak menyombongkan diri kalau
kukatakan tingkat kepandaiannya berada di bawahku.
Tapi..., sejak pergi tanpa pamit beberapa hari yang lalu
kepandaiannya meningkat pesat. Dan memiliki ilmu-ilmu
gaib. Di antaranya sihir dan ilmu memanggil ular."
Kemudian Salya mengalihkan pandangannya ke arah
tulang-belulang seekor kuda yang tergeletak tak jauh dari
tempat mereka.
"Semula tulang-belulang itu adalah kuda yang cerdik
dan mampu berlari cepat. Tapi Braja Denta dengan
kemampuannya memanggil dan menguasai ular telah
membuat kuda milikku tinggal onggokan tulang yang tidak
berguna," urai Salya dengan ke-edihan yang mendalam.
"Kalau begitu, Braja Denta amat berbahaya. Lebih
cepat kita tiba di tempat gurumu lebih baik," usul Aiya.
"Kita?!"
Sepasang alis Salya berkerut heran mendengar
ucapan Dewa Arak.
"Oooh..., maaf. Kami memang bermaksud melihat
Braja Denta. Tentu saja bila kau mengizinkannya, Salya?"
ucap Aiya hati-hati.
"Mengapa tidak? Mari kita berangkat!" ajak Salya.
Sesaat kemudian, ketiga orang muda itu melesat cepat
meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka ke tempat tinggal
Kidang Loka!
8
"Guru...! Guru...!"
Jarak dirinya dengan pondok Kidang Loka masih
jauh, tapi Salya yang tengah dilanda kekhawatiran yang
sangat akan keselamatan kakek berpakaian putih itu telah
be rte riak-te riak.
Sementara Dewa Arak dan Melati yang berada di
sebelah Salya mengedarkan pandangan 1$ sekeliling.
Sebelum akhirnya berhenti pada pondok Kidang Loka.
Pondok itu berdiri di hamparan tanah lapang yang luas dan
datar.
"Guru...!"
Sambil memanggil-manggil Kidang Loka, Salya terus
mengayunkan kaki mendekati pondok. Sikapnya terlihat
tidak sabaran. Hingga Dewa Arak khawarir. Apalagi ketika
melihat Salya hendak menerobos masuk ke dalam pondok.
"Hati-hati, Salya. Mungkin saja Braja Denta berada di
dalam," ucap Aiya mengingatkan.
Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir
terjadi sesuatu yang tidak diharapkan atas diri Salya.
Padahal, pemuda berpakaian kuning itu baru saja
sembuh dari luka dalamnya, berkat obat mujarab Melati!
Tapi Salya seperti tidak mendengar peringatan itu.
Kakinya terus diayunkan memasuki pondok. Mau tidak mau,
Dewa Arak dan Melati mengikutinya. Sikap mereka terlihat
waspada. Tak membutuhkan waktu yang lama bagi Salya
untuk membuktikan rumah itu kosong. Tidak ada seorang
pun di dalamnya.
Salya langsung kebingungan. Tapi itu hanya
berlangsung sesaat. Karena sesaat kemudian, pemuda itu
teringat akan tempat yang biasa dikunjungi gurunya, air
terjun. Tanpa membuang waktu lagi, Salya melesat 1$ sana
dengan mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh.
Disusul Arya dan Melati. Ketiga orang muda itu melesat cepat
menuju air terjun. Salya berada di depan. Pemuda itu
bertindak sebagai penunjuk jalan.
Meskipun jarak pondok Kidang Loka dengan air terjun
cukup jauh, tapi karena ketiga orang itu berlari cepat maka
tak berapa lama tempat itu sudah terlihat
Dan seiring dengan terlihatnya air terjun, terutama
batu besar yang biasa dijadikan tempat duduk Kidang Loka,
seketika itu pula tiga pasang mata muda-mudi itu
membelalak lebar. Di sisi batu besar itu tampak bersandar
sesosok tubuh berpakaian putih. Sebenarnya tidak pantas
dikatakan bersandar karena kedua kaki sosok itu tidak
menginjak tanah!
"Guru...!"
Salya berseru serak memanggil sosok berpakaian
putih yang seperti tengah bersandar. Perasaan khawatir
berkecamuk dalam dada pemuda berpakaian kuning itu.
Sikap gurunya terlihat janggal!
Dan bukan hanya Salya saja yang dilanda perasaan
itu. Dewa Arak dan Melati pun demikian pula. Itu sebabnya
kecepatan lari mereka ditingkatkan.
Kekhawatiran ketiga orang muda ini ternyata
beralasan. Kidang Loka tidak sedang bersandar, tapi
ditempelkan! Empat batang pedang yang ditancapkan pada
bawah bahu dan paha hingga tembus ke batu membuat
tubuh Kidang Loka tidak merosot.
"Guru...!" jerit Salya pilu melihat nasib gurunya yang
demikian mengenaskan.
Perlahan-lahan kelopak mata Kidang Loka membuka.
Kakek ini belum mati.
"Salya...," ucap Kidang Loka dengan susah payah.
Pelan sekali, lebih mirip bisikan.
"Guru...!" seru Salya serak. "Akan kubalas kekejian
ini! Akan kubunuh dan kurobek-robek dagingmu, Braja
Denta!"
"Jangan lakukan itu, Salya. Kau bukan tandingannya.
Meskipun kelihatannya Braja Denta, sebenarnya ada roh
orang lain di dalam raganya. Kau ingat ceritaku mengenai
Raja Sihir Berhati Hitam?!"
Salya hanya bisa mengangguk. Pemuda itu tidak
mampu menjawab. Lidahnya terasa kelu melihat keadaan
gurunya. Kalau menuruti perasaan, ingin dicabutnya pedang-
pedang itu. Lalu menurunkan tubuh Kidang Loka. Tapi dia
khawatir tindakan itu akan menambah derita gurunya. Maka
diputuskannya untuk membiarkan dulu keadaan gurunya
seperti itu.
"Roh Raja Sihir Berhati Hitam telah masuk 1$ dalam
tubuh Braja Denta. Sekarang raga Braja Denta dikuasai roh
jahat itu. Sumpahnya telah menjadi kenyataan. Padahal aku
telah berusaha mencegah terjadinya sumpah itu dengan
memberikan Pedang Embun pada Braja Denta. Sebab aku
tahu Braja Denta mempunyai watak keras. Bila sedang
merasa sakit hati, dia dapat dengan mudah disusupi roh Raja
Sihir Berhati Hitam. Pedang Embun di tangannya, roh datuk
sesat itu tidak akan bisa masuk. Tapi kenyataannya? Aku
sungguh tak mengerti. Dan...."
"Ha ha ha...!"
Suara tawa teras dan berat tapi bergaung
menghentikan ucapan Kidang Loka. Tiba-tiba raut wajah dan
sinar mata kakek itu menyiratkan kecemasan yang sangat.
Tapi ternyata bukan nasib dirinya yang dikhawatirkan,
melainkan....
"Celaka! Dia datang lagi! Cepat kau sembunyi, Salya!
Ajak teman-temanmu pergi dari sini. Tidak ada gunanya kau
melawannya," ucap Kidang Loka dengan suara yang semakin
pelan.
"Tidak, Guru. Aku tidak akan lari. Aku bukan
pengecut. Harus kubalas kekejian ini! Sekalipun untuk itu
aku harus mati!" tandas Salya mantap.
"Akhhh...! Kau keras kepala, Salya...," hanya itu yang
bisa digumamkan Kidang Loka.
Sementara Salya sudah bangkit berlari. Dewa Arak
dan Melati sudah berdiri sejak suara tawa itu terdengar.
Sikap mereka berriga tampak waspada.
Dewa Arak dan Melati kini sudah bisa memperkirakan
duduk perkaranya. Mereka yakin Salya dan gurunya berada
di pihak yang benar. Sementara Braja Denta sebaliknya. Dan
dari ucapan Kidang Loka, sepasang pendekar muda berwajah
elok itu tahu kalau raga Braja Denta telah ditumpangi roh
seorang tokoh sesat.
Tapi Dewa Arak dan Melati tidak dapat berlama-lama
tenggelam dalam pikiran itu. Sebab saat itu kembali
terdengar suara tawa bergelak. Sebelum gema tawa itu
lenyap, berkelebat sesosok bayangan coklat. Tahu-tahu di
hadapan mereka telah berdiri B raja Denta dengan sikap
pongah.
"Ha ha ha...!"
Braja Denta tertawa keras. Tampak jelas dia merasa
gembira bukan main.
"Aku gembira sekali kau dapat hadir di sini, Salya.
Jadi aku tidak repot-repot mencarimu. Saat ini juga akan
kutuntaskan dendam puluhan tahun lalu. Ha ha ha...!"
"Jahanam...!"
Didahului makian keras, Salya melesat meneijang
Braja Denta. Golok di tangan kirinya ditusukkan ke arah
kerongkongan Braja Denta. Memang bukan Golok Api karena
pusaka itu telah diambil Braja Denta. Tapi meskipun
demikian, golok yang dipergunakan Salya kali ini termasuk
pusaka ampuh!
Wuttt!
Bunyi menderu keras mengawali tibanya serangan
golok itu. Ini menjadi pertanda kalau serangan itu cukup
dahsyat.
Tapi Braja Denta hanya menyunggingkan senyum
sinis. Ditunggunya hingga serangan itu dekat. Baru setelah
itu pusaka yang dirampasnya dari tangan Salya dicabut
Golok Api! Dengan Golok Api di tangan, dipapakinya tusukan
golok Salya. Nyala api tampak di sepanjang batang golok itu
ketika Braja Denta menggerakkannya!
Trangngng!
Gila!
Batang golok Salya langsung terbabat putus! Dan
sebelum pemuda berpakaian kuning itu sempat berbuat
sesuatu, Braja Denta sudah mengirimkan serangan susulan.
Dengan sebuah gerakan unik, Braja Denta membuat
goloknya meluncur ke arah perut Salya.
Tentu saja gerakan itu membuat Salya kelabakan.
Sungguh tidak disangkanya akan mendapat serangan
balasan secepat itu. Tak heran jika Melati khawarir
melihatnya. Hingga akhirnya gadis itu melesat memasuki
kancah pertarungan dan memapaki tusukan golok Braja
Denta.
Trangngng!
Benturan yang lebih teras dari sebelumnya langsung
terdengar. Diiringi dengan berpercikannya bunga-bunga api
ke udara. Tubuh Melati terjengkang ke belakang dengan
ujung pedang gompal!
Dan belum lagi Melati sempat memperbaiki
kedudukan, Braja Denta telah melancarkan serangan
susulan. Tak pelak lagi gadis itu dibuat pontang-panting
menyelamatkan diri. Untung Salya segpra datang membantu.
Pertarungan satu melawan dua terjadi. Salya dan Melati
bahu-membahu menghadapi amukan Braja Denta. Tapi tetap
saja mereka terdesak.
Braja Denta memang terlalu tangguh untuk dihadapi
mereka berdua. Pemuda berpakaian coklat itu unggul dalam
ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam. Belum lagi
dengan Golok Api yang ampuh itu. Lengkap sudah keadaan
yang membuat Melati dan Salya terdesak. Mereka terus-
menerus didesak mundur. Sudah dapat dipastikan, jika tidak
ada perubahan dalam pertarungan, kedua orang itu akan
tewas di tangan Braja Denta!
Keadaan Melati dan Salya yang terdesak tentu saja
tak luput dari perhatian Dewa Arak dan Kidang Loka. Kakek
berpakaian putih itu memang ikut pula memperhatikan. Dan
sebagai tokoh tingkat tinggi, Dewa Arak dan Kidang Loka
dapat mengetahui kalau robohnya Melati dan Salya hanya
ringgal menunggu waktu.
Dewa Arak tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka
diputuskannya untuk terjun dalam kancah pertarungan,
menggantikan kedudukan mereka. Setelah mengambil
keputusan demikian, Dewa Arak mengambil gucinya, dan
menuangkan isinya ke mulut
Gluk... Gluk... Gluk..!
Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melewati
tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu pula hawa hangat
berputaran di bawah pusar. Kemudian perlahan-lahan naik
ke atas. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut putih
keperakan itu oleng ke kanan kiri. Pertanda ilmu 'Belalang
Sakti'nya telah siap dipergunakan.
Sementara di kancah pertarungan Melati dan Salya
semakin terdesak. Kedua orang itu bergulingan mundur
untuk menjauhkan diri. Tapi Braja Denta tidak mau memberi
kesempatan pada kedua lawannya. Sambil mengeluarkan
tawa khasnya, dikejarnya lawan dengan golok siap
dihunjamkan.
Saat itulah Dewa Arak melesat masuk ke dalam
kancah pertarungan. Untuk mengalihkan perhatian Braja
Denta dari Melati dan Salya, Dewa Arak langsung
melancarkan serangan. Gucinya diayunkan 1$ arah dada
Braja Denta.
Klangngng!
Bunyi berdentang nyaring terdengar ketika Braja
Denta menganyunkan senjatanya memapaki! Kali ini Golok
Api menemui pusaka yang setimpal. Guci Dewa Arak tidak
punggal! Gompal pun tidak!
Tapi hanya sesaat kedua tokoh itu menghentikan
gerakannya untuk memeriksa senjata mereka. Setelah
melihat jelas pusaka-pusaka itu tidak rusak mereka kembali
saling teijang. Hebat bukan main pertarungan yang
berlangsung. Bunyi menderu, mencicit, dan mengaung
menyemaraki jalannya pertarungan. Debu mengepul tinggi ke
udara.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Sebentar saja, seratus
lima puluh jurus telah berlalu. Namun selama itu belum
nampak tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Baru ketika pertarungan menginjak jurus kedua ratus
Dewa Arak mulai dapat mendesak lawan. Gabungan guci,
kedua tangan dan kaki serta semburan araknya, berhasil
mengobrak-abrik pertahanan ilmu golok Braja Denta. Bahkan
entah kenapa ilmu sihir Braja Denta tidak berdaya sama
sekali. Padahal beberapa kali pemuda berpakaian coklat itu
menggunakannya. Mungkinkah semua itu karena ilmu
'Belalang Sakti’? Dewa Arak sendiri tidak tahu. Keluarnya
Dewa Arak sebagai pemenang hanya tinggal menunggu
waktu.
Di jurus kedua ratus tiga puluh tiga, sambil
mengeluarkan teriakan keras yang membuat sekitar tempat
itu bergetar hebat, Braja Denta menusukkan kerisnya ke
arah perut.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak
melompat ke atas. Kemudian beijungkir balik. Dan dalam
keadaan kepala di bawah, gucinya dihantamkan ke arah
kepala Braja Denta.
Prakkk!
Terdengar bunyi berderak keras. Kepala Braja Denta
hancur berantakan! Darah bercampur otak pun
bermuncratan! Seketika itu pula nyawa Braja Denta
melayang meninggalkan raga.
"Hhh...!"
Helaan napas lega keluar dari mulut Melati, Salya,
dan Kidang Loka. Hampir bersamaan waktunya dengan
mendaratnya kedua kaki Dewa Arak di tanah.
Kidang Loka yang telah berhasil dilepaskan dari
pasungan pedang oleh Salya, tampak berseri-seri wajahnya.
Begitu pula wajah Salya tampak berbinar-binar setelah
melepaskan gurunya dari pasungan. Sebab, bahaya yang
mengerikan itu telah beihasil ditumpas Dewa Arak.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Manusia Kelelawar
Emoticon