1
Srakkk...!
"Keparat!”
Bunyi berkerosakan yang disusul dengan suara makian keras penuh
kejengkelan, merobek keheningan suasana yang masih diselimuti
Sebenarnya, saat itu malam telah berlalu. Tugas rembulan, telah
hampir usai. Hanya saja sang Surya belum menampakkan diri di ufiik
timur. Meskipun demikian, kicau burung sudah mulai terdengar. Kokok
ayam jantan pun sesekali bersuara, seakan hendak menyambut pagi.
Di tengah suasana seperti itulah suara makian tadi terdengar dari
mulut sesosok tubuh berpakaian hitam. Wajahnya tak tampak karena
tertutup kain hitam dari bawah mata sampai ke leher. Kain itu diikatkan
ke belakang kepala. Hal itu sebagai pertanda kalau dirinya tak ingin
dikenal.
"Hih!"
Dengan menggeram, sosok berpakai an hitam itu menarik kuat-kuat
kakinya. Ternyata salah satu kakinya terperosok ke dalam sebuah lubang
yang tak terlihat karena tertutup semak-semak dan rerumputan. Lubang
itu kecil tapi cukup dalam. Sosok berpakaian hitam itu tampak merasa
kesakitan, mungkin kalau tak tertutup kain, mulutnya meringis-ringis
menahan nyeri di kaki yang terjepit lubang itu. Hanya matanya yang
tajam tampak jelalatan ke sana kemari, seperti ada yang tengah diawasi.
Namun sosok berpakaian hitam itu tidak mempedulikan rasa sakit
yang mendera. Begitu terbebas dari lubang, kakinya kembali
metanjutkan peijalanan. Langkahnya terburu-buru sekali. Sehingga
tampak agak terpincang-pincang. Karena kaki sebelah kanan yang
terperosok di lubang tadi, dirasakan masih sangat sakit ketika dijejakkan
ke tanah.
Srak! Srak! Srak!
Bunyi berkerosakan dari semak-semak dan rerumputan yang
dilewati sosok berpakaian hitam itu terdengar, hampir tiada henti.
Terlihat jelas, sosok berpakai an hitam itu tengah tergesa-gesa.
Setelah cukup lama menerobos semak-semak dan rerumputan,
akhirnya sosok berpakaian hitam itu sampai di sebuah tanah lapang yang
membentang luas. Tak satu pun pohon besar yang menghalangi tempat
itu, kecuali rumput-rumput pendek dan kering.
Sosok berpakaian hitam itu menghentikan langkah dan
mengedarkan pandangan. Namun, hal itu hanya dilakukannya sebentar.
Sesaat kemudian, kakinya kembali diayunkan. Kali ini lebih cepat dari
sebelumnya. Rupanya rasa sakit yang melanda kaki telah mulai
berkurang.
Ternyata sosok berpakaian hitam itu bukan orang sembarang an.
Setidak-tidaknya, memiliki ilmu yang cukup tinggi. Hal itu dapat
dibuktikan dari larinya yang cepat dan gesit
Tak berapa lama kemudian, dalam jarak belasan tombak di hadapan
sosok berpakaian hitam, samar-samar tampak sebuah bangunan. Ke
tempat itulah kakinya diayunkan. Hanya dalam beberapa kali lesatan,
tubuhnya telah berada tepat di depan bangunan itu. Sebuah bangunan
yang tampak menyeramkan. Apalagi dalam suasana pagi yang masih
gelap dan sunyi seperti ini.
Setelah berhenti di depan bangunan itu diedarkan matanya,
mengawasi ke sekitar pekarangan yang luas. Bangunan tua itu
tampaknya sudah tak beipenghuni. Hal itu bisa dibuktikan dari
keadaannya yang terbengkalai seperti tak terawat. Pepohonan kecil
tampak meranggas di tengah halaman luas yang kotor.
Setelah puas memperhatikan, sosok berpakaian hitam itu lalu
melangkah menuju bagian kiri bangunan. Ada suatu yang aneh di bagian
itu. Di sana tampak tertancap sebatang tombak berwarna mengkilat.
Setengah dari tombak itu menancap di tanah. Hal itu membuktikan
betapa kuat tenaga dalam yang telah menghunjamkannya.
Begitu berada di dekat tombak, sosok berpakaian hitam itu
menghentikan langkah. Ditolehkan kepalanya ke sana kemari.
Seakan-akan tak ingin ada orang lain melihat tindakan yang akan
dilakukanya.
Setelah merasa yakin tidak ada orang melihat, sosok berpakaian
hitam itu memasukkan tangan kanannya ke balik baju. Sesaat kemudian
tangannya telah keluar dengan menggenggam segulungan surat dan
sebuah kantung kain sebesar kepalan bayi. Kantung yang tampak
menggembung itu mengeluarkan bunyi berdencing nyaring ketika
dikeluarkan
Setelah kembali menoleh ke sana kemari, sosok berpakaian hitam
itu buru-buru menggantungkan gulungan surat dan kantung kain ke
gagang tombak.
"Hhh...! Akhirnya selesai juga tugasku Kini tinggal menunggu
hasilnya. Ha ha ha...! Tunggulah kematianmu, BimaSeta! Ha ha ha...!"
ujarnya seraya tertawa terbahak-bahak, merasa puas dan bangga. Rasa
gembira itu pun tampak tersirat dari sepasang matanya yang tak tertutup
kain.
Masih dengan tawa yang belum putus, sosok berpakaian hitam
segera meninggalkan tempat itu Hanya dalam beberapa kali lesatan,
tubuhnya telah menjauh, dan akhirnya lenyap ditelan kegelapan pagi
***
"Aneh...! Aku tak mengerti arti semua itu. Kang."
Sebuah pertanyaan dengan suara lembut terdengar, ketika tubuh
sosok berpakaian hitam telah jauh meninggalkan bangunan itu Suara itu
berasal dari salah satu pohon yang berada tak jauh dari bangunan tua.
Ternyata pada salah satu cabang pohon besar di sebelah kanan
bangunan itu, tampak dua sosok tubuh yang duduk berdampingan.
Rimbunnya dedaunan pohon ditambah suasana pagi yang masih gelap,
membuat keberadaan mereka sulit untuk diketahui.
"Aku juga tidak mengerti. Melati," timpal sosok lainnya. 'Tapi
jelas..., ada seseorang yang tengah terancam jiwanya! Dan orang itu
bernama Bima Seta. Sementara orang yang mengincar nyawanya,
kuduga orang berpakaian hitam tadi. Tapi..., mengapa tindakan yang
dilakukannya seperti itu?"
Terdengar jelas perbedaan kedua suara itu. Yang pertama lembut,
dan agak melengking. Sedangkan yang belakangan suaranya mantap,
dan agak berat. Jelas, suara pertama keluar dari mulut seorang wanita.
"Mungkin ada hubungannya dengan benda-benda yang
digantungkan pada gagang tombak itu. Kang," ujar wanita yang
dipanggil Melati.
"Mungkin kau benar," sahut pemilik suara lelaki. "Tidak ada
salahnya kalau kita memeriksanya. Toh, ini semua demi kebaikan."
Belum juga lenyap ucapan pemilik suara kedua itu, dari atas pohon
melesat turun dua sosok bayangan, putih dan ungu! Dan....
Jliggg-
Seringan kapas, dua sosok yang tadi berada di atas pohon
menjejakkan kaki di tanah. Jelas, keduanya mempunyai ilmu
meringankan tubuh yang telah sempurna.
Kedua sosok itu segera menghampiri tempat sosok berpakaian
hitam menaruh benda-benda yang dibawanya. Terlihat tindakan mereka
tidak begitu tergesa-gesa.
Dalam jilatan sinar bulan yang remang-remang, terlihat cukup jelas
ciri-ciri mereka. Sosok pertama seorang gadis berwajah cantik jelita.
Rambutnya panjang tergerai. Sehelai pakaian putih membungkus
tubuhnya yang ramping.
Sedangkan sosok kedua, ternyata seorang pemuda tampan bemsia
sekitar dua puluh satu tahun. Wajahnya memperlihatkan kejantanannya.
Tubuhnya yang kekar dan berotot, dibungkus pakaian ungu.
Ada sebuah keanehan pada pemuda berpakaian ungu itu.
Rambutnya yang panjang berwarna putih keperakan. Warna rambut
yang biasanya hanya dimiliki orang-orang bemsia lanjut.
Kini bisa ditebak siapa sebenarnya pemuda berambut putih
keperakan itu. Ya! Arya Buana. Lelaki muda yang lebih terkenal dengan
julukan Dewa Arak!
Dengan pandangan tertuju pada benda-benda yang tergantung di
batang tombak, Arya dan Melati tems melangkah mendekat. Namun,
ketika jarak antara pasangan muda-mudi itu dengan sasaran tinggal tiga
tombak lagi, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam yang melesat
begitu cepat. Dan....
Brettt!
Dalam sekejap gulungan surat dan kantung kecil itu telah lenyap
dari tempatnya. Sosok bayangan hitam itulah yang menyambarnya!
Kemudian dengan kecepatan luar biasa, sosok bayangan itu melesat
meninggalkan tempat Dewa Arak dan Melati berada.
Kejadian itu berlangsung demikian cepat sehingga sulit untuk
dirinci rentetannya. Yang jelas, baik Dewa Arak maupun Melati baru
menyadari ketika sosok bayangan hitam itu telah melesat jauh.
Meskipun demikian, sepasang pendekar ini sempat melihat kalau
sosok bayangan hitam itu bukan manusia. Ya, bukan! Melainkan seekor
bumng.
Sepasang pendekar muda itu hanya bisa memperhatikan bumng itu
melayang di bawah cahaya bulan yang temaram. Semakin lama semakin
jauh, sampai akhirnya lenyap dari pandangan mata. Ditelan kejauhan
dan suasana remang-malang malam menjelang pagi.
Melihat kejadian barusan. Dewa Arak dan Melati hanya saling
pandang. Ada sorot keheranan dan rasa penasaran memancar di mata
mereka.
"Aku jadi semakin tidak mengerti. Kang," ujar Melati, lirih tak
ubahnya mirip bisikan. Kepalanya menggeleng-geleng perlahan.
"Hhh...!"
Dewa Arak pun hanya menyahut dengan helaan napas panjang.
Sedangkan tatapannya diarahkan ke langit, seperti tengah mencari
jawaban atas pertanyaan kekasihnya di sana.
"Bukan kau saja yang tak mengerti. Melati. Aku pun merasa heran.
Apa arti semua kejadian aneh ini?! Hanya satu yang berhasil
kusimpulkan. Dan kurasa kau pun mengetahuinya...."
Dewa Arak menghentikan ucapannya. Ditatapnya sejenak wajah
Melati. Sikap dan pandangan matanya seakan-akan tengah menunggu
jawaban dari gadis berpakaian putih itu.
"Apa itu. Kang?"
Ternyata bukan jawaban yang diberikan Melati, melainkan
pertanyaan bernada penuh rasa ingin tahu.
"Ada seseorang yang tengah terancam keselamatannya! Kau tahu
kan siapa yang kumaksudkan?"
"Maksudmu..., BimaSeta?!" tanya Melati, ragu-ragu.
"Tepat!" sahut Dewa Arak sambil mengacungkan ibu jari. "Dialah
yang kumaksudkan. Ada bahaya besar yang tengah mengancam
keselamatan Bima Seta. Kita harus menyelamatkannya. Melati!"
"Aku setuju saja. Kang! Tapi.., ke mana kita harus mencari Bima
Seta? Kita belum tahu di mana tempat kediamannya. Dan yang lebih
repot lagi, kita belum pernah melihat orang itu. Jelas, kita belum pernah
mengenal nama Bima Seta. Lalu..., bagaimana cara kita mencegah
pembantaian itu?" tanya Melati, seakan-akan meragukan tindakan
penceg ahan itu.
"Hanya ada dua cara. Melati," sahut Dewa Arak cepat. "Pertama,
kita cari orang yang tadi datang kemari."
"Lalu..., apa cara yang satunya lagi. Kang?" desak Melati tidak
sabar menunggu.
"Mengejar burung yang telah mendahului kita, menyambar
barang-barang di tombak tadi. Memang, hal ini lebih sulit. Tapi yang
jelas, kita tahu arah yang ditempuh binatang itu. Kita ikuti dan selidiki.
Mudah-mudahan saja, belum terlambat!"
"Kalau begitu maksudmu, kita harus cepat bertindak. Kang! O, ya.
Apa tindakan kita sekarang?" tanya Melati seraya menatap wajah
kekasihnya.
"Mengejar orang berpakaian serba hitam tadi!" jawab Aiya dengan
suara tegas dan mantap.
Usai berkata demikian. Dewa Arak langsung mengayunkan kaki
dengan gerakan luar biasa. Hanya dengan sekali lesatan, tubuhnya telah
berada dalam jarak belasan tombak dari tempat semula.
Melihat hal ini. Melati tak mau kalah. Gadis itu pun segera
mengayunkan kaki. Hanya dalam sekejap mata, tubuhnya juga telah
melesat belasan tombak. Sesaat kemudian, pasangan pendekar muda ini
telah sama-sama melesat menuju arah yang ditempuh sosok berpakaian
hitam.
"Tuan...! Tuan Besar...! Aku datang. Tuan Besar...!"
Suara teriakan keras dan parau dengan logat yang aneh lerdengar
beberapa kali. Sesosok tubuh yanq tengah terbaring di atas balai-balai
bambu terbangun. Perlahan-lahan kelopak matanya membuka
"Ah...! Kau rupanya. Raja," gumam sosok yang terbaring di atas
balai-balai bambu, setelah terlebih dulu menggeliatkan tubuh. "Sepagi
ini kau sudah membangunkanku. Apa ada pekeijaan yang harus
kulakukan?"
"Benar, Tuan...! Benar! Dan aku telah membawanya...!" sahut
pemilik suara serak dengan logat aneh itu.
"Ya. Aku telah melihatnya. Sini, berikan padaku...!" pinta sosok
yang tergolek di balai-balai seraya bangkit dari berbaring, lalu
perlahan-lahan duduk.
Pemilik suara serak dan berlogat aneh itu pun langsung meluncur
menuju balai-balai bambu. Ternyata suara parau dan berlogat aneh itu
keluar dari mulut seekor bumng cukup besar. Sayapnya yang lebar
terkepak.
Wrettt!
Jrabbb!
Dalam sekejap bumng itu telah hinggap di bahu kanan sosok lelaki
yang dipanggil Tuan Besar.
Sosok lelaki setengah baya, berkumis tebal yang duduk di
pembaringan segera mengelus burung berbulu hitam itu Kemudian
tangannya diulurkan untuk mengambil gulungan surat dan buntalan
kecil yang tergeletak di balai-balai. Tampaknya burung besar yang
dipanggil Raja telah menjatuhkan kedua benda itu di balai-balai bambu
sebelum hinggap di bahu pemiliknya.
Perlahan-lahan dibukanya tali pengikat gulungan surat yang terbuat
dari kulit binatang itu Pada lembaran yang tampak halus tertera sederet
tulisan hitam Lelaki berkumis tebal itu segera membacanya dalam hati.
Utusan dari Akhirat.
Lewat surat ini aku mengutusmu untuk menghabisi nyawa Bima
Seta. Kau tahu kan, siapa Bima Seta itu? Ya. Dia adalah Kepala Desa
Jarak. Siang ini dia akan pergi berburu ke Hutan Saragan. Kau bisa
menghabisi nyawanya di sana
O, ya. Di dalam buntalan kecil itu telah kusediakan uang
imbalannya. Hitunglah! Aku rasa jumlahnya cukup.
Sampai di sini, lelaki bertubuh tinggi dan berkumis tebal
menggulung kembali surat itu. Ada seulas senyum tersungging di
bibirnya. Lalu, setelah meletakkan gulungan kulit binatang itu di
balai-balai bambu, segera diambilnya kantung kecil dari kain hitam itu.
Setelah tali pengikat dilepas, segera dikeluarkan isinya.
Cring! Cring!
Bunyi berdencing nyaring terdengar ketika benda-benda logam
yang ternyata uang itu beijatuhan di telapak tangannya.
"Ha ha ha...!"
Lelaki berkumis tebal itu tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa yang
menyiratkan kegembiraan.
"Kau tahu isi surat itu. Raja?!" tanya lelaki berkumis tebal itu pada
bumng hitam yang masih bertengger di pundaknya.
"Tahu, Tuan Besar! Sebuah tugas, bukan?!" sambut bumng berbulu
hitam itu dengan suara serak dan logat yang aneh.
"Ha ha ha...!"
Ledakan tawa lelaki berkumis tebal yang ternyata beijuluk Utusan
dari Akherat itu pun semakin keras menggelegar, sehingga membuat
seisi mangan bergetar hebat. Hal itu pertanda kalau dia mengerahkan
tenaga dalam ketika mengumbar tawa yang bernada penuh kegembiraan
itu.
Masih dengan suara tawa yang belum putus. Utusan dari Akherat
menimang-nimang kepingan-kepingan uang di tangannya. Namun
tiba-tiba tawanya terhenti ketika burung hitam itu menyelak.
"Tuan...! Tuan Besar...! Aku sudah tidak tahan lagi...! Seluruh
tubuhku terasa gatal! Aku ingin kembali ke warna asliku...!"
"Oh, iya! Aku sampai lupa Ayo, Raja! Aku pun harus segera
mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugasku!"
Usai berkata demikian. Utusan dari Akherat langsung bangkit dari
duduknya. Lalu melangkahkan kaki meninggalkan kamar tidurnya.
2
Derap kaki kuda yang beradu dengan bumi menambah hiruk-pikuk
keadaan di dalam Hutan Saragan. Kalau semula yang terdengar hanya
kicau burung dan teriakan-teriakan binatang penghuni hutan, kini
gemuruh langkah kaki kuda seakan-akan hendak memecahkan suasana.
Namun kemudian kuda coklat bertubuh kekar itu tampak
melangkah perlahan, karena penunggangnya tidak memacu cepat.
Bahkan seperti memang disengaja agar binatang tunggangannya tidak
beijalan cepat. Dia sibuk memperhatikan keadaan sekitar tempat itu.
Penunggang kuda itu ternyata seorang lelaki setengah baya,
berpakaian coklat muda. Kepalanya menoleh ke sana kemari,
seakan-akan ada sesuatu yang tengah dicarinya. Bahkan beberapa kali
tali kekang kudanya ditarik dengan maksud agar berhenti. Sesekali
langkah binatang tunggangannya berhenti. Mata lelaki itu jelalatan
mengawasi tempat di sekitarnya yang tampak sepi dan sunyi.
Lelaki berpakaian coklat muda itu ternyata tidak sendirian. Di
belakangnya, beijajar dua ekor kuda hitam yang masing-masing
ditunggangi lelaki bertubuh kekar dan berwajah sangar. Gagang pedang
tampak menyembul dari balik punggung mereka. Berbeda dengan lelaki
berpakaian coklat muda, dua lelaki bertubuh kekar itu tampak begitu
waspada.
Ketiga lelaki penunggang kuda itu semakin jauh memasuki Hutan
Saragan. Namun lelaki berpakaian coklat muda yang berada di depan,
tampaknya tak mempedulikan keadaan hutan itu.
Lelaki berpakaian coklat muda menghentikan langkah kudanya
ketika tiba di dekat hamparan padang rumput yang luas. Dengan sebuah
gerakan indah tubuhnya melompat turun dari punggung kuda.
Jliggg!
Dengan mantap dan kokoh kedua kakinya hinggap di tanah.
Kemudian pandangannya dialihkan ke arah dua lelaki kekar yang masih
duduk di punggung kuda masing-masing. Mereka segera melompat
turun.
"Ambilkan busur itu, Birawa!" pinta lelaki berpakaian coklat muda.
Salah seorang dari dua penunggang kuda hitam itu segera
mengambil busur yang tergantung di punggung. Lalu diberikannya pada
lelaki berpakaian coklat muda.
"Ini, Ki," ucap lelaki yang berbibir tebal dan hitam itu, penuh
hormat.
Lelaki berpakaian coklat muda hanya menganggukkan kepala
perlahan seraya menerima busur besar itu. Lalu, tanpa mempedulikan
kudanya, segera melangkah menuju hamparan rerumputan yang ada di
sebelah kiri mereka.
Sambil melangkah perlahan, tangan lelaki berpakaian coklat muda
itu melolos anak panah dari kantung panjang yang tergantung di
punggungnya. Ternyata bukan hanya sebatang, melainkan dua batang
anak panah. Kemudian yang lebih mengherankan, keduanya dipasang
pada tali busur.
Dan kini, dengan sikap siap meluncurkan anak panahnya, lelaki
berpakaian coklat muda itu berjalan mengendap-endap menyibak
rerumputan. Namun tentu saja bukan karena rerumputan yang telah
menghalangi langkahnya, hingga langkahnya tampak berhati-hati sekali.
Ternyata puluhan tombak di hadapannya ada beberapa ekor kijang yang
tengah merumput. Rupanya binatang-binatang itulah yang telah menarik
perhatiannya.
Lelaki berpakaian coklat muda bertindak hati-hati sekali.
Seolah-olah khawatir kalau kelompok binatang itu mengetahui
kehadirannya. Sehingga dengan perlahan-lahan kakinya mendekat
sampai pada jarak jangkauan panah. Sesekali tubuhnya menyelinap di
balik pohon besar yang rumbuh di sekitar tempat itu
Sementara itu, dua lelaki berwajah kasar yang rupanya pengawal
lelaki berpakaian coklat muda itu, hanya mengawasi dari kejauhan.
Kuda mereka, seperti juga milik lelaki berpakaian coklat muda, telah
ditambatkan di bawah pohon.
"Bagaimana kalau kita bertaruh, Sempani?!" tanya Birawa setengah
mengaj ak.
Lelaki yang dipanggil Sempani tak langsung memberikan j awaban.
Wajahnya tampak tercenung sambil menatap tajam mata Birawa.
"Bertaruh apa, Birawa?!"
"Begini. Ki Bima Seta hendak memanah kijang-kijang itu. Nah!
Itulah yang akan kita pertaruhkan. Apakah Ki Bima Seta akan berhasil
atau tidak?!" jawab Birawa seraya mengangguk-anggukkan kepala.
"Baik. Kuterima ajakanmu," sambut Sempani. "Kutebak, beliau
akan berhasil memanah salah satu di antara kijang-kijang itu."
Birawa tersenyum. Kepalanya kembali mengangguk-angguk.
"Kau cerdik, Sempani! Kau tak memberiku kesempatan lain! Apa
boleh buat, meskipun aku tahu pasti kalau majikan kita itu mempunyai
kemampuan memanah yang luar biasa, terpaksa kuterima pilihan
lainnya. Asal kau tahu saja, kita bertaruh dengan sebulan penghasilan
kita!"
"Ya, aku setuju!" sahut Sempani cepat, sambil melepas senyum
gembira. Wajahnya menggambarkan keyakinan bahwa dia bakal
memenangkan taruhan itu.
Kini, Birawa dan Sempani mengalihkan pandangan,
memperhatikan lelaki berpakai an coklat muda yang ternyata bernama Ki
Bima Seta.
Tampak di sela-sela rerumputan yang agak tinggi, Ki Bima Seta
tengah beijalan mengendap-endap. Busur panahnya yang besar telah
siap direntang di depan wajah.
Rupanya Sempani yang akan memenangkan pertaruhan.
Masalahnya, sampai Ki Bima Seta berada para jarak jangkauan anak
panahnya, kijang-kijang itu tampak masih sibuk memmput. Mereka
tampaknya tidak menyadari akan adanya ancaman maut yang tengah
mengintai.
Ki Bima Seta merasakan jantungnya berdebar tegang. Apalagi
ketika mulai membidikkan panahnya. Sudah terbayang di benaknya
betapa kedua anak panah itu akan melesat cepat dan menembus tubuh
salah satu kijang itu. Tentu saja kijang paling gemuk dan besar yang
menjadi sasarannya. Namun tiba-tiba....
Srakkk!
Blukkk!
Sebuah batu sebesar kepalan meluncur dan jatuh di dekat
sekawanan kijang itu Tentu saja kejadian itu membuat
binatang-binatang itu terkejut bukan kepalang, dan langsung
berhamburan melarikan diri.
Kejadian yang sama sekali tak terduga dan tiba-tiba ini membuat Ki
Bima Seta terkejut dan marah bukan kepalang. Padahal, sudah terbayang
di benaknya betapa seekor kijang yang paling besar dan gemuk akan
menggelepar tertembus anak panahnya.
Maka secara untung-untungan, dilepaskan anak panah dari
busurnya.
Trakkk! Swing...!
Dengan kecepatan tinggi, kedua anak panah melesat ke arah
sekawanan kijang yang tengah berlarian dari tempat itu. Hasilnya
memang seperti yang diduga Ki BimaSeta. Kedua anak panah itu hanya
menyambar angin!
"Keparat!" maki Ki Bima Seta geram. Disadari kalau kegagalan
usahanya itu disebabkan adanya gangguan yang tidak terduga. "Monyet
gila dari mana yang telah menggangguku hari ini, heh...?! Keluar kau.
Pengecut! Jangan bersembunyi! Tampakkan dirimu!"
Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan geram bernada tantangan,
Ki Bima Seta mengedarkan pandangan mengawasi sekelilingnya.
Hatinya merasa penasaran ingin segera melihat orang yang telah berbuat
usil tadi.
"Siapa yang bersembunyi, Bima Seta?! Sejak tadi aku di sini!" sahut
sebuah suara.
Ki Bima Seta terjingkat kaget bagai disengat ular berbisa,
masalahnya, suara itu berasal dari atas kepalanya. Langsung saja
kepalanya didongakkan.
Untuk kedua kalinya, lelaki berpakaian coklat muda itu teijingkat
kaget. Bahkan kali ini sampai tersumt mundur. Tepat di atas kepalanya,
pada salah satu cabang pohon, duduk mencangkung sesosok tubuh
berpakaian hitam.
Dan belum sempat Ki Bima Seta berbuat sesuatu, sosok berpakaian
hitam itu telah melesat meninggalkan tempat duduknya Gerakan yang
dilakukannya begitu cepat dan tampak indah.
Jliggg!
Dengan begitu ringan sosok berpakaian hitam itu mendaratkan
kedua kakinya di tanah. Ini menjadi pertanda kalau ilmu meringankan
tubuhnya amat tinggi.
"Siapa kau?!" tanya Ki Bima Seta seraya menudingkan jari
telunjuknya. Matanya yang tajam merayapi sosok yang berdiri sekitar
tiga tombak di depannya. Sesosok berpakaian serba hitam itu beitubuh
tinggi dan kurus. Sebuah selubung hitam yang dikenakan membuat
wajahnya tidak terlihat. Hanya sepasang matanya yang tampak karena
tepat pada bagian mata, terdapat dua buah lubang.
"Siapa diriku sebenarnya, nanti kujelaskan belakangan. Yang lebih
penting lagi kau, Bima Seta! Apa kau terkejut karena tindakan yang
kulakukan itu, Bima Seta?!" tanya sosok berselubung hitam bernada tak
acuh.
"Dari mana kau tahu namaku. Keparat?!" tanya Ki Bima Seta, tak
dapat menyembunyikan perasaan kagetnya. "Dan siapa sebenarnya
dirimu? Aku belum pernah mengenalmu! Mengapa kau mencampuri
urusanku?!"
"He he he...! Tidak usah kaget, Bima Seta! Aku hanya ingin
memastikan saja kalau kau orang yang kucari," sosok berselubung hitam
itu tertawa terkekeh, menyadari pancingannya berhasil.
Ki Bima Seta kontan terdiam. Sama sekali tidak disangka kalau
dirinya telah masuk perangkap sosok berselubung hitam itu.
"Hm..., ada apa kau mencariku?! Aku merasa tidak pernah punya
urusan denganmu," ujar Ki Bima Seta, agak terbata-bata.
Sebenarnya laki-laki berpakaian coklat muda ini bukan orang
sembarang an. Namun, penampilan dan sikap sosok berselubung hitam
itu membuatnya harus bersikap hati-hati. Apalagi tadi telah disaksikan
sendiri kemampuan sosok tidak dikenal itu. Ilmu meringankan tubuhnya
jelas telah mencapai tingkat tinggi. Meskipun, tingkat kepandaian dan
tenaga dalam sosok ini belum dilihat, Ki Bima Seta bisa
memperkirak annya.
"Semula memang tidak, Bima Seta," masih tetap tenang ucapan
sosok berselubung hitam. "Tapi, sekarang di antara kita ada urusan.
Seseorang telah menyewaku untuk melenyapkanmu dari muka bumi."
Ki Bima Seta tersentak kaget. Kakinya serta-merta mundur
selangkah ketika menyadari ada bahaya mengancam. Di samping dirinya
tahu kalau sosok berselubung hitam itu akan membunuhnya, juga karena
ada sebuah dugaan yang menyelinap di benaknya begitu mendapat
jawaban itu.
***
Ki Bima Seta teringat akan seorang tokoh misterius dalam dunia
persilatan. Seorang tokoh sakti yang mempunyai pekeijaan sebagai
pembunuh bayaran. Tidak seorang pun yang mengetahui siapa
sebenarnya, karena tokoh itu selalu menyembunyikan wajah. Yang
diketahui, tokoh ini mempunyai julukan Utusan dari Akherat!
Hhh...! Orang inikah si pembunuh bayaran yang berjuluk Utusan
dari Akherat itu?! Tanya Ki Bima Seta dalam hati.
Rasanya memang tidak keliru. Karena, menurut kabar, pembunuh
bayaran yang beijuluk Utusan dari Akherat itu mengenakan pakaian
serba hitam.
"Siapa kau, Kisanak?!" tanya Ki Bima Seta, ingin memastikan
kebenaran dugaannya, setelah termenung beberapa saat.
"Mengenai namaku, sayang sekali tidak bisa kujelaskan. Tapi, kau
boleh menyebutku sebagai Utusan dari Akherat," jawab sosok
berselubung hitam yang ternyata memang Utusan dari Akherat.
"Ah...!"
Meskipun sudah menduga sebelumnya, Ki Bima Seta tak urung
terkejut juga.
"Kau pernah mendengar julukan itu?!" tanya Utusan dari Akherat,
masih tetap bersikap tenang.
"Ya," Ki Bima Seta menganggukkan kepala. "Bukankah kau
pembunuh bayaran?"
"Hehehe...!"
Utusan dari Akherat menganggukkan kepala seraya tertawa
terkekeh-kekeh.
"Utusan dari Akherat," ucap Ki Bima Seta dengan raut wajah
sungguh-sungguh. "Aku berani membayarmu beberapa kali lipat dari
orang yang telah menyewamu. Syaratnya, batalkan maksudmu. Dan
bunuh orang yang menyuruh membunuhku!"
"Sayang sekali, Bima Seta! Aku tak dapat melakukannya. Ini
menyangkut kehormatanku. Kau tahu, perintah yang diberikan padaku,
tak dapat dibatalkan lagi. Sekalipun permintaan itu datang dari
penyewaku. Setiap perintah berlaku mutlak! Tidak dapat ditawar-tawar
lagi!" jawab Utusan dari Akherat dengan tegas.
Melihat sikap keras Utusan dari Akherat, Ki Bima Seta jengkel.
"Jangan kaukira aku takut padamu. Utusan dari Akherat! Orang lain
boleh takut mendengar julukanmu. Tapi, aku tidak!"
"Bagus, Bima Seta! Jawaban seperti itulah yang kutunggu-tunggu
sejak tadi. Kau tahu, aku tak ingin orang yang akan kubunuh menyerah
begitu saja. Nah, bersiaplah kau!"
"Kaulah yang akan kami lenyapkan!"
Seman keras itu keluar dari mulut Sempani dan Birawa hampir
berbarengan. Ternyata dua lelaki bertubuh kekar ini telah berada di situ
sejak tadi. Mereka ikut mendengarkan percakapan antara Ki Bima Seta
dengan Utusan dari Akherat. Keduanya tidak langsung bertindak karena
melihat majikan mereka masih terlibat percakapan dengan pembunuh
bayaran itu.
Usai berkata demikian, Sempani dan Birawa langsung bertindak.
Srat! Srat!
Cahaya berkilauan langsung mencuat ketika Sempani Dan Birawa
mencabut pedang yang tersandang di punggung. Lalu, bagai telah saling
sepakat mereka bergerak menghampiri Utusan dari Akherat dari arah
berlawanan. Sempani dari kiri, danBirawa sebaliknya. Lalu....
"Hiyaaat..!"
Diiringi teriakan keras yang membuat suasana di sekitar tempat itu
tergetar hebat, Sempani dan Birawa melancarkan serangan.
Baik Birawa maupun Sempani menggerakkan pedang berputar
laksana baling-baling, sebelum akhirnya dibabatkan ke tubuh Utusan
dari Akherat. Sempani melancarkan tusukan lurus ke dada. Sedangkan
Birawa mengirimkan babatan ke leher. Bunyi menderu yang mengiringi
tibanya serangan itu menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang
mereka kerahkan.
"Hmh...!"
Utusan dari Akherat mengeluarkan dengusan bernada mengejek
melihat serangan-serangan itu. Dia tetap bersikap tenang meskipun
bahaya maut tengah meluncur mengancam jiwanya. Sama sekali tak ada
tanda-tanda akan dilakukannya tindakan pembelaan diri, baik mengelak
ataupun menangkis.
Bukan hanya Sempani dan Birawa yang merasa terkejut melihat
tindakan Utusan dari Akherat, Ki Bima Seta pun demikian. Apakah
Utusan dari Akherat akan membiarkan kedua serangan itu mendarat
pada sasarannya? Kalau benar demikian, berarti tokoh misterius ini telah
memiliki kekuatan tenaga dalam yang sulit untuk diukur. Atau dia me¬
miliki ilmu yang membuat tubuhnya tak dapat ditembus senjata tajam?
Peratanyan-pertanyaan ini merasuk di benak Sempani, Birawa, serta
Ki Bima Seta. Dan mereka tak perlu menunggu terlalu lama untuk
mendapatkan j aw abanny a.
Tak! Takkk!
Bunyi berdetak keras seperti benturan logam keras terdengar ketika
pedang Sempani dan Birawa mendarat pada sasarannya.
"Hah...?!"
"Akh...?!"
Sempani dan Birawa terpekik keras, ketika merasakan tangan
mereka seketika terasa panas. Keduanya tampak menghentikan serangan
terhadap lawan. Mulut mereka meringis menahan rasa sakit yang
mendera di tangan.
"He he he...! Mengapa berhenti?!" ejek Utusan dari Akherat melihat
kedua lawan menyeringai kesakitan, seraya menatap dirinya dengan
pandangan takjub. "Pilihlah bagian yang empuk!"
Usai berkata demikian, sosok berselubung hitam itu melipat kedua
tangannya di depan dada. Sikapnya menunjukkan kalau dirinya siap
menerima serangan Sempani dan Birawa tanpa memberikan perlawanan.
Sempani dan Birawa saling pandang sebentar. Karena sesaat
kemudian, keduanya telah kembali melancarkan serangan.
Ternyata Utusan dari Akherat benar-benar menepati janjinya. Dia
tak memberikan perlawanan sama sekali. Dibiarkan saja semua serangan
kedua lawannya. Tak pelak lagi, dua batang pedang yang dikerahkan
dengan tenaga dalam, bertubi-tubi menghantam sekujur tubuhnya.
Tak! Tak! Tak!
Namun, seperti juga kejadian sebelumnya. Utusan dari Akherat tak
terpengaruh sama sekali. Jangankan terluka, tergores pun tidak! Karena
Sempani dan Birawa mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk
melancarkan serangan secara terus-menerus, tak aneh kalau akibatnya
mereka kelelahan bagai kehilangan daya.
"Sudah puas?! Ha ha ha...!"
Lagi-lagi Utusan dari Akherat tertawa terbahak-bahak mengejek.
Hal itu dilakukan tanpa merubah sikap semula. Tubuhnya tetap berdiri
tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tampak pa-kaiannya
terkoyak-koyak akibat rusukan, sabetan, dan bacokan kedua pedang
lawan.
Sesaat baik Sempani maupun Birawa menatap nanar Utusan dari
Akherat. Keduanya seakan-akan tak mampu melakukan serangan.
Rupanya kedua pengawal Ki Bima Seta iri telah menyadari kalau lawan
terlalu tangguh. Di samping itu mereka seperti telah kehabisan tenaga
untuk memberi jawaban. Cara berdiri Sempani dan Briawa yang tidak
tegak lagi telah menjadi bukti nyata kelelahan yang diderita.
"Hehehe...!"
Utusan dari Akherat tertawa terkekeh. Kemudian dengan tawa yang
belum putus, pandangannya diarahkan ke arah Ki Bima Seta.
Ki Bima Seta yang masih berada di situ, tentu saja menyaksikan
semua kejadian itu.
"Sekarang giliranmu, Bima Seta! Ketahuilah, he he he...! Nasibmu
tak sama dengan mereka," ujar Utusan dari Akherat seraya menuding
Sempani dan Birawa. "Aku hanya diperintah agar membunuhmu!
Bersiaplah, Bima Seta! Padamu aku tidak bisa bersikap lunak!"
Srat! Srat!
Ki Bima Seta mencabut sepasang goloknya sebagai tanggapan atas
peringatan yang diberikan Utusan dari Akherat. Jelas, lelaki berpakaian
coklat muda itu bermaksud untuk mengadakan perlawanan.
"Jangan kau kira mudah untuk membunuhku. Bangsat!" dengus Ki
Bima Seta sengit
Seiring dengan makian itu, Ki Bima Seta memutar-mutarkan
sepasang goloknya di depan dada.
Wunggg! Wunggg..!
Bunyi mengaung keras seperti segerombolan lebah mengamuk
kontan terdengar. Hal itu menandakan kalau Ki Bima Seta mempunyai
tenaga dalam yang amat kuat.
Dengan sepasang golok yang diputar-putarkan, Ki Bima Seta
menghampiri Utusan dari Akherat. Terlihat hati-hati sekali tindakannya.
Kakinya melangkah perlahan-lahan, dengan pandangan tems tertuju
pada lawannya. Ki Bima Seta tampaknya tengah mencari bagian dari
tubuh lawan yang akan dijadikan sasaran serangan
Hal yang sama pun dilakukan Utusan dari Akherat. Pembunuh
bayaran itu tampaknya tahu kalau yang dihadapi kali ini tak bisa
disamakan dengan lawan-lawan sebelumnya. Itulah sebabnya, meskipun
kelihatannya sosok berselubung hitam ini bersikap tenang, sebenarnya
kewaspadaan telah dipasang secara penuh.
Utusan dari Akherat mengawasi setiap langkah Ki Bima Seta
dengan seksama. Memang, kedudukannya tetap tidak berubah. Namun,
sepasang matanya beredar mengikuti setiap tindakan kaki Ki Bima Seta.
"Haaat..!" Sing! Sing! Sepasang golokKi Bima beta bergerak cepat
seperti menggunting leher Utusan dari Akherat.
Melihat serangan yang berbahaya ini, sosok berselubung hitam
segera menarik kaki kanannya mundur, dan mencondongkan tubuhnya
ke belakang!
Beberapa saat lamanya, keadaan berlangsung seperti itu. Utusan
dari Akherat tetap berdiri diam di tempatnya. Sedangkan Ki Bima Seta
terus melangkah menghampirinya dengan sepasang senjata siap untuk
disarangkan pada sasaran. Keadaan jadi terlihat menegangkan hati.
Perasaan itu pun melanda Sempani dan Birawa yang kini hanya
bertindak sebagai penonton.
"Haaat...!"
Teriakan keras menggelegar Ki Bima Seta memecahkan ketegangan
yang melingkupi tempat itu. Lelaki berpakaian coklat itu membuka
serangan dengan sebuah jurus mematikan. Sepasang goloknya bergerak
cepat seperti menggunting leher Utusan dari Akherat.
Serangan Ki Bima Seta yang begitu cepat sulit untuk diduga. Hal itu
karena lelaki setengah baya itu melakukan gerakan yang sedemikian
rupa. Sehingga golok yang berada di tangan kanan membabat dari kiri,
sedangkan golok di tangan kiri membabat dari kanan.
Sing! Sing!
Bunyi berdesing nyaring yang memekakkan telinga terdengar,
ketika sepasang golok itu saling berkelebat membum sasaran.
Utusan dari Akherat menyadari adanya maut yang mengancam
jiwanya. Namun anehnya, tak tampak sedikit pun kegugupan atau
perasaan gentar di mata lelaki berselubung kain hitam itu Meskipun
serangan lawan meluncur demikian cepat, gerakan yang dilakukannya
ternyata jauh lebih cepat. Kaki kanannya segera ditarik mundur, sambil
tak lupa mencondongkan tubuh ke belakang.
Wuttt! Wuttt!
Hasil tindakan Utusan dari Akherat memang tidak percuma.
Serangan Ki Bima Seta lewat beberapa jari di depan, dan membabat
tempat kosong. Angin kencang dari serangan itu menerpa kepalanya
yang tertutup selubung kain hitam.
Melihat hal ini, Ki Bima Seta tidak putus asa. Begitu serangan
pertama berhasil dielakkan lawan, langsung saja dilakukan serangan
susulan. Sambil melangkah maju, sepasang goloknya diputar sedikit.
Lalu, kembali melesat. Sasarannya kali ini tak lain kedua pinggang
lawan.
"Hebat...!"
Tanpa sadar dari mulut Utusan dari Akherat terlontar kata pujian.
Bukan sebuah pujian kosong. Rupanya sosok berselubung hitam ini
memang merasa kagum melihat kehebatan perkembangan ilmu golok
lawannya.
Meskipun demikian, bukan berarti Utusan dari Akhirat tak mampu
mematahkan serangan dahsyat itu Sama sekali tidak! Meskipun
serangan lanjutan itu berlangsung begitu cepat, dan hampir tidak
terduga.
"Hiyaaa...!"
Wut! Wut!
"Hih...!"
Dengan cepat Utusan dari Akherat melemparkan tubuh ke belakang,
sehingga serangan Ki BimaSeta kembali kandas.
Namun, Ki Bima Seta benar-benar tak ingin memberi kesempatan
sedikit pun kepada lawan untuk memperbaiki kedudukan. Tepat ketika
tubuh Utusan dari Akherat tengah berada di udara, kakinya digenjotkan
untuk memburu lawan seraya melancarkan serangan bertubi-tubi.
Pemandangan yang menarik pun terjadi. Keadaan yang kurang
pantas disebut sebagai sebuah pertarungan. Masalahnya, Utusan dari
Akherat terus-menerus bergerak menjauh, sementara Ki Bima Seta
memburunya seraya tanpa henti menghujani serangan secara beruntun.
Selama hampir sepuluh jurus Ki Bima Seta melancarkan serangan
dahsyat dan bertubi-tubi. Namun selama itu, tak satu pun yang mengenai
sasaran. Semua berhasil dielakkan Utusan dari Akherat. Karuan saja hal
ini membuat lelaki berpakaian coklat muda itu merasa penasaran bukan
kepalang. Sehingga, serangan-serangannya pun semakin dahsyat dan
susul-menyusul laksana gelombang laut.
Sebenarnya, kalau saja Ki Bima Seta mau membuka mata dan tidak
menuruti rasa penasaran, dia tak harus terlalu bemalsu. Kegagal an demi
kegagalan serangan yang dilakukan dalam belasan jums, telah
membuktikan kalau tingkat kepandaian lawan berada jauh di atasnya.
Setidak-tidaknya dalam hal ilmu meringankan tubuh.
Namun tampaknya Ki Bima Seta mempunyai watak keras kepala.
Rasa penasaran yang berkecamuk di hati, membuat hal itu tidak
terpikirkan. Bukan menghentikan serangan dan mencari cara agar dapat
meloloskan diri, lelaki berpakaian coklat itu justru semakin gencar
melancarkan serangan.
Kembali limajums terlewati! Dengan begitu pertarungan itu hampir
mencapai dua puluh jurus. Namun Ki Bima Seta tak berhasil
menyarangkan satu pun serangannya.
"Sekarang giliranku, Bima Seta!"
Terdengar seman Utusan dari Akherat di antara deru hujan serangan
sepasang golok Ki Bima Seta.
Seketika itu pula jantung Ki Bima Seta berdetak lebih cepat
mendengar ucapan itu. Namun, hal itu tetap tak membuat serangannya
semakin mengendur. Hanya saja kali ini kewaspadaannya ditingkatkan.
Disadari kalau ucapan itu mengandung pengertian kalau lawan akan
mulai melancarkan serangan balasan.
Ternyata benar. Utusan dari Akherat langsung memenuhi janjinya.
Hal itu terbukti pada jums kesembilan belas, tepat ketika Ki Bima Seta
menusukkan sepasang goloknya ke dada lawan. Sosok berselubung
hitam cepat mengulurkan kedua tangannya.
Seketika wajah Ki Bima Seta berubah, melihat gerakan lawan.
Meskipun belum tahu pasti bentuk serangan itu, pikirannya sudah dapat
menduga tindakan yang akan dilakukan Utusan dari Akherat. Apa lagi
kalau bukan hendak menangkap mata goloknya? Sudah gilakah Utusan
dari Akherat?! Atau memang dirinya mempunyai tenaga dalam yang
amat kuat sehingga dapat menangkap sepas ang goloknya tanpa terluka!
Ki BimaSeta merasakan betapa jantungnya berdebar-debar. Hal itu
karena hatinya yakin Utusan dari Akherat akan mengalami akibat yang
tidak menyenangkan apabila tetap meneruskan maksudnya.
Setidak-tidaknya tangan si pembunuh bayaran itu akan terluka.
Ki BimaSeta yakin kalau lawannya telah salah perhitungan. Utusan
dari Akherat terlalu yakin dengan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki
dan terlalu menganggap remeh kemampuan lawan. Padahal, Ki Bima
Seta tahu pasti bahwa kemampuan dan tenaga dalamnya tak bisa
disamakan dengan Sempani atau Birawa, kedua pengawalnya.
Jangankan hanya dua orang, biar ada sepuluh Sempani atau Birawa pun
tak dapat disamakan dengan dirinya!
Karena keyakinan itulah Ki Bima Seta mengambil keputusan untuk
meneruskan serangannya. Bahkan lelaki berpakaian coklat muda itu
menggertakkan gigi, seakan-akan berusaha meningkatkan kekuatan
serangan sampai batas-batas tertinggi kemampuan yang dimilikinya.
Dugaan Ki Bima Seta tidak salah! Utusan dari Akherat ternyata
memang bermaksud memapak serangan itu dengan kedua tangannya!
Dan....
Kreppp!
"Heh...?!"
Pekikan kaget keluar dari mulit Ki Bima Seta, ketika melihat
kejadian yang sama sekali tak diduga. Sepasang goloknya berhasil
direnggut cengkeraman Utusan dari Akherat! Dan jari-jari tangan sosok
berselubung hitam itu tampak tetap utuh! Jangankan putus, terlukapun
tidak! Hal ini benar-benar di luar dugaan Ki Bima Seta. Matanya
terbelalak kaget bercampur heran.
Ki Bima Seta langsung menyadari akan keadaan yang kurang
menguntungkan baginya. Lelaki setengah baya itu tidak ingin senjata
andalan itu dirampas. Maka, dengan cepat ditariknya agar lepas dari
cengkeraman tangan lawan. Lelaki berpakaian coklat muda itu tahu
kalau hal itu dilakukan, setidak-tidaknya tangan Utusan dari Akherat
akan terluka!
Untuk yang kedua kalinya hasil yang diharapkan Ki Bima Seta tidak
sesuai dengan kenyataan. Sepasang golok itu sedikit pun tak bergeming.
Seakan-akan bukan tangan manusia yang mencengkeramnya, melainkan
sebuah jepit baja. Betapapun Ki Bima Seta mengerahkan tenaga sampai
terdengar suara ah-uh ah-uh dari mulutnya, tetap saja sia-sia!
Tiba-tiba saja, ketika Ki Bima Seta tengah bersitegang dengan
tarikannya, tanpa diduga Utusan dari Akherat melepaskan
cengkeramannya. Akibatnya pun dapat diduga! Tubuh Ki Bima Seta
terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri.
"Aaah...!"
Tanpa sadar Ki Bima Seta mengeluarkan jeritan yang sebagian
besar karena rasa kaget.
Di saat tubuh Ki Bima Seta berada dalam keadaan
terhuyung-huyung. Utusan dari Akherat memasukkkan tangan kanannya
ke balik baju. Hanya sekejap saja, tangan itu telah keluar dengan
menggenggam sebatang pisau kecil bergagang ukiran kepala tengkorak
manusia.
Secepat pisau kecil itu berada di genggaman tangan, secepat itu pula
Utusan dari Akherat mengibaskannya.
Singgg!
Bunyi berdesing nyaring mengiringi lesatan pisau kecil itu ke tubuh
Ki Bima Seta yang belum sempat memperbaiki kedudukannya.
Ki Bima Seta terkejut bukan kepalang, melihat serangan itu.
Masalahnya, pisau itu meluncur ketika tubuhnya masih
terhuyung-huyung. Sedapat mungkin sepasang goloknya digerakkan
untuk mematahkan serangan itu. Tapi....
Crap!
"Aaakh...!"
Jeritan panjang menyayat hati keluar dari mulut Ki Bima Seta,
ketika pisau bergagang kepala tengkorak menghunjam di ubun-ubunnya.
Usahanya untuk memapak pisau itu gagal total!
Brukkk!
Tubuh Ki Bima Seta ambruk di tanah, menggelepar-gelepar
sejenak, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi untuk selamanya.
Mati!
"Ki...!"
Hampir bersamaan Sempani dan Birawa menjerit kaget. Bagai
diperintah, keduanya segera melesat menghampiri mayat Ki Bima Seta
yang terkapar berlumur darah.
"Ha ha ha...!"
Berbeda dengan Sempani dan Birawa yang tampak sangat terpukul
atas kematian Ki Bima Seta, Utusan dari Akherat malah gembira. Sambil
memperhatikan mayat korbannya, dia tertawa terbahak-bahak.
Dan masih dengan tawa yang belum putus, pembunuh bayaran itu
melesat meninggalkan tempat itu. Luar biasa! Hanya dengan beberapa
kali lesatan, tubuhnya sudah tak terlihat lagi. Hanya sebuah titik hitam
kecil tampak di kejauhan, yang akhirnya lenyap.
Kini, suasana di Hutan Saragan kembali sunyi.Tidak terdengar lagi
gemuruh pertarungan dan teriakan-teriakan keras. Keadaan pulih seperti
sedia kala.
3
Hari sudah agak siang. Sang Surya telah cukup jauh meninggalkan
tempat terbitnya, memancarkan sinar yang tidak lagi nikmat di kulit
Dalam suasana seperti itulah tampak sepasang muda-mudi
melangkah cepat memasuki tapal batas sebuah desa. Mereka
mengenakan pakaian berwarna ungu dan putih Siapa lagi kalau bukan
Dewa Arak dan Melati?!
Di ambang tembok batas desa, pasangan pendekar berwajah elok ini
menghentikan langkah. Pandangan mereka diedarkan ke depan. Sejauh
mata memandang, yang terlihat hanya jajaran tanaman singkong.
Meskipun demikian bukan berarti tidak terlihat pemandangan
lainnya. Di beberapa tempat tampak sosok-sosok tubuh bertelanjang
dada yang tengah sibuk mencabuti pohon-pohon singkong. Memang,
sudah waktunya tanaman itu untuk diambil hasilnya.
Hanya sebentar saja Dewa Arak dan Melati bersikap demikian.
Kemudian dengan gerak isyarat. Dewa Arak mengajak kekasihnya untuk
menuju para petani itu. Tanpa membantah sedikit pun, gadis berpakaian
putih itu mengikuti.
Tanpa mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dewa Arak dan
Melati menghampiri salah seorang penduduk desa yang tengah sibuk
dengan pekerjaannya Keduanya melangkah di atas jalan setapak yang
membelah jajaran pepohonan.
"Maaf Kisanak! bisa kami mengganggu sebentar?! Kami ingin
menanyakan sesuatu," tanya Aiya sopan.
Lelaki bertubuh kekar dan berkulit hitam kecoklatan karena sering
terbakar matahari itu, menghentikan kesibukannya. Matanya sejenak
menatap kedua muda-mudi di hadapannya. Sekilas tampak sorot
keterkejutan pada wajahnya. Namun hal itu hanya berlangsung sebentar.
Karena segera ditutupinya dengan secercah senyum ramah.
"Silakan, Kisanak! Katakanlah, barangkah saja aku bisa
membantu," sahut lelaki kekar itu ramah.
"Begini, Kisanak. Kami tengah mencari seseorang yang bernama
Bima Seta. Apakah kau bisa menunjukkan pada kami tempat
tinggalnya?!" Arya mulai mengutarakan pertanyaan yang sejak tadi
berkecamuk di hati.
Seketika, senyum yang menghias wajah lelaki kekar itu lenyap.
Jelas, yang menjadi penyebabnya tak lain pertanyaan Arya.
Tentu saja perubahan air muka lelaki kekar itu tak luput dari
perhatian Arya dan Melati. Dan tentu saja kejadian itu membuat
keduanya heran. Namun, baik Dewa Arak maupun Melati tak
memperlihatkan perasaan itu.
"Ada urusan apa mencarinya, Kisanak?!" tanya lelaki kekar itu
dengan nada suara kurang ramah.
Arya mengembangkan senyum lebar.
"Sebenarnya kami tidak mempunyai urusan apa pun dengannya.
Hanya saja, di tengah peijalanan, kami mendengar ada orang yang
bermaksud membunuhnya. Sayang, sebelum kami sempat
mengetahuinya, dia telah kebum kabur," jelas Arya, tetap bersikap
tenang.
"Jadi..., kau menanyakan tempat tinggalnya untuk memberitahukan
adanya usaha pembunuhan itu, Kisanak?!" tukas lelaki kekar itu, cepat.
"Benar, Kisanak," Arya menganggukkan kepala.
Secercah senyum sinis langsung terpampang di bibir lelaki kekar
itu.
"Urungkan saja niatmu, Kisanak!" tandas lelaki kekar itu dengan
nada semakin tidak ramah. "Percayalah! Usaha pembunuhan itu tidak
akan berhasil! Nah! Sekarang, pergilah!"
Wajah Arya berubah. Hatinya merasa tersinggung sekali mendapat
perlakuan seperti itu. Namun, karena sadar kalau lelaki kekar itu pasti
mempunyai alasan sehingga bersikap demikian. Dewa Arak menahan
diri. Ditahannya amarah yang berkobar-kobar di dalam dada.
Arya berhasil menekan kemarahannya. Akan tetapi, tidak demikian
halnya dengan Melati. Gadis berpakaian putih ini merasa tersinggung
bukan kepalang melihat perlakuan lelaki kasar itu pada kekasihnya.
Arya telah bertanya baik-baik, mengapa mendapat sambutan seperti itu?
Hatinya tak menerima.
"Apakah kau tidak bisa sopan sedikit, Kisanak?! Kawanku bertanya
baik-baik, mengapa kau memperlakukannya seperti terhadap anjing
kudisan?!"
Suara Melati terdengar bergetar, sebagai pertanda kalau
sewaktu-waktu amarahnya dapat meledak.
Hal ini pun diketahui secara pasti oleh Arya. Maka, pemuda
berambut putih keperakan ini buru-buru menyentuh lengan Melati untuk
meredakan amarah yang melanda hati kekasihnya. Arya tak ingin Melati
turun tangan terhadap lelaki bertubuh kekar itu.
Memang, lelaki kekar itu rupanya mempunyai sikap keras kepala.
Meskipun tahu kalau Melati tengah marah, dia bersikap tidak peduli.
"Sopan katamu?! Dengan tems meladeni kalian berdua saja aku
sudah bersikap sangat sopan! Kalau tidak, kalian telah kutinggalkan
sejak tadi"
"Keparat! Menghadapi orang sepertimu memang harus
menggunakan kekerasan!"
Usai berkata demikian. Melati mengibaskan tangan kanannya.
Kelihatannya pelan saja dan tanpa pengerahan tenaga. Tapi akibatnya
benar-benar menakjubkan! Tubuh lelaki bertubuh kekar itu melayang ke
belakang, seperti dihembus angin badai!
"Aaa...!"
Lelaki kekar itu menjerit ketakutan ketika mengetahui tubuhnya
melayang deras ke belakang. Dan sebelum jeritannya habis....
Srakkk! Brnkkk!
Tubuh lelaki kekar itu jatuh di tanah. Beberapa batang pohon
singkong langsung patah karena tertimpa.
"Uh...!"
Lelaki kekar itu mengeluh kesakitan ketika berusaha untuk bangkit.
Meskipun demikian, tindakan itu terus dipaksakannya. Akhirnya
tubuhnya berhasil melakukan hal itu, meskipun dengan susah payah.
"Sudah kuduga..., kalian berdua tak ubahnya dengan orang-orang
yang telah lebih dulu tiba! Pura-pura menanyakan sesuatu, lalu akhirnya
menyebar maut di desa ini!" rutuk lelaki kekar itu, geram.
Melati tersenyum sinis.
"Bisa kumaklumi kalau orang-orang yang lebih dulu datang dari
kami melakukan tindakan demikian! Mereka tidak salah! Kaulah yang
menjadi penyebabnya! Orang mana pun tentu akan marah apabila
mendapat perlakuan seperti yang kami terima!"
Melihat keadaan yang sudah mulai memanas itu, Aiya tidak bisa
tinggal diam. Buru-buru dia menyelak di antara Melati dan lelaki kekar
itu. Pemuda berambut putih keperakan itu bermaksud melerai.
"Tenang. Aku yakin ada kesalahpahaman di sini," ujar Arya
buru-buru karena takut didahului. "Percayalah, Kisanak! Kami tidaklah
sejahat yang kau sangka. Dan...."
"Asal kau tahu saja. Petani Busuk! Kawanku ini jauh lebih mulia
daripada dirimu! Apakah kau pernah menyelamatkan nyawa orang lain?
Tidak, kan? Nah! Dengar baik-baik, kawanku itu telah meyelamatkan
nyawa puluhan ribu orang! Pemah kau dengan julukan Dewa Arak?!"
selak Melati, berapi-api.
Wajah lelaki kasar itu langsung berubah pucat. Julukan Dewa Arak
yang disebutkan Melati-1 ah yang menjadi penyebabnya. Memang,
meskipun hanya seorang petani, dia pernah mendengar julukan itu
Menurut kabar yang sampai ke telinganya. Dewa Arak seorang pendekar
pembela kebenaran. Benarkah pemuda yang berdiri di hadapannya ini
tokoh yang mempunyai julukan demikian? Rasanya sulit untuk
dipercay a!
"Benarkah kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak?!" tanya lelaki
kekar tak yakin. Nada suaranya pelan, tidak kasar seperti sebelumnya.
Tidak ada pilihan lagi bagi Arya kecuali membenarkan pertanyaan
itu. Dengan senyum terkembang kepalanya mengangguk.
"Benar, Kisanak. Itulah julukan yang diberikan dunia persilatan
padaku. Sedangkan namaku Arya Buana. Panggil saja Arya. Sedangkan
kawanku ini Melati."
"Ah...! Kalau begitu, maalkan kelakuanku. Dewa Arak! Aku telah
salah menduga. Biasanya setiap orang yang menanyakan nama Bima
Seta, pasti merupakan konco-konconya," jelas lelaki kekar itu, membela
diri.
"Lupakanlah, Kisanak! Aku bisa memakluminya," jawab Arya,
bijaksana. "Bukan begitu. Melati?!"
Terpaksa Melati menganggukkan kepala, menyetujui pendapat
kekasihnya. Padahal, hatinya masih jengkel. Walaupun memang tidak
sebesar sebelumnya. Permintaan maaf lelaki kekar itu telah cukup
meredakan amarahnya.
"O, ya. Atas nama seluruh penduduk Desa Kalisari, aku, Saraka,
mengucapkan selamat datang di desa ini," lanjut lelaki kekar itu agak
terbata-bata.
"Terima kasih atas sambutanmu. Kang Saraka!" Arya merubah
panggilannya. "O, ya. Kurasa lebih baik kau panggil namaku saja.
Rasanya telingaku menjadi gatal mendengarnya."
Lelaki kekar yang bernama Saraka itu tersenyum mendengar ucapan
Arya, yang dikeluarkan sambil bergurau itu.
"Bagaimana, Kang Saraka?! Bisakah kau mem-eri keterangan atas
sikap bencimu terhadap Bima Seta?!" tanya Arya, mengalihkan
percakapan pada pokok permasalahan.
"Hhh...!" Saraka menghembuskan napas berat. "Ceritanya panj ang,
Arya. Aku khawatir kau tidak sabar mendengarkannya...."
"Ceritakanlah, Kang! Percayalah, aku akan sabar
mendengarkannya!" terdengar penuh keyakinan Arya memberikan
j awabanny a.
"Baiklah kalau memang itu yang kau inginkan, Arya," Saraka
terpaksa mengalah. "Sekarang dengarkan baik-baik."
Sampai dl sini, Saraka menghentikan ucapannya. Dan termenung,
memikirkan kata-kata yang tepat untuk memulai keterangannya. Arya
dan Melati menggunakan kesempatan itu untuk memusatkan perhatian
pada cerita Saraka.
***
"Sebenarnya Bima Seta bukan penduduk asli desa ini. Dia
merupakan pendatang dari tempat yang tidak kami ketahui secara jelas
di mana. Meskipun demikian, hal itu tidak kami permasalahkan.
Kehadiran Bima Seta dan maksudnya untuk tinggal di desa ini kami
sambut dengan tangan terbuka," ujar Saraka memulai ceritanya.
Dewa Arak dan Melati saling pandang sejenak. Meskipun demikian,
tidak ada ucapan yang mereka keluarkan.
"Rasa suka kami terhadap Bima Seta semakin mendalam karena dia
pandai bergaul. Hanya dalam waktu beberapa hari saja, seisi desa telah
menyukainya," Saraka kembali melanjutkan ceritanya. "Sekitar satu
minggu setelah kedatangan Bima Seta di desa kami, mulai bermunculan
beberapa orang yang menilik gerak-geriknya adalah tokoh-tokoh
persilatan. Baik secara berkelompok maupun perorangan mereka
berdatangan kemari."
Saraka menghentikan keterangannya untuk mengambil napas.
Ditelan air liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
"Sejak saat itu, kami mulai merasa tidak enak. Sebuah pertanyaan
pun muncul di benak para warga desa. Mengapa orang-orang kasar itu
berdatangan kemari. Saat itu kami belum merasa curiga terhadap Bima
Seta."
Untuk kesekian kalinya, Saraka menghentikan keterangannya.
"Perasaan curiga terhadap Bima Seta mulai muncul ketika kami
melihat adanya perubahan pada sikapnya. Bima Seta mulai memasang
jarak dengan penduduk desa. Sampai akhirnya, dia melakukan tindak
kekerasan. Merampok, membunuh, dan memperkosa para wanita. Yang
lebih gila lagi, tidak hanya gadis yang menjadi korbannya. Tapi juga
para wanita yang telah bersuami!"
"Apakah tidak ada perlawanan dari para penduduk desa ini. Kang?!
Guru silat desa ini, misalnya? Atau..., kepala desa?" tanya Arya,
menyelak.
"Tentu saja ada, Arya," jawab Saraka dengan suara mendesah.
"Guru silat desa ini bersama beberapa orang muridnya melakukan
perlawanan."
"Lalu..., hasilnya?!" kejar Arya lagi. Meskipun dari jawaban dan
sikap Saraka, bisa diperkirakan hasil perlawanan yang dilakukan
terhadap Bima Seta.
"Mereka semua tewas!" terasa jelas nada keluhan dalam ucapan
Saraka. "Bima Seta bukan orang sembarangan. Dia memiliki kepandaian
amat tinggi. Apalagi, dia tidak bertindak sendiri. Orang-orang kasar
yang berdatangan ke desa ini ternyata anak buahnya!"
"Heh...?! Mengapa bisa demikian. Kang?!" tanya Aiya, tanpa
menyembunyikan perasaan terkejutnya.
"Mereka satu gerombolan, Arya. Menurut kabar yang kami dengar,
Bima Seta dan pengikut-pengikutnya merupakan sisa-sisa perampok
yang telah dihancurkan pasukan kerajaan. Yang kusayangkan, mengapa
mereka memilih desa ini sebagai tempat pelarian...."
"Sekarang aku bisa mengerti mengapa kau bersikap kasar pada
kami," ujar Arya sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Terima kasih atas pengertianmu, Arya," ucap Saraka penuh
perasaan syukur. "Dan..., kalau kau tidak keberatan..., atas nama seluruh
penduduk Desa Jarak, kumohon kau bersedia melenyapkan keduijanaan
Bima Seta dan kelompoknya. Bagaimana, Arya?! Maukah kau
memenuhi permohonan kami?"
"Tentu saja. Kang. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk
melenyapkan keangkaramurkaan ini," janji Arya, mantap.
"Kang...," Melati yang sejak tadi berdiam diri, angkat bicara.
"Ada apa. Melati?" tanya Aiya sambil menolehkan kepala.
"Bukankah ada orang yang bermaksud membunuh Bima Seta?!
Apakah kau lupa?!"
"Aku yakin usaha itu akan gagal. Melati," dengan nada yakin Saraka
mendahului memberikan jawaban. "Telah banyak usaha seperti itu
dilakukan. Tapi hasilnya, sia-sia! Aku yakin, usaha pembunuhan itu
pasti gagal!"
"Kita lihat saja hasilnya. Kang," sambut Arya tak berani
memastikan. 'Tidak baik beiputus asa. Karena hal itu hanya akan
melenyapkan semangat. Dan...."
Ucapan Aiya terhenti ketika mendengar langkah kaki kuda.
Ditolehkan kepalanya untuk melihat tapal batas desa, tempat asal bunyi
itu. Melati dan Saraka pun melakukan tindakan serupa.
Tampak tiga ekor kuda tengah berjalan pelan memasuki jalan desa.
Masing-masing binatang itu membawa penunggang. Hanya saja ada
perbedaan yang mencolok di sana. Di punggung kuda coklat yang
diiringi dua pengawal tampak sesosok tubuh terkulai lemas dalam
keadaan tertelungkup.
Dewa Arak dan Melati yang memiliki pandangan tajam, sepintas
saja dapat mengetahui kalau sosok di punggung kuda coklat itu telah
tewas.
"Dua penunggang kuda hitam itu adalah anak-anak buah Bima Seta,
Arya," ujar Saraka dengan suara bergetar. "Birawa dan Sempani nama
mereka."
Arya dan Melati saling pandang.
"Lalu..., siapa orang yang tertelungkup di punggung kuda coklat itu.
Kang?!" tanya Arya. "Sepertinya dia telah tewas...."
"Benarkah itu, Aiya?!" tanya Saraka setengah tak percaya "Kalau
melihat pakaian yang dikenakan dan kuda tunggangannya, pasti Bima
Seta! Hanya Bima Seta yang mengenakan pakaian dan kuda berwarna
coklat."
"Berarti..., pembunuh itu telah berhasil melaksanakan tugasnya,"
tukas Melati.
"Benarkah itu?!" tanya Saraka masih tak percaya
"Mari kita buktikan kebenarannya!"
Setelah berkata demikian, Arya segera mengayunkan kaki,
menghampiri. Mau tidak mau, meskipun merasa gentar, Saraka ikut
serta. Itu pun setelah dilihatnya Melati melangkah mengikuti Dewa
Arak.
Tentu saja, kedatangan Dewa Arak bersama Melati dan Saraka
segera diketahui Birawa dan Sempani. Namun keduanya tak peduli,
terus menjalankan kuda mereka. Bahkan senyum mengejek tampak
tersungging di bihir mereka. Jelas, kedua orang kasar ini menganggap
rendah tiga sosok yang menghampiri mereka.
Karena kedua belah pihak sama-sama bergerak menghampiri,
dalam waktu singkat jarak mereka telah demikian dekat, sekitar tiga
tombak. Sampai di sini kedua belah pihak sama-sama menghentikan
langkah.
"Hih!"
Sempani melompat dari punggung kuda Lalu....
Srattt!
Sinar terang mencuat ketika pedangnya dicabut.
"Rupanya kalian ingin mencari penyakit, heh...?! Berani mencegat
peijalanan kami!" sem Sempani mengancam.
Dan sebelum gema ucapannya lenyap, Sempani langsung
melancarkan serangan. Saat itu hatinya masih dalam keadaan gusar dan
marah akibat amukan Utusan dari Akherat. Maka langsung saja
dilampiaskannya pada para penghadangnya.
Wuttt!
Sempani tidak bertindak setengah-setengah. Dalam serangan
pertama saja langsung dikirimkan serangan mematikan. Pedangnya
diluncurkan membabat tenggorokan! Dan yang menjadi sasaran pertama
adalah Dewa Arak!
Dewa Arak tetap bersikap tenang, meskipun melihat jelas adanya
ancaman maut terhadap dirinya. Tidak terlihat adanya gelagat kalau
pemuda berambut putih keperakan ini akan melakukan gerakan untuk
mengatasi serangan lawan.
Namun ketika ujung pedang Sempani hampir mengenai sasaran,
tiba-tiba Dewa Arak mengulurkan tangan. Sebuah gerakan yang sangat
cepat. Orang kasar seperti Sempani mana mampu melihat jelas tangan
Dewa Arak? Yang sempat dilihatnya hanya sekelebatan bayangan tak
jelas. Dan tahu-tahu .
Kreppp!
Batang pedang Sempani telah tercekal. Dan sebelum anak buah
Bima Seta itu sempat berbuat sesuatu. Dewa Arak telah lebih dulu
bertindak. Pemuda berambut putih keperakan itu memutarkan
tangannya.
Sempani kaget bukan kepalang ketika merasakan tubuhnya terbawa
putaran tangan lawan. Buru-buru dikerahkannya tenaga dalam untuk
melawan. Namun ternyata tenaga Dewa Arak terlalu kuat untuk bisa
ditahan. Karena Sempani tak mau melepaskan cekalan pada gagang
pedang hingga tubuhnya terbawa putaran tangan Dewa Arak.
Wuk! Wuk! Wuk!
Tubuh Sempani terputar di atas kepala Dewa Arak laksana
baling-baling.
"Aaah...!"
Tanpa sadar mulut Sempani mengeluarkan jeritan panjang.
Teriakan yang keluar karena perasaan ngeri dan kaget. Tubuhnya
terputar-putar di udara dengan kecepatan tinggi.
4
Sempani merasa tersiksa bukan kepalang. Apalagi ketika dirasakan
putaran itu semakin lama semakin cepat. Kepala mulai terasa pusing,
pandangannya pun berkunang-kunang. Karena semua yang dilihatnya
berputaran secara cepat.
Mula-mula hanya rasa pusing yang diderita Sempani. Namun sesaat
kemudian, rasa mual timbul. Semakin lama dirasakan perutnya bagaikan
dikocok-kocok dengan kuat. Sempani yakin sebentar lagi pasti akan
muntah-muntah.
Rupanya Dewa Arak pun menyadari kemungkinan teijadinya hal
seperti itu. Terbukti sebelum Sempani muntah-muntah, tangannya telah
lebih melepaskan cekalan pada mata pedang lawan.
Tubuh Sempani seketika terlontar dan melayang jauh. Jeritan
tertahan anak buah Bima Seta itu pertanda kengerian hatinya yang
mencekam di saat tubuhnya meluncur.
Entah di mana tubuh Sempani jatuh. Dewa Arak tak mempedulikan
lagi. Begitu tubuh anak buah Bima Seta itu dilepaskan, diayunkan
kakinya mendekati Birawa.
Karuan saja hal itu membuat Birawa merasakan jantungnya
berdetak lebih cepat. Dia sadar pemuda berambut putih keperakan itu
memiliki kemampuan luar biasa. Keberhasilannya merobohkan Sempani
dalam waktu yang demikian singkat dan dengan amat mudah itu, sebagai
bukti nyata yang tak dapat dibantah lagi!
Birawa buru-buru melompat dari punggung kuda. Lalu, tanpa
malu-malu lagi berlutut di depan Dewa Arak. Pedang yang tergantung di
punggung langsung dilemparkan begitu saja ke tanah.
"Ampun, Tuan Pendekar! Tobat...!" ucap Birawa memohon belas
kasihan.
Dewa Arak tidak menyahuti. Ditatapnya sekujur tubuh Birawa yang
berlutut tepat di depannya. Entah apa yang terkandung dalam benak
pendekar muda ini.
Dan sebelum Dewa Arak berhasil menemukan kata-kata yang akan
dikeluarkan, Saraka telah menyelak. Lelaki kekar itu langsung
mendekati Birawa.
"Manusia keji sepertimu tak layak dibiarkan hidup! Hih!"
Saraka mengayunkan goloknya yang terselip di pinggang, ke arah
leher Birawa. Nasib rekan Sempani ini sudah bisa diperkirakan apabila
golok itu mendarat di sasarannya.
Wuttt! Takkk!
"Akh!"
Singgg!
Renteten kejadiannya berlangsung demikian cepat sehingga sulit
untuk diikuti mata. Tahu-tahu, golok di tangan Saraka telah terlempar
jauh.
Hal itu terjadi karena campur tangan Dewa Arak. Di saat mata golok
hampir memenggal leher. Dewa Arak mengayunkan kaki kanan,
memapak mata golok Saraka. Dengan pengerahan tenaga dalam yang
dimiliki, kakinya tak kalah kuat dengan batang baja. Itulah sebabnya
benturan yang terjadi, menimbulkan bunyi seperti dua logam keras
berada
"Mengapa, Arya?! Mengapa kau mencegahku membunuhnya...?!"
tanya Saraka terbata-bata seraya menatap tajam wajah Dewa Arak.
Tarikan wajah dan sorot mata lelaki kekar ini menyiratkan
ketidakpercayaan yang dalam.
"Bukan merupakan tindakan ksatria membunuh lawan yang tak
mengadakan perlawanan. Kang!" sahut Dewa Arak dengan suara pelan,
tapi mengandung ketegasan. Seketika wajah Saraka merah padam
karena malu. Padahal, Dewa Arak telah memilih kalimat yang halus!
"Lalu..., apakah kita harus mengampuninya, Arya?!" tanya Saraka
lagi tanpa menyembunyikan rasa penasaran yang bergolak.
Dewa Arak tersenyum lebar.
"Semua itu kuserahkan pada kebijaksanaanmu. Kang. Kau dan
penduduk Desa Jarak yang lebih berhak untuk memutuskannya," jawab
Arya, bijaksana.
Saraka langsung diam. Jawaban Dewa Arak membuatnya merasa
puas. Perasaan kagum yang sudah bersemi terhadap pemuda berambut
putih keperakan itu pun semakin tumbuh subur. "Berita itu memang
tidak berlebihan. Dewa Arak ternyata seorang pendekar besar yang
dapat bertindak bijaksana," gumam lelaki kekar ini dalam hati.
"Kalau begitu..., atas nama penduduk Desa Jarak, kuucapkan terima
kasih atas bantuan yang kau berikan, Arya," ucap Saraka penuh rasa
syukur.
"Lupakanlah! O ya. Kang. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan
padanya."
"Silakan, Arya!"
Dewa Arak pun mengalihkan perhatiannya pada Birawa.
"Siapa yang telah membunuh Ki Bima Seta, Birawa?!" tanya Arya
penuh wibawa.
"Seorang tokoh yang berjuluk Utusan dari Akherat, Tuan
Pendekar," jawab lelaki berbibir tebal itu sambil mengangkat wajahnya.
"Utusan dari Akherat...?!"
Arya mengulang julukan yang disebutkan Birawa. Dahinya
berkemyit seakan-akan tengah memutar pikiran. Hal yang sama pun
dilakukan Melati. Keduanya merasa pernah mendengar julukan itu
Namun tidak ingat kapan dan di mana mereka menget ahuinya.
"Dia seorang pembunuh bayaran. Tuan Pendekar," lanjut Birawa,
seakan-akan mengetahui apa yang dipikirkan Dewa Arak.
"Ah...! Sekarang aku ingat! Ya! Aku juga pernah mendengarnya.
Seorang pembunuh bayaran! Kau tidak tahu siapa yang telah
menyewanya?!" tanya Arya, ingin tahu.
"Tidak, Tuan Pendekar," Birawa menggelengkan kepala. "Utusan
dari Akherat tak memberitahukannya."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. Jawaban seperti itu
memang sudah diduganya. Karena meskipun tak pemah berhubungan
dengan urusan seperti itu, dia tahu tak mungkin seorang pembunuh
bayaran memberitahukan siapa yang telah menyewanya.
"Cukup, Kang! Sekarang kuserahkan dia padamu."
"Terima kasih, Aiya. Aku akan membawanya ke balai desa. Seperti
katamu tadi, biar para penduduk yang akan menentukan hukuman
terhadapny a."
"Itu bagus," puji Arya, bernada gembira mendengar Saraka
menyetujui usulnya.
***
Penduduk Desa Jarak gempar mendengar kematian Ki Bima Seta.
Mereka langsung merayakannya. Mulai dari mulut desa, sampai di
depan setiap rumah terpasang hiasan dan umbul-umbul. Julukan Utusan
dari Akherat pun menjadi buah bibir. Setiap penduduk memuji-mujinya
setinggi langit Di sana-sini orang membicarakan kehebatan tokoh itu.
Tentu saja Dewa Arak pun mendapat pujian pula. Karena dialah
yang telah melumpuhkan perlawanan Birawa dan Sempani, dua orang
anak buah Ki Bima Seta. Sepasang pendekar muda berwajah elok ini pun
mendapat jamuan dan penghormatan dengan ditemani para sesepuh
Desa Jarak.
"Terima kasih atas bantuanmu. Dewa Arak. Bantuan yang kau
berikan tidak kecil artinya bagi kami. Tanpa bantuanmu, orang-orang
desa ini tidak akan hidup tenang. Aku sebagai Kepala Desa Jarak
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua
pertolongan mu," ucap seorang laki-laki setengah baya berpakai an putih.
Jenggot pendek yang telah memutih menghias bawah dagunya. Ki
Baijanala, namanya.
"Ah! Kau terlalu melebih-lebihkan, Ki. Tanpa bantuanku pun
sebenarnya Sempani dan Birawa akan dapat kalian lumpuhkan. Kepada
Utusan dari Akherat-lah seharusnya kalian berterima kasih," sahut Arya
merendah.
"Kau terlalu mengecilkan arti bantuanmu. Dewa Arak. Kalau tidak
karena mendengar julukanmu, tak akan mungkin sisa gerombolan Bima
Seta kabur dari sini," sebuah suara yang keluar dengan susah payah, ikut
campur. Pemilik suara itu seorang kakek kecil kurus berpakaian hijau.
Inilah sesepuh Desa Jarak, yang bernama Ki Kuncara.
"Apa yang dikatakan Ki Kuncara dan Ki Barjanala memang tidak
salah. Dewa Arak," tukas seorang lelaki bertubuh tegap, kekar, dan
bercambang lebat. "Apa pun alasanmu, tetap jasa yang kau sumbangkan
berarti besar. Memang, kelihatannya jasa yang dibuat Utusan dari
Akherat jauh lebih besar. Karena dia yang telah berhasil membunuh Ki
Bima Seta. Tapi ada yang kau lupakan. Utusan dari Akherat membunuh
Ki BimaSeta bukan karena keinginan menolong para penduduk Desa Ja¬
rak. Pembunuhan yang dilakukannya karena suruhan seseorang."
"Kau benar, Sembada!" ujar Ki Barjanala setengah terpekik.
"Berarti, orang yang menyuruh Utusan dari Akherat pun perlu
mendapatkan ucapan terima kasih. Sayang, kita tidak tahu di mana
mereka bertempat tinggal!"
"Kau benar, Ki Barjanala," puji Ki Kuncara dengan suara khasnya.
"Seharusnya mereka pun kita jamu di sini sebagai tanda terimakasih atas
tindakan yang telah mereka lakukan."
"Apa yang dikatakan Ki Kuncara, tepat sekali!" Melati ikut pula
menimpali karena merasa tidak enak berdiam diri tems. "Seharusnya
Utusan dari Akherat dan orang yang menyewanya bisa berada di sini
untuk merayakan pesta hancurnya kedurjanaan Bima Seta."
"Tidak mengapa, Nisanak. Keberadaan kalian untuk menemani
kami pun sudah cukup untuk membuat hati gembira. Siapa yang belum
pernah mendengar julukan Dewa Arak yang telah menggemparkan
dunia persilatan?! Eh silakan dicicipi hidangannya. Jangan
malu-malu...!"
Sambil berkata demikian. Kepala Desa Jarak itu mendahului
mengulurkan tangan, mengambil sepotong singkong goreng dan
memasukkan ke dalam mulutnya.
Tindakan Ki Baijanala langsung diikuti yang lainnya. Sehingga
sejenak pembicaraan terputus. Yang terdengar hanyalah suara kunyahan
mereka.
***
Hembusan angin sejuk menyibakkan rambut Aiya dan Melati, tapi
mereka tampak tak mempedulikan. Bahkan mereka seperti
menikmatinya. Beberapa kali mereka menarik napas dalam-dalam
sambil mengembangkan dada seakan ingin memasukkan udara segar itu
sebanyak -banyakny a.
Bumi persada makin diliputi suasana pagi ketika Dewa Arak dan
Melati meninggalkan Desa Jarak. Sang Surya yang muncul di ufitk timur
masih berupa bola raksasa merah menyala. Hembusan angin semilir
menghembuskan hawa sejuk, terasa nikmat di kulit
"Mengapa harus sepagi ini kita meninggalkan Desa J arak. Kang?!"
tanya Melati, seraya menarik tali kekang kuda. Wajahnya diarahkan
pada kekasihnya.
Terpaksa, Arya menghentikan langkah kudanya pula. Memang,
kedua pendekar muda itu kini sama-sama menunggangi kuda. Kuda
hitam yang sebenarnya dimiliki Sempani dan Birawa. Ki Barjanala yang
membelikannya.
Padahal Dewa Arak dan Melati bersikeras untuk menolak. Namun,
Kepala Desa Jarak itu tetap tak berubah dengan keputusannya. Terpaksa
pasangan pendekar muda ini menerima. Kuda-kuda hitam itu pun
berganti pemilik. Sedangkan pemilik mereka sebelumnya, Sempani dan
Birawa telah tewas di tangan penduduk Desa Jarak.
Kedua anak buah Bima Seta itu tewas secara mengerikan. Betapa
tidak? Mereka digantung! Lalu, setiap penduduk melempari tubuh
mereka dengan batu. Masing-masing orang sekali!
Dewa Arak dan Melati tidak sampai hati melihatnya. Namun,
mereka tak mencampurinya, karena hukuman demikian sudah menjadi
adat di tempat itu. Birawa dan Sempani memang pantas untuk mendapat
hukuman. Tindak kekejian yang mereka lakukan telah melampaui batas.
Melati mengerutkan alis ketika melihat Dewa Arak tidak menjawab
pertanyaannya. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya diam
termenung.
"Kang...!" sapa Melati lagi dengan nada sedikit disentakkan.
"Eh, apa.... Nggg.. ya..., bukankah kau menanyakan sebab
kepergian kita yang demikian cepat?!" sahut Dewa Arak menggeragap.
"Benar, Kang," Melati menganggukkan kepala. "Apakah ini ada
hubungannya dengan Utusan dari Akherat?!"
"Hhh...!" Arya menghela napas seraya menggeleng-gelengkan
kepala. "Kau terlalu cerdik. Melati. Tidak ada satu rahasia pun yang
dapat kusembunyikan apabila kau berada di dekatku."
"Gombal!" sergah Melati, berpura-pura tak senang dengan
memasang muka merengut. Namun, sepasang matanya yang
berbinar-binar telah menjadi bukti nyata kalau gadis berpakaian putih itu
merasa gembira. Siapa sih yang tidak senang mendapat pujian dari orang
yang dicintainya?
"Ha ha ha...!"
Dewa Arak tertawa bergelak, melihat sikap kekasihnya. Tapi hanya
sebentar saja hal itu dilakukannya. Sesaat kemudian, raut wajahnya
menyiratkan kesungguhan.
"Memang, aku mempunyai sebuah dugaan. Seperti yang kau terka,
ini ada hubungannya dengan Utusan dari Akherat. Hhh..., aku belum
yakin akan kebenarannya!" ujar Arya, tanpa menoleh pada wajah Melati.
"Katakanlah, Kang! Aku ingin mendengarnya," sambut Melati tak
sabar.
Dewa Arak hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat
ketidaksabaran kekasihnya. Telah diketahuinya betul kalau Melati
memang memiliki watak keras.
"Begini, Melati," Aiya mulai memberi penjelasan. "Ada beberapa
hal yang membuatku menaruh curiga sehubungan dengan kematian
Bima Seta di tangan Utusan dari Akherat. Kau tahu kan mengapa Utusan
dari Akherat membunuh Bima Seta?!"
"Hm...," Melati menganggukkan kepala seraya menatap wajah
Dewa Arak. "Menurut pendapatku orang itu tidak punya tujuan, kecuali
imbalan yang didapatnya."
"Tepat! Sekarang menurut dugaanmu siapa atau pihak manakah
yang telah menyewa Utusan dari Akherat?!" tanya Dewa Arak, kali ini
wajahnya menoleh ke waj ah kekasihnya.
Melati tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Wajahnya tampak
tercenung. Otaknya diputar berusaha mencari jawaban atas pertanyaan
itu.
"Kalau kau tanyakan orangnya..., rasanya sulit bagiku untuk
menduganya. Kang. Tapi, kalau pihak mana, aku bisa menjawabnya.
Dugaanku kuat, bahwa pihak itu berasal dari Desa Jarak."
"Hhh...! Aku pun menduga demikian. T api, mengapa tak satu pun di
antara mereka yang mengakui sebagai penyewa Utusan dari Akherat?!"
untuk yang kesekian kalinya Dewa Arak melontarkan pertanyaan itu.
"Malah sepertinya tidak ada satu pun yang teringat pada si penyewa
itu. Kang. Semua puji-pujian dan ucapan terima kasih ditujukan pada
Utusan dari Akherat. Ki Baijanala dan Ki Kuncara pun berpendapat
demikian," sambung Melati.
"Tapi ada satu orang yang mengingatnya. Melati," timpal Aiya lagi.
"Dan orang itu Sembada. Kau ingat?!"
"Ya. Aku ingat. Kang! Dia menyebut-nyebut mengenai orang yang
menyewa Utusan dari Akherat. Jadi..., diakah orang yang telah menyewa
Utusan dari Akherat, Kang?!"
"Aku belum berani memastikan. Melati. Ada hal-hal yang
mencurigakan di sini. Sekarang mari kita membahasnya sambil
meneruskan perjalanan!" ajak Arya sambil menghentakkan tali kekang
kudanya perlahan.
Seketika pula kuda hitam itu melangkah. Melihat hal ini Melati pun
melakukan tindakan yang sama.
"Menurut akal sehat," ujar Arya lagi menyambung ucapan
sebelumnya. "Penyewa Utusan dari Akherat tak lain orang dari Desa
Jarak. Kita kesampingkan dulu dugaan kita terhadap penyewa yang
beras adati luar. Kurasa, kemungkinannya kecil sekali."
Melati mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya hatinya
menerima pendapat Dewa Arak.
"Nah! Sekarang pertanyaannya adalah, mengapa si penyewa Utusan
dari Akherat itu tak mau menonjolkan diri. Aku yakin, dia tahu
penghormatan yang akan diterima, kalau orang itu mau menonjolkan
dirinya. Masalahnya, lupanya semua penduduk Desa Jarak atas jasa yang
diberikan penyewa itu, tak dapat disalahkan. Mereka semua terlalu
gembira, sehingga belum sempat terpikir kalau sebenarnya yang
mempunyai jasa besar atas tewasnya Bima Seta adalah si penyewa. Hal
itu teijadi karena kesalahan si penyewa sendiri yang tak
memberitahukanny a."
Dewa Arak menghentikan ucapannya sebentar untuk menarik napas
dan mencari kata-kata yang tepat sebagai pelanjut uraiannya.
"Bisa dimaklumi kalau penduduk Desa Jarak lupa akan jasa
penyewa. Aku sendiri sama sekali tidak ingat akan hal itu. Yang ada di
benakku bahwa Utusan dari Akherat pembunuh Bima Seta. Tidak
terpikirkan akan hal lainnya. Aku baru teringat ketika Sembada
mengatakannya. Dan saat itu pula aku merasakan adanya kejanggalan
dalam masalah ini. Itulah sebabnya, kuputuskan untuk berpura-pura
meninggalkan Desa Jarak."
"Jadi..., kau tidak sungguh-sungguh bermaksud meninggalkan Desa
Jarak, Kang?!" tanya Melati, setengah tak percaya.
Arya menganggukkan kepala.
"Ah...! Aku mengerti. Kang...! Kau bertindak demikian, pasti
karena ingin menimbulkan kesan pada penyewa Utusan dari Akherat
bahwa kau telah meninggalkan Desa Jarak. Dengan demikian, terbuka
kesempatan bagi penyewa Utusan dari Akherat untuk melanjutkan
tindakannya apabila hal itu memang akan dilakukan. Bukan begitu.
Kang?!" terka Melati.
"Tepat, Melati. Memang demikian, maksudku," 'sahut Arya,
membenarkan. "Aku yakin, apabila kita tetap berada di sana, penyewa
Utusan dari Akherat merasa akan terganggu untuk melakukan tindakan.
Tentu saja, kalau orang itu hendak melakukan tindakan lanjutan."
"Dengan kata lain, penyewa Utusan dari Akherat itu mempunyai
maksud tidak baik. Kang?!" celetuk Melati mencari kepastian.
"Aku tak mengatakan demikian. Melati," sahut Arya. "Hanya saja
tindakan yang dilakukan menumbuhkan rasa curigaku. Yang jelas, kalau
tidak ada sebab atau akibatnya, hhh.. kurasa janggal harus
menyembunyikan tindak kebaikannya."
"Bagaimana kalau penyewa Utusan dari Akherat itu tidak
mempunyai pamrih apa pun dalam perbuatannya. Kang?!" Melati
mengajukan dugaan la-innya. "Yah.anggaplah seperti yang kita
lakukan selama ini...!"
"Apa yang kau katakan memang tidak bisa kusangkal. Melati. Terus
terang, aku pun berharap demikian. Tapi, tidak ada salahnya toh, kalau
kita bersikap waspada. Entah mengapa, aku tetap merasa ada sesuatu di
balik ini. Setidak-tidaknya ada maksud terselubung. Kalau tidak, untuk
apa penyewa Utusan dari Akherat itu menyembunyikan diri?!"
Melati kontan terdiam. Disadari ada kebenaran dalam ucapan
kekasihnya. Demikian pula dengan Dewa Arak. Matanya menatap jauh
ke depan, seperti ada sesuatu yang tengah dipikirkan dalam benaknya.
"Apakah kau mempunyai dugaan, siapa orangnya yang telah
menyewa Utusan dari Akherat, Kang?!" tanya Melati kemudian, setelah
keduanya diam sesaat
"Hhh...!" Arya menghela napas dalam-dalam lalu dihembuskannya.
"Sebenarnya memang sudah. Tapi, aku masih belum yakin Bila dipikir
dari satu sisi, rasanya dugaanku tidak salah. Tapi bila diperhitungkan
dari sisi lainnya, aku merasa tidak yakin dengan dugaanku...."
Melati mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk indah.
"Mengapa kau masih ragu, Kang?! Aku yakin dugaanmu tidak
salah!"
"Mengapa kau demikian yakin. Melati? Kau tahu orang yang
kucurigai?!" tanya Arya. Ada saiyum dingin tersunggjng di bibirnya
yang tipis itu.
"Tentu saja!" jawab Melati, yakin "Bukankah orang yang kau
curigai adalah Sembada?!"
Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda membenarkan tebakan
Melati. Meskipun demikian tak tampak ada keterkejutan pada wajahnya.
Memang, Arya sudah dapat memperkirakan jawaban yang akan
diberikan kekasihnya.
"Nah! Kalau begitu..., apa lagi yang membuatmu ragu...?!" kejar
Melati, penasaran.
"Kau yakin kalau orang yang menyewa Utusan dari Akherat adalah
Sembada, Melati?" Aiya malah balas mengajukan pertanyaan.
"Tentu saja!" sahut Melati tegas.
"Dari mana kau mengambil kesimpulan seperti itu?i Atas dasar
ucapannya?!"
"Benar, Kang!" jawab Melati sambil menganggukkan kepala.
"Kalau kau sendiri, bagaimana?"
Dewa Arak tak segera menjawab pertanyaan itu. Pemuda berambut
putih keperakan itu hanya termenung. Dahinya berkernyit dalam
seakan-akan tengah ada yang dipikirkan.
"Aku juga menaruh kecurigaan pada Sembada, Melati. Dan dasar
kecurigaanku pun sama denganmu. Yaitu berdasarkan ucapannya. Tapi,
justm itulah yang membuatku merasa tak yakin dengan dugaan semula.
"Aku tak mengerti maksudmu. Kang?! Katakan saja dengan jelas,
jangan berputar-putar sepert itu!" sergah Melati, karena bingung
mendengar penj elasan Dewa Arak yang dianggapnya kurang gambling.
"Bagini, Melati," ucap Arya setelah tercenung sejenak. "Menurut
perhitungan, rasanya aneh kalau Sambada pelakunya, ucapan seperti itu
dikeluarkannya. Padahal, bukankah penyewa itu bermaksud
menyembunyikan diri? Mengapa mengeluarkan pernyataan seperti itu.
Aku rasa Sembada tak terlalu bodoh untuk mengetahui kalau ucapan
yang dikeluarkannya bisa mengundang kecurigaan orang lain terhadap
dirinya."
Melati tercenung dengan dahi berkemyit dalam. Gadis berpakaian
putih ini merasakan adanya kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam
pernyataan Dewa Arak. Ya! Mengapa Sembada mengeluarkan ucapan
seperti itu, kalau dia penyewa Utusan dari Akherat? Bukankah
perbuatannya tidak ingin diketahui orang?
Cukup lama Melati bersikap seperti itu. Terlihat Jelas kalau dia
telah berpikir. Tentu saja, semua tindak tanduk gadis itu tak lepas dari
pandangan Dewa Arak. Namun, pemuda berambut putih keperakan itu
membiarkan saja. Dia ingin melihat kelanjutan tanggapan kekasihnya.
"Itukah yang menyebabkanmu merasa ragu menuduh Sembada
sebagai penyewa Utusan dari Akherat, Kang?!" tanya Melati.
Dewa Arak tersenyum simpul dan menganggukkan kepala.
"Lalu..., kalau kau berpendapat demikian, mengapa tetap
mencurigainya sebagai penyewa Utusan dari Akherat, Kang?!" desak
Melati, penuh semangat.
"Ada alasan lainnya. Melati," jawab Arya. "Aku mempunyai dugaan
kalau Sembada mengeluarkan pernyataan itu tanpa sengaja. Atas dasar
itulah kecurigaanku terhadapnya tidak kuhilangkan."
Melati mengangguk-anggukkan kepala. Tak ada senyum
tersungging di wajahnya. Namun, tampaknya gadis cantik itu
memaklumi kebenaran Dewa Arak.
"Hanya usaha dan waktu yang dapat menjawabnya. Melati," ujar
Arya kemudian.
Melati kembali mengangguk-anggukkan kepala.
"Kapan kau akan mulai menyelidikinya. Kang?!"
"Nanti malam, Melati Kita selidiki Desa Jarak secara
sembunyi-sembunyi. Kau siap?!"
"Tak usah menanyakan hal itu. Kang!" jawab Melati penuh
semangat
"Ha ha ha...!"
Dewa Arak hanya tertawa mendeng ar jawaban itu.
5
Wusss!
Angin malam berhembus kencang meniup hawa dingin. Keadaan
cuaca tampak kurang menguntungkan. Di langit awan hitam
berarak-arak membuat sinar sang Dewi Malam terhalang. Bumi persada
pun tampak redup tanpa cahaya.
Semakin lama angin yang berhembus semakin keras dan dingin
Hujan pun tampaknya akan segera turun. Suasana malam yang telah
larut, kian sunyi dan sepi.
Di tengah suasana malam yang dingin dan tanpa cahaya bulan itu,
tampak sesosok bayangan hitam melesat cepat memasuki Desa Jarak.
Laksana hantu jahat yang sedang memburu mangsa, gerak-geriknya
tampak begitu terburu-buru.
Namun, bayangan hitam itu ternyata sosok seorang manusia.
Terbukti kedua kakinya menapak di tanah ketika menghentikan gerakan
di balik pagar tembok sebuah bangunan cukup megah yang memiliki
halaman luas.
Hanya sebentar saja sosok berpakaian hitam itu berdiam diri. Sesaat
kemudian kakinya digenjotkan. Seketika itu pula tubuhnya melenting ke
atas, melompati batas atas tembok Lalu....
■Jliggg!
Hampir tak terdengar di telinga, ketika sepasang kaki sosok
berpakaian hitam itu mendarat di tanah.
Sekilas sosok berpakaian hitam itu menoleh ke kanan dan ke kiri.
Seakan-akan khawatir kalau kehadirannya akan diketahui orang lain.
Setelah merasa yakin tak ada yang melihat, sosok berpakaian hitam
itu melesat cepat, menuju bangunan megah di hadapannya. Hanya
dengan beberapa kali lesatan, tubuhnya telah berada di dekat pintu
bangunan.
Untuk yang kedua kalinya sosok berpakaian hitam itu
menghentikan gerakan. Api obor yang terpancang pada dinding depan
rumah itu menerpa tubuhmu yang berpakaian serba hitam.
Sosok berpakaian hitam itu memiliki tubuh tinggi kurus. Wajahnya
tampak kurang jelas, karena tertutup selubung kain hitam. Hanya
sepasang matanya yang tampak dari dua lubang pada kain selubung
kepala. Sosok lelaki itu ternyata Utusan dari Akherat
Sejenak sepasang matanya menatap tajam daun pintu. Seperti ada
sesuatu yang tengah dipikirkan. Namun sesaat kemudian Utusan dari
Akherat menghentakkan keras telapak tangan kanannya ke depan.
Wusss!
.Segulung angin dahsyat keluar dari telapak tangan kanan Utusan
dari Akherat, meluncur menuju daun pintu. Dan....
Brakkk!
Suara berderak keras terdengar memekakkan telinga. Angin
pukulan Utusan dari Akherat ternyata mampu menghancurkan daun
pintu yang terbuat dari kayu jari tebal itu.
Tanpa membuang-buang waktu Utusan dari Akherat langsung
melesat ke dalam. Pada saat yang bersamaan, dari dalam sebuah kamar
muncul sesosok tubuh berpakaian putih, yang ternyata Ki Barjanala.
Kepala Desa Jarak itu tampaknya terjaga dari tidurnya karena
mendengar dobrakan pintu rumah.
Saat itu, Ki Baijanala memang telah mulai menempati bangunan
yang semula ditempati Ki Bima Seta dan gerombolannya. Hanya saja
malam itu Ki Barjanala masih menempati sendiri. Kedua orang anaknya,
belum ikut pindah ke tempat tinggal yang baru itu.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya Ki Barjanala ketika melihat
sosok berpakaian hitam telah berdiri tegak di hadapannya.
"Siapa kau?!"
Sambil mengajukan pertanyaan, Ki Barjanala langsung memasang
sikap waspada Dia sudah dapat menduga kalau sosok yang berdiri di
hadapannya ini, tidak bermaksud baik! Cara datang dan pakaian yanag
dikenakannya menggambarkan bagaimana jiwanya saat itu.
"Kudengar kau ingin memberikan penghormatan padaku atas
pembunuhan terhadap Ki Bima Seta, Baijanala?!" tanya Utusan dari
Akherat tanpa mempedulikan pertanyaan yang ditujukan terhadap
dirinya.
"Penghormatan...? Membunuh Ki Bima Seta...?! Jadi...,
maksudmu.... Kau adalah...," sahut Ki Barjanala dengan suara
menggeragap karena perasaan takut, terkejut, dan keheranan.
"Benar," sambung Utusan dari Akherat, seperti tahu ucapan Kepala
Desa Jarak itu selanjutnya. "Hhh.., akulah Utusan dari Akherat!"
Ki Baijanala menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya
yang mendadak kering dan terasa getir. Sama sekali tak disangka kalau
sosok yang beijuluk Utusan dari Akherat demikian angker seperti
julukannya.
Tapi yang membuat Ki Baijanala merasa tegang, bukan penampilan
pembunuh bayaran itu. Sikap Utusan dari Akherat yang
menyebabkannya merasa ngeri! Utusan dari Akherat sedikit pun tak mau
menunjukkan perasaan bersahabat. Ataukah si pembunuh bayaran itu
hendak membantai kepala desa itu, seperti yang dilakukannya terhadap
Ki Bima Seta?!
Meskipun telah menduga demikian, Ki Barjanala tak ingin
bertindak gegabah. Hal itu karena dirinya belum mengetahui secara pasti
maksud kedatangan Utusan dari Akherat. Oleh karena itu, diputuskan
untuk berpura-pura tidak tahu.
"Ah...! Kalau demikian, atas nama seluruh penduduk Desa Jarak,
kuucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Silakan duduk. Utusan
dari Akherat!" ujar Ki Barjanala, berusah a bersikap ramah
"Simpan saja semua keramahtamahanmu, Barjanala!" sergah
Utusan dari Akherat, keras. "Aku datang bukan untuk
berbincang-bincang denganmu! Lebih baik kau bersiap-siap, agar tak
mati sia-sia!"
"Ap..., apa maksudmu. Utusan dari Akherat?!" Ki Baijanala masih
mencoba untuk berpura-pura.
"Aku datang untuk membunuhmu, Barjanala! Baik kau melawan
atau tidak, bagiku sama saja. Karena tetap akan kubunuh! Bersiaplah,
Baijanala! Aku akan memulainya!"
***
Kini Ki Baijanala sadar, tak ada gunanya lagi berpura-pura. Maka
diputuskan untuk melakukan perlawanan. Dia tak ingin mati percuma!
maka....
Srattt!
Ki Barjanala menghunus keris yang terselip di pinggang belakang.
Sebuah keris berkeluk tujuh, berwarna hitam pekat!
"Ha ha ha...! Begitu lebih baik, Baijanala!" ujar Utusan dari
Akherat, seraya tertawa mengejek. "Dengan demikian kau tak akan mati
penasaran!"
"Tutup mulutmu. Manusia Busuk!" bentak Ki Baijanala keras.
Lalu....
"Hih!"
Didahului gertakan gigi, Ki Baijanala langsung melancarkan
serangan dengan kerisnya. Senjata yang sarat dengan pamor itu,
ditusukkan lurus ke perut Utusan dari Akherari!
Wuttt!
Deru angin keras terdengar, seiring dengan meluncurnya serangan
itu.
Namun, Utusan dari Akherat tampak tetap bersikap tenang. Tak
tampak adanya gelagat kalau dia akan melakukan tindakan
penyelamatan diri, baik mengelak ataupun menangkis!
Melihat sikap Utusan dari Akherat, Ki Barjanala merasa terkejut,
sekaligus gembira. Apa pembunuh bayaran itu sudah gila? Kalau tidak
mengapa dibiarkannya serangan dahsyat itu.
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak Ki Barjanala. Meskipun
demikian, tak menghambat serangannya. Bahkan kepala desa itu
langsung mengerahkan seluruh tenaganya. Hal itu karena dia ingin
urusannya cepat selesai.
Ternyata Utusan dari Akherat benar-benar tak melakukan tindakan
apa pun terhadap serangan Ki Barjanala.
"Hiaaa...!"
Tukkk!
Keris di tangan Ki Baijanala mendarat telak di perut lawan. Namun
kepala desa itu tersentak kaget Matanya terbelalak, seakan-akan tak
percaya dengan apa yang dilihatnya. Keris itu patah!
Belum hilang rasa heran dan keterkejutan Ki Barjanala, tiba-tiba....
Cappp!
"Aaakh...!"
Pekik kematian dari mulut Ki Baijanala terdengar memecah
kesunyian malam itu. Tubuh Kepala Desa Jarak itu terhuyung-huyung
ke belakang. Pada ubun-ubunnya tertancap sebilah pisau bergagang
ukiran kepala tengkorak.
Dalam kecepatan yang sulit dilihat mata biasa. Utusan dari Akherat
berhasil menancapkan senjata khasnya. Darah segar mengalir deras dari
kepala Ki Baijanala yang tertancap pisau.
Brukkk!
Setelah terhuyung-huyung beberapa saat lamanya, tubuh Ki
Baijanala ambruk. Tanpa menggelepar-gelepar lelaki berpakaian putih
yang telah berlumuran darah itu tewas.
"Hmh!" dengus Utusan dari Akherat penuh hinaan. Ditatapnya
tubuh Ki Barjanala yang terkapar di atas lantai tempat tinggal batunya.
Sesaat kemudian lelaki berselubung kepala itu membalikkan tubuhnya.
Namun dengan cepat Utusan dari Akherat langsung memasang
kuda-kuda. Sikapnya tampak penuh kewaspadaan. Jelas, ada sesuatu
yang telah membuat hatinya curiga, hingga harus bersikap seperti itu.
Matanya yang tajam jelalatan ke sana kemari, mengawasi sekitar
mangan bangunan itu.
Dugaan itu ternyata tidak salah! Sesosok bayangan putih tiba-tiba
telah berdiri menghadang di ambang pintu. Dengan sendirinya, jalan
kabur pembunuh bayaran ini telah tertutup.
"Mau ke mana kau. Pembunuh Terkutuk?! Jangan harap dapat lolos
dari tanganku!" tanya sosok bayangan putih yang ternyata seorang gadis.
Tubuhnya yang ramping terbalut pakaian putih. Gadis berambut panjang
tergerai itu ternyata Melati.
Utusan dari Akherat tak langsung menjawab pertanyaan Melati.
Matanya yang tajam menatapi tubuh gadis berpakaian putih itu.
Diam-diam hatinya menyadari kalau calon lawan kali ini tak bisa
dianggap remeh. Gadis cantik itu tak dapat disamakan dengan Ki
Baijanala. Hal ini bisa diketahuinya dari tindakan kaki lawan yang
demikian halus. Bahkan hampir tak tertangkap oleh pendengaran yang
telah terlatih baik sekalipun!
"Lebih baik, urungkan niatmu, Nisanak! Kukatakan, aku tak punya
urusan denganmu! Jangan kau membuatku harus membunuh seorang
gadis cantik seperti kau! Menyingkirlah cepat! Beri aku jalan!"
"Jangan banyak bicara. Utusan dari Akherat!" sahut Melati sengit
"Aku tak akan menyingkir dari sini. Kecuali kalau kau telah menjadi
mayat! Hih!"
Seraya menggertakkan gigi. Melati melompat, menerjang Utusan
dari Akherat Gadis berpakaian putih ini membuka serangan dengan
sebuah kibasan kaki kanan yang dilakukan sambil membalikkan tubuh.
Wuttt!
Deru angin keras yang mengiringi tibanya serangan Melati
membuktikan betapa kuat tenaga yang dikerahkannya.
Hal itu pun diketahui lawan. Namun tampaknya sedikit pun Utusan
dari Akherat tak merasa gentar Kemudian tanpa ragu-ragu dipapakinya
serangan Melati, juga dengan tendangan yang sama. Sehingga...
Plakkk!
Bunyi keras terdengar, ketika kedua kaki yang sama-sama dialiri
tenaga dalam kuat itu saling mem-bentur Melati terdorong ke belakang
dengan tubuh berputar. Kemudian, tampak terhuyung-huyung beberapa
langkah. Dirasakan sakit yang hebat melanda kakinya yang berbenturan.
Di saat Melati belum sempat memperbaiki kedudukan, tiba-tiba
Utusan dari Akherat melancarkan serangan balasan. Tangannya
dikibaskan!
Singgg!
Diiringi bunyi berdesing nyaring, sebatang pisau kecil bergagang
kepala tengkorak melesat membum Melati.
Melati sadar akan adanya maut yang mengancam jiwanya. Gadis
berpakaian putih itu segera melakukan tindakan untuk mengatasi
serangan maut itu Dengan gerakan yang hanya dapat dilakukan tokoh
berilmu meringankan tubuh tinggi. Melati menjejakkan kaki.
Dan, tindakan itulah yang menyelamatkan nyawa Melati. Jejakan
itu membuat tubuhnya melesat ke atas. Sehingga pisau yang
dilemparkan Utusan dari Akherat hanya mengenai angin.
Utusan dari Akherat menggeram murka melihat kegagalan
serangannya. Tanpa memberi kesempatan pada Melati untuk
memperbaiki kedudukan, segera dikirimkan serangan susulan. Tentu
saja dengan kedahsyatan melebihi serangan sebelumnya.
Serbuan Utusan dari Akherat disambut baik oleh Melati.
Pertarungan sengit pun tak dapat dielakkan lagi. Baik Utusan dari
Akherat maupun Melati tak ragu-ragu untuk mengerahkan seluruh ke¬
mampuan yang dimiliki.
Keduanya langsung mengeluarkan ilmu andalan masing-masing.
Melati mengeluarkan ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya. Sedangkan
Utusan dari Akherat menggunakan ilmu 'Jari Sakti'.
Ternyata ilmu 'Jari Sakti' milik Utusan dari Akherat tidak kalah
dahsyat dibandingkan 'Cakar Naga Merah' yang dikuasai Melati. Bunyi
berdesingan nyaring selalu terdengar, setiap kali kedua tangan
pembunuh misterius itu bergerak.
Memang tak berlebihan kalau ilmu andalan milik Utusan dari
Akherat itu bernama 'Jari Sakti' Ilmu itu sangat dahsyat dan
menggiriskan. Dalam pengerahan ilmunya. Utusan dari Akherat
kadang-kadang hanya menggunakan satu jari. Tapi tak jarang dua,
empat, atau semua j ari tangannya.
Yang sangat menakjubkan, jangankan sampai terkena langsung,
angin serangannya saja sudah cukup mengoyak pakaian sekaligus kulit
tubuh. Betapa dahsyat ilmu 'Jari Sakti' milik Utusan dari Akherat.
Akibat dari penggunaan ilmu yang sama-sama hebat ini memang
luar biasa. Bunyi berdesing, mengaung dan mendem selalu terdengar
setiap kali kedua belah pihak menggerakkan tangan atau kaki
Jurus demi jums berlangsung cepat. Tak terasa pertarungan telah
berlangsung dua puluh lima jurus. Dan selama itu. Melati tampak
terus-menerus terdesak. Kenyataan itu tak mengherankan, karena
tampaknya Utusan dari Akherat memiliki keunggulan-keunggulan
dibanding Melati. Tidak hanya di bidang tenaga dalam, tapi juga ilmu
meringankan tubuh. Dengan dua keunggulan inilah, pembunuh bayaran
itu mampu menekan serangan lawan.
Semakin lama keadaan Melati semakin mengkhawatirkan.
Beberapa kali tubuhnya terhuyung-huyung, ketika harus menangkis
serangan dahsyat lawan. Namun tampaknya gadis cantik berpakaian
putih itu tak ingin mati percuma. Sehingga dengan seluruh kemampuan
yang dimiliki, dirinya tetap mengadakan perlawanan.
Menginjak jurus keempat puluh tiga, keadaan Melati semakin
gawat. Serangan-sereangan yang dilakukannya semakin mengendur.
Menangkis pun hanya dapat sesekali dilakukannya. Gadis itu lebih
sering banyak bergerak untuk mengelak. Tindakan inilah yang
menyebabkan dirinya semakin terdesak hebat.
Kalau keadaan tidak berubah. Utusan dari Akherat jelas akan
mampu keluar sebagai pemenang. Karena Melati sama sekali tak mampu
lagi melancarkan serangan yang berarti.
Prattt!
"Hih...!"
Untuk yang kesekian kalinya. Melati terpaksa menangkis serangan
lawan. Seperti pada kejadian sebelumnya, gadis berpakaian putih itu
sangat kewalahan. Malah kali ini lebih parah dari sebelumnya. Tubuh
Melati terjengkang, karena saat itu Melati berada dalam kedudukan yang
tidak menguntungkan.
Ketika itulah. Utusan dari Akherat langsung melancarkan serangan
susulan. Bagai harimau lapar menerkam mangsa, lelaki berpakaian serba
hitam itu melesat menerjang Melati. Jemari tangannya terkembang
membentuk cakar. Keduanya mengincar dada Melati.
"Ah!"
Jeritan karena perasaan kaget, keluar dari mulut Melati. Matanya
yang tajam menatap nanar cakar Utusan dari Akherat yang siap
merenggutnya. Kegentaran menyelimuti perasaan gadis itu, karena
disadarinya malaikat maut seakan-akan telah berada di depannya.
Apalagi tubuhnya kini tengah berada di udara, mengelak dari serangan
lawan.
Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah menangkis.
Namun, rasanya tindakan itu sangat sulit dilakukan. Hal itu karena kedua
tangannya masih dirasakan sakit akibat menangkis serangan Utusan dari
Akherat.
Namun ketika keadaan gawat tengah mengancam keselamatan
Melati, tiba-tiba sesosok bayangan ungu melesat ke tempat pertarungan.
Begitu cepat sosok bayangan itu memapak serangan Utusan dari
Akherat.
Karuan saja hal itu membuat Utusan dari Akhriat terkejut.
Meskipun demikian tetap diteruskan serangannya. Maka....
Prattt! Prattt!
Bunyi keras terdengar seperti logam-logam keras dibenturkan.
Sesaat kemudian tubuh Utusan dari Akherat dan sosok bayangan ungu
itu langsung terlempar ke belakang. Namun, dengan gerakan yang indah
dan ringan, kedua belah pihak berhasil mengatasinya. Lalu mendarat di
tanah.
"Kau tidak apa-apa. Melati?" tanya sosok buangan ungu itu pada
Melati yang telah berhasil berdiri dengan kedua kakinya.
"Tidak, Kang."
Sambil tersenyum manis. Melati menjawab pertanyaan sosok
bayangan ungu yang ternyata Arya alias Dewa Arak.
Hanya sesaat Dewa Arak memperhatikan keadaan kekasihnya.
Namun kesempatan pendek itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh
Utusan dari Akherat.
"Hey! Jangan lari...!" seru Dewa Arak seraya mengejar, ketika
dilihatnya lelaki berpakaian dan berselubung kepal a hitam itu melesat
meninggalkan tempat pertarung an.
Tentu saja tindakan Dewa Arak membuat Utusan dari Akherat
merasa khawatir. Buru-buru tangannya dimasukkan ke balik baju,
kemudian di keluarkannya kembali. Semua itu dilakukannya tanpa
mengendurkan kecepatan lari.
"Aku tak punya urusan denganmu, selamat tinggal...! Hih!"
Sambil berkata begitu. Utusan dari Akherat melemparkan benda
bulat sebesar ibu jari kaki ke arah Dewa Arak. Melihat hal itu. Dewa
Arak menghentikan pengejarannya. Tubuhnya dilempar ke belakang
untuk menghindar. Arya khawatir benda bulat kecil itu mengandung
racun yang mematikan
Darrr!
Ledakan keras seketika terdengar begitu benda bulat kecil itu
berbenturan dengan tanah. Seketika itu pula muncul asap tebal hitam
yang menghalangi pemandangan ke depan. Hal ini membuat Dewa Arak
tak dapat meneruskan pengejarannya terhadap Utusan dari Akherat.
Dan seperti yang sudah diduga Dewa Arak, begitu asap itu lenyap
dari pandangan. Utusan dari Akherat sudah tidak terlihat lagi.
6
"Sayang sekali.... Keparat itu berhasil meloloskan diri...," ujar
Melati menyesal.
Dewa Arak mengalihkan pandangan menatap kekasihnya yang telah
berada di sisinya.
"Tak perlu kau sesali hal itu. Melati," ujar Dewa Arak menghibur.
"Masih banyak kesempatan untuk bertemu dengannya. Yang penting
kau selamat."
Wajah Melati langsung berubah. Sepasang matanya yang bening
dan indah menyiratkan ketidakpuasan.
"Mengapa kau datang terlambat. Kang?! Kalau tidak..., kita telah
berhasil membekuknya!"
"Ya..., aku terlambat karena menunggu munculnya orang yang telah
menyewa Utusan dari Akherat, di bangunan tua itu. Melati. Aku
berharap, dia akan datang, tapi, setelah kesal menunggu, dia tetap tak
muncul. Kuputuskan untuk menyusulmu kemari. Untung aku datang
pada saat yang tepat...!"
Melati terdiam. Memang, semula telah diadakan kesepakatan. Dewa
Arak menyelidiki bangunan kuno, tempat pertama kali mereka melihat
sosok bayangan hitam. Sedangkan Melati mengawasi tempat tinggal Ki
Baijanala.
Penyelidikan terhadap tempat tinggal Ki Barjanala, berdasarkan
kecurigaan Dewa Arak. Dia menduga, bahwa tindakan rahasia penyewa
Utusan dari Akherat pasti ada hubungannya dengan kedudukan kepala
desa. Ternyata dugaan itu tidak meleset!
"Apakah tokoh yang bertarung denganmu itu Utusan dari Akherat,
Melati?" tanya Aiya, mulai mengalihkan pokok persoalan.
"Kurasa benar dia. Kang," jawab Melati tidak berani memastikan.
"Lalu... bagaimana dengan Ki Baijanala? Apakah dia baik-baik
saja?!"
Seketika itu pula wajah Melati berubah. Tentu saja hal ini terlihat
jelas di mata Dewa Arak. Karena pemuda berambut putih keperakan itu
memang tengah memperhatikan wajah kekasihnya. Perasaan tidak enak
pun melanda batin Dewa Arak.
Namun, sebelum Dewa Arak sempat mengajukan pertanyaan.
Melati telah menyahut.
"Aku terlambat datang. Kang," ujarnya dengan suara lirih,
seakan-akan merasa sangat menyesal.
"Maksudmu...?" Aiya tidak berani melanjutkan ucapannya.
"Dia telah tewas. Kang."
"Hah...!"
Dewa Arak tersentak kaget mendengar jawaban Melati. Hatinya
sama sekali tak menduga kalau hal itu akan terj adi. Matanya terbelalak
diliputi rasa kesal dan penasaran. Lalu, tanpa menunggu lebih lama lagi.
Dewa Arak melesat ke dalam rumah. Tampak tubuh Kepala Desa Jarak
itu terbujur di lantai berlumuran darah.
Memperhatikan sekilas saj a. Dewa Arak mengetahui kalau Ki
Baijanala memang telah tewas. Sebuah pisau bergagang ukiran kepala
tengkorak yang menancap di dahinya telah meyakinkan hati Dewa Arak.
"Tanda seperti ini pun ada pada mayat Ki Bima Seta," ujar Dewa
Arak dengan suara pelan.
"Berarti pelaku pembunuhan ini Utusan dari Akherat pula. Kang,"
timpal Melati memberikan kesimpulan.
"Yahhh...," sahut Arya dengan suara mendesah. Kemudian
membalikkan tubuh dan melangkah ke luar.
Hal yang sama dilakukan Melati.
"Aku yakin hal ini berhubungan erat dengan kedudukan kepala
desa. Melati," tukas Arya pelan. "Hhh...!Tidak kusangka kalau penyewa
Utusan dan Akherat bertindak demikian cepat."
"Kejadian ini semakin memperkuat dugaanku. Kang," ujar Melati.
"Memang. Semua kejadian ini menjurus pada satu orang. Sembada.
Masalahnya, siapa lagi yang akan menggantikan kedudukan kepala desa
setelah Ki Barjanala tidak ada selain Sembada?"
"Tapi..., masih ada satu orang lagi yang bisa menghalangi Sembada
menduduki jabatan kepala desa itu. Kang," ujar Melati tiba-tiba.
"Kau benar," sambut Arya setengah terpekik.
"Orang itu tak lain Ki Kuncara! Kita harus berbuat sesuatu untuk
menyel amatkanny a."
"Apa yang harus kita lakukan. Kang?" tanya Melati, setengah
bingung.
Dewa Arak tak segera menjawab. Dahinya berkemyit, pertanda
tengah ada yang dipikirkan.
"Jalan satu-satunya untuk mencegahnya hanya dengan mengamati
bangunan tua itu, Melati. Ternyata tempat itulah yang dijadikan
penghubung antara Utusan dari Akherat dengan penyewanya," ujar Arya
menjelaskan.
"Bagaimana kalau kita kecolongan lagi. Kang?!" tanya Melati,
mengajukan kemungkinan yang tidak terduga.
"Kurasa tidak. Kita awasi tempat itu tems-menems. Pagi, siang,
sore, dan malam. Mustahil penyewa itu lolos dari pengamatan."
"Kapan kita memulainya. Kang?!"
"Sekarang juga!" tandas Arya tegas. "Aku khawatir, penyewa itu
telah meletakkan perintah kejinya di sana."
"Tapi, Kang...," Melati menggantung ucapannya di tengah jalan.
"Ada apa. Melati?! Katakan saja!" sahut Arya ketika melihat
kekasihnya merasa ragu untuk meneruskan ucapannya.
"Mengapa mesti bersusah payah mengawasi bangunan tua itu.
Kang?! Menurut pendapatku, lebih baik kita langsung saja pada sasaran
berikutnya. Kita awasi rumah Ki Kuncara. Dengan sendirinya, apabila
ada bahaya mengancamnya, kita dapat memberikan pertolongan
sesegera mungkin."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala mendengar pendapat
kekasihnya.
"Pada dasarnya aku setuju dengan usulmu. Melati. Karena memang
sebenarnya merupakan cara yang paling baik. Tapi ingat. Melati, ada
satu hal yang kau lupakan. Orang yang telah menyewa Utusan dari
Akherat belum tentu Sembada. Meskipun, kemungkinannya sangat
besar."
Dewa Arak menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil
napas.
"Itulah sebabnya, kuputuskan untuk mengawasi bangunan itu. Kau
mengerti. Melati?!"
Melati terpaksa menganggukkan kepala walaupun sebenarnya tidak
merasa puas dengan keputusan yang diambil.
"Lalu..., bagaimana dengan Utusan dari Akherat, Kang?! Apakah
dia harus dibiarkan saja?!"
"Dia akan menerima ganjarannya pula. Melati. Utusan dari Akherat
termasuk orang yang berbahaya. Kemampuannya dapat dipergunakan
orang lain untuk menimbulkan malapetaka. Tokoh itu harus
dilenyapkan!"
"Aku pun berpendapat demikian. Kang. Utusan dari Akherat tokoh
yang amat berbahaya," ujar Melati memberikan dukungan
"Sekarang, mari kita tuntaskan persoalan ini. Melati!" ajak Arya
seraya melesat meninggalkan tempat itu.
Tanpa menunggu lebih lama lagi. Melati pun segera menyusulnya.
Sesaat kemudian, sepasang muda-mudi berwajah elok ini telah saling
berkejaran menuju bangunan tua.
***
Hari sudah agak siang. Sang Surya telah cukup jauh bergeser dari
tempat terbitnya. Bentuknya sudah mengecil dan menyilaukan mata,
memancarkan cahaya yang mulai menggigit kulit.
Namun keadaan itu tak dihiraukan Dewa Arak yang tengah
memusatkan perhatian mengawasi bangunan tua, tempat pertama
kalinya bertemu sosok berpakaian hitam.
Arya duduk di salah satu cabang pohon yang tertutup rimbun
dedaunan sehingga keberadaannya sulit diketahui. Dari semalam. Dewa
Arak berada di situ. Pandangannya tak lepas tems mengawasi bagian
bangunan tempat sebatang tombak tertancap.
Di tempat itulah pemah dilihatnya sesosok bayangan hitam yang
sekarang diketahui sebagai penyewa Utusan dari Akherat, menaruh surat
yang berisi perintah maut.
Dewa Arak mengalihkan pandangan ke sekitarnya. Dan seperti telah
diatur saja, dari kejauhan melesat cepat sesosok tubuh.
Meskipun jaraknya masih cukup jauh, pemuda berambut putih
keperakan itu bisa mengenali sosok yang tengah melesat cepat menuju
tempat dirinya berada. Ciri-ciri sosok yang mengenakan pakaian putih
itu amat dikenalnya
Hanya dalam beberapa kali lesatan, sosok yang tak lain Melati telah
sampai di bawah pohon tempat Dewa Aiak berada. Gadis itu langsung
menggenjotkan kaki. Dan....
Jliggg!
T anpa menimbulkan getaran sedikit pun. Melati hinggap di cabang
pohon tempat Dewa Arak berada
"Kita kecolongan lagi. Kang," ujar Melati, buru-buru.
"Kecolongan?!" Arya mengernyitkan dahi. "Aku belum mengerti
apa yang kau maksudkan. Melati?"
"Ki Kuncara telah tewas!"
"Apa?!" tanya Arya tersentak kaget "Bagaimana hal itu dapat
terjadi. Melati?!"
"Seperti juga Ki Barjanala, Ki Kuncara pun tewas semalam. Kang,"
jelas Melati.
Dewa Arak tidak menyahut. Dia terdiam dengan mata menatap ke
depan, seperti ada sesuatu yang tengah disesali.
"Berarti, setelah membunuh Ki Baijanala, Utusan dari Akherat
langsung menyatroni Ki Kuncara dan membunuhnya pula," lanjut Melati
lagi.
"Hm..., berarti kali ini penyewa Utusan dari Akherat langsung
meminta dua orang sebagai korbannya. Dia tak mau bertindak
setengah-setengah rupanya," gumam Arya pelan, seperti berbicara pada
dirinya sendiri.
"Keadaan di Desa Jarak kacau. Kang! Sekarang semua penduduk
mengutuk Utusan dari Akherat sebagai pembunuh keji! Padahal, baru
dua hari yang lalu mereka memuji-mujinya setinggi langit!"
Melati menceritakan peristiwa yang diketahuinya. Memang, begitu
pagi menjelang. Melati langsung pergi ke Desa Jarak untuk melihat
keadaan. Tentu saja itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
"Kacau?!" Arya mengerutkan alis penuh perasaan heran. "Mengapa
bisa demikian. Melati?! Meskipun memang kematian dua orang sesepuh
desa itu cukup mengejutkan, tidak perlu menyebabkan teijadinya
kekacauan."
"Putra Ki Baijanala tidak menerima kejadian ini. Dia bertekad
menuntut balas."
"Itu wajar. Melati. Siapa yang tidak merasa dendam jika
orangtuanya dibunuh orang?!" sambut Arya. "Tapi, bagaimana dia dapat
memenuhi keinginannya itu? Di samping untuk mengetahui keberadaan
Utusan dari Akherat sangat sulit, apakah putra Ki Barjanala itu akan
sanggup menghadapinya?"
"Itulah masalah yang menyebabkan teijadinya kekacauan. Kang"
lanjut Melati. "Bukan terhadap Utusan dari Akherat, putra Ki Barjanala
bermaksud melampiaskan dendamnya!"
"Heh?! Aneh...! Lalu..., kepada siapa dendam itu akan
dilampiaskan?!"
"Pada Sembada, Kang! Dia menganggap, bahwa Sembada yang
telah memerintahkan Utusan dari Akherat untuk melakukan semua
kekejian itu!"
"Ah!" untuk yang kesekian kalinya Arya tersentak kaget. "Mengapa
dia dapat mengambil kesimpulan seperti itu?!"
"Entahlah, Kang!" Melati menggelengkan kepala. "Menurut berita
yang kudengar, dia menghubung-hubungkan semua kejadian yang
secara beruntun dilakukan Utusan dari Akherat. Semua peristiwa
mengenaskan itu menurut berita yang kudapat, ada kaitannya dengan
jabatan kepala desa."
"Hhh...!" Arya menghembuskan napas berat. "Kesimpulan yang
didapat putra Ki Baijanala itu ternyata sama dengan kita. Melati. Tak
bisa kusalahkan tindakan yang diambil putra Ki Barjanala. Memang,
semua kejadian ini menunjuk Sembada sebagai pelakunya."
Melati mengangguk-anggukkan kepal a pertanda menyetujui ucapan
kekasihnya. Seakan-akan gadis itu membenarkan ucapan kekasihnya.
"Bagaimana denganmu sendiri. Kang? Apakah kau masih ragu
kalau pelaku semua kekejian itu Sambada?!" tanya Melati, ingin tahu
pendapat Aiya secara pasti.
Bukan tanpa alasan gadis berpakaian putih ini menanyakannya.
Hatinya menyadari kalau dugaan Dewa Arak tidak pemah meleset.
"Entah mengapa, aku tetap kurang yakin kalau orang yang berada di
balik semua kekejian ini Sembada. Padahal, akal sehatku mengatakan
kalau Sembada-lah yang telah memberikan perintah-perintah terhadap
Utusan dari Akherat. Tapi, entah mengapa aku merasa ragu! Atau..., ini
disebabkan karena belum kudapatkan bukti nyatanya...?"
Jawaban yang diterima Melati tetap tidak jelas. Meskipun demikian
gadis berpakaian putih itu tidak mendesak lebih jauh Disadari kalau
Arya telah berusaha untuk memberikan jawaban yang memuaskan.
"Apakah putra Ki Baijanala telah melakukan penyerbuan secara
terbuka pada Sembada?!" tanya Arya mengalihkan pembicaraan.
"Tidak, Kang," Melati menggelengkan kepala. "Hanya perang
dingin. Tapi aku yakin, bentrokan pasti bakal terjadi antara mereka.
Tinggal menunggu waktunya saja. Sekarang, di desa itu telah terbentuk
dua kelompok. Kelompok anak Ki Barjanala dan kelompok Sembada.
Tapi, jumlah pengikut Sembada jauh lebih sedikit. Andaikata terjadi
bentrokan, dengan mudah mereka akan dihancurkan."
"Patut kuacungkan jempol tindakan putra Ki Barjanala. Dia tidak
hanya menuruti kemarahannya saja," ujar Arya merasa kagum.
"Pada putra Ki Baijanala yang mana kau tujukan pujian itu. Kang?!"
tanya Melati tiba-tiba, yang membuat Dewa Arak terperanjat.
"Apa maksudmu, Melati?! Apakah Ki Barjanala mempunyai
banyak anak?!"
"Banyak sih, tidak. Tapi hanya dua orang. Kedua-duanya lelaki.
Yang tua bernama Jagapaksi. Sedangkan adiknya bernama Suraga. Dan
yang menyebabkan tercegahnya pertempuran itu adalah Jagapaksi. Dia
menyuruh Suraga yang sudah kalap itu untuk bersabar sebentar dan
menunggu perkembangan selanjutnya," jelas Melati panjang lebar.
Suasana berubah hening ketika Melati menghentikan ucapannya.
Dewa Arak terdiam, tak memberikan tanggapan. Mereka berdua
tenggelam dalam alam pikiran masing-masing.
"Kang..," sapa Melati memecahkan keheningan yang menyelimuti.
"Hm...!" sahut Dewa Arak hanya dengan gumaman pelan sambil
menoleh.
"Untuk apa lagi kita berada di sini? Kurasa lebih baik kita pergi ke
Desa Jarak. Sudah jelas kalau Sembada orang yang berdiri di belakang
layar. Dan..."
Ucapan Melati terhenti di tengah jalan secara mendadak. Hal itu
karena Arya tiba-tiba memberikan isyarat padanya agar diam. Kemudian
jari telunjuknya ditudingkan ke satu arah. Tempat asal kedatangan
Melati tadi.
Dengan perasaan heran. Melati mengalihkan pandangan ke arah
yang ditunjukkan kekasihnya. Dan....
"Ah!"
Melati tersentak kaget, ketika dari kejauhan matanya melihat
sesosok tubuh tengah melesat menuju tempat mereka berada.
Gerakan sosok tubuh mengenakan pakaian kuning itu cukup cepat.
Sayang, sepasang muda-mudi ini tidak bisa mengenali karena wajahnya
tertutup selembar kain hitam.
"Meskipun warna pakaiannya berbeda, aku yakin kalau dialah yang
kita lihat beberapa malam yang lalu. Bagaimana menurutmu. Melati?"
bisik Arya.
"Aku pun menduga demikian. Kang. Aku yakin orang inilah yang
kita lihat waktu itu. Menurutmu..., apakah dia Sembada?!" Melati balas
bertanya dengan suara berbisik.
"Entahlah," Arya mengangkat bahu. "Tapi..., sosok tubuhnya
memang mirip dia."
"Sebentar lagi akan kita saksikan kebenarannya. Kang! Aku yakin
kalau dia Sembada."
"Kalau begitu..., aku memilih sebaliknya," ujar Arya kalem.
Sampai di sini, percakapan sepasang pendekar muda ini terhenti.
Keduanya tak ingin keberadaan mereka di situ diketahui.
Sementara itu sosok berpakaian kuning tems melanjutkan langkah.
Tapi beberapa tombak sebelum mencapai bangunan tua dan tak terawat
itu, langkahnya berhenti. Kepalanya ditolehkan ke sana dan kemari
seperti tengah memastikan tak ada orang lain di tempat itu
Sesaat kemudian, sosok berpakaian kuning itu melesat menuju
tembok bangunan megah tempat tombak putih mengkilat terhunjam.
Sampai di situ, tangan kanannya segera dimasukkan ke balik baju. Dan
begitu keluar lagi, tampak segulungan surat terbuat dari kulit binatang.
Kemudian digantungkannya gulungan surat itu, berikut satu buntalan
kecil yang berisi uang.
Saat itulah Dewa Arak dan Melati langsung bertindak. Keduanya
dengan cepat melompat dari atas pohon, dan melesat menuju tempat
sosok berpakaian kuning berada.
Sesuai kesepakatan. Dewa Arak menujukan sasaran pada gulungan
surat dan buntalan uang. Sedangkan Melati mengincar sosok berpakaian
kuning.
Karuan saja, kemunculan Dewa Arak dan Melati membuat terkejut
bukan kepalang. Menyadari adanya bahaya mengancam, orang itu
segera melesat kabur.
Namun dengan kemampuannya yang hanya seperti itu, mana
mampu dia meloloskan diri dari Melati? Setelah bersalto beberapa kali
di udara. Melati mendaratkan kaki di depan sosok berpakaian kuning ita
Tentu saja, sosok berpakaian kuning itu semakin kalap karenanya.
Buru-buru tubuhnya dibalikkan dan langsung berlari menuju arah
lainnya.
Seperti juga kejadian sebelumnya, baru beberapa langkah berlari
terpaksa dihentikan, ketika tiba-tiba Melati telah menghadang di
depannya.
Meskipun demikian, sosok berpakaian kuning itu tak putus asa.
Lagi-lagi tubuhnya dibalikkan ke arah lain. Kemudian berlari.
Namun, untuk yang kesekian kalinya sosok berpakaian kuning
gagal dengan usahanya. Melati telah berada di depannya kembali.
Kenyataan ini membuatnya sadar, kalau dirinya tak akan mungkin dapat
meloloskan diri. Hal itu membuatnya nekat. Sebagai akibatnya....
Srattt!
Sinar terang berkilat ketika sosok berpakaian kuning itu mencabut
golok yang terselip di pinggang. Dan dengan senjata terhunus di tangan,
d-serangnya Melati. Golok itu ditusukkan ke arah perut gadis itu.
"Hmh!"
Melati mengeluarkan dengusan mengejek seraya dengan cepat
mendoyongkan tubuh ke kanan. Ketika golok itu menyambar. Hebatnya,
hal itu dilakukannya tanpa melangkahkan kaki. Hanya tampak tubuh
berpakaian putih itu meliuk mengelakkan serangan lawan.
Wuttt!
Golok lawan menyambar tempat kosong, hanya beberapa jari dari
pinggang Melati.
Saat itulah Melati melancarkan serangan balasan. Dengan cepat sisi
tangan kanannya bergerak seperti membacok tubuh lawan.
Wuttt!
Orang berpakaian kuning itu terperanjat bukan kepalang,
menyaksikan serangan balasan lawan yang mengancam dirinya. Dari
dem angin yang terdengar, bisa diketahui kalau serangan itu
mengandung tenaga dalam kuat. Dengan kemampuan yang dimiliki,
dicobanya untuk mengelakkan serangan itu. Tapi....
Bukkk!
"Uh..,!”
Menyadari dirinya tak mungkin meloloskan diri, lelaki berpakaian
kuning itu menjadi nekat...
Srat! Tangannya mencabut golok yang terselip di pinggang, dan
langsung menusukkannya ke arah perut Melati.
Ketika golok itu sudah sangat dekat, Melati segera mendoyongkan
tubuhnya ke kanan!
Sosok berpakaian kuning itu mengeluarkan keluhan tertahan dari
mulut ketika tangan Melati mendarat telak pada sasaran yang dituju.
Seiring dengan suara keluhannya, tubuh sosok berpakaian kuning
itu ambruk di tanah. Diam tidak bergerak lagi. Pingsan!
***
"Kau tidak membunuhnya kan. Melati?!" tanya Arya seraya
menghampiri kekasihnya.
"Tentu sajatidak. Kang," sahut Melati, cepat bernada bangga. "Aku
pun tahu, ada pihak yang lebih berkepentingan terhadapnya."
"Syukur kalau kau menyadarinya," ujar Arya lega. "Ini surat dan
uang yang diletakkan di gagang tombak itu Bacalah! Agak keras sedikit
agar aku mendeng amy a."
Melati menerima gulungan surat itu. Dengan agak terburu-buru
dibuka gulungannya. Kemudian dibacanya dengan suara agak keras.
Utusan dari Akherat,
Kali ini kuminta kau membunuh Jagapaksi. Kalau bisa malam ini
juga. Aku ingin masalah ini cepat selesai. Setelah iru semua masalah
akan beres.
"Hanya itu yang ditulisnya dalam surat itu. Melati?" tanya Arya
ingin tahu.
Melati menganggukkan kepala.
"Perintah ini semakin menambah bukti kalau dalang pembunuhan
gelap ini Sembada, Kang," ujar Melati, menarik kesimpulan.
Sambutan atas ucapan itu hanya senyum lebar di mulut Dewa Arak.
"Akan kubuktikan kebenaran ucapanku. Kang," ucap Melati lagi
penuh semangat.
Usai berkata demikian, tubuhnya dibungkukkan. Lalu tangannya
diulurkan untuk meraih kain yang menutup wajah sosok berpakaian
kuning. Hanya dengan sekali sentak, lepaslah kain itu. Dan....
"Ah...!" Melati terpekik kaget. Matanya terbelalak hampir tak
percaya melihat sosok berpakaian kuning itu bukan Sembada. Yang
terlihat ternyata wajah seorang pemuda berwajah bumk.
Kulit wajahnya hitam, dengan bibir tebal yang hitam pula.
Hidungnya besar, sedangkan kedua matanya seperti selalu terbelalak.
"Ketidakyakinanku ternyata beralasan. Bukan Sembada
pelakunya," ujar Aiya, tanpa menunjukkan rasa gembira atas
kemenangannya bertaruh dengan Melati.
Sementara Melati terdiam seperti patung. Untuk yang kesekian
kalinya harus diakui kalau dugaan kekasihnya tak pernah meleset.
"Kau mengenalnya. Melati?" tanya Arya ingin tahu.
Melati hanya menggelengkan kepala.
"Lebih baik kita bawa ke Desa Jarak. Aku ydcin, ada penduduk
yang mengenalnya. Kalau tidak mempunyai hubungan di sana, untuk
apa membuat onar desa itu?" ujar Arya meyakinkan.
"Aku pun bermaksud mengusulkan demikian. Kang," tukas Melati.
Secercah senyum lebar tersungging di bibir Dewa Arak.
"Kurasa lebih baik kau pergi lebih dulu. Melati. Beritahukan pada
para penduduk kalau orang yang berdiri di belakang peristiwa
pembunuhan terhadap Kepala dan Calon Kepala Desa jarak, telah
berhasil kita tangkap. Aku yakin, semua penduduk akan berdatangan.
Dengan cara itu, masalah ini akan selesai dan ketegangan antara dua
kelompok dapat teratasi."
"Sebuah usul yang bagus. Kang," puji Melati sambil mengacungkan
ibu jarinya.
"Kau memang pandai memuji. Melati," ujar Arya sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Sudahlah! Lebih baik kau berangkat!"
"Baik, Tuan Besar! Perintah Tuan akan segera hamba laksanakan,"
ucap Melati sambil membungkukkan tubuh. Tak lupa dipasang sikap
sungguh-sungguh pada wajahnya.
Kemudian, tanpa menunggu sambutan Dewa Arak, Melati melesat
cepat meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali lesatan,
tubuhnya telah berada jauh. Semakin lama semakin mengecil hingga
berbentuk titik kecil hitam yang akhirnya lenyap.
Dewa Arak hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala melihat
kelakuan Melati. Ditunggunya beberapa saat. Baru kemudian
diangkatnya tubuh sosok berpakaian kuning, dan diletakkan di bahunya.
Lalu kakinya melangkah meninggalkan tempat itu. Tujuannya jelas.
Desa Jarak. Karena ingin memberikan kesempatan pada Melati memberi
tahu seluruh penduduk Desa Jarak, Dewa Arak tak mengerahkan seluruh
ilmu meringankan tubuhnya.
Kesempatan yang diberikan Dewa Arak ternyata tidak sia-sia.
Beberapa puluh tombak sebelum mencapai tapal batas Desa Jarak,
dilihatnya kerumunan orang menyongsong di mulut desa.
Melihat hal ini. Dewa Arak tidak mau membuang-buang waktu lagi.
Segera dikerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Sepasang kaki
pemuda berambut putih keperakan itu seperti tak menginjak tanah,
karena kecepatan gerakannya.
Hanya dalam beberapa kali lesatan. Dewa Arak sampai sekitar lima
tombak dari kerumunan penduduk Desa Jarak.
Di sini Dewa Arak menghentikan larinya. Kemudian pandangannya
diedarkan. Hanya dalam sesaat saja, telah disaksikan kebenaran cerita
Melati. Kerumunan penduduk itu terdiri dari dua kelompok Yang satu
dalam jumlah besar, sedangkan lainnya sedikit.
Pada bagian kelompok kecil tampak Sembada. Dia berdiri paling
depan.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghembuskan napas berat dalam hati. Sama sekali
tidak disangka kalau pihak Sembada dan pihak keturunan Ki Baijanala
masih bersitegang. Padahal, bukankah Melati telah memberitahukan
kalau penyewa Utusan dari Akherat telah berhasil ditangkap? Dari
kenyataan ini saja dapat diketahui kalau Desa Jarak belum mempunyai
kepala desa!
Baru saja Arya memutuskan untuk berbicara, melesat sesosok
bayangan putih. Dan tahu-tahu, di dekatnya telah berdiri Melati.
"Sekarang tiba giliranmu. Kang," ujar Melati, mempersilakan.
"Bagianku telah berhasil kuselesaikan.
Dewa Arak hanya menganggukkan kepala sebagai jawabannya.
Kemudian pandangannya diedarkan kembali, memperhatikan para
penduduk Desa Jarak yang seperti tak sabar menunggu berita darinya.
"Wahai, penduduk Desa Jarak..., dengarkan ucapanku...!" sem
Dewa Arak dengan mengerahkan tenaga dalam agar terdengar di telinga
semua orang yang berada di situ. "Aku mempunyai berita baik untuk
kalian."
Sampai di sini Dewa Arak menghentikan ucapannya sebentar untuk
melihat tanggapan dari para warga Desa Jarak.
"Kupinta kau tidak bertele-tele. Dewa Arak," selak Sembada. "Kami
telah tahu berita yang kau bawa. Kawanmu telah mengatakan. Bukankah
kau telah berhasil menangkap orang yang berada di balik semua
pembunuhan di Desa Jarak?! Katakanlah cepat. Aku sudah tak sabar lagi
untuk membuktikan ketidakbersalahanku!"
Sambil berkata demikian. Sembada mengerling ke tempat Jagapaksi
berada. Tapi, putra tertua Ki Barjanala sama sekali tak memberi
sambutan. Lelaki gagah itu tetap berdiam diri dengan pandangan tertuju
lurus ke wajah Dewa Arak.
"Baiklah, kalau memang itu yang kau mau. Sembada. Aku pun tak
mau membiarkan persoalan ini berlarut-larut. Sayang sekali aku dan
kawanku tidak mengenalinya. Barangkali saja kalian kenal. Nih! Kalian
perhatikan baik-baik!"
Usai berkata demikian. Dewa Arak segera menurunkan tubuh yang
terpanggul di pundaknya. Kemudian dilemparkannya ke depan.
Wuttt!
Tubuh sosok berpakaian kuning itu pun melayang. Seketika itu pula
semua mata kecuali Dewa Arak dan Melati, tertuju ke tubuh sosok
berpakaian kuning itu.
Brukkk!
Bunyi berdebuk keras terdengar ketika tubuh lelaki berpakaian
kuning itu terbanting di tanah.
Tubuh lelaki berpakaian kuning itu jatuh telentang. Sehingga semua
penduduk dapat melihat jelas wajahnya. Tubuhnya terkulai lemas, tanpa
gerak. Karena Dewa Arak telah menotok sebelum membawa ke Desa
Jarak.
Wajah semua orang yang ada di situ tampak memanearkan perasaan
kaget dan heran yang tidak terhingga. Sorot mata mereka pun
memanearkan ketidakpercayaan yang mendalam.
"Hah...?!"
"Heh...?!"
"Astaga...!"
Jeritan-jeritan bernada kaget dan tak percaya keluar dari mulut para
penduduk Desa Jarak. Sebagian besar tampak menggeleng-geleng
kepala keheranan.
8
Namun di antara sekian banyaknya penduduk Desa Jarak, ada
seorang yang dilanda perasaan kaget dan heran paling besar. Orang itu
adalah... Jagapaksi! Sepasang bola mata putra tertua Ki Baijanala itu
seperti hendak keluar ketika menatap sosok berpakaian kuning yang
tergolek di tanah.
"Suraga...!" gumamnya lirih dengan kepala tergeleng-geleng.
Pemuda berpakai an kuning itu ternyata Suraga, adiknya.
Cukup lama juga Jagapaksi bersikap seperti itu sebelum akhirnya
secara mendadak pandangannya dialihkan kepada Dewa Arak. Matanya
yang tajam menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu.
"Apa yang membuatmu menarik kesimpulan sempit seperti ini.
Dewa Arak?!" tanya Jagapaksi dengan suara keras.
"Kesimpulan sempit?!" ulang Arya dengan kening berkernyit.
Perasaan kaget yang tadi melanda ketika mengetahui dalang semua ini
ternyata Suraga, putra kedua Ki Barjanala telah berhasil ditekannya.
"Maksudmu..., penangkapan yang kulakukan atas diri adikmu ini
kau katakan kesimpulan sempit?!"
"Benar! Kau hanya mengada-ada. Dewa Arak! Aku yakin kau telah
bersekongkol dengan Sembada! Tapi sayang kau keliru! Hanya orang
gila yang mempercayai lelucon ini! Mana mungkin Suraga membunuh
ayahnya sendiri! Tipu muslihatmu tak masuk akal. Dewa Arak!" seru
Jagapaksi berapi-api.
"Kaulah yang mengambil kesimpulan sempit!" selak Melati, karena
tak kuat menahan amarah mendengar hinaan terhadap kekasihnya.
"Dengar baik-baik. Kambing Dungu! Adikmu yang kau
agung-agungkan itu tak lebih dari iblis berwajah manusia! Dia kami
pergoki ketika hendak mengirimkan perintah mautnya lagi pada Utusan
dari Akherat!"
"Bohong! Kau bohong Perempuan Liar! Kau akan mendapat
balasan yang setimpal atas fitnah keji yang kau ajukan ini!" sem
Jagapaksi dengan suara bergetar karena amarah yang melanda.
"Bohong?!" Melati tersenyum mengejek. "Ini bukti-buktinya.
Kambing Dungu! Periksalah! Benarkah ini tulisan adikmu? Dan ini uang
yang seharusnya jatuh ke tangah Utusan dari Akherat sebagai imbalan."
Sambil berkata demikian. Melati melemparkan gulungan surat dan
buntalan kecil berisi uang.
Plukkk!
Surat dan buntalan kecil berisi uang itu jatuh dekat tubuh Suraga.
Jagapaksi bergerak menghampiri, dan kemudian mengambil kedua
benda itu, lalu memeriksanya.
"Tak mungkin!" desis Jagapaksi penuh rasa tidak percaya, setelah
memeriksa surat dan uang itu.
"Tidak ada yang tak mungkin di dunia ini, Jagapaksi. Segala sesuatu
dapat saja terjadi. Dan itu yang perlu kau sadari!"
Terdengar sebuah suara menyambut ucapan ketidakpercayaan
Jagapaksi.
Jagapaksi menoleh ke arah Sembada. Karena memang dari mulut
lelaki itulah suara tadi berasal. Dirayapinya wajah Sembada sejenak.
Namun, sebelum dia sempat mengatakan sesuatu. Dewa Arak telah
mendahuluinya.
"Apa yang dikatakan Sembada tidak salah. Di dunia ini perisriwa
apa pun dapat sajateijadi. Daripada kau bersikeras tak mempercayainya,
lebih baik kau korek keterangan dari mulutnya! Tentu saja kalau kau
ingin masalahnya menjadi jelas."
Jagapaksi tercenung seperti tengah memikirkan usul Dewa Arak.
Kemudian, dengan langkah pasti ditatapnya wajah Suraga.
"Bagaimana mungkin aku bisa menanyainya kalau dia dalam
keadaan pingsan seperti ini?" tanya Jagapaksi kebingungan.
"Ah, maaf!"
Seraya berkata demikian. Dewa Arak menghampiri tubuh Suraga.
Diurutnya tengkuk putra bungsu Ki Barjanala itu Hanya sekali saja.
Namun tampak tubuh pemuda itu telah menggeliat.
"Uhhh...!"
Suraga mengeluarkan keluhan tertahan. Perlahan-lahan kelopak
matanya terbuka.
"Kang Jagapaksi...!" ucap Suraga setengah teipekik, karena
peras aan kaget yang melanda.
Pemuda berpakaian kuning ini bergegas bangkit seraya
mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu
"Aku bukan saudaramu!" sentak Jagapaksi, keras. "Aku tidak sudi
mempunyai seorang adik yang menjadi pembunuh keji!"
"Kang!" seru Suraga, tak kalah keras. "Kau mempercayai tuduhan
itu?! Itu fitnah. Kang! Apakah masuk akalmu aku bertindak demikian
keji, membunuh ayah kandung sendiri?!"
"Kau tidak usah mungkir, Suraga! Tak kusangka kau memiliki
watak yang sekeji ini! Tidak hanya ayah yang kau bunuh, kau pun
bermaksud membunuhku pula!" seru Jagapaksi berapi-api.
"Fitnah!" bantah Suraga keras. "Dari mana kau mendengar tuduhan
gila seperti itu. Kang! Mungkinkah aku bermaksud membunuh kakakku
sendiri?!"
"Ini bukti-buktinya! Kau masih mau berdusta?!"
Sambil berkata demikian, Jagapaksi melemparkan gulungan surat
dan pundi-pundi berisi uang ke tubuh Surga. Dengan sigap, pemuda
berpakaian kuning ini menangkapnya. Lalu memeriksa isinya.
"Fitnah!" lagi-lagi Suraga melontarkan ucapan yang sama setelah
membaca surat itu. "Aku tidak pernah membuat surat seperti ini! Aku
yakin ada yang telah melakukan fitnahan terhadapku!"
Usai berkata demikian, Suraga melayangkan pandangan ke wajah
Sembada.
"Kau...! Manusia keji! Rupanya kau tidak puas dengan hanya
membunuh ayahku. Aku pun kau fitnah pula! Orang sepertimu layak
mati! Hiyaaat...!"
Suraga melumk ke tubuh Sembada. Tangan kanannya siap untuk
dipukulkan ke dada laki-laki yang juga sesepuh desa itu. Tentu saja
Sembada tak tinqqal diam. Dia bersiap-siap untuk menyambutnya
Namun, sebelum hal itu teijadi. Dewa Arak telah lebih dulu
bertindak. Secara perlahan dan sembarangan tangannya dikibaskan.
Mendadak tubuh Suraga ambruk sebelum berhasil menyarangkan
pukulannya.
"Keparat!" Jagapaksi menggeram murka melihat hal ini. Secepat
kilat tangannya digerakkan ke pinggang. Tapi....
"Apakah kau tidak menginginkan masalah ini cepat tuntas,
Jagapaksi?!" tanya Arya dengan suara datar. "Asal kau tahu saja, aku
terpaksa bertindak seperti ini agar masalah yang tengah kita bahas bisa
selesai!"
Tangan Jagapaksi yang sudah menggenggam gagang golok pun
mengendur kembali. Apalagi ketika dilihatnya Suraga tidak terluka,
meskipun roboh secara mendadak karena lutut belakangnya dihantam
pukulan jarak jauh Dewa Arak.
"Rasanya alasan yang dikemukakan adikku masuk akal. Dewa
Arak," ujar Jagapaksi yang mulai terpengaruh karena merasakan adanya
kebenaran dalam ucapan Suraga. "Mana mungkin dia pelakunya? Sangat
tak masuk akal adikku menjadi dalang atas semua kekejian yang teijadi
di desa ini. Kau tahu, salah seorang di antara korban itu ayahku sendiri.
Dan surat ini pun berisikan perintah yang tidak masuk akal! Mungkinkah
dia sampai hati menyuruh orang untuk membunuh kakaknya sendiri?!"
"Benar! Mengapa aku harus memerintahkan orang untuk
membunuh kakakku sendiri. Padahal, semua penduduk tahu kalau
kebencianku tertuju pada Sembada! Kalau memang benar aku
pelakunya, tentu kuperintahkan Utusan dari Akherat untuk membunuh
Sembada, dan bukan kakakku!" timpal Suraga sambil berusaha bangkit.
Bukan hanya Jagapaksi yang terpengaruh. Semua penduduk yang
mendengarnya pun, dapat menerima kebenaran ucapan itu. Dewa Arak
dan Melati pun diam-diam memuji kecerdikan Suraga. Namun, bukan
Dewa Arak namanya kalau menghadapi alasan seperti itu saja sudah
gugup. Tidak! Pemuda berambut putih keperakan itu tetap dapat
bersikap tenang.
"Bisa kuterima ucapanmu, Jagapaksi. Tapi tidak demikian halnya
dengan ucapan Suraga," ujar Dewa Arak dengan senyum terkembang di
bibir. "Aku tahu, mengapa Suraga memerintahkan Utusan dari Akherat
untuk membunuhmu! Kau tahu sebabnya? Ada beberapa hal yang
menjadi penyebabnya! Dan aku yakin dugaanku ini tidak salah!"
Dewa Arak menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil
napas.
"Pertama, kaulah yang menjadi penyebab tercegahnya penyerbuan
terhadap kelompok Sembada. Kedua, kalau Suraga memerintahkan
Utusan dari Akherat membunuh Smebada, sama saja dengan membuka
kedok sendiri."
Lagi-lagi Dewa Arak menghentikan penjelasannya.
"Lain halnya apabila kau yang dijadikan sasaran, Suraga akan
mendapat keuntungan ganda. Di samping tidak ada penghalang
penyerbuan atas diri Sembada. Semua penduduk akan menuduh
Sembada sebagai pelakunya. Dan tanpa diperintahkan lagi pun mereka
akan membunuh Sembada. Hasilnya. Jalan untuk menjadi kepala desa
akan terbentang luas bagi Suraga!"
"Fitnah!" teriak Suraga dan Jagapaksi hampir berbarengan.
Kakak beradik putra Ki Baijanala itu tampak geram bukan
kepalang. Hal yang sama pun menimpa penduduk desa para pengikut
mereka. Kecuali Sembada dan pengikut-pengikutnya. Hanya saja
mereka memilih sikap berdiam diri.
"Baiklah, kalau kau tidak mempercayainya, Jagapaksi. Sekarang
kuminta Suraga menjelaskan, keperluannya mendatangi bangunan tua di
dalam hutan, dan meletakkan gulungan surat serta buntalan uang itu
Asal kau tahu saja, Jagapaksi. Aku telah melihat hal ini sebelumnya,
menjelang terjadinya pembunuhan terhadap Bima Seta. Bukan kah
demikian. Kang Saraka?!"
"Benar, Arya," jawab Saraka sambil menganggukkan kepala. Lelaki
bertubuh kekar ini berada pada kelompok Jagapaksi.
"Dia bohong. Kang! Aku tidak pernah ke sana! Bahkan aku tak
pemah tahu sama sekali semua yang dikatakannya. Yang kutahu, saat
aku sadar tahu-tahu berada di sini!" bantah Suraga mencoba berhohong.
Jagapaksi menatap Dewa Arak dengan sorot mata memancarkan
kemenang an.
"Sayang sekali. Dewa Arak! Fitnahan kejimu tidak memberikan
hasil sama sekali. Hhh...! Sama sekali tak kusangka kalau kau memiliki
watak serendah ini! Entah bagaimana kalau dunia persilatan
mendengarnya!"
Dewa Arak dan Melati saling pandang. Keduanya sadar kalau
kedudukan mereka sekarang tidak menguntungkan. Ternyata Suraga
seorang yang berwatak licik. Sehingga dalam keadaan teijepit seperti itu
masih mampu menemukan alasan untuk menyelamatkan diri.
Tapi lagi-lagi sebuah pikiran cemerlang timbul di benak Dewa
Arak.
"Kuakui kalau alasan bohongmu telah membuat kami habis daya
untuk membuktikan, bahwa kau yang telah mengirimkan
perintah-perintah maut pada Utusan dari Akherat. Tapi, aku yakin ada
penduduk yang melihatmu menuju ke hutan. Merekalah yang akan
membuktikan kebohongan ceritamu. Nah! Wajah para penduduk Desa
Jarak yang merasa melihat kepeigian Suraga ke hutan, silakan
memberikan kesaksian. Apakah kalian rela melihat Sembada yang tidak
bersalah menjadi korban! Ingat, korban kekejian Suraga akan terus
berlangsung! Dan kalianlah yang akan merasakan akibatnya"
Kegaduhan langsung melanda penduduk Desa Jarak. Masalahnya
sebagian besar dari mereka memang melihat Suraga pergi ke hutan,
dengan memakai pakaian kuning. Bukan hanya dari kelompok Sembada,
tapi juga para pengikut Jagapaksi
Kesaksian pertama kali diberikan Saraka. Lelaki bertubuh kekar itu
mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Berturut-turut para penduduk
lainnya mengacungkan tangan.
Dewa Arak tersenyum lega. Di lain pihak, wajah Suraga berubah
pucat pasi.
"Apa lagi alasan yang kau berikan, Suraga?!" tanya Melati penuh
bernada ejekan.
Suraga diam. Dia tidak memberikan tanggapan sedikit pun atas
ejekan Melati.
Tanggapan yang jauh berbeda diberikan Jagapaksi. Tarikan wajah
putra tertua Ki Barjanala ini, tampak beringas. Kilatan sinar sepasang
matanya pun memancarkan kemarahan. Tapi itu semua bukan ditujukan
pada Melati, melainkan pada Suraga.
"Manusiaberhati binatang!" desis Jagapaksi, penuh geram. "Malah
binatang lebih baik daripada dirimu. Mereka tahu mengenal budi.
Binatang tak akan mencelakai orang yang telah menolong dan
merawatnya! Tidak seperti kau. Iblis Berwajah Manusia!"
Semua orang yang berada di situ, tak terkecuali Dewa Arak dan
Melati, merasa heran dan tidak mengerti mendengar ucapan Jagapaksi.
Mereka sama sekali tidak mengerti maksud ucapan itu.
Sementara itu Suraga tetap belum memberikan tanggapan. Dia
terdiam dengan raut wajah berubah-ubah. Sebentar pucat sebentar
merah.
"Rupanya kau lupa siapa dirimu sebenarnya. Iblis?! Dulu kau
seorang gembel kecil yang tidak berarti, tapi ayahku memungut, dan
menjadikanmu anak angkat! Kau hidup enak! Tapi apa balasanmu
sekarang. Iblis?!" lanjut Jagapaksi, dengan suara semakin meninggi.
'Tutup mulutmu, Jagapaksi!" setelah sekian lamanya berdiam diri,
Suraga balas memaki. "Kau terlalu melebih-1 ebihkannya! Selama aku
dipungut menjadi anak, tak sekali pun kurasakan adanya kasih sayang!"
Suraga menghentikan ucapannya untuk mengambil napas. Perasaan
marah yang menggeleg ak, membuat napasnya tereng ah-eng ah.
"Dulu aku selalu bertanya-tanya, mengapa Ki Barjanala yang
semula kuanggap ayah, membeda-bedakan kita. Dalam setiap
perselisihan yang teijadi, selalu aku yang disalahkan. Betapapun sebe¬
narnya aku berada di pihak yang benar."
Suraga kembali menghentikan ucapannya. Deru napasnya semakin
memburu seperti orang yang habis berlari jauh. Diaturnya napas agar
bisa melanjutkan ucapannya. Sementara semua orang yang berada di
situ, sekarang mulai mengetahui pokok permasalahan yang tengah
terjadi.
"Salah besar, baru kuketahui kalau diriku hanyalah seorang anak
angkat. Dan seiring dengan timbulnya kesadaran itu, dendamku pun
berkobar. Harus kubalas tindak ketidakadilan atas diriku. Untuk itulah
aku pergi meninggalkan kalian selama beberapa bulan. Aku terjun di
dunia orang-orang golongan hitam. Sampai akhirnya kudapatkan berita
adanya seorang tokoh yang berjuluk Utusan dari Akherat "
Kembali Suraga memutus ceritanya. Ditelannya liur untuk
membasahi tenggorokannya yang kering dan terasa getir.
"Akhirnya aku tahu, kalau Utusan d ari Akherat tengah berada tak
jauh dari Desa Jarak. Segera kususun rencana ini. Dan semuanya teijadi,
persis seperti yang kurencanakan. Sayang, di saat terakhir usahaku
gagal. Dan...!"
"Mampuslah kau. Iblis!"
Sebelum Suraga sempat mengakhiri ceritanya, Jagapaksi telah
meluruk ke arahnya sambil menu-sukkan golok. Hal itu membuat
Suraga kaget bukan kepalang Sedapat mungkin dia berusaha mengelak.
Tapi...
Jreppp!
Golok Jagapaksi dengan cepat dan keras sekali menghunjam perut
Suraga hingga tembus ke punggung! Seketika itu pula tubuh putra
angkat Ki Barjanala itu terbungkuk. Sepasang matanya membelalak
lebar.
Dan ketika Jagapaksi mencabut goloknya, tubuh Suraga pun
ambruk ke tanah. Darah segar berhamburan dari bagian pemtnya yang
tersobek lebar. Sesaat Suraga menggelepar-gelepar di tanah sebelum
akhirnya diam tidak bergerak lagi.
"Hhh...!"
Jagapaksi menghela napas. Sukar diketahui perasaannya saat itu.
Kemudian sambil menyarungkan golok, kembali dilayangkan
pandangannya ke tempat Dewa Arak dan Melati berada. Betapa terkejut
ketika dilihatnya sepasang pendekar muda itu tidak berada lagi di situ
Bukan hanya Jagapaksi yang merasa kaget. Semua penduduk pun
dilanda perasaan yang sama. Mereka tak tahu kapan Dewa Arak dan
Melati pergi.
Tak seorang pun yang mengetahui kalau Dewa Arak dan Melati
melesat meninggalkan tempat itu ketika melihat Jagapaksi
menyarangkan goloknya di perut Suraga.
Tentu saja bukan tanpa alasan Dewa Arak dan Melati pergi. Di
samping penyewa Utusan dari Akherat telah berhasil dilenyapkan,
mereka pun ingin segera menuju ke bangunan tua di dalam hutan.
Tujuan sepasang pendekar muda ini untuk melenyapkan Utusan dari
Akherat.
Untuk melaksanakan maksud itu hanya satu hal yang sapat mereka
lakukan, memberikan sebuah tugas kepada pembunuh bayaran itu. Dan
hal itu tidak perlu dibuat dengan susah payah lagi. Dewa Arak
menggunakan surat dan uang yang semula digunakan Suraga. Memang,
dia telah mengambilnya, tanpa seorang pun yang tahu.
***
Malam itu langit tampak agak cerah. Meskipun tak terlihat adanya
bintang, sinar bulan yang hampir bulat, memancar ke bumi tanpa
terhalang sedikit pun. Di angkasa tidak terdapat awan sama sekali.
Semua ini membuat keadaan bumi persada terlihat cukup tenang.
Di saat seperti itulah. Dewa Arak dan Melati telah siap dengan
tugasnya masing-masing. Mengintai rumah Jagapaksi dari cabang pohon
yang tersembunyi kerimbunan daun-daun.
Dewa Arak bersembunyi di pohon yang berada di depan, sementara
Melati di pohon belakang rumah. Cara itu dilakukan agar dapat
menceg ah hal-hal yang tidak diinginkan.
Entah berapa lama sudah menunggu di sana, baik Dewa Arak
maupun Melati tidak mengetahuinya. Yang jelas, sepasang muda-mudi
itu merasa sangat lama. Memang, menunggu adalah suatu pekeijaan
yang paling menyebalkan.
Dan rupanya Melati, yang memiliki watak tidak sabaran, kurang
kuat bertahan. Dan ini terbukti beberapa saat kemudian.
"Jangan-jangan Utusan dari Akherat tak datang. Kang. Barangkali
saja dia tahu kalau kita berniat menjebaknya?!" ucap Melati dengan
menggunakan ilmu pengirim suara dari jauh.
"Bersabarlah, Melati!" hibur Dewa Arak untuk menenangkan hati
gadis berpakaian putih itu. "Aku yakin. Utusan dari Akherat itu akan
datang. Mungkin..., ah! Benar, Melati. Aku melihat sesosok bayangan
hitam di kejauhan. Dia menuju ke tempat ini! Dia pasti Utusan dari
Akherat!"
"Kalau begitu..., aku akan ke sana. Kang!" sambut Melati penuh
gairah.
"Sabar sebentar. Melati! Dia masih cukup jauh. Lebih baik kau tetap
di tempatmu!" cegah Aiya.
Tanpa banyak membantah Melati mematuhinya. Kenyataan demi
kenyataan menunjukkan padanya kalau keputusan yang diambil Dewa
Arak selalu benar. Itulah sebabnya, sekarang pun dia segera
menurutinya.
Sementara itu. Dewa Arak tems memusatkan perhatian pada sosok
hitam yang tengah melesat cepat ke tempat tinggal Jagapaksi. Dari balik
kerimbunan dedaunan, pemuda berambut putih keperakan itu
memperhatikanny a.
Dugaan Dewa Arak ternyata tidak salah. Sosok hitam itu ternyata
orang yang pernah bertarung dengannya meski hanya sebentar.
Potongan tubuhnya masih dikenali betul! Ya, sosok itu adalah Utusan
dari Akherat!
Tampak di mata Dewa Arak, Utusan dari Akherat menolehkan
kepalanya ke sana kemari sebentar. Jelas dia tengah mengawasi keadaan.
Baru setelah itu, pembunuh bayaran yang tidak mengenal ampun itu,
melesat memasuki halaman rumah Jagapaksi
Saat itulah. Dewa Arak melompat tumn dari pohon tempatnya
bersembunyi.
Patut dipuji pendengaran Utusan dari Akherat. Sebelum Dewa Arak
sempat hinggap di tanah, sosok berpakaian hitam itu telah lebih dulu
menolehkan kepalanya. Tampaknya, pembunuh bayaran ini mendengar
desir angin!
"Uh," Utusan dari Akherat mengeluarkan keluhan tertahan dari
kerongkongannya begitu melihat sosok yang tengah melayang tumn itu
Dikenalinya sosok itu sebagai orang yang bertempur dengannya kemarin
malam.
Jliggg!
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, sekitar dua tombak di
hadapan Utusan dari Akherat, Dewa Arak langsung bersikap siaga.
Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau lawan kali ini memiliki
tingkat kepandaian yang tidak bisa diremehkan.
"Beri aku jalan. Anak Muda! Dan jangan coba-coba menghalangi
pekerjaanku kalau ingin selamat!" ancam Utusan dari Akherat dengan
suara pelan.
"Sayang sekali, Kisanak! Justru keberadaanku di sini untuk
menghalangi angkara murkamu! Orang seperti dirimu memang harus
dilenyapkan dari muka bumi!" tandas Aiya, tegas.
"Keparat!" desis Utusan dari Akherat bernada tajam. "Terpaksa aku
harus membunuhmu. Anak Muda! Terlalu berani kau menghalangi
tindakanku. Bersiap-siaplah untuk menerima kematian! Heaaat...!"
Usai berkata demikian. Utusan dari Akherat segera melesat
meneijang Dewa Arak. Kedua tangannya yang terkembang membentuk
cakar, diluncurkan cepat ke dada Dewa Arak. Melihat gerakan yang
dilakukan, lelaki berpakaian serba hitam ini seakan-akan ingin merobek
dada lawan dan mengambil isinya.
Wuttt!
Deru angin keras yang mengiringi tibanya serangan itu,
membuktikan kalau serangan itu didukung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Dewa Arak pun mengetahuinya. Hal itu karena dia pernah
bertarung dengan lelaki berpakaian hitam itu meski hanya dalam satu,
atau dua jurus.
Itulah sebabnya. Dewa Arak segera menjejakkan kaki. Tubuhnya
melayang ke atas melewati kepala lawannya. Dan ketika telah berada di
atas Utusan dari Akherat, tanpa ragu-ragu lagi pemuda berambut putih
keperakan ini mengayunkan kedua tangannya ke belakang kepala
lawannya. Apabila mengenai sasaran, cukup untuk mengirim nyawa
pembunuh bayaran itu ke neraka.
Namun, Utusan dari Akherat pun bukan tokoh sembarangan. Begitu
merasakan desir angin di belakang, dia langsung tahu adanya bahaya
mengancam. Maka, sambil membalikkan tubuh, kedua tangannya
disampokkan ke belakang.
Prattt!
Benturan keras dua tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi, tak
dapat dielakkan. Akibatnya tubuh kedua belah pihak sama-sama
terhuyung ke arah yang beri awan an
"Hup!"
Pada saat kedua kaki Dewa Arak mendarat di tanah. Utusan dari
Akherat pun berhasil memperbaiki kedudukannya. Sesaat mereka saling
pandang, tidak langsung menyerang seperti sebelumnya. Baik Dewa
Arak maupun Utusan dari Akln'int, merasakan betapa tangan mereka
sakit-sakit akibat benturan yang terjadi. Tampaknya tenaga dalam
mereka berimbang.
Utusan dari Akherat ternyata tak mau membuang-buang waktu.
Setelah bentrok untuk kedua kalinya, telah dirasakan sendiri kehebatan
lawan, dia tak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan ilmu andalan.
Wuk! Wuk! Wuk!
Bunyi menderu terdengar ketika Utusan dari Akherat mencabut dan
memainkan ganco yang menjadi senjata andalannya. Karena begitu
cepat gerakan yang dilakukan, bentuk senjata itu sampai lenyap! Yang
terlihat hanyalah sinar putih membungkus tubuhnya. Memang, ganco
Utusan dari Akherat berwarna putih mengkilat!
Melihat hal ini. Dewa Arak tak berani bertindak kepalang tanggung.
Disadari kalau lawan telah menggunakan ilmu andalan. Kalau tak
diladeni secara sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin nyawanya yang
akan lebih dulu melayang.
Maka buru-buru gucinya diambil. Kemudian dituangkan ke
mulutnya.
Gluk.... Gluk.... Gluk..!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan
Dewa Arak dalam perjalanannya menuju ke perut. Seketika itu pula ada
hawa hangat berputar di dalam perutnya, yang kemudian merayap ke
atas. Sesaat kemudian, kedua kaki Dewa Arak pun seperti tak mampu
menapak secara tetap lagi di tanah. Oleng ke sana kemari. Hal itu
sebagai pertanda kalau ilmu 'Belalang Sakti' nya telah siap untuk
dipergunakan.
"Haaat...!"
Seraya mengeluarkan teriakan keras yang membuat suasana di
sekitar tempat itu tergetar hebat. Utusan dari Akherat meluruk
mencrjang Dewa Arak. Ganco yang tergenggam di tangan, diayunkan
untuk membabat kepala.
Wukkk!
Desau angin yang keras terdengar mengiringi tibanya serangan itu.
Dari sini saja bisa diperkirakan kedahsyatan serangan itu. Dewa Arak
pun mengetahuinya. Meskipun demikian, dia tak merasa ragu-ragu
untuk memapaknya dengan ayunan guci.
Klanggg!
Bunga-bunga api bepercikan ke sana kemari, ketika ganco dan guci
berbenturan secara keras hingga memekakkan telinga. Baik Dewa Arak
maupun Utusan dari Akherat sama-sama terhuyung ke belakang. Hanya
saja Utusan dari Akherat terdorong lebih jauh.
Namun, dengan sebuah gerakan sederhana, kedua tokoh yang
sama-sama memiliki kepandaian tinggi ini berhasil mematahkan
kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung. Lalu, keduanya saling
terjang kembali. Pertarungan sengit pun berlangsung lagi.
Pertarungan itu berlangsung kian hebat. Bunyi menderu, mengaung,
dan berdecit menyemaraki jalannya pertarungan. Di sana-sini tanah
terbongkar, disertai debu mengepul tinggi ke udara. Tanpa terasa
pertarungan telah bergeser jauh dari tempat semula.
Pada jurus-jurus awal, pertarungan berlangsung imbang. Namun,
menginjak jums keseratus. Utusan dari Akherat mulai tampak terdesak.
Memang, tangan, kaki, guci, dan semburan arak dari Dewa Arak
merupakan paduan kekuatan yang mampu menggilas habis pertahanan
lawan.
Perlahan-lahan Utusan dari Akherat semakin teijepit.
Serangan-serangannya tampak semakin berkurang. Dia lebih banyak
mengelak dan menangkis. Tentu saja hal itu membuat kedudukannya
semakin terdesak.
Melihat hal itu. Utusan dari Akherat sadar, cepat atau lambat akan
roboh di tangan Dewa Arak. Disadari pula bahwa kepandaian pemuda
itu berada di atasnya. Kemenangan tak mungkin akan diraihnya. Maka
diputuskan kalau harus mati, maka matilah bersama lawannya.
Setelah mantap dengan keputusan ini. Utusan dari Akherat
bertindak nekat. Cara bertarungnya pun dirubah. Sekarang dipusatkan
perhatiannya untuk melancarkan serangan. Tidak dipedulikan lagi
pertahanannya yang terbuka di sana-sini. Yang dilakukannya tems
bergerak melancarkan serangan.
Ternyata hasil dari cara ini langsung terlihat, keadaan Utusan dari
Akherat langsung berubah. Kedudukannya tak lagi terdesak. Hal itu
mungkin karena Dewa Arak lebih banyak mengalah. Tampaknya
pemuda berambut putih keperakan itu melihat jelas, tindakan Utusan
dari Akherat yang sengaj a hendak mengadu nyawa.
Betapa tidak? Begitu Dewa Arak melancarkan serangan, tak
dipedulikannya sama sekali. Bahkan ikut melancarkan serangan pula.
Tentu saja Dewa Arak tidak mau meladeni tindakan gila itu. Pemuda
berambut putih keperakan itu mengalah sambil mencari celah-celah
yang dapat dimanfaatkan.
Pada jums keseratus dua puluh tiga, Utusan dari Akherat
membabatkan ganconya secara mendatar ke pinggang Dewa Arak.
Dengan perhitungan yang matang, pemuda berambut putih keperakan itu
melompat ke depan. Dan ketika berada di atas kepala lawan, tubuhnya
bersalto seraya mengayunkan guci ke kepala Utusan dari Akherat.
Utusan dari Akherat terkejut bukan kepalang melihat bahaya maut
yang mengancamnya. Dengan semampunya lelaki berpakaian hitam itu
mencoba mengelak.
Prakkk!
Bunyi berderak keras terdengar ketika kepala Utusan dari Akherat
pecah. Darah menyembur deras dari bagian yang terhantam guci.
Pembunuh bayaran ini pun langsung tewas.
Begitu mendaratkan kedua kakinya di tanah, Dewa Arak
menghembuskan napas berat. Ada sedikit peras aan menyes al di hatinya
melihat lawannya tewas dalam keadaan seperti itu. Tapi, apa boleh
buat?!
Dewa Arak mengalihkan pandangannya. Tampak Melati dan
Jagapaksi tersenyum lega. Kedua orang ini ternyata sudah sejak tadi
menyaksikan jalannya pertarungan. Jagapaksi keluar rumah karena
mendengar suara gaduh perkelahian.
Dewa Arak menyunggingkan senyum lebar. Kemudian kakinya
melangkah menghampiri Melati dan Jagapaksi.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Sumpah Sepasang Harimau
Emoticon