1
'Taksaka...! Anakku, di mana kau?!"
Seman teras itu terdengar berkali-kali dari
mulut seorang wanita muda berpakaian coklat.
Dengan mata berlinang dia mengawasi ke sana
kemari berusaha mencari putranya. Namun
sampai di tanah lapang berumput, tempat
Kakinya terus melangkah menyusuri semak-
semak, barangkali anaknya masih berada di situ.
Mulutnya terus-menerus menyerukan panggil¬
an terhadap sang Anak. Wanita berpakaian coklat
itu mengayunkan langkah seraya mengedarkan
pandangan ke sana kemari.
Namun tiba-tiba dia mengerutkan kening
ketika melihat dua sosok keluar dari rimbun
pepohonan tak jauh dari tempatnya berdiri.
'Keparat..! Kalian lagi rupanya...! Tak bosan-
bosannya kalian mengejar kami!" dengus wanita
berpakaian coklat itu penuh perasaan geram.
Dua sosok yang mengenakan pakaian serba hi¬
tam dan ikat kepala dengan warna sama tertawa
bergelak Kedua orang itu masing-masing hanya
mempunyai satu mata.
"Selama kau belum memenuhi permintaan
kami, jangan harap kalian berdua akan hidup
tenang!" tegas salah satu dari dua sosok itu, yang
mata kirinya buta.
"Benar!" sambung yang mata kanannya buta,
"Penuhilah permintaan kami! Percayalah, setelah
urusan yang kami maksud selesai, anakmu akan
kami kembalikan!"
'Tutup mulutmu, Kucing-kucing Picak!" sahut
wanita berpakaian coklat dengan nada menantang.
"Kalian boleh saja membawanya kalau mampu
melangkahi mayatku...!"
"Keparat!"
Hampir berbareng dua sosok berpakaian hitam
yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun,
menggeram marah. Julukan mereka sebenarnya
Sepasang Harimau Hitam, tetapi wanita
berpakaian coklat menyebut dengan julukan
Kucing-kucing Picak. Karuan saja keduanya
marah karena merasa tersinggung.
Namun ternyata bukan hanya Sepasang
Harimau Hitam itu yang bangkit kemarahannya,
wanita berpakaian coklat pun demikian. Diawali
teriakan keras yang melengking nyaring, dia
menegang Harimau Hitam yang picak sebelah kiri.
Jari-jari tangannya yang menegang kaku
disodokkan bertubi-tubi ke dada dan ulu hati
lawannya.
Bunyi berddtan nyaring mengiringi serangan
wanita berpakaian coklat. Hal itu membuat
Sepasang Harimau Hitam tidak berani bertindak
gegabah. Harimau Hitam yang picak mata sebelah
kanannya, langsung melompat menjauh.
Sedangkan kawannya yang mendapatkan
serangan, langsung menggeser kaki ke kanan,
sehingga serangan itu lewat di samping kiri
pinggangnya. Kemudian tangan kanannya yang
membentuk cakar menyambar cepat ke perut
wanita berpakaian coklat
Wanita berpakaian coklat terperanjat mendapat
serangan balasan yang tidak disangka-sangkanya
itu. Namun ia tak tampak kegugupan sedikit pun.
Buru-buru tubuhnya didayungkan ke belakang
seraya menarik pulang kedua tangannya. Namun
hanya sampai pertengahan jalan, karena
kemudian dengan kedudukan jari-jari tangan
mencakar, dipapaknya serangan lawan.
"Hih.J"
Prat! PratJ
Terdengar benturan teras ketika dua tangan
sama-sama dialiri tenaga dalam itu beradu.
Akibatnya, baik wanita berpakaian coklat maupun
lawannya terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang.
Lelaki berpakaian hitam menggeram murka
karena menyadari dalam gebrakan pertama tadi
dia hampir celaka! Maka sambil berteriak nyaring,
diteijangnya wanita berpakaian coklat yang
langsung menyambutinya. Sesaat kemudian,
kedua orang itu pun sudah terlibat dalam
pertarungan sengit. Kesempatan itu dimanfaatkan
oleh Harimau Hitam yang bermata picak sebelah
kanan untuk meninggalkan tempat pertarungan.
Sebab dia yakin kalau kawannya akan mampu
menghadapi perempuan itu. Jurus demi jurus
saling mereka keluarkan untuk berusaha
menjatuhkan lawan. Hingga pada satu ketika...,
"Hiaaa...!"
Bukkk!
"Hukh!"
Pekikan tertahan keluar dari mulut wanita
berpakaian coklat ketika pukulan Harimau Hitam
telak dan keras sekali mendarat di perutnya.
Seketika tubuhnya terbungkuk lalu terhuyung-
huyung ke belakang. Wajahnya yang merah
padam dengan sepasang mata membelalak lebar
memperlihatkan betapa hebat rasa sakit yang
dideritanya.
Namun lelaki berpakaian hitam itu tidak ber¬
henti hanya sampai di situ. Diburunya tubuh
wanita berpakaian coklat yang masih terhuyung-
huyung dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun.
Mungkin kalau serangan itu mengenai sasaran,
nyawa wanita berpakaian coklat sulit untuk dapat
diselamatkan.
Ketika keadaan benar-benar gawat mengancam
wanita berpakaian coklat, tiba-tiba....
Takkk!
"Akhhh!"
Harimau Hitam memekik tertahan ketika
merasakan sekujur tangannya bagaikan lumpuh.
Tubuhnya pun terdorong ke samping dan
terhuyung-huyung, bahkan hampir jatuh
terjengkang, kalau dia tidak cepat-cepat
menahannya. Dan begitu berhasil memperbaiki
kedudukan, Harimau Hitam yang mata kirinya
picak ini langsung mengarahkan pandangan 1«
tempat wanita berpakaian coklattadi berada.
Di hadapan wanita berpakaian coklat itu,
berdiri seorang pemuda berpakaian ungu.
Rambutnya yang berwarna putih keperakan dan
panjang hingga ke punggung dibiarkan tergerai
dipermainkan angin. Dan di bahu pemuda
berambut putih keperakan itu terpanggul sesosok
tubuh berpakaian putih.
Harimau Hitam menggereng keras laksana
binatang buas terluka. Dia merasa geram bukan
kepalang melihat kegagalan mengirimkan
serangan terakhir pada lawannya.
Walaupun tengah dilanda amarah yang
memuncak, Harimau Hitam bukan orang bodoh.
Dia tahu kalau pemuda berambut putih
keperakan itu tidak bisa disamakan dengan wanita
berpakaian coklat. Rasa sakit pada tangannya
akibat benturan yang teijadi telah memberikannya
petunjuk, kalau tenaga pemuda berambut putih
keperakan itu amat kuat dan jauh berada di
atasnya!
Oleh karena itu, tanpa sungkan-sungkan lagi
segera dihunus senjatanya. Sebuah golok yang
ujungnya terbelah dua, membiaskan sinar yang
menyilaukan mata ketika keluar dari sarungnya.
Singngng!
Bunyi mendesing yang cukup nyaring
terdengar ketika Harimau Hitam membabatkan
goloknya ke leher pemuda berambut putih
keperakan secara mendatar. Serangan itu begitu
cepat, sehingga yang terlihat hanya sekelebatan
sinar menyilaukan mata meluncur cepat ke arah
lawannya.
Namun pemuda berambut putih keperakan itu
sama sekali tidak memberikan tanggapan. Karuan
saja Harimau Hitam merasa heran bercampur
girang. Disangkanya pemuda itu bingung untuk
mengelakkan serangannya yang dilancarkan
secara cepat
Namun kegembiraannya hanya berlangsung
sekejap, berganti dengan keterkejutan hebat.
Ketika goloknya yang menghantam leher pemuda
berambut putih keperakan membalik, bagaikan
menghantam benda kenyal. Bunyi berdetak
nyaring mengiringi benturan mata golok pada leher
pemuda berambut keperakan. Tangan Harimau
Hitam bergetar, bahkan telapak tangannya
dirasakan panas.
Harimau Hitam terbelalak kaget, melihat ke¬
nyataan yang sama sekali tidak disangka-
sangkanya. Benarkah pemuda berambut putih
keperakan itu memiliki ilmu tebal, ataukah
memiliki tenaga dalam kuat sehingga kulitnya
tidak mampu ditembus goloknya. Rasanya
mustahil! Harimau Hitam tidak percaya!
Rasa tidak percaya membuat Harimau Hitam
memutuskan untuk melakukan serangan lagj.
Goloknya diputar-putar di depan dada sampai
lenyap bentuknya karena kecepatan putarnya.
Kemudian dengan diiringi teriakan melengking
nyaring, dikirimkan serangan berupa tusukan
bertubi-tubi ke arah ulu hati, dada, dan pusar.
Seperti juga sebelumnya, pemuda berambut
putih keperakan itu tak menunjukkan tanggapan
apa pun. Dia tetap berdiam diri dengan senyum
tersungging di bibir. Akibatnya, ujung-ujung golok
Harimau Hitam mengenai sasaran yang dituju
secara tepat. Namun seperti tadi, lelaki berpakaian
hitam itu tercengang dengan mata terbelalak.
"Bagaimana?" tanya pemuda berambut putih
keperakan ketika melihat Harimau Hitam terpaku
dengan golok di tangan, sehabis memperbaiki
kedudukannya yang terhuyung-huyung. "Masih
penasaran? Silakan, pilih bagian yang paling
empuk!"
Harimau Hitam menggeram keras. Kemudian
setelah mengeluarkan geraman keras, dibalikkan
tubuhnya dan berlari meninggalkan pemuda
berambut putih keperakan itu. Rupanya dia
menyadari kalau lawan yang dihadapi terlalu kuat
untuk dirinya!
Pemuda berpakaian ungu itu tidak mengejar.
Dia hanya menatap kepergjan lawannya hingga tu¬
buh berpakaian hitam itu lenyap di kejauhan. Ke¬
mudian dibalikkan tubuhnya, menghadapi wanita
berpakaian coklat yang bani saja selesai member¬
sihkan matanya dari debu.
'Terima kasih atas pertolonganmu...."
"Arya Buana. Panggil saja Aiya!" jabar pemuda
beramput putih keperakan yang tahu kalau wanita
berpakaian coklat itu mengalami kesulitan untuk
menyebutnya.
"Aku Nawangsuri. Tapi orang-orang biasa
memanggilku, Nawang," wanita berpakaian coklat
itu pun memperkenalkan diri.
"Harap turunkan aku, Arya! Aku sudah letih
segar sekarang," selak sosok berpakaian putih
yang berada di bahu Arya Buana. Pemuda
berambut putih keperakan yang di kalangan
persilatan lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak
itu tersenyum. Kemudian segera diturunkan sosok
berpakaian putih yang dipanggul di pundaknya.
"Ayah...!" seru Nawangsuri. Matanya terbelalak
tidak percaya ketika melihat sosok bepakaian putih
yang kini telah berdiri di depannya.
"Nawang...!"
Sosok berpakaian putih yang ternyata seorang
lelaki tua berambut putih, ikut berseru pula seraya
mengembangkan tangan menyambut uluran
tangan Nawangsuri. Sesaat kemudian ayah dan
anak itu saling berpelukan erat.
"Apa yang terjadi, Ayah?" tanya Nawangsuri
seraya melepaskan pelukannya. "Dan mengapa
Ayah terluka?"
"Ceritanya cukup panjang, Nawang," jawab le¬
laki tua berambut putih itu sambil menghela
napas berat "Kalau saja tidak ada Nak Arya ini,
mungkin aku telah tidak ada di dunia lagi
sekarang."
Kakek berambut putih itu menghela napas
berat lagi sebelum melanjutkan ucapannya.
Sementara Nawangsuri menunggu kelanjutannya
dengan sabar. Ayah dan anak seakan lupa akan
kehadiran Dewa Arak di situ.
"Begitu suratmu kuterima, aku langsung
berangkat untuk menjumpaimu. Tapi rupanya, hal
yang sangat kau rahasiakan itu telah tercium oleh
tokoh-tokoh persilatan. Maka, mereka secara
diam-diam menguntit kepergianku. Sayang, aku
tidak mengetahuinya. Dan baru setelah berada di
kaki gunung ini, secara kebetulan aku melihat
beberapa sosok bayangan. Karena curiga,
perjalanan tidak kulanjutkan. Hal itu rupanya
diketahui oleh para penguntitku, sehingga mereka
tidak sabar lagi dan memaksaku dengan
kekerasan untuk memberitahukan 1« mana aku
akan pergi. Dan karena aku tidak mau
mengatakan, pertarungan pun terjadi."
Sampai di sini kakek berambut putih itu
menghentikan ceritanya. Sementara Dewa Arak
yang sengaja membiarkan kedua syah dan anak
itu saling melepaskan rindu jadi termenung
sendiri. Dia teringat akan pengalaman yang
membuatnya berjumpa dengan lelaki tua itu dan
menolongnya.
***
Siang itu udara sangat panas. Mentari bersinar
terik seakan hendak membakar permukaan bumi.
Angin yang berhembus pun terasa kurang
nyaman Aiya yang tengah melakukan peijalanan
pengembaraan menyempatkan diri beristirahat di
tepi sungai. Tubuhnya disandarkan pada sebatang
pohon, duduk menghadap ke sungai. Tangannya
memegang ranting kecil dicelupkan ke air sungai.
Tentu saja Atya tidak memancing secara biasa.
Pemuda berpakaian ungu ini mengerahkan tenaga
dalam untuk menarik ikan agar dapat menempel
di ujung ranting yang dipegangnya. Sebuah hal
yang tidak sulit bagi seorang pendekar sakti seperti
Dewa Arak, yang memiliki tenaga dalam
sempurna.
Sesaat kemudian, tampak Aiya telah menarik
rantingnya yang dicelupkan ke dalam air. Dan, di
ujung ranting itu tampak bertengger beberapa ekor
ikan! Dengan senyum ceria, Aiya melemparkannya
ke darat, hingga ikan-ikan itu menggelepar-gelepar.
Aiya membuang pancing istimewanya, dan
bermaksud menangkap ikan-ikan yang sedang
menggelepar-gelepar itu. Tapi, gerakan tangannya
terhenti dan sepasang matanya menatap
membelalak ke sebelah kanannya! Keterkejutan
tampak jelas pada wajah dan sorot matanya.
Untuk pertama kalinya, Dewa Arak yang pandai
menyimpan perasaan tidak bisa menyembunyikan
keterkejutannya!
Berjarak dua tombak di sebelah kanannya,
tengah duduk seorang kakek yang sudah amat
tua. Tubuhnya yang kurus kering dan keriput,
terbungkus pakaian abu-abu. Rambut di
kepalanya serta kumis dan jenggotnya yang
panjang telah memutih. Bahkan bulu-bulu hidung
yang tampak menerobos keluar juga berwarna
putih. Seperti juga Arya, kakek ini tengah
memancing! Sikapnya tidak peduli, seakan-akan
tidak tahu kalau keberadaannya menyebabkan
Arya kaget bukan kepalang.
Dewa Arak tentu saja terkejut bukan kepalang.
Tadi, dia yakin benar kalau di tempat itu hanya
ada dirinya, tidak ada orang lain lagi. Namun,
mengapa kakek berpakaian abu-abu ini bisa
berada di situ tanpa diketahuinya. Dari sini saja
Arya dapat memperkirakan ketinggian ilmu kakek
itu. Setidak-tidaknya kehebatan ilmu meringankan
tubuhnya, sehingga keberadaannya di tempat itu
tidak terdengar. Padahal, Arya mempunyai
pendengaran yang sangat tajam! Tanpa dapat
mencegah lagi, Arya merasakan jantung di
dadanya berdebar tegang.
***
2
Menyadari kalau kakek berpakaian abu-abu
itu bukan orang sembarangan, Dewa Arak tidak
berani bertindak gegabah. Dirinya tidak ingin
melakukan tindakan yang menyebabkan teijadi
bentrokan antara mereka. Maka dia pun berpura-
pura tak melihat keberadaan kakek berpakaian
abu-abu. Lalu segera memunguti ikan-ikan yang
berhasil didapatnya.
"Sayang sekali...! Dunia persilatan sedang
goncang dan kacau, tapi seorang pendekar muda
bersenang-senang memuaskan perut dan bersikap
tidak peduli. Hhh... sungguh memprihatinkan!"
Suasana di sekitar tempat itu hening, tak heran
kalau ucapan yang meskipun tidak keras itu,
terdengar nyaring dan jelas tertangkap telinga Arya.
Untuk kedua kalinya, tangan pemuda berambut
putih keperakan itu terhenti. Sebagai seorang
pendekar yang meskipun masih muda namun
memiliki pengalaman cukup banyak, Arya tahu
kalau ucapan itu ditujukan pada dirinya.
Meskipun asal suara itu tidak jelas, dirinya berani
bertaruh kalau kakek berpakaian abu-abu itulah
yang mengucapkannya. Sebab, hanya mereka
berdualah yang berada di tempat itu.
Yakin akan kebenaran dugaannya membuat
Arya semakin menyadari kehebatan kakek
berpakaian abu-abu itu. Suara yang terdengar
tanpa dapat diketahui asalnya, dan seperti berasal
dari delapan penjuru itu telah membuatnya benar-
benar yakin akan ketinggian ilmu yang dimiliki si
kakek berpakaian abu-abu.
Meskipun tahu kalau sindiran itu ditujukan
padanya, Arya tidak merasa tersinggung sama
sekali. Dilepaskan ikan-ikan yang baru
digenggamnya, lalu dilayangkan pandangan 1«
arah kakek berpakaian abu-abu, dia berharap
kakek itu akan menoleh kepadanya dan
menjelaskan maksud ucapan tadi.
Namun, keinginan Dewa Arak tidak terkabul.
Kakek berpakaian abu-abu itu tidak menoleh
sama sekali, tetap sibuk dengan rantingnya yang
dicelupkan 1« dalam air sungai. Kenyataan itu
membuat Arya agak ragu, benarkah kakek
berpakaian abu-abu yang mengucapkan
perkataan yang jelas-jelas ditujukan padanya?
Untuk sesaat pemuda berambut putih
keperakan itu itu tercenung di tempatnya. Namun,
rasa penasaran yang kuat memaksanya untuk
mengayunkan kaki menghampiri kakek
berpakaian abu-abu yang tetap tidak
menunjukkan tanggapan apa pun. Seakan-akan
dia tidak tahu kalau Dewa Arak tengah
kebingungan dan penasaran.
"Maaf..., mengganggu sebentar, Kek," ucap Arya
sopan, setelah berada di dekat kakek itu. Si kakek
berpakaian abu-abu tetap tidak menoleh, seakan
tak mengetahui kehadirannya. 'Apakah kau yang
telah mengucapkan kata-kata tadi, Kek?"
"Kalau benar mengapa, Anak Muda?" tanya
kakek berpakaian abu-abu tanpa mengalihkan
pandangan dari rantingnya.
Tidak apa-apa, Kek," jawab Atya cepat "Maaf,
aku merasa berterima kasih sekali mendapat
pemberitahuan itu, apalagi jika Kakek bersedia
memberikan penjelasan ucapanmu itu."
"Haha ha...!"
Mendadak kakek berpakaian abu-abu itu ter¬
tawa tergelak sambil menoleh ke arah pemuda di
sampingnya. Dewa Arak seketika terbelalak kaget,
karena mengenal siapa adanya kakek ini.
"Kiranya kau, Kek...! Kau..., kau... Ki Jaran
Sangkar! Ah, sampai hati kau mempermainkanku,
Kek" seru Aiya agak terputus-putus karena kaget
"Haha ha...!"
Kakek berpakaian abu-abu yang ternyata Jaran
Sangkar, tertawa terbahak-bahak dengan tarikan
wajah menyiratkan kegembiraan. Seperti juga
Arya, dia merasa gembira dengan pertemuan ini.
"Kau masih tetap seperti dulu, Atya. Sabar dan
tidak mudah terpancing amarah."
"Kau bisa saja, Ki," jawab Atya agak malu-malu.
Sekarang pemuda berambut putih keperakan
itu tidak merasa penasaran sama sekali dengan
kejadian-kejadian menakjubkan yang dialaminya
barusan. Dirinya tahu kalau Jaran Sangkar
memiliki kepandaian sukar untuk diukur. Untuk
mengetahui lebih jelas tentang Jaran Sangkar,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode:
"Kembalinya Raja Tengkorak."
"Oh, iya, Ki. Bisa kaujelaskan maksud ucapan¬
mu tadi?" pinta Aiya setelah beberapa saat
lamanya terlibat percakapan dengan si kakek sakti
itu.
"Aku pun hanya mengetahui secara kebetulan
saja, Aiya," jawab Jaran Sangkar dengan raut wa¬
jah sungguh-sungguh. "Dunia peralatan akan
terancam bahaya besar, apabila anak ajaib ini
terjatuh ke tangan tokoh golongan hitam."
"Bisa kau ceritakan lebih jelas lagi, K?" tanya
Arya penasaran. Karena apabila seorang tokoh
sakti seperti Jaran Sangkar sampai khawatir, bisa
dipastikan masalah itu bukan main-main.
"Seorang tokoh sakti golongan putih yang se¬
karang telah menjadi kakek-kakek dan beijuluk
Prajurit Kerajaan Dewa, mendapat surat dari
anaknya. Isi surat itu menceritakan bahwa anak
wanita satu-satunya telah melahirkan seorang
bocah ajaib.
Sejak bocah ajaib masih bayi, anak Prajurit
Kerajaan Dewa itu, beserta sang Suami terpaksa
membawanya kabur, meninggalkan tempat
kediamannya. Mereka mengasingkan diri di
tempat yang tersembunyi selama bertahun-tahun.
Anak Prajurit Kerajaan Dewa baru mengirim surat
ketika bayinya telah berusia sepuluh tahun. Tapi
sayang, entah bagaimana, isi surat itu bocor dan
Prajurit Kerajaan Dewa dikuntit tokoh-tokoh
persilatan. Mereka bermaksud mengambil bocah
ajaib itu secara paksa dari ibunya. Asal kau tahu
saja, Aiya, meskipun masih bocah, kepandaiannya
luar biasa!"
Jaran Sangkar menghentikan ucapannya seje¬
nak untuk mengambil napas dan membasahi
tenggorokannya. Atya, meskipun merasa
penasaran dan tertarik untuk segera
mendengarkan kelanjutan cerita itu, terpaksa
menunggu dengan sabar.
"Meskipun aku tahu kepandaian Prajurit Kera¬
jaan Dewa amat tinggi, tapi aku yakin dia tidak
akan sanggup menghadapi tokoh-tokoh persilatan
yang menginginkan cucunya. Dan bila bocah itu
sampai jatuh ke tangan tokoh golongan hitam, ber¬
arti bencana bakal datang bagi dunia peralatan....
Aku yakin, tak akan ada seorang tokoh pun yang
sanggup menentang angkara murka bocah ajaib
itu!"
"Kalau begitu, biar aku menyediakan tenagaku
yang tidak seberapa ini untuk mencegah teijadinya
bencana mengerikan itu, Ki!" ujar Aiya menawar¬
kan diri.
"Memang demikian seharusnya, Aiya! Seka¬
rang, pergilah kau ke Gunung Pangrango!"
Setelah berkata demikian, Jaran Sangkar lalu
bersiul. Suaranya keras bukan kepalang,
membuat Aiya terpaksa mengerahkan tenaga
dalam karena merasakan dadanya tergetar hebat.
Diam-diam pemuda berambut putih keperakan itu
merasa heran melihat tindakan yang dilakukan
Jaran Sangkar.
Namun keheranan Atya berganti keterkejutan
ketika mendengar bunyi kelepak sayap burung be¬
sar. Dilihatnya seekor burung garuda berwarna
kuning keemasan menukik turun sambil memekik
nyaring melengking. Daun-daun pohon bergetar
hebat oleh kekuatan tepak sayap burung yang
dalam sekejap saja telah hinggap di depan Jaran
Sangkar.
"Angkasa, bawa kawanku ini ke Gunung
Pangrango! Patuhi perintahnya," ucap Jaran
Sangkar seperti berbicara pada manusia. "Dan
ingat, setelah Itu kau harus kembali lagi kemari.
Mengerti?"
Burung garuda emas yang tingginya hampir
menyamai Aiya itu mengeluarkan bunyi seakan-a¬
kan mengayakan. Jaran Sangkar pun mempersila¬
kan Dewa Arak naik di pungung burung raksasa
itu.
Dewa Arak bimbang. Namun karena dirinya
percaya penuh pada Jaran Sangkar, lag pula
perjalanan menuju Gunung Pangrango amat jauh,
segera memberanikan diri menaiki punggung
Angkasa, si Burung Raksasa itu. Sesaat kemudian,
burung garuda emas itu terbang membawa tubuh
Arya serta menuju tempat tujuan yang bila
ditempuh dengan ilmu lari cepat memakan waktu
berhari-hari.
***
Pada saat yang bersamaan dengan terbangnya
garuda emas, kakek berambut putih yang tidak
lain Prajurit Kerajaan Dewa, mulai melihat adanya
sosok-sosok bayangan yang menguntitnya. Kini dia
berada di kaki Gunung Pangrango. Kakek beram¬
but putih itu pun menghentikan peijalanannya.
"Keluar kau, Pengecut Hina!" seru Prajurit Ke¬
rajaan Dewa dengan lantang. Matanya mengawasi
ke sekelilingnya, yang berupa hamparan padang
rumput di luar hutan.
"Haha ha...!"
Suara-suara tawa yang teras dan tidak sedap
didengar telinga langsung menyambuti seruan Pra¬
jurit Kerajaan Dewa. Menilik dari banyaknya tawa,
bisa diketahui kalau pemiliknya tidak hanya satu
orang. Ternyata benar. Sesaat kemudian sebelum
suara tawa itu lenyap, berkelebat sesosok
bayangan yang langsung berdiri di depan Prajurit
Kerajaan Dewa.
Tak kusangka! Semakin tua, mata dan telinga¬
mu semakin tajam saja, Prajurit!" seru sosok yang
baru datang itu dengan senyum sinis terkembang
di wajahnya.
Sosok yang berdiri di hadapan Prajurit
Kerajaan Dewa terlihat aneh. Sesosok tubuh
manusia bertubuh dan kepala dua. Namun kedua
sosok itu berdiri dengan sepasang kaki. Secara
jelasnya sosok itu adalah dua orang. Namun sosok
yang satu lagi berdiri atau lebih tepatnya lagi
bertengger di leher sosok yang lain, karena sosok
itu tidak mempunyai batang kaki lagi. Kedua
kakinya putus, sampai ke pangkal paha.
Usia sosok yang tidak mempunyai kaki itu sulit
untuk diterka, tapi yang jelas tak kurang dari lima
puluh tahun. Wajahnya bersih tanpa terhias bulu.
Sebuah topi bundar yang bertengger di atas kepala
membuat wajahnya sulit untuk dikenali.
Sosok yang satu lagi, walaupun memiliki sepa¬
sang kaki lengkap, tidak lebih beruntung dari
rekannya, karena sepasang matanya buta. Dengan
memanggul si buntung dia pun memperoleh
keuntungan dari jerih payahnya itu. Dengan
sepasang mata si buntung, dia tidak akan
mengalami kesukaran untuk berjalan. Kedua
sosok ini bisa saling menutupi kekurangan
masing-masing.
Bagi orang awam mungkin melihat kedua
orang ini akan menimbulkan rasa iba. Namun
tidak demikian halnya bagi tokoh-tokoh persilatan.
Justru kedua sosok cacat ini ditakuti karena
kepandaian dan kekejamannya.
Lelaki yang berkaki buntung itu terkenal seba¬
gai seorang bajak laut yang merajai berbagai
sungai, menyebar kejahatan. Kejahatannya
semakin merajalela setelah sepasang kakinya
dibuntungi oleh seorang pendekar yang berusaha
mencegah ke angkaramurkaannya. Hal yang sama
pun menimpa kawannya. Ftendekar yang
melakukan hal itu tak lain Prajurit Kerajaan Dewa,
belasan bahkan mungkin puluhan tahun lalu.
Itulah sebabnya kedua tokoh hitam yang
sebenarnya mempunyai julukan Nelayan
Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti
mengenal Prajurit Kerajaan Dewa. Berbeda
dengan kedua tokoh hitam itu yang langsung
mengenali musuh bebuyutannya, Prajurit
Kerajaan Dewa tidak demikian. Dia tertegun
sesaat, memperhatikan kedua sosok ganjil itu.
"Ah, kiranya kalian, Iblis-iblis Haus Darah! Apa¬
kah peristiwa belasan tahun lalu belum membuat
kalian kapok? Apakah kedatangan kalian kemari,
mencegat perjalananku untuk balas dendam?!"
"Kau salah duga, Prajurit!" sahut lelaki berkaki
buntung yang beijuluk Nelayan Pemancing Nyawa.
"Kami tidak bermaksud membalas dendam pada¬
mu! Bukankah demikian, Petani?!"
Lelaki bermata buta yang beijuluk Petani Berja¬
ri Sakti, menganggukkan kepala.
"Apa yang dikatakan Nelayan Pemancing Nya¬
wa tidak salah, Prajurit Kerajaan Dewa! Kami tidak
bermaksud membalas dendam atas perlakuanmu
belasan tahun lalu. Kalau kami mau tentu saja
telah kami lakukan ketika kami melihatmu
meninggalkan tempat kediaman beberapa hari
yang lalu!"
Prajurit Kerajaan Dewa bukan orang bodoh. Dia
takkan begitu saja menelan mentah-mentah u-
capan tokoh-tokoh golongan hitam yang telah ter-
biasa bertindak licik itu. Prajurit Kerajaan Dewa ti¬
dak percaya dua tokoh sesat itu akan membiarkan
begitu, saja persoalan mereka. Pasti ada alasan
lain. Dan dia bisa memperkirakan alasan itu.
'Tidak usah berpura-pura baik hati, Nelayan
Pemancing Nyawa, Petani Berjari Sakti!" tukas Pra¬
jurit Kerajaan Dewa, tegas. "Aku tahu, orang-orang
macam apa kalian! Jadi tak ada gunanya berbo¬
hong, lebih baik katakan maksud kalian yang
sebenarnya...!"
"Ha ha ha...!" Nelayan Pemancing Nyawa ter¬
tawa bergelak untuk menenangkan hatinya karena
Prajurit Kerajaan Dewa dapat menebak maksud
mereka. "Memang lebih baik berterus terang terha¬
dap orang seperti dirimu, Prajurit! Ketahuilah,
kami bersedia tidak memperpanjang persoalan
lama apabila kau bersedia menunjukkan di mana
putrimu!"
"Sudah kuduga maksud kalian ke sana!" sahut
Prajurit Kerajaan Dewa. 'Tapi jangan harap aku
akan membentahukannya! Aku, Prajurit Kerajaan
Dewa, bukan orang yang takut mati! Tak akan ku¬
beritahukan di mana putriku berada meskipun
untuk itu nyawaku harus melayang! Majulah
kalian, Manusia-manusia Busuk!"
"Keparat! Kau mencari mati, Prajurit! Rupanya
kau merasa bangga karena dapat mengalahkanku
dulu! Tapi, sekarang jangan harap
kemenanganmu akan terulang! Kau akan menjadi
mayat tanpa kubur di sini! Hih!"
Srrr!
Prajurit Kerajaan Dewa segera merendahkan
rubuhnya ketika senjata Nelayan Pemancing
Nyawa meluncur ke arah kepalanya. Senjata lelaki
berkaki buntung yang ternyata sebatang pancing,
lengkap dengan tali, dan mata kailnya hampir saja
mengenai pelipis. Untung lelaki tua itu bertindak
cepat. Prajurit Kerajaan Dewa tahu apabila mata
kail berhasil mendarat pada sasaran, nyawanya
akan melayang 1« alam baka.
Namun belum juga Prajurit Kerajaan Dewa
sempat berbuat sesuatu, Petani Berjari Sakti telah
melancarkan tendangan kaki kanan. Semula yang
dituju adalah perut atau dada, tapi karena Prajurit
Kerajaan Dewa, tengah merendahkan tubuh, se¬
rangan itu cepat beralih ke kepala.
Prajurit Kerajaan Dewa terkejut bukan kepa¬
lang, tapi sedikit pun tak ada rasa gugup. Dilempar
tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali
di udara untuk menjauhkan diri. Sehingga
serangan Petani Berjari Sakti hanya mengenai
tempat kosong.
Petani Berjari Sakti dan Nelayan Ftemandng
Nyawa tidak hanya bertindak sampai di situ.
Ketika Prajurit Kerajaan Dewa melompat jauh ke
belakang, mereka berdua memburunya.
Kemudian kedua tokoh sesat itu melancarkan
serangan bertubi-tubi yang membuat Prajurit
Kerajaan Dewa tidak bisa tinggal diam.
Pertarungan sengit pun berlangsung.
Dalam gebrakan-gebrakan pertama, hanya Ne¬
layan Pemancing Nyawa yang mempergunakan
senjata. Namun seterusnya baik Petani Berjari
Sakti maupun Prajurit Kerajaan Dewa
mengeluarkan senjata masing-masing. Lelaki
bermata buta itu mempergunakan senjata khas
petani, cangkul bergagang melengkung. Senjata
yang menggiriskan hati karena Prajurit Kerajaan
Dewa diumpamakan tanah yang akan
dicangkulnya.
Sementara Prajurit Kerajaan Dewa seperti juga
kedua lawannya memiliki senjata khas prajurit
kerajaan. Sebuah golok dilengkapi dengan sebuah
perisai baja berbentuk bundar dan dipegang di
tangan kiri. Lengan kiri dimasukkan di tali
belakang perisainya.
Prajurit Kerajaan Dewa ternyata masih mampu
menunjukkan kelihaiannya. Meskipun cangkul Pe¬
tani Berjari Sakti berkelebat ke sana kemari mem¬
buru sasaran, lelaki tua berjubah putih itu masih
mampu mengatasi lawannya. Dengan senjata
berupa cangkul itu tampaknya Petani Berjari Sakti
tak mampu menembus pertahanan lawan. Ke
mana saja cangkulnya menyambar, perisai lawan
telah siap menangkis dan dengan kuatnya
melindungi tubuh Prajurit Kerajaan Dewa. Sialnya
lagi, sekali perisai itu menangkis cangkul, selalu
dibarengi dengan sabetan golok yang tiba-tiba dan
tak terduga. Hal inilah yang menyebabkan Petani
Berjari Sakti mati kutu.
Untung saja ada Nelayan Pemancing Nyawa.
Lelaki berkaki buntung itu terus berusaha menye¬
lamatkan kawannya dengan melancarkan
serangan, membuat Prajurit Kerajaan Dewa
terpaksa harus membatalkan serangannya.
Serangan pancing Nelayan Pemancing Nyawa
benar-benar luar biasa. Senjatanya yang lentur bila
sudah dialiri tenaga dalam, tidak begitu saja dapat
ditangkis dengan perisai sebab arah serangannya
sulit untuk diduga.
Kalau saja kedua lawannya maju satu persatu,
tentu Prajurit Kerayaan Dewa sanggup
menghadapi dengan senjata khasnya. Meskipun di
dalam hati dia mengakui tingkat kepandaian
kedua lawannya kini telah mengalami banyak
perkembangan. Dua lawan untuk dihadapinya
secara bersamaan terlalu berat. Apalagi masing-
masing memiliki kemampuan istimewa dan
senjata unik. Itu pun masih ditambah lagi dengan
keija sama yang kompak, saling melindungi dan
memperkuat serangan. Perlahan tapi pasti Prajurit
Kerajaan Dewa berhasil didesak. Pancing di tangan
Nelayan Pemancing Nyawalah yang membuatnya
kerepotan.
Semakin lama kedudukan Prajurit Kerajaan
Dewa semakin mengkhawatirkan. Pada saat
memasuki jurus kelima puluh serangan-serangan
yang dilancarkan hampir tidak ada lagi. Dia hanya
mampu bergerak ke sana kemari mengelak sambil
menangkis serangan gencar lawan. Lelaki tua
berjubah putih itu terus terdesak mundur. Hingga
satu ketika...,
"Hiaaa...!"
Prattt!
"Akh...!"
Prajurit Kerajaan Dewa terpekik kaget ketika
mata kail yang cukup besar merobek tengkuknya.
Seketika darah mengalir keluar dari bagian yang
terluka. Kakek berpakaian putih ini tidak sempat
mengelak atau menangkis serangan, karena
tubuhnya dalam keadaan terhuyung-huyung,
setelah memapak cangkul Petani Berjati Sakti.
Selain itu, dia pun baru saja mengelak dari
babatan gagang pancing yang berkelebat cepat.
Namun senjata Nelayan Pemancing Nyawa itu
memang luar biasa karena dapat melancarkan
serangan ganda. Batang pancing dan mata kailnya
menyambar dari arah yang berbeda dan sasaran
yang dituju pun berbeda - beda juga.
***
3
Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berian
Sakti tampaknya tak ingin memberi kesempatan
pada lawannya untuk memperbaiki kedudukan.
Keduanya tidak ingat lagi akan maksud semula
untuk memaksa Prajurit Kerajaan Dewa
memberitahukan tempat putrinya berada. Yang
ada di benak mereka itu hanya ingin melenyapkan
nyawa lawannya.
Bahkan karena begitu tak sabar, Nelayan
Pemancing Nyawa melompat dari pundak
rekannya. Tubuhnya memburu Prajurit Kerajaan
Dewa dengan pukulan telapak tangan 1« dada
lawan.
Pada saat yang bersamaan, Petani Beijari Sakti
pun mengayunkan cangkulnya ke arah pinggang
kanan. Apabila kedua serangan ini mengenai
sasaran, tak ampun lagi bagi lelaki tua beijubah
putih itu. Nyawanya pasti akan melayang seketika.
Meskipun tengah berada dalam keadaan
mengkhawatirkan. Prajurit Kerajaan Dewa masih
mampu mempertunjukkan kalau dirinya seorang
tokoh persilatan yang punya nama besar. Dalam
keadaan terhuyung-huyung itu, dia masih
sanggup mengayunkan perisainya untuk
memapak sambaran cangkul.
Klangngng!
Kedudukan yang tidak menguntungkan, ditam¬
bah lagi dengan tenaganya yang telah terkuras,
membuat tubuh Prajurit Kerajaan Dewa
terhuyung-huyung ke samping. Bahkan akibat
benturan teras itu perisainya terlepas dari
pegangan.
Namun justru akibat benturan itu, Prajurit Ke¬
rajaan Dewa selamat dari marabahaya. Hantaman
telapak tangan Nelayan Pemancing Nyawa tidak
mengenai sasaran yang dituju, melainkan bahu
kiri! Sungguh pun begitu, cukup untuk membuat
tubuh Prajurit Kerajaan Dewa terjengkang ke
belakang dengan menyemburkan darah dari
mulutnya.
Sementara, Nelayan Pemancing Nyawa setelah
berhasil memasukkan serangan langsung
melompat kembali ke belakang leher Petani Berjari
Sakti.
Dengan sorot mata penuh perasaan menang
Nelayan Pemancing Nyawa menatap Prajurit Kera¬
jaan Dewa yang tergolek di tanah, tidak berdaya.
"Sekarang terimalah kematianmu, Prajurit!" se¬
ru Nelayan Pemancing Nyawa dengan suara berge¬
tar karena amarah yang meluap. Sedangkan
Petani Berjari Sakti hanya menganggukkan kepala,
pertanda membenarkan ucapan rekannya.
"Hih!"
Seperti telah disepakati sebelumnya, Nelayan
Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti secara
serentak melancarkan serangan. Nelayan Peman¬
cing Nyawa menggerakkan senjata uniknya,
sehingga tali pancingnya membelit batang pancing.
Dengan gerakan cepat batang pancing itu ditusuk-
kan ke arah mata Prajurit Kerajaan Dewa.
Sedangkan Petani Berjari Sakti mengayunkan
cangkulnya ke arah paha Prajurit Kerajaan Dewa.
Rupanya, kedua tokoh hitam ini telah bersepakat
untuk membalas sakit hati mereka belasan tahun
lalu. Gempuran demi gempuran terus dilancarkan
ke tubuh lelaki tua berpakaian putih itu, tanpa
dapat dicegah sedikit pun. Meskipun Prajurit
Kerajaan Dewa tetap berupaya mengelak dan
menangkis, tak urung serangan gencar itu berkali-
kali mendarat di tubuhnya. Darah pun terus
mengalir dari tengkuk, dada, perut yang terluka
oleh senjata kedua lengannya.
Prajurit Kerajaan Dewa semakin parah karena
sudah tidak mampu untuk menggelakkan atau
menangkis serangan itu. Keadaan tubuhnya
benar-benar sudah tidak berdaya lagi. Luka parah
yang diderita, serta tenaganya yang telah terkuras
habis membuat orang tua itu tak mampu berbuat
banyak guna menghentikan tindakan kedua tokoh
hitam yang menjadi musuh bebuyutannya.
Di saat-saat marabahaya akan menimpa Praju¬
rit Kerajaan Dewa, mendadak terdengar pekikan
melengking nyaring yang dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga Nelayan
Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti kaget.
Sejenak kedua tokoh hitam itu menggigil menahan
kekuatan suara dahsyat yang belum ketahuan
dari mana asalnya. Dengan sendirinya serangan
terhadap Prajurit Kerajaan Dewa pun terhenti.
Keduanya merasakan tenaga dalam yang mereka
kerahkan tiba-tiba lenyap seketika.
Hal itu pun tak luput dialami oleh Prajurit Ke¬
rajaan Dewa yang sudah parah.
Namun Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani
Berjari Sakti sama-sama tokoh hitam yang sangat
tangguh. Keduanya tampak mengerahkan seluruh
kemampuan tenaga dalam, menguar kekuatan
aneh yang mengungkung tubuh mereka. Namun
sayang, sebelum keduanya sempat berbuat
sesuatu, dari atas meluncur dua rentetan angin
pukulan dahsyat ke arah mereka. Angin pukulan
yang mengandung hawa panas menyengat
menandakan kalau pemiliknya memiliki tenaga
dalam berhawa panas yang sangat kuat.
Kedua tokoh hitam berkaki buntung dan mata
buta itu tampaknya menyadari ada bahaya
mengancam jiwa mereka. Dengan cepat keduanya
melompat menghindari serangan dahsyat itu.
Seketika terdengar ledakan menggelegar. Debu
mengepul tinggi 1« udara disertai dengan
berpentalannya bongkah-bongkahan tanah 1«
udara, menutupi pandangan.
Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari
Sakti merasa geram bukan kepalang dengan ada¬
nya gangguan ini. Mereka tahu ada orang sakti
yang telah menolong calon korban. Kehebatan
tokoh yang jelas di atas Prajurit Kerajaan Dewa
bisa mereka rasakan dari dahsyatnya pukulan
jarak jauh yang tertuju pada mereka.
Walaupun demikian, Nelayan Pemancing Nya¬
wa dan Petani Benari Sakti tampaknya tak merasa
gentar sedikit pun. Bahkan keduanya bertekad un¬
tuk menyingkirkan perintang itu sekaligus. Dan
karena rasa tidak sabar untuk melaksanakan
maksud itu, keduanya segera mengerahkan tenaga
dalam guna mengusir debu tebal yang
menghalangi pandangan mata mereka. Sehingga
sesaat kemudian suasana telah kembali seperti
sediakala.
***
Ketika debu telah teruar, tampak berdiri tegap
di hadapan mereka seorang pemuda berambut pu¬
tih keperakan, yang tak lain Dewa Arak. Namun
kedua tokoh hitam itu kaget ketika mereka tak me¬
lihat Prajurit Kerajaan Dewa. Rupanya ketika kea¬
daan tempat itu diliputi debu tebal, Dewa Arak
dengan cepat menyingkirkannya ke tempat yang
aman.
"Hai...! Siapa kau, Monyet Kedi?! Sungguh be¬
rani kau mencampuri urusanku?" geram Nelayan
Pemancing Nyawa penuh kemarahan. Sedangkan
Petani Benari Sakti, yang tidak bisa melihat hanya
berdiri dengan tarikan wajah menyiratkan
kebingungan.
"Arya..., namaku Arya Buana. Dan orang yang
hendak kalian bunuh itu adalah kawanku. Itulah
sebabnya aku terpaksa ikut campur," jawab Dewa
Arak.
"Kalau begitu, nyawamu lebih dulu yang akan
kukirim ke akherat!"
Sambil mengucapkan ancaman begitu, lelaki
berkaki buntung itu telah mengayunkan senjata
uniknya. Mata kailnya meluncur cepat menjadi
sinar kehitaman yang menyambar ke arah leher
Dewa Arak. Sedangkan batang pancingnya
berkelebat cepat menusuk ke ulu hati. Dua buah
serangan maut!
Sementara itu Petani Beijari Sakti yang tadi
hanya mendengar percakapan rekannya langsung
melancarkan serangan pula. Lelaki buta ini
melancarkan serangan dengan tusukan dua jari
tangan kanan dan kirinya. Tentu saja karena
jaraknya yang cukup jauh, jari-jari Petani Beijari
Sakti tidak akan menyentuh sasaran, tapi ternyata
di ani keistimewaan lelaki buta itu. Tidak percuma
mendapat julukan Petani Beijari Sakti, karena
angin serangannya pun sudah cukup berbahaya!
Angin serangan jari-jarinya tak kalah dengan
tusukan senjata tajam! Mampu melubangi sasaran
dari jarak jauh!
Serangan yang dilancarkan kedua tokoh hitam
itu ternyata sangat dahsyat. Namun bagi Dewa
Arak hal itu tentu saja dianggap biasa. Pemuda
berambut putih keperakan itu seolah-olah tak
mempedulikan serangan Petani Beijari Sakti.
Serangan itu dibiarkan saja. Yang dihadapinya
hanya serangan Nelayan Pemancing Nyawa. Itu
pun dengan cara yang luar biasa.
Serangan mata kail yang melesat ke leher dari
arah kanan, dikandaskan dengan kibasan tangan
kirinya yang menimbulkan hembusan angin kuat.
Mata kail pun terhempas ke arah lain. Sedangkan
tusukan batang pancing dielakkan hanya dengan
meliukkan tubuh ke kanan tanpa menggeser kaki.
Nelayan Ftemandng Nyawa dan Petani Berjari
Sakti hampir tidak percaya dengan apa yang dili¬
hatnya. Keduanya tak menduga kalau pemuda itu
akan demikian mudah mematahkan serangan-se¬
rangan mereka.
Namun yang lebih kebingungan lagi Petani Ber¬
jari Sakti. Meskipun matanya tidak dapat melihat,
tapi dengan pendengarannya yang tajam, dapat
mengetahui kalau lawan tidak mengelak. Dan
serangan yang diakukan diketahui mengenai
sasaran. Namun tidak ada akibat lanjutan yang
didengar selain bunyi angin tusukan jari-jarinya
merobek baju lawannya. Ternyata benar, hasil
yang didapat pendengaran Petani Berjari Sakti
sesuai dengan kenyataannya.
Kegagalan serangan yang dilakukan, tak mem¬
buat Nelayan Ftemandng Nyawa dan Petani Berjari
Sakti kapok. Bahkan sebaliknya serangan-
serangan lanjutan yang jauh lebih dahsyat segera
dilancarkan. Hal itu terjadi karena rasa penasaran
dan amarah yang menggelegak.
Terjangan-terjangan dua tokoh hitam itu
disambut secara hangat oleh Dewa Arak. Pemuda
berambut putih keperakan itu tidak hanya
mengelak dan menangkis, tapi juga balas
menyerang sehingga pertarungan pun
berlangsung. Pertarungan kini beijalan jauh lebih
seru dan menarik daripada ketika bertarung
dengan Prajurit Kerajaan Dewa.
Seperti juga Prajurit Kerajaan Dewa, Atya pun
mengalami sedikit kesulitan dalam menghadapi
kedua lawannya yang bergabung dan bekeija
sama secara aneh ini. Mereka bisa saling mengjsi,
saling menguatkan serangan, dan memperkokoh
pertahanan. Hingga pertarungan telah beijalan
selama dua puluh jurus, Dewa Arak tetap belum
mampu mengatasi kehebatan serangan kedua
lawannya. Padahal dirinya telah mengeluarkan
ilmu-ilmu andalan yang diwarisi dari almarhum
ayahnya, Pendekar Ruyung Maut, yaitu ilmu
Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu
'Sepasang Tangan Penakluk Naga'. (Untuk
jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam
episode: "Pedang Bintang").
Keadaan seperti itu pun tampaknya dialami pi¬
hak Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjati
Sakti. Mereka tak mampu menekan pertahanan
lawan. Kedua belah pihak sama-sama mengalami
kesulitan untuk mengungguli dan menggempur
pertahanan lawan. Pertarungan itu pun
berlangsung seimbang dan kian seru.
"Hey.J"
Dewa Arak berseru kaget ketika melihat ada
sesosok tubuh berpakain merah tiba-tiba melesat
mendekati tempat Prajurit Kerajaan Dewa berada.
Dewa Arak langsung bisa memperkirakan hal
yang akan teijadi. Sosok berpakaian merah itu
hendak mengail di air keruh, mengambil
keuntungan di saat kedua belah pihak yang
tengah memperebutkan Prajurit Kerajaan Dewa,
sibuk saling serang. Oleh karena itu, Dewa Arak
tidak berani bertindak lambat Sambil
menjatuhkan tubuh ke tanah untuk
menyelamatkan diri dari serangan kedua
lawannya, dikirimkan pukulan jarak jauh dengan
tangan kiri 1« arah sosok berpakaian merah.
Apabila sosok berpakaian merah itu meneruskan
maksudnya tentu akan terhantam pukulan jarak
jauh Dewa Arak.
Jalan untuk lolos dari serangan pemuda
berbaju ungu itu hanya mengurungkan maksud
dengan melompat menghindarinya. Namun
dugaan Dewa Arak ternyata meleset. Sosok
berpakaian merah itu memang tak meneruskan
maksudnya, namun dengan cepat dikibaskan
tangan kirinya menangkis serangan jarak jauh
Dewa Arak, Hingga....
Glarrr!
Ledakan keras seperti halilintar menyambar
terdengar, ketika dua buah angin pukulan itu
berbenturan di tengah jalan. Akibatnya, baik Dewa
Arak maupun sosok berpakaian merah sama-
sama teijengkang ke belakang. Bahkan keduanya
langsung jatuh dan bergulingan di tanah. Namun
Dewa Arak segera mengerahkan kembali tenaga
dalamnya mematahkan tenaga dorong itu. Hal
yang sama dilakukan pula oleh sosok berpakaian
merah. Tanpa menemui kesulitan sedikit pun,
kedua tokoh itu mematahkannya.
Sekarang, keduanya berdiri berhadapan dalam
jarak sekitar enam tombak. Pertarungan antara
Dewa Arak dengan Nelayan Pemancing Nyawa dan
Petani Benari Sakti langsung terhenti. Bukan ka¬
rena dua tokoh hitam itu tidak suka melakukan
bokongan di saat lawan tidak siap. Keduanya
tengah dilanda keterkejutan menyaksikan
kedatangan tokoh berpakaian merah itu.
"Resi Ganda Wisesa...," desis Nelayan Pe¬
mancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti hampir
bersamaan dengan mata terbelalak.
Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari
Sakti mengenal betul tokoh berpakaian merah
yang mereka sapa dengan panggilan Resi Ganda
Wisesa. Seorang kakek yang tinggal di Gunung
Merapi. Tokoh itu terkenal me mili ki banyak ilmu
tingkat tinggi yang aneh-aneh. Namun yang
membuat namanya lebih dikenal orang karena
sepak terjangnya yang menggiriskan. Resi Ganda
Wisesa terkenal sebagai tokoh sakti yang me mili ki
watak kejam.
Berbeda dengan Nelayan Pemancing Nyawa dan
Petani Berjari Sakti, Arya tidak mengetahui sosok
berpakaian merah itu merupakan tokoh yang
ditakuti karena kepandaian dan kekejamannya.
Dia hanya dapat memperkirakan kalau lawannya
kali ini amat tangguh, berdasarkan perbenturan
tenaga dalam tadi.
Kenyataan ini membuat Dewa Arak bersikap
hati-hati. Hal yang sama pun dilakukan pula Resi
Ganda Wisesa, karena tahu kalau pemuda beram¬
but putih keperakan itu meskipun usianya masih
muda, tak dapat dianggap remeh.
Meskipun demikian, kakek berpakaian merah
itu tidak merasa gentar. Tidak tersirat dalam
pikirannya akan ada orang lain. Apalagi pemuda
yang dapat menandingi kemampuan ilmunya.
Selama ini dirinya belum pernah menemukan
tokoh yang mampu menandingi ilmu silatnya, baik
dari golongan hitam maupun putih.
"Aku pernah mendengar adanya seorang tokoh
baru di dunia persilatan. Seorang pendekar muda
yang me mili ki kesaktian menakjubkan dan
terkenal dengan julukan Dewa Arak. Apakah kau
orangnya, Macan Kedi?!" tanya Resi Ganda Wisesa
dengan nada memandang rendah, setelah
memperhatikan Aiya dari ujung rambut sampai
ujung kaki beberapa saat lamanya.
"Ah, berita itu terlalu dilebih-lebihkan. Mana
bisa dibandingkan dengan kepandaian Kakek,"
jawab Aiya tenang dan merendahkan diri. Sama
sekali tak terpancing dengan sikap lawan yang
meremehkannya.
Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari
Sakti terkejut bukan kepalang ketika mengetahui
kalau pemuda itu ternyata Dewa Arak. Seorang pe¬
muda yang julukannya telah menggemparkan
dunia persilatan. Kini rasa penasaran yang sejak
tadi menyelimuti hati mereka karena tak mampu
mengalahkan pemuda itu sirna! Kabar yang
tersebar mengenai kesaktian Dewa Arak telah lama
mereka dengar.
Keterkejutan yang melanda hati dua tokoh hi¬
tam itu tidak dialami Resi Ganda Wisesa. Kakek
berpakaian merah tidak merasa kaget sama sekali
mendengar Dewa Arak membenarkan dugaannya.
Resi Ganda Wisesa tetap yakin kalau kepandaian¬
nya berada di atas Dewa Arak. Meskipun telah ba¬
nyak tokoh hitam rimba persilatan bertekuk lutut
kepada pendekar muda berambut putih
keperakan itu.
"Haha ha...!"
Resi Ganda Wisesa yang bertubuh kedi kurus
dan berwajah tirus mirip tikus, tertawa bergelak.
Lelaki tua ini memang memiliki watak sombong
dan senang dipuji, maka sambutan Dewa Arak
yang bernada memuji, membuatnya merasa
bangga bukan kepalang.
"Kau memiliki watak yang menyenangkan hati¬
ku, Dewa Arak. Dan saat ini hatiku memang
tengah merasa senang. Pergilah, jangan
mencampuri urusan ini! Aku tidak ingin
memperpanjang masalah ini!"
Terima kasih atas kebaikan hatimu, Kek. Tapi
sayang sekali, aku tidak bisa memenuhi
permintaanmu. Sebab, urusan ini ada sangkut-
pautnya dengan diriku pula. Aku hanya dapat
memenuhi permintaanmu jika kau biarkan
Prajurit Kerajaan Dewa pergi bersamaku!"
Seterika wajah Resi Ganda Wisesa berubah
mendengar kata-kata Dewa Arak yang meskipun
diucapkan dengan lemah lembut, tapi
mengandung ketegasan. Kakek kedi kurus itu
rupanya memahami benar maksud Dewa Arak.
"Pemuda tidak tahu diri! Dikasih hati kau
malah meminta jantung! Jangan harap aku akan
memenuhi permintaan gilamu itu, Bocah
Sombong!"
"Kalau begitu, terpaksa aku melupakan kebo¬
dohan sendiri dan mencoba untuk menentangmu,
Kek," ujar Aiya masih dengan sikap tenang.
"Kalau begitu..., kaulah yang lebih dulu harus
kulenyapkan, Bocah Sombong! Agar tak ada
halangan bagiku membawa Prajurit Kerajaan
Dewa...."
"Hikhikhik!"
Tiba-tiba sebuah tawa melengking panjang dan
menggetarkan menyambut ucapan lelaki tua
berpakaian merah itu. Red Ganda Wisesa yang
bersiap hendak melancarkan serangan tentu saja
terkejut. Serta-merta wajahnya menoleh ke arah
suara itu berasal.
"Heh...?!"
Nelayan Pemancing Nyawa pun tersentak ka¬
get, ketika mendongakkan kepalanya. Begitu pula
Dewa Arak. Mereka hampir tak percaya melihat so¬
sok manusia melayang di angkasa. Hanya si Petani
Berjati Sakti celingukan.
Meskipun tahu suara tawa melengking tadi ber¬
asal dari atas, dia tak dapat melihat, karena mata¬
nya buta!
***
4
Ternyata pendengaran tokoh-tokoh itu tidak
salah. Di atas mereka, tampak seorang nenek
berambut panjang meriap tengah duduk dengan
angkuhnya di punggung seekor garuda berwarna
putih. Ketiga tokoh persilatan terlongong bengong,
keheranan, menyaksikan perempuan tua itu.
"Siluman Goa Langit! Turunlah untuk
menerima hukuman dariku atas kelancangan
mulutmu!" seru Resi Ganda Wisesa teras karena
kemarahan yang melanda. Kakek ini memang
tinggi hati dan selalu tak ingin diremehkan. Suara
tawa Siuman Goa Langit dianggap meremehkan
dirinya.
Siluman Goa Langit tetap memperdengarkan
suara tawanya yang melengking tinggi. Kemudian
mendadak, diawali jeritan melengking nyaring,
burung garuda putih itu meluruk menyambar Resi
Ganda Wisesa.
Resi Ganda Wisesa terkejut bukan kepalang,
melihat kecepatan gerak burung tunggangan
Siluman Goa Langit. Dia hanya melihat sinar putih
berkelebat dari atas dan tahu-tahu sudah diserang
bertubi-tubi oleh cakar dan paruh serta sayap
besar burung raksasa itu.
Serangan itu hebat sekali. Namun Resi Ganda
Wisesa memang seorang tokoh yang
berkepandaian tinggi sekali. Ffengalamannya yang
banyak di rimba persilatan membuatnya tetap
tenang menghadapi serangan itu. Dengan cepat
dia menggerakkan tongkat yang semula
menyangga tubuhnya. Tongkat itu ternyata hanya
berupa sarung saja karena di dalamnya
tersembunyi sebatang pedang yang berwarna
hitam legam.
Dengan kecepatan tinggi pedang hitam legam
itu digerakkan hingga membentuk lingkaran-
lingkaran besar dan kedi. Kemudian dari dalam
lingkaran-lingkaran itu melesat ujung pedang
menusuk dengan cepat dan bertubi-tubi 1« arah
burung garuda yang tengah menyerangnya.
Serangan hebat Red Ganda Wisesa tidak hanya
membuat Siluman Goa Langit mendecak kagum,
tapi juga Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani
Berjari Sakti. Dewa Arak pun tampak menggeleng-
gelengkan kepala. Namun burung garuda itu pun
seakan mengetahui kekuatan lawannya. Karena
begitu menghadapi serangan maut dari pedang
hitam itu, secara aneh dan cepat sekali garuda
putih mampu merubah gerakannya. Tubuhnya
berkelebat menyelinap di antara gulungan sinar
pedang guna menyelamatkan diri. Sesaat
kemudian terbang di atas kepala Resi Ganda
Wisesa, menunggu kesempatan baik untuk
melakukan serangan.
"Hi hi hi...!"
Siluman Goa Langit meledakkan tawa gembira
bernada ejekan terhadap Resi Ganda Wisesa. Hal
itu membuat wajah kakek berpakaian merah
padam karena amarah yang bergolak. Dia tahu
nenek berambut panjang itu menertawakan
kegagalannya.
"Rampas pedangnya, Manis!" sem Siluman Goa
Langit seakan-akan tak menghiraukan kemarahan
yang tengah melanda hati lawannya.
Kemarahan Resi Ganda Wisesa kian
memuncak mendengar ucapan itu. Dia
menyangka Siuman Goa Langit mengucapkan
perkataan seperti itu untuk mengejeknya. Dia tahu
kalau burung itu berbeda dengan burung lainnya
karena Siluman Goa Langit telah mendidiknya
agar dapat mengerti perintah-perintahnya.
Mendengar seruan tuannya, burung raksasa
itu lalu melabrak dengan sayap dan cakar-
cakamya berusaha merampas pedang Resi Ganda
Wisesa. Burung garuda putih itu memukulkan
kedua sayap ke arah kepala Resi Ganda Wisesa,
disusul cengkeraman-cengkeraman kedua kakinya
ke arah pedang hitam yang tems berkelebat
menyerangnya.
Mengetahui maksud lawannya, Resi Ganda
Wisesa terkejut. Serangan-serangan garuda itu,
terutama sekali sepasang sayapnya dirasakan
sangat dahsyat. Setiap kali bergerak, pasti
menghempaskan angin keras yang membuat
rambut dan pakaian Resi Ganda Wisesa berkibar
keras. Sedikit banyak hal itu mempengaruhi
penglihatan kakek berpakaian merah itu.
Aiya, Nelayan Pemancing Nyawa, dan Petani
Beijari Sakti memperhatikan jalannya pertarungan
dengan hati berdebar tegang di samping rasa
tertarik.
Memang pertarungan yang berlangsung cukup
menarik dan mengiriskan hati. Pertarungan
antara seorang manusia sakti menghadapi seekor
burung raksasa yang terlatih berkelahi dan
bahkan seperti mengetahui ilmu silat. Sejauh itu
belum nampak di antara keduanya yang bakal
memenangkan pertarungan unik itu, baik Resi
Ganda Wisesa maupun garuda putih masih tetap
saling menyerang.
Ketika pertarungan menginjak jurus ketiga
puluh dua, mendadak garuda putih mengeluarkan
bunyi aneh yang membuat Siluman Goa Langit
terkejut campur girang.
'Mari pergi dari ani, Manis," bujuk Siluman
Goa Langit dengan lembut penuh kasih sayang.
Tanpa menunggu perintah dua kali, garuda
putih itu melesat cepat meninggalkan Resi Ganda
Wisesa. Tentu saja kakek berpakaian merah ini tak
mau membiarkan begitu saja. Hatinya telah
telanjur marah dan hanya akan bisa tenang
apabila telah memberikan hajaran atau merenggut
nyawa burung itu. Bahkan kalau bisa sekalian
dengan pemiliknya.
Oleh karena itu, dengan kemarahan meluap-
luap dilancarkan pukulan jarak jauh dengan
menghentakkan tangan kanannya ke arah garuda
yang tengah melesat. Namun sungguh di luar
dugaan, burung raksasa itu mampu
mengelakkannya dengan cara luar biasa! Dan
kemudian terbang jauh meninggalkan tempat
pertarungan.
Pada saat yang bersamaan dengan perginya
burung tunggangan Siluman Goa Langit, Dewa
Arak yang sudah bisa menduga kalau
pertarungannya dengan Resi Ganda Wisesa dapat
berlangsung kembali, segera menyambar tubuh
Prajurit Kerajaan Dewa. Dia melesat cepat
meninggalkan tempat itu.
Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Beijari
Sakti terkejut bukan kepalang mengetahui
tindakan Dewa Arak. Mereka ingin mencegah tapi
sayang tidak sempat, karena keduanya tadi
memusatkan perhatian pada pertarungan.
Meskipun demikian, kedua tokoh hitam itu ti¬
dak tinggal diam dan langsung melesat mengejar.
Mengetahui apa yang teijadi, Resi Ganda Wisesa
pun melakukan hal yang sama, meskipun agak
terlambat.
Mengagumkan sekali ilmu meringankan tubuh
Resi Ganda Wisesa. Sehingga meskipun Nelayan
Pemancing Nyawa dan Petani Beijari Sakti telah
lebih dulu melesat, dia mampu menyusul.
Meski begitu, untuk menyusul Dewa Arak,
kakek kedi kurus ini tidak mampu. Jarak antara
mereka tetap tak berubah seperti semula.
Kenyataan itu membuat Resi Ganda Wisesa yang
mempunyai watak tinggi hati, merasa penasaran
bukan kepalang. Dia tidak mau kalah oleh orang
yang letih pantas menjadi cucunya. Maka segera
dikerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya
untuk mengejar.
Kejar-mengejar antara dua tokoh sakti yang
berbeda usia dan kepentingan itu pun teijadi.
Bentuk tubuh keduanya lenyap. Yang tampak
hanya bayangan ungu dan merah berkelebatan
dalam bentuk yang tidak jelas.
Dewa Arak tahu kalau Resi Ganda Wisesa
mengejarnya. Dia pun menyadari untuk
meninggalkan kakek berpakaian merah itu
tidaklah semudah seperti meninggalkan Nelayan
Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti. Maka
pemuda berambut putih keperakan itu segera
memilih jalan yang dipenuhi dengan semak
belukar, dan pepohonan.
Siasat Dewa Arak ternyata tidak sia-sia karena
Resi Ganda Wisesa tampak mulai tertinggal. Kakek
itu mengalami kesulitan untuk melakukan
pengejaran karena terhalang semak-semak dan
pepohonan.
Hanya dalam beberapa saat, Dewa Arak telah
aman dari kejaran Resi Ganda Wisesa. Prajurit
Kerajaan Dewa yang telah percaya pada Arya
setelah tadi mendengar kalau penolongnya
ternyata Dewa Arak, tanpa ragu-ragu
memberitahukan tujuannya. Hatinya semakin
gembira ketika tahu kalau pemuda berambut
putih keperakan itu memang bermaksud
menolongnya dari kejaran orang-orang peralatan
atas petunjuk Jaran Sangkar.
Dewa Arak akhirnya terus menyertai Prajurit
Kerajaan Dewa yang ingin menjumpai putrinya.
Sehingga akhirnya mereka bertemu, ketika
Nawangsuri tengah dipaksa oleh Sepasang
Harimau Hitam.
-t—t—t-
"Begitulah ceritanya, Nawang," ucap Prajurit
Kerajaan Dewa, mengakhiri penuturannya sejak
dari dia pergi meninggalkan tempat kediamannya.
"Ah...! Lagi-lagi Dewa Arak...! Terima kasih atas
pertolonganmu, Dewa Arak. Entah bagaimana
caranya kami, ayah, dan anak untuk membalas
kebaikanmu ini," ucap Nawangsuri seraya
menatap pemuda berambut putih keperakan yang
berdiri tak jauh di depannya, dengan sorot mata
memancarkan rasa kagum.
"Lupakanlah!" ujar Aiya dengan tarikan wajah
malu hati melihat sikap Nawangsuri yang begitu
bersyukur. "Aku hanya kebetulan saja berhasil
menyelamatkan kalian berdua. Lalu, bagaimana
dengan anakmu...?!"
Aiya mengucapkan pertanyaannya secara
pelan, tapi bagi Nawangsuri tak kalah kerasnya
dengan ledakan halilintar! Pertanyaan Dewa Arak
mengingatkannya kembali pada anak yang tengah
dicarinya.
Keterkejutan Nawangsuri membuat Atya serta
Prajurit Kerajaan Dewa yang telah sembuh dari
lukanya merasa heran bercampur khawatir. Sikap
wanita berpakaian coHat itu telah memberi
pertanda akan teijadinya hal-hal yang tak
diinginkan.
"Apa yang terjadi, Nawang?" tanya Prajurit
Kerajaan Dewa, tak mampu menyembunyikan
kecemasan harinya.
'Taksaka tadi minta izin untuk pergi bermain.
Kami pesan agar dia tidak pergi jauh-jauh. Tapi dia
tidak kembali-kembali, maka aku menyusulnya
sampai di sini. Itu pun setelah suamiku pergi
menyusul dan belum kembali!"
Prajurit Kerajaan Dewa dan Aiya saling
pandang setelah mendengar penjelasan
Nawangsuri. Meskipun tidak berbicara tapi satu
sama lain keduanya saling mengerti arti tatapan
yang hanya sekilas itu. Sama-sama khawatir akan
teijadinya sesuatu pada diri Taksaka. Sebab,
tokoh-tokoh persilatan telah mengetahui tempat
Nawangsuri dan suaminya serta Taksaka berdiam.
Kedatangan Sepasang Harimau Hitam telah
mempeijelas kenyataan itu.
"Kalau demikian tak ada salahnya kalau aku
ikut mencarinya, Dewa Arak," ucap Prajurit Keraja¬
an Dewa dengan raut muka tegang karena
khawatir kalau-kalau Taksaka telah jatuh ke
tangan tokoh-tokoh persilatan yang memang
tengah berusaha mendapatkannya.
Baru saja Aiya bermaksud membuka mulut,
pendengarannya yang tajam menangkap adanya
suara mencurigakan. Maka maksudnya
dibatalkan. Sehingga ucapan yang keluar dari
mulutnya berbe-da dengan maksud sebelumnya.
"Awas, ada orang datang!" bisik pemuda
berambut putih keperakan itu pada Nawangsuri
dan Prajurit Kerajaan Dewa.
Ayah dan anak yang sama-sama memiliki
kepandaian tinggi itu memusatkan perhatian pada
pendengaran, begitu mendengar ucapan Dewa
Arak. Mereka ingin membuktikan kebenarannya,
tapi usaha itu sia-sia karena bunyi yang dimaksud
Aiya begitu halus. Mereka tak mampu
menangkapnya.
Meskipun demikian tak berarti Dewa Arak
berbohong dengan ucapannya tadi, karena sesaat
kemudian terdengar suara mendengus keras.
"Kau boleh pergi sesuka hatimu, Dewa Arak!
Tapi, jangan harap dapat lolos dari tanganku! Ke
ujung langit sekalipun kau akan kukejar!"
Aiya dan Prajurit Kerajaan Dewa tersentak
kaget ketika mengenali siapa pemilik suara itu.
Duga an keduanya ternyata tidak salah. Sesaat
kemudian, di hadapan mereka telah berdiri
seorang kakek berpakaian merah, Resi Ganda
Wisesa.
"Aku bukan seorang pengecut seperti yang kau
tuduhan, Kek! Aku melarikan diri dari dirimu
bukan karena takut, tapi karena tak ingin
bertarung denganmu. Aku tidak punya urusan
apa pun denganmu!"
"Jangan salah, Dewa Arak! Sapa bilang antara
kita tak ada urusan? Kau telah lancang berani
mencampuri urusanku. Itu berarti sebuah
tantangan terhadapku. Padahal, aku tak pernah
menolak setiap tantangan yang ditujukan padaku!
Bersiaplah untuk menerima kematian, Dewa
Arak!" ujar Resi Ganda Wisesa, keras dan tegas.
"Sebenarnya, kalau saja saat ini tak ada urusan
lain yang lebih penting, dengan senang hati aku
bersedia meminta pelajaran darimu. Dan...."
'Tidak usah banyak mulut, Dewa Araki Kata¬
kan saja kalau kau takut dan mengaku kalah,
maka aku akan melepaskanmu! Urusan
denganmu akan kuputuskan sampai di ani!"
sergah Resi Ganda Wisesa, penuh kesombongan.
Wajah Dewa Arak langsung berubah. Amarah
mulai membakar harinya. Resi Ganda Wisesa
terlalu sombong. Terlalu menghinanya! Hal ini
tidak bisa dibiarkan karena sudah menyangkut
harga dirinya selaku seorang pendekar.
"Baiklah, Resi Ganda Wisesa," ujar Arya dengan
suara berat dan sikap gagah. Kemarahan
membuat suaranya agak bergetar. "Kau yang me¬
maksaku. Jadi jangan salahkan kalau aku
bertindak kurang ajar, berani menentang tokoh
tua sepertimu!"
'Tidak usah banyak bacot, Dewa Arak!
Mulutmu tak ubahnya mulut wanita, Cerewet!
Kalau berani tak usah bicara lagi, ayo serang aku!"
"Mulutmu terlalu tajam Resi Ganda! Majulah!
Seranglah aku! Bukankah kau yang menginginkan
pertarungan ini?!"
"Kalau begitu, bersiaplah untuk menerima
seranganku, Dewa Geblek!"
Sambil mendengus begitu Resi Ganda Wisesa
menancapkan tongkatnya di tanah. Kemudian,
kedua tangannya diputar di depan dada secara
cepat, hingga terlihat seperti berjumlah banyak.
Tangan kakek ini bagaikan puluhan pasang
banyaknya! Inilah ilmu andalan yang bernama
Tangan Seribu'!
’Heaaa...!"
Kemudian, dengan diawali teriakan teras dan
menggetarkan Resi Ganda Wisesa melompat
menerjang. Dari suara teriakannya saja telah dapat
diketahui, bahwa kakek berpakaian merah itu
mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Sesaat
Nawangsuri dan Prajurit Kerajaan Dewa harus
mengerahkan tenaga dalam mengatasi pengaruh
getaran dari suara dahsyat itu.
Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah.
Disadari betul kedahsyatan yang terkandung
dalam serangan Resi Ganda Wisesa. Bukan hanya
karena kekuatan tenaga dalam yang tersimpan
dalam setiap serangan, tapi kecepatan gerak kedua
tangan itu pun sulit untuk diketahui arah yang
dijadikan sasaran.
Penilaian seperti itu yang didapat oleh Prajurit
Kerajaan Dewa dan anaknya. Mereka segera
berlompatan menjauhi kancah pertarungan ketika
melihat gerakan tangan Resi Ganda Wisesa yang
meluncur ke arah Dewa Arak.
Tidak demikian halnya dengan Dewa Arak. Me¬
mang ketika jaraknya masih cukup jauh, dia
tampak bingung untuk memperkirakan sasaran
yang akan dituju kedua tangan yang seperti
berjumlah puluhan pasang itu. Namun, ketika
serangan-serangan itu telah menyambar dekat,
dirinya baru bisa mengetahui. Serangan tangan
kanan menuju ke arah pelipis, sedangkan yang kiri
menyambar dengan cengkeraman ke perut.
Apabila salah satu dari kedua serangan mengenai
sasaran, cukup untuk mengirim nyawa Dewa Arak
menuju bang kubur.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa
Arak langsung memapak kedua serangan itu.
Serangan ke arah pelipis ditangkisnya dengan
tangan kiri. Sedangkan yang menuju ke perut,
dipapak cepat dengan sikap jari tangan juga
membentuk cakar.
"Heaaa...!"
Takkk! Prat!
Suara keras terdengar ketiga dua pasang
tangan yang sama-sama mengandung tenaga
dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, baik tubuh
Dewa Arak maupun Resi Ganda Wisesa terdorong
dua langkah ke belakang. Dari sini saja kedua
belah pihak tahu kalau tenaga dalam lawan
berimbang dengan tenaga dalam sendiri.
Dewa Arak yang memang sudah menduga
kalau Resi Ganda Wisesa merupakan lawan yang
amat tangguh, tidak terkejut mengalami kejadian
itu. Bahkan semakin membuatnya harus
bertindak hati-hati, karena merasakan sendiri
betapa hebat kekuatan tenaga dalam lawan.
Namun tidak demikian halnya dengan Resi
Ganda Wisesa. Hasil benturan tadi membuatnya
merasa penasaran bukan kepalang. Penasaran
bercampur kemarahan, di samping
ketidakpercayaan yang menggelora. Benarkah ada
seorang pemuda memiliki tenaga dalam sekuat
dirinya? Baginya mustahil!
***
5
Kedua perasaan itulah yang menyebabkan Resi
Ganda Wisesa melancarkan serangan kembali.
Kedua tangannya seperti telah berubah menjadi
banyak ketika ilmu Tangan Seribu'-nya
dikeluarkan untuk melancarkan serangan. Dewa
Arak pun menyambutnya dengan hangat, hingga
pertarungan antara kedua tokoh sakti yang
berbeda usia dan golongan itu berlangsung sengit
mengiriskan hati.
Kini Dewa Arak merasakan sendiri
kedahsyatan setiap serangan Resi Ganda Wisesa
yang tak ubahnya gelombang laut. Kuat, bertubi-
tubi dan penuh tekanan. Dengan ilmu Delapan
Cara Menaklukkan Harimau' dan 'Sepasang
Tangan Penakluk Naga', dia berusaha meredam
kedahsyatan setiap serbuan kakek berpakaian
merah. Kemudian melancarkan serangan balasan
yang tak kalah dahsyat.
Prajurit Kerajaan Dewa dan Nawangsuri yang
menyaksikan jalannya pertarungan itu merasa
takjub, kagum, di samping pula rasa ngeri. Mata
mereka dirasakan berkunang-kunang dan kepala
pusing ketika memaksakan diri agar dapat melihat
dengan jelas pertarungan itu. Hal itu karena
gerakan Dewa Arak dan Resi Ganda Wisesa terlalu
cepat, sehingga yang terlihat hanya bayangan-
bayangan ungu dan merah yang berkelebatan
jelas. Saling belit dan sesekali tampak saling pisah.
Itu pun berlangsung sebentar karena kemudian
saling belit kembali.
Tidak hanya itu, dari kancah pertarungan
menyambar desiran-desiran angin keras dan
menggetarkan, membuat Prajurit Kerajaan Dewa
dan anaknya lebih menjauhi kancah pertarungan.
Angin-angin yang berasal dari serangan-serangan
kedua tokoh sakti itu membuat napas mereka
sesak.
Pertarungan kian seru. Namun tampak Resi
Ganda Wisesa mulai kelabakan. Dia tidak pernah
menyangka sama sekali kalau Dewa Arak akan
selihai ini. Tidak hanya dalam hal tenaga mereka
berimbang, tapi juga dalam hal ilmu meringankan
tubuh. Hal ini benar-benar tidak bisa diterima.
Resi Ganda Wisesa yang memang berwatak
angkuh. Kehebatan kemampuan lawan justru
membuatnya semakin penasaran. Akibatnya,
serangan-serangan yang dilancarkannya pun
semakin dahsyat! Namun Dewa Arak tetap
mampu meredamnya. Bahkan pemuda berambut
putih keperakan itu mampu mengirimkan
serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Pertarungan itu memang semakin seru. Jurus
demi jurus telah saling dikerahkan. Bunyi berdecit,
mengau ng, dan deru angin mengiringi setiap
gerakan cepat tangan atau kaki mereka.
Bukan hanya itu, angin yang keluar dari setiap
serangan yang mereka lancarkan membuat
semak-semak dan pepohonan di sekitar tempat itu
tergetar hebat. Dedaunan berguguran dan
beterbangan. Bahkan banyak dahan pohon yang
berpatahan terhantam pukulan Dewa Arak
maupun Resi Ganda Wisesa. Debu dan
bongkahan-bongkahan tanah pun berhamburan
ke atas, setiap pukulan dahsyat menghantam ke
bumi.
Ketika pertarungan beijalan seru Nelayan
Pemancing Nyawa dan Petani Beijari Sakti muncul
di tempat itu. Prajurit Kerajaan Dewa yang melihat
kehadiran mereka, langsung mengeluarkan
senjata istimewanya, golok dan perisai! Sebelum
kedua belah pihak menyerang, mendadak muncul
Sepasang Harimau Hitam. Kedua lelaki berpakaian
serba hitam itu kembali setelah tak menemukan
apa yang dicari di pondok kediaman Nawangsuri.
Melihat kedatangan mereka, Nawangsuri pun
tidak tinggal diam Segera dicabut pedangnya, siap
menghadapi serbuan Sepasang Harimau Hitam
yang baginya, satu di antara mereka saja cukup
berat untuk dilawan.
Namun rupanya, baik Nelayan Pemancing
Nyawa, Petani Berjari Sakti, maupun Sepasang
Harimau Hitam tak langsung melancarkan
penyerbuan terhadap ayah dan anak yang telah
bersiap untuk bertarung itu. Keempat tokoh hitam
itu merasa tertarik dengan pertarungan antara
Dewa Arak dengan Resi Ganda Wisesa. Perhatian
mereka pun tertuju ke sana.
Sementara itu, pertarungan Dewa Arak dan
Resi Ganda Wisesa telah beijalan hampir lima
puluh jurus. Namun sejauh itu tetap belum
menampakkan tanda-tanda siapa yang bakal
memenangkan pertarungan.
"HaaatJ"
Pada jurus kelima puluh tiga, setelah terlebih
dulu bersalto beberapa kali di udara, Resi Ganda
Wisesa meluruk menerjang Dewa Arak. Lelaki tua
itu melancarkan serangan dengan kedua tangan
terbuka dipukulkan ke dada lawan. Deru angin
keras mengiringi tibanya serangan dahsyat itu.
Dewa Arak menyadari kedahsyatan dan
kehebatan serangan lawan. Namun tak tampak
kegentaran dalam sikapnya. Sambil mengeluarkan
teriakan yang tidak kalah kerasnya dengan Resi
Ganda Wisesa, Dewa Arak melakukan tindakan
yang sama. Pemuda berambut pulih keperakan itu
bertekad mengadu keras lawan keras!
Deru angin yang tidak kalah terasnya pun
berhembus dari kedua tangan Dewa Arak. Prajurit
Kerajaan Dewa dan yang lain-lain harus
mengerahkan tenaga dalam guna melindungi
bagian dalam tubuh mereka dari guncangan hebat
akibat teriakan menggelegar Dewa Arak dan Resi
Ganda Wisesa.
***
Bunyi keras laksana halintar menyambar
terdengar, ketika dua pasang tangan yang telah
sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu
berbenturan. Getaran hebat pun dirasakan oleh
tokoh-tokoh persilatan yang menyaksikan
pertarungan itu. Bahkan dalam jarak belasan
tombak dari tempat pertarungan, pepohonan pun
bergetar bagai dilanda gempa.
Tubuh kedua tokoh sakti itu teijengkang ke be¬
lakang dan terguling-guling di tanah dengan dada
terasa sesak dan kedua tangan terasa bagaikan
lumpuh.
"Pantas kau sombong, Dewa Arak! Rupanya
kau memiliki kepandaian yang dapat diandalkan!”
desis Resi Ganda Vrisesa setelah bangkit berdiri.
Matanya menatap geram pada Dewa Arak.
Dewa Arak tidak memberikan jawaban sama
sekali, kecuali sedikit senyum pahit di mulut
Kemudian diayunkan langkah menghampiri Resi
Ganda Wisesa yang juga berjalan mendekat.
Namun langkah keduanya terhenti, ketika tiba-
tiba terdengar suara langkah kaki berlari
mendekati tempat pertarungan.
"Nawangsuri...! Nawang.J Celaka...!" Dengan
napas terengah-engah, sesosok lelaki berusia
sekitar tiga puluh tahun berseru memanggil
Nawangsuri. Tubuhnya penuh luka serta pakaian
yang dikenakannya koyak-kcyak. Darah pun
tampak mengalir dari beberapa luka membasahi
sekujur tubuhnya.
"Kakang.J Kakang Wisnu...! Apa yang tejadi,
Kang?!" sambut Nawangsuri dengan suara penuh
kekhawatiran ketika melihat sosok pendek kekar
yang ternyata suaminya, ayah Taksaka!
Seruan itu tidak langsung dikeluarkan
Nawangsuri. Dia terkesima beberapa saat dengan
mata terbelalak penuh perasaan tidak percaya
melihat keadaan Wisnu yang teriuka parah. Dan
wanita berpakaian coldat ini menghambur ke
depan dengan kedua tangan terkembang.
Dalam keadaan teriuka parah dan keinginan
untuk menyampaikan sesuatu berita yang
dibawanya, Wsnu ingat kalau di tempat itu yang
ada tidak hanya istrinya, melainkan banyak lagi
lainnya. Bahkan ada dua tokoh yang tengah
bertarung! Dia pun menghambur dengan kedua
tangan terbuka menyambut Nawangsuri, istrinya.
Namun keinginan itu hanya terkabul di angan-
angan. Sebelum terlaksana, tubuh Wisnu
tersungkur ke tanah. Luka-lukanya terlalu parah.
Dan berhasilnya bertahan hidup disebabkan
besarnya keinginan menyampaikan berita kepada
sang Istri.
"Kang Wisnu..,!" seru Nawangsuri sambil duduk
bersimpuh di tanah, tidak mempedulikan tokoh-
tokoh lain yang terkesima melihat kejadian itu. Tak
terkecuali Prajurit Kerajaan Dewa. Bahkan
pertarungan Dewa Arak dan Resi Ganda Wisesa
berhenti, semua perhatian tertuju pada
Nawangsuri dan Wisnu.
"Jangan pikirkan aku, Nawang!" ujar Wisnu
terputus-putus karena luka-lukanya yang terlalu
parah. Pelan sekali suaranya mirip bisikan,
sehingga Prajurit Kerajaan Dewa terpaksa
beringsut mendekati agar dapat mendengar lebih
jelas.
"Anak kita... Taksaka diculik orang..., aku
mencoba untuk mencegahnya tapi tidak
mampuhhh...," tutur Wisnu dengan napas
terengah-engah.
"Siapa orang itu, Kang? Katakan!" tanya
Nawangsuri langsung kalap begitu
mendengar berita yang dibawa suaminya.
Untuk sesaat dia lupa terhadap kepayahan
suaminya. Berganti dengan kekhawatiran
terhadap nasib sang anak. Air mata yang
tadi mengalir karena kesedihan melihat
keadaan suaminya, segera disekanya.
Tarikan wajahnya sudah tidak menyiratkan
kesedihan lagi melainkan membara
menahan kegeraman.
"Dia... dia... ahhh...!"
Sayang sekali, sebelum berhasil
memberitahukan orang yang telah menculik
Taksaka, nyawa Wisnu telah terlebih dulu
melayang ke alam baka. Tubuhnya terkulai
lemas.
"Kakang...! Kakang Wisnu...!" jerit
Nawangsuri keras penuh kesedihan ketika
yadari kalau sang suami telah
meninggalkan untuk selama-lamanya.
Sambil menangis, Nawangsuri meng
guncang-guncangkan tubuh suaminya.
Seakan tidak percaya kalau suaminya telah
meninggal.
Resi Ganda Wisesa tampak tersentak
kaget sambil memperhatikan sesaat mayat
Wisnu. Begitu pula dengan Nelayan
Pemancing Nyawa, Petani Berjari Sakti, dan
Sepasang Harimau Hitam. Mereka terkejut
mendengar tentang anak yang tengah
diperebutkan telah diculik orang!
Seketika timbul keinginan di hati mereka
untuk segera meninggalkan tempat itu.
Mengejar orang yang menculik si anak
ajaib, Taksaka, selagi belum lama
kejadiaanya. Mereka yakin kalau penculik
belum jauh dari tempat kejadian.
Dengan gerakan tidak kentara, kecuali
Resi Ganda Wisesa, tokoh-tokoh hitam itu
mengayunkan kaki meninggalkan tempat
pertarungan. Mereka berharap barangkali
saja masih sempat untuk merampas
Taksaka.
"Sayang sekali, aku ada urusan yang
lebih penting, Dewa Arak, sehingga tidak
bisa menemanimu lebih lama. Tapi, setelah
urusan ini selesai, aku akan mencarimu,
dan kita lanjutkan pertarungan yang belum
selesai ini!"
Setelah berkata demikian, tanpa
menunggu jawaban Dewa Arak, Resi Ganda
Wisesa melesat menyusul tokoh-tokoh
hitam lainnya yang telah berangkat lebih
dulu.
Aiya tidak menahan kepergian Resi
Ganda Wisesa. Dibiarkan saja tokoh sakti
dari golongan hitam itu pergi. Dia hanya
memandangi hingga sosok merah itu lenyap
di kejauhan. Kemudian melangkah
menghampiri mayat Wisnu yang masih
dipeluk dan ditangisi istrinya.
"Sudahlah, Nawangsuri," ucap Prajurit
Kerajaan Dewa yang tiba lebih dulu di
sebelah anaknya. 'Yang sudah pergi,
relakan saja! Tak ada gunanya kau tangisi.
Toh, dia tidak akan kembali lagi. Biar kau
mengucurkan air mata darah sekalipun
keadaan tetap tidak berubah."
Prajurit Kerajaan Dewa mengucapkannya
dengan suara lembut dan penuh kasih
sayang, seraya mengusap-usap rambut
putrinya itu. Tentu saja hal ini semakin
membuat kesedihan Nawangsuri menjadi-
jadi. Bahunya terguncang-guncang karena
isakan tangisnya.
Melihat hal ini, Prajurit Kerajaan Dewa
tahu kalau putrinya mengalami tekanan
batin yang berat. Sehingga tak berani
mencegah Nawangsuri yang menangis
tersedu-sedu.
"Keluarkan air matamu, Nawang!
Menangislah, biar batinmu lega!" ujar lelaki
tua berjubah putih itu dalam hati.
Nawangsuri bangkit, lalu membalikkan
tubuh dan menubruk kaki sang Ayah.
Prajurit Kerajaan Dewa membiarkan saja
putrinya berlaku seperti itu. Hatinya
memaklumi kesedihan Nawangsuri yang
baru saja ditinggal sang suami. Bahkan
anaknya, Taksaka, yang belum diketahui
bagaimana nasibnya.
Prajurit Kerajaan Dewa melirik ke arah
kanannya. Tampak Dewa Arak
mengangguk-anggukkan kepala pertanda
menyetujui tindakan yang diambil-nya.
Kemudian dengan gerak isyarat, pemuda
berambut putih keperakan itu
memberitahukan pada Prajurit Kerajaan
Dewa kalau dia ingin mencari penculik
Taksaka. Tanpa berpikir lebih lama lagi
kakek berpakaian putih ini menganggukkan
kepala menyetujui.
Aiya pun melesat meninggalkan ayah
dan anak itu, berlari cepat menempuh arah
yang ditinggalkan Wisnu. Dewa Arak tahu,
tidak ada gunanya dia berada di situ. Itulah
sebabnya, pemuda berambut putih
keperakan itu buru-buru melesat
meninggalkan tempat itu. Hanya dalam
sekejap, tubuh Dewa Arak telah lenyap dari
pandangan.
Ketika tubuh Aiya sudah tidak terlihat
lagi, Prajurit Kerajaan Dewa mengalihkan
pandangan sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
"Seorang pemuda yang luar biasa," ucap
kakek berpakaian putih itu tanpa bisa
menyembunyikan kekaguman yang tampak
dalam tarikan wajah dan suaranya.
***
"Nek.J Lihat..!"
Seruan keras yang menguak keheningan
pagi di sebuah lereng gunung membuat
seorang nenek berpakaian kuning dan
berambut panjang, mengalihkan
pandangan. Tampak sesosok tubuh tinggi
besar dan kekar tengah mempermainkan
sebuah batu sebesar kambing. Batu itu
diturun-naikkan dengan tendangan kaki
sebagaimana layaknya orang
mempermainkan bola. Terkadang melalui
depan, tapi tak jarang ke belakang. Enak
saja hal itu dilakukan seakan-akan batu
begitu ringan bagai segumpal kapas. Tak
nampak adanya tanda-tanda kalau kaki
yang berbenturan dengan batu terasa sakit
Tidak hanya perbuatan orang itu yang
menimbulkan rasa kagum dan heran. Kalau
orang melihat bagaimana sosok tubuh
besar itu, tentu akan lebih merasa bergidik.
Sesosok tubuh tinggi besar berkulit tubuh
penuh sisik berwarna kehijauan, mirip kulit
ular!
Nenek berpakaian kuning menggeleng-
geleng-kan kepala dengan penuh perasaan
kagum melihat pertunjukan itu.
"Kau lihat itu, Manis?" ucap wanita
berambut panjang itu pada seekor burung
garuda putih besar yang bertengger di atas
sebuah batu besar dihadapannya.
"Bukankah anak ini benar-benar luar
biasa?!"
"Kakkk.J" Hanya jawaban seperti itu
yang diberikan garuda putih. Keras dan
singkat. Namun rupanya jawaban itu
memuaskan nenek berambut panjang yang
tak lain Siluman Goa Langit. Sambil
mengangguk-anggukkan kepala dia
tersenyum merasa puas.
"Benar-benar seorang anak naga! Hanya
k-beri pelajaran tenaga dalam beberapa
kali, dia telah memiliki tenaga dalam yang
luar biasa, berlipat kali tenaga dalamku.
Begitu gerakannya, sangat lincah dan gesit
Benar-benar mewarisi keperkasaan
leluhurnya!
Ucapan-ucapan penuh kagum itu keluar
dari mulut Siluman Goa Langit seraya
menatap laki-laki tinggi besar berkulit
tubuh penuh sisik di sekujur tubuhnya,
mirip ular. Dan kekagumannya itu tidaklah
terlalu berlebihan. Lelaki berkulit ular itu
baru beberapa hari ikut dengannya, telah
mampu menguasai ilmu-ilmu yang
diajarkannya, bahkan kemampuan tenaga
dalam bocah itu tak mungkin tertandingi,
meski oleh orang yang belajar selama
puluhan tahun sekalipun. Padahal
sebelumnya lelaki bersisik ular itu sama
sekali belum memiliki ilmu dan tenaga
dalam. Tak aneh kalau kelebihan itu
membuat Siluman Goa Langit tak henti-
hentinya berdecak kagum.
"Taksaka..., kemari sebentar...!" panggil
Siluman Goa Langit seraya melambai-
lambaikan tangan.
"Iya, Nek," sahut lelaki berkulit ular
seraya menghentikan latihan. Taksaka
menolehkan kepala ke arah Siluman Goa
Langit lalu berjalan menghampirinya.
Lelaki tinggi besar berkulit ular itu
ternyata hanya badannya yang besar.
Wajahnya memperlihatkan kalau usianya
belum melewati masa kanak-kanak. Dan
hal itu memang tidak salah karena usia
Taksaka belum menginjak sebelas tahun.
Namun di situlah anehnya, dalam usia
semuda itu dia telah memiliki tubuh
sebagaimana layaknya orang dewasa.
Pertumbuhan tubuh berlangsung demikian
cepat.
"Dengar, Taksaka!" ucap Siluman Goa
Langit bernada sungguh-sungguh, seraya
menatap sepasang mata bocah berkulit ular
itu.
"Aku ingin mengajakmu turun gunung.
Apakah kau mau?"
"Apakah Manis juga ikut Nek?!" Taksaka
malah balas bertanya.
“Tentu saja, Taksaka! Bagaimana, kau
mau ikut!?”
“Tentu, Nek,!” sahut Taksaka cepat
dengan raut wajahberseri-seri.
***
6
"Turun di sini, Manis," ucap Siluman
Goa Langit setelah beberapa saat lamanya
melayang-layang di angkasa bersama
Taksaka duduk di punggung garuda putih.
Burung raksasa itu mengeluarkan bunyi
pelan sebelum akhirnya menukik ke bawah,
menuju hamparan padang rumput yang
terbentang luas. Hanya dalam beberapa
tarikan napas saja garuda putih itu telah
mendarat. Siluman Goa Langit dan Taksaka
segera melompat turun dari punggungnya.
"Tunggulah di sini, Manis! Aku akan
kembali tak lama lagi," ucap Siluman Goa
Langit sambil mengelus-elus leher garuda
putihnya.
Burung raksasa itu mengangguk-
anggukan kepala seakan mengerti ucapan
yang ditujukan padanya. Kemudian sambil
mengeluarkan pekikan nyaring yang
memekakkan telinga, burung raksasa itu
melesat ke angkasa, dan terbang mengitari
sekitar tempat itu.
Tanpa mempedulikan garuda putihnya,
Siluman Goa Langit mengajak Taksaka
untuk segera meninggalkan tempat itu.
Keduanya berlari dengan pengerahan ilmu
meringankan tubuh. Maka pemandangan
yang unik pun terlihat, Siluman Goa Langit
tertinggal di belakang, semakin lama
semakin jauh jaraknya. Padahal tadi
mereka berlari bersamaan. Hal itu pun
menunjukkan kalau ilmu lari cepat Taksaka
berada di atas nenek berambut panjang itu.
Suatu hal yang sebenarnya hampir mustahil
karena Taksaka baru belajar ilmu itu
beberapa hari yang lalu. Di samping itu
Siluman Goa Langit bukan orang
sembarangan, yang memiliki kepandaian di
atas Nelayan Pemancing Nyawa atau Petani
Berjari Sakti! Namun Taksaka ternyata
mampu dengan mudah meninggalkannya
jauh.
Siluman Goa Langit mengerahkan
seluruh kemampuannya untuk mengejar
Taksaka, tapi sia-sia. Bocah berkulit ular
itu terlalu lincah untuk dapat dikejarnya.
Mau tak mau Siluman Goa Langit
berseru agar Taksaka menunggunya,
karena khawatir akan kehilangan jejak
bocah itu. Taksaka pun segera berhenti
menunggu Siluman Goa Langit, lalu berlari
dengan kecepatan setaraf dengan nenek itu.
Tak lama kemudian, kedua orang itu
telah melihat sebuah pondok sederhana di
depan. Ke sanalah Siluman Goa Langit
membawa Taksaka.
"Kau lihat tempat itu, Taksaka?" tanya
Siluman Goa Langit seraya menudingkan
jari telunjuknya ke depan. "Itu tempat
tinggal musuh besarku, Taksaka. Dia
beberapa kali menghina dan
mempermalukanku! Apakah kau mau
membantuku menghadapi dan
membinasakannya, Taksaka?"
"Tentu saja aku mau, Nek. Tapi, kapan
kau akan membawaku kembali pada
orangtuaku? Aku khawatir mereka akan
mencemaskan diriku. Mungkin saat ini
mereka tengah mencari-c ari ku?"
"Sabarlah, Taksaka! Kau kira mudah
mencari orang di dunia yang luas ini?!
Apakah kau tidak tahu letak atau tempat di
mana orangtuamu tinggal. Percayalah, aku
pun tidak berdiam diri. Apabila urusanku
selesai, kita cari orangtuamu! Atau..., kau
tidak kerasan tinggal bersamaku dan
membantuku menghadapi musuh-
musuhku?"
Tentu saja aku bersedia membantumu,
Nek. Biarlah, kita mencari orangtuaku
setelah urusanmu selesai," jawab Taksaka
cepat mendengar ucapan Siluman Goa
Langit yang dikeluarkan dengan nada
merengek itu.
"Nah! Itulah musuh besarku, Taksaka!"
seru Siluman Goa Langit
Taksaka mengarahkan pandangan ke
arah yang ditunjuk Siluman Goa Langit
Dan dia melihat seorang lelaki yang tidak
jelas umurnya karena jarak yang masih
jauh. Lelaki itu tengah berjongkok dengan
kedua tangan sibuk mengorek-ngorek tanah
yang ditumbuhi dedaunan. Sosok itu
tengah mencabuti ubi.
Rupanya sosok bertelanjang dada itu,
mengetahui kedatangan Taksaka dan
Siluman Goa Langit. Kepalanya
didongakkan, menatap ke arah dua sosok
yang tengah bergerak mendatanginya.
"Lagi-lagi kau yang kemari, Siluman
Betina! Rupanya kau belum kapok juga?!"
ucap sosok bertelanjang dada yang ternyata
seorang lelaki setengah baya bertubuh
gagah dan cukup tampan. Apalagi dengan
adanya kumis melintang dan tebal di bawah
hidungnya.
Wajah yang semula tenang itu langsung
berubah, ketika melihat sosok yang berada
di sebelah Siluman Goa Langit. Sosok yang
membuatnya terperanjat bukan kepalang.
Memang, lelaki ini tidak termasuk tokoh-
tokoh persilatan yang mencari Taksaka
untuk dipergunakan demi memuaskan
nafsu kejahatan. Namun berita mengenai
adanya anak ajaib yang lahir dengan tubuh
dipenuhi sisik, karena ibunya telah
menelan seekor ular, telah diketahui.
Maka begitu melihat Taksaka, lelaki
bertelanjang dada itu dapat menduga kalau
bocah bersisik yang berada di hadapannya
pasti Anak Naga yang selama ini
diperebutkan tokoh-tokoh persilatan. Hanya
yang dibingungkan bagaimana Siluman
Gon Langit bisa mendapatkannya. Dan,
bahkan mampu membuat anak itu
kelihatan patuh padanya. Lelaki
bertelanjang dada ini merasakan dadanya
berdebar tegang.
"Hi hi hi.J Kau kaget, Ragola?! Kali ini
jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!"
ujar Siluman Goa Langit penuh keyakinan.
Lelaki bertelanjang dada yang bernama
Ragola itu tersenyum pahit.
"Kau jangan terlalu yakin, Wanita
Jalang!" tandas Ragola, tetap tenang
meskipun hatinya sempat tergetar ketika
melihat Taksaka. "Beberapa kali usahamu
berhasil kukandaskan! Dan yang kedua
ketika kau membawa garuda putih pun
tetap tak berhasil. Sekarang pun kau tak
akan berhasil juga!"
"Tutup mulutmu, Ragola! Kali ini kau
tak akan selamat dari tanganku! Dendamku
selama ini akan berhasil kulampiaskan
padamu! Bersiaplah untuk menerima
kematian, Ragola!"
Ucapan Siluman Goa Langit terdengar
bergetar karena kemarahannya yang telah
memuncak. Hal itu karena ucapan Ragola
yang mengungkit-ungkit kegagalan demi
kegagalan usaha pembalasan dendam yang
dilakukan.
Sekitar dua puluh lima tahun lalu,
Siluman Goa Langit bekim mempunyai
garuda putih. Namun dirinya sudah
mempunyai nama besar sebagai tokoh
hitam yang memiliki kepandaian tinggi.
Kepandaiannya dipergunakan untuk
menculik pemuda-pe-muda tampan yang
dijadikan pemuas nafsunya.
Sayang, pada suatu hari Siluman Goa
Langit menculik seorang pemuda yang
ternyata murid Ragola, dan
mempermainkannya. Ragola yang akhirnya
mengetahui menjadi marah bukan
kepalang. Siluman Goa Langit berhasil
dikalahkan. Namun Ragola yang merasa
sakit hati atas tindakan perempuan itu
tidak hanya sampai di situ. Tanpa pikir
panjang diperkosanya Siluman Goa Langit.
Siluman Goa Langit merasa sakit hati
bukan kepalang. Apalagi karena Ragola
melakukannya secara demikian
merendahkan. Maka ketika Ragola
meninggalkan begitu saja, Siluman Goa
Langit bertekad menuntut ilmu untuk
membalas dendam kesumatnya. Dan ketika
akhirnya dirasakan cukup, tambah lagi
pada saat itu dia mendapatkan seekor
burung garuda putih, pembalasan
dendamnya pun dimulai.
Namun Siuman Goa Langit harus
menelan pil pahit. Ragola kembali
mengalahkannya. Burung yang diharapkan
membantunya menghadapi Ragola pun
tidak berdaya. Ternyata binatang itu pernah
berhutang budi pada Ragola. Garuda putih
pernah menerima pertolongan Ragola,
ketika sayapnya terkena sambaran anak
panah pemburu yang hendak
membunuhnya. Dan itu terjadi jauh
sebelum garuda putih bertemu dengan
Siluman Goa Langit.
Kali ini untuk kesekian kalinya, Siluman
Goa Langit bermaksud membalas sakit
hatinya pada Ragola dengan perantaraan
Taksaka. Nenek berambut panjang ini yakin
kalau Taksaka akan dapat melunasi sakit
hatinya.
"Bunuh dia, Taksaka!" seru Siluman Goa
Langit seraya menuding Ragola.
"Baik, Nek!"
Hanya itu yang diberikan Taksaka
sebagai jawabannya karena kemudian
langsung melancarkan serangan terhadap
Ragola. Bocah berkulit mirip ular itu
menubruk seraya melancarkan serangan
bertubi-tubi dengan sampokan tangannya
yang berbentuk cakar.
"Uh...!"
Ragola tidak tahan untuk tidak
mengeluarkan keluhan tertahan. Dia
mendengar bunyi decitan tajam dan angin
yang terobek serangan cakar Taksaka.
Bunyi itu timbul dari akibat gerakan tangan
yang didorong tenaga dalam tinggi. Dan ini
membuat Ragola kaget bukan kepalang.
Dirinya baru mengerti mengapa banyak
tokoh persilatan saling memperebutkan
bocah ini. Kalau dalam usia semuda ini
sudah memiliki tenaga dalam sedemikian
kuatnya, tak dapat dibayangkan kalau
Taksaka telah dewasa. Tak akan ada
seorang pun yang sanggup menandingi
tenaga dalamnya.
Namun, Ragola tidak bisa terlalu lama
tenggelam dalam alun keterkejutannya
karena serangan Taksaka semakin
menyambar dekat. Dengan cepat
dihentakkan kakinya dan melesat ke atas
melewati kepala Taksaka. Sehingga
serangan itu lewat beberapa jari ke bawah
kakinya. Dan dari atas, Ragola
mengirimkan serangan berupa tusukan jari
tangan kanan ke arah sepasang mata bocah
bersisik itu.
Taksaka menggeram. Suara geramannya
lebih kuat dari raungan harimau, hingga
membuat Ragola merasa tubuhnya
mendadak lemas. Dalam waktu yang
demikian singkat serangannya terhenti
karena tiba-riba kehilangan tenaga. Jelas,
kalau geraman Anak Naga itu mengandung
kekuatan yang dapat melumpuhkan lawan.
Saat itulah, tangan Taksaka dengan
cepat menyambar, tapi kali ini tertuju pada
tangan Ragola yang baru saja terulur.
Gerakannya yang sangat cepat laksana
kelebatan bayangan, sehingga Ragola
terperanjat. Sambil menggertakkan gigi,
lelaki bertelanjang dada ini menarik pulang
tangannya seraya melancarkan tendangan
kaki kanan ke perut lawan.
"Hih...!"
Bukkk!
Telak dan keras sekali kaki Ragola
menghantam sasaran, sedangkan
cengkeraman tangan Taksaka berhasil
dielakkannya. Hal itu membuat lelaki
bertelanjang dada ini merasa gembira.
Namun senyum yang semula menghias
bibirnya, langsung lenyap saat melihat
lawan sama sekali tak terpengaruh dengan
serangannya. Jangankan terhuyung,
bergeming pun tidak. Malah sebaliknya,
Ragola yang merasakan kakinya sakit dan
linu ketika berhasil mendarat di perut
lawan. Kakinya terpental balik bagaikan
menghantam benda keras yang kenyal.
Dan waktu Ragola belum berhasil
memperbaiki kedudukannya. Taksaka
menyergapnya laksana seekor harimau
menerkam mangsa.
Lelaki bertelanjang dada itu berusaha
keras untuk mengelak dengan melompat
ke bel akan g. Sayang, kalah cepat Kedua
tangan Taksaka yang berbentuk cakar itu
telah lebih dulu mencengkeram kedua
bahunya.
Wajah Ragola kontan pucat melihat hal
ini. Namun sebagai tokoh kawakan, di saat
yang amat berbahaya, dia masih mampu
melakukan tindakan untuk menyelamatkan
diri. Apalagi ketika dirasakan jari-jari
tangan lawan sangat kuat mencengkeram
kedua bahunya, bagaikan tangan baja!
Rasa sakit mendera kedua bahunya. Ragola
sadar kalau hal ini berlangsung lama,
tulang-tulangnya akan hancur di samping
kulit dan dagingnya terobek lebar.
Dugaan Ragola bukan tanpa alasan.
Diketahui tenaga dalam bocah bersisik itu
jauh berada di atasnya. Hal ini diyakininya
ketika berusaha mengerahkan tenaga
dalam untuk mengeraskan daging, tetap
saja jari-jari tangan Taksaka amblas,
bahkan mencengkeram lebih kuat.
Itulah sebabnya, tanpa membuang-
buang waktu, Ragola segera mengirimkan
tendangan kaki kanan ke selangkangan
Taksaka. Dalam keadaan sangat berbahaya
itu Ragola tidak berani mengambil risiko
dengan menyerang bagian lainnya. Sebab
telah membuktikan sendiri kalau Taksaka
memiliki kulit yang alot, kebal.
Kali ini Taksaka tidak berani
membiarkan serangan Ragola mengenai
sasaran. Rupanya dia tahu kalau
selangkangan merupakan bagian yang
lemah. Tanpa mengendurkan cengkeraman,
diangkat kaki kanannya untuk menjadi
pelindung selangkangan. Kaki Ragola pun
menghantam betis Taksaka secara keras.
Namun tidak hanya sampai di situ
tindakan bocah berkulit ular itu. Dengan
sebuah gerakan cepat, kaki kanannya
digerakkan ke kanan, sehingga kaki Ragola
yang baru saja menghantam sasaran,
tergaet. Dengan cepat pula kaki Taksaka
langsung meluncur ke paha kanan Ragola.
Krakkk.J
"Akh.J"
Ragola meraung keras ketiga kaki
Taksaka menghantam telak pangkal paha
kanannya. Bunyi berderak keras yang
terdengar menjadi pertanda kalau ada
tulang kaki Ragola patah!
Seketika tubuh Ragola limbung, tapi
tetap di tempat karena cengkeraman tangan
Taksaka masih lekat di kedua bahunya.
Taksaka benar-benar telah larut dalam
alun kemarahannya. Patahnya tulang kaki
lawan tidak membuat tindakannya terhenti.
Dia semakin buas laksana hiu lapar
mencium bau darah. Sambil mengeluarkan
gerengan keras mirip binatang marah,
kedua tangannya yang sejak tadi
mencengkeram, ditekankan semakin keras.
Sejak tadi Ragola telah mengerahkan
tenaga dalam untuk mehndungi tulang-
tulang bahunya dari kehancuran akibat
cengkeraman Taksaka. Namun dia tetap
kewalahan. Dan tiba-tiba...,
Krekk!
"Aaakh...!"
Ragola terpekik keras ketika tulang
bahunya dirasakan remuk. Rupanya bocah
berkulit ular itu telah mencengkeramnya
semakin kuat.
Rasa sakit yang hebat mendera bahu
Ragola. Kedua matanya terpejam rapat
dengan mulut meringis menahan rasa sakit
yang tak terkira. Tubuhnya kian limbung
tak mampu menahan. Wajahnya pucat pasi
bagaikan tidak berdarah. Keringat sebesar
biji-biji jagung pun bersembulan di sekujur
wajahnya. Ragola sudah tidak kuasa untuk
melakukan perlawanan lagi. Dia hanya
pasrah menunggu datangnya maut
Rintihan lirih terus keluar dari mulutnya.
"Cukup, Taksaka.
Seruan Siluman Goa Langit membuat
Taksaka yang .bermaksud melakukan
tindakan penyiksaan lanjutan, mengurung
kan niatnya. Namun, tangannya tetap
memegang kedua bahu Ragola ketika
menoleh ke arah nenek berambut panjang
dengai sorot mata mengandung pertanyaan.
"Aku yang akan menyelesaikannya,"
jawab Siluman Goa Langit yang seakan
memahami arti tatapan Taksaka. "Lepaskan
saja dia!"
Tanpa memberikan bantahan sama
sekali, Taksaka melepaskan
cengkeramannya. Tubuh Ragola pun
ambruk ke tanah. Siksaan bocah berkulit
ular itu membuat seluruh tenaganya
bagaikan lenyap. Bahkan tulang-tulang
tubuhnya dirasakan bagai telah dilolosi
semuanya.
"Bagaimana, Ragola?" tanya Siluman
Goa Langit seraya mengayunkan langkah
menghampiri Ragola. Jelas pertanyaan itu
bernada kemenangan dan ejekan.
Ragola bukan orang bodoh, dia pun
tahu. Namun, berpura-pura tidak peduli.
Tak diberikannya tanggapan sama sekali.
Di samping karena tak ingin membuat
nenek berpakaian kuning itu semakin
merasa menang, juga rasa sakit yang
diderita telah membuat nafsu berbicaranya
lenyap.
Siluman Goa Langit yang tengah
dimabuk kemenangan, tidak mempedulikan
hal itu. Baginya tak ada masalah sama
sekali, baik Ragola menjawab ucapannya
atau pun tidak. Yang penting, musuh
bebuyutannya itu telah membuktikan kalau
Siluman Goa Langit akhirnya bisa unggul!
"Kau ingat peristiwa dua puluh lama
tahun lalu...?" tanya Siluman Goa Langit
seraya menyepak perlahan kepala Ragola
yang tergolek lemah di tanah.
"Cuhhh!"
Ragola menjawab dengan semburan
ludah. Namun karena tubuhnya tergolek di
tanah, sedangkan Siluman Goa Langit
berdiri, semburan ludah itu tidak mengenai
wajah nenek berpakaian kuning itu.
"Ah..., rupanya kau masih ingat," ucap
Siluman Goa Langit tetap kalem namun
dengan sinar mata berkilat karena dilanda
amarah. "Ya, kau meludahiku setelah puas
memperkosa dan mempermainkan
tubuhku. Bahkan kau pun telah merusak
kedua payudaraku dengan tusukan jarum-
jarummu. Bukankah begitu?!”
7
Sambil berkata demikian, Siluman Goa
Langit menjejalkan kaki kanannya yang
berlumur lumpur, ke mulut Ragola. Tentu
saja lelaki bertelanjang dada itu tak
membiarkan begitu saja penghinaan
lawannya. Dengan kakinya yang masih
berguna, dikirimkan tendangan ke arah
selangkangan Siluman Goa Langit
Namun usaha Ragola tidak berarti sama
sekali, hanya dengan sebuah gerakan
sederhana, nenek berpakaian kuning itu
berhasil mengelakkannya. Dan sekali
kakinya bergerak menjejak, tulang kaki
Ragola yang satu lagi pun patah pula.
Ragola hanya bisa meringis menahan
sakit yang melanda. Tak sedikit pun
dikeluarkan keluhan dari mulutnya karena
khawatir Siluman Goa Langit semakin akan
lebih merasa menang karenanya. Dan
keluhannya semakin tidak terdengar karena
alas kaki Siluman Goa Langit menyumpal
mulutnya.
Meski telah tidak bisa menggerakkan
kaki dan tangan, Ragola berusaha keras
untuk mencegah alas kaki Siluman Goa
Langit menyumpal mulutnya. Dengan
menggerakkan kepala, dicoba
mengelakkannya. Namun usaha Ragola sia-
sia saja. Kaki Siluman Goa Langit seperti
mempunyai perekat sehingga terus melekat
dengan mulutnya. Sekalipun telah
diusahakan untuk melepaskan, kaki itu
terus menyumpal mulutnya. Tak pelak lagi,
mulut dan wajah Ragola penuh dengan
lumpur dan tanah.
Siluman Goa Langit baru menghentikan
tindakannya ketika napas Ragola kembang
kempis dan wajahnya merah padam karena
sulit bernapas.
"Bagaimana, Ragola? Nikmat?! Itu belum
seberapa. Masih ada lainnya yang jauh
lebih menarik! Kau mau membukti
kannya?!"
Siluman Goa Langit mengambil sebuah
guci kecil dari balik pakaiannya.
"Kau tahu apa isi kendi ini, Ragola?!
Racun! Racun yang dapat menghancurkan
kulit wajahmu meski hanya terkena satu
tetes saja," ujar Siluman Goa Langit sambil
menimang-nimang kendi itu di atas wajah
Ragola yang langsung pucat begitu
mendengar ucapan itu.
Tarikan wajah dan sorot mata Ragola
memancarkan kengerian ketika dengan
gerak perlahan-lahan, Siluman Goa Langit
membuka sumbat kendi itu. Nenek
berambut panjang itu sengaja
melakukannya lambat-lambat untuk
menyiksa perasaan Ragola. Dan memang
dia berhasil. Wajah lelaki bertelanjang dada
itu semakin lama semakin tampak
menegang membayangkan cairan itu
diteteskan ke wajahnya.
"Terimalah pembalasanku, Ragola!"
Siluman Goa Langit menuangkan cairan
di dalam kendi itu. Setetes, dan tepat jatuh
di pipi Ragola. Seketika Ragola meraung
sambil menggelepar-gelepar seperti ikan
jatuh di darat. Bunyi berdesis nyaring
seperti besi panas disiram air berbaur
dengan jeritan kesakitan Ragola.
"Hi hi hi.J"
Siluman Goa Langit tertawa mengikik,
menyaksikan Ragola yang berkelojotan dan
menjerit-jerit. Perempuan tua berambut
tergerai itu tampak kegirangan melihat
musuh bebuyutan yang dibencinya,
menggelepar-gelepar menahan sakit sambil
melolong-lolong menyayat hati.
Semua kejadian itu tak lepas dari
perhatian Taksaka. Namun tidak nampak
adanya tanda-tanda kalau penderitaan
Ragola mempengaruhinya. Taksaka telah
berubah buas, semenjak bergaul dengan
Siluman Goa Langit yang berwatak kejam.
Hal ini sebenarnya tidak terlalu aneh
karena dalam diri Taksaka mengalir darah
seekor hewan buas!
Anak itu malah merasa gembira melihat
Siluman Goa Langit bergembira.
"Mari, Taksaka...!" ajak Siluman Goa
Langit setelah merasa puas bergembira, dan
tertawa-rawa.
Nenek berambut panjang itu tidak
merasa khawatir sama sekali kalau
lawannya akan selamat dari maut. Dia
yakin, meskipun Ragola tidak mati, tidak
akan dapat membalas dendam. Apa yang
bisa dilakukan oleh orang telah remuk
tulang-tulang tangan dan kakinya?
"Di sanalah pusakaku terjatuh,
Taksaka," ujar Siluman Goa Langit seraya
menudingkan jari telunjuk ke dataran
berupa padang pasir yang membentang.
Taksaka yang berada di depan Siluman
Goa Langit, duduk di punggung garuda
putih mengarahkan pandangan ke bawah.
Namun buru-buru dialihkan lagi, karena
merasa ngeri.
"Mengapa kau tidak mengambilnya
kembali, Nek?" tanya Taksaka heran.
"Hi hi hi...!" Siluman Goa Langit tertawa,
karena merasa geli mendengar pertanyaan
Taksaka. "Kau kira mudah mengambilnya,
Taksaka? Kau tahu, apabila terjatuh ke
tempat itu, jangankan aku. Orang yang
memiliki kepandaian puluhan kali lipat dari
yang kumiliki pun, tidak akan mampu
mengambilnya kembali!"
"Eh?! Mengapa bisa begitu, Nek?!" tanya
Taksaka masih dengan keheranan. Dia
merasakan adanya nada kesungguhan
dalam ucapan wanita berambut panjang
itu. Taksaka tahu, Siluman Goa Langit
tidak berbohong.
"Tempat jatuhnya pusakaku itu terdapat
hamparan lumpur hidup! Sebuah tempat
yang tak mampu menahan beban sebuah
benda, kecuali yang sangat ringan. Jadi,
apa pun yang jatuh ke sana akan tertarik
ke dalam, tanpa ampun! Tak satu pun
makhluk yang akan mampu menahan daya
tariknya bila telah jatuh ke sana, betapa
pun lihainya!"
"Ah...!"
Taksaka mengeluarkan teriakan kaget
mendengar kedahsyatan tempat jatuhnya
pusaka milik Siluman Goa Langit Tarikan
wajah dan sorot matanya memancarkan
kengerian.
"Tapi kau tak usah khawatir, Taksaka!"
"Kalau begitu... bagaimana, Nek?! Lalu,
apa maksudmu menunjukkan tempat itu
padaku? Bukankah kau tahu, tak akan ada
orang yang sanggup mengambilnya,
betapapun saktinya orang itu!"
"Itu memang benar, Taksaka! Tapi..., ada
kecualinya. Ada orang yang dapat
mengambilnya karena memiliki
kemampuan khusus yang tidak dimiliki
orang lain, dan orang itu adalah kau,
Taksaka!" tandas Siluman Goa Langit,
tegas.
Karuan saja pemberitahuan yang tidak
disangka-sangka ini membuat Taksaka
terperanjat kaget Dia tampak bingung.
"Dari mana kau tahu aku mampu
melakukannya, Nek?! Apakah kau tidak
salah?"
"Tidak usah kau pikirkan hal itu,
Taksaka!" Siluman Goa Langit buru-buru
mengulapkan tangan, memutuskan
pembicaraan. "Nanti kau pun akan tahu
sendiri. Sekarang lebih baik kita turun
saja."
Usai berkata demikian, tanpa menunggu
persetujuan Taksaka lagi, Siluman Goa
Langit segera memerintahkan garuda putih
untuk turun. Burung raksasa itu pun
menukik ke bawah, melaksanakan perintah
tuannya.
Sesaat kemudian, garuda putih itu telah
mendarat. Tentu saja tidak di atas
hamparan pasir yang dikatakan Siluman
Goa Langit sebagai lumpur hidup.
Melainkan di tempat yang aman, tapi tak
jauh dari tempat itu.
"Sekarang kau ambillah pusaka milikku
itu, Taksaka!" perintah Siluman Goa Langit
setelah berada di pinggir hamparan pasir
yang di dalamnya terkandung lumpur
hidup. "Aku yakin kau bisa karena pusaka
milikku itu terbuat dari tulang-belulang
seekor ular yang sangat besar."
Hm...!
Taksaka menggumam pelan, kemudian
secara mendadak sikapnya berubah. Sorot
sepasang matanya mencorong tajam dan
berwarna kehijauan mirip harimau dalam
gelap. Lalu, kedua tangannya terangkat ke
atas, agak ke depan, terkembang jari-jemari
membentuk cakar.
Taksaka berdiam beberapa saat,
sedangkan Siluman Goa Langit
memperhatikan saja semua tindakan bocah
berkulit ular itu tanpa berkedip. Berganti-
ganti sepasang matanya ditujukan, pada
Taksaka dan hamparan pasir yang
membentang dan sepi seperti mati!
"Ah...!"
Tanpa sadar Siluman Goa Langit
mengeluarkan pekikan kaget ketika melihat
sebuah pemandangan yang menakjubkan
hati. Permukaan pasir yang semula tenang
itu, di salah satu bagian bergolak hebat
seperti air mendidih, menggelegak!
Semakin lama golakan pasir itu semakin
hebat. Sepertinya akan ada sesuatu yang
akan keluar dari sana. Dan Siluman Goa
Langit tahu apa yang menjadi penyebabnya
serta benda apa yang akan keluar dari
dalamnya.
Dengan pandangan mata penuh minat,
diperhatikan permukaan pasir yang
semakin keras bergolak. Beberapa kali
pandangannya dialihkan pada sepasang
tangan Taksaka yang bergetar hebat.
Namun hal itu dilakukannya hanya sekali-
sekali saja. Itu pun karena perasaan tidak
sabarnya untuk segera melihat pusaka yang
diinginkan segera keluar dari tempat itu.
Dan akhirnya Siluman Goa Langit
melihatnya! Sebuah kotak kecil berukuran
lebih dari dua kali kaki, mulai menyembul
di permukaan pasir. Kotak itu bergerak-
gerak beberapa saat lamanya di
permukaan, sebelum akhirnya melesat ke
atas seperti ditarik oleh sebuah tangan
gaib. Dan arah yang ditujunya jelas, kedua
tangan Taksaka yang terkembang.
"Cukup, Taksaka!"
Siluman Goa Langit yang sudah tidak
sabar lagi untuk segera mendapatkan peti
itu berteriak. Dengan cepat tangannya
melolos sabuk yang melilit pinggang dan
meluncurkannya ke arah kotak! Bagaikan
hidup dan bermata sabuk itu meluncur.
***
Taksaka segera menghentikan
pengerahan tenaga dalamnya yang tadi
dikerahkan untuk menyedot peti dari dalam
lumpur hidup. Maka peti yang tengah
berada di udara itu meluncur ke bawah
karena beratnya. Namun sebelum sempat
jatuh ke dalam hamparan pasir maut yang
akan menelannya kembali, tiba-tiba peti itu
meluncur ke arah kiri Taksaka. Seakan
ditarik oleh suatu kekuatan gaib.
Hanya berselang dalam waktu yang
sangat singkat, sabuk Siluman Goa Langit
melilit tempat peti itu berada.
"Heh...?!"
Siluman Goa Langit kaget bercampur
geram ketika melihat sabuknya melilit
tempat kosong. Sebab peti yang akan
dijadikan sasaran belitan itu, sudah lenyap.
Secara aneh, peti itu meluncur cepat ke
arah lain.
Sebagai seorang tokoh persilatan yang
penuh pengalaman, Siluman Goa Langit
tahu, ada seseorang yang telah
mendahuluinya merebut peti itu. Seorang
tokoh yang memiliki kekuatan tenaga dalam
luar biasa, karena mampu menyedot peti
yang berada di udara!
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Siluman Goa Langit mengarahkan
pandangan ke arah tempat peti kecil itu
meluncur. Ternyata dugaannya tepat.
Seorang kakek yang sudah sangat tua
berkepala botak. Kumis, jenggot, alis, dan
cambangnya telah berwarna putih semua.
Cara berdirinya sudah tidak tegak lagi
saking tuanya usia kakek yang berpakaian
jubah lusuh dan kumal itu.
Seperti juga yang dilakukan Taksaka,
kakek bongkok itu mengembangkan kedua
tangan. Hanya saja tidak ke atas,
melainkan ke depan. Dan melihat raut
wajah kakek itu yang merah padam, dapat
diketahui kalau tindakan yang dilakukan
itu membuat tenaganya terkuras.
'Taksaka...! Jangan biarkan kakek
bongkok itu mengambil peti! Rampas
kembali!" seru Siluman Goa Langit, cepat.
Suaranya agak bergetar karena perasaan
tegang melihat peti itu telah hampir berada
dalam jangkauan tangan si Kakek Bongkok.
Sambil mengeram Taksaka langsung
menjulurkan tangan ke arah peti. Luncuran
peti yang semula menuju arah kakek
bongkok langsung terhenti. Namun hal itu
hanya berlangsung sebentar, karena sesaat
kemudian langsung berubah tujuan ke arah
Taksaka berada. Memang tidak secepat
semula!
Kakek bongkok menggereng seperti
harimau terluka. Melihat peti kecil itu
berubah arah membuatnya segera
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimiliki. Hasilnya memang tak percuma.
Peti itu yang semula telah meluncur lambat
ke arah Taksaka, terhenti. Kemudian
melayang lambat-lambat menuju ke
arahnya.
Namun hal itu pun hanya berlangsung
sesaat. Ketika dengan cepat Taksaka
mengeluarkan gerengan serupa dan
menambah kekuatan tenaga dalamnya, peti
itu meluncur ke arah Taksaka. Mula-mula
lambat, tapi semakin lama seiring dengan
kian jauh dari kakek bongkok, kecepatan
luncurannya semakin cepat.
Siluman Goa Langit tersenyum lebar
melihat hal ini. Sebagai seorang tokoh
tingkat tinggi dunia persilatan, dirinya tahu
kalau Kakek bongkok itu dan Taksaka
tengah mengadu kekuatan tenaga dalam
memperebutkan peti.
Dan dari kenyataan yang terjadi
kemudian Siluman Goa Langit tahu, kalau
tenaga dalam Taksaka berada di atas kakek
bongkok! Taksaka mampu memenangkan
adu tarik-tarikan itu. Meskipun peti itu tadi
telah hampir mencapai tangan si Kakek
Bongkok.
Hal itu pun disadari oleh kakek
bongkok, dan dia pun tidak mau
mencelakai diri dengan terus memaksa
mengerahkan tenaga dalam untuk
merebutnya. Begitu tahu kalau peti itu tak
mungkin dapat direbutnya kembali dengan
cara seperti itu, dihentikan penyaturan
tenaga dalamnya. Sehingga peti itu
meluncur ke arah Taksaka dengan
kecepatan tinggi. Sampai akhirnya jatuh di
kedua tangan bocah ajaib itu.
Kakek bongkok yang mengikuti dengan
pandang matanya ke arah luncuran peti itu,
terbelalak kaget ketika melihat sosok
Taksaka.
"Pantas...," desis kakek bongkok sambil
mengangguk-anggukkan kepala. "Rupanya
pemiliknya yang datang mengambil peti itu.
Pantas saja benda-benda yang semula
terkubur di dalam bumi itu dapat keluar
kembali! Heh...?!"
Mendadak kakek bongkok kembali
tersentak kaget ketika melihat Taksaka
menyerahkan peti kecil itu pada seorang
nenek berpakaian kuning yang bergegas
merebutnya. Kakek bongkok tahu siapa
adanya nenek berambut panjang itu.
Seorang tokoh sesat yang memiliki watak
kejam. Kalau isi peti yang merupakan
pusaka-pusaka maha ampuh sampai jatuh
ke tangannya, maka akan sulit baga tokoh
persilatan aliran putih untuk menghentikan
tindakan angkara murkanya.
Kekhawatiran akan terjadi hal itu
membuat kakek bongkok melompat
menerjang Siluman Goa Langit. Sungguh
suatu gerakan yang mengagumkan sekali.
Meski lelaki renta itu tadi tampak sangat
lemah ternyata memiliki kecepatan gerak
yang sangat cepat dan ringan. Bentuk
tubuhnya tidak terlihat, bergerak
menerjang Siluman Goa Langit.
Siluman Goa Langt terperanjat melihat
sekelebatan bayangan kuning meluruk ke
arahnya dari atas, laksana seekor burung
besar menerkam mangsanya. Meskipun
tidak dapat melihat secara jelas, nenek
berambut panjang tahu kalau sosok itu
pasti kakek bongkok yang ingin merampas
kembali peti yang berada di tangannya.
Secara untung-untungan, karena tak
ingin peti itu terampas kembali Siluman
Goa Langit segera melemparkarmya.
Kemudian dengan kedua tangan,
dipapakkan ke atas seraya mengangkat
kepala, dia bermaksud menangkis serangan
sekaligus mengirimkan serangan balasan.
"Heaaa...!"
Plak! Plak!
Siluman Goa Langit mengeluarkan
keluhan kesakitan ketika kedua tangannya
berbenturan dengan kedua tangan si Kakek
Bongkok. Kedua tangannya langsung terasa
lumpuh sejenak di samping nyeri.
Tubuhnya pun terjengkang ke belakang.
Jelas, tenaga dalam si Kakek Bongkok
berada jauh di atasnya.
"Orang sepertimu lebih baik
kulenyapkan dari muka bumi agar tidak
menyeret Anak Naga itu ke jalan sesat dan
terkutuk," ujar kakek bongkok pelan, tapi
terdengar jelas oleh telinga Siluman Goa
Langit.
Seketika Siluman Goa Langit merasa
gentar bukan kepalang. Disadari kalau
dirinya bukan tandingan lelaki tua renta
yang sangat sakti itu. Sebelum kakinya
menjejak tanah, kakek bongkok telah
meluruk ke arahnya seraya mengirimkan
serangan-serangan maut. Dengan cepat
Siluman Goa Langit langsung menjatuhkan
tubuh di tanah dan bergulingan menjauh
untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
'Taksaka...! Tolong aku...! Bunuh Kakek
peot ini...!" sambil terus bergulingan,
Siluman Goa Langit meneriakkan kata-kata
perintah pada bocah berkulit ular itu.
Seperti biasanya, Taksaka pun
mematuhi perintah Siluman Goa Langit
secara cepat. Sekali menjejakkan kaki,
bocah ajaib ini melesat ke dalam kancah
pertarungan. Dia langsung menyelak di
antara kedua orang tua yang tengah sibuk
bertarung itu. Begitu sampai di arena,
Taksaka langsung memapak serangan-
serangan yang tertuju ke arah Siluman Goa
Langit.
Plakk! Plakkk!
"Heh!"
Bunyi keras terdengar ketika tangan-
tangan Taksaka yang besar dan kekar
berbenturan dengan tangan kakek bongkok
yang kecil dan keriput. Akibatnya, tubuh
lelaki tua renta berjubah lusuh itu
terhuyung-huyung ke belakang sambil
menyeringai kesakitan. Kakek ini menderita
kerugian yang berlipat ganda akibat
benturan itu karena memang kalah segala-
galanya. Baik dalam kekuatan tenaga
dalam maupun kekuatan anggota tubuh.
Kedua tangannya terasa sakit dan gemetar
akibat benturan tadi.
8
Kakek bongkok itu merasa kagum
terhadap kemampuan Taksaka. Namun hal
itu tidak dapat diutarakannya, karena
bocah berkulit ular itu telah meluruk ke
arahnya dengan serangan-serangan
mematikan setelah berhasil memperbaiki
kedudukan. Terpaksa si Kakek Bongkok
mengerahkan kemampuan untuk
melakukan perlawanan. Sebab jika hal itu
tidak dilakukan, nyawanya akan melayang
ke alam baka.
Pertarungan sengit yang mendebarkan
pun berlangsung. Taksaka beringas bukan
kepalang. Setiap serangan yang dikirimkan
selalu menuju bagian-bagian mematikan.
Mau tidak mau lelaki tua berambut putih
itu bertindak serupa.
Ketika Taksaka tengah berjuang keras
untuk dapat merobohkan lawannya,
Siluman Goa Langit sibuk melayangkan
pandangan ke sana kemari meneari-cari
peti yang tadi dilemparkannya. Tadi dalam
luapan perasaan gugup dan khawatir, peti
itu dilontarkan tanpa diperhatikan arahnya.
Namun yang jelas, peti itu tidak menuju ke
lumpur hidup.
Setelah mengedarkan pandangan ke
sana kemari, Siluman Goa Langit yakin
kalau peti itu jatuh di kerimbunan semak-
semak yang berjarak sekitar lima belas
tombak darinya. Sebab, hanya tempat
itulah satu-satunya yang agak tersembunyi.
Siluman Goa Langit pun beranjak ke
sana. Namun baru beberapa lesatan dan
masih belum mencapai tempat yang dituju,
jantung nenek berambut panjang ini
hampir copot. Tiba-tiba telinganya
mendengar suara-suara yang mengejutkan
hatinya.
"Ha ha ha...! Kalau memang jodoh
akhirnya akan dapat juga, bukankah
pusaka-pusaka ini kabarnya terpendam di
dalam lumpur hidup. Ya, sejak lebih dari
seratus tahun lalu ketika Naga Sakti Danau
Pasir membuang peti ini karena
keturunannya menjadi penjahat besar, dan
akhirnya tewas di tangannya. Mengapa bisa
berada di sini?!"
'Tidak usah kau pikirkan itu! Lebih baik
bagaimana kita memanfaatkannya agar
dapat menjadi tokoh paling sakti di kolong
langit ini!" sambut sebuah suara yang lain.
"Aku yakin peti ini semula berada di dalam
lumpur hidup, hanya saja entah bagaimana
caranya bisa berada di sini. Lihat saja
keadaannya? Penuh lumpur dan pasir,
kan?"
Ucapan-ucapan yang jelas, berasal dari
dua orang itu hanya sampai di situ, karena
saat itu juga terdengar suara lainnya.
"Siapa bilang kalian yang berjodoh?
Jangan sembarangan mementang bacot!
Kamilah yang berhak atas pusaka Pendekar
Naga Sakti Danau Pasir!"
"Benar!" timpal suara lain lagi. "Kamilah
yang berhak mendapatkannya! Lekas,
berikan peti itu kalau ingin selamat!"
Di saat dua sosok yang pertama,
penemu peti, bersitegang dengan dua sosok
yang baru datang, Siluman Goa Langit tiba.
Keempat sosok yang sudah siap untuk
bertarung itu terperanjat melihat kehadiran
nenek tua tidak disangka-sangka.
"Kalian semua keliru!" seru Siluman Goa
Langit sambil menatap wajah empat sosok
yang terdiri dari Nelayan Pemancing Nyawa,
Petani Berjari Sakti, dan Sepasang Harimau
Hitam Bermata Satu.
Sekarang, nenek berambut panjang ini
tahu penemu peti yang dilemparkannya
adalah Sepasang Harimau Hitam. Sebab
suara dua sosok yang belakangan
dikenalinya milik Nelayan Pemancing
Nyawa dan Petani Berjari Sakti.
"Asal kalian tahu saja," ujar Siluman
Goa Langit menambahkan setelah melihat
empat sosok itu berdiam dan
mendengarkan ucapannya. "Akulah yang
berhak atas peti itu. Akulah yang dengan
susah payah mengambilnya dan dalam
lumpur hidup! Harimau Hitam, berikan peti
itu padaku!"
"Ha ha ha...!"
Hanya tawa bergelak yang diberikan
Sepasang Harimau Hitam atas ucapan
Siluman Goa Langit
"Lucu-lucu sekali...! Kita semua merasa
paling berhak, padahal tak ada satu pun
yang benar! Kita semua tidak lebih dari
pencuri-pencuri harta pusaka milik orang,
mengapa saling mengaku miliknya," tukas
Harimau Hitam yang mata kirinya picak
setelah selesai tertawa.
"Benar, benar sekali. Jadi, jangan harap
kalau kami akan memberikannya. Kalau
mampu silakan ambil," timpal Harimau
Hitam yang bermata picak sebelah kanan,
bernada menantang.
Diam-diam Sepasang Harimau Hitam
mengeluh dalam hati karena tahu kalau
lawan yang dihadapi merupakan tokoh-
tokoh berat. Dalam hati mereka menyesali
diri karena langsung larut dalam
kegembiraan dan tidak lebih dulu
mengurus pusaka. Kalau saja mereka
menggunakan isi peti itu, niscaya mereka
akan jauh lebih kuat. Namun apa boleh
buat nasi telah menjadi bubur. Sekarang
sudah tidak mungkin lagi mereka
melakukannya.
***
Baru saja Sepasang, Harimau Hitam
selesai dengan ucapannya, Siluman Goa
Langit, Nelayan Pemancing Nyawa, dan
Petani Berjari Sakti telah menyerangnya.
Masing-masing pihak langsung
mengeluarkan senjata andalan. Tak pelak
lagi, kail, cangkul, dan sabuk meluruk ke
arah dua tokoh hitam yang senantiasa
mengenakan pakaian hitam itu.
Karuan saja hal itu membuat Sepasang
Harimau Hitam kelabakan. Mereka harus
menghadapi keroyokan tokoh-tokoh sakti
karena peti pusaka peninggalan Naga Sakti
Danau Pasir. Serangan-serangan dahsyat
yang datang secara bersamaan itu
memaksa mereka membanting tubuh ke
tanah dan bergulingan menjauh untuk
menyelamatkan diri.
Namun ketiga lawan mereka tidak
tinggal diam, melainkan terus memburu
dengan serangan-serangan maut. Hanya
dalam beberapa gebrakan Sepasang
Harimau Hitam dibuat kelabakan. Padahal
keduanya telah menggunakan golok
bercabang dua, senjata andalan mereka.
Namun tetap saja keadaan tidak berubah.
Memang, sebenarnya tingkat kepandaian
Sepasang Harimau Hitam, bila
dibandingkan dengan lawan-lawannya tidak
akan sanggup mengungguli. Nelayan
Pemancing Nyawa, Petani Berjari Sakti,
apalagi Siluman Goa Langit, terlalu tangguh
untuk dapat mereka hadapi. Ketiga tokoh
itu unggul dalam segala hal. Tak heran
hanya dalam beberapa gebrakan nyawa
Sepasang Harimau Hitam berada di ambang
maut.
Tahu kalau keadaan seperti ini terus
akan membuat nyawa bisa melayang,
Harimau Hitam yang picak mata kanannya
segera melempar peti itu!
Perkiraannya tidak meleset. Begitu
melihat peti pusaka melayang, baik pihak
Nelayan Pemancing Nyawa maupun
Siluman Goa Langit, langsung
menghentikan serangan. Dengan cepat
berlomba menuju ke arah peti.
Rrrt! Rrrtt!
Baik Nelayan Pemancing Nyawa maupun
Siluman Goa Langit, benar-benar mahir
mempergunakan senjata andalan, sehingga
peti yang tengah melayang itu, berhasil
mereka belit dengan senjata masing-
masing. Hanya saja karena melilit peti
secara bersamaan, peti itu tertahan di
tengah jalan. Kedua belah pihak terlibat
dalam tarik-menarik dengan mengerahkan
tenaga dalam.
Sebenarnya, saat itu merupakan
kesempatan baik bagi Sepasang Harimau
Hitam untuk melancarkan serangan ketika
Siluman Goa Langit dan Nelayan Pemancing
Nyawa tengah bersitegang. Kedua senjata
tampak menegang saling mempertahankan
belitan pada peti itu.
Namun, Sepasang Harimau Hitam
khawatir usahanya akan gagal. Maka
keduanya menunggu saat yang benar-benar
tepat. Lagi pula keduanya bermaksud
membiarkan Nelayan Pemancing Nyawa dan
Petani Berjari Sakti, serta Siluman Goa
Langit saling bentrok. Baru di saat kedua
belak pihak telah lemah mereka akan turun
tangan.
Ternyata Siluman Goa Langit memiliki
tenaga dalam lebih kuat. Nelayan
Pemancing Nyawa tampak terengah-engah.
Tubuhnya pun hampir terlepas dari leher
Petani Berjari Sakti, condong ke depan
tertarik kekuatan tenaga lawan.
Untung saja Petani Berjari Sakti cepat
bertindak, Cangkulnya diayunkan ke arah
perut Siluman Goa Langit dari arah sebelah
kanan.
"Heaaa...!"
Wuttt!
"Aits.J"
Deru angin keras terdengar mengiringi
sambaran cangkul itu. Siluman Goa Langit
harus berpikir keras untuk dapat
melakukan tindakan tepat. Nenek berambut
panjang tahu kalau serangan cangkul itu
sampai mengenai sasaran nyawanya
mungkin melayang dengan sekujur tubuh
hancur dan isi perut terburai.
Mendadak, dalam waktu yang demikian
sempit, Siluman Goa Langit mengulur
sabuknya seraya mendoyongkan tubuh dan
menggeser kakinya ke belakang. Hal itu
membuat serangan cangkul Nelayan
Pemancing Nyawa lewat beberapa jari di
depan perutnya. Rambutnya yang panjang
tergerai berkibar terhempas angin
sambaran cangkul lawan.
Mengendurnya sabuk di tangan Siluman
Goa Langit pun sempat membuat tubuh si
Buntung yang bertengger di leher kawannya
hampir terjengkang.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Siluman Goa Langit. Ketika
sabuk itu menegang kembali akibat
terjengkangnya tubuh Nelayan Pemancing
Nyawa, memberi peluang kepada Siluman
Goa Langit. Dengan cepat perempuan tua
berambut panjang itu melancarkan
tendangan keras ke tubuh Petani Beri ari
Sakti.
Gerakan Siluman Goa Langit saja sudah
cepat bukan main apalagi ditambah dengan
tenaga ayunnya. Maka kecepatannya pun
jadi berlipat ganda. Dan akibarnya, Petani
Berjari Sakti merasa gugup dengan tibanya
serangan yang begitu cepat dan tidak
tersangka-sangka itu.
Dengan sebisa-bisanya dia berusaha
melompat untuk mengelak. Namun sayang,
lelaki bermata buta ini kalah cepat.
Tendangan Siluman Goa Langit lebih dulu
bersarang di dadanya secara telak dan
keras.
Petani Berjari Sakti terpekik keras ketika
tulang-tulang dadanya remuk dengan
mengeluarkan bunyi berdetak keras. Tubuh
lelaki bermata buta ini pun terjengkang ke
belakang seraya menyemburkan darah
segar dari mulut.
Nelayan Pemancing Nyawa tidak mau
mengambil resiko dengan tetap berdiam diri
di leher Petani Berjari Sakti. Meskipun
diketahui kemungkinan besar kawannya itu
akan tewas, mengingat luka-luka yang
parah. Kakek berkaki buntung ini akhirnya
melompat ketika kawannya terjengkang.
Tidak sembarang lompatan yang dilakukan,
tapi sekaligus mengirimkan serangan pada
Siluman Goa Langit. Nelayan Pemancing
Nyawa mengirimkan tamparan tangan kiri
ke arah pelipis lawannya. Itu dilakukan
dengan tali pancing masih membelit peti
seperti juga halnya sabuk di tangan
Siluman Goa Langit.
Siluman Goa Langit tidak mempunyai
pilihan lain. Dipapaknya serangan itu
dengan tindakan se-rupa. Namun tiba-
tiba....
Wuttt!
Plak! Plak!
"Heh...?!"
Siluman Goa Langit dan Nelayan
Pemancing Nyawa tersentak kaget.
Mendadak sesosok bayangan merah
berkelebat dan langsung memapak pukulan
tangan keduanya. Siluman Goa Langit
terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang. Begitu pula keadaannya dengan
Nelayan Pemancing Nyawa yang meringis,
merasakan nyeri di tangan.
"Resi Ganda Wisesa...!" seru Siluman
Goa Langit dan Nelayan Pemancing Nyawa
ketika berhasil memperbaiki kedudukan.
Kakek berkaki buntung itu terpaksa berdiri
dengan kedua pangkal pahanya karena
rekannya telah tewas.
"He he he.J"
Resi Ganda Wisesa tertawa terkekeh.
Tampak peti berisi pusaka yang
diperebutkan itu telah berada di tangannya.
Nelayan Pemancing Nyawa dan Siluman
Goa Langit merasa heran. Keduanya takjub
karena tidak tahu bagaimana kakek
berpakaian merah itu merebutnya tadi.
Nelayan Pemancing Nyawa dan Siluman
Goa Langit saling pandang. Sesaat
kemudian keduanya telah bersepakat untuk
bersama-sama menghadapi lawan yang
amat tangguh ini sebelum pertarungan
mereka dilanjutkan.
Sementara Resi Ganda Wisesa masih
tertawa-tawa sambil mengangkat tinggi-
tinggi peti itu. Bahkan sedikit pun tidak
ditolehkan sama sekali wajahnya ke arah
Siluman Goa Langit maupun Nelayan
Pemancing Nyawa.
"Sekarang apa yang akan kau lakukan,
Siluman Jalang?! Burungmu tidak akan
bisa membantu di tempat yang tertutup
pepohonan dan semak-semak ini! Ha ha
ha...!"
"Tutup mulutmu, Resi Keparat!"
Sambil berkata demikian, Siluman Goa
Langit langsung melancarkan serangan
dengan sabuknya. Benda yang semula
lemas itu, sekarang menegang kaku
bagaikan tombak. Bergerak cepat menusuk
ke leher dan dada Resi Ganda Wisesa.
Pada saat yang bersamaan, Nelayan
Pemancing Nyawa pun menyabetkan
kailnya. Mata kain itu melesat ke arah mata
lawan. Sedangkan ujung batangnya
ditusukkan ke leher.
"Eh...?!"
Resi Ganda Wisesa terkejut melihat
kedua tokoh yang semula saling tarung itu
kini justru bekerjasama menyerangnya. Hal
itu sama sekali tak diduganya. Namun dia
tidak tegar tanpa gentar sedikit pun.
Kakinya dijejakkan sehingga tubuhnya
melenting ke atas. Semua serangan itu pun
meleset ke tempat kosong. Dari sini, kakek
berpakaian merah itu balas menyerang
sehingga terjadi pertarungan sengit.
Di dekat lumpur maut Taksaka dan
kakek bongkok telah bertamng hampir
seratus lima puluh jurus. Selama itu
Taksaka selalu mampu mendesak
lawannya.
Kakek bongkok mengeluh dalam hati.
Dirinya tahu kalau riwayatnya akan
berakhir di tangan seorang bocah.
Dirasakan sekujur tubuhnya telah lelah
sekali. Bahkan boleh dibilang kehabisan
tenaga akibat pertarungan panjang yang
terus-menerus mengerahkan tenaga dalam.
Serangan dan gerakannya yang semula
penuh pengerahan tenaga dalam dan cepat,
telah menurun jauh. Sementara lawannya,
aksaka tampak masih tetap tegar.
Kekuatan dan kelincahannya tak berubah.
Sebenarnya, sudah sejak jurus ketiga
puluh, kakek bongkok telah mempergencar
serangan, baik berupa pukulan maupun
tendangan ke tubuh Taksaka. Namun anak
itu benar-benar memiliki kulit tubuh yang
alot. Hantaman tangan dan kaki lawan
sama sekali tak dirasakannya. Sebaliknya,
kakek bongkok Jiarus terus mengelakkan
setiap serangan Taksaka kalau tidak ingin
mati konyol.
Untungnya, kakek bongkok itu memiliki
ilmu 'Langkah-langkah Ajaib' yang dapat
dipergunakannya untuk mengelakkan
setiap serangan lawan. Kalau tidak, sudah
sejak tadi nyawanya tercabut dari raga.
Taksaka ternyata bukan sembarang
bocah. Setelah pertarungan menginjak
jurus ke seratus enam puluh tiga, sebuah
cara untuk menghadapi ilmu langkah ajaib
kakek bongkok telah berhasil
ditemukannya. Memang ilmu langkah itu
hanya itu-itu saja. Maka apabila
dipergunakan terus-menerus, kelemahan
nya akan mudah diketahui lawan.
Taksaka langsung mempergunakan
penemuannya di saat kakek bongkok baru
selesai mengelakkan serangannya. Dia
mencegat arah yang akan dituju lawan dan
secepat kilat menyapu kakinya. Sehingga
kakek bongkok itu terjungkal ke belakang.
Namun lelaki tua renta berjubah kumal itu
memang benar-benar tangguh. Dia mampu
berdiri dengan kedua kaki meski agak
te rhuy ung- huyun g.
Ancaman bahaya maut buat kakek
bongkok tak sampai di situ saja. Sambil
mendengus keras, Taksaka menubruk
sambil mengirimkan pukulan kanan kiri
bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan
perut lawan.
Kakek bongkok terperanjat, tahu kalau
dirinya tak akan mampu mengelakkan
serangan itu. Sedangkan untuk menangkis
merupakan tindakan konyol yang sangat
berbahaya. Namun tiba-tiba saja....
"Hiaaa...!"
Buk! Buk! Buk!
Sesosok bayangan ungu berkelebat
begitu cepat memapak serangan si Bocah
Ajaib. Bertubi-tubi benturan itu terjadi,
menimbulkan bunyi keras. Dan setiap kali
terjadi benturan, tubuh sosok ungu itu
terguncang dan terhuyung. Bahkan
benturan yang terakhir membuatnya
terjengkang ke belakang dan menabrak
tubuh kakek bongkok. Sehingga mereka
berdua jatuh saling tumpang tindih.
Namun dengan gerakan cepat dan
mengagumkan, baik kakek bongkok
maupun sosok ungu yang ternyata Dewa
Arak bangkit dan kembali sibuk
menghadapi Taksaka. Akhirnya, kakek
bongkok dan Dewa Arak bahu-membahu
bersama-sama menanggulangi serangan
Taksaka yang menggiriskan itu.
Kini Dewa Arak harus mengakui
kebenaran ucapan Jaran Sangkar. Taksaka,
si Anak Naga itu benar-benar luar biasa.
Betapapun telah dikerahkan ilmu 'Belalang
Sakti dan dibantu dengan kakek bongkok,
tetap saja mengalami kesulitan untuk
menghadapi Taksaka.
Beberapa kali pukulan, tendangan,
maupun guci Aiya menghantam tubuh
Taksaka, tapi satu pun tak ada yang
dirasakan. Sebaliknya, Dewa Arak dan
kakek bongkok harus pontang-panting
setiap kali Taksaka menyerang. Sesekali
keduanya terpaksa menangkis, tapi
akibatnya tubuh mereka terjengkang lalu
terguling-guling ke tanah. Karena tahu
kalau Taksaka memiliki tubuh kebal, Dewa
Arak dan kakek bongkok menujukan
serangan pada bagian-bagian yang sulit
untuk dilindungi kekebalan, seperti mata
dan ubun-ubun. Ternyata benar, Taksaka
tak berani membiarkan serangan ke arah
itu.
Pertarungan antara Anak Ajaib itu
melawan Dewa Arak dan kakek bongkok
kian seru. Serangan-serangan dahsyat
terus berlangsung. Keadaan di sekitar
tempat itu porak-poranda bagai diamuk
badai dahsyat.
Mendadak Taksaka yang merasa geram
karena tidak juga berhasil mengalahkan
lawan-lawannya menggeram keras.
Sehingga membuat keadaan di sekitar
tempat itu tergetar hebat. Bahkan Dewa
Arak dan kakek bongkok merasakan sendiri
akibatnya. Kedua kaki mereka menggigil
lemas.
Saat itu, Taksaka melompat menerjang
untuk mengirimkan serangan maut, ketika
kedua lawannya terpengaruh geramannya.
Tapi....
'Taksaka...! Hentikan...!" Taksaka
menghentikan gerakannya secara
mendadak karena mengenai betul pemilik
suara itu. Dengan agak ragu-ragu dan
bergetar ditolehkan kepalanya ke belakang.
"Ibu...!" seru Taksaka seraya berlari
menghambur ke arah wanita berpakaian
coklat yang berdiri bersebelahan dengan
kakek berpakaian putih, Prajurit Kerajaan
Dewa.
Nawangsuri tersenyum seraya
mengembangkan kedua lengan menyambut
tubuh putranya.
"Jangan kau serang mereka, Taksaka!
Pemuda berambut putih keperakan itu
orang yang menyelamatkanku dan juga
kakekmu," ujar Nawangsuri memberi tahu
kan anaknya, seraya menunjuk Prajurit
Kerajaan Dewa. "Mengapa kau bisa berada
di sini, Taksaka?"
"Cukup panjang ceritanya, Bu," jawab
Taksaka pelan. "Di saat aku tengah bermain
melihat seekor burung besar berwarna
putih. Aku tertarik, dan mendekatinya, tapi
burung itu selalu pergi setiap kali aku
hampir menangkapnya. Sampai akhirnya
aku tersesat, tidak tahu jalan untuk
pulang. Saat itulah kepalaku mendadak
pusing. Dan ketika sadar aku berada di
atas punggung burung bersama seorang
nenek. Dia katanya menemukanku tergolek
pingsan."
"Dia bohong!" tandas Nawangsuri,
"Nenek itu bukan penolongmu. Dia
penculikmu, bahkan dia pula yang telah
membunuh ayahmu ketika bermaksud
menyelamatkanmu!"
"Apa? Ayah mati?! Dibunuh oleh Nenek
itu?!" tanya Taksaka dengan mata
terbelalak kaget. Dirinya hampir tak
percaya mendengar ucapan sang Ibu.
"Benar. Luka-luka yang diderita,
sebagian besar akibat paruh dan cakar
burung besar. Dan kebetulan seorang
pencari kayu bakar melihatnya. Karena
itulah kami tahu siapa penculikmu!"
"Keparat!" geram Taksaka, "Kalau begitu,
Nenek keparat itu harus kubunuh!"
Lalu, tanpa mempedulikan Nawangsuri
yang memanggil-manggilnya, Taksaka
melesat menuju tempat Siluman Goa Langit
tadi pergi. Telah bulat tekadnya untuk
melenyapkan nenek berambut panjang itu
dari muka bumi.
Melihat Nawangsuri dan Prajurit
Kerajaan Dewa mengejar Taksaka, Dewa
Arak dan kakek bongkok pun melakukan
hal yang sama. Seperti juga Nawangsuri
dan ayahnya, kedua tokoh sakti yang
berbeda usia itu pun tadi mendengarkan
semua cerita Taksaka. Bahkan Dewa Arak
tadi sempat bertanya kepada kakek
bongkok yang ternyata salah seorang
keturunan kawan Naga Sakti Danau Pasir
yang bertugas menjaga peti pusaka itu.
Sambil berlari, Dewa Arak membantin di
dalam hati. Semula disangkanya hanya dia,
Nawangsuri, dan Prajurit Kerajaan Dewa
yang berpikir kalau penculik Taksaka
menuju kemari. Ternyata semuanya pun
berpikir demikian. Telah dilihatnya sendiri,
pertarungan yang menewaskan Petani
Berjari Sakti sebelum dia menolong kakek
bongkok.
Dewa Arak dan kakek bongkok merasa
heran ketika melihat Taksaka, dan ibunya.
Kakek itu hanya mematung. Mengapa
bocah ajaib itu tidak berbuat sesuatu?
Apakah ada sesuatu yang terjadi di sana?
Ternyata memang benar, di tempat
pertarungan telah bergelimpangan mayat-
mayat berlumuran darah. Tak jauh dari
situ, tampak peti yang diperebutkan
tergolek. Tidak ada satu pun tokoh hitam
yang berhasil mendapatkan peti itu. Resi
Ganda Wisesa, Nelayan Pemancing Nyawa,
dan Siluman Goa Langit tewas dalam
pertarungan mereka. Sedangkan Sepasang
Harimau Hitam rupanya tewas oleh racun
ganas yang sengaja ditaburkan Resi Ganda
Wisesa di kotak pusaka.
Tanpa menunggu lebih lama Dewa Arak
membalikkan tubuh dan mengayunkan
kaki meninggalkan tempat itu. Diam-diam
dirinya merasa bergidik teringat pada
Taksaka yang luar biasa.
Dewa Arak telah mendengar kalau
Nawangsuri dulu tidak pernah bisa hamil.
Namun beberapa tahun kemudian
dikabarkan bahwa Nawangsuri hamil
setelah memakan daging ular besar.
Mungkinkah karena itu Taksaka berwujud
demikian? Dewa Arak hanya menggeleng-
geleng kepala sambil terus beijalan
melanjutkan pengembaraannya.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Satria Sinting
Emoticon