1
Malam itu langit kelihatan cerah. Tidak ada awan yang
menggantung. Bulan yang bersinar penuh di angkasa menambah
Namun keheningan itu tidak berlangsung lama. Bunyi lecutan
cambuk, derap kaki kuda, dan gemeretak roda kereta telah
mengganggu malam yang begitu indah. Sesaat kemudian, muncullah
sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Beberapa lelaki gagah
berkuda mengiringi kereta. Mereka berjumlah dua belas orang. Enam
di depan, empat di belakang, dan masing-masing satu orang di kanan
dan kiri kereta. Semuanya menunggangi kuda-kuda pilihan.
"Hooop"
Penunggang kuda terdepan yang berkumis melintang, tiba-tiba
mengangkat tangan kanannya ke atas. Sedangkan tangan kirinya
menarik tali kekang kuda hingga langkahnya terhenti. Iring-iringan
yang berada di belakangnya jadi ikit berhenti.
"Kita beristirahat di sini dulu," ujar lelaki berkumis melintang
yang menjadi kepala rombongan. Binatang tunggangannya
dibalikkan menghadap rombongan.
Usai lelaki berkumis melintang mengeluarkan perintah, kesibukan
pun langsung terjadi. Belasan lelaki gagah yang mengenakan
seragam prajurit berlompatan dari punggung kuda. Gerakan mereka
cukup gesit dan lincah. Terutama lelaki berkumis melintang.
Tanpa banyak bicara, rombongan prajurit itu segera bertindak.
Kereta mereka ditaruh di tempat yang terlindung, di tengah-tengah.
Sedangkan di empat penjuru, mereka berjaga. Ini dimaksudkan agar
bila ada serangan dari arah mana pun, akan berhadapan dengan para
prajurit terlebih dahulu. Kusir kereta itu seorang pemuda yang
bertubuh kekar dan tegap. Ia ikut berjaga-jaga meskipun dia bukan
seorang prajurit.
Setelah mengawasi semua persiapan rombongannya, lelaki
berkumis melintang lalu masuk ke sebuah tenda kecil untuk
beristirahat. Tapi, baru saja sepasang matanya dipejamkan, tiba-tiba
dibukanya kembali dengan cepat. Lelaki itu melompat dari
pembaringan dan melesat ke luar tenda.
"Ada apa, Sancaka?" tanya seorang prajurit yang merasa heran
melihat lelaki berkumis melintang itu keluar dari tendanya kembali.
"Kau dengar bunyi burung hantu saling bersahutan?" lelaki
berkumis melintang malah mengajukan pertanyaan.
Prajurit itu mengangguk.
"Celaka!" seru lelaki berkumis melintang yang bernama Sancaka.
"Musuh telah berada di sekeliling kita. Semuanya waspada!"
Baru saja ucapan Sancaka selesai, terdengar bunyi berkerosakan.
Dari atas pohon dan semak-semak di sekitar tempat itu keluarlah
sosok-sosok bayangan. Senjatatelanjang terhunus di tangan mereka.
T anpa memberikan kesempatan sedikit pun, sosok-sosok yang
keluar dari tempat tersembunyi itu segera menyerbu. Para prajurit di
bawah pimpinan Sancaka langsung menyambutnya. Pertarungan pun
tidak bisa dielakkan lagi.
Malam yang semula hening kini riuh rendah oleh bunyi dentang
senjata beradu, yang dibarengi dengan teriakan-teriakan keras. Sesaat
kemudian, jeritan menyayat pun terdengar. Seorang anak buah
Sancaka telah menjadi korban
Kelompok penyerang yang meskipun hanya berjumlah empat
orang, namun rata-rata berkepandaian tinggi. Mereka tidak
mengalami kesulitan untuk membunuh lawan-lawannya Padahal,
masing-masing dari mereka paling sedikit menghadapi tiga orang
lawan.
Hanya dalam waktu singkat yang masih bisa bertahan cuma lelaki
berkumis melintang. Meskipun demikian, pimpinan rombongan itu
tidak gentar. Ia terus mengadakan perlawanan sengit. Tapi, tetap saja
Sancaka terdesak.
Sementara tiga orang penyerbu yang sudah tidak mendapat lawan
lagi, dengan langkah tenang dan tertawa-tawa menghampiri kereta.
Kereta itu sudah tidak ada yang menjaga lagi. Kecuali si Kusir kereta
yang sejak pertempuran terjadi menyembunyikan wajahnya dengan
kedua tangan. Ia tidak berani menyaksikan jalannya pertarungan.
"Keparat! Pengecut-pengecut hina. Jangan ganggu kereta itu.
Kalau kalian berani, hadapi aku!" seru Sancaka kalap melihat tiga
lawannya bergerak mendekati kereta.
Tindakan itu harus dibayar mahal oleh lelaki berkumis melintang.
Perhatiannya jadi terpecah meskipun hanya sebentar. Tapi karena
kedudukannya yang tengah terjepit, sebuah sabetan pisau lawan
merobek lehernya. Nyawa Sancaka pun langsung melayang.
Kemudian, tanpa mempedulikan korbannya, lawan Sancaka yang
mengenakan pakaian berkembang-kembang seperti pakaian wanita
itu berjalan menghampiri kereta.
***
Salah seorang dari tiga lelaki berpakaian kembang, mengulurkan
tangan kiri, mencengkeram baju sang Kusir kemudian
melemparkannya dengan mudah laksana membuang kain basah,
membuat sang Kusir pingsan seketika.
Tiba-tiba lelaki berwajah hitam itu berlari mengejar dua orang
penumpang kereta. Memang, di saat belasan prajurit pengawal
bertarung dengan empat lelaki berpakaian kembang-kembang,
penumpang kereta yang adalah dua orang wanita itu mengintai
jalannya pertarungan dari dalam kereta kuda. Melihat kenyataan
kalau para penyerang jauh lebih kuat, mereka keluar dari kereta dan
melarikan diri.
"He he he.J Mau lari ke mana, Manis?!" tanya lelaki berwajah
hitam ketika berhasil menghadang mereka.
"He he he...!" tiga orang kawan lelaki berwajah hitam yang tidak
ikut mengejar hanya memperhatikan dengan tertawa-tawa.
"Keparat busuk!"
Salah seorang wanita, yang muda dan cantik, menusukkan
pedangnya yang dipegang dengan tangan kiri. T angan kanannya
menuntun wanita yang lebih tua. Senjata tajam itu cepat ditusukkan
ke arah leher.
"Rupanya kau memiliki kepandaian juga, Manis? Tapi jangan
harap kau dapat menang dariku?"
Sambil berkata demikian, lelaki berwajah hitam memiringkan
kepala. Serangan itu berhasil dielakkan. Lalu secepatnya tendangan
kaki kanannya meluncur menuju perut lawan.
Buk!
Telak dan keras sekali kaki, lelaki berwajah hitam mendarat di
sasaran. Tubuh wanita cantik berpakaian indah itu sampai terlempar
dan jatuh bergulingan di tanah.
"Jangan sakiti dia...!" seru wanita yang lebih tua. Ia bergerak
menghadang langkah lelaki berwajah hitam yang akan menghampiri
si Wanita muda.
"Minggir kau, Tua Bangka Jelek!"
Tanpa menaruh rasa kasihan sedikit pun, lelaki berwajah hitam
mengulurkan tangan menangkap tubuh wanita tua itu, lalu
dibantingnya dengan keras hingga terdengar bunyi berdebuk.
"Ibuuu...!"
Wanita muda berwajah cantik dengan agak terbungkuk karena
masih merasakan sakit pada perutnya berlari mendekati ibunya T api,
sebelum maksudnya terlaksana, sebuah tangan kuat telah menarik
pakaiannya.
"Rupanyakau tidak sabar menunggu giliran, Anak Manis?!" ucap
lelaki berwajah hitam sambil mendekatkan wajah si Gadis ke
wajahnya. Setelah mengangkat tubuh gadis itu dengan sebelah
tangan, karena lelaki berwajah hitam itu mempunyai tubuh yang jauh
lebih tinggi dan kuat.
"Jangan makan sendirian saja, Dusena!" seru salah seorang dari
tiga lelaki berpakaian kembang-kembang yang bertubuh pendek
kekar.
"Jangan khawatir," ucap lelaki berwajah hitam. "Tapi kalian
makan saja dulu ini!"
Dusena mengayunkan kaki menendang tubuh wanita setengah
baya yang masih meringkuk kesakitan di tanah. Tubuh wanita
malang itu pun melayang ke arah tiga lelaki berpakaian kembang.
Untung, Dusena tidak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
"Siapa sudi daging yang sudah alot!" sergah lelaki pendek kekar
sambil mendengus. Tangannya m cm a p aki tubuh yang meluncur ke
arahnya. Terdengar bunyi berderak keras ketika kepala wanita
setengah baya itu pecah berantakan terkena hantaman tangannya.
"Ibuuu...!"
Wanita cantik jelita itu menjerit keras melihat nasib yang
menimpa ibunya. Tapi jeritannya hanya sampai di situ saja.
Mulutnya telah ditutup dengan buas oleh mulut lelaki berwajah
hitam, yang menciuminya dengan penuh nafsu. Tidak hanya mulut
saja, tapi juga pipi dan hidungnya.
Brettt!
Bunyi kain robek terdengar ketika tangan lelaki berwajah hitam
merenggut baju si Wanita cantik hingga robek dari leher sampai ke
pusar.
Dengan napas memburu Dusena mencampakkan tubuh wanita
cantik itu ke tanah, ia segera melepas bajunya dan bersiap untuk
menggagahi. Namun mendadak terdengar bunyi geraman yang
sangat keras, seperti auman harimau.
Akibatnya hebat bukan main! Dusena dan ketiga kawannya
merasakan sekujur tubuh mereka tergetar hebat. Bahkan, kedua kaki
mereka menggigil keras. Tanpa dapat ditahan lagi ketiga orang itu
ambruk ke tanah.
Sebelum Dusena sempat berbuat sesuatu, terasa angin dingin
berdesir. Di sebelahnya telah berdiri si Kusir kereta yang tadi
dicampakkannya Kali ini sikap dan keadaan lelaki bertubuh kekar
itu amat jauh berbeda dengan sebelumnya Wajahnya tampak
beringas. Sepasang matanya menatap liar pai uh nafsu membunuh!
Kusir kereta itu mengangkat tubuh wanita cantik jelita dengan
cara luar biasa. Cepat bukan main gerakannya, sehingga Dusena
yang berada di dekatnya tidak melihat bagaimana lelaki kekar itu
bergerak. T ahu-tahu tubuh wanita itu telah berada di bahu kanannya.
"Sukaesih.... Ah, Sukaesih," desah kusir kereta seraya mengelus-
elus tubuh wanita cantik yang ada di pondongannya dengan penuh
kasih.
Tentu saja tindakan kusir kereta itu membuat wanita cantik jelita
yang sudah hampir pingsan akibat tindakan Dusena, jadi tak
sadarkan diri.
Tapi si Kusir kereta tidak mempedulikan hal itu. Perhatiannya
dialihkan pada Dusena yang masih setengah berlutut di tanah karena
belum dapat menghilangkan pengaruh geraman tadi. Lelaki kekar itu
mengayunkan kakinya ke arah kepala Dusena dengan telak dan
keras. Maka, tanpa dapat bersambat lagi, nyawa lelaki berwajah
hitam itu melayang ke akherat dengan kepala pecah.
"Dusena...!"
Ketiga rekan lelaki berwajah hitam berseru kaget. Dengan
teriakan-teriakan marah, ketiganya bangkit dan meluruk ke arah sang
Kusir dengan senjata di tangan. Saat itu, pengaruh teriakan yang
membuat sekujur tubuh mereka lemas telah berangsur lenyap.
Desir angin tajam mengiringi tibanya serangan golok ketiga orang
berpakaian kembang. Tapi, sang Kusir yang dijadikan sasaran
serangan hanya mendengus tanpa memberikan tanggapan. Ia tidak
mengelak maupun menangkis serangan itu.
Tak, tak, tak!
Tiga rekan Dusena memekik kaget. Mata-mata golok yang
berhasil mendarat di tubuh sang Kusir tidak mampu melukai
kulitnya, hanya merobek pakaian. Bahkan, golok-golok itu terpental
balik dan tangan mereka terasa sakit. Tubuh lelaki kekar itu bagaikan
terbuat dari karet yang keras dan kenyal.
Kenyataan itu membuat tiga lelaki berpakaian kembang-kembang
kaget bukan main. Mereka tidak tahu kalau sang Kusir memiliki
tenaga dalam sangat kuat kulit tubuhnya tidak mampu tertembus
golok. Namun, perasaan itu hanya sebentar saja menghinggapi
mereka. Saat berikutnya, ketiganya mengeluarkan jeritan menyayat
ketika dengan kecepatan yang luar biasa, sang Kusir mendaratkan
jari telunjuknya pada dahi mereka, hingga berlubang. Nyawa tiga
rekan Dusena itu pun melayang.
***
"Suhita...! Suhita, bangun...! Jangan mati, Suhita.J Aku takut...!"
Wanita cantik jelita beipakaian jingga yang tadi hampir menjadi
korban kebiadan nafsu Dusena, mengguncang-guncang tubuh kusir
kereta yang t a'golek di tanah. Suara wanita itu terdengar penuh
ketakutan. Kepalanya ditolehkan ke sana kemari dengan sepasang
mata liar menatap ke sekelilingnya.
"Uhhh...," terdengar keluhan dari mulut kusir kereta. Matanya
mengerjap-ngerjap, membuat wanita berpakaian jingga tersenyum
lega.
"Apa yang terjadi, Nona? Ah, kau tidak apa-apa? Syukurlah....
Aku khawatir - sekali tadi. Mereka jahat dan kejam sekali. Dan... eh...,
siapa yang membunuh mereka, Nona?" tanya Suhita linglung, kusir
kereta itu kelihatan kaget sekali melihat tubuh-tubuh lelaki
berpakaian kembang-kembang bergeletakan di tanah tidak bernyawa.
Wanita berpakaian jingga mengerutkan alisnya yang indah
mendengar jawaban itu.
"Kau tidak usah berpura-pura, Suhita. Bukankah kau yang telah
membunuh mereka?!"
"Aku?!" Suhita membelalakkan sepasang matanya yang masih
kelihatan linglung. "Aku yang membunuh mereka, Nona? Apakah
kau tidak main-main? Bagaimana mungkin aku bisa membunuh
mereka yang berkepandaian tinggi? Sedangkan para prajurit saja
dapat mereka kalahkan, apalagi aku yang tidak memiliki kepandaian
apa pun. Bukankah kau melihat sendiri aku juga pingsan? Orang
yang berwajah hitam itu telah melempar aku seperti membuang
sehelai kain basah. Tapi...."
"Tapi apa, Suhita?" tanya wanita berpakaian jingga melihat Suhita
menghentikan ucapannya dengan wajah kelinglungan.
"Ti... tidak ada apa-apa, Nona," Suhita menggeleng-gelengkan
kepala cepat. "Tapi yang jelas, bukan aku yang telah membunuh
mereka. Percayalah, Nona. Aku tidak mempunyai kepandaian silat
sedikit pun."
Wanita berpakaian jingga tidak mendesak lagi. Dia hanya
menghela napas berat untuk menghempaskan kekecewaannya karena
Suhita tidak mau berterus terang.
"Baiklah, Suhita. Kalau kau tidak percaya padaku, tidak mengapa.
Yang penting, sekarang temani aku pulang."
"Tapi Nona.... Bukankah Tuan Besar menyuruh Nona pergi, dan
tidak usah kembali ke sana lagi karena sangat berbahaya? Tujuan
kita adalah tempat kediaman paman Nona," Suhita mencoba
membantah.
"Untuk apa aku ke sana kalau hanya sendirian, Suhita? Lagi pula
aku harus mengabarkan kejadian ini pada ayahku. Setidaknya Ayah
harus tahu kalau pelaku kekejian ini adalah Perguruan Lembah
Seribu Bunga," wanita berpakaian jingga bersikeras pada
keinginannya.
"Tapi..."
"Sudahlah, Suhita. Kau tinggal pilih, mau ikut atau tidak? Jika
tidak, biar aku pergi sendiri!" tandas wanita berpakaian jingga agak
kesal.
"Tentu saja aku akan ikut denganmu. Nona. Tapi, perjalanan yang
telah kitatempuh cukup jauh. Akan membutuhkan waktu yang cukup
lama untuk kembali. Paling tidak kita akan sampai di rumah
menjelang siang. Dan...."
"Akutidak peduli!" ujar wanita beipakaian jingga. "Yangpenting,
kita harus beritahukan kejadian ini pada Ayah!"
Suhita mengangkat bahu mendengar kata-kata majikan mudanya.
Sesaat kemudian, Suhita dan wanita berpakaian jingga telah memacu
kudanya kembali ke arah semula. Tentu saja setelah terlebih dulu
mengubur mayat-mayat para prajurit dan ibunya.
Matahari telah bergeser mendekati tengah hari. Sinarnya
memancar cukup terik. Tapi semua itu tidak dipedulikan sesosok
tubuh ramping berpakaian hijau. Ia berdiri tegak dan bertolak
pinggang di sebuah jalan tanah berdebu di kaki gunung. Pada kanan
kiri jalan terdapat tebing yang menjulang tinggi ke atas bagai tiang-
tiang alam yang hendak menggapai langit.
Sosok berpakaian hijau yang ternyata seorang wanita muda
berwajah cantik dan berambut dikuncir itu menatap ke depan tanpa
berkedip. Sepasang matanya berseri ketika melihat sesuatu bergerak
di depan sana. Pedang yang tergantung di punggung segera
dicabutnya.
Srat!
Sinar yang menyilaukan mata berpendar ketika pedang itu keluar
dari sarungnya. Tidak terlihat bentuk senjata itu, hanya seleret sinar
putih menyilaukan.
Bentuk sesuatu di depan sana semakin lama semakin tampak
jelas. T crnyata serombongan orang yang terdiri dari para prajurit dan
orang-orang rimba persilatan. Sebagian di antara mereka berkuda,
sisanya berjalan kaki.
Rombongan yang terdiri dari pasukan kerajaan dan orang-orang
persilatan itu melihat wanita berpakaian hijau yang berdiri
menghadang jalan. Seorang berpakaian panglima segera memberi
tanda pada anggota rombongan untuk berhenti Mereka berada lima
tombak dari wanita berpakaian hijau.
"Menyingkirlah, Gadis Kecil! Kami ingin lewat. Apakah kau
telah mempunyai nyali demikian besar sehingga berani menghadang
perjalanan pasukan kerajaan?" ujar panglima beitubuh tinggi besar
dan bercambang bauk lebat.
"Aku tidak akan menyingkir sebelum kalian membebaskan
ayahku. Dan membalas dendam atas kekejian yang telah kalian
lakukan pada keluargaku!" tandas wanita berpakaian hijau seraya
menudingkan jari telunjuknya pada sesosok tubuh tegap lelaki
setengah baya, yang duduk di atas punggung kuda. Kedua tangannya
diikat ke belakang. Lelaki setengah baya itu berada di tengah-tengah
rombongan. Jelas, ia adalah tawanan.
"Ha ha ha...!"
Panglima bercambang bauk lebat tertawa bergelak hingga
dadanya berguncang-guncang. "Jadi... kau putri pemberontak keparat
ini? Sungguh kebetulan. Kami tidak perlu repot-repot mencarimu.
Tangkap dia!" seru lelaki tinggi besar itu dari atas punggung
kudanya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, para prajurit yang tidak
menunggang kuda meluruk ke arah wanita berpakaian hijau dengan
senjata di tangan. Hanya dalam sekejap wanita berpakaian hijau
sudah terkurung.
Teriakan-teriakan keras yang dikeluarkan enam orang prajurit
terdengar saat mengayunkan golok ke berbagai bagian tubuh wanita
berpakaian hijau. Tapi, serangan-serangan itu hanya mengenai
tempat kosong. Wanita berpakaian hijau itu berhasil mengelakkan
setiap serangan. T ubuhnya menyelinap di antara hujan serangan
lawan. Kemudian, sekali pedang di tangannya digerakkan, terdengar
jeritan kesakitan lawan. Para prajurit itu berjatuhan satu persatu.
Hingga dalam waktu singkat saja sudah tiga orang prajurit tergeletak
di tanah tanpa mampu bangun lagi untuk selamanya.
"Keparat! Wanita liar itu ternyata lihai juga!" geram panglima
bercambang bauk lebat marah.
"Tidak akan lama lagi tiga orang prajuritmu itu pun akan
menyusul rekan-rekannya, Panglima," ucap kakek berambut panjang
putih dan memiliki wajah mirip kuda. Ia duduk di atas punggung
kuda di sebelah kiri panglima. Nada ucapannya terdengar paruh
keyakinan dan kesombongan.
"Hehehe...!"
Lelaki pendek gemuk dan berperut gendut yang mukanya selalu
tampak tersenyum, terkekeh-kekeh. Sungguh pun demikian, terlihat
kalau dia mendukung ucapan kakek berwajah mirip kuda. Lelaki
pendek gemuk yang perutnya tidak tertutup rompi coklat yang
dikenakannya itu, duduk di atas punggung kuda di sebelah kanan
panglima. Usianya sekitar empat puluh lima, tahun.
2
Panglima bercambang bauk lebat menggeram keras. "Rupanya
wanita liar itu ingin merasakan kelihaian pasukan khusus kerajaan!"
usai berkata demikian, lelaki tinggi besar itu menoleh ke belakang
untuk memberi perintah pada para perwira yang berada di
belakangnya
"Tidak usah, Panglima," cegah kakek bermuka kuda tenang. "Biar
aku yang menghadapi dan menangkap kuda betina liar itu. Bukankah
kita harus segera tiba di istana untuk menghukum mati pemberontak
keparat itu?!"
Tanpa menunggu jawaban panglima bercambang bauk lebat,
kakek bermuka kuda melompat dari punggung kuda. T ubuhnya
bersalto beberapa kali di udara, dan mendarat di tanah satu tombak di
hadapan wanita berpakaian hijau yang masih mengamuk.
"Mundurlah kalian!" ucap kakek beimuka kuda seraya
menjulurkan kedua tangannya ke depan.
Akibatnya membuat para prajurit, panglima, dan perwira-perwira
pasukan khusus kerajaan terkejut serta takjub. Tubuh tiga prajurit
yang tengah bertarung, tiba-tiba tertarik ke belakang seperti ada
tangan tidak nampak yang menariktubuh mereka.
Tapi ini malah menguntungkan tiga prajurit itu. Karena di saat
yang bersamaan wanita berpakaian hijau membabatkan pedangnya.
Kalau tubuh mereka tidak tertarik ke belakang oleh tindakan kakek
bermuka kuda, nyawa mereka pasti telah melayang ke alam baka.
Pedang wanita berpakaian hijau akan merobek perut mereka.
Tanpa membantah sedikit pun, tiga prajurit itu berlari kembali ke
kelompoknya dengan menyeret kawan-kawan mereka yang tewas.
Kini, wanita berpakaian hijau berdiri berhadapan dengan kakek
bermuka kuda.
"Srini...! Cepat lari...! Tinggalkan tempat ini. Jangan coba-coba
menolongku.... Cepat, tinggalkan tempat ini!"
Lelaki setengah baya yang menjadi tawanan berteriak-teriak
khawatir. Melihat putrinya hendak bertarung dengan kakek bermuka
kuda yang diketahui berilmu sangat tinggi, ia merasa cemas akan
keselamatan anaknya itu.
T api wanita berpakaian hijau yang bernama Srini ternyata
mempunyai sifat keras kepala. Sambil menyilangkan pedangnya di
depan dada, kepalanya digelengkan.
"Tidak, Ayah! Aku tidak akan pergi dari sini kalau tidak bersama
denganmu. Akutidak takut mati!"
Srini lalu meluruk maju dengan tusukan pedang ke arah leher
kakek bermuka kuda. Angin bercicit tajam mengiringi tibanya
serangan itu.
T api, kakek bermuka kuda hanya mendengus mengejek. Dia
menjejakkan kaki hingga tubuhnya melayang ke atas. Dan begitu
meluncur turun, kedua kakinya mendarat di batang pedang Srini!
Srini terkejut melihat pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang
menakjubkan itu. Seluruh tenaganya dikerahkan untuk membuat
tubuh lawan terpental. Pedangnya disentakkan secara tiba-tiba ke
atas. Namun, usahanya sia-sia. Jangankan membuat kakek bermuka
kuda terpental, pedangnya bergeming pun tidak. Tubuh kakek itu
ternyata berat sekali. Pedang Srini sampai tertekan ke bawah.
Rupanya, kakek bermuka kuda itu mengerahkan tenaga dalam untuk
memberatkan tubuhnya
Srini sadar tidak ada gunanya meneruskan maksudnya. Maka,
sarung pedang yang tersampir di punggung diambil dan ditusukkan
ke arah selangkangan kakek bermuka kuda ini.
Kakek beimuka kuda menggenjot kakinya seraya mengerahkan
tenaga dalam. Tubuhnya terlonjak ke atas. Dan, tubuh Srini
terhuyung ke depan terbawa genjotan kaki lawan. Saat itu, kakek
bermuka kuda melancarkan tendangan kaki kanan ke kepala Srini.
Buk!
Meskipun Srini telah berusaha mengelak, namun karena serangan
itu meluncur dengan cepat, tidak urung pundak kanannya kena
tendangan juga. Tak pelak lagi, sambungan tulang bahunya pun
lepas. Pedang yang tergenggam di tangan terlempar. Malah, saking
kerasnya serangan itu mendarat, tubuh Srini sampai terbanting ke
tanah dan bergulingan.
Kakek bermuka kuda yang bermaksud melenyapkan nyawa Srini
bergegas memburu untuk melancarkan serangan susulan. Tapi....
"Branta Wali...! Sungguh kau tidak tahu malu. Beraninya hanya
menghadapi gadis ingusan. Ayo, hadapi aku! Tua berhadapan dengan
tua!"
Seruan keras yang dikeluarkan dengan mengerahkan tenaga
dalam bergema ke sekitar tempat itu. Tidak hanya kakek bermuka
kuda bernama Branta Wali saja yang terkejut, tapi juga semua
anggota rombongan. T ermasuk Srini, gadis berpakaian hijau.
Sepuluh tombak dari tempat itu tampak berdiri dengan tenang
seorang kakek kecil kurus bermata satu. Di tangan kanannya
tergenggam sebuah kebutan.
"Guru...!" seru Srini kaget bercampur gembira melihat orang yang
telah menyelamatkannya dari ancaman maut Branta Wali. Gadis
berpakaian hijau itu menghambur ke arah gurunya dan memberi
hormat.
"Kau terlalu gegabah Srini!" tegur kakek bermata satu. Dibelai-
belainya rambut Srini dengan penuh sayang. "Kenapa tidak
menungguku?"
"Aku tidak sabar lagi, Guru. Lagi pula, kupikir Guru masih lama
selesai dari semadinya. Jadi aku pergi lebih dulu dan meninggalkan
surat untukmu."
Kakek bermata satu menggeleng-gelengkan kepala Diam-diam
dia bersyukur karena segera menyusul ketika melihat muridnya tidak
ada, dan hanya meninggalkan sepucuk surat yang isinya
memberitahukan kepergiannya untuk m cm bebaskan ayahnya.
Terlambat sedikit saja, nyawa Srini tentu sudah melayang ke akheral.
***
"Kiranya kau. Resi Sindu Laga," ujar Branta Wali mengenali
kakek bermata satu, setelah memperhatikannya beberapa saat
"Benar, Branta Wali." Resi Sindu Laga mengangguk. "Rupanya
meskipun telah menjadi penjilat pantat raja lalim, kau masih
mempunyai mata yang cukup awas."
"Tutup mulutmu, Sindu Laga!" sergah Branta Wali keras.
Sepasang matanya membelalak marah mendengar ejekan kakek
bermata satu. "Terimalah ajalmu!"
Branta Wali menerjang Resi Sindu Laga dengan pukulan kedua
tangannya secara bertubi-tubi. Sasarannya adalah dada, ulu hati, dan
perut. Angin serangan ke luar dari dorongan tenaga dalam cukup
tinggi.
Srini yang melihat serangan berbahaya itu segera menjauh.
Sedangkan Resi Sindu Laga cepat menyimpan kebutannya di
pinggang. Ia memapaki serangan itu dengan jari-jari tangan terkepal.
Buk, buk, buk!
Benturan terdengar berkali-kali ketika dua pasang tangan terkepal
itu bertemu. Setiap kali terjadi benturan, tubuh Branta Wali tergetar
hebat. Malah, pada benturan terakhir dia terhuyung-huyung ke
belakang dengan mulut menyeringai kesakitan.
Branta Wali menggeram keras karena marah dan penasaran. Dia
tahu Resi Sindu Laga memiliki tenaga dalam di atasnya Itu
diketahui dari benturan yang terjadi. Begitu berhasil memperbaiki
kedudukan tubuhnya yang terhuyung-huyung, senjatanya yang unik
berupa sepasang sumpit dari gading gajah segera dikeluarkan.
Resi Sindu Laga yang tahu kelihaian lawan tidak mau kalah.
Dengan kebutan di tangan kanan disambutnya serangan Branta Wali.
Pertarungan sengit pun kembali berlangsung.
Branta Wali yang tengah dilanda rasa penasaran mengerahkan
seluruh kemampuannya untuk melakukan penyerangan. Sepasang
sumpit di tangannya berubah menjadi sinar-sinar pitih berkitaran,
menyambar-nyambar ke berbagai bagian tubuh Resi Sindu Laga.
T api Resi Sindu Laga bukan orang sembarangan. T anpa kesulitan,
setiap serangan sumpit Branta Wali dapat dipatahkannya. Bahkan dia
mampu mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat.
Kebutan di tangannya terkadang lemas, hingga dapat dipergunakan
untuk melibat maupun mengebut. T api, tak jarang bulu-bulu kebutan
itu menegang kaku memapaki serangan sumpit lawan.
Hanya dalam waktu singkat pertarungan telah berlangsung lima
puluh jurus lebih. Menginjak jurus kelima puluh lima Branta Wali
mulai terdesak. Kakek bermuka kuda itu sekarang hanya dapat
bermain mundur. Serangan-serangan jauh berkurang. Yang banyak
dilakukan Branta Wali hanya mengelak dan menghindar. Menangkis
jarang dilakukannya.
Prat!
"Akh!"
Branta Wali memekik kesakitan ketika kebutan Resi Sindu Laga
menampar pundak kanannya. Baju dan kulit di bagian itu pun koyak.
Darah mengalir ke luar. Seketika itu pula tangan kanan kakek
bermuka kuda lumpuh. Sumpit di tangannyaterlepas.
Khawatir akan ada serangan susulan di saat keadaannya tidak
menguntungkan, Branta Wali melempar tubuhnya ke belakang.
Bersalto beberapa kali di udara menjauhi lawan. Pada saat yang
bersamaan, lelaki pendek gemuk yang sejak tadi menyaksikan
jalannya pertarungan dengan wajah cerah dan mulut tersenyum,
melompat dari punggung kuda.
"Akulah lawanmu. Resi Sindu Laga," ujar lelaki pendek gemuk
sambil tertawa terkekeh. Lelaki berperut gendut itu berada di antara
Resi Sindu Laga dan Branta Wali.
Keberadaan lelaki pendek gemuk membuat Resi Sindu Laga
mengurungkan niatnya untuk melancarkan serangan lanjutan pada
Branta Wali.
"Siapa kau?" tanya Resi Sindu Laga. Kebutannya ditudingkan ke
arah lawan. Dengan mengerahkan tenaga dalam, bulu-bulu
kebutannya menegang kaku.
"Hehehe...!"
Lelaki pendek gemuk kembali terkekeh hingga perut gendutnya
bergoyang-goyang. Tawanya kelihatan biasa saja. Tapi tidak
demikian halnya yang dirasakan Resi Sindu Laga. Dadanya tergetar
hebat sepeiti kena pukul.
Kenyataan ini membuat kakek bermata satu itu berdebar tegang.
Dia tahu, lelaki pendek gemuk ini memiliki kepandaian amat tinggi
dan kemungkinan besar berada di atasnya. Suara tawanya saja
mampu mengguncangkan dadanya. Perasaan khwatir pun
berkecamuk di hati Resi Sindu Laga. Bukan mencemaskan
keselamatannya, tapi muridnya Rombongan pasukan kerajaan itu
ternyata memiliki banyak orang pandai.
"Srini...! Pergilah kau...! Tinggalkan tempat ini. Biar aku yang
akan membebaskan ayahmu!" seru kakek bermata satu pada
muridnya.
Srini merasa heran mendengar perintah itu. T api, dia tahu gurunya
tidak akan berkata begitu kalau tidak ada hal-hal yang
mengkhawatirkannya. Maka, Srini tidak berani membantah. Dia pun
tadi sempat merasakan kedua kakinya menggigil ketika lelaki pendek
gemuk teitawa. Padahal, suara tawa yang dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga dalam itu tidak ditujukan kepadanya, tapi pada
gurunya.
Srini membal ik kan tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu.
Tapi, panglima bercambang bauk tidak membiarkan hal itu terjadi.
Diperintahnya para perwira untuk mencegah Srini kabur.
Resi Sindu Laga tidak berpangku tangan ketika melihat para
perwira kerajaan dan juga Branta Wali mencegat perjalanan
muridnya. Dia segera bergerak untuk menahan mereka. Tapi tiba-tiba
terdengar bunyi tawa terkekeh. Dan, di depannya telah berdiri lelaki
pendek gemuk.
"Mau ke mana, Sindu Laga?" tanya lelaki itu tanpa meninggalkan
kebiasaan tertawanya. "Bukankah kau belum mendapatkan jawaban
atas pertanyaan yang kau ajukan padaku?"
Resi Sindu Laga menggertakkan gigi menahan perasaan
geramnya. Apalagi ketika dilihatnya, Srini gagal melarikan diri
karena Branta Wali telah mencegat jalannya. Wanita berpakaian
hijau itu tengah menghadapi keroyokan tiga orang perwira kerajaan
yang merupakan anggota pasukan khusus.
Resi Sindu Laga sadar kalau lelaki pendek gemuk tidak segera
dirobohkan, dia tidak akan pernah bisa menolong muridnya. Tanpa
menunggu lebih lama, kakek itu melompat menerjang lelaki pendek
gemuk dengan tusukan kebutannya ke arah ubun-ubun dan sepasang
mata lawan.
Lelaki pendek gemuk tertawa terkekeh. Kedua tangannya yang
terbuka didorongkan ke depan. Maka, serangkum hembusan angin
kuat pun menyerbu Resi Sindu Laga, membuat bulu-bulu kebutan
yang semula menegang kaku melemas kembali. Dengan sendirinya,
serangan Resi Sindu Laga pun pupus.
Tidak hanya itu saja yang diderita Resi Sindu Laga. Dadanya
terasa sesak bukan main. "Ilmu Pukulan Gelombang Laut',” desah
Resi Sindu Laga terkejut.
"Kaget, Sindu Laga?" tanya lelaki gemuk tetap dengan wajah
cerah. "Memang. Aku salah seorang ahli waris Perguruan Laut
Mati."
"Tidak mungkin. Perguruan Laut Mati sudah lama musnah. Aku
tahu betul tentang itu. Ramuji, keturunan terakhir Perguruan Laut
Mati tidak memiliki ilmu itu. Ilmu Pukulan Gelombang Laut'
musnah sejak generasi di atas Ramuji tidak ada!" bantah Resi Sindu
Laga yang yakin tahu betul tentang Perguruan Laut Mati.
"Ramuji memang tidak memiliki ilmu khas Perguruan Laut Mati,
Sindu Laga. Tapi aku memilikinya. Akulah ahli waris Perguruan
Laut Mati. Menyerahlah. Tidak ada gunanya kau melakukan
perlawanan. Kau bukan lawanku!" jawab lelaki pendek gemuk.
"Tak kusangka ahli waris Perguruan Laut Mati sudi menjadi
penjilat pantat raja lalim!" ujar Resi Sindu Laga menyesalkan.
"Tidak perlu banyak bicara, Sindu Laga. Nenek moyangku turun-
temurun adalah abdi-abdi setia kerajaan. Maka aku pun mengikuti
jejak mereka. Menyerahlah sebelum kau menerima perlakuan yang
tidak sepantasnya!"
"Jangan harap! Aku lebih baik mati daripada menyerah! Hih!"
Resi Sindu Laga menerjang maju. Kebutan di tangannya yang
menegang kaku ditusukkan bertubi-tubi ke berbagai bagian
berbahaya tubuh lelaki pendek gemuk. Tapi dengan kecepatan yang
mengagumkan, ahli waris Perguruan Laut Mati itu berkelebat di
antara serangan-serangan lawan. Ke mana pun serangan Resi Sindu
Laga meluncur, hanya akan menjumpai tempat kosong. Tubuh lelaki
pendek gemuk sudah lebih dulu lenyap. Sebaliknya, setiap kali ahli
waris Perguruan Laut Mati melancarkan serangan, Resi Sindu Laga
kelabakan. Jangankan terkena langsung, angin serangannya saja
sudah cukup membuat tubuh kakek bermata satu itu terhuyung-
huyung. T ak sampai dua puluh lima jurus. Resi Sindu Laga terdesak
hebat.
Di jurus kedua puluh tujuh, di saat Resi Sindu Laga kembali
terhuyung-huyung, tangan lelaki pendek gemuk bergerak cepat
merampas kebutan kakek itu. Sedangkan tangan yang lain menampar
dada kiri lawan.
Plak!
Resi Sindu Laga mengeluarkan seruan tertahan. Serangan lelaki
pendek gemuk tepat mengenai sasaran. Tubuhnya terhuyung dengan
darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Kakek bermata satu
itu tewas seketika dengan dada pecah.
Di saat yang bersamaan, Srini berhasil diringkus lawan-lawannya.
Pedang di tangannya telah terlepas. Sebelum dia sempat berbuat
sesuatu, beberapa bilah pedang telah tertuju ke lehernya dan siap
ditusukkan. Wanita berpakaian hijau itu tidak bisa berbuat apa-apa
lagi.
"Guru...," Srini merintih lirih, meskipun sebenarnya wanita itu
ingin berteriak sekerasnya. T api rasa sedih yang sangat membuat
suaranya tercekat di kerongkongan.
Kalau saja Branta Wali tidak cepat melumpuhkannya dengan
totokan dan segera membelenggunya, mungkin Srini akan
menerobos kepungan para perwira kerajaan untuk menghambur ke
arah gurunya, walau nyawanya akan melayang. Tapi, keadaan
menghendaki lain.
Panglima bercambang bauk lebat tersenyum gembira melihat
kerusuhan itu berhasil ditanggulangi. Setelah mendudukkan Srini
yang telah dibebaskan dari totokan di atas punggung kuda,
rombongan kerajaan itu kembali bergerak melanjutkan perjalanan. Di
tempat itu yang tinggal hanya mayat Resi Sindu Laga. Debu
mengepul tinggi ke udara ketika rombongan kerajaan bergerak pergi.
***
"Rasanya akan ada hambatan lagi di depan," ujar panglima
bercambang bauk lebat sedikit khawatir. Pandangan matanya
menatap lurus ke depan.
"Aku tidak sependapat denganmu. Panglima," ucap Branta Wali.
"Aku sependapat dengan Branta Wali, Panglima," lelaki pendek
gemuk ikut bicara. "Sosok-sosok yang di depan itu bukankah hanya
mayat-mayat yang tidak berarti?"
"Lagi pula, andaikata benar ada hambatan pun, apa yang harus
kami takutkan? Dengan adanya kalian berdua yang memiliki
kepandaian tinggi, siapa yang dapat menghambat rombongan kita?"
sambut panglima yang mulai menemukan ketenangannya kembali
ketika teringat di dalam rombongannya ada dua orang tokoh tingkat
tinggi.
Rombongan yang dipimpin panglima bercambang bauk lebat
akhirnya tiba di tempat itu. Ucapan lelaki pendek gemuk memang
benar. Yang ada hanya sosok-sosok tubuh tak bernyawa yang
bergeletakan di sana-sini.
Rombongan kerajaan itu menghentikan perjalanan sejenak karena
panglima, Baranta Wali, dan lelaki pendek gemuk menyempatkan
diri memperhatikan sosok-sosok mayat itu.
"Tindakan sepeiti ini hanya dapat dilakukan tokoh persilatan yang
memiliki kepandaian tinggi," gumam Branta Wali dengan kening
berkerut seraya mengelus-elus dagunya yang tidak ditumbuhi
jenggot.
Lelaki pendek gemuk mengangguk-angguk membenarkan
pendapat rekannya. "Kalau aku tidak salah, mereka adalah
perampok-perampok yang berdiam di hutan-hutan," ucap lelaki
pendek gemuk dengan sinar mata menyiratkan keterkejutan.
"Hey...?!"
Sambil berseru kaget, lelaki pai dek gemuk menjulurkan kedua
tangannya ke atas pohon yang berada tak jauh di sebelah kanannya.
"Keluar kau, Pengkhianat Hina...!"
Dari kedua tangan yang dijulurkan itu berhembus angin keras.
Disusul dengan terdengarnya bunyi gemerisik riuh daun-daun
pepohonan dan ranting-ranting berguguran ke tanah.
Pada saat itulah dari atas pohon melesat sesosok bayangan yang
kemudian mendarat di tanah setelah bersalto beberapa kali di udara.
Seketika rombongan prajurit kerajaan bergerak melindungi tawanan.
Mereka khwatir sosok itu orang yang ingin membebaskan tawanan.
"Siapa kau. Anak Muda?" tanya lelaki pendek gemuk tidak
melanjutkan serangannya. Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, dia
langsung mengetahui kalau sosok yang baru saja lolos dari
serangannya itu berkepandaian tinggi. Maka, dia tidak berani
sembarangan menyerang lagi. Tampaknya lelaki gemuk paidek tidak
ingin menanam permusuhan. Lagi pula, dia tidak yakin sosok itu
bermaksud ingin membebaskan tawanan.
Sosok yang ternyata seorang pemuda tampan bertubuh kekar
tersenyum lebar. "Maaf. Bukannya aku tidak mau mempa'kenalkan
diri, Sobat. T api.... memang demikian adanya Sekali lagi, maaf."
"Keparat!"
Panglima bercambang bauk lebat menggeram keras. Jawaban itu
dianggap menujukkan kesombongan. Dia sudah bersiap memberikan
perintah untuk menangkap si Pemuda tampan. Tapi lelaki pendek
gemuk memberikan isyarat agar tindakan itu tidak perlu dilakukan.
Terpaksa, dengan hati tidak puas, panglima tinggi besar
mengurungkan niat Dia merasa heran mengapa lelaki pendek gemuk
tidak marah menerima perlakuan seperti itu. Padahal, dia saja tidak
kuat menahan sabar.
Memang, lelaki pendek gemuk tidak marah dengan sambutan
pemuda tampan itu. Sebagai tokoh persilatan, lelaki pendek gemuk
tahu akan banyaknya tokoh-tokoh persilatan yang memiliki watak
aneh dan tidak mau dikenal orang. Mungkin pemuda tampan di
hadapannya termasuk orang yang demikian. Karena itu, dia
memakluminya.
"Kalau begitu..., mengapa kau mengintai kami?" kejar lelaki
pendek gemuk dengan sorot mata penuh selidik.
"Maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud mengintai kalian," ucap
pemuda tampan itu sambil mengedarkan pandangan berkeliling.
Sekilas diperhatikannya semua anggota rombongan. "Perlu kalian
ketahui, tamtama sekali kau. Sobat. Aku lebih dulu berada di sini
daripada kalian."
"Hhh.J" lelaki pendek gemuk menghela napas berat. "Aku
percaya dengan keteranganmu, Anak Muda. T api, sayang sekali saat
ini kami sedang dalam tugas penting. Aku tidak mau mengambil
risiko dengan membiarkan kau pergi. Siapa tahu kau salah satu dari
pemberontak-pemberontak yang ingin menghambat perjalanan kami.
Maka dengan menyesal aku terpaksa harus menangkapmu. Tapi
sebelumnya aku ingin tahu, apakah kau yang telah membunuh orang-
orang ini?"
Pemuda tampan itu mengalihkan tatapannya ke arah mayat-mayat
yang bergeletakkan di tanah. Kemudian perlahan-lahan kepalanya
digelengkan.
"T api kau tahukan siapa pembunuh mereka?" desak lelaki pendek
gemuk.
Pemuda tampan itu secara tidak langsung menjawab pertanyaan
lelaki pendek gemuk. Dia tercenung, hingga membuat orang yang
bertanya jadi tidak sabar.
"Kau tidak usah mungkir, Anak Muda!" tandas lelaki pendek
gemuk keras. "Kau kira aku dapat kau bohongi? Aku tahu kau telah
terlibat pertempuran yang membuatmu terluka dalam. Mungkin
sekarang lukamu sudah sembuh. Tapitetesan darah di bibirmu yang
belum sempat kau bersihkan telah menjelaskan semuanya."
3
Pemuda tampan itu terkejut. Tanpa sadar punggung tangan
kanannya digunakan untuk menghapus sisi mulut. Di punggung
tangannya tampak sedikit cairan merah kental. Darah!
"Bisa kaujelaskan apa yang telah terjadi, Anak Muda? Barangkali
saja penjelasanmu itu membuatku mempertimbangkan apakah kau
akan kami biarkan pergi."
"Sayang sekali," sahut pemuda tampan dengan wajah menyesal.
"Akutidak bisa mengatakannya."
"Sombong!" bentak lelaki pendek gemuk kehilangan kesabaran.
"Rupanya karena memiliki sedikit kepandaian kau menjadi besar
kepala. Tidakkah kau sadari kalau kejadian yang baru menimpamu
akan terulang kembali bila kau bertempur denganku? Kenalkan aku
Gempar, pewaris terakhir Perguruan Laut Mati!"
Wajah pemuda tampan itu berubah ketika mendengar ucapan
lelaki pendek gemuk. Memang, pernah didengarnya nama Perguruan
Laut Mati. Sebuah perguruan yang hanya mempunyai seorang ahli
waris dalam setiap generasi. Namun hebatnya, setiap murid atau ahli
waris yang turun gunung, langsung menggemparkan karena
kesaktian dan ilmu-ilmunya yang tinggi.
"Kau kaget, Anak Muda Sombong?" tanya Gempar ketika melihat
perubahan mimik wajah pemuda tampan di hadapannya "Apakah
kau pemah mendengar namaku?"
"Tidak," jawab pemuda tampan menggeleng-gelengkan kepala.
"Tapi perguruanmu. Perguruan Laut Mati telah sering kudengar."
"Bagus! Kalau begitu lebih baik kau menyerah. Percuma kau
melakukan perlawanan. Kau tidak akan menang melawanku!"
"Aku bukan seorang pengecut. Gempar. Majulah. Biar kurasakan
sendiri kelihaian ilmumu!" tandas pemuda tampan seraya
menggertakkan gigi.
"Sombong!" seru lelaki pendek gemuk keras. Kedua tangannya
yang gemuk didorong ke depan. Dari kedua tangan itu meluncurlah
angin keras berputaran.
Pemuda tampan itu merasakan serbuan angin dahsyat. Dadanya
terasa sesak. Bahkan, kakinya terasa lemas. Hembusan angin
bergulungan itu membuat tenaga dalamnya tersedot.
Tapi, pemuda itu ternyata bukan tokoh persilatan yang gampang
dipecundangi. Dalam saat yang kritis dia mampu menghimpun
tenaga dalam dengan menggertakkan gigi. Sesaat kemudian,
tubuhnya melayang ke atas. Dari sana, dikirimnya serangan berupa
tendangan ke kepala lawan.
"Hmh.J"
Gempar mendengus keras. Kedua tangannya digerak-gerakkan di
atas kepala. Angin keras berputaran yang muncul dari kedua
tangannya telah melencengkan serangan pemuda tampan. Kenyataan
ini mengejutkan pemuda itu. Apalagi ketika tangan kanan lelaki
pendek gemuk meluncur bagai ular terbang ke arah ulu hatinya.
Tidak ada waktu lagi untuk melakukan tangkisan.
Benturan kedua tangan itu membuat tubuh keduanya terjungkal ke
belakang dengan tangan tergetar hebat. Seketika itu pula mereka
maklum kalau lawan yang dihadapi memiliki kepandaian yang
berimbang. Namun, itu tidak menghalangi keduanya untuk saling
terjang dan gempur kembali.
Branta Wali dan panglima tinggi besar serta pasukan kerajaan
lainnya menyaksikan dalam jarak beberapa tombak. Mereka tidak
ingin mencari bahaya dengan menyaksikan dari jarak dekat. Angin
serangan kedua orang yang beitarung itu sudah cukup untuk
mengirim nyawa mereka ke akherat.
Gempar menggertakkan gigi ketika pertarungan menginjak jurus
kesepuluh. Dia belum juga berhasil mendesak lawannya. Padahal,
ilmu andalannya telah dipergunakan. Ilmu mukjizat yang jarang ada
orang mampu menandinginya Bahkan, tokoh-tokoh tua dan tingkat
atas dari dunia persilatan. Tapi sekarang? Hanya seorang pemuda
telah mampu menahannya sampai sepuluh jurus. Ini membuatnya
penasaran bukan main. Kedua tangannya bergerak semakin cepat.
Di lain pihak, pemuda tampan itu tidak kalah kagumnya. Ilmu
yang dipergunakan lawan benar-benar dirasakan sendiri
kedahsyatannya. Padahal, Gempar jarang mempergunakan sepasang
kakinya. Dia menitik beratkan ilmunya pada kedua tangan. Tapi
hebatnya memiliki kedahsyatan yang menggiriskan. Setiap gerakan
tangan lawan membuat napasnya terasa sesak bukan main. Sekujur
otot dan urat-urat saraf di tubuhnya hampir lumpuh.
Kalau saja pemuda tampan itu tidak mengerahkan tenaga
dalamnya, sudah sejak tadi dia roboh di tangan lawan. T api tentu saja
dengan terbaginya tenaga itu, tenaga yang dipergunakan untuk
menghadapi Gempar jadi tidak penuh. Itu sebabnya pemuda tampan
itu tidak berani menangkis. Serangan-serangan yang dilancarkan
Gempar sedapat mungkin dielakkannya Untung saja ilmu
meringankan tubuh pemuda tampan itu cukup tinggi. Dan juga,
dengan hampir tidak dipergunakannya sepasang kaki Gempar,
gerakan lelaki pendek gemuk itu jadi tidak terlalu cepat. Ini
menguntungkan si Pemuda tampan untuk melakukan elakan.
T api, perlawanan yang dilakukan pemuda tampan ternyata tidak
berarti. Sampai berapa lama dia dapat bertahan dari serangan tokoh
tingkat tinggi seperti Gempar?
Di jurus ketiga belas, pemuda tampan itu terpaksa menangkis. Dia
sudah tidak sempat lagi untuk mengelak. Akibatnya, tubuh pemuda
itu terjengkang ke belakang dan jatuh terguling-guling di tanah.
Gempar tertawa bergelak melihat lawannya tak berdaya.
Kemudian dia melesat memburu pemuda tampan yang masih
bergulingan. Sesaat kemudian, pertarungan yang unik pun terjadi.
Pemuda tampan itu terus berguling-gulingan di tanah, dan Gempar
mengejarnya dengan serangan yang siap dijatuhkan. Nyawa pemuda
tampan itu bagai telur di ujung tanduk.
"Ha ha ha...! Itukah ilmu 'Pukulan Gelombang Laut'? Buruk..!
Buruk sekali...!"
Di saat Gempar tengah memburu si Pemuda tampan dan siap
menjatuhkan serangan maut, terdengar seruan keras yang
menggetarkan sekitar tempat itu. Tidak hanya Gempar saja yang
terkejut. Semua yang berada di tempat itu berpaling mengedar
pandangan.
Berbeda dengan rombongan kerajaan yang kelihatan bingung,
Branta Wah dan Gempar segera bisa mengetahui pemilik suara itu
mempergunakan ilmu tenaga dalam tingkat tinggi. Suaranya yang
menggema menyulitkan orang untuk mengetahui sumber suara itu.
Gempar mengurungkan niatnya untuk terus mendesak si Pemuda
tampan. Dia melempar tubuhnya ke belakang dan menjauh. Hampir
pada waktu yang bersamaan Branta Wah melompat turun dari atas
punggung kuda.
"Tunjukkan rupamu kalau bukan pengecut. Keparat!" teriak
Branta Wah. Sepasang matanya terus berkeliaran ke sana kemari
karena belum juga bisa memperkirakan asal seruan itu.
"Kau terlalu hina untuk bertemu denganku. Kuda Tua!" sambut
suara tanpa wujud.
"Keparat!" Branta Wah menghentakkan kedua tangannya ke arah
pohon tempat pemuda tampan berada. "Tunjukkan mukamu.
Pengecut!"
Brakkk!
Batang pohon sebesar sepelukan orang dewasa itu langsung
tumbang. Tapi tidak terlihat adanya sesosok tubuh yang melesat
keluar ketika pohon itu ambruk ke tanah dengan mengeluarkan bunyi
hiruk pikuk. Ini membuat kakek bermuka mirip kuda itu penasaran.
Dia siap mengarahkan sasarannya pada pohon lain. Namun, tindakan
itu diurungkan ketika Gempar mencegahnya.
"Jangan kau lakukan itu, Branta Wali. Percuma. Kau hanya
menghabiskan tenagamu saja. Itulah yang diinginkan orang ini Dia
takut menghadapi kita yang saat ini masih bertenaga penuh. Karma
itu, dilakukannya tindakan kucing-kucingan ini!"
"Keparat! Rupanyakau sudah ingin mampus, Gempar!"
Seruan tanpa wujud itu kembali terdengar. Ejekan Gempar
rupanya termakan pemilik suara itu. Tapi, seruan kali ini tidak
menggunakan tenaga dalam. Semua orang, tidak terkecuali si
Pemuda tampan, mencari-cari pemilik suara. Suara tanpa wujud itu
berasal dari dekat mereka. Ketika mereka menoleh untuk
mempertegasnya, ternyata salah seorang dari anggota pasukan
kerajaan yang digantikan oleh sesosok tubuh berpakaian serba putih.
Wajahnya tidak terlihat karena tertutup selubung yang juga berwarna putih.
Rasa kaget yang melanda pasukan kerajaan hanya berlangsung
sesaat. Mereka segera tersadar dan langsung berseru keras seraya
mengirimkan serangan dengan senjata di tangan.
T anpa merubah kedudukannya di atas punggung kuda, sosok
berpakaian serba putih menghadapi serbuan belasan senjata yang
mengancam berbagai bagian tubuhnya. Kedua tangannya bergerak
cepat bukan main. Hingga, yang terlihat hanya kelebatan bayangan
putih dalam bentuk yang tidak jelas. Tahu-tahu terdengar keluhan-
keluhan dari mulut pasukan kerajaan. Tubuh mereka terhuyung
mundur dengan senjata terlepas dari pegangan. Sebagian senjata itu
berpindah ke tangan sosok berpakaian serba putih, sedangkan
sisanya bertebaran di tanah.
Para prajurit itu tidak tahu apa yang telah terjadi. Tapi tidak
dengan Gempar, Branta Wali, dan pemuda tampan. Mereka melihat
dengan jelas sosok berpakaian serba putih melumpuhkan tangan
lawan-lawannya dengan totokan pada belakang lutut, kemudian
merampas senjata mereka.
"Keparat!"
Branta Wali yang berwatak berangasan, apalagi tadi diejek sosok
serba putih itu, tidak bisa menahan kesabaran lagi. Dia menjejakkan
kaki hingga tubuhnya melayang ke arah sosok serba putih. Tapi,
sebelum maksudnya terlaksana, sosok berpakaian serba putih telah
melakukan hal yang sama. Tubuhnya melayang dari atas punggung
kuda. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Srini disambarnya. Lalu,
dengan kibasan tangan kiri ke bawah, sosok serba putih berhasil
melewati kepala Branta Wali.
"Mau lari ke mana, Keparat! Jangan harap dapat lolos dari sini!"
Seruan itu keluar dari mulut Gempar. T ubuh lelaki pendek gemuk
ini melesat cepat menghadang sosok berpakaian serba putih. Kedua
tangannya bergerak-gerak melancarkan serangan dengan
mempergunakan ilmu Tangan Gelombang Laut'.
"Hmh.J"
Sosok serba putih mendengus. Tangan kanannya segera
dikibaskan. Letupan pelan pun terdengar. T ubuh Gempar terhuyung-
huyung ke belakang, sementara tubuh sosok berpakaian serba putih
hanya tergetar saja.
Gempar yang biasanya teitawa, kali ini tidak mampu tersenyum
karena kagetnya. Belum pernah dalam penggunaan ilmu 'Pukulan
Gelombang Laut' dia dibuat terhuyung oleh lawan. Betapapun kuat
tenaga dalam lawan, bila berbenturan dengan ilmu Pukulan
Gelombang Laut' pasti akan mencelakakan lawan. Andaikata dia
terhuyung, lawannya akan terjengkang ke belakang dan terguling-
tuling. Tapi kenyataannya sekarang sangat berbeda. Mungkinkah
sosok berpakaian serba putih itu memiliki kepandaian yang sangat
tinggi?
Belum lagi Gempar memperbaiki kedudukannya, sosok
berpakaian serba putih telah mengirimkan serangan balasan dengan
tendangan beitubi-tubi. Tendangan yang mengeluarkan angin
berkesiutan tajam. Sambil menggertakkan gigi Gempar menggerak-
gerakkan kedua tangannya. Dia ingin membuat serangan lawan
meleset, kemudian mengirimkan serangan balasan.
Tapi, lagi-lagi Gempar berteriak kaget. Kaki lawan sedikit pun
tidak meleset dari sasaran. Kedahsyatan ilmu Pukulan Gelombang
Laut' tidak terlihat sama sekali. Dengan sendirinya, kedua kaki yang
meluncur bertubi-tubi itu berbenturan dengan kedua tangan Gempar.
Untuk kedua kalinya tubuh Gempar terjengkang ke belakang.
Benturan tangan dan kaki itu menimbulkan bunyi keras seperti
beradunya logam. Celakanya lagi, serangan kedua kaki sosok
berpakaian serba putih tidak berhenti sampai di situ. Dia terus
melayang menyerang dada dan ulu hati Gempar.
Di saat keselamatan Gempar terancam, Branta Wali dari samping
mengirimkan totokan ke arah pelipis dan lutut sosok serba putih.
Apabila sosok berpakaian serba putih masih terus melanjutkan
serangannya, sebelum mencapai sasaran kedua bagian tubuhnya itu
akan tertembus sepasang sumpit Branta Wali.
Sosok serba putih rupanya mengetahui hal itu. Maka serangannya
dibatalkan. Lalu, dikirimkannya serangan pada Branta Wali. Sekejap
kemudian sosok berpakaian serta putih itu telah terlibat pertarungan
menghadapi keroyokan Gempar dan Branta Wali.
Pertarungan yang menggiriskan itu disaksikan dengan penuh
kagum oleh pemuda tampan, yang merupakan satu-satunya orang
yang dapat melihat secara jelas jalannya pertarungan. Sedangkan
rombongan pasukan kerajaan, meskipun tak kalah sungguh-
sungguhnya memperhatikan, tidak melihat secara jelas. Bahkan
beberapa kali pandangan mereka ditundukkan. Gerakan ketiga tokoh
itu demikian cepat, hingga membuat mata mereka lelah dan panas.
Padahal yang mampu mereka saksikan hanya kelebatan bayangan
putih, hijau, dan coklat. Yang saling belit dan kadang-kadang
terpisah.
Pemuda tampan yang hampir saja celaka di tangan Gempar
menggeleng-gelengkan kepala, takjub menyaksikan jalannya
pertarungan. Dia kagum bukan main kepada sosok berpakaian serba
putih. Meskipun Srini di pondongannya, dia tetap mampu melakukan
perlawanan sengit.
"Hhh..!"
Pemuda tampan itu menghela napas berat. Sama sekali tidak
disangkanya dalam sehari ini ia sudah bertemu dengan tiga orang
tokoh tingkat tinggi. Bahkan satu di antara mereka telah membuatnya
hampir melayang ke akherat. Kalau saja sosok berpakaian serba
putih tidak muncul, bukan tidak mungkin dia telah tewas di tangan
Gempar. Tanpa sadar, dengan tatapan masih tertuju pada pertarungan
sosok berpakaian serba putih, Branta Wali, dan Gempar, ingatan
pemuda tampan itu melayang pada kejadian pagi tadi....
Sambil mengembangkan kedua tangannya ke kanan dan kiri untuk
melonggarkan rongga dada, pemuda tampan itu menarik napas
dalam-dalam. Dihirupnya udara pagi yang segar dan jernih. Kedua
kakinya yang kokoh melangkah ringan di tanah yang ditumbuhi
rumput-rumput pendek. Pohon-pohon besar dan kecil berada di
sekitarnya.
Tiba-tiba pemuda tampan itu mengarahkan pandangannya ke satu
arah. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi dentang senjata
beradu. Juga teriakan-teriakan orang-orang bertempur. Khawatir
terjadi sesuatu tindakan sewenang-wenang, pemuda tampan itu
membelokkan langkahnya dan melesat menuju asal suara.
Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, pandangan pemuda
tampan itu telah tertumbuk pada sekelompok lelaki berwajah kasar.
Mereka tengah mengeroyok seorang wanita berpakaian jingga.
Sementara di belakang wanita itu tampak tergolek sesosok tubuh
kekar.
Sekali lihat saja pemuda tampan ini tahu kalau para pengeroyok
tidak bermaksud membunuh wanita berpakaian jingga. Kalau
demikian tujuan mereka, sudah sejak tadi wanita itu terbunuh. Meski
wanita berpakaian jingga memiliki kepandaian di atas para
pengeroyoknya, tapi untuk menghadapi enam orang sekaligus dia
akan kewalahan juga. Padahal, wanita berpakaian jingga
melancarkan serangan dengan bersungguh-sungguh. Sedangkan
lawan-lawannya melayani tanpa maksud membunuh.
Serangan-serangan keenam lelaki berwajah kasar itu bukan
berdasarkan hati yang baik dan tidak ingin membunuh lawan. Tapi,
karena ada maksud jahat dan keji yang tersembunyi
Ini bisa diketahui dari serangan-serangan mereka yang tertuju
pada bagian terlarang di tubuh wanita berpakaian jingga. Tidak
hanya leher, tapi juga dada. Terutama sekali pada bagian di mana
terdapat dua buah dada, paha, serta pinggul. Sering pula serangan
mereka berupa pelukan.
"Menyerah saja, Manis. Percayalah, meskipun kau musuh kami,
tapi tak akan kami turunkan tangan kejam. He he he...!" ucap salah
seorang di antara mereka seraya menyeringai.
"Lebih baik aku mati!" tandas wanita berpakaian jingga keras.
Perlawanan lebih sengit segera dilancarkannya.
T api sia-sia saja usaha yang dilakukan wanita itu. Saat dia kurang
waspada, seorang pengeroyok berhasil menyambar pergelangan
tangan kirinya.
Wanita berpakaian jingga menjerit kaget. Namun dia tidak
kehilangan akal Buru-buru dikerahkannya tenaga untuk menarik
tangannya. Tapi sayang, cekalan tangan lelaki kasar tidak terlepas.
Bahkan sebelum wanita berpakaian jingga berbuat sesuatu, lima
orang lawannya yang lain telah menyerbu dengan tubrukan seperti
seekor harimau menerkam kambing.
Kali ini wanita berpakaian jingga gugup. Ini membuatnya tidak
bisa melakukan tindakan penyelamatan. Saat itulah, sebuah benda
berwarna gelap meluncur, dan menghantam pergelangan tangan
lelaki kasar yang mencekal tangannya. Lelaki kasar itu menjerit
keras. Pegangannya terlepas. Dengan sendirinya wanita berpakaian
jingga terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri.
Tapi, ini justru membuatnya lolos dari sergapan lima orang
lawannya.
Saat wanita berpakaian jingga hendak melompat bangun dan
mengadakan perlawanan di depan telah berdiri membelakangi
sesosok tubuh kekar seorangpemuda berambut panjang tergerai.
"Keparat! Kadal bunting! Kecoak busuk!"
Lelaki kasar yang tadi mencekal tangan wanita berpakaian jingga
berteriak memaki-maki. Tatapannya penuh kemarahan tertuju lurus
ke wajah pemuda tampan berambut panjang yang berdiri di
hadapannya.
"Keluarkan seluruh makian yang kau miliki sebelum kukirim
kalian semua ke neraka!" tandas pemuda tampan itu tegas.
Ucapan pemuda tampan ini membuat lelaki kasar itu semakin
murka. Begitu juga kelima temannya. Bagai diberi perintah mereka
mencabut senjata masing-masing, golok pendek berwarna merah
membara seperti besi dibakar.
"Rupanya kau ingin mampus, Kambing!" seru lelaki kasar keras.
Sebelum gema makiannya lenyap, dia melompat menerjang pemuda
tampan dengan golok dibabatkan mendatar ke arah leher.
Tindakan ini diikuti kelima rekannya. Dalam sekejap, pemuda
tampan itu telah menghadapi hujan serangan enam lawannya. Sinar-
sinar kemerahan bagai malaikat maut menyambar-nyambar ke
arahnya.
Tapi, pemuda berambut panjang itu tidak menjadi gugup. Tanpa
menggeser kedudukannya dipapakinya semua serangan dengan
sentilan-sentilan jari tangan. Bunyi berdenting nyaring terdengar
berkali-kali ketika jari telunjuk pemuda itu berbenturan dengan mata-
mata golok, yang kemudian langsung gompal. Tubuh orang-orang
kasar itu pun terhuyung-huyung ke belakang.
Namun, mereka ternyata tidak mudah ciut nyalinya. Meski telah
merasakan sendiri sentilan tangan lawan mampu membuat tubuh
mereka terhuyung dan batang golok gompal, mereka tidak gentar dan
siap untuk melancarkan serangan kembali.
"Grrrhhh...!"
Tiba-tiba terdengar geraman keras seperti keluar dari mulut
binatang buas. Sekitar tempat itu tergetar hebat, kedua kaki keenam
lelaki kasar yang telah siap melancarkan serangan menggigil oleh
geraman yang dikeluarkan dengan tenaga dalam tinggi itu.
Tidak hanya mereka saja yang menerima akibatnya. Pemuda
berambut panjang pun demikian. Hanya saja, begitu merasakan
getaran kuat yang membuat kedua kakinya menggigil, pemuda itu
segera mengerahkan tenaga dalam. Dan, usahanya beibasil sehingga
dia tidak mengalami kejadian seperti yang diderita enam lelaki kasar.
Mereka ambruk di tanah dan tidak mampu bangun lagi.
4
Pemuda berambut panjang itu mengalihkan pandangannya dengan
raut wajah berubah. Dia kaget bukan main ketika melihat seorang
pemuda bertubuh kekar menatap ke arahnya dengan sorot mata
bengis. Sepasang mata pemuda itu merah membara. Wajahnya
beringas penuh ancaman.
"Sabar, Sobat. Aku tidak bermaksud buruk...," pemuda berambut
panjang tergerai itu mengenali pemuda bertubuh kekar sebagai orang
yang tadi tergeletak di tanah. Tapi ia tidak bisa berkata lebih lama
karena pemuda bertubuh kekar menubruknya dengan kedua tangan
terkembang. Jari-jaritangannyamembentuk cakar.
"Suhita...! Jangan...!" gadis berpakaian jingga berseru kaget
melihat pemuda bertubuh kekar menyerang orang yang telah
menolongnya.
Tapi seruan gadis berpakaian jingga sudah terlambat. Pemuda
bertubuh kekar telah melancarkan serangan dahsyat yang tidak
mungkin dapat ditarik lagi. Serangan dahsyat yang cepat dan
memaksa pemuda berambut panjang memapaki dengan jari-jari
terbuka.
Blarrr!
Benturan yang terjadi menimbulkan bunyi keras seperti halilintar.
Tubuh kedua pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang. Bahkan,
pemuda tampan berambut panjang meriap lebih sial lagi. Dia tidak
hanya terhuyung, tapi terjengkang ke belakang dan terguling-guling.
Dadanya terasa sesak bukan main. T angannya sakit. Dan dari sudut
bibirnya meleleh cairan merah. Benturan itu menyebabkan pemuda
berambut panjang menderita luka dalam.
Kenyataan ini mengejutkan pemuda itu. Apalagi, ketika melihat
pemuda bertubuh kekar itu tidak mengalami luka-luka. Malah, ia
segera mengirimkan serangan susulan yang memaksa pemuda
berambut panjang tergerai, menggulingkan tubuhnya menjauhi
serangan. Pada saat yang bersamaan, enam orang lelaki kasar
menyerbu gadis berpakaian jingga. Rupanya mereka berhasil
melepaskan diri dari pengaruh teriakan pemuda bertubuh kekar.
"Suhita...! Tolong...!" wanita berpakaian jingga berteriak seraya
memutar pedangnya untuk mencegah maksud enam orang lawannya.
Pemuda bertubuh kekar yang memang tidak lain Suhita kembali
menggeram. Kali ini ia tidak mengerahkan tenaga dalam seperti
sebelumnya. Laksana terbang, dia melesat ke arah wanita berpakaian
jingga yang tengah menghadapi keroyokan enam lelaki Mereka
rupanya menyadari akan adanya bahaya. Maka begitu mendengar
bunyi geraman, mereka langsung membalikkan tubuh dan
menyambut kedatangan pemuda bertubuh dengan ayunan senjata.
Tak, tak, tak...!
Bunyi berdetak keras seperti logam beradu terdengar. Disusul
dengan jeritan menyayat hati dari mulut keenam lelaki kasar. Senjata
berikut tubuh mereka berpentalan ke sana kemari seperti daun-daun
kering ditiup angin. Mereka tewas dengan dahi berlubang!
Pemuda tampan berambut panjang tidak sempat lagi berbuat
sesuatu. Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Tahu-tahu tubuh
keenam lelaki kasar telah berterbangantak tentu arah.
Dan, sebelum pemuda berambut panjang itu sadar sepenuhnya
dari terkesimanya, Suhita telah menyambar tubuh wanita berpakaian
jingga dan membawanya melesat meninggalkan tempat itu. Pemuda
berambut panjang ingin mengejarnya, tapi baru beberapa langkah
segera diurungkan. Dadanya terasa sakit bukan main. Dia tahu ini
terjadi karena luka dalam yang dideritanya. Teipaksa dibiarkan
Suhita berlari Dalam waktu singkat ia telah lenyap di kejauhan.
Sesaat kemudian, pemuda berambut panjang menggenjot kakinya
dan hinggap di salah satu cabang pohon yang rimbun. Ia bersemadi
untuk mengobati luka dalamnya sampai kemudian Gempar
membuatnya keluar dari tempat persembunyiannya.
Pemuda berambut panjang tergerai itu menghela napas berat.
Lamunannya buyar. Dia kagum dengan kepandaian Suhita. Namun
lebih kagum lagi pada sosok berpakaian serba putih ini. Ketinggian
ilmunya benar-benar membuat pemuda berambut panjang takjub.
Terutama ilmu meringankan tubuhnya. Sosok berpakaian serba putih
berkelebat ke sana kemari di antara serangan-seranga Gempar dan
Branta Wali.
"Akh.J"
Tiba-tiba terdengar jeritan melengking. Disusul dengan
terlemparnya tubuh Branta Wali dari kancah pertarungan. Ia jatuh
berdebuk di tanah tanpa mampu bangun lagi. Kakek berwajah mirip
kuda itu tewas dengan dahi berlubang!
Tampak tubuh Gempar pun terhuyung-huyung. Wajahnya
menyeringai kesakitan. Mendadak, sosok berpakaian serba putih
melesat meninggalkan tempat itu.
"Kejar...!"
Panglima bercambang bauk lebat segera mengeluarkan perintah.
"Tidak usah dikejar...!" seru Gempar keras dengan mulut masih
menyeringai.
Tapi peringatan Gempar terlambat. Tiga orang perwira anggota
pasukan khusus telah melemparkan pisau-pisau terbang yang sejak
tadi mereka genggam. Seketika itu pula, sembilan batang pisau
menyambar ke arah sosok serba putih yang tengah berlari.
Kembali sosok itu mendengus menghina. Tangan kirinya diputar
seraya menolehkan kepala. Akibatnya, sungguh menakjubkan. Pisau-
pisau itu berputar balik ke arah semula dengan kecepatan berlipat
ganda.
Kejadian yang tidak disangka-sangka ini membuat rombongan
kerajaan kelabakan. Pisau-pisau itu tidak hanya mengarah pada tiga
perwira, tapi juga anggota rombongan yang lain. Tidak terkecuali
panglima tinggi besar. Sebisanya mereka mengelakkan serangan itu.
Tapi tak urung, jeritan-jeritan kesakitan terdengar susul-menyusul
ketika dua perwira dan lima prajurit kerajaan tewas tertembus pisau
di dahinya! Panglima bercambang bauk lebat dapat menangkis
serangan pisau itu. Sedangkan perwira yang satu lagi telah lebih dulu
melompat dari punggung kuda.
"Keparat!"
Panglima tinggi besar menggeram keras menyaksikan kematian
anggota rombongannya. Sementara Gempar menghampiri dengan
wajah lesu. Terlihat jelas lelaki pendek gemuk itu terpukul sekali.
"Belum pernah kutemui tokoh persilatan yang memiliki
kepandaian setinggi ini," ucap Gempar tanpa mengumandangkan
tawanya. "Tapi aku belum kalah. Satu waktu akan kucari dia dan
kuajak bertarung sampai salah seorang di antara kami menggeletak
di tanah."
Panglima tinggi besar menghela napas berat. Dia tidak
menanggapi ucapan Gempar. Diperintahkannya anggota rombongan
untuk mengurus kawan-kawan mereka yang terluka dan tewas.
"Aku mempunyai sebuah gagasan, Gempar," ujar panglima tinggi
besar kemudian dengan sungguh-sungguh. "Apakah tidak lebih baik
kalau pemberontak hina ini kita pancung saja?"
Gempar tidak segera memberikan jawaban. Ditatapnya wajah
panglima bercambang bauk lebat lekat-lekat.
"Aku khawatir ada penyerbuan lagi. Dan pemberontak ini berhasil
dibebaskan. Lalu...."
"Cukup...!"
Gempar memotong. Tangannya kemudian bergerak cepat.
Terdengar bunyi berdesing, lalu bunyi benda jatuh ke tanah. Tahu-
tahu di depan panglima tinggi besar telah tergeletak kepala lelaki
setengah baya berwajah gagah, yang menjadi tawanannya.
Panglima bercambang bauk lebat menelan ludah membasahi
kerongkongannya yang mendadak kering. Dia kenal betul dengan
pedang yang berada di tangan Gempar. Itu adalah pedangnya!
Kenyataan lelaki pendek gemuk itu mampu mengambilnya tanpa
diketahui, lalu membabat leher tawanannya menunjukkan betapa
lihainya Gempar. Gempar tampaknya tersinggung dengan ucapannya
yang bernada meremehkan kemampuannya.
Dengan keringat dingin membasahi dahi, panglima bercambang
bauk lebat menerima pedang yang diangsurkan Gempar. Dan,
memanggil anak buahnya untuk membersihkan senjatanya.
Kemudian, tanpa peduli pada tubuh lelaki setengah baya yang tanpa
kepala mereka meneruskan perjalanan. Perjalanan jauh yang
memakan waktu berhari-hari untuk sampai di pusat kerajaan. Tidak
seorang pun yang teringat pada pemuda berambut panjang.
Pemuda tampan itu memang sudah tidak berada di situ. Begitu
melihat sosok berpakaian serba putih melesat kabur, dia segera
mengejarnya. Naluri kependekarannya mengatakan, kepergian sosok
berpakaian serba putih bertujuan tidak baik!
Jliggg!
"Ha ha ha...!"
T awa keras yang bergema di sekitar tempat itu, menyambut
kedatangan sepasang kaki sosok berpakaian serba putih yang
menjejakkan kakinya di lembah curam itu.
T api sosok berpakaian serba putih tidak tampak terkejut sedikit
pun. Sikapnya terlihat sangat tenang. Dia berdiri tegak di tempatnya.
Sikapnya masih tetap tenang ketika dari sekelilingnya bermunculan
sosok-sosok yang berpakaian kembang-kembang.
Semula sosok berpakaian serba putih agak kecut juga ketika
melihat sosok-sosok berpakaian kembang muncul begitu saja.
Padahal, tidak ada tempat persembunyian baik berupa semak, pohon,
atau pun batu-batu besar. Paling-paling hanya rumput-rumput kecil.
Tapi, pandangannya yang tajam dapat melihat kalau sosok-sosok itu
muncul dari dalam tanah. Mereka rupanya telah membuat lubang lalu
menutupinya dengan tanah berumput.
"Akhirnya kau masuk juga dalam perangkap kami, Manusia
Sombong!" seru salah seorang dari sosok berpakaian kembang. Dia
adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun. Tubuhnya tinggi
besar dan memiliki luka melintang di pipinya. "Sudah sejak lama aku
ingin mencincang jantungmu!" lanjutnya.
Sosok serba putih hanya memperhatikan kakek berpakaian kuning
lusuh sekilas. Kemudian diperhatikannya orang-orang yang berada di
sekeliling nya. Mereka berjumlah dua belas orang. Sebagian besar
mengenakan pakaian kembang-kembang berwarna hijau muda.
Berarti masih lebih rendah dari tingkat kepandaian Branta Wali yang mengenakan pakaian hijau tua.
"Apakah ini ada hubungannya dengan tewasnya Branta Wali di
tanganku?" tanya sosok berpakaian serba putih tanpa nada gentar
sedikit pun.
"Syukur kalau kau mengetahuinya, pengecut yang berlindung di
balik selubung!" sahut kakek berpakaian kuning. Warna pakaian
tingkat tertinggi dari Perguruan Lembah Seribu Bunga, yang
memiliki aturan tingkatan sebagaimana usia dedaunan. "Telah tiga
hari kami mencarimu tanpa hasil. Syukur, sekarang kau dapat kami
pancing kemari!"
"Kau mencari mati, Kakek Tua!" dengus sosok berpakaian serba
putih.
"Kaulah yang akan tewas di tanganku. Pengecut!"
Usai berkata demikian, kakek berpakaian kuning mengirimkan
serangan dengan sebuah sampokan ke arah kepala lawan. Hembusan
angin keras bertiup mengiringi tibanya serangan.
Sosok berpakaian serba putih hanya mendengus. Sekali kakinya
dilangkahkan ke belakang, serangan lawan menyambar lewat di
depan wajahnya. Lalu, dia mengirimkan tendangan kaki kanan ke
arah pusar.
Duk!
T ubuh kakek berpakaian kuning terhuyung-huyung tiga langkah
ke belakang ketika menangkis serangan dengan tangan kanannya.
Sedangkan lawan terdorong mundur satu langkah. Kenyataan ini
membuat Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga murka. Sepasang
sumpit terbuat dari gading gajah yang menjadi senjata andalannya
dikeluarkan. Dengan senjata unik itu disambutnya serbuan sosok
berpakaian serba putih.
T api, lagi-lagi kakek berpakaian kuning kecewa. Lawannya itu
ternyata sungguh luar biasa. Ia gesit sekali hingga tubuhnya dapat
berkelebatan di antara tusukan-tusukan sepasang sumpitnya.
Sebaliknya, setiap serangan balasan sosok berpakaian serba putih
membuat Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga pontang-panting
menyelamatkan selembar nyawanya.
Sebelas orang murid-murid Perguruan Lembah Seribu Bunga pun
tahu kalau pimpinan mereka menghadapi bahaya. Maka, tanpa diberi
perintah lagi, mereka mencabut senjata dan menyerbu ke dalam
kancah pertarungan.
Tapi ternyata masuknya sebelas orang murid-murid pilihan itu
tidak membuat keadaan berubah jauh. Sosok berpakaian serba putih
tetap tidak bisa didesak. Meskipun demikian, kedudukan kakek
berpakaian kuning tidak kewalahan lagi. Sosok berpakaian serba
putih memang menggiriskan. Betapapun lawan-lawannya telah
berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkan, namun tetap saja sulit.
Gerakannya terlalu cepat sehingga tak ubahnya bayangan.
Tiba-tiba muncul sinar terang yang sangat menyilaukan. Lawan-
lawan sosok berpakaian serba putih terpaksa memejamkan mata.
Sebagian di antara mereka mengalihkan pandangan. Tapi, kakek
berpakaian kuning yang telah kenyang pengalaman ini tidak berbuat
seperti yang dilakukan murid-muridnya. Dia melompat ke belakang
seraya memutar sepasang sumpitnya di depan dada.
Tindakan yang diambil Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga
mamang tepat. Sosok berpakaian serba putih telah melakukan
tindakan licik untuk mencapai kemenangan dalam waktu singkat.
Dia telah mengeluarkan perisai berbentuk bulat sebesar lingkaran
kepala. Perisai dari logam putih berkilat itu tentu saja memantulkan sinar matahari
Secepatnya tangan sosok berpakaian serba putih berkelebat. Dan,
terdengarlah jeritan menyayat ketika jari telunjuk sosok yang berjiwa telengas itu mendarat di dahi empat orang murid Perguruan Lembah Seribu Bunga. Dahi mereka berlubang yang mengakibatkan nyawa mereka melayang ke alam baka
Tidak hanya it u saja tindakan sosok berpakaian serba putih. Sekali tangannya bergerak seorang murid yang masih muda dan
cantik telah kena cekal dan dipondong di bahu kanan.
Kemudian, ia melesat melarikan diri dengan kecepatan luar biasa.
"Keparat!"
Kakek berpakaian kuning menggeram keras. Tanpa pikir panjang
lagi dikejarnya sosok berpakaian serba putih.
"Sudah kubilang, jangan coba-coba memancingku. Tidak ada
gunanya. Sekarang kubawa umpan kalian!"
Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga semakin geram
mendengar seruan itu. Sambil menggertakkan gigi, kakek berpakaian
kuning itu mengerahkan seluruh kemampuan lari cepatnya agar tidak
kehilangan buruannya.
T api usaha kakek berpakaian kuning sia-sia. Semakin lama jarak
antara mereka semakin jauh. Sosok berpakaian serba putih telah
hilang di kejauhan membawa murid wanita Perguruan Lembah
Seribu Bunga. Wanita yang semula digunakan kakek berpakaian
kuning untuk memancing sosok berpakaian serba putih agar turun ke
dalam lembah. Murid wanita itu disuruhnya berlatih di bagian
lembah yang agak tinggi.
Ia belajar silat sambil berteriak-teriak nyaring. Dan sepati
yang sudah direncanakan, sosok berpakaian serba putih yang diduganya akan segera melihat wanita itu. Sosok berpakaian serba putih pun turun ke dalam lembah.
Rupanya, ia tertarik melihat seorang wanita cantik berlatih
silat seorang diri di dalam lembah. Pengeroyokan di lembah itu dimaksudkan agar sosok berpakaian serba putih sulit untuk meloloskan diri. Ternyata dugaan itu keliru.
"Keparat!"
Begitu tiba di depan pondok sederhana yang terletak jauh di
dalam hutan, sosok berpakaian serba putih mengeluarkan makian
penuh kegeraman. Sepasang matanya mencorong tajam dan
berwarna kehijauan sepeiti mata harimau dalam gelap. Dengan
sepasang mata tertuju ke pondok, dilemparkannya tubuh wanita
dalam pondongannya. Tubuh wanita itu dicampakkan begitu saja,
sehingga jatuh berdebuk di tanah. Seringai di wajahnya
menunjukkan betapa sakit tubuhnya Tanpa mempedulikan wanita itu
yang menggeletak di tanah karena telah ditotok, sosok berpakaian
serba putih mengayunkan langkah menuju pintu pondok. Jari-jari
kedua tangannya mengepal keras.
"Pengecut Hina...! Keluar kau...! Jangan bersembunyi seperti
maling!"
Seiring dengan seruan itu sosok berpakaian serba putih
mendorong tangan kanannya ke depan. Tidak terdengar bunyi
menderu sepati pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga dalam
tinggi. Tapi kesudahannya benar-benar mengejutkan. Daun pintu
pondok yang tertutup rapat hancur berkeping-keping mengeluarkan
bunyi bergemuruh.
Begitu hiruk-pikuk itu reda, di ambang pintu telah berdiri tegak
seorang pemuda tampan berambut panjang tergerai. Sikap pemuda
itu kelihatan tenang sekali.
"Rupanya kau malingnya...," ujar sosok beipakaian serba putih
marah. "Apa yang kau lakukan terhadap tawananku. Maling Hina?
Tidakkah kau ingat, kalau aku tidak turun tangan, nyawamu sudah
melayang di tangan Gempar!"
"Tidak kusangkal sedikit pun hal itu," ucap pemuda tampan
tenang. "Tapi..., aku tahu kau tidak berniat menolongku. Jadi
andaikata masuk hitunganku pun nilainya tidak besar. Sementara
perbuatan yang akan kau lakukan memiliki kesalahan besar. Jadi,
pertolonganmu itu tidak berarti sama sekali!"
"Kalau begitu... teipaksa aku mencabut nyawamu!" geram sosok
berpakaian serba putih. "Tapi..., terlebih dahulu aku ingin tahu dua
hal."
"Silakan," sambut pemuda tampan. "Untuk menghargai
pertolonganmu, aku bersedia memberikan jawaban. Asal
pertanyaanmu tidak bertentangan dengan kebenaran dan aku sanggup
menjawabnya."
5
Sosok berpakaian serba putih tersenyum mengejek.
"Pertama, apa yang telah kau lakukan terhadap tawananku?
Mencicipitubuhnya? Dan... siapakau sebenarnya?"
"Dugaanmu keliru, Sobat. Aku tidak melakukan hal serendah itu.
Justru aku menolongnya dari perlakukan keji yang akan kau lakukan.
Selanjutnya, izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Arya.
Tepatnya Arya Buana...."
"Dan kau terkenal dengan julukan Dewa Arak yang sakti?"
potong sosok berpakaian serba putih dengan nada mengejek.
Diperhatikannya sosok berpakaian ungu dan berambut panjang putih
keperakan itu. "Sejak tadi aku sudah menduga demikian. Hanya aku
tidak yakin. Baru setelah kau menyebutkan namamu, aku percaya
kau memang Dewa Arak."
"Dan kau siapakah, Sobat?" tanya pemuda tampan yang ternyata
Arya Buana. "Kepandaianmu luar biasa. Tapi, sayang kau tersesat.
Menggunakan ketinggian ilmumu untuk melakukan hal yang tidak
baik."
"Tutup mulutmu! Kau boleh berbangga hati dan merasa sakti di
hadapan orang lain. Tapi di hadapanku jangan coba-coba bersikap
seperti itu. Kau bukan lawanku, Dewa Arak! Bersiaplah menerima
kemalian atas tindakan lancangmu!"
"Hih!"
Sosok berpakaian serba putih meluruk ke arah Dewa Arak dengan
mengirimkan tusukan mematikan ke dahi. Bunyi mendesing yang
menyakitkan telinga mengiringi serangan itu.
"Heh...?!"
T anpa sadar Arya mengeluar kan.seruan kaget. Dia pernah melihat
gerakan penyerangan sepati itu sebelumnya. Tapi kapan dan di
mana dia lupa. Yang jelas, bentuk serangan itu tidak dilihatnya dari
sosok berpakaian serba putih, melainkan orang lain!
Sosok berpakaian serba putih menggeram keras melihat
serangannya mengenai tempat kosong, karena Arya telah melompat
melewati atas kepala. T api dengan kecerdikan luar biasa. Dia segera
memalangkan kedua tangannya di atas kepala, berjaga-jaga terhadap
serangan yang akan dilancarkan lawan. Tindakan itu membuat Dewa
Arak tidak bisa melakukan serangan.
Bertepatan dengan Dewa Arak menjejakkan kaki di tanah, sosok
berpakaian serba putih telah membal ik kan tubuh. Hingga, mereka
berdiri saling berhadapan dalam jarak tiga tombak. Sepasang mata
sosok berpakaian serba putih merah membara ketika menatap wajah
Arya. Sekilas sempat dilihatnya keadaan di dalam pondok. Tidak
dijumpainya Srini yang menjadi tawanannya. Dia tahu, Srini telah
kabur. Ini menjadikan kemarahannya semakin bertambah.
Sosok berpakaian serba putih lalu memalangkan kedua tangannya
di depan dada sebelum menariknya ke sisi pinggang. Kemudian
perlahan-lahan kedua tangan itu didorong ke depan bergantian.
Terdengar bunyi angin bertiup sangat lemah. Bahkan, hampir tidak
tertangkap telinga.
Arya kelihatan terkejut. Sebagai tokoh persilatan yang telah
cukup punya nama, dia tahu betapa berbahayanya serangan lawan.
Semakin halus bunyi yang terdengar berarti semakin kuat tenaga
dalam yang terkandung. Kesadaran akan adanya bahaya membuat
Arya tidak berani menangkis. Dia belum mengetahui kekuatan
tenaga dalam itu.
T api, wajah pemuda berambut putih keperakan itu langsung pucat
ketika menyadari kedua kakinya tidak mampu digeser dari
tempatnya. Ada kekuatan dahsyat yang tidak tampak telah
membelenggunya. Betapapun Arya memaksa, tetap saja sia-sia.
Maka, dengan sangat terpaksa dipapaknya serangan itu dengan jurus
'Pukulan Belalang'.
Bresss!
Keluhan tatahan dikeluarkan Dewa Arak ketika benturan terjadi.
Tubuh pemuda itu terpental jauh ke belakang dan melayang-layang,
lalu jatuh terguling-guling di tanah. Sementara lawannya terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang, dan mampu memperbaiki
kedudukannya kembali.
Gulingan tubuh Arya terhenti ketika menabrak sepasang kaki
bulat pendek yang berdiri morjejak tanah. Dengan pandangan mata
nanar pemuda itu menengok ke atas. Dilihatnya dua raut wajah.
Salah satu di antaranya dikenalinya. Pemilik kaki bulat pendek itu
adalah Gempar!
Sementara sosok yang satu tidak diketahui Aiya. Tapi pemuda
yang cerdik itu tahu kalau sosok yang berdiri di sebelah Gempar dan memiliki sikap tidak kalah angker mempunyai hubungan dengan
Branta Wali. Ini bisa diketahui pakaian kakek itu yang berkembang-
kembang, meskipun berwarna kuning.
T anpa mempedulikan keadaan Arya, Gempar, dan Ketua
Perguruan Lembah Seribu Bunga melewati tubuh pemuda berambut
putih keperakan itu. Dihampirinya sosok berpakaian serba putih yang masih berdiri di tempatnya dengan sikap tenang.
"Hehehe...!"
Sosok berpakaian serba putih tertawa terkekeh. "Rupanya kalian
sudah ingin melayat ke akherat, heh? Sehingga tidak sabar lagi untuk segera kubunuh."
"Manusia terkutuk! Kaulah yang harus mati atas tindakan kejimu
yang telah membunuh murid-muridku!" tandas kakek berpakaian
kuning marah.
"Serahkan tawanan itu padaku, Penculik Hina!" ujar Gempar tak
kalah keras sambil tersenyum lebar yang merupakan ciri khasnya.
"Barangkali saja dengan tindakan itu aku bisa mengampunimu. T api,
tentu saja dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu!"
"Kalian singa-singa ompong. Berani benar memamerkan mulut
yang bau di hadapanku? Mumpung aku masih bersikap baik,
cepatlah pergi dari sini! Jangan tunggu sampai aku berubah pikiran!"
"Sombong!" maki Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga.
"Kaulah yang harus mampus!"
Seperti telah disepakati sebelumnya, kedua tokoh itu melompat
menerjang sosok berpakaian serba putih. Gempar menyerang dari
kanan, sementara kakek berpakaian kuning dari arah kiri. Masing-
masing mengeluarkan ilmu andalannya.
Namun lawan yang memang memiliki kepandaian tinggi. Sekali
kakinya digerakkan dia telah membuat serangan kedua tokoh itu
mengenai tempat kosong. Bahkan, mampu mengirimkan serangan
balasan yangtidak kalah dahsyat. Dalam sekejap ketiga tokoh tingkat tinggi itu telah terlibat pertarungan sengit.
Jalannya pertarungan sempat disaksikan Arya. Meskipun hanya
sebentar karena kemudian pemuda itu memutuskan untuk
menyembuhkan luka di dada. Arya yakin dia tidak terluka dalam
yang parah. Pemuda berambut putih keperakan itu tenggelam dalam
semadinya, setelah sempat merasa bingung memikirkan mengapa
Gempar bisa berada di sini bersama seorang kawan yang memiliki
kepandaian tinggi pula.
Pertarungan berlangsung secara cepat. Yang terlihat hanya
kelebatan bayangan hitam, kuning, dan coklat. Dalam waktu singkat
pertarungan telah berlangsung sepuluh jurus.
Dan, selama itu belum satu pun serangan Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga dan ahli waris Perguruan Laut Mati mendarat di sasaran. Tusukan-tusukan sumpit kakek beipakaian kuning selalu mengenai tempat kosong.
Kenyataan ini membuat Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga
penasaran bukan main. Dan perasaan itu pula yang melanda Gempar,
karena ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' yang menjadi andalannya
mati kutu. Kedahsyatan ilmu itu lenyap seperti api termakan air.
Bahkan beberapa kali ketika sosok berpakaian serba putih
mengayunkan tangan memapak, tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang dengan dada terasa sesak.
"Haaat.J"
Hampir bersamaan kakek berpakaian kuning dan Gempar
mengeluarkan teriakan keras. Belum lagi gema teriakan itu pupus,
tubuh kedua tokoh itu melesat ke arah sosok berpakaian putih.
Dalam puncak kegeramannya, Ketua Perguruan Lembah Seribu
Bunga maupun Gempar mengeluarkan ilmu andalan untuk mengadu
nyawa. Serangan yang mereka lakukan menutup jalan keluar bagi
lawan. T api tidak memiliki pertahanan sama sekali. Agaknya, kedua
tokoh tingkat tinggi itu mulai putus asa.
"Uhhh...!"
Seruan kaget terlontar dari mulut sosok berpakaian serba putih.
Dia tahu kedua lawannya telah bertindak nekat, sedangkan dia
sendiri bingung mencari jalan keluar. Maka....
Tuk, plak, desss!
"Akh.J"
Jerit kesakitan pun terdengar. Ketiga tokoh persilatan itu
terjengkang ke belakang. Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga
jatuh terguling-guling di tanah. Dia diam tidak bergerak lagi untuk
selamanya. Nyawanya telah melayang saat itu juga. Dada kiri kakek
itu pecah terkena hantaman tangan kanan sosok berpakaian serba
putih.
Gempar terhuyung-huyung dan hampir jatuh, namun masih dapat
bertahan. Walaupun demikian, dari sudut-sudut mulutnya mengalir
darah segar. Dia terluka dalam karena serangan kedua tangannya
berhasil ditangkis lawan. Tenaga dalam Gempar masih di bawah
sosok berpakaian serba putih.
Sedangkan sosok itu hanya teihuyung-huyung dengan agak
terpincang-pincang. Sepasang sumpit kakek berpakaian kuning
mendarat di tubuhnya meskipun meleset dari tujuan semula.
Sasarannya pada pelipis hanya mengenai pangkal bahu kanan.
Sementara yang tertuju ke arah ulu hati menghantam pangkal paha
kiri. Kedua bagian itu langsung terasa lumpuh.
Rupanya sosok berpakaian serba putih menyadari keadaannya
yangtidak menguntungkan. Walau keadaannya masih lebih baik dari
kedua lawannya. Tapi kalau Dewa Arak sampai ikut campur tangan,
dia bisa celaka. Maka, segera sosok berpakaian serba putih itu
melesat pergi menyambar tubuh murid wanita Perguruan Lembah
Seribu Bunga yang tadi dilemparkannya di atas tanah.
Arya tahu maksud sosok berpakaian putih melarikan wanita
bertubuh montok itu. Pemuda itu tidak membiarkannya kabur.
Kebetulan saat itu dia telah selesai dengan semadinya. Buru-buru
Arya melesat mengejar.
Gempar yang menyadari keadaannya sangat lemah hanya bisa
menatap kepergian Dewa Arak. Kemudian, dicarinya tempat yang
tersembunyi dan aman untuk mengobati lukanya seraya memanggul
tubuh Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga.
Sempat terbayang pertemuannya dengan Ketua Perguruan
Lembah Seribu Bunga yang menyebabkan mereka bekerja sama
Gempar penasaran bukan main atas kejadian yang menimpa
rombongannya sewaktu mengawal tawanan beberapa hari yang lalu.
Maka, begitu rombongan telah sampai di kerajaan, dia mohon diri
untuk mencari sosok berpakaian serba putih guna membuat
perhitungan. Pada saat yang sama, beberapa prajurit kerajaan diutus
untuk menyampaikan berita kematian Branta Wali ke Perguruan
Lembah Seribu Bunga.
Baru tiga hari kemudian, dia melihat kakek berpakaian kuning
tengah berlari cepat sambil menampakkan sikap marah. Setelah
disusul dan ditanya, mereka bersepakat akan menghadapi sosok
berpakaian serba putih bersama-sama.
Semula kedua tokoh itu yakin sekali akan dapat menamatkan
riwayat tokoh tingkat tinggi itu. Tapi, ternyata harapan hanya tinggal
harapan. Usaha mereka kandas. Entah bagaimana lagi cara
membinasakan sosok berpakaian serba putih. Gempar menggeleng-
gelengkan kepalanya
"Hup.J"
Dengan melompat tinggi melewati kepala sosok berpakaian serba
putih, Arya bersalto beberapa kali di udara, kemudian mendarat
beberapa tombak di depannya. Dewa Arak berhasil menghadang lari
sosok berpakaian serba putih. Itu pun setelah terjadi kejar-mengejar
yang cukup lama dan melelahkan.
Sosok berpakaian serba putih itu terpaksa menghentikan larinya.
Dengan sorot mata beringas ditatapnya pemuda berambut putih
keperakan yang berada di depannya
"Kau merasa yakin mampu mengalahkanku. Dewa Arak? Begitu
beraninya kau menghadang perjalananku. Apakah karena luka yang
kuderita? Kau keliru kalau begitu. Meskipun terduka, aku masih
mampu membunuhmu!"
Usai berkata demikian, tanpa menunggu tanggapan Arya, sosok
berpakaian serba putih menurunkan tubuh yang terpanggul di bahu
kanannya. Arya segera bersiap. Dia tahu lawannya luar biasa
tangguh meski telahterluka.
"Eh...?!"
Arya tidak tahan untuk menahan jeritan ketika sosok berpakaian
serba putih dengan tidak disangka-sangka melemparkan tubuh yang
dipanggulnya ke arah Dewa Arak. Tentu saja pemuda itu kelabakan
karena tidak menyangkanya. Tanpa pikir panjang lagi diulurkannya
kedua tangan untuk menerima, agar tubuh wanita cantik itu tidak
t erluka bila jat uh ke t anah.
T appp!
Baru saja tubuh wanita itu berhasil ditangkapnya, sosok
berpakaian serba putih melakukan gerakan mendorong dengan
tangan kiri. Untuk kedua kalinya Dewa Arak kewalahan. Tapi
meskipun demikian, pemuda berambut putih keperakan itu tidak
kehilangan akal. Dia melakukan gerakan yang sama. Sayang, Arya
tidak sempat mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Blarrr!
Tubuh Arya terlempar jauh. Murid wanita Perguruan Lembah
Seribu Bunga yang berada di bahunya terjatuh.
Byurrr!
Setelah meluncur beberapa lama Aiya jatuh ke dalam sebuah
sungai yang berada sepuluh tombak di belakangnya. Dan, tubuh yang
tak sadarkan diri itu segera dibawa arus sungai yang deras.
Sepasang mata sosok berpakaian serba putih berbinar gembira.
Tapi, kemudian tubuhnya agak terbungkuk seraya menekan dada.
Kalau saja tidak ada selubung yang menutup wajahnya akan terlihat
ada seringai di sana. Sebenarnya, benturan dengan Dewa Arak tidak
akan mempengaruhinya kalau saja saat itu dia tidak sedang terluka.
Dengan langkah agak terhuyung sosok berpakaian serba putih
menghampiri tubuh murid wanita Perguruan Lembah Seribu Bunga.
Dipondongn ya tubuh itu dan dibawa pergi meninggalkan tempat itu.
"Tolong...! Tolooong...!"
Jeritan melengking penuh ketakutan dan suara derap langkah
kaki, memecah kesunyian di dalam hutan lebat itu.
Tampak seorang wanita muda yang berusia sekitar dua puluh
tahun berlari kencang. Napasnya terdengar memburu. Namun,
kakinya terus saja diayunkan. Beberapa tombak di belakang wanita
cantik yang berpakaian biru itu berlari beberapa lelaki berwajah
kasar. Sambil teitawa-tawa mereka mengejai'.
"Larilah terus, Manis. Lari..," ucap lelaki berkumis tebal yang
berlari paling depan.
Sementara itu, wanita berpakaian biru terus saja berlari sambil
menjerit-jerit minta tolong. Tapi rupanya dia telah merasa lelah.
Beberapa kali tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh. Sehingga
mengundang gelak tawa para pengejarnya.
Namun, ayunan kaki wanita itu mendadak cepat dan bersemangat
ketika melihat dua sosok tubuh di depannya. Mereka tengah berjalan,
ke arahnya.
"Tolooong...!" seru wanita berpakaian, biru sambil melambaikan
tangan.
Rupanya, orang yang dimintai tolong mendengar jeritan itu.
Langkah mereka yang hanya semula bergerak lambat menjadi cepat.
Bahkan, terlihat mereka berlari. Sosok yang berpakaian jingga dan
bertubuh rampingtampak lebih lihai dari rekannya. Dengan cepat dia
meninggalkan rekannya, seorang pemuda bertubuh kekar. Ini
memaksa wanita berpakaian jingga beberapa kali memperlambat
larinya agar dapat mensejajari langkah kawannya.
"Ah...!"
Wanita berpakaian biru mengeluarkan seruan tertahan. Sepasang
matanya menatap tidak percaya pada pemuda kekar yang berada di
sebelah wanita berpakaian jingga.
"Tuan Muda Bandawa...!"
Seruan dan sikap wanita berpakaian biru membuat kedua orang
yang hendak menolongnya terkejut bercampur heran. Tanpa sadar
keduanya menoleh ke belakang karena mengira ada orang yang
berlari di belakang mereka. Orang itulah yang dipanggil wanita
berpakaian biru sebagai Tuan Muda Bandawa. Tapi, tidak ada
seorang pun yang terlihat. Di belakang mereka tidak ada siapa-siapa.
Jadi, siapa yang dipanggil wanita berpakaian biru itu?
Pertanyaan itu baru terjawab ketika wanita berpakaian biru segera
memberi hormat di hadapan pemuda bertubuh kekar. "Tuan Muda...!
Syukur, aku dapat bertemu denganmu di sini. Ah.... Ke mana Tuan
Muda dan Tuan Besar pergi? Perkebunan tidak terurus sejak tidak
ada T uan Muda dan T uan Besar...," ucap wanita itu penuh hormat
Pemuda bertubuh kekar yang diajak bicara tampak kebingungan.
Kepalanya menoleh menatap wanita berpakaian jingga yang berdiri
di sebelahnya. Wanita itu segera bertindak.
"Maaf.... Kalau boleh aku tahu siapa Anda, Nona? Mengapa
memanggil kawanku dengan sebutan seperti itu? Perlu Nona ketahui,
nama kawanku ini bukan Bandawa, apalagi dengan embel-embel
Tuan Muda segala. Namanya adalah Suhita. Dan aku sendiri
Kemboja."
"Ah...! Maaf, maalkan sikapku yang tidak pantas, Nona Kemboja.
Namaku Sukaesih. Panggil saja Esih. Mengenai kawanmu ini, aku
yakin sekali kalau dia adalah Tuan Muda Bandawa, majikan kami.
Semuanya mengenai dirinya persis sekali," ujar wanita berpakaian
biru.
Wanita berpakaian jingga yang ternyata bernama Kemboja, dan
pemuda bertubuh kekar yang tidak lain Suhita kembali saling
berpandangan.
"Maaf. Dik," Suhita terpaksa turun tangan. "Kurasa perkataan
Nona Kemboja tidak salah. Aku memang bukan orang yang kau
maksud. Namaku bukan Bandawa, tapi Suhita."
"Tapi..," Sukaesih bimbang. "Mengapa potongan tubuh, wajah,
dan ucapanmu mirip betul dengan Tuan Muda Bandawa? Aku yakin
kau Tuan Muda Bandawa yang telah lama hilang."
Kemboja mengernyitkan kening. Dia percaya Sukaesih tidak
berbohong. Tapi benarkah Suhita ternyata bernama Bandawa, dan
seorang juragan muda berkebunan yang memiliki banyak anak buah?
Rasanya mungkin saja. Kemboja teringat kembali saat kedatangan
Suhita di tempatnya untuk meminta kerja. Pemuda kekar itu
mengatakan dia hanya ingat bernama Suhita dan lupa asal-usulnya.
Maka, ketika dilihatnya Suhita hendak membantah ucapan Sukaesih,
dia memberi isyarat pada pemuda itu untuk diam.
"Kau yakin kawanku ini memang juragan mudamu yang bernama
Bandawa?" tanya Kemboja seraya menatap Sukaesih penuh selidik.
"Yakin sekali!" jawab Sukaesih mantap.
"Bisa kau tunjukkan buktinya? Yah.... Misalnya ciri-ciri
khususnya."
Sukaesih terdiam. Dia tidak segera menjawab pertanyaan itu.
Tampak semburat merah menyergap wajahnya. Sukaesih kelihatan
malu-malu.
"Juragan Bandawa mempunyai tanda khusus di kedua pangkal
lengannya. Itu kuketahui ketika beliau berlatih silat. Maaf, aku
memergokinya secara tak sengaja. Tuan Muda Bandawa memiliki
kepandaian silat amat tinggi."
"Coba ceritakan tanda khusus yang kau maksudkan itu," desak
Kemboja dengan suara bergetar. Dia merasakan misteri kehidupan
kusir keretanya itu akan terungkap.
Sekarang Kemboja mulai merasa yakin kalau Suhita sebenarnya
adalah Tuan Muda Bandawa. Telah disaksikan sendiri pemuda
bertubuh kekar itu memiliki kepandaian tinggi, seperti yang
dikatakan Sukaesih.
"Di pangkal lengan kanan bergambar naga. Sedangkan di sebelah
kiri bergambar harimau," jelas Sukaesih.
"Coba kulihat, Suhita"
Sambil berkata demikian, Kemboja mengeluarkan pedangnya.
Lalu disentaknya dengan sekali gerakan. Pakaian Suhita pada kedua
pangkal lengannya tersayat dan jatuh ke tanah tanpa meninggalkan
luka sedikit pun di kulitnya. Tiga pasang mata itu langsung
terbelalak. Terlihat jelas gambar yang dimaksud Sukaesih tertera di
kedua pangkal lengan Suhita.
"Tuan Muda...!" seru Sukaesih keras. Wajahnya tampak berseri.
"Aku bersyukur sekali dapat menemukan Tuan. Dan.... Akh....!"
"Esih...!"
Kemboja memekik kaget melihat tubuh Esih tiba-tiba terkulai.
Mata Kemboja yang tajam dapat melihat seleret sinar terang melesat
sebelum wanita berpakaian biru itu memekik kesakitan. Secepat kilat
Kemboja menarik tubuh Sukaesih dan memeriksanya....
Kemboja mengeluh dalam hati menemukan di punggung Sukaesih
tertancap sebatang pedang yang menembus dada kirinya. Tanpa
memeriksa lebih jauh dia segera bisa mengetahui pedang itu
menembus jantung Sukaesih.
"Esih.J"
Suhita alias Tuan Muda Bandawa ikut berseru. Sejak tadi pemuda
bertubuh kekar itu mematung dengan sorot mata linglung. Hanya
dahinya bc r kerut yang menjadi pertanda kalau Suhita tengah
berpikir.
"Tu....Tuan.... Mu... mu.... Muda...."
Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, Sukaesih terkulai
karena nyawanya telah melayang meninggalkan raga. Wanita
berpakaian biru itu tewas.
Kemboja menggertakkan gigi. Dia marah bukan main melihat
kematian Sukaesih yang mengenaskan. Ini menyebabkan asal-usul
Suhita kembali tertutup. Sebab, hanya Sukaesih yang dapat
menunjukkan di mana tempat tinggal Bandawa alias Suhita. Siapa
gurunya dan mengapa Bandawa bisa jadi seperti ini. Juga, dari mana
dia mendapatkan nama Suhita.
Dengan hati-hati Kemboja membaringkan tubuh Sukaesih.
Kemudian pandangannya dilayangkan pada tempat melesatnya
pedang. Di sana dilihatnya sesosok tubuh ramping berpakaian hijau
tengah bertarung menghadapi rombongan lelaki kasar yang tadi
mengejar-ngejar Sukaesih.
Kemboja menggertakkan gigi. Dia merasa sangat menyesal,
mengapa bisa melupakan pengejar-pengejar Sukaesih. Dia sampai
tak tahu kalau para pengejar itu telah bertarung dengan wanita
berpakaian hijau.
Kemboja tidak tahu kalau di saat dia, Suhita, dan Sukaesih terlibat
pembicaraan, rombongan pengejar sudah hampir tiba. Namun
sebelum maksud rombongan itu terlaksana....
"Anjing-anjing kelaparan! Tindakan kalian sungguh
menjijikkan!"
Bersamaan dengan teriakan itu, sesosok tubuh ramping
berpakaian hijau bersalto beberapa kali di atas kepala mereka dan
mendarat ringan di depan laki-laki itu. Sebuah pedang telanjang
tergenggam di tangannya.
Rombongan lelaki kasar itu langsung menghentikan lari.
Ditatapnya sosok di hadapan mereka sejenak sebelum akhirnya
mengumbar tawa gembira penuh ejekan.
"Luar biasa sekali, Kawan-kawan," seru lelaki berkumis tebal
yang menjadi pimpinan sambil menoleh ke belakang. "Hari ini kita
amat beruntung. Belum juga kelinci lunak berhasil kita dapatkan,
sudah ada lagi kuda betina liar yang minta dijinakkan! Ha haha...!"
Jawaban bagi ucapan lelaki berkumis tebal itu adalah tusukan
pedang wanita cantik berpakaian hijau yang mengarah ke lehernya.
Kenyataan ini membuat pimpinan lelaki kasar terkejut bukan main.
Namun cepat dia bertindak dengan melempar tubuhnya ke belakang.
"Keparat!"
Lelaki berkumis tebal menggeram keras ketika berhasil lolos dari
maut. Hampir saja nyawanya melayang ke alam baka. "Kuda liar ini
cukup alot juga rupanya. Mari kita taklukan dia, Kawan-kawan...!"
Lelaki berkumis tebal mencabut senjatanya. Lalu, bersama
dengan lima rekannya mereka meluruk maju menerjang gadis
berpakaian hijau. Tak pelak lagi pertarungan sengit pun terjadi.
Wanita berpakaian hijau ternyata memiliki kepandaian
mengagumkan. Pedang di tangannya menyabar-nyambar laksana
halilintar. Kalau saja orang-orang kasar itu tidak melakukan
pengeroyokan, dengan mudah wanita berpakaian hijau akan dapat
merobohkan mereka. Namun kenyataan menghendaki lain.
Tambahan lagi, orang-orang kasar itu telah terbiasa bertarung untuk
menyabung nyawa, sehingga penuh pengalaman dan tipu daya. Ini
menjadikan keunggulan wanita berpakaian hijau tertutupi.
Setelah pertarungan berlangsung sepuluh jurus, dengan gerak luar
biasa wanita berpakaian hijau melakukan gerakan mengait, sehingga
pedang di tangan lelaki berkumis tebal terlepas. T api sayangnya, dia kurang memperhitungkan keberadaan orang di belakangnya. Maka,
pedang lelaki berkumis tebal itu pun meluncur deras menembus
punggung Sukaesih.
***
6
Diawali teriakan melengking nyaring, dengan pedang di tangan,
Kemboja melompat memasuki arena pertarungan. Tapi, sebelum
gadis berpakaian jingga itu berhasil masuk, terdor gar geraman keras
yang telah sering didengarnya Geraman seperti seekor binatang buas
murka. Walaupun sebenarnya keluar dari mulut Suhita alis Tuan
Muda Bandawa.
Dan sebelum Kemboja sempat menoleh, di sebelahnya bertiup
angin dingin. Kelebatan sosok yang tidak jelas melesat memasuki
arena pertempuran. Sosok yang tidak lain Suhita langsung bertindak.
Kedua tangannya yang terkepal kecuali jari telunjuk, melancarkan
totokan-totokan dahsyat.
Tentu saja keoiam lelaki kasar itu tidak membiarkan begitu saja
serangan Suhita mendarat di tubuh mereka. Maka, sedapat mungkin
dipapakinya. Bahkan mengirimkan serangan balasan. Tapi, sayang
sebagian dari mereka gagal. Gerakan tangan Suhita alias Bandawa
terlalu cepat untuk dapat diikuti mata mereka. Jari telunjuk Bandawa
telah lebih dulu membuat lubang di dahi mereka Dengan jeritan
menyayat hati tubuh orang-orang kasar itu pun roboh ke tanah.
T ewas.
Tiga di antara orang-orang kasar yang berhasil menangkis
mengalami keterkejutan tidak kalah hebat. Golok yang dipakai untuk
menangkis jadi berlubang. Bahkan senjata itu sampai terlempar dari
genggaman. Sebelum ketiga orang itu tersadar dari keterkejutannya,
tangan-tangan Bandawa telah kembali meluncur. Dan, ketiga orang
itu pun menyusul rekan-rekannya yang telah lebih dulu melayat ke
akherat.
Kejadian itu hanya berlangsung satu gebrakan saja. Sehingga
wanita berpakaian hijau tidak sempat berbuat sesuatu. Dia terkejut
bukan main melihat lawan-lawannya telah bergeletakan tanpa nyawa.
Dan sebelum wanita itu menyadari sepenuhnya apa yang terjadi,
Suhita telah menerjang ke arahnya dengan jari telunjuk lurus terbuka.
Wanita berpakaian hijau tidak melihat dengan jelas jari telunjuk
yang meluncur ke arah dahinya. Tapi, dia sempat melihat kelebatan
sesosok bayangan. Wanita itu segera tahu ada bahaya yang tengah
mengancamnya. Maka, dengan untung-untungan pedang dibabatkan
ke arah sosok yang berkelebat itu.
Takkk!
Babatan pedang wanita berpakaian hijau membentur pergelangan
tangan Bandawa. Pedang itu pun langsung terlepas dari pegangan
dan terlempar jauh. Sedang tangan pemiliknya tergetar hebat. Tapi
akibat tangkisan itu jari telunjuk Bandawa tertahan sejenak. Dan
ketika meluncur lagi, wanita berpakaian hijau telah mempunyai
kesempatan untuk mengelak dengan melempar tubuhnya ke
belakang.
Namun Bandawa benar-benar mempunyai kepandaian
menggiriskan dan tidak masuk akaL Meski lawannya telah melempar
tubuh ke belakang, jari telunjuk Bandawa terus meluncur mengikuti
ke mana wanita itu pergi!
"Bandawa...! Tahan...!" Seruan keras dan tinggi yang diucapkan
dengan penuh kekhawatiran itu membuat Bandawa, yang jari
telunjuknya baru saja akan menembus dahi wanita berpakaian hijau,
tertahan di udara. Dengan pandang mata masih beringas ditatapnya
wanita berpakaian hijau kelinglungan. T api rupanya pemilik suara itu
cukup mempunyai pengaruh t cih ada p dirinya, hingga Bandawa tidak
berani melanjutkan serangannya. Jika pemuda bertubuh kekar ini
meneruskan, nyawa wanita berpakaian hijau itu pasti akan melayang.
Ini disadari oleh lawan Bandawa. Karena itu dahinya dipenuhi
keringat dingin sebesar biji-biji jagung. Sedangkan pemilik seruan
tadi yang ternyata Kemboja, mengayunkan langkah mendekati.
Tiba-tiba Bandawa mengeluarkan keluhan tertahan. Kedua
tangannya sibuk memegangi kepala Tubuhnya limbung ke sana
kemari. Karuan saja wanita berpakaian hijau sangat heran. Meskipun
wajahnya menyiratkan kelegaan karena nyawanya telah lolos dari
lubang jarum, dia bingung melihat keadaan lawannya yang
mendadak seperti orang sakit. Dengan disertai keluhan panjang
tubuh Bandawa ambruk ke tanah. Wanita berpakaian hijau itu pun
tahu Bandawa jatuh pingsan.
"Srini...!"
Sapaan itu membuat wanita berpakaian hijau menolehkan kepala.
Dia merasakan ada getaran aneh pada suara itu. Ditatapnya lekat-
lekat wajah Kemboja.
"Kemboja...!" pekik wanita berpakaian hijau. "Kaukah itu? Ah!
Sungguh tidak disangka kau berada di sini. Lalu..., mana yang
lainnya?"
Kemboja tidak menjawab. Kedua tangannya terkembang hendak
memeluk wanita berpakaian hijau. Srini segera menyambutnya,
kedua wanita itu pun saling berpelukan erat.
"Panjang ceritanya, Srini," jawab Kemboja setelah melepaskan
pelukannya Kemboja dan Srini adalah anak kandung lelaki setengah
baya yang dipenggal kepalanya oleh Gempar. Mereka berdua anak
kembar.
"Aku akan sabar mendengarkannya, Kemboja. Ceritakanlah," ujar
Srini penuh minat.
"Aku sendiri tidak tahu pasti cerita sebenarnya. Ayah tidak pernah
memberitahukannya padaku," ujar Kemboja memulai ceritanya
setelah menghela napas berat. "Tapi, suatu malam Ayah menyuruhku
membawa Ibu pergi meninggalkan rumah. Pasukan kerajaan akan
datang untuk menangkap atau membunuh Ayah sekeluarga dengan
tuduhan melakukan pemberontakan. Dengan berat hati aku terpaksa
memenuhi permintaannya Kami berangkat dengan pengawalan dua
belas orang prajurit dan kusir kereta yang bernama Suhita alias
Bandawa."
"Dia?!" Srini menunjuk Bandawa yang tergolek di tanah.
Kemboja mengangguk.
"Di tengah jalan rombongan kami dicegat oleh orang-orang
Perguruan Lembah Seribu Bunga. Kami kalah kuat. Semua para
pengawal binasa, begitu juga Ibu. Sedangkan aku akan dijadikan
pemuas nafsu mereka Untung, Suhita yang semula tidak memiliki
kepandaian, entah dengan cara bagaimana ia mendapat kepandaian
luar biasa, mampu membinasakan orang-orang Perguruan Lembah
Seribu Bunga. Kejadian itu membuatku merasa tidak ada gunanya
lagi melanjutkan perjalanan. Maka, kuputuskan untuk kembali pada
Ayah. Sayang sekali...."
"Mengapa, Kemboja?" tanya Srini tak sabar. Kemboja tidak
segera menjawab. Dia tercenung teringat pengalamannya beberapa
hari yang lalu. Terbayang kembali di benaknya ketika dia mengajak
Suhita kembali ke rumah ayahnya.
"Cepat, Suhita...!" Kemboja tidak sabar di tengah derap kaki
binatang tunggangannya Wanita berpakaian jingga itu menoleh ke
belakang karena Suhita agak tertinggal.
Seruan Kemboja membuat Suhita berusaha keras mensejajari lari
binatang tunggangan wanita itu. Tapi, tetap saja sia-sia. Hingga
Kemboja beberapa kali terpaksa memperlambat lari kudanya untuk
menunggu Suhita.
Hari menjelang fajar ketika Suhita dan Kemboja berada di mulut
sebuah hutan. Menurut perhitungan Suhita, menjelang petang mereka
akan tiba di tempat kediaman ayah Kemboja. Itu kalau perjalanan
terus dilakukan dengan cepat.
T api sebelum kuda-kuda Suhita dan Kemboja berbasil keluar dari
hutan, terdengar bunyi berdesing nyaring. Tahu-tahu di depan
mereka telah menancap sebatang tombak yang pada gagangnya dililit
rantai baja berhias t ulang tengkorak manusia. Melihat besarnya yang
tidak wajar, agaknya tengkorak itu adalah tengkorak anak kecil.
Kejadian yang tidak disangka-sangka ini membuat Suhita dan
Kemboja menarik tali kekang untuk menghentikan lari binatang-
binatang itu. Baru saja kuda-kuda itu berhenti, terdengar bunyi
berkerosak. Di sekeliling mereka telah berdiri banyak orang-orang
berwajah kasar. Suhita dan Kemboja segera tahu mereka tengah
berhadapan dengan gerombolan perampok.
"Hehehe...!"
Seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan berotot kuat laksana
seekor banteng tertawa terkekeh menatap Kemboja dengan kurang
ajar.
"Mimpi apa aku semalam sehingga sekarang bertemu dengan
seorang bidadari? Turunlah, Manis. Dan mari ikut aku. Percayalah.
Kau akan bahagia bila bersama denganku. T inggalkan orang jelek
itu!"
Ucapan lelaki tinggi besar langsung disambut dengan tawa kurang
ajar lelaki kasar lainnya. Seperti juga lelaki tinggi besar, mereka
memandang Kemboja dengan penuh minat.
Kemboja yang menjadi sasaran kekaguman penuh nafsu birahi
laki-laki kasar itu jadi mual perutnya. Dia kesal bukan main. Sejak
tadi dia sudah menghunus pedangnya. Tapi ditahannya karena
menunggu tindakan Suhita. Dia yakin Suhita memiliki kepandaian,
namun sengaja disembunyikan. Ingin diketahui, apakah pemuda itu
akan tetap berpura-pura tidak bisa bersilat bila gerombolan perampok
mulai menyerang.
"Harap kalian sudi menyingkir dan memberi jalan pada kami,"
ucap Suhita seraya memajukan kuda hingga berdekatan dengan lelaki
tinggi besar yang menjadi pimpinan orang-orang kasar. "Kami
sedang buru-buru. Atas pengertian kalian kuucapkan terima kasih
y ang t ak t erhingga."
"Ah, begitu kiranya?" sambut lelaki tinggi besar dengan
mengulum senyum. Sinar matanya penuh ejekan. "Tentu saja aku
tidak akan menghalangi kepergianmu. Pergilah. Kami tidak akan
menghalangi."
"Ah.... Terima kasih atas kebaikanmu. Sobat. Sudah kuduga kau
adalah orang yang bijaksana," ucap Suhita sambil m cm beri hormat.
"Mari, Nona. Kita tinggalkan tempat ini. Kita h arus bergegas agar
tiba di sana pada waktunya."
Kemboja pun bersiap-siap akan menggebah kudanya. T api....
"Tunggu dulu, Anak Muda!" sergah lelaki tinggi besar membuat
Suhita mengalihkan pandangan ke arahnya. "Rupanya kau tidak
menyimak ucapanku. Kukatakan, kau boleh meninggalkan tempat
ini. T api mengapa harus mengajaknya? Dia akan tetap tinggal di sini
karena harus menjadi istriku."
"Keparat!"
Kemboja sudah tidak tahan lagi menahan sabar. Dihunus
pedangnya hingga menimbulkan kilatan sinar yang menyilaukan
mata. Sambil memegang tali kekang kuda dengan tangan kiri, senjata
itu ditusukkan ke leher lelakitinggi besar.
"Lihai!"
Lelaki itu berteriak memuji. Tapi dia tidak berdiam diri.
Tangannya bergerak cepat. Tahu-tahu di tangan kirinya tergenggam
sebuah perisai berbentuk bulat. Dengan alat pertahanan itu
dipapaknya serangan Kemboja.
Trang!
Kemboja menyeringai ketika merasakan tangannya tergetar hebat.
Dia tahu tenaga dalam lawan jauh lebih kuat. Dan sebelum gadis
berpakaian jingga itu melancarkan serangan kembali, tangan kanan
lelaki tinggi besar telah bergerak meraih sehelai cambuk. Senjata itu
langsung dilecutkan pada Kemboja. Meluncurlah ujung cambuk ke
arah bahu kanan gadis itu. Rupanya, lelaki tinggi besar ingin
melumpuhkan perlawanan Kemboja.
Serangan ini memaksa Kemboja untuk melompat dari punggung
kudanya dan mendarat di tanah. Sangat sulit baginya bertarung di
atas punggung binatang itu. Sesaat kedua kakinya menjejak tanah,
Suhita yang melihat majikannya diserang segera bertindak. Pemuda
bertubuh kekar itu memajukan kudanya menghalangi langkah lelaki
tinggi besar. Karuan saja pemimpin orang-orang kasar itu marah.
Serangan susulan cambuk yang semula ditujukan pada Kemboja kini
dikarahkan pada Suhita.
Ctarrr!
Suhita linglung melihat kelebatan sinar hitam kemerahan
meluncur ke arah kepalanya. Dia tidak tahu kalau yang diserang
lawan adalah ubun-ubunnya, bagian yang mematikan. Yang
dilakukan Suhita hanya tertegun. Taktahu harus berbuat apa
Rupanya, malaikat maut belum berminat mengambil nyawa
Suhita. Di saat yang gawat itu muncullah binatang penolong. Kuda
tunggangan Suhita yang kaget dan ketakutan mendengar bunyi
ledakan cambuk merasakan bahaya mengancam bila orang yang
berada di punggungnya tetap di situ. Ia meringkik panjang seraya
mengangkat kedua kaki depannya tinggi ke udara.
Tindakan kuda itu membuat tubuh Suhita jatuh berdebuk ke
tanah. Maka, dia pun selamat dari bahaya maut. Tapi, pemuda itu
benar-benar tidak mampu berbuat apa pun. Saat tubuhnya jatuh ke
tanah dia tidak melakukan gerakan yang membuat kedua kakinya
mendarat lebih dulu. Akibatnya, belakang kepalanya lebih dulu
membentur tanah. Seketika itu juga Suhita tak sadarkan diri.
Kemboja menggeram keras melihat Suhita tidak berdaya. Dia
khawatir pemuda bertubuh kekar yang diyakininya pandai bermain
silat itu tewas. Maka, dengan kemarahan yang memuncak
diserangnya lelaki tinggi besar itu.
Seperti juga sebelumnya, pimpinan perampok itu langsung
menyambutnya. Pertarungan pun kembali berlangsung. Kemboja
berjuang keras mengirimkan serangan-serangan maut. Sedangkan
lelaki tinggi besar melayani dengan sikap tenang. Serangan-serangan
yang dikirimkannya tidak ada yang mematikan, karena memang
ingin menangkap Kemboja hidup-hidup. Ujung cambuknya selalu
meluncur menuju tempat-tempat yang tidak berbahaya.
Tindakan yang dilakukan lelaki tinggi besar membuatnya rugi
sendiri. Karena sikap mengalahnya, perisai dan cambuknya dapat
dijatuhkan Kemboja. Sehingga ia terpaksa mengeluarkan golok dan
memerintahkan anak buahnya untuk membantu. Kemboja pun
dikeroyok enam orang lelaki kasar. Dalam beberapa gebrakan saja
dia sudah terdesak hebat.
"Tapi karena mereka ingin menangkapku hidup-hidup, jalannya
pertarungan jadi lama," ujar Kemboja terus melanjutkan ceritanya.
"Pertarungan berlangsung hingga matahari muncul. Saat itulah
pertolongan tidak terduga-duga datang. Seorang pemuda berambut
aneh muncul dan langsung menghadapi mereka...."
"Apakah yang kau maksudkan itu seorang pemuda berambut
putih keperakan dan mengenakan pakaian ungu?" potong Srini tak
sabar.
"Kau mengenalnya, Srini?" tanya Kemboja tak kalah kagetnya.
"Kenal sih, tidak," jawab Srini dengan wajah merah. "Tapi.... Dia
pun pernah menolongku. Nanti aku ceritakan. Sekarang, teruskan
saja ceritamu."
"Di saat pemuda berambut putih keperakan itu hampir
merobohkan lawan-lawannya. Tiba-tiba terdengar geraman keras
yang pernah kudengar sebelumnya. Suhita,telah bangkit dari
tergoleknya. Dia menjelma sebagai tokoh silat berkepandaian tinggi.
Sehingga, pemuda berambut aneh itu pun tidak berdaya
menghadapinya. Dengan keji Suhita membunuh keenam perampok
itu. Dahi mereka semua berlubang. Kemudian, Suhita berlari dengan
membawaku setelah kugagalkan maksudnya yang hampir saja
membunuh pemuda penolongku itu."
Kemboja menghentikan ceritanya sejarak. Ditatapnya Srini
dalam-dalam.
"Setelah itu terjadilah hal yang aneh lagi, Srini," lanjut Kemboja.
"Setelah berlari dengan membawaku beberapa saat lamanya, Suhita
berhenti dan memegangi kepala dorgan kedua tangan. Tubuhnya
terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Ketika
kuperiksa dia ternyata pingsan. Tapi anehnya, begitu sadar kembali
Suhita linglung melihatku selamat. Dia malah menanyakan siapa
yang telah moiolongku dan bersyukur aku selamat."
"Ah...!" Srini berseru kaget. "Dan kejadian seperti itu selalu
terulang kembali, Kemboja?" Srini menatap wajah saudara
kembarnya lekat-lekat. Sekilas diliriknya Suhita alias Bandawa yang
masih tergolek pingsan. "Aku yakin ada sesuatu yang tersembunyi,
Kemboja."
"Bukan tersembunyi, Srini," bantah Kemboja. "Tapi aneh. Semula
aku mengira Suhita sengaja menyembunyikan kepandaiannya. Tapi
ternyata tidak. Kepandaiannya yang tinggi itu hanya muncul di saat-
saat tertentu saja. Aku baru menyadarinya, Srini."
"Kau bisa menarik kesimpulan mengapa terjadi hal aneh itu,
Kemboja?" Srini ingin tahu.
"Kira-kira begini," jawab Kemboja setelah terdiam beberapa saat.
"Suhita berubah menjadi orang yang memiliki kepandaian silat tinggi
bila sedang marah. Tidakkah kau melihatnya, Srini?"
"Hhh...," Srini menarik napas berat. "Ya. Aku melihatnya. Tapi
karena aku baru pertama kali berjumpa, aku tidak bisa menarik
kesimpulan seperti itu. Malah, aku mempunyai dugaan yang
mungkin tidak mengenakkan hatimu, Kemboja. Ini berdasarkan
pengalamanku"
"Katakan Srini. Tidak usah ragu-ragu," Kemboja memberi
kesempatan.
"Aku mempunyai dugaan bahwa Suhita alias Bandawa adalah
seorang penjahat keji. Dia seorang tokoh alat tingkat tinggi yang
selalu menyembunyikan wajahnya di balik selubung putih. Aku tidak
sembarangan saja melemparkan dugaan ini, Kemboja. Tokoh yang
kusebutkan itu pun sengaja merahasiakan dirinya. Sosok berpakaian
serba putih itu selalu membunuh lawannya dengan mempergunakan
sebuah jari. Dia memiliki kepandaian yang menakjubkan. Dan,
seperti yang kau katakan tadi, pemuda berambut aneh itu juga
menjadi musuh besar sosok berpakaian serba putih. Cocok, bukan?"
Kemboja mengernyitkan alisnya. Gadis itu tampak berpikir.
"Kurasa lebih baik kau ceritakan pengalamanmu, Srini."
"Dari kawan-kawan Guru, kudengar Ayah telah ditangkap oleh
pasukan kerajaan, karena tekadnya yang ingin keluar dari kelompok
ajaan terdapat dua tokoh
tingkat tinggi. Yang seorang bernama Branta Wali, murid Perguruan
Lembah Seribu Bunga yang memang telah lama membantu kerajaan.
Yang satu lagi seorang tokoh yang lebih tinggi ilmunya dari Branta
Wali. Sayang, mereka tidak tahu siapa dia. Tapi belakangan aku tahu
kalau tokoh pendek gemuk itu adalah ahli waris terakhir Perguruan
Laut Mati. Gempar namanya. Dia memang memiliki kepandaian
yang menakjubkan. T api aku tidak peduli. Demi untuk membebaskan
Ayah, aku rela melepas nyawa. Kuhadang pasukan kerajaan dan
kucoba membebaskan Ayah. Aku hampir celaka, tapi untung guruku
cepat datang. Beliau tewas di tangan Gempar, dan aku tertawan."
"Resi Sindu Laga tewas?" tanya Kemboja hampir tidak percaya.
Ia tahu betul ketinggian ilmu kakek yang menjadi gurunya Srini itu.
Sehingga dia heran sekali mendengar Resi Sindu Laga tewas.
Memang, sejak sepuluh tahun yang lalu, Ayah mereka mengirim
Srini pada Resi Sindu Laga, sahabat karibnya. Srini diangkat menjadi
murid tokoh itu. Sedangkan Kemboja tetap tinggal bersama ayahnya
Srini menganggukkan kepala. Kemudian, melanjutkan ceritanya
"Itulah, Kemboja," ujar wanita berpakaian hijau itu ketika sampai
pada cerita tentang sosok berpakaian serba putih. "Dia membawaku
kabur, dan aku yakin ia mempunyai maksud jahat dan keji, karena
sepanjang perjalanan tangannya selalu menggerayangi tubuhku. Dia
membawaku ke sebuah pondok. Di sana dimintainya aku menjadi
istrinya. Rupanya, dia jatuh cinta kepadaku. Katanya, kalau sampai
aku tidak memberikan jawaban dalam waktu lima hari, aku akan
menjadi korban seperti wanita-wanita lainnya. Diperkosa dan
dibunuh setelah dia merasa puas. Untung di hari ketiga muncul
pemuda berambut putih keperakan. Dia membebaskan aku dan
menyuruhkku pergi setelah mendengar kedatangan sosok berpakaian
serba putih."
"Lalu..., bagaimana selanjutnya, Srini?"
Srini mengangkat kedua bahunya. "Aku tidak tahu, Kemboja. Aku
langsung pergi setelah mengucapkan terima kasih. Aku takut akan
jatuh lagi ke tangan sosok berpakaian serba putih. Karena, pemuda
berambut putih keperakan itu bukan tandingannya."
Kemboja mengangguk-anggukkan kepala membenarkan pendapat
saudara kembarnya. Dari cerita Srini bisa diketahui kalau pemuda
berambut putih keperakan itu memang bukan tandingan sosok
berpakaian serba putih. Dan juga, bukan tidak mungkin sosok itu
adalah Suhita!"
Suasana menjadi hening ketka Srini maupun Kemboja tidak
berkata-kata lagi. Namun, itu tidak berlangsung lama karena
dipecahkan oleh keluhan Suhita. Pemuda bertubuh kekar itu rupanya
mulai sadar dari pingsannya.
"Ah...!" begitu sepasang matanya terbuka, Suhita alias Bandawa
segera berseru kaget ketika melihat Kemboja. "Syukurlah kau
selamat, Nona. Dan... maaf. Siapakah Nona ini?"
Srini tersenyum. "Namaku Srini, Bandawa."
"Bandawa...?!" pemuda itu mengulang ucapan Srini dengan dahi
berkerut linglung. Tapi hanya sesaat saja. "O ya, aku ingat. Namaku
bukan Suhita tapi Bandawa. Seseorang yang bernama Sukaesih telah
memberitahukannya padaku. Ya. Mungkin itu memang benar
namaku. Sepertinya nama Bandawa dan Sukaesih mempunyai arti
bagiku"
Kemboja saling berpandangan dengan Srini.
"O ya, Bandawa," ucap Kemboja kemudian. "Perlu kau ketahui,
Srini ini adalah saudara kembarku. Kau ingat?"
"Ah, ya...!" seru Bandawa linglung, seraya tersenyum lebar dan
menepuk dahinya. "Mengapa aku begitu pelupa. Maafkan sikapku
yang tidak pantas tadi, Nona Srini."
"Lupakan," ucap Srini cepat. "O ya, Kemboja. Bagaimana kalau
kita pergi menjumpai pemuda berambut aneh itu, maksudku ke
tempat di mana aku ditahan. Barang kali saja mereka masih ada.
Setidak-tidaknya jika penolong kita itu tewas, kita dapat mengurus
mayatnya. Hitung-hitung sebagai balas budi kita."
"Aku sih setuju saja, Srini. Dia memang tampan, kok," goda
Kemboja. "T api, jauhkah tempat itu?"
"Kau ngaco, Kemboja!" sergah Srini dengan wajah memerah.
"Kalau kau mau tahu juga, perjalanan ke sana membutuhkan waktu
sehari penuh."
"Jadi...," ucap Kemboja setelah tercenung. "Kitatelah ketinggalan
waktu sehari semalam."
Srini terdiam. Apa yang dikatakan saudara kembarnya memang
benar.
"Lalu..., bagaimana kalau kita bertemu sosok berpakaian serba
putih di tengah jalan? Apa yang akan kau lakukan, Srini? Menunggu
pemuda berambut aneh itu menolongmu?" Kemboja kelihatan
bimbang.
"Mengapa kau begini bodoh, Kemboja!" ujar Srini sambil melirik
Bandawa.
Sejenak Kemboja membisu. Tapi akhirnya dia mengerti maksud
lirikan Srini. "Tapi bagaimana membuatnya seperti itu, Srini?
Menunggu kita celaka lebih dulu?"
"Tenang, Kemboja. Aku tahu caranya. Andaikata semua cerita
yang kau tuturkan padaku benar, aku yakin caraku ini pasti berhasil!"
tandas Srini yakin.
Sikap wanita berpakaian hijau ini membuat Kemboja mengangkat
bahu. Dia tidak membantah lagi. Disadari kalau Srini memang jauh
lebih cerdas darinya. Itu sebabnya ayahnya mengirim Srini pada Resi
Sindu Laga.
Sambil masih terus bercakap-cakap tentang Bandawa tanpa yang
bersangkutan mengetahui, ketiga orang muda itu melanjutkan
perjalanan menuju tempat Srini pernah ditahan. Perjalanan itu
sengaja dilakukan Srini dan Kemboja, untuk membuktikan apakah
Suhita alias Bandawa adalah sosok berpakaian serba putih yang keji
dan memiliki kepandaian tinggi itu?
* * *
7
"Kau lihat pondok di depan itu, Kemboja?" tanya Srini seraya
menudingkan jari telunjuknya ke sebuah rumah sederhana tempat
dulu dia disekap.
Kemboja, dan bahkan Bandawa mengarahkan pandangan ke arah
yang ditunjuk Srini. Tidak hanya ke tempat itu saja, tapi juga ke
sekitarnya.
"Sepi saja, Srini," ucap Kembojapelan. "Kurasa tidak ada seorang
pun di sini."
Srini tidak memberikan tanggapan. Yang dilakukannya adalah
mengayunkan kaki menuju pondok sederhana di depan sana. Mau
tidak mau Kemboja dan Bandawa mengikuti.
"Ha ha ha...! Ternyata untungku. Nasib baikku kembali datang....
Sungguh tidak kusangka kalau di tempat sepeiti ini akan bisa
kutemui putri keparat pemberontak. Ha ha ha...! Raja pasti akan
sangat gembira melihatnya Ha ha ha...!"
Hampir bersamaan Srini, Kemboja, serta Bandawa menolehkan
ke belakang. Dari salah satu cabang pohon yang mereka lewati tadi
melompat turun sesosok tubuh pendek gemuk yang berwajah
senantiasa teitawa. Dialah Gempar, ahli waris terakhir - Perguruan
Laut Mati
Srini yang telah mengetahui betapa lihainya lelaki pendek gemuk
ini, tanpa membuang-buang waktu lagi segera menghunus
pedangnya. Tindakan ini segera ditiru Kemboja. Hanya Bandawa
yang berdiam diri dengan tatapan linglung.
"Ah...!" Gempar mengeluarkan seruan kaget bercampur gembira.
Ternyata putri pemberontak yangtelah dibunuhnya itu ada dua. "Kau
pun anaknya juga, Cah Ayu?"
Lelaki pendek gemuk itu mengajukan pertanyaan pada Kemboja,
seraya memperhatikan wajah Srini dan Kemboja yang mirip dengan
bergantian.
"Kaukah yang telah membunuh guru saudaraku, Manusia Katak?
Mampuslah!"
Kemboja meluruk ke arah Gempar dengan tusukan pedang yang
bertubi-tubi. Ke arah ulu hati pusar, dan dada. Saking cepatnya
gerakan pedang, mata pedangnya seperti berubah menjadi banyak.
Tapi serangan itu tidak dianggap Gempar sebagai ancaman
bahaya. Diatertawa bergelak.
"Bukan hanya Resi Sindu Laga saja yang kubunuh, Anak Manis.
Tapi ayahmu juga. Kepalanya telah kupenggal. Dan, tubuhnya
kubuang di tengah jalan!"
Terdengar teriakan melengking nyaring. Srini menyusul saudara
kembarnya melakukan serangan. Pedang di tangannya lenyap
menjadi segulungan sinar menyilaukan membungkus tubuhnya.
Kemudian, diluncurkan ke berbagai bagian tubuh Gempar.
Sekali lihat saja Gempar tahu serangan Srini jauh lebih berbahaya
daripada serangan Kemboja. Tapi, dia pun tahu serangan Kemboja
tiba lebih dulu. Maka, ditariknya napas dalam-dalam. Seketika itu
pula perutnya yang memang sudah gendut menggembung seperti
balon. Ketika itulah ujung pedang Kemboja menghantam sasaran
dengan tepat.
"Akh.J"
Kemboja memekik tatahan. Pedangnya terpental balik ketika
mengenai perut Gempar. Sasaran yang dihantamnya bagaikan
segundukan karet keras. Sehingga tangannya tergetar hebat. Sampai-
sampai senjata andalannya terlepas dari genggaman.
Pada saat yang hampir bersamaan serangan Srini datang
menyusul. Tapi sebelum mencapai sasaran, Gempar telah lebih dulu
menggerakkan kedua tangannya mempergunakan ilmu Pukulan
Gelombang Laut'. Dan seperti kejadian yang sudah-sudah, Srini
merasakan tubuhnya lemas seakan-akan tulang-tulangnya dilolosi.
Tenaganya lenyap oitah ke mana. Kekuatan serangannya menjadi
lumpuh. Gadis itu kemudian ambruk ke tanah sebelum berhasil
mengirimkan serangan.
"Srini...!" Kemboja berteriak melihat keadaan saudara kembarnya.
"Ha ha ha...!" Gempar tertawa bergelak penuh kemenangan.
Keyakinannya akan dapat menangkap Srini dan Kemboja
membuatnya membiarkan kedua gadis itu, dan tidak melakuan
serangan susulan yang dapat melumpuhkan mereka.
Dengan susah payah Srini bangkit. Masih terhuyung-huyung
karena pengaruh ilmu 'Pukulan Gelombang Laut', Srini menghampiri
Bandawa. Sebelumnya ia memberikan isyarat pada Kemboja agar
mengikuti.
Meski merasa heran Kemboja mengikuti kemauan Srini. Dia
yakin saudara kembarnya tidak bermain-main dalam saat genting
seperti ini. Begitu Kemboja telah berada di dekat Bandawa yang
keheranan melihat kedua gadis itu mendekatinya. Srini memberi
tanda. Kemboja bimbang meskipun dia mengerti maksud isyarat itu.
Namun ketika melihat sorot mata Srini yang begitu memaksa, mau
tidak mau perintah itu dilakukannya. Kemboja tahu andaikata Srini
dalam keadaan biasa, gadis itu akan melaksanakannya sendiri.
Dukkk!
"Hukh!"
Bandawa mengeluarkan keluhan tertahan sebelum roboh ke tanah
dan tidak sadarkan diri. Pukulan sisi tangan yang dihantamkan
Kemboja mendarat telak di kuduknya.
Kelakuan kedua gadis muda yang cantik itu tidak lepas dari
perhatian Gempar. Tentu saja lelaki pendek gemuk itu heran bukan
main. "Apa yang dilakukan putri-putri pemberontak ini?" tanyanya
dalam hati. Apakah karena rasa takut yang sangat lantas mereka
menjadi gila dan tidak tahu harus berbuat apa?
"Mengapa kau menyuruhku melakukan hal ini, Srini?" tanya
Kemboja tak dapat menahan rasa ingin tahunya.
Baru saja Srini hendak memberikan jawaban, Gempar telah lebih
dulu menyelak. "Bersiaplah, Putri-putri Pemberontak! Kalian akan
kuhadapkan pada raja!"
"Boleh aku mengajukan satu permintaan?" tanya Srini seraya
menatap wajah lelaki pendek gemuk itu lekat-lekat
Gempar tercenung, bingung. Kesempatan itu tidak disia-siakan
oleh Srini yang cerdik.
"Kami berdua tahu, sebagai putri-putri pemberontak tidak akan
mungkin mendapatkan ampunan. Kami akan dihukum mati.
Bukankah pantas kalau kami mempunyai permintaan? Sebuah saja.
Untuk... yahhh... anggaplah sebagai permintaan terakhir kami."
"Baiklah. Selama tidak mengada-ada dan masuk akal aku akan
mengabulkannya," jawab Gempar setelah berpikir sejenak.
"Terima kasih," jawab Srini dengan wajah gembira. "Aku hanya
meminta agar kami maksudku aku dan saudaraku diberi kesempatan
berbincang-bincang untuk yang terakhir kali."
Kemudian, tanpa menunggu tanggapan Gempar, Srini kembali
mengalihkan perhatiannya pada Kemboja. "Kau ingat semua
ceritamu, Kemboja?" tanya Srini mengingatkan. "Bukankah
Bandawa selalu berubah pandai dan beringas setelah sadar dari
pingsan atau sedang murka?"
"Ahhh.... Jadi, itukah maksudmu menyuruhku memukulnya?"
Kemboja kini mengerti. "Tapi, mengapa bisa seperti itu, Srini?"
"Entahlah." Srini menggelengkan kepala. "Tapi, kalau melihat
tindak-tanduknya yang tidak gila dan hanya lupa pada masa lalunya,
kurasa dia telah mendapatkan guncangan jiwa. Batinnya terguncang
hebat hingga tak kuat ditanggung oleh sarafnya. Mungkin itu yang
membuatnya lupa pada masa lalu. Hebatnya, kepandaiannya sampai
dia lupakan. Dia kembali teringat akan kepandaiannya saat mendapat
guncangan di kepala. Karena terpukul atau terbentur batu
membuatnya linglung, misalnya."
"Tapi, mengapa setiap kali dia teringat selalu dalam keadaan
beringas? Dan, perubahan itu hanya berlangsung sebentar saja?
Karena guncangan jiwa yang hebat dia lupa pada masa lalunya,
namanya, dan kepandaiannya. Tapi, seharusnya begitu mendapat
guncangan selanjutnya, semua yang terlupa akan teringat kembali,
bukankah begitu, Srini?"
"Hhh.J" Srini menghela napas berat. "Memang seharusnya
demikian, Kemboja. Aku juga heran. Tapi..."
"Waktu untuk kalian sudah habis!" Teriakan Gempar membuat
Srini menghentikan ucapannya. Dengan terkejut kedua gadis itu
menatap Gempar yang berjalan menghampiri mereka. Srini dan
Kemboja dengan harap-harap cemas memandang Bandawa yang
masih tergolek di tanah. Kedua saudara kembar itu kemudian jadi
nekat. Pedang yang semula telah disimpan dikeluarkan kembali.
Mereka bertekad untuk melakukan perlawanan sampai titik darah
penghabisan.
"Haaat..!"
Sebelum Gempar mengirimkan serangan, Srini dan Kembojatelah
lebih dulu menyerang. Kedua gadis itu melancarkan serangan dari
arah yang berlawanan. Srini dari kanan sedangkan Kemboja dari arah
kiri. Pedang di tangan mereka berkelebat cepat mengirimkan
serangan-serangan mematikan.
Tapi, hanya dengan menggerakkan kedua tangannya secara
sembarangan saja, Gempar telah mengkandaskan serangan Srini dan
Kemboja. Bahkan, tubuh kedua gadis itu terhuyung-huyung ke
belakang dengan tangan tergetar.
Tidak hanya berhenti di situ saja tindakan Gempar. Dia bergerak
meluruk ke arah Srini untuk melumpuhkannya. Srini berusaha sekuat
tenaga menangkis serangan Gempar. Pedangnya diputar untuk
melindungi diri. Namun, hanya dengan tangan telanjang, entah
dengan cara bagaimana, lelaki pendek gemuk itu berhasil membuat
pedang Srini terlempar. Tangan Gempar terus meluncur ke bahu
kanan gadis berpakaian hijau itu.
Kemboja melihat bahaya mengancam diri saudara kembarnya.
Maka, dia pun melesat untuk menolong dengan sebuah tusukan ke
arah ubun-ubun Gempar. T api, melihat jarak dan kecepatan wanita
berpakaian jingga itu usahanya pasti akan gagal.
"Grrrhhh...!"
Di saat tangan Gempar hampir menyentuh bahu kanan Srini, dan
tubuh Kemboja tengah berada di tengah jalan, terdengar geraman
keras bagai binatang buas terluka. Keras sekali sehingga Srini dan
Kemboja merasakan seluruh tenaga mereka lenyap. Gempar pun
merasakan dadanya tergetar hebat dan kedua kakinya menggigil.
Kalau saja dia tidak bertindak cepat mengerahkan tenaga dalam,
tentu tubuhnya sudah ambruk ke tanah. Sungguh pun demikian, tak
urung wajah lelaki pendek gemuk itu pucat pasi!
Gempar adalah seorang tokoh persilatan tingkat tinggi yang telah
kenyang dengan pengalaman. Maka dia segera mengetahui akan ada
seorang lawan tangguh yang muncul di situ. Karma itu, perhatiannya
segera dialihkan ke arah asal geraman. Dan, seketika lelaki pendek
gemuk itu terperanjat.
Beberapa tombak di sebelah kirinya berdiri dengan sepasang mata
merah membara dan wajah menyiratkan keganasan, seorang pemuda
bertubuh kekar yang tadi bersama Srini dan Kemboja. Pemuda yang
tadi dipukul Kemboja hingga pingsan.
Sejenak Gempar terpaku di tempatnya. Benarkah pemuda kekar
yang tadi kelihatan linglung dan tidak bisa ilmu silat memiliki tenaga
dalam yang demikian dahsyat? Rasanya mustahil! Bahkan tadi dia
tidak mampu mengelakkan serangan Kemboja Apalagi
melindunginya dengan tenaga dalam sehingga serangan itu tidak
membuatnya pingsan. Lalu, bagaimana sekarang dia bisa mempunyai
tenaga dalam demikian hebat.
Gempar tidak mempunyai waktu lebih lama untuk berpikir. Sesaat
kemudian. Bandawa telah menerjangnya dengan kecepatan yang
menggiriskan. Luar biasa. T ak ubahnya angin yang berhembus
kencang.
Dan ketika tubuh pemuda kekar itu hampir mencapai tempatnya,
kedua tangan Bandawa mengirimkan tusukan-tusukan ke dahi
dengan mempergunakan jari telunjuk! Bunyi berdecit tajam dan
udara yang terobek mengiringi tibanya serangan.
Wajah Gempar seketika berubah. Bukan karena kedahsyatan
serangan itu, tapi karena dia pernah melihat serangan seperti itu dari
seorang tokoh yang memiliki kepandaian menggiriskan hati. Seorang
tokoh misterius! Mengapa Bandawa juga memiliki ilmu serupa?
Adakah hubungan antara mereka? Atau... jangan-jangan keduanya
adalah orang yang sama?
Prattt!
Tubuh Gempar terjengkang ke belakang dan jatuh terguling-
guling ketika memapaki serangan Bandawa. Cepatnya serangan yang
dilancarkan Bandawa membuat lelaki pendek gemuk itu
memaksakan diri untuk menangkis. Tidak tanggung-tanggung lagi.
Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan dengan memainkan ilmu
'Pukulan Gelombang Laut'. Tapi toh akibatnya tetap saja tubuhnya
terguling-guling dengan dada terasa sesak dan tangan sakit-sakit.
Sementara lawannya hanya terhuyung ke belakang. Itu pun sebentar
saja. Serangan lanjutan yang tidak kalah dahsyatnya kembali
dilancarkan.
Terpaksa Gempar mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
menyelamatkan selembar nyawanya. Ilmu Pukulan Gelombang Laut'
dikerahkan sampai ke puncak kemampuan. Tapi untuk kesekian
kalinya Gempar harus menelan kepahitan. Ilmu yang menjadi
andalannya mati kutu dan tidak berguna. Seperti ketika menghadapi
sosok berpakaian serba putih, ilmunya pun kembali pupus. Beberapa
kali ketika terpaksa berbenturan tangan, Gempar terhuyung-huyung
ke belakang. Sementara lawannya seperti tidak menderita sedikit
pun. Padahal, belum pernah dalam penggunaan ilmu andalannya itu
Gempar dapat dijatuhkan lawan.
Setiap kali ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' dipergunakan, angin
serangannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawannya karena
tenaganya terkuras. Bahkan, Dewa Arak yang terkenal itu pun
mengalami kejadian yang sama. T api mengapa sekarang seperti
ketika menghadapi sosok berpakaian serba putih? Ilmu andalannya
tidak berarti. Ilmu yang dikeluarkan Bandawa dapat membuat
pengaruh ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' yang dimilikinya pupus.
Hanya dalam beberapa gebrakan saja Gempar sudah kewalahan.
Lelaki pendek gemuk itu terpaksa bermain mundur. Mengelak lebih
banyak dilakukannya. Karena untuk menangkis akan sangat
merugikan dirinya.
Plak! Plak!
Gempar terpaksa menangkis serangan Bandawa yang datang
bertubi-tubi karena tidak sempat dielakkan. Akibatnya, tubuh lelaki
pendek gemuk itu kembali terjungkal ke belakang. Saat itu pula
dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, Bandawa menggerakkan
kedua tangannya. Gempar yang menyadari adanya serangan maut
dengan gugup menggerakkan kedua tangannya di depan wajah untuk
menangkis. Beberapa kali tangkisan itu berhasil dilakukan, tapi pada
totokan yang entah keberapa, jari telunjuk Bandawa berhasil
membuat lubang di dahi Gempar. Pewaris terakhir Perguruan Laut
Mati itupun pergi ke akherat.
Srini dan Kemboja gembira bukan main melihat Gempar berhasil
ditewaskan. Keduanya bergegas mendekati Bandawa yang tengah
limbung. Kedua gadis kembar itu tahu kalau saat itu Bandawa tengah
berada dalam masa lalunya. Mereka ingin mengorek keterangan
tentang siapa sebenarnya Bandawa sebelum pemuda itu roboh tak
sadarkan diri.
"Siapakah namamu. Sobat?" tanya Kemboja yang lebih dikenal
oleh alam bawah sadar Bandawa karena telah sering didengar
suaranya.
"Aku...? Namaku.... Bandawa...," jawab pemuda bertubuh kekar
itu dengan suara mengambang. Kedua tangannya memegangi kepala.
Srini dan Kemboja merasa cemas Bandawa akan keburu pingsan.
"Kau memiliki ilmu silat ini dengan berguru pada siapa,
Bandawa?"
"Ayahku," jawab Bandawa. Suaranya semakin tidak jelas.
"Siapa ayahmu? Maksudku..., nama atau julukannya?"
Tidak ada jawaban dari Bandawa. Tubuh pemuda itu mulai
terhuyung-huyung. Kedua tangannya sibuk memegangi kepala.
Sedangkan tarikan wajahnya menyiratkan kesakitan.
"Kenalkah kau dengan seorang gadis yang bernama Sukaesih,
Bandawa?" tanya Srini hati-hati.
"Dia... calon istriku...," sampai di sini tubuh Bandawa ambruk.
Tapi sebelum terjerembab ke tanah, Kemboja sudah lebih dulu
menangkapnya. Bandawa telah jatuh pingsan.
Srini dan Kemboja saling bertukar pandang. Mereka cukup puas
meskipun belum dapat mengorek banyak keterangan dari Bandawa.
Tapi, sedikit banyak sudah dapat diketahui kalau cerita Sukaesih
memang benar. Hanya yang masih menjadi tanda tanya, mengapa
Bandawa memakai nama Suhita. Dari mana nama itu didapatkannya?
Pertanyaan itu hanya tinggal pertanyaan karena orang yang
seharusnya memberikan jawaban tidak sadarkan diri. Dengan hati-
hati Kemboja membaringkan tubuh Bandawa di tanah. Rasa kasihan
kalau pemuda itu akan kepanasan oleh terik sinar matahari, Kemboja
membawanya ke sebatang pohon dan membaringkannya di sana.
***
"Rupanya kita memang berjodoh, Anak Manis. Kenyataannya kita
berjumpa lagi."
Seruan yang diucapkan pelan tapi menggaung ke sekitar tempat
itu mengejutkan Srini dan Kemboja. Terutama Srini yang masih
ingat betul siapa pemilik suara itu. Wajah gadis berpakaian hijau itu
mendadak berubah pucat.
Tiupan angin dingin berhembus. Dan, di dekat kedua gadis cantik
itu berdiri sesosok tubuh berpakaian serba putih. Tokoh misterius
yang menggiriskan. Seketika itu pula Srini melangkah mundur.
Kemboja yang telah mendengar dari saudara kembarnya mengenai
tokoh tingkat tinggi yang keji ini meremang bulu kuduknya. Diakui
kalau sosok berpakaian serba putih memilliki perbawa yang
menyeramkan. Terutama sepasang matanya yang tajam mencorong
dan berwarna kehijauan. Kemboja melangkah mundur seraya
mengerling ke arah tempat Bandawa diletakkan. Ia berharap pemuda
kekar itu segera sadar dari pingsannya.
"Ha ha ha..!"
Tawa sosok berpakaian serba putih membahana melihat
keberadaan Kemboja. "Sungguh besar untungku kali ini. Tidak
hanya satu bidadari yang kujumpai, tapi dua. Ah.... Luar biasa...!
Baru saja kunikmati tubuh empuk murid wanita Perguruan Lembah
Seribu Bunga. Kini sudah ada lagi dua kuda betina liar yang minta
ditunggangi. Betapa beruntungnya aku."
Sosok berpakaian serba putih kemudian mengayunkan kaki
mendekati. T anpa sadar, dalam cekaman rasa takut Srini dan
Kemboja melangkah mundur, sehingga jarak antara mereka dengan
sosok berpakaian serba putih tetap seperti semula. Bahkan,
bertambah jauh karenakedua gadis itu melangkah lebih banyak.
"Kemarilah, Manis. Kalian berdua memang berwajah manis-
manis. Bahkan, beberapa ciri-ciri kalian mirip dengan Sukaesih.
Kemarilah, Sukaesih-Sukaesihku...!"
Srini dan Kemboja saling berpandangan. Sukaesih! Jadi, sosok
berpakaian serba putih ini kenal dengan Sukaesih? Bukan tidak
mungkin kalau sosok berpakaian serba putih juga kenal dengan
Bandawa! Tapi, apa hubungannya dengan Bandawa? Dan dengan
Sukaesih?
"Kau kenal dengan Sukaesih?" tanya Srini ingin tahu.
Pertanyaan Srini rupanya mengejutkan sosok beipakaian serba
putih. Tubuhnya sampai terjingkat ke belakang. "Dari mana kautahu
nama Sukaesih? Apakah kau mengenalnya?" tanyanya dengan penuh
ancaman.
"Aku tidak mengenalnya Tapi tahu kalau Sukaesih adalah
seorang gadis yang berhati mulia. Dan..."
"Keparat!"
Sosok berpakaian serba putih menggeram. Tidak tampak kalau
dia menggerakkan tangan atau kakinya. Tapi akibatnya, tubuh Srini
terpental jauh ke belakang dan terbanting ke tanah. Ketika bangkit
wajah gadis berpakaian hijau itu pucat pasi. Beruntung sosok
berpakaian serba putih tidak bermaksud melukainya. Kalau tidak
nyawa Srini tentu sudah melayang ke alam baka.
"Srini...!" Kemboja berseru kaget. Dia menghambur ke arah
saudara kembarnya. Hatinya lega ketika melihat Srini tidak terluka.
Sosok berpakaian serba putih yang telah bangkit amarahnya tidak
menghentikan tindakannya hanya sampai di situ. Kakinya
dilangkahkan. Kelihatannya perlahan dan sembarangan saja, tapi
akibatnya tubuhnya tiba-tiba telah berada di dekat kedua gadis itu.
"Kalian berdua rupanya ingin aku bertindak kasar," desis sosok
berpakaian serba putih dingin.
Mendadak terdengar seruan keras menyambuti ucapan sosok
berpakaian serba putih. Teriakan itu dikeluarkan dengan suara agak
bergetar penuh perasaan.
"Siapa kau? Rasanya akupemah mendengar suara seperti itu...!"
Bukan hanya sosok berpakaian serba putih yang menoleh. Srini
dan Kemboja pun demikian. Berbeda dengan sosok berpakaian serba
putih, kedua gadis itu telah tahu siapapemilik suara itu.
"Kau...?!"
Srini dan Kemboja terkejut melihat sikap sosok berpakaian serba
putih. Seruan yang dikeluarkan sosok itu begitu terkejut dan tidak
percaya. Ada nada gentar di dalamnya.
"Siapa kau? Katakan...! Rasanya suaramu tidak asing di
telingaku...!" suara Bandawa semakin meninggi, menuntut jawaban
lawan bicaranya. Kedua kakinya kemudian melangkah menghampiri
tempat sosok berpakaian serba putih berdiri.
Jawaban yang diberikan sosok itu adalah sebuah terjangan yang
dilakukan dengan sangat cepat. Kedua tangannya dengan jari
telunjuk teracung ditusukkan bertubi-tubi ke dahi Bandawa.
"Ihhh...!"
Hampir berbarengan Kemboja dan Srini menjerit tertahan.
Mereka tidak mampu memberikan pertolongan. Sementara Bandawa
masih tetap melangkah dengan berkerut. Tampaknya pemuda itu
tengah berpikir. Jelas, dia tidak tahu kalau dirinya diserang.
Rupanya, pertemuannya dengan sosok berpakaian serba putih
membuat Bandawa teringat akan masa lalunya. Saat itu segenap
ingatannya tengah berusaha masuk ke dalam benaknya.
T api sebelum serangan sosok berpakaian serba putih mendarat di
sasaran, dari sebelah kanan terdengar bunyi angin menderu. Hawa
panas dan memotong arah yang dituju penyerang Bandawa. Jadi
andaikata ia bersikeras meneruskan serangannya, sebelum tiba di
sasaran akan terlebih dulu dihantam pukulan jarak jauh angin
berhawa panas menyengat itu.
Sosok berpakaian serba putih pun tahu akan hal itu. Maka,
serangannya terhadap Bandawa dibatalkan. Tangan kanannya
kemudian dikibaskan untuk memapaki serangan yang meluncur ke
arahnya. Dalam kemarahannya sosok berpakaian serba putih
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Bresss!
Pemuda berambut putih keperakan yang melancarkan serangan
berhawa panas itu teipental ke belakang, kemudian terguling-guling
di tanah. Saat itu kedudukannya memang tidak menguntungkan.
Tubuhnya berada di udara karena serangan itu dilancarkan sambil
berlari mendekati. Ketika akhirnya berhasil bangkit berdiri, wajah
pemuda berpakaian ungu yang tidak lain Aiya Buana alias Dewa
Arak itu tampak pucat. Benturan keras yang terjadi telah melukai
bagian dalam tubuhnya
Meskipun demikian ada seringai kegembiraan di mulut pemuda
itu. Serangan maut yang ditujukan pada Bandawa berhasil
digagalkan. Tubuh sosok berpakaian serba putih tergetar ke belakang
dan agak terhuyung.
"Aku ingat... Suaramu. Rupanya kau.... Ya. Kau, Jahanam
Suhita...! Kubunuh kau. Ayah...! Sukaesih...! Lihatlah, jahanam ini
akan kubunuh...!"
Usai berkata demikian, Bandawa melompat menerjang sosok
berpakaian serbah putih yang disebut sebagai Suhita. Jari-jari kedua
tangannya meluncur cepat bagai kilat ke arah dahi Suhita. Namun,
Suhita yang tahu bahaya maut itu tidak tinggal diam. Dia segera
bergerak mengelak. Bahkan mengirimkan serangan balasan yang
tidak kalah dahsyat. Pertarungan sengit, pun tidak bisa dielakkan
lagi.
Tidak hanya Srini dan Kemboja, Dewa Arak pun takjub melihat
jalannya pertarungan. Memang kelihatannya aneh karena kedua
belah pihak menggunakan ilmu yang sama. Tapi tetap saja tidak
menyembunyikan kedahsyatannya. Tanah terbongkar di sana-sini
hingga menimbulkan kepulan debu yang membubung tinggi ke
angkasa.
Srini dan Kemboja memang heran melihat Bandawa dan sosok
berpakaian serba putih menggunakan ilmu yang sama. Tapi tidak
dengan Dewa Arak. Dia telah tahu semuanya setelah tercebur di
sungai dan terbawa arus hingga jatuh ke sebuah air terjun. Di sana
Arya bertemu dengan seorang kakek yang menceritakan tentang
sosok berpakaian serba putih, begitu Arya memberitahukannya kalau
dirinya terjatuh ke sungai karena ulah sosok itu yang memiliki ilmu
satu jari yang sangat ampuh.
Kakek yang telah lumpuh kedua kakinya akibat terjatuh dari atas
tebing itu mengaku bernama Pandulaga. Sejak ratusan tahun yang
lalu leluhur Pandulaga memiliki ilmu-ilmu tinggi. Tapi mereka tidak
pernah terjun ke dunia persilatan. Tujuan mereka mempelajari ilmu-
ilmu silat hanyalah untuk melindungi diri dan keluarga besar
Pandulaga. Karena itu Pandulaga yang tidak suka menonjolkan diri,
maka dia memilih mengusahakan sebuah perkebunan.
Pandulaga memiliki seorang anak kandung yang bernama
Bandawa dan seorang anak angkat bernama Suhita. Semula Suhita
pandai membawa diri sehingga Pandulaga tidak segan-segan
menurunkan ilmu kepadanya. T api, sungguh tidak disangkanya
Suhita sampai hati meracuni dirinya dan Bandawa yang hanya
karena ingin mendapatkan Sukaesih. Dalam keadaan setengah sadar
tubuhnya dijatuhkan dari atas tebing. Sedangkan Bandawa sempat
kabur. Entah karena racun yang kurang kuat atau karena masih
muda, atau mungkin kehendak Allah, Bandawa tidak meninggal
hanya pingsan. Sebelum pingsan Pandulaga sempat melihat keadaan
Bandawa yang agak aneh.
"Mungkin ada bagian sarafnya yang terpengaruh racun, sehingga
yang diingat hanyalah nama Suhita," ucap Pandulaga pada Arya.
Kemudian dimintanya pemuda berambut putih keperakan itu untuk
mencari Bandawa, dan kalau bisa membawanya pada Pandulaga
untuk diobati karena Suhita masih terus mencarinya. Pandulaga
tidak tahu kalau sebenarnya Suhita memiliki watak yang kurang
baik. Terlebih setelah melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki
Bandawa. Bandawa lebih tampan, lebih pandai darinya dan lebih
disukai gadis-gadis. Karena tidak tahan menahan rasa iri yang
bertumpuk-tumpuk, Bandawa pun akhirnya dijadikan
pelampiasannya.
Sekarang, pertarungan antara Suhita dan Bandawa tidak bisa
dihindarkan lagi. Bandawa telah teringat kembali akan masa lalunya.
Dan Arya memperhatikan tanpa berkedip seperti juga Srini dan
Kemboja.
"Hiyaaat...!" "Haaat...!"
Di jurus kelima puluh Bandawa dan Suhita bersamaan
mengeluarkan teriakan melengking tinggi yang membuat Srini dan
Kemboja jatuh terduduk. Kedua pemuda yang berilmu tinggi itu
saling terjang dengan jari-jari telunjuk menegang kaku.
Tak, tak, takkk!
"Akh.J"
Beberapa kali terdengar benturan keras. Sesaat kemudian jeritan
tertahan terdengar dan tubuh mereka terpental hal i k ke belakang.
Bandawa mendarat dengan mantap di tanah. Sedang Suhita
terhuyung-huyung, kemudian ambruk dan tidak bergerak lagi untuk
selamanya. Pada dahinya tampak sebuah lubang yang tercipta dari
tusukan tangan Bandawa.
Srini, Kemboja, dan Dewa Arak menyambut kemenangan
Bandawa dengan penuh gembira. Apalagi ketika mereka mengetahui
Bandawa telah sembuh sepenuhnya. Rupanya, salah satu pembuluh
darah yang berhubungan dengan safat ingatan masa lalu tersumbat
dan menyempit akibat pengaruh racun. Akibatnya aliran darah yang
menuju ke arah sana terhambat. Baru ketika mendapat guncangan
aliran darah dapat mengalir lancar. Guncangan yang agak keras
hanya terjadi bila bagian kepala atau kuduknya terpukul atau
terbentur. Tapi itu hanya berlangsung sesaat. Baru ketika guncangan
yang terjadi akibat pertempuran dengan Suhita, aliran darah itu
mengalir dengan deras karena Bandawa sibuk menguras ingatannya.
Meskipun demikian, setelah mendengar pesan ayahnya yang
disampaikan Aiya, Bandawa memutuskan untuk pergi menemui
ayahnya. Ia akan menerima pengobatan untuk mencegah hal-hal lain
yang tidak diinginkan.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Pembunuh Gelap
Emoticon