Akhirnya gadis Ninja itu membuka
mulut juga.
Mereka telah berada di sebuah
tempat yang tersem-
bunyi. Tempat yang dikenal baik si kakek Matsui di
masa dia masih gemar bertualang.
Yaitu di pesisir laut
yang bernama Selat Kui Tak berapa
jauh lagi sudah
terlihat puncak Gunung BUKKYO.
Ternyata SUZI memang tak
mengetahui apa
maksud Huyima menjebloskan
mereka ke dalam lu-
bang bawah tanah. Akan tetapi
Suzi pernah menden-
gar wanita itu bergumam sendiri dengan kata-kata
demikian: "Hamada! Hamada!
kau tolak jasa baikku,
akan tetapi kau memilih kematian! Hm, apakah kau
kira niatmu menjadi murid si Setan Tanah akan ber-
hasil? Hihihi... Pedang itu akan
jatuh di tanganku se-
belum kau atau Ninja-ninja si
Setan Tanah itu berhasil
mendapatkannya!"
Bagi Roro penuturan itu sudah cukup untuk
menjadi bahan memperkuat dugaan.
Yaitu Huyima
memang bermaksud menahan Hamada
agar maksud-
nya datang ke Lembah Pedang
menemui kegagalan.
Berarti pemuda itu tak dapat
luput dari kema-
tian. Mati menjalankan tugas,
ataukah mati membu-
nuh diri sebagai Ninja yang
gagal. Akan tetapi menge-
nai "jasa baik" itulah
yang Roro tak mengerti. Dan hal
itu haruslah ditanyakan pada
Hamada.
Roro yang penasaran melihat
sikap Suzi pada
Hamada yang selalu tampak dingin
membuat Roro la-
kukan banyak pertanyaan. Tentu
saja berhadapan
dengan sesama wanita, Suzi tak
dapat menyembunyi-
kan perasaan hatinya.
Ternyata Suzi menaruh hati pada
Hamada.
Akan tetapi Hamada ternyata
telah mencintai kakak
perempuannya yang bernama
KORISYIMA. Berdasar-
kan kenyataan itulah, Suzi jadi
patah hati. Dan seperti
enggan bertemu atau bertatap
muka dengan Hamada.
"Aiiih...! Cinta memang
terkadang membawa
orang bahagia. Akan tetapi
terkadang juga membuat
orang susah dan menderita
!" berkata Roro dengan su-
ara lirih. Mereka cuma duduk
bercakap-cakap berdua
memandangi air laut. Sementara
percakapan di dalam
pondok nelayan sahabat kakek
Matsui adalah lain lagi.
Tampak Hamada dan kakek itu
saling berbisik.
"Apakah kakek mengenai baik
bibi Huyima?"
tanya Hamada. Sejak hampir empat
tahun aku ber-
diam di desa itu, perempuan
bernama Huyima itu tak
kuketahui jelas asal-usulnya.
Akan tetapi dia memang
sering membawa kedua anak perempuannya bermain
ke rumah ku! Bahkan terkadang
menitipkannya untuk
beberapa hari. Sedangkan dia
sendiri tak ku tahu ke-
mana perginya..." Berkata
kakek Matsui.
"Setahun belakangan seorang
anak gadisnya
tak kelihatan muncul. Dialah
yang bernama SUZI itu!
Bahkan sejak gadis itu menjadi
dewasa sudah jarang
ke pondok ku termasuk
Korisyima...!"
"Siapakah suami bibi
Huyima?" Tanya Hamada,
yang memang sejak dia berkenalan
dengan gadis ber-
nama Korisyima itu tak pernah
menanyakan perihal
ayahnya.
Kakek Matsui gelengkan
kepalanya.
"Aku sendiri tak
mengetahui! Karena sejak ku
menetap di desa itu Huyima sudah berdiam disana.
Akan tetapi yang ku tahu kedua
anak perempuan itu
bukanlah anak
kandungnya....!" Tutur kakek Matsui.
Tersentak Hamada. Akan tetapi
tidak bertanya
lagi. Karena segera dilihatnya
Roro Centil dan Suzi su-
dah beranjak masuk.
"Wah ...» asyik sekali!
hayo, teruskanlah... Ka-
lau kedua anak perempuan si
Huyima itu bukan anak
kandungnya, lalu anak
siapakah...?" Tanya Roro den-
gan suara agak keras. Tentu saja
membuat Suzi jadi
melengak heran. Tiba-tiba dia
sudah melompat ke de-
pan si kakek dan Hamada.
"Kakek Matsui...! kau pasti
mengetahui tentang
keluargaku! Katakanlah! kalau
aku bukan anak Huyi-
ma, lalu anak siapakah
aku?" Tanya Suzi dengan se-
pasang mata menatap tajam pada
sang kakek itu. Se-
mentara hatinya sudah menyentak
kaget. Seperti petir
terdengar di siang hari. Hah!?
aku dan kakak Korisyi-
ma bukan anak kandungnya...?
Tampak wajah gadis
ini sudah berubah pucat. Akan
tetapi tiba-tiba Roro
Centil sudah melompat keluar
untuk segera melihat ke
arah depan.
"Hahaha... kakek Matsui...!
kedua gadis itu
adalah anak Kaisar KOTSYI
NAGOYA...!" Sesosok tu-
buh sekejap sudah tiba di depan
pondok.
"Siapakah anda?" Tanya
Roro memperhatikan
wajah orang. Karena laki-laki
yang dilihatnya ia men-
genakan topi tudung lebar yang
melesak menutup
hampir sebagian kepalanya.
Saat itu dari dalam pondok sudah
berlompatan
tiga sosok tubuh untuk segera
melihat siapa yang da-
tang.
"SETAN TANAH...! Kau kiranya
yang datang!
Hm, pendengaranmu amat
tajam! Benarkah apa yang
kau katakan itu...?"
Berkata kakek Matsui. Sementara
Suzi seperti kebingungan.
Sebentar menatap pada si
pendatang bertudung lebar,
sebentar dialihkan mena-
tap kakek Matsui.
Sementara Hamada sudah
membeliakkan ma-
tanya dengan kaget. Karena
segera mengenali orang in-
ilah yang telah memberinya surat
rahasia untuk sece-
patnya datang ke Lembah Pedang.
"Mengapa tidak? Aku adalah
bekas Panglima
Kerajaan MERAK HIJAU. Kaisar
DOTSY NAGOYA ada-
lah pengganti dari Kaisar
KYUMAMOTO! Entah bagai-
mana tahu-tahu aku dipecat tanpa
kesalahan. Ternya-
ta belakangan baru ku tahu kalau aku difitnah telah
main gila pada selir Kaisar yang
bernama MITONI SA-
KEDA. Mitoni Sakeda mempunyai
seorang pembantu
bernama HUYIMA. Kepada wanita
itulah dia menye-
rahkan kedua anaknya untuk
dipelihara.
Dia sendiri lenyap entah
kemana...!" Tutur Hi-
gei Tanaka dengan gamblang.
Kakek Matsui tercenung seketika.
Sementara
Suzi tiba-tiba melompat ke
hadapannya.
"Apakah kata katamu dapat
dipercaya...?"
Si Setan Tanah ini perdengarkan
suara terta-
wanya. Dengan tersenyum sinis
segera gerakkan len-
gannya mengeluarkan sebuah benda
semacam Medali.
Pada Medali itu tertulis namanya
sebagai Panglima Ke-
rajaan Merak Hijau. Dan tertera
tanda tangan Kaisar
lama.
***
TUJUH
TERNYATA Higei Tanaka adalah
orang yang
mendapat perlakuan buruk dari
Kaisar Kotsyi Nagoya.
Pedang Pusaka itu adalah milik
Kaisar Lama yang te-
lah lenyap. Merupakan sebuah
Pedang Pusaka Kera-
jaan Merak Hijau. Menurut
kepercayaan turun temu-
run dari keluarga Kaisar. Pedang
Pusaka itu mempu-
nyai "tuah" yang hebat
dengan kemajuan serta keaba-
dian suatu Kerajaan. Benda itu
tak boleh hilang.
Ketika Kaisar lama mengundurkan
diri, benda
Pusaka itu masih berada di
tempatnya. Dan merupa-
kan sebuah barang keramat yang
tak pernah ada yang
berani mengganggunya. Akan
tetapi belakangan baru
diketahui setelah beberapa
peristiwa terjadi di Istana
Kerajaan Merak Hijau.
Kaisar Kotsyi Nagoya yang
menggantikan Kaisar
lama ternyata banyak mengumbar
nafsu di Istana.
Dengan banyak pelihara selir.
Akibatnya karena terlalu
sering bersenang-senang Kaisar
ini kurang memperha-
tikan jalannya pemerintahan.
Kebanyakan para Pem-
besar Kerajaan saja yang
mengurus Hingga tak diketa-
hui kemana lenyapnya Pedang
Pusaka itu.
Kalau saja Kaisar tahu siapa
sebenarnya yang
mengambil, tentu waktu itu sudah
ditangkap. Semen-
tara sejak 10 tahun belakangan
ini ada berita yang be-
rasal dari sebuah perusahaan
Peti Mati!
Rahasia tetaplah rahasia... Akan
tetapi kalau
sudah bocor, akan segera
menyebar kemana-mana. Pe-
ristiwa adalah sebagai
berikut...
Pada sepuluh tahun yang silam,
seorang pega-
wai dari sebuah Perusahaan Peti
Mati menerima pesa-
nan sebuah peti mati yang minta
dibuatkan sekuat
mungkin. Yaitu dari sejenis kayu
yang paling kuat. Si
Pemesan berasal dari sebuah
tempat yang berada dida-
lam sebuah lembah. Ternyata si
pemesan itu bernama
SOKU SHEBA. Pesanan itupun
disampaikan pada ma-
jikannya. Satu Minggu kemudian
Peti Mati harus su-
dah siap. Dan diantarkan ke lembah dimana Soku
Sheba berdiam. Pembayaran
ternyata telah dilunasi
terlebih dulu. Tentu saja Soku
Sheba tak menyangka
kalau rahasia dia memiliki
sebuah Pedang Pusaka
akan bocor. Karena salah seorang
dari keenam pega-
wai Perusahaan Peti Mati itu
telah melihat dia mema-
sukkan sebuah Pedang Samurai ke
dalam Peti Mati,
yang diletakkan di atas jenazah.
Keenam orang pegawai Peti Mati
itu dimintanya
turut membantu menggali lubang
di dalam rumah, dan
menguburkan jenazah. Jenazah itu
adalah seorang ga-
dis yang menurut Soku Sheba
adalah anak gadisnya
yang mati karena kecelakaan
terjatuh dari atas tebing.
Dalam perjalanan pulang, keenam
orang pegawai Pe-
rusahaan Peti Mati itu
mengobrol. Tak dinyana telah
dikuntit oleh seorang wanita
yang menutupi wajahnya
dengan cadar sutera warna hitam.
Berkata pegawai yang bertubuh
jangkung kekar
itu. Dia bernama SINBEI.
"Aku lihat sendiri dengan
jelas kalau Pedang itu
adalah pedang Mustika ...!"
Berkata si pegawai yang
melihat Soku Sheba meletakkan
Samurainya ke dalam
peti mati di atas jenazah
puterinya.
"Heh, jangan jangan itu
Pedang Pusaka Kera-
jaan yang hilang!" Berkata
kawannya.
"Entahlah...! Bisa juga
demikian...!"
"Hm. kalau hal ini kita
laporkan pada Kaisar
dan Pedang Mustika itu ternyata
benar benar memang
Pedang Pusaka milik Kerajaan
yang lenyap, kita bakal
dapat hadiah besar!" Tukas seorang
lagi.....!"
"Sssst... hentikan bicara
kalian. Bagaimana ka-
lau ada yang mendengar
pembicaraan kita? Atau dike-
tahui si Soku Sheba sendiri,
akan tamatlah" riwayat ki-
ta!" Keenam orang ini
segera berpaling kesana kemari,
khawatir ada orang lain yang
mendengar percakapan
mereka. Ternyata keadaan aman.
Mereka tak tahu ka-
lau si wanita bercadar hitam
telah menyelinap dengan
cepat.
Akhirnya mereka bicara
berbisik-bisik.
"Kita bagi berenam hadiah
dari Kaisar nanti..."
Bisik salah seorang yang sudah
mengkhayal terlalu
tinggi.
"Heh, aku tentu harus
mendapat bagian yang
paling besar, karena aku yang
telah melihatnya...!"
"Akan tetapi aku yang
mengusulkan untuk me-
laporkan pada Kaisar...! Justru
akulah yang paling ba-
nyak mendapat bagian....!"
Berkata kawannya yang
bertubuh kekar, agak pendek. Dia
ini adalah kepala
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
dari para pegawai Perusahaan
Peti Mati. Bernama WA-
KASA.
Si kepala kuli itu plototkan
matanya pada Sin-
bei. Membuat si jangkung kekar
ini tersumbat mulut-
nya. Namun diam-diam hatinya
jadi agak mendongkol.
Di luar dugaan dia sudah membatin. Hm, kalau tak
ada Wakasa, hadiah itu tentu
akan dibagi lima. Ba-
gianku tentu akan lebih besar
lagi. Cuma dia inilah pe-
rintangnya! Kalau yang lainnya
sih, akan menurut ku-
beri berapa saja!
Memikir bakal mendapat hadiah
besar, Sinbei
sudah merencanakan untuk menyingkirkan Wakasa.
Dan rencana itu ternyata sudah
siap dikerjakan. Keti-
ka mereka tiba di satu tempat sunyi, Sinbei telah
menghunus belatinya dengan
diam-diam. Saat itu Sin-
bei berada di belakang Wakasa. Dan.... JEP! JREP!
JREP....! Sinbei telah hunjamkan
belatinya berkali-kali
ke punggung Wakasa. Terdengar
jeritan Wakasa kesa-
kitan. Sekejap tubuhnya sudah
membalik dengan ter-
huyung. "Hah? kau....
kau..." Kala-katanya tak dapat
dilanjutkan lagi, karena dia
sudah roboh terguling. Se-
telah meregang nyawa tak lama
Wakasa segera mele-
paskan nyawanya saat itu juga.
Keempat kawannya jadi berteriak
kaget. Akan
tetapi Sinbei tertawa
menyeringai. "Hahaha...biarlah
dia mati! Aku benci pada
kesombongannya selama ini.
Bukankah hadiah akan lebih besar
kalian terima tanpa
si Wakasa ini?" berkata
Sinbei.
Tiba-tiba si wanita bercadar
sudah melompat
ke luar. dari tempat
persembunyiannya. Ternyata lang-
sung mendekati Sinbei yang jadi
ternganga.
"hihihi... kalau dibagi
lima bagianmu akan se-
dikit sekali, sobat! Bagaimana
kalau dibagi dua sa-
ja....?! Seraya berkata si
wanita itu sudah membuka
cadar penutup wajahnya. Ternyata
seorang wanita
berwajah cantik yang tersenyum
pada Sinbei dengan
kedipkan matanya genit.
Tentu saja melihat tahu-tahu ada
seorang wani-
ta yang bersikap demikian
padanya membuat Sinbei
jadi berdegupan jantungnya.
"Apakah maksud ucapanmu,
no... nona...?"
Tanya Sinbei tergagap.
Wanita genit itu bisikkan
ditelinganya dengan
suara berdesis. Degupan jantung
Sintei terasa semakin
cepat. Bau wewangian segera
menyambar hidungnya.
Akan tetapi bisikkan itu
membuatnya jadi belalakkan
matanya. Tak terasa kepalanya
sudah mengangguk.
Sementara keempat kawannya sudah
menyurut mun-
dur. Dari gerakan si Wanita itu
saja mereka sudah ta-
hu kalau wanita itu
berkepandaian tinggi. Dan kata-
kata bisikan itu cukup keras
untuk didengar mereka.
Tahu-tahu si wanita itu sudah
kenakan lagi cadar hi-
tamnya, dan melompat ke hadapan keempat laki-laki
pegawai Perusahaan Peti Mati
itu.
"Heh! Kalian sudah
mengetahui hal yang harus
dirahasiakan ini, maka kalian
berdoalah cepat-cepat.
Karena aku akan mengirim nyawa
kalian ke Akhirat...!"
Terdengar suara si wanita
bercadar dengan suara din-
gin. Membuat tengkuk ke empat
laki-laki ini keluarkan
keringat dingin. Ternyata belati
Sinbei telah tergeng-
gam di tangan si wanita bercadar
itu.
Belum lagi mereka sempat
berdo'a, tubuh si
wanita itu telah berkelebatan.
Dan sekejap kemudian sudah
terdengar suara
jeritan-jeritan menyayat hati
diiringi robohnya keempat
laki-laki itu. Darah
menyemburat, memercik memba-
sahi rerumputan. Keempat laki-laki
itu meregang nya-
wa dengan mata membeliak.
Masing-masing lehernya
telah tersayat hampir putus. Di
lain kejap keempat tu-
buh itu sudah terbang nyawanya.
Terperangah Sinbei
dengan sepasang mata terbelalak
tak berkedip. Terasa
ngeri juga di melihat kejadian
yang cuma sekejap itu.
Siapakah wanita yang berilmu
tinggi dan telen-
gas ini? Bisik hatinya. Walaupun
Sinbei bergirang hati,
karena dengan lenyapnya keempat
kawannya
dia akan menerima hadiah lebih
besar. Namun
tak urung hatinya kebat-kebit
juga, karena batinnya
sudah membisik. Ah, celakalah
aku kalau akupun di-
bunuhnya...! Sekejap saja
lenyaplah keinginan menda-
patkan hadiah yang diimpikan,
karena nyawanya ada-
lah lebih penting dari hadiah
sebesar apapun. Apalagi
semua itu belum berupa
kenyataan.
"Hihihi... jangan khawatir!
Nasibmu masih lebih
baik dari mereka! Kau tak perlu
risaukan dirimu! Bah-
kan kau akan menerima hadiah
lebih besar lagi dari
apa yang kau harapkan....!"
Berkata si wanita bercadar
yang sudah beranjak menghampiri.
JEP! .... Tahu-tahu
belati berdarah itu telah
menancap di batang pohon.
Tepat di sisi telinganya.
"Hm, siapakah namamu?"
Tanya si wanita itu
dengan menatap tajam pada
laki-laki di hadapannya.
Tampak tubuh Sinbei gemetaran
menatap belati berda-
rah yang melesak dalam pada
batang pohon tempat dia
sandarkan tubuhnya.
"Aku... aku...
SINBEI..." Sahut Sinbei dengan
menunduk. Dahinya mengembun
penuh keringat.
"Hm, Sinbei! bantulah aku
menguruk kelima
mayat kawanmu itu!" Sinbei
cepat-cepat menganggguk,
dan beranjak dari tempatnya...
Senja itu udara agak lembab.
Angin bertiup da-
ri arah lembah menimbulkan hawa
dingin. Sekitar
lembah itu dicekam kesunyian.
Akan tetapi dibalik se-
mak lebat, justru sesosok tubuh
membukai pakaian-
nya. Tergetar tubuh Sinbei
menatap apa yang terpam-
pang di hadapannya.
Kalau belum lama berselang bau
wewangian
yang ditimbulkan dari sosok
tubuh wanita itu telah
merangsangnya. Kini justru sosok tubuh wanita itu
sendiri telah membuat bangkitnya
kejantanannya. Ke-
bat-kebit hatinya mendadak sudah
lenyap, sirna. Keti-
ka lengan-lengan halus wanita
itu mulai membukai
kancing bajunya.
Sinbei tak berlaku ayal, karena
imannya segera
sudah luluh. Beberapa kejap
kemudian Sinbei sudah
singkirkan pakaiannya dengan
gerakan cepat. Selan-
jutnya... Dua sosok tubuh itu
sudah bergelinjangan di
atas rerumputan dengan suara
dengus nafas saling
bersahutan. Rintihan nikmat pun
terdengar lirih ter-
bawa hembusan angin yang bertiup
dari arah lembah.
SINBEI perdengarkan keluhannya,
dan guling-
kan tubuhnya direrumputan.
Wajahnya menampakkan
keletihan .Sementara si wanita
itu tampakkan senyu-
man pada bibirnya. Senyum
kepuasan.
"Kau sudah punya
istri....?" Tiba-tiba si wanita
itu bertanya.
"Ah, aku belum punya cukup
bekal cukup un-
tuk memelihara seorang
istri...!" Jawab Sinbei dengan
tersenyum.
"Siapakah namamu, nona...?
kau mempunyai
ilmu tinggi yang mengagumkan.
Kalau aku diangkat
jadi muridmu, aku tak
penasaran!" Berkata Sinbei se-
raya garuk-garuk kepala.
Tiba-tiba si wanita perden-
garkan suara tertawanya.
"Kau bersedia menjadi
muridku...? " Tanyanya
dengan alis dinaikkan. Sinbei
anggukan kepalanya.
Sementara sepasang matanya masih
merayap pada
kedua buah benda menggumpal yang
belum lagi tertu-
tup.
"Hm, kalau benar-benar kau
ingin jadi murid-
ku, kau harus penuhi dulu
syaratnya...!" Berkata si
wanita.
"Apakah itu...!" Tanya
Sinbei.
"Syaratnya adalah
nyawamu...!" Menyahut si
wanita dengan suara tiba-tiba
berubah dingin. Sepa-
sang matanya mendadak bersitkan
sinar yang men-
gandung hawa maut. Terperanjat
Sinbei. Sepasang ma-
tanya sekejap sudah membeliak.
"Hah!? nya... nyawaku? Ah,
nona! Kau bergu-
rau...." Ucap Sinbei dengan
hati agak tergetar, seraya
perlihatkan senyuman yang agak
kaku. Sementara ha-
tinya kembali kebat-kebit.
Berguraukah atau betulan
kata-kata si wanita itu? Sentak
hati Sinbei. Akan tetapi
Sinbei tak sempat berfikir lagi.
Karena tiba-tiba dia su-
dah menjerit parau, dan
berkelojotan meregang nyawa.
Darah segar memuncrat ke
wajahnya. Ternyata
lengan si wanita itu telah
bergerak menghantam kepa-
lanya. Sesaat Sinbei sudah
terkapar tak bernyawa
dengan kepala rengat. "Hihihi... aku sudah tak
mem-
butuhkan mu lagi,
Sinbei.....!"
***
DELAPAN
APAKAH sebenarnya wanita itu?
Dialah MITONI
SAKEDA, selir sang Kaisar Kotsyi
Nagoya. Ketika ti-
upan angin dari arah lembah agak
reda, sosok tubuh
wanita itu sudah berkelebat dari
balik rumpun lebat
itu.
Ternyata sejak lenyapnya sang
selir ini, setelah
memberikan dua orang bayi
perempuan pada penga-
suh bayinya bernama HUYIMA,
Mitoni Sakeda bukan
lagi selir sang Kaisar yang
bodoh! yang bisanya cuma
menangis! Akan tetapi Mitoni
Sakeda telah menjadi
seorang wanita yang
berkepandaian tinggi. Kemuncu-
lannya adalah setelah lenyapnya
dia selama beberapa
tahun, sejak diusir dari Istana,
karena seorang Pembe-
sar Kerajaan telah menuduhnya
main gila dengan seo-
rang Panglima Kerajaan bernama
HIGEI TANAKA.
Mitoni Sakeda ternyata menuju ke
Lembah tak
bernama itu untuk menjumpai SOKU
SHEBA. Penutu-
ran dari Sinbei telah cukup
untuk dia mengetahui le-
tak dan tempat rumah Soku Sheba.
Bahkan diketahui
pula dimana peti mati berisi
mayat dan Pedang Pusaka
itu dikuburkan.
Tampak seorang laki-laki brewok
bertubuh ke-
kar, mondar-mandir di depan rumah terpencil yang
tampak sunyi itu.
Dengan gerakan lincah, Mitoni
Sakeda sudah
melompat untuk sembunyi ke balik
batu. Tajam sekali
pendengaran laki-laki itu.
Seketika dia sudah memben-
tak.
"Siapa di situ...!"
Terpaksa si wanita itu tak da-
pat lagi untuk lebih lama
sembunyikan diri. Segera dia
keluar perlihatkan diri.
"Aku... aku tersesat
kemari, paman...! Hari
hampir menjelang malam. Sudilah
kau menerimaku
untuk menumpang menginap?"
Berkata Mitoni Sakeda
dengan memperlihatkan wajah
muram.
Tentu saja Soko Sheba jadi
melengak heran.
Sepasang matanya memperhatikan
sekujur tubuh wa-
nita di hadapannya dari ujung
kaki sampai ke ujung
rambut.
"Hm, kau siapakah...?"
Tanya Soku Sheba.
"Namaku YURIKO...!"
Sahut Mitoni Sakeda se-
kenanya. Akan tetapi membuat si
laki-laki brewok itu
jadi tersentak kaget. Karena
justru nama itu adalah
nama anak gadisnya yang baru
saja jenazahnya diku-
burkan.
"Kau bicaralah yang benar,
apakah benar kau
bernama demikian?" Tanya
lagi Soku Sheba. Kesedi-
hannya mendadak sudah memuncak
lagi. Nama itu
membangkitkan kepedihannya yang
belum lagi sirna
itu terkoyak lagi.
"Aku.... aku memang bernama
Yuriko!" Tegas
Mitoni Sakeda yang sudah
terlanjur mengucapkan.
Sementara diam-diam dia sudah
perhatikan pe-
rubahan wajah laki-laki brewok
itu. Aih, apakah anak
gadisnya yang mati itu bernama
Yuriko? Pikir Mitoni
Sakeda, yang sudah segera
menduga demikian.
Akan tetapi pada saat itu sudah
terdengar ben-
takkan keras. Dan lengan si
laki-laki brewok sekejap
sudah menjambak rambut Mitoni
Sakeda.
"Bedebah busuk! Kau
penipu...! Yuriko sudah
mati...! Yuriko mati karena
pedang sialan itu...!
Kau...kau hambuslah dari
sini!" Sekali lengan Soku
Sheba bergerak, terlemparlah
tubuh Mitono Sakeda
yang menjerit kesakitan. Separuh
rambutnya telah je-
bol dari kulit kepalanya.
Buk...! tubuhnya sudah
terbanting ke tanah,
dan jatuh bergulingan. Menyeringai
wanita ini menye-
ringai sakit yang bukan alang
kepalang. Sekejap saja
sekujur wajahnya telah
berlumuran darah, yang men-
galir dari kulit kepalanya.
"Keparrrattt...!" Memaki Mi-
toni Sakeda. Tiba-tiba tubuhnya
telah bangkit kembali
dan melompat menerjang. Di
lengannya telah tergeng-
gam sebuah kebutan dari buntut
kuda, bergagang
emas yang berkilauan.
WHUKK...! WHUKK...! WHUK...!
BRETT...!
Tiga serangan beruntun segera
dilancarkan
menghantam ke arah tiga bagian
tubuh Soku Sheba.
Hebat laki-laki brewok itu, yang
segera dapat meng-
hindari serangan ganas Mitoni
Sakeda, Akan tetap sa-
tu sabetan telah membuat
jubahnya sobek berikut ter-
lukanya kulit pundaknya.
Terkejut Soku Sheba, yang sudah
perdengarkan
teriakan tertahan dan jatuhkan
tubuhnya bergulingan.
Ketika dia memandang pada
pundaknya, segera tam-
pak selarik goresan yang membuat
kulit pundaknya
pecah-pecah mengalirkan darah. Tiba-tiba dia telah
melompat bangkit dengan
membentak gusar.
"Kau... kau berani
melukaiku YURIKO....?"
Tanpa sadar dia telah menyebut
lagi nama anak gadis-
nya. Dan wajahnya seketika
berubah pucat.
"Tidak...! tidaaak...!
Yuriko sudah mati...! kau...
kau... kubunuh kau perempuan
setan...!" Kembali dia
membentak hebat.
BUK! Satu hantaman telak tak
dapat dielakkan
Mitoni Sakeda. Tubuhnya
terjungkal. Beruntung puku-
lan itu tak seberapa keras. Akan
tetapi dari bibir wani-
ta itu sudah mengalirkan darah.
Soku Sheba sudah memburunya lagi
lengannya
terulur untuk mencengkram.
Terperangah wanita ini.
Hatinya sudah membatin. Matilah
aku...! Akan tetapi
sebisanya dia cepat gulingkan
tubuhnya menghindar.
BRRETTTTT...!
Cengkreman Soku Sheba telah
merobek pa-
kaiannya sebatas dada. Membuat
tersembulnya sepa-
sang buah dada sang wanita itu.
Membeliak seketika mata Soku
Sheba. Akan te-
tapi dia sudah menyurut mundur
dua tindak. Bibirnya
tampak tergetar dan wajahnya
kembali berubah pucat
pias.
"Ohh.... tidak...!
tidaak...! Yuriko...! Yuriko...
anakku! maafkanlah ayahmu.
Maafkanlah...! Aku....
aku telah berdosa anakku....
" Sesaat sudah terlihat
sepasang mata Soku Sheba
berkaca-kaca. Dan sudah
cucurkan air mata yang membasahi
kedua pipinya.
Akhirnya laki-laki brewok itu
telah jatuhkan di-
ri berlutut dengan tundukkan
wajahnya. Sungguh ka-
sihan laki-laki ini, ternyata
otaknya sudah tidak waras
lagi. Tertegun seketika Mitoni
Sakeda. Dia sudah ber-
niat membunuh mati laki-laki
itu. Akan tetapi segera
diurungkan.
Timbul di hati Mitoni Sakeda untuk memper-
mainkan Soku Sheba yang telah
membuatnya cedera
kulit kepalanya, karena separuh
rambutnya jebol di-
cengkeram laki-laki brewok itu.
Entah dosa apakah gerangan yang
dilakukan
Soku Sheba pada anak
perempuannya itu, hingga
membuat laki-laki ini seperti
orang tidak waras. Pikir-
nya. Akan tetapi dia sudah
perdengarkan tertawanya
mengikik, walaupun sebenarnya
Mitoni Sakeda mera-
sakan sakit bukan main pada
kulit kepalanya yang ter-
luka.
"Hihihi... hihihi... baik!
baik! aku akan ampuni
kesalahanmu, ayah! Akan tetapi
sebagai penebus do-
samu kau harus membuntungi kedua
belah kakimu!"
Berkata Mitono Sakeda dengan
suara dingin.
"Membuntungi kedua
kakiku...? Bertanya dia.
"Ya!... Dengan cara itu
mungkin akan dapat
meringankan dosamu...!" Ujar Mitoni Sakeda. Soku
Sheba tiba-tiba tertawa gelak-gelak.
"Hahahaha... haha... kalau
cuma membutungi
sepasang kakiku, aku tak
keberatan!" Seraya berkata
Soku Sheba telah selonjorkan
kedua kakinya. Kedua
lengannya terangkat ke atas, dan
tampak bergetar, ka-
rena Soku Sheba tengah salurkan
tenaga dalamnya ke
kedua lengan.
Sepasang lengannya pun bergerak
meluncur ke
arah kedua kakinya....
"TUNGGU.....!" Satu
teriakan telah menggema
menyibak keheningan. Akan tetapi
sudah terlambat.
PRAKKK....! Soku Sheba telah
perdengarkan te-
riakannya yang berbareng dengan
suara berderaknya
tulang kaki yang hancur.
Saat itu sesosok tubuh telah
bergerak melom-
pat ke tempat itu, diiringi
dengan teriakan tertahan.
"Kakaaak...!" Dan...
WHUUK! Lengannya sudah
bergerak menghantam Mitoni
Sakeda. Beruntung wa-
nita itu sudah melompat
menghindar.
"Kakak...! Kakak Soku
Sheba! sadarlah apa
yang telah kau lakukan?"
Teriak si pendatang itu yang
ternyata seorang wanita yang
usianya hampir tak ber-
beda jauh dengan Mitoni Sakeda.
Lengan wanita itu
mengguncang-guncangkan tubuh
Soku Sheba, yang
segera tersadar setelah membuka
matanya. Dan segera
mengenali siapa yang datang.
"Ah, adik MIYAZAKI...!
kau... kau menyusul ke
tempat ku...?"
"Ya...! Apakah yang telah
terjadi? Dan siapakah
wanita itu . . .? Mengapa kau
lakukan hal ini...?" wani-
ta bernama Miyazaki itu adalah
adik seperguruan So-
ku Sheba. Tentu saja dia
terkejut mengetahui sang ka-
kak seperguruan telah
menghancurkan kedua ka-
kinya.
"Hah!? ya...! mengapa aku
menghancurkan se-
pasang kakiku sendiri?"
Agaknya Soku Sheba baru
tersadar dari pengaruh
kejiwaannya yang goncang.
"YURIKO...! Yah, Yuriko
itulah yang telah me-
nyuruhku...!" Berkata Soku
Sheba dengan suara
menggeram.
"Yuriko? Mana Yuriko...?
Dia bukan anakmu!
Siapakah dia...?" Mitoni
Sakeda perdengarkan suara
mendesis.
"Heh! Aku bukan Yuriko...!
Namaku Mitoni Sa-
keda...! Kakakmu itu telah
menjadi kurang waras! Aku
memang bersalah telah
mendustainya dengan mema-
kai nama Yuriko!"
"Lalu apa maumu ke tempat ini? Aku adalah
saudara seperguruannya! Aku
bertanggung jawab atas
keselamatan dirinya...! Hm,
menurut pendengaran ku
kalau tidak salah, kaulah
orangnya bekas selir
Kaisar Kotsyi Nagoya yang telah
diusir karena
melakukan hubungan gelap dengan
seorang Panglima
Kerajaan. Kedatanganmu pasti mau
mengganggu ka-
kak seperguruanku...!"
Berkata Miyazaki dengan suara
ketus.
"Hm aku tak kesudian
melakukan itu! Dia telah
menyerangku tanpa sebab hingga
kau lihat sendiri
keadaanku! Masih bagus aku tak
suruh kakakmu
membunuh diri...!" Tukas
Mitoni Sakeda dengan tak
kalah sengit.
"Sudah...! biarkanlah dia
pergi.. ! Hm! Ketahui-
lah, sobat! kakakmu itu telah
membunuh anak gadis-
nya sendiri...! Biarlah dia
rasakan akibat perbuatan-
nya!" Teriak Mitoni Sakeda,
seraya beranjak melang-
kah. Hatinya jadi geram, karena
niatnya untuk mencu-
ri Pedang telah gagal.
"Tutup mulutmu, perempuan
sial...! Hambus-
lah kau dari sini!"
membentak Soku Sheba dengan su-
ara menggeledak. Tubuhnya sudah mau
digerakkan
melompat. Akan tetapi dia segera
mengeluh panjang,
karena segera sadar kalau
sepasang kakinya telah
hancur putus sebatas lutut.
Mitoni Sakeda sudah putar tubuh
dan berkele-
bat pergi... Tentu saja dengan
membawa 101 macam
kemendongkolan dihatinya.
Penuturan Soku Sheba ternyata
membuat
Miyazaki jadi terperangah.
Seperti diketahui Soku
Sheba telah kematian istrinya
sejak Yuriko berusia li-
ma belas tahun. Tentu saja dapat dirasakan
betapa
pedihnya hati Soku Sheba. Hingga
beberapa bulan se-
jak kematian sang istri, Soku
Sheba mendiami sebuah
lembah yang tenang bersama
Yuriko anak gadisnya.
Di samping itu Soku Sheba masih
merasa pe-
nasaran, karena kematian
istrinya adalah secara aneh.
Yaitu tengah malam mendadak sang
istri muntahkan
darah hitam yang kental dari
mulutnya. Setelah berpe-
san untuk menjaga Yuriko
baik-baik, sang istri pun
tewas dengan bibir tampakkan
senyuman.
Ternyata di luar sepengetahuan
Soku Sheba,
yaitu di saat dia tak berada di
tempat telah kedatangan
seorang wanita yang bernama FUKI
ZIMA.
FUKI Zima mengatakan bahwa dia
saudara se-
pupu Soku Sheba. Begitu masuk
ruangan sepasang
matanya menatap pada sebuah
pedang samurai yang
tergantung ditembok.
"Ah, pedang yang bagus! Aku
tahu pedang itu
milik kakak Soku Sheba!"
"Benar...! Itu pedang
warisan gurunya...! Berka-
ta istri Soku Sheba. Akhirnya
dengan kata-kata manis
Fuki Zima sampaikan maksudnya
untuk meminjam
pedang milik Soku Sheba itu.
Sebenarnya istri Soku
Sheba tak berani memberikan,
akan tetapi wanita itu
telah meninggalkan sebuah pedang
samurai yang ber-
gagang indah sekali bertatahkan
mutiara pada ujung-
nya. Dan pada mata pedangnya
berukiran dua ekor
burung Hong.
"Aku tinggalkan pedangku
ini sebagai jami-
nan..!
Kakak Soku Sheba pasti akan
mengenali pe-
dang ini...!" Istri Soku
Sheba tak berani menolak lagi.
Dia sudah percaya penuh pada
wanita yang
mengaku saudara sepupu suaminya.
Apa lagi pedang
yang di tinggalkan tampak lebih
indah. Merupakan se-
buah pedang yang berharga mahal.
Demikianlah! wanita bernama Fuki
Zima itu se-
gera mohon diri. Yuriko pada
waktu itu menanyakan
pada ibunya tentang wanita itu.
Fuki Zima segera tu-
turkan siapa dirinya, bahkan
wanita itu memeluk Yu-
riko dengan tersenyum dan
berkata lembut.
"Aiih...! namamu Yuriko,
bukan...? ah, kau can-
tik sekali seperti ibumu.
Panggillah aku bibi...! Kelak
ayahmu akan dapat bercerita
tentang bibimu ini...!"
"Selamat jalan,
bibi...!" Ujar Yuriko, ketika wa-
nita itu lambaikan tangan
padanya dan berkata pada
istri Soku Sheba.
"Aku pasti akan datang lagi
secepatnya untuk
mengembalikan pedang!"
Setelah berucap demikian
Fuki Zima beranjak pergi dengan
langkah cepat. Kedua
ibu dan anak itu memperhatikan
wanita itu sampai le-
nyap di tikungan jalan. Sekembalinya
Soku Sheba se-
gera sang istri beritahukan
kedatangan wanita tadi.
Dan serahkan pedang titipannya
pada suaminya.
Tercenung Soku Sheba memandang
pedang
yang indah itu. Wajahnya tampak
mengalami peroba-
han dengan tiba-tiba. Akan tetapi cepat-cepat Soku
Sheba menutupinya dengan
tersenyum.
"Ah, benarlah dia itu
saudara sepupu ku, ma...!
Apakah tak datang bersama
suaminya?" Ujar Soku
Sheba. Padahal di hati laki-laki
ini timbul semacam pe-
rang batin yang hebat. Ternyata
Fuki Zima adalah be-
kas kekasihnya. Pedang itu
adalah pedang lambang
cinta kasih mereka, yang
diukirkan dengan sepasang
burung Hong pada mata pedang.
Soku Sheba pernah berjanji tak
akan kawin
dengan wanita manapun kecuali
dengan Fuki Zima.
Tapi kenyataannya Soku Sheba
menikah dengan
SHINTOMI. Karena Fuki Zima tak
pernah muncul sete-
lah sejak lama dinantinya.
Bahkan Soku Sheba tak mengetahui
lagi dima-
na Fuki Zima berada.
Mengapa setelah 15 tahun
terlewat Fuki Zima
baru muncul...? Sentak Soku
Sheba. Dan dia datang
cuma meminjam Pedang Pusaka
warisan gurunya itu
yang tak pernah dipakai.
Semalam-malaman Soku Sheba tak
bisa tidur.
Tentu saja kegelisahan itu
diketahui istrinya. Akan te-
tapi Shintomi pura-pura tak
mengetahui.
Tengah malam di saat istrinya
tidur lelap, Soku
Sheba keluar dengan pelahan
menuju ruang tengah.
Ternyata menghampiri dinding
dimana pedang beruki-
ran burung Hong itu tergantung
menggantikan pedang
Pusaka miliknya.
Tergetar jantung laki-laki ini
ketika melihat pa-
da sepasang burung Hong itu.
Seakan terbayang lagi
kisah cinta dimana mereka masih
memadu kasih pada
lima belas tahun yang silam.
Tiba-tiba lengannya sudah
bergerak memasuk-
kan kembali pedang itu dalam
serangkanya. Soku
Sheba ingat sekali, pada gagang
pedang telah dibuat
sebuah ruang yang dipergunakan
untuk menyimpan
surat. Jari-jari lengannya telah
bergerak memutarkan
gagang pedang itu. Benar saja.
Dalam rongga gagang
pedang itu terdapat segulung
kertas kecil.
Dengan penerangan lilin di atas meja disudut
ruangan, Soku Sheba membaca
tulisan pada kertas
kecil itu.
"Aku akan mengembalikan
pedangmu, tapi aku
tak mau datang ke rumahmu!
Datanglah ke Lembah Sakura pada
malam pur-
nama depan.
Aku menantimu...!
Istrimu cantik sekali, Soku
Sheba...!
FUKI ZIMA.
Berdebar hati Soku Sheba. Akan
tetapi cepat-
cepat masukkan kertas itu untuk ditelannya segera.
Dia amat mengkhawatirkan
istrinya mengetahui. Sege-
ra Soku Sheba kemasi lagi pedang
itu pada tempatnya.
Lalu beranjak masuk ke kamarnya.
Tersenyum
laki-laki ini melihat istrinya
masih tidur lelap dengan
posisi semula.
Dengan pelahan Soku Sheba
kembali rebahkan
tubuhnya di samping sang istri
yang amat dikasihi itu.
Aku tak dapat mengkhianati
istriku, akan tetapi aku
memang harus menjumpainya untuk
menjelaskan du-
duk perkaranya! Fikir Soku
Sheba.
Malam purnama yang dijanjikan
itupun tiba.
Aneh! Justru malam itu Shintomi
minta izin menginap
dirumah ibunya bersama Yuriko.
Akan tetapi Soku Sheba tak
berfikir jauh, sege-
ra mengizinkannya. Menjelang
kepergian mereka Soku
Sheba pun berangkat menuju ke
lembah Sakura den-
gan membawa pedang berukiran
sepasang burung
Hong itu, dan pertemuan kedua insan yang pernah
memadu kasih dan cinta itupun
terjadi....
"Kau belum bersuami Fuki
Zima...?" Tanya So-
ku Sheba yang sudah membuka
percakapan. Fuki ZI-
MA duduk di atas batu tak bergeming. Dilengannya
tercekal pedang Soku Sheba.
"Kukira pertanyaan itu tak
patut kau lontarkan
padaku, Soku Sheba! Bukankah
pedang cinta kasih
dari kisah asmara kita selalu berada
di dekat ku? Pe-
dang itu seolah dirimu
sendiri...! Patutkah aku
mengkhianatinya? Sepasang burung
Hong itu laksana
aku dengan kau!
Namun kenyataan pahit sudah
ku alami. Aku
menikah dengan wanita
lain!" berkata Fuki Zima den-
gan suara ketus. "Maafkanlah
aku Fuki... ! keadaan
sudah terlanjur begini! aku tak
dapat mengkhianati is-
triku!" Berkata Soku Sheba
dengan suara lemah terge-
tar. Sebenarnya Soku Sheba
segera akan mengemuka-
kan beberapa alasan hingga dia
tak menepati janji ka-
sih yang telah mereka ikrarkan
berdua. Akan tetapi
Fuki Zima sudah keluarkan
kata-kata sinis.
"Heh! Aku bukan datang
untuk mengemis cinta
mu, Soku Sheba! Aku mau
mengembalikan pedang mi-
likmu ini! Aku sudah mengetahui
kau menikah sejak
10 tahun yang lalu. Nah, dapat
kau bayangkan betapa
sakit dan pedihnya hatiku! Tapi
aku rela...! aku rela
kau pergi dari sisiku! Semoga
kau bahagia dengan ke-
hidupan yang telah kau tempuh
itu, Soku Sheba...!
Nah kau terimalah
pedangmu!" Seraya berkata , Fuki
Zima sodorkan pedang samurai
yang dipinjamnya pada
si laki-laki bekas kekasihnya
itu.
***
SEMBILAN
SOKU SHEBA agak berat menerima
pedangnya
kembali. Namun dia sudah ulurkan
lengannya me-
nyambuti. "Nah, kembalikan
pedang titipan ku itu!"
Berkata, Fuki Zima dengan nada
tak berubah. Sejenak
Soku Sheba memperhatikan pedang
yang pernah
membawa kisah cinta antara
mereka berdua itu. Na-
mun segera telah sodorkan pada
wanita itu dengan
berkata.
"Sekali lagi aku mohon
maafmu, Fuki Zima!"
Akan tetapi Fuki Zima tertawa
sinis seraya menyambu-
ti pedang berukiran sepasang
burung Hong itu.
"Hihihi... sudahlah! Di
antara kita sudah tak
ada hubungan apa-apa lagi!
Pedang ini sudah tak
mempunyai arti lagi, Soku
Sheba!" Seraya berkata tiba-
tiba lengan Fuki Zima sudah
bergerak membantingkan
pedang itu ke atas
batu. TRRAKK...! Sekejap pedang
yang pernah membawa kisah asmara
mereka sudah
patah menjadi beberapa bagian.
Terkejut Suku Sheba.
Akan tetapi wanita itu telah
berkata.
"Hmm, pada Pedang Pusaka
milikmu yang ku
pinjam itu ku ukirkan namaku!
dan kupindahkan pula
lambang sepasang burung Hong
sebagai pengganti pe-
dang lama! Nah, kalau kau ingat
diriku,
kau boleh pandangi gambar
sepasang burung
Hong itu! Dan akan segera kau
ingat aku...! walaupun
aku sudah tak mengharapkan kau
lagi! Pedang itu kini
kunamakan PEDANG ASMARA
GILA!" Setelah berkata
demikian Fuki Zima berkelebat
pergi dengan perden-
garkan suara tertawa pedih.
Tertawa yang seperti me-
nangis. Sekejap saja tubuhnya
telah lenyap di antara
rimbunnya pepohonan....
Terperangah Soku Sheba. Terasa
hatinya seper-
ti terbawa pergi. Akan tetapi
dia sudah menghela na-
pas. Dapat dirasakan betapa
wanita itu menanggung
siksa karena gagal dalam
mengharap kebahagiaan hi-
dup bersama dengan laki-laki
yang pernah didamba-
kannya. Terasa lemah lunglai
tubuh laki-laki itu. Ha-
tinya membatin. Betapa
berdosanya aku...! Betapa su-
cinya cintanya...! Namun
segalanya sudah terlanjur.
Laki-laki ini perdengarkan
helaan nafasnya. Sementara
lengannya sudah bergerak
perlahan menarik pedang
yang dinamai Pedang Asmara Gila
oleh Fuki Zima. Be-
nar saja! Pada bilah pedang
terdapat ukiran sepasang
burung Hong. Akan tetapi burung
itu tidak seperti
lambang yang dulu. Karena ukiran
burung Hong itu
masing-masing terpisah dengan
kepala sama membe-
lakangi. Itulah pertanda kisah
asmara mereka telah
bertolak belakang. Ketika
membalik bila pedangnya, di
situ sudah terukir nama FUKI
ZIMA. Termangu-mangu
Soku Sheba. Benar saja seperti
ucapan bekas kekasih-
nya itu. Karena segera kisah
cinta mereka di masa da-
hulu telah terbayang kembali di
matanya.
Bahkan yang lebih luar biasa
adalah. sinar pe-
dang itu telah memancarkan hawa
pengaruh cinta be-
rahi yang menggebu-gebu.
Terperangah Soku Sheba.
Akan tetapi Soku Sheba tak
menyadari bahwa pedang
itu kini telah terisi semacam
ilmu gaib yang mempen-
garuhi jiwanya. Dengan
terengah-engah cepat-cepat
Soku Shema masukkan lagi bila
pedang itu pada se-
rangkanya.
"Fuki Zima...! Menyesal aku
tak mengawini
mu.... Fuki Zima.... tahukah kau
bahwa cintaku amat
besar padamu?" Terdengar
bibirnya berdesahan me-
luncurkan kata-kata. Dengan
membawa berahi yang
masih tak kunjung reda, Soku
Sheba berkelebat pergi
tinggalkan lembah Sakura. Setiba
di rumah barulah
dia sadar kalau istri dan anak
gadisnya tak ada di ru-
mah. Akan tetapi anehnya sang
istri tak lama sudah
muncul kembali. Ternyata pada sepertiga malam dia
telah batalkan menginap di rumah
ibunya.
"Mana Yuriko...?"
Tanya Soku Sheba, karena
tak melihat anak gadisnya turut
serta. "Anak itu te-
ruskan menginap! Biarlah
Neneknya amat rindu pa-
danya." Sahut Shitomi
pendek.
"Kau... kau mengapa tak
jadi menginap?" Tanya
Soku Sheba dengan pandangan mata
nanar menatap
istrinya.
"Ah, tak apa-apa...! Aku
takut kau kesepian
sendirian di rumah!" Sahut
sang istri. Soku Sheba ter-
senyum. "Ya, biarlah...!
Sekali-sekali kita toh perlu
mengenang masa pengantin
baru..." Ujar Soku Sheba.
Shintomi tersenyum seraya masuk
ke peraduan....
-----oooOooo------
Malam itu Soku Sheba bagaikan
seekor kuda
jalang yang menjalankan tugasnya
dengan napas
menggebu-gebu. Akan tetapi
dimatanya bukanlah wa-
jah istrinya, melainkan wajah
FUKI ZIMA....
Akan tetapi menjelang pagi,
ketika Soku Sheba
masih tertidur pulas, sang istri
terbatuk-batuk hebat
dan muntahkan darah kental berwarna hitam. Tentu
saja membuat dia terkejut.
Dengan panik Soku Sheba
berlari ke arah rumah tetangga
yang agak berjauhan
untuk memberi bantuan menolong
istrinya. Sayang,
bermacam pengobatan dilakukan,
namun nyawa Shin-
tomi tak dapat tertolong lagi.
Akan tetapi sebelum
hembuskan napas yang terakhir,
sang istri tersenyum
menatapnya. Senyum itu begitu
pedih terlihat oleh So-
ku Sheba. Akan tetapi sang istri
tak mengucapkan ka-
ta-kata lain, selain berpesan
agar menjaga Yuriko baik-
baik. Sesaat kemudian istri Soku
Sheba yang setia itu-
pun lepaskan nyawanya
Dan sejak Soku Sheba menetap di
lembah tak
bernama itu, telah terjadi satu
peristiwa yang amat
terkutuk. Soku Sheba dalam
kesepiannya telah kem-
bali loloskan pedang Asmara
Gila. Kembali terpandang
ukiran sepasang burung Hong.
Juga sebuah nama
yang terukir di balik bilah
pedang itu. Sepasang ma-
tanya pun kembali nanar. Dan...
Yuriko si anak gadis
yang amat disayanginya telah
menjadi korban pelam-
piasan nafsu terkutuknya. Hingga
Yuriko dalam kea-
daan baju terkoyak-koyak dan
tubuh lemah lunglai
melarikan diri di saat Soku
Sheba tertidur menggeros.
Yang didesiskan dari mulutnya
tak lain dari nama FU-
KI ZIMA.
Dan kejadian tragis tak dapat
terelakkan lagi.
Yuriko membunuh diri dengan
melompat dari atas teb-
ing.... Terperangah Miyazaki
mendengar penuturan
Soku Sheba.
"Jadi kau... kau telah lakukan
perbuatan terku-
tuk dengan anak gadismu
sendiri...?" Berkata Miyazaki
seperti menggumam. Soku Sheba
terangguk-angguk
dengan cucurkan air mata yang
deras mengalir mem-
basahi sepasang pipinya. Sang
adik seperguruan cuma
bisa menarik napas dengan
trenyuh. Jelas bekas keka-
sih Soku Sheba itu telah sengaja
membalas dendam!
Pikirnya. Pedang itu telah
mengandung satu kekuatan
gaib yang menimbulkan berahi...
Tumbuh di hati Miya-
zaki untuk memusnahkan pedang
itu. akan tetapi dia
khawatir kekuatan berahi akan
menyerangnya. Akhir-
nya Miyazaki menetap di Lembah
tak bernama itu me-
rawat Soku Sheba. Bahkan
beberapa tahun kemudian
tempat itu telah dipasangi
bermacam jebakan. Karena
khawatir ada orang yang mencuri
Pedang Asmara Gila.
Miyazaki ternyata seorang wanita
yang berkepandaian
tinggi dan berotak cerdas. Siang
malam bekerja tak
mengenal lelah untuk membuat
bermacam jebakan.
Rumah tua itu telah
"disulap" Miyazaki menjadi tempat
yang angker. Miyazaki tinggalkan
Lembah tak bernama
itu, setelah merampungkan
pembuatan jebakan-
jebakan rahasia itu.
Tinggallah Soku Sheba sendiri di
rumah tua
itu. Dan lembah tak bernama itu
pada sepuluh tahun
kemudian mempunyai nama yang
memang sangat se-
suai dengan kenyataan. Yaitu
Lembah AIR MATA. Ka-
rena sering terlihat seorang
kakek berjubah putih, du-
duk di atas batu di depan rumah
tua itu sambil me-
niup serulingnya. Tiupan
seruling itu bernada sedih,
memilukan hati. Dan akan
terlihat wajah kakek tua
berkaki buntung itu mencucurkan
air mata...
***
SEPULUH
BEBERAPA HARI KEMUDIAN.... Di
Lembah Air
Mata telah bermunculan puluhan
Ninja mengepung
rumah tua itu dari perbagai Penjuru. Ninja-Ninja itu
berpakaian serba Hijau.
Gerakannya cepat sekali. Me-
reka menggali tanah di malam
yang agak gelap itu.
Rembulan di langit cuma tinggal
sepotong yang me-
mancarkan sinarnya. Awan hitam
telah menyelubungi
hampir separuhnya. Kira-kira
tiga kali penanak nasi,
beberapa Ninja telah berhasil
memasuki ruangan da-
lam. Beberapa kepala bersembulan
di beberapa tem-
pat. Mereka memakai topi tudung
baja yang berujung
lancip. Lengan-lengan mereka
memakai cakar besi
yang dipergunakan untuk mengeruk
tanah. Luar bi-
asa! Mereka dapat selamat dari
jebakan senjata-
senjata rahasia yang terpasang
di sekitar tempat itu.
Mereka saling memberi isyarat.
Segera sudah
melihat di mana adanya segunduk
tanah yang mem-
punyai batu nisan bertulisan
nama YURIKO. Beberapa
orang menyelinap dengan
hati-hati untuk menjaga
khawatir munculnya si kakek kaki
buntung bernama
Soku Sheba itu. Tak lama mereka
sudah mulai meng-
gali tanah kuburan. Cepat sekali
beberapa
Ninja itu bekerja. Tak Sama peti
mati sudah
berhasil terkorek. Kini tinggal
lagi membuka tutupnya.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar
bentakan keras. Tiga
orang Ninja terjungkal jatuh
dengan pekik kematian.
Beberapa Ninja segera
berlompatan membantu. Ter-
nyata di ruangan itu telah
muncul seorang wanita yang
memakai cadar hitam penutup
muka.
"Keparat...! Kalian tak
akan dapat memiliki Pe-
dang Pusaka itu!"
Bentaknya. Dan di lengannya sudah
tercekal sebuah kebutan
bergagang Emas. Dialah guru
Hamada. Beberapa lengan sudah
muncul dari dalam
tanah menarik kakinya. Terkejut
wanita bercadar hi-
tam itu. Kebutannya telah
bergerak menyambar.
PRAK! PRRAKK...! Tanah
menyemburat, dan
lengan-lengan Ninja itu putus
berpentalan. Belasan pi-
sau tiba-tiba berdesir meluruk
ke arahnya. Akan tetapi
dengan sebat dia sudah lakukan
salto. Lengannya ge-
rakkan kebutannya menghalau.
JEP! JEP! JEP...! Tiga orang
Ninja roboh terke-
na sambaran balik dari
pisau-pisau terbang yang dis-
ampoknya. Beberapa Ninja segera
lemparkan tali pen-
jerat. Namun belum sempat
tali-tali mengenai sasaran,
tubuh wanita bercadar itu telah
lebih dulu melompat
menerjang. Beberapa sosok tubuh
kembali terjungkal.
Sebat sekali si wanita itu
melompat ke dalam lubang.
Dua orang Ninja kembali dihajar
roboh oleh kebutan
mautnya. Lengannya bergerak
cepat membuka tutup
Peti Mati. Tampak mayat seorang
wanita yang sudah
tak berbentuk lagi. Dan Pedang
Pusaka itu tergeletak
di atasnya. Cepat sekali dia
meraihnya. Sekejap sudah
berada di tangannya. Dan dengan
sebat sudah melom-
pat ke atas menjebolkan atap
wuwungan rumah. Ter-
dengar suara bergedubrakan....
Si wanita bercadar itu
sudah berada di atas wuwungan.
Akan tetapi puluhan
anak panah telah meluruk ke
arahnya.
Wanita ini segera gunakan
senjatanya untuk
memukul buyer puluhan anak
panah. Dan di lain ke-
jap dia sudah melesat dari wuwungan
rumah ke balik
semak lebat di bawahnya. Lalu
lenyap tak ketahuan
lagi ke mana perginya.
"Kejaarrr...!"
Terdengar suara teriakan. Dan pu-
luhan Ninja sudah berlompatan
mengejarnya.
-----oooOooo-----
Si wanita bercadar itu
pergunakan kelincahan-
nya untuk cepat meninggalkan
Lembah Air Mata. Ha-
tinya sudah girang karena
Ninja-Ninja Hijau itu takkan
dapat mengejarnya. Beberapa saat
kemudian dia telah
berada di atas bukit. Namun
sungguh di luar dugaan.
Karena di hadapannya telah
berdiri beberapa sosok
tubuh yang sudah siap
merentangkan busur panah.
Siap memanggang tubuhnya. Di
tengah-tengah barisan
Ninja Hijau itu tegak berdiri si
Setan Tanah Higei Ta-
naka. Lengkap dengan topi tudung
lebarnya.
"Hm, serahkan pedang itu!
Berkata Higei Tana-
ka dengan suara dingin. Akan
tetapi wanita bercadar
ini mendenguskan hidungnya.
"Huh, kau kira semudah itu
Higei Tanaka...?
Pedang ini bukanlah Pedang
Pusaka Kerajaan yang hi-
lang itu! Akan tetapi pedang
pusaka milik Soku Sheba!
Pedang ini mempunyai riwayat
tersendiri, yang tak bo-
leh lain orang
memilikinya!"
"Akan tetapi baiklah akan
aku serahkan pada-
mu, kalau kau suruh
orang-orangmu itu pergi!" Ujar si
wanita bercadar.
"Hm, baik...! Apakah kau
mampu melarikan diri
kalau kau berdusta?"
Berkata Higei Tanaka. Segera dia
tepukkan lengan tiga kali.
Sekejap para Ninja Hijau itu
berkelebatan lenyap. Tersenyum
si wanita itu. Sepa-
sang matanya jalang menatap pada
Higei Tanaka. Ka-
kinya pun beranjak melangkah ke
arah laki-laki itu.
Sementara Higei Tanaka telah
siap-siap menghadapi
kalau terjadi sesuatu. Sepasang
lengannya mencekal
tongkatnya erat-erat.
"Apakah kau percaya kalau
kukatakan pedang
ini bukan milik Kerajaan?"
Tanya wanita itu,
"Hm, MITONI SAKEDA...! Aku
perlu bukti un-
tuk melihatnya!" Ucap Higei
Tanaka. Wanita ini tam-
pak tatapkan matanya tajam-tajam
pada laki-laki di
hadapannya. "Heh!? Agaknya
kau telah mengetahui
siapa diriku...!" Terkejut
wanita ini. Karena sudah be-
lasan tahun dia
menyembunyikan diri di Kota Raja,
ternyata Higei Tanaka bekas
panglima Kerajaan dari
Kaisar lama itu mengetahui siapa
dirinya.
"Heh! Sudah sejak lama aku
mengetahui, pe-
rempuan bejat! Kaulah si
penyebar fitnah keji, hingga
aku dipecat dari jabatanku
sebagai Panglima Kerajaan!
Hubunganmu dengan HOKAIDO si
Wali Kota itu, kau
fitnahkan padaku! Ketahuilah! Si
Hokaido itu telah
kubunuh mampus! Kedua anakmu
Kori Syima dan Su-
zi telah berada di Lembah
Pedang! Mereka tak boleh
mengetahui urusan kita. Dan hari
ini setelah kau se-
rahkan pedang Pusaka itu, kau
harus serahkan pula
nyawamu...!" Berkata si
Setan Tanah Higei Tanaka
yang amat mendendam pada wanita
bekas selir Kaisar
ini. Akan tetapi wanita itu cuma
tersenyum seraya
ucapnya lirih.
"Hm, aku sudah mengetahui
dari HUYIMA... si
pembantuku itu! Sudahlah, Higei
Tanaka...! Kejadian
lama itu tak usah kau ungkit
lagi! Sebenarnya aku tak
main gila pada Hokaido! Aku
sebenarnya amat mencin-
taimu, Higei Tanaka...! Aku
adalah wanita malang yang
gagal menemukan kebahagiaan!
Kehidupanku di Ista-
na sebagai selir tidaklah
membahagiakan ku! Selama
itu aku mencari dan mencari di
manakah letak keba-
hagiaan itu? Sejak Kaisar mulai
tak memperhatikan ku
lagi, timbullah niatku untuk
minta cerai! Diam-diam
aku mencintaimu. Karena kulihat
kau tak punya seo-
rang istripun, tak kusangka
kalau niatku itu kau tolak
mentah-mentah! Aku sengaja
memfitnah mu agar kau
dipecat. Setelah aku pasti akan
dicerai Kaisar. Tujua-
nku adalah kembali mendekatimu,
karena dengan be-
basnya aku, kau pasti sudi
menjadikan aku istrimu...!"
Berkata demikian, tampak
sepasang mata Mitoni Sa-
keda cucurkan air mata.
Membuat Higei Tanaka jadi
tercenung. Tak me-
nyangka kalau demikianlah
halnya. Sementara Mitoni
Sakeda telah teruskan lagi
bicaranya.
"Pedang Pusaka ini
silahkanlah kau periksa...!
Bagiku tak keberatan kalau kau
ingin memilikinya! Te-
busannya pasti amat besar dari
Kaisar. Siapa tahu kau
bisa memangku jabatan lagi di
Kerajaan Merak Hi-
jau...!" Seraya berkata
Mitoni Sakeda lepaskan cadar
penutup wajahnya, dan sodorkan
gagang pedang pada
Higei Tanaka. Agak terpana
laki-laki ini melihat wajah
Mitoni Sakeda, yang masih tak
berubah kecantikan-
nya. Namun lengannya sudah
terulur untuk menyam-
buti Pedang yang disodorkan
padanya. Hatinya diam-
diam membatin. Hm, kalau benar
ini pedang Pusaka
Kerajaan, pasti akan ada ukiran
burung Merak pada
bilah pedangnya! Sekejap Higei
Tanaka telah cabut pe-
dang samurai itu dari
serangkanya.
Segera membersitlah hawa aneh
yang mengge-
tarkan jantung, ketika menatap
gambar ukiran sepa-
sang burung Hong yang saling
membelakangi. Dan di
sebaliknya tertera sebuah name
FUKI ZIMA. Siapakah
Fuki Zima... ? Sentak hatinya.
Jelas pedang itu bukan
pedang Pusaka Kerajaan walaupun
sarang pedang dan
gagangnya amat mirip. Karena
ketika masih menjabat
sebagai Panglima Kerajaan, Higei
Tanaka pernah meli-
hatnya.
"Nama yang tertera di situ
adalah namaku, Hi-
gei Tanaka...! Sudah kukatakan
pedang itu bukanlah
pedang Pusaka Kerajaan. itu
adalah pedang milik Soku
Sheba. Pedang yang membawa kisah
cinta kami yang
gagal! Pedang itu kunamakan
PEDANG ASMARA GI-
LA...!" Berkata Mitoni
Sakeda alias Fuki Zima. Seraya
sudah beranjak mendekati Higei
Tanaka. Ketika lengan
wanita itu bergerak menyibakkan
celah pakaiannya di
dada, segera tersembul sepasang
payudaranya yang
putih. Kedua benda membulat itu
bergerak-gerak keti-
ka wanita itu bergerak melangkah
kian mendekat. Se-
pasang mata Higei Tanaka jadi
berubah nyalang. Hawa
berahi yang di timbulkan dari
pedang yang sudah ter-
salurkan ilmu gaib yang hebat
itu telah merasuk ke
otaknya. Tergetar dada laki-laki
itu, tak terasa pedang
yang di genggamnya sudah
terlepas jatuh. Topi tu-
dungnya segera sudah disibakkan.
Dan... sepasang
lengannya sudah mendekap tubuh
wanita itu.
"Fuki Zima... ah, namamu
amat indah kedenga-
rannya. Aku... aku menyesal
menolakmu menjadi is-
triku, Fuki Zima...!"
Ucapnya dengan
suara-suara gemetar. Sepasang
matanya men-
gatup merasakan gesekan tubuh
Fuki Zima, yang
menggeliat dalam pelukannya.
Dan... lengan laki-laki
itu sudah menyelusup semakin
jauh. Pakaian wanita
itupun ditanggalkan helai demi
helai bersamaan den-
gan tanggalnya pakaian Higei
Tanaka yang dibenahi
lengan halus wanita itu.
"Aku amat mencintaimu Higei
Tanaka ...." Ber-
kata Fuki Zima dengan suara
berdesah. Tenggorokan
Higei Tanaka seperti kering
tersumbat. Dan... di pon-
dongnya tubuh wanita itu untuk
dibaringkan di re-
rumputan. Sekejap saja Higei
Tanaka telah seperti
orang kesurupan yang menggeluti
tubuh wanita itu
dengan hempasan-hempasan
tubuhnya.... Bergelinjan-
gan tubuh si wanita itu,
menggeliat-geliat dengan bibir
berdesahan. Sementara di hati si
wanita bernama Fuki
Zima alias Mitoni Sakeda itu
sudah membatin. Hihihi...
akhirnya kau jatuh juga di
tanganku, Higei Tanaka
yang sombong! Dan direngkuhnya
tubuh laki-laki itu
untuk melampiaskan segenap
kepuasannya.... Akan
tetapi pada saat itu tiba-tiba
terdengar sebuah benta-
kan menggeledek! Sebuah bayangan
putih berkele-
bat....
"FUKI ZIMA...! Kau
mampuslah sekarang...!"
Satu sambaran dahsyat menderu
menghantam kedua
tubuh yang tengah bergelinjangan
itu. Terperangah Hi-
gei Tanaka. Detik itu juga dia
sudah gulingkan tubuh-
nya dengan cepat dari atas tubuh
si
wanita. Bersamaan dengan itu,
terdengar suara
berderak keras.
BRRASSS...! Dan diiringi
teriakan menyayat ha-
ti, segera terlihat tubuh Fuki
Zima berhamburan isi
perutnya terkena hantaman
pukulan lengan seseo-
rang. Ketika dia melihat siapa
yang datang, ternyata
adalah seorang laki-laki tua
berkaki buntung terman-
gu-mangu menatap tubuh wanita
itu yang sudah le-
paskan nyawanya dengan seketika. Dialah SOKU
SHEBA. Belum lagi Higei Tanaka
sempat berbuat se-
suatu, lengan si kakek itu sudah
menyambar pedang
Asmara Gila yang tergeletak di
sisi tubuh Fuki Zima.
Dan sudah berkelebat melompat ke
atas sebuah batu
besar. Terdengar suara SREEK...!
Dia telah masukkan
pedang itu dalam serangkanya.
Cepat-cepat Higei Tanaka sambar
pakaiannya,
dan kenakan dengan cepat. Higei
Tanaka sendiri terke-
jut, dan baru tersadar kalau dia
telah lakukan perbua-
tan di luar kesadarannya.
***
SEBELAS
"AH, siapakah kau orang
tua...? Terima kasih!
kau telah membuat aku sadar
walaupun nyaris nya-
waku melayang!" Tanya Higei
Tanaka. Laki-laki tua
berkaki buntung sebatas lutut
itu balikkan tubuhnya,
seraya menatap pada Higei
Tanaka.
Aku SOKU SHEBA. Si penghuni
Lembah Air
Mata! Pedang ini benar seperti
kata wanita bejat itu! Ini
pedang keparat yang harus
dimusnahkan! Pedang ini
berisi ilmu gaib yang amat
dahsyat, yang telah di isi
oleh seorang wanita penyihir
yang bergelar si Iblis Naga
Merah!" Wanita ini adalah
bekas kekasihku...! kau li-
hatlah, wajahnya mengalami
perubahan...!" Berkata
Soku Sheba.
Pada saat itu telah berkelebat
dua buah bayan-
gan ke atas bukit itu, yang
perdengarkan teriakannya.
"Ibuuuu...!" Sekejap
dua sosok tubuh itu sudah
berdiri dekat tubuh wanita itu.
Akan tetapi seketika
mereka jadi terperanjat. Karena
sudah memekik heran.
"Ah...!? dia bibi
HUYIMA...!" Terperangah ke
dua gadis itu..
"Dia adalah
guruku...!" Terdengar seseorang
berkata. Dan sesosok tubuh
berkelebat lagi muncul di-
barengi sosok tubuh lainnya yang
berambut beriapan.
Kiranya Hamada yang barusan
berkata, dan Roro Cen-
til yang menyusul di belakang.
"Ah, ternyata guru ku
itu tak lain dari bibi
Huyima...!?" Terdengar lagi pemu-
da bernama Hamada itu menyambung
kata-katanya.
Sepasang matanya dapat melihat
senjata kebutan dan
cadar hitam yang selalu
dikenakan wanita itu. Kini ba-
rulah dia dapat melihat jelas
wajah gurunya, yang se-
lama ini selalu memakai cadar
penutup muka.
"Hehehehe.... pantas!
pantas dia melarangmu
untuk pergi ke Lembah Pedang.
Karena kau menolak
untuk melayani kehendaknya,
bukankah begitu Ha-
mada?" Tiba-tiba muncul
pula kakek Mitsui di tempat
itu.
Hamada cepat-cepat palingkan
wajahnya den-
gan bersemu merah. Kata-kata
kakek itu memang ti-
dak salah. Hamada pernah menolak
hasrat gurunya,
hingga dia ditugaskan ke Lembah
Air Mata untuk
mengantar nyawa. Namun beruntung
dia selama dari
jebakan maut. Akan tetapi sang
guru yang ternyata
HUYIMA itu telah menjebloskannya
ke dalam lubang
bawah tanah bersama-sama dengan
kakek Mitsui dan
Roro Centil. Disamping heran,
mereka juga merasa
ngeri melihat keadaan tubuh
wanita itu yang sudah
hancur isi perutnya, bahkan
hingga sampai sebatas
paha. Tentu saja barang
terlarang wanita itu tak keli-
hatan lagi.
Korisyima tiba-tiba menekap
mukanya, dan te-
lah menangis terisak-isak. Suzi
cepat-cepat memeluk-
nya. Akan tetapi pada saat itu
sudah terdengar suara
Hamada. "Oh. lihat.. !
Kulit muka dan tubuhnya telah
berubah semua." Tersentak
Korisyima, yang segera le-
paskan lagi tekapan lengannya
yang menutupi wajah-
nya. Bukan saja Korisyima yang
terbelalak, akan tetapi
semua yang berada di situ
belalakkan matanya mena-
tap pada tubuh wanita itu.
Ternyata kulit tubuh dan muka
wanita itu telah
berubah lagi menjadi lebih
mengerikan. Karena sudah
menjadi keriput macam kulit
nenek-nenek. Rambutnya
pun berubah memutih. Dan wajahnya mirip seorang
nenek tua yang mirip tengkorak.
Tiba-tiba dari kejauhan
terdengar derap suara
kaki-kaki kuda mendatangi.
Ternyata sepasukan
laskar Kerajaan yang dipimpin
oleh seorang panglima
Kerajaan Merak Hijau. Jelas
terlihat dari pakaiannya
dari seorang penunggang Kuda
paling depan. Sebentar
saja telah mengurung mereka dari
beberapa penjuru.
"HIGEI TANAKA...! Dan
kalian semua yang be-
rada di sini, atas perintah
Kaisar kalian ditangkap!"
Bentak Panglima Kerajaan itu.
Dialah yang bernama
Panglima SHOGUN. Tentu saja
mereka semua jadi me-
longok. Kecuali Higei Tanaka
yang sudah melompat ke
hadapan Panglima itu.
"Maaf, panglima! kalau aku
mau ditangkap ka-
rena telah membunuh Hokaido, aku
akan serahkan di-
riku...! Akan tetapi mereka
semua tak mempunyai ke-
salahan apa-apa. Mengapa harus
pula ditangkap...?"
Berkata Higei Tanaka.
"Heh! Kau bukan saja telah
membunuh Hokai-
do, Wali Kota itu, akan tetapi Juga telah
merencana-
kan pemberontakan...!"
Bentak Panglima Shogun den-
gan wajah gusar.
"Dan satu hal lagi. Kau
telah mencuri Pedang
Pusaka Kerajaan yang lenyap
ketika kau dipecat dari
jabatanmu oleh Kaisar!"
Tambah Panglima itu. Terke-
jut Higei Tanaka karena dia tak
merasa melakukan hal
itu. Akan tetapi baru dia mau
menjawab, sudah ter-
dengar suara yang menyambar
terlebih dulu disertai
bergerak mendekat seekor kuda
dengan penunggang-
nya. "Heh! manusia
busuk...! Ketahuilah! Kami telah
menggeledah markasmu di Lembah
Pedang! Dan telah
kami jumpai Pedang Pusaka
Kerajaan ini di kamar
mu!" Ternyata yang bicara
adalah seorang pemuda
berpakaian mewah yang menyandang
samurai di ping-
gang. Lengannya bergerak
menurunkan sebuah pe-
dang terbungkus kain hitam dari
punggung. Segera dia
sudah membukanya. Pemuda ini tak
lain dari HASYI
GATO si anak Wali Kota Hokaido
itu.
"Inilah Pedang Pusaka
Kerajaan yang hilang se-
lama lebih dari sepuluh tahun
itu! Pantas selama ini
Kerajaan tak mengalami
kemajuan...! Bahkan banyak
musibah terjadi...!" Sekali
lihat saja Higei Tanaka su-
dah mengetahui kalau benda itu
adalah Pedang Pusa-
ka Kerajaan, karena saat itu
juga Hatsyi Gato sudah
mencabut Pedang Pusaka itu. dan
terlihatlah gambar
ukiran seekor burung Merak yang
tampak seperti me-
nyala terkena sinar bulan.
Dengan mendengus Hatsyi Gato
segera masuk-
kan lagi pedang itu ke dalam serangka. Dan cepat
membuntalnya.
"Higei Tanaka! Kau lihat
lambang tanda keka-
saran di tanganku ini?
Bersujudlah untuk kami ring-
kus!" Berkata demikian
Panglima Shogun keluarkan
sebuah medali berukiran Merak
terbuat dari emas
yang bertatahkan permata warna
merah dan hijau.
Lambang itu adalah lambang
Kekaisaran. Siapa yang
memegang benda itu berarti telah
menjadi wakil kai-
sar. Dan berhak menangkap siapa
saja. Terperangah
seketika Higei Tanaka. Akan
tetapi Higei Tanaka tak
mau bersujud. Bahkan bertolak
pinggang dengan wa-
jah menampilkan kemarahan.
"Panglima! Kalau aku
bersalah, aku rela di-
tangkap. Akan tetapi kesalahanku
cuma membunuh
seorang penguasa yang telah
menyelundupkan harta
kekayaan Kerajaan! Apakah aku
dapat dipersalahkan?
Dan aku sama sekali, tak pernah
menyimpan benda
Kerajaan apa pun di Pasanggrahan
Lembah Pedang...!"
Apakah kau mau mungkir dengan
bukti di tan-
gan kami?!" Membentak si
Panglima dengan menggele-
dek. Dan hampir melejit sepasang
mata Hatsyi Gato
mendengar kata-kata Higei
Tanaka. Karena ayahnya
dianggap penyelundup harta
kekayaan Kerajaan. Na-
mun hatinya sudah tersentak
kaget. Hah!? dari mana
dia mengetahui...? Ternyata
bukan saja Hatsyi Gato
yang terkejut, akan tetapi wajah
si Panglima Shogun
itupun seketika pucat. Namun
cepat nutupi dengan
membentak menggeledek.
HIGEI TANAKA...! kau berani
melawan perintah
Kaisar...?" Dan lengannya
sudah terangkat ke atas,
serta memberi perintah pada laskarnya.
"Pengawal...! tangkap
manusia pemberontak
ini...!" Sekejap beberapa
belas pengawal sudah melom-
pat dari punggung kuda dengan
tombak dan pedang
terhunus mengurung Higei Tanaka.
Akan tetapi pada saat itu
terdengar suara ben-
takan keras dari arah belakang
Panglima Shogun.
"Tunggu...!" Seekor
kuda dilarikan dengan cepat, me-
nyeruak dari belakang laskar.
Ternyata yang datang
adalah Kaisar KOTSYI NAGOYA.
Bukan main terperan-
jatnya Panglima Shogun dan
Hatsyi Gato. Seketika wa-
jah mereka jadi pucat. Ternyata
Kaisar Hatsyi Gato te-
lah menyaru menjadi salah
seorang laskar yang men-
gikut di belakang Panglima
Shogun. Tentu saja dengan
membawa lebih dari sepuluh
perwira Kerajaan pen-
gawal pribadinya, yang juga
menyaru menjadi para
laskar golongan prajurit.
"Hm, Panglima Shogun...!
kau takkan dapat
menutupi lagi belang mu! Kau telah berkomplot den-
gan Hokaido untuk berbuat
kejahatan! Aku sudah
menggrebek tempat rahasia
penyimpanan harta ke-
kayaan Kerajaan selundupan mu!
Dan kau Hatsyi Ga-
to! Perbuatanmu di luaran telah
membuat malu orang-
orang Kerajaan! Ayahmu si
Hokaido itu pantas mati,
karena pedang Pusaka Kerajaan
itu dialah yang men-
curinya! Kalian diam-diam telah
merencanakan pem-
berontakan menggulingkan
Kekuasaanku sebagai Kai-
sar Kerajaan Merak Hijau!
Lemparkan lambang palsu-
mu yang tak berguna
itu...!" Berkata Kaisar Kotsyi Na-
goya.
Serentak belasan pengawal yang
mengurung
Higei Tanaka jatuhkan diri
berlutut di hadapan Kaisar.
Begitu juga para laskar lainnya
yang berada di bela-
kang panglima Shogun. Serentak
melompat dari kuda,
dan berlutut tundukkan kepala.
Sebelas orang pen-
gawal pribadi Kaisar segera
bangkit setelah mendengar
perintah dari Kaisarnya.
"Pengawal pribadiku...!
kalian ringkuslah kedua
orang pengkhianat ini...!"
Pucat piaslah wajah Pangli-
ma Shogun dan Hatsyi Gato. Namun
kedua orang ini
telah keprak kudanya, yang
segera mencongklang ka-
bur.
"Tangkap mereka hidup atau
mati!" Teriak Kai-
sar memberi perintah. Keadaan
pun berubah panik.
Suara ringkik kuda hiruk pikuk
berbaur dengan teria-
kan-teriakan para pengawal yang
mengejar kedua
pemberontak itu. Di luar dugaan
dua orang pengawal
telah mendekati Kaisar. Dua buah
samurai telah me-
luncur deras ke arah leher
laki-laki Pemimpin Kerajaan
itu. Akan tetapi pada saat itu
telah berkelebat sebuah
bayangan merah, dan...
TRANG...! BUK! BUK...! Kedua
pedang samurai
itu telah terlempar ke udara
diiringi jerit kesakitan,
dan robohnya kedua pengawal
gadungan itu terjeng-
kang dari atas kuda.
Terkejut Kaisar Kotsyi Nagoya.
Segera di men-
getahui nyawanya barusan saja
bakal melayang kalau
tak ada yang menolong
menyelamatkannya. Ternyata
RORO CENTIL telah bertindak
cepat menghantam ter-
jangan kedua pedang samurai yang
mengarah mene-
bas leher Kaisar, dengan senjata
Rantai Genitnya.
Berbareng dengan menghantam
kedua dada
pengawal gadungan itu dengan
tendangan kaki dan
hantaman tinjunya. Untung
hantaman itu tak begitu
keras. Cuma membuat mereka
rasakan dadanya men-
jadi sesak. Akan tetapi
tahu-tahu sepasang lengan ga-
dis Pendekar Pantai Selatan itu
telah mencengkeram
tengkuk mereka. Dan diseret ke
hadapan Kaisar. Bebe-
rapa pengawal Pribadi Kaisar
cuma menatap dengan
tertegun.
"Silahkan Kaisar beri
hukuman pada dua orang
pengawal gadungan ini!"
Berkata Roro seraya menjura.
Di samping terkejut, sang Kaisar
ini juga bergi-
rang karena nyawanya telah
selamat. Terkejut karena
yang menolong menyelamatkan
nyawanya adalah seo-
rang gadis asing yang baru
sekali ini dilihatnya.
"Siapakah namamu gadis
asing...? Ah, terima
kasih atas bantuan mu!"
"Namaku RORO
CENTIL..."
"Dialah yang bergelar si
Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan, Tuanku
Kaisar!" yang namanya terkenal di
seantero Pulau Jawa. Bahkan
sampai ke Pulau Anda-
las ...!" Tiba-tiba
terdengar satu suara dari kejauhan,
yang kemudian berkelebat muncul
seorang wanita be-
rusia cukup tua. Sikapnya gagah.
Mencekal sebuah
tongkat berkepala naga berwarna
merah.
Terkejut Roro Centil melihat
wanita ini. Karena
justru wanita inilah yang tengah
dicarinya. Yaitu wani-
ta yang berdiam di lereng Gunung
BUKKYO. Sepasang
mata wanita inipun membersit
tajam menatap Roro.
Tiba-tiba dia telah kirimkan
suara jarak jauh yang me-
nyelusup ke telinga Roro.
"Hihihi... kau wanita
pendekar yang hebat, Roro
Centil! Berani mengarungi lautan
untuk menerima tan-
tanganku...! Kutunggu kau di
Lembah Air Mata!" Akan
tetapi pada saat itu Soku Sheba
telah perdengarkan
bentakannya.
"IBLIS NAGA MERAH...! aku
akan adu jiwa
denganmu ..." Dan tubuh
kakek buntung itu telah me-
lompat dari atas batu.
WHUUKKK...! Sebelah lengannya
telah meng-
hantam. Akan tetapi dengan
perdengarkan suara din-
gin si wanita itu telah melesat
melambung tinggi dan
berjumpalitan di udara.
Hebat...! Memuji Roro dalam
hati. Kalau bukan
orang yang mempunyai ilmu
meringankan tubuh yang
sudah sangat sempurna, tak
mungkin dapat melaku-
kan itu. Karena ujung kaki si
wanita itu tak membuat
bergoyangnya daun sedikitpun.
"Hihihi... hik hik hik...!
SOKU SHEBA...! kau te-
lah membunuh muridku, si Fuki
Zima itu! Seharusnya
aku mencabut nyawamu saat ini
juga! Akan tetapi tak
apalah, aku kasihan padamu yang
sudah terlalu men-
derita...! Aku masih punya
urusan dengan si wanita
asing Pendekar Wanita Pantai
Selatan itu! aku tak da-
pat melayanimu...!" Setelah
berkata demikian, tubuh
wanita itupun berkelebat
lenyap. Akan tetapi Soku
Sheba telah melesat untuk
mengejarnya...
Melihat demikian Roro Centil pun
cepat-cepat
menjura pada Kaisar.
"Maaf, Kaisar...! Akupun
harus pergi".
Belum sempat Kaisar mencegahnya,
tubuh Ro-
ro Centil sudah berkelebat,
lenyap menyusul Soku
Sheba. Tercenung sang Kaisar
ini, akan tetapi dia su-
dah palingkan kepalanya menatap
kedua pengawal ga-
dungan itu. Ternyata kedua
pengawal itu telah tak da-
pat gerakkan tubuhnya lagi,
karena Roro Centil telah
menotoknya. Dengan menggeram
gusar Kaisar Kotsyi
Nagoya cabut pedang samurainya.
Dua kali lengannya bergerak
menabas.
Kepalanya menggelinding lepas dari
tubuhnya...
-------ooOoo-------
Panglima Shogun tak dapat
berlari jauh, karena
sekejap dia sudah terkepung oleh
barisan Ninja anak
buah Higei Tanaka. Hingga para
perwira Kerajaan itu
dapat menyusulnya. Karena merasa
tak dapat melo-
loskan diri lagi. Panglima
Shogun telah gunakan pe-
dang samurainya untuk membunuh
diri...
Sementara itu Kotsyi Nagoya
telah didapat ter-
susul oleh si Setan Tanah, Higei
Tanaka. Pertarungan
pun segera terjadi. Akan tetapi
mana Kotsyi Nagoya
mampu menandingi kepandaian
Higei Tanaka. Tak la-
ma pemuda hidung belang itu
sudah perdengarkan je-
ritan mautnya. Tubuhnya tembus
terpanggang tongkat
baja hitam laki-laki bekas
panglima Kerajaan itu.
Kaisar Kotsyi Nagoya amat
bersuka cita atas
bantuan Kotsyi Nagoya, yang
telah serahkan pedang
Pusaka Kerajaan Merak Hijau
padanya. Sementara Hi-
gei Tanaka hampir saja membenci
pihak Kerajaan, ka-
rena ulah si Wali Kota HOKAIDO
yang pernah mence-
gatnya dengan mempergunakan
pengawal Kerajaan
untuk membunuhnya.
"Terima kasih Kotsyi
Nagoya! Segeralah datang
ke Istana! Sudah selayaknya kau
menerima jabatanmu
kembali...! Selama ini aku telah
terkecoh karena kela-
laian ku! Hingga si Hokaido dan
Panglima Shogun itu
nyaris menggulingkan kekuasaanku
sebagai Kaisar...!"
Berkata Kaisar.
Kotsyi Nagoya menekuk lutut di
hadapan Kai-
sar dengan membungkuk beberapa
kali.
"Terima kasih, Paduka
Kaisar..!" Ucap Higei Ta-
naka dengan air mata berlinang
karena terharu dan
bahagianya.
Tak berapa lama pasukan Kerajaan
sudah me-
ninggalkan bukit di atas Lembah
Air Mata itu dengan
bergemuruh. Diiringi dengan
pasukan Nina Hijau yang
telah membawa kemenangan
gemilang. HIGEI TANAKA
berada di tengah-tengah anak
buahnya.... Kemanakah
gerangan Korisyima, Suzi dan
pemuda bernama Ha-
mada itu?
Ternyata mereka berada d barisan
depan, di
samping Kaisar Kotsyi Nagoya
dengan masing-masing
mengendarai kuda.
***
DUA BELAS
RORO CENTIL yang memiliki ilmu
lari cepat
yang amat luar biasa itu sudah
dapat bayangan tubuh
Soku Sheba. Bahkan di hadapan si
kakek kaki bun-
tung yang melompat-lompat
pergunakan sebelah len-
gannya itu telah kelihatan tubuh
si wanita bergelar IB-
LIS NAGA MERAH...
Ternyata di tempat yang terbuka
itu si Iblis Na-
ga Merah hentikan gerakan
larinya. Agaknya dia me-
mang mencari tempat yang baik
untuk bertanding ilmu
dengan Roro Centil. Tentu saja
dia sudah mengetahui
kalau si kakek Soku Sheba itu
memburunya. Sesaat
laki-laki kaki buntung itu sudah
tiba di hadapannya.
Tampak di sebelah lengan Soku
Sheba masih tergeng-
gam Pedang Asmara Gila.
"Hihi... Soku Sheba! Apakah
kau manusia yang
tak dapat dikasihani? Kau
mengejarku cuma mengan-
tar nyawa saja!" Ucapnya
dengan suara dingin.
"Iblis keparat...! Dengan
ilmu gaib yang kau isi
dalam pedang Pusakaku ini,
secara langsung kaulah si
penyebab kematian anak gadisku
YURIKO!" Bentak
Soku Sheba dengan menggeram
beringas.
Saat itu Roro Centil sudah tiba
pula di tempat
itu. Kakek Soku Sheba, biarlah
kau wakilkan aku un-
tuk menghajarnya ..!"
Berkata Roro Centil yang berada
di belakang Soku Sheba.
Laki-laki kaki buntung ini
tanpa menoleh, luncurkan
kata-kata.
"Ada permusuhan apakah kau
dengannya, ga-
dis asing...?"
"Hihihi... seorang Pendekar
kalau ditantang
bertarung, walaupun yang
menantangnya berada di
ujung langit harus
dipenuhi!" Berkata Roro.
"Nah! Kedatanganku adalah
menemuinya un-
tuk menerima tantangannya!"
Melengak Soku Sheba.
Namun hatinya diam-diam memuji
akan kejantanan si
gadis asing itu. Pada saat itu
sesosok tubuh telah pula
berkelebat ke tempat itu.
Ternyata kakek Matsui.
"Nona Roro Centil! Jadi
diakah yang kau kata-
kan "sahabat"mu
itu...?" Bertanya kakek Matsui. Roro
Centil palingkan wajahnya seraya
berkata.
"Benar kakek Matsui! Aku
tak tahu apakah aku
harus terkubur di Lembah Air
Mata ini, kelak! Tapi ku
mohon padamu pada permintaan
terakhir ku, sudikah
kau mengabulkannya...?"
Berkata Roro dengan laku-
kan pertanyaan aneh. Karena
belum apa-apa sudah
mau pesan kata-kata.
"Pasti aku kabulkan, Nona
Pendekar Roro!" Sa-
hut Kakek Matsui, dengan hati
kebat-kebit juga. Kha-
watir kalau benar-benar si gadis
asing yang pernah
menolongnya dari lubang bawah
tanah itu tewas dalam
pertarungan.
"Bagus! Tolong kau pinjam
seruling si kakek
Soku Sheba ini, dan kau tiupkan
seruling mu di atas
Kuburan ku sambil menangis
selama 100 tahun!" Ujar
Roro. "Ah...!? usiaku saja
mungkin tinggal beberapa
tahun lagi. Mana mungkin hal itu
kulakukan?" Tukas
si kakek Mitsui dengan tertawa
mengakak terkekeh-
kekeh...
Akan tetapi pada saat itu si
Iblis Naga Merah
telah membentak dengan suara
dingin. "RORO CEN-
TIL...! Kata-katamu membuat
kepalaku menjadi besar,
akan tetapi mengecilkan jantungku!
Kau telah lakukan
hinaan yang teramat besar
padaku!" Roro Centil kre-
nyitkan keningnya.
"Hihihi... aku berkata apa adanya!
Itulah adat orang Jawa! Aku
merendahkan diri bukan
dengan maksud menghinamu!"
Sahut Roro Centil den-
gan tersenyum jumawa.
Akan tetap si Iblis Naga Merah
telah perdengar-
kan tertawa sinis disertai
bentakan keras. "Baik! Se-
saat lagi kau benar-benar akan
terkubur di Lembah
ini! Tak seekor semutpun
menangisi kematianmu! Ka-
rena setelah kau mampus, kedua
kambing-kambing
tua itupun akan menyusul
kepergianmu ke Akhirat...!"
Selesai berkata wanita itu
gerakkan tongkat
berkepala Naga Merah itu memutar
cepat. Segera sege-
lombang angin bergulung-gulung
membersit menerjang
ke arah Roro. Soku Sheba cepat
menyingkir. Mau tak
mau dia harus mengalah untuk
menyaksikan perta-
rungan maut itu.
Roro Centil bentangkan lengannya
ke depan
menyalurkan tenaga dahsyat untuk
menghantam ge-
lombang angin yang menerpanya.
Inilah satu jurus da-
ri Pantai Selatan yang dinamakan
Taufan Melanda Ka-
rang. Hebat akibatnya. Serangkum
angin dahsyat telah
menerjang gulungan angin yang
menggebu itu.
WHUSSSSSS...!
PRRAAASSSSS" KRRRAK...!
BHUMMM...!
Si Iblis Naga Merah perdengarkan
teriakan ter-
tahan kekuatan gelombang
anginnya tak mampu me-
nahan terjangan dahsyat itu.
Tubuhnya terlempar wa-
lau dia sudah melompat setinggi
dua puluh tombak.
Sementara dengan deras,
rangkuman angin
pukulan Roro terus meluncur
menerabas apa yang
menghalangi di belakang wanita
itu. Tiga bongkah batu
besar terungkit lepas berbareng
dengan berderaknya
beberapa batang pohon besar yang
tercabut jebol
akarnya. Bagaikan diseret oleh
tangan raksasa batu
dan pohon itu meluncur
menghantam bukit dengan
perdengarkan suara berdebum.
Batang-batang pohon
itu hancur beserpihan berikut
bongkah-bongkah batu
besar itu, yang beradu dengan
bukit di belakangnya.
Saat itu terdengar suara
lengkingan yang ba-
gaikan membelah langit. Tubuh
Roro Centil melesat
dua puluh tombak ke udara,
menyusul tubuh si iblis
Naga Merah. Sekejap tubuh Roro
Centil telah berada di
atas tubuh si Iblis Naga Merah
yang dalam keadaan
terperangah itu. Roro Centil tak
berlaku ayal. Sekali
lagi dia pertunjukkan kehebatan
pukulan TAUFAN
MELANDA KARANG. Kedua lengannya
telah bergerak
menghantam. "WHUUUUKK...!
DHESS! Terdengar jeri-
tan menyayat hati yang cuma
sekejap. Karena tubuh si
Iblis Naga Merah telah meluncur
bagaikan disentakkan
tangan raksasa untuk segera
amblas ke dasar bumi...!
BLASH! Sekejap saja lenyaplah
tubuh wanita
jagoan Negeri Sakura itu. Roro
Centil melayang ringan,
dan jejakkan kaki di sisi lubang
bekas amblasnya tu-
buh lawan tarungnya. Dan
terdengar suara helaan na-
fas wanita Pendekar ini yang
pejamkan mata untuk
mengatur pernafasannya kembali.
Tampak asap tipis bagaikan kabut
mengepul
dari lengan dan ubun-ubun si
Pendekar Perkasa Pan-
tai Selatan.
Tak berapa lama asap kabut itu
semakin meni-
pis, kemudian berangsur lenyap.
Perlahan dia sudah
membuka sepasang matanya.
Ternyata di hadapan Ro-
ro telah tegak berdiri dua sosok
tubuh yang menatap-
nya dengan terperangah. Dialah
Soku Sheba dan si
Kakek Matsui.
"Ah...! Hebat! hebat...!
Luar biasa...!" Beberapa
kali keluar suara pujian dari
mulut si kakek jangkung
itu. Sementara itu Soku Sheba
telah luncurkan kata-
kata dengan suara terharu
bercampur girang. Karena
ketika berbareng dengan
amblasnya tubuh si Iblis Na-
ga Merah, Pedang Asmara Gila
mendadak musnah,
hancur menjadi debu!
"Terima kasih, nona
Pendekar...! kau telah me-
nolongku memusnahkan Pedang
keparat yang telah
menghancurkan hidupku
itu...!"
Segera Soku Sheba perlihatkan
sisa debu dari
Pedang Asmara Gila di lengannya.
Dan sedikit mence-
ritakan riwayat pedang itu pada
Roro Centil. Terman-
gu-mangu gadis pendekar itu
dengan bergidik ngeri.
Kakek Matsui pun
menggeleng-gelengkan kepalanya
dengan menarik napas lega.
Hatinya membatin. Aih,
beruntung aku tak mengalami hal
seperti si Soku She-
ba. Kalau pedang itu tanpa
sengaja aku yang memiliki
dan terkena hawa gaib yang
menimbulkan berahi itu....
Wah, wah.... Apakah yang bakal
terjadi? Tak tahulah
aku! Tak seorang pun mengetahui
kalau sebenarnya si
Kakek Matsui itu adalah seorang
..... BANCI laki-laki.
-------ooOoo-------
Langit nampak cerah di permulaan
musim semi
itu. Bunga-bunga Sakura
bermekaran di mana-mana.
Mengorak senyum menampakkan
kesuciannya bagai-
kan seorang gadis yang masih
putih bersih belum per-
nah terjamah laki-laki.
RORO CENTIL tinggalkan Istana
Kerajaan Me-
rak Hijau dengan meninggalkan
kesan yang amat
mendalam di hati Kaisar juga
penduduk negri Mataha-
ri Terbit itu. Dara Perkasa
Pantai Selatan ini langkah-
kan kakinya menuju ke arah
pantai... Angin laut
membersit menyibakkan rambutnya
yang terurai.
Dan pada bibir gadis rupawan
yang mungil itu,
tampak secercah senyum.
"Nona Roro... !"
Sesosok tubuh telah berlari-lari
mengejarnya. Ternyata Hamada. Si
Pemuda Ninja yang
tampan itu.
"Selamat jalan, nona
Pendekar...! Ah, mengapa
begitu cepat kita
berpisah...?" Berkata Hamada dengan
suara serak parau. Hatinya telah
terpaut pada gadis
tanah Jawa yang gagah itu.
"Aih, Hamada...! Kalau
Tuhan mentakdirkan ki-
ta dapat bertemu lagi, mungkin
setelah kau punya
sembilan cucu, kita bisa bertemu
lagi...!" Ujar Roro
Centil dengan tersenyum, dan
kerlingkan matanya.
"Eh, yang manakah yang akan
kau pilih di an-
tara kedua gadis itu? KORISYIMA
ATAU SUZI...?" Ber-
tanya Roro Centil.
"Ah... ah... entahlah!
aku... aku..." Hamada jadi
tergagap dengan wajah bersemu
merah.
"Hihihi... kalau aku jadi
kau, akan ku pilih dua-
duanya! Ucap Roro.
"Dua-duanya...?"
terperangah Hamada.
Akan tetapi Roro Centil telah
berkelebat pergi.
Sekejap saja telah berada di
kejauhan. Tampak oleh
Hamada wanita Pendekar itu
balikkan tubuhnya. Len-
gannya menggapai, dan terdengar
suaranya sayup-
sayup ke telinga Hamada.
"Nah, selamat tinggal Ninja
yang gagah...! Sam-
paikan salamku pada kedua
gadismu...!
Sesaat antaranya tubuh wanita
Pendekar Pan-
tai Selatan itupun melesat lagi.
Dan lenyap di ujung ti-
tik pandangan...
Hamada gapaikan lengannya sampai
bayangan
tubuh Roro Centil tak terlihat
lagi. Seakan-akan masih
terngiang di telinganya
kata-kata wanita Pendekar
yang dikagumi itu.
"Hihihi... kalau aku jadi
kau, akan ku pilih dua-
duanya!"
Apakah Hamada akan menjadikan
kedua gadis
manis itu istrinya? Entahlah...!
Yang jelas laki-laki itu
sudah langkahkan kakinya untuk
kembali ke Istana
Merak Hijau. Di kejauhan masih
terdengar lapat-lapat
suara helaan nafasnya.....
TAMAT
Emoticon