SATU
“YUURIKO......!
YURIKOOO.....!" teriakan itu
terdengar santar hingga
berkumandang ke seluruh
lembah.
Tampak seorang gadis berlari
dengan terisak
menangis dan tubuh terhuyung
tanpa perdulikan
panggilan terhadapnya.
Keadaan pakaiannya tak keruan
lagi, yang su-
dah sobek di sana-sini dan
menyingkap di beberapa
bagian tubuhnya. Rambutnya kusut
masai beruraian
dan wajahnya tampak pucat pasi.
"Yurikoooo ....!" Kembali
suara itu terdengar di
belakangnya. Gadis ini telah
berada di sisi samping
bukit. Di hadapannya adalah
lereng bukit yang terjal.
Sesaat dia berpaling ke
belakang, lalu menengadah
menatap ke atas bukit. Tampak
wajahnya berubah te-
gang. Dan dia sudah gigit
bibirnya menahan isak yang
tersendat di kerongkongan.
Kemudian dengan cepat
gadis ini sudah merayap ke atas
lereng bukit terjal itu.
Lengannya menggapai dan
mencengkeram akar-akar
pohon. Lalu mendaki terus untuk
cepat tiba di atas.
Sementara di dasar lembah,
sesosok tubuh laki-laki
berteriak-teriak memanggil nama
gadis itu dengan ber-
lari ke sana ke mari di antara
semak dan pepohonan.
Ternyata dia seorang laki-laki
berwajah penuh brewok,
bercambang bauk lebat. Rambutnya
tergelung di atas
yang tertutup sehelai kain
sutera berwarna kuning.
Usianya berkisar sekitar 50
tahun. Dia bernama SOKU
SHEBA yang mendiami dasar lembah
itu.
Sebuah pedang SAMURAI tampak di
pinggang-
nya. Laki-laki ini jelalatkan
sepasang matanya ke se-
tiap tempat, mencari-cari
kalau-kalau terlihat bayan-
gan tubuh gadis bernama Yuriko
itu. Setiap semak di
sibakkannya, bahkan di balik
bongkah-bongkah batu
besar. Akan tetapi tak dijumpai
gadis itu sembunyi di
sana. Kembali dia berkelebatan
mencari-cari sambil
berteriak-teriak memanggil nama
sang gadis.
Tiba-tiba terdengar sayup-sayup
suara yang
berkumandang sampai ke
telinganya. Suara yang ter-
dengar bercampur isak
menyedihkan. Itulah suara Yu-
riko, yang seperti tengah
berdo'a. Apakah yang dilihat-
nya? Gadis itu berada di atas
bukit terjal. Pada lamp-
ing batu bukit yang paling sisi
sekali. Hah! Apa yang
akan dilakukannya...? Sentak
hati laki-laki brewok ini
yang sudah dapat melihat di mana
adanya gadis itu.
"YURIKOOO...! Jangan kau
lakukan itu! sadar-
lah anakku...! kasihanilah
ayahmu! Maafkanlah aku...!
ampunilah kekhilapan ku...!" Teriak laki-laki ini den-
gan suara parau mengandung isak.
Tampak setitik air
bening telah menitik turun ke
pipinya.
Akan tetapi sudah terlambat...
Gadis itu sudah
terjunkan diri ke dasar lembah.
Tubuhnya melayang
ke bawah dengan derasnya
diiringi jerit me-
nyayat hati. Tersentak jantung
laki-laki ini, dia sudah
berlari dengan cepat untuk
memburunya. Akan tetapi
sudah terdengar suara tubuh yang
jatuh ke dasar lem-
bah. Laki-laki ini berlari
mengejar menerjang semak,
menerobos ranting yang
menghalangi jalan.
Dan tak berapa lama sudah
terpampang di ha-
dapannya sebuah pemandangan yang
menggiriskan
hati. Gadis itu terkapar dengan
keadaan tubuh remuk
berlumuran darah di atas batu di
dasar lembah....
"YURIKOOOO....!"
Jeritnya dengan suara parau.
Sekejap dia sudah melompat untuk
memburu ke arah
tubuh gadis itu. Tak lama sudah
memeluki tubuh yang
sudah tak bernyawa itu dengan
menangis terisak-isak
bagai anak kecil.
Laki-laki brewok itu cucurkan
air mata yang
mengalir tiada henti. Sementara
angin keras member-
sit dari arah bukit. Bunga-bunga
Sakura yang berwar-
na seputih salju itu berjatuhan
meluruk ke tanah. Se-
perti juga air mata laki-laki
brewok itu yang turun de-
ras membasahi pipinya.
-------ooOoo-------
Sejak kejadian itu dari arah
lembah sering ter-
dengar suara tiupan seruling,
yang mengalun dengan
nada-nada yang memilukan hati.
Ternyata ditiup oleh
si laki-laki brewok bernama Soku
Sheba itu. Akan te-
tapi laki-laki itu sudah tidak
brewok lagi. Kumis dan
jenggotnya yang lebat hitam
sudah tercukur bersih.
Bahkan rambutnya sudah lenyap.
Karena dia sudah
menjadi seorang paderi yang
berkepala gundul plon-
tos....
Dan sejak sepuluh tahun kemudian
lembah itu
sudah dikenal orang dengan nama
LEMBAH AIR MA-
TA.
Bangunan rumah tua di dasar
lembah itu ma-
sih berdiri tegak, walaupun
tembok-temboknya sudah
rapuh dan penuh lumut. Bila
setiap malam bulan pur-
nama akan terlihat seorang
laki-laki tua berkepala
gundul, tengah meniup
serulingnya. Kumis dan jeng-
gotnya tampak panjang terjuntai
memutih.
Duduk di atas sebongkah batu
besar di depan
rumah tua itu. Dialah Soku
Sheba. Suara serulingnya
mengalunkan nada-nada sedih memilukan hati, yang
menggugah perasaan bagi setiap
orang yang menden-
garnya.
Suatu malan purnama, ketika dia
tengah asyik
mengalunkan suara serulingnya,
sesosok tubuh telah
berkelebat memasuki halaman
rumah tua itu. Gera-
kannya lincah sekali tak
menimbulkan suara. Wajah-
nya hampir tak terlihat, karena
tertutup dengan kain
topeng warna hitam. Demikian
juga pakaiannya. Cuma
sepasang matanya saja yang
terlihat terbuka. Dan
mempunyai sorot mata tajam.
Tampak dilihatnya Soku
Sheba duduk di atas batu.
Membelakangi rumah tua
yang mempunyai halaman luas,
dikelilingi rapat oleh
belukar dan pepohonan.
Ternyata penyelundup yang
menyatroni rumah
tua di dasar lembah itu
bertambah dua orang lagi,
yang telah berkelebat muncul
dari balik semak. Orang
yang pertama muncul tadi segera
memberi isyarat agar
berhati-hati. Rencana untuk
memasuki rumah tua se-
cara sembunyi itu memang telah
diatur terlebih dulu.
Yaitu salah seorang berjaga-jaga
mengawasi si kakek
peniup seruling. Sementara dua
orang lagi segera me-
nyelinap ke belakang rumah tua.
Akan tetapi tiba-tiba
terdengar teriakan menyayat
hati. Baru saja dua sosok
tubuh kawannya itu jejakkan kaki
ke batu undakan di
belakang rumah tua itu, justru
kaki-kaki mereka me-
nyentuh kawat-kawat halus yang
terpasang di sana.
Entah dari mana munculnya,
tahu-tahu puluhan anak
panah telah meluruk deras ke
arah mereka yang da-
tang dari tiga penjuru.
Tak ampun lagi kedua tubuh
penyelundup itu
sudah terpanggang oleh belasan
anak panah. Dan ro-
boh berkelojotan. Sekejap
kemudian mereka tewas se-
ketika.
Terkejut si penyelundup berjaga
di luar. Dili-
hatnya si kakek jubah putih
peniup suling itu sudah
hentikan tiupan serulingnya. Tak
ayal lagi dia segera
melompat cepat, dan lenyap di
balik pepohonan rim-
bun. Tampak Soku Sheba kerutkan
keningnya. Alisnya
yang putih itu bergerak menyatu.
Sepasang matanya
masih terpejam, akan tetapi pada
pipinya masih me-
nampakkan bekas-bekas air mata
yang mengalir tu-
run.
"Heh!? NINJA-NINJA keparat
dari mana lagi
yang datang menyatroni ke
tempatku yang tenang
ini...?" Gumamnya.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak
melesat dari atas
batu. Ah! Kiranya sepasang kaki
kakek itu buntung
sebatas lutut, akan tetapi
dengan menekan sebelah
lengannya ke batu tempat
duduknya, tubuhnya sudah
melesat seperti terbang....
Meluncur cepat bagaikan bayangan
hantu pu-
tih. Sekejap saja sudah melewati
rimbunnya puncak
pepohonan yang memagari sekitar
rumah tua.
"Berhenti...!" Satu
bentakan keras sudah ber-
kumandang di dalam lembah.
Mencabik keheningan
malam yang mencekam itu.
Tahu-tahu tubuhnya sudah berada
di hadapan
laki-laki baju hitam bertopeng
yang mau melarikan di-
ri. Sepasang mata laki-laki di
balik topeng itu terbela-
lak. Akan tetapi lengannya sudah
bergerak cepat me-
lemparkan sebuah benda yang
dibantingkan ke tanah.
Dan... BHUSSSS...! Asap putih
bergumpalan menye-
bar. Bersamaan dengan lenyapnya
asap itu, tubuh si
laki-laki topeng hitam itupun
melenyap tak berbekas.
"Kurang Ajar...!"
Memaki Soku Sheba. Dan tu-
buhnya pun berkelebatan mencari
jejak si penyelun-
dup yang melarikan diri itu.
Akan tetapi tak lagi di
jumpainya. Sekejap kemudian dia
sudah melesat lagi
ke arah batu tempat duduknya di
depan rumah tua.
Agak lama Soku Sheba termangu
tak bergem-
ing. Namun sesaat antaranya,
lengannya sudah berge-
rak menempelkan lagi serulingnya
ke atas bibir.
Tak lama segera terdengar suara
seruling yang
di tiupnya, mengalunkan
nada-nada sedih yang meng-
hanyutkan perasaan...
Suasana sekitar rumah tua itu
kembali sunyi
seperti tadi. Sementara rembulan
semakin merayap di
balik awan dan mega. Cuma suara
seruling bernada
sedih itulah yang terdengar,
seperti memadu dengan
irama jengkerik dan
binatang-binatang malam.
Kita ikuti ke mana perginya
Ninja yang berhasil
melarikan diri itu. Ternyata dia
sudah berada jauh di
atas lembah. Dan dengan sebat
telah berkelebat cepat
menuju ke arah utara.
Sesaat dia telah menahan langkahnya.
Sayup-
sayup telinganya sudah mendengar
lagi irama seruling
bernada sedih dari dasar lembah.
Laki-laki Ninja ini
perdengarkan suara menghela
napas. Lalu kembali
berkelebat ke arah utara.
Sekejap sudah melenyap di balik
bukit....
***
DUA
"GURU...! Hamba gagal
menjalankan tugas".
Dua orang kawan yang menyertai
hamba telah tewas!
Ternyata di sekeliling rumah tua
di Lembah Air Mata
itu telah dipasangi
perangkap...!"
Berkata laki-laki ini di hadapan
seorang wanita
yang duduk di atas tikar
permadani. Wajahnya tak ter-
lihat seluruhnya, karena memakai
penutup wajah dari
kain tipis dari sutera warna
hitam. Cuma sepasang
matanya saja yang mempunyai
sinar tajam membersit
menatap pada laki-laki di
hadapannya. Sinar mata
yang seperti bersinar aneh.
Karena seperti mengan-
dung kebencian dan kekecewaan
mendalam terhadap
sang murid. Pakaiannya terbuat
dari bahan kain sute-
ra berkembang-kembang warna
ungu. Sesuai dengan
tradisi pakaian rakyat JEPANG
pada saat itu, adalah
memakai pakaian Kimono yang
punya ciri khas ter-
sendiri.
"HAMADA...! Kau dengarlah!
Aku tak mau
mendengar kegagalan itu! Yang
kuharapkan adalah
hasilnya! Kalau kau cuma pulang
untuk melaporkan
kegagalan saja, mengapa kau
tidak mampus saja seka-
lian di sana?" Bentak
wanita itu dengan suara dingin.
Sebuah lengannya bergerak meraih
sebuah ke-
butan yang terbuat dari buntut
kuda dengan gagang
dari emas yang berkilauan.
Sesaat dia sudah bangkit
berdiri, Lalu ucapnya lagi.
"Aku telah beri waktu padamu
selama tiga pe-
kan! Kalau kau tak berhasil
mendapatkan PEDANG
itu! Nah, silahkan membunuh
diri! Berarti kau tak pa-
tut menyandang gelar
NINJA!"
Setelah berucap demikian, wanita
itupun be-
ranjak masuk ke kamarnya.
Tercenung laki-laki ber-
nama Hamada ini. Dia sudah tak
mengenakan topeng
lagi pada wajahnya. Kini
terlihatlah wajahnya. Ternya-
ta dia seorang pemuda yang
tampan. Beralis tebal.
Bermata agak sipit mirip mata
burung elang.
Tak lama dia sudah keluar dari
ruangan ge-
dung itu dengan kepala menunduk.
Lalu menutup lagi
pintu ruangan. Dua orang penjaga
segera memberinya
jalan untuk lewat. Hamada
menuruni tangga undakan
batu yang memanjanq. melintas di
tengah kolam. Sete-
lah melewati dua orang penjaga
lagi segera telah bera-
da di luar halaman gedung.
"Aku telah memberi waktu
padamu selama tiga
pekan! Kalau kau tak berhasil
mendapatkan pedang
itu! Silahkan kau membunuh
diri...! Berarti kau tak
patut menyandang gelar
NINJA!" Kata-kata Miyazaki
seperti terngiang lagi di
telinganya. Sambil berjalan ce-
pat pemuda ini bergelut sendiri
dengan bermacam pi-
kiran di benaknya.
"Ah, umurku tinggal tiga
pekan lagi...! Bahkan
sudah berkurang sehari!"
Desisnya perlahan. Pemuda
bernama Hamada ini tak
mengenakan pakaian hitam-
nya, akan tetapi berpakaian
serba putih dengan sehe-
lai kain tebal berwarna kuning
membelit di pinggang.
Dadanya dibiarkan terbuka
separuh. Tiba-tiba Hama-
da hentikan langkahnya dan
termenung sejenak.
"Hm, sebaiknya aku ke rumah
kakek MATSUI
dulu untuk meminta pendapatnya,
sekalian menemui
KORISYIMA... Aku sudah rindu
padanya. Serta men-
gabari kematian Watanabe dan
Hirosyi!" Gumam Ha-
mada.
Berfikir demikian segera Hamada
membelok ke
arah timur.
Tak berapa lama setelah melewati
deretan ru-
mah para pegawai dari Istana
MERAK HIJAU, segera
tiba di batas kota.
Tiba di tempat yang sunyi ini
Hamada segera
pergunakan ilmu lari cepatnya
agar lekas tiba di tem-
pat tujuan.
Saat itu tanpa disadari Hamada
telah dibuntuti
oleh seseorang yang memakai topi
tudung. Di lengan-
nya mencekal tongkat kayu yang
ditaruh di atas pun-
dak. Pada ujung tongkat di
belakang punggung, tam-
pak sebuah buntalan dari kain
yang sudah bertambal.
Wajahnya tak begitu kentara
karena tertutup topi tu-
dungnya yang lebar hampir
melesak menutupi ma-
tanya.
Aneh dan misterius gerakan dan
langkah kaki
orang bertudung ini. Karena
hampir setiap tempat
tampaknya telah dihapalnya.
Hingga dengan memo-
tong jalan, selalu tak berada
jauh dari Hamada yang
dikuntitnya.
Ketika tiba di batas kota, pada
jalan yang sunyi
itu dilihatnya Hamada sudah
berkelebat memperguna-
kan ilmu lari cepatnya.
Laki-laki bertudung yang
misterius ini bergerak
ke arah kiri, dan menyelinap ke
balik hutan bambu
kuning. Dan langkahnya segera
dipercepat. Agaknya
sengaja mau menerobos untuk
memotong jalan. Tak
lama dia sudah berada di jalan
setapak. Akan tetapi
langkah kakinya sesaat sudah
merandek terhenti. Se-
pasang matanya melirik ke
sekitarnya yang rimbun
dengan pepohonan.
Kecurigaannya memang beralasan.
Karena se-
kejap kemudian beberapa sosok
tubuh sudah berkele-
batan menghadang, yang muncul
dari arah depan, kiri
dan kanan.
Rata-rata mereka berpakaian
seragam warna
hijau dengan masing-masing
memakai topi tudung ke-
cil berwarna merah. Tahulah
laki-laki bertudung lebar
ini kalau mereka adalah
orang-orang laskar Kerajaan
Merak Hijau.
"Hm, apakah maksud kalian
menghadang lang-
kahku.? Aku merasa bukan seorang
pencuri atau bu-
ronan Kerajaan...!"Berkata
si laki-laki bertudung. Akan
tetapi kelima orang itu
masing-masing mencabut pe-
dang Samurainya, dan bergerak
mengurung semakin
rapat.
Tak ada jawaban dari mereka
selain segera me-
nerjang dengan pedang-pedangnya.
Terkejut laki-laki
bertudung ini. Tentu saja hal
itu tak dibiarkan begitu
saja. Karena melindungi nyawanya
adalah satu kewaji-
ban mutlak. Apalagi dia merasa
tak bersalah dan...
WHUT! WHUT! WHUT...! TRANG!
TRANG...! TRANG...!
Ternyata si laki-laki bertudung
lebar bukan orang
sembarangan. Bahkan tongkat
kayunya itu ternyata
adalah sebuah tongkat dari baja
hitam, Tiga terjangan
Samurai itu berhasil ditangkis
dengan sebat. Salah
seorang yang menabas dari arah
belakang terpaksa
harus menjerit kesakitan karena
tongkat baja si laki-
laki bertudung lebar itu telah
menyodok ke dadanya.
Seketika roboh terjengkang.
TRANG...! BUK!
Bahkan seorang penyerang kena
dihantam pe-
dangnya hingga terlepas. Dan
buntalan kainnya telah
menggebuk kepala si penyerang
itu, hingga tubuhnya
berpusing. Lalu roboh
tersungkur.
Terkejut tiga orang penghadang
itu. Serentak
segera berlompatan, dan kembali
telah mengurungnya.
"Katakan! apakah
kesalahanku...!" Membentak
laki-laki bertudung itu. Namun
lagi-lagi jawabannya
adalah serangan ganas ke arah
tubuh dan kepalanya.
"Keparat...! Jangan
salahkan aku kalau aku
terpaksa membela diri!"
Teriak laki-laki, bertudung itu
dengan geram. Tongkat di
lengannya bergerak memu-
tar dibarengi dengan melompat
setinggi satu tombak.
TRRRRRANGGG.....!
Terperangah ketiga penyerang
itu, karena seka-
ligus pedang mereka telah
berpentalan. Belum hilang
terkejutnya sepasang kaki si
laki-laki bertudung telah
berkelebatan cepat sekali.
DES! DES! DES...!
Tiga tubuh mereka terjungkal
roboh diiringi te-
riakan parau yang hampir
bersamaan saling susul.
Tampaknya laki-laki ini memang
bukan manusia ke-
jam. Karena mereka cuma dihajar
saja tanpa menemui
kematian. Sekejap laki-laki
bertudung itu telah melesat
cerah ke arah depan. Kesempatan
itu dipergunakan
sebaik-baiknya untuk kembali
teruskan niatnya me-
nyusul Hamada.
Sementara itu Hamada telah tiba
di suatu per-
kampungan sunyi yang terpencil,
setelah membelok ke
arah timur. Jalan yang
ditempuhnya memang menuju
ke timur. Justru si laki-laki
bertudung lebar itu telah
menunggunya di ujung jalan yang
akan dilaluinya.
"He? Siapa orang itu...!
Desis Hamada yang su-
dah perlambat larinya. Sebelum
Hamada melewati laki-
laki bertudung itu, laki-laki
itu sudah balikkan tubuh,
dan berjalan cepat di hadapannya.
Entah sengaja en-
tah tidak dari sakunya terjatuh
segulung kertas. Cepat
sekali jalannya laki-laki
bertudung itu, sekejap sudah
membelok ke sisi jalan di lereng
bukit.
Hamada sudah mau berteriak
memberitahu-
kan, akan tetapi segera diurungkan. Seketika
segera
sudah diingatnya laki-laki
barusan pernah dilihatnya
di jalan Kota Raja yang ramai.
Bahkan sudah dua kali
dia melirik memergoki. Akan
tetapi Hamada memang
tak menyadari kalau diam-diam
laki-laki itu memang
sengaja menguntitnya. Apakah
sengaja mencari tempat
sepi untuk memberikan segulung
kertas yang seperti
sengaja dijatuhkan di
hadapannya?
Tak ayal cepat dipungutnya
gulungan kertas
itu. Cepat-cepat dibukanya.
Segera terlihat tulisan
dengan huruf besar-besar.
KALAU MAU MENJADI NINJA TULEN
SEGERA-
LAH DATANG KE LEMBAH PEDANG!
HIGEI TANAKA SI SETAN TANAH.
Tercenung sejenak Hamada membaca
tulisan
itu. Akan tetapi hatinya segera
terlonjak girang. Karena
justru dia memang sedang
kebingungan memikirkan
nyawanya yang tinggal tiga pekan
lagi. Kalau gagal dia
mencuri pedang atas perintah
gurunya. Tak ada jalan
lain baginya selain membunuh
diri. Karena itulah sa-
lah satu dari jalan terbaik bagi
seorang NINJA.
Akan tetapi tiba-tiba sesosok tubuh
telah me-
lompat keluar dari balik pagar.
"Eh, apakah yang kau
temukan, Hamada.?"
Terkejut pemuda ini. Segera
sudah mengenali siapa
yang datang. Otaknya bekerja
cepat mencari akal un-
tuk menyembunyikan gulungan
kertas kecil itu. Tiba-
tiba terpandang kakinya yang
kotor. Barusan di jalan
ketika melompati parit, terkena
cepretan lumpur.
"Aih, bibi,! dari mana kau?
Kakiku kena koto-
ran kerbau. Kebetulan kutemukan
kertas ini di jalan..."
Berkata pemuda ini menyahuti.
Seraya gulungan kertas itu sudah
digunakan
untuk membersihkan lumpur di
kakinya. Tentu saja
karena Hamada menekannya dengan
kuat, kertas itu
sudah hancur lusuh. Namun
kakinya memang menjadi
bersih. Selesai bersihkan kaki,
bubuk kertas itu sudah
dilemparkannya ke tanah. Dan
dengan cengar-cengir
tepuk-tepukkan tangan
membersihkan sisa-sisa koto-
ran, seolah tak ada terjadi
apa-apa.
"Nah, bersihlah kakiku...!
Tapi ku harus men-
cucinya lagi dengan air!"
Berkata Hamada dengan wajah
berseri, "Eh, bi-
bi...! mari ku bawakan sayuran
mu...! Kau pasti baru
pulang dari kebun." sambung
Hamada lagi, seraya be-
ranjak mendekati wanita setengah
umur itu yang men-
jinjing keranjang sayuran. Si
bibi ini cuma tersenyum,
dan berikan keranjangnya untuk
dibawa Hamada.
"Kau tidak menemui
Korisyima dulu?" Bertanya
si bibi. "Dia di
mana...?" Terlonjak hati Hamada.
"Ke kebun bunga dekat
pancuran...!" Sahut
sang bibi.
Hamada jadi agak kikuk. Mau
membawakan
sayuran itu dulu ke rumah yang
tak berapa jauh lagi
itu atau menemui Korisyima?.
Agaknya sang bibi ini sudah
mengerti akan ke-
bimbangan pemuda itu. Segera
berkata seraya sambar
keranjang sayurnya lagi dari
tangan Hamada.
"Pergilah...!" Ujarnya
dengan tersenyum. Lalu
tanpa menunggu jawaban sudah
balikkan tubuh un-
tuk beranjak melangkah.
"Ah, terima kasih,
bi...!" Teriak Hamada. Seraya
sudah melompat pergi menuju ke
arah pancuran di be-
lakang bukit. Sementara sang
bibi bergegas melangkah
membawa keranjang sayurannya
untuk cepat tiba di
rumah. Akan tetapi langkahnya
segera terhenti. Dan
kembali balikkan tubuh. Sepasang
matanya meman-
dang ke arah kertas lusuh yang
sudah lumat, yang di-
lemparkan Hamada ke sisi jalan
itu.
Namun cuma sekejap, karena tak
lama si bibi
ini sudah putarkan lagi tubuhnya
dan melangkah ce-
pat agak bergegas.....
***
TIGA
SEORANG gadis tampak asyik
memetik bebera-
pa tangkai bunga yang beraneka
warna di taman bun-
ga yang teratur rapi di tempat
itu. Tak jauh di dekat
taman pancuran air yang mengalir
dari gunung. Gadis
ini berwajah cantik dan tampak
lincah. Rambutnya te-
rikat dengan pita merah, terbagi
dua di kiri dan kanan.
Pakaiannya berwarna ungu.
"KORISYIMA...!"
Terdengar satu suara memang-
gilnya. Dan seorang pemuda telah
berada di belakang-
nya. Ternyata Hamada. Pemuda ini
perlihatkan wajah
cerah menatap si gadis yang
sudah berpaling dengan
senyum ceria menyambutnya.
"Hamada...! sudah lebih
dari dua bulan kau tak
pernah datang...! Kukira kau
sudah lupakan aku di
desa sunyi ini...!" berkata
sang gadis dengan wajah ter-
tunduk. Walaupun tampaknya
wajahnya berubah se-
perti orang kesal, akan tetapi
hati gadis ini tak dapat
dibohongi. Sesungguhnya teramat
girang sekali meli-
hat kedatangan Hamada.
"Ah, banyak tugas yang
harus kukerjakan di
kota...! Eh, tadi aku berjumpa
dengan ibumu. Beliau-
lah yang memberitahukan kau di
sini..." ujar Hamada,
yang segera alihkan pembicaraan.
Seraya berkata lengan pemuda ini
telah meme-
tik setangkai bunga warna
putih. Dan berikan pada
Korisyima. Sang gadis tersenyum,
lengannya terulur
menyambut...
Akan tetapi saat itu juga
bersyiur angin ken-
cang. Bunga yang baru
digenggamnya terlepas jatuh.
"Oh...!" terkesiap
gadis itu. Wajahnya berubah
pucat. Itulah satu pertanda buruk.
Menurut keper-
cayaan akan terputusnya tali
perjodohan mereka. Ha-
mada juga terkejut heran, karena
tahu-tahu ada angin
keras yang datang mendadak dari
arah sisi bukit. Se-
pasang matanya sudah beralih ke
sana. Tampak tang-
kai bunga bergoyang. Sekilas
masih terlihat sebuah
bayangan melintas ke balik
semak. Kurang ajar! pasti
ada orang sembunyi di situ!
Sentak hati Hamada. Dia
sudah ngangakan mulut untuk
membentak, akan te-
tapi segera tertahan karena
sudah terdengar suara di-
iringi munculnya sesosok tubuh
dari arah belakang
mereka.
"Ah, sayang sekali gadis
itu menolak cinta mu,
sobat...! Kukira anda memang tak
berjodoh dengannya!
Tak apalah, masih banyak gadis
yang cantik di dunia
ini..." berkata orang yang
baru muncul itu membuat
Hamada segera balikkan tubuh
menatapnya.
Bukan hanya Hamada yang
terkejut, akan teta-
pi Korisyima juga terperanjat.
Karena segera mengeta-
hui kalau orang yang di
hadapannya adalah putera
Wali Kota di wilayah itu. Tampak
seorang pe-
muda berpakaian mewah sambil
tersenyum menatap
Hamada dan Korisyima. Sebelah
lengannya mencekal
kipas yang digerak-gerakkan
mengipasi tubuhnya, dan
sebelah lagi diletakkan di
belakang punggung. Sikap-
nya amat jumawa sekali. Di
pinggangnya terselip pe-
dang Samurai.
Tentu saja Hamada sudah
cepat-cepat menjura
hormat dengan bungkukkan tubuh.
Demikian juga Ko-
risyima, namun segera menunduk
dengan jantung
berdetak cepat. Hatinya sudah
membatin. Ah...? Aku
merasa ada yang tak beres!
Jangan-jangan ibu telah
main sandiwara di hadapanku...
Mengapa munculnya
tepat di saat Hamada kemari...?
Dan angin apakah
yang meniup begitu keras...?
Sementara Hamada jadi serba
salah. Akhirnya
dia mohon diri. Setelah menjura
sekali lagi pada laki-
laki putera Wali Kota itu,
Hamada menatap pada si ga-
dis. Bibirnya sudah bergetar mau
mengucapkan kata-
kata, akan tetapi suaranya
tersekat di kerongkongan-
nya. Pemuda ini cuma menatap
saja sejenak, lalu sege-
ra putar tubuh, dan beranjak
pergi dengan cepat ting-
galkan taman bunga itu.
Korisyima terperangah me-
mandangnya. Kakinya sudah
melangkah untuk menge-
jar, dan berteriak.
"Hamada...!" Namun
suara itu cuma pelahan
keluar dari bibirnya. Suaranya
pun terdengar agak se-
rak, karena perasaannya sudah
tak keruan rasa. Seke-
jap saja tubuh Hamada sudah
lenyap tak kelihatan lagi
terhalang rimbunnya pepohonan.
Korisyima tunduk-
kan wajahnya, dan bunga yang
terjatuh menggeletak di
tanah itu tertatap matanya.
Sesaat dia sudah mem-
bungkuk untuk memungutnya. Akan
tetapi pada saat
itu sebuah lengan sudah
terjulur, di sertai kata-kata di
belakang telinganya.
"Aih, adik manis...!
Sudahlah! Bunga itu sudah
kotor tak baik dipungut lagi.
Kukira bunga ini lebih in-
dah untukmu..." Tiba-tiba
jemari lengannya sudah di-
cekal lengan yang terjulur itu,
dan setangkai bunga
warna merah segera terkepal di
lengannya yang ter-
paksa dicekalnya, karena saat
itu si putera Wali Kota
itu dengan cepat memaksa jemari
lengannya menekuk,
disertai dengan genggaman tangan
laki-laki itu. Ter-
sentak Korisyima. Tak berdaya
dia melepaskan bunga
itu dari lengannya. Dan pelahan
si putera Pembesar
Kerajaan itu sudah mengangkatnya
bangun berdiri.
Seketika gadis ini rasakan
wajahnya berubah panas,
dan tampakkan rona merah.
"Tuan Muda...! aku...
aku..." Belum lagi kata-
katanya berlanjut sudah
terdengar suara berdehem di
belakangnya disertai kata-kata.
"Ah, Korisyima, anakku...!
Rupanya kau cuma
berpura-pura saja di depan ibu!
Mengapa tak sedari
kemarin kau berterus terang? Ibu
amat berbahagia
dan beruntung punya menantu Tuan
Muda HATSYI
GATO...!"
Tersentak Korisyima mengetahui
yang muncul
adalah ibunya. Tentu saja hal
ini memuat dia jadi ser-
ba salah. Akan tetapi sang ibu
sudah kembali berkata:
"Oh, maafkan Tuan Muda...!
Ibu tak tahu anda
berada di tempat ini...!"
Dan selanjutnya wanita setengah
usia itu telah
menjura hormat pada si putera
Wali Kota dan cepat-
cepat beranjak tinggalkan taman
bunga.
-ooOoo-
HAMADA tinggalkan taman bunga
dekat pan-
curan itu dengan hati masygul.
Betapa tidak. Satu ke-
jadian telah membuat putusnya
tali cintanya pada Ko-
risyima. Kejadian barusan di
taman bunga tak luput
dari mata dan pendengarannya.
Karena Hamada diam-
diam menyelinap lagi untuk
mengintai ke dalam ta-
man. Jelaslah sudah kalau sang
bibi telah main san-
diwara di hadapannya. Dan
ternyata menginginkan
menantu si anak Wali Kota
bernama Hatsyi Gato itu.
Namun Hamada melihat jelas dari
sikap dan air muka
Korisyima, bahwa gadis itu tak
setuju dengan laki-laki
itu. Dia yakin Korisyima masih
tetap mencintainya.
Akan tetapi Hamada sudah tak
perduli lagi
akan semua itu. Baginya kini
nyawanya adalah lebih
penting dari segalanya.
"Aku harus secepatnya
menemui Higei Tanaka
si SETAN TANAH di Lembah
Pedang...!" desis pemuda
itu pelahan. Dan dia sudah
percepat langkah kakinya.
Apakah tak sebaiknya aku temui
kakek MATSUI du-
lu...? Gumam hati Hamada.
Sekonyong-konyong hati
pemuda ini jadi bimbang. Tadinya
dia sudah mau me-
neruskan perjalanan ke Lembah
Pedang menemui si
laki-laki misterius bergelar si
Setan Tanah itu. Akan te-
tapi segera mengambil keputusan
untuk menemui si
kakek Matsui lebih dulu.
Segera Hamada membelok lagi ke
arah selatan.
Ternyata Hamada segan melewati
rumah si bibi berhati
palsu itu. Tujuannya adalah
mengambil jalan memutar
untuk menemui si kakek Matsui di
sebuah pondok
yang paling ujung. Sebentar saja
Hamada sudah berla-
ri-lari dengan gerakan cepat
untuk segera tiba di tem-
pat yang dituju.....
Sementara, di benak pemuda ini
berkecamuk
bermacam pertanyaan mengenai
kejadian tadi. Siapa-
kah yang telah gunakan angin
pukulan untuk mem-
buat jatuh bunga yang diberikan
pada Korisyima...?
Aneh! Tampaknya kejadian itu
seperti sudah sengaja
diatur. Dan si bibi itu seperti
curiga dengan kertas
yang kutemukan...! Aku harus
mengetahui apa latar
belakang kejadian ini kelak!
Demikianlah! Dengan tekad bulat
Hamada ber-
kelebat cepat untuk menemui si
kakek Matsui untuk
selanjutnya pergi ke Lembah
Pedang. Kesempatan un-
tuk menjadi NINJA tulen harus
terlaksana demi kese-
lamatan nyawanya.
-ooOoo-
Kakek MATSUI adalah seorang tua
yang sudah
berumur 70 tahun lebih. Kakek
ini jarang bicara. Air
mukanya tampak selalu muram,
seperti sudah enggan
menikmati sisa-sisa hidupnya.
Bertubuh kurus seperti
sudah tinggal kulit membungkus
tulang. Matanya ce-
kung ke dalam. Cuma kumis dan
jenggotnya saja yang
nampak lebat menutupi bibirnya
yang hampir tak keli-
hatan lagi.
Ternyata ke mana pun Hamada pergi
telah di
mata-matai oleh beberapa sosok
tubuh yang bergerak
secara sembunyi-sembunyi. Bahkan
ketika tiba di ha-
laman pondok kakek Matsui.
Hamada cepat meniti
tangga batu di depan pondok. Tak
lama sudah menge-
tuk pintu.
"Siapa...?" terdengar
suara dari dalam. Suara
yang terdengar parau.
"Aku, Hamada...!"
Pemuda itu sudah mengenali
suara kakek tua itu.
"Hm, masuklah...! tak
dikunci!" sahut lagi sua-
ra dari dalam. Hamada segera
membuka daun pintu
dengan menggesernya pelahan.
Terdengar bunyi meng-
gerit. Tak lama tubuhnya sudah
tersembul ke dalam
ruangan itu. Akan tetapi
terperangah seketika Hamada
ketika melihat si kakek Matsui
dalam keadaan teran-
cam jiwanya. Karena sesosok
tubuh berpakaian mirip
NINJA telah siap menggorok leher
kakek tua itu den-
gan belatinya yang menempel di
leher kakek Matsui.
NINJA itu berpakaian serba
hijau, Belum lagi hilang
terkejutnya tiga sosok tubuh
sudah menyergapnya.
Cepat sekali. Sekejapan saja
Hamada telah kena di-
ringkus. Ternyata mereka juga
Ninja-ninja yang berpa-
kaian serba hijau.
Tak sempat lagi Hamada
berteriak, karena mu-
lutnya sudah segera tertutup
oleh kain yang menyum-
palnya. Sehelai kain berbau
harum segera ditekapkan
ke hidungnya. Mengeluh Hamada.
Sekejap saja dia su-
dah terkulai. Telinganya masih
mendengar suara derap
kaki-kaki kuda mendatangi. Akan
tetapi segera lenyap,
karena dia sudah tak ingat
apa-apa lagi.
Sementara Ninja-Ninja Hijau itu
sudah bekerja
cepat meringkus si kakek Matsui
yang tak bisa berbuat
apa-apa. Tak berapa lama dua
sosok tubuh sudah di-
masukkan para Ninja itu ke dalam
kereta. Dua ekor
kuda sudah menariknya dengan
cepat meninggalkan
desa terpencil itu...
***
EMPAT
KEDATANGAN seorang gadis
berwajah rupawan
dengan rambut yang terurai ke
belakang itu telah men-
jadi perhatian penduduk di
sekitar desa itu. Karena ca-
ra berpakaiannya berbeda dengan
adat penduduk Ne-
geri Sakura. Apalagi melihat dua
buah benda membu-
lat yang tergantung di pinggang,
serta rantai yang
membelit di pinggangnya yang
ramping. Membuat me-
reka segera mengetahui kalau
gadis pendatang itu ada-
lah orang asing.
Gadis cantik yang sikapnya agak
genit itu tak
lain dari RORO CENTIL adanya. Si
Pendekar Wanita
Rantai Selatan ini entah bagaimana
telah berada di sa-
tu Negeri yang berpenduduk
rata-rata bermata sipit.
"Hm, entah di mana adanya
desa KYUSU...! Su-
dah dua desa kujumpai, tapi
penduduk di sini tak
mengenai di mana adanya desa
itu..." menggumam Ro-
ro seraya menyeka keringatnya yang
menempel di dahi.
Aiii...? Aku lupa! Menurut si
kakek Nelayan itu, desa
KYUSU terletak di lereng Gunung
BUKKYO! Kalau be-
gitu aku harus tanyakan di arah
sebelah mana adanya
Gunung BUKKYO itu! Berkata Roro
dalam hati.
Setelah berpikir demikian, Roro
segera gerak-
kan kakinya melangkah cepat.
Menurut penuturan sa-
lah seorang penduduk, di sebelah depan ada sebuah
desa lagi. Seraya melangkah tak
bosan bosannya Roro
memperhatikan pemandangan alam
sekitarnya, yang
amat indah. Bunga-bunga Sakura
bertebaran di mana-
mana, juga bermacam bunga
lainnya yang berwarna
warni. Kala itu adalah permulaan
musim semi, hingga
di setiap tempat daun-daun hijau
segar selalu tampak.
Juga bermacam bunga bertebaran
di sisi jalan.
Setelah melewati sebuah anak
sungai dan
mendak bukit, segeralah terlihat
dari atas sebuah desa
yang terpencil. Cuma beberapa
wuwungan rumah yang
terlihat. Sebenarnya bukit itu
adalah batas dari Kota
Raja. Dimana waktu itu di sana
ada berdiri sebuah ke-
rajaan yang bernama Kerajaan
MERAK HIJAU Kera-
jaan di Negeri Sakura ini di
bawah pemerintahan seo-
rang Kaisar. Kira-kira menempuh
jalan sepenanakan
nasi, karena Roro sengaja
berjalan tak gunakan ilmu
lari cepat. Segera Roro sudah
sampai di mulut desa
Akan tetapi tiba-tiba terdengar
suara gemuruh
dan derap kaki-kaki kuda. Dan
kira-kira dua puluh
tombak dari hadapannya,
muncul sebuah kereta ku-
da. Roro segera melompat ke
sisi. Sepasang matanya
memperhatikan kereta kuda itu.
Akan tetapi ternyata
kereta kuda membelok ke arah
timur.
"Aiih, kukira lewat
sini...!" gumam Roro yang
agak kecewa. Karena ingin tahu
apa isi kereta yang di-
larikan dengan kencang itu. Yang
membuat aneh ada-
lah si kusir kereta, karena
berpakaian rapat mem-
bungkus semua tubuhnya. Kecuali
sepasang matanya
saja yang tak ditutupi.
Rasa penasaran Roro membuat
diam-diam dia
menguntitnya. Kereta kuda
mencongklang cepat menu-
ju ke satu tempat tersembunyi ke
belakang bukit. Sete-
lah melewati jalan berliku-liku,
akhirnya berhenti, Tak
lama pintu kereta kuda itu sudah
terbuka. Dan tiga
sosok tubuh melompat dari dalam.
Pakaiannya sama
hijau dan tertutup rapat seperti
si kusir kereta. Ter-
nyata mengeluarkan dua tubuh
manusia. yang terikat,
dengan mulut tersumpal kain.
Tahulah Roro kalau me-
reka adalah komplotan penculik.
"Aku harus bebaskan
mereka!" desis Roro, yang
tak tahu persoalan. Akan tetapi
melihat dua orang
yang tertawan itu membuat dia
merasa harus turun
tangan. Tak ayal Roro sudah
kelebatkan tubuhnya ke
bawah. Dan perdengarkan
bentakannya.
"Tunggu...! Mau kalian bawa
ke mana orang-
orang itu!"
Tentu saja membuat NINJA-NINJA
HIJAU itu
jadi belalakkan mata menatap
seorang gadis asing ta-
hu-tahu muncul di situ. Tampak
mereka saling pan-
dang. Saat itu dua orang baru
akan memanggul tubuh
dua korban yang terikat itu dari
atas kereta. Segera
mereka berlompatan mengurung
Roro setelah salah
seorang memberi isyarat.
Gerakannya tak menimbul-
kan suara, membuat Roro cukup
kagum. Hm, ingin ku
tahu bagaimanakah kehebatan si
manusia-manusia
hijau ini! Berkata Roro dalam
hati.
Segera Roro sudah siap untuk
menghadapi se-
gala kemungkinan.
RRRRRRRTT...!
Tiga utas tali tahu-tahu telah
meluncur ke tu-
buh Roro. Cepat sekali
gerakannya. Dan tak diketahui
di mana disimpannya tali, karena
sekejap sudah me-
luncur dari lengan-lengan
mereka.
"Edan...!?" sentak
Roro. Dia sudah gerakkan
tubuh untuk menghindar.
Untunglah Roro cukup was-
pada. Namun tak urung dua buah
tali telah menjerat
kedua lengannya. Terkejut si
gadis Pantai Selatan ini.
Namun sebelum Ninja-ninja itu
berbuat sesuatu, len-
gan Roro telah bergerak menarik
tubuh mereka. Dua
tubuh si Ninja Hijau terseret
melayang. Keduanya
tampak terkesiap kaget. Sebab
sekali kedua lengan Ro-
ro bergerak menyodok ke arah
perut mereka. BUK!
BUK!...!
Dua Ninja Hijau itu terbanting
ke tanah dengan
mengerang bergulingan. Tiba-tiba
Ninja satunya lagi
melesat ke arahnya. Dua buah
belati berkelebat den-
gan serangan menyilang
menggunting leher. Roro cepat
tundukkan kepala. Kakinya
melayang menghantam
pantat orang.
DHES!
Terdengar teriakan Ninja ini.
Tubuhnya ter-
banting ke tanah. Akan tetapi...
BHUSSS...! Di tempat jatuhnya
tampak asap
putih membumbung. Dan sekejap
tubuh si Ninja Hijau
sudah lenyap. Terperangah Roro
Centil.
"Edan...!?" lagi-lagi
memaki Roro. Namun cepat
gadis pendekar ini putarkan
tubuh. Enam buah belati
meluncur ke arah tiga bagian
tubuhnya. Dilontarkan
dua orang Ninja Hijau yang tadi
roboh kena hantam
perutnya. Secepat kilat Roro
Centil kibaskan rambut-
nya.
WHUUUK..!
Sekejap enam buah belati itu
sudah berpenta-
lan entah ke mana.
Tiba-tiba sebuah benda meluncur
ke arah Roro.
Tak ayal lengan Roro sudah
bergerak menghantamnya.
Akan tetapi tiba-tiba...
BHUSSS...! Benda yang terhantam
itu letupkan
asap tebal yang sekejap telah
membungkus tubuh Ro-
ro. Terkejut gadis ini. Segera
Roro tutup pernafasan-
nya. "Asap racun..."
desisnya tertahan. Akan tetapi dia
sudah terbatuk-batuk. Terlambat
sudah. Roro sudah
menghisap asap itu. Tubuhnya
segera terhuyung, dan
jatuh berdebuk ke tanah.
--------ooOoo-------
Sesosok tubuh berjubah hijau
telah berada di
tempat itu. Ternyata seorang
wanita tua berwajah pu-
cat, dengan alis matanya mencuat
ke atas. Rambutnya
berwarna merah terurai panjang.
Lengannya mencekal
sebuah tongkat berbentuk ular.
Ditatapnya sosok tu-
buh yang tergeletak di
hadapannya itu. Terdengar sua-
ranya yang bernada dingin.
"Heh!? Perempuan asing dari
manakah? Cepat
kalian bawa masuk kedua orang
itu!" ujarnya seraya
menoleh ke arah empat orang
Ninja Hijau yang kemba-
li sudah berada di situ. Yang
seorang adalah kusir ke-
reta kuda.
Tak ayal perintah itu sudah
dikerjakan. Keem-
pat Ninja itu cepat menggotong
dua tubuh terikat itu.
Dan dibawa ke sisi dinding
bukit.
Ternyata pada sisi dinding batu
bukit itu telah
menjeblak terbuka sebuah celah
pintu. Sekejapan saja
kedua orang tawanan itu sudah
dibawa masuk. Tak
lama seorang Ninja melompat
kembali ke dalam kereta.
Salah satu lorong di sisi
dinding batu bukit itu berge-
rak menggeser, dan terbuka
sebuah lubang besar. Ku-
sir kereta segera keprak kudanya
untuk segera masuk
ke lorong itu. Begitu telah
berada di dalam, pintu lo-
rong yang lebar itu pun kembali
menutup.
Selang tak lama si nenek rambut
merah berwa-
jah pucat itu sudah memanggul
tubuh Roro, dan di-
bawa berkelebat masuk ke dalam
celah dinding bukit
Seorang Ninja keluar lagi untuk
membersihkan bekas-
bekas roda kereta dengan sapu
jerami. Hingga tak ken-
tara lagi ada tanda-tanda yang
mencurigakan di tem-
pat itu. Sesaat si Ninja sudah
berkelebat masuk ke ce-
lah. Dan pintu batu celah itu
kembali menutup.
Sekitar tempat itupun kembali
sunyi lengang
seolah tak pernah ada kejadian
apa-apa.....
Benarkah Roro Centil semudah itu
dipecun-
dangi? Tidak! Percuma Roro
menjadi murid si Manusia
Banci dari Pantai Selatan yang
banyak akalnya. Bebe-
rapa pengalaman selama
malang-melintang di Rimba
Hijau, entah sudah berapa macam
racun yang harus
dihadapi. Ternyata Roro sengaja
pura-pura terjatuh
menggeloso seolah pingsan.
Padahal seluruh indranya
telah disiapkan untuk menghadapi
segala kemungki-
nan. Asap yang sedikit terendus
itu sudah berhasil di-
keluarkan dengan mengerahkan
hawa murni di tu-
buhnya. Sekaligus hawa beracun
itu sudah lenyap ter-
hembus.
Tentu saja ketika itu Roro sudah
menutup se-
mua jalan darah, untuk menjaga
kemungkinan sosok
tubuh yang memanggul tubuhnya
melakukan totokan
pada tubuhnya. Akan tetapi Roro
merasa lega. karena
hal itu tidak dilakukan si nenek
muka pucat berambut
merah, yang merasa sudah cukup
asap itu membius
Sementara di dalam ruangan di
dalam celah
tebing itu, diam-diam Roro
meneliti dengan sudut ma-
tanya. Ternyata sebuah ruangan
yang lebar berlantai
batu. Terdengar suara si nenek
Rambut merah itu
"Masukkan keduanya dalam
penjara belakang!"
terlihat empat orang Ninja Hijau
segera menggotong
kedua tubuh untuk segera dibawa
ke ruangan bela-
kang. Akan tetapi sebelum mereka
bergerak jauh, Roro
sudah gerakkan lengan menotok
tubuh si nenek muka
pucat dan melompat dari pundak
si Rambut Merah itu.
Tentu saja hal itu membuat
terkesiap wanita itu. Seke-
tika tubuhnya sudah jatuh
menggabruk. Sekejap tong-
kat si nenek sudah berpindah.
"Berhenti...!" teriak
Roro, seraya berkelebat dan
silangkan tongkatnya menghadang
keempat Ninja Hi-
jau. Dan kali ini Roro tak
kepalang tanggung. Segera
pergunakan gerakan dari jurus
Ikan Hiu Menerobos
Karang. Tubuhnya berkelebat
cepat sekali. Tahu-tahu
keempat Ninja itu sudah roboh
bergulingan dengan
tubuh tertotok.
Dan kejap berikutnya lengannya
sudah berge-
rak meringkus mereka.
Mengikatnya menjadi satu. Se-
lanjutnya sudah melompat lagi ke
hadapan si nenek
rambut merah. Lengannya bergerak
menjambak ram-
but si wanita tua itu agar bisa
ditatap lebih jelas. Akan
tetapi... PLASH... Ternyata
segumpul rambut yang di-
cekal Roro justru terlepas
merosot dari kulit kepala
wanita muka pucat itu.
"Heh!. Rupanya kau pakai^
rambut palsu...!"
"Pasti kaupun pakai kulit muka
palsu..." ujar
Roro selanjutnya. Seraya
lengannya bergerak untuk
jambret ke bawah dagu si wanita
muka pucat. Benar
saja! Karena segera telah
terkelupas wajah wanita tua
yang keriput itu. Ternyata
wanita itu tak lain dari si
bibi berhati busuk, yang telah
menipu Hamada.
Dialah yang bernama HUYIMA,
karena saat itu sudah
terdengar suara si kakek Mitsui
yang berteriak kaget.
Entah bagaimana sumpal di mulut
kakek tua renta itu
sudah terlepas.
"HUYIMA...!" Dan selanjutnya ....
TAS! TAS! Tiba-tiba lengan kakek
tua yang se-
perti tak bertenaga itu telah
bergerak memutuskan tali
yang mengikatnya. Sekejap
saja dia sudah melompat
berdiri. Tentu saja membuat Roro
jadi terkejut aneh.
Hamada juga terheran dengan
membeliakkan sepasang
matanya. Ternyata dia sudah
sadarkan diri dari ping-
sannya. Akan tetapi beberapa
kali dia gerakkan tan-
gannya memutuskan tali yang
mengikat lengan dan
kaki, tak membawa hasil.
Si kakek Mitsui kebutkan lengan
bajunya. Tali-
tali yang mengikat tubuh dan
tangan Hamada seketika
berlepasan putus, tanpa
menyentuh sedikit pun kulit
atau pakaian pemuda itu.
Cepat-cepat pemuda itu le-
paskan sumpal di mulutnya.
"Ah!? Kakek Matsui...?
kau... kau..." terkejut
Hamada. Karena tak menyangka
sedikit pun kalau si kakek tua
renta itu mempunyai
ilmu kepandaian hebat.
***
LIMA
“HEHEHE... Hamada! Sudah saatnya
aku un-
juk gigi! Aku memang sengaja
berlagak menjadi orang
tua yang sudah dekat ke liang
kubur, karena ku ingin
menyelidiki siapakah si pemimpin
Ninja-ninja Hijau
ini!" berkata kakek Matsui
dengan tersenyum. Tiba-
tiba sudah balikkan tubuh
menatap Roro. Ternyata
Roro pun tengah menatapnya.
"Ah, gadis asing yang
hebat! Terima kasih atas
pertolonganmu pada kami, dan
bantuanmu menang-
kap si Ketua Ninja Hijau
ini...!". ujar kakek Matsui se-
raya melangkah dua tindak dan
menjura pada Roro.
Cepat-cepat Roro pun balas
menjura.
"Secara tak sengaja aku
melihat kereta kuda di
larikan kencang di jalan sunyi
di atas bukit. Pertolon-
ganku tak begitu berharga,
karena kau orang tua ter-
nyata mampu melepaskan diri.
Tentunya kau berilmu
tinggi! Cuma saja kau sengaja
tak mau bertindak ter-
buru buru!" berkata Roro
sambil tersenyum.
Kakek Matsui perdengarkan
tertawanya, seraya
kerutkan kening. Lalu ucapnya.
"Hm, walaupun bagaimana kau
telah berjasa
padaku, membuka kedok si wanita
Ketua Ninja Hijau
ini!" namaku Matsui Namoto,
akan tetapi orang sering
menyebutku si kakek Matsui.
Siapakah gerangan no-
na? Dan berasal dari mana?"
bertanya kakek Matsui
setelah perkenalkan diri.
"Namaku RORO! Lengkapnya
RORO CENTIL...!
Aku mempunyai seorang sahabat
yang tinggal di lereng
gunung BUKKYO. Tepatnya di desa
KYUSU!" Aku be-
rasal dari Pulau Jawa, di
wilayah kerajaan Mataram...!"
Tutur Roro singkat. Kakek Matsui
tercenung sejenak
seraya manggut-manggut.
Sementara Hamada sudah
loloskan tali yang mengikat
kakinya. Tak lama dia su-
dah beranjak menghampiri kedua
orang yang sudah
menatapnya itu.
"Terimalah hormatku pada
anda, nona...! Na-
maku Hamada! Terima kasih atas
bantuanmu meno-
long kami." berkata Hamada
seraya menjura pada Ro-
ro. Terpaksa Roro balas menjura,
seraya mengangguk.
Diam-diam hatinya memuji akan
ketampanan wajah
pemuda itu.
"Aku Roro Centil...!"
ujar Roro seraya terse-
nyum.
"Baiklah, nanti kita
berbincang-bincang lagi!
Aku ingin sekali mengetahui
siapa gerangan sahabat-
mu yang berdiam di desa Kyusu di
lereng gunung
Bukkyo itu! Wanita ini baiknya
kau serahkan saja Pa-
daku untuk mengurusnya!"
berkata kakek Matsui. Ro-
ro mengangguk seraya melompat ke
sisi. Kakek Matsui
tatap wajah orang lekat lekat.
Sinar matanya member-
sitkan kemarahan. Dan dia sudah
membentak
"HUYIMA...! Katakan apa
maksudmu dengan
semua perbuatanmu ini?"
wanita itu tundukkan wa-
jahnya. Tubuhnya tak dapat
digerakkan, karena toto-
kan Roro Centil amat ampuh
sekali. Keringat mengu-
cur deras dari dahinya. Akan
tetapi si bibi itu segera
cepat menjawab.
"Lepaskanlah dulu totokan
pada tubuhku
ini...!" Kakek Matsui
kerutkan kening sejenak. Lalu
berpaling pada Roro.
"Nona! Kau bukalah
totokanmu!"
"Ssst! Apakah tak kau
khawatir dia meloloskan
diri?" tanya Hamada dengan
menatap pada kakek Mat-
sui. Akan tetapi Roro sudah
tertawa seraya ber-
hihihi... ingin kulihat, apakah
dia dapat melakukan-
nya?" lengan Roro bergerak
mengibas. Dan bersyiurlah
segelombang angin menerpa tubuh
Huyima. Sekejap
saja wanita itu sudah rasakan
tubuhnya terbebas dari
belenggu totokan. Segera dia
melompat bangun. Roro
sudah pasang mata untuk segera
bertindak bila Huyi-
ma berani coba-coba melarikan
diri. Akan tetapi si
Pendekar Wanita Pantai Selatan
ini menaruh keper-
cayaan pada si kakek Matsui.
"Paman... kuharap kau tak
salah mengerti! Se-
mua ini kulakukan adalah demi
keselamatanmu dan
keselamatan Hamada!"
berkata Huyima yang ternyata
di luar dugaan tak melakukan
apa-apa.
"Demi
keselamatanku...?" sentak Hamada.
"Lalu apakah maksudmu
dengan kejadian di
taman bunga tadi, bibi?"
"Ah, marilah kalian ikut
aku...! Segera akan ku-
ceritakan semuanya! Dan kau
paman Matsui! Sudah
kuduga kau memiliki ilmu kepandaian. Akan tetapi
mengapa kau selalu
menyembunyikannya?" seraya
berkata Huyima beranjak ke
dalam.
"Aku memang sudah mau cuci
tangan, Huyima!
Tak kukira akhirnya aku terpaksa
turut campur da-
lam masalah ini!"
Tiba-tiba Huyima hentikan
langkahnya, dan
berpaling menatap Roro Centil.
"Hm, anda bernama RORO
CENTIL.? Ah, anda
mempunyai banyak akal cerdik!
Aku tak merasa malu
jatuh di tangan anda, nona...!
Aku tak keberatan kalau
anda mau mencampuri urusan
kami.." ujarnya.
"Tolonglah kau bebaskan
keempat Ninja murid
ku itu! Jangan khawatir! Kita
semua orang sendiri!"
Roro menatap sejenak ke arah
kakek Matsui, yang se-
gera mengangguk. Tak ayal Roro
segera melompat
mendekati keempat Ninja Hijau
yang telah diikatnya
menjadi satu dengan keadaan
tumpang tindih.
Sekali lengannya bergerak, maka
tambang pen-
gikat itu pun putus. Sekaligus
Roro bebaskan mereka
dari totokannya. Keempat Ninja
itu pun segera berlom-
patan bangun berdiri, seraya
satu persatu menjura
pada Roro.
Huyima tersenyum, segera
gerakkan tangannya
memberi isyarat, diiringi
kata-kata. "Buka pintu lorong
bawah...!" Keempat Ninja
mengangguk dan berlompa-
tan cepat mendahului ke arah
ruangan dalam. Diam-
diam Hamada heran juga, karena
tak menyangka ka-
lau si bibi, ibu Korisyima itu
punya murid dari para
Ninja Hijau. Dan bahkan menjadi
pimpinan mereka.
Segera tiga orang sudah
mengikuti ke mana Huyima
membawa mereka. Tentu saja Roro
tetap waspada,
khawatir si wanita itu mengibuli
untuk menjebak di
dalam ruangan. Sementara Hamada
sejak tadi sering
memperhatikan Roro dengan pandangan tajam dan
kagum. Disamping merasa aneh,
karena gadis semuda
itu sudah berani melakukan
perjalanan jauh hingga
menyeberangi lautan.
------ooOoo------
KORISYIMA tundukkan wajahnya
semakin da-
lam dengan hati tak keruan rasa.
Sementara lengan
Hatsyi Gato sudah menggamit
pinggangnya. Tak ber-
daya gadis ini menolak, ketika
lengannya yang telah
dicekal pemuda putera Wali Kota
itu untuk ditempel-
kan ke dadanya. Terasa degup
jantung Hatsyi Gato
berdebaran di kulit lengannya.
"Adik Korisyima...! Kau
sudah dengar kata-kata
ibumu... ? Beliau merestui mu dan merestui 'kita'...!
Aku amat mencintaimu adik
Korisyima!" Terdengar su-
ara Hatsyi Gato bernada lembut
merayu.
Sebelah lengan pemuda itu mulai
merayap ke
arah dada... Akan tetapi lengan
si gadis telah bergerak
menepiskan. Laki-laki kurang
ajar...! Memaki Korisyi-
ma dalam hati. Hatinya membatin.
Heh! Hamada sen-
diri belum berani melakukan hal
ini...! Ah, aku telah
terjerat dalam perangkap! Apakah
hal ini sengaja di-
atur oleh ibu...?
Tiba-tiba Hatsyi Gato sudah balikkan tubuh-
nya. Kejap lain sudah memeluki
tubuhnya, serta
menghujani dengan ciuman-ciuman
ke pipinya. Terpe-
rangah Korisyima. Namun dia
sudah meronta untuk
melepaskan diri. Lengannya
tiba-tiba melayang...
PLAK...! Terkejut Hatsyi Gato.
Tamparan itu te-
pat mengenai pipinya. Merahlah
wajah pemuda ini.
Seumur dewasa belum pernah dia
mendapat tamparan
dari seorang gadis. Bahkan
selama ini entah sudah be-
rapa gadis yang jatuh dalam
pelukannya. Karena seba-
gai seorang anak Wali Kota,
Hatsyi Gato amat dihorma-
ti.
Pada detik itu juga Korisyima
sudah melarikan
diri dengan terisak menutupi
wajahnya. Pemuda ini
perdengarkan suara dengusan di
hidung. Sekejap tu-
buhnya sudah melompat mengejar.
Akan tetapi pada
saat itu juga sebuah bayangan
berkelebat mengha-
dang. Ternyata sesosok tubuh
berpakaian serba hijau,
yang tak lain salah seorang dari
Ninja Hijau.
"Bedebah! Siapa
kau...!" Membentak Hatsyi Ga-
to. Lengannya sudah bergerak
menghantam. Akan te-
tapi dengan gesit Ninja Hijau
itu sudah melompat gesit
menghindar.
Sementara si Ninja cuma berdiri
menanti den-
gan bertolak pinggang.
"Bedebah...! kau minta
mampus...!" lagi-lagi
Hatsyi Gato sudah menerjang
dengan hantaman puku-
lannya. Akan tetapi si Ninja
Hijau kembali melompat
menghindarkan diri semakin
menjauhi taman. Hal itu
membuat si pemuda anak Wali Kota
itu semakin be-
rang. Samurainya sudah
disentakkan ke luar dari se-
rangkanya. Dan dengan membentak
keras segera men-
gejar manusia yang sengaja
mempermainkannya itu.
Kegesitan Ninja Hijau memang
dapat di andal-
kan, karena dia mampu
mengelakkan tabasan-tabasan
maut pedang samurai Hatsyi Gato.
Bahkan tanpa dis-
adari oleh lawannya, dia telah
membawa si pemuda itu
semakin jauh dari taman.
Ketika Hatsyi Gato menerjang lagi
dengan teba-
san-tebasan mautnya, tiba-tiba
Ninja itu lenyap sete-
lah membantingkan sebuah benda
yang menimbulkan
asap tebal. Terperangah Hatsyi
Gato. Sepasang ma-
tanya merah membara. Betapa
terhinanya pemuda ini.
Setelah tercenung sejenak,
segera dia sudah berkelebat
pergi untuk angkat kaki dari
tempat itu dengan hati
memaki panjang-pendek...
0000***0000
"Tahukah kalian... bahwa
Kaisar KOTSYI NA-
GOYA menginginkan Pedang Pusaka
milik SOKU SHE-
BA si kakek kaki buntung yang
mendiami dasar Lem-
bah Air Mata...!" berkata
Huyima. Mereka sudah du-
duk di satu ruangan persegi,
setelah melewati lorong
menuju ke bawah. Ternyata di
sini ruangan menjadi
terang, dengan adanya sinar
matahari yang masuk da-
ri satu lubang di atas
langit-langit. Hamada tersentak
kaget. Hatinya membatin. Aku
diperintah guru untuk
mencuri Pedang Pusaka itu. Entah
barang Pusaka ma-
cam apakah pedang itu hingga
Kaisar pun mengingin-
kannya?
"Bahkan bukan Kaisar saja
yang menginginkan,
akan tetapi juga para Pembesar
Kerajaan. Mereka
mengirimkan Ninja-Ninja ke
Lembah Air Mata untuk
mencuri Pedang Pusaka itu."
tutur Huyima lebih lan-
jut.
"Ah, ternyata begitu banyak
orang yang men-
ginginkan Pedang Pusaka itu.
Mengapa Kaisar tak tu-
run tangan mengerahkan laskar
untuk memaksa me-
minta Pedang Pusaka itu dari
tangannya? Atau mengi-
rim utusan agar Soku Sheba
menghadap padanya?"
bertanya Hamada.
"Hal itu aku tak tahu! Tapi
agaknya Kaisar tak
mau melakukan kekerasan, karena
merusak citranya
sebagai kaisar yang diagungkan
di wilayah ini...!" me-
nyahut si bibi,
Sementara kakek Matsui tercenung
tanpa ber-
kata apa-apa. Terdengar suara
helaan nafasnya, seper-
ti merasa hal itu menyesakkan
rongga dadanya.
"Baiklah! beritamu itu aku
terima! Akan tetapi
jelaskanlah apa maksudmu menawan
kami dengan
menyuruh Ninja ninja anak buahmu
melakukannya?"
tiba-tiba kakek Matsui buka
suara.
"Dan tampaknya diam-diam
kau punya gerakan
di bawah tanah, yang secara
sembunyi melakukan ke-
giatan memata-matai orang-orang
Kerajaan...! Huyima
tersenyum seraya menghela
napas, lalu katanya den-
gan nada tegas.
"Hm, benar...! Bahkan aku
sudah tahu siapa
adanya orang yang berikan surat
pada Hamada! Bu-
kankah dia bernama HIGEI TANAKA
yang bergelar si
SETAN TANAH...?" seraya
berkata, Huyima berpaling
menatap pemuda itu. Tentu saja
Hamada disamping
terkejut, juga tersipu, karena
segera teringat ketika dia
pura-pura membersihkan
kakinya yang kena lumpur
dengan kertas yang berisi surat
singkat dari si Setan
Tanah itu.
"Kau ternyata banyak
mengetahui, bibi...! Aku
memang diberi kertas berisi
surat itu, untuk aku sege-
ra datang ke Lembah
Pedang!"
Dan tanpa menutupi lagi, segera
Hamada ceri-
takan tentang kegagalannya
mencuri Pedang-Pusaka
atas perintah gurunya. Juga
diceritakan tentang te-
wasnya dua orang kawannya dalam
menjalankan tu-
gas itu.
"Aku cuma diberi waktu tiga
pekan! Kalau aku
tak berhasil mendapatkan pedang
itu, terpaksa aku
membunuh diri! Dalam keadaan
kalut itulah aku ber-
jumpa dengan si Setan Tanah,
Higei Tanaka yang me-
nitahkan ku segera ke Lembah
Pedang. Dia menawari
ku agar aku dapat menjadi Ninja
Tulen maka diperin-
tahkan aku ke sana...!"
tutur Hamada.
"Hm, si Setan Tanah itu
terlalu sombong! Apa-
kah dia mengira usahanya akan
berhasil baik?" berka-
ta si "bibi".
Sementara si kakek Matsui tampak sudah
buka suara lagi. "Segeralah
kau jawab pertanyaanku
tadi, Huyima...!" nada
suara kakek Matsui ini terden-
gar ketus, seperti sudah tak
sabar mendengar alasan
yang bakal dikemukakan Huyima.
Akan tetapi pada saat itu
terjadi sesuatu yang
di luar dugaan. Karena lengan
Huyima telah tekan se-
buah tombol di bawah tempat
duduknya. Dan...
BRHUSSSSS...!
Tahu-tahu lantai persegi empat
yang diduduki
mereka telah menjeblak terbuka
terbelah di bagian
tengahnya. Tak ampun tiga tubuh
yang duduk di ha-
dapannya telah menggubrus masuk
ke dalam lubang.
Kecuali lantai tempat duduk
Huyima yang masih tetap
tak berubah. Dengan tertawa
mengikik tiba-tiba Huyi-
ma melesat dari tempat duduknya. Tiba-tiba dinding
ruangan di belakangnya telah bergerak turun dengan
cepat seperti roboh. Itulah
sebuah dinding besi tebal.
Dan...
BRUMMM...! Lubang barusan itu
sudah tertu-
tup rapat oleh dinding besi
tebal yang mirip batu goa
itu.
"Keparat...! lagi-lagi kita
terpedaya...! Huuuh!"
memaki Hamada dengan mengeluh.
Akan tetapi pada
saat itu terdengar suara tertawa
mengikik dari atas lu-
bang. Sebuah lubang kecil di
bagian atas mengantar-
kan suara wanita itu sampai ke
dasar lubang.
"Hihihi... hihi... hik hik
hik... Aku memang mau
memasukkan kalian dalam penjara
bawah tanah ini,
agar tak mengganggu urusanku...!
Nah selamat men-
dekam di lubang ini!
Mudah-mudahan kalian masih
bisa berumur panjang...!"
Setelah perdengarkan terta-
wanya lagi, suasana kembali
lengang. Karena si wanita
bernama Huyima itu sudah
berkelebat ke luar dari
ruangan bawah tanah dalam lorong
itu.
"Bedebah...! manusia
busuk...! kelak akan kau
rasai balasanku kalau aku
berhasil ke luar dari lubang
sialan ini...!" memaki si
kakek Mitsui. Akan tetapi ter-
kejut laki-laki tua ini karena
tak melihat adanya Roro
di antara mereka. "He? Ke
mana gerangan gadis asing
itu?"
Kakek Mitsui jelalatkan matanya
lebar-lebar di
tempat gelap. Akan tetapi memang
tak menampak tu-
buh lain selain Hamada.
Hamada sendiri pun terheran,
akan tetapi ha-
tinya terlonjak girang.
"Pasti dia berhasil menyela-
matkan diri di saat kejadian
tadi...!" berkata Hamada.
"Ah, benar dugaan mu itu
Hamada...! Gadis as-
ing itu berkepandaian tinggi dan
banyak akalnya.
Tampaknya dia sudah banyak
pengalaman di luaran.
Terbukti bisa sampai ke daratan
Negeri kita, berarti
bukan seorang gadis sembarangan.
Setidak-tidaknya
adalah seorang Pendekar Sakti...! Entah siapa geran-
gan sahabatnya yang berdiam di
lereng Gunung BUK-
KYO!"
***
ENAM
KEMANAKAH gerangan Roro
Centil...? Kalau
saja Roro tak memiliki ilmu
ajian SARI RAPET yang
sudah sejak lama dimilikinya
warisan dari gurunya si
Manusia banci pasti sudah ikut
terjerumus ke dalam
lubang. Akan tetapi Roro memang
sudah waspada se-
jak duduk di lantai persegi
empat itu. Dan diam-diam
pergunakan ilmu itu untuk
membuat tubuhnya me-
nempel pada lantai yang
didudukinya. Ilmu Ajian Sari
Rapet ini agak mirip dengan ilmu
CECAK yang terda-
pat di negeri Sakura itu. (Roro
pernah pergunakan il-
mu ini ketika melawan musuhnya,
dalam judul "Pem-
balasan si Setan
Cengkrong").
Sebelumnya Roro Centil memang
telah menge-
tahui kalau lantai yang
diinjaknya adalah kosong pada
bagian bawahnya. Karena dengan
menjadi murid si
Manusia Banci, Roro telah mampu
menaklukkan ge-
lombang Pantai Selatan. Baginya
sudah dapat membe-
dakan setiap sentuhan kulit
kakinya pada tempat yang
dipijak. Untuk masa itu amatlah
sulit mencari orang
yang mempunyai Ilmu berdiri di
atas air. Karena ilmu
itu harus dikuasai oleh orang
yang bertenaga dalam
tinggi. Beruntunglah Roro Centil
pernah mewarisi te-
naga dalam yang hebat dari Si DEWA TENGKORAK,
yang telah memberikannya di saat
kematian menjem-
put jago tua golongan hitam itu.
(Baca: Empat Iblis
Kali Progo).
Ternyata di saat lantai terbelah
bagian tengah-
nya, dan ketiga tubuh mereka
meluncur masuk ke lu-
bang. Tubuh Roro Centil masih
tetap menempel di
tempatnya seperti lengket
menjadi satu dengan lantai
yang didudukinya. Dan di saat
mana Hamada melesat
dari tempat duduknya setelah
menekan tombol di ba-
wah tempat duduk. Kemudian
dinding besi di bela-
kangnya tahu-tahu menjeblak
roboh untuk segera me-
nutup lubang. Pada detik itulah
tubuh Roro berkelebat
ke atas langit-langit ruangan.
Dan menempel di sana.
Tentu saja Roro Centil dapat
memperhatikan jelas dari
atas langit-langit.
Huyama membungkuk membuka sebuah
lu-
bang kecil di sudut penutup
lubang. Lalu kirimkan su-
aranya ke bawah. Kalau Roro mau
bertindak, saat itu
bisa membekuknya lagi. Akan
tetapi dia memikir akan
mengetahui rahasia tempat itu.
Hingga dengan mena-
han napas Roro tetap berdiam di
tempatnya. Hingga
sampai si wanita itu berangkat
pergi meninggalkan
tempat rahasia itu.
Namun Roro tetap menanti dengan
sabar sam-
pai suasana aman. Dilihatnya
beberapa Ninja bermun-
culan. Setelah membuka sebuah
lorong dengan mene-
kan tombol rahasia, segera
mereka memasuki lorong
itu dan lenyap. Pintu lorong
segera menutup lagi.
"Hm, kini saatnya aku
turun..." desis dara Per-
kasa ini. Akan tetapi begitu
kakinya menginjak lantai,
sesosok tubuh muncul dari pintu
ruangan Terkesiap
Roro Centil. Ternyata masih ada
seorang Ninja yang
ketinggalan. Baru saja Ninja itu
mau memasuki lorong
rahasia, dan gerakkan tangan
menekan tombol, dia te-
lah urungkan niatnya. Dan cepat
menoleh....
Namun secepat kilat Roro Centil
telah menda-
hului berkelebat. Lengannya
terjulur. Dan sekejap saja
si Ninja itu sudah roboh dalam
keadaan tertotok. Se-
lanjutnya... BRET! BRET...! Roro
sudah merobek penu-
tup muka si Ninja. Segera
terlihat adanya siapa si Nin-
ja itu. Ternyata seorang wanita!
Tentu saja membuat
Roro terheran.
"Hihi... kau kini jadi
tawananku...! Segera beri-
tahukan di mana tombol pembuka tutup
lubang itu!"
bentak Roro.
Terperangah Ninja perempuan itu.
"Aku... aku
tak dapat memberitahukan!"
berkata si Ninja dengan
wajah pucat.
"Hm, ternyata kau keras
kepala juga! Aku ha-
rus mengorek beberapa keterangan
darimu! Kalau kau
tetap membungkam jangan katakan
aku kejam!" ujar
Roro menggertak. Akan tetapi si
Ninja wanita ini cuma
plengoskan wajahnya. Roro
gerakkan lengannya mero-
goh sesuatu dari balik
pakaiannya. Sekejap sudah ter-
cekal sebuah bumbung bambu
bersumbat. Bumbung
bambu itu mempunyai lubang udara
pada bagian atas
sumbat.
BREBEET...! Sekali lengan Roro
menyentak, se-
gera pakaian si Ninja wanita
bagian atasnya telah ter-
sobek lebar.
"Ah...!? Mau kau apakah
aku?" terperangah si
Ninja wanita itu karena sekejap
saja sudah menampak
separuh bagian tubuhnya.
Terkejut juga Roro Centil
karena segera dapatkan dari
dalam pakaian belasan
pisau kecil, beberapa utas
tambang dan benda-benda
bulat. Agaknya benda-benda bulat
itulah benda yang
bila dikeluarkan akan meletup
dan mengeluarkan asap
tebal. Sepasang payudara yang
mungil tak seberapa
besar dan putih mulus segera
tersembul ke luar.
"Aku akan memaksamu untuk
bicara...!" Berka-
ta Roro dengan wajah bengis.
Tutup sumbat tabung
bambu itu sudah dibuka. Dan
dengan enak saja Roro
Centil segera tuangkan isinya ke
atas dada orang....
"Aaauu...!? aauu...!
aauuuh...!" berteriak-teriak
si gadis Ninja itu. Karena
segera belasan ekor Kala te-
lah merayap di atas dadanya.
Akan tetapi tubuhnya
memang sudah tak mampu untuk
digerakkan. Semen-
tara Roro terpingkal pingkal
geli menyaksikan si gadis
Ninja yang ketakutan. Diam-diam
Roro jadi teringat
pada beberapa tahun yang silam
di saat bertemu den-
gan gurunya ( si Manusia Banci).
Dia pun pernah diperlakukan
demikian oleh
sang guru. Pada waktu itu Roro
takutnya bukan main,
tak beda dengan ketakutannya si
Gadis Ninja itu. Akan
tetapi Roro sekarang sudah
mengenai baik beberapa
jenis binatang berbisa. Bahkan
binatang-binatang itu
sudah menjadi permainannya.
"Baik...! baik...! aku akan
bicara!" teriak si Nin-
ja dengan spontan.
"Hihihi... ! begitulah baru
anak yang baik...!":
berkata Roro, yang segera raup
binatang-binatang ber-
bisa itu untuk masukkan lagi ke
dalam bumbung. Lalu
selipkan lagi dalam pakaiannya.
"Nah! Segera kau tunjukkan
cara membuka tu-
tup lubang itu!" perintah
Roro. Si Ninja wanita ini me-
nepati janjinya. Segera
beritahukan alat-alat untuk
menggerakkan dinding besi.
Tak ayal segera Roro tekan satu
tombol yang
tersembunyi di sudut ruangan.
Benar saja. Segera ter-
dengar suara gemuruh di bawah
kaki Roro. Dan dind-
ing besi itu bergerak naik
kembali ke asalnya. Dan
tampak mulut lubang sudah
terlihat menganga. Roro
perlihatkan senyumnya, dan
tiba-tiba sudah melompat
menghampiri si Ninja wanita.
Tiga utas tambang segera
disambungkan menjadi satu. Dan
di lain saat Roro
Centil sudah lemparkan ujungnya
ke dalam lubang
serta mengulurnya dengan cepat.
"Cepatlah kalian naik...
satu persatu!" teriak
Roro.
Kakek Matsui dan Hamada saling
pandang
dengan tersenyum melihat tali yang sudah menjulur
tiba. "Aih, gadis asing itu
memang hebat!" puji kakek
Matsui.
"Kau naiklah duluan,
Hamada...!" ujarnya pada
Pemuda itu.
Hamada mengangguk. Dan cepat
lengannya
meraih tambang. Tak lama dia
sudah merayap naik.
Roro pergunakan ilmu memberatkan
tubuh. Hingga
dengan berdiri santai menahan
tali di atas lubang.
Selang sesaat tubuh Hamada telah
tersembul
keluar. Kejap berikutnya sudah
melompat ke sisi lu-
bang.
"Kakek Matsui...! Kini
giliran kau...!" teriak Ro-
ro. Terasa tambang menegang dan
bergerak-gerak.
Ternyata kakek Matsui sudah
merayap naik. Sekejap
antaranya tubuh si kakek itu pun
sudah tersembul ke
atas. Lalu melompat ke sisi
lubang.
"Ah, terima kasih atas
pertolonganmu, nona
Roro Centil!" berkata kakek
Matsui yang segera dituru-
ti oleh Hamada.
"Kita telah berhasil
menangkap seorang anak
buah si Huyima itu!
Lihatlah...!" berkata Roro seraya
menunjuk pada si Ninja wanita
yang tergolek dengan
wajah pias di sudut ruangan.
Sekejap saja kakek Matsui dan
Hamada sudah
beranjak mendekati.
"SUZI...! kau... kau...?" terperangah Hamada
melihat gadis Ninja itu yang
dikenalnya.
Akan tetapi gadis Ninja itu
sudah tutup kelopak
matanya. Terdengar suaranya
bernada dingin.
"Bunuhlah aku...! kalian
semua sudah selamat
dari tempat ini! Dan aku... aku
pun sudah tak dapat
hidup lagi...!" berkata si
Ninja wanita.
"Suzi...! aku tak mengerti,
mengapa kau menja-
di seorang Ninja? Apakah maksud
bibi Huyima men-
jebloskan kami ke lubang
perangkap bawah tanah ini?"
Akan tetapi yang ditanya sudah
membungkam. Ter-
dengar suara Roro Centil ikut
bicara. "Hm, Suzikah
namamu, adik manis? Kau
bicaralah! Aku akan lin-
dungi kau dari hukuman Ketua
mu!"
Ninja wanita bernama Suzi itu
tak menjawab.
Akan tetapi dari sudut kelopak
matanya tampak men-
galir air bening yang meleleh
turun ke pipinya. Roro
jadi tertegun. Sejenak sudah
memandang pada kakek
Matsui dan Hamada
berganti-ganti. Terdengar kakek
Matsui menghela napas.
------ooO-------
Emoticon