TUJUH
KEMATIAN SI NAGA HIJAU dan
seluruh anak
buahnya dimarkasnya, sebentar
saja telah menyebar
dikalangan kaum Rimba Hijau.
Bahkan dua orang yang kedatangan
tewas den-
gan tubuh keracunan, dapat
dikenali siapa adanya.
Tentu saja menjadi buah bibir
dimana-mana. Empat
Iblis Pulau Menjangan itu memang
dalam pelacakan
para kaum Pendekar penjunjung kebenaran
dan pem-
bela keadilan. Ternyata yang
paling teramat geram dan
mendongkol bukan main adalah
Adipati WIRALAGA.
Karena dia tak menyangka sama
sekali kalau justru
sang Tumenggung Dipayana yang
ditugaskan ke pesi-
sir pantai laut kidul tak lain
salah seorang dari Empat
Iblis itu.
Belakangan didengarnya berita
bahwa pemban-
tai sadis yang mengobrak abrik
markas Naga Hijau
adalah seorang wanita yang bisa
beralih rupa menjadi
seekor serigala. Bahkan dapat
menciptakan serigala-
serigala misterius yang bisa
membunuh manusia den-
gan sekejapan saja. Agak ngeri
hati sang Adipati ini,
karena dia khawatir terbawa-bawa
sial. Bisa saja ke-
sialan itu akan menimpa dirinya
karena Tumenggung
Dipayana itu adalah orang
bawahannya yang bermu-
kim di gedung Kadipaten.
Adipati Wiralaga berjalan
mondar-mandir di
ruang pendopo gedung Kadipaten
dengan menggen-
dong tangan. Benaknya berpikir
keras.
Tampak wajah sang Adipati ini
sebentar pucat
sebentar merah menegang.
"Dengan tewasnya Tumenggung
Dipayana yang
ketahuan adalah salah seorang
dari Empat Iblis Nusa
Kambangan juga dua orang dari
kelima orang yang te-
lah membentuk Partai Lima Naga
Setan berarti kedu-
dukanku dalam bahaya...!"
berdesis Adipati Wiralaga.
"Sebaiknya aku harus
berangkat secepatnya ke
pesisir laut kidul! Rencana
pendaratan kapal asing dari
Hindia harus
dibatalkan...!" desisnya lagi.
Memikir demikian segera Adipati
Wiralaga ber-
gegas masuk ke ruangan dalam.
Lalu menemui istrinya
yang tengah duduk menyulam
diberanda tengah.
"Suridewi...! aku akan
melakukan perjalanan
jauh untuk satu tugas penting
dari Kerajaan. Kuharap
kau baik-baik menjaga diri dirumah!" berkata Adipati
Wiralaga. Wanita itu letakkan
kain sulamannya seraya
menatap pada Adipati Wiralaga
dengan kening berke-
rut.
"Bila kakang akan
berangkat? Akan memakan
waktu lamakah tugas itu?"
bertanya sang istri. Adipati
Wiralaga memang tak mempunyai
keturunan selama
berumah tangga yang hampir lebih
dari 10 tahun,
hingga suasana digedung
Kadipaten itu tampak amat
sunyi.
"Tentu saja, istriku...!
Setidak-tidaknya mema-
kan waktu satu bulan!"
sahutnya. "Aku akan segera
berangkat besok pagi! Nah, kau
persiapkanlah perbe-
kalan untuk perjalananku
besok...!"
Tercenung sejenak sang istri,
seraya menghela
napas dan terdengar suara gumam
wanita itu lirih.
"Lagi-lagi tugas! lagi-lagi
tugas...!" gerutunya. "Tugas
apakah dari baginda Raja itu
kakang...? kudengar kau
sudah mengutus Tumenggung
Dipayana untuk tugas
mengantarkan surat mu ke pantai pesisir laut kidul.
Apakah tak sebaiknya kau
menunggu kedatangan-
nya...?" tiba-tiba istrinya
bertanya. Dari kata-kata itu
seperti seolah sang istri telah
mengetahui kalau sua-
minya akan berangkat ke pesisir
laut kidul, akan tetapi
tak mengetahui kalau adanya peristiwa
di markas Na-
ga Hijau yang menyebabkan
kematian sang Tumeng-
gung.
Adipati Wiralaga kerutkan
keningnya, alisnya
bergerak naik seraya berkata.
"Ah, kau perempuan ta-
hu apa? sudahlah, tenangkan
hatimu. Percayalah! aku
bukan mau bersenang-senang diluaran.
Semua tugas
yang kujalankan adalah atas
titah Raja! Hilangkanlah
kecemburuanmu! hahaha... jangan
terlalu khawatir-
kan suamimu ini akan cari
perempuan lagi!" tertawa
sang Adipati, karena menduga
istrinya mencurigai
maksud kepergiannya.
"Bukan soal cemburu,
kakang...! Cuma aku he-
ran, kau sudah mengirim orang
akan tetapi tak me-
nunggu pulangnya orang yang kau
tugaskan, bahkan
kau sendiri akan berangkat
pergi. Bukankah aneh...?"
berkata istrinya, seraya
beranjak masuk ke kamar.
Adipati Wiralaga tak menyahuti
tapi tenggelam
dalam alam pikiran dibenaknya...
Berita kemunculan Manusia
Serigala Hantu,
seorang wanita yang berilmu
tinggi yang telah mem-
bantai habis penghuni Markas si
Naga Hijau berikut
dua orang dari 4 Iblis Pulau Menjangan
itu bukan tak
dipikirkannya. Tapi sudah sejak
mendengar berita itu,
Adipati Wiralaga sering gelisah.
Surat yang gagal disampaikan
Tumenggung Di-
payana menjadi pula beban
pikirannya. Apalagi dike-
tahui dan telah menyebar ke
setiap pelosok bahwa
Tumenggung Dipayana itu dikenali
sebagai salah seo-
rang dari Empat Iblis Pulau
Menjangan yang pernah
gagal ditumpas golongan
pemerintah Kerajaan dan pa-
ra kaum Pendekar di Pulau Nusa
Kambangan....
Dikhawatirkan surat itu jatuh ke
tangan pihak
orang-orang Kerajaan. Surat itu
bisa mengakibatkan
kejatuhan kedudukannya sebagai
Adipati, dan men-
gungkap rencana persekutuannya
dengan lasykar as-
ing. Dia bisa dituduh mutlak
sebagai pemberontak
yang mau menggulingkan Kerajaan
dengan meminta
bantuan pasukan asing dari
Hindia yang telah diren-
canakan pendaratannya.
Dan... memang demikian pulalah
kenyataan-
nya...
Matahari membersitkan sinar
teriknya pada
siang itu seperti mau membakar
jagat. Seorang pe-
nunggang kuda menjalankan
kudanya dengan cepat
menerobos jalan-jalan setapak
dilereng bukit. Dialah
Adipati Wiralaga yang tengah
"meluncur" menuju ke-
perbatasan. Yaitu pesisir pantai
laut kidul. Perjalanan
itu memang bukanlah perjalanan
pendek, karena me-
makan waktu tak lebih dari lima
hari, karena sukarnya
perjalanan yang harus ditempuh.
Juga harus mengi-
nap diperjalanan bila waktu
menjelang malam.
Saat itu di atas bukit berdiri
sesosok tubuh di-
kejauhan. Melihat adanya seekor
kuda berlari dengan
amat cepat di bawah lereng,
sosok tubuh itu berkele-
bat turun dan menyusul...
Ternyata diam-diam sosok tubuh
itu membun-
tuti si penunggang kuda.
Perjalanan kini mulai memasuki
satu padang
rumput tebal yang terbentang di
depan mata berlatar
belakang perbukitan yang
berhutan lebat.
Ketika memasuki mulut hutan
setelah melewati
sebuah candi, tiba-tiba kuda
tunggangan Adipati Wira-
laga perdengarkan ringkikkannya,
dan terjungkal ja-
tuh. Tentu saja Adipati Wiralaga
cepat melompat dari
punggung kudanya agar tak
terluka tubuhnya. Sebagai
seorang yang punya
"isi" Adipati Wiralaga dapat jejak-
kan kakinya dengan ringan di
tanah. Namun dia amat
terkejut dengan kejadian
mendadak itu. Sementara
sang kuda berkelojotan dengan
meringkik kesakitan.
Sesaat antaranya kuda itupun
diam tak bergeming la-
gi.
"Mati...!?" berdesis
suara sang Adipati ketika
memeriksanya. Didapati diperut
kuda dan leher ter-
tancap tiga buah pisau kecil
berbentuk keris. Seketika
pucatlah wajahnya. Diam-diam
tengkuknya bergidik,
karena seandainya si penyerang
mau membunuhnya
tentu akan sudah terjadi karena
dia sama sekali tak
mendengar suara berdesirnya
senjata rahasia itu! Adi-
pati Wiralaga berdiri dengan
wajah menegang. Panca
indranya dipasang untuk meneliti
keadaan tempat se-
kitarnya.
"Siapakah yang telah
menyerang kudaku? ke-
luarlah! Seorang kesatria tidak
akan menyembunyikan
diri...!" berkata Wiralaga
setengah membentak. Suasa-
na disekitar mulut hutan itu
tampak hening. Sementa-
ra si penguntit berjongkok di
tempat persembunyian-
nya. Tampaknya sang penguntit
itupun terkejut den-
gan kejadian orang yang
dikuntitnya.
Pelahan sang penguntit itu
menyibakkan de-
daunan yang menghalangi
pandangannya untuk meli-
hat keadaan orang lebih jelas.
Ternyata sang penguntit itu seorang
dara ru-
pawan, bermata jeli dan berbibir
mungil bak delima
merekah. Siapa lagi kalau bukan
si Pendekar Wanita
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
kita RORO CENTIL, alias sang
Pendekar Wanita Pantai
Selatan!
Entah asap apa gerangan yang terendus
hidung
Roro. Baunya menusuk hidung dan
menggelitik ke da-
lam tenggorokan. "Gila! ini asap orang
membakar
cabe...!" berkata Roro
dalam hati. Tanpa disadari Roro
terbatuk-batuk karena
tenggorokannya gatal. Tak cu-
kup dengan itu saja, Roro telah
berbangkit beberapa
kali.
"Ha... hatsyiiiiih!
hatssyiiiih... !" setan Alas!"
memaki Roro dengan berdesis.
WHUUUK! PRASS...!
Segelombang angin telah menerpa
ke arah tem-
pat persembunyiannya memapas
habis semak belukar
dimana dia sembunyikan diri.
Ternyata Adipati Wiralagalah
yang telah menye-
rangnya, disertai bentakan
keras. "Manusia pengecut!
keluarlah dari situ!"
Tertegun sang Adipati karena tak
menampak
bayangan tubuh orang yang
diserangnya barusan. "Je-
las aku mendengar suara orang
batuk dan berbangkis!
Mustahil dia bisa lenyap dengan
begitu saja...?" berka-
ta Adipati Wiralaga dalam hati.
Sepasang lengan laki-
laki ini tersilang didada, siap
menghadapi segala ke-
mungkinan. Tiba-tiba terdengar
suara tertawa merdu
dibelakangnya yang diiringi
kata-kata.
"Hihihi... tidak hujan
tidak angin mengapa kau
menyerangku...?" Terkejut
sang Adipati. Cepat Adipati
ini balikkan tubuhnya. Lengannya
siap menyerang
orang yang tertawa
dibelakangnya. Akan tetapi dia jadi
tertegun, karena seorang gadis
cantik berpakaian war-
na hijau berdiri di hadapannya
dengan bersidakep
memeluk tangan.
"Anda bukan si penyerang
kudaku? Heh! siapa-
kah gerangan anda, nona?"
bertanya Adipati Wiralaga.
Diam-diam hati Adipati ini agak
lega karena bukanlah
si Manusia Serigala Betina itu
yang muncul. Namun
kalau wanita muda ini yang
mengakui perbuatannya,
berarti ada orang lain yang
telah membuat kudanya
mati kena serangan senjata
rahasia.
"Hihihi... namaku Roro
Centil...!" menyahut Ro-
ro dengan leletkan lidah dan
tersenyum manis. Sepa-
sang matanya mengerling pada
kuda Adipati itu yang
terlentang tak bergeming.
"Kudamu telah diserang
orang, akan tetapi bu-
kan aku penyerangnya! Mengapa
orang itu tak menye-
rangmu! Justru kudamu yang jadi
sasaran!" lanjut Ro-
ro dengan gerakkan alisnya.
Sementara diam-diam Ro-
ro pasang telinganya untuk
mendengar adanya tanda-
tanda yang mencurigakan
disekelilingnya. Adipati Wi-
ralaga memperhatikan Roro dari
bawah sampai ke atas
beberapa kali.
"Hm, aku tak mendengar
adanya tanda-
tandanya orang lain disekeliling
tempat ini. Kalau bu-
kan kau yang membunuh mati
kudaku, habis siapa la-
gi...?" berkata Adipati
Wiralaga.
"Huh! kalau kau tak
mempercayai kata-kataku
apakah kau lebih percaya pada
setan?" ujar Roro den-
gan melototkan matanya.
"Tampaknya kau kurang teli-
ti melihat ke sekelilingmu! Apakah kau tak membaui
baunya cabe yang dibakar? Bau
itulah yang membuat
aku berbangkis dan
terbatuk-batuk.
Jelas yang menyerang kudamu
adalah setan
Cebe...!" berkata Roro
dengan nada keras. Roro me-
mang tengah memancing agar si
penyerang penung-
gang kuda itu munculkan diri.
Akan tetapi yang ditunggu
ternyata tidak mun-
cul menampakkan diri, membuat
Roro jadi heran "Se-
tan alas...! maki Roro dalam
hati. Pendekar Wanita ini
putarkan pandangannya ke
beberapa arah. Tiba-tiba
melengak Roro Centil ketika
menatap ke arah Candi
yang kira-kira berada sejauh dua
puluh lima tombak,
batu paling atas dari susunan Candi
itu bergerak...
Dan meluncur ke arah mereka
berdiri. Cepat sekali ba-
tu persegi empat sebesar kasur
itu datangnya.
"Awas...!" teriak Roro
memperingati Adipati Wi-
ralaga.
BLUG! batu besar itu
menggelinding menerabas
semak. Roro Centil telah melesat
lenyap dari tempat
itu. Sedangkan Adipati Wiralaga
terkejut, seraya me-
lompat menghindar. Ketika
melihat ke arah Roro ter-
nyata manusianya telah tak
kelihatan lagi batang hi-
dungnya.
***
DELAPAN
"SIAPA KAU...?"
membentak Roro Centil ketika
melihat sesosok tubuh menyelinap
ke balik candi. Len-
gan Roro sudah terangkat untuk
menghantam batu
Candi, akan tetapi segera
diurungkan. "Hm, manusia
ini enak saja merusak batu Candi
tanpa menghargai
jerih payah orang yang
membuatnya. Mengapa aku ha-
rus ikut-ikutan merusak?"
pikir Roro.
Memikir demikian Roro berkelebat
melompat
cepat ke arah sisi sebelah
kanan. Dari celah batu Can-
di ini dia bisa melihat sosok
tubuh orang itu. Akan te-
tapi cuma sekejap, karena orang
itu sudah melesat lagi
ke arah sebelah bawah. Roro jadi
mendongkol. "Sialan!
rupanya kau mengajakku main
kucing-kucingan di
tempat ini?" memaki Roro
Centil. Diapun melesat pula
ke bawah untuk mengejar orang. Dibalik batu yang
memanjang ke atas satu setengah
depa berukiran rak-
sasa bertangan delapan itu Roro
Centil memasang
panca indranya untuk dapat
mengetahui setiap gera-
kan orang yang dikejarnya.
Namun sampai sekian lama tak ada
tanda-
tanda orang bergerak. Roro
kerenyitkan keningnya ter-
heran. "Apakah dia sudah
kabur keluar?"
Benak Roro bekerja untuk
mengambil keputu-
san keluar dari tempat
terlindungnya. Akan tetapi se-
konyong-konyong kembali dia
terbatuk-batuk ketika
membaui asap orang membakar
cabe. "Setan alasss...!"
tersentak Roro Centil. Jelaslah
kini orang yang meni-
upkan asap menyebarkan bau pedas
ketika tengah
mengintai penunggang kuda yang
dikuntitnya adalah
orang ini.
Segera Roro gerakkan lengannya
menutup hi-
dung. Tapi sebelah lengannya
bergerak memutar bebe-
rapa kali. Hebat gerakan ini,
karena segera menimbul-
kan angin memutar ke setiap
sela-sela Candi tanpa se-
dikitpun merobohkan batu-batu.
Sesaat udara kembali
bersih, bebas dari polusi.
Terdengar suara tertawa mengekeh
menggelitik
anak telinga. Tersentak Roro
Centil segera dia sudah
mengetahui dari mana asalnya
arah suara tertawa. Se-
kali berkelebat dia sudah
melompat kebangunan candi
sebelah depan,
"Heheheheh... heheh...
hebat! hebat! Pendekar
Wanita Roro Centil memang bukan
nama kosong se-
perti yang pernah kudengar.
Agaknya asap tembakau
ku terlalu banyak ku bubuhi
cabe...! Heheheh... maaf,
maaf, asap rokok ku telah
mengganggu anda...!"
Melengak Roro Centil ketika
melihat seorang
kakek berjubah kelabu duduk di
atas stupa dengan
menghisap cangklongnya. Melihat
perawakannya ka-
kek itu bertubuh agak pendek
rambutnya awut-
awutan tak terurus tanpa ikat
kepala. Kumis dan jeng-
gotnya pendek, akan tetapi tebal
memenuhi dagu dan
bawah hidungnya, yang berwarna
kelabu. Kulit mu-
kanya hitam legam dan penuh
keriput.
"Hm... siapakah kau
kakek?" bertanya Roro.
Diam-diam Roro Centil perhatikan
perawakan dan wa-
jah orang. Kakek jubah abu-abu
itu kembali tertawa
mengekeh seraya ketuk-ketuk pipa
cangklongnya
membuang tembakau. Setelah meniup ke berapa kali
pada pipa cangklongnya
membersihkan abu yang me-
lekat disana lalu menyelipkannya
ke saku jubahnya
sebelah dalam. Kemudian
mendongak menatap Roro.
"Namaku aku malas
menyebutkannya, baiknya
kuberitahukan saja gelarku...!
heheheh... orang Rimba
Hijau menggelariku si Lutung
Pancasona.!"
"Hm... kaukah orangnya yang
telah menyerang
kuda tadi?"
"Benar...! Sengaja kubunuh
kudanya karena
perintah yang kuterima adalah
demikian!"
"Siapa yang memerintahkanmu!"
dan siapa pu-
la laki-laki berkuda itu?"
tanya Roro dengan tercenung
heran.
"Dia adalah Adipati
Wilaraga. Yang memerin-
tahkan aku melakukan itu
istrinya sendiri!" sahut si
kakek Lutung Pancasona.
"Aneh...!" urusan
apakah kedua suami istri itu
saling bertolak belakang?"
"Entahlah! aku sendiri tak
mengetahui! Aku
cuma ditugaskan untuk
mencegatnya diperjalanan,
dan membunuh kudanya!"
"Untuk pekerjaan itu
tentunya kau mendapat
upah lumayan...!"
"Heheheh... benar! Bukan
saja upah uang akan
tetapi juga upah meniduri istri
Adipati itu yang cantik-
nya lumayan juga...!
heheheh..."
"Gila...!" Memaki Roro
dengan mata melotot.
"Perempuan macam apakah
istri Adipati itu...?" berka-
ta Roro dengan bibir cemberut.
"Ku lihat si Adipati itu
bila dibandingkan dengan
tampangmu, masih lebih
gagah suaminya! mengapa dia bisa
kepincut padamu?"
sambung Roro.
"Heheheh... dunia ini
memang aneh! Dan kea-
nehan itu bisa terjadi dimana
saja. Juga di tempat
ini...!" berkata si kakek
dengan garuk-garuk kepalanya.
Rambut coklatnya yang
awut-awutan itu semakin ku-
sut.
"Apa maksud ucapanmu?"
bentak Roro yang
sudah mengetahui gelagat.
"Heheheh... heheh...
maksudku bukankah tidak
mustahil kalau kau pun bisa-bisa
kena kepincut oleh-
ku! hahaha hehee..."
Mengakak tertawa si kakek hing-
ga tubuhnya berguncangan.
Akan tetapi diam-diam Lutung
Pancasona telah
kerahkan kekuatan ilmu batinnya
untuk menyerang
Roro.
Tak sadar Roro Centil kalau
diapun jadi ikut-
ikutan tertawa mengikik.
Sementara sepasang mata
kakek itu semakin binal
menjalari setiap lekuk-lekuk
tubuh Roro dan mengagumi
wajahnya.
Melihat kekuatan ilmu batinnya
mempengaruhi
syaraf si gadis pendekar itu
membawa hasil, tiba-tiba
dia hentikan tertawanya secara
mendadak. Dan... se-
konyong-konyong tubuhnya
melentik bagaikan ikan
dari atas batu stupa yang
diduduki. Lengannya terju-
lur ke arah Roro yang masih
terpingkal-pingkal dengan
tubuh terhuyung memegangi
perutnya. Tampaknya
Roro seperti geli sekali tanpa
tahu apa yang ditertawa-
kan.
Akan tetapi mencelos hati Lutung
Pancasona
karena serangan mendadak untuk
menotok Roro Cen-
til tak mengenai sasaran.
Aneh...!?" pikir si Lutung
Pancasona. "Dalam keadaan
kena pengaruh kekuatan
batinku dia masih bisa
menghindari serangan..." Tak
ayal segera Lutung Pancasona
kembali julurkan len-
gannya ke beberapa arah dibagian
tubuh Roro, bahkan
dibarengi pula dengan pukulan tangannya. Lagi-lagi
dia melengak, karena dengan
masih mengikik tertawa
Roro bergerak terhuyung ke
belakang dan ke depan,
bahkan menekuk tubuh sampai
rambutnya terjulai ke
tanah tak ubahnya bagaikan orang
mabok arak dan
serangan itu lolos tak menemui
sasaran.
Tiba-tiba... BUK! Mengaduh si
Lutung Pancaso-
na karena tahu-tahu kaki Roro
telah melayang santar
menghantam punggungnya. Tak
ampun tubuh si ka-
kek muka hitam brewok itu
tersungkur mencium ta-
nah. Ketika bangkit lagi
terperangah "kakek" ganjen ini
karena segera meraba wajahnya
yang rusak. Di samp-
ing merasa sakit pada punggung,
dia juga terkejut ka-
rena jenggot dan kumisnya yang
lebat telah berlepasan
separuhnya. Sementara Roro
Centil telah hentikan ter-
tawanya. Dia berdiri menatap
pada si Lutung Pancaso-
na yang kulit wajahnya telah
terkoyak mengelupas.
"Setan alas...! Kiranya kau
pakai kulit muka
palsu...!?" bentak Roro
dengan mata melotot. Lengan-
nya terangkat untuk menghantam
manusia dihada-
pannya. Namun Lutung Pancasona
bergerak lebih ce-
pat untuk selamatkan diri.
WHHUUKKK!... BHLARRR!
Saking marahnya Roro menghantam
dengan
pukulan tenaga dalamnya. Tanah
menyemburat di ba-
wah candi. Namun Lutung
Pancasona telah melesat
kabur... Cepat sekali
berkelebatnya tubuh Lutung Pan-
casona yang belum diketahui
jelas wajahnya. Kulit
mukanya cuma tersibak sedikit,
dan Roro menampak
satu kulit yang putih serta
masih segar. Kulit muda!
yang berarti orangnya pun masih
berusia muda. Den-
gan geram Roro mengejar ke arah
"kakek" itu berkele-
bat.
Namun cepat sekali Lutung
Pancasona berlon-
catan, lalu lenyap tak ketahuan
kemana arah larinya.
Dengan kesal Roro
banting-bantingkan kakinya
ke tanah, lalu berkelebat pergi
dari tempat itu.
***
SEMBILAN
ADIPATI WIRALAGA menyibak semak belukar,
menuruni lereng bukit
menyeberangi pula anak sun-
gai.... Dengan keadaan terpaksa
dia mencari jalan ke
arah desa terdekat. Hari sudah
senja, dan dia memer-
lukan tempat menginap dalam
perjalanannya.
"Heh!? Aku baru ingat...!
Jalan ini menuju ke
desa Gombong dihilir sungai ini.
Hm, bagus! Aku bisa
benar-benar menikmati
istirahatku. Mengapa aku
sampai melupakan seseorang di
desa itu?" berdesis
Adipati Wiralaga.
Ketika hari hampir gelap dia
sudah memasuki
mulut desa. Adipati Wiralaga
masih ingat benar akan
jalan-jalan di desa Gombong itu
yang tidak banyak
menampakkan perubahan.
"Apakah bapak mengetahui
dimana rumah Nyi
Denok Warsih?" bertanya
sang Adipati pada seorang
tua yang berkeredong sarung
ketika berpapasan dija-
lan. Sejenak orang tua itu
memandang pada Adipati
Wiralaga, tampaknya agak
terkejut mendengar perta-
nyaan itu.
"Siapakah ki
sanak...?" bahkan dia balik ber-
tanya. Adipati Wiralaga
tersenyum seraya menjawab.
"Aku SUHARA...! dulu pada
belasan tahun yang lalu
pernah mempunyai seorang kekasih
di desa ini, ber-
nama Nyi Denok Warsih! aku
tak mengingatnya lagi
karena kesibukanku di Kota Raja.
Bahkan... bahkan
aku hampir melupakannya"
Terkejut laki-laki tua itu
dengan membeliakkan
sepasang matanya memandang pada
Adipati Wiralaga
yang memperkenalkan diri dengan
nama kecilnya. Se-
belum menjadi abdi Kerajaan
memang Adipati Wiralaga
bernama Suhara.
"Ah, sungguh tak
kusangka... ki sanak ternyata
Suhara. Ya, aku ingat betul akan
wajahmu. Marilah
singgah kerumahku, ki sanak.
Kita bisa bicara panjang
lebar...!" berkata
laki-laki tua itu.
Wiralaga alias Suhara
mengangguk. Dan segera
mengikuti langkah laki-laki tua
itu. Dalam perjalanan
yang memakan waktu tak lama
segera tampak sebuah
pondok sederhana. Tersentak
Wiralaga. Dia ingat betul
akan pondok itu, yang halamannya
ada tiga batang
pohon kelapa berjajar. Dulu tiga
batang pohon kelapa
itu masih kecil. Bentuk rumahnya
pun tak jauh berbe-
da dengan keadaan waktu dulu.
"Apakah ini... ini rumah
Nyi Denok Warsih?"
berkata Suhara alias Wiralaga
dalam hati.
"Silahkan masuk,
nak...!" Ujar laki-laki tua itu
seraya dia sendiri mendahului
melangkah masuk ke
dalam. Seorang wanita keluar
dari dalam.
"Ada tamu rupanya...!
Siapakah, paman...?" ta-
nyanya pada laki-laki tua itu.
"WARSIH...!? Benarkah
kau... Nyi Denok War-
sih?" Tiba-tiba Wiralaga
berseru tatkala melihat wanita
setengah usia yang baru saja
muncul menatapnya. Wi-
ralaga masih ingat betul akan
raut wajah kekasihnya.
Sisa-sisa kecantikan gadis desa
ini dulu masih mem-
bekas walau dia tampak tua.
Dan... ternyata wanita itupun
mengenali Wira-
laga, walau usia laki-laki itu
sudah sekitar empat pu-
luh lima tahun lebih. Namun
kegagahan masih mem-
bayang pada wajah dan ketegapan
tubuhnya. Adipati
Wiralaga memang selalu mencukur
kumis dan jeng-
gotnya, hingga selalu tampak
rapi. Cuma Wiralaga tak
memakai pakaian keadipatiannya
saja dalam perjala-
nan ke pesisir laut kidul yang
akhirnya singgah di desa
Gombong ini.
"Be... benar! Aku
Warsih...!" sahutnya. "Apakah
yang muncul dihadapanku ini Su...
Suhara...?" Agak
ragu wanita itu menatap
laki-laki didepannya.
"Tak salah, Asih...!
membenarkan laki-laki tua
itu yang membahasakan Nyi Denok
Warsih dengan se-
butan itu. "Dialah
Suhara...! Orang yang selalu kau
tunggu kedatangannya setiap
saat..." ucap laki-laki tua
itu, lalu menatap pada Wiralaga.
"Nak Suhara, Warsih
selalu setia menantikan
kedatanganmu. Aku pernah
mendustainya mengatakan bahwa
kekasih yang dinan-
tinya itu telah mati! Akan
tetapi dia tak percaya. Dia
merasa yakin bahwa suatu saat
kau akan datang. Ter-
nyata keyakinan hatinya itu
menjadi kenyataan...!"
***
Adipati Wiralaga duduk
dibalai-balai kayu bera-
laskan tikar pandan.
Disampingnya duduk Nyi Denok
Warsih dengan menunduk. Pada
pipinya mengalir air
mata... Entah air mata bahagia,
entah air mata berdu-
ka.
Laki-laki Kadipaten ini
menggamit dagu perem-
puan itu. Sebelah lengannya
bergerak perlahan untuk
mengusap air mata yang meluncur
turun seperti tiada
habisnya dari kelopak mata
perempuan itu. Namun se-
telah beberapa saat kesedihan
didada wanita itupun
mereda.
"Dua puluh tahun lebih aku
menantikan keda-
tanganmu, kakang Suhara! Dan...
benih yang kau ta-
nam dalam rahimku telah menjadi
buah. Si kecil yang
lahir tanpa ditunggui sang ayah
itu dapat sedikit
menghibur hatiku. Dia kuberi
nama KEN AYU...!" ber-
henti sejenak wanita itu untuk
mengusap air matanya
yang sekonyong-konyong kembali
membersit keluar
dari kelopak matanya.
Tergetar hati Adipati Wiralaga.
Akan tetapi dia
tak berani memotong pembicaraan
Nyi Denok Warsih.
Walau bibirnya sempat membisik.
"Ah, nama yang in-
dah..." Dada Wiralaga
terasa berdegupan kencang.
"Te... teruskanlah
Warsih...!" ucapnya dengan suara
agak parau tergagap.
"Baik kakang Suhara...
" menyahut Nyi Denok
Warsih menegarkan hati. Lalu
lanjutkan penuturan-
nya. "Kurawat baik-baik
bocah perempuan mungil
yang belum mengenai dosa itu.
Kubisikkan ditelin-
ganya bahwa dia masih mempunyai
seorang ayah...!
Akan tetapi... musibah telah
menimpa... empat orang
penjahat yang menamakan dirinya
Empat Iblis Pulau
Menjangan telah memasuki
desa...! Dan... terjadilah
aib yang menimpa diriku..."
sampai disini Nyi Denok
Warsih kembali berhenti
untuk menghapus air ma-
tanya yang kembali meluncur
turun membasahi pi-
pinya. Tersentak hati Wiralaga.
"Empat Iblis Pulau
Menjangan?" desisnya dengan
mata membelalak.
"Dan... mereka mem...
memperkosamu?" tan-
das Wiralaga dengan cepat. Nyi
Denok Warsih tunduk-
kan wajahnya dalam-dalam seraya
mengangguk.
"Keparat...!" memaki
Wiralaga dengan mata ti-
ba-tiba menjadi membinar.
"Dua dari Empat Iblis itu
telah mampus...! Yang dua lagi
adalah bagianku untuk
membunuhnya!" berdesis
Wiralaga dengan geram. "La-
lu... bagaimana anak kita?
Kemana Ken Ayu? Apa pula
yang terjadi dengan kedua orang
tuamu? kulihat be-
liau tak berada dirumah
ini..." tanya Wiralaga seraya
pegang kedua pundak Nyi Denok
Warsih.
"Ayah telah tewas ketika
menghalangi perbua-
tan biadab keempat manusia itu.
Ken Ayu... diculik
mereka. Dan... ibuku meninggal
sebulan kemudian ka-
rena tak kuat menerima kenyataan
yang dihadapi da-
lam musibah besar itu.
Selanjutnya aku hidup sendi-
ri...! Untunglah masih ada paman
dan bibiku yang se-
sekali datang
menyambangiku...!" Demikian tutur Nyi
Denok Warsih. Ternyata laki-laki
yang mengantar Wi-
ralaga adalah paman perempuan
itu.
Mendengar penuturan Nyi Denok
Warsih. Seke-
tika terhenyak laki-laki ini.
Betapa ribuan perasaan
berkecamuk dihatinya. Kedua
lengannya terkepal erat
dan diremasnya sampai berbunyi
berkrotokan.
Selang sesaat Nyi Denok Warsih
menengadah-
kan lagi wajahnya. Ditatapnya
tajam-tajam wajah Wi-
ralaga. Agaknya wanita itu sudah
dapat menekan pe-
rasaannya.
"Kakang Suhara...! Tentunya
kau sudah men-
dapat kebahagiaan di Kota Raja.
Dua belas tahun lebih
menurut hitunganku sejak aku
kehilangan Ken Ayu,
aku menantimu. Menantimu untuk
meminta tanggung
jawabmu! Akan tetapi aku sudah
tak mengharapkan-
mu lagi. Kita sudah tua... dan
aku sudah ternoda! Aku
cuma ingin meminta tanggung
jawabmu mencari di-
mana adanya Ken Ayu...!"
berkata Nyi Denok Warsih
dengan nada tawar.
Wiralaga tak menyahuti, akan
tetapi dia mang-
gut-manggut dengan menundukkan
wajah. Tak terasa
sebutir air bening tersembul
keluar dari sudut kelopak
matanya. Untuk pertama kalinya
dia jatuhkan air ma-
ta, sejak dia bergelimang hidup
di Kota Raja dan te-
rakhir menjabat sebagai Adipati
yang mempunyai wi-
layah kekuasaan cukup luas.
Selama ini dia terlalu
mementingkan urusannya sendiri.
Bahkan ada berniat
menggulingkan Kerajaan.
Diam-diam Adipati Wiralaga
memang telah mengadakan hubungan
dengan seku-
tunya di pesisir laut kidul yang
siap mendrop pasukan
laskar asing dari Hindia yang
diminta bantuannya.
Namun kemunculan wanita misterius
serta adanya
Tumenggung Dipayana yang menjadi
orang Kadipaten
telah tersebar luas disetiap
tempat bahwa Tumenggung
itu adalah salah seorang dari
Empat Iblis Pulau Men-
jangan yang menjadi buronan
Kerajaan dan tengah di-
lacak para pendekar.
Kekalutan fikirannya karena
khawatir dirinya
sudah mendapat sorotan dari
pihak Kerajaan, mem-
buat dia berniat berangkat ke
pesisir laut kidul untuk
menggagalkan rencana itu pada
sekutunya.
Seperti yang telah diceritakan
di bagian depan,
surat yang dikirim melalui
Tumenggung Dipayana itu
masih menjadi beban pikirannya.
Itulah surat balasan
pada sekutunya di pesisir laut
kidul yang membicara-
kan mengenai pendaratan kapal
asing dari Hindia.
Adipati Wiralaga amat
mengkhawatirkan surat itu ja-
tuh ke tangan orang Kerajaan
yang bila diketahui akan
membuat celaka besar pada diri
dan kedudukannya.
Kepergiannya ke pesisir laut
kidul ada dua maksud.
Pertama Wiralaga bermaksud
membatalkan rencana
pendaratan kapal-kapal Lasykar
asing dari Hindia itu,
dan kedua adalah menghindar dari
Kadipaten selama
beberapa waktu untuk melihat
situasi. Bila keadaan
aman dia dapat kembali, tapi
bila keadaan gawat dan
terbongkar rencananya oleh pihak
Kerajaan, terpaksa
dia melarikan diri dari wilayah
Kerajaan yang belum
dapat dipastikan kemana
tujuannya. Kejadian diten-
gah perjalanan dengan
terbunuhnya kuda tunggan-
gannya telah membuat hatinya
semakin kebat-kebit
kalau dirinya selama itu telah
dibuntuti orang.
Demikianlah... malam itu Adipati
tak dapat
memicingkan mata dengan berbagi
pikiran berkeca-
muk dibenaknya.
Dari balik tirai pintu kamar,
dilihatnya Nyi De-
nok Warsih masih duduk melamun
diberanda depan.
Ada sedikit gejolak didadanya
untuk "mendekati" sang
kekasih yang lebih dari dua
puluh tahun tak disam-
banginya. Ya, kekasih dalam arti
kata-kata, tetapi se-
benarnya mereka tak lebih dari
"Suami istri", walau
mereka belum pernah menikah.
Entah mengapa hari
itu Adipati Wiralaga baru
merasakan dirinya berdosa.
Selama itu dia tak pernah
mengingat Nyi Denok War-
sih. Melulu kesibukan dalam
tugas di Kota Raja yang
di gelutinya. Bahkan dia
benar-benar melupakan wani-
ta desa yang setia itu, yang telah dijanjikan akan di-
kawininya. Tapi nyatanya dia
malah menikah dengan
anak gadis seorang bangsawan.
Ternyata rumah tangganya
tidaklah membuat
dia bahagia, karena selama
puluhan tahun tak dika-
runiai seorang anakpun untuk
pelengkap kebaha-
giaannya. Belakangan timbul
pikiran-pikiran kotor
dengan berkenalannya dia dengan
seseorang yang
tinggal di pesisir laut kidul,
yang membuat dia jadi ter-
libat dalam urusan pemberontakan
menggulingkan Ke-
rajaan.
Wiralaga tercenung dalam
kekalutan pikiran-
nya. Kini dia melihat Nyi Denok
Warsih dengan hati te-
renyuh... Gadis desa yang dulu
cantik itu kini telah
mulai keriput dan tua. "Ah,
betapa berdosanya aku..."
bisik hati laki-laki itu.
Sementara itu Nyi Denok Warsih
yang sedang termangu-mangu
diberanda depan jadi
terkejut ketika mendengar suara
berderit, dan pintu
terbuka secara mendadak. Terasa
bersyiurnya angin
halus yang membuat kulit
tubuhnya terasa dinginnya
udara malam. "Ah, aku lupa
mengunci pintu..." pikir
wanita ini. Akan tetapi
diam-diam hatinya tersentak.
"Aneh...? tak seperti
biasanya pintu itu terbuka sendi-
ri...!" pikirnya.
Dia tahu betul pintu tua itu
selalu menutup ka-
lau tak diganjal. Akan tetapi
kini terbuka lebar-lebar,
tanpa ada orang yang membukanya.
Kekuatan angin
sehalus itu tak mungkin sampai
dapat menguakkan
daun pintu selebar itu.
***
SEPULUH
"IBUU..." panggilan
bernada pedih itu membuat
Nyi Denok Warsih mengangkat
wajahnya. Terperangah
seketika wanita tua ini melihat
sesosok tubuh wanita
berambut beriapan, dengan tubuh
telanjang bulat ber-
diri dihadapannya. Tentu saja
membuat perempuan
tua ini tak bisa keluarkan
suara, kecuali ternganga
dengan mata membeliak dan tubuh
bergetaran.
"Ibuuu... apakah kau masih
mengakui aku se-
bagai anakmu...?" terdengar
suara wanita itu berkata.
Akulah KEN AYU, ibu... akulah
anak yang hilang dicu-
lik si Empat Iblis Pulau
Menjangan..."
"Hah... ?" tersentak
kaget Nyi Denok Warsih.
Seperti tak percaya dia pada
pendengarannya. Barulah
perempuan ini dapat keluarkan
suara, dan menjerit
histeris.
"Oh... tti... tidak...!
Tidak...! tak mungkin...!
Kau... kau pasti makhluk halus!
Jangan ganggu kema-
ri! Pergilah yang jauh, rumahmu
disana, di seberang
lautan...!" teriak Nyi
Denok Warsih dengan wajah pucat
pias. Saat itu pula Wiralaga
telah melompat keluar dari
dalam kamar.
Akan tetapi segera menindak
mundur dua tin-
dak. Sepasang matanya membelalak
melihat seorang
wanita berambut beriapan yang
telanjang bulat berdiri
didepan Nyi Denok Warsih.
"Ssi... siapa kka...
kau...?" sentak Wiralaga.
Jantungnya mendadak berdegupan
kencang. Walau-
pun dia tak percaya adanya
hantu, tapi melihat ke-
munculan wanita berambut
beriapan dalam samarnya
cahaya lampu gantung diruangan
itu membuat dia ra-
gu-ragu untuk tak percaya hantu.
"Hihihi... aku bukan hantu!
jangan takut, ibu...!
Tiba-tiba wanita bugil itu
kembali bicara, seraya mena-
tap pada Wiralaga.
"Ayah...! hihihi... oh, inikah ayah-
ku, ibu...? Ah, ternyata ayah
seorang lelaki yang gagah
dan belum terlalu tua!"
ucapnya dengan sebentar-
sebentar mengikik tertawa.
Sementara itu Nyi Denok
Warsih berkata dalam hati.
"Ya, Tuhan... apakah ge-
rangan yang terjadi? Betulkah
dia ini anakku... ?"
Dipandanginya sekujur tubuh
wanita itu dari
kepala sampai ke kaki.
Tersentaklah dia melihat sepa-
sang kaki wanita bugil itu
menempel dilantai papan
ruangan. Kini yakinlah dia kalau
makhluk dihadapan-
nya itu adalah manusia.
"Hihihi... percayalah,
ayah... ibu...! Aku anak-
mu Ken Ayu! aku sudah berhasil
membalaskan den-
dam ibu, juga dendamku...! Dua
dari Empat Iblis Pu-
lau Menjangan itu telah kuracuni
hingga mampus! Hi-
hihihi... hihihihi... kini
tinggal tiga orang lagi musuh
besarku! Juga musuh besarmu,
ibu...! Kelak aku akan
bawa dua buah batok kepala lagi
untuk kau lihat wa-
jah orang yang telah
menganiayamu, ibu! Dan... satu
lagi adalah yang bernama Sawor!
Manusia itu akan
kupersembahkan kepalanya ke
Istana kerajaan!"
Dan... kau ayah!" ucapnya
seraya menatap pa-
da Wiralaga. "Sungguh tak
kusangka kalau kau adalah
seorang Adipati!"
Selesai berkata demikian,
tiba-tiba tubuh Ken
Ayu lenyap sirna dari pandangan
mereka. Disertai
membersitnya angin keras, daun
pintu itupun menu-
tup dengan suara menggabruk
keras.
Sejenak keduanya saling berpandangan,
den-
gan terperangah dan mata
membelalak, seolah tak per-
caya dengan kejadian barusan.
"Jadi... jadi... Manusia
Serigala Hantu itu ada-
lah... anakku... K... KEN
AYU...?" berdesis suara Adipa-
ti Wiralaga.
Saat itu, Nyi Denok Warsih
tiba-tiba jatuhkan
tubuhnya berlutut dihadapannya,
seraya berkata den-
gan gemetar bercampur isak.
"Kakang Suhara... oh tak
kusangka anak kita
masih hidup! Dan... kau benarkah
kau seorang Adipa-
ti? Maafkan aku yang tak mengetahui
sama sekali..."
"Haih...! Sudahlah Warsih,
Adipati atau bukan,
sama saja..." ucap
Wiralaga. "Betapa kita harus ber-
syukur anak kita ternyata masih
hidup. Aku yakin!
Yakin sekali dia bukan hantu,
atau arwah yang pena-
saran...!" berkata Wiralaga
seraya mengangkat bangun
berdiri Nyi Denok Warsih.
"Akupun yakin, kakang
Adipati... akan tetapi,
mengapa dia bisa lenyap seperti
hantu...? Dan... dan,
dia tak mengenakan pakaian sama
sekali..." Adipati
Wiralaga tak menjawab pertanyaan
Nyi Denok Warsih.
Akan tetapi dia cuma tercenung,
lalu beranjak mem-
buka daun jendela untuk menatap
keluar. Sesaat ter-
dengar suara helaan napas
laki-laki itu. Lalu menu-
tupkan lagi daun jendela dan
menguncinya.
Nyi Denok Warsih masih
menatapnya dengan
tatapan tegang, namun segera
menundukkan wajah
ketika lengan Wiralaga mencekal
pundaknya.
"Sudahlah, Warsih...!
jangan terlalu memikir-
kan yang tidak-tidak. Bermacam
ilmu banyak terdapat
didunia ini. Jangankan untuk
melenyapkan diri seperti
hantu, merobah wujud manusia
menjadi seekor seriga-
la pun bisa saja terjadi!"
ucapnya lirih. Dan agar Nyi
Denok Warsih tak banyak bertanya
lagi, cepat-cepat
Wiralaga berkata. "Hari
sudah larut malam, Warsih!
marilah kita pergi
tidur..." ajak Wiralaga seraya me-
nuntunnya memasuki kamar.
Perempuan itu tak dapat menolak,
karena tera-
sa bulu romanya bangun berdiri
mendengar penuturan
Wiralaga. Dia memang takut kalau
tidur sendirian di-
kamarnya....
Dan... malam itu Nyi Denok tak
dapat menolak
untuk memenuhi keinginan sang
Adipati. Terasa di-
apun amat membutuhkan belaian
tangan laki-laki
yang sudah dua puluh tahun lebih
tak pernah me-
nyentuhnya, juga menikahinya...
Sudah dua hari Roro Centil
berada di wilayah
Kota Raja. Selama itu dia sudah
banyak "nguping"
mengenai berita-berita yang
tersebar baik dari mulut
penduduk dari rakyat jelata,
maupun dari kalangan
orang-orang Kerajaan. Dengan
"menyamar" sebagai la-
ki-laki, Roro keluar masuk
tempat-tempat ramai di wi-
layah sudut Kota Raja. Seperti
pada suasana pasar
yang dikunjunginya, tampak Roro
yang berpakaian ba-
ju warna putih dan celana pangsi
warna hitam terbuat
dari bahan kasar. Rambutnya
ditutupi dengan belitan
ikat kepala yang ditutupi pula
oleh topi tudung atau
capil mirip seorang pemuda
petani.
Diantara simpang siurnya orang
dipasar, Roro
melihat seseorang berjalan cepat
yang tampak mencu-
rigakan. Orang itu mengenakan
topi tudung lebar me-
nutupi wajahnya. Mengenakan
jubah warna abu-abu.
Dipunggungnya terdapat sebuah
buntalan kain warna
hitam yang bertambal. Sepintas
Roro melihat laki-laki
itu adalah mirip seorang
pengemis tua yang berjanggut
putih.
Melihat caranya berjalan, tampak
seperti terge-
sa-gesa, dan menyelinap cepat
diantara simpang siur-
nya manusia di pasar ramai itu.
Tentu saja Roro tak
mau melewatkan kejanggalan
semacam itu. Roro pun
segera diam-diam menguntit
pengemis itu.
Setelah melewati beberapa
lorong, segera tiba
disudut kota. Roro cepat
menyelinap kebalik reruntu-
han tembok ketika laki-laki itu
menoleh. Melihat sua-
sana "aman" segera si
pengemis enjot tubuh untuk se-
gera berlari cepat. Akan tetapi
sebutir batu telah me-
layang menyambar buntalan
dipunggungnya. Terden-
gar suara. CRING...! Dan
berhamburanlah kepingan-
kepingan uang logam dari dalam
buntalan.
Pengemis itu tampak terkejut,
seraya hentikan
larinya. Tapi mendadak isi
buntalannya berhamburan
keluar semua isinya. Tersentak
si pengemis tua itu.
Sementara diam-diam Roro Centil
tersenyum. Dialah
yang barusan menyambitnya dengan
dua butir batu
kerikil. Melihat buntalan yang
dicurigai dan kelihatan
berat itu Roro ingin tahu apa
isinya. Tahulah Roro
Centil kalau setidak-tidaknya si
pengemis itu bukan
orang baik-baik.
Sekejap dia sudah melompat
keluar dari tempat
persembunyiannya.
"Ah, kasihan...! Agaknya
bapak kurang teliti
membungkus uang sebanyak itu
pada kain buntalan
yang sudah rapuh. Mari kubantu
mengumpulkan-
nya...!" berkata Roro
seraya mendekati laki-laki pen-
gemis itu yang tengah terkejut
melihat isi buntalannya
berhamburan dan kain buntalannya
sobek besar.
WHUKK! Tiba-tiba lengan pengemis
itu berge-
rak menghantam ke arah kepala
Roro Centil yang baru
saja membungkuk, disertai
bentakan.
"Orang usil! Mampuslah
kau...!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar
suara
CRRIIIING! Dibarengi suara
menjeritnya laki-laki pen-
gemis itu. Selanjutnya si
pengemis itu berteriak-teriak
kesakitan dengan suara tersumbat
dan mata membela-
lak. Apakah yang terjadi?
Ternyata sekali gerakkan
lengannya, Roro telah
menebarkan belasan keping uang
logam perak itu yang
tepat mengenai beberapa jalan
darah penting ditubuh
laki-laki pengemis itu, bahkan
beberapa keping uang
itu telah menyumbat pula mulut
si pengemis. Semen-
tara lengan si pengemis itu
telah berubah kaku karena
uratnya tertotok.
"Hihihihi... hihi... bapak
benar-benar keterla-
luan sekali, mengapa sampai uang
logam yang kau
makan?" berkata Roro dengan
tertawa mengikik.
Pada saat itu tiba-tiba
terdengar suara benta-
kan-bentakan keras disertai
berlompatannya beberapa
sosok tubuh.
"Pencuri licik! Masih
semuda itu kau sudah be-
lajar merampok, bahkan
mencelakai orang pula!"
"Jangan biarkan dia
meloloskan diri! Cincang
sampai lumat!" Terkejut
Roro Centil ketika tahu-tahu
angin bersyiuran dibelakang
punggungnya. Ternyata
dua buah golok besar telah
menyambar untuk mena-
bas punggung dan leher Roro.
Cepat sekali Roro Centil
menghindar ke samping. Kakinya
segera memain, men-
jegal kaki orang. Terdengar
suara memekik keras ke-
dua orang itu disertai jatuhnya
kedua tubuh itu yang
"ngusruk" ke atas
tumpukan uang logam yang ber-
hamburan di tanah. Criiiiing...!
Bahkan salah seorang
telah membentur tubuh si
pengemis tua itu, hingga tak
ampun tiga tubuh jatuh
bergedebukan di tanah. Dan
uang logampun berhamburan
tertindih.
Dengan mengaduh kesakitan
keduanya beru-
saha bangkit. Tampak hidung dua
penyerang Roro itu
berlumuran darah. Bahkan salah
seorang telah tanggal
giginya sebuah. Roro memandang dengan melototkan
mata. Tapi segera tertawa geli
dan berkata sinis. "Hihi-
hi... kau rasakan upahnya
menuduh orang!"
"Kunyuk keparat!"
memaki laki-laki kekar yang
telah melompat bangkit berdiri.
"Pencuri busuk! Kau
berani mempermainkan kami...
petugas Kerajaan?" Te-
riak pula kawannya yang telah
pula bangkit berdiri
dan membentak garang.
Roro Centil jadi melengak karena
baru dia me-
nyadari kalau kedua orang yang
menyerangnya baru-
san adalah dua orang perwira
Kerajaan.
"Ah, maaf, maaf! Aku sama
sekali tak tahu ka-
lian dua orang petugas, akan
tetapi kalian salah sang-
ka kalau menuduhku
pencurinya!"
"Siapa percaya omongan
maling? Jelas aku li-
hat sendiri kau yang merampok
diujung pasar tadi.
Kami melakukan pengejaran dengan
memotong jalan.
Akan tetapi ternyata kau
terjatuh karena berlari tak
melihat jalan. Pengemis tua ini
sedang lewat di tempat
ini, mengapa kau mengerjainya,
dan kau mau jatuh-
kan kesalahan pada seorang
pengemis tua renta ini...?"
berkata keras salah seorang dari
perwira Kerajaan itu.
Roro Centil jadi garuk-garuk
pantat yang tidak
gatal. Seraya leletkan lidah dia
berkata.
"Kau ini petugas yang mau
menangkap maling
atau pengarang cerita? Justru
aku..." belum habis Ro-
ro berkata sudah disambar lagi
dengan cepat.
"Cukup! Aku ampuni
kesalahanmu untuk kali
ini! Karena memandang kau masih
berusia muda! Tapi
lain kali... Huh! Hayo cepat kau
angkat kaki dari sini...!
Sebentar lagi satu regu pasukan
keamanan Kerajaan
akan tiba disini, dan kau segera
akan ditangkap...!"
hardik pengawal itu dengan mata
mendelik.
Mendengar demikian si
"pemuda" itu tampak
pucat wajahnya. Setelah
celingukan kesana-kemari se-
gera tancap kaki untuk kabur
pontang-panting hingga
sebentar saja sudah tak
kelihatan lagi.
Kedua pengawal itu saling
pandang dengan ter-
senyum, dan seketika meledaklah
tawanya terbahak-
bahak.
"Hahahahah... hahaha...
bisa saja kau menga-
kali orang, Bro...!"
berkata kawannya pada laki-laki
yang barusan membentak pemuda
tadi. Dia bernama
Subro. "Cuma saja aku yang
sial! Gigiku copot se-
buah...!" ujarnya lagi.
"Alaaah! Cuma sebuah tak mengapa,
hayo ce-
pat kau kumpulkan uang ini!
Mumpung tak ada yang
melihat! Hahahaha ... kita akan
kaya!"
Tak ayal kedua pengawal itu
segera bekerja ce-
pat membenahi uang yang tercecer
di tanah. "Akan ki-
ta bungkus dengan apa uang
sebanyak ini?" berkata
Subro setelah semua kepingan
uang emas dan perak
itu terkumpul.
"Hm..." mata pengawal
yang satunya lagi segera
jelalatan mencari kain
pembungkus. Memandang pada
kain sarung seragamnya adalah
tak mungkin. Tiba-
tiba terpandang pada kain sarung
si pengemis yang
masih terjengkang dalam keadaan
tertotok. "Hehehe...
kain sarung si kambing tua yang
sial ini bisa dipergu-
nakan! ujarnya seraya beranjak
mendekati. Dan....
WEEEEK! BREBEET...! Sekejap saja
Masdun sudah
membesetnya. Mendelik mata si
pengemis tua itu.
Seandainya mulutnya tak
tersumpal kepingan uang
perak, tentu dia sudah memaki.
Namun dia tak bisa
berbuat apa-apa karena sekujur
tubuhnya terasa kaku
tak dapat digerakkan.
"Cepat bungkus!"
perintah Masdun pada Subro
sang kawan seraya melemparkan
kain sarung itu. Se-
mentara matanya sudah menatap
pada si pengemis.
"Hahahaha... masih ada sisa
uang disini,
Bro...!" ujarnya, dengan
tertawa menyeringai. "He,
kambing tolol! Cepat kau buka
mulutmu. Jatuhkan
uang itu!" bentaknya pada
si pengemis. Namun yang
dibentak cuma melotot geram.
Cuma suara ditenggo-
rokan saja yang terdengar.
"Oh, ya aku lupa, agaknya
kau telah kena totok
rupanya...? Baiklah! Dengan cara
ini sisa uang dalam
mulutmu bisa keluar!"
ujarnya seraya lengannya men-
jambak rambut si pengemis,
dan satu lagi melayang
menghantam belakang leher orang.
Buk! "Heek...!"
Dan... Criiiiing!
Berpentalanlah seketika beberapa
keping uang
perak dari dalam mulut pengemis
tua itu. "Hahaha ba-
gus! Kini tidurlah kau sampai
matahari terbenam!"
ujarnya seraya menghempaskan
kembali tubuh si pen-
gemis tua itu yang segera
terdengar keluhnya.
"Auuuuh...!" Karena
pukulan pada belakang leher dan
hempasan keras barusan telah
mengenai batu tepat
pada belakang kepala, tak ampun
seketika si pengemis
tua itu tak sadarkan diri.
Masdun tertawa menyeringai
sambil tepuk-
tepukkan kedua tangannya
membersihkan debu. Na-
mun segera cepat-cepat beranjak
ke arah Subro untuk
bantu membenahi kepingan uang
yang berceceran ba-
rusan.
Tak berapa lama seluruh kepingan
uang sudah
masuk dalam buntalan. Masdun
mempererat tali ika-
tannya. "Apakah sebaiknya
tak dibunuh saja si kamb-
ing tua tolol ini? Dia bisa
menyusahkan kita!" berkata
Subro.
Tertegun sejenak Masdun untuk
berfikir. Akan
tetapi segera menjawab dengan
wajah berubah mene-
gang. "Bagus! Usul yang
baik sekali! Biarlah aku yang
menghabisinya!" berkata
Masdun seraya memungut
golok besarnya dan beranjak
mendekati si pengemis
tua.
"Tunggu...!" tiba-tiba
terdengar bentakan keras.
Dan... tahu-tahu Masdun menjerit
ngeri ketika satu
hantaman keras membuat kepalanya
pecah, otaknya
berhamburan. Dan... Bruk!
Laki-laki pengawal itu ro-
boh tewas seketika. Terperangah
Subro ketika melihat
dua sosok tubuh berjubah hitam
muncul dihadapan-
nya. Salah seorang adalah yang
barusan menghantam
kawannya dengan senjata rantai
berbandulan Kepala
tengkorak emas.
Belum sempat dia berbuat
sesuatu, Subro su-
dah perdengarkan jeritannya
ketika satu angin puku-
lan dari lengan salah satu dari
kedua orang berjubah
hitam itu menghantam tubuhnya.
Seketika tubuhnya
terlempar puluhan tombak. Ketika
jatuh ke tanah, cu-
ma mampu menggeliat sejenak,
lalu tewas seketika.
Karena pukulan jarak jauh
bertenaga dalam tinggi itu
telah meremukkan sekujur isi
dalam bagian tubuhnya.
"Hm, si bodoh orang kita
ini rupanya sudah ke-
na totok orang! Dia pingsan.
Apakah dihabisi saja se-
kalian! Kukira dia sudah tak
berguna!" berkata salah
satu dari si jubah hitam yang
berwajah buruk, mem-
punyai dua buah codet besar yang
melintang di wajah-
nya. Sebelah matanya picak.
"Kalau menurut pandanganmu
baik, siapa yang
larang...?" menyahut kawannya yang mempunyai wa-
jah hampir mirip namun tak
seburuk
wajahnya. Laki-laki ini tertawa
mengekeh se-
raya beranjak mendekati. Sekali
lengannya terangkat,
terdengarlah suara PRAKKK...!
Remuklah seketika ba-
tok kepala si pengemis tua itu.
"Hm, hayo cepat kita
pergi dari sini...!"
berkata si muka codet, seraya len-
gannya menyambar buntalan. Dan
kedua manusia sa-
dis berjubah hitam itupun
berkelebatan lenyap...
***
SEBELAS
RORO CENTIL BERKELEBAT menguntit
kedua
manusia berjubah hitam itu. Dari
tempat sembunyinya
dia telah menyaksikan kejadian
tadi. "Siapakah dua
manusia keji itu?" desis
Roro seraya berkelebatan den-
gan hati=hati agar tak
menimbulkan suara. "Ingin ku
tahu dimana sarangnya...! Jelas
dari kata-katanya si
pengemis tua itu adalah Konconya
dua manusia ini...!"
Selang kira-kira semakanan nasi
kedua orang
itu hentikan larinya. Mereka
telah tiba disatu sisi hu-
tan dilereng bukit. Lalu
berjalan cepat ke satu samping
batu besar. Ternyata disana ada
sebuah mulut goa
yang tersembunyi. Akan tetapi
belum lagi kedua orang
itu masuk, sudah terdengar suara
tertawa mengikik
membuat mereka jadi terperangah.
"Hihihi... hihihi...
Tunggir Ireng! Tunggir Ab-
ang...! Masanya kau membayar
hutang sudah tiba! Hi-
hihi... hihihi..."
Membelalak kedua pasang mata
laki-laki berju-
bah itu memandang ke mulut goa
tempat sembunyinya
selama ini. "Siapa
didalam...!" bentak si muka codet.
Dialah yang bernama Tungkir
Ireng.
Tak ada jawaban. Tapi selang
sesaat bersyiur
angin bergulung-gulung dari
dalam goa yang menyebar
ke sekeliling kedua manusia
jubah hitam itu. Tentu sa-
ja membuat kedua orang ini
melengak. Kembali ter-
dengar suara tertawa mengikik
yang terdengar dekat
sekali. Dan... tahu-tahu di
hadapan mereka menjelma
sesosok tubuh wanita berambut
berapian. Dan yang
membuat mata mereka membelalak
lebar adalah wani-
ta itu dalam keadaan membugil
tanpa sehelai benang-
pun melekat pada kulit tubuhnya.
Seketika tersentaklah
masing-masing dari mu-
lut mereka suara tertahan karena
terkejutnya. "Hihi-
hi... Lihat sekelilingmu!"
membentak wanita itu. Dan...
terperanjatlah kedua manusia
berjubah itu melihat pu-
luhan serigala telah mengurung
mereka dari segenap
penjuru disekelilingnya.
"Manusia Serigala
Hantu...!" serentak hampir
berbareng mereka berteriak
kaget. Lemaslah sekujur
persendian kedua laki-laki
berjubah itu. Karena sudah
didengarnya kalau si Manusia
Serigala Hantu itu me-
mang tengah mencarinya untuk
membalas dendam.
Dua orang diantara Empat Iblis
Pulau Menjangan telah
tewas di tangannya juga si ketua
Markas Partai Naga
Hijau berikut anak buahnya.
"Hihihihi... Iblis-iblis
Pulau Menjangan, silah-
kan kau membela diri sebelum aku
Ken Ayu memotes
kedua batok kepalamu untuk ku
persembahkan pada
ibuku...!"
"Kau... kau Ken Ayu, anak
si Denok Warsih...?"
sentak Tunggir Ireng terkesiap.
"Hihihi baru tiga tahun
yang lalu aku lolos dari
sekalian kalian di Pulau Nusa
Kambangan masakan kau sudah
lupa? Nah, bayarlah
hutangmu berikut
bunganya...!"
Sekejap saja tubuh si Manusia
Serigala Hantu
lenyap sirna dari pandangan mereka.
Tersentak Tung-
gir Ireng dan Tunggir Abang, dua
dari Empat Iblis Pu-
lau Menjangan itu. Serentak
mereka mencabut senjata
masing-masing. Lalu kerahkan
ilmu batin setelah sal-
ing memberi tanda untuk melihat
dimana adanya wa-
nita itu.
Namun sebelum mereka sempat
melakukan pu-
luhan serigala itu telah
menerjangnya bagaikan
bayang-bayang hantu. Seolah
terdengar suara geram
"makhluk-makhluk" itu
yang menerkam untuk meren-
cah tubuh mereka.
WHUK! WHUK! WHUK! Tunggir Ireng
dan
Tunggir Abang putarkan senjata
rantai masing-masing
untuk menerjang
serigala-serigala itu. Akan tetapi me-
legak mereka karena bagaikan
menabas angin saja, tak
satupun yang dari makhluk itu
yang terkena hanta-
man kedua senjata bandulan
tengkorak emas si iblis
Pulau Menjangan itu.
Bertubi-tubi serangan dilakukan
tetap saja me-
reka menabas angin belaka.
Bahkan serigala-serigala
itu semakin banyak jumlahnya
ketika kembali mem-
bersit angin kencang yang
bersyiur disekeliling mereka.
Diantara geram para "serigala"
itu terdengar pula sua-
ra mengikik tanpa terlihat
manusianya. Semakin gen-
tarlah hati kedua manusia ini.
Sementara itu sepasang mata
sejak tadi terus
mengikuti kejadian di tempat itu
dengan mata tak ber-
kedip. Dialah si pemuda berbaju
putih hitam sederha-
na, alias Roro Centil.
"Gila...!" sentak Roro
terkejut. Ilmu apakah
ini...? Ah, agaknya dia inilah
si Manusia Serigala Han-
tu. Betapa mengerikan dan hebat
ilmunya!" Sementara
pertarungan berjalan terus, dan
kedua Iblis Pulau
Menjangan semakin terdesak.
Disamping nyalinya su-
dah copot, juga bingung
menghadapi lawan aneh yang
sekian banyaknya tanpa mampu
memporak poranda-
kan laskar "serigala"
itu.
Akhirnya mereka saling memberi
tanda. Tiba-
tiba keduanya pergunakan ilmu
lompatannya untuk
melambung setinggi delapan
tombak. Tepat di udara
kedua lengan mereka saling
lakukan hantaman pada
empat telapak tangan.
DHES...! benturan tenaga dalam
itu telah
membuat kedua tubuh mereka
terlontar sejauh lebih
dari sepuluh tombak. Dengan
"akal" itu mereka beru-
saha melarikan diri dengan
berpencar. Akan tetapi se-
gulung angin menggebu telah
membumbung ke udara,
tepat disaat kedua Iblis Pulau
Menjangan lakukan
hantaman tenaga dalam dengan
kedua telapak tangan.
WWHUUKSS...! Terperangah
seketika keduanya. Apa-
kah yang terjadi...? Kedua tubuh Tunggir Ireng
dan
Tunggir Abang dalam keadaan
tergantung di udara
dengan keempat lengannya
menempel satu sama lain.
"Celaka...!? kita tak dapat
menggerakkan tu-
buh...?!" teriak Tunggir
Ireng dengan wajah pucat. Ke-
heranan yang amat luar biasa itu
membuat mereka ke-
luarkan keringat dingin
disekujur tubuh.
Sementara itu dibalik sebongkah
batu Roro
Centil alias "pemuda"
tersenyum simpul melihat kedua
Iblis Pulau Menjangan
terapung-apung di udara.
Ternyata Roro Centil telah
mencoba jurus baru
hasil ciptaannya di Pulau Air.
Itulah jurus yang dina-
makan jurus. Kosongkan Perut
Menahan Lapar. Ilmu
serangan tenaga dalam yang dapat
mengosongkan
udara disekitar angin pukulan.
Hingga mirip keadaan
diluar angkasa. Sekitar angin
pukulan Roro Centil ko-
song tanpa udara. Dalam keadaan
demikian mana
manusia mampu bertahan untuk
tidak bernapas da-
lam waktu terlalu lama?
"Grrrr...! Terdengar
geraman seekor serigala be-
sar yang tahu-tahu telah
menjelma tepat di bawah ke-
dua Tunggir Ireng dan Tunggir
Abang. Dengan perden-
garkan suara melolong panjang,
serigala besar itu me-
luncur ke udara untuk
menerkam... Namun tubuhnya
tersangkut ditengah jalan dalam
udara kosong buatan
Roro. Untunglah saat itu Roro
telah tarik lagi kekuatan
dahsyat dari jurus pengosongan
udara itu. Akibatnya
kedua tubuh yang terapung di
atas itu meluruk jatuh
kembali ke bawah. Samar-samar serigala besar yang
berada di bawah itu berubah ujud
kembali jadi sosok
tubuh bugil alias Ken Ayu.
Dan... cepat sekali kedua
lengannya menabas ke arah dua
tubuh yang baru saja
meluncur turun...
DES! DES!
Terdengar suara jeritan parau
sesaat, dan sebe-
lum kedua Tunggir Ireng dan
Tunggir Abang menyen-
tuh tanah, kepalanya telah
terlepas, terpisah dari tu-
buhnya dengan darah segar
berhamburan...
Bruk! Bruk! kedua tubuh tanpa
kepala itu ja-
tuh bergedebukan ke tanah. Cepat
sekali gerakan Ken
Ayu menyambar dua buah kepala.
Sekejap kemudian wanita bugil
itu telah mele-
sat kembali ke atas batu di
mulut goa. Berdiri disana
dengan kedua lengan mencekal
rambut kepala dua
manusia Iblis Pulau Menjangan.
Tampaknya si Manusia Serigala
Hantu menge-
tahui adanya orang yang sembunyi
dibalik sebongkah
batu. Bahkan mengetahui kalau
kejadian mengapung-
nya kedua musuh besarnya tadi di
udara adalah aki-
bat hantaman angin pukulan orang
yang sembunyi di-
balik bongkah batu besar itu.
"Orang baik siapakah yang
ikut campur mem-
bantuku... hihihi keluarlah
ingin kulihat manu-
sianya..." berkata dia
dengan suara dingin. Terhenyak
Roro Centil. Tadinya dia tak mau
menampakkan diri,
namun terpaksa dia harus keluar
ujudkan wajah.
"Aiiii...! Aku tak
bermaksud menolongmu, so-
bat! Aku sendiri tengah mengejar
dua manusia itu.
Mana mungkin kubiarkan mereka
melarikan diri?"
berkata Roro seraya melompat
keluar dari tempat per-
sembunyiannya. Diam-diam Roro
tertegun memandang
keadaan tubuh wanita yang
membugil dihadapannya
yang amat risih bila di pandang.
Hatinya membatin.
"Kasihan...! Ilmu apakah
yang dianutnya hing-
ga dia tak mengenal rasa malu
lagi...?" Sejenak Roro
tercenung menatap. Sekali
pandang saja Roro telah bi-
sa menilai orang dihadapannya
adalah seorang wanita
yang amat cantik parasnya. Namun
dengan keadaan
rambut kusut tak terurus dan
tubuh dekil berdaki de-
mikian seperti menghilang
keayuannya.
"Hm, begitukah...?"
tukas si wanita itu dengan
lebih tajam menatap Roro.
"Bolehkah aku tahu
permusuhan apakah kau
dengan kedua orang ini...?"
tanya Roro seraya melirik
pada dua tubuh tanpa kepala
didekatnya.
Sejenak tercenung wanita itu
mendengar perta-
nyaan Roro. Lalu terdengar suara
helaan nafasnya.
"Kisahnya amat panjang,
orang baik...! Aku tak
bisa menuturkannya padamu saat
ini karena aku me-
mang belum kenal kau siapa!
Tapi... seumur hidupku
baru aku melihat seorang
laki-laki setampanmu! Hihi-
hihi...!"
"Hihihi...! Siapa bilang
aku laki-laki? Aku juga
perempuan seperti kau,
sobat!" berkata Roro seraya
meloloskan topi tudungnya, lalu
lepaskan ikat kepala
pembungkus rambut, dan usap
goresan hitam kecil di
bawah hidungnya. Sekejap
lenyaplah si pemuda tam-
pan itu. Yang nampak jelas
adalah seorang dara cantik
jelita dengan rambut terurai
panjang sampai ke ping-
gang.
Si Manusia Srigala Hantu ini
jadi melengak he-
ran. Akan tetapi segera mengikik
tertawa. "Ah!? Sung-
guh tak kusangka kalau kau
seorang gadis yang can-
tik!" ujarnya dengan
memandang kagum.
"Kau juga cantik,
sobat...!" ujar Roro dengan
menatap dan tersenyum. "Apa
lagi kalau kau bersih-
kan tubuhmu, lalu memakai
pakaian yang pantas. Ah,
siapapun pasti akan menyangkamu
seorang dewi ka-
hyangan..."
Akan tetapi kata-kata Roro
justru membuat wa-
jah si Manusia Serigala Hantu
jadi berubah kaku.
Tampak bibirnya bergerak
bergetaran seperti tak se-
nang dengan sanjungan kata-kata
Roro barusan.
"Huh! Aku muak dengan
kata-kata rayuan ma-
cam begitu! Kecantikanku cuma
menjadikan aku men-
derita! Dan... kecantikan cuma
menjadikan munculnya
bermacam bencana...!"
ucapnya dengan suara pedih.
Dan Roro melihat jelas mata
wanita itu tampak berka-
ca-kaca. Bahkan sebutir air mata
telah meluncur tu-
run membasahi pipinya yang
kotor.
Terhenyak seketika Roro Centil.
Namun dengan
suara datar segera Roro berkata.
"Kau memang dilahirkan
dengan keadaan can-
tik, mengapa harus menyalahkan
takdir? Kehidupan
manusia memang banyak macam
ragam jalan hidup-
nya. Akan tetapi kita tak boleh
menyalahkan apa yang
telah diberikan Tuhan pada
kita!" khotbah Roro den-
gan tersenyum.
Tercenung seketika si Manusia
Serigala Hantu.
Dan tak sadar dia telah
tundukkan wajahnya.
Kata-kata Tuhan seperti telah
menyadarkan in-
gatannya. Dulu ketika dia masih
tinggal dengan tente-
ram bersama gurunya di pulau
Nusa Kambangan, sang
guru sering memberi wejangan
untuk mengenal Tuhan
padanya.
Sejak kecil dia menganggap Marga
Dewa si Ke-
tua Partai Gagak Sakti itu
adalah kakeknya sendiri.
Belakangan setelah dewasa
barulah dia menanyakan
siapa kedua orang tuanya. Marga
Dewa akhirnya ber-
terus-terang padanya, bahwa dia
sama sekali tak men-
getahui siapa kedua orang
tuanya. Yang diketahuinya
ialah... dia direbut dari tangan
si Empat Iblis Pulau
Menjangan. Ketika itu Ken Ayu
masih berusia sekitar
lima tahun. Marga Dewa tak dapat
menewaskan keem-
pat manusia jahat itu, kecuali
cuma melukainya saja.
Ternyata diketahui adik
seperguruan Marga Dewa yang
bernama Rupaci telah tergabung
dalam komplotan
Empat Iblis Pulau Menjangan.
Demi keselamatan di-
rinya, sang guru telah
membawanya sejauh mungkin
dan di tempat yang tersembunyi,
yaitu di Pulau Nusa
Kambangan. Di Sana dia membentuk
Partai Gagak
Sakti.
Hidup tenteram di tempat terpencil dikelilingi
laut itu ternyata tak bisa
selamanya dinikmati, karena
tiga belas tahun kemudian Empat
Iblis
Pulau Menjangan berhasil
mengetahui tempat
tinggal sang guru, hingga
kemudian terjadi musibah,
dengan tewasnya sang guru, dan
terjatuhnya dia ke
tangan Empat Iblis Pulau
Menjangan. Bersama-sama
seorang laki-laki tak diketahui
asal usulnya bernama
Sawor, Ken Ayu jadi
bulan-bulanan kelima manusia
hidung belang itu, yang kemudian
menggabungkan diri
dengan julukan Lima Iblis Naga
Setan.
Betapa berat penderitaan Ken Ayu
yang harus
melayani nafsu bejat kelima
manusia itu. Hingga me-
nimbulkan dendam yang amat luar
biasa di hatinya.
Tiga pekan lebih selama disekap
oleh manusia-
manusia bernafsu bejat itu, tak
kurang dari belasan
kali dia pingsan tak sadarkan
diri.
Akan tetapi terkejut Ken Ayu
ketika disaat te-
rakhir kali dia siuman dari
pingsannya didapati dirinya
sudah tak berada lagi di ruangan
kamar Markas dima-
na dia disekap. Akan tetapi
berada di sebuah goa yang
seram tanpa penghuni, tak
diketahui siapa yang telah
membawanya ke tempat itu.
Tak diketahuinya pula berapa
lama dia di tem-
pat itu. Selama itu Ken Ayu
sudah tak ingat lagi apa
yang telah terjadi pada dirinya.
Yang di ketahuinya
adalah dia sering mendengar
bisikan-bisikan gaib un-
tuk mempelajari ilmu-ilmu aneh
didalam goa itu, yang
dalam mempelajarinya dalam
keadaan telanjang bulat.
Entah setan entah manusia,
hingga setelah memakan
waktu panjang yang seperti tiada
habisnya, suara gaib
itu telah mengusirnya keluar
dari dalam goa.
Demikianlah hingga Ken Ayu
"bergentayangan"
mencari musuh-musuh besarnya,
dan mencari tahu
dimana adanya kedua orang
tuanya...
Kembali mengiang berkali-kali
kata-kata Roro,
yang telah membuat ingatannya
kembali pulih ke alam
sadar sedikit demi sedikit.
Bahkan Roro Centil telah
menambahkannya lagi.
"Ilmu boleh dimiliki
setinggi langit, tapi menga-
pa harus mengorbankan harga diri
sebagai manusia?
Binatang mempunyai bulu untuk
pelindung aurat!"
Tiba-tiba si Manusia Serigala
Hantu menenga-
dahkan wajahnya, menatap pada
Roro dalam-dalam,
seraya ujarnya tergagap.
"Aku... aku... tak dapat
melanggar janji pada
guruku yang telah mengajari
ilmu-ilmu yang kumiliki
saat ini...! Bila ku langgar aku
akan kehilangan semua
ilmu-ilmuku!"
"Hm, itu terserah
keinginanmu! Berapa ba-
nyakkah musuh besarmu? Aku Roro
Centil bersedia
membantumu menumpas sekalian
musuh-musuhmu,
asalkan memang kenyataannya
manusia yang harus
dibinasakan adalah
manusia-manusia bejat!" berkata
Roro Centil dengan suara mengandung belas kasih.
Dari air mata yang mengalir
keluar serta dari kata-kata
marahnya wanita itu terhadap
Roro ketika Roro memu-
ji kecantikannya, si Pendekar
Wanita Pantai Selatan
sudah maklum kalau wanita itu
mengalami goncangan
jiwa akibat perbuatan manusia-manusia
durjana. Itu-
lah sebabnya Roro merasa simpati
padanya, bahkan
bersedia membantu si Manusia
Serigala Hantu.
Tampak wajah wanita itu
membersitkan wajah
cerah menatap Roro. Betapa
diapun amat mendamba-
kan hidup yang normal seperti
layaknya manusia bi-
asa. Ilmu-ilmu yang dimiliki
serasa memberatkannya.
Walaupun secara tak langsung si
pemberi ilmu telah
menyelamatkan dirinya dari
tangan lima manusia ter-
kutuk yang telah membuatnya
menderita lahir batin.
"Ah, betapa mulianya
hatimu, kakak...! Boleh-
kah aku memanggilmu
"kakak"? Aku tak mempunyai
seorang saudara pun. Kalau kau
mau menganggapku
saudaramu, betapa girangnya
hatiku. Serasa aku be-
nar-benar menjadi manusia lagi!
Dan... dan aku... aku
bersedia membuang
ilmu-ilmuku!" Ucap wanita itu
dengan suara tergetar menahan
perasaan girangnya
yang meluap.
"Aiii...! Syukurlah!
Bagus...! Aku tak keberatan
mengangkat saudara denganmu,
siapakah namamu
adik...?" tanya Roro seraya
beranjak mendekati.
"Aku cuma tahu guruku
memanggilku Ken
Ayu...! sahutnya dengan sepasang
mata berkaca-kaca.
Roro manggut-manggut dengan
tersenyum.
"Namaku sendiri adalah Roro
Centil!" Ujar Roro
memperkenalkan diri. "Mari
kita tinggalkan tempat ini!
Aku akan mencarikan pakaian yang
pantas! Tapi se-
baiknya. kau mandi dulu yang
bersih! Disebelah sana
ada sungai berair jernih...!
Ayolah!" ajak Roro seraya
menyambar buntalan yang
tergeletak di tanah tak jauh
didekatnya. Lalu beranjak
mendekati Ken Ayu seraya
menggamit lengannya.
Ken Ayu tak dapat menolaknya
lagi untuk me-
nuruti ajakan itu. Akan tetapi
tiba-tiba dia merandek
menahan langkahnya.
"Ah, akan tetapi aku harus
mengantarkan ke-
dua buah kepala ini dulu pada
ibuku! Aku telah ber-
janji untuk membawa dua batok
kepala musuh besar-
ku ini padanya, karena selain
musuh besarku kedua
manusia Iblis Pulau Menjangan
ini juga musuh besar
ibuku!" berkata Ken Ayu.
"Hm, begitukah...? Haiih!
Sudahlah! Kelak aku
akan menemanimu mengantarkannya!
Bawalah kedua
buah kepala itu. Mari kita ke
sungai. Sementara kau
mandi yang bersih, aku akan
mengantarkan buntalan
uang ini dulu kepada pemiliknya
sekalian mencarikan
pakaian yang baik
untukmu...!" ujar Roro dengan ter-
senyum.
Ternyata usul Roro tak dapat Ken
Ayu meno-
laknya. Tak berapa lama tampak
dua sosok tubuh wa-
nita itu berkelebatan menuju ke
arah sungai.
***
DUA BELAS
BENARLAH SEPERTI YANG ditakutkan
Adipati
Wiralaga. Surat yang
dikhawatirkan jatuh ke tangan
orang Kerajaan justru telah
berada di tangan Mahapa-
tih Raksa Mandala. Segera saja
Pembesar Kerajaan itu
mengutus Senapati Pamuji untuk
menjalankan tugas
membekukan pemberontakan sebelum
terlambat. Se-
mentara itu gedung Kadipaten
segera disita oleh Kera-
jaan, dan dalam pengawasan serta
penjagaan ketat.
Adipati Wiralaga dicari untuk di
tangkap.
Sementara Senapati Pamuji dengan
dua ratus
lasykar Kerajaan berangkat ke
pesisir laut kidul untuk
menangkap sekutu Wiralaga dan
menggagalkan pen-
dropan kapal-kapal asing yang
bakal menyerbu wi-
layah kekuasaan Kerajaan. Tentu
saja telah menghu-
bungi pula beberapa tokoh
Pendekar dari kalangan
menyambut tugas itu dengan
semangat baja.
Ketika itu didesa Gombong... Dua
orang dara
jelita memasuki wilayah desa itu
dengan wajah berseri.
Berpakaian rapi warna putih dan
hijau. Tampaknya
kedua dara itu amat akrab
sekali, bahkan berjalan
dengan bergandengan tangan
memasuki mulut desa.
Mereka tak lain dari Ken Ayu dan
Roro Centil. Roro
memang tengah mengantar Ken Ayu
sang saudara
angkat itu untuk mengunjungi
ibunya di desa Gom-
bong. Untuk mengantarkan dua buah kepala si Iblis
Pulau Menjangan, seperti
janjinya pada sang ibu.
Tampak sebuah buntalan dicekal
pada sebelah lengan
Ken Ayu.
Akan tetapi terkejut mereka
ketika mendengar
kegaduhan didalam desa. Beberapa
orang berlarian,
dan berteriak-teriak ketakutan.
Apakah gerangan yang terjadi...?
Kiranya ditengah desa tengah
terjadi pertarun-
gan hebat antara dua orang
laki-laki. Yang ternyata
adalah Adipati Wiralaga dengan
seorang laki-laki tua
bermuka hitam keriput. Sementara
seorang wanita
yang tidak terlalu tua tengah
meringis kesakitan dalam
keadaan dicengkeram rambutnya
oleh seorang wanita
pula yang berpakaian sutera
warna kembang-kembang
yang pada sekujur tubuhnya penuh
dengan perhiasan.
Perempuan yang menyeringai
kesakitan itu tak lain da-
ri Nyi Denok Warsih. Sedangkan
yang mencengkeram-
nya adalah istri Adipati
Wiralaga. Entah bagaimana is-
tri Adipati itu bisa sampai ke
desa Gombong? Baiklah
kita ikuti kisahnya.
Ternyata sebelum orang-orang
Kerajaan men-
gepung gedung Kadipaten sang
istri Adipati telah ang-
kat kaki terlebih dulu. Bersama
siapa lagi keberangka-
tannya, kalau tak bersama si
Lutung Pancasona!? Ten-
tu saja telah membenahi terlebih
dulu barang-barang
berharga milik Adipati itu yang
dibawa kabur melari-
kan diri. Karena ternyata telah
tercium pula adanya
seorang laki-laki yang berada di
gedung Kadipaten dan
di curigai sebagai orang buronan
Kerajaan.
Justru suatu kejadian kebetulan
yang sangat
tak diduga, ternyata keduanya
bahkan mengungsi un-
tuk menyembunyikan diri di desa
Gombong. Tentu saja
kemunculan istri Adipati itu
menjadi perhatian yang
menyolok dimata penduduk desa
itu. Dan... dengan
kebetulan sekali Adipati
Wiralaga melihat kemunculan
istrinya didesa itu. Tak ayal
dia sudah melompat ke-
luar dari dalam rumah Nyi Denok
Warsih.
"Istriku, mau apa kau
menyusulku kemari?
Dan... siapakah laki-laki yang
bersamamu?" bertanya
Adipati Wiralaga.
Karena memang sudah tak menyukai
lagi sua-
minya, apalagi telah diketahui
oleh orang-orang Kera-
jaan akan pengkhianatan suaminya
yang berniat
memberontak dan tengah dicari
oleh orang-orang Kera-
jaan untuk ditangkap,
membersitlah kemarahannya.
"He!? Siapa kau? Aku tak
mengenalmu...! Lan-
cang sekali kau memanggil istri
pada istri orang...!"
bentaknya dengan marah.
Terhenyak Wiralaga.
"Suridewi! Kau sudah tak
mengenaliku lagi? Sandiwara
apakah yang kau per-
buat! Apakah gerangan yang
terjadi?" teriak Wiralaga.
Keributan diluar itu membuat Nyi
Denok War-
sih keluar dari kamarnya dengan
wajah pucat dan
rambut tak tersisir rapi. Namun
sekilas saja sang istri
Adipati Wiralaga telah
melihatnya, karena suaminya
keluar dari dalam pondok itu.
Hatinya jadi semakin
panas.
Tiba-tiba dia berkata pada
laki-laki berkulit
muka hitam disampingnya.
"Suamiku", hajarlah ma-
nusia kurang ajar ini! Mengapa
kau diamkan saja dia
berkata lancang! Hm, kalau perlu
aku tak melarang
kau membunuhnya!"
"Keparat! Kau
sungguh-sungguh keterlaluan,
Suridewi! Kuhancurkan mulutmu!
Apakah manusia itu
gendakmu?" Menggembor marah
Adipati Wiralaga.
Lengan Wiralaga bergerak untuk
mencengkeram wani-
ta itu, akan tetapi laki-laki
tua berkulit muka hitam itu
telah gerakkan tangannya
menangkis seraya melompat
menghadang.
"Hahaha hehehe... sabar,
sobat! Kau tak layak
lagi berbuat demikian! Bukankah
kau sudah menden-
gar sendiri dia menyebut suami
padaku, siapa bilang
aku gendaknya?" berkata
demikian, sebelah lengan la-
ki-laki tua bermuka hitam
keriput itu segera memeluk
pinggang Suridewi yang bahkan
senderkan kepalanya
ke dada si lelaki tua.
Merah padam seketika wajah
Wiralaga. Giginya
bergemeretukan menahan geram.
Sementara sepasang
mata Suridewi selalu mengarah
pada perempuan dibe-
randa rumah yang memandang ke
arahnya dengan wa-
jah pucat pasi.
"Siapakah kau manusia
durjana? Kau berani
berbuat demikian pada seorang
Adipati?" membentak
Wiralaga. Akan tetapi justru
bentakan itu membuat si
laki-laki tua itu tertawa
berkakakan.
"Hahaha... hahaha... kau
dengar istriku! Dia
menyebut dirinya Adipati?
Hahaha... kau tak lebih dari
seorang pemberontak, Wiralaga!
Gedung Kadipaten te-
lah disita Kerajaan, dan kau tengah
dicari orang-orang
Kerajaan untuk ditangkap!"
Mendengar kata-kata itu seketika
pucat pias
wajah Wiralaga. Akan tetapi
dengan menggembor keras
dia telah mencabut kerisnya yang
terselip di belakang
punggung, seraya melompat
menerjang dengan diba-
rengi bentakan.
"Baik! Aku memang bukan
Adipati lagi! Tapi se-
belum aku ditangkap kalian
berdua harus mampus
terlebih dulu di
tanganku...!"
Angin keras menderu tatkala
keris di tangan
Wiralaga berkelebat menusuk ke
arah dada laki-laki
tua itu. Sedangkan sebelah lengan Wiralaga memba-
rengi dengan pukulan dahsyat.
Namun dengan gerakan sebat
sekali laki-laki
tua itu melompat menghindar
dengan menyambar tu-
buh Suridewi dalam pelukannya.
Dan... hinggapkan
kaki dengan ringan tak jauh disamping
rumah. Wirala-
ga menghambur untuk mengejar.
Sementara laki-laki
tua itu lepaskan Suridewi seraya
berkata. "Hm, kau
tontonlah aku, Suridewi!
Bagaimana aku mengha-
biskan nyawa pemberontak
ini!" berkata si laki-laki tua
itu. Seraya diapun melompat
untuk menerjang....
Segera saja terjadilah
pertarungan hebat antara
kedua laki-laki itu. Ternyata
Wiralaga pun bukan seo-
rang yang berilmu rendah.
Serangan pukulannya cu-
kup ganas, ditambah serangan
kerisnya yang menim-
bulkan angin menggebu bersiutan
menabas dan
menghunjam mengancam nyawa.
Dalam keadaan mereka tengah
bertarung, ter-
nyata Suridewi telah melompat
masuk ke dalam be-
randa rumah Nyi Denok Warsih,
seraya membentak.
"He! Rupanya kau ada main
dengan pemberontak itu,
ya? Apamukah dia...?"
Mundur selangkah Nyi Denok
Warsih dengan
wajah pucat pias. Akan tetapi
dia tak mampu untuk
bicara apa-apa.
Karena pertanyaannya tak
mendapat sahutan,
bahkan menampak wanita itu justru mundur ketaku-
tan, Suridewi telah gerakkan
lengan menjambak ram-
butnya, serta menyeretnya keluar
rumah. Memekik pe-
rempuan Itu kesakitan. Akan
tetapi Suridewi tak
memperdulikan. Dia memang ada
mempunyai sedikit
kepandaian. Berbeda dengan
perempuan desa itu yang
tak punya kepandaian apa-apa
sama sekali.
Melihat Nyi Denok Warsih tengah
disiksa di
tampari oleh istrinya, Wiralaga
berteriak keras, dengan
kemarahan memuncak.
"Suridewi! Berani kau
menganiayanya, ku han-
cur remukkan tubuhmu! Lepaskan
dia! Dia tak bersa-
lah apa-apa .."
Suridewi tertawa sinis.
"Hihihi... kini baru ku
tahu kalau kau istrinya...! Mengakulah kau, perem-
puan kampungan...!"
lengannya bergerak menampar.
Dan kembali Nyi Denok Warsih
menjerit kesakitan.
Wajahnya sudah bengap dan matang
biru karena diha-
jar Suridewi yang melampiaskan
kemendongkolan ha-
tinya pada perempuan itu.
Padahal dia sendiripun ber-
buat khianat pada suaminya.
Pada saat itulah terdengar
bentakan keras. Tu-
buh Wiralaga telah melesat
tinggi melewati kepala la-
wannya, menerjang ke arah
Suridewi.
"Perempuan laknat! Kubunuh
kau...!" Terpe-
rangah Suridewi karena tahu-tahu
ujung keris Wirala-
ga telah berada di depan
matanya. Akan tetapi bersa-
maan dengan ujung keris Wiralaga
menghunjam leher
Suridewi, laki-laki itu menjerit
keras dan roboh tergul-
ing...
Dua jeritan terdengar saling
susul, dan dua tu-
buh berkelojotan meregang nyawa.
Ternyata disaat itu
juga si Lutung Pancasona telah
lepaskan senjata raha-
sianya. Tiga larik sinar
berkredepan meluruk ke arah
punggung dan belakang leher
Wiralaga, dan menancap
tepat pada sasarannya.
Baru saja kedua manusia malang
itu lepaskan
nyawanya, terdengar suara
jeritan keras yang di-susul
dengan berkelebatnya dua sosok
tubuh ke tempat itu.
"Ayaaaah...!" Teriakan
santar itu tak lain dari
suara Ken Ayu, yang telah
menghambur ke arah tubuh
Wiralaga. Terperangah Nyi Denok
Warsih melihat seo-
rang gadis cantik menangis
dengan memeluki laki-laki
Adipati itu dengan menyebutnya
"ayah". Hatinya ter-
sentak seketika. Baru saja dia
dalam keadaan terkejut
luar biasa dengan kejadian
barusan, kini muncul lagi
seorang gadis yang memeluki
mayat Suhara.
"Ibu...! Ini aku anakmu,
ibu...! Aku Ken Ayu...!
Aku telah bawakan dua buah
kepala si Iblis Pulau
Menjangan! Aku harus balaskan
kematian ayah...!"
berkata Ken Ayu dengan mata
berkaca-kaca menenga-
dah memandang pada Nyi Denok
Warsih seraya mem-
buka buntalan kepala dihadapan
wanita itu. Lalu alih-
kan tatapannya pada laki-laki
yang masih tegak berdiri
tak jauh dihadapannya. Nyi Denok
Warsih memandang
isi buntalan dengan mata
membelalak.
Sementara itu Roro Centil
melengak melihat ke-
jadian. Memandang pada laki-laki
berkulit muka hitam
berkerut yang barusan lepaskan
senjata rahasianya,
tahulah Roro kalau orang itu
adalah si Lutung Panca-
sona. Tiba-tiba sekali lompat
Lutung Pancasona sudah
melesat untuk kabur dari tempat
itu. Ternyata dia te-
lah mengetahui kedatangan Roro
Centil yang pernah
gagal di pecundanginya untuk
jahatnya memperkosa
dara Pendekar Pantai Selatan
itu. Akan tetapi Roro
Centil telah melesat terlebih
dulu untuk menghadang.
"Tahan! Kau tak dapat lolos
lagi, setan cabe!"
membentak Roro.
WHUUKK...! Lutung Pancasona
hantam-kan
pukulannya. Dan... set! set! set! Tiga senjata rahasia
berbentuk keris kecil meluncur
ke arah tiga tempat
berbahaya di tubuh Roro.
SYIUUUUT!... PRASH! Roro Centil
kibaskan
rambutnya menghantam mental
senjata-senjata raha-
sia Lutung Pancasona. Sebelah
lengannya memapaki
hantaman pukulan lawan.
BHLARRR...! Terdengar suara
beradunya dua
pukulan tenaga dalam. Terdengar
teriakan tertahan
Lutung Pancasona. Tubuhnya
terlempar enam tombak
dan jatuh bergulingan. Sedangkan
Roro Centil terpen-
tal sejauh tiga-empat tombak.
Setetes darah tampak
tersembul disudut bibir Roro,
yang rasakan dadanya
nyeri. Tak disangka kalau tenaga
dalam lawan demi-
kian besar. Namun Roro Centil
cepat melompat berdiri
dengan tubuh terhuyung.
Sementara dilihatnya Lutung
Pancasona baru
saja mau beranjak bangun,
setelah keluarkan darah
yang menggelogok dari mulutnya.
Roro tak lewatkan
kesempatan baik ini. Dia memang
amat penasaran se-
kali untuk mengetahui wajah
dibalik topeng kulit mu-
ka si Lutung Pancasona. BREET!
Terpelanting laki-laki
itu dengan kembali berteriak
kesakitan.
Kulit mukanya seketika
mengelupas yang me-
nyobek pula kulit kepalanya
hingga mengeluarkan da-
rah. Segera terpampanglah
wajahnya. Benar seperti
dugaan Roro, wajah dibalik
topeng kulit muka itu ada-
lah wajah laki-laki yang masih
muda, namun usianya
lebih dari sekitar 30 tahun
lebih.
"Hah!? Kau... kau
SAWOR!" satu teriakan kaget
terdengar santar. Itulah suara
Ken Ayu, yang sedari
tadi memperhatikan jalannya
pertarungan.
"Kakak Roro Centil! Biarlah
aku yang membu-
nuhnya!" teriak Ken Ayu
yang sekejap sudah melompat
ke hadapan laki-laki itu. Akan tetapi diluar dugaan
lengan Sawor alias si Lutung
Pancasona telah bergerak
cepat ke balik bajunya, dan...
Set! set! set! set!
Menghamburlah belasan senjata
rahasia dari
keris-keris kecil beracun yang
amat ampuh itu. Keja-
dian mendadak itu diluar dugaan
Roro yang tak sem-
pat bertindak. Hingga tak ampun
segera terdengarlah
jeritan ngeri yang saling susul,
bersamaan dengan am-
bruknya dua sosok tubuh wanita.
Ternyata hamburan
senjata rahasia itu mengenai
pula pada Nyi Denok
Warsih.
"Manusia iblis...!"
membentak Roro Centil. Ke-
dua lengannya bergerak ke depan
yang telah dibarengi
tenaga dalam penuh. Itulah jurus
pukulan Roro Centil
yang terdahsyat, yaitu jurus
TAUFAN MELANDA KA-
RANG.
Tak Ampun lagi tanpa sempat
menjerit lagi tu-
buh Sawor terlempar
berpuluh-puluh tombak. Bahkan
angin pukulan itu telah pula
merobohkan belasan ba-
tang pohon yang ambruk dengan
suara gaduh bagai-
kan dilanda angin taufan
dahsyat. Tubuh Sawor ber-
gulung-gulung menjadi satu
dengan batang-batang
pohon disisi hutan itu. Lenyap
tak ketahuan lagi ke-
mana jasadnya.
Sesaat kegaduhan itupun sirna...
Roro Centil tegak berdiri
bagaikan arca, mena-
tap ke depan. Setitik air mata
tampak tersembul dis-
udut mata dara Perkasa Pantai
Selatan itu. Suara ga-
duh itu membuat kegemparan
penduduk desa Gom-
bong yang terletak di sisi
bukit. Mereka berhamburan
keluar, dan melarikan diri
dengan berteriak-teriak ke-
takutan. Sementara tanpa
seorangpun penduduk yang
sempat melihat, Roro Centil
telah berkelebat menyam-
bar tubuh Ken Ayu... dan melesat
lenyap dari tempat
itu, dengan diiringi satu
lengkingan suara yang men-
gandung isak. Seperti suara
iblis yang menangis yang
membuat bulu tengkuk meremang...
TAMAT
Emoticon