TUJUH
Sementara itu Tiga sosok tubuh
laki-laki yang
bentuk tubuhnya berbeda satu
sama lain tampak ten-
gah berdiri diatas lamping
bukit. Menyapukan pan-
dangan mata mereka pada sekitar
tempat itu. Seorang
bertubuh jangkung mirip galah.
Seorang lagi bertubuh
pendek kekar. Sedangkan yang
paling sisi adalah seo-
rang laki-laki gemuk berpipi
tembem. Rambutnya hi-
tam kaku. Dua dari ketiga orang
ini mengenakan pa-
kaian dari kulit kerbau. Si
jangkung kurus mencekal
sebatang ruyung yang panjangnnya melebihi kepa-
lanya. Si pendek kekar membawa
dua buah buli-buli
arak yang tergantung
dipinggangnya. Sedangkan si
gemuk pipi tembem yang memakai
jubah kuning dari
kain kasar itu bertangan kosong.
Melihat dari tampangnya si gemuk
itu seperti
seorang pegulat ulung, yang
bukan penduduk asal
daerah itu. Boleh dibilang
seperti orang asing yang ba-
ru injakkan kaki ke wilayah itu.
"Kakang Sapi Lanang. tujuan
kita adalah me-
nyeret si gadis bandel itu untuk
pulang kembali ke
perguruan, bukan untuk tujuan
macam-macam!" ber-
kata si pendek kekar yang
membawa buli-buli arak
pada si laki-laki jangkung. Si
pendek kekar ini berna-
ma Suro Ragil yang terhitung
adik seperguruan laki-
laki jangkung bernama Sapi
Lanang itu. Agaknya Suro
Ragil telah mengetahui watak
kakak seperguruan nya
yang suka menyeleweng.
"Hohohoho... tentu! tentu
saja...! Apakah info
itu jelas bahwa si Seruling
Gading berada di Cipatu-
jah...? balik bertanya Sapi
Lanang.
"Orang-orang kita yang
melacak kepergian si
Seruling gading yang kabur dari
perguruan itu cukup
jelas dan dapat dipercaya.
Kukira saat ini masih bera-
da di Pesanggrahan milik Ki
Astagina, kokolot desa Ci-
patujah!"
"Bagaimana kalau Ki
Astagina menghalangi?
Apakah kita harus pulang dengan
tangan kosong?"
tanya lagi Sapi Lanang.
"Ki Astagina kenal baik
watak guru kita dan
agaknya memandang persahabatan,
dia takkan meng-
halangi...!"
"Ya, itu dugaanmu. Tapi
dugaanku lain! ki As-
tagina adalah sesepuh atau
"kokolot" di wilayah Cipa-
tujah. Kalau si Seruling Gading
ternyata memang me-
minta perlindungan padanya,
masakan dia mau biar-
kan kita menyeret gadis bandel
itu? Tentu hal demi-
kian akan menurunkan wibawanya!
Kukira dia pasti
mempertahankan, atau meminta
guru kita yang men-
gambilnya sendiri, disamping
ingin tahu jelas persoa-
lannya!" tukas Sapi Lanang.
"Boleh jadi demikian...!
Ya, kalau demikian kita
terpaksa harus pakai
kekerasan!" tegaskan Suro Ragil.
"Hohoho... itu memang
mauku! Aku memang
mau menjajal kehebatan
orang-orang Cipatujah terma-
suk Ki Astagina!" tertawa
bergelak Sapi Lanang.
"Kalau kau kalah aku yang
akan mematahkan
batang leher Ki Astagina!"
Tiba-tiba menyelak bicara si
laki-laki gemuk berjubah kuning
yang sedari tadi tak
bersuara.
"Hohoho.... bagus! bagus,
sobatku Zimbage!
Kau memang sengaja kuajak agar
banyak pengalaman
di wilayah ini. Kau bisa
tumbangkan "jago-jago" Cipa-
tujah!" berkata Sapi Lanang
seraya menepuk-nepuk
bahu si gemuk dengan lengannya
yang panjang mele-
wati tubuh Suro Ragil,
Tak lama ketiga sosok tubuh itu
sudah berke-
lebatan menuruni bukit. Sapi
Lanang dengan memper-
gunakan ruyungnya
melompat-lompat dengan gerakan
lincah. Sedangkan si gemuk yang
bernama Zimbage itu
ternyata dapat berlari cepat
dengan suara langkah ka-
kinya yang berdebum menggetarkan
tanah.
Suro Ragil merendenginya dengan
ilmu lari
yang tak kalah cepat.
Sebentar saja ketiga tubuh itu telah lenyap di-
balik lereng bukit...
Pada saat itu di Pesanggrahan
Cipatujah.
Sambu Ruci ternyata setelah
selesai menyam-
but para tamu undangan dari
"sesepuh" desa Cipatu-
jah Ki Astagina tampak berdiri
seraya menjura kepada
semua orang. Disisinya berdiri
pula si gadis Seruling
Gading yang telah menjadi
istrinya.
"Sobat-sobat semua dan yang
kami hormati se-
sepuh Pesanggrahan Cipatujah.
Agaknya kami tak da-
pat tinggal lama untuk menetap
disini.
Sehubungan dengan sudah
berangkatnya terle-
bih dulu sobat kita Pendekar
Roro Centil. Kami
ucapkan terima kasih kami yang
sebesar-besarnya pa-
da semua yang telah hadir.
Terutama pada sesepuh Ki
Astagina, atas bantuannya hingga
selesainya urusan
pernikahan kami!" ujar
Sambu Ruci seraya kemudian
menjura pada laki-laki tua bersorban putih yang du-
duk dikursinya. Bibirnya tampak
tersungging senyu-
man. Lalu menghisap dalam-dalam
pipa tulang yang
selalu terselip disudut bibir.
Kemudian hembuskan
asap tembakau yang mengepul
tebal ke udara.
Ki Astagina bangkit untuk
berdiri dari kursinya
seraya balas menjura,
"Terima kasih kembali atas
ucapan anda, sobat
Sambu Ruci! kami merasa heran
mengapa anda buru-
buru mau pergi...? Sebaiknya
menetap disini dulu satu
dua hari. Kami tak merasa terganggu. Dan kamar di
Pesanggrahanku cukup lebar
terbuka buat kalian
menginap beberapa malam!"
berkata Ki Astagina.
"Selain itu pula..."
lanjut ucapannya. "Seruling
Gading adalah murid dari sobatku
Ki Sugema dari per-
guruan "Surya Medal".
Jadi diantara kita masih ada
ikatan persahabatan. Apalagi anda adalah sahabat
baik dari Pendekar Roro Centil
yang amat kami kagu-
mi...!"
Sejenak Sambu Ruci tundukkan
wajahnya. Hal
itu memang telah diketahui, tapi
tujuannya untuk ce-
pat meninggalkan tempat itu
adalah dikhawatirkan
ada terjadi sesuatu yang tak
diinginkan. Karena seperti
telah diketahui dari Seruling
Gading, kalau Seruling
Gading telah "lari"
dan perguruan itu. Juga ada firasat
tidak baik, karena berita
perkawinan mereka pasti
akan tercium oleh ayah tiri
Seruling Gading.
Sejenak kedua pengantin baru itu
jadi saling
berpandangan.
Tapi tampaknya Seruling Gading
tak setuju ka-
lau harus menerima usul Ki
Astagina. Sambu Ruci se-
gera angkat bicara lagi.
"Terima kasih atas
kemurahan hati anda sobat
sesepuh KI Astagina. Namun untuk
menjaga agar di
wilayah Cipatujah ini tetap
dalam kedamaian, kami te-
lah sepakat untuk segera
meninggalkan tempat ini...!
Sejenak suasana menjadi hening.
Melihat de-
mikian para tetamu segera satu
persatu mulai berdiri
menjura pada Ki Astagina untuk
berpamitan.
Akan tetapi pada saat itu juga
terdengar suara
berdebum di kejauhan
yang membuat tanah seperti
tergetar. Dan selang sesaat tiga
sosok tubuh telah ber-
diri diluar pelataran.
"Hohohoho...
hoho...tampaknya disini tengah
ada keramaian pesta! Mengapa kau
orang tua tak
mengundang kami dari Perguruan
Surya Medal, sobat
tua Ki Astagina...?" si
jangkung sapi Lanang lebih dulu
pentang suara.
Semua yang hadir jadi terkejut.
Ki Astagina se-
gera tahu siapa yang datang
dengan memandang dua
orang berbaju kulit, satu pendek
dan satu jangkung
itu.
"Silahkan duduk sobat-sobat
murid Ki Suge-
ma...!" berkata datar
Ki Astagina seraya bangkit
berdiri. Tiga buah
bangku segera dikosongkan.
Bahkan lebih dari sepuluh bangku
telah kosong
pada saat itu juga. Karena
beberapa tamu segera ang-
kat pantat untuk meninggalkan
tempat pesta itu sond-
er permisi lagi pada tuan rumah.
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
"Hm, terima kasih! rasanya
kami tak perlu du-
duk! kedatangan kami adalah
untuk membawa mem-
pelai perempuan itu, atas
perintah guru kami Ki Su-
gema!" berteriak lantang
Sapi Lanang dengan mata me-
lotot pada Seruling Gading.
Seraya ucapnya pula; "Eh,
gadis bandel! siapa yang izinkan
kau kawin seenaknya
tanpa seijin ayahmu...?"
Sambu Ruci jadi menatap pada
sang istri yang
tampak terlihat wajahnya berubah
tegang. Namun
dengan tegar dia menyahut.
"Siapa yang berhak mela-
rangku? Aku bebas melakukan apa saja sekehendak
ku tanpa tahu segala urusan
meminta izin pada ma-
nusia bejat itu!"
Melengak sapi Lanang juga kedua
orang ka-
wannya. "Kau berani memaki
guru...?" bentak Sapi La-
nang gusar.
"Mengapa tidak? dari pada
aku pulang ke Per-
guruan, lebih baik mati! Kau
juga manusia bejat! ting-
gal bersama manusia-manusia
seperti kalian sama
dengan membiarkan aku diterkam
macan edan...!"
Tentu saja pernyataan keras yang
dilontarkan
Seruling Gading membuat semua
orang melengak.
Bahkan Ki Astagina sudah
melompat ke hadapan me-
reka.
"Sabar! Sabar...! segala
urusan bisa didamai-
kan! Ada kejadian apakah
sebenarnya harap kau Sapi
Lanang memberi tahukan!"
berkata Ki Astagina.
Akan tetapi Sapi Lanang unjuk
tertawa menga-
kak dan berkata sinis.
Hohoho... kau orang tua
seharusnya tak men-
jadi wali untuk menikah kan anak
orang semaunya!
Bagusnya kami datang belum
terlambat!"
Ki Astagina agaknya memang telah
maklum
dengan kejadian sebenarnya, karena Seruling Gading
telah maklum mengadukan hal ikwalnya pada dia.
Akan tetapi orang tua itu seolah
tak mengerti persoa-
lan.
"Aku menjadi wali adalah
atas dasar menolong
orang. Kukira gurumu Ki Sugema
tak berhak penuh
menjadi walinya, karena dia ayah
tiri.
Akan tetapi bisa juga menjadi
wali kalau me-
mang si mempelai perempuan
menghendaki. Wali un-
tuk seorang perempuan dalam satu
pernikahan dibo-
lehkan memakai wali siapa saja
apabila ayah kan-
dungnya telah meninggal"
tegaskan Ki Astagina dengan
suara yang gamblang.
Semua yang hadir tampak
manggut-manggut
dan memaklumi akan peraturan
pernikahan yang ber-
laku disaat itu.
"Baik! urusan itu adalah
urusan nanti dengan
guruku! kini kami cuma mau
menjelaskan bahwa kami
diperintah oleh guru kami untuk
membawa perem-
puan bandel ini dengan segera. Dan... kami takkan
kembali dengan tangan kosong
tentunya!" berkata Su-
ro Ragil dengan suara berwibawa.
"Aku si ini tua takkan
menghalangi kalau orang
yang akan kau bawa itu tak
menolak! nah, bagaimana
keputusanmu, Seruling
Gading?" tanya Ki Astagina se-
raya berpaling pada Seruling
Gading.
"Aku telah jadi milik orang
yang telah syah
menjadi suamiku! kalau suamiku
menginginkan, tentu
aku tak menolak...!" .sahut
Seruling Gading dengan
suara tenang. Sepasang matanya
mengerling pada
Sambu Ruci. Bahkan lengannya
telah menggamit len-
gan pemuda gagah itu.
Melihat demikian Sapi Lanang
tampakkan wa-
jah yang mendongkol bukan main.
Dia memang per-
nah mau berbuat kurang ajar pada
gadis itu ketika be-
rada di pesanggrahan Surya
Medal. Tak tahunya sang
guru alias ayah tiri Seruling
Gading juga "maui" anak
tirinya.
"Kami akan segera datang
menemui guru ka-
lian!"
Di luar dugaan Sambu Ruci telah
berkata den-
gan suara tegas. Bukan saja
semua orang melengak,
akan tetapi pihak murid
Perguruan Surya Medal juga
melengak. Namun diam-diam hati
mereka memuji
akan keberanian serta sifat
kesatria yang dimiliki pe-
muda tampan itu.
"Bagus! Kalau begitu
sekarang kita berangkat!"
ternyata Suro Ragil langsung
mendahului bicara me-
mutus persoalan. Sapi Lanang
tampaknya kurang
puas, karena dia memang akan
menjajal kekuatan
orang Pesanggrahan Cipatujah
yang terkenal dengan
kedigjayaannya. Apa lagi dengan
persoalan ini, bisa
kemungkinan menjadi berbuntut
panjang. Segera dia
berkata dengan nada keras.
"Tunggu! Kalau pemuda ingusan
ini ikut serta,
urusan bisa runyam! Aku tak
tanggung jawab kalau
terjadi apa-apa...!"
Sebaiknya kami cuma akan mem-
bawa orang yang diperlukan, lain
tidak! Kalau kalian
semua kurang puas, silahkan
tunjukkan kekuasaan
kalian sebagai orang-orang Pesanggrahan
Cipatujah,
aku takkan gentar untuk
melayani...!"
***
DELAPAN
"GURU...! Biarkan aku
menghajar mulut manu-
sia sombong ini. Seorang
laki-laki bertubuh kekar me-
lompat ke depan. Wajahnya tampak
merah padam ka-
rena mendengar penantangan Sapi
Lanang barusan.
Dan tanpa menunggu jawaban
gurunya, laki-laki ber-
tubuh kekar itu sudah membentak keras seraya me-
nerjang dengan kepalan tinjunya
mengarah ke muka
Sapi Lanang. "Manusia
sombong! kau hadapi dulu
aku, Partawenda.. ..! yang akan
menghancurkan mu-
lutmu!"
WHUUUK! Tinjunya Partawenda
meluncur de-
ras secepat angin.
DHESSS! Secepat kilat Sapi
Lanang memapa-
kinya dengan ruyungnya. Tak
ampun si penerjang itu
menjerit keras, seraya menarik
tangannya dan ber-
jingkrakan dengan menyeringai
kesakitan. Tentu saja
serangan dengan tenaga keras
yang diadu dengan
ruyung keras yang telah di isi
dengan aliran tenaga da-
lam membuat benda itu jadi
sekeras besi. Tak ampun
kepalan tangan Partawenda matang
biru dibuatnya.
"Hohohoho... hoho... cuma
sebegitu saja yang
bermulut besar mau menghancurkan
mulut ku!" men-
gakak tertawa si jangkung kurus.
Sementara Suro Ragil jadi
menggerutu pada
kakak seperguruannya.
"Haih, lagi-lagi kau cari pe-
nyakit, kakang Sapi Lanang!"
Tapi Sapi Lanang tak
memperdulikan. Dia sudah maju
melompat ke depan
Seruling Gading seraya julurkan
lengan untuk menarik
tangan gadis itu. "Hayo kau
ikut aku pulang, tanpa
pemuda ingusan itu!"
bentaknya dengan keras.
Gerakan Sapi Lanang cukup cepat
untuk sege-
ra mencekal erat pergelangan
tangan gadis itu. Akan
tetapi tiba-tiba laki-laki
jangkung itu menjerit parau la-
lu jatuh terjengkang seraya
lepaskan cekalannya. Da-
rah menyemburat berpuncratan
tatkala si jangkung
kurus itu berkelojotan di tanah.
Terperangah semua
mata menatapnya. Tak lama tubuh
Sapi Lanang meng-
geliat, lalu menelentang tak
bergerak lagi dengan kepa-
la terkulai. Ternyata lehernya
telah sobek yang menga-
lirkan darah tiada henti.
Keadaannya mengerikan ka-
rena tulang lehernya hampir
putus!
Tentu saja kejadian itu membuat
mata Suro
Ragil dan si gemuk Zimbage jadi
mendelik kaget. Keti-
ka menoleh pada laki-laki di
samping Seruling Gading,
ternyata dia telah lenyap. Gadis
itu sendiri berdiri ter-
paku menatap kejadian aneh
barusan. Akan tetapi dia
telah melihat berkelebatnya
Sambu Ruci keluar dari
tempat itu dengan melompat
tinggi ke atas wuwungan
rumah.
"Haiii! Jangan lari
kau!" membentak Sambu
Ruci. Ternyata dia telah
mengetahui siapa pelaku dari
perbuatan itu.
Sayang orang yang dikejarnya itu
telah lenyap"
Bedebah! Cepat benar larinya
pembunuh itu...!" me-
maki Sambu Ruci dengan kecewa.
Sesaat kemudian
dia telah berkelebat turun lagi
dari atas wuwungan
rumah pesanggrahan. Akan tetapi disambut
dengan
terjangan kedua orang dari pihak
perguruan Surya
Medal itu yang disertai bentakan
menggeledek Suro
Ragil.
"Manusia keji! Aku akan adu
jiwa dengan mu.!"
WHUUK! WHUUUUK...! WHUUKK! Tiga
serang-
kai serangan senjata sepasang kipas tipis Suro
Ragil
terpaksa dielakkan dengan
cekatan kalau Sambu Ruci
tak mau kehilangan kepala dan
putus lengan dan kaki.
Gerakan melompat beberapa kali
itu ternyata membuat
kesempatan si gemuk Zimbage
gerakkan sepasang len-
gannya untuk
membekuk tubuh Sambu Ruci begitu
dia jejakkan kaki ke tanah. Tentu saja Sambu Ruci
melengak kaget. Karena tak
menduga si gemuk telah
berada dihadapannya yang
mempunyai lompatan luar
biasa. Lengannya segera bergerak
menepis. Akan tetapi
rangkulan si gemuk Zimbage
mendadak berubah jadi
jotosan.
DESS! Terlempar Sambu Ruci
seketika dengan
teriakan tertahan. Tinju si
gemuk tepat bersarang ke
dadanya. Tak ampun tubuh Sambu
Ruci roboh ter-
jungkal dan bergulingan di
tanah. Kejadian dalam se-
kejapan itu telah membuat
keadaan ditempat pesta itu
jadi kacau. Beberapa orang anak
buah Ki Astagina ber-
lompatan ke arah tempat
pertarungan. Sedangkan Ki
Astagina sendiri cuma terpaku
tak bergeming. Semen-
tara Seruling Gading telah
perdengarkan teriakan his-
terisnya seraya melompat ke arah
Sambu Ruci yang
terjatuh kena hantaman si gemuk
barusan.
"Kakak Sambu...!"
pekiknya. Mendahului
orang-orang yang berlarian,
Seruling Gading telah tiba
di hadapan Sambu Ruci.
"Kakak Sambu...! Kau... kau
terkena...!" Sambu Ruci
tersenyum, seraya melompat
bangun berdiri. Wajahnya agak
menyeringai kesakitan.
Tapi dengan menggeliat dan
kerahkan tenaga dalam
mengusir rasa sakit, lengan
Sambu Ruci mengusap
dadanya. Sesaat dia telah
kembali tersenyum menatap
Seruling Gading. Seringainya
lenyap.
"Keparat! Kalian berdua
harus mampus! Untuk
menebus nyawa kakak
seperguruanku!" bentak Suro
Ragil dengan mata nyalang dan
wajah merah padam.
"Serahkan padaku untuk
mematahkan batang
lehernya!" berkata Zimbage
dengan menggeram. Den-
gan langkah berdebum dia maju
beberapa tindak.
"Tahan...!" tiba-tiba
terdengar seruan. Dan... Ki
Astagina sudah melompat ke
tempat itu.
"Tunggu dulu sobat-sobat
murid Ki Sugema....!
Kalian salah paham!" Kedua
orang dari pihak pergu-
ruan Surya Medal ini palingkan
kepala menatap Ki As-
tagina. Suro Ragil cepat buka
suara.
"Huh! kalian semua
keterlaluan! Apakah den-
gan membunuh seorang dari pihak
kami masih kau
katakan salah paham? Pembunuh
itu jelas dari pi-
hakmu! Kalau bukan kawan si
pemuda ingusan ini,
mungkin juga kau memang telah
siapkan orang-orang
andalanmu untuk membunuh kami
secara pengecut!
Jangan coba-coba kau mau
mengelabui dengan sandi-
wara macam begini!?"
membentak Suro Ragil.
"Sabar, sobat...! Jangan
kau sembarangan me-
nuduh! Kami bukan sebangsa
pengecut yang mau
main sembunyi-sembunyi membunuh
orang! Pelaku
pembunuhan itu bukan dari pihak
kami..!" berkata
lantang Ki Astagina. Tampak
wajah orang tua ini me-
rah padam karena dituduh berbuat
curang membo-
kong dengan mempergunakan tenaga
orang lain.
Akan tetapi tiba-tiba saat itu
terdengar suara
tertawa dingin yang mencekam.
Dan dua sosok tubuh
berkelebat muncul. Dialah Ki
SUGEMA, yang muncul
bersama seorang kakek tua renta
berkulit hitam. Men-
genakan jubah warna hijau.
Lengannya mencekal se-
buah tongkat berbentuk Kelabang
berwarna hitam
berkilat. Sebuah tongkat yang
aneh, dan tampak san-
gat mengerikan.
"Heh, Astagina...! Apakah
kau mau mungkir
dengan perbuatanmu?"
membentak Ki Sugema. "Kau
tunggulah sebentar lagi, siapa
gerangan orang yang te-
lah membunuh muridku, Si Sapi
Lanang!"
Baru saja selesai Ki Sugema
berkata, dua sosok
tubuh telah muncul. Ternyata
kedua orang itu mem-
bekuk seseorang yang mengenakan
topeng hitam me-
nutupi wajahnya. "Bagus,
murid-murid ku. Kalian
amat cekatan menangkapnya!"
ujar Ki Sugema memu-
ji.
"Nah kalian lihatlah siapa
orang ini! Dialah
yang telah membunuh muridku.
Kami memang mau
menyatroni ke tempat
Pesanggrahanmu, Ki Astagina.
Tapi ketika baru sampai diujung
desa, aku melihat se-
seorang berkelebat melarikan
diri. Terpaksa aku turun
tangan membekuknya. Aku segera
perintahkan kedua
muridku ini menangkapnya. Lalu
mendahului kema-
ri...!" ujar Ki Sugema.
Segera kuketahui kalau seorang
muridku ter-
bunuh. Kalau dia ini bukan orang
suruhanmu, aku
akan habiskan perkara, dan
angkat kaki dengan mem-
bawa anakku si Seruling Gading.
Persoalan mu meni-
kahkan dia takkan ku ungkit lagi
atau ku perpanjang.
Cukup sampai disini...! Tapi
kalau dia memang benar
orang suruhanmu... Hm, mana bisa
aku mandah saja
kau laksanakan kejahatan seenak
perutmu?"
Kata-kata Ki Sugema bagaikan
ujung belati
yang menikam ulu hati Ki
Astagina yang seketika wa-
jahnya jadi merah padam.
Benaknya memikir. "Heh!?
Tipu muslihat macam apa yang
akan dipergunakan
manusia ini?".
Diam-diam dia juga terkejut
melihat adanya
kakek hitam yang muncul bersama
Ki Sugema. Sepa-
sang mata kakek itu memancarkan
kilatan tajam yang
seperti mau menembus jantung.
"Siapa pula kakek hi-
tam tua renta ini?"
bertanya-tanya hati Ki Astagina.
Saat itu Ki Sugema telah memberi
perintah se-
belum Ki Astagina buka suara.
"Nah, cepat buka to-
peng wajah orang ini!"
Kedua murid laki-laki Ketua
perguruan Surya
Medal ini segera jalankan
perintah. Dan... Plas! Topeng
penutup muka laki-laki tawanan
itu telah disibakkan
hingga terlepas.
Segera terlihat tampang seorang
laki-laki yang
ditaksir berusia tiga puluh
tahun.
Ki Astagina kerutkan keningnya.
Dia memang
tak mengenal laki-laki ini. Tapi
belum lagi dia buka
suara, Ki Sugema telah membentak
si laki-laki tawa-
nan itu dengan pertanyaan.
"Kau kenal siapa laki-laki
ini?" bertanya Ki Su-
gema seraya menunjuk pada Ki
Astagina. Orang itu
mengangguk.
"Benarkah kau orang
suruhannya?" tanya lagi
Ki Sugema. Kembali si tawanan
mengangguk. Mem-
buat semua orang menahan napas.
Ki Astagina tersen-
tak kaget, kakinya melangkah
mundur satu tindak.
Bibirnya sudah tergetar untuk
menyangkal. Akan teta-
pi orang tua ini rasakan
lidahnya menjadi kelu. Sua-
ranya tersendat dikerongkongan.
Terheran laki-laki ke-
tua dari Pesanggrahan Cipatujah
ini. Ketika menatap
pada si kakek tua renta
bertongkat kelabang hatinya
jadi bergidik karena sepasang
mata itu telah member-
sitkan kekuatan tersembunyi yang menyerangnya.
Hingga dia cuma bisa membungkam
mulut.
"Katakan! Berapa upah mu untuk pekerjaan
ini! Dan dengan senjata apa kau
telah membokong
anak buahku...!" bertanya
lagi Ki Sugema.
"Uang itu masih berada di
pinggangku...! dan...
aku... aku membunuhnya dengan
senjata dibalik ba-
juku ini...!" menyahut
laki-laki tawanan itu dengan su-
ara menggetar.
Kedua murid segera meraba
pinggang dan me-
rogoh pakaian laki-laki tawanan
itu di sebelah dalam.
Sebuah benda dan sekantong uang
dalam bungkusan
kain segera diberikan pada Ki
Sugema oleh salah seo-
rang dari kedua muridnya.
"Nah, kau lihatlah! Dan...
kalian lihatlah kema-
ri. Bukti-bukti telah terlihat
disini. Apakah kau Astagi-
na masih mau mungkir...?"
CRING...! Benda itu telah
dilemparkan ke ha-
dapan Ki Astagina, dan jatuh
tepat di depan ujung ka-
ki orang tua itu.
Sementara Ki Astagina masih
berdiri terpaku
dengan tubuh menggeletar.
Keringat dingin bercucuran
dari sekujur tubuhnya. Tampaknya
dia seperti tak
berdaya dengan bukti-bukti yang
telah jelas itu. Pa-
dahal sebenarnya dia tengah
"bertarung" adu kekuatan
batin pada si kakek hitam
bertongkat kelabang yang
telah menyerangnya. Hingga
mulutnya pun tetap
bungkam tanpa keluarkan sepatah
katapun.
"Lihatlah! Benda inilah
yang telah menebas leh-
er muridku! Heh! Sebuah senjata
yang ampuh. Bekas-
bekas darah pun masih tampak
disini...!" berkata sinis
dengan suara lantang laki-laki
ketua Perguruan Surya
Medal ini seraya unjukkan benda
itu yang mempunyai
bentuk aneh. Yaitu sebuah benda
ruyung besi sepan-
jang satu jengkal. Pada bagian
tengahnya terdapat se-
buah tombol berwarna merah.
Tampak Ki Sugema se-
perti tengah mengamati senjata
itu. Bagian ujung mata
kapak tipis itu memang masih
tampak ada bekas-
bekas darah.
Sementara itu Sambu Ruci dan
Seruling Gading
cuma saling pandang menatap,
lalu lemparkan tata-
pannya kembali pada Ki Sugema.
Tapi diam-diam Sambu Ruci
alihkan pandan-
gannya pada kakek hitam kurus
berjubah kuning,
yang sejak tadi seperti tak
lepas menatap pada Ki As-
tagina yang tampak tubuhnya
gemetaran. Sorot mata
kakek kurus itu memang
membersitkan cahaya aneh
yang membuat Sambu Ruci
tersentak. Diam-diam dia
sudah waspada dengan segala
kemungkinan. Lengan-
nya pun pelahan mulai merayap
bergerak untuk me-
raih gagang pedangnya diatas
bahu. Sementara ma-
tanya menatap pada Ki Sugema dan
si kakek kurus
jubah kuning berganti-ganti.
Melihat demikian Serul-
ing Gading segera lepaskan
cekalannya pada lengan
Sambu Ruci. Dan sekejap dia
sudah mencabut serul-
ing gadingnya yang terselip
dibelakang punggung.
Saat yang tampaknya sangat
menegangkan itu
membuat semua orang menahan
napas tatkala melihat
Ki Sugema telah arahkan
"senjata aneh" itu ke arah Ki
Astagina. Ketika sinar kilat
berkredep meluncur ke
arah Ki Astagina, saat itu
berkelebat pula selarik ca-
haya perak dari arah sisi
Seruling Gading.
TRANGNG...! Terdengar suara
benturan benda
keras yang dibarengi dengan
bentakan.
"Pengecut curang!"
Itulah suara bentakan Sam-
bu Ruci yang telah melompat dan
menangkis serangan
maut Ki Sugema dengan pedang
pusakanya. Bahkan
sekaligus menyambarkan pedangnya
untuk menabas
ke arah pinggang Ki Sugema.
Tentu saja membuat Ki
Sugema jadi terperangah kaget.
Namun sebagai seo-
rang tokoh yang sudah
berpengalaman, Ki Sugema da-
pat mengelakkan diri dengan
bersalto dua kali ke bela-
kang. Akan tetapi tebasan pedang
Aksara terus menge-
jar Ki Sugema. Yang dicecar
adalah senjata maut yang
berada dilengan laki-laki ketua
dari Perguruan Surya
Medal itu. Senjata hebat itu
begitu kena tertangkis te-
lah kembali lagi menempel pada
gagangnya. Semacam
per yang kuat memang berada
didalam gagang benda
maut itu, yang dapat membuat
kapak tipis diujung ga-
gang itu melesat dan kembali
dengan menekan tombol
merah. Benda itu memang telah
dilihat Sambu Ruci
yang telah dipergunakan
laki-laki bertopeng untuk
menyerang Sapi Lanang dari atas
wuwungan rumah.
Akan tetapi tiba-tiba dibelakang
Sambu Ruci terdengar
suara...
WHUUUK...! Tersentak laki-laki
ini melihat
benda hitam yang menyerupai
kelabang meluncur de-
ras ke arah
punggungnya. Itulah tongkat kelabang si
kakek hitam kurus yang mau
menggebuk punggung
dari belakang. Sambaran deras
itu sukar ditangkis,
terpaksa Sambu Ruci bantingkan
tubuhnya ke samp-
ing. WHUK! WHUK! WHUK! BHUM!
BHUMM! BHUM
MM...! Tiga hantaman
berturut-turut membuat
tanah menyemburat. Tampak Sambu
Ruci bergulingan
menghindari "gebukan"
tongkat kelabang si kakek ku-
rus yang mencecarnya.
"Kakek iblis! Aku akan adu
jiwa denganmu!"
terdengar satu bentakan nyaring.
Dan... sekelebat
bayangan merah menerjang kakek
hitam kurus itu
dengan hantaman-hantaman pukulan
dan tusukan se-
ruling. Ternyata Seruling Gading
tak bisa mandah saja
berdiam diri melihat keadaan
Sambu Ruci yang dalam
bahaya maut itu.
***
SEMBILAN
KAKEK KURUS BERTONGKAT KELABANG
ter-
nyata punya gerakan gesit
sekali. Tubuhnya berkeleba-
tan diantara hantaman-hantaman
pukulan dan sam-
baran seruling ditangan gadis
itu. Bahkan tongkat ke-
labangnya telah meluncur deras
menyapu kaki sang
gadis. Terperangah gadis itu,
namun dengan sebat dia
telah jejakkan kaki untuk
melompat. Akan tetapi sam-
baran tongkat itu ternyata cuma
siasat belaka. Ketika
tubuh si gadis mencelat ke
udara, Kakek kurus hitam
itu telah membarenginya dengan
hantaman telapak
tangannya...
Dalam keadaan mengapung
demikian, apa lagi
serangan barusan begitu cepat
datangnya, Seruling
Gading tak dapat berbuat apa-apa
selain membelalak
kaget. Dan terdengar jeritan
sang gadis. Tubuhnya ter-
lempar tujuh-delapan tombak.
Sambu Ruci cuma da-
pat ternganga, karena dia baru
saja akan merangkak
bangun dari bergulingannya. Akan
tetapi sebelum tu-
buh Seruling Gading menyentuh
tanah, sebuah bayan-
gan telah berkelebat
menyambarnya. Itulah bayangan
tubuh Ki Sugema. Sekejap
kemudian tubuh si gadis te-
lah berada dalam bopongan
laki-laki tua itu, yang se-
gera terdengar suaranya tertawa
berkakakan. "Haha-
haha... haha... terima kasih
sobat Kelabang Hitam! Bo-
cah perempuan anakku ini musti
diamankan dulu...!"
selesai berkata Ki Sugema
melesat lenyap dari tempat
itu.
"Bangsat licik!"
memaki Sambu Ruci dengan
mata membelalak.
Tubuhnya berkelebat untuk
mengejar. Akan te-
tapi sebuah bayangan kuning
telah melesat mengha-
dang. "Biarkan dia pergi
membawa anak gadisnya! ku-
peringatkan lebih baik kau
menyingkir siang-siang se-
belum mati konyol!"
membentak si kakek hitam kurus
yang telah melintangkan tongkat
kelabangnya di depan
Sambu Ruci. "Dia istriku...!" membentak lagi Sambu
Ruci dengan melototkan mata pada
kakek kurus itu.
Akan tetapi tersentak Sambu
Ruci. Justru me-
natap mata si kakek kurus itulah
membuat pancaran
sinar mata si kakek yang telah
menyalurkan kekuatan
batinnya telah mengenai sasaran.
Tertegun Sambu Ruci, karena
lantas saja otak-
nya tak dapat bekerja. Jiwanya
kosong melompong ka-
rena telah dipengaruhi oleh satu
kekuatan batin yang
seperti telah menyedotnya, untuk
tertegun meman-
dang orang dihadapannya.
Ketika sebelah telapak tangan
kakek kurus hi-
tam itu terarah ke tubuhnya,
segelombang angin halus
telah menerjang tubuh Sambu
Ruci. Dan... pemuda ini
mengeluh. Sekujur tubuh dan
tulang persendiannya
terasa lemah dan linu. Jatuhlah
pemuda ini dengan
menekuk lutut, bersama dengan
terlepasnya pedang
ditangannya.
Itulah ilmu menotok jarak jauh
yang amat luar
biasa. Tertawa dingin si kakek
kurus.
Tiga betas pisau terbang
tahu-tahu meluncur
deras ke arah si kakek kurus
ketika tubuhnya melesat
dan tengah berada di udara.
TRRRAAANGNG...! Sekali
memutarkan tongkat kelabangnya
ketiga belas senjata
rahasia pisau terbang yang
dilontarkan seseorang itu
telah berhasil kena disampok
berpentalan. Dan... den-
gan ringan tanpa mempengaruhi
kelebatan tubuhnya,
kakek ini jejakkan kakinya
dihadapan Ki Astagina. La-
ki-laki ketua dari Pesanggrahan
dan "Sesepuh" dari wi-
layah desa CIPATUJAH tampak
masih berdiri tegar di-
tempatnya. Akan tetapi kepalanya
telah terkulai, dan
dari lehernya mengalirkan darah
yang masih mengu-
cur menetes membasahi tanah.
Laki-laki tua ini ternyata telah
tewas. Dua so-
sok tubuh melompat ke hadapan si
kakek seraya ber-
teriak. "Awas
serangan!" teriak salah satu dari kedua
orang itu. Mereka adalah Suro
Ragil dan si gemuk
Zimbage.
TRAAANGNG...! Lagi-lagi si kakek
yang memang
telah mengetahui adanya
sambaran angin di bela-
kangnya telah balikkan tubuh
untuk secepat kilat
memutarkan tongkat kelabangnya.
Berpentalan bela-
san pisau terbang yang nyaris
menghabisi nyawanya.
Kali ini si kakek kosen ini
tidak sampai disitu
saja. Karena detik berikutnya
tubuh si Kelabang Hitam
telah melejit kesatu arah disisi
Pesanggrahan.
"BRASSH! Lengannya
menghantam batang pohon di-
depannya. Pohon besar itu
berderak patah bercampur
dengan satu jeritan parau dari
belakang pohon. Dan...
bersama tumbangnya pohon besar
itu sesosok tubuh
terlempar beberapa tombak yang
langsung tewas seke-
tika.
Sekejap dia sudah tiba lagi
dihadapan Suro Ra-
gil dan si gemuk Zimbage.
Sementara itu belasan anak
buah Ki Astagina telah
berlompatan mengurung. Bah-
kan beberapa orang tetamu dari
Ki Astagina turut pula
mencabut senjata. Kakek hitam
kurus ini hanya men-
dengus, seraya membentak keras.
"Kalian semua me-
nyingkirlah! Apakah mau mati
konyol seperti ketua-
mu...?" Jubah kakek kurus
ini bergerak mengibas.
Dan... robohlah tubuh Ki
Astagina yang memang su-
dah tak bernyawa itu.
Terperangah para murid Ki As-
tagina. Mereka memandang dengan
mata membelalak
karena tampak leher sang Ketua
telah tersobek men-
ganga dengan darah yang sudah
hampir berhenti men-
galir.
Saat itu sesosok tubuh
berkelebat ke tempat
itu, seraya perrdengarkan suara
tertawa berkakakan.
"Hahahah... hahaha... aku
terpaksa membunuh Ketua
kalian ini! Sebenarnya dia masih
terhitung sahabatku!
Tapi sudah kukatakan tadi kalau
ternyata si pembo-
kong muridku memang orang
suruhannya, aku tak
dapat berpeluk tangan.
Kematiannya adalah setimpal
dengan kejahatannya! Nah! Apakah
kalian semua mau
mati dengan cara seperti
gurumu...?!" membentak Ki
Sugema, begitu habis ucapkan
kata-katanya.
Serentak dengan wajah pucat
belasan anak
buah Pesanggrahan Cipatujah
jatuhkan diri berlutut
dan masing-masing lepaskan
senjatanya.
Tak dikisahkan panjang-lebar,
Pesanggrahan
CIPATUJAH saat itu juga telah
dikuasai Ki SUGEMA,
yang memang mengambil kesempatan
untuk bertindak
cepat demi mencuci namanya.
Dibunuhnya Ki Astagi-
na adalah karena sahabatnya itu telah mengetahui
persoalan dia dengan anak
tirinya, yaitu Seruling Gad-
ing. Sebenarnya sebelum Roro
centil dan sepasang se-
joli itu menetap sementara di
Pesanggrahan Cipatujah,
orang-orang Ki SUGEMA telah lama
melacak jejak Se-
ruling Gading yang kabur dari
perguruan. Pelacakan
itu tertunda dengan munculnya
kerusuhan-kerusuhan
yang ditimbulkan Giri Mayang
dengan Sepasang Tan-
gan Iblisnya. Namun bukan hanya
berhenti begitu sa-
ja. Disamping ingin mengetahui
siapa tokoh yang te-
lah melakukan pembantaian di
beberapa tempat yang
menghebohkan wilayah Kota Raja
itu, Ki Sugema ting-
galkan markasnya untuk mencari
juga kemana per-
ginya sang murid alias anak tiri
yang digandrunginya
itu.
Tercenung Ki Sugema ketika
mengetahui mun-
culnya Roro Centil yang tengah
duel dengan Giri
Mayang, kemudian berakhir dengan
kemenangan Pen-
dekar Wanita itu. Diam-diam dia
menguntit kepergian
si Pendekar Wanita Pantai
Selatan yang kemudian se-
cara kebetulan dia dapat melihat
adanya Seruling Gad-
ing yang tengah dicarinya.
Segera diketahui pula
adanya Sambu Ruci yang telah
diam-diam memadu
cinta dengan sang anak tiri.
Ternyata kemudian Roro Centil
menetap di Pe-
sanggrahan Ki Astagina
sahabatnya yang menjadi "se-
sepuh" di wilayah desa
Patujah. Segera di sebar orang-
orangnya untuk menyamar menjadi
penduduk biasa
untuk mengetahui apa yang
diperbuat selanjutnya oleh
Ki Astagina. Dan tercenganglah
Ki Sugema ketika
mengetahui dari laporan anak
buahnya bahwa laki-
laki yang bernama Sambu Ruci itu
akan menikah den-
gan Seruling Gading.
Betapa geramnya Ki Sugema pada
Ki Astagina,
karena enak saja menyediakan
diri menjadi "wali" da-
lam pernikahan anak tirinya.
Ketika undangan yang
mendapat tetamu terhormat
dari seorang pendekar
wanita yang "kondang"
(ternama) hampir diseantaero
Pulau Jawa. Juga agar warganya
dapat mengetahui
dan melihat wajah tokoh Pendekar
yang selama ini
cuma terdengar namanya saja.
Ki Sugema bukan tak mengetahui
pernikahan
serta adanya sebuah pesta kecil
yang penuh semarak
di Pesanggrahan Cipatujah, tapi
diam-diam telah me-
nyebar orang-orangnya untuk
melihat situasi. Bahkan
jauh-jauh hari dia telah
menjumpai paman gurunya (si
Kelabang Hitam) yang kebetulan
baru beberapa hari ini
datang, ke Pesanggrahannya.
Kakek berilmu tinggi itu
memang tengah mencari Roro
Centil. Dia baru saja ti-
ba dua hari yang lalu. Berita
dari Kota Raja yang dile-
wati dalam perjalanannya ke
Pesanggrahan Surya
Medal telah terdengar santar.
Bahwa Roro Centil si
Pendekar Wanita Pantai Selatan
telah berhasil mem-
bunuh Giri Mayang si perempuan
iblis yang telah me-
nimbulkan kehebohan dengan
mengadakan pemban-
taian disetiap tempat.
Entah ada persoalan apakah si
kakek hitam
kurus bertongkat Kelabang yang
bergelar si Kelabang
Hitam itu mencari Roro Centil.
Demikianlah hingga adanya si
Kelabang Hitam
itu telah membuat Ki Sugema
berhasil melaksanakan
niat busuknya melenyapkan Ki
Astagina. Tentu saja
perbuatan itu dilakukan setelah
menerima laporan
bahwa Roro Centil telah meninggalkan Pesanggrahan
Cipatujah. Dan dengan bantuan seorang tokoh baya-
ran yang mempunyai senjata aneh
itu, Ki Sugema
sukses dengan rencana busuknya
mempengaruhi
orang-orang Pesanggrahan
Cipatujah, bahwa Ketua
mereka yang menjadi sahabat
baiknya telah punya
niat jahat untuk menumbangkan
kedudukannya. Pa-
dahal Ki Sugema sendiri yang
memang berhasrat mau
menguasai wilayah CIPATUJAH yang
makmur.
Dengan kekuatan
"sugesti" yang dipunyai si Ke-
labang Hitam bukan tak mungkin
kalau Roro Centil bi-
sa diringkus. Dan... sudah ada
niat buruk yang tersirat
dihati Ki Sugema yang doyan
"daun muda" itu untuk
melalap si gadis Pendekar Wanita
yang punya nama
beken itu. Bahkan rencana demi
rencana telah terukir
dibenak Ki Sugema untuk bisa menaklukkan Roro
Centil. Memperalatnya untuk
kepentingan "kekua-
saannya". Dengan menebeng
nama Roro Centil bila te-
lah menjadi istrinya segalanya
akan menjadi mudah.
Karena Roro kenal baik dengan
orang-orang dari setiap
Kerajaan di wilayah Pulau Jawa.
Dan bukan mustahil
kalau dia bisa menduduki jabatan
tinggi disatu Kera-
jaan paling besar masa itu,
yaitu Kerajaan MATARAM.
Cita-citanya yang membumbung
tinggi itu se-
makin mantap. Mulailah Ki Sugema
mengatur renca-
na-rencana selanjutnya melalui
perembukan singkat.
Yaitu mengatur jebakan agar Roro
Centil bisa datang
lagi ke Pesanggrahan CIPATUJAH.
Namun dimalam yang semakin
melarut itu di
ruangan dalam Pesanggrahan Ki
Sugema terpaksa ha-
rus menunda pembicaraan, karena
dia punya kepen-
tingan lain untuk menyalurkan
hasratnya yang sudah
sekian lama terbendung itu. Ya!
mendadak bayangan
wajah dan kemolekan tubuh sang
anak tin telah ter-
bayang di ruangan matanya.
"Baiklah! Kukira perembukan bisa kita lan-
jutkan besok. Silahkan kalian
beristirahal. Dan...
maaf, sobat Pemburu Keping Emas,
ku terpaksa "me-
minjam" dulu senjatamu
karena aku masih memerlu-
kan! Khusus buat sobat Pemburu
Keping emas aku te-
lah suruh anak buahku
menyediakan tempat peristi-
rahatan yang nyaman. Ya! Sebuah
kamar yang nya-
man bekas tempat tidur Ki
Astagina. Silahkan..." da-
lam berbicara itu diam-diam Ki
Sugema telah kedipkan
mata pada kakek kurus hitam itu,
seraya mengerling
pada si Pemburu Keping Emas yang
menjadi "orang
sewaan"nya.
Si kakek Kelabang Hitam ini
manggut-manggut
pelahan mengerti.
Udara malam yang dingin
menyeruak dimalam
yang penuh kemelut itu.
Pesanggrahan CIPATUJAH
laksana dicekam hawa sejuk yang
mencekam jantung.
Karena disana kini telah dihuni
oleh manusia-manusia
tamak yang berakhlak rusak.
Manusia-manusia yang
lebih mementingkan diri pada
"ambisi".
***
SEPULUH
SERULING GADING TERGOLEK di
pembarin-
gan bersih dengan keadaan
tertotok. Mempelai wanita
yang bernasib tragis ini tak
berdaya apa-apa lagi selain
menunggu nasib apakah kelak yang
bakal menim-
panya.
Sementara diruang lain Sambu
Ruci dalam
keadaan terikat tali-tali kulit
yang kuat. Terduduk dis-
udut ruang dengan keputusasaan
yang telah memben-
turkan dirinya pada jalan buntu.
Tak ada harapan un-
tuk meloloskan diri lagi
baginya. Tulang-tulang per-
sendiannya seolah sudah tak
bersumsum lagi. Entah
siksaan apa yang telah
dihadapinya oleh Suro Ragil
dan Zimbage yang bertubi-tubi,
diterimanya, akibat ra-
sa dendam yang tertumpah karena
kematian sapi La-
nang. Tubuhnya tampak matang
biru dan muka ben-
gap. Tampak seperti bekas-bekas
pukulan keras yang
dihunjamkan pada sekujur tubuh
pemuda malang ini.
Bekas-bekas darah masih tampak
disudut bibir
dan bawah hidungnya. Kalau sang
Ketua mereka, Ki
Sugema tak memberi ultimatum
agar tak membunuh-
nya, tentu siang-siang Sambu
Ruci telah dibunuh oleh
Suro Ragil. Pintu
"penjara" tiba-tiba terluka. Dan em-
pat orang anak buah Ki Sugema
muncul dimuka pintu.
Lalu dua orang menghampiri. Dan
menyeret bangun
pemuda itu, lalu menggusurnya
keluar dari kamar ta-
hanan itu.
"Dibawa kemana...?"
bertanya seorang dari me-
reka.
"Ke kamar tempat
beristirahat Ketua kita!" me-
nyahut kawannya.
"Lho? mau
diapakan...?"
"Pake tanya-tanya segala!
mau dimampusin ju-
ga bukan urusan kita!"
"Hehehe... betul! betul!
hayo, cepat jalannya,
monyong!"
Sambu Ruci setengah diseret dari
ruangan itu
karena sepasang kakinya seperti
telah tak bertenaga
lagi. Dengan tubuh yang babak
belur demikian me-
mang sulit kalau Sambu Ruci
punya julukan Si Bujang
Nan Elok. Karena wajahnya sudah
tidak elok lagi.
Ketika tubuh Sambu Ruci didorong
hingga ja-
tuh menggabruk dimuka pintu
kamar. Ki Sugema se-
gera perintahkan anak buahnya
meninggalkan kamar
tempat beristirahatnya. Lalu
beranjak menutup pintu
kamar. Lengan Ki Sugema
mencengkeram dada pemu-
da itu untuk diangkat berdiri.
"Hahahaha... macam
beginikah tampang pen-
gantin laki-laki yang mengawini
gadis orang tanpa me-
lamarnya lagi?" membentak
geram Ki
Sugema dengan mengumbar
tertawanya berka-
kakan. Kepala Sambu Ruci
terkulai menunduk, seperti
enggan menatap wajah manusia
yang telah menawan-
nya itu. Akan tetapi Sugema
telah menjambak ram-
butnya untuk membuat kepala
pemuda itu menenga-
dah. "Heh! tatap mukaku,
bocah...! Tataplah agar kau
dapat melihat jelas siapa
orangnya yang telah menak-
lukkan kecoa tengik macam kau!
Dan... hahaha... coba
kau lihat siapa yang terbaring
di pembaringan itu?"
Ujar Ki Sugema seraya "
menyeret" wajah orang untuk
melihat ke pembaringan.
Seketika sepasang mata Sambu
Ruci terbelalak
lebar, karena di atas pembaringan tergeletak sesosok
tubuh yang dalam keadaan tanpa
busana....
"Sst..... Seruling.....
Gading!?' tersendat suara
Sambu Ruci yang memandang dengan
terperangah.
Akan tetapi suara itu tersendat
dikerongkon-
gan.
"Lepaskan
istriku.....apa... apakah yang kau
mau lakukan!" tiba-tiba
Sambu Ruci berhasil menge-
luarkan suaranya. Ki Sugema
kembali perdengarkan
suara tertawa mengakak.
Tiba-tiba lengannya men-
cengkeram lagi dadanya.
Dibawanya tubuh tak ber-
daya itu kesudut ruangan, Ketika
dua kali jarinya me-
nolok ke lutut segera tubuh
laki-laki itu menjadi berdi-
ri kaku tak bergeming. Dan
sepasang kaki itu seperti
menjadi kuat untuk berdiri
disudut ruangan dengan
punggung menyender ditembok.
Detik berikutnya adalah satu
pemandangan
yang membuat Sambu Ruci terpaksa
harus pejamkan
matanya karena tak sanggup
menatap apa yang ter-
pampang dihadapannya Ki Sugema
telah melucuti pa-
kaiannya sendiri dan... naik ke
atas ke pembaringan.
Seruling Gading tampaknya baru
saja tersadar
dari pingsan. Akan tetapi
pengaruh totokan pada tu-
buhnya membuat dia tak mampu
untuk berbuat apa-
apa kecuali menjerit dengan
suara yang terdengar se-
perti desahan belaka, karena
urat suaranya telah dito-
tok.
"Hahahaha... malam ini
biarlah aku yang
menggantikan pengantin laki-laki
untuk mencicipi ma-
lam pertama...". ujar Ki Sugema dengan menyeringai
bagaikan iblis. Selanjutnya...
Sambu Ruci hanya bisa
memejamkan matanya kuat-kuat tak
sanggup rasanya
dia untuk menyaksikan perbuatan
bejat yang telah
membuat air matanya mengucur
deras. Air mata dari
seorang laki-laki yang amat
mencinta istrinya. Dan tak
ada yang lebih bejat lagi dari
seorang ayah tiri yang te-
lah "penyantap" anak
gadisnya sendiri......Ternyata ju-
ga pada malam itu satu nyawa telah
melayang yaitu
dibunuhnya si pembunuh bayaran
alias si
Pengejar Keping Emas oleh kakek
hitam kurus
bertongkat kelabang alias si
Kelabang Hitam...
***
BHLARRR!BHLAARRRRR.
BHLARRRRR...!
Cahaya perak dan pelangi
berkredepan di udara
yang diiringi dengan
dentuman-dentuman menggele-
gar.
Roro centil berteriak girang.
"Horeee, aku ber-
hasil! aku berhasiiil!" Dan terdengar suara
mengikik
merdu membuat segerombolan
burung camar yang
tengah bertengger
dipuncak-puncak karang terkejut
karena suara dentuman-dentuman
keras itu dan
buyar berterbangan ketakutan
dengan suara berkiak-
kiak riuh. Selanjutnya di pantai
sunyi, itu tampak ba-
nyak berkelebatan cahaya-cahaya
perak dan pelangi
yang diselingi dentuman-dentuman
pesisir pantai itu
jadi semarak bagaikan ada sebuah
" pesta laut". Selen-
dang-selendang perak dan pelangi
seperti bermuncu-
lan dari sekeliling permukaan
laut dipantai bergelom-
bang tenang itu. Sukar untuk
dipercaya bagi orang
yang percaya adanya hantu laut,
karena Roro memang
Memainkan jurus-jurus pukulan
selendang perak dan
pelanginya dengan berlompatan
diatas air.
Kalau ada manusia sakti yang
dapat berlari di-
atas air, siapa lagi kalau bukan
Roro Centil. Karena
pada zaman itu cuma ada dua
orang yang dapat memi-
liki kesaktian seperti itu. Pada
tiga tahun yang silam
pernah ada seorang tokoh
golongan hitam yang berge-
lar "Hantu Siluman
Kera", yang juga memiliki ilmu se-
macam demikian, tapi telah tewas
ditangan Roro Centil
(baca. Serial Roro centil, dalam
judul: Siluman Kera
putih).
Dan pada saat ini ada seorang
tokoh yang me-
nyembunyikan diri untuk
memperdalam ilmu-ilmunya
yang juga memiliki ilmu berjalan
dan berlari diatas air
tokoh misterius itu pernah
muncul diperairan wilayah
tenggara. Beritanya memang telah
menyebar yang da-
tang dari mulut para nelayan di
wilayah itu. Akan te-
tapi belum ada satu kejadian
yang merugikan dipihak
para Nelayan. Bahkan mereka
menganggap tokoh mis-
terius itu adalah sebangsa
mahluk halus yang sesekali
muncul di sekitar perairan itu.
Sementara Roro Centil tengah
bersuka cita
dengan keberhasilannya menguasai
jurus-jurus ca-
haya perak Pelangi warisan
mendiang Nenek Muri
Asih, sepasang mata sejak tadi
telah memandangnya
dengan mata tak berkedip. Dialah
Si Kakek kurus Hi-
tam yang bergelar si Kelapa
Hitam. Duduk bersila di-
atas batu karang. Tongkat
kelabangnya tergeletak di-
depannya. Bibirnya tampak
berkumat-kamit membaca
mantera. Tiba-tiba lengannya
bergerak meraih tongkat.
Dan... Whessss!
Tongkat pusakanya telah
dilemparkan ke dalam
laut. Sementara dia masih
teruskan "kumat-kamit" nya
dengan mata tetap ke arah depan.
"Menakjubkan! Apakah yang
telah terjadi den-
gan lemparan tongkatnya?
Ternyata tongkat yang berbentuk
Kelabang itu
telah berubah menjadi seekor
Kelabang Raksasa yang
bergerak hidup. Meluncur pesat
dipermukaan air me-
nuju ke arah Roro Centil....
Sementara itu Roro tengah asyik
dengan "per-
mainan"nya yang seolah
tiada membosankan. Sinar
perak dan Pelangi itu bagaikan
selendang-selendang
sutera saja di kejauhan.
Sepintas yang terlihat adalah
seperti layaknya seorang
Bidadari yang tengah main-
kan selendangnya dengan
menari-nari.
Dan memanglah, Roro tengah
memainkan ju-
rus-jurus "Tarian
Bidadari" yang tampaknya lemah
gemulai. Jurus-jurus tarian yang
didapat dari gurunya
si Manusia Banci, atau si
Manusia Aneh Pantai Sela-
tan.
Dalam pada itu Kelabang Raksasa
penjelmaan
dari tongkat si kakek kurus
Hitam telah semakin men-
dekatinya.
Terperanjat Roro ketika akhirnya
dengan naluri
serta inderanya yang tajam dapat
melihat sesuatu yang
bergerak kehitaman mendekati.
"Kelabang Raksasa...!"
tersentak Roro dengan
pendengarkan teriakan kaget.
Karena jelas sudah dia
melihat seekor kelabang yang
amat luar biasa besar-
nya dengan puluhan kakinya yang
mengerikan berge-
rak meluncur ke arahnya.
Tak ayal lengannya langsung bergerak meng-
hantam "binatang" itu.
Sinar perak berkelebat...
BHLARR!
PRASSSS! air laut menyerumbat
bergelombang.
Roro Centil tegak menanti dengan
waspada untuk me-
lihat hasil dari hantamannya.
Akan tetapi kelabang Raksasa itu
lenyap.
"Aneh! pasti ada yang tidak
beres...!"desisnya
tersentak.
Sementara sepasang mata Roro
mulai di guna-
kan untuk menembus melihat ke
dasar air disekeli-
lingnya dengan mempergunakan
kekuatan batin yang
hebat. Namun memang Kelabang
Raksasa itu lelah le-
nyap. Di dasar air tak terlihat
apa-apa kecuali ratusan
ekor ikan yang berseliweran
kesana-kemari.
Namun kecepatan matanya ternyata
dapat me-
nangkap melesatnya sebuah
bayangan hitam di kejau-
han yang meluncur pesat untuk
kemudian lenyap da-
lam sekilas.
Roro cepat mengkonsentrasikan
indra matanya.
Dan... kini terlihatlah dengan
jelas kalau di atas batu
karang disisi pantai sebelah
sana ada seseorang yang
duduk bersila menghadap ke laut.
"Setan alas...! kalau ada
makhluk atau manusia
yang iseng menggangguku saat ini
tak mungkin tidak
kalau bukan cecunguk yang duduk
dibatu karang itu-
lah orangnya...!" berkata
Roro dalam hati. Dan... tak
ayal lagi tubuh sang Pendekar
Wanita Pantai Selatan
ini telah meluncur pesat untuk
melabrak kesana.
Akan tetapi orang yang duduk
diatas batu ka-
rang itu ternyata juga meluncur
dengan kecepatan
hampir menyamai luncuran Roro
Centil.
"Hm, ilmu lari bayangan
yang cukup hebat!
siapakah kakek hitam berjubah
kuning itu? Jelas dia
mencekal tongkat seperti bentuk
seekor kelabang!
Dugaanku tak salah kalau dia
cecunguk yang
telah mempergunakan ilmu
sihirnya untuk menggang-
guku dengan "kelabang
raksasa" ciptaannya!" berpikir
Roro.
"Baik! aku tak perlu
mendahuluinya. Ingin ku
lihat kemana arah larinya!
ataukah ini satu jebakan
agar aku membuntuti? Hihihi...
persetan!
Aku tak takut dengan segala
macam jebakan!"
gumam gadis pendekar ini seraya
percepat kejarannya
untuk dapat memperdekat jarak.
***
SEBELAS
Tersentak Roro Centil ketika
mengetahui bah-
wa si kakek baju kuning itu
menuju ke wilayah CIPA-
TUJAH.
"He...? aneh! aku belum
bisa memastikan apa-
kah orang ini berniat jahat atau
tidak! Entah manusia
baik-baik atau manusia jahat...!
Jelas jalan ini adalah
jalan lurus ke Pesanggrahan Ki
Astagina! berkata Roro
dalam hati juga agak ragu dengan
tindakan yang dila-
kukan manusia dihadapannya, yang
sepertinya me-
mang sengaja
"membawa"nya untuk kembali pulang ke
Pesanggrahan.
Segera saja Roro teringat pada
Sambu Ruci
yang baru dua hari ini
melangsungkan pernikahannya
dengan gadis bernama Seruling
Gading.
Tiba-tiba disaat Roro agak
melantur pikirannya
karena melamun sejenak barusan,
tahu-tahu si kakek
hitam jubah kuning itu telah
lenyap dari pandangan-
nya.
Tersentak Roro Centil. Diam-diam
dia memaki
dirinya sendiri yang agak
terlena, karena bayangan
yang "tidak-tidak"
mengenai sepasang Pengantin Baru
itu sekelebat muncul dibenaknya.
"Setan alas! kemana
kaburnya manusia itu?"
desis Roro kaget.
Terpaksa dia hentikan larinya
untuk menjaga
kalau-kalau ada serangan gelap.
Akan tetapi pada saat itu
terdengar suara se-
perti membisik ditelinganya.
"Nona Pendekar Roro
Centil...! aku orang sendi-
ri! keadaan di Pesanggrahan Ki
Astagina sedang gawat.
Sahabatmu Sambu Ruci dan
istrinya, si bocah perem-
puan bernama Seruling Gading itu
dalam bahaya
maut. Kami amat memerlukan
bantuan anda...! Ter-
paksa "kita" berpisah
agar tak menaruh kecurigaan
bahwa diam-diam aku memanggil
kedatangan anda.
Turutlah apa yang aku katakan
untuk kita bisa mem-
bekuk manusia Iblis itu. Tepat
berada dihadapan Pe-
sanggrahan pada jarak 10 tumbak,
anda harus berge-
rak memutar ke kanan melalui
jalan samping, silahkan
anda memasuki satu pintu
ruangan. Disana dalam
keadaan aman...! Dan anda akan
muncul tepat dibela-
kang ruangan tempat si
"Iblis Sakti Mata Seribu" yang
menyandera sahabatmu...! Aku
akan muncul dari
ruangan depan. Dan... kita akan
sama-sama meng-
gempurnya." Tentu saja
kata-kata yang dikirim melalui
tenaga dalam itu membuat Roro
Centil melengak kaget.
"Iblis Sakti Mata
Seribu...?" Aiih, baru aku menden-
garnya!" berdesis Roro Pelahan.
Dan dilihatnya bayan-
gan kuning dari jubah si Kakek
hitam yang dibuntuti
itu berkelebat keluar dari balik
pohon, lalu lenyap da-
lam sekilas.
Tak ayal segera Roro bergerak
untuk cepat tiba
di depan Pesanggrahan, walaupun hatinya agak ragu
dengan penuturan kakek misterius
itu. Benarkah apa
yang dikatakannya? Berkata dalam
hati gadis Pende-
kar ini.
Akan tetapi Roro sudah mengambil
keputusan
untuk menusuki kata-kata si
kakek misterius itu, ka-
rena dalam keadaan demikian dan
bukti masih belum
jelas, mana boleh dia berburuk
sangka pada orang. Ka-
lau si kakek yang demikian
saktinya itu masih memer-
lukan bantuannya, tentu dapat
dibayangkan keheba-
tannya manusia yang menamakan
dirinya si Iblis Sakti
Mata Seribu itu! pikir Roro. Yang segera menduga
bahwa disekitar Pesanggrahan itu
telah dipasang 1000
mata untuk memata-matai
sekitarnya.
Apa lagi hal ini adalah demi
keselamatan Sam-
bu Ruci, sahabatnya. Mana Roro
bisa mandah dan bi-
arkan saja orang mencelakai?.
Tepat 10 tombak di depan Pesanggrahan yang
tampak sunyi sepi mencekam itu,
Roro Centil menyeli-
nap kebalik semak, lalu bergerak
memutar ke arah ka-
nan. Benar saja! Pada bagian
samping Pesanggrahan
itu segera terlihat satu pintu
ruangan yang setengah
terbuka.
Roro ternyata cukup cerdik untuk
tidak semba-
rang memasukinya. Segera meramal
aji Halimunannya.
Dan sekejap tubuhnya telah
lenyap tak terlihat mata
manusia biasa.
Lalu meluncur untuk segera
memasuki pintu
ruangan tanpa membukanya lagi.
Cukup dengan miringkan tubuhnya
menyelinap
masuk dari sisi celah daun pintu
yang terbuka itu.
Ruangan itu kosong! dan gelap.
Roro gunakan
kekuatan batinnya agar dapat
melihat dalam gelap.
Akan tetapi .....
"Aiiiih!? ilmu sihir!"
sentak Roro kaget dengan
suara berdesis.
Karena sesungguhnya ruangan itu
terang ben-
derang. Dan...terkejut Roro
Centil ketika melihat di se-
tiap sudut ruangan goa itu
tampak jelas sosok-sosok
tubuh si kakek hitam jubah
kuning yang telah menjadi
belasan sosok tubuh.
Bahkan ketika dia bergerak
memutar tubuh,
dibelakangnya pun berjajar
tubuh-tubuh si kakek mis-
terius itu yang rupa dan
bentuknya sama.
Kemana dia menatap ternyata
selalu bentrok
dengan berpasang-pasang mata si
kakek misterius itu
yang cahaya matanya membuat dia
bergidik seram.
"Bedebah! kau menipuku? apa
maksudmu den-
gan semua ini!?" bentak
Roro dengan mata menatap
tajam pada masing-masing
"manusia" disekelilingnya.
Sementara sepasang lengannya
sudah disiapkan untuk
menghantam bila terjadi satu
serangan mendadak.
"Hehehehehe... aku memang
mau menjebakmu
untuk masuk perangkap ku. Dan
kini kau sudah ter-
jebak! Akan tetapi kau tak perlu
khawatir, nona Pen-
dekar, karena aku takkan
menyakitimu...!" terdengar
suara tertawa yang sukar
diketahui dari mana arah-
nya, karena berpantulan dari
sekitar ruangan itu.
Dan... segelombang angin halus
telah menerpa
ke arah Roro Centil. Tiupan
angin halus yang seperti
tak kentara kalau itu adalah sebuah serangan yang
dapat melumpuhkan orang dalam
sekejap.
Terkejut bukan main Pendekar
Wanita Pantai
Selatan ini ketika tahu-tahu
rasakan tulang persen-
diannya terasa linu, Tenaganya
pun mendadak lenyap.
Sementara dalam pandangan mata
Roro yang
terlihat cuma berpasang-pasang
mata bersinar aneh
itu saja yang seperti telah
mempengaruhi batinnya.
Dan...mendadak saja Roro Centil
telah jatuh
berlutut ketika suara si
Kelabang Hitam membisik di-
telinganya. Bisikan bernada
perintah, yang langsung
menyerang sirkuit otak Roro untuk
menuruti apa yang
diinginkan kakek tua hitam itu.
Seketika saja sirnalah ilmu
halimunan Roro un-
tuk kembali terlihat sebagaimana
wajarnya. Hal mana
membuat si Kelabang Hitam
tertawa terkekeh.
"Heheheheh... ternyata cuma
sebegitu saja ke-
hebatanmu bocah perempuan
pendekar. Kegagahanmu
memang boleh dibanggakan, tapi kau kurang penga-
laman! Aku yang sudah puluhan
tahun berkecimpung
di Rimba Persilatan sudah banyak
mengalami berma-
cam pertarungan. Sudah banyak
makan sama-garam!
Akan tetapi dalam setiap
pertarungan kukira
pertarungan sekarang inilah yang
paling sukses." ber-
kata si Kelabang Hitam dengan
terkekeh-kekeh.
Lalu... apakah yang terjadi
kemudian? Melihat
Roro Centil sudah kena
ditaklukkan kakek hitam ini
kembali berkemak-kemik membaca
mantera. Lagi-lagi
lengannya bergerak untuk
melontarkan segelombang
angin halus memperkuat serangan
totokan jarak jauh.
Dengan mengulang demikian kakek
ini tak khawatir
lagi Roro Centil akan mampu
untuk melepaskan toto-
kan ampuhnya yang memang amat
luar biasa.
Roro perdengarkan keluhannya.
Dan dengan
lunglai langsung menggeletak
dilantai.
"Hehehe... bagus! aku akan
bantu melucuti pa-
kaianmu! Tenagamu terlalu lemah,
dewiku...! Kau ten-
tu belum pernah merasakan
nikmatnya seorang laki-
laki! Aku tahu kau memang masih
gadis tulen! Dan...
hehehe... aku memang memerlukan
kau Sangat kuper-
lukan! Karena dengan mereguk
kenikmatan dari tu-
buhmu, akan terjadi "penyaluran". Kegaiban
yang ada
pada tubuhmu memungkinkan
pindahnya ilmu-ilmu
"dalam" yang berada
pada tubuhmu tersalur ketubuh-
ku! ketahuilah... aku amat
mendambakan itu! karena
tenaga dalamku bisa bertambah!
Dan aku akan awet
muda...! kulitku yang keriput
ini bisa menjadi kencang
lagi..."berkata mendesah si
kakek hitam itu seraya
membungkuk untuk membukai
pakaian Roro. Se-
dangkan belasan
bayangan-bayangan tubuh palsu si
Kelabang Hitam yang lainnya
mendadak lenyap.
Roro centil seperti tak ada
reaksi apa-apa. Ke-
cuali terdengar suara desah
nafasnya yang teratur...
ya! Roro ternyata telah kena
"Sugesti" yang diucapkan
melalui batin untuk mempengaruhi
sirkuit otaknya.
Dan... dia tak tahu kalau lengan
si kakek binal ini mu-
lai melepaskan pakaian Roro
dengan tubuh menggele-
tar karena hawa rangsangan dari
birahi yang mengge-
legak, seperti tak tertahankan
lagi untuk cepat-cepat
melaksanakan niatnya.
Ternyata kakek hitam ini memang
mencari Roro
Centil untuk maksud itu. Yaitu
menyerap ilmu gaib
serta kekuatan tenaga dalam Roro
lahir-batin yang ha-
rus dilakukannya dengan
melakukan persanggamaan.
Dengan tenaga "luar dan
dalam" yang kelak
bakal terpadu itu, bukan
mustahil kalau seluruh ke-
kuatan batin, serta bermacam
kegaiban yang dimiliki
Roro bahkan sampai tenaga dalam
Roro akan terkuras
bersih.
Akan tetapi membelalak sepasang
mata si kela-
bang hitam, karena tiba-tiba
terdengar suara mengge-
ram dahsyat.
GRRRRRRRR... Berbareng dengan
suara gera-
man itu si kelabang hitam
berteriak kaget karena tahu-
tahu tubuh yang akan ditindihnya
itu telah berubah
wujud. Bukan lagi Roro Centil
yang bertubuh mulus
lagi, akan tetapi adalah seekor
Harimau Tutul yang
luar biasa besarnya. Yang telah
mencengkeram ganas
dengan taring-taringnya yang
tajam runcing. Sementa-
ra kuku-kuku yang runcing itu
telah membenam pada
kulit tubuhnya.
Namun dengan gerakan reflek, si
Kelabang Hi-
tam lemparkan tubuhnya
bergulingan. Jubahnya ter-
koyak dengan seketika berikut
terkoyaknya pula kulit
punggung, dada dan sedikit kulit
lehernya.
Pucat pias seketika wajah kakek
hitam ini. Na-
mun secepat kilat dia telah
menyambar tongkat Kela-
bang yang bagaikan tersedot meluncur ke arahnya.
Dengan sigap lengannya bergerak
menangkap.
"Hihihi... manusia licik!
enak saja kau mau menjamah
tubuhku! Manusia sepertimu
memang layak untuk
mampus...!"
Terdengar suara mengikik yang
dibarengi den-
gan suara bentakan. Tersentak
lagi-lagi si Kelabang Hi-
tam karena tiba-tiba Harimau
Tutul itu telah lenyap.
Dan... tahu-tahu dihadapannya
tegak berdiri gadis
Pendekar itu. Menatapnya dengan
sepasang mata yang
seperti menembus jantung.
"Edan...! Kau... kau tak
mempan dengan ilmu
tenungku?" tergagap si
Kelabang Hitam berkata.
"Dan... kau bisa berubah
jadi Harimau? Ilmu apakah
yang kau miliki...?"
sentaknya kaget seraya mundur
dengan menempelkan tubuhnya ke
dinding ruangan.
"Hm, kau pernah dengar nama
si Manusia Gu-
run Pasir? Itulah ilmu yang
telah terwaris padaku!"
menyahut Roro dengan suara
keren.
"Manusia... Gurun...
Pasir...?" seperti mengeja
si kakek hitam itu mengulangnya.
Tiba-tiba tubuhnya
mendadak berubah jadi gemetaran
dan serta merta dia
jatuhkan dirinya untuk berlutut.
"Oh...! Ampunilah selembar
nyawaku ini, no...
nona Pendekar...! Aku si tua
bangka ini sungguh-
sungguh tak mengetahui..."
ucapnya dengan suara
terputus-putus. Disamping
terheran karena melihat ti-
ba-tiba si kakek hitam ini jadi
tampak ketakutan sekali
mendengar nama gurunya itu,
namun tak mengurangi
kewaspadaan Roro terhadap
musuhnya. Ternyata Roro
memang berpura-pura seolah
terkena pengaruh keku-
atan ilmu hitam si Kelabang
Hitam. Karena sebelum
memasuki pintu ruangan tadi Roro
memang telah siap
mempergunakan ajian penangkal
segala macam ilmu
setan. Yaitu merapal tujuh
kalimat Penolak Iblis. Hing-
ga ketika si Kelabang Hitam
pergunakan kekuatan ma-
tanya untuk mensugesti Roro,
gadis Pendekar itu tidak
terkena pengaruh apa-apa. Roro
memang ingin menge-
tahui maksud apa sebenarnya si
kakek hitam itu men-
jebaknya.
"Kau benar-benar ingin
diampuni nyawamu?
Hm, apakah bukan cuma tipu
muslihat belaka?" ber-
tanya Roro dengan sikap jumawa.
Bahkan sepasang
lengannya telah bertolak
pinggang dengan mata mena-
tap si Kelabang Hitam.
"Aku... aku tidak berdusta,
nona Pendekar. Se-
bagai bukti ambillah tongkatku.
Aku takkan memper-
gunakannya lagi..."
menyahut si Kelabang Hitam den-
gan suara menggeletar. Seraya
gerakkan lengannya
meraih tongkat. Lalu asongkan
pada Roro.
"Baik! Aku akan simpan
tongkatmu...!" berkata
Roro. Lengannya bergerak terulur
untuk menyambuti
tongkat berbentuk Kelabang itu.
Dasar memang ma-
nusia licik. Detik itu juga
membersit ratusan jarum
berbisa dari mulut tongkat
Kelabang si kakek hitam.
Akan tetapi tubuh Roro mendadak
"lenyap" dengan se-
ketika. Sukar untuk diduga oleh
si Kelabang Hitam.
Karena di saat maut sudah
sedetik di depan mata buat
kematian Roro Centil, ternyata
tubuh Roro telah mele-
tik ke atas. Bahkan kejadian
yang begitu cepat itu si
Kelabang Hitam tak sempat
mengetahui kemana mele-
satnya tubuh si Pendekar Wanita
itu. Tahu-tahu dia
telah menjerit parau dengan
teriakan pendek, tubuh-
nya menggabruk jatuh ke lantai.
Darah kental berwar-
na putih bercampur merah
menyemburat membercak
dilantai.
Ternyata batok kepala manusia
licik ini telah
pecah berantakan. Otaknya
berhamburan keluar.
Dan... tanpa sempat berkelojotan
lagi, si kakek hitam
ini langsung tewas.
Sesosok tubuh terlihat meluncur
turun dari
langit-langit ruangan dan
jejakkan kaki dengan ringan
dilantai. Ternyata Roro Centil.
Kiranya sewaktu si Ke-
labang Hitam angsongkan
tongkatnya, Roro yang ber-
mata jeli telah melihat jari
lengan si kakek itu bergerak
memijit tombol rahasia yang
berada di sebelah bawah
tongkat. Sebagai seorang yang
sudah berpengalaman
berkecimpung di Rimba Hijau,
Roro Centil telah was-
pada dan menduga ada sesuatu
yang tidak beres bakal
terjadi. Begitu melihat jari
lengan si Kelabang Hitam
bergerak, secepat kilat Roro
telah melesat ke atas. Se-
kejap tubuhnya telah menempel di
langit-langit ruan-
gan. Detik itu dia telah melihat
berhamburannya ratu-
san jarum yang meluruk keluar
dari dalam mulut
tongkat Kelabang si kakek.
Mendelik sepasang mata Pendekar
Wanita kita.
Dan tak ayal lagi langsung
kirimkan satu pukulan he-
bat dari salah satu jurus
pukulan warisan si Dewa
Tengkorak. Tak ampun lagi si
Kelabang Hitam harus
menebus mahal dengan nyawanya,
akibat kelicikannya
sendiri.
"Heh! Sudah kuduga...!
Manusia semacam mu
sudah terlalu bejat! Mana bisa
mulutnya dipercaya?"
memaki Roro dengan wajah
cemberut jengkel. Diraih-
nya tongkat Kelabang yang nyaris
merenggut jiwanya
itu. Lalu dibantingkan ke lantai
hingga hancur berkep-
ing-keping.
Selanjutnya Roro sudah bergerak
melesat ke-
luar dari dalam ruangan itu...
***
DUA BELAS
SESOSOK TUBUH merintih-rintih
menggelepoh
dipintu ruangan kamar memegangi
pundaknya yang
terluka dan tampak mengalirkan
darah. Tersentak Ro-
ro Centil. Secepat kilat dia
sudah melompat mengham-
piri.
"He? Kau Ponara...?
Katakan, apakah yang te-
lah terjadi...?" bertanya
Roro dengan krenyitkan alis-
nya, ketika mengetahui laki-laki
itu adalah anak buah
Ki Astagina. Roro memang
mengenal pada beberapa
orang murid Ki Astagina ketika
membantu menggali
kubur buat jenazah nenek Muri
Asih yang disemayam-
kan disatu bukit kecil dibagian
belakang Pesanggrahan
Cipatujah.
Sekonyong-konyong pintu kamar
menjeblak
terbuka. Dan...
WRRRRRT! Jala sutera itu begitu
cepat telah
merungkup tubuh Roro Centil.
Dan, saat berikutnya...
BHUSSSSS! Asap tipis berbau
harum seketika
menyebar, begitu terdengar
letupan kecil ketika pada
detik barusan sebuah benda
menggelundung di bawah
kaki.
"Hahaha... ternyata terlalu
mudah untuk me-
nawan Roro Centil!"
Terdengar suara tertawa berkaka-
kan. Dan... sesosok tubuh telah
tersembul di pintu
kamar. Siapa lagi kalau bukan Ki Sugema adanya.
Saat itu asap tipis berbau harum
yang mengandung
obat bius itu telah melenyap
sirna. Dan tubuh Roro
Centil tergeletak pingsan dalam
rangkupan jala sutera.
"Hm, terima kasih atas
bantuanmu, Ponara...!
Kelak pasti aku berikan imbalan
padamu!" berkata Ki
Sugema pada laki-laki bernama
Ponara yang adalah
murid Ki Astagina. Laki-laki itu
telah melompat lagi
menghampiri ke muka
pintu kamar. dan tersenyum
dengan menjura pada Ki Sugema,
seraya ucapnya.
"Hambapun mengucapkan
terima kasih sebe-
lumnya...! apakah selanjutnya
yang harus hamba la-
kukan. Ketua...?" ternyata
kejadian barusan adalah te-
lah direncanakan sebelumnya.
Ponara yang gila kedu-
dukan mau saja diperalat oleh Ki
Sugema untuk men-
jebak Roro. Dengan berpura-pura
terluka yang se-
sungguhnya cuma melumuri
pundaknya dengan darah
palsu. Ponara dijanjikan kelak
akan diberi peluang un-
tuk menjadi seorang Perwira
Kerajaan di Kerajaan Ma-
taram, bila rencana Ki Sugema
berhasil untuk mempe-
ristri Roro Centil.
"Hm, cukuplah! Dan kini
silahkan kau berang-
kat ke Akhirat!"
Selesai menyahut, sebuah kilatan
membersit
dari lengan Ki Sugema. Dan...
tanggallah kepala Pona-
ra dari tubuhnya. Darah
memuncrat yang diiringi den-
gan robohnya tubuh laki-laki
gila pangkat itu ke lantai.
"Hahaha... kunyuk macam kau
sudah tak ku-
pentingkan lagi!" berkata
Ki Sugema seraya siapkan la-
gi senjata ampuh pencabut nyawa
hasil rampasannya
itu ke balik bajunya.
Akan tetapi terperangah Ki
Sugema ketika
mendengar suara menggeram.
Tahu-tahu jala sutera
itu telah "terbang"
melesat ke arahnya. Dan detik beri-
kutnya laki-laki telengas ini
tampak telah bergumul
dengan seekor harimau Tutul yang
luar biasa besar-
nya. Akan tetapi tak berapa lama
tubuh Ki Sugema te-
lah terkulai tak bergeming lagi.
Nyawanya telah putus.
Dan keadaan tubuhnya tampak
mengerikan sekali
dengan sekujur tubuh penuh cabikan-cabikan. Darah
menganak sungai dari luka
dilehernya yang menganga
hampir putus! Sedangkan
disekelilingnya bertebaran
serpihan jala sutera yang sudah
hancur tak berbentuk
lagi.
Harimau Tutul itu ternyata telah
lenyap entah
kemana...
***
Dengan kesal Roro Centil
membanting senjata
maut yang "disita"
dari jenazah Ki Sugema, hingga me-
lesak ke dalam tanah, Tampak
wajah si Pendekar Wa-
nita ini merah padam. Telah
ubak-ubakan dia mencari
dimana Sambu Ruci dan Seruling
Gading. Tapi tak di-
jumpai diseluruh ruangan.
"Hm, apakah pesanggrahan
ini punya ruangan
rahasia?" memikir Roro.
"Baik...! akan ku selidiki!" de-
sisnya serentak begitu selesai
bermenung. Tubuh Roro
kembali berkelebat untuk
memasuki setiap ruangan
Pesanggrahan.
BRAAAK...! Tiba-tiba terdengar
suara bergedu-
brakan. Roro merandek dengan
wajah tegang. "Apakah
ada manusia iblis lagi yang
masih bercokol di Pe-
sanggrahan ini?" berkata
Roro dalam hati. Sekejap dia
sudah menyelinap.
Sesosok tubuh tersembul dari
reruntuhan tem-
bok disalah satu ruangan
belakang Pesanggrahan, wa-
jah orang itu kusut, pucat dan
malang biru seperti be-
kas-bekas pukulan. Dialah Sambu
Ruci adanya. Den-
gan susah payah pemuda itu
merangkak keluar dari
celah lubang yang menganga
direruntuhan tembok itu.
"Sambu Ruci...!" satu
teriakan lelah membuat
dia palingkan wajahnya untuk
memandang ke arah da-
tangnya suara.
"No... nona Roro..."
teriak laki-laki ini dengan
suara parau lemah. Akan tetapi
wajahnya member-
sitkan cahaya girang. Sekejap
saja Roro Centil telah je-
jakkan kakinya dihadapan laki-
laki ini.
"Ahhh...! Sambu...! Apakah
yang telah terjadi?
Kemana is... istrimu Seruling Gading?". tanya Roro
dengan terkejut karena memandang
wajah tampan
Sambu Ruci matang biru dengan
keadaan yang meng-
giriskan hati. Sekujur tubuhnya
juga banyak luka-luka
dengan pakaian yang sudah robek
disana-sini. Sambu
Ruci jatuhkan tubuhnya duduk
menggelepoh. Wajah-
nya menunduk tanpa bisa berikan
jawaban pada Roro.
Setitik air mata tampak
tersembul disudut kelopak
mata laki-laki ini.
"Sambu...! Katakanlah!
Siapa manusianya yang
telah menyiksamu? Akan
kuremukkan tulang-tulang
tubuhnya! Dan... kemana Seruling
Gading...?" tanya
Roro lagi dengan suara
menggetar.
Pelahan laki-laki ini
menengadahkan wajahnya
menatap pada Roro. Tampaknya
Sambu Ruci teramat
lemah untuk bicara.
Roro Centil yang tahu diri,
segera berkelebat.
Dan sesaat telah kembali lagi
dengan membawa se-
kendi air.
"Minumlah Sambu...!"
ujar Roro. Sambu Ruci
tersenyum lemah seraya
menyambuti dengan ulurkan
lengannya. Lalu meneguk habis
isi kendi itu. Setelah
menghela nafas dan merenung
sejenak, mulailah Sam-
bu Ruci buka suara, menceritakan
kejadiannya, den-
gan singkat. Roro Centil dengan
wajah sebentar merah
sebentar pucat mendengarkan
penuturannya.
Ternyata Sambu Ruci disekap
dalam ruangan
rahasia di Pesanggrahan itu
setelah dipaksa menyak-
sikan perbuatan edan Ki Sugema
terhadap istrinya.
Diceritakannya siapa Ki Sugema.
Dan kejadian-
kejadian penyiksaan terhadap
dirinya yang dilakukan
oleh Suro Ragil dan si laki-laki
gendut Zimbage.
"Manusia bejat itu sudah
mampus ditanganku!
Dan senjata mautnya telah
kulenyapkan! Kakek iblis
bertongkat Kelabang itu sudah
kukirim nyawanya ke
Neraka...!" menyahut Roro
dengan pertanyaan Sambu
Ruci yang mempertanyakan kedua
tokoh yang mengu-
asai Pesanggrahan Cipatujah.
"Lalu kemanakah istrimu
Seruling Gading?"
bertanya Roro.
"Aku tak tahu lagi
nasibnya, sejak dia disekap
si keparat Ki Sugema
itu..." jawab Sambu Ruci.
"Haihhh! Aku memang manusia
bodoh! Tak
berguna...!" berkata Sambu
Ruci memaki dirinya sen-
diri.
"Sudahlah...! mari kita
tinggalkan tempat ini!
aku akan berusaha
mencarinya!" ujar Roro menghibur.
Lalu memapah Sambu Ruci berdiri,
seraya diam-diam
salurkan "hawa murni"
untuk menambah tenaga da-
lam laki-laki itu. Terasa hawa
hangat mengalir ke tu-
buh Sambu Ruci, yang dirasakan oleh
laki-laki itu.
Ternyata kemudian Sambu Ruci
agak pulih tenaganya.
Dia tersenyum
menatap Roro. "Terima kasih...
kau baik sekali..." ucapnya
lirih.
***
Sambu Ruci duduk termangu-mangu
di depan
sebuah pondok petani diatas
bukit kecil. Pemandangan
indah terhampar dihadapannya.
Akan tetapi keinda-
han itu seakan tak berarti.
Karena yang terbayang me-
lulu wajah Seruling Gading. Dua
hari sudah dia mene-
tap di atas bukit kecil itu.
Selama itu Roro Centil telah
merawatnya, memberinya obat dan
bermacam ramuan
yang harus diminumnya. Memasak
air. Menanak nasi
dan sebagainya. Tak ubahnya
seolah dia dirawat oleh
seorang "istri"
tercinta. Ah, begitu mengharukan. Begi-
tu pedih. Begitu bahagia
tampaknya. Bahagiakah
Sambu Ruci? Entahlah! Hanya dia
yang tahu! dan
yang membuat dia tersenyum pahit
adalah apa yang
dialaminya saat itu adalah
begitu lucu! Ya, satu kelu-
cuan, karena dia justru punya
"pengganti" istrinya
yang telah merawatnya dengan
sepenuh hati hingga
sampai kesembuhannya pulih
kembali.
Hari itu dia duduk di depan
pondok menunggu
kedatangan Roro yang telah
wanti-wanti memesannya
agar tak kemana-mana. Dia
termangu-mangu menatap
ke bawah bukit dengan pandangan
kosong. Wajah Se-
ruling Gading sebentar membayang
namun sebentar
melenyap di ruang matanya.
Kemelut di Cipatujah itu
telah berakhir. Kini cuma
tinggalkan puing-puing dari
reruntuhan hati yang bersisa.
Kebahagiaan itu belum lagi
terengkuh... "Apa-
kah aku tak berjodoh
dengannya?" berkata sendiri
Sambu Ruci. "Ya! Kalau aku
berjodoh, tentu tak terjadi
peristiwa macam begini...!"
menjawab pula sendirian
laki-laki itu, yang akhirnya dia
cuma tersenyum pahit
dengan menggaruk-garuk
kepalanya.
"Ehm...!" suara
deheman itu seketika membuat
dia tersentak dari lamunannya.
Ketika dia membalik
ternyata Roro Centil telah
berdiri di belakangnya.
"Sejak kapan kau pulang,
no... nona Roro...?"
tanya Sambu Ruci tergagap.
Seulas senyum segera tersuguh
buatnya. Ya!
Mutlak! Memang senyum itu cuma
untuknya.
"Panggillah aku Roro saja,
mengapa harus pa-
kai "nona"...?"
berkata Roro dengan mengerling. Sambu
Ruci tertawa hambar.
"Ya, ya, ya... baiklah! Aku
akan menyebut mu
dengan panggilan Tabib Roro!
apakah kau setuju?"
"Hihihi... aku bukan
tabib!" menyahut Roro.
"Tapi kenyataannya kau
memang seorang tabib. Kau
telah merawatku hingga
luka-lukaku serta kesehatan-
ku pulih kembali!" sangkal
Sambu Ruci.
"Aiiii! terserahlah!"
menyahut Roro dengan ter-
senyum manis. Aneh! Diam-diam
dan diluar kesadaran
Roro. Gadis Pendekar itu rasakan
dadanya berdeba-
ran. Ya! Roro memang mulai
sering merasakan deba-
ran-debaran sejak merawat Sambu
Ruci selama ini.
Satu keanehan yang dia sendiri
juga tak mengetahui.
Akan tetapi Roro selalu dapat
menghilangkannya un-
tuk kembali menenangkan diri.
Apakah ada terbersit
rasa cinta dihati roro pada
laki-laki yang telah kehilan-
gan istrinya itu? Entahlah! Tapi
yang jelas debaran itu
adalah satu kewajaran. Karena
setiap naluri wanita
memang demikian bila berhadapan
dan bergaul terlalu
erat dengan laki- laki.
"Ada berita baik yang
kutemukan, Sambu...!"
tiba-tiba Roro Centil memutus
"tegangan" tersembunyi
diantara dua jalur halus yang
merentang barusan.
"Berita...? Oh,
katakanlah!" menyahut Sambu
Ruci. Agak
tersentak seperti sukmanya baru kembali
dari "alam gaib".
"Aku telah temukan dua
mayat disatu tebing
batu. Ciri-cirinya jelas seperti
yang telah kau tuturkan
padaku. Aku yakin itu mayat Suro
Ragil dan si gemuk
Zimbage...!" berkata Roro
seraya menuangkan air ke
dalam gelas tanah dari kendi
berisi air putih. Lalu me-
neguknya hingga habis.
"Keduanya tewas...?"
sentak Sambu Ruci. "Tak
adakah berita mengenai Seruling
Gading?" tanya Sam-
bu Ruci tiba-tiba.
"Ada...! akan tetapi
kuharap kau tak terkejut
mendengarnya!" menyahut
Roro dengan suara datar.
"Apakah yang telah terjadi
dengan dia...?" tanya
Sambu Ruci dengan berusaha
bicara biasa. Namun di-
am-diam hatinya mulai menyentak
lagi, yang segera di-
tekannya agar tak membuat
suaranya tergetar.
"Seruling Gading telah
berubah menjadi orang
yang tak waras..."
"Hah!? Dia... dia...
maksudmu dia berubah
menjadi... GILA...?"
Tersentak kaget Sambu Ruci.
"Ya...!" sahut Roro
dengan suara tenang.
"Dia telah berhasil lolos
rupanya dari sekapan
Ki Sugema. Tapi dikejar oleh
Suro Ragil dan si gemuk
itu, entah siapa yang telah
membunuh kedua orang
itu. Dari berita yang kudapat
tak ada yang mengeta-
huinya. Akan tetapi mengenai
Seruling Gading menjadi
hilang ingatan itu banyak berita
yang kudapat dari
penduduk disekitar tempat
itu..." tutur Roro.
Terhenyak sesaat Sambu Ruci.
Wajahnya me-
nunduk. Tampak satu kesedihan
yang luar biasa diro-
na wajahnya.
"Tak adakah kau temukan
dia...?" tanya Sambu
Ruci dengan suara lirih.
"Yaaah, menurut berita yang
kudengar Seruling
Gading menerjunkan diri ke
dasar jurang! Aku telah
mencoba mencari mayatnya didasar
jurang pada lokasi
yang dikira-kirakan penduduk.
Tapi tak kujumpai
mayatnya disana..."
menyahut Roro.
"Seruling...! Oh, begitu
tragis nasibmu..." men-
desah suara Sambu Ruci. Kini
titik air bening yang ter-
sembul disudut mata laki-laki
itu telah meluncur tu-
run. Namun, Sambu Ruci segera
seka air matanya.
"Yah! semua memang sudah
suratan takdir!"
berkata Roro "Kita belum
bisa pastikan Seruling Gad-
ing tewas. Namun kukira.
Sambu Ruci seperti tak mendengar
penjelasan
Roro. Dia menatap jauh ke bawah
lembah. Jauh...! dan
bahkan lebih jauh lagi.
Dua ekor elang tampak melayang
di ketinggian.
Bukit kecil itu seperti sunyi.
Dan memang terasa
sunyi... Seperti juga sunyinya
hati Sambu Ruci. Ketika
dia berpaling ternyata Roro
Centil telah lenyap tak ter-
lihat bayangannya. Semakin
sunyilah hati Pendekar
Muda ini.
Senja pun tampak mulai
melingkupi daerah
perbukitan itu....
TAMAT
E-Book
Emoticon