T U J U H
"Hihihi... gertakanmu
lumayan juga, Laba-laba Hitam.
Akan tetapi jangan bertarung
disini. Aku khawatir meru-
sak Candi!" berkata Roro
dengan suara merdu.
"Persetan dengan
Candi!" memaki si kakek Laba-laba
Hitam. Lengannya bergerak
menghantam ke arah Roro.
Menggebu angin pukulan si kakek
bagaikan angin praha-
ra. Terkejut Roro Centil.
"Celaka!" mendesis suara Roro.
Betapa mendongkolnya dia karena
si kakek tak menghi-
raukan kata-katanya. Candi itu
adalah salah satu dari
peninggalan Kerajaan SRIWIJAYA.
Harus dijaga kelesta-
riannya. Berpikir demikian,
tiba-tiba Roro berteriak keras.
Sepasang lengannya terangkat.
Dan... satu tenaga yang
tak kelihatan melebihi kekuatan
angin pukulan si laba-
laba Hitam telah membersit
keluar dari sepasang tangan-
nya.
WKHUUUUSSS...! Terkejut Ki
Panembahan alias si La-
ba-laba Hitam. Angin pukulannya
telah diterpa sambaran
angin panas yang dahsyat luar
biasa. Bahkan kekuatan
anginnya sendiri berbalik
menghantam tubuhnya. Da-
tangnya begitu cepat, hingga tak
lagi dia sempat berbuat
sesuatu. Tak ampun tubuh si
Laba-laba Hitam terlempar
keudara sejauh lebih dari dua
puluh tombak.
Dalam keadaan membumbung keudara
itu amatlah
beruntung si kakek dapat
mengimbangi kekuatan serta
mengkonsentrasikan panca
indranya. Hingga dengan rin-
gan dia telah daratkan kakinya
keatas bukit.
Terengah-engah si Laba-laba
Hitam. Lalu salurkan
hawa murni untuk sebarkan
keseluruh tubuh. Hatinya
menggumam. Kakek ini bersyukur
karena dia tak terluka
dalam. Angin panas itu cuma
membuat tubuhnya tertolak
mental, karena dia telah
lindungi tubuhnya dengan tena-
ga dalam inti yang membuat
tubuhnya jadi sekeras batu.
"Hebat! luar biasa
kekuatan tenaga dalam bocah pe-
rempuan itu. Tak percuma dia
bernama besar yang
menggoncangkan jagat!"
Diam-diam hatinya memuji dan
terkejut bukan main.
"Nah! disini kita aman
untuk bertarung! Sudah
siapkah kau kakek
sakti...?" satu suara membuat dia ter-
perangah, karena ketika dia
membalik, ternyata Roro
Centil telah berada
dibelakangnya.
"Edan...! begitu cepat dia
menyusulku?" mendesis sua-
ra si kakek.
"Bagaimana Laba-laba Hitam?
apakah kau mau serah-
kan Tombak Pusaka Ratu Shima itu
dengan suka rela
ataukah kau tetap berkeinginan
mengangkanginya?" ber-
tanya Roro. Namun si Laba-laba
Hitam tak menjawab.
Mulutnya komat-kamit membaca
mantera. Tiba-tiba tu-
buhnya mendadak lenyap sirna.
Tak kelihatan lagi oleh
mata biasa.
"Hihihi... mau kabur kealam
haluspun kau percuma
saja, Laba-laba Hitam. Aku
takkan melepaskanmu begitu
saja sebelum benda Pusaka itu
kau serahkan padaku!"
berkata Roro dengan tertawa
mengikik. Dan...tubuh sang
Pendekar Wanita Pantai Selatan
itupun sirna pula dari
pandangan. Kini kedua tokoh
Rimba Persilatan itu telah
berada dialam halus.
"Bagus! aku memang mau
mengajakmu bertarung di-
alam yang tak kelihatan oleh
mata manusia biasa", ujar si
kakek. Nah, bersiaplah untuk
menghadapi seranganku!"
bentaknya dengan suara dingin
mencekam jantung. "Si-
lahkan! aku siap melayanimu,
kakek Laba-laba Hitam
menyahut Roro dengan jumawa.
Walau diam-diam dia ju-
ga harus waspada. Karena dia
yakin kalau sang kakek itu
punya ilmu tinggi yang belum
pernah dilihatnya.
Tampak Laba-laba Hitam telah
selesai pula membaca
mantera. Lengannya bergerak
memutar.
Menimbulkan segulung asap hitam
yang menerjang ke
arah Roro. Asap yang
bergulung-gulung itu mendadak be-
rubah menjadi seekor Laba-laba
Raksasa. Tersentak Roro
Centil. Tahu-tahu dia telah
terkurung oleh kaki-kaki hi-
tam berbulu yang menyeramkan.
Sementara taring sang
Laba-laba Raksasa telah siap
menerkamnya.
WHUUK! WHUUUK...!
Lengan sang pendekar Perkasa ini
bergerak menghan-
tam ke arah tubuh makhluk itu.
Akan tetapi terkejut Ro-
ro. Karena pukulannya hanya
menghantam bayangan sa-
ja. Makhluk itu tetap tak
merobah posisi menerkamnya.
PRAASSH! kepala mukluk itu
menyerang ganas. Batu
bukit itu hancur beserpihan,
Namun Roro berhasil gu-
lingkan tubuhnya untuk
menghindar.
"Heheheh...! keluarkan
seluruh kesaktianmu, nona
Pendekar Pantai Selatan!"
terdengar suara tertawa menge-
jek mendesing ditelinga Roro.
Makhluk menyeramkan itu
telah meluruk lagi untuk
merencah tubuh Roro Centil
mentah-mentah. Empat pasang kaki
makhluk itu berhasil
mencengkram tubuh wanita
Pendekar ini. Roro terkejut
bukan main. Segala daya upayanya
untuk menyerang La-
ba-laba Raksasa menemui jalan
buntu. Hingga dia agak
ayal dan berhasil diterkam
makhluk mengerikan itu. Be-
lum lagi dia sempat berbuat
sesuatu. Tahu-tahu tubuh-
nya telah kena jerat benang
laba-laba, hingga kaki dan
tangannya tak berkutik.
Keringat dingin menebar
kesekujur tubuh Roro. Segera
dia berusaha konsentrasikan
syaratnya yang membaur
tak keruan. Dengan
berguling-guling Roro berusaha men-
jauh dari makhluk itu, walau
tubuhnya tak leluasa berge-
rak. Sementara sang Laba-laba
Raksasa tampaknya cuma
bertindak mempermainkan
korbannya yang hampir tak
berdaya. Karena sekejap
kaki-kaki sang makhluk Raksasa
telah kembali menerkamnya. Dan
lagi-lagi Roro harus
menerima nasib lebih parah.
Benang-benang sutera sang
laba-laba yang lengket itu
kembali membelit dan mem-
bungkus tubuhnya. "Celaka!
aku tak dapat berpikir nor-
mal, aku tak tahu apa yang harus
kulakukan...!" memba-
thin Roro dalam keluh putus
asanya.
Dalam keputus asaan itu Roro
menjerit sekuatnya.
Sungguh diluar dugaan. Jeritan
yang diraungkan itu ka-
rena kesal akan ketidak
berdayaannya ternyata telah me-
nolong Roro dari bahaya maut.
Cengkeraman kaki-kaki si
Laba-laba Raksasa mengendur.
Bahkan tanpa disadari je-
ritan yang mirip raungan harimau
itu telah memutuskan
benang-benang jerat si Laba-laba
Raksasa. Tentu saja hal
itu membuat Roro tersentak
girang. Tak ayal dia sudah
melompat bangkit. Kejap
berikutnya Roro segera satukan
kekuatan bathinnya untuk
menindih kekuatan bathin la-
wan yang telah mempengaruhi
sirkuit otaknya hingga dia
tak dapat berpikir normal.
Sementara itu si kakek ternyata
masih berdiri tegak
dengan Tombak Pusaka Ratu Shima
ditangannya. Terhe-
ran dia melihat Roro berhasil
melepaskan diri dan memu-
tuskan jerat sutra laba-laba
ciptaannya. Herannya cuma
putus oleh suara jeritan yang
mirip raungan harimau.
Melihat Roro tegak berdiri
menghimpun kekuatan bathin
yang telah menindih kekuatan
bathinnya, laki-laki tua ini
segera berkomat-kamit lagi.
Sebelah tangannya menyilang
diatas dada. Tiba-tiba dia
membentak keras. "ROBOH...!"
Lengan yang menyilang diatas
dada itu digerakkan
menghantam Roro. Itulah pukulan
ghaib yang dinamakan
Serapah Dewa Maut. Hebat
akibatnya! Tubuh Roro tam-
pak tergetar hebat. Laba-laba
Raksasa itu telah lenyap.
Namun segelombang angin pukulan
telah membuat tu-
lang-tulangnya serasa lumpuh.
Hampir saja dia jatuh
menekuk lutut. Untunglah dengan
kekuatan tenaga ba-
thin yang telah dapat
mengungguli tenaga bathin si kakek
Panembahan itu, Roro cuma
terhuyung saja. Bahkan
dengan satu bentakan nyaring,
Roro balas menyerang
dengan pukulan Sinar Perak.
"Kakek gundul! jaga
seranganku!" WHUUUKK...!
BLUARRR!
Cahaya perak membersit menyambar
tubuh si kakek
Laba-laba Hitam. Akan tetapi
kakek itu, telah berhasil
lemparkan tubuhnya bergulingan.
Pukulan dahsyat itu
menghantam batu dan pohon hingga
hancur beserpihan.
Sekejap si kakek itu telah
menampakkan diri lagi dialam
nyata. Melihat keadaan yang tak
menguntungkan dirinya,
si Laba-laba Hitam angkat
langkah seribu menyelamatkan
jiwanya.
Tombak Pusaka Ratu Shima masih
tercekal ditangan-
nya. Tampaknya dia tak mau melepaskan
senjata itu be-
gitu saja pada Roro.
"Kakek gundul jangan
lari...!" membentak Roro. Len-
gannya bergerak lagi. Dan, dari
telapak tangan sang dara
perkasa ini membersit sinar
Pelangi. Bagaikan sebuah se-
lendang saja layaknya. Sinar Pelangi meluncur untuk
membelit tubuh kakek tua itu.
Akan tetapi tiba-tiba si kakek
Panembahan berbalik.
Dan putarkan tombak Pusaka Ratu
Shima ditangannya.
Segera membersit segulung angin
santar menghantam
buyar sinar Pelangi. Terkejut
Roro mengetahui cahaya Pe-
langinya dapat dibuyarkan.
"Dia, tak boleh lepas dari tan-
ganku!" membathin Roro
dalam hati. Pada saat itu juga
sebuah benda meluncur, ke arah
Roro yang disambitkan
oleh si Laba-laba Hitam. Benda
itu jatuh tepat dihada-
pannya sejarak dua tombak. Dalam
herannya, Roro terke-
jut ketika tiba-tiba terdengar
ledakan keras. Asap hitam
membumbung. Untung Roro telah
melompat kebelakang
sejauh tiga empat tombak. Roro
mengkhawatirkan benda
itu bahan peledak yang
membahayakan. Tapi cuma asap
hitam yang membumbung dari
ledakan itu. Dan lagi-lagi
terpampang dihadapan Roro Centil
seekor laba-laba Rak-
sasa.
"Keparat" ilmu sihir
sialan! memaki Roro. Kali ini dia
tak biarkan makhluk itu
menerkamnya seperti tadi. Sege-
ra dia merapal mantera. Dan...
lengannya bergerak meng-
hantam dengan pukulan Malaikat
Gurun Pasir Merambah
Iblis. Makhluk raksasa jejadian
itu lenyap sirna tanpa be-
kas. Akan tetapi Roro terpaku
membeliak, karena si ka-
kek Laba-laba Hitam telah lenyap
melarikan diri tak keta-
huan kemana arahnya.
"Setan alas! aku terkecoh!
dia berhasil meloloskan diri!
huh...!" memaki Roro dengan
kesal. Dan membanting kaki
dengan wajah cemberut.
"Huuuh! huuuh! Roro!
Roro...! mengapa kau masih ju-
ga bodoh dikibuli orang...?"
berkata Roro memaki dirinya
sendiri. Namun tubuhnya segera
berkelebatan mencari je-
jak si kakek itu dengan rasa
penasaran. Akan tetapi per-
cuma saja! si Laba-laba Hitam
telah lenyap tak ketahuan
kemana rimbanya... Dengan
menggerutu panjang pendek
Roro Centil melesat pergi dari
tempat itu. Suasana malam
itupun kembali hening mencekam.
Bulan sabit menyeli-
nap dibalik awan hitam. Cuaca
menjadi gelap, segelap ha-
ti Roro yang kehilangan jejak
manusia buruannya....
DELAPAN
PAGI ITU disebuah penginapan
disudut kota, seorang
laki-laki berkumis dan
berjenggot lebat keluar dan pintu
kamar. Dan bergegas beranjak
menghampiri seorang pe-
layan.
"Mana majikanmu?"
bertanya dia dengan menepuk
pundak sang pelayan yang tengah
asyik mengelap meja.
"Oh, ada didalam, Raden...!
Apakah perlu hamba me-
manggilnya?" menyahut sang
pelayan. Laki-laki jembros
itu termenung sejurus.
"Sebaiknya tak usahlah! aku
toh sudah membayar se-
wa menginap semalam dipenginapan
ini. Eh, apakah kau
tahu kemana arah Kota
Raja?" bertanya laki-laki itu.
"Oooh, anda mau ke Kota
Raja?" berkata si pelayan. Sua-
ranya agak keras, hingga membuat
beberapa tetamu yang
pagi-pagi sudah minum kopi
diruang makan itu jadi me-
noleh.
"He? tak usah bicara
keras-keras!" berkata laki-laki
itu.
"Oh, maaf, maaf...!
sebenarnya hamba bicara biasa.
Tapi ruangan ini memang
aneh!" menyahut si pelayan.
"Suara pelahan pun
terdengar keras! harap anda maaf-
kan, karena mungkin Raden tak
suka...!"
"Sudahlah! apakah kau
mengetahui kemana arah yang
harus kutempuh?" berkata
laki-laki jembros itu.
"Ya, ya... ngng ... anda
ikuti jalan didepan ini sampai
membelok ke arah
timur. Anda akan menjumpai jalan
bercabang dua. Nah, arah yang
kekanan itulah jalan me-
nuju Kota Raja!" sahut sang
pelayan.
"Baik, baik...! terima
kasih...!" ujar laki-laki itu. "Dan,
ini untukmu!" berkata
laki-laki itu seraya merogoh sa-
kunya. Dan berikan dua keping
uang receh pada pelayan
itu. Sang pelayan ucapkan terima
kasih dengan wajah gi-
rang.
Laki-laki jembros itu bergegas
keluar dari rumah pen-
ginapan itu. Tanpa menoleh lagi.
Dan tentu saja mengiku-
ti petunjuk si pelayan tadi
menurutkan jalan didepan
penginapan, hingga membelok ke
arah timur. Tepat dija-
lan bercabang dua itu dia
berhenti. Tampaknya seperti
memikir.
"Wah, wah aku lupa. Ke arah
kiri ataukah kekanan si
pelayan tadi
mengatakannya!" menggumam dia sambil
memijit-mijit keningnya. Pada
saat itu sebuah bayangan
merah berkelebat kehadapannya.
Ternyata seorang wani-
ta.
"Hihihi...kalau mau ke Kota
Raja jalan kesana yang
anda harus lalui, sobat Dewa
Linglung..! aha! tampaknya
anda bingung ataukah linglung?
Tapi pantas bila anda
linglung, karena bukankah
julukan anda di Dewa Lin-
glung?" Wanita baju merah
sambil gerakkan lengannya
menunjuk. Laki-laki ini jadi
melengak, dengan membe-
liakkan matanya. Tentu saja dia
mengenai pada wanita
baju merah yang tak lain dari si
Iblis Ruyung Emas. Dan
laki-laki itu memang tak lain
dari GINANJAR, yang se-
dang dalam penyamaran menuju ke
Kota Raja. "He? dia
telah mengetahui penyamaranku?
wah, berabe, nih...I"
membathin Ginanjar dalam hati.
"Benar, aku mau ke Kota
Raja. Tapi aku bukan si De-
wa Linglung. Dari mana anda
mengetahui dengan mener-
ka sembarangan?" berkata
Ginanjar. Pemuda jembros ini
mendelikkan matanya. Akan tetapi
wanita setengah usia
itu bahkan mengikik tertawa dan
mengerling genit. Seraya
ujarnya. "Sudahlah, tak
usah pakai pura-pura segala.
Bukankah kita pernah bertemu,
dan kau pernah meno-
long diriku. Aku si Ruyung Emas
telah mengetahui sama-
ranmu sejak kau injakkan kaki
dikota ini!" menyahut wa-
nita itu. Ginanjar jadi merah
wajahnya. "Sialan! tak guna
aku melakukan penyamaran
lagi!" membathin pemuda
ini. Dan lengannya bergerak
mengusap jenggot dan kumis
hingga rontok mengelupas.
Selanjutnya dia tertawa.
"Hahahahaha sial dangkalan!
memang nasibku sedang
sial! baiklah! aku mengaku. Aku
memang si Dewa Lin-
glung. Tapi itu julukanku yang
sudah tak kupakai lagi!
aku sudah tidak linglung
lagi!" ujar Ginanjar.
"Hihihihi... kau katakan
kau sudah tak linglung lagi,
mengapa kau masih ragu-ragu
menemui jalan bercabang
dua untuk menentukan arah ke
Kota Raja?"
"Hm, aku memang
lupa...!" ujar Ginanjar dengan tersi-
pu. Ginanjar memang pernah
berjumpa dengan wanita
ini, dan pernah menolongnya
memberikan obat gatal un-
tuk kulit pada si Iblis Ruyung
Emas, ketika wanita ini di
"kerjai" Surajaya
alias si Berandal Edan Mata Satu. (baca:
kisah serial Roro Centil, dalam
"Berandal Edan Mata Sa-
tu".)
"Kalau kau mau ke Kota
Raja, kita bisa jalan bersama.
Apakah kau tak keberatan kalau
aku menemanimu?"
berkata si wanita dengan suara
manja. Sikapnya dibuat
sedemikian rupa agar Ginanjar
terpikat.
"Mau apa kau kesana?"
"Kau sendiri ada perlu apa
ke Kota Raja?" balas ber-
tanya si Iblis Ruyung Emas.
"Hm, itu urusanku!"
sahut Ginanjar agak mendongkol.
Saat itu tiba-tiba beberapa
sosok tubuh berkelebat ke-
luar dari balik semak kebun tebu
dan langsung mengu-
rung mereka.
"He? apa-apaan ini? ada
apa? siapa kalian! Apakah
mau membegal orang?!"
bentak si wanita baju merah. Se-
raya memutar pandangan dengan
wajah menampak ter-
kejut.
"He! silahkan kau menyingkir,
dan tak usah turut
campur urusan kami. Kami hanya
mengingini laki-laki
ini!" berkata salah
seorang. Ternyata kesemua laki-laki itu
memakai topeng menutupi
Wajahnya.
"Huh! enak saja! kami akan
melakukan perjalanan
bersama ke Kota Raja. Kalau
kawanku dikeroyok begini,
masakan aku diam berpeluk
tangan..?" menyambut si Ib-
lis Ruyung Emas. Kesemua
laki-laki bertopeng yang men-
gurung Ginanjar itu sebelas
orang. Salah seorang segera
memberi isyarat. Dan empat orang
segera mengurung si
wanita itu. Yang lainnya memecah
untuk mengurung Gi-
nanjar.
"Habisi mereka!"
berkata dengan suara dingin salah
seorang. Dan, serentak
masing-masing segera menerjang
dengan senjata-senjatanya yang
telah terhunus.
"Bagus! kalian rupanya
inginkan aku bertindak! jan-
gan menyesal!" membentak si
wanita baju merah. Dan...
Trang! Trang...! Dia telah cabut
senjata Ruyung Emasnya.
Benda berkilauan itu menangkis
serangan-serangan go-
lok, kapak dan pedang dari
keempat penyerangnya. Ada-
pun Ginanjar tak ayal segera
cabut pedangnya yang ter-
bungkus kain dipinggang,
Ginanjar membathin dalam ha-
ti. "Heh! mereka pasti
orang-orangnya Adipati Kiduling
Kuto yang menginginkan
nyawa!" Pertarungan seru segera
terjadi. Kalangan pertarungan
menjadi dua rombongan.
Sementara dalam pertarungan itu,
Ginanjar memikir.
"Haiih! kedua pihak si
wanita dan orang-orang ini bukan
dari golongan baik-baik. Aku
harus secepatnya minggat
setelah merobohkan beberapa
orang, urusanku tak seo-
rangpun boleh mengetahui!"
Memikir demikian Ginanjar segera
robah gerakannya
untuk bertarung lebih cepat. Tak
dinyana ketujuh lawan-
nya amat sukar dirobohkan.
Mereka tampak terlatih dan
membentuk barisan semacam
barisan TIN, yang sukar
baginya meloloskan diri.
Sementara pertarungan empat
orang melawan si Iblis
Ruyung Emas telah menemui
klimaxnya. Dua orang men-
jerit ngeri, dan roboh
terjungkal. Ternyata senjata Ruyung
Emas si wanita itu telah
berhasil menghantam batok ke-
pala kedua penyerangnya. Melihat
demikian, dua dari
pengeroyoknya segera melompat
membantu kedua ka-
wannya yang dicecar oleh
serangan-serangan ganas si Ib-
lis Ruyung Emas.
Ginanjar agak bernapas lega.
Saat barisan TIN lawan
terbuka, dia tak membuang
kesempatan. Pedangnya ber-
kelebat kekiri-kanan seraya
melompat ketempat kosong
dari barisan TIN itu.
"TUTUP jalan darah!"
membentak salah satu dari orang
bertopeng dalam barisan itu yang
agaknya menjadi Ketu-
anya. Tiga orang melompat
menghadang seraya mener-
jang ganas. Dua orang melompat
kekiri, dan dua orang
lagi melesat kekanan. Ginanjar
kertak gigi dengan geram.
Tiba-tiba ingatan Ginanjar
mendadak lancar. Seperti dike-
tahui, Ginanjar pernah menjadi
murid dari Ketua Rimba
Hijau golongan Putih. Satu bentakan
menggeledek dari
pemuda itu mendadak membuat
teriakan-teriakan segera
terdengar santar. Bagaikan
kilatan-kilatan yang berkre-
depan terkena cahaya Matahari,
pedang Ginanjar berke-
lebatan ke beberapa arah. Tubuh
laki-laki ini bergulingan
ditanah dengan gerakan aneh yang
teramat cepat. Menu-
suk dan menabas.
Tak ampun lima orang dari
barisan TIN itu terjungkal
roboh. Dan berkelojotan bagai
ayam disembelih. Darah
menghambur berpuncratan.
"Ha!? bagus, sobat Dewa
Linglung!" berteriak girang si
Iblis Ruyung Emas. Senjatanya
bergerak cepat memutar
disertai kelebatan tubuhnya. Dan
dua orang lagi terjung-
kal roboh. Semakin bernafsu si
Iblis Ruyung Emas untuk
membunuh habis lawan-lawannya.
Dan, lagi-lagi seorang
terjungkal roboh. Terperangah
para penyerang bertopeng
itu, melihat kehebatan si wanita
baju merah. Sementara
beberapa orang sudah melompat
mundur. Barisan TIN ja-
di kacau balau, karena lima
orang kawan mereka roboh
berkelojotan meregang nyawa. Tak
ayal mereka meng-
hambur melarikan diri.
"Hihihihi... sudah
kukatakan, kalian akan tahu rasa
kalau mau main-main terhadap
kami!" tertawa mengikik
si wanita. Lengannya bergerak
kebalik pakaiannya. Dan...
Serrrr! Ratusan jarum berbisa
meluruk ke arah si manu-
sia-manusia bertopeng. Dua orang
terjungkal berkelojo-
tan. Dan langsung tewas. Tiga
orang sisanya terus mela-
rikan diri dengan luka-luka.
Beberapa jarum telah men-
gena dianggota tubuhnya.
Mengikik tertawa si Iblis
Ruyung Emas.
Akan tetapi dia terkejut ketika
melihat pada Ginanjar
alias si Dewa Linglung itu
ternyata sudah tak nampak lagi
batang hidungnya.
"He? kemana pemuda linglung
itu...?" sentaknya kaget.
Namun segera dia berkelebat
untuk berlari cepat menyu-
suri jalan yang menuju ke arah
Kota Raja....
Lewat tengah hari, Ginanjar
telah tiba didepan pe-
sanggrahan Tumenggung Satryo.
Setelah melapor pada
penjaga pintu, dia dipersilahkan
menunggu. Sementara
salah seorang dan pengawal
segera masuk ke ruang Pe-
sanggrahan untuk melaporkan
maksud kedatangannya
pada Tumenggung. Tak lama
Ginanjar dipersilahkan ma-
suk, dengan meninggalkan
pedangnya pada penjaga pin-
tu. Puncratan darah mengering
pada pakaian Ginanjar
agak membuat pengawal itu
curiga. "Apakah anda baru
saja mengalami pertarungan, sobat...?"
tanya sang penja-
ga.
"Hm, benar sekali dugaanmu, nyari aku tewas! Aku
perlu melaporkan hal ini pada
Tumenggung." berkata Gi-
nanjar.
"Mari kuantar!" ujar
penjaga itu. Lalu beranjak men-
gantar Ginanjar menuju ruangan
Pesanggrahan. Semen-
tara dari ruangan pendopo
Pesanggrahan telah melang-
kah keluar sang Tumenggung
Satryo.
"Selamat datang, sobat
Ginanjar...! benarkah anda
yang bernama itu?"
"Tak salah, sobat
Tumenggung!" ujar Ginanjar seraya
menjura.
Dua orang penjaga tampak
dibelakang Tumenggung ini
yang segera masing-masing
berdiri berjaga dikedua sisi
pintu pendopo. Sementara
Pengawal tadi segera beranjak
kembali kepenjagaan. Sang
Tumenggung segera memper-
silahkan Ginanjar masuk keruang
dalam. Melihat tak ada
sikap yang mencurigakan kedua
prajurit pengawal itu
nampak menarik napas lega.
Demikianlah. Ginanjar segera
membentangkan! prihal
sang Adipati Kiduling Kuto yang
telah membawa mayat
buronan Kerajaan Mataram bernama
Wira Pati itu tanpa
membunuhnya. Dan dia menjadi saksi
sendiri akan apa
yang telah dilihatnya. Tentu
saja Ginanjar tak lupa men-
ceritakan tentang Roro Centil,
yang mengatakan mencuri-
gai sang Adipati Kiduling Kuto.
Hingga dia berniat menye-
lidiki ke gedung Kedipatian.
Dalam bercakap-cakap itu
terdengar suara ribut-ribut
diluar. Dua prajurit pengawal
tampak berlari keluar un-
tuk melihat. Apakah sebenarnya
yang tengah terjadi di-
pintu pesanggrahan
Ketumenggungan Itu? Seorang wani-
ta berbaju merah tampak mengotot
masuk ke Pesanggra-
han pada dua penjaga pintu.
"Kami harus melaporkan dulu
pada Kanjeng Tumeng-
gung! Anda tak bisa sembarangan
saja masuk! memben-
tak salah seorang dari penjaga.
"Hihihi... dimanapun aku
berbuat bebas! tak usah pa-
kai laporan segala macam. Aku
adalah sahabat laki-laki
yang tadi bertamu kemari. Aku
tak kan mencari keribu-
tan...!"
"Ya, ya...! tapi kami harus
melaporkan dulu. Dan anda
harus meninggalkan disini
senjata apa saja yang menjadi
milik anda!" Agaknya
penjaga telah mengetahui dan telah
menduga kalau wanita baju merah
itu adalah orang kaum
Rimba Persilatan.
S E M B I L A N
"Suruh dia masuk,
pengawal....!" Terdengar suara dari
dalam ruang pendopo. Dua orang
prajurit yang barusan
keluar untuk mengambil tindakan,
segera menahan diri
mendengar suara sang Tumenggung.
Bahkan Tumeng-
gung Satryo dan Ginanjar telah
berada didepan ruang pe-
sanggrahan.
"Hihihi... apa kataku!
kalian tak perlu khawatir, bu-
kankah Tumenggung kalian pun
telah mengizinkan aku
masuk...?" berkata si
wanita dengan mencibir.
"Huh! silahkan lewat! Tapi
awas. Tapi awas! jangan co-
ba-coba anda membuat keonaran
dimarkas kami!" men-
gancam sang pengawal. Wanita
baju merah ini melangkah
santai tanpa menghiraukan
kata-kata pengawal itu. Dua
orang prajurit yang baru datang
itupun memberi jalan.
Akan tetapi tertegun dia ketika
tahu-tahu mendengar su-
ara tertawa mengikik dihadapannya. "Hihihi... Iblis
Ruyung Emas! ada perlu apakah
kau kemari? Tumeng-
gung dan laki-laki itu sedang
ada urusan denganku! Ku-
kira kau bisa berkunjung kemari
lain waktu saja...!" Seke-
jap wanita ini jadi hentikan
tindakannya. Dan sepasang
matanya membeliak, karena
tahu-tahu dihadapannya te-
lah berdiri sesosok tubuh
semampai. Berpinggang ramp-
ing. Lekuk liku tubuhnya
menandakan bahwa sosok tu-
buh dihadapannya adalah seorang
perawan asli yang
amat cantik luar biasa. Siapa
lagi kalau bukan RORO
CENTIL, sang Pendekar Wanita
Pantai Selatan.
"Hah!?" kka... kau...
nno... nona Pendekar Ro... ro Cen-
til...?" tergagap si Iblis
Ruyung Emas dalam tersentaknya
karena terkejut.
"Benar! sukurlah kalau
sudah tahu!" menyahut Roro.
Sementara Ginanjar jadi berseru
kaget juga bergirang.
"Roro...! Haiih!? kau sudah
berada disini?" teriaknya.
Sedangkan sang Tumenggung Satryo
cuma terperangah
terkejut, juga bercampur girang
dan kagum. Hatinya
membathin. "Ah, Pendekar
perkasa ini sungguh bagaikan
Malaikat saja. Tahu-tahu sudah
berada disini. Dari mana
masuknya?" Adapun si Iblis
Ruyung Emas jadi serba sa-
lah. Dia pernah melihat Roro
Centil, ketika dalam perta-
rungan melawan si Berandal Edan
Mata Satu alias Sura-
jaya beberapa hari yang lalu.
Hatinya agak jerih dengan
sang Pendekar Wanita ini. Apa
lagi kedatangannya adalah
hanya untuk mengejar dan
mendekati Ginanjar. Akhirnya
dengan masygul dia
"ngeloyor" lagi, keluar dari gedung
Ketumenggungan itu.
"Lho? mengapa balik
lagi?" bertanya salah seorang
pengawal penjaga pintu, seraya
memberi jalan. Wanita
baju merah ini cuma mendelikkan
matanya dengan men-
dongkol. Akan tetapi dia tak
lakukan tindakan apa-apa.
Selain bergegas meninggalkan
tempat itu. Entah kalau
tak ada Roro Centil, mungkin si
penjaga itu sudah kena
tamparannya.
"Aku telah menawan tiga
orang prajurit Kadipaten, so-
bat Satryo. Mereka adalah
saksi-saksi nyata yang menge-
tahui perbuatan jahat Adipati Kiduling Kuto.
Adipati itu
memang bekerja sama dengan
seseorang dari tokoh kaum
Rimba Hijau golongan Hitam yang
berjulukan si Laba-
laba Hitam....!" berkata
Roro. Dia telah tuturkan hasil pe-
nyelidikannya ke gedung
Kadipaten dan banyak mengeta-
hui rahasia kejahatan Adipati
Kiduling Kuto, yang dengan
kelicikannya berhasil mengelabui
orang-orang Kerajaan
termasuk Raja. Bagi Roro amatlah
mudah untuk menyeli-
dik keadaan dikediaman Adipati
itu karena Roro memper-
gunakan ajian halimunan, hingga
tak nampak oleh mata
biasa.
Terangguk-angguk Tumenggung
Satryo mendengar pe-
nuturan Roro. Satryo adalah
sudah bersahabat dengan
Roro Centil sejak laki-laki ini
menjabat sebagai seorang
Senapati di Kerajaan MATSYAPATI
yang telah punah.
"Jadi otak dari pencurian
harta benda Kerajaan Mata-
ram itu tak lain dari si
Laba-laba Hitam!" tegaskan Roro
Centil pada Satryo. "Wira
Pati yang bekas Senapati yang
dipecat itu telah dikendalikan
kakek tua sakti dari golon-
gan Hitam itu! Tujuannya adalah
untuk mengangkangi
Tombak Pusaka Ratu Shima, yang
kini berada ditangan-
nya!"
"Wah! kalau begitu tugas
kita kaum Pendekar masih
panjang dan cukup berat! Kita
harus menyelamatkan
benda Pusaka itu yang telah
menjadi milik Kerajaan Ma-
taram..i" berkata Ginanjar.
"Ya, ya..! akan tetapi hal
ini juga menjadi tugas kami
sebagai abdi Kerajaan untuk
merampas kembali benda
pusaka itu!" ujar Satryo.
"Benar! semua ini menjadi
tugas kita, sebagai rakyat
yang berlindung di bawah panji
kebesaran Kerajaan Ma-
taram. Tanpa merebut kembali
benda pusaka itu akan
merusak "citra"
keagungan Kerajaan Mataram. Juga dik-
hawatirkan si Laba-laba Hitam
menyalah gunakan benda
Pusaka itu untuk kepentingan
pribadinya!" ujar Roro
dengan serius.
Akhirnya perundingan itupun
berakhir dengan sing-
kat. Tumenggung Satryo segera
akan mengadukan hal itu
pada Maha Patih Cakra Bhuana,
yang akan meneruskan
pada Raja. Sedangkan Roro dan
Ginanjar segera meminta
diri pada Tumenggung muda itu
untuk meninggalkan Ko-
ta Raja....
Tampaknya kemelut di Kerajaan
Mataram agak mere-
da, dengan ditangkapnya Adipati
Kiduling Kuto. Dan di-
beri hukuman sesuai dengan
kejahatannya. Walaupun
sebenarnya masih dalam ketidak
puasan, karena salah
satu dari benda Pusaka Kerajaan
Mataram belum dikete-
mukan. Yaitu Tombak Pusaka Ratu
Shima, yang menjadi
benda sejarah buat Kerajaan
Mataram. Seperti dikatakan
Roro Centil bukan karena benda
pusaka itu saja yang
menjadi masalahnya. Namun tanpa
diketemukannya
kembali benda Pusaka itu akanlah
merusak "citra" dan
keagungan Kerajaan Mataram.
Seolah tak becus menjaga
pusaka-pusaka Istana. Untuk
itulah, dengan diam-diam
orang-orang Kerajaan dan kaum
pendekar pembela keadi-
lan telah sama-sama melacak
kemana lenyapnya benda
Pusaka itu. Terutama sekali
adalah manusianya yang kini
menguasai Tombak Pusaka Ratu
Shima itu. Yaitu si Laba-
laba Hitam. Karena dikhawatirkan
si manusia dari kaum
Rimba Hijau golongan hitam itu
akan mempergunakan
untuk kepentingan pribadinya.
Hari itu adalah pertengahan
tahun sejak ditangkapnya
Adipati Kiduling Kuto. Cuaca
dalam beberapa bulan yang
telah terlewat itu agak membaik.
Petani menggarap sawah
seperti biasa. Kerbau melenguh
membajak sawah yang
diolah petani. Suara seruling
mengalun merdu disisi-sisi
bukit yang menghijau. Tampaknya
suasana di wilayah
Kerajaan Mataram seolah damai
tenteram.
Marilah kita melihat keatas
puncak sebuah gunung
bernama Argasomala. Seorang
kakek berkulit putih, ber-
jenggot panjang terurai dengan
kumis bagaikan misai
yang putih bagaikan perak.
Tampak duduk disebuah
pondok sederhana. Pondok
satu-satunya yang terpencil
dipuncak Argasomala. Kakek
inilah yang bergelar Ki Ku-
tut Praja Setha. Seorang tokoh
golongan Putih dari kaum
Rimba Hijau yang berilmu tinggi.
Peristiwa menggempar-
kan ketika munculnya sebuah
Kerajaan Setan yang ber-
nama Kerajaan Pugar Alam
ditengah Telaga Berkabut, te-
lah menewaskan banyak
tokoh-tokoh Rimba Hijau golon-
gan Putih. Dalam upaya
menghancurkan Istana Kerajaan
Pugar Alam ditengah Telaga yang
misterius hampir seta-
hun yang silam, dan telah
membuat kakek sakti ini kehi-
langan muridnya.
Ya! murid yang amat dikasihinya
yang bernama Wibi-
sana. Alias si Penunggang Kuda
Setan (baca: Misteri Tela-
ga Berkabut). Kini orang tua
sakti ini tampaknya sudah
enggan berkecimpung di Rimba
Hijau. Dia cuma duduk
untuk bersemadhi di pondok
sederhananya. Menantikan
usia tuanya yang semakin lanjut.
Tak dinyana dalam ketenteraman
itu, ternyata masih
ada manusia jahat yang datang
menyatroni kepuncak Ar-
gasomala yang tenang dan damai
itu.
Sesosok bayangan hitam
berkelebatan menaiki puncak
gunung yang sunyi itu. Sekejap
kemudian, sosok tubuh
itu telah tiba diatas. Dialah si
kakek jubah hitam yang
berjulukan si Laba-laba Hitam.
Ditangannya tampak ter-
cekal sebuah tombak yang juga
berwarna hitam legam.
Itulah Tombak Pusaka Ratu Shima.
Sepasang mata kakek berusia tiga
perempat abad ini
jelalatan memandang tempat
sekitar itu yang sunyi men-
cekam.
Saat mana angin berhembus keras
menerpa jubahnya.
Kakek ini kerutkan keningnya.
Tiba-tiba terdengar suara
pelahan bersuara dengan nada
parau dari dalam pondok
sederhana itu.
"Siapakah yang datang
mengusik ketenanganku? ha-
rap segera perkenalkan
diri..." Tampak sang kakek seperti
terkejut. Akan tetapi kembali
wajahnya berubah dingin
membesi.
"Hehehe... aku si tua Ganda
Rukmo datang berkun-
jung kepondokmu, Pendekar tua
bangka keparat! Lebih
dari lima belas tahun, aku tak
pernah berjumpa dengan-
mu! Tak kulihat ada
Pesanggrahanmu?" menyahut kakek
ini dengan suara menggembor
serak, lantang.
"Heh, tua bangka Edan! kau
masih hidup rupanya?
Hahaha.... pesanggrahanku telah
hancur musnah dibakar
tiga orang muridku yang murtad!
aku membangunnya
kembali dengan mendirikan pondok
buruk ini! Ada apa-
kah kau mencariku? Apakah sudah
setua ini kau masih
juga mau mengejar
keduniawian?" menyahut suara dari
dalam. Dan tahu-tahu Ki Kutut
Praja Setha yang menge-
nakan jubah putih bertambalan
telah muncul didepan
pintu pondok.
"Heheheheh... dugaanmu tak
salah, tua bangka kepa-
rat! aku ingin menjagoi sekolong
langit ini. Kau lihatlah
tombak Pusaka ditanganku ini!
Dengan senjata andalan-
ku ini mustahil kalau kau mampu
bertahan dari sembilan
jurus seranganku! Hehehe
..hehehe..." mengekeh tertawa
si Laba-laba Hitam dengan
jumawa. Tampaknya dia amat
berambisi sekali dengan
cita-citanya yang boleh dibilang
gila itu. Ki Kutut Praja Setha
tampak kerutkan keningnya.
Alisnya bergerak menyatu. Dan
agak tersentak kaget me-
lihat senjata tombak hitam itu.
"Ah!? kalau tak salah
itulah Tombak Pusaka Ratu
Shima. Tombak sakti yang pernah
menggemparkan Rim-
ba Persilatan. Terakhir bukankah
benda pusaka itu telah
dikuasai si Dewa Tengkorak, yang
menurut berita telah
lama tewas...,! Benda pusaka itu
menurut berita beberapa
tahun yang silam telah menjadi
milik Kerajaan Mataram.
Dan dijadikan benda
pusaka..." membathin Ki Kutut Praja
Setha.
"Kau kenal Tombak Pusaka
ini, tua bangka keparat!"
berkata sinis Si Laba-laba
Hitam.
"Ya! aku mengenal. Bukankah
itu Tombak Pusaka Ra-
tu Shima?"
"Heheheh.... benar! matamu
masih jeli juga!"
"Lumayan, sobat tua bangka
gila! Kalau benda pusaka
itu bisa berada ditanganmu.
tentu mudah sekali aku me-
nerkanya. Pasti kau telah
mencurinya dari ruangan ben-
da-benda Pusaka di Istana
Kerajaan Mataram...!"
"Hehehe.... tidak salah!
mengenai urusan itu aku tak
perlu bentangkan padamu!
kedatanganku adalah untuk
meminjam Kitab Pusaka Pulau
Tengkorak Hitam yang
kudengar pernah dimilikimu, juga
tentunya masih berada
ditanganmu! berkata si Laba-laba
Hitam.
"Ganda Rukmo...! tidak
sadarkah bahwa kau sudah
tua bangka dan sudah dekat Uang
kubur? mengapa ma-
sih mengurusi segala macam ilmu?
Haiih! aku telah me-
musnahkan kitab pusaka itu! Aku
tidak lagi memiliki
apa-apa. Kecuali aku sedang
mendekatkan diri pada Yang
Maha Esa..!" menyahut Ki
Kutut Praja Setha.
"Omong kosong! Siapa
percaya ucapanmu! Heh! jauh-
jauh aku datang kemari, aku tak
mau datang dengan per-
cuma! Apakah kau bicara
benar?" membentak dingin si
Laba-laba Hitam yang ternyata
bernama Ganda Rukmo
itu.
"Hm, untuk apa aku
berdusta? Sudahlah, Ganda
Rukmo, kukira sebaiknya kau
mulai menyadari akan apa
yang menjadi ambisimu itu!
Kesaktian takkan ada batas-
nya. Karena diatas langit masih
ada langit. Juga perlu
kau selami apakah hasilmu selama
ini? Apakah cuma me-
lulu mengumbar napsu yang tak
ada batasnya? Tiada ke-
hidupan yang kekal dialam Fana
ini. Kembalikanlah ben-
da pusaka itu kepada Kerajaan
Mataram. Dan kukira
dengan kau kembali kewilayahmu
di Perairan Tenggara,
disana cukup membuat kau
tenteram menghabiskan sisa-
sisa usia tuamu!" Akan
tetapi kata-kata Ki Kutut Praja
Setha telah membuat si Laba-laba
Hitam ini jadi merah
mukanya bagai kepiting direbus.
Bahkan dia amat mera-
sa terhina dengan nasihat baik
bekal sahabat yang sejak
muda memang selalu sering
bertengkar itu.
"Kutut Praja Setha! aku
bukannya bocah kecil yang
kau nasihati sedemikian rupa.
Kau benar-benar amat
menghinaku! Susah payah aku
dapatkan Tombak Pusaka
ini, mengapa harus kukembalikan
lagi ke Istana Kerajaan
Mataram? Sudahlah tak perlu kau
berkhotbah macam-
macam didepanku! Sekali lagi
kukatakan, yang kuperlu-
kan adalah Kitab Pusaka Pulau
Tengkorak Hitam ditan-
ganmu. Aku mau meminjamnya
barang setahun, atau se-
tengah tahunpun cukuplah! Dimana
kau simpan benda
itu?
Merahlah wajah Ki Kutut Praja
Sheta. Akan tetapi ka-
kek jangkung ini masih bisa
menahan diri.
"Ganda Rukmo! seperti
kukatakan tadi, Kitab Pusaka
itu telah kumusnahkan. Sudah
kubakar menjadi abu se-
jak hampir setahun yang lalu!
Apakah kau masih tak
mempercayai?"
"Hm, lima belas tahun kita
tak berjumpa, siapa tahu
kau kini pandai ngibul. Karena
buktinya kau
menasihatiku macam-macam...!
Kalau aku memeriksa
kedalam pondokmu apakah kau
mengizinkan?" berkata
Ganda Rukmo.
"Aku tak pernah dihina
sedemikian rupa oleh seorang
manusiapun, kecuali seorang tua
bangka gila semacam-
mu! Aku sudah tak mencampuri
urusan dunia Rimba Hi-
jau lagi, Ganda Rukmo. Pergilah!
jangan mengganggu ke-
tenteramanku...!"
SEPULUH
"Hehehe ... kecuali kau
mampu menahan sembilan ju-
rus serangan tombakku, barulah
aku menyingkir dari si-
ni. Akan tetapi bila kau tak
sanggup, jangan kau sesalkan
kalau Tombak Pusaka Ratu Shima
ini menghirup darah-
mu! Kecuali kau berikan Kitab
Pusaka Pulau Tengkorak
Hitam ...!" berkata dingin
Ganda Rikmo yang tampaknya
benar-benar tak mempercayai
kata-kata Ki Kutut Praja
Sheta.
"Astaga ...! kau
benar-benar manusia yang keterlaluan,
Ganda Rukmo!" Memaki gusar
Ki Kutut Praja Sheta.
Agaknya kakek ini sudah tak kuat
menahan kesabaran-
nya lagi. Sementara hatinya
memikir. "Heh!? jelas kalau si
Ganda Rukmo ini sukar
diinsyafkan dari jalan sesat! Aku
telah gagal untuk menyingkirkan
diri dari kemelut Rimba
Hijau. Biarlah! kukira inilah
jalan terakhir buat aku turut
membantu menegakkan ketentraman manusia. Karena
sudah dapat
dipastikan si Ganda Rukmo ini akan jadi
momok yang bakal meyebar
kericuhan! Apa lagi dengan
adanya Tombak Pusaka Ratu Shima
ditangannya ...! Ka-
lau aku berhasil menumpasnya
saat ini, aku termasuk
sudah menyelamatkan manusia dari
ancaman kematian.
Juga punya jasa yang kusumbangakan pada Kerajaan
Mataram. Karena aku yakin dia
pasti menjadi buronan
Kerajaan Mataram, dengan mencuri
benda Pusaka Kera-
jaan itu...!"
Berpikir demikian Ki Kutut Praja
Sheta, diam-diam
kumpulkan kekuatannya lahir bathin untuk siap meng-
hadapi segala kemungkinan. Jelas pertarungan takkan
dapat terhindar lagi. Dan Ki
Kutut Praja Sheta telah siap
untuk menyambungkan nyawa. Nyawa
tuanya, yang ma-
sih cukup berharga. Melihat
pendekar tua itu telah siap
dengan kuda-kudanya, Ganda Rukmo
tertawa sinis. Dia
yang sejak tadi telah siap diri
untuk bertarung, tak ayal
segera mulai membuka serangan.
"Hehehe ... kau jaga
serangan pembukaanku! Hati-hati
dengan mata tombak Pusaka ini.
Ujungnya telah kuren-
dam dengan racun!"
Memperingati Ganda Rukmo.
WHUUT! WHUUT! WHUUT ... .
Serangkaian serangan
hebat telah dilancarkan. Senjata
Tombak Pusaka itu syi-
urkan hawa dingin yang menembus
tulang. Meluncur ke-
tiga jalan darah kematian Ki
Kutut Praja Setha ...
Serangan beruntun ini cukup
membuat si kakek yang
pernah berjulukan si Pendekar
Pedang kayu ini agak ter-
kesiap. karena hawa racun yang bersyiur terasa menye-
sakkan pernapasannya.
Namun sebagai jago kelas tinggi
yang pernah meng-
gemparkan Rimba Persilatan, Ki
Kutut Praja Sheta dapat
mematahkan serangan-serangan
ganas itu. Jurus-jurus
mengelakkan diri yang
dipergunakan serta hawa murni
yang telah dihimpun disekujur
kulit tubuh, mampu me-
nahan rembesan hawa racun dari
Tombak Pusaka Ratu
Shima. Bahkan kakek kosen ini
balas lakukan serangan
menghantam dengan tasbih
hijaunya. Sejak mengasing-
kan diri dari kemelut Rimba
hijau kakek ini memang tak
pernah ketinggalan dengan
untaian tasbih ditangannya.
Si laba-laba Hitam ini agak
tersentak kaget, karena
ternyata tasbih dari batu giok
itu mampu mengusir hawa
racun dari mata tombaknya.
Bahkan kakek tua renta itu
masih punya kelincahan untuk
menghindari serangan-
serangannya.
"Hehehe... ternyata kau
masih punya senjata andalan,
tua bangka keparat! Kemana
Pedang Kayumu? mengapa
tak kau pergunakan?"
berkata sinis Ganda Rukmo. Den-
gan satu sontekan mata
pedangnya, serangan tasbih hi-
jau telah ditarik kembali oleh
Ki Kutut Praja Sheta.
Kini Tombak Ratu Shima mulai
dimainkan dengan ju-
rus-jurus berikutnya. Hawa racun
semakin menggebu
menyambar ke arah Ki Kutut Praja
Setha karena dibaren-
gi dengan tiupan ke arah kakek
itu. Sementara serangan-
serangan mendadak dari tombak
semakin gencar menga-
rah leher dan setiap kulit tubuh
lawan.
Melihat serangan Ganda Rukmo
semakin hebat, ter-
paksa kakek puncak Argasomala
ini segera robah gera-
kannya. Dan mainkan jurus-jurus
dari Kitab Pusaka Pu-
lau Tengkorak Hitam.
Kini dari tubuh kakek ini keluar
uap putih. Serangan
tasbihnya menindih serangan
lawan. Akan tetapi kelema-
han si kakek jangkung ini adalah
dia tak mau mengada-
kan benturan tasbih hijaunya
dengan mata tombak la-
wan. Dia masih sangsi apakah
tasbihnya mampu meng-
hadapi Tombak Pusaka Ratu Shima
itu.
Hal mana adalah amat menguntungkan
si Laba-laba
Hitam. Kini jurus keempat mulai
dilancarkan. kekuatan
tenaga dalam yang disalurkan
semakin diperhebat mem-
buat sambaran tombak semakin
menggiriskan hati. Hawa
racun seperti menempel dikulit
tubuh kakek ini.
Sayang, Ganda Rukmo tak
mengetahui kalau Ki Kutut
Praja Sheta banyak punya jurus
lain yang luar biasa. Tu-
buhnya mendadak melesat keudara.
Lengannya meng-
hantam batok kepala lawan,
ketika sekonyong-konyong
menukik lagi. BHLARR!
Tanah menyemburat keudara. Debu
mengepul. Rant-
ing dan semak terbongkar.
Hantaman pukulan mematikan itu
nyaris membuat
batok kepala Ganda Rukmo hancur
remuk, kalau dia tak
cepat jatuhkan tubuh
bergulingan.
Sementara tangannya meraih benda
yang selalu terse-
lip dibalik jubahnya.
Dan ... dibantingkan benda itu
kedepan Ki Kutut Praja
Sheta yang telah kembali
meluncur untuk lakukan han-
taman keduanya. BHUSSS!
Asap hitam mengepul. Dan
tubuhnya lenyap terbung-
kus. Kakek puncak Argasomala
kertak gigi dengan gusar.
Dia tahu kalau Ganda Rukmo telah
mulai main licik.
Benar saja! tahu ditempat itu
telah muncul seekor La-
ba-laba Raksasa. Terperangah Ki
Kutut Praja Sheta. Ka-
rena dia tak menyangka kalau
Ganda Rukmo telah memi-
liki ilmu sihir hitam sedemikian
rupa.
Namun cuma sekejap dia terkejut.
Segera melompat
mundur.
Akan tetapi saat itu Ganda Rukmo
telah berada dibe-
lakangnya. Dalam keadaan tubuh
tak terlihat. karena dia
mempergunakan ajian Halimun.
Tombak Pusaka Ratu
Shima telah dilancarkan dengan
kecepatan kilat.
Dan ... Bless!
Tersentak kaget kakek tua ini.
Matanya membeliak ka-
rena terkejut. Sadarlah dia
kalau telah kena bokongan
lawan. Namun terlambat sudah!
kakek ini balikkan tu-
buh. Sementara tombak itu telah
kembali disentakkan si
pemiliknya.
Darah menyemburat. Memancur dari
luka di punggung
yang telah menembus sampai ke
dada.
"Iblis pengecut! kau ...
kau..."
Wajah kakek ini tampak membesi.
Betapa geram dia
terhadap Ganda Rukmo sukar
dibayangkan. Lengannya
mengepal mencengkeram tasbih
hijau ditangannya hingga
berderak hancur. Dan, dengan
kekuatan terakhir dia ge-
rakkan tangannnya melontarkan
hancuran tasbih itu
dengan kecepatan kilat.
Terdengar jeritan parau si
Laba-laba Hitam dihada-
pannya, yang seketika
menampakkan dirinya lagi. Apa-
kah yang terjadi?
Ternyata kakek tua berjubah
hitam itu tengah ter-
huyung menutupi kedua matanya,
yang mengalirkan da-
rah.
Meraung-raung Ganda Rukmo dengan
berloncatan tak
tentu arahnya. Sementara si
makhluk ciptaan berbentuk
Laba-laba Raksasa itu sekejap
telah lenyap lagi karena
tiada lagi pengaruh dari si
kakek itu. Sedangkan Ki Kutut
Praja Sheta tak dapat
mempertahankan diri lagi. Seketika
tubuhnya ambruk kebumi.
Setelah beberapa kali
menggeliat. Kakek perkasa itu-
pun lepaskan nyawanya dengan
kulit tubuh berubah hi-
tam. Darah yang juga berwarna
hitam menggelogok dari
lukanya. Ternyata dia telah
terkena racun yang teramat
hebat, disamping luka parah yang
tak memungkinkan
baginya untuk bisa hidup.
Sementara itu Ganda Rukmo masih
meraung-raung
menekap wajahnya. Ternyata
sepasang matanya telah bu-
ta, tak dapat dipergunakan lagi.
Tertatih-tatih dia me-
rayap kesana kemari. Tangannya
menggapai mencari
tombak Pusaka Rati Shima yang
terlepas dari tangannya.
Keadaannya sungguh amat
mengharukan.
Sayang! dia tak tahu lagi dimana
adanya benda itu.
Bahkan kakinya melangkah
mendekati pondok dipuncak
Argasomala itu. Pondok Ki Kutut
Praja Sheta yang me-
mang tak jauh dari tempatnya
bertarung.
Saat itu sesosok tubuhnya
bertopeng hitam berkelebat
ketempat itu. Gerakannya amat
ringan. Cepat sekali len-
gannya menyambar Tombak Pusaka
Ratu Shima yang
tergeletak ditanah. Detik
selanjutnya sudah melesat lagi
dari atas puncak gunung itu. Dan
lenyap dalam sekejap.
Dua sosok tubuh terlihat pula
bermunculan ditempat
itu. Akan tetapi cuma sekejap.
Karena segera salah seo-
rang berteriak.
"Cepat kejar! Kita keduluan
orang ...!"
Dan dua sosok tubuh itu
berkelebatan menuruni pun-
cak Argasomala, mengejar sosok
tubuh yang telah lebih
dulu menyambar benda pusaka itu.
Tersentak si Laba-laba Hitam
ini. Dengan menggerung
keras lengannya menghantam
kedepan seraya memben-
tak.
"Manusia-manusia keparat!
kalian telah mencuri Tom-
bak Pusakaku...?" BLARRRR!
Puncak bukit itu bagaikan
dilanda lautan prahara
yang seketika membuat
balang-batang pohon berderak
patah. Semak menyibak, dan
menghambur beserpihan.
Akan tetapi sosok-sosok tubuh
tadi lelah lenyap dari
puncak gunung itu.
"Manusia-manusia keparat!
kembalikan Tombak Pusa-
kaku...! menggembor keras si
kakek ini. Tiba-tiba tubuh-
nya melesat kedepan. Lengannya
bergerak menghantam
kesana-kemari. Keadaan disekitar
tempat itu jadi rusak
binasa diamuk kakek yang kalap
ini. Bahkan pondok Ki
Kutut Praja Shetapun rusak
binasa.
Keadaan Ganda Rukmo tak lebih
bagaikan manusia
setan yang mengerikan. Dengan
wajah penuh mengalir-
kan darah. Mulut meyeringai.
mengamuk menghantam
apa saja disekelilingnya.
Rasa jengkel membuat dia
mengumbar kemarahan se-
jadi-jadinya.
Akhirnya dia keprak kepalanya
sendiri dengan kedua
lengannya. Menjerit parau kakek
yang telah kehilangan
akal warasnya ini. Suara
berderak keras terdengar. Kakek
itu roboh ketanah dengan batok
kepala hancur. Dan te-
was seketika. Sesaat puncak
Argasomala dicekam kesu-
nyian. Sungguh satu pemandangan
yang menyedihkan,
karena sekejap saja puncak yang
bersih, aman, tenang
dan damai itu kini bagaikan baru
saja dilanda badai tau-
fan yang mengamuk.
Dua mayat terkapar ditempat itu.
Manusia-manusia dijagat ini
memang aneh!
Dunia Rimba Hijau juga aneh!
Angin utara bertiup sepoi
membauri puncak Argaso-
mala dengan bau anyirnya darah.
Ternyata pula Tombak
Pusaka Ratu Shima telah menjadi
penyebab penghantar
nyawa dua manusia dipuncak
gunung yang sunyi itu.
Sementara Matahari agak meredup,
ketika awan hitam
melintas.
Puncak Argasomala semakin
lengang...! Teramat len-
gang...
S E B E L A S
SESOSOK TUBUH berkelebat tiba
dipuncak gunung
yang sunyi itu. Ternyata seorang
gadis muda yang berwa-
jah rupawan. Dipunggungnya
tampak terselip sebuah se-
ruling. Dialah si Seruling
Gading adanya. Gadis yang
mengenakan baju warna ungu ini
tampak tatapkan ma-
tanya memandang kesekitar tempat
itu. Dan terbenturlah
pada sosok tubuh yang telah
terkapar jadi mayat itu. Wa-
jahnya menampakkan terkejut.
Lalu melompat ringan
menghampiri mayat Ki Kutut Praja
Setha. Kemudian me-
lompat lagi untuk melihat mayat
satunya lagi. Sepasang
matanya semakin membelalak.
Mulutnya ternganga. Dan
...
"Guru...!?" Terdengar
suaranya tersendat dikerongkon-
gan. Seketika dia telah duduk
bersimpuh dihadapan je-
nasah kakek tua itu.
"Guru...! Ah, tak dinyana
kau akan tewas! Kalian pasti
bertarung hebat. Kau pernah
menyelamatkan nyawaku,
Guru...! Aku belum dapat
membalas budimu, kau telah
berangkat terlebih dulu..."
Terdengar suara gadis itu
menggumam lirih. Dan setitik air
bening tersembul dis-
udut matanya. Lama dia tercenung
menundukkan kepala.
Tapi tak lama kemudian tampak
dara ini bangkit berdiri.
Mengusap air matanya.
"Sudahlah, adik manis..!
mengapa harus menangisi
orang yang sudah tiada?
Pandanganlah kedepan! Ta-
tapkan matamu kehari esok yang
lebih baik! Dunia ini
cuma sandiwara! Agaknya takdir
sudah mengharuskan
gurumu itu mati membunuh
diri!" satu suara halus tiba-
tiba terdengar dibelakangnya,
Gadis ini menoleh. Dan ter-
tegun dia karena telah melihat
siapa adanya yang berdiri
menatapnya."
"Kakak Pendekar Roro
Centil...!?" Ah, sejak kapan kau
kemari?"
"Hihihihi ... sejak terjadi
pertarungan kedua jago tua
ini. Akan tetapi aku terlambat
datang. Ki Kutut Praja She-
ta telah terkena hunjaman tombak
pusaka Ratu Shima
ditangan gurumu. Dan belakangan
aku melihat dia men-
gamuk hebat karena kedua matanya
terluka terkena
sambitan tasbih Ki Kutut Praja
Sheta. Seseorang lelah
menyambar Tombak Pusaka Ratu
Shima yang menggele-
tak ditanah, lalu melarikan
diri. Saat aku mau mengejar,
dua sosok tubuh muncul lagi, dan
mengejar orang yang
melarikan benda pusaka itu. Aku
segera memburunya.
sayang, pencuri itu tak ketahuan
kemana rimbahnya. Ke-
tika aku sedang melacak
jejaknya, kudengar suara gaduh
dipuncak gunung ini, Kudapati
gurumu tengah menga-
muk, Dan akhirnya dia membunuh
diri dengan menghan-
tam kepalanya dengan kedua
tangannya..!" tutur Roro.
"Dia adalah orang yang
telah menyelamatkan nyawa-
ku, kakak Pendekar
Roro...!" ujar Seruling Gading dengan
masygul,
"Yah, kau memang berhutang
budi padanya. Akan te-
tapi gurumu ini adalah orang
buronan Kerajaan Mataram!
Tentu saja penjelasan Roro itu
membuat di gadis ter-
sentak kaget,
"Sudahlah! nanti aku
ceritakan hal-ikhwalnya. Kita ba-
ru berjumpa lagi sejak kejadian
di CIPATUJAH, adik yang
baik! Banyak hal yang akan
kutanyakan padamu. Juga
tentunya aku akan ceritakan
mengenai suaminya SAMBU
RUCl ,..!" Ujar Roro yang
segera bicara sebelum Seruling
Gading banyak ajukan pertanyaan.
"Marilah kita semayamkan
kedua jenazah ini ...!" sam-
bung Roro dengan cepat.
"Oh baik, baik...! girang
sekali aku berjumpa dengan
anda kakak Pendekar
Roro..." sahut Seru ling Gading
dengan amat hormat. Dia memang
amat menyegani pada
Roro. Apalagi mengingat akan
nasib Sambu Ruci, ingin
sekali dia mendengar beritanya.
Seperti pernah dikisahkan pada
judul: Duel dan Keme-
lut di Cipatujah; Seruling
Gading telah menikah dengan
Sambu Ruci alias si Bujang Nan
Elok atau si Pendekar
Selat Karimata. Akan tetapi
adanya kemelut di Cipatujah
membuat pernikahan mereka yang
telah sempat diresmi-
kan itu jadi berantakan karena
ulah dari ayah angkatnya
sendiri.
Demikianlah, mereka segera
menggali lubang untuk
penguburan kedua jenazah. Selang
tak lama kedua jena-
zah mulai ditimbun. Dan
menjelang gelincir matahari pe-
kerjaan itupun selesai sudah. Roro mengajak Seruling
Gading untuk segera meninggalkan
tempat itu. Ditepi
sungai mereka berhenti. Setelah
mandi, kedua dara itu
tampak duduk saling berhadapan
di bawah sebatang po-
hon. Sambil mengeringkan
rambut, Roro mulai bercerita
mengenai kejadian di Kota Raja.
Mengisahkan semua ke-
jadian di Kota Raja. Mengisahkan
semua kejadian dari
awal hingga akhir. Sementara
Seruling Gading menden-
garkan dengan serius. Kini
giliran Seruling Gadinglah
yang harus bercerita pada Roro.
Begitulah. Dara itu segera
cerita kejadian, sejak dia lo-
loskan diri dari sekapan ayah
angkatnya di Pesanggrahan
Cipatujah, yang ternyata
dikuntit oleh dua orang murid
sang ayah angkat. Terjadilah
pertarungan, karena Serul-
ing Gading mau diperkosa oleh
kedua manusia brutal itu.
Dalam pertarungan itu
seseorang yang tak diketahuinya
diam-diam telah membantunya
bertarung. Hingga kedua
murid ayah angkatnya tewas. Sayang
dia tak mengetahui
siapa yang telah menolongnya.
Namun Seruling Gading
telah putus asa. Dalam keadaan
tubuh lemah lunglai dia
menerjunkan diri dari atas
tebing curam, dimana diba-
wahnya terbentang jurang yang
dalam. Dia tak tahu apa-
apa lagi. Tapi ketika tersadar
dia telah dapatkan dirinya
disebuah ruangan goa yang
bersih. Dan seorang kakek te-
lah menungguinya. kakek itulah
yang Ganda Rukmo alias
si Laba-laba Hitam yang telah
menyelamatkan jiwanya.
Dan Seruling Gading telah mengangkat
guru padanya.
Roro manggut-manggut
mendengarkan dengan penuh
perhatian. Lalu menghela napas.
Ujarnya; "Sungguh pri-
hatin aku mendengar kisahmu,
adikku...! Akan tetapi
ayah angkatmu telah mendapat
ganjaran yang setimpal
dengan perbuatannya!"
Matahari semakin menggelincir
pertanda sebentar lagi
akan menjelang senja. Menampak
demikian, dan setelah
agak lama bercakap-cakap,
Seruling Gading berkata.
"Kakak Pendekar Roro
Centil. Sebenarnya aku masih
rindu dengan pertemuan kita.
Akan tetapi dengan sangat
terpaksa aku mohon diri. Aku
akan berusaha membantu
anda untuk mendapatkan lagi
Tombak Pusaka itu dan
menyerahkan ke Istana Kerajaan
Mataram ...!"
"Aiihh, sukurlah kalau kau
mau membantu. Akan te-
tapi mengapa tampaknya kau
terburu-buru? Bukankah
kau masih rindu? Dan ... apakah
tak ada hasratmu un-
tuk mencari Sambu Ruci? Kasihan
dia! Dia amat bersu-
sah hati memikirkan
nasibmu!" berkata Roro. Seruling
gading tundukkan wajahnya.
Tampak tersirat perasaan
sedih yang sukar dilukiskan. Dan
dara ini tengah berusa-
ha menahan perasaannya.
"Kelak pasti aku akan
mencarinya...! menyahut Serul-
ing gading dengan suara lirih.
Akan tetapi hatinya mem-
bathin. "Tidak! tak ada
muka lagi aku untuk bertemu
dengannya. Apalagi mencarinya!
aku merasa malu ...! Aku
sudah tak perlu diharapkan lagi.
Karena aku telah terno-
da ...!"
"Hm, sukurlah kalau begitu,
Kelak bila berjumpa aku
akan memberi khabar padanya
kalau kau dalam keadaan
sehat-sehat saja. Dimanakah kau
bertempat tinggal?"
tanya Roro, seraya turut bangkit
berdiri mengikuti Serul-
ing Gading.
"Ah, sayang sekali, kakak
Pendekar Roro. Aku tak
punya tempat tinggal, Goa tempat
bernaungku selama ini
mungkin segera akan
kutinggalkan. Seperti juga kakak
tentunya, aku akan mengembara,
Menurutkan kemana
langkah kakiku ini..."
sahut Seruling Gading dengan sen-
du.
"Baiklah! kalau begitu.
Semoga Yang Maha Agung sela-
lu melindungimu dalam
perjalanan, dan dimana saja! Se-
lamat jalan, adikku ...!"
ujar Roro Centil. Seraya kemu-
dian ulurkan lengannya untuk
menjabat tangan Seruling
Gading. Dara ini menyambutnya.
Bahkan segera meme-
luk sang Pendekar wanita ini
dengan linangan air mata.
"Selamat tinggal kakak
Pendekar Roro ...! Kalau masih
ada usia semoga kita bisa jumpa
lagi ...!"
"Tentu tentu, adikku hihihi
... dan semoga kalian bisa
cepat bertemu...!" ujar
Roro sambil tertawa kecil. Seruling
Gading tersenyum tawar dan
manggut-manggut. "Ya,
do'akanlah, kak ...!" sahut
dara ini. Bibirnya tersenyum
tetapi hatinya menangis.
Tak lama Seruling Gading segera
mohon diri. Lalu be-
ranjak meninggalkan Roro yang
masih tercenung meman-
dangnya. Sikap dan rona diwajah
dara itu tak dapat men-
gelabui hati Roro. Dia tahu
Seruling Gading menyembu-
nyikan kesedihan hatinya
diantara senyumnya. Setelah
beberapa kali berkelebat, tubuh
Seruling segera lenyap
dibalik tikungan jalan disisi
sungai itu,
"Aiih, pengantin baru yang
malang..." mengguman Ro-
ro dengan hati trenyuh, lalu
diapun berkelebat dari situ...
Akan tetapi baru beberapa saat
berlari, Roro kembali
merandek hentikan langkahnya.
Lalu berkelebat kebalik
semak. Dua orang laki-laki
berpakaian serba singsat ber-
jalan cepat menyusuri jalan
setapak disisi hutan itu.
"Kulihat jelas dia seorang
perempuan berbaju merah!
Akan tetapi heran? Mengapa cepat
sekali dia berlari
menghilangkan...?" berkata
salah seorang.
"Heh! Dunia Rimba Hijau ini
penuh dengan orang-
orang sakti, Guntar! Kini tombak
Pusaka Ratu Shima te-
lah berganti majikan!"
menyahut kawannya. Tersentak
Roro, karena segera teringat dia
akan kejadian dipuncak
Argasomala. Dua orang itu adalah
si pengejar sosok tu-
buh baju merah yang berkelebat
duluan menyambar
Tombak Pusaka Ratu Shima.
Tanpa mengetahui Roro Centil
yang bersembunyi, me-
reka terus lewat sambil
bercakap-cakap tiada henti. Dan
menyesali mengapa kurang cepat
mereka menyambar
benda pusaka yang tergeletak
itu.
Roro Centil tertegun sejenak. "Siapakah kedua
orang
itu? apakah dia golongan
Pendekar ataukah kaum golon-
gan hitam yang mencari
kesempatan untuk mengangkan-
gi Tombak Pusaka?" berkata
Roro dalam hati.
Akan tetapi Roro tak bertindak
apa-apa. Segera dia
bangkit berdiri. Dan teruskan
berlari cepat. Hari telah
menjelang senja. Roro perlukan
tempat bermalam. Tentu
saja besok dia harus bekerja
keras meneruskan lacakan-
nya mencari si baju merah yang
melarikan tombak Pusa-
ka itu.
Dalam berlari-lari cepat itu
diam-diam hatinya me-
nyentak kaget ketika teringat
akan pembicaraan kedua
laki-laki tadi.
"Eh, kalau sipenyambar
benda pusaka itu seorang pe-
rempuan, aku memang melihat.
Tapi... hm, ya! Ya ...! je-
las kuingat kini. Sosok tubuh
itu tak beda dengan pera-
wakan si Iblis Ruyung Emas!
Kalau benar dia, tak sukar
mencarinya..." pikir Roro.
Dan tersenyum dalam larinya.
Sekejap dia sudah melesat cepat
sekali. Dan sebentar saja
tubuhnya lenyap dikeremangan
senja yang semakin te-
maram.
DUA BELAS
Sementara disaat kepergian Roro
Centil sesosok tubuh
muncul dari ujung jalan. Tepat
pada ujung jalan yang
bakal dilalui kedua laki-laki
pencari Tombak Pusaka Ratu
Shima.
Sosok tubuh ini sungguh sukar
untuk dibayangkan,
karena ternyata sesosok tubuh
wanita yang tak mengena-
kan selembar pakaianpun pada
tubuhnya. Tentu saja ke-
dua laki-laki itu jadi melengak
melihat tahu-tahu dihada-
pannya muncul sesosok tubuh
wanita dalam keadaan
membugil.
"Hah..? Sssi... siapakah
kka...kau...?" tergagap seorang
dari dua laki-laki itu. Keduanya
menatap dengan mata
membelakak. Belum lagi mereka
tersadar, kedua laki-laki
itu rasakan angin berkesyiur
menerpa tubuhnya. Teren-
duslah bau harum semerbak.
Seketika kedua laki-laki ini
jadi terpana. Dan belum lagi
mereka sempat berbuat se-
suatu, keduanya perdengarkan
keluhan. Karena yang me-
reka rasakan adalah mata mereka
berkunang-kunang.
Pandangannya memutar. Serta
kepala terasa pening. Te-
rakhir, kedua laki-laki itu
jatuh menggeloso tak ingat apa-
apa lagi.
"Hihihi...hihi.. ternyata
kalian adalah para pendekar
picisan. Akan tetapi kalian adalah
laki-laki bertubuh ke-
kar yang menggairahkan! Malam
ini kalian harus mene-
mani aku tidur. Kalian sungguh
bernasib mujur, laki-laki
gagah...!" berbisik wanita
bugil itu. Sepasang matanya
membinar memandang kedua tubuh
yang menggeletak
pingsan dihadapannya. Dilain
kejap dan sungguh diluar
dugaan, kalau wanita bertubuh
semampai itu mampu
mengangkat kedua tubuh laki-laki
itu sekaligus pada ke-
dua pundaknya. Dan detik
selanjutnya dia telah memba-
wanya berkelebat dari tempat
itu.
Dalam keremangan cahaya rembulan
itu, terjadilah sa-
tu pemandangan yang menjijikkan.
Karena kedua laki-
laki itu bagaikan dua buah robot
manusia yang telah di-
kendalikan otaknya. Tampak
menggeluti tubuh perem-
puan bugil itu silih berganti
dengan napsu birahi yang
menggelora. Suara dengus napas
dan rintihan nikmat da-
ri manusia-manusia yang dimabuk
asmara gila itu ter-
dengar dalam desah-desahnya
angin malam....
Malam semakin melarut...
Dua tubuh laki-laki itu dalam
keadaan membugil ter-
kapar menggeletak diatas
rerumputan dilereng bukit. Ke-
duanya telah mendengkur pulas
tak ingat apa-apa lagi.
Bahkan mungkin tengah bermimpi
melayang ke angkasa.
Dari balik semak perempuan itu
muncul lagi, dan baru
saja mengenakan pakaiannya Ya!
siapa lagi perempuan
itu kalau bukan si iblis Ruyung
Emas! Tak lama si wanita
cantik ini telah melompat keluar
mendekati kedua laki-
laki yang terkapar itu.
Ditangannya tercekal sebatang
tombak. Itulah Tombak Pusaka
Ratu Shima.
"Hihihi... malam ini
terlampias sudah hasratku. Aku
benar-benar amat puas!"
mendesis suara wanita ini. Bi-
birnya nampak menyunggingkan
senyuman. Lalu setelah
memandang kebawah bukit, kakinya
beranjak untuk me-
ninggalkan tempat itu. Akan
tetapi tiba-tiba dia meran-
dek. Kembali dia menoleh pada
kedua laki-laki yang ma-
sih mendengkur pulas itu.
Lengannya bergerak kebalik baju merahnya. Dan...
Serrr! belasan jarum meluruk
deras ke arah kedua laki-
laki bugil itu
Tampak kedua laki-laki itu
tersentak kaget seperti di-
gigit kala. Tapi sekejap setelah
menggeliat, keduanya
kembali terkulai. Kali ini untuk
terus tidur selamanya.
Karena nyawanya seketika
langsung melayang...
Kemudian dengan mengikik tertawa
si Iblis Ruyung
Emas segera berkelebat
meninggalkan tempat itu.
Malam itu Ginanjar tak dapat
memicingkan matanya di
ruangan Pendopo Kedipatian yang
telah kosong, bekas
tempat kediaman Adipati Kiduling
Kuto yang telah dipen-
jarakan. Sampai saat ini
ternyata belum terisi lagi. Belum
ada pengganti Adipati Kiduling Kuto.
Hingga sampai saat
ini jabatan Adipati di wilayah
itu masih kosong. Karena
tetap tak dapat memicingkan
matanya, akhirnya Ginanjar
bangkit untuk duduk, disisi
pembaringan. Sementara pi-
kirannya menerawang jauh. Sampai
saat ini Ginanjar
agak aneh dengan sikap Roro
Centil. Sejak lebih dari tiga
bulan yang lalu dia tinggal
menetap di Kedipatian itu. Gi-
nanjar layaknya bagaikan putera
mahkota saja, karena
segala Keperluannya dicukupi
oleh para pembantu di Ka-
dipatian itu. Pengawal-pengawal
Kadipaten masih tetap
berjaga seperti biasa.
Dia masih ingat pesan Roro
Centil agar tak meninggal-
kan Kedipatian sebelum ada
perintah dari Raja Mataram
yang akan disampaikan oleh
Tumenggung Satryo. Walau-
pun Ginanjar dapat berbuat bebas
untuk keluar masuk
dari pintu gerbang Kedipatian,
akan tetapi lama-lama di-
rasakan bosan juga. Entah apa
maksudnya dia disuruh
menunggu gedung Kedipatian itu,
sementara Roro Centil
jarang menampakkan diri.
Tiba-tiba Ginanjar teringat akan
pertemuan dua hari
yang lalu ketika dia tengah
keluar dari Gedung Kedipa-
tian. Dia berjumpa dengan
seorang wanita baju merah
yang tak lain dari si Iblis
Ruyung Emas. Mengingat demi-
kian, pemuda ini
menggumam." Haiih perempuan itu se-
lalu saja menguntitku...!
tampaknya dia selalu mengejar-
ngejar aku...! Wah, gawat kalau
dia jatuh cinta padaku!
aku sudah berjanji takkan main
perempuan lagi. Roro
yang kugandrungi setengah mati
ternyata sulit diduga isi
hatinya. Entah, apakah dia
diam-diam mengujiku, atau-
kah memang tak ada secuilpun
perasaannya terhadap.!.?"
Termangu-mangu pemuda ini sambil
meremas ram-
butnya. Akhirnya dia beranjak
mendekati jendela. Dibu-
kanya jendela kamar tidurnya
untuk melihat keluar. Kea-
daan diluar sunyi mencekam. dua
orang penjaga masih
tetap berjaga menjalankan
tugasnya didepan pintu ger-
bang Kedipatian. Terlihat
berdiri mematung. Tiba-tiba dia
mengendus bau harum semerbak.
"Aiii, wangi benar. Pas-
ti bau wangi bunga disamping
gedung yang terbawa an-
gin..." berkata Ginanjar
dalam hati. Akan tetapi seko-
nyong-konyong dia rasakan
kepalanya pening. Pandangan
matanya memutar. "Ah, aku
harus cepat tidur! Selama ini
aku kurang tidur setiap
malam..." berdesis Ginanjar se-
raya memijit keningnya.
Dihempaskannya tubuhnya ke-
pembaringan. Agak lama dia
berbaring, tiba-tiba tersen-
tak pemuda ini karena merasa ada
sesuatu yang kurang
beres. "Heh! jangan-jangan
bau harum itu baru obat bius.
Celaka aku kalau ada yang
sengaja mau mengerjaiku...!
Dan jangan-jangan kedua penjaga
itu telah ditotok
orang..!" sentaknya dalam
hati. Cepat-cepat dia kerahkan
kekuatan tenaga dalamnya
untuk salurkan hawa murni
kesekujur tubuh. Dicobanya
melawan kekuatan hawa
mengantuk yang luar biasa itu.
Dia yakin kalau itu bukan
mengantuk sewajarnya.
Saat mana tiba-tiba pintu kamar
yang tak terkunci itu
berderit terbuka. Dan sesosok
tubuh memasuki pintu
kamarnya. Sosok tubuh wanita.
"Roro...? kaukah
itu...?" tanya Ginanjar tersentak. Ma-
tanya menatap wajah orang.
Karena pandangannya ten-
gah berputar akibat hawa aneh
yang membuat mata
mengantuk itu, hingga dia perlu
membeliakkan matanya
lebar-lebar.
"Hihihi... aku yang datang
Dewa Linglung.." menyahut
wanita itu. Tentu saja membuat
Ginanjar terlonjak kaget.
Segera dia bangkit untuk duduk.
"Kau... kkau.. si Ruyung
Emas...?" tergagap Ginanjar
seraya mengucak-ucak matanya.
"Hihihi... benar, aku si
Ruyung Emas, kekasihku..."
ucapnya. Suaranya tergetar
seperti mengandung hawa cinta
berahi yang menggebu.
Tiba-tiba lengan wanita itu
mengibas. Dan bersyiurlah
bau harum yang lebih semerbak.
Tersentak Ginanjar.
Cuping hidungnya kembang kempis
terendus bau wangi
itu. Akan tetapi kali ini
tergetar hatinya, karena sekejap
hawa birahi telah menimbulkan
rangsangan hebat. Mem-
buat tubuh Ginanjar jadi
bergetar dan dada bergemuruh,
Apa lagi wanita dihadapannya
mulai membuka pakaian-
nya. Sementara sepasang matanya
tak berkedip menatap
Ginanjar. Bibirnya
berkemak-kemik membaca mantera.
Wanita ini tengah salurkan
kekuatan ilmu hitamnya un-
tuk menundukkan hati si pemuda.
Berkali-kali Ginanjar meneguk
air liurnya. Hawa rang-
sangan yang hebat telah
mempengaruhi sirkuit otaknya
untuk menuruti kata-kata wanita
itu.
"Dewa Linglung...! ayolah,
kekasihku...! aku amat
mendambakanmu! aku mencintaimu
setengah mati. Aku
kedinginan malam ini...!
peluklah aku. Dekaplah diriku,
kekasihku yang tampan..."
berkata si Iblis Ruyung Emas
dengan mengeluarkan bisikan
ketelinga Ginanjar. Tu-
buhnya telah beranjak semakin
mendekat. Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara
sesuatu yang terhempas
pecah diruangan depan pendopo.
Tersentak wanita ini.
Dan seketika mencabut lagi
kekuatan ilmu hitamnya yang
telah dipergunakan mempengaruhi Ginanjar.
"Tombak-
ku...?" desis wanita ini
seperti tersentak." Agaknya dia te-
ringat pada Tombak Pusaka Ratu
Shima yang disandar-
kan di dinding diluar pintu
kamar.
Sementara itu sesosok tubuh
ramping baru saja berke-
lebat melompat dari atas tembok.
Karena kurang hati-hati
kakinya menyentuh pot bunga yang
tergantung hingga ja-
tuh pecah kelantai. Namun tanpa
memperdulikan dengan
cepat dia berkelebat kedepan
pintu kamar. Sepasang ma-
tanya tertuju pada Tombak Pusaka
Ratu Shima yang ter-
sandar didinding.
Sayang dia terlambat. Karena
dengan cepat si Iblis
Ruyung Emas telah melompat
keluar untuk menyambar
terlebih dulu tombak pusaka itu.
"Heh?" tersentak sosok
tubuh itu. Namun dengan ge-
rakan cepat dia lancarkan
serangan menghantam wanita
telanjang bulat itu. Mulutnya
membentak nyaring.
"Lepaskan benda itu!"
Dan... WHUUUK! benda yang
panjangnya hampir tiga jengkal
itu bergerak menghantam
ke arah kepala si Iblis Ruyung
Emas mengeluarkan suara
mendesing. Itulah sebuah senjata
seruling. Bahkan dia
hantamkan pula telapak tangannya
untuk menjotos dada
wanita itu.
Namun dengan terkejut si wanita
bugil itu dapat hin-
darkan serangan. Dengan gerakan
sebat dia menangkis
Pletak! Bhuk!
Menjerit si Iblis Ruyung Emas
karena terasa tulang
lengannya berderak patah.
Dibarengi rasa sakit pada da-
danya yang terlambat dia
mengelakkannya. Seketika tu-
buhnya terjengkang menggabruk
kedalam kamar. Tom-
bak Pusaka itu cepat disambut
sosok tubuh itu. Dan se-
gera tercekal ditangan
"Berhasil!" terdengar
suara sosok tubuh itu berdesis.
Dan tak ayal dia sudah berkelebat
melompat untuk ke-
luar dari ruangan itu.
"Bangsat licik! kembalikan
tombakku.!" melengking
suara si Iblis Ruyung Emas.
Tubuhnya telah melompat
cepat untuk mengejar... Akan
tetapi sosok tubuh itu ba-
likkan tubuhnya. Dan. Serr! tiga
pisau terbang telah me-
luruk deras ke arah si Iblis
Ruyung Emas.
"Bedebah!" memaki
wanita itu. Segera dia melompat
untuk menghindarkan diri dengan
miringkan tubuh, dan
lakukan salto keudara. Serangan
itu lolos. Akan tetapi dia
tak dapat menghindari serangan
berikutnya. Karena baru
dia jejakkan kaki kelantai,
kembali membersit dua pisau
terbang mengarah kedadanya.
Menjerit wanita ini seketi-
ka. Dan tubuhnya menggabruk
jatuh setelah terhuyung
beberapa langkah kebelakang.
Sementara dengan cepat sosok
tubuh ramping itu ber-
kelebat melompat keatas tombak.
Akan tetapi menjerit
dia... Dan tubuh itu kembali terjatuh kebawah tembok
pagar gedung. Apakah yang
terjadi? Tampak dua sosok
tubuh berkelebat melompat
ketembok. Salah seorang
berkata.
"Kena...!" Dia seorang
laki-laki yang memegang busur
dan anak panah dalam bumbung
dibelakang punggung-
nya Sosok tubuh satu lagi adalah
seorang wanita yang
berambut panjang terurai. Dia
melompat lebih dulu un-
tuk memburu sang korban yang terjatuh.
Ternyata dia
Roro Centil.
"Hah!?...kau ...kau
Seruling Gading?" tersentak Roro
ketika mengenali siapa yang
telah terkena panah itu. La-
ki-laki berpanah itu cepat
melompat kesisi Roro.
"Siapa maksudmu, nona
Roro...? apakah dia bukan si
Iblis Ruyung Emas?" Tersentak laki-laki ini.
Dan berdiri
memandang pada sosok tubuh yang
barusan dipanahnya.
"Kau telah salah membunuh
orang, sobat Satryo...!
dia... dia sahabatku. Ya! dia
Seruling Gading!" sahut Roro
mengeluh. Tiba-tiba pada saat
itu terdengar suara benta-
kan dibelakang mereka.
"Bangsat licik! kembalikan
tombak Pusaka i...itu...!"
Tersentak mereka ketika menoleh,
sesosok tubuh wanita
yang membugil telah berada
dihadapannya. Dialah si Iblis
Ruyung Emas yang jadi tujuan
sasaran anak panah laki-
laki itu, yang tak lain dari
Tumenggung Satryo. Ternyata
si Iblis Ruyung Emas masih mampu
untuk bangkit dan
mengejar si pencuri Tombak
Pusaka itu. Kini dengan kea-
daan tubuh yang amat memalukan dia berdiri terhuyung
dihadapan kedua orang itu.
Wajahnya tampak mengeri-
kan. Tampak dua buah belati
terhunjam didadanya yang
mengucurkan darah. Ketika
memandang Roro, wajah wa-
nita itu jadi semakin pucat.
"Aah... kkau... kau..." tak
sempat lagi dia meneruskan kata-katanya.
Karena tu-
buhnya segera terhuyung jatuh
menggabruk ketanah. Se-
telah menggeliat, tubuh wanita
itupun terkulai karena
nyawanya telah lepas dari
raganya.....
Roro dan Satryo jadi saling
pandang. Akan tetapi Roro
cepat balikkan tubuhnya ketika
mendengar keluhan dibe-
lakangnya. Seruling Gading
tampak berusaha bangkit
dengan mengerang. Didadanya
tertancap anak panah
yang telah dl lepaskan
Tumenggung Satryo.
Cepat Roro memburunya.
Memeluknya dan menyangga
tubuhnya dipakuan.
"Seruling Gading...? aiih,
kami tak menduga akan ke-
datanganmu kemari. Maafkan kami
adikku...!" berkata
Roro dengan terharu. Air matanya
telah menyembul dari
sudut kelopak matanya.
"Aku yang telah memanahmu,
adik...! karena kukira
kau si wanita Iblis Ruyung Emas
itu..." berkata Satryo se-
raya berjongkok menekuk lutut
dihadapan Seruling Gad-
ing yang terlentang dipangkuan
Roro. Dara cantik ini ter-
senyum, terdengar suaranya yang
lemah.
"Tak apa...! Tak usah
kalian sesali semua ini. Bukan-
kah kata kakak Pendekar Roro
setiap manusia tak dapat
menghindari takdir? Agaknya
inipun sudah menjadi tak-
dir buatku untuk pulang kealam
Baka..." Roro mengang-
guk-angguk. Air matanya semakin
deras mengalir.
"Kakak Roro... maukah kau
menyampaikan pesanku
pada... pada ssua..miku?"
berkata Seruling Gading den-
gan suara kian melemah.
"Tentu! tentu
adikku...!" sahut Roro dengan isak ter-
sendat.
"Terima kasih, kakak
Pendekar...! Aku amat bahagia,
karena aku telah turut ambil
bagian membantu kalian
untuk merebut kembali benda
Pusaka Kerajaan Mataram
itu. Aku berhasil membunuh si
Iblis Ruyung Emas. Dia...
dia adalah perempuan jahat
berhati kotor...! aku.. aku te-
lah mengenalnya..!" berkata
Seruling Gading. "dan... aku
telah berhasil pula mengambil
kembali Tombak Pusaka
itu! walau aku harus
korbankan... nyawa..!" Roro mang-
gut-manggut. Satryo tak
bergeming. Sementara Ginanjar
berdiri terpaku pada jarak tiga
tombak menyaksikan se-
mua itu dengan terlongong.
"Apakah pesanmu itu,
adikku...?" bertanya Roro, "ka-
kak pasti akan menyampaikan pada
Sambu Ruci suami-
mu...", bertanya Roro
dengan mengguncang-guncang tu-
buh Seruling Gading, karena
wanita ini sudah menga-
tupkan matanya. Dan sepasang
mata yang kian sayu itu
kembali membuka pelahan.
Bibirnya menampakkan se-
nyum.
"Ka... takan padanya...
bahwa aku amat mencin-
tainya..." ujarnya lirih.
Dan kepala itupun terkulai. Pen-
gantin baru yang tak sempat
mereguk nikmatnya cinta itu
telah hembuskan napasnya yang
terakhir dipangkuan Ro-
ro. Tertunduk wajah Roro
dalam-dalam. Air matanya me-
nitik membasahi wajah Seruling
Gading. Bibir Roro ter-
dengar bersuara lirih. "Aku
pasti akan sampaikan pesan-
mu itu, adikku..!" teramat
lirih suara itu bercampur isak
tertahan.
"Dia telah tiada..."
ujar Roro seraya menengadah me-
mandang Satryo. Roro kembali
menunduk untuk men-
cium pipinya. Lalu gerakkan
lengannya mengatupkan ma-
ta sang jenazah. Seraya berkata
lirih.
"Tuhan! semoga Engkau
ampunkan dosanya dan me-
nerima amal kebaikannya...!"
Suasana dicekam keheningan. Cuma
suara jengkerik
yang bersahutan. Saat itu
Ginanjar lambat-lambat meng-
hampiri.
Keduanya menoleh. Ginanjar
bagaikan orang bisu me-
natap pada Roro. Pada Satryo,
juga pada layon (jenazah)
Seruling Gading. Terakhir pada
mayat si Iblis Ruyung
Emas. Akan tetapi cepat-cepat
dia palingkan wajahnya
karena tubuh bugil itu membuat
darahnya kembali ber-
desir. Tersipu-sipu Ginanjar
bertanya.
"Ada apakah yang terjadi
sebenarnya...?" ucapnya agak
kaku. Roro jadi tersenyum.
"Pergilah katakan pada
pembaca! Sampai disini saja
kisah dalam judul Geger Tombak
Pusaka Ratu Shima...!"
ucap Roro sambil tersenyum. Lalu
saling pandang dengan
Tumenggung Satryo. Keduanya
sama-sama tersenyum.
"Haiiih! kalau sudah begini
apakah aku yang linglung
ataukah pendekar kita ini yang
linglung...???" berkata Gi-
nanjar sambil garuk-garuk
kepala. Sementara rembulan
dilangit semakin meninggi jua...
Lapat-lapat dikejauhan terdengar
suara kokok ayam
memanjang. Pertanda hari hampir
menjelang shubuh.
Tumenggung Satryo raih tombak
Pusaka Ratu Shima
yang tergeletak ditanah.
Terdengar suaranya menghela
napas. Dan setitik air bening
tersembul dari sudut pelu-
puk matanya.
T A M A T
Abu Keisel
convert txt :
http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon