SATU
UDARA HARI ITU CUKUP CERAH.
Langit biru
tak berawan. Matahari bersinar
cukup terik membakar
jagat. Di atas tempat ketinggian
tampak duduk di ba-
wah pohon seorang dara jelita
berpakaian singsat, yai-
tu pakaian orang persilatan.
Rambutnya dibiarkan te-
rurai. Sementara sepasang
matanya memandang jauh
ke bawah lereng bukit dimana
terlihat satu pemandan-
gan indah. Sawah-sawah menghijau
bertebaran laksa-
na hamparan permadani yang
menyejukkan mata me-
mandang. Di kejauhan terlihat
petani mengolah sawah,
memperbaiki saluran, mencangkul
kebun, dan seba-
gainya.
Terdengar dara jelita itu
menghela nafas.
Lengannya bergerak memotes ujung
rumput.
Lalu menggigit-gigitnya dengan
mata berkejap-kejap.
Dara jelita itu tak Iain dari
Roro Centil, yang telah in-
jakkan kakinya kesatu wilayah
dalam pengembaraan-
nya.
Dalam ketenangan semacam itu
terkadang Roro
teringat akan pengalamannya
selama berpetualang.
Banyak terjadi bermacam
peristiwa yang terkadang
nyaris merenggut nyawanya. Dan
dalam ketenangan
semacam ini amat terasa sekali
betapa tenteramnya ji-
wa jika di setiap wilayah di
atas jagat ini penuh keda-
maian...
Akan tetapi keadaan memang susah
diterka,
yang disangka daerah tenteram
ternyata masih ada sa-
ja kericuhan. Dara perkasa
Pantai Selatan ini tiba-tiba
jadi tersentak kaget, ketika
sepasang matanya melihat
asap mengepul tebal di kejauhan. Samar-samar ter-
dengar suara teriakan dan
jeritan orang meminta to-
long. Sadarlah dia kalau
diseberang sana telah terjadi
sesuatu.
Sementara itu dilihatnya para
petani yang te-
nang bekerja di tengah sawah
mulai terlihat panik, dan
berlarian menuju ke arah asap
yang kelihatan semakin
menebal menjulang ke udara bergumpalan.
"Heh, agaknya telah terjadi
kebakaran di desa
seberang sana! aku harus segera
melihatnya...!" desis
Roro Centil, yang sekejap sudah
melompat bangun
berdiri. Dan... di lain kejap
tubuhnya segera berkelebat
melesat bagaikan anak panah
menuju ke arah keja-
dian.
Apakah sebenarnya yang tengah
terjadi? Se-
buah rumah besar di tengah desa
di lereng perbukitan
itu memang dalam keadaan
terbakar hebat di siang
hari yang lengang itu.
Belasan manusia berlarian dalam
keadaan pa-
nik dan berteriak-teriak kalang
kabut. Ternyata di
samping teriak dan jeritan
wanita dan anak-anak yang
ketakutan dan panik, ada pula
teriakan-teriakan lain
dan kegaduhan yang memang
berasal dari kejadian
itu.
"Rampoook...! rampoook
...!" "Kejar... mereka
yang telah membakar rumah"
"Mana rampok...? mana...?
Oo, rumahku...!
Aiiir...! aiiir! cepat
siram!"
Beberapa teriakan terdengar
gaduh. Ada yang
berlari ke dalam rumah untuk
mengemasi barang-
barangnya, ada yang
menjerit-jerit sambil berteriak
rampok. Dalam keadaan demikian
sudah tak dikenali
lagi mana rampok, mana penduduk.
Dan... sekonyong-
konyong api telah menjalar ke
beberapa rumah pendu-
duk. Kini kebakaran di desa itu
telah menyebar secara
cepat. Adalah satu hal yang tak
mungkin kalau api da-
pat berpindah ke lain wuwungan,
karena siang itu tak
ada angin berhembus. Apa lagi
jarak antara satu ru-
mah penduduk ke lain rumah cukup berjauhan. Se-
bentar saja keadaan di desa itu
semakin panik.
Manusia bersimpang siur dengan
segala kesi-
bukannya untuk memadamkan api
atau mengemasi
barang-barang, hingga bahkan
terlupa pada anak dan
istri.
Jerit tangis dan ratapan pun
terdengar disana-
sini...
Sementara itu... Cepat sekali
bergeraknya so-
sok-sosok tubuh yang
berseliweran diantara kegadu-
han manusia ketika bergerak
mengemasi barang-
barang menyambar apa yang bisa
dibawa. Dan dalam
kepanikan itu serombongan
manusia telah angkat kaki
dari desa itu dengan menggondol
beberapa buntalan.
Bahkan beberapa wanita berada
dalam pondongan me-
reka.
Pada saat itulah Roro Centil
munculkan diri.
Terperanjat Roro melihat
kejadian ini. Segera Roro ber-
tindak cepat. Tubuhnya
berlompatan ke beberapa
arah. Suara lengkingan panjang
yang merdu terdengar
dimana-mana. Ternyata Roro
Centil telah lepaskan
hantaman telapak tangannya untuk
memadamkan api.
Setiap kali lengannya bergerak
yang dibarengi dengan
melompatnya tubuh dara perkasa
itu, segera keluar
uap berhawa dingin yang segera
memadamkan api.
Dengan perdengarkan suara
lengkingan-
lengkingan panjang setiap kali
Roro bergerak melam-
bung atau melompat ke atas wuwungan, lengannya
bergerak tiada henti. Hingga
beberapa saat antaranya
api yang mengamuk di beberapa
rumah dapat terpa-
damkan.
Tentu saja kejadian itu tak
luput dari pengliha-
tan mata penduduk. Mereka
memandang Roro dengan
mata terbelalak. Manusia ataukah
seorang Dewi yang
telah menolong mereka?
Suatu hal yang mustahil
dilakukan manusia
menurut pendapat mereka. Akan
tetapi mereka melihat
sendiri dengan mata kepala
ketika dara cantik itu ber-
lompatan ke setiap wuwungan dan mengitari setiap
rumah untuk memadamkan api.
Sayang... selanjutnya
mereka tak mengetahui lagi
kemana lenyapnya si pe-
nolong.
Kekalutan memang segera mereda,
akan tetapi
tetap saja kegaduhan terdengar
dimana-mana. Karena
beberapa orang laki-laki dengan
menghunus senjata
telah berlarian mengejar ke arah
barat, dimana meng-
hilangnya belasan sosok tubuh
yang menjadi biang ke-
ladi kericuhan.
"Kejar mereka...!
"perampok-perampok itu se-
makin nekat. Mereka makin berani
melakukan kejaha-
tan disiang hari! Teriak geram
seorang laki-laki berte-
lanjang dada seraya bergerak
melompat mendahului
beberapa orang lainnya. Ternyata
laki-laki itu baru pu-
lang dari sawah.
Paculnya masih tergenggam
ditangan. Semen-
tara itu teriakan seorang wanita
tua terdengar menghi-
ba.
"Anakku...! oh, anakku
diculik! anakku diculik
perampok! toloong...!"
"Sawitri kemana...?
Sawitriiii...!" teriak pula
seorang laki-laki. Seorang anak
kecil berwajah cemong
dengan keringat deras mengalir
berlari-lari mengham-
piri. "Celaka.....! kakak
Sungkimah dibawa perampok!
dibawa kesa-
na...!" teriak si bocah
laki-laki ini dengan wajah pucat
pias.
"Ha!? dimana...!
dimana?" teriak seorang laki-
laki yang membelitkan kain
sarungnya di leher.
"Disana, dibawa ke bawah bukit!" Tak ayal si
bocah laki-laki ini segera
ditanyai. "Apa saja yang kau
lihat.?"
"Mereka kurang lebih ada
lima belas orang! be-
berapa orang membawa buntalan
dan menggotong pe-
ti. yang lainnya memanggul orang
perempuan!"
"Berapa orang perempuan
yang kau lihat.?"
tanya seorang laki-laki berkumis
yang tubuhnya masih
belepotan lumpur.
"Ti... tiga! ya! aku cuma
lihat tiga...! Salah sa-
tunya jelas sekali kakakku.. !
Kakakku... Sungkimah!
Oh. huuu... huuu...
huuu... tolonglah dia! huuu...
hhuuu..." Selesai bercerita
bocah ini menggerung me-
nangis sambil berteriak-teriak
agar cepat menolong
kakak perempuannya yang
dilarikan perampok.
Seorang wanita tua berlari-lari
menghampiri,
ketika mendengar salah seorang
anak gadisnya diculik
perampok, wanita ini menjerit
parau karena terkejut-
nya, lalu jatuh pingsan tak
sadarkan diri. Kembali ga-
duhlah keadaan di dalam desa
itu.
Saat itu sesosok tubuh
berkelebat keluar dari
desa itu. Ternyata dialah Roro
Centil. Sejak tadi dia
mendengarkan penjelasan si bocah
laki-laki itu dari si-
si sebuah pondok yang jendelanya
telah jebol beranta-
kan.
Roro memang sudah menduga kalau
kejadian
itu didalangi oleh oknum
perampok yang melakukan
kejahatan disiang hari, di saat kaum laki-laki keba-
nyakan bekerja di sawah atau
mencangkul kebun.
Dalam beberapa kali melompat,
terkejut Roro
Centil melihat beberapa sosok
tubuh terkapar mandi
darah dalam keadaan tak
bernyawa. Dapat diduga me-
reka adalah para pengejar yang
telah jadi korban keke-
jian perampok itu.
Roro kertak gigi menahan geram.
Tiba-tiba ter-
dengar suara lengkingan merdunya
yang panjang, dan
tubuhnya berkelebat melesat ke
arah depan lalu le-
nyap terhalang pepohonan.
"Bedebah...! cepat sekali
para perampok itu
menghilang!" Desis Roro
karena tak menampak adanya
bayangan orang dihadapannya.
Beberapa tempat di
sekitar situ segera diperiksanya,
akan tetapi tetap tak
dijumpai kawanan perampok itu.
Cuma beberapa
mayat yang tergeletak.
"Setan alas! perampokan ini
pasti didalangi seo-
rang yang berilmu
tinggi...!" gumam Roro, setelah me-
meriksa setiap mayat yang
dijumpai mempunyai luka
sama. Yaitu lima buah lubang. di
atas batok kepala.
Dan satu luka yang menembus
dada, yang dipastikan
bukanlah akibat serangan senjata
tajam.
"Serangan keji! Mengapa
digunakan untuk
membunuh penduduk yang jelas tak
berkepandaian
apa-apa?" tercenung Roro Centil.
Siapakah tokoh keji
itu? sentak Roro dalam hati.
Tapi tak lama dia sudah
berkelebat untuk mencari jejak
lenyapnya para peram-
pok itu.
Sementara beberapa penduduk yang
memergo-
ki mayat-mayat para pengejar
segera berkerumun den-
gan suara gaduh dan wajah-wajah
pucat. Si laki-laki
bertelanjang dada yang berkumis
tipis tadi ternyata te-
lah tewas. Paculnya tergeletak
di sisinya. Dua orang
pemuda bergolok juga mati dengan
keadaan mengeri-
kan.
Tergetar tubuh beberapa lelaki
penduduk sete-
lah melihat keadaan yang
mengenaskan itu.
***
DUA
Kapal itu sudah meluncur
mengikuti arus. Ber-
diri digeladak paling depan
adalah sesosok tubuh ke-
kar berkepala gundul bagian
tengahnya, sedangkan
rambut tipis yang hampir bisa
dihitung dengan jari
tergerai sebatas bahu.
Laki-laki ini bertampang kaku,
berkulit muka
kasar. Dan sebuah benjolan di
pipinya ditumbuhi be-
berapa helai rambut. Sepasang
matanya mirip mata
serigala. Tajam menatap dan
bersinar, menampakkan
kekejaman. Dialah yang bergelar
si Cakar Naga Setan.
Sudah beberapa bulan ini dia
munculkan diri di seki-
tar sungai Mahakam. Nama aslinya
adalah Kembayan.
Menjelang senja setelah melewati
muara, pera-
hu sudah merapat ke sebuah
tempat yang berair agak
dangkal pada sebuah kelokan
tersembunyi. Anak-anak
buahnya dari kawanan perampok
itu segera berlompa-
tan membawa barang-barang
rampokan termasuk juga
tiga orang tawanan wanita.
"Cepat sedikit...!
kumpulkan semua barang-
barang ke gudang!" berkata
si Cakar Naga Setan. Dan
dia sendiri melompat mendahului
ketiga anak buahnya
yang memondong ketiga wanita.
"Bawa ketiganya ke kamar
tahanan sementara.
Ingat! Tak kuizinkan kalian
mengganggunya seperti ke-
jadian yang lalu...!"
ujarnya tegas.
"Baik, ketua...!"
hampir berbareng ketiga anak
buah itu menyahut. Di hadapan
mereka segera terlihat
sebaris pagar bambu yang rapat,
yang tingginya dua
kali setinggi tubuh manusia.
Pada pintu gerbang itu
terdapat tiga orang penjaga,
yang segera membukakan
pintu lebar-lebar.
"Selamat datang Ketua...!
Wah, agaknya hasil
kali ini cukup memuaskan!"
berkata salah seorang se-
raya menjura.
"Aha...! mari aku yang bawa
masuk!" berkata
laki-laki pendek kekar yang
segera mendekati sang
kawan, untuk ganti memondong
tawanan wanita itu.
"Klampot!" memanggil
sang Ketua melihat si
pendek kekar ini.
"Kau tak ikut bekerja!
Padahal aku suruh kau
turut serta! hm, tak apalah...!
tapi bagianmu adalah
yang terakhir!"
Laki-laki bernama Klampot ini
cuma perli-
hatkan senyum pahit dan
garuk-garuk kepalanya.
"Yah, tak apalah...!
terakhir pun lumayan juga.
hehehe..." tertawa
menyeringai laki-laki ini, lalu men-
gambil alih memondong tawanan
wanita itu Sementara
sang ketua terus melangkah ke
dalam.
Ternyata di dalam pagar bambu
yang rapat itu
terdapat sebuah bangunan rumah
dari kayu yang cu-
kup besar. Mempunyai dua
wuwungan rumah. Dapat
dipastikan sebuah rumah agak
kecil itulah tempat be-
ristirahatnya sang ketua mereka
si Cakar Naga Setan,
karena laki-laki jangkung
bermata serigala itu memang
menuju kesana.
Ketiga tawanan wanita segera
dibawa masuk
kesatu ruangan yang berada di
bagian belakang. Dua
buah kerangkeng berpagar jarang
yang di belit dengan
tali-tali kuat sudah siap
dibukakan pintunya untuk
menerima penghuni baru.
Setelah menjebloskan ketiga
tawanan, pintu te-
rali segera ditutup kembali dan
dikunci dengan kuat
dengan sebatang kayu besar yang disilangkan meng-
ganjal pintu. Tampak si pendek
kekar itu jelalatkan
matanya menjalari wajah dan
potongan tubuh ketiga
tawanan wanita. Sepanjang
matanya membinar dan li-
dahnya mengeluarkan air liur
Akan tetapi seorang pen-
jaga berkata.
"Maaf, pintu ruangan mau
ditutup, silahkan ke-
luar...!'
"Hahaha hehehe... baik!
baik! huuu." wajahnya
menyeringai, tapi segera
cemberut, seraya garuk-garuk
kepala mendongkol. Namun dia
memang tak berhak
mengganggu lebih dulu Kecuali
mau kena damprat
sang Ketua mereka Masih untung
kalau cuma didam-
prat. kalau kena hajar tentu
akan lebih susah lagi.
BRAK! Pintu ruangan tempat
tawanan segera
ditutup.
Ketiga wanita itu tergolek dalam
keadaan ping-
san. Ternyata mereka telah
dibius dengan sapu tangan
yang ditekapkan ke hidung
masing-masing. Selang tak
lama salah seorang telah siuman
dari pingsannya.
Mengetahui dirinya berada dalam
kerangkeng
bersama kedua gadis lainnya,
wanita ini mulai menan-
gis. Tahulah dia bahwa kini
dirinya telah dijadikan ta-
wanan para perampok. Dan tak di
ketahuinya lagi di-
mana kini adanya. Akhirnya sang
gadis ini terisak-isak
menangis, setelah berusaha
membangunkan kedua
gadis yang dikenalnya satu
kampung itu tak juga sa-
darkan diri.
Malam semakin melarut, Suasana
di dalam pa-
gar mulai diterangi lampu-lampu
gantung. Dua orang
laki-laki tampak memasuki
ruangan tempat tawanan.
Dan memasang lampu disamping
kerangkeng kayu
bertali kuat itu. Kiranya dua
gadis itu sudah sadarkan
diri. Mereka saling berangkulan
dengan menangis teri-
sak.
"Lepaskan aku...! Lepaskan
aku dari tempat ini,
perampok laknat!" teriak
salah seorang gadis yang ber-
nama Sungkimah, dengan menatap
tajam pada dua
orang yang mendekati kerangkeng.
"Hahaha... sudahlah!
Hentikan tangismu! kau
akan dipelihara disini
baik-baik! Aku mana punya ke-
kuasaan membebaskan
kalian..." berkata si penjaga.
Saat itu terdengar suara.
Tinggalkan ruangan ini,
anak-anak!" Segera keduanya
menoleh. ternyata sang
Ketua mereka telah masuk ke
ruangan itu melalui pin-
tu tengah yang rupanya khusus
tempat masuk si Ca-
kar Naga Setan.
"Ba... baik Ketua...!"
sahut salah seorang dian-
tara mereka. Lalu bergegas kedua
penjaga itu ke luar.
Laki-laki ini menatap pada
ketiga gadis itu den-
gan senyum kaku. Sepasang mata
mulai liar menjalari
sekujur tubuh gadis bernama
Sungkimah yang ternya-
ta adalah gadis paling cantik diantara
kedua gadis ka-
wannya.
"Hehehe... kau akan
mendapat giliran pertama
malam ini melayaniku!"
berkata Kembayan alias Si Ca-
kar Naga Setan.
"Nah, silahkan kau
keluar...!"ujar laki-laki ke-
pala perampok itu. Sepasang
lengannya telah bergerak
membuka pintu kerangkeng Akan
tetapi justru gadis
itu berlari ke sudut ruangan
dengan wajah pucat pias.
"Iblis...! aku tak sudi!
bebaskan aku bebas kan
kami! rupanya kaulah si kepala
perampok yang jahat
itu! Kalian memang
manusia-manusia biadab! tidak...!
aku tak sudi! lebih baik mati
dari pada melayani nafsu
bejatmu!" berteriak marah
gadis itu. Rupanya diantara
ketiga gadis, gadis bernama
Sungkimah itulah yang
paling berani buka suara.
Sementara yang dua lagi gemetar
ketakutan
tanpa bisa keluarkan suara
kecuali menangis terisak-
isak ketakutan.
"Hahaha... hebat!
keberanianmu memang boleh
dibanggakan! justru aku
menyenangi gadis yang berani
sepertimu! Baiklah! terpaksa aku
yang akan menyeret
mu sendiri! berkata si Cakar
Naga Setan dengan terta-
wa menyeringai. Dan... BRAK! dia
telah masuk ke da-
lam kerangkeng, lalu menutupkan
kembali pintunya.
Sekali tubuhnya bergerak
melompat, dia sudah tiba di
hadapan gadis itu. Lengannya
meluncur menyambar
pinggang si gadis.
Akan tetapi di luar dugaan gadis itu mampu
mengelakkan diri. Tak heran,
karena si Cakar Naga Se-
tan menganggap gadis itu tak
berkepandaian apa-apa
hingga dia lakukan sambaran
dengan gerakan biasa
saja. Tak disangka kalau
sambarannya luput. Hal itu
membuat wajahnya berubah beringas.
"Heh! kau akan tahu kelak
siapa aku! tak seo-
rangpun perempuan yang mampu
lolos dari tanganku!
hehe..." tertawa sinis
laki-laki ceriwis ini. Tiba-tiba...
Krep! BREET! BREEET...!
Sekali sambar pinggang gadis itu
kena di ter-
kam. Dan detik selanjutnya
pakaian si gadis telah di-
cabik-cabik dengan menggeram
gusar.
Terperangah kedua gadis itu
seketika melihat
sekejap saja pakaian si gadis
kawannya itu hampir
tanggal seluruhnya robek
berserpihan.
Sedangkan si gadis itu sendiri
ternganga den-
gan wajah pucat pias.
Merontalah si gadis itu dengan
berteriak-teriak
histeris. Akan tetapi mana mampu
dia melepaskan pe-
lukan si Cakar Naga Setan yang
sudah kalap? Lengan
si Cakar Naga cengkeram rambut
gadis itu dengan
membentak.
"Berteriaklah setinggi
langit! Atau kau akan ke-
hilangan rambutmu yang bagus ini
berikut kulit kepa-
lamu.!"
Menghadapi perlakuan yang kejam
ini terpaksa
si gadis menahan rasa sakitnya
dengan menggigit bi-
birnya hingga berdarah.
Dan dengan tertawa menyeringai
si Cakar Naga
Setan mengelus dada si gadis
serta mempermainkan-
nya. "Hahaha... bagus!
kukira kalau sejak tadi kau
menurut apa kataku, tentu tak
kau alami hal seperti
ini!" berkata demikian
Kembayan lepaskan cengkera-
man lengannya pada rambut si
gadis. Dan sepasang
matanya membelalak dengan
berbinar-binar menjalari
sekujur tubuh Sungkimah dari
ujung kaki sampai
ujung rambut.
Gadis ini berdiri menyandar
disudut kerang-
keng dengan pejamkan sepasang
matanya. Isaknya di-
cobanya ditahan sekuat hati.
Sementara air matanya
meleleh membasahi sepasang
pipinya.
Kembayan tampaknya tak
perdulikan semua-
nya itu. Bahkan dengan tertawa
menyeringai segera
sepasang lengannya bergerak
menelusuri setiap lekuk
tubuh gadis itu dengan napas
mendengus-dengus ber-
desahan.
Menggigil kedua tubuh gadis itu
melihat adegan
panas yang terjadi di depan
mata.
"Setan keparat...! manusia
iblis tengik! perbua-
tanmu sungguh amat
menjijikkan...!!!" tiba-tiba ter-
dengar suara bentakan keras
diiringi suara gaduh.
BRRRAKKK...!
Pintu ruangan itu jebol
berantakan. Dan...
KRRAAKK!
Pintu kerangkeng kayu itupun
menjeblak ter-
buka hancur berkepingan. Sekejap kemudian di situ
telah tegak berdiri seorang dara
jelita berpakaian persi-
latan, yang tak lain dari Roro
Centil adanya.
Kalau saja pada saat itu ada
hantu yang mun-
cul tidaklah membuat si Cakar
Naga Setan terkejut.
Akan tetapi munculnya Roro
Centil ternyata membuat
nyalinya seperti terbang
seketika. Lengannya lepaskan
pelukannya pada pinggang si
gadis, dan melompat ke
sudut dengan wajah pucat.
"Heh, kiranya kau
manusianya yang menjadi
biang keladi kepala rampok?
bagus! bagus...! kau me-
mang manusia penipu tak punya
malu, kepala peram-
pok tengik!"
Selesai membentak, tubuh Roro
berkelebat ce-
pat, tahu-tahu... BLUK!
KRRAAKKK. Sukar dilihat ke-
cepatan Roro bergerak. Karena
sekejap saja tubuh si
Cakar Naga Setan terlempar
terkena hantaman lengan
Roro, yang langsung membuat
kerangkeng kayu itu
patah-patah terkena benturan
tubuhnya dengan me-
nimbulkan suara gaduh.
Serangan Roro Centil memang
dapat dipapaki
oleh laki-laki kepala rampok
ini, akan tetapi tak urang
toh tubuhnya terlempar juga
karena tenaga dalam Ro-
ro berada di atas kekuatan
tenaga dalamnya.
***
TIGA
AKAN TETAPI tak urung Roro
Centil terhuyung
juga ke belakang dua tindak.
Lengannya terasa kese-
mutan. Tahulah dia kalau orang
ini telah mengalami
kemajuan pesat. Ternyata Roro
memang pernah ber-
temu dan bertarung dengan
laki-laki bernama Kem-
bayan ini. Bahkan telah pula
mengampuni jiwanya.
Sungguh sama sekali Roro tak
menyangka kalau bisa
bertemu untuk yang kedua
kalinya. Dan ternyata
orang yang telah pernah
menyembah-nyembah men-
cium ujung kakinya ini masih
juga melakukan kejaha-
tan.
Kejadian enam bulan yang lalu
adalah, ketika
Roro berada di Pulau Laut.
(wilayah Kalimantan Sela-
tan).
Menurutkan suara gaib dari
gurunya ketika Ro-
ro berada di ujung bagian timur
Pulau Jawa, Roro diti-
tahkan menuju ke arah utara.
Roro harus mencari satu benda
mustika dis-
eberang Laut di satu pulau yaitu
di wilayah utara dari
Pulau Jawa. Suara gaib itu
lenyap tanpa terdengar lagi
ketika Roro tiba di Pulau Laut.
Roro sendiri tak menge-
tahui benda mustika apakah yang
dibisikkan suara
gaib gurunya itu. Akan tetapi tekad bulat Roro
telah
tertanam kuat untuk mendapatkan
benda mustika itu.
Demikianlah di Pulau Laut Roro
Centil terpaksa
harus menahan dulu langkahnya
untuk bersemedhi
mencari ilham atau petunjuk
nalurinya.
Sebulan sudah Roro berdiam
disana dengan di-
temani si Tutul yang selalu
setia mengikutinya dan
membawa kemana saja menuruti
keinginan hatinya.
Agaknya Roro memang sudah
berjodoh untuk memiliki
siluman harimau Tutul sebagai
tunggangannya itu,
hingga memudahkan Roro dalam
petualangannya.
Selama itu Roro tak lupa untuk
memperdalam
ilmu-ilmunya. Bahkan di luar
sadar Roro telah mema-
dukan beberapa jurus ilmu
warisan dari gurunya si
Manusia Banci dengan ilmu
ciptaannya sendiri.
Sayang jurus aneh itu dilakukan
dalam keadaan tidak
sadar. Karena Roro melakukannya
dalam keadaan sa-
madhi, dan dalam keadaan separuh
tidur.
Kejadiannya adalah demikian...
Hari ketiga puluh di saat Roro
lakukan semadi
dalam sebuah lorong yang
dibuatnya sendiri dengan
tumpukan batu-batu karang. Tanpa
diketahui Roro di
ujung pulau telah mendarat
sebuah perahu pada ma-
lam yang diterangi cahaya bulan
sabit.
Dua sosok tubuh melompat turun.
Ternyata
dua orang laki-laki. Seorang
bertubuh pendek kekar
dan seorang lagi agak jangkung
berkulit hitam. Ternya-
ta dialah si Cakar Naga Setan
dan seorang anak buah-
nya. Kedua orang itu
berbisik-bisik pelahan. Suaranya
hanya bisa terdengar oleh mereka
berdua.
"Sssst, dimana kau melihat
wanita cantik itu
berada?" tanya Kembayan.
Klampot tertawa menyerin-
gai.
"Hehehe... sabarlah!
Masakan aku berdusta Ke-
tua? Asalkan ada perjanjian dulu
untuk yang ini ada-
lah bagianku terlebih dulu,
karena aku yang memberi
tahu...!" Mendelik sepasang
mata si Cakar Naga Setan.
"Kunyuk!" desisnya.
"Kau seorang anak buah
berani bikin usul dengan segala
perjanjian tai kucing!
benar-benar kau tak menghargai
ku...!"
Klampot kerutkan tubuhnya. Ngeri
juga dia ka-
lau sang Ketua jadi marah. Akan
tetapi laki-laki pen-
dek kekar ini memang pandai
mengambil hati ketua-
nya. Segera dia berkata lagi.
"Bukan begitu, Ketua...! selama aku mengikut
padamu, ku nilai kau adalah
seorang ketua yang baik,
yang menghargai ku jerih payah
anak buahnya.
Bukankah cita-cita Ketua adalah
menjadi seo-
rang raja yang punya banyak
kekuasaan. Betapa ba-
nyak para Raja-raja yang jatuh
dari singgasana karena
tak menghargai bawahannya,
hingga si bawahan ju-
stru membenci sikap Raja semacam
itu! Hingga tak ja-
rang terjadi
pemberontakan-pemberontakan yang
mengancam kedudukan Raja dan
kekuasaannya. Ak-
hirnya... berakhir dengan
kejatuhan kekuasaan sang
Raja! Nah, aku sebagai bawahanmu
cuma memberi
contoh saja. Kalau untuk masalah
ini selanjutnya ada-
lah terserah Ketua..." Ujar
Klampot berbisik.
Merah padam wajah si Cakar Naga
Setan. Gi-
ginya gemeletuk menahan geram.
Akan tetapi dia cuma
bisa manggut-manggut.
Kemendongkolan pada anak
buahnya mendadak luntur.
"Hm, benar juga pendapatmu,
Klampot! baik-
lah, untuk hal ini aku
mengalah...!" ujar Kembayan.
Agaknya termakan juga dia oleh
kata-kata Klampot
yang dinilainya benar.
Klampot tersenyum penuh
kemenangan. Ha-
tinya membatin. "Hehehe...
jarang ada Ketua yang se-
macam ini...!"
Tak lama mereka dengan
berindap-indap segera
merayap mendekati ke tengah
pulau.
Benar saja setelah melewati
bukit-bukit kecil,
segera terlihat susunan
batu-batu karang di ujung
agak sebelah dalam pulau, tempat
yang dihuni Roro
Centil. Tampaknya Roro memang
tak mengetahui ke-
datangan mereka, karena sudah
beberapa malam ber-
turut-turut dia kurang tidur.
Dalam duduk bersemadhi
itu ternyata Roro setengah
tertidur. Tapi nalurinya
memang teramat peka.
Bahkan dalam keadaan mimpi, Roro
tengah be-
rusaha memadukan jurus-jurus
baru ciptaannya den-
gan jurus-jurus yang diwariskan
gurunya si Manusia
Banci.
Sementara itu dua sosok tubuh
memperhatikan
Roro dengan pandangan aneh,
karena melihat sikap
orang yang bersemadhi itu
gerak-gerakkan sepasang
lengannya dengan mata terpejam
Si Cakar Naga Setan
waspada khawatir kedatangannya
telah diketahui, tapi
nyatanya tidak Sepasang lengan
itu kembali terhenti.
Dan laki-laki itu memberi
isyarat untuk menyergap.
Akan tetapi apa yang terjadi
kemudian...? Tahu-tahu
Roro mengigau. Sepasang
lengannya bergerak memu-
tar, lalu menyodok ke depan dengan gerakan seperti
orang menggeliat, seraya
sepasang lengannya mengge-
brak ke atas batu yang diduduki.
Hebat akibatnya. Ternyata kedua
orang itu ta-
hu-tahu rasakan tubuhnya seperti
disentakkan satu
gelombang tenaga tak terlihat.
Dan terpental ke atas
tanpa dapat dicegah lagi...
Terdengar suara teriakan
tertahan si Cakar Na-
ga Setan dan anak buahnya. Akan
tetapi yang mem-
buat aneh, adalah kedua tubuh
itu tak turun lagi ke
bawah. Tetap tergantung di udara
bagai di sangga dua
batang galah yang tak kelihatan.
Membeliak kedua pasang mata
laki-laki ceriwis
pengganggu wanita itu. Sukar
untuk dipercaya, ilmu
apakah yang digunakan Roro...?
Sementara keduanya
berusaha gerakkan kaki dan
tangan. Tapi serasa tena-
ganya hilang musnah. Bahkan
untuk bernafas pun su-
lit rasanya. Mengeluh si Cakar
Naga Setan. Keringat
dingin pun bercucuran di sekujur
tubuh. Dan megap-
megap nafasnya bagai orang yang
kelelap di dalam air.
Sementara Roro Centil justru tak
mengetahui sama se-
kali. Dara Pantai Selatan ini
tampak tersenyum, lalu
tertawa seperti mengigau. Dan...
memanglah dia ten-
gah mengigau.
"Hihihi... jurus ini
kunamakan jurus Kosong-
kan Perut Menahan Lapar, guru..!
hebat bukan?"
Ternyata Roro mengigau. Dan
dalam mimpinya
dia berbicara dengan gurunya si
Manusia Banci. Tentu
saja membuat si Cakar Naga Setan
terperangah, dan
takutnya bukan main. Wanita
cantik yang masih begi-
ni muda sudah punya ilmu
setinggi langit, apa lagi gu-
runya...? pikirnya. Sementara
dilihatnya Klampot anak
buahnya itu sudah benar-benar kehabisan
napas, dan
terkulai tak sadarkan diri.
Beberapa saat lagi maut
akan segera menjemputnya.
Kembayan alias si Cakar
Naga Setan ini masih mampu
bertahan, akan tetapi be-
lum lagi sepenanak nasi wajahnya
sudah berubah pu-
cat bagai mayat. Tak ada lagi
udara yang akan dihi-
rupnya. Memang membuat dia heran
setengah mati,
karena tak adanya udara sama
sekali disekelilingnya.
Angin semilir yang berhembus
dari arah laut seolah
terbendung tak bisa lewat di
tempat itu.
Berteriaklah si Cakar Naga Setan
demi meno-
long jiwanya.
"No...nona pendekar
perkasa...! ampunilah
aku...! ampunilah jiwaku...!
Tut... tut...tur... turunkan-
lah aaakk...akkuu...
hhhhh."
Roro Centil tiba-tiba
terbangun dari tidurnya,
seraya mengucak-ucak kedua
matanya. Telinganya se-
perti mendengar orang mengeluh,
dan meratap memo-
hon ampun. "Mimpikah
aku?" pikir Roro. Akan tetapi
pada saat itu...
BLUK! BLUK!
Dua sosok tubuh jatuh di
kiri-kanannya bagai-
kan suara jatuhnya dua buah
nangka masak. Roro
terkejut dan melompat kaget,
seraya berteriak.
"Aaaaiiii...!?".
Sekejap kakinya telah melompat
dan hinggap di atas batu karang.
Dilihatnya dua sosok tubuh
manusia bagaikan
terjatuh dari langit saja
nampaknya. Tergolek di dalam
lorong batu buatannya. Masih
untung bagian dasarnya
adalah pasir, kalau batu karang
yang keras itu, nis-
caya kalau tidak patah tulang.
tentu patah leher kedua
manusia itu.
Kalau Klampot si anak buah
laki-laki botak di
tengah, berambut tipis itu jatuh
dalam keadaan masih
tak sadarkan diri, adalah si
Cakar Naga Setan menga-
duh kesakitan. Akan tetapi dia
dapat kembali berna-
pas...
Dengan heran Roro Centil
melompat kembali ke
hadapan kedua orang itu, seraya
bentaknya.
"Manusia-manusia edan dari
mana kalian be-
rani mengganggu semadhiku?"
Pucat pias wajah si Ca-
kar Naga Setan. Akan tetapi tak
ayal dia segera me-
nyembah dengan tubuh bergetaran
dan suara yang
tersendat menggeletar bagai
orang terkena demam pa-
nas.
"Aa... am... ampunilah
nyawa hamba nona Pe...
Pendekar..." Ucapnya dengan
jantung
berdetak keras. Entah apa
kelanjutannya, apa-
kah nyawanya masih bisa
dipertahankan menghadapi
gadis muda berilmu tinggi yang
galak ini?
"Hamba tak berani lagi
mengganggu wanita....!
hamba bersumpah, nona
Pendekar...! sungguh mataku
buta tak mengetahui dalamnya
lautan, tingginya lan-
git!" Tentu saja kata-kata
itu membuat Roro tertegun.
Tahulah dia kalau kedua manusia
itu memang ber-
maksud jahat nadanya selagi dia
ketiduran dalam se-
madhi.
"Aneh, orang ini! tak ku
apa-apakan tahu-tahu
minta ampun. Lalu cara bagaimana dia bisa berjatu-
han kemari? padahal aku tak
mengetahui kedatangan-
nya..."
Berkata Roro dalam hati. Akan
tetapi setelah
berpikir sejenak, segera dia
tersenyum. "He? ku lihat,
dan ku rasakan menurut naluri ku
di sekitar sini tak
ada orang lain. Berarti apakah
dia telah kena serangan
jurus aneh dalam mimpi ku?"
Roro tak dapat berpikir
banyak. Orang sudah minta ampun,
mengapa harus
tanya ini-itu? pikirnya.
"Kesempatan ini jarang ada!
dan satu kejadian aneh telah
menolongku! bagus! aku
harus berpura-pura seolah memang
telah mempecun-
dangi manusia ini!"
Berpikir demikian, segera Roro
umbar suara
tertawa mengikik.
"Hihi... hihi... kau telah
berani mengganggu
orang semadhi, tentu ada hukuman
yang berat! apa
lagi kalian berniat jahat!"
Ujar Roro dengan suara din-
gin.
Menggeletar sekujur tubuh si
Cakar Naga Se-
tan. Seraya ucapnya
terbata-bata.
"Ampunilah... selembar
nya... nyawa hamba ini,
nona Pendekar..." Melihat
tubuh orang menggigil geme-
taran dan nafasnya pun masih
megap-megap tampak-
nya Roro merasa kasihan juga.
"Urusan mengampuni sih
gampang! sebutkan
dulu siapa kau? Dan siapa pula
monyet pendek yang
pingsan itu! Lalu ceritakan apa
tujuan kalian ke tem-
pat ini!" bentak Roro.
"Namaku Kembayan...!"
menerangkan si Cakar
Naga Setan dengan lesu. Nyalinya
sudah lenyap ter-
hembus angin. Karena sekujur
tubuhnya boleh dikata-
kan seperti tak bertenaga lagi.
"Dia ini adalah
sahabatku... bernama Klampot.
Kami tak sengaja sampai kemari.
Tadinya kami berniat
memancing ikan di malam hari.
Tapi kami lupa mem-
bawa kail. Ketika mendarat telah
melihat nona disini.!
Kami mengakui bersalah, nona
Pendekar! janganlah
hukum kami... kasihan anak istri
kami menunggu di-
rumah. Siapa yang memberi makan
kalau hamba ma-
ti...?" Tutur Kembayan.
Tentu saja separuh kata-
katanya adalah dusta. Akan
tetapi tampaknya Roro tak
mau panjang lebar menanyakan
segala macam.
"Baiklah! Ku ampuni
nyawamu! segeralah ang-
kat kaki dari sini sebelum aku
merobah keputusan!"
bentak Roro.
"Te... terima kasih! terima
kasih... nona Pende-
kar...!" ucap Kembayan
seraya menyembah-nyembah
hormat. Hatinya bersorak girang.
Akan tetapi tiba-tiba
dia berkata.
"Nona Pendekar telah
mengampuni nyawaku,
apakah guru nona bisa biarkan
aku pergi dengan se-
lamat?" tanyanya.
Lagi-lagi Roro dibuat memikir.
Untunglah Roro
teringat akan suara mengigaunya,
dan terpikir tentang
mimpi anehnya dalam semadhi.
Segera dia menyahut
lantang.
"Guruku sudah pergi sejak
tadi. Silahkan kau
merat! dan bawa kawanmu
ini...!"
"Baik, baik...! Terima
kasih, nona Pendekar."
Ucap si Cakar Naga Setan. Lalu
terhuyung-huyung
mendekati Klampot.
Ternyata Klampot pun sudah
tersadar dari
pingsannya. Dan sejak tadi
mendengarkan pembica-
raan dengan hati kebat-kebit.
Ketika tubuhnya di-
goyang-goyang, dia pura-pura
baru saja membuka ma-
tanya Lalu buru-buru menyembah
pada Roro dengan
gemetar.
Roro tak pedulikan kedua orang
itu, segera
kembali duduk bersila untuk
teruskan semadhi. Se-
mentara benaknya bekerja,
kejadian apakah tadi hing-
ga kedua orang ini bisa
digagalkan niat jahatnya?
Tak menunggu perintah sampai
tiga kali, segera
kedua manusia itu tertatih-tatih
mendekati perahu
yang ditambatkan di sebelah
ujung pulau. Dan selan-
jutnya tinggalkan pulau itu
dengan hati lega...
Demikianlah kisah yang dialami
Roro. Tentu sa-
ja dia mengenali wajah si
laki-laki bernama Kembayan
itu.
Ternyata Roro telah mencari
jejak para peram-
pok dengan penasaran. Dan
berhasil mengetahui se-
buah perahu besar di tempat
persembunyian, yang ba-
ru saja ditambatkan.
Dengan melompati pagar bambu,
Roro segera
tiba di dalam markas para perampok di malam hari
itu...
***
EMPAT
KEMUNCULAN RORO CEJSTIL itu
tentu saja
membuat si Cakar Naga Setan
terkejut setengah mati.
Tiga bulan sudah sejak kejadian
itu, tak pernah lagi
dia mendengar dimana kabarnya
wanita muda yang
aneh dan berilmu tinggi itu
berada. Hingga diam-diam
si Cakar Naga Setan segera
membentuk lagi anggota
komplotan perampoknya.
Dan selama dua bulan itulah si
Cakar Naga Se-
tan mulai beraksi dengan segala
kejahatannya.
"Bangunlah, Kembayan!
kukira kedokmu kini
sudah terbuka! Kali ini tak
mungkin kau bisa berdusta
untuk yang kedua kalinya!"
bentak Roro dengan suara
dingin mencekam.
Mengeluh si Cakar Naga Setan.
"Celaka! hari ini
habislah aku!" berkata dia
dalam hati. Tiba-tiba tu-
buhnya bergerak melompat
menyambar si gadis ber-
nama Sungkimah itu. Dibawanya
tubuh gadis itu ber-
gulingan. Terpekik gadis itu.
Sementara itu api obor te-
lah membakar ruangan. Roro
terkejut juga karena tak
menyangka kalau si Cakar Naga
Setan akan berbuat
licik demikian, menjadikan si
gadis tawanannya seba-
gai sandera.
Melihat api berkobar dan kedua
gadis tawanan
itu berteriak ketakutan, Roro
segera kibaskan lengan-
nya memadamkan api.
Namun saat itu si Cakar Naga
Setan telah me-
lesat masuk ke dalam ruangan
melalui pintu khusus.
Brak! sekejap pintu itu sudah
tertutup kembali. Len-
gan Roro bergerak menghantam
dinding rumah papan
itu hingga jebol berantakan.
"Jangan lari pengecut bu-
suk!" teriak Roro. Namun
bayangan si Cakar Naga Se-
tan sudah tak kelihatan lagi.
Betapa geramnya Roro Centil.
Terdengar suara
lengkingan nyaring wanita pantai
selatan itu. Tiba-tiba
tubuhnya melesat mendobrak
genting wuwungan.
KRRRAAAK...!
Sesaat Roro sudah berdiri
di atas wuwungan
rumah. Benar saja! Kembayan
berada di atas, dan ba-
ru saja sembulkan kepalanya dari
sebuah lubang men-
ganga di atas wuwungan. Sepasang
mata Roro ternyata
telah melihat dengan jeli
sekali, walau sinar bulan tak
cukup menerangi dengan jelas.
Kakinya bergerak men-
congkel pecahan genting. Dan....
TAS!
Roro telah menendangnya dengan
ujung terom-
pah. Pecahan genting itu memecah
menjadi beberapa
bagian, dan meluruk ke arah
kepala si Cakar Naga Se-
tan. Terbelalak mata laki-laki
itu. Trak! tak! tak!
Untung dia cepat menyeplos
kembali ke dalam
lubang, tertambat sedikit saja
pecahan genting itu
akan menembus batok kepalanya.
Namun Roro sudah mengetahui
dimana si Ca-
kar Naga Setan bersembunyi.
Segera Roro berteriak.
"Hei! lutung gundul! Aku
tak perdulikan gadis
itu mampus atau tidak! Kalau kau
tak keluar akan
kuhancurkan rumah ini berikut
semua yang ada di da-
lamnya! kecuali kau mau kuajak
berdamai! Segera kau
turunlah! Seraya berkata, Roro
Centil melompat ke
bawah. Dan hinggap ditanah
dengan gerakan ringan.
Akan tetapi baru saja kakinya
menyentuh ta-
nah, telah membersit belasan
senjata rahasia meluruk
ke arahnya.
"Keparat! keroco-keroco
sialan! Kalian mencari
mati!" bentak Roro. Gadis
pantai selatan ini
putarkan tubuhnya. Rambutnya
yang terurai
bergerak mengibas. Tak menunggu
lama lagi empat so-
sok tubuh terjungkal roboh,
termakan senjata-senjata
rahasia yang dilontarkan mereka
sendiri. yang telah
berbalik meminta korban
majikannya.
Lima orang perampok anak buah si
Cakar Naga
Setan tampak ke sisi dinding
rumah. Roro perdengar-
kan dengusan di hidung. Tubuhnya tiba-tiba melesat
lenyap. Dan... sukar diikuti
oleh mata, karena tak lama
kemudian kelima sosok tubuh itu
terlempar ke udara
dengan jeritan-jeritan kematian.
Dan tubuh-tubuh itu
jatuh bergedebukan ke tanah
untuk melepaskan nya-
wa.
Seketika keringat dingin si
Cakar Naga Setan
mencucur deras membanjir di sekujur tubuh tiada
henti, di tempat
persembunyiannya.
Laksana berhadapan dengan Malaikat
Maut sa-
ja layaknya. Bergetar sekujur
tubuh laki-laki itu den-
gan mata membeliak menyaksikan
anak buah nya ba-
gaikan daun-daun
kering diterbangkan angin berge-
limpangan tewas.
"Tungguuu...!"
teriaknya seraya melompat ke-
luar.
"Bagus!" berkata Roro
seraya sudah palingkan
wajahnya menatap si Cakar Naga
Setan. Bibir wanita
ini menampakkan senyum yang
mengerikan dalam ta-
tapan matanya.
"Kau mau kuajak
berdamai?" tanya Roro den-
gan bertolak pinggang.
"Yy... ya...! aku bersedia
menyerahkan semua
harta yang ku rampok! Dan
kita... kita berdamai." ujar
si Cakar Naga Setan.
"Bagus!" segera
kumpulkan barang-barang! pe-
rintahkan sisa-sisa anak buahmu
mengumpulkannya
di halaman. Dan kau tak kuperkenankan melangkah
sedikitpun dari tempatmu!"
berkata Roro dengan suara
berpengaruh.
"Ba... baik! tapi dengan
syarat! Aku dan sisa
anak buahku kau perkenankan
meninggalkan tempat
ini!"
"He...? nanti dulu! aku tak
butuh segala macam
syarat! Kau telah membunuh
beberapa orang desa
dengan keji! Mereka tak
bersalah! Kalian telah pula
membakar rumah dan merampok
harta.
Selain itu pula kau telah
mempermainkan
kaum ku! Entah berapa banyak
perempuan yang telah
kau perlakukan dengan seenak
perutmu! Rupanya tak
ada jalan lain selain kau
serahkan dirimu! Aku akan
membawamu kepada yang berhak
menentukan huku-
man apa yang terbaik buat kalian
terutama kau, Cakar
Naga Setan! Atau kau mau
tunjukkan kehebatan Ca-
kar Naga kentutmu itu di hadapan
ku?"
Merah padam seketika wajah
laki-laki ini.
Menghadapi Roro ternyata tidaklah mudah.
Apalagi dia pernah mengibuli si
nona Pendekar
ini. Untuk melepaskan diri kedua
kalinya cukup sulit
rasanya. Hal mana membuat dia
jadi nekat.
Tiba-tiba dengan menggerung
keras laki-laki
kepala perampok ini menerjang
lenyaplah sudah rasa
takutnya. Lupalah dia akan
kejadian yang telah mem-
buat dia mengapung di udara pada beberapa bulan
yang lalu. Sepasang cakarnya
menyambar bagaikan
puluhan cakar maut yang
bersiutan mengancam jiwa
sang gadis Pendekar ini.
Akan tetapi Roro Centil cukup
dengan pakai ju-
rus Bidadari Mabuk Kepayang,
loloslah dia dan bebe-
rapa serangan berbahaya.
Hal mana membuat si Cakar Naga
Setan sema-
kin menjadi-jadi kemarahannya.
Tiba-tiba dia merobah gerakan
silatnya. Tu-
buhnya berkelebatan bagai
bayangan. Inilah jurus Se-
ribu Bayangan! jurus yang
menjadi andalannya Se-
mentara dalam berkelebatan itu
sesekali cakarnya me-
nyambar batok kepala lawan.
Terkejut juga Roro Centil
menghadapi jurus ini. Karena dia
harus konsentrasi-
kan indranya untuk mengetahui
mana tubuh lawan
yang asli
Dua puluh jurus berlalu.
Ternyata Roro masih
dapat mengimbangi dengan
kegesitannya, bahkan sen-
gaja mengulur waktu agar si
Cakar Naga Setan kehabi-
san napas, karena kecapaian.
Dan pada saat yang tepat, Roro
lakukan seran-
gan telak menotok tiga jalan
darah lawan. Robohlah si
Cakar Naga Setan dengan memekik
tertahan. Melihat
ketuanya dapat dipecundangi,
segera sisa-sisa kawa-
nan perampok itu munculkan diri
untuk menyerah.
Wajah-wajah mereka tampak pucat
dalam ca-
haya bulan yang telah bersitkan
cahaya terangnya.
Masing-masing berjongkok dengan
memegangi kepala
dengan suara menghiba minta
diampunkan jiwanya.
"Semua yang berada di dalam segera keluar!
kalau berani melarikan diri,
jangan salahkan aku ka-
lau aku bertindak kejam!"
teriak Roro dengan suara
lantang. Akan tetapi memang tak
ada sisa lagi dari de-
lapan perampok anak buah si
Cakar Naga Setan. Ke-
cuali seorang yang membandel
melarikan diri ke dalam
gelap. Dialah Klampot! laki-laki
kekar ini memilih me-
larikan diri menuju keluar pagar
melalui belakang ru-
mah, dengan memondong seorang
gadis tawanan. Yai-
tu Sungkimah. Akan tetapi
pendengaran Roro kali ini
sudah digunakan dengan tajam,
mendengar dari jarak
jauh Dan Roro segera mengetahui
jejak langkahnya Ti-
ba-tiba tubuh si Pendekar Wanita
ini berkelebat....
Kedelapan perampok terbelalak
ternganga. Dan
beberapa kejap kemudian telah
terdengar jeritan parau
laki-laki bernama Klampot itu.
Kepala mereka semua menengadah
ke atas.
Ternyata sesosok tubuh terlempar
melambung ke uda-
ra dengan keluarkan teriakan
parau.
Dan jatuh berdebuk tak jauh dari
hadapan me-
reka. Bergidik ngeri kedelapan
perampok ini melihat
Klampot tak berkutik lagi dalam
keadaan tulang-tulang
remuk.
Terdengar suara tertawa mengikik
Roro Centil
yang membangunkan bulu roma.
Dan... tahu-tahu
bersyiur segelombang angin
menerpa tubuh kedelapan
anak buah si Cakar Naga Setan.
Terdengar suara-
suara keluhannya diiringi
bergedebukan jatuh kedela-
pan orang itu. Roro muncul
kembali dengan memang-
gul tubuh si gadis bernama
Sungkimah itu dipundak-
nya.
"Hihihi... hari sudah
malam, kalian beristira-
hatlah disini dulu. Besok kalian
harus bekerja men-
gantar barang rampokan itu ke
desa korban kalian,
dan mengembalikan ketiga gadis
tawanan yang kalian
culik!" ujar Roro.
Kedelapan orang itu cuma manggut-
manggut dan menyahut dengan
suara mengeluh.
"Baik...! ba...
baik...!" Akan tetapi disamping
mengeluh, hati mereka bergirang
karena Roro tak
membunuhnya. Segelombang angin
yang menerpa cu-
ma membuat urat-urat tubuh
mereka menjadi kaku
tanpa bisa dapat digerakkan
lagi.
Tahulah mereka kalau si wanita Pendekar
telah
lancarkan jurus menotok jarak
jauh yang amat hebat.
Setelah perdengarkan tertawa
dingin dan an-
camannya yang membuat tubuh
kedelapan orang itu
bergidik, segera beranjak
melangkah menuju rumah
tinggal para perampok itu.
Ketika melewati tubuh si
Cakar Naga Setan Roro
mendenguskan suara di hi-
dung. Tiga totokannya telah
melumpuhkan "Naga" ini
untuk tak dapat berkutik lagi.
Akan tetapi terperanjat
Roro ketika melihat dara
mengalir dari mulut Kem-
bayan. Diantara darah yang
bersimbah itu tampak se-
potong lidah yang telah putus.
Biji mata laki-laki ini
membeliak tak berkedip lagi,
yang nampak hanya pu-
tihnya saja. Ketika Roro
memperlihatkan dengan jelas
ternyata si Cakar Naga Setan ini
telah tewas. Dia bu-
nuh diri dengan menggigit
lidahnya sendiri...!
"Manusia bodoh! rupanya kau
mengambil jalan
"terbaik" menurut
pendapatmu...!" Tubuh Roro berke-
lebat untuk segera memasuki
rumah besar itu. Dan
pada keesokan harinya perahu
besar milik perampok
itu sudah mengarungi sungai
Mahakam untuk men-
gembalikan harta rampokan, serta
mengembalikan ke-
tiga gadis tawanan itu. Tentu
saja perjalanan itu di
bawah pengawalan Roro Centil.
Dara Perkasa ini berdi-
ri di depan geladak, berpegang pada tali tiang
layar
dengan gagahnya. Sementara kedelapan orang bekas
anak buah si Cakar Naga Setan
itu membantu men-
dayung dan memegang kemudi.
Sebenarnya hati kedelapan orang
itu agak ke-
bat-kebit karena khawatir akan
balasan dari penduduk
untuk memberi hukuman pada
mereka. Akan tetapi
Roro telah menjamin
keselamatannya. Dan memang
sebenarnya mereka tak mempunyai
kesalahan yang
terlalu berat.
Perahu besar itu terus meluncur
ke arah suara.
Sungai Mahakam yang bersih
jernih itu tiba-tiba ber-
golak menyibak... Dan puluhan
ekor buaya putih ber-
munculan dipermukaan air. Tentu
saja membuat kede-
lapan orang pendayung perahu
terperangah kaget.
"Celaka..! kita tak dapat
teruskan perjalanan!
Entah ada kesalahan apa pada
kami, hingga tak seper-
ti biasanya "mereka"
mengganggu...!" Berkata salah
seorang pada Roro dengan wajah
pucat. Roro Centil
kerutkan keningnya memandang
ke depan, dimana
puluhan ekor buaya putih itu
seperti sengaja mengha-
dang.
"Gulungkan layar! kita
menepi!" perintah Roro.
Perintah segera dilaksanakan.
Sementara ketiga wanita
tawanan yang akan dipulangkan
itu juga memandang
dengan wajah pucat. Akan tetapi
tiba-tiba perahu be-
sar itu bergerak memutar,
seperti terbawa pusaran air
dari bawah permukaan.
Lalu perahu itupun oleng ke kiri
dan ke kanan.
Tentu saja teriakan-teriakan ketakutan terdengar dari
mulut ketiga gadis. Begitu
kerasnya oleng perahu
hingga seorang dari kedelapan
pendayung itu terjung-
kal masuk sungai.
"Tolooong...! haep..."
teriaknya, seraya berusaha
berenang ke perahu. Akan tetapi
sekejap tubuhnya te-
lah lenyap. Terperanjat Roro.
Baru sekali ini mengala-
mi kejadian aneh semacam itu.
Putaran perahu itu semakin
cepat, dan sema-
kin oleng badan perahu. Dua
orang anak buah si Ca-
kar Naga Setan kembali
perdengarkan teriakannya,
Tubuh mereka terjungkal ke
sungai. Lalu lenyap dite-
lan ombak. Apakah yang diperbuat
Roro? Saat itu juga
dia sudah sambar tubuh dua orang
gadis untuk me-
lompat ke darat. Baru saja Roro
jejakkan kakinya ke
tanah. Terdengar suara jeritan
saling susul, ketika se-
kejap perahu besar itu telah
terbalik. Lalu tenggelam
bagaikan disedot masuk ke dalam
air yang bergulung-
gulung. Teriakan-teriakan
manusia yang masih berada
di dalam perahu besar itu
sekejap saja lenyap, bersa-
ma lenyapnya perahu besar itu.
Terbelalak sepasang mata Roro
memandang-
nya. Diam-diam bergidik juga
tengkuk Roro. "Kasihan,
aku tak dapat menyelamatkan
gadis yang satu lagi!"
berkata Roro dalam hati.
Anehnya puluhan buaya putih yang
tadi terli-
hat bermunculan di atas
permukaan air sungai telah
lenyap.
Air sungai kembali mengalir
tenang, mening-
galkan gelembung-gelembung air
di bekas tenggelam-
nya perahu.
"Kejadian aneh ini harus
diselidiki...! Akan te-
tapi aku harus mengantar kedua
gadis ini dulu ke de-
sanya...!" pikir Roro dalam
benaknya. Lalu tatap kedua
gadis itu, yang diantaranya
terdapat Sungkimah. Tam-
pak wajah-wajah pucat mereka.
Sesaat Roro menatap
ke atas tebing dengan tengadahkan kepala. Tiba-tiba
lengannya bergerak meraih kedua
pinggang si dua ga-
dis itu. Dan...
Sstt... tap! Roro Centil telah
membawanya me-
lesat ke atas tebing dan
hinggapkan kaki dipuncak ba-
tu dengan ringan.
Kedua gadis itu menahan napas
dan menutup
matanya dengan perasaan ngeri.
Selanjutnya mereka
cuma merasakan tubuhnya meluncur
cepat sekali. Ke-
tika kedua gadis itu membuka
matanya, ternyata telah
berada di tengah desanya. Tentu
saja kemunculan ke-
dua gadis itu bersama seorang
wanita muda yang ten-
gah menjadi topik pembicaraan
di setiap sudut desa
itu membuat penduduk jadi
terkejut. Akan tetapi juga
bergirang, karena melihat
kembalinya kedua gadis itu
bersama si wanita Pendekar.
Seorang bocah laki-laki berusia
kurang lebih 10
tahun segera mengenali kakaknya.
Dan... berlarilah
dia memburu ke arahnya.
"Kakak...!
kakaaak...!" teriaknya penuh haru.
Gadis yang dipanggilnya itu
ternyata mengenali adik-
nya. Dan diapun berlari untuk
memburu sang adik.
Selanjutnya keduanya telah
berpelukan dengan me-
nangis terharu. Sementara gadis
yang satunya segera
mendekati pada Roro, seraya
berkata.
"Kakak Pendekar...! terima
kasih atas bantuan
dan pertolongan kakak...! Entah
dengan apa kami
membalas budi anda...!"
ucapnya dengan air mata ber-
linang.
"Roro manggut-manggut
dengan tersenyum.
"Sudahlah...! pergilah kau
temui sanak famili mu! dan
ceritakan, bahwa aku tak dapat
menyelamatkan seo-
rang dari kawanmu yang terculik,
karena kejadian
aneh di muara sungai
itu...!"
Selesai berkata, tubuh Roro
berkelebat. dan le-
nyap dari pandangan mata
penduduk.
Sungkimah lepaskan pelukannya
pada sang
adik. Akan tetapi ketika menoleh
ke arah Roro, kecewa
dan tertegunlah dia, karena tak
menampak si Pende-
kar Wanita yang telah menolongnya
itu.
"Dia telah pergi,
Sungkimah...!" ucap gadis itu.
"Ah, betapa cepatnya...!
betapa hebatnya...!
sayang aku belum sempat ucapkan
terima kasih untuk
yang kedua kalinya...!"
ucap Sungkimah dengan hati
masygul. Sementara itu seorang
wanita tua telah ber-
lari-lari ke arahnya.
"Anakku...
aaa...aanakku...! kau... kau sela-
mat...? Oh, Tuhan... syukurlah!
syukurlah. ." berkata
si wanita tua seraya kemudian
memeluk sang gadis
anaknya itu dengan hati girang
dan terharu.
Tak dikisahkan betapa gembiranya
dua orang
gadis itu. Gadis yang satu lagi
pun telah berpelukan
dengan ayah dan ibunya. Dan
seluruh penduduk sege-
ra berdatangan untuk menanyakan
perihal pertolon-
gan si Pendekar Wanita aneh dan
sakti itu. Sementara
Kepala Desa cuma bisa tersenyum
haru, mengetahui
anak gadisnya tak dapat
diselamatkan.
Tapi dia mengetahui kejadian itu
adalah karena
musibah lain. Karena dari
penuturan kedua gadis, si
Kepala Perampok itu telah tewas.
Tapi penuturan kedua gadis
tentang kejadian di
muara sungai Mahakam telah
membuat mereka terpe-
rangah dengan mata terbelalak.
Sementara diam-diam seorang
laki-laki tua
berdesis pelahan dengan wajah
berubah pucat. "Cela-
ka...! pasti perbuatan lasykar
Ratu Siluman Buaya Pu-
tih, si Peri Lubuk Siluman
itu...!"
Tak lama laki-laki berjubah
kumal itu beringsut
keluar dari kerumunan penduduk.
Lalu lenyap dibalik
tikungan jalan desa.
Dialah seorang dukun tua yang
mengetahui ra-
hasia kejadian aneh di muara
Sungai Mahakam.
***
LIMA
Roro melangkah memasuki sebuah
kota yang
agak ramai di kawasan daerah
itu. Sementara benak-
nya masih saja tak dapat
melupakan kejadian aneh di
muara sungai Mahakam.
Beberapa orang laki-laki dan
wanita tampak
berkerumun disudut kota itu,
tepat disamping sebuah
restoran kecil yang banyak
pengunjungnya.
"Obat kuat...! obat
kuat...! ya! siapa lagi! mu-
rah! nyaman dan tahan lama...!
Pasti puas!" teriak seo-
rang pedagang obat sisi jalan yang menggembar-
gemborkan obat dagangannya.
Si pedagang obat itu seorang
laki-laki tegap
berkumis sebesar jari. Tanpa
mengenakan baju. Berce-
lana pangsi warna hitam.
Berambut panjang sebatas
bahu dengan ikat kepala hitam.
Sehelai kain diben-
tangkan di tanah. Dimana di
atasnya terlihat obat-obat
yang didagangkannya, berbentuk butiran-butiran pel
berwarna kehitaman. Sepintas
memang mirip kotoran
kambing.
"Satu butir untuk setiap
kali mau tidur." berka-
ta tukang obat yang usianya
sekitar 35 tahun itu. Seo-
rang pembeli manggut-manggut
seraya menerima
bungkusan obat yang dibelinya.
"Ya...! siapa lagi? cuma
tinggal satu, dua tiga...
empat... lima! ya, tinggal lima
orang lagi! cepatlah! Hari
ini adalah hari terakhir kami
buka disini! Kemanjuran
obat kami telah diuji, dan sudah
banyak yang memuji!"
Ucapnya dengan nada keras,
merayu pembelinya.
Roro yang kepingin tahu segera
beranjak
menghampiri. Beberapa orang
penonton segera me-
nyingkir ke tepi dengan
cengar-cengir.
"Aha...! seorang gadis
asing dari mana...? Eh,
mau beli obat kuat dia barangkali...?"
terdengar suara
berbisik-bisik.
"Ssst....! coba perhatikan.
Alangkah cantiknya
gadis ini? Baru selama ini ku
melihat seorang gadis se-
cantik dan semanis ini..."
ujar kawannya. Saat itu seo-
rang laki-laki dari arah sisi
penonton, beranjak meng-
hampiri Roro seraya pura-pura
kakinya tersandung.
"Hai! jangan
mendorong...!" teriaknya seolah-
olah kaget. Akan tetapi
lengannya bergerak merangkul
pinggang Roro. Cepat sekali
kejadian itu. Roro Centil
bertindak gesit, menyambar tubuh
seorang wanita tua
bertubuh gembrot di hadapannya.
Lalu asongkan pada
si laki-laki yang pura-pura
terjatuh itu.
"Aiiiyaaa...!? maaf, maaf
nona..." Laki-laki itu
tertawa menyeringai. Sepasang
lengannya memeluk
erat pinggang orang, yang
dikiranya pinggang si dara
cantik pendatang asing itu. Akan
tetapi terkejut dia
mengetahui siapa yang telah
dipeluknya. Ternyata tu-
buh wanita gembrot, tua dan
sudah ubanan. Seketika
merahlah wajahnya karena malu.
"Oh, maaf, maaf,
mak! aku tak sengaja...!"
ucapnya gelagapan. Selanjut-
nya dia segera ngeloyor pergi
dengan tersipu.
Sementara diam-diam laki-laki
ini terheran ka-
rena tak melihat Roro berada di
situ lagi. "Heran, ke-
mana gadis asing itu? cepat
sekali lenyapnya!" berkata
dia menggumam.
Beberapa orang lainnya yang tadi
melihat Roro
pun terheran karena cepat sekali
lenyapnya Roro dari
pandangan mata mereka. Sementara
tukang obat ma-
sih menjajakan dagangannya tak
mengetahui kejadian
barusan.
Kemanakah Roro Centil? ternyata
dia telah be-
rada di dalam ruangan restoran
duduk dibangku dis-
udut ruangan.
Seorang pelayan segera menghampiri dengan
terheran, karena tak melihat
gadis ini masuknya.
"No... nona pesan makanan
apa... ?" tanyanya
memperhatikan wajah si tetamu.
"Apapun boleh! asalkan
makan enak pasti ku
ganyang...!" sahut Roro
seperti acuh tak acuh. Lidah-
nya terjulur sedikit, basahi
kedua bibirnya. Sementara
lirikan matanya memperhatikan
seorang laki-laki yang
duduk di sebelah kanannya.
Laki-laki ini berbaju serba
putih. Tadi ketika dia
berkelebat masuk ke dalam,
hanya dialah yang mengetahui
kedatangannya.
Yang membuat Roro agak aneh
adalah sepa-
sang mata laki-laki itu
membersitkan sinar tajam ba-
gaikan menusuk jantung. "Siapakah
dia?" tanya Roro
dalam hati. Roro merasa tak
bermusuhan pada laki-
laki itu, akan tetapi sinar
matanya seperti mengan-
dung maksud tidak baik
terhadapnya. Itu menurut
dugaan Roro. Ketika selesai
bersantap, si tetamu laki-
laki berbaju serba putih itu
beranjak keluar setelah
membayar makanan.
Cepat-cepat Roro memanggil
pelayan. Setelah
membayar, tanpa menunggu pengembalian uangnya,
Roro bergegas keluar untuk
menguntitnya.
Cepat sekali berjalannya
laki-laki berbaju putih
itu. Kali ini Roro tak boleh
ayal memasang indranya,
agar tak kehilangan jejak.
Ternyata yang ditujunya
adalah ke arah muara sungai
Mahakam.
Tiba-tiba di sisi sungai tubuh
laki-laki ini mele-
nyap sirna. Tentu saja Roro
Centil jadi terkejut, sepa-
sang matanya menatap heran. Roro
menduga laki-laki
itu menggunakan ilmu Halimunan,
akan tetapi me-
mandang dengan mata batin
ternyata tubuh si laki-laki
itu berubah menjadi seekor buaya
putih. Terperangah
Roro Centil. Tahulah dia kalau
laki-laki itu sebangsa
siluman.
Buaya putih itu segera merayap
masuk ke da-
lam sungai menyelam dan sesaat
kemudian Roro baru
tersadar dari terperangahnya.
Roro Centil termangu-mangu
memandang tem-
pat kosong. Sementara itu
kembali terbayang kejadian
aneh yang telah menenggelamkan
perahu dan mema-
kan korban sembilan nyawa dari
perahu perampok
yang ditumpanginya.
Roro mengambil keputusan untuk
menyelidiki
keadaan di bawah air.
Akan tetapi Roro memang perlu
bersemadhi du-
lu mencari petunjuk, apakah
adanya kejadian ini ber-
hubungan dengan benda mustika
yang dalam usaha
pencariannya....? Hal itulah
yang membuat Roro ter-
paksa harus menahan sabar untuk
menanti saat ter-
baik mengungkap misteri di dasar
sungai Mahakam.
Sesaat tubuh si Pendekar Wanita
Pantai Sela-
tan itu berkelebat pergi dari
tempat itu. Sementara di-
am-diam dia mengingat-ingat
wajah laki-laki penjel-
maan si siluman Buaya Putih.
Baru saja kakinya jejakkan di
tanah berbatu di
atas tebing, satu suara
terdengar menyapa. "Kakak
Pendekar...!" Roro tahan
gerakan lengannya yang tadi
sudah disiapkan untuk menghantam
bila terjadi ke-
mungkinan.
Ternyata Roro telah waspada dan
mengetahui
adanya sesosok tubuh dibalik
batu besar di atas tebing
itu.
Disamping terkejut, juga heran
si Pendekar
Wanita ini karena ternyata sosok
tubuh itu adalah seo-
rang bocah laki-laki berusia
kurang lebih 10 tahun.
Barulah dia ingat kalau bocah
itu adik Sungkimah, si
gadis yang beberapa hari yang
lewat telah ditolongnya.
Sekejap Roro sudah melompat ke
hadapannya,
dan bertanya dengan heran.
"Eh, adik kecil yang gagah!
sedang mengapa
kau di tempat ini?"
"Kakak Pendekar, sebelum
menjawab perta-
nyaanmu, aku mewakilkan kedua
orang tuaku mengu-
capkan terima kasih pada kakak
Pendekar atas perto-
longan kakak tempo hari!"
berkata si bocah laki-laki
dengan membungkukkan tubuhnya.
Sementara sepa-
sang matanya lalu menatap kagum pada Roro. Akan
tetapi sepasang mata itu tampak
berkaca-kaca.
Dan... selanjutnya dengan seka
air matanya, si
bocah laki-laki itu kuatkan hati
untuk bercerita.
Ternyata si bocah laki-laki
ceritakan tentang
keadaan di desanya sepeninggal
Roro. Pada malam itu
juga terjadi penyerbuan
buaya-buaya putih ke dalam
desa. Buaya-buaya siluman itu
ternyata menggondol
kembali kedua gadis desa itu,
dan lenyap dalam ke-
pungan penduduk.
Kejadian menyedihkan serta
musibah yang ber-
turut-turut menimpa desa Tembalu
membuat pendu-
duk gelisah, resah. Lenyap
bencana perampok, kini
muncul bencana siluman.
Diam-diam si bocah laki-laki
ini pergi dari rumahnya tanpa
setahu kedua orang tu-
anya, dengan tujuan mencari Roro
Centil. Ternyata
berhasil menjumpai Roro di
tempat itu...
Terenyuh hati Roro mendengar
penuturan itu.
Jerih payahnya menolong dua
gadis desa itu cuma sia-
sia. Dipandanginya wajah si bocah laki-laki dengan
penuh perasaan iba.
"Aku pasti akan membalaskan
dendammu itu,
adik gagah!" ujar Roro
seraya mengusap kepala anak
itu. Bocah ini menatap Roro
dengan mata basah. Tiba-
tiba dia memeluk kaki Roro
dengan terisak.
"Oh, terima kasih...!
terima kasih kakak Pende-
kar....!"
"Haiiiih! sudahlah,
siapakah namamu adik ga-
gah....!" tanya Roro.
Cepat-cepat anak itu usap air ma-
tanya lagi dan menjawab dengan
tersenyum.
"Namaku... Sugala!"
"Namamu bagus! Nah, kini
kau akan kuantar
pulang. Tentu kedua orang tuamu
akan lebih susah
karena kehilangan mu...!"
berkata Roro.
"Aku tinggal dengan seorang
tua laki-laki. Dia
seorang dukun sakti yang
mengetahui tentang silu-
man-siluman buaya itu!"
ujar Sugala.
"He? begitukah" tanya
Roro dengan heran, akan
tetapi diam-diam hatinya
bergirang. Bocah laki-laki itu
mengangguk. "Kedua orang
tuakupun telah mengeta-
hui aku ada bersamanya..."
ucapnya dengan tenang.
"Bagus! kalau begitu
ajaklah aku ke tempat
orang tua itu!" ujar Roro
dengan leletkan lidah basahi
bibirnya. Sepasang matanya
berkejap-kejap, sementara
hatinya berkata. "Mujurlah
kalau demikian, karena
aku segera bisa tahu mengenai
siluman-siluman buaya
putih itu!"
"Marilah, kakak
Pendekar..." ujar Sugala seraya
berlari-lari dengan girang
menuju ke arah belakang
bukit di atas tebing itu.
Roro beranjak mengikuti dengan
tersenyum
melihat si bocah laki-laki itu
mendaki lereng bukit
dengan merangkak. Keinginannya
untuk tiba
lebih cepat di tempat si laki-laki
tua yang dikatakan
Dukun Sakti itu oleh si bocah,
membuat Roro bergerak
melompat dan menyambar tubuh
bocah itu. Dan... se-
kali tubuhnya melesat, sekejap
sudah tiba di atas bu-
kit.
Tentu saja membuat anak itu
tertawa girang.
"Di bawah bukit sana itulah
tempat kakek dukun itu
tinggal!" ujar Sugala.
"Bagus! mari kita kesana:
"Berkata Roro seraya
kembali melesat menuruni bukit.
Bocah laki-laki ini
sepanjang perjalanan
tertawa-tawa girang, bahkan
berkali-kali memuji kehebatan
ilmu "terbang" Roro
yang pergunakan kecepatan
larinya untuk cepat tiba di
tempat yang dituju.
***
Emoticon