SATU
DATUK LIMAU PURUT hunjamkan
berkali-kali
keris berlekuk tujuh itu ke
lambungnya. Orang-orang
menjerit ngeri Akan tetapi
segera berseru kagum, ka-
rena bukan kulit lambungnya yang
robek tertembus
keris melainkan keris itu
sendiri yang bengkok-
bengkok dibuatnya.
"Hebat! Hebat...!"
serentak terdengar pujian
disana-sini. Dan selanjutnya
segera terdengar tepukan
tangan riuh rendah disertai
teriakan-teriakan gegap
gempita.
"Hidup Datuk Limau
Purut!"
"Hidup Datuk Limau
Purut...!"
Sementara orang berteriak memuji
seorang la-
ki-laki bertubuh kekar berusia
kira-kira 30 tahun lebih
beranjak keluar dari jejalan
penonton memasuki ruang
arena adu kesaktian itu.
Seketika teriakan-teriakan itu
terhenti. Semua mata menatap
pada laki-laki ini yang
melangkah lebar menghampiri si
manusia kebal itu.
"Nama ku SAWOR...!"
katanya memperkenalkan
diri, seraya menatapkan
pandangannya ke sekeliling
penonton, tanpa memandang pada
laki-laki bergelar
Datuk Limau Purut.
"Aku yang rendah ini ingin
menunjukkan sedi-
kit kepandaianku, apakah
diantara kalian ada yang
mempunyai sebuah golok
tajam...?" ucapnya dengan
suara lantang. Hening sejenak
tanpa ada yang menya-
hut. Sementara beberapa orang
penonton yang menge-
lilingi arena itu mulai
kasak-kusuk, membicarakan
siapa adanya orang yang berani
maju ke tengah ge-
langgang tanpa memandang sebelah
mata pada Datuk
Limau Purut itu.
"Ini golokku
pakailah...!" tiba-tiba terdengar sa-
tu suara dari jejalan penonton.
Seorang laki-laki ber-
tubuh jangkung melemparkan sebuah
golok besar
yang berkilat ke arah laki-laki
bernama Sawor itu. Rin-
gan sekali lengan Sawor bergerak
menangkapnya. Se-
kejap golok besar itu sudah
tercekal di tangannya.
"Eh, ilmu kesaktian apakah
yang akan kau tun-
jukkan...?" berkata Datuk
Limau Purut dengan suara
setengah membentak. Wajahnya
tampak merah pa-
dam. Hatinya tersinggung benar
melihat tingkah laku
laki-laki yang seperti tak
menganggap adanya dia di si-
tu.
Sawor tak menyahut, melirikpun
tidak pada
Datuk Limau Purut yang beranjak
melangkah dua tin-
dak ke hadapannya. Bahkan dia putar tubuh lalu
menghadap pada penonton yang
mengelilingi "Kalian
saksikanlah kebodohan ku, apakah
dalam hal ini aku
dapat dikatakan berada di bawah
kehebatannya...?" te-
riaknya lantang dengan mengacungkan
golok besar itu
tinggi-tinggi di atas kepala. Sementara lengan kirinya
mencengkeram rambut. Dan
tiba-tiba pada detik itu
juga... Des!
Apakah yang telah dilakukannya?
Ternyata ce-
pat sekali goloknya berkelebat
menabas batang leher-
nya sendiri hingga putus. Darah
menyemburat. Penon-
ton terpekik ngeri. Dan Datuk
Limau Purut terbelalak
menatap.
"Hahaha... Datuk Limau
Purut yang gagah,
mampukah kau melakukan hal
seperti ini...?" Terpe-
rangah sang Datuk dengan wajah
pucat bagai kertas.
Kakinya melangkah mundur dua
tindak ketika lengan
Sawor yang tanpa kepala itu
bergerak menunjukkan
kepalanya dalam cengkeraman
sebelah lengan laki-laki
itu ke arahnya. Kepala itu masih
bisa bicara, dan ter-
tawa menyeringai... Tentu saja
membuat Datuk Limau
Purut kaget setengah mati,
seperti tak percaya pada
penglihatannya.
Penonton yang mengelilingi arena
bagaikan ter-
sirap darahnya, masing-masing
terpaku menatap Sa-
wor dengan mata membelalak tak
berkedip. Manusia
apakah Sawor ini, yang dapat melakukan
ilmu kesak-
tian semacam itu? pikir benak
masing-masing.
Selang sesaat dengan tertawa
berkakakan, Sa-
wor lekatkan lagi kepalanya pada lehernya. Lalu
len-
gannya bergerak mengusap...
Aneh! Sekejap kemudian
kepala Sawor telah kembali
melekat pada lehernya
tanpa bekas luka sedikit pun.
Bahkan bekas-bekas da-
rah itu langsung lenyap!
Seperti terkena sihir semua
penonton terpaku
memandang pertunjukan aneh itu.
"Nah! Apakah sedi-
kit kebodohanku itu dapat
mengungguli kehebatan si
Datuk Limau Purut ini...?"
teriak Sawor dengan suara
lantang. Akan tetapi tak
sepotong-pun suara terdengar
menyahut, apa lagi
bersorak-sorai. Seorangpun dari
para penonton tak ada yang
mengenal siapa laki-laki
itu dan dari mana asalnya.
Pertunjukan yang diperli-
hatkan laki-laki bernama Sawor
itu bukan saja mem-
buat penonton jadi ngeri melihat
Sawor, akan tetapi
juga terperangah berdiri menatap
dengan bulu teng-
kuk meremang.
"Hm, baiklah...! Kalian
ternyata tidak adil da-
lam melakukan penilaian! Kini
akan kubuktikan, apa-
kah si Datuk Limau Purut mampu
menahan tajamnya
golok ini pada lehernya? Ingin
kulihat kekebalan kulit
tubuhnya!" Teriak Sawor
dengan suara lantang yang
terdengar dingin mencekam.
Tiba-tiba secepat kilat tu-
buh Sawor membalik, dan... DESS...!
Terdengar teria-
kan kaget penonton yang hampir
serempak karena ter-
kejut. Datuk Limau Purut tak
sempat lagi untuk berte-
riak, karena sebuah kilatan
golok telah menyambar ke
arahnya. Apa yang terjadi?
Ternyata kepala Datuk Limau
Purut seketika
terlepas dari lehernya yang
putus sapat terkena tajam-
nya golok di tangan Sawor. Dan
tubuh laki-laki beril-
mu kebal itu jatuh menggabruk ke
tanah dengan da-
rah memuncrat mengerikan.
Sejenak semua mata jadi
terpana memandang kejadian itu.
"Hahahaha... ternyata orang
yang kalian bang-
gakan itu tak mampu menahan
ketajaman golok biasa
ini!" berkata Sawor dengan
suara dingin. Seketika sua-
sana penonton jadi gempar.
Sebagian sudah bubar ke-
takutan. Sebagian lagi berdiri
terkesima.
"Manusia iblis! Kau telah
merusak acara per-
tandingan!" tiba-tiba
terdengar bentakan keras, dan
sesosok tubuh berjubah putih
berkelebat melompat ke
tengah gelanggang.
Sawor palingkan wajahnya menatap
siapa yang
datang. Ternyata seorang
laki-laki tua berwajah bersih
tanpa kumis dan jenggot.
Kepalanya terbungkus oleh
ikat kepala mirip sorban
berwarna kuning. Pada len-
gannya tergerai untaian tasbih.
"Heh, aku tak tahu urusan
dengan segala ma-
cam pertandingan. Kalau aku
berhasil membunuhnya
adalah karena aku toh cuma
menguji kekebalan tubuh
si Datuk Limau Purut itu. Apakah
dalam hal ini aku
dapat disalahkan?" Berkata
Sawor dengan mata mena-
tap tajam si laki-laki tua
dihadapannya.
"Kau orang luar, tak berhak
mencampuri uru-
san orang-orang Partai Gagak
Sakti! Tahukah kau
bahwa pertandingan ini adalah
dalam rangka pemili-
han wakil Ketua Partai
itu?" bentak si kakek jubah pu-
tih.
"Hahaha... mana aku tahu?
Aku cuma kebetu-
lan saja lewat di tempat ini.
Siapa suruh pertandingan
itu diadakan diluar, dan mengapa
tak pasang papan
pengumuman bahwa orang luar di
larang ikut cam-
pur?"
"Huh, itu urusan kami.
Wilayah ini masih bera-
da dalam wilayah Partai Gagak
Sakti, kau orang luar
telah memasuki wilayah kami
berarti kau punya kesa-
lahan besar karena mengacau
didaerah kekuasaan
Partai Gagak Sakti!"
Tercenung Sawor, seketika
wajahnya berubah
merah.
"Hm, macam apakah hebatnya
Ketua Partai
Gagak Sakti? Begitu sombongnya
wilayahnya tak boleh
diinjak orang...!" berkata
Sawor dengan nada dingin.
"Boleh aku tahu berhadapan
dengan siapakah
aku...?" tanya Sawor.
"Anda berhadapan dengan
Ketua Partai Gagak
Sakti, bernama MARGA DEWA!
Gelarnya di dunia per-
silatan adalah si NAGA
TERBANG!" tiba-tiba satu sua-
ra menyahuti dibarengi dengan
munculnya empat so-
sok tubuh berkelebat memasuki
arena itu. Melihat
kemunculan empat orang ini
sepasang mata si kakek
jubah putih mendelik kaget.
"EMPAT IBLTS PULAU
MENJANGAN! Angin apa
yang meniupmu sampai
kemari...?" bentak si kakek
bernama Marga Dewa. Tampak
perubahan pada wajah
laki-laki tua ini secara
mendadak ternyata diam-diam
dia amat terkejut juga khawatir
dengan kemunculan
keempat orang dihadapannya itu.
Keempat Iblis Pulau Menjangan
perlihatkan ter-
tawa menyeringai. Salah seorang
berkata sambil berto-
lak pinggang serta memilin-milin
kumisnya yang tebal
sebelah. Dia bernama Katakili.
Wajahnya amat mudah
diingat orang karena sebelah
bibir bagian atasnya ter-
belah dua alias sumbing. Usianya
sekitar 40 tahun.
"Heheheh... bau tubuhmu
yang berdiam di pu-
lau tersembunyi ini semakin
santar tercium oleh kami!
Kami datang untuk mengambil
bocah perempuan yang
berada di tanganmu sejak kau
rebut dari tangan kami
delapan belas tahun yang
lalu!"
"Benar...! Tentunya dia
sudah berubah menjadi
seorang gadis yang cantik!
Heheheh...!" Ujar pula ka-
wannya dari keempat Iblis Pulau
Menjangan. Dari
keempat orang itu si laki-laki
sumbing inilah yang pal-
ing tinggi ilmunya, dan menjadi
saudara seperguruan
mereka yang paling tua. Keempat
Iblis Pulau Menjan-
gan rata-rata memakai baju rompi
dari kulit serigala.
Celana pangsi yang dikenakannya
berbeda-beda. Ada
yang hitam, ada yang berwarna
merah. Ada juga yang
bertambah bermacam warna yang
sudah tak dikenali
lagi warna dasarnya.
Si kakek bergelar Naga Terbang
ini membentak
gusar.
"Empat manusia edan! Jangan
harap kau dapat
mengambil kembali anak itu! Hm,
lagi pula dia tak be-
rada di tempat ini...!"
Mendengar kata-kata itu si Empat
Iblis Pulau
Menjangan saling pandang menatap
pada kawannya.
Tiba-tiba tertawa bergelak dan
cengar-cengir di hada-
pan si kakek.
"Hahaha... hehehe...
kambing Tua tak berjang-
gut ini rupanya pintar
menyembunyikan muridnya."
berkata Tunggir Abang. Dan
segera menimpali adik-
nya, yang bernama Tunggir Ireng.
"Ternyata Ketua Partai
Gagak Sakti pintar ngi-
bul! Heh! Sebaiknya kau serahkan
bocah perempuan
itu! Kau sembunyikan di liang
semut pun tak ada gu-
nanya...!"
Sementara itu Sawor sejak tadi
cuma menden-
garkan kata-kata mereka. Tampak
wajah Marga Dewa
berubah menegang, merah padam.
Diam-diam hatinya
tersentak kaget, karena
kemunculan keempat orang ini
telah mengetahui adanya KEN AYU
di tempat kedia-
mannya.
"Tidak! Walau apa pun yang
terjadi anak itu tak
boleh jatuh ke tangan keempat manusia edan ini...!"
berkata Marga Dewa dalam hati.
"Ah, maaf sobat yang gagah.
Biarkanlah kami
mengurusi Ketua Partai Gagak
Sakti ini lebih dulu...!"
tiba-tiba Katakili membungkuk
memberi hormat pada
Sawor.
"Hm, silahkan! Aku tak mau
turut campur den-
gan urusan kalian!"
menyahut Sawor seraya lempar-
kan golok di tangannya ke tanah.
Dan tubuhnya ber-
kelebat melompat keluar dari
arena yang sudah kacau
itu. Akan tetapi beberapa orang
telah melompat meng-
hadang.
"Manusia Iblis, kau telah
mengakibatkan kema-
tian seorang anggota Partai
Gagak Sakti, jangan, harap
kau dapat meninggalkan tempat
ini dengan masih ber-
nyawa," terdengar bentakan
nyaring memekakkan te-
linga.
Belasan orang dari Partai Gagak
Sakti yang ra-
ta-rata berpakaian putih hitam
telah mengurung Sa-
wor. Ternyata yang berusaha
membentak adalah seo-
rang wanita tua berkulit hitam
keriput. Di lengannya
tercekal tongkat berkepala
burung.
***
DUA
MELIHAT KEMUNCULAN wanita tua
itu tampak
Marga Dewa bernapas lega.
Bibirnya tampak bergerak-
gerak mengirimkan suara jarak
jauh.
"Bagus! Berhati-hatilah
dengan ilmu sihirnya,
Gagak Sakti! Jangan sampai kau
tertipu!" Si wanita
tua yang digelari Gagak Sakti
ini palingkan kepala
memandang pada Marga Dewa,
lalu mengangguk-
angguk sambil tersenyum.
"Heh! Kau bicara apakah
pada nenek hitam je-
lek itu, kunyuk tua
bangka!" membentak Tunggir
Ireng. Kalau dipikir memang lucu
juga laki-laki anggo-
ta dari keempat Iblis Pulau
Menjangan ini karena dia
mengatakan orang nenek hitam
jelek tanpa memikir
dirinya sendiri juga berkulit
hitam. Bahkan sebelah
matanya picak, serta dua buah
codet besar melintang
dibagian tengah wajahnya.
"Hm, apa yang
kukatakan adalah bukan uru-
sanmu! Kalian telah berani
menginjak wilayah kami
dengan tujuan buruk! Kukira
kalian sudah insyaf dan
menjadi orang baik-baik, tak
tahunya semakin mem-
buat kalian berkepala besar!
Kini jangan harap kau bi-
sa keluar dari wilayah ini
dengan selamat!" menggertak
si Naga Terbang.
"Hahaha... dari dahulu
memang watakmu tak
berubah, kakang...! Sombong mu
setengah mati! Sela-
ma ini kau punya ilmu kepandaian
apakah? Coba tun-
jukkan pada kami!" berkata
menghina RUPACI. Laki-
laki brewok ini sejak tadi tak
ikut bicara. Mendelik se-
pasang mata Marga Dewa alias si
Naga Terbang.
"Jangan panggil aku lagi
dengan sebutan itu,
manusia murtad! Kau telah keluar
dari keluarga ku,
dan bukan sanak familiku lagi!
Pengkhianatan mu pa-
da guru telah membuat kemurkaan
besar beliau. Ta-
hukah kau apa pesan guru sebelum
wafat? Beliau
membebaskan tugas padaku untuk
melenyapkan ma-
nusia tak tahu membalas budi
semacam kau!"
"Persetan...!"
membentak Rupaci dengan ma-
kian. "Aku punya hak untuk
menempuh cara hidupku
sendiri! Ada hak apa berani melarangku keluar dari
rumah perguruan?"
"Dengan berguru pada musuh
besar beliau, ju-
ga musuh kaum Pendekar? Huh!
Betapa nistanya ma-
nusia semacam kau yang telah
mengangkat sumpah
dan janji setia mengabdi pada
perguruan, tapi nya-
tanya kau ingkari! Dan kini
nyatanya kau telah menja-
di manusia sesat tak
berguna!" berkata sinis Marga
Dewa.
Mendengar kata-kata demikian
merah padam
seketika wajah Rupaci, dengan
membentak gusar telah
melompat menerjang bekas saudara
seperguruannya
itu.
"Kau memang manusia yang
amat menyebalkan
hatiku, kau mampuslah
siang-siang! Hari ini kau tu-
tup khotbahmu dengan
nyawamu...!"
WHHHUUUKK...! Sambaran lengan
Rupaci
mengarah leher, mencengkeram
ganas dengan kelima
jari tangannya yang berkuku
runcing mengandung ra-
cun.
Marga Dewa telah maklumi hal
itu, segera den-
gan gesit mengegos mengelakkan
serangan. Tak dikira
kalau sebelah lengan Rupaci
telah mencabut senja-
tanya yang berupa sebuah clurit
yang terselip dipung-
gungnya.
WUT! WUT! WUT! Tiga kali kilatan
clurit me-
nyambar ke arah leher perut dan
kaki. Marga Dewa
lentikkan tubuhnya bersalto di
udara menghindari se-
rangan. Hebat gerakan si Naga
Terbang. Ternyata ilmu
ringan tubuhnya telah hampir
mencapai kesempur-
naan. Beberapa kali hantam an
lengan Rupaci dan se-
rangan cluritnya tak berhasil
menggores kulitnya.
Bahkan jubahnya yang berkibaran
itupun luput dari
serangan.
Serangan gencar yang tak memberi
kesempatan
pada si Naga Terbang untuk
menjejakkan kakinya ke
tanah ternyata tak mempengaruhi
gerakan silatnya.
Bahkan Marga Dewa masih sempat
mengirim serangan
balasan. Apakah yang menjadi
dasarnya? Ternyata se-
suai dengan julukannya si Naga
Terbang, Marga Dewa
selalu meminjam angin pukulan
lawan untuk tetap
mengambang di udara. Sesekali lengannya menghan-
tam tempat kosong untuk membuat
tubuhnya melam-
bung.
Enam jurus sudah berlalu, dengan
pertarungan
seru. Tiba-tiba Marga Dewa
membentak keras dari
udara. Tasbihnya meluncur
menyambar dahsyat di
saat Rupaci baru saja
"nyelonong" dibawahnya sehabis
melakukan serangan. Serangan itu
dibarengi hanta-
man telak yang tetap mengena
pada punggung lawan.
Saat Rupaci terhuyung, tubuh
Marga Dewa meletik lagi
dengan indahnya, dan...
WHUUUK...! Menyambarlah tasbih
dilengannya
mengarah batok kepala Rupaci.
Akan tetapi pada detik
maut itu bersiur angin keras
menyambar lengan Marga
Dewa, diiringi bentakan.
"Tahan serangan...!" Mendelik
si Naga Terbang. Seutas rantai
meluncur cepat meng-
gubat lengan. Terpaksa dia
batalkan serangan, untuk
menarik pulang senjatanya.
WHUUK! sebelah lengan-
nya bergerak menghantam rantai.
Akan tetapi ternyata
justru rantai telah menggubat
cepat ke pergelangan
tangannya.
"Hahahah... Naga Terbang!
Kau terbanglah me-
nukik kemari!" Ternyata
yang telah menyerangnya ada-
lah Tunggir Ireng. Salah seorang
dari Empat Iblis Pu-
lau Menjangan ini memang
memiliki senjata yang
aneh, yaitu sebuah ruyung dengan
tiga utas rantai
yang mempunyai tiga buah
bandulan kepala tengkorak
kecil dari emas. Dengan senjata
aneh ini Tunggir Ireng
banyak menjatuhkan lawannya.
Karena setiap bandu-
lan dari Emas itu dapat meluncur
memecah ke bebe-
rapa arah menyerang lawan. Kali ini tubuh si Naga.
Terbang telah dibetot keras ke
arahnya. Terkesiap si
Ketua Partai Gagak Sakti ini.
Akan tetapi percuma dia
menjadi Ketua Partai kalau tak
dapat melepaskan did
dan biarkan tubuhnya terseret ke
arah lawan. Secepat
kilat tasbihnya telah
digigitnya. Dan lengannya yang
sudah terbebas itu bergerak
menghantam dahsyat ke
arah Tunggir Ireng. Itulah salah
satu jurus dari puku-
lannya yang dinamakan pukulan
Naga Api.
Serangkum hawa panas menerjang
Tunggir
Ireng. Angin pukulan itu membuat
tubuhnya kembali
meletik melalui tenaga pukulan
disertai membetot ran-
tai...
Terkejut Tunggir Ireng. Tentu
saja dia telah
maklum akan kehebatan pukulan
itu. Terpaksa dia
lompat menghindar. Akan tetapi
tenaga tarikan pada
rantainya mendadak lenyap, dan
bahkan seketika sen-
jata Rantai Tengkorak Emas itu
terlepas dari tangan-
nya.
Selanjutnya dengan ringan
sepasang kaki Mar-
ga Dewa hinggap di tanah.
Dilengannya tercekal senja-
ta lawan. Dengan geram Marga
Dewa membanting sen-
jata rantai itu hingga melesak
ke dalam tanah.
"Hebat! Ternyata ilmu
kepandaianmu telah ma-
ju pesat, Marga Dewa! Heheheh...
akan tetapi jangan
kau bergirang dulu! Lihat
senjata!" membentak Katakili
si laki-laki bibir sumbing.
SERR! SERR! SERRRR...! Ti-
ga buah roda bergerigi meluncur
ke arahnya. Naga
Terbang kembali melompat untuk
menghindari seran-
gan. Hebat senjata tiga roda
bergerigi itu, yang dapat
balik memutar mengejar lawan.
Dua serangan yang lo-
los dengan cepat dapat ditangkap
lagi oleh pemiliknya.
Demikianlah saling susul
roda-roda bergerigi itu
menghujani lawan, tanpa memberi
kesempatan Marga
Dewa untuk gerakkan senjatanya.
Diam-diam si Naga
Terbang terkejut juga melihat
kehebatan senjata la-
wan.
Sementara itu dilain bagian,
pertarungan Sawor
dengan si wanita tua bergelar si
Gagak Sakti yang ge-
larnya adalah nama dari Partai
berlangsung dengan te-
gang. Belasan orang-orang dari
murid Partai Gagak
Sakti telah mengurung Sawor
dengan barisan TIN yang
tersusun rapi, dengan dikepalai si
wanita tua bertong-
kat kepala burung.
Empat orang menerjang Sawor
dengan senjata
telanjang. Ini adalah jurus
serangan pancingan belaka.
Tapi Sawor segera bergerak untuk
menyambut. Len-
gannya bergerak ke kiri-kanan
menghantam lawan.
Sawor memang tak tahu-menahu
dengan segala ma-
cam teori barisan TIN. Dia
menghantam bila ada lawan
yang maju menerjang. Namun
ternyata gerakan me-
nyerang itu berubah. Empat orang
cuma lewat melin-
tas dengan lompatan-lompatan
salto yang gesit. Selan-
jutnya empat orang lagi
tiba-tiba menyelinap dikiri-
kanan dan belakang. Ternyata
barisan TIN kembali be-
rubah susunannya. Hal mana yang
mengatur adalah si
wanita tua berkulit hitam
keriput yang memberi aba-
aba. Aba-aba itu tentu saja
memakai kata-kata sandi
yang cuma dimengerti anak
buahnya.
WUT! WUT! WUT! Tahu-tahu empat
buah kila-
tan muncul dikiri-kanan dan
belakang secara menda-
dak menabas ke arah Sawor. Suara
bersiurnya senjata
tajam itu hampir tak bersuara,
karena senjata-senjata
mereka tipis sekali. Sementara
sejak tadi Sawor masih
berlaku menganggap remeh barisan
TIN itu. Bahkan
matanya cuma mengawasi pada si
wanita tua yang
bersuara merdu. Terkesiap dia
ketika tahu-tahu suara
bersiurnya senjata ke arah
tubuhnya. Namun dengan
membentak keras Sawor gulingkan
tubuhnya ke ta-
nah. Dengan bertumpu pada
belakang leher dan pung-
gung. Secepat kilat sepasang
kakinya menghantam
disertai dengan berputarnya
tubuh Sawor bagaikan
gasing.
DES! DES! DES! DES ...!
Terdengar teriakan ngeri dari keempat
penye-
rangnya. Tubuh-tubuh keempat
barisan TIN di bela-
kang Sawor terlempar bertebaran.
Dan jatuh berdebu-
kan ke tanah diempat penjuru.
Menggeliat sejenak
masing-masing dari keempat orang
itu, lalu tewas se-
ketika. Darah kental menggelogok
keluar dari mulut
mereka mengiringi kematiannya.
Terkejut si wanita
tua. Namun sekejap kemudian dia
telah melompat dan
mengepalai sendiri barisan TIN
itu pada barisan paling
depan.
Wanita tua ini berteriak gusar
seraya memberi
aba-aba. Anak buahnya mengurung
rapat. Sementara
tongkatnya sendiri digerakkan
berputar seraya mem-
beri aba-aba menyerang. Sebelas
orang dengan empat
dikiri, empat di kanan dan tiga
dari belakang segera
bergerak. Posisi serangan satu
kelompok dengan lain-
nya berbeda-beda, yang sudah
diatur untuk menye-
rang lawan menurut gerakan atau
sikap lawan yang
diserangnya. Sementara lebih
dari dua puluh orang
anak buah lainnya yang bermunculan segera mema-
suki barisan TIN, mengisi
tempat-tempat kosong. Sua-
ra-suara bentakan segera
terdengar saling susul.
Sawor berkelebat ke samping kiri
menghindari
empat serangan pedang. Akan
tetapi dengan tak terdu-
ga justru dari kiri empat buah
tombak siap menembus
punggungnya. Terpaksa dia
gerakkan kedua lengan
menangkis. Empat orang ini
bukanlah empat orang
kepandaian biasa.
Serangan-serangan tombak mereka
amat luar biasa cepatnya, dan
dalam keadaan terlatih
untuk tak mengenai kawan sendiri. Saling susul
keempat tombak itu mengarah
lawan.
"Edan...! kalian semua
kepingin kubikin ludas
kembali ke Akherat!"
membentak Sawor dengan mata
merah karena gusarnya. Seolah
dia merasa dipermain-
kan dalam serangan
"kucing-kucingan" itu.
Kedua lengannya tiba-tiba
bergerak membuat
gerakan-gerakan mengaburkan
pandangan mata la-
wan. Hingga yang terlihat adalah
lebih dari 1000 len-
gan berkelebat meluncur ke
setiap arah, dibarengi
dengan berkelebatan tubuhnya
menggempur barisan
TIN.
Beberapa kejap kemudian
terdengarlah jeritan
saling susul dibarengi
bertumbangannya tubuh para
anggota barisan TIN. Lima belas
orang sekejap telah
menggeletak roboh tak bernyawa.
Masing-masing pada
lehernya terdapat warna biru
kehitaman. Itulah seran-
gan dari jurus hebat Sawor, yang
pergunakan jurus
1000 Kobra Mematuk Mangsa.
Terperanjat si wanita tua
pemimpin barisan.
Disangka lawan bakal menyerang
ke depan tak tahu
menyerang kebagian
"ekor" barisan TIN. Tentu saja
membuat dia melengak, namun
terlambat... Belasan
anak buahnya sudah roboh bergelimpangan.
Segera
dia berteriak dengan suara
lantang.
"MUNDUR...!" Kata-kata
tanpa pakai sandi ini
diteriakkan dengan panik.
Sekejap saja belasan anak
buah sisanya segera berlompatan
buyar kedelapan
penjuru arah untuk selamatkan
diri.
"Hebat! dalam waktu
sekejapan saja kau telah
dapat membuyarkan barisan TIN ku
yang tangguh.
Heh, siapa gelarmu, orang
muda...?"
Sekali lompat Sawor sudah berada
di hadapan
wanita tua bergelar si Gagak
Sakti ini. "Namaku Sawor,
seperti yang telah kuperkenalkan
tadi. Aku tak mem-
punyai gelar apa-apa. Jangan
tanya asal-usulku, kare-
na aku sendiri tak tahu
asal-usul diriku!" lanjutkan
Sawor. Sementara sepasang
matanya selalu menatap
tajam pandangan mata si nenek
keriput itu seperti
mau melihat ke dalam biji mata si Gagak Sakti. Adu
tatap pandangan itu ternyata
membuat mata si Gagak
Sakti mengedip. Akan tetapi
cepat dia melompat mun-
dur, dengan terkesiap.
***
TIGA
TERNYATA DARI TATAPAN mata itu
memancar
cahaya yang menggetarkan
jantung. Sementara ha-
tinya tersentak kaget karena
Sawor telah menyerang-
nya melalui batin dengan
kekuatan matanya yang
mengandung hipnotis.
"Aha, nenek tua keriput,
aku akan segera men-
guliti tubuhmu! Ingin kulihat
apakah kau sudah setua
itu...?"
Sementara itu dilain
pertarungan, si Dewa Ter-
bang tampaknya agak kerepotan
menghadapi serangan
roda-roda bergerigi Katakili
yang tak hentinya mence-
car tubuhnya, mengancam jiwa
sang Ketua Partai Ga-
gak Sakti.
Diam-diam hatinya mengeluh,
bahkan
mengkhawatirkan nasib si Gagak
Sakti yang telah di-
ketahuinya barisan TIN yang
dipimpinnya telah buyar
berantakan. Semangatnya mendadak
pulih ketika te-
ringat akan keselamatan si Gagak
Sakti. Dengan berte-
riak keras, tiba-tiba tubuhnya
berkelebatan cepat,
Tasbih di tangannya diputarkan
membuat suara men-
desing yang menimbulkan kilatan warna ungu. Dan
satu hantaman keras dari telapak
tangannya, mem-
buat dua buah roda bergerigi itu kena terhantam ja-
tuh.
Selanjutnya cepat bagaikan kilat
tubuh si Naga
Terbang meluncur pesat
menghantamkan tasbihnya
pada kepala lawan. Katakili
terkesiap. Terjangan men-
dadak itu begitu cepat disaat
dia terpana melihat dua
senjatanya dihantam lenyap
melesak ke tanah hampir
separuhnya.
Namun disaat itu terdengar
bentakan keras,
Dan... DHESS...! Terdengar
teriakan parau Marga De-
wa. Tubuhnya terlempar tiga
tombak ketika segelom-
bang angin menghantam dadanya.
Sementara Katakili
telah jatuhkan tubuhnya
bergulingan. Ternyata disaat
Katakili terancam maut, tiga
dari Empat Iblis Pulau
Menjangan telah melompat
berbareng, dan hantamkan
telapak lengan mereka menjadikan
satu pukulan dah-
syat yang diluar dugaan Marga
Dewa.
***
"GURUUU...!" terdengar
suara teriakan men-
gandung isak ketika tubuh si
Ketua Partai Gagak Sakti
jatuh berdebuk ke tanah.
Keadaannya mengerikan ka-
rena tulang dadanya hancur luluh
dan tampak satu
lubang besar menganga pada dada
laki-laki berjubah
putih itu yang mengalirkan darah
kehitaman. Gabun-
gan dari tiga tenaga pukulan itu
telah menjebolkan isi
dada Marga Dewa yang membuat laki-laki itu tewas
seketika.
Suara teriakan itu tak lain dari
suara si Gagak
Sakti alias si wanita tua
bertongkat kepala burung. Dia
dalam keadaan berdiri terkesima,
melihat tubuh si Ke-
tua Partai Gagak Sakti jatuh
terkapar tak berkutik lagi.
Ketika pada detik itu tubuh
Sawor berkelebat
ke arahnya, dan...
PLASH! Cepat sekali lengan Sawor
bergerak ke
arah wajah si wanita tua, dan menjambret sesuatu
yang segera mengelupas seketika.
Apa yang terlihat?
Ternyata si wanita tua itu
mempunyai satu wajah yang
cantik jelita. "Kulit
muka" yang telah kena dikuliti Sa-
wor tercekal di tangan laki-laki
itu.
"Aha...! Sudah kuduga kau
bukanlah seorang
nenek-nenek keriput berkulit
hitam...!" berkata Sawor
dengan tertawa menyeringai.
Merah padam serta terke-
jut wanita ini. Tahulah dia
bahwa keadaan sudah be-
rubah gawat dengan
bermunculannya orang-orang itu.
Dengan menggertak gigi, segera
dia melintangkan
tongkatnya di depan dada.
Sepasang matanya mem-
bersitkan cahaya suram, namun
penuh hawa membu-
nuh. Tiba-tiba dengan membentak
keras dia putar tu-
buh tanpa mengacuhkan Sawor,
melesat ke arah Em-
pat Iblis Pulau Menjangan.
"Iblis-iblis keparat! Aku
akan adu jiwa dengan-
mu...!" Tongkat kepala
burung itu berkelebatan memu-
tar dan menukik menyambar ke
arah si Empat Iblis
Pulau Menjangan. Terdengar suara
seruan-seruan ter-
tahan. Mereka sempat dibuat
terkejut dan terkesima
menghadapi serbuan mendadak itu.
Nyaris tubuh-
tubuh mereka akan terluka atau
tertembus tongkat
yang menyambar ke tenggorokan,
dada, leher bahkan
kaki.
Begitu hebatnya serangan
mendadak itu hing-
ga... Bret! Cras...! Pundak
Katakili kena tabasan tong-
kat yang membuat dia menyeringai
seraya gulingkan
tubuh menghindari tabasan
berikutnya. Punggung
Rupaci kena goresan memanjang
yang membuat baju
rompi kulit srigalanya terbelah
dua. Bahkan membuat
luka memanjang dari belakang
leher sampai pinggang.
Berteriak kaget Rupaci seraya
melompat bersalto bebe-
rapa kali.
Dalam menyerbu keempat Iblis
Pulau Menjan-
gan itu si "nenek"
bertongkat kepala burung ternyata
menggempur dengan membabi buta
karena gusar dan
pedih hatinya melihat kematian
si Naga Terbang yang
dikeroyok oleh keempat lawannya.
Akan tetapi jurus-
jurus selanjutnya semakin
melemah. Karena emosi
yang meluap. Tongkatnya
terlempar ke udara ketika
satu kelebatan lengan Sawor
menghantam pangkal
lengannya. Dan saat berikutnya
wanita "tua" yang ter-
nyata berwajah jelita itu
mengeluh ketika lengan Sawor
hinggap ditengkuk menotoknya.
Sebelum tubuhnya ambruk
menyentuh tanah,
laki-laki yang tak diketahui
asal usulnya itu telah me-
nangkapnya dengan sebat. Dan
jatuh dalam pondon-
gannya...
Melengak keempat Iblis Pulau
Menjangan, ka-
rena begitu mengetahui wanita
tua bertongkat kepala
burung tak lain dari seorang
gadis cantik yang telah
terbuka topeng kulit mukanya.
Lebih melengak lagi ketika Sawor
dengan terse-
nyum jumawa segera beranjak
melangkah lebar den-
gan memondong tubuh wanita itu,
seraya ucapnya.
"Nenek cantik ini adalah
bagianku...!" Sesaat
keempat Iblis Pulau Menjangan
saling pandang dengan
kawannya.
"Eh! tunggu dulu, sobat...!
Tak salah orang
yang kau pondong itu adalah
orang yang kami cari! Di-
alah bocah perempuan yang pada
tiga belas tahun
yang lalu telah direbut si Naga
Terbang dari tangan
kami!"
"Ya! tak salah dialah KEN
AYU...!" tukas Rupa-
ci.
"Hm, begitukah...? Aha!
akan tetapi akulah
yang telah membuka topeng
wajahnya! Kalau kalian
ingin memiliki silahkan kau
rebut dari tanganku!" me-
nyahut Sawor dengan senyum
sinis.
Tampaknya keempat Iblis Pulau
Menjangan tak
berani mengambil tindakan.
Mereka telah melihat sen-
diri kehebatan Sawor yang dapat
memecah barisan TIN
dan telah pula mempertunjukkan
kesaktiannya me-
menggal batang lehernya sendiri.
Ternyata ada rasa je-
rih untuk mengambil resiko
bertarung dengan orang
ini. "Sebaiknya kita
mengalah! Orang ini bisa dijadikan
kawan..." berbisik Rupaci
pada Katakili. Katakili terce-
nung sejenak. Hatinya memikir.
"Benar juga! Semba-
rangan menempurnya akan merubah apa yang telah
menjadi rencana. Salah-salah
akan membawa korban
dari pihakku. Belum tentu
berakhir dengan kemenan-
gan dengan mengambil resiko
menempurnya! Mau tak
mau toh Partai Gagak Sakti telah
dapat terkuasai...!
Kalau manusia bernama Sawor ini
mau bekerja sama,
akan banyak keuntungan yang
bakal diperoleh...!"
Sesaat Katakili manggut-manggut
dan terse-
nyum pada Sawor.
"Anda agaknya
mengingininya, sobat Sawor...!
Hahahah ... dia memang cantik!
Kami Empat Iblis Pu-
lau Menjangan takkan menghalangi
kalau anda meng-
hendaki. Akan tetapi mengapa
harus terburu-buru...?
Sebaiknya "kita"
merebut kekuasaan Partai Gagak
Sakti ini dulu, dan menguasai
gedung markasnya.
Mengenai bocah perempuan itu
kapan waktu bisa kau
cicipi!"
Tercenung sejenak Sawor, lalu
tertawa lebar
berkakakan, seraya ucapnya.
"Tawaran yang bagus!
Tadinya aku tak mau tu-
rut campur urusan kalian.
Setelah selesai persoalanku
segera aku angkat kaki dari
tempat ini. Kalau kalian
mempunyai rencana baik mengapa
aku tolak?"
"Hehehe.... bagus! bagus!
Ternyata anda orang
yang bisa diajak bersahabat!
Percayalah! Kami Empat
Iblis Pulau Menjangan akan
menjamin segala keingi-
nan anda kalau anda bisa bekerja
sama dengan ka-
mi...!" berkata Katakili.
"Bekerja sama apakah
maksudmu...?" tanya
Sawor ingin tahu.
"Nantilah! Segera anda
bakal mengetahui. Se-
baiknya marilah kita bersihkan
dulu kecoa-kecoa di
Pulau Nusa Kambangan ini...!
Setelah Partai Gagak
Sakti berada pada kekuasaan
kita, semuanya pasti
akan beres dan berjalan
lancar...!" sahut Katakili den-
gan tertawa, lalu palingkan
kepalanya pada ketiga ka-
wan yang segera manggut-manggut.
"Kami akan menerimamu
dengan senang hati
sebagai sahabat, sobat
Sawor...!" berkata Tunggir Ireng
dengan tersenyum, lalu
perkenalkan dirinya pada Sa-
wor dengan menjura. Demikian
pula yang lainnya se-
gera masing-masing
memperkenalkan diri.
Tak dapat tidak Partai Gagak
Sakti segera ter-
kuasai oleh si Empat Iblis Pulau
Menjangan, yang den-
gan mudah membantai sisa-sisa
dari anak buah si Na-
ga Terbang. Selebihnya tertawan
atau menyerah den-
gan tak berkutik lagi... Gedung
besar yang berada di
tengah pulau, kini telah
diduduki oleh lima orang pen-
datang itu. Berpindahlah dengan
sekejap saja kekua-
saan di pulau itu. Tentu saja
rakyat atau penduduk
pulau Nusa Kambangan mau tak mau
harus menerima
kenyataan pahit itu. Kalau
dahulunya mereka hidup
dengan tenteram dengan mendapat
perlindungan dari
Partai Gagak Sakti, kini harus
penuh kekhawatiran
dengan berkuasanya keempat Iblis
Pulau Menjangan.
Gelak terhahak suara tertawa
Sawor ketika
"menguliti" sekujur
tubuh si Gagak Sakti dikamarnya.
Kulit palsu yang berkerut-kerut
itu kini sudah menge-
lupas semua. Seperti seekor ular
yang baru berganti
kulit. Ken Ayu tergolek
dipembaringan. Kulit tubuhnya
yang putih mulus itu membuat
sepasang mata Sawor
membinar.
"Hahaha... layanilah aku,
nona manis. Kalau
kau menolak tahu sendiri
akibatnya!" mengakak terta-
wa Sawor bagaikan tawa iblis.
Membuat jantung Ken
Ayu seperti mau meledak rasanya.
Betapa muaknya dia akan
perbuatan Sawor
yang telah menelanjangi
tubuhnya. Sebersit sinar mata
sang gadis itu memancarkan
pancaran dendam yang
luar biasa.
Dia memang tak dapat menolak
lagi... kecuali
berikan apa yang paling berharga
dari miliknya untuk
dilalap manusia dihadapannya.
Keluh dan desah segera terdengar
membaur
dengan dengus napas menggebu.
Seolah adanya satu
kepasrahan yang tulus ikhlas,
namun dibalik itu hati
sang gadis bernama Ken Ayu itu
menjerit, merintih da-
lam gelimangnya kenikmatan yang
direngkuh Sawor...
***
EMPAT
WAKTU BERKISAR dengan cepat....
Beberapa
ribu kali sudah matahari
bolak-balik muncul dan ter-
benam. Tak terasa tiga tahun pun
terlewat sudah. Pagi
itu seorang penunggang kuda
melintas disisi hutan.
Menilai dari pakaiannya
tampaknya seorang hamba
Kerajaan. Memang benarlah.
Laki-laki itu adalah Tu-
menggung Dipayana yang dalam
perjalanan ke pesisir
laut kidul untuk menjumpai
seorang sahabatnya ber-
kenaan dengan satu tugas yang di
pikulnya. Tumeng-
gung Dipayana adalah seorang
laki-laki yang berusia
sekitar 40 tahun. Bertubuh kekar
dan berwajah penuh
dengan brewok. Tugas apakah yang dipikul di atas
pundaknya? Mari kita ikuti
langkahnya.
Ketika melintas di satu kelokan
jalan, tiba-tiba
kudanya melonjak mengangkat kaki
depannya. Dan
meringkik keras. Tentu saja
membuat Tumenggung
Dipayana terkejut. "Ada
apakah gerangan?" sentak. ha-
tinya. Segera dikendalikannya
sang kuda tunggangan-
nya agar kembali tenang.
Sementara sepasang mata
sang Tumenggung jelalatan
mengitari tempat sekitar-
nya. Terasa ada hawa aneh yang
mencekam perasaan.
Akan tetapi tak ada tanda-tanda
mencurigakan.
"Ayo, Putih...! Jalanlah!
Tak ada apa-apa men-
gapa kau ketakutan?"
berkata Tumenggung Dipayana
pada kudanya. Sementara
diam-diam jantungnya ber-
detak keras. Tak seperti
biasanya kudanya bersikap
demikian. Tiba-tiba entah dari
mana munculnya pulu-
han srigala telah bermunculan disekeliling sang
Tu-
menggung, yang membuat dia jadi
terkesiap kaget.
Kuda putih tunggangannya kembali
perdengar-
kan ringkikkannya dan
melonjak-lonjak ketakutan.
"Serigala-serigala dari
manakah ini...?" desisnya terke-
jut. Dan terpaksa dia melompat
dari punggung ku-
danya, karena si Putih sukar
dijinakkan. Selanjutnya
tanpa ayal lagi segera sang kuda
itu kabur tunggang
langgang dengan ketakutan
menerobos semak belukar.
Terpana Tumenggung Dipayana
tanpa bisa berbuat
apa-apa. "Kuda
pengecut...!" makinya kesal. Walau
pun hatinya agak kecut
menghadapi hadangan seriga-
la-serigala aneh yang
mengepungnya, namun Tumeng-
gung ini segera mencabut
senjatanya sebuah clurit
bergagang emas dari punggungnya.
Sementara kelima
jari lengannya merenggang
siap menghadapi segala
kemungkinan.
Belasan ekor serigala itu
menatap Tumenggung
Dipayana tak berkedip. Sinar
matanya memantulkan
cahaya merah. Untuk menghadapi
serigala-serigala bi-
asa bagi sang Tumenggung adalah
hal yang tidak
aneh, akan tetapi
serigala-serigala ini berbeda dengan
serigala biasa. Menatap liar
dengan lidah terjulur, den-
gan sinar mata memancarkan
cahaya merah membuat
keringat dingin seketika
mengembun ditengkuknya.
"Majulah kalian
serigala-serigala busuk!" mem-
bentak sang Tumenggung. Walau
ada rasa jerih diha-
tinya namun dia mendongkol juga
karena gara-gara
kemunculan serigala-serigala
inilah, dia harus kehi-
langan kudanya.
Ternyata binatang-binatang itu
tak bergerak
sedikitpun kecuali menatap
dengan pandangan tajam.
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa mengikik memban-
gunkan bulu roma. Dan sebuah
bayangan berkelebat
ke hadapannya.
Membelalak sepasang mata sang
Tumenggung
melihat sesosok tubuh bugil
tanpa sehelai benangpun
melekat pada tubuhnya, berdiri
tegak dihadapannya,
dengan rambut beriapan. Ternyata
seorang wanita
yang berwajah cantik, namun
membuat dia jadi bergi-
dik ngeri, karena sepasang matanya
memancarkan
hawa pembunuhan.
"Hihihi... hendak kemanakah
kau Tumeng-
gung...?" Berkata si wanita
lebih mirip siluman dari
pada manusia. Tanpa terasa sang
Tumenggung me-
nyurut mundur dua tindak.
"Sssi... si... siapakah
kau...?" bentak sang Tu-
menggung dengan suara tergagap.
Selintas seperti dia
pernah melihat wajah wanita itu
yang wajahnya seperti
pernah dilihatnya.
"Hihihi... hihihi... kau
sudah mengenaliku?" ba-
lik bertanya si wanita dengan
tertawa menyeringai
membuat semakin berdiri bulu
kuduk Tumenggung
Dipayana. "Siapa kau!? hm,
katakanlah! Sudah sekian
banyak perempuan yang aku pernah
lihat wajahnya,
namun aku memang tak ingat siapa
kau...? bentak lagi
laki-laki itu dengan suara agak
tergetar. Dan detak
jantungnya semakin cepat
berdegupan didadanya.
"Pantas, kalau kau tak
mengenalku lagi! Akulah
KEN AYU...!" gadis malang
yang gurunya telah kau bu-
nuh dengan mengeroyok bersama
ketiga kawanmu!
Masih ingatkah kau akan Partai
Gagak Sakti yang te-
lah kau ambil alih dan kalian kuasai
bersama tiga
orang kawanmu dan laki-laki
bernama SAWOR itu?
Hihihi... kau adalah salah
seorang dari empat Iblis Pu-
lau Menjangan yang telah
memperkosaku, menyakiti-
ku dengan semena-mena. Kini
masanya aku datang
untuk membalas dendam!"
Kagetnya tak alang kepalang
Tumenggung ini
mendengar kata-kata itu.
Lagi-lagi kakinya menyurut
mundur dua langkah.
"Ken Ayu...? Ah, anda salah
menduga orang.
Namaku Dipayana...! Aku tak
tahu-menahu dengan
partai Gagak Sakti. Namamu pun
aku baru menden-
garnya...!" sahut sang
Tumenggung dengan wajah pu-
cat, namun masih berusaha
tersenyum.
"Hihihi... seribu kali kau
berganti nama dan ja-
batan, aku takkan melupakanmu,
RUPACI bersiaplah
untuk menemui kematian! Tapi
sebelum aku mengan-
tarkan nyawamu ke Neraka,
katakan kemana tujuan-
mu!"
Melengak Tumenggung Dipayana,
tapi segera
membentak gusar.
"Aku... aku bukan Rupaci
dan kau tak perlu
tahu kemana tujuanku!
Menyingkirlah kau perempuan
edan...!"
Dibentak demikian si wanita
bugil itu tertawa
mengikik panjang hingga tubuhnya
sampai bergun-
cang. Tiba-tiba membentak keras.
"Segera terimalah
kematianmu...!" Membentak
demikian sebelah lengannya
terangkat ke atas membe-
ri tanda pada belasan serigala
untuk menyerang.
Dan... dengan suara menggeram makhluk-makhluk
se-
rigala itu berlompatan menyerang
sang Tumenggung
Dipayana.
Namun laki-laki itu sudah siap
menghadapinya.
Dengan membentak keras segera
tubuhnya berlompa-
tan menghindar. Clurit di
tangannya menabas kesana-
kemari menimbulkan suara bersiutan.
WUT! WUT! WUT! Akan tetapi
terperangah Tu-
menggung Dipayana, karena
bagaikan menabas angin
saja senjatanya lewat tanpa
dapat menyentuh satupun
dari belasan serigala itu.
Keringat dingin seketika men-
gucur deras dari sekujur tubuh.
Beberapa saat la-
manya bertarung menghindari
serangan serigala itu
serta menabas dan menghunjamkan
celuritnya mem-
buat sang Tumenggung mulai
kehabisan tenaga. Se-
mua serangannya cuma sia-sia
belaka. Tiba-tiba satu
teriakan santar segera membuat
belasan serigala itu
mundur mengurung. Terengah-engah
napas sang Tu-
menggung dengan wajah pucat
pias.
"Hihihi... hihihi...
Tumenggung Dipayana, nama
samaranmu itu sudah sejak lama
kucium baunya.
Jangan kira dengan jabatanmu itu
kau bisa sembu-
nyikan diri dengan aman? Heh,
apakah kau masih tak
mau mengakui namamu
Rupaci?"
Semakin menggeletar seketika
tubuh laki-laki
itu. Sementara hatinya mengeluh.
"Celaka...! Lenyap-
nya Ken Ayu dari Nusa Kambangan
tiga tahun yang la-
lu ternyata membawa akibat
buruk. Sungguh tak ku-
sangka kalau dia akan muncul
dengan keadaan mirip
siluman begini? Apakah aku bisa
selamatkan jiwa-
ku...?"
Tiba-tiba sang Tumenggung
jatuhkan dirinya
berlutut seraya
menyembah-nyembah dan berkata
dengan suara menggeletar.
"Ampunilah selembar jiwaku,
Ken Ayu...! Aku
mengakui kesalahan dan semua
dosaku. Aku sudah
insyaf dan jadi orang baik-baik, apakah kau akan
mencabut juga nyawaku...?
Sedangkan yang berdosa
bukan aku sendiri. Dan orang
pertama yang memper-
kosamu adalah Sawor!"
"Hihihi... sama saja! Satu
persatu akan ku le-
nyapkan nyawanya dan kucari
dimana adanya mereka.
Walau sampai ke ujung langitpun aku akan tetap
mencarinya untuk membalaskan
dendamku...!" ujar si
wanita itu.
"Kalau kau mau membunuhku,
kau takkan
mengetahui asal-usul dirimu dan
siapa ayah ibu mu
karena cuma akulah yang
mengetahuinya!" berkata
Tumenggung Dipayana yang secara
tak langsung su-
dah mengakui kalau dirinya
adalah Rupaci.
"Hm, begitukah...?"
bertanya Ken Ayu. "Baik!
Aku takkan membunuhmu!
Sebutkanlah siapa kedua
orang tuaku sebenarnya, dan
dimana adanya!" lanjut
Ken Ayu dengan suara dingin.
Melihat siasatnya ber-
hasil, Rupaci alias Tumenggung
Dipayana bernapas le-
ga. Akan tetapi memandang
serigala-serigala yang
mengelilinginya hatinya menciut
lagi. "Apakah serigala-
serigala itu dapat kau suruh
pergi...?" ucapnya meng-
getar.
"Heh, kau takut...?"
"Aku... aku seram
melihatnya!" sahut Rupaci.
"Lebih seram mana kau
melihatku atau melihat
serigala-serigala itu!"
tiba-tiba Ken Ayu bertanya.
"Sse... semuanya serba
seram...!" menyahut
Tumenggung itu dengan menunduk.
"Hihihi... aneh!" ucap
Ken Ayu. "Dulu kau begi-
tu gairah ketika menelanjangiku.
Mengapa kini kau
berbalik seram
melihatku...?" mengikik tertawa Ken
Ayu. Membuat bulu tengkuk Rupaci
merinding.
Selesai mengikik tertawa Ken Ayu
mengangkat
sebelah lengannya ke atas.
Dan... lenyaplah belasan
serigala ciptaan itu.
Terperangah Rupaci memandang-
nya.
"Nah, kini kau ceritakan
siapa sebenarnya ayah
ibuku dan dimana mereka
berada...! Untuk penjela-
sanmu itu aku menjamin
nyawamu...! Akan tetapi un-
tuk kebaikan hatiku mengampuni
nyawa busukmu,
kau harus tunjukkan dimana Tiga
Iblis Pulau Menjan-
gan yang lainnya. Dan apakah kau
mengetahui dimana
adanya Sawor.?" Ucapnya
dengan suara dingin mence-
kam. Akan tetapi dari sinar
matanya yang member-
sitkan dendam, mana mungkin dia
mengampuni ji-
wanya?
"Aku pasti akan
memberitahukan padamu, Ken
Ayu...! Demi... demi keselamatan
jiwaku!" berkata sang
Tumenggung seraya bangkit
berdiri,
lalu menyelipkan lagi senjatanya
dibalik pung-
gung. Wajahnya menampakkan wajah
cerah.
"Dan..." lanjutkan
bicara Ken Ayu. "Kau kata-
kan juga tugas apakah yang kau
pikul itu hingga kau
menempuh perjalanan selama dua
hari?"
Diam-diam terkejut Tumenggung
Dipayana ka-
rena ternyata Ken Ayu telah
menguntitnya sejak kebe-
rangkatannya dari Kadipaten
untuk menuju ke pesisir
laut kidul menjalankan tugas
dari Adipati. Tercenung
sejenak Rupaci. Diotaknya
ternyata diam-diam menyu-
sun rencana. "Kau
keberatan...?" satu pertanyaan
membuat dia melonjak kaget.
"Ah, tidak! tidak...!
Apapun yang kau tanya-kan
kalau aku mengetahui pasti
kujawab! Aku tengah me-
mikirkan kudaku, dengan apa aku
menjalankan tugas
kalau tak ada kuda? Perjalanan
yang kutempuh masih
jauh!"
"Kemana tujuanmu?"
tanya Ken Ayu.
"Ke pesisir laut kidul,
menemui seseorang, atas
perintah Adipati!" Menyahut
Rupaci alias Tumenggung
Dipayana. Tercenung sejenak wanita
ini lalu mengikik
tertawa sambil garuk-garuk
rambut dikepalanya. Kea-
daan Ken Ayu memang boleh
dibilang seperti seorang
wanita yang kurang waras. Karena
dengan tubuh te-
lanjang bulat dan rambut
beriapan membuat orang
akan terpana memandang. Karena
tubuh Ken
Ayu tidaklah sebersih dulu
ketika berada di Nusa
Kambangan. Tapi tubuh yang kotor
berdaki yang me-
lenyapkan hawa merangsang.
Melainkan rasa jijik me-
lihat keadaannya.
"Hihihi... sebentar aku
akan cari kudamu, kau
tunggulah!" ujarnya pendek. Selesai berkata tiba-tiba
tubuh Ken Ayu berkelebat dari
situ dan lenyap dari
pandangan Rupaci.
***
LIMA
EH! KESEMPATAN INI tak boleh
ku sia-
siakan...!" berdesis suara
sang Tumenggung Dipayana.
Dan detik itu juga tanpa ayal
lagi segera dia putar tu-
buh untuk segera menyelinap
kabur dari tempat itu...
Kira-kira dua kali penanak nasi
setelah berke-
lebatan menyelinap keluar masuk
hutan. Barulah sang
Tumenggung ini merasa bebas dari
rasa takutnya. Ra-
sa seram pada Ken Ayu yang telah
berubah jadi pe-
rempuan berilmu tinggi serta
keadaan yang menjijik-
kan itu membuat dia ingin segera
menghindar. Apa lagi
dia harus memberitahukan dimana
adanya sobat-
sobatnya dari Empat Iblis Pulau
Menjangan. Tak
mungkin dia harus mengkhianati
kawan-kawannya
yang telah sekian lama bersatu.
Sejak tiga tahun bela-
kangan ini memang mereka
berpencar dan hidup sen-
diri-sendiri. Yaitu sejak
komplotan empat manusia itu
melarikan diri dari Pulau Nusa
Kambangan. Ternyata
beberapa kejadian telah menimpa
Partai Gagak Sakti
yang dikuasai mereka bersama
Sawor.
Kisahnya adalah demikian.
Selama beberapa pekan Ken Ayu si
gadis murid
Marga Dewa si Naga Terbang itu
terpaksa harus me-
layani nafsu
bejat mereka berlima secara bergantian.
Namun suatu ketika mereka tak
mendapatkan lagi Ken
Ayu dikamarnya. Ken Ayu lenyap
tak berbekas bagai-
kan ditelan bumi. Seluruh
pelosok pulau Nusa Kam-
bangan diperiksa untuk mencari
dimana adanya gadis
itu. Namun tak ada tanda-tanda
disembunyikan pen-
duduk. Hal tersebut akhirnya
dilupakan oleh si Empat
Iblis Pulau Menjangan. Mereka
merencanakan kerja
sama dengan Sawor untuk
menyebarkan kekuasaan
Partai Gagak Sakti yang kemudian
diganti menjadi
Partai Lima Naga Setan.
Tentu saja Partai Lima Naga
Setan segera mele-
barkan sayapnya, dengan menyebar
aksi kejahatan.
Merampok kapal-kapal yang lewat,
membunuh, mem-
perkosa dan berbagai macam
kejahatan lainnya. Den-
gan bersatunya mereka ternyata
membuat satu kekua-
tan yang amat ditakuti golongan
lain. Bahkan bebera-
pa partai persilatan berhasil
ditaklukkan dan dikuasai.
Selama itu tentu saja si Empat
Iblis Pulau Menjangan
berhasil mengumpulkan kekayaan
dari hasil kerja sa-
ma mereka.
Empat Iblis Pulau Menjangan
ternyata berlaku
cerdik, untuk segera menyisihkan
harta-harta rampa-
san itu dari mata Sawor. Mereka
beranggapan Sawor
tak dapat diajak bekerja sama
untuk selamanya. Sua-
tu saat mereka harus
menyingkirkan manusia itu.
Empat Iblis Nusa Kambangan
ternyata banyak menye-
bar mata-mata diluaran, sehingga
ketika terjadi seran-
gan ke markas Partai Lima Naga
Setan oleh para Pen-
dekar mereka sudah berpencar
menyelamatkan diri se-
jak dini.
Sawor terpaksa bertarung seorang
diri, meng-
hadapi serbuan pasta pendekar
dan orang-orang Kera-
jaan yang bersatu padu dengan
penduduk Pulau Nusa
Kambangan yang tertindas. Namun
Saworpun akhir-
nya berhasil melarikan diri
begitu mengetahui si Em-
pat Iblis Pulau Menjangan telah
merat siang-siang.
Empat Iblis Pulau Menjangan
selanjutnya
membagi harta rampasan hasil
kerja sama mereka
dengan Sawor, lalu mereka
berpencar untuk masing-
masing menempuh cara hidupnya
sendiri-sendiri.
Akan tetapi selama itu mereka
tetap mengadakan hu-
bungan atau pertemuan yang di
rahasiakan.
Rupaci entah bagaimana dapat
menduduki ja-
batan sebagai Tumenggung, karena
dapat mengambil
hati Adipati WIRALAGA. Bahkan
menjadi orang pen-
tingnya Adipati. Tujuannya ke
pesisir Laut Kidul ada-
lah untuk mengantarkan surat
pada seseorang yang
berdiam disana. Orang yang
dimaksud adalah seorang
sahabat Adipati Wira laga. Namun
ditengah perjalanan
telah dihadang oleh Ken Ayu,
yang muncul serta telah
menguntitnya sejak kepergiannya
dari Kadipaten.
Kemunculan Ken Ayu yang dalam keadaan
"luar biasa" itu
membuat Rupaci terpojok untuk mene-
rima syarat yang diajukan Ken
Ayu demi nyawanya
yang diancam oleh
"gadis" luar biasa itu. Namun den-
gan tanpa diduga dia dapat
meloloskan diri ketika Ken
Ayu mencari kuda putih Rupaci
yang kabur entah ke-
mana.
Kini dihadapan Rupaci tampak
sebuah bangu-
nan gedung yang cukup besar.
Letaknya tersembunyi,
diapit antara dua buah bukit.
Bergegas berlari, segera
dia sudah tiba dipintu gedung
berpagar tembok tebal
itu. Empat orang penjaga pintu
segera menyambut ke-
datangannya dengan tombak
melintang di depan pintu.
"Siapakah anda? ada
keperluan apa ke tempat
ini...?" tanya penjaga
pintu yang bertubuh tegap
menghampiri. Berbeda dengan
orang-orang Partai Ga-
gak Sakti pada tiga tahun yang
lalu, karena pakaian
penjaga pintu ini adalah
rata-rata berwarna hijau.
Memanglah gedung itu adalah
markas besar pergu-
ruan Naga Hijau. Ketua perguruan
itu bernama SUMO
BLEDEG.
"Aku Tumenggung
Dipayana...! Katakan pada
ketuamu, aku akan datang
menghadap berkata Rupaci
dengan suara ramah.
Sejenak keempat pengawal pintu
itu menatap
pada Rupaci, lalu salah seorang
segera berkata.
"Hamba segera akan melapor,
sudilah anda
menunggu sebentar!"
Sang Tumenggung ini mengangguk,
sementara
si penjaga itu segera bergegas
masuk.
"Apakah ketuamu ada di rumah...?" bertanya
Rupaci, pada seorang pengawal.
Laki-laki yang masih
berusia cukup muda itu
mengangguk.
"Kelihatannya sih, beliau
tak kemana-mana!
Hamba baru menggantikan kawan
berjaga. Menurut
yang kudengar belum lama beliau
kedatangan teta-
mu...!" menyahut si
penjaga.
"Siapa...?" tanya
Tumenggung agak terkejut.
"Hamba kurang
mengetahui...!"
"Laki-laki atau perempuan..
?" tanya lagi Rupa-
ci.
"Laki-laki..." sahut
sang penjaga. Tumenggung
Dipayana manggut-manggut, dia
tak menanyakan apa-
apa lagi dan diam-diam dia
menarik napas lega karena
tadinya dia amat mengkhawatirkan
sekali kalau-kalau
Ken Ayu menyusul lebih dulu dan
telah mengetahui
kedatangannya. Tak berapa lama
sang penjaga tadi te-
lah kembali lagi, seraya
berkata.
"Ketua mempersilahkan anda
masuk...! Mari
hamba antar!"
"Oh, terima kasih...!"
ucap Rupaci, lalu beran-
jak melangkah memasuki pintu
yang telah segera di-
buka kembali. Dua orang penjaga
segera mengawalnya
dari belakang, untuk menunjukkan
ruangan mana
yang harus dituju. Gedung itu
mempunyai tiga buah
wuwungan. Pada wuwungan yang
bentuknya meman-
jang menghadap ke pintu masuk
akan tetapi dibagian
sebelah dalam. Kesanalah yang
dituju. Rupaci pernah
berkunjung kemari sekali sejak
setahun yang lalu,
hingga dia sudah mengetahui arah
yang ditunjukkan
kedua pengawal.
Sampai ditangga undakan, segera
kedua penja-
ga pintu tadi kembali ke
tempatnya. Sementara Rupaci
segera beranjak melangkah untuk
masuk ke ruangan
utama, tempat menerima tamu.
"Selamat datang
Tumenggung...! Hai, angin
apakah yang telah meniup mu untuk mengunjungi
tempatku...?" satu suara
segera terdengar dari dalam,
yang kemudian diiringi oleh
suara tertawa terbahak-
bahak.
Ketika Rupaci tiba dipintu
ruangan segera terli-
hat dua orang yang duduk
berhadapan pada dua buah
kursi. Empat kursi lagi masih
kosong. Pada meja ber-
bentuk bulat telur itu terlihat
tiga buah gelas berisi
arak dalam keadaan penuh. Dua
kendi arak tampak
berada di atas meja dan beberapa
piring makanan ke-
cil. Kedua laki-laki itu segera berdiri menjura me-
nyambut kedatangannya. Yang seorang Rupaci dapat
mengenalnya, yaitu si Naga Hijau
SUMO BLEDEG.
Akan tetapi yang satu lagi
membuat dia terkejut, kare-
na segera mengenali siapa adanya
laki-laki itu, yang
tak lain dari KATAKILI saudara
tertua dari Empat Iblis
Pulau Menjangan. Memakai pakaian
mirip seorang
bangsawan, memang sukar dikenali
kalau bukan Ru-
paci yang telah hapal
melihatnya.
"Hahaha... kalian ini
seperti sudah berjanji saja
mengunjungi tempatku sobat-sobat
Empat Iblis Pulau
Menjangan...! Cuma dua lagi yang
belum kelihatan,
apakah mereka juga akan segera
tiba...?" Berkata Su-
mo Bledeg dengan tertawa
berderai. Lalu persilahkan
sang Tumenggung mengambil tempat
duduk.
Terkejut juga girang Rupaci
mengetahui tetamu
Sumo Bledeg adalah saudara
seperguruan tertuanya.
"Kakang Katakili, sejak
kapan kau sudah tiba
disini...?" tanya Rupaci,
seraya menjabat tangan laki-
laki bangsawan itu, lalu
menjabat pula tangan Sumo
Bledeg.
"Hahaha... duduklah! Tuan
rumah sudah se-
diakan arak untukmu! Tampaknya
kau baru melaku-
kan perjalanan jauh, tentu haus
sekali!" berkata Kata-
kili.
"Ah, terima kasih, terima
kasih...!" menyahut
Rupaci seraya duduk dan
lengannya menyambar
gelas arak yang telah penuh
terisi itu, lalu me-
nenggaknya sampai kering.
Selanjutnya mereka berca-
kap-cakap dengan riang sekali.
Sumo Bledeg alias si
Naga Hijau adalah salah seorang
kawan seprofesi yang
hidup dalam kancah kejahatan.
Namun Sumo Bledeg
pandai membedaki perbuatan
jahatnya dengan bekerja
secara sembunyi-sembunyi.
Digedung markasnya dia
boleh dapat dikatakan dapat
hidup aman, karena si
Naga Hijau dikenal dikalangan
Rimba Hijau sebagai
"orang baik-baik".
"Ada berita penting yang
harus kusampaikan
pada kalian, sobat-sobatku!
Kukira saatnya kita harus
bertindak hati-hati...!"
berkata sang Tumenggung Di-
payana dengan serius.
"Berita apakah itu,
Rupaci...?" tanya Katakili
terheran. Begitu juga Sumo
Bledeg terkejut, melihat
sikap Rupaci yang seperti amat
khawatir. Jelas terlihat
dari perubahan rona wajahnya.
Segera Rupaci ceritakan
kejadiannya pada me-
reka tentang munculnya Ken Ayu
yang mencari Empat
Iblis Pulau Menjangan dan Sawor
untuk membalas
dendam. Terpaku kedua sahabat
itu mendengar kesak-
tian Ken Ayu tiba-tiba muncul
sejak lenyapnya tiga ta-
hun yang lalu dari Nusa
Kambangan. Mendengar
adanya berita itu ternyata telah
merubah keramahan si
tuan rumah Sumo Bledeg mendadak
jadi berubah. Dia
segera bangkit dari duduknya
seraya berkata.
"Maaf, kedua sobat Iblis
Pulau Menjangan. Bu-
kannya aku mengusir kalian, tapi
karena demi menja-
ga nama baikku, karena aku
khawatir terbawa-bawa
dalam urusan kalian, kuharap
anda berdua segera
tinggalkan cepat-cepat tempatku
ini...!"
Kedua dari Empat Iblis Pulau
Menjangan ini ja-
di saling pandang menatap, juga
memandang pada si
Naga Hijau. Terlihat sang Naga
Hijau ini mengalami
perubahan pada wajahnya yang
mendadak jadi pucat
pias.
"Hahaha... tampaknya kau
ketakutan sekali,
sobat Sumo Bledeg! Kalau
perempuan itu menyatroni
ke tempatmu, kami berduapun
sanggup meringkus-
nya, tanpa menyusahkan kau!" berkata sinis Katakili
dengan nada jumawa.
Seketika merahlah wajah Sumo
Bledeg. Orang
ini memang berwatak seperti
ramah, namun mempu-
nyai adat jelek. Bila dianggap
remeh oleh orang tentu
akan segera naik pitam.
Tiba-tiba lengannya bergerak
menggebrak tepi meja, seraya
membentak gusar.
"Sungguh nasib sial! 10
tahun menetap dimarkas be-
sarku ini baru sekali ini aku
dihina orang dikandang
sendiri! Sungguh
memalukan!"
PLAK! Terdengar suara beradunya
telapak tan-
gan dengan meja kayu jati tebal
itu. Apa yang
terjadi? Tiga buah gelas arak
yang telah terisi
penuh lagi itu beserta dua kendi
arak serta beberapa
piring makanan kecil yang hampir
kosong, telah me-
layang ke atas
hampir menyentuh langit-langit ruan-
gan. Ketika meluncur turun lagi,
membelalak kedua
pasang mata sang Tumenggung
Dipayana alias Rupaci
dan Katakili, karena segera
terdengar bunyi TREK...!
***
ENAM
ANEH...! TAK ADA SATUPUN dari
benda-benda
di atas meja itu yang terbalik
atau tumpah isinya, apa-
lagi pecah. Tapi selang sesaat
segera terdengar suara
bergedubrakan. Meja kayu jati
itu ambruk berantakan
dan hancur berkeping-keping
bersama dengan han-
curnya benda-benda di atas meja
itu...
"Ah...!? Hebat!
Hebat...!" Hampir berbareng si
dua Iblis dari Empat Iblis Pulau
Menjangan berteriak
kagum. Akan tetapi diam-diam
hati Rupaci mencelos,
karena secara tak langsung
pihaknya telah menimbul-
kan kemedongkolan hati si Naga
Hijau. Cepat-cepat
Rupaci memberi hormat pada Sumo
Bledeg seraya ber-
kata.
"Ah, sobat Naga Hijau,
sudilah kau memaafkan
kata-kata kakak seperguruanku.
Kami tidak bermak-
sud meremehkan anda..."
"Kentut busuk!"
membentak Sumo Bledeg yang
sudah naik pitam. Apakah dengan
berkata begitu bu-
kannya telah menghinaku...? Heh!
Selama lebih dari
lima belas tahun aku malang
melintang di dunia Rim-
ba Hijau, belum pernah aku
melipat ekor untuk mela-
rikan diri seperti akal bulus
yang dilakukan kalian pa-
da orangmu sendiri yang bernama Sawor!" menyom-
bong Sumo Bledeg tanpa kepalang
tanggung, bahkan
telah pula mengguar kebusukan
Empat Iblis Pulau
Menjangan secara
terang-terangan. Hal mana mem-
buat Katakili jadi merah padam
mukanya. Sedangkan
Rupaci diam-diam mengeluh dalam
hati.
"Wah, wah... Celaka!
Agaknya sesama golongan
bakal terjadi bentrokan!"
Benar saja! Tiba-tiba Katakili
perdengarkan su-
ara dingin yang menembus tulang.
"Naga Hijau! Kau kira sikapmu selama ini ba-
nyak baiknya dari pada busuknya
pada kami...? Ha-
haha... kaupun tak lebih dari
pengecut busuk yang
berbuat licik yang pergunakan
cara lempar batu sem-
bunyi tangan dengan
"bekerja" secara sembunyi-
sembunyi! Perampokan tiga bulan
yang lalu pada seo-
rang bangsawan di Kota Raja
telah kau gunakan nama
baik kami! Apakah itu bukan tipu
daya licik, menohok
kawan seiring...? Hm,
ketahuilah, sebenarnya aku ke-
mari memang mau menagih separuh
dari hasil yang
kau dapatkan, sebagai imbalan
atas kau cemarkan
nama Empat Iblis Pulau Menjangan
yang sudah lenyap
tak di ingat orang...!"
Pucatlah wajah Sumo Bledeg. Apa
yang di kata-
kan Katakili itu memang
sebenarnya. Sungguh tak
disangka kalau Katakili telah
mengetahui samarannya.
Akan tetapi sebagai orang yang
sudah lihay dalam tipu
daya serta pandai berputar
lidah, Sumo Bledeg tak
mengakuinya.
"Kentut busuk!"
makinya dengan wajah berang.
"Aku tak merasa melakukan
hal itu. Mungkin lain go-
longan yang telah melakukan aksi
perampokan di Kota
Raja itu!" membentak si
Naga Hijau.
"Apakah kau mau mungkir
bila kutunjukkan
benda ini...?" berkata
Katakili seraya keluarkan sebuah
senjata rahasia berbentuk bulan
sabit sebesar jari dari
saku bajunya. Terkejut Sumo
Bledeg melihat .senjata
rahasia miliknya itu.
"Aku menemukannya menancap
ditembok ge-
dung bangsawan tua yang kau
bunuh itu!" lanjut uca-
pan Katakili. Sumo Bledeg tak
dapat menyangkal lagi,
karena memang benarlah dia
pernah mempergunakan
senjata rahasianya ketika
menghadapi anak si bang-
sawan tua ketika melakukan
perlawanan pada malam
hari disaat dia menyatroni
gedung si bangsawan. Na-
mun akhirnya dia dapat
menewaskan anak si Bangsa-
wan tua itu dengan pukulan
geledeknya.
Wajah si Naga Hijau tampak
sebentar pucat se-
bentar merah. Dan tiba-tiba saja
Sumo Bledeg telah
menerjang dengan pukulannya,
disertai bentakan ke-
ras.
"Baik! Aku mengakui itu
perbuatanku. Kini kau
telah datang ke sarang Naga Hijau, ada baiknya kau
mampus terlebih dulu sebelum
datang "penyakit" pa-
daku!" WHUK! WHUK...!
Dua kali hantaman, beruntun si Naga Hijau
terpaksa harus dikelit Katakili
dengan berlompatan
menghindar. Dan satu lagi
serangan si Naga Hijau ter-
paksa di papaki berdua dengan
Rupaci. DHESS! ter-
dengar suara benturan keras.
Akibatnya tubuh si Naga
Hijau terhuyung tiga langkah.
Sedangkan Rupaci dan
Katakili menindak ke belakang dua langkah. Melihat
dari beradunya dua tenaga dalam
gabungan itu den-
gan tenaga dalam Sumo Bledeg,
dapat diketahui ting-
katan tenaga dalam Sumo Bledeg
masih setingkat di
atas mereka, bila diukur
perseorangan. Namun dengan
adanya gabungan tenaga dalam
kedua dari Empat Iblis
Pulau Menjangan itu, tentu saja
membuat si Naga Hi-
jau nyaris terluka dalam.
Menggeram gusar Sumo Bledeg.
Segera dia ke-
rahkan segenap kepandaiannya
untuk merobohkan
lawan. Senjata-senjata
rahasianya mulai disebar melu-
ruk ke arah kedua bekas sahabat itu mengancam
maut. Trang! Trang...! Terpaksa
dengan sebat Rupaci
tangkis serangan itu dengan
senjata cluritnya. Dan Ka-
takili menangkis dengan senjata
roda bergeriginya.
Sementara itu keadaan diluar
gedung jadi gem-
par. Puluhan anak buah si Naga
Hijau berlompatan ke
arah ruangan sang Ketua mereka.
Namun mereka cu-
ma bisa melihat dari luar,
karena khawatir terkena
sambaran roda-roda bergerigi
Katakili yang berdesin-
gan, menabas apa saja yang
menghalangi.
Selang beberapa jurus tampaknya
mereka me-
rasa kurang leluasa untuk
bertarung dalam ruangan
sempit. Naga Hijau melompat
terlebih dulu, disusul
Katakili dan Rupaci. Hal mana
memang keinginan Ka-
takili karena senjatanya dapat
bebas bergerak tanpa
hambatan.
Akan tetapi terkejut Katakili
ketika merasakan
tenaganya semakin melemah.
Pandangannya menda-
dak menjadi memudar. Terasa
kepalanya berdenyutan.
Apa yang dirasakan Katakili
ternyata demikian
juga pada Rupaci dan Sumo
Bledeg. Katakili sudah tak
mengetahui lagi kemana
melayangnya senjatanya. Se-
mentara Sumo Bledeg bukannya
menyerang bahkan
terhuyung memegangi kepalanya.
Demikian pula Ru-
paci, dia meringis memegangi
perutnya. Cluritnya su-
dah terlepas jatuh ke tanah.
Sementara itu anak buah si Naga
Hijau jadi
terpaku memandang orang yang
bertarung dalam kea-
daan demikian itu.
Ketika pada saat itu
sekonyong-konyong ter-
dengar suara tertawa wanita
mengikik membangunkan
bulu roma. Dan... sesosok tubuh
tahu-tahu telah be-
rada di tempat itu.
"Hihihi... hihihi... kalian
akan segera mampus,
penjahat-penjahat terkutuk,
karena aku telah men-
campuri arak yang kalian minum
dengan racun!"
"Hah!? Ka... ka... kau...
KEN AYU...?,!" Terpe-
rangah Rupaci melihat siapa yang
muncul dihadapan-
nya, yang dalam keadaan persis
seperti yang dijum-
painya disisi hutan tadi pagi.
Sosok tubuh seorang wanita muda
yang ram-
butnya beriapan dengan keadaan
membugil itu mem-
buat para anak buah si Naga
Hijau terbelalak kehera-
nan.
Sementara Katakili terkejutnya
bukan alang
kepalang, mendengar kata-kata
wanita itu, juga meli-
hat kemunculan wanita yang
pernah diperkosanya.
"Ja... jadi gejala ini
adalah akibat keracunan? Cela-
ka...!?" desisnya tertahan.
Sumo Bledeg berteriak den-
gan mata mendelik.
"Keparat! Kaukah si Ken Ayu itu?
Kau... kau bisa menaruh racun
pada arak sejak ka-
pankah?"
Tertawa mengikik wanita yang
sudah tak men-
genai rasa malu lagi,
seakan-akan memang sengaja
mempertontonkan tubuhnya.
"Hihih... dengan ilmuku aku
bisa berbuat apa
saja. Karena aku mempunyai ilmu
Halimunan!
Sejak tadi kalau aku mau
membunuh kalian
semua teramat mudah, tapi kurasa
lebih baik kubuat
kalian mati perlahan-lahan agar
kau dapat rasakan
penderitaannya! Kalian adalah
pelaku-pelaku kejaha-
tan yang kerjanya cuma menyusahkan orang, maka
layaklah kalau kalian mampus...!
Hihihi... tuan Tu-
menggung! Kau kira aku tak
mengetahui kau merat!
Sejak kau menyelinap pergi, aku
sudah menguntitmu
sampai tempat ini...!"
Ujarnya seraya menatap tajam
dengan wajah sinis pada
Tumenggung Dipayana alias
Rupaci.
"Kau... kau akan menyesal
membunuhku!"
memaki Rupaci dengan wajah pucat
pias, dan rona wa-
jahnya mulai membiru.
"Kau... kau takkan mengetahui
ssi... siapa ayah i...
Ibu.. mu...!"
Selesai berkata demikian, tubuh
Rupaci tam-
pak limbung dan jatuh berdebuk
ke tanah. Lalu berke-
lejotan bagai ayam disembelih.
Dari mulutnya keluar
busa. Tak lama kemudian manusia
itu pun lepaskan
nyawanya...
Terperanjat Katakili dan Sumo
Bledeg. Si Ketua
perguruan Naga Hijau ini
menggembor keras, seraya
menerjang Ken Ayu. Ternyata
dengan tenaga terakhir-
nya Sumo Bledeg telah menyerang
dengan pukulan
Geledeknya.
WHUUUKKK...! Angin pukulannya
membersit
keras menerpa Ken Ayu.
Dan... BHLARRR! Terdengar suara
dentuman
keras bagaikan petir menyambar.
Akan tetapi bukan-
nya Ken Ayu yang terkena
melainkan tubuh Katakili
yang tahu-tahu terhuyung
memapaki diluar kesada-
rannya. Terdengarlah jeritan
parau laki-laki itu. Seke-
tika tubuhnya hangus terbakar.
Setelah menggeliat
beberapa kali, Katakili pun
tewas seketika dengan ma-
ta mendelik dan lidah terjulur
keluar. Sementara Sumo
Bledeg sendiri dengan keadaan
semakin terhuyung be-
lalakkan matanya menatap Ken Ayu
yang mengikik
tertawa. Ringan sekali gerakan
wanita itu ketika mele-
sat mengelakkan diri dari
hantaman pukulan si Naga
Hijau seraya mendorong tubuh
Katakili untuk mene-
rima pukulan itu. Tentu saja
Katakili tak mampu un-
tuk mengelakkan diri. Keadaan
telah berlangsung den-
gan cepat, hingga dia harus
menerima nasib menjadi
korban pukulan si Naga Hijau
itu.
"Ka... kau... kau..."
belum lagi Sumo Bledeg
meneruskan kata-katanya tubuhnya
sudah ambruk ke
tanah untuk segera berkelojotan.
Selang sesaat Sumo
Bledeg pun tewas dengan keadaan
tubuh berubah
membiru...
Gemparlah seketika keadaan
didalam pagar
tembok markas Naga Hijau. Para
anak buah Sumo
Bledeg berlarian kalang kabut
dengan ketakutan meli-
hat munculnya seorang gadis
yang dalam keadaan
membugil dan perdengarkan suara
tertawa mengikik
yang membangunkan bulu roma.
"Kalian juga
manusia-manusia jahat yang ha-
rus mampus...! Hihihi...
hihihi..." Membentak si wanita
mengerikan ini. Tiba-tiba
lengannya terangkat. Dan...
muncullah berpuluh-puluh ekor
serigala yang segera
mengepung puluhan anak buah si
Naga Hijau.
Sekonyong-konyong tubuh Ken Ayu
lenyap sir-
na dari tempat berdirinya. Akan
tetapi segera menjel-
ma menjadi seekor serigala
betina yang luar biasa be-
sarnya. Menggeram serigala ini,
serta perdengarkan
suaranya melolong panjang.
Selanjutnya ketika tubuh
serigala itu berkelebat dari
tempatnya, terdengarlah je-
ritan kematian disana-sini.
Apakah yang terjadi...?
Ternyata anak buah si Naga Hijau
habis diterkamnya.
Tak satupun dibiarkan meloloskan
diri...
Mayat-mayat pun berkaparan disana-sini den-
gan keadaan tubuh yang sudah
tidak utuh lagi. Terlalu
mengerikan kejadian itu.
Ketika senja menjelang, dan
matahari agak
condong ke arah barat, gedung
Markas si Naga Hijau
telah menjadi sunyi mencekam.
Beberapa ekor burung
pemakan bangkai mulai
berseliweran di udara, mem-
baui amisnya darah.
Burung-burung itupun mulai
menukik turun. Dan selanjutnya
adalah pemandangan yang
mengenaskan, keti-
ka serpihan-serpihan daging
mayat telah menjadi re-
butan mereka dengan suara
mengiyak tiada henti, seo-
lah hari itu mereka tengah
mengadakan pesta me-
riah....
***
Emoticon