SATU
Puncak gunung Galunggung
kepulkan asap ti-
pis...
Keadaan di sekitar
tempat itu sunyi senyap.
Cuma yang terdengar suara lumpur
lahar yang bergo-
lak mendidih.
Tak seorangpun manusia yang
berani melongok
ke puncak gunung itu, karena
hawa yang teramat pa-
nasnya. Akan tetapi justru satu
keanehan di sisi lum-
pur yang bergolak menindih itu,
pada satu relung goa
tampak duduk dengan mata meram
dan kaki bersila
seorang nenek tua renta yang
berambut putih beria-
pan.
Hawa dari lahar itu seperti tak
dirasakannya.
Empat puluh hari empat puluh
malam sudah nenek
tua renta itu bersemadi. Kalau
pantatnya tak menem-
pel di atas batu tentu manusia
itu pasti disangka setan
kalau kebetulan ada orang yang
melonggokkan kepala
melihatnya.
Dekat ujung kakinya banyak
terdapat guratan
yang menggores batu. Itulah
goresan hitungan dimana
setiap selesai satu malam
bertapa, si nenek selalu
menggurat satu kali dengan
jarinya demikian seterus-
nya...
Dan dari banyaknya guratan itu
yang kalau di-
hitung sudah berjumlah 40
guratan berarti sudah em-
pat puluh hari lamanya dia
bersemadi di lereng dasar
kawah itu.
Hari itu adalah hari keempat
puluh dia bertapa.
Saat mana tampak si nenek tua
renta itu mulai mem-
buka sepasang kelopak matanya.
Ternyata dia seorang nenek
bermata juling. Bi-
birnya tampak sunggingkan satu
senyum puas. Dan
dia boleh bernapas lega, karena
dari bisikan gaib yang
diperoleh melalui semedinya satu
harapan besar yang
menggembirakan telah membuat dia
tertawa terkekeh-
kekeh seraya ucapnya lirih.
"Hihihik... hihihihik...
terima kasih! terima ka-
sih atas petunjukmu Eyang
Pukulun..! tentu saja sya-
rat-syarat itu akan hamba
penuhi! Bocah perempuan
yang sudah kuresmikan menjadi
muridku itu harus
dapat menandingi kehebatan si
Roro Centil! dan dia
harus mampu membunuhnya!
hihihik... hihihik..."
Selesai berkata si nenek tua
renta bermata jul-
ing itu bangkit berdiri.
Sepasang matanya menatap ke
atas tepian lereng kawah,
dipuncak paling atas. Den-
gan perdengarkan suara tertawa
dingin, perempuan
tua yang sakti ini gerakkan
anggota tubuhnya ke kiri
dan ke
kanan. Terdengar suara berkrotokan tulang-
tulangnya. Duduk bersemadi
selama empat puluh hari
empat puluh malam membuat
urat-uratnya kaku.
Bahkan kulitnya sudah hitam
seperti gosong akibat
hawa yang teramat panas.
Pakaiannyapun robek ber-
serpihan karena lapuk dimakan
hawa panas.
Sekali lengannya bergerak,
sebongkah batu be-
sar dua kali kepalan tangan
sudah tercekal di tangan-
nya. Lalu matanya menatap lagi
ke atas puncak gu-
nung dari dalam ruang rongga di
lereng batu dalam
mulut kawah.
WHUUUT...! batu di lengannya
dilemparkan ke
atas. Dan tubuhnya secepat kilat
melesat menyusul
batu yang barusan dilemparkan.
Ketika kakinya tepat di atas
batu, sebelah kaki
si nenek mata juling jejakkan
kakinya pada batu tua
itu, dan... ringan sekali tubuh
si nenek kembali me-
luncur untuk seterusnya
hinggapkan kaki di bibir mu-
lut kawah.
Sementara batu yang dipakai
sebagai "tangga"
untuk melompat itu meluncur
deras ke bawah, dan le-
nyap ditelan bergolaknya lumpur
kawah gunung Ga-
lunggung.
Setelah perdengarkan suara
tertawanya yang
terkekeh-kekeh, si nenek mata
juling berkelebat dari
puncak gunung itu dan lenyap di
kesamaran kabut...
Dua hari kemudian sejak
terjadinya peristiwa di
gunung Galunggung, di sebuah
desa terdekat telah ter-
jadi kegaduhan.
Teriakan-teriakan ketakutan terden-
gar dari sebuah rumah. Apakah
yang terjadi?
Seorang wanita tua lari pontang
panting keluar
dari rumahnya dengan wajah
pucat. Hari belum begitu
malam, namun hawa aneh yang
membangunkan bulu
roma telah menyebar di sekitar
desa Banyu sari. Wani-
ta yang lari pontang panting
keluar dari rumahnya itu,
karena tahu-tahu melihat di
dalam kamarnya muncul
makhluk-makhluk kerdil yang
berwajah menyeram-
kan, dengan mulut menyeringai dan sepasang mata
yang besar-besar. Pada kepalanya
terdapat dua buah
tanduk. Makhluk-makhluk itu
ternyata menghampiri
anak gadisnya yang tidur sendiri
dalam kamarnya. Ke-
tika mendengar suatu jeritan
sang anak gadis tengah
meronta-ronta dalam cengkeraman
tangan mahluk-
mahluk kerdil yang menyeramkan.
Tentu saja mem-
buat dia terperangah dengan
wajah pucat. Dan serta
merta melompat keluar rumah
dengan menjerit-jerit
ketakutan...
"Toloooong! tolooong!"
teriaknya dengan meng-
getar panik. Tentu saja membuat
penduduk segera ke-
luar untuk melihat apa gerangan
yang terjadi. Dua
orang laki-laki bergegas
melompat menghampiri.
"Ada apa, bi...? ada
apa...? mengapa kau berte-
riak-teriak malam-malam
begini?" tanya salah seorang.
Sementara laki-laki itu telah
mencekal golok yang se-
jak keluar dari rumah sudah
dihunusnya.
"Anaku... a... anaku...
Kitri! tolong anaku..." te-
riak wanita tua itu dengan
menangis terisak dan wajah
pucat pasi.
"Kenapa anakmu? kenapa? apa
yang terjadi...?"
tanya seorang lagi. Sementara
beberapa orang pendu-
duk laki-laki dan perempuan
sudah berdatangan den-
gan berlari-lari menghampiri.
Akan tetapi belum apa-apa wanita
tua itu telah
terkulai pingsan tak sadarkan
diri. Si laki-laki bergolok
seketika sudah melompat ke arah
rumah.
"Pasti ada terjadi apa-apa
dengan anak gadis
itu! ayo, bantu aku
melihat!" teriak laki-laki itu sesaat
ketika berhenti untuk berpaling
pada para tetangganya
yang sudah berkerumun. Dua orang
lagi singsingkan
kain sarungnya lalu bergegas
melompat menyusul ka-
wannya. Sebuah kayu yang
tergeletak di tanah disam-
bar oleh salah seorang. Sedang
kawannya yang satu
lagi telah mencabut keluar
goloknya yang terselip di
pinggang.
"Dimana anak gadis itu? tak
ada...!" teriak sa-
lah seorang yang tadi duluan
masuk. "Periksa kamar,
tolol!" teriak kawannya.
BRAAK! pintu kamar ditendang
roboh. Keti-
ganya menyerbu ke dalam. Akan
tetapi beberapa
bayangan hitam telah melompat
dan menerkam... Se-
ketika terdengarlah suara
jeritan tiga orang itu yang
seketika berkelojotan dengan
mata membelalak dan
terperangah kaget, karena
tahu-tahu leher mereka te-
lah terkena terkoyak oleh
gigitan taring makhluk-
makhluk kerdil yang
mencengkeramnya.
Tak ampun ketiga orang itu
berkelojotan mere-
gang nyawa dengan lidah terjulur
sekarat.
Suasana kembali hening setelah
ketiga orang
penduduk itu roboh terkulai
dengan tak berkutik lagi.
Akan tetapi di luar telah
terjadi kegaduhan ke-
tika dari jendela berlompatan
makhluk-makhluk kerdil
itu yang jelas terlihat
memondong tubuh seorang pe-
rempuan.
"Itu..! it..uuuu! kejar.!
kejaaaar...!" teriak bebe-
rapa orang dengan suara santar
dan mata membela-
lak. Akan tetapi bukannya pada
mengejar, bahkan me-
reka menyurut mundur. Karena
segera meremang bulu
tengkuk mereka melihat
sekelebatan bentuk tubuh
dan wajah yang menyeramkan dari
makhluk-makhluk
kerdil itu yang menggondol lari
gadis itu.
"Ssssetan...! hah!? itu,
mah... ssetan! hiiiiiii..."
teriak salah seorang dengan
suara gemetar dan wajah
pucat pias.
Sekejapan saja makhluk-makhluk
kerdil itu le-
nyap dikeremangan malam. Barulah
mereka teringat
akan nasib tiga orang kawan yang
memasuki rumah.
Bergegas beberapa orang menyerbu
untuk melihat.
Bukan main terkejutnya para
penduduk ketika
mengetahui ketiga kawan mereka
telah terbujur jadi
mayat. Keadaannya mengerikan
karena pada leher
masing-masing ada luka lebar
menganga seperti bekas
gigitan taring.
Gemparlah seketika penduduk desa
Banyu sari
ketika mengetahui ketiga
penduduk yang telah tewas
itu kenyataannya telah tersedot
habis darahnya.
Diculiknya gadis bernama Kitri
anak seorang
janda yang cuma hidup berdua
dengan anak gadisnya
itu menambah mengkalutkan
suasana.
Kepala Desa segera memerintahkan
semua
penduduk untuk berjaga-jaga khawatir kejadian beri-
kutnya terulang lagi.
Esoknya menjelang tengah hari,
mayat ketiga
penduduk itu segera dikebumikan
dengan hati hancur
serta perasaan sedih. Kejadian
itu adalah kejadian un-
tuk yang pertama kalinya melanda
desa Banyu sari di
lereng gunung Galunggung...
Sementara itu di satu tempat
tersembunyi yang
sukar dikunjungi manusia biasa,
di satu lereng bukit
terjal pada sebuah lubang goa...
"Hihihi... hihihik...
bagus! bagus! kalian bekerja
dengan baik, akan tetapi aku
membutuhkan enam
orang gadis lagi untuk keperluan
ku!" Di mulut goa itu
berdiri sesosok tubuh wanita tua
yang berambut putih
beriapan. Dialah si nenek tua
renta bermata juling
yang tengah bicara dengan tujuh
makhluk kerdil yang
berwajah menyeramkan.
"Tiga hari lagi bulan
Purnama. Kalian harus
sudah selesai mengumpulkan tujuh
orang gadis!"
sambungnya dengan suara serak
bagai burung gagak.
Ketiga makhluk itu
manggut-manggut dengan tertawa
menyeringai, lalu segera satu
persatu berkelebatan ke-
luar dari dalam goa. Gerakannya
cepat sekali karena
mereka seperti melayang saja di
atas udara melintas
jurang terjal di bawah bukit.
Tertawa terkekeh si ne-
nek mata juling, memandang
ketujuh makhluk piaraan
yang amat patuh untuk
menjalankan tugas.
Tak lama nenek mala juling
segera beranjak
masuk ke dalam goa. Sebongkah
batu bergerak meng-
geser dari dalam yang segera
menutupi lubang itu.
Ternyata si nenek itulah yang
menggeserkan batu pe-
nutup liang goa itu...
***
DUA
Dari ruangan bagian dalam goa
itu terdengar
suara isak tangis seseorang.
Bergegas si nenek mata
juling menghampiri, seraya
perdengarkan suara terta-
wanya mengekeh. "Hihihik...
hihihik... sudahlah mu-
ridku, jangan kau turutkan
kesedihan mu! Tiga hari
lagi kau boleh bergirang hati
mempunyai sepasang
lengan baru. Tidak saja
akan membuat anggota tu-
buhmu kembali sempurna, akan
tetapi juga kau akan
memiliki sepasang lengan yang
sakti!" ujar si nenek
tua renta itu menghibur.
Tampak seorang wanita berwajah cantik, na-
mun berambut kusut dan wajah
pucat lesu duduk
menyandar ditembok goa dengan berurai
air mata.
Akan tetapi jelas terlihat
sepasang lengannya putus.
Dialah wanita yang bernama Giri
Mayang. (se-
perti dikisahkan dalam judul:
Langkah-langkah Manu-
sia Beracun, Giri mayang yang
bertarung melawan
Gembul Sona si Belut Putih dan
Sambu Ruci alias si
Pendekar Selat Karimata kena
dilukai senjata kedua
Pendekar itu. Saat itu Giri
Mayang telah menyerupa-
kan dirinya menjadi seekor ular
besar berkepala tujuh.
Pedang Sambu Ruci berhasil
menabas leher salah satu
kepala ular. Demikian pula keris
pusaka Gembul Sona
si kakek rambut coklat itu dapat
leher salah satu dari
tujuh kepala ular kejadian itu.
Ternyata tepat yang di-
tabas adalah sepasang lengan
dari wanita sakti ber-
nama Giri Mayang itu, yang
mempunyai dendam seda-
lam lautan terhadap Roro Centil.
"Tiga hari lagi, guru...?
dan benarkah apa yang
kau katakan itu...?"
bertanya Giri Mayang dengan wa-
jah sekonyong-konyong
membersitkan cahaya cerah.
Semangat hidupnya telah timbul
lagi.
"Hihihik... hihik... mengapa
aku harus berdus-
ta? Tenangkan hatimu. Tiga hari
lagi menjelang pur-
nama si tujuh makhluk kerdil
piaraan ku sudah men-
gumpulkan tujuh orang gadis.
Mereka semua adalah
sebagai syarat untuk mendapatkan
sepasang lengan-
mu yang kudengar dari suara gaib
hasil dari semediku
selama empat puluh hari empat
puluh malam di ka-
wah gunung Galunggung. Dan...
kau boleh bersuka ci-
ta dengan sepasang lengan barumu
kelak, karena kau
akan mempunyai sepasang Tangan
Iblis yang dapat
kau pergunakan untuk membalas
dendam, hihihik...
hihihik… hihik..."
"Oh, terima kasih! terima
kasih, guru! Atas jerih
payahmu itu entah dengan apa aku
harus membalas-
nya!" berkata Giri Mayang
dengan sinar mata membi-
nar karena girangnya.
Tertawa mengekeh si nenek mata
juling, seraya
ujarnya. "Hm, bagiku
asalkan kau bisa melenyapkan si
Roro Centil aku sudah puas!
karena bukan saja murid
manusia Banci itu telah membunuh
murid ku si kupu-
kupu emas akan tetapi juga
membunuh mati anakku
Porak Supih. Dengan kau berhasil
kelak mele-
nyapkannya berarti kau telah
pula membalaskan den-
dam ku. dan membalaskan pula
kematian paman gu-
rumu serta murid gurumu
itu." berkata si nenek tua
renta dengan suara dingin.
"Dengan bekal Tangan Iblis
itu aku yakin kau dapat membunuh
mati si Roro Cen-
til itu, murid ku!" ucapnya
dengan tandas.
Giri Mayang tak dapat
berkata-kata selain
mengangguk-angguk dengan
pancaran mata bersinar.
Betapa dia sudah tak sabar untuk
menantikan saat
pembalasan itu...
Kita tinggalkan dulu dua manusia
Kaum Rimba
Hijau golongan hitam itu yang
mempunyai dendam
amat luar biasa pada sang
Pendekar Wanita Pantai Se-
latan. Marilah kita beralih
kesatu tempat.
Lelaki muda bertubuh tegap itu
duduk terman-
gu di atas batu. Di belakangnya
adalah air terjun yang
meluncur dari atas tebing batu
di belakangnya. Sepa-
sang matanya menatap ke depan.
Akan tetapi tiada yang
ditatapnya karena sebe-
narnya dia tengah menatap jauh
ke masa silam...
Laki-laki itu berwajah bersih.
Dari bekas cuku-
ran pada jenggot dan kumisnya
menandakan dia ada-
lah bekas seorang laki-laki
brewok yang berambut
gondrong. Bila di pandang dari
keadaan tubuhnya,
ternyata diapun seorang yang
cacad jasmani, karena
sebelah lengan kirinya putus
hampir sebatas pangkal
lengan.
Dialah Joko Sangit! laki-laki
gagah yang pada
peristiwa beberapa bulan yang
lalu terpaksa membun-
tungi lengannya sendiri, karena
demi membuktikan
cinta dan janjinya pada Roro
Centil.
Akan tetapi Joko Sangit telah
terkecoh, karena
tanpa disadari Joko Sangit telah
salah mata mengang-
gap Giri Mayang sebagai Roro
centil, karena Giri
Mayang telah mempergunakan ajian
malih rupa, bah-
kan memakai pakaian serta
senjata yang mirip seperti
yang sering dikenakan Pendekar
Wanita Pantai Selatan
itu. Giri Mayang yang mengetahui
dalam mabuknya si
laki-laki bernama Joko Sangit
itu bahwa dia memen-
dam Cinta pada Roro Centil telah
sengaja memper-
mainkannya. Hingga dalam keadaan
menderita, Joko
Sangit tergelincir masuk ke
dalam jurang. Dan tak
sempat lagi mengetahui siapa
sebenarnya wanita diha-
dapannya... (baca: kisah,
Misteri Telaga Berkabut.)
Apakah yang terjadi dengan murid
si Pendekar
Gentayangan Ki Jagur Wedha itu
hingga masih bisa
hidup dan berada di satu tempat tersembunyi di ba-
wah air terjun? Sebentar akan
kita simak kisahnya.
Saat Joko Sangit tengah merenung
akan kisah
silamnya yang sebentar-sebentar
diseling dengan he-
laan napas, tiba-tiba terdengar
suara tertawa yang
membuat laki-laki ini terkejut
dan tersadar dari lamu-
nannya.
"Hehehehe... orang muda
terlalu banyak mela-
mun akan tidak baik! Hal itu
boleh dilakukan cuma
sekali waktu. Akan tetapi
terus-terusan melamuni na-
sib, bukan saja membuat
lenyapnya semangat hidup
juga akan menyia-nyiakan
waktu!" Suara tertawa yang
kemudian disambung dengan
kata-kata itu membuat
Joko Sangit tersenyum, karena
dia segera telah melihat
datangnya seorang kakek jangkung
bermata sipit ber-
kulit putih. Rambutnya digelung
kecil di atas kepala.
Terbungkus dengan kain sutera
warna putih.
"Ah, kakek Matsui, anda
membuat aku jadi ter-
kejut..! ujar Joko Sangit seraya
menjura. Lalu tukas-
nya selanjutnya. "Benar
sekali apa yang anda katakan
itu kakek Matsui! aku terlalu
tenggelam dengan keme-
lut kisah ku di masa silam yang
penuh dengan kebru-
talan...!"
Mengekeh tertawa si kakek
jangkung berjubah
putih ini dengan mengelus-elus
jenggotnya, "Hehehe-
heh... kebrutalan masa muda
memang seperti tidak bi-
sa terlepas dari gaya hidup
manusia, akan tetapi tentu
punya batas-batas dan ukuran
tertentu!" tukas si ka-
kek Matsui, tokoh persilatan
dari Negeri Sakura ini.
Entah bagaimana kakek kosen ini
mulai "ngelayap" ke-
luar dari negerinya,
"Wah...! kalau aku sudah
lebih dari batas uku-
ran, kek...! Makanya tak
habis-habis kurenungi. Aku
merasa jalan hidupku banyak
salah. Aku banyak ber-
buat dosa di luar kesadaranku,
atau bahkan dalam
sadarku...!" berkata Joko
Sangit. ,
Kakek Matsui kerutkan keningnya
menatap pa-
da laki-laki itu yang pada
beberapa bulan yang lalu di-
colongnya secara kebetulan.
"Apakah di samping minum
arak ada banyak
kejahatan lain yang kau
lakukan?" tanya Kakek Mat-
sui. Joko Sangit tertawa hambar
sambil manggut-
manggut."Banyak nian, kek!
terutama pada soal pe-
rempuan...! ya! arak dan
perempuan itu seperti sudah
mendarah daging di benakku! Aku
berusaha menghi-
langkannya tapi tak punya
kemampuan untuk meng-
hindari..." keluh Joko
Sangit.
"Heheheh... apakah
kira-kira kau telah temu-
kan cara baik untuk buang sifat
itu?" tanya kakek
Matsui.
"Justru itulah aku tengah
merenungkannya... !
sahut Joko Sangit dengan
menghela napas. "Dan...
kau sudah punya kepastian? dalam
perenungan mu
selama berhari-hari ini?"
tanya lagi kakek Matsui den-
gan tersenyum.
"Baru separuhnya...!"
"Maksudmu?" tanya
orang tua itu tak mengerti.
"Aku baru bisa
menghilangkan keinginanku
dengan perempuan saja!"
sahut Joko Sangit. Membela-
lak mata kakek Matsui, lalu
dikejap- kejapkan. Dan ti-
ba-tiba saja tertawa terkekeh-kekeh
sampai terbatuk-
batuk.
"Hehehe... heh heh heh...
uhuk uhuk... berhari-
hari merenungi diri ternyata
hasilnya tak lebih cuma
"pesong" belaka!
hehehe... hehheh..."
"Apa itu pesong,
kek...?" tanya Joko Sangit he-
ran. Ditatapnya kakek jangkung
kurus berjubah putih
itu dengan hati agak mendongkol,
juga tak mengerti.
"Hehehe..
."pesong" artinya pepesan kosong! ka-
lanya kau merenung mengingat
segala dosa taik kuc-
ing! nyatanya kau tak mampu
menghilangkan keingi-
nanmu untuk mabok arak!
Wahahaha... he. hehe...
Kalau cuma menghilangkan
keinginan pada perem-
puan sih bukannya hasil
merenung, tapi sudah saja
kau bilang bahwa kau patah hati!
Dan patah hati itu
sifatnya sementara...! kalau
untuk selamanya kau tak
punya keinginan pada perempuan,
apa lagi masih
punya keinginan mabuk arak,
Wah... ! wah! itu sih
sama dengan bohong! kecuali kau
"dikebiri" aku baru
yakin." berkata kakek
Matsui dengan blak-blakan
mengungkapkan pendapatnya.
Ternyata apa yang dikatakan si
kakek Matsui
sedikitpun tak disalahkan Joko
Sangit. Hatinya mem-
batin. "Si kakek orang
asing yang menolongku ini se-
perti bisa mengetahui sifat
manusia! aku sendiri tidak
bisa memastikan apakah akan
selamanya aku men-
jauhi perempuan? Yang jelas semenjak
aku dibuat sa-
kit hati oleh perbuatan Roro
Centil hingga sampai aku
kehilangan sebelah lenganku
aku... aku mulai mem-
benci perempuan!"
Akan tetapi sedikit banyak Joko
Sangit masih
penasaran yang membuat dia
ajukan pertanyaan, dan
balas "memukul" orang.
"Penjelasan anda ada
benarnya juga kakek
Matsui. Akan tetapi anda
mengatakan keyakinan anda
kalau manusia dikebiri barulah
lenyap keinginannya
pada perempuan, apakah anda
pernah mengalami hal
seperti aku? dan jangan-jangan
anda termasuk orang
yang dikebiri..." ujar Joko
Sangit seraya melompat ber-
diri.
Berubah seketika wajah si kakek
jangkung dari
Negeri Sakura itu. Alisnya yang
putih dan gompyok
hampir menutupi matanya itu
terjungkat naik.
Tiba-tiba sebelah lengannya
menghantam ta-
nah. Buk! dan... tubuhnya telah
mencelat setinggi se-
puluh tombak. Di udara tubuh si kakek Matsui itu
berputar dua kali. Selanjutnya
dia berdiri tegak me-
nengadah menatap langit.
Jubahnya berkibaran ter-
tiup angin pegunungan...
Terkejut Joko Sangit dia tak
menyangka kalau
kata-kata itu ternyata tepat
mengenahi hati sanubari
si kakek penolongnya. Namun
diam-diam dia memuji
kehebatan ilmu meringankan tubuh
kakek dari Negeri
Sakura itu.
"Ucapanmu tidak salah, anak
muda...! aku
memang manusia kebiri! sejak
usia delapan belas ta-
hun kejadian itu telah
menimpa ku! Akan tetapi du-
gaanmu salah kalau kau katakan
aku mengalami hal
yang sama sepertimu!"
terdengar suara si kakek Mat-
sui berkata. Suaranya pelahan,
akan tetapi mengan-
dung kekuatan tenaga dalam yang
hebat, yang mampu
menandingi suara mengguruhnya
air terjun. Ternyata
si kakek Matsui telah palingkan
kepalanya untuk me-
natap padanya dari tempat
ketinggian itu. "Anak mu-
da...!" ujarnya.
"Selama hidupku aku tak
pernah mengenal
atau mencicipi arak yang dapat
membuat manusia
menjadi mabuk! Di negeriku cuma ada SAKE...! Itu
minuman tradisi disana! Dan...
ketahuilah! Puluhan
tahun sudah aku berusaha
melupakan dendam pada
manusia yang telah membuat aku
cacad! Agaknya ma-
nusia yang kucari itu sudah
tinggal jerangkongnya saja
alias tak ada di dunia lagi!
Namun aku masih penasa-
ran untuk tetap mencarinya untuk
membalaskan den-
dam ku! karena manusia itulah
aku gagal dalam hidup
ini...! aku tak seperti manusia
layak lainnya yang da-
pat punya istri, berkeluarga dan
mengeyam hidup ba-
hagia...!"
Tertegun Joko Sangit seketika.
Suara si kakek
Matsui seperti tergetar menahan
perasaan yang meng-
gebu di dadanya. Tampak terlihat tubuh orang tua itu
tergoyang-goyang. Namun segera menggeloso dengan
menekuk lutut.
Sepasang matanya menatap pada
Matahari, la-
lu menundukkan kepala dengan
sepasang lengan
mengepal menjadi satu.
"Kakek Matsui, maafkanlah
kata-kataku yang
telah menyinggung perasaan
anda... !" teriak Joko
Sangit.
Pendekar tua dari Negeri Sakura
itu angkat wa-
jahnya menatap Joko Sangit. Dan
terdengar suara he-
laan nafasnya."Sudahlah,
anak muda...! kehidupan
memang penuh dengan kemelut. Tak
seorangpun ma-
nusia yang terlepas
darinya...!"
Selesai berkata, kakek itu
bangkit berdiri.
"Kakek Matsui! mau
kemanakah anda...?" te-
riak Joko Sangit, seraya
gerakkan tubuhnya melompat.
Akan tetapi cuma mampu tiba di
bawah kakek itu yang
berada sepuluh kaki diatasnya.
Tampaknya seperti
khawatir sekali si penolongnya
itu meninggalkan tem-
pat itu. Tersenyum orang tua ini
memandang laki-laki
muda itu. Ada terbersit perasaan
kasihan padanya.
Memang sejak dia menolongnya
secara kebetulan, si
Pendekar tua. Negeri Matahari
Terbit itu agak menaruh
simpati pada Joko Sangit.
Kejadiannya adalah sebagai
berikut.
Ketika itu Matsui memang berada
didasar ju-
rang dalam yang berkabut itu,
Sejak selama beberapa
bulan dia
"gentayangan" meninggalkan Negerinya un-
tuk mencari seseorang diwilayah
Pulau Jawa. Orang
yang dicarinya tak lain adalah
Roro Centil. Entah apa
maksudnya kakek Matsui itu
mencari sang dara Per-
kasa Pantai Selatan itu belum
lagi diketahui.
Roro Centil memang pernah
berkunjung ke ne-
geri Sakura itu untuk
memenuhi tantangan seorang
tokoh hitam di kepulauan Jepang
yang telah menden-
gar kehebatan serta nama besar
Pendekar Wanita itu.
Roro berhasil menjatuhkan
lawannya. Dan sempat pu-
la berkenalan dengan kakek tua
bernama Matsui itu,
serta mengalami pertarungan
dengan para Ninja. (Ba-
ca: kisah," Pedang Asmara
Gila").
***
TIGA
Saat itu sesosok tubuh melayang
deras ke da-
sar jurang yang dalam dimana
pada sisi-sisinya adalah
tebing-tebing batu terjal.
Naluri si kakek Matsui yang
peka membuat dia menengadah
untuk melihat ke atas
tebing. Tersentak kakek itu
melihat diantara kesama-
ran kabut sesosok tubuh manusia
meluncur ke bawah
dengan derasnya. Saat itu Joko
Sangit sudah tak tahu
akan bahaya apa yang mengancam
dirinya. Ketika ta-
hu-tahu sepasang lengan telah
menyambar tubuh-
nya... Dan selamatlah dia dari
bahaya maut! Kakek
penolongnya itu segera diketahui
bernama Matsui.
Seorang laki-laki tua dari
bangsa asing dari sebuah
kepulauan yang jauh, yaitu di
Negeri Matahari Terbit.
atau yang dinamakan juga Negeri
Sakura.
Selama beberapa pekan Joko
Sangit dirawat
oleh kakek itu hingga lukanya
sembuh dan mengering.
Selama itu pula kakek Matsui
telah berdiam didasar
lembah di bawah air terjun
itu...
Joko Sangit merasa sangat
berhutang budi atas
pertolongan orang tua asing itu.
Tentu saja membuat
dia begitu khawatir kalau si
penolongnya meninggal-
kan dia di dalam keadaan tersinggung karena kata-
kata yang telah diucapkannya.
"Anak muda..." ujar
Matsui dengan suara lirih.
"Jangan takut! aku tak
merasa tersinggung dengan
ucapan mu.
Akan tetapi aku memang mau pergi.
Dan... hari ini adalah saat yang
baik buat aku mene-
ruskan perjalanan...!"
"Ah!? akan kemanakah
kakek...? tanya Joko
Sangit tersentak. Pirasatnya
sudah menduga kalau
kakek asing yang baik budi itu
akan pergi.
"Entahlah...! aku sendiri
tak mengetahui kema-
na aku akan pergi! Untuk itu aku
tak bisa mencerita-
kannya padamu!"
"Apakah kakek Matsui akan mencari
dimana adanya musuh besar
anda?"
"Tadinya demikian...! tapi
setelah berpikir
orangnyapun entah masih hidup
entah sudah mati!
Tujuan sebenarnya adalah aku
ingin bertemu dengan
seorang tokoh Rimba Hijau dari
tanah Jawa ini. Dia
bernama Roro Centil dan
berjulukan si Pendekar Wani-
ta Pantai Selatan!"
tegaskan Matsui dengan menghela
napas.
Tersentak Joko Sangit. Seketika
dia tundukkan
wajah dan tampak wajahnya
berubah murung. Da-
danya berombak-ombak. Namun
selang sesaat Joko
Sangit dapat menenangkan
perasaannya. "Ada hubun-
gan apakah anda dengannya...
?tanya Joko Sangit.
"Kau mengenalnya...?"
Kakek Matsui justru ba-
lik bertanya.
"Yah, begitulah...! akan
tetapi dia memang amat
sukar dijumpai!"
Terpaksa Joko Sangit menyahuti,
walau sebe-
narnya hatinya lebih dari
mendongkol pada Roro Cen-
til, karena si Pendekar Wanita
Pantai Selatan itu telah
mempermainkan cintanya. Bahkan
gara-gara gadis
Pendekar itu dia harus
kehilangan sebelah lengannya.
Demikian apa yang terpikir
dihati Joko Sangit, tanpa
mengetahui kalau perbuatan yang
dilakukan terha-
dapnya adalah bukan oleh Roro
Centil. Melainkan oleh
Giri Mayang.
"Ya, ya, ya...! aku
mengerti, Gadis itu memang
berwatak aneh. Muncul dan
perginya seperti hantu.
Kalau tak secara kebetulan mana
mungkin bisa ber-
jumpa dengan dia...?" tukas
Matsui dengan manggut-
manggut.
"Baiklah...!"
sambungnya kemudian setelah me-
renung beberapa saat.
"Kalau kau sudi menolongku
tentu aku akan
berterima kasih sekali!"
"Apakah itu, kek? anda
telah menyelamatkan
nyawaku kalau aku bisa membalas
budimu!" apa pun
yang kau tugaskan untuk
membantumu aku bersedia
membantumu!" sahut Joko
Sangit dengan cepat.
"Heheheheh... heheheh...
bagus! bagus! telah
ku tinggalkan di dalam goa "sesuatu" yang aku ingin
memberikannya pada gadis
Pendekar itu!
Nah! tolong kau berikanlah benda
dalam kotak
perak itu padanya...! Hanya itu
yang ku ingin kau me-
nolongku... serta sampaikan
salamku padanya... !"
berkata kakek Matsui. Dan
setelah tertawa terkekeh-
kekeh tubuh jago tua dari Negeri
Matahari Terbit itu-
pun berkelebat dari atas tebing
batu. Lalu lenyap tak
kelihatan lagi.
Samar-samar masih terdengar
suara tertawa
mengekehnya dan kata-kata.
"Selamat tinggal anak
muda! sampai jumpa lagi, kalau
masih ada usia bua-
tku...!"
Terpaku Joko Sangit ditempatnya.
Tanpa sem-
pat dia ucapkan kata-kata
perpisahan pada sang ka-
kek penolongnya.
Namun yang lebih membuatnya
terpaku adalah
pesan si kakek Matsui.
"Benda apakah yang berada
dalam peti perak,
yang harus kusampaikan pada si
Roro Centil itu?" sen-
tak hati Joko Sengit.
Dan... begitu tergerak rasa
ingin tahunya, tu-
buh laki-laki murid si Pendekar
Gentayangan Ki Jagur
Wedha telah melompat turun dari
tempat ketinggian
itu.
Untuk selanjutnya berlari-lari
menuju arah goa
tempat tinggalnya selama ini.
Kebesaran bukan terletak pada
kekuatan yang
dimiliki, melainkan bagaimana
menggunakan kekua-
tan itu dengan benar!
Itulah tulisan dari kata-kata
yang tertera pada
kulit kitab usang yang terdapat
di dalam peti perak.
Ternyata rasa ingin tahu Joko
Sangit telah membuat
dia penasaran untuk membuka
kotak perak dalam
buntalan kain yang sedianya
harus diberikan pada Ro-
ro Centil.
Berdebar hati Joko Sangit.
Kata-kata dalam tu-
lisan itu mempunyai arti yang
amat besar. "Ini pasti
sebuah kitab tentang Ilmu
kadigjayaan...!" sentak hati
laki-laki itu. Dengan lengan
sedikit tergetar kembali
Joko Sangit menyibak lemparan
berikutnya. Dan terte-
ra disana sebuah tulisan yang
berkalimat pendek.
"NlNJA".
Tercenung Joko Sangit."Apa
artinya kata-kata
ini...?" gumamnya lirih.
Selanjutnya dia telah membu-
ka lembaran-lembaran berikutnya,
yang ternyata beri-
sikan ilmu-ilmu kedigjayaan.
Akan tetapi jelas mem-
punyai bentuk ilmu silat asing
serta ilmu bela diri yang
menerangkan tentang
rumusan-rumusan inti dari ju-
rus-jurus NINJA, seperti yang
tertera pada lembar per-
tama.
Jelaslah sudah kalau kakek Matsui mencari
Roro Centil adalah karena ingin
memberikan kitab ten-
tang NINJA yang berasal dari
Negeri Matahari Terbit
itu. Entah hubungan apakah kakek
Matsui mencari
Roro Centil, hingga kakek Matsui
mencari sejauh itu
hanya untuk menyerahkan kitab
itu pada Roro? pikir
dibenak Joko Sangit.
"Apakah aku harus
menyampaikannya pada
Roro Centil... ?" desis
laki-laki itu. Sejenak dia terman-
gu-mangu seraya menutupkan
kembali kitab itu. Lalu
dimasukkan lagi dalam kotak
perak. Tulisan itu jelas
masih baru. Agaknya kakek Matsui
telah sengaja me-
nyadurnya dengan tulisan yang
mudah dipahami diwi-
layah Pulau Jawa! Benak Joko
Sangit memikir.
Lama... dan lama... Joko sangit
merenung. Se-
mentara dadanya semakin
berombak-ombak, pertanda
dia telah menimbang-nimbang
keputusannya dengan
hati gemuruh. Sakit hati pada
Roro Centil akibat per-
lakuanya hingga dia harus
kehilangan sebelah lengan-
nya membuat wajahnya sebentar
merah sebentar pu-
cat menegang. Tiba-tiba
laki-laki itu gerakan sebelah
lengannya menghantam batu besar
didekatnya.
Brrass...! batu besar itu hancur
berkepingan.
Lalu jari-jari lengannya
mengepal keras hingga
terdengar suara berkerotokan
dari tulang-tulangnya.
Ternyata Joko Sangit telah
mengambil kepastian.
"Heh! tidak! aku takkan
memberikannya! perse-
tan dengan amanat si kakek
Matsui. Lebih baik aku
yang mempelajari kitab tentang
Ninja dari Negeri Asing
ini!" desisnya dengan suara
menggetar.
Ternyata Joko Sangit sudah
terkena racunnya
asmara akibat salah paham yang
menyangka Roro
Centil telah mempermainkan
cintanya.
Namun laki-laki itu terhenyak
ketika teringat
dia cuma memiliki sebelah
lengan.
"Hm, mengapa dengan lengan
yang cuma sebe-
lah ini menjadi
penghalang?" desisnya dengan wajah
membersitkan sinar cerah.
"Hahaha... aku bisa mela-
kukan apa yang bisa kulakukan!
Dengan mengga-
bungnya dengan apa yang sudah
dimiliki, mustahil ke-
lak aku tak bisa menguasai ilmu
asing bernama Ninja
ini!"
Joko Sangit kepalkan jari-jari
tangannya den-
gan tertawa sendiri
tergelak-gelak, Selanjutnya dia su-
dah bergerak melompat untuk
menutup pintu goa.
Dan... entah apa yang dilakukan
murid si Pendekar
Gentayangan Ki Jagur Wedha itu
di dalam. Yang jelas
Joko Sangit telah siap
mempelajari ilmu Ninja dari Ne-
geri Sakura itu dengan tekad
yang sudah bulat.
Lereng tebing itu kembali sunyi
mencekam seo-
lah tak ada penghuninya. Suara
gemuruhnya air ter-
jun dan kepak sayap-sayap
kelelawar serta sesekali
bunyi suaranya yang mengiyak
seperti menambah len-
gangnya suasana ditempat itu
yang mulai merambah
senja....
Namun yang pasti dan kelak,
entah setahun
entah dua tahun bakal muncul di
Rimba Persilatan
seorang tokoh yang memiliki ilmu
silat tinggi, berlen-
gan tunggal. Dialah Joko Sangit!
Joko Sangit! yang
pernah mendapat julukan si
Berandal Pemabukan!
***
EMPAT
Suara tetabuhan yang terdengar
dari tengah
desa PATUHA di malam terang bulan itu memang
membuat orang penasaran untuk
melihatnya. Satu
dua dan kelompok demi kelompok
bukan saja anak-
anak muda akan tetapi
orang-orang tuapun tak ke-
tinggalan berdatangan untuk
melihat tontonan yang
jarang terdapat itu. Dari jauh-jauh mereka sengaja
berdatangan. Tentu saja bukan
cuma untuk menon-
ton. Bagi para pemuda desa di
wilayah itu adalah satu
kesempatan untuk menggaet
pasangan. Karena dalam
setiap keramaian sudah pasti
kembang- kembang de-
sapun bermunculan dengan
dandanan yang berbeda
dari biasanya. Boleh dikata
malam tontonan itu adalah
kesempatan yang sukar dicari
bagi para gadis atau
janda. Siapa tahu ada jodoh
berkenalan dengan pemu-
da-pemuda dari desa lain.
Berita tentang menikahnya anak
juragan Raden
Mas Mangku dengan seorang anak
pejabat Kerajaan
telah menjadi buah bibir
masyarakat desa Patuha dan
sekitarannya, yang bakal
mengadakan hiburan Topeng
Banjet. Yaitu sejenis kesenian
yang menampilkan pe-
nari-penari serta pesinden yang
cantik-cantik dan ba-
henol. Dan malam
itu adalah malam yang telah tiba
pada waktunya. Penonton telah
berjejal dihalaman
rumah Juragan Raden Mas Mangku.
Tepat di sebelah
kiri rumah besar yang agak
berhadapan dengan rumah
Juragan itu telah berdiri sebuah
panggung. Pada ba-
gian depannya telah penuh sesak
dengan para tamu
undangan, yang duduk pada
sederetan kursi-kursi dan
meja dengan berbagai hidangan
tersedia diatasnya.
Para pesinden belum lagi muncul,
akan tetapi
penonton telah berjejal memadati
sekitar panggung.
Para penjaga keamanan sibuk
mengatur jejalan penon-
ton agar berdiri ditempat yang
tak mengganggu para
tamu undangan. Sementara di
ruangan dalam penuh
pula dengan kesibukan. Dari yang
member! selamat
pada mempelai yang telah duduk
bersanding, juga ke-
sibukan-kesibukan lain.
Sedangkan para penabuh ga-
melan tiada hentinya menyajikan
irama-irama yang
bertalu-talu, diseling suara
rebab dan seruling.
Menjelang tiga perempat malam,
penonton mu-
lai tak sabar karena para penari
dan pesinden belum
juga dimunculkan. Namun akhirnya
yang dinanti-
nantikan pun tiba juga. Lima
orang pesinden merang-
kap penari telah naik ke atas
panggung. Penonton me-
nahan napas. Benar saja. Mereka
adalah para penari
yang cantik-cantik, dengan
dandanannya yang luar bi-
asa. Maklum karena yang
mengundangnya adalah
orang ternama. Sedangkan pihak
mempelai laki-laki
adalah anak seorang Pembesar
Kerajaan dari Kota Ra-
ja. Bahkan yang ditampilkan
malam itu adalah pesin-
den-pesinden pilihan yang
kesemuanya adalah gadis-
gadis jelita. Setelah
masing-masing memperkenalkan
nama, satu-persatu segera duduk
dibagian depan
panggung. Penonton saling
berdesakan untuk melihat
lebih jelas. Sementara penjaga
keamanan mulai sibuk
mengatur penonton.
Selang tak lama seorang
laki-laki setengah usia
maju ke depan seraya memberi penghormatan pada
penonton dan para tamu undangan.
Lalu dengan sua-
ra lantang memberitahukan bahwa
salah seorang pe-
sinden segera akan
mengumandangkan sebuah lagu,
yang akan diiringi oleh tarian
pula oleh salah satu dari
lima pesinden itu. Penonton
menyambutnya dengan
tepuk tangan riuh serta suara
suat-suit yang ramai
disana-sini. Ketika gamelan
mulai berbunyi maka se-
ketika suasana gaduh itu segera
terhenti. Dan... ber-
kumandanglah alunan suara merdu
seorang pesinden
berpakaian warna merah muda.
Sementara salah seo-
rang dari deretan kelima
pesinden itu segera bangkit
berdiri untuk menyajikan tariannya.
Tepuk tangan kembali riuh serta
suara suitan
disana-sini. Dan... ketika gadis
semampai berpinggang
ramping dengan gemulai segera
mulai menari mengi-
kuti irama gamelan, seketika
satu keasyikan dari lagu
dan penarinya telah membuat
penonton mendengar-
kan dan memandang kagum,
terpesona...
Demikianlah. Lagu demi lagu
berkumandang.
Dan penari silih berganti
menyajikan tarian gemulai
yang mempesona. Semakin lama
jadi semakin hangat
dan semarak. Karena dari para
tamu undangan mulai
"turun" untuk ikut
menari bersama dan secara bergan-
tian. Penonton bertepuk tangan
riuh, serta diam-diam
bagi yang masih
"doyan", mulai mengiri melihat laki-
laki yang menari bersama
"bidadari-bidadari" itu. Apa-
lagi dari para tamu undangan
banyak yang mulai ku-
rang ajar untuk meraba pinggang
sang "Ratu Banjet".
Marilah kita menengok diantara
kerumunan
penonton. Seorang laki-laki
berpakaian warna hitam
sejak tadi mengepal-ngepalkan
tangannya menatap
dengan mata membinar melihat
adegan tarian gemulai
yang ikut bersama menari adalah
seorang pemuda se-
kitar usia dua puluhan tahun.
Dia adalah anak seo-
rang Tumenggung Kerajaan dari
Kota Raja. Pemuda itu
tampaknya mulai semakin berani
meraba kesetiap ba-
gian penting ditubuh si penari.
Sudah lazim menjadi
tradisi didaerah itu kalau
setiap laki-laki yang akan tu-
rut menari bersama dengan
"Ratu-ratu Banjet" itu
akan memberikan sejumlah uang
lebih dulu sebagai
imbalannya. Namun walau demikian
bukan berarti si
penari laki-laki akan bebas
berbuat semuanya, me-
lainkan pada batas-batas
tertentu saja.
Akan tetapi pemuda anak
Tumenggung itu te-
lah berbuat agak keterlaluan.
Hal mana membuat pe-
nonton terperangah. Bahkan dalam
irama yang syahdu
laki-laki muda itu telah memeluk
erat-erat pinggang si
penari dan menghujaninya dengan
ciuman-ciuman.
Bahkan goyangan pinggul mereka
telah benar-
benar rapat tanpa renggang
sedikitpun. Penonton se-
perti terkesima, sementara si
penari Banjet mulai me-
ronta untuk menghindari ciuman
yang bertubi-tubi
itu. Pada saat itulah selirik
kilatan cahaya berkelebat...
Dan detik itu juga si laki-laki
anak Tumenggung itu
menjerit ngeri. Dan roboh
terjungkal berkelojotan. Se-
saat antaranya setelah
menggeliat beberapa kali tubuh
pemuda itupun terkulai tak
berkutik lagi.
Sejenak terpaku semua menatap
ketempat ke-
jadian. Akan tetapi selang
beberapa saat segera ter-
dengar teriakan-teriakan kaget. Dan gemparlah pe-
nonton, juga para penabuh
gamelan, yang seketika
menghentikan tabuhannya.
Sedangkan penari dan pe-
sinden saling memekik ketakutan.
Beberapa orang me-
lompat ke atas panggung untuk
memeriksa. Ternyata
kedapatan si pemuda itu telah
tewas dengan sebuah
belati tertancap pada belakang
lehernya. "Kurang ajar!
Siapa yang telah melakukan
pembunuhan ini! Siapa
yang telah melakukan...!"
berteriak-teriak seorang laki-
laki berpakaian perwira Kerajaan
yang tak lain dari sa-
lah seorang para tamu undangan
Sedangkan sang
Tumenggung ayah dari anak muda
itu kebetulan tak
dapat menghadiri pesta di tempat
itu yang diwakilkan
oleh anaknya.
Penonton yang tadinya berkerumun berjejalan
seketika menjadi buyar dan
hiruk-pikuk. Ada yang
langsung pulang. Ada pula yang
tetap berada di Sana
karena ingin tahu lanjut
kejadian itu. Sementara dian-
tara simpang siurnya penonton
itu, si laki-laki berbaju
hitam tadi diam-diam menyelinap
pergi. Tak seorang-
pun yang mengetahui kalau
pelakunya adalah si laki-
laki berbaju hitam itu. Dan
untuk mengenali siapa
pembunuhnya adalah seperti
mencari jarum yang ter-
cebur ke dalam laut, karena sekejap saja si laki- laki
berbaju hitam telah lenyap tak
ketahuan lagi kemana
perginya...
Saat terjadi kegaduhan itulah
tujuh sosok
bayangan hitam berkelebat cepat
sekali ke arah pang-
gung. Dan... tahu-tahu tiga
orang sinden terpekik
menjerit ketakutan ketika tiga
sosok makhluk kerdil
telah mencengkeram pinggang. Dan
sebelum bisa ber-
buat apa-apa tubuh-tubuh mereka
telah dibawa mele-
sat ke atas wuwungan rumah. Suara jeritan mereka
seketika lenyap ketika makhluk
itu lenyap pula di be-
lakang wuwungan rumah Juragan
Raden Mas Mang-
ku. Para penabuh gamelan menjadi
gempar. Dua sin-
den lagi telah melompat ke bawah panggung dengan
berteriak ketakutan. Ternyata
mereka sempat melihat
kemunculan makhluk yang
menyeramkan itu. Si per-
wira kerajaan dan para tamu
undangan jadi melengak.
Mereka cuma membelalak terkesima
melihat kejadian
itu.
Sementara diruang dalam terjadi
pula kegadu-
han ketika dua makhluk kerdil
tahu-tahu tersembul
dikamar pengantin. Salah satu
mencengkeram pengan-
tin wanita, sedang satu lagi
menjebolkan daun jendela.
Cepat sekali pengantin wanita
itu sudah dipondong si
makhluk kerdil itu dan dibawa
melompat keluar dari
jendela...
Pengantin laki-laki terkejut
bukan kepalang.
Dia baru saja meninggalkan
istrinya untuk melihat ke-
jadian, setelah mengantarkan
sang istri ke kamarnya
yang jadi ketakutan dengan
peristiwa pembunuhan
itu. Beberapa orang wanita
berteriak-teriak memberi-
tahukan kejadian. Dan
melompatlah si pengantin laki-
laki itu dengan wajah pucat
untuk mengejar si pencu-
lik pengantin wanita istrinya.
Namun cepat sekali makhluk itu
lenyap, dan
tak diketahui kemana larinya.
Suara gaduh dari para
penonton serta teriakan
disana-sini sukar untuk men-
getahui suara jeritan si
pengantin wanita. Sementara
Juragan Raden Mas Mangku cuma
terbelalak dengan
tubuh gemeteran.
"Celaka...! anakku...! a...
anakku... di... diculik
sss... ssset..." BRUK! dia
sudah jatuh terlentang tak
sadarkan diri. Seketika suasana
bertambah semrawut,
dan suasana pesta di kediaman
sang Juragan itu kini
bukan lagi pesta, melainkan
jerit dan ratap serta teria-
kan ketakutan disana-sini.
Beberapa orang ternyata te-
lah mengejar kemana
makhluk-makhluk itu melarikan
para gadis penari tadi dengan
senjata-senjata telan-
jang. Ternyata empat orang
penjaga keamanan yang
ditugaskan mengatur keamanan
ditempat pesta itu.
Mereka adalah para pengawal dari
Kota Raja yang ber-
kepandaian tinggi.
"Itu dia...!" teriak
salah seorang dari mereka
yang berkelebat mengejar
makhluk-makhluk kerdil
itu."Kejaaaar...!"
teriak kawannya. Dan berlarianlah
keempatnya dengan keberanian
yang boleh dibangga-
kan. Karena dari sekian banyak
orang apalagi untuk
mengejar, melihat
tampang-tampang makhluk kerdil
yang menyeramkan dengan kepala
bertanduk dan ma-
ta sebesar-besar telur ayam itu
akan membuat mereka
ketakutan setengah mati. Namun
keempat pengawal
dari Kota Raja ini ternyata tak
takut pada segala ma-
cam hantu.
Suasana terang bulan itu
ternyata telah mem-
bawa korban dan kejadian yang
cukup membangun-
kan bulu tengkuk. Karena
tiba-tiba keempat pengawal
itu menjerit parau ketika
tahu-tahu entah dari mana
datangnya beberapa sosok
bayangan hitam telah men-
cengkeram tubuhnya. Selanjutnya
mereka telah berke-
lojotan dan bergulingan dengan
jerit dan pekik me-
nyayat hati. Senjata-senjata
mereka telah berlepasan
tak tahu kemana terpentalnya.
Empat sosok makhluk
kerdil, hitam legam dan
bertanduk itu telah menggigit
leher-leher mereka... menghisap
darahnya.
Selang tak lama empat tubuh itu
sudah terku-
lai tak bergerak lagi. Dan
berloncatanlah makhluk-
makhluk kerdil itu untuk
menyambar kembali korban-
korbannya yang telah pingsan dan
ditinggalkan sesaat
tadi, untuk selanjutnya
berkelebatan ke arah timur
dan lenyap tak kelihatan
lagi....
***
LIMA
Berita-berita kejadian yang
menggemparkan
penduduk desa Patuha serta
lenyapnya mempelai wa-
nita yang akan diperistrikan
oleh anak seorang Pembe-
sar Kerajaan dari Kota Raja yang
diculik oleh makhluk-
makhluk kerdil segera tersebar
di beberapa tempat.
Rombongan mempelai laki-laki
kembali ke Kota Raja
dengan sedih. Dan kejadian itu
segera menggemparkan
Kota Raja, karena ternyata dua
hari kemudian dua
orang gadis kembali lenyap dari
sebuah desa lain yang
beritanya segera tersiar dengan
cepat.
Suasana kota dan desa diwilayah
itu menjadi
hangat dengan adanya berita
kemunculan makhluk-
makhluk kerdil yang menculik
gadis-gadis serta meng-
hisap darah dari beberapa orang
yang mencoba menge-
jarnya. Seperti juga pada pagi
itu tengah dibicarakan
beberapa laki-laki yang sedang
duduk digardu penja-
gaan disudut desa.
Udara pagi itu memang terasa
agak dingin me-
nyungsum tulang. Mereka boleh
menghela napas lega
karena semalam suntuk berjaga-jaga digardu penja-
gaan disudut desa itu tak
menjumpai kejadian apa-
apa.
"Aku benar-benar penasaran
ingin melihat ba-
gaimana tampangnya makhluk
kerdil itu. Kalau saja
malam tadi mereka nongol,
golokku si Loglog Getih ini
pasti akan memenggal batang
lehernya!" berkata wake
Kanta. Kata-katanya memang
kedengarannya seperti
menyombong. Dapat dimaklumi
karena diwaktu mu-
danya wak Kanta adalah bekas
"jawara" ulung yang
pernah malang-melintang di
beberapa wilayah.
"Wah, wak Kanta! kalau yang
ini jangan dibuat
main-main. Makhluk-makhluk
kerdil itu bukan se-
bangsa manusia, tapi....
siluman!" tukas Madi seorang
pemuda belasan tahun sambil
mencibirkan bibir. "He-
heheh... baru segala siluman,
setan pun takut kalau
melihat golokku yang keramat
ini. Kalian tahu? Sembi-
lan puluh sembilan perampok
dimasa mudaku sudah
kena hirup darahnya oleh si
Loglog Getih!" ujar wak
Kanta seraya menepuk-nepuk
gagang goloknya. Aku
pernah menaklukkan beberapa macam siluman dari
siluman Harimau sampai siluman kadal, buaya, ular
monyet dan lain sebagainya.
Kesemuanya takut meli-
hat golok si Loglog Getihku
ini...!"
"Wah! hebat...! wak Kanta
pernah ketemu silu-
man Harimau?" tanya Jaya
dengan pura-pura terkejut.
Dia memang sudah hampir bosan
mendengar bual ma-
sa muda orang tua itu. Padahal
ketika beberapa bulan
yang lalu terjadi perampokan
didesa itu laki-laki ber-
nama Kanta ini sembunyi di dalam
sumur, ketakutan.
Alasannya waktu itu dia
terperosok ke dalam sumur.
"Dimana ketemunya,
wak...?" tanya Jaya. "Hm,
sebentar...! aku agak
lupa!" sahut wak Kanta seolah
tengah mengingat-ingat kisah masa lalu dimasa mu-
danya.
"Ya, ya...! aku ingat
sekarang! Waktu aku beru-
sia dua puluh tahun
mengejar-ngejar enam orang pe-
rampok. Sebelas orang telah
tewas oleh amukan golok-
ku si Loglog Getih. Melihat
sebelas kawannya mampus,
enam orang itu kabur ketakutan!
He hehe... mana ku-
biarkan mereka meloloskan
diri?"
"Jadi wak Kanta
mengejarnya?" tanya Jaya, pu-
ra-pura serius.
"Benar!"
"Semuanya mati,
wak...?" tanya Madi dengan
wajah pura-pura tegang.
"Hus! tunggu dulu, kalau
orang lagi bercerita
jangan banyak tanya-tanya.
Dengarkan saja!" sahut
wak Kanta dengan agak kesal
karena ceritanya dipo-
tong oleh pertanyaan-pertanyaan.
"Ya, ya, teruskan wak! si
Madi memang nggak
sabaran kalau mendengarkan
cerita seru, sih!" menim-
brung bicara Gimin yang sedari
cuma "nguping" saja.
"Sudah, sudah, semua jadi
ikut ngomong! mau
mendengarkan atau tidak? kalau
tidak aku mau pu-
lang, ngantuk nih! aku mau
tidur!" sambar wak Kanta.
"Mauuu!"
"Mauuuu...!" teriak
mereka dengan serempak.
Wak kanta terdiam sejenak, lalu
mulai teruskan ceri-
tanya.
"Eh, sampai dimana
tadi...?' tanya wak Kanta.
"Sampai wak mengejar enam
orang perampok yang me-
larikan diri!" Sahut Jaya
dengan garuk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal.
"Ya, ya... betul! Nah!
waktu aku mengejar me-
reka yang lari pontang-panting,
aku tak teruskan men-
gejar karena mendengar suara
harimau mengaum!"
ujar wak Kanta dengan berdiri
dari duduknya. "Aku
cari dari mana suara itu. Ketika
aku menengok ke be-
lakang, ternyata ssse... seekor
ha... hari... harimau...!?"
tiba-tiba suara wak Kanta
berubah jadi tergetar, dan
wajahnya sekonyong-konyong
berubah pucat bagai
mayat.
Darah wak Kanta serasa terhenti
mengalir keti-
ka dia berpaling ke sebelah
kanannya tepat disamping
gardu ronda, tahu-tahu entah
sejak kapan seekor ha-
rimau Tutul telah berdiri di
situ memperlihatkan ta-
ringnya menyeringai.
Seketika dengkulnya menjadi
lemas dan tu-
buhnya menggeletar. Dan... saat
berikutnya wak Kanta
sudah jatuh berdebuk tak
sadarkan diri bahwa takut-
nya. Terheran empat kawannya,
tapi begitu mereka
menoleh seketika terperangah
mereka dengan mata
membelalak dan mulut ternganga.
"Ha...harimau...!"
Tersentak mereka hampir se-
rentak. Dan... tak menunggu
komando lagi, seketika
mereka "ngacir"
pontang-panting melarikan diri dengan
berteriak-teriak ketakutan.
"Harimau...! Celaka!?
toloooong...! tolooong..!"
Dan... saat itu terdengar suara
tertawa mengikik geli
terpingkal-pingkal yang
dibarengi dengan suara meng-
geramnya harimau Tutul itu.
Semakin ketakutan mereka berlari
jatuh ban-
gun bagai dikejar setan.
Sesosok tubuh berkelebat keluar
dari balik se-
mak. Ya, sosok tubuh semampai
dari seorang dara jeli-
ta yang tak lain dari si
Pendekar Wanita RORO CEN-
TIL. Dengan geli Roro beranjak
menghampiri si Tutul
dan mengelus-elus
kepalanya." Aiiiih, mengapa kau
menakuti-nakuti orang, tutul?
hihihi... kasihan orang
tua ini, dia sampai pingsan
melihatmu!" berkata Roro.
Si Tutul mendengus-dengus
menjilati lengan gadis
Pendekar majikannya itu dan
menggelendot manja di
kaki Roro Centil.
"Hm, Tutul...! mari kita cari
dimana adanya ke-
tujuh makhluk kerdil penghisap
darah itu, tampaknya
desa ini salah satu dari korban
penculikan gadis-gadis
yang dilakukan makhluk-makhluk
keparat itu. Sudah
jelas manusia yang kita cari tak
berada jauh dari wi-
layah ini...!" berkata Roro
Centil dengan suara lirih.
Wajahnya kelihatan gemas, karena
Roro memang telah
mengetahui kalau makhluk-makhluk
kerdil itu adalah
ketujuh siluman peliharaan si
nenek mala juling, yang
pada beberapa bulan yang lalu
nyaris mencelakainya.
Sang harimau Tutul menggeram
pelahan, lalu tubuh-
nya melenyap jadi gumpalan asap.
Roro tersenyum.
Sesaat menoleh pada wak Kanta.
Sepasang mata Roro
tampak berkejap-kejap. Lalu
beranjak menghampiri.
Entah apa yang dilakukannya
ketika berjongkok dide-
pan tubuh laki-laki tua itu.
Dan, selanjutnya Roro
Centil sudah kelebatkan tubuhnya
keluar dari desa itu
menuju ke arah timur.
Sementara para penduduk desa itu
telah ber-
munculan dengan senjata-senjata
ditangan. Akan teta-
pi mereka tak menjumpai adanya
harimau yang nyasar
masuk kampung, kecuali
mendapatkan tubuh wak
Kanta yang masih pingsan didepan
gardu. Madi men-
guncang-nguncangkan tubuh wak
Kanta agar tersadar
dari pingsannya. "Dimana
kalian lihat harimau itu...?"
tanya salah seorang dari mereka
yang datang. Ternyata
diantara penduduk ada tiga orang
laki-laki yang berpe-
rawakan kekar, menandakan mereka
bukan orang
sembarangan.
"Di... disini,
Den...!" menyahut Jaya sambil
acungkan telunjuknya. Salah satu
dari ketiga penda-
tang itu memberi tanda. Dan...
ketegangan berkelebat
menyebar ke tiga arah untuk
melacak sang Harimau
yang dikhawatirkan masih
gentayangan di sekitar tem-
pat itu.
"Wak! wak Kanta! bangun,
wak... harimaunya
sudah pergi...!" teriak
Madi. Laki-laki tua itu membela-
lakkan matanya, dan terkejut
melihat dia dikerumuni
banyak orang.
"Ssssu... sudah
pergi?" tanya wak Kanta den-
gan suara menggetar.
“Tenang, wak...! untung kau tak
diterkamnya!"
berkata Jaya. Sepasang mata jago
tua" ini berkejab-
kejab. Lalu tiba-tiba melompat
bangun.
"Ah,... apa kubilang!"
ujarnya.
"kalau tak ada golokku si
Loglog Getih, sudah
pasti aku celaka! karena golokku
ini paling ditakuti
oleh..."
"Hah...?" tersentak
kaget wak Kanta ketika
mencabut goloknya dari serangkanya
ternyata cuma
tinggal gagangnya saja.
"Hahaha... hahaha... kemana
goloknya, wak?"
Tentu saja wak Kanta jadi bahan
tertawaan seketika
itu juga, Karena sikapnya yang
lucu. Gerakan menca-
but goloknya sudah pasang aksi
dengan kaki melang-
kah ke depan. Lututnya menekuk
sedikit. Dan dengan
sikapnya yang gagah itu, wak
Kanta mencabut golok
pusakanya. Akan tetapi ternyata
cuma tinggal gagang-
nya saja. Merah padam dan pucat
lesi silih berganti
pada wajah wak Kanta. Dengkulnya
kembali menggele-
tar, karena hatinya sudah
membatin. "Hah!? kemana
mata golokku si Loglog Getih?
jangan-jangan yang
muncul tadi benar-benar siluman
Harimau...?"
Dengan lemas laki-laki tua itu
mendeprok di
tanah.
"Tunggu, wak! jangan
pingsan dulu...!" teriak
Madi.
"Siapa yang mau
pingsan...?!" membentak wak
Kanta dengan mata
melotot."Aku tengah mengingat-
ingat bagaimana aku bisa membawa
golok cuma ga-
gangnya saja! Ternyata aku lupa
memandikan si Loglog
Getih malam Jum'at kemarin.
Memang biasanya kalau
tak diurus dan lupa dirawat, si
Loglog Getih suka nga-
dat tak mau menampakkan
diri..." lanjutnya dengan
masih berusaha membual. Padahal
hatinya kebat-kebit
berdebaran. Karena disamping
kagetnya luar biasa, ju-
ga malunya bukan main. Untuk
menceritakan sesung-
guhnya dia sudah terlanjur
menyombong, Dan hal itu
bisa merusak nama
besar"nya.
"Ooooooo...!" hampir
berbareng semua mang-
gut-manggut. Wak Kanta tak
memberi komentar lagi.
Dengan dengkul lemas yang
sengaja di kuat-kuatkan
dia "ngeloyor" pergi.
"Mau kemana, wak...?"
tanya Jaya.
"Huuu, aku ngantuk,
monyong! mau tidur! ka-
lau ada apa-apa jangan bangunkan
aku dulu...! kalian
orang-orang muda bisa wakilkan
aku, tapi tak usah
khawatir, harimau itu sudah
pulang! Percayalah, mak-
hluk itu tak berani mengganggu...!" ujarnya dengan
jumawa.
"Beres, wak! jangan lupa
besok malam kita me-
ronda lagi!" teriak Jaya
dengan tersenyum. Tapi wak
Kanta sudah bergegas melangkah
menuju ke arah ru-
mahnya tanpa menoleh lagi...
***
ENAM
RORO CENTIL ternyata telah tiba
di desa Patu-
ha. Dari hasil pelacakannya
dengan bertanya pada
penduduk ternyata secara
kebetulan di desa Patuha
memang baru dua hari yang lalu
telah terjadi musibah
perbuatan keji ketujuh makhluk
kerdil penghisap da-
rah, yang telah menculik tiga
orang pesinden dan men-
culik mempelai wanita anak
Juragan Raden Mas
Mangku. Serta dua orang gadis
yang berasal dari desa
lain, yaitu desa dimana tadi
pagi baru saja Roro mele-
watinya dan mencopotkan mata
golok milik wak Kanta.
Roro ucapkan terima kasih pada
dua orang tua
suami istri yang barusan
ditanyai. Akan tetapi baru sa-
ja kakinya beranjak untuk
melangkah, bumi tiba-tiba
serasa bergoncang keras. Atap
genting me-rosot jatuh
dari beberapa wuwungan rumah
penduduk. Keadaan
seketika menjadi gaduh. Para
penduduk masing-
masing keluar dari rumahnya
dengan berteriak-teriak.
"Gempaaa! gempaaa...!"
Begitu juga kedua su-
ami istri itu. Seketika wajah
mereka berubah pucat.
Serentak saling berangkulan
dengan cemas. "Gempa
apakah...?" sentak Roro
terkejut. Keadaan ditengah de-
sa itu menjadi kalut dengan
teriakan-teriakan serta
tangis dan jerit anak-anak.
Sekonyong-konyong udara
menjadi gelap.
Petir sambung menyambung di
angkasa. Gem-
pa itu semakin keras, serasa
bumi mau terbalik. Bebe-
rapa orang yang berlarian tampak
jatuh terjengkang.
Roro Centilpun terkejut bukan
main. Namun
sedikitpun tubuhnya tak
bergeming, berdiri tetap di-
tempatnya. Sepasang kakinya
menempel kuat di ta-
nah. Dengan ilmunya yang tinggi,
terutama dari ajian
Sari Rapet, seolah kaki si
Pendekar Wanita
Pantai Selatan itu melengket di
tanah yang di
pijaknya. Sementara diam-diam
Roro pejamkan ma-
tanya bersemadi. Nalurinya mengatakan ada sesuatu
yang luar biasa yang tidak
sewajarnya.
Selang sesaat suasana seperti
itupun kembali
seperti sediakala. Udara kembali
cerah. Dan goncan-
gan-goncangan itu mereda. Namun
cahaya merah
tampak membersit dari puncak
gunung Galunggung.
Membuat para penduduk ternganga
keheranan. Keja-
dian semacam itu belum pernah
terjadi di sekitar wi-
layah itu. Puncak gunung
Galunggung memang sering
mengepulkan asap, pertanda
gunung itu masih tetap
bekerja. Dan goncangan-goncangan
gempa itu memang
dikhawatirkan dari gunung itu
akan meletus. Namun
kejadian barusan bukanlah
pertanda akan terjadi letu-
san.
Roro tersentak kaget dan
hentikan semedinya.
Jantungnya berdetak keras ketika
melihat ber-
sitan cahaya merah itu.
"Pasti ada sesuatu terjadi di
atas puncak gunung itu...!" berkata Roro
dalam hati.
"Satu pertanda
buruk...!" desisnya lirih. Dan... sesaat
Roro Centil sudah berkelebat
lenyap dari tempat itu
Sementara cahaya merah itupun
pelahan-lahan mulai
sirna...
***
Kita beralih pada sebuah goa
tersembunyi di le-
reng tebing batu. Di dalam ruang
goa itu duduk bersila
seorang wanita yang berambut
beriapan. Siapa lagi ka-
lau bukan GIRI MAYANG. Sepasang
lengannya tampak
jelas yang putus hampir sebatas
siku. Kedua luka itu
sudah mengering dan sudah tak
memerlukan pemba-
lut lagi.
Giri Mayang duduk bersila dengan
pejamkan
mata. Batinnya menyatu untuk
menerima sesuatu
yang gaib. Sesuatu yang amat
didambakannya. Sejak
bulan Purnama malam tadi dia
duduk tak bergeming.
Dia tahu bahwa sang guru tengah
berusaha dengan
segala daya untuk memulihkan
kesaktiannya. Dan dia
tahu pada malam Purnama itu
ketujuh gadis telah di-
bawa ke puncak gunung Galunggung
untuk dijadikan
syarat atas permintaan sang guru
demi dirinya. Juga
dia tahu tak berapa lama lagi
dia akan memiliki satu
kekuatan hebat yang akan
membangkitkan kembali
semangat hidupnya. Membersitkan
kembali dendam
kesumat yang nyaris sirna karena
keputusasaan.
Itulah sebabnya dia tetap khusuk
dan bersabar
dalam semadi, untuk menanti dan menanti kelanju-
tannya dengan penuh harap. Dan
harapan itu memang
bakal menjadi kenyataan. Karena
selang beberapa saat
dari tatapan mata dalam alam
gaib, dia melihat secer-
cah cahaya merah membersit dan
meluncur keluar da-
ri dalam kawah puncak gunung
Galunggung. Secercah
sinar yang berwarna biru.
Selanjutnya Giri Mayang tak
melihat apa-apa lagi, kecuali
gelap pekat.
Samar-samar telinganya mendengar suara gu-
runya yang mengekeh tertawa
seperti kegirangan. He-
hehehe... heheh... muridku!
bersiap-siaplah kau untuk
menerima SEPASANG TANGAN
IBLIS...! Sebentar lagi
apa yang kau harapkan itu akan
terkabul! Hehehe...
heheheheh..." Dan... tanpa
terlihat oleh mata batin Giri
Mayang, cahaya warna biru yang
keluar dari dalam
kawah di puncak gunung
Galunggung itu telah melun-
cur cepat memasuki goa tempatnya
bersemadi.
Ketika tiba dihadapan Giri
Mayang, cahaya itu
memecah menjadi dua buah.
Kemudian kedua buah
cahaya itu meluncur ke arah
sepasang lengan buntung
wanita itu.
PLASSH...!
Cahaya biru itu lenyap seketika.
Dan... apakah
yang terjadi? Ternyata dalam
sekejap mata kedua len-
gan buntung Giri Mayang telah
bersambung oleh sepa-
sang lengan yang bentuknya
menyeramkan. Yaitu se-
pasang lengan yang hitam legam,
berbulu kasar den-
gan ruas-ruas jarinya lebih
mirip dengan tulang teng-
korak lengan yang bertonjolan.
Pada ujung kesepuluh jarinya
tampak kuku-
kuku yang runcing mengerikan.
Itulah Sepasang Len-
gan Iblis!
Pelahan-lahan Giri Mayang
membuka kelopak
matanya, ketika merasakan dua
buah benda menyam-
bung pada kedua lengannya yang
putus.
"Ah...?!" tersentak
wanita itu ketika melihat pa-
da lengannya yang buntung telah
menempel sepasang
lengan yang bentuk dan rupanya
amat menyeramkan.
"Inikah Sepasang Tangan
Iblis?" sentak hatinya. "Ah,
begitu mengerikan...!"
desisnya dengan mata membela-
lak menatap sepasang tangannya.
Saat itu sebuah
bayangan berkelebat memasuki goa
itu. Dan terdengar
suara tertawa mengekeh.
"Heheheheh... heheh...
bagus! sukurlah, murid
ku! Ternyata usaha jerih payahku
tak sia-sia...! kau
tak usah takut dengan tanganmu
sendiri. Walau ru-
panya menakutkan. tapi dengan
sepasang tanganmu
itu kelak kau akan berhasil
merengkuh segala cita-
citamu! Dan... heheheh... si
Roro Centil akan cuma
tinggal namanya saja dikolong
jagat ini! Berterima ka-
sihlah kau dengan para Iblis
yang telah mengaruniai
mu sepasang tangan sakti
itu!"
Giri Mayang tersenyum dan
manggut-manggut.
"Tentu...! tentu, guru!
lebih dulu aku menghaturkan
terima kasih padamu, yang telah
bersusah payah men-
carikan sepasang lengan ini
untukku!" berkata Giri
Mayang seraya membungkuk dan
jatuhkan diri berlu-
tut di hadapan wanita tua renta
bermata juling itu.
"Hehehe... cukup! cukup!
tak perlu banyak ba-
sa-basi! Segera kau keluar dari
goa ini! pergilah ke ka-
wah gunung Galunggung untuk kau
sampaikan terima
kasih mu! dan... mulai hari ini
kau tak kuperkenankan
kembali ke goa tanpa kepala si Roro Centil! Selama
kau berpetualang mencarinya,
silahkan kau berhu-
bungan denganku melalui batin.
Aku akan menetap di
goa ini... menjadi tempat
tinggalku sementara. Karena
aku juga akan' sekalian
memperdalam ilmu-ilmuku!
Ketujuh makhluk kerdil piaraan
ku itu segera akan
kuserahkan padamu untuk
membantumu dalam ke-
sulitan!" ujar si nenek
mata juling.
"Ah, terima kasih,
guru...!" ujar Giri mayang
dengan wajah girang. "Akan
tetapi, guru...!" bagaimana
aku bisa menghubungi mu melalui batin, sedangkan
selama ini aku tak mengetahui
namamu!" tambahnya
dengan menatap dalam-dalam wajah
sang guru.
"Heheheh... betul! betul,
muridku. Aku si nenek
tua renta ini bernama Lembutung.
Dan kau boleh se-
but aku Nini Lembutung!
Hehehe... apakah ayahmu,
Tun Parera tak pernah
memberitahu dimasa hidupnya
tentang aku?"
"Ti... tidak, guru!"
sahut Giri Mayang. Seketika
wajahnya berubah merah padam
wanita ini, dan tu-
buhnya tampak tergetar hebat
ketika teringat akan
kematian sang ayah di tangan
Roro Centil. Perubahan
itu diketahui oleh si nenek mata
juling yang bernama
sebenarnya adalah Lembutung.
Tokoh sakti golongan
hitam dari kepulauan Andalas ini
maklum bahwa sang
murid amat mendendam sekali pada
musuh besarnya
yang juga telah menewaskan sang
murid wanitanya
pada beberapa tahun yang silam,
yaitu si Kupu-kupu
Emas. Dan terakhir adalah
kematian Porak Supih yang
tewas pula oleh Roro Centil.
(Baca: kisah. Langkah-
langkah Manusia Beracun).
"Hm, sabarlah, muridku!
kelakpun akan tiba
masanya kau balaskan sakit
hatimu! Dendam itu me-
mang teramat dalam sedalam
lautan! Namun dengan
Sepasang Tangan Iblis yang telah
kau miliki, segalanya
akan menjadi beres. Para iblis
akan turut membantu-
mu melenyapkan nyawa perempuan
keparat itu. Kare-
na aku telah mengundangnya untuk
datang ke kawah
gunung Galunggung melalui
semadi ku! Heheheh...
bersabarlah, muridku!"
hibur Lembutung dengan men-
gekeh tertawa yang menyerupai
tangisan, dan mem-
buat bangunnya bulu roma.
"Nah! segeralah kau
berangkat! Ketujuh mak-
hluk kerdil piaraan ku telah siap di luar goa untuk
ikut menyertaimu! berkata si
nenek mata juling den-
gan suara yang dingin mencekam
perasaan.
"Baik, guru! aku akan segera berangkat!" me-
nyahut Giri Mayang seraya
melompat berdiri. Dan sete-
lah sekali lagi menjura dengan
menekuk lutut dihada-
pan gurunya, Giri Mayang
bergerak
melompat keluar dari dalam goa
itu. Dengan
gerakan yang amat luar biasa
tubuhnya melayang rin-
gan laksana kapas melompat dari
batu ke batu. Seke-
jap antaranya telah berada di
atas tebing curam itu.
Kemudian setelah menatap sejenak
ke bawah dimana
selama ini dia mendekam, tubuh
wanita itu telah me-
lesat lagi, dan lenyap dibalik
bongkah-bongkah batu
besar yang banyak bertebaran di
atas tebing. Sementa-
ra tujuh bayangan hitam
berkelebat mengikuti. Nenek
mata juling alias Nini Lembutung
tertawa mengekeh,
seraya menutup mulut goa dengan
menggeser batu da-
ri dalam. Selanjutnya tempat
yang tersembunyi dan
susah diketahui manusia itupun
kembali len-
gang seolah ditempat itu tiada
berpenghuni. Burung-
burung walet beterbangan membuat
sarang diantara
celah batu-batu berlubang yang
banyak terdapat di sisi
tebing...
***
TUJUH
Di bawah lereng gunung
Galunggung, Roro
Centil menengadah memandang
ke atas puncak gu-
nung yang tinggi menjulang. Asap
tipis masih tampak
mengepul ke atas, menyatu dengan
kesamaran kabut
pada bagian puncaknya. Terdengar
suara menggeram
di belakangnya, dan harimau
Tutul sahabatnya telah
menampakkan diri.
Si Tutul tampaknya agak gelisah.
Berkali-kali
menatap ke atas menengadahkan
kepalanya, lalu ber-
putar-putar mengelilingi Roro
beberapa kali dengan
mendengus-dengus. Sesekali
memperdengarkan suara
geramannya lirih. Ternyata
diam-diam Roro Centil
mengawasi kelakuan aneh
sahabatnya itu.
"Ada apakah, Tutul...?
tampaknya kau lain dari
biasanya! aku mau naik ke
atas untuk melihat ada
apakah di atas puncak gunung
ini...?" berkata Roro se-
raya berjongkok dan
mengelus-elus leher dan kepala
Makhluk itu. Akan tetapi justru
makhluk itu melenguh
seraya menggoyang-goyangkan
tubuhnya lalu mengge-
ram beberapa kali. "Apa
maksudmu Tutul...?" desis
Roro lirih."Apakah kau tak
menginginkan aku naik ke
atas?" Harimau Tutul
gerakkan kepalanya mengang-
guk-angguk. Hm, baiklah, rupanya
kau mau memba-
waku ke lain tempat!" ujar
Roro seraya melompat naik
ke punggung si Tutul. Binatang
itu tampak mulai hi-
lang kegelisahannya. Dan setelah
menggeram pelahan
beberapa kali, tubuhnyapun
meluncur ke arah selatan.
Membersit bagaikan angin. Roro
Centil memeluk leher
si Tutul erat-erat. Sekejap saja
bayangan tubuh mak-
hluk itu telah lenyap dibalik
bukit...
***
Emoticon