Ya, ternoda oleh si manusia pendek
bernama
Seto Bungkrik itu. Dan dia ingat
benar akan kejadian-
nya. Seketika lemahlah sekujur
tubuhnya. Air matanya
yang mengalir di pipi terasa
panas. Tiba- tiba dia telah
angkat wajahnya, seraya menatap
pada si pemuda
yang masih berdiri menatapnya.
"Maafkan kekhilafan ku, kakak...! Dapatkah
kau ceritakan mengapa aku bisa
sampai berada di si-
ni?" Bertanya Pipit Lurik
menahan isaknya.
Pitra Sena tersenyum, seraya
menyahuti den-
gan kata-kata lemah lembut.
"Tenangkan hatimu, nona..!
beristirahatlah,
aku akan memanggil pelayan untuk
membawakan pa-
kaian buatmu...! Biarlah nanti
setelah kau selesai ber-
santap, aku akan menceritakan
kejadiannya pada no-
na... ng... anda bernama Pi...
Pipit Lurik, bukan...?"
Pipit Lurik mengangguk seraya
tundukkan wa-
jahnya. Tatapan mata pemuda anak
si Bangsawan Tua
Raden Mas Anjasmoro itu seperti
menembus ke jan-
tungnya, membuat hatinya jadi
berdebar. Diakah yang
telah menolongku...? Ataukah
ayahnya..?r
Ah, seandainya dia atau ayahnya
yang telah
melakukan pertolongan padaku,
sama saja! Tapi
alangkah menyesalnya aku menolak
keinginan ayah
menjodohkan aku padanya. Dan
kini... kini semua ha-
rapan ayah telah musnah! Bahkan
aku tak tahu ba-
gaimana nasib ayah kini! Ya, aku
tak tahu lagi! Namun
aku pasti akan segera tahu,
kalau ayah Pitra Sena su-
dah menuturkannya padaku...!
Memikir gadis ini.
Sementara Pitra Sena telah
keluar dari kamar
untuk memanggil pelayan.
Ternyata beberapa pelayan
wanita telah berada di balik
pintu sejak tadi, karena
telah mendengar suara
teriakan-teriakan dan tangis
Pipit Lurik di dalam kamar.
Segera saja Pitra Sena me-
nyuruhnya menyediakan pakaian
untuk sang gadis
itu.
Sementara dia sendiri berlalu ke
arah ruangan
depan, dimana sang ayah masih
duduk sambil meng-
hisap cangklongnya.
Laki-laki Bangsawan ini sudah
sejak tadi men-
dengar suara teriakan dan
tangisan gadis itu. Akan te-
tapi dilihatnya Pitra Sena telah
berlari melihat, hingga
dia tak berniat bangun melihatnya.
Adapun Raden Mas
Anjasmoro ini tengah
bercakap-cakap dengan anak la-
ki-lakinya itu, yang terputus
oleh teriakan Pipit Lurik
tadi.
Tak lama Pitra Sena sudah muncul
di ruangan
depan. Laki-laki gemuk ini
menoleh, seraya menatap
pada sang anak.
"Bagaimana dengan gadis
itu, Pitra Sena! Apa-
kah sudah dapat kau bujuk dan
jelaskan kejadian-
nya?" Tanyanya.
"Sudah, ayah! akan tetapi
aku belum ceritakan
apa-apa padanya! Kuharap kau
mengerti, ayah...." Pi-
tra Sena mendekati ayahnya, dan
bisikkan sesuatu
padanya. Selang sesaat,
terdengar suara tertawa pela-
han Sang Bangsawan Tua ini.
"Jadi kau menginginkannya?
Hm, gadis itu te-
lah ternoda! Terserah kau!
Asalkan kau tak mengawi-
ninya! Kau tahu! Punya istri itu
banyak resikonya, dan
kau masih terlalu muda!"
Ujar sang Bangsawan tua
itu.
"Ayah...! Akulah yang telah
menodainya! Dan
aku yakin bahwa akulah yang
pertama...!" Berkata Pi-
tra Sena dengan tersenyum pada
sang ayah.
Raden Mas Anjasmoro naikkan
alisnya dengan
mata melotot menatap sang anak.
"Jadi kau yang
menculiknya...?" Tanyanya den-
gan heran.
"Benar ayah! Gadis itu
tengah diperkosa...!
akan tetapi aku telah lihat
sendiri bahwa si pendek Se-
to Bungkrik itu belum berhasil
melakukannya!
"Lalu kau culik?"
"Ya, dengan pergunakan
jurus "Angin Puyuh
Menghalau Naga", tapi tidak
terlalu keras! Cukup me-
nerbangkan jubah si jangkung
Wong Duwur itu!" Lalu
Pitra Sena ceritakan sedikit
akan perbuatannya, hing-
ga berhasil menggondol Pipit
Lurik.
"Bocah edan! Hati-hati kau,
jangan sembaran-
gan membuka rahasia kalau kau
ada mempunyai ilmu!
Aku memang pernah mengajak si
tua Jaran Perkoso
itu untuk berbesan! Akan tetapi
dengan maksud ter-
tentu...."
"Apakah itu, ayah?"
Tanya Pitra Sena ingin ta-
hu.
"Hm, nantilah aku jelaskan...!
Kini bagaimana
mengenai keadaan si tua Jaran Perkoso itu? Apakah
masih bisa diselamatkan
nyawanya?"
"Entahlah! Ketika aku
kembali lagi ke bukit itu,
dia sudah hampir mati!
Luka-lukanya amat parah! Su-
dan pasti dihajar oleh si pendek
Seto Bungkrik itu,
yang amat mendendam
padanya!" ujar Pitra Sena. Lalu
teruskan pembicaraannya.
"Tadinya aku tak mau ambil
peduli, akan tetapi
kudengar dia memanggil namaku.
Segera ku hampiri.
Ternyata dia ada berkata-kata:
"Anak Mas... kau carilah..
a.. anakku Pipit Lu-
rik! Ah, seandainya kau
berjodoh... dengan.. anak ga-
disku, alangkah bahagianya
aku...".
Berkata si pemuda tirukan suara
Jaran Perko-
so.
"Lalu bagaimana
kelanjutannya?" Tanya Raden
Mas Anjasmoro penuh perhatian.
"Dia tuliskan sesuatu yang
aku tak mengerti
pada sobekan pakaiannya dengan
darah, lalu berikan
pada ku.! Tampaknya dia mau
katakan sesuatu lagi,
tapi dia sudah keburu pingsan!
Karena bukit itu jauh
dari desa, dan aku tak mau
pakaian ku kotor kena da-
rah. Terpaksa dia ku tinggalkan
saja di bukit itu, entah
mati ataukah masih bernyawa, aku
tak mengetahui..!"
Ujar Pitra Sena polos.
Terkejut Raden Mas Anjasmoro,
segera terden-
gar suaranya mendesis.
"Apakah, kain bertuliskan darah itu masih be-
rada padamu?" Pitra Sena
mengangguk. "Cepat beri-
kan padaku, aku ingin
lihat!". Berkata si Bangsawan
Tua dengan nada tak sabar.
Cepat-cepat Pitra Sena berikan
sobekan kain
yang diselipkan di saku
celananya, yang telah dibung-
kus sobekan kain lagi. Bahkan
Pitra Sena sendiri
hampir lupa kalau masih
mengantongi sobekan kain
pemberian Jaran Perkoso.
Laki-laki Bangsawan tua itu
memperhatikan tu-
lisan yang tak berbentuk huruf,
seperti tak mempunyai
arti sama sekali. Bahkan beberapa
kali dia memutar-
mutarkan dan membolak-baliknya,
akan tetapi tetap
tak mengerti.
"Hm, mungkin si tua Jaran
Perkoso itu menyu-
ruhmu memberikan kain
bertuliskan darah ini untuk
anak gadisnya..." Ujarnya
perlahan. "Biarlah aku yang
menyimpannyal" Sambungnya
lagi.
Kemunculan si Tiga Siluman Bukit
Hantu ter-
nyata membawa bencana besar atas
keadaan di sekitar
wilayah kota Ungaran. Karena
siang itu keadaan di da-
lam markas Benteng Macan Gunung
tengah terjadi ke-
kacauan..... suara benturan
senjata dan bentakan-
bentakan keras, serta
teriakan-teriakan ngeri terden-
gar saling susul. Bercampur
dengan suara ringkik ku-
da yang ketakutan. Apakah
gerangan yang terjadi?.
Kiranya setelah habis dijamu
oleh Raden Mas
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
Anjasmoro, si Tiga Siluman Bukit
Hantu mendatangi
ke markas itu untuk melakukan
pembunuhan. Teru-
tama adalah men cari dua dari
Tiga Macan Gunung
Muria.
Tentu saja kedatangannya
disambut oleh para
anak buah penghuni markas,
hingga terjadi pertarun-
gan seru. Namun para anak buah
bagaikan lalat yang
dimakan api. Beberapa betas
sosok tubuh sudah ber-
kaparan mandi darah dalam
keadaan tak bernyawa.
Saat itu Gantar Sewu belum,
kembali dari mengawal
barang. Cuma ada Jaka Keling
yang menjaga markas.
Laki-laki ini memang sedang
resah, karena seperti janji
Jaran Perkoso yang akan kembali
pada Sore kemarin,
ternyata tak kelihatan datang.
Bahkan sampai menje-
lang slang lagi. Dia baru
mengutus beberapa orang
anak buahnya untuk melihat atau
menyelidiki ke be-
berapa tempat dataran tinggi.
Namun belum lagi para anak
buahnya kembali,
telah datang tiga manusia yang
menebar maut di mar-
kas Benteng Macan Gunung.
Di sudut pertarungan tampak
pemuda berusia
tiga puluh tahun itu tengah
bertarung dengan si pen-
dek bertongkat kepala telapak
tangan besi yang me-
layaninya dengan seru.
"Hahaha.. hehe... ilmu
pedang Tiga Macan Gu-
nung ternyata cuma begini saja!
Hayo, keluarkan ju-
rus-jurus maut mu yang terkenal
itu!"
"Iblis pendek keparat! Apa
kesalahan pihak
kami? Mengapa tiba- tiba kalian
lakukan pembantaian
di markas kami!" Bentak
Jaka Keling, seraya lakukan
serangkaian serangan. Pedangnya
berkelebatan bagai-
kan puluhan pedang yang berkelebatan mengurung
tubuh sang lawan.
"Hehehe ... tak perlu
tanya-tanya segala kesa-
lahan! Pokoknya Tiga Macan
Gunung Muria harus ku-
tumpas semua sampai lenyap!
Setelah Jaran Perkoso,
kini giliran saudara-saudara
seperguruannya!" Ujar si
pendek Seto Bungkrik seraya
mengelakkan beberapa
serangan bahkan balas merangsak
dengan hebat.
Namun Jaka Keling dengan lincah
menghinda-
ri, walau tak urung ujung
telapak tangan besi itu me-
robek pakaiannya yang
menyerempet bahu, dan meng-
gores kulitnya. Jaka Keling
melompat mundur tiga
tombak. Wajahnya meringis,
merasakan pedih dari lu-
kanya. namun hai itu tak
membuatnya terkejut. Me-
lainkan kata-kata tentang kakak
seperguruannya Ja-
ran Perkoso itulah yang
membuatnya terperanjat.
"Hah!? Kalian... telah
membunuh kakang Jaran
Perkoso?". Teriaknya
tertahan. "Hahaha... tidak salah!
kakak seperguruanmu itu sudah
mampus! dan anak
gadisnya telah berada dalam
tawananku...!".
Terkejut bukan alang kepalang
Jaka Keling,
Seketika dia sudah membentak
keras, dan menerjang
dengan sambaran-sambaran
pedangnya yang mengge-
bu.
"Iblis keparat! aku akan
adu jiwa denganmu..!".
Dan mengamuklah Jaka Keling
bagaikan singa terluka.
***
5
Sementara Kemang Suri dan Wong
Duwur den-
gan enak saja melakukan
pembantaian secara keji.
Kepandaian kedua manusia itu
bukanlah tandingan
para anak buah si Tiga Macan
Gunung Muria. Teria-
kan-teriakan maut terdengar
dimana-mana. Singo
Bronto salah seorang tangan
kanan Tiga Macan Gu-
nung Muria itu tampak telah
terluka parah. Sebelah
lengannya dihantam remuk oleh
tongkat kepala Teng-
korak Wong Duwur. Akan tetapi
tanpa menghiraukan
rasa sakit yang luar biasa itu,
dia sesudah menerjang
lagi dengan gigih.
"Hehehe... tenagamu kuat
juga! Apakah kau sa-
lah satu dari si Tiga Macan
Gunung Muria?". Berkata
dingin si jangkung Wong Duwur.
Akan tetapi Singo
Bronto tak menjawab. Bahkan
mencecar dengan se-
rangan-serangan tajam dengan
sebelah lengan. Ter-
nyata cukup membuat Wong Duwur harus waspada.
Salah-salah lengannya bisa kena
terbabat putus oleh
pedang lawan yang mengamuk hebat
ini. Tiba-tiba la-
ki-laki jangkung ini
perdengarkan suara geraman
menggertak. Tongkatnya berputar
cepat dengan puta-
ran menyilang, membuat Singo
Bronto terperangah Ka-
rena dia sudah tak dapat
membedakan lagi kemana
arah sambaran tongkat lawan.
Ketika tahu-tahu benda
keras telah menghantam
kepalanya.
Laki-laki ini perdengarkan
jeritannya. Lalu ro-
boh terguling meregang nyawa.
Sekejap kemudian te-
was dengan kepala rengat
mengerikan.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar bentakan
keras yang bersuara nyaring.
"Iblis-iblis keji! Hentikan
perbuatan kalian...!!"
Suara itu terdengar amat
berpengaruh. Mem-
buat ketiga tokoh hitam itu
segera melompat mundur.
Jaka Keling pun dapat bernapas
lega, karena segera
terlepas dari kepungan ketat
tongkat si pendek Seto
Bungkrik.
Sementara beberapa pasang mata
segera tertu-
ju pada berkelebatnya sesosok
tubuh yang telah bera-
da di tempat itu.
Siapakah gerangan pendatang
bersuara nyaring
ini?. Tak lain adalah si
Pendekar Wanita Pantai. Sela-
tan RORO CENTIL.
Seorang dara cantik luar biasa
dengan rambut
lebat terurai ke punggung,
berbaju sutera warna me-
rah muda tengah berdiri menatap
ketiga manusia di-
hadapannya, Di kedua
lengannya mencekal sepasang
senjata RANTAI GENIT, yang
bentuk bandulannya mi-
rip buah dada.
Melengak ketiga manusia bergelar
Tiga Siluman
Bukit Hantu itu. Jelas suara
bentakan barusan amat
berpengaruh. Karena seperti
bergetar menembus ke
masing-masing jantung,
menimbulkan hawa aneh
yang membuat menciutnya nyali
orang.
Melihat yang muncul adalah
seorang dara can-
tik, serta bersenjatakan benda
aneh demikian si pen-
dek Seto Bungkrik jadi tersenyum
lucu. Akan tetapi
bentakan itu memang telah
membuat jantungnya sera-
sa copot. Siapakah gerangan
adanya gadis aneh ini?
Pikir si pendek dalam benaknya.
Sementara Kemang
Suri sudah mendengus dihidung
melihat dara itu. Dia
sudah melompat ke hadapan Roro
Centil dan berkata
dengan nada menghina.
"Eh, dari mana datangnya
kuntilanak centil
ini?. Hihihi.. rupanya masih
doyan menyusu, hingga
kemana-mana membawa tetek
ibunya...?
Seraya berkata Kemang Suri
palingkan kepa-
lanya pada dua kawannya di
belakang. Wong Duwur
dan Sato Bungkrik lantas saja
menimpali dengan ter-
tawa gelak-gelak. Adapun Roro
Centil cuma perli-
hatkan senyumannya, dan tertawa
jumawa seraya
berkata seenaknya.!
"Hu, tidak salah ucapan mu
itu Ratu Kuntila-
nak! Aku memang masih doyan
menyusu...!" Seraya
berkata Roro Angkat sebuah
Rantai Genitnya. Bandu-
lan aneh berbentuk buah dada itu
diangkatnya tinggi-
tinggi. Lalu tengadahkan
kepalanya seraya monyong-
kan mulut untuk mengecup putik
"buah dada". Den-
gan ujung lidah dia telah
memutar putik diujung
payudara senjatanya itu.
yang segera mengucur air.
Selanjutnya dengan lahap Roro
sudah menenggaknya
beberapa teguk.!
Seandainya yang berkata seorang
laki-laki ga-
gah, tak nantinya dia akan marah
dirinya disebut Ratu
Kuntilanak.
Akan tetapi yang menyebutnya
adalah seorang
gadis bertampang lugu seperti
remaja baru kemarin
sore, tentu saja membuat
darahnya seketika naik ke
kepala. Apalagi dengan sikap
memandang rendah, Ro-
ro Jual lagak dihadapannya.
"Eh, setan centil! sebutkan
namamu, sebelum
aku mengirim mu ke Akhirat!
Tidak tahukah kau bah-
wa tengah berhadapan dengan TIGA
SILUMAN BUKIT
SETAN...?". Bentak Kemang
Suri. Di saat menyebut ju-
lukan mereka, sengaja Kemang
Suri memberi tekanan
keras agar membuat sang dara itu
terkejut.
Akan tetapi si dara yang tengah
meneguk arak
dari sebuah "payudara"
senjatanya itu sekonyong-
konyong terbatuk-batuk. Karena
tiba-tiba saja dia te-
lah tertawa geli. Akibat
batuknya itu, sisa-sisa arak da-
lam mulut telah tersembur ke
depan. Menyemprot ke
muka dan pakaian Kemang Suri
yang berada dihada-
pannya sejarak lima langkah.
Tentu saja Kemang Suri
tak mau mukanya kena cepretan
air arak. Segera ia
melangkah cepat ke belakang,
akan tetapi tak urung
bajunya terkena juga semburan
air arak dari mulut
Roro Centil.
"Hihihi.. hihi.. kau
menyebutku se.. Setan Cen-
til?. Uhuk! uhuk! uhuk! Setannya
biarlah kuberikan
buatmu! Kalau Centilnya tepat
sekali untukku! Karena
namaku memang Roro
Centil!". Berkata si Pendekar
Wanita ini dengan masih terbatuk
batuk, dan tertawa
mengikik geli.
"Bocah edan...! Mulutmu
memang harus kure-
mukkan...!" Teriak Kemang Suri, seraya sudah mau
menerjang. Akan tetapi Wong
Duwur sudah melompat
untuk menahan.
"Tunggu, dewiku...!"
Melengak Kemang Suri.
Namun segera laki- laki ini
membungkuk bisikkan se-
suatu di telinga Kemang Suri.
Terkejut wanita ini keti-
ka melirik ke arah pakaiannya
ternyata sudah bolong
bolong terkena semburan arak
tadi. Yakinlah kini ka-
lau gadis yang diremehkannya
ternyata berkepandaian
tinggi. Segera dia beri isyarat
untuk mengurung si dara
aneh.
"He, apakah kesalahannya
orang-orang markas
ini, hingga sampai kalian si
Tiga Siluman Tengik telah
mengamuk membantai orang
semaunya?" Tanya Roro,
yang seperti tak acuh meneruskan
menenggak arak.
Tiga manusia itu tak memberi
jawaban, me-
lainkan saling kedipkan mata
memberi isyarat. Dan
dengan berbareng telah berlompatan menerjang ke
arah Roro.
Jaka Keling yang melihat
kejadian itu jadi men-
celos hatinya. Celaka! wanita
itu dalam bahaya...! Sen-
tak hati Jaka Keling. akan
tetapi sungguh di luar du-
gaan, tahu-tahu ketiga Siluman
Bukit Setan itu per-
dengarkan seruan tertahan, dan
bergulingan menghin-
darkan diri. Karena tiba-tiba
saja bersemburan air
arak yang menyemprot ketiga
penjuru. Beruntung me-
reka dapat lolos dari air
semburan arak, namun tak
urung kepala gundul si pendek
Seto Bungkrik terkena
juga cipratan air semburan arak
itu. Seketika melepuh
bagaikan terkena letikan api.
Laki-laki pendek ini me-
nyeringai gusar seraya usap-usap
kepala gundulnya.
Akan tetapi tiba-tiba....
HUUK..! Kembali dia harus
berguling menelak-
kan diri ketika merasai sambaran
angin ke arah kepa-
lanya.
"Hihihi.. Awas, hati-hati
dengan kepala gundul
mu, pendek jelek Kalau hilang
tak ada gantinya..!" Ter-
dengar satu suara.
"Bocah edan! Rasakan
senjataku." Teriak Ke-
mang Suri seraya melepaskan
paku-paku berbisanya.
Serangkum senjata rahasia
meluruk ke arah Roro. Ga-
dis ini gerakkan lengannya
mengibas. Dan segelom-
bang angin santar segera membuat
paku-paku berbisa
itu berbalik meluruk ke arah si
penyerang.
"Gila...!?" Memaki
Kemang Suri seraya melom-
pat tinggi tiga tombak. Senjata
rahasianya berdesis
meluruk lewat di bawah kakinya.
Akan tetapi terkejut
wanita ini ketika injakkan kaki
ke tanah, belasan paku
berbisa itu balik kembali
menyerang ke arahnya.
Edan!? memaki dia dalam hati.
Untung dengan cepat
Kemang Suri putarkan seruling
hitamnya, hingga bela-
san paku maut itu buyar ke
beberapa penjuru.
Adapun si jangkung berkumis
baplang itu jadi
terkejut melihat ilmu aneh yang
dipergunakan Roro.
Namun sebagai tokoh yang sudah
banyak pengalaman
di dunia Rimba hijau, dia sudah
keluarkan bentakan
seraya menerjang dengan tongkat
kepala tengkorak-
nya. "Sebutkan siapa
gurumu, nona Centil!"
Roro tertawa mengikik seraya
mengelak dengan
pergunakan jurus langkah
Bidadari Mabuk Kepayang.
"Hihihi... tanyakan pada
gurumu diliang kubur, pasti
akan tahu siapa guruku...!"
Dan sekonyong-konyong...
DWES...! Roro sudah hantamkan
sebelah tela-
pak kakinya menendang ke dada
lawan. Hal mana di-
lakukan dengan tiba-tiba, yang
si jangkung tak me-
nyangka sama sekali. Untuk
mengelak sudah terlam-
bat. Karena dia tengah
perhatikan gerakan cara men-
gelak si dara itu, yang aneh
seperti orang terhuyung
mabuk, namun telah berhasil
meloloskan serangan-
nya. Terpaksa dia gunakan
kekuatan tenaga dalam
menahan dada. Akan tetapi si
jangkung mengeluh, dan
terhuyung tiga langkah.
Seandainya dia tak bertenaga
dalam tinggi, tentu sudah
terlempar sejauh lima tom-
bak. Diam-diam Roro terkejut
juga mengetahui kehe-
batan kekuatan lawan. Dia memang
sengaja perguna-
kan sepertiga tenaga dalam untuk
sementara si pendek
sudah menggerung keras menerjang
dengan tongkat-
nya, menerjang Roro Centil.
Telapak tangan besi itu
berdentingan terkena tangkisan
senjata Roro yang ba-
gaikan karet. Bila beradu
hantaman langsung mental
balik menyerang lagi ke arah
lawan berpantulan.
Tentu saja membuat si pendek
Seto Bungkrik
jadi kewalahan menyerang seorang
diri. Untunglah da-
tang Wong Duwur yang bantu
menerjang Roro. Hingga
segera terjadi pertarungan
sengit. Belasan juruspun
berlalu sudah Agaknya Roro cukup
merasa sulit men-
jatuhkan lawan karena mereka
bekerja sama dalam
menyerang dan menyelamatkan
kawan Apa lagi tiba-
tiba terdengar suara tiupan seruling yang membersit
tinggi menggetarkan anak
telinga.
Roro seperti terkejut, dan
berpaling ke arah si
peniupnya. Nada seruling yang
tinggi rendah itu
mungkin akan memberi orang lain
akan terkena pen-
garuh, akan tetapi bagi Roro
tidaklah mempunyai arti
yang berarti, karena dia sudah
salurkan tenaga batin-
nya untuk menutupi pendengaran.
Sementara kedua
penyerangnya tiba-tiba melompat
mundur.
Roro amat heran, tapi segera
manggut-manggut
mengerti. Rupanya mereka
mempersiapkan diri untuk
menutupi telinganya. Adapun Roro
Centil segera kelua-
rkan akalnya. Tiba-tiba tampak
tubuhnya seperti ter-
huyung keras mau jatuh. Wajahnya
berubah meme-
rah. Dan terhuyung-huyung dia seperti
berusaha me-
nahan kekuatan tenaga dalam yang
merusak dan me-
nyerang ke otak.
Dan pada saat berikutnya dua
sosok tubuh
jangkung dan pendek itu telah
menerjang lagi dengan
berbareng.
"Mampuusss...!" Teriak
mereka hampir serem-
pak. Akan tetapi di detik itu
terdengar suara pekik ke-
sakitan. Dua tubuh penyerang itu
terlempar tiga tom-
bak terguling-guling. Kalau si
botak pendek Seto
Bungkrik adalah menjerit karena
sepotong lengannya
hancur. Akan tetapi si jangkung
ini adalah sebelah ka-
kinya yang hancur sebatas lutut.
Tentu saja kejadian mendadak itu
membuat
Kemang Suri terperanjat. Dan
sekejap saja tiupan se-
rulingnya terhenti.
Saat dia tengah terperangah
itulah, tiba-tiba
berkelebat sebuah bayangan merah ke arahnya.
WHUSSS...!
PLAK..! Dia telah hantamkan
telapak tangan-
nya, akan tetapi dia sendiri
yang terlempar ke bela-
kang. Dan di saat sebelum tubuhnya menyentuh ta-
nah, tahu-tahu PLAS...! Seruling
ditangannya telah le-
nyap disambar bayangan merah
itu.
BUK! tubuhnya terbanting ke
tanah. Saat ma-
nalah tiba-tiba Jaka Keling yang
sejak tadi jadi penon-
ton, dengan menutupi kedua
telinganya, tiba-tiba me-
nampak kesempatan di depan mata.
Segera disambar-
nya pedang yang ditancapkan tadi di tanah. Dan...
JROOSS...!
Pedangnya telah di hujamkan tepat pada jan-
tung si wanita bernama Kemang
Suri itu. Terbeliak se-
pasang mata Kemang Suri. Akan
tetapi Jaka Keling
sudah menyentakkan pedangnya.
Darah segar segera
menyemburat keluar memancar
deras. Kemang Suri
berkelojotan meregang nyawanya,
Namun tak tame
sudah tak berkutik lagi. mati,
dengan mata melotot.
"Hihihi...bagus! Sobat
muda!" Teriak Roro Centil
yang sudah berdiri di depan anak
muda itu. Pada len-
gan Roro Centil tercekal
seruling hitam Kemang Suri.
KRAAK...! Roro sudah hancurkan
seruling itu.
Sementara si kedua manusia
pendek dan jang-
kung itu mengetahui kematian
Kemang Suri segera
sambar tongkat ,asing-masing dan
melesat kabur me-
larikan diri,
"Terima... kasih atas
bantuan anda... nona
pendekar....!!" Berkata
Jaka Keling seraya menjura.
Suaranya terdengar parau. Tampak
wajahnya pucat
pias. Agaknya sudah sejak tadi
dia menahan kekuatan
tubuhnya untuk bisa berdiri,
karena luka pada ba-
hunya yang tergores ujung
tongkat si pendek Seto
Bungkrik itu mengandung racun,
yang mulai menjalar
ke seluruh tubuh.
Terkejut Roro Centil, baru mau
dia berkata, ta-
hu-tahu Jaka Keling sudah jatuh
menggabruk di ta-
nah. Tak ayal Roro Centil segera
memburunya. Ternya-
ta Roro bertindak cepat tanpa
sungkan-sungkan. Sege-
ra ia periksa luka orang.
Terkejut Roro mengetahui se-
lingkaran bekas luka sudah
berwarna hitam.
"Racun ular sendok...?
Desis Roro. Dan sekejap
dia sudah bungkukkan tubuh,
dengan merundukkan
kepala. Ternyata mulutnya sudah
digunakan untuk
menyedot darah pada bekas luka
ini.
Tak berapa lama Roro sudah
muntahkan lagi
cairan darah berwarna hitam dari
mulutnya. Lalu sa-
lurkan tenaga dalam ke telapak
tangan. Dan menem-
pelkannya ke punggung laki-laki
itu. Segera terlihat
perlahan-lahan wajah laki-laki
itu berubah seperti bi-
asa kembali. Bahkan lukanya yang
menghitam telah
lenyap warna hitamnya.
Roro keluarkan sejumput obat
bubuk dari da-
lam botol kecil dari kantong
bajunya.
Tak lama tubuh laki-laki itu
mulai bergerak
kembali. Dan terdengarlah
keluhan, lalu bangkit du-
duk. Merasa keadaan tubuhnya
telah kembali normal,
dan lihat gadis pendekar itu
menatap dengan senyum
di hadapannya, tahulah dia kalau
dirinya baru saja di-
tolong. Luka di bahunya sudah
tak terasa nyeri lagi.
"Ah, anda telah mengobati
lukaku? eh,.. te.. te-
rima kasih, nona Pendekar!"
Ucapnya dengan suara
tergagap. Akan tetapi Roro
menyahuti.
"Hihi... panggillah namaku
saja, aku Roro Cen-
til! Racun ular Sendok itu amat
jahat! terlambat sedikit
lagi, anda tak mungkin
tertolong...! Tutur Roro Centil.
Melengak pemuda ini. Segera dia
manggut-manggut
seraya kembali ucapkan terima
kasih. "Budi pertolon-
gan anda amat besar, nona...
Roro...! Semoga Tuhan
membalas kebaikan hati
anda!" Ujarnya lirih dan sua-
ranya terdengar bersemangat.
"Ah, sudahlah! Siapakah
nama anda, sobat
muda...?" Tanya Roro.
"Oh, ya aku Jaka Keling!
adik seperguruan dari
ketua Markas Benteng Macan
Gunung ini!"
Menyahuti Jaka Keling, seraya
bangkit berdiri
menuruti Roro Centil. Gadis
Pendekar Pantai Selatan
ini manggut-manggut.
"Baiklah, nanti kau bisa
ceritakan padaku! mari
kita tolong dulu
kawan-kawanmu!" Ujar Roro seraya
beranjak melompat. Sementara
matanya sudah me-
mandang ke sekitar. Puluhan
mayat bergelimpangan.
Suara mengerang dari yang
terluka terdengar disana-
sini. Tapi lebih banyak yang
tewas ketimbang yang lu-
ka.
"Aih, aku datang terlambat!
Gara-gara mengu-
rusi orang usil di rumah makan
tadi itu, hingga begini
besar korban yang berjatuhan!"
Gerutu Roro perlahan.
Segera dengan sisa-sisa para
anak buah yang masih
hidup dan dibantu Jaka Keling,
Roro Centil lakukan
pertolongan dan merawat yang
terluka. Keadaan di
markas itu begitu trenyuh,
sampai-sampai Roro ham-
pir jatuhkan air mata.
***
6
Gantar Sewu kepal-kepalkan
tinjunya dengan
wajah memerah padam. Disudut
matanya tampak
mengalirkan air mata. Penguburan
para jenazah sudah
selesai sejak kemarin. Dan
biaya-biaya pengeluaran
untuk keluarga korban sudah
dibagikan. Dan sejak
hari itu papan nama yang
terpancang di pintu markas,
sudah dicopot. Jaka Keling duduk
disudut ruangan
dengan wajah tertunduk. Pemuda
ini terlalu lelah
mengurus penguburan mayat-mayat
rekannya dan
mengantarkan pada masing-masing
keluarganya. Dia
telah bekerja keras selama dua
hari belakangan ini. Di-
tambah harus memikirkan nasib
Pipit Lurik yang me-
nurut apa yang didengarnya dari
si Tiga Siluman Bukit
Hantu, sang gadis telah ditawan
mereka.
"Sungguh menyesal aku tak
menemui pertem-
puran di markas kita! sehingga yang ku tahu adalah
segalanya sudah selesai! Berarti
selesai jugalah usia
Benteng Macan Gunung!" Ujar
Gantar Sewu dengan
suara terdengar sedih.
"Kasihan nasib kakang Jaran
Perkoso! Beliau
memang pernah mengatakan padaku
akan mengun-
durkan diri dari kepemimpinan di
Markas Benteng Ma-
can Gunung ini, untuk menyepi ke
puncak Muria! Tak
dinyana belum lagi terkabul
rencana yang sudah lama
ditimbang-timbangnya itu, beliau
sudah keburu di-
panggil oleh Yang
Kuasa...!" Lanjut Gantar Sewu den-
gan suara terdengar bergetar
menahan kesedihan. Ja-
ka Keling angkat kepalanya
menatap sang kakak kan-
dungnya.
"Kakang Gantar Sewu! Kini
apakah rencanamu
selanjutnya?" Tanya Jaka
Keling setelah suasana lama
menjadi hening.
"Yah, aku serahkan pada
pilihan mu bagaima-
na baiknya. Kukira sebaiknya
kita berpisah! Silahkan
kau ambil jalan mu sendiri! Dan
aku juga mengambil
langkah sendiri! Kau sudah cukup
dewasa, Jaka Kel-
ing! Bahkan lebih dari dewasa!
Aku tak dapat mengha-
langi niatmu menentukan jalan
hidupmu, disamping
kita harus mencari dimana adanya
Pipit Lurik, dan
membalaskan dendam kakak
seperguruan kita yang
telah menanam jasa besar pada
kita...!" Hening seje-
nak. Jaka Keling termenung tanpa
berkata apa-apa.
Dan Gantar Sewu kembali teruskan
bicaranya.
"Kau jangan khawatir,
mengenai harta pening-
galan kakang Jaran Perkoso, akan
segera kita bagi
dua! Tanah dan gedung markas ini
akan kutawarkan
pada seorang hartawan tua
kenalan kita, yang sering
memesan kereta untuk mengangkut
dan mengawal ba-
rang! Satu dua hari ini mungkin
aku akan berangkat
ke Gemolong, sekalian pindah dengan anak istriku!
Terserah pada keinginanmu,
apakah akan turut ber-
samaku atau mencari kehidupan
sendiri...!". Gantar
Sewu lanjutkan ucapannya seraya
tatap wajah adiknya
dalam-dalam. Seperti ingin
mengetahui apa isi hati
yang terkandung di dalam dada
sang adik.
Akhirnya Jaka Keling bicara
juga, setelah me-
renung lama.
"Ya, kalau kakang sudah
mengatakan untuk ki-
ta mengambil jalan hidup
sendiri-sendiri aku tak dapat
menolak! Mengenai urusan gedung
markas ini aku tak
mau mencampuri! Cukup bagiku
sedikit bekal untuk
perjalanan mencari Pipit Lurik!
Dan seekor kuda yang
kuperlukan. Mengenai urusan
balas dendam, hal itu
adalah urusan belakangan. Yang
penting adalah me-
nemukan dahulu dimana adanya
Pipit Lurik!" Ujar Ja-
ka Keling dengan suara datar.
Tampak Gantar Sewu
kerutkan keningnya, seperti
terheran mendengar jawa-
ban Jaka Keling. Setelah
menghela napas Gantar Sewu
perlihatkan senyumnya, seraya
berkata;
"Hm, baiklah! kalau cuma
itu keinginanmu!
Aku memuji akan tekadmu untuk
mencari Pipit Lurik!
Benar! Itu memang tanggung jawab
kita! Kepergianku
ke Gemolong adalah cuma
mengantarkan anak-istriku,
sekalian pindah dari wilayah
Ungaran ini! Tapi bukan
berarti aku tak mengacuhkan anak
gadis saudara se-
perguruan kita? akupun akan
berusaha mencari, dan
tentu saja membalaskan dendam
pati ini! Kukira wa-
laupun mereka telah terluka oleh
pendekar wanita itu,
mereka berdua masih bisa
membahayakan. Bukan
mustahil mereka akan mengacau
lagi kemari! itulah
sebabnya aku akan menjual tanah
dan
gedung ini...!"
Jaka Keling cuma manggut-manggut
dihadapan
kakaknya. Namun tak lama dia
sudah keluar gedung
untuk menuju ke baraknya. Jaka
Keling memang sela-
lu tidur dibarak. Gantar Sewu
cuma menatap pung-
gung sang adik. Yang sudah
melangkah lebar keluar
gedung.
-oOOOo-
"Kau akan berangkat
sekarang, Jaka...!" Tanya
Gantar Sewu. Laki-laki ini
mengangguk. Dia sudah
siapkan seekor kuda dari kandang
di belakang barak-
nya. Kuda yang memang miliknya.
Pemberian dari Ja-
ran Perkoso yang telah dibelikan
kakak seperguruan-
nya itu dengan harga mahal.
Barusan kepergiannya ke barak adalah untuk
berkemas. Gantar Sewu menatapnya
dengan pandan-
gan sedih. "baiklah, adikku...! Semoga Tuhan
selalu
melindungimu...!"
Gantar Sewu masuk kembali ke
dalam ruangan
kamar. Tak lama sudah keluar
dengan membawa se-
buah buntelan kecil yang
perdengarkan suara geme-
rincing. Agaknya Gantar Sewu
sudah mempersiapkan-
nya sejak tadi.
"Terimalah ini untuk bekal
dalam perjalananmu
semoga kau dapat menghemat sisa
uang ini...!" Ujar
Gantar Sewu seraya berikan
buntalan itu pada Jaka
keling.
"Baik, kakang! Titipkan
salamku pada kakang
mbok, dan anakmu...!"
Tentu, Jaka...! Kalau kau temui
kesulitan, cari-
lah aku di Gemolong! berhasil
atau tidak pencarian ku
menyelidiki dimana adanya Pipit
Lurik, aku memang
akan menetap disana...! Nah,
selamat berjuang! Aku
yakin pendekar Wanita itu bisa
dijadikan Dewi Peno-
long dalam upaya menumpas kedua
iblis dari Tiga si-
luman bukit Hantu!"
Jaka Keling cuma
manggut-manggut, talu se-
lipkan sekantung uang itu ke
balik pakaian. Lalu be-
ranjak mendekati kudanya.
melompat ke atas pung-
gung si hitam. Dan... tanpa
menoleh lagi segera keprak
kudanya yang membedal cepat meninggalkan hala-
man markas dengan perdengarkan
suara ringkikkan-
nya.
Gantar Sewu menatap kepergian
sang adik
dengan tersenyum. Dan terdengar
suara helaan nafas-
nya. Akan tetapi tiba-tiba
wajahnya berubah aneh. Se-
nyumnya mendadak sirna. Dia
sudah balikkan tubuh-
nya untuk beranjak cepat kembali ke kamar. Kamar
itu adalah kamar Jaran Perkoso.
"Hm, aku harus cari dimana
kakang Jaran Per-
koso menyembunyikan peta sisa harta warisan guru!
Aku yakin guru telah berikan
seluruh hartanya pada
kakang Jaran Perkoso!"
Desis suara Gantar Sewu. Dan
segera dia bekerja membongkar
kembali, dan menga-
duk-aduk seluruh isi lemari.
Juga mencari di tempat-
tempat lainnya. Sebuah pajangan
berbentuk kepala
rusa, tempat menggantung pakaian
dicopotnya. Lalu
diperiksa, kalau-kalau Jaran
Perkoso menyembunyi-
kan peta di situ. Entah mengapa
hatinya semakin ya-
kin kalau kakak seperguruannya
menyimpan peta har-
ta sang guru.
Dan... hatinya seperti
tersentak. Jantungnya
berdebar keras. Dia telah
temukan secarik kertas kulit
tipis yang digulung kecil, pada
sebuah lubang dibalik
pajangan kepala menjangan.
Segera dengan cepat di-
bukanya. Tampak wajahnya berubah
berseri menye-
ringai.
"Hahaha... bagus, akhirnya
kutemukan juga!
Hampir aku mencurigai si Jaka
Keling!" Gumam Gan-
tar Sewu. Seraya teliti peta
itu. Dugaannya tepat kalau
Jaran Perkoso ada menyimpan peta
harta pusaka gu-
runya.
Urusan ini lebih penting,
ketimbang mencari
Pipit Lurik dan membalaskan
dendam pati kakang Ja-
ran Perkoso! Namun aku harus ke
Limbangan dulu
menyelesaikan urusanku! Pikir
Gantar Sewu dengan
menampakkan senyum
puas....."
Baiklah, kita tinggalkan dulu
Gantar Sewu den-
gan segala rencananya. Mari kita
ikuti kemana geran-
gan langkah sang adik bernama
Jaka keling itu.
—oOOOo—
Kuda hitam itu mencongklang lari
dengan pe-
sat. Penunggangnya adalah
seorang laki-laki gagah
berkulit hitam. Pakaiannya
sederhana, berwarna abu-
abu dengan ikat kepala sehelai
kain berwarna jingga.
Dialah Jaka Keling yang telah
tinggalkan mar-
kas Benteng Macan Gunung. Entah
kemana tujuan-
nya. Tapi yang jelas dia tengah
menuju ke arah barat,
dari kota Ungaran. Laki-laki ini
tak membawa seba-
tang pedang, yang biasa
diselipkan di belakang pung-
gungnya. Menjelang Matahari
menggelincir, dia sudah
tiba di satu kota lagi, setelah
menyeberangi dua buah
sungai. Yaitu sebuah kota
bernama Singorojo. Sepa-
sang matanya mulai mencari
dimana adanya tempat
penginapan. Beberapa bulan
berselang dia memang
pernah singgah di kota ini.
Segera saja dia mudah temukan
tempat di ten-
gah kota agak menyudut di sebelah selatan jalanan.
Setelah tambatkan kudanya,
segera Jaka Keling beran-
jak masuk. Seorang pelayan mempersilahkannya
den-
gan menjura hormat.
Segera Jaka keling mencari kursi
di dalam
ruangan bagian bawah restoran
Itu. Dia berniat mengi-
si perut dulu. Beberapa pasang
mata tampak memper-
hatikannya. Tiba-tiba dari sudut
ruangan terdengar
suara memanggil namanya.
"Sobat Jaka Keling,
silahkan duduk disini...!"
Terkejut Jaka keling ketika
melihat yang memanggil-
nya adalah justru orang yang
tengah dicarinya. Siapa
lagi kalau bukan Pendekar Wanita
Roro Centil. Tergo-
poh gopoh Jaka Keling
menghampiri. Setelah menjura,
lalu menyeret kursi untuk segera
duduk.
"Hihi... aku tak menyangka
kau akan datang
begitu cepat, sobat
Jaka..." Berkata Roro seraya mena-
tap dengan tersenyum. Sementara
seorang pelayan te-
lah menghampiri mejanya. Segera
Jaka Keling meme-
san makanan.
"Aku menyangka takkan
menjumpai anda dis-
ini, nona Roro! Bukankah anda
ada mengatakan kalau
anda sementara ini berada di desa PATEAN? Niatku
memang akan kesana, tapi keburu
senja! Justru mak-
sudku mau menginap disini, untuk
teruskan lagi per-
jalananku esok untuk mencari
anda di desa Patean!"
Ujar Jaka Keling dengan suara
perlahan. Roro mang-
gut-manggut dan tersenyum.
"Patean adalah desa tempat
kelahiranku...!
Namun keadaan desa itu kini sudah
tak seperti dulu
lagi ketika aku kecil! Bahkan
sudah banyak orang-
orang yang pindah! Karena
wilayah sekitar Kota Raja
sudah mulai sepi, sejak Kerajaan
Medang atau Mata-
ram dipindahkan ke Jawa
Timur!" Ujar Roro datar.
Jaka Keling manggut-manggut. Diapun
sudah
mengetahui akan kepindahan
Kerajaan Medang yang
telah berganti dengan nama
Mataram itu. Bahkan ke-
retanya sering dipakai untuk
mengangkut barang- ba-
rang, yang dalam kepindahannya
dilakukan dengan
berangsur-angsur. Tentu saja
dari para pembesar tidak
keseluruhannya pindah ke daerah
baru itu.
Namun walau demikian dari
pergantian wilayah
Kerajaan, membuat susunan
Pemerintahan berubah
pula. Bahkan sudah dua kali
di wilayah lama terjadi
penggantian Raja baru.
Selesai bersantap, Roro mengajak
keluar. Niat-
nya adalah mendengarkan
penuturan Jaka Keling, ka-
rena untuk pembicaraan demikian
kurang leluasa di-
lakukan di tempat terbuka, yang
banyak telinga men-
dengarkannya.
Bahkan sudah sejak tadi lima orang yang du-
duk melingkar mengelilingi satu
meja paling besar, ser-
ing lirikan mata memandang ke
arah mereka.
"Apakah aku perlu memesan
tempat dulu?"
Tanya Jaka Keling lirih.
"Tak usahlah. kukira lebih
baik kita cari pengi-
napan lain." Berkata Roro
dengan suara yang terden-
gar agak keras.
Membuat beberapa orang segera
menoleh. Tan-
pa perdulikan mata para
pengunjung restoran di ru-
mah Penginapan itu, Roro panggil
pelayan. Tergesa-
gesa seorang pelayan
menghampiri. Namun sebelum
Roro rogoh sakunya untuk membayar,
Jaka Keling su-
dah berikan beberapa keping uang
perak yang dikelua-
rkan terlebih dulu.
"Ambillah sisanya
untukmu!" Ujar Jaka Keling
seraya tersenyum pada sang
pelayan. Manggut-
manggut laki-laki pelayan itu
sambil ucapkan terima
kasih, lalu beranjak pergi.
***
7
Pemandangan di sekitar kota Singorojo cukup
indah, jalan-jalan terlihat
bersih berpagar bambu me-
magari deretan rumah penduduk
desa disudut kota
Singorojo. Pertanda para
penduduk adalah orang-
orang yang mengerti akan
kebersihan dan kerapian,
serta keindahan desanya. Semakin
ke ujung, ternyata
semakin sepi dari rumah
penduduk. Ternyata di ba-
gian sebelah bawah adalah daerah
perkebunan, yang
terlihat indah dari tempat
ketinggian berpadang rum-
put itu. Beberapa pohon berdaun
rindang tumbuh dis-
ana.
Jaka Keling tuntun kudanya
disamping Roro
Centil Tampaknya mereka sambil
melangkah, telah
banyak bercakap-cakap. Dan
bahkan Jaka Keling telah
tuturkan kejadian di markas. Roro tampak manggut-
manggut mengerti. Tak lama
pembicaraan mereka su-
dah dilanjutkan sambil duduk
di bawah pohon rin-
dang, dengan mata menatap ke
bagian bawah tempat
ketinggian yang berpemandangan
indah itu.
Tampaknya Roro sering menjadi
perhatian Jaka
Keling dalam setiap gadis
pendekar itu berbicara. Ka-
rena wajah cantik dan menawan
hati dari Roro Centil
mau tak mau mendebarkan
jantungnya. Akan tetapi
Jaka keling bukanlah seorang
pemuda yang kurang
ajar. Dia berusaha
menyembunyikan perasaannya
yang selama ini ditutupnya buat
setiap wanita. Bahkan
sampai seusia tiga puluhan
tahun, Jaka Keling tak
pernah sedikitpun berhasrat
untuk mengenal wanita.
Namun tak disangka kalau hari
ini dia bisa bercakap-
cakap dengan wanita... Bahkan
seorang gadis cantik
ayu memikat hati, juga seorang
pendekar wanita, yang
berkepandaian tinggi. Sungguh
suatu keberuntungan
pada nasib Jaka Keling bisa
berkenalan dengan dara
perkasa itu.
"Aku akan membantumu
mencari dimana
adanya keponakan angkatmu
bernama Sri Kemuning
alias Pipit Lurik itu...!"
Ujar Roro.
"Sayang kedua manusia iblis
itu berhasil me-
nyelamatkan diri! akan tetapi
andai mereka tewas pun
justru menjadi semakin sulit
mengetahui dimana
adanya gadis itu karena dia toh
berada dalam tawanan
si tiga Siluman Bukit
Hantu?" Ujar Roro Centil. Jaka
Keling cuma manggut-manggut
membenarkan.
"Ah, sebenarnya aku merasa
malu, karena
membuat anda menjadi repot, nona
Roro!" Ujar Jaka
Keling. Roro kerutkan sedikit
keningnya seraya berka-
ta.
"Aii... mengapa berkata begitu?
Aku si Roro
Centil mana bisa berdiam diri
melihat segala macam
kejahatan? Justru aku kini sedang mencari seorang
penjahat terselubung yang telah
mengacaukan kea-
daan di beberapa
wilayah...!"
"Oh!? Apakah kejahatan yang
telah dilakukan-
nya?" Tanya Jaka Keling.
"Hihihi... kejahatan yang
biasa dilakukan oleh
kaum laki-laki! Apa lagi kalau
bukan pemerkosaan
terhadap wanita, termasuk
penculikan. Dan tentu saja
ada efek lainnya, yaitu
pembunuhan...!" Tandas Roro
dengan suara terdengar seperti
kesal.
Lengan gadis pendekar ini
menjumput sebuah
batu kecil, dan jentikan keras
dengan jarinya ke arah
depan, seraya perdengarkan
dengusan di hidung. Tak
disangka gerakan yang dilakukan
Roro seperti melepas
rasa kesalnya itu berakibat
lain. Karena di luar dugaan
Roro telah perlihatkan
kepandaiannya menyambit yang
tampak aneh. Batu kecil yang
melayang ke depan itu
mendadak memutar arah, dan
meluncur ke balik se-
mak pepohonan lebat.
Terdengar suara orang berteriak
mengaduh dari
balik belukar itu, yang disusul
dengan teriakan suara
memaki.
"Aduh!?" Setan alas!
Siapa yang menyambit
ku?" Dan berapa sosok tubuh
sudah berlompatan ke-
luar dari semak lebat itu.
"He! Giran...! Sudah pasti
laki-laki hitam itu!
Mungkin dia mengetahui kita
mengintip mereka dis-
ini!" Desis suara
seseorang. Karena tempat itu lengang
suara desisan itu terdengar
cukup jelas. Ternyata ke-
lima orang yang tadi duduk dalam
restoran pengina-
pan, ditambah dua orang kawannya
lagi. Rupanya me-
reka mengincar pada Roro, yang
memang tak menam-
pakkan seperti orang persilatan.
Pakaiannya biasa saja
berwarna putih dari kain blacu
murahan. Senjata Ran-
tai Genitnya dibungkus dalam
kain blacu yang ter-
sangkut di pinggang, tertutup
pakaian luarnya.
Namun wajah cantiknya, dan
sikapnya yang
terlihat memang seperti gadis
genit, telah membuat
mereka menguntitnya. Apa lagi
kedatangan Jaka Kel-
ing, ternyata membuat mereka
mendongkol. Karena
menghalang niatannya yang sudah
direncanakan.
Adapun Jaka Keling walaupun
tanpa menyandang Pe-
dang, salah seorang dari kawan
mereka telah mengenal
kalau dia adalah salah seorang
dari Tiga Macan gu-
nung Muria.
"Heh, kalau memang benar
dia, kita sudah ke-
palang basah ketahuan! Mengapa
tak kita ringkus saja
laki-laki itu! Sengaja dia mau
bikin gara-gara! Aku ada
berita yang datang cepat, bahwa
Markas Benteng Ma-
can Gunung telah ditutup! Semua
karyawannya dibu-
barkan! Tampaknya ada terjadi
perpecahan dengan Ke-
tiga Macan Gunung Muria
itu!" Berbisik seseorang, di
belakang mereka.
Yang bicara adalah salah seorang
dari dua ka-
wannya yang di tengah jalan ikut
nimbrung menguntit.
Keduanya itu ternyata adalah dua
orang pendatang
dari wilayah kota Ungaran, yang
mempunyai sahabat
di sekitar kota Singorojo.
Mendapat gosokan dari kedua
laki-laki itu, si
korban yang tangannya telah
melembung benjol kena
sambitan batu, jadi beringas.
"Bagus! Biar aku hadapi
dia! Sekalian ingin ta-
hu kehebatan yang bagaimanakah
yang dimiliki si Ma-
can Gunung Muria itu?".
Desis si laki-laki itu dengan
geram. Kelima orang itu adalah
anggota dari komplo-
tan terselubung, sebagai pelacak
mencari korban yang
telah ditugaskan oleh ketuanya.
Setelah berunding, tampak kelima
orang itu se-
pakat untuk keluar menampakkan
diri. Sementara ke-
dua orang kawan yang nimbrung
itu tampaknya te-
nang-tenang saja.
Tak lama segeralah berlompatan
kelima tubuh
orang itu keluar dari balik
semak belukar. Dan sekejap
sudah mengurung di belakang Roro
dan Jaka keling.
"Eh, Macan Gunung Muria!
Tak usah kau me-
nyamar jadi pelancong! Kami
sudah tahu kau adalah si
Jaka Keling! Kau kira di wilayah sini bisa jual lagak
seenaknya?! Hm, kami si Lima
Naga Raksasa Dewa
bukanlah kaum perampok! Tapi
perbuatanmu mence-
lakai orang adalah tak bisa
dibenarkan!" Berkata laki-
laki yang tangannya bengkak itu
dengan suara meng-
geledek. Adapun ke empat
kawannya diam-diam beru-
saha menahan senyum, karena si
kawan mereka yang
satu ini telah berani membuat
gelaran yang amat ke-
terlaluan angkernya, padahal
mereka tak mempunyai
gelaran sama sekali. Tak lebih dari anak-anak buah
dari Ketua komplotannya.
Mendengar bentakan itu Jaka
Keling segera pa-
lingkan tubuh. dan bangkit
berdiri menatap pada ke-
lima orang di hadapannya, yang
berdiri membuat se-
tengah lingkaran pada jarak dua
tombak dari tempat
mereka duduk. Adapun Roro Centil
yang sudah men-
getahui kemunculannya seolah
tiada menggubris sama
sekali.
"Ah, anda mungkin salah
menduga orang! Aku
bukan salah seorang dari Macan
Gunung Muria! Dan
namaku bukanlah Jaka Keling!
Anda mengatakan aku
telah jual lagak! Tapi aku
merasa tak mengganggu an-
da?! Harap kalian menyingkirlah,
jangan mengganggu
pembicaraan kami!" Ujar
Jaka Keling dengan terse-
nyum.
"Setan usil! Kau sudah
sambit lenganku sampai
bengkak begini, mengapa kau
bilang tak mengganggu?
Heh, tak usah kau berdusta, kami
telah tahu kereta-
kan di markas mu! Tiga Macan
Gunung Muria sudah
tak punya kewibawaan
apa-apa!". Berkata laki-laki
bertubuh sama hitamnya dengan
Jaka Keling. Berwa-
jah brewok dengan sepasang
matanya yang memerah.
Roro Centil sudah melompat
bangun berdiri seraya pu-
tarkan tubuh.
"Hihihi... kami sedari tadi
sedang mengobrol
disini, masakan bisa mencelakai
orang!? Jangan-
jangan lengan mu dipatuk ular!
Siapa suruh mengintip
orang dengan bersembunyi di semak-semak lebat?"
Ujar Roro seraya menatap pada
lengan orang yang me-
rah membengkak.
Merah seketika wajah kelima
orang itu! Se-
dangkan si laki-laki hitam
bertampang brewok itu
tampak sedikit terkejut, karena
bualannya dengan
memperkenalkan
"julukan" mata yang seram, tak
membawa hasil untuk menggertak
orang.
Karena dari kelima orang itu tak
ada yang bisa
bicara lagi, tiba- tiba kedua
orang tadi sudah berkele-
bat ke tempat mereka. Kedua
orang itu dengan cepat
menjura ke hadapan Roro, seraya
berkata.
"Maaf, nona... apakah anda
yang bernama nona
Roro...?" Tanya salah
seorang. Keduanya adalah laki-
laki berusia sekitar tiga
puluhan tahun. Roro menatap
mereka dengan penuh selidik,
tapi tak urung segera
mengangguk.
"Benar! Ada keperluan
apakah kalian mena-
nyakan namaku?" Sementara
Roro sudah berpikir ka-
lau, dua laki-laki ini cuma
cari-cari alasan saja. Men-
genai namanya diketahui orang
itu, tentu mudah di-
terka. Karena sewaktu masuk ke
restoran di Pengina-
pan itu, Jaka Keling telah
menyebut namanya.
Keduanya adalah diketahui Roro
berada tak be-
rapa jauh dari dekat mejanya;
yang seolah tak turut
memperhatikan.
"Hamba berdua adalah utusan
dari Adipati
banyu biru! Ada surat rahasia
dari beliau untuk anda,
untuk segera datang ke tempat
yang telah diperuntuk-
kan pertemuan! Silahkan anda
membacanya!" Ujar la-
ki-laki itu seraya berikan
segulung kertas pada Roro.
Dengan agak heran Roro terpaksa
menyambuti.
Ketika membaca isi surat yang
singkat itu, segera wa-
jahnya tampilkan senyuman.
"Baik! Aku akan segera
datang kesana dalam
satu dua hari ini...! Ujar Roro
Kedua laki-laki itu sege-
ra menjura, lalu salah seorang
menggamit lengan ka-
wannya untuk segera putar tubuh
beranjak mening-
galkan mereka dengan berkelebat
pergi. Akan tetapi
dikejauhan, salah seorang dad
mereka telah berteriak.
"Kalau anda tak tahu jalan,
silahkan hubungi kami di
salah satu penginapan di desa
Boja...!
Roro tak menyahut, namun
meneliti isi surat
dalam tulisan di kertas itu.
Lalu selipkan dalam saku
pakaiannya.
"Mari kita berangkat, sobat
Jaka...!" Berkata
Roro seraya palingkan wajah
menatap Jaka Keling. la-
ki-laki ini mengangguk, lalu
sambar tali di leher kuda,
seraya sempat melirik pada
kelima orang itu yang cu-
ma terpaku dengan mata melotot
padanya.
“Tahan...! Kalian tidak bisa
pergi begitu saja!"
Berkata si kulit hitam brewok.
Roro Centil menoleh,
seraya pasang wajah lucu.
"Eh, mengapa? kau katakan
bahwa kalian bu-
kan perampok! Lalu apa maksudmu
menahan kami?"
Tanya Roro.
"Aku tak tahu menahu dengan
surat rahasia
dari Adipati Banyu biru! Tapi
kalau anda dengan suka-
rela mau menemui ketua kami,
tanpa laki-laki itu, aku
si Kromo Yudho dan ke empat
kawanku ini tak akan
bertindak kekerasan!"
Roro jadi naikkan alisnya dengan
tertawa geli.
Tadi sesumbar mengatakan gelar
yang hebat sebagai
Lima Naga Raksasa Dewa. Kini
menggertak lagi untuk
menghadap ketuanya. Namun
disamping geli, diam-
diam Roro berfikir lebih jauh.
Siapa tahu penyelidi-
kannya tentang seorang penjahat yang tengah di in-
carnya Itu bisa di ketahui
di tempat sarang kelima
orang ini, yang tak diketahui
siapa ketuanya.
Setelah tatap sejenak pada Jaka
Keling, segera
Roro berkata.
"Hm, baik! aku tak menolak!
Tapi dengan sya-
rat! Kalau bisa jatuhkan sobat
kawanku bernama Jaka
Tingting ini tanpa pakai
senjata, aku segera akan
menghadap Ketua kalian!"
Ujar Roro. Melengak kelima
orang itu dengan saling pandang.
Namun tak lama se-
gera kelimanya tertawa saling
susul.
"Baik, aku bersedia!"
Sahut laki-laki bernama
Kromo Yudho itu.
"Apakah kami maju satu
persatu, ataukah se-
kalian...?" Tiba-tiba salah
seorang menyelak bicara.
"Majulah kalian
semuanya...!" Berkata Jaka
Keling dengan tersenyum jumawa.
Tentu saja hal ter-
sebut membuat muka mereka jadi
merah. Apalagi
mengetahui kalau laki-laki itu
bukanlah salah satu da-
ri Tiga macan Gunung Muria. Roro
memang pandai
mengubah nama orang, yang
ternyata telah dipercaya
pula.
"Hm, baik! Sebenarnya kami
amat main menge-
royok, tapi tak jadi apa! Karena
ini adalah permintaan-
nya sendiri!" Ujar Kromo
Yudho. Dan serentak mereka
sudah menanggalkan masing-masing
senjatanya. Lalu
bergerak melompat mengurung Jaka
Keling.
Jaka Keling telah siap berdiri
dengan waspada.
Dan Kromo Yudho segera memberi
isyarat memulai.
Maka dengan serempak kelima
orang itu telah mener-
jang ke arah Jaka Keling dengan
masing-masing jo-
toskan kepalannya.
Pemuda itu tiba-tiba rundukkan
tubuhnya
hingga hampir menyentuh tanah.
Dan di iringi henta-
kan keras, sepasang lengannya
bergerak saling susul
menghantam ke arah lima
penyerangnya. Terdengarlah
suara.. Bak! Buk! Bak! Buk!
Dan sekejapan saja dengan diiringi
teriakan-
teriakan keras, kelima tubuh itu
roboh berjungkalan
untuk tidak mampu berdiri lagi. Karena masing-
masing perutnya telah terkena
hantaman tinju Jaka
Keling. Sehingga kelimanya
meringis-ringis memegangi
perutnya yang merasa mulas.
Roro bertepuk tangan melihat
akhir dari perta-
rungan yang cuma berlangsung
dalam beberapa kejap
itu.
"Hebat! hebat... ! Kalian
sudah kalah... ! Segera-
lah kalian merat dari
sini!" berkata Roro seraya tatap
kelima orang itu. Sambil menahan
rasa sakit pada pe-
rutnya, segera mereka kembali
mengambil senjata
masing-masing.
Akan tetapi di luar dugaan
mereka telah berke-
lebatan mengurung Roro. Rupanya
isyarat dari Kromo
Yudho yang menjadi pimpinan dari
keempat kawannya
itu amat dipatuhi. "Heh,
walau bagaimanapun kau ha-
rus ikut menghadap ketua kami!
Atau senjata-senjata
kami akan berbicara. Kromo Yudho
mengharap dengan
menangkap Roro maka si pemuda tak bisa berbuat
apa-apa. Akan tetapi ketika
Kromo Yudho gerakkan go-
loknya untuk ditempelkan ke leher Roro, laki-laki ini
menjerit parau. Tahu-tahu
goloknya telah mental en-
tah kemana. Dan dia sendiri
dalam keadaan tertotok
dengan berdiri kaku, dengan
posisi menyerang. Terke-
jutlah kelima kawannya. Belum
lagi mereka berbuat
sesuatu. Tiba-tiba terdengar
suara mengikik tertawa.
Dan tubuh Roro lenyap dari
pandangannya. Kejap be-
rikutnya, giliran tubuh-tubuh
merekalah yang tertotok
dengan berdiri kaku bagal arca.
"Hihihi... sebaiknya kalian
jadi patung saja dis-
impan!" Ujar Roro, yang
sudah berdiri tegak di hada-
pan kelima orang itu.
"Nah, untuk membuat patung
jadi awet, harus
dioleskan bahan pengeras ini
supaya kalian tahan la-
ma!" Ujar Roro, seraya
keluarkan sebuah tabung bam-
bu yang telah dibuka sumbatnya. Pucat
piaslah seke-
tika wajah kelima orang itu.
Menghadapi "gertakan"
Roro itu mereka seketika
berteriak-teriak mohon am-
pun. Bahkan diantaranya sudah
ada yang menangis
tersedu sedu.
Baik! aku akan ampuni nyawa
kalian! tapi se-
butkan siapa ketua kalian. Dan
apa maksudnya aku
kalian suruh menghadap
Ketuamu!" Bentak Roro den-
gan suara berubah bengis.
Keempat orang itu saling li-
rik dengan kawannya. Rupanya
Kromo Yudho lah yang
segera buka mulut. Keringat
dingin sudah bercucuran
dari sekujur tubuh.
***
8
Setitik api yang kecil, bisa
membuat kebakaran
besar...
Demikian juga dengan komplotan
terselubung
yang mendiami wilayah Singorojo.
Dengan adanya
pengakuan Kromo Yudho pada Roro Centil. Akhirnya
diketahui siapa adanya dalang
dari komplotan terselu-
bung itu.
Ternyata Roro Centil bertindak
kejam. Seperti
diketahui watak wanita pendekar
ini memang aneh,
dan sudah diterka. Terkadang
genit, lucu dan menarik
hati. Namun terkadang kejam tak
kenal ampun.
Empat dari kelima orang itu
telah diputuskan
urat suaranya, hingga mereka tak
dapat bicara lagi.
Mengenai cara ini jarang orang
yang dapat melakukan
dari Kaum Rimba Hijau. Karena
seperti diketahui Roro
Centil banyak mempunyai guru,
yang diantaranya ada-
lah Resi Jayeng Rana asal Tibet.
Tokoh ahli obat-
obatan yang mengenal betul akan
keadaan urat-urat
tubuh manusia.
Akan tetapi cara kejam ini
adalah Roro sendiri
yang mendapatkan, setelah
mengetahui dan mempela-
jari.
Cuma datangnya niat, dan cara
yang dilaku-
kan, adalah bagaimana munculnya
waktu itu saja. Se-
perti diketahui, Roro Centil
pernah terluka di kepala
yang dialami ketika berusia
tujuh tahun. Yaitu terkena
terjangan kaki-kaki kuda. Dan
dalam gemblengan gu-
runya si Wanita Aneh Pantai
Selatan alias si Manusia
Banci, banyak lagi hal-hal yang
membuat Roro menjadi
seorang gadis yang berwatak
mirip gurunya. Terka-
dang membuat orang jadi
kebingungan akan sikapnya.
Tapi terkadang juga apa yang
dilakukannya membuat
orang jadi kagum.
Roro tinggalkan tempat itu
dengan membawa
serta Kromo Yudho. Cuma
laki-laki yang seorang inilah
yang selamat dari diputuskannya
urat suara, oleh Ro-
ro. Surat dari Adipati itu
diberikan pada Jaka Keling.
Jaka Keling diperintahkannya
menunggu di tempat
yang dimaksud dalam isi surat
itu. Dengan janji, Roro
akan segera menyusul pada hari
yang ditetapkan. Se-
mentara Roro sendiri segera
membawa Kromo Yudho,
yang dicengkeram punggungnya
bagaikan mencengke-
ram seekor kucing. Dan dibawa
berkelebat cepat seka-
li.
Jaka Keling cuma terpana,
melihat kepergian
wanita Pendekar itu. Namun tak
ayal dia segera be-
rangkat pergi dengan
mencongklang kudanya.
—oOOOo—
Terkejut Tumenggung Yoga Bumi,
ketika tahu-
tahu seorang gadis telah datang
menghadap, dengan
menenteng sesosok tubuh
laki-laki berkulit hitam ber-
wajah brewok ke hadapannya. Dan
menjatuhkan sosok
tubuh laki-laki itu di lantai.
"Andakah tumenggung Yoga
Bumi yang menja-
ga keamanan di wilayah Singorojo
ini...?" Tanya Roro
Centil. Terkejut Tumenggung ini
karena baru pertama
kali didatangi seorang gadis
cantik yang sikapnya tan-
pa sopan santun. Bahkan
"nyelonong" saya masuk ke
Pesanggrahan tanpa membawa
perantara dari pengaw-
al yang memberitahukan kalau mau
menghadap. Baru
selesai Roro bicara, empat orang
prajurit sudah berla-
rian ke dalam dengan wajah pucat
pias Karena sewak-
tu ditegur, Roro sudah melesat
masuk dengan cepat
sekali.
Sang Tumenggung menatap keempat
prajurit,
lalu menatap pula pada Roro. Dan
kemudian terakhir
menatap pada laki-laki yang
tertunduk menyembunyi-
kan mukanya berjongkok diatas
lantai.
Otaknya yang encer ternyata
sudah dapat men-
duga kalau yang datang bukanlah
orang sembarangan.
Apalagi dengan membawa seorang laki-
laki yang tam-
pak gemetaran tubuhnya. Sudah
dapat dipastikan
adalah seorang penjahat yang
tertangkap. Atau juga
seorang pesakitan yang baru
dibawa ke luar dari taha-
nan. Segera dia berikan isyarat
pada keempat prajurit
supaya menyingkir kembali.
"Benar! aku Tumenggung Yoga
Bumi adanya!
Siapakah anda, nona... ? Dan
siapa pulakah orang
ini...?" Tanya sang
Tumenggung dengan sikap sabar.
"Namaku Roro Centil!
Mengenai orang ini, dia
adalah salah seorang anak buah
dari komplotan terse-
lubung yang selama ini
mengganggu ketertiban rakyat!
Ketuanya bernama Kala Butho!
Perlu diketahui, bahwa
komplotannya adalah disamping
menculik gadis-gadis
cantik untuk dijual dan
diumpankan pada para bang-
sawan hidung belang, juga kepada
orang asing dan pa-
ra pembesar Kerajaan! Bahkan
juga melakukan pula
serangkaian pembunuhan dan
perampokan secara ter-
selubung! Kala Butho baru salah
satu anak buah dari
gembong besar penyalur
wanita-wanita cantik yang
mempunyai cabang di wilayah
Singorojo ini! Gembong-
nya telah aku selidiki...!
Silahkan anda memeriksanya!
Dan tentunya setelah berhasil
mengorek keterangan,
hendaknya segera menggulung
secepatnya komplotan
itu disarangnya! Aku cuma bisa
membantu anda den-
gan membawa salah seorang anak
buahnya ini!" Ucap
Roro dengan suara terdengar
nyaring merdu.
Selesai berkata, tiba-tiba
lengannya telah ber-
gerak menjambak rambut Kromo
Yudho. Tentu saja
laki-laki ini berteriak
kesakitan dan memohon ampun
berulang kali.
"Bicaralah kau yang
sebenarnya pada Tumeng-
gung! Dan tunjukkan dimana
tempat komplotan itu!
Kalau kau berdusta, aku yang
akan menghukum mu
dengan cara yang paliiing kejam!
Mengerti...!" Bentak
Roro, seraya lepaskan jambakannya. Kromo Yudho
manggut-manggut dengan nyawa
terasa seperti sudah
di ujung ubun-ubun.
"Nah, aku pergi,
tumenggung! Tapi kalau ter-
nyata kau sendiri melindungi
komplotan itu, aku akan
gantung leher mu di
alun-alun...! Bentak Roro dengan
suara sedingin es. Terkesiap Tumenggung
Yoga Bumi.
Seperti kepalanya kena palu
godam, mendengar anca-
man Roro. Edan! masakan aku mau
melindungi penja-
hat? sentaknya dalam hati. Akan
tetapi baru dia mau
buka suara, si gadis aneh itu
sudah berkelebat lenyap
dengan tinggalkan suara tertawa
mengikik yang mem-
buat bulu roma bangun berdiri.
Sejenak tumenggung Yoga Bumi
jadi terpaku
tak bergeming.
"Aneh...!" Siapakah
gerangan wanita muda
itu...? Namanya Roro... Cen..
til?" Gumam sang Tu-
menggung seraya mengelus-elus
jenggotnya yang cuma
sejumput.
"Roro Centil...!... Hm,
ya.. ya.. aku seperti per-
nah mendengar nama itu ...!?
Tiba-tiba wajahnya me-
nyentak kaget seraya mendesis.
"Tidak salah...! Dia pasti
si Pendekar Wanita
Pantai Selatan! Ooooh, pantas!
pantas...! Orang Rimba
Hijau kelakuannya memang
aneh-aneh...
0OO**OO0
Dengan bujuk rayu Pitra Sena
yang bersikap
manis pada Pipit Lurik, akhirnya
jatuh Juga sang ga-
dis dalam pelukan si pemuda anak
laki-laki Bangsa-
wan Tua Raden Mas Anjasmoro
untuk yang kedua ka-
linya.
Gadis cantik puteri Jaran
Perkoso itu cuma bi-
sa mandah saja ketika
lengan-lengan nakal si pemuda
mulai menelusup membelai sekujur
tubuhnya.
Udara senja yang dingin di
sekitar tempat ber-
pemandangan indah itu menyibak
tubuh-tubuhnya
yang bergelinjangan di
rerumputan menghijau, pada
salah satu bukit yang terhalang
matahari.
Entah kali ini sang gadis telah
berikan kehan-
gatan tubuhnya untuk yang
ke berapa kali. Karena
cumbuan Pitra Sena benar-benar
meluluhkan hati dan
jantungnya. Harapannya untuk
berguru pada nenek
sakti di puncak Ratawu, telah
gagal. Karena mau tak
mau dia harus membalas budi
Keluarga Bangsawan
itu yang telah menyelamatkannya
dan tangan si Tiga
Siluman Bukit Hantu. Pitra Sena
dan ayahnya ternyata
manusia-manusia yang pandai
berpura-pura. Raden
Mas Anjasmoro telah berjanji
akan segera menikahkan
mereka. Pipit Lurik yang dalam
keadaan kalut dan me-
rasa telah ternoda oleh si
pendek Seto Bungkrik, tentu
saja tak berdaya menolak untuk
dinikahi oleh Pitra
Sena, bahkan dia merasa
bersyukur bahwa masih bisa
menuruti keinginan sang ayah,
walau keadaannya se-
karang sudah lain. Karena berita
kematian ayahnya te-
lah terdengar juga. Bahkan
markas Benteng Macan
Gunung yang telah bubar pun
sampai ke telinganya.
Dan tak diketahui lagi nasib
kedua pamannya, Gantar
Sewu dan Jaka Keling. berada.
Bahkan tak diketahui
mati dan hidupnya. Yang
diketahuinya adalah si Tiga
Siluman Bukit Hantu telah
melabrak ke sana.
Ada niat Pipit Lurik untuk
mencari mereka,
mencari tahu kabar beritanya.
Akan tetapi Pitra Sena,
tak mengizinkannya. Kabar berita
itupun diberitahu-
kan oleh Pitra Sena. Bahwa seorang sahabat ayahnya
yang telah memberitahukan
kejadian tersebut. Dan da-
ri Pitra Sena juga Pipit Lurik
mengetahui kalau tanah
dan gedung Markas Benteng Macan
Gunung telah di-
beli oleh calon Mertuanya itu.
Gadis yang tengah shok
itu cuma bisa menuruti keinginan
sang calon sua-
minya, yang hampir setiap saat
mencumbuinya. Demi-
kian pula halnya dengan hari
itu. Pitra Sena telah
mengajaknya ke tempat yang
berpemandangan indah
itu. Pipit Lurik tenggelam dalam
madunya cinta berahi,
yang seolah-olah melupakan semua
kemelut dihatinya.
Direngkuhnya bibir laki- laki
tempat menggantungkan
nasibnya itu. Dipeluknya
kuat-kuat tubuh tegap yang
menggelutinya. Dan tenggelamlah
Pipit Lurik dalam
belaian lembut, serta
bisikan-bisikan yang memabuk-
kan. Kembali sehelai demi
sehelai pakaiannya berlepa-
san. Dengus nafas Pitra Sena
bagaikan kerbau liar
yang membuat nafas dara cantik
itu tertahan-tahan.
Terjangan demi terjangan sang
kerbau liar itu mem-
buat hatinya semakin menggebu.
Mendesah-desah na-
fasnya seperti saling pacu. Dan
tenggelamlah sang da-
ra dalam gelimang noda yang
penuh dengan kenikma-
tan.
Ketika itu Matahari semakin menggelincir.....
Seorang pemuda menyeruak masuk
ke balik
semak, meninggalkan kudanya yang
ditambatkan di
bawah pepohonan. Suara-suara
aneh yang telah
mengganggu telinganya membuatnya
dengan berindap-
indap mendekati ke tempat asal
suara itu. Ternyata dia
tak lain dari Jaka Keling.
Tak jauh di belakang laki-laki
itu sesosok tu-
buh ramping berambut terurai
panjang, berkelebat
menyusul. Ternyata Roro Centil
adanya. Berlainan
dengan tempat yang dituju Jaka
Keling, Roro Centil
mengambil arah ke sebelah barat
di seberang sungai
itu. Disini dia menjumpai tempat
yang rapi seperti te-
lah ada yang merawat. Ketika
tengah mengamati seki-
tarnya, dua sosok tubuh
berkelebat keluar dari balik
semak rimbun. "Hm, kalian
adanya?" Tegur Roro den-
gan suara dingin.
"Silahkan ikuti kami!
Segera akan kami tunjuk-
kan dimana tempat Adipati Banyu
Biru menunggu no-
na...!" Ujar salah seorang
seraya balikkan tubuh untuk
mendahului berjalan. Roro segera
mengikuti tanpa ba-
nyak tanya.
Tak berapa lama telah memasuki
hutan bambu
yang berderet rapi bagai pagar.
Pada salah satu bagian
tengah pagar bambu terdapat satu
pintu yang mem-
buat bagai sengaja dibuat untuk
jalan menembus hu-
tan bambu. Kedua laki-laki yang
telah memberi surat
dari Adipati Banyu Biru itu
melompat cepat melalui
pintu membulat dari ruas-ruas
batang bambu. Dan tak
kelihatan bayangannya lagi.
Tanpa pikir panjang Roro segera
melompat
mengikut... Akan tetapi
tiba-tiba....
RRRRRRRRRRRTTT...!
Terkejut Roro Centil, karena
tahu-tahu tubuh-
nya telah terkena jeratan dalam
sebuah jala. Hingga
sekejap tubuh nya telah
terbungkus masuk dalam tali-
tali jala sutera itu.
Bersamaan dengan terjeratnya
Roro, segera
berlompatan belasan sosok tubuh
yang segera mengu-
rung di beberapa penjuru.
"Hahaha... haha... Akhirnya
berhasil juga aku
menawan si Pendekar Wanita
Pantai Selatan Roro Cen-
til!" Sesosok tubuh gemuk
segera perdengarkan suara
tertawa dan kata-katanya. Roro Centil dapat melihat
siapa orangnya dari balik tali jala
sutera. "Eh, monyet
bunting! aku sudah tahu, kaulah
gembong penculikan
wanita, dan ketua dari komplotan
terselubung yang
merampok harta Pusaka Kerajaan
Mataram! Aku
punya tugas untuk menangkapmu,
dari Kanjeng Gusti
Raja secara rahasia! Kedokmu telah
terbuka! Dan kau
pula rupanya Adipati Banyu
Biru...!
Hihihi... jangan kau bergirang
dulu monyet
bunting! Orang-orangmu justru
telah menjadi musuh-
mu, kecuali dua laki-laki yang
menjebakku itu...!" Te-
riak Roro. Terkejut laki-laki
Bangsawan tua itu, yang
ternyata tak lain dari Raden Mas
Anjasmoro. Segera
dia tatap pada para anak buahnya
yang memang khu-
sus ditempatkan di sekitar
markas tersembunyi itu.
"Para pengawal! Lepaskan
tali jala ini....!" Ber-
kata Roro dengan suara
berpengaruh. Suara yang te-
lah dilontarkan dengan tenaga
dalam yang amat ting-
gal. Dan suara yang telah
menggetarkan jantung setiap
orang. Tampak beberapa orang
telah melompat ke de-
katnya. Dan serentak sudah
memutuskan tali jala su-
tera. Dan sekejap Roro Centil
sudah lompat berdiri.
Gila...!? Edan...! Mengapa bisa
jadi demikian?
Sentak hati Adipati Banyu Biru.
Namun belum lagi ha-
bis rasa aneh dan terkejutnya
sudah terdengar perin-
tah Roro Centil yang membentak
keras memberi perin-
tah.
"Tangkap hidup atau mati
manusia keparat
ini...!" Dan bagaikan di
komandokan seorang Senapati,
belasan orang-orang Raden Mas
Anjasmoro alias Adi-
pati Banyu Biru itu, sudah
berlompatan menerjang
dengan senjata telanjang.....
Adapun kedua orang yang telah
memberi surat
pada Roro itu tampak seperti
orang yang kebingungan.
Wajahnya pucat pias bagai mayat.
Roro Centil tiba-tiba
telah melompat menerjang untuk
mengirimkan puku-
lan mautnya. Dalam keadaan panik
demikian, mana
mampu keduanya mengelakkan
serangan Roro yang
dilakukan dengan cepat sekali.
PRAKK...! PRAKKK...!
Terdengar suara teriakan pendek
parau, dis-
usul dengan robohnya kedua tubuh
itu, yang setelah
menggeliat sejenak lalu segera lepaskan nyawanya.
Ternyata kepalanya telah rengat
akibat hantaman ke-
dua telapak tangan Roro.
Sementara itu Raden Mas
Anjasmoro dengan
membentak gusar segera gerakkan
lengannya meng-
hantam para penyerang dari
anak-anak buahnya sen-
diri, .pekik dan jeritan maut
segera terdengar saling
susul. Beberapa sosok tubuh
terlempar dengan kepala
hancur, dan tulang belulang
remuk.
"Hantam teruuuus...!"
Teriak Roro memberi se-
mangat pada mereka yang tengah
menerjang si laki-
laki Bangsawan tua itu.
Sementara Roro sudah berke-
lebat lenyap dari tempat itu.
Ternyata Roro terus me-
nyusup masuk ke dalam tempat
rahasia itu.
Segera ditemuinya sebuah lobang
goa. Roro su-
dah mau melompat ke dalam. Akan
tetapi tiba-tiba se-
gera batalkan niatnya.
Dijumputnya beberapa buah
batu hampir sebesar kepalan,
lalu dilontarkannya ke
dalam. Roro sembunyi di sisi
goa. Selang tak lama tiba-
tiba terdengar suara bentakan
keras dari dalam goa,
disusul dengan berkelebatnya dua
sosok tubuh.
"Kunyuk kurang ajar manakah
yang telah iseng
sambitkan batu?" Akan
tetapi begitu keduanya mun-
cul, Roro Centil bergerak cepat
sekali untuk gerakkan
tangannya menotok kedua tubuh
itu.
Terkesiap keduanya, namun sudah
terlambat
Seketika kedua tubuh itu roboh
terguling dengan kea-
daan tubuh kaku tanpa dapat
bergerak. Sungguh su-
kar di duga karena ternyata
kedua orang itu adalah si
pendek Sato Bungkrik dan si
jangkung Wong Duwur.
Melihat siapa yang telah
menotoknya betapa terperan-
jatnya kedua manusia itu. Namun
sebelum keduanya
sempat buka suara, Roro Centil telah gerakkan lagi
lengannya menotok urat suara
mereka, gagulah sudah
kedua Siluman Bukit Hantu itu.
Tak menunggu untuk
berlama-lama lagi, tahu-tahu
Roro Centil sudah sam-
bar kedua jubah ditengkuk orang,
dan apa yang dila-
kukan gadis Pendekar yang
berwatak aneh itu? Ter-
nyata Roro telah menyeretnya
pergi dari situ.
Memang janggal kalau seorang
gadis yang keli-
hatan lemah tak bertenaga mampu
menyeret dua tu-
buh manusia. Yang satu panjang
bagai galah, dan satu
lagi pendek kekar. Namun
kenyataannya memanglah
demikian.
Mereka cuma bisa mengeluh dengan
berdesis,
merasa perih dari bekas lukanya
yang kembali berda-
rah terkena batu-batu kerikil tajam yang membentur
luka dan tubuhnya. Namun dalam
keadaan demikian
mereka memang tak dapat berbuat
apa apa, selain hati
yang kebat-kebit. Karena maut
sudah terbayang di de-
pan mata.
***
9
"Hihihi.. tak usah kalian
gelisah, kambing-
kambing bandot! Aku cuma berbaik
hati untuk men-
gubur kalian di dasar jurang...!
Berkata Roro Centil.
Seraya mempercepat larinya.
Tentu saja membuat ke-
dua manusia ini jadi ketakutan
setengah mati. Namun
apa mau dikata? Berteriakpun
mereka sudah tak
sanggup. Kecuali cuma bisa
mendesis dengan meringis
menyeringai. Karena seketika
saja terdengar suara
berkelotakan dan bergedebukan,
ketika batu dan ta-
nah berpentalan mengenai kepala
dan tubuh mereka.
Bahkan ketika melewati belukar,
duri-duri tajam itu
telah menggores sekujur wajah
dan merobek kulit,
yang bukan alang kepalang
pedihnya. Apalagi bila
mengenai bekas luka kutung di
tangan maupun di ka-
ki mereka, yang telah
dihancurkan Roro. Dan baru
diobati beberapa hari.
Mendekati arah tepi bukit,
tiba-tiba telinga Roro
mendengar suara bentakan dan
teriakan dari orang
yang bertarung. Ternyata ada
pula suara wanita. Ter-
cekat hati Roro. Segera
diseretnya kedua tubuh tawa-
nannya itu untuk dibawa
menyeruak masuk melewati
semak belukar. Terdengar suara
ranting-ranting yang
patah akibat diterjang oleh
kedua tubuh manusia yang
diseretnya. Tak lama sudah
kelihatan siapa adanya
yang bertarung seru disamping
bukit.
Ternyata tak lain dari Jaka
Keling dengan Pitra
Sena. Saat itu Jaka Keling
tengah menghadapi lawan-
nya dengan tangan kosong. Begitu
juga Pitra Sena
yang tak mempergunakan senjata.
Sementara seorang
gadis tengah menatap ke arah
pertarungan dengan se-
pasang mata basah bersimbah air
mata.
Siapakah gadis itu? Apakah Pipit
Lurik...? Gu-
mam Roro dalam hati. Sekejap
Roro sudah melompat
ke tempat pertarungan. Tampak
sepasang mata Roro
menatap pada Pitra Sena. Aneh!
Tatapan mata Roro
Centil seperti baru melihat
orang. Tahu-tahu kedua
tawanannya sudah dilepaskan
menggabruk ke tanah.
Tampak sepasang mata Roro Centil
tiba-tiba
dipejamkan. Tubuhnya berdiri tak
bergeming. Asap ti-
pis bagai kabut tiba-tiba keluar
dari mulut Roro yang
agak renggang. Bahkan kabut
putih itu juga keluar da-
ri hidung, telinga dan... mata.
Tiba-tiba sekejap, Roro
sudah kembali buka matanya.
Terdengar suara gadis
pendekar ini berkata perlahan.
Akan tetapi sesung-
guhnya dia tengah mengirim suara
jarak jauh. "Jaka...!
Menyingkirlah!". Suara itu
menyusup ke dalam cuping
telinga Jaka Keling. Tentu saja
dia segera palingkan
kepalanya. Dan melihat adanya
Roro Centil. Tak ayal
segera dia lompat menjauh. Pada
saat itu, Roro sudah
berkelebat ke hadapan Pitra Sena
WHUUUSSSSSH.....
Segelombang asap kabut meluncur
dari lengan Roro
menerjang ke arah Pitra Sena,
disertai bentakan halus
yang menyusup masuk ke telinga
Pitra Sena.
"Mukamu tidak wajar, sobat...! Kembalilah ke
bentuk asalmu...!" Ketika
asap kabut yang bergelom-
bang itu menerpa tubuh Pitra
Sena, ternyata telah di
iring! pula oleh satu hantaman
telak ke arah dada la-
wan.
"BUK...!" Pitra Sena
mengeluh, tubuhnya ter-
lempar. Dan jatuh bergulingan
tepat ke hadapan Pipit
Lurik. Ternyata gadis ini tengah
menggenggam sebuah
rencong di tangannya. Niat untuk
bunuh diri hampir
dilaksanakan, karena tak kuasa
menanggung malu.
Betapa perbuatannya telah
diketahui oleh Jaka Keling,
sang paman angkat. bukan
kepalang terkejutnya Pipit
Lurik ketika tubuh sang calon
suaminya yang jatuh ke
hadapannya adalah bukan Pitra
Sena.
Siapakah gerangan adanya
"Pitra Sena itu....?
Ternyata tak lain dari GANTAR
SEWU, adik sepergu-
ruan Jaran Perkoso. Tentu saja
membuat Pipit Lurik
dan Jaka Keling terkejut. Asap
kabut yang dilontarkan
Roro Centil telah dibarengi
bentakan berkekuatan te-
naga batin yang amat tinggi,
membuat sirna "ilmu si-
hir" yang dipergunakan
Gantar Sewu. Saat itu satu
suara telah menelusup masuk ke
telinga Pipit Lurik.
Suara itu amat berpengaruh...
akan tetapi bukanlah
suara dari Roro Centil.
"Bunuhlah dia, anakku...!
Bunuh mampus ma-
nusia licik tak tahu membalas budi
itu...!" Tersentak
Pipit Lurik. "Ayah...?
Desisnya lirih. Benarkah itu sua-
ra ayah...? Sentak hatinya. akan
tetapi kedua lengan-
nya mendadak bagaikan digerakkan
satu tenaga gaib,
segera menghunjamkan rencong
milik "Pitra Sena" itu
tepat menembus ke jantung
laki-laki itu.
Terperangah "Pitra
Sena" alias Gantar Sewu.
Sepasang matanya membeliak. Dan
wajahnya tampak
menyeringai kesakitan. Sementara
Pipit Lurik sudah
melompat berdiri seraya
melepaskan rencongnya yang
telah terhunjam di dada
laki-laki itu.
"Kau... kau...? Ka...
Kakang Gantar Sewu...?"
Teriak Jaka Keling. Saat itu
tanpa ada seorangpun
yang mengetahui sesosok tubuh
bagaikan siluman te-
lah muncul di belakang Roro.
Sosok tubuh itu tak lain
dari Raden Mas Anjasmoro yang
telah menyusul Roro
Centil. Sepasang lengannya
tampak diangkat sebatas
dada.
Dan tiba-tiba laki-laki
bangsawan tua itu telah
lancarkan serangan dahsyat pada
punggung Roro Cen-
til, pada jarak dua tombak......
BHUKKK...!
Terdengarlah suara jerit mengerikan
disertai
terlemparnya tubuh manusia
dengan darah berpuncra-
tan ke setiap penjuru. Dan...
BRUKKI Tubuh yang ter-
lempar itu baru berhenti
berguling ketika menghantam
batang pohon. Dan sosok tubuh
itu telah diam tanpa
berkutik lagi. Langsung tewas
seketika. Apakah yang
terjadi? Kiranya bukan Roro
Centil yang terkena sasa-
ran serangan dahsyat itu.
Melainkan si laki-laki bang-
sawan tua itu sendiri yang
terlempar dengan tulang-
tulang tubuh remuk. Karena
begitu
Raden Mas Anjasmoro mengangkat
kedua len-
gannya, telah berkelebat dua
sosok tubuh menghan-
tamnya terlebih dulu. Sekejap di
tempat itu telah ber-
diri dua orang tua renta.
Ternyata adalah Resi Paksi
Sakti Jalatunda dan Bikhu
Sokalima. Keduanya telah
gerakkan masing-masing lengannya
menghantam ke
arah Raden Mas Anjasmoro.
Terperangah semua orang,
termasuk Roro Cen-
til. Karena jelas kalau tak
segera muncul kedua tokoh
sakti Rimba Persilatan itu,
sukar dipastikan nasib Roro
Centil yang dalam keadaan amat
kritis.
"Guruuu...!?" Teriak
Jaka Keling seraya lompat
ke hadapan kedua orang kosen
itu. Dan segera bersu-
jud di depan sang Resi.
Bersamaan dengan itu, berkelebat
sesosok tu-
buh ke tempat itu. Ternyata tak
lain dari Jaran Perko-
so, yang masih berdiri dengan
segar bugar. Cuma kea-
daan tubuhnya penuh dengan
balutan. Terbelalak se-
pasang mata Pipit Lurik. Dan...
melompatlah gadis ini
memburunya.
"Ayaaaah....!?" Jaran
Perkoso menoleh. Dan ter-
jadilah pertemuan yang
mengharukan. Kedua ayah
dan anak itu berpelukan dengan
masing-masing ber-
simbah air mata.
"Hik hik hik... apakah
murid durhaka mu itu
belum mampus, sobat
Jalatunda?" Tiba-tiba terdengar
suara Bikhu Sokalima. Nenek
sakti puncak gunung
Ratawu itu sudah berkelebat ke
arah dimana Gantar
Sewu masih terkapar dengan nafas
empas-empis ting-
gal satu-satu.
Akan tetapi memang laki-laki itu
belum meng-
hembuskan nafasnya. Segera
mereka semua beranjak
menghampiri Jaran Perkoso tatap wajah saudara se-
perguruannya itu dengan bengis.
"Tak kusangka diam-diam
hatimu berbulu,
Gantar Sewu! Kau kira
kejahatanmu tak akan menda-
pat balasan setimpal?"
Bentak Jaran Perkoso dengan
suara dingin. Gantar Sewu tampak
tersenyum pedih.
Dari kedua pelupuk matanya telah
keluarkan air ben-
ing yang mengalir turun ke pipi.
"Maaf.. kan adikmu ini,
kakang... ! Me.. me-
mang akulah.. yang te.. telah
membunuh.. is.. istrimu,
kakang mbok Sri.. Les.. ta..
ri....." Ucap Gantar Sewu
dengan suara
terputus-putus.
Tentu saja membuat Pipit Lurik
jadi terperan-
gah dengan mata terbelalak. Juga
Jaka Keling, yang
tak menyangka sama sekali.
Sedangkan kedua kakek
sakti dan nenek kosen itu cuma
tersenyum hambar
mendengar pengakuan Gantar Sewu
Namun tubuh si
kakek sakti Puncak Muria itu
tampak bergetar mena-
han kemendongkolan hatinya.
Betapa muridnya yang
telah di didiknya susah payah,
ternyata manusia tak
berguna.
Selanjutnya setelah berkata
beberapa patah ka-
ta lagi, Gantar Sewu pun tewas.
Keadaan di tempat itu
jadi hening. Saat itulah
tiba-tiba sesosok tubuh berba-
ju kuning melompat ke tempat
itu. Semua orang den-
gan cepat palingkan kepala.
"Pitra Sena...!"
Teriak Pipit Lurik dengan mulut
ternganga dan sepasang mata
membeliak. Ter-
nyata yang muncul memang
benar-benar Pitra Sena.
Pemuda ini tak menjawab, akan
tetapi melompat
menghampiri tubuh
Raden Mas Anjasmoro. Dan.....
terlihatlah dia
duduk bersimpuh di hadapan sang ayah. Terdengar
suara kata-katanya bergetar
lirih.
"Ayah, agaknya kematianmu
memang harus
dengan cara begini...! Aku
memang anak bengal,
ayah...! tapi aku bukan manusia
jahat! Aku bahkan
terlibat dalam kejahatan karena
perbuatanmu... Oh!,
betapa terkutuknya aku.!"
Selanjutnya sudah terden-
gar suara isak tersebut yang
keluar dari bibir pemuda
itu. Perlahan Resi Paksi Sakti
Jalatunda alias si Pen-
dekar Lengan tunggal, beranjak menghampiri. Lalu
cekal pundak orang dengan
perlahan.
"Sudahlah, anak muda...!
Walau dia ayahmu,
akan tetapi pada dasarnya adalah
musuhmu! Cuma
pertalian darah yang tak dapat
dilepaskan! Jasa dan
pengorbanan mu amat besar pada
bangsa dan Kera-
jaan atas kesadaran mu
membongkar kejahatannya!
Kau telah turut membantu
melenyapkan gembong dari
penculikan para gadis cantik
juga gembong dari bebe-
rapa perampokan harta pusaka
Kerajaan yang telah
berlangsung lama sejak dua tahun
yang lalu. Dia juga
musuh kaum pendekar golongan
kanan, yang selama
ini dalam kejaran kaum pendekar
penegak keadilan,
juga buronan dari pihak Kerajaan
Mataram! Jarang
sekali orang sepertimu berada di
dunia ini! Tapi ter-
nyata apapun bisa terjadi!"
Ujar sang
Resi dengan suara lirih dan
tegas. Semua orang
yang mendengarkan jadi
tercenung. Dan sama-sama
menundukkan wajah.
Angin senja berdesir halus
menyibak dedau-
nan... Matahari semakin
menggelincir kepermukaan
gunung. Saat itu Pitra Sena
telah melangkah perlahan
ke arah di mana Jaran Perkoso dan Pipit Lurik yang
tengah menatap padanya.
Tiba-tiba Pitra Sena tunduk
berlutut dihadapan
laki-laki tua yang masih bertampang
gagah itu. Tak
ada kata-kata yang keluar dari
bibirnya, kecuali isak
tertahan yang telah
dipersembahkan pada sang Ketua
dari markas Benteng Macan
Gunung.
Laki-laki gagah ini tiba-tiba
gerakkan lengan-
nya mengangkat bahu Pitra Sena.
"Bangunlah, calon
menantuku....! Aku terima
pinanganmu pada anakku
Pipit Lurik!" Ujar Jaran
Perkoso. Dan wajahnya segera
berpaling pada anak
perempuannya. "Terimalah dia
sebagai calon suamimu,
anakku.... Bukankah kalian
telah saling mengenal?"
Tanya Jaran Perkoso dengan
tersenyum haru.
"Aku.... aku menyintainya,
ayah..." Berkata per-
lahan Pipit Lurik dengan hati
polos. Dan Jaran Perkoso
menatap lagi pada Pitra Sena
lekat-lekat, seraya ucap-
nya.
"Kau bersedia menikahi
anakku yang sudah
begini keadaannya...?"
Pitra Sena mengangguk. Seraya
tatap wajah Jaran Perkoso, lalu
beralih pada Pipit Lu-
rik. "Aku akan menikahinya
dengan setulus hatiku,
Ramanda...!
Dengan jalan ini aku tinggalkan
segala tindak
kejahatan kelakuan ku... . .!
Aku tak dapat memungki-
ri untuk tidak mencintainya,
Ramanda! Walau apapun
yang telah terjadi...!"
Suara kata-kata Pitra Sena
terdengar jelas dan
pasti. Gelimang hidupnya dari
para wanita dan gadis-
gadis cantik sekapan ayahnya
telah membuatnya se-
makin sadar dan semakin dewasa.
Bahwa dia telah
tersesat dalam pendidikan yang
salah. Tak di duga cin-
ta justru bersemi pada gadis
bernama Pipit Lurik, yang
justru akan dijadikan wanita
"barang" pesanan oleh
ayahnya. Namun kasih sayang dan
cinta ternyata telah
semakin berakar pada Pipit
Lurik. Bercampur rasa ka-
sihan dan kasih sayang pada
gadis itu. Satu kejadian
yang tak diduga adalah munculnya
Gantar Sewu yang
memang menjadi sahabat sang
ayah.
Gantar Sewu telah pergunakan
ilmunya untuk
mengelabui Pipit Lurik, saat
Pitra Sena berangkat me-
nemui nenek sakti Bikhu Sokalima
di puncak Ratawu.
Ternyata di sana dijumpai Jaran
Perkoso dan Resi
Paksi Sakti Jalatunda. Kiranya
sang Resi lah yang te-
lah menolong Jaran Perkoso.
Pitra Sena telah beberkan segala
kejahatan
ayahnya pada kedua orang sakti
itu, termasuk Jaran
Perkoso yang turut mendengarkan
penuturannya. De-
mikianlah, hingga berakhir
dengan kejadian seperti
tersebut di atas.
Kedua sejoli yang telah bersatu
hati itu tampak
berangkulan dengan terharu.
Semua hadir di situ Cu-
ma bisa tersenyum penuh
keharuan, juga memuji atas
sikap Pitra Sena. Hal tersebut
ternyata memang sudah
diketahui oleh Roro Centil dan
Jaka Keling, hingga me-
rekapun cuma bisa menarik napas
lega.
Tiba-tiba saat dalam keheningan
itu, Pipit Lurik
lepaskan rangkulannya, dan
berpaling mencari dua
tubuh yang dibawa Roro Centil
tadi. Sekejap dia sudah
melompat kesana. karena baru
tersadar sang dara ini,
setelah sekilas dapat melihat
kalau kedua orang itu
adalah dua dari si Tiga Siluman
Bukit Hantu.
Semua orang pun sudah
berkelebatan kesana.
Akan tetapi ternyata kedua
manusia itu telah tewas.
Keadaan tubuhnya tampak
mengerikan, karena penuh
luka dari goresan duri.
Kepala-kepala mereka rengat
terhantam batu, dan luka-luka
lainnya akibat diseret
Roro semau-maunya.
Jaka Keling terpaku menatap
Roro. Sungguh
tak menyangka kalau akhirnya
sang gadis Pendekar
Wanita Pantai Selatan itu
jugalah yang menumpas sisa
dua iblis itu. Saat mereka
termangu-mangu menatap
mayat si pendek dan si jangkung
itulah Roro Centil
berkelebat lenyap dari tempat
itu, tanpa ada yang
mengetahui. Ketika mereka
tersadar dan balikkan tu-
buh, ternyata Roro Centil sudah
tak berada di tempat
itu.
"Aiiih...? Sungguh aku
orang kaum tua merasa
mengiri padanya! Rasanya aku
kepingin menjadi muda
lagi seperti si Roro Centil
itu!" Berkata Bikhu Sokalima.
Ki Jalatunda tiba-tiba
perdengarkan tertawa mengekeh
seraya menyahuti;
"Wah, wah, wah...,! Kalau kau
manusia turu-
nan ular, tentu bisa! Hehehe..
heh... heheheh... Kulit-
mu yang keriput tinggal
mengulitinya aja, jadilah kau
si nenek genit yang mania dan
centil!"
"Hihihik... hihik...
sudahlah, kakek peyot! Mari
kita kembali ke puncak gunung
masing-masing...!"
Ujar sang nenek. Dan
berkelebatanlah kedua tubuh
tokoh kaum tua Rimba Persilatan
itu melenyapkan di-
ri. Tak berapa lama senjapun
semakin memuram.
Mentari dibalik gunung itu masih
sembulkan cahaya
merahnya. Sementara
burung-burung kecil mulai riuh
berebut tempat untuk
tidur.......
Pipit Lurik saling bertatapan
dengan Pitra Sena.
Jari-jari lengan mereka menjalin
menjadi satu. Ternya-
ta kebahagiaan tidak hanya
dimiliki oleh orang-orang
yang bersih saja. Cinta
mengalahkan segalanya. Dan
kekotoran memang tak luput dari
sifat insan di dunia
ini, walaupun cuma setitik.
Namun setidak-tidaknya
dengan niat orang yang berusaha
mencuci kekotoran
itu, niscaya mereka sudah menuju
kesatu jalan yang
bersih...... Walau kodrat dan
takdir adalah Tuhan Yang
Maha Menentukan.
TAMAT
Emoticon