"Ya! Karena semua pengawal
disana terdiri dari
orang-orang yang sudah mati.
Kalau ternyata bisa hi-
dup lagi apakah bukannya sudah
menjadi setan?" Tu-
kas Roro dengan serius. Tentu
saja penjelasan Roro itu
membuat si laki-laki Muka
Tengkorak jadi kepingin ta-
hu lebih jelas.
"Kau pernah kesana?"
Tanyanya lagi. Roro ja-
tuhkan pantatnya untuk duduk di
atas batu. Kepalanya
menggeleng.
"Melihat Istana Setan
itupun aku belum pernah,
aku cuma mendengar berita dari
sahabatku...!" Ujar Ro-
ro. Laki-laki Muka Tengkorak itu
pun jadi ikut-ikutan
duduk di atas batu di hadapannya.
"Siapakah sahabatmu
itu?"
"Dia bernama JOKO SANGIT!
Sahut Roro.
"Eh, bicara padamu seperti
bicara dengan hantu
saja...! Apakah mukamu jelek
hingga kau pakai topeng
Tengkorak itu?" Tiba-tiba
Roro balas bertanya dengan
pertanyaan lain. Tentu saja
membuat si laki-laki Muka
Tengkorak jadi melengak.
Pertanyaan itu memang wa-
jar, akan tetapi hal itu membuat
si laki-laki Muka Teng-
korak jadi menunduk.
"Jelek atau bagus adalah
pemberian Tuhan! Aku
memakai topeng ini bukan karena
wajahku jelek atau
bagus, akan tetapi aku memang
tak akan membukanya,
kecuali di hadapan musuh
besarku...!" Ujarnya dengan
tertawa hambar. Roro jadi
tercenung sesaat. Namun se-
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
gera manggut-manggut mengerti.
"Siapakah musuh
besarmu...?" Tanya Roro tiba-
tiba. Laki-laki Muka Tengkorak
tak segera menjawab.
Terdengar suara helaan nafasnya
sejenak, lalu ujarnya
dengan suara yang terdengar agak
serak, dan bernada
dingin.
"Aku tak dapat
memberitahukan, karena hal ini
adalah urusanku...!"
"Hm, baiklah! Akupun tak
ingin mengetahui
urusanmu, serta mencampuri
urusan dendam pati!
Cuma aku mau memperingatkan,
hati-hatilah kalau
kau mau menyeberangi telaga! Tak
sedikit nyawa ma-
nusia, dan tokoh-tokoh kosen
kaum Rimba Hijau yang
setelah menyeberang tak pernah
ada kabarnya lagi. Hi-
hihh... hihi...
Seraya tertawa mengikik, Roro
Centil sudah
bangkit berdiri. Lalu putarkan
tubuh untuk beranjak
pergi.
"Eh, nona...ng...mau ke
manakah kau?"
Si laki-laki Muka Tengkorak
sudah berseru menahan
dengan tergagap.
"Namaku RORO CENTIL!"
Sahut Roro seraya
menahan langkahnya.
"Oh, ya ...! Nona Roro
Centil, boleh aku tahu
kemana tujuanmu...?"
Ulangnya seraya sudah melom-
pat ke hadapan Roro. Roro tatap
wajah laki-laki berto-
peng Tengkorak itu seperti mau
melihat wajah asli
orang di hadapannya.
"Saat ini aku berdiam di
Lembah SOKA, berga-
bung dengan para Senapati dari
Tiga Kerajaan yang te-
lah bersatu...!" Sahutnya
datar.
"Ah...!?" Tersentak si
laki-laki Muka Tengkorak.
Sepasang mata dari balik topeng
Tengkoraknya itu
membelalak lebar.
"Apakah sebenarnya yang
telah terjadi?" Tanya
si Penunggang Kuda Setan.
"Hihihi... tak tahukah kau,
bahwa ratusan, bah-
kan hampir lebih dari seribu
laskar para Senapati dari
Tiga Kerajaan telah menggabung
menjadi satu. Mereka
tengah mempersiapkan untuk
menggempur Kerajaan
Setan bernama PUGAR ALAM yang
Istananya berada di
tengah telaga ini...!"
Tutur Roro dengan suara dingin.
Lagi-lagi si laki-laki Muka Tengkorak
itu melen-
gak. Akan tetapi kembali
tundukkan wajahnya. Seraya
berkata lemah.
"Ah, sayang... urusanku
membalas dendam be-
lum lagi terlaksana, seandainya
sudah tuntas urusan-
ku, aku pasti akan turut
bergabung dengan mereka...!"
"Nah, selesaikanlah
urusanmu dulu, aku dan kaum
Pendekar dari segenap penjuru,
dengan di restui serta
mendapat bala bantuan dari
Kerajaan MATARAM, siap
menunggu kedatanganmu untuk
bergabung dengan
kami...!" Berkata Roro
Centil dengan tersenyum. Lalu
sudah enjot tubuhnya melompat ke
atas tebing batu.
Disana dia balikkan tubuhnya
lagi. Sepasang mata dara
perkasa itu menatap ke bawah. Ke
arah si Penunggang
Kuda Setan. Lengannya menggapai.
"Penunggang Kuda Setan...!
Sampai jumpa lagi...
!" Laki-laki Muka Tengkorak ini balas lambaikan tan-
gannya.
"Aku pasti kesana bila
urusanku sudah sele-
sai...!" Teriaknya lantang.
Namun Roro sudah balikkan
tubuhnya, dan berkelebat cepat
tinggalkan tebing di sisi
telaga itu. Sekejap kemudian
sudah lenyap tak keliha-
tan lagi. Laki-laki si Penunggang Kuda Setan
kembali
tundukkan wajahnya. Tampak dari
sela topengnya
mengalir turun setetes air
bening. Dadanya bergerak
naik turun seperti menahan
kesedihan, kemarahan ser-
ta kekecewaan yang mengaduk
menjadi satu! dalam da-
da. Akan tetapi tiba-tiba dia
sudah melompat ke atas
punggung kudanya. Dan diiringi
suara meringkiknya si
Kuda Hitam tunggangannya itu.
Binatang itu sudah me-
lesat cepat sekali, melompati
tebing batu di hadapan-
nya.
"Tunggulah kalian
manusia-manusia jahanam...!
Si Penunggang Kuda Setan akan
menuntut balas pati!"
Terdengar suara gumamnya.
Sekejap antaranya suara ringkik
kuda itu sudah
lenyap bersama lenyapnya mahluk
dan penunggangnya!
Sepekan kemudian... di satu wilayah
jajahan Kerajaan
Pugar Alam.
Laki-laki berwajah belang ini
bergegas memasu-
ki pendopo Kadipaten. Dua orang
penjaga menjura
hormat, dan mempersilahkan
masuk. Mereka telah
mengenal akan siapa adanya
laki-laki ini. Akan tetapi
heran juga karena tak seperti
biasanya datang sendi-
rian. Mereka mengenalnya
yang bergelar si Muka Ma-
can. Kemanakah si Muka Babi dan
si Muka Tikus...?
Namun mereka cuma berbisik-bisik
saja tak berani me-
nanyakan.
Setelah melewati satu pintu
lagi, segera telah be-
rada di ruangan dalam.
"Ah, kemanakah Adipati Rama
Sepuh?" Desis-
nya pelahan. Sepasang matanya jelalatan mengitari
ruangan. Suara tertawa cekikikan
dari ruangan kamar
disebelah mengundang keinginan
untuk mengintip. Dari
lubang kunci segera terlihat
satu pemandangan yang
membuat darahnya tersirap.
Karena sang Adipati ten-
gah digeluti oleh dua orang
wanita yang separuh telan-
jang.
"Kakang Rama Sepuh...
Hihihihi.... ah, geli...!
Hihihi..." Kembali
terdengar suara tertawa yang renyah
mengundang perhatian. Dua
penjaga di ujung ruangan
sudah beranjak mendekati si Muka
Macan ini. Akan te-
tapi baru mau membentak, segera
di urungkan karena
mengetahui orang itu adalah si
Muka Macan yang asik
mengintip. Lalu cepat-cepat
melangkah pergi.
"Siapa di luar...!"
Tiba-tiba satu bentakan menggeledek
telah membuat si Muka Macan
terlonjak kaget. Seraya
buru-buru mengambil sikap sebaik
mungkin seolah tak
melakukan apa-apa.
"Ham... hamba, Gusti
Adipati...!" Ujarnya dengan
tergagap.
"Ada keperluan penting
Gusti Adipati, hamba... Man-
draka, si Muka Macan!"
Hening sejenak... Dan terdengar
lagi suara dari dalam.
"Tunggulah di ruang depan.
Sebentar aku da-
tang...!"
"Baik, Gusti Adipati...!" Sahut si Muka Macan,
dan dengan senyum pahit dia sudah
"ngeloyor" pergi
menuju ke ruangan depan tempat
biasa diadakan per-
temuan. Agak lama juga laki-laki
berwajah belang ini
menanti kedatangan sang Adipati
itu. Namun tak lama
sudah datang yang ditunggunya.
Seorang laki-laki ber-
tubuh kekar dengan pakaian
dinas, segera keluar me-
nemuinya.
"Ada hal penting apakah
Mandraka...?" Tanya
sang Adipati. Menilik dari
usianya Adipati ini berusia
sekitar 37 tahun. Dengan pakaian
kebesarannya seba-
gai seorang Adipati, tampak
benar kelihatan kewiba-
waannya. Akan tetapi sinar
matanya memang terlalu
liar untuk seorang pejabat yang
berhati bersih.
"Celaka, Gusti...! Hamba
baru tiba dari Pe-
sanggrahan Puri
Kencana...!"
"Apa yang telah terjadi
disana? Dan... mana ka-
wanmu yang lain?" Belum
lagi si muka macan yang
bernama Mandraka itu selesai
berbicara, sudah disam-
bar pertanyaan sang Adiati.
"Begini, Gusti ..."
Segera Mandraka tuturkan ke-
jadiannya dengan secara singkat,
yaitu pertama adalah
kejadian yang membuat kematian
saudara sepergu-
ruannya si Muka Tikus, dan si
Muka Babi yang di jum-
pai tubuhnya dalam keadaan
terluka. Karena tangan
dan kakinya patah, akibat
dilemparkan si penunggang
Kuda setan. Dan yang kedua
diceritakan kejadian di pe-
sanggrahan Puri Kencana.
***
DELAPAN
Puri Kencana adalah tempat
menampung para
wanita tawanan, dari Kerajaan
Swarna Mega yang ber-
hasil dikuasai Kerajaan PUGAR
ALAM. Dan Adipati Ra-
ma Sepuh ini. Puri Kencana bukan
saja tempat para
tawanan wanita, akan tetapi
merupakan tempat pelesir
sang Adipati Rama Sepuh dan para
pejabat baru lain-
nya. Sejak didudukinya Kerajaan
Swarna Mega itu. Ba-
nyak terjadi perubahan kekuasaan
yang dipegang oleh
orang-orang dari Kerajaan Pugar
Alam.
Setelah membawa si Muka Babi ke
rumah seo-
rang sahabatnya yang ahli dalam
menyambung tulang
patah, si Muka Macan bermaksud
akan segera mela-
porkan kejadian itu pada Adipati
Rama Sepuh. Akan te-
tapi diurungkan. Dan tujuannya
dirubah dengan men-
gunjungi dulu Puri Kencana.
Tentu saja sebagai manu-
sia yang sudah berwatak bejad,
apalagi maksudnya tak
kesampaian untuk mengagahi si
gadis desa bernama
Sutirah itu.
Akan tetapi betapa terkejutnya
dia mengetahui
keadaan Puri Kencana telah
porak-poranda. Dan para
wanita tawanan telah meloloskan
diri. Beberapa mayat
penjaga di Puri itu telah
bergelimpangan menjadi mayat.
Dari seorang penjaga yang luka
parah segera diketahui
kalau mereka dibebaskan oleh
para pemberontak dari
rakyat dan sisa-sisa lasykar
Kerajaan Swarna Mega,
yang pada terjadi penyerahan
kedaulatan banyak me-
nyembunyikan diri.
"Cuma itu laporan hamba,
Gusti Adipati...! Sele-
bihnya kalau ada kekurangan
hamba tak mengetahui..."
Tutur Mandraka si Muka Macan.
Merah padam seketika
wajah sang Adipati Rama Sepuh.
Lengannya sudah
menggebrak meja hingga sempal
bagian ujungnya.
"Keparat...! Rupanya rakyat
Swarna Mega sudah
merencanakan
pemberontakan...!" Sang Adipati ini se-
gera berdiri, lengannya bertepuk
tiga kali. Dan dengan
tergesa-gesa dua pengawal datang
menghadap.
"Pengawal! Perintahkan semua kawan-kawan
mu untuk menjaga ketat
lingkungan Kadipaten ini!" Pe-
rintahnya.
"Daulat Kanjeng Gusti
Adipati!" Segera kedua
penjaga mengundurkan diri. Tak
lama di luar gedung
Kadipaten segera sibuk para
Ketua pengawal untuk
membagi tugas pada anak buahnya.
"Apakah yang harus hamba
lakukan, Gusti Adi-
pati...?" Tanya Mandraka.
Termenung sejenak sang Adipati
Rama Sepuh.
Lalu ujarnya. "Hubungilah
Resi Parto Kendal! Suruh be-
liau kemari...!"
"Baik, Gusti Adipati!"
Sahut Mandraka. Akan te-
tapi sebelum si Muka Macan itu
beranjak keluar ruan-
gan, sudah terdengar suara
tertawa terkekeh diluar ge-
dung.
"Heheheheheh... heheh...
Aku sudah datang,
Adipati...!" Dan sesosok
tubuh telah berkelebat masuk.
Ternyata seorang kakek berjubah
mewah berwarna
kuning gemerlapan. Lengannya
mencekal sebatang
tongkat bergagang perak. Pada
bibirnya terselip seba-
tang pipa terbuat dari gading
gajah, yang masih menge-
pulkan asap. Sang kakek ini
sudah mengambil tempat
duduk di kursi, berhadapan
dengan sang Adipati Rama
Sepuh.
"Aku sudah tahu akan
kerusuhan itu..." Ujar
sang Resi Parto Kendal.
Pemberontakan tidak hanya be-
rada di Kerajaan jajahan Swarna
Mega ini saja, akan te-
tapi juga di Kerajaan Swarna
Bumi dan Kerajaan Song-
go Langit!" Tutur sang
Resi, seraya menghisap pipanya.
"Hah!? Begitukah
Resi...?" Sentak Adipati Rama
Sepuh dengan belalakkan matanya.
Sang Resi cuma
manggut-manggut.
"Heheheh... tenanglah
Adipati! Permaisuri Ratu
Kerajaan PUGAR ALAM tentu takkan
membiarkan hal
ini... !" Sambung sang Resi
Parto Kendal.
"Apakah tak sebaiknya aku
bergabung dengan
dua saudaraku di Dua Kerajaan
itu?" Bertanya Adipati
Rama Sepuh, meminta pendapat
sang Resi. Akan tetapi
tiba-tiba sudah terdengar suara
tertawa cekikikan, kali
ini adalah suara wanita yang
terdengar mengikik.
"Hihihi.... hihi.... sudah
terlambat, sobat Tu-
menggung! Peperangan sudah
berkecamuk! Pemberon-
takan di dua Kerajaan itu sudah
di mulai. Orang-
orangmu sudah tinggal menunggu
kematiannya saja!"
BRAKK...! Tiba-tiba atap genting
di atas ruang
pertemuan gedung Kadipaten itu
sudah berlubang be-
sar. Dan serpihan-serpihan
genting meluruk berjatu-
han. Tentu saja hal itu membuat
terperanjat ketiga ma-
nusia yang tengah berunding
dibawahnya. Serentak
berlompatan untuk menyingkir.
Dan melayanglah seso-
sok tubuh, dari lubang menganga
di atap wuwungan
itu. Ringan sekali gerakannya,
tahu-tahu sudah berdiri
di hadapan mereka sesosok wanita
tua alias nenek-
nenek.
"Bikhu SOKALIMA ....!"
Tersentak ketika Resi
Parto Kendal melihat siapa yang
datang. Akan tetapi
sang Resi cepat-cepat merubah
sikap jumawa, menutu-
pi rasa terkejutnya. Sementara
hatinya diam-diam men-
geluh. Haii! Mau apa jauh-jauh
nenek peot penghuni
puncak Ratawu ini datang
kemari...?
"Hihihi... Resi Palsu! Kau
masih ingat padaku?"
Berkata si nenek dengan suara
dingin. Sepasang ma-
tanya memancar tajam menatap
wajah orang.
"Sukurlah kalau demikian!
Hm, ARYA RUDITA
alias iblis SILUMAN SUNGAI KUNING... dan alias
SILUMAN NAGA BUNTUNG...!
Hihihi.... namamu ba-
nyak sekali. Dan kini adalah
Resi Parto Kendal! Wah,
wah, wah...! Bukan main!
Hihihi... akan tetapi seribu
kali kau ganti nama dan julukan,
nyatanya aku masih
bisa mencarimu! Kau tentu
menyangka aku takkan tu-
run gunung lagi sejak menjadi
pertapa di puncak Rata-
wu!
Berdirinya Kerajaan Pagar Alam
itulah yang
mengundang aku meninggalkan
puncak Gunung Rata-
wu! Sekalian mencarimu! Bukankah
dendam diantara
kita belum terselesaikan?"
Ujar si nenek yang terus nye-
rocos bicara seperti tak ada
putusnya. Akan tetapi tam-
paknya Resi Parto Kendal tak
merasa jeri. Bahkan men-
gekeh tertawa.
"Heheheheh.... sukurlah
kedatanganmu di saat
luka dalam yang kuderita telah
sembuh! Tentu ilmu
yang kau miliki semakin hebat
Bikhu Sokalima? Sela-
mat berjumpa lagi...dan ah, kau
masih cantik walaupun
sudah nenek-nenek peot...!"
Seraya berkata Resi Parto
Kendal bungkukkan tubuh menjura.
"Hihihi... tingkahmu masih
seperti berandal be-
rangkat birahi saja, Arya
Rudita. Tak usah pakai peng-
hormatan segala...!" Seraya
berkata si nenek kibaskan
lengannya pelahan. Akan tetapi
pada saat itu telah ter-
jadi satu benturan tenaga dalam
yang luar biasa. Kare-
na disaat Resi Parto Kendal
membungkuk, telah mengi-
rim serangan tenaga dalam
menghantam si nenek pun-
cak Ratawu itu. Segelombang
angin dahsyat menyam-
bar ke arah perut. Akan tetapi
dengan kibaskan lengan-
nya, ternyata si nenek bergelar
Bikhu Sokalima itu telah
memakai serangan halus yang tak
kelihatan itu.
DHESSS...! Satu benturan keras
terdengar, dis-
ertai mengepulnya uap putih dan
hitam yang bergulung
menjadi satu. Tampak tubuh si
nenek puncak Ratawu
itu terhuyung dua tindak. Dan
sang Resi Parto Kendal
terdorong ke belakang sampai
tiga tindak. Terkejut sang
Adipati Rama Sepuh. Pada
kesempatan itu satu lirikan
kilat dari sepasang mata Resi
Parto Kendal telah mem-
buat sang Adipati itu mengerti
kalau lirikan itu tanda
isyarat padanya. Diam-diam
Adipati ini telah kerahkan
ajiannya. Tampak bibirnya
komat-kamit membaca man-
tera. Tiba-tiba dia sudah
keluarkan bentakan menggele-
dek.
"Nenek tua! Kau
berlututlah! Kau telah lancang
masuk kekadipaten dan membuat
keonaran...! Berlutut-
lah, agar aku dapat meringankan
dosamu!" Terkejut
Bikhu Sokalima. Suara bentakan
itu ternyata telah
mempengaruhi syarafnya. Seketika
tampak perubahan
wajah si nenek, yang tampak
pucat pias... Di luar kesa-
darannya sepasang kakinya
tahu-tahu terasa lemah,
dan sudah menekuk untuk segera
berlutut. Akan tetapi
satu bisikan halus telah
menyusup ke telinganya. Aiii....
sungguh dunia sudah terbalik.
masakan orang yang le-
bih tua mau sujud di hadapan
bocah kemarin sore?
Terkejut Bikhu Sokalima. Entah
suara siapa
yang telah menyadarkan dirinya
dari pengaruh dahsyat
yang menyerang otaknya itu.
Tiba-tiba si nenek telah
kerahkan kekuatan batinnya untuk
menolak. Tiba-tiba
dia sudah membentak keras.
"Tidak! Kaulah yang
seharusnya sujud padaku,
bocah edan...!" Berbareng
dengan itu, dengan satu ke-
kuatan dahsyat si nenek telah
menyentakkan tubuhnya
untuk kembali bangkit. Dan dia
sudah terbebas dari
pengaruh itu. Akan tetapi pada
detik itu tongkat Resi
Parto Kendal telah menyambar
deras, dibarengi hanta-
man sebelah telapak tangannya.
Inilah telapak tangan
palsu yang terbuat dari
perunggu, dan sudah direndam
racun. Dua serangan itu membuat
Bikhu Sokalima ter-
kesiap. Namun dengan miringkan
kepalanya, serangan
tongkat yang dahsyat itu lewat.
WHUUK....! DHESSS...! Akan tetapi hantaman
telapak tangan manusia itu sukar
dielakkan, terpaksa
sebelah lengannya dipakai
menangkis. Akan tetapi aki-
batnya si nenek menjerit kaget.
Seketika tubuhnya su-
dah terlempar keluar Pendopo
sampai delapan tombak.
Ketika bangkit berdiri, Bikhu
Sokalima meringis kesaki-
tan, karena sebelah lengannya
telah lumpuh. Terkejut si
nenek ini melihat sebelah
lengannya sebatas siku ber-
warna kehitaman. Tahulah dia
kalau telah terkena ra-
cun.
"Heheheh... nenek peot!
Kini kau sudah bukan
tandinganku lagi. Sebaiknya kau
menyerah dan berga-
bung dengan kami. Mudah-mudahan
Adipati akan
mengampuni kesalahanmu...!"
Berkata sang Resi Parto
Kendal yang telah melompat
keluar. Kemudian disusul
dengan berkelebatnya tubuh
Adipati Rama Sepuh dan si
Muka Macan.
"Bedebah! Kau terlalu bermulut
besar Arya Ru-
dita! Siapa sudi bergabung
dengan anak buah Kerajaan
Setan...!" Teriak Bikhu
Sokalima, seraya gerakkan len-
gannya menotok sebelah atas
lengannya yang keracu-
nan. Dengan begitu darah beracun
segera terhenti un-
tuk tidak menyebar keseluruh
tubuh.
Diam-diam dalam hati si nenek
ini mengeluh.
Celaka aku lupa kalau dia telah
mengganti lengannya
yang buntung itu dengan tangan
palsu dari perunggu...!
Sementara beberapa pengawal
Kadipaten telah mengu-
rung sekitar tempat itu. Mereka
terkejut, karena tak
mengetahui datang mana datangnya
musuh yang telah
masuk menyelinap ke dalam gedung
Kadipaten.
"Hm, serahkan nenek tua
renta ini padaku Re-
si.....'" Tiba-tiba Adipati
Rama Sepuh sudah melompat
ke hadapan Bikhu Sokalima. Akan
tetapi pada saat itu
terdengar keras, disusul dengan
munculnya Tumeng-
gung KUTUT MAJA.
"Parto Kendal! Manusia
busuk ...! Tak kukira
manusia yang kuanggap sahabat
dan kulindungi, ter-
nyata adalah manusia yang
hatinya beracun!" Teriak
Kutut Maja. Sang kakek ini
menatap Resi Parto Kendal,
dengan tatapan mata berapi-api.
"Ternyata belakangan baru
kuketahui bahwa
kaulah yang menyebabkan
kehancuran keluarga saha-
batku bernama PAMUJI...!
Istrinya kau perkosa, lalu
kau bunuh setelah kau puas
menyiksanya. Kemudian
menyusul kematian Pamuji
sendiri di tangan mu! Ah,
betapa aku menjadi menyesal
setengah mati, justru
orang yang kulindungi....!
Seorang manusia iblis yang
telah membunuh sahabat baikku
itu!" Terasa suara ka-
kek tua bernama Kutut Maja ini
mengandung penyesa-
lan luar biasa. Segera teringat
dia ketika membawa
WIBISANA ke puncak gunung
Argasomala untuk dis-
erahkan pada kakak kandungnya
yang bernama Kutut
Praja Setha.
Ketika beberapa tahun yang lalu
dia mengun-
jungi puncak Argasomala,
ternyata tempat itu telah
musnah menjadi abu. Tak
diketahui kemana lenyapnya
sang kakak dan juga bocah yatim
piatu bernama Wibi-
sana itu. Yang melaporkan
kejadian itu adalah seorang
pembantu keluarga Pamuji
sendiri. Yaitu seorang laki-
laki pengurus kuda. Ketika
terjadinya peristiwa itu dia
diancam akan dibunuh bila berani
membuka mulut.
Karena ketakutan si laki-laki
pengurus kuda menghi-
lang entah kemana.
Beberapa tahun kemudian
laki-laki itu datang
ke gedung kediaman Tumenggung
Kutut Maja untuk
meminta pekerjaan. Dan dari
penuturan si pengurus
kuda itulah di ketahui siapa
adanya Parto Kendal. Ka-
rena saat Parto Kendal
mengunjungi Gedungnya, si
pengurus kuda yang telah
diterima bekerja padanya itu
segera mengenali wajahnya.
"Kedatanganku bukan dengan
urusan saha-
batku itu saja. Akan tetapi
tentu saja untuk menumpas
kaki tangan Kerajaan PUGAR ALAM,
yang telah jelas-
jelas mau menguasai kekuasaan di
seluruh Pulau Jawa
ini!" Berkata Tumenggung Kutut
Maja dengan suara
dingin dan tegas.
Tak perlu banyak bicara Kutut
Maja! Kau berada
di wilayah kekuasaan Kerajaan
Pugar Alam. Dan keda-
tanganmu cuma mengantarkan
kematian!"
"Pengawal! Mengapa kalian
melongo saja! Bunuh
manusia pengacau ini!"
Teriak Parto Kendal seraya me-
nyapu pandangan pada para
pengawalnya yang telah
mengurung tempat itu. Serentak
sudah terdengar sua-
ra-suara bentakan keras, disusul
menerjangnya bebe-
rapa pengawal Kadipaten dengan
senjata-senjata telan-
jang.
"Keparat....! Kau
benar-benar memandang ren-
dah padaku Parto Kendal?"
Tumenggung Kutut Maja
berteriak marah. Lengannya telah
bergerak mencabut
senjatanya sebuah tombak pendek
bercabang dua dari
belakang punggungnya. Dan sekali
tubuhnya berkele-
bat, tiga pengawal Kadipaten
roboh terjungkal dengan
diiringi teriakan kematian.
Karena leher dan dada me-
reka telah terpanggang senjata
sang Tumenggung tua
ini. Yang lainnya seketika
mundur ketakutan. Melihat
demikian Resi Parto Kendal
perdengarkan bentakan ke-
ras, dan sudah menerjang dengan
senjata tongkatnya.
WHUK! WHUKK....! TRANG....!
Tiga rangkaian serangan Parto
Kendal berhasil
dielakkan Kutut Maja, dan
serangan terakhir mendapat
sambutan tangkisan senjata
tombak bercabangnya.
Sementara Adipati Rama Sepuh
menerjang si nenek
puncak Ratawu yang mendapat
sambutan dengan sege-
ra. Kali ini Bikhu Sokalima
harus hati-hati menghadapi
serangan tenaga batin yang
sewaktu-waktu digunakan
lawan. Namun masih sempat nenek
itu memperingati
Tumenggung Kutut Maja.
"Awas, hati-hati dengan
tangan kirinya, Tu-
menggung...!"
"Aku sudah mengetahui nini
Bikhu! Terima ka-
sih atas peringatanmu!"
Berkata Kutut Maja seraya len-
gannya menghantam batok kepala
sang Resi.
WHUTT....!
Serangan itu disusul dengan berkelebatnya
tom-
bak pendek bercabang dua
ditangan kanannya.
TRANG...! Lagi-lagi terjadi
benturan kedua senjata me-
reka. Kali ini Kutut Maja telah
gunakan dengan tenaga
dalam lebih dari separuh,
membuat tubuh Arya Rudita
alias Parto Kendal itu terhuyung
tiga-empat tindak. Ke-
sempatan ini dipergunakan sang
Tumenggung untuk
melompat menerjang dan hantamkan
lagi senjatanya.
TRANG....!
Lagi-lagi Parto Kendal luput
dari serangan, dan
sudah pergunakan lagi tongkatnya
untuk
menangkis. Akan tetapi tenaga
dalamnya memang be-
rada setingkat di bawah Kutut
Maja. Kembali tubuhnya
terhuyung.
***
SEMBILAN
BHUK...! Satu hantaman telak
dari pukulan Ku-
tut Maja mengenai dada Parto
Kendal. Aneh! Laki-laki
tua itu tak menangkis, akan
tetapi bersama dengan itu
lengannya telah bergerak
menghantam ke arah selang-
kangan lawan. Untunglah Kutut
Maja waspada, tom-
baknya berputar dengan cepat,
menangkis serangan.
PRRAKKK....!
Memekik Parto Kendal ketika
lengan palsunya
terhantam putus. putaran tombak
Kutut Maja tidak
berhenti di situ saja, akan tetapi terus menerjang ke
arahnya. Sang Resi ini memang
mempunyai taktik ber-
tarung yang sudah berpengalaman.
Di saat Kutut Maja
hantamkan lengannya, sengaja dia
tak mengelak, kare-
na mengharap dapat memukulkan
telapak tangan pe-
runggunya menghabisi nyawa
lawan, yaitu dengan
mengerahkan kebagian alat vital
Kutut Maja. Dengan
mempergunakan ilmu memberatkan
tubuh dan salur-
kan tenaga dalam ke arah dada,
membuat tubuhnya tak
bergeming.
Akan tetapi dia salah
perhitungan. Tak di sang-
ka Kutut Maja mempunyai sepasang
mata yang tajam.
Nalurinya yang peka membuat dia
dapat menangkis se-
rangan colongan itu dengan
putarkan tombaknya. Bah-
kan berhasil membabat putus
lengan palsunya.
Di saat bahaya maut mengancam,
karena putaran tom-
bak bercabang Kutut Maja
menyerbu ke arahnya, saat
itulah terdengar bentakan keras.
"Tahan...!" Itulah
suara Adipati Rama Sepuh.
Bentakan itu mengandung tenaga
batin yang kuat.
Membuat Kutut Maja melengak, dan
kena terpengaruh.
Tanpa disadari hantaman yang
sedianya sudah dis-
iapkan mengarah batok kepala
lawan, seraya tertahan.
Bahkan dia sudah melompat mundur
dua tombak.
Satu Kedipan mata Adipati ini
membuat si Muka
Macan mengerti isyarat itu. Dia
berada di belakang Ku-
tut Maja sekitar satu tombak.
Sekejap dia sudah lontar-
kan dua buah pisau belati yang
tergenggam di kedua
tangannya. Cepat sekali
meluruknya dua senjata itu.
Dan Kutut Maja yang dalam
keadaan lengah tak me-
nyadari bahaya. Akan tetapi pada
saat itu telah berkele-
bat sebuah bayangan merah.
Dan... TRAKK....!
Kedua buah belati itu terpental
ke udara. Terke-
siap Kutut Maja yang baru
menyadari bahaya ketika dia
putarkan tubuh melihat si Muka
Macan berada dibela-
kangnya. Sekejap masih
dilihatnya dua buah pisau be-
lati yang melayang di udara...
Sekonyong-konyong sebuah
bayangan merah
melesat ke atas dan menyampok
dua belati itu. Cepat
sekali meluruknya kedua belati
itu, tahu-tahu si Muka
Macan perdengarkan jeritannya.
Lalu tubuhnya berkelo-
jotan bagai ayam disembelih.
Sesaat sudah terlempar
tak bernyawa lagi. Ternyata
kedua belati miliknya itu
terhujam menembus leher dan
punggungnya. Terperan-
gah Adipati Rama Sepuh. Namun
cuma sekejap, karena
dia harus melompat menghindari
serangan si nenek
puncak Ratawu, yang sambarkan
tongkat ke kepalanya.
PLAK! Lengannya bergerak
menangkis... Dan dengan
berteriak keras si Adipati ini
lambungkan tubuhnya me-
lompat. Kedua lengannya bergerak
saling susul mener-
jang Bikhu Sokalima.
"Kau berangkatlah ke
Akhirat, nenek keparat...!"
Bentakannya disusul lagi dengan
terjangan-terjangan
sepasang kakinya. Terkejut nenek
tua ini. Beberapa se-
rangan masih dapat dielakkan
tapi sambaran kaki Adi-
pati Rama Sepuh ini terpaksa disambuti
sebelah len-
gannya yang memegang tongkat,
karena sebelah len-
gannya telah lumpuh.
DHESS....! Terjangan kaki
Adipati Rama Sepuh
teramat cepat dan keras, membuat
si nenek puncak Ra-
tawu tak dapat mempertahankan
tongkatnya lagi. Seke-
tika sudah terlepas dari
cekalannya. Saat itu satu han-
taman lengan lawan sudah tak
mampu dihindarkan la-
gi. Akan tetapi pada saat itu
terdengar suara ringkik
kuda. Dan...."
BLUK...! Tubuh Adipati Rama
Sepuh terlempar
bergulingan. Ketika dia bangkit
lagi jadi terkejut, karena
yang menghajar pantatnya tak
lain dari seekor kuda.
Entah dari mana munculnya
tahu-tahu seekor kuda
berbulu hitam sudah ada di situ.
Saat dia terkesima itu-
lah, sebuah bayangan merah telah melayang ke atas
punggung kuda. Dan sekejap
kemudian diatas pung-
gung kuda telah duduk sesosok
tubuh berjubah merah
berwajah mengerikan mirip
tengkorak, yang hitam le-
gam.
"Siapa kau...?!"
Bentak Adipati Rama Sepuh,
yang sudah melompat berdiri.
"Akulah yang akan mengirim
nyawamu ke Nera-
ka BRAJA PATI...!" Bentak
sosok tubuh itu dengan sua-
ra yang seperti menembus ke
jantungnya.
"Kau... kaukah si
PENUNGGANG KUDA
SETAN...?" Tanya Adipati
Rama Sepuh, yang jadi terke-
jut karena si Muka Tengkorak itu
mengetahui nama as-
linya.
"Benar! Dan mungkin kau
masih ingat akan wa-
jahku ini....!" Berkata si
Penunggang Kuda Setan, seraya
tiba-tiba lengannya telah
bergerak membuka topeng
Tengkorak yang dikenakannya.
Selang sesaat suasana
menjadi hening mencekam. Akan
tetapi sudah terdengar
suara terkejut si Adipati Rama
Sepuh alias Braja Pati
ini.
"Kau... kau si bocah dungu
WIBISANA.....???"
Bukan saja Braja Pati yang
terkejut, akan tetapi Tu-
menggung Kutut Maja juga
terperanjat. Karena tak me-
nyangka kalau si penunggang kuda
hitam itu adalah
Wibisana. Yaitu si bocah
laki-laki, yang pada tiga belas
tahun yang silam di bawanya ke
Puncak Argasomala di
kediaman kakak kandungnya Kutut
Praja Setha. Kalau
Kutut Maja terkejut bercampur
girang, adalah Braja Pati
pucat pias wajahnya. Karena
seketika seperti berhada-
pan dengan hantu.
"Bukankah kau...
kau...???" Kata-katanya ter-
sumbat dikerongkongan. Karena
segera terlintas pada
benaknya ketika lima tahun yang
lalu di puncak Arga-
somala, dia bersama Dasa Mukti
dan Kala Butho telah
membunuh Wibisana dengan cara
yang mengerikan.
Yaitu kaki dan tangan Wibisana
diikat dengan tiga tam-
bang pad tiga ekor kuda. Lalu
bersama-sama mereka
menariknya, hingga tubuh
Wibisana terbelah menjadi
tiga bagian. Setelah itu mereka
membakar Pesanggra-
han di atas puncak Argasomala
itu.
Merasa berhadapan dengan hantu,
Braja Pati
segera merapal mantera. Seketika
tubuhnya lenyap dari
pandangan mata. Terkesiap Kutu
Maja. Sementara itu
dengan diam-diam Arya Rudita
alias Resi Parto Kendal
telah melarikan diri. Terkejut
Bikhu Sokalima, namun
terpaksa dia urungkan mengejar
mengetahui dirinya
sudah terluka. Kini sepasang
mata nenek itupun jadi
terbelalak mengetahui tiba-tiba
tubuh Adipati Rama Se-
puh menghilang dari pandangan
mata.
Akan tetapi itu saat itu sudah
terdengar benta-
kan keras si Penunggang Kuda
Setan. Lengannya berge-
rak menghantam!
BHUSSSS.....! Segelombang uap
putih meluncur
cepat ke arah dimana tubuh Braja
Pati melenyap. Ter-
dengar suara teriakan kaget. Dan
tahu-tahu sesosok
tubuh sudah terlempar
bergelimpangan. Sekejap saja si
Penunggang Kuda Setan telah
menyusulnya. Sang Kuda
Hitam melompat cepat ke arah
tubuh Braja Pati yang
sudah menampakkan diri lagi.
Dan.... SRET! Ditangan
Wibisana sudah tergenggam sebuah
pedang kayu.
"Kau takkan dapat lolos
lagi dari tangan Braja
Pati!" Bentak si Penunggang
Kuda Setan. Braja Pati ra-
sakan seluruh tubuhnya
kesemutan. Namun dia sudah
melompat berdiri seraya merapal
mantera lagi.
"Ah...?" Tersentak
Kutut Maja melihat pedang
itu, karena jelas itulah pedang
kayu milik kakak kan-
dungya. Dengan pedang itulah
sang kakak telah men-
dapat julukan si Pendekar Pedang
Kayu pada puluhan
tahun yang silam.
"Hahahahah .... Wibisana!
Kau kira aku takut
walau kau telah menjadi setan
setelah kubunuh mam-
pus?. Kali ini kau akan jadi
setan betulan yang tak da-
pat menjelma lagi!" Berkata
Braja Pati. Ternyata dia su-
dah mampu memulihkan
kekuatannya, bahkan pada
kedua lengannya telah tercekal
dua ekor ular hitam se-
besar ibu jari kaki.
"Kau hadapilah
ularku...!" Bentak Braja Pati, se-
raya bantingkan ular itu ke
tanah. Tiba-tiba terjadilah
keanehan. Kabut hitam
bergulung-gulung di hadapan si
Penunggang Kuda Setan. Sekejap
dua ekor ular raksasa
telah menjelma dari gumpalan
asap kabut hitam itu.
Kuda hitam tampak perdengarkan
ringkikannya hingga
melonjak berjingkrakan, seperti
takut. Akan tetapi sege-
ra si Penunggang Kuda Setan
sudah menenangkannya.
Sementara Kutut Maja dan Bikhu
Sokalima terperangah
melihat kejadian itu.
HOOOSSSY ....! HOOOSSSY....!
WHUT! WHUT! WHUUT....! Kedua
ekor ular rak-
sasa itu sudah menerjang
Wibisana, yang segera keprak
kudanya menghindar. Pedang
kayunya menabas... Akan
tetapi pada saat itu Braja Pati
sudah turut menerjang
mengirimkan tusukan senjatanya,
yaitu sebuah keris
yang berwarna merah. Entah sejak
kapan benda itu su-
dah tercabut dari serangkanya di
belakang punggung.
TRAKK...! Pedang kayu si
penunggang kuda Se-
tan telah bergerak menangkis.
Sementara kuda hitam-
nya melonjak menerjang dengan
kedua kakinya. Braja
Pati cepat lemparkan tubuhnya
kesamping. Sementara
kedua ular raksasa telah
julurkan lagi kepalanya me-
nerjang ganas. Namun kali ini
agaknya si Penunggang
Kuda Setan tak dapat mengelakkan
diri. Tubuhnya ter-
lempar dari atas kuda. Saat itu
Braja Pati sudah mem-
burunya dengan lompatan kilat.
Keris merahnya melun-
cur deras ke arah dada.
JROS...! Cepat sekali senjata
itu sudah terhujam
telak ke dada Wibisana.
Terkaparlah tubuh laki-laki be-
rusia dua puluh tahun itu tanpa
berkelojotan lagi. Ka-
rena keris merahnya mengandung
racun yang luar bi-
asa ganasnya.
"Hahaha... hahahaha...
ternyata cuma begitu sa-
ja kehebatan si kacung dungu!
Heh, akan kulihat apa-
kah kali ini kau mampu untuk
jadi setan untuk kedua
kali...!" Berkata Braja
Pati.
Manusia ini sejak berguru pada
si Dukun Sakti
alias si Dewi Setan Kemangmang,
telah menjadi seorang
yang sakti. Dan memiliki
bermacam ilmu sihir yang he-
bat menakutkan.
Kedua Ular Siluman itu kembali
mengecil lalu
melenyap. Sementara Kutut Maja
dan Bikhu Sokalima
jadi terperanjat melihat
kematian Wibisana yang telah
membuatnya bergirang dengan
kemunculannya lagi.
Walau merasa aneh. Karena
mendengar bahwa Adipati
Rama Sepuh alias Braja Pati itu
telah membunuhnya.
"Aha! Braja Pati jangan
bergirang dulu! Masakan
orang yang sudah mampus masih
kau bunuh juga!"
Tentu saja kata-kata itu membuat
Braja Pati jadi terpe-
ranjat. Karena si Penunggang
Kuda Setan masih tetap
tegak duduk di atas kuda
hitamnya dengan pedang
kayu di tangan. Ketika melihat
ke bawah dimana dia
barusan menghujamkan kerisnya,
ternyata yang tergele-
tak di situ tak lain dari mayat
si Muka Macan.
Bukan saja Braja Pati yang
terkejut akan tetapi
Kutut Maja dan si nenek puncak
Ratawu juga terkejut,
karena hal itu tak luput dari
matanya. Si Penunggang
Kuda Setan terbunuh tewas oleh
keris merah Braja Pati.
Akan tetapi nyatanya Wibisana
masih segar bugar bera-
da di atas punggung kuda
hitamnya.
Pucat pias wajah Braja Pati.
Akan tetapi dengan
menggerung keras, dia sudah
menerjang dengan keris
merahnya. Ketika bibirnya
membaca mantera, dari
ujung keris itu menyembur
segelombang api yang me-
nerjang ke tubuh si Penunggang
Kuda Setan. Akan te-
tapi dengan kibaskan pedang
kayunya, semburan api
itu mendadak lenyap. Dibarengi
dengan ringkikan kuda
hitamnya, pedang kayu Wibisana
meluncur deras ke
arah leher Braja Pati. Terkesiap
laki-laki ini. Namun
dengan sebat dia pergunakan
keris merahnya untuk
menangkis.
TRAK! Sekali hantam ternyata
keris Braja Pati
telah terpental entah kemana.
Dalam keadaan terkejut
itu Braja Pati seperti hilang
akal. Dia sudah balikkan
tubuh untuk melarikan diri. Akan
tetapi.....
***
SEPULUH
CRAT...! Satu pemandangan
mengerikan segera
terpampang didepan mata Kutut
Maja dan Bikhu Soka-
lima. Apa yang terjadi? Dengan
pekik mengerikan me-
nyayat hati sang Adipati Romo
Sepuh alias Braja Pati
hentikan langkahnya. Karena
tubuhnya telah terpang-
gang oleh pedang kayu si
Penunggang Kuda Setan, yang
telah melesat dari punggung kuda
hitamnya. Dan keja-
dian berikutnya adalah darah
segar menyemburat ke
udara, ketika si Penunggang Kuda
Setan menyontekkan
pedangnya. Sekejap kemudian
tubuh Braja Pati telah
terbelah dua, dari sebatas perut
sampai kepala.
BRUK...! Tubuh laki-laki itu
ambruk ke tanah
tak berkutik lagi. Berkubang
dalam genangan darahnya
sendiri. Kutut Maja dan Bikhu Sokalima terperangah
dengan mata membelalak.
Tumenggung tua ini sudah
beranjak mengham-
piri laki-laki si Penunggang
Kuda Setan.
"WIBISANA...! Benarkan
kau... kau bocah anak
sahabatku, bernama PAMUJI itu?
Tergetar suara Kutut
Maja, yang telah menatapnya
dengan sepasang mata
membelalak tak berkedip. Seperti
tak percaya pada pen-
glihatannya.
"Benar, Paman...! Aku bocah
yang malang itu.
Yang pernah kau antarkan ke
puncak Argasomala...!"
Berkata si Penunggang Kuda Setan
dengan suara haru.
Tampak setetes air bening
mengalir turun dari sudut
matanya.
"Ah, anak mas...! Betapa
hebatnya kau...
Teriak Kutut Maja dengan suara
berdesis. Selan-
jutnya laki-laki tua itu sudah
memeluk pemuda itu
dengan bercucuran air mata.
Sementara Bikhu Sokali-
ma segera tundukkan wajahnya.
Diapun jadi terharu
karenanya. Namun tiba-tiba nenek
puncak Ratawu ini
telah keluarkan suara keluhan,
dan roboh ke tanah.
Akibat banyak mengeluarkan
tenaga dan gerakan, toto-
kan yang telah digunakan
menghentikan darah beracun
dari luka di lengan nya telah
terbuka. Dan darah bera-
cun segera mengalir ke tubuhnya.
Terkesiap Kutut Maja melihat
nenek tua saha-
batnya itu roboh berdebuk.
Segera dia sudah lepaskan
pelukannya, dan melompat ke arah
Bikhu Sokalima.
"He? Kemana gerangan si
Adipati keparat itu?"
Desisnya tersentak. Rupanya dia
bara teringat akan Re-
si Parto Kendal, yang sudah
sedari tadi melarikan diri.
Sementara Wibisana telah pula
melompat ke dekat me-
reka.
"Ah? Celaka paman...! Dia
telah terkena racun
jahat Resi palsu itu!"
Berkata Wibisana. Kutut Maja tak
menjawab, namun lengannya sudah
bekerja cepat me-
notok ke beberapa bagian tubuh
Bikhu Sokalima, untuk
mencegah menjalarnya darah
beracun ke jantung. Lalu
ambil dua butir pil, dan
jejalkan ke mulut si nenek. Ti-
ba-tiba tubuh laki-laki tua ini
telah berkelebat masuk
ke dalam gedung Kadipaten. Tak
lama sudah keluar lagi
dengan membawa segelas air.
Cepat-cepat dia mem-
bungkuk, dan mengangkat tubuh si
nenek seraya me-
minumkan air dalam gelas.
Ternyata si nenek itu belum
lagi pingsan.
Segera meneguknya dengan lemah.
Pelahan Ku-
tut Maja merebahkannya lagi.
Tampak laki-laki Tu-
menggung ini pejamkan sepasang
matanya. Sebelah te-
lapak tangannya ditempelkan ke
bagian perut Bikhu
Sokalima, dan sebelah lagi
berada di atas dadanya.
Tangan yang berada di atas dada
itu mengejang berge-
taran. Sedangkan yang menempel
di perut si nenek ke-
pulkan uap putih. Ternyata dia
sedang berusaha me-
nyalurkan tenaga dalamnya ke
tubuh si nenek puncak
Ratawu itu untuk mengusir racun.
Wibisana tersenyum melihatnya.
Ada harapan
dapat tertolong! Pikir si
Penunggang Kuda Setan ini.
Akan tetapi tiba-tiba wajah
pemuda ini menegang. Ke-
palanya berpaling ke kiri dan
kanan. Sepasang matanya
menyebar ke beberapa arah.
"Bedebah! Iblis pembunuh
kedua orang tuaku
itu tak boleh lolos lagi hari
ini...!" Desis Wibisana.
"Paman, aku harus segera
pergi menyusul Resi
palsu itu untuk membalas dendam
pati!"
Berkata Wibisana. Dan tanpa
menunggu jawa-
ban juga tak perlu menunggu
jawaban sang Tumeng-
gung itu karena dia tahu orang
tua itu sedang berusaha
keras menolong Bikhu Sokalima.
Wibisana sudah ber-
kelebat melompat ke atas
punggung kudanya. Tak lama
terdengar suara ringkik sang
kuda hitam yang sekejap
sudah mencongklang pesat bagai
deru angin tanpa me-
nimbulkan suara tampak kakinya.
Sesaat si Penung-
gang Kuda Setan telah melenyap.
Diam-diam Kutut Ma-
ja telah melihat kejadian itu,
karena matanya sedikit
terbuka.
"Ah...!? Apakah dia telah
mewariskan ilmu dari
Kitab Pusaka Pulau Tengkorak
Hitam...?"
Desisnya pelahan. Luar biasa...!
Gerakannya ba-
gaikan siluman! Sentak hatinya.
Bibirnya menampak-
kan senyum. Akan tetapi hatinya
membatin. Ah, entah
kemanakah gerangan kakang Kutut
praja Setha .... Ka-
lau dia yang telah mengajarkan
ilmu dalam kitab yang
telah diwariskan pada bocah itu,
tentu dia masih hidup!
"Bocah itu memang patut
dijuluki si Penunggang
Kuda Setan. kuda dan
penunggangnya sama-sama aneh
dan menakjubkan! Semoga dendam
bocah itu dapat ce-
pat terbalaskan!" Gumamnya
lirih. Dan terdengar laki-
laki tua itu menghela napas
panjang. Ternyata usa-
hanya menyembuhkan Bikhu
Sokalima membawa hasil
memuaskan. Wanita tua dari
puncak Ratawu itu sudah
buka kelopak matanya. Tak lama
tubuhnya mulai ber-
gerak-gerak, dan dengan mengeluh
lirih, dia sudah be-
rusaha untuk bangkit duduk.
"Hehehe... sukurlah kau
bisa tertolong, nini Bik-
hu!" Berkata Kutut Maja.
Nampak wajah si nenek yang
pucat itu pelahan mulai berobah
merah. Bahkan sebe-
lah lengannya yang lumpuh dan
kehitaman sudah da-
pat menipis. Sementara sejak
tadi uap hitam terus me-
rembus keluar dari telapak
tangannya.
"Ah! Kau hebat sekali
Tumenggung! Terima ka-
sih atas pertolonganmu...!"
Sang Tumenggung tua ini
cuma tersenyum seraya berkata.
"Cuma sedikit kepandaian yang kupunyai, ke-
sembuhan mu hakekatnya adalah
Kebesaran Tuhan ju-
ga yang masih memberi kau umur
panjang, Nini Bikhu!"
Nenek puncak Ratawu itupun
manggut-manggut den-
gan tersenyum.
Ketika matahari mulai condong ke
arah barat,
kedua tokoh tua itu sudah
berkelebat pergi tinggalkan
tempat itu. Ternyata Tumenggung
Kutut Maja telah
mengajak Bikhu Sokalima menuju
ke lembah SOKA un-
tuk bergabung dengan para
pejuang lainnya.
***
Kita ikuti langkah-langkah Roro
Centil.... Sulit
untuk menerka kemana tujuan si
Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan itu. Ternyata sejak
berpisah dari si Penung-
gang Kuda Setan, Roro tidak
terus menuju ke lembah
SOKA. Akan tetapi diam-diam
terus mengikuti kemana
perginya pemuda berkuda itu,
yang diketahui memang
mencari musuh-musuh besarnya.
Rasa penasaran un-
tuk bisa. mengetahui wajah
dibalik topeng Tengkorak
laki-laki misterius itu akhirnya
terbuka juga.
Ketika tengah terjadi
pertarungan di halaman
gedung Kadipaten Kerajaan Swarna
Mega, ternyata Roro
sudah mengetahui, akan tetapi
tak memunculkan diri.
Sengaja ingin melihat kehebatan,
serta mengetahui wa-
jah laki-laki bertopeng
tengkorak itu. Dan memang ak-
hirnya Roro segera dapat melihat
jelas ketika si Penung-
gang Kuda Setan membuka
topengnya di hadapan mu-
suh besarnya.
Akan tetapi ketika Resi Parto
Kendal melarikan
diri di saat si Penunggang Kuda
Setan tengah bertarung
melayani Adipati Romo Sepuh
alias Braja Pati, yang ter-
nyata adalah salah seorang dari musuh
besarnya, Roro
segera menguntitnya. Ternyata
Resi Parto Kendal yang
tak lain dari Arya Rudita yang
pernah bergelar si Silu-
man Sungai Kuning itu tak
berlari jauh, akan tetapi
menonton pertarungan dari tempat
persembunyiannya.
Kemunculan Tumenggung Kutut Maja
dan si Penung-
gang Kuda Setan membuat nyalinya
menjadi ciut. Apa-
lagi menyaksikan bahwa si
Penunggang Kuda Setan itu
tak lain dari Wibisana, yang
sudah jelas telah mewarisi
ilmu dari Kitab Pusaka Pulau
Tengkorak Hitam yang di
incarnya. Saat Braja Pati tewas
di tangan pemuda ber-
kuda itu, sang Resi segera
berkelebat melarikan diri
dengan tubuh kucurkan keringat
dingin.
"Eh, Resi...! Mau kemana
kau...? Mengapa ter-
buru-buru pergi?" Tiba-tiba
Roro sudah berkelebat
menghadang. Tentu saja sang Resi
Palsu ini jadi tersen-
tak kaget, karena tahu-tahu di
hadapannya telah berdiri
sesosok tubuh semampai berwajah
jelita.
"Siapa kau, bocah
perempuan...?" Bentak sang
Resi.
"Hihihi... namaku Roro
Centil! Tampaknya kau
ketakutan sekali melihat kemunculan
si Penunggang
Kuda Setan. Apakah dia musuh
besarmu...?"
"Perduli apa dengan
urusanku! Menyingkirlah
kau bocah...!" Bentak Resi
Parto Kendal dengan men-
dongkol, namun dengan hati
kebat-kebit. Apakah bocah
centil inipun salah seorang
musuh? Gerakannya ringan
sekali, tentu berilmu tinggi...!
Gumam hatinya.
"Hihi... aku tak akan pergi
menyingkir sebelum
kau jawab pertanyaanku!"
Berkata Roro dengan berto-
lak pinggang.
Mata Resi ini melotot karena
gusarnya. Akan te-
tapi hatinya memikir. Hm kalau
kuladeni bisa-bisa aku
akan tertahan lebih lama lagi
disini...! Akan gagallah tu-
juanku untuk menyeberang ke
Istana Kerajaan Pugar
Alam. Aku harus secepatnya
menyeberang kesana, se-
belum terlambat. Aku yakin Ratu
Permaisuri SINOM
SARI dan Baginda Raja Nara Syiwa
akan dapat memper-
tahankan Istananya, dan
memusnahkan para pembe-
rontak dari tiga Kerajaan
jajahannya! Berfikir demikian
Resi Parto Kendal alias Arya
Rudita ini segera memutar
otak untuk dapat lolos dari
daerah ini, secepatnya.
"Baiklah, aku akan jawab
pertanyaanmu, bocah
centil! Akan tetapi kau harus
pegang janjimu untuk le-
kas menyingkir bila telah
kujawab!" Ujarnya dengan su-
ara datar menahan kemendongkolan
hatinya.
"Baik...! Aku akan pegang
janji. Setelah kau ja-
wab pertanyaanku, silahkan kau
lewat dengan aman!"
Ujar Roro dengan serius.
"Si Penunggang Kuda Setan
itu adalah bekas
muridku! Dia telah mendurhakai
aku gurunya, dan
mencuri kitab Pusaka Pulau
Tengkorak Hitam dari tan-
ganku! Tentu saja bocah setan
itu adalah musuh besar-
ku...! Nah! Kau sudah mengerti
bukan? Aku tak dapat
menandinginya dengan ilmu yang
cuma segelintir pada-
ku ini....! Makanya aku terpaksa
melarikan diri, untuk
kelak membunuh mampus bocah
durhaka itu...!" Tutur
sang Resi berdusta.
"Oooh, begitu ....!"
Tukas Roro dengan manggut-
manggut.
"Sungguh jahat sekali
muridmu itu...!"
"Baiklah, aku akan
memberimu jalan! Tapi... eh,
tunggu dulu!" Teriak Roro.
Resi ini sudah mau beranjak
untuk melompat pergi, ketika
Roro menyingkir ke tepi
jalan yang akan dilalui.
"Apa maumu lagi, bocah
centil?" Tanyanya. Ter-
paksa dia tahan langkahnya.
"Boleh aku tahu kemana
tujuanmu...?" Tanya
Roro sambil garuk-garuk
tengkuknya yang
gatal.
"Aku mau ke arah selatan...!"
Sahut sang Resi,
dan sambungnya lagi.
"Cukup dengan pertanyaanmu
itu! Apakah kau
mau mengingkari janjimu?"
"Hihihi.... ah, tidak!
Silahkanlah kau lewat..."
Ujar Roro nyengir. Tak ayal Arya
Rudita sudah kele-
batkan tubuhnya untuk berlalu
dengan cepat. Dan se-
bentar saja sudah lenyap dibalik
rimbunnya pepohonan
di atas bukit.
***
SEBELAS
Bocah perempuan yang genit dan
aneh!? Apa
maunya menanyakan segala tetek
bengek! Bagusnya dia
tak menyulitkanku...!"
Gumam Arya Rudita sambil per-
cepat langkahnya. Tak berapa
lama tempat yang dituju
sudah kelihatan. Itulah tepian
telaga berkabut, dimana
di tengah telaga berdiri Istana
Kerajaan PUGAR ALAM.
Wajah laki-laki tua ini
bersitkan sinar cerah. Karena tak
lama lagi dia akan segera tiba
di tempat yang aman.
Memikir demikian, segera makin
dipercepat tindakan
kakinya.
Akan tetapi laki-laki tua ini
sudah merandek
dengan wajah pucat. Apakah yang
dilihatnya?. Ternyata
di hadapannya telah berdiri
seekor harimau tutul sebe-
sar kerbau yang menghadang di
tengah jalan.
"Hah?! Edan! Dari mana
munculnya makhluk
ini....?" Desis Resi Parto
Kendal dengan mata membe-
liak. Karena tak mau berurusan
dengan si Raja Rimba
itu sang Resi segera berkelebat
ke lain arah. Akan tetapi
lagi-lagi sang harimau tutul
telah berada lagi di hada-
pannya menghadang jalan yang
akan dilalui.
"Keparat...!" Memaki
Arya Rudita, sementara ka-
kinya sudah melangkah mundur.
tetapi harimau tutul
itu tak mengejar. Cuma menggeram
menatap padanya.
Bahkan selonjorkan kaki di
tengah jalan, lalu menguap
memperlihatkan deretan gigi dan
taringnya yang runc-
ing-runcing.
Bolak-balik Resi itu mencari
jalan untuk bisa
meneruskan perjalanan ke tempat
tujuannya, akan te-
tapi selalu saja sang harimau
tutul itu menghadang ja-
lan. Lama-kelamaan resi ini jadi
tak sabar untuk segera
bertindak. Segera sudah
menerobos cepat disaat sang
harimau belum menampakkan diri.
Akan tetapi tiba-
tiba...
BUK!
Satu hantamam yang tak kelihatan
telah mem-
buat tubuhnya terlempar kembali
ke tempat semula,
dan jatuh bergulingan.
"Setan keparat...!"
Makinya. Akan tetapi keringat
dingin sudah keluar membasahi
sekujur tubuh. Dan
tampak harimau tutul itu sudah
berada di hadapannya
lagi menghadang jalan.
"Oh, habislah aku hari
ini...! Akan tertunda wak-
tuku untuk menyeberangi telaga!
Gumamnya dengan
wajah pucat pias. Setelah
diperhatikan baik-baik, yakin-
lah Resi ini kalau harimau tutul
itu bukan harimau bi-
asa.
"Pasti ada yang mengecohku
agar langkahku jadi
tertunda...! He? Jangan-jangan
perbuatan si perawan
centil itu? Apakah dia punya
piaraan makhluk harimau
siluman...?" Desisnya
tersentak. Baiknya aku cari jalan
lain, atau pura-pura aku kembali
lagi... Berkata sang
Resi dalam hati.
Dan dia sudah putar tubuh untuk
kembali me-
nuju ke arah utara. Kira-kira
sepenanak nasi, laki-laki
tua ini bergerak memutar,
setelah beberapa saat berke-
lebatan cepat dengan mengerahkan
ilmu larinya. Kini
dia menuju arah timur, yang
untuk kemudian merobah
arah menuju lagi ke selatan.
Di satu sisi bukit dicobanya
untuk berhenti den-
gan menyelinap kebalik batu,
mengamati ke sekitar
tempat. Tampaknya suasana aman,
karena tak ada ter-
lihat bayangan tubuh harimau
siluman itu. Akan tetapi
begitu Resi ini munculkan diri
sungguh terkejut bukan
kepalang, karena tiba-tiba
terdengar suara ringkik kuda
tak seberapa jauh dari situ.
"Ah!? Celaka...!"
Sentaknya dengan suara terge-
tar. Jelas itulah tanda-tanda
kemunculan si Penung-
gang Kuda Setan. Belum lagi dia
angkat kaki untuk me-
lesat dari situ, sudah terdengar
suara bentakan keras.
"Iblis keparat, pembunuh
ayah ibuku...! Jangan harap
kau dapat melarikan diri
lagi...!" Dan tahu-tahu di ha-
dapannya telah muncul seekor
kuda hitam dengan pe-
nunggangnya yang duduk tegak di
atas punggung kuda.
Jubah merahnya berkibaran
tertiup angin yang mem-
bersit dari arah perbukitan.
Resi Parto Kendal tak dapat
berkutik lagi. Akan
tetapi mana manusia itu mau
unjukkan diri takut
menghadapi si Penunggang Kuda
Setan? Bahkan sudah
lebih dulu menerjang ganas
dengan tongkat peraknya.
WHUKK....! WHUKK....! Walaupun sebelah len-
gannya sudah tak mempunyai
telapak lagi, ternyata
masih dapat digunakan untuk
menghantam lawan. Dan
tongkat peraknya digunakan
sebaik-baiknya. Dua se-
rangan beruntun dan terjangan
sebelah lengannya yang
buntung itu cuma lolos lewat
ketika si Penunggang Ku-
da Setan melompat setinggi lima
tombak. SRET...! Pe-
dang kayu si Penunggang Kuda
Setan telah tercabut ke-
luar dari serangkanya.
Satu bentakan keras dari pemuda
bernama Wi-
bisana itu sudah terdengar
menggeledek dibarengi ter-
jangan kilat ke arah leher Resi
Parto Kendal. Namun
dengan jatuhkan diri ke arah
samping dia masih mam-
pu menghindarkan diri.
Bahkan tongkat peraknya sudah
membersitkan
ratusan jarum berbisa menyerang
lawan. Saat itu Wibi-
sana dalam keadaan mengambang di
udara. Tampak
terkejut pemuda ini. Akan tetapi
pada saat gawat itu se-
rangkum angin telah menyambar
buyar jarum-jarum
maut itu. Dalam keadaan heran,
si Penunggang Kuda
Setan sudah kirimkan tabasan
kilat ke arah leher Resi
Parto Kendal alias si Siluman
Naga Buntung. Terperan-
gah Resi ini karena justru dia
sedang dalam posisi yang
tak menguntungkan.
DHESS...! Tanpa sempat berfikir
lagi, sang Resi
ini sudah lenyap suaranya.
Karena sekejap mata leher-
nya sudah tertabas putus.
Menggelindinglah kepala To-
koh Rimba Hijau yang pernah
membuat bermacam
keonaran itu. Darah menyemburat
memancar dari ba-
tang tubuhnya yang sudah tak
berkepala. Dan ambruk
ke tanah tanpa berkelojotan
lagi.
Angin pegunungan membersit
keras, meluruk-
kan daun-daun kering yang
berjatuhan ke tanah. Se-
saat antaranya tubuh pemuda itu
sudah melesat ke
atas punggung kudanya. Dan
kejap berikutnya sudah
tinggalkan tempat itu dengan
diiringi suara ringkik ku-
da.
Bersamaan dengan berkelebatnya
si Penunggang
Kuda Setan. Sebuah bayangan
melesat menyusul pe-
muda berkuda itu. Dialah Roro
Centil, yang barusan te-
lah membantu menghalau
jarum-jarum berbisa dengan
pukulan jarak jauhnya. Angin
pukulan dara Perkasa
Pantai Selatan itu telah
buyarkan jarum-jarum maut
Resi Parto Kendal, tanpa
diketahui lagi oleh si Penung-
gang Kuda Setan.
Kalau Wibisana melesat dengan
Kuda Siluman-
nya yang luar biasa itu, adalah
Roro Centil meluncur di
belakangnya dengan duduk di atas
punggung si Hari-
mau Tutul sahabatnya. Hingga
yang tampak adalah dua
bayangan kilat melesat cepat
bagaikan angin, melewati
bukit dan ngarai. Ke manakah
tujuan mereka? Ternyata
Roro telah kirimkan suara melalui tenaga dalamnya
yang hebat ke telinga pemuda
itu.
"Sobat Wibisana...! Apakah
kau mau menuju ke
lembah SOKA...?". Tentu
saja si Penunggang Kuda Se-
tan terkejut. Ketika itu juga
sudah hentikan lari ku-
danya. Tampak di belakangnya
sebuah bayangan me-
nyusulnya. Lalu berhenti pula di
hadapannya kira-kira
lima tombak di atas bukit itu.
Terperangah seketika Wi-
bisana melihat gadis ayu yang
belum lama dikenalnya
itu tengah duduk tegak di atas
punggung seekor hari-
mau tutul yang amat besar.
"Ah!? Kiranya anda... nona
Roro Centil...!" Roro
mengangguk sambil tersenyum,
lalu tepuk leher si ha-
rimau tutul untuk segera
mendekat ke tempat pemuda
itu. Tiba-tiba kuda hitam
Wibisana perdengarkan ring-
kikannya seraya melonjak-lonjak
mengangkat kedua
kaki depannya. Tampaknya seperti
takut melihat hari-
mau tutul di hadapannya itu.
Akan tetapi tak lama su-
dah dapat tenang kembali. Roro
tersenyum manis se-
raya berkata.
"Aiiih, agaknya kudamu baru
mengenal binatang
sahabatku ini...!"
"Biarlah mereka saling
kenal mengenal. Bukan-
kah kitapun baru saja saling
mengenal...?" Tukas Wibi-
sana.
"Benar juga katamu, sobat
Wibisana...! Eh, ya...
mengapa tak kau pakai topeng
setanmu lagi?" Tanya
Roro seraya melompat turun dari
punggung si Tutul.
"Kukira tak perlu lagi!
Musuh besarku sudah
kukirim nyawanya ke Akherat.
Walaupun masih dua
orang lagi yang belum
kutemukan...! Namun sudah cu-
kup puas hatiku. Dendam pati itu
sedikitnya telah ter-
balaskan...!" Berkata
Wibisana. Kemudian laki-laki in-
ipun melompat turun dari
punggung kuda hitamnya.
"Oh, ya...! Boleh aku tahu
siapa kedua orang lagi
musuh besarmu itu?" Tanya
Roro lagi. Sementara ma-
tanya melirik pada kedua
binatang Siluman yang tam-
pak saling mendekati. Akan
tetapi tampaknya mengerti
kalau mereka tak boleh
bermusuhan, seperti juga ke-
dua majikan. mereka. Dan tampak
saling tatap dengan
mengendus-ngendus hidungnya.
Wibisana menghela
napas, seraya sahutnya.
"Mereka adalah dua orang
yang pernah turut
menganiayaku di puncak
Argasomala. Juga manusia
yang telah merencanakan
pembunuhan pada guruku...!
Mereka bernama Kala Butho dan
Dasa Mukti...!". Roro
manggut-manggut mendengarkan penuturan
singkat
Wibisana.
"Ceritamu menarik sekali,
sobat Wibisana...! Ka-
lau kau tak keberatan,
ceritakanlah selengkapnya. Aku
juga ingin tahu siapa gerangan
gurumu itu. Muridnya
begini hebat, tentu gurunya
seorang yang amat sakti...!"
Ujar Roro.
"Ah, baiklah! Bagaimana
kalau kita bicara sam-
bil jalan saja?"
"Kudamu...?" Tanya
Roro. Wibisana tak menja-
wab, akan tetapi tepukkan
lengannya satu kali, dan se-
kejap si kuda hitam itu sudah
melenyapkan diri. Roro
pun segera beri isyarat pada si
Tutul. Dan binatang si-
luman itu segera tak menampakkan
diri.
Demikianlah... Wibisana segera
tuturkan secara
keseluruhan riwayat dirinya pada
Roro. Entah mengapa
pemuda ini tak mampu untuk
menolak. Senyum manis
dan kerlingan mata wanita Pantai
Selatan itu membuat
hatinya terasa bergetar aneh.
Saat itu seperti dia me-
nemukan sebuah jarum dari dasar
laut. Selama ini Wi-
bisana tak pernah mempunyai
sahabat wanita. Dan un-
tuk pertama kalinyalah dia jalan
dan mengobrol berdua
dengan wanita. Sementara Mentari
semakin condong ke
arah barat. Pantulkan sinar
merahnya dari balik perbu-
kitan, yang tampak indah sekali.
Kedua remaja berlaian jenis itu
tampak akrab
sekali, seperti sepasang Sejoli
yang tengah bercinta,
membicarakan soal asmara.
***
Untuk lebih lengkapnya kisah
Wibisana itu, ma-
rilah kita menengok pada
kejadian delapan tahun yang
silam di puncak Argasomala.
Yaitu pada kejadian le-
nyapnya mayat Ki KUTUT PRAJA
SETHA dan tewasnya
Wibisana yang dibunuh oleh
ketiga murid si Penghuni
puncak Argasomala itu sendiri.
Ketiga orang itu adalah
Braja Pati, Dasa Mukti dan Kala
Butho. Ternyata ketiga
laki-laki itu adalah murid Arya
Rudita alias si Siluman
Naga Buntung, yang pernah juga
bergelar si Siluman
Sungai Kuning.
Arya Rudita mengutus ketiga
muridnya untuk
berguru ke puncak Argasomala
adalah dengan satu
maksud, yaitu mencuri Kitab
Pusaka Pulau Tengkorak
Hitam. Namun tak membawa hasil.
Selama tiga tahun
mereka berguru pada Ki Kutut
Praja Setha. Akhirnya
ketiga murid murtad Ki Kutut
Praja Setha itu meminta
bantuan pada seorang Dukun Sakti
yang bergelar si
Dewi Setan Kemangmang, untuk
membunuh Ki Kutut
Praja Setha. Ketiga murid murtad
itu sudah melihat
bukti kematian guru kedua
mereka, di Pesanggrahan
puncak Agrasomala. Namun ternyata mayat kakek itu
lenyap disaat mereka menganiaya
Wibisana yang men-
jadi kacung atau pembantu di
Pesanggrahan itu.
Kemanakah lenyapnya mayat Ki
Kutut Praja Se-
tha?. Sebenarnya Ki Kutut Praja
Setha tidak tewas...!
Mayat yang dilihat ketiga murid
itu adalah sebongkah
batu. Dengan kesaktiannya yang
dimiliki, Kutut Praja
Setha berhasil menipu pandangan
Braja Pati, Dasa
Mukti dan Kala Butho. Kekuatan
Ilmu TELUH yang di-
pergunakan si Dewi Setan
Kemangmang itu telah me-
nemui sasaran yang salah. Karena
Kutut Praja Setha te-
lah berhasil menukar terlebih
dulu raganya dengan se-
bongkah batu yang telah
dipersiapkan. Naluri tokoh
sakti tokoh puncak Argasomala
itu teramat peka. Dia
telah mengetahui bakal terjadi
bencana yang menimpa
tempat tinggalnya.
Hingga bukan saja berhasil
menipu si tiga murid
murtadnya, akan tetapi menipu
juga si Dukun Sakti
Dewi Setan Kemangmang itu, yang
mengirimkan seran-
gan ilmu hitam melalui siluman
jahat! Dengan demikian
tahulah Kutut Praja Setha akan
watak ketiga muridnya
itu. Bahkan mengetahui pula
maksud tujuan mereka
sebenarnya, yang didalangi oleh
gurunya. Yaitu Arya
Rudita alias kakek tua sakitan
yang mengaku bernama
Parto Kendal.
Ilmu MALIH RAGA itu adalah salah
satu dari il-
mu yang berada dalam Kitab
Pusaka Pulau Tengkorak
Hitam, yang telah berhasil
dikuasai. Bahkan selanjut-
nya Kakek penghuni puncak
Argasomala itupun meno-
long Wibisana. Yaitu mengganti
tubuhnya dengan se-
buah ranting kayu. Tentu saja
Wibisana sendiri terke-
coh. Karena dari tempat persembunyiannya bersama Ki
Kutut Praja Setha, dia telah
saksikan tubuhnya sendiri
telah diikat dengan tiga utas
tambang, lalu ditarik tiga
ekor kuda hingga tubuh palsu
pemuda itu beserpihan
menjadi tiga bagian. Hampir saja
pemuda dungu itu
berteriak karena ngerinya.
Untung Ki Kutut Praja Setha
telah cepat menekap mulutnya.
Setelah membakar Pesanggrahan
ketiga murid
durhaka itu tinggalkan puncak
Argasomala, setelah ter-
lebih dulu mengacak-acak kamar
semadhi Kutut Praja
Setha mencari Kitab Pusaka.
Namun tak membawa ha-
sil.
Demikianlah kisah sebenarnya.
Hingga kemu-
dian Wibisana menjadi murid
tokoh sakti itu, dan me-
warisi ilmu dari Kitab Pusaka
Pulau Tengkorak Hitam.
***
DUA BELAS
Bau sedapnya daging panggang
yang berhembus
dari atas bukit itu
membangkitkan selera orang yang
kebetulan lewat tak jauh dari
bukit itu.
"Aih.... perutku mendadak
lapar...!" Berkata Ro-
ro seraya mengelus perutnya.
Hidungnya sudah men-
gendus bau sedap dari puncak
bukit itu.
"Eh, Wibisana! Bagaimana
kalau kita singgah ke
tempat orang memanggang daging
itu? Kukira dia tak
keberatan kalau kita memintanya
barang sedikit...!" Be-
lum lagi Wibisa menyahut, Roro
sudah berkelebat.
"Ah? Gadis aneh...!"
Gumam Wibisana dengan
gelengkan kepala. Sikap Roro itu
di nilainya seperti si-
kap seorang laki-laki saja. Akan
tetapi diapun memang
rasakan perutnya lapar. Mau tak
mau Wibisana segera
beranjak menyusul. Akan tetapi
tak lama segera mena-
han langkahnya. Dilihatnya Roro
sudah berdiri di hada-
pan seseorang yang sedang
membolak-balik panggang
daging kelinci pada sebuah api
unggun. Di belakang
orang itu ada sebuah gubuk kecil
beratap rumbia. Ca-
haya api pada senja yang kian
temaram itu jelas me-
nampakkan wajah orang itu. Dan
jantungnya jadi ber-
detak keras. Karena itulah wajah
Dasa Mukti. Wibisana
takkan lupa melihat mimik wajah
serta rambutnya yang
keriting itu.
"Hehehe... tampaknya kau
lapar, nona...! Apa-
kah kau ingin mencicipi daging
panggang kelinciku?"
Bertanya laki-laki itu. Wajahnya
tampak menyeringai
tersenyum melihat kedatangan
seorang gadis ayu yang
sebentar kemudian sudah berdiri
di dekatnya.
"Benar sekali dugaanmu,
paman...! Kalau kau
sudi membaginya sedikit padaku
untuk berdua aku
makan dengan sahabatku, aku amat
berterima kasih
sekali!" Ujar Roro dengan
tersenyum.
"Berdua...?" Tanya
orang itu yang ternyata me-
mang Dasa Mukti adanya. Cepat
sekali Dasa Mukti jela-
latkan matanya mengintari tempat
itu dengan pandan-
gan mata tajam. Akan tetapi tak
dilihatnya ada siapa-
siapa. Tentu saja, karena
Wibisana sudah pergunakan
ajian Halimunan untuk
melenyapkan diri.
"Siapa yang
datang...?" Tahu-tahu terdengar su-
ara dari dalam gubuk. Dan
sesosok tubuh sudah me-
lompat keluar. Ternyata seorang
laki-laki kekar yang te-
lanjang dada, menampakkan
bulu-bulu dadanya yang
lebat. Roro palingkan wajahnya
menatap pendatang itu.
Sepasang mat si laki-laki kekar
itu mendadak berbinar
menatap Roro, dan sudah rayapi
sekujur tubuh gadis di
hadapannya dari kepala sampai ke
kaki.
Saat itu telinga Roro sudah
menangkap suara
seperti orang terisak menangis,
dari dalam gubuk Roro
krenyitkan alisnya, dan tiba-tiba
sudah bergerak me-
lompat masuk ke dalam gubuk yang pintunya masih
menjeblak terbuka. Apakah yang
dilihat Roro?... Ternya-
ta seorang wanita tengah terisak
menutupi wajahnya di
atas pembaringan, dengan keadaan
tubuh telanjang bu-
lat. Serpihan-serpihan bajunya
berserakan disana-sini.
Tahulah dia apa yang telah
terjadi.
"Bedebah...!" Desis
Roro. Dan dia sudah melesat
lagi keluar dari dalam pondok.
Akan tetapi pada saat itu
dua bayangan tubuh telah
menyergapnya. Kalau saja
bukan Roro Centil yang saat itu
disergap mereka, tentu
dua laki-laki itu sudah berhasil
meringkusnya. Akan te-
tapi hati mereka jadi mencelos,
karena pada saat itu Ro-
ro justru pentangkan lengan dan
kaki dengan gerakan
cepat sekali.
BHUK! DHES....! Akibatnya kedua laki-laki itu
terlempar bergulingan. Seorang
kena tendangan kaki,
dan seorang lagi terkena jotosan
lengan Roro. Namun
dengan cepat kedua laki-laki itu
sudah melompat berdi-
ri. Ternyata keduanya tak lain
dari Kala Butho dan Da-
sa Mukti adanya. Keadaan gawat
akibat diserangnya
Kerajaan Swarna Bumi dan Songgo
Langit yang dikua-
sai oleh kedua tokoh ini,
sebagai orang-orang dari Kera-
jaan PUGAR ALAM, membuat mereka
menyingkirkan
diri mencari keselamatan. Karena
banyaknya kaum
Pendekar dari tokoh Rimba Hijau
yang datang bermun-
culan, membantu pemberontakan
rakyat kedua Kera-
jaan jajahan itu.
Tak dinyana akibat ulah mereka
yang brutal,
terpaksa harus berurusan dengan
Roro Centil sang
Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Bahkan saat itu juga
sudah terdengar suara ringkik
kuda... Dan muncullah
di tempat itu si Penunggang Kuda
Setan.
"Heh! Dasa Mukti! Kala
Butho...! Tak ada cara
baik lagi bagi kalian, selain
serahkan nyawa mu dengan
segera...!" Berkata
Wibisana yang sudah kenakan lagi
topeng tengkoraknya. Terperangah
Kala Butho dan Da-
sa Mukti melihat kemunculan si
penunggang kuda ber-
wajah Tengkorak yang muncul
dengan misterius. Tahu-
lah mereka kalau berhadapan
dengan tokoh berilmu
tinggi. Akan tetapi kedua
manusia ini memang tak gen-
tar untuk menghadapinya, karena
mereka juga punya
bekal ilmu hitam yang belum
dikeluarkan. Sementara
Roro Centil segera mengetahui
kalau kedua manusia itu
adalah justru musuh besar si
Penunggang Kuda Setan
yang tengah dicarinya.
"Bagus! Sementara mereka
bertempur, aku yang
makan besar!" Gumam Roro.
Sekaligus bergerak, Roro
Centil sudah menyambar panggang
daging kelinci di
atas bara api unggun.
"Hihihi... silahkan kau
lunasi hutangmu, Wibi-
sana! Aku mengisi perutku dulu
yang lapar...!" Berkata
Roro dengan mengerling.
"Silahkan nona Roro Centil!
Rasa laparku akan
segera hilang, bila sudah
membunuh mampus kedua
manusia durhaka ini ...!"
Sahut si Penunggang Kuda Se-
tan. Terperangah seketika Kala
Butho dan Dasa Mukti.
"Dia dia si Wibisana, kacung
dungu itu?" Desis Kala Bu-
tho, yang segera saling pandang
pada kawannya.
"Benar! Akulah Wibisana!
Kacung dungu Ki Ku-
tut Praja Setha! Kedatanganku
adalah untuk mewakil-
kan beliau mengirim nyawa kalian
ke Neraka!" Memben-
tak si Penunggang Kuda Setan.
Seraya berkata, si Pe-
nunggang Kuda Setan telah
lepaskan topengnya, Senga-
ja dilakukan agar membuat mereka
terkejut. Tampak
keduanya segera belalakkan mata
memandang wajah si
laki-laki penunggang kuda. Yaitu
wajah seorang pemu-
da yang menampak seperti wajah
orang dungu.
Seketika jantung mereka
menyentak kaget Kare-
na mengetahui Wibisana telah
tewas ditangannya. Otak
mereka tak mampu memikirkan
lebih lanjut, karena se-
gera Dasa Mukti memberi isyarat
untuk siap siaga. La-
ki-laki ini cepat cabut
senjatanya yang terselip di ping-
gang. Sebuah rantai berujung
sebuah tengkorak lengan
dari besi telah tercekal
ditangannya. Sementara Kala
Butho tercenung sejenak.
Senjatanya berada di dalam
gubuk. Tiba-tiba dia sudah
melompat. menerobos ma-
suk dari jendela.
BRAKK! Jendela kayu itu sudah
jebol diterjan-
gya. Terdengar suara menjerit
dari dalam. Itulah suara
wanita yang telah disekapnya,
yang jadi terkejut karena
melihat jendela terjebol
berantakan. Sekejap tubuh Kala
Butho sudah berada di dekatnya.
Lengan laki-laki itu
bergerak cepat menyambar sebuah
kapak bermata lebar
yang menyandar di sisi
pembaringan. Baru saja lengan-
nya mencekal gagang kapak,
sesosok tubuh sudah ber-
kelebat ke dalam.
"Hm! Cepatlah kau keluar
lagi!" terdengar suara
dingin di belakangnya. Ternyata
Roro Centil yang sudah
berkelebat masuk menyusul yang
mengkhawatirkan Ka-
la Butho melarikan diri. Juga
khawatir mencelakai si
wanita sekapan yang berada di
dalam pondok.
"Heh!?" Mendengus Kala
Butho. Sekejap dia su-
dah balikkan tubuh, dan
tiba-tiba langsung tabaskan
senjata yang dicekalnya.
WHUUT...! WWHUKK...!.
BHRAAKKKK...! Terpe-
kik Kala Butho, karena sekejap
tubuhnya sudah ter-
lempar keluar menjebol dinding
anyaman bambu pon-
dok itu, dan terlempar keluar.
Roro yang masih meme-
gangi tusukan panggang daging
kelinci di tangannya,
bahkan masih komat-kamit
mulutnya mengunyah, se-
ketika jadi terkejut karena Kala
Butho menyerangnya.
Namun dengan melompat, tabasan
maut itu lolos. Sece-
pat kilat kakinya lakukan
tendangan keras, hingga tak
ampun tubuh Kala Butho terlempar
keluar menjebol
dinding.
Dengan terhuyung laki-laki ini
bangkit berdiri.
Untung pedangnya tak terlepas
dari genggamannya.
Saat itu sudah terdengar
bentakan keras.
"Manusia-manusia laknat...!
Segera terimalah
kematianmu...!" Secercah
sinar berkelebat menghantam
tubuh Kala Butho. Laki-laki ini
tak sempat berkutik la-
gi. Kilatan itu begitu cepat
datangnya. Dan...
BHUSSSS... Sekejap tubuh manusia
ini telah
terbakar hangus diiringi
teriakan menyayat hati. Dan
roboh ke tanah untuk tidak
berkutik lagi.
Sekujur tubuhnya menghitam
hangus, hingga
mengelupas kulitnya menampakkan
tulang-tulangnya
yang memutih. Sesosok tubuh
telah berdiri di tempat
itu. Seorang tua berjubah putih
dengan kumis dan
jenggotnya yang panjang
menjuntai.
"Guru...!" Teriak si
Penunggang Kuda Setan ter-
sentak. Kiranya kakek tua renta
itu tak lain dari Ki Ku-
tut Praja Setha. Melihat siapa
yang datang, Dasa Mukti
terperangah dengan mata
membelalak. Wajahnya pucat
pias bagai mayat. Dan tubuhnya
sudah bergetaran he-
bat, dengan keringat mengucur di
sekujur tubuh. Senja-
tanya pun terlepas dari
tangannya. Dan dia sudah ja-
tuhkan diri berlutut di tanah.
"Guru...! Ampunilah kesalahanku...!"
Berkata
Dasa Mukti dengan suara Parau.
Nyalinya sudah ter-
bang seketika, karena dia tak
akan sanggup menyela-
matkan nyawanya lagi. Kemunculan
demi kemunculan
dari orang-orang yang telah
dibunuhnya bersama sau-
dara seperguruannya, juga melalui
tangan si Dukun
Sakti Dewi Setan Kemangmang,
membuat dia ketakutan
sekali. Seolah-olah berhadapan
dengan hantu para ar-
wah dari alam Akhirat.
"Kesalahanmu teramat besar,
Dasa Mukti Gu-
rumu si Arya Rudita dari Braja
Pati sudah mampus ter-
lebih dulu! Kini adalah
giliranmu menyusul mereka ke
Neraka! Kau tidak saja turut
melakukan kejahatan
membunuh Wibisana dengan cara
keji, akan tetapi telah
mengangkat guru pada si Dewi
Setan Kemangmang Du-
kun Sesat itu!
"Aku sudah mengetahui siapa
adanya Ratu Per-
maisuri SINOM SARI yang menguasai Kerajaan Setan
PUGAR ALAM! Tak lain dari Dukun
Sesat Dewi Setan
Kemangmang gurumu itu! Kau
adalah salah seorang
dari murid si wanita penghamba
iblis yang sesat! Otak-
mu sudah di pengaruhi
kejahatan...! Maka tak ada jalan
lain selain kau mati!"
Berkata Ki Kutut Praja Setha den-
gan suara dingin. Menggigil
seketika tubuh Dasa Mukti.
"Pilihlah diantara tiga!
Aku yang turun tangan
atau muridku Wibisana yang
mewakilkan mencabut
nyawamu! Ataukah kau membunuh
diri! Bentak Ki Ku-
tut Praja Setha. Ternyata
diam-diam tokoh sakti ini te-
lah mengikuti sepak terjang
muridnya si Penunggang
Kuda Setan. Sekalian untuk
menguji kemampuannya
menumpas para muridnya yang
murtad, yang meng-
hamba pada manusia iblis sesat
si Dewi Setan Ke-
mangmang. Karena tak sabar,
kakek puncak Argasoma-
la itu telah melenyapkan nyawa
Kala Butho sekalian
munculkan diri.
Akan tetapi pada saat itu
bersyiur angin keras
disertai hawa busuk yang memuakkan,
Dan...
WHUSSSS...! Tubuh Dasa Mukti
lenyap seketi-
ka. Terperangah seketika semua
yang berada ditempat
itu. Pada saat itulah terdengar
suara tertawa mengikik
menyeramkan.
"Hihihihihi... hik hik
hik... Kalian orang-orang
gagah! Silahkanlah datang menyeberang
ke Istana Kera-
jaan Pugar Alam di tengah TELAGA
BERKABUT! Aku
menanti kalian... Hihihi... hik
hik..." Tampaklah di atas
kepala mereka sejarak dua puluh
tombak seekor mak-
hluk menyerupai Kelelawar yang
bertanduk, terbang
melayang berputar-putar. Di atas
punggung makhluk
yang besarnya tiga kali tubuh
manusia itu duduk seo-
rang wanita cantik berpakaian
Kerajaan. Sementara pa-
da sepasang kaki binatang
Kelelawar raksasa itu ter-
cengkeram tubuh Dasa Mukti.
Setelah perdengarkan suara
tertawa mengikik
lagi, tubuh makhluk kelelawar
raksasa itupun melesat
ke angkasa... dan lenyap di
kegelapan awan hitam. Se-
jenak mereka terpukau... Roro
Centil masih menatap ke
arah makhluk itu melenyap.
Ketika menoleh pada Ki
Kutut Praja Setha, tampak orang
tua itu tundukkan ke-
palanya dengan menghela nafas.
Dan ucapannya datar,
namun penuh semangat.
"Heh...! Kita kaum Pendekar
memang saat ini
menghadapi banyak tantangan! Si
Dewi Setan Ke-
mangmang jelas sudah sesumbar.
Tentunya dia sudah
siap menghadapi segala
kemungkinan! Dan sudah tu-
gas kita menumpas manusia iblis
itu, demi terciptanya
kedamaian di bumi ini... !"
Roro Centil dan Wibisana sama
manggut-
manggut mendengar sabda kakek
sakti puncak Arga-
somala itu. Selang sesaat...
"Ah, aku lupa
memperkenalkan padamu, guru...!
Inilah sahabatku dari Pendekar
golongan putih. Dia
bernama RORO CENTIL."
Berkata Wibisana yang sudah
melompat turun dari kudanya. Dan
si kuda hitam pun
sudah melenyapkan diri. Kutut
Praja Setha naikkan alis
putihnya menatap pada Roro.
Lengannya sudah berge-
rak mengelus jenggotnya.
"Oh...!? Aku baru teringat
akan nama itu, apa-
kah nona yang terkenal dengan
julukan si pendekar
Wanita Pantai
Selatan...?" Bertanya si kakek
puncak
Argasomala.
"Hihi... begitulah orang
menggelariku, kakek Ku-
tut Praja Setha! Dan aku yang
muda ini sungguh amat
beruntung dapat berkenalan
dengan kau orang tua sak-
ti!" Berkata Roro seraya
menjura padanya. Roro me-
mang selalu menaruh hormat pada
orang-orang terten-
tu yang dikaguminya. Terutama
pada para tokoh Rimba
Persilatan Golongan Putih.
"Hahahaha... sudahlah! Tak
perlu banyak pera-
datan! Aku yang tua ini sudah jarang berkelana! Tak
tahu lagi kalau pada zaman ini
sudah muncul seorang
Pendekar Wanita, yang sepak
terjangnya banyak ku-
dengar sejak aku turun gunung
lagi!" Berkata Kutut
Praja Setha. Lalu melirik pada
muridnya.
"Hm, Wibisana! Kau masih
kurang cukup penga-
laman...! Banyak- banyaklah
belajar pada nona Pende-
kar Roro Centil ini...!"
Ujarnya dengan suara tandas.
"Baik, guru...! Aku memang
merasa kurang dalam hal
pengalaman!" Sahut
Wibisana.
"Ah, ah... ah...! Kalian
membuat aku jadi malu
hati!" Tukas Roro dengan
tersenyum.
"Hahaha... mengapa malu?
Kenyataan mana bi-
sa dibantah. Bahkan aku yang tua
ini merasa sepak ter-
jangku di waktu muda tidaklah
membuat aku malu!"
"Nah! Hari sudah menjelang
malam! Apakah rencana
nona Roro selanjutnya?"
"Aku akan mengantarkan dulu
wanita yang be-
rada di dalam gubuk, ke tempat
tinggalnya!" Berkata
Roro, yang segera teringat akan
wanita korban si Kala
Butho itu.
"Hm, baiklah! Kukira
sebaiknya kalian antarkan
berdua! Sekalian cari tempat
bermalam.
Selanjutnya cepat-cepatlah
kalian ke lembah
SOKA, bergabung dengan para
Pendekar lainnya...!"
Ujar Ki Kutut Praja Setha. Kedua
remaja ini mengang-
guk.
"Nah! Baik-baiklah menjaga
diri." Selesai berka-
ta, Kutut Praja Setha berkelebat
pergi Sekejap kemu-
dian sudah tak nampak lagi dalam
keremangan malam.
Esok harinya...
Mentari baru saja beranjak dari
peraduan, dan
sembulkan diri dari balik bukit.
Akan tetapi sepagi itu
dua sosok tubuh sudah
berkelebatan tinggalkan sebuah
gedung sederhana di satu kota
kecil di wilayah itu.
Mereka tak lain Roro dan
Wibisana si Penung-
gang Kuda Setan. Selesai mengantar
wanita malang itu,
mereka menginap di sebuah
penginapan kecil yang cu-
kup baik dan bersih. Dan
menjelang pagi sudah be-
rangkat untuk teruskan perjalan
ke lembah SOKA.
"Haii...! Tunggu..!"
Satu suara telah memanggil
dibelakang mereka. Keduanya segera
hentikan langkah.
Dan sesosok tubuh sudah melompat
kehadapan mere-
ka. Ternyata seorang laki-laki
bercambang bauk lebat.
"Aii...! Joko Sangit! Kau
dari mana...?"
"Hahaha... aku menginap di
Penginapan itu ju-
ga! Apakah kau tak
melihatku?"
"Huh! Kalau aku tahu
masakan aku tak mene-
gur mu...!" Tukas Roro.
"Hahahaha .... bukankah kau
ada menanyakan
tempat penginapan pada
seseorang?" Tanya Joko San-
git. Roro turunkan alisnya
mengerenyit.
"Benar! Pada seorang tua
bungkuk yang mon-
dar-mandir di jalanan!"
Jawab Roro.
"Hehehehe... itulah
aku...!" tukas Joko Sangit.
"Ha...?" Sepasang mata
Roro membeliak.
"Hm, aku tahu! Kau sengaja
menguntitku bu-
kan? Hihihi... kau tak perlu
curiga! Roro Centil bukan
sebangsa Kuntilanak pencari
mangsa!" Ujar Roro den-
gan tersenyum genit, dan
cibirkan bibirnya.
"Siapa dia...?" Tanya
Joko Sangit, seraya mene-
guk arak yang sedari tadi
dicekalnya dalam sebuah gu-
ci. Tahulah Roro kalau diam-diam
Joko Sangit men-
cemburuinya.
"Hm, kenalkan sahabatku
yang baru turun gu-
nung ini. Namanya Wibisana alias
si Penunggang Kuda
Setan! Dia murid Ki Kutut Praja
Setha...!" Ujar Roro.
"Ah...!? Selamat jumpa
sobat Wibisana!" Seru
Joko Sangit seraya mengajaknya
berjabat tangan. Ke-
duanya sama-sama menjura.
"Hihihi... kita tak perlu
khawatir menghadapi
manusia-manusia setan Istana
Kerajaan PUGAR ALAM!
Kita telah ke tambahan seorang
pendekar lagi yang
akan turut membantu perjuangan
kaum Pendekar, me-
numpas manusia-manusia setan di
tengah Telaga Ber-
kabut....!" Ucap Roro
dengan sepasang mata bersinar.
Joko Sangit manggut-manggut
sambil terse-
nyum, lalu tenggak lagi araknya
sampai ludas. Semen-
tara jantungnya diam-diam sudah
berdetak kencang.
Heh! Apakah ilmunya jauh berada
di atasku? Sentak
hati Joko Sangit. Tak dapat
disangkal lagi kalau diam-
diam Joko Sangit merasa takut
tersaing oleh si pemuda
bernama Wibisana itu di hadapan
Roro Centil. Dan sete-
lah bersahabat sekian lama,
laki-laki ini mulai ada hati
pada Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Karena nyata nya
sampai saat ini Roro Centil
masih dalam keadaan sendi-
ri tanpa pasangan.
Namun walau demikian Joko Sangit
amat
menghormati Roro, karena adanya
tali persaudaraan di-
antara guru mereka. Sesaat
kemudian tiga sosok tubuh
sudah berkelebatan cepat di atas
perbukitan hijau. En-
tah kelak apakah mereka masih
bisa bercengkerama la-
gi. Karena tak lama lagi mereka
bakal menghadapi satu
perjuangan besar dengan taruhan
nyawa....
TAMAT
SEGERA MENYUSUL........!
"MISTERI TELAGA
BERKABUT"
Emoticon