SATU
ALAM MENJADI SAKSI akan adanya
pertarun-
gan maut yang bakal
berlangsung.... Bukit Karang He-
lang tampak hening mencekam.
Ratusan burung Elang
yang diikuti burung-burung
lainnya sejak tadi telah
menyingkir pergi,
berbondong-bondong meninggalkan
sarangnya. Puluhan ekor kera dan
siamang hiruk-
pikuk berloncatan dengan suara
gaduh. Tampaknya
mereka sangat ketakutan sekali.
Naluri kebinatangan-
nya telah dapat menerka bahwa
tempat itu bakal po-
rak-poranda. Bakal hancur!
Membuat mereka saling
bergegas meninggalkan daerah
yang dianggap gawat
itu untuk segera menyingkir
pergi.
Seekor Raja Rimba yang menghuni
bukit itu-
pun sudah angkat kaki dengan
memperdengarkan su-
ara mengaum panjang. Hawa aneh yang
mencekam te-
lah menyelimuti sekitar bukit
itu. Dan... satu keane-
han adalah kini cahaya merah
tampak seperti meram-
bah sekitar bukit. Angin
membersit keras seperti bakal
ada taufan yang bakal terjadi.
Udara sebentar gelap
sebentar terang. Bau-bau busuk
seperti bersembulan
di sana-sini membaur dengan
sejuta keseraman yang
membangunkan bulu roma.
Dua sosok tubuh telah saling
berhadapan. Ber-
diri tak bergeming. Kedua rambut
wanita itu sama-
sama terurai. Sesekali menyibak
karena tiupan sang
angin. Keheningan memang
mencekam perasaan. Dan
detik demi detik terus merayap
yang akhirnya sampai
pada ujungnya.
"Hm, disinikah tempat
pertarungan kita, Giri
Mayang...?" suara Roro
Centil menyobek keheningan
yang mengembara disekitar bukit
itu.
"Benar! Inilah tempat
pertarungan yang ku pi-
lih! Dan... disini pula tempat
kuburanmu, Roro Cen-
til...!" menyahut Giri
Mayang dengan nada sinis.
"Kematian bagiku tak
menjadi soal, perempuan
iblis! Asalkan kaupun ikut serta
mengiring kematian-
ku, bagiku aku sudah puas! Dan
aku dapat mati me-
ram...!" menyahut Roro
dengan suara datar.
"Hihihi... seribu Iblis
siap sedia menjaga nya-
waku, Roro Centil. Dan aku telah
pula menghubungi
guruku untuk siap melindungi
diriku! Kalau kau
mampus mana mungkin kau bisa
bawa nyawaku me-
nyertai kematianmu?" Ujar
Giri Mayang dengan nada
sini, dengan tertawa menghina.
Akan tetapi Roro Centil juga
tertawa dengan di-
barengi kata-kata yang lebih
"nyelekit" di ulu hati Giri
Mayang.
"Hihihi... hihi... kalau
seribu Iblis menjaga nya-
wamu, aku bahkan seribu Malaikat
menjaga nyawaku
dari ketelengasanmu! Mana
mungkin kau bisa men-
gambil nyawaku...?"
"Keparat...!" memaki
Giri Mayang. Seketika wa-
jahnya berubah merah padam.
"Setan alas!" maki
pula Roro.
"Roro Centil, jangan kau
mengumbar kesom-
bonganmu! Hari ini aku akan
balaskan dendam pati
kematian ayahku!" membentak
Giri Mayang lagi, den-
gan menatap tajam dan mulai
mempergunakan penga-
ruh ilmu batinnya untuk
mempengaruhi Roro.
"Bagus! Aku justru mau
minta tebusan ratusan
kepala yang telah kau tanggalkan
dari tubuh rakyat
tak berdosa dan para pendekar,
serta orang-orang Ke-
rajaan yang telah kau bantai
seenak udelmu! Hihihi...
aku cuma mau minta kepalamu
untuk kupersembah-
kan pada Baginda Raja...!"
sahut roro dengan suara te-
gas dan lantang.
Giri Mayang menekan perasaannya.
Darahnya
menyentak sampai ke kepala tubuhnya agak tergetar
menahan kemarahannya yang
meluap. Akan tetapi dia
berusaha menahannya, dan
membentak dengan suara
yang berpengaruh. Suara yang
berisi serangan dengan
kekuatan batin yang telah
selesai dimanterainya.
"Roro Centil...! Kau tak
lebih dari hamba ku sa-
ja! Bersujudlah untuk menerima
hukuman dariku!"
Akan tetapi beranjakpun tidak
Roro dari tem-
patnya berdiri. Bahkan dia
mengumbar suara tertawa
melengking tinggi yang membuat
tanah bergetaran.
"Hihihi... hihihi... Giri
Mayang! Giri Mayang...!
Kau tak lebih dari anjing buduk
yang menjijikkan! Ma-
ri mendekat padaku untuk kugebuk
pantatmu 13
kali!" berkata Roro Centil
dengan juga balas menyerang
dengan kekuatan batin yang
menindih kekuatan se-
rangan lawan.
Hebat akibatnya. Tubuh Giri
Mayang tampak
bergetar dan agak terhuyung.
Nyaris kakinya melang-
kah ke depan satu tindak kalau
dia tak cepat-cepat be-
rusaha melawan kekuatan serangan
Roro yang me-
rangsang hawa aneh, menindih
kekuatan batinnya
yang sekaligus mendadak punah.
Pucat pias seketika wajah Giri
Mayang. Sadar-
lah dia kalau lawan dihadapannya
tak boleh dianggap
enteng.
Namun mana Giri Mayang mau
unjukkan ke-
lemahannya pada musuh besarnya
itu? Dengan melo-
tot gusar dia membentak heat.
"Roro Centil! Jangan kau
terlalu sombong! Lihat
sekelilingmu! Kau tak dapat
meloloskan diri dari ke-
pungan seribu Iblis yang akan
merecah kulit dan da-
gingmu!" Bau busuk seketika
menyebar, dan kian
mendekati Roro. Pendekar itu
putarkan pandangannya
ke sekeliling. Benar saja apa
yang dikatakan wanita ib-
lis itu, sekejap telah terlihat
makhluk-makhluk menye-
ramkan yang tak terkirakan
banyaknya mengurung
Roro Centil. Bergidik juga Roro
melihat rupa wajah dan
bentuk yang menyeramkan, namun
cepat Roro merap-
al mantera salah satu dari 7
jurus penolak iblis, wari-
san si Manusia Padang Pasir,
Terdengar suara jeritan
disekeliling disertai suara
meletup bagai bara disiram
api.
BHUSSSS! BHUSSSS...! BHUSSSS .
.! Puluhan
Iblis dan siluman- siluman jahat terjungkal seketika.
Dan tubuh-tubuh mereka hancur.
Lalu berubah men-
jadi asap hitam yang membumbung
meninggalkan bau
sangit yang menusuk hidung. Akan
tetapi tidak semua
makhluk-makhluk halus yang
mengerikan itu terjung-
kal, belasan sosok tubuh yang
agak kebal telah melu-
ruk bagaikan angin menderu
menerjang Roro.
Tersentak Roro Centil. Sepasang
lengannya
bergerak memutar dan mengibas
beberapa kali. Itulah
jurus pertama dan kedua dari
tujuh mantera yang
sambil bergerak, mulut Roro
mengucapkan mantera-
mantera suci itu. Terdengar
suara jeritan dan meraung
yang membangunkan bulu roma.
Belasan sosok tubuh
makhluk halus itu buyar
berpentalan. Hawa panas
yang membersit dari angin
pukulan Roro yang berbau
mantera suci seketika telah
membakar menghan-
guskan tubuh-tubuh mereka.
Terkesiap Giri Mayang. Nyalinya
agak menciut
menyaksikan kehebatan Roro
Centil. "Edan!? dari ma-
na dia dapatkan ilmu-ilmu
itu...?" Sentak Giri Mayang
dalam hati.
Kembali Giri Mayang komat-kamit
membaca
mantera. Cepat sekali dia telah
mengadakan hubungan
dengan gurunya, melalui batin.
"Hehehe... pergunakanlah
Tangan Iblis mu,
muridku...! Jangan khawatir, aku
segera datang ke
bukit Karang Helang untuk
membantumu bila kau
mendapat kesulitan. Akan tetapi
jangan kau bernyali
kecil karena dengan Sepasang
Tangan Iblis mu aku
yakin dapat membinasakan si Roro
Centil!"
Itulah suara batin tingkat
tinggi yang telah di-
lontarkan Nini Lembutung pada
Giri Mayang.
"Terima kasih,
guru...!" menyahut Giri Mayang
melalui kontak batin itu. Dan...
kini sepasang matanya
bagaikan menyala-nyala menatap
pada Roro.
***
Kita beralih sejenak. pada dua
sosok tubuh
yang tengah berlari cepat menuju
kesatu arah... Kedua
sosok tubuh itu adalah satu
laki-laki dan satu wanita.
Si wanita itu tak lain dari si
peniup seruling, sedang-
kan laki-laki yang berada
dibelakangnya adalah Sam-
bu Ruci.
Tiba-tiba wanita berbaju merah
kembang-
kembang itu hentikan tindakan
kakinya, lalu menoleh
ke belakang.
"He? Siapa suruh kau
mengikutiku...?" berkata
wanita muda alias sang gadis itu
dengan nada ketus.
Pemuda dibelakang itu tersenyum,
dan sekali
enjot tubuh sudah berada
dihadapan sang gadis. Lan-
tas saja tertawa bergelak.
"Lho...? Aku punya
kaki...?" menyahut Sambu
Ruci alias si Bujang Nan Elok.
Mendapat jawaban de-
mikian wajah sang gadis jadi
semakin cemberut. Akan
tetapi ternyata semakin cemberut
justru semakin can-
tik. Entah mengapa sejak
berjumpa dengan wanita itu
Sambu Ruci seperti menaruh
perhatian padanya. Wa-
laupun bicara sang gadis itu
selalu bernada ketus,
namun Sambu Ruci yang ingin tahu
siapa sebenarnya
gadis itu, diam-diam selalu
mengintilnya.
"Kau memang punya
kaki!" tukas sang dara
cantik ini. "Akan tetapi
mau apa kau membuntuti aku
terus?" tanyanya kesal.
"Aku sendiri tak
mengetahui, mengapa kakiku
maunya mengikuti langkah
kakimu?" menyahut Sam-
bu Ruci dengan tersenyum.
"Lelaki semacammu pasti
tidak punya maksud
baik"
"Hm, kau seorang dukun
peramal rupanya?"
"Cis! Enak saja kau bicara!
Aku bukan dukun!"
membentak sang gadis.
"Nah, kalau kau bukan
seorang dukun, jangan
menuduh sembarangan. Aku punya
niat baik, yaitu
ingin berkenalan
denganmu..." berkata Sambu Ruci.
"Boleh aku tahu namamu,
nona cantik...?" ber-
tanya Sambu Ruci.
"Aku tak punya nama!" sahut lagi gadis itu
dengan nada ketus, seraya
membuang muka. Akan te-
tapi ternyata wajahnya berubah
jadi merah dadu kare-
na dipuji demikian.
Sambu Ruci tersenyum, seraya
menjura. "Aku
yang rendah ini bernama Sambu
Ruci siapakah geran-
gan nama anda nona gagah? Ilmu
lari cepat mu mem-
buat aku jadi kagum..."
ujarnya.
"Huuu... gombal! Aku sudah
tahu namamu
Sambu Ruci, tak usah sampai dua
kali kau menye-
butkan. Baiklah, akan
kuberitahukan namaku..." ujar
sang gadis seraya mencabut
serulingnya dari belakang
punggung.
"Kau perhatikan benda ini
terbuat dari apa-
kah...?" tanya gadis itu
seraya perlihatkan serulingnya
mendekat ke wajah Sambu Ruci.
"Hmmm..." termenung
sesaat pemuda itu se-
raya perhatikan benda itu.
"Apakah namamu Seruling
Gading...?" ta-
nyanya tiba-tiba.
"Tepat sekali! Itu namaku
sekaligus julukan ku!
Nah! kini langkahkan kakimu ke
lain arah! Aku mau
terus ke utara...!" berkata
sang gadis alias si Seruling
Gading.
***
DUA
"HAI...!? LIHATLAH! Ada
bercak-bercak darah
berserakan disini...!"
teriak Sambu Ruci tiba-tiba. Ten-
tu saja membuat si gadis Itu
terkejut, dan segera meli-
hat ke tempat yang ditunjuk si
pemuda. Sepasang ma-
tanya menjalari sekitar
pelataran disisi hutan itu. Ber-
cak-bercak darah tampak semakin
banyak.
"Mari kita selidiki!"
ujar Sambu Ruci seraya
mendahului bergerak. Si gadis
tak menyahut, tapi se-
gera beranjak untuk meneliti
sekitar tempat itu. Selang
sesaat terdengar seruan tertahan
Sambu Ruci.
"Hai...! Lihatlah kemari!
Banyak mayat berge-
limpangan!" Mendengar
teriakan itu kontan si Seruling
Gading melompat menghampiri. Dan
terperangah me-
lihat mayat-mayat dari para
prajurit Kerajaan berge-
limpangan dengan keadaan kepala
terlepas dari tu-
buhnya. Juga beberapa ekor kuda
yang mati dengan
tubuh hangus. Gadis itu jadi
bergidik seram. "Ini... ini
pasti perbuatan perempuan Iblis
itu lagi!" berkata Se-
ruling Gading dengan nada suara
agak menggeletar.
"Benar! Lagi-lagi perempuan
setan itu meminta
korban! Perbuatannya semakin
keterlaluan. Kalau dia
menyerang ke Kota Raja keadaan
bisa gawat!" Gadis
itu tak berkata apa-apa kecuali
tercenung dengan wa-
jah sebentar pucat sebentar
merah. Dadanya berom-
bak-ombak menahan geram.
"Apa yang harus kita
perbuat?" Akhirnya si Se-
ruling Gading bertanya. Kali ini
nada suaranya tidak
lagi ketus seperti tadi. Sambu
Ruci terdiam sejenak la-
lu sahutnya.
"Pendapatku begini,
sebaiknya kita bantu men-
gubur jenazah, lalu kita
berangkat ke Kota Raja mela-
porkan kejadian ini!"
"Huuuu...! Pendapatmu selalu
menyusahkan
orang saja! Kukira sebaiknya
kita melapor saja ke Kota
Raja, mengenai penguburan para
prajurit Kerajaan ini
kita serahkan pada yang wajib
mengurusnya!" sanggah
si Seruling Gading seraya
berikan pendapat. Ternyata
Sambu Ruci melompat girang.
"Aku setuju! Aku setuju...!
Aha, tak ku sangka
nona Seruling berotak encer!
Benar...! Kalau kita yang
menguburkan jangan-jangan nanti
bisa terjadi kesa-
lahpahaman...!"
Mau tak mau gadis itu jadi
tersenyum melihat
kelakuan Sambu Ruci yang
berjingkrakan seperti
orang dapat lotere.
"Wahai...! Alangkah
manisnya nona Seruling
kalau tersenyum begitu!"
ujar Sambu Ruci dengan ge-
leng-gelengkan kepala.
"Huuu... gombal!
Marilah-kita berangkat!"
"Mari... tukas Sambu Ruci
seraya lengannya
bergerak menyambar pergelangan
tangan si Seruling
Gading, yang barusan melangkah
lewat disampingnya.
Tentu saja gerakan tak terduga itu diluar pemikiran
sang gadis.
Mau tak mau terpaksa dia
membiarkan perge-
langan tangannya dicekal pemuda itu.
Dan... Srrr tera-
sa hawa aneh telah menjalar ke
sekujur tubuh mem-
buat hatinya jadi berdebaran tak
keruan rasa. Tangan
pemuda itu terasa hangat, dan cekalannya mengan-
dung kemesraan. Inilah yang
membuat hatinya berde-
bar. "Dia memang tampan...!
Akan tetapi aku belum
tahu isi hatinya. Aku khawatir
hatinya tak setampan
wajahnya..." bisik hati si
Seruling Gading dengan wa-
jah bersemu merah dan terasa
panas. Namun diam-
diam dia kerahkan tenaga
dalamnya untuk coba men-
jajal kekuatan lawan.
Hawa panas segera menyebar
dipergelangan
tangannya. Dia menduga Sambu
Ruci pasti akan sege-
ra lepaskan tangannya. Akan
tetapi terkejut gadis ini
karena tahu-tahu serangkum hawa
dingin segera men-
galir cepat menindih hawa panas
dari tenaga dalam-
nya. Dan... keadaan kembali
seperti semula. Yang
membuat gadis ini melengak
adalah si pemuda itu te-
tap tenang-tenang saja tak
menampakkan wajah terke-
jut. Bahkan sambil berjalan
cepat mengikuti gerakan
langkahnya dia mengajak
bercakap-cakap.
"Kota Raja tak seberapa
jauh lagi. Setelah me-
lewati perbatasan di depan -sana
kita sudah memasuki
wilayah bagian selatan ini.
Kukira di sana pasti ada
markas terdekat dari lasykar
Kerajaan yang bertugas
menjaga wilayah itu!"
"Bagaimana kalau ternyata
perempuan iblis itu
telah tiba lebih dulu dan
mengacau di Kota Raja...?"
Untuk menutupi perasaannya yang
tak karuan itu
sengaja si gadis membuat dalih
pertanyaan.
Tiba-tiba Sambu Ruci hentikan
tindakan ka-
kinya. Sepasang mata Sambu Ruci
menatap tajam pa-
da sang gadis. Aneh, seperti
terkena daya magnet yang
amat luar biasa. gadis itupun
menatap tajam meman-
dang pada wajah tampan laki-laki
dihadapannya.
Dan... dua pasang mata itupun
saling menatap ber-
pantulan.
Terasa oleh si dara itu cekalan
tangan si pemu-
da semakin erat mencekal
pergelangan tangannya.
Bahkan meluncur turun untuk
mencekal telapak tan-
gannya. Menyentuh jemarinya lalu
menyatukan den-
gan jemari tangannya. Tak terasa
diapun mencekal
erat pula jemari tangan Sambu
Ruci, dan menatap
dengan mata terperangah kagum.
Ya, dia memang se-
jak berjumpa dengan pemuda itu
telah mengagumi ke-
tampanan wajahnya. Akan tetapi
dia memang selalu
bersikap ketus, karena khawatir
terjebak "cinta". Bera-
pa banyak laki-laki yang telah
dikenalnya ternyata
cuma laki-laki hidung belang
yang berwatak buruk,
yang cuma berkenalan untuk
melampiasan nafsu be-
jatnya. Watak-watak kebanyakan
dari orang yang per-
nah dijumpainya itulah yang
membuat dia selalu ber-
sikap ketus. Keramah-tamahan
justru amat memba-
hayakan dirinya.
"Kalau dia mengacau di Kota
Raja, kita akan
menempurnya!" berakta Sambu
Ruci dengan suara te-
gas dan tegar.
"Ya!... kita akan
menempurnya!" berdesis pula
suara si Seruling Gading. Dan...
keduanya sama-sama
tersenyum, lalu mengangguk berbareng.
Aneh! Seketi-
ka kekerasan hati si gadis
peniup seruling punah su-
dah. Ya! Sambu Ruci si Bujang
Nan Elok telah berhasil
menaklukkan hatinya. Saat itu
tiba-tiba terdengar sua-
ra derap kaki-kaki kuda di
kejauhan. Keduanya jadi
terkejut, dan sama-sama menoleh
ke arah depan.
"Sssst! Mari kita sembunyi
rombongan siapa ge-
rangan yang lewat!" Sambu
Ruci tempelkan jari telun-
juknya diatas bibir. Dan...
dengan melompat sambil te-
tap bergandengan tangan. Sekejap
saja mereka sudah
berlindung dibalik batu besar.
Tak berapa lama kemu-
dian serombongan pasukan berkuda
itu telah melewati
mereka.
Ternyata adalah rombongan
pasukan Kerajaan.
Kedua "sejoli" ini
jadi saling tatap, dan sama-sama ter-
senyum.
"Bagus! Berarti kita tak
usah repot-repot ke
Kota Raja...!" berkata
Sambu Ruci dengan ber-
bisik. Si gadis peniup seruling
mengangguk. Dengan
keadaan wajah sama-sama
berdekatan begitu mau tak
mau membuat napas mereka terasa
saling berpagutan.
Sementara lengan mereka masih
tetap saling genggam
dengan erat.
"Kita pergi dari
sini..." bisik si gadis, seraya me-
narik tangannya dari genggaman
Sambu Ruci. Akan
tetapi justru pemuda itu semakin
erat menggenggam-
nya.
"Tunggu dulu..."
berkata lirih Sambu Ruci. Dan
sepasang mata pemuda itu seperti
mencari-cari sesua-
tu disekitar wajahnya.
"Seruling Gading...! Apakah
kau bersedia ber-
sahabat denganku?"
tiba-tiba Sambu Ruci ucapkan
kata-kata.
Gadis itu tak menjawab selain
anggukkan kepa-
lanya. Lalu tundukkan wajah.
"Terima kasih, Seruling
Gading...! Marilah kita
pergi!" ujar Sambu Ruci
yang tak lakukan sesuatu pun
dalam keadaan wajah mereka
begitu dekat. Padahal
"sesuatu" itu sudah
dibayangkan oleh sang gadis. Dan
dia memang takkan menolak.
Bahkan hatinya sudah
tergetar, juga hasratnya. Akan
tetapi sang pemuda
tampan itu justru cuma ucapkan
terima kasih, lalu
menarik lengannya untuk segera
beranjak pergi me-
ninggalkan tempat itu...
Sementara orang-orang dari
rombongan pasu-
kan Kerajaan itu sibuk mengurus
mayat-mayat menge-
rikan yang bertebaran ditempat
itu, Sambu Ruci dan si
gadis peniup seruling sudah meninggalkan tempat
itu...
Cahaya merah yang membersit dari
atas bukit
Karang Helang ternyata telah
terlihat oleh kedua rema-
ja yang tengah berlari- lari
cepat diatas lembah.
"Lihatlah, Seruling Gading!
Cahaya itu bebera-
pa pekan yang lalu muncul dari
puncak gunung Ga-
lunggung, tetapi sekarang telah
muncul lagi dan ber-
pindah ke atas bukit itu. Menurut yang ku tahu ca-
haya merah itu adalah pertanda
akan timbulnya ba-
nyak malapetaka...!"
berkata Sambu Ruci.
"Kau percaya... ?"
tanya sang gadis.
"Entahlah! Tapi menurut
kenyataan sejak mun-
culnya cahaya merah itu dari
puncak Galunggung, te-
lah muncul bencana besar yaitu
mengganasnya lagi si
perempuan Iblis Giri Mayang.
Hingga sampai saat ini
Iblis perempuan itu telah
meminta puluhan korban ke-
ganasannya. Entah apa lagi yang
bakal terjadi! Apakah
cahaya merah dari atas bukit itu
suatu pertanda akan
lebih memburuknya bencana pada
umat manusia?
Apakah bakal muncul lagi
manusia-manusia Iblis lain-
nya, ataukah wabah penyakit? Aku
tak mengetahui...!"
menjawab Sambu Ruci.
"Ingin kulihat dari manakah
asal cahaya merah
itu. Kau mau menemaniku
kesana...?" berkata si gadis
dengan tersenyum.
"Hahaha... mengapa tidak?
Pergi berdua dengan
seorang sahabat secantikmu aku
takkan menolak!"
"Huu, lagi-lagi kau
memujiku cantik. Aku kha-
watir bila kau lihat lagi
perempuan lain yang cantiknya
melebihi ku, lantas apakah kau masih tetap menye-
butku cantik?" berkata
menyindir gadis itu.
"Haiiih, Seruling Gading!
Aku jamin mataku tak
jelalatan memperhatikannya.
Bukankah aku tetap me-
nyebut mu cantik?" tukas
Sambu Ruci.
"Mulutmu memang, akan
tetapi hati orang sia-
pa tahu?"
"Hatiku dan mulutku
sama...!" tak mau kalah
Sambu Ruci.
"Baik! Coba katakan, lebih
cantik mana aku
dengan RORO CENTIL?" Diluar
dugaan "adat" ketus si
Seruling Gading kembali muncul.
Dengan menatap ta-
jam dan lengan bertolak pinggang
dia berdiri menung-
gu jawaban Sambu Ruci. Melihat
demikian mau tak
mau Sambu Ruci jadi garuk-garuk
kepala tidak gatal.
Akan tetapi dia sudah punya
jawaban yang pasti, wa-
laupun pada kenyataannya Roro
Centil memang sukar
dikalahkan dalam segalanya. Roro
terlalu cantik dan
sukar untuk dinilai dari segi
mana kecantikan serta
keayuannya. Juga berilmu tinggi
yang susah diukur
menurut penilaiannya. Dan...
disamping Roro punya
"adat" aneh yang sukar
diterka, Roro juga punya
keanggunan tersendiri sebagai
seorang wanita yang
ideal.
Adapun si Seruling Gading
ternyata juga seo-
rang wanita yang ideal.
Terkadang ketus, tapi terka-
dang lemah lembut. Disamping
tubuh semampai berisi
serta wajah yang cantik rupawan,
tak kalah dengan
Roro Centil. Akan tetapi walau
bagaimana Roro tetap
berada diatasnya.
Jauh dari seberang lautan Sambu
Ruci men-
gembara cuma mencari Roro. Sejak
Roro menghilang
dari Pulau Andalas, dan sejak
adiknya menikah den-
gan sahabatnya, bernama
Rahwanda. Yang pernah pu-
la mereka bersaing dan bertarung
memperebutkan Ro-
ro Centil, gara-gara Sambu Ruci
mengira Rahwanda
mengingini juga wanita Pendekar
Perkasa itu yang se-
lama lebih dari sebulan berada
di tempat tinggalnya.
Dia memang menggilai Roro
Centil. Akan tetapi
Roro ternyata sukar didekati.
Roro cuma jinak-jinak
Merpati. Kemunculan dan
kepergiannya sukar diketa-
hui. Membuat Sambu Ruci mulai
mengendur hasrat-
nya untuk menyunting sang
Pendekar Wanita Pantai
Selatan itu.
Dan saat muncul si gadis peniup
seruling yang
baru dikenalnya berapa hari,
Sambu Ruci mulai antu-
sias untuk mengenalnya lebih
dekat. Rasa simpatinya
semakin besar karena gadis itu
mempunyai banyak
persamaan dengan Roro. Cuma satu
hal yang berbeda
yaitu si gadis peniup seruling
tidak memiliki kegenitan
seperti Roro.
Ya! Seruling Gading tetaplah
Seruling Gading,
dan Roro Centil tetaplah Roro
Centil yang masing-
masing dengan segala yang
dipunyainya... Ditatapnya
dalam-dalam mata gadis itu.
Diperhatikannya dari
ujung rambut sampai ujung kaki,
seolah-olah tengah
menaksir orang untuk di
perbandingkan dengan Roro
Centil. Akhirnya terdengar suara
Sambu Ruci setelah
menghela napas, dan tersenyum.
"Kau... kau masih lebih
cantik dari Roro Centil,
Seruling Gading...! Kau
mempunyai kelebihan yang tak
dipunyai pendekar itu!"
"Apakah
kelebihannya...?" tanya Seruling Gad-
ing dengan ketus, tapi tak bisa
dibilang ketus karena
nada suaranya ada tercampur
suara mengandung ge-
taran. Hidungnya terasa
menggembung karena pujian
itu, akan tetapi rasa penasaran
membuat dia lakukan
pertanyaan yang telah
dilontarkan dengan cepat.
"Kelebihannya terletak dari
sinar matamu...!"
Ujar Sambu Ruci datar.
"Ha...?!" tersentak
Seruling Gading. "Aneh seka-
li..." ujarnya mendesah.
"Apanya yang aneh...?"
"Kelebihannya itu!"
sahutnya pendek. "Lho?
Mengapa harus aneh?" tanya
Sambu
Ruci seraya mendekat. "Aku
berkata sejujur-
nya, adik Seruling
Gading..."
"Sinar matamu teramat sejuk
bila kupandang.
Dan disana kulihat ada cahaya
ke"ibu"an...."
Seruling Gading tertunduk dengan
rona merah
menjalari wajahnya. Lengan Sambu
Ruci bergerak
menggamit dagunya. Menengadahkan
lagi wajah dara
itu dengan sepasang mata yang
menatap tajam seolah
mau menembus ke sanubari sang
dara.
"Seruling Gading...! Aku
mencintaimu... aku te-
lah menemukan apa yang kucari,
yaitu Cinta Suci.
Aku... aku akan segera melamar
mu, sayang..." Berde-
gupan jantung dara itu. Suara
nafasnya mendesah.
Dan sepasang matanya terpejam.
O.... Alangkah
indahnya! Alangkah indahnya
kata-kata itu! Dan dia
tak menolak tatkala Sambu Ruci
dekatkan wajahnya.
Sesuatu yang dinanti membuat dia
terperangah den-
gan napas tertahan. Akan tetapi
Sambu Ruci ternyata
cuma mencium keningnya.
Selanjutnya dirasakan dekapan
kuat yang me-
meluknya erat-erat. Dan lengan
Sambu Ruci membelai
rambutnya. Ah, sikap itu terasa
terlalu membuat gere-
gatnya hati sang gadis. Akan
tetapi seruling Gading
semakin yakin bahwa dia telah
menjumpai seorang
pemuda pilihan yang bukan
laki-laki hidung belang.
Hidup mengembara yang telah
dijalani sekian lama se-
jak dia lari dari perguruan,
lari dari ayah tiri yang ter-
nyata mempunyai nafsu binatang
membuat dia harus
menghadapi banyak marabahaya.
Dia membutuhkan
seseorang untuk melindunginya.
Dan... dia memang
sudah mendapatkannya!
Tak terasa Seruling Gading balas
mendekap
dengan erat. Serasa tak mau dia
melepaskannya. Se-
mentara air matanya telah
menitik. Betapa teramat
bahagianya dia saat itu...
"Kakak Sambu..., benarkah
ucapanmu itu.?"
"Mengapa tidak, sayang ku...? Aku memang
akan melamar mu! Aku akan datang
pada kedua orang
tuamu untuk meminang mu dengan segera!" sahut
Sambu Ruci.
"Apakah kau membalas
cintaku yang suci
ini...?" tanya Sambu Ruci,
karena gadis itu tak menja-
wab. Tak ada kata-kata yang
keluar dari mulutnya.
Kecuali dekapan yang semakin
erat, dan air mata yang
semakin deras mengalir.
"Kau... kau menangis,
sayangku...?" berkata
Sambu Ruci seraya menggamit dagu
sang dara yang
telah mengendurkan dekapannya.
"Ya! Aku menangis karena
aku... aku bahagia...
sahut Seruling Gading dengan
suara menggetar.
"Aku pasrahkan jiwa dan
ragaku hanya pada-
mu, kakak Sambu..." ujarnya
pula dengan suara lirih.
Sepasang matanya yang
berkaca-kaca itu gemerlapan
bagaikan percikan cahaya
mutiara. Dan gadis itu men-
coba untuk tersenyum.
"Ohh..." tak ada kata-kata lain
yang keluar dari mulut Sambu
Ruci selain desahan li-
rih yang lepas melapangkan
dadanya. Dipeluknya ga-
dis itu erat-erat, dan
direngkuhnya bibir mungil itu
dengan kasih mesra, Saat itu
dunia serasa mereka
yang punya. Dan saat itu mereka
tenggelam dalam ke-
bahagiaan yang paling indah.
Angin sepoi berhembus memagut
dahan, meng-
guncang ranting. Tiga empat daun
kering melayang tu-
run dari tangkainya... Betapa
indahnya Cinta. Betapa
agungnya Cinta! Tuhan telah
mempertemukan jodoh
sepasang makhluknya...
Matahari semakin condong ke arah bukit. Se-
mentara cahaya merah yang
membersit dari puncak
bukit Karang Helang telah lenyap
sejak tadi.
***
TIGA
"HAI...!? LIHATLAH...!
Cahaya merah itu telah
lenyap!" berkata Sambu
Ruci. Gadis yang tengah tersi-
pu dengan menundukkan wajah itu seketika tenga-
dahkan lagi wajahnya untuk
melihat ke arah langit di
sebelah barat. Benar saja!
Cahaya merah itu memang
telah sirna.
"Apakah kau tak akan
membatalkan niatmu
untuk melihat ke arah tempat
keluarnya cahaya merah
itu?"
"Aku memang mau melihatnya.
Pasti cahaya itu
keluar dari bukit bernama Karang
Helang itu! Cahaya
itu tepat diatasnya...!"
menyahut si Seruling Gading.
"Baiklah! Mari kita
kesana...!" ujar Sambu Ruci.
Lengannya terulur, dan gadis itu
cepat menyambutnya
dengan mesra. Tak berapa lama
dua sosok tubuh su-
dah berkelebatan untuk melesat
cepat menuju ke arah
bukit Karang Helang.
Sementara itu di atas bukit
Karang Helang...
Dua sosok tubuh itu masih tegak
berdiri ber-
hadapan. Sama-sama menatap
dengan tatapan tajam
laksana dua mata pisau yang mau
menembus jantung
lawan masing-masing. Dua pasang mata yang dida-
lamnya tersimpan cahaya dendam,
dan memancarkan
hawa maut.
Lenyapnya cahaya merah yang
membaur di
atas bukit itu menandakan para
Iblis yang membantu
Giri Mayang dalam menghadapi
Roro Centil telah me-
lenyapkan diri. Roro Centil
perlihatkan senyuman si-
nisnya, seraya berkata.
"Hm, Giri Mayang! Sudah ha-
biskah bala bantuanmu? Mayo,
munculkan ular-ular
siluman untuk menghadapi
aku!" tantang Roro.
"Keparat...! Rasakanlah
Sepasang Tangan Iblis
ku!" membentak Giri Mayang.
Dan dua larik sinar biru
telah membersit ke arah Roro
Centil dengan cepat. Giri
Mayang membarenginya dengan
suara tertawa mengi-
kik menyeramkan. Roro Centil
yang telah siap meng-
hadapi segala kemungkinan,
pergunakan kekuatan
serta kepekaan seluruh
inderanya.
WHUSSS! WHUSS! Hawa dingin
mencekam dis-
aat dua larik sinar biru itu
memecah menjadi beberapa
cahaya yang dengan suara
bersiutan menerjang si
Pendekar Wanita Pantai Selatan
dari perbagai arah.
Dengan membentak keras Roro
putarkan tubuhnya
dengan jurus Pusaran Angin
Puyuh. Sengaja Roro
mencoba keampuhan jurus warisan
si Dewa Angin
Puyuh sahabatnya alias paman
angkatnya.
Laksana terkena pusaran angin
puting-beliung
puluhan cahaya biru itu
berpentalan. Akan tetapi dua
larik sinar biru telah membumbung
ke atas, lalu me-
nukik... Dan... BHLARRR! Tanah
menyemburat ke
udara. Dua larik sinar biru dari
sepasang tangan Iblis
itu telah mampu membobol
pertahanan Roro. Akan te-
tapi tubuh Roro sendiri telah
lenyap tak berbekas.
Giri Mayang kerutkan keningnya
dengan sepa-
sang mata liar menjelajahi
sekitar tempat itu.
"Aku berada dibelakangmu,
Giri Mayang!" tahu-
tahu suara Roro terdengar
dibelakangnya. Tentu saja
membuat wanita Iblis itu
tersentak kaget. Lengan ba-
junya bergerak mengibas ke
belakang dengan hanta-
man tenaga dalam.
WHUSSS! Dua batang pohon yang
berada tepat
tak jauh dibelakangnya berderak
patah, dan tumbang
dengan suara gemuruh.
Akan tetapi terperangah wanita
itu karena tera-
sa rambut kepalanya seperti
dibetot dengan keras. Dan
sekejap kakinya telah tak
menginjak tanah. Menjerit
Giri Mayang dengan meringis
kesakitan. Tubuhnya ta-
hu-tahu terlempar ke udara
dengan membumbung pe-
sat.
Satu bayangan berkelebat turun,
dan hantam-
kan pukulan jarak jauh ke
arahnya. Dalam keadaan
melayang ke atas itu ternyata
Giri Mayang dapat meli-
hat Roro Centil yang barusan
menjambak rambutnya.
Setelah membetotnya dengan
lemparan kuat ke udara,
tubuh Roro meluncur turun, lalu
hantamkan puku-
lannya. Itulah jurus dari pukulan Kosongkan Perut
Menahan Lapar. Cepat sekali Giri
Mayang "menarik"
kembali sepasang Tangan
Iblisnya. Dan memapaki se-
rangan itu.
BHLAKRRR! Tubuh Roro terlempar
beberapa
tombak. Akan tetapi tubuhnya
sendiri semakin tinggi
melambung jungkir balik ke
udara. Hebat akibat ben-
turan dua kekuatan itu. Karena
Roro Centil terengah-
engah dengan kucurkan darah dari
mulutnya. Namun
terperangah Giri Mayang, karena
ternyata tubuhnya
tak meluncur turun lagi.
Tergantung-gantung dia di
udara dengan keadaan kepala di
bawah kaki diatas.
Sementara Roro cepat berdiri.
Lalu menyeka
darah kental yang mengalir dari
bibirnya ke dagu. Te-
rasa hawa busuk yang menyesakkan
dadanya dan bau
amis merangsang hidung, teramat
memuakkan. Na-
mun cepat-cepat Roro pusatkan
kekuatan batin serta
satukan segenap tenaga dalam
untuk mengusir rasa
sesak pernafasannya.
Selang sesaat keadaan kondisi
tubuhnya mulai
normal kembali. Kini sepasang
mata dara perkasa ini
menatap ke atas. Saat mana dua
larik sinar biru baru
saja membersit ke arahnya mengarah
leher. Terperan-
gah Roro Centil karena tahu-tahu
sepasang lengan Ib-
lis telah berada beberapa
jengkal lagi siap mencengke-
ram untuk memoteskan kepalanya
dari tubuhnya.
"Malaikat Gurun Pasir
Merambah Iblis!" teriak
Roro seraya kibaskan lengannya.
Dan... segelombang
tenaga yang tak terlihat telah
membuat sepasang Tan-
gan Iblis seperti membentur satu
dinding baja, yang
membuat sepasang lengan itu
terpental balik.
Sementara pertarungan tengah
berlangsung se-
ru, sepasang mata sejak tadi
telah mengikuti jalannya
pertarungan dari sesosok tubuh
berjubah putih. Siapa
lagi kalau bukan Nenek Muri
Asih. Mulut wanita tua
ini ternganga melihat jurus
pukulan Roro yang mem-
buat tubuh Giri Mayang
tergantung-gantung di udara.
Akan tetapi sepasang tangan iblisnya
telah memburu
nyawa Roro tiada henti.
Lagi-lagi Nenek Muri Asih
ternganga dengan mata membelalak
seperti tak per-
caya. Jurus Roro disaat dalam
detik maut berada di
depan mata ternyata telah
tertolong dengan jurus ba-
rusan yang amat hebat. Yaitu
jurus Malaikat Gurun
Pasir Merambah Iblis! Akibatnya
cahaya biru dari Se-
pasang Tangan Iblis itu
terpental balik. Bahkan Roro
telah membarenginya dengan
tiga-empat hantaman
dengan jurus-jurus aneh.
Sinar biru itu seketika terpecah
menjadi ratu-
san sinar kecil-kecil yang
membaur dan terpental de-
ras ke ratusan penjuru. Akan
tetapi percikan sinar bi-
ru kembali bergerak menyatu,
untuk kemudian beru-
bah menjadi sepasang sinar biru
dari sepasang tangan
Iblis. Melengak Roro Centil.
Dia telah pergunakan jurus-jurus
dari si Manu-
sia Gurun Pasir. Akan tetapi
sinar itu tampaknya su-
kar dilumpuhkan. Sementara Giri
Mayang yang "ter-
gantung" di udara tampak
mulai kehabisan nafas.
Reaksi dari pukulan Roro yang
mempergunakan jurus
ciptaannya di Pulau Air masih
bersisa.
Saat mana tiba-tiba terdengar
suara tertawa
terkekeh.
"Heheheheh... heheheh...
Roro Centil! Kau tak-
kan mampu melumpuhkan Sepasang
Tangan Iblis! Ha-
ri ini adalah hari yang tepat
untuk mengubur jasad
Pendekar tolol yang sok menjadi
pahlawan! Ya! hari ini
adalah hari kematianmu, bocah
wadon... heheheh..."
Selesai tertawa si nenek mata
juling yang baru
muncul itu telah jejakkan
kakinya ke tanah. Bumi te-
rasa bergetar. Akan tetapi hebat
akibatnya. Karena se-
ketika tubuh Giri Mayang yang
tergantung di udara te-
lah jatuh meluruk kembali ke
bumi. Tersentak Roro
melihat kemunculan si nenek mata
juling, juga melihat
kekuatan jejakkan kakinya
ke tanah yang terasa
menggetarkan jantung. Akan
tetapi melihat tubuh Giri
Mayang yang meluncur jatuh
ke tanah, mana Roro
Centil mau membiarkannya? Sekali
berkelebat tubuh-
nya telah membersit secepat
angin.
Akan tetapi si nenek mata juling
alias Nini
Lembutung tak mau kalah cepat
untuk menyela-
matkan muridnya. Kakinya bergerak
menjejak tanah,
dan tubuhnya melesat bagaikan
anak panah lepas dari
busurnya memburu Roro. Dengan di
sertai bentakan
keras sebelah lengannya bergerak
menghantam den-
gan pukulan tenaga dalamnya.
"Bocah keparat! kau rasakan
ini...!" Dalam kea-
daan mengambang di udara agaknya
sukar bagi Roro
untuk menghindarkan diri dari
pukulan dahsyat itu.
Akan tetapi pada detik itu
secercah cahaya perak telah
menghadang di depan Nini
Lembutung memapaki se-
rangan itu.
BHLARRRR...!
Terdengar suara ledakan keras,
disertai dengan
terlemparnya tubuh Nini
Lembutung. Akan tetapi den-
gan ringan kaki nenek mata
juling telah kembali jejak-
kan kakinya ke tanah. Tampak
wajahnya berubah pu-
cat karena terkejut, Setitik
darah tersembul disudut
bibirnya.
Ternyata terpentalnya tubuh
Nenek tua renta
ini tidak sendiri, karena
sesosok tubuh berjubah pu-
tihpun ikut terhuyung, yang
tahu-tahu telah berada
ditempat itu. Dialah si nenek
Muri Asih. Sementara itu
Giri Mayang baru dapat bernapas.
Begitu rasakan ha-
wa segar dari lenyapnya pengaruh
pukulan Roro Cen-
til, serta mengetahui tubuhnya
meluncur turun segera
melihat gerakan Roro Centil yang
meluncur ke arah-
nya. Akan tetapi lambatnya
gerakan luncuran tubuh-
nya telah membuat Roro lebih
cepat setindak untuk
bergerak menyambar kakinya. Giri Mayang memang
punya kegesitan luar biasa.
Dengan gerak reflek ka-
kinya menendang...
Adanya Roro Centil yang baru
saja menyiapkan
"tameng" untuk
memapaki serangan Nini Lembutung,
tapi tak jadi dipergunakan
karena tiba-tiba munculnya
selarik cahaya selendang perak
yang menyambar si
penyerangnya. Tahulah Roro kalau
Nenek Muri Asih
yang muncul menolongnya. Kini
"tameng" yang telah
disiapkan itu segera
dipergunakan untuk memapaki
serangan kaki Giri Mayang.
DHESSS...! Terdengar teriakan
tertahan Giri
Mayang. Tubuhnya terlempar
beberapa tombak dan ja-
tuh bergulingan di tanah.
Meraung wanita iblis itu ka-
rena terasa tulang kakinya
berderak patah. Dengan
meringis kesakitan, tiba-tiba
wanita ini cepat "tarik"
lagi Sepasang Tangan Iblisnya.
Sementara Roro Centil
baru saja jejakkan kakinya ke
tanah setelah berjumpa-
litan di udara.
Sementara dilain pihak...
"Nini Lembutung...! Akulah
lawanmu! Jangan
ikut campur dalam urusan
pertarungan adu jiwa ke-
dua bocah itu!" Membentak
Nenek Muri Asih yang te-
lah berdiri dihadapan Nini
Lembutung dengan gagah.
Jubah putihnya berkibaran
tertiup angin.
"Keparat! rupanya kau si
Selendang Perak Pe-
langi...!" Mendelik
sepasang mata juling nenek sakti
dari pulau Andalas ini.
"Tidak salah! matamu
walaupun juling ternyata
masih awas!" ujar nenek
Muri Asih.
"Kunyuk keparat! kau minta
mampus!" maki
Nini Lembutung. Dan sepasang lengannya bergerak
menyilang menggeletar. Bibir
perempuan sakti ini ber-
kemak-kemik membaca mantera.
Tiba-tiba...
WHUSSS! WHUAA...!
Sepasang lengannya bergerak
menghantam ke
depan saling susul. Membersitlah
sinar merah berhawa
panas saling susul meluncur
pesat mengancam jiwa
nenek Muri Asih.
***
EMPAT
BHLARRR! BHLARRR! BHLARRR...!
Terdengar
suara ledakan beberapa kali.
Percikan-percikan lelatu
api terlihat di udara. Ternyata
nenek Muri Asih telah
memapaki serangan demi serangan
itu dengan puku-
lan-pukulan sinar peraknya.
Hebat akibatnya karena
kedua tokoh itu sama-sama terhuyung
dengan wajah
pucat. Masing-masing dari
mulutnya mengalirkan da-
rah kental.
Tampak masing-masing menggelosor
terduduk,
dan mereka berusaha memulihkan
kekuatannya kare-
na mereka telah sama-sama
terluka dalam akibat ben-
turan-benturan kekuatan tenaga
dalam tingkatan ting-
gi itu. Sementara itu Giri
Mayang tampaknya telah
punya "sayap" lagi
walaupun sebelah tulang kakinya
patah. Karena Sepasang Tangan
Iblis telah berada di
lengannya lagi. Kemunculan Nini
Lembutung telah di-
ketahui. Hal ini telah
membesarkan nyalinya lagi yang
tadinya mulai mengecil.
Tentu saja geramnya luar biasa
dia pada nenek
Muri Asih. Perempuan tua itulah
yang telah mengu-
rungnya beberapa pekan yang lalu
di hutan rimba be-
lantara, hingga sampai beberapa
hari dia tak mampu
keluar dari tempat itu.
Apa lagi telah diketahui nenek
itu telah meng-
halangi "tabrakan"
Nini Lembutung, yang dalam se ge-
brakan tadi telah berhasil
menyelamatkan Roro Centil
dengan sambaran
"selendang" peraknya. Beberapa "la-
brakan" antara kedua tokoh
itu telah menarik perha-
tian mereka sejenak untuk
menyaksikannya. Baik Giri
Mayang maupun Roro Centil
sama-sama terkejut ka-
rena benturan demi benturan
tenaga dalam kedua ne-
nek itu, amat keras.
Dalam sejenak terperangah itu,
Giri Mayang le-
bih dulu tersadar. Dan
kesempatan disaat Roro lengah
tak disia-siakan. Sepasang
lengan Iblisnya dile-
paskan... "Hihihi...
mampuslah kau Roro Centil kepa-
rat...!" bentaknya dalam
hati.
Terperangah Roro ketika tersadar
bahaya men-
gancam jiwanya. Sepasang Lengan
Iblis yang bentuk-
nya menyeramkan itu telah berada
sejengkal lagi di
depan matanya. "Tamatlah
riwayatku...!" memekik Ro-
ro dalam hati. Akan tetapi
dengan gerak reflek sepa-
sang tangan Roro yang selalu
"berisi" itu secepat kilat
telah bergerak menangkap...
Sebuah dari sepasang
lengan itu berhasil ditangkap,
tapi sebuah lagi lolos
dari tangkapannya. Karena
sekonyong-konyong si Len-
gan Iblis melesat ke sisi.
Nyaris pinggang Roro kena
terkoyak kalau dia tak cepat
jatuhkan diri bergulingan.
Sementara sebelah Lengan Iblis
itu
masih tak lepas dari cekalan
tangan Roro. Bah-
kan diperkuat dengan kedua
tangan. Giri Mayang tak
berikan kesempatan Roro untuk
berdiri lagi. Dengan
kekuatan batinnya yang tinggi
Giri Mayang "menyetir"
tangan Iblisnya untuk meluncur
mencengkeram leher
Pendekar Wanita itu dari
belakang. Sedangkan sebuah
lagi dari lengan Iblisnya telah
dibetot, keras agar terle-
pas dari tangan Roro.
Roro Centil menyadari dirinya
dalam bahaya.
Namun sebisanya dia harus
mempertahankan diri un-
tuk menyelamatkan nyawanya.
Ketika itu juga dengan
jurus "Lompatan Harimau
Gurun Pasir" Roro memba-
rengi kekuatan Tangan Iblis yang
telah membetotnya.
Terdengar jeritan parau menyayat
hati dan sua-
ra derak tulang yang patah.
Darah menyemburat. Dan
sebuah kepala manusia terlempar
ke udara... Itulah je-
ritan parau dari Giri Mayang!
Kepalanya telah putus,
terlepas dari tubuhnya dengan
darah memuncrat men-
gerikan. Bersamaan dengan
robohnya tubuh tanpa ke-
pala dari wanita iblis itu,
terdengar suara BHLAARRR!
Secercah kilatan perak dan
pelangi menyambar ke be-
lakang Roro Centil. Sinar biru seketika memercik ke
udara. Ternyata sepasang
"Selendang" nenek Muri Asih
telah menghantam sebuah dari
Tangan Iblis yang nya-
ris mencengkeram leher Roro.
Sementara itu berbareng dengan
bunyi ledakan
keras dibelakangnya, Roro telah
jatuhkan tubuhnya
bergulingan. Roro memang telah
mengetahui bahaya
maut mengancam dibelakangnya,
namun keburu Ne-
nek Muri Asih menghantam Tangan
Iblis yang sebuah
itu dengan "selendang"
Peraknya.
Dan... disaat kepala Giri Mayang
meluncur tu-
run, sebuah bayangan dengan
cepat telah menyambar.
Detik berikutnya Roro Centil
telah berdiri dengan ga-
gah. Rambutnya berkibaran
tertiup angin. Pada sebe-
lah lengannya tampak
tergantung-gantung sebuah ke-
pala manusia tanpa tubuh yang
dicengkeram rambut-
nya. Itulah kepala Giri
Mayang...! Lengan satunya lagi
tiba-tiba bergerak menghantam tubuh
Giri Mayang
tanpa kepala, yang seketika
terbakar hangus! Apakah
sebenarnya yang terjadi? Kiranya
disaat tubuh
Roro Centil terbetot oleh
kekuatan Tangan Iblis
yang ditarik Giri Mayang, Roro
Centil telah membaren-
gi melesat dengan jurus Lompatan
Harimau Padang
Pasir. Ternyata Roro telah
arahkan cengkeraman Tan-
gan Iblis pada majikannya. Tak
ampun lagi si Tangan
Iblis mencengkeram ganas! Tapi
yang dicengkeram
adalah batang leher
"majikan"nya sendiri. Dengan ke-
kuatan tangannya Roro Centil
menyentakkan kepala
Giri Mayang hingga sekaligus
putus! Dan... terlempar
ke udara...
Asap hitam membumbung disertai
bau sangit
yang menusuk hidung, ketika Roro
Centil selesai
membaca mantera dari Tujuh
Mantera Penolak Iblis
warisan si Manusia Gurun Pasir.
Dan... saat itu pula
Tangan Iblis yang dicekal kuat
oleh Roro telah lenyap.
Kejadian itu ternyata tak luput
dari mata Nini
Lembutung, yang baru saja
selesai memulihkan luka
dalamnya. Tampak wajah dan
sekujur kulit wanita tua
itu telah berubah menjadi merah
laksana darah. Pera-
lihan demikian ternyata membuat
wajahnya lebih me-
nyeramkan lagi, yang ternyata
juga berubah secara
mendadak. Dari kedua sisi
bibirnya telah tersembul
dua buah taring yang runcing
mengerikan.
Dengan mendengus bagai suara
kerbau di go-
rok, tiba-tiba sepasang
lengannya terpentang ke arah
nenek Muri Asih. Wanita tua yang
baru saja menolong
Roro itu tak sempat berbuat
apa-apa karena ketika
menoleh pada Nini Lembutung,
serangan dahsyat itu
telah datang dengan mendadak.
Walaupun demikian
dia telah menangkis sebisanya.
Namun... segera ter-
dengar jeritan ngeri si nenek
Muri Asih. Tubuhnya ter-
lempar bergulingan bercampur
dengan deru angin pa-
nas yang menerbangkan batu-batu.
Bau sangit mengembara. Keadaan
tubuh nenek
Muri Asih tampak
mengkhawatirkan, karena seluruh
pakaiannya telah hangus
terbakar.
Pada bagian dadanya tampak
tertera sebuah te-
lapak tangan yang menghitam
jelas menempel dikulit
dan payudaranya.
Wanita tua ini mencoba bangkit,
akan tetapi
kembali dia roboh dan beberapa
kali muntahkan darah
hitam kental.
Dalam keadaan demikian, sebuah
bayangan
berkelebat ke arahnya seraya
terdengar suara teriakan
tertahan.
"Nenek Muri...! kau...
kau... kau terluka...?"
ternyata Roro telah menghampiri
dan menatap dengan
khawatir.
Lompatan Roro yang menghampiri
nenek Muri
Asih ternyata dibarengi dengan
kelebatan tubuh Nini
Lembutung setelah menyambar
Tangan Iblis dari hasil
pembentukan percikan sinar biru
yang buyar terkena
hantaman "selendang"
perak pelangi nenek Muri Asih
tadi.
Ternyata lagi-lagi si nenek mata
juling ini mau
membokong. Dendamnya semakin
menghebat melihat
kematian Giri Mayang, sedangkan
dendamnya sendiri
belum terbalaskan. Lengan Iblis
yang dicekalnya me-
luncur pesat untuk mencekeram
leher Roro Centil.
Sementara lengannya sendiri
membarengi dengan me-
naburkan serbuk racun dalam
genggaman tangannya.
Modharrr...!" bentaknya
dengan bersemangat.
Akan tetapi satu keanehan
terjadi. Roro Centil balikan
tubuhnya seraya membentak.
"Malaikat Gurun Pasir
Merambah Iblis! Dan
buyarlah serbuk racun yang
ditaburkan Nini Lembu-
tung yang meluruk deras ke arah
Roro dan nenek Muri
Asih. Juga sinar biru dari
Tangan Iblis itu tertolak
mental.
Sebagai gantinya terdengar
jeritan parau Nini
Lembutung yang terkena sambaran
serbuk racunnya
sendiri, dan cengkeraman Tangan
Iblis yang "dikenda-
likan" Roro dengan kekuatan
batinnya.
***
LIMA
TANGAN IBLIS yang mengerikan itu
menceng-
keram perutnya. Sementara si
nenek mata juling beru-
saha menariknya. Darah mengucur
bertetesan.
Tampak wajah Nini Lembutung yang
telah be-
rubah mengerikan itu jadi
semakin menyeramkan. Tu-
buhnya terhuyung-huyung lalu
ambruk ke tanah dan
berkelojotan meregang nyawa.
Jeritan-jeritan paraunya
bagaikan suara jeritan setan dan
iblis. Roro Centil me-
lompat mundur untuk kemudian
memeluk nenek Muri
Asih yang seperti telah tak
berdaya dengan luka pa-
rahnya.
Tiba-tiba cuaca
sekonyong-konyong berubah
gelap. Angin membersit keras.
Petir menggelegar ber-
sahut-sahutan.
Salah satu kilatannya menyambar
tubuh Nini
Lembutung yang tengah sekarat
meregang nyawa.
THARRRRR...!
Cahaya terang benderang itu
sekilas menyobek
kegelapan. Tampak asap hitam
membumbung, juga
bau sangit segera tercium dalam
bersitan angin ken-
cang. Roro Centil makin erat
memeluk tubuh wanita
tua itu.
"Apakah yang akan
terjadi...?" berdesis bibir
pendekar wanita kita.
"Tenanglah, Roro..."
terdengar suara nenek Mu-
ri Asih. Nada suaranya lemah.
Trenyuh hati Roro me-
mandangnya. Diam-diam dia
salurkan hawa hangat ke
tubuh wanita tua itu.
"Nenek Muri...! Kita harus
segera tinggalkan
tempat ini..." berbisik
Roro. Akan tetapi wanita tua itu
menggeleng.
"Sabarlah...! Aku masih mau
bercakap-cakap
denganmu, Roro..." menyahut
wanita tua itu.
"Kau telah berhasil menemui
si Manusia Gurun
Pasir...?" tanya nenek Muri
Asih. "Benar, nenek Muri!
akan tetapi cuma kerangkanya
saja." sahut Roro.
"Hehehe... bagus! dan...
kau pasti telah mempe-
lajari kitab simpanannya!"
tertawa nenek Muri Asih.
"Benar...!"
"Sukurlah....! Secara tak
langsung kau telah
menjadi pewaris ilmu si Manusia
Gurun Pasir itu, Ro-
ro. Kau sungguh beruntung. Tapi
aku adalah manusia
yang sial. Karena berpuluh tahun
aku mencari si Ma-
nusia Gurun Pasir tapi tak
pernah berjumpa...! Manu-
sia Gurun Pasir adalah orang
negeri Tursina jauh di
Timur Tengah sana. Dia bekas
seorang Sultan yang
pernah memerintah beberapa
wilayah dalam satu Ke-
rajaan di negeri itu. Sedangkan aku... aku cuma seo-
rang inang pengasuh, dari
seorang Ratu perempuan
yang pernah berkuasa disatu
wilayah utara Manusia
Gurun Pasir berhasil menyunting
majikanku, alias
sang Ratu di wilayah utara itu
dalam pengembaraan-
nya. Ditubuh ku mengalir darah
jahat dari ibuku. Me-
lihat kebahagiaan sang Ratu
junjunganku dengan si
Manusia Gurun Pasir aku jadi
mengiri. Aku telah la-
kukan kejahatan, yaitu berusaha
memisahkan mereka
berdua...! Akan tetapi kesudahannya aku menyesal.
Aku membenci perbuatan jahat ku.
Aku memang be-
rusaha keras melenyapkan sifat
jahat dalam diriku,
akan tetapi aku merasa tak
sanggup untuk menguasai
jiwaku keseluruhan. Sejak itu aku tak tahu lagi ten-
tang sang Ratu junjunganku itu.
Ya, sejak aku berhen-
ti jadi inang pengasuh dan
meninggalkan wilayah uta-
ra itu. Namun belasan tahun
kemudian aku menden-
gar suara gaib yang
memerintahkan aku merawat see-
kor harimau tutul! Sejak itulah
aku menjadi "penga-
suh" dari si Tutul. Sayang
aku belum juga dapat men-
guasai kejahatan yang terkadang
selalu timbul untuk
merangsang jiwaku. Acap kali aku
telah menyuruh si
Tutul melakukan kejahatan. Akan
tetapi untunglah...!
aku sering gagal dan merobah
jalan pikiran untuk ce-
pat membatalkan niat jahatku
itu.... Hingga akhirnya
aku telah berjumpa denganmu,
Roro...! Dan kau telah
menaklukkan si Tutul dengan
cahaya sebuah cincin
bermata batu Merah Delima yang
kuketahui jelas ada-
lah milik sang Ratu. Entah dari mana kau dapatkan
benda itu hingga berada ditangan
mu, waktu itu aku
tak berniat menyelidiki. Bahkan
aku telah menyangka
kau adalah titisan dari sang
Ratu junjunganku itu. Se-
jak itu aku melenyapkan diri...
Walau sebenarnya
orang telah mengenalku sebagai seorang
Pendekar pe-
rempuan yang digelari si
Pendekar Selendang Perak
Pelangi. Namun aku merasa
sebutan Pendekar itu pa-
daku terasa berat bagiku
menerimanya. Karena terka-
dang aku malu pada diriku
sendiri yang suka berbuat
kejahatan, walaupun hal itu kuperbuat
diluar kesada-
ranku...!"
Demikian tutur nenek Muri Asih
dengan agak
panjang lebar. "Tapi
anehnya sejak si Tutul berada pa-
damu, aku mulai bisa mengatasi
golakan darah jahat
yang merangsang syaraf ku. dan mengendalikannya!"
Roro Centil mendengarkan
penuturan si nenek dengan
tertegun dan terlongong-longong.
Selang sesaat setelah
terbatuk-batuk beberapa
kali, nenek Muri Asih lanjutkan
ucapannya.
"Aku telah pernah berjanji
akan menurunkan
ilmuku padamu, Roro...! Akan tetapi "agaknya maut
sebentar lagi akan
menjemputku..." Ujarnya lagi den-
gan fasal lain, karena telah
selesai dalam memberikan
penuturan dari kisah hidup yang
dialaminya.
Roro memang tak sempat untuk
menuturkan,
dan si nenek Muri Asih tak
pernah tahu kalau sebe-
narnya si Tutul yang selalu
mengikut padanya adalah
roh dari si Manusia Gurun Pasir,
seperti apa yang te-
lah dituturkan sendiri oleh
suara gaib ketika Roro be-
rada didalam goa di tengah gurun
pasir...
"Tidak! nenek Muri...! kau
harus hidup! aku
akan berusaha menolongmu
menyembuhkan luka da-
lam ditubuh mu...!" sentak
Roro terkejut. Akan tetapi
wanita tua itu cuma tersenyum.
Tatapan mata wanita tua ini
semakin melemah.
Namun tampak dia berusaha
menguatkan tubuhnya.
"Dekatkan telingamu kemari,
Roro...!" perintahnya ti-
ba-tiba.
Tak ayal Roro segera menuruti
kehendak wani-
ta tua perkasa ini untuk
mendekatkan telinganya pada
mulut nenek Muri Asih. Terdengar
bisikan kata-kata...
Dan tampak Roro manggut-manggut.
"Kau ha-
palkan kata-kataku ini. Aku
yakin kau akan mampu
memecahkannya. Dan
dengan demikian lunaslah hu-
tangku karena kau pasti bisa
memainkan jurus-jurus
Selendang Perak Pelangi..."
berkata nenek Muri Asih
dengan nada pasti dan tampak
kepuasan pada wajah-
nya.
Tiba-tiba wajah wanita tua itu
berubah pucat
dan menegang.
"Roro! segeralah kau
tinggalkan tempat ini.! ce-
pat! cepatlah...! perintah nenek
Muri Asih. Akan tetapi
Roro malah tertegun dan tak
beranjak dari tempatnya.
Sementara kilatan-kilatan petir tetap terlihat
beredepan dilangit.
Angin keras masih membersit.
Sekilas terpan-
dang tubuh Nini Lembutung
terkapar tak berkutik
dengan tubuh yang telah
menghitam hangus.
Roro bergidik ngeri melihatnya,
seraya menatap
menengadah ke atas.
Tiba-tiba terperangah Roro Centil ketika meli-
hat ada perubahan pada wajah dan
sekujur tubuh ne-
nek Muri Asih. Tubuhnya berubah
menjadi merah juga
rambutnya. Dan wajahnya telah
berubah jadi menye-
ramkan, karena sepasang taring
telah tersembul dari
kedua sudut bibirnya.
"AAH...!?" tersentak
Roro seraya beringsut
mundur.
"Sudah terlambat, Roro...!
tapi tak apalah! kau
sudah terlanjur melihat bentuk
ujudku! Ketahuilah...!
aku dan Nini Lembutung itu
adalah saudara sedarah.
Walau aku dengannya adalah lain
ayah tapi darah
ibuku masih menyerap dalam
tubuhku! Darah yang te-
lah kena kutukan iblis! Kini
pergilah cepat kau, Roro!
Sebentar lagi petir akan
menghanguskan tubuhku!"
berkata nenek Muri Asih dengan
suara serak parau.
Akan tetapi Roro Centil tetap
tak beranjak dari
tempatnya.
"Tidak nenek Muri, kau tak
boleh termakan ku-
tukan! kalau memang kau sudah
ditakdirkan mati,
kau harus mati dalam keadaan
wajar...!" sahut Roro.
Dan tanpa perdulikan perintah
nenek Muri
Asih yang telah berubah jadi
mengerikan itu, Roro
Centil cepat membaca
"mantera-mantera Suci" dari tu-
juh kalimat yang dipelajari dari
Manusia Gurun Pasir.
Tiba-tiba langit mendadak
berubah cerah. An-
gin yang membersit keras itu
pelahan-lahan melenyap.
Juga kilatan petir telah
terhenti.
Alam tampak kembali tenang
seolah tak pernah
terjadi apa-apa...
Dan... tertegun Roro Centil
ketika menatap pa-
da nenek Muri Asih ternyata
tubuh dan wajahnya telah
kembali seperti sedia kala.
Wanita tua itu tampak seperti
masih tersenyum
padanya dengan mata setengah
terbuka. Akan tetapi
nyawanya telah melayang.
"Nenek...! nenek Muri...
Aiii, kau benar-benar
telah
"mendahului"....!- ucap Roro dengan lirih dan ha-
ti trenyuh. Lengannya bergerak
mengusap wajah wani-
ta tua bekas Pendekar Wanita
Perkasa itu hingga ter-
katup kelopak matanya. Lama Roro
tercenung mena-
tap dengan tertegun. Tak lama
terdengar suara helaan
nafasnya.
"Yah, takdir tak dapat
dipungkiri...! akan tetapi
aku puas, karena kau dapat mati
dengan sewajarnya,
nenek, Muri.... Semoga Tuhan
mengampuni dosamu..."
ucap Roro dengan suara lirih.
Pelahan-lahan Roro mu-
lai tersadar kalau sudah
waktunya dia meninggalkan
tempat itu. Segera dipondongnya
jenazah nenek Muri
Asih alias si Pendekar Selendang
Perak Pelangi.
Terkejut Roro Centil ketika
sejenak mengamati
sekitar tempat itu, karena hutan
rimba yang berada
disekitar bukit Karang Helang
telah porak-poranda ba-
gaikan baru diterjang badai.
Roro memang tak menya-
dari dan tak begitu
memperhatikan kalau angin keras
yang berpusaran diatas bukit
tadi telah membuat hu-
tan belantara ditempat itu
seperti baru diobrak-abrik
"tangan Raksasa. Akan
tetapi tidak sampai merambah
ke tempat pertarungan.
Roro menatap sejenak ke arah Matahari yang
sudah semakin condong lalu
bergegas menuruni lereng
bukit.....
***
ENAM
"NONA ROROOOO...! Satu
teriakan santar
membuat Roro Centil hentikan
langkahnya, dan meno-
leh ke arah suara. Segera
terlihat dua sosok tubuh ber-
lari-lari mendatangi.
Beberapa saat kemudian kedua
sosok tubuh itu
telah tiba dihadapannya.
"Sobat Sambu Ruci...! ah,
kiranya anda...?"
berkata Roro, Seraya sepasang
matanya memperhati-
kan kawan wanita laki-laki itu.
Sambu Ruci
agaknya tak teringat sama sekali
untuk memperkenalkan gadis
kawannya itu pada Ro-
ro, karena sepasang matanya
tertuju pada jenazah
seorang wanita tua dalam
pondongan pendekar wanita
itu.
"Nenek Muri Asih...! Apakah
yang terjadi?"tanya
Sambu Ruci dengan menatap
tertegun pada Roro.
"Beliau telah tewas...
menyahut Roro dengan
tersenyum pahit.
"Ah...!?" tersentak
Sambu Ruci. Seketika per-
sendian sekujur tubuhnya terasa lemas. Begitu juga
dengan wanita si gadis peniup
Seruling alias si Serul-
ing Gading. Dia menatap dengan
tertegun dan hati
mencelos, karena belum lama dia
berjumpa dengan
nenek itu yang telah
memerintahkan menguburkan
puluhan jenazah penduduk dari
dua desa akibat per-
buatan Giri mayang. Tapi kini
dijumpainya lagi wanita
sakti itu telah tewas dengan
keadaan mengenaskan.
Ketika tertatap kepala tanpa
tubuh yang te-
rayun-ayun di bawah lengan Roro
serentak keduanya
melangkah mundur dengan
terperangah.
"Hihihi... inilah kepala si
Giri Mayang! Setelah
selesai mengubur jenazah nenek
Muri Asih, aku akan
mengantarkannya ke Istana. Akan
kupersembahkan
pada Raja!" berkata Roro
yang telah memaklumi keter-
kejutan kedua remaja itu.
"Kami baru mau melihat ke atas
bukit untuk
mengetahui apa yang terjadi
disana. Akan tetapi cuaca
tiba-tiba menjadi gelap. Petir
menyambar dan angin
keras bagaikan taufan datang
secara tiba- tiba. Ter-
paksa kami urungkan niat. Tak
dinyana diatas sana
telah terjadi pertarungan hebat!
Dan diatas sana pula
tempat kematian perempuan Iblis
bernama Giri
Mayang! Sungguh tak kusangka kalau anda berhasil
membunuhnya, nona Roro...! akan
tetapi bagaimana
kisahnya sampai nenek Muri Asih
bisa tewas...?" tutur
Sambu Ruci yang diakhiri dengan
pertanyaan.
"Hm, nanti akan
kuceritakan! marilah kita cari
tempat yang baik untuk
mengebumikan jenazah nenek
Muri ini...!" menyahut
Roro.
"Ehm, tapi perkenalkan dulu
atuh siapa gadis
kawanmu itu...?" sambung
Roro dengan tersenyum.
Belum lagi Sambu Ruci buka mulut
si Gadis te-
lah maju selangkah seraya
menjura pada Roro.
"Maafkan, aku yang rendah
bernama dan ber-
gelar si Seruling Gading.
Gembira sekali dapat berjumpa
dengan anda,
kakak Pendekar! Nama anda telah
terdengar santar ke
setiap tempat, membuat setiap golongan Pendekar
mengagumi. Dan...aku adalah
salah seorang penga-
gum anda...!" ujar Seruling
Gading yang kemudian
mengangkat wajah dengan senyum
menghiasi bibir-
nya.
Sementara diam-diam hatinya
memuji dan ka-
gum luar biasa akan kecantikan
sang pendekar wanita
itu. Sudah cantik berilmu tinggi
pula yang sukar di-
ukur...!
Oo.... betapa kecilnya aku bila
dibandingkan
dengannya...? berpikir Seruling
Gading dalam benak.
"Pantas kalau Sambu Ruci
pernah "ada Hati" dengan-
nya!" berkata dalam hati si
gadis ini.
Roro Centil mengangguk seraya
tersenyum.
"Namamu dan gelarmu bagus
sekali, adik...! Baiklah
nanti kita teruskan
bercakap-cakap, Mari kita tinggal-
kan tempat ini...!"
tukasnya kemudian seraya menatap
pula pada Sambu Ruci Keduanya
dengan berbareng
mengangguk. Roro segera putarkan tubuh. Lalu me-
langkah untuk segera berlari
cepat menuruni lereng
bukit karang Helang.
Tak ayal Sambu Ruci dan Seruling
Gading se-
gera berkelebat mengikuti.
Lengan Sambu Ruci bergerak
terulur ke sisi un-
tuk menggamit lengan gadis itu,
yang segera menyam-
butnya dengan cekalan erat.
Dengan bergandengan tangan
keduanya berla-
ri-lari serta terkadang melompat
menyusul kelebatan
tubuh Roro, Hingga tampak dari
kejauhan bagaikan
dua bayangan merah dan putih
yang berkelebatan me-
nuruni lereng bukit Karang
Helang. Bukit yang telah
membawa maut! Akan tetapi
kemenangan berada dipi-
hak Roro Centil sang Pendekar
Wanita Pantai Selatan.
Walau harus berkorban dengan
kehilangan nyawa seo-
rang Pendekar Wanita tua yang
berbudi luhur.
Roro benar-benar menepati
janjinya yaitu men-
girimkan kepala Giri Mayang pada
Raja yang diserta-
kan pula didalamnya sepucuk
surat.
"Semoga dengan tewasnya perempuan
Iblis
bernama Giri Mayang ini, keadaan
di wilayah Kerajaan
anda kembali pulih dan tenteram
seperti sediakala"
Demikian isi surat yang
dituliskan diatas secarik ker-
tas. Dan pada bagian bawahnya
tertera nama RORO
CENTIL.
Tentu saja amat suka-citanya
hati Raja. Bagin-
da Raja telah menyediakan hadiah
istimewa untuk
sang Pendekar Wanita itu yang
telah berjasa memulih-
kan keamanan di wilayah
kekuasaan Kerajaannya. Se-
gera disebar undangan ke
setiap tempat, karena tak
diketahui dimana beradanya
Pendekar Wanita Roro
Centil itu. Agaknya Raja ingin
melihat sendiri bagai-
mana rupa dan wajah tokoh
Pendekar yang namanya
banyak disanjung orang itu.
Beberapa hari ditunggu-
tunggu ternyata tak ada berita
datangnya sang dara
Perkasa itu. Akhirnya sepekan kemudian. Raja men-
dengar berita adanya Pendekar
Besar itu menetap di
Pesanggrahan desa Cipatujah.
Segera diutus orang un-
tuk menyelidiki ke sana. Ketika
utusan itu kembali,
segera datang menghadap seraya
menyembah.
"Ampun, Gusti Paduka Raja,
Pendekar Roro
Centil telah pergi meninggalkan
pesanggrahan CIPA-
TUJAH dimana dia menetap. Tak
seorangpun dari ra-
kyat Cipatujah mengetahui kemana
perginya...!"
Termenung Baginda Raja dengan
laporan itu.
Ketika utusan itu telah kembali
keluar ruangan pen-
dopo Istana, Baginda Raja
terdengar menghela napas
dan terdengar suaranya bergumam
lirih...
"Haih...! Pendekar Wanita
itu memang sukar di-
ikuti jejaknya. Kepergiannya
tentu sengaja dipercepat,
karena aku yakin dia tak membutuhkan
imbalan atas
segala jasanya...!" gumam
sang Raja. Lalu bangkit dari
kursi singgasananya dan beranjak
masuk ke ruang da-
lam. Hari itu juga kepala Giri
Mayang diperintahkan
untuk dibakar....
Sementara di Pesanggrahan
Cipatujah....
Sepasang Pengantin Baru itu
masih tampak
malu-malu diriung banyak orang.
Akan tetapi dari pancaran
matanya terlihat si-
nar kebahagiaan, itulah pasangan
pengantin dari
Sambu Ruci dan Seruling Gading.
Pernikahan itu telah
selesai dan resmi sudah mereka
menjadi suami-isteri.
Walaupun untuk itu mereka cukup
dihadiri oleh bebe-
rapa orang sebagai saksi, tanpa
wali.
Roro Centil memang telah
meninggalkan tempat
itu, begitu selesai memberi
selamat pada kedua mem-
pelai. Entah apa yang membuat
Roro cepat-cepat ber-
lalu, sedangkan tetamu undangan
masih berdatangan.
Dan banyak orang yang diundang
belum munculkan
diri.
"Numpang nikah"
dikampung orang memang
harus banyak menemui
syarat-syarat tertentu. Tapi
karena sedikit banyak mereka
tahu siapa adanya
orang yang berada ditempat pesta
perkawinan itu juga
orang yang punya
"tempat" dimana diadakan pesta
pernikahan itu syarat-syarat
tampaknya tak berlaku.
Rumah besar itu adalah
Pesanggrahan milik
seorang tokoh silat kenamaan
didaerah itu yang berge-
lar Ki Astagina. Pesanggrahan
Cipatujah memang telah
disetujui oleh Ki Astagina untuk
di pakai menikahkan
kedua mempelai yang menumpang
menikah di wilayah
itu, yang juga telah disetujui
Kepala Desa Cipatujah.
"Aku telah menolong
menikahkan mereka...!
Hm, tampaknya Sambu Ruci
benar-benar mencintai
gadis itu. Si Seruling Gading
juga demikian..!" Terden-
gar suara desis lirih dari bibir
dara berambut panjang
terurai itu. Dia memang Roro
Centil yang tengah du-
duk diatas batu karang ditepi
pantai. Pagi itu laut
tampak tenang tak berombak.
Angin cuma semilir saja.
"Sukurlah! semoga mereka
bisa rukun..." terdengar lagi
desis suara Roro. Sepasang
matanya tampak menatap
jauh ke cakrawala. Terkadang
memperhatikan burung-
burung camar yang sesekali
menukik menyambar
ikan-ikan dipermukaan air.
Dan... suara helaan napas
sang dara terdengar menyibak
keheningan dipantai
itu.
Dan... aneh! disaat-saat seperti
itu Roro terin-
gat pada seorang laki-laki
brewok yang bertampang ga-
gah. Ya laki-laki yang bernama
Joko Sangit. Laki-laki
yang digelari si Brandal
Pemabukan. "Huh...! terdengar
suara mendengus dari hidung
Roro. Dan bibirnya
membuat tekukkan dengan mimik
cemberut.
"Lelaki hidung belang macam
itu mengapa ha-
rus diingat-ingat...?" tiba-tiba menggumam
Roro Cen-
til. Dialihkannya ingatannya
pada lain Wajah. Akan te-
tapi justru wajah Sambu Ruci
yang terpampang di pe-
lupuk mata.
Plak! tiba-tiba Roro telah
menampar pipinya
sendiri. "Mengapa justru
Sambu Ruci yang ku ingat?
Aiiih! dia sudah jadi milik
orang! Dan aku memang tak
ada hati padanya...!"
berkata Roro dalam hati. Dan dia
jadi tertawa sendiri karena
lagi-lagi teringat pada Joko
Sangit. Tertawa yang didalamnya
mengandung kepedi-
han. Roro memang tak dapat
mendustai dirinya sendiri
kalau dia memang serasa ingin
sekali berjumpa den-
gan laki-laki itu. Laki-laki
yang telah membangkitkan
rasa cemburu dihatinya. Akan
tetapi menimbulkan pu-
la rasa kasihan, karena
tampaknya Joko Sangit selalu
menjadi bulan-bulanan perempuan
bejat. Apa yang di-
ingat Roro adalah ketika
mengingat kejadian di wilayah
Lembah Soka disaat kaum golongan
Pendekar akan
menyebrang ke tengah Telaga
Berkabut untuk meng-
gempur Istana Kerajaan Pugar
Alam, pada beberapa
bulan yang lalu. Joko Sangit
memang "jatuh" dalam
pelukan seorang perempuan yang
menamakan dirinya
si Dewi Perunggu.
Mengingat demikian seketika
wajah Roro beru-
bah merah dan terasa panas, yang
membuat dia
menggigit bibirnya dengan wajah
kesal.
"He? mengapa aku tak
mencoba mempelajari
jurus Selendang Perak
Pelangi?" tiba-tiba Roro teringat
akan bisikan kata-kata
ditelinganya ketika saat nenek
Muri Asih akan menghembuskan
napas terakhir... Ro-
ro duduk merenung untuk
mengingat-ngingat bisikan
kata-kata itu, dan mencoba
memecahkannya.
Tak lama wajah Roro membersitkan
kegiran-
gan. Dan... mulailah dia mencoba
berlatih dengan pu-
kulan-pukulan tangannya. Air
laut menyemburat ter-
kena hantaman-hantaman pukulan
Roro. Akan tetapi
belum menampakkan hasilnya. Roro
terus mencoba
dan mencoba...! Kemauan kerasnya
untuk menguasai
jurus nenek Muri Asih semakin
membuat dia penasa-
ran. Akhirnya Roro mengambil
keputusan untuk me-
netap sementara dipantai itu
guna mempelajari jurus-
jurus Selendang Perak Pelangi.
***
Emoticon