1
JARAN PERKOSO adalah nama Ketua
dari Pe-
rusahaan Pengantar dan pengawal
barang, yang ba-
nyak mempunyai cabang di
beberapa tempat.
Laki-laki berusia sekitar 50
tahun itu sudah
lama menduda sejak kematian
istrinya delapan tahun
yang lalu. Dan cuma hidup berdua
dengan anak ga-
disnya yang berusia 18 tahun
bernama Sri Kemuning.
namun segera dikenal dengan
julukan PIPIT LURIK,
karena kesukaannya memang
mengenakan pakaian
bercorak garis-garis atau lurik.
Hingga terkenal dengan
julukan si Pipit Lurik. Dalam
merintis usahanya itu,
Jaran Perkoso dibantu oleh dua
orang saudara seper-
guruannya bernama Gantar Sewu
dan Jaka Keling.
Mereka memang murid-murid kakek
sakti dari puncak
Gunung Muria, yang bergelar Resi
Paksi Sakti Jala-
tunda.
Namun sejak sepuluh tahun
belakangan ini ka-
kek sakti yang bersemayam di
puncak Gunung Muria
itu, sudah tak ketahuan lagi
bagaimana kabarnya. Ka-
rena pernah pada beberapa bulan
belakangan ini Ja-
ran Perkoso dan kedua saudara
seperguruannnya me-
nyambangi, namun sang guru yang
disebut Eyang Ja-
latunda itu sudah tak lagi
berdiam dipondoknya lagi.
Tak seorangpun' mengetahui
kemana lenyapnya.
Perusahaan Pengangkut dan
Pengawalan ba-
rang yang dipimpin oleh Jaran
Perkoso itu diberi nama
BENTENG MACAN GUNUNG, yang
markasnya terletak
di sekitar daerah UNGARAN. Pada masa itu memang
nama Perusahaan Ekspedisi Benteng Macan Gunung
sedang terkenal. Karena
disamping mempunyai alat
pengangkutan yang kuat, yaitu
kereta-kereta barang
dengan kuda-kuda yang kekar,
juga dikawal oleh
orang-orang yang tangguh dan
berkepandaian tinggi.
Apalagi nama TIGA MACAN GUNUNG
MURIA sudah
terkenal dengan ketinggian
ilmunya. Hingga perampok-
perampok dan pembegal akan segan
mengganggu ba-
rang-barang kawalan mereka.
Namun segala sesuatu di dunia
ini memang su-
sah diduga. Dan kelanggengan
selalu bersifat sementa-
ra. Demikian juga dengan keadaan
Perusahaan dan
Pengawalan barang Benteng Macan
Gunung. Sejak
berdirinya delapan tahun yang
lalu, sudah banyak
menjatuhkan beberapa saingan
dalam usaha jenis itu.
Walaupun sebenarnya langganan
bebas memakai jasa
siapa saja tanpa paksaan, namun
kenyataannya para
Pedagang atau pengusaha
pertanian maupun perke-
bunan, atau para saudagar dan
bangsawan lebih cen-
derung memakai jasa Benteng
Macan Gunung yang
sudah tersohor akan keamanannya.
Karena mereka ti-
dak Usah khawatir merasa was-was
lagi akan teran-
camnya barang mereka dari
gangguan begal atau pe-
rampok serta gangguan lainnya.
Sehingga sudah sejak lama
menimbulkan rasa
iri hati atas kewibawaan Benteng
Macan Gunung. Dan
menimbulkan perbagai dendam
terselubung pada si
Tiga Macan Gunung Muria yang
tengah berjaya.
Sebuah gedung besar dan megah
dibangun di
ujung kota Ungaran. Disekeliling
gedung adalah berdiri
puluhan barak-barak tempat
kereta, serta beberapa is-
tal kuda. Pada bagian belakang
gedung megah itu ada-
lah barak-barak dari para
pengawal yang keadaannya
bersih dan teratur. Mereka amat
senang tinggal di
tempat itu, karena sang Ketua
atau majikan mereka
amat memperhatikan akan
kesejahteraan mereka, balk
makan dan pakaian. serta gaji
yang sesuai.
Sebagai puteri satu-satunya, Pipit Lurik amat
manja pada ayahnya. Wajahnya
yang cantik dengan
sepasang mata jeli berbulu mata
lentik, juga raut wa-
jah berbentuk daun sirih dengan
dagu kecil, hidung
yang mancung serta berbibir
tipis itu mengingatkan
pada wajah mendiang istrinya
yang telah tiada.
Jaran Perkoso amat menyayangi
puterinya ini.
Namun bukan dengan dimanjakan
dengan diumbar
segala kemauannya, akan tetapi
diam-diam sejak be-
rusia 10 tahun, Pipit Lurik
alias Sri Kemuning telah
diwarisi ilmu kepandaiannya.
Gadis yang baru berusia
genap delapan belas tahun ini
walau kelihatannya le-
mah, namun telah terisi dengan
kekuatan dalam yang
tak kelihatan.
Disamping mewarisi lebih dari
separuh ilmu
pedangnya, juga Pipit Lurik
sudah menguasai berbagai
ilmu lainnya. Seperti ilmu tenaga dalam, dan
tangan
kosong. Sejak kecil memang Pipit
Lurik telah diajari
cara menunggang kuda, hingga
tampak gadis itu
mempunyai kelincahan yang
mengagumkan dalam
menunggang kuda, walaupun semua
itu dilakukan di
dalam markas yang dipagari
dengan tembok tebal.
Terkadang ada rasa sunyi di hati
Jaran Perkoso
sejak ditinggal sang istri ke
alam baka. namun men-
gingat akan kekhawatirannya pada
sang anak, bila
mempunyai seorang ibunya yang
telah tiada, Jaran
Perkoso tak sampai hati untuk mengambil istri lagi.
Khawatir kalau sang istri kelak
tak menyayangi Pipit
Lurik. Dan akan berakibat tidak
baik bagi keadaan da-
lam rumah tangganya.
Demikianlah, hingga sampai
sejauh itu Jaran
Perkoso selalu memendam
perasaannya. Laki-laki ini
sering terlihat termangu-mangu
menatap keluar jende-
la, memperhatikan barak-barak di
sekeliling gedung.
Sembilan belas kereta barang
dibarak itu cuma bersisa
sebelas kereta. Dan dua puluh
ekor kuda dibarak sana
cuma tinggal beberapa ekor lagi,
karena hal itu Gantar
Sewu dan Jaka Keling tengah
pergi mengantar barang
kawalan kedua tempat. Pesanan
mengantar barang da-
ri seorang bangsawan tua di
sebelah Utara kota Unga-
ran, yang dikawal oleh Gantar
Sewu, dan pesanan satu
lagi adalah atas pesanan dari
Adipati Banyu Biru, yang
dikawal oleh Jaka Keling dengan
membawa belasan
anak buahnya.
Tampak laki-laki tua ini
menghela napas, se-
raya hempaskan tubuhnya ke kursi di
belakang me-
janya. Terkadang di hati Jaran
Perkoso ada rasa bang-
ga mempunyai saudara seperguruan
yang bekerja ra-
jin, patuh dan jujur.
Akan tetapi juga terasa begitu
sepinya kalau
sudah keadaan dimarkas Benteng
Macan Gunung
menjadi sunyi.
Ada tersirat dihatinya untuk
meninggalkan pe-
kerjaannya. Entah mengapa
dorongan itu begitu kuat.
Jaran Perkoso merasa usianya
sudah semakin menua.
Dan sudah pantas rasanya dia
mengundurkan diri ke
tempat sunyi.
Ah, seandainya Pipit Lurik telah
bersuami, dan
mempunyai kesenangan... rasanya
aku akan leluasa
menyendiri di puncak Muria
Disana tampaknya amat
tenang dan tenteram! Sayang
Eyang guru telah tak be-
rada di tempat itu, namun
biarlah! Aku toh dapat me-
rasakan ketentraman walau hidup
menyendiri, sambil
mengenang almarhum Sri
Lestari.... . ! Mungkin den-
gan berdiam disana aku dapat
menentramkan pera-
saanku! Demikian pikir Jaran
Perkoso.
Memikir demikian tiba-tiba wajah
laki-laki ini
menampilkan kecerahan. Bibirnya
menampakkan se-
nyuman. "Ah, mengapa tak
kubujuk anakku agar me-
nerima lamaran si Bangsawan Tua
itu? Dia mengajak-
ku berbesan! Dan aku sudah lihat
sendiri anak laki-
lakinya cukup tampan!
Perangainya kukira baik...! Ya,
cukup sepadan bila bersanding
dengan Pipit Lurik.
Pemuda itu bernama PITRA SENA!
Hm, nama yang cu-
kup gagah buat anak seorang
Bangsawan!" Menggu-
mam lirih Jaran Perkoso.
"Ah, seandainya Pipit Lurik
tak menolak, aku
setuju berbesan dengan Raden Mas
ANJASMORO
itu...!" Desisnya agak
keras sambil gerakkan lengannya
memukul meja di luar sadar.
Terdengar suara langkah kaki
mendekati, dan
seorang gadis cantik berwajah
bulat sirih sudah mun-
cul di belakang Jaran Perkoso. Gadis ini adalah Sri
Kemuning alias Pipit Lurik.
Tampak sepasang alis ga-
dis remaja ini bergerak hampir
menyatu. Sepasang ma-
tanya yang tajam menatap pada
ayahnya. "Ada apa-
kah, ayah? Tak biasanya ayah memukul
meja..." Tanya
Pipit Lurik seraya menggelendot
di punggung sang
ayah.
Terkejut Jaran Perkoso, tapi
segera merubah
wajahnya menjadi senyum yang
amat cerah. "Ah,
anakku...! Aku lupa akan satu
jurus ilmu pukulan
yang belum ku turunkan padamu,
hingga tanpa sadar
aku memukul meja dengan
keras!" Ujar Jaran Perkoso
yang belum mau berterus terang
di hadapan anak ga-
disnya.
Akan tetapi wajah gadis itu tak
menampakkan
perubahan cerah seperti
biasanya. Bahkan mele-
paskan lengannya, seraya
beranjak beberapa langkah
ke arah pintu. Dan menatap keluar dimana
terdapat
kebun bunga pada halaman gedung.
"Untuk apakah ilmu pukulan
itu kupelajari,
ayah? Rasanya aku tak memerlukan
segala macam il-
mu silat! Karena bukankah kau
menginginkan aku
menikah dengan anak Bangsawan
Tua itu...?" Berkata
Pipit Lurik tanpa palingkan
wajahnya. Tentu saja kata-
kata itu membuat Jaran Perkoso
jadi tersentak kaget,
karena tak menyangka kalau
kata-katanya di luar sa-
dar tadi telah terdengar oleh
sang anak.
"Anakku...! kau mendengar
gumam ku tadi?.. .
ahk, aku... aku cuma..."
"Ayah! Mengapa kau begitu
tergesa memikirkan
diriku...? Aku masih ingin hidup
bebas, tak mau teri-
kat dulu dengan
perkawinan!" Berkata Pipit Lurik,
dengan suara tiba-tiba berubah jadi
parau. Dan segera
tampak air mukanya menjadi
memerah. Sepasang ma-
tanya sudah berkaca-kaca
tergenang air mata yang
mendadak menyembul keluar.
Tergesa-gesa Jaran Perkoso
menghampiri, dan
cekal perlahan pundak anak
gadisnya. Namun laki-laki
inipun bingung akan berkata apa
pada anak gadisnya,
karena sekonyong-konyong
bibirnya terasa seperti ter-
kunci, tak tahu apa yang harus
diucapkannya.
"Sudahlah, anakku...! kalau
kau tak menghen-
daki, aku tak dapat
memaksa...!" Akhirnya Jaran Per-
koso membujuk dengan kata-kata
lembut, seraya
membelai rambut sang anak.
Hatinya pun menjadi lu-
luh kembali. Betapapun dia amat
menyayangi puteri
satunya ini, dan tak ada berniat
melukai hatinya..
"Ayah.....!" Teriak
Pipit Lurik seraya balikkan
tubuhnya dan memeluk sang ayah
dengan terisak-
isak. Jaran Perkoso
mengusap-usap punggung anak
gadisnya. Sekonyong-konyong
hatinya jadi trenyuh,
dan di luar sadar laki-laki
inipun menitikkan air mata.
—0OOO0—
Sejak itu Jaran Perkoso tak
pernah lagi me-
nyinggung-nyinggung soal
perjodohan yang diha-
rapkan akan membuka jalan
melaksanakan niatnya.
Bahkan Jaran Perkoso tak
mengharapkan sedi-
kitpun untuk berbesan dengan
Bangsawan Tua lang-
ganannya itu. Namun sejak itu
Pipit Lurik nampak ser-
ing menyendiri dalam kamar. Tak
menampakkan ke-
lincahannya lagi, atau
kemanjaannya di hadapan sang
ayah. Gadis itu selalu menunduk
tanpa berani me-
mandang padanya jika berhadapan.
Dan jarang sekali
Pipit Lurik berbicara kalau tak
ditanya.
Jaran Perkoso merasa amat
menyesal dengan
kejadian lalu itu, karena tanpa
diduga membuat dia
dan anak gadisnya jadi kurang
akrab seperti biasanya.
Makin sepilah hatinya, dan
semakin sering Ja-
ran Perkoso merenung bila telah
selesai pekerjaannya.
Hingga terbitlah keinginannya
membuat keakraban la-
gi pada sang anak gadis. Yaitu
dengan mengajaknya
pergi keluar.
Hari itu cuma Gantar Sewu yang
pergi mengan-
tar dan mengawal barang. Jaka
Keling berada dimar-
kas. Tampak laki-laki
berusia 30 tahun itu tengah
membantu para anak buahnya
membetulkan kereta-
kereta yang rusak. Dan mengganti
roda-rodanya den-
gan yang baru. Ketika Jaran Perkoso menghampiri,
adik seperguruannya ini
cepat-cepat menjura.
"Adik Jaka Keling...!
Apakah kau tidak pergi
kemana-mana hari ini... ?"
Tanya Jaran Perkoso sambil
menggendong tangan di belakang
punggung.
"Ada apakah, kakang? tak
ada niatku untuk ke-
luar! Aku perlu memperbaiki
kereta, bukankah dua
hari lagi akan mengantar barang
ke Rawa Pening...!"
Ujar Jaka Keling sambil
menepuk-nepukkan kedua
lengannya yang berdebu. Jaran
Perkoso manggut-
manggut, dan tersenyum.
"Ah, sukurlah...! kau amat
rajin bekerja! Jan-
gan terlalu berlebihan, adikku!
Beristirahatlah kalau
memang kau memerlukan istirahat!
Pekerjaan itu bisa
dikerjakan Singo Bronto atau
yang lainnya! Aku ingin
mengajak Pipit Lurik pergi
keluar menghirup udara pe-
gunungan! Kau berjagalah
dimarkas! Kalau ada pesa-
nan mengantar barang, suruh sore
nanti kembali lagi!
Mungkin aku baru kembali menjelang
sore...!" Berkata
Jaran Perkoso.
"Baiklah, kakang...!"
Menyahut Jaka Keling
dengan menunduk menatap jemari
kakinya. Jaran
Perkoso menepuk-nepuk bahu
pemuda itu yang pantas
menjadi muridnya.
"Baik-baiklah sepeninggal ku, men-
jaga markas..!" Ujarnya
pula. Jaka Keling mengang-
guk- angguk sambil tersenyum.
"Tentu, kakang...!"
Sahutnya, seraya kembali
berjongkok meneruskan kembali
pekerjaannya. Jaran
Perkoso putarkan tubuh, kembali
melangkah menuju
gedung. Sementara Jaka Keling
menatapnya sampai
laki-laki kakak seperguruannya
itu lenyap dibalik pin-
tu depan halaman gedung megah
itu.
Dataran tinggi Limbangan memang
merupakan
tempat pemandangan yang indah.
Dari atas perbuki-
tan itu terlihat dikejauhan
puncak Gunung Merbabu
yang menjulang dikelilingi awan
putih. Pada puncak-
nya mengepulkan asap putih
tipis. Namun gunung itu
memang amat jauh dari Limbangan
dan hanya tampak
samar-samar saja kebiru-biruan.
Angin pegunungan
yang membersit di atas
perbukitan itu membuat hawa
sejuk nyaman.
Sementara di kejauhan tampak dua
ekor kuda
tengah mendaki bukit. Suara ringkiknya sesekali ter-
dengar menyibak keheningan. Tak
lama kedua kuda
sudah berada di atas perbukitan
menghijau itu.
Kedua penunggangnya adalah
seorang laki-laki
tua berusia lima-puluhan tahun.
Sedang seorang lagi
adalah seorang gadis remaja yang
cantik berbaju lurik.
Siapa lagi kalau bukan Pipit
Lurik dan ayahnya, yaitu
Jaran Perkoso yang memang
mengajak puterinya un-
tuk bergembira.
Tampaknya sang gadis ini memulai
pulih lagi
kelincahannya. Dia merasa berada
di alam yang bebas.
Terlihat wajahnya menampilkan
senyum tiada hen-
tinya. Terkadang tertawa lepas
kalau sang ayah bergu-
rau kata.
Ah, sungguh akan membuat orang
yang melihat
keakraban ayah dan anak itu akan
menjadi mengiri.
Tiada orang menduga kalau
dibalik kegembiraan laki-
laki bernama Jaran Perkoso itu
justru tersimpan pera-
saan sedih. Karena keadaan itu
mengingatkan pada
masa isterinya masih hidup.
Dimana mereka berdua
sering berdua-dua bersenda gurau
di kala berbulan
madu.
Namun semua itu cuma tinggal
kenangan. Ke-
nangan yang sudah lewat belasan
tahun yang silam.
Air-mata laki-laki ini menitik
tanpa disadari.
Akan tetapi telah disembunyikan
dengan gelak tawa.
Pipit Lurik tersenyum memandang
ayahnya yang mela-
rikan kudanya di atas bukit
berputar-putar.
"Ayah...! oh, lihatlah!
Di bawah ada sungai...!
Tentu airnya jernih
sekali!" Teriak Pipit Lurik sambil
menunjuk ke bawah bukit dimana
dikejauhan tampak
air sungai yang berkelok-kelok
bagaikan ular, terha-
lang pohon dan perbukitan yang
menonjol. "Itulah kali
Wringin, anakku...!" Ujar
Jaran Perkoso seraya meng-
hampiri sang gadis. "Oh,
indahnya...! aku amat betah
berdiam disini, ayah...!"
Berkata Pipit Lurik. Dan Jaran
Perkoso cuma tertawa
gelak-gelak.
Sementara benak laki-laki ini
sudah dipenuhi
lagi dengan bermacam-macam
keinginan yang akan
membuat kegembiraan sang anak. Apakah lebih baik
aku mengantarkan si Pipit Lurik
ini ke Gunung RA-
TAWU...? Disana ada berdiam
sahabat Eyang Guru!
Tampaknya anakku lebih
menyenangi keadaan yang
bebas seperti ini...! Memikir
demikian Jaran Perkoso
gerakkan kakinya melompat turun
dari punggung ku-
da.
"Anakku duduklah disini, di
dekatku...!" Berka-
ta Jaran Perkoso. Pipit Lurik
menoleh, dilihatnya sang
ayah sudah duduk di atas batu.
Segera dia melompat
turun dari kudanya, dan
menghampiri kesana. Semen-
tara kudanya dibiarkan makan
rumput yang banyak
tumbuh lebat di sekitar
perbukitan itu.
Jaran Perkoso tatap wajah anak
gadisnya lekat-
lekat. Pipit Lurik menunduk
memandang ke bawah.
Gadis ini merasa ada satu
keanehan yang terlihat di
wajah sang ayah. Ada hal apakah
gerangan yang akan
dibicarakan padaku...? Pikir
gadis ini. Selang tak lama
terdengar Jaran Perkoso menghela
napas, dan mulai
berkata.
"Anakku...! Benarkah kau
senang tinggal di
tempat yang bebas seperti
ini?" Tanya Jaran Perkoso
membuka percakapan..
Pipit Lurik angkat wajahnya.
Kini ganti dia yang
menatap pada sang ayah dengan wajah
menampilkan
keheranan, tapi bibirnya sudah
keluarkan kata-kata li-
rih.
"Benar, ayah! Aku bosan
hidup terkungkung di
dalam markas! Semua yang kulihat
adalah itu, dan itu
lagi...! Aku amat mengiri pada
burung-burung yang
bebas lepas di udara itu!"
"Oh, anakku...! mengapa tak
kau katakan sejak
dulu-dulu! Ayahmu tentu akan mengabulkan keingi-
nanmu! Kau adalah cahaya mataku,
anakku! Sejak
kematian Ibumu delapan tahun
yang lalu aku tak ber-
hasrat untuk menikah lagi! Semua
itu karena semata-
mata aku menyayangi mu! Karena
aku tak sampai hati
kalau kedatangan seorang ibu
pengganti ibumu yang
telah tiada justru akan
membuatmu jauh dariku!" Ujar
Jaran Perkoso. Mendadak suaranya
jadi agak parau.
Ternyata laki-laki ini kembali
mengingat akan almar-
hum istrinya.
Pipit Lurik tercenung beberapa
saat. Kini dia
mulai mengetahui kalau sang ayah
amat menyayan-
ginya.
"Ayah! aku takkan
menghalangi kalau kau mau
menikah dengan siapa saja!
Mengapa harus mengkha-
watirkan diriku? aku amat senang
dan berbahagia ka-
lau melihat ayahpun
berbahagia...!" Ujar Pipit Lurik
dengan mata berkaca-kaca.
"Mungkin sudah nasib, dan
takdir diriku, di-
tinggal ibu...! Aih memang amat
menyenangkan sean-
dainya ibu masih hidup...!"
Lanjut Pipit Lurik, seraya
menatapkan pandangan jauh ke
bawah bukit.
"Tidak, anakku... Aku amat
mencintai ibumu!
Biarlah aku menduda selamanya
sampai akhir hayat!
Aku cukup bahagia bila kau
mempunyai kegembiraan
dalam hidup! Biarlah, yang sudah
tiada tak usah dike-
nang lagi! Ibumu sudah rela
dipanggil Yang Kuasa...!"
Berkata demikian, tampak wajah
Jaran Perkoso beru-
bah muram. Akan tetapi dia sudah
segera dapat me-
nahan kesedihannya.
"Anakku...! aku ada
mempunyai kenalan seo-
rang sakti di Puncak Gunung
Ratawu! Beliau bergelar
BIKHU SOKALIMA! Seorang Pendekar
Wanita yang su-
dah lanjut usia!"
"Seorang Pendekar
Wanita....?" Tanya Pipit Lu-
rik dengan suara agak tersentak.
"Ya...! Dahulu di kala mudanya adalah tokoh
Persilatan yang amat dikagumi di
Rimba Hijau! sebagai
seorang tokoh penegak keadilan
yang berilmu tinggi!".
"Oh, betapa
mengagumkan...!" Berkata Pipit Lu-
rik dengan suara kagum memuji.
Perubahan-
perubahan wajah Pipit Lurik
tampak jelas dimata Ja-
ran Perkoso. Dan sang ayah ini
tersenyum. Besar ha-
rapannya Pipit Lurik dapat
tinggal bersama wanita ko-
sen sahabat Eyang Jalatunda itu
di Puncak Ratawu.
"Kau setuju,
anakku...?" Tanya Jaran Perkoso
dengan tatap tajam-tajam wajah
puterinya. Pipit Lurik
mengangguk seraya tersenyum.
Sepasang matanya
yang bening itupun menatap pada
sang ayah dengan
bibir setengah terbuka.
"Aku gembira sekali,
ayah...! Oh, betapa aku
amat berterima kasih
padamu...!".
"Hahaha... bagus! kau
memang anakku, yang
cantik dan bengal!" Desah
suara Jaran Perkoso seraya
mencubit pipi dara manis itu.
Tampak wajah Jaran
Perkoso menampilkan kegembiraan.
Bukankah habis
sudah perkaranya? Dia dapat
segera meninggalkan pe-
kerjaannya di Markas Benteng
Macan Gunung untuk
meneruskan niatnya menyepi
dipuncak Gunung Mu-
ria.
Dan bukankah puncak Gunung Muria
dengan
Puncak Gunung Ratawu tak begitu
berjauhan?. Sekali-
kali dia dapat mengunjungi Pipit
Lurik dipuncak Rata-
wu.
Akan tetapi manusia bisa
berencana, namun
segalanya adalah di tangan nasib yang menentukan.
Ketika tiba-tiba terdengar suara
ringkik kuda yang
santar. Kedua ayah dan anak itu
menoleh ke belakang.
Seketika mereka jadi terperanjat
karena tahu-tahu ke-
dua ekor kuda mereka tengah
berkelojotan, melonjak-
lonjak disertai
ringkikan-ringkikan yang mengenaskan.
Keduanya sudah segera melompat
ke dekat kuda mas-
ing-masing.
Terkejut Pipit Lurik ketika
melihat darah me-
netes dari perut dan leher
binatang itu. Sesaat Setelah
meregang nyawa, kuda itupun diam
tak bergerak lagi,
dan telah melepaskan nyawanya.
Demikian juga yang dialami Jaran
Perkoso, ku-
da tunggangannya mati dengan
luka-luka pada perut
dan lehernya. Ketika memeriksa
lukanya, kedapatan
beberapa buah paku telah
menancap di beberapa ba-
gian tubuh binatang itu. Jelas
paku-paku yang men-
gandung racun. Pucatlah wajah
Jaran Perkoso. Dia
sudah bangkit berdiri untuk
melihat ke beberapa pen-
juru disekeliling bukit itu.
"Keparat...! Siapakah yang
telah melakukan
perbuatan keji yang pengecut
ini! Keluarlah...! Tam-
pakkan dirimu, binatang. .
.!" Teriak Jaran Perkoso.
Wajahnya seketika berubah merah
padam bahkan gu-
sarnya.
Sekonyong-konyong dari lamping
batu bukit,
berlompatan tiga sosok tubuh
baju hijau, diiringi suara
tertawa mengikik seorang wanita.
"Hihihi... hihi... selamat
berjumpa Ketua Ben-
teng Macan Gunung...! Hari ini
Ketua utama dari tiga
Macan Gunung Muria bertemu dengan Tiga Siluman
Bukit Hantu! Hihihi... hihi...
sungguh satu pertemuan
yang jarang terjadi...!"
Terkesiap Jaran Perkoso ketika
melihat kemun-
culan tiga manusia ini. Dua
orang laki-laki berjubah
hijau itu adalah yang mempunyai
kedua tubuh seperti
bumi dengan langit. Kalau yang
satu adalah manusia
pendek cebol dengan kepala
botak. Adalah yang satu
lagi seorang yang jangkung kurus
mirip jerangkong
dengan rambut gondrong yang
sudah memutih. Pada
lengannya masing-masing mencekal
sebuah tongkat.
Si jangkung memegang tongkat
yang berkepala tengko-
rak. Pada bagian ujung kepala
tengkoraknya menyem-
bul benda runcing mirip ujung
tombak. Sedangkan si
pendek memegang tongkat yang
berkepala berbentuk
tulang lengan, terbuat dari besi
berwarna kuning den-
gan jari-jarinya yang terentang.
Si pendek mempunyai wajah yang
berkulit ka-
sar bermata sipit dengan hidung
besar menggembung.
Mulutnya lebar hampir membelah
pipinya yang tem-
bam, dengan barisan giginya yang
berderet besar- be-
sar. Dikeningnya terdapat
benjolan sebesar telur ayam.
Dialah yang bernama SETO
BUNGKRIK. Berbeda den-
gan si jangkung yang berwajah
lancip dengan kumis
lebat yang menutupi seluruh
bibirnya, bermata besar
yang menonjol keluar, dengan
hidung melengkung mi-
rip paruh burung Betet. Dia
bernama WONG DUWUR.
Sedang yang satu lagi adalah
seorang wanita
setengah umur, namun masih
tampak genit. Wajahnya
masih cukup lumayan cantiknya,
karena memakai be-
dak tebal serta gincu pemulas
bibir yang merah me-
rangsang. Di dahinya menampak
beberapa kerutan
yang menampilkan usia tuanya.
Wanita ini memakai
baju hijau dengan belahan lebar di dada hingga me-
nampakkan hampir sebagian
payudaranya yang su-
dah, kendur. Namun dapat diakui
wanita ini masih
memiliki tubuh yang cukup
merangsang laki-laki hi-
dung belang. Pada lehernya
tergantung sebuah kalung
mirip mutiara sebesar-besar
kelereng. Rambutnya
memakai gelung kecil di sebelah
atas, yang sisa ram-
butnya dibiarkan terjuntai. Di
pinggangnya sebelah kiri
terdapat sebuah kantong kulit,
serta terselip di antara
jemarinya adalah seruas bambu
hitam yang panjang-
nya hampir sedepa. Pada bagian
tengah bambu hitam
terdapat beberapa lubang,
seperti bentuk seruling.
Wanita inilah yang tadi
melepaskan paku-paku
beracunnya. Dialah yang bernama
KEMANG SURI. Ke-
tiga orang ini adalah tiga orang
Tokoh Hitam yang pada
belasan tahun yang silam pernah
membuat kegempa-
ran di Rimba Hijau dengan ulah
perbuatannya. Ta-
dinya ketiga orang ini
berpisah-pisah. Namun kini
muncul dengan berbareng serta
mempunyai gelaran
baru, sejak beberapa tahun tak
kedengaran kabarnya.
Tentu saja Jaran Perkoso
mengenali wanita itu,
karena wanita itu pernah
mempunyai urusan asmara
dengannya.
"Kemang Suri...!? Mau apa
kau muncul disini
menggangguku... ?" Tanya
Jaran Perkoso dengan wa-
jah menampakkan terkejut dan
marah.
"Hihihi.. Jaran Perkoso...!
Aku dengar Istrimu
sudah mampus, apakah tak ada
niatan kau kawin la-
gi?" Berkata Kemang Suri
tanpa acuhkan pertanyaan
orang. Memerah wajah Jaran
Perkoso. "Aku tak perlu
saran dari kau kalau aku mau
menikah, ataupun ti-
dak! Itu adalah urusanku! Kini
jawab pertanyaanku,
apa maumu dengan mengganggu
ketenteramanku...!
Dan kedua monyet hutan ini
mengapa bisa bersatu
denganmu?"
"Hihihi... jelak-jelek
keduanya adalah "suami-
ku!" Tenaganya masih belum
kalah dengan anak mu-
da! Dan ilmunya juga tinggi! Aku
khawatir kalau mere-
ka marah, bisa menguliti kulit
tubuhmu siang-siang,
Jaran Perkoso! Hihihi..."
Wanita itu kembali mengikik
tertawa memperlihatkan barisan
giginya yang masih
rata namun sudah
kehitam-hitaman. Wanita inilah
yang tadi melepaskan paku-paku
beracunnya yang di
simpan di kantong kulit.
Sementara Pipit Lurik sudah
melompat ke sisi
sang ayah, seraya keluarkan
bentakan nyaring. "Bede-
bah! Rupanya kalian yang telah
membunuh kuda kuda
kami...?!". Ketiga manusia
itu segera menatap pada Pi-
pit Lurik dengan sorot mata
tajam.
"Heh heh heh.... anak
gadismu memang cantik,
sobat Macan Gunung Muria! Amat
mirip sekali dengan
ibunya. Sayang Sri Sulastri
menolak cintaku, gara-gara
munculnya kau yang jual lagak
dihadapannya! Heh
heh heh... walau kejadian itu
sudah hampir dua puluh
tahun tapi sakit hatiku masih
tersimpan didadaku, Ja-
ran Perkoso...! Akan tetapi akan
kulupakan sakit hati
itu, asalkan kau berikan anak
gadismu padaku untuk
pengganti ibunya...!"
Berkata si Pendek Seto Bungkrik,
sambil matanya memain mengerling
genit pada sang
gadis. Terasa mau meledak dada
Jaran Perkoso men-
dengarkan ocehan si manusia
pendek bertongkat kepa-
la Tengkorak itu.
"Keparat...! Siapa sudi
bermantukan manusia
setan macam kau?.
"Aku kau bilang manusia
setan...? hehehe-
hehe... kaulah yang jadi setan
penyebab kegagalanku
menyunting Sri Lestari karena
kau telah merebutnya!
Memang kini aku sudah jadi
setan, yang sebentar lagi
akan menguliti kulit
tubuhmu...!" Teriak si pendek gu-
sar.
"Huh, manusia iblis
semacammu memang pan-
dai berputar lidah! Menyesal aku
tak membunuhmu
mampus waktu itu! Perbuatanmu
yang telah membu-
nuh gurumu sendiri dan mau
memperkosa anak ga-
disnya karena anak gadis sang
guru itu telah menolak
cintamu! Lalu kedatanganku yang
menolong gadis itu,
apakah kau anggap aku
merebutnya? Hahaha... ma-
nusia edan semacammu
dibandingkan dengan anjing,
kukira masih lebih berharga
seekor anjing...!"
Mendeliklah sepasang mata sipit
si pendek Seto
Bungkrik. Giginya terdengar
berkeraot menahan kema-
rahan. Wajahnya seketika berubah
jadi merah bagai
kepiting rebus. Akan tetapi
tiba-tiba si pendek ini bah-
kan tertawa gelak-gelak.
"Heheheheh... sudah
kukatakan urusan itu
akan segera kulupakan, asalkan
kau carikan penggan-
tinya! Yaitu anak gadismu yang
cantik ini..! hehehe..
hehe..". Berkata lagi si
pendek diantara derai tawanya,
menutupi kegusaran hatinya.
"Setan keparat...! Enyahlah
kau...!" Teriak Pipit
Lurik yang diam-diam telah
melolos pedangnya. Sejak
tadi dadanya sudah bergelombang
mendengar kata-
kata si pendek ini. Begitu
mengetahui kejahatan ma-
nusia di hadapannya itu, dia
sudah tak dapat mena-
han sabar lagi.
WHUUUT...!
TRANGNG!
Pedang dilengan Pipit Lurik
nyaris terlepas. Ke-
tika pedangnya berkelebat
menabas kepala si pendek
itu, mendadak tongkat kepala
Tengkorak itu bergerak
menangkis. Terasa telapak tangan
Pipit Lurik tergetar.
tenaga sampokannya yang terlihat santai acuh tak
acuh itu ternyata bertenaga
besar. Gadis itu melompat
mundur dua tindak.
"Ahoi...", ! biarlah
aku yang menangkapnya,
kakang Seto...!" Tiba-tiba
si jangkung berkumis sebe-
sar singkong itu buka suara.
"Hihihi... biarlah aku
izinkan kalian memiliki
gadis itu. Dan si Jaran Perkoso,
bapaknya ini adalah
bagianku...!" Ujar Kemang
Suri dengan perlihatkan se-
nyuman dan kerlingan genitnya
pada laki-laki dihada-
pannya.
Betapa muaknya Jaran Perkoso
melihat tingkah
si wanita setengah umur yang
dimasa mudanya selalu
mengejar-ngejarnya. Bahkan
sampai dia sudah meni-
kah dengan Sri Lestari, Kemang
Suri masih selalu
mengganggu ketentraman rumah
tangganya.
Kemang Suri adalah pernah
menjadi saudara
seperguruannya pada puluhan
tahun yang silam. Na-
mun Jaran Perkoso telah beberapa
tahun lebih dulu
menjadi murid Eyang Paksi Sakti
Jalatunda di puncak
Gunung Muria.
Sang guru telah membawa gadis
itu ketika se-
pulang dari turun gunung. Gadis
yang tak ketahuan
asal-usulnya itupun menjadi
murid Eyang Jalatunda.
Menurut yang didengar dari
cerita gurunya, Kemang
Suri ditemukan terikat di
sebatang pohon di dalam hu-
tan lebat yang banyak terdapat
binatang buas.
Entah apa kesalahan wanita itu,
hingga diikat
di tempat berbahaya. Karena jelas kalau tak
ditolong
oleh Ki Jalatunda, pasti tewas
kelaparan atau diterkam
binatang buas. Ki Jalatunda
melepaskan ikatannya,
dan mau mengembalikan ke desa.
Akan tetapi Kemang
Suri menangis, dan memohon
menjadi muridnya. Dia
mengatakan bahwa dirinya telah
diperkosa oleh orang-
orang jahat, yang setelah
memperkosa lalu mengikat-
nya di hutan itu.
Karena merasa kasihan, dan gadis
itu meren-
gek-rengek terus-menerus,
terpaksa Ki Jalatunda
membawanya ke Puncak Gunung
Muria. Tak dinyana
baru beberapa bulan sudah
ketahuan belangnya. Ter-
nyata gadis itu adalah wanita
yang amat dibenci di de-
sa itu, karena perbuatannya
merusak rumah tangga
orang. Dia adalah seorang janda
yang berperangai bu-
ruk. Demikianlah, berkali-kali
Kemang Suri menggoda
Jaran Perkoso untuk berbuat
mesum. Karena tak ta-
han, Jaran Perkoso mengadukan
pada gurunya. Hing-
ga Kemang Suri diusir dari
Puncak Muria. Dan tak di-
perkenankan lagi menggunakan
ilmu-ilmu yang telah
diwariskan padanya.
Beruntung dapat diketahui
kelakuan buruk
Kemang Suri lebih awal, sehingga
ilmu-ilmu Resi Paksi
Sakti Jalatunda belum meresap
kuat ditubuh dan
otaknya. Sejak itu Kemang Suri
tak ada kabarnya lagi.
Dan beberapa tahun kemudian,
sang guru kembali
membawa dua orang murid
laki-laki. Yaitu Gantar Se-
wu dan Jaka Keling. Hingga
kelihatan perbedaan
usianya amat jauh antara Jaran
Perkoso dengan kedua
saudara seperguruannya itu.
Gantar Sewu dan Jaka
Keling anak yatim piatu sejak
kecil, sebelum diambil
murid oleh Ki Jalatunda.
Keduanya bekerja pada seorang
pamannya
yang amat bengis dan kejam,
sebagai penggali tambang
intan. Tubuh kedua anak
laki-laki tanggung itu kurus
kering. Karena tak tahan
menderita terus-menerus me-
reka lari dari tempat
pekerjaannya. Namun nyaris ter-
timpa lorong goa yang longsor.
Beruntung datang sang
guru menolongnya. Dan mereka
dijadikan kedua mu-
ridnya.
Ternyata Resi Paksi Sakti
Jalatunda banyak
mempunyai simpanan harta yang
dipendam didalam
pondoknya di Puncak Muria. Dan
ternyata juga sang
guru adalah bekas anak seorang
Bangsawan yang
kaya-raya. Karena harta dan
nyawanya banyak diincar
penjahat, sang guru mengasingkan
diri ke Puncak Gu-
nung Muria. Disana sang guru
memperdalam ilmu-
ilmu, dan menciptakan
jurus-jurus ilmu silat yang he-
bat. Hingga kemudian Rimba Persilatan
menjadi geger
dengan munculnya seorang tokoh
pembela keadilan,
dan penjunjung kebenaran yang
dikenal dengan julu-
kan si Pendekar Lengan Tunggal.
Cacat pada anggota
tubuhnya itu adalah akibat
keganasan para perampok
sewaktu membunuh kedua orang
tuanya, dan mengu-
ras habis harta bendanya.
Dua belas tahun berumah tangga,
ternyata Ja-
ran Perkoso telah dikaruniai
seorang anak perempuan,
yang diberi nama Sri Kemuning
(kemudian dikenal
dengan nama Pipit Lurik),
berusia waktu itu sekitar 10
tahun.
Muncul pula satu musibah, yang
berakhir den-
gan kehancuran rumah tangganya.
Yaitu sejak keda-
tangan seorang wanita yang
ternyata adalah bekas ke-
kasih Jaran Perkoso.
Akibat guna-guna serta ilmu
hitam yang digu-
nakan wanita itu, Jaran Perkoso
berbalik membenci is-
trinya. Hingga sang istri pergi
meninggalkan Jaran
Perkoso, yang selanjutnya mereka
hidup bersama ba-
gaikan suami istri di rumah yang
ditinggali Jaran Per-
koso dan istrinya. Sementara
sang istri (Sri Lestari)
ternyata pergi mengadu pada Ki
Jalatunda, di puncak
Gunung Muria. Dengan bersusah
payah Sri Lestari da-
pat mencapai puncak gunung itu.
Disana dia menangis
dihadapan sang Resi Paksi Sakti
Jalatunda mengadu-
kan nasibnya.
Sang Resi adalah seorang yang
arif bijaksana,
segera menanyakan asal mula
kejadian yang menimpa
musibah keluarga mereka.
Tentu saja Sri Lestari
menceritakan semua ke-
jadian. Terkejut sang Resi.
Karena dia mempunyai du-
gaan kalau Jaran Perkoso telah
terkena tenung wanita
itu. Karena Ki Jalatunda memang
mempunyai seorang
musuh bebuyutan yang memiliki
ilmu tenung demi-
kian yang bergelar JENTIK KUNING
hingga dengan ter-
gesa-gesa sang Resi segera turun
gunung.
Dengan ilmu kesaktiannya, sang
Resi berhasil
menumpas ilmu tenung wanita itu
dan membebaskan
Jaran Perkoso dari pengaruh
jahat yang mengendap
dalam otaknya. Jaran Perkoso
sadar! Dan dia sendiri
yang menghabisi nyawa si wanita
yang telah meracuni
kehidupannya itu. Yaitu wanita
bekas kekasihnya...
Jaran Perkoso berangkat ke
puncak Muria un-
tuk menjemput lagi istrinya.
Namun yang didapati ada-
lah, istrinya telah tewas.
Sebuah belati tergenggam di
tangan wanita itu dengan beberapa lubang bekas tu-
sukan di dada dan lambungnya. Sedangkan Sri Ke-
muning, si bocah perempuan yang
baru berusia 10 ta-
hun itu telah lenyap entah
kemana.
Jaran Perkoso meratap dan
berteriak-teriak ka-
lap seperti orang yang tidak
waras. Laki-laki inipun
nekat mau menghabisi nyawanya
sendiri, karena me-
rasa tak guna hidup lagi. Dosanya
terasa amat besar
terhadap anak dan istrinya.
Jaran Perkoso menduga istrinya
tewas membu-
nuh diri karena merasa sedih dan
putus asa atas ting-
kah laku perbuatannya yang di
luar sadar.
Untunglah Resi
Paksi Sakti Jalatunda meno-
long, dan berhasil mencegah
perbuatan dosa itu. Den-
gan lemah lembut sang guru
memberi wejangan, bah-
wa Jaran Perkoso tak perlu
merasa bersalah, karena
sudah jelas hilangnya akal waras
laki-laki itu adalah
akibat perbuatan wanita keji
itu, yang menggunakan
ilmu jahat dan sesat
terhadapnya. Namun sesuatu
yang terjadi adalah di luar dugaan... Karena ternyata
Sri Kemuning masih hidup. Bocah
perempuan berusia
10 tahun itu telah ditolong oleh
seorang nenek tua,
yang tak lain adalah BIKHU
SOKALIMA. Wanita sakti
itu adalah penghuni puncak
Gunung RATAWU, yang
tak berapa jauh dari Gunung
Muria.
Nenek tua sakti itu memang
tengah berada di
bawah lereng. Memang
kedatangannya ke Puncak Gu-
nung Muria adalah untuk
menjumpai Resi Paksi Sakti
Jalatunda.
Ketika tiba-tiba dia melihat
sesosok tubuh kecil
melayang dari atas Puncak Gunung
Muria. Dengan
takdir Tuhan Sri Kemuning dapat
diselamatkan nya-
wanya. Bocah perempuan itu dalam
keadaan pingsan.
Bagaikan mendapat emas sebesar
gunung, Ja-
ran Perkoso begitu gembiranya
melihat sang anak ter-
nyata masih hidup, dipeluknya Sri Kemuning dengan
terisak-isak, dan diciuminya tak putus-putus, serasa
tak ingin lagi dia berpisah
dengan anak kesayangan-
nya itu, yang telah kehilangan
ibunya yang amat dika-
sihi.
Demikianlah, Jaran Perkoso
tinggal kan puncak
Muria, setelah guru dan murid
serta sahabat baik sang
Resi menguburkan jenazah Sri
Lestari.
Niat baik si nenek BIKHU
SOKALIMA terpaksa
ditolaknya untuk menjadikan Sri
Kemuning sebagai
muridnya, karena Jaran Perkoso
tak sampai hati un-
tuk tinggalkan sang anak,
dipuncak Ratawu.
Kepergiannya adalah membawa
pesan dari gu-
runya, yaitu mencari dua orang
adik Seperguruannya,
yang juga telah turun gunung.
Juga dengan membawa
bekal yang cukup berarti dari
separuh harta milik sang
guru, untuk membangun kehidupan
lagi. Sang guru
menyuruh Jaran Perkoso menikah
lagi. Akan tetapi la-
ki-laki ini cuma menggeleng
kepala, sambil tersenyum.
Demikianlah, hingga lebih dari
tujuh tahun su-
dah, Jaran Perkoso hidup
menduda. Ilmu dan fikiran-
nya dicurahkan untuk menambah
kesejahteraan ra-
kyat. Yaitu mendirikan usaha
Pengangkutan dan pen-
gawalan barang, yang sejauh itu
dikelola, ternyata me-
nampakkan kemajuan pesat.
Sedangkan kedua sauda-
ra seperguruannya yaitu Gantar
Sewu dan Jaka Keling
turut membantunya didalam
perusahaan itu. Hingga
terkenallah nama Tiga Macan
Gunung Muria yang
bermarkas diujung kota Ungaran.
Dengan nama mar-
kasnya, Benteng Macan gunung.
***
2
"Kemang Suri...! tak dinyana
kau masih hidup,
dan belum juga dapat
menghilangkan kelakuanmu
yang buruk!, bahkan bergabung dengan manusia-
manusia tengik macam begitu...!
Sungguh tak berma-
lu...!" Ujar Jaran Perkoso.
Sementara sepasang matanya sudah
melirik ke
arah si jangkung berkumis tebal
itu yang maju mende-
kati Pipit Lurik. Diam-diam
tersentak juga hati Jaran
Perkoso, karena sulitlah baginya
menghadapi mereka
disebabkan adanya Pipit Lurik.
Dia amat mengkhawa-
tirkan nasib anak gadisnya itu.
Tiba-tiba dengan
menggertak gigi, Jaran Perkoso
melompat ke arah sang
anak seraya berteriak.
"Anakku...! Cepatlah
menyingkir! Biar aku yang
menghadapi anjing-anjing
gelandangan ini...!" Lengan-
nya sudah bergerak menyambar
lengan Pipit Lurik,
dan di bawanya melompat sejauh
lima tombak.
"Cepatlah pergi
menyelamatkan diri...!" Bentak
Jaran Perkoso dengan wajah
berubah tegang.
"Tidak, ayah! Aku harus
membantumu mela-
wan mereka...!" Berkata
Pipit Lurik dengan tatap tajam
wajah ayahnya.
"Mereka bertiga, dan ayah akan
menghadapinya
seorang diri...? Tidak! Aku
harus membantumu! Aku
tak mungkin meninggalkanmu
seorang diri...!" Teriak
Pipit Lurik. Terbeliak mata
Jaran Perkoso. Disamping
kagum pada keberanian anak
gadisnya, namun juga
amat mengkhawatirkan keselamatan diri sang anak.
Karena bukan mustahil kalau
ketiga manusia yang
menamakan dirinya TIGA SILUMAN
BUKIT HANTU itu
akan sukar dilayani. Terlebih melihat si pendek
yang
diketahuinya bernama Seto
Bungkrik itu, yang amat
berhasrat pada anak gadisnya.
Tidak, anakku...! Sekali ini
turutlah perintah
ayah! Pergilah selamatkan
nyawamu! Pergilah ke pun-
cak gunung Ratawu! Kelak kau
akan dapat membalas
dendam dibelakang hari,
seandainya aku tewas! Tapi
aku akan berusaha melawannya
sekuat tenaga! Bila
aku berhasil menyelamatkan
nyawaku, kelak aku akan
menyusulmu kesana...!"
Bisik Jaran Perkoso dengan
suara tergetar.
Akan tetapi tiga manusia itu
telah berkelebatan
melompat mengurung mereka. Tak
ada jalan lain, ter-
paksa Jaran Perkoso cabut keluar
pedangnya dibela-
kang punggung.
"Majulah kalian Tiga
Siluman Bukit Hantu! Ka-
lian kira aku si Jaran Perkoso
takut menghadapi ce-
cunguk-cecunguk macam
kalian...!" Sementara Pipit
Lurik sudah pasang kuda-kuda,
siap menghadapi ke-
mungkinan. Jaran Perkoso masih
sempat berbisik.
"Hati-hati
anakku...!".
Dan tubuhnya sudah melompat
menerjang Ke-
mang Suri, dengan kelebatkan
pedangnya yang berki-
latan menebas pinggang dan
leher. Dua serangan be-
runtun telah dilakukan.
Sementara sebelah lengannya
siap melakukan hantaman.
WHUT! WHUT!....._
Tak dikira setelah belasan tahun
menghilang,
Kemang Suri mempunyai kegesitan
luar biasa meng-
hindari serangan maut Jaran
Perkoso. Tubuhnya ber-
kelebat menghindar, dan sebelah
lengannya lakukan
hantaman ke arah dada Jaran
Perkoso. Akan tetapi
Jaran Perkoso telah siap untuk
memapakinya, hingga
kedua telapak tangan mereka
saling beradu....
DWESSSS...,! Tampak uap putih
mengepul aki-
bat benturan lengan itu. Tubuh
Jaran Perkoso ter-
huyung lima langkah, sedangkan
Kemang Suri ter-
huyung ke belakang enam-tujuh
langkah, akan tetapi
sekejap, Kemang Suri sudah
tampilkan wajah tertawa
menyeringai, tampakkan barisan
giginya yang kehita-
man. Sepasang kakinya telah
berdiri teguh lagi mena-
pak di tanah.
"Hihihi... hihi... hebat!
Hebat...! Hayo keluarkan
jurus-jurus ilmu pedang warisan
gurumu si kakek tua
renta puncak gunung Muria itu,
Jaran Perkoso...! Atau
kau harus belajar sepuluh tahun
lagi pada si kakek
bangkotan itu di
AKHIRAT...!!" teriak Kemang Suri
dengan tertawa mengejek.
Tentu saja kata-kata itu membuat
Jaran Perko-
so jadi melengak. Hah?! Apakah
mereka telah membu-
nuh Eyang Jalatunda? Sentak hati
Jaran Perkoso. Pe-
rubahan wajah laki-laki berusia
setengah abad itu
tampak jelas oleh Kemang Suri. "Eh, tampaknya kau
merasa aneh dengan ucapanku?.
Hihihi... si kakek
bangkotan yang pernah mengusirku
itu telah kami ki-
rim nyawanya ke alam baka!"
"Heheheheh.... Jaran
Perkoso...! kau sudah tak
bisa merengek-rengek lagi ke
puncak Gunung Muria
untuk minta pertolongan! Lebih
baik kau berikan anak
gadismu ini padaku, lalu aku tak
mencampuri uru-
sanmu lagi...!" Teriak si
pendek Seto Bungkrik seraya
berkelebat ke arahnya. Sementara
si jangkung kawan-
nya itu bergerak melompat ke
arah Pipit Lurik. Gadis
ini segera tabaskan pedangnya
dengan jurus-jurus aja-
ran sang ayah. Terdengar suara
bersiutan mengurung
tubuh si jangkung bernama Wong
Duwur itu. Akan te-
tapi Wong Duwur cuma ganda
tertawa saja.
"Hahahehehe... ilmu pedang
warisan ayahmu
itu sudah ketinggalan jaman,
anak manis. Lebih baik
kau belajar pada si pendek
kawanku itu! Jurus-jurus
ilmu bergulat di tempat tidur
tentu akan dapat diwa-
riskan padamu, tanpa kau pinta.!
Hehehe..."
"Tutup bacotmu, setan
jerangkong!" Berteriak
marah Pipit Lurik. Kini
permainan ilmu pedangnya
semakin hebat, keluarkan angin
menderu yang men-
gurung setiap langkah lawannya.
Akan tetapi tampak-
nya hal itu tak membuat si
jangkung menjadi terkejut.
Tubuhnya berlompatan cepat
sekali, hingga yang keli-
hatan cuma bayangan hijau saja.
Apa lagi kini ditam-
bah dengan keluarnya asap tipis
dari sepasang mata
kepala tengkorak di ujung
tongkatnya. Membuat den-
gan leluasa si jangkung
menyelinap menghindar. Ada-
pun Pipit Lurik tampak terkejut,
karena hidungnya
sudah mengendus asap yang berbau
amis, serta me-
nyesakkan pernapasan.
Sementara Jaran Perkoso yang
dalam keadaan
kalut fikiran, karena mendengar
gurunya telah tewas
di angan ketiga manusia ini,
telah menggerung keras
membabatkan pedangnya bagaikan
naga mengamuk.
Jurus-demi jurus terus berlalu,
dan suara benturan
senjata kerap terdengar dari
beradunya pedang dengan
tongkat si pendek Seto Bungkrik.
Laki-laki pendek ini tampaknya
amat penasa-
ran untuk menjatuhkan Jaran
Perkoso. karena dia
pernah dipecundangi belasan
tahun yang silam, ketika
akan melaksanakan niatnya
memperkosa Sri Lestari.
WHUT! WHUT! WHUTT...! TRANG!
TRANG!
Tiga hantaman berkelebatan
saling susul me-
nerjang ke arah Jaran Perkoso.
Tongkat berkepala te-
lapak tangan besi, berwarna
kuning itu mengarah ke
arah leher, lalu berubah
menyambar ke bawah selang-
kangan dan meluncur lagi
menyambar batok kepala
lawan. Jaran Perkoso tampak
terkejut bukan main, ka-
rena jelas tongkat berkepala
tangan besi yang berujung
kuku tajam itu adalah senjata
yang telah dilumuri ra-
cun. Bila kurang waspada sedikit
saja akan membuat
luka yang berbahaya.
Beruntung dengan gerakan
melompat dan ber-
salto. dia dapat menghindari
serangan-serangan ber-
bahaya tadi. Bahkan lakukan
gerakan menangkis den-
gan pedangnya. Ketika tongkat
tangan besi itu melun-
cur ke arah jantung dan
pinggang.
DWESSS...! Jaran Perkoso balas
menyerang
dengan pukulan tenaga dalam.
Itulah salah satu dari
jurus tangan kosong yang bernama
Pukulan Geledek.
Uap putih panas yang tersimpan
di dalam telapak tan-
gannya sudah sejak tadi
disiapkan untuk menghantam
lawan. Terkejut si pendek Seto
Bungkrik. Karena pu-
kulan itu di luar dugaan.
Sedangkan dia dalam kea-
daan posisi tak menguntungkan
sehabis melakukan
serangkaian serangan mengandung
maut tadi.
Namun beruntunglah karena di
saat kritis itu
yang tak sempat Seto Bungkrik
menangkis, sudah ter-
dengar suara bentakan Kemang
Suri. Tubuhnya me-
lompat cepat sekali mendorong
tubuh Seto Bungkrik
yang jatuh bergulingan. Sedang
pukulan maut dari Ju-
rus Pukulan Geledak itu lewat...
dan menghantam pa-
da batu besar. Batu itu hancur
lumat dengan keadaan
hangus.
Pada saat mereka terperangah,
Jaran Perkoso
melirik ke arah anak gadisnya,
terkejut laki-laki ini
mengetahui Pipit Lurik dalam
bahaya. Karena terku-
rung oleh rapatnya uap beracun
yang keluar dari se-
pasang mata tengkorak di tongkat si jangkung alls
WONG DUWUR yang melayani si
gadis dengan menge-
keh tertawa.
WHUUK...! Jaran Perkoso telah
gigit belakang
mata pedangnya, sedangkan kedua
lengan diperguna-
kan menghantamkan angin
pukulannya. Inilah satu
jurus dari ilmu tenaga dalam
yang dinamakan Tiupan
Angin Puyuh.
Segera segelombang angin keras
bergulung-
gulung menerjang ke arah
pertarungan.
Angin bergulung itu tak begitu
keras, karena
Jaran Perkoso cuma bermaksud
mengusir asap bera-
cun berbau amis yang mengurung
Pipit Lurik. Gadis
ini cuma merasai tubuhnya
terhuyung dua langkah,
namun asap yang mengurungnya
telah sirna seketika.
WHUT! WHUT! WHUT! Jaran Perkoso
sudah
menerjang Wong Duwur dengan
beberapa tabasan pe-
dang. namun laki-laki jangkung
sudah berlompatan
menghindar. Seraya perdengarkan
dengusan di hi-
dung, si jangkung ini tertawa
sinis.
"Heheheh... Jaran Perkoso!
Walau kau punya
ilmu setinggi langit, namun
menghadapi kami yang te-
lah bersatu, akan percuma
hasilnya! Sudah sejak lama
aku ingin membunuhmu! Sayang aku
harus menyik-
samu dulu sebelum kau
mampus!"
"Wong Duwur! Iblis Hutan
Dandaka...! Kau
urusilah gadis itu berdua dengan
kau si pendek Seto
Bungkrik! Aku yang akan
tundukkan laki-laki ini...!"
Tiba-tiba Kemang Suri memotong
kata-kata Wong Du-
wur.
Seraya berkata, tangannya sudah
bergerak
mengangkat senjatanya, dengan
menempelkan ujung-
ujung bambu berlubang itu pada
bibirnya. Segera
membersit suara melengking
tinggi. Ternyata adalah
sebuah seruling.
"Bagus! kita sama-sama
menawan kedua ekor
kambing ini...!" Berkata si
pendek Seto Bungkrik, se-
raya melompat ke arah Pipit
Lurik. Terkejut gadis. ini,
yang tak ayal segera putarkan
pedangnya melindungi
diri.
Tak ada harapan bagi Jaran
Perkoso untuk
mundur menyelamatkan diri,
karena mereka telah ter-
kurung oleh kepungan tiga
manusia keji ini, yang su-
dah terkenal masing-masing
kejahatannya di Rimba
Persilatan.
Apa lagi kini mereka telah
bersatu. Kalau gu-
runya sendiri sudah dapat mereka
tewaskan apalagi,
dia seorang yang harus
menghadapi cuma ditemani
seorang anak gadisnya.
Harapannya untuk menyela-
matkan sang anak dari tangan
mereka ternyata sema-
kin tipis. Karena Pipit Lurik,
sekejap sudah dikepung
kedua tokoh itu.
Kini suara tiupan seruling itu
sudah membersit
panjang membuat Jaran Perkoso
kerutkan keningnya.
Karena terasa telinganya
mendadak menjadi bising.
Adapun kedua tokoh hitam itu
telah mengetahui akan
kehebatan suara tiupan seruling
Kembang Suri. Den-
gan diam-diam telah menyumpal
telinganya masing-
masing, sedangkan Jaran Perkoso
segera putarkan pe-
dangnya yang mengeluarkan suara
bersiutan menan-
dingi suara tiupan seruling aneh
Kemang Suri, yang
mulai melagukan nada-nada tinggi
rendah.
WHUK! WHUK! Laki-laki ini
hantamkan telapak
tangannya dua kali dengan
pukulan Geledeknya. Ke-
mang Suri tertawa mengikik,
seraya jatuhkan tubuh-
nya bergulingan. Namun ketika
bangkit lagi kembali
teruskan suara tiupan
serulingnya. Melengking-
lengking suaranya, membuat
telinga Jaran Perkoso
tergetar. Tubuhnya bergoyang
goyang, dan kepalanya
berdenyutan.
"Perempuan setan...!"
Bentak Jaran Perkoso se-
raya melompat menerjang dengan
sambarkan pedang-
nya. Kekalutan memikirkan
keadaan anak gadisnya
membuat laki-laki ini menyerang
membabi-buta. Se-
mentara di luar sadarnya Pipit
Lurik sudah roboh ter-
kulai terkena totokan si
jangkung Wong Duwur. Dan
sekejap saja sudah berada dalam
pondongan si pendek
Seto Bungkrik.
Terkejut Jaran Perkoso melihat
anak gadisnya
sudah roboh tertawan. namun
usahanya untuk me-
lompat ke arah kedua orang itu,
telah tertahan oleh
suara bersitan tiupan seruling
yang membuat kepa-
lanya menjadi pening. Akhirnya
terpaksa lengannya
bergerak menutupi telinganya
yang sebelah, sedang
lengannya yang masih mencekal
pedang digunakan
menunjang tubuhnya agar tidak
jatuh. Mau tidak mau
Jaran Perkoso harus mengakui
kelemahannya. Namun
diam-diam dia sudah siapkan satu
jurus untuk meng-
hantam si wanita dihadapannya.
Melihat keadaan Jaran
Perkoso sudah kena
pengaruh tiupan bertenaga dalam
yang mempengaruhi
lawan, Kemang Suri dengan
tertawa mengikik segera
lompat menghampiri. Tapi baru
saja kakinya menjejak
tanah, Jaran Perkoso menggerung
keras seraya kelua-
rkan jurus permainan pedang yang
dinamakan Naga
mengamuk.
***
3
Kemang Suri terkejut karena
mendadak Jaran
Perkoso telah bangkit kembali
dengan serangan-
serangan berbahayanya. Terpaksa tubuhnya berkele-
batan melompat dan menghindar
dari tabasan-tabasan
maut pedang Jaran Perkoso. Kini
wanita itu tak mem-
punyai kesempatan lagi meniup
serulingnya. Bahkan
dengan berteriak-teriak kaget
jatuhkan diri bergulin-
gan Nyaris pedang Jaran Perkoso
merobek lambung-
nya. Namun tak urung ujung
rambutnya sepanjang sa-
tu jengkal telah terbabat putus.
Debu mengepul kehi-
taman disertai suara menderu dari angin pukulan
yang dilancarkan Jaran
Perkoso.
BUK! Satu hantaman telak kena
menyerempet
kulit lengan Kemang Suri. Wanita
ini menjerit parau.
Bajunya hangus terbakar.
Lengannya sebatas pundak
mengelupas. Belum lagi dia
berbuat sesuatu kilatan
pedang telah meluncur ke arah
dada. TRANGNG...!
Pedang di tangan Jaran Perkoso
terlempar, ke-
tika tongkat si jangkung Wong
Duwur menangkis me-
nyelamatkan nyawa Kemang Suri.
Dan selanjutnya
ganti Wong Duwur yang merangsak
Jaran Perkoso.
WUT! WUT! Wut! TRANG...!
TRANG...!
Jarang Perkoso berlompatan
menghindar, dan
menangkis beberapa kali. Telapak
tangannya telah
memerah yang memegang gagang
pedang akibat ben-
turan-benturan dengan si jangkung
yang tenaga da-
lamnya ternyata setingkat
diatasnya.
Mengeluh laki-laki ini. Terlebih
kini asap bera-
cun berbau amis mulai mengurung
dirinya. Sementara
sudah terdengar lagi tiupan
seruling Kemang Suri yang
melengking-lengking.
TRANG!... terdengar suara
benturan kedua sen-
jata.
Kali ini Jaran Perkoso tak mampu
memperta-
hankan pedangnya, yang telah
segera terlepas dari
genggamannya. WHUTT...! Tongkat
berkepala Tengko-
rak Wong Duwur sudah meluncur ke
arah ubun-ubun
Jaran Perkoso. Akan tetapi pada
saat kritis itu berke-
lebat bayangan hijau yang
menangkis serangan maut
itu.
PLAK...! Apa yang terjadi?
Kiranya Kemang Suri
telah menggagalkan serangan maut
Wong Duwur. Ke-
pala tengkorak tongkat si
jangkung itu miring ke
samping, dan mengenai tanah
disamping tubuh Jaran
Perkoso.
"Tahan! kau tak boleh
membunuhnya...!" Teriak
Kemang Suri. Dan secepat kilat
lengannya bergerak
menotok tubuh laki-laki yang
sudah tak berdaya ke-
habisan tenaga itu. Jaran
Perkoso perdengarkan kelu-
hannya, dan roboh terguling.
"Hahahehehe... hehe... Wong
Duwur, biarkan
dewi kita mengurusi laki-laki itu! Aku akan
berikan
bagian padamu setelah beres
urusanku...! Hahaha..
hahaha... !" Terdengar
mengakak tertawa si pendek Se-
to Bungkrik. Wong Duwur pun
tersenyum manggut-
manggut, seraya berkata pada
Kemang Suri yang ma-
sih melototkan matanya dengan
mendongkol. Telapak
tangannya terasa kesemutan
setelah barusan menolak
tongkat maut si jangkung itu.
"Oh, maafkan dewiku...! aku
lupa kalau si Ja-
ran Perkoso itu bagianmu!
hehe... hehehe..." Ujar Wong
Duwur dengan perdengarkan
tertawa yang kurang
enak didengar.
"Sudahlah, kau minggatlah
yang agak jauh!
jangan ganggu urusanku...!"
bentak Kemang Suri den-
gan bibir cemberut. Tapi justru
membuat kerlingan ta-
jam pada laki-laki jangkung itu.
Pertanda kalau si
jangkung itu harus mengerti
maksudnya.
"Hihihi.. Jaran Perkoso,
aku berani bertaruh
kalau kau toh akhirnya akan
menyenangi diriku. Wa-
laupun aku sudah usia hampir
setengah abad, pasti
kau akan tak merasa kecewa,
nanti! Hihihi..." Ujar
Kemang Suri seraya lengannya
bergerak membukai
pakaian Jaran Perkoso.
Laki-laki itu cuma pelototkan
matanya dengan
gusar. Giginya gemeletuk
berbunyi menahan geram.
Sementara di luar dugaan si
pendek Seto Bungkrik, ju-
stru membawa sang tawanan ke
hadapan Kemang Su-
ri. Lalu jatuhkan tubuh gadis
itu tepat di dekat Jaran
Perkoso.
"Bagus! kau kerjailah anak
si Jaran Perkoso itu
di depan matanya, biar semangat
jantannya mengge-
bu-gebu... hihihi...
hihi..." Terbelalak mata Jaran Per-
koso, serasa dadanya mau meledak
menyaksikan per-
buatan yang tengah diperagakan
di depan matanya.
Sementara Kemang Suri telah
membuka paksa apa
yang melekat di tubuh Jaran
Perkoso.
BRET. BRET! BRET...! Kini
laki-laki itu sudah
bagaikan seekor kambing benggala
yang sudah dipen-
tang dengan keadaan selesai
dikuliti. Kepalanya disan-
darkan pada pangkuan Kemang
Suri. Laki-laki ini
memaki kalang kabut. "Setan
keparat...! Bunuhlah
aku! mengapa kalian menyiksa
dengan cara biadab se-
perti ini? Kalian memang
iblis-iblis bermuka manu-
sia..."
—oOOOo—-
Pipit Lurik bukannya tak sadar
akan apa yang
tengah terjadi terhadap dirinya.
akan tetapi dia me-
mang tak berdaya. Dan biarkan
lengan-lengan kasar si
pendek itu melepaskan sehelai
demi sehelai pakaian
yang melekat ditubuhnya.
Sepasang matanya dipejamkan
kuat-kuat. bi-
birnya telah digigit sendiri
hingga mengeluarkan darah.
Daya upayanya melepaskan diri
dari pengaruh totokan
si jangkung kurus itu tak
membawa hasil.
Jaran Perkoso tak akan sanggup
melihat keja-
dian gila yang terpampang
dihadapannya. Dilihatnya si
pendek Seto Bungkrik dengan
tertawa mengekeh mulai
memperagakan kepandaian
lengannya menjuluri sepa-
sang bukit daging yang masih
kencang memutih ra-
num. Ternyata upaya untuk
bertahan dengan segala
kepasrahan itu, tidaklah membuat
gadis ini bisa gigit
bibir belaka. Karena rasa takut
yang luar biasa,.
Pipit Lurik tiba-tiba belalakkan
sepasang ma-
tanya. Dan perdengarkan jeritan
sekuat-kuat. Berte-
riak-teriak sang gadis ini
bagaikan orang kemasukan
setan Akan tetapi dengan
menyeringai, justru si pen-
dek ini telah keluarkan sebuah
benda dari dalam saku
bajunya. Benda terdiri dari dua
butir pil itu dengan ce-
pat telah dijejalkan masuk ke
mulut sang gadis. Se-
mentara lengannya bergerak
menotok urat suaranya,
hingga lenyaplah suara
teriakannya. Cuma sepasang
matanya saja yang terbelalak.
Kedua butir pel itu seke-
jap telah tertelan lewat
tenggorokannya.
Terperangah Jaran Perkoso.
Nafasnya terasa
memburu... bagaimana dia dapat
sanggup melihat ke-
jadian sedemikian bejatnya di
depan mata?. Laki-laki
ini gerakkan tubuhnya membuka
totokan. Tenaga da-
lamnya dikerahkan sepenuhnya
untuk disebar ke se-
kujur tubuh. Tampaknya hal itu
membawa hasil. Na-
mun baru dia mau bergerak
meronta, Kemang Suri te-
lah tutupkan sapu tangan berbau
harum dihidungnya.
Mendadak terasa kepalanya
menjadi pening...
dan tubuhnya kembali lemas tanpa
tenaga. Sepasang
matanya mendadak seperti
mengantuk, dan terkulai
kepalanya di pangkuan Kemang
Suri dengan mata ter-
pejam.
Berlainan dengan cara si pendek
Seto
Bungkrik. Kalau laki-laki itu
mengeluarkan dua butir
pil yang dijejalkan ke mulut
sang korban, adalah Ke-
mang Suri merogoh kantong kulitnya. Dan keluarlah
sebuah bumbung bambu. Di
dalamnya terdapat cairan
berwarna hitam. Setelah membuka
sumbatannya, se-
gera diteguknya benda cair dalam
bumbung itu tiga
kali tegukan. Lalu menutup
kembali sumbatannya,
dengan pipi masih menggembung.
Setelah menyimpan
kembali bumbung bambu itu dalam
kantong kulit, ke-
palanya membungkuk. Menelan
sedikit cairan dalam
mulutnya itu, lalu sisanya
dituangkan dalam mulut
Jaran Perkoso yang sudah
dipentang ternganga lebar...
Entah cairan apakah itu... Akan
tetapi tak lama
ketika laki-laki itu sadarkan
diri pandangan matanya
menjadi aneh dan liar. Bibirnya
seperti menyeringai
dengan sikap aneh melihat adegan
di depan matanya.
Dilihatnya si pendek cebol telah
lepaskan sesuatu yang
mengganggu pada tubuhnya. Dan... Pipit Lurik tidak
lagi ketakutan seperti melihat
hantu dihadapannya.
Bahkan... ketika si pendek Seto
Bungkrik merangkul-
nya serta menghunjamkan wajahnya
ke belahan kedua
bukit berputik kemerahan
itu, tubuhnya bergelinjan-
gan seperti terangsang hebat.
Lengannya sudah berge-
rak mengelus kepala gundul si
pendek Seto Bungkrik
dan membelainya dengan bibir
mendesah dan mata se-
tengah terpejam.
Getarannya terasa sampai ke hati
Jaran Perko-
so. Membuat tubuh laki-laki ini
bergelinjangan mena-
han kobaran hawa nafsu yang
seperti tak terkendali-
kan. Tahu-tahu Jaran Perkoso
rasakan belaian lembut
mengelus wajahnya. Belaian dari
dua buah benda lu-
nak berputik lebar. Tak ayal bagaikan
seekor bayi yang
kehausan, Jaran Perkoso
melumatnya dengan lahap.
Tentu tak menolak jika sang ibu
mengangsongkan se-
suatu untuk dilumatnya oleh sang
bayi. Dan... di lain
kejap tampak Kemang Suri
perdengarkan rintihannya.
Tubuhnya bergelinjangan menahan
kenikmatan yang
tiada tara.
Angin gunung di sekitar tempat
yang seperti te-
duh, tapi gersang itu berhembus
menyentuh kulit-kulit
daun dan dahan-dahan telanjang.
Menghempas-
hempaskan rantingnya. Beberapa
helai daun jatuh me-
layang turun ke tanah... di sela
desahan dan suara ter-
tawa mengikik Kemang Suri,
terdengar si pendek Seto
Bungkrik menggerutu, yang
seperti memaki dirinya...!
"Kunyuk...!? aku lupa
memakan obat...!" Dan
terpaksa dia harus berdiam
menunggu waktu berlalu.
Sementara matanya menatap ke
arah dua ekor kamb-
ing yang saling berpacu di atas
rumput. Kemang Suri
seperti dihujani
serangan-serangan hebat. Membuat
tubuhnya bergelinjangan tak
menentu. Mulutnya tern-
ganga berdesahan. Sepasang
lengannya bergerak men-
dekap tubuh Jaran Perkoso
berubah. Namun bersa-
maan dengan keluhan Kemang Suri
bergelinjanganlah
sepasang kuda yang saling
bergumul itu melepaskan
semua naluri, mencapai puncak
tertinggi diujung sya-
raf.
Seto Bungkrik, si pendek
berkepala gundul ini
leletkan lidahnya. Saat itu
tiba-tiba satu bayangan hi-
jau berkelebat mendekatinya.
"Heheheheh... kini giliran aku, bukan...?" Ber-
kata sosok tubuh itu yang tak
lain dari si jangkung
Wong Duwur. Dia sudah segera
lepaskan jubahnya.
"Kunyuk tua! Menyingkirlah
dulu...! Aku belum
lakukan apa-apa...!"
"Hah!?... tapi..."
Ujar si jangkung penasaran.
"Jangan tanya apa-apa!
berikan padaku ra-
muan simpananmu...! Desis Seto
Bungkrik dengan ju-
lurkan lengannya. Wajah Wong
Duwur jadi berubah
kecewa. Lengannya bergerak
menyambar jubahnya.
Lalu meraba-raba ke dalam
kantung jubah. Entah dari
mana datangnya, tahu-tahu
bersyiur angin keras ber-
gulung-gulung seperti pusaran
angin puyuh. Seto
Bungkrik dan Wong Duwur jadi
terkejut. Bahkan ju-
bah si jangkung telah terbawa
melayang ke atas. Ter-
paksa laki-laki itu mengejarnya.
"Setan...!? Ucap Wong
Duwur seraya lakukan lompatan
tinggi untuk me-
nangkap jubahnya yang terbawa
pusaran angin ke
udara.
Si Pendek Seto Bungkrik tak
sabaran. Tubuh-
nya bergerak melompat untuk
turut mengejar jubah.
"Celaka...! Aku khawatir
bungkusan obat ramuan da-
lam kantung jubahnya lenyap
melayang...!" Desisnya.
Ketika jejakkan kaki ke dekat Wong Duwur ternyata
laki-laki jangkung itu sudah
berhasil menyambar ju-
bahnya. Dan kembali melayang
turun. Sementara an-
gin pusaran itu masih
berputar-putar menerbangkan
dedaunan dan debu pasir dan
tanah. Membuat mereka
harus menyipitkan mata.
Pada saat itulah berkelebat
sebuah bayangan
kuning, menyambar tubuh Pipit Lurik,
tanpa seorang-
pun yang melihat kejadian yang
begitu cepat. Lalu
membawanya berkelebat. Sementara
Kemang Suri ma-
sih pejamkan mata setelah
berhasil mencapai kepua-
san. Bahkan ketika angin pusaran
itu menerpa seperti
tak perduli lagi. Hingga saat
tubuh bugil Pipit Lurik di-
bawa berkelebat dia tak
mengetahui sama sekali. Apa-
lagi gerakannya tak menimbulkan
suara.
Namun sesaat sesudah bayangan
kuning itu
lenyap, Kemang Suri baru
tersadar setelah membuka
mata melihat tubuh Pipit Lurik
dan si pendek Seto tak
berada di tempat. Saat itu si
pendek Seto sudah kem-
bali melompat ke tempat asalnya.
Akan tetapi betapa
terkejutnya melihat ke tempat
sang gadis itu yang su-
dah tinggal bekasnya saja.
"Hah...!" Kemana
dia??!" Teriak si pendek ini
dengan mata terbelalak.
"Hei, dewiku, apakah kau
melihat kemana gadis
itu...?" Tanyanya pada
Kemang Suri. Tentu saja Ke-
mang Suri gelengkan kepalanya.
"Kunyuk! Pasti ada orang
yang telah melari-
kannya ketika terjadi angin
pusaran tadi!" Sentak Seto
Bungkrik dengan tercenung. Tak
ayal dia sudah ban-
tingkan kaki dengan geram. Lalu
tubuhnya bergerak
melompat untuk menyambar
pakaiannya yang sudah
melayang ke beberapa tempat,
terkena serempetan an-
gin tadi.
"Huh, sial...! kita harus
cari kemana gadis itu!"
Berkata si pendek Seto Bungkrik
dengan hati mengkal,
karena niatnya belum tercapai,
tapi dia sudah keburu
lemas karena mengumbar emosi
berlebihan.
Akibat kemendongkolannya itu,
Jaran Perkoso-
lah yang dijadikan sasarannya.
***
4
Siapakah gerangan yang telah
melarikan tubuh
bugil Pipit Lurik? Marilah kita
ikuti kemana keper-
giannya... Berkelebatnya
bayangan kuning itu begitu
cepat membawa lari tubuh Pipit
Lurik yang dalam kea-
daan tanpa busana. begitu
cepatnya hingga seolah di-
bawa terbang menuruni bukit,
menyeberangi sungai
dan memasuki hutan rimba.
Selang kira-kira semakanan nasi,
sosok tubuh
itu memperlambat larinya, karena
jalan yang dilalui
adalah memasuki celah-celah
pepohonan dan semak
belukar. Kiranya yang memondongnya
adalah seorang
laki-laki berpakaian indah, dari
sutera kuning. Mema-
suki benang-benang emas di
bagian dadanya. Ikat ke-
palanya juga dari bahan yang
mahal yang biasa dipa-
kai oleh para bangsawan.
Ternyata laki-laki itu masih
berusia cukup muda, yaitu
sekitar dua puluhan tahun.
Berwajah tidak begitu jelek, dan
cukup gagah. Menilai
dari pakaiannya, memang mirip
anak seorang bangsa-
wan. Di belakang punggung pemuda
ini terselip gagang
sebuah senjata yang terbungkus
kain sutera hitam.
Tak lama pemuda bangsawan itu
telah mema-
suki satu tempat yang bersih dan
teratur. Di bagian
depan tampak anak tangga dari
batu yang memanjang
berkelok-kelok. Segera dia
mempercepat lagi langkah-
nya. Sementara bibirnya selalu
menampakkan senyu-
man, yang sebentar-sebentar
leletkan lidah. Bahkan
entah beberapa kali lengannya
bergerak mengelus atau
meraba tubuh gadis yang
dipanggulnya.
Beberapa kejap antaranya, si
pemuda itu telah
berada di depan sebuah pondok
mungil yang berada di
atas undakan tangga. Tempat itu sunyi,
tiada orang.
Dan pondok mungil beratap ijuk
itupun sunyi tanpa
penghuni.
Secepatnya pemuda ini sudah
mendekati pon-
dok mungil itu, dan terdengar
suara pintunya ketika
dibuka. Matanya liar meneliti
tempat sekitar ruangan,
yang cuma terdapat sebuah
pembaringan lengkap den-
gan bantal dan guling beralaskan
kulit harimau. Dan
sebuah meja kecil dengan sebuah
kendi air diatasnya.
"Hm, bagus! Sudah kuduga,
tempat yang sering
dikunjungi ayah ini adalah
tempat yang nyaman! En-
tah kemana penjaganya...? Apakah
tak seorangpun
yang menjaga tempat
ini...?" Berguman si pemuda.
Tapi segera jatuhkan perlahan
beban yang di-
bawanya di pembaringan. Sementara sentakan-
sentakan kuat di hatinya sudah
sedari tadi dirasakan
pemuda itu. Apalagi kini melihat tubuh mulus tanpa
sehelai benangpun menutupi,
terpampang dengan se-
gala keindahannya.
"Ah, memang amat cantik,
gadis ini...! Kalau
tak salah adalah anak si Ketua
Perusahaan Pengantar
dan Pengawalan barang! Karena
aku pernah melihat-
nya ketika ayah mengajakku
memesan kereta untuk
mengantar barang-barang milik
ayah, berikut menga-
walnya. Dan tampaknya ayah amat
akrab bercakap-
cakap dengan si Ketua Benteng
Macan Gunung! Ya,
orang tua itu bernama Jaran
Perkoso...!" Memikir si
pemuda dalam hati. Sementara
lengannya bergerak
mengelus kedua perbukitan yang
ranum itu dan ber-
henti di satu putiknya.
Makin lama semakin menjulur ke
arah yang
lainnya. Dan terdengar
desahan-desahan keluar dari
mulut sang gadis. Rupanya
pengaruh dari dua butir pil
yang dijejalkan ke mulut gadis
itu oleh si pendek Seto
Bungkrik masih bereaksi.
Hal mana membuat si pemuda
Bangsawan itu
semakin tergetar jantungnya.
Debaran demi debaran
didadanya berkelanjutan dengan
dilepaskannya pa-
kaian pemuda itu, yang tampakkan
senyum menyerin-
gai.
Tak berapa lama terdengar
desah-desah angin
seperti saling bertumpuan
menerpa di dalam pondok
mungil itu.
Kegagalan si pendek Seto
Bungkrik dalam me-
laksanakan hajatnya telah
membuat Pipit Lurik bagai-
kan seekor ular betina yang
mengeliat dan mendesis
tiada henti.
—oOOOo—
Tiga sosok tubuh tampak
berindap-indap men-
dekati pondok mungil itu.
Sesosok tubuh sudah me-
lompat dengan tak sabar ke depan
pondok. Dan..
BRRAAKKK....!
Pintu papan berukir pondok itu
telah hancur
berantakan dihantam pukulan
lengan sosok tubuh itu
yang tak lain dari si pendek
Seto Bungkrik.
"Bedebah, pencuri busuk!
Kuhabisi nyawa-
mu...!" Teriak Seto
Bungkrik seraya melompat ke da-
lam.
Akan tetapi tak ada jawaban,
kecuali sesosok
tubuh layu yang tergeletak
keluarkan keluhan di atas
pembaringan bertilamkan seprai
dari Kulit macan. Itu-
lah Pipit Lurik, yang masih
belum tersadar dari penga-
ruh pil yang dijejalkan si Seto
Bungkrik padanya.
Tubuh wanita itu telah
tertutupkan kain seli-
mut. Sepasang matanya masih
terpejam dengan wajah
pucat dan rambut awut-awutan.
Adapun si pendek ini
telah jelalatkan matanya mengitari seluruh ruangan,
bahkan berjongkok melongok ke
bawah pembaringan,
namun memang di pondok itu tak dijumpai siapa-
siapa. "Setan belang...!
kemana kaburnya si pencuri
sialan itu...?" Desis suara
si pendek. Namun disamping
mendongkol, tapi juga bergirang
karena si gadis telah
ditemukan juga. Walau tentunya
dia telah keduluan
oleh sang pencuri yang tentunya
sudah mencicipi ke-
hangatan tubuh gadis
incarannya.........
Sementara si jangkung Wong Duwur
dan Ke-
mang Suri telah menyusul
melompat ke depan pondok
mungil di ujung batu undakan
itu.
Akan tetapi pada saat itu juga
terdengar satu
suara halus di belakang mereka.
Entah dari mana
munculnya telah berdiri sesosok
tubuh berpakaian ba-
gus, dengan menggendong tangan
dibelakang, tengah
menatap mereka.
"Maaf sobat-sobat orang
sakti...! ada apakah
membuat kegaduhan di
tempatku...?" Bertanya orang
itu.
Terkejut kedua tokoh hitam ini,
dan segera pa-
lingkan mukanya menatap ke arah
suara dibelakang-
nya. Seorang laki-laki tua
bertubuh gemuk dengan ba-
ju sutera warna-warni. Memakai
jubah panjang warna
biru tua yang belahannya terbuka
di depan, perli-
hatkan wajah tersenyum pada
mereka.
Laki-laki gemuk ini berkumis
tipis yang ujung-
nya terjuntai memanjang.
Jenggotnya yang berwarna
putih cuma sejumput saja, bagai
jenggot kambing. Wa-
jahnya tampak ramah dengan
sepasang mata agak si-
pit, serta alis terjuntai pula
kedua ujungnya. Seto
Bungkrik cepat-cepat melompat ke
pintu untuk meli-
hat siapa adanya yang telah buka
suara. Jangan-
jangan ini pencurinya yang
menggondol gadisku...!
Sentak hatinya begitu melihat
ada sesosok tubuh di si-
si batu undakan.
Mereka bertiga jadi saling
pandang, karena si-
kap orang tua itu tak seperti
orang berilmu tinggi, jelas
seorang bangsawan menilik dari
pakaiannya. Belum
lagi Seto Bungkrik buka mulut,
si bangsawan tua itu
sudah mengulang bicara.
"Sekali lagi, aku si tua
ANJASMORO mohon
maaf pada anda orang- orang
sakti, ada apakah yang
terjadi hingga membuat kegaduhan
di tempat ku
ini...?" Berkata demikian
orang tua bangsawan ini
menjura dengan sikap amat hormat.
Hening sejenak.
Dan kembali ketiganya saling
pandang. Tak mungkin
kalau orang ini yang telah
melakukan penculikan pada
si gadis tadi. Demikian pikir
dibenak mereka masing-
masing. Tak ayal segera mereka
balas menjura.
"Hihihi... kami digelari si
TIGA SILUMAN BUKIT
HANTU! Kedatangan kami kemari
adalah mencari seo-
rang pencuri busuk yang telah
mencuri adik perem-
puan rekan kami!" Ujar
Kemang Suri dengan sikap ge-
nit, seraya lirikkan mata pada
si pendek Seto
Bungkrik. "Oh!?
begitukah...? lalu..." Jawab si Bang-
sawan tua seperti
menampakkan keterkejutannya.
"Kami mengejarnya, ternyata
malingnya sudah
lenyap, sedangkan adik perempuan
rekan kami itu
berhasil kami temukan lagi
berada di dalam pondok
mungil ini...!"
"Ya, aku si Seto Bungkrik
yang telah menghajar
daun pintu pondok ini, karena
menduga dia bersem-
bunyi di dalam! Ternyata benar!
Namun kami terlam-
bat datang, karena manusianya
sudah merat terlebih
dulu!" Ujar si pendek
dengan wajah geram.
"Apakah anda mengetahui
jelas ciri-ciri si pen-
culik itu?"
"Sayang sekali kami tak
mengetahuinya sama
sekali baik rupa maupun
pakaiannya!" Ujar lagi Ke-
mang Suri.
Sementara si Bangsawan tua
kerutkan kening-
nya.
"Aneh! Lalu dari siapa
kalian orang-orang sakti
bisa mengetahui kalau
penculiknya sembunyi dalam
pondok ini?" tanya si
Bangsawan tua.
"Kami menemukan seorang
penjaga di tempat
ini, akan tapi sayang dia
seorang yang gagu! Di cuma
menunjuk-nunjuk saja ke
arah sini memberitahukan
dengan isyarat! Apakah dia
penjaga di tempat ini yang
ditugaskan oleh anda?"
tutur Kemang Suri seraya aju-
kan pertanyaan. Laki-laki tua
Bangsawan itu kembali
unjukkan wajah tersenyum, dan
berkata:
"Benar! Sudahlah kalau
penculiknya tak dapat
ditemukan, kalau adik perempuan
sobat... Seto
Bungkrik ini sudah dapat
ditemukan tak menjadi apa!
Oh, ya disamping terkejut, aku
si tua Anjasmoro mera-
sa kebetulan sekali berjumpa
dengan para tokoh sakti
Rimba Persilatan yang ternyata
bergelar Tiga Siluman
Bukit Hantu! Bagaimana kalau aku
si tua ini mengajak
anda ke tempat tinggalku?. Ya,
hitung-hitung menam-
bah pengetahuanku, karena aku
amat senang berke-
nalan dengan orang-orang sakti
Rimba Hijau! Haha-
ha... jangan khawatir, aku si
tua akan menjamu kalian
orang-orang sakti sampai
puas!" Berujar si laki-laki
tua Bangsawan dengan menunjukkan
sikap persaha-
batan.
Melengak si Tiga Siluman Bukit
Hantu ini, dan
lagi-lagi ketiganya saling
pandang. Seto Bungkrik dan
Wong Duwur cuma manggut-manggut
menatap pada
Kemang
Suri. Kemang Suri palingkan lagi
kepalanya
menatap pada si laki-laki tua
Bangsawan itu, seraya
manggut-manggut dan menyatakan
bersedia bertamu
ke tempat tinggal si Bangsawan
tua.
—oOOOo—
Di sebelah utara kota UNGARAN ternyata me-
rupakan daerah yang hidup,
karena disana banyak
tinggal kaum Ningrat dan para
pedagang maupun
Bangsawan. Bahkan di tempat itu
adapula tinggal ke-
luarga dari Adipati Banyu Biru.
Disudut utara kota yang padat
penduduknya
itu tinggal seorang bangsawan Tua
yang terkenal ra-
mah tamah dan berwibawa. Yaitu
Raden Mas Anjasmo-
ro, yang mendiami gedung megah
dengan belasan pen-
gawal yang dimilikinya.
Menjelang senja, tampak
iringan-iringan orang
berkuda memasuki wilayah utara
kota Ungaran. Ter-
nyata adalah si Bangsawan Tua
Anjasmoro itu, yang
datang bersama ketiga tamunya si
Tiga Siluman Bukit
Hantu. Tentu saja si pendek Seto
Bungkrik membawa
serta si gadis bernama Pipit
Lurik itu dalam pang-
kuannya di atas kuda.
Beberapa penduduk yang sempat
berpapasan
dengan rombongan itu tentu akan
menjura hormat pa-
da si Bangsawan terkenal itu,
yang berikan senyu-
mannya pada setiap orang yang
dijumpai.
Tak berapa lama dua orang
penjaga telah mem-
bukakan pintu utama di depan
gedung megah milik si
Bangsawan Tua itu. Dan mereka
segera beranjak ma-
suk. Ketika mereka masing-masing turun dari ku-
danya, segera beberapa penjaga
berdatangan untuk
membenahi kuda-kuda itu.
Binatang tunggangan yang
mereka naiki adalah didapatkan
dengan mudah. Kare-
na di setiap tempat si Bangsawan
Tua banyak mempu-
nyai kenalan.
PIPIT LURIK terkejut ketika
dapatkan dirinya
berada di sebuah pembaringan
empuk berseprai bersih
dan bagus. Dan dalam sebuah
kamar yang indah. Se-
buah jendela yang terkuak
terbuka sebagian, menam-
pakkan latar belakang sebuah
taman bunga. Juga se-
buah lampu gantung yang terbuat
dari besi ukiran be-
rada di langit-langit ruangan
kamar. Gadis ini beranjak
bangkit untuk duduk, terkejut
dia karena rasakan tu-
buhnya tak mengenakan pakaian sama
sekali, kecuali
sebuah selimut berbau harum yang
membungkus tu-
buhnya.
Oh, apa yang telah terjadi
denganku? Di mana-
kah ini? Tempat ini bukan
kamarku...! Ya, kamar ini
lebih indah, dan amat indah
melebihi kamarku...! Ber-
tanya-tanya Pipit Lurik dalam
hati.
Segera dia mulai mengingat-ingat
apa yang te-
lah terjadi. Gadis ini ternyata
telah lupa pada kejadian
di atas bukit, akibat pengaruh
dua butir pil yang dije-
jalkan dalam mulutnya oleh si
pendek Seto Bungkrik.
Semalam suntuk dia telah tertidur
pulas, bah-
kan ketika dia tersadar,
matahari sudah mulai me-
ninggi.
Setelah lama termangu-mangu,
akhirnya Pipit
Lurik mulai dapat mengingat lagi
kejadian mengerikan
di atas bukit, dimana tubuhnya
tengah digeluti oleh si
pendek Seto Bungkrik salah satu
dari Tiga Siluman
Bukit Hantu.
Mengingat demikian, gadis ini
tiba-tiba perden-
garkan jeritan histeris.
Wajahnya seketika pucat pias
ketakutan.
"Tidaaaak...! tidaaaak...!
Oh, lepaskan aku...!
lepaskaaaann!" Dan dia sudah
bangkit dari pembarin-
gan. Sekejap saja sepasang
matanya telah member-
sitkan air bening yang
menggenangi pelupuk matanya.
Pada saat itulah sesosok tubuh
melompat ke
dalam kamar setelah membuka daun
pintu dengan ce-
pat. Terkejut pipit Lurik
menatap siapa yang datang.
Akan tetapi juga terheran...
karena di hadapannya bu-
kanlah wajah jelek si pendek
gundul itu, melainkan
seorang pemuda gagah berpakaian
mewah, yang mena-
tap padanya. Dan segera telah
berikan senyuman ma-
nis terhadapnya.
"Oh...? no... nona sudah
sadarkan diri...? Su-
kurlah! Dan tenanglah, nona..!
kau berada di tempat
yang aman! Namaku PITRA SENA!
Kau berada di ka-
mar dalam gedung ayahku Raden
Mas Anjasmoro...!"
Berkata pemuda itu dengan lemah
lembut. Adapun Pi-
pit Lurik tergesa-gesa menutupi
kembali tubuhnya,
dan membuntalnya dengan selimut.
Apakah gerangan
yang terjadi? Mengapa aku bisa
berada di gedung si
Bangsawan Tua sahabat ayahku
ini..? Sentak hati Pipit
Lurik.
Tiba-tiba mendadak gadis ini
rasakan kepa-
lanya mendadak jadi pening dan
rumit memikirkan
semuanya. Dan sekonyong-konyong
dia mulai mengin-
gat pada sang ayah.
Tak ayal Pipit Lurik kembali
menjerit histeris
menyebut-nyebut nama ayahnya,
dengan menelung-
kupkan wajah di kedua lengannya.
Membuat pemuda itu jadi tampak
kebingun-
gan, dan segera mendekati seraya
mengelus pundak-
nya. Akan tetapi Pipit Lurik
telah melompat ke sudut
pembaringan.
"Pergi kau...! pergii
Jangan jamah aku! Ke mana
ketiga manusia iblis itu?
Katakan di mana mereka!
Aku harus membunuhnya mampus!
Dia... dia pasti te-
lah bunuh ayahku! Ayaaah...! oh,
ayaaaah....." Setelah
berteriak-teriak, Pipit Lurik
kembali menangis tersedu-
sedu.
Pemuda bernama Pitra Sena itu
cuma men-
diamkan saja menatap si gadis
dengan tersenyum, ka-
rena maklum kalau dia tengah
shok dengan kejadian
yang dialaminya. Tiba-tiba sang
gadis sudah hentikan
lagi tangisnya. Kini hatinya
memikir akan apa yang te-
lah dialami. Barulah dia sadar
kalau dirinya telah ter-
noda.
Emoticon