ENAM
KAKEK TUA berjubah putih itu
duduk di atas
bangku reyot. Pada bibirnya
terselip rokok kawung.
Sepasang matanya merem-melek
menikmati asap ro-
kok yang sesekali dihisapnya.
Di hadapannya duduk Roro Centil
pada bangku
yang agak baikan. Sementara si
bocah laki-laki mema-
suki dapur, lalu kembali lagi
dengan membawa baki
berisi dua buah cawan berisi air
putih.
Lalu dengan membungkuk-bungkuk
hormat
Sugala meletakkan cawan-cawan
berisi suguhan mi-
numan itu di atas meja. Kemudian
kembali ke dapur
menyimpan baki, dan duduk
di depan pintu dapur
mendengarkan pembicaraan sang
dukun tua dengan
tetamunya.
"Aku memang pernah
mendengar dikala aku
muda dahulu, yaitu adanya satu
kisah menarik men-
genai penghuni-penghuni lubuk
sungai Mahakam."
Terdengar si kakek membuka
pembicaraan mengenai
pertanyaan Roro Centil.
"Kisah itu bermula pada
sepasang suami istri
yang baru menikah, dan mendiami
sebuah pondok di-
tepi muara sungai Mahakam.
Suaminya bernama KENCA. Seorang
laki-laki
muda dan gagah yang amat
menyayangi istrinya. Sua-
tu ketika di saat sang istri
mencuci piring-piring kotor
diperigi, salah satu sendok
makan telah terjatuh ma-
suk ke sungai. Sang suami yang
ketika itu tengah
mandi mengetahui sendok makan
yang dicuci sang is-
tri tercebur segera menyelam ke
bawah permukaan air
untuk mengambilnya. Sementara
sang istri yang masih
muda belia itu meneruskan
mencuci.
Apakah yang terjadi dengan
laki-laki bernama
Kenca itu?
Ternyata satu pusaran air di
bawah perigi
membuat tubuhnya terbawa masuk
ke dalam sebuah
lubuk di bawah permukaan air.
Makin lama semakin dalam tubuh
Kenca ter-
bawa pusaran air, hingga tak
kuasa lagi dia untuk
bernapas. Sepasang matanya
membelalak meman-
dang, dan dibuka lebar-lebar
untuk melihat keadaan
sekelilingnya. Lengannya
berusaha menggapai untuk
berontak dari pusaran air yang
telah menyedot tubuh-
nya.
Akan tetapi sia-sia...
Kenca tak mampu untuk
menyelamatkan diri.
Dia pingsan tak sadarkan diri.
Ketika siuman di dapati
dirinya berada dalam sebuah
kamar, serta ruangan
yang amat indah..." Sampai
disini si kakek dukun tua
itu berhenti bercerita untuk
menghisap dalam-dalam
rokok kawungnya.
Roro tak sabaran untuk bertanya.
"Bagaimana
kelanjutannya, pak tua...?"
Si bocah laki-laki bernama
Sugala itupun tam-
paknya tak sabar menanti, dan
usap-usap kedua ma-
tanya. Si kakek dukun itu
tersenyum, lalu lanjutkan
ceritanya.
"Ruangan kamar yang indah
itu adalah ruan-
gan kamar sebuah Istana di dasar
lubuk, yaitu istana
Ratu Siluman Buaya Putih!"
"Ah...!?" Roro
tersentak, seraya ucapnya. "Te-
ruskan pak tua, lalu bagaimana
selanjutnya?"
"Kenca terkejut melihat
seorang wanita cantik
berada dihadapannya. Dan setelah
wanita itu memper-
kenalkan diri bahwa dia adalah
Ratu Siluman didasar
lubuk, hampir-hampir dia tak
percaya.
Tapi melihat kenyataan bahwa
dirinya berapa
di dalam air, tapi dia merasa
tak kesulitan bernafas,
bahkan seperti bernafas di udara
biasa saja, yakinlah
Kenca akan kenyataan yang di
hadapinya.
Sang Ratu Siluman itu meminta
Kenca untuk
tinggal menetap di istananya.
Kenca tak dapat meno-
lak, bahkan kemudian Kenca
memperistri sang Ratu
Siluman dan tinggal didasar
lubuk hingga bertahun-
tahun. Dari perkawinan mereka,
Kenca memperoleh
seorang anak laki-laki.
Suatu ketika, sang Ratu berpesan
pada Kenca
agar menjaga istana, karena dia
akan pergi dalam wak-
tu lama. Namun sang Ratu memberi
peringatan pada
suaminya agar tak membuka sebuah
pintu yang men-
jadi pantangan baginya.
Kenca menanyakan pantangannya,
namun
sang Ratu tak memberitahukan.
Demikianlah, akhir-
nya Kenca berjanji akan menuruti
pesan sang Ratu is-
trinya itu. Saat itu anak Kenca
sudah berusia lima ta-
hun.
Kenca memang telah melupakan
istrinya. Telah
melupakan dunia manusia, karena
hidup di Istana Ke-
rajaan Siluman dengan kemewahan
yang tiada tara.
Segala keperluannya dilayani
oleh para dayang istana.
Dan berpuluh-puluh pengawal siap
menerima perintah
menjalankan tugas.
Keadaan dikerajaan Ratu Siluman
itu mirip
dengan Kerajaan manusia saja
layaknya, Hingga mem-
buat Kenca betah berdiam disana,
dan melupakan
bahwa dia masih mempunyai
seorang istri yang setia
menunggu kedatangannya.
Beberapa hari ditinggal
istrinya, timbullah
keinginan Kenca dalam benaknya.
Yaitu ingin menge-
tahui rahasia apa gerangan di
dalam ruangan yang
pintunya terlarang dibuka itu.
Saat anak laki-lakinya dibawa
bermain oleh
pengasuh Istana, Kenca
memberanikan diri membuka
pintu terlarang yang menjadi
pantangan itu. Pintu pun
terbuka. Dan, tiba-tiba saja....
Pusaran air bergolak ke-
ras dari dalam ruangan itu. Kenca
terperangah. Pan-
dangan matanya sekonyong-konyong
menjadi gelap.
Dia tak dapat melihat apa-apa
lagi. Gelap pekat! Yang
dirasa kan adalah tubuhnya
mengapung ke atas per-
mukaan air. Nafasnya megap-megap, karena sukar
sekali kini Kenca untuk bisa
bernafas.
Akhirnya tubuh Kenca tersembul
juga keper-
mukaan air...
Dalam keadaan terengah-engah
itu, Kenca
membuka matanya. Alangkah
terkejutnya Kenca ketika
melihat istrinya masih belum
selesai mencuci piring di
atas perigi. Terperangah mata
Kenca memandangnya.
Ternyata dia telah berada di
alam manusia lagi.
Sungguh tak masuk akal apa yang
dialami
Kenca, karena bertahun-tahun dia
tinggal didasar lu-
buk dikerajaan Siluman bahkan
telah mempunyai seo-
rang anak dari perkawinanya
dengan sang Ratu Silu-
man, tapi kenyataannya sang
istri belum lagi selesai
mencuci piring-piring kotor.
Bahkan begitu Kenca
muncul di atas permukaan air, langsung sang istri
menanyakan sendok makan
yang diselaminya...!
Tersipu Kenca, dan berdusta
mengatakan bah-
wa tak diketemukan benda itu di
bawah air. Akhirnya
setelah selesai mencuci dan
mandi, Kenca bergegas
pulang bersama istrinya...!
Tampak si dukun tua itu berhenti
lagi bercerita,
terbatuk-batuk sejenak, lalu
ulurkan lengan meraih
cawan meneguk air putih di
dalamnya. Roro menghela
napas. Tegang juga cerita itu,
namun kakek dukun itu
memang belum tuntas ceritanya.
Sang dukun tua sulut rokok
kawungnya yang
mati. Setelah menghisapnya
beberapa kali lalu te-
ruskan bercerita...
"Kenca tak berani
menceritakan kisah yang di-
alaminya pada sang istri. Namun
pada malamnya,
pondok Kenca didatangi
berpuluh-puluh ekor buaya
putih, yang mengelilingi pondok.
Demikianlah setiap malam hal itu
terjadi. Me-
reka tak lain lasykar dari sang Ratu
Siluman didasar
lubuk sungai Mahakam. Yaitu sang
Ratu Siluman
Buaya Putih.
Kenca dicekam ketakutan bersama
istrinya se-
tiap malam. Akhirnya Kenca
memutuskan pindah. Ya,
Kenca pindah pada siang hari
tanpa membawa satu
bendapun dari pondoknya kecuali
pakaian yang dipa-
kainya. Dan sejak itu Kenca dan
istrinya baru merasa
aman dari ketakutan. Namun pada
suatu malam Ken-
ca bermimpi. Sang Ratu Siluman
Buaya Putih men-
gancamnya akan membunuhnya kalau
tak kembali ke
dalam lubuk, menyerahkan diri
pada sang Ratu.
Dalam mimpinya itu Kenca
menerima sebuah
benda, yaitu sebuah Benda
Mustika yang dapat diper-
gunakan untuk bernafas di dalam
air. Benda mustika
itu ternyata benar-benar
terwujud dan didapati dalam
genggaman tangan Kenca ketika
terbangun dari ti-
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
dur..." Sampai disini si
kakek dukun berhenti sejenak
untuk menghisap rokok kawungnya.
Lalu melempar-
kan puntung itu jauh-jauh keluar
jendela. "Benda
Mustika macam apakah itu, pak
tua...?" bertanya Roro
Centil dengan jantung berdetak
keras. Sementara ha-
tinya membatin.
"Jangan-jangan itulah benda Mustika
yang diperintahkan guru untuk
memilikinya dari bisi-
kan gaib yang kuterima...!"
kakek dukun itu lanjutkan
lagi ceritanya.
"Benda itu adalah sebutir
mutiara, yang di ha-
ruskan pada Kenca untuk
menelannya!"
"Kemudian... ? Apakah Kenca
menelan benda
itu, dan kembali ke kerajaan
Ratu Siluman Buaya Pu-
tih itu...?" tanya Roro tak
sabar.
Sang dukun tua itu menggeleng.
"Tidak! Kenca
tak mau melakukannya. Dia lebih
mencintai istrinya
ketimbang harus menjadi warga
siluman di dasar lu-
buk.
Akan tetapi akibat pembangkangan
itu, istrinya
disambar buaya putih yang muncul
di saat sang istri
mencuci pakaian ditepi sungai.
Kematian istrinya
membuat Kenca menderita sakit
lahir batin.
Akan tetapi untuk melabrak
Kerajaan Ratu Si-
luman Buaya Putih sama dengan
mengantarkan di-
rinya untuk tak kembali lagi ke
alam Manusia.
Bertahun-tahun Kenca menderita,
hingga tu-
buhnya menjadi tua renta.
Rambutnya memutih, dan
tubuhnya menjadi bungkuk, walau
sebenarnya dia be-
lum begitu tua...!" Sampai
disini si kakek dukun itu
berhenti sejenak lagi untuk
menghela nafas.
"Sungguh kasihan orang
bernama Kenca itu,
dapatkah pak tua menceritakan
selengkapnya kema-
nakah kini orang yang bernama
Kenca itu?" tanya Ro-
ro.
Yang ditanya tersenyum. Dari
kerut-kerut wa-
jahnya nampakkan kedukaan yang
amat mendalam.
Jelas kisah itu bukanlah cuma
dongeng semata, akan
tetapi memang benar-benar telah
terjadi.
"Orang yang bernama Kenca
itu adalah aku
sendiri...!" tiba-tiba
menyahut kakek berjubah putih
itu seraya bangkit berdiri.
Terhenyak Roro Centil seke-
tika seolah tak percaya pada
pendengarannya.
"Jadi... jadi orang yang
kau kisahkan itu adalah
dirimu sendiri?"
"Benar...! Hehehe... memang
aku si Kenca itu.
Aku mendapat firasat akan adanya
seorang pendekar
yang dapat menebuskan kematian
istri ku! Ternyata
kaulah orangnya. Syukurlah,
dengan kemunculanmu
didaerah ini kukira akan ada
manfaatnya bagi kesejah-
teraan penduduk di wilayah ini.
Lasykar Ratu Siluman
Buaya Putih itu telah mulai
unjukkan keganasannya
lagi! Kukira ada seseorang yang
telah mendalangi,
hingga bergentayangannya
buaya-buaya siluman itu
mencari mangsa. Dalam beberapa
hari ini, aku telah
mendengar banyak peristiwa.
Tidak saja di desa Tem-
balu akan tetapi di hilir sungai Mahakam telah pula
terjadi kegemparan menyebarnya
siluman-siluman
buaya putih meminta
korban...!" tutur sang dukun
bernama Kenca itu.
Kalau saja Roro tak dapat
menahan girangnya
tentu sudah melompat-lompat atau
menari-nari dide-
pan si kakek dukun, karena saat
itu juga si dukun tua
Kenca telah mengeluarkan sebutir
mutiara yang mem-
bersitkan cahaya terang. Dan
berada itu diberikan pa-
da Roro seraya ucapnya.
"Inilah mutiara itu! sesuai
dengan pirasat yang
kudapatkan dalam semadhiku,
kaulah orangnya yang
berhak menerima benda mustika
ini!"
Tertegun Roro Centil menatap
mutiara itu dan
mata si kakek dukun
berganti-ganti. "Ah, beginikah ja-
lannya aku harus mendapatkan
benda Mustika yang
kucari dengan mengarungi lautan
menurut pada bisi-
kan gaib guruku itu...?"
bisik hati Roro. Seraya len-
gannya menerima benda itu dari
tangan si kakek du-
kun alias Kenca.
Roro sadar, dengan benda di
tangannya itu, tu-
gas berat menantinya. Karena dia
harus segera menya-
troni sarang siluman Buaya
Putih. Serta merta segera
ditelannya benda mustika itu...
***
TUJUH
RORO CENTIL tercenung berdiri di
atas bukit.
Dikejauhan terlihat sungai
Mahakam yang berbelok-
belok bagaikan seekor ular yang
menjulur di bawah
tebing. Tiba-tiba lengannya
bergerak menghantam ke
belakang, disertai teriakan
terkejutnya yang diiringi
melompatnya tubuh Roro setinggi
lima tombak. Suara
bersyiurnya ratusan benda telah
membuat indra pen-
dengarannya yang peka, serta
nalurinya yang tajam
menyadarinya akan adanya bahaya
mengancam.
WHUUUK...! PRASSSS...! Benar
saja ratusan ja-
rum-jarum halus telah meluruk
ke belakang tubuh-
nya, mengancam jiwa sang
Pendekar Wanita Pantai Se-
latan ini dengan maut! Namun
gerakan lengan Roro te-
lah membuat ratusan jarum-jarum
itu buyar berteba-
ran, balik lagi ke arah asalnya.
Tiga sosok tubuh berlompatan
disertai teria-
kan...
"Aiiyyaaa...!" dan
salah satu memekik, karena
beberapa batang jarum maut itu
mengenai kakinya.
Bergulingan tubuh laki-laki
berpakaian serba hijau itu.
Dua orang lainnya yang juga
berpakaian sama, segera
melompat mendekati. Srek! Dia
telah cabut keluar go-
loknya yang tersoren dipunggung.
Sementara laki-laki yang terkena
serangan ba-
lik itu mengerang memegangi
sebelah kakinya. "Le-
paskan kakimu, Jambal...!"
berteriak laki-laki itu.
Orang yang terluka itu menyadari
akan kesela-
matan jiwanya. Segera rebahkan
tubuhnya terlentang.
Dan... CRASSS...! terdengar
suara teriakan parau ke-
sakitan. Ternyata laki-laki itu
telah membacok putus
sebelah kaki kanannya yang
terkena jarum.
Lalu cepat sekali lengan
laki-laki itu menotok
jalan darah dilutut kawannya.
Saat itu sudah terden-
gar bentakan keras Roro Centil.
"Setan alas...! kunyuk
hitam dari mana kalian
membokong orang mengincar
nyawaku?" Dan Roro su-
dah berdiri tegak di atas batu
cadas.
Sepasang matanya menatap pada
ketiga orang
dihadapannya. Melihat salah seorang dari mereka ju-
stru berakibat fatal terkena
jarumnya sendiri. Roro ter-
senyum jumawa,. Walau diam-diam
bergidik ngeri. Ba-
gaimana kalau dia kurang
waspada? tentu terpaksa
dia membuntungi lengannya
sendiri, untuk menolong
nyawa, bila kaki atau lengannya
terkena serangan ja-
rum.
"Hihihi... kalian cari
penyakit, kini kalian rasa-
kan akibatnya! Segeralah
sebutkan siapa kalian. Sebe-
lum nona besarmu mengirim nyawa
kalian ke Akhi-
rat.!" bentak Roro. Ketiga laki-laki berbaju serba
hi-
tam itu ternyata mengenakan
topeng tengkorak hingga
tak dikenali wajahnya.
Akan tetapi sebagai jawabannya
adalah seran-
gan dahsyat sepasang golok besar
salah seorang dari
laki-laki bertopeng tengkorak
itu. Tabasan-tabasan
maut yang menimbulkan hawa
dingin menerpa ke arah
Roro. Sepasang golok besar
laki-laki itu menerjang ke
arahnya bagaikan
bayangan-bayangan atau kilatan
berkredepan saling susul.
Terkejut Roro Centil, karena
lawannya mempunyai jurus
serangan yang teramat ce-
pat. Ayal sedikit saja akan
putuslah pinggang atau leh-
er si Pendekar Wanita itu. WUT!
WUT! WUT!
TRRANGNGNGNG! Terpaksa Roro
keluarkan senjata
rantai genitnya menangkis
serangan. Tangkisan senja-
ta Roro tampaknya membuat si
Topeng Tengkorak ter-
kejut juga. Otomatis serangannya
menjadi ngawur. Ro-
ro perdengarkan suara tertawa
dingin. Kini Rorolah
yang ganti menerjang dan
mendesak lawan. Saat kea-
daan sang lawan mulai terdesak,
tiba-tiba kawan si la-
ki-laki bertopeng itu bantu
menerjang dengan senjata
ruyungnya. Senjata ruyung besi
ini mempunyai gera-
kan lebih cepat bergerak
mengurung Roro, hingga ter-
paksa Roro berikan saat
kelonggaran pada lawannya si
laki-laki bersenjata sepasang
golok.
Ternyata gabungan kedua orang
lawan itu
membuat mereka tampaknya semakin
sulit dijatuhkan
Roro. Jurus-jurus kedua lawan
itu amat aneh, dan me-
reka bertarung dengan
mengandalkan gerak tipu yang
membingungkan. Roro kertak gigi
menahan geram, ti-
ba-tiba Roro merobah gerakan
silatnya. Kali ini terpak-
sa Roro pergunakan jurus Pusaran
Angin Puyuh wari-
san si paderi bulat Dewa Angin
Puyuh. Dalam berkele-
batan menghindari serangan, Roro
Centil putarkan tu-
buhnya bagaikan kincir. Empat
serangan senjata sepa-
sang golok dan sepasang ruyung
itu jadi ngawur, ka-
rena terkena hempasan
segelombang angin yang di-
timbulkan dari putaran tubuh
Roro. Dan gerakan-
gerakan memutar itu ternyata
menggoyahkan posisi
ketat kedua manusia bertopeng
itu. Bahkan kini kedu-
anya tak dapat melihat jelas
tubuh lawan, kecuali
membersitnya pusaran angin di
setiap arah yang men-
jadi sasaran mereka.
Tiba-tiba... TRRANG!
TRRANGNG...!
Terperangah keduanya ketika
tahu-tahu senja-
ta Roro telah menghantam
terlepas masing-masing se-
pasang senjata mereka.
"Meratlah kalian ke
Akhirat!" Detik itu di saat
mereka terperangah terdengar
bentakan Roro melengk-
ing tajam menusuk jantung.
Detik itu sebuah lengan menjulur
panjang me-
nyambar ke pinggang Roro. Tentu
saja membuat Roro
Centil terkejut, karena dia
tengah lancarkan serangan
maut pada kedua lawannya.
Terpaksa Roro batalkan
serangannya untuk mengelakkan
sambaran lengan
aneh yang terjulur menyambar
pinggang itu. Akan te-
tapi tak urung...
BREET...!
Bajunya kena juga terjambret dan
robek hampir
sebagian menyibakkan kulit
punggung Roro. Cepat se-
kali Roro jatuhkan diri
berguling, karena melihat sam-
baran berikutnya dari juluran
lengan aneh yang se-
buah lagi.
PRASSSS! Batu cadas di atas
tebing itu hancur
kena cengkeraman lengan aneh itu
setengah jengkal
dari tubuh Roro.
Tersengal napas Roro Centil
karena dia tak di-
beri kesempatan sama sekali.
Baru saja dia melompat
berdiri kembali menyambar lengan
aneh, dari dua ju-
rusan yang bergerak melingkar.
BREBEET...! Lagi-lagi
baju Roro robek kena jambretan.
"Gila! Setan alas! aku
mau ditelanjangi...?"
memaki Roro. Sadarlah dia bah-
wa si penyerangnya itu bukan
lawan sembarangan.
Lengan-lengan aneh itu tak
ketahuan dari mana mun-
culnya, dan dia tak diberi
kesempatan untuk melihat
tampang si penyerang.
"Hahahaha... haha... ingin
kulihat kehebatan si
Pendekar Wanita Pantai Selatan
yang telah kesohor di
seantero jagat ini!"
tiba-tiba terdengar suara dan kata-
kata tanpa Roro sempat tahu
dimana "manusia"nya.
Pakaian Roro sudah sobek
disana-sini. Dapat
dibayangkan kehebatan si
penyerangnya karena pada
saat itu ketinggian ilmu Roro
sudah hampir tak dapat
diukur, namun masih bisa
dipermainkan lawan begitu
rupa. Hal mana membuat Roro
seperti kehilangan ak-
al, karena merasa ilmu yang
dimiliki tak berguna.
Timbullah seketika penyakit
anehnya. Tiba-tiba Roro
Centil melompat sejauh delapan
tombak. Dan disana-
lah dia mengumbar tawanya. Rasa
mendongkolnya ka-
rena tak mampu melihat si
penyerang membuat dia
pergunakan tertawa
sejadi-jadinya. Di luar sadar suara
tertawa Roro yang bagaikan
menggelitik liang telinga
dan menggetarkan jantung itu
amat berpengaruh pada
lawan. Karena memanglah Roro
Centil pergunakan te-
naga dalamnya melalui suara
tertawa. Hebat akibat-
nya! Daun-daun pohon
disekeliling tempat itu bergeta-
ran, dan rontok bertaburan. Bumi
seperti tergetar. Dan
tiga orang bertopeng tengkorak
tiba-tiba perdengarkan
jeritan keras. Tubuh mereka
terjungkal ke tanah. Tak
sempat lagi mereka menutup
lubang telinga, yang se-
gera telah mengalirkan darah.
Makin lama semakin keras tertawa
Roro. Dan...
sukar untuk dibendung lagi,
karena Roro Centil telah
pergunakan satu ilmu tertawa
yang paling mengerikan.
Itulah ilmu tertawa dari si daun
lontar warisan gu-
runya si Manusia Banci.
Akibatnya ketiga laki-laki
bertopeng itu bergu-
lingan, dengan meraung-raung
mengerikan. Sekejap
kemudian ketiga tubuh itu sudah
tidak berkutik lagi.
Mati dengan mengalirkan darah
dari mata, telinga, hi-
dung dan mulutnya. Satu kejadian
yang amat menge-
rikan. Karena cuma dengan
tertawa, Roro Centil telah
membuat binasa ketiga manusia
bertopeng tengkorak.
Saat itu sesosok tubuh terhuyung
keluar dari
balik batu tebing yang menonjol.
Dialah seorang laki-
laki jangkung kurus berwajah
mengerikan, karena
mempunyai dua buah taring pada
sisi belahan bibir-
nya. Rambut putihnya beriapan
bagai kan rambut sin-
ga. Akan tetapi yang membuat
heran kedua matanya
buta.
"Berhenti...!" teriak
laki-laki kurus bertaring itu
dengan membentak keras.
Batu-batu kerikil berlonca-
tan terkena getaran suara yang
mengandung tenaga
dalam hebat itu.
Hebat, pengaruh bentakan itu!
Seketika Roro
Centil hentikan suara tertawanya
yang mengundang
maut. Tampak dihadapannya
"manusia" yang memang
sedang ditunggunya agar
menampakkan diri.
Melihat keadaan
"manusia" itu lebih mirip si-
luman, Roro Centil terhenyak.
Diam-diam hatinya ber-
gidik seram melihat tampang
orang.
"Siapakah kau? manusia
ataukah setan?" ben-
tak Roro.
"Grrrr...! Terserah kau mau
menganggap apa
padaku! heh! Aku di juluki si
Jerangkong Mata Buta!
Kau telah membunuh si Cakar Naga
Setan. Kuakui
kehebatanmu! Juga telah
menewaskan ketiga orang
anak buahku. Akan tetapi jangan
harap kau dapat me-
loloskan diri dari
tanganku!" membentak laki-laki ber-
taring itu dengan suara keras
menggeledek. Lagi-lagi
tanah tergetar, dan batu-batu
kerikil berloncatan. Sua-
ra bentakan itu juga membuat
tergetarnya tubuh Roro
menahan kekuatan suara yang
seperti menindih da-
danya. Jelas kakek mata buta ini
bertenaga dalam
tinggi.
Terbukti dia tak roboh oleh
suara tertawa Roro
yang mengundang maut.
"Apamukah si Cakar Naga
Setan itu?" tanya Ro-
ro penasaran.
"Grrr...! dia salah seorang
muridku! Ketahuilah,
kemunculanmu sudah kuramal
sebelumnya. Bahwa
akan datang ke wilayah
kekuasaanku ini seorang to-
koh Rimba Hijau dari tanah Jawa!
Berita kehebatan
sepak terjang mu telah kudengar
sejak jauh-jauh hari.
Akan tetapi... hahaha... rupanya
disinilah tempat ku-
burmu, bocah perempuan!"
Tersentak Roro Centil. Kalau
jauh-jauh hari
kemunculannya sudah diramal maka
pantas saja ka-
lau dia diancam maut tanpa sebab.
Memikir demikian
Roro segera bersiap menghadapi
kemungkinan yang
bakal terjadi. Tugas untuk
menumpas kejahatan Ratu
Siluman Buaya Putih belum lagi
dilaksanakan, ternya-
ta telah muncul lagi lain
bahaya. Agaknya kali ini Roro
harus banyak mengalami perbagai
ujian dalam tugas
kependekarannya.
WHHUUUUUUUKK...!
WHHUUUUUUUKKKKK!
Sukar sekali diduganya karena
begitu habis ka-
ta-katanya, si Jerangkong Mata
Buta telah gerakkan
sepasang lengannya menghantam
dan mencengkeram
ke arah batok kepala Roro.
Gilanya sepasang lengan si
kakek muka seram itu dapat mulur
panjang.
BRRASSSS! KRRAAKKKKK!
Dua terjangan maut itu dapat
dihindari Roro,
dengan bergerak melompat
menghindari serangan.
Akibatnya tanah dan batu
menyemburat hancur. Dan
sebatang pohon besar kena
dicengkeram hancur luluh.
"Edan!" maki Roro di
tengah udara. Belum lagi
kakinya menjejak tanah kembali
terdengar bersyiurnya
angin keras. Ternyata sepasang
lengan itu sudah me-
luncur lagi untuk menyambar
kakinya.
Terpaksa Roro gunakan sebelah
lengannya
menghantam. Akan tetapi kali ini
Roro harus menga-
kui keunggulan tenaga dalam
lawan. Karena bagaikan
menghantam karang, Roro rasakan
lengannya kesemu-
tan. Tapi tubuhnya dapat melejit
melalui pukulan itu
sejauh enam tombak. dan
hinggapkan kaki di atas ba-
tu di tempat ketinggian.
***
DELAPAN
ANEH, TAMPAKNYA walaupun mata si
kakek
muka seram itu buta, tapi
mengetahui dimana berke-
lebatnya tubuh Roro. Seakan-akan
lengannya mempu-
nyai mata saja, segera meluncur
ke arah Roro. Namun
Roro Centil memang telah siap.
Rantai Genitnya telah
dibelitkan di pinggang. Sepasang
lengannya terentang,
memapaki serangan.
BLHAARRR! Terdengar suara keras
menggele-
dek. Itulah jurus Taufan Melanda
Karang yang amat
dahsyat.
Terdengar pekikan paras si
Jerangkong Mata
Buta Sepasang lengannya hancur
beserpihan. Manu-
sianya sendiri terlempar
beberapa tombak terkena ha-
wa pukulan jurus dahsyat itu.
Baru saja tubuh si Jerangkong
Mata Buta ber-
henti terpental, Roro telah
melesat memburunya Dan...
WHHUUUUKK...!
Kembali sepasang lengannya
lancarkan seran-
gan dahsyat. Angin pukulan Roro
menimbulkan ge-
lombang angin dahsyat yang
membuat tubuh si Je-
rangkong Mata Buta terlempar ke
bawah tebing den-
gan perdengarkan bunyi
berkrotakan. Dan...
BYYURRR! Air sungai menyemburat
ke udara, menelan
tubuh manusia bertaring itu
untuk tak timbul lagi.
Akan tetapi air di tempat bekas
terjatuhnya tubuh si
Jerangkong Mata Buta tampak
diwarnai genangan da-
rah berwarna merah....
Roro Centil berdiri di atas batu
tebing menatap
ke bawah. Terdengar suara helaan nafas nya.
Angin
barat dari arah perbukitan
membersit menyibak ram-
butnya. Gadis Pendekar ini
berdiri lama, tercenung
menatap jauh ke dasar sungai Sementara
angin nakal
menyibakkan serpihan pakaiannya
yang robek disana-
sini yang sudah hampir tak
berbentuk pakaian lagi.
Akan tetapi ketika Roro melangkah untuk beranjak
dan situ tubuhnya terhuyung
limbung. Tampak terli-
hat keletihan yang amat luar biasa
pada Roro, karena
akibat pengeluaran tenaga dalam
yang menguras habis
tenaganya. Setelah mengeluarkan
suara tertawa yang
mempergunakan penyaluran tenaga
dalam mencapai
hampir tiga perempat tenaga
dalam, lalu menerjang si
Jerangkong Mata Buta dengan
jurus dahsyat Taufan
Melanda Karang, lalu menghantam
lawannya dengan
pukulan tenaga dalam terakhir
tentu saja membuat si
Pendekar Wanita Pantai Selatan
kehabisan tenaga.
Dan jatuhlah dia mendeprok
di tanah berbatu. Pan-
dangan matanya mendadak mulai
nanar dan berku-
nang-kunang. Bumi terasa
berputar, dan pandangan
matanyapun menjadi gelap.
Akhirnya Roro terkulai
menggabruk tak sadarkan diri...
Entah dari mana munculnya
laki-laki misterius
yang pernah berjumpa dengan Roro
direstoran, tahu-
tahu sudah berada di hadapan
Roro Centil yang tergo-
lek tak sadarkan diri. Cepat
sekali gerakan laki-laki
itu, sekejap sudah menyambar
tubuh Roro dan me-
mondongnya. Lalu bergegas
menuruni lereng tebing.
Beberapa saat antaranya telah
tiba di tepi mua-
ra sungai. Seperti kejadian
kemarin, sosok tubuh laki-
laki berbaju serba putih itu
melenyap. Dan berubah
menjadi seekor buaya putih,
dengan tubuh Roro bera-
da pada moncongnya. Pelahan
makhluk melata itu me-
rayap sisi air. Lalu menyelam,
menenggelamkan tubuh
Roro yang segera lenyap di bawah
permukaan!
Ketika Roro sadarkan diri betapa
terkejutnya,
karena dia berada di dalam
sebuah relung goa, dimana
disekelilingnya berjajar
berpuluh-puluh buaya putih.
Ada yang tengah ngangakan mulutnya
lebar-lebar, ada
pula yang beringsut-ingsut
berdesakan dengan ka-
wannya.
Roro sendiri terkapar di
atas sebuah batu da-
lam keadaan tanpa busana.
Terperanjat Roro Centil,
dan kagetnya bukan alang kepalang. Kemanakah le-
nyapnya pakaiannya yang telah
cabik-cabik itu? Dan
kemana pula senjata Rantai
Genitnya...?
Roro benar-benar tak habis
pikir. Segera dia te-
ringat akan peristiwa yang
terjadi pada dirinya, yang
diingatnya adalah dia berada
di atas tebing setelah
menghantam si Jerangkong Mata
Satu dengan puku-
lannya hingga manusia muka seram
bertaring itu ter-
lempar, dan tercebur ke dalam sungai. Akan tetapi
mengapa kini berada di satu
tempat seram yang dikeli-
lingi buaya-buaya putih? Roro
tak dapat berpikir terla-
lu jauh. Dirasakannya kepalanya
masih berdenyutan,
dan terasa lemah sekali
tenaganya untuk bergerak.
"Apakah ini tempat sarang
Siluman Buaya Pu-
tih...?" berkata Roro dalam
hati dan tersentak kaget.
"Ataukah ini cuma
mimpi...?" gumamnya lagi, seraya
mengucak-ucak matanya. Dalam
keadaan kebingun-
gan itu, terdengar suara tertawa
bernada dingin yang
membangunkan bulu roma.
"Hehehe hehehe... jangan
terkejut, nona cantik!
Kau berada di dalam "Istana"ku! Satu kehormatan
buat seorang anak manusia yang
bisa menjadi tetamu
terhormat ku! Heheheh...
hehehehe!"
Roro belalakkan matanya menatap
ke arah re-
lung goa dihadapannya. Ternganga
mulut Roro Centil
melihat sesosok tubuh tersembul
keluar dari dalam re-
lung goa bagian dalam. Tentu
saja! Karena yang mun-
cul adalah sesosok tubuh
berkepala buaya, akan tetapi
bertubuh manusia. Sepasang mata
manusia buaya itu
menjalari sekujur tubuh Roro
dengan liar, bagaikan
tengah menimbang-nimbang akan
diapakankah calon
korbannya ini...?
Baru sekali ini Roro rasakan
ketegangan luar
biasa pada syarafnya. Dan
tubuhnya bergetaran seir-
ing dengan degup jantungnya yang
semakin cepat. Un-
tuk menghadapi manusia-manusia
biasa mungkin Ro-
ro masih bisa pergunakan akal
sehatnya. Akan tetapi
menghadapi makhluk-makhluk
siluman begini, serasa
otaknya menjadi buntu. Tak tahu
lagi apa yang akan
diperbuatnya, karena saat itu
tubuhnya terasa teramat
letih tak bertenaga sama sekali.
"A... apa yang kau mau
menawan ku...? berkata
Roro dengan tergagap.
"Heheheheh hahahaha...
tentu ada maksudnya,
nona cantik! Karena aku akan
memperistri mu!" Sahut
si manusia buaya.
Tentu saja jawaban itu membuat
Roro terbela-
lak. "Gila!
Apa-apaan...?" sentak Roro terperanjat.
"Bedebah! Siapa sudi
bersuamikan manusia si-
luman macam kau?" bentak
Roro gusar.
"Aku tidak mau...!"
teriak Roro seraya beringsut
undur menggeser tubuhnya.
"Aku mau...!" berkata si
manusia buaya seraya beranjak
menghampiri.
"Siluman keparat! Jangan
coba-coba kau dekati
aku, rasakan pukulanku!"
bentak Roro seraya gerak-
kan lengannya menghantam ke
depan. Akan tetapi dia
mengeluh lalu roboh terlentang.
Tak kuasa Roro me-
nahan tubuhnya.
"Heheheh... kau tak bisa
menolak keinginan
ku!" berkata si makhluk
siluman buaya seraya melom-
pat ke hadapan Roro. Dan...
sekaligus lengannya ber-
gerak memeluk tubuh Roro dengan
gulirkan tubuhnya
menindih si Pendekar Wanita
Pantai Selatan.
Tersentak Roro Centil dengan
keringat dingin
mengucur deras membasahi sekujur
tubuh. Sementara
itu moncong si manusia buaya
menyosor ke leher Roro
dengan mendengus-denguskan
hidungnya. Tampaknya
Roro memang sudah tak berdaya.
Dan saat itu Roro
benar-benar sudah pasrah akan
nasib yang bakal me-
nimpanya. Akan tetapi detik
itu...
GRRRR...! Terdengar suara menggeram
dah-
syat. Dan tahu-tahu seekor
harimau tutul telah men-
jelma di belakang punggung si
manusia buaya. Detik
berikutnya sepasang kakinya
telah mencengkeram
punggung si manusia buaya.
BREETT! Siluman manu-
sia buaya memekik kesakitan
ketika kuku-kuku runc-
ing si Tutul merobek kulit
punggungnya, ketika dengan
terkejut dia berusaha
menghindari terkaman harimau
yang luar biasa besarnya itu.
Selanjutnya terjadilah
pergumulan seru, antara
si manusia buaya lawan harimau
tutul di relung goa
itu.
Sementara puluhan ekor buaya
bergerak me-
ngurung, dan membantu sang pemimpinnya. Gigit
menggigit, cakar mencakar dan
hempas menghempas
menimbulkan suara gaduh sekali.
Saat terjadi pertarungan
secercah sinar aneh
yang mirip sehelai selendang
sutera telah menjulur ke
arah tubuh Roro dan membelitnya.
Kemudian...
PLASH! Tubuh si Pendekar Wanita
Pantai Selatan itu
telah dibetot keluar dari dalam
relung goa. Sukar un-
tuk diikuti oleh mata, karena
detik itu juga tubuh Roro
Centil telah dibawa melesat oleh sesosok bayangan
yang meluncur cepat dengan
memanggul tubuh dara
itu.
Roro rasakan angin membersit
menerpa wajah-
nya. Terasa tubuhnya bagaikan
melayang cepat entah
kemana... Tapi kelanjutannya
entah dari mana da-
tangnya hawa mengantuk. Dan Roro
sudah tak ingat
apa-apa lagi.
***
Terkejut Roro Centil ketika
melihat seorang wa-
nita tua duduk bersimpuh di
hadapannya, seraya be-
rucap...
"Maaf, Ratu...! Hamba
terpaksa membawa pa-
duka Ratu kemari, untuk memberi
petunjuk."
"Siapakah kau, orang
tua...?" Tanya Roro den-
gan heran, seraya menatap wajah
orang serasa Roro
pernah mengenalnya, tapi entah
dimana. Aneh, ketika
Roro bangkit untuk duduk
ternyata hal itu mudah se-
kali dilakukan. "Ah, apakah
tenagaku telah pulih...?"
desis Roro dalam hati "Syukurlah paduka Ratu telah
kembali sehat!" ucap si
nenek. Lalu lanjutkan ucapan-
nya." Hamba adalah pengasuh
si Tutul! Apakah padu-
ka Ratu lupa...?"
Tentu saja Roro jadi melengak.
Setelah sekian
lama diingat-ingat barulah Roro
mengenali wanita tua
itu, yang pernah dijumpai di
pulau Andalas. baca:
Serial Roro Centil, judul:
Siluman Kera Putih.
Betapa girangnya Roro dengan
pertemuan itu.
Cepat-cepat Roro menjura hormat
pada wanita tua itu,
yang membahasakan dirinya dengan
sebutan Ratu.
Roro sendiri memang tak tahu
sebabnya. Cuma karena
kebetulan Roro mempunyai Cincin
berbatu Merah De-
lima yang dapat menundukkan si
Harimau Tutul Si-
luman itulah yang membuat si
wanita tua menghorma-
tinya, dan menganggap Roro
sebagai Ratu si pemilik
Harimau Tutul yang selama ini
diasuhnya.
Ternyata nenek misterius itu
telah menolong
Roro dengan mengembalikan tenaga
dalamnya serta
kesempurnaan kondisi tubuhnya
seperti sediakala,
yaitu dengan cara memijit-mijit
beberapa jalan darah,
di saat Roro tertidur pulas
akibat aji sirep yang diper-
gunakannya.
***
SEMBILAN
AH, PADUKA RATU...! Tak layak
hamba mene-
rima penghormatan anda!
Buru-buru lengan si nenek
terjulur mengangkat bahu Roro.
Terasa hawa hangat
mengalir ke sekujur tubuh Roro
ketika pundaknya ter-
sentuh lengan wanita tua itu.
Tahulah Roro kalau si
nenek itu seorang manusia sakti
yang berilmu tinggi.
"Ah, mengapa aku tak
mengangkat guru padanya?" se-
gera terpikir dibenak Roro.
Bukankah dengan berguru
padanya setidak-tidaknya dia
dapat memperoleh tam-
bahan ilmu? Untuk berpetualang
di Rimba Persilatan
tidaklah cukup cuma berbekal
ilmu dengan apa yang
sudah dimilikinya karena di atas
langit masih ada lan-
git. Dan bukan sedikit kaum
golongan hitam yang be-
rilmu tinggi. Akan sukarlah bagi
Roro untuk mewujud-
kan cita-citanya menumpas
kejahatan dan menegak-
kan keadilan di jagat raya ini.
Berpikir demikian, tiba-tiba
Roro bersujud dan
memeluk wanita misterius itu,
seraya berucap.
"Nenek! Angkatlah aku
sebagai muridmu...! Wa-
lau kau menyebutku dan
menganggapku sebagai Ratu
mu, tapi aku merasa bukanlah
seorang Ratu. Perke-
nankanlah aku menjadi
muridmu...!"
"Ah, ah... ah... !?
Apa-apaan paduka Ratu?
Jangan berbuat begini!"
Tersentak si wanita tua miste-
rius. Seraya mengangkat tubuh
Roro berdiri memba-
rengi tubuhnya yang bergerak
melompat untuk berdiri.
Tentu saja Roro tercengang.
Karena dalam membung-
kuk, bersujud serta memeluk kaki
si nenek tua itu Ro-
ro telah pergunakan ilmu
memberatkan tubuh, dan ge-
rakan lengannya memeluk kedua
kaki si wanita tua itu
telah mempergunakan ajian Sari
Rapet, yang membuat
lengannya menempel kuat di kaki
sang nenek. Jan-
gankan seekor kuda, tenaga
sepuluh ekor kudapun bi-
la di "kerjai" Roro
dengan ilmu memberatkan tubuh
dan ajian Sari Rapet, sudah
dapat dipastikan tak akan
mampu bergerak dari tempatnya.
Akan tetapi si nenek
itu dengan mudah dapat
melepaskan cekalan kuat se-
pasang lengan Roro, bahkan mampu mengangkatnya
untuk berdiri.
"Luar biasa!" sentak
Roro dalam hati. Sepasang
mata Roro menatap nenek itu
penuh kekaguman. Tak
salah dugaannya yakinlah dia
kalau si wanita tua mis-
terius itu seorang nenek yang
sakti mandraguna.
"Nenek! Mengapakah kau
menolak keinginan
ku?" tanya Roro penasaran.
Perempuan tua ini tak
menjawab. Kakinya melangkah
ke belakang dua tin-
dak, lalu putar tubuh untuk
selanjutnya beranjak me-
langkah menuju keluar pondok
reyot dipuncak bukit
itu. Terdengar suara helaan
nafasnya. Sepasang ma-
tanya menatap ke bawah lereng.
Dan terdengar sua-
ranya lirih.
"Bukan hamba menolak,
paduka Ratu! Akan te-
tapi belum tiba saatnya...!
Hamba kira dengan ilmu
yang paduka Ratu miliki sudah
cukup sempurna.
Bahkan paduka Ratu dapat
menciptakan jurus-jurus
ilmu silat yang pasti tak kalah
hebatnya dengan cip-
taan para golongan tua kaum
Rimba Hijau!"
"Untuk menciptakan
jurus-jurus itu memang
aku pernah, tapi entah mengapa
aku cepat lupa. Se-
perti yang pernah ku coba, tapi
cuma dalam mimpi...!"
tukas Roro dengan leletkan lidah
membasahi bibirnya
yang kering.
"Cuma dalam mimpi...?"
ucap si nenek sambil
tersenyum, dan balikkan tubuh
menatap Roro. Roro
mengangguk. Nama jurusnya aku
ingat, akan tetapi
aku lupa bagaimana cara
mempergunakannya!" lanjut
Roro.
Tertawa terkekeh si nenek
memperlihatkan tiga
buah giginya yang hitam.
"Ya, ya... apakah nama
jurus ciptaanmu itu?"
Roro segera mengingat-ingat,
selang sesaat ba-
ru menjawab.
"Kalau tak salah jurus itu
kunamakan... Men-
gosongkan Perut Menahan
Lapar!" Kalau saja si nenek
misterius itu tak pandai
menyembunyikan wajah ter-
kejutnya, tentu Roro akan
melihat mimik wajah si wa-
nita tua itu berubah. Karena
di hati si nenek telah
membatin. "Luar biasa...
junjungan ku ini telah mam-
pu mempergunakan jurus hebat itu
dalam usia begini
muda! Kalau memang jurus yang
dinamakan demikian
itu adalah jurus langka itu,
kiranya akan sulitlah dija-
tuhkan lawan yang bagaimanapun
tinggi ilmunya!
Sayang dia cuma menciptakannya
dalam mimpi...!" ha-
tinya membatin demikian akan
tetapi bibirnya berge-
rak berbicara.
"Nama jurus yang hebat...
heheheh... kelakpun
paduka Ratu dapat
mengingatnya!" Roro cuma ter-
diam, tundukkan wajah tenggelam
dalam terman-
gunya. Terkejut Roro barulah dia
menyadari kalau tu-
buhnya telah mengenakan pakaian
yang utuh. Bahkan
senjata Rantai Genit sudah sejak
tadi terbelit diping-
gangnya. Melihat perubahan wajah
Roro si nenek ter-
senyum.
"Hehehe... hamba telah
mengganti pakaian pa-
duka Ratu dengan yang baru! Dan
senjata kesayangan
paduka Ratu itu tentu saja tak
lupa hamba ikatkan di
tempat semula!" Membelalak
sepasang mata Roro Cen-
til, barulah dia teringat akan
si Tutul yang sewaktu
menolong dirinya, tengah
bertarung dengan si manusia
buaya. Bahkan puluhan ekor buaya putih turut pula
mengerubutinya. Keheranan Roro
Centil segera terja-
wab, ketika si wanita misterius
itu menceritakan keja-
dian di relung goa di sarang makhluk
siluman buaya
putih. Ternyata setelah
mengamankan Roro, si nenek
telah kembali ke dalam relung goa membantu perta-
rungan si Tutul dengan manusia
siluman buaya. Ke-
hebatan sepak terjang si
pengasuh harimau tutul itu
telah membuat porak poranda puluhan
buaya putih.
Mereka menghambur melarikan
diri, termasuk si ma-
nusia buaya yang pandai
menyelamatkan diri. Selan-
jutnya segera si wanita tua itu
memeriksa isi ruangan
relung goa dan menemukan pakaian
dalam Roro serta
senjata Rantai Genitnya...
***
BEBERAPA HARI berdiam di atas
puncak bukit
itu, Roro banyak menerima
penjelasan mengenai si Ra-
tu Siluman Buaya Putih dari
wanita tua itu sebelum
bermohon diri. Dan semua itu
menjadi bekal untuk
Roro menyatroni ke sarang ratu
siluman itu.
Kita tinggalkan dulu Roro Centil
yang sudah
bersiap-siap untuk berangkat ke
sarang Ratu Siluman
Buaya Putih. Marilah kita
menjenguk ke pondok tem-
pat tinggal si dukun tua bernama
Kenca. Sesosok tu-
buh tampak menyatroni pondoknya.
Dialah si laki-laki
berbaju serba putih. Pancaran
matanya tampak bera-
pi-api mengandung dendam menatap
ke arah pondok.
Sekali berkelebat tubuhnya sudah
melesat tiba di de-
pan rumah gubuk sederhana itu.
BRRAAAK...! Tiba-tiba kakinya
menghantam
daun pintu yang tertutup itu
yang segera menjeblak
terbuka dengan papan hancur
beserpihan. Ditung-
gunya sesaat, akan tetapi tak
ada orang yang muncul
dari dalam. Sekejap dia telah
melompat masuk ke da-
lam ruangan. "Dukun
keparat! Keluarlah kau...! Aku
akan membunuh mu! Terdengar
suara bentakannya.
Akan tetapi tetap tak ada
sahutan. Tentu saja mem-
buat laki-laki ini jadi gusar.
Kakinya bergerak. Dan,
hancurlah pintu kamar itu. Akan
tetapi setelah meme-
riksa di setiap sudut, bahkan ke
kolong tempat tidur
tak dijumpai ada siapa-siapa.
Tahulah dia kalau si
penghuni pondok itu tak ada di
rumah. Kecuali pon-
dok yang kosong melompong, dan
sebuah tempat pe-
dupaan.
"Keparat! Manusianya sudah
kabur rupanya..."
memaki laki-laki itu dengan
suara berdesis. Dan kare-
na gusarnya dihancurkannya
pondok itu. Tak lama dia
sudah berkelebat pergi. Ternyata
menuju ke muara
sungai. Disana laki-laki itu
kembali merobah dirinya
mewujud seekor buaya putih, yang
kemudian mengge-
losor menyelam ke bawah
permukaan air.
Kiranya sesosok tubuh sejak tadi
telah melihat
kejadian itu, dan menguntit si
laki-laki hingga menjel-
ma menjadi buaya putih yang
menyelam ke dalam
sungai di muara itu.
Dialah Roro Centil adanya. Gadis
ini leletkan li-
dah sambil tersenyum. Hatinya
membatin. "Bagus! Su-
kurlah Kenca tak berada
dipondoknya. Aku mengkha-
watirkan keselamatan si bocah
laki-laki itu. Kuduga
pasti si kakek dukun tengah
mengantarkannya kemba-
li ke rumah orang tuanya...! Hm, aku dapat segera
mengikuti kemana gerangan
perginya si manusia silu-
man buaya itu!"
Pelahan Roro mendekati ke tepi air. Lalu tu-
runkan kakinya. Dan menyelamlah
Roro Centil untuk
mengikuti jejak si manusia
siluman buaya. Aneh! Roro
rasakan leluasa bernapas.
Sepasang matanya segera
dibuka terpentang mencari kemana
gerangan berge-
raknya buaya siluman itu.
Terlihat buaya penjelmaan
si laki-laki berbaju putih itu
bergerak meluncur menu-
ju ke dasar sungai. Cepat Roro
memburunya. Ternyata
buaya itu memasuki relung-relung
batu berlumut di
dasar sungai. Berliku-liku
meniti batu-batu dan me-
masuki celah demi celah.
Hingga kemudian sang "Buaya
Putih" memasu-
ki satu lorong panjang di dasar sungai. "Apakah ini
yang namanya lubuk Hantu
itu?" pikir Roro.
Ketika buaya yang dibuntutinya
itu memasuki
satu celah di ujung lorong,
segera lenyaplah makhluk
itu. Roro cepat berenang
menyusulnya. Akan tetapi
saat itu dari sebuah lorong
bagian lain tersembul seso-
sok makhluk menyeramkan.
Berambut panjang beria-
pan. Sepasang matanya
memancarkan sinar berwarna
merah menyala bagaikan bara api.
Makhluk ini lengan
dan kakinya mirip manusia. Akan
tetapi kulit pung-
gungnya bersisik dan berduri
mirip buaya, serta mem-
punyai ekor pendek. Wajahnya
mirip setengah manu-
sia setengah buaya dan
bermoncong tak terlalu pan-
jang.
Melihat adanya seorang manusia
memasuki
ruangan "Istana"nya,
makhluk ini membentak gusar.
"Krrraah...! Siapakah kau
manusia, berani me-
masuki tempat bersemayam
ku!" Terkejut Roro Centil,
seraya balikkan tubuhnya.
Terperangah Roro melihat
makhluk aneh yang mengerikan
itu. Tak terasa ka-
kinya melangkah mundur dua
tindak. "Ssssi... siapa-
kah kau...? Apakah kau si Ratu
Siluman Buaya Pu-
tih...?"
"Hm, tidak salah! Katakan
siapa dirimu, dan
maksud apa menyatroni
tempatku...?" bentaknya lagi
seraya melompat ke hadapan Roro.
Gerakannya ringan
sekali seolah tak berada di
dasar air.
"Hihihi... bagus! Aku
bernama Roro Centil! Ke-
datanganku adalah memang mau
membekuk mu, Ra-
tu...!" berkata Roro dengan
senyum jumawa.
"Edan! Besar sekali
nyalimu? Hah, tapi me-
mang pantas karena kau bisa
menyambah dasar air.
Namun kesombonganmu akan
mengubur diri mu sen-
diri di dasar lubuk ini,
manusia...!" ujarnya ketus.
Akan tetapi diam-diam si Ratu
Siluman Buaya Putih
terkejut juga melihat sesuatu
bersinar dari bagian pu-
sar tubuh Roro. "Hm, untuk
bertarung dengan manu-
sia sombong macam kau, aku
takkan gentar walau be-
lum kuketahui persoalan apakah
kau mau mering-
kusku? Tapi kau memiliki Mutiara
Gaib Dasar Lubuk,
dari mana kau dapatkan benda
itu?"
Terkejut juga Roro mengetahui si
Ratu Buaya
itu tahu kalau dia membekal
mutiara mukjizat dalam
perutnya.
"Hihihi... kau kenal
seorang manusia laki-laki
bernama KENCA? Dialah yang telah
memberikan ben-
da ini padaku!" sahut Roro
santai.
"Hm, sudah kuduga!
Dimanakah adanya Kenca
kini... ?"
sekonyong-konyong suara sang Ratu Siluman
Buaya Putih jadi agak lunak.
Roro yang sudah paham kalau
Kenca adalah
bekas "suami" makhluk
ini, segera menjawab.
"Dia masih hidup dan sehat
segar bugar! Akan
tetapi istrinya dialam manusia
telah tewas akibat kete-
lengasan mu. Dan kau telah pula
membuat menderita
hidupnya! Kau adalah makhluk
siluman yang berbeda
alam dengan manusia, mengapa kau
menyusahkan
manusia? Dia kau bersuamikan
dengan paksa. Keta-
huilah! Walaupun bagaimana
manusia tetaplah manu-
sia, tak dapat dia kau paksa
menjadi makhluk siluman
macam kau! Disamping kau merebut
kemerdekaan
seorang manusia kau juga banyak
membuat keonaran
menculik dua orang gadis yang
dilakukan oleh lasykar
mu. Sudah tentu adalah atas
perintahmu sebagai Ra-
tunya!"
***
SEPULUH
SERAYA BERKATA diam-diam Roro
Centil ber-
kata dalam hati. "Heran!
Menurut cerita Kenca, sang
Ratu Siluman Buaya Putih seorang
wanita yang amat
cantik, akan tetapi nyatanya
adalah makhluk yang
menyeramkan begini?"
Saat itu terdengar suara sahutan
menggeledek
begitu selesai Roro bicara.
"Dusta! Aku tak pernah
melakukan kekejian
semacam itu, apa lagi
memerintahkan lasykarku! Ti-
dak sama sekali aku! Bahkan
memberikan mustika
mutiara itu agar dia kembali
bersamaku karena kami
sudah terlanjur punya
keturunan!" "Aneh...!? Kalau
bukan suruhanmu, habis siapa
yang dapat ku salah-
kan? Bahkan aku sendiri hampir
mengalami nasib
naas karena tertawan di saat aku tak sadarkan diri,
oleh lasykar mu. Beruntung nasibku baik ada yang
menolongku!" ujar Roro
terheran.
Saat itu tiba-tiba tersembul
seekor buaya putih
dari ujung lorong.
"Ibu...! Manusia ini telah
berani memasuki wi-
layah kita mengapa tak dibunuh
segera?" Berkata de-
mikian si buaya putih telah
merobah ujudnya menjadi
seorang laki-laki baju putih
yang tadi dibuntuti Roro.
Sang Ratu palingkan kepalanya
menatap pada laki-laki
itu. Sementara Roro diam-diam
terkejut, hatinya mem-
batin. "Hm, sudah kuduga,
dia ini pasti anak Kenca!"
Akan tetapi aneh...? Mengapa
dia mengobrak-abrik
pondok dukun tua itu bahkan
mencari Kenca untuk
membunuhnya? Pikir Roro Centil.
"Anakku, manusia ini datang
karena salah pa-
ham. Ibu telah ada yang
memfitnah dan di tuduh me-
lakukan kejahatan pada penduduk!
Persoalan bisa dis-
elesaikan secara damai, mengapa harus main bunuh
saja?" Memang aneh sang
Ratu Siluman Buaya Putih
ini. Kalau tadi memang marah
luar biasa tempatnya
disambah orang, akan tetapi kini
berbaik mau menga-
jak berdamai.
"Maafkan kelancangan
anakku, sobat manu-
sia...! Sesungguhnya hal ini
membuat aku penasaran
untuk membongkar kasus kejahatan
yang terselubung
dalam selimut di Kerajaan ku!
Marilah kupersilahkan
anda untuk berbincang-bincang di
Istana...!" Ujar sang
Ratu dengan suara lembut.
Melihat suara serta sikap sang
Ratu yang tak
bermusuhan, apalagi mengajak
Roro untuk singgah ke
"Istana" tentu saja
Roro tak menolak. Karena memang
Roro penasaran sekali yang
bagaimanakah "Istana"
sang Ratu Siluman Buaya Putih
itu seperti yang di-
dongengkan Kenca? Lantas saja
Roro mengangguk, se-
raya berkata.
"Hm, kalau itu keinginanmu
aku tak dapat me-
nolak!"
"Terima kasih, turutlah
kataku. Pejamkan mata
anda...!" ujar sang Ratu.
Sejenak Roro ragu-ragu, men-
gapa harus pakai pejamkan mata
segala? Pikirnya.
Akan tetapi Roro segera
menyahut. "Baiklah...! Dan se-
gera dia turuti perintah itu.
Keberanian Roro dalam
mengambil keputusan adalah
termasuk ugal-ugalan.
Akan tetapi didorong rasa ingin
tahu, Roro tak
mengkhawatirkan adanya tipu daya
dari pihak siluman
yang belum diketahui wataknya.
Ternyata memang tak ada kejadian
apa-apa se-
lain sebentar kemudian terdengar
suara sang Ratu.
"Nah, sekarang bukalah mata
anda!"
Roro belalakkan matanya
lebar-lebar. Dan...
bagaikan di alam mimpi saja
layaknya karena semua-
nya telah berubah. Dia berada
dalam sebuah mahligai
indah yang keindahannya melebihi
istana Kerajaan di
alam manusia. Dinding ruangan
terbuat dari batu pua-
lam putih, dengan lantai licin
berkilat berwarna-warni.
Beberapa pintu dijaga oleh
pengawal istana yang ke-
semuanya mirip manusia. Juga
perabotan lain terma-
suk kursi-kursi dan meja
Kerajaan yang anggun. Du-
duk di sebuah kursi singgasana
seorang wanita yang
cantik luar biasa mengenakan
pakaian Kerajaan. Di
hadapannya pada anak tangga ada
dupa setanggi yang
mengepulkan asap harum.
Tercengang Roro Centil me-
lihat keajaiban itu. Dan hatinya
tercekat. Kakinya be-
ranjak melangkah mendekat
ke arah wanita cantik
luar biasa itu. "Andakah...
sang Ratu itu...?" tanya Ro-
ro terperangah.
"Benar, silahkan duduk,
nona Pendekar...! Ada
suara gaib yang membisik di
telingaku ternyata adalah
si Pendekar Wanita Roro Centil,
betulkah demikian...?"
"Aiiii...! Ratu telah
mengetahui? Ssi... siapa
yang telah membisikinya?"
Tanya Roro seraya melom-
pat ke kursi Kerajaan di hadapan
Ratu Siluman Buaya
Putih, dan duduk menyandar di
bangku yang empuk
itu dengan tumpangkan sebelah
kaki.
"Hm, dia sahabatku, juga
orang yang kau kenal
baik, bernama MURI ASIH!"
"He? siapa dia? Aku baru
kenal namanya. Sia-
pakah yang Ratu
maksudkan...?" tanya Roro terheran.
"Wah, masakan anda tak
mengenal nama bekas
pengasuh si Tutul macan
peliharaan anda...?" Ujar
sang Ratu dengan tersenyum manis
memperlihatkan
dua lekukan di pipinya.
Disamping kagum melihat ke-
cantikan sang Ratu, Roro juga
terperangah mendengar
penjelasan itu. Dan dia pun
manggut-manggut men-
gerti, dan berpikir. "Ah,
pantaslah kalau si Ratu Silu-
man ini tak memusuhi ku? Baru ku
tahu kalau nenek
pengasuh si Tutul bernama Muri
Asih!" Entah bangsa
manusia ataukah bangsa siluman
si nenek itu, Roro
enggan menanyakannya.
Demikianlah, sikap bersahabat
sang Ratu Si-
luman Buaya Putih ternyata
memang ada dasarnya.
Roro ternyata menjadi seorang
tetamu terhormat di Ke-
rajaan Siluman di dasar lubuk muara sungai Maha-
kam, yang dihuni makhluk-makhluk
siluman. Keliha-
tannya terlalu musykil. Tapi
alam siluman atau alam
halus memang penuh dengan
kemisteriusan. Terka-
dang di luar jangkauan pemikiran
manusia. Kalau Du-
nia Rimba Persilatan sudah
banyak keanehannya, apa-
lagi dunia Rimba Siluman...?
"BODOH...! Carilah akal
untuk membunuhnya?
Manusia itu bisa membahayakan
kita! Ketahuilah! Si-
fat manusia tak bisa dipercaya!
Dia pandai berpura-
pura, berakal licik tak bisa
dipercaya. Ibumu itu seo-
rang Ratu yang tolol! Bila kita
biarkan dia menjadi ta-
mu agung di Istana Kerajaan
Siluman kelak bukan sa-
ja membahayakan ibumu sendiri,
juga bisa memba-
hayakan kita." Bentakan dan
kata-kata bernada keras
itu terdengar di satu relung goa
yang keadaannya telah
porak-poranda. Itulah kata-kata
yang keluar dari mu-
lut si manusia kepala buaya.
Di hadapannya duduk
menundukkan wajah si laki-laki
baju putih.
"Apakah aku harus menentang
ibuku sendi-
ri....?" berkata laki-laki
muda itu dengan suara parau.
Tampaknya dia dalam kebimbangan.
"Hm, kau memang siluman
yang bodoh! Aku
sudah suruh kau membunuh dukun
tua bernama
Kenca itu, yang susah payah aku
menyelidiki tempat-
nya! Akan tetapi pekerjaanmu
sia-sia...! Manusia ber-
nama Kenca itu adalah pembunuh
ayahmu, akan teta-
pi justru ibumu mencintainya!
Hal ini tak perlu kau
tanyakan pada ibumu, karena kau
tahu sifat ibumu.
Sekali kau bertanya, maka kau
akan dibunuhnya! Jadi
maksudku bukan kau harus
menentang ibumu, tapi
demi ketenteraman bangsa siluman
maka wanita yang
kuketahui bernama Roro Centil
itu harus di lenyapkan
segera. Carilah jalan terbaik
untuk membunuhnya se-
cara diam-diam. Sementara aku
akan mencari Kenca!
Aku takkan turun tangan untuk
membunuh manusia
itu. Karena kau pasti akan
penasaran sekali kalau tak
membunuh dengan tanganmu sendiri
musuh besarmu
itu...!"
Tercenung pemuda baju putih ini.
Tampak wa-
jahnya menegang, dan dadanya
berombak-ombak. Be-
berapa tetes air mata jatuh
meluncur membasahi baju
dan meleleh dipipinya. Sepasang
lengannya bergerak,
dan kedua tangannya terkepal.
Terdengarlah suaranya
tergetar menahan gejolak
perasaan yang menggebu di
dada menahan dendam.
"Aku... aku segera akan
bunuh manusia pe-
rempuan itu, paman! Dan... terima kasih atas ban-
tuanmu...!"
"Bagus! Akan tetapi
sebaiknya kau tunda dulu
niatmu itu, aku akan mencari
manusia bernama Kenca
itu! Anak buahku telah berhasil
menyelidiki dimana
adanya dia!" berkata si
manusia berkepala buaya, sete-
lah berpikir sejenak.
"Terserah bagaimana baiknya
paman...!" sahut
laki-laki baju putih itu. Nah,
selama aku pergi segera
kau susun rencanamu!"
Selesai berkata si manusia
kepala buaya mele-
sat keluar dari relung goa dan
melenyapkan diri. Laki-
laki baju putih itu cuma duduk
termangu dengan piki-
ran kosong...
Di atas tebing, manusia kepala
buaya itu mero-
bah ujudnya menjadi seorang
kakek berkaki pincang.
Berpakaian penuh tambalan dengan
topi tudung bu-
tut. Lalu dengan melompat dan
berlari-lari cepat sege-
ra menuju ke arah timur...
Ternyata Kenca memang berada di
desa Temba-
lu. Setelah mengantarkan si
bocah laki-laki bernama
Sugala itu ternyata tak kembali
kepondoknya. Ada be-
rita bahwa pondoknya telah
porak-poranda. Laki-laki
tua ini mendapat firasat tidak
baik. Itulah sebabnya
dia menyembunyikan diri di desa
Tembalu. Akan tetapi
makhluk-makhluk siluman buaya
putih telah menye-
bar mencari jejaknya. Dan
diketahui dimana adanya
dia. Anak buah si laki-laki
kepala buaya ternyata tak
mengambil tindakan sesuai
perintah. Kecuali memberi
laporan dimana adanya dukun tua
bernama Kenca itu.
Siang itu tiba-tiba udara
mendadak berubah
gelap. Angin keras membersit
dari arah barat. Kenca
duduk bersila dalam sebuah
kamar, di sebuah pondok
yang disediakan orang tua Sugala
untuk tempatnya
menginap sementara. Sepasang
matanya yang tadi ter-
pejam kini terbuka. Udara yang
mendadak menjadi ge-
lap seperti mau turun hujan itu
memang mencuriga-
kan hatinya. Karena sebagai
seorang yang "berisi" se-
gera mengetahui adanya tanda-tanda bakal datang
marabahaya. Segera bibirnya
tampak berkomat-kamit
membaca mantera.
Sisa pedupaan yang masih
mengepul asap itu
ditambahnya lagi dengan
kemenyan. Sementara tam-
pak wajah laki-laki tua ini
kelihatan resah.
TRAK...! Tiba-tiba tempat
pedupaan dari tanah
liat itu pecah. Tersentak Kenca.
Wajahnya berubah
pucat. Dan pada saat itu juga
pintu diketuk dari luar.
"Siapa...?" teriak
Kenca dengan suara tertahan. Ter-
dengar suara batuk-batuk seperti
suara orang tua
yang penyakitan.
"Siapakah bapak...?"
Tanya Kenca, setelah
membuka pintu.
"Ooooh, aku tersesat jalan,
nak...! Udara gelap,
angin kencang. Berilah aku
tempat bermalam. Agaknya
hari mau hujan...!" Ujar si
kakek kurus kering berkaki
pincang itu.
"Aaah, tentu dengan segala
senang hati!" sahut
Kenca berbasa-basi. Akan tetapi
diam-diam dia mem-
perhatikan kakek pincang itu.
Timbul kecurigaannya
karena dia melihat sepasang kaki
si kakek pincang itu
tak menginjak tanah. Bahkan
tongkatnyapun meng-
gantung di udara. Namun terlambat. Sekali lengan si
kakek menjulur, Kenca telah kena
ditotok roboh. Se-
lanjutnya cepat sekali gerakan
si kakek pincang. Seke-
jap sudah memanggul tubuh Kenca
pada pundaknya.
Dan... kejap berikutnya kakek
pincang itu sudah mele-
sat pergi dan lenyap dalam
kegelapan cuaca.
***
SEBELAS
"INILAH MANUSIANYA yang
telah membunuh
ayahmu, Loman...!" teriak
si kakek pincang di mulut
relung goa. Cepat sekali siluman
buaya ini telah bera-
da di sarangnya lagi. Pada pundaknya tertelungkup
tubuh Kenca dalam keadaan tak
berkutik. Akan tetapi
tak ada sahutan. Membuat sang
"kakek" jadi terheran.
"LOMAAN...! LOMAAN!"
teriaknya memanggil. Akan te-
tapi tetap tak ada sahutan.
Dengan kesal dibanting-
kannya tubuh Kenca ke batu berlumut di bawah ka-
kinya. Mengeluh Kenca menahan
sakit. Dan si kakek
pincang ini melompat ke dalam.
"Lomaan! Dimanakah
kau...?" teriak lagi si ka-
kek pincang. Beberapa ruangan
di dalam relung goa
itu diperiksanya. Akan tetapi
memang tak ada peng-
huni siapa-siapa di dalamnya. Dengan memaki pan-
jang pendek segera beranjak
keluar lagi. "Kemana pula
anak-anak buahku...?"
desisnya tersentak. Akan tetapi
ketika baru dia tiba di mulut
relung goa lagi, satu ben-
takan keras terdengar.
"Siluman edan! ayoh, bertarung
lagi denganku!"
Terkejut kakek ini melihat siapa
yang muncul.
Ternyata tak lain dari gadis
cantik bangsa manusia
yang pernah jadi tawanannya,
yang berhasil melo-
loskan diri karena kemunculan
siluman Harimau Tutul
dan seorang nenek sakti yang
kemudian mengobrak-
abrik sarangnya. Dialah Roro
Centil!
"Hihihi... tak usah kau
menyaru menjadi ka-
kek-kakek pincang segala! Mana
kepala buayamu, si-
luman tengik...?" Teriak
Roro yang dapat melihat ujud
aslinya dengan mata batin.
Mendelik sepasang mata si kakek
pincang. Gu-
sarnya bukan kepalang karena
ketahuan modalnya,
disamping terkejut karena
kemunculan wanita pende-
kar ini di sarangnya. Bahkan
bukan main terkejutnya
dia mengetahui Kenca sudah
berdiri bebas, dan terle-
pas dari pengaruh totokannya.
"Kurang ajar! Kau berani
melepaskan dia?" ben-
tak si kakek pincang.
"Mengapa tidak
berani?" sahut Roro dengan
bertolak pinggang.
"Kau... kau akan tahu
akibatnya! Hayo kelua-
rkan harimau tutul piaraan mu
itu, apakah kau kira
aku takut? Hahahah... kali ini
kau takkan dapat lolos
dari tanganku! Seperti janji ku,
kau harus ku peristri
untuk menjadi penghuni sarangku
menemani diriku
yang kesepian...!"
Mengakak tertawa si kakek
pincang serta ber-
kata jumawa seperti tak
memandang sebelah mata.
Tiba-tiba lengannya bergerak
menghantam Roro
dengan pukulannya, disertai
melompatnya tubuh si
kakek pincang. Serangan itu
ternyata di barengi den-
gan tiga serangkaian tendangan
beruntun yang cepat
sekali. Membuat Roro agak
terkejut, karena tak me-
nyangka bakal diserang mendadak
begitu rupa. Na-
mun Roro Centil segera gunakan
jurus melompat yang
indah. Tubuhnya menekuk ke belakang hingga kepa-
lanya hampir menyentuh tanah.
Sementara pukulan
pertamanya dipapaki dengan
sebelah tangan.
WHUKKK...! Angin pukulan Roro
membersit ke-
ras. Akan tetapi si kakek cepat
putarkan tongkatnya.
Hebat akibatnya, tubuh Roro
terlempar dua tombak.
Akan tetapi dengan bersalto Roro
kembali jejakkan ka-
kinya ke tanah.
"Bagus! Jaga yang
ini!" teriak si kakek pincang.
DHERR! DHERR...! Dua kilatan
sinar berkredep
menyambar kaki Roro sebelum
menginjak tanah.
"Ah...?!" teriak Roro
dengan suara tertahan. Terpaksa
dia gerakkan tubuhnya
melompat-lompat menghindari
kilatan yang menyambar ke arah kakinya. Akhirnya
Roro melompat agak jauh dan
jejakkan kaki dengan
aman. Sementara sepasang
lengannya telah siap me-
lancarkan serangan balasan. Akan
tetapi terkejut Roro
ketika melihat si kakek pincang
itu tak tampak lagi ba-
tang hidungnya. Dan lebih-lebih
lagi terkejutnya meli-
hat Kenca tak ada di tempat
berdirinya.
"Setan alas! Aku terkecoh!
Pasti kakek Kenca
telah dilarikannya!" Sentak
Roro dalam hati. Mata Roro
jelalatan mencari jejak si kakek
pincang dengan berke-
lebat memasuki lorong goa sarang si manusia kepala
buaya itu. Beberapa ruangan
diperiksanya, namun tak
dijumpai di mana gerangan
lenyapnya sang lawan.
"Sialan...!" maki Roro
dengan mendongkol. Di
ubak-ubaknya seisi goa itu yang
ternyata pada bagian
ujungnya adalah jalan buntu.
Sejenak termenung Roro.
"Apakah dia mempu-
nyai jalan rahasia?" pikir
Roro. Dia lupa kalau yang di-
hadapinya adalah makhluk
siluman. Tentu saja mu-
dah bagi si kakek pincang untuk
membawanya "ter-
bang" keluar goa dengan
cepat.
Goa di lereng tebing yang tempatnya tersem-
bunyi itu memang banyak terdapat
batu-batu yang
bertonjolan. Ternyata si kakek
pincang memang telah
melompat kesana setelah
menyambar tubuh Kenca, la-
lu lenyap di belakang batu.
Karena tak dijumpai kemana
lenyapnya si ka-
kek pincang itu, Roro Centil
segera melesat keluar goa.
Lalu melompat ke atas batu tebing di relung bagian
atas goa. Sampai disana kembali
diarahkan pandan-
gannya mencari kalau-kalau
terlihat tubuh lawan yang
dikejarnya.
"Gila! cepat benar larinya
siluman itu!" gumam
si wanita Pendekar ini. Teringat
bahwa si Tutul bisa
diperintahkan menyusul segera di
panggilnya makhluk
sahabatnya itu.
"Tutul! kejarlah kemana dia
perginya! Bantu
aku mencarinya!" desis Roro
dengan mata masih men-
gawasi sekitar tebing.
"Grrrr...!" terdengar
suara menggeram. Dan se-
sosok bayangan hitam melesat ke
arah belakang teb-
ing. Roro berkelebat menyusul.
Sementara itu di lain tempat
satu teriakan ka-
get terdengar santer....
"Loman...!?" Dan
sesosok tubuh berkelebat me-
nyusul ke arah sisi tebing. Dialah si Ratu Siluman
Buaya Putih. Apakah yang
dilihatnya...? Ternyata pe-
muda bernama Loman itu dalam
keadaan terduduk
disudut batu dengan keadaan
menyeringai kesakitan.
Sebuah belati terhunjam
dilambungnya.
"Loman, anakku...! Mengapa
kau lakukan
ini...?" tersentak Ratu dengan
jeritannya. Tampak wa-
jah Ratu Siluman itu pucat pias
menatap sang anak.
Diguncang-guncangkannya bahu
anak muda itu den-
gan air mata mengalir
bercucuran.
"Ibu... ku pilih jalan ini adalah demi kebaikan
ibu..." berkata lirih
pemuda itu dengan menahan sakit.
Sementara darah merembes keluar
dari lukanya. "Apa
maksudmu anakku...?" tanya
Ratu dengan sedih.
"Aku... aku tak dapat
menceritakannya, ibu...
tapi semua ini demi ketenteraman
"kalian" berdua!
Aku... aku cuma jadi perintang
antara dendam dan
cinta, dan membuat suasana
Kerajaan siluman penuh
kemelut...! Se... selamat
tinggal ibu... selesai berkata
demikian tubuh Loman terkulai
dan nyawanya pun
melayang. Menangis terguguk sang
Ratu Siluman itu
mendekap tubuh sang anak dalam
pelukannya.
Pada saat itulah terdengar suara
berkakakan.
"Hahaha... hahaha...
mengapa kau tangisi kematian-
nya, Ratu...? Heh, sayang...
sayang... dia tak sempat
melihat ayahnya! Juga
"musuh besar"nya! Padahal ka-
lau manusia bernama Kenca ini
mampus ditangannya
akan membuat hatiku
senang...!"
Sang Ratu menoleh ke arah suara itu, dan
tampak si kakek pincang berdiri
memandang kepa-
danya. Sementara di atas pundak tertelungkup seso-
sok tubuh.
Bruk...! Dilemparkannya tubuh
yang di pang-
gulnya itu ke tanah, seraya
berkata. "Heh, inilah "sua-
mi" tercinta mu, Ratu...!
Katakanlah, dengan cara ba-
gaimana aku harus
membunuhnya!" Selesai berkata
tiba-tiba tubuh si kakek pincang
melenyap, dan beru-
bah menjadi seorang laki-laki
gagah berwajah tampan.
Berpakaian mirip seorang Raja.
Tentu saja membuat
Ratu Siluman itu melengak dan
tercengang.
"Kau... kau... Bahadur ...
ssu... suamiku?" ucap
sang Ratu dengan suara tergetar.
"Hahaha... benar! Matamu
ternyata masih
awas! Patutkah kau tangisi
kematian seorang anak ha-
ram hasil perzinahan mu dengan
bangsa manusia...?"
Tertunduk sang Ratu Siluman.
Hatinya terasa
bagai disayat-sayat. Cinta dan
dendam mengaduk
menjadi satu dalam dadanya.
Tiba-tiba dia bangkit
berdiri setelah baringkan tubuh
Loman di tanah. Kini
sepasang matanya menatap tajam
pada laki-laki gagah
di hadapannya, alias suaminya
sendiri.
"Patut! Mengapa tidak?
Lebih seratus tahun
kau tak pernah muncul. Dan
selama itu aku setia me-
nanti tanpa tahu beritamu.
Apakah aku salah. kalau
menikah dengan bangsa
manusia?" teriak sang Ratu
lantang.
Siluman laki-laki gagah itu
tercenung tunduk-
kan wajah menatap tanah.
Tampaknya sulit sekali dia
menjawab alasan istrinya.
"Kalau aku menangisi kematian
satu makhluk
yang masih menjadi darah
daging ku sendiri adalah
wajar! Bangsa kami bangsa
siluman juga punya hati
dan perasaan untuk menghargai
pengorbanannya, wa-
laupun hal ini memang tak dapat
dibenarkan. Karena
membunuh diri itu adalah suatu
dosa besar! Tapi nilai
dari pengorbanan itu bagi kita
betapa amat berhar-
ganya! Dia korbankan
jiwanya demi ketenteraman ki-
ta! Demi kerukunan kita
kembali...! Karena adanya dia
telah menimbulkan dendam di
hatimu! Kau fitnah aku
dengan segala macam perbuatan
gilamu mengganggu
penduduk manusia. Menculik,
membunuh, bahkan
memperkosa! Apakah hal itu dapat
dibenarkan...?"
Sang Ratu "nyerocos"
bicara dengan bernapsu sekali.
Sementara air matanya mengalir turun membasahi
pipinya yang ranum. Wajahnya
yang cantik jelita itu
menimbulkan rasa iba bagi yang
melihatnya.
Bahadur tak bisa buka mulut.
Terpaku tak ber-
geming mendengarkan khotbah sang
istri.
Sementara Kenca telah bangkit
duduk dengan
mengeluh, menyeringai menahan
sakit akibat dun kali
terbanting ke tanah. Sepasang
matanya terbelalak me-
natap sang Ratu dan laki-laki
gagah yang tundukkan
wajahnya tanpa bisa bicara
apa-apa. Ketika melihat
pada sosok tubuh seorang pemuda
yang telah tak ber-
napas dengan belati terhujam dilambungnya,
dia ter-
paku memandang. Nalurinya
mengatakan bahwa anak
muda itu adalah darah dagingnya.
"Bahadur! Walau bagaimana
pun aku masih
menerima kau di hatiku, sekarang
kau harus mema-
srahkan keputusan pada Kenca!
Dialah yang berhak
memutuskannya! Bahkan dia juga
berhak membalas
dendam atas perbuatanmu!"
ujar sang Ratu, seraya
menoleh pada Kenca.
"Kematian adalah sudah
digariskan oleh Yang
Maha Kuasa. Aku memang sudah
sejak lama kau pe-
rintahkan untuk kembali ke
Kerajaan Siluman, olehmu
Ratu! Tapi aku memang tak
berniat meneruskan ru-
mah tangga ini. Kita pada
dasarnya adalah makhluk
Tuhan jua, namun kita berbeda
alam. Itulah sebabnya
aku sudah sejak dulu-dulu tetap
menolak untuk kem-
bali, walaupun kau Ratu telah
memberikan mutiara
mustika untuk aku pulang. Tapi
aku merasa Negara-
mu bukanlah tempat pulang yang
tepat. Aku memilih
kebebasan hidup di alam manusia
layaknya. Silahkan
kalian berkumpul lagi...!
Agaknya pengalaman ini biar-
lah menjadi kenang-kenangan
selama hidupku...!" ber-
kata Kenca dengan suara lirih.
Terasa trenyuh hati
sang Ratu mendengar pernyataan
itu.
Bahadur tercenung mendengar
kata-kata Ken-
ca. Betapa kini dia menyadari
bahwa tidak semua ma-
nusia bersipat buruk. Ternyata
banyak yang mempu-
nyai kebesaran jiwa seperti
Kenca. Tanpa disadari me-
reka Roro Centil telah sejak
tadi berada di tempat itu
bersama sang Harimau Tutulnya.
"Aiiii! Kalau begitu urusan
sudah beres...! Eh,
kakek pincangnya sudah ganti
ujud lagi jadi laki-laki
ganteng! Wah, wah, bisa-bisa aku
kepincut nih Ra-
tu...!" berkata Roro dengan
kedipkan mata.
***
DUA BELAS
RATU SILUMAN BUAYA PUTIH
tersenyum dian-
tara derai air matanya, menatap
Roro dengan meng-
gumam. "Ah, gadis bengal!
Pandai sekali kau menggo-
da! Sementara Bahadur beranjak mendekati Kenca.
Menggamit pundak orang untuk
diangkat berdiri. Dita-
tapnya wajah laki-laki tua itu
dengan kagum dan ter-
haru. Kenca tundukkan wajahnya
menatap tanah.
"Aku bersalah dan berdosa
besar telah mem-
buat kericuhan pada penduduk.
Sudilah kau wakilkan
aku meminta maaf pada mereka,
bangsa mu, bangsa
Manusia...! Dan kukagumi
keluhuran budimu, Ken-
ca...!" Ucap Bahadur dengan
suara rendah. Kenca
mengangguk. "Aku berjanji
akan menyampaikan pesan
itu, sobat! Semoga kalian dapat
kembali rukun seperti
sedia kala...!" Pelahan
Bahadur lepaskan pelukannya,
lalu beranjak menghampiri Ratu.
Kedua pasang mata
itu saling tatap.
"Istriku...! Maafkanlah
kesalahanku, karena se-
lama itu aku tak memberi kabar
padamu, juga maaf-
kanlah karena aku telah
memfitnah mu...!"
"Yah, sudahlah! Lupakanlah
yang sudah berla-
lu! Mari kita kebumikan jenazah
Loman!" ujar Ratu la-
lu berpaling pada Kenca.
"Kenca...! Relakanlah aku
mengebumikan jenazah Loman di
Kerajaan kami, un-
tuk menjadikan kenang-kenangan
pada kami... Loman
adalah pahlawan bagi hati kami.
Pengorbanannya te-
lah memupus dendam dan
menghidupkan Cinta dida-
da kami..!" Kenca
mengangguk-angguk seraya berkata
lirih.
"Silahkan, aku tak
keberatan. Dan... aku segera
akan mohon diri pada kalian
berdua... setelah urusan
menjadi beres begini!" Kemudian Kenca memondong
jenazah Loman untuk diserahkan
pada Ratu. Cepat-
cepat Bahadur menerimanya. Untuk
yang pertama dan
yang terakhir kalinya Kenca
menatap wajah darah da-
gingnya itu. Hatinya terharu.
Tapi kemudian segera
putar tubuh, seraya berkata.
"Selamat tinggal dan se-
lamat jalan Ratu, dan juga
padamu sobat Bahadur."
"Selamat jalan, saudara
Kenca...!" ucap Ratu
hampir berbareng dengan Bahadur.
Selanjutnya Kenca
segera beranjak melangkah, namun
segera menoleh
pada Roro. "Nona,
Pendekar...! Apakah kau bersedia
mengantarku pulang? aku tak tahu
jalan. Tujuanku
adalah ke desa Tembalu...!"
"Eh, ya...! Tentu aku
bersedia, tapi tunggu du-
lu!" berkata Roro. Tubuhnya
berkelebat melompat ke-
hadapan Bahadur.
"Kau tak bisa pergi begitu
saja! Kau kemanakan
ketiga gadis yang kau culik
itu?" berkata Roro dengan
suara tegas.
"Apakah kau telah
membunuhnya setelah kau
perkosa? Dan apakah orang-orang
yang kesemuanya
kau culik itu sudah pada
mati...?" bentak Roro dengan
beruntun.
Tersenyum suami sang Ratu
Siluman Buaya
Putih, akan tetapi sebelum dia
sempat menjawab, se-
sosok tubuh berkelebat
hinggapkan kaki dengan rin-
gan di tempat itu seraya
menyahuti.
"Ketiga wanita desa itu
telah aku pulangkan
kembali ke tempat tinggalnya, dan tawanan laki-laki
lainnya telah kubebaskan, paduka
Ratu...!"
Melengak Roro melihat siapa yang
datang dan
bicara, yang ternyata tak lain
dari si wanita tua penga-
suh si Tutul alias nenek Muri
Asih. Roro terlongong
menatap nenek tua yang selalu
menyebutnya "paduka
Ratu" itu. Sementara Bahadur sendiri juga melengak
terkejut. Namun segera menjura,
dengan wajah beru-
bah agak pucat. "Dialah
sahabatku yang bernama Muri
Asih, Bahadur...!" berbisik
sang Ratu pada suaminya.
"Ah, terima kasih atas
usaha anda itu, sobat
Muri Asih. Sebenarnya aku tiada
berniat menggang-
gunya, kecuali cuma menawan...!
Aku... aku sengaja
melakukan penculikan itu
karena... karena..."
"Karena rasa dendam dan
cinta mu pada istri-
mu, bukan...? Dan kaupun begitu
juga Ratu Siluman!
Kaupun mengawini Kenca karena
rasa dendam pada
Bahadur yang tak pernah kembali
pulang. Namun ter-
nyata kau memang masih
mencintai...!" Memotong si
nenek Muri Asih dengan tertawa
terkekeh.
"Benar, sobatku...! apa
yang kau katakan itu
tiada salah...!" menyahut
sang Ratu dengan tersipu.
Ternyata nenek Muri Asih ini
pulalah yang te-
lah membisiki Loman dengan suara
gaibnya, ketika dia
berada seorang diri di dalam relung goa. Diceritakan
siapa sebenarnya ayah Loman, dan
siapa sebenarnya
sang "paman" yang
telah memperalatnya untuk mela-
kukan kejahatan. Semua itu
berdasarkan karena sang
"paman" alias Bahadur
memang berniat membunuh
Kenca melalui tangan Loman,
karena kecemburuannya
pada sang Ratu yang sebenarnya
masih istri Bahadur.
Ternyata kemelut di Kerajaan
Siluman Buaya Putih itu
berakhir dengan pengorbanan
Loman yang dilakukan
demi terjalinnya kerukunan
diantara kedua suami istri
itu...
***
RORO CENTIL manggut-manggut
mendengar
penuturan nenek Muri Asih, dalam
perjalanan menuju
keluar dari wilayah sungai
Mahakam. Kenca sudah
berpisah tadi diperjalanan untuk
kembali meneruskan
sisa hidupnya. "Jadi yang
telah membisiki suara gaib
itu sebenarnya adalah kau nenek
Muri Asih...?" tanya
Roro terheran.
"Benar! Tadinya aku tak mau
turut campur da-
lam urusan itu, akan tetapi aku
menganggap kalau
bekerja haruslah sampai tuntas.
Setelah memberita-
hukan pada Ratu Siluman Buaya
Putih dimana adanya
manusia yang jadi biang kerok
membawa kerusuhan
dan kemelut di Kerajaan Siluman
itu, aku langsung
menyelidiki dimana ditawannya
orang-orang yang telah
diculik si Bahadur itu, yang
disekap di relung goa lain.
Setelah kubebaskan beberapa
laki-laki, lalu aku men-
gantar ketiga gadis tawanan si
Bahadur kembali ke de-
sanya..."
Demikian tutur Muri Asih, hingga
kemudian dia
muncul lagi di saat Roro lakukan
pertanyaan pada Ba-
hadur.
Matahari sudah semakin condong
ke arah ba-
rat. Kedua nenek dan gadis itu
sudah tiba di tepi laut.
Tiba-tiba nenek Muri Asih
hentikan langkahnya,
menggamit. "Roro..."
ucapnya. Muri Asih tidak lagi
memanggil dengan sebutan paduka
Ratu atas permin-
taan Roro Centil.
"Roro... agaknya aku tak
dapat menemanimu
terus, kukira hanya sampai
disini saja aku mengan-
tarmu. Apakah kau akan terus
kembali ke Pulau Ja-
wa?" Sejenak Roro
tercenung. Rasanya berat berpisah
dengan orang sakti yang telah
banyak membantunya
itu.
"Entahlah, tapi mungkin
juga aku akan kembali
ke Pulau Jawa, karena aku pernah
mendengar sang
Ratu Siluman Buaya Putih
berfirasat akan terjadinya
banyak musibah pada bangsa
manusia, juga tanda-
tanda buruk pada Kerajaannya.
Firasat sang Ratu itu
mengatakan adanya seorang tokoh
golongan manusia
yang sesat yang bakal
menggegerkan satu wilayah di
Pulau Jawa. Bahkan menurut
berita gaib yang diteri-
ma, saat ini ada bersemayam
seorang tokoh di satu
daerah di Pulau Jawa yang bergelar si Ririwa Bodas.
Manusia itu adalah penganut ilmu
siluman, akan teta-
pi dari jenis siluman jahat atau
siluman golongan hi-
tam. Aku khawatir manusia itu
akan banyak membuat
kerusuhan disana..." ujar
Roro dengan memandang
jauh ke tengah laut.
"Yah, itulah tugasmu sebagai
seorang Pende-
kar! Aku tak dapat menemanimu,
namun aku percaya
kau pasti akan dapat
mengatasinya!" tukas Muri Asih.
Lalu lanjutnya. "Nah,
baiklah kukira kini waktunya ki-
ta berpisah!"
"Tunggu...! Eh, nenek
Muri...! Kapankah wak-
tunya kau mengangkat ku menjadi muridmu?" tanya
Roro.
"Heheheh... sabarlah!
Dengan ilmu yang seka-
rang kau miliki dan kecerdasanmu
kukira masih bisa
menandingi pentolan-pentolan
golongan hitam!" Selesai
berkata, wanita kosen itu
berkelebat... dan lenyap dari
pandangan mata Roro.
"Nenek Muriiii...! Apakah
kau mengetahui pe-
rihal guruku si Manusia Aneh
dari Pantai Selatan...!"
Tiba-tiba Roro kembali berteriak
Namun tak ada sahu-
tan. Kecuali suara membersitnya
angin laut dan suara
deburan ombak kecil-kecil yang
menghempas di pantai
karang.
Roro membanting kakinya ke atas pasir
"Huuuh...!" Untung
cuma melesak sebatas betis karena
tak pergunakan tenaga dalam.
Wajahnya tampak cem-
berut.
"Dasar nenek pelit!"
desisnya pelahan seraya
mencabut kembali kakinya yang
amblas. Lubang bekas
kaki itu segera terisi dengan
air yang merembes masuk
dari bawah pasir. Roro Centil
yang sampai saat itu tak
pernah tahu tentang gurunya si
Manusia Banci yang
entah masih hidup entah sudah
mati itu, cuma me-
mendam kekecewaan di hatinya.
Sang guru memang
sering muncul, akan tetapi cuma
suara gaibnya saja
yang terdengar.
Akhirnya setelah termenung lama
di tepi pan-
tai, Roro segera memanggil
sahabatnya si harimau Tu-
tul yang segera muncul
perdengarkan suara mengge-
ramnya. Tak lama satu bayangan
kilat bagaikan hem-
busan angin meluncur pesat
meninggalkan pantai Pu-
lau Kalimantan untuk terus
membalik menuju ke arah
Pulau Jawa, di mana segala macam
peristiwa dan ke-
melut telah menantinya. Dan sebagai
seorang Pende-
kar yang memang sudah menjadi
tugasnya menegak-
kan keadilan di jagat raya ini,
Roro tak pernah berhen-
ti berpetualang...
TAMAT
Emoticon