Panduan
Buku ini didahului oleh buku berjudul “Rahasia
Dewa Asmara”. Buku tersebut menceritakan nasib Sa-
rindah dan Sarwiyah, cucu Si Tangan Iblis yang sudah
tewas dalam tangan Gajah Mada.
Dalam usaha membalas dendam kepada Gajah Ma-
da ini, kemudian mereka membagi tugas. Sarwiyah
mendapat perintah mencari bantuan ke Julung Pujud
dan Warigagung, agar guru dan murid itu sedia mem-
balaskan sakit hatinya. Kemudian Sarindah sendiri
menuju ke Gunung Lawu untuk minta bantun Kakek
Madrim, sebagai ahli tenung.
Kakek Madrim menyanggupi asal Sarindah sedia
menjadi isteri tanpa nikah, sedikitnya sehari semalam.
Sarindah terpaksa menyanggupi permintaan yang
aneh ini dalam usaha membalas dendam kepada Ga-
jah Mada.
Di samping itu, Sarindah juga sudah mempunyai
rencana pasti. Setelah Kakek Madrim memenuhi per-
mintaannya, akan segera ia bunuh. Namun ternyata
Sarindah salah menduga. Kakek Madrim yang sudah
lumpuh dua kakinya itu, bukanlah orang sembara-
ngan. Usaha Sarindah gagal, malah kemudian gadis ini
terpengaruh oleh Aji Netra Luyub, hingga menurut pe-
rasaannya ia bertemu dengan seorang pemuda tampan
sekali bernama Dewa Asmara.
Sarindah jatuh cinta, kemudian mereka berbulan
madu di dalam istana serba emas dihias oleh permata
berkilauan. Namun setelah ia bangun pada keesokan
paginya, ia menemukan dirinya tidur berdampingan
dengan Kakek Madrim. Dalam marahnya Kakek Ma-
drim ia bunuh dengan pedang.
Tetapi setelah meninggalkan pondok Kakek Madrim,
gadis ini terkuasai oleh khayalannya sendiri tentang
Dewa Asmara. Dan akibatnya jiwanya terganggu.
Celakanya ia bertemu dengan seorang pemuda tam-
pan bernama Sinom Pradopo, dan menurut khayal Sa-
rindah, pemuda inilah suaminya yang bernama Dewa
Asmara itu. Tetapi karena Sinom Pradopo tidak mera-
sa, maka pemuda ini menolak mengakui sebagai iste-
rinya. Akibatnya terjadi perkelahian, dan karena tak
mampu, Sarindah lalu melarikan diri sambil menangis
dan tertawa, menjadi gila.
Sedang Sarwiyah yang akan mencari Julung Pujud
dan Warigagung, di perjalanan dikeroyok penjahat. Da-
lam keadaan hampir putus asa, datanglah pertolongan
dari seorang pemuda yang sudah ia kenal, hingga se-
lamat.
11
Melihat pemimpin mereka sudah melarikan diri ke-
mudian roboh mati oleh tangan pemuda itu, kuncup-
lah nyali mereka. Tiba-tiba mereka sudah berteriak,
kemudian lari tunggang-langgang mencari selamat.
“Hah, mau lari ke mana kamu?!” bentak Sarwiyah
sambil mengejar.
“Jangan!” teriak pemuda itu sambil melompat dan
menghadang di depan Sarwiyah.
Hadangan itu demikian tiba-tiba dan di luar dugaan
Sarwiyah. Gadis ini berusaha menahan langkah, tetapi
masih juga menubruk pemuda itu. Untunglah ketika
itu pedangnya di sebelah kanan tubuh, kalau di depan
mungkin pedang itu bisa makan tuan.
Pemuda yang menolong itu kaget sendiri dan cepat
menggunakan tangannya guna memeluk, menahan
Sarwiyah agar tidak terpelanting jatuh. Adapun Sar-
wiyah sendiri tanpa sesadarnya pula sudah memeluk
pemuda itu, dan pedang runtuh di tanah.
Pemuda itu memang terlalu dekat dalam usaha
menghadang. Maka tidak mengherankan apabila bera-
kibat membuat mereka harus bertubrukan.
“Ahhh...!” jerit Sarwiyah tertahan.
“Mbakyu, maafkanlah aku,” pinta pemuda itu sam-
bil melepaskan pelukannya.
Akan tetapi ketika lengan yang semula memeluk itu
lepas, tiba-tiba mata pemuda ini terbelalak. Baju ba-
gian depan Sarwiyah terbuka. Dan walaupun dada itu
masih tertutup kain penutup dada, namun kain itu
agak merosot dan menyebabkan payudara yang kuning
dan membukit itu separo tampak. Pandangan baru ini
menyebabkan jantung si pemuda bergetar hebat.
Untung ia seorang pemuda yang sopan. Ia malah
merasa malu sendiri dan kemudian menundukkan
muka.
Pada mulanya Sarwiyah heran atas sikap pemuda
ini. Tetapi ketika menunduk dan melihat baju bagian
depan terbuka, ia baru ingat, tadi sudah robek oleh
cengkeraman tangan perampok. Ia memekik kecil,
membalikkan tubuh lalu berusaha menyembunyikan
dada yang membukit. Gadis ini kebingungan sendiri
karena bajunya tak dapat lagi ia rapatkan.
“Mbakyu, gantilah baju dahulu, baru kita nanti bi-
cara.” Sambil berkata demikian pemuda ini sudah
membalikkan tubuh lalu menjauhi.
Tanpa membuka mulut Sarwiyah sudah berlarian
mencari tempat bersembunyi. Lalu dengan cekatan ia
mengambil ganti baju dari bungkusan bekalnya. Da-
lam waktu singkat ia sudah selesai lalu melangkah
menghampiri pemuda penolongnya, yang ketika itu
duduk membelakangi.
Sambil menghampiri ini, diam-diam timbul perta-
nyaan dalam hatinya, mengapa telah terjadi peruba-
han yang aneh dalam diri pemuda ini?
Sarwiyah masih ingat benar. Dahulu ketika pemuda
ini, yang umurnya lebih muda satu tahun dibanding
dirinya, juga salah seorang murid kakeknya, kepan-
daiannya masih di bawah dirinya. Tetapi mengapa se-
karang dalam waktu singkat, dan belum cukup satu
tahun, Mahisa Singkir malah sudah melampaui diri-
nya?
Ketika itu Mahisa Singkir duduk pada akar pohon
yang menonjol. Ia duduk berdiam diri, menunggu gadis
itu selesai ganti baju. Maka ketika mendengar langkah
halus mendekati, Mahisa Singkir memalingkan muka.
Bibir pemuda ini menyungging senyum, lalu katanya,
“Ahh... kau sudah ganti baju, Mbakyu. Mari, duduklah
di sini.”
Sarwiyah juga tersenyum sambil mengangguk. Lalu
duduk pula pada akar pohon berdampingan dengan
Mahisa Singkir.
Sarwiyah membuka percakapan, katanya, “Adi
Singkir, engkau sekarang hebat.”
“Apanya yang hebat, Mbakyu?”
“Kepandaianmu. Sekarang tingkatmu sudah jauh di
atas tingkatku.”
“Ahh... Mbakyu jangan merendah. Manakah mung-
kin aku bisa menang terhadap Mbakyu?”
Sarwiyah memalingkan mukanya dan menatap wa-
jah pemuda itu tajam. Sedang Mahisa Singkir pura-
pura tidak tahu, dan ia memandang lurus ke depan.
“Adi Singkir, engkau jangan berusaha menyembu-
nyikan kepandaianmu. Bukti tidak terbantah lagi, ka-
rena aku tadi melawan pemimpin penjahat itu dengan
pedang saja kewalahan. Tetapi engkau hanya bertan-
gan kosong, telah berhasil mengalahkan. Adi, antara
aku dan engkau merupakan keluarga sendiri. Mengapa
sebabnya engkau berusaha menyembunyikan raha-
sia?”
Wajah Mahisa Singkir merah karena malu. Ia meno-
leh sebentar menatap wajah gadis itu. Akan tetapi be-
gitu memandang Sarwiyah, pemuda ini cepat-cepat
mengalihkan pandang matanya. Sebab masih ter-
bayang dalam benaknya, tadi yang telah ia lihat, dada
yang kuning dan membusung.
Sebagai seorang pemuda dewasa, sudah tentu pe-
mandangan yang baru ini kesannya sulit lupa dalam
waktu singkat.
“Mbakyu, baiklah, aku akan menceritakan apa yang
sudah terjadi atas diriku.” Mahisa Singkir mengambil
napas. Sejenak kemudian ia meneruskan, “Mbakyu,
bukankah ketika itu aku bersama Kakang Tanu Pada
dan Kakang Kebo Pradah, mendapat perintah dari
Guru mencari Adi Sentiko? Nah, aku bertiga menuju
selatan sedang saudara lain menuju arah lain yang
sudah ditentukan. Tetapi anehnya Mbakyu, ketika
kami tiba di Desa Sukorejo, kami bertemu dengan Ka-
kang Sangkan maupun Kaligis. Kami merasa heran.
Bukankah tujuan perjalanan mereka ke timur? Tetapi
Kakang Sangkan mengemukakan berbagai alasan, dan
berlindung nama Guru.”
Mahisa Singkir berhenti dan menghela napas. Peris-
tiwa menyedihkan ketika itu masih mengesan dalam
sanubarinya.
“Waktu itu sudah rembang petang. Maka terpikir
untuk mencari tempat menginap sebelum malam tiba.
Ternyata Sangkan dan Kaligis menggunakan kesempa-
tan itu secara curang. Ketika itu, aku, Kakang Tanu
Pada dan Kakang Kebo Pradah berjalan di depan. Se-
dang dua orang itu di belakang. Ternyata kemudian
Kakang Kebo Pradah dan Kakang Tanu Pada telah me-
reka tikam dari belakang dan mati.”
“Ahhh....” tanpa terasa terdengar jerit tertahan ke-
luar dari mulut Sarwiyah. Tentu saja, karena salah
seorang korban adalah pemuda yang ia cintai.
“Lalu, apakah yang terjadi selanjutnya?” tanya Sar-
wiyah sambil menatap Mahisa Singkir. Walaupun pe-
ristiwa itu sudah lama berlalu, namun dalam dada ga-
dis ini terasa ada yang perih juga.
“Agaknya tikaman itu melanggar jantung!” sahut
Mahisa Singkir dengan nada amat menyesal. “Terbukti
ketika roboh terguling tidak mengerang sama sekali.”
Sarwiyah menundukkan kepalanya.
“Aku kaget dan menjadi bingung, mengapa dua
orang itu sampai hati membunuh saudara sendiri?
Aku tanyakan juga soal itu. Tetapi mereka tidak mau
menerangkan, malah kemudian mengancam. Mereka
melarang aku pulang ke Tosari dan melarang bertemu
dengan Guru. Dan apabila peristiwa ini sampai bocor,
tentu akulah sumbernya. Ancaman itu menyebabkan
aku bingung. Lalu timbullah tekadku lebih baik mati
bunuh diri saja daripada harus berkhianat kepada
Guru.”
“Bagus. Itulah murid yang baik,” puji Sarwiyah. “Te-
tapi kenapa engkau masih hidup juga sampai seka-
rang?”
“Sebenarnya hal ini sudah pernah aku terangkan
kepada Mbakyu Sarindah. Apakah dia belum berceri-
ta?”
“Mbakyu hanya bilang, pembunuh Kakang Tanu
Pada dan Kakang Kebo Pradah, memang dua orang
itulah. Dahulu pernah berhasil aku robohkan bersama
Mbakyu Sarindah. Tetapi dua bangsat itu berhasil lolos
sebelum menerima hukumannya.”
“Sebabnya aku gagal membunuh diri adalah karena
tiba-tiba pedangku runtuh ke tanah. Kemudian di de-
panku sudah berdiri seorang kakek gemuk yang me-
makai jubah putih kedodoran. Dia menyadarkan diri-
ku, tidak baik jika aku melakukan bunuh diri.”
“Ahh, aku tahu sekarang,” Sarwiyah menukas.
“Tentu kakek gendut itu kemudian mengangkat dirimu
sebagai murid, bukan? Hem pantas sekarang kau he-
bat.”
Wajah Mahisa Singkir merah atas pujian Sarwiyah
ini, karena agak malu. Jawabnya kemudian, “Aku ti-
dak beruntung menjadi muridnya, Mbakyu. Tetapi be-
liau juga bukan orang tua yang pelit. Beliau berkenan
hati memberi petunjuk kepadaku dalam waktu dua ta-
hun lamanya, tetapi aku tidak boleh mengaku sebagai
muridnya.”
“Ah, pantas! Dan engkau bakal menjadi seorang
yang hebat, Adi Singkir. Buktinya belum satu tahun
engkau mendapat petunjuk, kepandaianmu sudah
jauh meningkat.”
Mahisa Singkir menghela napas pendek. “Ya, mu-
dah-mudahan, Mbakyu. Tetapi sudah lebih setengah
bulan ini aku tidak pernah dapat ketemu dengan be-
liau, sekalipun aku sudah mencari ke sana dan ke ma-
ri. Sayang....”
“Siapakah dia itu, Adi?”
“Mbakyu, maafkanlah aku,” sahutnya sambil meng-
geleng. Aku tidak pernah tahu, siapakah nama mau-
pun gelar beliau, karena memang tidak pernah mem-
beri tahu.”
Mereka berhenti bicara. Sarwiyah memandang tem-
pat jauh, sedang Mahisa Singkir menundukkan kepa-
lanya. Akan tetapi sekalipun demikian, ia selalu meng-
gunakan sudut matanya untuk melirik ke arah dada
Sarwiyah yang membukit. Karena melirik dari samping
dan sebagian baju itu agak terbuka sedikit, maka tam-
paklah kemudian sebagian dada yang membukit itu.
Hati pemuda ini berdesir, tetapi timbul pula rasa se-
nang.
Dahulu, apabila ia berhadapan dengan Sarindah
maupun Sarwiyah, sikapnya tidak bedanya dengan
terhadap kakaknya sendiri. Tetapi setelah ia tadi ber-
pelukan, dan melihat pula Sarwiyah yang koyak ba-
junya, lalu menyelinaplah sesuatu perasaan yang aneh
dalam dadanya.
Beberapa saat kemudian Sarwiyah memalingkan
muka. Ujarnya, “Adi Singkir, apakah engkau sudah ta-
hu Kakek sudah tewas?”
“Ahhh...!” seru Mahisa Singkir tertahan. “Tewas?
Apakah sebabnya?”
“Kakek tewas pada empat bulan lalu,” sahut Sar-
wiyah dengan nada sesal dan sedih. “Kakek kalah ber-
kelahi melawan Gajah Mada.”
“Ahhhh...!” Mahisa Singkir kaget sekali. “Jadi...
Guru sudah ketemu dengan Gajah Mada? Ahh, me-
ngapakah sebabnya Guru bersikeras memusuhi Ma-
hapatih Gajah Mada?”
“Hemm, aku pun sesungguhnya kurang setuju, Adi
Singkir. Lebih lagi setelah aku mengetahui latar bela-
kang terjadinya permusuhan antara Kakek dengan Ga-
jah Mada itu.” Sarwiyah menghela napas. “Akan tetapi
ah.... Mbakyu Sarindah terlalu keras hati dan ingin
meneruskan cita-cita Kakek.”
“Ahh... mana sekarang Mbakyu Sarindah?”
Sarwiyah segera menceritakan tentang perpisahan-
nya dengan kakaknya perempuan. Sarindah pergi
mencari bantuan, sedangkan dirinya mendapat perin-
tah untuk mencari Warigagung.
“Itulah Adi, sebabnya aku dalam hutan ini, tidak
lain dalam perjalananku mencari Warigagung. Kemu-
dian hampir saja aku celaka dikeroyok oleh para pen-
jahat. Untung sekali kau segera datang dan menolong
diriku. O ya, apakah engkau pernah bertemu dengan
Warigagung?”
Mahisa Singkir memandang Sarwiyah dengan he-
ran. “Siapakah Warigagung itu, Mbakyu?”
Sarwiyah tersenyum. Ia baru sadar dan ingat, Mahi-
sa Singkir belum tahu tentang hubungannya dengan
Warigagung. Maka kemudian Sarwiyah menerangkan.
“Adi, pemuda yang bernama Warigagung itu mudah
sekali kau kenal. Sebab, ia seorang pemuda yang ke-
gemarannya bermain-main dengan ular dan binatang
berbisa lainnya.”
“Ahhh... dia? Kau... engkau mau mencari dia?” Ma-
hisa Singkir terbelalak dan ngeri, teringat pengala-
mannya waktu itu.
“Apakah sebabnya, Adi? Jadi, kau sudah pernah
bertemu dengan dia?” selidik Sarwiyah dengan wajah
agak cerah, menduga Mahisa Singkir dapat memberi
keterangan.
“Ahhh... masih ngeri apabila aku teringat peristiwa
ketika itu. Hemm, mestinya hal ini harus aku cerita-
kan sejak tadi, Mbakyu. Sebab peristiwa itu terjadi be-
berapa saat sebelum Kakang Tanu Pada dan Kakang
Kebo Pradah tewas oleh pengkhianatan Kaligis dan
Sangkan.”
Mahisa Singkir berhenti dan mengusap peluh yang
membasahi leher, akibat pengaruh rasa ngeri. Dan se-
jenak kemudian pemuda ini baru meneruskan.
“Ketika itu hampir saja kami berlima mati oleh ke-
ganasan pemuda itu. Dia mengerahkan ularnya untuk
mengeroyok kami.”
“Aku sendiri pun pernah mengalami keroyokan
ular-ularnya.”
“Ohh, kau juga pernah mengalami seperti aku? Te-
tapi apabila Mbakyu pernah celaka oleh ular-ularnya,
mengapa sekarang Mbakyu malah mencari dia? Ahh,
jangan Mbakyu. Pemuda liar seperti itu, manakah bisa
engkau jadikan sahabat?”
Sarwiyah tersenyum, sekalipun hati terasa perih se-
kali. Tunangannya telah dicela terang-terangan oleh
Mahisa Singkir di depan hidungnya sendiri. Namun
demikian ia masih dapat memaafkan kelancangan Ma-
hisa Singkir. Sebab, di samping pemuda ini belum ta-
hu terjadinya “pertunangan” antara dirinya dengan
Warigagung, sebenarnya Sarwiyah sendiri juga tidak
setuju. Ia terpaksa menerima terjadinya pertunangan
ini tidak lain karena berkorban untuk kepentingan ci-
ta-cita kakeknya. Namanya saja Warigagung memang
tunangannya dan sudah sah oleh dua belah pihak.
Namun yang benar ia jauh dari rasa cinta. Lebih lagi ia
ingat Warigagung sendiri juga tidak setuju. Akan tetapi
Warigagung juga tidak bisa menolak, karena gurunya
yang memaksa. Jadi jelas antara dirinya maupun Wa-
rigagung sama-sama sepi dari rasa cinta.
Mahisa Singkir yang tidak tahu hal tersebut mence-
la lagi.
“Mbakyu, jangan...! Engkau jangan mencari dia. Se-
bab aku khawatir, engkau akan terancam oleh ba-
haya.”
Sarwiyah menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Adi Singkir, engkau tidak perlu khawatir. Karena dia
tidak lain adalah tunanganku.”
Kalau ada halilintar menyambar, kiranya tidak se-
kaget Mahisa Singkir sekarang ini. Mendadak saja wa-
jahnya menjadi pucat. Ia sudah mencela Warigagung,
ternyata pemuda itu malah calon suami Sarwiyah.
Saking ketakutan apabila gadis ini marah, ia menjadi
tidak dapat membuka mulut.
“Engkau jangan menjadi kaget dan juga takut kepa-
daku,” hiburnya sambil memaksa tersenyum manis.
Sebab sekalipun tersenyum hatinya terasa perih. “Adi,
ketahuilah namanya saja dia itu tunanganku. Akan te-
tapi hemm, aku tidak mencintai dia....”
Mahisa Singkir keheranan mendengar penjelasan
ini. Apakah sebabnya orang bertunangan tanpa dida-
sari dengan rasa cinta? Mungkinkah ini bisa terjadi?
“Bukan hanya aku, tetapi Warigagung sendiri dalam
keadaan yang sama. Sebab sebenarnya dia juga tidak
mencintai aku.”
“Ahhh, mengapa bisa terjadi seperti itu?”
“Gurunya memaksa dia, dan Kakek pun memaksa
aku. Dua-duanya terpaksa, dan betapa sedih hatiku
sebenarnya dengan masalah ini.” Sarwiyah menghela
napas pendek. “Agaknya sudah menjadi suratan takdir
hidupku ini, dan harus begitu yang terjadi atas diriku.”
Sarwiyah berhenti dan Mahisa Singkir menatap wa-
jah ayu Sarwiyah sekalipun hanya sekilas. Diam-diam
timbul perasaan kasihan kepada gadis ini. Namun de-
mikian ia tidak dapat berbuat apa-apa, justru semua
itu sudah kehendak Si Tangan Iblis.
“Adi, sesungguhnya aku juga tidak suka dan tidak
menyetujui maksud Mbakyu Sarindah ini. Tetapi aku
terpaksa juga melakukan. Aku harus mengabarkan
tentang tewasnya Kakek dalam tangan Gajah Mada.
Dan aku harus minta bantuan Paman Julung Pujud
agar dapat membalaskan sakit hati ini.”
Sesudah itu Sarwiyah kembali lagi menghela napas
sedih. Dan Mahisa Singkir pun ikut bersedih, oleh ke-
kerasan hati Sarindah itu.
“Maafkanlah aku, Mbakyu,” katanya kemudian.
“Kalau boleh aku bicara, sesungguhnya aku sendiri ju-
ga tidak setuju dengan usaha membalas sakit hati dan
dendam itu. Sebab apa yang sudah lalu biarlah lewat.
Mengapa hal itu harus kita aduk dan persoalkan lagi?
Anggap saja semua yang sudah terjadi sudah sesuai
dengan garis Dewata Yang Agung. Sebab manusia ti-
dak dapat membantah dan melawan.”
Mahisa Singkir berhenti dan mencari kesan. Seje-
nak kemudian ia melanjutkan, “Yang jelas, dendam-
mendendam, balas-membalas itu tiada sesuatu yang
dapat kita petik dan kita ambil manfaatnya. Maka kita
semua ini wajib menyadari. Mbakyu, apabila manusia
ini sudah terhinggapi oleh penyakit balas dendam itu,
makin lama akan semakin menjadi parah. Sebab keke-
rasan, kekacauan dan ketakutan akan memenuhi du-
nia ini, sebagai akibat permusuhan yang tiada habis-
nya. Bukankah orang yang kita musuhi dan kita usa-
hakan supaya mati terbunuh itu mempunyai banyak
keluarga dan sanak famili? Kalau kemudian sanak dan
keluarga mereka mempunyai pendapat pula harus
membalas dendam, bukankah ini akan berakibat ter-
jadinya permusuhan yang tidak ada habisnya? Karena
hal itu akan sampai kepada generasi penerusnya.”
Sarwiyah mengangguk-angguk. Ia memuji luasnya
pandangan Mahisa Singkir. Padahal ia sendiri justru
tidak setuju dengan usaha membalas dendam seperti
itu.
“Tetapi Adi Singkir, apa yang harus aku katakan
bahwa diriku ini terpaksa oleh keadaan?” sahut Sar-
wiyah. “Aku tidak setuju, tetapi sebaliknya Mbakyu Sa-
rindah memaksa. Aku tidak berani membantah, maka
sekalipun berat hati aku terpaksa melakukan juga.
Nah, apakah engkau sudah pernah bertemu dengan
Warigagung sesudah terjadinya peristiwa waktu itu?”
Mahisa Singkir menggelengkan kepalanya dan
menghela napas. “Menyesal sekali, Mbakyu, hanya se-
kali itu saja aku bertemu dengan dia.”
Sarwiyah menghela napas panjang lagi. Tadi ia ber-
harap, Mahisa Singkir dapat membantu memberi pe-
tunjuk. Namun sayangnya, dia juga tidak tahu. Tetapi
sekalipun demikian gadis ini mengangkat mukanya,
memandang Mahisa Singkir.
“Adi, bersediakah engkau membantu aku?”
“Tentang apakah, Mbakyu? Jika aku harus mem-
bantu membalaskan sakit hati dan dendam itu, sung-
guh aku amat menyesal dan terpaksa harus menolak.
Mbakyu, sekalipun aku setia dan menghormati Guru
almarhum, namun aku tak dapat berbuat yang berten-
tangan dengan bisikan hatiku. Jika Mbakyu mau me-
maksa juga, lebih baik bunuh sajalah aku dengan ta-
nganmu.”
“Hi hi hik,” Sarwiyah ketawa perlahan, “siapakah
yang mau memaksa dan siapa pula yang akan mem-
bunuh? Ah Adi, engkau jangan cepat salah sangka.
Maksudku demikian. Mengingat apabila aku melaku-
kan perjalanan seorang diri seperti ini, sebagai seorang
gadis adalah kurang baik. Buktinya, hampir saja aku
tadi celaka oleh keroyokan para penjahat. Sekarang
aku minta bantuanmu, Adi, sudilah engkau menjadi
teman perjalananku dalam usahaku mencari Wariga-
gung dan gurunya.”
“Tetapi engkau harus berjanji tidak akan meli-
batkan diriku dalam urusan ini.”
“Ya, aku berjanji, Adi. Percayalah, aku takkan sam-
pai melibatkan dirimu dalam urusanku ini.”
Mahisa Singkir mengangguk dan tersenyum. Tentu
saja ia merasa senang juga menemani perjalanan Sar-
wiyah ini. Entah apa sebabnya, ia sendiri tidak tahu.
Serasa ia ingin selalu berdekatan dengan gadis ini dan
tidak ingin berpisah lagi. Ia juga tidak tahu mengapa
sebabnya justru selama ini tidak pernah terlintas da-
lam pikirannya hal-hal semacam ini.
Bagaimanapun perasaan ini merupakan hal baru
bagi dirinya, karena memang belum pernah terbayang
dalam pikirannya.
Namun tiba-tiba wajah pemuda ini pucat. Lalu ka-
tanya gugup, “Ahhh... nanti dulu, Mbakyu... ah, aku
tidak berani.”
“Kenapa? Apakah engkau sudah tidak mau lagi ber-
sahabat dengan aku?”
“Mbakyu, ohh... bukan itu... bukan itu....”
“Lalu soal apakah yang menyebabkan engkau mem-
batalkan kesanggupanmu membantu diriku?”
“Mbakyu, engkau sudah bertunangan dengan Wari-
gagung. Maka aku menjadi amat khawatir apabila dia
menjadi cemburu dan curiga kepada diriku. Apakah
nasibku tidak celaka apabila dia sampai cemburu? Se-
bab dia bisa menuduh aku merebut tunangan orang
lain.”
Sarwiyah tersenyum. Lalu terdengar desisnya, sea-
kan bukan kemauannya sendiri, “Kalau yang direbut
suka....”
“Engkau bilang apa, Mbakyu?”
Dengan agak malu Sarwiyah menatap Mahisa Sing-
kir.
“Engkau tidak perlu khawatir, Adi. Akulah yang
akan menerangkan kepada Warigagung. Engkau ada-
lah murid kakekku pula, maka kedudukannya sebagai
saudara seperguruan dan juga sebagai pengawal kese-
lamatanku, dalam perjalanan ini. Adi, seharusnya dia
malah harus berterima kasih kepadamu, karena kau
suka sedia berkorban demi keselamatanku dan berarti
pula merupakan kepentingan Warigagung.”
“Tetapi apabila dia tetap tidak mau percaya...?”
“Sudahlah, pendeknya engkau sudi membantu aku
atau tidak? Aku berani mempertanggungjawabkan per-
soalan ini.”
Sesungguhnya dalam hati Mahisa Singkir masih
menyelinap rasa keraguan itu, namun demikian ia
mengangguk juga.
“Baiklah Mbakyu, aku bersedia menemani perjala-
nanmu.”
Sulit terlukiskan betapa gembira gadis ini setelah
mendengarkan kesediaan Mahisa Singkir. Sarwiyah
percaya, mempunyai teman perjalanan seperti Mahisa
Singkir ini, dirinya akan menjadi lebih aman.
“Terima kasih, Adi, engkau baik sekali,” katanya
dengan wajah berseri.
“Lalu bagaimanakah sekarang, Mbakyu? Kapan kita
berangkat? Sekarang, ataukah lain hari?”
“Benar. Kita harus berangkat sekarang juga. Akan
tetapi Adi, aku tidak tahu sampai kapan dapat berte-
mu dengan dia maupun gurunya. Sebab ibaratnya aku
sekarang ini sedang mencari sebatang jarum dalam se-
tumpuk ijuk. Hemm, tetapi sekalipun demikian mu-
dah-mudahan saja, dalam waktu singkat apa yang aku
harapkan ini bisa terkabul.”
“Baiklah Mbakyu, mari berangkat.”
Akhirnya berangkatlah dua orang muda ini dan me-
langkah berdampingan. Ketika itu matahari sudah
rendah di bagian barat. Mereka harus menerobos hu-
tan pada perbukitan Kendeng, namun mereka tidak
khawatir dan tidak kenal takut.
Akan tetapi hutan di perbukitan Kendeng ini sam-
bung-menyambung tanpa putus. Padahal makin lama
matahari semakin rebah di barat.
“Mbakyu, kita masih terus berhadapan dengan hu-
tan,” ujar Mahisa singkir mengisi kesepian. “Padahal
hari telah sore. Hem... bagaimanakah kiranya apabila
kita mengaso dan menginap dalam hutan ini saja?”
“Tentu saja Adi, mengapa sebabnya kau masih juga
bertanya? Di hutan maupun di desa tak ada bedanya.
Kita butuh mengaso, mana tempat pun jadilah. Mari-
lah sekarang kita berusaha mencari tempat untuk
mengaso.”
“Sebaiknya kita mencari goa.”
“Benar. Dengan mengaso dalam goa akan lebih
aman.”
Tidak sulit bagi mereka mencari goa. Sebab pada
perbukitan Kendeng ini memang banyak terdapat goa-
goa alam yang cukup aman guna berlindung. Maka
mereka kemudian dapat menemukan goa yang cukup
luas guna mengaso, justru goa itu letaknya pada lereng
cukup terjal.
Tebing yang demikian ini akan aman dari gangguan
binatang berbisa maupun binatang buas. Dengan de-
mikian mereka akan dapat mengaso dengan aman. Le-
bih lagi disamping tempatnya demikian bagus, goa ini
tidak jauh dari sumber air yang amat jernih, hingga
untuk mencukupi kebutuhan air minum maupun
mandi, dapat mereka cukupi dengan mudah.
Setelah mereka berdua secara gotong royong mem-
bersihkan goa yang kotor itu, kemudian mereka mem-
bagi tugas. Mahisa Singkir yang harus berburu guna
mencari pengisi perut yang lapar, sedang Sarwiyah
yang harus mengumpulkan kayu kering untuk mema-
tangkan daging.
Tak lama kemudian mereka sudah duduk pada tepi
api unggun, dan mereka duduk berdampingan. Mereka
gembira, dan sibuk memanggang daging pelanduk ha-
sil Mahisa Singkir berburu.
“Adi Singkir,” kata Sarwiyah sambil membalikkan
daging yang sedang ia bakar, “apakah tujuanmu sebe-
narnya, dengan selalu mengembara ini?”
“Bukan maksudku terus bergelandangan seperti ini,
Mbakyu,” sahutnya. “Apabila sudah cukup waktu dua
tahun seperti janji kakek gendut itu membimbing diri-
ku, aku akan mengakhiri hidup sebagai gelandangan
ini.”
“Apakah sebabnya harus demikian?”
“Soalnya kakek gendut itu tidak mempunyai tempat
tinggal secara tetap. Maka apabila sampai waktu yang
sudah kakek gendut itu tentukan sendiri dan aku ma-
sih terlalu bodoh, bukankah aku sendiri yang akan
menerima akibatnya dan menderita rugi? Sebaliknya
apabila aku hidup seperti burung sekarang ini, kesem-
patan untuk dapat bertemu dengan dia lebih banyak.”
“Apakah pendapatmu itu tidak terbalik, Adi? De-
ngan mempunyai tempat tinggal yang tetap, berarti be-
liau akan gampang dalam usaha mengunjungimu.”
“Mbakyu, beliau mempunyai watak yang aneh. Be-
liau tidak mungkin mau mengunjungi diriku ini apabi-
la aku mempunyai tempat tinggal tetap. Sebab apabila
sedang melatih diriku, tempat yang dipilih tentu sulit
orang lain bisa datang, dan itu pun selalu berpindah-
pindah. Dan malah aku sendiri pun tidak mungkin da-
pat ke tempat ini tanpa bantuan beliau. Pendeknya
Mbakyu, kalau aku mencari beliau sulitnya setengah
mati dan melebihi mencari iblis. Oleh karena itu be-
liaulah yang selalu mendapatkan aku.”
Sarwiyah mengangguk-angguk. Diam-diam ia men-
jadi iri akan keberuntungan Mahisa Singkir, dapat
berkenalan dengan kakek gendut yang aneh itu. Ia su-
dah menentukan, kemudian hari Mahisa Singkir tentu
menjadi seorang pemuda gemblengan dan sakti man-
draguna.
Ketika itu daging dalam tangan Mahisa Singkir
maupun Sarwiyah sudah matang hampir berbareng.
Karena lapar, maka mereka segera menggerogoti da-
ging itu dengan lahap.
Akan tetapi Sarwiyah tidak betah untuk berdiam di-
ri. Maka gadis ini kemudian bertanya, “Apakah selama
ini engkau tidak pernah bertemu dengan murid Kakek
yang lain, maupun Adikku Sentiko?”
Mahisa Singkir menghela napas, kemudian mengge-
leng.
“Aku sendiri agak heran juga, mengapa sampai se-
karang belum juga dapat aku temukan? Kalau aku
memikirkan Sentiko, hatiku ini sedih sekali. Sebab ba-
gaimanapun dia adalah keturunan laki-laki satu-
satunya bagi keluargaku.”
Hati Mahisa Singkir terharu juga mendengar kelu-
han Sarwiyah yang nadanya amat menyesal itu. Untuk
beberapa saat mereka termenung, sehingga daging
yang sudah siap dalam tangan masing-masing mereka
biarkan dingin tidak termakan. Adapun daging yang
sedang mereka bakar pun, karena terlambat membalik
menyebabkan daging itu hangus. Dan mereka baru
sadar ketika mencium bau daging yang hangus.
Akhirnya Mahisa Singkir menghibur. “Sudahlah
Mbakyu, semua masalah yang Mbakyu hadapi ini,
kembalikan saja dan serahkan kepada Dewata Yang
Maha Agung. Semoga Sentiko masih dalam keadaan
selamat dan kemudian hari kita dapat bertemu. Mari-
lah sekarang kita nikmati daging ini dulu, guna pengisi
perut.”
Demikianlah, pada akhirnya mereka menggerogoti
daging bakar itu. Karena daging ini mendapat bumbu
dari Sarwiyah, maka tentu saja rasanya menjadi lain
disamping sedap. Mahisa Singkir yang selama ini apa-
bila makan daging bakar tanpa menggunakan bumbu,
maka ia merasakan daging ini lezat sekali dan nikmat.
Tidak aneh pula makannya menjadi lebih banyak.
Merasa enak, Mahisa Singkir memuji sambil meng-
acungkan ibu jari. “Mbakyu, aduhhh... engkau hebat
sekali....”
“Apanya yang hebat?” Sarwiyah terbelalak berba-
reng curiga.
“Daging ini,” sahut Mahisa Singkir sambil tertawa.
“Karena kau beri bumbu, maka rasanya menjadi lezat
sekali. Tetapi... ehh, mengapa sebabnya Mbakyu malah
tidak bernafsu?”
Sarwiyah menjadi bangga oleh pujian Mahisa Sing-
kir ini. Lebih lagi ia sudah kenal watak Mahisa Singkir
yang jujur. Tetapi sekalipun demikian bagi seorang
wanita, walaupun merasa bangga, perasaan itu ia tu-
tup dengan kata-kata, “Ah, Adi, engkau membuat aku
malu saja.”
“Kenapa engkau menjadi malu, Mbakyu? Hemm,
aneh sekali. Ini merupakan kenyataan sebenarnya.
Daging ini kecuali gurih, lezat, juga menjadi wangi.”
“Hemm,” Sarwiyah hanya mengangguk, tetapi ra-
sanya sedih sekali, menyesali nasib dan derita hidup-
nya. Namun untuk tidak membuat Mahisa Singkir ke-
cewa, maka gadis ini menjawab juga, “Silakan Adi ma-
kan sampai kenyang. Berbeda sih, antara laki-laki dan
perempuan. Kalau laki-laki biasanya dapat makan ba-
nyak, sedangkan perempuan, aku biasa makan hanya
sedikit.”
“Aku khawatir apabila Mbakyu makan hanya sedi-
kit, badanmu akan menjadi kurus.”
Sarwiyah merasa geli dan berterima kasih kepada
pemuda ini yang memperhatikan dirinya. Jawabnya,
“Terima kasih, Adi, atas nasihatmu. Tetapi jika sudah
menjadi kebiasaan, perut akan menjadi sakit bila terla-
lu kenyang makan.”
Mahisa Singkir pun tersenyum. Ia sendiri menjadi
agak heran. Mengapa sekarang bertemu dengan Sar-
wiyah ini, ia demikian memperhatikan keadaan gadis
ini? Apakah hal ini terpengaruh oleh keadaan yang cu-
kup lama mereka berpisah?
Setelah mereka kenyang, akhirnya daging yang ma-
sih tersisa mereka bakar pula sampai matang, dengan
maksud dapat mereka pergunakan sarapan esok pagi.
“Mbakyu,” ujar Mahisa Singkir, “Mbakyu sekarang
mengasolah dalam goa, dan biarlah aku yang menjaga
di luar goa.”
“Ahh, kenapa harus engkau jaga segala? Hi hi hik...,
engkau membikin aku kikuk dan malu saja. Sepertinya
aku ini seorang puteri raja yang perlu kau kawal kese-
lamatannya.”
“Bukan demikian maksudku, Mbakyu. Goa ini tidak
begitu luas. Maka sebaiknya kau tidur di dalam dan
akulah yang tidur di luar.”
Alasan Mahisa Singkir memang tidak terbantah.
Goa ini memang tidak begitu luas. Disamping itu me-
mang tidaklah baik apabila seorang wanita muda ber-
sama seorang laki-laki muda pula, tidur dalam satu
ruangan seperti dalam goa ini.
“Terima kasih, Adi,” kata gadis ini kemudian. “Aku
sungguh beruntung sekali bertemu dengan kau.”
“Ahhh, Mbakyu, apakah sebabnya kau harus meng-
ucapkan terima kasih?” Mahisa Singkir menundukkan
mukanya agak malu. “Ini memang sudah sepantasnya
aku lakukan.”
Ketika itu Sarwiyah memang merasa tubuhnya su-
dah demikian letih dan ingin segera dapat mengaso.
Maka iapun melangkah masuk ke dalam goa. Untuk
beberapa saat ia mengatur dahulu rumput kering yang
sudah mereka persiapkan sejak sore untuk alas tidur.
Baru sesudah beres, ia merebahkan diri, dan terasalah
kemudian aliran darahnya lebih lancar menyalur ke
tubuh bagian atas. Ia tidak khawatir lagi kalau sampai
datang bahaya. Mahisa Singkir seorang pemuda yang
penuh tanggung jawab, jujur, dan kepandaiannya cu-
kup tinggi dan masih lebih tinggi atas dirinya.
Teringat akan cepatnya kemajuan yang terjadi atas
diri Mahisa Singkir ini, diam-diam Sarwiyah merasa
heran pula. Timbul pertanyaan dalam hatinya, bagai-
manakah cara guru tidak resmi Mahisa Singkir itu
mengajar dan mendidik? Padahal menurut pengakuan
Mahisa Singkir jarang dapat ketemu dengan guru yang
tidak mau disebut sebagai guru itu. Sebaliknya dirinya
yang selalu berkumpul dalam satu rumah dengan ka-
keknya, dan mendapat latihan dan bimbingan setiap
hari secara rajin, namun mengapa sebabnya dirinya
ketinggalan?
Namun karena dirinya lelah maka dalam waktu
singkat gadis ini sudah tidur pulas. Pernafasannya
terdengar demikian halus.
Memang tidak mengherankan apabila Sarwiyah ma-
lam ini dapat tidur pulas dan enak. Beberapa hari la-
manya ia tidak dapat tidur pulas setelah berpisah de-
ngan kakaknya, karena dirinya harus juga menjaga
keselamatan dirinya.
Malah kemarin malam dirinya justru menginap di
dalam hutan pula. Guna menjaga hal-hal yang tidak ia
harapkan, ia terpaksa harus tidur di atas dahan pohon
yang daunnya rindang. Tidur di atas pohon tentu saja
jauh berbeda dengan tiduran di tanah. Di atas pohon
harus berhati-hati dan tidak dapat bergerak bebas. Se-
lain itu karena hanya seorang diri, maka ia lebih ba-
nyak berjaga.
Berbeda dengan sekarang. Ia tidur dalam goa se-
hingga keadaannya jauh lebih hangat dibanding de-
ngan tidur di atas dahan pohon. Lagipula sekarang ada
orang yang menjaga keselamatannya, ialah Mahisa
Singkir. Oleh rasa kepercayaannya kepada Mahisa
Singkir ini maka ia dapat tidur dengan pulas, seperti
tidur dalam kamar yang harum dengan alas kasur
yang empuk.
Demikianlah kenyataannya di dunia ini, manusia
bisa merasakan sesuatu apabila belum tidur. Manusia
bisa merasakan dingin, tempat yang keras, maupun
perasaan lain yang tidak enak adalah pada saat me-
mulai tidur. Tetapi sebaliknya juga dapat merasakan
kenyamanan kamar tidur yang sejuk dan berbau ha-
rum, berdampingan dengan suami maupun isteri ter-
cinta. Masih dapat merasakan kebanggaannya memili-
ki rumah bagus maupun harta benda yang berlimpah
ruah.
Akan tetapi kenyataan semua itu akan segera le-
nyap berbareng dengan saat manusia tidur. Dalam ti-
dur ini manusia tidak lagi dapat membawa apa-apa.
Sekalipun isteri maupun suami yang tidur di samping
pun, tak bisa ia bawa dalam tidur itu.
Itulah sebabnya tidur disebut ibarat mati. Tidur se-
perti tidak berbeda dengan orang mati, karena tidak
dapat membawa apa-apa. Lebih lagi kemudian hari
apabila manusia ini benar-benar sudah mati, semakin
tidak dapat membawa apa-apa kecuali diri sendiri ha-
rus mempertanggung-jawabkan perbuatannya selama
hidup di dunia, di depan pengadilan Yang Maha Tinggi.
Mengingat semua itu, maka wajib bagi setiap manu-
sia ini, tidak hanya memikirkan kepentingan dunia, te-
tapi perlu juga memikirkan akhirat. Memikirkan kala-
mana pada waktunya pulang ke asal. Sebab di sana
setiap manusia harus mempertanggung-jawabkan per-
buatannya selama di dunia.
Untuk dapat memikirkan kepentingan nanti di akhi-
rat, harus memperbanyak perbuatan baik dalam ben-
tuk apapun. Karena hanya dengan perbuatan baik itu
saja, sudah merupakan amal saleh yang bisa dibawa
sebagai bekal manusia pada saat mati. Itulah sebabnya
manusia hidup di dunia ini ibarat hanya singgah mi-
num, tidak panjang. Berbeda di akhirat, adalah tidak
terhitung jumlah tahunnya.
Demikianlah, apabila Sarwiyah dapat tidur dengan
pulas, sebaliknya Mahisa Singkir yang berjaga di luar
goa, duduk sambil menyandarkan punggungnya pada
tepi mulut goa. Dengan tidur seperti ini, menyebabkan
dirinya tidak dapat tidur pulas. Dan dengan demikian
dirinya akan selalu dalam keadaan siap siaga sepan-
jang malam.
Api unggun di luar goa sudah padam. Untung sekali
malam itu bulan hampir penuh menghias angkasa
raya. Sehingga di luar goa terang-benderang dan di da-
lam goa pun tidak begitu gelap.
Pada saat ia sedang duduk sambil menyandarkan
punggung pada tepi mulut goa ini, tiba-tiba telinganya
yang terlatih mendengar suara merintih dari dalam
goa. Ia kaget dan memalingkan muka. Samar-samar ia
melihat Sarwiyah tidur telentang tidak bergerak. Na-
mun mengapakah sebabnya gadis ini merintih? Ia agak
keheranan ada apakah dengan gadis ini?
Sambil memasang telinganya, ia mengamati penuh
perhatian. Namun tiba-tiba pemuda ini menundukkan
kepala, kemudian ia merasa malu sendiri. Sebab de-
ngan melihat Sarwiyah yang tidur telentang seperti itu
dan melihat dadanya yang membusung, tiba-tiba saja
ia teringat pengalamannya siang tadi. Ketika ia tertu-
bruk kemudian berpelukan beberapa saat lamanya
menghindarkan agar Sarwiyah tidak sampai jatuh ter-
pelanting. Ternyata kemudian ia tahu baju bagian de-
pan koyak lebar, sehingga dirinya menyaksikan pan-
dangan baru bagi dirinya, melihat dada Sarwiyah.
Teringat itu lalu timbullah perasaan malu untuk
menghampiri gadis itu, guna membangunkannya.
Namun ternyata suara rintihan Sarwiyah tidak juga
berhenti. Akibatnya ia menjadi khawatir apabila gadis
ini menderita sakit, maka kemudian memaksa dirinya
untuk bangkit dan menghampiri. Sekalipun demikian
pemuda ini tidak berani menyentuh. Ia hanya me-
manggil dalam usaha membangunkan gadis itu.
“Mbakyu... Mbakyu Sarwiyah....”
Sarwiyah pun gadis yang sudah terlatih. Sekalipun
sedang tidur pulas, tetapi panca inderanya akan segera
bekerja menghadapi bahaya. Maka gadis ini segera pu-
la membuka mata, bangkit dan bertanya.
“Adi, apakah sebabnya kau membangunkan aku?”
“Maafkan aku yang sebenarnya tidak ingin meng-
ganggu dirimu. Tetapi aku tadi mendengar kau merin-
tih. Itulah sebabnya kau kubangunkan dan ada apa-
kah?”
“Ohhh... tetapi aku tidak apa-apa, kok.”
“Tidak sakit?”
“Aku sehat-sehat saja, kok.”
“Tetapi kenapa kau merintih?”
“Entahlah! Mungkin aku tadi ngelindur, hingga tan-
pa terasa mulutku mengeluarkan rintihan.”
“Syukurlah jika engkau sehat saja, Mbakyu. Kalau
sakit bilanglah terus terang. Mbakyu, perlunya aku
dapat mencarikan obat.”
“Terima kasih, Adi. Engkau baik sekali. Tetapi aku
tidak sakit, kok. Aku tadi tidur pulas. Hemm, marilah
sekarang kita bergantian. Engkau sekarang yang tidur
dan aku ganti berjaga.”
“Ahh, manakah mungkin? Aku tidak mengantuk.
Tidurlah engkau dan biarlah aku yang menjaga di luar
goa.”
Tanpa menunggu jawaban, Mahisa Singkir sudah
melangkah ke luar goa, lalu kembali duduk di tempat
semula. Pemuda ini menjadi khawatir juga apabila
Sarwiyah sampai memaksa diri untuk berjaga.
Sarwiyah mengamati kepergian Mahisa Singkir de-
ngan bibir tersenyum. Ia berterima kasih sekali, mem-
punyai adik seperguruan seperti Mahisa Singkir ini.
Disamping jujur, pandai menghargai orang lain, juga
pandai mengalah.
Akan tetapi Sarwiyah tidak segera tidur kembali.
Diam-diam ia merasa ngeri juga teringat impiannya ta-
di. Impian yang amat mengerikan, hingga Mahisa
Singkir sampai mendengar rintihannya.
Dalam tidurnya tadi ia merasa sudah bertemu de-
ngan Warigagung. Maka sulit ia lukiskan betapa baha-
gia hatinya dapat bertemu dengan pemuda yang ia ca-
ri.
Akan tetapi ternyata apa yang terjadi kemudian ber-
tentangan dengan harapannya. Sebab entah mengapa
sebabnya, tahu-tahu Warigagung malah meniup seru-
lingnya.
Mendadak muncullah beberapa ekor ular yang be-
sar-besar dan bergerak cepat menuju ke tempat Wari-
gagung dan dirinya berdiri. Ia terbelalak memandang
datangnya puluhan ekor ular itu. Dan di antara ular
yang datang itu, terdapat seekor ular yang besar tu-
buhnya sama dengan paha orang dewasa. Sedang pan-
jangnya, aduh... ia tidak sanggup melukiskan.
Pada saat itu ia takut melihat sejumlah ular ini, ti-
ba-tiba Warigagung melompat lalu menjauhi dirinya
sambil meniup seruling dengan irama tinggi. Ia ber-
maksud menyusul untuk melompat tetapi celaka! Diri-
nya sudah terkurung ratusan ular dengan mulut terus
berdesis.
Ia berteriak dan minta pertolongan Warigagung.
Namun ternyata pemuda yang menjadi tunangannya
itu hanya menertawakan saja dan tidak mau meno-
long. Karena ngeri dan guna menolong diri, ia menjadi
marah. Ia mencabut pedang kemudian mengamuk
membabati ular yang mengurungnya itu. Para ular itu-
pun menjadi marah dan berusaha melawan untuk
menggigit.
Tetapi pengaruh suara seruling Warigagung menye-
babkan ular-ular itu ganas dan tak takut mati. Ular-
ular itu terus menyerbu, dan sebelum ular yang me-
ngurung itu tersapu bersih, telah datang ular yang ba-
ru.
Ia berteriak-teriak memanggil Warigagung dan min-
ta pertolongan. Namun pemuda itu seperti tuli dan ti-
dak mendengar teriakannya. Maka dirinya terpaksa
mengamuk terus dengan pedang. Darah memercik ke
sana dan ke mari, dan banyak pula yang membasahi
pakaiannya. Bau darah ular itu amis sekali, makin la-
ma menyebabkan ia muak dan pening. Karena muak,
pening, dan ular itu masih terus berdatangan, ia men-
jadi roboh terguling, pingsan.
Ketika ia mendapatkan kesadarannya kembali, da-
lam mimpi yang mengerikan itu, ia mendapatkan di-
rinya sudah berdiri terikat pada sebatang tonggak
kayu. Dan yang amat membuat dirinya kaget setengah
mati adalah karena ia mendapatkan dirinya sudah da-
lam keadaan bugil seperti ketika dilahirkan. Ia menjerit
kaget, tetapi Warigagung yang berdiri tak jauh dari
tonggak malah ketawa terbahak-bahak tidak peduli.
Dan Warigagung tampak gembira sekali melihat diri-
nya polos seperti bayi, terikat pada tonggak.
“Heh heh heh heh, kenapa engkau kaget? Engkau
memang harus mendapat hukuman seperti ini!” ejek
Warigagung.
“Apakah salahku?!” jerit Sarwiyah dan air matanya
mulai menitik turun.
“Ha ha ha ha, engkau masih juga bertanya? Kesala-
hanmu sudah jelas. Huh, engkau perempuan yang tak
dapat aku percaya.”
“Apa... apa salahku?”
“Katakanlah terus terang. Siapakah pemuda yang
bersama kau itu?”
“Ohhh... kau terlalu terburu nafsu. Kakang... dia
adalah murid kakekku. Dia adik seperguruanku sendi-
ri, namanya Mahisa Singkir. Dia menyertai perjalanan-
ku mencari kau atas permintaanku. Agar selama da-
lam perjalanan tidak ada orang yang berani menggang-
gu. Kakang, sungguh mati dia seorang baik. Dia ber-
korban demi kepentinganku, maka seharusnya pula
kita mengucapkan terima kasih atas bantuannya.”
Warigagung terbelalak kaget, kemudian katanya,
“Aduh, maafkanlah aku. Mari sekarang aku lepas dari
ikatan ini.”
“Hai, jangan!” mendadak dalam mimpi buruk ini
muncullah guru Warigagung yang bernama Julung Pu-
jud. Kakek ini sudah menghadang sambil membentak.
“Warigagung, kau goblok! Dengan gampang engkau
dapat tertipu perempuan, huh. Tidak perlu berpanjang
mulut. Gadis ini sudah terbukti tidak setia. Sebagai
tunangan orang, berani bepergian dengan pemuda
lain.”
“Tetapi... Guru... dia berani bersumpah tidak mela-
kukan pelanggaran.”
“Huh, murid goblok! Sudahlah, pendeknya perem-
puan ini harus mendapat hukuman sesuai dengan ke-
salahannya. Wanita yang tidak setia ini harus mati se-
cara mengerikan. Hayo, segera perintahkan ular sebe-
sar paha itu, supaya mulai membelit tubuhnya dan
kemudian makan dagingnya.”
Dalam mimpinya itu, Sarwiyah masih dapat mem-
bela diri.
“Sungguh mati, Paman, pemuda itu adalah adik se-
perguruanku sendiri dan berkorban demi diriku mau-
pun Kakang Warigagung. Paman jangan sekejam ini
terhadap orang tidak bersalah....”
“Heh heh heh heh, siapa mau percaya kepada
omonganmu? Kau bersama dia melakukan perjalanan
berdua berbulan-bulan lamanya. Manakah mungkin
lelaki muda dengan gadis muda dapat menahan diri?”
Mendengar tuduhan Julung Pujud yang tanpa dasar
dan sewenang-wenang ini hatinya amat sakit berba-
reng marah sekali. Ia mencaci maki kalang kabut,
mencela Julung Pujud yang mengukur pribadi orang
lain dengan sepak terjangnya sendiri.
Warigagung juga berusaha mempengaruhi gurunya
agar mengurungkan niatnya menghukum dan mau
memberi maaf. Sebab ia dapat mempercayai ketera-
ngan Sarwiyah.
Namun sebaliknya Julung Pujud tetap pada pendiri-
annya, “Huh, tidak ada ampun bagi perempuan kotor
seperti ini. Belum juga menjadi istrimu sudah berkhia-
nat. Apalagi kalau sudah menjadi istrimu tentu lebih
jalang lagi. Lekas perintahkan ular itu untuk membelit
dan memakan dagingnya. Sedang pemuda jahat itupun
sudah aku hukum dan kulemparkan ke dalam jurang.”
“Ahhh... jangan...!” Sarwiyah memekik kaget sekali.
Tetapi celakanya pekikan ini malah membuat Ju-
lung Pujud semakin percaya tuduhannya benar. Ma-
nakah mungkin Sarwiyah menjerit kaget kalau tidak
mencintai pemuda itu? Padahal jeritan gadis ini karena
merasa kasihan kepada Mahisa Singkir. Pemuda itu
sudah mengorbankan diri, sudi menjadi kawan seper-
jalanan secara jujur, tidak mendapat pujian, sebalik-
nya malah harus mengalami nasib menyedihkan.
Itulah sebabnya Sarwiyah tadi dalam tidurnya me-
rintih ngeri. Mimpi yang amat buruk dan diam-diam
bulu kuduknya masih meremang. Karena gadis ini ma-
sih merasa takut dan ngeri ini, maka ia belum dapat
tidur kembali, tetapi menyandarkan punggungnya ke
dinding goa.
Dalam hatinya bertanya-tanya, disamping merasa
heran, mengapa dirinya harus mimpi buruk macam
ini? Apakah ini merupakan peringatan bagi dirinya, ti-
dak meneruskan perjalanan ini bersama Mahisa Sing-
kir?
“Tidak. Tidak mungkin!” bantah hatinya. “Mahisa
Singkir seorang pemuda yang sopan dan jujur. Me-
ngapa orang harus mencurigai secara membabi buta?
Tuduhan itu terlalu kotor. Tidak! Mahisa Singkir harus
tetap menjadi teman perjalananku mencari Wariga-
gung.”
Karena impian buruknya ini menyangkut Mahisa
singkir, maka ia tadi mengatakan tidak apa-apa. Hal
itu untuk menjaga agar Mahisa Singkir tidak kaget, la-
lu takut kepada bayangan impian buruk tadi.
Pendeknya, sekalipun merasa ngeri, ia takkan me-
ngurungkan perjalanan bersama Mahisa Singkir ini
dalam usaha mencari Warigagung. Dan sekalipun im-
pian buruk ini berpengaruh juga dalam hatinya, na-
mun ia tidak mau percaya demikian saja. Ia lebih per-
caya kepada Dewata Yang Agung dan orang yang tidak
bersalah pasti memperoleh pertolongannya.
Sarwiyah menghela napas panjang dalam usahanya
mengusir kenangan mengerikan dalam impian itu. Ia
mengamati ke luar goa. Dan ia melihat Mahisa Singkir
duduk dengan kaki diluruskan, sedang punggung ber-
sandar pada dinding goa. Ia tahu pemuda itu belum ti-
dur sekalipun tanpa suara.
“Sungguh terlalu apabila pemuda sopan dan baik
seperti Mahisa Singkir ini harus mendapat tuduhan
yang tidak-tidak!” jerit hatinya. “Lihat, dia tidak mau
tidur. Dia mengorbankan dirinya guna kepentingan
orang lain, guna kepentinganku. Dia seorang pemuda
yang penuh rasa tanggung jawab. Huh, tidak...! Tidak-
lah adil apabila pemuda sebaik ini, harus mendapat
tuduhan secara sewenang-wenang.”
Maka Sarwiyah berusaha mengusir kenangan dari
impian yang tidak menyenangkan itu. Setelah sekali
lagi menghela napas panjang, ia kembali merebahkan
dirinya di atas rumput kering. Sebab hanya dengan ti-
dur sajalah dirinya akan dapat melupakan impian
yang buruk tadi.
Pagi sudah tiba dan Sarwiyah agak geragapan keti-
ka bangun, karena sinar matahari cemerlang sudah
masuk ke dalam goa. Ketika ia bangkit duduk, ia meli-
hat Mahisa Singkir masih dalam sikapnya semalam,
kaki dan punggung menempel dinding mulut goa.
Melihat pemuda itu belum bergerak, ia tahu Mahisa
Singkir masih mengantuk. Akibatnya sekalipun pagi
sudah tiba, pemuda itu belum juga bangun.
Akan tetapi ia tidak ingin mengganggu Mahisa
Singkir. Ia tahu, keadaan pemuda itu yang masih
mengantuk. Maka ia mengambil sisir kemudian men-
yisir rambutnya yang tidak teratur. Setelah halus,
rambut itu kemudian disanggul agak tinggi. Ia akan
mandi. Untuk mencegah rambutnya menjadi basah,
maka sanggul itu harus tinggi. Setelah selesai, ia me-
langkah hati-hati lewat di dekat Mahisa Singkir yang
masih tidur.
Sesungguhnya hari masih pagi. Tetapi karena per-
bukitan Kendeng itu termasuk dataran rendah, maka
Sarwiyah sudah merasa gerah. Karena itu setelah tiba
di sumber air, dan melihat air telaga kecil ini jernih
dan agak dalam, timbullah keinginannya untuk mandi
dan sekaligus merendam diri agar tubuhnya menjadi
segar.
Mumpung masih pagi dan Mahisa Singkir masih ti-
dur. Apabila dirinya berenang-renang sambil meren-
dam tubuh, tidak perlu khawatir dirinya yang polos
sampai diketahui atau diintip orang.
Hanya agak sayang, ia tadi lupa membawa pakaian
pengganti. Namun untuk kembali lagi ke goa, rasanya
enggan. Maka biarlah sekarang mandi dulu, nanti toh
bisa ganti pakaian sesudah kembali ke goa.
Air yang jernih itu mendorong keinginan hatinya
untuk lekas berkecimpung dalam air. Maka sambil
menyembunyikan diri di balik batu, gadis ini mele-
paskan pakaiannya satu demi satu. Dan pakaian itu
supaya tidak sampai kabur, ia menumpuk menjadi sa-
tu lalu ia ikat dengan kain penutup dadanya. Lalu
dengan bibir tersenyum manis, gadis ini sudah mence-
burkan diri ke dalam air yang jernih dan sejuk itu. Dan
pengaruh air yang masuk lewat pori-pori kulitnya, da-
pat memberikan rasa segar dan nyaman.
Gadis ini demikian asyik merendam diri dalam air.
Menyebabkan gadis ini tidak melihat, munculnya
mahkluk yang amat aneh dan mendekati telaga. Ke-
mudian wut... pakaian Sarwiyah telah tersambar.
Akan tetapi apabila dalam keadaan seperti itu dan
gadis ini dapat melihat munculnya makhluk seaneh
itu, kemungkinan Sarwiyah malah menjerit ketakutan
dan bisa pingsan kemudian kelelap dalam air.
Makhluk aneh itu bentuknya bulat seperti bola yang
cukup besar. Tidak ada yang tahu, makhluk aneh ini
penghuni bumi ataukah penghuni luar bumi. Yang je-
las, makhluk ini seperti bola, tidak bermata, tidak
mempunyai mulut, tidak berkaki dan tidak bertangan
pula.
Kalau hanya kecil, tentunya mirip dengan telor. Te-
tapi yang aneh dan menyebabkan orang tentu ketaku-
tan, mengapa makhluk ini yang tampaknya tidak ber-
kaki itu, dapat meloncat-loncat gesit dan gerakannya
cepat sekali. Hingga bentuk tubuh yang bulat itu se-
perti bisa melenting sendiri seperti bola.
Yang lebih mengherankan lagi, walaupun makhluk
ini tidak mempunyai tangan, mengapa tiba-tiba dapat
menyambar pakaian Sarwiyah yang bertumpuk di tepi
telaga itu? Munculnya makhluk ini seperti kilat me-
nyambar dan lenyapnya pun sangat cepat dan pan-
dang mata sulit mengikuti.
Sungguh merupakan keajaiban yang tak mampu
terpikirkan oleh manusia di dunia ini, dan hanya De-
wata Yang Agung sajalah yang tahu. Sungguh aneh!
Untuk apakah makhluk aneh ini mencuri pakaian pe-
rempuan?
Oleh gerakan makhluk aneh yang cepat dan tidak
bersuara itulah maka Sarwiyah yang sedang asyik me-
rendam tubuh dan berkecimpung dalam air, tidak sa-
dar dan tidak tahu sama sekali pakaiannya sudah le-
nyap. Ia dengan bibir tersenyum-senyum gembira be-
renang-renang dan apabila berhenti kemudian ia
menggosok-gosok kulitnya yang halus lumar dan kun-
ing itu.
Setelah ia merasa cukup lama merendam tubuh da-
lam air yang jernih itu, dan ia mendapatkan kesegaran
tubuhnya, maka gadis ini menjadi puas. Ia kemudian
berenang kembali mendekat tempat ia tadi meletakkan
pakaiannya, untuk ia pakai kembali.
Akan tetapi tiba-tiba gadis ini terbelalak kaget. Tan-
pa ia ketahui sebabnya, pakaiannya sudah lenyap tan-
pa bekas. Sarwiyah celingukan ke sana dan ke mari.
Maksudnya mencari ke tempat lain barangkali ia tadi
lupa menempatkannya. Namun ternyata sekitar telaga
ini tidak terdapat apa-apa kecuali batu-batu hitam dan
rumput. Pakaiannya sudah lenyap tanpa ia ketahui
sebabnya.
Sarwiyah mengerutkan alis. Mendadak saja ia curi-
ga, tentu Mahisa Singkirlah yang sudah secara kurang
ajar mengambil pakaiannya.
Celaka! Pemuda yang ia sangka sebagai pemuda
baik hati itu ternyata berlawanan dengan kenyataan.
Celaka! Ternyata Mahisa Singkir pemuda mata keran-
jang. Pemuda cabul! Tentu pemuda itu sudah me-
nyembunyikan pakaiannya, dalam usahanya menekan
dirinya untuk minta sesuatu yang tidak senonoh.
“Huh, kubunuh kau, jika berani kurang ajar kepada
diriku. Huh, kalau aku tidak mampu melakukannya,
aku akan minta bantuan Mbakyu Sarindah atau Ka-
kang Warigagung!” desisnya geram.
Akan tetapi gadis ini segera ingat akan keadaannya.
Manakah mungkin dirinya dapat membalas sakit hati
dan membunuh pemuda itu, justru dirinya dalam kea-
daan seperti ini? Sekarang dirinya tanpa mengenakan
apa-apa.
Ingat keadaannya, tidak ada jalan lain kecuali ia
harus menahan rasa marah lalu berteriak memanggil
Mahisa Singkir. Harapannya pemuda itu dapat men-
dengar teriakannya dan cepat datang. Dan ia akan
minta pertolongannya, agar pemuda itu mau menolong
dirinya, mengambilkan pakaiannya di dalam goa.
“Adi Singkir! Mahisa Singkir! Hai... Mahisa Singkir,
datanglah kemari...! Datanglah ke telaga...!”
Sarwiyah berteriak nyaring sekali, karena jarak an-
tara goa dengan telaga itu walaupun dekat, ia tetap
khawatir apabila Mahisa Singkir masih lelap tidur dan
tidak mendengar. Atau Mahisa Singkir pura-pura tidak
mendengar dalam usaha menutupi perbuatannya yang
curang.
Apabila Sarwiyah tahu apa yang terjadi, kiranya
Sarwiyah tidak akan demikian saja menuduh Mahisa
Singkir. Sebab pemuda yang hampir semalam tidak ti-
dur itu masih lelap tidur dalam posisi duduk. Oleh ka-
rena itu manakah mungkin Mahisa Singkir dapat
mendengar panggilan Sarwiyah?
Akan tetapi segera terjadi keanehan lagi. Tiba-tiba
muncullah makhluk aneh yang seperti bola tadi, me-
loncat-loncat ringan sekali seperti bola dan bisa me-
lenting tanpa menimbulkan suara.
Pada saat makhluk aneh ini sedang mengapung
agak tinggi di udara, mendadak melesatlah sebutir
benda yang kecil dari si makhluk aneh itu, dan lang-
sung menyambar ke arah Mahisa Singkir. Untung se-
kali bahwa sambaran benda itu tidak mengenai secara
tepat dan hanya memukul tanah di dekat Mahisa
Singkir yang masih lelap tidur.
Sebagai pemuda yang sudah terlatih, tubuh pemu-
da itu mendadak melesat lebih sedepa jauhnya dan
terbangun. Kemudian ia melompat ke luar goa karena
Mahisa Singkir sadar dirinya telah diserang orang.
Akan tetapi celakanya, ia tidak melihat seseorang.
Tetapi ia tidak mau percaya demikian saja dan kemu-
dian ia menyelidik.
“Hemm, aneh!” desisnya ketika tidak melihat seseo-
rang, walaupun ia sudah menyelidik secara teliti.
Pada saat ia dalam keheranan berbareng penasaran
oleh serangan gelap ini, tiba-tiba telinganya menang-
kap suara panggilan Sarwiyah.
“Mahisa Singkir...! Kemarilah...! Datanglah ke tela-
ga...!”
Alis Mahisa Singkir berkerut. Tetapi kemudian de-
ngan gerakan gesit, ia sudah melompat dan kemudian
berlarian cepat menuju telaga. Mahisa Singkir amat
khawatir, dan ia menduga tentu gadis itu berhadapan
dengan bahaya, hingga perlu minta bantuannya.
Akan tetapi ketika dirinya tiba di tepi telaga, Mahisa
Singkir cepat menekap mulutnya yang hampir berseru
kaget, sedang matanya terbelalak tidak berkedip. Soal-
nya pada pagi hari ini Mahisa Singkir menyaksikan
pemandangan baru dan yang asing sama sekali. Ia se-
karang ini melihat seorang perempuan dewasa yang
sedang merendam tubuh dalam air tanpa memakai
apa-apa.
Dan celakanya lagi, sekalipun ketika itu Sarwiyah
merendam tubuh sampai bawah leher, namun Mahisa
Singkir dapat melihat secara jelas dan utuh, karena air
telaga itu jernih sekali tidak bedanya kaca. Dan semua
ini menyebabkan jantung pemuda ini berdegup keras,
justru ia seperti melihat perempuan bugil di depan
cermin.
Walaupun Sarwiyah sudah menyembunyikan tu-
buhnya dalam air, namun semuanya bisa nampak je-
las dari tempat Mahisa Singkir berdiri.
Masih untung bagi Sarwiyah, karena sambil meren-
dam tubuh itu, tangan kiri menjulur ke bawah menu-
tupi tengah paha, sedang tangan kanan bersilang di
depan dada.
Akhirnya Mahisa Singkir merasa malu sendiri, lalu
membalikkan tubuh sambil berteriak, “Mbakyu, apa-
kah maksudmu memanggil aku kemari? Mengapa se-
babnya engkau tidak cepat naik ke darat dan berpa-
kaian?”
Ucapan Mahisa Singkir ini nadanya menegur, hing-
ga hal ini malah menimbulkan dugaan jelek kepada
Mahisa Singkir. Akibatnya gadis ini tambah marah,
bentaknya, “Enak saja engkau bicara. Menyuruh aku
ke daratan dalam keadaan seperti ini? Dan kau... huh
huh... engkau melihat keadaanku seperti ini?”
Bentakan Sarwiyah ini mengagetkan Mahisa Sing-
kir. Akan tetapi sebagai seorang pemuda sopan, ia ti-
dak sudi menggunakan kesempatan dalam kesempi-
tan. Ia tidak mau membalikkan tubuh dan meman-
dang Sarwiyah. Pemuda ini tetap membelakangi Sar-
wiyah sambil bertanya, “Mbakyu, sebenarnya apakah
maksudmu? Aku tadi mendengar panggilanmu. Mana-
kah mungkin aku datang kemari, apabila aku tahu
kau sedang mandi seperti ini? Sudahlah, apabila eng-
kau tidak apa-apa, aku akan kembali ke goa dan sila-
Emoticon