“Hiaaaattt...!” lengking Sarindah yang sudah menerjang
maju menyabatkan pedangnya ke arah leher. Kemudian
diikuti oleh gerakan Sarwiyah yang menyerang bagian
Tetapi walanpun serangan dua orang gadis ini demikian
cepat, Dewi Sritanjung dapat bergerak lebih cepat lagi.
“Trang....!” kakak beradik ini kaget dan pucat. Secara
tidak terduga pedang mereka berbenturan lawan. Tadi
Sarindah hanya merasa, pedangnya disentil lawan dan ia
sudah berusaha menahan gerak tangannya namun tidak
juga berhasil, sehingga sabatannya yang luput malah
mengarah Sarwiyah dan ditangkis.
Celakanya dua orang gadis ini seperti tidak merasakan
lengannya bergetar. Mereka sudah kembali menerjang
dengan serangan maut. Pendeknya mereka harus dapat
membunuh gadis ini kalau tidak dapat menangkap.
Si Tangan Iblis terbelalak heran. Sungguh sulit dipercaya
dua orang cucunya itu mengeroyok, tidak juga dapat
mengalahkan lawan yang lebih muda dan hanya bertangan
kosong. Sungguh hal ini merupakan tamparan hebat bagi
dirinya, murid-muridnya belum pantas muncul di depan
umum dan membanggakan kepandaiannya.
Dari heran kakek ini menjadi penasaran dan jengkel.
Sebab, sulit diharapkan dua orang cucunya ini dapat
mengatasi gadis muda itu. Ia menjadi tidak telaten lagi
harus menunggu.
“Indah! Wiyah!” teriaknya. “Mundurlah. Biar kakekmu
yang menangkap bocah sombong itu!”
Perintah kakeknya ini diam-diam menyebabkan kakak
beradik ini tidak senang. Dada mereka sudah sesak, peluh
sudah membanjir rnembasahi tubuh seperti mandi, dan
tenaga mereka juga sudah hampir habis. Maka setelah
mereka menyerang berbareng dengan serangan berantai,
kemudian mereka melompat meninggalkan gelanggang.
Dan kedudukan mereka sekarang sudah diganti oleh kakek
itu.
“Bocah! Engkau jangan jual lagak dan sombong di
depanku!” hardiknya.
“Siapakah yang jual lagak dan sombong?” sahut gadis
ini tanpa gentar. “Aku tidak ingin bermusuhan dengan
siapapun. Tetapi engkau sendiri yang sudah memaksa
memusuhi aku.”
Sepasang mata Si Tangan Iblis mendelik mendengar
jawaban itu. Ia merasa tersinggung. Sebab memang
demikianlah kenyataannya, ia yang memaksa gadis ini
supaya menuntut untuk ditangkap. Namun sebagai
seorang kakek, tentu saja Si Tangan Iblis merasa malu
harus menghadapi gadis muda ini.
Karena itu Si Tangan Iblis berusaha menyabarkan diri
lalu berkata, “Bocah! Apabila engkau tidak mempunyai
hubungan dengan Gajah Mada, tentu aku tidak memusuhi.
Karena itu sebelum aku menggunakan kekerasan,
menyerahlah engkau, aku jadikan sandra.”
Sepasang mata gadis ini menyala. Jawabnya lantang,
“Apakah salahnva orang mempunyai hubungan dengan
Gajah Mada? Orang yang berani memusuhi beliau berarti
pemberontak?”
“Kurangajar kau!” bentak Sarindah lantang penuh
emosi, “Siapakah yang mau memberontak? Kami
memusuhi Gajah Mada karena dia jahat. Tahukah engkau
bahwa Gajah Mada berdosa kepada kami, karena sudah
membunuh orang tuaku?”
Mendengar bentakan Sarindah yang menyebutkan
Gajah Mada sudah membunuh orang tua Sarindah, tentu
saja Sritanjung terbelalak. Dirinya sendiri sejak kecil belum
pernah kenal siapa ayah bundanya. Ia amat merindukan
kasih sayang ayah dan ibu. Maka kalau benar orang tua
gadis ini sudah dibunuh Gajah Mada betapa menyesal dan
sedihnya. Dan kalau demikian, apakah Gajah Mada itu
jahat?
Namun dugaannya itu cepat bantah sendiri. Manakah
mungkin raja memilih orang jahat menjadi pembantunya
dan menguasai seluruh negeri? Bukankah ini hanya fitnah
saja? Teringatlah ia kemudian akan peristiwa yang baru
saja terjadi. Kalau setiap orang gampang saja memfitnah
orang lain, tentunya untuk memfitnah Mahapatih Gajah
Mada juga tidak sulit.
Berdasarkan apa yang tadi ia dengar, maka Dewi
Sritanjung mendelik marah. Dampratnya, “Engkau sendiri
yang kurangajar dan lancang mulut. Huh, mulutmupun
patut dihajar. Siapakah yang mau percaya omong
kosongmu itu? Tentu kau sudah memfitnah nama baik
Mahapatih Gajah Mada.”
Si Tangan Iblis tidak telaten lagi harus bertengkar mulut.
Maka sambil mendelik bentaknya, “Bocah! Menyerahlah
sebelum aku turun tangan.”
“Hemm,” Dewi Sritanjung mendengus dingin. “Aku tidak
bersalah, mengapa aku harus menyerah kau tangkap dan
harus menuruti kehendakmu?”
“Huh, engkau berani menentang perintah Si Tangan
Iblis?”
“Aku tidak menentang Tangan Gendruwo atau Kaki
Banaspati. Aku tidak menentang siapapun. Akan tetapi
sebaliknya aku tentu membela diri jika orang bermaksud
jahat kepadaku.”
“Heh... heh... heh... heh,” Si Tangan Iblis terkekeh saking
penasaran. “Lekas cabut pedangmu, yang kemudian
menyebabkan engkau menjadi sesombong ini?”
Akan tetapi Dewi Sritanjung selalu ingat akan pesan
kakeknya, tidak boleh sembrono menggunakan pedang
pusaka Tunggul Wulung apabila tidak terancam bahaya
benar-benar. “Huh untuk apa senjata? Tangan dan kakiku
masih cukup mampu menghadapi kau.”
Hampir meledak dada Si Tangan Iblis saking marah,
mendengar jawaban yang takabur ini. Sungguh sulit ia
percaya, gadis ini akan melawan dirinya dengan tangan
kosong.
Bocah! bentaknya sambil mendelik. “Engkau terlalu
sombong. Tetapi baiklah, lekas bersiap diri menghadapi
seranganku. Apabila engkau sanggup melawan aku sampai
lima belas jurus saja, engkau boleh pergi dan tak kuganggu
lagi.”
“Limabelas jurus? Apakah ucapanmu ini dapat aku
jadikan pegangan?”
“Kurangajar kau!” bentak Si Tangan Iblis menggeledek.
“Aku seorang tua. Sekali bicara takkan mungkin kucabut
kembali. Engkau akan aku bebaskan dan tidak kuganggu
lagi, apabila sanggup melawan aku sampai lima belas jurus
saja.”
Janji itu tentu saja amat menggembirakan Dewi
Sritanjung. Bagaimanapun pula ia merupakan orang baru
di dalam masyarakat. Kemenangannya yang dua kali
berturut-turut itu belum juga dapat dijadikan ukuran bahwa
dirinya sudah mampu menghadapi bahaya. Maka bagai-
manapun ia agak gentar juga menghadapi kakek ini.
Akan tetapi kakek ini sudah berjanji sendiri. Bukankah
apabila dirinya dalam lima belas jurus belum dapat ia
kalahkan, berarti dirinya bebas? Diam-diam ia berjanji
kepada dirinya sendiri akan berhati-hati. Sedikit banyak ia
sudah mengenal ilmu tatakelahi murid-muridnya. Maka
kiranya takkan begitu jauh perbedaannya dengan apa yang
akan dipergunakan oleh kakek itu.
Sama sekali tidak disadari oleh gadis ini, sekalipun
ilmunya serupa, tetapi digunakan oleh murid dan gurunya,
tentu berbeda jauh sekali. Ilmu tatakelahi di dunia ini,
sekalipun bermacam-macam gaya dan nama pada dasar-
nya memang hampir sama.
Meskipun demikian keampuhan ilmu bukanlah terletak
pada ilmu itu sendiri. Sebab kecerdasan pengalaman dan
latihan maupun hawa sakti dalam tubuh memegang
peranan menentukan dalam setiap perkelahian. Karena
dari setiap gerak serangan maupun tangkisannya, akan
mengundang tenaga tidak tampak, sesuai dengan tingkat
kemahiran orang itu sendiri.
Dan tanpa ragu sedikitpun, Dewi Sritanjung sudah
melesat ke depan. Ia langsung menyerang bagian atas
kakek itu. Terbelalak juga kakek ini melihat kecepatan
gerak gadis muda ini, sekalipun ia tadi sudah memperhati-
kan cukup lama. Sehingga diam-diam kakek ini sudah
dapat mengenal ilmu gadis ini sekalipun baru serba sedikit.
Si Tangan Iblis tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
Ketika tangan Dewi Sritanjung sudah hampir menyentuh
tubuhnya, barulah kakek ini mengebutkan tangan kiri
disusul gerakan tangan kanan yang seperti kilat cepatnya
menyambar pergelangan tangan gadis ini.
“Wut wut..... Aiihhh......!”
Si Tangan Iblis berseru tertahan sambil menarik kembali
tangannya lalu berjungkir balik ke samping.
Kalau saja Dewi Sritanjung tidak dapat bergerak segesit
burung walet tentu sekali gebrak sudah tertangkap dan
tidak dapat berkutik lagi. Ia tadi gembira melihat lawan
tidak bergerak. Tetapi ketika tangan kakek itu mengebut ia
menjadi kaget. Dadanya seperti tertindih oleh batu sebesar
gajah disamping pula menyambar hawa panas sekali,
hingga dirinya sesak napas. Belum juga hilang rasa
kagetnya, tangannya sudah hampir tertangkap si kakek.
Saking gugupnya ia sudah membanting diri ke samping lalu
berjungkir balik.
“Heh... heh... heh... heh... heh,” Si Tangan Iblis terkekeh.
“Hanya seperti itu kepandaianmu sudah berani jual lagak
dan sombong di depan Si Tangan Iblis.”
Dewi Sritanjung mendelik marah, tetapi tidak membuka
mulut. Apa yang baru saja terjadi menyebabkan gadis ini
sadar dan tidak boleh sembrono lagi. Sambaran tangan
yang menyebabkan dadanya seperti tertindih batu,
membuktikan kakek ini seorang tokoh sakti. Dan walaupun
sambaran tangannya jauh kalah kuat dibanding dengan
gurunya, namun bagi dirinya merupakan ancaman bahaya
pula.
Sambil menguatkan hati gadis ini sudah kembali
melesat ke depan melakukan serangan lagi. Tetapi sambil
menyerang ini ia sudah waspada. Ia harus menggunakan
kecepatan gerakannya. Dan sebagai seorang gadis yang
tidak tolol, ia tahu bahwa dalam melayani kakek ini tidak
perlu bernafsu untuk mengalahkan. Yang penting asal
dirinya dapat menjaga diri tidak roboh oleh lawan dalam
waktu lima belas jurus. Apabila dirinya dapat melayani
sampai lima belas jurus sesuai dengan perjanjian, dirinya
bebas. Dan ia percaya apabila dia menggunakan
kecepatannya bergerak, kiranya akan dapat bertahan lebih
dari lima belas jurus.
“Wut! Wut.!” Sambaran tangan kakek itu berusaha
menangkap lengan Dewi Sritanjung lagi. Kemudian ketika
tangannya bergerak mendorong, sambaran anginnya
mengenai tempat kosong. Si Tangan Iblis keheranan ketika
lawannya lenyap dari depan matanya. Tetapi tiba-tiba ia
merasakan angin pukulan menyambar dari belakang.
Tanpa memutarkan tubuhnya, ia membalikkan tangannya
ke belakang punggung untuk menangkis.
“Plak.... Aihhh.....!”
Gadis ini kaget sekali ketika merasakan lengannya
tergetar hebat sekali, ketika pukulannya bertemu dengan
langan lawan. Guna mematahkan tenaga lawan ia sudah
berjungkir balik beberapa kali, kemudian gadis ini sudah
berdiri tegak lagi dan siap siaga.
Si Tangan Iblis terbelalak tangkisannya tidak menyebab-
kan gadis ini roboh. Anak setankah bocah ini? Kakek ini
hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri.
Apakah tubuh bocah ini kerasnya melebihi batu?
Dari heran kakek ini menjadi marah. Tiba-tiba Si Tangan
Iblis menggeram lalu tubuhnya melesat ke depan
menyerang. Sepuluh jari tangannya dikembangkan. Kuku-
nya yang panjang dan runcing membentuk cengkeraman
dan sulit dibayangkan akibatnya apabila tercengkeram.
Sedikitnya kulit akan robek dan sebagian dagingnya akan
terpisah dari tubuh.
Akan tetapi Dewi Sritanjung tidak gentar dan ia percaya
kegesitannya bergerak. Dan dalam pada itu, pengalaman-
nya berbenturan tangan tadi hanya menyebabkan lengan-
nya kesemutan, menyebabkan gadis ini menjadi mantap
dan besar hati. Membuktikan bahwa tangannya cukup kuat
menghadapi lawan tua ini, sekalipun dalam hal tenaga
sakti masih jauh ketinggalan.
Perkelahian antara gadis muda dengan kakek ini be-
rlangsung cepat. Angin pukulan Si Tangan Iblis menyambar-
nyambar, tetapi dengan kecepatannya bergerak, Dewi
Sritanjung dapat menghindarkan diri, sehingga pukulan
kakek itu tidak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Dan
saking cepatnya bergerak lenyaplah bayangan tubuh gadis
ini dan yang tampak tinggal segulung warna biru muda
yang bekelebat ke sana dan kemari.
Dalam waktu singkat lima jurus sudah dilewati. Pukulan
Si Tangan Iblis tidak juga berhasil menyebabkan gadis ini
roboh. Hal ini di samping menyebabkan Si Tangan Iblis
keheranan juga menimbulkan penasaran. Akibatnya kakek
ini menjadi lupa kedudukannya sebagai orang tua. Ia terus
menghujani serangan berbahaya, sehingga angin yang kuat
semakin melanda dalam gelanggang.
Sarindah dan Sarwiyah yang menonton terbelalak. Mata
dua gadis ini tidak berkedip dan hatinya tegang. Pantas
saja mereka tadi mengeroyok dan menggunakan pedang,
tidak juga berhasil mengalahkan gadis yang bertangan
kosong itu, terbuktilah sekarang gadis yang lebih muda itu
bukan gadis sembarangan.
Memperoleh bukti bahwa kepandaian mereka berdua
masih di bawah gadis baju biru muda itu, berkuranglah
rasa malu dan penasaran mereka. Mereka berdiri tanpa
bergerak dan perhatian mereka tercurah di gelanggang.
Mereka berharap agar kakek mereka cepat dapat
mengalahkan dan menangkap gadis itu, sehingga
kemudian dapat menghina gadis itu.
Saking asyik memperhatikan perkelahian yang berl-
angsung sengit itu. Sarindah maupun Sarwiyah menjadi
lengah. Mereka menjadi lupa kepada Sangkan dan Kaligis.
Dua orang pemuda itu menggunakan kesempatan disaat
orang lengah, diam-diam dan dengan gerakan hati-hati
sudah pergi meninggalkan tempat itu.
Sarwiyah teringat kepada Sangkan dan Kaligis sudah
terlambat.
“Celaka! Dua bangsat itu sudah minggat!” ujarnya.
Sarindah kaget dan cepat memandang ke arah Sangkan
dan Kaligis tadi duduk. Dua orang gadis ini kemudian me-
lompat hampir berbareng, lalu berlarian mengejar ke arah
barat. Tetapi betapa kecewa dua gadis ini, setelah mencari
ke sana dan kemari, dua pemuda itu tidak tampak lagi
batang hidung dan bayangannya. Maka pada akhirnya
dengan hati masygul, dua gadis ini kembali lagi ke tempat
perkelahian.
Ketika itu sepuluh jurus sudah lewat. Perkelahian cepat
sekali dan angin yang kuat menyambar sekitarnya.
Sarindah berteriak kepada kakeknya, “Kek, celaka!
Sangkan dan Kaligis melarikan diri!”
Si Tangan Iblis tidak menyahut. Tetapi rasa marahnva
semakin menjadi-jadi kepada gadis muda yang ulet ini.
Karena gara-gara bocah inilah dua orang muridnya yang
sudah tertangkap dan tinggal memberi hukuman, sekarang
dapat melarikan diri.
Memang semula kakek ini berkeyakinan, dalam dua
gebrakan saja bocah ini tentu dapat ia kalahkan. Namun
ternyata sekarang, sepuluh jurus sudah lewat, harapannya
belum terwujud.
Gadis ini ternyata masih dapat memberi perlawanan
baik sekali dan gerak cepatnya tidak juga berkurang,
sekalipun ia sudah berusaha menekan lawan muda ini
dengan kebutan dan dorongan bertenaga. Seakan
pengaruh tenaganya begitu saja lenyap dan gadis ini masih
tetap segar serta kecepatannva geraknya juga tidak
berkurang.
Maka kakek ini berapi-api sambil terus bergerak dalam
usahanya mengalahkan gadis ini. Maka timbullah niatnya
sekarang untuk mengerahkan tenaga saktinya agar dapat
membuat gadis ini tidak berkutik lagi. Maka sambaran
kebutan dan pukulannya makin bertambah kuat dan angin
yang dahsyat menyambar-nyambar.
Dewi Sritanjung kaget juga merasakan sambaran
pukulan lawan terasa semakin kuat dan menyebabkan
dada sesak. Akan tetapi Dewi Sritanjung terus berusaha
mempertahankan diri dan berusaha pula menahan
pengaruh tenaga lawan yang menekan itu. Celakanya
sekalipun sudah berusaha keras untuk bertahan, tidak
urung gadis ini terengah-engah disamping peluh mulai
membasahi sekujur tubuh.
Tiba-tiba Dewi Sritanjung berseru nyaring, “Sudah lima
belas jurus!”
Sambil berkata gadis ini sudah melompat jauh dan
menghindarkan diri dari pukulan kakek itu. Lalu
sambungnya, “Sekarang aku mau pergi dan jangan ganggu
aku lagi.”
“Berhenti!” teriak Si Tangan Iblis menggeledek.
Pengaruhnya kuat sekali sehingga Dewi Sritanjung yang
lari, berhenti dan membalikkan tubuh.
“Ada apa lagi? Bukankah kau sendiri sudah berjanji
takkan mengganggu lagi?”
“Huh huh, enak saja engkau bicara!” bentak Si Tangan
Iblis. “Janji itu sudah aku cabut! Jika engkau tetap keras
kepala, jangan sesalkan aku kalau aku menggunakan
tangan maut.”
Sepasang mata gadis ini merah menyala. Kakek itu
sendiri yang sudah berjanji, tetapi mengapa tiba-tiba di-
cabut sendiri tanpa malu sedikitpun?
Akan tetapi Si Tangan Iblis tidak memberi kesempatan
kepada gadis ini membuka mulut. Kakek ini sudah
menerjang maju dengan gerakan menubruk dan men-
cengkeram.
Diam-diam Dewi Sritanjung amat khawatir, dan ia sadar
sekali ini harus hati-hati di samping tidak mungkin dirinya
harus bertahan hanya dengan kosong. Tadi ia memang ber-
harap agar dapat bertahan dalam lima belas jurus dan
dirinya bisa bebas. Maka yang penting asal dirinya dapat
bertahan selama lima belas jurus itu sudah cukup.
Sebaliknya sekarang terus bertahan akibatnya hanya
bakal merugikan diri sendiri, karena perkelahian tanpa
batas dan tanpa dapat membalas, dirinya sendiri yang
akan kehabisan tenaga.
Merasa dirinya tak mungkin dapat bertahan lagi ini,
maka tiba-tiba sring....
Seleret sinar biru menyambar ketika pedang pusaka
“Tunggul Wulung" yang ia sembunyikan di dalam baju itu ia
cabut dari sarungnya. Katanya dingin, “Hemm, engkau
terlalu memaksa aku. Siapa takut?”
Si Tangan Iblis terbelalak melihat pedang yang
mengeluarkan sinar biru itu. Sebagai seorang tokoh yang
sudah luas pengalaman sekali pandang sudah dapat mem-
bedakan mana pedang baik dan mana pedang tidak baik.
“Pedang bagus! Serahkan padaku!” teriak kakek ini yang
amat ingin.
Sarindah dan Sarwiyah pun melihat sebatang pedang
yang mengeluarkan sinar biru itu. Maka dua gadis inipun
menjadi ngiler dan ingin sekali memiliki. Karena pedang
pusaka tentu akan banyak kegunaannya.
“Kek, rampaslah pedang itu dan berikan padaku.” teriak
Sarindah yaug menjadi tidak sabar, begitu melihat pedang
pusaka bagus itu.
Dewi Sritanjung tersenyum dingin. Gadis ini tidak gentar
sedikitpun, walaupun berhadapan dengan maut. Sahutnya,
“Hemm, senjata bagi seorang gagah sama harganya
dengan nyawa. Engkau dapat memiliki pedang pusaka
Tunggul Wulung ini, setelah dapat melangkahi mayatku!”
“Bagus! Apakah sulitnya membunuh kau?!” Si Tangan
Iblis merendahkan.
“Makanlah!” bentak Sritanjung sambil menerjang ke
depan. Seleret sinar biru yang panjang menyambar ke
depan. Kemudian sudah berubah menjadi gulungan sinar
yang tidak pemah putus, membentuk lingkaran besar dan
kecil, cepat sekali menyambar di sekitar tubuh Si Tangan
Iblis.
Si Tangan Iblis kaget juga menghadapi sambaran sinar
pedang yang cepat dan berbahaya itu, disamping sulit
diduga arah serangannya. Si Tangan Iblis sadar pedang
pusaka seperti itu tajam luar biasa. Maka dirinya tidak
boleh sembrono menghadapinya.
Karena itu ia tidak berani menggunakan jari tangannya
untuk menyentil, karena takut meleset dan jari tangannya
bisa menjadi korban. Maka terpaksa dalam usaha meng-
halau pedang gadis ini, ia menggunakan telapak tangan
mengebut sambil mencari kesempatan untuk menerkam
pergelangan tangan lawan untuk merebut pedang.
Akan tetapi gerakan pedang Dewi Sritanjung cepat
bukan main. Lingkaran-lingkaran pedangnya yang ber-
bentuk kecil dan besar itu ternyata mengandung tenaga
tersembunyi. Ketika tangan kakek itu memberanikan diri
masuk dalam lingkaran sinar pedang, kakek itu berteriak
“Aihhhh.....!”
Secepat kilat Si Tangan Iblis menarik kembali tangan-
nya, namun sayang, terlambat. Bret, lengan bajunya robek
oleh tajamnya pedang.
Si Tangan Iblis marah bukan main. Ia terkenal dengan
julukan Si Tangan Iblis bukan saja tangannya ganas
menghadapi lawan, tetapi juga karena kecepatan gerak
tangannya. Saking cepat gerak tangan kakek ini maka
orang memberi julukan Si Tangan Iblis.
Namun sekarang ternyata gerak cepat tangannya
ketanggor dengan seorang bocah perempuan saja.
Sekarang lengan bajunya sudah robek oleh pedang dan
tentu saja kakek ini merasa terhina.
Tiba-tiba Si Tangan Iblis melompat mundur. Lalu
terdengar suara menggeram dalam tenggorokkan kakek ini
seperti geraman seekor harimau marah. Belum juga lenyap
suara geraham marah itu, tiba-tiba Si Tangan Iblis meng-
gosokkan telapak tangan kiri ke telapak tangan kanan.
Sarindah dan Sarwiyah merasa heran, mengapa kakek
mereka menggosokkan telapak tangan, hanya menghadapi
gadis itu saja? Sebab dua gadis ini tahu belaka, kakeknya
sekarang ini sudah akan menggunakan Aji Mega Langking.
Padahal biasanya kakek mereka ini menggunakan aji
tersebut tidak akan sembarangan.
Akan tetapi Dewi Sri Tanjung yang merasa besar hatinya
setelah dapat merobek baju lawan, sama sekali tidak
takut.
Di luar tahu gadis ini, Aji Mega Langking amat ber-
bahaya. Sebab uap hitam yang keluar dari telapak tangan
kakek itu mengandung racun dan hawa panas yang dapat
membunuh lawan.
***
4
iaaattt.....!” Untuk menambah semangatnya Dewi
Sritanjung mengelebatkan pedang pusakanya
menusuk ke arah mata dan leher sambil berteriak
nyaring.
Akan tetapi betapa kaget gadis ini, ketika tiba-tiba
melihat keluarnya asap hitam dari telapak tangan lawan,
lalu menyambar ke arah dirinya, ketika telapak tangan
kakek dikebutkan. Hawa yang panas segera menyambar
mukanya dan gadis ini kaget serta melompat mundur,
menarik pedangnya sambil berjungkir balik.
Pada saat ia sedang memunahkan tenaga dorongan
lawan dan pengaruh hawa panas tadi, mendadak ia
mendengar suara yang amat mengejutkan.
“Darrr.....!” Suara benturan tenaga amat hebat, meng-
gelegar bagai guntur.
Baru saja ia berdiri tegak, sudah terdengar suara halus
masuk telinganya,” Tanjung.... ahh, tak kusangka aku
dapat bertemu kau di sini......”
Ketika ia menoleh, serunya, “Ohh.... kau..... Surya
Lelana? Aduhhh.....megapa engkau berada di sini.....?”
“Marilah kita mundur. Guruku sekarang sudah menolong
kau dari maut!” Surya Lelana mengajak dengan halus
sambil menarik lengan gadis ini.
Dewi Sritanjung menurut. Hatinya tiba-tiba saja merasa
besar dan gembira sekali, dapat bertemu dengan pemuda
yang sudah ia kenal baik. Akan tetapi ketika teringat
tingkah laku Surya Lelana waktu itu, tiba-tiba saja ia
mengibaskan tangannya dan wajahnya berubah merah
agak malu. Untuk menutupi perasaannya ia cepat meng-
amati ke gelanggang.
Ternyata kakek ganas lawannya tadi sekarang sudah
berkelahi sengit melawan seorang laki-laki setengah umur,
H
bertubuh tegap, dan pakaiannya seperti petani. Per-
kelahian itu berlangsung cepat dan sengit. Angin pukulan
menyambar asap hitam sedangkan dari telapak tangan
guru Surya Lelana menyamhar asap wama putih.
“Surya,” ujar Dewi Sritanjung tanpa memaling-an muka.
“Engkau tadi bilang, dia gurumu. Apakah dia..... Mpu Mada
atau Mahapatih Gajah Mada?
“Siapa lagi guruku kalau bukan beliau?” sahut Surya
Lelana sambil tersenyum. “Guru menolong engkau pada
saat tepat. Pada saat dirimu dalam ancaman bahaya.”
“Oh.....kalau demikian.....”
“Aku dan guru sudah lama hadir, sejak engkau masih
bersembunyi di belakang batu.”
”Ohh ...jadi kau sudah mendengar seluruhnya?”
“Benar! Tetapi Guru masih cukup sabar menunggu
kesempatan yang tepat. Maka setelah engkau terancam
oleh bahaya itu, Guru muncul dan menangkis pukulan
kakek itu.”
“Darr….!” Tiba-tiba terdengar lagi benturan nyaring. Si
Tangan Iblis terhuyung mundur lebih tujuh langkah ke
belakang, sedang Mpu Mada juga terhuyung ke belakang
tetapi hanya dua langkah saja.
Si Tangan Iblis mendelik dan dadanya berombak.
Bentaknya, “Siapa kau! Mengapa sebabnya engkau
mencampuri urusanku?”
“Hemm. Taruno! Engkau lupa kepadaku?”
Si Tangan Iblis mengamati lawannya penuh selidik. Akan
tetapi kakek ini tidak juga dapat mengenal kembali,
siapakah laki-laki di depannya sekarang ini.
“Siapa kau?” bentaknya lagi.
“Taruno! Belum lama, engkau tadi sudah menyebut
namaku. Mengapa engkau sudah lupa lagi? Engkau sudah
memfitnah aku, menyebar bisa kepada cucu-cucumu,
bahwa akulah yang sudah menghancurkan keluargamu.
Kapankah itu terjadi?”
“Kau.... kaukah Mpu Mada yang sekarang menjadi
Mahapatih Majapahit itu?”
Si Tangan Iblis terbelakak tidak percaya. Sebab kalau
benar orang yang di depannya sekarang ini Gajah Mada,
mengapa pakaiannya sederhana, dari kain kasar, seperti
layaknya pakaian para petani?
Memang sudah menjadi kebiasaan Mahapatih Gajah
Mada, suka sekali meluangkan waktu masuk dan keluar
desa, guna mengetahui keadaan dan kehidupan para
kawula Majapahit. Maksudnya agar dirinya mendapat
bahan-bahan laporan maupun masukan yang berguna bagi
usahanya memajukan dan memakmurkan Kerajaan
Majapahit.
Dalam perjalanan keluar dan masuk desa ini ia melepas
pakaian kebesarannya, mengganti dengan pakaian seperti
layaknya petani. Dengan demikian Gajah Mada akan dapat
berbicara dari hati ke hati dengan para kawula kecil. Ia bisa
mendengar keluhan atau kekesalan hati mereka, uneg-
unegnya, akibat kebutuhan kawula belum tercukupi oleh
pemerintah.
Gajah Mada meninggalkan Ibukota Majapahit semenjak
sepekan lalu. Ia hanya disertai muridnya, Surya Lelana,
sekaligus untuk melatih pemuda ini agar pandai mengenal
kebutuhan para kawula.
Secara kebetulan saja Gajah Mada dan Surya Lelana
lewat di hutan ini. Surya Lelana kaget ketika mengenal
Dewi Sritanjung yang bersembunyi di belakang batu, dan
hampir saja pemuda ini melompat dan mendapatkan Dewi
Sritanjung, gadis sederhana yang kuasa memikat hatinya
itu.
Akan tetapi Gajah Mada yang selalu waspada cepat
mencegah, “Surya. Mau ke mana?”
“Bapa, gadis itu.....gadis berbaju biru di belakang batu
itu, adalah murid Uwa Guru Tunjung Biru. Murid ingin sekali
datang menemuinya,” dalih Surya Lelana.
Dengan bijaksana Mpu Mada berkata, “Surya! Biarkan-
lah dahulu, dan jangan kau ganggu. Agaknya dia sedang
memperhatikan mereka berkelahi itu dan tentunya mem-
punyai kepentingan pula. Tetapi apabila ternyata dia ter-
ancam bahaya, barulah kita muncul dan menolong.
Sekarang duduk dan tenanglah. Dan mari kita melihat per-
kelahian itu.
“Tetapi Bapa, Dewi Sritanjung tidak pernah meninggal-
kan tempat tinggal Uwa Guru. Mengapa tiba-tiba dia
sekarang di hutan ini? Murid menjadi khawatir apabila
telah terjadi apa-apa atas diri Uwa Guru.”
Surya Lelana berdalih menggunakan kekhawatirannya
terhadap Kiageng Tunjung Biru. Tetapi maksud yang
sebenarnya agar dirinya bisa diberi izin bertemu dengan
gadis itu.
Namun Mpu Mada seorang sabar yang luas pandangan.
Katanya halus, “Surya, sabarkan hatimu. Kalau benar telah
terjadi apa-apa atas diri Kakang Tunjung Biru belum
terlambat kita bertindak.”
Demikianlah yang sudah terjadi. Kalau Dewi Sritanjung
mengintip perkelahian yang terjadi antara Sarindah
melawan Kaligis dan Sangkan, di tempat lain terdapat pula
orang yang mengintip.
Munculnya Si Tangan Iblis dan Sarwiyah tadi segera
mengubah keadaan. Namun kemudian hati pemuda ini
semakin tegang, ketika Dewi Sritanjung harus muncul
karena kehadirannya diketahui oleh Si Tangan Iblis.
Lalu betapa bangga hati Mpu Mada maupun Surya
Lelana ketika mendengar ucapan Dewi yang tanpa gentar,
membantah tuduhan Si Tangan Iblis. Dan malah tanpa
ragu lagi gadis itu sudah menganggap Si Tangan Iblis
sebagai pemberontak. Rasa bangga ini kemudian ber-
kembang menjadi kagum dan memuji, ketika Dewi
Sritanjung tanpa gentar sedikitpun melawan keroyokan
Sarindah maupun Sarwiyah. Namun rasa kagum itu
kemudian berubah menjadi berdebar tegang, ketika Dewi
Sritanjung berani menghadapi Si Tangan Iblis.
Ternyata kemudian Dewi Sritanjung memang tidak
mengecewakan. Gerakannya gesit, sehingga serangan
lawan selalu luput. Kalau saja Si Tangan Iblis tidak meng-
gunakan Aji Mega Lengking yang mengeluarkan asap hitarn
dari telapak tangannya, agaknya Mpu Mada belum juga
mau keluar dan menolong.
Demikianlah yang terjadi, mengapa tiba-tiba Mpu Mada
dan Surya Lelana muncul di hutan ini. Dan sekarang Si
Tangan Iblis berhadapan langsung dengan musuh be-
buyutannya.
Sepasang mala Si Tangan Iblis menyala. Bentaknya,
“Mpu Mada! Siapakah yang menyebar bisa? Apakah
engkau sudah menjadi pengecut, ingkar akan apa yang
sudah engkau lakukan sendiri, membunuh anakku
Karimun?”
“Hemm,” Mpu Mada mendengus dingin. “Sesungguhnya
aku tidak ingin bicara masalah yang sudah amat lama
berlalu itu. Akan tetapi karena engkau sendiri yang
mengungkit-ungkit, biarlah sekarang semua tahu dan
terbuka matanya.”
Mpu Mada berhenti dan menatap tajam Si Tangan Iblis.
Lalu, “Apakah engkau lupa ketika itu, anakmu Kebo
Karimun bersama aku sebagai Bekel Bhayangkara,
mengawal keselamatan Raja Jayanegara yang meninggal-
kan Ibukota Majapahit secara diam-diam? Akan tetapi
setelah tiba di Bedander, anakmu Karimun minta diri untuk
pulang.”
“Tetapi apakah sebabnya kau bunuh begitu saja?”
hardik Si Tangan Iblis. “Dan salahkah kalau anakku minta
diri untuk pulang menjenguk keluarganya?”
“Heh heh heh heh,” Mpu Mada terkekeh. “Orang lain
dapat kautipu dan dapat kaukelabui, tetapi aku tidak
mungkin! Kebo Karimun, anakmu laki-laki itu, diam-diam
sudah merupakan sekutumu, dan juga sekutu Kuti itu,
jelas bermaksud membocorkan tempat persembunyian
Raja yang aku selamatkan dan kulindungi. Engkau sebagai
pembantu Kuti, bersekongkol dengan anakmu, agar dapat
menangkap dan menawan Raja. Bukankah ini benar?”
Mpu Mada berhenti sambil memandang Si Tangan Iblis
penuh selidik. Dan sejenak kemudian ia baru meneruskan,
“Hai Taruna! Katakan terus terang bukankah sudah tepat
apabila petugas yang berkhianat harus dibunuh mati?”
Mpu Mada berhenti lagi mengambil napas. Sejenak ia
meneruskan. “Sekarang jawablah pertanyaanku. Apakah
maksudmu memfitnah aku sebagai pembunuh isteri Kebo
Karimun dan ibu dari cucumu itu? Padahal, bukankah
perempuan itu mati oleh tanganmu sendiri yang ber-
lumuran darah?”
Mendengar kata-kata Mpu mada ini, betapa kaget
Sarindah maupun Sarwiyah. Benarkah kakeknya sendiri
yang sudah membunuh ibunya? Tetapi mengapa sebabnya
kakeknya ingkar dan melemparkan tuduhan itu kepada
orang lain?
Namun sebagai cucu, mereka tidak lekas mau percaya.
Sebab, sulit dipercaya seorang mertua sampai hati mem-
bunuh menantunya sendiri padahal masih mempunyai
anak yang kecil-kecil.
Akan tetapi kemudian betapa heran kakak-beradik ini
ketika mendengar bentakan kakeknya yang tidak memberi
penjelasan, dan mereka menjadi kecewa bukan main.
“Keparat engkau. Gajah Mada. Pendeknya, semua
peristiwa, engkaulah yang menjadi penyebabnya.”
“Heh... heh... heh... heh, apakah sebabnya engkau tidak
menjawab pertanyaanku? Taruno! Siapakah pembunuh
perempuan yang menjadi ibu dari cucu-cucumu?!”
Si Tangan Iblis sudah menggeram dan menerjang maju
tanpa mau melayani pertanyaan maupun beradu mulut
lagi. Sebab kakek ini khawatir apabila beradu tajamnya
lidah tidak urung semuanya akan terbongkar rahasianya.
Melihat kakeknya tidak dapat menjawab pertanyaan
Mpu Mada ini, sulit dilukiskan betapa penasaran perasaan
dua gadis ini. Sebab kalau benar pembunuh ibunya malah
kakeknya sendiri, jeias selama ini mereka dijejali dengan
kebohongan. Yang semua itu disengaja oleh kakeknya
sendiri dalam usahanya menutup rahasia dirinya. Dan
betapa kecewa Sarindah maupun Sarwiyah, merasa ditipu
mentah-mentah oleh kakeknya sendiri ini.
Sarindah yang berangasan tak kuasa lagi menahan
perasaan. Ia sudah menjerit nyaring lalu melompat dan lari
sambil menangis. Sarwiyah kaget dan cepat memburu
sambil berteriak. “Mbakyu, mau ke mana kau?”
Sarindah tidak peduli dan terus lari.
Surya Lelana sudah menggerakkan tubuh untuk
mengejar dua gadis itu. Tetapi Dewi Sritanjung menahan,
“Mau ke mana?”
“Akan kutangkap gadis itu!”
“Biarkan mereka pergi. Kasihan gadis itu, hatinya tentu
terpukul setelah mendengar keterangan yang sebenamva
tentang keluarganya. Hemm, mereka sudah yatim piatu.
Dengan demikian, aku masih bernasib lebih baik dari
mereka. Sekalipun sampai sekarang aku belum pemah
berhadapan dengan ayah-bundaku, tetapi tidak lama lagi
aku bakal dapat bertemu.”
Surya Lelana tertarik dan lupa kepada kakak beradik itu.
Ia tersenyum, wajahnya berseri, lalu bertanya, “Kalau
demikian, kau sudah memperoleh keterangan tentang
orang tuamu? Lalu, siapakah Tanjung?”
“Surya, aku belum tahu siapakah orang tuaku.”
Surya Lelana heran dapat jawaban ini. Sejenak
kemudian ia bertanya. “Bagaimanakah ini? Engkau tadi
bilang bakal bertemu dengan ayah-bundamu. Kalau belum
tahu, bagaimanakah caramu bisa mencari?”
“Gurumu yang memegang kunci rahasianya. Kakek
hanya bilang, aku harus ke Ibukota, Majapahit dan datang
kepada Gurumu sambil membawa surat Kakek. Sungguh
kebetulan sekarang ini, sebelum aku sampai di sana, telah
bertemu dengan gurumu di hutan ini.”
“Hemm, tetapi apakah sebabnya engkau sampai di
hutan ini?”
“Memang ada sebabnya.
Kemudian gadis ini menceritakan apa yang sudah ter-
jadi, sejak meninggalkan gurunya, sampai perjumpaannya
dengan Sangkan dan Kaligis di Nganjuk. Ternyata dirinya
tertipu dan hampir celaka di dalam hutan, apabila dirinya
tak dapat mengalahkan dua pemuda itu.
Surya Lelana geleng-geleng, marah dan geram. Jari
tangannya ia kepalkan, sedang giginya gemeretak, dan
sepasang matanya menyala. Entah apa sebabnya tiba-tiba
saja pemuda ini menjadi amat marah kepada dua pemuda
yang mau berbuat kurang ajar kepada gadis ini.
Sementara itu antara Si Tangan Iblis dan Gajah Mada
masih berkelahi mati-matian. Saking cepatnya gerak
mereka, tubuh mereka bagaikan lenyap dan yang tampak
tinggal gulungan sinar wama pakaian masing-masing, yang
berkelebat ke sana dan kemari berpindah-pindah.
Sambil berkelahi hati dan perasaan Si Tangan Iblis
dilanda kemarahan hebat. Ia menyembunyikan diri di
Tosari dan puluhan tahun lamanya menggembleng diri
guna mendapat kemajuan dalam llmu kesaktian. Di
samping itu iapun menggembleng beberapa orang murid
tidak kenal lelah dan kesulitan. Semua itu hanya dengan
satu tujuan saja, guna membalas dendam kepada musuh-
musuhnya, Gajah Mada maupun Mpu Nala. Karena dua
orang ini yang menjadi penyebab hancurnya keluarga.
Sekarang tanpa sengaja dapat bertemu dengan salah
seorang musuh itu. Sekarang berhadapan dengan Gajah
Mada namun ternyata hasilnya tidak memuaskan. Baru
menghadapi Gajah Mada seorang diri saja, dirinya masih
belum mendapat gambaran pasti apakah dapat mengatasi.
Terbukti ilmu yang amat diandalkan, Aji Mega Langking
masih dapat dihalau oleh Gajah Mada.
Apabila baru menghadapi Gajah Mada seorang diri saja
belum mampu, apalagi kalau harus memusuhi Nala.
Kemudian para cucu dan muridnya yang sudah ia didik ber-
tahun-tahun itu, ternyata tidak ada gunanya sama sekali.
Sebab di antara saudara seperguruan sendiri tiada
kerukunan dan malah saling bunuh.
Terdorong oleh cita-citanya ini, ia telah berhasil mem-
bujuk Julung Pujud menjadi sekutunya. Tetapi ahh, mana
sahabatnya yang mau membantu itu? Sekarang dirinya
sudah berhadapan dengan Gajah Mada, tetapi Julung
Pujud tidak muncul. Ahh, betapa gampangnya membunuh
Gajah Mada ini, kalau sekarang Julung Pujud muncul.
Teringat kepada Julung Pujud, sambil melancarkan
serangan berbahaya, Si Tangan Iblis sudah berteriak
nyaring. Maksudnya sudah jelas, kalau Julung Pujud
berada di tempat yang tidak jauh dari tempat ini tentu akan
mendengar lengkingannya, dan kemudian sahabatnya itu
akan datang dan membantu.
Gajah Mada mengerutkan alis. Sebagai seorang cerdik,
berkedudukan tinggi dan luas pengalaman, ia menjadi
curiga dan menduga tentu Si Tangan Iblis ini melengking
dalam usahanya mengundang bantuan. Adalah amat ber-
bahaya kalau dirinya harus berhadapan dengan dua orang
lawan sakti sekaligus. Maka dirinya harus dapat mengalah-
kan lawannya ini sebelum bantuan itu datang.
Tiba-tiba cara berkelahinya berubah. Kalau tadi ia ber-
gerak cepat seperti kilat, sekarang gerakannya malah men-
jadi lambat. Tetapi dalam gerak lambatnya ini, disusul oleh
menyambarnya angin yang dahsyat memukul, setiap
tangannya mengebut maupun mendorong. Makin lama
sambaran anginnya semakin dahsyat dan dari telapak
tangan mengepul asap putih yang halus.
Sadarlah Si Tangan Iblis, lawannya sekarang sudah
menggunakan ilmu kesaktian yang membuat Gajah Mada
amat terkenal, ialah Aji Brama Seta atau api putih. Itulah
sebabnya dari telapak tangannya mengepul uap putih.
Melihat lawan sudah menggunakan Aji Brama Seta,
maka tidaklah mungkin dirinya dapat bertahan tanpa
menggunakan Aji Mega Langking, atau awan hitam. Tetapi
bagaimanapun dalam hati timbul keraguannya mungkin-
kah dirinya dapat mengatasi lawan? Tadi sudah terjadi
percobaan, ketika tangannya berbenturan. Dirinya terpaksa
terhuyung sampai tujuh langkah, sebaliknya Gajah Mada
hanya surut dua langkah saja.
Akan tetapi keadaan sudah amat mendesak. Ia sudah
dipaksa oleh keadaan yang tidak mungkin dapat ia hindari
lagi. Kalau tidak cepat-cepat menggunakan aji kesaktian-
nya, dirinya sendiri akan celaka.
Dalam keadaan terdesak ini Si Tangan Iblis menjadi
nekad. Dua telapak tangannya segera saling gosok.
Telapak tangan yang terdiri dari kulit dan daging ini, men-
dadak berubah bagai api yang membara merah dan
mengeluarkan asap hitam. Hampi berbareng dengan
geraman dahsyat dari kerongkongannya masing-masing,
tubuh mereka melompat ke depan.
“Darr......!” Terjadi benturan tenaga yang dahsyat sekali
dari dua macam aji kesaktian dan terjadi ledakan yang
keras, seperti ledakan halilintar di angkasa.
Tubuh dua orang tersebut kemudian terhempas ke
belakang dan kemudian terhuyung-huyung seperti layang-
layang putus talinya.
Dua orang sakti ini sekarang wajahnya tampak berbeda
Gajah Mada wajahnya pucat setelah terhuyung beberapa
langkah ke belakang lalu jatuh terduduk. Dari mulutnya
menyembur darah kental dan agak hitam, sedang dadanya
turun naik seperti kehabisan napas.
Akan tetapi keadaan Si Tangan iblis lebih parah lagi.
Wajah kakek dari Tosari ini sekarang menjadi hitam seperti
hangus. Setelah terhuyung beberapa langkah ke belakang,
menyemburlah darah hitam cukup banyak, lalu roboh
terguling tidak bergerak lagi.
Peristiwa itu menyebabkan Surya Lelana dan Dewi
Sritanjung amat terkejut. Dewi Sritanjung sudah melompat
maju menghampiri Gajah Mada. Tetapi Surya Lelana cepat
menyambar lengan gadis itu.
“Jangan!” Cegahnya
“Tetapi.....gurumu.....”
Surya Lelana menggeleng. Katanya, “Biarkanlah dahulu
agar istirahat. Sekalipun Guru terluka parah, tetapi tidak
membahayakan. Setelah selesai mengatur pernapasan.
Guru akan segar kembali.”
Dewi Sritanjung memandang Surya Lelana dengan
gelisah. Katanya, “Kau ini bagaimana? Gurumu jelas mem-
butuhkan pertolongan. Tetapi mengapa engkau malah
membiarkan gurumu menderita?”
“Percayalah Tanjung. Guru tidak apa-apa.” Surya Lelana
menerangkan. Setelah berhasil mengatasi darahnya yang
bergolak dan terguncang dalam dadanya sebagai akibat
benturan tenaga tadi Guru akan kembali seperti biasa.
Melihat sikap Surya Lelana yang tenang dan mendengar
ucapan pemuda itu yang tidak khawatir, Dewi Sritanjung
tidak mendesak lagi.
Kemudian perhatiannya beralih ke kakek Si Tangan Iblis
yang roboh miring tidak berkutik. Dan tiba-tiba saja ber-
golaklah rasa penasaran dalam dada gadis ini. Tadi dirinya
hampir celaka dalam tangan kakek jahat itu. Apakah
salahnya dalam keadaan kakek jahat itu tidak berdaya,
sekarang menggunakan kesempatan untuk melakukan
pembalasan.
“Biarlah aku tebas saja leher kakek jahat itu!” katanya
dalam hati.
“Sring....!” Sinar biru memancar menyilaukan ketika
pedang pusaka Tunggul Wulung tercabut dari sarung.
Surya Lelana kaget berbareng heran. Tanyanya,
“Tanjung! Untuk apa engkau mencabut pedang?”
“Aku hampir celaka di tangan kakek jahat itu. Dia
sewenang-wenang dan mau menangkap aku, setelah
mengetahui aku mempunyai hubungan dengan gurumu.
Hemm, di saat tidak berdaya seperti itu, apakah salahnya
aku menggunakan kesempatan menabas lehernya?” ujar
gadis itu dengan nada gemas.
“Jangan! Engkau jangan mengotori tanganmu dengan
perbuatan yang kurang patut.”
Dewi Sritanjung tersinggung lalu membentak, “Apa yang
kurang patut? Dia musuh dan jahat. Maka sepantasnyalah
aku menggunakan kesempatan ini untuk membunuh dia.”
“Tidak, Tanjung, tidak boleh! Mencelakakan orang
dalam keadaan sudah terluka dan tak berdaya, adalah
pantangan bagi ksatrya sejati.”
Dengan halus Surya Lelana berusaha menenangkan
gadis ini, setelah melihat wajah gadis ini merah padam.
“Tanjung, hendaknya engkau mau mendengar
nasihatku. Baik Guruku maupun Gurumu tentu akan me-
larang, apabila akan mencelakakan orang yang sudah tidak
berdaya. Sebab, perbuatan itu dianggap tidak patut, dan
akan mencemarkan martabat ksatrya.”
Dewi Sritanjung yang hatinya masih diianda rasa
penasaran, sudah akan membuka mulut guna membela
pendiriannya.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara halus masuk
telinganya, “Sritanjung, apa yang sudah dikatakan oleh
Surya Lelana itu memang benar. Memang tidaklah patut
bagimu, kamu harus menggunakan kesempatan pada saat
orang terluka dan tidak berdaya. Apapun alasannya, bagi
ksatrya tidak bisa dibenarkan, karena hai itu akan
mencemarkan nama ksatrya.”
Dewi Sritanjung memalingkan muka, lalu sepasang
matanya terbelalak. Ternyata Gajah Mada sudah bangkit.
Wajah orang itu sudah tidak pucat lagi dan sekarang malah
berseri. Gadis ini kagum sekali. Mengapa Gajah Mada
sudah tampak segar kembali dalam waktu singkat sedang-
kan Si Tangan Iblis masih belum berkutik?
Gajah Mada berdiri sambil memandang Si Tangan Iblis.
Ia menghela napas, terdapat perasaan yang menyebabkan
Mahapatih Gajah Mada ini menyesal sekali.
Agak lama Gajah Mada berdiri tanpa membuka mulut
Surya Lelana memandang Si Tangan Iblis penuh perhatian.
Sedangkan Dewi Sritanjung sekalipun masih kurang puas
terpaksa menyarungkan pedang pusakanya. Ia tidak
membuka mulut, tetapi dalam dadanya bergolak macam-
macam perasaan yang menyebabkan ia merasa heran.
Menurut pendapatnya, dalam setiap perkelahian, hanya
satu di antara dua yang akan diperoleh. Kalah mati
terbunuh atau menang dan membunuh. Akan tetapi
sekarang ada larangan semacam itu, larangan membunuh
musuh di saat sudah tidak berdaya? Padahal di saat orang
tidak berdaya itu, merupakan kesempatan yang amat
bagus untuk memperoleh kemenangan. Dan bukankah
setelah musuh mati, akan lenyap pula orang yang
memusuhi.
Namun sekarang ternyata tiba-tiba Si Tangan Iblis
bergerak. Kemudian tangan kakek itu bergerak dan
meraba raba. Dia berusaha mengangkat tubuhnya dengan
tangan. Tetapi agaknya dia sudah kehabisan tenaga,
buktinya baru setengah terangkat tubuhnya sudah
terbanting lagi ke tanah.
Nyatalah bahwa keadaan Si Tangan Iblis memang
payah. Kakek itu terluka parah sekali, dan sekarang kakek
yang terkenal dengan julukan Si Tangan Iblis ini dalam
keadaan sekarat.
Setelah melihat Si Tangan Iblis belum mati, Gajah Mada
berkata, “Taruno! Tentunya engkau puas sekarang,
setelah, mendapat kesempatan saling gempur dengan aku,
bukan?”
Sambil roboh miring Si Tangan Iblis membuka mata.
Walaupun dalam keadaan setengah mati, sepasang mata
Si Tangan Iblis seperti menyinarkan api menatap Gajah
Mada tidak berkedip. Dadanya naik turun.
“Gajah Mada! katanya. Huh, jika engkau jantan sejati,
bunuhlah aku sekarang juga. Engkau jangan menghina aku
seperti ini. Huh, tahukah engkau Si Tangan Iblis tidak takut
mati....?”
“Taruno, hemm, dengarlah baik-baik. tidak pernah
terpikir olehku untuk menghina siapapun.” Gajah Mada
menyahut halus. “Dua orang yang berkelahi, kalau yang
seorang menang, tentu saja yang seorang pasti kalah. Jadi
itu sudah lumrah! Taruno, engkau keliru jika menganggap
sikapku ini menghina engkau. Kenapa kita harus saling
bunuh? Nyawa bukan milik manusia tetapi di tangan Yang
Maha Tinggi.”
“Engkau keparat Gajah Mada!” teriak Si Tangan Iblis.
Akan tetapi tiba-tiba, “Huaaahhhhhh....!” Si Tangan Iblis
muntah darah lagi cukup banyak. Darah yang menyembur
ke luar itu membasahi pipi, kumis dan jenggotnya.
Akan tetapi Si Tangan Iblis seperti tidak memperhatikan
keadaannya, malah berteriak lagi, “Aku tidak butuh
khotbahmu, Gajah Mada. Aku hanya menuntut kepadamu,
engkau jangan menghina aku. Hayo, bunuhlah aku
sekarang juga, seperti apa yang sudah menjadi cita-citaku,
akan membunuhmu jika menang melawan kau. Cepat
Gajah Mada, bunuhlah aku!”
Gajah Mada menggelengkan kepalanya. Sahutnya halus,
“Taruno! Terserahlah penilaianmu terhadap diriku. Tetapi
tak mungkin engkau dapat memaksa aku, untuk
mengotorkan tanganku dengan darahmu. Taruno! Yang
Maha Tinggi belum menghendaki engkau mati, tidak juga
akan mati. Sekalipun demikian engkau memerlukan waktu
cukup lama guna memulihkan kesehatanmu. Harapanku
hanyalah sadarlah engkau dari kegelapan. Gunakan
waktumu yang tinggal sedikit ini untuk mendekatkan dirimu
dengan perbuatan baik dan selalu mohonlah kepada
Dewata Yang Agung agar diampun segala kesalahanmu.
Engkau jangan mengotori hidupmu yang akan datang
dengan perbuatanmu dalam kehidupan sekarang ini.
Bukankah manusia hidup di dunia ini terbilang tahunnya
sedangkan di alam sana kita hidup tidak terbilang
tahunnya? Karena itu waktu bagi manusia hidup di dunia
ini mengumpulkan bekal menghadapi pengadilan Yang
Maha Tinggi.......”
“Huh... huh, peduli apa dengan kehidupanku di sana
yang akan datang. Aku memang lebih suka mendapat
hukuman masuk neraka, kemudian menjelma menjadi
setan gentayangan dan aku akan mengoyak-ngoyak tubuh
dan dagingmu guna membalas dendam.”
Mahapatih Gajah Mada hanya tersenyum mendengar
ucapan Si Tangan Iblis yang menyakitkan hati itu. Padahal
Dewi Sritajung yang hanya mendengar saja perutnya sudah
muak dan dalam dadanya bergolak rasa marah.
Setelah menghela napas pendek. Gajah Mada mem-
balikkan tubuh, lalu tangannya menggapai Dewi Sritanjung
dan Surya Lelana. Katanya halus, Marilah kita pergi.
Biarkan dia marah-marah seorang diri.
Surya Lelana dan Dewi Sritanjung tidak berani mem-
bantah. Kemudian dua orang muda ini melangkah
mengikuti Mahapatih Gajah Mada. Tetapi sekalipun
demikian mereka masih mendengar teriakan Si Tangan
Iblis yang penuh ancaman.
“Hai Gajah Mada! Dengarkanlah sumpahku ini, huh! Aku
Si Tangan Iblis bersumpah disaksikan oleh langit dan bumi.
Apabila aku bisa sembuh kembali, aku akan meng-
gembleng diri untuk membalas hinaanmu hari ini. Huh,
kelak kemudian hari apabila aku dapat mengalahkan
engkau, huh huh, akan kucincang hancur tubuhmu dan
aku minum habis darahmu.”
Dewi Sritanjung tak kuat menahan perasaan, lalu
membalikkan tubuh dan mencaci, “Bangsat tua! Jika
engkau tak dapat menahan mulutmu, aku akan kembali
dan meremuk mulut dan kepalamu!”
Tanjung, Gajah Mada mencegah dengan halus. “Marilah
kita pergi dan jangan hiraukan ucapannya. Aku ingin sekali
mendengar kabar tentang Gurumu, di samping ingin pula
bertanya, apakah sebabnya engkau tiba di tempat ini?”
Kendati ucapan Gajah Mada ini halus tetapi pengaruh-
nya besar sekali. Dewi Sritanjung membalikkan tubuh, me-
neruskan langkah mengikuti di belakang Gajah Mada.
Sekalipun Si Tangan Iblis masih terus mengumbar mulut
dan caci makinya, suara itu masuk telinga kanan dan
keluar telinga kiri.
Dewi Sritanjung dan Surya Lelana melangkah ber-
dampingan di belakang Gajah Mada. Berkali-kali dua orang
muda ini bertatap pandang, dan diakhiri dengan sekulum
senyum. Tidak terucapkan kata-kata dari bibir masing-
masing, tetapi hati mereka sudah berbicara.
Seperti ada kekuatan yang tidak terlawan, mereka saling
sentuh, dan sesaat kemudian sudah bergandengan
tangan. Entah apa saja sebabnya, tetapi yang jelas jari
tangan dua orang muda ini kemudian saling pijit dan setiap
kali saling pandang dengan bibir tersenyum. Mata me-
mancarkan sinar penuh harap dan wajah masing-masing
berseri.
Gajah Mada melangkah tanpa membuka mulut dan
tidak pernah berpaling. Mahapatih Majapahit yang
menyamar sebagai kawula kecil ini, dalam perjalanan
selalu aman karena tidak seorangpun menduga, sebagai
orang kedua di Majapahit.
Setelah keluar dari hutan barulah Gajah Mada
menghentikan langkah dan memalingkan muka ke arah
dua orang muda itu. Bibir Gajah Mada tersenyum melihat
mereka demikian rukun. Namun, diam-diam orang tua ini
menjadi sedih juga apabila akhirnya mereka harus kecewa.
Tanjung, Gajah Mada berkata halus. “Engkau belum
menjawab pertanyaanku. Apakah sebabnya seorang diri
engkau sampai di tempat ini?”
Dewi Sritanjung memberikan hormatnya dengan
berlutul. Tetapi Gajah Mada cepat-cepat membangunkan,
“Bangkitlah! Engkau akan berkata apa?”
“Murid Dewi Sritanjung melaksanakan perintah Kakek
untuk pergi ke Ibukota Majapahit dan datang menghadap
Paman Guru, sambil menyampaikan surat.”
“Surat?”
“Benar. Dan inilah surat itu.”
Dewi Sritanjung mengambil surat dari tempatnya
menyimpan, lalu diterimakan kepada Gajah Mada.
Setelah menerima surat tersebut, secepatnya disimpan
di dalam baju. Katanya, “Marilah kita langsung ke
Majapahit.”
Dewi Sritanjung keheranan. Mengapa surat yang
diberikan tidak dibaca dan malah disimpan, lalu mengajak
pulang ke Majapahit? Akan tetapi sekalipun demikian gadis
ini tidak bertanya.
Dewi Sritanjung tidak tahu bahwa Gajah Mada
mempunyai alasan lain, Gajah Mada sadar surat dari kakak
seperguruannya itu tentu amat penting sekali bagi dirinya.
Maka timbullah kekhawatirannya apabila ada orang yang
mendengar dan melihat, kemudian berusaha merebut dari
tangannya. Sekalipun tidak gampang orang, merebut surat
ini dari tangannya, namun apakah salahnya selalu berhati-
hati?
* * *
Dan beberapa kekaguman gadis ini setelah dirinya
menginjakkan kaki di Ibukota Majapahit.
Jalan yang dilalui lebar dan rata. Sebagai pengeras jalan
dipasang oleh orang batu yang diatur rapi. Rumah di kiri
dan kanan jalan besar dan bagus-bagus. Jalan itu penuh
orang lalu lalang dan di sana sini banyak orang membuka
rumah untuk berjualan. Baik laki-laki maupun perempuan
memakai pakaian bagus. Juga ia melihat pula laki-laki
memakai pakaian seragam dengan membawa senjata
tombak maupun pedang dengan perisai. Dan mereka itu
semuanya memakai kain batik dengan corak gringsing.
Memang demikianlah, semua prajurit Majapahit
memakai kain batik corak gringsing sebagai seragamnya.
Sedang pada dada tampak simbul dengan gambar buah
maja.
Surya Lelana dengan senang hati menerangkan kepada
Dewi Sritanjung, yang ia anggap perlu untuk diketahui.
Kemudian ia mengajak gadis ini masuk ke dalam sebuah
rumah sederhana berpagar batu kuat, yang pada
gerbangnya dijaga oleh prajurit bersenjata tombak.
“Disinikah rumah gurumu?” bisik Dewi Sritanjung.
Surya Lelana menggeleng. Ketika itu mereka sedang
lewat pada pintu gerbang. Prajurit yang berjaga memberi
hormat dengan memberikan sembah. Dan tanpa me-
mandang mereka, Gajah Mada langsung masuk ke
halaman.
“Ini rumah peristirahatan Guru, Surya Lelana menerang-
kan. Dan sekarang ini kita masih di pinggiran kota
Majapahit. Nanti setelah kita tiba di tengah kota engkau
akan melihat keramaian kota Majapahit yang sebenarnya.
Engkau akan melihat rumah rumah besar dan kuat. Ialah
keraton.....”
“Apakah itu keraton?” potong Sritanjung.
“Keraton adalah tempat kediaman Raja. Juga rumah
para pejabat tinggi Majapahit merupakah rumah-rumah
yang indah dan megah. Letak antara rumah para pembesar
itu memang saling berjauhan. Ada pula yang di dalam kota
dan ada juga yang meniilih di luar kota.”
Akan tetapi keterangan Surya Lelana ini kurang begitu
mendapat perhatian gadis ini, sebab ia melihat pe-
mandangan baru, yang diam-diam menyebabkan gadis ini
keheranan. Ia melihat semua orang yang berada di tempat
ini berlutut ketika melihat Gajah Mada. Baik di saat orang
itu berdekatan maupun di tempat yang agak jauh.
Agaknya Surya Lelana tahu apa yang terpikir oleh gadis
ayu ini. Katanya halus, “Tanjung, kedudukan Guru memang
amat tinggi. Itulah sebabnya semua orang berlutut sebagai
tanda menghormati. Tetapi sebenarnya Guru sendiri
kurang senang dengan penghormatan seperti ini. Tetapi
karena hal ini sudah merupakan adat kebiasaan dan tata
krama pergaulan antara para bangsawan dengan kawula,
maka Guru terpaksa menerima saja.”
“Dan kau....” Dewi Sritanjung menatap pemuda tampan
itu, “tentunya putera salah seorang pejabat tinggi
Majapahit pula....”
Surya Lelana tersenyum lalu mengangguk, “Kau benar.
Tetapi tidak setinggi jabatan Guru maupun jabatan Gusti
Adityawarman.”
“Siapakah dia itu?”
“Gusti Adityawarman adalah seorang yang memegang
jabatan paling tinggi di antara bangsawan Majapahit.
Kekuasaannya dan kekuasaan Guru bisa dikatakan
seimbang. Hanya bedanya, Guru merupakan wakil Raja
dalam bidang urusan luar, artinya urusan pemerintahan,
sedang Gusti Adityawarman adalah wakil Raja dalam
urusan dharmaputra maupun kerabat Raja. Urusan Gusti
Adityawarman masih ada lagi yang penting. Beliau merupa-
kan pembesar tinggi kerajaan dalam bidang hukum dan
peraturan yang berlaku. Semua keputusan di bidang
hukum baru berlaku apabila sudah mendapat persetujuan
beliau.”
“Apakah hukum itu” ? tanya gadis ini penuh minat.
Tentu saja bagi seorang gadis yang semula hidup
terasing itu sama sekali asing dengan apa yang disebut
hukum.
“Tanjung, masalah ini uraiannya terlalu panjang dan
rumit. Nanti bisa kita tanyakan kepada Guru. Mari,
sekarang ikutlah aku.”
“Ke mana?”
“Nanti kau akan tahu sendiri.”
Lengan Dewi Sritanjung segera ia sambar dan setengah
ia seret lalu ia ajak memisahkan diri dengan Gajah Mada.
Mereka lewat jalan berbatu pada teritis rumah, sedangkan
Gajah Mada langsung masuk ke pendapa.
Hatinya berdebar tidak keruan ketika gadis ini mengikuti
Surya Lelana. Namun demikian ia percaya pemuda ini
takkan melakukan perbuatan yang kurang baik.
Dugaan gadis ini ternyata benar. Tak lama kemudian
tibalah ia pada ruangan belakang yang luas. Ia diserahkan
kepada para pelayan perempuan.
“Bawalah Diajeng Dewi Sritanjung ini ke dalam kamar
rias,” perintahnya kepada para pelayan itu. “Layanilah
kebutuhannya untuk ganti pakaian. Sesuai dengan
perintah Rama, kalian boleh mengambil pakaian Puteri
Tisna Dewi”.
Surya Lelana sudah mengubah panggilannya kepada
Gajah Mada. Sekarang tidak menyebut Guru lagi, tetapi
menyebut Rama, berarti Ayah.
Sesudah memberi perintah kepada tiga pelayan
perempuan itu. Surya Lelana memandang Dewi Sritanjung
dengan bibir mengulum senyum.
“Diajeng Tanjung, ikutlah mereka untuk ganti pakaian.
Setelah kita selesai ganti pakaian, kita segera menghadap
Rama Gajah Mada, kita akan langsung pulang ke rumah
kepatihan.”
Dewi Sritanjung hanya mengangguk, karena gadis ini
kurang tahu maksudnya, mengapa harus berganti pakaian.
Surya Lelana bisa menduga perasaan Dewi Sritanjung
sekarang ini. Maka katanya lagi, “Diajeng, semua akan aku
terangkan sesudah engkau selesai berganti pakaian.
Engkau adalah seorang puteri, maka mulai hari ini engkau
harus meninggalkan keadaan dan kebiasaan lama.”
Dewi Sritanjung mengangguk lagi, sekalipun hatinya
ragu berbareng keheranan. Mengapa secara tiba-tiba Surya
Lelana mengatakan dirinya seorang puteri bangsawan?
Kalau demikian, apakah dirinya salah seorang anak
pejabat tinggi kerajaan? Dan apakah Surya Lelana telah
tahu siapakah dirinya ini?
Surya Lelana sudah melangkah pergi, sedang Dewi
Sritanjung segera mengikuti tiga orang pelayan itu. Ia
dipersilakan masuk ke dalam kamar yang amat indah dan
berbau harum. Tiga pelayan perempuan itu kemudian
sibuk membuka beberapa almari besar dan Dewi
Sritanjung dipersilakan memilih sendiri pakaian yang
disukai dan tersimpan dalam almari itu. Dewi Sritanjung
terbelalak kagum ketika melihat pakaian dari bahan sutera
halus, bertumpuk dalam tiga almari tersebut. Sebagai
seorang gadis yang sejak kecil hidup dalam hutan dan
tidak pernah mendapat kesempatan untuk memiliki
pakaian bagus dari bahan sutera, tentu saja malah
menjadi bingung.
Akan tetapi ia memang menyukai warna biru. Maka di-
ambillah baju dari bahan sutera warna biru muda.
Sedangkan perlengkapan pakaian yang lain, ia tidak dapat
memilih, maka para pelayan diminta memilihkannya.
Dewi Sritanjung menjadi agak malu, ketika dirinya harus
melepaskan pakaiannya kemudian ganti dan semuanya
dilayani para pelayan. Sejak ia dapat menyelenggarakan
kebutuhannya sendiri, ia selalu mencukupi sendiri
kebutuhannya. Namun ternyata hari ini dirinya harus
mengubah kebiasaan itu, dan gadis ini serasa mimpi.
Lalu hatinya berdebaran membayangkan setelah dirinya
nanti dapat bertemu dengan ayah-bundanya yang selama
ini belum pernah ia kenal.
Dewi Sritanjung merasakan tubuhnya menjadi berat dan
kaku, setelah pada beberapa bagian tubuhnya harus
dipasang berbagai macam perhiasan emas yang cukup
berat. Ia menjadi merasa lucu dan geli ketika melihat
dirinya sendiri.
Kaki yang biasanya tidak pemah dipasang apa-apa itu
sekarang harus menggunakan alas dari kulit binatang,
sehingga kakinya tidak menapak bumi dan sulit me-
langkah. Pada pergelangan kakinya sekarang terdapat
hiasan yang terbuat dari emas. Pada lehernya bertambah
lagi hiasan kalung yang berat, gemerlapan dihias berlian
dan mutiara. Kemudian pada pergelangan tangan yang
semula tidak ada apa-apa itu sekarang dipasang beberapa
buah gelang, dan apabila tangannya bergerak timbullah
suara gemerincing nyaring.
Ketika Surya Lelana muncul di depan pintu dan melihat
Dewi Sritanjung, kontan saja mulutnya sudah memuji dan
matanya memandang kagum.
“Aduh Diajeng Tanjung... engkau tambah cantik....”
Sekalipun kata-kata ini diucapkan oleh Surya Lelana
secara jujur namun tidak urung Dewi Sritanjung agak malu
juga. Tetapi di samping malu itupun terselip perasaan
bangga. Manakah ada perempuan muda yang tidak
menjadi bangga dipuji kecantikannya? Lebih lagi yang
meniuji cantik itu adalah pemuda tampan, pemuda yang
diam-diam sudah menarik perhatiannya.
Ya pemuda tampan yang dahulu pernah memberi
ciuman tanpa seijinnya, tetapi sekalipun demikian ia tidak
menjadi marah. Ia tidak tahu apakah sebabnya ia selalu
terkenang kepada peristiwa itu. Karena nyatanya kenangan
itu memang indah dan menyenangkan. Ia juga tidak tahu
mengapa hatinya terliputi kegembiraan yang sulit terlukis-
kan begitu dirinya dapat berdekatan dengan Surya Lelana.
Dewi Sritanjung tersenyum manis oleh pujian Surya
Lelana. Dan begitu memandang si pemuda, gadis inipun
kagum. Pemuda itu tampak semakin tampan dan ganteng
setelah ganti pakaian yang indah, pakaian bangsawanan.
“Surya..... ehh..... engkaupun lebih tampan lagi.....” puji
gadis ini tanpa sungkan.
Pujian ini disambut oleh Surya Lelana dengan ketawa-
nya yang lepas.
Adapun tiga orang pelayan itu bibirnya tersenyum agak
takut. Tetapi bagaimanapun dalam hati tiga pelayan
perempuan ini timbul pula rasa kagum. Karena pada
kenyataannya Surya Lelana memang merupakan seorang
pemuda tampan, sedangkan si gadis jelita inipun
merupakan puteri yang cantik molek.
“Marilah kita menghadap Rama,” ajak Surya Lelana
sambil menyambar tangan Dewi Sritanjung. Kemudian
mereka meninggalkan kamar ini menuju ruangan besar
dalam rumah besar bagian belakang.
Akan tetapi rumah besar itu sepi. Surya Lelana
mengajak Dewi Sritanjung ke pendapa. Ternyata Gajah
Mada sudah duduk di pendapa, sedangkan di depannya
telah duduk bersimpnh dua orang tumenggung yang
agaknya sedang memberi laporan.
Gajah Mada tersenyum ketika melihat munculnya dua
orang muda itu. Ia menggerakkan tangan kanan memberi
isyarat supaya dua orang muda itu datang mendekat.
Ketika Surya Lelana dan Dewi Sritanjung sudah meng-
hadap dan berlutut sambil memberi sembah, Gajah Mada
berkata, “Anakku, syukur sekali kalian sudah siap dan
selesai ganti pakaian. Sekarang marilah kita secepatnya
pulang dan masuklah lebih dahulu ke dalam kereta.”
Surya Lelana mengiakan, lalu mengajak Dewi Sritanjung
menuju ke kereta yang sudah siap di depan pendapa.
Sebuah kereta kebesaran Mahapatih Majapahit. Kereta
beroda empat dan ditarik oleh delapan ekor kuda yang
besar dan gagah.
Kereta yang indah, sehingga Dewi Sritanjung me-
mandang kagum. Kereta itu tertutup rapat berpintu dan
pada beberapa lubang pada dinding kereta yang dapat
dipergunakan memandang ke luar kereta, ditutup oleh tirai
dari kain sutera.
Dewi Sritanjung dipersilakan masuk lebih dahulu ketika
pintu kereta dibuka Surya Lelana. Tanpa ragu sedikitpun
gadis ini masuk, lalu duduk pada bagian belakang.
Namun ketika Surya Lelana sudah masuk, pemuda ini
cepat memberitahu, “Diajeng, kita harus duduk di sini. Kita
berjajar, sebab bak belakang untuk tempat duduk Rama.”
“Idih! Kau ini bagaimana?” sahut Dewi Sritanjung sambil
tersenyum dan mata yang indah itu mengerling. “Bukankah
alasanmu ini, karena engkau bermaksud agar engkau
dapat duduk berdampingan dengan aku?”
Sekalipun berkata demikian, sebenarnya gadis ini
merasa senang sekali apabila dapat duduk berdampingan
dengan Surya Lelana. Entah apa sebabnya, rasanya
bahagia sekali apabila ia dapat duduk berdampingan
dengan Surya Lelana.
Surya Lelana menyambut ucapan gadis ini dengan
ketawa lirih. Lalu, “Diajeng, aku memang berkata sejujur-
nya. Memang pada bagian belakang itu merupakan tempat
duduk kebesaran bagi Rama dalam kedudukannva sebagai
Mahapatih Majapahit. Sedang engkau dan aku harus
duduk di sini, dan......”
Dewi Sritanjung yang sudah duduk di samping Surya
Lelana menatap wajah pemuda ini sambil bertanya. “Dan
apa....?”
Surya Lelana tidak cepat menjawab. Bibirnya tersenyum
dan matanya menatap wajah ayu itu. Yang dipandang
menjadi berdebar dan malu, tetapi dalam dadanya terasa
amat bahagia.
“Apakah engkau tidak marah dengan kejadian waktu
itu? Ketika aku mau pergi dan minta diri dari kau sambil....
mencium ...?”
Pipi gadis ini berubah merah mendengar pertanyaan itu.
Untuk sejenak gadis menundukkan muka. Setelah diangkat
lagi, kepalanya menggeleng.
“Tidak Surya. Tidak ada rasa marah dalam hatiku.”
jawabnya polos.
“Apakah sebabnva engkau tidak marah?”
Gadis ini tergagap mendengar pertanyaan ini. Se-
sungguhnya ingin sekali mengatakan, dirinya tak tahu
mengapa sebabnya tidak marah atas perlakuan Surya
Lelana. Dan sungguh aneh pula dirinya malah selalu
terkenang pengalaman itu.
Dewi Sritanjung menggeleng kepalanya, jawabnya lirih.
“Aku tidak tahu.....”
Jantung Surya Lelana berdebar mendengar jawaban
gadis yang singkat ini. Kalau demikian halnya apakah
jawaban ini merupakan tanda, gadis inipun mengimbangi
perasaan hatinya? Ia sudah terlanjur tercuri hatinya oleh
gadis ini. Gadis sederhana, tetapi memiliki kecantikan luar
biasa, kecantikan yang alami.
Dengan agak takut Surya Lelana bergerak. Pemuda ini
ingin menjajaki bagaimanakah sikap Sritanjung. Maka jari
tangannya lalu meraba jari-tangan Dewi Sritanjung yang
kecil, runcing dan halus itu. Jari tangan itu untuk beberapa
saat lamanya ia usap-usap dan ia permainkan. Setelah
melihat gadis ini diam saja, gerakannya mulai berani dan
merembet naik ke lengan. Lain sambil mengusap-usap
lengan itu, Surya Lelana berkata halus.
“Diajeng, apakah engkau takkan marah apabila men-
dengar perkataanku?”
“Engkau mau berkata apa?” sahut Dewi Sritanjung
sambil menundukkan kepalanya, karena usapan tangan
Surya Lelana itu kuasa membuat jantungnya berdebar
tegang. “Dan mengapa pula aku harus marah?”
“Diajeng, tahukah engkau bahwa sejak pertemuanku
denganmu yang pertama kali, aku sudah jatuh cinta
kepadamu?”
Dewi Sritanjung berjingkrak mendengar istilah asing
yang diucapkan oleh pemuda tampan di sampingnya ini.
Tetapi justru kata-kata asing ini, sebenarnya sudah lama
tersimpan dalam dadanya dan selalu berharap agar Surya
Lelana mengucapkan kata-kata itu.
Akan tetapi sekarang, anehnya, setelah mendengar
ucapan dan mulut Surya Lelana yang mencintai dirinya,
mulut Dewi Sritanjung malah seperti terkunci dan tidak
bisa menjawab, sekalipun dalam dadanya bergolak pe-
rasaan yang mendesak agar segera memberi jawaban. Dan
gadis ini hanya bisa menundukkan muka, dadanya turun
naik.
“Diajeng Tanjung,” bisik Surya Lelana halus, sedang jari
tangannya dengan lancang sudah mengangkat dagu Dewi
Sritanjung yang halus dan kuning itu. “Bagaimana? Engkau
terimakah perasaan cintaku ini?”
Dewi Sritanjung belum juga menjawab, sekalipun
hatinya amat ingin. Namun sekalipun gadis ini belum men-
jawab. Surya Lelana sudah cukup maklum bahwa gadis ini
mengimbangi perasaannya. Terbukti Dewi Sritanjung tidak
berusaha melepaskan jari tangan Surya Lelana yang me-
megang dagu.
Tahu-tahu Surya Lelana sudah memeluk, lalu mencium
mulut Dewi Sritanjung. Untuk sejenak Dewi Sritanjung
gelagapan, namun sejenak lagi gadis ini sudah mendorong
pundak Surya Lelana perlahan.
“Surya......ya.....agaknya akupun mempunyai perasaan
yang sama ....” jawabnya.
“Mengapa masih menggunakah istilah agaknya,
Diajeng? Apakah engkau masih meragukan cinta kasihku?”
“Surya, hal ini bisa kita bicarakan setelah aku bertemu
dengan orang tuaku. Kemudian orang tuamu bisa bicara
ngan orang tuaku. Hemmm, Sudahlah.....Guru datang.....”
* * *
Cerita ini terpaksa berhenti sampai di sini dahulu, lalu
menyusul cerita baru dengan judul " TERSIKSA SEPERTI DI
NERAKA ".
Siapakah yang tersiksa seperti di neraka? Baca saja dan
Anda akan memperoleh jawabannya.
Kasihan juga Dewi Sritanjung ini. Gadis yang sejak kecil
belum pemah mengenal ayah dan bundanya, di Ibukota
Majapahit harus berhadapan dengan pengalaman pahit
dan amat mengecewakan hatinya. Sebagai akibatnya ia
"minggat" dengan perasaan tidak keruan. Dalam keadaan
seperti ini, Dewi Sritanjung kurang waspada. Dan akibatnya
tertangkap oleh pemuda bejat moral Rudra Sangkala,
murid sakti tokoh Murti Sari.
Sungguh kasihan. Gadis jelita, polos dan lugu itu di
dalam cengkeraman laki-iaki bejat seperti Rudra Sangkala
yang mempunyai senjata ampuh racun wangi itu.
........Dan kasihan sekali cucu Si Tangan Iblis yang tertua
dan bernama Sarindah itu, dalam usahanya menuntut
balas kepada Gajah Mada. Gadis itu mencari dukun
tenung.
“Dengarlah baik-baik. Engkau harus tahu baik tenung
laki-laki maupun perempuan yang akan melakukan tugas
itu menghuni dalam tubuhku. Jadi, antara aku dan engkau,
syaratnya harus rukun seperti suami dan isteri.”
“Aku sedia. Tetapi.....”
“Tetapi apa.......?”
“Kerjakan dahulu tenung itu......”
Sarindah puas tenung itu sudah pergi. Kemudian siutt...
wut cap....! Sarindah terbelalak kaget. Pedangnya tak dapat
ditarik kembali terjepit jari tangan Kakek Madrim.
Sarindah marah. Cacinya. “Setan tua! Cabul, keparat!
Lepaskan pedangku!”
“Heh heh heh heh, engkau cantik sekali dan harus
menjadi isteriku.....”
Entah sudah herapa lama Sarindah tertidur. Ia merasa
dingin dan membuka mata, ia hampir menjerit kaget
mendapatkan dirinya tanpa memakai selembar benang
pun. Dan disampingnya Kakek Madrim tertidur dalam
keadaan sama.....
*** Tamat ***
Sala, medio Marel 1987
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon