MAHESA KELUD
PEDANG SAKTI KERIS ULAR EMAS
Karya: Bastian Tito
Episode 04
MENCARI MATI DI BANTEN
SATU
WULANSARI sampai di Magetan
selewatnya tengah malam. Anak perempuan dalam dukungannya tertidur nyenyak.
Dari jauh kelihatan ada dua orang pengawal berjaga-jaga di pintu gerbang.
Memasuki kota malam-malam begitu pasti akan mengundang kecurigaan. Apalagi dia
seorang perempuan dan membawa seorang anak kecil Kalau
sampai dua pengawal
menggeledahnya dan mengenali siapa adanya anak perempuan yang dibawanya pasti
urusan menjadi panjang. Bukan mustahil dia segera ditangkap. Menghadapi dua
pengawal itu tentu saja bukan satu perkara besar bagi murid Si Cakar Setan yang
berkepandaian tinggi ini. Namun yang penting baginya ialah masuk ke dalam kota
tanpa ada yang mengetahui. Maka sebelum mencapai pintu gerbang kota gadis itu
mengambil jalan berputar. Disatu tempat yang sunyi dan gelap Wulansari
melompati tembok kota. Dalam kegelapan malam gadis ini bergerak cepat,
menyelinap menuju Kadipaten.
Beberapa orang penjaga tegak di
pintu depan gedung. Dua orang lainnya meronda sekeliling gedung. Setelah
melihat kesempatan baik Wulansari melompati tembok gedung Kadipaten, masuk ke
halaman dalam. Semua pintu dan jendela gedung Kadipaten dalam keadaan terkunci.
Di sebelah dalam hanya ada satu nyala lampu samar-samar di bagian tengah
gedung. Wulansari pergunakan kepandaiannya. Hampir tanpa suara dia mencongkel
sebuah jendela. Begitu jendela berhasil dibukanya dengan cepat dia melompat
masuk ke dalam gedung. Karena tidak mengenal seluk-beluk tempat itu dengan
sendirinya Wulansari tidak mengetahui di mana letak kamar tidur Adipati Lor
Bentulan. Selagi dia merasa bimbang, pada saat dia hendak melangkah mendadak
dari balik sebuah tiang besar muncul seorang pengawal. Orang ini rupanya
bertugas sendirian di dalam gedung. Begitu melihat Wulansari dia segera angkat
tombaknya, siap untuk menusuk dan siap untuk berteriak. Wulansari cepat
bertindak. Sekali berkelebat saja gadis ini berhasil menotok leher si pengawal
hingga orang ini menjadi kaku dan tegang, tak bisa bersuara tak bisa bergerak.
Dia tertegun seperti patung dengan mata mendelik dan tangan ke atas mengangkat
tombak. Hanya sepasang matanya yang masih mampu berputar-putar. "Lekas kau
beritahu dimana kamar tidur Adipati Lor Bentulan!" kata Wulansari.
"Beritahu dengan isyarat matamu!"
Mula-mula pengawal itu hanya
memandang melotot pada si gadis. Wulansari cekik lehernya hingga mukanya
menjadi pucat dan nafasnya sesak. "Cepat beritahu atau kuremukkan batang
lehermu!"
Sepasang bola mata si pengawal
bergerak ke kanan beberapa kali. Wulansari mengikuti arah lirikan dua mata
orang itu. Di ujung kanan ruangan memang dilihatnya ada sebuah pintu besar
terbuat dari kayu berukir. Tanpa tunggu lebih lama gadis ini segera melangkah
cepat menuju pintu itu. Sekali lagi dia pergunakan kepandaian untuk membuka
pintu itu lalu menyelinap masuk ke dalam. Di tengah kamar tidur yang besar itu
terletak sebuah pembaringan tertutup kelambu. Dua orang terbaring pulas di
atasnya. Yang satu mengeluarkan suara mengorok. Inilah sosok Bupati Magetan Lor
Bentulan. Di sebelahnya terbaring sang istri. Walau perempuan ini tertidur
nyenyak namun dari raut wajahnya jelas kelihatan dia sangat letih dan cemas
sepanjang hari-hari lenyapnya anak perempuannya. Perlahan-lahan Wulan
menyingkapkan tirai kelambu. Lalu dengan hati-hati sekali anak perempuan yang
ada dalam dukungannya dibaringkannya diantara ke dua orang tuanya. Setelah
memandang dengan puas dan tersenyum cepat-cepat Wulansari tinggalkan kamar itu,
keluar dari dalam gedung dan lenyap melompati tembok sebelah timur gedung.
Keesokan paginya istri Lor Bentulan terbangun lebih dulu. Ketika dia
membalikkan badan dan membuka mata terkejutlah perempuan ini. Digosoknya
sepasang matanya berulang kali.
"Bermimpikah aku
ini...?" perempuan itu bertanya pada dirinya sendiri ketika pandangannya
membentur sosok anak perempuannya yang tertidur pulas di sebelahnya. Perempuan
ini ulurkan tangan kanannya untuk mengusap wajah anak itu. Pada saat itulah
sang anak bergerak. Istri Lor Bentulan terpekik. Gedung Kadipaten menjadi heboh
dipagi buta itu. Lor Bentulan dan istrinya merasa sangat bersyukur kepada Tuhan
atas kembalinya anak mereka.
"Pasti gadis itu..."
desis Lor Bentulan sambil mengusap-usap kepala anaknya.
"Sayang dia tidak menemui
kita.... Sepertinya dia tidak mau kita membalas jasa dan budi baiknya
ini..."berucap istri sang Adipati dengan air mata berderai. Lalu dipeluk
dan diciumnya anaknya berulang-ulang.
***
Di bawah teriknya sorotan sinar
matahari kelihatan seorang kakek-kakek tua renta berambut putih berlari sangat
cepat mendaki bukit Jatiluwak. Tubuhnya kurus kering, tinggal kulit pembalut
tulang. Dia hanya mengenakan sehelai celana hitam dan sehelai kain sarung
terselempang di dadanya. Melihat kepada umur dan kecepatan larinya yang laksana
angin itu maka jelaslah bahwa kakek ini memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Ketika kedua matanya yang sipit itu melihat pondok papan jauh di muka sana maka
berteriaklah dia: "Warok! Aku datang...!"
Kakek ini hanya menggerakkan
kedua bibirnya sedikit saja, tapi suara teriakannya itu terdengar hampir ke
seantero bukit! Dapat dibayangkan bagaimana kehebatan tenaga dalamnya. Dalam
sekejapan mata saja dia sudah sampai dihadapan pondok papan itu dan berdiri
dengan terheran-heran. Biasanya kalau dia berteriak seperti tadi, maka Warok
Kate pasti sudah berdiri menyambut kedatangannya di ambang pintu. Tak ada suara
jawaban. Dia melangkah ke hadapan pintu yang terbuka. Tiba-tiba terkejutnya
orang tua ini bukan main karena dari pintu beterbanganlah beberapa ekor gagak
hitam sambil mengoak-oak. Pada saat itu pula hidung si kakek mencium bau busuk
dari dalam pondok. Dengan cepat dia masuk ke dalam. Langkah orang tua ini
terhenti serta merta ketika kedua matanya membentur sosok tubuh yang
tergelimpang di lantai di hadapannya.
"Warok!" pekik kakek
ini melengking tinggi dan berlutut di hadapan mayat Warok Kate yang masih dapat
dikenalinya meski keadaan mayat itu sudah sangat rusak busuk dan
berlubang-lubang habis digerogoti burung-burung pemakan mayat!
"Warok! Warok...! Setan!
Bedebah!
Siapa yang melakukan ini?! Siapa?
Siapa...?!" teriak si kakek menggeledek sampai suaranya menggetarkan
pondok papan itu dan terdengar menggema sampai ke hutan dibelakang sana.
"Warok! Katakan, siapa!" teriaknya lagi seperti orang gila karena
sampai kiamat pun mayat yang sudah busuk itu tak akan bisa menjawab. Sambil
menghentak-hentakkan kedua kakinya maka mulailah kakek ini menangis
tersedu-sedu. Kadang-kadang suara tangisnya seperti suara tangis seorang
perempuan yang kematian suami, kadang-kadang seperti suara tangis anak kecil.
Namun satu hal dapat disimpulkan, bagaimanapun gayanya suara tangisan si kakek
ini pastilah kematian Warok Kate sangat menyedihkan hatinya disamping
menimbulkan kemarahan tentunya!
Tiba-tiba suara tangisnya
mendadak sontak terhenti. Kedua matanya yang sipit membuka lebar lalu
cepat-cepat dia membungkuk mengambil sebuah benda hijau yang menarik
perhatiannya. Ditelitinya benda itu sejurus dan segera diketahuinya bahwa benda
itu tak lain daripada patahan ujung keris hijau yang dulu diberikannya kepada
Warok Kate!
Mendidihlah amarah kakek itu.
"Keparat! Laknat terkutuk!
Rasakan pembalasanku! Manusia atau setan sekali pun aku tidak takut. Muridku
dibunuh! Keris hijau pemberianku dibikin patah! Dibikin sumpung! Kelak akan
kupatahkan batang leher manusia itu! Siapa?! Siapa yang melakukan ini
semua?!"
Kakek-kakek ini melangkah ke
pintu. Kedua tangannya diletakkan di pinggang. Pandangannya beringas. "Hai
setan bukit! Jin hutan dan seribu satu makhluk kasar serta halus yang mendiami
bukit Jatiluwak ini! Jawab! Siapa yang membunuh muridku?! Siapa yang
menghinakan senjata warisanku?! Jawab...!" Tapi hanya gema yang merupakan jawaban
dari suaranya. Kakek-kakek itu melangkah ke hadapan sebuah pohon. "Hai
pohon!" katanya keras. "Katakan, siapa yang membunuh Warok Kate!
Siapa yang menghinakan keris warisanku itu! Katakan siapa?!"
Tentu saja mana mungkin pohon itu
bisa memberikan jawaban! Dan penasaranlah si kakek. "Hai jawab! Apa kau
bisu?! Sialan! Kau tak mau jawab ya? Mampuslah!" Bersamaan dengan itu
tangan kanannya bergerak dan "buk".
Pohon besar itu tumbang kena
hantaman tangan! Kemudian kelihatanlah orang tua renta kurus itu berlari
menuruni bukit. Sambil lari tiada henti-hentinya dia berteriak melengking
tinggi. "Siapa...! Siapa...! Akan kupatahkan batang lehernya! Akan kukorek
jantungnya! Rasakan pembalasanku! Rasakan!"
Siapakah kakek-kakek aneh yang
seperti orang gila ini? Dia tak lain adalah guru Warok Kate yang diam digunung
Karang. Nama aslinya Sumo Parereg. Tapi dalam kalangan Persilatan dia lebih
dikenal dengan nama julukan "Si Suling Maut" dan merupakan seorang
tokoh persilatan yang ditakuti di daerah utara. Gelaran aneh yang diberikan
kepadanya itu adalah karena dia memiliki sebuah senjata ampuh yaitu berupa
sebuah suling. Melihat kepada tingkah lakunya tadi nyatalah bahwa otaknya tidak
waras. Dan memang guru dari Warok Kate ini agak sinting alias setengah gila!
Tapi meskipun demikian dalam llmu silat jangan main-main dengan dia. Julukannya
sebagai "Si Suling Maut" bukan julukan kosong belaka. Dia lari terus
dan mencapai kaki bukit. DI hadapannya berjalan seorang laki-laki separuh baya,
bertopi anyaman bambu dan membawa sebuah pacul. Nyatalah bahwa dia seorang
petani.
"Hai orang yang menyandang
pacul! Berhenti dulu!" teriak Si Suling Maut. Waktu dia berteriak itu
jaraknya dengan si petani masih kira-kira dua ratus langkah. Tapi sebelum
teriakannya selesai dia sudah berdiri di hadapan si petani!
"Hai, kau petani ya?!
Ayo katakan, siapa?! Cepat,
siapa?!"
Ditanya seperti itu sudah barang
tentu si petani jadi terheran-heran. Dipandangnya kakek-kakek berambut putih di
hadapannya itu mulai dari kepala sampai ke kaki. Tak pernah dia melihat manusia
tua ini sebelumnya.
"Sialan! Kau bisu atau
tuli?! Aku tanya siapa?!" bentak Si Suling Maut.
"Orang tua, kau ini
bertanyakan siapa...?"
"Kunyuk! Aku tanya siapa
malahan menanya siapa!" maki si kakek. "Ayo katakan siapa! Kau pasti
tahu!"
Orang tua ini pasti gila, pikir
si petani. Karenanya cepat-cepat dia angkat kaki tapi bahunya ditarik.
"Aku tanya siapa, mengapa pergi?!" tanya Si Suling Maut makin marah.
"Orang tua, aku tidak
mengerti maksud pertanyaanmu." Si kakek membesarkan kedua matanya.
"Bodoh! Aku tanya siapa yang membunuh muridku, siapa yang membunuh Warok
Kate! Ayo jawab!"
"Tak tahu aku. Aku juga tak
pernah dengar nama Warok Kate," jawab petani itu.
"Kurang ajar! Kau dusta, kau
pasti tahu!
Ayo, katakan siapa?!" hardik
Si Suling Maut seraya mencekal leher pakaian orang itu.
Gemaslah si petani. Dikibaskannya
lengan si kakek. "Orang tua, minggirlah!"
"Bangsat! Kau tahu tapi
tidak mau kasih tahu ya?! Terima ini dan mampuslah!"
Bersamaan dengan itu si kakek
menghantamkan tangan kirinya ke topi si petani. Tak ampun lagi petani itu
mental jauh dan melingkar di tanah. Topi bambu melesak masuk ke dalam kepalanya
yang hancur dipukul! Tentu saja nyawanya sudah melayang pada detik itu juga.
Sambil berteriak melengking-lengking kakek sinting itu berlari lagi. Akhirnya
dia memasuki sebuah kampung yang terletak tak jauh di kaki bukit. Seorang
pemuda yang kebetulan berada di tepi jalan menghentikan langkahnya dengan
terheran-heranketika melihat munculnya seorang kakek-kakek kurus kering dengan
berlari laksana angin dan berteriak-teriak seperti orang gila. Dia jadi
terkejut ketika tahu-tahu saja sikakek yang tadi dilihatnya masih di ujung
jalan. Kini sudah berada di hadapannya dan menudingkan jari telunjuk tangan
kirinya tepat-tepat ke hidungnya. "Orang muda, kau pasti tahu! Ayo,
katakan siapa?!"
***
DUA
KEDUA mata pemuda itu terbuka
lebar-lebar. Dengan penuh tanda tanya dia meneliti si kakek dari ujung rambut
sampai ke kaki. Tadi dia telah melihat bagaimana kakek ini sangat cepat larinya
dan dia maklum pasti orang tua itu memiliki ilmu lari hebat, tapi agaknya
berotak miring. Karenanya pemuda ini tidak bertindak gegabah. Dia tersenyum dan
balik bertanya: "Siapa yang tengah kau cari-cari, orang tua?"
"Ah! Kalau aku tahu tidak
tanya padamu sompret! Ayo katakan siapa?!"
Pemuda itu tersenyum
lagi."Mengapa kau cari orang itu, Kakek?"
"Pemuda edan! Apa kau tidak
tahu kalau dia telah membunuh muridku? Ayo katakan, siapa!"
Si pemuda kini mulai mengerti apa
yang membuat kakek-kakek kurus keringini jadi beringas.
Dia menjawab:"Sayang,
Kakek... orang itu sudah pergi jauh! Kau terlambat."
Si Suling Maut menghentakkan kaki
kanannya ke tanah. Si pemuda menjadi sangat terkejut ketika melihat ke tanah
bekas hentakan kaki itu karena kini tanah tersebut menjadi berlubang sampai
sedalam sepuluh senti! Meremang bulu tengkuknya. Cepat-cepat dia berkata:
"Harap dimaafkan, Kakek. Sebenarnya aku tidak tahu apa-apa. Kau cobalah
minta keterangan pada orang lain!"
"Pemuda rendah tukang tipu!
Tadi kau bilang dia sudah pergi jauh!Sekarang kau bilang tidak tahu apa-apa!
Rupanya tidak tahu siapa aku huh? Berani mempermainkan? Ini bagianmu!"
"Buk!"
Tubuh pemuda itu melintir lalu
roboh ke tanah. Perutnya robek lebar kena tendang kaki kanan si kakek sakti dan
nyawanya melayang!
"Rasakan! Itu bagiannya
manusia yang suka menipu!"
Sementara itu mendengar suara
orang membentak-bentak, beberapa orang penduduk yang tinggal di sekitar sana
segera keluar hendak melihat apa yang terjadi. Mereka jadi terkejut ketika
melihat bagaimana seorang tua renta tengah menendang seorang pemuda penduduk
kampung sampai pemuda itu terjungkal roboh dan mati. Mereka segera lari ke
tempat kejadian itu.
"Ha... ha! Bagus! Ada banyak
orang kini! Hai kalian orang kampung mari sini dekat-dekat! Aku mau
tanya!" seru si kakek sinting. Tentu saja orang-orang kampung sesudahnya
melihat kebuasan orang itu tidak berani datang mendekat. Mereka berdiri
memperhatikan dari jauh. Dua orang di antaranya menggotong mayat si pemuda ke
dalam satu rumah."Hai! Orang-orang kampung apa kalian tuli tidak dengar
kalau dipanggil?!" seru Si Suling Maut."Sini semuanya, aku mau
tanya!"
Tetapi tak ada seorang yang mau
datang. Maka naiklah darah si kakek sinting ini. Tubuhnya berkelebat kemuka dan
banyak orang berpekikan. Tahu-tahu dua penduduk kampung sudah kena dijambak
rambutnya dengan tangan kiri kanan!
"Ayo, katakan di mana orang
itu, cepat!"
Orang yang dijambak di tangan
kanan merintih kesakitan.
"Orang tua, lepaskan
aku!" "Tidak! Katakan di mana orang itu!"
"Orang itu siapa?!"
"Pura-pura tidak tahu
hah?!Pemuda tadi mengatakan dia berada di sini! Ayo, di mana kalian sembunyikan
dia!"
Orang yang dijambak di tangan
kiri membuka mulut,
"Orang tua, kalau kau mau
melepaskan jambakanmu, aku akan terangkan padamu...."
"Tidak bisa, kalau kulepas
kau pasti lari! Ayo kalian terangkan siapa orang itu? Mana dia! Cepat!"
Kedua orang tersebut merintih
kesakitan karena jambakan pada rambut mereka semakin keras dan sakitnya bukan
main!
"Orang tua, kami tidak
menyembunyikan siapa-siapa di kampung ini. Aduh lepaskan...."
"Benar-benar kalian berani
omong kosong terhadapku! Manusia-manusia busuk pendusta, rasakan!"
"Brakk!"
Kedua kepala penduduk kampung itu
diadu satu sama lain sampai mengeluarkan suara mengerikan. Keduanya mati dengan
kepala pecah!
Sementara itu orang-orang kampung
yang lain menjadi heboh. Maka buncahlah seluruh isi kampung. Dimana-mana
terdengar orang berteriak-teriak.
"Awas! Ada orang gila
mengamuk!"
"Awas orang mengamuk! Masuk
ke dalam rumah!"
"Amuk! Amuk!"
Dalam sekejap mata seluruh
kampung menjadi sunyi senyap. Semua orang masuk ke rumah masing-masing dan
memalang pintu serta jendela. Siapa yang mau cari urusan dengan seorang gila
yang tengah mengamuk?!
Tiba-tiba dari kelokan jalan
kelihatan berlari dengan cepat seorang laki-laki berbadan pendek
tegap,berpakaian bagus dan memakai blangkon. Dari caranya berlari jelaslah
bahwa dia seorang yang memiliki ilmu juga meskipun belum mencapai tingkat
tinggi.
"Hai, kau! Kemari!"
perintah si orang tua. Laki-laki itu menghentikan langkahnya. Dia adalah
Jiwosuto, kepala kampung. Diam-diam kepala kampung ini merasa ngeri juga
melihat keangkeran tampang si kakek di hadapannya. Dia tahu bahwa dia tengah
berhadapan dengan seorang yang mengamuk dan otaknya tengah dikuasai setan,
karenanya tak berani bertindak ceroboh.
"Saudara tua," kata si
kepala kampung, "Ada apakah? Agaknya kau tengah mencari seseorang?"
suaranya lemah lembut.
"Hem... kau manusia tahu
diri, ya? Ha... ha! Memang benar, aku tengah mencari seseorang."
"Kalau aku boleh tanya,
siapakah seseorang itu?" Jiwosuto bertanya lagi. Si kakek memencongkan
mulutnya.Tampangnya merengut buruk. "Aku tidak tahu seseorang itu, justru
aku datang ke sini untuk menanyakan siapa dia. Tapi penduduk kampung menipuku,
mempermainkanku!"
Dalam hatinya kepala kampung itu
menjadi bingung juga, si orang tua ini tengah mencari seseorang, tapi siapa
yang dicarinya itu tidak tahu!" Saudara tua kalau kau bisa menerangkan,
bagaimana tampang orang yang kau cari, mungkin aku bisa tahu siapa
dia...."
"Huh!" dengus si kakek.
"Aku tidak perlu tampangnya! Aku perlu nyawanya! Mengerti?!"
"Mengerti saudara tua, tapi
mana mungkin mencari seseorang tanpa tahu siapa dia bahkan tidak kenal
wajahnya...."
"Ah, kau bicara pandai,
manusia pendek. Tapi aku tahu, kau juga sama saja dengan yang Iain-Iain! Kau
hendak mempermainkanku! Hendak menipuku! Ayo,katakan siapa dia dan di mana dia
sekarang?!"
Celaka, orang tua ini benar-benar
sudah gila sehingga tak mau mengerti,kata Jiwosuto dalam hatinya. Meskipun
demikian dia berusaha juga mengajukan pertanyaan,"Saudara tua….."
"Sudah-sudah! Jangan panggil
aku dengan sebutan itu! Jangan banyak mulut! Katakan saja di mana kau
sembunyikan dia, cepat!"
"Orang tua, kau dengarlah
baik-baik. Penduduk kampung tidak menyembunyikan siapa-siapa di sini. Orang
yang kau cari-cari itu mungkin tidak lari ke sini...."
"Nah, nah... betul! Betul!
Kau juga betul seorang penipu rupanya! Nasibmu tidak lebih baik dari yang
lain-lainnya, penipu!" Si orang tua melompat ke muka. Tangan kirinya
bergerak cepat mengirimkan serangan ke kepala Jiwosuto.
Tapi kali ini dia kecele karena
serangannya dapat dielakkan si kepala kampung. Jiwosuto sendiri meskipun dia
dapat mengelakkan serangan ganas mematikan itu tapi terkejutnya bukan main
ketika dia merasakan angin pukulan yang menyambar ke kepalanya, deras, dingin
dan tajam!
Kini dia mengerti bahwa kakek
gila ituadalah seorang berkepandaian tinggi! Ketika dia diserang lagi dengan
lebih ganas dia cepat mengelak dan berlaku hati-hati tapi tiada diduga sama
sekali, begitu serangannya mengenai tempat kosong, si kakek menjejakkan kedua
kakinya dan tahu-tahu kini serangannya berbalik cepat tiada sanggup dikelit
oleh kepala kampung yang hanya memiliki ilmu silat tingkat rendahan saja!
"Buk,"
Tubuh kepala kampung itu
terpelanting. Bahu kirinya yang kena terpukul remuk dan lumpuh! Sakitnya bukan
main! Meskipun keadaannya sudah terluka berat dan memaklumi bahwa si kakek gila
bukan tandingannya serta niscaya dalam beberapa gebrakan dia segera mati konyol
di tangan lawan, namun kepala kampung ini nyatanya bukan seorang berjiwa
pengecut. Sebagai kepala kampung, dia mempunyai jiwa kesatria yang bertanggung
jawab terhadap isi dan penduduk kampungnya. Kalau bukan dia yang akan melawan
kakek gila yang tengah mengamuk itu, siapa lagi yang akan diandalkan? Kalau dia
mati, matinya tidak mati percuma,tapi mati dalam membela rakyat, mati terpuji.
Dari balik pinggangnya Jiwosuto
mengeluarkan seutas tali yang panjangnya kurang sedikit dari dua meter. Baginya
tali ini bukan saja merupakan sebuah senjata yang sangat diandalkan, namun juga
merupakan sebuah alat yang sekaligus dapat dipakainya untuk menangkap dan
mengikat orang-orang jahat yang mengganggu keamanan kampung. Namun menghadapi
si kakek sakti, mana bisa senjata macam begituan dipakai? Dalam satu gebrakan
saja si kakek sakti berhasil merampas tali tersebut.
Sambil tertawa bekakakan kemudian
Si Suling Maut memakai tali itu untuk mencambuk si kepala kampung. Pakaian
Jiwosuto hancur robek-robek. Kulit dada dan punggungnya yang kena dihantam
talinya sendiri bergurat-gurat dalam. Tubuhnya basah oleh darah. Dalam kehabisan
tenaga dan nafas serta terlalu banyak mengeluarkan darah akhirnya kepala
kampung itu rubuh ke tanah. Tanpa memicingkan mata sedikit pun, si kakek
mengangkat kaki kanannya tinggi-tinggi, siap ditendangkan ke kepala Jiwosuto
yang menggeletak tak berdaya itu. Ketika tendangan yang keras itu hampir
mencapai sasarannya setengah jengkal lagi, tahu-tahu melayanglah sebutir batu
kecil yang tepat menghantam tulang kering kaki kanan si kakek!
Meskipun itu cuma sebuah batu
kecil, tapi karena dilempar dengan memakai tenaga dalam maka kaki yang kurus
dari si kakek terdorong ke samping. Kepala Jiwosuto selamat sedang si kakek
dengan menahan sakit memutar tubuhnya sambil memaki.
"Setan alas! Siapa yang
berani-beranian melempar kakiku?!"
***
TIGA
SEPASANG mata si kakek sakti
membuka lebar lalu menyipit kembali ketika melihat beberapa langkah
darihadapannya berdiri seorang pemuda bertampang keren, berbadan tegap. Pemuda
inilah tadi yang telah melempar kaki si kakek dan menyelamatkan nyawa Jiwosuto.
"Pemuda keblinger! Kau sudah
bosan hidup ya?!" hardik Si Suling Maut.
"Orang tua keji, pembunuh
manusia-manusia tidak berdosa, kau angkat kakilah dari sini sebelum darahku
naik ke kepala!"
Kedua mata si Suling Maut semakin
menyipit. Sesaat kemudian meledaklah tertawa bekakakan kakek-kakek ini.
"Kalau kau tidak gila, tentu
kau sudah sinting berani bicara seperti itu padaku! Tapi aku senang pada pemuda
yang punya nyali dan berilmu tinggi!
Dengar pemuda, sebelum aku
pecahkan kepalamu, kau sudah tahu siapa aku?!"
"Mengapa tidak?!" tukas
si pemuda pula.
"Kau seorang kakek-kakek
berilmu tinggi sakti tapi berotak miring sehingga membunuh penduduk kampung
yang tidak berdosa tanpa mengenal belas kasihan sama sekali! Puas akan
jawabanku itu?!
"Maka marahlah si Suling
Maut. Mukanya merah sekali, dan hampir tidak terlihat dia melompat ke muka.
Tangan kiri kanan terpentang di kedua sisi menghantam kejurusan kepala dan dada
si pemuda. Serangan ganas ini menimbulkan angin yang deras. Si pemuda siang-siang
sudah memiringkan tubuh. Jotosan yang mengarah kepala lewat. Dengan tangan
kirinya dia coba menghantam sambungan siku si kakek namun dengan lihaynya
tangan si kakek lebih cepat bergerak dan kini serangannya turun sedemikian
rupa, menyerang ke perut si pemuda. Pemuda ini tahu bahwa tenaga dalam lawan
mungkin tidak berada di bawahnya, tak berani menyambut serangan itu dengan
lipatan lutut melainkan melompat ke samping sambil melepaskan pukulan jarak
jauh tangan kiri. Si Suling Maut juga tak mau menganggap enteng pukulan jarak
jauh pemuda itu, cepat-cepat pula dia geserkan tubuh berkelit, lalu melompat
jauh ke belakang.
Dipandangnya pemuda itu dengan
tampang yang angker menggidikkan.
"Aku tahu... ha-ha... aku
tahu! Aku tahu kini, pasti kau orangnya! Pasti kau yang melakukan! Ha... ha!
Dicari-cari tidak bertemu, tahu-tahu kini datang sendiri mengantar nyawa!
Bagus, bagus sekali! Bersiaplah untuk mampus anak muda!"
Pemuda itu tak mengerti apa
maksud kata-kata si kakek, tapi dia tidak bisa memikir lebih lama karena saat
itu lawannya kembali melancarkan serangan dahsyat. Gerakan tubuhnya dalam
menyerang kali ini sangat berubah, sangat cepat dan tempat-tempat yang diserang
adalah tempat-tempat yang lemah dari badan si pemuda sedangkan serangan yang
bertubi-tubi itu sukar pula di duga!
Si pemuda berkelebat cepat dan
memperhitungkan dengan hati-hati setiap gerakannya. Sedikit saja dia berbuat
ceroboh pasti jotosan lawan akan menghantam tubuhnya atau kena tergebuk lengan
si kakek yang membabat kian kemari tak ubahnya seperti sayap seekor burung
raksasa!
Beberapa jurus berlalu dan
membuat si kakek menjadi penasaran karena dia belum juga berhasil merobohkan
lawannya. Diiringi dengan bentakan-bentakan keras menggeledek yang disertai
kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi untuk mengacaukan gerakan lawan, si
kakek menggenjot tubuh dan gerakannya kini tak ubah seperti bayang-bayang saja!
Si pemuda menjadi sibuk, dadanya
bergetar oleh bentakan-bentakan keras lawan. Cepat-cepat dia mengerahkan tenaga
dalamnya agar jangan terpengaruh bentakan-bentakan tersebut. Namun demikian dia
terdesak hebat sampai akhirnya dadanya kena juga dihantam jotosan si kakek.
Pemuda ini mental ke belakang beberapa langkah tapi cepat mengimbangi tubuhnya
dan mengatur jalan nafasnya yang terasa sesak serta mengerahkan tenaga dalam ke
dada yang sakit. Di lain pihak si kakek sendiri diam-diam merasa terkejut
ketika melihat bagaimana pukulan dahsyatnya itu hanya mengakibatkan si pemuda
terhuyung-huyung saja, sama sekali tidak roboh! Meskipun tangan kanannya
sendiri yang tadi dipakai meninju tidak terasa sakit tapi kulit tangan itu
kelihatan kemerahan.
"Orang muda bernyali besar,
siapa namamu dan kau murid orang sakti mana?!" tanya si Suling Maut dengan
mengertakkan gigi-giginya.
"Ha... ha, kau benar-benar
ingin tahu guru dan namaku atau hanya untuk mengumpulkan tenaga mengatur nafas
belaka, orang tua?!" ejek si pemuda.
"Keparat! Kau tahu, terhadap
manusia-manusia yang gegabah memperlihatkan sedikit ilmunya aku tidak tenang
tidur jika membunuhnya tanpa mengetahui nama serta gurunya!"
"Jangan bicara terlalu besar
orang tua gila! Namaku Jaliteng. Kalau kau mau tahu siapa guruku kau lihat saja
jari-jari tangan dan kakiku!
"Pada detik si kakek
memperhatikan jari-jari tangan dan kaki pemuda itu maka pada saat itu pula
tubuh si pemuda sudah melesat ke muka. Jari-jari tangannya terpentang lebar
laksana cakar burung garuda dan menyerang dengan dahsyat. Si kakek cepat-cepat
menghindarkan diri. Melihat kuku-kuku panjang itu dia tahu kini murid siapa
adanya lawannya dan maklum bahwa kuku-kukunya yang panjang itu berbahaya karena
mengandung racun!
"Pemuda sombong, jangan kira
aku akan takut kalau mengetahui kau adalah muridnya Si Cakar Setan! Kalau
gurunya bisa dibikin mampus oleh seseorang, mengapa muridnya tidak?!"
Mendidih amarah si pemuda
mendengar gurunya diejek demikian rupa. Dia segera mengirimkan serangan
berintikan ilmu silat yang gerakan-gerakannya tak ubah seperti setan yang
mencakar mangsanya. Sibuk juga si kakek menghadapi serangan hebat itu namun
sesudah beberapa jurus matanya yang tajam segera melihat di mana
kelemahan-kelemahan dari ilmu silat lawannya. Sebagai tokoh persilatan yang
terkenal di daerah utara, si kakek yang berjuluk "Si Suling Maut" itu
telah mendapat kabar tentang kematian Si Cakar Setan.
Diserang sedemikian rupa si kakek
ganda tertawa bergelak. Bukan main geramnya Jaliteng melihat bagaimana ilmu
silat warisan gurunya yang sangat diandalkan cuma diganda tertawa oleh lawan.
Dipercepatnya gerakannya, namun sia-sia belaka. Malahan kini dia terdesak
hebat. Tubuh si kakek seperti lenyap dari pemandangannya dan tahu-tahu
"buk!" Jaliteng mental ke belakang, hampir jatuh duduk kalau dia
tidak segera berjumpalitan!
Pemuda ini merasakan bahunya
sangat sakit. Ketika dia melirik ternyata pakaian di bahu kirinya robek dan
daging bahu itu merah menggembung. Pukulan lawan yang dahsyat itu tidak saja
mengakibatkan luka dalam, tapi sekaligus merupakan totokan yang lihay sehingga
tangan kirinya kini menjadi lumpuh dan berdirinya pun miring!
Tapi keberanian pemuda itu patut
dikagumi. Tanpa memperdulikan keadaan dirinya yang sudah terluka hebat serta
tangan kiri yang lumpuh, dicabutnya keris berkeluk tujuh pemberian gurunya!
Dengan senjata ini maka mulailah dia melancarkan serangan kembali. Sambil
mengelak ke samping si Suling Maut tertawa mengejek, "Ha...ha... benda apa
yang kau keluarkan itu? Pisau dapur agaknya?!
Memalukan sekali, murid seorang
jago silat senjatanya cuma sebuah pisau dapur!"
"Orang tua sedeng! Buka
matamu lebar-lebar agar dapat membedakan mana pisau dan mana keris!"
bentak Jaliteng dengan sangat gusar karena, keris pusakanya dikatakan pisau
dapur! Seperti banteng terluka murid Si Cakar Setan ini mengamuk. Permainan
kerisnya memang patut dipuji, tapi menghadapi si Suling Maut, pemuda ini tidak
berdaya. Beberapa gebrakan saja dia sudah terdesak bahkan dengan mempergunakan
dua jari tangan kanannya si kakek sakti memperlihatkan kelihayannya, menjepit
keris di tangan Jaliteng!
Pemuda itu tak berani mengadu
kekuatan untuk menarik senjatanya. Mau tak mau dia terpaksa menyerahkan keris
itu kepada lawan untuk menghindarkan pukulan tenaga dalam lawan yang jauh lebih
tinggi. Si kakek tertawa bergelak ketika dia berhasil merampas senjata tersebut.
"Ha... ha.... Keris buruk,
kerisbutut! Lihat Jaliteng, eh... namamu Jaliteng, benar? Nah lihat Jaliteng,
sebentar lagi dengan senjatamu sendiri aku akan habisi nyawamu! Warok Kate
muridku... kau tenang-tenanglah dialam baka, sebentar lagi aku gurumu akan
menamatkan riwayat manusia yang telah membunuhmu!"
"Iblis tua!" maki
Jaliteng. "Aku tidak pernah membunuh manusia bernama Warok Kate! Bahkan
namanya pun baru kudengar hari ini?!"
"Ha... ha! Jangan ngelindur,
pemuda! Sudah mau mampus masih hendak berdusta?!"
Suling Maut menyerang dengan
ganas. Jaliteng berhasil mengelakkan serangan yang pertama ini, namun serangan
kedua dan ketiga yang terpaksa ditangkisnya dengan tangan kanan membuat telapak
tangannya itu menjadi robek-robek berlumuran darah dihantam ujung kerisnya
sendiri!
Kemudian satu tusukan lagi pada
bahu kanannya. Kini pemuda itu benar-benar tidak berdaya. Dia hanya bisa
mempergunakan kedua kakinya untuk melompat kian kemari mengelakkan serangan
keris yang bertubi-tubi. Kedua tangannya tak bisa dipergunakan lagi karena
sudah terluka berat dan lumpuh! Dia tahu bahwa ajalnya sudah di depan mata,
tapi tidak mau lari! Lebih baik mati secara kesatria dari pada lari
menyelamatkan diri sebagai seorang pengecut!
Tiba-tiba terdengar suara aneh
menggema menggetarkan gendang-gendang anak telinga! Suara ini adalah suara
tertawa manusia tapi diselingi oleh auman seperti seekor harimau. Bukan
Jaliteng saja yang terkejut mendengar suara ini, si kakek sakti pun demikian
pula. Keduanya sama memalingkan kepala dan kelihatanlah seorang nenek-nenek
bermuka aneh menyeramkan. Mukanya yang berkulit keriput itu berwarna kuning
bergurat-gurat coklat, rambutnya putih sehingga tampangnya tak ubah seperti
seekor harimau siluman! Nenek ini bertubuh bongkok dan pada tangan kirinya
tergenggam sebuah tongkat besi yang sangat berat tapi yang dibawa oleh sinenek
dengan seenaknya saja seakan-akan tongkat besi itu hanya sebuah ranting kering
saja! Nenek ini mengenakan pakaian berbentuk jubah seorang resi meskipun dia bukan
resi. Warna pakaiannya ini biru gelap sehingga menambah keangkeran yang ada
pada dirinya.
"Ha... ha, iblis tua gila!
Apa tidak malu berkelahi dengan pemuda hijau bertangan kosong dan tak
berdaya?!" ujar si nenek dengan tertawa tinggi dan mengeluarkan suara
mengaum aneh. Air muka si Suling Maut tampak berubah. Namun cepat-cepat dia
menjura kepada si nenek.
"Kalau aku yang bodoh ini
tidak salah lihat, agaknya aku berhadapan dengan si nenek sakti dari pantai
utara yang dijuluki Harimau Betina?"
"Ha... ha! Bagus, rupanya
matamu masih awas dan bisa mengenaliku! Eh iblis tua berjuluk si Suling Maut,
aku tanya mengapa kau berkelahi dengan pemuda yang sudah tidak ada daya itu?!
Jawab!"
"Jangan salah sangka,
Harimau Betina. Pemuda ini telah mempermainkanku, dia bicara dusta dan dia
telah membunuh muridku si Warok Kate...."
Si nenek tertawa melengking lalu
mengaum. Jaliteng yang berdiri di sebelah sana merasa ngeri juga melihat
tampang dan suara tertawa yang seperti auman harimau itu. Di samping itu,
pemuda ini juga sangat terkejut ketika mengetahui bahwa kedua manusia-manusia
tua renta yang ada di hadapannya saat itu ternyata adalah tokoh-tokoh
persilatan berilmu tinggi, yang lebih tinggi dari gurunya sendiri yaitu Si
Cakar Setan!
Si Harimau Betina mengangkat
tongkatnya ke muka. Dari tongkat besi yang amat berat itu keluarlah pukulan
angin yang menghantam ke jurusan si kakek. Suling Maut cepat menghindar namun
tak urung tubuhnya masih kena terpukul sampai terhuyung-huyung. Jaliteng
sendiri yang berdiri jauh dari kakek itu merasakan sambaran angin yang deras
dan membuatnya menggigil.
"Suling Maut, kau angkat
kakilah dari sini! Sebenarnya kita masih ada urusan lama yang harus
diselesaikan, tapi aku berbaik hati untuk menangguhkannya sampai lain kesempatan!
Ayo pergi cepat!" Sekali lagi si nenek menggerakkan tongkatnya. Suling
Maut melompat ke samping dan menjawab: "Harimau Betina, sangat kuhargai
kemurahan hatimu itu. Tapi ketahuilah, urusanku dengan pemuda ini belum
selesai. Kuharap kau tidak mencampurinya...."
"Iblis tua, gila! Dikasih
hati mau minta kaki! Nah, terima kakiku ini!"
Serentak dengan itu, disertai
suara mengaum tubuh si nenek dengan sangat cepatnya melesat ke muka. Suling
Maut melompat berkelit tapi gerakan kaki si nenek seperti dapat diulur dan
tendangannya bersarang di pinggul kakek itu sampai dia terpelanting jatuh duduk
di tanah!
"Setan Betina!" maki si
Suling Maut sangat marah. Mukanya merah sekali.
"Kau kira aku tidak punya
nyali melayanimu sampai seribu jurus?!"
Maka dia menyerbu ke muka dengan
mempergunakan keris milik Jaliteng. Dengan mengaum keras, si nenek sakti
membabatkan tongkat besinya. Keris di tangan Suling Maut patah dua sedang
laki-laki tua itu sendiri merasakan betapa tangannya tergetar hebat dan kesemutan
sampai ke bahu! Si kakek berkelebat cepat dan mengeluarkan senjatanya yang
sangat diandalkan yaitu sebuah seruling yang terbuat dari besi hitam.
"Ha, ha!" si nenek
tertawa bergelak.
"Rupanya kau sudah membuat
suling baru pengganti sulingmu yang aku hancurkan tempo hari?! Bagus, majulah
aku ingin lihat keampuhan mainan anak-anak itu!".
Penuh geram karena senjatanya
dicela mainan anak-anak, Si Suling Maut segera mengirimkan tendangan kaki kanan
ke arah lawan, bersamaan dengan itu suling di tangan kanannya menotok deras ke
arah tenggorokan sedang tangan kiri yang terpentang laksana sayap burung
menggebuk dari samping!
Sungguh hebat serangan ini. Tapi
anehnya si nenek muka harimau menghadapi serangan ini dengan tertawa. Tongkat
besinya diputar sedemikian rupa membabat ke muka dantangan kanan menyelinap di
bawah lengan kiri lawan.
"Buk!"
"Tring!"
Dua suara itu terdengar hampir
bersamaan. Si Suling Maut mental kebelakang sedang suling di tangan kanannya
patah dua! Nafas laki tua ini megap-megap karena dadanya yang terpukul sakit
dan sesak. Mukanya pucat laksana mayat. Tidak diduganya, sesudah satu tahun
tidak bertemu tahu-tahu kepandaian si nenek muka kuning ini jauh lebih tinggi.
Mulanya dia menduga bahwa selama satu tahun itu dia akan sanggup menandinginya,
tapi kini setelah bertemu ternyata dia masih jauh di bawah angin!
"Harimau Betina, kalau kali
ini aku terpaksa mengundurkan diri jangan kira bahwa aku akan melupakan semua
perlakuanmu! Aku bersumpah Untuk membunuhmu dan semua murid-muridmu!"
Tubuh si Suling Maut berkelebat
dan tahu-tahu tubuh Jaliteng sudah berada di atas bahu kirinya.
"Hai! Iblis tua, mau bawa
lari ke mana pemuda itu?!" seru si nenek muka kuning bergurat-gurat
coklat.
Dia menggereng dan didahului oleh
suara mengaum tubuhnya melesat ke muka menyusul si Suling Maut yang melarikan
Jaliteng. Kakek-kakek itu kertakkan gigi ketika dia tahu bahwa si Harimau
Betina mengejarnya. Dipercepatnya larinya namun sesaat kemudian si nenek
berhasil menyusulnya. Tongkat besi membabat ke arah kaki si Suling Maut membuat
kakek-kakek itu terpaksa melompat, namun sebelum lompatannya itu sampai
setengahnya, tongkat lawan sudah menyambar pula di atas kepalanya. Ketika dia
memiringkan kepala, tongkat itu menyerang tangan kirinya yang memegang tubuh
Jaliteng. Untuk menyelamatkan tangan kiri itu dari kehancuran, Suling Maut terpaksa
melepaskan pegangannya pada tubuh si pemuda. Kelihatan si nenek bergerak cepat.
Tangan kirinya diulur ke muka sedang tongkat besi membabat ke perut si Suling
Maut. Ketika kakek-kakek ini berusaha untuk mengelak maka tahu-tahu tubuh
Jaliteng sudah berpindah tangan dan kini berada di atas bahu kiri si Harimau
Betina!
Dengan gemas si Suling Maut
menyerang ke muka, tapi dia tak berdaya karena lawannya memutar tongkat dengan
sebat lalu berkelebat dan sudah melesat jauh meninggalkan tempat itu membawa tubuh
Jaliteng!
"Iblis betina!" teriak
si Suling Maut. "Rasakan pembalasanku nanti!"
Jaliteng yang berada dalam
keadaan terluka parah di antara sadar dan tiada menjadi terheran-heran ketika
mengetahui bahwa dirinya dibawa lari oleh si nenek sakti yang dijuluki si
Harimau Betina itu.
"Nenek, kau mau bawa aku ke
manakah?"
"Anak muda, jangan banyak
cerewet. Kau ikut sajalah...."
Pemuda itu hendak bertanya
lagi,tapi dirasakannya sesuatu menekan pangkal lehernya membuat dia tidak sadar
apa-apa lagi. Si nenek sambil lari telah menotok urat darah dan urat dagunya!
***
EMPAT
KITA tinggalkan dulu si nenek
sakti yang membawa lari Jaliteng. Mari kita ikuti pula perjalanan Mahesa Kelud,
pemuda yang mendapat dua tugas dari gurunya Embah Jagatnata mencari Simo
Gembong dan yaitu mencari pedang sakti bernama Samber Nyawa. Belum satu pun
dari kedua tugas itu berhasil dilaksanakannya, dalam perjalanan turun gunung
dia sudah dihadapkan ke pelbagai macam urusan dan bahaya maut yang membawanya
sampai bertemu dan berguru dengan si orang tua aneh Suara Tanpa Rupa,
bersama-sama dengan Wulansari. Waktu ditolong di gua iblis dulu oleh Karang
Sewu, tokoh persilatan ini telah memberikan pula dua tugas kepada Mahesa Kelud
yaitu menghambakan diri ke Kesultanan Banten dan mencari Dewi Maut.
Ketika dia disuruh mengembara ke
daerah barat oleh Suara Tanpa Rupa, di samping pemuda ini merasa menyesal dan
sedih karena dia telah melanggar larangan gurunya itu, tapi diam-diam dia jadi
bergembira juga karena dengan disuruhnya dia ke barat berada sambil terus
mencari keterangan tentang pedang Samber Nyawa dan manusia Simo Gembong,
sekaligus dia bisa pergi ke Banten.
Sebagai satu kerajaan Islam maka
Banten menjadi musuh dari kerajaan Pajajaran di sebelah selatan yang masih
menganut agama Hindu. Perang-perang perbatasan tiada terhitung lagi banyaknya,
bahkan perang besar-besaran yang meminta korban ribuan nyawa tahun belakangan
ini telah pecah sampai dua kali! Namun tak ada pihak yang kalah ataupun yang
menang. Masing-masing pihak yangmempunyai pendekar-pendekar saktitulang
punggung yang diandalkan samamenarik diri mundur setelah korbanberjatuhan tiada
terhitung lagi. Perang berhenti untuk beberapa lamanya, tapi dendam kesumat
berkecamuk di hati para pimpinan kedua kerajaan itu. Dan ujung dari ini tidak
dapat tidak adalah peperangan juga! Sebelum ada ketentuan siapa yang menang
siapa yang kalah, siapa yang akan berkuasa dan siapa yang dijajah, maka antara
Banten dan Pajajaran akan tetap berkobar api peperangan yang tiada kunjung
padam.
Untuk memiliki pendekar-pendekar
gagah dan tangguh dalam menghadapi Pajajaran maka Banten menempuh berbagai
jalan. Satu diantaranya adalah dengan mengadakan sayembara. Demikianlah, pada
suatu hari petugas-petugas istana dengan mengendarai kuda berkeliling kerajaan
mengumumkan sayembara itu. Kepada siapa-siapa yang memiliki kepandaian tinggi,
terutama para pemuda, dianjurkan untuk mengikuti sayembara mengadu ilmu silat.
Kepada orang tertangguh yang keluar sebagai juara nanti bukan saja akan diberi
hadiah sebuah keris dari Sultan tapi juga akan diangkat sebagai Kepala
Balatentara Kerajaan! Tentu saja maka berduyun-duyunlah para pemuda-pemuda
gagah dan orang-orang sakti di dalam kerajaan bahkan di luar kerajaan Banten
datang untuk mengikuti sayembara itu. Di depan langkan istana terdapat
kesibukan-kesibukan karena di sanalah akan dibuat panggung besar dimana
sayembara adu ketinggian ilmu akan dilangsungkan. Pagi-pagi, pada hari yang
telah ditentukan maka ramailah seluruh penduduk kerajaan dari berbagaipelosok
datang membanjiri kotaraja untuk menyaksikan sayembara hebat itu!
Adu jotos secara terbuka memang
baru kali ini diadakan di Banten, karenanya kesempatan ini tidak disia-siakan,
bahkan tak sedikit kaum ibu yang turut hadir. Pengikut sayembara berjumlah dua
puluh empat orang. Rata-rata adalah pemuda-pemuda tegap berilmu kepandaian tinggi.
Cuma beberapa saja yang sudah agak berumur. Kedua puluh empat orang ini duduk
di bagian panggung sebelah muka, di bagi atas dua rombongan. Setiap pengikut
sayembara dari rombongan pertama telah ditentukan lawannya yaitu seorang dari
rombongan kedua. Dengan demikian akan terbentuk dua belas pasangan yang akan
bertempur satu lawan satu. Kesemuanya sekaligus bertempur di atas panggung yang
luas itu. Pemenang-pemenang dari dua belas pasang itu akan dipecah pula menjadi
dua sehingga nantinya akan bertempur enam pasangan. Enam pasangan itu dipecah
pula menjadi tiga pasang. Tiga pemenang terakhir diharuskan menghadapi lawan
satu demi satu sampai akhirnya didapat ketentuan siapa yang menang.
Ketika Sultan Banten muncul maka
ramailah tempik sorak orang banyak mengelu-elukannya. Di hadapan Sultan, di
atas sebuah meja terletak sebuah nampan yang ditutup dengan sehelai kain sutera
putih. Di bawah kain sutera putih ini terletaklah keris hadiah yang akan
diserahkan kelak kepada pemenang sayembara.
Gong dicanang orang maka
melompatlah keduapuluh empat pengikut sayembara ke atas panggung dengan gaya
dan sikapnya masing-masing. Sorak sorai penonton riuhnya bukan main seakan-akan
hendak runtuh langit di atas halaman istana itu! Kedua puluh empat pengikut
sayembara berbaris memanjang lalu menjura memberi hormat kepada Sultan. Sultan
Hasanuddin melambaikan tangannya. Gong dipukul lagi dan kali ini masing-masing
pengikut sayembara mencari lawan-lawannya yang sudah ditentukan. Setelah mereka
saling berhadap-hadapan maka untuk ketiga kalinya terdengar suara gong dan
dimulailah sayembara baku hantam memperebutkan hadiah keris dan kedudukan
tinggi. Orang banyak berteriak tiada hentinya melihat bagaimana di atas
panggung dua belas pasang manusia tengah adu jotos mengeluarkan kepandaian
masing-masing untuk merobohkan lawan mencari kemenangan. Tak dapat dikatakan
pasangan mana yang paling hebat dan seru perkelahiannya. Kalau dilihat pasangan
yang di sebelah ujung kiri yang bertanding dengan sangat cepat dan dahsyat,
maka pasangan yang diujung sana lebih mengagumkan lagi, kemudian yang di
sebelah ujung kanan lebih mendebarkan pula... demikian seterusnya.
Yang pertama sekali merobohkan
lawannya adalah laki-laki berpakaian hijau tua di bagian panggung sebelah
kanan. Siapakah laki-laki yang begitu hebat ini sehingga mengalahkan lawannya
dengan melemparkannya keluar panggung hanya dalam beberapa gebrakan saja?!
Melihat kepada umurnya dia bukan seorang pemuda lagi. Umurnya lebih dari empat
puluh dan tampangnya buruk. Sebenarnya bukanlah suatu hal yang aneh kalau
laki-laki ini bisa mengalahkan lawannya bahkan dilempar keluar panggung dalam
beberapa gebrakan saja karena dia adalah Unang Gondola, murid seorang resi
sakti dipuncak gunung Halimun! Sebenarnya Unang Gondola bukanlah pengikut sayembara
yang datang untuk mendapatkan hadiah keris serta kedudukan tinggi saja, tapi
lebih dari itu dia adalah utusan rahasia Prabu Sedah, Raja Pajajaran!
Ketika didapat kabar bahwa Banten
mengadakan sayembara untuk memilih orang-orang cakap yang akan didudukkan dalam
jabatan tinggi, maka Prabu Sedah segera menyuruh pembantu-pembantunya mencari
seorang yang tangguh sakti dan berilmu tinggi guna diutus ke Banten. Utusan ini
harus berhasil memenangkan sayembara. Dan kalau itu sudah terlaksana adalah
satu hal yang mudah saja lagi untuk memusnahkan Banten, lebih mudah dari
memasukkan benang ke dalam lobang jarum! Sayang sekali di Pajajaran tidak
terdapat pemuda berilmu benar-benar tinggi yang dapat diandalkan.
Untuk menjadi utusan dan
memenangkan sayembara. Akhirnya dipilihlah Unang Gondola, murid resi Mintaraya
di puncak gunung Halimun. Meskipun dia sudah berumur hampir setengah abad namun
ketinggian ilmunya memang bisa diandalkan sehingga Prabu Sedah dan orang-orang
Pajajaran tidak ragu-ragu lagi bahwa Unang Gondola akan keluar sebagai pemenang
dan jabatan Kepala Balatentara Banten bisa jatuh ke tangannya!
Demikianlah dengan memakai nama
samaran murid resi sakti ini berangkat ke Banten dan mengikuti sayembara. Tidak
percuma dia menjadi utusan rahasia Pajajaran karena hanya dalam beberapa
gebrakan saja dia berhasil merubuhkan lawannya. Tempik sorak ditujukan
kepadanya ketika dia melompat turun dari atas panggung, kembali ke tempat
duduknya dan menyaksikan pasangan-pasangan lainnya yang masih terus baku
hantam.
Beberapa saat kemudian satu demi
satu menyusul peserta-peserta dirobohkan. Ada yang terbanting ke lantai
panggung, ada yang melingkar pingsan kena hantaman lawan dan ada pula yang
dilempar keluar dari atas panggung! Tak lama kemudian maka selesailah babak
penyisihan pertama itu. Dua belas orang roboh kalah dan dua belas lainnya
sebagai pemenang. Setelah diadakan istirahat beberapa lamanya terdengarlah gong
dicanang orang. Dua belas orang melompat ke atas panggung, mencari lawan
masing-masing diiringi sorak-sorai orang banyak. Masing-masing peserta
sayembara mengeluarkan ilmu simpanan mereka, berusaha untuk bertahan, mendesak
dan merobohkan lawan, sampai akhirnya keluar lagi enam orang pemenang. Seperti
tadi, Unang Gondola adalah peserta yang pertama sekali merobohkan lawannya.
Lawannya yang kedua ini sama saja nasibnya dengan yang pertama tadi, yaitu
dipukul pada pelipisnya sementara lawan itu berdiri nanar, maka Unang Gondola
melemparkannya keluar panggung!
Kini akan segera dimulai babak
ketiga. Tiga pasangan saling berhadap-hadapan. Gong berbunyi dan
pertempurandimulai. Mata para penonton lebih banyak ditujukan kepada Unang
Gondola yang karena kehebatannya jadi dikagumi. Pertarungan kali ini sungguh
hebat karena kalau ketiga pasang itu berhasil melalui babak penyisihan pertama
dan kedua berarti ilmu mereka sudah mencapai tingkat tinggi. Unang Gondola
berhadapan dengan lawan seorang pemuda bertubuh tinggi besar, sedang dia
sendiri pendek dan agak kurus. Tapi tubuh yang tinggi besar itu bukan apa-apa
bagi Unang Gondola. Dengan ilmunya yang tinggi dipermainkannya pemuda itu
sehingga si pemuda tak ubahnya seperti seorang bodoh yang terhuyung kian
kemari, melompat ke sana melompat ke sini menangkap seekor kodok nakal! Dua
jurus berlalu. Mengetahui bahwa tingkat kepandaian lawan berada jauh di
bawahnya maka sekali saja dia menggerakkan tangan kanannya ke kening pemuda
itu, lawannya terjerongkang mental ke belakang. Saat itu tanpa menunggu lebih
lama Unang segera mencekal leher dan ikat pinggang si pemuda, maksudnya hendak
dilemparkan keluar panggung. Tapi si pemuda yang sudah kena terpukul itu dengan
cepat mencekal leher Unang Gondola ketat sekali!
"Keparat!" maki Unang
Gondola dalam hati. Digesernya letak kedua kakinya. Tubuhnya merunduk sedikit,
siku kanannya menyodok ke iga sedang dengan tangan kirinya dijambaknya rambut
lawan lalu tubuh pemuda itu dengan mengeluarkan bentakan menggeledek
dibantingnya ke lantai!
"Krak!" Salah satu dari
lantai papan patah dan tubuh si pemuda tidak bergerak lagi. Kepalanya pecah,
tulang lehernya patah dan beberapa tulang iganya hancur! Inilah korban nyawa
pertama di antara para peserta. Sementara orang banyak bertempik sorak
menyambut kemenangan Unang Gondola maka Sultan Banten berpaling kesamping, ke
arah Patih Sumapraja.
"Paman Patih, siapakah
laki-laki baju hijau yang begitu hebat itu...?" tanya Sultan.
"Saya sendiri tidak tahu,
Sultan. Tunggulah saya tanyakan pada ketua sayembara."
Sang Patih mendekati seorang
laki-laki yang menjadi ketua sayembara itu, setelah bicara sebentar lalu
kembali kepada Sultan dan menerangkan: "Laki-laki itu bernama Kuntawirya,
ilmunya memang hebat dan agaknya dialah yang akan keluar sebagai
pemenang."
Sultan mengangguk. "Melihat
kepada umurnya yang sudah agak lanjut memang tidak aneh kalau dia memiliki ilmu
kepandaian yang begitu tinggi. Tapi aku tidak senang melihat cara dia
melekatkan tangan sampai lawannya menghembuskan nafas penghabisan seperti
itu!"
"Benar, Sultan," sahut
Patih Sumapraja. "Tapi ini adalah risiko setiap sayembara adu silat."
Sultan melihat kembali ke
panggung. Saat itu hanya tinggal dua pasang peserta lagi dan masing-masing
mereka bertempur mati-matian untuk dapat merobohkan lawannya. Akhirnya peserta
kedua roboh menyusul peserta ketiga dan kini tinggallah pemenang satu di
antaranya tiga adalah Unang Gondola. Sebelum ketiga orang ini menghadapi lawan
satu demi satu secara segi tiga maka diadakan istirahat yang lama sekali. Namun
akhirnya suara gong menggema juga dan untuk kesekian kalinya terdengar pula
tempik sorak orang banyak. Tiba-tiba tempik sorak itu menjadi terhenti karena
orang banyak melihat Unang Gondola melambai-lambaikan tangannya. Penonton
bertanya-tanya apa yang hendak diperbuat laki-laki berbaju hijau tua ini. Unang
Gondola kelihatan melangkah ke ujung belakang panggung lalu menjura dan berkata
dengan suara keras: "Sultan Banten Yang Mulia, seperti kita lihat bersama,
saat ini terdapat tiga orang pemenang, satu di antaranya adalah saya sendiri.
Ini berarti bahwa kami akan bertanding secara segitiga. Menurut pendapat saya
yang bodoh ini, pertandingan cara segitiga itu disamping akan memakan waktu
lama, juga kemenangan yang dicapai tidak bersifat murni adanya karena lawan pertama
atau kedua yang sudah lelah nanti akan dihadapkan dengan lawan ketiga yang
masih segar bugar. Dari itu, Sultan Yang Mulia, bilamana Sultan tidak keberatan
saya akan mengajukan usul yaitu sebaiknya saya menghadapi mereka berdua
sekaligus. Kalau saya kalah, saya akan turun panggung dan mereka boleh
melanjutkan pertandingan satu lawan satu!"
"Hem... sombong benar orang
ini," kata Sultan tidak senang.
"Tapi biarlah, sesuai dengan
kesombongannya aku akan izinkan dia menghadapi dua lawan sekaligus!" Sultan
kemudian melambaikan tangannya. Inilah suatu tanda bagi orang banyak bahwa
permohonan si baju hijau disetujui Sultan. Meskipun banyak orang bersorak
mendengar keputusan itu tapi banyak pula yang tidak bersenang hati melihat
kecongkakan orang yang menganggap remeh dua orang peserta sayembara lainnya.
Dan memang yang paling sakit hati dan paling merasa dihina adalah kedua pemuda
itu. Diam-diam kedua pemuda ini saling melirik dan tersenyum. Ini satu tanda
bahwa mereka sama-sama bertekad bulat untuk menghajar habis-habisan Unang
Gondola, manusia bermuka buruk yang congkak itu!
Gong dipukul. Pemuda yang dua
orang segera berpencar. Unang Gondola tersenyum mengejek dan maju satu langkah.
Sambil bertolak pinggang dia menantang: "Ayo, pemuda-pemuda keren. Kalian
mulailah! Serang aku!"
Tapi baik pemuda yang memakaibaju
putih maupun yang memakai baju ungu tidak bergerak. Mereka hanya menjawab
tantangan itu dengan balas senyum mengejek, membuat Unang Gondola menjadi
beringas. Tiba-tiba dengan bentakan menggeledek, laki-laki ini menyerbu ke
muka. Tangan dan kakinya terpentang di kedua sisi. Gerakan yang hebat ini
mengeluarkan siuran angin deras. Blong Ijo, pemuda berpakaian ungu melihat
bagian dada lawan terbuka, sambil berkelit ke samping dia menggebuk ke arah dada
Unang Gondola sedang dari samping yang lain, Karnadipa, si pemuda baju putih
sambil melompat ke samping coba menotok tulang-tulang iga lawannya. Namun baik
serangan Unang Gondola maupun serangan kedua lawannya sama-sama Mengenai tempat
kosong. Blong Ijo dan Karnadipa cepat membalik dan dengan serentak mereka
mengirimkan serangan kembali, keduanya mengarah ke punggung Unang Gondola.
Karena serangan itu sedemikian cepatnya sedang Unang Gondola membelakangi kedua
lawannya dapatlah dipastikan oleh orang banyak bahwa laki-laki sombong itu akan
jatuh menelungkup ke lantai panggung terkena hantaman dua tinju lawan yang
keras!
Tapi justru dalam gebrakan kedua
inilah Unang Gondola memperlihatkan kehebatannya. Laksana seekor burung elang,
laki-laki ini kelihatan menukik dengan kepala ke arah lantai panggung.
Bersamaan dengan itu kedua telapak tangannya ditempelkan di panggung sedang dua
kakinya melesat ke belakang menghantam ke jurusan tubuh kedua lawannya, laksana
tendangan seekor kuda jantan liar yang tengah mengamuk!
Gerakan ini bukan suatu gerakan
yang mudah, apalagi dalam keadaan diserang lawan sekaligus dua orang dari
belakang! Namun semuanya itu dilakukan oleh Unang Gondola dengan cepat dan
lihay sekali! Dapatlah dibayangkan bagaimana tingginya ilmu yang diwarisi
laki-laki ini dari gurunya Resi Mintaraya.
Baik Karnadipa maupun Blong Ijo
terkejutnya bukan main melihat serangan aneh ini tetapi sangat berbahaya!
Cepat-cepat mereka melompat ke samping. Blong Ijo sambil mengelak coba
menangkap kaki Unang Gondola dengan kedua tangannya. Tapi seperti kaki kiri
laki-laki itu bermata maka sebelum maksud Blong Ijo kesampaian tiba-tiba cepat
sekali kaki tersebut bergerak dan bagian tumitnya turun deras menghantam ke
bagian bawah perut Blong Ijo!
Blong Ijo melipat lutut kanannya.
Bentrokan antara lutut dan kaki tidak bisa dihindarkan lagi. Tubuh Blong Ijo
terhuyung-huyung beberapa langkah. Lututnya sakit sekali. Di sebelah sana
dengan jungkir balik Unang Gondola berdiri kembali di atas kedua kakinya tapi
terpaksa harus berkelebat cepat karena saat itu Karnadipa, lawannya yang
seorang lagi datang melancarkan serangan dan serangan ini dengan mudah dapat
dielakkan. Bukan main ramainya pekik sorak orang banyak melihat pertandingan
dua lawan satu yang hebat itu. Seorang penduduk kotaraja meleletkan lidahnya
sambil berkata: "Laki-laki hijau itu memang hebat ilmunya, sayang dia agak
sombong!"
Kembali Unang Gondola berada
ditengah-tengah kedua orang lawannya. Blong Ijo yang berada paling dekat
tiba-tiba melancarkan pukulan tangan kanan ke arah lambung sedang berbarengan
dengan itu Karnadipa mengirimkan kaki kanannya ke iga Unang Gondola. Murid Resi
Mintaraya ini miringkan tubuhnya ke samping. Begitu jotosan Blong Ijo lewat
segera jari-jari tangan kanannya yang dipentang dan dilipat lurus menyelinap ke
bawah lengan. Serangan yang dilancarkannya ini dilakukan dengan memiringkan
tubuh sehingga sekaligus mengelakkan tendangan yang ditujukan ke iganya!
"Duk!" Jotosan lipatan
jari-jari tangan Unang Gondola menghantam bawah ketiak Blong Ijo dengan sangat
tepatnya, tak kuasa dielakkan oleh pemuda baju ungu itu. Tubuhnya mental jauh.
Sebuah tulang iganya patah dan tubuh dalamnya terluka parah. UnangGondola
menyeringai mengejek. Tapi seringainya ini hilang dengan serta merta laksana
direnggutkan setan tatkala dari samping kiri, tiada diduganya sama sekali
Karnadipa berkelebat dengan sangat cepat. Dengan pinggiran telapak tangan
kanannya Karnadipa berhasil menghantam pangkal tengkuk Unang Gondola. Pukulan
pinggiran tapak tangan ini merupakan pukulan amat ampuh dan benar-benar
diandalkan oleh Karnadipa.Tapi betapa terkejutnya ketika menyaksikan bagaimana
Unang Gondola hanya terhuyung-huyung beberapa langkah ke muka. Setelah
mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian yang terpukul tiba-tiba Unang membalikkan
tubuhnya dengan cepat. Karnadipa yang masih terheran-heran karena tak percaya,
tak sanggup mengelakkan kepalan tangan kanan yang dahsyat dari Unang Gondola
yang menghantam pelipisnya. Pemuda ini terjungkal ke belakang dengan pandangan
gelap berkunang-kunang. Pada saat itu Unang Gondola sudah melompat pula ke
muka. Tangan kanannya menjambak rambut Karnadipa lalu diputar dan
"krak!" Terdengar suara patahan tulang leher. Berapa orang perempuan
yang menyaksikan dan mendengar suara patahnya tulang leher itu memekik dan
menutup muka mereka dengan kedua tangan.
Ketika jambakan dilepas, tubuh
Karnadipa yang sudah tidak bernyawa itu melosoh ke lantai dan tanpa ragu-ragu
Unang Gondola menendangnya sampai keluar panggung, jatuh jauh di belakang orang
banyak! Di sebelah sana kelihatan Blong Ijo bangkit berdiri perlahan-lahan.
Tubuhnya miring dan mukanya pucat akibat luka dalam yang hebat. Unang Gondola
melangkah mendekati pemuda Ini dengan senyum mengejek. "Orang muda,kau
menyerahlah dan nyawamu akan selamat!"
Biong ijo murid seorang pendekar
berhati kesatria, meskipun sadar bahwa dirinya terluka hebat dan tak akan
sanggup melawan musuh tangguh itu, namun kata-kata menyerah tidak dia kenal
dalam hidupnya!
"Menyerah?!" desis
pemuda itu.
"Aku lebih baik mampus
daripada menyerah!"
"Manusia tolol! Dikasih
kehidupan maunya mampus!" ketus Unang Gondola, tubuhnya bergerak ke kanan
mengirimkan pukulan tangan kiri ke kepala lawan. Blong Ijo menunduk, dengan
tangannya yang sebelah kanan pemuda ini mengirimkan pukulan jarak jauh. Tapi
karena bagian tubuhnya sudah terluka maka pukulan tenaga dalam ini tidak ada
artinya bahkan tangannya yang dipakai memukul kena dicengkeram oleh Unang
Gondola. Sesaat kemudian terdengar bentakan laki-laki itu dan semua mata
melihat bagaimana tubuh Blong Ijo melesat ke udara, jatuh di luar panggung dan
mati! Maka hiruk pikuklah halaman istana itu oleh suara sorak-sorai orang
banyak. Unang Gondola melambai-lambaikan tangannya penuh bangga. Hatinya sangat
gembira dan puas. Bukan saja dia sudah berhasil mengalahkan dua lawannya
sekaligus, tapi lebih dari itu sebagai utusan rahasia yang dipercaya oleh Prabu
Pajajaran dia berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Dia menang, dia akan
menerima hadiah keris. Tapi keris itu tidak penting, yang lebih penting adalah
menjadi Kepala Balatentara Banten! Kalau jabatan tinggi itu bisa dipegangnya
dengan sangat empuk. Maka untuk selanjutnya apa yang menjadi cita-cita Raja dan
rakyat Pajajaran pasti mudah pula terlaksana yaitu menghancurkan Banten!
Menyamaratakan Banten dengan tanah!Diam-diam meskipun kagum akan ketinggian
ilmu silat Unang Gondola tapi dalam hatinya Sultan tidak begitu senang terhadap
laki-laki itu. Rasa tidak senang ini adalah dikarenakan sikap Unang Gondola
yang congkak serta kejam. Sebenarnya dia bisa mengalahkan lawan-lawannya tadi
tanpa membunuhnya!
Tapi kenyataan yang sudah terjadi
tak bisa dirobah lagi. Dari langkan istana terdengar seruan: "Saudara
pemenang, diharap menghadap Sultan Banten untuk menerima ucapan selamat dan
menerima hadiah keris kerajaan!"
Diiringi tempik sorak Unang
Gondola melangkah ke hadapan Sultan dan menjura. Seorang gadis cantik
dayang-dayang istana mengangkat nampan di mana keris hadiah terletak. Sultan
berdiri dan membuka kain penutup nampan maka kelihatanlah sebilah keris yang
keseluruhannya terbuat dari perak putih, sangat bagus ukiran-ukiran sarung dan
gagangnya serta memancarkan sinar menyilaukan mata. Sultan mengambil keris
perak tersebut dan menyerahkannya kepada Unang Gondola seraya berkata:
"Orang gagah, keris ini kuberikan padamu karena kau telah memenangkan
sayembara yang diadakan dan juga sekaligus merupakan lambang pengangkatanmu
sebagai Kepala Balatentara Banten!
"Kalimat yang diucapkan oleh
Sultan tersebut tidak keras tetapi karena suasana sunyi senyap maka hampir
semua orang dapat mendengarnya dan sesudah itu maka kembali terdengar tempik
sorak gegap gempita.
"Terima kasih, Sultan Yang
Mulia," kata Unang Gondola sambil menerima keris perak itu. Dia turun dari
langkan istana dan kembali kepanggung. Keris perak yang ditangannya
diacung-acungkannya ke atas, dengan penuh bangga diperlihatkannya kepada orang
banyak. Tiba-tiba, hampir tidak terlihat oleh mata karena sangat cepatnya,
sesosok bayangan putih melompat naik ke atas panggung. Unang Gondola terdengar
mengeluarkan suara seruan tertahan dan keris perak yang dipegangnya terlepas
lenyap dari tangannya!
***
LIMA
SEMUA orang termasuk Sultan
sendiri menjadi sangat terkejut ketika melihat bagaimana kini di atas panggung,
beberapa langkah dari hadapan Unang Gondola berdiri seorang laki-laki
bertampang keren berpakaian putih-putih sederhana sekali. Yang membuat semua
orang lebih-lebih terkejutnya ialah karena keris perak yang tadi dipegang oleh
Unang Gondola kini berada di tangan si orang asing. Bergetar tubuh Unang
Gondola karena mendidih darahnya. Kedua matanya menyorot garang. Dia maju
kehadapan laki-laki gagah tak dikenalnya. Seraya membentak dia bertanya:
"Manusia rendah! Apa kau punya dua nyawa sampai berani membuat kekejian
terhadapku di depan ribuan manusia dan di hadapan Sultan?!"
Orang berpakaian putih-putih
mengeluarkan suara tertawa mengejek.
"Baju hijau, di hadapanku
tak Usah bicara sombong! Jangan terlalu girang bahwa kau akan menjadi Kepala
Balatentara Banten! Aku juga mempunyai hak untuk jabatan itu...!"
"Keparat edan! Kalau kau
tidak mengembalikan keris itu dan turun dari panggung ini, kupecahkan kepalamu!"
"Heh! Sobat, tidak semudah
itu memecahkan kepalaku!" balas si baju putih. Karena tidak dapat menahan
sabar lagi, Unang Gondola segera melompat menyerbu! Tapi serangan yang penuh
keganasan ini dengan mudah dapat dielakkan oleh si baju putih. Dari langkan
istana terdengar suara memerintah. Tahan!"
Unang Gondola yang hendak
menyerang kembali segera menghentikan gerakannya dan memalingkan kepala ke arah
Sultan. "Pemuda asing baju putih!
Kau yang bertindak lancang
menghina calon Kepala Balatentara Banten diharap maju ke hadapan Sultan untuk
mempertanggungjawabkan perbuatanmu!"
Mendengar itu, tanpa ragu-ragu,si
baju putih melangkah ke hadapan Sultan Banten dan menjura. "Orang lancang,
kau siapa yang berani menimbulkan kekacauan ini?!" tanya Sultan dengan
nyaring. Si baju putih tersenyum, dia menjura sekali lagi, baru menjawab:
"Sultan, agaknya terlalu
dibesar-besarkan kalau dikatakan saya datang ke sini untuk mengacau. Terus
terang saja kedatanganku ke sini justru untuk menyelamatkan Banten dari mala
petaka besar!"
Terkejut sekali semua orang dan
Sultan Banten mendengar jawaban yang berani dari laki-laki itu. Apa lagi
mendengar kalimat yang terakhir yaitu bahwa dia datang justru untuk
menyelamatkan Banten dari malapetaka besar!
Sultan dan Patih Sumapraja saling
berpandangan. Kemudian terdengar suara bertanya yang datang dari Sultan Banten.
"Jawab pertanyaanku tadi dan apa maksud kata-katamu bahwa kau datang untuk
menyelamatkan Banten dari malapetaka besar?!"
Tentang diri saya, Sultan,
kiranya tidak penting. Saya seorang gunung yang bodoh, bernama Tirta, Guru saya
bernama Ki Balangnipa, diam di Gunung Gede...."
Sampai di situ orang bernama
Tirta ini melirik ke samping dan melihat bagaimana air muka Unang Gondola
menjadi berubah ketika dia menyebutkan nama gurunya. Untuk daerah barat nama Ki
Balangnipa sebagai tokoh silat memang terkenal dan disegani. Dipuncak Gunung
Gede tokoh kenamaan ini mendirikan sebuah perguruan. Kalangan istana Banten
sendiri termasuk Sultan dan Patih juga pernah mendengar nama Ki Balangnipa itu.
Tirta melanjutkan kata-katanya kembali. "Mengenai malapetaka besar yang
saya katakan itu, akan saya terangkan nanti. Lebih dahulu saya jelaskan bahwa
saya datang ke sini juga mempunyai maksud lain yaitu untuk mengikuti
sayembara....."
"Sayembara sudah selesai dan
sudah dimenangkan oleh saudara berbaju hijau tua bernama Kuntawirya itu!"
kata Patih Sumapraja.Tirta menganggukkan kepala dan mengulum senyum. "Saya
mengerti dan saya akui saya datang terlambat karena kabar tentang adanya
sayembara tersebut baru kemarin dulu saya dengar. Tapi meskipun demikian,
dengan segala kerendahan hati saya mohon agar Sultan mengizinkan saya untuk
tetap mengambil bagian meskipun sudah terlambat...."
"Orang gunung tidak tahu
diri!" terdengar suara memaki dari samping panggung. Ini adalah suaranya
Kuntawirya. "Sayembara telah selesai apa kau tak punya muka dan tidak tahu
main?!"
Tirta menyeringai,
"Aku tidak bicara denganmu
saudara, tapi dengan Sultan Banten!"
Merahlah paras buruk dari
Kuntawirya alias Unang Gondola. Tirta berpaling pada Sultan Hasanuddin kembali
dan membuka mulut: "Ketahuilah Sultan, bila Sultan mengizinkan saya untuk
ambil bagian dalam sayembara ini maka sekaligus saya diberikan jalan untuk
menolong Banten dari malapetaka besar itu...."
Di samping sana Kuntawirya maju
ke muka, "Sultan," katanya seraya mengangkat tangan kanan ke atas.
"Demi keadilan aku minta agar orang sinting ini diperintahkan turun dari
atas panggung. Atau perlukah aku menendangnya dari sini?!"
Sultan Banten tak bisa memberikan
jawaban dengan segera. Orang yang mengaku bernama Tirta itu datang terlambat
dan memang tidak bisa lagi untuk ambil bagian dalam sayembara yang sudah
selesai. Tapi Sultan memaklumi pula bahwa manusia Tirta ini bukan orang sembarangan,
berilmu tinggi bahkan mungkin lebih tinggi dari Kuntawirya sendiri! Gunung Gede
letaknya tidak dekat dari Banten dan kalau Tirta berhasil sampai ke Banten
dalam tempo dua hari sebagaimana yang diterangkannya, dapat dibayangkan ilmu
lari macam mana yang dimilikinya. Di samping itu tadi Tirta telah pula
memperlihatkan kehebatannya yaitu merampas keris perak yang berada di tangan
Kuntawirya, si calon Kepala Balatentara Banten! Apakah seorang yang akan
menjadi Kepala Balatentara Banten bisa dipreteli begitu saja?
Lagi pula mengingat sikap
Kuntawirya yang pongah itu maka semakin bimbanglah hati Sultan Banten ini.
"Bagaimana pendapatmu, Paman
Patih?" tanya sang Sultan tanpa berpaling pada Patih Sumapraja. Patih ini,
yang tahu kalau Sultan berada dalam kebimbangan segera menjawab, "Agaknya
tidak ada salahnya bilamana Kuntawirya diuji lebih dahulu dengan orang baju
putih itu, Sultan."
Sultan melambaikan tangan
kirinya. 'Tirta, kau kuizinkan untuk bertanding dengan Kuntawirya. Jika kau
kalah kau harus menghambakan diri kepada Kuntawirya! Dan kau Kuntawirya, ini
suatu ujian bagimu. Buktikanlah bahwa kau memang benar-benar bukan seorang
Kepala Balatentara Banten yang mengecewakan. Sebaliknya jika kalah maka kau
akan menduduki jabatan sebagai wakil Tirta, Wakil Kepala Balatentara!"
Gusarlah Kuntawirya mendengar
keputusan ini. "Apakah tidak ada kebenaran dan keadilan di Banten
ini?!" tanyanya sambil memandang berkeliling. Kedua matanya kemudian
menatap tepat-tepat kepada Sultan.
"Sultan, tadi Sultan sendiri
yang telah memberikan keris itu kepada saya, Sultan sendiri yang memutuskan
bahwa saya telah menjadi Kepala Balatentara Banten! Apakah keputusan tersebut
dapat diubah sedemikian enak dan mudahnya, seperti membalikkan telapak tangan?
Alangkah memalukannya!
Terlebih lagi mengingat itu
adalah keputusan seorang Raja, seorang Sultan!"
Air muka Sultan tampak memerah.
Patih Sumapraja membuka mulutnya dan berkata dengan suara
keras."Kuntawirya, jangan bicara sembrono terhadap Sultan Banten! Sultan
Banten berhak membuat segala macam keputusan dan berhak pula merubah keputusan
Itu bilamana dianggapnya perlu! Bila kau tidak punya nyali melawan orang yang
bernama Tirta itu, turunlah dari panggung!"
Bergetar kedua tinju Kuntawirya
alias Unang Gondola ketika mendengar kata-kata Sumapraja bahwa dia tidak punya
nyali untuk menghadapi Tirta!
"Patih Banten!" katanya
dengan suara tak kalah keras. "Buruk-buruk begini, tapi sepuluh manusia
macam orang gunung ini masih sanggup aku hadapi!"
"Kalau begitu pertandingan
bisa dimulai!" kata Patih Sumapraja pula.
Dia melambaikan tangannya dan
terdengarlah suara gong menggema.
***
ENAM
TANPA menunggu lebih lama
Kuntawirya segera menyerang Tirta. Dari angin pukulan dan tendangan yang datang
dengan sekaligus Tirta maklum bahwa lawannya tidak enteng, tapi kalau tadi dia
sanggup merampas keris perak maka walau bagaimanapun tingkat kepandaian
Kuntawirya masih berada di bawahnya. Dia melompat menjauh ke tepi panggung dan
berseru: "Sultan, harap dimaafkan kalau perbuatan saya ini lancang. Tapi
adalah lebih baik kalau keris perak murni ini untuk sementara diletakkan
kembali di tempatnya semula!"
Bersamaan dengan itu Tirta
menggerakkan tangannya. Keris yang tadi dipegangnya melesat ke udara dan jatuh
di atas nampan di hadapan Sultan. Tanpa menimbulkan suara barang sedikit pun!
Semua mata memandang tak percaya. Sultan sangat kagum dengan kehebatan Tirta
ini dan segera berkata: "Hadapi lawanmu, Tirta.
"Pada saat datang sambaran
angin dari belakangnya, Tirta cepat menggeser tubuh ke samping. Jotosan tangan
kanan yang berbahaya dari Kuntawirya lewat di dekat kepalanya. Sambil menekuk
lutut Tirta menyodok bagian yang lowong di pinggang lawan. Tapi Kuntawirya
tidak bodoh. Dengan memiringkan tubuh sedikit saja dia berhasil mengelakkan
serangan itu. Serentak dengan gerakannya ini maka kaki kirinya membabat ke
bawah perut Tirta sedang lututnya sekaligus memapaki sodokan lawan! Namun
sodokan Tirta ke pinggangnya itu cuma serangan tipuan belaka karena dengan cepat
Tirta menarik pulang tangannya dan sebagai gantinya kini tangan kanannyalah
yang meluncur ke pangkal leher Kuntawirya! Dalam keadaan seperti itu tidak
memungkinkan bagi Kuntawirya alias Unang Gondola untukmerundukkan kepala
mengelak serangan Tirta. Dia membuang diri ke belakang. Untuk menghindari
jotosan lawan mengenai dadanya, laki-laki Ini mempergunakan tinju kanannya pula
untuk menyambut. Dua kepalan saling beradu dengan dahsyat di udara. Maka
kelihatanlah Kuntawirya terhuyung-huyung jauh ke belakang sedang Tirta hanya
beberapa langkah saja! Ramailah pekik sorak orang yang banyak melihat
pertandingan yang hebat ini!
Kuntawirya terkejutnya bukan main
ketika melihat bagaimana kulit tangannya yang tadi beradu dengan kepalan lawan
kini menjadi biru bengkak. Untuk selanjutnya dia tidak berani lagi mengadu
kekuatan cara itu dengan Tirta. Memaklumi bahwa tenaga dalam Tirta tidak berada
di bawahnya, maka dengan mengandalkan kegesitan dan kecepatan gerakannya
Kuntawirya segera melancarkan serangan bertubi-tubi. Dia harus tidak memberikan
kesempatan pada lawannya, karena sekali lawan kena mendesak, akan payah bagi
dia untuk menghadapi. Namun kecepatan dan kegesitan murid Resi Mintaraya itu
tak ada artinya bagi Tirta. Bahkan demikian juga ketika Kuntawirya mengeluarkan
ilmu simpanannya yang sangat diandalkan, Tirta seakan-akan tahu seluk-beluk
ilmu silat yang dimainkan lawannya itu!
Beberapa kali tubuh Tirta
berkelebat seperti lenyap dan pada permulaan jurus ke empat saja Kuntawirya
dipaksa berkenalan dengan lutut kiri Tirta. Tubuh Kuntawirya mental, hampir
jatuh duduk di lantai panggung dan pada saat ini pula datang lagi serangan
tendangan maut dari Tirta. Dengan jungkir balik murid Resi Mintaraya berusaha
mengelakkan serangan itu, namun celakanya begitu dia berdiri di atas kedua
kakinya kembali tahu-tahu sudah datang pula serangan yang sangat cepat dari
lawannya, tak sanggup dielakkan! Satu-satunya jalan adalah menangkis dengan
lengan kanan. Namun serangan jotosan tangan kanan Tirta meskipun tertuju ke
kepala sasaran sebenarnya adalah tulang iga lawan. Dengan sendirinya Kuntawirya
tertipu!
"Krak!" Tulang iga
Kuntawirya patah. Tubuhnya mental dan roboh tak sadarkan diri di atas
panggung!Seperti hendak runtuh langit diatas halaman istana itu ketika
terdengar tempik sorak yang tiada hentinya dari penonton pertandingan menyambut
kemenangan Tirta, yang demikian hebatnya sehingga Kuntawirya yang berilmu
tinggi dapat dibereskan dalam tempo lima jurus saja!
Tirta melambai-lambaikan
tangannya. Setelah sorak-sorai orang banyak mereda maka dia berpaling kepada
Sultan Hasanuddin. "Sultan Yang Mulia, sekarang tiba saatnya bagi saya
untuk menerangkan malapetaka besar yang saya katakan tadi." Tirta menunjuk
ke tubuh Kuntawirya yang menggeletak pingsan di atas panggung.
"Sultan Yang Mulia, mungkin
Sultan dan seluruh rakyat Banten yang hadir di sini tidak tahu siapa manusia
ini adanya. Sultan dan semua orang di sini cuma mengenalnya, dengan nama
Kuntawirya! Tapi itu adalah nama palsu belaka, Sultan. Manusia ini sebenarnya
bernama Unang Gondola! Utusan rahasia Prabu Sedah dari Pajajaran,
murid...."
Sampai di situ Tirta tidak dapat
meneruskan kata-katanya karena dengan sangat tiba-tiba, dari jurusan kiri
melesat bayangan biru. Dan bersamaan dengan itu terdengar suara
"pess". Di atas panggung mengepul asap putih tebal serta berbau
busuk. Tubuh Tirtadan Kuntawirya tidak kelihatan sama sekali, tertutup oleh
asap tebal itu. Gaduhlah semua orang melihat kejadian itu. Beberapa saat
berlalu. Sedikit demi sedikit asap tebal mulai menipis. Kemudian samar-samar
kelihatanlah Tirta duduk bersila di lantai panggung tidak bergerak-gerak. Kedua
matanya terpejam seperti seseorang yang tengah bersemadi. Pemuda ini tengah
mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak serangan asap putih yang busuk dan
jahat yang hendak merobohkannya!
Sesudah asap aneh itu hilang sama
sekali dari atas panggung maka bahwa tubuh Kuntawirya yang tadi menggeletak
pingsan di atas panggung kini sudah tidak ada lagi, hilang lenyap! Semakin
gaduhlah orang banyak sedang pihak kalangan istana termasuk Sultan sendiri
disamping keheranan juga merasa cemas. Apakah sesungguhnya yang terjadi?
Waktu Tirta bicara menerangkan
tentang Siapa sesungguhnya Kuntawirya maka dari bawah panggung melesat sesosok
bayangan biru. Ini tak lain adalah sosok tubuh dari Resi Mintaraya, guru Unang
Gondola alias Kuntawirya yang tengah menyamar itu! Sambil melompat ke atas
panggung si resi sakti mengeluarkan senjata rahasianya yaitu berupa asap tebal
yang busuk sehingga ketika mata semua orang tak melihat apa-apa, tertutup oleh
asap tebal itu, dengan cepat Resi Mintaraya membopong tubuh muridnya dan
berkelebat meninggalkan tempat itu! Bagaimana pula resi sakti ini sampai di
kotaraja Banten? Sewaktu muridnya dikirim menjadi utusan rahasia Sang Prabu
Sedah, Raja Pajajaran, maka diam-diam Mintaraya mengikuti perjalanan muridnya.
Unang Gondola adalah murid yang paling disayangi oleh sang resi. Dia memaklumi
bahwa di Banten bukan sedikit terdapat orang-orang sakti,tokoh-tokoh terkenal
dunia persilatan, yang mungkin akan mencelakai muridnya itu meskipun sang murid
juga mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Karenanya diam-diam Mintaraya mengikuti
perjalanan muridnya itu.
Dan ketika tadi dengan mata
kepalanya sendiri dilihatnya Unang dirobohkan lawan serta hendak dibuka kedok
rahasia siapa dia sebenarnya maka tidak menunggu lebih lama lagi Mintaraya
segera melompat ke atas panggung menolong muridnya seraya melepaskan senjata
rahasia berupa asap tebal yang busuk. Senjata rahasia ini dilepaskannya dengan
dua maksud Pertama untuk menutupi agar tidak seorang pun melihat dia mengangkat
tubuh Unang Gondola sehingga bisa berlalu tanpa banyak kesukaran dan kedua
adalah untuk membunuh Tirta. Namun untungnya Tirta memiliki ilmu batin yang
kuat sehingga berhasil menolak bahaya keracunan dengan duduk bersila dan
menutup kelima pancainderanya. Adapun orang banyak yang berada di sekitar
panggung cepat-cepat menjauhkan diri ketika membaui asap busuk sehingga mereka
juga terhindar dari keracunan. Perlahan-lahan Tirta membuka kedua matanya. Dia
memandang berkeliling dan melihat betapa orang banyak yang tadi berkerubung di
sekitar panggung kini berdiri menjauhi panggung.
Sedang di langkan istana
orang-orang kalangan istana yang tadi duduk sampai ke dekat tepi panggung kini
juga kelihatan menjauh sampai ke tempat duduk Sultan dan para hulubalang! Tirta
berdiri dan melangkah ke hadapan Sultan, dia sudah maklum kalau tubuh Unang
Gondola sudah tidak ada lagi di atas panggung.
"Sultan, harap dimaafkan
kalau saya telah berlaku lengah sehingga manusia biang malapetaka itu berhasil
dibawa lari orang dari sini. Sepanjang sepengetahuan saya, satu-satunya manusia
yang mempunyai ilmu asap beracun itu adalah Resi Mintaraya dari gunung Halimun
dan tak lain adalah seorang Resi jahat yang menjadi guru Unang Gondola!"
Air muka Sultan Banten
kelihatanpucat. Kemudian dengan berusaha mengulum senyum dia berkata: "Tak
apa Tirta. Walau bagaimanapun kau tetap telah menyelamatkan Banten dari
malapetaka besar. Jika kau tidak muncul di sini, dan manusia Kuntawirya itu
berhasil menduduki jabatan Kepala Balatentara, maka celakalah Kerajaan Banten!
Tirta, kau majulah. Terimalah keris perak ini...."
Di hadapan Sultan Hasanuddin
Tirta menjura lalu mengulurkan tangannya menerima keris perak yang berukir
indah itu. Dan untuk kesekian kalinya, senyap suasana yang tadi sunyi diliputi
ketegangan yang menggidikkan kini pecah dirobek oleh suara tempik sorak orang
banyak.
***
TUJUH
HARI itu di istana diadakan
sidang penting. Turut hadir diantaranya adalah Raden Mas Tirta, yang sudah
diangkat sejak setahun yang lalu menjadi Kepala Balatentara Banten dan
kepadanya diberikan gelaran Raden Mas. Sidang kali ini khusus membicarakan
mengenai penyelundup-penyelundup dan mata-mata Pajajaran yang semakin
menjadi-jadi menyusup ke Banten. Berbagai kerugian telah ditimbulkan oleh
penyusup-penyusup itu. Gudang padi di beberapa tempat dibakar, tanggul-tanggul
air dibobol dan lain sebagainya, sebegitu jauh baru satu orang pelaku yang
dapat ditangkap dan dihukum. Selain itu masih ada belasan orang lagi
berkeliaran.
Seorang pemuda berpakaian
sederhana kelihatan mundar-mandir dihalaman luas hadapan istana. Dia bergerak
di antara orang banyak yang lalu-lalang sehingga tidak menjadi kecurigaan para
pengawal. Namun sesungguhnya pemuda ini seorang mata-mata Pajajaran juga
adanya. Dia langsung dikirim, atas kehendak Prabu Sedah, Raja Pajajaran.
Namanya Ismaya. Meskipun masih muda tapi tangkas dan tinggi ilmunya, cuma satu
tingkat kalahnya di bawah Unang Gondola. Mata-mata Pajajaran yang seorang ini
mendapat tugas istimewa dari Prabu Sedah yaitu mencari berita-berita penting
dari kalangan orang-orang istana Banten yang bisa "dibeli" dan
menimbulkan kekacauan huru-hara diKotaraja untuk melemahkan Banten dari dalam!
Demikianlah, hari itu ketika
diketahuinya bahwa di istana sedang diadakan sidang penting maka Ismaya segera
menuju ke sana. Tapi sidang kali ini dijaga ketat oleh para pengawal sehingga
ismaya tidak dapat menyusup mencari berita. Bukan main kesalnya pemuda ini. Dia
mundar mandir dan kedua kakinya mulai terasa pegal.
Apa yang harus dikerjakannya?
Sidang sudah berjalan sejak pagi dan tentu tak beberapa lama lagi akan segera
selesai sedang dia masih juga belum berhasil mendapatkan keterangan barang
sedikitpun! Dalam kebingungannya, pemuda mata-mata itu akhirnya pandangannya
membentur seekor kerbau jantan besar, bertanduk runcing melengkung, berkulit
bersih mengkilap. Di leher binatang ini tergantung telong-telong yang terbuat
dari perak sedang di atas punggungnya terkembang sehelai permadani
berkembang-kembang indah. Pada ujung ekornya diberi rumbai-rumbai kuning.
Kerbau jantan ini tak lain adalah binatang kesayangan peliharaan Pangeran,
putra Sultan Banten. Kepada sang Pangeran, binatang ini penurut dan mengerti
sekali. Namun bukan itu saja yang membuat Pangeran sayang kepadanya. Ada pula
sebab yang lain yaitu bahwa binatang ini dulu pada suatu ketika pernah
menyelamatkan Pangeran dari bahaya maut diterkam harimau di tepi hutan.
Melihat binatang ini, maka
timbullah pikiran jahat di otak Ismaya yaitu sesuai dengan tugasnya mengacaukan
dan menimbulkan huru-hara di Banten. Dengan tersenyum buruk pemuda ini
melangkah ke balik sebuah pohon. Diambilnya sebutir batu kecil. Dari dalam
sabuknya dikeluarkannya sejenis bubuk lalu batu kecil tadi digosoknya dengan
bubuk tersebut. Bubuk ini adalah sejenis obat perangsang yang membuat manusia
atau binatang bisa menjadi mengamuk seperti orang gila atau kemasukan setan! Kerbau
besar itu melangkah perlahan-lahan dengan tegapnya sambil memamah rumput hijau
yang ada dalam mulutnya. Ismaya memandang dulu berkeliling. Melihat tak ada
satu orang pun didekat-dekat sana yang memperhatikannya maka dengan segera
dilemparkannya butiran batu kecil tadi ke arah hidung kerbau Pangeran. Seperti
suara geledek yang tiba-tiba, demikianlah keras serta panjangnya kuak kerbau
tersebut. Hidungnya mendengus-dengus.Ini menambah mudah bubuk rangsangan
bekerja. Kerbau itu menguak lagi sekeras-kerasnya lalu mengangkat kedua kaki
mukanya ke atas sedang ekornya berputar-putar gesit laksana sebuah cambuk!
Kedua mata binatang itu yang tadi putih bening kini kelihatan menjadi merah
laksana saga. Dan ketika di hadapannya muncul sebuah kereta istana yang membawa
barang-barang perbekalan dapur, ditarik oleh dua ekor kuda hitam, tak ayal lagi
kerbauyang sudah menjadi gila dan jalang itu berlari menyongsong! Sambil
mengeluarkan suara menguak yang dahsyat ditanduknya kedua ekor kuda kereta
tersebut. Kuda kereta meringkik tinggi lain roboh bermandikan darah. Keretanya
sendiri terbalik dan barang-barang perbekalan yang dibawa berhamburan. Kusir
kereta melompat dari kereta yang terbalik itu, tapi karena gugup telah melompat
ke hadapan kerbau yang tengah menggila sehingga dengan sendirinya diapun
menjadi korban ditanduk pada perutnya sehingga ususnya berbusaian!
Melihat kejadian itu maka orang
yang lalu-lalang dimuka istana segera lari menjauh sambil berteriak-teriak:
"Kerbau mengamuk!"
"Awas kerbau mengamuk!"
"Kerbau Pangeran mengamuk!
Lari!
Awas ditanduk!"
Beberapa orang prajurit
bersenjatakan tombak yang mengawal di dekat situ segera turun tangan. Namun
mereka pun disapu semuanya hingga roboh mandi darah oleh kerbau yang mengamuk
itu dan diinjak-injak kepalanya! Penjinak kuda dan orang yang biasa mengurus
kerbau Pangeran Jusuf ini dipanggil dimintakan bantuan mereka. Orang-orang
inipun tidak berdaya bahkan menerima nasib sama, menemui ajal ditanduk! Dalam
waktu kurang dari sepuluh menit saja sudah delapan korban berkaparan di halaman
luas itu. Jerit orang ramai semakin menjadi-jadi disertai ringkik kuda dan
diatasi oleh suara menguak kerbau yang mengamuk itu sendiri! Kotaraja menjadi
puncak heboh! Meskipun semua orang takut dan ngeri mendengar kejadian itu tapi
banyak di antara mereka yang datang berlari-lari ke sana untuk menyaksikan
kejadian itu dengan mata kepala sendiri dari kejauhan, dari balik-balik pohon
atau dari balik-balik bangunan. Beberapa orang prajurit datang lagi. Ada yang
mencoba mendekati binatang ini dari belakang, tapi roboh konyol kena tendangan
kaki. Dua orang yang datang dari muka dengan serentak menangkap tanduk sang
kerbau. Binatang ini menguak dan sekali saja dia menggerakkan kepalanya maka
berpentalanlah kedua prajurit itu. Yang satu segera meregang nyawa karena
tersambar tanduk di dadanya sedang yang satu lagi masih sempat menyelamatkan
diri. Tapi nasibnya tidak lebih baik dari kawannya tadi. Kerbau gila itu
mengejarnya dengan cepat lalu menanduknya dari belakang!
Dalam keadaan yang kacau balau
itu beberapa orang prajurit dengan takut-takut berani melemparkan tombak mereka
dari jauh. Tiga batang tombak meleset. Dua batang menancap di tengkuk dan di
pinggul. Kerbau itu menguak memperlihatkan gigi-giginya yang besar-besar lalu
lari ke arah prajurit-prajurit yang menombaknya itu, untung saja
prajurit-prajurit ini sudah lebih dahulu angkat langkah seribu. Darah keluar
dari luka kena tombak di tubuh kerbau. Binatang ini menggeser-geserkan badannya
ke tembok istana sehingga salah satu dari tombak yang menancap di tubuhnya
patah. Bagi seekor binatang yang sedang mengamuk menggila maka terluka akan
menambah gila amuknya. Demikian juga dengan kerbau kesayangan Pangeran ini.
Beberapa orang korban lagi jatuh di kalangan rakyat. Dari gardu istana mendadak
kelihatan berlari seorang kepala prajurit berpangkat rendah. Di tangannya
tergenggam sebuah keris dan prajurit yang masih muda ini segera menerjang
binatang itu. Tumit kaki kanannya menghantam tengkuk kerbau dari samping. Kerbau
yang terhuyung-huyung seketika lalu membalik dengan cepat dan menanduk. Gesit
sekali gerakan kepala prajurit itu sehingga dia berhasil mengelakkan serangan
maut tersebut dan bahkan menghunjamkan kerisnya ke kening kerbau. Binatang itu
menguak. Kedua kakinya naik keatas, ekornya menyabat buas dan dia membalikkan
tubuhnya dengan dahsyat. Gerakan yang tiba-tiba ini hampir saja mencelakai
prajurit muda tersebut. Dia menjatuhkan diri dan bergulingan ditanah. Kerbau
yang mengamuk memburu dan menanduk tapi pemuda itu berguling lagi sehingga yang
ditanduk hanyalah tanah halaman istana! Tanah itu berlobang besar!
Melihat apa kini yang terjadi di
muka istana yaitu perkelahian maut antara seorang kepala prajurit muda dengan
kerbau yang mengamuk gila, maka semakin banyaklah orang datang berkerumun ke
sana. Prajurit-prajurit yang tadinya hendak menghujani binatang itu dengan
tombak jadi terkesiap dan tanpa menyadari mereka ikut pula menonton dari
kejauhan!
Manusia lawan binatang, ini
memang satu tontonan yang luar biasa! Lupa orang banyak itu kini betapa
ngerinya korban-korban yang berkaparan di sekitar halaman luas itu! Seorang
pengawal yang tahu akan tugasnya segera lari ke dalam istana dan memberi
laporan pada Sultan. Pangeran Yusuf terkejut sekali mendengar bahwa kerbau
peliharaan yang sangat disayanginya itu tengah mengganas mengamuk dan telah
membunuh beberapa orang prajurit serta rakyat. Sidang dihentikan Pangeran orang
yang nomer satu keluar dari istana dan tanpa menyadari bahaya dia lari ke
halaman.
"Aduh kerbauku! Kenapa kau
jadi begini? Kerbauku sayang...!" seru Pangeran seraya berlari ke arah
binatang yang kini mandi darah karena tusukan-tusukan keris di tangan kepala
prajurit tadi. Kalau dulu dipanggil seperti itu sang kerbau yang mengerti dan
penurut pasti akan datang dan menjilat-jilat tangan Pangeran. Tapi dalam
keadaan mengamuk mana dia perduli sama sang Pangeran?! Kerbau itu menyerudukkan
tanduknya ke perut sang Pangeran! Orang banyak menjerit! Pasti berbusaian usus
Pangeran itu. Namun dengan sangat gesit sekali, kepala prajurit tadi mendahului
gerakan sang kerbau. Dengan tangan kirinya ditariknya lengan Pangeran.
"Maaf Pangeran! Sebaiknya
menghindarlah! Kerbau ini mengamuk gila, tak bisa dibikin jinak sekalipun oleh
Pangeran sendiri!"
Pangeran terguling di tanah.
Pakaiannya kotor oleh debu dan darah. Kepala prajurit tadi begitu menyelamatkan
Pangeran segera mengirimkan tendangan ke tengkuk kerbau. Binatang ini
terhuyung-huyung dan melenguh lalu menyabatkan ekornya ke muka kepala prajurit
itu tapi meleset. Tanpa disadari orang banyak yang tadinya ngeri melihat amukan
kerbau itu kini karena saking asyiknya melihat perkelahian antara manusia dan
binatang itu jadi bersorak-sorak!Sorak-sorai yang gegap gempita ini menelan
suara teriakan Pangeran dari ujung sana yang tiada henti-hentinya berteriak:
"Jangan bunuh kerbauku!Jangan bunuh kerbauku!"
Beberapa tusukan keris ampuh pada
kepala agaknya masih belum melemahkan binatang yang mengamuk itu malahan dia
menggila lebih dahsyat. Sambil mengelak gesit kian kemari kepala prajurit tiada
henti-hentinya menusukkan kerisnya. Namun kegesitannya itu merupakan satu
kesia-siaan belaka ketika kaki kirinya tergelincir oleh licinnya darah yang
bertebaran di tanah. Tak ampun lagi tubuhnya terpelanting ke belakang dan bersamaan
dengan itu si kerbau menyerudukkan tanduk menyerangnya. Orang banyak yang
menonton dari kejauhan tidak mengetahui betapa sesungguhnya kepala prajurit itu
tengah diancam bahaya maut. Mereka mengira bahwa dia cuma melakukan satu
gerakan menjatuhkan diri untuk menghindari serangan binatang gila itu. Namun di
antara sekian banyaknya pasang mata yang menyaksikan masih ada seorang manusia
yang memaklumi bahwa sesungguhnya kepala prajurit itu sudah dikejar maut di
depan mata! Tanpa menimbulkan perhatian orang-orang didekatnya, laki-laki yang
juga masih muda ini menggerakkan tangannya. Tak terlihat karena kecil dan
cepatnya maka melayanglah sebutir batu yang menghantam dengan tepat ke mata
kiri kerbau itu. Binatang ini menguak tinggi. Matanya pecah dan kepalanya
terdorong ke samping sehingga tanduknya hanya menghantam tanah! Kepala prajurit
itu melompat dengan cepat. Orang bersorak gemuruh. Tak satu pun di antara
mereka yang melihat lemparan batu itu tapi tidak demikian halnya dengan si
kepala prajurit yang telah tertolong jiwanya. Kepala prajurit ini sambil
melompat tadi masih sempat melihat gerakan tangan penolongnya!
Kini prajurit itu tidak main-main
lagi. Tubuhnya berkelebat dan kerisnya menusuk kepala kerbau berulang kali.
Lambat laun binatang itu menjadi lemas juga. Tubuhnya limbung terhuyung-huyung
sedang suara menguaknya tidak sedahsyat tadi lagi. Akhirnya robohlah binatang
itu ke tanah tanpa nyawa! Menggemuruh sorak-sorai orang banyak. Seorang
pengawal datang berlari menyongsong kepala prajurit yang tangkas dan berjasa
besar itu.
"Saudara," kata
prajurit ini. "Kau dipanggil menghadap oleh Sultan."
Sebelum melangkah kepala prajurit
itu mendekati penolongnya tadi terlebih dahulu dan berkata berbisik:
"Sahabat, kau jangan
kemana-mana. Tunggu aku di sini."
Pemuda berpakaian putih-putih
serba sederhana itu tersenyum dan menganggukkan kepala. Kepala prajurit tadi
datang menghadap Sultan yang menyambutnya dengan gembira: "Aku bangga
mempunyai seorang prajurit sepertimu ini. Siapakah namamu?"
"Nama saya Ekawira,
Sultan," jawab kepala prajurit itu pula.
"Hemm, dengar Ekawira. Mulai
hari ini kuberi gelar Raden Mas kepadamu! Karena jasamu yang tiada ternilai,
karena kau telah menyelamatkan puteraku dari amukan kerbau itu dan sekaligus
juga telah menyelamatkan korban-korban yang pasti akan jatuh, maka mulai hari
ini pula kuangkat kau menjadi Kepala Pengawal Istana! Harap jabatan itu kau
terima dengan hati puas dan jalankan tugasmu dengan baik!"
Ekawira menjura: 'Terima
kasih,Sultan. Akan saya jalankan tugas dengan sebaik-baiknya," katanya
dengan hati sangat gembira karena tiada menduga akan diberikan pangkat
kedudukan sedemikian tingginya. Sultan Banten melambaikan tangannya kepada
seorang pegawai rumahtangga istana dan berkata pada orang ini: "Berikan
kepadanya pakaian angkatan sebagai Kepala Pengawal Istana." Kemudian
Sultan berpaling pada Ekawira, "Raden Mas Ekawira, tukarlah pakaianmu.
Jika sudah selesai segera kembali ke sini untuk mengikuti sidang yang tadi
belum selesai."
Ekawira menjura. Parasnya
kelihatan kemerahan karena itulah untuk pertama kalinya dalam hidupnya dia
dipanggil orang dengan gelar "Raden Mas" dan oleh Sultan pula!
Semua orang juga merasa gembira
melihat pengangkatan Kepala Pengawal Istana itu. Memang kalau melihat kepandaian
dan jasa yang telah diperbuat laki-laki muda itu sudah sepantasnya dia
diberikan jabatan tersebut. Namun agaknya akan salah kalau kita katakan
"semua" orang merasa gembira karena rupanya ada salah satu di antara
mereka yang merasa tidak senang dengan pengangkatan itu. Orang ini tak lain
adalah Raden Mas Tirta, Kepala Balatentara Banten! Mengapa pula dia ini tidak
senang? Ini tak lain ialah karena sejak diangkat menjadi Kepala Balatentara
maka sifat-sifat baik dari Tirta lama kelamaan hilang satu demi satu, berganti
dengan sifat dengki iri hati, gila hormat dan gila kemewahan, sehingga setiap
ada seseorang baru yang diberi pangkat tinggi, meskipun masih berada di
bawahnya namun karena rasa dengkinya, dia jadi tak ubahnya seperti cacing
kepanasan!
Selesai sidang, Raden Mas Ekawira
meminta diri karena ada urusan yang harus diselesaikannya. Cepat-cepat dia
keluar dari istana. Hatinya cemas kalau pemuda yang telah menolongnya tadi
sudah pergi karena kelewat lama menunggu. Tapi nyatanya pemuda itu masih ada di
ujung halaman istana, menanti di bawah sebatang pohon beringin yang sangat
rindang dan teduh. Dengan tersenyum Raden Mas Ekawira menghampiri pemuda itu.
"Sahabat, aku berhutang
nyawa kepadamu. Namamu siapa dan kau datang .dari mana?"
Sambil bertanya itu Raden Mas
Ekawira meletakkan tangan kanannya di pundak kiri si pemuda. Pemuda ini
merasakan betapa tangan yang diletakkan di atas pundaknya laksana beban yang
beratnya ratusan kati. Dia maklum bahwa laki-laki itu tengah menguji
kekuatannya. Diam-diam si pemuda mengerahkan tenaga dalamnya dari pusar terus
ke pundak kiri. Dan Ekawira jadi terkejut ketika merasakan betapa pundak itu
tidak tergetar sama sekali bahkan dia tak ubahnya seperti memegang satu
kepingan batu karang yang keras membaja! Pemuda itu tersenyum:
"Aku Cuma seorang dusun saja
Raden, yang kebetulan datang melihat-lihat ke Kotaraja ini dan turut
menyaksikan kegaduhan karena kerbau mengamuk tadi itu...."
Ekawira menarik tangannya dengan
cepat ketika bagaimana pundak yang masih dipegangnya itu Mendadak mengeluarkan
hawa dingin sekali yang membuat tulang-tulang tangannya sampai terasa ngilu!
"Sahabat! Rupanya kau bukan
orang sembarangan. Katakan namamu!"
"Namaku Mahesa Kelud, Raden
Mas," jawab si pemuda.
"Gurumu siapa?"
"Ah, saya cuma berguru pada
seorang jago silat kampungan, Raden Mas. Apalah artinya," sahut Mahesa.
"Hem, tak usah merendah,
Mahesa. Kalau kau cuma belajar pada guru silat kampungan mengapa kau
membawa-bawa pedang segala?" ujar Raden Mas Ekawira seraya melirik ke
punggung si pemuda di belakang mana tersembul gagang sebuah pedang berwarna
merah dan berumbai-rumbai.
"Baiklah kalau kau tak mau
menerangkan siapa gurumu," kata Ekawira tak hendak mendesak. 'Tapi
katakanlah, apakah kedatanganmu ke Banten ini disertai maksud yang baik?"
"Justru aku datang ke sini
adalah untuk menghambakan diri, Raden Mas Kudengar terlalu banyak
penyusup-penyusup Pajajaran yang menimbulkan huru-hara di Kotaraja ini."
"Bagus sekali, Mahesa!"
kata Raden Mas Ekawira dengan gembira.
"Memang orang-orang macam
kau inilah yang sangat dibutuhkan oleh Banten. Dengar Mahesa, aku baru saja
diangkat menjadi Kepala Pengawal Istana oleh Sultan! Secara jujur dan terus terang
kukatakan pangkat tinggi itu kudapat adalah berkat bantuanmu. Di samping itu
aku maklum pula bahwa kau berilmu tinggi yang mungkin lebih tinggi dariku.
Kalau kau suka, aku tidak ragu-ragu untuk mengambilmu jadi pembantuku, Mahesa
Kelud!"
"Terima kasih, Raden Mas.
Kalau tawaran itu memang diajukan dengan hati jujur dan kepercayaan, saya
bersedia menerimanya dan sekali lagi saya menghaturkan terima kasih,"
jawab Mahesa Kelud.
Saat itu lewatlah seorang
berpakaian bagus. Raden Mas Ekawira berpaling. Yang datang ternyata adalah
Raden Mas Tirta, Kepala Balatentara Banten. "Eh, Dimas Ekawira.
Kukirasiapa. Hem, Dimas aku turut mengucapkan selamat atas pengangkatanmu
menjadi Kepala Pengawal istana. Tak kusangka di antara kepala prajuritku ada
seseorang yang berkepandaian demikian tingginya. Agaknya kau memiliki keris
pusaka yang ampuh, Dimas?
"Raden Mas Ekawira
cepat-cepat menjura karena dia maklum dengan siapa dia berhadapan.
"Terima kasih atas ucapan
selamat itu Raden Mas Tirta."
Raden Mas Tirta melirik pada
Mahesa Kelud. "Eh, siapakah pemuda ini Dimas, mengapa kau bercakap-cakap
dengan pemuda dusun macam beginian?"
"Oh, saya lupa menerangkan.
Dia adalah pembantu saya yang barusan saya angkat, Raden Mas."
"Hemmm... pembantumu?"
desis Raden Mas Tirta seraya meneliti Mahesa Kelud dengan pandangan mengejek.
Yang dipandang cuma senyum-senyum saja namun kedua matanya memandang dengan
menyorot tajam pada Kepala Balatentara Banten itu. Ketika Raden Mas Tirta
menatap ke mata pemuda ini, dia membuang muka dengan sikap mencemooh padahal
hatinya tergetar dan sesuatu hal yang tidak dapat dimengerti membuat dia tak
sanggup balas menatap tantangan mata Mahesa itu!
Raden Mas Tirta berpaling pada
Ekawira, "Baiklah Dimas, dalam kedudukanmu yang baru ini kau akan banyak
berhubungan denganku. Mudah-mudahan kita bisa bekerja sama dalam pengabdian
kita kepada kerajaan."
"Mudah-mudahan, Raden
Mas."
"Nah, aku pergi
sekarang."
"Baik Raden Mas."
Sesudah Kepala Balatentara Banten
itu berlalu maka Ekawira menepuk bahu Mahesa Kelud. "Dimas, marilah.
Sultan telah memberikan tempat kediaman baru untukku. Kebetulan aku memang
belum beristeri sehingga kita bisa tinggal sama-sama di sana."
"Terima kasih. Kau baik hati
sekali Raden Mas."
***
DELAPAN
SESUNGGUHNYA keadaan bisa membuat
sifat manusia yang baik menjadi buruk dan yang tadinya buruk menjadi baik.
Misalnya seseorang yang tadinya miskin. Dalam kemiskinan duka derita
kehidupannya dan penuh dia lebih dekat kepada Tuhan. Taat beribadat, suka
menolong sesama manusia, tinggi budi rendah hati. Tapi ketika dia menjadi
seorang kaya raya, berharta banyak dan berpangkat tinggi, lupalah dia bahwa
dulunya dia seorang miskin sengsara. Kehidupan yang mewah menutup matanya
terhadap segala kebaikan. Kalau waktu miskin dulu dia tidak kenal dengan segala
macam minuman keras, maka kini dia sangat gemar dengan minuman macam begituan,
kalau selagi hidup sengsara dulu dia tidak kenal perjudian, maka kini dia
setelah kaya raya dan berpangkat, judi macam mana yang tidak diketahuinya?
Kalau dulu isterinya cuma satu dan dia tidak kenal paras yang cantik jelita
atau tubuh yang indah menggiurkan, makak ini gundik-selir peliharaannya
bertebaran di mana-mana, hampir tidak terhitung jumlahnya. Terhadap orang
miskin tidak memandang sebelah mata, lupa dia bahwa dulu dia juga manusia macam
begituan. Tak ada lagi sifat hati welas asih dan penolong! Meski harta sudah
banyak, pangkat sudah tinggi tapi dia selalu digerayangi setan dengki dan nafsu
tamak bila melihat seorang lain hidup senang dan menduduki pangkat yang tinggi
pula! Perumpamaan di atas itu rupanya benar terjadi atas diri Tirta, yang sudah
hampir setahun lamanya mendapat gelar Raden Mas dan mendapat pangkat tinggi
sebagai Kepala Bala tentara Banten. Sikap dan sifatnya jauh berbeda dari
dahulu, laksana siang dengan malam, laksana putih di atas hitam!
Sesudah pertemuan dengan Raden
Mas Ekawira serta Mahesa Kelud tadi, dia langsung menuju ke tempat kediamannya.
Kedatangannya disambut oleh isterinya yang pertama yaitu Ratnawati. Kalau kita
katakan isteri pertama, maka berarti ada pula yang kedua dan ketiganya!
Memang demikianlah adanya!
Ternyata pangkat yang tinggi dan harta yang melimpah telah pula membuat Tirta
menjadi seorang laki-laki mata keranjang doyan perempuan! Isteri sahnya ada
tiga, tapi selir atau gundiknya ada lima. Kedelapan perempuan yang rata-rata
masih muda belia belasan tahun itu tinggal serumah, diberi kamar dan
perlengkapannya masing-masing! Jumlah delapan itu baru yang kita ketahui dengan
jelas saja, jadi belum terhitung perempuan-perempuan yang menjadi peliharaannya
yang kabarnya tersebar di setiap kampung yang ada di Banten!
Melihat tampangnya yang asam,
seperti cuka, melihat kerut muka yang seperti parutan tahulah para isteri dan
gundik-gundiknya bahwa ada sesuatu kejadian yang tidak menyenangkan hati Raden
Mas Tirta. Kalau sudah begitu diantara perempuan-perempuan itu tidak ada yang
berani mendekat kecuali sang isteri pertama Ratnawati! Perempuan ini pada takut
karena kalau sedang marah-marah sikap Raden Mas Tirta kasarnya bukan main. Dari
mulutnya menyemprot kata-kata kasar dan kotor bahkan tak jarang pula dia
melekatkan kaki tangannya!
"Kangmas, agaknya ada
sesuatu yang terjadi?" tanya Ratnawati.
"Ah, kalian orang-orang
perempuan jangan ikut campur urusanku! Pergi sana, tak usah menggangguku!"
kata Raden Mas Tirta kasar dan keras. Ratnawati tersenyum simpul. Dia sudah
biasa dengan semprotan macam begituan.
"Aih, kangmas Tirta. Kau ini
bicara seperti aku dan yang lain-lainnya itu bukan isteri-isteri kangmas saja.
Katakanlah ada apa, kangmas?" tanya Ratnawati dengan manja dan lemah
lembut seraya mencium pipi suaminya. Kalau sudah begini agak dingin hati Raden Mas
Tirta sedikit. Namun suaranya tetap keras ketika berkata: "Sialan Sultan
Hasanuddin itu!"
"Sialan bagaimana,
kangmas?" tanya Ratnawati.
"Coba kau pikir, masakan
seorang kepala prajurit rendahan karena membunuh seekor kerbau gila mengamuk
saja diangkat menjadi Kepala Pengawal Istana! Sialan tidak?!"
"Siapakah kepala prajurit
yang kejatuhan bintang terang itu, kangmas?" tanya Ratnawati pula.
"Si keparat Ekawira! Malahan
dia dapat gelar Raden Mas pula! Kunyuk benar!"
"Hemmm..." gumam
Ratnawati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Memangtidak pantas kalau
prajurit rendah macam dia diangkat untuk jabatan yang demikian tingginya. Tapi
yah, apa mau dikata? Sultan berhak menjalankan apa maunya. Lagi pula kangmas,
menurut isterimu yang bodoh ini kurasa itu tidak akan memberi pengaruh yang
buruk bagimu. Sebagai Kepala Balatentara Banten bukankah dia berada
dibawahmu?"
"Benar, tapi aku tetap tidak
senang dia menduduki jabatan itu! Biara ku jadi Kepala Balatentara namun dalam
segala urusan mengenai istana, aku harus berhubungan dengan dia, harus
berunding, tak dapat lagi mengambil keputusan sendiri!"
"Itu memang betul, kangmas.
Tapi kita lihat sajalah. Manusia macam Ekawira itu mana becus memegang jabatan
sedemikian tingginya. Dalam waktu satu minggu saja dia pasti akan digeser atau
diperhentikan!" membujuk Ratnawati. Hati Raden Mas Tirta agak terhibur
sedikit mendengar kata-kata isterinya itu.
"Dan kau tahu, Ratna,"
kata laki-laki itu pula, "Mentang-mentang sudah berpangkat tinggi kini, si
Ekawira itu mengangkat seorang pembantu! Seorang pemuda dusun yang tolol!
Dasar, begitulah kalau orang goblok berpangkat tinggi, pembantunyapun dari
kalangan tolol! Mereka seharusnya jadi penggembala-penggembala kerbau atau
tukang bersihkan kandang kuda istana!"
Ratnawati tertawa cekikikan
mendengar ucapan suaminya itu, tapi tertawa yang cuma dibuat-buat. Saat itu
muncul seorang pengawal.
"Keparat!" maki Raden
Mas Tirta.
"Ada apa kau tidak dipanggil
datang menghadap?"
"Maaf Raden Mas. Tapi di
luar ada seorang tamu yang hendak bertemu dengan Raden Mas. Dia mengaku bernama
Jaka Luwak."
Kalau saja pengawal itu tidak
menyebutkan nama Jaka Luwak cepat-cepat tentu pipinya sudah kena tamparan Raden
Mas Tirta. Siapakah gerangan manusia bernama Jaka Luwak yang begitu memberi
pengaruh kepada sang Kepala Balatentara Banten ini? Jaka Luwak adalah saudara
atau tepatnya kakak seperguruan dari Tirta.
"Hem... Jaka Luwak katamu?
Kalau begitu suruh dia masuk, langsung antarkan kepadaku! Cepat!"
"Kangmas, siapakah orang yang
bernama Jaka Luwak itu?" tanya Ratnawati. Raden Mas Tirta tertawa
bergelak.
"Dia adalah kakak
seperguruanku, Ratna. Ilmunya lebih tinggi dan lebih lihay dariku! Kalau dia
mau kusuruh menetap di sini, dia bisa diharapkan menjadi pembantu dan tulang
punggungku!"
Tak lama kemudian dengan diantar
oleh pengawal tadi maka masuklah seorang pemuda berkulit kuning berbadan tegap
dan bertampang keren. Dia memelihara kumis kecil yang menambah kegagahan
parasnya.
"Kakang Jaka Luwak, silahkan
duduk. Tak sangka kau akan datang menemuiku. Bagaimana kabar guru?" tanya
Raden Mas Tirta. Pemuda bernama Jaka Luwak itu berdiri dengan bertolak
pinggang. Dia melirik pada Ratnawati, dua isteri lainnya dan gundik-gundik adik
seperguruannya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan main dimas, kau
sudah hebat sekali rupanya, sehingga tidak mau melihat kami saudara-saudaramu
di gunung Gede. Kalau aku bertemu denganmu di tengah jalan dalam pakaian
kebesaran ini, pasti aku tak akan mengenalimu! Tentang guru, beliau ada baik.
Beliaulah yang menyuruh aku datang ke sini untuk rnendampingimu."
"Bagus dan syukur kakang
JakaLuwak. Memang seorang yang berilmu tinggi sepertimu sangat dibutuhkan di
Banten ini!"
Jaka Luwak mengambil tempat duduk
di hadapan adik seperguruannya. Raden Mas Tirta berpaling pada Ratnawati dan
berkata: "Ratna, kau dan yang lain-lainnya segera siapkan makan siang! Aku
akan makan sama-sama kakak seperguruanku ini!"
Beberapa orang gundik Raden Mas
Tirta melirik genit pada pemuda yang baru datang dan bertampang gagah itu.
Sedang JakaLuwak sendiri tengah memperhatikan Ratnawati karena memang perempuan
inilah yang paling cantik daripada yang lain-lainnya. Jaka Luwak berpaling
kepada adik seperguruannya lalu berkata:
"Dimas,waktu aku ke sini aku
membawa seorang tawanan."
"Seorang tawanan?"
tanya Raden Mas Tirta seraya mengerutkan keningnya. Jaka Luwak mengangguk.
"Aku berada di pinggir kotaraja tengah berlari menuju ke sini. Tiba-tiba
kulihat seorang pemuda berlari cepat. Sikap dan tampangnya mencurigakan.
Kukejar dia dan kutegur. Eh, tak hujan tak angin tahu-tahu dia menyerangku. Aku
segera turun tangan dan merobohkannya dalam dua jurus. Kutotok urat kakinya
agar tidak lari lalu kupaksa dia untuk memberi keterangan. Ternyata dia seorang
mata-mata Pajajaran dan mengaku bernama Ismaya. Dia juga mengakui bahwa dialah
yang telah melempar kerbau Pangeran dengan sebutir batu yang dibubuhi obat
perangsang sehingga binatang itu menjadi gila dan mengamuk! Bangsat Pajajaran itu
ada di luar sekarang."
"Sebaiknya bawa dia ke
sini,kakang," kata Raden Mas Tirta. Dia menyembunyikan rasa terkejutnya
ketika mendengar keterangan Jaka Luwak tadi bahwa kakak seperguruannya ini
telah menawan seorang mata-mata Pajajaran. Jaka Luwak berdiri dan keluar. Tak
lama kemudian dia masuk lagi dengan menyeret sesosok tubuh pemuda yang mukanya
babak belur bekas pukulan. Pemuda ini dihempaskan ke lantai. "Kakang,
tolong kau lepaskan totokannya," kata Raden Mas Tirta. Jaka Luwak memandang
dengan tak mengerti pada Kepala Balatentara Banten itu namun tanpa banyak tanya
dia segera melepaskan totokan tawanan itu.
"Namamu Ismaya?" tanya
Raden Mas Tirta. Tawanan itu mengangguk dan duduk menjelepok di lantai.
"Kau mata-mata Pajajaran?!"
"Betul!" jawab Ismaya
tanpa ragu-ragu ataupun takut.
"Kau tahu apa artinya kalau
dirimu ditawan seperti saat ini?!" tanya Raden Mas Tirta.
"Mengapa tidak? Tapi aku
tidak takut! Kalau orang-orang Banten hendak membunuhku, hendak menggantung
atau mencincang ataupun hendak membakarku hidup-hidup aku tidak takut! Aku akan
mati tapi puluhan mata-mata Pajajaran masih banyak bertebaran di sini dan ratusan
lagi akan terus menyusup sampai akhirnya Banten sama rata dengan tanah! Aku
tidak takut mati karena Sang Prabu telah memberikan hadiah yang tiada ternilai
bagiku dan jaminan kehidupan untuk tujuh turunanku! Salah satu di antara hadiah
yang aku terima dari Sang Prabu adalah keris...."
Dari balik pinggangnya Ismaya
mengeluarkan sebuah keris yangkeseluruhannya terbuat dari emas murni, gagangnya
berbentuk kepala burung garuda yang pada kedua matanya dihiasi dengan butiran
berlian sebesar jagung!
Jaka Luwak dan Raden Mas Tirta
kagum bukan main melihat keris yang indah itu. Saat itu terdengar pula suara
Ismaya kembali: "Saudara-saudara, kalian berdua tentunya orang-orang
berkepandaian tingi. Orang-orang semacam kalian sangat dibutuhkan oleh Sang
Prabu. Kalau...."
"Tutup mulutmu
keparat!" bentak Jaka Luwak. Tapi kembali pemuda ini jadi terheran-heran
ketika dilihatnya adik seperguruannya melambaikan tangan dan berkata:
"Biarkan saja dia bicara terus kakang."
"Orang-orang semacam
kalian," meneruskan Ismaya. "sangat dibutuhkan oleh Sang Prabu. Kalau
kalian mau berpihak kepada Pajajaran dan membantu Pajajaran dalam menghancurkan
Banten, pasti kalian akan dihadiahi harta benda dan kekayaan serta jaminan
hidup yang jauh lebih besar serta mewah dariku. Ini bukan omong kosong belaka
mengingat Pajajaran jauh lebih kaya dari Banten."
Seperti yang sudah diterangkan
sebelumnya sejak dia menjabat pangkat Kepala Balatentara Banten maka Raden Mas
Tirta telah menjadi buruk dan jahat, busuk dan iri hati, tamak serta loba gila
harta dan wanita! Di samping itu dia juga cerdik sekali. Mendengar keterangan
mata-mata Pajajaran itu diam-diam di hatinya timbullah maksud untuk mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya.
"Hmm... Ismaya," gumam
Raden Mas Tirta. "Apakah kau masih ingin hidup?"
"Semua orang ingin hidup.
Bahkan mayat-mayat dalam kuburpun akan berkata demikian, kalau saja mereka bisa
bicara," jawab Ismaya.
Raden Mas Tirta memencongkan
mulutnya dan mendengus. "Dengar Ismaya. Dari Sultan Banten aku sudah
menerima kemewahan hidup dan berbagai hadiah yang tiada ternilai harganya. Jika
hari ini kau kulepaskan dan kau kembali ke Pajajaran untuk memberikan laporan
kepada Rajamu maka katakanlah kepadanya bahwa aku, Kepala Balatentara Banten
akan bersedia membantunya dengan diam-diam asal kepadaku kelak akan dijanjikan
kedudukan sebagai Patih Pajajaran!"
"Ah, kalau cuma pangkat itu
yang Raden Mas kehendaki dari Sang Prabu Pajajaran, soal mudah, Raden Mas .
Keinginanmu pasti terkabul!" Sahut Ismaya.
"Bagus, aku menjadi Patih
Pajajaran dan Banten ada kekuasaanku," menambahkan di bawah Raden Mas
Tirta.
"Mudah, itu soal mudah. Aku
akan sampaikan kepada Sang Prabu," meyakinkan Ismaya."
Nah, kau kulepaskan sekarang.
Tapi keris emas itu tinggalkan di sini sebagai jaminan."
"Dengan senang hati Raden
Mas. Dan saya menghaturkan terima kasih karena Raden Mas telah melepaskan dan
memperlakukan saya dengan baik." Mata-mata Pajajaran itu menjura lalu
memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu.
Demikianlah, Raden Mas Tirta,
Kepala Balatentara Banten itu telah menentukan dirinya sebagai pengkhianat
besar, sebagai musuh dalam selimut. Ini lain tidak disebabkan karena nafsu
tamaknya, gila terhadap harta dan pangkat tinggi sehingga lupa kalau bukan
karena Sultan Banten tidak akan mungkin dia mendapat kedudukan empuk dan
terhormat seperti saat itu, dan ini pun masih kurang pula baginya!
***
SEMBILAN
MALAM itu di tempat kediaman
Raden Mas Tirta diadakan pesta. Suatu pesta malam yang tidak mengundang
siapa-siapa. Pesta ini diadakan untuk menyambut kedatangan kakak seperguruannya
dan kedua sebagai upacara selamat atas dimulainya persekutuannya dengan Raja
Pajajaran di mana dia pasti akan dijadikan Patih!
Bergelas-gelas minuman keras
masuk ke perut Raden Mas Tirta sampai akhirnya Kepala Balatentara Banten itu
menjadi mabuk dan terkapar tak sadarkan diri di atas kursi besar di ruang
tengah. Jaka Luwak hanya tersenyum-senyum saja melihat adik seperguruannya yang
gila pangkat itu. Sekali-kali mata pemuda ini melirik ke pintu-pintu kamar yang
berleret-leret di sebelah sana. Saat itu telah larut tengah malam dan para
isteri serta gundik Raden Mas Tirta sudah tertidur di masing-masing kamar
mereka.
Jaka Luwak memandang pada adik
seperguruannya sejurus lalu berdiri mendekati laki-laki itu dan menotoknya pada
dada kanan. Totokan ini akan cukup membuat Raden Mas Tirta yang tak sadarkan
diri itu untuk berada terus dalam keadaan seperti itu selama beberapa jam.
Kemudian Jaka Luwak melangkah ke pintu kamar di ujungkiri. Dia tahu inilah
kamar Ratnawati karena tadi dilihatnya perempuan itu masuk ke sini dan tak
keluar-keluar lagi. Dia mengetuk, tidak keras tapi cukup jelas terdengar oleh
orang yang berada di dalam."Siapa?" terdengar suara bertanya. Suara
Ratnawati.
"Aku, dik Ratna," sahut
JakaLuwak. Suaranya bergetar karena disertai dengan tenaga dalam untuk
mempengaruhi perempuan cantik muda belia itu. Ratnawati yang terbaring di atas
tempat tidur merasakan dadanya berdebar. Sejak pertemuannya pertama kali dengan
kakak seperguruan suaminya itu dia memang sudah tertarik karena secara
kenyataan Jaka Luwak jauh lebih gagah dari Tirta dan kulitnya kuning bersih
pula. Sambil memegangi pakaian tidurnya yang terbuka lebar di bagian dada,
Ratnawati turun dari atas tempat tidur. Dirapikannya dulu letak rambutnya di
muka kaca rias lalu dia melangkah ke pintu. Pintu terbuka sedikit dan perempuan
itu memunculkan parasnya yang jelita. "Ada apa, Kakang Jaka?"
Mau tak mau Jaka Luwak menjadi
gugup melihat paras yang berada sangat cantik tersebut dekat dengan kepalanya
sehingga dia dapat merasakan hembusan nafas harurn Ratnawati. Dari celah daun
pintu jelas dilihatnya bahwa Ratnawati saat itu hanya memakai baju tidur yang
tipis sehingga samar-samar dibawah sorotan lampu terang di ruang tengah dapat
terlihat kulit tubuhnya yang putih mulus. Ini menambah rangsangan yang ada di
diri Jaka Luwak. Darah panas pemuda ini mengalir cepat-cepat.
"Maafkan kalau aku mengganggu
tidurmu, dik Ratna...."
"Oh, tak apa Kakang Jaka,
saya memang belum tidur. Ada apakah? Mana kangmas Tirta?" tanya Ratnawati
pula.
"Itulah Dik Ratna,"
sahut Jaka Luwak seraya menuding ke ruang tengah.
"Dimas Tirta terlalu banyak
minum sehingga mabuk dan tak sadarkan diri. Kini terbaring di kursi besar sana.
Apakah perlu kutolong bopong ke kamar ini?"
"Ah, tidak usahlah,"
jawab Ratnawati. "Siapa yang sudi tidur dengan suami bau minuman seperti
dia." Jaka Luwak tersenyum. Memang dia sudah duga bahwa perempuan Itu akan
menjawab demikian. "Apakah dimas Tirta sering dan suka mabuk-mabuk
sepertisaat ini?" tanyanya.
"Sering sekali. Dulunya dia
tak pernah menyentuh minuman macam begituan tapi sekarang sudah demikian
candunya."
Jaka Luwak menggeteng-gelengkan
kepalanya Dia memancing:
"Dik Ratna mungkin kau sudah
mau tidur. Biar aku mengundurkan diri" saja...."Semalaman ini tak
bisa mataku dipejamkan. Dari tadi aku Cuma berbaring saja. Kurasa ada baiknya
kalau kita bercakap-cakap di dalam. Sebagai seorang ahli silat yang
kepandaiannya lebih tinggi dari kangmas Tirta sendiri tentu kau banyak
pengalaman dan kisah-kisah luar biasa."
"Ah, aku cuma orang gunung
biasa saja, Dik Ratna," jawab Jaka Luwak. Hatinya gembira sekali mendengar
ajakan itu. Tapi Jaka Luwak yang cerdik ini tidak segera memperlihatkan rasa
girangnya itu. "Dik Ratna, kalau kita bicara di dalam sana, bagaimana jika
diketahui isteri-isteri dan selir dimas Tirta nanti?"
"Mereka sudah pada tidur
semua. Kalaupun ada yang tahu mereka tidak akan berani mengadu. Lagi pula apa
yang harus ditakutkan? Bukankah kita cuma bicara-bicara saja?" Perempuan
itu tersenyum. Senyum manis yang membuat dada Jaka Luwak semakin menggelora.
Ketika Ratnawati membuka daun pintu lebih lebar tanpa ragu-ragu dia segera
masuk. Pintu ditutupkan kembali. Kamar itu berbau harum semerbak. Di kamar ini
terdapat sebuah meja yang dikelilingi oleh sebuah kursi panjang dan dua buah
kursi kecil. Jaka Luwak sengaja duduk di kursi yang panjang. Dan hati pemuda
ini semakin bergetar, darahnya semakin panas merangsang ketika Ratnawati dengan
beraninya mengambil tempat duduk pula di sudut yang lain dari kursi panjang.
Karena perempuan ini memakai baju tidur yang tipis sehingga dalam jarak dekat
seperti itu JakaLuwak dapat melihat pakaian dalamnya yang berwarna merah jambu.
"Kakang Jaka Luwak, harap
dimaafkan kalau saya menerimamu dengan pakaian tidur seperti ini," kata
Ratnawati seraya melontarkan satu lirikan tajam kegenitan.
"Sayalah yang salah karena
bertamu waktu orang hendak tidur!" jawab Jaka Luwak seakan-akan menyesali
diri.
'Tapi tak apa-apa, bukankah saya
yang mengundangmu masuk ke sini?" dan kedua orang itu sama-sama tertawa.
Jaka Luwak kemudian bercerita tentang kehidupan di Gunung Gede selama dia
menuntut berbagai ilmu kepada gurunya Ki Balangnipa.
"Tentang pengalaman, aku
masih belum ada Dik Ratna, karena aku baru saja turun gunung dan langsung
disuruh guru kemari," kata Jaka Luwak mengakhiri ceritanya. Kemudian dia
bertanya: "Sudah berapa lamakah kau berumah tangga dengan dimas Tirta, dik
Ratna?"
"Belum ada satu tahun Kakang
Jaka."
"Kalau begitu masih belum
mendapatkan anak?"
"Sampai sekarang
belum," jawab Ratnawati seraya mengusap perutnya dengan tangan kiri. Tapi
karena tangan kirinya itu tadi dipakai untuk memegang pakaiannya di atas dada
maka kini belahan pakaiannya jadi terbuka dan kelihatanlah dadanya yang putih
membusung. Untuk sejurus lamanya Jaka Luwak terpesona oleh keindahan yang baru
pertama kali dilihatnya itu. Kedua pipi Ratnawati kelihatan memerah. Perempuan
mempergunakan tangan ini cepat-cepat kanannya untuk menutup kembali pakaiannya
yang terbuka.
"Dik Ratna," kata Jaka
Luwak pula. "Hidupmu dengan dimas Tirta tentu bahagia sekali bukan?"
"Ya, apalah arti kebahagiaan
seorang isteri orang berpangkat yang dimadu, kakang Jaka?" ujar perempuan
itu. Tapi dimas Tirta tentu sangat sayang kepadamu."
Isteri Raden Mas Tirta
menganggukkan kepala.
"Namun terus terang saja,
saya tidak mencintainya, kakang Jaka."
Jaka Luwak menjadi heran
mendengar ucapan itu. Keningnya berkerut. "Ah, aku benar-benar tidak
mengerti dik Ratna. Kalau kau tidak cinta, mengapa bersuamikan dia?"
"Soalnya terpaksa, kakang
Jaka."
"Terpaksa bagaimana?"
"Dulunya saya seorang anak
petani di desa Mantrinan, tak jauh dari tepi timur kotaraja. Suatu hari Raden
Mas Tirta datang ke sana untuk melihat-lihat dan mengatur pertahanan Banten
terhadap serangan-serangan orang-orang Pajajaran dan bertemu dengan saya yang
kebetulan hendak mengantarkan nasi untuk ayah di sawah. Sehari sesudah itu maka
datanglah utusan Raden Mas Tirta menemui ayah. Utusan ini datang untuk melamar
saya dan membawa barang-barang yang banyak tiada terkira. Saya tidak cinta
sudah maklum kepadanya karena saya bagaimana cara hidup pembesar berpangkat
tinggi macam dia. Tapi siapa yang berani menolak lamaran itu? Kalau ditolak,
salah-salah bisa membawa kesulitan. Tak ada jalan lain bagi ayah ibu dan juga
saya sendiri dari pada menerima lamaran."
"Hem... begitu?" desis
Jaka Luwak sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Orang tuamu sekarang di
mana?"
"Tetap tinggal di desa. Tapi
kehidupan mereka sudah dijamin oleh kerajaan. Sudah dibikinkan rumah bagus dan
segala keperluan hidup tinggal tahu ada."
"Nah, orang tuamu bahagia,
kaupun hidup mewah di sini, apalagi?"
"Hidup mewah belum tentu
berarti bahagia, kakang Jaka," jawab Ratnawati. "Bagaimana akan
bahagia kalau suami tukang mabuk seperti itu dan kita tidak pula cinta
kepadanya...."
"Ya, memang dapat
dimaklumi," kata Jaka Luwak.
"Oh, tidak kakang Jaka
Luwak. Aneh, memang.
"Kau sendiri apakah juga
doyan minum, kakang Jaka?" tanya Ratnawati.
"Kalau aku doyan minum tentu
aku sudah terkapar pula di kursi seperti suamimu," sahut Jaka Luwak.
"Syukurlah, aku memang tidak
suka pada orang peminum!"
"Kalau begitu rupanya kau
suka padaku karena aku tidak senang minuman keras?" tanya Jaka Luwak
bergurau.
"Kakang ini pandai
menggoda," kata Ratnawati dengan paras merah dan tersipu-sipu. Tapi dalam
hatinya perempuan muda ini tidak dapat berdusta bahwa dia memang menyukai
pemuda gagah itu.
"Dik Ratna malam sudah
larut...."
"Dan kalau sudah larut
memangnya kenapa?" tanya Ratnawati dengan manja seraya senyum genit.
Berdebar dada Jaka Luwak dan dia menggeser duduknya. Dengan beraninya
dipegangnya tangan Ratnawati lalu berkata: "Malam telah larut dan kau
harus tidur sedang aku harus meninggalkan tempat ini, bukankah demikian?"
"Kakang Jaka, mengapa
terburu-buru benar?
Saya sungguh-sungguh belum
mengantuk," Jawab perempuan itu seraya mempermain kan jari-jari tangan si
pemuda yang membuatnya semakin menggelora.
"Kau cantik sekali,
Ratna," bisik Jaka Luwak seraya membelai pipi perempuan itu. Ratnawati
menundukkan kepala. "Aduh, jangan menggoda kakang Jaka. Kau tahu, di
antara isteri-isteri dan para selir kangmas Tirta akulah yang paling
jelek!"
"Hemmm... malahan
sebaliknya, Ratna. Kau yang kulihat paling cantik, paling jelita...."
Air muka Ratnawati
kemerah-merahan. "Benarkah itu, kakang Jaka?"
"Mengapa tidak?" sahut
Jaka Luwak seraya memegang dagu perempuan itu dan mengangkat kepalanya.
Ratnawati tersenyum kepadanya dan memejamkan kedua matanya. Senyum dan pejaman
mata yang mengundang. Dengan penuh nafsu Jaka Luwak menarik tubuh perempuan itu
lalu dipeluknya erat-erat.
"Kakang Jaka, kaupun pemuda
paling gagah yang pernah kutemui..." bisik Ratnawati lirih. Jaka Luwak
memeluk tubuh yang indah lembut itu lebih erat. Ciumannya menjalar mulai dari
pangkal leher sampai ke seluruh muka Ratnawati dan diakhiri dengan pertemuan
sepasang bibir mereka penuh kehangatan. Karena saat itu Ratnawati melingkarkan
kedua tangannya ke leher si pemuda maka pakaian tidurnya jadi terbuka lepas.
Dada dan perut Ratnawati kelihatan dengan jelas. Berkobar birahi Jaka Luwak,
nafsunya menggelora dan kedua tangannya itu menggerayang ke setiap pelosok
tubuh mulus tersebut. Ratnawati merintih halus kegelian.
"Ratna... aku... aku suka
sekali padamu. Aku senang padamu..." bisik Jaka Luwak. Pikirannya
membumbung laksana sudah berada di kayangan saja saat itu.
"Hanya suka dan senang saja,
kakang Jaka?" bisik Ratnawati pula.
"Tidak... tidak hanya itu
manisku. Aku juga... aku juga cinta padamu."
"Oh, kakang Jaka. Inilah
yang aku harap-harapkan selama ini....
"Ratnawati menyelinapkan
kepala ke dada pemuda itu. Tiba-tiba Jaka Luwak berdiri. Nafas pemuda itu sudah
memburu.
"Ada apa, kakang Jaka?"
tanya Ratnawati. Pemuda itu tidak menjawab melainkan menggerakkan kedua
tangannya dan tahu-tahu tubuh perempuan itu sudah ada di dalam dukungannya.
"Kakang Jaka kau ini...
kukira ada apa berdiri dengan tiba-tiba,"
Ratnawati tersenyum mesra
memandang dengan kedua bola kata dan matanya yang mulai menguyu tanda nafsu
juga telah membakar dirinya.
"Kau kuat sekali bisa
mendukungku. Tapi kakang, kau mau bawa aku ke mana?"
Jaka Luwak tersenyum. Hidungnya
kembang kempis. Dia melangkah membawa Ratnawati ke atas tempat tidur.
"Kakang Jaka, kau ternyata
nakal Aku masih belum mengantuk. Mengapa dibawa ke tempat tidur?" ujar
Ratnawati sambil mencubit lengan Jaka Luwak.
"Kakang Jaka aku...."
Isteri pertama Kepala Balatentara Banten itu tak dapat meneruskan ucapannya
karena saat itu bibirnya telah ditindih bibir Jaka Luwak. Penuh nafsu perempuan
yang memang jarang dijamah oleh suaminya itu pejamkan kedua matanya. Lalu
dirasakannya tubuhnya dibaringkan di atas tempat tidur. Lalu terasa jari-jari
tangan Jaka Luwak membuka pakaiannya. Malam itu pengkhianatan telah dilakukan
oleh kakak seperguruan Raden Mas Tirta. Sang istri telah berbuat serong. Apapun
alasannya dosa besar ini kelak akan mendapat ganjaran sangat pedih dari Yang
Maha Kuasa.
***
TAMAT
Selanjutnya:
Emoticon