erial Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Permainan Di Ujung Maut
SATU
SEEKOR KUDA hitam pekat berpacu
cepat membelah jalan berdebu. Penunggangnya seorang pemuda berwajah cukup
tampan mengenakan baju biru dari sutra halus bersulamkan benang emas. Dari
pakaian yang berdebu dan keringat bercucuran deras, bisa diduga kalau penunggang
kuda itu habis melakukan per jalanan jauh. Kuda hitam itu terus berpacu cepat
menerjang daun-daun kering dan menyepak debu-debu hingga mengepul ke udara.
“Hooop...!”
Tiba-tiba pemuda itu menarik tali
kekang kuda hitamnya, membuat tunggangannya itu meringkik keras, langsung
berhenti sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Bergegas dia melompat
turun. Gerakannya indah dan ringan sekali. Ditepuk-tepuk leher kudanya agar
kuda hitam itu menjadi tenang. Sepasang bola matanya menyorot tajam, merayapi
empat orang laki-laki berseragam prajurit yang berdiri menghadang di
tengah-tengah jalan. Mereka semua memegang tombak panjang.
“Beritahu Gusti Prabu Jayengrana.
Aku, Natapraja datang,” ujar pemuda penunggang kuda hitam itu. Lantang
suaranya.
“Maaf, Kisanak. Gusti Prabu
sedang bersemadi, tidak boleh diganggu,” sahut salah seorang prajurit yang
berdiri paling pinggir kanan.
“Kurang ajar! Berani kau bantah
perintahku, heh!” bentak Natapraja mendelik
Empat orang prajurit itu saling
berpandangan. Mereka tidak kenal pemuda tampan yang datang menunggang kuda
hitam itu. Apalagi tugas mereka adalah menjaga junjungannya agar tenang
bersemadi di dalam puri. Tiba-tiba salah seorang prajurit bersiul nyaring. Dan
sebentar saja tempat itu sudah dipenuhi sekitar lima puluh orang prajurit
bersenjata tombak dan pedang.
Natapraja menggereng dan
menyemburkan ludahnya beberapa kali. Matanya tajam merayapi para prajurit yang
telah mengepung membawa senjata terhunus. Seorang laki-laki berusia setengah
baya mengenakan seragam panglima melangkah di depan, lalu berdiri tegak sekitar
lima langkah di depan Natapraja.
“Aku Panglima Pramoda, Kepala
Pasukan Pengawal Gusti Prabu Jayengrana. Apa keperluan Kisanak sehingga datang
pada saat Gusti Prabu tengah bersemadi?” laki-laki setengah baya itu
memperkenalkan diri dan bertanya sopan.
“Namaku Natapraja. Datang ke sini
hendak bertemu Gusti Prabu Jayengrana,” mantap nada suara Natapraja.
“Sayang sekali. Untuk waktu yang
tidak diketahui, Gusti Prabu Jayengrana tidak bisa ditemui oleh siapa pun,”
sahut Panglima Pramoda tetap sopan.
“Keperluanku mendesak dan penting
sekali, Panglima.”
“Jika Kisanak bersabar, bisa
menanti sampai Gusti Prabu selesai bersemadi,” Panglima Pramoda menawarkan.
“Jika aku memaksa...?”
Panglima Pramoda terperanjat
mendengar nada tantangan itu, tapi tetap berusaha tenang. Sungguh dia tidak
ingin terjadi keributan di saat junjungannya, penguasa Kerajaan Salinga tengah
menjalankan semadi, mendekatkan diri pada sang Pencipta jagat raya ini. Terlebih
lagi Prabu Jayengrana sudah berpesan agar jangan diganggu selama melakukan
semadinya.
“Kisanak, sebegitu pentingkah
urusanmu sehingga harus memaksa Gusti Prabu menghentikan semadinya?” agak
jengkel nada suara Panglima Pramoda.
“Jika terpaksa...!” tegas jawaban
Natapraja.
“Kalau boleh tahu, apa
keperluanmu dengan Gusti Prabu?” tanya Panglima Pramoda.
“Hanya Gusti Prabu Jayengrana
yang boleh tahu!” tetap tegas jawaban Natapraja.
“Hm.... Kau hanya cari perkara
saja, Anak Muda,” dengus Panglima Pramoda. Laki-laki setengah baya itu tidak
dapat lagi menahan geramnya, melihat tingkah pemuda yang mengaku bernama
Natapraja.
“Ha ha ha...!” Natapraja
terbahak-bahak
Sementara Panglima Pramoda sudah
memberi isyarat pada para prajurit untuk bersiap siaga penuh. Tampak sekitar
sepuluh orang prajurit sudah siap-siap dengan panah terpasang di busur yang
merentang menegang. Sedangkan Natapraja hanya melirik saja sambil mengulas
senyuman meremehkan.
Panglima Pramoda langsung bisa
membaca gelagat kurang baik pemuda berwajah tampan, dan berpakaian seperti
seorang anak pembesar. Tapi masih dicoba untuk menahan kesabarannya. Panglima
itu sudah banyak berpengalaman dalam menghadapi pemuda sombong seperti ini. Dan
dia tidak ingin terjebak oleh sikap congkak dan meremehkan seperti itu.
Belum lagi Panglima Pramoda
membuka mulut kembali, mendadak saja Natapraja berlutut sambil merapatkan kedua
telapak tangannya ke depan hidung. Sikap pemuda itu diikuti para prajurit yang
berada di belakangnya, sehingga membuat Panglima Pramoda terbengong. Terlebih
lagi, seluruh prajuritnya juga berlutut dengan sikap sama. Panglima Pramoda
bergegas membalikkan tubuhnya, dan langsung terbeliak. Buru-buru dijatuhkan
dirinya berlutut sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Tidak ada yang tahu, kapan
seorang laki-laki berusia sekitar enam puluhan tahun muncul, dan tahu-tahu
sudah berada di tempat itu. Pakaiannya terbuat dari kain sutra putih berbentuk
seperti seorang pertapa. Wajahnya memancarkan cahaya, dan sinar matanya bagai
bintang pagi yang indah. Di tangan kanannya tergenggam seuntai tasbih dari batu
biru berkilau yang memancarkan cahaya apabila terpantul sinar matahari.
“Panglima Pramoda...,” berat dan
berwibawa suara orang itu
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut
Panglima Pramoda sambil memberikan sembah.
“Siapa anak muda itu?” tanya
orang tuh yang ternyata adalah Prabu Jayengrana.
“Ampun, Gusti Prabu. Anak muda
ini mengaku bernama Natapraja. Dia ke sini memaksa ingin bertemu dengan Gusti
Prabu,” sahut Panglima Pramoda bersikap penuh hormat.
“Hm...,” Prabu Jayengrana
menggumam tidak jelas. Pandangannya beralih pada pemuda yang berlutut
menundukkan kepalanya di belakang Panglima Pramoda.
Prabu Jayengrana mengayunkan
kakinya. Begitu ringannya melangkah, seakan-akan kakinya tidak bergerak sama
sekali. Tak ada suara terdengar sedikit pun saat laki-laki berpakaian putih
bagai pertapa itu berjalan. Pasti dia telah memiliki kesempurnaan dalam ilmu
meringankan tubuh. Prabu Jayengrana berhenti sekitar dua langkah di depan
Natapraja. Pemuda itu kembali memberikan sembah dengan merapatkan kedua telapak
tangannya di depan hidung.
“Anak muda, Apa keperluanmu ingin
menemuiku?” tanya Prabu Jayengrana.
Natapraja tidak segera menjawab.
Diberinya hormat sekali lagi, lalu perlahan-lahan berdiri. Melihat sikap pemuda
itu, Panglima Pramoda bergegas berdiri sambil mencabut pedangnya. Namun belum
juga dicabut seluruh pedangnya, sudah keburu dicegah Prabu Jayengrana dengan
merentangkan tangannya. Natapraja berdiri tegak. Ditatapnya dalam-dalam, bola
mata laki-laki bagai pertapa itu.
“Maaf, Gusti Prabu. Hamba datang
untuk membunuhmu,” kata Natapraja tegas.
Dan sebelum ada yang menyadari
ucapan Natapraja, tiba-tiba saja pemuda itu mengibaskan tangan kanannya. Begitu
cepat gerakannya, sehingga Prabu Jayengrana sendiri tidak sempat menyadari akan
hal itu. Mendadak sebilah pisau bergagang kepala ular sudah tertancap di dada
Raja Salinga itu.
“Hiyaaa...!”
Natapraja bergegas melompat ke
punggung kudanya. Secepat kilat kuda hitam itu berlari melewati beberapa orang
prajurit yang hanya terperangah menyaksikan kejadian yang begitu cepat dan
tidak terduga sama sekali.
“Kejar dia! Cepat...!” teriak
Panglima Pramoda begitu tersadar dari keterkejutannya.
Seketika para prajurit yang masih
terpana, langsung bergerak mengejar Natapraja. Sedangkan Panglima Pramoda
bergegas menghampiri Prabu Jayengrana yang masih berdiri tegak walaupun sebilah
pisau tertancap di dadanya.
“Gusti...,” tercekat suara
Panglima Pramoda.
“Biarkan, jangan dicabut,” sergah
Prabu Jayengrana ketika Panglima Pramoda hendak mencabut pisau di dadanya.
Panglima Pramoda hanya bisa
memandangi disertai roman wajah yang tidak menentu. Sedangkan Prabu Jayengrana
membalikkan tubuhnya, lalu berjalan ringan menuju kembali dalam puri tempatnya
bersemadi. Panglima Pramoda mengikuti. Masih ada dua puluh prajurit di sekitar
tempat itu. Sedangkan lainnya sudah tidak terlihat lagi karena mengejar
Natapraja.
Prabu Jayengrana melangkah
pelahan memasuki puri. Sebuah bangunan yang tidak begitu besar dari tumpukan
batu berukir berwarna hitam pekat. Laki-laki berusia enam puluh tahun itu duduk
bersila di sebuah batu pipih berwarna putih berkilat. Sementara Panglima
Pramoda segera mengambil tempat di depannya, seraya duduk bersila dan memberi
hormat. Panglima itu agak heran juga. Ternyata, walaupun dadanya tertancap
pisau, Prabu Jayengrana masih bertahan. Bahkan tidak setetes pun darah keluar
dari dadanya.
“Gusti..., apakah Gusti
Prabu...?” terputus suara Panglima Pramoda.
“Aku tidak apa-apa, Paman
Panglima,” ujar Prabu Jayengrana dengan bibir mengulas senyum. “Kembalilah ke
istana. Katakan saja semua yang terjadi di sini tadi. Aku menunggu seluruh
pembesar kerajaan untuk berkumpul di sini,” kata Prabu Jayengrana. Suaranya
masih bernada penuh wibawa.
“Gusti...,” Panglima Pramoda
mengangkat kepalanya. Hatinya tak tega meninggalkan junjungannya dalam keadaan
seperti ini.
“Berangkatlah, Paman Panglima,”
lembut, namun terdengar tegas suara Prabu Jayengrana.
Panglima Pramoda tepekur sesaat,
kemudian bangkit berdiri dan memberi hormat. Bergegas kakinya melangkah ke luar
diiringi pandangan mata Prabu Jayengrana. Panglima Pramoda hanya membawa lima
orang prajurit, sedangkan sisanya diperintahkan untuk berjaga-jaga tidak jauh
di sekitar puri. Dengan menunggang kuda, Panglima Pramoda dan lima prajuritnya
bergegas pergi menuju ke Istana Salinga.
***
Seluruh rakyat dari pelosok yang
masih dalam wilayah Kerajaan Salinga menjadi berkabung. Mereka mendengar
tentang mangkatnya Prabu Jayengrana yang terbunuh oleh seorang pemuda yang
mengaku bernama Natapraja. Sudah tujuh hari penuh, suasana berkabung masih
menyelimuti Kerajaan Salinga. Seluruh rakyat seperti tidak punya semangat lagi
untuk bekerja. Men-dung menyelimuti seluruh langit kerajaan itu.
“Sudah tujuh hari Gusti Prabu
mangkat. Kenapa tidak ada upacara penguburan, ya...?”
Pertanyaan seperti itu sudah
mulai mengge-layuti benak seluruh rakyat Kerajaan Salinga. Mereka
menunggu-nunggu saat upacara penguburan Prabu Jayengrana. Tapi yang
ditunggu-tunggu tidak segera kunjung datang. Pertanyaan itu membuat semua
penduduk jadi semakin bertanya-tanya dan menduga-duga. Bahkan mulai tersebar
kabar angin yang tidak bisa dicari kebenarannya. Berbagai macam dugaan timbul,
dan berbagai macam pembicaraan simpang-siur terlontar.
Tapi semua berasal dari rasa
heran dan berbagai macam pertanyaan tentang tidak adanya upacara pemakaman bagi
mendiang Prabu Jayengrana. Bukan hanya dari kalangan rakyat, bahkan permaisuri
dan putra mahkota sendiri pun jadi bertanya-tanya. Sudah tujuh hari setelah
terdengar kabar tewasnya Prabu Jayengrana di kuil semadi pribadinya, tapi belum
pernah terlihat jenazahnya. Raden Mandaka yang sudah berusia hampir dua puluh
tahun, jadi tidak percaya kalau ayahandanya tewas oleh seorang pemuda bernama
Natapraja di kuil semadi.
“Kenapa jasad Ayahanda Prabu
belum juga dibawa ke istana, Bunda?” tanya Raden Mandaka saat berdua bersama
ibunya di dalam taman kaputren.
“Entahlah, Anakku. Tapi kata
Paman Trunggajaya, itu memang sudah pesan Ayahanda Prabu. Jenazahnya harus
berada di kuil selama empat puluh hari,” sahut Permaisuri Sara Ratan sayu.
“Aneh...,” desis Raden Mandaka
hampir tidak terdengar suaranya.
“Apanya yang aneh, Anakku?” tanya
Permaisuri Sara Ratan.
“Tidakkah Bunda merasakan adanya
keanehan? Sejak pertama mendengar kabar Ayahanda Prabu tewas terbunuh, tidak
ada seorang pun yang diijinkan melihat jasadnya, kecuali Paman Trunggajaya dan
Paman Pendeta Seka Gora. Bahkan aku dan Bunda sendiri tidak diperkenankan
menengoknya. Apa ini tidak aneh?” agak tinggi nada suara Raden Mandaka.
“Bunda rasa itu tidak aneh,
Anakku. Mungkin Ayahandamu punya maksud tertentu,” kilah Permaisuri Sara Ratan
lembut.
“Itu berarti Bunda tidak percaya
kalau Ayahanda Prabu tewas, bukan?” tebak Raden Mandaka.
“Entahlah...,” suara Permaisuri
Sara Ratan terdengar mengambang.
“Bunda.... Nanda juga sempat
berpikir seperti itu. Rasanya tidak mungkin kalau Ayahanda Prabu tewas hanya
karena tertikam sebilah pisau oleh seorang pemuda yang tidak diketahui asalnya.
Lagi pula, untuk apa membunuh Ayahanda Prabu...? Sedangkan yang Nanda ketahui,
Ayahanda Prabu memiliki ilmu kebal. Bahkan aji ‘Karang Saketi’ yang menjadikan
kulit Ayahanda Prabu sekeras baja, adalah ajian yang menjadi tameng bagi tubuh
Ayahanda. Tak ada satu senjata pun yang bisa melukainya, apalagi hanya sebilah
pisau kecil...,” agak ragu-ragu nada suara Raden Mandaka.
“Anakku.... Bagaimanapun
digdayanya seseorang, dan bagaimanapun saktinya seseorang, tentu ada saatnya
ajal menjemput. Hari naas tidak akan pernah dapat terelakkan. Itu namanya sudah
takdir. Janganlah mengandalkan ilmu olah kanuragan dan kesaktian, sehingga jadi
besar kepala. Apalagi menganggap diri tidak akan pernah bisa mati. Ingat,
Anakku. Semua makhluk hidup pasti mati. Begitu juga Ayahanda Prabu,” tetap
lembut nada suara Permaisuri Sara Ratan.
Raden Mandaka menatap
dalam-dalam, lurus ke bola mata wanita berusia hampir mencapai empat puluh
tahun di depannya. Entah apa yang dicari dari sepasang mata bening dan raut
wajah lembut penuh ketenangan itu. Seakan-akan tidak percaya kalau ibunya
seperti tidak berduka sejak menerima kabar kematian suaminya. Bahkan sikapnya
begitu tenang, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu pada diri Prabu
Jayengrana. Perlahan-lahan Raden Mandaka bangkit berdiri. Pandangannya tetap
tertuju pada seraut wajah yang masih kelihatan cantik itu.
“Bunda sepertinya tidak berduka
sama sekali,” pelan suara Raden Mandaka, seolah berbicara untuk dirinya
sendiri.
“Tidak, Anakku. Bunda merasa
sedih, tapi tidak mungkin untuk hanyut terus-menerus dalam kedukaan. Masih
banyak yang harus Bunda kerjakan selama Gusti Prabu tidak ada. Bunda saat ini
masih punya tugas penting yang harus dilaksanakan, yaitu mempersiapkan dirimu
agar menjadi raja. Tentu saja seorang raja yang jadi tauladan bagi seluruh
rakyat negeri ini,” tetap tenang dan lembut suara Permaisuri Sara Ratan.
“Kenapa Bunda selalu berpikir
begitu? Sejak Ayahanda diberitakan tewas, Bunda selalu berkata demikian setiap
kali aku membicarakan perihal kematian Ayahanda. Kenapa, Bunda?”
“Kau tidak juga mengerti, Anakku.
Setelah empat puluh hari, jasad Ayahandamu akan datang ke istana. Dan di saat
itulah kau akan dinobatkan menjadi raja. Hanya itu tugas Bunda padamu.
Mengantarmu sampai duduk di singgasana.”
“Tidak, Bunda. Aku tidak akan
mempersiapkan diri jika belum melihat sendiri jasad Ayahanda Prabu. Itu pun
kalau memang Ayahanda Prabu sudah meninggal!” jawab Raden Mandaka tegas.
“Jangan sia-siakan kesempatan
ini, Ananda. Atau kau ingin tahta itu diserahkan pada adikmu? Adik dari selir,
Anakku.”
“Bukan itu maksudku, Bunda. Yang
kuinginkan hanyalah menduduki tahta sesuai adat dan peraturan yang berlaku.
Terus terang, aku masih belum percaya jika Ayahanda tewas hanya karena tertikam
sebilah pisau. Harus kuselidiki, Bunda. Harus...!” tegas nada suara Raden
Mandaka.
“Mandaka...!”
Tapi Mandaka sudah lebih cepat
meninggalkan taman kaputren itu. Permaisuri Sara Ratan bergegas berdiri dan
mengejar, namun anaknya sudah berjalan jauh, melangkah cepat keluar dari taman
kaputren. Permaisuri Sara Ratan hanya bisa memandangi kepergian putranya yang
diliputi hati panas.
“Oh, Dewata Yang Agung..., jangan
biarkan putraku masuk dalam kemelut ini,” desah Permaisuri Sara Ratan lirih.
Wanita berusia hampir empat
puluhan tapi ma-sih terlihat cantik itu mengayunkan langkahnya menyusuri jalan
setapak yang melingkari taman bunga di kaputren ini. Tapi belum seberapa jauh
melangkah, tampak seorang laki-laki berusia lanjut menghampiri. Jalannya
dibantu sebatang tongkat berwarna hitam kemerahan. Laki-laki berusia lanjut
yang mengenakan baju berbentuk jubah warna kuning gading itu membungkuk memberi
hormat. Kepalanya yang gundul tampak berkilat dijilat cahaya matahari senja.
“Ada apa, Paman Pendeta Seka
Gora?” tanya Permaisuri Sara Ratan.
“Ampun, Gusti Permaisuri. Apakah
Gusti Permaisuri mengijinkan Ananda Raden Mandaka pergi ke kuil?” terdengar
sopan nada suara Pendeta Seka Gora.
“Ke kuil...?!” Permaisuri Sara
Ratan nampak terkejut.
“Benar, Gusti Permaisuri. Ananda
Raden Mandaka bahkan membawa para prajurit setia dan sepuluh orang jawara yang
sudah disumpah untuk selalu setia padanya.”
“Tidak! Aku tidak pernah
mengijinkannya untuk pergi ke sana!” sentak Permaisuri Sara Ratan tegas.
“Kalau begitu, apa yang harus
hamba lakukan, Gusti Permaisuri?” tanya Pendeta Seka Gora.
“Cegah sebelum terlambat!”
“Baik, Gusti Permaisuri.”
DUA
Raden Mandaka memacu cepat
kudanya diikuti sekitar lima puluh prajurit dan sepuluh orang jawara pilihan
yang telah disumpah untuk selalu setia pada putra mahkota itu. Jawara di
Kerajaan Salinga adalah para jago yang memiliki kepandaian tinggi, yang terdiri
dari orang-orang pilihan. Mereka rela mengorbankan nyawa demi kesetiaan pada
junjungannya.
Kuda-kuda itu dipacu cepat bagai
terbang di atas tanah, sehingga tidak berapa lama mereka sudah melewati batas
kota Kerajaan Salinga. Sepanjang jalan yang dilalui, debu mengepul tersepak
kaki-kaki kuda. Namun belum begitu jauh melewati perbatasan kota, mendadak
sekitar sepuluh orang mengenakan baju hitam menghadang di depan.
“Hup...!”
Raden Mandaka bergegas melompat
turun dari punggung kudanya, sebelum kuda coklat itu berhenti berpacu. Sepuluh
orang jawara yang mendampingi juga bergegas melompat turun. Demikian juga lima
puluh prajurit yang dibawa Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu. Dan belum sempat
ada yang mengeluarkan satu suara pun, dari balik semak dan pepohonan
bermunculan orang berpakaian serba hitam yang seluruh kepalanya terselubung
kain hitam pula. Hanya bagian mata saja yang terlihat.
“Siapa kalian? Mengapa menghadang
jalanku?” bentak Raden Mandaka.
“Raden tidak perlu tahu siapa
kami, dan sebaiknya segeralah kembali ke istana,” sahut salah seorang yang
entah berada di mana. Suara itu seakan datang dari segala penjuru.
“Kalian tidak berhak mengaturku!
Minggir...!” bentak Raden Mandaka gusar.
“Kembalilah, Raden. Sebelum
semuanya terlambat,” kata orang yang tidak jelas ada di mana.
“Phuih! Siapa pun kalian,
minggir! Atau prajurit-prajuritku yang akan menyingkirkan kalian dari
hadapanku!” geram Raden Mandaka.
“Dengar, Raden. Demi kebaikan
Raden sendiri, kembalilah ke istana. Tidak ada gunanya Raden pergi ke kuil,”
kata suara itu lagi.
“Heh! Kau tahu tujuanku...?!
Siapa kau?” Raden Mandaka terkejut juga.
“Aku tahu semuanya, Raden. Itulah
sebabnya mengapa kuminta Raden kembali ke istana. Ini semua demi kebaikan Raden
sendiri juga,” suara itu tetap membujuk.
“Hm..., aku tahu. Kau sengaja
menghalangiku untuk mengetahui kematian Ayahanda Prabu,” nada suara Raden
Mandaka terdengar agak bergumam. “Dengar baik-baik! Aku tidak percaya kalau
Ayahanda Prabu sudah mangkat! Pasti kalian yang menyebar berita bohong itu! Apa
pun alasannya, akan kuhukum kalian semua!”
Setelah berkata demikian, Raden
Mandaka memberikan isyarat agar para prajuritnya bersiap siaga. Demikian juga
sepuluh orang jawara setianya. Mereka segera menghunus senjata masing-masing.
Sedangkan Raden Mandaka sendiri sudah menghunus pedangnya yang sejak tadi
tersampir di pinggang.
Sementara orang-orang berbaju
hitam dengan seluruh kepala terselubung kain hitam pekat, hanya berdiri tegak
saja. Sedikit pun tidak melakukan gerakan, meskipun yang dikepung sudah bersiap
hendak bertempur dan menghunus senjata masing-masing.
“Siapa pun yang mencoba
menghalangi langkahku, harus siap mati di ujung pedang!” lantang suara Raden
Mandaka.
Raden Mandaka melangkah cepat
sambil mengibaskan pedangnya ke depan. Dan orang-orang yang berada di bagian
depan, bergegas berlompatan menghindari tebasan pedang itu. Tak ada yang
terkena, tapi cukup untuk Raden Mandaka lewat. Namun sebelum pemuda belia itu
bisa melewati jalan yang terbuka, mendadak....
“Jangan biarkan mereka ke kuil!”
Seketika jalan yang sudah terbuka
itu kembali tertutup. Raden Mandaka jadi gusar, lalu melompat sambil berteriak
nyaring. Pedangnya berkelebatan cepat mencoba membuka kepungan orang-orang
berbaju hitam pekat itu.
Trang!
Entah kapan senjata itu tercabut,
tahu-tahu di tangan orang-orang berbaju hitam itu sudah tergenggam pedang bergagang
kepala ular. Raden Mandaka melompat mundur begitu pedangnya membentur salah
satu senjata pedang orang yang terdekat.
Seluruh persendian tangannya
terasa nyeri, dan tubuhnya bergetar hebat. Raden Mandaka merasakan adanya satu
aliran yang dahsyat menggetarkan jantung dan jalan darahnya. Sebentar Putra
Mahkota Kerajaan Salinga itu terpaku, namun sesaat kemudian sudah kembali
melompat menerjang sambil berteriak keras melengking tinggi.
“Hiyaaat...!”
Trang! Wut...!
Raden Mandaka tidak lagi peduli,
meskipun merasakan tangannya bergetar saat pedangnya beradu dengan pedang
manusia berselubung serba hitam itu. Raden Mandaka memerintahkan para prajurit
dan sepuluh orang jawaranya untuk membuka jalan. Lantang dan sangat keras
seruannya, maka pertempuran tidak dapat dihindari lagi. Senja yang semula
tenang, kini berubah riuh oleh teriakan pertempuran dan denting senjata beradu.
Sebentar saja sudah terdengar
jeritan melengking mengiringi beberapa tubuh terjungkal bersimbah darah. Raden
Mandaka semakin bertambah geram menyaksikan sepuluh orang prajuritnya roboh
hanya dalam waktu sebentar saja. Bahkan tidak ada seorang lawan pun yang roboh.
Sementara sepuluh orang jawara
yang dibawa Raden Mandaka rupanya kini mendapat lawan tangguh. Mereka tidak
bisa berbuat banyak. Terlebih lagi jumlah yang harus dihadapi berlipat ganda.
Raden Mandaka sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, meskipun sudah mengerahkan
seluruh kekuatannya. Pertempuran terus berlangsung sengit, tanpa dapat dicegah
lagi. Satu per satu korban mulai berjatuhan kembali, baik dari pihak Raden
Mandaka maupun dari orang-orang berbaju hitam itu. Jerit pekik pertempuran
berbaur menjadi satu dengan jerit lengking kematian, ditingkahi denting senjata
berada
“Hentikan, Raden. Tidak ada
gunanya mengumbar amarah,” terdengar lagi suara tanpa ujud.
“Setan! Berani bicara lagi,
kurobek mulutmu, keparat!” geram Raden Mandaka.
Kemarahan yang memuncak, membuat
Raden Mandaka sukar mengendalikan dirinya lagi. Ilmu olah kanuragannya memang
cukup tinggi, tapi hawa amarah yang menyelimuti seluruh dadanya membuatnya
kehilangan kendali. Serangan-serangannya tidak beraturan lagi, sehingga membuat
lawan-lawannya tidak mengalami kesulitan untuk menghindari. Bahkan beberapa
kali pemuda belia itu harus rela menerima pukulan maupun tendangan yang cukup
keras.
Raden Mandaka tahu kalau setiap
pukulan dan tendangan yang diterimanya tidak diimbangi pengerahan tenaga dalam.
Tentu saja hal ini membuatnya semakin marah. Hatinya merasa tersinggung, karena
dianggap remeh. Bertarung tanpa mempergunakan tenaga dalam, baginya sama saja
bertarung melawan orang berkemampuan rendah. Padahal, tenaga dalam adalah
senjata andalan yang tak dapat ditinggalkan begitu saja bagi orang yang
memiliki ilmu olah kanuragan.
Bertarung tanpa mempergunakan
tenaga dalam merupakan penghinaan besar. Atau sama saja menganggap remeh lawan,
sehingga merasa dirinya lebih tinggi tingkat kepandaiannya. Tapi di balik itu
semua, memang ada maksud-maksud tertentu yang biasanya tidak akan bisa dipahami
lawan. Tetapi tetap saja perbuatan itu selalu dianggap merendahkan.
“Phuih! Jangan menyesal kalau
kalian mampus di tanganku!” geram Raden Mandaka.
Pemuda belia itu semakin
meningkatkan serangan-serangannya. Tidak lagi mempedulikan keadaan tubuhnya
yang sudah babak-belur. Bahkan juga tidak lagi mempedulikan jumlah prajuritnya
yang semakin berkurang. Malah tiga orang jawaranya sudah tergeletak tidak
bernyawa lagi. Raden Mandaka terus bertarung disertai hawa amarah meluap dalam
dada.
“Mampus kalian! Hiyaaa!
Hiyaaat...!”
Pedang di tangan Raden Mandaka
berkelebat cepat bagaikan kilat. Sungguh berbahaya jurus-jurus terakhir yang
dimainkan Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu. Namun tiga orang lawannya
ternyata masih mampu mengimbangi menggunakan gerakan-gerakan ringan. Bahkan
masih sempat mendaratkan pukulan maupun tendangan telak, namun tetap tanpa
penge-rahan tenaga dalam sedikit pun. Hanya menggunakan tenaga luar saja. Hal
ini membuat Raden Mandaka semakin berang. Namun begitu, darah mulai mengucur
juga dari sudut bibirnya.
“Mundur semua...! Biar kuhadapi
mereka!” seru Raden Mandaka tiba-tiba.
Bersamaan dengan itu, Raden
Mandaka melompat keluar dari arena pertarungan. Matanya seketika jadi terbeliak
lebar begitu melihat seluruh pengikutnya sudah tergeletak tidak bernyawa lagi!
Sedangkan pihak lawan hanya sepuluh atau dua belas orang yang tewas. Raden
Mandaka menggeretak geram menyadari dirinya tinggal sendirian saja.
“Maaf, Raden. Terpaksa mereka
harus disingkirkan,” terdengar lagi satu suara tanpa ujud.
“Kalian telah berani membantai
prajurit-prajuritku! Ini namanya pemberontakan!” geram Raden Mandaka.
“Kami tidak memberontak, Raden.
Mereka memang sudah sepatutnya disingkirkan,” kata orang yang tidak diketahui
di mana adanya itu.
“Siapa kau? Keluar!” bentak Raden
Mandaka tambah berang.
“Sayang sekali, aku tidak
diijinkan menampakkan diri. Sungguh kami tidak bermaksud memberontak, tapi hanya
ingin menyelamatkan kerajaan dari kehancuran. Kami menginginkan Raden tetap
menggantikan kedudukan Gusti Prabu Jayengrana,” sahut suara tanpa ujud itu
lagi.
“Phuih! Apa pun alasannya, kalian
telah berani menentangku! Jelas, ini berarti kalian ingin memberontak!”
“Raden....”
Tapi Raden Mandaka sudah melompat
menerjang dengan kecepatan tinggi. Maka dua orang yang berada di dekatnya tidak
sempat lagi berkelit. Mereka menjerit keras, lalu ambruk dengan leher buntung,
Raden Mandaka mengamuk bagai banteng terluka. Tiap gerakan pedangnya mengandung
hawa maut yang setiap saat dapat merenggut nyawa. Namun orang-orang berbaju
serba hitam itu rupanya memiliki kepandaian rata-rata di atas Raden Mandaka,
sehingga mampu pula menandingi tanpa membuat luka yang parah.
“Cukup, Raden. Bisa berbahaya
bagi Raden sendiri!” suara itu keras memperingatkan.
“Hiyaaat...!”
Tapi Raden Mandaka tidak peduli
dan terus menyerang ganas. Mendadak saja terdengar seruan keras menggelegar,
menyuruh semua orang yang mengepung Raden Mandaka mundur. Tanpa menunggu waktu
lagi, mereka bergegas berlompatan mundur. Dan pada saat itu, melesat bayangan
merah. Kini di depan Raden Mandaka sudah berdiri sesosok tubuh berbaju merah
ketat. Wajahnya tertutup kain tipis yang membuatnya jadi tersamar.
“Hhh...! Akhirnya kau muncul
juga, keparat!” geram Raden Mandaka.
“Dengar, Raden. Meskipun aku
mendapat kekuasaan untuk berlaku keras, tapi tetap tidak akan kugunakan
kekerasan. Ini peringatanku yang terakhir, Raden. Kembalilah ke istana, atau
Raden akan kembali terusung!” dingin nada suara orang berbaju merah ketat itu.
“Kau sudah membunuh banyak
prajurit dan para jawara setiaku. Dan sekarang kau mengancamku! Baik,
kesalahanmu sudah bertumpuk, manusia keparat!” sambut Raden Mandaka. Sedikit
pun hatinya tidak gentar meskipun menyadari tidak akan mungkin mampu menandingi
orang berbaju merah itu. Padahal jelas, orang itu pasti lebih tinggi
kepandaiannya dari mereka yang berpakaian serba hitam.
“Kepala batu...!” desis orang
itu, agak tertahan suaranya.
“Kepalaku lebih keras dari batu!”
tantang Raden Mandaka.
“Kau memilih jalan yang tidak
enak, Raden.”
“Majulah, bila kau bisa
mengusungku pulang!” sambut Raden Mandaka lantang.
“Hhh! Semoga Gusti Prabu
mengampuniku,” dengus orang itu.
Dan tiba-tiba saja orang berbaju
merah itu menghentakkan tangannya ke depan. Seketika dari sela-sela jari
tangannya meluncur benda-benda bulat kecil berwarna merah. Raden Mandaka cepat
menggerakkan pedangnya. Dan dia jadi terkejut ketika merasakan pedangnya
seperti terbakar begitu membabat benda-benda merah bulat kecil itu.
“Hup! Hiyaaa...!”
Buru-buru Raden Mandaka
melentingkan tubuhnya ke udara. Namun belum juga sempat melakukan sesuatu,
terasa adanya sambaran angin keras mengarah ketubuhnya. Raden Mandaka
terperanjat, karena orang berbaju merah itu sudah melesat sambil melontarkan
dua pukulan beruntun.
“Yap!”
“Aaakh...!” Raden Mandaka
terpekik keras tertahan.
Meskipun pemuda belia itu sudah
berusaha berkelit, namun satu pukulan keras orang berbaju merah itu sempat juga
menghantam punggungnya. Tak pelak lagi, tubuh Raden Mandaka meluncur deras ke
bawah. Namun belum juga tubuh pemuda itu sampai ke tanah, mendadak saja sebuah
bayangan putih berkelebat, dan langsung menyambarnya!
Begitu cepatnya bayangan putih
itu berkelebat. Dan sebelum ada yang bisa menyadari, bayangan putih itu sudah
lenyap bagai tertelan bumi. Orang berbaju merah itu jadi terperanjat. Kakinya
mendarat manis, dan langsung mengedarkan pandangannya ke arah seharusnya Raden
Mandaka terguling.
“Monyet buntung! Siapa pula ingin
cari penyakit!” geramnya sengit.
Orang berbaju merah ketat itu
mengarahkan pandangannya berkeliling, tapi tetap saja tidak menemukan bayangan
putih yang menyambar Raden Mandaka. Sambil menggeram, orang itu memerintahkan
semua orang yang mengenakan baju hitam untuk mencari sampai dapat. Tanpa
menunggu perintah dua kali, mereka bergegas membereskan mayat-mayat yang
bergelimpangan. Mereka membuat lubang dan menguburkannya secara layak.
“Hhh...! Apa yang harus kukatakan
nanti...?” desah orang berbaju merah ketat itu.
Sambil mengawasi mereka yang
tengah menguburkan mayat-mayat, orang berbaju merah itu terus mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Dia berharap akan melihat bayangan berkelebat, dan
berharap pula masih bisa menyusulnya. Tapi harapan memang tinggal harapan.
Sampai orang-orang berbaju serba hitam itu selesai menguburkan mayat yang
berserakan, tetap saja tidak ditemukan satu petunjuk pun tentang Raden Mandaka
berada. Pemuda belia Putra Mahkota Salinga itu benar-benar bagaikan lenyap
ditelan bumi.
“Hhh..., semoga saja Raden
Mandaka selamat dan tetap hidup,” desahnya lagi seraya mengayunkan kakinya
meninggalkan tempat itu.
Sukar buat Permaisuri Sara Ratan
untuk menerima kenyataan pahit yang datang secara beruntun ini. Semalaman dia
menangis setelah mendengar kabar putranya hilang dan seluruh prajurit serta
sepuluh jawara yang menyertainya telah tewas.
Sampai pagi Permaisuri Sara Ratan
tidak keluar dari kamarnya, dan baru keluar setelah matahari naik tinggi.
Wanita yang usianya sudah mencapai kepala empat itu duduk menyendiri dalam
taman kaputren, yang biasa digunakan untuk bercengkrama bersama putranya. Dia
tidak ingin ada seorang pun yang menemaninya. Permaisuri Sara Ratan tetap diam,
dan sama sekali tidak mengetahui kalau di sampingnya ada seseorang.
“Gusti....”
Permaisuri Sara Ratan menoleh
sedikit, tapi kembali memalingkan mukanya setelah mengetahui kalau Pendeta Seka
Gora yang berada di sampingnya. Laki-laki tua berkepala gundul itu memberi
hormat, lalu duduk di depan Permaisuri Sara Ratan. Sikapnya begitu hormat.
“Ampunkan hamba, Gusti
Permaisuri. Seharusnya hamba tidak cepat-cepat melaporkan semua ini,” ujar
Pendeta Seka Gora pelan.
“Hhh...!” Permaisuri Sara Ratan
hanya mendesah panjang saja.
“Hamba sudah meminta pada
Panglima Pramoda dan Patih Trunggajaya untuk mencari Nanda Raden Mandaka,” ujar
Pendeta Seka Gora lagi.
“Untuk apa? Untuk membawa mayat
putraku ke sini? Agar kepedihanku semakin bertambah?” agak ketus nada suara
Permaisuri Sara Ratan.
“Gusti Permaisuri...,” Pendeta
Seka Gora tersentak mendengar nada ketus itu, sehingga sampai-sampai terangkat
kepalanya.
“Paman! Hanya aku dan dirimu yang
tahu, ke mana anakku pergi. Aku yakin, ada yang tidak beres di dalam istana
ini,” tegas kata-kata Permaisuri Sara Ratan. Tatapan matanya tajam, menusuk
langsung ke bola mata Pendeta Seka Gora.
“Ampun, Gusti Permaisuri. Bukan
hanya hamba, tapi yang lainnya pun tahu. Bahkan hampir semua patih, panglima,
dan pembesar kerajaan tahu ke mana Nanda Raden Mandaka pergi,” elak Pendeta
Seka Gora.
“Oh...?!” Permaisuri Sara Ratan
tampak tidak percaya.
“Nanda Raden Mandaka selalu
mengatakan hendak ke kuil setiap kali ditanya sebelum berangkat pergi. Hamba
bertanya pada Gusti hanya untuk memastikan saja, karena hamba melihat Nanda
Raden Mandaka keluar dari taman kaputren ini,” jelas Pendeta Seka Gora.
“Putraku memang pemberang. Tapi
itu tidak berarti harus mengobral tujuan kepergiannya. Aku tahu persis watak
Raden Mandaka, Paman Pendeta,” agak sinis nada suara Permaisuri Sara Ratan.
“Ampun, Gusti Permaisuri. Apakah
Gusti mencurigai hamba?” Pendeta Seka Gora merasa tidak enak juga.
“Rupanya kau cepat tanggap juga,
Paman Pendeta. Memang tidak seharusnya mencurigaimu. Tapi dalam keadaan seperti
ini, aku merasa ada usaha untuk menggulingkan tahta Kerajaan Salinga secara
kotor. Tapi aku yang masih berada di istana tidak akan membiarkannya begitu
saja. Maaf, Paman Pendeta. Terpaksa harus kucurigai siapa saja. Aku yakin,
semua yang terjadi belakangan ini sudah diatur. Suatu permainan...!” tegas
kata-kata Permaisuri Sara Ratan.
“Gusti Permaisuri. Hamba belum
memahami maksud Gusti,” tanya Pendeta Seka Gora seraya memberi hormat dengan
merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
“Seharusnya kau lebih mengerti,
Paman Pendeta. Kau seorang pendeta agung di Kerajaan Salinga ini, dan dipercayakan
menjadi penasehat pribadi keluarga istana. Aku tidak percaya kalau kau tidak
menangkap gejala lain dari semua peristiwa ini,” tetap sinis nada suara
Permaisuri Sara Ratan.
Pendeta Seka Gora terdiam sambil
menundukkan kepalanya. Cukup lama juga kepalanya tertunduk tepekur dengan
kening berkerut lebih dalam lagi. Disadari kalau Permaisuri Sara Ratan menaruh
kecurigaan padanya untuk melakukan makar, menjatuhkan tahta dan kekuasaan Prabu
Jayengrana di Kerajaan Salinga ini. Kecurigaan yang beralasan dan tidak
membabi-buta. Pendeta Seka Gora bisa memahami. Ditariknya napas
panjang-panjang, lalu dihembuskannya kuat-kuat.
“Gusti Permaisuri, apakah hamba
yang sudah mengabdi separuh lebih usia hamba ini patut mendapat kecurigaan
seperti itu? Tidakkah Gusti memberikan sedikit kepercayaan pada hamba untuk
membuktikan kecurigaan itu?” mohon Pendeta Seka Gora, penuh rasa hormat.
“Aku memang belum mendapatkan
bukti yang cukup, Paman Pendeta. Semua akan menjadi jelas kalau Kanda Prabu ada
di istana,” kata Permaisuri Sara Ratan tegas. “Hhh..., aku jadi berpikir lain.
Mungkin dugaan putraku benar....”
“Dugaan apa, Gusti?” tanya
Pendeta Seka Gora.
“Sebaiknya kau tidak perlu tahu,
Paman. Kalau aku sudah yakin bahwa kau tidak punya niat jahat di hati, mungkin
aku bisa mempercayaimu penuh kembali. Maaf, Paman Pendeta. Keadaan yang
memaksaku untuk bersikap demikian,” ujar Permaisuri Sara Ratan.
Pendeta Seka Gora langsung
terdiam. Dira-patkan kedua telapak tangannya di depan hidung saat Permaisuri
Sara Ratan bangkit berdiri. Tanpa berkata sedikit pun, Permaisuri Kerajaan
Salinga itu melangkah pergi meninggalkan taman kaputren. Pendeta Seka Gora baru
beranjak setelah Permaisuri Sara Ratan menghilang di balik tembok pemisah.
***
TIGA
Kecurigaan Permaisuri Sara Ratan
terhadap dugaan adanya makar di Kerajaan Salinga, rupanya mempengaruhi pikiran
para pembesar istana. Mereka jadi saling curiga satu sama lain. Bahkan para
panglima mulai mencari pengaruh, dan menunjukkan kalau dirinya setia. Demikian
juga para patih, yang jadi bersaing satu sama lain. Hal ini membuat suasana di
dalam lingkungan istana menjadi tak menentu. Tidak ada lagi kata sepakat.
Masing-masing menonjolkan diri sendiri dan saling menjegal.
Keresahan di dalam lingkungan
istana juga merambat sampai ke seluruh pelosok negeri. Rakyat jadi ikut
gelisah. Desas-desus tentang akan adanya penggulingan tahta kerajaan semakin
keras mendengung. Bahkan rakyat mulai dihinggapi keresahan. Mereka mulai
membentuk kelompok-kelompok yang tidak jelas arah tujuannya.
Kecemasan akan runtuhnya Kerajaan
Salinga semakin gencar melanda seluruh rakyat. Terlebih lagi keadaan semakin
bertambah buruk. Keamanan tak terkendali lagi. Perampokan, pembunuhan, bahkan
perkosaan dan perbuatan keji lainnya tumbuh subur bagai jamur di musim hujan.
Orang-orang yang suka mengambil keuntungan pribadi, memanfaatkan keadaan kacau
ini.
Kabar burung itu juga rupanya
sampai ke telinga Raden Mandaka yang saat ini berada di Desa Kali Ajir, yang
letaknya di sebelah selatan Kota Kerajaan Salinga. Desa yang cukup terpencil
dan dipisahkan oleh hutan yang tidak begitu lebat. Hanya ada satu jalan setapak
yang menghubungkan desa itu dengan kotaraja. Raden Mandaka memang telah dibawa
ke rumah kepala desa oleh penolongnya ketika bertarung melawan orang tidak
dikenal yang membunuh habis para prajurit dan sepuluh orang jawaranya.
“Aku benar-benar tidak mengerti,
apa sebenarnya yang sedang terjadi...?” gumam Raden Mandaka seperti berbicara
kepada dirinya sendiri.
“Satu ujian, Raden,” celetuk
seorang laki-laki tua berusia lanjut yang duduk bersila di depan Raden Mandaka.
Di samping laki-laki tua itu
duduk seorang pemuda berbaju rompi putih. Masih ada dua orang lagi yang ada di
ruangan tengah rumah kepala desa ini. Mereka adalah wanita. Yang seorang sudah
cukup tua, yang merupakan istri kepala desa. Sedangkan seorang lagi berusia
sekitar delapan belas tahun, dan merupakan anak gadis Kepala Desa Kali Ajir.
Raden Mandaka menghela napas panjang. Ditatapnya pemuda berbaju rompi putih
yang telah membawanya ke tempat ini.
“Seharusnya kau biarkan saja aku
tewas, Ka-kang Rangga. Rasanya tidak sanggup lagi menyaksikan kekacauan dan
keruntuhan Kerajaan Salinga,” lirih suara Raden Mandaka.
Pemuda berbaju putih tanpa lengan
yang ternyata memang Rangga si Pendekar Rajawali Sakti, hanya tersenyum dikulum
saja. Diliriknya laki-laki tua yang duduk di sampingnya. Yang dilirik juga
hanya tersenyum-senyum saja penuh arti. Sementara Raden Mandaka memandanginya
tidak mengerti. Hatinya bertanya-tanya mengapa kedua orang ini hanya
tersenyum-senyum saja.
“Kenapa kalian tersenyum?! Ada
apa?!” agak keras suara Raden Mandaka. Pemuda ini memang berwatak pemberang,
dan mudah sekali tersinggung.
“Maaf, Raden. Bukannya hamba
ingin membuat Raden tersinggung,” ucap laki-laki tua itu buru-buru.
“Jangan cepat tersinggung, Raden.
Ki Belabar tidak bermaksud apa-apa. Terus terang, kami tadi hanya merasa geli
karena Raden seperti berputus asa,” selak Rangga.
“Aku memang putus asa!” rungut
Raden Mandaka.
“Ah..., kenapa Raden begitu cepat
putus asa? Bukankah Raden masih punya kesempatan untuk memperbaiki keadaan?”
ucap Ki Belabar lagi.
“Percuma!”
“Tidak ada yang percuma, Raden.
Hamba rasa, semuanya masih dapat diatasi. Saat ini tahta Salinga sedang kosong
tanpa pemimpin. Justru keadaan seperti inilah yang membuat suasana jadi tidak
menentu. Bahkan bukan tidak mungkin ada segelintir orang yang memanfaatkan
untuk menduduki tahta. Raden harus mencegah, dan memulihkan keadaan secepatnya.
Hamba yakin, Den Rangga bersedia membantu. Bahkan seluruh warga Desa kali Ajir
akan ikut mengorbankan darah demi kejayaan Kerajaan Salinga, Raden,” tegas Ki
Belabar memberi dorongan semangat pada Raden Mandaka yang sudah pupus.
“Hanya orang desa.... Tidak
mungkin mereka menandingi kekuatan prajurit yang berjumlah besar, Ki Belabar!”
dengus Raden Mandaka bernada meremehkan.
“Desa Kali Ajir sudah terkenal
gudangnya para jawara, Raden. Bahkan sebagian besar jawara di istana berasal
dari sini. Hamba yakin, para jawara istana yang berasal dari desa ini tetap
setia pada Raden, dan Gusti Prabu Jayengrana,” kata Ki Belabar tanpa ada rasa
tersinggung.
“Bagaimana kalau justru mereka
yang memberontak?”
“Raden bisa membumihanguskan
seluruh desa ini,” Ki Belabar menjamin.
“Membumihanguskan?! Kau pikir aku
sekejam itu, Ki?” Raden Mandaka mendelik. “Tentu saja tidak, Raden. Hamba hanya
menjamin kesetiaan warga Desa Kali Ajir ini saja. Hamba percaya Raden adalah
calon pemimpin yang adil dan bijaksana. Itulah sebabnya hamba bisa menjamin dan
selalu setia pada Raden dan Gusti Prabu Jayengrana,” tegas Ki Belabar lagi.
“Terima kasih, Ki. Tapi..., aku
masih belum yakin mampu mengatasi keadaan yang sudah tidak terkendali ini,”
ucap Raden Mandaka pelan. Nada suaranya memang seperti putus asa.
“Kenapa harus sangsi, Raden?
Semua pasti bisa teratasi. Yang pertama harus dilakukan adalah mencari bukti
kalau Prabu Jayengrana masih hidup,” celetuk Rangga yang mengetahui keadaan di
Kerajaan Salinga saat ini dari Ki Belabar.
“Itulah sulitnya. Tidak mudah
menuju ke kuil semadi sekarang ini. Seluruh jalan ke situ sudah dijaga ketat.
Aku sendiri tidak mengerti, kenapa sampai begitu,” suara Raden Mandaka bernada
mengeluh.
“Serahkan semua itu pada Den
Rangga, Raden,” sergah Ki Belabar.
“Ah! Ki Belabar ini hanya berolok
saja,” gurau Rangga merendah.
Tapi ucapan Ki Belabar membuat
Raden Mandaka menatap dalam-dalam Pendekar Rajawali Sakti itu. Memang ada
sesuatu yang dirasakannya ketika melihat pancaran sinar mata pemuda tampan
berbaju rompi putih itu. Dan entah kenapa, Raden Mandaka begitu yakin kalau
Rangga memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Terbukti bisa membawanya begitu
cepat hingga tidak terkejar. Dan itu pun hampir tidak disadarinya, tahu-tahu
sudah berada di perbatasan Desa Kali Ajir ini.
Sudah hampir tiga hari Raden
Mandaka berada di rumah kepala desa ini, tapi belum begitu jelas mengetahui
diri Rangga yang sebenarnya. Ki Belabar sendiri mengatakan belum tahu jelas.
Laki-laki tua itu baru seminggu yang lalu mengenalnya. Saat itu Rangga menolongnya
dari ancaman maut terkaman seekor harimau lapar di tepi hutan, ketika Ki
Belabar hendak berburu. Sedangkan Rangga sendiri mengatakan kalau dirinya
hanyalah pengembara. Tapi tutur kata dan perawakannya tidak seperti seorang
pengelana sesungguhnya. Dengan tubuh tegap, berkulit kuning langsat dan wajah
tampan, Rangga lebih tepat sebagai putra seorang pembesar kerajaan daripada
seorang pengembara. Bahkan Raden Mandaka sendiri merasakan dirinya tidak
setampan dan segagah Pendekar Rajawali Sakti ini.
“Rasanya sudah siang dan matahari
sudah tinggi. Apakah kau sudah menyiapkan makan, Nyai?” Ki Belabar menoleh pada
istrinya.
“Sudah sejak tadi, barangkali
sudah dingin,” sahut Nyai Belabar seraya bangkit berdiri.
Wanita tua itu mengajak putrinya
untuk menyiapkan makan siang. Sementara ketiga laki-laki itu terus
berbincang-bincang sambil menunggu siapnya hidangan. Saat itu matahari memang
sudah tinggi, dan perut mereka juga sudah menagih minta diisi. Mereka
melanjutkan obrolan di ruangan tengah sambil menikmati hidangan yang sederhana.
***
Senja baru saja merayap turun
menyelimuti sebagian permukaan bumi. Dua ekor kuda hitam berpacu cepat membelah
jalan berdebu. Kedua kuda yang masing-masing ditunggangi seorang pemuda itu
baru saja keluar dari hutan kecil yang berada di sebelah selatan Kerajaan
Salinga. Kedua pemuda itu terus menggebah kudanya melewati gerbang pembatas
kotaraja yang nampak kosong tanpa terlihat seorang penjaga pun. Namun belum
beberapa jauh melewati batas gerbang, mendadak melintas sebuah bayangan merah,
langsung menghadang kedua penunggang kuda itu.
“Berhenti...!”
“Hooop...!”
Kedua penunggang kuda itu
langsung menghentikan lari kudanya. Debu seketika mengepul tinggi ke udara,
menutupi hampir dua tubuh kuda hitam pekat itu. Tampak di depan kedua penunggang
kuda itu berdiri tegak seorang berpakaian serba merah, dan seluruh kepalanya
terselubung kain tipis yang menyamarkan wajahnya.
“Hm, rupanya kau masih hidup,
Raden Mandaka,” gumam orang yang berdiri menghadang itu. Kedua bola matanya
menatap tajam pada salah seorang penunggang kuda hitam itu.
“Kau lagi!” dengus Raden Mandaka.
“Raden, sebaiknya tidak usah
datang ke istana. Suasana saat ini tidak menguntungkan untuk kembali ke
istana,” kata orang berbaju serba merah itu lantang.
“Apa hakmu melarangku, heh?!”
bentak Raden Mandaka tidak senang.
“Turuti saja apa kataku, Raden.
Semua ini demi keselamatan Raden sendiri,” tenang, namun terdengar lantang
suara orang berbaju merah itu.
“Kukira malah sebaliknya,
Kisanak. Kehadiran Raden Mandaka akan memperbaiki kekacauan yang terjadi di
istana,” celetuk pemuda berbaju rompi putih yang duduk di atas punggung kuda
hitam di samping kanan Raden Mandaka.
“Hm.... Siapa kau, Kisanak?”
dengus orang itu bernada kurang senang.
“Aku sahabat Raden Mandaka. Aku
tahu maksudmu menghadang Raden Mandaka kembali ke istana, dan menghalanginya
pergi ke kuil semadi Prabu Jayengrana!” mantap kata-kata pemuda berbaju rompi
putih itu.
“Anak muda! Siapa pun kau adanya,
jangan ikut campur urusan dalam istana!” bentak orang itu gusar.
“Oh..., jadi kau termasuk orang
istana juga?”
“Setan belang!” orang berbaju
merah itu menggeram sengit.
Kalau saja tidak terselubung kain
sutra tipis, pasti wajahnya akan terlihat memerah. Jelas kata-kata pemuda
berbaju rompi putih itu seakan-akan sudah menelanjanginya, meskipun belum
seberapa banyak.
“Siapa kau sebenarnya, Kisanak?”
bentak Raden Mandaka yang terkejut juga mendengar kata-kata pancingan yang
mengena telak dari pemuda berbaju rompi putih di sampingnya.
“Aku penyelamat keutuhan keluarga
Istana Salinga!” sahut orang itu lantang.
“Seluruh keluarga dan rakyat
Salinga aman tentram sebelum kemunculanmu!” celetuk pemuda berbaju rompi putih
itu lagi.
“Kurang ajar!” desis orang
berbaju merah itu menggeram. “Kau terlalu banyak ikut campur, Kisanak. Mulutmu
harus dibungkam!”
Setelah menggeram seram, orang
berbaju merah ketat itu langsung melompat cepat bagaikan kilat menyambar pemuda
berbaju rompi putih yang duduk di punggung kuda hitam. Tapi pemuda itu hanya
tenang saja, bahkan hanya menghentakkan tali kekang kudanya. Dan kuda hitam itu
meringkik keras seraya mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.
Buk!
Orang berbaju merah itu tidak
menyangka sama sekali, dan terlambat untuk menarik serangannya. Akibatnya, satu
kaki depan kuda hitam itu menghantam bagian iganya. Sedikit dia mengeluh
pendek, dan tubuhnya terdorong beberapa tombak ke belakang. Sungguh ringan
kakinya mendarat di tanah.
“Setan alas...!” ia mengumpat
geram. “Hiyaaa...!”
Sret!
Sambil mencabut pedangnya, orang
berbaju merah itu kembali melompat menerjang penunggang kuda hitam di samping
Raden Mandaka. Pemuda itu masih kelihatan tenang duduk di punggung kudanya. Dan
begitu orang berbaju merah dekat, kembali dihentakkan tali kekang kudanya.
Tepat pada saat yang sama, tubuhnya melenting ke atas, melewati kepala orang
berbaju serba merah itu.
“Yap!”
Sukar untuk diikuti oleh
pandangan mata biasa. Tahu-tahu pemuda berbaju rompi putih itu menghentakkan
kakinya, dan mendupak punggung orang itu hingga terjungkal sebelum sempat
mengibaskan pedangnya. Sedangkan kuda hitam meringkik keras sambil menyepakkan
kaki depannya, tepat menghantam dada orang berbaju merah itu.
Bug!
“Heghk...! Keparat...!”
Orang berbaju merah itu segera
bangkit berdiri setelah bergulingan beberapa kali di tanah. Sambil mengumpat
geram, kembali diserangnya pemuda berbaju rompi putih dengan ganas. Pedang di
tangannya berkelebat cepat, menyambar, mengurung gerak tubuh pemuda berbaju
rompi putih itu. Namun dengan gerakan-gerakan yang indah dan lincah, pemuda
berbaju rompi putih itu dapat mengelak. Bahkan tanpa diduga sama sekali, satu
pukulan telak bertenaga dalam sangat tinggi berhasil disarangkan ke dada lawan.
“Hiyaaat...!” Buk!
“Akh!” orang itu memekik
tertahan.
Seketika tubuh serba merah itu
terdorong sejauh tiga batang tombak ke belakang. Saat tubuhnya limbung, Raden
Mandaka cepat melesat ke arahnya. Dengan tangan kanan, disambarnya dengan cepat
kain yang menyelubungi kepala orang berbaju merah itu.
Bret!
Hampir bersamaan, Raden Mandaka
mengibaskan sebelah tangannya lagi, langsung menghajar bagian pipi orang itu,
hingga tubuhnya melintir bagai gasing! Dan sebelum tubuhnya seimbang, kembali
Raden Mandaka mengirimkan satu pukulan telak ditambah dua tendangan beruntun.
Tak pelak lagi, orang berbaju merah itu terjungkal mencium tanah!
Darah mengucur deras dari mulut
dan hidungnya. Dia merintih berusaha bangkit, namun kaki Raden Mandaka sudah
menjejak dadanya. Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu memungut pedang yang
menggeletak di tanah, lalu menempelkan ujungnya pada leher orang berbaju merah
itu.
Tanpa selubung kain sutra yang
menutupi seluruh kepalanya, tampak jelas seraut wajah laki-laki muda berusia
sekitar dua puluh lima tahun. Kumis tebal yang menempel di bawah hidung,
membuat wajahnya kelihatan tua. Belum lagi segores luka yang memancang membelah
pipinya, membuat tampangnya semakin kelihatan seram.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya
Raden Mandaka.
“Gurata!” sahut orang itu sambil
meringis menahan nyeri pada seluruh tubuhnya.
“Siapa yang memerintahmu?” tanya
Raden Mandaka lagi.
“Tidak ada, Raden,” jawab orang
itu yang mengaku bernama Gurata.
“Tidak ada...?!” Raden Mandaka
menggeram. Ditekan pedang itu hingga menggores kulit leher orang berbaju merah
yang tergeletak dengan dada terinjak kaki kanan Raden Mandaka.
Orang yang mengaku bernama Gurata
itu meringis menahan perih oleh sayatan ujung pedangnya sendiri di leher. Dia
berusaha menggerinjang, tapi Raden Mandaka malah menekan pijakannya kuat-kuat.
“Mau berontak, heh?!” desis Raden
Mandaka.
“Tidak..., tidak, Raden,” rintih
Gurata meringis.
“Jawab pertanyaanku dengan jujur!
Siapa yang menyuruhmu melakukan semua ini?” tanya Raden Mandaka, dingin nada
suaranya.
“Sungguh, Raden. Hamba melakukan
sendiri tanpa disuruh orang lain. Berani sumpah, Raden. Biar disambar petir,
hamba berkata jujur,” sahut Gurata masih juga bisa bercanda.
Sementara pemuda berbaju rompi
putih yang berdiri di belakang agak ke samping Raden Mandaka, jadi mengulum
senyum. Hatinya mendengus juga mendengar nada bercanda dari Gurata, meskipun
keadaan orang itu tergantung dari kesabaran Raden Mandaka yang terkenal pemberang
ini.
“Raden...,” pemuda berbaju rompi
putih itu menepuk pundak Raden Mandaka.
“Hm.... Ada apa, Kakang Rangga?”
tanya Raden Mandaka yang sudah terbiasa memanggil kakang pada Pendekar Rajawali
Sakti itu.
“Aku rasa dia berkata jujur,
Raden. Ada sesuatu yang lain pada dirinya,” kata Rangga agak menggumam.
Raden Mandaka berpaling menatap
Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian menoleh menatap pada Gurata.
Pelahan-lahan Raden Mandaka menjauhkan ujung pedang dari leher laki-laki
berkumis tebal dengan luka codet memanjang di pipinya. Kemudian kakinya
melangkah mundur, melemparkan pedang itu ke tanah. Gurata menggelinjang, lalu
bangkit berdiri perlahan-lahan. Kemudian dia membungkukkan badannya untuk
memberi hormat.
“Kau tentu bukan orang yang
menyerang dan membunuh semua prajurit Raden Mandaka. Kenapa sekarang kau
menghadang kami?” tanya Rangga agak menatap tajam.
“Ampun, Raden. Hamba memang
mendengar tentang penyerangan yang dilakukan sekelompok orang terhadap Raden
Mandaka dan beberapa prajurit serta jawara. Tapi bukan hamba yang melakukan itu
semua. Hamba hanya mendengar, lalu menyamar jadi pemimpinnya dengan pakaian
yang sama,” jelas Gurata.
“Kenapa kau lakukan itu, Gurata?”
tanya Rangga menyelak.
“Aku dendam! Kau lihat ini...!”
Gurata menunjukkan luka codet di pipinya. Juga segera dibuka bajunya, maka
terlihatlah luka-luka bekas cambukan di seluruh tubuhnya!
Rangga dan Raden Mandaka saling
berpandangan. Sungguh tidak disangka kalau laki-laki berkumis tebal yang
kelihatan garang ini menderita begitu banyak luka.
“Siapa yang melakukan itu
padamu?” tanya Raden Mandaka.
“Siapa lagi kalau bukan si
pendeta jahanam itu!” sahut Gurata memberengut.
“Paman Pendeta Seka Gora,
maksudmu?” Raden Mandaka terbeliak terkejut.
“Huh! Dialah dalang dari semua
kekacauan ini!” dengus Gurata.
Rangga menepuk pundak Raden
Mandaka yang terlihat memerah wajahnya. Kedua tangan putra mahkota itu terkepal
erat. Gerahamnya bergemeletuk, serta pandangannya tajam lurus ke depan.
Sedangkan Gurata hanya tertunduk saja. Beberapa saat lamanya tak ada yang
berbicara sedikit pun. Raden Mandaka membalikkan tubuhnya, lalu melompat cepat
ke punggung kudanya.
“Raden...!” seru Rangga bergegas
melompat dan mencekal tali kekang kuda Raden Mandaka.
Kedua pemuda itu saling menatap
tajam. Perlahan-lahan Rangga melepaskan cekatannya pada tali kekang kuda hitam
itu. Namun Raden Mandaka belum juga menggebah kudanya. Matanya masih menatap
tajam Pendekar Rajawali Sakti, lalu beralih pada Gurata.
“Kau ikut aku!” kata Raden
Mandaka datar.
“Oh...! Hamba, Raden...,” Gurata
langsung memberi hormat. Wajahnya berbinar penuh kegembiraan. Tidak semua orang
bisa mendapat kesempatan berjalan bersama Raden Mandaka.
Saat itu Rangga sudah melompat
naik ke atas punggung kudanya. Seekor kuda hitam yang bernama Dewa Bayu.
Sedangkan Raden Mandaka menatap dalam-dalam pada Gurata. Sedangkan yang ditatap
hanya menunduk, bersikap penuh rasa hormat.
“Kau tidak punya kuda, Gurata?”
tanya Rangga mengetahui arti pandangan Raden Mandaka.
“Punya, Den. Tapi kuda hamba
sangat jelek. Bahkan mungkin tidak akan sanggup mengikuti kuda Raden,” sahut
Gurata pelan.
“Di mana kudamu?”
“Tidak jauh, Den.” “Ambil.”
Gurata memberi hormat sekali
lagi, kemudian bergegas pergi. Tidak berapa lama kemudian, laki-laki berkumis
tebal itu sudah kembali lagi sambil menunggang seekor kuda berwarna
belang-belang. Memang tidak terlalu bagus, bahkan mungkin juga tidak kuat
berlari jauh. Tapi itu sudah cukup. Tanpa berkata-kata lagi, mereka segera
berangkat pergi. Rangga sengaja memacu kudanya pelahan-lahan, mengimbangi lari
kuda Gurata. Sedangkan Raden Mandaka kelihatan tidak sabaran, tapi terpaksa
juga diperlambat lari kudanya.
***
EMPAT
Malam baru saja beranjak turun.
Suasana yang hening sepi, mendadak pecah oleh suara teriakan-teriakan dan jerit
ketakutan serta lengking menyayat. Tampak di sebelah barat Kotaraja Kerajaan
Salinga, api berkobar terang-benderang bagai terjadi pesta. Namun itu bukanlah
pesta rakyat, melainkan segerombolan orang yang memanfaatkan keadaan untuk
menjarah harta benda rakyat.
Suasana malam itu jadi gaduh.
Rakyat berlarian keluar menyelamatkan diri masing-masing. Tak ada yang
mempedulikan harta benda. Nyawa lebih penting dari segala yang ada. Di antara
kepanikan orang-orang jelata, tampak beberapa orang berkuda sambil
mengacung-acungkan senjata dan berteriak-teriak. Mereka mengibaskan senjatanya
dengan buas pada setiap orang terdekat.
“Bakar! Bunuh semua...!”
terdengar teriakan memerintah.
Terdengar jelas teriakan seorang
berbaju merah dengan seluruh kepala terselubung kain sutra halus duduk di atas
punggung kuda. Orang itu memberi perintah untuk membumihanguskan rumah-rumah
penduduk. Sebilah pedang panjang terhunus mengibas-ngibas di udara. Angin
kibasannya menderu-deru menggetarkan jantung!
Sementara orang-orang berkuda
yang mengenakan baju hitam pekat terus beraksi membakar dan membunuh rakyat
yang tak berdosa. Bahkan juga merampas harta benda yang berharga, menculik
gadis-gadis, dan membunuh orang-orang tua serta anak-anak. Siapa saja yang
coba-coba melawan, tewas tanpa dapat berbuat banyak!
Sementara itu, tidak jauh dari
daerah yang tengah dilanda amukan para perampok, terlihat tiga penunggang kuda
tengah berpacu cepat. Mereka tidak lain dari Raden Mandaka, Rangga, dan Gurata.
Dari ketiga orang itu, terlihat Rangga lebih dahulu berada jauh di depan. Kuda
hitam yang ditungganginya berlari bagai terbang!
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Suasana malam itu jadi semakin
gaduh. Tampak Pendekar Rajawali Sakti mengamuk di atas punggung Dewa Bayu,
menghajar orang-orang berpakaian serba hitam yang tengah berpesta menjarah
harta rakyat dan membakar rumah. Kedatangan Rangga membuat mereka jadi panik.
Namun belum sempat berbuat lebih banyak, Raden Mandaka datang, disusul Gurata.
Kedua orang itu langsung menghunus senjata dan menyerang orang-orang berpakaian
serba hitam itu. Jerit dan pekik melengking semakin sering terdengar. Dan kali
ini ditingkahi pekik pertarungan dan denting senjata beradu.
“Setan alas!” geram orang berbaju
merah yang menyaksikan anak buahnya banyak yang tewas dalam waktu sebentar
saja. “Mundur...!”
Orang berbaju serba merah itu
bergegas menggebah kudanya, begitu memberi perintah. Mereka yang masih hidup
dan sempat melarikan diri, segera menggebah cepat kudanya. Sedangkan yang tidak
sempat, harus rela nyawanya melayang. Api masih berkobar, namun suasana sudah
agak tenang. Kini hanya terdengar tangisan dan ratapan para penduduk yang
keluarganya terbantai, dan rumahnya hangus terbakar.
Raden Mandaka melompat turun dari
punggung kudanya. Rangga dan Gurata bergegas mengikuti. Mereka mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Sungguh pemandangan yang sangat menyayat hati!
Mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah. Gemeritik api masih terdengar melahap
kayu-kayu rumah penduduk. Belum lagi jerit tangis dan ratapan memilukan
terdengar dari setiap pelosok. Tak ada seorang pun yang memperhatikan ketiga
orang itu.
“Oh, Dewata Yang Agung...,”
rintih Raden Mandaka lirih.
Raden Mandaka mendongakkan
kepalanya ke atas. Pedih hatinya menyaksikan penderitaan rakyatnya. Baru kali
ini disaksikan sendiri, rakyat telah jadi korban permainan orang-orang yang
tidak bertanggung jawab. Orang-orang serakah, tamak, dan selalu mementingkan
diri sendiri.
“Aku bersumpah! Demi Hyang Widi
yang menguasai seluruh jagat! Takkan kubiarkan mereka hidup di bumi Salinga!”
lantang suara Raden Mandaka.
“Raden...,” Rangga menepuk pundak
Raden Mandaka.
Raden Mandaka menolehkan
kepalanya, langsung menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri di samping
kanannya. Kemudian ditatapnya Gurata yang berada di sebelah pemuda berbaju
rompi putih itu. Wajahnya memerah menahan geram. Rahangnya bergemeletuk dengan
kedua tangan terkepal erat, membuat otot-ototnya bersembulan, berkilatan
tertimpa cahaya api.
“Sebaiknya kita tinggalkan tempat
ini, Raden,” ajak Rangga.
“Aku akan langsung ke istana,”
kata Raden Mandaka tegas.
“Sebaiknya jangan dulu, Raden.
Ingat pesan Ki Belabar. Raden harus menyelidiki lebih dahulu sebelum
bertindak,” Rangga mengingatkan.
“Aku mencemaskan Bunda
Permaisuri, Kakang.”
“Gusti Permaisuri dalam keadaan
sehat dan aman, Raden,” celetuk Gurata.
Raden Mandaka menatap dalam-dalam
Gurata.
“Raden..., hamba adalah bekas
prajurit pengawal Gusti Permaisuri. Hamba diminta Pendeta Seka Gora untuk
bergabung dengannya, tapi hamba menolak. Pendeta Seka Gora murka, lalu mengirim
orang-orangnya membunuh keluarga hamba, menyiksa hamba hingga tidak sadarkan
diri. Hamba dibuang ke jurang, tapi untung masih selamat. Hamba tahu, sampai
saat ini Pendeta Seka Gora tidak mengusik Gusti Permaisuri,” kata Gurata
menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.
“Hm...,” gumam Raden Mandaka
pelan.
“Raden..., hamba adalah bekas
prajurit pen-gawal Gusti Permaisuri. Hamba diminta Pendeta Seka Gora untuk
bergabung dengannya, tapi hamba menolak. Pendeta Seka Gora murka, lalu mengirim
orang-orangnya membunuh keluarga hamba, menyiksa hamba hingga tidak sadarkan
diri. Hamba dibuang ke jurang, tapi untung masih selamat. Hamba tahu, sampai
saat ini Pendeta Seka Gora tidak mengusik Gusti Per-maisuri,” kata Gurata
menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.
“Hm...,” gumam Raden Mandaka
pelan.
Memang tidak semua pengawal dan
prajurit dapat dikenalinya. Kalau bukan pengawalnya sendiri, sukar untuk
mengenali satu persatu. Apalagi seluruh pengawal ibunya berjumlah seratus
orang. Tapi Raden Mandaka tahu, kalau semua pengawal mempunyai ciri khas.
“Apa jaminannya agar aku bisa
mempercayaimu, Gurata?” agak dingin nada suara Raden Mandaka.
“Tanda ini, Raden.”
Gurata menyobek lengan bajunya.
Maka terlihatlah satu gambar teratai terjepit paruh seekor burung bangau yang
sedang terbang. Itu merupakan satu tanda yang tidak bisa hilang seumur hidup,
dan sebagai tanda kesetiaan untuk menjadi pengawal pribadi permaisuri.
“Kau benar, Gurata. Tidak ada
yang memiliki gambar tanda itu selain para pengawal Bunda Permaisuri,” ujar
Raden Mandaka baru mempercayai.
Raden Mandaka membalikkan
tubuhnya, lalu menghampiri kudanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, putra mahkota
itu melompat naik ke punggung kudanya. Rangga dan Gurata juga bergegas melompat
ke punggung kudanya masing-masing. Tapi kali ini Gurata mengambil kuda para
perampok yang kelihatan bagus dan gagah. Mereka kemudian bergegas meninggalkan
tempat itu.
***
Hampir setiap hari terjadi
perampokan. Dan hampir setiap ada kejadian, selalu muncul Raden Mandaka,
Rangga, dan Gurata. Tidak terhitung lagi, berapa orang perampok yang tewas.
Tapi setiap kali muncul, jumlah mereka selalu saja banyak. Bahkan belakangan ini
semakin bertambah saja. Raden Mandaka sendiri jadi tidak mengerti. Sepertinya
para prajurit mendiamkan saja aksi mereka yang sangat merugikan rakyat jelata.
Sementara saat ini sudah hampir
satu harian Raden Mandaka mengawasi kuil semadi tempat ayahnya dikabarkan
terbunuh oleh seseorang yang mengaku bernama Natapraja. Pemuda itu mengamati
dari ketinggian sebuah bukit yang letaknya tidak jauh dari kuil itu. Hanya
Gurata yang menemaninya. Tidak terlihat Rangga di situ.
“Kenapa Kakang Rangga lama
sekali...?” gumam Raden Mandaka seperti bertanya pada dirinya sendiri.
“Katanya tadi hanya sebentar
saja, Raden,” sahut Gurata.
“Katanya dia akan pergi ke mana
tadi?” tanya Raden Mandaka tanpa mengalihkan perhatiannya ke arah kuil di bawah
bukit sana.
“Tidak tahu, Raden,” sahut
Gurata.
Pada saat itu, di udara terlihat
sebuah benda berwarna keperakan tengah melayang-layang menembus mega. Raden
Mandaka mendongakkan kepalanya ke atas, demikian juga Gurata. Perhatian mereka
tertumpah ke arah benda yang melayang-layang di udara itu. Semakin lama semakin
terlihat kalau yang melayang di angkasa itu adalah seekor burung rajawali
berbulu putih keperakan.
“Heh...!” Raden Mandaka tersentak
kaget begitu dapat melihat jelas.
Tampak di punggung burung
rajawali putih itu duduk seorang berbaju putih. Rambutnya yang panjang
berkibar-kibar tertiup angin. Memang tidak begitu jelas, namun Raden Mandaka
dapat mengetahui kalau orang yang duduk di punggung rajawali itu mengenakan
baju berwarna putih tanpa lengan.
“Rangga...,” desis Raden Mandaka
tidak yakin.
Dan belum juga Raden Mandaka bisa
meyakinkan dirinya, burung rajawali raksasa itu sudah melambung tinggi ke
angkasa, menembus gumpalan awan hitam pekat. Raden Mandaka kembali mengarahkan
pandangannya ke kuil di bawah bukit sana. Rupanya prajurit penjaga kuil itu
juga melihat burung rajawali putih yang melayang-layang di angkasa tadi. Mereka
semua mendongak ke atas. Tapi burung yang sempat membuat seluruh perhatian
tertumpah padanya itu tidak terlihat lagi, lenyap di balik awan hitam
menggumpal pekat.
“Kau lihat burung rajawali tadi,
Gurata?” tanya Raden Mandaka tanpa mengalihkan perhatiannya ke kuil.
“Hamba, Raden,” sahut Gurata.
“Hm.... Siapa sebenarnya
Rangga...?” gumam Raden Mandaka bertanya pada dirinya sendiri.
“Raden..., mungkin Raden Rangga
itu utusan Dewata yang hendak menyelamatkan Salinga dari kehancuran,” kata
Gurata.
Raden Mandaka berpaling menatap
dalam-dalam Gurata. Memang sungguh tidak pernah terpikirkan sampai ke situ.
Meskipun sudah beberapa hari bersama-sama, tapi dia belum mengetahui Pendekar
Rajawali Sakti yang sebenarnya. Datang secara tiba-tiba, dan seperti mempunyai
suatu kharisma yang sangat kuat. Putra mahkota sendiri sampai tidak mengerti,
kenapa begitu menurut kepada pemuda yang baru dikenalnya beberapa hari ini.
Padahal semua orang selalu mengatakan kalau Raden Mandaka seorang putra mahkota
pemberang yang tidak pernah menuruti kata-kata orang yang lebih tua dan
berpengalaman. Tapi di depan Rangga, Raden Mandaka bagaikan anak penurut dan sangat
patuh terhadap orang tuanya.
“Bukan! Dia manusia biasa,”
tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.
Raden Mandaka dan Gurata
tersentak kaget. Mereka segera berpaling. Dan lebih terkejut lagi begitu
mengetahui siapa yang ada di belakang mereka saat ini. Seorang pemuda berambut
panjang mengenakan baju putih tanpa lengan. Pemuda itu duduk bersandar pada
sebuah pohon yang cukup rindang, menaungi diri dari sengatan terik matahari.
“Rangga...,” desis Raden Mandaka
hampir tidak terdengar suaranya.
Bergegas Raden Mandaka dan Gurata
menghampiri. “Rangga, apakah kau yang tadi berada di atas punggung burung
rajawali?” tanya Raden Mandaka langsung.
“Aku...?!” Rangga tampak seperti
orang bodoh. “Sejak tadi aku di sini,” sahutnya.
“Hm...,” Raden Mandaka menggumam
disertai pandangan setengah tidak percaya.
“Aku juga melihat tadi. Semua
orang pasti terpusat perhatiannya, sehingga tidak ada yang memperhatikanku,”
kata Rangga lagi.
“Ke mana saja kau tadi?” tanya
Raden Mandaka.
“Ke kuil itu,” sahut Rangga
menunjuk ke arah kuil di bawah bukit ini.
“Ke kuil...?!” Raden Mandaka
terkejut hampir tidak percaya.
Sejak tadi perhatiannya tidak
pernah lepas ke sekitar kuil, dan sama sekali tidak terlihat Rangga ada di
sana. Cukup lama juga Pendekar Rajawali Sakti itu menghilang. Dan tahu-tahu
sudah berada di tempat ini, tanpa diketahui kapan datangnya. Raden Mandaka jadi
teringat ucapan Gurata yang menduga Rangga adalah utusan Dewa untuk
menyelamatkan Kerajaan Salinga dari kehancuran.
Namun entah kenapa, Raden Mandaka
belum berani menanyakan tentang diri Pendekar Rajawali Sakti itu. Dia hanya
diam dengan pandangan tidak percaya kalau pemuda berbaju rompi putih itu adalah
manusia biasa. Sedangkan Rangga sendiri kelihatan tenang-tenang saja, dan malah
memejamkan matanya bersikap seperti akan tidur.
***
Lewat tengah malam Rangga baru
terjaga dari tidurnya yang nyenyak. Udara malam ini terasa begitu dingin, tapi
langit terlihat cerah. Bintang-bintang pun gemerlapan melingkari rembulan yang
bersinar penuh, menambah semaraknya alam raya ini. Rangga menggerak-gerakkan
tubuhnya, melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku setelah cukup lama tertidur.
“Eh...!” Rangga tersentak begitu
menyadari kalau hanya sendirian di tempat sunyi ini.
Bergegas pemuda berbaju rompi
putih itu bangkit berdiri. Sebentar diedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi
tidak terlihat Raden Mandaka maupun Gurata. Pendekar Rajawali Sakti itu
langsung mengarahkan pandangannya ke kuil di bawah bukit ini. Tampak beberapa
obor bambu terpasang di setiap sudut di sekitar halaman kuil. Beberapa pelita
dari buah jarak juga terpasang. Sekitar kuil kecil itu kelihatan terang
benderang, sehingga memudahkan Rangga untuk mengedarkan pandangannya.
“Uh! Ke mana anak itu...?” dengus
Rangga.
Pandangan mata Rangga yang
setajam mata rajawali, menangkap satu bayangan berkelebat di belakang kuil. Dan
sebelum bayangan itu lenyap dari pandangan, muncul satu lagi dari arah yang
sama. Dua bayangan itu menghilang di balik dinding batu kuil bagian belakang.
“Hhh...! Mau apa mereka ke sana?”
desis Rangga yang telah mengenali dua bayangan di belakang kuil tadi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Rangga bergegas berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu
sempurna ilmu yang dimiliki, sehingga larinya bagaikan terbang saja! Sepasang
kakinya bergerak cepat seolah-olah tidak menjejak tanah.
Sebentar saja Rangga sudah berada
di bagian belakang kuil kecil itu. Dirapatkan tubuhnya di balik sebatang pohon
beringin yang cukup besar ukurannya. Sepasang bola matanya menatap tajam dua
sosok tubuh yang mengendap-endap merapat pada dinding batu kuil. Dari tempat
ini semakin jelas terlihat dalam keremangan cahaya bulan, bahwa dua orang itu
tidak lain Raden Mandaka dan Gurata.
Rangga mengedarkan pandangannya
ke arah lain. Dilihatnya beberapa orang berpakaian seragam prajurit masih
berjaga-jaga di sekitar halaman kuil. Tapi tidak terlihat seorang pun yang
berada pada bagian belakang ini. Perhatian Rangga terpusat pada dua orang
prajurit yang berjalan menuju ke bagian belakang. Sementara terlihat juga kalau
Raden Mandaka dan Gurata melihat kedatangan dua orang prajurit itu. Mereka
bergegas menyelinap ke balik batu, menyembunyikan bayang-bayang dari sorotan
cahaya rembulan. Dua orang berseragam prajurit itu semakin dekat saja. Mereka
berjalan pelahan sambil berbicara.
“Sudah hampir lima hari kita
disuruh menjaga kuil ini. Tidak ada pergantian sama sekali,” ujar salah seorang
yang berjalan di sebelah kiri.
“Jangan mengeluh begitu.
Bagaimanapun juga, tugas tetap harus dijalankan,” seorang prajurit lainnya
menasehati. Dia memang kelihatan lebih tua sedikit, dan mungkin juga punya
pengalaman lebih banyak dari temannya ini.
“Bukannya mengeluh, tapi...,”
prajurit itu memutuskan kalimatnya. Dia berhenti melangkah, tidak jauh dari
tempat Raden Mandaka dan Gurata bersembunyi di balik batu.
“Tapi kenapa?” tanya prajurit
satunya lagi, juga berhenti berjalan.
“Aku merasa ada yang aneh dari
tugas ini,” pelan suara prajurit muda itu.
“Ah...! Jangan berpikir
macam-macam. Kita menjaga kuil ini karena Gusti Prabu ada di dalam.”
“Aku jadi heran, katanya Gusti
Prabu telah mangkat. Tapi kok, ya tidak juga dimakamkan? Aku jadi berpikir
lain...,” prajurit itu seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya
prajurit satunya lagi.
“Aku melihat semua kejadiannya
sebelum ditarik kembali ke istana. Rasanya mustahil kalau Gusti Prabu bisa
tewas hanya karena tertusuk sebilah pisau. Jangan-jangan....”
“Ah, sudahlah! Jangan berpikir
macam-macam. Ayo, kita terus.”
Kedua prajurit itu kembali
berjalan tanpa berbicara lagi. Sementara Raden Mandaka menunggu sampai kedua
prajurit itu jauh, baru keluar dari persembunyiannya, diikuti Gurata. Sedangkan
Rangga masih tetap berada di tempatnya, tanpa memperlihatkan diri sedikit pun.
Semua pembicaraan prajurit itu dapat didengar jelas. Bukan hanya Raden Mandaka,
tapi juga Gurata jadi punya pikiran lain tentang Prabu Jayengrana yang selama
ini selalu dikabarkan tewas tertusuk sebilah pisau seseorang yang mengaku
bernama Natapraja.
“Raden, apakah kita jadi melihat
ke dalam kuil?” tanya Gurata, setengah berbisik.
“Hm...,” Raden Mandaka menggumam
tidak jelas.
“Tampaknya penjagaan begitu
ketat. Tidak ada jalan masuk selain dari depan,” kata Gurata lagi.
“Kau tunggu saja di sini, aku
akan ke depan,” kata Raden Mandaka.
“Raden...,” Gurata hendak
mencegah.
“Aku hanya ingin tahu, bagaimana
reaksi mereka kalau melihatku,” kata Raden Mandaka seraya mengayunkan kakinya.
Gurata tidak bisa lagi mencegah.
Hatinya jadi gelisah dan serba salah. Sedangkan Raden Mandaka sudah berjalan
menuju ke bagian depan kuil. Gurata memandangi sekitarnya sesaat, kemudian
melentingkan tubuhnya ke atas kuil. Ringan sekali gerakan tubuhnya, sehingga
tidak menimbulkan suara sedikit pun. Gurata hinggap di bagian atas kuil.
Dirapatkan tubuhnya di batu.
Sementara Raden Mandaka berputar
menuju ke bagian depan, lalu berjalan tenang menuju bagian depan kuil.
Prajurit-prajurit penjaga nampak terkejut melihat kemunculan Raden Mandaka.
Mereka bergegas mengambil tempat berjajar, dan memberi hormat. Tanpa diperintah
lagi, mereka berlutut. Raden Mandaka berhenti melangkah setelah jaraknya
tinggal sekitar dua batang tombak lagi di depan prajurit-prajurit penjaga kuil
ini.
“Siapa kepala prajurit penjaga?”
tanya Raden Mandaka dengan suara dibuat berwibawa.
“Hamba, Raden,” seorang prajurit
berpangkat tamtama menyembah seraya menggeser tubuhnya lebih ke depan.
“Hm...,” Raden Mandaka menatap
kepala prajurit penjaga kuil itu.
Prajurit itu berusia sekitar
empat puluh tahun. Tubuhnya tegap berotot terbungkus seragam prajurit
berpangkat tamtama pada bagian lengan kiri dan kanannya. Raden Mandaka mengenal
prajurit itu yang biasa dipanggil Tamtama Wira Kerti. Seorang tamtama pilihan
yang tidak pernah jauh dari Prabu Jayengrana.
“Berapa jumlah prajurit yang ada
di sini?” tanya Raden Mandaka.
“Lima puluh, Raden. Semua
prajurit pilihan,” sahut Tamtama Wira Kerti.
“Tidak ada panglima di sini? Atau
seorang patih?”
“Tidak ada, Raden.”
Raden Mandaka tidak bertanya
lagi. Diayunkan kakinya hendak mendekati kuil. Tapi baru saja berjalan sekitar
tiga langkah, Tamtama Wira Kerti mencegahnya. Raden Mandaka menghentikan
langkahnya. Ditatapnya tajam laki-laki berkumis tebal berpangkat tamtama itu.
“Ampun, Raden. Hamba tidak
diperkenankan memberi ijin pada siapa pun untuk memasuki kuil,” tegas Tamtama
Wira Kerti seraya memberi hormat dengan merapatkan kedua tangannya di depan
hidung.
“Oh..., siapa yang memerintahkan
begitu?” tanya Raden Mandaka, agak sinis nada suaranya.
“Panglima Pramoda, Raden.
Perintah itu datang langsung dari Pendeta Seka Gora dan Patih Trunggajaya,”
sahut Tamtama Wira Kerti bersikap masih terlihat penuh rasa hormat.
“Tamtama, kau tahu kalau sampai
sekarang ini tersebar berita bahwa Ayahanda Prabu tewas, bukan?”
“Benar, Raden.”
“Apakah kau pernah melihat
jasadnya?”
Tamtama Wira Kerti tidak
menjawab, tapi hanya merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung. Sejak
mendengar kabar begitu, memang belum pernah dilihat jasad Prabu Jayengrana.
Pendeta Seka Gora dan Patih Trunggajaya telah melarang siapa pun memasuki kuil
tanpa terkecuali selain dirinya sendiri. Tak ada seorang pun prajurit yang
pernah melihat Prabu Jayengrana.
“Kau percaya kalau Ayahanda Prabu
bisa tewas hanya karena sebilah pisau?” dingin nada suara Raden Mandaka.
“Ampun, Raden. Hamba tidak tahu
pasti. Saat itu hamba memang menyaksikan kejadiannya, tapi hamba sudah disumpah
agar tidak menceritakan semua peristiwa yang terjadi pada siapa pun tanpa
terkecuali. Juga semua prajurit yang ada di sini. Mereka yang melanggar akan
mendapat hukuman berat. Ampun, Raden,” pelan namun terdengar tegas nada suara
Tamtama Wira Kerti.
“Siapa yang menyumpahmu?” tanya
Raden Mandaka lagi.
“Pendeta Seka Gora, Raden.”
“Kenapa Paman Pendeta Seka Gora
melakukan itu?” tanya Raden Mandaka jadi bertambah tebal kecurigaannya.
“Hamba tidak tahu, Raden. Hamba
hanya seorang prajurit. Hamba hanya melaksanakan perintah dari atasan,” tegas
Tamtama Wira Kerti.
“Aku mengerti. Sekarang, jawab
pertanyaanku. Apakah kalian masih setia pada Prabu Jayengrana?” tegas kata-kata
Raden Mandaka.
“Hamba, Raden...!” jawab para
prajurit serentak.
“Apakah kalian masih menganggapku
junjungan kalian?”
Semua prajurit itu memberi
hormat.
“Bagus! Sekarang, aku beri
perintah pada kalian. Jangan halangi aku masuk ke dalam kuil!” tegas nada suara
Raden Mandaka.
“Raden...!” Tamtama Wira Kerti
tersentak kaget.
“Kau tidak perlu takut, Tamtama.
Juga kalian semua! Aku yang akan bertanggung jawab dan melindungi kalian
semua.”
“Tapi, Raden..., Pendeta Seka
Gora...,” suara Tamtama Wira Kerti terputus.
“Dia urusanku!” potong Raden
Mandaka tegas.
Tamtama Wira Kerti tidak bisa
lagi membantah. Dibiarkan saja Raden Mandaka memasuki kuil itu, juga semua
prajurit yang ada hanya diam memandangi pemuda putra mahkota itu memasuki kuil.
Tak ada yang berani mencegahnya dan tak ada satu suara pun terucapkan. Raden
Mandaka telah lenyap di dalam kuil batu itu.
***
LIMA
Tidak lama Raden Mandaka berada
di dalam kuil, dan kini telah ke luar lagi. Dalam siraman cahaya bulan dan
obor, tampak jelas wajahnya memerah dan matanya bersinar tajam bagai sepasang
mata serigala liar. Dipandanginya para prajurit yang masih tetap berada di
halaman depan kuil.
“Sudah berapa lama kalian berada
di sini, heh?!” keras sekali suara Raden Mandaka.
“Raden...,” agak tertahan nada
suara Tamtama Wira Kerti. “Ada apa, Raden? Apa yang terjadi di dalam?”
“Kalian semua bodoh! Apa yang
kalian jaga, heh?! Hanya tumpukan batu! Lihat kedalam!”
Tamtama Wira Kerti jadi
kebingungan. Sungguh tidak dimengerti, kenapa Raden Mandaka jadi marah-marah
begitu setelah berada di dalam kuil. Sebentar dipandangi para prajuritnya,
kemudian bergegas masuk ke dalam kuil. Sementara Raden Mandaka melangkah pergi.
Dia berhenti dan menghenyakkan tubuhnya di bawah sebatang pohon jarak.
Saat mendongak ke atas kuil, dari
atas sana meluncur bayangan merah, langsung mendarat di depan pemuda itu.
Gurata menghampiri dan duduk bersila di depan Raden Mandaka. Sementara Tamtama
Wira Kerti sudah keluar lagi dari dalam kuil. Bergegas dihampirinya Raden
Mandaka, dan berlutut memberi hormat.
“Raden.... Ampunkan hamba, Raden.
Hamba...,” suara Tamtama Wira Kerti tersendat-sendat, tidak sanggup mengangkat
kepalanya memandang wajah Raden Mandaka yang memerah menahan berang.
“Apa sebenarnya yang terjadi di
dalam, Raden?” tanya Gurata.
Belum sempat Raden Mandaka
menjawab, Rangga muncul dari belakang kuil. Pendekar Rajawali Sakti itu
menghampiri, dan berdiri saja di depan orang-orang itu. Raden Mandaka bangkit
berdiri diikuti Gurata.
“Sejak semula aku ingin
mengatakan kalau di dalam kuil tidak ada siapa-siapa. Maaf, memang dengan cara
seperti ini lebih baik,” kata Rangga kalem.
“Kau lebih tahu dariku, Rangga.
Di mana Ayahanda Prabu berada sekarang?” tanya Raden Mandaka langsung.
“Di Istana Salinga,” tiba-tiba
ada suara menyahuti sebelum Rangga sempat membuka suara.
Semua orang yang berada di tempat
itu langsung menoleh serentak ke arah datangnya suara tadi. Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu tidak jauh di depan pintu kuil sudah berdiri seorang
laki-laki berpakaian sangat ketat berwarna serba putih. Wajahnya terlihat
tampan, dan sebilah pedang tersampir di punggungnya. Dia berdiri tegak sambil
melipat tangan di depan dada.
“Siapa kau?!” bentak Raden
Mandaka.
“Raden..., dialah Natapraja yang
menikam Gusti Prabu Jayengrana,” bisik Tamtama Wira Kerti yang mengenali pemuda
itu.
Pada waktu peristiwa di depan
kuil ini, Tamtama Wira Kerti memang berada di tempat ini. Masih dikenali betul
laki-laki muda berbaju putih itu. Orang yang menikam Prabu Jayengrana tepat
pada dadanya.
“Rupanya kau biang keladi dari
semua ini!” geram Raden Mandaka menahan amarahnya.
“Bukan. Aku hanya menjalankan
tugas,” sahut Natapraja kalem.
“Kau menikam Ayahanda Prabu, dan
sekarang kau katakan hanya menjalankan tugas! Dan sekarang juga kau katakan
kalau Ayahanda Prabu ada di istana! Permainan macam apa ini, heh?!” bentak
Raden Mandaka meluap amarahnya.
“Hanya permainan kecil, Raden.
Dan semua itu sudah diatur sebelumnya,” masih terdengar tenang nada suara
Natapraja.
“Dasar iblis keparat! Kau harus
mampus di tanganku! Hiyaaat...!”
Raden Mandaka tidak dapat lagi
mengendalikan dirinya. Bagaikan kilat tubuhnya melesat, langsung menyerang
Natapraja menggunakan jurus-jurus pendek yang cepat dan dahsyat. Sedangkan
Natapraja melayani dengan gerakan-gerakan ringan tanpa menggeser kakinya
setapak pun. Hanya tubuhnya saja bergerak-gerak meliuk seperti seekor belut
yang sangat licin untuk ditangkap.
“Hanya hukuman mati yang pantas
bagi pengacau busuk sepertimu! Yeaaah...!”
Raden Mandaka semakin gencar
melakukan serangan lewat jurus-jurus tangan kosong dalam keadaan jarak yang
sangat rapat. Dikerahkan tenaga dalam penuh dalam setiap serangannya. Tapi
rupanya Natapraja bukan manusia sembarangan yang bisa disepelekan begitu saja.
Beberapa jurus telah berlalu, tapi belum ada satu pun yang mengenai sasaran. Sedangkan
Natapraja belum juga menggeser kakinya barang setapak pun.
“Hm...,” Rangga yang sejak tadi
hanya memperhatikan saja menggumam pelahan penuh arti. Pendekar Rajawali Sakti
itu sudah bisa melihat, kalau tingkat kepandaian Raden Mandaka masih berada jauh
di bawah Natapraja. Rangga sudah bisa meramalkan, dalam satu gebrakan saja,
Natapraja mampu melumpuhkan perlawanan Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu. Dan
baru saja Rangga menduga, hal itu sudah terjadi.
Satu kebutan tangan kiri Natapraja tidak dapat dibendung lagi, dan tepat menghantam bagian dada kanan Raden Mandaka. Akibatnya membuat pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang sambil terpekik tertahan. Raden Mandaka menggereng dahsyat seraya memegangi dada kanannya yang tersepak kibasan tangan kiri lawannya.
“Keparat...!” geram Raden
Mandaka.
Sret!
Cepat sekali Raden Mandaka
mencabut pedangnya, dan secepat itu pula melompat bagaikan kilat sambil
mengebutkan pedangnya beberapa kali ke depan. Dengan pedang di tangan, pemuda
itu kini harus berhati-hati menghadapinya. Dia berlompatan dan meliuk-liukkan tubuhnya
menghindari setiap tebasan dan tusukan pedang Raden Mandaka yang cepat dan
sukar ditebak arahnya.
Namun bagi Natapraja, setiap
serangan Raden Mandaka bukanlah hal yang berarti, dan manis sekali dapat
dihindarinya. Bahkan kembali dikibaskan tangan kirinya, tepat mengenai bagian
dada kanan pemuda itu kembali. Untuk kedua kalinya Raden Mandaka terhuyung ke
belakang. Tampak dari sudut bibirnya mengucurkan darah kental.
Wut! Wut...!
Raden Mandaka mengebutkan
pedangnya beberapa kali di depan dada, bersiap hendak menyerang kembali.
Sementara Natapraja tetap berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan
dadanya. Senyumnya mengembang bernada meremehkan. Dua kali Raden Mandaka
berhasil dibuat terhuyung, tapi putra mahkota itu kelihatan belum jera juga.
“Raden...,” cegah Rangga
cepat-cepat ketika Raden Mandaka hendak menyerang kembali.
Raden Mandaka mengurungkan
niatnya, lalu sedikit menoleh menatap pada Pendekar Rajawali Sakti yang sudah
melangkah maju tiga tindak.
“Dia bukan lawanmu, Raden,” kata
Rangga memperingatkan.
“Manusia keparat itu patut
mendapat hukuman, Rangga!” dengus Raden Mandaka sengit.
“Aku tahu! Tapi dia bukan
lawanmu, bahkan bisa menjatuhkanmu dengan mudah. Maaf, Raden. Bukan maksudku
merendahkan ilmu olah kanuragan yang kau miliki,” Rangga memperingatkan dengan
sabar.
“Kuserahkan dia padamu, Rangga,”
kata Raden Mandaka seraya melangkah mundur dua tindak.
“Aku tidak bermaksud
merendahkanmu, Raden,” ucap Rangga takut kalau putra mahkota itu tersinggung.
“Tidak! Memang sebaiknya aku tidak
langsung terjun. Aku masih punya prajurit, dan ada kau,” sahut Raden Mandaka.
“Raden, sebaiknya kita bicara
secara baik-baik dengannya,” usul Rangga.
“Tidak ada gunanya, Rangga. Semua
prajurit menyaksikan bahwa dialah yang menikam Ayahanda Prabu!”
“Dan aku juga tidak akan sukar
melenyapkan kalian semua!” celetuk Natapraja lantang.
Seketika itu juga memerah wajah
semua orang yang ada di sekitar halaman kuil kecil itu. Terlebih lagi Raden
Mandaka. Gerahamnya sampai bergemeletuk menahan amarah yang meluap tak
terbendung lagi. Hanya Rangga yang masih kelihatan tenang. Diayunkan kakinya
mendekati Natapraja.
Rangga mengambil jarak sekitar
tiga langkah di depan Natapraja. Pandangan matanya tajam menusuk langsung pada
bola mata laki-laki yang mungkin sebaya dengannya. Sedangkan Natapraja sendiri
tidak berkedip membalas dengan tajam pula. Untuk sesaat lamanya mereka hanya
saling tatap.
“Siapa kau, orang asing?” tanya
Natapraja, dingin nada suaranya.
“Aku Rangga, berjuluk Pendekar
Rajawali Sakti,” Rangga mengenalkan diri.
“Kau bukan orang Salinga, kenapa
ikut campur dalam persoalan ini?” tetap dingin dan datar nada suara Natapraja.
Untuk beberapa saat Rangga tidak
bisa menjawab. Dalam beberapa hal, memang diakui kebenaran dari pertanyaan
Natapraja tadi. Dia memang bukan orang asli Salinga, dan hanya seorang
pengembara yang kebetulan lewat dan melihat Raden Mandaka tengah dikeroyok saat
itu. Pertemuan yang tidak direncanakan, tapi telah membuat jiwa kependekaran
Rangga terketuk.
“Aku pembela kebenaran, dan aku
datang untuk mencari keadilan di Salinga ini,” tegas Rangga, lantang suaranya.
“Keadilan...?! Ha ha ha...!”
Natapraja tertawa terbahak-bahak.
Rangga hanya diam saja, hatinya
juga masih terlalu dingin untuk bisa cepat menggebrak laki-laki di depannya ini.
Tapi Raden Mandaka sudah tidak sabaran lagi, namun tidak bisa bertindak begitu
saja. Semua sudah diserahkannya pada Pendekar Rajawali Sakti. Lagi pula,
disadari kalau dirinya tidak akan mampu menghadapi Natapraja.
“Kau tidak akan mendapatkan
keadilan di negeri ini, Rangga. Sia-sia saja melindungi bocah ingusan yang
manja itu!” Natapraja menuding Raden Mandaka.
“Setan alas! Keparat...!” geram
Raden Mandaka hampir meluap kembali amarahnya.
Kalau saja tidak dicegah Gurata,
pasti Raden Mandaka sudah menghunus pedangnya kembali yang sudah tersimpan di
dalam sarungnya. Raden Mandaka hanya bisa menggereng, mengumpat, dan memaki di
dalam hati. Baginya, Natapraja sudah begitu kurang ajar. Berani menghina serta
menudingnya di depan banyak orang. Satu penghinaan besar baginya.
“Tampaknya kau sangat membenci
Raden Mandaka, Kisanak,” kata Rangga memancing.
“Benci...? Tidak! Aku tidak
pernah membenci seorang pun di dunia ini. Aku hanya menjalankan tugas!”
“Siapa yang memberimu tugas?”
desak Rangga.
“Ha ha ha...! Kau pikir aku akan
memberitahu? Sayang sekali, aku sudah diperintahkan untuk mencegah siapa saja
yang masuk ke dalam kuil. Dan tidak mungkin kutarik sumpahku. Siapa saja yang
telah memasuki kuil harus mati!”
“Hm...,” Rangga mengerutkan keningnya.
“Dan kalian harus mati semua!
Tidak terkecuali, kau juga, Raden Mandaka!”
Setelah berkata demikian,
Natapraja menggerakkan kedua tangannya di depan dada. Lalu tiba-tiba saja
dihentakkan tangannya ke depan. Seketika itu juga, entah dari mana datangnya,
tahu-tahu bertiup angin kencang. Begitu dahsyatnya, sehingga bumi bergetar,
batu-batuan beterbangan, dan pepohonan bertumbangan!
Para prajurit yang memiliki
kepandaian rendah, tidak dapat menguasai keseimbangan dirinya. Bagai daun
kering tertiup angin kemarau, mereka beterbangan diiringi jeritan melengking
menyayat hati. Tubuh-tubuh para prajurit itu terhempas membentur pepohonan dan
batu-batu keras.
Sedangkan yang memiliki kemampuan
cukup tinggi, berusaha untuk tidak terhempas dengan cara masing-masing. Namun
badai yang ditimbulkan Natapraja semakin dahsyat saja. Sedikit demi sedikit,
terlihat Raden Mandaka, Gurata, dan Tamtama Wira Kerti mulai bergeser
posisinya. Sementara Rangga masih terlihat kokoh berpijak pada tempatnya.
Pendekar Ra-jawali Sakti itu mulai menggerakkan tangannya pelahan-lahan.
“Aji ‘Bayu Bajra’...!” teriak
Rangga tiba-tiba.
Cepat sekali Pendekar Rajawali
Sakti itu merentangkan tangannya ke samping, lalu dengan cepat pula mengangkat
ke atas. Dan begitu kedua telapak tangannya menyatu di atas kepala, terdengar
ledakan dahsyat bagai letusan gunung berapi. Mendadak saja badai itu jadi tidak
menentu, dan berubah berputar di sekitar Rangga maupun Natapraja.
Badai itu terus berputar, semakin
mengecil ruang lingkupnya. Tampak rerumputan dan batu-batu kerikil beterbangan
berputar mengelilingi Natapraja dan Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu tidak ada
seorang prajurit pun yang kelihatan lagi. Hanya Tamtama Wira Kerti yang masih
tetap berdiri di samping Raden Mandaka dan Gurata. Mereka hanya bisa
menyaksikan adu kesaktian dua tokoh digdaya itu.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba Natapraja melesat cepat
bagaikan kilat sambil menjulurkan kaki kanan ke depan. Dan pada saat yang sama,
Rangga menarik turun kedua tangannya. Tepat pada saat kedua tangan Pendekar
Rajawali Sakti berada di depan dada, telapak kaki Natapraja mendarat di tangan
itu.
Glarrr...!
Satu ledakan keras terjadi.
Tampak Natapraja terlontar ke belakang sejauh tiga batang tombak. Sedangkan
Rangga hanya terdorong selangkah. Dua kali Natapraja berjumpalitan di udara,
lalu mendarat manis di tanah.
“Kau hebat, Rangga,” puji
Natapraja tulus.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam
saja.
“Tapi itu belum berarti kau
menang. Nah! Terimalah jurus-jurusku ini. Hiyaaat...!”
Natapraja melesat cepat bagaikan
kilat, langsung mengirimkan beberapa pukulan bertenaga dalam tinggi. Saat itu
Rangga memang sudah siap menyambut serangan itu dengan manis. Pertarungan
sengit tidak dapat dihindari lagi. Tampak sekali kalau Natapraja begitu
bernafsu hendak menjatuhkan lawannya. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya
sesekali saja memberikan serangan balasan.
“Jangan menganggapku remeh,
Rangga. Kau akan menyesal!” seru Natapraja seraya melepaskan dua pukulan
beruntun disertai tendangan menggeledek yang mengandung tenaga dalam tinggi!
“Uts! Hap...!”
Rangga mengelakkan dua pukulan
itu dengan mengegoskan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Sesekali dikibaskan
tangan kanannya untuk menangkis satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi.
Satu benturan kekuatan tenaga dalam terjadi. Terdengar suara keras berderak.
Tampak Natapraja melompat mundur agak terhuyung. Dan sebelum Natapraja sempat
mengontrol dirinya, Rangga sudah melompat sambil melepaskan satu pukulan keras
disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
“Hiyaaat...!”
Tak ada lagi kesempatan bagi
Natapraja untuk berkelit. Buru-buru dihentakkan tangan kanannya, memapak
pukulan Pendekar Rajawali Sakti itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Rangga
menarik pulang pukulannya sebelum mencapai sasaran. Dan dengan gerakan yang
cepat luar biasa, Pendekar Rajawali Sakti itu mengibaskan kakinya menghantam perut
Natapraja.
Dug!
“Heghk!” Natapraja mengeluh
pendek.
Pemuda berbaju putih ketat itu
terdorong ke belakang dengan tubuh agak membungkuk. Dan belum lagi sempat
menguasai tubuhnya, kembali Rangga melontarkan pukulan menggeledek yang sangat
keras.
“Yeaaah...!”
Des!
“Akh...!” Natapraja menjerit
keras.
Pukulan tangan kanan Pendekar
Rajawali Sakti tepat menghantam wajah Natapraja, membuat kepala pemuda itu
terdongak ke atas. Tampak darah langsung muncrat dari mulutnya. Kembali
Natapraja terlontar ke belakang saat satu pukulan tangan kiri Rangga mendarat di
dadanya.
Sebongkah batu besar berwarna
hitam pekat berlumut, hancur berkeping-keping ketika punggung Natapraja
menghantamnya! Pemuda itu menggeletak dan menggeliat sambil mengerang. Hanya
sebentar menggeliat, lalu bergegas melompat bangkit. Dia berdiri sempoyongan
seraya menggelengkan kepala beberapa kali. Dengan punggung tangan, Natapraja
menyeka darah yang memenuhi mulutnya.
“Phuih!” Natapraja menyemburkan
ludahnya yang bercampur darah.
Sepasang mata pemuda itu memerah
bagai mata serigala buas melihat seekor ayam betina yang gemuk. Natapraja
menghimpun tenaga, mencoba mengusir rasa sesak dan mual di perutnya. Sementara
Rangga memberi kesempatan pada pemuda itu untuk pulih kembali, sambil berdiri
tegak memandangi dengan sikap penuh waspada.
“Phuih! Kali ini kau menang.
Rangga. Tapi aku belum kalah!” kata Natapraja dingin.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam
tidak jelas.
“Tunggu pembalasanku, Rangga!”
Setelah berkata demikian,
Natapraja langsung melesat cepat bagaikan kilat. Dalam sekejap saja, bayangan tubuh
pemuda itu lenyap dari pandangan. Raden Mandaka dan Gurata hendak mengejar,
tapi Rangga lebih cepat mencegahnya.
“Biarkan, jangan dikejar!”
Raden Mandaka, Gurata, dan
Tamtama Wira Kerti tidak jadi mengejar. Mereka menghampiri Pendekar Rajawali
Sakti itu. Sedangkan Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tampak
mayat-mayat prajurit bergelimpangan bersama reruntuhan pohon dan bebatuan. Tak
ada seorang pun prajurit yang hidup lagi, akibat terhempas angin badai buatan
Natapraja tadi.
“Hhh...!” Rangga menarik napas
panjang-panjang.
“Kenapa tidak kau bunuh, Rangga?
Kau punya kesempatan banyak untuk membinasakannya,” tegur Raden Mandaka.
“Tidak perlu, Raden,” sahut
Rangga kalem.
“Tidak perlu...?!” Raden Mandaka
membeliak.
“Dia sudah membunuh banyak
prajurit, dan menyengsarakan banyak rakyat!”
“Dia hanya orang bayaran, Raden.
Orang yang berada di belakangnya yang harus dicari,” jelas Rangga, masih tetap
tenang nada suaranya.
“Tapi, paling tidak kita bisa
memperoleh keterangan kalau bisa menangkapnya hidup-hidup terlebih dahulu.”
“Percuma. Orang seperti Natapraja
tidak akan membuka mulut. Baginya lebih baik mati daripada mengkhianati orang
yang telah membayarnya.”
“Lalu, apa yang harus kita
lakukan sekarang?” tanya Raden Mandaka menyerah.
Rangga tidak menjawab, dan hanya
mendongakkan kepalanya ke atas sambil menarik napas dalam-dalam. Sementara
suasana jadi hening, tak ada yang membuka suara. Mereka semua menunggu Pendekar
Rajawali Sakti itu memutuskan sesuatu. Tapi setelah lama ditunggu, Rangga hanya
diam saja, malah melangkah pelahan.
“Rangga...,” panggil Raden
Mandaka seraya mengejar diikuti Gurata dan Tamtama Wira Kerti.
Rangga terus saja berjalan tanpa
menoleh sedikit pun. Raden Mandaka mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar
Rajawali Sakti itu. Sedangkan Gurata dan Tamtama Wira Kerti mengikuti dari
belakang. Mereka berjalan pelahan, semakin jauh meninggalkan kuil.
“Kau akan pergi ke mana?” tanya
Raden Mandaka penasaran.
“Menemui Prabu Jayengrana,” sahut
Rangga datar.
“Ke istana...?” Raden Mandaka
ingin penjelasan.
“Mungkin,” desah Rangga.
Raden Mandaka terdiam. “Rangga!
Apakah kau yakin kalau Ayahanda Prabu masih hidup?” tanya Raden Mandaka setelah
cukup lama berdiam diri saja.
“Entahlah,” sahut Rangga
mendesah.
***
ENAM
Rangga sengaja tidak membawa
Raden Mandaka masuk ke Istana Salinga. Putra mahkota itu memang diminta untuk
menunggu di tempat yang aman, sementara Rangga sendiri menyelinap masuk melalui
tembok benteng bagian belakang. Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti itu tidak
mengetahui kalau saat ini tengah memasuki taman kaputren yang terlarang bagi
orang lain kecuali keluarga istana, atau para pembesar yang mendapat ijin
khusus dari Prabu Jayengrana atau Permaisuri Sara Ratan.
“Hei...!”
“Oh!” Rangga tersentak kaget
begitu kakinya mendarat di tanah.
Tampak seorang wanita berusia
sekitar empat puluh tahun terpaku sehingga bola matanya membeliak. Wajahnya
nampak pucat menyiratkan keterkejutan dan rasa takut. Bergegas Rangga
menghampiri dan membungkuk memberi hormat. Dia mengenali wanita itu dari
ciri-ciri yang diberikan Raden Mandaka. Wa-nita itu adalah Permaisuri Sara
Ratan.
“Maaf, Gusti Permaisuri. Hamba
datang tidak melalui cara semestinya,” ucap Rangga penuh rasa hormat dan sopan.
“Siapa kau?” tanya Permaisuri
Sara Ratan setelah sedikit hilang dari rasa terkejutnya.
“Nama hamba Rangga, Gusti
Permaisuri. Hamba sahabat karib Raden Mandaka,” sahut Rangga memperkenalkan
diri.
“Rangga...,” Permaisuri Sara
Ratan mengamati pemuda berbaju rompi putih di depannya. “Sepertinya aku belum
pernah mengenalmu, Kisanak.”
“Memang belum, Gusti Permaisuri,”
sahut Rangga.
“Lalu, di mana kau kenal
putraku?”
“Di hutan dekat kuil.”
“Oh...!” Permaisuri Sara Ratan
nampak terkejut.
“Ada apa, Gusti Permaisuri?”
tanya Rangga.
“Kisanak, apakah putraku masih
hidup?” tanya Permaisuri Sara Ratan tanpa menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali
Sakti itu.
“Gusti..., kedatangan hamba ke
sini sengaja untuk mengabarkan tentang Raden Mandaka. Putra Gusti Permaisuri
sekarang ini dalam keadaan sehat, dan berada di tempat yang aman.”
“Ohhh...,” Permaisuri Sara Ratan
mendesah panjang, menarik napas lega.
Rangga mengangkat kepalanya
ketika tiba-tiba mendengar langkah kaki orang menghampiri tempat itu.
Permaisuri Sara Ratan rupanya juga mendengar. Dan mereka hanya saling
berpandangan sesaat.
“Bersembunyilah, Kisanak. Itu
pasti Pendeta Seka Gora,” kata Permaisuri Sara Ratan.
Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga
melesat cepat ke atas pohon beringin yang tumbuh menaungi tempat itu. Begitu
cepat dan sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali
Sakti, sehingga cepat lenyap bagaikan hilang saja. Permaisuri Sara Ratan tetap
duduk di kursi di bawah pohon itu, seakan-akan tidak ada seorang pun yang
datang di tempat itu.
Dari kejauhan tampak seorang
laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul tengah berjalan
ringan menghampiri orang kedua di Kerajaan Salinga ini. Laki-laki tua kurus itu
langsung menghampiri dan membungkukkan badannya begitu sampai di depan
Permaisuri Sara Ratan. Sikapnya begitu hormat, namun dari senyum dan sinar
matanya memancarkan sesuatu yang sukar ditebak.
“Ada apa, Paman Pendeta?” tanya
Permaisuri Sara Ratan.
“Kereta sudah siap, Gusti
Permaisuri. Juga seratus prajurit pengawal dan sepuluh emban serta beberapa
pelayan,” sahut Pendeta Seka Gora.
“Oh! Jadi hari ini aku harus
meninggalkan istana?” ada nada kurang senang dalam suara Permaisuri Sara Ratan.
“Sudah jadi keputusan rapat
Pembesar Istana, Gusti. Tepat pada masa empat puluh hari meninggalnya Gusti
Prabu Jayengrana, diadakan penobatan raja yang baru.”
“Paman Pendeta! Tidakkah menunggu
kabar dulu, kalau-kalau putraku masih hidup?”
“Tidak, Gusti Permaisuri. Sudah
terbukti kalau Raden Mandaka telah tewas terjerumus ke dalam jurang. Jadi tidak
ada lagi pewaris tahta kerajaan selain Raden Mandrakumara, putra pertama dari
Selir Rara Munikaweni.”
Permaisuri Sara Ratan terdiam
membisu. Memang sudah diketahui kalau dirinya harus meninggalkan istana, karena
tidak ada hak lagi untuk tinggal di sini setelah kematian suami dan anak
tunggalnya. Hak yang dicabut begitu saja tanpa diberikan kesempatan untuk
membela diri.
Wanita yang usianya hampir
setengah baya itu bangkit berdiri dari duduknya, dan sebentar menarik napas
panjang dan berat. Memang sudah menjadi satu adat dan tradisi bagi seorang
permaisuri raja di Salinga, harus meninggalkan istana dan tinggal di dalam pengasingan
untuk selamanya jika rajanya mangkat. Lain halnya kalau masih punya keturunan
yang akan mewarisi tahta. Sedangkan sekarang ini putra satu-satunya sudah
dikabarkan meninggal di dalam jurang. Sebenarnya Permaisuri Sara Ratan hendak
memberontak, karena jasad suaminya tidak terlihat, apalagi putranya yang
dikabarkan telah meninggal. Tapi dia tidak memiliki daya dan kekuatan apa-apa.
Hanya mampu menerima nasib menjadi orang buangan di daerah pengasingan.
“Mari, Gusti Permaisuri. Putra
hamba sendiri yang akan mengawal secara pribadi sampai ke tempat tujuan,” kata
Pendeta Seka Gora lagi.
“Putramu...?” Permaisuri Sara
Ratan mengerutkan keningnya.
Bertahun-tahun Pendeta Seka Gora
menjadi penasehat pribadi Prabu Jayengrana, belum pernah terdengar kalau pendeta
ini mempunyai istri, apalagi memiliki seorang putra.
“Maksud hamba, putra angkat,
Gusti,” Pendeta Seka Gora buru-buru membetulkan ucapannya.
“Oh....” Permaisuri Sara Ratan
mengayunkan kakinya pelahan-lahan dengan anggun. Tidak ada pilihan lain lagi.
Meskipun dengan hati remuk, harus dituruti keputusan yang sudah ditetapkan.
Suka atau tidak, istana ini harus segera ditinggalkan. Hanya saja waktunya
begitu cepat, dan tidak ada perencanaan sama sekali sebelumnya. Terlebih lagi,
Prabu Jayengrana sendiri belum sampai empat puluh hari mangkat.
Sementara itu, Rangga masih
berada di atas pohon sampai Permaisuri Sara Ratan dan Pendeta Seka Gora
meninggalkan kaputren ini. Pendekar Rajawali Sakti itu baru melompat turun
setelah kedua orang itu tidak terlihat lagi. Sebentar matanya memandang ke arah
kepergian Permaisuri Sara Ratan, kemudian perhatiannya tertumpu pada sehelai
saputangan dari bahan sutra berwarna merah muda. Saputangan itu tergolek di
bawah kursi taman. Rangga tadi sempat melihat Permaisuri Sara Ratan sengaja
menjatuhkan sapu tangannya tanpa diketahui Pendeta Seka Gora.
“Hm...,” gumam Rangga pelahan.
Bagaikan seekor burung, Pendekar
Rajawali Sakti itu melesat cepat dan ringan melompati tembok benteng bagian
belakang pembatas kaputren ini. Dan sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap
di balik tembok benteng itu. Keadaan di kaputren kembali sunyi senyap tanpa
terlihat seorang pun di sana.
***
Sebuah kereta kuda melaju keluar
dari gerbang benteng Istana Salinga. Kereta kuda yang cukup besar dan indah itu
dikawal seratus orang prajurit bersenjata lengkap. Para emban dan pelayan
berada di dalam kereta lain yang ditarik empat ekor kuda. Tampak paling depan,
seorang pemuda berwajah tampan dan gagah menunggang kuda putih yang tegap.
Pemuda itu mengenakan baju putih ketat dengan pedang tersampir di punggung.
Rombongan itu bergerak cepat
menuju utara, tempat berdirinya sebuah bukit yang menjulang menentang langit.
Di dalam kereta besar yang ditarik delapan ekor kuda putih, terlihat Permaisuri
Sara Ratan duduk seorang diri. Wanita itu memandang ke luar dari jendela kereta
yang terbuka sedikit tirainya.
“Hm, ini bukan jalan menuju
tempat pengasingan,” gumam Permaisuri Sara Ratan begitu kereta melewati batas
gerbang utara Kerajaan Salinga.
Belum sempat Permaisuri Sara
Ratan berpikir lebih jauh lagi, dirasakan kereta kuda yang ditumpanginya
berhenti, tepat di tengah-tengah hutan belantara. Penunggang kuda yang berada
paling depan menghampiri kereta kuda itu. Ringan sekali tubuhnya melompat turun
dari punggung kuda, dan menghampiri pintu kereta. Tanpa berkata apa-apa lagi,
pemuda berpakaian putih ketat itu membuka pintu kereta.
“Sudah sampai, Gusti Permaisuri,”
ujar pemuda itu bernada dingin dan datar.
“Ini bukan tempat pengasingan,
Natapraja,” kata Permaisuri Sara Ratan seraya turun dari dalam kereta.
“Memang benar. Kami hanya singgah
sebentar untuk melaksanakan tugas lainnya,” sahut pemuda berpakaian putih ketat
yang ternyata memang Natapraja, pemuda yang menikam Prabu Jayengrana.
“Apa maksudmu berkata seperti
itu, Natapraja?” sentak Permaisuri Sara Ratan mulai merasakan adanya sesuatu
yang tidak beres.
Natapraja tidak menjawab. Segera
dijentikkan ujung jarinya. Sekitar sepuluh orang prajurit mendorong para emban
dan pelayan pribadi Permaisuri Sara Ratan, sehingga sampai jatuh tersuruk di
depan Permaisuri Sara Ratan. Tak ada seorang pun yang berani mengangkat
kepalanya. Permaisuri Sara Ratan memandangi emban-emban dan para pelayan yang
berlutut di depannya sambil menundukkan kepalanya. Masing-masing di belakang
para emban dan pelayan itu berdiri satu prajurit yang menghunus pedang
tertempel di batang leher.
Permaisuri Sara Ratan menatap
tajam Natapraja yang ditugaskan memimpin rombongan ini oleh Pendeta Seka Gora.
Pemuda ini yang diakui sebagai anak angkat. Perasaan tidak enak yang sudah
terbawa sejak keluar dari istana, rupanya akan terjawab di dalam hutan ini.
Hutan yang tidak pernah dikenalnya sama sekali.
“Natapraja, apa arti semua ini?”
tanya Permaisuri Sara Ratan, agak bergetar nada suaranya.
“Hamba hanya melaksanakan
pembersihan, Gusti Permaisuri,” sahut Natapraja kalem.
“Pembersihan...? Apa maksudmu
dengan pembersihan?” Permaisuri Sara Ratan mulai menduga-duga.
Natapraja tidak menjawab, tapi
hanya tersenyum.
“Laksanakan!” perintah Natapraja
tiba-tiba.
Dan....
“Tunggu...!” sentak Permaisuri
Sara Ratan keras.
Tapi terlambat! Para prajurit itu
sudah mengibaskan pedangnya dengan cepat. Seketika itu juga kepala dari para
emban dan pelayan Permaisuri Sara Ratan terpenggal buntung menggelinding ke
tanah. Tak ada suara pekikan keluar, mereka langsung jatuh menggelepar dan
tewas seketika!
“Kejam...!” desis Permaisuri Sara
Ratan.
Wajah wanita berusia empat puluh
tahunan itu seketika membias pucat pasi. Ditatapnya mayat para emban dan
pelayannya, lalu beralih ke arah Natapraja. Permaisuri Sara Ratan melangkah
mundur dua tindak. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki
muda di depannya.
“Sudah sepantasnya mereka mati,
Gusti Permaisuri,” tegas Natapraja kalem.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya
Permaisuri Sara Ratan, agak bergetar nada suaranya.
“Ampun, Gusti Permaisuri. Hamba
hanya seorang abdi yang hanya menjalankan tugas,” sahut Natapraja seraya
membungkuk sedikit memberi hormat.
“Tugas...?! Tugas apa?! Siapa
yang memberimu tugas kejam ini?” agak keras suara Permaisuri Sara Ratan.
“Maaf. Hamba harus merahasiakan
setiap tugas yang diperintahkan, Gusti Permaisuri. Sebaiknya Gusti kembali
masuk ke dalam kereta. Hamba harus mengantarkan Gusti Permaisuri Sara Ratan
sampai ke tempat tujuan.”
Permaisuri Sara Ratan ingin
menolak. Tapi melihat kesungguhan dari sinar mata pemuda itu, dan banyaknya
prajurit yang siap menunggu perintah, Permaisuri Sara Ratan jadi tidak berdaya.
Dia hanya wanita lemah yang tidak pandai ilmu olah kanuragan. Bagi Natapraja,
semudah membalikkan tangan jika ingin membunuhnya. Dengan tubuh agak bergidik,
Permaisuri Sara Ratan kembali masuk ke dalam kereta yang akan membawanya ke
tempat yang tidak jelas letaknya. Hanya Natapraja yang mengetahui akan
membawanya ke mana. Permaisuri Sara Ratan langsung menutup tirai jendela begitu
berada di dalam kereta. Wajahnya masih terlihat pucat pasi, dan tubuhnya bergetar
hebat. Terlebih lagi saat merasakan kereta kembali bergerak melaju cepat.
“Dewata Yang Agung... Apa
sebenarnya yang ter-jadi?” desah Permaisuri Sara Ratan dalam hati.
Rombongan itu terus bergerak agak
pelahan semakin jauh menembus kelebatan hutan. Semakin jauh menembus ke dalam,
udara semakin terasa dingin. Matahari juga seakan tak sanggup menembus
cahayanya. Sementara di dalam kereta, Permaisuri Sara Ratan tampak gelisah,
tidak tahu lagi ke mana tujuan Natapraja membawanya pergi. Belum pernah dilaluinya
hutan ini, terlebih lagi begitu jauh masuk ke dalamnya.
Permaisuri Sara Ratan menyingkap
tirai jendela kereta kuda sedikit. Betapa terkejut hatinya begitu melihat di
sebelahnya terhampar sebuah jurang yang sangat dalam. Buru-buru wanita itu
menutup tirai. Jalan kereta kuda ini juga terasa lebih pelahan. Ketika
Permaisuri Sara Ratan berpaling ke arah lain, mendadak matanya membeliak lebar.
Mulutnya pun ternganga tak mampu bersuara lagi.
“Ssst..., tenang. Jangan bicara
apa pun.”
“Bagaimana kau bisa berada di
sini?” tanya Permaisuri Sara Ratan.
Sungguh sulit dimengerti.
Tahu-tahu di sampingnya sudah duduk seorang pemuda berbaju rompi putih yang
menemuinya di dalam taman kaputren. Pemuda itu tidak menjawab, tapi malah
menyibakkan tirai di sampingnya sedikit. Diamatinya keadaan di luar sebentar.
Laju kereta kuda mulai terasa biasa
kembali. Hanya saja guncangannya
terasa begitu keras.
“Singkap sedikit tirai itu,” kata
Rangga menunjuk tirai di samping Permaisuri Sara Ratan.
Dengan sikap ragu-ragu,
Permaisuri Sara Ratan menyingkapkan tirai jendela di sampingnya sedikit. Rangga
memperhatikan jalan di luar. Tampak kereta ini sudah melewati bibir jurang, dan
kini memasuki daerah berbatu yang gersang. Dari kemiringan di dalam kereta,
sudah dapat dipastikan kalau jalan yang dilalui mendaki. Rangga meminta
Permaisuri Sara Ratan menutup kembali tirai itu.
“Sejak kapan kau berada di kereta
ini?” tanya Permaisuri Sara Ratan.
“Sejak dari tengah hutan tadi,”
sahut Rangga seraya mengintip ke luar melalui tirai yang disibakkan sedikit
dengan ujung jari tangannya.
“Oh! Jadi kau melihat semua...?”
“Tentu! Sayangnya tidak sempat
kucegah.”
“Aku tidak mengerti, kenapa
Pendeta Seka Gora bisa bertindak sekejam itu?” keluh Permaisuri Sara Ratan.
Rangga diam saja, dan terus
mengamati keadaan di luar. Otaknya terus berputar mencari jalan untuk
menyelamatkan Permaisuri Sara Ratan. Tapi ingin juga diketahui, ke mana arah
tujuan perjalanan yang sudah memakan waktu lebih dari setengah harian ini. Rangga
juga mencemaskan Raden Mandaka yang ditinggalkannya di Desa Kali Ajir. Hanya
desa itu yang aman dan tidak terjangkau dari para prajurit kerajaan. Rangga
khawatir kalau-kalau Raden Mandaka tidak sabar menunggu, dan bertindak sendiri
sehingga dapat mencelakakan dirinya sendiri.
“Di depan sana ada sungai.
Sepertinya kita akan menyeberangi sungai itu,” kata Rangga seperti bicara pada
dirinya sendiri.
“Sungai...?” Permaisuri Sara
Ratan menyingkapkan tirai di sampingnya, dan melongok ke luar.
Pada saat itu terlihat Natapraja
dan beberapa prajurit di depan sudah masuk ke dalam sungai. Dan kereta ini pun
mulai memasuki sungai yang tidak begitu besar. Masih ada lagi sekitar lima
puluh prajurit di bagian belakang.
“Oh! Ada apa ini...?” pekik
Permaisuri Sara Ratan ketika tiba-tiba saja kereta yang ditumpanginya berhenti
di tengah-tengah sungai.
“Maaf, Gusti,” ucap Rangga.
“Eh!”
Belum juga Permaisuri Sara Ratan
menyadari apa yang akan dilakukan Rangga, mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti
itu menyambar pinggangnya. Dan bagaikan kilat, melesat ke luar setelah membuka
pintu kereta itu. Pintu kereta langsung menutup cepat. Begitu sempurnanya
lesatan Rangga, sehingga tak seorang prajurit pun yang menyadari.
Saat itu kusir kereta tengah
berusaha mengeluarkan roda kereta yang terperosok masuk ke dalam lumpur. Empat
orang prajurit melompat turun, dan membantu mendorong. Kereta kembali bergerak
pelahan melintasi sungai yang tidak begitu besar dan dangkal itu. Tak ada
seorang pun yang menyadari kalau kereta sudah tidak berpenumpang lagi. Sampai
di tepi seberang, rombongan itu terus bergerak melintasi padang rumput menuju
sebuah hutan yang membentang lebat.
Sementara itu Rangga yang membawa
Permaisuri Sara Ratan kembali ke seberang yang berlawanan arah. Pendekar
Rajawali Sakti itu menurunkan Permaisuri Sara Ratan dari kepitan tangannya,
tidak jauh dari tepi sungai yang cukup terlindung. Mereka memandang ke seberang
sungai. Di sana masih terlihat rombongan yang terus bergerak melintasi padang
rumput.
“Aku tidak akan bertanya,
bagaimana caranya kau membawaku keluar tanpa diketahui mereka,” kata Permaisuri
Sara Ratan seperti berbicara pada dirinya sendiri. Memang, hatinya masih
diliputi rasa heran bercampur kagum akan tingginya kepandaian Rangga.
Rangga hanya tersenyum saja.
Tentu saja dia tadi memanfaatkan kesempatan yang sedikit, saat seluruh prajurit
perhatiannya terpusat pada kereta yang terperosok masuk ke lumpur di tengah
sungai. Dan semua itu tentu didukung oleh kecepatan dan kesempurnaan dalam
menggunakan ilmu meringankan tubuh.
“Mari, Gusti Permaisuri. Hamba
yakin, Raden Mandaka sudah tidak sabar menunggu,” ajak Rangga.
“Oh! Aku senang sekali mendengar
putraku masih hidup,” desah Permaisuri Sara Ratan gembira.
Rangga mengajak wanita itu
menyusuri sungai. Dia tahu kalau sungai ini berpusat dari sebuah mata air yang
tidak jauh dari Desa Kali Ajir. Dengan berjalan kaki, dua hari baru bisa
sampai. Dan Rangga tidak ingin para prajurit itu menyadari kehilangan bawaan
berharga mereka.
“Suiiit...!” tiba-tiba saja
Rangga bersiul nyaring melengking tinggi bernada aneh di telinga.
“Apa yang kau lakukan, Rangga?”
tanya Permaisuri Sara Ratan seraya menghentikan langkahnya, mengikuti Pendekar
Rajawali Sakti itu.
“Memanggil sahabatku, Gusti,”
sahut Rangga.
“Sahabatmu? Siapa...?”
Pertanyaan Permaisuri Sara Ratan
tidak segera dijawab, tapi Rangga malah bersiul kembali. Kali ini lebih tinggi
dan panjang. Pendekar Rajawali Sakti itu mendongakkan kepalanya, merayapi
langit bening tanpa awan sedikit pun bergantung. Sementara Permaisuri Sara
Ratan jadi tidak mengerti, dan ikut-ikut mendongak menatap langit. Tapi tak ada
yang dapat dilihat di angkasa sana.
Permaisuri Sara Ratan berpaling
memandangi Rangga yang tetap mendongak memandangi langit. Dan pada saat kembali
memandang ke angkasa, terlihat sebuah benda putih agak keperakan
melayang-layang. Permaisuri Sara Ratan menyipitkan matanya saat melihat Rangga
tersenyum sambil menjulurkan tangan kanannya ke atas. Pendekar Rajawali Sakti
itu kembali bersiul. Kali ini nadanya terdengar lembut dan enak di telinga.
“Ouw...!” Permaisuri Sara Ratan
terkejut begitu melihat jelas benda di angkasa itu.
Dan belum lagi hilang rasa
terkejut wanita itu, di depannya meluncur turun seekor burung rajawali raksasa
berwarna putih keperakan. Permaisuri Sara Ratan terbengong keheranan melihat
Rangga menghampiri burung rajawali raksasa itu, dan memeluk lehernya penuh
kasih. Rangga tersenyum melihat Permaisuri Sara Ratan terbengong tidak percaya
terhadap apa yang disaksikannya ini.
“Mari, Gusti Permaisuri,” ajak
Rangga.
“Eh..., aku.... Oh! Apa ini?”
Permaisuri Sara Ratan tergagap.
“Rajawali Putih! Ini Permaisuri
Sara Ratan. Aku minta kau membawa kami ke Desa Kali Ajir,” kata Rangga
memperkenalkan Rajawali Putih pada Permaisuri Sara Ratan.
“Khrrrk...!” Rajawali Putih
mengkirik pelahan. Permaisuri Sara Ratan terpekik kaget ketika kepala burung
raksasa itu menjulur kepadanya. Dan Rangga jadi tersenyum. Kalau saja tidak
berhadapan dengan seorang wanita yang sangat dihormati dan begitu agung, tentu
malah sudah tertawa.
“Rajawali Putih hanya ingin
memberikan salam perkenalan, Gusti Permaisuri,” kata Rangga seraya menahan
geli.
“Oh! Apakah tidak galak?”
“Tentu saja tidak. Mari,
Gusti....”
Permaisuri Sara Ratan masih
takut-takut. Tapi Rangga sudah membimbingnya, lalu membantunya naik ke punggung
rajawali raksasa itu. Rangga sendiri duduk di belakangnya. Dan begitu Rangga
menepuk punggung Rajawali Putih, burung raksasa itu langsung melesat bagaikan
kilat ke angkasa.
“Khraghk...!”
“Akh!”
“Tidak apa-apa, Gusti Permaisuri.
Sebentar kita akan turun,” kata Rangga menenangkan.
Entah dengar atau tidak,
Permaisuri Sara Ratan hanya berpegangan erat pada bulu-bulu leher rajawali
raksasa itu. Kedua matanya terpejam erat, tidak berani melihat. Saat itu,
dirasakan nyawanya melayang bersama burung raksasa yang mengerikan ini. Dia
tidak tahu, berapa tingginya burung yang ditungganginya ini bersama seorang
pemuda yang baru dikenalnya hari ini.
Sementara Rangga hanya tersenyum
saja melihat sikap Permaisuri Sara Ratan yang begitu ketakutan berada pada
ketinggian di atas awan ini. Memang dimaklumi, dan sudah diperhitungkan semua
ini. Tapi untuk cepat sampai ke Desa Kali Ajir, hanya dengan Rajawali Putihlah
satu-satunya. Dia juga tidak ingin mengambil resiko harus berhadapan dengan
para prajurit Kerajaan Salinga.
“Sebentar kita mendarat, Gusti,”
kata Rangga memberitahu.
“Oh!” hanya itu yang terlontar
dari mulut Permaisuri Sara Ratan.
“Kita akan mendarat di perbatasan
desa.”
Permaisuri Sara Ratan tidak
menjawab. Membuka mata pun tidak berani. Seluruh tubuhnya terasa lemas bagaikan
mati rasanya. Untuk bernapas pun terasa sulit. Wanita itu hanya diam tak mampu
bergerak sedikit saja. Dia takut kalau jatuh dari ketinggian yang tidak tahu
seberapa.
“Khraghk...!”
“Benar, Rajawali Putih. Desa di
depan itu!”
“Khraaaghk!”
***
TUJUH
Pertemuan yang mengharukan. Sukar
untuk dikatakan, bagaimana bahagianya Permaisuri Sara Ratan mendapati putra
tunggalnya masih hidup. Bahkan dalam keadaan sehat dan segar. Ibu dan anak itu
sampai lupa pada orang-orang di sekitarnya, karena sibuk menumpahkan kerinduan
dan kebahagiaan.
Sementara Rangga yang berada di
ruangan itu, menggamit lengan Gurata untuk mengajaknya ke luar. Tanpa bicara
sedikit pun, Gurata mengikuti langkah Pendekar Rajawali Sakti keluar dari dalam
rumah Ki Belabar, Kepala Desa Kali Ajir. Mereka langsung ke depan, dan duduk di
tangga beranda depan rumah itu. Saat ini malam sudah tiba. Hanya sebuah pelita
kecil yang menerangi beranda, tergantung di tengah langit-langit beranda depan
ini.
“Aku menangkap ada sesuatu yang
tidak wajar,” ujar Rangga setengah bergumam.
“Maksudmu?” Gurata belum bisa
menangkap perkataan Pendekar Rajawali Sakti itu.
“Aku menemukan beberapa
kejanggalan dalam peristiwa ini. Natapraja telah membunuh semua emban dan
pembantu pribadi Permaisuri Sara Ratan. Bahkan juga membunuh beberapa prajurit
serta beberapa panglima dan pembesar kerajaan. Sepertinya dia memilih
orang-orang yang menjadi korbannya,” Rangga mengungkapkan kecurigaannya.
“Benar! Dia juga selalu
mengatakan hanya menjalankan tugas. Tapi tidak pernah memberitahu siapa yang
memberi tugas. Itu kuketahui karena pernah bentrok dengannya sekali, sebelum
aku ditangkap dan disiksa,” pelan suara Gurata.
“Gurata, kau lama hidup di dalam
lingkungan istana, bahkan menjadi pengawal pribadi Permaisuri Sara Ratan.
Tentunya kau tahu kalau Pendeta Seka Gora mempunyai anak angkat.”
“Tidak. Semua orang tahu kalau
Pendeta Seka Gora tidak mempunyai anak angkat seorang pun.”
“Hm.... Dia mengakui kalau
Natapraja adalah anak angkatnya. Kau pernah bentrok dengannya, tentu bisa
mengenali jurus-jurusnya. Apa ada kesamaan dengan yang dimiliki Pendeta Seka
Gora?” tanya Rangga kembali.
“Rasanya tidak...,” sahut Gurata
setelah berpikir sejenak.
“Kau pernah melihat Natapraja
sebelumnya di istana?” tanya Rangga lagi. Belum juga Gurata menjawab,
Permaisuri Sara Ratan muncul bersama putranya, diikuti Ki Belabar serta putri
dan istrinya. Rangga serta Gurata bergegas bangkit berdiri. Gurata membungkuk
memberi hormat.
“Natapraja bukan apa-apa di dalam
lingkungan istana. Bahkan belum pernah kulihat di lingkungan Kerajaan Salinga,”
kata Permaisuri Sara Ratan.
Rangga menatap dalam-dalam wanita
yang berdiri di samping Raden Mandaka. Pandangannya beralih pada Ki Belabar
yang mengedipkan sebelah mata padanya.
“Gusti Permaisuri, hamba mohon
ijin untuk berbicara sebentar dengan Ki Belabar,” ucap Rangga sopan.
Permaisuri Sara Ratan memandang
laki-laki tua Kepala Desa Kali Ajir yang berada agak ke belakang di sebelah
kanannya, kemudian mengangguk seraya memberikan senyum. Ki Belabar memberi
hormat, lalu melangkah menghampiri Rangga. Dengan kerdipan matanya, Rangga
membalikkan tubuh mengikuti laki-laki tua itu. Mereka terus berjalan melintas
halaman depan yang cukup luas, dan baru berhenti setelah sampai di bawah pohon.
Memang cukup jauh dari beranda depan rumah.
“Ada apa, Ki?” tanya Rangga.
“Ada sesuatu yang hendak
kubicarakan secara pribadi denganmu, Rangga,” kata Ki Belabar.
“Hm.... Mereka bisa mencurigaimu,
Ki,” Rangga memperingatkan.
“Tidak,” sahut Ki Belabar mantap.
Rangga melirik ke arah beranda.
Tampak Permaisuri Sara Ratan duduk di kursi kayu didampingi putranya. Sedangkan
Nyai Belabar dan putrinya serta Gurata hanya duduk bersimpuh di lantai beranda.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali berpaling menatap Ki Belabar.
“Semua yang akan kukatakan padamu
sudah kuungkapkan lebih dulu pada Gusti Permaisuri Sara Ratan,” kata Ki Belabar
lagi.
“Apa yang akan kau katakan
padaku, Ki?” tanya Rangga.
“Tentang Natapraja.”
“Oh...!”
“Dia anak laki-lakiku, kakak Ayu
Kumala.”
Rangga hampir tidak percaya
mendengar pengakuan itu. Ditatapnya dalam-dalam laki-laki tua itu dengan sinar
mata menyelidik. Namun yang ada di wajah Ki Belabar adalah kesungguhan dari
pengakuannya tadi. Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya tidak mempercayai
kalau Natapraja adalah anak Ki Belabar.
“Hampir dua purnama ini Natapraja
tidak pernah kembali. Dia memang berpamitan padaku hendak mencari pengalaman.
Aku sendiri tidak menyangka kalau semua urusan ini sampai melibatkannya,” kata
Ki Belabar lagi.
“Ki.... Kalau memang benar
Natapraja itu adalah anakmu, tentu Permaisuri Sara Ratan sudah mengenalnya saat
melihatnya pertama kali, bukan? Kenapa sikap Permaisuri Sara Ratan seperti
tidak pernah mengenalnya?” tanya Rangga ingin lebih jelas mengetahui.
“Gusti Permaisuri memang tidak
kenal. Tidak ada yang lebih mengenal keluargaku, hanya...,” Ki Belabar
memutuskan kalimatnya.
“Hanya apa, Ki?” desak Rangga.
“Rangga, aku mohon padamu. Jika
memang Natapraja bersalah, serahkanlah padaku. Biar aku yang memberi hukuman
yang pantas,” kata Ki Belabar mencoba membelokkan arah pembicaraan.
“Kau belum menjawab pertanyaanku,
Ki,” Rangga mengingatkan.
“Sebaiknya tidak usah kuteruskan,
Rangga. Tidak ada yang tahu. Bahkan Gusti Permaisuri sendiri tidak tahu.
Terlebih lagi Raden Mandaka.”
“Jika kau percaya padaku, akan
kupegang rahasiamu, Ki,” janji Rangga meyakinkan laki-laki tua itu.
“Aku sering mendengar namamu,
Pendekar Rajawali Sakti. Aku kagum, bahkan sering kukatakan pada Natapraja agar
menjadi seorang pendekar tangguh sepertimu. Yaaah.... Aku percaya padamu,
Rangga. Kau pasti bisa memegang rapi rahasia ini.”
“Siapa lagi yang tahu, Ki?” desak
Rangga.
“Gusti Prabu Jayengrana,” sahut
Ki Belabar setengah berbisik, seakan-akan takut kalau ada yang mendengar selain
Pendekar Rajawali Sakti.
“Siapa...?!” Rangga terkejut
tidak menyangka.
“Setiap tahun Gusti Prabu
Jayengrana datang ke desa ini. Beliau selalu meminta padaku untuk menyediakan
pemuda-pemuda berkemampuan cukup tinggi untuk dijadikan jawara istana, atau
prajurit pilihan yang tangguh dan dapat dipercaya. Memang tidak banyak. Paling
tidak dua atau tiga orang setiap tahunnya. Itulah sebabnya mengapa Gusti Prabu
Jayengrana mengenal betul keluargaku, bahkan seluruh penduduk desa ini selalu
mengaguminya. Gusti Prabu begitu dekat terhadap rakyat kecil. Bahkan kalau
beliau datang, tidak pernah suka diperlakukan sebagaimana layaknya seorang
raja. Gusti Prabu senang berbincang-bincang, makan, dan minum bersama kami.
Itulah sebabnya aku dan seluruh warga desaku tidak percaya kalau Natapraja
sampai hati menikam seorang raja yang begitu kami cintai,” pelan suara Ki
Belabar.
“Ki, apa ada persoalan antara
Natapraja dengan Prabu Jayengrana?” tanya Rangga.
Ki Belabar tidak langsung
menjawab, tapi malah menatap dalam-dalam bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu.
Pelahan kepalanya menggeleng lemah. Rangga menarik napas panjang, seakan hendak
melonggarkan rongga dadanya yang mendadak saja terasa sesak.
***
Sudah lewat tengah malam, tapi
Rangga masih duduk di tangga beranda depan rumah Ki Belabar. Dalam benak
Pendekar Rajawali Sakti itu masih diliputi berbagai macam pikiran akan
pengakuan Ki Belabar. Sungguh tidak bisa dipahami, kenapa Natapraja berbuat
sebodoh itu?
Memang seluruh penduduk Desa Kali
Ajir ini begitu mencintai Prabu Jayengrana. Bahkan Ki Belabar sendiri hampir
tidak mempercayai kalau putranya berbuat senekad itu. Setahu Ki Belabar,
Natapraja tidak mempunyai persoalan apa pun dengan Prabu Jayengrana. Bahkan
selalu mengatakan bahwa niatnya menjadi panglima di Kerajaan Salinga. Ingin
diabdikan diri sepenuhnya pada Prabu Jayengrana dan seluruh keluarganya.
Rasanya memang tidak mudah untuk dipercaya kalau pemuda itu menikam orang yang
dikaguminya tanpa alasan yang pasti.
“Belum tidur, Kakang?”
“Oh...!” Rangga tersentak ketika
tiba-tiba terdengar suara teguran dari belakangnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu
menoleh, dan tersenyum begitu melihat Gurata sudah berdiri di belakangnya.
Digeser tubuhnya untuk memberi tempat pada Gurata untuk duduk di sampingnya.
“Kelihatannya kau banyak pikiran,
Kakang,” kata Gurata yang sudah membiasakan memanggil kakang pada Rangga.
“Mungkin,” desah Rangga.
“Kalau boleh kutahu, apa yang
menjadi beban pikiranmu, Kakang. Barangkali saja bisa kubantu meringankannya,”
kata Gurata lagi.
Rangga hanya tersenyum saja, lalu
menepuk pundak pemuda yang wajahnya terdapat luka garis memanjang membelah pipi
itu. Meskipun sudah tidak ada lagi kumis dan jenggot, tapi wajah Gurata masih
juga kelihatan angker. Apalagi ditambah luka di pipinya.
“Aku pergi dulu, Gurata,” kata
Rangga seraya bangkit berdiri.
“Ke mana?” tanya Gurata ikut
berdiri.
Rangga tidak menjawab, tapi hanya
tersenyum saja. Ditepuknya pundak Gurata, lalu berpesan agar selalu menjaga
keselamatan Permaisuri Sara Ratan dan putranya. Sebentar kemudian Rangga
melangkah pergi. Gurata ingin mengikuti, tapi segera mengurungkan niatnya. Dia
hanya memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti itu yang terus menjauh.
Gurata masih berdiri di tangga
beranda, meskipun bayangan tubuh Rangga sudah tidak terlihat, ditelan kegelapan
malam. Gurata menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Dia
berbalik hendak masuk kembali ke dalam rumah. Tapi pada saat itu, dari dalam
keluar Raden Mandaka. Gurata bergegas membungkuk seraya merapatkan kedua
telapak tangannya di depan hidung.
“Mau ke mana dia, Gurata?” tanya
Raden Mandaka seraya menatap kegelapan malam.
“Ampun, Raden. Hamba tidak tahu,”
sahut Gurata penuh rasa hormat.
“Gurata, siapkan kuda,” perintah
Raden Mandaka.
“Raden...?!” Gurata tersentak
kaget.
“Kau tidak mendengar perintahku,
Gurata?!”
“Tapi, Raden...”
“Ini persoalan kerajaan, Gurata.
Aku tidak ingin orang sebaik Rangga harus berkorban, sementara kita enak-enakan
berada di sini!” tegas kata-kata Raden Mandaka.
“Siapkan kuda, Gurata,” tiba-tiba
terdengar suara lembut dari belakang Raden Mandaka.
Gurata langsung membungkuk
memberi hormat ketika seorang wanita muncul dari dalam rumah. Raden Mandaka
bergegas membalik, kemudian merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Pemuda
ini terkejut juga akan kemunculan ibunya.
“Aku senang dan bangga jika kau
mampu mengatasi semua kemelut ini, Anakku,” ujar Permaisuri Sara Ratan. “Kau
memang tidak boleh mengandalkan Rangga seorang diri.”
“Bunda...,” suara Raden Mandaka
terputus.
“Berangkatlah! Bunda merestui
perjuanganmu.”
Raden Mandaka menjatuhkan diri
berlutut. Diambil dan diciumnya punggung tangan wanita yang usianya hampir
setengah baya dan masih kelihatan cantik itu. Sedangkan Permaisuri Sara Ratan
hanya tersenyum dengan mata berkaca-kaca, kemudian membangunkan anaknya dan
membawanya berdiri. Raden Mandaka bangkit berdiri.
“Aku bangga...! Ternyata kau
sudah dewasa, Anakku Aku yakin, ayahmu pasti bangga padamu,” ucap Permaisuri
Sara Ratan, agak tersendat nada suaranya.
Raden Mandaka hanya diam saja
dengan kepala tertunduk dalam. Memang diakui, sejak adanya peristiwa ini,
sikapnya jadi jauh berubah. Tidak lagi manja dan tergantung pada orang lain.
Rasanya, semua keangkuhan dan kemanjaan dirinya sudah lenyap. Raden Mandaka
sendiri mengakui kalau perubahan sikapnya ini karena Pendekar Rajawali Sakti,
yang secara tidak langsung telah menempanya menjadi seorang laki-laki muda yang
berpikiran dewasa. Pantang surut dalam mengarungi kekerasan hidup di alam fana
ini.
“Pergilah! Bunda merasa aman dan
terlindung berada di desa ini. Desa yang menjadi sahabat sejati ayahmu,” ujar
Permaisuri Sara Ratan.
“Nanda mohon pamit, Bunda,” ucap
Raden Mandaka.
***
Semalaman penuh Raden Mandaka
memacu kudanya didampingi Gurata. Mereka sudah demikian jauh meninggalkan Desa
Kali Ajir. Saat matahari terbit, mereka tiba di lereng bukit yang terjal dengan
jurang menganga lebar. Raden Mandaka dan Gurata memper-lambat laju kudanya.
Hati-hati sekali mereka mengendalikan kuda agar tidak tergelincir masuk ke
jurang.
Raden Mandaka sengaja menyusuri
jalan ini. Jalan yang dilalui ibunya ketika dibawa keluar dari istana oleh
Natapraja dan sekitar seratus orang prajurit pengawal. Raden Mandaka tahu betul
daerah ini, karena sering melaluinya kalau berburu bersama ayahnya. Mereka
berhenti setelah melewati jalan terjal di bibir jurang.
“Raden, apakah memang ini jalan
yang benar?” tanya Gurata ragu-ragu.
“Menurutmu bagaimana, Gurata?”
Raden Mandaka malah balik bertanya.
“Entahlah, Raden. Hanya yang
jelas, kalau kita terus, akan menemukan sungai kecil. Dan kalau menyeberang,
sampai pada Hutan Jaran. Di tengah-tengah hutan itu terdapat puri tua yang
telah lama tidak terpakai,” Gurata ternyata juga mengetahui persis seluk-beluk
daerah ini.
“Ke sanalah tujuan kita, Gurata,”
ujar Raden Mandaka mantap.
“Ke Puri Ganyong, Raden?!”
“Benar, kenapa? Kelihatannya kau
terkejut sekali, Gurata.”
“Raden! Rasanya tidak mungkin
kalau...,” suara Gurata terputus.
“Menurut Bunda Permaisuri, mereka
menyeberangi sungai. Sudah pasti tujuannya adalah Puri Ganyong. Tidak ada
tempat lain lagi di sana selain puri itu.”
“Tapi, untuk apa Natapraja
membawa Gusti Permaisuri ke sana?” tanya Gurata seperti untuk dirinya sendiri.
“Itu yang harus kita ketahui,
Gurata.”
Gurata terdiam. Dia teringat
kata-kata Rangga semalam, sebelum berangkat meninggalkan Desa Kali Ajir bersama
Raden Mandaka. Pendekar Rajawali Sakti itu merasakan adanya keanehan dalam
kemelut yang terjadi di dalam keluarga Istana Salinga. Dugaannya sendiri juga
sama. Hanya saja mungkin ada perbedaan dalam hal pemikiran. Gurata juga tidak
percaya kalau Prabu Jayengrana bisa terbunuh begitu mudah oleh Natapraja yang
sampai saat ini belum jelas alasannya membunuh Prabu Jayengrana. Yang
membuatnya selalu bertanya-tanya, adalah Pendeta Seka Gora.
Apa maksudnya mengakui Natapraja
sebagai anak angkatnya? Padahal semua orang tahu kalau pendeta itu tidak
mempunyai seorang anak angkat pun. Dan kemarin Natapraja bersama seratus
prajurit hendak membawa Permaisuri Sara Ratan ke Puri Ganyong. Untuk apa...?
Dan yang tidak bisa dimengerti, perintah itu datangnya dari Pendeta Seka Gora.
Berbagai macam dugaan bersembulan keluar dari benak Gurata. Tapi sampai saat
ini masih belum dipercayai kalau Pendeta Seka Gora tengah melancarkan makar
untuk menjatuhkan tahta Prabu Jayengrana.
“Kau melamun, Gurata?” tegur
Raden Mandaka.
“Oh!” Gurata terbangun dari
lamunannya.
“Apa yang kau pikirkan, Gurata?”
tanya Raden Mandaka.
“Tidak ada, Raden,” sahut Gurata.
“Ayo kita berangkat lagi,” ajak
Raden Mandaka.
Mereka kembali menggebah kudanya.
Tapi kali ini mengendalikannya pelahan-lahan. Sedangkan Gurata jadi terdiam
saja tanpa berbicara sedikit pun. Pikirannya terus mengambang, berusaha mencari
jawaban dari berbagai macam pertanyaan yang timbul di dalam kepalanya. Tanpa
diketahuinya, Raden Mandaka selalu memperhatikan lewat sudut ekor matanya.
“Kau kelihatan gelisah sekali,
Gurata,” tegur Raden Mandaka.
“Oh, tidak.... Tidak ada apa-apa,
Raden,” Gurata tergagap.
Raden Mandaka kembali
menghentikan laju kudanya. Dipandanginya Gurata dalam-dalam. Sedangkan yang
dipandang hanya menundukkan kepala saja.
“Raden, boleh hamba memberi
saran?” pelan dan terdengar ragu-ragu nada suara Gurata.
“Hm, apa saranmu?” tanya Raden
Mandaka.
“Apa tidak lebih baik langsung ke
istana saja, Raden. Hamba merasa di sana akan mendapatkan semua yang kita
cari,” Gurata mengemukakan sarannya.
“Apa yang akan diperoleh di
istana, Gurata?” nada suara Raden Mandaka terdengar seperti memancing.
“Terus terang, Raden. Sejak
semula Paman Pendeta Seka Gora sudah hamba curigai. Mungkin darinya kita bisa
memperoleh banyak yang kita butuhkan sekarang ini,” Gurata mengemukakan
pendapatnya.
“Hm...,” Raden Mandaka menggumam dengan
kening berkerut.
“Hamba yakin, kalau Pendeta Seka
Gora adalah dalang dari semua kemelut ini, Raden,” lanjut Gurata.
“Kita akan langsung ke istana
setelah ke Puri Ganyong,” Raden Mandaka memutuskan.
“Baiklah, Raden. Kalau begitu
secepatnya kita berangkat agar tidak kemalaman di jalan.”
Mereka kembali menggebah kudanya,
tapi kali ini memacunya dengan kecepatan tinggi. Tidak mempedulikan lagi jalan
yang sukar untuk dilalui.
***
DELAPAN
Sementara itu di angkasa, Rangga
tengah melayang bersama Rajawali Putih tunggangannya. Burung raksasa itu
berputar-putar di atas sebuah ban-gunan puri tua yang sudah runtuh. Pendekar
Rajawali Sakti itu mengamati setiap jengkal tanah di sekitar puri tua itu. Di
sebelah kanan reruntuhan puri, terlihat sebuah bangunan yang tidak begitu besar
terbuat dari belahan kayu dan beratapkan daun rumbia.
Tidak banyak yang dapat
diperoleh. Suasana di sekitar puri tampak sunyi sepi, tanpa seorang pun
terlihat. Tapi mendadak saja perhatian Pendekar Rajawali Sakti itu terpusat
pada dua orang penunggang kuda yang berpacu cepat mendekati puri itu. Rangga
hampir terbeliak begitu mengenalinya.
“Raden Mandaka..., mau apa dia ke
sini?” desis Rangga dalam hati
Terlihat Raden Mandaka melompat
turun dari punggung kudanya setelah sampai di depan rumah kecil di sebelah
kanan reruntuhan puri. Pemuda itu langsung menerobos masuk ke dalam. Sedangkan
Gurata masih menunggu di luar, dan tidak turun dari punggung kudanya. Tidak
lama Raden Mandaka berada di dalam, kemudian ke luar lagi dengan satu lesatan
ringan, langsung hinggap di atas punggung kudanya.
“Ada apa di dalam, Raden?” tanya
Gurata.
“Kosong!” sahut Raden Mandaka
seraya memutar kudanya. “Tapi aku menemukan beberapa potong pakaian Ayahanda
Prabu.”
“Kalau begitu, pasti Gusti Prabu
masih hidup, Raden!”
“Benar. Tapi di mana
sekarang...?”
Gurata tidak bisa menjawab.
“Kita ke istana sekarang juga,
Gurata!” seru Raden Mandaka.
Mereka segera menggebah kudanya.
Debu berkepul di udara tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat bagaikan
dikejar setan. Sementara Rangga yang berada di angkasa bersama Rajawali Putih,
telah mendengar semua pembicaraan itu mempergunakan aji ‘Pembeda Gerak dan
Suara’. Pendekar Rajawali Sakti itu meminta Rajawali Putih turun.
Sebentar saja burung raksasa itu
sudah menukik turun, dan mendarat ringan tepat di depan pintu puri yang terbuka
lebar. Hanya sekali lesatan saja, Rangga sudah berada di dalam puri itu.
Sebentar diamati keadaan di dalam puri. Memang tidak ada seorang pun di sini,
tapi ada beberapa potong pakaian dari bahan sutra halus yang sangat indah. Di
situ juga tergeletak sepotong baju merah.
“Hm...,” Rangga menggumam
pelahan.
Pendekar Rajawali Sakti itu
kembali melesat ke luar, langsung hinggap di punggung burung rajawali raksasa.
“Kita ke Kerajaan Salinga,
Rajawali Putih,” kata Rangga.
“Khraghk...!”
Bet!
Bagaikan kilat, Rajawali Putih
melambung tinggi ke angkasa. Burung raksasa itu berkaokan beberapa kali, dan
meluncur cepat menuju ke Kerajaan Salinga. Dari angkasa, Rangga dapat melihat
dua penunggang kuda yang berpacu cepat membelah hutan. Kedua penunggang kuda
itu tidak menyadari kalau di atas tengah meluncur seekor burung rajawali
raksasa.
***
Saat itu suasana di Istana
Salinga tampak tenang tenteram, tak ada tanda-tanda kalau akan terjadi makar.
Mungkin karena keluarga Prabu Jayengrana sudah tidak ada lagi di dalam istana.
Namun suasana tenang seperti itu memang selalu terjadi setiap hari. Para
prajurit penjaga melakukan tugasnya seperti biasa. Para pelayan dan pengurus
istana juga melakukan tugasnya masing-masing. Tak ada yang kelihatan aneh.
Semua berjalan seperti biasa.
Sementara itu Raden Mandaka dan
Gurata sudah memasuki kota, dan terus cepat memacu kudanya menuju istana. Dua
orang prajurit yang menjaga pintu gerbang, bergegas membuka pintu begitu
melihat Raden Mandaka datang bersama Gurata. Tanpa menghentikan kecepatan lari
kudanya, mereka menerobos masuk melalui gerbang yang terbuka lebar.
“Hup...!”
Raden Mandaka langsung melompat
turun dengan sigapnya begitu mencapai depan undakan beranda depan istana yang
megah itu. Dia berdiri tegak, dan pandangannya lurus tajam ke depan. Enam orang
prajurit yang menjaga pintu masuk, serentak membungkuk memberi hormat. Raden
Mandaka agak heran juga melihat suasana yang tenang dan tenteram.
“Selamat datang kembali ke
istana, Raden Mandaka,” terdengar ucapan sambutan dari seorang pemuda berbaju
putih ketat yang tiba-tiba saja muncul dari dalam.
“Natapraja...,” desis Raden
Mandaka begitu mengenali orang yang menyambut kedatangannya bersikap ramah dan
membungkuk memberi hormat.
“Silakan masuk, Raden. Gusti
Prabu Jayengrana sudah tidak sabar menunggu,” ucap Natapraja lagi.
“Ayahanda Prabu...?!” Raden
Mandaka seperti tidak percaya mendengarnya.
Bergegas putra mahkota itu
melangkah masuk ke dalam diikuti Gurata. Sedikit pun Raden Mandaka tidak
menghiraukan Natapraja yang menggeser menyingkir ke samping. Raden Mandaka
terus saja melangkah cepat melewati ruangan depan yang luas. Dua orang prajurit
penjaga pintu pembatas ruangan, membungkuk memberi hormat. Raden Mandaka terus
saja menerobos masuk dengan langkah lebar-lebar. Di belakangnya membuntuti
Gurata dan Natapraja.
Mendadak saja ayunan langkah
Raden Mandaka terhenti saat melewati ambang pintu Balai Sema Agung. Tampak di
atas singgasana, duduk seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun.
Terlihat anggun dan penuh kewibawaan. Laki-laki itu bangkit berdiri begitu
melihat Raden Mandaka muncul. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, namun
sepasang bola matanya berbinar agak berkaca-kaca.
“Ayahanda...,” desis Raden
Mandaka setengah tidak percaya dengan penglihatannya.
Raden Mandaka seperti tengah
bermimpi. Diedarkan pandangannya ke sekeliling. Di ruangan ini juga ada Ki
Belabar bersama istri dan anak gadisnya. Juga ada pembesar, panglima, serta
patih yang duduk bersimpuh di lantai.
Hanya Pendeta Seka Gora dan Patih
Trunggajaya yang tidak kelihatan berada di ruangan luas dan indah ini.
Pelahan-lahan Raden Mandaka mengayunkan kakinya diikuti pandangan
berpasang-pasang mata disertai senyuman tersungging di bibir. Raden Mandaka
berlutut dan merapatkan kedua tangannya di depan hidung, memberi hormat pada
ayahnya yang juga raja di Salinga ini.
“Bangunlah, Anakku,” berat dan
sangat berwibawa suara Prabu Jayengrana.
Pelahan-lahan Raden Mandaka
bangkit berdiri.
“Aku benar-benar gembira kau bisa
kembali dengan selamat, Anakku,” ujar Prabu Jayengrana disertai senyuman
merekah di bibir.
“Ayahanda Prabu! Apa sebenarnya
yang terjadi?” tanya Raden Mandaka setelah pikirannya sedikit bisa tenang.
“Inilah yang dinamakan permainan
hidup, Anakku,” sahut Prabu Jayengrana seraya duduk kembali di singgasananya.
“Permainan hidup...?” Raden
Mandaka tidak mengerti.
“Kau calon raja, Anakku. Seorang
calon pemimpin, terlebih lagi jika sudah menjadi pemimpin, harus peka terhadap
segala sesuatu yang ada di sekitar lingkungannya. Kepekaan yang tajam disertai
tindakan tegas dan terencana, akan menyelamatkan kehancuran diri dan seluruh
negeri,” Prabu Jayengrana mencoba menjelaskan.
“Nanda belum paham, Ayahanda
Prabu.”
“Ketahuilah, Anakku. Beberapa
waktu yang lalu, aku mencium adanya gelagat pemberontakan dari orang-orang
terdekat yang kupercayai dan kuberikan kekuasaan penuh. Sebelum percaya, maka
harus kubuktikan kebenarannya sebelum mengambil tindakan...,” Prabu Jayengrana
berhenti sebentar menarik napas panjang. “Tidak sedikit dari gerombolan
pemberontak yang menyusup ke dalam istana. Bahkan sudah mempengaruhi sebagian
prajurit, panglima, serta beberapa patih dan pembesar kerajaan. Bahkan, sampai
para emban dan pelayan. Justru mereka itulah kaum pemberontak. Mereka
merencanakannya secara rapi, dan tinggal menunggu waktu saja. Dan aku mencium
semua itu. Aku berpikir, lebih baik mendahului daripada didahului. Yaaa...,
dengan bantuan Natapraja semuanya bisa terlaksana. Aku memerintahkan Natapraja
untuk melenyapkan pemberontak-pemberontak itu. Memang tidak sia-sia. Akhirnya
rencana mereka bisa dihindari sebelum terjadi. Tapi sayang..., otak semua
maksud buruk itu berhasil melarikan diri.”
“Apakah orang itu Pendeta Seka
Gora, Ayahanda Prabu?” Raden Mandaka mulai bisa memahami.
“Kau cepat sekali tanggap,
Anakku. Memang dialah orangnya,” Prabu Jayengrana tersenyum lebar.
“Ayahanda Prabu, ijinkan Ananda
untuk mengejar dan menghukum pengkhianat itu,” pinta Raden Mandaka mantap.
“Aku bangga padamu, Anakku.
Pergilah! Bawa prajurit secukupnya, karena Pendeta Seka Gora dan Patih
Trunggajaya juga memiliki ratusan prajurit berkemampuan cukup tinggi.”
“Nanda mohon diri, Ayahanda
Prabu.”
“Raden, ijinkan hamba ikut
serta,” selak Natapraja.
Raden Mandaka berpaling menatap
Natapraja dalam-dalam. Sejak tadi dia seperti melupakan orang yang selama ini
dianggapnya jadi biang keladi kerusuhan di Kerajaan Salinga. Raden Mandaka
menepuk pundak pemuda itu, dan kemudian memberi hormat pada Prabu Jayengrana.
Tanpa berbicara lagi, putra mahkota itu bergegas melangkah meninggalkan ruangan
Balai Sema Agung, diiringi senyum dan pancaran sinar mata penuh kebanggaan dari
Prabu Jayengrana.
***
Sementara itu jauh di luar
perbatasan kotaraja sebelah utara, terlihat satu pertempuran dahsyat. Di satu
pihak adalah prajurit Kerajaan Salinga, sedangkan pihak lain adalah orang-orang
berpakaian serba hitam yang jumlahnya ratusan. Di antara pertarungan itu,
terlihat Panglima Pramoda tidak henti-hentinya membakar semangat para
prajuritnya.
Namun jumlah yang tidak berimbang
dan kurangnya kemampuan bertempur, membuat para prajurit Salinga jadi
kedodoran. Mereka kini hanya mampu bertahan sambil menunggu bantuan datang.
Jelas sekali kalau orang-orang berbaju hitam yang dipimpin langsung Pendeta
Seka Gora dan Trunggajaya menguasai medan pertempuran.
Jerit pekik kematian dan
teriakan-teriakan pertempuran berbaur menjadi satu. Sudah dapat dipastikan,
tidak lama lagi, prajurit Kerajaan Salinga akan dapat dihancurkan. Sudah tidak
terhitung lagi, berapa korban yang berjatuhan. Namun demikian semangat para
prajurit itu rupanya tidak juga mengendur.
Pada saat yang kritis itu,
tiba-tiba saja dari angkasa meluruk sebuah bayangan putih keperakan yang sangat
besar luar biasa! Bayangan itu langsung menukik menyambar orang-orang berbaju
hitam. Sebelum ada yang menyadari, mendadak saja berkelebat lagi sebuah
bayangan putih disusul kilatan cahaya biru berkilau. Jerit dan pekik melengking
terdengar dari orang-orang berbaju hitam.
“Jagat Dewa Batara! Apakah aku
tidak salah lihat?” Panglima Pramoda mendesis tidak percaya dengan apa yang
disaksikannya.
Panglima Pramoda memerintahkan
para prajuritnya untuk mundur. Tanpa menunggu perintah dua kali,
prajurit-prajurit Salinga yang tersisa berlompatan mundur. Mereka juga terpana
dengan mata terbeliak lebar melihat seekor burung rajawali putih raksasa
berkelebatan menyambar orang-orang berbaju hitam. Apalagi ditambah seorang
pemuda berbaju rompi putih yang mengamuk membantai para pemberontak itu menggunakan
pedangnya yang bersinar biru.
Sedangkan di tempat lain, tampak
Pendeta Seka Gora dan Patih Trunggajaya terbeliak keheranan menyaksikan semua
itu. Belum pernah mereka menyaksikan seekor burung raksasa yang bisa
dikendalikan seseorang, dan kini mengamuk memporak-porandakan anak buahnya.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah lebih dari separuhnya yang tewas
bergelimang darah.
“Mundur...!” seru Pendeta Seka
Gora begitu tersadar dari keterpanaannya.
Cepat sekali orang-orang berbaju
hitam itu berlompatan mundur. Dan kini pemuda berbaju rompi putih itu berdiri
tegak di tengah-tengah, antara para prajurit Salinga dengan Pendeta Seka Gora
bersama anak buahnya yang semuanya mengenakan pakaian serba hitam. Sedangkan di
angkasa, terlihat Rajawali Putih mengepak-ngepakkan sayapnya.
“Rajawali! Kau tunggu saja di
atas,” kata Rangga pelan.
“Khraghk...!”
Rajawali Putih membumbung tinggi
ke angkasa, hingga tidak tampak oleh pandangan mata biasa. Warnanya yang putih
keperakan tersamar oleh awan yang menggumpal menghalangi sengatan cahaya
matahari.
Trek!
Rangga memasukkan Pedang Rajawali
Sakti ke dalam warangkanya di punggung. Dia berdiri tegak menatap tajam Pendeta
Seka Gora yang didampingi Patih Trunggajaya. Tatapan matanya begitu tajam dan
memancarkan sinar kebencian yang amat sangat. Pendekar Rajawali Sakti pun
seorang raja di Karang Setra, dan begitu benci pada pemberontak. Sebagai raja,
pernah juga mengalami rongrongan pemberontak. Baginya tidak ada ampun bagi
pemberontak yang biasanya selalu menyengsarakan rakyat kecil dan tidak tahu
apa-apa.
“Kisanak, siapa kau? Kenapa ikut
campur urusanku?!” bentak Pendeta Seka Gora.
“Aku Rangga, sahabat Raden
Mandaka. Aku hanya tidak suka kau mencoba menggulingkan tahta!” dingin jawaban
Rangga.
“Ha ha ha...! Walaupun kau
seorang Dewa, semua penghalang harus mampus!” Pendeta Seka Gora tertawa
terbahak-bahak.
“Kita lihat, siapa yang lebih
dulu terbang ke neraka! Atau nanti malah sebaliknya. Kau bakal meringkuk di
dalam tahanan, menunggu keputusan Prabu Jayengrana!” dingin nada suara Rangga.
“Phuih! Omonganmu membuatku muak,
bocah!” geram Pendeta Seka Gora.
Baru saja Pendeta Seka Gora
hendak melompat menerjang, Patih Trunggajaya sudah keburu mencegah dengan
menahan pundaknya. Pendeta Seka Gora berpaling menatap Patih Trunggajaya.
“Biar aku yang bereskan bocah sombong
itu, Paman,” kata Patih Trunggajaya.
“Hm...,” Pendeta Seka Gora
menggumam tidak jelas, tapi bergerak mundur juga tiga langkah.
Patih Trunggajaya langsung
melompat sambil menghunus pedangnya. Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki
berusia sekitar tiga puluh tahun itu segera menyerang Pendekar Rajawali Sakti
menggunakan jurus-jurus pedang yang cepat dan dahsyat. Pedang berwarna
keperakan itu berkelebatan cepat memperdengarkan suara bersiulan memekakkan
telinga.
Sementara Rangga hanya menghadapi
menggunakan jurus-jurus pendek yang ringan. Sengaja digunakan jurus tanpa
membalas untuk mempelajari sampai di mana tingkat kepandaian Patih Trunggajaya
ini. Dan Rangga tersenyum tipis, lalu berteriak keras. Seketika tubuhnya
melenting ke udara.
“Hiyaaat...!”
Dengan mempergunakan jurus
‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’, Rangga menyerang dari atas, tertuju
langsung ke arah kepala lawannya. Kedua kakinya bergerak cepat bagai sepasang
cakar rajawali. Sedangkan tangannya terentang lebar membentuk gerakan melingkar
mengepak bagai sayap rajawali. Begitu cepatnya gerakan jurus ‘Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa’, sehingga Patih Trunggajaya tidak sempat lagi menyadari apa
yang akan terjadi.
“Awas...!” teriak Pendeta Seka
Gora memperingatkan.
Tapi terlambat...
Des! Des! Prak...!
“Aaa...!” Patih Trunggajaya
menjerit melengking.
Dua kali tendangan beruntun
mendarat di kepala Patih Trunggajaya, membuat laki-laki itu menjerit nyaring
memegangi kepalanya yang pecah! Dan sebelum Patih Trunggajaya ambruk, Rangga
sudah mendarat di tanah. Kembali dilontarkan satu tendangan keras menggeledek
dibarengi pengerahan tenaga dalam yang sangat sempurna.
“Hiaaat...!” Bugk!
“Aaa...!” untuk kedua kalinya,
Patih Trunggajaya menjerit melengking tinggi.
Tubuhnya terlontar jauh ke belakang,
dan tewas seketika sebelum ambruk ke tanah dengan kerasnya. Darah mengucur dari
kepala dan dada yang pecah dihajar tendangan maut Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara Rangga berdiri tegak bersikap menantang. Pandangan matanya tajam
menusuk langsung ke arah Pendeta Seka Gora.
“Aku beri kesempatan kau
menyerah, Pendeta Seka Gora,” kata Rangga dingin.
“Phuih!” Pendeta Seka Gora
menyemburkan ludahnya. Pendeta Seka Gora menggerakkan tangannya, memberi
isyarat orang-orangnya untuk bergerak menyerang. Tapi belum juga orang-orang
berpakaian ser-ba hitam itu bergerak, mendadak terdengar suara gegap gempita
dari kejauhan. Tampak debu mengepul membumbung tinggi di udara. Raut wajah
Pendeta Seka Gora tampak berubah. Demikian pula orang-orang berpakaian serba hitam
yang berada di belakangnya. Mereka kelihatan gelisah.
Tapi lain lagi bagi Panglima
Pramoda dan para prajuritnya yang tampak gembira mendengar suara gaduh gegap
gempita itu dari arah belakangnya. Dan yang pasti itu pasukan prajurit Kerajaan
Salinga yang datang hendak menggempur para pemberontak pimpinan Pendeta Seka
Gora.
Suara gemuruh dan gegap gempita
itu ternyata datang dari pasukan Raden Mandaka yang didampingi Natapraja.
Mereka langsung memenuhi tempat itu seraya menyiapkan senjata masing-masing.
Panglima Pramoda menghampiri Raden Mandaka, lalu membungkuk memberi hormat.
Ditatapnya Natapraja yang berada di samping putra mahkota itu.
“Raden...,” terputus suara
Panglima Pramoda.
“Dia bukan musuh, Paman Panglima.
Justru Natapraja inilah yang menyelamatkan Prabu Jayengrana dan seluruh rakyat
Salinga,” tegas Raden Mandaka bisa memahami perasaan Panglima Pramoda.
“Tapi, dia anak angkat Pendeta
Seka Gora, Raden.”
“Hanya untuk menyelidiki
kebenaran berita yang didengar Prabu Jayengrana. Dan itu memang tugas yang
diberikan Ayahanda Prabu. Penikamannya juga hanya sandiwara saja. Apakah kau
lupa bahwa Ayahanda Prabu memiliki aji ‘Karang Saketi’, sehingga pisau yang
ditikamkan tidak sampai menembus dada? Semua itu siasat saja untuk menghentikan
rencana pemberontakan Pendeta Seka Gora,” jelas Raden Mandaka.
“Hamba belum mengerti, Raden.”
“Akan kujelaskan nanti, yang
penting sekarang, kita harus menghancurkan mereka lebih dahulu. Dan kalau bisa,
menangkap hidup-hidup.”
“Hamba, Raden,” Panglima Pramoda
membungkuk memberi hormat.
Sementara itu Pendeta Seka Gora
sudah mengatur orang-orangnya untuk mengadakan pertempuran. Dan begitu Pendeta
Seka Gora memberi isyarat, anak buahnya yang semuanya berpakaian hitam,
langsung berteriak gegap gempita. Mereka berlarian sambil menghunus senjata.
“Serang...!” seru Raden Mandaka
memberi perintah.
Pertempuran tidak dapat dihindari
lagi. Pekik pertempuran dan jerit melengking kematian berbaur menjadi satu
dengan teriakan perintah pembangkit semangat. Denting senjata mewarnai
hiruk-pikuk di lapangan luas sebelah utara Kerajaan Salinga ini.
Tubuh-tubuh berlumuran darah
mulai menggelimpang. Meskipun jumlah pasukan prajurit yang setia kepada Prabu
Jayengrana lebih banyak dan berlipat ganda, namun rupanya orang-orang Pendeta
Seka Gora tidak bisa dianggap enteng. Mereka mempunyai kemampuan bertempur yang
lebih tinggi daripada para prajurit Kerajaan Salinga. Tidak heran, kalau dalam
waktu yang tak lama, sudah banyak prajurit yang berguguran memperdengarkan
jeritan melengking tinggi.
Sementara Rangga hanya
memperhatikan saja dari jarak yang tidak seberapa jauh. Perhatiannya terpusat
pada Pendeta Seka Gora yang tidak henti-hentinya mengamuk sambil
berteriak-teriak memberi semangat anak buahnya. Entah sudah berapa nyawa
melayang di tangan laki-laki gundul berjubah kuning itu. Dan tampaknya para
prajurit Kerajaan Salinga tidak mampu menandingi kesaktian Pendeta Seka Gora.
“Hm.... Kalau begini terus, bisa
habis mereka terbantai,” gumam Rangga.
Bagaikan seekor burung rajawali,
Rangga melompat ke arah Pendeta Seka Gora.
“Mundur semua...!” teriaknya
keras.
Satu pukulan keras bertenaga
dalam sangat sempurna dilepaskan Rangga ke arah dada Pendeta Seka Gora. Namun
laki-laki gundul berjubah kuning itu dapat mengelakkannya dengan manis sekali.
Bahkan mampu membalas lewat satu tendangan keras menggeledek.
“Hiyaaa...!”
Rangga tidak mengelakkan
tendangan itu, tapi malah mengayunkan tangan kanannya. Disampoknya kaki Pendeta
Seka Gora yang melayang deras berkekuatan tenaga dalam penuh.
Trak!
Terdengar bunyi berderak begitu
kaki dan tangan beradu keras. “Akh!” Pendeta Seka Gora memekik keras tertahan.
Laki-laki gundul berjubah kuning
gading itu bergegas melentingkan tubuhnya ke atas, namun Rangga tidak
membiarkannya begitu saja. Dengan kecepatan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu
melompat sambil melontarkan dua pukulan sekaligus.
Des! Bug!
Kembali Pendeta Seka Gora memekik
keras melengking tinggi. Tubuh tua itu melayang deras bagai daun kering tertiup
angin. Sebongkah batu cadas yang cukup besar, hancur berkeping-keping terlanda
tubuh kurus tua berjubah kuning gading itu. Namun Pendeta Seka Gora masih mampu
bangkit kembali, meskipun tubuhnya limbung. Tampak darah mengucur dari
mulutnya.
“Setan keparat! Hiyaaa...!”
Sambil menggeram marah, Pendeta
Seka Gora melompat menerjang Rangga yang sudah siap meneri-ma serangan itu. Tak
sedikit pun Rangga bergeming, tapi juga menyiapkan kepalan tangannya ke depan.
Dan secepat dia menarik tangannya ke belakang, secepat itu pula
menghentakkannya ke depan.
“Hiyaaa...!”
Satu benturan keras tidak dapat
dihindari lagi. Benturan yang menimbulkan suara ledakan dahsyat bagai guntur di
siang bolong. Akibatnya pertempuran yang berlangsung, terhenti seketika. Tampak
Pendeta Seka Gora melambung tinggi ke angkasa, sedangkan Pendekar Rajawali
Sakti masih tetap berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kokoh.
Pada saat laki-laki tua gundul
berjubah kuning gading itu melayang di angkasa, terlihat seekor burung rajawali
berbulu putih keperakan menukik deras menyambar dengan cakarnya yang besar dan
kokoh.
“Khraghk...!”
“Bawa dia turun, Rajawali Putih!”
seru Rangga.
“Khraghk!”
Rajawali Putih menukik deras,
lalu mendarat lunak di tanah, tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Dilemparkan tubuh Pendeta Seka Gora hingga bergulingan di tanah. Laki-laki tua
itu berhenti tepat di depan kaki Rangga.
“Ohhh...,” Pendeta Seka Gora
merintih lirih.
Darah mengucur deras dari mulut,
hidung dan telinganya. Sedangkan dada sebelah kiri, melesak masuk ke dalam.
Pendeta Seka Gora menggeliat berusaha bangkit, tapi malah meringis dan kembali
menggelimpang tidak berdaya. Seluruh tulang dada dan punggungnya remuk,
membuatnya tidak mampu bangkit berdiri lagi.
“Kau harus mempertanggungjawabkan
perbuatanmu, Pendeta Seka Gora,” kata Rangga dingin.
“Ugh...! Keparat kau, Rangga!
Tunggu pembalasanku!” umpat Pendeta Seka Gora seraya meringis menahan sakit.
Rangga hanya tersenyum saja, lalu
menoleh pada Raden Mandaka. Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu memerintahkan
pada Panglima Pramoda untuk meringkus Pendeta Seka Gora. Sementara para
prajurit sudah meringkus anak buah Pendeta Seka Gora yang langsung menyerah
begitu pemimpinnya takluk. Raden Mandaka menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
“Aku tidak tahu, apa yang harus
kuucapkan padamu, Kakang,” kata Raden Mandaka.
“Berjanji untuk menjadi pemimpin
yang baik, adil, dan bijaksana,” kata Rangga.
“Terima kasih, Kakang. Kau telah
membuka mata hatiku,” ucap Raden Mandaka.
Rangga menepuk pundak pemuda itu,
kemudian melompat naik ke punggung Rajawali Putih tanpa berbalik lagi. Dan
seketika itu juga, Rajawali Putih melesat tinggi ke angkasa. Raden Mandaka
masih berdiri memandang kepergian Rangga bersama tunggangannya, seekor burung
rajawali raksasa.
“Aku berjanji, tidak akan
mengecewakan harapanmu, Kakang Rangga...” gumam Raden Mandaka pelahan.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
Emoticon