Rudra Sangkala ini sungguh sombong dan takabur di
depan Adityawarman. Namun demikian Adityawarman tidak
marah, ia masih tetap dapat mengendalikan perasaan.
“Makara!” perintahnya. “Cobalah pemuda yang sombong
Sebelum Hesti Makara sempat menjawah. Rudra
Sangkala mendahuluinya, “Bagus! Marilah kita coba!”
Lalu dengan sikapnya yang congkak dan sombong,
pemuda ini sudah berdiri tegak sambil membusungkan
dada. Mulutnya tersenyum mengejek sedang sepasang
matanya menyala memandang Hesti Makara.
Dada Hesti Makara seperti meledak melihat sikap
pemuda ini. Namun demikian ia masih bersabar, ia mem-
bungkuk ke arah Adityawarman sambil memberikan
sembahnya. Lalu ia menyanggupkan diri melaksanakan
perintah itu. Dan setelah itu barulah ia menghadapi Rudra
Sangkala.
“Hai orang muda!” Bentaknya. “Katakanlah dengan apa
kita mengukur kekuatan?”
Rudra Sangkala menyeriugai penuh ejekan. Jawabnya,
“Engkau mau menggunakan senjata apa? Silakan! Aku
cukup dengan dua tangan dan dua kakiku ini!”
Berkata demikian Rudra Sangkala mengacungkan dua
tinjunya di atas kepala dengan sikap yang amat merendah-
kan dan menghina. Sikap ini tentu saja kemarahan Hesti
Makara semakin terbakar. Namun mengingat dirinya lebih
tua, ia menekan perasaan.
“Baik! Marilah kita coba dengan tangan kosong.
Majulah!” Hesti Makara mengalah dan tidak mau memulai
mengingat dirinya sudah tua.
Rudra Sangkala tidak sungkan-sungkan lagi. Ia
menerjang maju dengau jari tangan terbuka membentuk
cengkeraman. Gerakannya cepat dan aneh. Gerakannya
seperti kacau tidak karuan, menubruk dan mencakar.
Begitu menerjang, kedua langannya mencengkeram ke
arah kepala lawan. Melihat serangan lawan yang kacau ini,
Hesti Makara tersenyum dingin. Ia tidak bergerak dan
hanya tangan kiri menyambar cepat dengan maksud untuk
menangkap pergelangan tangan lawan.
“Aihhh.....!” Hesti Makara berseru kaget sambil
melompat ke samping dan menendang.
Kurang cepat sedikit saja dirinya tentu sudah celaka di
tangan pemuda ini dalam segebrakan saja.
Memang tidak pernah diduga lawan, gerakan Rudra
Sangkala tadi mengandung rahasia gerakan yang belum
pernah dikenal oleh Hesti Makara dan amat berbahaya,
tahu-tahu hidungnya mencuim bau yang wangi dan hampir
saja sepasang matanya tertusuk oleh jari lawan, karena
tiba-tiba kepalanya menjadi pening.
Itulah racun wangi yang dapat membuat lawan mabuk
dan pening. Dan apabila lawan kurang berhati-hati
menghadapi akan tertipu dan gampang sekali roboh. Rudra
Sangkala sekarang ini sadar berhadapan dengan bahaya.
Maka pemuda ini tidak mau membuang waktu lagi dan
ingin secepatnya merobohkan lawan.
Dari kaget Hesti Makara menjadi marah sekali. Ia
membentak keras lalu mengebutkan tangan kanan yang
menerbitkan angin dahsyat ke muka Rudra Siangkala,
disusul dengan pukulan tangan kiri ke arah dada kemudian
disusul pula dengan tendagnan kaki kanan ke pusar.
Akan tetapi serangan yang susul menyusul itu oleh
Rudra Sangkala dapat dipunahkan semua dengan ber-
lompatan cepat, dan secara diam-diam pemuda ini telah
menjetikkan racun wangi yang disimpan di bawah kuku
jarinya yang panjang.
Hesti Makara tidak berani sembrono. Setiap hidungnya
menghirup bau wangi, ia cepat-cepat menutup pernafasan
sambil mengebut dengan telapak tangan.
Justru serangan-serangan Rudra Sangkala yang
dicampur dengan serangan racun wangi ini menyebabkan
Hesti Makara menjadi sangal marah, dan dalam waktu
singkat mereka telah terlibat dalam perkelahian sengit.
Akan tetapi Adityawarman yang awas, melihat per-
kelahian itu menjadi curiga disamping heran. Hesti Makara
menang pengalaman dan lebih matang dalam gerakan
maupun tenaga saktinya. Namun mengapa gerakan Hesti
Makara sekarang ini tampak kaku, kurang tenaga dan
takut-takut?
Adityawarman mengamati setiap gerak serangan Rudra
Sangkala, penuh perhatian dan selidik. Ia ingin tahu
mengapa sebabnya Hesti Makara berkelahi tidak seperti
biasanya.
“Plak plak ..... bukk..... bukk....!” terdengar suara dua kali
pukulan disusul masing-masing terhuyung ke belakang.
Akan tetapi secepat kilat Rudra Sangkala sudah melesat
ke depan dan melancrkan se-rangannya lagi.
Adityawarman mengamati perkelahian itu sekian lama.
Namun pejabat tinggi Majapahit ini belum juga bisa
mengetahui sebabnya mengapa sekali ini Hesti Makara
tidak segarang biasanya?
Menurut penilaian Adityawarman, sekalipun Rudra
Sangkala termasuk pemuda peng-pengan (jagoan), tetapi
tingkatnya masih sedikit di bawah Hesti Makara. Jadi sulit
dipercaya apabila Hesti Makara harus mengalami kesulitan
berhadapan dengan bocah ini. Tentu ada rahasia yang
menyebabkan Hesti Makara kesulitan.
Agaknya Kebo Druwoso juga melihat keanehan ini,
katanya, “Gusti, perkenankanlah hamba menolong dan
mengeroyok bocah itu. Nampaknya Hesti Makara
menghadapi kesulitan.”
Jangan! cegah Adityawarman halus. Hal itu akan
menyebabhkan dia tersinggung dan merasa terhina. Sebab
tidak seharusnya Hesti Makara menghadapi kesulitan
seperti ini. Kalau sekarang sampai terjadi maka sebab
itulah yang harus kita cari. Untuk itu tidak ada orangnya
yang lebih tepat melakukannya, kecuali diriku sendiri.
“Plak plak plak.....!”
Adityawarman dan pengawalnya kaget, ketika melihat
Hesti Makara terhuyung mundur beberapa langkah ke
belakang dengan wajah pucat. Disusul kemudian Hesti
Makara muntah darah segar.
Akan tetapi agaknya Rudra Sangkala yang merasa di
atas angin dan dapat memukul lawan sampai muntah
darah ini, tidak mau memberi kesempatan kepada lawan
bernapas. Ia melesat ke depan sambil berteriak nyaring.
Maksudnya sekali pukul, lawan harus roboh dan mampus.
“Plakk.....!” Rudra Sangkala terhuyung mundur dan
wajahnya pucat, ketika tangannya ditangkis orang dan
lengannya menjadi kesemutan. Mulutnya meringis
menahan sakit, namun sesaat kemudian wajah pemuda ini
berubah merah padam dan sepasang matanya seperti
menyala, menatap kepada Adityawarman.
“Huh... huh! Kamu mau mengeroyok, bagus.” ujarnya.
“jangan maju satu demi satu, lebih banyak lebih baik.”
Bukau main sombongnya pemuda ini. Kebo Druwoso
penasaran dan membentak nyaring, “Kurangajar! Apakah
engkau menganggap dirimu sudah paling sakli di dunia ini
dan tanpa tanding lagi?”
Rudra Sangkala mengejek. “Heh heh heh heh, kau boleh
mencoba.”
Hesti Makara sudah lerluka dalam. Setelah mengatur
pernapasan beberapa saat, darahnya berhenti bergolak
dan sesak dadanya menghilang. Ternyata luka itu tidak
berat dan tidak membahayakan. Karena itu ia segera
bangkit lalu memperhatikan Adityawarman yang sekarang
berhadapan dengan Rudra Sangkala.
Dengan pandang mata yang masih sabar Adityawarman
berkata, “Anak muda, dengar kataku. Menyerahlah dan
jangan melawan, percayalah penguasa peradilan Majapahit
bukanlah terdiri atas para manusia tamak. Tetapi apapun
alasannya, main hakim sendiri tidak bisa dibenarkan.”
Namun manakah mungkin Rudra Sangkala mau
mendengar nasihat Adityawarman ini? Hati bocah ini
menjadi besar setelah dapat memukul Hesti Makara
sampai muntah darah. Ia merasa kuat. Karena itu tidak
ada yang perlu ditakuti lagi.
“Heh heh heh heh, tak usah banyak mulut. Sambutlah
pukulanku!”
Dengan gerakan cepat Rodra Sangkala sudah kembali
menerjang ke depan. Jari tangannya meneyntil tabung
racun wangi di bawah kuku jari. Kemudian jari tangan kiri
yang semula bergerak membentuk cengkeraman itu sudah
berubah menjadi tinju memukul ke arah dada disusul
cengkeraman tangan kanan yang mencengkeram leher.
Adityawarman hanya menggeser kaki sedikit ke kanan
sambil mendorongkan tangan kiri, sedangkan tangan
kanan secepat kilat menyambar pergelangan tangan
lawan. Rudra Sangkala melompat untuk menghindar dan
Adityawarman kaget ketika hidungnya menghirup bau
wangi disusul rasa pening dan pandangan menjadi kabur.
Ia cepat menahan napas dan berusaha mendorong
pengaruh racun itu dari dalam tubuhnya.
Pengalamannya ini menyadarkan dirinya, pengaruh bau
wangi ini berbahaya. Kemudian ia sadar pula, inilah
agaknya yang menjadi penyebab Hesti Makara tidak
mampu melawan pemuda ini.
Sadar akau keadaan, ia menjadi marah. Ketika Rudra
Sangkala menyerang lagi, ia tidak segan-segan lagi
melayani. Sebab ia sadar, pemuda ini amat herbahaya bagi
masyarakat disamping pelanggar hukum dan ketertiban.
Maka merupakan kewajibannya untuk melenyapkan
manusia jahat ini dari muka bumi.
“Plakk..... Aihh...!” Rudra Sangkala berteriak kaget dan
cepat melompat mundur sambil berjungkir balik. Wajah
pemuda ini merah padam seteah berdiri kembali dan
memandang Adityawarman dengan mata mendelik.
Rudra Sangkala baru menyadari sekarang, laki-laki
tampan yang gerak-geriknya halus ini malah sangat
berbahaya. Pukulannya tadi begitu bertemu dengan
tangkisan lawan, terasa telapak tangan lawan lunak seperti
kapas dan tenaganya menjadi tenggelam. Kalau saja
dirinya tadi tidak lekas menarik kembali tangannya lalu
melompat dan berjungkir balik ke belakang, dirinya tentu
celaka.
Akan tetapi justru pengalaman ini menyebabkan Rudra
Sangkala meledak kemarahannya. Ia takkan mungkin bisa
mengalahkan lawan sakti ini, tanpa menggunakan
pedangnya. Dan kalau perlu iapun harus melepaskan
senjata rahasia pisau terbang yang kecil.
Sing.... Sinar kekuning-kuningan terpancar dari pedang
pusaka Rudra Sangkala, setelah mencabut pedang.
“Aihh.....!” tak tercegah lagi Adityawarman maupun para
pengawal itu berseru kaget,
Pedang Wesi Kuning.... seru Adityawarman.
Rudra Sangkala terkekeh, ejeknya. “Mengapa sebabnya
engkau kaget? Heh heh heh heh, pedangku ini memang
pedang pusaka dengan nama Wesi Kuning. Pedang yang
ampuh tanpa lawan. Huh, karena kau terlalu mendesak
aku, hemm, jangan sesalkan aku jika pedangku ini minun
darahmu!”
Sepasang mata Adityawarman menyala. Bukan saja oleh
ucapan Rudra Sangkala yang amat takabur dan menghina,
tetapi juga melihat pedang itu sendiri. Sebagai bangsawan
Majapahit tentu saja ia amat kenal dengan pedang pusaka
Wesi Kuning ini. Pedang pusaka milik Kerajaan Majapahit,
tetapi mengapa tiba-tiba sudah di tangan bocah liar ini?
“Hemm orang muda! Dari manakah engkau memperoleh
pedang ini? hardik Adityawarman dengan mata tidak
berkedip. Bukan saja engkau telah berdosa membunuh
pejabat negara, engkaupun ternyata pencuri pusaka
keraton.”
“Keparat!” bentak Rudra Sangkala dengan mata
menyala. “Siapakah yang mencuri? Pedang ini pemberian
Guruku. Mengapa sebabnya engkau sudah menuduh orang
sembarangan?”
“Siapakah gurumu?”
Tidak perlu aku sembunyikan. Guruku bernama Murti
Sari!”
“Ahhhh…….!” Adityawarman berseru tertahan
Bukan hanya Adityawarman, tetapi juga pengawal yang
lain, kecuali Hesti Makara yang tadi sudah tahu.
Akan tetapi walaupun sama-sama kaget, rasa kaget
berlainan. Kalau para pengawal itu kaget karena Murti Sari
terkenal sebagai wanita peng-pengan, wanita gagah
perkasa, sebaliknya Adityawarman karena soal lain.
Memang sudah bukan rahasia lagi bagi para bangsawan
Majapahit tentang nama tokoh terkenal yang mengaku
bemama Murti Sari ini. Tetapi bagi umum rahasia itu
ditutup rapat sekali agar tidak sampai menodai nama
Kerajaan Majapahit.
Murti Sari adalah nama baru sesudah Sirna Dewi diusir
dari keraton. Sebabnya diusir, akibat tindak perbuatannya
yang menodai nama baik para bangsawan yang lain.
Kecantikan wajah dan bentuk tubuh Murti Sari memang
tidak tercela, karena memang cantik jelita dan menawan.
Sebagai seorang puteri, ia telah dikawinkan seorang
bangsawan Majapahit bemama Narmada tetapi ternyata
Sirna Dewi seorang isteri yang tidak setia. Dia suka berbuat
serong dengan laki-laki lain. Saking malu menyaksikan
tingkah laku wanita itu, Narmada yang amat mencintai
Sirna Dewi. memilih bunuh diri.
Raja Jayanegara amat marah mendengar peristiwa itu.
Kemudian ia memerintahkan agar Sirna Dewi yang
mencemarkan nama baik keraton itu dihukum mati. Tetapi
sebaliknya Mahapatih atau Dyah Malayuda yang besar
pengaruhnya dan dekat sekali hubungannya dengan raja
memintakan ampun, dan hukuman mati itu supaya diubah
dengan pengusiran. Atas permintaan Mahapati ini
kemudian Raja Jayanegara setuju. Lalu diusirlah Sirna Dewi
dan tidak diakui lagi sebagai kerabat keraton.
Sesudah terjadinya peristiwa ini, muncullah nama tokoh
Murti Sari, tetapi kejam dan ganas tidak sesuai dengan
wajahnya yang cantik jelita.
Sekarang pemuda yang mengaku sebagai muridnya ini,
menguasai pedang pusaka keraton yang bernama Wesi
Kuning. Ia menduga, tentu Murti Sari yang sudah mencuri
pusaka itu di kamar pusaka.
Dan yang menyebabkan Adityawarman heran, mengapa
hilangnya pusaka ini dari kamar pusaka, tidak seorangpun
tahu? Dan kapan Murti Sari mencuri?
“Anak muda!” Bentaknya penuh wibawa. “Kembalikan
pedang itu kepada kami. Sebab pedang itu adalah milik
Kerajaan Majapahit.”
“Heh... heh... heh... heh. Rudra Sangkala mengejek.
“Enak saja engkau membuka mulut. Pendeknya pedang ini
milikku, pedang pemberian Guruku.”
“Anak muda! Jika kau keras kepala, aku terpaksa
menggunakan kekerasan!”
Tiba-tiba terdengar suara lengking amat nyaring dari
kejauhan, disusul suara yang kecil tetapi merdu.
“Adityawarman! Engkau berani mengganggu muridku?”
Adityawarman kaget, demikian pula pengawal. Orang
yang dapat berteriak dari tempat jauh dan jelas, mem-
buktikan sampai di manakah ketinggian ilmu yang
bersangkutan, tidak lama kemudian tampak bayangan
ramping bergerak seperti terbang.
“Ibu!” seru Rudra Sangkala sambil menjatuhkan diri dan
berlutut memberi hormat kepada gurunya.
Murti Sari tersenyum manis sekali. Dan sekalipun
umurnya sudah tidak muda lagi, namun wajahnya masih
amat cantik sedang tubuhnya masih padat berisi,
terpelihara.
Selintas orang akan menduga umur Murti Sari baru
tigapuluhan kurang. Malah Adityawarman sendiri juga
merasa heran, mengapa perempuan ini bisa awet muda?
“Bangkitlah Anakku!” Katanya merdu ditujukan kepada
Rudra Sangkala.
Perempuan cantik ini lalu menghadapi Adityawarman
sambil bertolak pinggang. Sepasang matanya mendelik,
namun tetap saja sepasang mata itu indah dan menyedap-
kan dipandang. Katanya diiringi ketawanya yang merdu.
“Hi... hi... hik. Adityawarman! Hati-hati sedikit engkau
bicara. Siapakah yang sudah mencuri pedang pusaka Wesi
Kuning?”
“Hemm, pedang pusaka Wesi Kuning itu benda pusaka
milik kerajaan!” sahut Adityawarman dengan sikap tenang,
“kalau sekarang di tangan bocah ini, mana mungkin tanpa
mencuri?”
“Huh, engkau kurangajar sekali Adityawarman. Lupakah
engkau, siapakah aku ini? Engkau jangan menjadi
sombong setelah mempunyai jabatan tinggi, huh! Aku tidak
mencuri, tetapi aku mengambil pedang itu dari kamar
pusaka.”
“Mengambil tanpa seijin pemiliknya, bukankah itu
berarti mencuri?”
“Adityawarman!” bentak Murti Sari, “engkau keparat!
Apakah karena engkau sekarang berkedudukan tinggi,
dihormati orang lalu setamak ini? Kalau aku rela
kehilangan semua hak sebagai bangsawan Majapahit dan
hanya mengambil sebatang pedang saja, engkau masih
sampai hati menyebut diriku sebagai pencuri? Huh, Huh,
engkau jangan sembarangan membuka mulut!”
Mendengar ucapan Murti Sari yang kasar dan menghina
tuannya ini, tiga orang pengawal itu menjadi amat
penasaran. Apakah sebabnya tuannya itu masih bisa ber-
sikap sesabar itu?
Akan tetapi sekalipun marah dan penasaran mereka
tidak berani sembarangan membuka mulut maupun
menyerang Murti Sari. Sebab mereka menyadari, Murti Sari
sakti mandraguna.
Meskipun demikian kedudukan mereka hanya sebagai
pengawal, mereka tidak takut untuk mengorbankan nyawa
dalam membela tuan mereka. Karena alasan itu diam-diam
mereka sudah bersiap diri untuk membela keselamatan
Adityawarman.
“Murti Sari!” kata Adityawarman. “Mengapa sebabnya
engkau menyesal kehilangan hak itu?”
“Keparat! Siapakah yang menyesal? Aku hanya ingin
mengatakan, apakah salahnya aku mengambil pedang itu
untuk kepentingan muridku?”
“Murti Sari, apa yang engkau lakukan itu memang salah.
Benda itu adalah milik kerajaan. Maka siapapun tidak
boleh sembarangan mengambil tanpa ijin Raja. Dan tahu-
kah engkau akan akibat dari kelancanganmu ini? Dengan
pedang ini muridmu mengganas dan berani membunuh
tumenggung Gora Swara.”
“Hi... hi... hik, engkau membela tumenggung keparat itu?
Semestinya engkaulah yang berkewajiban menghajar dia.
Tetapi apakah sebabnya ada orang yang bersedia mewakili
engkau dan tidak minta imbalan jasa, engkau malah tidak
mengucapkan terima kasih? Apakah jadinya negara
Majapahit ini kalau terdapat sepuluh orang saja yang mem-
punyai pangkat tumenggung dan perbuatannya sewenang-
wenang seperti Gora Swara itu? Dia telah menyebabkan
muridku ini yatim piatu. Dialah yang menghancurkan
keluarganya. Apa salahnya dengan kemampuannya sendiri
membalas sakit hati dan menghukum bawahanmu yang
jahat itu?”
“Murti Sari!” bentak Aidtyawarman menggeledek.
Agaknya ia telah hilang kesabarannya. “Negara ini mem-
punyai hukum dan masyarakat dilindungi oleh hukum. Tiap
manusia tidak boleh berbuat semau sendiri dan main
hakim sendiri. Hemm, apakah tuduhanmu bahwa Gora
Swara jahat dan sewenang-wenang itu tidak membuka
kedokmu sendiri, bahwa engkau sendirilah yang sewenang-
wenang? Kalau benar Gora Swara bersalah, yang berhak
menentukan salah dan tidaknya bukanlah engkau, bukan
muridmu dan bukan aku pula. Salah dan benar itu baru
terbukti apabila sudah diadili oleh pengadilan negara. Nah,
mestinya laporkan tindak perbuatan dengan bukti-bukti
dan saksi-saksi kepada hakim. Kemudian pengadilanlah
yang akan memeriksa dan mengadili. Hemm, bukan
dengan caramu sendiri yang main hakim sendiri.”
Adityawarman berhenti sejenak. “Lalu, Murti Sari!
Sekarang begini. Demi aku dan demi engkau, kembalikan
pedang pusaka Wesi Kuning itu dan serahkan pula
muridmu kepadaku.”
Murti Sari terkekeh mengejek. “Heh... heh... heh... heh,
enak saja engkau membuka mulut. Serahkan pedang dan
serahkan murid, siapa bilang muridku bersalah? Huh...
huh, taukah engkau siapa yang berani mengganggu murid-
ku berarti pula menantang diriku Adityawarman! Katakan-
lah terus terang, engkau berani melawan aku?”
“Hemm, aku seorang petugas negara, tidak pandang
bulu! Siapa yang bersalah harus mendapat hukuman yang
setimpal. Dan sebagai seorang hamba kerajaan, nyawa aku
pertaruhkan demi pengabdianku kepada kerajaan. Akan
tetapi sekalipun demikian sungguh menyesal sekali,
mengapa peristiwa semacam ini harus terjadi? Mengapa
engkau tersesat sejauh ini”? Adityawarman menghela
napas di tengah rasa penasaran. Karena sesungguhnya
saja ia tidak tega harus menggunakan kekerasan terhadap
Murti Sari.
Murti Sari tertawa dingin, jawabnya. “Kau bilang sebagai
petugas negara dan tidak pandang hulu? Bagus! Dan kau
bilang aku sesat? Bagus! Marilah kita buktikan siapa di
antara aku dan engkau, siapa yang lebih kuat? Tetapi huh,
jangan sesalkan aku jika terpaksa aku akan membunuh
engkau!”
Murti Sari memalingkan muka kepada Rudra Sangkala
yang berdiri di belakangnya, lalu berkata, “Sangkala!
Pinjamkan pedang itu padaku. Pedang Wesi Kuning setiap
sudah dihunus tak boleh disarungkan lagi, sebelum minum
darah manusia.”
Rudra Sangkala segera maju dan memberikan pedang
pusaka Wesi Kuning yang terhunus itu. Oleh sinar matahari
yang menimpa batang pedang itu, berkilauan cahaya
kuning. Setelah memegang pedang pusaka Wesi Kuning
itu, katanya. “Adityawarman. Cabutlah senjatamu!”
Dengan agak malas, Adityawarman mencabut pedang-
nya pula. Sungguh mati dalam hati Adityawarman tidak
senang harus menghadapi Murti Sari dengan kekerasan
ini.
“Sring....” ketika pedang dicabut, berkilauan sinar itu
dari batang pedang. Kemudian pedang tersebut dilintang-
kan di depan dada.
Dua batang pedang yang sama-sama menyinarkan
cahaya. Yang satu berkilauan dan sinarnya kuning, sedang
sebatang lagi bersinar kebiruan. Ini merupakan bukti
bahwa dua-duanya merupakan pedang pusaka. Memang
pedang yang digunakan Adityawarman ini pedang Tunggul
Naga.
“Murti Sari!” kata Adityawarman. “Demi tugas, terpaksa
aku meuyambut tantanganmu. Dan demi kewibawaan
negara Majapahit pula aku harus bertindak keras kepada-
mu.”
“Tak usah banyak mulut. Sambutlah!” lengking Murti
Sari.
Seleret sinar kuning menyambar ke depan. Pedang Wesi
Kuning itu hanya sebatang saja. Tetapi di tangan Murti Sari
ketika pedang bergerak lalu berubah menjadi beberapa
batang, menyamhar ke arah mata, leher, pundak dan
uluhati.
“Trang…trang….trang…!” Benturan dua pedang me-
nimbulkan suara berdencing beberapa kali. Kemudian dua
leret sinar biru dan kuning itu saling libat seperti kilat
cepatnya. Pemandangan itu indah sekali bagai pelangi.
Namun di balik pandangan yang menarik itu tersembunyi-
lah ancaman maut yang mengerikan.
Dalam waktu singkat, mereka sudah berkelahi dengan
sengit. Tubuh mereka lenyap terbungkus oleh sinar pedang
yang tidak pernah putus. Kadang melebar, kemudian
menyempit lagi. Sesaat lagi terpisah menjadi dua gulung
sinar yang menyilaukan.
Perkelahian yang terjadi antara dua orang sakti ini men-
debarkan dan menegangkan. Lebih-lebih mereka sama-
sama memegang pedang pusaka. Suara berdencing selalu
terdengar dan di tengah suara dencingan senjata ini, ter-
dengarlah Murti Sari berteriak kepada muridnya.
“Sangkala! Pergilah engkau. Biarlah cacing-cacing busuk
ini, aku sendiri yang menyelesaikan.”
“Ibu! Manakah mungkin murid dapat meninggalkan
Guru dalam keadaan seperti ini? Pendeknya murid baru
mau pergi jika bersama Ibu.”
“Kurangajar kau, Sangkala! Engkau berani membantah
perintah Ibumu? Hayo lekaslah pergi. Ibumu akan segera
menyusul engkau.”
Rudra Sangkala tidak berani membantah lagi, tetapi
baru saja akan melangkah. Kebo Druwoso sudah mem-
bentak nyaring, “Berhenti!”
Laki-laki tinggi besar itu sudah melompat dan meng-
hadang. Namun menyusul terdengar seruan kaget dari
mulut Kebo Druwoso sambil sibuk melompat dan
mengebutkan dua tangannya, sehingga Rudra Sangkala
dapat pergi tanpa gangguan lagi.
“Apa yang sudah terjadi?” Begitu Kebo Druwoso mem-
bentak dan menghadang. Rudra Sangkala telah menyerang
dengan senjata rahasia pisau kecil. Dalam menyambitkan
pisau terbang ini, Rudra Sangkala tidak tanggung-
tanggung. Pisau dua kali tujuh telah menyambar ke arah
Kebo Druwoso dalam jerak cukup dekat. Dalam kagetnya
ia memang masih dapat menghindari sambaran pisau
terbang kelompok pertama. Tetapi sambaran pisau yang
kedua, sungguh di luar dugaan Kebo Druwoso. Di antara
tujuh pisau belati yang menyambar itu, masih sempat
mampir pada pahanya.
Pisau kecil itu menancap dan mengeluarkan darah.
Untung sekali pisau itu tidak beracun. Pisau tersebut cepat
dicabut lalu tempat luka itu dibubuhi obat luka, tetapi
justru kesempatan ini menyebabkan Rudra Sangkala dapat
pergi tanpa gangguan lagi. Sebab baik Hesti Makara
maupun Wukir Boja yang tak menduga peristiwa itu, tidak
sempat membantu dan menghadang
Akan tetapi kalau Kebo Druwoso menderita rugi oleh
serangan Rudra Sangkala, sebaliknya Murti Sari harus
menderita rugi pula, karena tadi melawan sambil berbicara
dengan muridnya. Oleh gerakan yang sedikit lambat saja,
tangkisan pedangnya melesat dan menyebabkan baju
pada bagian pundaknya robek.
Masih untung sekali Murti Sari sempat merendahkan
pundaknya, sehingga ujung pedang pusaka Tunggul Naga
itu tidak melukai kulit dan dagingnya, tetapi sekalipun
hanya robek bajunya, peristiwa ini menyebabkan Murti Sari
amat marah. Mendadak perempuan sakti ini melengking
nyaring, menerjang Adityawarman dengan pedang pusaka
Wesi Kuning, sedangkan lengan kirinya sudah memegang
saputangan kecil warna hijau. Sambil menyerang itu Murti
Sari mengebutkan saputangan ke arah muka Aditya-
warman.
Adityawarman kaget sekali oleh kebutan sapu tangan
kecil ini dan sadar bahwa saputangan ini tentu
mengandung racun berbahaya. Maka cepat-cepat ia
menutup pernapasan.
Saputangan kecil warna hijau ini memang amat
berbahaya. Di saputangan inilah tersimpan racun wangi
yang dapat menyebabkan orang pening, mabuk tak sadar-
kan diri. Dan berkat keampuhan racun wangi inilah yang
membantu menanjaknya nama Murti Sari, sehingga di-
takuti oleh banyak orang.
Berkat pengalamannya menghadapi Rudra Sangkala
tadi dan menutup pernapasan, ia selamat dari serangan
racun. Namun demikian manakah mungkin dirinya dapat
bertahan terus tanpa menghirup napas? Hal ini menyebab-
kan Adityawarman harus membagi perhatian. Sebab
disamping menggunakan pedangnya untuk melindungi diri
dan membalas serangan, ia juga harus menggunakan
tangan kiri untuk mengebut guna mengusir hawa beracun
yang selalu disebarkan oleh Murti Sari.
Dan celakanya pula Murti Sari adalah perempuan yang
cerdik. Makin kuat Adityawarman mengusir racun yang
ditebarkan makin banyak pula kebutan yang dilakukan.
Melihat repotnya Adityawarman melawan Murti Sari ini.
Kebo Druwoso, Hesti Makara dan Wukir Boja menjadi
khawatir sekali dan tegang. Akan tetapi untuk menerjang
maju dan membantu, mereka juga tidak berani. Mereka
sudah kenal watak Adityawarman. Seorang ksatrya sejati
yaug benci setengah mati kepada apapun yang berbau
curang. Maka kalau mereka maju membantu, hal ini bisa
menyebabkan Adityawarman tidak senang. Sebab per-
buatan itu akan menurunkan martabat dan harga dirinya.
Itulah sebabnya walaupun mereka kawatir, mereka tidak
berani berbuat apa-apa dan mereka bagai semut di atas
api.
Dari sedikit tetapi pasti, pengaruh racun wangi yang
sempat terhirup oleh pernapasan Adityawarman
mempengaruhi perlawanannya. Karena pengaruh racun
tersebut menyebabkan kepala pening, dada sesak dan
pandang mala kabur.
Sekalipun demikian masih untung Murti Sari belum
melupakan hubungan keluarga dengan Adityawarman.
Pendeknya Murti Sari sudah merasa puas apabila bisa
menang melawan tokoh Majapahit yang namanya amat
terkenal itu. Dengan demikian nama besarnya akan
menjadi semakin menanjak dan akan ditakuti semua
orang.
“Tring trang trang cring trang.... Aihh....”
Setelah terjadi benturan pedang berturut-turut yang
nyaring, terdengar seruan tertahan Adityawarman, lalu
tubuhnya terhuyung ke belakang. Dari pundaknya sudah
robek berikut sedikit kulit dan dagingnya. Sekalipun
demikian luka itu tidak berat.
“Hi... hi... hik, Adityawarman! Engkau bersedia mengakui
diriku yang menang atau tidak?” Murti Sari ketawa genit
sambil mengejek.
“Hemm,” Adityawarman menghela napas panjang.
“Terus terang aku mengaku kalah dan pergilah. Aku takkan
mengganggu lagi.”
“Hi... hi... hik,” Murti Sari ketawa merdu, lalu melangkah
meninggalkan Adityawarman yang penasaran dan para
pingawalnya.
Tiba-tiba Wukir Boja berteriak. “Berhenti!”
Murti Sari berhenti juga dan mengangkat alisnya yang
lentik. Sepasang matanya yang indah itu menyala menatap
tajam kepada Wukir Boja.
Akan tetapi sebelum Murti Sari sempat membuka mulut
Adityawarman sudah mendahului membentak. “Wukir Boja
Apakah maksudmu? Aku sudah kalah dan biarkan dia
pergi.”
Wukir Boja menundukkan kepala masygul, tetapi tidak
berani membantah.
Murti Sari terkekeh, katanya, “Adityawarman. Jika tidak
memandang mukamu, pengawal yang lancang mulut itu
tentu sudah aku remuk kepalanya. Sudahlah, selamat
tinggal.”
Sekali melompat tubuh Murti Sari yang ramping dan
masih berisi itu, sudah bergerak cepat sekali meninggalkan
empat orang itu yang memandang dengan hati penasaran.
Diam-diam tiga orang pengawal ini mencela tuannya,
mengapa mengalah kepada perempuan itu. Padahal kalau
Murti Sari tidak menggunakan saputangan beracun ter-
sebut, manakah mungkin menang melawan Aditya-
warman?
Di antara tiga pengawal itu yang berani mengemukakan
perasaan hanyalah Hesti Makara. Katanya, “Gusti, dia jelas
bersalah melindungi muridnya yang berdosa. Akan tetapi
mengapa sebabnya Gusti membiarkan dia pergi?”
Adityawarman menghela napas panjang. Sesaat
kemudian ia berkata penuh wibawa. “Dengarlah kamu
semua. Apapun alasannya aku sudah dikalahkan dalam
perkelahian tadi. Aku menderita di pundak. Benar atau
salah seorang yang menderita kalah harus mau mengakui
secara jujur. Dan sudah tentu pula sebagai orang yang
kalah, aku tidak berhak menahan dia lebih lama lagi, dan
tidak boleh pula mengganggu.”
Tiga orang ini diam-diam mendengar jawaban Aditya-
warman memuji keagungan wataknya. Memuji sikap
ksatrya yang penuh tanggungjawab. Namun mereka masih
tidak percaya Adityawarman kalah benar-benar ber-
hadapan dengan Murti Sari. Dalam hal ilmu kesaktian jelas
Adityawarman unggul. Dan sebabnya sampai menderita
luka karena pengaruh racun wangi yang disebarkan Murti
Sari lewat saputangan.
Maka setelah berdiam diri beberapa saat lamanya,
berkatalah Kebo Druwoso. “Tetapi Gusti, kalau dikatakan
menang, kemenangan Murti Sari tidak wajar. Dia curang
menggunakan racun.”
“Engkau benar! sahut Adityawarman. Tetapi siapakah
yang dapat melarang Murti Sari menggunakan akal
ataupun racun? Dia toh butuh menang, maka tidak salah
apabila dia menyebarkan racun wangi yaug membuat
orang pening dan dada sesak. Hemm, sudahlah.
Pendeknya aku sudah kalah melawan Murti Sari dan
Marilah kita pulang.”
Tiga orang pengawal itu tidak berani membuka mulut
lagi. Mereka kemudian mengikuti langkah tuannya.
Beberapa orang yang sempat menyaksikan apa yang
terjadi, dan sempat pula mendengar pembicaraan itu tidak
ada yang berani mengganggu, tetapi bagaimanapun dalam
hati orang-orang ini memuji watak Adityawarman.
Memang demikianlah watak Adityawarman. Watak
seorang ksatrya sejati yang dijauhkan oleh rasa benci dan
dendam. Segala langkah dan perbuatannya, terkenal selalu
bijaksana dan adil. Maka terhadap peristiwa ini terus
terang diakui kekalahannya, tanpa mau bicara lagi tentang
sebab musababnya menderita kekalahan.
* * *
3
ebagai seorang gadis remaja yang belum pernah
pergi kemanapun, perjalanan Dewi Sritanjung
sekarang ini menimbulkan kecanggungan juga
disamping merasa ragu untuk berbuat. Namun sesuai
dengan pesan Kiageng Tunjung Biru agar tidak menunjuk-
kan rasa asingnya di tengah masyarakat maka dalam me-
langkahkan kaki ini gerakkannya mantap.
Disamping itu agar tidak menarik perhatian orang ia
melangkah seperti yang lain apabila di tempat ramai. Baru
setelah di tempat sepi, ia menggunakan kepandaiannya
lari dan bergerak cepat.
Akan tetapi walaupun Dewi Sritanjung sudah berusaha
agar tidak tampak asing, orang yang melihat kemudaan-
nya, kecantikannya dan tubuhnya yang padat berisi itu,
bagaimanapun menarik pula perhatian orang. Baik bagi
orang yang hanya sekadar kagum akan kecatnikan wajah-
nya, maupun laki-laki mata keranjang yang selalu memburu
wanita, karena menimbulkan perasaan dag dig dug.
Disamping menarik juga menimbulkan perasaan heran.
Sebab, sebagai seorang gadis dan cantik pula, mengapa
berani melakukan perjalanan seorang diri? Namun
disamping orang merasa heran, juga tidak sembarangan
orang berani mengganggu, karena setiap orang bisa
menduga, orang yang berani melakukan perjalanan se-
orang diri dan wanita pula, tentu sakti mandraguna. Maka
bagi para laki-laki biasa, hanya dapat mengagumi dan tidak
berani mengganggu.
Pada hari ini matahari menyinarkan cahaya gemilang
sehingga terasa terik. Maka peluh membasahi sekujur
tubuh Dewi Sritanjung, dan gadis ini merasa kegerahan.
Bagi gadis yang lain, jika merasa haus takkan kesulitan,
mampir ke dalam warung lalu membeli tetapi bagi Dewi
Sritanjung yang belum pernah mengenal nilai uang dan
S
belum pernah pula membeli sesuatu, merasa repot juga
berhadapan dengan rasa haus ini.
Benar kakeknya sudah membekali uang dan petunjuk
seperlunya, bagaimanakah cara orang mau membeli dan
membayar kalau jajan di warung. Namun demikian gadis
ini masih timbul rasa ragu dan bimbang untuk membeli.
Sebaliknya kalau harus masuk ke pekarangan orang untuk
minta air, juga timbul rasa malu disamping takut.
Sebenarnya saja seorang gadis berwajah cantik seperti
Dewi Sritanjung ini, berbahaya juga berpergian seorang diri,
sekalipun sudah membekali ilmu kesaktiannya yang cukup
tinggi. Soalnya ia belum pernah bergaul dalam masyarakat,
dan belum pernah pula mengenal tipu muslihat orang.
Sudah tentu gadis belum berpengalaman seperti ini akan
menjadi mangsa empuk bagi orang jahat.
Masalah ini memang suduh terpikir pula oleh Kiageng
Tunjung Biru, hingga pada mulanya timbul pula perasaan
tidak tega. Namun kemudian Kiageng Tunjung Biru
memaksa diri untuk melepas muridnya ini. Sebab menurut
pendapatnya, dengan kesulitan dan bahaya yang dihadapi
akan memberi pengalaman berharga bagi bocah itu
sendiri, hingga cepat dapat berpikir secara dewasa dan
kemudian tahu bahwa setiap orang yang hidup di dunia ini
harus tahu cara bergaul dengan orang lain.
Ketika Dewi Sritanjung menginjakkan kakinya di
Nganjuk, matahari tepat memancarkan sinar peraknya di
tengah jagad. Sinar matahari itu terasa panas sekali hingga
gadis ini merasa tidak sanggup lagi menahan rasa haus.
Untung kemudian tidak jauh di depan ada sebuah
warung yang tidak jauh dari pasar. Sekali pun diselimuti
rasa ragu dan bimbang, namun kakinya dipaksa pula
supaya melangkah tanpa ragu.
Warung itu agak besar dan beberapa meja maupun
bangku panjang memenuhi ruangan. Beberapa
perempuan, menikmati pesanan sambil bicara dan
bercanda.
Dewi Sritanjung berketetapan hati, masuk warung tanpa
ragu dan tidak pedulian lagi. Ia segera duduk di salah satu
bangku dan mejanya masih kosong. Pendeknya, orang
masuk warung dapat membayar, siapa dapat melarang?
Akan tetapi ketika ia merasa menjadi perhatian orang,
hatinya terasa berdebaran juga. Maka setelah duduk
dengan sepasang matanya yang indah, tanpa rikuh lagi ia
sudah membalas setiap pandangan orang, baik laki-laki
maupun perempuan. Sebab menurut pikiran gadis ini,
apakah salahnya kalau dirinya membalass memandang
orang-orang itu, justru mereka juga memandang dirinya?
Tidak disadari sama sekali oleh gadis ini, bahwa dalam
pergaulan masyarakat pandangan perempuan yang mem-
balas pandangan laki-laki bisa menimbulkan salah duga.
Laki-laki bisa mengir perempuan itu adalah suka me-
nanggapi ajakan laki-laki atau suka diajak kencan.
Seorang pelayan laki-laki menghampiri dan dengan
sikap hormat bertanya, “pesan apa?”
Sesungguhnya bagi Dewi Sritanjung yang biasa hidup di
dalam hutan, lebih suka minum air serai seperti
kebiasaannya sehari-hari. Sedang dalam soal makan cukup
singkong, ketela, gembili, kimpul atau jagung. Malah kalau
perlu sudah cukup kenyang hanya makan daging bakar.
Namun sesuai dengan pesan kakeknya agar tidak
menimbulkan kesan keasingannya, maka gadis ini
berlagak juga. Malah kemudian timbul pula seleranya
untuk mencicipi makanan lain yang selama ini belum
pernah dinikmati. Bukankah hal ini penting bagi dirinya dan
penting pula dalam usaha menyesuaikan dirinya dalam
pergaulan masyarakat yang baru saja ia kenal?
“Terangkan yang jelas, apa saja makanan yang paling
terkenal di warung ini,” ujarnya tanpa ragu.
Dalam mengucapkan kata-kata ini ia cukup keras, dan
ucapan itu memancing perhatian orang disamping ketawa
pula. Mendengar orang tertawa dan beberapa pasang mata
memandang dirinya, ia mengerutkan alis. Akan tetapi
karena tidak lahu arti dari ketawa orang itu, ia hanya
merasa heran dan aneh. Ia tidak marah dan mengalihkan
perhatian kepada pelayan yang masih berdiri di dekatnya.
Dipandang sedemikian rupa oleh seorang gadis yang
cantik jelita, sudah tentu si pelayan menjadi gelagapan
disamping terpesona. Sebagai akibatnya pula mulut si
pelayan ini seperti terkunci dan sulit mengucapkan kata-
kata.
Pada meja yang berhadapan letaknya dengan meja Dewi
Sritanjung, duduk dua orang pemuda. Kalau pada mulanya
pemuda ini duduk berhadapan sekarang menggeser diri,
kemudian mereka duduk berdampingan. Maksudnya jelas
agar dengan demikian dapat memandang gadis itu lebih
leluasa.
Ketika melihat si pelayan tidak segera dapat menjawab,
salah seorang sudah membuka mulut. “Warung ini terkenal
dengan gulai kambing. Agaknya lebih tepat apabila Adik
pesan nasi gulai saja.”
Kalau gadis lain, kelancangan pemuda ini tentu sudah
dapat menimbulkan salah paham dan salah-salah bisa
terjadi percekcokan pula. Tetapi Dewi Sritanjung yang
masih asing di masyarakat ini tidak marah dan malah
mengangguk.
“Terima kasih Saudara telah menolong aku,” katanya
diiringi senyum manis. “Baiklah, berikan kepadaku nasi
gulai. Sedang minumannya apa saja boleh.”
“Lebih enak kopi tubruk,” pemuda yang lain ikut
memberi saran, agaknya ingin pula mendapat senyum
manis seperti temannya.
Harapannya terkabul juga, karena gadis ini mengangguk
sambil tersenyum manis. Ia mengucapkan terima kasihnya
seperti tadi dan kepada pelayan ia minta disediakan kopi
tubruk.
Memang tidak bisa disalahkau kalau Sritanjung bersikap
seperti itu, karena ia beranggapan bahwa dua orang
pemuda ini memberi pertolongan. Sesuai dengan petunjuk
kakeknya, setiap orang yang mengulurkan tangan tanpa
diminta, itu merupakan pertolongan, dan harus diterima
dengan senang hati sambil mengucapkan terima kasih.
Hanya agak sayang cara menanggapi pertolongan yang
diberikan orang ini. Dewi Sritanjung menanggapi tanpa
prasangka buruk. Ia menyangka pertolongan mereka ini
merupakan pertolongan yang wajar. Padahal dua pemuda
ini menerima keadaan ini dengan dugaan lain, mengira
gadis jelita yang belum mereka kenal ini sudah bersedia
menanggapi.
Pemuda yang bicara pertama tadi kemudian mem-
beranikan diri bertanya. ”Apakah Adik seorang diri saja?”
Dewi Sritanjung mengangguk sambil tersenyum,
jawabnya, “Ya! Aku hanya seorang diri.”
“Bolehkah kami menemani makan di meja Nona?”
Seperti dua ekor kucing melihat tikus, mereka cepat
bangkit, kemudian mereka duduk di depan Sritanjung,
dibatasi oleh meja. Dengan duduk berhadapan seperti ini
mereka dapat menikmati wajah ayu itu lebih jelas.
Kaki dua pemuda ini saling sentuh, mengandung arti
tertentu tanpa ungkapan kata.
Dewi Sritanjung yang tanpa prasangka itu memang
belum tahu dan tidak menyadari bahwa cara mereka me-
mandang itu adalah kurang sopan dalam pergaulan. Hanya
saja memang dalam dada gadis ini timbul pertanyaan pula
yang tidak terjawab, mengapa orang-orang itu memandang
dirinya penuh perhatian dan siap memberi pertolongan?
Setelah satu meja, dua pemuda ini lalu memperkenal-
kan diri. Yang seorang menyebut dirinya dengan nama
Kaligis, dan yang seorang memperkenalkan diri dengan
nama Sangkan. Dan sebaliknya Dewi Sritanjung yang tanpa
prasangka itu memperkenalkan diri tanpa ragu.
Dalam kegembiraannya, kemudian Sangkan memanggil
pelayan. Setelah pelayan itu datang, ia berkata, “kami akan
merayakan perkenalan kami dengan Adik Sritanjung in
karena itu sekarang tolong sediakan sate hati, masak
buntut, gulai dan tiga piring nasi putih.”
“Ahh,Saudara Sangkan,” ujar Sritanjung. “Aku tadi
sudah pesan makanan yang saya butuhkan. Tetapi
mengapa Saudara pesan lagi?”
Sangkan yang cerdik dan licin ini tentu saja lebih pandai
memikat perhatian orang. Jawabnya, “Adik Sritanjung,
maafkan aku. Sekarang ini Adik sebagai tamu kami maka
harus kami hormati. Dan untuk itu, kami selenggarakan
pesta sederhana ini.”
Kaligis yang sudah dapat menangkap maksud Sangkan
segera menyambut dengan ujar manis, “Benar! Adik
Sritanjung jangan menolak itu tidak baik. Bagaimanapun
perkenalan kita ini harus kita rayakan, sekalipun hanya
secara sederhana.”
“Lalu bagaimanakah dengan pesananku tadi?”
“Hal itu gampang, sebab bisa kita batalkan. Sebab
dalam merayakan perkenalan kita ini akan menjadi lebih
akrab kalau kita makan hidangan yang sama,” Sangkan
membujuk.
Dewi Sritanjung yang tidak mempunyai prasangka buruk
mengangguk. Ia setuju dengan maksud dua orang pemuda
yang baru ia kenal ini.
Sambil menunggu datangnya hidangan yang dipesan,
Sangkan memulai dengan pertanyaan, “Apakah Adik
Sritanjung sekarang ini sedang melakukan perjalanan?
benarkah? Kalau benar, lalu mau ke mana?”
“Aku? Oh. Saudara pandai sekali menduga orang.” Dewi
Sritanjung heran mengapa Sangkan dapat menduga secara
tepat. Memang sebenarnya aku sedang menuju Ibukota
Majapahit.
“Ohhh.....” tidak tercegah lagi terlepas seruan tertahan
dari mulut Kaligis dan Sangkan.
Tentu saja mereka menjadi heran dan hampir tidak
percaya, karena jarak Majapahit tidak dekat. Mengapa
gadis yang muda dan jelita ini bepergian seorang diri?
Kalau menilik gerak-geriknya yang halus dan sikapnya yang
polos ini, Sangkan sudah dapat menduga, gadis ini tentu
berasal dari desa yang jauh dengan kota. Dan agaknya
hanyalah gadis desa biasa yang tidak mengenal tajamnya
pedang. Karena gadis ini juga tidak tampak menyandang
senjata.
Memang tidak mengherankan apabila Sangkan sampai
keliru duga, menganggap gadis ini gadis lemah yang tidak
kenal ilmu kesaktian. Karena pedang pusaka Tunggul
Wulung disembunyikan sedemikian rupa hingga tidak
tampak. Dan hal ini dilakukan sesuai dengan petunjuk
Kiageng Tunjung Biru.
“Seorang diri Adik ke Ibukota Majapahit. Apakah Adik
sudah tahu, di manakah letak kota tersebut?” pancing
Sangkan.
Dewi Sritanjung menggeleng. Ia memang belum tahu,
maka ia menggeleng dan kemudian menjawab sejujurnya.
“Baru kali ini aku mau ke sana. Kakek hanya bilang,
Ibukota Majapahit letaknya di bagian timur. Akan tetapi di
mana, terus terang aku belum tahu.”
Mendengar ini Kaligis dan Sangkan saling pandang
disusul bibir tersenyum penuh arti.
“Ahh, kita sungguh beruntung karena kita mempunyai
tujuan sama,” ujar Sangkan. “Apakah Adik Sritanjung tidak
keberatan kalau kita menuju ke sana bersama-sama?
Dengan bersama-sama berarti Adik Sritanjung mempunyai
teman untuk diajak bicara dalam perjalanan.”
Dewi Sritanjung yang tanpa prasangka ini menyambut
ajakan ini dengan seuyum manis dan wajah berseri.
Apakah salahnya menerima ajakan pemuda ini justru
dengan adanya teman, perjalanannya ke Ibukota Majapahit
akan lebih lancar, dan kalau terjadi apa-apa bisa diminta
pertimbangannya?
“Tentu saja aku senang sekali,” jawabnya. “Melakukan
perjalanan bersama kalian. Disamping itu tentunya kalian
sudah pernah datang ke sana?”
“Bukan hanya pernah, tetapi malah sudah berkali-kali
datang ke sana,” Sangkan menyahut cepat, nadanya
sungguh-sungguh. “Melakukan perjalanan ke sana ber-
sama kami tentu saja akan lebih aman dan cepat tiba di
sana, karena tidak perlu bertanya-tanya lagi.”
Bagi gadis ini yang masih asing dengan kota dan baru
terjun ke masyarakat, tentu saja masih belum mengenal
macam apakah manusia jahat yang suka menggunakan
tipu muslihat ini. Karena itu dirinya mengira, orang yang
sudah sering ke Ibukota Majapahit akan mengenal semua
orang.
“Sudah berapa kali kalian ke sana?” tanyanya penuh
minat. “Dan apakah kalian juga sudah kenal pula dengan
seorang pemuda tampan bernama Surya Lelana?”
Mendengar pertanyaan ini Sangkan dan Kaligis garuk-
garuk kepala. Namun Sangkan seorang licik dan licin,
sesaat kemudian sudah menjawab mantap. “Ohh, apakah
Adik merupakan teman baik Surya Lelana? Sungguh
kebetulan sekali akupun sahabatnya.”
“Bagus sekali kalau kalian juga sahabat baik Surya
Lelana.” Dewi Sritanjung gembira sekali, hingga bibirnya
yang indah itu tersenyum lebih indah dan sedap dipandang
mata. Senyum gadis ini merupakan senyum polos dan
tidak malu-malu.
“Sungguh menyenangkan sekali Saudara,” sambut
Sritanjung. “Dengan demikian berarti perjalananku tidak
akan kesepian lagi. Dan sudah tentu pula melakukan
perjalanan jauh bersama kawan akan mengurangi rasa
lelah dan perjalanan yang jauh itu seperti tidak terasa.”
“Adik benar,” Kaligis yang sejak tadi hanya berdiam diri
mulai ikut bicara. “Lebih-lebih Adik belum pernah datang
ke sana. Sebaliknya, kami yang sudah berkali-kali datang
ke sana, dengan gampang akan mengantarkan Anda ke
rumah Surya Lelana.”
“Ya!” Sritanjung yang selalu menyungging senyum
maniss ni, menyebabkan suaranya lebih merdu lagi. “Dan
tentu rumahnya bagus sekali. Ah, lebih lagi Surya Lelana
berdiam di rumah Mahapatih Gajah Mada. Rumah pejabat
tinggi Majapahit itu tentu amat bagus disamping besar.”
“Ohhhh... !” tidak tercegah lagi meluncurlah seruan
kaget dari mulut dua orang muda ini, mendengar nama
Gajah Mada disebut.
Kemudian timbullah dugaan dalam hati dua pemuda ini,
apakah hubungan gadis ini dengan Gajah Mada?
Tiba-tiba saja dua orang pemuda ini teringat kepada
cita-cita guru mereka yang akan membalas dendam
kepada Mahapatih Gajah Mada. Dengan demikian apabila
dapat menangkap gadis ini, bukankah berarti mereka
sudah dapat memberikan jasa bagi guru mereka?
Apabila melihat pula bahwa gadis ini nampaknya
sederhana, tentunya gadis ini cantik jelita tetapi lemah dan
tiada kepandaian. Dan hal ini sudah tentu amat kebetulan,
karena merupakan permulaan baik bagi mereka.
Sebagai seorang pemuda yang licin dan licik. Sangkan
dapat menguasai perasaan, lalu jawabnya dengan lagak
dibuat-buat. “Ya, tentu saja rumah Mahapatih amat bagus
dan juga luas sekali, disamping berada di tengah kota. Adik
Sritanjung tahu, sudah tak terhitung lagi jumlahnya kami
masuk ke rumah Mahapatih Gajah Mada. Uah… perabot
rumahnya amat bagus, indah dan menyedapkan pandang
mata. Demikian pula hamba sahayanya banyak sekali.
Hemm, pendek kata Adik kebetulan sekali dapat bertemu
dengan kami. Sebab dengan perantaraan kami Adik
Sritanjung dengan gampang akan dapat masuk ke rumah
Mahapatih Gajah Mada tanpa kecurigaan dan tanpa
pemeriksaan lagi.”
“Pemeriksaan? Pemeriksaan tentang apa?” Dewi
Sritanjung kaget berbareng heran. Sebab kakeknya tidak
pernah memberitahukau masalah ini.
Meledak ketawa Sangkan dan Kaligis. Lalu Kaligis men-
dahului menjawab. “Di sana memang dijaga oleh banyak
prajurit pengawal. Maka orang yang mau masuk ke rumah
Mahapatih Gajah Mada tentu akan ditanya macam-macam,
dan kalau perlu dilakukan penggeledahan.”
“Penggeledahan bagi orang yaug dicurigai,” sambung
Sangkan. “Tangan petugas yang menggeledah, meraba-
raba seluruh tubuh, barangkali ada senjata yang di-
sembunyikan dan bisa membahayakan Kerajaan Majapahit
dan Mahapatih Gajah Mada. Malah kalau perlu orangpun
diperintahkan harus membuka pakaiannya.”
“Aihh....!” wajah Sritanjung berubah menjadi merah. “Itu
tidak sopan.....”
Sangkan dan Kaligis menyeringai hatinya senang me-
lihat perubahan wajah dan kekagetan gadis ini. Dua orang
muda ini gembira sekali, omong kosong dan bualannya
dapat mempengaruhi gadis ini dengan gampang. Padahal
jangankan sudah pernah masuk rumah Gajah Mada.
Datang ke Ibukota Majapahit pun belum pernah.
Akan tetapi gadis ini yang baru saja terjun ke dalam
masyarakat, dan belum mengetahui keadaan sebenarnya,
tentu saja gampang dipengaruhi.
“Adik jangan kaget!” Sangkan meneruskan bualannya.
“Itu memang sudah menjadi peraturan, guna menjaga
ketertiban dan keamanan bagi para pejabat tinggi
kerajaan. Akan tetapi bersama kami Adik akan aman dari
gangguan siapapun.”
Melihat keasyikan tiga orang muda itu para tamu yang
sedang jajan di warung menjadi tertarik disamping heran.
Namun semua orang tidak berani mendekati maupun
mengganggu, setelah dalam pembicaraan itu menyebut-
nyebut nama Mahapatih Gajah Mada. Mereka lalu men-
duga, tentunya tiga orang muda ini orang-orang penting
atau putera bangsawan Majapahit, tetapi sedang
menyamar sebagai kawula biasa dalam melakukan tugas.
Tak lama kemudian pesanan mereka datang. Melihat
masakan daging yang baru kali ini saja ia saksikan, dari
mulut Dewi Sritanjung sudah terdengar suara ck ck ck,
sedang hidungnya kembang kempis karena menghirup bau
gurih, sedap dan wangi. Kepada masakan yang baunya
seperti ini hidungnya merasa asing. Sebab biasanya
apabila memasak daging di pondok gurunya, paling-paling
hanyalah daging bakar dengan bumbu seadanya, yang
penting asal terasa asin.
Sangkan segera mengajak Dewi Sritanjung mulai
makan. Sedang gadis im tanpa malu-malu sudah mulai
mengunyah daging yang kecil-kecil itu, yang terasa sedap
dan nikmat. Tadi ketika ia melihat daging yang diiris kecil,
ia agak kecewa, sebab biasanya ia menghadapi daging
yang irisannya besar berikut tulang.
Namun setelah tahu daging yang kecil inipun lebih
sedap, gadis ini gembira sekali sambil memuji-muji
enaknya masakan.
“Itulah sebabnya aku tadi meuganjurkan agar Adik
pesan gulai,” kata Sangkan dengan bangga.
Pemuda ini merasa berjasa, gadis jelita ini cocok dengan
gulai dan sate.
Karena Dewi Sritanjung memang masih asing kepada
tatacara hidup dalam masyarakat dan segala aturan tetek
bengeknya, maka gadis ini tidak tahu bahwa dalam soal
makanpun manusia ini di atur dengan sopan dan
santunnya. Karena ketidaktahuannya ini maka Dewi
Sritanjung makan dengan lahap, dan tanpa peduli lagi
kepada yang lain. Sambil mengunyah dan menelan
masakan yang belum pernah ia nikmati ini, berkali-kali
gadis ini menghirup pula kuah yang hangat dengan mulut
bersuara.
Sesungguhnya agak merasa heran juga Sangkan
maupun Kaligis melihat cara gadis ini makan. Mengapa
sebagai seorang gadis menghirup kuah sampai bersuara
seperti itu? Kalau di rumah sendiri memang tidak
mengapa, tetapi di warung, berarti di tempat umum, makan
yang baik harus mencegah timbulnya suara.
Akhirnya tiga orang ini silesai makan, kemudian Kaligis
yang membayar seluruh harga makanan, dan mereka
meninggalkan warung itu.
Mereka menuju ke selatan. Dewi Sritanjung di tengah
dan diapit oleh Kaligis dan Sangkan. Dalam berjalan ini si
gadis tahu benar menuju ke selatan, sebab matahari di
sebelah kanan.
Sebagai seorang yang memang belum pernah
mengunjungi Ibukota Majapahit dan tidak tahu pula
letaknya, maka gadis ini berdiam diri. Menurut perkiraan
gadis ini tentu menuju langsung ke Ibukota Majapahit
seperti janji semula. Karena mengira menuju Majapahit
itulah maka Dewi Sritanjung melangkah pasti tanpa ragu
dan dalam perjalanan inipun mereka asyik bicara, memb-
icarakan apa saja sebagai pengisi waktu senggang.
Akan tetapi setelah perjalanan ini lama dan setiap ter-
dapat jalan simpang selalu dilewati tanpa membelok,
akhirnya ia bertanya. “Mengapa sebabnya kita terus ke
selatan? Bukankah seharusnya kita menuju ke timur?”
“Belum waktunya kita membelok ke timur, Adik manis.”
sahut Sangkan. “Kita baru membelok ke timur, sesudah
kita melewati hutan kecil di depan itu. Marilah Adik,
perjalanan agak kita percepat dan Adik tidak perlu ragu.”
Sambil berkata ini Sangkan meuyambar lengan kanan
Dewi Sritanjung. Maksudnya, Sangkan ingin membimbing
gadis ini agar perjalanan lebih cepat.
“Ihhh....!” Dewi Sritanjung kaget dan cepat meronta,
melepaskan tangan yang dipegang Sangkan.
“Ahhh.....!” Sangkan kaget dan terhuyung hampir jatuh.
“Hai.....kenapa, Adik Sangkan...?” Kaligis kaget melihat
Sangkan sempoyongan.
“Ahh, tidak apa apa!” sahut Sangkan guna menutup
rasa malunya. “Aku terantuk batu dan hampir jatuh.”
Jawaban ini sesungguhnya tidak masuk akal. Tetapi
Kaligis tidak mendesak lagi dan percaya. Sebaliknya
karena Dewi Sritanjung tidak melakukan perbuatan apa-
apa, hanya berdiam diri.
Apa yang telah terjadi memang di luar kesadaran Dewi
Sritanjung. Ia tidak menyadari bahwa ketika tangannya
yang meronta tadi mengandung tenaga yang kuat dan
mendorong Sangkan. Tenaga yang kuat itu menyalur
sendiri ke lengannya yang menyebabkan Sangkan tak
dapat bertahan, sekalipun diam-diam Sangkan tadi
menggunakan tenaga pula dalam menyambar lengan Dewi
Sritanjung.
Akan tetapi sebaliknya, kendati Sangkan merasa
terdorong oleh tenaga kuat yaug tidak tampak, pemuda ini
sama sekali tidak sadar kepada keadaan. Ia tadi hanya
mengira pegangannya kurang kuat, sehingga dirinya sendiri
terhuyung.
“Apakah sebabnya kau pegang-pegang tangan orang?”
protes Dewi Sritanjung tidak senang. Protes yang keluar
dari perasaan kewanitaannya yang halus dan sepi dari
perasaan lain.
Sangkan hanya menyeringai.
Tak lama kemudian tibalah mereka di hutan yang
membentang agak luas dan mereka menerobos masuk.
Setelah agak jauh mereka menerobos hutan, tanpa
terduga Sangkan dan Kaligis yang sudah saling memberi
isyarat dengan mata itu, menubruk hampir berbareng.
“Ahhh...!” Dewi Sritanjung kaget sekali ketika tiba-tiba
empat tangan yang kuat sudah memeluk tubuhnya. Dalam
kagetnya gadis ini hanya dapat berteriak tertahan.
Sebaliknya begitu berhasil menubruk dan memeluk
tubuh gadis jelita dan montok itu, tidak tercegah lagi mulut
Sangkan dan Kaligis sudah terkekeh gembira. Tentu saja
mereka gembira, dengan sekali tubruk sudah berhasil.
Jelas sekali gadis jelita ini seperti perempuan lain,
hanyalah seorang perempuan lemah.
Saking tidak kuasa lagi menahan selera, melihat wajah
jelita dan menggiurkan, hampir berbareng Kaligis dan
Sangkan sudah mencium pipi yang kuning dan montok itu.
Namun segera terdengar suara mengaduh kesakitan
dari mulut Kaligis dan Sangkan, disusul tubuh dua pemuda
ini terhuyung hampir jatuh.
Tadi ketika tiba-tiba tubuhnya dipeluk dari kiri dan
kanan, dalam kagetnya Sritanjung hanya bisa berteriak
tertahan. Namun naluri kewanitaannya segera mem-
beritahu, bahwa dua orang pemuda ini mempunyai maksud
tidak baik. Lebih lagi ketika dua pemuda ini sudah
berusaha mencium pipinya, secara otomatis gadis ini
mendongakkan kepalanya, sehingga ujung hidung dua
pemuda itu mendarat di leher.
Justru sentuhan ujung hidung ke leher ini menyebabkan
rasa ngeri. Sritanjung lalu memberontak! Hawa sakti dalam
tubuh gadis ini segera bekerja sendiri, dan akibatnya
walaupun Kaligis dan Sangkan bukan pemuda lemah,
mereka tak kuasa lagi mempertahankan pelukannya.
Setelah dua pemuda ini terhuyung hampir roboh, gadis
ini berdiri dengan wajah merah dan alis terangkat, tanda
marah. Bentaknya, “Huh huh, apa maksudmu main peluk
orang?”
Sangkan dan Kaligis dapat berdiri tegak kembali. Mulut
mereka menyeringai dan hati mereka penasaran, gemas
dan hampir tidak kuasa lagi menahan hasrat berhadapan
dengan gadis cantik ini. Mereka berpikir di dalam hutan
seperti ini, dan jauh dari orang, siapakah yang bisa
menolong gadis ini?
“Heh... heh... heh... heh, engkau tanya apa maksud
kami? Sangkan mengejek. Kalau laki-laki sudah memeluk
perempuan, engkau masih juga bertanya maksudma? Adik
Manis, engkau harus menyerah kepada kami agar tidak
menderita. Kalau kami marah, kami merasa sayang
kepada kecantikanmu dan sayang pula akan keindahan
tubuhmu kalau kami harus main paksa dan menyiksa
engkau.”
Kaligis cepat menyambung, “Adik cantik, kami dua orang
saudara, merupakan perkasa. Jika engkau menjadi kekasih
kami, engkau pasti bahagia. Mari, Adik cantik kita lewatkan
waktu dengan bersenang-senang di hutan ini. Hemm, tak
akan ada orang yang mengganggu.”
Dewi Sritanjung mengerutkan alis. Ucapan dua orang
pemuda ini sebenarnya asing bagi telinganya, dan juga
tidak tahu artinya. Tetapi walaupun demikian naluri
kewanitaannya dapat menduga maksud dua orang pemuda
ini tentu tidak baik.
Setahun lalu tanpa seijinnya, Surya Lelana sudah men-
cium pipinya, akan tetapi ketika itu Surya Lelana cepat
minta maaf, sebaliknya dirinya juga tidak marah atas per-
lakuan itu.
Namun dua orang muda ini sekalipun juga tidak minta
ijin lebih dahulu, dalam dadanya timbul perasaan lain.
Naluri kewanitaannya sudah memberitahu perbuatan
dua orang ini mengandung maksud tidak baik. Perasaan
yang demikian ini makin kuat lagi setelah termata sikap
dua orang ini jauh berlainan dengan sikap Surya Lelana.
Dua pemuda ini tidak mau minta maaf, sebaliknya malah
mengucapkan kata-kata asing bagi telinganya.
“Kau…….kau…….apakah maksudmu sesungguhnya?”
bentaknya.
“Heh... heh... heh... heh, jangan rewel. Adik manis,
menyerahlah kepada kami!” Sangkan terkekeh sambil
membusungkan dada. “Setelah kita lewatkan hari dan
malam di hutan ini, baru kemudian kita bersama ke
Majapahit.”
“Ya, kita lewatkan hari dan malam bahagia di hutan
yang sepi ini. Kaligis menyambut dengan mulut
menyeringai. Adik cantik harus melayani kami berdua dan
secara adil.”
Sritanjung menjadi marah sekalipun belum begitu jelas
maksud orang. Sebab bagaimanapun sebagai gadis yang
terasing dari pergaulan, ia asing dengan kata cinta itu.
“Huh... huh, kalau aku tidak sudi, kalian bisa apa?”
tantang Dewi Sritanjung.
Dua orang muda itu terkekeh, lalu Kaligis mengancam.
“Hem, engkau seorang perempuan, dan takkan menang
melawan kami. Sudahlah, jangan rewel. Jika rewel, engkau
jangan menyalahkan kami kalau terpaksa menggunakan
kekerasan. Hemm, Adik cantik, apapun alasannya adalah
tidak baik kalau harus lewat jalan kekerasan. Karena itu
menyerahlah baik-baik kepada kami.”
Sebenarnya saja dua orang pemuda ini bukan merupa-
kan pemuda bejat moral dan selalu mengumhar nafsu
jahat. Dorongan yang menyebabkan Kaligis dan Sangkan
sampai lupa diri dan buas menghadapi Dewi Sritanjung ini,
akibat diketahuinya hubungan Dewi Sritanjung dengan
Gajah Mada. Padahal Gajah Mada adalah musuh guru
mereka. Kalau sekarang mereka dapat menangkap dan
memmpermainkan gadis ini, siapa yang dapat disalahkan
justru berhadapan dengan lawan?
Gadis ini hanya seorang diri, padahal mereka dua orang.
Apa yang harus ditakutkan dan manakah mungkin gagal
lagi?
Dewi Sritanjung tambah marah dan membentak,
“Kurang ajar! ternyata kamu manusia jahat berpura-pura
baik. Huh, kamu lekas pergi atau tidak? Jika tidak, engkau
jangan menyalahkan aku jika aku terpaksa menghajar
kamu!”
Ucapan yang demikian ketus ini memancing gelak tawa
dua pemuda itu. Kaligis dan Sangkan saling pandang dan
mulut meringis seperti iblis kelaparan.
“Adi Sangkan! Hayo kita keroyok saja dengan kekerasan.
Mana mungkin kila kalah?” Kaligis mengajak. “Betapa
gembira Guru kita, apabila kita berhasil menawan salah
seorang yaug mempunyai hubungan dekat dengan Gajah
Mada ini.”
“Engkau benar. Marilah!” sambut Sangkan sambil men-
dahului menerjang ke depan dengan gerakan menubruk.
Melihat gerakan pemuda itu sadarlah Dewi Sritanjung
akan keadaan. Lebih lagi ketika mendengar ucapan
mereka yang menyinggung nama Gajah Mada. Semakin
jelaslah bahwa di balik sikap begitu baik, memang
mengandung maksud tidak baik.
Dengan gerakan gesit gadis ini sudah menghindarkan
diri dari tubrukan dua lawan itu. Gerakan dua lawan ini
walaupun cepat, menurut pandangan Dewi Sritanjung,
masih kurang cepat.
Gadis ini melawan dengan serangan-serangan tak
terduga. Tubuh gadis ini berkelebat cepat sekali seperti
kilat menyambar hingga Sangkan dan Kaligis kaget.
Mereka menjadi sadar bahwa gadis yang tampaknya lemah
itu ternyata bukan gadis sembarangan. Kemudian
merekapun sadar tidak mungkin dapat mengalahkan gadis
ini tanpa senjata.
“Sring! Sring!” dua orang pemuda ini sudah mencabut
pedang hampir berbareng. Sangkan menyerang dari arah
kiri dan Kaligis menyerang dari kanan.
Dewi Sritanjung kaget oleh sambaran pedang itu. Tetapi
tanpa kesulitan gadis ini dapat menghindari.
“Tring! Tring! Cring! Cring!” dentingan pedang terdengar
empat kali. Pedang Sangkan maupun Kaligis menyeleweng
kemudian dua orang pemuda ini melompat mundur, guna
menghindari sambaran tangan dan kaki gadis itu.
Dalam menghadapi sambaran pedang tadi, Sritanjung
sudah menyentil dengan jari tangannya dan berhasil mem-
buat pedang lawan menyeleweng. Hati gadis ini menjadi
besar disamping timbul rasa percaya diri.
Ia tadi memang nekad dan untung-untungan. Ia men-
coba untuk menangkis dengan sentilan jari tangan. Bagi
dirinya yang belum berpengalaman menghadapi lawan
sungguh-sungguh, apa yang dilakukan sering menimbulkan
rasa ragu.
Sekarang dengan hasil yang diperoleh, dirinya menjadi
tambah mantap, dan sambil menguji pula sampai di
manakah ilmu tangan kosong bernama "Sindhung Riwut".
Dengan ilmu Sindhung Riwut yang berarti angin ribut
maupun badai itu, maka gerakan Dewi Sritanjung hebat
bukan main. Tubuhnya berkelebat cepat menerobos di
antara sinar pedang lawan. Saking cepatnya ia bergerak,
yang tampak hanyalah warna dari pakaiannya.
Dewi Sritanjung memang menyukai warna bira muda.
Maka seleret warna biru muda berkelebat seperti
bayangan, dan makin lama gerakan gadis ini semakin
mantap.
“Kesempatan bagus!” ujar gadis ini dalam hati. “Selama
ini aku hanya memperoleh kesempatan berlatih dengan
Kakek. Dan selama itu pula Kakek tidak pernah menyerang
aku sungguh-sungguh. Bukankah peristiwa ini dapat aku
jadikan semacam ujian?”
Berpikir demikian kalau semula gadis ini ingin sekali
segera dapat menghalau lawan, sekarang menjadi lain. Ia
mencoba kecepatannya bergerak menerobos di sela
sambaran pedang lawan tanpa membalas menyerang.
Berkali-kali Kaligis dan Sangkan celingukan dan heran
karena tiba-tiba lawannya sudah lenyap. Tahu-tahu ada
angin menyambar dari belakang, maka cepat-cepat mereka
membalikkan tubuh dan menyerang lagi.
Setelah beberapa kali dilakukan, gerak cepatnya dengan
mencoba kecepatan gerak tangannya. Gerakannya
sekarang menjadi lambat, tetapi tiap kali pedang lawan
menyambar, tring, jarinya yang lentik itu menangkis dan
pedang lawan menyeleweng.
Sebaliknya Kaligis dan Sangkan menjadi penasaran,
setelah peluh mereka membasahi tubuh belum juga
berhasil mengalahkan lawan.
Kalau lawan juga bersenjata, hal ini masih tidak
mengapa. Tetapi sekarang ini lawan yang dikeroyok hanya
bertangan kosong Mengapa pedang mereka tidak pernah
berhasil menyentuh ujung baju lawan? Dalam penasaran
ini mereka tidak mau sadar akan keadaan, sebaliknya
malah tambah marah dan nekad.
Sambil membentak nyaring pedang mereka berkelebat
lebih cepat lagi, menyambar ke arah bagian tubuh lawan
yang berbahaya. Tetapi celakanya walaupun suara
bentakan mereka sampai habis sambaran pedang mereka
tak pernah berhasil menyentuh ujung baju lawan.
Mereka berkelahi sudah cukup lama. Dewi Sritanjung
menjadi heran sendiri melihat keadaan dua orang lawan itu
sudah mandi peluh dan napasnya kembang kempis,
sebaliknya dirinya masih segar dan napasnya masih biasa
saja.
Setelah mendapat bukti dirinya bukan gadis
sembarangan seperti ucapan kakeknya. Dewi Sritanjung
menjadi puas, lalu timbul rasa bosan dan muak meng-
hadapi dua pemuda ini. Mendadak terdengar bentakan
nyaring dari mulutnya, “Lepas!”
Sangkan dan Kaligis berteriak kaget dan wajahnya
pucat, ketika hampir berbareng pedangnya sudah terbang,
dan lengannya menjadi lumpuh. Untung sekali gadis ini
tidak ingin mencelakakan pemuda itu. Ia tidak menyusuli
serangan karena ia sudah puas.
“Kamu tidak lekas pergi, apakah ingin merasakan
pukulanku!” bentaknya. “Huh, aku masih berlaku murah
kepadamu, mengingat di warung tadi sudah menemani aku
makan.”
Menyadari gadis cantik dan menggiurkan ini berilmu
tinggi, tanpa rewel lagi dua orang murid Si Tangan Iblis itu
sudah melompat dan menyambar pedang, lalu berlarian
cepat meninggalkan Dewi Sritanjung.
Gadis ini tetap berdiri dengan mulut menyungging
senyum puas. Sepasang matanya yang indah itu
memandang kepergian mereka. Dan baru setelah
bayangan dua pemuda itu tidak tampak lagi, ia menghela
napas lega. Hatinya besar dan bangga, berkat gemblengan
kakeknya, seorang diri dapat mengalahkan dua orang
lawan. Karena itu dalam perjalanan selanjutnya ia tidak
perlu khawatir lagi berhadapan dengan bahaya. Bukankah
dirinya sekarang ini termasuk seorang sakti mandraguna?
Ia membusungkan dadanya yang sudah membusung. Lalu
terdengar suara hatinya yang takabur.
“Inilah aku! Dewi Sritanjung, murid Kiageng Tunjung
Biru. Sekalipun perempuan, belum tentu kalah melawan
laki-laki. Huh, betapa gembira dan bangga, setelah Ayah
dan Ibu mendengar kisahku hari ini. Ibu tentu memeluk
diriku penuh cinta kasih, seperti yang dilakukan Kakek
setiap kali hatinya puas melihat kemajuan ilmuku.”
Siapa yang dapat menyalahkan Sritanjung menepuk
dada dan takabur seperti ini? Dia masih muda. Dia belum
mengenal corak dan isi dunia luas ini. Dan dia belum juga
tahu betapa luasnya dunia, dalamnya lautan dan tingginya
gunung. Dia belum tahu bahwa tidak seorangpun di dunia
ini dapat menepuk dada merasa paling sakti dan paling
pandai.
Yang merasa bodoh masih ada yang lebih bodoh. Yang
merasa pandai masih ada lagi yang lebih pandai. Betapa
kerdil dan kecilnya manusia di dunia ini, apabila mau sadar
akan hidupnya. Dan betapa besar kekuasaan Yang Maha
Tinggi. Tetapi gadis semuda Dewi Sritanjung ini memang
belum kenal dan belum tahu serta belum dapat berpikir
sejauh itu. Pengalaman hidupnya, kemudian hari akan
menjadi guru dan pelajaran. Dikaji, dimawas, dan diselidiki,
serta dirasakan. Dengan demikian orang menjadi benar-
benar dewasa, sebab ketidakdewasaan itu hanya lerletak
dalam ketidaktahuannya tentang diri sendiri. Mengerti diri
sendiri adalah permulaan daripada kebijaksanaan.
Gadis ini kemudian melangkah, menuju utara lewat
jalan yang tadi telah dilalui. Dan sambil melangkah ia
bergumam. “Kakek benar? Nyatalah di dunia ini tidak
sedikit jumlahnya manusia jahat. Hemm, aku harus hati-
hati tidak boleh sembarangan percaya kepada orang. Ahh,
terlalu percaya kepada orang, akibatnya akan mendekat-
kan diri sendiri dengan bahaya.”
Demikianlah pengalaman memberi pelajaran kepada
Dewi Sritanjung. Ia menjadi sadar bahwa nasihat dan
petunjuk kakeknya memang tidak bisa diabaikan.
Akan tetapi belum jauh ia melangkah, tiba-tiba ia
mendengar bentakan nyaring perempuan, “Hai Sangkan
dan Kaligis! Kau mau lari ke mana?”
Dewi Sritanjung menghentikan langkahnya dengan rasa
heran, Kaligis dan Sangkan? Bukankah orang itu yang tadi
lari setelah ia kalahkan? Sekarang ada perempuan yang
membentak. Agaknya perempuan itupun seperti dirinya,
pernah ditipu.
Bagi gadis ini apapun yang terjadi akan menarik hatinya.
Lebih-lebih ia berpikir makin banyak peristiwa yang di-
saksikan dan dialami, akan memberi pengalaman berharga
bagi hidupnya.
Ia membatalkan niatnya pergi. Ia melangkah kembali ke
selatan, kemudian berlarian. Tak lama ia berlarian, ia
melihat seorang perempuan yang wajahnya cukup cantik
berhadapan dengan Sangkan dan Kaligis. Perempuan itu
sikapnya garang, mendelik sambil bertolak pinggang.
Dengan hati-hati Dewi Sritanjung menyelinap mendekat,
lalu menyembunyikan diri di belakang batu besar.
Kemudian ia mendengar Sangkan berkata.
“Adi Indah...ahh.... sungguh kebetulan. Aku dan Kakang
Kaligis mencarimu setengah mati, ternyata sekarang malah
bertemu di tempat ini.”
Perempuan muda itu memang Sarindah mendengus
dingin. “Apakah keperluanmu mencari aku?”
“Atas perintah Guru, kami mencarimu untuk dipanggil
pulang.”
“Untuk diadili karena sudah mencoba meracun Julung
Pujud?”
“Ahh.... Adi Indah sudah tahu?” dua pemuda itu kaget.
“Hi... hi... hik, kamu jangan berpura-pura di depanku dan
kamu jangan mencoba membela diri dengan mencuci
tanganmu yang kotor. Huh, bukankah kamu yang sudah
menaruh racun dalam tuak itu?”
“Tid..... tidak!” hampir berbareng Kaligis dan Sangkan
menyangkal, tetapi tidak lancar.
“Huh... huh, kamu bisa menipu orang lain, tetapi kamu
tak dapat menipu aku. Kamu sudah memberi racun pada
tuak itu, kemudian memfitnah aku, bukan? Pengecut!”
***
Mengapa Sarindah bisa tahu rahasia Kaligis dan
Sangkan? Lain siapakah yang memberi tahu? Anda akan
mendapat jawabannya dalam buku berjudul "DEWI
SRITANJUNG MENCARI AYAH KANDUNG”
Ceritanya akan lebih seru dan menegangkan. Karena :
......... Mendadak Sarindah merasakan kepalanya
berdenyutan dan pening sekali, pandang matanya kabur.
“Trang...... Ahhhh... !” pedang Sarindah terpental terbang
oleh pukulan Rudra Sangkala. Dan Rudra Sangkala sudah
melompat maju lalu memeluk gadis ayu itu. Sarindah
sudah pingsan, dalam pondongan Rudra Sangkala dan
diciumi......
...... “Bocah! Kalau saja engkau tidak mempunyai
hubungan dengan Gajah Mada, tentu saja aku tidak
memusuhi, Karena itu sebelum aku menggunakan
kekerasan, menyerahlah aku jadikan sandra!” ancam Si
Tangan Iblis.
Sepasang mata Dewi Sritanjung menyala. Jawabnya
lantang, Apakah salahnya orang mempunyai hubungan
dengan Mahapatih Gajah Mada? Orang yang berani
memusuhi beliau, berarti pemberontak!.......
Sanggupkah Dewi Sritanjung menghadapi Si Tangan
Iblis yang sakti mandraguna dan mempunyai Aji Mega
Lengking? Dalam buku Seri Dewi Sritanjung yang berjudul
“DEWI SRITANJUNG MENCARI AYAH KANDUNG” Anda akan
mendapat jawabannya.
***
Sala, awal Maret 1987
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon