Kakek tua, kau bicara apa?
Engkau bocah luar biasa. Mestinya
orang muda yang bersalah harus
mengakui kesalahannya, namun engkau
tidak mau mengaku malah menyalahkan
Aku tak bersalah. Mengapa
sebabnya harus mengaku salah? Kalau
kakek tidak duduk di tengah jalan, dan
mau menyingkir pula di saat aku lewat,
bukankah aku tidak akan menabrak?
Heh heh heh heh, bocah bandel,
tabah dan pandai pula berdebat, kakek
itu memuji sambil memperhatikan
Sentiko. Terusnya, Mengapa sebabnya
engkau lari setelah membunuh orang?
Sentiko terbelalak kaget. Kakek
tahu...? Tentu saja! Malah perempuan
yang kau rampas uangnya dan kaupukul
mampus itupun aku tahu.
Sentiko berjingkrak kaget.
Engkau... engkau tahu perbuatanku
terhadap perempuan tadi ? Kalau
begitu... ahh, siapa dia? Apakah dia
anakmu..? Dan kau... mau menangkap
aku? Heh heh heh heh....
Tetapi aku tidak bersalah. Aku
tadi tidak bermaksud membunuh dia. Aku
hanya ingin merampas uangnya saja.
Heh heh heh heh, merampas milik
orang lain, kau tidak merasa bersalah?
Tetapi... tetapi aku melakukannya
karena butuh. Perutku lapar! Tanpa
uang aku tak bisa mendapatkan nasi.
Kalau Kakek mau main paksa, tentu saja
aku melawan.
Bagus, heh heh heh heh! Aku ingin
melihat sampai di manakah kemampuanmu.
Hemm, agaknya setelah bisa mengalahkan
gentho itu, engkau menjadi mabuk. Hai,
Bocah, engkau hanya mempunyai sedikit
kepandaian. Katakanlah siapa gurumu?
Aku tidak punya guru, tetapi
kakekku sendiri yang mendidik. Dan
kau, huh huh, engkau tentu takut dan
terkencing-kencing apabila mendengar
nama kakekku.
Siapakah kakekmu itu yang dapat
membuat orang ketakutan dan
terkencing-kencing? Heh heh heh heh,
apakah kakekmu yang kau banggakan itu
sakti mandraguna seperti iblis?
Apa? Engkau berani menghina
kakekku? Keparat! Kakekku sakti tanpa
tanding dan orang menyebutnya Si
Tangan Iblis.
Sentiko menduga setelah memper-
kenalkan nama kakeknya yang
menyeramkan dan mentereng itu, kakek
ini tentu menjadi takut. Tetapi
ternyata dugaannya keliru dan kakek
ini malah ketawa terkekeh kegelian.
Sentiko mengerutkan alisnya tidak
senang. Bentaknya, Apakah sebabnya kau
tertawa? Huh, jika engkau berhadapan
dengan kakekku, aku ingin melihat
apakah engkau berani tertawa seperti
ini?
Heh heh heh heh, kau lucu, Bocah!
Bukankah kakekmu yang bergelar Si
Tangan Iblis itu nama kecilnya Taruno?
Hai.... kakek tahu? Sentiko
terbelalak kaget.
Hemm, tentu saja! Justru amat
kebetulan jika engkau cucu dan murid
Si Tangan Iblis, sekarang kau harus
ikut aku dan menjadi muridku.
Apa? Tidak usah ya! Engkau takkan
bisa menandingi kakekku. Huh, tidak
sudi! Kakek, pergilah dan jangan
mengganggu aku lagi. Aku ingin
secepatnya tiba di Ibukota Majapahit
dan aku akan mencari Mpu Nala dan
Gajah Mada!
Untuk apakah mencari mereka?
kakek ini heran.
Akan kubunuh untuk membalaskan
sakit hati orang tuaku. Mereka harus
mampus dalam tanganku.
Heh heh heh heh, ada seekor katak
ingin mencapai langit. Manakah
mungkin? Anak, engkau tidak kenal
tingginya langit dan dalamnya lautan.
Manakah mungkin hanya dengan bekal
kepandaianmu ini dapat melawan dua
tokoh sakti itu? Heh heh heh heh,
lucu. Lucu sekali! Apakah kakekmu Si
Tangan Iblis menjadi linglung, sudah
mengizinkan engkau pergi dan menempuh
bahaya maut?
Hai orang tua. Kau jangan lancang
mulut dan mencaci maki kakekku! teriak
Sentiko lantang karena mendongkol. Aku
pergi diam-diam. Tahu? Aku tidak takut
mati untuk membalaskan sakit hati ayah
bundaku.
Itu bagus sekali. Tetapi belum
waktunya engkau pergi ke Majapahit.
Tidak! Sekarang juga aku akan
pergi ke sana. Siapa melarang harus
berkenalan dengan tombak trisula ini.
Sambil berkata begitu ia cepat
melompat dan menyambar senjata yang
tadi terlepas dan terlempar. Kemudian
dengan sikapnya yang gagah, bocah ini
siap menghadapi orang yang berani
menghalangi maksudnya.
Heh heh heh heh! kakek itu
terkekeh. Engkau akan melakukan
pembunuhan lagi? Apakah kau belum puas
dengan dua nyawa yang sudah melayang
oleh tanganmu?
Tidak peduli! Jika kau
menghalangi aku, akan kubunuh juga.
Kakek itu masih berdiri tegak
sambil mengusap jenggotnya yang putih
panjang. Kemudian sahutnya halus, Coba
seranglah aku. Apakah engkau benar-
benar seorang bocah yang tangguh se-
perti omonganmu yang besar?
Kakek tua! Engkau benar-benar
mencari perkara dengan Sentiko, huh.
Sekalipun kecil aku bukan anak
sembarangan. Awas, rasakah tombak
trisulaku ini.
Bocah yang sudah penasaran ini
tidak peduli lagi kepada siapapun.
Karena orang tua ini sengaja
menghalangi kemauannya, kalau perlu
juga harus dibunuh. Dan sekalipun
masih kecil, ia bukan bocah tolol. Ia
sadar kekek ini tentu bukan orang
sembarangan. Dan paling tidak tentu
sama dengan si berewok Kreto Jayus
tadi. Maka begitu bergerak menyerang
ia sudah memilih jurus ilmunya yang
paling hebat.
Hiaaattt...! teriaknya sambil
menerjang maju melancarkan
serangannya.
Akan tetapi pemuda cilik ini
menjadi kaget ketika melihat kakek itu
tidak bergerak. Sekalipun demikian ia
tidak mau mengurangi kecepatannya
menyerang.
Cring cring cring...!
Sentiko kaget sendiri ketika
semua tikaman dan pukulannya membalik
dan telapak tangannya amat panas
seperti dibakar api.
Heh heh heh heh, kakek itu
terkekeh. Baru melawan jari tanganku
saja kau sudah tidak mampu. Manakah
mungkin engkau bisa membalaskan sakit
hati orang tuamu?
Wajah Sentiko merah padam
mendengar ejekan itu. Sekalipun
telapak tangannya terasa panas, ia
kembali melompat dan menerjang lagi.
Cring cring... aduhhh....! Bocah
itu memekik kaget ketika lengannya
mendadak lumpuh dan senjatanya lepas.
Heh heh heh heh, engkau harus mau
belajar lebih tekun beberapa tahun
lagi, Anak. Dan sebagai muridku,
engkau takkan sulit membunuh Gajah
Mada maupun Mpu Nala.
Kakek tua ini makin tertarik
setelah mengenal watak Sentiko yang
keras kepala dan tabah. Murid seperti
bocah inilah yang ia butuhkan, dan
ditambah lagi yang berbau sesat. Dan
kakek ini menjadi lebih tertarik lagi
setelah mendengar pengakuan bocah itu
sendiri sebagai cucu Si Tangan Iblis.
Tak sudi! Lebih baik aku mati
daripada menjadi muridmu. Aku tidak
sudi berkhianat kepada kakekku
sendiri.
Selesai mengucapkan kata-katanya
ia kembali menyambarkan senjatanya.
Dan walaupun kelumpuhan lengannya
belum pulih, ia sudah nekad menyerang
lagi. Kemudian dengan senjatanya, ia
kembali menerjang maju.
Capp! Tombak trisulanya itu
sekarang menancap ke perut si kakek.
Sentiko sendiri menjadi kaget.
Benarkah kakek ini sengaja membunuh
diri menerima tikaman senjatanya?
Namun kalau senjatanya ini benar
menancap ke perut kakek ini, mengapa
kakek ini tidak menyerang dan bibirnya
malah tersenyum-senyum?
Pada saat dirinya masih heran ini
tiba-tiba ia merasa seperti didorong
oleh tenaga tidak tampak. Ia kemudian
terpental mundur lalu terhuyung.
Sedang tombak trisulanya masih tetap
tergenggam dalam tangannya, dan
aihh.... mengapa tidak ada darah?
Dan ketika ia memperhatikan perut
kakek itu, ternyata tidak terluka.
Kau.... kau menggunakan ilmu
siluman! teriaknya.
Heh heh heh heh, siluman apa?
Dengan cara menjadi muridku, kelak
engkaupun akan bisa seperti aku.
Jangan lagi hanya pukulan, sekalipun
senjata takkan mampu menembus kulitmu.
Bohong! Aku tidak mau percaya!
Sudahlah, aku mau melanjutkan
perjalanan dan kau jangan mengganggu
aku lagi! sambil berkata bocah ini
sudah melompat ke samping lain
melarikan diri.
4
Akan tetapi lagi-lagi kejadian
berulang. Tahu-tahu Sentiko terguling
setelah menabrak sesuatu yang lunak.
Ternyata kakek itu telah duduk bersila
dan menghadang perjalanannya.
Sentiko marah sekali dan mencaci
maki, Iblis tua! Engkau jangan
menghina aku. Jika engkau benar-benar
sakti mandraguna datanglah ke Tosari
dan melawan kakekku. Huh, dalam dua
gebrakan saja, engkau tentu sudah
mampus dalam tangan kakekku, dan....
Sentiko menghentikan kata-katanya
yang belum selesai, ia cepat
membalikkan tubuh karena mendengar
suara ribut-ribut. Ternyata beberapa
orang laki-laki dengan senjata aneka
ragam sudah datang dan mengurung dan
di antara mereka sudah berteriak
sambil menuding dirinya.
Nah, itu dia. Bocah itulah yang
sudah membunuh!
Benar! Tentu bocah itu pula yang
sudah merampas uangnya!
Dia perampok cilik yang sudah
membunuh saudaraku!
Mendengar teriakan orang yang
ribut itu wajah Sentiko menjadi pucat.
Pikirnya, Celaka! Agaknya orang-orang
itu tahu akulah yang sudah membunuh
perempuan itu dan merampas uangnya.
Ah, aku harus lari secepatnya!
Akan tetapi sungguh celaka. Ia
tak dapat menggerakkan kaki dan
kakinya seperti berakar didalam tanah.
Ia menjadi keheranan sendiri, apakah
sebabnya?
Ia tidak menyadari sama sekali,
apa yang terjadi atas dirinya itu
tidak lain oleh tenaga halus yang
dikirim oleh kakek itu. Tenaga yang
tidak tampak lewat injakan kaki
sehingga Sentiko tidak menyadari.
Sebagai akibatnya dalam waktu
singkat ia sudah dikepung belasan
orang sambil mengacungkan senjata
dengan sikap marah.
Hayo, lekaslah menyerah! bentak
salah seorang dari mereka. Bukankah
engkau telah merampok uang dan
membunuh?
Ti.... dak.... aku tidak....
bantahnya gagap. Bocah, kau tak perlu
mungkir! bujuk yang lain. Ketika
Sentiko memalingkan mukanya memandang
orang-orang itu, wajahnya menjadi
tambah pucat. Sebab di antara mereka
itu terdapat pemilik warung.
Dan pemilik warung itu kemudian
membujuk, Anak, banyak orang yang
sudah melihat pundi-pundi uang itu,
dan yang tadi direbut Kreto Jayus.
Maka sebaiknya kau menyerah saja Anak,
kemudian kami bawa menghadap Bapak
Akuwu.
Sentiko tak dapat membantah lagi.
Namun sudah tentu bocah keras kepala
dan bandel ini takkan begitu saja mau
menyerah. Ia sudah terlanjur melakukan
perampasan dan pembunuhan. Karena itu,
ia sadar dirinya akan celaka jika me-
nyerah. Maka tak ada jalan lain untuk
menyelamatkan diri dengan melawan.
Akan tetapi bocah ini memang
belum ingin mati, dan ia tidak rela
pula sebelum dapat membalaskan sakit
hati orang-tuanya. Maka sekalipun
melawan, kalau ada kesempatan ia akan
melarikan diri.
Aku tidak melakukannya! bantahnya
marah. Benar aku memiliki pundi-pundi
itu. Akan tetapi pundi-pundi uang itu
pemberian orang tuaku sebagai bekal
perjalanan. Huh, apakah sama warnanya
tidak boleh?
Jawaban itu ternyata berpengaruh
juga. Beberapa orang di antara mereka
bertatap pandang. Siapa tahu kalau
pundi-pundi itu memang sama warnanya?
Mereka menjadi ragu, karena tidak
seorangpun dari mereka menyaksikan
terjadinya peristiwa itu.
Tetapi saudara dari perempuan
yang menjadi korban, mengenal ciri
pundi-pundi itu. Katanya lantang,
Jangan mungkir! Jika benar-benar
pundi-pundi itu pemberian orang tuamu,
sekarang tunjukkanlah. Aku mengenal
cirinya, hemm, pada bagian tali sudah
robek dan pada sudut bawah sudah
ditambal dengan kain lurik hitam. Jika
pundi-pundi yang kau miliki berbeda
dengan ciri itu, kami takkan
mengganggumu lagi.
Orang yang lain pun cepat pula
ikut berusaha agar Sentiko membela
diri dan menunjukkan bukti. Karena
sesungguhnya para penduduk desa ini
merasa sungkan harus berurusan dengan
bocah cilik ini.
Akan tetapi manakah mungkin
Sentiko mau mengeluarkan pundi-pundi
itu? Ia bukan pemuda tolol. Maka ia
mencari alasan dan dalih untuk
mempertahankan diri. Jawabnya, Huh,
pundi-pundi ini milikku sendiri.
Mengapa harus aku tunjukkan kepada
kalian? Pendeknya aku tidak melakukan
perampasan dan pembunuhan itu. Su-
dahlah, kalian jangan mengganggu lagi.
Jahanam cilik! Jika engkau keras
kepala, terpaksa kami gunakan
kekerasan! bentak seorang laki-laki
berkumis tebal.
Siapa takut? balas Sentiko yang
sudah terpojok. Walaupun sadar dirinya
dalam bahaya, ia membusungkan dada dan
siap dengan senjatanya. Huh, siapa
berani maju senjataku ini akan menjadi
hakim pencabut nyawa.
Di antara mereka yang hadir ini,
justru terdapat pula orang-orang yang
tadi menyaksikan perkelahian antara
Sentiko dengan Kreto Jayus. Karena itu
mereka tidak berani sembarangan, jus-
tru sekalipun kecil dia bocah
berbahaya. Sebaliknya adik dari
perempuan yang terbunuh itu tidak
gentar. Pertama ia merasa bertubuh
lebih tinggi dan lebih besar. Yang
kedua, ia pernah belajar ilmu
kesaktian sekalipun belum tinggi,
namun ia sudah merasa dirinya cukup
hebat.
Biarlah aku yang menangkap bocah
sombong ini! katanya lantang.
Dengan golok terhunus ia melompat
maju. Bagi orang-orang desa lompatan
pemuda ini sudah cukup cepat dan jauh.
Tetapi bagi Sentiko, lompatan itu
lambat dan pendek saja. Dirinya dapat
berbuat lebih cepat dari pemuda itu.
Maka tanpa gentar sedikitpun Sentiko
segera menyambut golok lawan.
Wutt.... wutt.,.. Golok orang itu
menyambar dahsyat, tetapi hanya
mengenai tempat kosong. Karena terlalu
bernafsu dalam menyerang, orang itu
terhuyung ke depan, kehilangan
keseimbangan Sentiko tertawa mengejek
sambil melenting tinggi, kemudian ia
memancing dengan tangan kiri pura-pura
memukul kepala lawan. Melihat itu
lawannya gembira dan cepat menyambut
dengan bacokan golok.
Wutt.... Aduhhhh....!
Orang itu berteriak nyaring
kesakitan, kemudian roboh merintih-
rintih. Ternyata pundak orang itu
sudah terluka parah dan darah mengucur
deras dari luka.
Orang-orang yang mengurung
terbelalak. Bocah itu dapat bergerak
cepat sekali. Bagaimanakah mungkin
dapat menangkap? Di saat orang-orang
masih diliputi oleh keraguan ini,
Sentiko sudah membentak nyaring dan
menerjang ke bagian barat. Orang-orang
yang diserang kaget dan berlompatan ke
samping sambil menangkis dengan
senjata. Tetapi orang-orang itu
tertipu. Sebab menggunakan kesempatan
di saat orang sedang menghindar dan
menangkis itu, bocah ini sudah
melompat tinggi dan keluar dari
kepungan. Kemudian Sentiko lari
secepat terbang masuk ke dalam hutan.
Semua orang berteriak ribut,
kemudian berusaha mengejar. Namun
karena mereka hanyalah pada penduduk
desa yang tidak kenal ilmu kesaktian
maka mereka ketinggalan jauh. Dalam
waktu tidak lama bocah itu sudah
hilang ditelan gelapnya pepohonan.
Si kakek yang mengikuti semua
peristiwa itu menggeleng-gelengkan
kepalanya penuh rasa kagum. Ia semakin
menjadi tertarik dan suka kepada bocah
itu. Sebab memang pemuda seperti
itulah yang selama ini selalu dicari
dan diharapkan bisa menjadi muridnya.
Tabah, berani, cerdik, berbakat, licin
dan yang lebih penting lagi berbau
sesat. Dan karena tertarik, kakek
inipun kemudian pergi dan membayangi
Sentiko.
Siapakah sebenarnya kakek yang
ingin mengambil Sentiko menjadi
muridnya itu? Tidak seorangpun kenal
nama si kakek ini yang asli. Orang
hanya mengenai dengan julukan Giri
Samodra, dan bertempat tinggal di
gunung Wilis. Ia memang bukan orang
sembarangan. Ia seorang sakti
mandraguna, bekas teman seperjuangan
Lembu Sora yang memberontak pada tahun
1311 kepada Majapahit dan tewas oleh
jebakan licik yang dipasang Nambi,
Patih Mangkubumi Majapahit.
Akan tetapi tewasnya Lembu Sora
tidak memadamkan hati panas Juru
Demung, Gajah Biru maupun Giri
Samodra. Mereka malah menyesal sekali
mengapa Ronggolawe dan Lembu Sora yang
besar jasanya kepada Majapahit harus
mati dengan nama ternoda? Maka dua
tahun kemudian pada tahun 1313 meletus
pemberontakan yang dipelopori Juru
Demung. Pada pemberontakan ini Giri
Samodra merupakan tangan kanan Juru
Demung.
Namun ternyata pemberontakan
tersebut gagal juga dan Juru Demung
tewas dalam peperangan. Sekalipun
demikian Giri Samodra tidak juga padam
semangatnya. Kemudian pada tahun 1314
bersama Gajah Biru meletuskan
pemberontakan lagi terhadap Majapahit.
Tetapi lagi-lagi persiapan Gajah Biru
dan Giri Samodra kurang tertib. Mereka
kurang memperhitungkan kekuatan
Majapahit pada saat Raja Jayanegara
berkuasa. Dan akibatnya pemberontakan
inipun gagal lagi.
Setelah tiga kali pemberontakan
yang diselenggarakan selalu gagal,
akhirnya Giri Samodra yang merasa
tanpa kawan yang bisa dipercaya lagi,
lalu mengasingkan diri di pinggang
gunung Wilis, yang kemudian tempat itu
disebut dengan nama Desa Basuki. Nama
Basuki ini artinya selamat. Dan desa
ini menjadi ramai dan selamat dari
gangguan orang jahat, berkat adanya
Giri Samodra.
Berkat perlindungan Giri Samodra
ini maka oleh para penduduk desa itu,
ia dijadikan orang yang dituakan
disamping dihormati.
Semua penduduk memanggil "Bapa
Guru" kepada Giri Samodra karena semua
penduduk desa itu pernah diberi
pelajaran ilmu tata kelahi. Tetapi
sekalipun demikian, semua orang tidak
berhak mengaku sebagai muridnya.
Apakah sebabnya mereka tidak
diakui sebagai murid sekalipun pernah
diberi pelajaran ilmu kesaktian?
Karena semua penduduk itu tidak cocok
dengan watak murid yang ia butuhkan.
Mereka terlalu jujur, berwatak gagah
dan puas hidup sebagai petani.
Murid yang diharapkan Giri
Samodra bukan seperti itu. Tetapi
seorang pemuda yang berbakat, cerdik,
licin, licik, kejam dan tidak peduli
tata kesopanan umum. Nampaknya
harapannya itu aneh, jika mengingat
sejarah hidupnya.
Giri Samodra memang tidak pernah
mau berpikir bahwa terjadinya
peristiwa yang menimpa Ronggolawe dan
lembu Sora itu karena ada seseorang
yang secara licik menciptakan. Dan
kakek ini hanya menduga, semua
peristiwa itu oleh keserakahan Patih
Mangkubumi Majapahit yang bernama
Nambi, dan juga raja sendiri yang
terpengaruh oleh Nambi.
Padahal dugaan ini keliru besar.
Peristiwa ini diciptakan oleh
seseorang yang bernama Dyah Halayuda
alias Mahapati. Orang inilah yang
memfitnah dan mengadu domba, sebingga
baik Ronggolawe maupun Lembu Sora
terpancing dan memberontak.
Memang ada sebabnya Mahapati
melakukan perbuatan dan mengacau dari
dalam itu. Mahapati yang berambisi
untuk dapat menduduki jabatan Patih
Mangkubumi Majapahit itu, tidak ada
jalan lain kecuali melakukan fitnah
dan adu domba. Sebab selama para tokoh
Majapahit yang dekat dengan raja belum
tersingkir, selama itu pula cita-
citanya akan mengawang.
Itulah sebabnya pertama kali
Ronggolawe yang menjadi korban tingkah
laku Mahapati. Sebagai alasannya,
Nambi tidak pantas menduduki jabatan
Patih Mangkubumi. Dan yang pantas men-
duduki hanyalah Ronggolawe atau Lembu
Sora karena sudah besar jasanya.
Oleh hasutan Mahapati ini
Ronggolawe terbujuk. Kemudian
Ronggolawe memprotes kepada raja di
persidangan. Secara blak-blakan
Ronggolawe mengemukakan kepada raja,
bahwa Nambi tidak pantas menduduki
jabatan patih Mangkubumi. Dan yang
tepat hanya pamannya bernama Lembu
Sora atau Ronggolawe sendiri.
Atas protes Ronggolawe ini semula
pendirian raja goyah. Tetapi kemudian
Sora berkata, raja tidak seharusnya
terombang-ambing oleh pendapat
hambanya. Lembu Sora tidak setuju
kalau kedudukan Nambi diganti oleh
dirinya maupun oleh Ronggolawe. Dan
menurut Sora, mendudukkan Nambi
sebagai patih mangkubumi sudah tepat.
Ronggolawe tidak ingin
bertentangan dengan paman sendiri.
Maka dari itu kemudian Ronggolawe
meninggalkan persidangan dengan masih
penasaran.
Kebo Anabrang salah seorang
panglima Singosari yang pernah
mendudukkan negara Melayu dan pulang
ke Singosari sambil membawa putri
boyongan Dara Petak dan Dara Jingga,
merasa tersinggung dan marah. Ia
kemudian menantang Ronggolawe untuk
bertanding kesaktian. Namun tantangan
itu tidak ditanggapi oleh Ronggolawe.
Di Balai Bang, Ronggolawe yang
penasaran melakukan pengrusakan. Dan
hai ini memancing kemarahan Kebo
Anabrang serta ingin menghajar
Ronggolawe. Tetapi maksud ini bisa
dicegah Lembu Sora. Kemudian ia
sendiri yang datang ke Balai Bang
untuk meredakan kemarahan Ronggolawe.
Ronggolawe memang hanya tunduk
kepada seorang raja, ialah Lembu Sora,
karena merupakan pamannya. Dan atas
nasihat dan bujukan Lembu Sora ini
kemudian Ronggolawe pulang ke Tuban.
Akan tetapi ternyata hasutan
Mahapatih terlalu jauh mempengaruhi
batin dan perasaannya. Karena itu
kemudian ia melakukan pemberontakan.
Dalam peristiwa ini akhirnya
Ronggolawe mati terbunuh oleh Kebo
Anabrang yang menggunakan akal licik.
Perbuatan licik karena di darat Kebo
Anabrang tidak akan dapat menandingi
Ronggolawe. Oleh sebab itu kemudian
Kebo Anabrang menggunakan akal
menantang Ronggolawe berkelahi di
sungai Tambak Beras.
Padahal Ronggolawe tidak bisa
berenang, maka tanpa kesulitan Kebo
Anabrang dapat mengalahkan Ronggolawe
dan tewas. Dan apa yang terjadi di
sungai ini diketahui oleh Lembu Sora.
Ia menjadi marah sekali ketika
kemenakannya tewas oleh kelicikan
orang. Dalam marahnya ini kemudian
Kebo Anabrang ditikam dari belakang.
Penikaman yang dilakukan Lembu
Sora kepada Kebo Anabrang inilah
kemudian yang dijadikan alasan
Mahapati untuk memfitnah Lembu Sora.
Ia kemudian membujuk kepada raja
supaya menghukum Lembu Sora. Dan
kepada Kebo Taruna, anak Kebo
Anabrang, ia menghasut agar menuntut
balas. Disamping itu ia juga menghasut
Nambi apabila Lembu Sora tidak di-
hukum, bisa menyebabkan negara
Majapahit kacau.
Oleh kelicinan dan kelicikan
Mahapati dalam mempengaruhi dan
membujuk raja, Kebo Taruna maupun
Nambi ini akhirnya keputusan raja
menetapkan Lembu Sora harus dihukum
buang.
Akan tetapi Lembu Sora yang sudah
mengetahui tuduhan kepada dirinya itu,
menolak keputusan raja, dan ia memilih
mati di tangan raja daripada harus
menerima hukuman buang itu.
Sikap Lembu Sora ini dimanfaatkan
oleh Mahapati untuk membujuk raja,
Nambi maupun Kebo Taruna. Ia membujuk
raja agar tidak be-sedia menerima
kedatangan Lembu Sora untuk
menyerahkan jiwa raga. Sebaliknya
kepada Kebo Taruna maupun kepada
Nambi, ia mempengaruhi agar memper-
siapkan pasukan rahasia yang kuat
untuk menjebak Lembu Sora yang
disebut-sebut akan membunuh raja. Dan
oleh kelicinan, kelicikan dan tipu
muslihat Mahapati ini, akhirnya Lembu
Sora tewas dikeroyok prajurit Nambi.
Sebagai akibat peristiwa yang
menyakitkan hati ini, Giri Samodra
memusuhi Majapahit. Pendeknya
peristiwa ini harus terbalas tuntas.
Sekalipun ia tahu benar, akhirnya
Nambi sendiri tewas akibat fitnah dan
hasutan Mahapati kepada raja, dengan
nama ternoda pula sebagai pemberontak.
Namun pada akhirnya Mahapati mati
juga di rumahnya sendiri oleh
penyerbuan para Dharmaputra Majapahit,
setelah tahu bahwa Mahapati merupakan
benalu Kerajaan Majapahit. Dan peris-
tiwa inilah yang kemudian dikenal
dalam sejarah, pemberontakan Kuti.
Nah, karena sakit hati ini maka
murid yang diharapkan Giri Samodra
agar kemudian hari dapat mengemban
tugas membalas dendam kepada semua
tokoh Majapahit. Dan Giri Samodra
merasa sayang sekali bahwa Mahapati
sudah mati terbunuh. Kalau saja masih
hidup, orang itulah sasaran yang
pertama kalinya.
Karena Sentiko menolak diambil
sebagai murid, hai ini semakin
menambah keinginannya, untuk bisa
memikat bocah itu. Ia percaya, pada
saatnya nanti bocah itu tentu bakal
tunduk dan mau mengangkat dirinya
sebagai guru.
Sentiko berlarian cepat sekali
dalam usaha menghindarkan diri dari
kejaran orang-orang desa itu. Setelah
merasa cukup jauh, barulah ia berani
melangkah seenaknya. Perutnya kembali
lapar dan merengek minta isi,
menyebabkan ia penasaran jika teringat
peristiwa di warung tadi. Sebab baru
beberapa suap nasi masuk dalam perut,
telah ditambah dengan ludah Kreto
Jayus. Kalau saja orang itu tidak
mengganggu, tentu ia tadi sudah makan
dan perut kenyang.
Saking lapar dan perut merengek
terus, kemudian ia menengadahkan
kepala untuk mencari buah apa saja,
yang mungkin bisa dipergunakan
mengurangi rasa lapar.
Akan tetapi yang dicari belum
diperoleh, tiba-tiba ia kaget.
Telinganya yang sudah cukup terlatih,
menangkap suara geseran daun ilalang
diterjang sesuatu. Dan ketika ia
memandang ke arah rumput itu mendadak
wajahnya pucat. Seekor harimau loreng
yang amat besar, sudah muncul dari
dalam semak, dan sepasang mata harimau
itu memandang dirinya.
Ahh, celaka! ia mengeluh perlahan
dengan wajah pucat.
Kemudian terbayang dalam benak-
nya, tubuhnya akan dikoyak-koyak
hancur oleh kuku dan taring harimau
itu. Sebelum dirinya tewas, ia tentu
mengalami derita hebat sekali. Dan
terbayang pula betapa sakitnya di saat
harimau itu menggigit putus lengannya.
Setelah lengannya habis dimakan,
kemudian menggigit putus lengannya
yang sebelah. Ahhh.... ngeri.....
Tidak! Tidak! Aku tak mau mati
dengan cara itu. Aku tidak sudi
menyerah menjadi mangsa harimau. Aku
harus melawan sedapat-dapatku, ujarnya
dalam hati.
Secepat kilat senjata tombak
trisula sudah siap di tangan kanan,
untuk menghadapi serangan harimau.
matanya tidak berkedip, sedang otaknya
diputar bagaimanakah cara yang tepat
untuk dapat membunuh harimau itu.
Dan sebaliknya harimau itu,
melihat calon korbannya mengeluarkan
senjata sudah menggeram keras. Kaki
depan mencakar tanah dan tubuh bagian
depan merendah. Mulutnya yang lebar
dan penuh gigi yang kuat itu terbuka
siap menggigit.
Sentiko bergidik juga menghadapi
harimau ini. Karena harimau ini bisa
mencakar dengan kuku dan menggigit
dengan gigi tajam. Sebaliknya dirinya
tidak bisa mencakar dan tidak bisa
pula menggigit. Maka sekali kepalanya
masuk ke dalam mulut harimau itu,
tidak mungkin masih utuh lagi dan
tentu remuk. Mengingat semua itu maka
bocah ini makin kuat memegang tombak
trisulanya. Ia akan sambut dengan
tikaman apabila harimau itu menyerang
dirinya.
Hauw.... hauww....! harimau
sebesar lembu itu kembali menggeram.
Lalu dengan lompatan yang tinggi
menyambar ke depan. Dengan hati
berdebar Sentiko melesat ke samping
sambil menikamkan tombak. Wutt....
luput! Sentiko terpelanting sendiri
tertarik oleh tenaga yang digunakan.
Haung.... haung.... haung....
harimau itu mengaum keras sambil
membalikkan tubuh. Harimau itu tampak
marah sekali setelah diserang. Ia
menubruk kembali dengan kaki depan
yang kuat dan berkuku runcing dan siap
merobek tubuh Sentiko.
Sentiko menyambut lagi dengan
tombaknya. Namun karena hati risau,
tikamannya gagal lagi, dan malah kaki
belakang harimau itu berhasil mencakar
pundaknya sehingga terluka dan menge-
luarkan darah.
Karena tidak menduga, Sentiko
terpelanting roboh di tanah. Bocah ini
meringis karena sakit namun masih bisa
menghindar dan segera bergulingan
ketika harimau itu menyerang lagi.
Senjatanya yang menyerang dari bawah
berhasil menikam paha bagian belakang.
Walaupun tikaman itu kurang tepat
namun paha harimau itu robek juga dan
mengeluarkan darah.
Hauw.... hauww....! harimau
sebesar lembu itu kembali menggeram.
Lalu dengan lompatan yang tinggi
menyambar ke depan. Dengan hati
berdebar Sentiko melesat ke samping
sambil menikamkan tombak.
Tetapi rasa sakit pada paha yang
terluka ini justru menyebabkan harimau
itu marah sekali. Si harimau mengaum
keras dan menubruk lagi. Serangannya
hebat dan ganas, menyebabkan Sentiko
semakin tambah gentar dan kerepotan.
Beberapa kali tikaman trisulanya
meleset, sebaliknya kuku tajam itu
menyerang tidak terduga.
Setelah berkelahi agak lama dua-
duanya mandi darah. Sentiko terluka
beberapa bagian tu-buhnya, terasa
panas dan pedih. Namun justru luka
yang ia derita ini malah memberi
semangat baru. Dalam usaha memperta-
hankan nyawa, bocah yang tabah ini
menjadi nekad. Ia bersedia mati tetapi
sebaliknya harus dapat membunuh
harimau itu.
Harimau yang sudah mandi darah
itu semakin merasa kesakitan menjadi
semakin tambah ganas. Hewan ini
mengaum dan setiap kesempatan
menyerang dengan kuku yang tajam.
Akan tetapi bagaimanapun tahannya
daya tubuh dan nekadnya Sentiko, oleh
derita lukanya yang terasa sakit,
pedih dan ditambah oleh darah yang
terus keluar, menyebabkan tenaga bocah
ini semakin berkurang. Lagi pula
pundak kanan sudah terluka, sehingga
setiap menggerakkan senjata untuk
menyerang, ia merasakan kesakitan.
Beberapa saat kemudian Sentiko
merasakan kepalanya pening dan
berdenyutan, menyebabkan pandang
matanya tidak sejelas semula. Ia
berusaha menguatkan diri dan terus
melawan. Dan kemudian pada suatu saat
tangan kanan mengayunkan trisulanya
untuk menyerang.
Crakk...! Mata tombak itu tepat
mengenai kepala harimau. Namun karena
tenaga bocah itu hampir habis
tikamannya meleset.
Harimau ini mengaum keras setelah
terluka kepalanya. Mendadak harimau
besar itu menubruk ke depan, Sentiko
menyambut serangan itu dengan serangan
pula, tetapi sayang, lengannya
dirasakan sakit sekali dan tidak dapat
dipertahankan lagi. Akibatnya senjata-
nya lepas, disusul tubuh bocah yang
sudah kepayahan dan mandi darah itu
roboh di tanah, pingsan.
Harimau yang sudah terluka pada
beberapa bagian tubuhnya itu mengaum
keras. Mulutnya terbuka lebar siap
mengganyang tubuh Sentiko. Wutt...
harimau itu menubruk ke depan. Dan
tentu tubuh bocah yang sudah pingsan
itu akan segera hancur dicabik-cabik
oleh kuku dan gigi yang tajam itu.
Akan tetapi yang terjadi kemudian
adalah lain. Tiba-tiba harimau yang
sedang menubruk itu mengaum dahsyat
lalu roboh tidak bergerak lagi tidak
jauh dari tempat Sentiko pingsan.
Ternyata kepala harimau itu sekarang
sudah berlubang besar, otak bercampur
darah mengalir membasahi tanah.
Sejenak kemudian muncullah Giri
Samodra sambil bergumam, Luar biasa!
Kau bocah luar biasa dan kaulah bocah
yang selama ini aku cari.
Robohnya harimau dengan kepala
berlubang besar itu karena sebutir
batu yang disambitkan Giri Samodra.
Tanpa pertolongan kakek ini manakah
mungkin Sentiko masih bisa hidup lagi?
Giri Samodra jongkok dan
memeriksa luka yang diderita bocah
itu. Dan Sentiko sekarang memang dalam
keadaan mengerikan. Wajahnya
berlepotan darah, sedang pakaiannya
sudah tidak utuh lagi seperti dicuci
dengan darah. Luka yang diderita bocah
itu hampir merata di sekujur tubuhnya,
dan walaupun semua itu hanya luka
luar, namun kalau bukan bocah bandel
tentu sudah sejak beberapa lama ia
roboh pingsan.
Engkau hebat, engkau tabah,
bandel dan keras kepala, heh heh heh
heh, kata kakek ini seorang diri
sambil memandang Sentiko yang masih
menggeletak pingsan. Walaupun engkau
menolak menjadi muridku, aku tak tega
membiarkan engkau menjadi santapan
harimau. Hemm, aku ingin melihat,
setelah engkau kutolong apakah kau
masih juga bandel dan menolak? Jika
kau tetap kokoh dan menolak
keinginanku, habislah harapanku di
hari tua ini.
Sentiko yang masih pingsan segera
dipondong dan sesaat kemudian sudah
dibawa lari secepat terbang
meninggalkan tempat itu. Tak lama ke-
mudian sampailah di tepi mata air.
Dengan hati-hati, Giri Samodra mulai
membersihkan luka di seluruh tubuh
bocah ini dengan air. Agaknya rasa
perih pada luka yang terkena air itu
menyebabkan Sentiko siuman dan
langsung merintih.
Anak yang baik, berilah aku waktu
untuk membersihkan dan mengobati
lukamu, ujarnya.
Sentiko membuka matanya dan
terbelalak ketika mendapatkan dirinya
menggeletak di atas batu datar, di
bawah pohon rindang. Kakek yang belum
ia kenal itu dengan sikap sayang
sedang membersihkan lukanya. Teringat-
lah ia kemudian semua yang dialami. Ia
berkelahi dengan harimau besar dan
buas, lalu ia roboh pingsan. Agaknya
di saat dirinya pingsan itu, kakek ini
datang dan menolong.
Sekalipun bandel, ia tahu pula
budi orang lain. Maka sambil menahan
rasa pedih, katanya,
Kakek, terima kasih atas
pertolonganmu dan kebaikanmu.
Hemm, biasa, sahut kakek itu
dingin. Aku melihat engkau hampir
menjadi santapan harimau. Aku membunuh
harimau itu dan menyelamatkan kau,
Nak. Dan nanti setelah selesai aku
membersihkan lukamu yang ini, aku akan
segera mengobati.
Hati bocah ini terharu juga oleh
sikap kakek ini yang menolong dirinya.
Tetapi tiba-tiba ia ingat maksud kakek
ini yang ingin mengambil dirinya
sebagai murid, dan tiba-tiba saja ia
khawatir kalau alasan ini dipergunakan
untuk menekan dirinya. Justru oleh
kekhawatiran ini tiba-tiba ia bangkit
dan menahan rasa sakit.
Giri Samodra kaget. Cegahnya,
Jangan bangkit!
Tidak! sahut bocah ini. Aku tak
mau kalau pertolonganmu ini kau
jadikan alasan menekan aku untuk
menjadi muridmu.
Untuk sejenak Giri Samodra
terbelalak. Namun kemudian ketawa
terkekeh, katanya, Kalau benar, kau
mau apa?
Giri Samodra mengucapkan kata-
kata itu untuk memancing sikap bocah
ini. Ia percaya bocah ini akan
bersikeras menolak. Namun sebaliknya
ia tidak ingin menekan dan memaksa.
Sebab kalau ia memaksa, sikap itu
takkan menguntungkan.
Huh, jika demikian tinggalkanlah
aku! Sentiko tersinggung. Aku masih
dapat mengurus diri sendiri!
Heh heh heh heh, Giri Samodra
terkekeh. Ternyata engkau memang bocah
bandel dan keras kepala. Sudahlah,
berbaringlah dulu. Berilah aku waktu
untuk membersihkan semua lukamu dan
mengobati. Sesudah selesai kau boleh
pergi dan bebas. Siapa yang sudi
mengambil bocah keras kepala seperti
engkau ini untuk menjadi murid?
Mendengar jawaban ini Sentiko
lega. Namun ia tak juga lekas
berbaring lagi. Dan atas sikap ini
kakek itu mengibaskan tangan perlahan
dan Sentiko merasa tertindih oleh
kekuatan yang tidak dapat dilawan,
Karena dadanya sesak, hingga ia
berbaring kembali. Ia tak dapat
bergerak dan hanya matanya memandang
Giri Samodra tidak berkedip.
Giri Samodra sibuk dengan
pekerjaannya, tidak peduli Sentiko
mengamati dirinya.
Di saat dirinya berbaring kembali
di luar kemauannya ini, gagasannya
melayang kembali ke Tosari. Baru
teringatlah sekarang betapa bingung
keluarganya karena dirinya pergi diam-
diam. Tetapi semuanya sudah terlanjur.
Ia sudah pergi dengan maksud membalas
dendam. Maka merasa malu kalau tidak
berhasil dalam tugas ini.
Tetapi mungkinkah cita-citanya
bisa terwujud? Gajah Mada dan Mpu Nala
terkenal sebagai dua tokoh Majapahit
yang sakti mandraguna. Padahal dirinya
sekarang ini baru berhadapan dengan
harimau saja tubuhnya sudah koyak-
koyak dan hampir mati, kalau tidak
ditolong kakek ini. Bukankah apa yang
dilakukan seperti kata orang si
pungguk ingin meraih bulan? Dan juga
seperti katak yang ingin menyamai
lembu?
Di saat gagasannya sedang
melayang memikirkan keadaan dirinya
ini, pekerjaan Giri Samodra sudah
selesai. Sekarang kakek itu tengah
menaburkan bubuk obat ke lukanya. Dan
diam-diam ia merasa heran pula,
mengapa setelah lukanya diberi bubuk
obat, rasa pedih itu menjadi hilang?
Walaupun bocah bandel dan keras
kepala ia mengerti pula budi dan
kebaikan orang. Ia terharu atas sikap
kakek yang belum dikenalnya ini. Jelas
dengan sikapnya yang ketus, ia menolak
menjadi murid, berarti kurang
menghormati orang tua. Namun apakah
sebabnya kakek ini tidak sakit hati
dan malah sekarang menolong dirinya
tanpa mengharapkan balasan jasa?
Sejak kecil ia banyak mendengar
cerita kakeknya, orang sakti banyak
yang bersikap aneh. Bukankah kakek
yang menolong dirinya sekarang ini
sikapnya juga aneh? Teringat pula apa
yang sudah ia lakukan. Kakek ini ia
tikam dengan senjata. Namun perut
kakek ini seperti bajak tidak mempan
oleh senjatanya. Kalau demikian kakek
ini sakti dan kulitnya kebal senjata.
Orang seperti kakek ini sulit dicari,
dan kalau demikian mengapa dirinya
menyia-nyiakan kesempatan sebaik ini?
Orang sakti tidak gampang mau
menerima orang menjadi murid. Padahal
tanpa diminta kakek ini bersedia
mengambil dirinya menjadi murid.
Apakah hai ini bukan suatu keuntungan
yang sulit dicari? Dan kalau dirinya
menjadi seorang yang kebal senjata,
bukankah usahanya membalas dendam
kepada Mpu Nala dan Gajah Mada akan
menjadi lebih gampang?
Tetapi ah... apakah kakekku tidak
marah, jika mendengar aku berguru
kepada orang lain? Bukankah seperti
itu yang di sebut sebagai murid murtad
? pikiran ini menyebabkan ia ragu kem-
bali.
Tak lama kemudian selesailah
pekerjaan Giri Samodra. Kemudian ia
terkekeh, lalu katanya, heh heh heh
heh, selesailah sudah pekerjaanku.
Sekarang bangkitlah dan selamat
tinggal!
Kakek....! Teriak Sentiko kaget
sambil cepat bangkit
Akan tetapi kakek itu sudah tak
tampak lagi bayangannya. Sentiko duduk
di atas batu sambil menghela napas
panjang. Luka di seluruh tubuhnya
hampir tidak terasa lagi seakan sudah
sembuh. Meskipun demikian ia tidak
berani bergerak sembarangan, khawatir
luka baru itu mengeluarkan darah lagi.
Ia turun dari batu sambil
meloncat. Lalu ia berdiri sambil
menebarkan pandang matanya, berusaha
menemukan kembali kakek yang sudah me-
nolong dirinya. Namun ternyata kakek
itu sudah lenyap seperti masuk bumi.
Hemm, tentu kakek itu marah,
gerutunya. Hemm, aku memang bocah
tidak tahu diri. Bocah yang tak dapat
membalas budi. Dia telah menolong dan
menyelamatkan diriku dari mulut hari-
mau. Namun sikapku terlalu kurang
ajar, sehingga kakek itu marah.
Ahh.... celaka! Kesempatan baik aku
sia-siakan.
5
Akhirnya Sentiko melangkah perla-
han melanjutkan perjalanan. Namun
tiba-tiba perutnya kumat kembali dan
merengek minta diisi. Ia berusaha
melupakan kakek itu dengan jalan
memperhatikan sekeliling untuk mencari
buah yang mungkin bisa menjadi pengisi
perutnya.
Untung juga tak lama kemudian ia
menemukan sebatang pisang batu dan ada
beberapa buah yang sudah masak.
Lumayan! katanya seorang diri
sambil mengunyah pisang yang penuh
dengan biji itu. Tetapi sungguh
sayang, pisang semanis dan enak
seperti ini, wangi pula, mengapa harus
dipenuhi dengan biji yang keras? Kalau
pisang ini seperti pisang yang lain,
tentu merupakan pisang yang paling
enak di dunia ini.
Walaupun perut tidak puas hanya
diisi dengan pisang, sudah lumayan
juga. Perutnya tidak selapar tadi dan
ia dapat meneruskan perjalanan lebih
mantap.
Akan tetapi setelah lama
menelusuri hutan perawan ini ia
menjadi heran berbareng kaget. Ia
telah merasa berjalan lama sekali,
matahari sudah rendah di bagian barat,
dan cuaca dalam hutan sudah mulai
gelap, karena sinar matahari tak kuasa
menembus lebatnya damn, namun mengapa
belum juga dapat keluar dari hutan?
Sekalipun bocah bandel dan keras
kepala, berdebar juga hatinya kalau
harus menginap di dalam hutan.
Bukankah di hutan banyak bahaya? Tadi
hanya menghadapi harimau saja hampir
mampus. Kalau dirinya berhadapan
dengan bahaya lagi, mungkinkah dirinya
masih bisa selamat dalam keadaan luka-
luka belum sembuh?
Teringat bahaya yang mungkin
timbul ini sesalnya menjadi semakin
dalam, mengapa ia tadi sudah membuat
kakek itu marah. Akibatnya kemudian ia
mencaci maki dirinya sendiri.
Hai Sentiko! Apakah engkau sudah
berubah menjadi seorang cengeng dan
penakut? Engkau sendiri yang sengaja
mencari penyakit ini. Kalau saja tidak
pergi diam-diam, bukankah di Tosari
kau bisa hidup enak? Berani berbuat
harus berani bertanggung jawab dan
harus berani menanggung akibatnya.
Bukankah di atas dahan kau dapat tidur
dengan aman?
Bocah yang semula diliputi rasa
ragu ini kemudian ketawa sendiri.
Sesal dan rasa takutnya hilang lalu
melangkah dengan mantap menerobos
hutan belantara.
Tetapi tiba-tiba ia menghentikan
langkahnya dan memasang telinga. Ia
heran, betulkah yang ia dengar? Ia
menangkap suara orang yang menembang
(menyanyi). Suara itu nyaring dan
mengalun, menguak suasana hutan yang
sepi. Ia tidak tahu, apakah nama
tembang yang dinyanyikan orang itu.
Namun demikian ia dapat menangkap
secara jelas dari bait ke bait.
Heh Taruno, Si Tangan Iblis
keparat!
Kowe aja mung ndhelik.
Yen nyata prawira.
Pathukna krodhaningwang.
Iki Mahisa Jaladri.
Musuhmu lawas.
Sapa lena ngemasi.
Tembang itu bernama Durma.
Artinya secara bebas demikian : Hai
Taruno keparat Si Tangan Iblis. Apakah
sebabnya engkau hanya menyembunyikan
diri? Jika engkau seorang gagah
perwira, keluarlah dari persembunyian-
mu dan marilah kita berkelahi. Aku
Mahisa Jaladri, musuh lama. Siapa
lengah harus mati!
Sentiko terkejut sekali dapat
menangkap arti tembang itu. Ternyata
orang bernama Mahisa Jaladri menantang
kakeknya. Benarkah kakeknya di Tosari
itu bersembunyi karena takut kepada
musuh lama bernama Mahisa Jaladri?
Tidak mungkin! bantahnya sendiri.
Kakekku seorang sakti mandraguna dan
terkenal dengan julukan Si Tangan
Iblis atau Kakek Tangan Iblis.
Mungkinkah kepada orang itu saja
menjadi ketakutan? Tidak! Manusia itu
berani menantang karena tahu kakekku
di Tosari. Kalau berhadapan muka,
kiranya Mahisa Jaladri sudah lari
terkencing-kencing. Huh, kurangajar!
Sebagai muridnya manakah mungkin aku
membiarkan orang berani menghina
kakekku?
Bocah ini penasaran sekali. Ia
takkan membiarkan begitu saja orang
berani menghina dan merendahkan
kakeknya.
Aku tidak takut! katanya seorang
diri. Orang yang berani menghina
kakekku, lebih dahulu harus berhadapan
dengan aku!
Ia cepat menerobos belantara, ke
arah suara orang yang menembang dan
menantang kakeknya itu. Setelah
menerobos sana menerobos sini beberapa
lama, lalu tampaklah oleh bocah ini,
seorang kakek jangkung berdiri di atas
batu besar dan masih tetap juga
menembang menantang-nantang.
Kakek itu belum tua benar, kira-
kira baru enam puluh tahun. Tetapi
rambutnya sudah lebih banyak yang
putih daripada yang hitam, dibiarkan
keriapan di punggung maupun pundak,
dan tanpa memakai ikat kepala.
Pakaiannya aneh, kain panjangnya dari
lurik warna hijau, sabuknya hitam,
akan tetapi bajunya kain lurik warna
kuning. Melihat pakaian yang warna-
warni itu diam-diam ia geli.
Akan tetapi ia tidak sempat
menertawakan kakek itu. Hatinya yang
penasaran mendengar tantangan untuk
kakeknya mendorong kepada bocah ini
untuk berteriak lantang,
Hei kakek busuk! Engkau mengumbar
mulut tanpa aturan. Apakah maksudmu
sebenarnya?
Kakek itu memalingkan muka,
mulutnya berhenti menembang, kemudian
mengerutkan alis. Ia tidak senang
kepada bocah yang lancang mulut.
Hai bocah! Hati-hatilah membuka
mulut!
Sentiko mendelik. Teriaknya,
Engkaulah yang seharusnya hati-hati
membuka mulut. Hayo, kau menantang
siapa?!
Bocah kurangajar! bentak kakek
itu sambil terjun dan melayang turun
dari batu setinggi rumah.
Sentiko kaget setengah mati
melihat cara bergerak kakek itu yang
melayang turun dari batu tinggi,
seperti burung raksasa. Dari
gerakannya yang amat ringan dan tanpa
suara itu, sudah membuktikan si kakek
itu bukan orang sembarangan. Sedangkan
dirinya tidak mungkin dapat berbuat
seperti itu.
Diam-diam bocah ini gentar juga.
Namun demikian ia bocah bandel dan tak
takut siapapun. Tangannya bertolak
pinggang sambil menjawab ketus, Engkau
sendiri yang kurang ajar! Apakah
sebabnya engkau mengumbar mulut tanpa
aturan dan menantang kakekku Si Tangan
Iblis?
Mahisa Jaladri terbelakak kaget.
Benarkah Si Tangan Ibilis yang ia
tantang itu sekarang sudah muncul? Dan
benarkah bocah ini yang dijadikan
perantara untuk menerima tantangannya?
Kalau benar tentu saja ia senang
sekali.
Karena gembira, Mahisa Jaladri
tertawa te-bahak-bahak, Ha ha ha ha,
bagus! Tangan Iblis sekarang muncul.
Ho ho ho ho belasan tahun lamanya aku
menantang bertanding, tetapi Si Tangan
Iblis selalu bersembunyi. Heh heh heh,
lekaslah kau suruh Si Tangan Iblis
keluar dan berhadapan dengan aku.
Tutup mututmu kakek busuk! bentak
Sentiko. Siapa bilang kakekku di sini?
Dan siapa pula yang bilang kakekku
bersembunyi karena takut kepada
engkau? Huh, tidak perlu kau menantang
kakekku. Aku sendiri sanggup
menghadapi kau yang busuk!
Mahisa Jaladri mengerutkan alis
makin dalam, kemudian dengan mata
bersinar marah ia menatap bocah itu.
Hardiknya, Apa? Bocah lancang mulut.
Suruhlah kakekmu keluar menghadapi
tantanganku.
Kakekku tidak ada di sini.
Kakekku di Tosari. Huh huh, engkau
baru dapat berhadapan dengan kakekku,
setelah kau menang melawan aku!
Kakek itu hampir tidak percaya
akan pendengarannya sendiri. Benarkah
bocah ini sebagai suruhan Si Tangan
Iblis? Dan benarkah sekalipun
tampaknya kecil, bocah ini sanggup
menghadapi dirinya? Tetapi ia tidak
percaya.
Bocah lancang! katanya. Engkau
berani kurangajar di depanku ? Hayo,
lekas suruhlah kakekmu keluar. Aku
ingin berkelahi dengan musuh
bebuyutanku sampai seribu jurus dan
siapa pula yang harus mampus!
Kakek lancang! Apakah telingamu
sudah tuli? Aku sudah bilang kakekku
di Tosari. Tetapi engkau baru bisa
berhadapan dengan kakekku, setelah
engkau menang melawan aku!
Mahisa Jaladri menjadi geli
mendengar tantangan bocah ini.
Ejeknya, Heh heh heh heh, engkau
ibarat buah mentimun berani menantang
durian. Ha ha ha ha, Tangan Iblis
licik dan busuk! Mengapa sebabnya kau
menyuruh cucumu yang sinting ini
menghadapi aku? Hayo...
Kau sendiri yang sinting! potong
Sentiko sambil membantingkan kakinya
ke tanah saking jengkel dan penasaran.
Tetapi begitu membantingkan
kakinya, ia meringis kesakitan.
Kakinya yang terluka tidak mau diajak
kompromi.
Namun demikian ia menguatkan diri
dan m-neruskan, Kakekku tidak pernah
menyuruh aku. Aku datang dan menantang
engkau, karena kau mengumbar mulut dan
menantang kakekku. Hayo sekarang
lawanlah aku!
Bocah yang bandel tetapi tidak
mengukur kemampuan diri ini sudah
mencabut senjatanya. Dalam penasaran
dan marahnya, ia menjadi lupa kepada
luka-lukanya yang belum sembuh. Dengan
garang bocah ini melintangkan senjata
di depan dada. Sepasang matanya
bersinar marah menatap Mahisa Jaladri
tanpa berkedip.
Mahisa Jaladri keheranan.
Benarkah bocah ini kecil-kecil cabe
rawit hingga berani menantang dirinya?
Tetapi hatinya tidak juga mau percaya
justru paling banter bocah ini berumur
lima belas tahun. Manakah mungkin
sanggup melawan bocah ingusan macam
itu? Apabila dirinya melayani
tantangan bocah, tentu dirinya akan di
tertawakan oleh semua tokoh sakti di
dunia ini.
Bocah sinting, heh heh heh,
Mahisa Jaladri terkekeh lagi. Pergilah
dan jangan membuka mulut sembarangan.
Sudahlah, jangan mengganggu aku lagi,
dan sekarang aku akan pergi ke Tosari.
Tak mungkin! Makanlah dulu
senjataku ini! Berbareng ucapannya ia
sudah melompat dan menerjang.
Tombaknya berkelebat cepat, sekaligus
menyerang leher, dada dan pusar.
Mahisa Jaladri terbelalak kaget.
Apakah bocah ini sudah gila? Baru
gerakannya saja masih terlalu lambat,
serangannya masih kaku dan mentah.
Manakah mungkin bisa melawan dirinya?
Karena itu kakek ini tidak bergerak
dari tempatnya berdiri. Kemudian
tangan kanan menyentil.
Tring tring tring.... Aduhhh....!
Semua serangan Sentiko disentil oleh
Mahisa Jaladri sehingga gagal total.
Dan sesudah itu dengan menggunakan
tenaga yang diperhitungkan agar tidak
mencelakakan bocah ini, ia mendorong.
Sentiko memekik nyaring lalu terlempar
beberapa depa ke belakang dan roboh
pingsan. Kemudian dari beberapa bagian
tubuhnya yang terluka, keluar darah
lagi.
Bocah ini memang lupa dirinya.
Tadi begitu menyerang dengan mengge-
rakkan tenaga, lengan menjadi lumpuh
ketika senjatanya disentil oleh Mahisa
Jaladri. Pundaknya yang terluka
menjadi sakit dan tidak tertahankan
lagi dan ia tadi memekik nyaring,
disusul dadanya sesak dan pandang
matanya kabur, lalu terlempar dan
pingsan.
Mahisa Jaladri kaget sendiri
melihat darah merah membasahi pakaian
bocah kurangajar itu. Ia tadi sudah
memperhitungkan tenaga, tetapi mengapa
bocah itu roboh dan berdarah? Ia me-
langkah menghampiri dengan maksud
meneliti keadaan. Namun tiba-tiba ia
kaget, mendengar orang ketawa
perlahan.
Ketika dirinya memalingkan muka,
tiba-tiba saja wajah kakek ini pucat
dan segera membungkukkan tubuh memberi
hormat.
Ahhh.... Bendara Umbaran....
tidak nyana hamba dapat bertemu
Bendara di tempat ini, katanya
setengah takut.
Giri Samodra ketawa perlahan.
Kakek ini sebelum menggunakan nama
Giri Samodra, memang bernama Umbaran,
lengkapnya Kebo Umbaran. Dan mengingat
Mahisa Jaladri menyebut bendara
(tuanku), menjadi jelas Giri Samodra
ini memang seorang bangsawan
Majapahit.
Ya, belasan tahun lamanya kita
berpisah, setelah pemberontakan Gajah
Biru gagal, ujar Giri Samodra. Hemm,
di mana saja engkau selama ini?
Hamba bertempat tinggal di Tidar,
dalam usaha hamba menggembleng diri
untuk membalas sakit hati.
Kepada siapa? Apakah kepada
Taruno yang terkenal dengan sebutannya
Si Tangan Iblis yang kautantang itu?
Bendara Umbaran mendengar pula?
Ha ha ha ha, tentu saja. Aku
masih mempunyai telinga, mengapa tidak
mendengar tantanganmu kepada Tangan
Iblis yang engkau gubah dalam tembang
Durma itu? Tetapi hemm, soal apa
sajakah yang menyebabkan begitu dalam
dendammu kepada Tangan Iblis?
Bendara, hamba memang dendam
kepada keparat itu. Dahulu, lebih
kurang dua puluh lima tahun lalu,
keparat itu hamba beri air susu malah
membalas dengan air tuba.
Mahisa Jaladri berhenti, napasnya
terengah-engah oleh pengaruh rasa
penasaran. Lalu, Dahulu ia datang ke
rumah hamba minta perlindungan dari
kejaran Mpu Nala, sesudah serangannya
diobrak-abrik. Mengingat hamba pun
tidak senang kepada Majapahit, hamba
terima Si Tangan Iblis dengan tangan
terbuka. Tetapi kemudian pada suatu
malam ketika hamba pulang menunaikan
tugas yang Bendara perintahkan,
terjadilah sesuatu yang tidak pernah
hamba harapkan. Begini, Bendara....
Mahisa Jaladri menghentikan
ucapannya lagi, menghela napas
panjang, baru kemudian meneruskan,
Ketika hamba mendekati rumah, hamba
menjadi curiga mendengar suara isteri
hamba tertawa-tawa cekikikan di dalam
bilik, dan diseling oleh suara laki-
laki. Dan betapa kaget dan panas hati
hamba setelah dapat mengintip dari
celah dinding, ternyata isteri hamba
berzina dengan Tangan Iblis itu...
Eh... nanti dulu! Bukankah dahulu
engkau pernah memberi laporan
kepadaku, isterimu sudah meninggal?
Bendara, isteri yang hamba maksud
itu adalah isteri yang kedua, sesudah
isteri hamba meninggal, dan usianya
masih muda belum dua puluh tahun.
Hemm, begitu? Lalu apa yang
kaulakukan?
Mengingat hubungan yang baik
antara hamba dengan Tangan Iblis, maka
hamba serahkan isteri itu kepada dia
baik-baik. Tetapi celakanya Tangan
Iblis tidak bertanggungjawab dan tidak
mau menerima. Saking marah kemudian
terjadilah perkelahian dan akhirnya
hamba kalah....
Hemm, tetapi mengapa sebabnya
sekarang kau muncul dan malah
menantang Tangan Iblis?
Hamba sekarang merasa telah jauh
maju, sesudah menggembleng diri
puluhan tahun lamanya di Tidar. Hati
hamba merasa tidak puas sebelum hamba
berhasil mengalahkan manusia busuk
berjuluk Tangan Iblis tersebut.
Hemmm, begitukah ? Jika engkau
memang penasaran kepada dia, pergilah
kau ke Tosari.
Tetapi bocah kurangajar ini
cucunya. Bocah ini akan hamba tangkap
sebagai sandra.
Apakah kau tidak tahu, bocah ini
muridku? Mahisa Jaladri terbelalak
kaget dan pucat. Katanya, Ohh, murid
Bendara? Ohh... maafkanlah hamba yang
tidak tahu diri. Tetapi mengapa bocah
ini tadi mengaku sebagai cucu Tangan
Iblis? Hamba menjadi bingung. Manakah
yang benar?
Giri Samodra menghela napas
pendek. Kemudian ia menjawab, Hemm,
agaknya Dewata Yang Agung sudah
menghendaki terjadinya soal ini.
Sudahlah, sekarang pergilah kau dan
menyelesaikan urusan pribadimu dengan
Tangan Iblis. Dan tentang bocah ini
adalah urusanku sendiri tiada hubungan
sama sekali dengan urusanmu.
Mahisa Jaladri mengangguk-angguk,
sekalipun dalam hati masih kurang
puas. Ia tidak berani membantah kepada
bekas junjungan ini, kemudian memberi
hormat dan minta diri. Sedang Giri
Samodra melepas kepergian Mahisa
Jaladri dengan helaan napas pendek.
Apa harus dikata apabila yang
terjadi harus begini? gumamnya. Aku
sudah terlanjur suka kepada bocah ini.
Dan bagiku tentang keturunan siapapun
tidaklah soal. Sebab yang penting, me-
mang tidaklah gampang mencari bocah
yang bandel, tabah, berani dan berbau
sesat seperti bocah ini.
Ia membungkuk, kemudian Sentiko
dipondong ke tempat yang bersih. Kakek
ini segera bekerja untuk membersihkan
lukanya yang kotor dan segera
membubuhkan obat. Sesudah selesai,
kakek ini kemudian menyingkir kira-
kira lima depa jauhnya, lalu duduk
berdiam diri.
Tak lama kemudian bocah ini
siuman. Bocah ini kaget ketika
mendapatkan dirinya terbaring di atas
rumput. Ia mengucak matanya sambil
mengumpulkan ingatannya. Dan setelah
ingatannya pulih kembali, terbayanglah
kemudian semua peristiwa yang sudah
dialami. Kemudian ketika memalingkan
mukanya, ia melihat dengan jelas kakek
tua yang sudah beberapa kali menolong
dirinya duduk berdiam diri. Melihat
kakek itu ia menjadi sadar, tentunya
dirinya baru saja ditolong lagi oleh
kakek itu.
Kemudian teringatlah dalam
benaknya, dirinya tadi berhadapan
dengan seorang kakek yang menembang
dan menantang kakeknya. Tantangan itu
membuat ia marah dan kemudian
menantang berkelahi. Tetapi ahh, apa
yang baru dialami tadi, menimbulkan
rasa penasaran, karena dirinya tidak
dapat berbuat banyak melawan kakek
yang mengaku bernama Mahisa Jaladri
itu. Kalau melawan orang itu saja
tidak mampu, manakah mungkin dirinya
bisa menang melawan Gajah Mada dan Mpu
Nala?
Teringat apa yang sudah dialami
selama meninggalkan Tosari, bagaimana-
pun bandel dan keras kepalanya,
memberi kesadaran kepada bocah ini. Ia
bukan bocah tolol dan ia juga
menyadari apa yang sudah terjadi,
tidak lain karena dirinya memang belum
mampu dan tingkat ilmunya masih
rendah. Sebaliknya kakek yang selalu
menolong dirinya ini, ingin sekali
mengambil dirinya sebagai murid.
Apakah sebabnya kesempatan sebaik ini
tidak ia pergunakan ?
Sadar akan dirinya dan sadar akan
keadaan, maka kemudian tanpa ragu lagi
ia bangkit dan kemudian menghampiri.
Di depan Giri Samodra, bocah ini
kemudian berlutut sambil berkata.
Sudilah Guru mengampuni kekurang-
ajaran murid. Dan apapun hukuman yang
harus murid terima, murid takkan
menyesal. Mau disiksa, silakan! Mau
dibunuh, silakan!
Giri Samodra menatap Sentiko tak
berkedip. Dan sejenak kemudian ia
terkekeh.
Luar biasa bocah ini, pikirnya.
Tadi bersikeras menolak, tahu-tahu
sekarang sudah berlutut dan mengaku
sebagai murid. Siapakah yang tidak
menjadi senang?
Karena itu dengan senang hati
Giri Samodra berkata halus, Anak baik,
bangkitlah!
Sentiko menurut lalu duduk
bersila di depan Kakek itu. Sikap
bocah ini sekarang berlawanan dengan
sikapnya siang tadi. Ia sekarang duduk
sambil menundukkan kepala dan tidak
berani sembarangan membuka mulut.
Anak baik, benarkah engkau sudah
mantap menjadi muridku? Giri Samodra
bertanya.
Sentiko menyahut dengan sungguh-
sungguh, Murid sudah mantap dan akan
patuh kepada Guru.
Sekalipun aku perintahkan
menerjang lautan api, engkau sedia
melakukannya?
Jangan lagi menerjang lautan api,
sekalipun murid harus mati, murid akan
melaksanakan perintah Guru. Dan jika
Guru tidak percaya, murid bersedia
pula bersumpah.
Sudahlah, tidak usah. Dan
sekarang, marilah kita pergi.
Giri Samodra bangkit berdiri, dan
sekali melompat kakek itu sudah
lenyap. Hanya dalam waktu singkat,
Sentiko mendengar suara kakek itu dari
tempat yang sudah agak jauh.
Hai muridku yang baik, Sentiko.
Ambillah arah ke barat dan aku
menunggu engkau di tepi hutan. Sudah
hampir malam, tidaklah baik apabila
kita harus menginap di dalam hutan
ini.
Sentiko terkesiap. Mengapakah
sebabnya gurunya itu tiba-tiba
meninggalkan dirinya di hutan ini? Dan
apakah sebabnya guru baru itu berbuat
aneh seperti sekarang ini? Padahal
sekarang ini cuaca sudah gelap.
Seorang diri menerobos hutan apakah
tidak berbahaya?
Akan tetapi sejenak kemudian
bocah ini sadar akan diri. Ia dapat
menduga tentang sebabnya kakek itu
berbuat seaneh ini. Kiranya kakek itu
sedang menguji kesetiaannya sebagai
murid. Sadar akan maksud kakek itu, ia
kemudian melangkah tanpa ragu lagi,
menuju ke arah matahari terbenam.
Sampai di sini, cerita ini
berakhir. Sekalipun demikian cerita
ini belum tamat. Masih mengganjal
dalam benak kita, lalu bagaimanakah
dengan bocah kecil bernama Sentiko?
Setelah menjadi murid Giri Samodra,
benarkah bocah ini dapat menandingi
Gajah Mada dan Mpu Nala? Pertanyaan
ini baru bisa terjawab apabila Anda
membaca buku Seri Dewi Sritanjung yang
berjudul KOBARAN API ASMARA.
Pada buku berjudul KOBARAN API
ASMARA ini, anda akan bertemu kembali
dengan para tokoh Si Tangan Iblis,
Dewi Sritanjung, Sarindah, Sarwiyah,
Kaligis, tokoh licik Sangkan, dan akan
berkenalan pula dengan tokoh aneh
bernama Warigagung dan Julung Pujud.
Kita cukilkan sedikit adegan yang
bakal Anda temui dalam buku KOBARAN
API ASMARA.
.....Kaligis dan Sangkan seperti
terkunci mulutnya, tak bisa membuka
mulut. Apalagi ketika si pemuda
menghentikan tiupan serulingnya, ular-
ular tersebut berhenti menari.
Kemudian aneka macam ular itu bergerak
menyebar kesana dan kemari, menuju
tempat sembunyi masing-masing. Yang
lebih mengerikan lagi adalah cara
bergerak ular warna hitam, yang
panjangnya hanya lebih kurang satu
kaki. Ular hitam dan pendek itu
disebut orang dengan nama ular
Bandotan. Ular tersebut bukannya
melata, tetapi menekuk tubuhnya,
kemudian melenting sekitar dua atau
tiga depa jauhnya....
..... Heh heh heh heh, Warigagung
terkekeh lalu ujarnya sombong, Rasakan
jarumku. Sebelum mampus kamu akan
menderita siksaan hebat!
Tanpa memperdulikan lima orang
saudara seperguraan yang menderita,
Warigagung melangkahkan kaki masih
sambil terkekeh. Tak lama kemudian
sayup-sayup terdengar sending yang
ditiup oleh Warigagung....
.... trang .... benturan pedang
terdengar nyaring.
Sarindah memekik tertahan dan
tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke
belakang. Sebaliknya Warigagung hanya
mundur dua langkah ke belakang.
Bangsat busuk. Bentak Sarindah
lantang. Engkau jangan menggunakan
alasan yang dicari-cari. Sekarang
anggaplah aku bukan perempuan. Aku
seorang laki-laki yang akan membunuh
kau!
Sepasang mata Warigagung menyala
liar. Tantangan itu membangkitkan
kemarahannya. Namun demikian ia segera
ingat kembali bahwa bagaimanapun yang
dihadapi sekarang ini perempuan,
sekaum dengan ibunya. Jawabnya
kemudian, Tidak! Aku tidak boleh
melawan perempuan. Ibuku di alam baqa
akan marah dan menyesal, jika aku
melanggarnya. Mungkin ibuku akan
menyumpah aku menjadi seekor caring.
Tidak! Aku tak mau melawan kau.
Sarwiyah berusaha mencegah
Sarindah, katanya, Mbakyu, kalau dia
memang tidak mau melawan, mengapa kau
memaksa? Biarkan dia pergi, dan mari
kita lihat siapakah yang akan menang
antara kakek dengan orang itu.
Sarwiyah memandang Warigagung
dengan ragu. Pandang matanya demikian
sayu, dan seakan minta kepada pemuda
itu agar mau mengalah.
Warigagung dapat pula menangkap
sinar mata gadis itu yang lembut, yang
berbeda dengan saudaranya, dan seakan
penuh harap agar mau mengalah.
Walaupun pemuda liar dan ganas, tetapi
Warigagung punya kelembutan jika
berhadapan dengan perempuan. Hatinya
tergetar dan iba pula kepada gadis
itu....
.....Ayaaa .... bocah-bocah ini,
mengapa bergulingan dan merintih-
rintih? Kakek gendut ini menggumam
sambil memperhatikan sekeliling.
Kemudian ia menekap lubang hidungnya
sendiri tak tahan menghirup bau darah
ular yang anyir dan amis, sambil
berjingkrakan seperti telapak kakinya
tertusuk duri. Racun... bisa... ahh,
nyawa bocah-bocah ini diancam
maut. Hemm.... kasihan....
Mendadak kakinya bergerak menen-
dang mereka yang sedang tersiksa dan
merintih-rintih. Ahhh, mengapa kakek
ini sampai hati menambah derita para
korban racun Warigagung ini? Tidak
menolong malah ditendangi.
Akan tetapi tubuh yang ditendangi
tidak terbanting keras. Melainkan
melayang perlahan dan kemudian
menggeletak di tanah tak bersuara.
Empat kali kaki menendang, dan
berturut-turut tubuh Kebo Pradah, Tanu
Pada, Sangkan dan Mahisa Singkir.
Jatuhnya sungguh aneh. Dapat berjajar
seperti diatur. Kakek gendut ini
kemudian melangkah perlahan
menghampiri. Tetapi tiba-tiba telinga-
nya yang tajam mendengar gerakan dalam
selokan.
Kakek ini mengamati sejenak,
kemudian katanya, Ahh, masih ada satu
lagi.
Setelah mencabut jarum yang
menancap pada tubuh lima bocah itu,
kemudian kakek gendut bernama Mpu
Anusa Dwipa ini mengeluarkan lima
butir obat kering warna merah. Satu
persatu obat dihancurkan dengan air.
Kemudian diminumkan kepada para
korban. Yang terjadi kemudian sungguh
mengherankan. Semua korban itu seka-
rang bergerak. Dan kira-kira tengah
malam, lima orang murid Si Tangan
Iblis sadar hampir berbareng. Kemudian
mereka meloncat bangun hampir
berbareng merasa kaget....
Mpu Anusa Dwipa memang seorang
sakti berhati emas. Suka menolong tiap
orang, tidak membedakan orang baik
atau jahat....
......Heh heh heh heh, Julung
Pujud terkekeh.
Mengapa engkau menjadi tolol?
Muridku masih jejaka tulen. Dan cucumu
juga masih gadis. Sekarang juga aku
melamar cucumu yang muda itu, untuk
menjadi isteri muridku Warigagung.
Setuju tidak?
Sarwiyah hatinya tidak karuan.
Sebab walaupun belum terang-terangan,
sesungguhnya hatinya sudah terisi oleh
Kebo Pradah. Ia tidak benci kepada
Warigagung, sekalipun tadi baru saja
berkelahi. Tetapi cinta? Ahh, rasa
cintanya sampai sekarang ini hanya
tertuju kepada Kebo Pradah seorang.
Namun sebaliknya kalau dirinya me-
nolak, terus terang ia tidak berani.
Sebab kakeknya, Si Tangan Iblis bisa
marah besar dan salah-salah dirinya
bisa dibunuh mati......
......Hemm, apakah sebabnya kau
repot? Letakkan saja dua mayat ini di
tepi desa. Esok pagi tentu akan
dirawat orang. Mari cepat, kemudian
selekasnya kita pergi dari sini.
Sangkan sudah mendahului
menyambar mayat Tanu Pada. Mau tak mau
Kaligis segera menyambar mayat Kebo
Pradah. Kemudian dua orang muda ini
berlarian menuju desa.
Mahisa Singkir tak kuasa menahan
air mata. Ia lari cepat ke jurusan
lain. Kemudian ia duduk di atas sebuah
batu, lalu terisak-isak. Hati pemuda
ini sedih sekali. Mengapa antara
saudara seperguraan terjadi persa-
ingan, dan mengakibatkan saling bunuh?
Apakah kalau begitu, cinta itu jahat?
Cinta, apakah mendorong kepada manusia
melakukan perbuatan-perbuatan
terkutuk? Ia menjadi ngeri sendiri....
Demikian antara lain beberapa
adegan yang akan Anda temui di dalam
buku KOBARAN API ASMARA. Lebih
menarik, tegang tetapi juga
mengasyikkan!!!
Sala, Medio Pebruari 1987.
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
onvert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon