Pengantar
Dewi Sritanjung melakukan per-
jalanan dalam usaha mencari ayah
kandung. Di perjalanan bertemu dengan
dua pemuda bernama Kaligis dan
bersama. Di dalam hutan, gadis ini
ditangkap oleh dua pemuda itu. Untung
ia berkepandaian tinggi hingga usaha
itu gagal, dan malah dapat mengusir
Sangkan dan Kaligis lari terbirit-
birit.
Tetapi perhatian Dewi Sritanjung
segera tertarik oleh datangnya gadis
cantik yang menghadang Kaligis dan
Sangkan. Gadis ini adalah Sarindah,
cucu tua Si Tangan Iblis. Dewi
Sritanjung sembunyi di belakang batu
besar dan siap menolong Sarindah
apabila gadis itu sampai kalah. Ia
rela apabila gadis itu celaka di
tangan Kaligis maupun Sangkan.
Celakanya, kepandaian Sarindah
hampir seimbang dengan dua pemuda itu.
Maka akibatnya, gadis ini tidak lekas
dapat menundukkan Sangkan maupun
Kaligis.
Untung sekali Si Tangan Iblis dan
Sarwiyah segera muncul dan menolong.
Hingga kesulitan Sarindah teratasi.
Namun segera terjadi salah paham
antara si Tangan Iblis dengan Dewi
Sritanjung, setelah mendengar
keterangan mempunyai hubungan erat
dengan Gajah Mada. Maka si Tangan
Iblis ingin menangkap, tetapi Dewi
Sritanjung melawan. Terjadi perkela-
hian dan hampir saja gadis ini celaka
kalau Gajah Mada tidak segera muncul
dan menolong.
Dalam perkelahian secara ksatrya,
satu lawan satu ini, pada akhirnya si
Tangan Iblis kalah dan mati. Sesudah
itu Dewi Sritanjung lalu mengikuti
Gajah Mada menuju Ibukota Majapahit
guna dipertemukan dengan ayah kan-
dungnya.
Pada kesempatan ini Surya Lelana
yang sudah sejak lama tertarik oleh
kejelitaan Dewi Sritanjung tidak dapat
menguasai perasaan dan menyatakan
cintanya, dan tidak ditolak oleh Dewi
Sritanjung.
Nah, untuk seterusnya ikutilah
cerita “Tersiksa Seperti di Neraka”
ini.
11
Dewi Sritanjung dipersilakan
masuk lebih dahulu ketika pintu kereta
dibuka Surya Lelana. Tanpa ragu sedi-
kitpun gadis ini masuk, lalu duduk
pada bak bagian belakang.
Namun ketika Surya Lelana sudah
masuk, pemuda ini cepat memberitahu,
“Diajeng, kita harus duduk di sini.
Kita berjajar, sebab bak belakang
untuk tempat duduk Rama.”
“Idih! Kau ini bagaimana?” sahut
Dewi Sritanjung sambil tersenyum dan
mata yang indah itu mengerling.
“Bukankah alasanmu ini, karena engkau
bermaksud agar engkau dapat duduk
berdampingan dengan aku?”
Sekalipun berkata demikian,
sebenarnya gadis ini merasa senang
sekali apabila dapat duduk berdam-
pingan dengan Surya Lelana. Entah apa
sebabnya, rasanya bahagia sekali.
Surya Lelana menyambut gadis ini
dengan ketawa lirih. Lalu, “Diajeng,
aku memang berkata sejujurnya. Memang
pada bagian belakang itu merupakan
tempat duduk kebesaran bagi Rama dalam
kedudukannya sebagai Mahapatih
Majapahit. Sedang engkau dan aku harus
duduk di sini, dan....”
Dewi Sritanjung yang sudah duduk
di samping Surya Lelana menatap wajah
pemuda ini sambil bertanya, “Dan
apa...?”
Surya Lelana tidak cepat
menjawab. Bibirnya tersenyum dan
matanya menatap wajah ayu itu.
Yang dipandang menjadi berdebar
dan malu, tapi dalam dadanya terasa
amat bahagia.
“Apakah engkau tidak marah dengan
kejadian waktu itu? Ketika aku mau
pergi dan minta diri dari kau
sambil..... mencium...?”
Pipi gadis ini berubah merah
mendengar pertanyaan itu. Untuk
sejenak gadis ini menundukkan muka.
Setelah diangkat lagi, kepalanya
menggeleng.
“Tidak, Surya. Tidak ada rasa
marah dalam hatiku,” jawabnya polos.
“Apakah sebabnya engkau tidak
marah?”
Gadis ini tergagap mendengar per-
tanyaan ini. Sesungguhnya ia ingin
sekali mengatakan, dirinya tak tahu
mengapa sebabnya tidak marah atas
perlakuan Surya Lelana itu, dan
sungguh aneh pula dirinya malah selalu
terkenang pengalaman itu.
Dewi Sritanjung menggelengkan
kepalanya, jawabnya lirih, “Aku tidak
tahu....”
Jantung Surya Lelana berdebar
mendengar jawaban gadis yang singkat
ini. Kalau demikian halnya, apakah
jawaban ini merupakan tanda, gadis
inipun mengimbangi perasaan hatinya?
Ia sudah terlanjur tercuri hatinya
oleh gadis ini. Gadis sederhana,
tetapi memiliki kecantikan luar biasa,
kecantikan yang alami.
Dengan agak ragu Surya Lelana
bergerak. Pemuda ini ingin menjajagi
bagaimanakah sikap Dewi Sritanjung.
Maka jari tangannya lalu meraba jari
tangan Dewi Sritanjung yang kecil,
runcing dan halus itu. Jari tangan itu
untuk beberapa saat lamanya ia usap-
usap dan ia permainkan. Setelah
melihat gadis ini diam saja, gera-
kannya mulai berani dan merembet naik
ke lengan. Lalu sambil mengusap-usap
lengan itu, Surya Lelana berkata
halus, “Diajeng, apakah engkau takkan
marah apabila mendengar perkataanku?”
“Engkau mau berkata apa?” sahut
Dewi Sritanjung sambil menundukkan
kepala, karena usapan tangan Surya
Lelana itu kuasa membuat jantungnya
berdebar tegang. “Dan mengapa pula aku
harus marah?”
“Diajeng, tahukah engkau bahwa
sejak pertemuanku denganmu yang
pertama kali, aku sudah jatuh cinta
kepadamu?”
Dewi Sritanjung berjingkrak men-
dengar istilah asing yang diucapkan
oleh pemuda tampan di sampingnya ini.
Tetapi justru kata-kata asing ini,
sebenarnya sudah lama tersimpan dalam
dadanya dan selalu berharap agar Surya
Lelana mengucapkan kata-kata itu.
Akan tetapi sekarang, anehnya,
setelah mendengar ucapan dari mulut
Surya Lelana yang mencintai dirinya,
mulut Dewi Sritanjung malah seperti
terkunci dan tidak bisa menjawab,
sekali pun dalam dadanya bergolak
perasaan yang mendesak agar segera
memberi jawaban. Gadis ini hanya bisa
menundukkan muka, dadanya turun naik.
“Diajeng Tanjung,” bisik Surya
Lelana halus, sedang jari tangannya
dengan lancang sudah mengangkat dagu
Dewi Sritanjung yang halus dan kuning
itu, “Bagaimana? Engkau terimakah
perasaan cintaku ini?”
Dewi Sritanjung belum juga men-
jawab, sekalipun hatinya amat ingin.
Namun sekalipun gadis ini belum
menjawab, Surya Lelana sudah cukup
maklum bahwa gadis ini mengimbangi
perasaannya. Terbukti Dewi Sritanjung
tidak berusaha melepaskan jari tangan
Surya Lelana yang memegang dagu.
Tahu-tahu Surya Lelana sudah
memeluk, lalu mencium mulut Dewi
Sritanjung. Untuk sejenak gadis ini
gelagapan, namun kemudian sudah
mendorong pundak Surya Lelana
perlahan.
“Surya, ya... agaknya aku pun
mempunyai perasaan yang sama...,”
jawabnya.
“Mengapa masih menggunakan
istilah agaknya, Diajeng? Apakah
engkau masih meragukan cinta kasihku?”
“Surya, hal ini bisa kita bica-
rakan setelah aku bertemu dengan orang
tuaku. Kemudian orang tuamu bisa
bicara dengan orang tuaku. Hemm,
sudahlah.... Guru datang....”
Dewi Sritanjung mengubah letak
duduknya, menggeser pantat ke seberang
kanan menyentuh dinding kereta. Surya
Lelana tahu diri bergeser pada bagian
lain.
Pintu kereta terbuka. Gajah Mada
masuk sambil tersenyum. Katanya halus,
“Aku senang sekali kalian rukun.
Marilah kita sekarang pulang. Aku
sudah menyuruh orang untuk memanggil
orang tuamu, Tanjung.”
Gajah Mada duduk pada bak
belakang. Pintu kereta ditutupkan
kembali oleh sais kereta dari luar.
Dewi Sritanjung hanya bisa me-
ngangguk. Gadis ini jantungnya
berdebar penuh perasaan gembira, tak
lama lagi akan dapat berhadapan dengan
orang tuanya, yang sudah belasan tahun
lamanya belum pernah ia lihat wajahnya
dan belum pernah ia kenal.
Akan tetapi sesungguhnya disam-
ping jantungnya berdebaran oleh
pengaruh bakal bertemu dengan orang
tuanya, gadis ini juga berdebar oleh
perlakuan Surya Lelana tadi yang
lancang memberi ciuman. Ia khawatir
apabila apa yang dilakukan itu
diketahui Gajah Mada. Sebab, ternyata
begitu masuk tokoh itu mengatakan
gembira mereka berdua begitu rukun.
Tak lama kemudian roda kereta
sudah bergerak oleh tarikan kuda yang
dicambuk sais. Selama hidupnya baru
kali ini Dewi Sritanjung merasakan
naik kereta. Tubuhnya terguncang-
guncang oleh lari kuda yang cepat.
Bagi Dewi Sritanjung, naik kereta
seperti ini nyaman juga, sekalipun
lambat, apabila dibandingkan dirinya
naik di punggung harimau.
Dewi Sritanjung menggunakan jari
tangannya untuk membuka tirai yang
menutup lubang kereta. Ia memandang
keluar, kemudian terpikat oleh
pemandangan baru yang belum pernah ia
saksikan. Sepanjang jalan yang dilalui
banyak berdiri rumah besar dan megah.
Orang yang lalu lalang semakin banyak.
Di samping juga banyak orang
menjajakan dagangan sambil berteriak.
Tiba-tiba perhatiannya terganggu
oleh pertanyaan Gajah Mada.
“Tanjung, mengapa sebabnya gurumu
tidak menyertai engkau kemari?”
“Apakah Paman belum membaca surat
dari Kakek?” Sritanjung berbalik
bertanya.
Gajah Mada tersenyum. Lalu,
“Memang sudah, Anakku. Tetapi Kakang
Tunjung Biru tidak menyinggung keadaan
pribadi gurumu. Beliau hanya membe-
ritahu, engkau adalah murid tunggal.
Engkau merupakan pewaris Kiageng
Tunjung Biru. Karena itu engkau
mempunyai hak menggunakan pedang pu-
saka Tunggul Wulung.”
“Kakek tidak bicara tentang
siapakah orang tuaku?”
“Bicara, Anakku, dan kau tak
perlu khawatir. Tak lama lagi engkau
akan dapat bertemu dengan orang tuamu.
Anakku, engkau sungguh beruntung
sebagai pewaris kakak seperguruanku.
Bukan saja engkau merupakan pewaris
ilmu satu-satunya, engkau juga mempe-
roleh hak mewarisi senjata pusakanya.”
Dewi Sritanjung tersenyum bangga.
Lalu, “Paman, kalau tidak salah Guru
pernah mengatakan pedang pusaka
Tunggul Wulung itu mempunyai saudara
kembar, bernama Tunggul Naga. Dan
menurut Kakek, Pamanlah yang memiliki
pedang Tunggul Naga itu. Benarkah?”
“Itu benar, Anakku. Akan tetapi
karena aku kurang membutuhkan pedang
pusaka itu, maka aku pinjamkan kepada
Gusti Adityawarman.”
Mendengar pedang pusaka dipin-
jamkan kepada orang lain, sesungguhnya
Dewi Sritanjung kurang senang. Tetapi
ia tidak membuka mulut dan mencela.
“Tanjung, engkau belum menjawab
pertanyaanku. Mengapa engkau tidak
datang bersama gurumu?”
Surya Lelana yang sejak tadi
berdiam diri menyambut, “Ya! Mengapa
Uwa Guru tidak datang bersama kau?
Alangkah senang hatiku apabila Uwa
Guru bersedia datang ke Majapahit.
Apalagi kalau membawa serta harimau
yang jinak itu.”
Dewi Sritanjung menghela napas
pendek. Lalu, “Ya, keputusan Kakek itu
sebenarnya menyebabkan hati murid
kurang sreg (puas). Akan tetapi Kakek
tidak mau meninggalkan pondoknya.
Ketika murid mengatakan tidak ingin
pergi dan ingin menunggui dan melayani
kebutuhannya, Kakek malah marah. Murid
kurang tahu alasan Kakek sebenarnya,
mengapa tidak bersedia meninggalkan
tempat yang sepi itu.”
Gajah Mada menghela napas.
Sesungguhnya ia amat mengharapkan
kakak seperguruannya itu datang ke
Majapahit. Sebab, walaupun sudah tua,
bantuan pikiran kakak seperguruannya
itu amat ia butuhkan, sehubungan
dengan jabatan yang ia pangku.
Sudah menjadi cita-citanya untuk
membangun Majapahit ke puncak
kejayaan. Dan cita-citanya itu baru
akan terwujud dan terlaksana apabila
Majapahit menggunakan kekuatan
angkatan perang untuk menyerbu ke
wilayah dan menaklukkan penguasanya.
Walaupun jumlah prajurit tidak
terhitung banyaknya, jumlah tersebut
tak akan ada artinya apabila
kekurangan pemimpin yang sakti
mandraguna. Namun apa harus dikata,
agaknya Kiageng Tunjung Biru memang
sudah tidak mau lagi mencampuri urusan
duniawi dan apalagi urusan peme-
rintahan.
“Sungguh sayang,” desisnya.
“Tetapi ahh, sudahlah. Agaknya memang
harus demikianlah garis yang telah
ditentukan Yang Maha Tinggi. Manusia
bisa berusaha, tetapi ketentuan di
tangan Dia.”
Untuk sejenak dalam kereta itu
tidak ada suara. Tetapi kemudian Dewi
Sritanjung bertanya, “Paman, bolehkah
murid bertanya?”
Gajah Mada memandang gadis itu
sambil tersenyum. Jawabnya, “Mengapa
tidak? Bertanyalah apa saja yang
engkau butuhkan. Jika aku dapat
menjawab, semua pertanyaanmu akan
kujawab.”
“Guru banyak memberi nasihat
padaku, agar murid menggunakan ilmu
kesaktian untuk membela rakyat dan
memberantas kejahatan. Menurut peni-
laian murid, kakek yang bernama si
Tangan Iblis itu jahat. Bukan saja
berusaha menangkap murid, setelah
diketahui mempunyai hubungan dengan
Paman, tetapi di samping itu juga
berusaha merebut pedang pusaka Tunggul
Wulung. Akan tetapi mengapa pada saat
orang itu sudah tidak berdaya dan
minta dibunuh, Paman tidak sedia
membunuhnya? Paman, apakah sikap ini
sudah benar?”
Gajah Mada mengangguk-anggukkan
kepala mendengar pertanyaan ini.
Setelah batuk-batuk kecil, jawabnya,
“Ya, pertanyaanmu ini penting sekali
artinya. Dharma seorang gagah, seorang
ksatrya, harus mendekatkan diri dengan
perbuatan yang menguntungkan rakyat
banyak. Sebaliknya, jauhkanlah dirimu
dari nafsu dan kepentingan pribadi.
Pendeknya, dalam melaksanakan tugas
dan dharma baktimu, harus sepi dari
pamrih untuk diri sendiri. Semua
ditujukan untuk kesejahteraan
manusia.”
Ia berhenti sejenak, dan sejenak
kemudian meneruskan, “Tetapi engkau
harus selalu ingat, pembunuhan
bukanlah jalan terbaik untuk mencapai
tujuan masyarakat yang sejahtera.
Sebab kekerasan dan tangan besi takkan
memberi kesadaran kepada mereka yang
sedang gelap jiwanya. Maka berikanlah
kasih dan petunjuk, dan beri pula
kesempatan untuk memperbaiki diri,
untuk kembali ke jalan benar.”
Gajah Mada berhenti lagi sambil
mencari kesan. Ketika melihat Dewi
Sritanjung maupun Surya Lelana berdiam
diri, ia meneruskan, “Betapa untung
yang akan kau peroleh apabila orang
yang semula tersesat itu kemudian
menjadi sadar. Mereka akan menjadi
pembantu yang setia. Mereka akan
menjadi tenaga sukarela dalam usaha
kita mencapai masyarakat sejahtera dan
kerta raharja. Sebaliknya Anakku,
apabila main bunuh dengan alasan
memberantas kejahatan, akan mende-
katkan diri dengan bahaya. Dengan
alasan apapun juga, pembunuhan
terhadap sesama manusia adalah tidak
baik. Lupakah engkau bahwa orang yang
terbunuh itu mempunyai anak, cucu,
saudara dan sanak keluarga? Betapa
sakit hati keluarga yang terbunuh itu,
yang kemudian hari akan menimbulkan
rasa benci dan dendam. Seterusnya akan
terjadi balas-membalas yang tidak ada
akhirnya, yang semua itu hanyalah akan
merugikan manusia sendiri.”
Dewi Sritanjung maupun Surya
Lelana masih berdiam diri, dan Gajah
Mada memandang mereka mencari kesan.
Karena dua orang muda itu tidak
membuka mulut, ia meneruskan, “Dalam
pada itu sudah merupakan kesopanan dan
jiwa ksatrya, yang pantang melakukan
perbuatan apa pun terhadap lawan yang
sudah tidak bisa melawan, tidak
berdaya atau sudah terluka. Itulah
sebabnya aku tadi mengatakan, tidak
pada tempatnya mengganggu Taruno.”
“Tetapi Paman...,” ujar Dewi
Sritanjung, “orang seperti si Tangan
Iblis itu jelas tidak bisa diharapkan
kembali ke jalan benar. Buktinya
walaupun Paman bersikap bijaksana,
orang itu malah membuka mulut semau
sendiri dan mengancam kepada Paman.”
Gajah Mada ketawa lirih. Lalu,
“Bisa dimengerti apabila dia membuka
mulut seperti itu. Sebab hati dan
perasaannya masih dilanda oleh
penasaran. Seseorang akan bisa sadar
tidaklah mungkin terjadi secara tiba-
tiba, dan tentu memerlukan waktu.
Anakku, orang yang sudah mendapat
kesempatan untuk merenungkan, untuk
mendalami dan menghayati, baru dengan
demikian hati dan perasaan ini bisa
terbuka. Dan kemudian membawa kepada
kesadaran.”
“Akan tetapi, sudah tentukah
orang mau merenungkan, mendalami,
menghayati atau mawas diri?”
Gajah Mada terkekeh senang
mendengar bantahan Dewi Sritanjung
ini. Ia mengangguk-angguk, lalu, “Ya,
memang antara manusia satu dan yang
lain akan terjadi perbedaan. Dan
memang belum tentu semua orang mau
merenungkan, menghayati dan mawas
diri. Akan tetapi Anakku, orang yang
bijaksana takkan mengambil keputusan
sebelum mencoba. Segala sesuatu
dipikir lebih dahulu sedalam-dalamnya,
ditimbang-timbang, dan takkan menyesal
maupun putus asa apabila harapannya
sampai gagal. Sebab engkau harus tahu,
kita ini amat kecil apabila
dibandingkan dengan Dia.”
Ketika itu roda kereta sudah
berhenti berputar. Sais meloncat dari
tempat duduknya, lalu membuka pintu
kereta.
Gajah Mada tersenyum sambil
berkata, “Tanjung, kita sudah sampai.
Dan kau Surya, engkau harus dapat
menjadi tuan rumah yang baik. Ajaklah
adikmu lebih dulu menghadap ibumu, dan
perkenalkanlah pula dengan Trisna
Dewi.”
Surya Lelana mengangguk mengi-
akan, lalu membimbing Dewi Sritanjung,
diajak keluar dari kereta.
Dewi Sritanjung terbelalak kagum
begitu turun dari kereta, dan melihat
bangunan rumah yang luas, kokoh dan
bagus. Pekarangan rumah dikurung oleh
tembok batu yang amat tinggi, dan
beberapa orang prajurit yang bertugas
jaga tak pernah lepas dengan tombak
telanjang. Mereka nampak gagah dan
menyeramkan.
Akan tetapi gadis ini tidak
mendapat kesempatan melihat semua itu
lama-lama, karena lengannya sudah
ditarik dan diajak melangkah oleh
Surya Lelana.
“Diajeng Tanjung,” katanya, “jika
engkau menginginkan melihat keadaan
kota Majapahit, jangan khawatir. Aku
akan selalu bersedia menjadi teman dan
pengawalmu. Tetapi saat sekarang ini,
kita harus patuh kepada perintah Guru.
Aku harus mengantar engkau menghadap
Ibu, isteri Rama Gajah Mada untuk
memperkenalkan diri, dan juga kepada
Diajeng Trisna Dewi, puteri Rama.”
“Tetapi....”
“Mengapa?”
“Aku malu. Bagaimanakah perasaan
Puteri Trisna Dewi itu kalau melihat
kelancanganku menggunakan pakaiannya?”
“Engkau sudah memperoleh izin
dari Rama. Aku yang akan menerangkan
bahwa engkau hanyalah menuruti
perintah Rama saja,” Surya Lelana
menghibur. “Ahh, engkau belum kenal
dan tahu wajah Diajeng Trisna Dewi,
maka engkau menjadi khawatir. Dia
seorang puteri bangsawan yang amat
baik, sabar, dan ramah. Sudahlah,
engkau jangan takut. Aku yang akan
menerangkan semuanya.”
Dewi Sritanjung ragu. Kemudian
katanya, “Tetapi... aku biasa hidup di
hutan, kurang mengenal segala macam
adat kesopanan, tatakrama maupun
aturan dalam lingkungan keluarga
pembesar tinggi. Lalu bagaimanakah aku
harus bersikap, baik kepada Ibu Gajah
Mada maupun kepada Puteri Trisna
Dewi?”
Surya Lelana bisa mengerti
keraguan gadis ini. Maka sambil
melangkah menuju rumah belakang,
pemuda ini terpaksa memberi sedikit
pengertian dalam hubungan lingkungan,
sikap dan tutur kata, yang diperlukan
gadis ini nanti.
Petunjuk itu amat diperhatikan
oleh Dewi Sritanjung, maka perjalanan
mereka menjadi agak terlambat, dan
bagi mereka yang tidak tahu, agaknya
dua orang muda ini sedang membicarakan
perasaan hati masing-masing, yang
sedang dilanda oleh gelora asmara
muda.
Akan tetapi sekalipun sambil
melangkah Surya Lelana sudah memberi
sekadar petunjuk, tidak urung hati
Dewi Sritanjung kurang tenteram dan
selalu berdebaran.
Kaki Dewi Sritanjung terasa kaku
ketika dirinya harus menirukan Surya
Lelana, menggunakan jari kaki dan
lutut untuk berjalan dengan jongkok
(laku dhodhok - Jawa), sesuai dengan
tata kesopanan di dalam rumah
bangsawan tinggi.
Akan tetapi hati gadis ini
kemudian agak terhibur, ketika dari
tempat duduknya isteri Gajah Mada
memberi senyum manis sedang tangannya
diangkat memberi isyarat agar lekas
datang menghadap.
Puteri Trisna Dewi yang ketika
itu duduk di samping ibunya, cepat-
cepat bangkit, lalu lari-lari kecil
mendapatkan Dewi Sritanjung. Dan gadis
ini dengan wajah cerah dan senyum
manis sudah berkata halus, “Diajeng,
berdirilah. Mengapa kau harus
merendahkan diri seperti itu?”
Trisna Dewi menarik bangun Dewi
Sritanjung dan gadis ini pun tidak
membantah, lalu berdiri. Memang jari
kaki dan lututnya terasa sakit dipaksa
untuk berjalan seperti itu. Kemudian
kepada Surya Lelana, puteri ini
berkata, “Surya, tugasmu sudah
selesai.”
Surya Lelana mengangguk dan
tersenyum. Kemudian pemuda ini kembali
keluar, tetapi dalam hatinya agak
masygul. Sebab apabila boleh, ia tidak
ingin berpisah sekejap pun dengan
gadis yang ia cintai itu. Dan setiba
di luar, pemuda ini mengamati ke
dalam, ke arah Dewi Sritanjung.
Dewi Sritanjung seperti mimpi
ketika tiba-tiba isteri Gajah Mada
meraih, lalu memeluk dan menciumi
sepasang mata berkaca-kaca penuh rasa
haru. Gadis ini tidak tahu akan
sebabnya, memandang wajah wanita tua
itu dengan rasa heran, dan ketika
memalingkan muka memandang Trisna
Dewi, ternyata puteri Gajah Mada
itupun sepasang matanya berkaca-kaca.
Sekalipun demikian bibir Trisna Dewi
menyungging senyum manis.
Di luar tahu gadis ini, Gajah
Mada sudah memberitahu kepada isteri
dan anaknya, tentang gadis malang
bernama Dewi Sritanjung.
Dewi Sritanjung disuruh duduk di
atas kursi, diapit oleh ibu dan anak
itu. Sesaat kemudian terdengar isteri
Gajah Mada berkata, “Anakku, engkau
jangan merasa rendah diri. Tahukah
engkau, siapakah sesungguhnya orang
tuamu?”
Dewi Sritanjung menggeleng.
Hatinya berdebar kemudian bertanya,
“Siapakah sebenarnya orang tua
hamba...?”
“Ahhh...,” potong isteri Gajah
Mada. “Jangan engkau gunakan kata
hamba itu, Anakku. Engkau bukan
seorang hamba.”
“Diajeng Tanjung, Ibu benar,”
sambung Trisna Dewi. “Engkau pun
seorang puteri bangsawan seperti aku.”
“Puteri?” Dewi Sritanjung
terbelalak. “Mengapa seorang puteri,
dan siapa pula ayah bundaku?”
“Engkau adalah puteri Laksamana
Nala, seorang Panglima Angkatan Laut
Majapahit. Ayahmu seorang panglima
yang amat terkenal, dan berkedudukan
tinggi.”
“Laksamana Nala?” Dewi Sritanjung
ragu.
Dewi Sritanjung menundukkan
kepala dan merenung. Dalam hatinya
timbul rasa heran dan bertanya-tanya.
Kalau benar dirinya seorang puteri
bangsawan, mengapa sampai tujuhbelas
tahun umurnya, ia belum pernah
mendapat kesempatan mengenal wajah
orang tua dan belum merasakan kasih
sayangnya pula? Mengapa bisa demikian?
“Saya menjadi bingung,” ujar
gadis ini ragu. “Bagaimanakah
sesungguhnya saya ini? Mengapakah
sebabnya saya hidup di tengah hutan
bersama Kakek Tunjung Biru seorang
diri? Lalu apa sajakah rahasia dari
kehidupanku ini?”
“Anakku, engkau jangan kecil
hati,” hibur ibu itu. “Semua akan
segera engkau ketahui, sesudah ayahmu
datang.”
“Tetapi mengapakah sebabnya aku
harus di sini? Dan mengapa sebabnya
tidak langsung dibawa ke rumah orang
tuaku?”
“Hal itu sesuai dengan surat
Kakang Tunjung Biru. Tetapi percayalah
bahwa baik gurumu maupun Kangmas Gajah
Mada bermaksud baik. Dan engkau akan
mendengar semua itu nanti.”
Keterangan yang samar-samar ini
menyebabkan Dewi Sritanjung tetap
bingung dan kurang mengerti. Akan
tetapi gadis ini terpaksa harus puas
dengan semua ini. Namun demikian oleh
sikap ramah dari ibu dan anak ini,
menyebabkan Dewi Sritanjung terhibur,
dan segala keraguannya sedikit
menghilang. Ia mulai dapat
menyesuaikan diri dengan kehidupan
para bangsawan.
Pada kesempatan ini, beberapa
orang pelayan wanita bermunculan, lalu
menghidangkan minuman dan makanan.
Lalu dengan ramah ibu dan anak ini
mengajak Dewi Sritanjung makan.
Menghadapi meja yang penuh
hidangan dan belum pernah ia kenal ini
Dewi Sritanjung gembira dan lupalah ia
kepada hal yang lain. Dasar perutnya
sudah lapar, maka Dewi Sritanjung
makan dengan lahap. Sedang baik ibu
maupun Trisna Dewi tidak jemunya
menerangkan nama makanan yang sedang
diambil maupun dimakan gadis ini.
Demikianlah Dewi Sritanjung cepat
dapat menyesuaikan diri, berkat sikap
isteri dan puteri Gajah Mada yang
ramah. Seusai makan, diajaklah gadis
ini pergi ke taman. Bagi gadis ini
segala macam tanaman dan bunga yang
terdapat di dalam taman ini tidak
menarik, karena tanaman dan bunga-
bunga yang bermekaran itu jauh kalah
indah dan kalah menyedapkan apabila
dibanding dengan bunga-bunga yang
tumbuh liar di dalam hutan. Akan
tetapi ketika diajak ke kolam ikan,
Dewi Sritanjung gembira dan berkali-
kali mengemukakan kekagumannya,
melihat ikan di dalam air yang
warnanya aneka macam itu.
Pada kesempatan ini Dewi
Sritanjung banyak diminta untuk
menceritakan kehidupannya di dalam
hutan. Dan gadis ini menceritakan apa
adanya, tentang keadaan hutan yang
penuh belukar, sepi dan banyak
binatang liar dan buas maupun berbisa.
Trisna Dewi tertarik sekali oleh
cerita ini, sebab bagi puteri ini, apa
yang disebut hutan dan belukar itu
adalah asing. Sering juga ia minta
kepada ayahnya untuk ikut serta di
kala Gajah Mada berburu. Namun
permintaan itu tidak pernah dika-
bulkan, ditolak secara halus dengan
berbagai alasan.
Di saat dua orang gadis ini
sedang asyik bicara sambil memandang
ikan-ikan yang berseliweran di dalam
kolam ini, datanglah seorang pelayan
yang tergopoh. Perempuan itu setelah
berlutut di depan Trisna Dewi,
berkata, “Ampunkan hamba, Gusti. Tuan
puteri berdua mendapat panggilan agar
langsung datang ke pendapa. Semuanya
sudah menunggu Gusti berdua.”
“Baiklah,” sahut Trisna Dewi,
kemudian mengajak Dewi Sritanjung
langsung menuju ke pendapa.
Ketika tiba di pendapa, Dewi
Sritanjung agak heran melihat Surya
Lelana menundukkan kepala dan
tampaknya masgul sekali. Perubahan
sikap ini menimbulkan pertanyaan dalam
hati gadis ini. Sebab biasanya Surya
Lelana akan segera memandang dirinya
dengan mata bersinar-sinar dan bibir
tersenyum.
Laksamana Nala duduk juga
berhadapan dengan Gajah Mada, menga-
mati Dewi Sritanjung penuh perhatian.
Hatinya berdebar tidak karuan, karena
baik wajah maupun bentuk tubuh Dewi
Sritanjung mirip sekali dengan ibunya,
Dewi Anwari. Hati panglima ini amat
terharu, teringat kepada Dewi Anwari
yang sudah tiada.
Tiba-tiba saja Laksamana Nala
bangkit dari tempat duduknya. Ia
melangkah dan langsung memeluk Dewi
Sritanjung. Tentu saja gadis ini kaget
dan hampir saja memberontak. Untung
nalurinya mencegah, hingga gadis ini
berdiam diri dengan pandang mata
keheranan.
Melihat ini Gajah Mada cepat
memberitahu, “Tanjung, dialah ayahmu.”
“Ohh.... Ayah...,” pekik Dewi
Sritanjung.
Dan tiba-tiba saja gadis ini
menyembunyikan mukanya ke dada
Laksamana Nala, sambil menangis ter-
sedu. Sebaliknya Laksamana Nala
memeluk pundak anaknya ini, sambil
meneliti kalung gadis ini yang
mempunyai hiasan burung garuda.
Dari sudut mata laki-laki ini
kemudian menitik pula air mata yang
bening. Laksamana Nala yang gagah
perkasa itu, sekarang menangis benar-
benar. Menangis karena hatinya amat
terharu berbareng menyesal, teringat
akan isteri tercinta Dewi Anwari.
Kalau saja waktu itu dirinya tidak
meninggalkan Dewi Anwari secara diam-
diam, tentunya isterinya itu tidak
akan mati. Dan tentunya Dewi
Sritanjung tidak kehilangan ibu
kandungnya, juga tak akan dibuang ke
sungai.
Di saat Dewi Sritanjung
sesenggukan di dada ayahnya ini, tiba-
tiba terdengarlah jerit tertahan.
“Anakku...!”
Lalu seorang wanita yang wajahnya
masih nampak cantik sekalipun sudah
tua, sudah menubruk dan memeluk Dewi
Sritanjung.
Dewi Sritanjung mengangkat
wajahnya yang basah air mata,
memandang perempuan itu sejenak.
Laksamana melepaskan pelukannya
sambil berkata lirih, “Tanjung, inilah
ibumu.”
“Ibuuuu...!” pekik Dewi
Sritanjung sambil memeluk erat perem-
puan itu dan menyembunyikan mukanya ke
dada.
Menyusul kemudian terdengar suara
tangis dua orang perempuan yang
mengibakan hati, dan menimbulkan rasa
haru kepada mereka yang melihat.
Saking terharu, isteri Gajah Mada
maupun Trisna Dewi ikut menangis di
tempat duduknya. Adapun Gajah Mada
hanya berdiam diri sambil menghela
napas berulang-ulang, sedang Surya
Lelana menundukkan kepala tampak lesu
dan sedih.
Akan tetapi Laksamana Nala kaget
dan cepat menyambar tubuh isterinya,
hingga perempuan itu tidak jadi roboh.
Ternyata perempuan yang mengaku
sebagai ibu Dewi Sritanjung itu sudah
pingsan. Dan menyebabkan Dewi
Sritanjung yang baru bisa bertemu
dengan ibunya itu, kebingungan dan
memanggil-manggil.
Isteri Gajah Mada dan Trisna Dewi
cepat menyerbu dan menghibur Dewi
Sritanjung. Dan yang pingsan segera
dirawat, dipondong Laksamana Nala,
lalu dibaringkan di pembaringan kayu
berukir indah, beralas kain warna
jambon (merah jambu).
Apakah sebabnya isteri Laksamana
Nala menjadi pingsan setelah mengaku
sebagai ibu Dewi Sritanjung? Memang
ada sebabnya. Semula terjadilah
pertentangan dalam hatinya, dibujuk
oleh Gajah Mada, agar mau mengaku
sebagai ibu kandung Dewi Sritanjung.
Hal itu dilakukan dengan maksud agar
gadis yang belum pernah melihat wajah
ayah bundanya itu tidak menjadi kecil
hati. Sebab betapa akan sedih Dewi
Sritanjung, apabila tahu ibunya sudah
tiada! Di samping untuk menjaga agar
hati dan perasaan gadis ini tidak
kaget, langkah ini dimaksud pula untuk
menutup rahasia Laksamana Nala yang
sudah menyia-nyiakan Dewi Anwari.
Sedang yang teramat penting adalah
guna menghilangkan noda hitam dalam
keluarga, karena Dewi Sritanjung
adalah cucu Kuti, seorang dharmaputra
yang memberontak dan mati terbunuh.
Itulah sebabnya Dewi Sritanjung
tadi sengaja disingkirkan ke taman
dulu, agar gadis ini tidak mendengar
rahasia kematian ibu kandungnya.
Akan tetapi betapa berat rasa
hati isteri Laksamana Nala ini, tahu-
tahu harus mengakui anak dari madunya,
sebagai anak kandungnya sendiri.
Lebih-lebih gadis ini adalah cucu
Kuti, seorang pemberontak yang hampir
saja menimbulkan bencana hebat bagi
Majapahit.
Namun sekalipun berat rasa hati
perempuan ini, setelah dipikir lebih
dalam dan luas lagi, semua kesalahan
terletak pada pundak suaminya sendiri.
Sebab taklah mungkin anak Kuti itu
menjadi isteri suaminya, kalau su-
aminya memang tidak menghendaki.
Sebaliknya anak yang tidak berdosa
ini, tidak mungkin lahir di dunia ini
dan mencari orang tuanya, apabila
tidak ada dua insan yang mencip-
takannya.
Setelah terjadi pertentangan
hebat dalam dada ibu ini, pada akhir-
nya kesadarannya menang. Ia sedikit
berkorban untuk suaminya sendiri,
adalah sudah sepatutnya bagi seorang
isteri. Merupakan kewajibannya pula,
justru apa yang dilakukan adalah untuk
nama baik suaminya sendiri. Akan
tetapi walaupun sudah sedemikian jauh
ia berpikir dan ia mempertimbangkan,
tidak urung ibu ini pingsan juga.
Akhirnya ibu ini sadar juga
setelah dirawat sendiri oleh Laksamana
Nala, Setelah membuka mata dan sadar,
mulutnya sudah berkata, “Tanjung....
ohh, anakku....”
Dewi Sritanjung segera memberikan
kepalanya untuk diusap-usap oleh
ibunya, juga memberikan pipinya untuk
dicium ibunya. Air mata mereka
membanjir membasahi pipi, dan untuk
beberapa lama tidak ada yang bicara.
Jari-jari tangan isteri Panglima
Nala mengusap-usap rambut, kemudian
seluruh muka dan leher Dewi
Sritanjung. Dan gadis ini hatinya amat
terharu, bangga, gembira dan bahagia.
Apa yang diharapkan selama ini, dan
apa yang dibayangkan serta dikenang
selama belasan tahun lamanya itu,
sekarang terwujud. Ia bertemu dengan
ibunya, dan beginilah kasih sayang
seorang ibu kepada anaknya.
Akan tetapi sekalipun gadis ini
merasa amat bahagia dan bangga, dapat
bertemu dengan ayah bundanya, timbul
pula perasaan aneh dalam dadanya.
Sekarang menjadi jelas dirinya bukan
anak orang sembarangan. Ternyata diri-
nya seorang puteri Panglima Angkatan
Laut, Laksamana Nala, yang kedudu-
kannya amat tinggi di Kerajaan
Majapahit. Namun mengapa sebabnya
dirinya terpisah dengan ayah bundanya,
dan kemudian sampai dipelihara oleh
Kiageng Tunjung Biru? Timbul perta-
nyaan dalam hatinya, kalau demikian
apakah dirinya ini memang salah
seorang anak yang disia-siakan oleh
ayah bundanya?
Dewi Sritanjung tak kuasa menahan
perasaan dan pertanyaan yang bergolak
dalam dadanya ini. Maka masih sambil
memeluk ibunya, gadis ini bertanya,
“Ibu.... ohh, mengapa aku ini?”
“Apakah maksudmu, Anakku?” tanya
ibunya dengan nada yang amat kasih.
“Apakah sebabnya Ayah dan Ibu
tega kepadaku? Mengapa baru sekarang
ini saja Tanjung dapat bertemu dan
mengenal wajah Ayah maupun Ibu? Dan
mengapa pula sebabnya Tanjung terpisah
dengan Ayah dan Ibu?”
Ibunya tidak cepat menjawab.
Tetapi malah memandang suaminya dengan
sinar mata yang bertanya. Laksamana
Nala dapat menduga maksud isterinya.
“Anakku, kisahnya cukup panjang,”
sahut ayahnya.
Laksamana Nala segera mengarang
cerita yang ia pikir masuk akal. Ia
mengatakan bahwa ketika Dewi
Sritanjung masih kecil, kira-kira baru
berumur satu setengah tahun, sudah
dilarikan oleh pengasuhnya. Tentu saja
peristiwa ini menyebabkan seluruh
keluarga sedih dan berusaha menemukan
kembali, dengan menyebar banyak hamba
untuk mencari. Namun usaha-usaha yang
sudah mengerahkan ratusan orang
banyaknya, dan pencarian dilakukan ke
seluruh penjuru itu, sia-sia belaka.
Setiap petugas yang pulang, selalu
memberi laporan sama, tidak dapat
menemukannya. Setelah lebih dua tahun
lamanya mencari tidak juga berhasil,
akhirnya usaha pencarian dihentikan.
“Betapa sedih hatiku dan hati
ibumu, sulit dilukiskan, Anakku,”
lanjut Laksamana Nala. “Akhirnya
karena usaha itu gagal, baik aku
maupun ibumu hanya dapat mohon kepada
Dewata Agung, agar engkau selalu
selamat dan kemudian hari dapat
bertemu kembali.”
“Tetapi Ayah, siapa yang kemudian
memberi petunjuk bahwa Tanjung dirawat
oleh Guru?” sela Dewi Sritanjung.
“Ya. Itulah permulaan aku dan
ibumu dapat bertemu dengan anak yang
sudah lama hilang. Dalam surat gurumu
yang ditujukan kepada Kangmas Gajah
Mada, belum lama berselang gurumu
datang ke Caruban. Kemudian gurumu
mendengar keterangan dari Bupati
Caruban yang memang sudah aku mintai
pertolongan ikut serta mencari
jejakmu. Adapun sebagai tanda anakku
yang hilang itu, ialah seutas kalung
dengan hiasan burung garuda, terbuat
dari emas. Nah, Anakku, setelah gurumu
mendengar keterangan ini, maka
terpikir kemudian untuk mengembalikan
engkau kepada orang tuanya.”
“Tetapi.... mengapa sebabnya Ayah
tidak datang ke sana?”
“Anakku..., agaknya memang sudah
menjadi kehendak gurumu, memang harus
demikian. Buktinya gurumu tidak mau
memberitahu langsung padaku. Melainkan
malah mengutus engkau supaya datang
sendiri ke Majapahit. Bukankah gurumu
pun menerangkan, bahwa di Majapahit
engkau bakal bertemu dengan orang
tuamu?”
Dewi Sritanjung menghela napas
panjang. Untuk beberapa saat lamanya
gadis ini hanya terisak-isak.
Ketika itu datanglah Gajah Mada,
isterinya, Trisna Dewi dan Surya
Lelana. Gajah Mada dan isterinya
berseri wajahnya setelah melihat Dewi
Sritanjung dengan ibunya nampak rukun.
Laksamana Nala menatap Surya
Lelana yang nampak lesu dan kecewa.
Tetapi karena tidak tahu apa yang
dikandung dalam hati pemuda ini, maka
Laksamana Nala memalingkan muka ke
arah Dewi Sritanjung. Katanya,
“Tanjung, sudahkah engkau kenal dengan
saudaramu yang tua?”
“Mana, Ayah? Siapa?” Dewi
Sritanjung terperangah.
“Dia inilah abangmu, namanya
Surya Lelana,” Laksamana Nala memper-
kenalkan.
Dewi Sritanjung terbelalak kemu-
dian terpaku seperti patung dan tidak
dapat membuka mulut, Surya Lelana
diperkenalkan sebagai abangnya.
Dalam hatinya timbul rasa masy-
gul, mengapa bisa terjadi demikian?
Mengapa pemuda tampan yang sudah
mencuri hatinya dan ia cintai pula
itu, adalah abangnya sendiri? Hemm,
seorang abang dan sudah memberi ciuman
beberapa kali kepada dirinya, ciuman
penuh kasih sayang antara pria dan
wanita. Timbullah rasa malu dalam hati
gadis ini, hingga ia menundukkan
mukanya, tidak berani bertatap pandang
dengan Surya Lelana.
Untunglah Surya Lelana cepat
dapat menekan perasaan. Walaupun
hatinya amat sedih setelah tahu gadis
ini adiknya sendiri, ia melangkah
menghampiri sambil meletakkan telapak
tangannya di atas pundak.
“Adikku, oh.... maafkanlah
aku.... yang tidak tahu....”
Dewi Sritanjung tidak menjawab,
hanya menangis sesenggukan. Laksamana
Nala dan isterinya memandang mereka
dengan heran. Dalam hati bertanya, apa
yang sudah terjadi?
Di antara mereka yang hadir hanya
Gajah Mada yang tahu sebabnya. Katanya
dengan nada penuh sabar, “Anakku,
hidup manusia ini takkan lepas dari
garis yang sudah ditetapkan oleh Yang
Maha Tinggi. Manusia yang bijaksana,
karena merasa hidupnya dikuasai dan
ada yang memberi hidup, akan menerima
hidupnya ini secara wajar, dan apa
adanya. Karena dengan cara itu
hidupnya akan dijauhkan dari rasa
sesal atau kecewa. Dan menerima apa
adanya karena sadar hidupnya sesuai
dengan garis yang sudah ditentukan
oleh Dewata Yang Agung.”
Gajah Mada berhenti sejenak,
lalu, “Anakku, lupakanlah apa yang
sudah terjadi. Jangan kau tengok apa
yang sudah kau lalui. Ketahuilah,
hidup adalah saat ini. Sekarang, bukan
kemarin, bukan tadi dan bukan pula
esok pagi atau nanti. Yang lalu
biarlah berlalu, yang belum jangan
dipikir. Bersyukurlah kalian kepada
Dewata Yang Agung, kita dipertemukan
dan dapat berkumpul kembali masih
dalam keadaan selamat tidak kurang
satu apa.”
Sekalipun Gajah Mada mengucapkan
kata-kata yang samar-samar, Laksamana
Nala sudah dapat menduga apa yang
terjadi antara Dewi Sritanjung dengan
Surya Lelana. Bahwa saudara seayah
lain ibu itu, karena tidak tahu, sudah
menjalin cinta kasih. Diam-diam Nala
menyesal sekali, mengapa bisa terjadi
seperti ini. Tetapi apa harus dikata,
justru tidak tahu? Masih untung dua
anak muda ini pada saat sudah genting
dapat mengetahui keadaan yang
sebenarnya. Mereka belum terlanjur.
Baik Nala maupun isterinya
kemudian menghibur pula dengan petun-
juk yang berharga. Dewi Sritanjung
hanya dapat menangis sesenggukkan di
dada ibunya. Tidak tahu apa yang harus
ia lakukan, menghadapi peristiwa yang
tidak pernah ia duga dan harapkan itu.
Akhirnya terhibur juga hati Dewi
Sritanjung setelah mendapat nasihat
dan bujukan dari ayah, ibu, Gajah Mada
dan isterinya. Setelah dianggap cukup,
kemudian diboyonglah Dewi Sritanjung
ke rumah kediaman Laksamana Nala.
Kedatangannya disambut oleh saudaranya
yang lain, dua orang kakak perempuan.
Dewi Sritanjung dielu-elukan tiada
bedanya dengan tamu agung. Semua
keluarga dikumpulkan seluruhnya, lalu
satu demi satu hamba sahaya ini
berlutut di depan Dewi Sritanjung
sambil memperkenalkan diri dan
menghaturkan selamat datang.
Akan tetapi betapapun meriah
penyambutan ayah, bunda, saudara
maupun hamba sahaya, dalam hati gadis
ini masih terdapat perasaan yang
kurang sreg (puas). Gadis ini masih
kurang percaya keterangan ayahnya,
bahwa ketika dirinya kecil dilarikan
oleh pengasuhnya, kemudian ayah
bundanya berusaha menemukan kembali
dengan berbagai macam cara. Sebab
kalau benar dirinya sudah lama dicari,
dan kalau benar sebagai tanda seutas
kalung emas dan hiasan burung garuda,
mengapa pada saat Surya Lelana datang
dan berkenalan pertama kali, Surya
Lelana tidak segera mengenal dirinya
sebagai adiknya yang sudah lama
hilang? Sebab Surya Lelana pun tentu
tahu pula tentang tanda ini. Dan kalau
tidak tahu, itulah aneh dan sulit ia
percaya.
Diam-diam timbullah kecurigaan
gadis ini, tentu ada suatu rahasia
yang ditutup oleh ayah bundanya.
Kemudian timbul dugaan gadis ini,
kiranya ketika dirinya kecil, memang
sengaja dibuang oleh ayah bundanya.
Dan berarti dirinya lahir di dunia
ini, memang diluar kehendak orang
tuanya.
Berkecamuk berbagai macam
perasaan di dalam dada gadis ini,
ketika sudah berbaring di pembaringan
kayu yang berukir indah, beralas kain
sutera biru dan di dalam kamar indah
berbau harum pula. Akibatnya gadis ini
tidak juga dapat tidur, sekalipun
tubuhnya terasa lelah.
Entah mengapa sebabnya, dalam
hati gadis ini timbul perasaan tidak
puas oleh sikap ibu maupun dua orang
kakak perempuan. Sebab setelah selesai
mengelu-elukan ketika dirinya tiba,
tiga perempuan itu seperti tidak
peduli lagi kepada dirinya.
Mengapa bisa terjadi demikian?
Waktu yang belasan tahun tidaklah
singkat. Namun mengapa baik ibu maupun
dua kakak perempuannya itu membiarkan
dirinya tidur dalam sebuah kamar dan
sendirian pula? Apakah sebabnya
keluarga itu tidak tampak rindu? Dan
lagi pula kalau dirinya muncul, bukan
ibunya yang lebih dahulu menyambut
kedatangannya, tetapi malah ayahnya?
Bagaimanapun seorang ibu tentu lebih
memperhatikan anak yang dilahirkan
dari rahimnya, dibanding dengan ayah.
Akan tetapi apakah sebabnya malah
terjadi sebaliknya?
Mengapa? Apakah sebabnya? Per-
tanyaan ini terus berkecamuk dalam
dadanya. Akan tetapi sayangnya ia
tidak dapat menjawab sendiri.
“Hanya Ayah seorang yang akan
dapat menjawab pertanyaan ini,”
pikirnya sambil bangkit dari
pembaringan. “Hemm, malam ini juga aku
harus bertemu dengan Ayah. Aku harus
mendapat keterangan jelas dan Ayah
harus sedia membeberkan kenyataan yang
sebenarnya.”
Demikianlah, gadis ini kemudian
keluar dari kamar. Rumah yang besar
itu sunyi dan tidak melihat seorang
pun. Lampu besar di tengah ruangan,
sudah dipadamkan orang, dan ia
termangu beberapa saat lamanya sambil
menebarkan pandang matanya. Di manakah
letak kamar ayahnya? Rumah ini luas
sekali, tidak gampang mencari letak
kamar ayahnya.
“Huh, luas, hi hi hiiiikk,” gadis
ini ketawa lirih seorang diri. “Aku
biasa hidup di dalam hutan yang luas
dan berbahaya. Apakah artinya rumah
yang hanya seluas ini?”
Setelah menetapkan hatinya,
dengan langkah hati-hati ia mulai
menyelidik. Tetapi mendadak Dewi
Sritanjung mempertajam pendengarannya,
ketika mendengar suara perempuan
sedang bicara perlahan. “Ahh, dari
kamar besar yang masih menyala
lampunya itu.”
Sebagai gadis sakti, ia dapat
bergerak tanpa suara. Dan kebetulan
sekali pintu tidak terkunci dan
sedikit terbuka. Dari celah pintu itu,
ia melihat di dalam kamar, ibunya
duduk bersimpuh di meja pendek, sedang
dua kakak perempuannya duduk di depan
ibunya.
Ia mendengar suara kakaknya yang
bertanya, “Ibu, sebenarnya saya heran
sekali dengan munculnya seorang gadis
yang disebut sebagai adikku itu. Ayah
bilang, dahulu dilarikan oleh pengasuh
ketika masih kecil. Tetapi ketika aku
tanyakan kepada hamba tertua, yang
sudah lebih duapuluh tahun lamanya
mengabdi di rumah ini, dia malah kehe-
ranan dan bingung. Dan dia menerangkan
bahwa puteri Ibu hanya tiga orang saja
dan tidak seorang pun yang hilang.
Ibu, jelaskanlah. Mana yang benar?”
Berdebar jantung Dewi Sritanjung
mendengar ini. Ia menahan napas, ingin
mendengar jawaban ibunya secara jelas.
Tetapi ibunya tidak segera memberikan
jawaban, malah kemudian menghela napas
berulang-ulang, seperti berat untuk
membuka mulut. Dan baru sesudah
didesak berkali-kali oleh anaknya, ibu
itu menjawab.
“Sesungguhnya memang demikian,
Anakku. Memang anakku hanya tiga orang
saja. Gadis yang tadi datang, dan
diakukan sebagai anak bungsu oleh ibu,
memang bukan anak ibu.”
Berdenyut kepala Dewi Sri
tanjung, lalu pandang matanya menjadi
kabur. Bukan anaknya? Kalau demikian,
aku ini anak siapa?
“Kalau bukan, mengapa Ibu mau
mengakui?”
“Itu hanya menuruti kehendak
Ayahmu saja. Jelasnya demikian, akan
tetapi aku minta rahasiakanlah agar
tidak sampai didengar oleh Sritanjung.
Dahulu ayahmu mempunyai seorang isteri
muda, bernama Dewi Anwari. Dari isteri
muda itu lahirlah Dewi Sritanjung.
Tetapi malang, ketika melahirkan anak
pertama itu, Dewi Anwari meninggal.”
“Horeee....” sorak dua gadis itu.
“Kamu tidak boleh berkata begitu.
Tahu? Kamu harus dapat bersikap baik
dan mencintai dia seperti kepada
adikmu sendiri. Kalau aku sedia
berkorban demi kepentingan Ayahmu,
mengapa kamu tidak? Kamu harus pandai
menjaga rahasia ini, agar Dewi
Sritanjung tidak tahu dan Ayahmu tidak
marah kepadamu, kepada kita. Bagaima-
napun dia seorang anak yang patut
dikasihani. Sejak kecil dia tidak
mengenal ayah dan bundanya, dan tidak
pernah mendapatkan kasih sayang dari
orang tua maupun saudara-saudaranya.”
Dua gadis itu berdiam diri
dibentak ibunya. Namun dari sikapnya,
Dewi Sritanjung tahu, jelas tidak
senang.
Untuk beberapa saat lamanya gadis
ini berdiri bagai patung. Tetapi dari
sudut matanya, menitik air mata yang
bening. Dan dalam dada gadis ini,
tiba-tiba saja terjadi semacam perang
batin yang amat hebat.
Ibuku sudah mati? pekik dalam
dadanya. Di mana? Ah..., Kakek tentu
bisa menerangkan tentang Ibu dan
makamnya.
Mendadak terdengar suara pekik
nyaring dan panjang, “Ibuuu...!”
Disusul suara brakkkk....
Penghuni rumah kaget. Laksamana
Nala dan Surya Lelana yang ketika itu
belum tidur cepat melompat dan lari ke
rumah belakang. Sebab mereka mengira,
telah terjadi sesuatu di dalam rumah
itu.
Ketika ayah dan anak ini masuk ke
dalam rumah, Nala melihat isteri
anaknya baru saja keluar dari kamar
dengan wajah pucat karena kaget.
“Apa yang terjadi?” tanya Nala.
Tetapi tanpa menunggu jawaban,
Nala kemudian tertarik perhatiannya
kepada pecahan kayu di lantai rumah.
Ketika ia menengadah ternyata baik
langit-langit maupun atap sudah jebol.
Nala cepat melompat ke kamar Dewi
Sritanjung, ternyata puterinya tidak
ada.
“Celaka!” pekik Nala. “Surya....
aahh, adikmu pergi tiba-tiba. Mari
kita kejar!”
Saking gugup dan gelisahnya,
tanpa menunggu jawaban, Nala sudah
menjejak lantai, tubuhnya melesat ke
atas lewat langit-langit dan atap yang
jebol. Sedang Surya Lelana cepat lari
ke arah pintu.
Nala memang sudah dapat menduga,
Dewi Sritanjung pergi lewat langit-
langit dan atap yang jebol itu. Dan
pekik panjang yang menyebut ibu tadi,
tentu pekikan puterinya. Sebab tidak
mungkin orang luar berani datang dan
mengganggu rumahnya.
Nala mengerahkan kepandaiannya
lari, sambil memanggil nama Dewi
Sritanjung. Tetapi teriakan Nala itu
sia-sia belaka, demikian pula usahanya
mengejar. Gadis itu sudah tidak tampak
bayangannya dan sudah jauh pergi.
Surya Lelana juga berlarian cepat
sekali mengambil arah lain. Pemuda ini
lari dengan hati tidak keruan, sebab
ternyata gadis jelita yang ia cintai
itu adalah adiknya sendiri, sehingga
hatinya menjadi masygul dan kecewa.
***
2
Matahari musim kemarau sinarnya
menyengat kulit. Jalan berdebu dan
pohon-pohon kecil layu kesulitan
mendapatkan air. Ladang orang dibiar-
kan kosong tanpa tanaman, dan tanahnya
yang kering pecah-pecah sedang rumput
pun sulit bisa hidup. Sawah-sawah yang
menggantungkan air hujan juga terbeng-
kalai, pak tani terpaksa menganggur,
karena sawah tidak dapat menghasilkan
apa-apa.
Seorang gadis yang hanya berpa-
kaian dari bahan kasar dan sederhana,
melangkah dengan lesu. Rambutnya yang
kering itu sudah tidak teratur lagi
oleh angin nakal. Peluh membasahi
dahi, pipi, dan lehernya dibiarkan
menetas. Dan pipi yang kuning halus
itu oleh sinar matahari berubah men-
jadi merah jambu. Sekalipun demikian
kejelitaan gadis ini tidak berkurang
malah bertambah.
Hanya sayang, sepasang mata
bintang itu nampak sayu, dan berkali-
kali gadis ini melangkah sambil
menghela napas panjang. Dan agaknya
dada gadis ini terasa sesak oleh
derita batin.
Kenyataannya memang demikian.
Batin gadis cantik itu menderita,
sehingga dunia yang luas ini dirasa
terlalu sempit. Matahari yang
menyinarkan cahayanya amat terik itu
seperti gelap. Segelap hatinya
sekarang ini!
Siapakah gadis ini dan ke manakah
tujuannya hanya seorang diri? Seakan
ia tidak menyadari bahwa kejelitaannya
ini bisa menimbulkan bahaya setiap
waktu. Karena kecantikannya dapat
menimbulkan rangsangan laki-laki tidak
bertanggung jawab untuk menggunakan
kesempatan dan mengganggu.
Namun sebaliknya gadis ini memang
tidak merasa khawatir dan takut oleh
gangguan orang dalam perjalanannya
sekarang ini. Ia memang bukan gadis
sembarangan. Laki-laki yang berani
sembrono salah-salah menderita malu
dihajar oleh kaki dan tangan yang
kecil, namun berbahaya.
Dialah Dewi Sritanjung yang
menderita pukulan batin hebat, setelah
tertumbuk oleh peristiwa yang tidak
sesuai dengan harapannya semula.
Harapan yang sudah belasan tahun
lamanya ia tunggu untuk dapat bertemu
dengan ayah bundanya, tetapi yang
terjadi malah sebaliknya.
Tetapi adakah sesuatu yang aneh
itu di dunia ini? Segalanya bisa
terjadi yang serba aneh. Demikian pula
apa yang harus diderita oleh Dewi
Sritanjung ini. Masih semuda itu, ia
sudah harus mengalami pukulan batin
dan harus menempuh perjalanan tanpa
tujuan, tidak bedanya dengan
gelandangan.
Seseorang yang sedang menderita,
semuanya tidak menyenangkan, dan
biasanya menjadi kurang waspada akan
keadaan sekitarnya. Demikian pula
gadis ini, ia menjadi tidak sadar,
semenjak tadi telah dibayangi oleh
sepasang mata dan selalu memperhatikan
gerak-geriknya. Sepasang mata itu
mirip sepasang mata seekor kucing yang
melihat tikus gemuk. Mata yang meli-
hat, tetapi mulut yang mengeluarkan
air liur.
Sepasang mata yang bersinar aneh
itu, adalah mata seorang pemuda
berumur 22 tahun. Pemuda yang wajahnya
cukup tampan, tetapi pucat. Gerakan
pemuda ini gesit dan tidak bersuara,
seakan mempunyai sayap, sehingga
seperti terbang. Sambil bergerak gesit
dan tidak bersuara ini, mulutnya
berkomat-kamit dan tersenyum aneh.
Entah apa saja yang sedang terpikir
oleh pemuda ini.
Sungguh sayang, Dewi Sritanjung
tidak menyadari dirinya ada orang yang
membayangi. Derita batinnya menyebab-
kan telinga yang biasa peka itu
menjadi seperti tuli. Ia terus
melangkah menuju ke barat, tidak
mempedulikan kulitnya yang kuning
halus itu tersengat oleh matahari.
Tak lama kemudian gadis ini malah
menuju ke tempat yang berjauhan
letaknya dengan desa. Kemudian ia
malah masuk ke dalam sebuah hutan yang
tidak jauh dari Kali Bluwak Julang,
yang bermata air dari perbukitan
Kendeng.
Melihat air yang jernih, mendadak
saja ia merasa gerah. Betapa nikmatnya
setelah sejak pagi terbakar sinar
matahari yang panas, sekarang dapat
menyejukkan tubuh dengan menyelam
dalam air kali ini, mandi dan
berkecimpung.
Namun gadis ini tidak segera
melaksanakan niatnya, dan ia kemudian
duduk di atas batu di tepi sungai.
Kaki terasa sejuk setelah menjulur ke
bawah dan terendam air sungai sampai
betis.
Gadis ini duduk berdiam diri.
Tetapi pada saat ia duduk berdiam diri
ini, tiba-tiba saja kenangannya
melayang kembali ke Majapahit, waktu
bertemu ayahnya pertama kali di ramah
Gajah Mada. Ia menangis dan ayahnya
juga menangis. Ketika itu ia merasa
heran, mengapa ibunya malah tidak
menitikkan air mata, bertemu pertama
kali dengan puterinya yang belasan
tahun lamanya hilang? Semula ia
menduga tentu ibunya seorang wanita
tabah, hingga tidak menitikkan air
mata, sekalipun berhadapan dengan
peristiwa yang amat mengharukan.
Namun keheranannya itu kemudian
terjawab setelah ia berdiam di rumah
sendiri, rumah Laksamana Nala.
Ternyata wanita yang mengaku sebagai
ibunya itu, bukan ibu kandungnya,
malah ibu tirinya.
Rahasia itu baru diketahui
setelah secara tidak sengaja dirinya
mendengar pembicaraan ibunya dengan
dua orang kakak perempuannya, bahwa
dirinya bukan anak hilang, tetapi anak
tiri.
Hatinya terpukul kemudian ia lari
dari rumah gedung yang megah itu.
Dewi Sritanjung menghela napas
panjang. Ia kemudian meruntuhkan
pandang matanya ke air yang mengalir
dengan tenang itu. Lalu ia membuka
bajunya dengan maksud akan segera
merendam tubuh dalam air sungai dan
mandi.
Namun baru saja selesai melepas
baju, tiba-tiba gadis ini kaget dan
cepat memakai kembali bajunya. Sebab
pada saat bajunya lepas tadi, ia
mendengar dengus napas halus orang,
tidak jauh dari tempatnya duduk.
Dengan lincah Dewi Sritanjung
meloncat berdiri. Sepasang mata yang
semula sayu itu sekarang berubah
berkilat-kilat, dan dari mulutnya
kemudian terdengarlah bentakan nya-
ring.
“Hai! Siapa yang bersembunyi di
semak itu? Hayo, lekaslah keluar.”
Pemuda pucat yang sejak tadi
membayangi gadis ini terkejut. Pemuda
ini dalam hati mencaci maki dirinya
sendiri, mengapa sudah mendengus dan
jantungnya berdegup cepat sekali,
ketika baru saja melihat kulit tubuh
yang kuning mulus, sesaat gadis itu
melepas baju? Akibatnya si gadis tahu
dirinya sedang mengintip di dalam
semak. Padahal apabila tadi dirinya
kuasa menahan debaran jantungnya, ia
tentu dapat menyaksikan sesuatu yang
lebih indah dan menarik, di kala gadis
itu sudah bugil dan mandi di kali.
Sesungguhnya ia tadi meren-
canakan, pada saat si gadis ber-
kecimpung dalam air, ia akan
menggunakan kesempatan dengan jalan
mencuri dan menyembunyikan pakaian
gadis itu. Apabila pakaian gadis itu
sudah ia sembunyikan, dirinya tentu
akan dapat menekan gadis itu supaya
menyerah.
Akan tetapi sekarang semuanya
sudah terlanjur. Semua harapannya
sudah buyar, dan mau tidak mau dirinya
sekarang harus keluar dari tempat
persembunyiannya.
Namun ia memang seorang pemuda
sakti. Karena itu ia tidak gentar
sedikit pun walau tahu gadis itu
bersenjata pedang. Memang ia sudah
menduga, seorang gadis ayu yang berani
melakukan perjalanan seorang diri,
tentu bukan gadis sembarangan.
Pemuda itu meloncat keluar dari
semak tempatnya bersembunyi sambil
terkekeh. Lalu mulutnya menyeringai,
tidak menyembunyikan kekagumannya
melihat kejelitaan gadis yang baru
berumur delapan belas tahun itu,
ibarat bunga yang sedang mekar dan
menyebarkan bau yang harum semerbak.
“Heh heh heh heh, Adik Manis,
apakah sebabnya engkau tidak jadi
mandi? Silakan engkau mandi dulu untuk
menyegarkan tubuh. Dan biarkanlah aku
membantumu dengan menjaga pakaianmu,
yang sekaligus menjagai keselamatanmu
pula dari gangguan orang. Dan lebih
dari itu aku pun dapat melihat dan
mengamati tubuhmu yang bugil itu.”
“Keparat mata keranjang!” bentak
Dewi Sritanjung. “Apa kerjamu memang
hanya mengintip orang sedang mandi?”
“Heh heh heh heh, mengapa tidak?
Aku paling senang mengintip perempuan
yang mandi di kali. Apalagi jika
perempuan itu mandi di sungai yang
airnya jernih seperti ini.”
“Kurang ajar! Cabul! Jika engkau
tidak lekas enyah dari tempat ini,
rasakan jika aku marah!”
Makin meledak ketawa pemuda itu,
dan menjadi geli oleh jawaban gadis
yang ketus itu. Dalam hatinya sudah
menduga, tentu gadis ini belum
mengenal dirinya, maka berhadapan
tidak menjadi gentar. Padahal bagi
wanita lain yang sudah mengenal
dirinya, tentu sudah ndheprok (duduk
bersimpuh) dan minta ampun sambil
gemetaran tubuhnya.
“Heh heh heh heh. Aku ingin
melihat, apa yang akan engkau lakukan
terhadap diriku? Apakah engkau bisa
memaksa dan mengusir aku tanpa aku
sendiri yang menghendaki?”
Ejekan itu menyebabkan Dewi
Sritanjung tambah marah. Sepasang
matanya yang indah itu sekarang
menyala.
Memang tidak mengherankan apabila
pemuda ini mengejek seperti itu. Ia
memang bukan pemuda sembarangan, dan
malah murid seorang tokoh sakti pula.
Pemuda ini bernama Rudra Sangkala, dan
gurunya bernama Murti Sari. Hanya
sungguh sayang, ilmunya yang tinggi
bukan diperuntukkan berbuat mulia,
menolong sesama hidup, malah untuk
perbuatan jahat. Ia memang seorang
pemuda yang gemar mendekatkan diri
kepada nafsu berburu perempuan.
Karena sesat, maka Rudra Sangkala
menjadi pemuda liar yang tidak pernah
melewatkan kesempatan bagus apabila
berhadapan dengan perempuan. Dan
sungguh amat sayang pula, gurunya yang
bernama Murti Sari itupun tidak pernah
menegur perbuatan muridnya yang sesat.
Menyebabkan pemuda ini semakin
menjadi, dan sekarang ia berhadapan
dengan Dewi Sritanjung, sikapnya
memandang enteng.
Sikap ini memancing kemarahan
Dewi Sritanjung. Bentaknya, “Aku akan
mengusir engkau seperti anjing, dengan
pedangku ini!”
Sring...!
Rudra Sangkala berjingkrak kaget,
melihat sebatang pedang yang
menyinarkan cahaya biru.
“Pedang bagus, heh heh heh heh!”
ujarnya.
Sebagai pemuda yang sudah cukup
pengalaman, ia segera dapat menerka
secara tepat pedang si gadis ini bukan
pedang sembarangan, tetapi malah
pedang pusaka. Namun demikian ia tidak
menjadi gentar, malah gembira dan
kemudian timbullah niatnya untuk
menaklukkan gadis cantik ini dengan
jalan apapun. Apabila maksudnya ini
terkabul, sekali tepuk akan mendapat
dua sasaran yang berharga. Pertama ia
akan mempunyai pedang pusaka yang
menyinarkan cahaya biru dan yang kedua
ia akan dapat mempunyai gadis ayu ini.
Dewi Sritanjung mengerutkan alis-
nya yang lentik. Sebentar ia meragu.
Haruskah ia berselisih dan berkelahi
dengan pemuda ini? Padahal sesuai
dengan pesan kakeknya, ia harus
berusaha menghindari perselisihan
dengan siapapun. Sebab walaupun memi-
liki sejuta orang sahabat, hidupnya
tidak juga dapat tentram apabila masih
mempunyai seorang musuh saja. Dan jika
ia ingat pesan Kiageng Tunjung Biru
ini, ia memang tidak ingin berkelahi.
Tetapi celakanya, pemuda ini sengaja
mengganggu dirinya dan malah mere-
mehkan. Tidak, bantah hatinya. Apapun
yang terjadi, pemuda yang kurang ajar
ini harus engkau lawan dan engkau
hajar biar menjadi jera.
“Hemm,” Dewi Sritanjung mendengus
dingin. “Apakah engkau membandel dan
tidak lekas enyah dari tempat ini?
Engkau janganlah menunggu aku marah!”
Akan tetapi walaupun gadis ini
sudah memperingatkan, Rudra Sangkala
malah semakin bersikap meremehkan.
Matanya bersinar-sinar aneh dan bibir-
nya membentuk senyum mengejek.
“Heh heh heh heh, aku ingin
melihat apakah engkau dapat mengusir
aku? Hemm, Adik Manis, apakah aku
kurang gagah dan kurang tampan? Huh,
adakah laki-laki segagah dan setampan
aku ini? Hem, daripada kita ini
berselisih, toh lebih menyenangkan
apabila kita rukun menjadi kekasih.”
Meledak kemarahan gadis ini,
mendengar ucapan pemuda itu.
Bentaknya, “Awas pedang...!”
Siut... wut.... Auww...!
Rudra Sangkala memekik tertahan
saking kagetnya. Mimpi pun tidak,
gadis cantik ini dapat bergerak
secepat itu. Begitu membentak, pedang
yang bersinar biru itu sudah menyambar
dahsyat sekali. Maka sedikit lambat
bergerak, dirinya tentu sudah ber-
lubang tubuhnya. Karena itu ia menjadi
cepat sadar, sekalipun tampaknya lemah
lembut, gadis ini bukan sembarangan.
Namun demikian ia juga bukan
pemuda lemah. Ia merasa sebagai murid
tunggal wanita sakti Murti Sari. Maka
sungguh memalukan sekali apabila
berhadapan dengan perempuan saja
dirinya harus menyerah kalah.
Sring...! Sungguh cepat gerakan
tangan Rudra Sangkala. Tahu-tahu
sebatang pedang telah di tangan kanan.
Seleret sinar kuning menyambar ketika
pedang itu tercabut dari sarungnya,
dan inilah pedang pusaka yang bernama
Wesi Kuning, pedang pusaka pemberian
gurunya.
Trang trang....
Benturan pedang terdengar amat
nyaring. Dua-duanya kaget dan melompat
mundur, karena benturan tadi memang
hebat. Lengan masing-masing tergetar,
dan seperti mendapat aba-aba, masing-
masing melihat pedangnya. Namun
ternyata pedang itu tidak apa-apa,
sekalipun berbenturan keras.
Dewi Sritanjung heran dalam hati.
Mengapa pedang lawan tidak patah
berbenturan dengan pedangnya? Kalau
demikian jelas sekali pedang bersinar
kuning itu pedang pusaka pula.
Menyadari pedang lawan merupakan
pedang pusaka, gadis ini amat hati-
hati.
Seleret sinar panjang yang
warnanya biru membentuk lingkaran
membungkus dirinya dengan kecepatan
yang sulit dilukiskan. Sinar yang
membentuk lingkaran besar dan kecil
ini, kadang menggetar dan menyambar ke
arah lawan secara dahsyat, tetapi
celakanya pedang ini tidak kuasa
menembus benteng pedang lawan.
Sebagai murid Murti Sari, pemuda
ini sudah termasuk ahli ilmu pedang
jempolan. Gerakannya demikian aneh,
kadang menggetar, hingga pedang yang
hanya sebatang itu dapat berubah
seperti belasan banyaknya. Namun
kadang juga membentuk lingkaran yang
tidak pernah putus.
Oleh kecepatan gerak dua orang
muda ini menggunakan pedang, lenyaplah
bentuk pedang itu dan yang tampak
hanyalah sinar kuning dan biru saling
libat. Seakan dua ekor ular yang
sedang berkelahi dan saling libat.
Trang trang.... siutt....
wutt....
Benturan pedang yang nyaring
terdengar lagi. Kemudian disusul oleh
sambaran pedang yang lebih dahsyat.
Apabila dua orang yang memiliki
ilmu pedang bertemu dan masing-masing
menggunakan pedang pusaka, tentu
terjadi perkelahian yang seru dan
berbahaya. Maka dalam waktu singkat,
keadaan di tepi sungai itu menjadi
bosah-basih (morat-marit) tidak
karuan. Semak belukar yang tinggi dan
subur itu, seakan diserbu oleh puluhan
penyabit rumput. Dan pohon-pohon
sekitarnya, seperti diserbu oleh para
tukang kayu. Pohon-pohon yang kecil
segera tumbang oleh tajamnya pedang.
Sedang ranting dan dahan pohon yang
tidak begitu tinggi, juga menjadi
berantakan.
Makin lama perkelahian ini
bertambah sengit. Mereka adalah dua
orang muda yang masih berdarah panas
dan masih bertenaga penuh. Maka
semakin lama berkelahi, dua batang
pedang pusaka itu sambarannya menjadi
semakin cepat dan berbahaya.
Rudra Sangkala yang pada mulanya
meremehkan gadis ini sekarang matanya
baru terbuka. Gadis yang tampaknya
lemah lembut ini memang tak dapat
dianggap remeh. Ia juga melihat jelas
gerakan gadis ini masih agak kaku,
membuktikan gadis ini belum memiliki
pengalaman cukup luas dalam dunia
perkelahian. Akan tetapi kekurangannya
itu bisa ditutup oleh kecepatan gadis
ini bergerak. Dan bukan hanya itu,
tangan kirinya yang membantu, setiap
memukul segera menyambar angin pukulan
dahsyat Diam-diam ia heran dan
bertanya dalam hati, siapakah guru
gadis ini?
Terbayang kemudian dalam benak-
nya, betapa hebat apabila dirinya dan
gadis itu dapat menjadi kekasih. Tentu
akan menggemparkan jagad ini, dengan
munculnya sepasang jago pedang. Akan
tetapi celakanya gadis ini sulit
dibujuk dengan ucapan, dan sulit pula
ditundukkan dengan kekerasan. Hal ini
menyebabkan Rudra Sangkala penasaran.
Kalau pada mulanya ia masih berharap
dapat menundukkan gadis ini, makin
lama berkelahi menjadi semakin tipis
harapannya. Dalam keadaan seperti ini
lalu timbul kekhawatirannya, kalau
dirinya sampai kalah. Karena timbul
kekhawatirannya ini, akibatnya
membangkitkan watak asli Rudra
Sangkala. Watak yang sesat!
“Hiaaaattt...!”
Rudra Sangkala kaget sekali dan
cepat membuang diri ke belakang,
berjungkir balik dalam usaha menye-
lamatkan diri.
Sambaran pedang yang bersinar
biru itu memang tidak terduga-duga.
Sedikit saja lambat, dirinya tentu
akan roboh.
Tetapi justru oleh serangan ini,
Rudra Sangkala semakin penasaran.
Kalau tidak dapat menundukkan gadis
ini masih dalam keadaan hidup,
pendeknya ia harus menang. Meskipun
demikian ia masih berteriak sambil
melawan.
“Adik ayu, apakah engkau masih
membandel juga?”
“Mampuslah!” jawaban Dewi Sritan-
jung disusul oleh sambaran pedangnya
yang dahsyat, dibantu oleh pukulan
tangan kiri yang melancarkan pukulan
dari ilmu tangan kosong, Sindung
Riwut.
Semua ini menyebabkan Rudra
Sangkala tambah marah. Hampir saja ia
mengambil pisau kecil untuk menyerang
gadis bandel ini. Tetapi niatnya ini
segera urung, dan ia berpendapat lebih
baik menundukkan dengan racun wangi.
Bukankah dengan racun ini, ia dapat
membuat gadis ayu ini terpengaruh dan
kemudian pingsan?
Dalam keadaan gadis ini pingsan,
dirinya akan dapat menawan. Dan kalau
sudah dapat menawan, ia akan dapat
merayu dan membujuk. Namun sebaliknya
apabila gadis ini tetap membandel, ia
akan menggunakan kekerasan. Pendeknya
sudah timbul keputusan dalam hatinya,
apabila tidak dapat mendapatkan kasih
cinta, ia harus dapat memiliki
tubuhnya.
Memperoleh keputusan demikian,
tiba-tiba saja Rudra Sangkala ter-
kekeh. Pedangnya yang bersinar kuning
itu segera menyambar lagi dengan
dahsyat
Trang trang.... siut.... sring
trang....
Beberapa kali terjadi benturan
pedang yang keras dan nyaring. Pada
saat pedang berbenturan ini, Rudra
Sangkala sudah menyebarkan racun wangi
yang jahat itu.
Dasar Dewi Sritanjung belum
berpengalaman menghadapi lawan yang
biasa berbuat curang, maka ia hanya
keheranan, ketika tiba-tiba hidungnya
menghirup bau yang semerbak wangi.
Karena polos dan tidak curiga, maka
gadis ini menduga tentu tak jauh dari
tempat ini terdapat rumpun pohon bunga
yang menyebarkan bau harum itu. Maka
gadis ini tidak curiga sedikit pun,
bahwa bau wangi ini adalah hasil
perbuatan dari lawan.
Dewi Sritanjung baru menjadi
kaget setelah tiba-tiba kepalanya
pening dan matanya kabur. Merasakan
keadaan ini ia baru menyadari lawan
sudah menggunakan racun. Saking
marahnya, ia membentak nyaring sambil
menyerang dahsyat sambil mencaci.
“Jahanam busuk! Engkau curang
menyebar racun!”
Emoticon