Serial 10 Dewi Sritanjung
Karya : Widi Widayat
Cover & Illustrasi: Arie-
Penerbit: MELATI Jakarta
HAK CIPTA dilindungi oleh Undang-undang
1
Anda tanya, saya jawab.
Anda pasti bertanya, mengapa buku ini
berjudul seperti itu? Memang ada sebabnya. Be-
gini!
Dewi Sritanjung adalah murid tunggal Ki
ageng Tunjung Biru. Selama belasan tahun la-
manya hidup berdua dengan gurunya, Dewi Sri-
tanjung tidak pernah mendapat penjelasan, men-
gapa gurunya hidup seorang diri di dalam hutan.
Dewi Sritanjung berpisah dengan gurunya,
karena diutus gurunya bertemu dengan Gajah
Mada dan sekaligus untuk dapat bertemu dengan
orang tuanya. Maka harapannya sebesar gunung,
karena selama ini memang belum pernah tahu
siapakah orang tuanya, dan belum pula mengenal
wajah ayah bundanya.
Namun ternyata kemudian apa yang ke-
mudian apa yang dialami tidak seperti harapan-
nya semula. Ia hanya mendapat kekecewaan dan
hatinya terasa sakit. Oleh sebab itu malam hari ia
pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Tujuan-
nya tidak lain hanyalah ingin kembali ke hutan
dan hidup lagi bersama gurunya.
Tetapi dalam perjalanan pulang untuk me-
nemui gurunya ini, ia melihat gunung yang men-
geluarkan asap. Ia heran, lalu pergi ke gunung itu
untuk melihat apa yang terjadi. Namun sungguh
sayang, dalam perjalanan menuju puncak ini ia
berhadapan dengan bahaya yang tidak pernah ia
harapkan. Ia terperosok dalam lubang jebakan.
Sebagai akibat kurang pengetahuan dis-
amping kurang hati-hati, maka tiba-tiba saja ka-
kinya merasa menginjak tempat kosong.
Gadis bernama Dewi Sritanjung ini kaget
dan berusaha melawan luncuran tubuhnya sam-
bil memukulkan kaki dan tangannya ke tepi lu-
bang. Namun sungguh celaka! Tubuhnya terus
meluncur turun pada lubang yang gelap bukan
main. Akibatnya sekalipun ia tabah dan penuh
rasa percaya kepada diri sendiri, Dewi Sritanjung
menjerit nyaring.
Tetapi sekalipun demikian ia masih beru-
saha mengurangi kecepatan luncuran tubuh den-
gan jalan mengatur keseimbangan tubuhnya.
Hanya sayang sekali, lubang ini ternyata dalam
sekali, sehingga luncuran bukannya berkurang,
malah semakin menjadi cepat. Saking kaget, ta-
kut dan ngeri, akhirnya gadis ini menjadi pening
namun masih tetap sadar.
Entah sudah berapa lama tubuhnya me-
luncur cepat sekali ke bawah. Tiba-tiba ia merasa
tubuhnya tertahan oleh angin yang kuat sekali
dari bawah, hingga tubuhnya membal ke atas
kembali. Tetapi keadaan itu tidak lama, tubuhnya
kembali meluncur turun. Lalu terasa lagi angin
kuat menyambar dari bawah dan tubuhnya mem-
bal kembali.
Meluncur lalu membal kembali sampai be-
berapa kali ini menyebabkan dirinya seperti diko-
cok dan kepalanya tambah pening. Dan pada ak-
hirnya gadis ini tidak dapat bertahan lagi lalu
pingsan!
Hembusan angin yang kuat dari bawah ini
ternyata dari dorongan seorang nenek yang sudah
tua renta, kurus kering dan rambutnya awut-
awutan tidak disanggul. Nenek ini hampir telan-
jang karena pakaiannya sudah cabik-cabik tidak
keruan.
Nenek ini duduk ngelesot di tanah yang
lembab. Setelah berkali-kali memukulkan dua be-
lah tangannya ke atas bergantian, dan dari tela-
pak tangannya terbit angin yang kuat sekali, ma-
ka luncuran Dewi Sritanjung makin lama menjadi
semakin lambat. Lalu ketika tubuh gadis yang
pingsan ini meluncur turun, sudah diterima oleh
dua tangannya yang kurus kering.
Oleh pertolongan yang tidak terduga dari
mahkluk yang berdiam di lubang ini, selamatlah
nyawa Dewi Sritanjung. Tetapi mungkin sekali
karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga, se-
karang nenek ini dadanya menjadi tersengal-
sengal lalu terbatuk-batuk. Ia membiarkan gadis
ini yang terbaring di depannya dan masih dalam
keadaan pingsan.
Sambil tersengal-sengal dan terbatuk-
batuk ini, nenek tersebut memandang penuh per-
hatian. Desisnya, - Hemm, seorang bocah perem-
puan yang masih muda. Mengapakah sebabnya
bisa terperosok masuk dalam lubang ini?
Setelah hilang rasa sesak dalam dadanya,
nenek ini mulai memijit dan mengurut Dewi Sri-
tanjung untuk menyadarkannya. Berkat pijatan,
tiba-tiba gadis ini sadar lalu bangkit
- Ahhhh....... ! gadis ini kaget sekali ketika
melihat di dekatnya terdapat seorang nenek tua
renta, rambut awut-awutan, kotor dan menjijik-
kan dan setengah telanjang.
- Hi hi hik, engkau kaget? Jangan takut!
Anak, aku bukan setan dan bukan hantu. Tetapi
aku adalah manusia seperti engkau juga.
Mendengar ucapan ini, agak berkurang ra-
sa takutnya. Ia menebarkan pandang matanya ke
sekeliling. Diam-diam timbullah rasa heran bocah
ini, mengapa dirinya sekarang berada di tempat
yang lembab ini? Sebuah jurang yang dalamnya
sulit diukur dan menyebabkan sinar matahari
yang terhalang oleh kabut jurang itu tidak begitu
terang, namun cukup pula menyebabkan jurang
ini tidak begitu gelap.
- Siapakah yang telah menolong diriku?
- Aku! Kenapa?
Tiba-tiba Dewi Sritanjung berlutut memberi
hormat. - Terimalah hormat Dewi Sritanjung dan
terima pulalah ucapan terima kasihku.-
- Apa? Terimakasih? Hi hi hik..... mulut
manusia memang gampang sekali mengucapkan
terima kasih. Akan tetapi mulut bukanlah hati
dan sebaliknya hati bukanlah mulut.-
Dewi Sritanjung keheranan mendengar
ucapan si nenek yang tidak keruan ujung pang-
kalnya ini. Namun belum juga gadis ini sempat
membuka mulut untuk bertanya, nenek itu sudah
berkata lagi.
- Hi hi hik, engkau tidak perlu heran, Nak,
karena engkau masih amat muda. Tetapi kelak
kemudian hari mungkin engkau akan tahu apa
yang aku katakan tadi. Sebab di dunia ini, tidak
berkurang jumlahnya manusia yang lain di mulut
dan lain di hati.-
- Tetapi Nenek yang baik, aku mengu-
capkan terima kasih ini secara tulus dari hati.-
Dewi Sritanjung membela diri.
- Bocah, apakah engkau tidak takut kepa-
daku?-
- Kenapa takut? Nenek amat baik dan telah
menyelamatkan nyawaku. Tentu saja aku tidak
takut malah amat berterima kasih. Apa yang akan
terjadi, apabila Nenek tadi tidak menolong diriku?
Tentu tubuhku sudah hancur berkeping-keping
jatuh di dasar jurang ini.-
Memang setelah hatinya kembali tenang,
Dewi Sritanjung mengerti, lubang jebakan di tem-
pat dirinya terperosok ini, dihubungkan dengan
jurang ini. Jurang yang amat dalam dan sulit di-
ukur. Maka kalau dirinya selamat seperti seka-
rang, hanya berkat pertolongan Dewata Yang
Agung saja.
- Engkau bilang baik, karena aku sudah
menolong kau, bukan? Tetapi apa yang engkau
katakan, apabila engkau berhadapan dengan aku
tanpa lewat pertolongan? Hemm, aku berani ber-
taruh engkau tentu meludah dan jijik melihat di-
riku yang tengik, jorok serta tua renta tidak ber-
harga ini.-
- Tidak, Nek, tidak! Aku memandang orang
bukan bertitik tolak kepada hal-hal yang kasat
mata. Pakaian maupun keadaan seseorang, me-
nurut pendapatku bukanlah menjadi dasar yang
menentukan martabat seseorang. Nek, sekalipun
orang berpakaian mewah, baunya harum, tetapi
apabila perbuatannya tidak baik, tetap bukan
manusia yang baik. Lebih berharga seorang pen-
gemis yang pakaiannya compang-camping, karena
si pengemis makan pemberian orang secara ik-
hlas, tidak memeras maupun memaksa orang. –
- Hi hi hik, ucapanmu amat menarik, Nak.-
Tetapi nenek ini tiba-tiba menghentikan ucapan-
nya. Matanya yang bersinar tajam itu terbelalak
sejenak, kemudian mendadak menyambar pedang
pusaka gadis ini.
Dewi Sritanjung kaget sekali. Akan tetapi
gerakan nenek ini memang cepat sekali dan pe-
dang telah pindah ke tangan nenek tersebut.
Setelah pedang dengan sarungnya dalam
tangan nenek itu, berubahlah wajahnya. Ia mena-
tap tajam kepada Dewi Sritanjung, hardiknya, -
Dari mana kau peroleh pedang ini?-
Dewi Sritanjung menjadi agak khawatir
mendengar pertanyaan ini. Ada apakah dengan
pedang pusaka Tunggul Wulung ini? Akan tetapi
bagaimanapun ia tidak mencuri, dan pedang itu
adalah pemberian Ki ageng Tunjung Biru. Meski-
pun demikian sebelum ia menjawab, terpikirlah
untuk bertanya, apakah sebabnya nenek ini terta-
rik kepada pedangku itu.
- Nenek yang baik, mengapa sebabnya Ne-
nek tertarik kepada pedangku ini?- tanyanya.
- Hemm, aku tertarik karena ada pula se-
babnya. Dan sekarang jawablah secara jujur. Dari
siapakah engkau peroleh pedang ini?-
- Dari Guruku.-
- Ahhh .... lalu siapakah gurumu?-
- Ki ageng Tunjung Biru.-
- Ahhh......Ki ageng Tunjung Biru?-
Dan tiba-tiba saja lengan nenek peyot ini
gemetaran, wajahnya berubah menjadi pucat, dan
pedang berikut sarungnya runtuh ke tanah.
Akan tetapi Dewi Sritanjung tidak berani
maju untuk mengambil. Sebab ia khawatir kalau
perbuatannya menyinggung perasaan nenek ini.
Maka gadis ini berdiam diri. Tetapi sesaat
kemudian gadis ini kaget, karena tiba-tiba nenek
ini menangis terisak-isak. Ia menangis benar-
benar, sehingga air mata itu mengucur deras se-
kali.
Melihat ini Dewi Sritanjung menjadi tre-
nyuh. Lalu ia memberanikan diri dalam usaha
menghibur. - Nenek yang baik, sudahlah! Apabila
Nenek menghendaki pedangku, biarlah dengan
ikhlas aku berikan kepada Nenek. –
Nenek itu menghapus air matanya. Tetapi
mungkin karena hati amat sedih, air mata itu be-
lum juga mau menjadi kering. Dengan mata yang
basah, nenek ini kemudian menatap tajam kepa-
da Dewi Sritanjung, lalu hardiknya.
- Huh! Siapa yang mau mengambil pe-
dangmu? Huh, apakah kiramu aku serakah se-
perti dugaanmu?-
- Ohhh.....- Dewi Sritanjung menjadi kaget
berbareng khawatir. - Maafkanlah aku, Nenek
yang baik. Aku tidak sengaja menyinggung pera-
saan Nenek. Akan tetapi..... apakah sebabnya Ne-
nek ..... menangis melihat pedang Tunggul Wu-
lung?-
- Huh huh.....tentu saja ada sebabnya..... -
sahut nenek ini dan kemudian menghela napas
panjang, seperti orang sedang menyesal.
Karena khawatir nenek ini menjadi salah
paham, maka Dewi Sritanjung berdiam diri. Akan
tetapi sekalipun demikian dalam dada gadis ini
penuh pertanyaan, apa sajakah sebabnya nenek
yang menolong dirinya ini tiba-tiba sikapnya aneh
?
- Ambillah pedangmu ..... - perintahnya ti-
ba-tiba.
Si nenek masih menangis dan mengucur-
kan air mata. Malah nenek ini tangisnya menjadi-
jadi, seakan seorang yang sedang menyesali sesu-
atu.
Dewi Sritanjung adalah bocah yang sejak
kecil tidak pernah merasakan kasih sayang ayah
bundanya, dan ia dirawat dan dibesarkan oleh Ki
ageng Tunjung Biru, yang ia akui sebagai kakek-
nya. Dengan kebiasaannya yang hanya berdua
dengan gurunya itu, menyebabkan gadis ini dapat
mengenal sifat orang yang sudah berusia lanjut,
yang memang berbeda dengan orang yang masih
setengah umur. Orang yang sudah pikun menjadi
orang yang gampang sekali tersinggung, peka dan
selalu minta diperhatikan. Sikap, kebiasaan dan
wataknya hampir mirip dengan bocah kecil yang
belum berumur sepuluh tahun.
Berdasar pengalamannya menghadapi Ki
ageng Tunjung Biru, ia segera tahu apa yang ha-
rus ia lakukan. Katanya kemudian, - Nenek yang
baik, maafkanlah aku yang muda ini, karena ke-
hadiranku secara tidak sengaja ditempat ini,
hanya menyebabkan Nenek sedih.-
Nenek ini mengangkat wajahnya yang ba-
sah air mata, lalu dengan sepasang matanya yang
basah itu pula menatap Dewi Sritanjung. Kemu-
dian terdengarlah nenek ini menghela napas di
sela sedunya.
- Aduhh ..... Anak muda, mungkinkah
permohonan ku selama ini...... kepada Dewata
Yang Agung..... mendapatkan perhatian?
- Aku kurang mengerti apa yang Nenek
maksudkan.-
Mendadak nenek ini mendelik lalu mem-
bentak, - Haii! Apakah sangkamu, semenjak aku
lahir di dunia ini, aku sudah bertempat tinggal di
tempat terkutuk ini?-
- Ohhh !- seru Dewi Sritanjung lirih. - Ka-
lau demikian halnya..... apakah.....-
- Memang ada orang yang mencelakakan
diriku ...... - potong nenek ini dengan nada geram.
- Bangsat! Bedebah! Biadab orang itu! Su-
dah kuberi air susu malah membalas dengan air
tuba! Tetapi.....ahhh hu hu huuuun..... oh, maaf-
kanlah aku ..... Kakang ..... oh Ki ageng ..... ohh,
berilah aku ampun .... ya, sekarang aku sudah
sadar dan insyaf ......
Dewi Sritanjung heran disamping agak bin-
gung, mendengar ucapan nenek ini. Apakah mak-
sud yang sebenarnya? Siapakah orang yang dia
maki bangsat dan biadab itu, dan siapa pulakah
yang dia sebut Kakang atau Ki ageng itu? Diam-
diam ia sudah dapat menduga mungkin nenek ini
terpaksa menjadi penghuni tempat terasing dan
tidak menyenangkan, adalah akibat kecelakaan
atau dicelakakan orang.
Apabila dugaannya ini benar, berarti du-
gaannya yang pertama adalah keliru. Ia tadi sete-
lah merasa tertolong oleh nenek ini dari maut, ia
menduga nenek ini seorang pertapa sakti yang
sengaja mengasingkan diri dan bertapa di tempat
aneh ini.
Tetapi apabila benar orang sudah mencela-
kai nenek ini, lalu siapakah yang bisa melaku-
kannya, justru nenek ini sakti? Sebab apabila
bukan tokoh sakti, manakah mungkin nenek ini
dapat menyelamatkan dirinya yang terperosok
masuk ke dalam jurang yang amat dalam ini?
Nenek ini sesudah melihat Dewi Sritanjung
berdiam diri, agaknya menjadi sadar sudah me-
nyebabkan bocah ini kaget dan takut
- Anak, agaknya engkau kaget dan takut
berhadapan dengan aku ini?- tanyanya.
- Tidak, Nek,- sahut gadis ini sambil meng-
geleng. - Hanya yang menyebabkan aku heran,
terharu dan sedih, adalah mengapa sebabnya Ne-
nek berada ditempat ini?-
- Kenapa kau ikut bersedih? Hemm..... bu-
kankah engkau tiada sangkut pautnya dengan
aku?-
- Benar. Dulunya memang tidak. Tetapi se-
jak saat ini, aku mempunyai hubungan dengan
Nenek. Tempat ini adalah terasing dan aku juga
merasa berutang budi kepada Nenek. –
- Hemmm.....- nenek ini menghela napas
pendek.
Agaknya sikap dan ucapan Dewi Sritanjung
ini mengesan dalam hati si nenek. Maka sesaat
kemudian ia berkata, - Apakah engkau mengira,
aku ini seorang nenek berhati baik?-
- Ya! Kalau tidak, Nenek tentu tidak sudi
menolong aku.-
Tiba-tiba nenek ini terkekeh, sekalipun se-
pasang matanya masih basah air mata. Dan ka-
rena nenek ini masih terisak, maka suara keta-
wanya menjadi aneh dan menakutkan. Kalau saja
ia mendengar suara ketawa ini belum berhada-
pan, tentu ia menjadi ketakutan karena menjadi
khawatir apabila nenek ini sudah gila. Adakah
orang menangis sambil tertawa kalau bukan gila?
Setelah nenek ini berhenti menangis dan
tertawa, ia menghardik, - Apa katamu? Hatiku
baik? Huh, tahukah kau jika orang yang terpero-
sok ke jurang ini laki-laki? Apakah yang akan aku
lakukan?-
- Tentu nenek akan menolongnya pula se-
perti yang sudah Nenek lakukan terhadap diriku.
–
- Jangan ngomong tidak keruan!- bentak-
nya tiba-tiba.
Akibatnya Dewi Sritanjung menjadi kaget.
Diam-diam gadis ini heran. Mengapakah
sebabnya tiba-tiba nenek ini membentak dan ma-
rah? Lalu, apakah kesalahannya?
- Huh huh! - nenek ini bersungut-sungut.
Sejenak kemudian katanya dengan nada geram, -
Jika ada laki-laki yang terperosok masuk kemari,
tentu akan aku biarkan mampus terbanting dan
tubuhnya hancur berantakan.-
- Ihhh.....!- Dewi Sritanjung kaget dan di-
am-diam ngeri. Tanyanya kemudian, - Apakah se-
babnya Nenek berbuat begitu?-
- Mengapa, ya mengapa? Kau heran? Huh,
manusia laki-laki di dunia ini kecuali..... seorang
saja, semuanya jahat. Aku benci jadinya. Dan aku
benci kepada semua laki-laki! Karena mereka itu
hanyalah penipu. Penipu! Kau dengar?-
Walaupun tidak tahu apakah maksud ne-
nek ini. Gadis ini terpaksa mengangguk juga. Te-
tapi anggukan bocah ini telah dapat membuat si
nenek menjadi senang, karena merasa mendapat
perhatian.
- Bagus, hemm! Kau memang seorang anak
baik. Tidak keliru apabila aku tadi sudah berusa-
ha menyelamatkan engkau. Anak, aku bilang, la-
ki-laki tidak baik, kecuali hanya seorang saja.-
- Hemmm...... nenek ini menghela napas
panjang dan tidak memberi jawaban. Namun be-
berapa jenak kemudian nenek ini bertanya lirih, -
Apakah gurumu ..... Ki ageng Tunjung Biru tidak
pernah membicarakan tentang seorang perem-
puan dengan kau?-
- Perempuan?- Dewi Sritanjung kaget ber-
bareng heran.
Menurut seingatnya, sekalipun sudah bela-
san tahun lamanya ia hidup bersama dengan Ki
ageng Tunjung Biru, orang tua itu belum pernah
membicarakan perempuan. Namun demikian, ia
masih berusaha mengingat-ingat apa yang sudah
ia ketahui tentang gurunya.
- Jawablah! Pernahkah dia bicara tentang
seorang perempuan?-
- Tidak!- ia menggeleng.
- Aduhhh..... hu hu huuuuu.....apakah dia
belum juga mau memaafkan aku?- tiba-tiba saja
nenek ini kembali menangis sambil menutupi wa-
jahnya.
Dewi Sritanjung makin tidak mengerti
mengapa sikap nenek ini demikian aneh. Dalam
pada itu ia menduga pula apakah yang sudah
pernah terjadi antara perempuan ini dengan gu-
runya? Kalau tadi begitu melihat pedang Tunggul
Wulung segera mengenalinya, mengenal sebagai
milik Ki ageng Tunjung Biru, jelas nenek ini bu-
kan orang asing bagi gurunya.
Disamping ia menduga demikian, iapun
menjadi heran pula, mengapa perempuan ini
mengeluh, Ki ageng Tunjung Biru tidak mau me-
maafkan? Lalu apakah salah perempuan ini ter-
hadap gurunya?
Akan tetapi karena sadar bahwa nenek ini
sifat dan tabiatnya agak aneh, ia tidak berani ber-
tanya dan mendesak. Karena ia menjadi khawatir
apabila sampai salah ngomong, bisa menyebab-
kan nenek ini marah lagi.
- Hemm, Anak baik, aku mengerti jika eng-
kau menjadi heran, mendengar ucapanku yang
tidak keruan ujung pangkalnya ini,-
- Ya.- Tetapi sekalipun menjawab gadis ini
nampak ragu.
- Hemm, tahukah bahwa diriku ini penuh
rasa dendam dan penasaran? Dan tahu pulakah
apa jadinya jika engkau terperosok masuk kema-
ri, sebelum aku mendapat penerangan batin dan
rasa kesadaran? Hemm, Anak baik, sebelum aku
bertobat kepada Dewata Agung dan mohon am-
pun atas kesalahan-kesalahanku waktu dulu?-
Nenek ini berhenti. Sesungguhnya ia ingin
mengatakan, ia akan membunuh kepada siapa-
pun yang terperosok masuk ke tempat tinggalnya
sekarang ini. Akan tetapi kata-kata ini kemudian
ia telan kembali dan tidak jadi ia ucapkan, sebab
nenek ini khawatir apabila bocah ini menjadi ke-
takutan.
Entah mengapa sebabnya, setelah mengerti
bocah ini murid Ki ageng Tunjung Biru, terbit pu-
la rasa yang lain terhadap bocah ini.
- Hemm, sudahlah! Yang sudah biarlah
berlalu! - akhirnya nenek ini berkata. - Tetapi un-
tuk membuat engkau mengerti duduk perkara
yang sebenarnya, yang menyebabkan aku meng-
huni tempat ini, engkau harus mau mendengar
kisah hidupku lebih dahulu.-
Nenek ini berhenti sejenak lagi. Sesudah
mengambil napas, terusnya, - Anak baik, engkau
harus tahu, namaku Widoretno.....-
- Ohhh.....Nenek Widoretno?- gadis ini ter-
belalak.
- Ihhh.....agaknya kau kaget? Kenapa?
Apakah gurumu pernah menyebut namaku?-
- Ya. Satu kali ......
- Katakan! Lekas katakanlah.....apa kata
gurumu .....?
- Ya. Kakek pernah.....-
Tiba-tiba nenek ini sudah mencengkeram
leher Dewi Sritanjung dengan tangan kiri, sedang
jari tangan kanan sudah siap di atas kepala un-
tuk menusuk ubun-ubun.
Gadis ini kaget sekali oleh serangan si ne-
nek yang mendadak dan amat cepat ini. Hingga
dirinya tidak sempat untuk menghindarkan diri.
- Apa kau bilang? Dia Kakekmu?- desis
Nenek Widoretno penuh ancaman dan geram. -
Jadi..... jadi..... Ki ageng Tunjung Biru kawin lagi,
mempunyai anak dan cucu?-
- Apakah sebabnya engkau menanyakan
tentang kawin lagi, mempunyai anak dan cucu?-
tiba-tiba gadis ini menjadi kurang senang atas
pertanyaan ini dan menjawab dengan nada ketus.
- Guruku hanya hidup seorang diri di dalam se-
buah pondok kecil di sebuah hutan. Tidak ada
orang lain dalam pondok itu, kecuali aku seo-
rang.-
- Tetapi dia Kakekmu?- bentak nenek Wi-
doretno.
Dewi Sritanjung menggeleng, - Bukan!
Akan tetapi aku menganggap Guruku itu sebagai
Kakekku sendiri. Sebab, Guru merawat diriku
semenjak aku masih bayi merah.-
- Lalu, siapakah orang tuamu? Bukankah
orang tuamu itu keturunan Ki ageng Tunjung Bi-
ru?-
- Bukan! Aku adalah anak terbuang!-
- Ahhh... - nenek Widoretno berseru terta-
han, melepaskan cengkeramannya dan meman-
dang Dewi Sritanjung dengan keheranan. Karena
tiba-tiba saja bocah ini sudah menangis terisak-
isak.
Agak heran juga nenek ini melihat peruba-
han itu. Tadi ketika ia cengkeram sedemikian ru-
pa, bocah ini tidak takut sedikitpun. Tetapi men-
gapa sekarang, setelah diajak bicara tentang
orang tuanya, mendadak saja gadis ini menjadi
sedih dan menangis?
- Anak baik.....ohh, Anak baik..... maafkan-
lah aku. Hemm ..... tidak sengaja aku sudah me-
nyebabkan kau sedih.....- ujarnya berubah lembut
dan menghibur.
Dewi Sritanjung masih menangis terisak-
isak ketika teringat nasibnya sebagai seorang
anak terbuang.
Karena Dewi Sritanjung tidak membuka
mulut nenek Widoretno bertanya lagi, - Anak...
engkau tadi bilang sebagai anak terbuang...... La-
lu siapakah orang tuamu? Dan mengapa pula se-
babnya engkau dirawat dan dibesarkan oleh Ki
ageng Tunjung Biru?-
Sejak pergi meninggalkan rumah orang tu-
anya. Ia sudah bertekad untuk tidak mengaku
sebagai puteri Mpu Nala. Ia tidak menginginkan
ayahnya celaka. Sebaliknya ia malah ingin menja-
ga nama baik dan kehormatan ayahnya. Oleh se-
bab itu ia tidak ingin membawa nama orang tua-
nya selama dirinya berkelana seorang diri tanpa
tujuan sekarang ini. Maka lebih aman apabila di-
rinya mengaku ayah bundanya sudah meninggal.
Mengaku sebagai anak yatim piatu, sebagai gadis
sebatang kara.
Sambil menghapus airmatanya yang mem-
basahi wajahnya, Dewi Sritanjung menjawab, -
Aku tidak tahu lagi, siapakah orang tuaku sebe-
narnya. Menurut cerita Kakek atau Guru yang
sudah tidak bedanya kakek kandungku sendiri,
aku dia temukan ketika hanyut di sungai, masih
sebagai bayi merah. Kemudian dia rawat dan dia
besarkan. Itulah sebabnya disamping sebagai
Guru, dia juga aku anggap sebagai Kakekku sen-
diri.-
- Ahhh..... aku menyesal sekali sudah me-
nyebabkan engkau kaget, Anak baik.- Widoretno
mengakui kelancangannya.
- Tetapi ... aku justru malah senang sekali
apabila Nenek tadi benar-benar membunuh aku...
-
- Apakah sebabnya engkau berkata seperti
itu ?-
-Aku hidup sebatang kara.....dan mengem-
bara tanpa tujuan ..... Kalau Nenek mau membu-
nuhku bukankah aku jadi terbebas dari derita
ini.....?
Widoretno terbelalak. Kemudian secara ti-
ba-tiba tangan nenek ini meraih Dewi Sritanjung,
lalu dia dekap erat sekali, dan wajahnya dia te-
kankan pada dada yang kerempeng, karena buah
dadanya sudah kering.
Dewi Sritanjung kaget sekali dan hampir
saja melepaskan diri, karena mau muntah meng-
hirup bau yang apek dan tengik dari tubuh dan
pakaian Widoretno. Agaknya nenek ini tidak per-
nah kenal lagi dengan mandi, dan menyebabkan
tubuh dan pakaiannya menyebarkan bau tidak
sedap.
Dan sesungguhnya saja ia tersiksa sekali
oleh dekapan ini. Namun untuk tidak menyebab-
kan nenek yang sudah menolong dirinya ini men-
jadi tersinggung dan marah, ia memaksa diri ti-
dak memberontak dan tidak melepaskan diri.
- Aku menjadi kasihan kepadamu, Anak
baik. Engkau jangan menangis...... Sudahlah, ini
namanya jodoh dan takdir. Engkau sebatang ka-
ra..... sebaliknya aku juga sebatang kara dan ti-
dak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi. Seka-
rang, biarlah akupun berbuat sama seperti apa
yang pernah dilakukan oleh gurumu kepada eng-
kau. Maka anggaplah aku ini sebagai nenekmu
sendiri..... –
- Nenekku? Terima kasih .....
Widoretno melepaskan pelukannya, kemu-
dian ia terkekeh senang sekali. Agaknya jawaban
Dewi Sritanjung yang bersedia menjadi cucunya
ini menyebabkan nenek ini gembira sekali.
Setelah terkekeh beberapa lama, nenek ini
bertanya, - Cucuku, lekaslah ceritakan apa yang
sudah pernah dia ceritakan kepadamu tentang di-
riku ini?-
Dewi Sritanjung menatap wajah yang su-
dah peyot itu sejenak. Kemudian ia menjawab, -
Dahulu, Kakek memang sering berdiam diri dan
kemudian menghela napas berat. Ketika itu aku
mendekati, lalu aku bertanya, apakah sebabnya
Kakek merenung dan tampak sedih?-
- Pada mulanya Kakek memang tidak mau
berterus terang dan membuka rahasia itu. Tetapi
setelah aku desak, pada akhirnya Kakek berterus
terang.-
- Hemm, kepada engkau terpaksa aku ber-
terus terang. Tanjung, sebabnya aku sedih karena
aku teringat kepada seseorang yang sangat aku
kasihi. - Kakek berkata.
- Siapa? Kakek teringat kepada seorang la-
ki-laki ataukah perempuan?- desakku.
- Hemm.....perempuan yang amat Kakek
kasihi.....-
- Ihhh .....!- seru nenek Widoretno tertahan.
- Benarkah itu? Kau tidak bohong?-
- Nenek tidak percaya?- tantang Dewi Sri-
tanjung. - Aku berkata apa adanya, dan terserah
Nenek mau percaya atau tidak. Ketika itu Kakek
memang bilang seperti itu. Kemudian aku mende-
sak, siapa? Dan Kakek menyebut seorang perem-
puan bernama Widoretno, lalu aku bertanya, sia-
pakah Widoretno?-
- Widoretno adalah isteriku.-
- Hemmm.....- Nenek Widoretno mendehem,
nampaknya nenek ini lega sekali hatinya.
- Nenek,- kata gadis ini, kemudian mene-
ruskan ceritanya. - Ketika itu aku heran berba-
reng kaget. Lalu aku bertanya, kenapa Kakek
berpisah dengan isterimu? Tetapi sungguh aneh
kakek hanya diam seribu bahasa, tidak mau men-
jawab pertanyaanku, dan malah tidak mau berce-
rita lagi. Sekalipun demikian, keanehan segera
terjadi ......
- Keanehan tentang apa?- desak Widoretno.
- Aku bilang aneh karena aku melihat Ka-
kek tiba-tiba menangis.....-
- Benarkah itu? Dia menangis?- Widoretno
kurang percaya.
- Kenapa tidak? Kakek benar-benar me-
nangis. Dan di tengah tangisnya itu kemudian
aku mendengar ucapannya yang lirih. Katanya,
hanya Widoretno seorang saja wanita di dunia ini
yang aku cintai, Tetapi.....Widoretno ..... –
Kakek bilang, Widoretno menghilang... me-
nyebabkan aku amat menderita... kemudian aku
mengasingkan diri di hutan... dan yang menjadi
tempat tinggalnya sekarang
- Aduhhh... hu hu huuuuu.... maafkanlah
aku Ki ageng... maafkan aku... - tiba-tiba saja Wi-
doretno menangis lagi terisak-isak.
Beberapa saat kemudian barulah ia men-
gangkat kepalanya sambil bertanya -Dimanakah
Ki ageng sekarang bertempat tinggi?-
- Dalam sebuah hutan yang tidak jauh dari
tempuran (pertemuan sungai)antara Sungai
Lengkong dengan Sungai Brantas.-
- Ahhh... kalau saja aku bisa ke sana...
hmmm... tetapi hal itu adalah tidak mungkin... –
- Kenapa tidak mungkin? Nek aku bisa
pergi bersama Nenek ke sana.-
- Hemmm... kedua kakiku sudah lumpuh-
- Ih...! Nenek lumpuh? – Dewi Sritanjung
sejak tadi memang kurang memperhatikan kea-
daan nenek ini, karena semenjak tadi nenek ini
hanya duduk, sehingga tidak menduga sama se-
kali kalau kakinya lumpuh.
Akan tetapi apabila benar nenek ini ingin
ke sana, bukankah dirinya bisa menggendong?
Kalau dirinya dapat membawa Nenek Widoretno
ini kepada Ki ageng Tunjung Biru, bukankah hal
ini amat menyenangkan?
Oleh karena itu setelah menatap wajah
yang keriput itu sesaat, ia berkata - Nek, aku bisa
menggendong kau meninggalkan tempat ini ke-
mudian pergi ke tempat tinggal Kakek. –
- Apa? Heh heh heh heh...- tiba-tiba saja
nenek ini ketawa terkekeh. -Manakah mungkin
engkau dapat meninggalkan tempat ini? Hemm,
bocah, tempat ini adalah terasing dan selama hi-
dupmu akan terkurung seperti aku di sini...-
Tiba-tiba saja wajah Dewi Sritanjung men-
jadi pucat mendengar keterangan ini. Jika benar
dirinya akan terasing di tempat ini, apakah arti
hidupnya ini?
Namun gadis ini tidak percaya. Gadis ini
menduga, mungkin nenek ini berkata tak mung-
kin dapat keluar, karena dua belah kakinya su-
dah lumpuh. Oleh Sebab itu nenek ini tidak dapat
menemukan jalan guna keluar dari tempat ini.
Ia memang tidak gampang mau percaya ke-
terangan Widoretno. Menurut pikirannya, apabila
jurang ini tidak mempunyai tembusan, lalu ke
manakah air yang jatuh ke jurang ini mengalir?
Maka setelah berpikir sejenak, ia berkata. -
Nek, apabila benar tempat ini tidak ada jalan
tembusannya, manakah mungkin jurang ini dapat
mengalirkan air? Karena itu aku percaya, tentu
ada tembusannya. Dan karena Nenek sudah lum-
puh, maka Nenek tidak dapat menyelidiki secara
baik.-
- Apa?- tiba-tiba nenek ini mendelik. -
Sangkamu setelah kedua kakiku lumpuh, aku ti-
dak dapat bergerak leluasa lagi? Lihatlah!-
- Ihhhh.....!- tiba-tiba Dewi Sritanjung ber-
seru tertahan saking kaget berbareng kagum, me-
lihat gerakan si nenek lumpuh ini.
Ternyata sekalipun dua kakinya sudah
lumpuh dan tidak dapat berjalan, namun nenek
ini dapat juga bergerak cepat sekali. Nenek ini
melesat seperti melompat cukup jauh, dan setelah
turun tubuhnya ditopang dengan dua tangan dan
kemudian melesat lagi seperti terbang. Gerakan
Nenek Widoretno secepat ini kiranya tidak kalah
cepatnya dengan orang yang lari menggunakan
dua kaki.
- Nah, engkau sekarang sudah tahu, seka-
lipun aku lumpuh, aku masih dapat bergerak ce-
pat juga? kata nenek ini setelah kembali duduk.
Dan dada nenek ini tidak nampak tersengal, na-
pasnya biasa saja.
Diam-diam Dewi Sritanjung menjadi ka-
gum sekali, membuktikan nenek ini memang sak-
ti mandraguna.
- Cucu, dengan berlompatan seperti katak,
aku sudah menyelidiki jurang ini, baik ke hulu
maupun ke hilir. Di hulu sana, jurang ini masuk
ke dalam tanah yang amat dalam, hingga aku ti-
dak berani masuk. Kemudian di hilir sana, aku-
pun pernah menyelidik, tetapi kemudian terben-
tur dengan jalan buntu. Di sana aku temukan
semacam sumur yang selalu penuh air dan jernih
sekali. Dan dari tempat itulah aku mencukupi
kebutuhan air untuk hidup di tempat terasing
ini.-
- Air itu asalnya dari mana, Nek?- Dewi Sri-
tanjung tertarik dan bertanya.
Gadis ini mempunyai dugaan, tentu air itu
berasal dari jurang lain. Dan dengan demikian ia
akan dapat menyusuri jurang itu lalu menyelidik.
Widoretno menggeleng. Jawabnya, - Entah-
lah, aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah ju-
rang itu sampai ke sumur yang selalu penuh air
dan entah dari mana asal air itu maupun ke ma-
na air itu mengalir. Aku sudah cukup menyelidik,
tetapi tempat itu memang tidak ada tembusan-
nya.-
- Ahhh .....!- akhirnya gadis ini mengeluh.
Apabila benar jurang ini tidak mempunyai
tembusan, habislah harapannya. Ia kemudian
menengadah, dan yang tampak hanyalah kabut
tipis yang menghalangi pemandangan. Untuk
mendaki tebing jurang yang tinggi tidak terukur
ini, tidak mungkin ada orang yang sanggup mela-
kukannya, apabila tidak mempunyai sayap.
Tempat ini sepi sekali, dan tidak terdengar
suara apapun kecuali suara napas dua orang pe-
rempuan ini.
Memang amat kasihan dua perempuan ini,
harus menghuni jurang sepi di luar kemauannya.
Di dalam jurang ini tidak ada apa-apa yang
dapat memberi jaminan hidup. Tidak ada pohon
buah dan tidak ada yang lain. Lalu apakah yang
dapat digunakan untuk tiang hidup, Widoretno
selama ini?
Agaknya Widoretno merasa kasihan meli-
hat gadis ini yang sedih dan habis harapan untuk
dapat keluar dari jurang ini.
- Sudahlah, masalah itu bisa kau pikirkan
kemudian hari. Sebab siapa tahu kalau penyelidi-
kanku kurang teliti dan kau bisa menemukan ja-
lan untuk keluar dari tempat ini? Sekarang du-
duklah yang baik, dan aku akan menceritakan ki-
sah hidupku dikala muda dan kemudian mengan-
tarkan aku hidup di tempat terasing ini -
Agar tidak membuat nenek ini kecewa dan
juga guna mengurangi ketegangannya pula, Dewi
Sritanjung menurut, lalu duduk bersila agar da-
pat mendengarkan dengan baik.
2
- Ketika muda dan meningkat kedewa-
saanku, aku merupakan seorang gadis cantik jeli-
ta seperti kau. - Nenek itu memulai ceritanya
dengan kata-kata yang diucapkan lambat.
- Karena orang bilang aku ini cantik, maka
kecantikanku menarik perhatian banyak laki-laki,
baik perjaka maupun yang telah beristeri dan du-
da. Akan tetapi karena sejak muda aku terkenal
sebagai dara perkasa, sakti mandraguna, maka
hal ini menyebabkan laki-laki harus bersikap ha-
ti-hati dan tidak berani sembarangan terhadap di-
riku –
Dalam mengucapkan "cantik" dan "sakti
mandraguna" ini nadanya tajam dan mantap dan
nampaknya Nenek Widoretno menjadi bangga se-
kali.
Dewi Sritanjung berdiam diri tidak mem-
buka mulut dan mendengarkan penuh perhatian.
Ucapan Widoretno yang bangga ini me-
mang tidak aneh dan ini bukanlah bualan ko-
song. Sebab kenyataannya memang demikian ke-
tika muda, dan terjadi pada kira-kira 45 tahun
yang lalu. Sebab tidak terhitung jumlahnya laki-
laki baik yang penjahat maupun yang baik, roboh
dalam tangannya akibat kalah berkelahi.
Disamping banyak laki-laki yang bermak-
sud kurang ajar, tidak kurang pula jumlah laki-
laki benar-benar jatuh cinta kepada Widoretno.
Akan tetapi sungguh sayang sekali, oleh
pengaruh kecantikannya yang kuasa membuat
laki-laki tergila-gila itu, ia berubah menjadi seo-
rang gadis yang angkuh, galak dan sombong. Se-
mua laki-laki yang berusaha mendekati dan me-
rayu maupun mengucapkan rasa cintanya tidak
pernah ia gubris. Kemudian setelah pada setiap
tempat ia merasa selalu digoda laki-laki, maka
kemudian timbullah keputusannya yang takabur.
Ia mengumumkan, dirinya baru mau menjadi is-
teri orang, apabila laki-laki itu dapat mengalah-
kan dirinya dalam pertandingan secara adil, seo-
rang lawan seorang. Ia tidak menentukan syarat,
laki-laki berhak memperistri dirinya apabila bisa
menang, sekalipun laki-laki itu sudah tua, punya
isteri maupun duda.
Akibat dari pengumumannya ini, kemudian
banyaklah laki-laki yang ingin menyelam sambil
minum, dari yang masih jejaka sampai laki-laki
yang sudah mempunyai banyak isteri maupun
kakek-kakek pethakilan (kakek yang masih suka
daun muda).
Mereka semua menggunakan kesempatan
untuk mencoba mengadu untung. Harapan mere-
ka hanyalah satu, bukan lain apabila dapat men-
galahkan Widoretno yang terkenal sakti mandra-
guna itu, disamping dirinya memperoleh nama
harum, juga akan memperoleh pula isteri yang
cantik jelita bagai bidadari.
Namun ternyata kemudian setiap kali laki-
laki menantang Widoretno, selalu saja Widoretno
yang muncul sebagai pemenangnya. Sekalipun di
antara mereka itu sesungguhnya merupakan la-
wan yang memiliki ilmu kesaktian tingkat tinggi.
Apabila kebetulan pada saat perkelahian
itu terjadi disaksikan oleh penonton, maka penon-
ton akan menjadi keheranan. Sebab jelas Wido-
retno sudah terdesak dan tak lama lagi tentu
tunduk karena kalah. Namun apabila mulut Wi-
doretno sudah bergerak-gerak seperti mengu-
capkan sesuatu, maka lawannya menjadi ngawur
dan kemudian dengan gampang dapat dikalahkan
oleh Widoretno.
Peristiwa yang aneh ini kemudian mem-
buat orang menduga, Widoretno mempunyai Ilmu
siluman.
Kemudian pada suatu hari, Widoretno ber-
temu dengan seorang laki-laki gagah yang umur-
nya sudah mendekati tiga puluh tahun, tetapi
masih perjaka. Pemuda inipun seperti laki-laki
yang lain, menantang Widoretno untuk menga-
lahkannya. Sekalipun demikian mereka yang me-
nonton merasa ragu. Apakah pemuda ini dapat
mengalahkan Widoretno yang mempunyai ilmu si-
luman itu? Maka diam-diam semua orang menja-
di khawatir apabila laki-laki ini sampai kalah me-
lawan Widoretno.
Namun pemuda yang sudah bulat tekad-
nya ini sedikitpun tidak gentar. Ia tidak terpenga-
ruh oleh semua pendapat umum yang mengata-
kan, dirinya akan kalah. Maka pemuda ini meng-
hadapi Widoretno dengan tenang dan penuh rasa
percaya diri. Pendeknya ia rela mati disiksa oleh
Widoretno, jika dirinya sampai kalah.
Pemuda ini bernama Kebo Sadewo. Dan ka-
lau laki-laki lain menghadapi Widoretno dengan
senjata, maka Kebo Sadewo menghadapi gadis itu
bertangan kosong. Soalnya karena pemuda ini ti-
dak sanggup apabila sampai harus melukai gadis
yang cantik jelita itu, dan baru berumur duapu-
luh tahun pula.
Tetapi celakanya justru sikap Kebo Sadewo
ini malah menyebabkan Widoretno merasa terhi-
na dan merasa direndahkan. Maka setelah Wido-
retno memperingatkan sampai tiga kali supaya
Kebo Sadewo mencabut senjatanya tidak juga di-
gubris, maka gadis ini kemudian menjadi marah,
lalu mengancam akan membunuh laki-laki yang
berani merendahkan dirinya itu.
Tetapi sekalipun Widoretno mengancam
akan membunuh, Kebo Sadewo tetap bertangan
kosong.
Yang terjadi kemudian memang menyebab-
kan para penonton terbelalak keheranan. Sebab
sekalipun bertangan kosong, Kebo Sadewo dapat
melayani sambaran pedang Widoretno dengan
amat baik. Sambaran pedang Widoretno selalu
luput, hingga membuat gadis cantik ini semakin
penasaran dan kemudian menggunakan ilmu si-
lumannya. Widoretno menggerakkan bibirnya
sambil memandang Kebo Sadewo tidak berkedip.
Yang sudah pernah terjadi, setiap Widoret-
no berkemak-kemik mengucapkan mantranya,
maka lawan akan menjadi seperti linglung dan
berkelahi secara ngawur. Kemudian dengan amat
gampang, gadis ini mengalahkan lawan.
Namun sekarang ini yang terjadi adalah di
luar dugaan dan meleset dari kebiasaan. Ternyata
Kebo Sadewo dapat melawan balk sekali, malah
terus dapat mendesak gadis itu, sehingga pada
akhirnya pedang Widoretno berhasil ia rebut dan
kuasai.
Tetapi Widoretno belum juga mau menye-
rah, dan masih tetap melawan sambil mengu-
capkan mantranya yang ampuh itu. Celakanya
mantra itu tidak mempan, dan yang terjadi ke-
mudian bukanlah Widoretno yang menang, tetapi
gadis ini malah tidak dapat berontak lagi ketika
pemuda itu berhasil menangkap dua tangannya.
Apakah sesungguhnya ilmu yang disebut
siluman milik Widoretno ini? Sesungguhnya du-
gaan ini keliru. Karena yang benar, apa yang di-
ucapkan oleh Widoretno ini adalah mantra-
mantra gaib semacam ilmu sihir, yang disebut
dengan nama "Netra Luyub". Maka orang yang
terpengaruh oleh mantra gaib ini, kemudian akan
menjadi orang yang linglung, sesuai dengan pe-
rintah Widoretno.
Akan tetapi celakanya, setelah Widoretno
berhadapan dengan Kebo Sadewo, ilmu Netra
Luyub ini tidak dapat mempengaruhi. Sebabnya
tidak lain karena Kebo Sadewo dapat menolak
pengaruh ilmu tersebut
Maka kemudian sesuai dengan janji yang
sudah terucapkan, kemudian Widoretno mengak-
hiri masa kegadisannya, lalu kawin dengan Kebo
Sadewo.
Bahagiakah perkawinan antara Widoretno
dengan Kebo Sadewo ini? Pada mulanya semua
orang memang tidak tahu. Sebab memang tam-
paknya suami-isteri sakti ini selalu rukun.
Namun sebenarnya apa yang terjadi, per-
kawinan ini tidak dapat memberikan rasa keba-
hagiaan dalam hati seperti dugaan banyak orang.
Dan kalau toh nampaknya selalu rukun itu, bu-
kan lain adalah karena sikap Kebo Sadewo yang
banyak mengalah, sikapnya selalu menjaga den-
gan maksud agar isterinya bahagia.
Tetapi sekalipun sikap Kebo Sadewo amat
baik kepada isterinya, namun Widoretno masih
juga banyak ngambek. Setiap kali mulutnya sela-
lu cemberut dan membentak-bentak apabila su-
aminya mengajak bicara.
Apabila sikap isterinya sudah demikian,
maka Kebo Sadewo tidak mengimbangi dan men-
galah, lalu ia menghibur diri dengan cara pergi
dari rumah guna memberi pertolongan kepada se-
tiap orang yang memerlukan pertolongan.
Namun walaupun pergi dari rumah, Kebo
Sadewo yang amat mencintai dan setia pada iste-
rinya itu, tidak pernah mau menggunakan ke-
sempatan guna melakukan perbuatan menyele-
weng dengan perempuan lain.
Sepuluh tahun lamanya mereka kawin,
namun ternyata belum juga lahir seorangpun
anak di tengah keluarga mereka. Inilah sebenar-
nya yang menyebabkan Widoretno lebih sering
marah, ngambek dan mengajak cekcok.
Akan tetapi bagaimanapun tanggapan iste-
rinya, Kebo Sadewo selalu mengalah dan meng-
gunakan kebijaksanaannya sebagai seorang sua-
mi yang baik dan setia. Sebab pendirian Kebo Sa-
dewo. Isteri ini pemberian Dewata Agung (Tuhan).
Seorang saja untuk selama hidup. Seorang sudah
cukup untuk selama hidup, tetapi sebaliknya ka-
lau dua malah kurang, dan tiga atau empat ma-
lah akan menjadi kurang lagi.
Orang yang suka main kawin dan banyak
istri, belum tentu hidupnya menjadi bahagia. Ke-
mungkinan besar malah akan menimbulkan pe-
rang dingin antara perempuan yang dimadu. Ma-
lah sesungguhnya, isteri seorang saja sudah lebih
dari cukup dan tidak akan habis. Maka yang ti-
dak puas dengan isteri seorang, berarti hanya
menuruti nafsu.
Nafsu ini, demikianlah menurut pendirian
Kebo Sadewo, apabila diumbar, selalu dituruti
apa kehendaknya, akan menjadi semakin serakah
dan selalu merasa kurang. Lebih-lebih nafsu main
perempuan dan main kawin.
Sebaliknya, nafsu yang selalu dikekang
dan dikendalikan akibatnya juga buruk. Sebab
nafsu yang dikekang dan dikendalikan itu, adalah
ibarat kuda yang tersimpan dalam kandang dan
selalu terikat. Maka sekali waktu apabila kuda itu
lepas dari kandang dan tidak terikat, akan men-
jadi binal dan semakin berbahaya. Oleh karena
itu yang tepat apabila nafsu ini tidak diumbar
maupun dikekang, tetapi terkuasai sambil menye-
lami dan mengikuti perjalanan sang nafsu itu
sendiri. Orang yang mau mengikuti perjalanan
sang nafsu dan menyelami, kalamana sudah sa-
dar benar-benar akan menjadi tersenyum sendiri
dan menyesali segala perbuatan yang sudah per-
nah ia lakukan. Sebab mengumbar nafsu, hanya-
lah membuang waktu dan tenaga sia-sia.
Banyak orang yang menganggap pelacur
adalah sampah masyarakat. Orang yang hina!
Orang yang rendah martabatnya.
Lalu sebaliknya, apakah sebutan bagi para
manusia laki-laki yang suka pelacur itu? Apakah
dia tidak lebih kotor lagi? Si pelacur sudah jelas
sengaja menjajakan diri mencari uang, karena ti-
dak mempunyai ketrampilan atau tidak mau be-
kerja berat. Kemudian menggunakan kecantikan-
nya untuk memperoleh duit. Dan dari duit itu un-
tuk hidup!
Sebaliknya, laki-laki yang main perempuan
lacur, bukankah dia harus membayar? Kalau be-
nar pelacur itu merupakan manusia hina, men-
gapa sebabnya laki-laki mau juga datang, mem-
bayar dan malah mengotori dirinya sendiri? Lalu
apakah sebutan laki-laki macam ini?
Pada suatu ketika Kebo Sadewo dan Wido-
retno melakukan perjalanan bersama seperti bi-
asa mereka lakukan dalam usaha menumpas se-
tiap bentuk kejahatan. Mereka tiba di sebuah de-
sa bernama Lemah Bang, dan perhatian mereka
menjadi tertarik ketika melihat seorang pemuda
sedang berkelahi dikeroyok oleh lima orang laki-
laki. Agaknya perkelahian yang tidak seimbang
itu sudah lama berlangsung. Terbukti pemuda ini
terdesak hebat sekali dan sudah terluka pada be-
berapa bagian tubuhnya, menyebabkan pakaian
pemuda itu bernoda darah. Entah apa saja se-
babnya mereka berkelahi dan perkelahian itu ti-
dak seimbang. Keadaan ini menyebabkan Wido-
retno tidak senang lalu timbul niatnya untuk
membela pemuda yang dikeroyok itu.
- Kakang, pemuda itu terdesak hebat sekali
dan tidak lama lagi akan roboh dan tewas!- ujar-
nya. - Hemm, lima laki-laki itu tidak tahu malu
dan sewenang-wenang. Karena itu aku harus tu-
run tangan untuk membela dia.-
- Jangan!- Kebo Sadewo mencegah. - Sebe-
lum kau bertindak, kau harus menyelidiki lebih
dahulu tentang sebab-sebabnya. Karena siapa ta-
hu, pemuda itu memang pada pihak yang salah,
hingga maksud baikmu itu malah akan berbalik,
menyebabkan kau dituduh orang sewenang-
wenang. –
- Hemm,- Widoretno mendengus dingin. -
Engkau memang seorang laki-laki lemah dan se-
lalu bertindak terlalu banyak pikir dan pertim-
bangan. Sebaliknya aku, huh, tidak peduli orang
akan menyebut apa saja kepada diriku. Karena
yang penting, pengeroyokan terhadap bocah itu
sudah menjadi bukti perbuatan sewenang-
wenang. –
- Retno, hemm, lalu bagaimanakah penda-
patmu jika seumpama pemuda itu seorang penja-
hat, sedang lima orang itu yang berusaha me-
nangkap dia? Apakah tindakanmu itu tidak ber-
salah dan kemudian dituduh orang engkau sudah
membela penjahat ?-
- Huh, sudahlah!- bentaknya tidak senang.
- Jika engkau tidak mau membela bocah itu, biar-
lah aku sendiri yang akan menghajar lima bede-
bah busuk itu. Pendeknya aku mempunyai pen-
dapat, pengeroyokan itu tidak adil. Maka jahat
dan tidak, adalah urusan belakang. Pendeknya
aku tidak takut menghadapi tiap orang yang be-
rusaha memusuhi diriku!-
Sesungguhnya Kebo Sadewo tidak sepen-
dapat dengan isterinya, sebelum menyelidiki lebih
dahulu tentang sebabnya terjadi perkelahian ini.
Akan tetapi sikap Kebo Sadewo terhadap isterinya
selalu mengalah dan selalu menghindari percek-
cokan. Maksudnya, semua itu tidak lain dalam
usahanya agar antara dirinya dengan isterinya se-
lalu dapat rukun dan bahagia.
Tetapi celakanya justru sikap Kebo Sadewo
gang selalu mengalah, dan selalu menuruti ke-
hendak isterinya ini, malah menyebabkan Wido-
retno menjadi isteri yang manja. Maka ia menjadi
marah apabila suaminya melarang apa yang ia in-
ginkan.
Guna menghindari hal-hal yang tidak ia in-
ginkan itulah, maka sekarang inipun Kebo Sade-
wo terpaksa mengalah, sekalipun ia tahu keingi-
nan isterinya sekarang ini tidak benar. Melawan
kesewenangan dan membela orang memang baik,
tetapi harus tepat pada tempatnya. Hingga tidak
akan salah langkah sampai membela yang bersa-
lah.
- Baiklah Retno, apabila engkau memang
menginginkannya. Tetapi biarlah aku di tempat
ini saja dan akan melindungi keselamatanmu, ji-
ka ada orang yang berani lancang mencampuri
urusanmu.-
Kebo Sadewo terpaksa setuju, walaupun
persetujuan ini bertentangan dengan hatinya.
Maka kemudian ia menempatkan diri dan duduk
di belakang batu.
Melihat sikap suaminya ini Widoretno ter-
senyum dingin.- Hemm, aku tahu engkau seorang
laki-laki pengecut, dan takut menghadapi akibat
dari perbuatanmu sendiri!-
Sesungguhnya saja, ucapan isterinya ini
merupakan ucapan yang amat menyakitkan hati.
Namun demikian semua itu terpaksa ia telan dan
tidak membuka mulut. Widoretno akan mengata-
kan apapun, ia anggap sebagai angin lalu, masuk
telinga kanan keluar lewat telinga kiri. Pendeknya
biar mengatakan apa saja, ia tidak peduli asal sa-
ja isterinya yang manja itu senang dan tidak ma-
rah.
Demikianlah, tanpa peduli dan tanpa men-
gadakan penyelidikan lebih dahulu, Widoretno
sudah masuk ke gelanggang perkelahian dalam
usaha membela pemuda yang dikeroyok lima
orang itu.
- Bangsat busuk! - bentaknya nyaring
sambil melompat - Kamu adalah para pengecut
dan hanya berani kalau main keroyok!-
Sambil membentak ini, Widoretno sudah
menerjang dengan pedang, menangkis serangan
dua orang yang sedang menyerang pemuda itu
dari belakang.
Trang trang..........
- Ailihh.......!
Terjangan Widoretno ini mengejutkan para
pengeroyok. Sebab bukan saja senjata dua orang
kawannya itu tertangkis, tetapi juga runtuh di ta-
nah. Lima orang pengeroyok itu kemudian ber-
lompatan mundur dan pemuda yang dikeroyok
dan sudah terluka tersebut dapat bernapas lega.
Kemudian pemuda ini memandang Widoretno se-
kilas.
Mata pemuda ini terbelalak dan lupalah
untuk sejenak kepada lukanya yang terasa pedih.
Pemuda ini seakan mimpi, melihat kecantikan si
wanita penolongnya. Dan walaupun perempuan
ini sudah berumur sekitar tiga puluh tahun, na-
mun justru malah menunjukkan kematangannya.
Saking terpesona, menyebabkan pemuda
ini lupa mengucapkan terima kasih, nyawanya
sudah diselamatkan orang.
Sebaliknya, Widoretno juga terbelalak keti-
ka melihat wajah pemuda ini yang tampan, gan-
teng dan keren. Umur pemuda ini belum dua pu-
luh tahun. Akan tetapi sepasang mata pemuda ini
bersinar-sinar demikian kuat daya pengaruhnya,
seperti dapat mengajak dan menjenguk isi da-
danya.
Tiba-tiba saja jantung Widoretno berdebar
keras. Ia merasa aneh sekali dan tiba-tiba saji
Widoretno menjadi amat tertarik dan terpikat ke-
pada pemuda yang belum ia kenal ini.
Sungguh mati perempuan ini gembira se-
kali dapat menolong pemuda yang ganteng dan
tampan ini. Dan betapa akan menyesal hatinya,
kalau saja ia tadi membiarkan pemuda seperti ini,
harus tewas di tangan para pengeroyok itu.
- Huh, siapa kau perempuan, berani men-
campuri urusan kami ini? - bentak salah seorang,
- Hemm,- Widoretno mendengus dingin. -
Aku adalah aku! Apakah pedulimu? Kamu adalah
pengecut yang tidak tahu main, huh! Lima orang
mengeroyok seorang muda!-
- Engkau jangan sembarangan membuka
mulut!- bentak salah seorang. - Tahukah engkau
akan sebabnya kami mengeroyok bedebah busuk
dan bajingan tengik ini? Huh, apabila kau men-
dengar persoalannya, engkau akan menyesal ka-
rena lancang mencampuri urusan ini.-
Salah seorang yang lain menyambung, -
Huh, pemuda ini telah membunuh salah seorang
sahabat kami yang tidak berdosa. Maka sudah
sepantasnya pula apabila kami mengeroyok un-
tuk menagih hutang nyawa itu!-
- Bangsat busuk! Kamu jangan memfitnah
orang!- teriak si pemuda dengan lantang. - Aku
tadi sudah membantah, bukan aku yang melaku-
kan pembunuhan itu. Tetapi kamu mendesak dan
memaksa aku, mengandalkan jumlah dan menge-
royok sewenang-wenang. –
- Setan alas. Kau jangan mungkir!- teriak
seorang yang lain lebih keras. - Hayo bangunlah!
Hayo bantahlah! Ketika terjadi pembunuhan itu,
bukankah hanya engkau seorang yang berada di
dekat korban? Jika bukan kau pembunuhnya,
apa perlunya kau mendekati korban?-
- Hemm benar, saat itu aku berada di dekat
korban. Tetapi aku bukan pembunuhnya dan aku
mendekati justru dalam usahaku untuk meno-
long. Sungguh sayang sekali, korban itu sudah
tewas sehingga tidak mungkin dapat kusela-
matkan lagi. Huh! Tetapi kamu tanpa bertanya
lebih dahulu sudah menuduh aku secara mem-
babi buta. Walaupun aku sudah membantah dan
menerangkan bukan aku yang membunuh dia.
Manakah mungkin aku dapat menerima fitnah
dan tuduhanmu yang tanpa dasar itu?-
Mendengar ini Widoretno yang merasa be-
nar pendiriannya sudah membentak lantang.
- Bajingan pengecut tidak tahu malu! Ter-
nyata kamu telah bertindak sewenang-wenang,
mengeroyok orang tak bersalah. Huh! Aku takkan
dapat berpangku tangan melihat perbuatan kamu
yang tidak adil ini. Jika kamu tidak cepat enyah
dari tempat ini, jangan salahkan aku jika aku
menurunkan tangan maut!-
Betapa marah lima orang ini mendengar
ucapan Widoretno yang terang-terangan membela
pemuda itu dan secara membabi buta pula. Lima
orang ini merasa yakin, pemuda inilah yang telah
membunuh sahabat mereka. Dan apa yang mere-
ka lakukan sekarang ini, sudah sesuai pula den-
gan tugas dan kewajiban untuk membela orang
tak bersalah. Oleh karena itu, mereka tidak mun-
dur.
- Huh, perempuan hina!- bentak salah seo-
rang! - Jika engkau nekad membela pemuda bu-
suk itu, engkau akan menyesal seumur hidup-
mu!-
- Cerewet! Makanlah pedangku ini!- balas
Widoretno sambil melesat ke depan, menyerang
dengan pedang.
Gerakan Widoretno ini amat cepat dan
kuat. Sambaran angin pedangnya mendahului se-
rangan pedang itu sendiri.
Trang trang..........!
Benturan senjata terdengar nyaring, tetapi
kemudian dua orang ini berubah menjadi pucat
dan cepat-cepat melompat mundur. Karena pe-
dang mereka telah lepas dari tangan dan terbang
agak jauh.
Tetapi gerakan pedang Widoretno tidak
berhenti sampai di situ. Setelah berhasil merun-
tuhkan dua batang senjata lawan, gerakan itu ia
teruskan untuk menikam salah seorang yang pal-
ing dekat. Untung sekali orang itu cukup waspa-
da, sehingga sambaran pedang itu luput. Namun
celakanya justru luputnya serangan ini, menye-
babkan Widoretno tambah marah.
- Huh, robohlah!- dalam membentak Wido-
retno sudah mengetrapkan ilmunya yang amat
berbahaya, bernama Aji Netra Luyub.
Akibatnya adalah hebat. Lima orang itu
mendadak saja menjadi roboh seperti pingsan
mendadak.
Melihat apa yang terjadi, pemuda yang di-
bela Widoretno terbelalak kagum. Diam-diam pe-
muda ini merasa heran sekali, mengapa tiba-tiba
lima orang itu roboh tak bergerak seperti pingsan.
Tetapi justru pada saat itu, ia mendengar
perintah Widoretno. - Potong sebelah tangan me-
reka sebatas siku!-
Tanpa sesadarnya, pemuda ini sudah me-
lompat dan menggerakkan pedangnya.
Namun sebelum pedang itu berhasil mem-
babat lengan menjadi buntung, tiba-tiba terden-
garlah bentakan nyaring sekali dan berpengaruh.
- Jangan!-
Yang membentak ini bukan lain adalah Ke-
bo Sadewo, yang menjadi tidak senang melihat is-
terinya akan melakukan kekejaman yang tidak
kenal kemanusiaan itu.
Justru sikap Kebo Sadewo ini menyebab-
kan Widoretno tidak senang dan marah, - Kakang!
Engkau jangan ngacau! Apakah maksudmu mela-
rang ia membuntungi lengan lima bajingan itu?-
- Retno, aku minta engkau jangan melaku-
kan perbuatan biadab seperti itu.- Kebo Sadewo
memberi nasihat dengan nada sabar dan halus. -
Sadarlah engkau, Retno. Karena perbuatan ma-
cam itu dengan alasan apapun, tidak pantas di
lakukan oleh seorang yang mengenal jiwa ksatria
dan kemanusiaan.-
Widoretno tersinggung dan menjadi marah.
Ia ketawa dingin lalu katanya ketus, - Huh, apa-
kah sangkamu hanya kau seorang yang kenal ji-
wa ksatrya dan kemanusiaan? Hemm, bagus!
Engkau sudah menghina aku, menghina isterimu
sendiri! Huh, engkau munafik dan ucapanmu itu
amat menyakitkan hatiku.-
Ia berhenti sejenak sambil mendelik. Tak
lama kemudian ia meneruskan, - Huh, selama ini
antara aku dan engkau tidak pernah mendapat
persesuaian paham. Ibarat air dengan minyak.
Muak aku melihatmu! Huh, Kebo Sadewo, keta-
huilah bahwa hinaan mu kepada diriku hari ini
tidak lagi dapat aku maafkan. Sudahlah! Dari pa-
da antara kita selalu bertentangan terus dan ti-
dak pernah bisa rukun, lebih baik sejak sekarang
ini kita berpisah. Mulai saat ini lebih tepat apabila
kita membebaskan diri dari ikatan dan kita men-
gambil jalan masing-masing.-
- Retno! Apakah sebabnya engkau berkata
seperti itu?- Dalam mengucapkan kata-katanya
ini, nadanya gemetar terpengaruh oleh kemara-
han. Sebab bagaimanapun sabarnya menghadapi
isterinya, Kebo Sadewo menjadi tersinggung oleh
ucapan Widoretno ini. Harga dirinya sebagai seo-
rang suami tentu saja tidak mau direndahkan se-
perti itu, yang seakan-akan dihina terang-
terangan di depan orang.
- Sudahlah, tidak perlu cerewet! Pendeknya
sejak sekarang ini aku dan engkau berselisih ja-
lan. Maka sebaiknya kita akhiri saja hubungan
kita!- bentak Widoretno kasar.
- Hemm, baiklah! Memang sebaiknya aku
dan engkau mengambil jalan masing-masing.-
Kebo Sadewo menerima tantangan isterinya.
Tetapi walaupun demikian, dalam mengu-
capkan kata-katanya ini, nadanya mengandung
getaran jiwa yang amat sedih. Bagaimanapun ia
amat sayang dan kasih kepada isterinya, dan ia-
pun mencintai dengan segenap jiwanya.
Sekalipun demikian sebagai seorang laki-
laki, ia tidak dapat menerima begitu saja, apabila
isterinya selalu menentang nasihat-nasihatnya,
sehingga melakukan perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan jiwanya. Seperti yang dila-
kukan Widoretno sekarang ini, terang-terangan
amat menusuk perasaannya.
Sungguh, ia tidak habis mengerti mengapa
isteri yang amat ia cintai itu sampai hati mencaci
maki dirinya di depan orang lain? Malah sekarang
ini isterinya membela seorang pemuda yang sama
sekali belum ia kenal watak dan tabiatnya dan be-
lum tentu pada pihak yang benar.
Setelah berhenti sejenak untuk menekan
perasaan marah dalam dadanya, ia meneruskan,
- Apa yang kau lakukan sekarang ini bertentan-
gan dengan jiwa dan nuraniku. Hemm, engkau
sudah memilih pada pihak yang salah dan karena
itu semua perbuatanmu tak ada hubungannya
dengan aku dan semua akibatnya menjadi tang-
gung jawabmu sendiri.
Widoretno terkekeh sejenak. - Heh heh heh
heh, aku bilang kau cerewet seperti burung beo
belajar bicara. Huh, apakah engkau tidak lekas
enyah dari tempat ini?-
Sepasang mata Kebo Sadewo menyala sak-
ing marah mendengar pengusiran isterinya ini.
Akan tetapi mata yang menyala itu hanya seben-
tar saja, kemudian kembali seperti biasa, setelah
ia berhasil menekan perasaan.
- Hemm, baiklah aku pergi sekarang juga!
Tetapi ingatlah baik-baik, aku bukanlah seorang
laki-laki rendah budi seperti dugaanmu. Demi
sayang dan kasihku kepada engkau, aku tidak
bakal berdekatan lagi dengan perempuan.-
Kemudian laki-laki ini melompat, dan me-
langkah cepat tanpa berpaling. Namun demikian
di luar tahu Widoretno, dari sudut mata laki-laki
ini berloncatanlah air mata.
Benar! Sekarang ini Kebo Sadewo memang
menangis, karena diusir oleh isteri. tercinta dan
terpaksa harus berpisah dengan Widoretno. Me-
mang benar-benar menyakitkan sekali sikap dan
perbuatan perempuan seperti ini, yang selalu me-
rasa menang sendiri dan benar sendiri.
Kebo Sadewo menghela napas berkali-kali,
karena ia amat menyesal, mengapa apa yang ter-
jadi justru tidak sesuai dengan harapannya. Ia
sudah selalu bersikap mengalah, dan apapun
yang ia lakukan dalam usaha membahagiakan is-
terinya. Namun yang terjadi sekarang, isteri yang
ia cintai itu malah tidak segan-segan mengusir di-
rinya dan disaksikan pula orang lain.
- Hemm, tetapi memang sebaiknya begini,
dari pada setiap saat pendirianku selalu berten-
tangan dengan pendiriannya!- desisnya sambil
melangkah cepat, dengan maksud agar secepat-
nya dapat melupakan Widoretno.
Sulit terlukiskan betapa gembira hati Wido-
retno, setelah ia berhasil mengusir suaminya yang
amat setia itu. Terus terang saja hati perempuan
ini menjadi tertarik dan jatuh cinta pada pandan-
gan pertamanya terhadap pemuda tampan dan
masih muda ini. Dan ia sudah membayangkan
betapa bahagia hatinya kemudian hari, jika di-
rinya dapat hidup sebagai suami isteri dengan
pemuda ganteng ini.
Oleh sebab itu setelah Kebo Sadewo pergi,
ia sekarang mengerling penuh arti kepada pemu-
da di sampingnya ini, lalu berkata merdu, - Seka-
rang sudah tiada penghalang lagi. Maka lakukan
hukuman potong tangan itu, agar semua orang
tidak berani gegabah lagi terhadap kita.-
Berdebar hati pemuda ini menangkap kerl-
ing mata Widoretno yang penuh daya tarik itu.
Kemudian seperti seorang hamba yang patuh se-
kali kepada tuannya, pemuda ini sudah men-
gangkat pedang dan kemudian membuntungi len-
gan lima orang lawan itu, satu persatu disaksikan
oleh Widoretno dengan bibir tersenyum manis.
- Bagus!- pujinya. - Dan marilah sekarang
ikut aku. Engkau terluka, biarlah aku yang men-
gobati dan menyembuhkan lukamu.-
Tanpa rasa main, kikuk dan sungkan lagi,
Widoretno sudah menyambar lengan pemuda
yang memikat hatinya itu, kemudian ia melang-
kah pergi meninggalkan lima orang korbannya
yang menderita.
Setelah Widoretno pergi meninggalkan me-
reka, maka lima laki-laki yang tadi terpengaruh
oleh Aji Netra Luyub menjadi buyar dan hampir.
berbareng mereka mengeluh dan membuka mata.
Mereka kaget sekali dan merintih kesaki-
tan, kemudian terbelalak kaget ketika melihat
lengan kanan telah buntung sebatas siku. Pada
mulanya mereka merasa heran, tetapi setelah in-
gatan mereka terkumpul kembali, teringatlah me-
reka apa yang sudah terjadi.
Mereka tadi mengeroyok seorang pemuda
yang sudah membunuh salah seorang sahabat
mereka. Pada saat pemuda itu hampir dapat me-
reka kalahkan, datang perempuan yang menolong
dan merobohkan mereka.
Semenjak peristiwa itu terjadi, Kebo Sade-
wo tidak pernah terdengar lagi namanya. Dan se-
menjak itu pula telah mengganti namanya dengan
Tunjung Biru. Yang pada akhirnya kemudian ha-
ri, setiap orang mengenal dirinya dengan nama Ki
ageng Tunjung Biru sebagai kakak seperguruan
Gajah Mada.
Adapun Widoretno dengan jantung berde-
baran, menggandeng pemuda itu masuk ke dalam
sebuah hutan.
Kalau jantung perempuan ini tidak keruan,
lebih-lebih pemuda yang masih hijau ini, jan-
tungnya melonjak-lonjak seperti mau copot.
Sambil melangkah perlahan setengah dipa-
pah, terasalah telapak tangan dan jari-jari tangan
yang halus ini memegang tangannya. Dan dis-
amping itu sengaja atau tidak, lengan itu sering
didesak oleh benda yang lunak lembut pada dada
perempuan itu,
- Siapakah namamu, Adik yang baik?- ta-
nyanya halus dan terdengar amat merdu masuk
dalam rongga telinga pemuda itu.
- Aku.....aku Sobrah Tulus.....- sahut pe-
muda ini tidak lancar, saking dadanya terasa
amat tegang dan berdebaran. - Dan...... dan.....
Mbakyu, siapa?
- Hi hi hik, aku Widoretno.-
- Widoretno? Ahhh.....namamu bagus seka-
li.. menarik seperti, -
- Seperti siapa? Katakanlah terus terang.-
Widoretno mendesak dan matanya mengerling
penuh arti dibarengi dengan bibir menyungging
senyum manis sekali.
Dan karena masih melangkah berdampin-
gan, lengan Sobrah Tulus masih dipegang oleh
Widoretno, maka kembali benda yang lunak lem-
but itu menekan lengan si pemuda.
- Seperti.....ah ..... aku takut-
- Kenapa takut? Takut kepada siapa?- Wi-
doretno pura-pura tidak tahu.
- Takut kepada Mbakyu. Khawatir.....kau
tersinggung ...... -
- Katakanlah, Adik yang baik, jangan ragu-
ragu. Bukankah aku tidak menakutkan? Atau
kau memang tidak suka berkenalan dengan aku?
–
- Ahhh.....Mbakyu..... aku lebih dari su-
ka.....karena .... karena kau amat can.....-
- Can apa? Canthoka? Berarti aku ini ka-
tak?- namun dalam mengucapkan kata-katanya
ini, bibir Widoretno tersenyum, sama sekali tidak
tampak marah.
- Ahhhh, manakah ada katak seperti
Mbakyu? Jika Mbakyu katak, lalu apakah aku
ini? Ha ha ha ha, yang benar Mbakyu adalah seo-
rang wanita yang amat cantik ...... –
Sobrah Tulus yang pada mulanya takut-
takut itu, setelah melihat sikap dan mendengar-
kan kata-katanya, sekarang hilang rasa takutnya
dan malah sudah berani tertawa.
Mendengar pemuda ini tertawa, maka Wi-
doretno juga lalu tertawa, suaranya merdu sekali
terdengar dalam telinga Sobrah Tulus. Seakan
suara tawa yang merdu itu, masuk ke dalam te-
linganya lalu menyelinap ke dalam kalbu.
- Ahhh, kau bohong - ucap Widoretno yang
berusaha memancing perhatian Sobrah Tulus, te-
tapi hati perempuan ini terasa bahagia sekali.
Tiba-tiba Sobrah Tulus menghentikan
langkahnya, lalu memutar tubuh menghadapi
Widoretno. Mereka kemudian berdiri berhadapan
dalam jarak dekat sekali. Dua pasang mata ber-
taut, dan dari mata dua pasang ini memancarlah
sinar kasih yang menyebabkan jantung mereka
berdua makin berdenyutan lebih keras. Dan ke-
mudian seperti terpengaruh oleh kekuatan yang
tidak terlawan lagi, tangan Widoretno terulur ke
depan.
Lengan perempuan ini memegang pundak
Sobrah Tulus. Dan pemuda ini yang pada mu-
lanya takut-takut, menjadi bangkit keberaniannya
setelah perempuan cantik ini memegang pundak-
Emoticon