SI TANGAN IBLIS
Cover & Illustrasi: Arie
Penerbit: MELATI Jakarta
Cetakan pertama : 1987
HAK CIPTA dilindungi oleh Undang-
undang
Penyiaran harus seizin Penulis.
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1
Pagi itu amat cerah. Matahari
menyinarkan cahayanya yang gemilang.
Burung berkicau bernyanyi di atas
dahan. Demikian gembira seakan burung-
burung itu menyambut datangnya pagi
dengan penuh harapan baru. Dan jika
hari ini tidak hujan, jelas mereka
akan mendapatkan kesempatan mencari
makan sepanjang hari tanpa rasa takut
oleh hujan, dan anak yang ditinggalkan
di sarang juga tidak kehujanan dan
kedingingan.
Penduduk desa Tosari menyambut
datangnya pagi yang cerah inipun
dengan wajah yang berseri gembira.
Desa yang letaknya di pinggang Bronio
ini bangun kembali sesudah semalam
istirahat.
Dan seperti pagi hari sebelumnya,
mereka telah membagi kewajiban ter-
tentu kepada setiap anggota keluarga
dalam usaha mempertahankan hidup.
Mereka tidak pernah mengharapkan ter-
lalu banyak, yang penting perut
kenyang dan sandang tidak robek.
Tetapi di halaman rumah yang
terpisah dengan pemukiman penduduk
itu, terjadilah kesibukan yang kurang
mendapat perhatian penduduk desa ini.
Rumah Taruno atau lebih terkenal de-
ngan sebutan Si Tangan Iblis ini
pekarangannya luas dan dipagar rapat
dengan batu gunung maupun pagar hidup.
Di halaman rumah yang luas dan
terlindung itu, murid-muridnya sedang
berlatih dan ditilik langsung oleh Si
Tangan Iblis sendiri.
Akan tetapi setelah semua murid
bubar untuk melakukan tugas masing-
masing, maka cucu tertua bernama
Sarindah menghampiri Si Tangan Iblis
sambil mendesak.
Kek, dahulu Kakek bilang, apabila
aku dan Sarwiyah sudah dewasa, Kakek
akan segera membeberkan rahasia besar
yang menyangkut ayah dan ibu. Tetapi
apakah sebabnya sampai sekarang Kakek
masih saja pelit? Kakek selalu saja
berdalih ilmu Sarindah maupun Sarwiyah
belum cukup tinggi. Hemm, kalau
demikian, aku menjadi tahu. Bukankah
ayah bundaku dibunuh mati orang?
Kakek memang pelit! sambung
Sarwiyah. Dan melihat gelagatnya,
dugaan Mbakyu benar. Ayah bunda tentu
sudah dibunuh orang. Kek, apakah ini
benar? Kalau benar, lalu siapakah
pembunuh itu, dan sekarang terangkan-
lah agar aku dapat membalas dendam.
Sentiko mengerutkan kening
mendengar ucapan kakak perempuannya
itu. Lalu dengan mata berapi-api dan
tangan mengepal, ia berkata, Benarkah
itu? Ayah bundaku sudah dibunuh orang?
Kalau benar demikian, sebagai anak
laki-laki akulah yang paling berhak
untuk menuntut balas.
Taruno alias Si Tangan Iblis
mendelik ke arah dua cucu perempuan-
nya. Sebab telah berkali-kali ia
melarang bicara tentang orang tuanya
di depan Sentiko. Maksudnya untuk
mencegah bocah yang belum cukup umur
itu mengetahui persoalan yang sebenar-
nya.
Melihat kakeknya tidak senang,
Sarindah cepat membela diri. Ujarnya,
Mengapa sebabnya Sentiko tidak boleh
tahu? Diapun anaknya dan dia harus
tahu pula persoalan sebenarnya.
Kakek itu menghela napas panjang.
Ia tidak bisa marah sekalipun hatinya
penasaran. Disamping itu karena sudah
didengar oleh Sentiko, ia tidak bisa
mungkir lagi.
Hemm, baiklah, katanya kemudian.
Marilah kita ke rumah dan bicara.
Setelah masuk di dalam rumah dan
tiga cucunya duduk di depannya, Si
Tangan Iblis berkata, Mestinya masalah
ini belum waktunya kita bicarakan.
Itulah sebabnya kepadamu bertiga, aku
selalu bersikap keras dalam mendidik
ilmu kesaktian. Karena semua itu demi
kepentinganmu sendiri untuk bekal
membalaskan sakit hati orang tuamu
yang sudah dibunuh orang.
Nah, apa kataku? seru Sarindah
tertahan. Lalu siapakah orangnya yang
sudah membunuh ayah bundaku?
Si Tangan Iblis tidak mungkin
menceritakan apa adanya. Oleh sebab
itu ia mengarang cerita untuk memfit-
nah Gajah Mada.
Akan tetapi kamu jangan sembrono!
jawabnya tegas dan sungguh-sungguh.
Musuh besar itu bukan orang
sembarangan. Karena yang membunuh ayah
bundamu bukan lain Mahapatih Gajah
Mada dan Panglima Nala!
Ahhh....! tidak urung tiga orang
bocah ini kaget dan berseru tertahan.
Tidak pernah terpikir dalam benak tiga
bocah ini musuh besarnya adalah tokoh
sakti Majapahit.
Memang baik Gajah Mada maupun
Nala menanjak hampir berbarengan.
Gajah Mada oleh jasa-jasanya kemudian
diangkat menjadi Mahapatih Majapahit,
sedangkan Panglima Nala diangkat
menjadi Panglima Angkatan Laut.
Nah, kamu sudah tahu sekarang?
ujar kakeknya. Musuh besarmu bukan
orang sembarangan. Itulah sebabnya aku
selalu menekankan kepada kamu agar
berlatih dengan rajin. Hemm, aku sudah
tua, semua ilmuku harus kamu kuras
sampai habis. Dan kemudian hari kamu
bertigalah yang memikul kewajiban
membalas sakit hati ini. Entah dengan
cara apa, aku tidak tahu. Pendeknya
ayah bundamu mengharapkan baktimu
sebagai anak. Namun demikian kamu
harus bersabar, sedikitnya dua tahun
lagi. Sebab kamu harus menunggu
sesudah kamu mahir menggunakan Aji
Mega Langking. Karena hanya itu
sajalah senjata pamungkas bagimu
bertiga untuk dapat mengalahkan musuh
besarmu itu.
Kalau kakek yakin bisa menang
dengan Aji Mega Langking itu, mengapa
Kakek tidak mencari musuh besar
keluarga itu? tanya Sentiko tiba-tiba.
Pemuda ini menjadi tidak senang
oleh sikap kakeknya, yang dinilai
sebagai pengecut.
Si Tangan Iblis kaget mendengar
pertanyaan ini. Namun rasa kagetnya
ini segera ditutup dengan ketawanya
yang terkekeh, lalu jawabnya.
Heh heh heh heh, bukannya kakekmu
takut kepada musuh besar itu.
Ketahuilah, aku mempunyai maksud yang
lebih dalam dan mulia. Aku tidak ingin
mengecewakan kamu sebagai anak
keturunan ayah-bundamu, dan agar di
sana ayah bundamu menjadi puas.
Sentiko mengerutkan alis. Jawaban
kakeknya ini menurut pendapatnya
mengada-ada. Jawaban seorang pengecut.
Sebab kalau benar kakeknya sakti yang
tak kalah melawah Gajah Mada dan Mpu
Nala, mengapa tidak bertindak dan
membalas dendam sendiri? Maka diam-
diam ia tidak puas dan mencela sikap
kakeknya.
Nah, sekarang kamu sudah
mengetahui siapakah musuh besarmu itu.
Kelak kemudian hari setelah tiba
saatnya, semua saudara seperguruanmu
akan membela dan membantu usahamu!
ujarnya dalam usaha menekankan
maksudnya.
Sarindah yang juga belum puas
akan keterangan kakeknya dapat
bertanya, Kek, mengapa kau tidak
menerangkan sebabnya ayah-bundaku
terbunuh mati oleh dua orang musuh
besar itu?
Taruno terbatuk-batuk. Kemudian
jawabnya, Ya, aku sampai lupa.
Dengarlah peristiwa yang terjadi
ketika itu, justru kamu masih kecil.
Dahulu, ibumu seorang perempuan yang
terkenal kecantikannya. Dan sebelum
menjadi isteri ayahmu, banyak laki-
laki yang memperebutkan maupun
tergila-gila. Nah, para laki-laki yang
tergila-gila kepada ibumu itu termasuk
Mpu Mada dan Mpu Nala. Ketika itu Mpu
Mada masih berkedudukan sebagai Bekel
Bhayangkara Majapahit, sedangkan Mpu
Nala belum panglima. Sebaliknya ayahmu
hanya seorang prajurit biasa.
Ia berhenti dan mendehem. Sejenak
kemudian terusnya, Ternyata kemudian,
kendati sudah melahirkan tiga orang
anak, kecantikannya tidak juga
berkurang dan malah bertambah matang
hingga menarik perhatian Mpu Nala dan
Mpu Mada. Dua orang yang sama-sama
jatuh cinta kepada ibumu itu kemudian
menggunakan akal busuk. Ketika itu
ayahmu diperintahkan melaksanakan
tugas di luar kota. Sudah tentu ayahmu
tunduk perintah itu tanpa rasa curiga
dan pada waktu yang .sudah ditetapkan
berangkat tugas. Namun ketika ayahmu
pergi meninggalkan keluarga itu,
datanglah dua orang manusia terkuluk
itu. Mereka menggunakan ancaman dan
kekerasan. Tetapi ibumu tetap keras
kepala dan menolak. Dan hal ini
menyebabkan dua orang itu penasaran,
dan akibatnya ibumu diperkosa.....
Ihh..... seru Sarindah dan
Sarwiyah berbarengan.
Jahanam terkutuk! seru Sentiko
penasaran.
Memang jahanam terkutuk mereka
itu karena sesudah itu ibumu
dibunuh....
Ahh.... Sarindah dan Sarwiyah
berseru kaget.
Aku akan mencincang manusia
biadab itu! seru Sentiko.
Itu tepat sekali. Mereka memang
patut dicincang.
Lalu bagaimanakah dengan Ayah?
tanya Sarwiyah.
Hemm, sesudah dua orang terkutuk
itu memperkosa dan membunuh ibumu,
ayahmu tidak boleh pulang dan
ditugaskan di tempat lebih jauh. Namun
ternyata ayahmu sudah dihadang oleh
pasukan yang diperintah oleh Mpu Mada
dan Mpu Nala. Ayahmu mati terbunuh!
Tetapi mengapa Kakek bisa tahu
semuanya? selidik Sarwiyah.
Heh heh heh heh, tentu saja
kakekmu tahu, sahutnya bangga. Setelah
aku mendengar kabar ibumu mati dan
ayahmu tewas dalam tugas dari seorang
sahabat, aku menjadi curiga lalu
menyelidik. Akhirnya aku dapat memaksa
seorang prajurit dan prajurit itu
mengaku terus terang.
Dan tentang ibu? selidik Sentiko.
Aku tahu hal itu atas laporan
pengasuhmu yang ketika itu melindungi
keselamatanmu.
Tiga orang muda itu saling
pandang tanpa membuka mulut. Di pihak
lain Si Tangan Iblis ini menyesal
terpaksa harus membohong.
Kemudian timbul perasaan dendam
dalam hati tiga orang bocah ini,
setelah mendengar keterangan kakeknya.
Ketika pagi tiba terjadilah
keributan kecil dalam rumah itu.
Keributan itu mula-mula timbul akibat
ulah Sarindah dan Sarwiyah.
Kakeknya yang merasa terganggu
membentak, Hai, mengapa kamu ribut?
"Sentiko... Dia tidak ada... Kek
sahut Sarindah dengan hati risau dan
khawatir.
Ke mana bocah itu...? Si Tangan
Iblis kaget.
Entahlah. Tetapi tidak biasanya
dia pergi tanpa sepengetahuanku.
Sarwiyah yang diam-diam
menggeledah tempat simpanan pakaian
Sentiko, wajahnya pucat ketika melihat
semua pakaian itu tidak ada. Malah
tombak trisula, senjata bocah itu pun
tidak ada. Ia berlarian keluar kamar
mendapatkan kakek dan kakak
perempuannya.
Kek... ahh .... Sentiko sudah
pergi... lapornya gugup.
Celaka! Pergi ke mana...? Kakek
itu pucat. Bocah itu tentu penasaran
mendengar riwayat ayah bundanya.
Cepat, perintahkan kepada saudara-
saudara seperguruanmu untuk mengejar.
Bahaya! Manakah mungkin adikmu mampu
menghadapi dua orang sakti mandraguna
itu? Hemm, semua ini kamu berdua yang
menjadi gara-gara. Kalau kamu tidak
mendesak aku, adikmu takkan pergi!
Sarindah segera menuju ke pondok
saudara-saudara seperguruannya untuk
menyampaikan perintah kakeknya.
Ributlah dua belas orang murid laki-
laki itu.
Apa? seru Tanu Pada tertahan.
Kapankah Adik Sentiko pergi? Dan apa
pula maksudnya?
Sekalipun hatinya tegang oleh
kepergian adiknya, Sarindah sempat
mengerling ke arah pemuda tegap dan
tampan itu. Tetapi tentu saja Sarindah
takkan menceritakan rahasia keluarga.
Tak mungkin ia bercerita jujur kepada
orang lain.
Kalau tahu, tentunya Kakek tidak
ribut, sahutnya. Ketahuilah dia pergi
diam-diam dan agaknya baru menjelang
pagi tadi. Tentang ke mana dan juga
maksud kepergiannya, yang tahu hanya
Sentiko sendiri.
Ahh... lalu bagaimana? tanya Kebo
Pradah.
Kakek memerintahkan kalian, pergi
dan mencari. Karena tidak diketahui
kemana tujuan bocah itu maka kalian
diperintahkan mencari ke segala
penjuru. Dia masih bocah, dikhawatir-
kan mendapat bahaya di perjalanan.
Bersiaplah kalian dan berangkatlah
secepatnya. Untuk membagi tugas kepada
semua murid, aku serahkan kepada
kakang Tanu Pada.
Tanpa menunggu jawaban Sarindah
sudah pergi. Diam-diam gadis ini
gelisah memikirkan Sentiko. Ia bisa
menduga bocah itu pergi ke Ibukota
Majapahit, mencari Mpu Nala dan Gajah
Mada. Manakah mungkin bocah itu dapat
menghadapi dua orang sakti itu?
Begitu tiba kembali di depan
kakeknya, Sarindah masih mendengar
kata-kata Sarwiyah yang setengah
bertengkar dengan kakeknya. Ketika itu
Sarwiyah memprotes kakeknya.
Mengapa sebabnya Kakek melarang
aku pergi mencari Sentiko? Apakah
Kakek tega kepada bocah yang belum
dewasa itu, pergi seorang diri
menempuh bahaya?
Sarwiyah! jawab kakeknya. Tentu
saja akupun tidak tega membiarkan
bocah itu pergi. Itulah sebabnya semua
murid aku perintahkan mencari. Hemm,
Sarwiyah, dan kau Sarindah. Hendaknya
kamu mau mengerti jalan pikiran
kakekmu. Janganlah ibarat kehilangan
seekor kerbau, kita mempertaruhkan
kerbau lain dalam kandang.
Apakah maksud Kakek? tanya
Sarwiyah.
Maksudku, janganlah kita yang
kehilangan Sentiko, lalu mempertaruh-
kan seluruh keluarga. Taruno menjelas-
kan. Biarkan sekarang murid-murid itu
pergi mencari. Hemm, apabila benar me-
reka tidak becus mencari, baru
kemudian kita pikirkan daya upaya.
Lebih penting kau sekarang berlatih
Aji Mega Langking yang amat berguna
sebagai senjata pamungkas itu, dan
sebagai senjata ampuh untuk mencapai
cita-cita. Sesudah kamu sempurna betul
mempelajari aji tersebut, dadaku akan
lapang melepaskan kepergianmu. Sentiko
juga penting bagi kita, tetapi
membalas dendam kepada Mpu Nala dan
Mpu Mada adalah lebih penting lagi.
Mendengar keterangan kakeknya ini
Sarindah dan Sarwiyah dapat mengerti.
Kemudian sambil menghela napas
panjang, mereka menyerahkan urusan
Sentiko kepada murid yang lain. Dan
sebelum para murid ini mulai tugasnya,
mereka minta diri kepada guru. Dan
oleh gurunya diberi batas waktu sampai
tiga bulan. Apabila mereka belum dapat
menemukan Sentiko, secepatnya harus
pulang. Dan semua murid mengiakan.
Tanu Pada memerlukan minta diri
kepada Sarindah secara khusus. Sedang
Kebo Pradah juga minta diri kepada
Sarwiyah secara istimewa. Memang
diantara mereka diam-diam telah tumbuh
tunas cinta kasih. Maka tidak
mengherankan apabila mereka minta diri
secara khusus.
Dua orang murid itu tidak sadar,
apa yang mereka lakukan menimbulkan
rasa iri dan tidak senang bagi saudara
seperguraan yang lain. Karena mereka-
pun merupakan saudara-saudara
perguruan dan sudah dewasa pula.
Memang secara diam-diam Sarindah
dan Sarwiyah ini mereka perebutkan dan
saling berusaha menarik perhatian.
Kalau sekarang Tanu Pada dan Kebo
Pradah mendapat perhatian khusus,
tentu saja yang lain menjadi iri dan
tidak senang.
Huh! Tanu Pada kurangajar! gerutu
Kidang Kaligis sambil mengepalkan
tinjunya. Huh, kuhajar mampus kau, di
saat guru dan Sarindah tidak tahu!
Bagus! Jika engkau menghajar Tanu
Pada, aku akan menghajar Kebo Pradah!
sambut Sangkan sambil mengepalkan
tinjunya pula karena amat penasaran.
Mendengar rencana dua orang
saudara seperguraan itu, Kuda Ananto
mengeratkan alis tidak senang.
Mengapa di dalam melaksanakan
tugas, melaksanakan perintah guru,
masih memikirkan hal lain, dan malah
merupakan masalah pribadi? Sebagai
salah seorang saudara seperguruan
tentu saja Kuda Ananto tahu rahasia
hati murid yang lain. Karena itu sudah
bukan rahasia lagi di antara mereka,
telah terjadi persaingan yang
memperebutkan Sarindah. Mereka ini
bukan lain Tanu Pada, Kidang Kaligis
dan Kuda Sobrah. Disamping itu tiga
orang yang lain, saling bersaing dalam
memperebutkan Sarwiyah. Pemuda ini
tidak lain adalah Kebo Pradah, Sangkan
dan Senggring. Tetapi sekalipun
demikian persaingan ini tidak berani
secara terang-terangan karena takut
kepada sang guru.
Kakang Kaligis dan Kakang
Sangkan, kata Ananto halus. Bukankah
kita ini sedang melaksanakan tugas
untuk mencari Adi Sentiko?
Kaligis dan Sangkan mendelik
marah. Hardik Kaligis, Apa katamu?
Engkau adik seperguraanku, saudara
muda! Tahu? Tetapi apakah sebabnya kau
lancang mulut? Ketahuilah aku lebih
tahu tugas dibanding kau. Huh, di
dalam rangka menunaikan tugas dari
guru itu.
Sekalipun dirinya lebih muda umur
dan dalam perguruan, Ananto tidak mau
menyerah begitu saja. Ia merasa benar
dan ingin memperingatkan, agar di
dalam melaksanakan tugas tidak
selewengan memikirkan soal lain.
Karena merasa benar ia menjawab tanpa
rasa gentar sedikitpun.
Kakang, sekalipun aku lebih muda,
sebagai saudara seperguraan aku
mempunyai hak pula untuk berbicara.
Kakang, bukan maksudku untuk lancang
mulut, tidak sama sekali. Tetapi
mengingat dalam tugas ini diriku
ditugaskan bersama Kakang Kaligis dan
Kakang Sangkan, maka tentu saja aku
mempunyai hak bicara.
Ananto berhenti dan mengamati dua
orang saudara seperguraan itu. Sejenak
kemudian lanjutnya, Menurut
pendapatku, kurang baik apabila Kakang
akan menggunakan kesempatan untuk
kepentingan diri sendiri. Itu namanya
menggunakan kesempatan dalam kesempi-
tan dan berarti pula menohok kawan
seiring. Bukankah Kakang Tanu Pada dan
Kakang Kebo Pradah saudara seperguraan
kita sendiri dan sekarang melakukan
tugas yang sama? Oleh sebab itu aku
berharap agar kalian mau sadar akan
keadaan.
Ia berhenti lagi. Setelah
mengambil napas baru meneraskan,
Disamping itu merupakan haknya kalau
Mbakyu Sarindah memilih Kakang Tanu
Pada kemudian Mbakyu Sarwiyah memilih
Kakang Kebo Pradah. Tetapi mengapa
sebabnya Kakang berdua tidak senang
dengan peristiwa itu? Bukan hanya
tidak senang tetapi Kakang juga dendam
dan sakit hati? Apakah Kakang berdua
lupa bahwa cinta itu tidak bisa
dipaksakan?
Kurangajar kau! Anak kecil tahu
apa tentang cinta? bentak Kaligis
marah. Jika engkau berani membuka
mulut sembarangan, awas, kupukul
mampus kau!
Kaligis yang memang berangasan
dan kasar itu tentu saja cepat menjadi
tersinggung oleh ucapan Ananto yang
masih kecil itu. Berbeda dengan
Sangkan, walaupun tidak senang oleh
sikap Ananto, tetapi ia cerdik dan
licin. Bagi dirinya tiada gunanya
marah-marah kepada Ananto.
Kakang Kaligis, sudahlah. Kita
tidak perlu marah kepada adik
seperguraan sendiri, cegahnya sabar.
Sangkan tidak memberi kesempatan
kepada Kaligis membantah. Lalu
lanjutnya ditujukan kepada Ananto,
Ananto, akupun minta kepadamu agar
dapat menempatkan dirimu sebagai
saudara seperguraan yang lebih muda.
Di dalam melakukan tugas antara kita
semua haras rukun dan bersatu padu.
Tentu saja! sahut Ananto kurang
senang. Antara saudara seperguraan tak
boleh membenci dan mendendam, dan
harus rukun bersatu. Akan tetapi
apakah sebabnya Kakang Kaligis
mengancam Kakang Tanu Pada? Bukankah
itu merupakan bibit permusuhan antara
saudara sendiri?
Jawaban Ananto yang baru berumur
limabelas tahun ini menyebabkan
Kaligis makin panas dan marah.
Bentaknya tiba-tiba, Jahanam kau! Anak
kecil berani lancang mulut dan
menggurui! Urusanku dengan Tanu Pada
adalah urasan pribadiku sendiri.
Apakah sebabnya engkau mau campur
urusan? Kalau kau senang boleh melihat
jika tak senang tak perlu tahu. Jika
kau masih tetap membandel, tanganku
masih bisa menghajar mulutmu yang
lancang itu.
Ananto yang merasa benar
tersinggung dan mendelik marah. Tiba-
tiba pemuda cilik ini bertolak
pinggang, berdiri menghadapi Kaligis
dengan sikap menantang. Katanya,
Kakang Kaligis, apakah katamu? Engkau
mau menghajar mulutku? Huh, sekalipun
engkau lebih besar dari diriku, boleh
coba!
Sangkan cepat melompat dan
berdiri di antara mereka untuk
mencegah terjadinya perkelahian. Sebab
Sangkan tahu, apabila terjadi
perkelahian, tidak urang Kaligis
sendiri yang akan malu. Karena Kaligis
tidak mungkin menang melawan Ananto,
sekalipun Kaligis sudah 20 tahun dan
tubuhnya lebih tinggi dan besar. Malah
diam-diam Sangkan sendiri mengakui,
dirinya juga takkan menang melawan
Ananto. Sudah berkali-kali setiap
mereka berlatih Ananto selalu unggul
setiap menghadapi saudara-saudara
seperguraan yang lebih tua. Dan
diantara murid laki-laki yang dapat
mengalahkan Ananto hanyalah Sentiko.
Kemenangan itupun tidak dapat
dicapai dalam waktu singkat. Dan
masalah ini bisa terjadi bukan
kesalahan gurunya yang mengajar dan
pula bukan salah asuh dan pilih kasih.
Semua itu tergantung dari ketekunan
berlatih disamping pula bakat dan
kecerdasan. Ananto seorang pemuda
berotak cerdas dan disamping itu
umurnya sebaya dengan Sentiko.
Pengaruh usia yang sebaya ini
menyebabkan hubungan antara Sentiko
dan Ananto erat sekali. Mereka
merupakan pasangan berlatih yang
sepadan dan karena Si Tangan Iblis
berusaha menggembleng Sentiko menjadi
pemuda perkasa, maka Ananto juga
memperoleh keuntungan pula dari setiap
latihan yang dilakukan.
Kalau seorang lawan seorang,
Ananto takkan bisa dikalahkan.
Sebaliknya apabila harus mengeroyok
dua, tentu saja Sangkan yang licin dan
licik ini menjadi malu. Ditambah lagi
kalau kemudian hari Ananto lapor
kepada guru, tak urung mereka akan
mendapat hukuman.
Mengingat kemungkinan itu Sangkan
yang cerdik sudah mendapat siasat
ampuh untuk menundukkan Ananto. Yang
penting sekarang ia harus cepat
membujuk Kaligis, agar bisa bersabar.
Kakang Kaligis, katanya.
Sudahlah, yang lebih tua wajib
mengalah dan memberi contoh kepada
yang muda. Mari kita sekarang
mempercepat perjalanan, agar lekas
bisa bertemu dengan Adik Sentiko.
Ananto yang berdiri di belakang
Sangkan tentu saja tidak tahu, dalam
membujuk Kaligis mata Sangkan memberi
isyarat.
Baiklah, aku setuju pendapatmu
dan marilah kita mempercepat perja-
lanan, sahut Kaligis setelah menangkap
isyarat mata itu. Kemudian ia
mengulurkan tangan kepada Ananto
sambil berkata, Maafkanlah aku, Adik
Ananto. Aku menyesal sudah bersikap
kasar kepadamu.
Ananto yang jujur cepat menerima
tangan Kaligis dengan hati terharu.
Bagaimanapun ia merasa lebih muda,
baik umur maupun kedudukannya dalam
perguruan. Maka tanpa malu-malu lagi,
pemuda ini menjawab, Kakang, akulah
seharusnya yang minta maaf kepadamu,
karena aku lebih muda.
Sudahlah, apa yang terjadi
anggaplah seperti tidak pernah
terjadi, ujar Sangkan. Mari kita mem-
percepat perjalanan.
Tiga orang saudara seperguraan
itu sekarang meneruskan perjalanan dan
berdampingan. Mereka tampak kembali
rukun seperti tidak pernah terjadi
apa-apa. Kaligis melangkah paling
kiri, Sangkan di tengah dan Ananto
paling kanan. Akan tetapi sambil
melangkah ini diam-diam Kaligis
bertanya dalam hati, apakah maksud
isyarat mata Sangkan tadi?
Mereka menuju ke timur sesuai
dengan tugas yang sudah diatur oleh
Tanu Pada. Tetapi perjalanan menuju
timur ini merupakan wilayah yang amat
sulit. Wilayah ini terdiri dari hutan
perawan, di sana-sini terdapat jurang
dalam dan kadang harus melompat dari
batu ke batu yang licin dan berbahaya.
Keadaan wilayah yang sukar ini
makin membuat hati Kaligis tambah
penasaran dan dendam kepada Tanu Pada,
dan menurut pendapatnya pemuda
saingannya itu sengaja mempersukar
dirinya.
Tanu Pada kurangajar! gerutunya.
Tentu saja dia sengaja memilihkan
daerah yang paling sukar untuk diriku.
Ananto kembali tidak senang
hatinya mendengar gerutu Kaligis itu.
Maka kata pemuda cilik ini, Kakang
Kaligis! Kita semua ini melaksanakan
perintah guru. Sedangkan Kakang Tanu
Pada sebagai saudara kita yang tertua
sudah membagi tugas sesuai dengan
wewenangnya. Kenapa sekarang Kakang
menggerutu dan tidak puas?
Bagaimanapun sukarnya perjalanan kita
ini, masih belum memadai kasih guru
terhadap kita semua.
Apa katamu? Kaligis mendelik
marah. Engkau selalu membela Tanu
Pada. Apakah kau memang sengaja
memusuhi aku?
Siapakah yang memusuhi? Hemm, aku
tidak memusuhi siapapun, sahut Ananto
tanpa gentar. Aku hanya bicara sesuai
dengan kata hatiku. Kalau kita sebagai
murid melaksanakan perintah guru,
tiada alasan menggerutu dan tidak
puas. Kita harus bisa menempatkan diri
sebagai murid yang baik.
Jahanam kau! Jadi engkau berani
menghina aku sebagai murid tidak baik?
bentak Kaligis tambah marah.
Sangkan melerai lagi dengan
katanya yang sabar dan halus,
Sudahlah, mengapa kalian selalu
bertengkar saja? Kita semua merupakan
murid-murid yang taat dan baik. Tugas
yang kita pikul sekarang ini justru
merupakan ujian, siapa di antara kita
yang dapat membawa kembali Adi Sen-
tiko, dialah murid teladan. Itulah dia
murid yang pantas dipuji sanjung. Nah,
yang penting sekarang kita berusaha
agar bisa menemukan dan membawa
kembali Adi Sentiko menghadap guru.
Kaligis hampir membuka mulut,
karena hatinya masih sangat penasaran
merasa dimusuhi Ananto. Namun lagi-
lagi ia menerima isyarat mata dari
Sangkan yang sebenarnya, tetapi dalam
hatinya timbul kepercayaannya, adik
seperguruannya yang cerdik ini tentu
mempunyai maksud yang menguntungkan
dirinya.
Untuk sementara mereka tidak
membuka mulut, karena jalan yang
dilewati tambah sukar dan licin. Tak
lama kemudian mereka sudah harus lewat
jalan setapak yang lebih sukar lagi.
Sebelah kiri tebing gunung yang
tinggi, sedang sebelah kanan merupakan
jurang yang amat dalam. Kalau tidak
melangkah hati-hati, sekali terpeleset
sulit diharapkan bisa tertolong.
Mengingat sulitnya jalan yang
harus dilalui ini, Ananto yang diam-
diam tidak senang dengan Kaligis, tak
mau melangkah paling depan. Karena
pemuda ini khawatir, apabila Kaligis
main curang di tempat ini. Oleh sebab
itu Ananto memilih paling belakang dan
dengan demikian akan lebih aman.
Akan tetapi Ananto yang masih
kecil ini kurang menyadari bahaya di
antara mereka bertiga, Sangkanlah yang
paling licin, berbahaya dan tidak
gampang diduga. Berbeda dengan
Kaligis, sekalipun kasar dan bera-
ngasan, masih suka berterus terang.
Kasar, namun sifat ksatryanya masih
tebal dan tidak mau berbuat curang.
Sebaliknya Sangkan yang licik ini
menghadapi sesuatu lebih banyak
menggunakan sikap pura-pura. Maka
apabila berhadapan dengan orang yang
tidak disukai, ia tidak segan berbuat
curang.
Dan tiba-tiba saja Sangkan
berhenti melangkah kemudian membalik-
kan tubuh. Ananto yang melangkah
paling belakang merasa heran, ikut
menghentikan langkah di dekat Sangkan
sambil bertanya, Apakah sebabnya kau
berhenti?
Aku mendengar suara orang
memanggil, sahut Sangkan sambil
menebarkan pandang matanya. Kemudian
ia menuding ke arah belakang Ananto
sambil berseru, Nah, lihatlah di sana
dan dugaanku ternyata benar. Aduh,
ternyata guru menyusul kita.
Ananto tertarik dan membalikkan
tubuh. Di saat bocah ini membalikkan
tubuh Sangkan tidak melepaskan
kesempatan sebaik ini. Kakinya
bergerak mengait kaki Ananto. Dan
karena tidak pernah menduga dirinya
bakal diserang, Ananto kaget dan
berusaha menghindar.
Sayang Ananto lupa, jalan yang
dilalui hanya jalan setapak, licin dan
di sebelah bahwa menunggu jurang amat
dalam. Karena itu walaupun kaitan kaki
Sangkan luput, tetapi Ananto menginjak
tempat kosong. Tangannya masih
berusaha menjambret apa saja yang
dapat dipergunakan menahan tubuhnya,
namun tidak berhasil.
Yang terdengar kemudian hanyalah
jerit kaget Ananto yang nyaring. Namun
hanya sesaat saja, karena tubuh pemuda
itu sudah lenyap ke dalam jurang dan
tertutup kabut.
Hai, apa yang terjadi? Kaligis
berteriak kaget, menyaksikan tubuh
Ananto meluncur ke dalam jurang dan
terdengar jeritnya yang nyaring.
Sangkan ketawa terkekeh,
sahutnya, Itulah hukuman bagi bocah
yang cerewet. Biarlah dia mampus tanpa
kubur di tempat ini. Bukankah dengan
mampusnya bocah itu kita bisa lebih
bebas?
Ah,... jadi dia sengaja kau
serang? Kaligis terbelalak.
Benar! Aku muak terhadap bocah
lancang mulut itu.
Tetapi.... tetapi bagaimanakah
cara kita menjawab kalau guru
bertanya?
Sangkan terbahak-bahak, lalu, Ha
ha ha ha, apakah sebabnya kau malah
ribut? Apa yang terjadi sekarang ini
tidak ada orang lain yang tahu.
Katakan saja dalam perjalanan, Ananto
sembrono tak mau mendengar nasihat
kita dan akhirnya dia masuk jurang
karena terpeleset. Kita sudah berusaha
menolong, tetapi tidak berhasil, malah
hampir saja aku dan kau ikut
terpeleset ke jurang. Ha ha ha ha,
habis perkara dan guru kita pasti
percaya.
Tetapi.... kenapa kau tega kepada
Ananto? Kaligis masih khawatir dan
menyesali perbuatan Sangkan.
Ia memang benci kepada Ananto
yang memusuhi. Namun demikian ia tidak
tega harus berbuat seperti itu.
Ha ha ha ha, apakah sebabnya
Kakang Kaligis malah ribut sendiri?
Aku toh berbuat untuk kepentinganmu
pula, Kakang? Dengan mampusnya bocah
itu berarti rahasia kita takkan
diketahui siapapun. Engkau mencintai
Sarindah tetapi terhalang oleh Tanu
Pada. Sebaliknya aku, cintaku kepada
Sarwiyah tidak dapat ditawar-tawar
lagi. Tetapi celakanya manusia busuk
Kebo Prada merupakan halanganku
terutama.
Kaligis terbelalak heran, tak
tahu apa maksud Sangkan yang
sesungguhnya. Tanyanya kemudian, Adi
Sangkan, apakah maksudmu sebenarnya?
Hemm, engkau terlalu jujur,
Kakang, hingga tidak pernah terpikir
olehmu, saat sekarang inilah yang
paling baik bagiku dan bagi dirimu...
Saat baik yang bagaimana? potong
Kaligis.
Saat baik untuk bertindak, guna
mencapai maksud kita masing-masing. Ha
ha ha ha, mumpung ada kesempatan baik
dan terlepas dari pengawasan guru
kita. Ketahuilah Kakang, soal tugas
mencari Sentiko bagi kita tidak
penting.
Lalu menurutmu, apakah yang lebih
penting?
Kita membuat perhitungan baik
kepada Tanu Pada maupun kepada Kebo
Pradah, ha ha ha ha! Bukankah dua
orang itu merupakan penghalang kita?
Kalau mereka kita singkirkan,
bagaimanakah mungkin dapat main mata
lagi dengan bunga cantik yang sama-
sama kita cintai itu? Nah, apakah kau
masih juga belum tahu maksudku?
Yang terdengar kemudian hanyalah
jerit kaget Ananto yang nyaring. Namun
hanya sesaat saja, karena tubuh pemuda
itu sudah lenyap ke dalam jurang dan
tertutup kabut.
Kaligis mengerutkan alis dan
tampak berpikir.
Kakang, mampusnya Ananto
merupakan tanggungjawab kita berdua,
sambung Sangkan. Karena itu kita
berdua harus rukun dan kerjasama. Se-
karang aku sudah mempunyai rencana
bagus. Yang lebih penting, kita harus
menangguhkan perjalanan mencari
Sentiko.
Ohh... lalu apalagi rencanamu?
Kaligis bingung.
Sekarang kita berbalik arah.
Engkau tahu, Tanu Pada dan Kebo Pradah
pergi bersama dan marilah kita susul,
kita bunuh dengan jalan apapun juga,
yang pokok berhasil.
Kaligis terbelalak pucat
mendengar rencana Sangkan ini. Bagi
dirinya walaupun bersaing tetapi ingin
menggunakan jalan wajar. Ia tidak per-
nah berpikir untuk mencelakakan
saudara seperguruannya sendiri, lebih-
lebih menggunakan siasat curang.
Namun Sangkan tak mau memberi
kesempatan Kaligis berpikir. Bujuknya
setengah mengancam,
Kakang, kita jangan ragu
sedikitpun dalam usaha mencapai cita-
cita. Orang bercita-cita harus
berusaha dengan jalan apapun juga.
Baik terang-terangan atau kalau perlu
menggunakan akal dan tipu daya. Orang
yang tak mau menggunakan kesempatan
baik yang ada, adalah sebodoh-bodohnya
manusia. Itu tolol! Dan orang yang
demikian apa yang dicita-citakan tidak
mungkin bisa tercapai!
Sangkan berhenti dan memandang
Kaligis mencari kesan. Sejenak
kemudian lanjutnya,
Kakang, dalam persoalan ini
antara engkau dan Tanu Pada
kedudukannya lebih kuat Tanu Pada.
Jelas Sarindah lebih tertarik kepada
Tanu Pada. Dengan demikian dia
merupakan sainganmu. Maka tanpa usaha
melenyapkan saingan itu, apa yang kau
harapkan tidak mungkin bisa terwujud.
Malahan Tanu Pada bisa memfitnah
kau lewat mulut Sarindah. Engkau bisa
celaka sendiri jika kau kalah dulu
untuk bertindak. Dan kau tentunya juga
sadar bahwa Sarindah adalah cucu guru
kita. Bagi seorang kakek yang cinta
kepada cucunya tentu lebih percaya
kepada cucu sendiri dibanding kepada
murid.
Sangkan berhenti lagi dan menatap
Kaligis mencari kesan. Ketika melihat
bujukannya mulai mempan ia cepat
menambahkan,
Kakang Kaligis. Engkau bisa mati
konyol oleh tangan guru sendiri jika
engkau lengah. Kalau saja pada suatu
hari Tanu Pada mau mencelakakan
engkau, gampangnya seperti kita
membalikkan telapak tangan sendiri.
Mencelakakan aku? Mana mungkin?
Dan bagaimana pulakah caranya?
Gampang saja, ha ha ha ha.
Menghadapi orang seperti kau yang
jujur ini, apakah sulitnya? Tanu Pada
bisa bekerjasama dengan Sarindah.
Umpamanya saja begini. Sarindah
meletakkan salah satu benda berharga
di dalam simpanan pakaianmu. Kemudian
dia melaporkan kepada guru, kehilangan
benda berharga tersebut. Tentu saja
engkau yang tak merasa berbuat salah
akan bersumpah engkau tidak mengambil.
Tetapi ketika dilakukan penggeledahan,
ternyata benda itu di tengah tumpukan
pakaianmu. Bukti sudah ada,
bagaimanakah engkau akan mungkir? Guru
yang sudah termakan hasutan Sarindah
takkan mau mendengar alasanmu lagi.
Padahal kau tahu bagaimanakah bunyi
peraturan yang dibuat guru?
Wajah Kaligis pucat mendadak.
Sahutnya, S-tiap murid yang terbukti
mencuri dua belah tangannya harus
dipotong...
Nah, bagaimanakah jadinya kau ini
kalau hidup tanpa tangan? Hemm, engkau
akan menjadi manusia cacat tanpa guna
lagi. Selama hidup kau akan menjadi
beban keluargamu. Karena itu sebelum
terlambat kita harus bertindak lebih
cepat. Sebelum peristiwa itu terjadi
dan menimpa dirimu, kita bunuh Tanu
Pada dan Kebo Pradah.
Kaligis tidak cepat membuka
mulut. Ia masih ragu.
Akan tetapi tiba-tiba saja
bayangan wajah Sarindah yang cantik
menggoda di depan matanya. Bibir yang
merah merekah itu tersenyum amat
manis. Jantungnya tiba-tiba berdegup.
Kemudian ia mengangguk dan menjawab,
Ya, engkau benar. Aku pikir
rencanamu lebih tnenguntungkan
dibanding jalan lain. Hemm, Adi
Sangkan! Kita sudah membunuh Ananto.
Maka kita tidak boleh bertindak
setengah mentah. Baik, marilah kita
cari jahanam itu dan kita bunuh!
Sangkan gembira sekali mendengar
jawaban ini. Kemudian mereka melangkah
menurut jalan setapak yang tadi mereka
lalui. Mereka putar haluan lalu menuju
kembali ke arah Tanu Pada dan Kebo
Pradah melakukan tugas. Dan sambil
melangkah ini, antara dua orang ini
mematangkan rencana dan siasat. Mereka
sadar tidak mudah membunuh Tanu Pada
dan Kebo Pradah. Ilmu kepandaian di
antara mereka setingkat dan malah
sebagai murid tertua, Tanu Pada
sedikit lebih tinggi ilmunya. Jelas
apabila terang-terangan melawan dua
orang saingannya itu sulit terwujud.
Karena itu jalan terbaik harus
menggunakan tipu daya.
2
Ke manakah sebenarnya pemuda
cilik Sentiko itu pergi? Dugaan
keluarganya memang tepat. Bocah itu
menjadi panas dan penasaran sekali
setelah mendengar orang tuanya tewas
dibunuh secara kejam. Ia merasa,
dirinya sebagai keturunan laki-laki
satu-satunya. Maka dirinyalah yang me-
rasa berkewajiban membalaskan sakit
hati dan dendam orang tuanya. Oleh
pengaruh pikirannya ini kemudian ia
menjadi nekad. Tanpa mengukur
kemampuan diri, malam itu juga ia
pergi diam-diam.
Sentiko tidak peduli cuaca gelap
ia terus bergerak cepat menuruni
pinggang gunung Bromo. Ia tidak ingin
maksudnya gagal, baik dicegah oleh
kakeknya maupun yang lain. Pendeknya
ia memilih mati daripada menjadi
seorang anak tak berguna.
Sentiko membekal semua pakaian
yang dimiliki, sedangkan senjata
trisula yang tangkainya dapat ditekuk
itu, disembunyikan di dalam bajunya.
Ia tidak pernah berpikir bahwa orang
yang pergi melakukan perjalanan jauh
memerlukan bekal uang. Padahal ia
tidak mempunyai uang simpanan, maka
ketika pagi tiba perutnya melilit
minta diisi dan ia menjadi bingung
sendiri.
Perut, mengapa sebabnya engkau
merengek minta isi? Hemm, perut,
tunggu sebentar lagi setelah kita
bertemu dengan warung, nanti kita
membeli nasi yang kau butuhkan.
Sentiko menghibur perutnya
sendiri dan sesaat kemudian bocah ini
ketawa terpingkal-pingkal sendiri
merasa geli.
Soalnya, manakah mungkin perutnya
itu mau mendengar kata-katanya? Perut
yang lapar tidak bisa dihibur dengan
kata-kata, tetapi membutuhkan isi.
Disamping itu ia tidak memiliki uang
sepeserpun, mengapa begitu gegabah
menyanggupkan diri untuk membeli nasi?
Kemudian tibalah pada sebuah desa
yang cukup makmur, bernama Purwosari.
Begitu masuk ke desa ini hidungnya
segera kembang kempis dan perutnya
semakin merengek, ketika lubang hi-
dungnya menghirup bau gurih dari dapur
seorang penduduk. Hidungnya cukup
kenal dengan bau khusus ini. Tentu
seseorang sedang membakar ikan asin.
Terbayang dalam benaknya
kemudian, betapa nikmatnya sepagi ini
makan nasi putih hangat, sambal dan
ikan asin dibakar. Sanggup rasanya
untuk menghabiskan nasi tiga piring
sekaligus.
Akan tetapi ah, bagaimanakan ia
dapat makan seperti yang dibayangkan
itu? Dirinya tidak punya uang, dan
haruskah ia minta-minta kepada
penduduk? Hemm, ia tidak sudi
merendahkan diri sebagai pengemis.
Betapa mendongkol hatinya kalau orang
tidak mau memberi malah mencaci maki
sebagai seorang muda yang malas?
Apakah dirinya harus menjual tenaga
dengan bekerja apa saja asal
memperoleh sesuap nasi? Tidak? Orang
yang menjual tenaga tanpa diminta,
tidak urung direndahkan. Menurut
pikirannya orang tentu tidak mau
menghargai tenaganya. Dan tentu
terpaksa bekerja berat namun upah yang
bakal diterima tidak seimbang.
Aku mempunyai ilmu kepandaian.
Mengapa tidak aku coba dan aku
pergunakan ? katanya seorang diri
sambil terus melangkah menyusuri jalan
desa itu. Kiranya lebih berharga
dengan melakukan perampasan atau
mencuri.
Dalam benaknya segera terbayang
betapa enaknya merampas atau mencuri.
Tidak perlu banyak tenaga dirinya akan
mendapat uang atau benda berharga yang
cukup banyak.
Tiba-tiba saja ia melihat seorang
perempuan desa yang berjalan seorang
diri menuju ke luar desa. Dilihatnya
pula jalan desa itu menuju ke tengah
ladang jagung yang menghubungkan desa
lain. Apakah sulitnya melakukan
perampasan terhadap perempuan lalu
lari dan bersembunyi?
Setelah menetapkan hati bocah ini
mempercepat langkahnya, dan sesaat
kemudian sudah berlarian cepat sekali
mengejar perempuan desa itu.
Sungguh sayang bocah yang masih
semuda Sentiko, sudah mempunyai
pikiran sesat seperti itu, yang
beranggapan lebih terhormat merampas
dan mencuri daripada menjual tenaga
kepada orang. Inilah akibat salah
didik. Kakeknya kurang memperhatikan
usaha menggembleng batin dan watak.
Kakeknya lebih memperhatikan
penggemblengan ilmu kesaktian, guna
bekal mencapai cita-cita. Karena salah
didik, menyebabkan bocah ini sudah
tersesat.
Perempuan yang menggendong
tanggok itu kaget ketika tiba-tiba
dihadang Sentiko. Akan tetapi karena
Sentiko masih kecil, rasa kaget perem-
puan ini cepat menghilang, kemudian
tanyanya, Nak, apa maksudmu menghadang
aku?
Berikan uangmu! hardiknya sambil
mendelik. Kalau tidak, kupukul kau!
Perempuan ini terbelalak tidak
percaya. Benarkah bocah sekecil ini
sudah berani menjadi perampok?
Anak, engkau jangan main-main,
ujarnya tak percaya. Tempat ini tak
jauh dari desa. Apa yang akan terjadi
kalau aku menjerit minta tolong? Anak,
engkau masih kecil, sayang sekali jika
tersesat. Kalau memang butuh uang,
nih, aku beri sekadarnya untuk membeli
nasi.
Perempuan ini kemudian mengambil
pundi-pundi berisi uang yang disimpan
di ujung selendang.
Melihat pundi-pundi yang jelas
berisi uang itu, timbul niatnya untuk
merampas semuanya.
Aku tak mau pemberianmu. Sebab
engkau tentu hanya memberi sedikit!
Perempuan ini terbelalak dan
menghentikan gerak tangannya yang
berusaha membuka ujung pundi-pundi
itu.
Apa katamu, Nak? katanya tak
percaya. Kau tak mau aku beri sedikit?
Ih, mengapa masih sekecil engkau sudah
serakah? Kau...
Perempuan ini mendadak
menghentikan ucapannya dan wajah
berubah pucat, ketika tahu-tahu pundi-
pundi itu sudah direbut oleh Sentiko.
Hai... kembalikan...!
Sentiko ketawa mengejek. Hati
bocah ini menjadi besar ketika dengan
gampang berhasil merampas uang itu.
Ha ha ha ha, uang ini aku
butuhkah. Maka tak mungkin aku
kembalikan.
Apa? Jika kau membandel, aku
menjerit... ancam perempuan itu.
Sentiko khawatir juga kalau apa
yang dilakukan diketahui orang oleh
jeritan perempuan ini. Ia tidak mau
menghadapi bahaya. Ia sudah melakukan
perampasan mengapa tanggung-tanggung?
Pikirnya, Hemm, lebih baik kupukul
saja perempuan ini. Jika aku bisa
membuat perempuan ini pingsan,
perbuatanku akan aman.
Kembalikan...! Kembalikan...!
teriak perempuan ini sambil menubruk
dan berusaha merebut.
Kesempatan ini tidak disia-siakan
oleh bocah ini. Kaki kanan menghadang
dan berbareng tinjunya memukul ulu
hati.
Plakk.... bukk...
Dua macam serangan ini mengenai
sasarannya secara tepat, karena
perempuan itu tidak dapat menghindar.
Maka tanpa dapat berteriak lagi
perempuan ini sudah terkulai lalu
roboh miring, sedang tanggok masih
dalam gendongannya.
Sentiko tertawa senang. Katanya,
Huh, engkau terlalu pelit, inilah
upahmu. Kecil cabe rawit, sekalipun
kecil aku tak kalah dengan kau, ha ha
ha ha!
Ia mengamati perempuan itu dengan
wajah berseri. Terbayang dalam
benaknya dengan memiliki pundi-pundi
uang ini, kebutuhan mengisi perut
terjamin.
Ia sudah melangkah meninggalkan
perempuan yang roboh itu. Tetapi baru
tiga langkah ia berhenti dan
memalingkan muka memandang perempuan
itu. Ia heran mengapa perempuan itu
belum juga bergerak? Hatinya tertarik
lalu kembali. Ia membungkuk
memperhatikan dan benar perempuan ini
tidak bergerak.
Eh, kenapa tidak bernapas?
Matikah? pikirnya.
Jarinya meraba dada. Dada itu
lunak dan tiba-tiba saja jantungnya
berdegup. Mengapa dada perempuan
lembut dan lunak, tidak seperti
dadanya sendiri? Namun pertanyaan aneh
ini cepat berganti dengan rasa kaget.
Ah benar, perempuan ini tidak bernapas
lagi, sudah mati.
Celaka! Kenapa perempuan ini mati
oleh pukulanku?
Bocah ini tegang dan kemudian
lari secepatnya meninggalkan
korbannya.
Sentiko memang menjadi kaget dan
ketakutan melihat perempuan yang
dipukul itu mati. Ia tidak sengaja
membunuh. Ia tadi hanya ingin
merobohkan supaya pingsan saja.
Sentiko tidak pernah berpikir bahwa
pukulannya amat berbahaya bagi seorang
perempuan desa ini.
Setelah Sentiko pergi, muncullah
seorang kakek, tubuhnya tinggi besar
dan semua rambut sudah berubah putih,
baik pada alis, jenggot maupun
kumisnya. Melihat perempuan yang
menggeletak tewas ini, kakek tua tidak
kaget dan juga menyesali keganasan
Sentiko, tetapi anehnya malah
terkekeh.
Heh heh heh heh, bagus! gumamnya
sambil meninggalkan perempuan itu.
Bagus sekali. Bocah sekecil itu
tangannya sudah ganas! Heh heh heh
heh, hari ini aku beruntung. Pada usia
tuaku seperti sekarang ini aku belum
mempunyai murid seorangpun. Tetapi
bocah itu sungguh tepat untuk menjadi
muridku.
Tak lama kemudian kakek ini
melihat, Sentiko sudah hampir masuk
sebuah desa sebelah utara Lawang.
Bocah itu sudah tidak lari lagi dan
sesaat kemudian bocah itu malah masuk
dalam warung, lalu duduk di dekat
seorang laki-laki gagah berumur
sekitar empat puluh tahun.
Laki-laki itu brewok dan
menyeramkan. Namun demikian Sentiko
tidak takut karena menurut jalan
pikiran bocah ini orang sama-sama
butuh jajan. Berbeda dengan orang yang
lain, mereka yang jajan lebih suka
duduk berhimpitan pada bangku panjang
di meja lain. Entah mengapa sebabnya,
Sentiko sendiri tidak peduli.
Saking perutnya sudah merengek
kelaparan, Sentiko tidak peduli kepada
yang lain. Ketika nasi diterima tanpa
membuka mulut lagi ia sudah makan
dengan lahap. Seolah-olah bocah ini
ingin memasukkan semua nasi itu hanya
sekali telan saja.
Melihat sikap Sentiko, laki-laki
brewok itu mengerutkan alis. Ia
menjadi kurang senang, entah apa
sebabnya.
Mendadak orang itu bersin.
Beberapa percik ludahnya menghambur ke
nasi di depan Sentiko.
Sentiko kaget. Perutnya amat
lapar dan nasi baru separo ia makan.
Tetapi nasi itu sudah campur ludah
orang, manakah mungkin ia mau makan
lagi?
Bocah ini melirik tidak senang.
Tetapi laki-laki itu malah memandang
ke arah lain. Karena yang penting
sekarang ini mengisi perut, maka
Sentiko menahan kemendongkolan hatinya
lalu pesan nasi lagi.
Oleh si penjual pun cepat pula
dilayani. Ketika nasi sudah diterima,
iapun mulai makan lagi. Namun baru
tiga suap nasi masuk ke perut, lagi-
lagi orang itu bersin dan menyemprot
nasinya dengan ludah. Sekarang bukan
saja laki-laki itu bersin, tetapi
malah diikuti dengan sindirannya.
Hemm, bocah tak tahu adat. Orang
tua belum makan, bocah cilik sudah
mendahului!
Sentiko tidak senang oleh sikap
laki-laki ini. Mengapa makan di
warung, membayar dengan uang sendiri
harus diatur orang?
Akan tetapi saat sekarang ini
hatinya gelisah, ingat kepada
perbuatannya tadi. Oleh karena itu
tiada nafsu untuk bertengkar dengan
orang, dan lebih baik segera membayar
harga makanan dan mencari warung lain.
Karena itu ia cepat mengeluarkan
pundi-pundi sambil bertanya harga ma-
kanan yang sudah dibelinya.
Celakanya baru saja mau membuka
tali pundi-pundi, mendadak sudah
pindah ke tangan laki-laki itu. Dan
laki-laki ini kemudian tertawa sambil
bicara seenak udelnya sendiri.
Heh heh heh heh, tak patut bocah
cilik membawa banyak uang
Wajah Sentiko sebentar pucat dan
sebentar merah. Apakah uang hasilnya
merampas sekarang harus ganti dirampas
orang secara terang-terangan di warung
ini? Apakah harus dibiarkan saja
perbuatan orang kasar ini? Dan kalau
dibiarkan, apa yang harus dipergunakan
membayar harga makanan?
Kembalikan uangku! teriaknya
sambil menggerakkan tangan untuk
merebut.
Plakkkk....!
Tangan Sentiko ditangkis dan
terhuyung beberapa langkah ke belakang
lalu menabrak tiang warung. Dan ia
meringis karena lengannya tergetar
hebat dan sakit.
Tetapi sebaliknya laki-laki yang
merebut pundi-pundi terbelalak heran
hampir tidak percaya akan pandang
matanya sendiri. Benarkah bocah itu
tidak roboh dan patah lengannya?
Orang lain yang melihat bergegas
meninggalkan warung. Mereka takut
akibatnya dan lebih baik menyingkir
sebelum terlambat.
Pemilik warung sendiri menjadi
gemetar ketakutan. Namun yang ia
takutkan hanyalah apabila terjadi
kerusakan pada benda-benda dalam
warungnya.
Nak Jayus... kasihanilah aku,
bujuknya halus, jangan di warung ini.
Heh heh heh heh, jangan khawatir,
tukasnya sambil terkekeh.
Setiap penduduk Purwosari dan
Lawang sekitarnya, memang sudah kenal
siapa laki-laki ini. Dia seorang
kasar, lagaknya jagoan, sewenang-
wenang dan merampas milik orang lain.
Memang sebenarnya saja laki-laki ini
disebut gentho (Gali) oleh orang
banyak.
Setiap orang kenal namanya, Kreto
Jayus. Masih ada baiknya memang,
sekalipun penjahat, tidak mau
mengganggu milik tetangga. Jika
melakukan kejahatan hanya kepada
penduduk desa yang jauh dan atau belum
kenal. Sekalipun demikian, sebagai
penjahat, orang yang berani melawan
kehendaknya akan dihajar babar belur.
Dan sekarang begitu melihat
Sentiko yang kecil dan makan
disampingnya tanpa mau menawarinya, ia
menjadi tersinggung. Itulah sebabnya
ia bersin dan sengaja ditujukan ke
nasi Sentiko, untuk mengobati
kemendongkolannya.
Akan tetapi demi melihat bocah
cilik itu mempunyai banyak uang tiba-
tiba saja timbul keinginannya untuk
merampas. Namun ketika tangkisannya
tidak membuat orang itu roboh, Kreto
Jayus menjadi penasaran.
Kembalikan uangku....! teriak
Sentiko.
Heh heh heh heh, rebutlah kembali
kalau bisa! ejek Kreto Jayus sambil
keluar dari warung. Sentiko mendelik
marah. Sekalipun kecil ia bocah
berilmu di samping tabah dan berani.
Tantangan itu menyebabkan ia
penasaran. Teriaknya, Jahanam busuk!
Engkau hanya berani mengganggu anak
kecil saja. Sangkamu aku takut?
Pemilik warung sudah pucat dan
khawatir, bocah sekecil itu, mengapa
berani melawan Kreto Jayus? Ia sudah
membayangkan tidak urung bocah cilik
ini akan mati.
Di pihak lain orang-orang yang
tadi jajanpun menjadi tegang dan
khawatir pula. Mereka tidak berani
mencampuri, namun demikian mereka
menonton juga dari tempatnya
bersembunyi. Sentiko telah melompat
mengejar Kreto Jayus. Laki-laki itu
terkekeh di tengah jalan sambil
memamerkan pundi-pundi yang tadi ia
rebut.
Hai Bocah! Engkau tak patut
memiliki uang sebanyak ini. Hayo,
katakan dari mana kau mencuri?
Jahanam! Aku tidak mencuri.
Kembalikan uangku!
Sentiko sudah meloncat menyerang
menggunakan tangan dan kaki yang
kecil. Tangan kiri dengan dua jari
menyerang mata, sedang tangan kanan
menyerang ulu hati, ditambah pula
dengan gerakan yang cepat menendang
tangan kiri orang yang memegang pundi-
pundi.
Aihh... kurangajar! Kreto Jayus,
lalu terkekeh dan mengejek, Heh heh
heh heh, agaknya kau mempunyai sedikit
kepandaian, lalu menjadi sombong dan
tidak memandang sebelah mata kepadaku.
Bagus, aku ingin mematahkan kaki dan
tanganmu biar kapok.
Sentiko tidak peduli. Begitu
serangan pertama dihindari lawan, ia
menerjang maju dengan kecepatan kilat.
Tubuh yang kecil itu dengan ringan
melesat ke depan. Dua tangannya
bergerak, tangan kiri mengulang
menyerang mata dan tangan kanan
kembali menyerang uluhati.
Kreto Jayus berdiri dan tidak
menghindar. Setelah menyimpan pundi-
pundi dalam bajunya ia mengangkat
tangan kiri untuk menangkis sambil
merendahkan tubuh. Berbareng dengan
itu tangan kanan mencengkeram pundak.
Wut... wut... plak... Aihhh...!
Kreto Jayus kaget setengah mati,
ketika tangkisan dan pukulan
balasannya luput, malah pundaknya
terpukul. Sekalipun kecil tangan
Sentiko, namun pukulan itu menyebabkan
Kreto Jayus kesakitan.
Orang yang menonton heran
mendengar teriakan Kreto Jayus karena
mereka sulit percaya. Kreto Jayus yang
biasanya garang berhadapan dengan
lawan itu, mengapa sekarang terpukul
bocah cilik saja sudah berteriak?
Apakah bocah ini bocah ajaib?
Kreto Jayus menjadi amat marah.
Kalau tadi ia melawan Sentiko dengan
sikap mengejek dan merendahkan,
sekarang tidak berani sembrono lagi.
Diam-diam ia malu dan berjanji takkan
melepaskan bocah ini sebelum mampus.
Karena itu sambil membentak lantang
dua tangannya bergerak cepat untuk
memukul roboh lawan.
Ia menubruk ke depan bermaksud
menangkap Sentiko. Namun Sentiko dapat
bergerak gesit seperti bayangan. Tiba-
tiba tubuh bocah itu melesat cukup
tinggi. Di udara berjungkir balik,
kepala di bawah dan kaki di atas. Lalu
dua tangannya seperti kilat cepatnya
menyambar ke arah mata dan ubun-ubun.
Sekalipun bocah cilik, serangan ini
amat berbahaya.
Akan tetapi Kreto Jayus merasa
jagoan dan bertenaga raksasa. Tangan
Sentiko yang meluncur itu disambut
dengan tangkisan tangan kiri sedang
tangan kanan berusaha mencengkeram
pusar lawan.
Aduhhh...! Kreto Jayus berteriak
kaget ketika dekat telinganya
terserempet pukulan lawan. Kepalanya
sakit dan nanar.
Sungguh, tidak pernah dibayangkan
oleh Kreto Jayus mengalami peristiwa
ini. Ia menjadi amat malu. Dirinya
terkenal sebagai jagoan tanpa tanding
di wilayah ini. Haruskah sekarang
menyerah di tangan anak kecil? Saking
marah dan penasaran ia menjadi lupa
daratan dan mata gelap. Tiba-tiba saja
ia mencabut goloknya yang menghitam
karena berkali-kali sudah minum darah
korban. Dan sekarang golok ini akan
disuruh minum darah Sentiko.
Melihat orang mencabut golok
diam-diam Sentiko gentar. Bagaimanapun
selama ini ia belum pernah berkelahi
sungguh-sungguh. Kalau berkelahi hanya
berlatih dengan murid kakeknya.
Meskipun demikian bocah ini tidak
takut. Ia sudah mendapatkan bukti
bahwa ilmu yang dimilikinya tidak
kalah dengan ilmu lawan.
Tiba-tiba saja malah timbul
kegembiraan bocah ini. Bukankah
perkelahian ini malah bisa dijadikan
semacam ujian? Kepergiannya sekarang
ini untuk mencari Gajah Mada dan Mpu
Nala. Padahal dua orang itu terkenal
sebagai tokoh Majapahit yang sakti
mandraguna. Kalau sekarang berhadapan
dengan lawan ini saja tak dapat
mengalahkan, manakah mungkin bisa
menang melawan dua tokoh itu?
Teringat itu Sentiko jadi makin
mantap. Secepat kilat tangannya
mencabut tombak trisula dari balik
baju. Tombak trisula yang dapat
ditekuk itu lalu diluruskan. Dan
sambil melintangkan di depan dada
bocah ini dengan garang berkata,
Kembalikan uangku habis perkara!
Tetapi jika tidak engkau kembalikan,
akupun tidak takut! Kau punya golok
akupun punya tombak trisula!
Heh heh heh heh, Kreto Jayus
terkekeh mengejek. Bagus! Sungguh
tidak nyana bayi kemarin sore berani
melawan aku. Huh, sesungguhnya aku
malu melawan bocah. Tetapi karena kau
sudah berani memukul aku dua kali,
sekarang rasakan pembalasanku!
Tanpa malu lagi Kreto Jayus sudah
mendahului menerjang ke depan
menggerakkan goloknya menyerang
Sentiko. Serangan itu cepat dan kuat,
menerbitkan angin menyambar-nyambar.
Orang yang menonton dari tempat
sembunyi amal khawatir. Manakah
mungkin bocah itu dapat melawan golok
Kreto Jayus?
Akan tetapi sekalipun belum
pernah berkelahi, ia seorang murid dan
cucu tokoh Sakti. Ilmu yang dipelajari
merupakan ilmu tinggi. Begitu melihat
golok menyambar, dengan senjata tombak
trisula Sentiko meloncat ke samping
dan tak mau beradu senjata, karena
sadar tenaganya kalah. Dan apabila
terjadi benturan senjata sulit bagi
dirinya mempertahankan senjatanya.
Sambil menghindar ke samping ini
tombak trisulanya menikam lambung.
Kreto Jayus tak mau memberikan
lambungnya luka, menarik kembali
goloknya dan membabat sambil
menggerakkan tangan kiri untuk
mencengkeram tangkai tombak trisula
lawan.
Takk.... Ahh, aduhhh...!
Lagi-lagi Kreto Jayus berteriak
kaget dan kesakitan. Ternyata
gerakannya kalah tangkas dan kalah
cepat. Tangkai tombak trisula lawan
yang akan dicengkeram itu malah
memukul lengannya. Kreto Jayus
meringis oleh pukulan itu karena
lengan kiri hampir lumpuh.
Akan tetapi justru pukulan ini
menyebabkan Kreto Jayus tambah marah.
Kalau tadi ia masih melawan seorang
bocah cilik, sekarang ia sudah lupa
daratan. Maka sambil membentak
nyaring, ia membabatkan goloknya.
Hiyaaaat.... hiyaaaaat....!
Babatan golok itu menyebabkan
hati Sentiko khawatir juga. Dapatkah
ia mengalahkan lawan dan dapat
merampas kembali pundi-pundi uangnya?
Pengalamannya tadi berkali-kali ia
berhasil memukul lawan. Teringat itu
bocah ini menjadi lebih mantap.
Rasa percaya kepada ilmu kesak-
tian yang dimiliki ini menyebabkan
gerakan Sentiko semakin menjadi
mantap. Tombak trisulanya menyambar-
nyambar dengan gerakan ilmu tombak
yang bercampur dengan ilmu pedang.
Memang si Tangan Iblis, kakek Sentiko,
dahulu terkenal sebagai ahli senjata
tombak. Berdasarkan pengalamannya
pula, ia kemudian berhasil menggubah
ilmu senjata yang dicampur antara ilmu
tombak dan ilmu pedang pilihan.
Saat itu Kreto Jayus sudah
memuncak kemarahannya. Ia membetak
nyaring, berbareng merendahkan tubuh
untuk menyerampang kaki lawan.
Maksudnya sekali membabat, akan segera
buntunglah kaki lawan. Tetapi justru
gerakan membabat inilah kesalahan
orang itu.
Sambil meloncat tinggi
menghindari serangan, Sentiko memukul
tengkuk lawan. Kreto Jayus cepat
memiringkan tubuh sambil menggerakkan
tangan kiri ke atas untuk mencengkeram
bawah pusar. Dan kesempatan ini tidak
disia-siakan Sentiko yang masih
mengapung di udara. Ia memukulkan
tombak trisulanya, namun Kreto Jayus
menarik kembali tangannya sambil
melompat ke samping.
Tak..... bukk....! Tubuh Kreto
Jayus yang tinggi besar itu terguling-
guling sambil meringis. Ia dapat
menyelamatkan nyawanya, namun pundak
kanan terpukul dan goloknya lepas.
Disamping itu tendangan tendangan
Sentiko yang tidak terduga-duga
menyebabkan dada sesak dan sulit
bernapas.
Di saat Kreto Jayus bergulingan
ini, pundi-pundi yang disimpan
menggelinding keluar. Sentiko tidak
menyia-nyiakan kesempatan, dan cepat
disambar dengan tangan kiri, lalu
disimpan di bank baju. Bagi Sentiko
tak ada maksud berkelahi. Maka apabila
pundi-pundi sudah kembali, sudah
cukup. Oleh sebab itu bocah ini
kemudian melangkah pergi.
Orang-orang yang menonton sambil
bersembunyi terbelalak kaget. Benarkah
apa yang mereka lihat dan saksikan
ini? Kreto Jayus yang suka berbuat
sewenang-wenang dan merupakan gentho
yang ditakuti orang itu, sekarang
babak belur hanya menghadapi anak
kecil saja? Diam-diam mereka senang,
tentunya dengan peristiwa ini Kreto
Jayus akan berubah tabiatnya.
Akan tetapi sudah tentu Kreto
Jayus tak mau berhenti sampai di sini.
Sekalipun dada sesak dan pundak sakit,
tetapi tidak terluka. Ia harus
membalas kekalahannya, maka sambil
menggeram marah, ia melompat berdiri
kemudian menyambar goloknya. Tanpa
mempedulikan pakaiannya yang kotor, ia
sudah berteriak lantang sambil
mengejar.
Bocah bangsat! Jahanam! Hayo
berhentilah! Makanlah golokku ini!
Sentiko kaget dan cepat melompat ke
samping. Karena tak mungkin dapat
melawan tanpa senjata, maka secepat
kilat ia mengambil senjatanya. Dan
diam-diam bocah ini marah juga, karena
ia sudah bersikap lunak, tetapi
ternyata orang tinggi besar ini tak
tahu diri.
Diam-diam bocah inipun menjadi
penasaran dan ingat kepada nasihat
kakeknya yang antara lain, dalam
berkelahi menggunakan senjata apabila
tidak mati terbunuh harus membunuh
lawan. Karena itu sebelum lawan sempat
membunuh, engkau harus membunuh lawan
lebih dahulu.
Nasihat yang berbau sesat ini
sudah tentu ditelan begitu saja oleh
otak yang belum pandai
mempertimbangkan baik dan buruknya
ini. Ia beranggapan setiap nasihat
kakeknya tentu benar dan baik. Maka
sekarang menghadapi lawan bersenjata
ini, ia harus membunuh kalau tidak
ingin dibunung orang. Karena itu tanpa
membuka mulut bocah inipun sudah
melengking nyaring sambil menggerakkan
senjatanya. Dan kemudian terjadilah
perkelahian yang cukup sengit, dua
senjata itu menyambar dahsyat.
Apa yang terjadi itu tidak pernah
lepas dari pengamatan kakek tua yang
sejak tadi membayangi Sentiko. Ia tadi
merasa keheranan ada bocah cilik
sanggup membunuh perempuan desa.
Sekarang ia menjadi terbelalak,
melihat gerak senjata Sentiko yang
cepat tetapi ganas, penuh tipu daya
dan pancingan licik. Jelas bahwa ilmu
bocah ini berbau sesat.
Dalam pada itu melihat gerakan
Sentiko yang mantap, kakek inipun bisa
menduga, tentu guru bocah ini tokoh
sesat yang sakti mandraguna. Ahh,
alangkah senangnya apabila ia dapat
memiliki murid tunggal seperti bocah
ini, bocah yang berbakat, akan tetapi
juga sesuai dengan wataknya sendiri
yang sesat. Ia sudah membayangkan
betapa gempar dunia ini, apabila
beberapa tahun kemudian, muridnya ini
mulai mengganas di sana sini.
Karena tak ingin bocah yang
diincar untuk menjadi muridnya ini
terlalu lama berkelahi, kakek ini
segera membantu diam-diam. Ia memungut
dua butir kerikil, dan ketika tangan
bergerak, dua butir kerikil ini
meluncur amat cepat.
Bantuan yang diberikan ini justru
sudah diperhitungkan secara tepat. Dua
butir kerikil itu memukul secara tepat
pada pundak kiri dan pundak kanan
Kreto Jayus dan pada saat itu pula
tombak trisula Sentiko justru
menyambar.
Pukulan kerikil itu menyebabkan
pundak Kreto Jayus sakit dan panas.
Lengannya mendadak lumpuh dan
tangkisannya gagal, malah disusul
kemudian goloknya runtuh di tanah. Ia
kaget sekali ketika melihat senjata
lawan menyambar ke arah dada. Ia
bermaksud melompat menghindarkan diri,
tetapi celaka! Di belakang tubuhnya
seperti ada benteng yang kuat menempel
punggung dan tak dapat bergerak lagi.
Apa yang sudah terjadi? Benteng
yang tidak tampak itu adalah tenaga
dalam yang dikirim kakek tua itu dan
yang menyebabkan Kreto Jayus tak dapat
menghindar lagi.
Crott....! Aduhhh.....!
Dada Kreto Jayus berlubang tiga
tempat, terhunjam oleh tombak trisula.
Pekik mengerikan keluar dari mulut dan
darah merah membanjir keluar dari
dada.
Sentiko sendiri terbelalak dan
ngeri, melihat mengucurnya darah merah
dari dada lawan. Ia cepat menarik
senjatanya, dan begitu lepas Kreto
Jayus roboh, meregang sebentar lalu
tak bergerak lagi untuk selamanya.
Tadi, membunuh seorang perempuan
tanpa sengaja saja, bocah ini sudah
lari terbirit-birit. Apa pula
sekarang, melihat korbannya roboh
mandi darah, Sentiko memekik nyaring
lalu lari sipat kuping (cepat sekali),
dan tombak trisula yang bernoda darah
itu masih dipegang tangan kanan. Tak
lama kemudian ia sudah masuk ke dalam
sebuah hutan kecil tak jauh dari
tempat itu.
3
Akan tetapi tiba-tiba Sentiko
roboh terguling dan tombak trisulanya
lepas melesat agak jauh. Bocah ini
keheranan, merasa menabrak sesuatu
yang lunak yang mempunyai daya membal
dan menyebabkan dirinya seperti
dilemparkan. Maka cepat-cepat ia
meloncat berdiri dan kemudian....
Sentiko terbelakak.
Didepannya sudah berdiri seorang
tua, tubuhnya tinggi besar, sedang
tertawa terkekeh kegelian. Munculnya
kakek ini seperti setan saja, seperti
muncul dari dalam bumi. Karena itu
Sentiko tadi merasa tidak ada orang,
tetapi tahu-tahu sudah menabrak.
Kakek! Apakah sebabnya Kakek
duduk di tengah jalan? tegurnya sambil
membersihkan pakaiannya yang kena
debu. "Dan apakah sebabnya pula aku
kau banting roboh?
Kakek itu tertawa semakin
terkekeh, Heh heh heh heh, lucu...
Sentiko tidak senang, protesnya,
Apanya yang lucu? Aku tidak apa-apa,
tetapi apakah sebabnya kau banting?
Uah uah, engkau yang menabrak
aku, tidak minta maaf, sebaliknya
malah marah-marah kepada orang.
Wajah yang semula berseri dan
terkekeh itu tiba-tiba berubah dan
tampak sungguh-sungguh, sedangkan
matanya tak berkedip memandang Sen-
tiko. Hai Bocah! Apakah engkau ini
benar-benar bocah yang tidak tahu
aturan? Seharusnya kau minta maaf
karena sudah menabrak aku. Tetapi
mengapa engkau malah menyalahkan aku?
Huh huh kurangajar.
Apa? Kaulah yang bersalah!
Sentiko membantah dengan lantang tanpa
gentar. Engkau tahu, aku sedang lari.
Tetapi mengapa kau tak mau menyingkir
dan malah membanting aku?
Siapakah yang membanting? Aku
tidak melakukan sesuatu.
Tetapi nyatanya aku terpental
roboh. Bukankah engkau telah sengaja
membanting aku ?
Melihat sikap bocah yang tabah
dan berani ini, kakek itu ketawa
kembali. Katanya sambil mengusap
jenggotnya yang menjuntai panjang, Heh
heh heh heh, luar biasa. Luar
biasa....
Emoticon