PEDANG SAKTI KERIS ULAR EMAS
Karya: Bastian Tito
Episode 03
DEWI PEDANG DELAPAN PENJURU ANGIN
SATU
HARI masih pagi, matahari belum
naik tinggi, butiran-butiran embun pada dedaunan masih kelihatan di sana sini,
berkilau-kilauan laksana intan berlian karena sorotan sang surya. Mahesa Kelud
berdiri di ambang pintu belakang rumah di hutan Bangil itu.
"Wulan," katanya
memanggil. Gadis yang dipanggil datang dan berdiri disampingnya. Tidak seperti
biasanya kali ini si gadis berdiri dengan agak kikuk. Mungkin karena teringat
pada peristiwa kemarin malam yaitu saat dimana mereka berkasih mesra
bercumbu-cumbuan.
"Pagi yang indah bukan,
Wulan?"Si Gadis anggukkan kepala.
"Bagaimana kalau kita
berlatih memperdalam ilmu pedang yang diajarkan oleh mendiang kakekmu?"
"Baiklah, Mahesa. Aku akan
ambil pedangku," kata si gadis dan masuk ke dalam. Mahesa yang berdiri menunggu
di ambang pintu belakang memasang telinganya. Lapat-lapat didengarnya suara
krasak krisik di kejauhan. Detik demi detik suara itu semakin jelas tanda
semakin dekat. Mahesa tahu benar bahwa suara yang didengarnya itu adalah suara
semak belukar dan tanaman-tanaman rendah disibakkan orang. Dan benar saja,
ketika dia putar kepala ke sebelah kirinya maka terlihatlah semak belukar lebat
di sebelah sana tersingkap dan muncullah satu kepala berkuncir. Manusia ini
memakai jubah hitam dan di belakangnya menyusul beberapa orang yang memakai
jubah putih dan berkepala botak! Mahesa Kelud terkejutnya bukan main ketika
melihat keenam manusia yang muncul dari balik semak-semak itu. Dia serasa tidak
percaya. Mereka tak lain adalah Resi Waranganaya dan Lima Brahmana sesat.
Cepat-cepat Mahesa berlindung ke balik dinding dekat pintu. Tapi Waranganaya
Toteng keburu melihatnya.
Dan berserulah resi itu:
"Kawan-kawan! Kita berhasil menemui mereka! Aku barusan lihat bangsat yang
laki-laki tadi di ambang pintu rumah itu! Mari kita bereskan mereka sebelum
keduanya kabur!"
Di dalam rumah....
"Wulan!"
"Ya, Mahesa...."
Wulansari keluar dari dalam kamar dengan pedang di tangan. Melihat air muka
pemuda itu dia jadi terkejut.
"Ada apa?" tanyanya.
"Tinggalkan rumah ini cepat!
Resi bangsat dan Lima Brahmana itu datang ke sini! Mereka berhasil mengetahui
tempat kita! Kita tak akan sanggup melawan mereka. Mari lari sebelum
terlambat!"
Kedua orang itu kemudian
meninggalkan rumah, lari lewat pintu muka. Waranganaya dan kawan-kawannya yang
baru saja hendak mengurung rumah, begitu melihat kedua orang tersebut melarikan
diri segera mengejar sambil berteriak:
"Manusia-manusia ingusan!
Menyerahlah dan berlutut di hadapan kami! Kalian tidak akan bisa lari
jauh!"
Mahesa Kelud dan Wulansari tidak
mengacuhkan peringatan itu. Mereka mempercepat lari masing-masing sambil
bergandengan tangan. Keenam pengejar berhasil mereka tinggalkan jauh di
belakang. Sebenarnya bukan ilmu lari kedua anak muda ini yang membuat mereka bisa
meninggalkan jauh para pengejarnya tapi adalah karena mereka tahu seluk beluk
keadaan dalam hutan belantara itu sehingga sementara Waranganaya dan Lima
Brahmana masih sibuk menyibak-nyibakkan semak belukar yang menghalang dalam
pengejaran mereka, Wulan dan Mahesa sudah jauh di depan mereka. Tapi kedua
murid Pendekar Budiman ini tidak bisa lama meninggalkan musuh-musuh mereka.
Begitu mereka keluar dari hutan belantara maka membentanglah sebuah lembah
terbuka yang menurun.
"Celaka!" kata Mahesa
Kelud. "Di tempat terbuka ini mereka pasti bisa menyusul kita! Percepat
larimu, Wulan!"
Benar saja, ketika keduanya baru
menuruni bagian leguk dari lembah itu maka keenam pengejarnya keluar dari dalam
hutan. Waranganaya Toteng berada paling depan sekali. Ini membuktikan bahwa
ilmu larinya lebih tinggi dari pada kelima Brahmana yang menyusul di
belakangnya. Lima Brahmana itu segera mengeluarkan senjata rahasia mereka yaitu
berupa pisau-pisau pendek berkeluk serta mengandung racun mematikan. Lima pisau
kemudian meluncur pesat kearah kedua muda mudi yang lari menyelamatkan diri
itu. Mahesa Kelud dan Wulansari mencabut pedang masing-masing dan sambil lari
mereka memutar senjata itu di belakang punggung. Kelima pisau berkeluk kena
tertangkis tapi anehnya begitu kena benturan pedang segera berbalik dan
menyerang kembali! Inilah kehebatan senjata rahasia Lima Brahmana itu!
Kedua muda mudi ini terkejut
bukan main. Dengan serta merta mereka jatuhkan diri dan bergulingan di lembah
yang menurun itu! Untung saja lembah itu menurun sehingga dengan bergulingan
menyelamatkan diri dari lima senjata rahasia itu mereka sekaligus berhasil
memperjauh diri dari para pengejarnya.
Melihat kelima kambratnya sudah
keluarkan senjata rahasia maka Waranganaya Toteng tidak tinggal diam. Dia segera
kebutkan ujung-ujung berumbai ikat pinggang jubah hitamnya. Meskipun Mahesa
Kelud dan Wulansari berada lebih dari seratus langkah di mukanya namun kedua
orang ini terpaksa harus menghindarkan diri dengan cepat karena angin pukulan
berbahaya yang keluar dari rumbai-rumbai itu berhasil mencapai mereka dan
terasa panas.
"Celaka Wulan! Cepat atau
lambat kita pasti tertawan oleh mereka!" kata Mahesa sambil terus lari
dengan terhuyung-huyung.
"Tuhan! Embah Jagatnata
tolong kami...!" teriak Mahesa Kelud menyebut nama Tuhan dan nama gurunya.
"Ayah! Tolonglah anakmu ini!
Tolong kami,"seru Wulansari.
Dan pada saat itu terjadilah
sesuatu keanehan yang luar biasa! Entah dari mana datangnya tahu-tahu muncullah
seekor anak rusa. Binatang ini berlari cepat sambil melompat-lompat dan
menghalang-halangi larinya keenam pengejar itu.
"Binatang keparat!"
maki Waranganaya dengan geram sambil menendang binatang itu dengan kaki
kanannya. Tapi dengan gerakan melompat yang lucu jenaka, anak rusa itu berhasil
menghindarkan tendangan maut sang resi. Binatang itu kemudian melompat-lompat
pula di hadapan kelima Brahmana sehingga lari keenam orang itu menjadi kacau
balau dibuatnya. Sambil terus mengejar, keenam orang itu terpaksa sibuk
menyingkirkan anak rusa yang senantiasa menghalangi lari mereka. Tapi binatang
kecil ini terus lompat sradak sruduk kian kemari sampai akhirnya karena gemas,
salah seorang dari kelima Brahmana cabut goloknya dan memapasi tubuh si rusa.
Binatang ini berkelit lucu lalu menyerempet kaki si Brahmana sampai Brahmana
itu hampir saja jatuh terserimpung. Sementara itu Mahesa dan Wulansari sudah
jauh di ujung lembah dan mereka sama menghentikan lari ketika dari jauh melihat
bagaimana keenam pengejar mereka lompat sana lompat sini karena lari mereka
selalu dihalang dan diserimpung oleh seekor anak rusa. Mahesa dan Wulan saling
berpandangan. Tiba-tiba pemuda itu berseru.
"Lihat! Binatang itu lari ke
sini!"
Benar saja. Rusa itu lebih cepat
larinya dari pada Waranganaya dan Lima Brahmana yang saat itu kembali mengejar
Mahesa dan Wulansari. Boleh dikatakan dalam beberapa kejapan mata saja anak
rusa itu sudah berada di hadapan kedua muda mudi ini. Binatang ini
melompat-lompat lalu lari masuk ke dalam hutan! Melihat bagaimana binatang
kecil ini tadi sanggup menghalangi larinya keenam orang-orang sakti itu bahkan
mempermainkan mereka maka baik Mahesa maupun Wulan sama-sama memaklumi bahwa
ada suatu keanehan pada binatang ini yang menyatakan bahwa dia bukanlah
binatang sembarangan. Karenanya tanpa ragu-ragu ketika anak rusa itu melompat
ke kiri dan lari masuk hutan kedua orang tersebut segera mengikutinya.
Tiba-tiba anak rusa itu menyelinap di antara semak-semak yang lebat, dan
menghilang. Mahesa Kelud serta Wulansari berdiri di hadapan semak-semak itu
kebingungan dan saling pandang. Di belakang mereka sementara itu Waranganaya
Toteng dan Lima Brahmana sudah dekat pula. Dengan ujung pedangnya Wulansari
menyibakkan rerumputan semak belukar itu dan satu seruan terdengar keluar dari
mulut gadis ini.
"Mahesa, lihat!"
Tak terduga sama sekali di
hadapan mereka saat itu, begitu semak belukar disibakkan terlihatlah mulut
sebuah gua! Mahesa Kelud berpaling ke belakang. Waranganaya Toteng dan Lima
Brahmana tambah dekat. Tanpa pikir panjang Mahesa Kelud segera tarik lengan Wulansari
dan keduanya masuk ke dalam gua yang gelap itu.
"Kalau kita harus mati di
dalam gua ini, biarlah kita mati bersama!" ujar Mahesa Kelud. Bersama
Wulansari dia melangkah mengendap-endap. Ternyata gua itu semakin ke dalam
semakin besar dan anehnya tambah ke dalam tambah terang. Tahu-tahu mereka
sampai di satu ruangan berdinding batu karang empat persegi. Ruangan ini bersih
sekali. Di sini tidak terdapat nyala api ataupun pelita atau sinar matahari
yang masuk dari luar tapi anehnya ruangan tersebut terang benderang! Dan lebih
aneh lagi karena disudut sana, di atas sebuah batu karang yang putih bersih,
duduklah anak rusa tadi sambil memandang kepada mereka dan kedip-kedipkan
matanya yang kecil jernih.
"Mahesa..." bisik
Wulansari sambil memegang lengan pemuda disampingnya. "Kurasa binatang ini
bukan binatang sungguhan, tapi binatang jadi-jadian. Mungkin...."
Suara si gadis terpotong dengan
serta merta ketika di luar sana, dari mulut gua terdengar suara yang keras.
"Anak cucu pemberontak! Kalian keluarlah baik-baik. Kalau tidak kalian
akan berkubur di dalam gua ini!" Yang berteriak ini adalah Waranganaya
Toteng.
"Celaka! Mereka berhasil
mengetahui persembunyian kita, Mahesa...."
"Diamlah," bisik
Mahesa. "Siapa tahu mereka tidak benar-benar pasti bahwa kita berada
disini."
"Bangsat-bangsat
kecil!" terdengar lagi suara Waranganaya Toteng. "Jangan bikin kami
orang menjadi tidak sabar! Keluar dengan aman, kalian akan selamat!
Cepatlah!"
Mahesa dan Wulansari tegak di
tempat masing-masing tanpa bergerak. Kemudian dari mulut gua terdengar suara
bersiuran seperti capung terbang. Sebuah pisau melayang ke jurusan mereka.
Mahesa Kelud pergunakan pedangnya untuk menyampok senjata rahasia itu. Tapi
begitu disampok segera pisau berkeluk ini berputar dan kali ini melakukan
serangan kedua. Wulansari babatkan pedangnya dan pisau itu mental kesamping.
Sunyi seketika. Anak rusa itu masih saja duduk di tempatnya tadi yaitu di atas
batu karang putih dengan tenang sambil menjilat-jilat kakinya.
Di luar gua resi Waranganaya Toteng
menjadi geram karena kedua anak muda itu masih juga belum mau keluar. Dia
segera genggam ujung ikat pinggang jubahnya dan kebutkan kedalam gua. Angin
pukulan yang keras dan panas melesat bersiuran. Di dalam gua, di ruangan batu
karang empat segi Mahesa Kelud serta Wulansari dengan cepat melompat ke samping
menghindarkan pukulan tenaga dalam yang dahsyat itu. Karena pukulan tersebut
tidak mengenai sasarannya maka terus menyambar ke pojok ruangan dimana anak
rusa itu duduk
"Hai, awas!" teriak
Mahesa Kelud memberi ingat pada sang rusa. Jangankan seekor rusa, seorang
manusiapun bila terkena sambaran angin pukulan ujung rumbai-rumbai ikat
pinggang jubah tersebut bisa mati, dan buktinya sudah dilihat oleh Mahesa atas
diri Pendekar Budiman alias Sentot Bangil. Tapi inilah suatu kejadian aneh yang
hampir tak dapat dipercaya oleh kedua orang tersebut. Ketika angin pukulan yang
dahsyat itu menyambar ke arahnya, tiba-tiba si anak rusa berdiri di atas batu
karang putih dan melompat-lompat kian kemari. Lompatannya itu tidak beda dengan
lagak sikap lompatan seekor anak rusa biasa tapi yang anehnya ialah bagaimana
dari gerakan lompatannya itu melesat keluar satu kekuatan tenaga yang sangat
dahsyat, berputar-putar bergelombang dan memukul kembali angin pukulan rumbai-rumbai
ikat pinggang Waranganaya Toteng! Di kejauhan di mulut gua terdengar suara
seruan-seruan tertahan. Baik kelima Brahmana maupun Waranganaya Toteng sendiri
sama-sama meloncat menghindar kesamping gua, tidak mau ambil resiko terluka
oleh angin pukulannya sendiri yang dikembalikan!
Butiran-butiran keringat dingin
bepercikan di kening Waranganaya Toteng. Disamping terkejut dia juga menjadi
sangat heran. Ada apakah didalam gua itu sampai tenaga pukulannya yang dahsyat
yang tak pernah satu orang pun sebelumnya sanggup menahan kini dikembalikan
sedemikian rupa bahkan hampir saja mencelakainya? Dengan rasa tak percaya sang
resi berdiri kembali di depan gua dan kebutkan rumbai-rumbai. Ikatan jubah
hitamnya. Hal yang sama terjadi lagi! Dari dalam gua keluar sambaran angin
sangat keras. Sang resi cepat menghindar kesamping tapi tak urung jubah
hitamnya masih kena serempetan angin dahsyat itu dan robek!
Muka Waranganaya Toteng pucat
pasi seperti mayat. Bulu tengkuknya meremang dan keringat dingin membasahi
sekujur badannya. Melihat ini salah seorang dari Lima Brahmana segera bertanya:
"Ada apakah Waranganaya? Parasmu pucat sekali!"
Sebagai orang yang sudah berilmu
tinggi dan ditakuti lawan serta disegani kawan maka tentu saja Waranganaya
Toteng merasa malu untuk menerangkan hal yang sebenarnya. Maka menjawablah dia:
"Tidak ada apa-apa. Kedua bangsat kecil itu tentu sudah mampus dan
berkubur di dalam gua. Mari kita tinggalkan tempat ini!"
***
DUA
DI DALAM gua.... Mahesa Kelud dan
Wulansari kini menjadi benar-benar yakin bahwa anak rusa itu bukan binatang
biasa, mungkin malaikat atau seorang sakti luar biasa yang merubah diri menjadi
seekor anak rusa. Mengingat pula bahwa binatang kecil itulah yang telah
me-nyelamatkan nyawa mereka dari serangan Waranganaya Toteng maka tanpa
ragu-ragu keduanya segera menjura dan berlutut di hadapan anak rusa itu.
Pada saat itulah terdengar satu
suara menggema dan menggetarkan empat dinding karang di ruangan itu.
"Berdiri... berdirilah anak-anak muda! Jangan menyembah pada rusa itu, pun
jangan menyembah pada manusia atau malaikat karena hanya Tuhanlah satu-satunya
kepada siapa seluruh umat menyembah. Berdiri!"
Mahesa Kelud dan Wulansari
berdiri dengan cepat. Suara yang mereka dengar adalah suara seorang laki-laki
tapi orangnya sama sekali tidak terlihat. Kedua anak muda ini memandang
berkeliling. Di ruangan yang terang itu hanya mereka dan sang anak rusa saja
yang ada dan binatang ini tampak duduk sambil menjilat-jilat kakinya. Di
ruangan itu juga tidak terdapat celah-celah yang memungkinkan timbulnya dugaan
bahwa suara tersebut keluar dari celah-celah itu. Kedua orang ini menjadi
bingung.
"Jangan khawatir anak-anak
muda... jangan takut. Kalian berada di tempat yang aman. Aku sudah lama
menunggu kalian. Syukur kalian datang saat ini, syukur sekali!"
Mahesa memandang berkeliling tapi
orang yang bicara tetap tidak kelihatan. Mungkin rusa itu yang bicara,
pikirnya, tapi ketika diperhatikan si binatang masih tetap duduk di atas batu
karang putih seraya menjilat-jilat kakinya.
"Suara tanpa rupa, siapakah
engkau? Mengapa tidak mau memperlihatkan diri?" tanya Mahesa.
"Belum saatnya kau harus
tahu siapa aku, anak muda. Belum saatnya aku memperlihatkan diri..."
terdengar suara jawaban menggema di dalam ruangan batu karang yang terang dan
bersih itu.
"Apakah engkau malaikat,
suara tanpa rupa?" tanya Wulansari. Terdengar suara tertawa bergelak.
"Tidak...aku bukan malaikat, aku bukan setan ataupun jin. Aku adalah
manusia juga, manusia biasa tak beda dengan kalian...."
Mahesa berpikir, kalau yang
bicara ini memang benar manusia adanya maka pasti dia adalah seorang sakti luar
biasa. Mahesa Kelud ingat waktu dia dipenjarakan di gua batu karang si Nenek
Iblis. Saat itu dia bersebelahan tempat dengan Karang Sewu. Mereka dipisahkan
oleh dinding karang yang tebal seperti dinding karang yang ada di hadapannya
kini. Pada saat Karang Sewu bicara padanya, suara orang sakti itu hanya
terdengar perlahan tapi kini suara yang didengarnya sangat jelas, menggema
bahkan menggetarkan ruangan itu. Inilah suatu tanda bahwa orang yang berbicara
kesaktiannya luar biasa dan jauh lebih tinggi dari kesaktian Karang Sewu!
Mahesa menjura dan berkata:
"Suara tanpa rupa, kau telah menolong kami dari bahaya maut. Kami yang
rendah ini menghaturkan ribuan terima kasih...."
Terdengar lagi suara tertawa.
"Jangan ucapkan terima kasih padaku. Anak rusa itulah yang telah
menolongmu, bukan aku...."
Mahesa dan Wulansari memandang
pada binatang yang duduk di atas batu karang putih. Rusa ini memandang pula
pada mereka dan mengedip-ngedipkan matanya. Mahesa dan si gadis tersenyum lalu
anggukkan kepala. Binatang itu seperti seorang anak kecil yang kegirangan
melompat-lompat di atas batu karang lalu duduk lagi seperti semula.
"Suara tanpa rupa,"
kata Mahesa, "Kami rasa kau cukup maklum apa yang telah terjadi atas diri
kami sehingga kami terpaksa berani-beranian datang mengotori tempatmu yang suci
ini."
"Tidak apa... tidak apa. Aku
memang suruh anak rusa peliharaanku itu untuk membawa kalian masuk ke sini.
Kalau kalian merasa letih, kalian duduklah!"
Mahesa menggamit tangan Wulansari
dan kedua orang itu lantas duduk di atas lantai batu karang yang putih bersih.
Maka sesudah itu terdengar pula suara menggema dari orang sakti yang tidak
terlihat itu.
"Anak-anak muda, aku sudah
lama menunggu kedatangan kalian di sini. Siapakah nama kalian?"
"Aku Mahesa Kelud,"
menerangkan si pemuda. Terdengar suara tertawa,
"Suara tanpa rupa, ada
apakah kau tertawa?" bertanya Mahesa Kelud.
"Tidak apa-apa, aku cuma
tertawa mendengar nama yang kau sebutkan itu...."
Si pemuda merasa gelisah. Apakah
orang sakti itu mengetahui namaku yang sebenarnya, pikir Mahesa.
"Anak gadis, kau sendiri
namamu siapa?"
"Aku Wulansari, suara tanpa
rupa...."
"Bagus, bagus. Nama kalian
gagah-gagah. Sesuai dengan rupa dan budi kalian, kalian pantas menjadi muridku.
Itulah sebabnya kutunggu-tunggu kalian...."
Mendengar kata-kata itu Mahesa
Kelud dan Wulansari gembiranya bukan main. Betapakan tidak karena mereka akan
diangkat menjadi murid oleh seorang sakti luar biasa! Segera keduanya menjura
memberi hormat.
"Terima kasih, guru. Kami
berdua menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya..." kata Mahesa.
Sang guru yang tidak kelihatan
itu mengeluarkan suara tertawa. "Kalian berdua jangan cepat-cepat menjadi
gembira. Untuk dapat menjadi muridku sebelumnya kalian harus kucoba lebih
dahulu! Aku ingin tahu sampai di mana ketinggian ilmu yang kau dapat dari
guru-gurumu sebelumnya! Berdirilah!"
Mahesa dan Wulansari berdiri
dengan patuh. Keduanya berpandang-pandangan dan bertanya-tanya dalam hati.
Kalau orang sakti itu hendak menguji mereka, bagaimanakah caranya?
Dia sendiri tidak kelihatan.
Kedua orang ini menunggu dengan hati berdebar. Kemudian terdengar suara:
"Joko Cilik! Kau ujilah mereka!"
Mahesa dan Wulansari sama-sama
terkejut. Mereka menyangka bahwa saat itu ke dalam gua telah masuk seorang lain
bernama Joko Cilik yang akan menguji mereka. Tapi sampai saat itu mereka berdua
serta anak rusa tersebut yang ada di sana. Tiba-tiba anak rusa di atas batu
karang putih melompat ke hadapan Mahesa Kelud. Kaki mukanya yang sebelah kanan memanjang
lurus ke samping. Pemuda ini terkejut karena sambaran kaki binatang itu,
meskipun kecil, tapi mengeluarkan angin dingin yang tajam dan deras.
Cepat-cepat Mahesa berkelit ke samping. Sedang si anak rusa pada saat itu
kelihatan meliukkan tubuhnya dan kini dia melesat ke hadapan Wulansari. Gadis
ini yang tidak kalah terkejutnya cepat-cepat melompat mundur. Hampir saja
pakaiannya kena disambar ujung kaki anak rusa itu!
Begitu dua kaki mukanya menginjak
lantai gua, anak rusa tersebut segera memutar tubuh. Lalu dengan mengandalkan
kekuatan kaki belakang dia melompat kembali ke arah Mahesa Kelud. Lompatannya
ini seperti tadi juga merupakan satu serangan hebat. Cepat-cepat si pemuda
berkelit.
"Mahesa, Wulansari..."
terdengar suara menggema dalam gua. "Mengapa kalian diam saja? Layanilah
Joko Cilik, anak rusa peliharaanku itu!"
Mahesa dan Wulansari sama
terkejut dan saling pandang karena tidak menyangka sama sekali bahwa si anak
rusa itulah yang bernama Joko Cilik dan lebih tidak percaya lagi kalau binatang
kecil inilah yang harus mereka hadapi sebagai ujian dari orang sakti yang akan
mengangkat mereka menjadi murid! Maka ketika binatang itu menyerang kembali,
Mahesa Kelud dan Wulansari segera bersiap-siap. Untuk lima jurus lamanya kedua
muda mudi itu terus-terusan bersikap bertahan. Karena walaupun mereka tahu
bahwa anak rusa itu bukan binatang sembarangan, tapi untuk turun tangan
melancarkan serangan, mereka tidak sampai hati dan ragu-ragu.
"Ayo, anak-anak muda!
Mengapa kalian mengelak terus?! Jangan ragu-ragu, layani Joko Cilik sebagaimana
mestinya!" terdengar suara memerintah. Kini Mahesa dan Wulansari tidak
ragu-ragu lagi. Kedua orang itu segera melancarkan serangan dengan ilmu silat tangan
kosong. Sungguh lucu kelihatannya, dua orang anak muda berkepandaian tinggi
berkelahi mengeroyok seekor anak rusa yang berkelebat ke sana sini mengelakkan
setiap serangan mereka. Tahu-tahu dua puluh jurus sudah berlalu dan sampai saat
itu baik Mahesa Kelud maupun Wulansari masih belum berhasil
"menyentuh" tubuh Joko Cilik barang satu kalipun! Benar-benar
binatang luar biasa anak rusa ini.
"Bagus Joko Cilik! Tak
sia-sia kau jadi binatang piaraanku. Mahesa, Wulansari cabut pedang
kalian!"
Mendengar perintah itu, kedua
anak muda tersebut segera menghunus pedang masing-masing. Tubuh mereka
berkelebat cepat, dua pedang bersiuran bergulung-gulung menyerang dan mengurung
si anak rusa dari segala penjuru. Tapi jangankan untuk melukainya, bahkan
pedang itu tidak berhasil menyentuh sedikitpun tubuh anak rusa ini padahal
Mahesa dan Wulansari sudah kerahkan semua ilmu kepandaian bahkan tak jarang
serangan-serangan pedang mereka dibarengi dengan pukulan-pukulan tangan kiri
berisi tenaga dalam yang tinggi. Tapi laksana seorang yang tengah
"akrobat", anak rusa itu melompat kian kemari, jungkir sana jungkir
sini, menyeruduk dan menyelinap di antara kedua penyerangnya bahkan tak jarang
melesat tinggi melancarkan serangan dahsyat dari atas ke kepala kedua orang itu!
"Cukup Joko Cilik!"
Anak rusa itu melompat tinggi
mengelakkan sambaran pedang Mahesa Kelud dan tahu-tahu... beberapa saat
kemudian dia sudah duduk kembali di atas batu karang putih di seberang sana dan
mulai menjilat-jilat kakinya!
Mahesa Kelud dan Wulansari berdiri
dengan tubuh keringatan. Hati mereka sangat kecewa dan malu karena lebih dari
lima puluh jurus mereka mengeroyok binatang kecil itu tapi jangankan untuk
mengalahkannya, menghadiahkan satu pukulanpun mereka tidak sanggup! Bagaimana
pula nanti mereka akan menghadapi jago-jago Kadipaten Madiun musuh besar
mereka?! Mengingat sampai ke sini Wulansari menjadi putus asa dan rasanya mau
saja dia melemparkan pedangnya ke arah anak rusa yang duduk di atas batu karang
itu.
"Anak-anak muda,"
terdengar suara yang menggetarkan ruangan. "Kalau kalian tidak berhasil
mengalahkan Joko Cilik, itu bukan berarti bahwa ilmu yang kalian miliki masih
rendah dan tak ada artinya! Tidak sekali-sekali. Sebelum kalian, pernah seorang
pertapa sakti tersesat ke sini dan berhadapan dengan Joko Cilik. Mereka
bertempur seru, sesudah dua puluh jurus dan pertapa itu tidak sanggup
mengalahkan Joko Cilik, dia lantas menjura lalu meninggalkan tempat ini dengan
sangat malu. Mahesa, Wulansari.... Kalian tak usah kecewa. Ilmu silat tangan
kosong dan ilmu pedang kalian memang belum mencapai tingkat yang tinggi, tapi
itu sudah cukup untuk menjadi dasar bagiku dalam menggembleng kalian...!"
Mendengar itu maka senanglah hati
kedua muda mudi tersebut. Ruangan batu karang empat persegi itu bergema kembali
oleh suara si orang sakti yang berupa perintah pada anak rusa peliharaannya.
"Joko Cilik, untuk sementara
tugasmu sudah selesai. Kau kembalilah ke dalam hutan!"
Binatang kecil itu berdiri
lurus-lurus dengan hanya mempergunakan kedua kaki belakangnya di atas batu
karang putih. Lalu tak ubahnya seperti seorang manusia dia membentangkan dua
kaki mukanya ke samping dan merunduk, lantas turun dari atas batu itu dan
melompat-lompat di hadapan Mahesa serta Wulansari untuk akhirnya lari dengan
cepat meninggalkan gua. Wulansari senyum-senyum melihat kejenakaan binatang
itu.
"Mahesa Kelud, Wulansari...
kalian duduklah di kiri kanan batu karang putih yang licin itu. Dan dengarlah
apa yang aku akan katakan selanjutnya...." Setelah Mahesa Kelud dan
Wulansari duduk di tempat yang diperintahkan maka suara tanpa rupa itu
terdengar pula. "Anak-anak muda, aku adalah manusia biasa tak ubahnya
seperti kalian. Untuk sementara aku tidak bisa memperlihatkan diri pada kalian.
Aku tidak mempunyai nama karena memang ketika aku dilahirkan ke dunia ini aku
masih belum diberi nama oleh kedua orang tuaku sedangkan mereka keburu
meninggal dunia. Meskipun begitu, aku tidak keberatan jika kalian memanggilku
seperti yang kalian sebut tadi yaitu Suara Tanpa Rupa. Mulai hari ini aku angkat
kalian menjadi murid-muridku. Aku tidak mempunyai ilmu apa-apa dan tidak akan
mengajarkan kepandaian apa-apa kepada kalian. Tapi padaku, di gua batu karang
ini, ada sepasang pedang sakti. Senjata-senjata ini akan aku berikan kepada
kalian dan senjata-senjata inilah yang akan memberi pelajaran pada kalian
masing-masing tanpa dituntun, tanpa diajar, sampai akhirnya kalian berdua
memiliki ilmu pedang yang bernama "Dewa-Dewi Pedang Delapan Penjuru
Angin". Sepasang pedang itulah yang akan membimbing kalian untuk memiliki
kepandaian tersebut dan juga memberikan tambahan tenaga dalam yang ampuh. Dan
seandainya kalian sudah berhasil memiliki ilmu pedang yang hebat itu nanti,
beberapa hal harus kalian ingat betul-betul. Pertama, jangan menjadi sombong
atau congkak dengan ilmu yang kalian miliki. Kedua, ketahuilah bahwa di atas
langit ada lagi langit yang lebih tinggi, di atas setiap orang yang pandai akan
selalu ada lagi seorang lain yang lebih pandai, demikianlah seterusnya. Ketiga
atau yang terakhir, pergunakanlah ilmu tersebut untuk kebaikan karena bilamana
dipakai untuk kejahatan ilmu itu sendiri yang akan menyerang kalian! Kalian
dengar pesanku itu...?"
"Dengar, guru..." kata
Mahesa Kelud dan Wulansari hampir bersamaan.
"Bagus. Mahesa, kau
angkatlah batu karang putih dan licin di sampingmu."
Pemuda itu berdiri dan melangkah
ke hadapan batu karang putih di mana anak rusa tadi sebelumnya duduk. Batu ini
diangkatnya, beratnya bukan main. Dengan mengerahkan tenaga dalamnya baru dia
berhasil mengangkatnya ke samping. Pada dasar batu karang itu kelihatanlah
tumpukan pasir halus berwarna sangat merah. Sampai di situ maka terdengarlah
suara si orang sakti. "Mahesa dan Wulansari, dengar dahulu. Bilamana
kalian sudah menguasai ilmu Dewa Pedang Delapan Penjuru Angin, ambillah pasir
merah tersebut, masukkan dalam dua buah kantong kulit dan kalian bisa
mempergunakannya sebagai senjata rahasia bernama - Pasir Terbang – Nah Mahesa
kini kau galilah pasir merah tersebut, singkirkan baik-baik ke tepi. Gali
sampai akhirnya kau menemui sesuatu...."
Dengan mempergunakan sepuluh
jari-jari tangannya Mahesa Kelud menggali pasir merah itu. Makin ke dalam
digalinya pasir galian semakin merah sedang lubang galian terang benderang oleh
pancaran sinar merah aneh yang keluar dari dasar pasir merah. Akhirnya
jari-jari tangan pemuda itu menyentuh sesuatu yang runcing lancip dan
memancarkan sinar merah.
"Guru, saya menemukan
sesuatu benda berujung lancip dan mengeluarkan sinar merah," menerangkan
Mahesa.
"Bagus, kau tariklah benda
itu keluar!"
Mula-mula Mahesa Kelud
mempergunakan tangan kanannya untuk menarik benda itu, tapi tak berhasil.
Dengan bantuan tangan kiri dan dengan mengerahkan seluruh kekuatannya akhirnya
pemuda itu berhasil juga menarik keluar benda tersebut. Begitu benda ini keluar
dari dalam lobang pasir maka memancarlah sinar merah yang menyilaukan mata!
Ternyata yang berada di tangan Mahesa Kelud saat itu adalah sebilah pedang
panjang yang dari ujungnya yang lancip sampai ke gagangnya yang berukir indah
berwarna memancarkan sinar merah menyilaukan.
"Sudah Mahesa...?"
terdengar Suara Tanpa Rupa bertanya.
"Sudah, guru."
"Apa kini yang tergenggam di
tanganmu?"
"Sebilah pedang mustika
berwarna merah," jawab Mahesa Kelud.
"Bagus! Kau memang berjodoh
untuk memiliki Pedang Dewa itu. Coba kau pegang pada bagian hulunya."
Mahesa pegang gagang pedang merah
itu dengan tangan kanannya. Mendadak terasa satu hawa panas mengalir ke
tangannya, terus menjalar ke seluruh tubuh mulai dari ujung kaki sampai ke
ujung rambut. Demikian panasnya hawa aneh ini sampai Mahesa hampir-hampir tak
sanggup memegang terus pedang sakti itu.
"Apa kau merasa adanya
aliran hawa panas menjalar ke seluruh tubuhmu Mahesa?" Suara Tanpa Rupa
bertanya.
"Benar guru. Saya hampir tak
sanggup bertahan. Panas sekali. Tangan saya seperti dipanggang,"
menjelaskan Mahesa Kelud.
"Jangan dilepas. Bertahan
terus. Sebentar lagi hawa panas akan berganti dengan hawa sejuk...."
Mendengar ucapan sang guru Mahesa
kuatkan diri, bertahan sampai sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Ternyata
betul. Perlahan-lahan hawa panas meredup lalu sirna. Kini terasa ada aliran
hawa sejuk masuk ke tubuhnya.
"Kurasa sekarang ada hawa
sejuk memasuki tubuhmu...."
"Benar guru," jawab
Mahesa. Saat itu dirasakannya secara aneh tubuhnya menjadi segar bugar.
Otot-otot dan urat-uratnya bergetar kencang. Satu kekuatan aneh yang dahsyat
kini mendekam dalam tubuhnya!
"Mahesa muridku,"
terdengar Suara Tanpa Rupa berucap. "Ketahuilah, aliran panas tadi masuk
ke tubuhmu untuk memusnahkan segala kekotoran jasmani dan rohani yang masih
bersarang dalam dirimu. Sesudah semua itu disingkirkan dan dirimu seolah
menjadi kosong maka masuklah aliran sejuk ke dalam tubuhmu. Ini adalah aliran
yang membawa kekuatan lahir batin serta kekuatan tenaga dalam yang sangat
ampuh. Mahesa sekarang coba masukkan ujung pedang ke dalam lobang sampai batas
gagangnya. Tunggu seketika kemudian tarik ke atas..."
Mahesa menurut. Ketika pedang itu
ditariknya kembali ternyata senjata ini sudah memiliki sarung merah berukir
indah!
"Nah, kau minggirlah Mahesa.
Wulan, kini giliranmu. Gali pasir merah itu selanjutnya sampai kau juga menemui
ujung runcing sebatang pedang merah."
Seperti Mahesa Kelud tadi maka
Wulansari melakukan apa yang diperintahkan gurunya. Belum lama menggali ditemui
ujung sebilah pedang lancip. Dengan kedua tangannya si gadis menarik senjata
itu ke atas. Ternyata pedang ini juga berwarna merah dan bentuknya tiada beda
dengan yang sudah menjadi milik Mahesa. Waktu dipegang pada gagangnya terasa
hawa panas mengalir yang disusul oleh hawa dingin sejuk. Kemudian Suara Tanpa
Rupa menyuruh Wulansari memasukkan ujung pedang ke dalam lubang dan ketika
dicabut senjata itu sudah bersarung.
"Murid-muridku,"
terdengar suara si orang sakti. "Keluarkan pedang yang tadi kalian bawa ke
sini dan masukkan ke dalam lubang lalu timbun dengan pasir merah itu. Senjata
itu tidak kalian pergunakan lagi dan biarlah dia hancur di dalam tanah...."
Mahesa mencabut pedang Naga
Kuning sedang Wulan mengeluarkan pedang putih warisan gurunya. Kedua senjata
itu satu demi satu dimasukkan ke dalam lubang lalu ditimbun dengan pasir dan
ditutup dengan batu karang licin seperti sediakala. Selesai mereka mengerjakan
itu maka terdengar pula suara sang guru.
"Murid-muridku, sekarang dua
pedang mustika sakti itu sudah berada di tangan kalian dan menjadi milik
kalian. Sepintas lalu kedua pedang itu bentuknya sama tiada beda. Tapi yang
menjadi milik Wulansari yaitu Pedang Dewi, adalah satu jari lebih pendek dari
milikmu, Mahesa. Dengan berlatih serta mempergunakan pedang itu, maka setingkat
demi setingkat kalian akan memiliki ilmu pedang yang hebat sampai akhirnya
mencapai tingkat teratas yaitu yang kunamakan Dewa-Dewi Pedang Delapan Penjuru
Angin. Ilmu pedang itu, bila kalian pergunakan bersama-sama menghadapi musuh,
niscaya sukar dicari tandingannya. Tapi bila dipergunakan sendiri-sendiri juga
tidak kalah hebatnya dan khusus untukmu, Wulan, kau boleh ganti nama ilmu pedang
itu menjadi Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin. Kemudian satu pantangan harus
kalian ingat baik-baik yaitu selama kalian belajar di sini sekali-sekali tidak
boleh meninggalkan gua!"
"Tapi guru..." kata
Wulansari sambil memandang berkeliling, "Jika kami tidak diperkenankan
keluar dari gua ini, bagaimana kami makan?"
"Wulan, ingatanmu ke perut
saja!" kata Suara Tanpa Rupa dengan tertawa bergelak. "Tapi muridku,
kalian tak usah khawatir. Joko Cilik akan datang ke sini setiap hari membawakan
buah-buahan segar untuk kalian.... Nah sekarang kau tak perlu bicara panjang
lebar lagi. Kalian berdirilah berhadap-hadapan untuk mulai melatih diri!"
Meskipun guru mereka itu tidak
kelihatan sama sekali tapi Mahesa dan Wulansari sama-sama menjura memberi
hormat lalu mencabut pedang masing-masing. Anehnya pedang itu kini terasa
sangat enteng. Dan bukan itu saja, bahkan tubuh serta tindakan kaki mereka juga
menjadi enteng pula. Dan ketika mereka sama-sama mengangkat pedang suatu
kekuatan gaib yang dahsyat seakan-akan membimbing tangan mereka. Sesaat
kemudian kedua murid Suara Tanpa Rupa itupun bertempurlah memulai latihan yang
pertama. Tubuh mereka berkelebat laksana bayang-bayang. Pedang mereka
mengeluarkan sinar merah bergulung-gulung dan menimbulkan angin keras sehingga
di dalam gua itu kedengarannya seperti ada ribuan tawon yang mendengung!
***
TIGA
TAK terasa lagi satu tahun
berlalu. Mahesa Kelud dan Wulansari sudah sama-sama menguasai ilmu pedang yang
hebat itu. Suatu hari masuklah Joko Cilik ke dalam gua. Saat itu Mahesa dan
Wulansari tengah berlatih ilmu pedang. Anak rusa itu masuk ke dalam dengan
berlari cepat tetapi kaki belakangnya sebelah kiri pincang. Kedua murid Suara
Tanpa Rupa menghentikan latihan mereka dan berlari mendapatkan Joko Cilik yang
duduk di atas batu karang licin dan menjilat-jilat kakinya yang pincang.
"Joko Cilik! Apa yang terjadi
dengan kau?!" seru Mahesa. Ketika diperhatikannya kaki kiri sebelah
belakang anak rusa itu ternyata terlepas persendian tulangnya.
"Pasti ada manusia-manusia
jahat mencederainya!" kata Wulansari. Gadis ini berlutut. Dengan
jari-jarinya yang halus dipertemukannya kembali persendian kaki yang terlepas
itu. Joko Cilik menjilat-jilat lengan Wulansari tanda mengucapkan rasa terima
kasihnya. Sementara itu Mahesa Kelud yang memang merasa yakin akan kata-kata
Wulansari tadi yaitu bahwa ada manusia yang mencelakai binatang peliharaan
gurunya segera meninggalkan ruangan empat persegi dan berlari ke mulut gua. Dia
lupa akan pantangan gurunya yaitu selama berada di dalam gua sekali-kali tidak
boleh keluar!
Dan benar saja. Begitu Mahesa
sampai di mulut gua maka kelihatanlah belasan manusia tengah menyibakkan semak
belukar lebat yang menutupi mulut gua. Orang-orang ini terkejutnya bukan main.
Salah seorang yang bertampang keren membuka mulutnya.
"Eh... eh... kita mencari
anak rusa tahu-tahu yang muncul manusia. Lucu! Hai orang muda, kau manusia
sungguh atau jin siluman?!"
Orang ini adalah Braja Kunto,
kepala pasukan pengawal Kadipaten Madiun dan dia adalah anak murid Waranganaya
Toteng, si resi jahat yang dulu bersama Lima Brahmana pernah berurusan dengan
Mahesa serta Wulansari sampai kedua anak muda tersebut yang masa itu masih
belum mempunyai ilmu yang cukup tinggi untuk menghadapi mereka terpaksa lari
menyelamatkan diri. Mahesa sendiri tidak tahu kalau dia berhadapan dengan murid
musuh besarnya. Dia cuma tahu dari pakaian orang-orang yang dihadapan itu bahwa
mereka adalah pengawal-pengawal Kadipaten. "Setan busuk kesasar!"
semprot Mahesa Kelud pada Braja Kunto. "Kalau bicara jangan seenak
perutmu! Kalian datang ke sini mau apa?"
Dengan sikap gagah Braja Kunto
lipatkan tangan di muka dada dan renggangkan kaki. "Siluman bermulut
besar, kami datang ke sini untuk mencari seekor anak rusa buruan! Tapi kalau
anak rusa itu sudah lari, kami rasa kau pun cukup enak dagingnya untuk
dipanggang!"
"Manusia rendah! Jadi kalian
yang mencelakai anak rusa itu?!"
Saat itu Wulansari sudah berada
pula di mulut gua. Dia terkejut melihat Mahesa Kelud tengah berhadap-hadapan
dengan belasan orang berpakaian prajurit. Di lain pihak, Braja Kunto dan
kawan-kawannya tidak pula kurang terkejutnya ketika melihat ada seorang gadis
jelita berdiri dihadapan mereka. Kunto mengulum senyum. "Tak sangka ada
gadis cantik diam di gua ini! Sayang sekali, mengapa tidak tinggal di kota? Aku
bersedia memberikan satu kamar dengan tempat tidur yang empuk dalam rumahku
untukmu gadis manis!"
"Manusia rendah! Jangan kau
bicara sembarangan terhadap adikku!" memperingatkan Mahesa Kelud. Sebegitu
jauh pemuda ini masih bisa menahan kesabarannya.
"Ho... ho! Jadi gadis ini
adikmu? Bagus sekali kalau begitu sehingga aku tak perlu susah-susah mencari
walinya untuk mengajukan lamaran!" Semua orang tertawa kecuali Mahesa dan
Wulan. Si gadis sendiri menjadi merah mukanya ketika mendengar kata-kata Braja
Kunto itu.
"Manusia tidak tahu
peradatan, berlalulah dari sini sebelum aku naik darah!" memperingatkan
Mahesa Kelud.
"He... he, kunyuk ini
terlalu banyak mulut!
Kau masuklah kembali ke dalam gua
dan cuci kaki, tidur!" kata Braja Kunto mengejek. Bersamaan itu tangan
kirinya dipakai mendorong Mahesa Kelud ke dalam gua. Dia mendorong sambil
kerahkan tenaga dalam yang tinggi, maksudnya dengan sekali dorong saja pemuda
itu akan mental terguling masuk ke dalam gua. Tapi alangkah terkejutnya murid
Waranganaya Toteng ini, ketika dengan kecepatan luar biasa Mahesa Kelud berkelit
ke samping dan mengirimkan jotosan yang keras ke bawah ketiak laki-laki itu.
Cepat-cepat Braja Kunto tarik pulang tangannya. Dari angin pukulan lawan,
kepala pasukan Kadipaten ini segera maklum bahwa lawannya memiliki tenaga dalam
yang jauh lebih tinggi dari padanya dan yang tak akan mungkin bisa dihadapinya
dengan seorang diri. Maka berteriaklah anak murid Waranganaya Toteng ini.
"Kawan-kawan! Keroyok!"
Serentak dengan itu belasan
pengawal-pengawal Kadipaten segera menyerbu kedua murid Suara Tanpa Rupa itu.
Braja Kunto dan anak-anak buahnya terlalu sombong dan menyangka bahwa hanya
Mahesa Kelud sendirilah yang berilmu tinggi, tapi tak dinyana tak diduga ketika
melihat Wulansari berkelebat cepat dan dalam satu gebrakan saja berhasil
membikin mental roboh seorang prajurit, mereka menjadi hati-hati dan segera
mengeluarkan senjata. Mahesa Kelud setahun yang lalu tidak sama dengan Mahesa
Kelud sesudah digembleng oleh si orang tua sakti tanpa nama. Dengan satu
bentakan keras dia kirimkan sebuah jotosan yang tak terelakkan ke dada Braja
Kunto. Kepala pasukan Kadipaten ini menjerit keras dan terlempar jauh. Dadanya
sesak. Cepat-cepat dia alirkan tenaga dalamnya ke bagian yang terpukul.
Prajurit-prajurit anak buahnya menjadi panik dan ngeri. Golok-golok maut di
tangan mereka menderu kian kemari mencari sasaran di tubuh kedua lawan tapi tak
satupun yang berhasil. Sementara itu Mahesa dan Wulansari berhasil membuat dua
orang pengeroyoknya menggeletak di tanah bahkan si gadis yang meskipun saat itu
membawa pedang mustika di punggungnya tapi belum mau mempergunakannya berhasil
merampas pedang salah satu pengeroyok. Dengan pedang di tangan maka mengamuklah
gadis ini. Nyali Braja Kunto menjadi lumer. Menghadapi lawan yang bertangan
kosong dia dan kawan-kawan sudah dibikin sibuk serta panik bahkan telah banyak
jatuh korban, apalagi kini melihat Wulansari mempergunakan pedang pula! Gadis
ini tidak tanggung-tanggung. Meskipun pedangnya bukan pedang mustika namun
waktu dia mengeluarkan ilmu pedang yang diajarkan oleh gurunya si Suara Tanpa
Rupa maka berpekikanlah beberapa orang pengeroyoknya yang kena tersambar
pedang!
Untuk memberi aba-aba lari. Braja
Kunto merasa malu terhadap anak buahnya sendiri. Apalagi mengingat dia adalah
anak murid seorang resi berilmu tinggi dan ditakuti! Namun untuk melawan terus
kedua pendekar muda yang berkepandaian jauh lebih tinggi itu, dia sudah tidak
punya nyali tak punya harapan. Akhirnya dia mendapat akal juga. Dia berseru:
"Tahan!" dan bersamaan itu melompat keluar dari kalangan pertempuran,
anak-anak buahnya mengikuti. Mahesa dan Wulansari yang tahu tata cara
persilatan segera pula menghentikan gerakan mereka tapi mereka menanti dengan
waspada. Mereka maklum bahwa bangsat-bangsat Kadipaten itu punya seribu satu
macam akal dan tipuan yang busuk!
Braja Kunto maju satu langkah ke
hadapan Mahesa Kelud dan menjura hormat.
"Saudara-saudara yang
gagah," katanya,
"Harap maafkan kami. Terus
terang kami akui kesalahan dan tidak tahu diri sampai berani turun tangan
terhadap saudara-saudara yang gagah. Sekali lagi maaf. Dan bila saudara-saudara
tidak keberatan sudilah memberitahukan nama saudara-saudara berdua kepada
kami."
Wulansari menyeringai mengejek.
"Huh, tidak perlu kami kasih tahu nama pada manusia-manusia macam kalian!
Berlalulah cepat dari hadapanku!"
Braja Kunto geramnya bukan main.
Tapi dia tidak berani bertindak gegabah lagi. Dia memberi isyarat pada
anak-anak buahnya. Dengan membawa kawan-kawan mereka yang luka-luka parah maka
berlalulah pasukan pengawal Kadipaten itu di bawah pimpinan Braja Kunto. Mahesa
memegang lengan Wulansari dan kedua orang itu kemudian masuk ke dalam gua
kembali. Begitu mereka sampai di ruang batu karang empat persegi maka
terdengarlah suara guru mereka menggema.
"Sayang... sayang sekali...
sayang sekali"
Mahesa Kelud dan Wulansari saling
pandang tak mengerti. Keduanya masih belum sadar kalau mereka sudah melanggar
pantangan sang guru. "Murid-muridku, sayang sekali.... Kalian baru satu
tahun berada di sini tapi kalian sudah melanggar laranganku, padahal ilmu
pedang kalian belum mencapai tingkat kesempurnaan, padahal ilmu dalam dan batin
kalian belum mencapai tingkat teratas! Sayang... sayang sekali murid-muridku...."
Terkejutlah kedua orang itu.
Mereka segera menjura. "Guru!" seru Mahesa. "Harap maafkan kami
karena telah keluar dari gua dan melanggar larangan guru! Sebenarnya kami tidak
punya maksud demikian. Tapi Joko Cilik dikejar-kejar bahkan dicelakai oleh
bangsat-bangsat Kadipaten!
Kami tak senang kalau tidak turun
tangan...!"
"Itu bukan alasan.... Itu
bukan alasan murid-muridku. Kenyataannya kalian sudah melanggar
larangan...."
"Guru, ampunilah kesalahan
kami," kata Wulansari seraya tundukkan kepala dengan air mata
berlinang-linang.
"Tidak ada kesalahan yang
harus diampuni, muridku," jawab Suara Tanpa Rupa. "Yang ada hanyalah
larangan yang telah dilanggar. Manusia luaran telah melihat kalian berdua. Dan
dalam tempo yang singkat puluhan kaki-kaki tangan Kadipaten berilmu tinggi akan
datang ke sini mencari kalian. Karena itu sebelum terlambat kalian pergilah
dari sini...."
"Guru," kata Mahesa,
"demi kesalahan yang kami telah buat, kami berani mengadu nyawa untuk
menghadapi mereka."
"Tidak Mahesa, ini belum
lagi saatnya. Kalau kataku kalian harus pergi, kalian lakukan! Kau Wulansari,
pergilah ke timur dan kau Mahesa, pergilah ke barat. Satu tahun kemudian baru
kalian datang lagi ke sini. Dan selama waktu itu kalian sekali-kali jangan bikin
urusan dengan Adipati Suto Nyamat ataupun kaki-kaki tangannya. Jauhi mereka
untuk sementara."
"Tapi guru, mereka adalah
musuh besar kami," kata Wulansari
"Tak perduli siapapun mereka
adanya!" jawab Suara Tanpa Rupa. Mahesa dan Wulansari segera maklum bahwa
guru mereka sangat kecewa karena mereka telah melanggar larangan.
"Guru," kata Mahesa, "sebelum pergi murid inginkan beberapa
penjelasan. Mudah-mudahan guru sudi menerangkannya. Apakah guru pernah kenal
atau dengar tentang manusia bernama Simo Gembong...?"
"Aku tidak suruh kau
bertanya, Mahesa. Tapi suruh kau dan Wulansari segera berangkat dari sini.
Pertanyaanmu lain kali kujawab! Nah, pergilah...!"
"Harap maafkan, guru. Kami
pergi sekarang," kata Mahesa. Kedua murid Suara Tanpa Rupa itu menjura
sekali lagi, menganggukkan kepala pada Joko Cilik yang berbaring di atas batu
karang licin lalu keluar. Sampai di luar gua, kedua orang itu berdiri
berhadap-hadapan dan untuk beberapa lamanya tidak bisa berkata apa-apa. Mahesa
melihat bagaimana kedua mata Wulansari berkaca-kaca. Pemuda itu maju satu
langkah dan memegang bahu si gadis. "Wulan, tak usah menangis. Mari sama
kita tabahkan hati dan kuatkan jiwa. Ini adalah kesalahan yang kita harus
tanggung. Kau dalam pengembaraan hati-hatilah. Kalau kau sampai ke sini lebih
dahulu nantikan aku...."
Butiran-butiran air mata jatuh
berderai membasahi pipi merah Wulansari. Gadis ini memeluk tubuh Mahesa dan
menyandarkan kepalanya ke dada si pemuda yang bidang. "Tapi
Mahesa..." katanya perlahan dan sayu, "satu tahun itu lama sekali.
Aku tak sanggup berpisah sekian lama denganmu. Aku... aku mencintaimu,
Mahesa...."
Berdebar dada si pemuda ketika
mendengar pengakuan terus terang dari gadis yang dipeluknya itu. Selama
berhubungan mereka memang sudah sama-sama merasakan satu perasaan mesra, yang
tak sanggup mereka utarakan satu sama lain. Tapi di saat perpisahan itu, semua
barulah diucapkan, diiringi dengan seseduan serta air mata.
"Tidak, Wulan... satu tahun
tidak lama. Kau harus sanggup. Satu tahun berpisah untuk bertemu lagi di sini.
Aku juga mencintaimu, Wulan..." bisik Mahesa Kelud. Gadis itu menengadah.
Air matanya berderaian. Mahesa dengan hati penuh haru menyeka butiran-butiran
air mata yang membasahi pipi Wulansari dan mencium kedua matanya.
"Mahesa, benarkah...?
Benarkah kau juga mencintaiku...?"
"Ya, Wulan. Aku sangat
mencintaimu. Sudah lama ini kurasakan tapi baru sekarang, disaat berpisah ini
kusampaikan padamu. Semoga cinta kita masing-masing memberikan ketabahan dalam
pengembaraan kita selama satu tahun mendatang...."
Mendengar itu Wulansari memeluk
tubuh Mahesa Kelud erat-erat, seakan-akan tak hendak dilepaskannya lagi pemuda
itu. Mahesa mencium rambut si gadis berulang-ulang dan kemesraan itu
dilanjutkan dengan sepasang bibir yang saling kecup penuh kehangatan.
"Wulan...."
"Ya, Mahesa...."
"Aku harus pergi sekarang
adikku...." Wulansari melepaskan pelukannya. "Kuatkan hatimu, Wulan.
Sampai bertemu kekasih...."
Mahesa memutar tubuhnya, dan
sekali dia berkelebat maka dia sudah berada jauh. Wulansari membetulkan letak
rambutnya. Dipandanginya tubuh orang yang dikasihinya itu di kejauhan untuk
penghabisan kalinya, lalu dengan penuh ketabahan dia berkelebat pula meninggalkan
tempat itu.
***
EMPAT
DI ANTARA sekian banyaknya daerah
di kadipatenan yang berada di bawah kuasa Raja Pajang, salah satu di antaranya
ialah Magetan. Magetan hanya sebuah kota kecil, tapi apa yang membuat kota
kecil ini lebih menonjol dan terkenal namanya ialah karena daerahnya yang
subur, penduduknya yang rajin serta ramah baik budi dan hasil alamnya yang
tumpah ruah. Boleh dikatakan tidak ada seorang petani miskin pun di sana.
Tukang minta-minta jarang terlihat, kalau pun ada maka biasanya adalah
pendatang dari daerah-daerah lain di sekitar Magetan. Hasil upeti yang diterima
Raja Pajang setahun sekali dari Magetan, jika dibandingkan dengan tiga daerah
kadipaten lainnya yang dijumlahkan sekaligus maka masih lebih tinggi dan lebih
banyak upeti dari Magetan, demikianlah kayanya daerah itu. Kemudian ada pula
hal lain yang menggembirakan. Yaitu bahwa Bupati Magetan yang bernama Lor
Bentulan adalah seorang Bupati yang cakap, baik serta ramah. Seluruh penduduk
Magetan suka pada Bupati ini. Justru kejujuran dan bimbingan yang tak
segan-segan diberikan oleh Lor Bentulanlah yang menambah tumpah ruahnya segala
hasil kekayaan yang ada di Magetan. Dan bukan rahasia lagi kalau banyak
Bupati-Bupati lain yang diam-diam merasa iri terhadap kecakapan Lor Bentulan ini,
padahal kalau dilihat kepada umur, Lor Bentulan belum lagi mencapai empat puluh
tahun tapi sudah pandai mengatur demikian rupa sehingga tingkat kehidupan
rakyat yang berada di bawahnya menjadi tinggi, rakyat hidup aman makmur
tenteram sejahtera.
Suatu malam yang gelap tanpa
bulan tanpa bintang, di ruang tengah Kadipaten yang besar dan terang duduklah
Adipati Lor Bentulan bersama isteri dan anak tunggal mereka, seorang gadis
cilik berumur sembilan tahun. Mereka tengah asyik bercakap-cakap ketika tiba-tiba
saja ke ruangan itu melompat enam orang berewokan, bertampang buas. Yang lima,
bertubuh besar-besar dan tegap, mereka segera mengurung ketiga beranak itu.
Salah satu diantaranya dengan kecepatan luar biasa tahu-tahu sudah melintangkan
bagian goloknya yang tajam ke batang leher Adipati Lor Bentulan! Isteri sang
Adipati yang hendak berteriak segera ditekap mulutnya demikian juga anak
tunggalnya.
Orang yang keenam berdiri dekat
pintu. Tangan kanannya menekan hulu golok panjang yang tersisip di pinggang. Tangan
kirinya ternyata buntung. Berbeda dengan lima orang lainnya maka yang satu ini
bertubuh pendek kate serta botak. Tapi melihat kepada sikapnya berdiri di pintu
itu maka tahulah kita bahwa dialah yang menjadi pemimpin dari kelima
manusia-manusia tinggi besar gondrong dan berewokan. Kemudian melihat pula
kepada tampang-tampang mereka dapat diduga bahwa mereka bukan orang baik-baik
dan tentu pula datang bukan dengan maksud baik!
Orang yang bertangan buntung,
berkepala botak serta berbadan pendek kate maju ke muka, ke hadapan Adipati Lor
Bentulan. Di bibirnya yang tebal tersungging satu seringai mengejek. Manusia
kate ini tak lain adalah Warok Kate, kepala rampok dari bukit Jatiluwak yang
telah membunuh si Cakar Setan yaitu guru Wulansari dalam memperebutkan surat
rahasia. Meskipun tahu bahwa dia tengah berhadapan dengan satu gerombolan
orang-orang jahat, namun dengan menguasai dirinya sedapat mungkin, Lor Bentulan
bertanya tenang: "Saudara-saudara, kalian siapa dan punya maksud apa
datang ke tempatku ini?"
Seringai di mulut Warok Kate
semakin memburuk. "Adipati Lor Bentulan, aku senang melihat kau masih mau
bicara pakai peradatan dan juga senang karena kau ingin tahu siapa kami adanya.
Aku Warok Kate dari bukit Jatiluwak...." Kepala rampok menyeringai kembali
ketika melihat bagaimana air muka Lor Bentulan menjadi berubah terkejut ketika
mendengar namanya. Dia menggoyangkan kepalanya kepada kelima orang di
sekelilingnya dan berkata: "Mereka adalah anak-anak buahku yang juga
menjadi murid-muridku."
"Kalian datang untuk maksud
apa...?" tanya Lor Bentulan meskipun sembilan di antara sepuluh dia sudah
yakin apa tujuan keenam orang itu datang ke tempatnya.
"Sebelum aku beri tahu
maksud kedatangan kami terlebih dahulu kau harus ingat satu hal baik-baik,
Adipati. Jika kau berani membantah atau menolak segala apa yang aku kata dan
perintahkan, ketahuilah bahwa aku Warok Kate, kepala rampok dari Jatiluwak
tidak segan-segan untuk pisahkan kepalamu dengan badan!"
Menggigillah tubuh Lor Bentulan
ketika mendengar itu, isteri serta anaknya terlebih lagi.
"Kalau kalian datang untuk
merampok segala uang dan harta kekayaan yang ada silahkan. Ambil semua yang
ada, aku tidak akan melawan! Tapi kalian harus ingat pula, sekali aku berteriak
memanggil pengawal, kalian semua akan tertangkap hidup-hidup atau mati konyol
di ruangan ini!"
Warok Kate tertawa bergelak.
"Berteriaklah sampai kau muntah darah! Pasti tak ada satu orang pengawalmu
pun yang muncul. Anak-anak buahku sudah membereskan mereka terlebih
dahulu!"
Terkejutlah Lor Bentulan. Mukanya
menjadi pucat pasi. Dia tak bisa berkata apa-apa. Warok Kate meletakkan tangan
kanannya di atas bahu kiri Adipati itu sambil kerahkan tenaga dalam. Lor
Bentulan merasakan betapa bahunya seperti ditekan oleh satu karung berat ratusan
kati dan tubuhnya menjadi terhuyung. Sebagai seorang bangsawan yang baik serta
jujur, Lor Bentulan tidak pernah belajar ilmu silat atau pun ilmu-ilmu
kebathinan. Selama dia hidup baik dan jujur serta ramah kepada semua orang, dia
merasa dirinya aman, tak punya musuh, sehingga dia merasa pula tidak perlu
menuntut atau mempelajari segala macam ilmu kepandaian. Menghadapi kejadian
saat itu, diam-diam Bupati Magetan ini menyesali diri.
"Warok Kate, kalau kau dan
anak buahmu hendak merampok, lakukanlah. Sesudah itu berlalu dengan cepat.
Jangan ganggu kami lebih lama..." kata Lor Bentulan.
Warok Kate melepaskan
pegangannya. Tangan kanannya kembali menekan hulu golok.
"Lor Bentulan dengarlah! Aku
datang ke sini bukan untuk merampok...!"
Bupati itu menjadi heran.
"Lalu...?" tanyanya sambil mengerling kepada isteri dan anaknya.
Hatinya menjadi gentar ketika terpikir olehnya mungkin rampok-rampok itu datang
untuk menculik isterinya atau anaknya lalu memeras.
"Kami datang untuk membuat
perjanjian dengan kau, begitulah secara halusnya! Atau kalau kau tidak mengerti
bahasa halus baiklah kujelaskan. Mulai saat ini ke atas, kau harus turut segala
ketentuan yang aku perintahkan, kau harus lakukan demi nyawamu dan nyawa anak
isterimu...."
"Ketentuan atau perintah
apakah yang aku harus jalankan?" tanya Lor Bentulan.
"Daerah Magetan ini daerah
yang kaya raya, bukan?"
Lor Bentulan tidak mengerti apa
maksud pertanyaan ini. Tapi dia mengangguk perlahan.
"Bagus," ujar Warok
Kate. "Petani-petani dan semua penduduk di sini juga semua orang-orang
kaya, bukan?"
Lor Bentulan mengangguk lagi.
Warok Kate tertawa senang. "Nah, sekarang kau dengar baik-baik. Mulai
besok terhadap semua penduduk di sini, terutama petani-petani serta
pedagang-pedagang kaya kau harus tarik pajak penghasilan sepuluh kali lipat
dari yang sudah-sudah! Kau dengar...?"
"Warok Kate...?"
"Sialan!" maki kepala
rampok berkepala botak itu. "Aku tanya kau dengar apa tidak malahan bicara
seenaknya. Kau dengar...?"
"Dengar. Tapi...."
"Tapi apa?!" bentak
Warok Kate.
"Tapi ini adalah pemerasan,
aku...."
"Tak perduli pemerasan atau
apapun yang kau namakan. Aku ingin tahu, kau mau laksanakan perintahku itu atau
tidak?"
"Tidak mungkin Warok. Tidak
mungkin. Ini adalah pemerasan dan melanggar aturan pajak kerajaan yang sudah
ditentukan Sri Baginda...."
"Persetan dengan peraturan
Sri Baginda. Sekalipun setan yang bikin peraturan harus tunduk pada
peraturanku! Mengerti?!"
"Aku mengerti Warok, tapi
tak mungkin aku laksanakan. Tak bisa...."
"Apa yang tidak bisa?!"
"Semua orang, seluruh rakyat
Magetan ini akan mencap aku sebagai Bupati tukang peras. Bupati jahat dan tidak
jujur! Daripada dicap orang macam begituan lebih baik mati!"
"Hem...." gumam Warok
Kate. "Jadi kau tidak takut mati, Lor Bentulan?!"
"Tidak, bunuhlah!"
Warok Kate menyeringai. Golok
Besar di tangan anak buahnya yang saat itu masih melintang di leher Lor
Bentulan ditekannya dengan tangan kanannya sedikit. Bagian yang tajam dari
senjata ini mengiris kulit leher sang Adipati, membuat dia meringis kesakitan.
Tapi dengan tabah dia berkata: "Teruskan Warok aku sudah bilang aku tidak
takut mati!"
Kepala rampok itu
mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berkata: "Kau memang mungkin tidak
takut mati, Lor Bentulan. Tapi kami punya cara lain untuk memaksamu tunduk!
Coba kau lihat pertunjukan ini sebentar...."
Warok Kate melangkah ke hadapan
anak perempuan Lor Bentulan. Dijambaknya rambut anak itu lalu ditamparnya.
Gadis cilik umur sembilan tahun ini tentu saja menjerit kesakitan dan menangis.
Melihat anaknya diperlakukan demikian, naiklah darah Lor Bentulan.
Dikibaskannya tangan anak buah Warok Kate yang memegang golok. Dia melompat ke
muka: "Rampok keparat! Jangan sakiti anakku!"
Tapi lompatan Adipati ini baru
setengah saja ketika anak buah Warok Kate yang tadi tangannya dikibaskan
menghantam dadanya dengan satu jotosan keras. Bupati Magetan itu terbanting
kembali ke kursinya. Dadanya sakit dan napasnya sesak. "Sekali lagi kau
berani memaki pemimpin kami, kucincang anak dan isterimu di depan kau punya
mata!"
Mendidihlah amarah Lor Bentulan.
Tapi apa daya, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Baginya untuk mati di tangan
rampok-rampok itu bukan apa-apa, tapi kalau anak isterinya harus pula menjadi
korban, dia harus berpikir dua kali!
"Bagaimana Adipati, masih
coba hendak melawan?" tanya Warok Kate mengejek. Sang Adipati tidak
menyahut. "Nah, kalau kau tak ingin anak isterimu mampus, sebaiknya dengar
kata-kataku. Mulai besok kau harus ambil pajak sepuluh kali lipat atas semua
penduduk di daerah ini! Sesudah hasilnya terkumpul, kau boleh sisihkan bagian
yang harus kau serahkan pada raja sedang lebihnya, tidak kurang satu peser pun
harus kau berikan kepada kami! Dengar?"
Lor Bentulan mengangguk. Kini dia
maklum, kalau Warok Kate dan anak-anak buahnya datang untuk merampok, harta
kekayaannya yang banyak memang masih belum berarti apa-apa dibandingkan dengan
hasil pemerasan pajak yang diperintahkannya! Bupati ini mengutuk dalam hati.
"Dan pajak itu.
Adipati..." terdengar kembali suara Warok Kate, "Kau harus pungut dua
kali dalam satu bulan!"
"Warok Kate, kau
keterlaluan! Untuk pajak yang sebesar itu satu kali dalam sebulan belum tentu
rakyat Magetan sanggup membayarnya, apalagi sampai dua kali!" kata Lor
Bentulan.
"Aku tidak tanyakan sanggup
atau tidaknya, Adipati! Tapi aku perintahkan kau untuk melaksanakannya!"
"Gila!"
***
LIMA
RAMPOK yang memegang golok hendak
meninju Adipati itu dengan tangan kirinya tapi dicegah oleh Warok Kate. Kepala
rampok ini membuka mulut kembali. "Sebagai jaminan bahwa kau akan
mengikuti perintahku, kelima anak buahku ini kutempatkan di sini! Kepada setiap
orang yang bertanya kau harus terangkan bahwa mereka adalah pengawal-pengawal
tambahan yang didatangkan dari kotaraja! Dan untuk jaminan bahwa kau tidak akan
melaporkan hal ini kepada orang-orang di kotaraja, maka anak perempuanmu kubawa
ke bukit Jatiluwak!"
"Tidak bisa, Warok! Anak itu
harus tetap berada di sini bersamaku!" tutur Lor Bentulan.
"Tidak ada satu orang pun
boleh membantah kehendakku, Adipati. Jika kau ingin anakmu selamat, lakukan apa
yang kukatakan. Dan selama kau patuh serta tunduk kepada kami tak usah khawatir
tentang dia! Pungut pajak itu mulai besok. Hasil yang pertama
selambat-lambatnya harus sudah kuterima minggu depan! Ada yang kurang jelas
bagimu?"
Lor Bentulan tidak bisa menjawab
saking cemas dan geram. Cemas terhadap keselamatan anak perempuannya dan geram
terhadap perbuatan terkutuk rampok-rampok bejat itu. Dengan satu gerakan cepat
kemudian Warok Kate tahu-tahu telah menotok jalan darah di leher anak perempuan
Lor Bentulan lalu anak yang sudah kejang tak sadarkan diri itu diletakkannya di
bahu kirinya. Dia memandang berkeliling pada kelima anak buahnya dan berkata:
"Kerjakan tugasmu dengan baik. Siapa saja yang bertindak mencurigakan atau
berani berlaku gegabah, jangan ragu-ragu untuk menggorok batang lehernya!"
Kelima anak buah Warok Kate
menjura dan kepala rampok itu kemudian melompat lewat jendela, menghilang dalam
kegelapan malam. Tak lama sesudah Warok Kate pergi, lima orang prajurit
pengawal Kadipaten segera siuman dari pingsan masing-masing. Mereka sama
terkejut ketika mendapati diri mereka terbujur di halaman muka Kadipaten.
Mereka kemudian ingat bahwa malam itu waktu mengadakan pengawalan tahu-tahu datanglah
lima orang bertubuh besar menyerang mereka. Dalam beberapa gebrakan saja mereka
semua kena dirobohkan! Kelima pengawal itu segera berdiri dan masuk ke dalam
gedung Kadipaten karena mereka khawatir kalau terjadi apa-apa. Betapa
terkejutnya para pengawal ini ketika melihat di ruangan tengah kadipaten lima
orang berbadan besar, berewokan dan bermuka kejam buas yang berdiri dalam satu
lingkaran mengurung Adipati Lor Bentulan.
"Manusia-manusia siluman
kotor!" bentak salah seorang dari mereka yang menjadi kepala pengawal,
"Kalian bikin apa di sini?!"
"Anjing Kadipaten, jangan
bicara besar!
Kurobek mulutmu nanti!"
balas membentak anak buah Warok Kate. Kepala pengawal menjadi geram dihinakan
seperti itu. Dia memberi isyarat pada keempat kawannya. Kelimanya kemudian
segera menyerbu. Terjadilah pertempuran seru. Meskipun pengawal-pengawal
tersebut sama memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, terutama kepala pengawal,
tapi menghadapi murid-murid Warok Kate mereka tidak bisa berkutik. Mereka hanya
bisa bertahan sepuluh jurus. Sesudah itu satu demi satu mereka roboh ke lantai
menjadi korban sambaran golok perampok-perampok. Ketika korban ketiga jatuh
maka berteriaklah Lor Bentulan, "Tahan!" Tadinya dia sengaja berdiam
diri karena mengharap bahwa para pengawalnya akan sanggup menghajar
manusia-manusia jahat itu tapi kenyataannya adalah kebalikannya.
Dua orang pengawal yang masih
hidup yang memang sudah tidak punya nyali untuk meneruskan perkelahian itu
karena tahu bahwa lawan-lawan mereka lebih tinggi kepandaiannya, ditambah lagi
saat itu mereka hanya tinggal berdua, segera melompat mundur.
"Adipati, suruh
pengawal-pengawalmu yang masih hidup itu keluar dari sini..." perintah
seorang rampok.
Lor Bentulan segera memberi
isyarat pada kedua pengawal. "Tunggu dulu!" kata seorang rampok yang
lain. "Seret ketiga mayat kawan-kawanmu itu keluar dari sini!" Maka
mayat tiga pengawal yang telah menjadi korban itu pun dibawa keluar.
Keesokan harinya, pagi-pagi,
Adipati Lor Bentulan diiringi oleh lima anak buah Warok Kate yang saat itu
memakai pakaian-pakaian keprajuritan pengawal Kadipaten menuju ke alun-alun
Magetan. Di sini, karena sebelumnya sudah disiarkan dari mulut ke mulut, maka
berkumpullah penduduk Magetan, terutama kaum tani dan pedagang. Sebelumnya
memang rakyat Magetan sudah sering disuruh berkumpul di alun-alun untuk
mendengarkan pengumuman-pengumuman atau penerangan-penerangan. Karenanya tak
ada terpikir di dalam benak mereka bahwa mereka akan mendengar kabar yang
mengejutkan!
Mula-mula alun-alun yang penuh
oleh manusia itu menjadi sunyi senyap ketika Lor Bentulan menjelaskan bahwa
mulai hari itu akan ditarik pajak yang besarnya sepuluh kali lipat dari yang
sebelumnya dan harus dibayar dua kali dalam sebulan! Tapi sesaat kemudian maka
ramailah alun-alun Magetan oleh ratusan suara manusia. Semua orang menjadi
terkejut dan tidak percaya akan putusan itu. Setengahnya menggerutu memaki
bahkan ada pula yang mulai mencap bahwa Adipati Lor Bentulan seorang pemimpin
pemeras rakyat! Di kalangan rakyat, walaupun berbagai tanggapan mereka, namun
satu hal yang tidak bisa mereka mengerti ialah bagaimana dan mengapa sampai
Adipati Lor Bentulan yang selama ini merupakan seorang yang jujur dan baik
serta bijaksana bahkan tak jarang turun tangan untuk membantu rakyat kecil kini
mengambil tindakan sewenang-wenang, menindas rakyat dengan pajak yang begitu
tinggi?! Namun terpikir pula oleh rakyat banyak itu bahwa di dunia ini segala
sesuatu tidak bersifat kekal, semuanya suatu waktu pasti mengalami perubahan.
Demikian juga dengan sifat diri manusia, seorang pemimpin! Kalau dulu seorang
pemimpin berhati jujur, maka suatu saat bisa berubah menjadi jahat busuk, kalau
dulu seorang pemimpin baik hati dan pemurah, maka suatu ketika bisa menjadi
penindas dan pemeras rakyat.
Empat bulan kemudian, seperti
siang dengan malam, seperti hitam di atas putih, terbalik seratus delapan puluh
derajat demikianlah terjadinya perbedaan di daerah Magetan. Petani-petani kaya
jatuh miskin. Jangankan untuk menjual hasil sawah ladang mereka ke pasar, untuk
dimakan sendiripun sudah tidak mencukupi. Pedagang-pedagang menutup kedai
mereka karena tak ada lagi barang yang bisa dijual. Rakyat yang dulu hidup
sederhana dan bahagia kini menjadi sangat tertekan. Sawah ladang berubah menjadi
padang rumput dan alang-alang. Pasar menjadi sunyi senyap. Magetan kini
diliputi oleh seribu satu macam kemiskinan. Kemiskinan lahir dan kemiskinan
bathin! Ini disebabkan tak lain adalah akibat penarikan pajak yang tinggi dan
sewenang-wenang oleh Adipati Lor Bentulan. Dan selama itu tidak satu orang pun
yang tahu kalau sang Adipati melakukan itu semua adalah karena terpaksa,
dibawah ancaman golok maut kelima anak buah Warok Kate. Rakyat cuma tahu bahwa
Lor Bentulan kini adalah seorang Adipati jahat, pemimpin busuk tukang tindas
rakyat! Semua itu diterima Lor Bentulan dengan hati hancur. Kalau tidak
kurang-kurang iman mungkin dia dan isterinya sudah menjadi gila memikirkan
semua persoalan, terutama keselamatan anak mereka yang dibawa oleh Warok Kate.
Keadaan tubuh kedua suami isteri
itu semakin hari semakin kurus dan kuyu. Lor Bentulan kalau tidak perlu tak
pernah keluar dari gedung Kadipaten. Bagaimana dia bisa melihat nasib kehidupan
rakyatnya yang kini sangat menderita sengsara itu. Bahkan tidak jarang kalau
dia berpapasan di tengah jalan dengan seorang penduduk, penduduk tersebut
memalingkan kepala membuang muka! Dan ini masih untung, karena ada pula yang
sampai tidak segan-segan untuk meludah di hadapannya. Ya, seluruh isi Magetan
sudah menjadi sangat benci pada Adipati yang dulu mereka hormati dan mereka
sanjung-sanjung itu!
***
ENAM
SEKARANG marilah kita ikuti
perjalanan Wulansari setelah dilepas oleh gurunya si Suara Tanpa Rupa karena
gadis ini bersama saudara seperguruannya yaitu Mahesa Kelud telah melanggar
pantangan. Karena Magetan adalah kota yang terdekat maka kota ini menjadi
tujuannya pertama. Sekeluarnya dia dari hutan belukar yang lebat maka di
hadapannya terbentang sawah-sawah luas tapi yang kini hanya merupakan
dataran-dataran kering bertanah keras retak-retak serta di sana sini ditumbuhi
rumput dan alang-alang liar. Gadis ini menjadi heran. Saat itu adalah menjelang
musim hujan dimana seharusnya para petani mulai menyebar bibit menanam padi
baru. Dan ketika dia memasuki pinggiran kota, dia jadi heran lagi karena ladang
dan kebun-kebun yang mustinya sarat dengan sayur mayur kini tertutup oleh semak
belukar.
"Apakah orang-orang di sini
pemalas semua...?" pikir Wulansari sambil terus berlari menuju ke pusat
kota. Di sepanjang jalan dilihatnya gubuk-gubuk reyot beratap rumbia. Untuk
tidak menarik perhatian orang-orang, gadis ini menghentikan larinya dan
berjalan biasa. Setiap orang yang ditemuinya laki perempuan dan anak-anak,
rata-rata bertubuh kurus berparas cekung memucat. Orang-orang itu memandang
memperhatikannya dengan sepasang mata mereka yang kuyu tiada bercahaya.
Wulan melewati sebuah tanah
lapang yang di tepi-tepinya terdapat kedai-kedai buruk.
"Mungkin ini dulunya adalah
pasar," pikir si gadis. "Tetapi mengapa tidak satu pedagang pun yang
kelihatan? Kedai-kedai kosong melompong bahkan pasar sunyi senyap...."
Saat dia mencapai tepi kota, hari
sudah senja. Begitu dia masuk kota maka malam yang gelap menyambut
kedatangannya dan seluruh pelosok kota sunyi sepi. Tidak sepotong manusia pun
yang kelihatan! Keheranan Wulansari semakin menjadi-jadi sementara itu perutnya
yang sejak pagi tadi baru berisi beberapa buah-buahan yang dipetiknya di dalam
hutan kini terasa sakit memilin minta diisi. Tapi seperti sudah disaksikannya
tidak ada satu kedai pun yang dibuka. Tiba-tiba dari tikungan jalan di depannya
kelihatan berlari seorang laki-laki separuh baya. Begitu berhadapan Wulansari
segera menegur:
"Bapak, ada apakah kau
berlari seperti seseorang yang dikejar-kejar...?"
Laki-laki itu ketika melihat yang
bertanya adalah seorang gadis cantik jelita segera berhenti. Matanya melirik ke
hulu pedang yang tersembul di balik punggung Wulansari lalu menjawab:
"Nak, aku lari bukan karena
dikejar-kejar, tapi karena barusan menjumpai mayat yang sudah rusak di tepi
kota sebelah sana! Di dalam hutan!"
Wulansari terkejut. "Mayat?
Mayat siapa?" tanyanya.
"Mayat
Sukropringgo...."
"Sukropringgo itu
siapa...?"
Laki-laki itu hendak mengomel
karena ditanya terus-terusan seperti itu sedang napasnya yang megap-megap
karena berlari masih belum teratur. Tapi melihat bahwa Wulansari adalah seorang
gadis asing, dia dapat memaklumi lalu menjawab:
"Sukro adalah seorang pemuda
yang telah bertekad bulat hendak pergi ke kotaraja guna melaporkan segala
penindasan yang terjadi di sini. Kenyataannya, sebelum pergi dia sudah dibunuh
di tengah jalan. Pasti ini pekerjaannya Adipati Lor Ben...."
Mendadak sampai di situ orang
tersebut menghentikan keterangannya. Dia memandang berkeliling dengan paras
pucat, seperti orang yang takut kalau-kalau ada orang lain yang mendengar
keterangannya itu tadi. Dia berpaling kepada Wulansari.
"Anak, aku tak bisa memberi
keterangan lebih lanjut. Kalau anak buah Lor Bentulan mengetahuinya pasti aku
bisa celaka...!"
Cepat-cepat laki-laki itu memutar
tubuh dan meninggalkan tempat itu. Wulansari yang berseru memanggil-manggilnya
tidak diacuhkan. Gadis ini mengangkat bahu lalu meneruskan perjalanannya.
Perutnya terasa sakit lagi. Di hadapan sebuah rumah panjang gadis ini berhenti.
Melihat kepada bentuk bangunannya, mungkin ini adalah rumah sewaan atau
penginapan. Wulansari segera mengetuk pintu depan. Tak lama kemudian seorang
laki-laki tua keluar membukakan pintu. Digosoknya matanya. Ditatapnya gadis
yang di hadapannya lalu bertanya.
"Anak, kau ada keperluan
apa...?"
"Kalau aku tidak salah duga
bukankah ini rumah penginapan?" tanya Wulansari.
"Benar, Nak. Tapi sudah
sejak empat bulan yang lewat tidak dibuka lagi," jawab si orang tua.
"Memangnya ada apa?"
"Kami tidak sanggup membayar
pajak..,."
"Tapi daripada kosong saja
bukankah lebih baik disewakan satu kamar padaku. Besok pagi aku akan meneruskan
perjalanan...."
Orang tua itu tertawa. Tertawa
getir yang menyatakan kepahitan hidup. "Kata-katamu memang betul daripada
kosong lebih baik disewakan. Tapi sewa yang aku terima hanyalah sepersepuluh
daripada pajak yang harus aku bayarkan nanti kepada Bupati di sini!"
Terkejutlah Wulansari mendengar
keterangan itu. "Orang tua... kalau kau bisa memberikan keterangan yang
lebih lengkap atas apa yang sudah terjadi di kota ini...."
Pemilik penginapan yang bangkrut
itu menggelengkan kepala. "Bukan aku tidak bisa...tapi tidak berani. Kau
carilah keterangan pada orang lain. Tapi kurasa tidak ada satu orang pun yang
berani. Sekali kaki tangan Lor Bentulan mengetahuinya, pasti celaka...."
Sampai disitu orang tua itu
menutupkan pintu cepat-cepat dan menghilang. Wulansari teringat pada mayat
Sukropringgo lalu dengan perut yang masih keroncongan dia berlalu dari situ.
Dia mendatangi beberapa rumah penduduk untuk menumpang menginap. Tapi tidak satu
orang pun yang menerimanya. Bukan karena mereka tidak mau menolong atau tidak
kasihan pada gadis itu tapi adalah karena mereka takut ketahuan oleh kaki-kaki
tangan Lor Bentulan. Adipati Magetan yang mereka cap sebagai Adipati bejat
tukang tindas! Jangankan untuk minta menumpang, bicara panjang pun memberi
keterangan tidak ada yang berani. Wulan meneruskan lagi perjalanannya dan
tahu-tahu dia sudah berada di pinggiran kota.
"Celaka, di mana aku
menginap?" Dia memandang berkeliling. Di situ banyak pohon-pohon besar
dengan cabang-cabangnya besar pula. Satu akal didapatnya. Tentang mau di mana
tidur kini dia tidak khawatir. Kalaupun tak ada yang mau memberinya menumpang
bermalam dia bisa tidur di cabang pohon yang besar itu. Tapi bagaimana dengan
perutnya yang keroncongan dan makin lama makin memilin?
Tengah dia berdiri kebingungan
ini tiba-tiba dilihatnya seorang laki-laki tua berjalan terbungkuk-bungkuk
dengan pertolongan sebuah tongkat. Di bahunya yang kurus tersandang sebuah
bungkusan. Pakaiannya penuh dengan tambalan-tambalan. Tambalan-tambalan ini
tidak cukup untuk menutupi robekan-robekan yang masih banyak terdapat di sana
sini.
"Orang tua," tegur
Wulansari, "Kau mau ke mana?"
Orang tua bongkok itu memutar
kepalanya dengan perlahan. Mukanya keriputan dan cekung. Kedua matanya yang
sipit memandang sayu tapi agak membesar sedikit ketika melihat siapa yang
berdiri di hadapannya. Dia balik bertanya, "Gadis cantik, kau siapakah dan
dari mana malam-malam begini berada di sini?"
"Aku orang asing yang kemalaman
dalam perjalanan dan tengah mencari tempat menginap...."
Orang tua bongkok itu
menggelengkan kepalanya.
"Susah, nak. Susah.... Masa
ini susah bagimu untuk menginap. Rumah penginapan di kota sudah lama ditutup
karena pemiliknya tidak sanggup bayar pajak. Penduduk bukan tidak mau
menolongmu, tapi kehidupan mereka demikian menyedihkan ditambah lagi dengan
kejahatan orang-orang Kadipaten...."
"Itulah sebabnya, orang tua,
mengapa aku berdiri bingung di sini karena tidak tahu ke mana aku harus pergi
sedangkan perutku sejak pagi boleh dikatakan belum masuk apa-apa...."
"Kasihan... kasihan nasibmu,
Nak," kata si orang tua sambil meneliti Wulansari dari ujung rambut sampai
ke kaki. "Tapi nak, bila kau tak keberatan bermalam di gubukku, kau boleh
ikut sama-sama...."
Wulansari menjura. "Terima
kasih, tapi kalau akan menimbulkan kesusahan biarlah tidak, orang tua...."
"Tidak, tak apa-apa. Hari
sudah malam, kau seorang gadis pula. Gubukku memang sempit, biar kalau kau mau
tidur bersempit-sempit."
"Terima kasih, Bapak
Tua," kata Wulansari dengan sangat gembira.
***
TUJUH
GUBUK orang tua itu kecil dan
reyot. Dinding kajangnya sudah bolong-bolong demikian pula atapnya yang dari
rumbia sehingga bintang-bintang di langit dapat dilihat dengan jelas. Wulansari
duduk di atas sebuah kursi tua sedang si orang tua duduk di atas balai-balai
bambu yang dialasi dengan tikar pandan yang sudah robek-robek. Di sampingnya
duduk pula seorang perempuan tua, isterinya.
"Anak, siapakah
namamu?" bertanya si perempuan tua.
Gadis itu memberitahukan namanya,
lalu tanpa diminta dia memberi keterangan mengapa sampai dia berada di Magetan.
Laki-laki tua mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Pantas..." katanya.
"Mula-mula aku merasa heran mengapa gadis secantikmu ini malam-malam berada
di tengah jalan yang gelap dan sunyi. Tak tahunya kau seorang gadis persilatan
yang tengah diberi tugas mengembara oleh gurumu."
Si orang tua kemudian menerangkan
bahwa dulunya dia adalah seorang petani yang hidup sederhana dan bahagia tapi
kemudian jatuh miskin bersama ratusan penduduk Magetan lainnya akibat pemerasan
yang dilakukan oleh Adipati Lor Bentulan, serta pembantu-pembantunya. Karena
tak ada mata pencaharian yang bisa didapat maka terpaksa menjadi pengemis,
mengharapkan belas kasih orang lain. Si orang tua mengakhiri keterangannya
dengan kalimat:
"Ketika kau bertemu dengan
aku di tengah jalan tadi, aku barusan habis dari desa terdekat, pulang
mengemis. Sial sekali hari ini, uang sepeser pun tidak dapat, Cuma dua kaleng
beras itu pun beras menir pula sedang berjalan dari pagi sampai malam. Tapi itu
sudah lebih dari cukup, sudah syukur Tuhan masih memberi rezeki...."
"Tapi Pak Tua," ujar
Wulansari, "Kalau harus mengemis mengapa jauh-jauh ke desa lain? Di sini
kurasa masih bisa diharapkan belas kasihan orang lain."
Si orang tua tertawa.
"Sebagaimana yang kuterangkan padamu yaitu semua orang di sini sudah pada
sangat miskin. Juga karena memikirkan nasib sendiri-sendiri dan keluarga, mana
mungkin harus kasihan dan memikirkan hendak menolong orang lain...?"
Wulansari menarik napas dalam.
"Apakah sebabnya Bupati daerah ini sampai bertindak sewenang-wenang
memungut pajak tinggi semena-mena?"
"Itulah satu pertanyaan yang
tak kunjung bisa didapatkan jawaban oleh setiap penduduk di sini," sahut
si orang tua. "Tapi Wulan, apa yang tidak mungkin berubah di atas dunia
ini? Bila kehendak Tuhan berlaku, orang yang kemarin baik hari ini bisa menjadi
jahat. Orang yang malam ini jujur, besok bisa menjadi tukang tipu, pemimpin
yang dulu dipercaya dan disanjung-sanjung bisa menjadi tukang tindas dan tukang
peras...."
"Kata-katamu itu benar
belaka, Pak...." kata Wulansari pula.
Si orang tua berpaling pada
isterinya. "Bu, tamu kita ini sangat lapar. Masaklah beras menir yang dua
kaleng itu, biar kita bisa makan sama-sama...." Si orang tua berpaling
pada Wulansari dan meneruskan, "Tapi maaf saja Wulan, kami tidak punya
apa-apa selain sambal...."
"Itu pun sudah ribuan terima
kasih, Bapak. Dan kalau tidak keberatan, biarlah aku yang tolong
memasakkan."
"Oh, jangan Nak. Sebagai
tamu walau bagaimanapun kami harus hormati kau," kata si perempuan tua.
Sebelum perempuan itu masuk ke
dalam suaminya bertanya: "Kemana anak kita, bu?"
Sang isteri yang sudah berdiri
duduk kembali di ujung balai-balai. "Itulah pak. Sukropringgo tak bisa
lagi menahan hati. Sudah bulat tekadnya untuk melaporkan apa-apa yang terjadi
di sini ke kotaraja. Dia pergi pagi tadi...."
Sang suami menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Besar bahayanya, terlalu besar! Tapi memang bila
perbuatan-perbuatan Adipati Lor Bentulan didiamkan saja tidak dilaporkan ke
kotaraja akan lebih menambah penderitaan lagi. Biarlah Bu, kita doakan saja
semoga berhasil. Aku bangga punya anak seperti dia...."
Ketika mendengar perempuan tua
itu menyebut-nyebut nama Sukropringgo, terkejutlah Wulansari. Bukankah
Sukropringgo pemuda yang mayatnya ditemui di dalam hutan sebagaimana
diterangkan oleh laki-laki separuh baya yang berpapasan di tengah jalan waktu
baru saja memasuki Magetan?
"Pak Tua," kata
Wulansari, "Apakah pemuda yang bernama Sukropringgo itu anakmu?"
"Benar sekali. Rupanya kau
kenal dengan dia?"
"Tidak Pak Tua,
tapi...."
"Tapi apa wulan...?"
tanya laki-laki tua itu dengan gelisah ketika melihat air muka si gadis
berubah.
"Tapi..." dan Wulansari
menerangkan bagaimana dia tadi ketika baru memasuki kota telah bertemu dengan
seorang laki-laki yang membawa kabar tentang mayat seorang pemuda bernama
Sukropringgo yang ditemui di dalam hutan. Mendengar itu maka menjeritlah si
perempuan tua dan rubuh pingsan. Kalau tidak lekas Wulansari melompat niscaya
perempuan itu terguling ke tanah. Wulansari membaringkannya di atas
balai-balai. Tubuh Pak Sukropinggo sendiri bergetar. Kedua matanya yang sipit
berkaca-kaca dan menangislah orang tua itu sambil tiada henti-hentinya
menyebut-nyebut nama anaknya. Tiba-tiba dia berdiri. Pandangan matanya liar dan
galak. Di dinding tersisip sebuah parang. Benda ini segera diambilnya dan
melangkah ke pintu. Amarahnya yang mendidih membuat dia lupa bahwa di
hadapannya saat itu ada Wulansari.
"Bapak, kau mau ke
mana?!" tanya Wulansari sambil menghadang di ambang pintu.
"Minggir! Minggirlah Wulan!
Biar aku cincang kepala Adipati Lor Bentulan itu sampai lumat! Pasti dia yang
membunuh anakku, sekurang-kurangnya yang kasih perintah!"
Dengan tangan kirinya Wulansari
memegang lengan orang tua itu sambil alirkan tenaga dalamnya agar si orang tua
tenang dan dapat menguasai diri.
"Dengar pak tua,
kejantananmu sebagai laki-laki sangat aku kagumi. Tetapi sadarlah, dengan
seorang diri dan bersenjatakan parang mana mungkin kau bisa melampiaskan
amarahmu terhadap Adipati keparat itu. Apalagi di sana terdapat
pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi!"
Sesaat kemudian si orang tua
sadar dan mengerti bahwa apa yang dikatakan oleh Wulansari adalah benar.
Perlahan-lahan dia mundur dan duduk di balai-balai. Kembali seperti tadi dia
menangis tersedu-sedu. "Ya Tuhan... apa yang harus aku lakukan? Anakku dibunuh
orang! Tuhan, turunkanlah kutuk dan hukumanmu atas manusia-manusia keparat
itu!"
Terharu sekali Wulansari
mendengar kata-kata orang tersebut. Dia ingat bagaimana dia sendiri juga
kehilangan ayah, kehilangan ibu, kakek dan gurunya. Semua orang yang dikasihi
itu mati dibunuh orang. Tapi kematian seorang anak kandung tentu akan lebih
parah lagi deritanya. Tak terasa kedua mata si gadis jadi berkaca-kaca. Dia
melangkah ke hadapan si orang tua dan berkata: "Pak tua, mengenai urusanmu
dengan Adipati keparat itu biar aku yang selesaikan. Sebaiknya kau segeralah
minta bantuan tetangga untuk mengambil dan mengurus mayat anakmu yang kini
berada di dalam hutan di tepi kota."
Mendengar itu si orang tua
menghentikan tangisnya. Dipandangnya Wulansari dengan sikap seolah-olah baru
kali itulah dia melihatnya. "Wulan.. anak, aku percaya bahwa kau bukan
gadis sembarangan. Aku bersyukur kalau kau bisa membalaskan sakit hatiku pada
Adipati keparat itu. Tapi Nak, kau masih belum makan...."
Saat itu, sesudah mengetahui apa
yang terjadi di Magetan serta nasib malang yang menimpa seorang tua, rasa lapar
di diri Wulansari serta merta menjadi hilang lenyap. Sebagai seorang manusia
yang mempunyai kepandaian silat, yang menuntut ilmu tinggi demi untuk menolong
yang lemah dan membasmi kaum durjana penimbul malapetaka maka dia merasa semua
persoalan yang terjadi di Magetan adalah menjadi tanggung jawabnya untuk
diselesaikan!
"Pak Tua, aku pergi
sekarang," kata Wulansari. Dan gadis ini segera melompat menuju ke pintu.
Pintu gerbang Kadipaten yang besar dan tertutup dijaga oleh dua orang pengawal.
Pengawal yang dua ini adalah sisa pengawal-pengawal yang tempo hari dibunuh
oleh kelima anak buah Warok Kate. Keduanya segera memalangkan tombak
masing-masing ketika Wulansari muncul di hadapan mereka. Melihat kepada
tampang-tampang mereka yang licin dan kurus itu, tak percaya si gadis bahwa
mereka adalah kaki-kaki tangan yang kejam dan berhati busuk dari Adipati Lor
Bentulan. Dan justru rasa tidak percaya inilah yang menyelamatkan jiwa kedua
pengawal tersebut. Dengan satu gerakan yang hampir tidak kelihatan karena
demikian cepatnya, Wulansari telah menotok jalan darah di leher dan di dada
mereka sehingga mereka kini menjadi berdiri dengan tubuh kaku tegang serta
gagu. Kalau tidak diperhatikan secara teliti mereka tak ubahnya seperti
pengawal yang tengah melakukan tugas, padahal mereka sudah kaku tak pandai
bergerak dan bisu!
Dengan mudah Wulansari membuka
pintu gerbang lalu terus ke dalam. Pintu gedung Kadipaten ternyata tertutup.
Wulansari coba mendorong tapi rupanya pintu itu dikunci dari dalam. Segera si
gadis mengetuk beberapa kali. Tak lama kemudian pintu itu terbuka dan muncul satu
kepala berambut gondrong, berkumis melintang, be rewokan dan bertampang buruk
serta kejam buas. Orang ini bertubuh tinggi besar memakai pakaian keprajuritan
dan begitu membuka pintu segera hendak membentak, tapi ketika melihat ternyata
seorang dara jelita yang berdiri di tangga Kadipaten, maka dia segera tersenyum
simpul. Meskipun sudah tersenyum namun parasnya tetap saja buruk dan
membayangkan kekejaman!
"E... e... eee, gadis
cantik. Kau siapa malam-malam begini datang ke Kadipaten? Manusia jadi-jadiankah
atau bidadari yang turun dari kayangan...?"
Meskipun hatinya gemas mendengar
pertanyaan itu namun Wulansari menjawab dengan tenang dan sabar:
"Pengawal, aku ingin bertemu dengan Adipati Lor Bentulan...."
"Hendak bertemu dengan
Adipati Lor Bentulan? Malam-malam begini...? Ada maksud apakah?!"
"Satu urusan penting yang
hanya bisa dikatakan langsung kepadanya," jawab Wulansari.
"Hemm..." menggumam
prajurit pengawal itu yang tak lain daripada salah seorang anak buah Warok Kate
adanya. "Gadis cantik, kau tunggulah di sini sebentar. Aku akan beritahu
kedatanganmu pada Adipati dan menanyakan apakah dia bisa menerimamu atau
tidak."
Pintu tertutup. Tak lama kemudian
terbuka kembali dan si manusia tinggi besar bertampang buruk muncul sambil
berkata cengar cengir:
"Adipati bersedia
menerimamu. Silahkan masuk." Pintu dibukakan lebar-lebar dan Wulansari
masuk ke dalam gedung. Mereka sampai ke sebuah ruang tengah yang terang
benderang oleh lampu. Di atas sebuah kursi kayu jati berukir Indah duduklah
seorang laki-laki berpakaian rapi dan bagus. Tubuhnya kurus, pakaian bagus yang
dipakainya itu nyata sekali agak kebesaran untuknya. Wulansari tahu bahwa orang
ini belum lagi mencapai umur lima puluh tapi raut wajahnya yang pucat tiada
cahaya itu menjadikan parasnya seperti orang sudah berumur lebih dari setengah
abad. Dengan sepasang matanya yang cekung kuyu dia memandang kepada Wulansari.
Kalau diambil perumpamaan maka laki-laki ini tak ubahnya seperti sebuah pelita
yang menyala tapi hampir kehabisan minyak!
Tiba-tiba paras laki-laki itu
mendadak berubah menjadi kasar dan garang. Matanya yang cekung melotot keluar
dan rahang-rahangnya bertonjolan. Ini suatu hal yang tak bisa dimengerti oleh
si gadis.
"Gadis asing! Kau siapakah
yang datang malam-malam begini menggangguku?!" tanyanya dengan suara
keras.
"Harap dimaafkan kalau
kedatanganku mengganggu ketenteraman serta mengotori gedungmu yang indah mewah
ini, Adipati. Aku memang orang asing di sini dan justru hal-hal yang serba
asinglah yang membawa aku sampai ke gedungmu ini!"
Adipati Lor Bentulan
mengerenyitkan keningnya. "Katakan kau punya maksud apa!"
"Aku datang untuk
bertanyakan apakah tanggung jawabmu sebagai Adipati atau sebagai pemimpin di
sini atas kehidupan, keamanan dan kesejahteraan rakyat daerah ini?!"
Mendadak terjadi lagi perubahan
pada air muka Lor Bentulan. Seperti yang mula-mula dilihat Wulansari maka kini
kembali paras laki-laki itu menjadi pucat pasi sedang pandangan matanya yang
tadi garang kembali menjadi kuyu! Kini tahulah si gadis kalau perubahan sikap
dan air muka tadi hanyalah satu kepura-puraan belaka.
"Gadis aneh! Kau manusia
atau siluman?!"
"Aku sama dengan kau,
Adipati. Sama-sama manusia! Cuma kau seorang manusia berhati kejam dan tukang
tindas rakyat!"
"Gadis asing! Sebelum aku
menjadi marah sebaiknya kau berlalu dari hadapanku!" memperingatkan Lor
Bentulan.
Wulansari mengeluarkan suara
mendengus. "Aku baru mau pergi bila kau berjanji untuk merubah
aturan-aturan pajakmu menjadi seperti empat bulan yang lalu, dan memperhatikan
kehidupan rakyat Magetan yang kini sangat menderita sengsara karena diperas dan
disedot darahnya olehmu!"
"Jangan bicara sebagai
seorang pahlawan di hadapanku!" bentak Adipati itu dengan geramnya.
"Apapun yang kulakukan bukan menjadi urusanmu! Kau orang lain mengapa ikut
campur?!"
Si gadis tertawa mengejek.
"Adipati, apakah kau buta dengan keadaan hidup rakyatmu yang menderita
sengsara dewasa ini? Apakah kau tidak mendengar bagaimana kaum ibu meratap dan
anak-anak bertangisan karena perut mereka merintih kelaparan? Apakah kau lupa
bahwa kau juga dulunya berasal dari seorang rakyat? Apakah kau lupa bahwa kalau
bukan karena rakyat tidak mungkin kau akan enak-enakan duduk ongkang-ongkang di
kursi kebesaranmu itu, menikmati hidup mewah dari hasil memeras dan menindas...."
"Sudah! Cukup!" teriak
sang Adipati seraya berdiri dari kursinya. "Kau keluarlah baik-baik dari
sini atau kusuruh para pengawal menyeretmu!"
Dengan sepasang matanya yang
tajam Wulansari menatap kedua mata laki-laki itu. Merasakan sorotan mata tersebut
Lor Bentulan menjadi bergidik dan bungkam.
"Perbuatanmu sudah
keterlaluan, Adipati. Kekejamanmu sudah melampaui batas. Bukan saja kau tindas
rakyat banyak, kau suruh mereka mati kelaparan tapi bahkan juga kau bunuh
seorang pemuda yang hendak melaporkan kejahatan dan kebusukanmu kepada Sri
Baginda di kotaraja!"
"Apa...? Apa?!" tanya
Adipati itu dengan sangat terkejut.
"Ah, tak usah pura-pura
terkejut Lor Bentulan! Bukankah kau yang membunuh Sukropringgo?!"
"Sukropringgo, pemuda itu?!
Tidak, demi Tuhan aku tidak membunuhnya!"
"Baik, kalau kau bilang
bukan kau yang membunuhnya. Tapi jangan mungkir bahwa kaulah yang menyuruh
bunuh pemuda tersebut dan itu adalah sama saja. Tanganmu tetap berlumur dosa
dan darah!"
"Itu pun tidak! Aku tak
pernah menyuruh siapa-siapa untuk membunuhnya! Sukropringgo memang pernah
datang kepadaku. Tapi aku Cuma peringatkan agar dia jangan membuat-buat urusan.
Hanya itu! Hanya itu yang kulakukan! Kau pasti dusta!"
"Aku bukan manusia pendusta
atau penipu macam kau! Seorang yang telah melihat mayat pemuda itu dengan mata
kepalanya sendiri telah menerangkan padaku!"
Air muka Lor Bentulan semakin
pucat.
"Akuilah terus terang,
Adipati...."
Pada saat itu dari pintu yang
terbuka secara tiba-tiba di ruang tengah itu berloncatanlah keluar lima orang
laki-laki bertubuh tinggi besar, bertampang galak, berewokan serta berambut
gondrong. Mereka berpakaian prajurit pengawal Kadipaten tetapi sebenarnya tak
lain daripada anak-anak buah kepala rampok Warok Kate. Di tangan masing-masing
tergenggam golok besar.
"Adipati! Mengapa bicara
panjang lebar dengan gadis iblis ini?! Biar kami bereskan dia!" kata salah
seorang dari mereka. Adipati Lor Bentulan berdiri dengan lutut goyah tubuh
menggigil. Suaranya gemetar ketika bertanya pada orang yang bicara tadi:
"Rampung, kau... kau apakan Sukropringgo...?"
Anak buah Warok Kate yang bernama
Rampung menyeringai buruk. "Ah itu urusan yang bisa kita bicarakan
kemudian, Adipati. Yang penting sekarang membereskan gadis ini!"
"Tidak bisa! Katakan dulu
Rampung, kalian yang membunuh Sukropringgo?! Kalian sudah melampaui batas!
Kalian sudah sangat keterlaluan. Kalian rampok-rampok hina dina tukang peras!
Bunuhlah aku! Aku sudah tidak sanggup lagi... tidak sanggup!"
"Adipati edan! Kau lupa
bahwa kau Cuma punya satu nyawa!" Rampung melompat ke hadapan Lor
Bentulan. "Mampuslah!" bentaknya seraya membabatkan golok besarnya ke
kepala Adipati Magetan itu.
Tapi dengan lompatan yang lebih
cepat dan lihay, Wulansari mendorong bahu Lor Bentulan. Meskipun dorongan yang
dilakukannya kelihatan lemah saja tapi tubuh Adipati itu mental terguling ke
samping kursinya. Kepalanya selamat dari hantaman golok besar. Senjata itu
mendarat di kursi kayu jati yang menjadi hancur berkepingan!
Ketika Rampung hendak memburu
Adipati itu maka Wulansari sudah berdiri di hadapannya.
"Gadis siluman! Minggir
kalau tidak mau mampus!"
Wulansari menyeringai. "Jadi
kalian rupanya tidak lain daripada rampok-rampok tukang peras berpakaian
pengawal?! Srigala-srigala jahat berbulu domba?! Jangan kira kalian bisa angkat
kaki dari sini hidup-hidup!"
Rampung tolakkan tangan kirinya
di pinggang. "Nyalimu terlalu besar, gadis rendah! Kau terimalah
ini!" Rampung itu menyerang dengan golok besarnya.
"Nak, kau
hati-hatilah," terdengar suara Adipati Lor Bentulan yang saat itu sudah
berdiri dan menghindar ke sudut ruangan. "Mereka rampok jahat
berkepandaian tinggi!"
Dengan memiringkan tubuhnya
sedikit Wulansari berhasil mengelakkan sambaran golok Rampung. Salah seorang
kawan rampok ini kemudian berseru; "Rampung, untuk menghadapi gadis
seperti dia mengapa pakai golok segala? Tangkap dia hidup-hidup agar bisa kita
pakai bergantian!"
Mendengar ini Rampung
menghentikan serangannya. Dia tertawa bekakakan lalu sambil masukkan goloknya
kembali ke sarungnya dia berkata: "Benar kau benar! Memang sayang kalau
kulitnya yang halus mulus itu sampai terluka!"
Dengan tangan kosong Rampung maju
ke muka. Saat itu Wulansari kelihatan berkelebat. Rampung terkejut dan melompat
mundur, untung saja dia berlaku hati-hati kalau tidak tentu perutnya sudah kena
tendangan si gadis! Namun serangan yang dilakukan oleh Wulansari sebenarnya
adalah serangan sambilan saja karena yang ditujunya adalah rampok yang tadi
bicara kurang ajar!
"Bukk!"
Suatu pukulan yang keras itu
disusul oleh suara jeritan melengking. Rampok yang bermulut kotor rebah ke
lantai dengan kepala pecah! Semua orang jadi terkejut!
"Gadis jahanam!" teriak
Rampung dengan geram. Tapi hatinya bergidik juga melihat kehebatan Wulansari.
"Kau benar-benar minta dicincang!"
Rampok ini mencabut goloknya
kembali dan menyerang dengan ganas ke arah si gadis. Dengan cekatan Wulansari
mengelak. Golok Rampung mengenai tempat kosong. Dengan geram dan penasaran
rampok ini mengirimkan serangan beruntun. Golok besarnya menderu dan berkilauan
ditimpa sinar lampu. Rupanya nama Warok Kate sebagai kepala rampok yang
menggetarkan di daerah selatan bukan nama kosong belaka. Permainan golok
muridnya tinggi dan lihay. Meskipun senjata itu besar namun gerakan-gerakan
serangan yang dilakukan Rampung enteng dan cepat serta bertubi-tubi. Ini
sekaligus membuktikan bahwa tenaga dalam rampok ini sudah mencapai tingkat yang
cukup tinggi. Sinar goloknya seakan mengurung Wulansari dari pelbagai jurusan.
Tapi baik Rampung maupun kawan-kawannya tidak tahu dengan gadis mana mereka
berhadapan. Dengan bertangan kosong Wulansari berkelebat kian kemari dan
tahu-tahu satu jotosannya menghantam dada Rampung membuat rampok ini melintir
dan jatuh duduk di lantai. Rampung cepat bergulingan untuk menjaga diri dari
serangan lawan yang mungkin akan dilancarkan. Setelah berdiri kembali
cepat-cepat dia mengatur jalan napas dan darahnya. Tenaga dalamnya dialirkan ke
dadanya yang kena dipukul. Sesudah sakit di dadanya pulih kembali dengan cepat
dia berteriak: "Kawan-kawan! Mari kita keroyok perempuan iblis ini!"
Bersamaan dengan itu tiga golok
besar keluar dari sarungnya. Kini empat rampok bertubuh tinggi besar dengan
golok maut di tangan melompat ke muka mengurung Wulansari dalam kedudukan
setengah lingkaran. Menghadapi salah seorang dari rampok-rampok yang mempunyai
Ilmu golok tinggi dengan tangan kosong cukup berbahaya bagi si gadis, apalagi
kalau dia dikeroyok empat orang. Namun demikian Wulansari tetap tenang dan
waspada sementara Lor Bentulan berkali-kali berteriak memberi peringatan agar
dia berhati-hati.
"Gadis rendah!" bentak
Rampung.
"Keluarkanlah
senjatamu!"
"Untuk menghadapi bangsat
rendah macam kalian tidak perlu pakai senjata segala. Majulah!" Dihina
seperti itu keempat rampok tersebut menjadi marah! Mereka serentak melancarkan
serangan gencar. Dari samping kiri, samping kanan dan dua orang dari muka.
Sekali saja tubuh gadis itu berkelebat maka terdengarlah jerit seorang
pengeroyoknya. Rampok Ini melompat mundur sambil tiada henti-hentinya mengeluh
kesakitan karena sambungan siku tangan kanannya telah kena dihantam oleh lawan
sampai putus!
Rampung dan dua kawannya
kertakkan gigi. Mereka memutar golok masing-masing dengan cepat dan
mengeluarkan ilmu golok tingkat tertinggi yang mereka warisi dari guru mereka
si Warok Kate. Dengan bentakan keras maka menerjanglah Rampung ke muka. Golok
besarnya menyambar deras ke dada Wulansari. Si gadis melompat ke samping.
Serangan lawan mengenai tempat kosong. Wulansari menggeser kaki kanannya dan
serentak dengan itu kaki kirinya menendang ke arah Rampung. Rampok ini tidak
menangkis melainkan melompat mundur dan bersamaan dengan itu kawannya yang di
belakang memapaskan goloknya ke kaki si gadis. Terpaksa gadis ini menarik
pulang kakinya dengan cepat. Tapi dari samping kiri kemudian melompat rampok
ketiga mengirimkan serangan golok ke pinggang!
Wulansari berkelit ke kanan.
Tangan kanannya memukul ke muka. Meskipun jotosannya ini berhasil dielakkan
tapi tak urung angin pukulan membuat kedua mata rampok yang diserang menjadi
perih. Cepat-cepat dia menghindar dan dua kawannya yang lain kini memapaki
Wulansari dari samping kiri dan samping kanan. Sambil mengirim tinju kiri kanan
ke arah lawannya, gadis itu melompat ke muka tapi saat itu rampok ketiga tadi
sudah membabat pula dengan goloknya dari jurusan ini. Agaknya disinilah
kehebatan permainan "golok ular" yang diandalkan mereka. Dengan
teriakan melengking Wulansari berkelebat di udara di antara ketiga lawannya.
Rampok-rampok itu mengira bahwa golok mereka masing-masing sudah sama-sama
membacok tubuh si gadis. Tapi alangkah terkejutnya mereka ketika
"trang"! Senjata mereka sendiri yang saling beradu dengan senjata
kawan! Sebelum mereka habis dari terkejutnya tiba-tiba "buk"! salah
seorang dari rampok-rampok itu terguling ke tanah karena dalam lengahnya telah
kena pukul bahu kirinya oleh Wulansari! Untung saja rampok ini memiliki tenaga
dalam yang cukup lumayan. Kalau tidak tentu saat itu tulang bahunya sudah patah
atau terluka berat di dalam. Meskipun dengan tubuh miring dia masih dapat
bangkit berdiri.
Ketiga orang itu membentuk
barisan "golok ular" kembali. Kini mereka sama mempercepat gerakan
sehingga tubuh mereka benar-benar tak ubahnya seperti seekor ular yang
meliuk-liuk kian kemari. Sayang mereka cuma bertiga. Kalau berlima tentu
kehebatan permainan golok ciptaan guru mereka tersebut tidak mengecewakan.
***
DELAPAN
SAMPAI saat itu Wulansari dengan
gerakan-gerakannya yang gesit masih saja menghadapi lawan-lawannya dengan
tangan kosong! Disamping ini menimbulkan kegeraman di hati Rampung dan
kawan-kawannya mereka juga menjadi penasaran. Sebelumnya jika mereka mengeroyok
lawan, sekurang-kurangnya dalam lima jurus mereka sudah sanggup merobohkannya.
Tapi saat ini jangankan merobohkan, membuat segores luka pun mereka tidak
sanggup bahkan untuk mendesak saja tidak bisa. Apalagi mengingat lawan mereka
saat itu adalah seorang gadis pula, seorang perempuan!
Tubuh Wulansari seperti
bayang-bayang di antara sambaran-sambaran golok ketiga lawannya. Tiba-tiba
'breet!" Suara ini disusul oleh suara keluhan kesakitan. Rampung melompat
ke belakang. Mukanya memutih pucat. Pakaiannya di bagian dada robek besar
sedang pada kulit dadanya terlihat lima guratan luka! Inilah ilmu cakaran
Wulansari yang dinamai "cakar setan" yang dipelajari dari gurunya.
Meski belum mencapai tingkat kesempurnaan tapi akibatnya cukup berbahaya. Rampung
merasa perih dan gatal-gatal. Cepat-cepat dikerahkannya tenaga dalamnya ke
bagian yang terluka, tapi malahan luka cakaran itu semakin bertambah gatal!
"Iblis betina!" bentak
Rampung dengan amarah mendidih. "Hari ini aku mengadu jiwa dengan
kau!" Tubuhnya melesat ke muka dan golok besar di tangannya berputar
dahsyat. Ini adalah permainan golok tunggal yang mempunyai jurus-jurus aneh
yang juga dipelajarinya dari gurunya si Warok Kate. Melihat kawan mereka
mengeluarkan ilmu tersebut rampok yang dua lagi segera menyerbu pula. Dalam
mengirimkan serangan-serangan dahsyat itu. Rampung tiada henti-hentinya
mempergunakan tangan kirinya untuk dipakai menggaruk lukanya yang gatal-gatal.
Jika seandainya yang mereka layani hanyalah seorang musuh enteng, maka dapat
dipastikan bahwa ketiga rampok itu akan merobohkan lawan mereka dalam beberapa
gebrakan saja. Tapi kini mereka berhadapan dengan murid si Cakar Setan yang
juga pernah mendapat gemblengan dari seorang sakti bernama Suara Tanpa Rupa
sehingga ketiganya jadi mati kutu. Di satu jurus, ketiga rampok itu menyerang
secara bersamaan. Golok Rampung berkelebat ke arah leher. Kawannya yang seorang
lagi membabatkan senjatanya ke pinggang sedang yang ketiga dengan membungkuk
memapas ke arah kedua kaki Wulansari!
Jika serangan mereka ini berhasil
dapatlah dibayangkan betapa tubuh gadis cantik jelita itu akan terpotong
menjadi empat bagian. Tapi percuma saja Wulansari menjadi murid si Cakar Setan,
percuma dia mengeram di gua batu karang selama satu tahun berguru pada si orang
tua aneh Suara Tanpa Rupa kalau serangan ini tidak bisa dielakkannya! Untuk
menghindarkan kedua kakinya dari serangan golok lawan yang merunduk gadis ini
melompat ke atas. Bersamaan dengan lompatan itu dia membuang diri ke belakang.
Gerakannya ini membuat lehernya selamat dari tebasan golok Rampung sedang
dengan mempergunakan kaki kanannya untuk menendang sambungan siku rampok ketiga
yang menyerang ke arah pinggang, dia berhasil pula menghancurkan serangan
tersebut karena lawannya cepat-cepat menarik tangan yang memegang golok. Rampok
ini maklum kehebatan tendangan itu dan tak mau ambil resiko. Di sudut ruangan
sementara itu Adipati Lor Bentulan berdiri dengan mata terbuka lebar hampir
tidak pernah berkesip-kesip melihat perkelahian yang luar biasa hebatnya itu.
Begitu kedua kakinya menyentuh
lantai kembali, Wulansari melompat ke samping dan merunduk menjangkau golok
besar milik rampok yang pertama kali dirobohkannya yaitu yang tadi bicara
kurang ajar. Sebenarnya dengan tangan kosong pun Wulansari bisa melayani ketiga
rampok-rampok bejat itu. Tapi dia sudah muak dan tak mau main-main lebih lama.
Dia ingin sekali mencoba keampuhan pedang mustika pemberian gurunya Suara Tanpa
Rupa yang kini tersisip di balik punggungnya. Tapi dia ingat pula pesan orang
tua itu yakni bahwa pedang sakti tersebut tidak boleh dipakai sembarangan dan
baru dikeluarkan dalam menghadapi musuh yang benar-benar tangguh serta dalam
keadaan jiwa terancam.
Melihat si gadis kini berdiri
dengan golok di tangan, ketiga rampok itu menjadi bergidik. Dengan tangan
kosong saja mereka tidak sanggup melayani si jelita itu, apalagi kini dengan
bersenjatakan golok! Rampung memberi isyarat kedipan mata pada kedua temannya.
Dengan serentak ketiga rampok itu berlompatan ke jendela. Terdengar suara
tertawa meninggi Wulansari. "Manusia-manusia bedebah! Kalian mau lari ke
mana?!" Sekali gadis ini berkelebat maka menderulah golok di tangannya dan
terdengar tiga suara jeritan kesakitan seolah menjadi satu. Rampung terjungkal
ke belakang. Lehernya hampir putus terbabat golok di tangan Wulansari. Darah
menyembur keluar. Rampok kedua terhuyung sambil memegangi dadanya yang terluka
berat kena disambar ujung golok yang terus menembus jantungnya. Tubuh rampok
ini kemudian terguling di lantai tanpa nyawa. Rampok ketiga berdiri berputar-putar
seperti babi celeng dengan memegangi perutnya yang robek besar dengan usus
berbusai mengerikan akibat tendangan kaki kanan Wulansari yang jari-jarinya
berkuku panjang!
Wulansari memandang pada empat
sosok tubuh tanpa nyawa yang bergelimpangan di lantai yang penuh dengan darah
berbau amis. Tiba-tiba dia teringat bahwa jumlah lawannya tadi adalah lima
orang. Kemana yang satu lagi? Dia memandang berkeliling. Pada saat itu Lor
Bentulan melangkah ke hadapannya dan berlutut.
"Gadis cantik... kau malaikat
atau...."
"Berdirilah Adipati,"
kata Wulansari dengan cepat. "Kemana bangsat yang seorang lagi?"
"Dia telah melarikan diri
lewat pintu belakang," menerangkan Lor Bentulan dengan masih berlutut.
Parasnya masih tetap pucat ketakutan.
"Berdirilah Adipati.
Aku...."
Tiba-tiba pintu di sebelah sana
terbuka lebar dan puluhan manusia yang membawa berbagai macam senjata di
tangan, mulai dari kayu pentungan sampai ke pedang, mulai dari pisau sampai ke
golok, masuk menyerbu dengan berteriak-teriak. Mereka tak lain adalah penduduk
Magetan yang ketika mendengar suara hiruk pikuk di dalam gedung Kadipaten
segera mengetahui bahwa tengah terjadi perkelahian di sana. Seseorang mengintip
melalui celah pintu setelah terlebih dahulu terheran-heran melihat dua pengawal
pintu gerbang yang berdiri kaku bisu! Orang ini menyaksikan bagaimana seorang
gadis cantik jelita dengan tangan kosong tengah berkelahi melayani empat
pengawal Kadipaten, bahkan salah seorang diantaranya sudah rebah di lantai!
Nyata bahwa gadis ini seorang yang gagah. Maka orang tadi segera menerangkan
kejadian itu pada seluruh penduduk dan akhirnya beramai-ramai penduduk Magetan
segera menyerbu ke gedung Kadipaten karena memang sudah sejak lama mereka
menahan dendam dan sakit hati yang berkaratan terhadap Adipati Lor Bentulan dan
anak-anak buahnya.
Ketika mereka menyerbu masuk,
orang-orang itu melihat bagaimana Lor Bentulan dengan muka pucat pasi berlutut
di hadapan Wulansari yang menggenggam sebilah golok besar di tangan. Mereka
menyangka bahwa Adipati penindas rakyat itu tengah berlutut minta ampun!
Salah seorang dari mereka, yang
paling depan sekali berteriak: "Gadis gagah! Serahkan Adipati laknat itu
pada kami! Dia harus mampus di tangan kami!"
"Kami akan cincang dia
sampai lumat!" teriak yang lain.
Lor Bentulan melompat bangun
dengan ketakutan. Dia berdiri di belakang Wulansari. "Gadis gagah,
tolonglah aku! Orang-orang itu pastiakan membunuh aku! Mereka tidak tahu apa
yang sesungguhnya terjadi atas diriku...."
"Adipati tukang peras!
Jangan sembunyi di balik gadis itu, pengecut!" teriak seorang penduduk
yang memegang kelewang.
Wulansari cepat maju ke muka.
"Saudara-saudara," katanya dengan suara keras serta mempergunakan
tenaga dalam agar dapat mempengaruhi dan menguasai orang banyak yang ada di
ruangan itu. "Kalian memang pantas membalas dendam membalaskan sakit hati
kalian yang dipendam selama berbulan-bulan. Tapi ketahuilah bahwa semua
kesalahan yang dilakukan oleh Adipati itu adalah di luar kemampuannya, karena
terpaksa...."
Orang yang memegang kelewang
memotong dengan suara lantang, "Gadis gagah, kau orang asing di sini
sehingga tidak tahu siapa adanya bangsat yang berdiri di belakangmu itu! Tukang
peras! Tukang tindas! Biang racun penyebab penderitaan kami penduduk Magetan!
Pembunuh...!"
Seorang penduduk maju. Di
tangannya tergenggam sebuah tombak. Dia menatap paras si gadis dengan
beringasan. "Orang asing, sebaiknya minggirlah! Kalau kau coba-coba untuk
melindungi Adipati itu, kami yang ada di sini tidak segan-segan turun
tangan!"
"Turun tangan soal mudah,
saudara," sahut Wulansari. "Tapi sebelumnya, yang penting adalah
kalian harus mendengar dan mengetahui dulu kenyataan yang ada agar kalian tidak
kesalahan tangan!" Gadis ini berpaling pada Lor Bentulan lalu berkata:
"Terangkan semuanya kepada mereka. Aku sendiri juga belum mengerti jelas
persoalannya...."
Mula-mula melihat kepada paras
penduduk yang galak beringas dan mata-mata mereka yang buas menyorot, serta
melihat pula kepada berbagai senjata yang mereka pegang Adipati Lor Bentulan
merasa bimbang karena dia takut akan diserang dengan tiba-tiba. Tapi nyawanya
tergantung pada apa yang harus diterangkannya itu. Lagi pula dia percaya bahwa
gadis yang ada di dekatnya akan melindunginya. Ditabahkannya hatinya. Dan
melangkahlah Adipati ini ke muka. Suaranya gemetar ketika berbicara.
"Saudara-saudara.... Kalau
kalian menganggap aku sebagai tukang peras dan tukang tindas...."
"Bukan menganggap, tapi
memang kenyataan kau Adipati tukang tindas dan tukang peras!" teriak
seorang penduduk dari sudut ruangan. Merahlah air muka Lor Bentulan mendengar
ucapan itu. Jakun-jakunnya turun naik beberapa kali lalu dibukanya mulutnya
kembali. "Aku tidak menyalahkan kalian kalau kalian menuduhkan demikian
karena begitulah yang kalian lihat dengan mata serta kepala kalian. Tapi apa
sesungguhnya yang menjadi latar belakang mengapa aku berbuat begitu tidak
seorang pun di antara kalian yang tahu...."
"Ah! Kami lebih dari
tahu!" tukas seorang penduduk.
Tanpa mengacuhkan ejekan itu
Adipati Lor Bentulan berkata: "Kalian lihat empat pengawal yang
menggeletak di lantai ini? Apakah kalian tahu bahwa mereka sesungguhnya
bukanlah pengawal-pengawal tambahan sebagaimana yang pernah kuterangkan dulu,
yang didatangkan dari Kotaraja?"
Tidak ada seorang pun membuka
suara karena masing-masing penduduk menjadi terheran dan bertanya-tanya siapa
adanya kalau begitu keempat manusia tersebut. Lor Bentulan melanjutkan,
"Sesungguhnya mereka adalah rampok-rampok bejat yang memerasku untuk
melakukan segala penindasan di Magetan ini!"
Mendengar itu maka hebohlah
orang-orang yang ada di ruangan Kadipaten yang besar tersebut. "Tapi kau
mungkin dusta, Lor Bentulan!" teriak seorang tua.
Sang Adipati gelengkan kepala.
"Suatu malam mereka datang berlima ke sini, berenam dengan pemimpin
mereka, seorang manusia kate berilmu tinggi bernama Warok Kate dari bukit
Jatiluwak...."
Membeliak kedua mata Wulansari
karena terkejut mendengar nama tersebut. "Siapa?! Warok Kate katamu,
Adipati...?"
Adipati Magetan itu berpaling
pada si gadis. "Ya, namanya Warok Kate, seorang kepala rampok yang buas
serta lihay. Agaknya kau kenal bangsat itu?"
"Aku cuma kenal nama tak
kenal muka. Warok Kate adalah manusia terkutuk yang membunuh guruku!"
Terkejutlah semua orang, terutama Lor Bentulan. Wulansari mengepalkan tinju
kirinya. Sebagaimana yang diceritakan sebelumnya, Warok Kate adalah pembunuh si
Cakar Setan guru Wulansari. "Teruskan keteranganmu, Adipati."
Lor Bentulan meneruskan.
Diterangkannya bagaimana Warok Kate memerintahkan kepadanya agar menarik pajak
sepuluh kali lipat dari yang sudah-sudah dan hasil dari pajak tersebut harus
diserahkan kepadanya dua kali dalam sebulan. Bilamana dia tidak menjalan
perintah itu maka nyawanya, nyawa isteri dan anaknya akan dikirim ke neraka!
Disamping dia tidak berdaya apa-apa karena memang tidak punya ilmu kepandaian
silat maka dia juga tidak bisa mengirimkan laporan ke Kotaraja demi keselamatan
anak isterinya. Satu-satunya jalan mau tak mau ialah menuruti apa yang diperintahkan
Warok Kate kepadanya. Tak lupa Lor Bentulan menerangkan bahwa rampok-rampok
itulah yang membunuh Sukropringgo di dalam hutan karena pemuda tersebut
bermaksud melaporkan ke Kotaraja atas apa-apa yang terjadi di Magetan. Sewaktu
sang Adipati menerangkan itu, suasana dalam gedung sunyi sepi diselimuti oleh
keharuan. Kalau tadi masih ada diantara penduduk yang berteriak dan mengejek,
kini masing-masing sama menutup mulut. Dalam hati mereka timbullah rasa
menyesal dan kasihan terhadap Adipati itu. Lor Bentulan menutup keterangannya
dengan kata-kata:
"Keempat rampok ini sudah
menemui ajalnya, seorang lolos dan kalian tahu apa artinya ini. Dia pasti lari
ke tempat gurunya si Warok Kate sedang anak perempuanku sampai saat ini berada
di tangan kepala rampok itu! Pasti kepala anakku sudah ditebas!" Lor
Bentulan menutup muka dengan kedua tangannya.
Wulansari merasa sangat terharu.
"Adipati," katanya. "Tentang nasib anakmu tak usah khawatir. Aku
akan tolong dia sekalian menyelesaikan urusan dengan Warok Kate!"
Lor Bentulan menurunkan kedua
tangannya dan memandang pada si gadis. "Terima kasih, aku percaya kau mau
menolong, gadis gagah. Tapi, sudah terlambat. Sudah kasip! Rampok yang seorang
itu sudah keburu lari dan memberitahukan pada Warok Kate apa yang terjadi di
sini...."
"Jangan pikirkan itu.
Mudah-mudahan aku bisa menyusulnya ke bukit Jatiluwak," ujar Wulansari.
Gadis ini tersenyum dan menganggukkan kepalanya ke arah orang banyak, lalu
sekali tubuhnya berkelebat ke arah jendela maka lenyaplah dia!
Selama beberapa saat ruangan
besar itu tenggelam dalam kesunyian bahkan tidak satu orang pun yang bergerak.
Kemudian kelihatanlah penduduk yang memegang kelewang maju ke hadapan Lor
Bentulan.
"Adipati," katanya.
"Harap dimaafkan karena kami semuanya telah menuduh demikian jahatnya
terhadapmu dan harap dimaklumi. Segala apa yang terjadi mungkin sudah kehendak
Tuhan. Mudah-mudahan gadis gagah itu berhasil membawa anakmu kembali ke sini.
Dan meskipun sudah terlambat, kau izinkanlah kami untuk melepaskan sakit hati
kami selama ini!"
Laki-laki itu memutar tubuhnya
dan melangkah ke mayat perampok yang terdekat. Kelewang di tangannya bergerak
beberapa kali, bertubi-tubi membacok tubuh rampok itu. Melihat itu, semua
penduduk kota yang hadir di sana seperti dirasuk oleh satu kekuatan gaib,
kekuatan yang timbul dari sakit hati dan dendam yang berbulan-bulan, dengan
senjata masing-masing segera membacok, menikam, menusuk, mementung,
menginjak-injak keempat mayat rampok tersebut sampai akhirnya tubuh mereka dari
kepala sampai kaki tak tentu rupa lagi, hancur luluh dan lumat! Darah membasahi
lantai ruangan tersebut bau amis menusuk hidung!
***
SEMBILAN
SEPERTI orang dikejar setan,
rampok yang seorang ini berlari pontang panting di malam gelap gulita. Sebentar
saja dia sudah jauh meninggalkan Magetan. Namun demikian rasa khawatirnya tak
mau hilang, sekali-sekali dia menoleh kebelakang, takut kalau-kalau gadis itu
mengejarnya. Disamping itu, sambil lari tiada henti-hentinya dia merintih
kesakitan karena sambungan sikunya yang terlepas kena jotosan lawan. Dia lari
terus dan ketika dinihari baru berhenti. Inipun karena napasnya sudah
megap-megap sedang lututnya goyah kelelahan. Pakaiannya basah oleh keringat.
Dia duduk menjelepok di tanah
bersandar ke sebatang pohon coba mengatur jalan napasnya kembali.
Diperhatikannya siku kanannya. Daging di bagian siku itu kelihatan bengkak
menggembung dan sakitnya bukan main. Ketika fajar mulai menyingsing cepat-cepat
dia berdiri dan lari lagi meneruskan perjalanannya. Bukit Jatiluwak terletak
jauh di utara gunung Lawu. Dua hari dua malam baru dia sampai ke sana.
Tenaganya boleh dikatakan sudah mendekati titik akhir. Bukit yang ditumbuhi
pohon-pohon jati yang rapat itu didakinya dengan merangkak. Ini pun
dilakukannya dengan susah payah karena tangan kanannya yang sakit tidak bisa
dipergunakan sama sekali. Hanya kekerasan hati dan juga ingin cepat-cepat
mengadu kepada gurunyalah maka dia akhirnya sampai juga ke pondok papan itu.
Pintu didorongnya, ternyata tidak
dikunci. Dia masuk ke dalam. Manusia kate berkepala botak dan berewokan yang
tengah duduk di atas sebuah bantalan yang tak lain dari Warok Kate adanya
menjadi terkejut ketika melihat seseorang masuk ke tempatnya dan merangkak
seperti seekor anjing pincang kaki mukanya. Dan rasa terkejut kepala rampok ini
menjadi tambah lagi ketika mengetahui manusia yang merangkak itu adalah
muridnya sendiri!
"Sangkrong!" seru Warok
Kate seraya melompat dari duduknya. "Apa yang terjadi dengan dirimu.
Mengapa kau merangkak seperti anjing...."
Tiba-tiba "bruk!" Tubuh
anak buahnya itu jatuh tergelimpang di hadapannya karena kehabisan napas dan
kelelahan. Lidahnya terjulur ke muka.
"Kurang ajar! Pekerjaan
siapa itu huh?!" kata Warok Kate ketika melihat siku kanan anak buahnya
yang bengkak. Dia berlutut dengan cepat dan dengan beberapa kali meraba saja
dia sudah memaklumi bahwa sambungan siku muridnya itu telah terlepas. Warok
Kate menotok urat darah Sangkrong di beberapa bagian lalu dengan cekatan
mempertemukan kembali sambungan siku kanan Sangkrong yang sebelumnya terlepas.
Setelah bantu mengalirkan tenaga dalamnya ke tubuh sang murid maka siumanlah
Sangkrong.
"Sangkrong! Cepat duduk dan
atur jalan napas serta darahmu," perintah Warok Kate.
Si murid yang menyadari bahwa
dirinya habis mendapat cedera segera mengerjakan apa yang diperintahkan
gurunya. Dia duduk di lantai pondok dengan bersila, mengatur jalan napas dan
darah serta mengalirkan hawa tenaga dalamnya ke lengan kanan. Beberapa saat
kemudian rampok ini merasakan kesehatannya pulih kembali, cuma daging bekas
pukulan di sekitar siku tangan kanannya masih agak kemerahan tapi sudah tidak
sakit lagi. Kemudian rampok Ini cepat-cepat berlutut di depan pemimpin atau
gurunya itu seraya berkata: "Guru, harap dimaafkan kalau murid terpaksa
datang ke sini...."
"Sudah, sudah!"
memotong Warok Kate.
"Katakan cepat mengapa kau
datang ke sini dan siapa yang mencelakaimu!"
"Guru, Kadipaten Magetan
kedatangan seorang gadis liar berilmu tinggi. Saya dan kawan-kawan tidak
sanggup melawannya. Masih untung saya bisa melarikan diri, kawan-kawan yang
lain mati semua di tangan gadis itu...."
Bukan main terkejutnya si kepala
rampok itu. "Apa Sangkrong?! Kawan-kawanmu mati semua? Mati di tangan
seorang gadis?" Tak percaya Warok Kate akan keterangan muridnya itu.
"Sangkrong! Kau bicara edan
atau sinting?!"
"Ampun guru, murid tidak
edan dan tidak pula sinting. Murid tidak dusta...." Sangkrong kemudian
menerangkan apa yang terjadi di Kadipaten Magetan dua hari yang lalu.
"Kurang ajar! Benar-benar
kurang ajar!" rutuk Warok Kate. "Masakan empat orang muridku yang
berilmu tinggi sampai dapat dikalahkan bahkan dibunuh oleh seorang lawan, oleh
seorang gadis pula! Percuma! Benar-benar bikin aku malu! Percuma jadi
murid-muridku. Kau juga percuma Sangkrong!" Bersamaan dengan itu
melayanglah kaki kanan Warok Kate menendang Sangkrong sampai si murid terhantar
di lantai.
"Ampun guru," kata si
murid sambil berlutut kembali. "Bukan kami hendak merendahkan kepandaian
yang guru ajarkan kepada kami, tapi gadis itu tinggi ilmunya, sangat
hebat."
"Tutup mulutmu monyet!"
bentak Warok Kate. Dia masuk ke dalam sebuah kamar dan ketika keluar
dikempitannya terdapat seorang anak perempuan berumur sembilan tahun, anak
tunggal Adipati Magetan.
"Sangkrong kau ikut aku!
Kita ke Magetan sekarang juga. Kita cari gadis liar itu sekalian menebas batang
leher Lor Bentulan!"
Warok Kate melangkah menuju ke
pintu dan muridnya mengikut di belakang. Mendadak pintu di muka mereka terbuka
lebar dan sesosok tubuh masuk. Si kepala rampok, lebih-lebih Sangkrong,
kagetnya bukan main.
"Warok Kate, kau tak usah
susah-susah pergi ke Magetan. Aku sudah berdiri di hadapanmu. Bukankah kau
barusan bilang hendak mencari aku?"
"Guru!" seru Sangkrong
dengan suara gemetar. "Inilah dia iblis betina itu!"
Kedua mata Warok Kate memandang
melotot. Hampir tak dapat dipercaya kalau gadis yang masih muda belia serta
cantik jelita inilah yang telah membunuh keempat orang anak buahnya yang
rata-rata memiliki ilmu kepandaian tidak rendah! Tiba-tiba meledaklah tawa
manusia kate berkepala botak itu. "Jadi inikah manusianya yang telah
membunuh murid-muridku? Benar-benar membuat aku jadi kepingin jatuh cinta!
Ha... ha... ha...!"
"Manusia rendah!"
bentak Wulansari. "Tidak tahu ajal sudah di depan mata masih bicara
besar!"
"Aduh, memang benar galak
rupanya," kata Warok Kate dengan menyeringai. "Gadis jelita, kau
berlututlah di hadapanku dan katakan bahwa kau bersedia menjadi isteriku!
Dengan demikian aku bersedia memberi ampun padamu!"
"Bedebah! Kurobek
mulutmu!" bentak Wulansari dengan geram. Tubuhnya melesat ke muka dan
tangan kanannya yang berkuku panjang menyambar ke mulut Warok Kate.
Kepala rampok ini terkejut
melihat serangan dahsyat yang disertai angin pukulan keras. Cepat-cepat dia
melompat jauh ke belakang. Kini dia maklum bahwa keterangan Sangkrong tidak
kosong belaka. Matanya melirik ke arah jari-jari tangan si gadis. Dia lupa-lupa
ingat bahwa dulu pernah seorang lawan menyerangnya dengan cara seperti Ku.
Kuku-kuku yang rapi tapi panjang dari Wulansari mengingatkan Warok Kate pada
orang itu, tapi dia masih belum merasa pasti. Anak perempuan yang ada dalam
kempitannya dilemparkannya ke pojok pondok. Anak itu bergerak tidak merintih
pun tidak. Wulansari menjadi cemas karena dia yakin anak tersebut adalah anak
Adipati Lor Bentulan. Apakah sudah mati, pikir Wulansari.
"Sangkrong!" terdengar
suara Warok Kate menyebut nama muridnya dengan cepat karena saat itu dilihatnya
Wulansari bersiap-siap hendak melancarkan serangan kedua. "Coba kau layani
gadis liar ini beberapa jurus! Aku ingin lihat sampai di mana
kepandaiannya!" Sebenarnya Warok Kate menyuruh muridnya menghadapi
Wulansari diam-diam dia mempunyai maksud tertentu. Dalam beberapa jurus
bertempur dia ingin melihat gerakan-gerakan ilmu silat gadis itu, apakah sama
gerakannya dengan ilmu silat orang yang dimaksudkannya. Sangkrong jadi terkejut
mendengar kata-kata gurunya tadi. Dia sudah lihat dengan mata kepala sendiri
bagaimana kawan-kawannya yang empat orang mati konyol di tangan gadis itu,
bahkan dia sudah merasa sendiri bagaimana sambungan sikunya dijotos dibikin
terlepas, kini dia disuruh melawan, dengan seorang diri pula!
Berdiri bulu tengkuk rampok Ini.
Tapi kalau tidak dipatuhinya kata-kata Warok Kate yang berupa perintah guru
kepada seorang murid, dia lebih celaka lagi! Dengan tangan gemetar Sangkrong
mencabut golok besarnya. Senjata itu diputar-putarnya di atas kepala dan sesaat
kemudian dia melompat ke muka melancarkan serangan hebat.
"Warok Kate pengecut!
Mengapa suruh anak buahmu melayaniku?! Aku tidak ada urusan dengan dia!"
hardik Wulansari. Tubuhnya berkelebat dan "buk!" Sangkrong menjerit
setinggi langit. Tubuhnya mental, melingkar di lantai dan mati di situ juga
karena tulang dadanya hancur dan melesak ke dalam kena tendangan tumit kaki
kanan si gadis yang bergerak saking cepatnya hampir tidak kelihatan!
Berubahlah air muka Warok Kate
melihat kematian muridnya yang cuma dalam satu gebrakan saja. Tangan kanannya
menekan hulu golok panjang yang tersisip di pinggangnya. "Gadis keparat!
Kau cepatlah berlutut minta ampun, sebelum aku merubah niat memisahkan kepalamu
dari badanmu yang indah mulus itu!"
"Bangsat rendah! Kau yang
harus berlutut di hadapanku agar lebih mudah kuhancurkan batok kepalamu!"
"Jangan bicara sombong gadis
sinting!"
"Kau yang bermulut besar
harus serahkan nyawamu padaku hari ini. Kau membunuh guruku si Cakar
Setan!"
Warok Kate mundur selangkah. Apa
yang diduganya benar! Ternyata gadis itu memang murid si Cakar Setan.
"Hm... jadi kau muridnya si Cakar Setan?! Bagus! Kalau kau memang ingin
menyusul gurumu itu di neraka, aku tidak segan-segan menunjukkan jalan ke neraka!"
"Srett!" Warok Kate
mencabut golok panjangnya. "Kau lihat senjata ini?" katanya
menyeringai. "Dengan inilah gurumu kubikin konyol! Dan kau muridnya
sekarang juga minta cepat-cepat mampus!" Kepala rampok ini dengan ganas
mengirimkan serangan berupa tusukan ujung golok yang deras ke dada Wulansari.
Gadis ini menggerakkan tubuhnya ke samping dengan cepat. Ujung golok berputar
arah kini menusuk ke pinggang. Wulansari miringkan tubuh namun golok yang di
tangan lawannya kini menebas ke arah kedua kaki dengan sangat cepatnya!
Sebagai seorang kepala rampok
yang ditakuti ternyata ketinggian ilmu Warok Kate bukan suatu hal yang kosong
belaka. Kalau dia sanggup membunuh si Cakar Setan, guru Wulansari, maka dapat
diukur tingkat ketinggian ilmu silatnya!
Dengan serangan berantai susul
menyusul itu Warok Kate bermaksud akan merobohkan lawannya dalam sekali
gebrakan saja tapi dia jadi terkejut ketika dengan gerakan-gerakan gesit
lawannya berhasil mengelakkan semua serangan itu. Warok Kate memutar goloknya
lebih cepat. Angin deras bersiuran. Tubuhnya bergerak kian kemari dan golok
panjangnya membabat simpang siur. Sungguh hebat permainan golok manusia kate
ini, Wulansari terpaksa harus berkelebat cepat jika tidak mau tubuhnya
tersambar senjata lawan yang ganas. Kedua orang ini tak ubahnya seperti dua
bayang-bayang saja. Dua puluh jurus lewat tak terasa. Dengan penasaran Warok
Kate merubah permainan goloknya. Gerakan-gerakan dan serangan-serangan
senjatanya kini berubah aneh dan sangat membahayakan Wulansari karena setiap
saat dia mengelak, senjata lawan senantiasa mengikuti arah geraknya pula!
Gulungan sinar golok Warok Kate mengurung gadis belia ini dari segenap penjuru
dan mau tak mau membuat dia mulai terdesak!
Ketika si gadis melompat untuk
mengelakkan serangan dahsyat yang mengarah ke dadanya, celakanya kaki kirinya
menginjak mayat Sangkrong sehingga tak ampun lagi tubuhnya terjungkal ke muka.
Dan pada saat yang sama pula golok Warok Kate menyambar dari muka!
"Mampuslah kau!" teriak
Warok Kate gembira karena dia maklum bahwa serangannya itu pasti akan menebas
batang leher lawannya, atau paling kurang goloknya akan membabat dada! Namun
semua yang di luar dugaan kepala rampok ini terjadi!
Melihat bahaya besar mengancam
nyawanya dengan mengerahkan tenaga dalamnya ke kaki kiri yang masih memijak
lantai, Wulansari menjatuhkan dirinya ke lantai sambil mempergunakan tekanan
kaki kiri untuk melesat ke muka. Golok lawan lewat kurang dari setengah jengkal
diatas kepalanya. Sebelum Warok Kate habis terkejutnya dan sebelum kepala
rampok ini sempat melancarkan serangan susulan maka Wulansari menggulingkan
tubuhnya ke arah kaki lawan.
"Bret!" Bersamaan
dengan terdengarnya suara robekan pakaian itu maka tubuh si manusia kate mental
ke atas! Waktu bergulingan tadi, dengan kecepatan luar biasa Wulansari telah
mempergunakan kuku-kuku jari tangan kirinya untuk mencakar betis lawannya
sedang tangan kanan menghantam ke kaki Warok Kate yang lain dan kedua serangan
ini berhasil baik! Kaki celana hitam kepala rampok itu robek besar menjela-jela
ke lantai sedang kulit betisnya terluka oleh tiga cakaran jari-jari tangan.
Luka itu terasa perih dan gatal-gatal. Namun dengan mengerahkan tenaga dalamnya
yang tinggi maka rasa sakit dan gatal-gatal itu dalam sekejapan mata bisa
dikuasainya lalu hilang.
"Bangsat hina dina!"
maki kepala rampok itu dengan tampang beringas. Kedua matanya kelihatan merah
menyorot. Dia sangat terkejut melihat kehebatan gadis ini dan menjadi ragu-ragu
apakah benar Wulansari murid si Cakar Setan. Kalau benar, bagaimana mungkin
muridnya sampai sehebat ini sedang gurunya si Cakar Setan berhasil dibunuhnya?!
Dan lebih gila lagi karena sampai saat itu Wulansari masih melayaninya dengan
tangan kosong! "Gadis iblis! Kau murid siapa sebenarnya?!"
"Di saat ajalmu hendak
minggat ke neraka tak usah banyak tanya, manusia rendah!" bentak
Wulansari. Mendidih amarah Warok Kate. Dia melompat ke muka dan mulailah dia
mengeluarkan segala ilmu simpanannya yang paling diandalkan dengan jurus-jurus
serangan yang mematikan! Wulansari dibikin sibuk kini! Tubuh gadis ini
berkelebat kian kemari namun bahaya terkena sambaran senjata lawan sangat
besar. Ketika dia kepepet ke pojok pondok, gadis ini segera mengeluarkan
selendang kuningnya.
"Ha... ha! Kau punya senjata
simpanan juga rupanya!" ejek Warok Kate dengan tertawa lebar waktu melihat
lawannya mengeluarkan senjata yang hanya berupa sebuah selendang terbuat dari
kain halus berwarna kuning. "Maju, majulah iblis betina biar kutebas ujung
selendang itu sedikit demi sedikit!"
Jawaban dari Wulansari adalah
kebutan selendang di tangan kirinya yang menyerang kepala Warok Kate. Kepala
rampok yang tadi menganggap remeh senjata lawan jadi terkejut karena dia dapat
merasakan angin pukulan yang dingin tajam dari selendang itu. Dengan memutarkan
golok di muka kepala dia melompat ke samping. Kini dia tidak mau main-main
lagi, dan segera mengirimkan serangan beruntun! Kedua orang itu mengeluarkan
segala kepandaiannya untuk merobohkan lawan. Golok panjang di tangan kanan
Warok Kate bergulung-gulung dan mengirimkan serangan-serangan ganas mematikan
sedang selendang di tangan kiri Wulansari mengebut kian kemari seperti seekor
ular kuning yang senantiasa memapaki serangan lawan. Satu kali selendang itu
dengan lihaynya berhasil membelit ujung pedang laksana satu jepitan besi
sehingga pedang itu tidak akan mungkin lagi terlepas! Dengan mengerahkan tenaga
dalamnya yang tinggi, Warok Kate bermaksud hendak merobohkan lawan sampai
terluka berat bagian tubuh sebelah dalamnya dan bersamaan dengan itu menarik
goloknya dari lilitan selendang! Tapi terkejutnya kepala rampok itu bukan main
ketika dirasakannya bagaimana tenaga dalamnya terpukul mundur oleh tenaga dalam
lawan. Celaka, pikir Warok Kate. Tidak dinyana tenaga dalam gadis muda belia
itu lebih tinggi dari yang dimilikinya! Tapi Warok Kate tidak mau menyerah
demikian saja, apalagi kalau harus kehilangan goloknya, kena dirampas lawan.
Dengan mempergunakan tenaga dalam
lawannya yang ada dalam lilitan selendang untuk menahan berat tubuhnya maka
dengan satu bentakan menggeledek kepala rampok itu mengayunkan kedua kakinya ke
muka. Kaki kiri ke arah tenggorokan sedang kaki kanan ke pusar Wulansari!
Melihat ini si gadis cepat mengelak ke samping dan terpaksa melepaskan
selendangnya yang melilit golok. Meskipun tadinya dia akan berhasil merampas
senjata lawan tapi menghindarkan dua tendangan yang berbahaya itu adalah lebih
penting lagi.
Merasakan goloknya terlepas dari
lilitan selendang, dengan jungkir balik di udara kepala rampok itu membebatkan
senjatanya ke perut Wulansari membuat gadis ini terpaksa membatalkan serangan
selendang yang tadi hendak dilancarkannya. Warok Kate mengamuk hebat. Wulansari
tidak mau kalah, tubuhnya berkelebat cepat dan selendang kuningnya senantiasa
menyerang bagian-bagian tubuh yang lemah dari lawan sedang tangan kanannya
tiada henti-hentinya mengirimkan pukulan-pukulan jarak jauh yang ampuh atau
kadang-kadang serangan berupa cakaran burung elang! Meskipun setiap serangan
selendang yang mengarah kepalanya dapat dielakkan oleh Warok Kate tapi tak
urung kedua matanya lama-lama menjadi sakit juga oleh sambaran angin selendang
itu. Untung saja kepala rampok ini sudah tinggi ilmu dalamnya sehingga dia
masih sanggup menahan rasa perih itu.
Entah berapa puluh jurus pula
sudah berlalu. Dan mulailah kelihatan bahwa Warok Kate berada di atas angin
kini. Untuk beberapa lamanya Wulansari hanya sanggup bertahan, tidak berdaya
untuk balas menyerang. Dari bertahan akhirnya gadis ini mulai didesak. Ujung
selendangnya sudah beberapa kali kena dipapas senjata lawan! Melihat ini, tanpa
menunggu lebih lama Wulansari segera mengeluarkan pedang mustika pemberian
gurunya si orang tua sakti Suara Tanpa Rupa! Si kepala rampok bertubuh kate itu
jadi terkejut ketika melihat gulungan sinar merah menyambar dahsyat ke arahnya.
Dia melompat mundur beberapa langkah dan jadi bergidik ketika melihat bagaimana
lawannya kini menggenggam sebuah pedang mustika berwarna merah yang sinarnya
menyilaukan mata! Tapi dia tak bisa meneliti senjata itu lebih lama karena
dengan sangat tiba-tiba si gadis sudah menyerangnya. Dengan pedang Dewi di
tangan Wulansari maka kini keadaan pertempuran jadi berbalik seratus delapan
puluh derajat! Meremang bulu tengkuk Warok Kate melihat sambaran-sambaran
pedang yang mengeluarkan angin panas bersiuran. Keringat dingin kelihatan jelas
membasahi kepalanya yang botak itu! Dia terdesak hebat. Setiap dia mengelak,
setiap kali pula lawannya mengirimkan serangan yang tiada terduga dengan sangat
cepatnya. Permainan golok Warok Kate jadi kacau balau. Di samping itu dia tidak
berani menangkis senjata lawan dengan goloknya karena maklum bahwa pedang di
tangan si gadis adalah sebuah pedang mustika sakti yang tajamnya bukan main!
Namun ketika pedang merah itu
menyambar sangat dekat dan deras ke arah lehernya, tiada jalan lain bagi Warok
Kate dia terpaksa mempergunakan goloknya untuk dipakai menangkis.
"Trang!"
Warok Kate mengeluarkan seruan
tertahan. Goloknya terbabat puntung, ujungnya menancap di dinding papan. Dengan
masih menggenggam goloknya yang sumpung kepala rampok ini melompat menjauhi
lawan. Mukanya pucat pasi seperti mayat.
"Ayo monyet botak! Mengapa
menjauh? Apa kau takut mampus?!" ejek Wulansari.
Dengan darah mendidih Warok Kate
melemparkan senjatanya yang sumpung ke arah si gadis. Lemparan ini bukan
lemparan biasa saja karena disertai hantaman tenaga dalam. Ujung yang puntung
dari golok melesat deras ke arah batang leher Wulansari. Sekali saja gadis ini
menggerakkan pedang merahnya maka golok yang dilemparkan kepadanya patah dua
dan luar
biasanya, patahan golok ini kini
berbalik menyerang Warok Kate! Kepala rampok itu jadi terkesiap. Tapi menyadari
bahaya yang mengancamnya, cepat-cepat dia melompat ke samping dan dia selamat
dari serangan patahan goloknya sendiri!
***
SEPULUH
MELIHAT lawannya kini tidak
bersenjata lagi, Wulansari segera hendak menyarungkan pedangnya kembali, tapi
niatnya ini dibatalkan ketika dengan tiba-tiba Warok Kate dilihatnya
menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu di tangan itu kini tergenggam
sebilah keris berwarna hijau gelap. Dari warna keris di tangan lawan ini
Wulansari maklum bahwa senjata itu mengandung racun jahat mematikan! Oleh Warok
Kate sendiri keris hijau itu sangat diandalkan sekali karena merupakan warisan
gurunya yang masa itu masih hidup dan diam di gunung Karang. Sebelumnya tidak
pernah satu lawan pun sanggup menghadapi keampuhan keris tersebut. Kalau tidak
mati pasti menderita luka di dalam yang hebat dan sukar dicari obatnya. Kini
dengan memegang keris hijau tersebut di tangan kanan, nyali kepala rampok ini
menjadi besar dan dia yakin akan dapat merobohkan Wulansari dalam beberapa
jurus saja meskipun gadis ini memiliki pedang mustika sakti!
Dengan penuh keyakinan akan
menang, Warok Kate menyerbu ke muka. Kerisnya menyambar mengeluarkan cahaya
hijau dan angin dingin. Wulansari tidak tinggal diam. Segera pedang merah di
tangannya diputar bergulung-gulung untuk memapaki senjata dan serangan lawan.
Untuk beberapa jurus lamanya keris ditangan Warok Kate masih dapat melayani
pedang pusaka di tangan si gadis. Namun kemudian kelihatanlah bagaimana
gulungan sinar merah mengurung sinar hijau. Dan dalam beberapa kali bentrokan
senjata yang menimbulkan bunga api keris hijau itu menjadi gompal-gompal sedang
Warok Kate merasakan tangannya tergetar keras dan panas! Maklumlah dia kini
bahwa keris hijaunya sama sekali tidak sanggup menandingi pedang lawan.
Karenanya dia tidak berani lagi untuk bentrokan senjata.
Namun dalam keadaan terdesak
hebat, dari pada kehilangan nyawa, terpaksa dia mempergunakan keris pusaka
gurunya itu untuk dipakai menangkis pedang lawan. Sedikit demi sedikit keris
hijau itu menjadi pendek dan dalam satu bentrokan hebat, menjadi patah dua!
Untuk kedua kalinya tampang kepala rampok ini menjadi pucat pasi. Dia cepat
melompat ke belakang namun terlambat. Lebih cepat dari gerakannya itu, pedang
merah di tangan Wulansari yang tadi membuat keris hijaunya patah dua kini
membalik deras. Warok Kate berusaha menangkis dengan patahan keris tapi
tangannya diangkat terlalu tinggi. Maka terdengarlah jeritan setinggi langit
dari kepala rampok itu dan tiga benda mental ke udara. Benda pertama adalah
tangan kanan Warok Kate yang terbabat puntung sebatas lengan, benda kedua keris
hijaunya yang sudah puntung dan benda ketiga adalah kepalanya yang botak
seperti bola itu, yang terpisah dari badannya karena pedang Wulansari begitu
memapas lengan terus membabat ke leher Warok Kate!
Seperti sebuah bola saja
layaknya, kepala Warok Kate menggelinding di lantai menghamburkan darah kental.
Wulansari memasukkan pedang pusaka itu kembali ke sarungnya. Dia boleh merasa
bangga dalam hatinya. Dengan mempergunakan pedang sakti itu dan memainkan
jurus-jurus rendah saja dari ilmu "Dewi Pedang Delapan Penjuru
Angin", dia berhasil merobohkan lawannya. Gadis ini kemudian berlutut dan
memandang ke utara lalu berkata perlahan: "Guru, manusia yang telah
membunuhmu telah meregang nyawa hari ini! Sakit hati guru terbalas sudah,
semoga arwahmu berada dalam ketenangan di alam baka."
Habis berkata demikian Wulansari
berdiri dan cepat-cepat melangkah ke pojok pondok dimana anak perempuan Adipati
Lor Bentulan terbujur. Wulan berlutut dan meneliti. Ternyata anak perempuan itu
cuma ditotok jalan darahnya sehingga tubuhnya kaku tak sadarkan diri. Segera si
gadis mempergunakan jari-jari tangannya untuk melepaskan totokan itu. Si anak
perempuan siuman. Mula-mula ia merintih lalu membuka matanya.
"Ibu..." katanya hampir
tidak kedengaran. Kasihan anak ini. Wulansari yang berlutut disampingnya
disangka ibunya. Tubuh anak ini kurus dan parasnya pucat. Rupanya tidak dirawat
oleh Warok Kate sebagaimana mestinya, maklumlah merawat seorang anak yang tak
lebih dari pada tawanan belaka! Wulansari mendudukkan anak itu di lantai. Dia
tersenyum dan mengusap rambutnya.
"Adik kecil, tak usah takut.
Namamu siapa?" tanya Wulansari sambil senyum dan mengusap kepala anak
perempuan itu. Si anak tak segera menjawab. Ditatapnya paras Wulansari lama
sekali. Kemudian dia memandang berkeliling. Wulansari sengaja berlutut merapat
ke tubuh anak itu hingga dia tidak dapat melihat mayat-mayat yang
bergelimpangan dalam ruangan. Kemudian terdengar si anak mulai menangis
terisak-isak.
"Ah, kau anak manis mengapa
menangis? Kan sudah besar. Mari kita pergi dari sini. Aku akan antarkan kau kembali
ke rumahmu di Magetan...."
Wulan menarik tangan anak itu
lalu mendukungnya. Sekali dia menggerakkan ke dua kakinya maka dia sudah
melesat keluar dari pondok. Mula-mula anak Adipati Lor Bentulan itu merasa
takut dan gamang dibawa berlari sedemikian cepatnya. Pohon-pohon yang dilewati
seolah-olah terbang. Namun lama-lama sesudah biasa, dia mulai merasa enak malah
tertawa-tawa. Setiap dia melewati tempat berpemandangan indah anak ini merasa
gembira sekali. Dia seperti bertamasya dengan menunggang seekor kuda.
TAMAT
Selanjutnya:
Emoticon