MAHESA KELUD
PEDANG SAKTI KERIS ULAR EMAS
Karya: Bastian Tito
Episode 01
DELAPAN SURAT KEMATIAN
SATU
REMBULAN di angkasa serta merta
lenyap dari pemandangan begitu kelompok awan gelap tebal menutupinya. Malam
menjadi semakin gelap, udara tambah dingin, demikian dinginnya sehingga terasa sampai
menyusup ke tulang-tulang sum-sum. Awan gelap makin banyak, langit makin
menggelap sedang tiupan angin tambah keras. Panji Ireng hampir-hampir tak dapat
melihat jalan yang ditempuhnya. Beberapa kali kakinya terserandung. Setiap kali
terserandung setiap kali pemuda tanggung ini memaki dalam hatinya. Dia
mempercepat langkah karena tahu bahwa kampungnya masih jauh dan masih harus
menyeberangi Kali Brantas di samping itu hari hendak hujan pula. Panji Ireng
seorang pemuda tanggung berumur enam belas tahun. Jika melihat kepada perawakan
badannya agaknya tak seorang pun akan percaya bahwa dia baru berumur sekian.
Bagaimana tidak, tubuhnya tinggi
kekar. Otot-ototnya kuat. Rambutnya hitam sedikit berombak dan tebal. Di bawah
kedua alis matanya terdapat sepasang mata yang tajam. Hidungnya tinggi sedang
bibirnya tipis panjang. Bibir yang tipis panjang ini serta mata yang tajam
cukup memberikan gambaran bahwa Panji Ireng seorang yang berhati keras. Panji
seorang anak petani miskin di kampung Sariwangi yang terletak di seberang timur
Kali Brantas. Malam itu dia habis melihat pertunjukan wayang kulit di desa
tetangga. Panji Ireng memang seorang paling suka pada pertunjukan seperti itu.
Walau di mana pun tempatnya, walau bagaimanapun jauhnya, tapi bila mendengar ada
wayang maka dia pasti akan pergi ke sana. Apalagi kalau diketahuinya cerita
wayang bagus serta Ki Dalang yang membawakannya Ki Dalang kesayangannya, biar
sakit biar udara buruk, dia pasti pergi juga.
Tapi yang sekali itu, entah mengapa
selewatnya tengah malam Panji Ireng merasa matanya sangat mengantuk. Hatinya
tidak enak dan ingatannya selalu kepada pulang. Ketika dia memandang ke langit
dilihatnya awan gelap berkelompok-kelompok tanda hari akan hujan. Panji Ireng
menguap dan mulai berpikir-pikir untuk pulang. Tapi dia ingat akan pantangan
bagi seorang yang menonton pertunjukan wayang yaitu bila hendak pulang harus
sebelum tepat tengah malam.
Bila pulang sesudah tengah malam
pasti orang yang pulang itu akan mengalami apa-apa yang tidak baik di tengah jalan.
Hati pemuda itu menjadi bimbang. Pulang atau tidak? Kakinya terasa pegal, mata
memberat dan dia menguap lagi untuk kesekian kalinya. Akhirnya tarikan pulang
tak bisa ditahannya. Panji Ireng menyeruak di antara orang banyak dan
meninggalkan tempat pertunjukan. Pada saat dia mencapai kali, kilat yang
pertama menyambar disusul oleh suara gelegar guruh seperti hendak memecahkan
anak telinga. Angin kencangnya bukan main tak ubahnya seperti suara ratusan
seruling yang ditiup secara bersamaan. Guruh menggelegar lagi tanpa didahului
oleh kilat, membuat Panji Ireng jadi terkejut sehingga bulu tengkuknya
merinding. Di dalam kegelapannya malam, diantara gemuruh suara guruh dan kilat
petir yang sambung-menyambung pemuda itu menyusuri tepi kali, mencari rakit penyeberang.
Di Kali Brantas, dalam jarak-jarak tertentu biasanya terdapat rakit-rakit untuk
menyeberang. Panji Ireng sampai ke bagian kali di mana tertambat sebuah rakit
kecil. Dia meluncur di tebing kali dan naik ke atas rakit. Pada saat kakinya
menginjak bambu-bambu rakit tersebut barulah diketahuinya betapa derasnya arus
air kali saat itu. Kakinya bergetar. Dengan susah payah dilepaskannya tali
tambatan rakit. Rakit bergoyang keras dilanda arus sungai. Sementara itu
seperti dicurahkan dari langit layaknya hujan pun mulai turun sangat lebatnya.
Dalam beberapa detik saja seluruh pakaian dan tubuh Panji Ireng sudah basah
kuyup.
Pemuda ini menggigil kedinginan.
Dipegangnya tali rakit penyeberang yang menghubungkan tepi kali dengan tepi
lainnya. Diantara gemuruh suara guntur dan kilapan kilat yang menyambar, di
bawah hujan lebat, dalam keadaan arus sungai mengamuk gila maka Panji Ireng
mulai menarik tali penghubung. Dalam keadaan seperti itu sukar bagi rakitnya
untuk bisa bergerak ke seberang. Beberapa lamanya rakit tersebut berputar-putar
dan dihempas-hempaskan arus. Sebelum mencapai pertengahan kali tali pengikat
rakit dengan tali penghubung putus!
"Celaka!" kata Panji Ireng
dalam hatinya. Arus sungai melanda dengan deras membuat rakit di mana dia
berada berputar miring. Pemuda itu terpelanting dan jatuh terguling. Untung dia
masih sempat memegang tepi rakit, kalau tidak pasti tubuhnya tenggelam ke dasar
sungai di telan arus yang mengamuk hebat. Panji Ireng berpegang seerat-eratnya
pada bambu itu sementara arus membanting-banting dan melemparkan rakit kian
kemari. Panji merasakan urat-urat dan otot-otot tubuhnya menjadi kaku
mengejang. Tenaganya semakin berkurang. Pegangannya pada bambu rakit sudah
tidak berarti lagi. Akhirnya ketika satu arus keras memukul rakit, Panji Ireng
tak punya daya lagi. Pegangannya terlepas. Tubuhnya dipermainkan arus beberapa
saat lamanya. Panji menggapai-gapaikan kedua tangannya ke atas dan berteriak
minta tolong. Berbuat demikian membuat tubuhnya cepat tenggelam ditelan air
sungai dan lagi pula kepada siapa dia akan minta tolong dimalam buta begitu?
Ujung bambu rakit yang berputar-putar membentur kepala Panji Ireng.
Tak ampun lagi pemuda ini segera tak
sadarkan diri. Tubuhnya mulai tenggelam dan sedetik lagi niscaya segera hilang
dari permukaan air. Namun pada detik tegang yang menentukan ini pulalah dari
seberang kali meloncat melesat sesosok tubuh yang tak dapat dikenal siapa
adanya karena malam begitu gelap dan hujan begitu lebat menghalangi
pemandangan. Begitu kedua kakinya menjejak rakit orang ini segera mengulurkan
tangan menjangkau dan mencekal tengkuk pakaian Panji Ireng. Dengan satu
lompatan yang sangat enteng kemudian dia membawa tubuh Panji Ireng ke seberang
sungai!
Melihat bagaimana cara dan kecepatan
melompatnya manusia ini, melihat bagaimana dia kemudian membawa Panji Ireng ke
tepi sungai dengan satu tangan dan tangan kiri pula, maka siapa pun adanya
manusia itu sudah dapat kita ambil kepastian bahwa dia bukan manusia
sembarangan, tapi manusia yang punya ilmu tinggi sekali!
***
DUA
PANJI Ireng mulai sadarkan diri.
Perlahan-lahan dibukanya kedua matanya. Ternyata saat itu tubuhnya terbaring
menelungkup. Dengan memutarkan kedua bola matanya dia coba me mandang
berkeliling. Tanah di mana dia terbujur dan tanah di sekelilingnya basah dan
becek. Banyak semak belukar serta pepohonan. Kemudian disadarinya bahwa saat
itu dia berada di tepi sungai, di tepi Kali Brantas. Pemuda ini menjadi
keheran-heranan sendiri memikirkan bagaimana dia bisa sampai berada di situ,
dalam keadaan basah kuyup dan di malam yang dingin serta gelap menggidikkan.
Dicobanya mengingat-ingat. Malam itu
dia pulang menonton wayang golek di desa tetangga...lalu hari hujan...dia naik
rakit menyeberangi sungai...tali rakit putus...dia terpelanting
jatuh...kemudian mental ke dalam air... sesudah itu bambu rakit membentur
kepalanya membuat dia tidak ingat apa-apa lagi. Lalu mengapa dia kini bisa
berada terbaring dalam keadaan seperti itu ditepi sungai? Tak bisa
dimengertinya. Mungkin arus sungai telah melemparkannya ke tebing itu? Tidak
bisa jadi, pikir Panji Ireng. Atau mungkin ada seseorang yang telah
menolongnya? Ini juga suatu hal yang mustahil karena siapa pula manusianya yang
malam-malam seperti itu akan berada di sekitar sungai. Kalau pun ada juga
mustahil dia bisa menolong. Barangkali... barangkali penghuni sungai yang telah
menolongnya? Setan, iblis, jin, dedemit?! Meskipun udara dingin dan tubuhnya
basah kuyup tapi tak urung bulu tengkuk pemuda ini menjadi merinding!
Berpikir-pikir dan mengingat-ingat
itu membuat kepalanya menjadi sakit berdenyut-denyut, terutama di bagian yang
luka kena benturan rakit. Sementara itu seperti orang mendengar suara petir di
liang telinganya maka demikianlah terkejutnya pemuda ini ketika mendadak sontak
dia mendengar satu suara halus tapi nyaring disampingnya.
"Bagus... bagus! Kau sudah
siuman Panji?
Bagus! Bangkitlah dan duduk!"
Demikian halusnya suara yang tak
dikenal ini, Panji Ireng tak dapat memastikan apakah itu suara orang laki-laki
atau suara perempuan. Di samping rasa takut yang semakin mencekam Panji Ireng
juga kepingin tahu. Ia putar kepalanya dengan perlahan. Pandangannya membentur
sepasang kaki yang memakai gelang akar bahar. Kaki ini penuh dengan bulu-bulu
kasar. Pandangannya naik ke atas dan mengetahui bahwa orang yang berdiri di
sampingnya itu hanya memakai sehelai celana hitam sebatas dengkul. Dadanya
terbuka jelas dapat dilihat tulang-tulang iganya bertonjolan tanda bahwa orang
itu berperawakan kurus. Akhirnya pandangan Panji Ireng mencapai muka orang
tersebut.
Tubuh pemuda belasan tahun itu jadi
menggigil. Bukan karena dinginnya udara malam atau basah kuyupnya baju
melainkan karena kengerian yang tak bisa dilukiskan ketika dia melihat wajah
itu. Manusia tak dikenal bertubuh kurus ini bertampang luar biasa menyeramkan.
Telinganya yang ada cuma sebelah kiri sedang yang kanan licin sumpung.
Hidungnya sangat besar tapi pesek. Mulutnya kecil runcing, jadi tambah runcing
karena kedua pipinya yang cekung. Orang ini tidak berkumis tapi memiliki
janggut tebal hitam sampai ke dada. Mukanya penuh dengan kerenyut-kerenyut.
Namun apa yang paling menyeramkan dari tampang manusia ini adalah kedua
matanya.
Matanya cuma satu yaitu yang sebelah
kanan, besar melotot serta berwarna merah. Dalam gelapnya malam Panji Ireng
dapat melihat bagaimana mata yang satu itu memandang menyorot kepadanya menyala
laksana bara api. Berlainan dengan mata kanan ini maka mata kiri orang itu cuma
merupakan satu rongga yang besar dan gelap hitam menggidikkan. Rambutnya
gondrong awut-awutan.
"Ya Tuhan... tolong hamba Mu
ini..." kata Panji Ireng dalam hati. Kengeriannya tiada terperikan. Dia
hendak bangkit dan lari tapi tubuhnya terasa lemah lunglai seakan-akan dia
tidak punya tulang-tulang lagi saat itu.
"Celaka! Mati aku... pasti ini
setan penghuni sungai! Pasti aku dicekiknya! Tuhan selamatkan aku...."
Panji Ireng merasakan tanah di mana
dia terbujur menjadi bergetar ketika dia dengar suara manusia bermuka setan itu
berkata dengan keras dan tinggi "Panji Ireng, bangun kataku!"
Diantara kengeriannya pemuda itu tak habis mengerti bagaimana manusia di
hadapan yaitu bisa tahu namanya.
"Panji Ireng!" bentak si
muka setan ketika melihat pemuda tersebut masih saja berbaring menelungkup di
tanah. Panji hendak berteriak minta tolong tapi tenggorokannya seperti
tersumbat dan lidahnya terasa kelu membatu. Orang dihadapannya dilihatnya
menggeserkan kaki kanannya. Sedetik kemudian Panji Ireng merasa adanya sesuatu
kekuatan masuk ke dalam tubuhnya. Mula-mula tubuhnya terasa panas. Lalu
denyutan sakit di kepalanya yang luka hilang. Sesudah itu kekuatannya
perlahan-lahan menjadi pulih seperti sedia kala. Dan anehnya pemuda ini
kemudian menggerakkan tubuhnya bangkit.
"Bagus! Duduklah!" kata si
muka setan. Panji Ireng dudukkan dirinya di hadapan orang itu. Dia duduk bersila.
Meskipun dia tak sanggup menahan kengeriannya tapi kedua matanya tidak berkesip
memandang ke wajah yangmenyeramkan itu.
"Berdiri, Panji!"
Si pemuda berdiri. Dia melakukan
semua perintah di atas itu seperti orang yang kena sirap.
"Putar tubuhmu ke kiri!"
datang lagi perintah dari si muka setan. Mula-mula Panji Ireng tetap tak
bergerak tapi sorotan mata kanan yang melotot itu membuat hatinya menjadi
gentar dan ia putarkan tubuhnya sebagaimana yang diperintahkan. Kini dia
menghadap ke rimba belantara di tepi Kali Brantas sebelah barat. Karena tak
biasa mula-mula dalam kegelapan itu kedua matanya hampir tidak melihat apa-apa.
Tapi sesaat kemudian pemandangannya mulai terang dan samar-samar dilihatnya
sesosok tubuh manusia bersandar ke sebatang pohon beberapa langkah di
hadapannya.
"Kau lihat sosok tubuh itu,
Panji?" terdengar suara bertanya. Panji Ireng menoleh pada si muka setan
dan mengangguk. Kembali dia memutar kepala memandang ke arah sosok tubuh di
hadapannya. Dan pada kali inilah untuk pertama kalinya dia menyadari bahwa
tubuh manusia yang di hadapannya itu tidak punya kepala sama sekali!
Bukan main terkejutnya pemuda itu.
Lututnya kembali goyah, bulu tengkuknya yang sejak tadi memang sudah merinding
jadi tambah merinding. Dia sudah bulat tekad untuk melarikan diri tapi tidak
dapat. Satu kekuatan aneh seakan-akan memaku kedua kakinya ke tanah saat itu.
"Buka pakaianmu, Panji!"
terdengar lagi perintah si muka setan. Kedua alis mata Panji Ireng menaik. Dia
pura-pura tidak mendengar perintah itu.
"Buka pakaianmu, Panji!"
datang lagi perintah yang sama untuk kedua kalinya. "Jangan pura-pura jadi
tuli!"
Di luar kemauannya, di luar
kesadarannya Panji Ireng kemudian membuka kemejanya yang basah kuyup.
"Sekarang buka celanamu!"
Panji Ireng memandang tak mengerti
pada si muka setan.
"Celanamu!" bentak si muka
setan seraya menunjuk ke celana Panji Ireng dengan tangan kirinya. Saat itu
baru si pemuda mengetahui bahwa makhluk yang mengerikan itu tangan kirinya
bengkok. Juga di luar kemauan dan kesadarannya Panji Ireng kemudian membuka
celananya. Dimalam yang berudara dingin itu dia cuma mengenakan cawat saja
kini.
"Cawatmu!"
Nafas Panji Ireng menyesak mendengar
perintah yang selanjutnya ini. Hatinya berontak tidak mau mengikuti perintah
tersebut. Tapi kekuatan gaib yang menguasai dirinya membuat dia tidak punya
daya dan lagi-lagi di luar maunya tangannya mulai membuka cawat yang
dikenakannya. Dengan demikian pemuda itu kini menjadi tidak memakai secarik
kain pun untuk menutupi tubuhnya alias telanjang bulat.
"Melangkah ke hadapan sosok
tubuh yang tersandar di batang pohon itu!" Ini adalah perintah selanjutnya
dari manusia bermuka setan. Panji Ireng menurut patuh. Saat itu dengan masih
memegangi pakaiannya yang tadi dibuka dia langkahkan kakinya ke muka. Satu
langkah di hadapan sosok tubuh tanpa kepala atau jelasnya mayat tanpa kepala
Panji menghentikan langkah.
"Buka seluruh pakaian mayat itu,
Panji!"
Berdiri sedekat itu dengan mayat yang
mengerikan membuat Panji seperti mau gila. Seramnya bukan main tapi hendak lari
tidak dapat. Jangankan lari membuka mulutnya pun tidak bisa!
"Cepat Panji! Kerjakan
perintahku! Nanti hari keburu siang!" kata si muka setan sambil memandang
ke langit jurusan timur. Dengan tubuh menggigil si pemuda menjalankan perintah
itu. Dia berlutut di hadapan mayat. Dapat dilihatnya dengan jelas leher yang
putus penuh dengan gumpalan-gumpalan darah beku. Pada pakaian mayat juga terdapat
banyak noda-noda darah. Panji mengulurkan tangannya yang gemetar mulai membuka
pakaian si mayat. Dalam keadaan serupa itu sukar untuk membuka bajunya karena
tubuhnya tersandar ke batang pohon. Tiba-tiba sosok tubuh itu jatuh
tergelimpang ke tanah! Panji ikut pula jatuh duduk. Nafasnya memburu, tubuhnya
mengejang karena terkejut.
"Ayo Panji! Cepat!"
Satu demi satu Panji Ireng membuka
pakaian mayat itu. Kini tubuh mereka sama-sama telanjang. Cuma bedanya yang
satu sudah tidak punya kepala dan tak bernafas sedang yang satu masih punya
kepala dan masih hidup!
"Selesai?!"
Tanpa menoleh pada si muka setan
Panji Ireng menganggukkan kepalanya.
"Bagus! Sekarang pakai olehmu
pakaian mayat itu!"
Perintah ini pun diturut oleh si
pemuda tanpa bantahan. Pakaian mayat tak dikenal sesuai dengan perawakan
tubuhnya, cuma pakaian itu bau busuk dan amisnya darah. Panji berpaling pada si
muka setan yang dari tadi tetap berdiri ditempatnya dengan segala
keangkerannya.
"Kenakan pakaianmu pada mayat
itu."
Perintah ini pun dituruti oleh si
pemuda. Begitu selesai terdengar pula perintah si muka setan.
"Berdirilah dan melangkah ke
hadapanku!"
Panji Ireng berdiri lalu melangkah ke
hadapan manusia angker itu. Berdiri demikian dekatnya lebih jelas betapa
mengerikan mukanya. Tak terlihat oleh Panji tiba-tiba si muka setan
menggerakkan tangan kirinya yang Bengkok ke arah dada si pemuda. Panji Ireng
mengeluh kesakitan. Tubuhnya pada detik yang sama menjadi kaku kejang dan tak
sadarkan diri. Dia rebah ke muka dan si muka setan cepat rundukkan tubuhnya
sehingga tubuh Panji Ireng jatuh tepat di bahu kirinya. Dengan tubuh Panji
Ireng berada di atas pundaknya, si muka setan membuat satu gerakan enteng.
Tahu-tahu tubuhnya sudah melesat ke muka dan lenyap di telan kegelapan malam
yang hampir mencapai pagi. Bersamaan dengan lenyapnya si muka setan bersama
pemuda boyongan maka di kejauhan, di dalam rimba belantara terdengar suara
lolongan anjing hutan yang mengerikan.
***
TIGA
KAMPUNG SARIWANGI.... Pada pagi hari
itu, belum lagi matahari naik, Pak Ireng sudah kelihatan berdiri di ambang
pintu muka pondoknya. Laki-laki ini sudah enam puluh lebih umurnya. Rambut dan
kumis bahkan alis matanya sudah memutih. Geraham-gerahamnya tak satu pun lagi
yang tinggal. Keseluruhan giginya di barisan sebelah bawah sudah tanggal semua.
Cuma dibagian atas masih ada dua buah gigi. Salah satu diantaranya sudah goyah
pula. Pak Ireng batuk-batuk beberapa kali, meludah ke tanah lalu memandang ke
tepi jalan. Diambilnya sabuk tembakau dan daun kaung. Maka mulailah orang tua
ini menggulung rokok. Rokok yang pertama dipagi itu. Baru tiga kali dihisapnya
maka di pintu muncullah seorang perempuan. Rambutnya sudah memutih pula sedang
mukanya penuh dengan kerut-kerut tanda bahwa dia tak berapa beda umurnya dengan
Pak Ireng. Perempuan ini adalah isteri Pak Ireng.
"Pakne, masih belum kelihatan
juga dia?"
"Belum," kata Pak Ireng
menjawab pertanyaan isterinya. "Tak mengerti aku, ke mana anak itu
ngelanturnya." Pak Ireng menarik nafas panjang dan menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Semalam dia bilang mau pergi
melihat wayang kulit di desa Waringin. Mungkin dia menginap di rumah salah
seorang kawannya di sana. Bukankah hari hujan lebat semalam?"
"Tapi kalau dia nginap, pagi ini
pasti sudah kembali."
"Mungkin dia kepulasan,
maklumlah anak seumur dia itu biasanya tukang penidur. Ditambah udara dingin
pula," kata Bu Ireng menenangkan hati suaminya padahal hatinya sendiri
saat itu sudah gelisah.
Pak Ireng masuk ke dalam mengambil
topi pandan, pacul dan sabit. "Aku ke ladang dulu, Bu," katanya
pamitan pada isterinya. Sang isteri anggukkan kepala dan memperhatikan
kepergian suaminya sampai hilang dikelokan jalan. Dulu Pak Ireng punya sebidang
ladang sayur mayur. Karena terdesak hidup ladang itu dijual pada seorang
tetangga. Kini karena tidak punya tanah lagi terpaksa mengambil pekerjaan di
ladang orang lain. Sebelum tengah hari Pak Ireng sudah pulang.
"Lho, kok cepat pulang sekali
ini, Pak?"
"Hatiku gelisah dan tak enak
sejak pagi tadi. Sudah pulang si Panji...?"
"Itulah Pakne...."
"Jadi belum juga kembali?"
bertanya Pak Ireng memotong kata-kata isterinya. Dia sudah maklum bahwa anak
mereka Panji Ireng belum pulang. Dan kemudian dilihatnya isterinya menganggukkan
kepala. Orang tua itu membuka topinya. Meletakkan sabit dan paculnya lalu duduk
di balai-balai reyot, termenung.
"Benar-benar si Panji ini! Ke
mana dia? Dia musti sudah pulang saat ini. Terlalu! Tak tahu kecemasan orang
tua.... Aku khawatir kalau terjadi apa-apa dengan dia, Bu."
"Aku juga demikian Pakne. Tapi
biar kita tunggu sampai sore nanti...."
"Dan kalau sore nanti dia tetap
tidak pulang juga, bagaimana?!"
Bu Ireng menyahut. "Makanlah
dulu,Pakne. Kebetulan nasi sudah masak."
Memasuki rembang petang, Pak Ireng
berkata.
"Pasti ada apa-apa terjadi
dengan dirinya. "Dijangkaunya topi pandannya. Golok pendek yang tersisip
di dinding diselipkannya di pinggang.
"Kau mau pergi, Pakne?"
"Ya. Ke desa Waringin,"
kata Pak Ireng menjawab pertanyaan isterinya.
"Hati-hati di jalan."
Di bawah sorotan sinar matahari sore
yang kuning kemerahan maka berjalanlah orang tua itu dengan terbungkuk-bungkuk.
Dikelokan jalan yang hendak menuju ke sungai seseorang menegurnya.
"Mau ke mana Pak Ireng? Ada
suatu urusan penting agaknya sampai berjalan secepat itu?"
Si orang tua palingkan kepala. Yang
menegurnya ternyata seorang pemuda bernama Kebo Ninggul, kawan Panji Ireng.
Tanpa mengacuhkan pertanyaan anak muda itu Pak Ireng balik bertanya. "Ada
kau lihat si Panji?"
"Tidak, Pak. Saya sendiri juga
heran. Dia tak muncul-muncul sejak...."
"Malam tadi dia pergi ke desa
Waringin. Katanya ada wayang kulit di sana. Tapi sampai begini hari dia belum
pulang."
"Mungkin dia mampir di tempat
kawannya."
"Mungkin, tapi tidak sampai
selama itu. Aku khawatir ada terjadi sesuatu dengan dia. Aku akan pergi ke desa
Waringin."
Kebo Ninggul berpikir sejurus lalu
berkata: "Saya ikut bersama Bapak." Kedua orang itu sampai di tepi
Kali Brantas. Baik Pak Ireng maupun Kebo Ninggul sama terheran-heran.
"Seharusnya di sini terdapat
rakit penyeberang," kata si orang tua.
"Betul. Ke mana perginya?"
Kebo Ninggul memandang ke seberang sana. Tak ada rakit yang dicarinya. Dia
memandang berkeliling dan melihat tali penghubung yang putus. "Rupanya
hujan lebat semalam membuat arus jadi besar. Tali penghubung putus dan rakit
dihancurkan."
"Boleh jadi..." membenarkan
Pak Ireng. Sambil memandang berkeliling Kebo Ninggul berkata: "Kita ke
hilir saja. Di sana ada rakit...."
Ini pemuda tak bisa teruskan
kata-katanya. Pandangan matanya membentur sesuatu di bawah pohon di tepi rimba.
"Ada apa?" tanya Pak Ireng
menghentikan langkah.
"Itu. Seseorang di bawah pohon
besar. Mungkin...."
Si orang tua memutar kepalanya ke
arah yang ditunjuk Kebo Ninggul. Dia jadi terkejut dan berseru: "Anakku!
Itu pasti si Panji. Dia memang mengenakan pakaian itu semalam!" Pak Ireng
dengan tersaruk-saruk berlari ke bawah pohon di mana sesosok tubuh terbujur.
Kebo Ninggul menyusul. Orang tua ini berlutut di samping tubuh itu.
Digoyang-goyangnya tubuh tersebut. "Panji! Nak?! Apa yang terjadi...."
Ucapan Pak Ireng jadi terhenti dengan serta merta ketika kedua matanya
memandang ke bagian leher dari orang yang disangkanya anaknya itu. Air mukanya
berubah. Pucat pasi seperti orang yang melihat setan mengerikan. "Gusti
Allah! Panji...!!!" Sehabis mengeluarkan seruan yang keras setinggi langit
itu, Pak Ireng roboh ke tanah tanpa sadarkan diri. Kebo Ninggul yang sampai ke
sana jadi terkejut melihat si orang tua sudah melosoh. Dia berlutut hendak
menolong. Tapi.... Kedua mata pemuda ini melotot besar. Tubuhnya menggigil.
Seluruh bulu romanya merinding ngeri ketika melihat sosok tubuh kawannya yang
tidak berkepala lagi. Untung dia masih tahan sehingga tak sampai jatuh pingsan
seperti si orang tua. Tanpa pikir panjang pemuda ini segera putar tubuh dan
ambil langkah seribu. Dia lari terus pontang panting seperti orang dikejar jin
hutan. Lari kembali ke kampung Sariwangi sambil berteriak-teriak. Apa yang
diteriakkannya itu tidak jelas. Dia sudah seperti orang gila. Setiap orang yang
bertemu dan melihatnya jadi terheran-heran. Sudah pasti pemuda itu gila, pikir
mereka. Kalau tidak tentu dia kemasukan setan. Maka hebohlah seluruh Sariwangi.
Seorang yang berpakaian bagus bertubuh tinggi kurus bernama Sura Djali, kepala
kampung Sariwangi berlari keluar dari dalam rumahnya ketika mendengar kehebohan
itu. Di mukanya dilihatnya seorang pemuda tengah lari dengan cepat.
"Hai Kebo Ninggul! Tahan! Ada
apa dengan dirimu?!" tanya Sura Djali. Ketika Kebo Ninggul sampai di
hadapannya segera dicekalnya lengan pemuda itu. Kebo Ninggul meronta hendak
terus lari. Tapi cekalan Sura Djali bukan cekalan biasa melainkan sudah berisi
tenaga dalam. Pemuda itu tidak dapat bergerak barang selangkah pun.
"Apa yang terjadi Kebo
Ninggul?" tanya Sura Djali. Si pemuda tak segera memberikan jawaban. Hidungnya
kembang kempis. Nafasnya megap-megap. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat.
"Kebo Ninggul! Jawab pertanyaanku!" mengulangi Sura Djali sementara
itu penduduk kampung sudah ramai mengerumuni mereka karena juga sama ingin tahu
apa yang membuat si pemuda sampai lari sedemikian rupa.
"Panji.... Panji Ireng..."
kata Kebo Ninggul dengan terputus-putus.
"Mengapa, mengapa Panji
Ireng?!"
"Kepalanya... kepalanya
putus!"
Semua orang saling berpandangan.
"Bicaralah yang terang. Tak usah kesusu," kata Sura Djali. Dia masih
mencekal lengan pemuda itu. Di samping supaya Kebo Ninggul tidak larikan diri
dia juga berusaha menenangkan pemuda ini dengan tenaga dalamnya.
"Beberapa waktu yang lalu saya
berpapasan dengan Pak Ireng..." mulai menerangkan Kebo Ninggul, "Ia
menanyakan tentang anaknya, Panji Ireng. Saya sendiri tidak melihat pemuda itu
sejak pagi. Pak Ireng bilang bahwa anaknya pergi ke desa Waringin malam tadi.
Melihat pertunjukan wayang kulit."
"Memang di desa itu ada orang
yang kawinan. Lantas?" menyela Sura Djali.
"Sampai sore ini Panji tidak
kembali. Pak Ireng khawatir. Dia pergi ke desa itu untuk mencari anaknya dan
saya turut bersama dia. Di tepi sungai, ketika kami tengah mencari-cari rakit
untuk menyeberang tiba-tiba kelihatan sesosok tubuh tergelimpang di bawah satu
pohon, di tepi rimba...."
"Panji Ireng?"
Kebo Ninggul manggut. "Pak Ireng
lari mendapatkan tubuh anaknya. Mendadak sontak kemudian saya lihat orang tua
itu jatuh pingsan dan rebah ke tanah. Saya datang menyusul dan...dan...."
"Dan apa?!" tanya Sura
Djali tak sabaran sedang orang banyak di sekeliling mereka mulai merasa
bergidik.
"Tubuh Panji Ireng cuma tinggal
badan saja! Kepalanya lenyap! Putus!"
Semua orang jadi terkejut. Semua
mulut jadi menganga dan semua mata jadi melotot.
"Kepalanya lenyap?"
"Putus?!"
"Siapa yang memutus?!"
tanya Sura Djali.
"Saya tidak tahu. Begitu saya
lihat tubuh yang mengerikan itu saya lantas lari pontang panting!" Tubuh
Kebo Ninggul jelas kelihatan gemetaran ketika dia menerangkan semua itu tanda
bahwa rasa ngeri masih saja menggerayangi dirinya. Sura Djali melepaskan
cekalannya dengan perlahan-lahan. Begitu terasa tangannya dilepaskan, Kebo
Ninggul segera lari meninggalkan tempat itu. Lari pulang ke rumahnya. Sura
Djali sendiri dengan diikuti beberapa orang penduduk kampung yang ingin tahu
dan punya nyali segera berlari cepat menuju ke sungai. Bu Ireng, begitu dia
mendengar nasib anaknya dari seorang tetangga, belum lagi dia melihat dengan
mata kepala sendiri, perempuan ini meraung tinggi dan rubuh tak sadarkan diri.
Tubuh Pak Ireng dibopong orang sedang mayat "Panji Ireng" dibawa di
atas sebuah tandu, ditutup dengan sehelai kain sarung. Esok harinya, mayat
"Panji Ireng" yang sudah biru kehijau-hijauan itu dikuburkan. Baik
Pak Ireng dan isterinya, maupun seluruh penduduk kampung Sariwangi, tak ada
yang tahu kalau mayat yang mereka kuburkan hari itu bukanlah mayat Panji Ireng
yang sebenarnya. Juga tidak satu orang pun yang tahu apa sesungguhnya yang
telah terjadi dengan si pemuda. Ada yang mengatakan bahwa kepalanya dimakan
buaya Kali Brantas. Ada yang menduga kepala Panji Ireng diterkam raja hutan
dalam rimba belantara. Dan ada pula yang mengatakan bahwa pemuda itu telah
dipuntir dan ditanggalkan kepalanya oleh setan atau dedemit penghuni sungai!
***
EMPAT
LIMA tahun lebih berlalu sudah. Kalau
di kampung Sariwangi boleh dikatakan tak ada lagi orang yang membicarakan
peristiwa kematian Panji Ireng maka sementara itu di puncak gunung Kelud....
Awan putih kelihatan menutupi puncak
gunung yang tinggi ini. Meskipun matahari bersinar terik namun udara terasa
sejuk. Selama belum ada satu manusia pun yang menginjakkan kaki di puncak
gunung ini maka tidak ada yang tahu kalau di sana terdapat satu pondok kayu itu
mempunyai penghuni. Selama puluhan tahun Gunung Kelud dianggap sebagai gunung
angker, karenanya tidak ada manusia yang berani berada di sekitar sana. Kalau
pun ada maka cuma dekat kaki-kakinya saja.
Di dalam pondok....
Dengan matanya yang cuma satu itu dia
pandang muridnya yang duduk bersila khidmat di hadapannya. Sejak lima tahun
yang lalu rambutnya tak pernah dicukur dan tak pernah disisir, sehingga rambut
yang awut-awutan dan kotor itu panjangnya sampai ke bahu, seperti rambut
perempuan. Keriput-keriput yang menghiasi mukanya yang cekung itu juga tambah
banyak. Rongga matanya sebelah kiri yang besar menyeramkan itu seperti tambah
dalam. Inilah si muka setan yang lima tahun lewat telah melarikan Panji Ireng
dari tepi Kali Brantas.
Embah Jagatnata alias si muka setan
buka suara "Panji Ireng, di saat perpisahan ini aku tidak akan bicara
panjang lebar dengan kau. Kau turun gunung hari ini juga dengan ku bekali dua
buah tugas!"
"Apakah tugas itu Embah?"
tanya Panji Ireng yang kini sudah berumur dua puluh satu tahun itu. Tubuhnya
tegap kekar.
"Aku akan katakan sebentar
lagi," sahut Embah Jagatnata pula. "Yang penting adalah kesadaran
bahwa selama berguru lima tahun kepadaku, ilmu kesaktian yang kau miliki masih
belum berarti apa-apa, masih kurang...."
"Bagi saya semua ilmu yang Embah
ajarkan sudah terlalu banyak dan sangat tinggi...."
"Jangan dulu potong
kata-kataku!" tukas Embah Jagatnata. Orang tua aneh dan sakti itu sudah
biasa suka membentak seperti itu. Panji Ireng mengunci mulutnya. "Karena
belum berarti apa-apa, karena masih kurang maka aku nasihatkan pada kau untuk
mencari guru lain dan belajar kepadanya yaitu sesudah kau turun gunung nanti.
Ini adalah mengingat betapa beratnya tugas yang kubekalkan kepadamu itu!"
Embah Jagatnata komat-kamitkan
mulutnya seketika lalu meneruskan: "Mulai detik kau turun gunung, kau
harus ganti nama. Kepada siapa pun sekali-kali tak boleh kau beritahu bahwa
namamu sebenarnya adalah Panji Ireng. Kau dengar?!"
"Dengar Embah. Nama apa yang
harus saya pakai?"
"Mahesa Kelud."
"Mahesa Kelud...?"
Sang guru manggutkan kepala.
"Juga pesanku yang satu ini harus kau ingat benar-benar. Selama kau turun
gunung, selama kau masih belum menyelesaikan tugasmu, sekali-kali kau tidak
boleh datang ke Kampung Sariwangi, apalagi menyambangi kau punya orang tua. Kau
harus menjauh dari kampung itu. Mengerti?"
"Mengerti Embah," jawab
Panji Ireng.
"Kini tentang dua tugas yang
harus kau jalankan. Dengar baik-baik, aku tak sudi bicara diulang-ulang.
Pertama kau harus cari dan dapatkan sebuah pedang bernama Samber Nyawa. Yang
kedua kau harus cari dan bunuh seorang manusia bernama Simo Gembong."
"Pedang Samber Nyawa dan manusia
Simo Gembong," mengulang Panji Ireng dalam hati. "Kau harus berhasil
dengan tugas yang pertama. Tanpa mendapatkan pedang Samber Nyawa itu niscaya
kau tidak mampu melaksanakan tugas yang kedua karena manusia Simo Gembong hanya
bisa dibunuh dengan pedang tersebut!"
"Kalau murid boleh tanya,"
kata Panji Ireng pula, "Siapa adanya manusia bernama Simo Gemblong itu,
Embah."
"Justru itulah sebabnya aku
suruh kau untuk mencarinya. Bila kau berhasil menemuinya dan memang kau harus
berhasil... maka kau akan tahu siapa adanya itu manusia! Dan sesudah kau tahu
siapa dia kau harus ambil nyawanya!"
"Saya akan laksanakan kedua
tugas itu, Embah," kata Panji Ireng. "Mohon doa restu dari
Embah."
Jagatnata mengangguk. "Kau boleh
pergi sekarang, kecuali kalau ada yang kau ingin katakan."
"Selama lima tahun saya telah
dididik dan diberi berbagai ilmu kesaktian luar biasa oleh Embah. Sebagai orang
yang sudah diambil jadi murid maka sudah sepantasnya saja...."
Si orang tua yang sudah tahu apa yang
hendak diucapkan oleh muridnya itu segera memotong: "Kalau kau mau
menghaturkan terima kasih, tak usah katakan. Aku tak ingin kau minta terima
kasih padaku."
Sang murid memandangi wajah gurunya
yang buruk dan seram itu dengan rasa tidak mengerti. Dia tak berani teruskan
kata-katanya. Karena merasa tak ada lagi yang harus dikatakannya maka
berdirilah dia.
"Saya pergi, Embah."Sang
guru mengangguk.
"Mohon doa restu agar saya bisa
laksanakan tugas yang Embah bekalkan."
"Kau pasti berhasil," ujar Jagatnata.
Di hadapan gurunya Panji Ireng menjura tiga kali berturut-turut lalu memutar
tubuh dan melangkah ke pintu.
***
LIMA
KETIKA sore berganti senja dan malam
yang gelap muncul maka Mahesa Kelud alias Panji Ireng sudah berada sangat jauh
dari kaki gunung Kelud. Ini disebabkan tak lain karena dia pergunakan ilmu lari
ajaran gurunya yang bernama "Kaki Angin". Larinya cepat luar biasa
seperti angin, gerakannya enteng. Pemuda yang baru turun gunung ini baru
memikirkan arah tujuannya ketika perutnya mulai keroncongan minta diisi. Saat
itu dia tengah berlari cepat di lereng sebuah bukit. Jauh di kaki bukit sebelah
selatan dilihatnya suatu nyala api yang sangat kecil. Demikian kecilnya
sehingga kalau bukan dengan mata yang tajam seperti pemuda itu tak mungkin akan
sanggup untuk dilihat. Tanpa pikir panjang Mahesa Kelud segera putar arah
larinya kejurusan nyala api tersebut. Ternyata nyala api yang dilihatnya ini
adalah api pelita yang terletak di atas sebuah meja kecil dalam satu pondok
kajang beratap rumbia. Daun pintu terbuka sedikit dan dari celah daun pintu
inilah api pelita memancar keluar. Suasana sekitar pondok sunyi sepi seperti di
pekuburan. Mahesa Kelud melangkah ke muka pintu. Diketuknya daun pintu. Tak ada
jawaban. Dia mengetuk lagi. Lalu sekali lagi tetap masih tak ada jawaban.
Pemuda ini menjadi heran. Apakah tak ada penghuni dalam pondok ini, pikirnya.
Mustahil, karena di dalam ada pelita yang menyala. Mahesa hendak mengetuk
sekali lagi. Saat ini didengarnya ada suara yang ditimbulkan oleh sesuatu benda
yang bergerak-gerak di dalam pondok. Pemuda ini beranikan diri. Daun pintu
didorongnya, suaranya berkereketan. Cepat-cepat Mahesa masuk ke dalam.
Langkahnya dengan serta merta terhenti begitu dia melewati ambang pintu
beberapa langkah. Di hadapannya, di lantai pondok terbujur sesosok tubuh
laki-laki yang pakaiannya penuh dengan darah. Di tangan kanannya tergenggam
sebilah pedang yang juga ada lumuran darahnya. Ketika diperhatikannya jari-jari
tangan yang berkuku panjang dari orang itu maka Mahesa Kelud bisa menduga siapa
adanya dia. Dari gurunya dia pernah mendapat keterangan bahwa di sebelah barat
gunung Kelud, tak jauh dari kaki gunung Wilis terdapat seorang pendekar tua
ternama yang memiliki kuku-kuku panjang beracun dan digelari "Si Cakar
Setan" oleh orang-orang dunia persilatan.
"Ini pasti si Cakar Setan,"
kata Mahesa Kelud dalam hatinya. "Kalau begitu aku berada didaerah sekitar
gunung Wilis...."
Tubuh si Cakar Setan bergerak-gerak.
Kedua kakinya melejang-lejang walaupun tidak melejang keras sedang tangan
kirinya menggapai-gapai lantai. Pendekar tua yang tengah meregang nyawa ini
terbujur menelungkup. Dari mulutnya terdengar suara erangan. Mahesa Kelud
melangkah lebih dekat lalu berlutut. Hidungnya membaui amisnya darah di seluruh
tubuh si Cakar Setan.
"Jaliteng.... Jaliteng...."
Terdengar si Cakar Setan menyebutkan nama seseorang diantara suara erangannya.
"Siapa Jaliteng ini..."
pikir Mahesa Kelud.
"Mungkin orang yang telah
membuat urusan dengan dia?"
"Jaliteng... muridku..."
terdengar lagi suara si Cakar Setan. "Jaliteng, mendekatlah...."
Mahesa Kelud kini mengerti.
"Kasihan, dia menyangka aku muridnya," kata Mahesa dalam hati. Dia
mendekat. Dengan susah payah, dalam keadaan yang boleh dikatakan sudah tidak
punya daya karena tengah meregang nyawa, si Cakar Setan masih sanggup
membalikkan tubuhnya dengan pertolongan tangan kirinya. Kini dia terbaring
menelentang. Sungguh dahsyat manusia ini. Pada muka si Cakar Setan kelihatan
satu luka hebat memanjang mulai dari kening, lewat antara kedua alis matanya
terus ke pipi. Dari luka itu bisa dipastikan bahwa si Cakar Setan kena bacokan
golok atau pedang lawan yang tangguh. Darah dari luka besar ini membanjir dan
menggenang membasahi kedua matanya sehingga si Cakar Setan tidak sanggup
melihat apa-apa lagi.
"Jaliteng...?"
"Ya... guru," sahut Mahesa
Kelud dengan perlahan agar si Cakar Setan tidak mengenali suaranya.
"Surat itu... surat itu ada
dalam... dalam pedang. Kau ambil dan cari manusia yang mencelakaiku.
Namanya...." Si Cakar Setan hanya sanggup bicara sampai di situ.
Keterangannya terputus karena nyawanya keburu melayang lebih dahulu.... Kedua
matanya yang digenangi darah membeliak sedang mulutnya menganga.
"Surat..." desis Mahesa
Kelud. "Surat apa agaknya?" Pemuda ini beringsut ke muka.
Diperhatikannya pedang yang tergenggam di tangan mayat. Menurut keterangan si
Cakar Setan surat itu ada di dalam pedang. Apakah pedang yang tergenggam di
tangannya saat itu atau pedang yang lain? Kalau dalam pedang yang dipegangnya
berarti pada senjata ini terdapat satu rongga tempat menyembunyikannya. Agak
susah juga bagi Mahesa Kelud untuk melepaskan pedang itu dari genggaman si
Cakar Setan karena pegangan pendekar tua itu sangat erat meskipun nyawanya
sudah pisah dengan tubuh kasar. Diperhatikannya senjata itu dengan teliti.
Mulai dari ujungnya yang runcing dan bertanda sampai ke hulunya. Pedang milik
si Cakar Setan meskipun besar serta panjang tetapi enteng. Ini tandanya bahwa
pedang itu bukan senjata sembarangan. Warnanya kuning sedang hulunya putih,
terbuat dari perak yang berukirkan kepala naga. Mahesa ingat pada tugas yang
dibekalkan gurunya yaitu mencari satu pedang yang bernama Samber Nyawa.
Mungkinkah ini pedangnya? Sipemuda tak bisa memastikan. Lama sekali dia
meneliti pedang itu. Di bagian manakah dari senjata ini disembunyikan surat
yang diterangkan oleh si Cakar Setan tadi? Pada kali yang ketiga matanya
memperhatikan hulu pedang, maka Mahesa Kelud akhirnya melihat satu celah yang
sangat halus pada bagian leher dari ukiran naga di hulu pedang. Kini pemuda itu
tahu rahasia tempat persembunyian surat yang dimaksudkan si Cakar Setan. Dia
putar kepala naga ke kanan. Tapi kepala naga itu tidak bergerak barang sedikit
pun. Mahesa mengganti arah putaran. Kini ke kiri. Dan... memang kepala naga itu
kini bergerak memutar sedikit demi sedikit sampai akhirnya terlepas sama sekali
dari lehernya. Kemudian pada bagian leher naga yang masih melekat ke hulu
pedang kelihatanlah satu lobang sebesar lobang kunci. Di dalam lobang yang
kecil ini terdapat secarik kertas yang digulung rapi. Mahesa segera congkel itu
kertas dan menariknya keluar. Ternyata isinya adalah sepucuk surat yang agak
aneh bagi Mahesa Kelud. Surat ini berbunyi:
Kepada pendekar-pendekar utama dari
delapan penjuru angin,
Siapa-siapa dari kalian yang ingin
merajai dunia persilatan datanglah membawa surat ini ke Gua Iblis untuk
mendapatkan senjata ampuh Cambuk Iblis.
Mahesa Kelud kerenyitkan keningnya
sehabis membaca surat tersebut. Tentang senjata ampuh yang bernama Cambuk Iblis
itu tak pernah didengarnya, tapi mengenai Gua Iblis dia memang pernah dengar
yaitu sebuah gua yang terletak di muara sungai Ngulon ngidul di pantai Selatan.
Mahesa Kelud menggulung surat kecil itu kembali dan memasukkannya ke dalam
sakunya. Kepala naga pada hulu pedang dipasangnya kembali. Ditimang-timangnya
pedang itu sejurus. Setelah noda darah dibersihkannya dia berpikir-pikir lalu
senjata tersebut diselipkannya di belakang punggungnya. Mahesa memandang
berkeliling. Perabotan yang ada di dalam pondok itu tidak banyak. Sebuah lemari
kecil kelihatan terbuka melompong. Isinya bertaburan acak-acakan tanda lemari
itu habis digeledah orang. Pasti lawan yang telah mencelakai si Cakar Setan,
pikir Mahesa. Tikar penutup balai-balai dan bantal juga bertaburan. Di sudut
sana terdapat sebuah gentong air tanah liat yang sudah pecah berantakan dan
airnya menggenangi lantai pondok. Kedua bola mata Mahesa Kelud tampak membesar
ketika pandangannya membentur suatu benda di lantai, tak berapa jauh dari tubuh
si Cakar Setan. Benda ini tak lain adalah potongan tangan kiri manusia.
Mula-mula Mahesa tidak bisa mengerti namun kemudian jelas juga duduk persoalan
baginya. Sebelumnya antara Cakar Setan dan lawannya telah terjadi perkelahian
seru. Lawan Cakar Setan berhasil merubuhkan pendekar tua itu tapi sebaliknya
Cakar Setan sendiri berhasil membabat puntung tangan kiri lawannya. Si lawan
kemudian melarikan diri. Mahesa Kelud melangkah ke pintu maksudnya hendak
segera pergi. Tapi tidak terduga, mendadak dari luar melompat masuk sesosok
tubuh. Mahesa cepat hindarkan diri karena dari derasnya siuran angin dia sudah
maklum bahwa orang yang baru masuk itu punya ilmu yang tidak bisa dianggap
enteng. Mahesa melompat ke belakang sejauh dua tombak. Dia menyangka yang
datang ini adalah Jaliteng, murid si Cakar Setan. Tapi dugaannya meleset. Orang
yang berdiri di hadapannya bertubuh pendek kate. Kepalanya botak dan
berkilat-kilat ditimpa cahaya pelita. Berlawanan dengan kepalanya yang licin
polos itu maka mukanya penuh dengan berewok kasar meliar sehingga tampangnya
penuh keseraman. Mahesa melihat manusia kate ini tidak punya tangan kiri alias
buntung. Ketika diperhatikannya lebih teliti ternyata buntungan tangan itu
masih baru karena di sekitar buntungan terdapat bekas-bekas noda darah!
Kini Mahesa Kelud tahu. Siapa pun
adanya ini orang kate maka dia adalah orang yang telah baku hantam dan membunuh
si Cakar Hitam. Ditangan kanan si kate tergenggam sebatang golok panjang.
Si kate menyeringai buruk. "Kau
muridnya si Cakar Setan?!" tanyanya dengan membentak.
"Kau sendiri siapa, manusia
kate?!" balik menanya Mahesa Kelud.
"Sialan! Ditanya malah menanya!
Jawab,kau muridnya Cakar Setan?!"
"Kalau ya mengapa?"
"Kau harus serahkan surat
itu!"
"Surat? Surat apa...?"
tanya Mahesa pura-pura tidak mengerti.
"Sompret! Jangan berlagak pilon!
Aku minta surat rahasia itu sekarang juga! Cepat!"
***
ENAM
MAHESA silangkan tangan di muka dada
dan merenggangkan kedua kakinya. "Dengar manusia kate! Jangan bicara
segala macam surat yang aku tidak mengerti. Berlalulah dari sini. Aku tak suka
cari urusan denganmu."
Si kate terheran-heran mendengar
kalimat yang terakhir dari Mahesa Kelud ini. Mengapa dia mengatakan tidak mau
cari urusan?
Kalau ini pemuda benar-benar murid si
Cakar Setan pasti dia sudah sejak tadi menyerangnya. Atau mungkin dia tidak
tahu bahwa aku telah membereskan nyawa gurunya? Si kate memancing, "Anak
muda bernyali besar, terhadapku jangan bicara seenak bacotmu! Kau mau terima
nasib seperti kau punya guru?!"
Mahesa Kelud balas ancaman itu dengan
ejekan. "Guruku telah buntungkan lengan kirimu. Rupanya kau inginkan
muridnya buntungkan lengan kananmu!"
Si kate tertawa bekakakan.
"Pemuda ingusan hendak menipuku! Ha... ha! Hendak menipu Warok Kate!
Mengaku murid si Cakar Setan. Padahal cuma maling kesiangan!"
Mahesa Kelud terkejut ketika
mendengar nama Warok Kate yang disebutkan oleh orang di hadapannya itu. Warok
Kate adalah seorang yang memimpin gerombolan perampok yang bersarang di bukit
Jatiluwak, yang punya ilmu tinggi. Dulunya dia seorang murid pertapa sakti tapi
kemudiannya berhati serong melakukan pekerjaan-pekerjaan salah menjadi kepala
rampok. Mahesa tak menyangka kalau kini dia berhadap-hadapan dengan Warok Kate
sendiri! "Ha... ha! Hilang kau punya nyali ketika mengetahui dan mendengar
namaku?!" kata Warok Kate pula. "Karena itu cepat-cepat keluarkan
surat tersebut dari dalam sakumu dan berikan kepadaku. Tapi kalau kau mencari
mampus, silahkan kita mulai bikin urusan!" Si kate melintangkan golok
panjangnya di muka dada.
"Dengar Warok," sahut
Mahesa Kelud. "Surat itu tidak ada padaku! Aku cuma kebetulan lewat di
sini dan tidak tahu apa-apa!"
"Kalau begitu kau benar-benar
mencari mampus! Aku intip sendiri kau mengeluarkan surat itu dari gagang pedang
yang kini ada di punggungmu! Kau mencari mampus!"
Bersamaan dengan itu tubuh Warok Kate
melesat ke muka. Goloknya menyambar ke kepala Mahesa Kelud laksana seekor
alap-alap menyambar mangsanya. Melihat ini murid Embah Jagatnata segera
rundukkan kepala. Golok lewat diatas kepalanya mengeluarkan angin dingin
bersiuran. Tapi tak terduga senjata yang telah lewat itu mendadak berbalik
dengan sangat cepat dan kini menyambar ke perutnya. Mahesa terkejut bukan main
melihat serangan yang hebat dan cepat ini. Buru-buru dia melompat mundur ke
belakang sambil kirimkan satu jotosan tangan kanan ke muka lawan. Kini Warok
Kate yang terkejut. Jotosan lawannya tidak diduga memiliki tenaga yang tinggi
ampuh. Kepala rampok dari bukit Jatiluwak ini tidak mau ambil risiko. Dia
miringkan kepalanya seraya menggeser kakinya ke belakang. Jotosan Mahesa lewat
di samping kirinya tapi tak urung angin pukulan lawan yang terasa dingin
memerihkan matanya membuat dia terkesiap dan mundur lebih jauh.
"Pemuda ingusan! Kau punya
sedikit ilmu juga huh?!" bentak Warok Kate. "Beritahu kau punya nama
dan siapa gurumu sebelum nyawamu kukirim ke neraka!"
Warok Kate kembali mengeluarkan suara
bekakakan. Dia sabetkan goloknya ke arah lambung Mahesa Kelud. Ketika serangan
ini dapat dielakkan oleh pemuda itu dia segera kirimkan lagi tiga serangan
berantai dengan cepat. Meskipun terdesak ke sudut pondok namun Mahesa masih
sanggup mengelakkan ketiga serangan yang dahsyat itu. Ini membuat lawannya jadi
penasaran. Warok Kate hantamkan golok panjangnya kian kemari. Beberapa jurus
lamanya dia kuasai. Mahesa dibuat sibuk dan melompat kian kemari. Jika saja dia
tidak memiliki ilmu mengentengi tubuh yang tinggi serta tidak gesit maka pasti
saat itu Mahesa sudah kena sambaran senjata lawannya.
Diam-diam Warok Kate jadi terkejut
dan mengagumi kehebatan pemuda lawannya itu. Saat itu mereka sudah bertempur
sebanyak delapan jurus. Sebelumnya, dengan golok di tangan tak pernah Warok
Kate memberi kesempatan bertahan pada lawannya sampai lima atau enam jurus
tanpa berhasil melukainya. Tapi kini dengan pemuda yang tadi diremehkannya itu
dia masih tidak sanggup membuat segores luka pun pada tubuh lawannya. Jangankan
segores luka, bahkan goloknya tak sanggup menyentuh pakaian si pemuda! Dan
lebih membuat si kate ini menjadi lebih geram serta penasaran ialah karena
sampai saat itu Mahesa Kelud masih saja melayaninya dengan tangan kosong!
Mahesa Kelud miringkan bahunya ke
kiri ketika ujung golok Warok Kate datang menusuk dari muka. Begitu serangannya
gagal lagi, maka si kate hantamkan mata goloknya ke pinggul Mahesa. Tapi sang
lawan tidak bodoh. Sebelumnya dia sudah duga lanjutan serangan kepala rampok
itu. Mahesa menggeser tubuhnya ke samping kiri dengan cepat. Tangan kirinya
bekerja, melayang ke arah sambungan siku tangan kanan lawannya. Warok mengerti
apa yang bakal dialaminya. Sambungan sikunya akan putus bahkan tulang sikunya
mungkin akan ambruk bila dia teruskan serangan goloknya.
Cepat-cepat kepala rampok ini putar
goloknya sedemikian rupa dan melompat ke samping kanan untuk menyelamatkan
sikunya. Kedua orang itu berhadap-hadapan satu sama lain kembali. "Anak
muda! Keluarkanlah senjatamu! Untuk jurus selanjutnya aku tidak sungkan-sungkan
lagi!" kata Warok Kate. Rupanya manusia ini hendak mengeluarkan ilmu
simpanannya karena Mahesa Kelud melihat Warok Kate merubah cara pegangan
pedangnya.
"Memang tak usah
sungkan-sungkan, Warok. Biar, aku tetap layani kau dengan tangan kosong,"
jawab Mahesa pula.
Merasa dihina direndahkan Warok Kate
seperti orang kalap segera menyerang pemuda itu. Permainan goloknya memang
sangat berubah kini dari yang tadi. Sambaran-sambaran, sabetan-sabetan dan
tusukan-tusukannya cepat dan deras serta hampir tak terduga arahnya. Mahesa
Kelud berkelebatan kian kemari namun tak urung akhirnya ujung golok lawannya
menyambar secara tak terduga ke arah dadanya ketika dia berada dalam posisi
yang sulit di pojok pondok. Dengan mengandalkan cuma satu kaki yaitu kaki kiri
yang menjejak lantai, Mahesa coba membuang diri ke samping. Ini dilakukannya
dengan untung-untungan. Meskipun dia memiliki ilmu kebal tapi Mahesa tak mau
andalkan ilmu itu jika masih bisa mencari jalan mengelak yang lain. Dan gerakan
yang dibuatnya itu memang berhasil. Tapi tak urung pakaiannya di bagian dada
kena tersambar ujung golok dan robek besar.
"Ha... ha! Pemuda sombong! Masih
juga berani meremehkanku dengan ilmu silat tangan kosongmu?!" ejek Warok
Kate.
"Jangan buru-buru merasa menang,
Warok!" tukas Mahesa Kelud. Kali ini Mahesa yang memulai serangan.
Serangan yang dilancarkannya memang hebat bertubi-tubi namun Warok melindungi
tubuhnya dengan putaran golok yang bergulung-gulung. Murid Embah Jagatnata itu
kehabisan kesabarannya. Akhirnya pemuda ini keluarkan pedang yang tersisip di
belakang punggungnya.
"Nah... nah! Itu namanya manusia
yang tahu peradatan dunia persilatan. Majulah dengan pedang itu, meskipun cuma
sebuah pedang curian!" ejek Warok Kate. Jawaban dari Mahesa Kelud ialah
sambaran pedang yang tak terduga. Mulanya Warok Kate hendak menangkis serangan
ini dengan goloknya. Tapi mengetahui bahwa tenaga dalam lawannya tidak berada
di bawahnya dia urungkan niat itu. Apalagi dia maklum bahwa pedang berhulu naga
milik si Cakar Setan yang di tangan Mahesa Kelud saat itu bukan pedang
sembarangan. Kalau selama jurus-jurus yang lewat Mahesa Kelud cuma bersikap
sebagai pihak yang bertahan maka sesudah dia bersenjatakan pedang milik Cakar
Setan itu keadaan berubah seperti siang dengan malam. Pedang Cakar Setan bukan
pedang sembarangan, sedang yang memegangnya bukan pula manusia sembarangan tapi
murid Embah Jagatnata yang punya ilmu tinggi luar biasa. Keadaan jadi berubah
seperti siang malam. Warok Kate dibikin kelabakan. Gulungan sinar kuning dari
pedang di tangan Mahesa Kelud kelihatan dengan jelas mengurung setiap gerakan
golok. Setiap serangan yang coba dilancarkan oleh kepala rampok itu senantiasa
menemui jalan buntu di tengah jalan karena siang-siang sudah dipapasi atau
dipatahkan oleh serangan yang bertubi-tubi dari Mahesa Kelud. Warok Kate
terdesak hebat ke pojok pondok. Tubuhnya sudah basah oleh keringat. Gerakannya
sudah mulai kacau. Mahesa tidak memberi kesempatan. Serangannya seperti hujan
lebat menggempur dan membobolkan setiap pertahanan lawan.
"Celaka!" kutuk Warok Kate
dalam hati.
"Tak disangka bangsat rendah ini
punya ilmu tinggi!"
Diputarnya goloknya sedemikian rupa
coba mengimbangi permainan lawan. Tapi jangankan untuk mengimbangi, bahkan
sebaliknya Warok semakin terdesak. Satu kali pedang di tangan Mahesa Kelud
membabat deras ke dada Warok Kate. Kepala rampok dari bukit Jatiluwak ini
melompat mundur ke belakang. Tapi ujung pedang lawan memburu terus. Dia tak
berani mematahkan serangan itu dengan memapasi pakai golok karena sebelumnya
senjata mereka sudah beberapa kali beradu dan Warok tahu kalau tenaga dalam
lawannya berada di atasnya. Dia khawatir kalau goloknya buntung atau terlepas
mental yang mana tentu akan mencelakakan jiwanya. Warok Kate melompat lagi ke
belakang. Tapi saat itu dia sudah memepet ke dinding sehingga tubuhnya tertahan
setengah lompatan. Sementara itu pedang di tangan lawan menyambar deras ke
kepalanya. Warok Kate terkesiap. Untung dia tidak menjadi gugup atau kehilangan
akal. Dia babatkan golok panjangnya ke perut lawan bersamaan dengan itu kaki
kanannya mengirimkan tendangan ke awah perut Mahesa Kelud. Murid Embah
Jagatnata segera bantingkan diri kesamping. Pedangnya menghantam dinding kajang
sampai bobol sedang kedua serangan Warok Kate masih sempat dielakkannya dengan
sekaligus. Meskipun serangan pedang Mahesa Kelud tidak mengenai sasaran namun
goloknya masih tertahan oleh dinding kajang sehingga tubuhnya tidak sampai
terdorong ke muka. Berlainan halnya dengan Warok Kate serangan golok dan
tendangan kaki kepala rampok ini dilancarkan dengan sekuat tenaga, dan
kedua-duanya mengenai tempat kosong. Akibatnya tubuh Warok Kate terdorong ke
muka. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Mahesa Kelud. Dia
geserkan kedua kakinya dengan cepat. Bersamaan dengan itu jotosan tangan
kirinya yang berisi aji "Kelabang Merah" dihantamkannya ke pangkal
tengkuk Warok Kate. Tak ampun lagi kepala rampok ini menjerit tinggi. Tubuhnya
mental dan jatuh menelungkup di lantai pondok sedang goloknya terlepas. Warok
gulingkan dirinya menjauhi musuh. Dia berdiri dengan sempoyongan. Pangkal
tengkuknya yang kena pukul lawan sakitnya bukan main dan kelihatan sangat
merah. Dia sadar bahwa bila saja tenaga dalamnya masih dalam tingkat tanggung tanggungan
pasti pukulan "Kelabang Merah" menamatkan riwayatnya. Kini Warok
maklum bahwa meskipun masih muda belia, tapi Mahesa Kelud bukan tandingannya.
Hatinya sangat dongkol dan geram. Darahnya mendidih. Tapi apa daya, ilmunya
jauh berada di bawah lawan.
"Ayo Warok! Ambil goloknya, tak
usah malu-malu!" kata Mahesa Kelud. Muka kepala rampok itu kelihatan
sangat merah oleh ejekan tersebut. Dia melompat ke samping, membungkuk dan
mengambil goloknya yang di lantai. Kedua matanya memandang penuh kegeraman pada
Mahesa Kelud. Mulutnya komat-kamit.
"Bangsat rendah!" maki
Warok Kate. "Lain kali aku pasti temui kau lagi! Dan kali itu
bersiap-siaplah untuk mampus!" Warok kirimkan satu serangan ke dada Mahesa
lalu terus melesat menuju ke pintu pondok.
"Mengapa lari, Warok?!"
"Anjing ingusan! Satu hari aku
akan datang untuk bikin kau mampus!" jawab Warok Kate yang sudah berada di
luar pondok. Dia tahu walau bagaimana pun dia tak akan sanggup melayani pemuda
ini. Karenanya meskipun darahnya mendidih namun dia terpaksa mengundurkan diri.
Dia sudah bulat tekad bahwa di lain kesempatan dia pasti membuat penyelesaian
hitungan dengan pemuda itu. Mahesa Kelud sendiri yang tidak ingin meneruskan
cari urusan dengan si kepala rampok tidak punya tekat untuk mengejarnya.
***
TUJUH
DISETIAP muara sungai biasanya selalu
terdapat rumah penduduk yang kebanyakan mencari hidup dengan menjadi nelayan.
Tapi tidak demikian dengan muara sungai Ngulon ngidul. Tak ada satu rumah
penduduk pun terlihat di sana. Tak ada satu gubuk atau teratak nelayan pun
terdapat di situ. Ini disebabkan karena semua orang yang berdiam agak jauh dari
muara sungai tersebut sama mengetahui bahwa muara sungai Ngulon ngidul sangat
angker dan ditakuti sehingga kalau bukan manusia-manusia yang berilmu tinggi dan
sakti serta tidak mempunyai urusan sangat penting, pasti tidak akan punya nyali
untuk berada dekat-dekat ke sana. Bahkan para nelayan di pesisir selatan bila
pergi ke laut senantiasa menjauhi muara sungai itu. Pernah terdengar kabar ada
beberapa orang yang tersesat ke sana, tapi kemudian hilang lenyap tanpa tentu
rimbanya. Kabarnya pula muara sungai itu mempunyai penghuni yaitu sejenis setan
tinggi yang pasti akan merampas nyawa siapa saja yang berani datang ke sana.
Sampai di mana kebenaran hal ini tidak satu orang pun dapat memastikan. Tapi
baik benar entah tidaknya tetap saja tak ada orang yang berani dekat-dekat ke
sana.
Malam itu gelap gulita. Udara mendung
sedang di langit tak ada bulan atau pun bintang yang memancarkan sinarnya
menerangi bumi. Dari laut bertiup angin dingin mengandung garam. Daun-daun
pohon kelapa berlambaian dan mengeluarkan suara mendesir menambah keseraman
suasana sekitar muara sungai Ngulon ngidul. Diselingi pula dengan suara deburan
ombak yang bergulung-gulung lalu memecah di pasir, rasa seram itu menjadi lebih
kentara. Tapi anehnya, di malam yang sedemikian itu, samar-samar dalam
kegelapan kelihatan sesosok bayangan berkelebat cepat, berlari kencang menuju
muara sungai. Tak dapat dipastikan apakah sesosok bayangan ini adalah manusia
atau setan penghuni sungai Ngulon ngidul sendiri! Dia berhenti dan berdiri di
atas satu unggukan pasir laut. Diusapnya mukanya beberapa kali lalu dia mulai
memandang berkeliling. Dengan kedua matanya yang tajam dia coba menembus
kegelapan malam. Ternyata dia seorang manusia juga dan tak lain daripada Mahesa
Kelud atau Panji Ireng adanya.
Pemuda berilmu tinggi ini berada di
sekitar muara sungai yang angker itu sehubungan dengan surat aneh yang
ditemukannya dalam pedang milik si Cakar Setan. Dia tidak punya maksud sama
sekali untuk menjadi raja dunia persilatan dengan jalan berusaha mendapatkan
Cambuk Iblis itu. Yang dipentingkan oleh Mahesa ialah pengalaman dan disamping
itu siapa tahu dia mendapat jalan guna menunaikan tugas gurunya yakni mencari pedang
Samber Nyawa dan mencari serta membunuh Simo Gembong. Mahesa tidak tahu dengan
pasti dimana Gua Iblis itu terletaknya. Tengah dia berdiri seperti itu dengan
memandang berkeliling mendadak dari rerumpunan pohon-pohon dan semak belukar
yang lebat dan gelap melesat satu benda hitam sebesar butiran jagung. Mahesa
Kelud hampir tidak melihat benda itu. Tapi dia bisa mendengar suara desirannya
yang mengeluarkan angin bersiuran. Tahu bahwa bahaya besar hendak mencelakainya
pemuda itu segera melompat mundur. Benda hitam lewat. Namun belum lagi Mahesa
Kelud sempat memalingkan kepala mencari sumber dari mana datangnya benda atau
senjata rahasia itu maka dua butir benda yang sama menyusul melesat lagi ke
arahnya. Yang pertama menyerang ke jurusan lehernya sedang yang kedua mengarah
bawah perutnya. Mahesa Kelud terkejut melihat serangan yang bisa mematikan ini.
Hatinya juga menjadi geram karena dia tahu dari serangan tersebut musuh gelap
yang menyerangnya bermaksud untuk merampas nyawanya. Dengan cepat pemuda ini melompat
ke atas. Tubuhnya melesat tinggi. Senjata rahasia yang tadi mengarah ke bawah
perutnya lewat di selangkangannya sedang yang mengarah leher dibikin mental
dengan lambaian tangan kiri berisi kekuatan tenaga dalam ampuh. Namun penyerang
gelap yang bersembunyi di balik semak-semak rupanya tidak mau memberi
kesempatan pada Mahesa Kelud. Begitu dilihatnya pemuda itu berhasil memusnahkan
serangannya dia segera lemparkan lagi empat butir senjata rahasianya. Secepat
kilat murid Embah Jagatnata menjatuhkan diri ke tanah. Gerakannya ini sekaligus
berhasil mengelakkan dua butir senjata rahasia yang menyerangnya. Butiran
ketiga yang mengarah dadanya dielakkan dengan jalan bergulingan di tanah sedang
butiran senjata rahasia keempat ditangkapnya dengan tangan kiri. Meskipun
telapak tangannya agak pedih ketika terbentur senjata musuh tersebut namun
tanpa menunggu lebih lama Mahesa Kelud segera melemparkan senjata itu ke
jurusan semak-semak. Penyerang gelap yang bersembunyi di balik semak-semak mau
tak mau jadi terkejut melihat senjata rahasianya ditangkap sedemikian rupa dan
dilemparkan kembali kepadanya. Dengan mengeluarkan suara cekikikan melengking
di malam sunyi itu, dia melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
Sejurus kemudian penyerang ini sudah
berada di hadapan Mahesa Kelud. Ternyata dia adalah seorang nenek-nenek,
bertubuh kurus tapi tinggi, lebih tinggi dari Mahesa. Mukanya cekung dan
keriputan. Kedua matanya sipit. Rambutnya berwarna putih dan jarang sehingga
batok kepalanya bisa terlihat dengan jelas. Di setiap telinganya terdapat
sepasang anting-anting hitam. Dia hanya mengenakan sehelai kain panjang hitam
yang dipakai lewat dengkul sehingga kakinya yang kecil kurus dan bengkok
tersingkap sama sekali. Di hadapan Mahesa Kelud dia masih terus tertawa
cekikikan memperlihatkan barisan gigi-giginya yang sudah banyak ompongnya. Mau
tak mau Mahesa Kelud jadi bergidik juga melihat perempuan tua aneh ini.
Meskipun hatinya masih geram terhadap manusia ini karena tadi dia telah
diserang secara pengecut dan membabi buta, namun memaklumi bahwa dia berhadapan
bukan dengan orang sembarangan, Mahesa Kelud tidak mau bertindak gegabah.
Hembusan nafas perempuan tua ini sangat tajam dan memerihkan mata. Mahesa
kerahkan tenaga dalamnya dan bertanya.
"Nenek, kau siapa?"
Yang ditanya cekikikan setinggi
langit. Mahesa menggeram dalam hatinya. Tapi dia menunggu dan waspada.
"Pemuda, kau rupanya punya ilmu yang diandalkan heh?! Kau tahu bahwa
berada di sekitar sini berarti mencari mampus?!"
"Harap dimaafkan kalau
kedatanganku mengganggu ketentraman Nenek..." kata Mahesa Kelud tetap
tenang dan menghormat. "Tapi aku tidak punya maksud demikian."
"Ho... ho! Lalu kau punya maksud
apa?!"
"Aku tengah mencari di mana
letaknya Gua iblis." menerangkan Mahesa Kelud.
Si nenek tertawa melengking.
"Aku sudah duga," katanya, ia tudingkan ibu jari tangan kanannya ke
dadanya yang rata dan kulitnya keriputan. "Aku adalah Nenek Iblis. Aku
pemilik Gua Iblis itu. Ikut aku...!"
Si nenek berkelebat. Tubuhnya lenyap
dari hadapan Mahesa Kelud. Pemuda ini segera gerakkan kaki menyusul si nenek.
Meskipun si Nenek Iblis tidak dapat dilihatnya dengan jelas ke mana larinya,
namun dari tertawa cekikikannya yang terus menerus terdengar. Mahesa Kelud masih
sanggup mengetahui ke mana perginya si nenek. Mahesa lari dengan kencang di
antara pepohonan rapat dan sekali-sekali terpaksa melompati semak belukar
tinggi. Mendadak tawa cekikian si Nenek Iblis lenyap. Mahesa Kelud menghentikan
larinya. Dia memandang berkeliling mencari-cari di mana si nenek adanya.
"Anak muda! Kemari!"
Mahesa memutar tubuhnya ke kiri ke
arah dari mana datangnya suara memanggil itu. Di muka sana, di ambang pintu gua
besar yang tertutup batu karang tebal berdiri si Nenek Iblis bertolak pinggang.
Kepalanya yang berambut putih jarang menyondak bagian atas gua. Mahesa Kelud
melangkah ke hadapan si Nenek Iblis. Begitu dia sampai di hadapan si Nenek
Iblis pertanyaan pertama segera diajukan kepadanya. "Kau punya nama
siapa?!"
"Jaliteng," jawab Mahesa
Kelud berdusta.
"Kau murid siapa?" tanya
lagi si Nenek Iblis. Si Cakar Setan di kaki gunung Wilis."
Kini tampak perubahan di wajah
keriput nenek-nenek itu ketika dia dengar nama Cakar Setan. Satu seringai
kemudian muncul di wajahnya.
"Pantas kau punya nyali datang
ke sini heh!
Bagus... bagus... bagus Jaliteng! Kau
inginkan Cambuk Iblis itu, bukan?!"
Jaliteng alis Mahesa Kelud alias
Panji Ireng mengangguk.
"Tidak mudah untuk mendapatkan
senjata digjaya itu anak muda...."
"Aku tahu. Tapi aku akan coba
Nek."
"Bagus... bagus. Mana itu surat
rahasia sebagai bukti?!"
Dari dalam sakunya Mahesa Kelud
mengeluarkan surat rahasia yang ditemuinya dalam pedang si Cakar Setan satu
minggu yang lewat. Waktu diperlihatkan surat tersebut, diam-diam si nenek
memperhatikan jari-jari tangan Mahesa Kelud. Surat itu diambilnya kemudian
dirobek-robeknya. Tiba-tiba, dengan sangat cepat dan tidak terduga kedua tangan
yang tengah merobek-robek itu melesat ke muka.
"Bukk!"
Dua pukulan yang sangat keras
menghantam tubuh Mahesa Kelud dalam waktu yang bersamaan. Yang pertama mendarat
di ulu hatinya sedang yang kedua menghantam pangkal tenggorokannya, tepat pada
urat aliran darah. Karena tak menduga akan dipukul mendadak sedemikian rupa dan
lagi dua pukulan si Nenek Iblis bukan pukulan biasa melainkan berisi tenaga
dalam yang tinggi, maka tak ampun lagi Mahesa Kelud roboh dan jatuh pingsan,
melingkar di tanah di muka kaki si Nenek Iblis. Perempuan tua bermuka buruk itu
tertawa cekikikan beberapa lamanya. Tubuhnya diputar. Dengan tangan kanannya
digedornya pintu batu karang yang menutupi mulut gua. Digedor sedemikian rupa
anehnya batu karang yang kukuh dan tebal segera menggeser membuka. Dengan
tangan kirinya si nenek menyeret tubuh Mahesa Kelud ke dalam gua. Di antara
cekikikannya dia berkata: "Pemuda hijau hendak menipu aku si Nenek Iblis!
Mengaku bernama Jaliteng murid si
Cakar Setan! Hi... hi! Tak apa... tak apa! Pemuda macam kaupun sudah cukup
bagiku! Hi... hi... hi!!"
Dengan mempergunakan tumit kaki
kirinya si nenek kemudian menendang batu karang di belakangnya. Batu itu
bergeser lagi dan mulut gua pun tertutup. Di dalam gua gelapnya bukan main.
Bila jari-jari tangan diletakkan di muka mata pun tidak akan kelihatan. Tapi si
nenek yang sudah tahu seluk beluk gua itu dan juga memakai perasaan serta
pendengarannya yang tinggi, berjalan dengan seenaknya sambil menyeret tubuh
Mahesa Kelud. Di satu bagian gua terdapat banyak lorong- lorong kecil. Si Nenek
Iblis membelok ke salah satu lorong tersebut kemudian berhenti di hadapan
dinding yang berbentuk empat segi. Ini adalah sebuah pintu. Kembali dia
pergunakan tangan kanannya untuk menggedor salah satu bagian rahasia dari pintu
tersebut, dan seperti pintu di mulut gua, batu karang berat dan tebal menggeser
secara aneh ke samping.
"Masuk!" bentak si nenek.
Tubuh Mahesa Kelud ditendangnya sampai mental masuk ke dalam ruangan batu
karang yang sempit dan gelap. Di hadapan pintu itu si nenek tertawa sepuas
hatinya.
"Satu korban lagi! Satu korban
lagi...!" katanya. Kemudian pintu digedornya. Batu karang penutup pintu
tertutup pula dengan rapat.
***
DELAPAN
ENTAH berapa lama waktu berlalu....
Mahesa Kelud siuman sadarkan diri. Tubuhnya lemah lunglai. Tulang-tulangnya
terasa sakit. Perlahan-lahan dibukakannya kedua matanya. Dia jadi terkejut
karena sama sekali tidak melihat apa-apa selain kegelapan yang amat sangat.
Digosok-gosoknya kedua matanya. Masih gelap. Digosoknya lagi, tetap saja tidak
berubah. Pemuda ini menyangka bahwa kedua matanya sudah menjadi buta! Kepalanya
seperti mau pecah! Dia berteriak keras! Tak jelas apa yang diteriakkannya itu.
Suara teriakannya menggema dan menyakitkan anak telinganya. Dengan penuh
keputusasaan pemuda ini berdiri sempoyongan. Dia meraba-raba. Tapak tangannya
menyentuh dinding karang yang sangat tebal. Diputarinya ruangan itu. Setiap dia
meraba selalu saja dinding karang tebal yang dipegangnya. Dinding karang ini
dingin dan berlumut. Mahesa Kelud kini menyadari bahwa dirinya dikurung di satu
ruang kecil dan gelap tanpa jendela atau pun pintu.
"Tapi mustahil tidak ada pintu.
Kalau tidak ada bagaimana aku dijebloskan ke sini?" pikir si pemuda. Dia
berkeliling sekali lagi dalam ruangan gelap itu. Akhirnya dirasakannya satu
legukan pada dinding. "Ini mungkin pintunya," pikir Mahesa.
Dikerahkannya segala kekuatan dan tenaga dalamnya. Dengan bahunya dia dorong bagian
dinding yang leguk itu berkali-kali. Tapi hasilnya nihil. Dicobanya memukul dan
menendang. Pukulan dan tendangannya berisi aji kesaktian yang diajarkan Embah
Jagatnata, tapi hasilnya tetap kesia-siaan belaka. Tubuh pemuda ini basah oleh
keringat. Tangan dan kakinya sakit-sakit. Dia jatuhkan diri ke lantai dan duduk
bersandar di dinding. "Celaka! Bila aku dikurung terus-terusan di sini aku
bisa mati konyol! Terkutuk perempuan tua itu!" kata Mahesa memaki.
Mendadak terdengar ketukan pada dinding di mana dia bersandar. Mahesa terkejut.
Dipasangnya telinganya. Terdengar lagi suara ketukan yang serupa. Lebih
jelas.
"Orang yang memaki, kau
siapa?" Suara ketukan disusul oleh suara pertanyaan halus. Agaknya yang
bertanya ini seorang tua renta.
Mahesa Kelud jadi terkejut. Terdengar
suara halus bertanya: "Orang di kamar sebelah, kau siapa? Apakah kau
tawanan baru?"
"Betul," sahut Mahesa
Kelud. "Kau sendiri siapa, orang tua...?" balik menanya Mahesa.
"Orang-orang menjuluki aku si
Karang Sewu. Tapi kini cepat atau lambat akan tamatlah riwayat si Karang
Sewu!"
Mahesa Kelud terkejut bukan main.
Dalam dunia persilatan siapa manusianya yang tidak kenal dengan si Karang Sewu?
Karang Sewu, seorang tokoh kelas satu yang pernah menggetarkan dunia persilatan
bahkan boleh dikatakan merajai dunia persilatan secara tidak resmi, kini
tahu-tahu berada di dalam Gua Iblis itu.
"Aku kena ditipu dan
dipenjarakan di sini oleh si Nenek Iblis."
Ingat kepada nasibnya sendiri, Mahesa
bertanya pula. "Bagaimana kau orang yang lihay bisa kena ditipu?"
"Sepuluh tahun yang
lalu...."
"Sepuluh tahu yang lalu?"
memotong Mahesa. "Jadi selama itu kau sudah dipenjara di sini?"
"Betul. Aku hanya tunggu detik
kematian saja lagi."
"Ampun..." kata Mahesa
dalam hati. "Bila aku dipenjarakan sampai sekian lama bisa celaka!"
Mahesa memandang ke dinding yang tak kelihatan di hadapannya. "Karang
Sewu, selama sepuluh tahun itu apa kau tidak berhasil mencari usaha untuk
lari...?"
Si orang tua terdengar menarik nafas
dalam. "Sebaiknya aku akan tuturkan padamu riwayatku agar menjadi
jelas."
"Aku akan dengarkan dengan
senang hati, Karang Sewu," kata Mahesa sambil rapatkan telinga ke dinding.
Karang Sewu mulai tuturkan riwayat.
"Sepuluh tahun yang lewat,
ketika aku masih mengembara di sebelah barat, dari seorang pengemis aneh aku
mendapatkan sepucuk surat rahasia. Surat rahasia ini diberikannya padaku karena
aku telah selamatkan nyawanya dari satu malapetaka. Surat itu pendek dan isinya
kalau aku tidak salah ditujukan kepada pendekar-pendekar utama dari delapan
penjuru angin. Siapa-siapa di antara mereka yang ingin merajai dunia persilatan
diajurkan untuk datang ke Gua Iblis di mana terdapat satu senjata ampuh bernama
Cambuk Iblis."
Sampai di sini sebenarnya Mahesa
Kelud hendak menyela penuturan itu, hendak menerangkan bahwa dia pun sampai ke
gua tersebut adalah karena sepucuk surat yang sama. Namun Mahesa membatalkan
niatnya. Dia biarkan Karang Sewu merenungkan riwayatnya.
"Menurut si pengemis, surat
seperti itu ada delapan helai. Lima di antaranya sudah jatuh ke tangan
pendekar-pendekar silat kelas satu yang kemudian segera pergi mencari di mana
letak Gua Iblis tersebut. Sebegitu jauh kelima pendekar itu tidak pernah lagi
didengar kabarnya. Mereka seperti hilang tak tahu rimbanya. Setelah dapatkan
surat itu diam-diam aku memutuskan untuk mencari Gua Iblis. Maksudku bukan
untuk menjadi raja dunia silat, sama sekali tidak. Aku hanya ingin cari
pengalaman. Ingin tahu senjata macam mana dan bagaimana keampuhannya Cambuk
Iblis itu serta ingin menyelidik apa yang telah terjadi dengan kelima pendekar
kelas satu tadi. Ada kira-kira dua purnama aku berkeliling baru mendapatkan
keterangan di mana letaknya gua itu. Aku sampai ke sini pada suatu pagi yang
mendung. Ketika aku berdiri di mulut gua yang tertutup batu karang dengan
bingung karena pintu itu sukar dibuka, maka aku putuskan untuk menghancurkan
batu karang yang menyumpal mulut gua dengan pukulanku yang berisi aji Karang
Sewu, bukan aku sombong tapi sebegitu jauh tak ada satu benda apa pun yang
tahan terhadap pukulanku...."
"Jika memang demikian mengapa
kau tidak hancurkan saja dinding kamar di mana kau dipenjarakan saat ini dan
melarikan diri?" tanya Mahesa Kelud memotong.
"Itulah..." sahut Karang
Sewu dan untuk kesekian kalinya jago tua ini tarik nafas dalam.
"Nanti dalam kelanjutan
penuturanku kau akan tahu juga. Ketika baru saja aku ayunkan tinju kanan untuk
menghancurkan batu karang yang menutup pintu gua, tiba-tiba melayang satu butir
benda hitam ke arah tanganku. Melihat kepada bentuknya benda itu serta
kecepatan melesatnya yang luar biasa, aku segera tahu bahwa itu adalah jenis
senjata rahasia yang berbahaya. Aku tidak mau celaka dan cepat-cepat menarik
pulang tanganku. Beberapa butir senjata rahasia semacam itu menyerangku lagi
dari tempat yang tersembunyi. Semuanya berhasil kuelakkan. Aku mencari
perlindungan di balik sebatang pohon besar dan berteriak agar musuh gelap yang
bersembunyi segera keluar memperlihatkan tampangnya.
Dari atas pohon di belakang gua
kemudian melayang turun sesosok tubuh perempuan memakai kain hitam. Tanpa
menimbulkan suara kedua kakinya mencapai tanah di muka pintu gua. Perempuan tua
ini kemudian kuketahui adalah si Nenek Iblis yang memiliki gua. Dia membentakku
agar datang ke hadapannya. Aku melompat ke muka gua. Dia tanya apakah aku mau
mencari mampus berani-beranian datang ke daerahnya. Kuterangkan bahwa aku
mencari Cambuk Iblis. Dia meminta surat rahasia. Surat itu kuberikan. Setelah
diperhatikannya lalu dirobek-robeknya. Aku berbuat salah. Aku lengah waktu itu.
Tanpa terduga sama sekali tangan yang tengah merobek-robek itu tahu-tahu
melayang menghantam aliran darah dan perutku! Aku tak ingat apa-apa lagi.
Ketika aku siuman ternyata diriku sudah dibikin cacat oleh Nenek berhati iblis
itu. Kedua tangan dan kakiku telah dibacok putus! Si perempuan iblis itu tahu
selama kedua tangan dan kakiku masih tetap utuh, penjara manapun tak sanggup
mengurungku. Dalam waktu yang singkat aku akan segera bisa lolos. Karena itu
siang-siang, selagi aku pingsan tak berdaya dia pergunakan kesempatan untuk
melakukan perbuatan durjana itu. Nah, kini kau tahu anak muda. Meskipun aku
masih tetap memiliki aji kesaktian Karang Sewu tak ada gunanya karena aku tidak
bisa pergunakan tangan ataupun kakiku yang sudah buntung!"
"Mengapa dia tidak bunuh kau
saja dengan seketika?" bertanya Mahesa Kelud.
"Tentu ada sebabnya," sahut
Karang Sewu.
"Si Nenek Iblis tidak ingin
melihat tawanannya mati dengan cepat. Dia ingin menyiksa sedikit demi sedikit
dulu sampai akhirnya sang tawanan meregang nyawa dengan sendirinya...."
"Maksudmu?" tanya Mahesa
Kelud tak mengerti.
"Setiap tawanan di sini tak
pernah diberi makan. Dengan sendirinya mereka akan mati kelaparan!"
"Tapi mengapa kau sampai saat
ini masih hidup? Kau bilang sudah sepuluh tahun dikurung di sini padahal tak
pernah diberi makan."
"Si Nenek keparat itu memang
tidak memberi makan. Tapi dia tidak tahu bahwa di dalam sini aku bisa
mendapatkan makanan!"
"Makanan? Makanan dari
siapa?" tanya Mahesa Kelud pula.
"Bukan dari siapa-siapa. Anak
muda, coba kau pegang dinding karang di dekatmu...."
Mahesa ulurkan tangannya dan meraba
dinding karang di hadapannya.
"Sudah?"
"Sudah."
"Nah, apa yang kau rasakan di
dinding itu?"
"Dinding ini lembab, licin dan
berlumut," jawab Mahesa Kelud.
"Betul... betul! Kau tadi
menyebutkan lumut! Ya... lumut itulah yang telah menyambung nyawaku selama
sepuluh tahun di sini. Selama aku terpenjara lumut itu yang aku makan...."
Mahesa Kelud menggigit bibir. Dia
maklum, kalau sampai tahunan pula dia dikurung di ruang batu karang itu untuk
hidup satu-satunya hanyalah dengan makanan lumut. Kemudian terdengar lagi suara
si Karang Sewu. "Mula-mula sangat tidak enak dan pahit rasanya lumut itu.
Pertama kali aku makan, aku muntah-muntah. Tapi seminggu kemudian aku sudah
mulai bisa...."
"Selama sepuluh tahun itu apakah
lumut di dinding dalam ruanganmu tidak habis-habis?" tanya Mahesa.
"Tidak. Kau tahu penjara ini
terletak di tepi sebuah anak sungai. Udara selalu lembab. Dalam waktu satu hari
saja lumut-lumut yang baru bertumbuhan dengan cepat."
Mahesa saat itu memang merasakan
perutnya sangat lapar. Dikoreknya sedikit lumut dari dinding lalu coba
dicicipinya. Sesaat kemudian lumut itu diludahkannya ke lantai.
"Hai, ada apa kau
meludah-ludah?" terdengar suara Karang Sewu dari kamar sebelah.
"Pahit!"
"Apa yang pahit?"
"Lumut ini. Kucoba
mencicipinya!"
Si Karang Sewu tertawa perlahan.
"Mula-mula memang terasa demikian, namun lama-lama kau akan biasa dan
lidahmu akan merasanya manis," kata jago tua itu pula. "Anak muda,
omong-omong kau belum perkenalkan diri dan beritahu siapa nama gurumu."
Mahesa berpikir-pikir. Apakah dia
akan beri keterangan palsu atau mengatakan dengan jujur siapa dia dan siapa
gurunya. "Karang Sewu, apa kau sudi dengar riwayatku?"
"Oh tentu sudi. Ceritalah anak
muda...."
***
SEMBILAN
"NASIB yang membawaku sampai ke
sini tiada beda dengan nasibmu. Aku baru saja turun gunung dilepas guruku yang
bernama Embah Jagatnata. Mungkin kau pernah dengar nama beliau...."
"Jagatnata...? Embah
Jagatnata?" Karang Sewu berpikir-pikir. "Tidak," katanya.
"Tak pernah kudengar nama itu. Di mana gurumu berdiam?"
"Puncak gunung Kelud."
"Puncak gunung Kelud? Aneh...
selama puluhan tahun gunung itu dianggap angker. Semua orang dalam kalangan
persilatan sama mengetahui bahwa tak ada orang sakti yang bermukim di sana. Ini
adalah satu kabar aneh yang aku baru dengar. Tapi aku maklum, selama sepuluh
tahun terkurung di sini, dunia luaran tentu telah banyak mengalami perubahan.
Jago-jago baru banyak bermunculan. Gurumu pasti seorang sakti luar biasa. Kalau
tidak mana mungkin dia mencari tempat kediaman di puncak gunung Kelud."
"Guruku biasa saja, Karang Sewu.
Kurasa ilmunya tak beda dengan yang dimiliki orang-orang sakti lainnya termasuk
kau," kata Mahesa Kelud pula.
"Ah... kau pandai merendah diri.
Aku suka padamu. Tapi kau masih belum beritahu namamu."
"Maaf, aku sampai kelupaan. Aku
Mahesa Kelud."
Teruskan kisahmu, Mahesa."
"Aku turun gunung. Ketika malam
tiba kulihat ada nyala api di kejauhan. Ketika kudatangi ternyata nyala api ini
adalah sebuah pelita yang terletak di atas meja di dalam sebuah pondok. Aku
masuk. Dan terkejut ketika menemui ada orang terkapar di lantai. Tubuhnya mandi
darah. Mukanya kena bacok.. Orang yang tengah meregang nyawa itu ternyata
adalah si Cakar Setan...."
"Cakar Setan!" kata Karang
Sewu setengah berseru karena terkejut. "Apa yang terjadi dengan jago silat
itu?!"
"Rupanya surat rahasia dari Gua
iblis ini salah satu di antaranya jatuh ke tangan si Cakar Setan. Di lain pihak
seorang jago silat yaitu Warok Kate kurasa mengetahui pula perihal surat itu
lalu mendatangi tempat kediaman si Cakar Setan...."
"Warok Kate memang seorang
kepala rampok tamak dan jahat.!" tukas Karang Sewu.
"Tentunya telah terjadi perang
tanding antara kedua pendekar itu. Dan si Cakar Setan berhasil dikalahkan oleh
Warok Kate. Kepala rampok itu kemudian menggeledah isi pondok kediaman Cakar
Setan, mencari surat rahasia tersebut. Tapi tak berhasil. Dalam keadaan
tangannya sendiri buntung Warok Kate kemudian tinggalkan si Cakar Setan. Saat
itulah aku muncul. Kasihan si Cakar Setan. Kedua matanya tidak bisa melihat
karena tergenang oleh darah yang keluar membanjir dari luka bekas bacokan Warok
Kate pada mukanya. Dia sangka aku adalah muridnya, Jaliteng. Lantas saja dia
terangkan padaku di mana surat rahasia tersebut berada yaitu di dalam
pedang...."
"Si Cakar Setan memang seorang
cerdik dalam hal menyembunyikan apa-apa. Lalu kau temui surat itu?" tanya
Karang Sewu dari kamar sebelah.
"Betul. Ternyata disembunyikan
dalam leher ukiran naga pada gagang pedang. Pedang kuning milik si Cakar Setan
kuambil, sekarang ada padaku...."
"Kau mencurinya?!"
"Aku tidak bermaksud demikian.
Tapi karena aku tahu bahwa senjata itu bukan senjata sembarangan dan khawatir
sepeninggalku akan dicuri orang lain untuk dipergunakan dalam maksud-maksud
jahat maka aku putuskan untuk membawanya. Di satu waktu aku akan berikan pedang
ini kepada siapa yang berhak mewarisinya. Mungkin Jaliteng, murid si Cakar
Setan sendiri...."
"Tapi di samping Jaliteng, si
Cakar Setan masih memiliki beberapa orang murid lagi. Satu di antaranya seorang
gadis! Kau bisa kena celaka, Mahesa! Murid-murid si Cakar Setan pasti akan
menjatuhkan tuduhan kepadamu! Tuduhan berat yaitu membunuh guru mereka mencuri
pedang dan surat rahasia! Mereka pasti mengadu nyawa dengan kau sampai seribu
jurus!"
"Hal itu bisa dimaklumi!"
sahut Mahesa Kelud sambil meluruskan kedua kakinya yang terasa pegal di lantai.
"Namun bila aku berhadapan dengan salah seorang dari mereka nanti aku akan
terangkan kejadian yang sebenarnya."
"Memang harus demikian supaya
mereka tidak salah sangka," ujar Karang Sewu pula. "Teruskanlah
kisahmu."
"Ketika aku berniat untuk pergi
mendadak seseorang menerobos masuk lewat pintu pondok. Manusia ini ternyata
adalah Warok Kate! Rupanya diam-diam dia telah mengintip kedatanganku ke pondok
itu dan mengetahui bahwa surat rahasia yang dicari-carinya kini berada di
tanganku. Dengan membentak dan mengancam dia meminta surat tersebut. Karena aku
sudah bertekad untuk mempertahankan surat itu maka terjadilah perkelahian seru
antara kami. Warok Kate, memang seorang yang lihay dan gesit. Untung sekali
pedang si Cakar Setan ada padaku sehingga setelah bertempur belasan jurus Warok
Kate yang mulai merasakan dirinya terdesak segera ambil keputusan untuk kabur.
Sebelum berlalu dia masih sampaikan ancaman padaku bahwa satu ketika dia akan
datang kembali untuk merampas nyawaku!"
"Aku tahu sifat Warok
Kate," kata Karang Sewu pula. "Ancamannya itu bukan ancaman kosong.
Dia pasti mencari guru yang lihay. Setelah mendapatkan ilmu tambahan baru dia
akan menghadapi kau mungkin pula dia membawa serta benggolan-benggolan rampok
kawakan lain-nya...."
Menurut Mahesa Kelud apa yang
dikatakan orang tua itu memang benar. Dia kembali termenung memikirkan nasibnya
yang baru saja turun gunung, belum apa-apa tahu-tahu sudah kejeblos ke dalam
penjara tanpa ada harapan untuk bisa kabur melarikan diri. Sampai puluhan tahun
dia akan mendekam di ruang batu karang yang sempit gelap dan lembab itu sampai
akhirnya dia menghembuskan nafas penghabisan tanpa sanggup menunaikan
tugas-tugas yang diberikan gurunya Embah Jagatnata.
"Bagaimana dengan kelima
jago-jago silat yang kau terangkan tadi? Apa berhasil mencari atau mengetahui
jejak mereka?" tanya Mahesa.
"Tidak. Namun kuduga mereka juga
sudah menjadi korban si Nenek Iblis, dipenjarakan di gua ini. Kau tahu di sini
terdapat banyak lorong-lorong dan setiap lorong ada kamar-kamar penjara seperti
tempat di mana kita di kurung saat ini. Kalau saja kelima orang itu tahu bahwa
lumut di dinding karang ini bisa dimakan, mungkin mereka masih hidup sampai
saat ini...."
"Kasihan mereka...."
"Ah... mengapa harus kasihan
sama mereka? Mengapa harus pikirkan nasib mereka? Kita sendiri harus kasihan
pada diri kita yang sudah ditimpa nasib celaka ini. Kita harus pikirkan nasib
kita sendiri..." ujar si Karang Sewu pula.
"Karang Sewu," kata Mahesa
Kelud. Dia putar pembicaraan. "Kau jauh lebih tua dariku.Tentu lebih
banyak pengetahuan. Aku tidak mengerti mengapa pemilik gua ini berhati jahat
dan menyebarkan surat-surat celaka itu. Siapa si Nenek Iblis ini
sebenarnya?"
"Mengapa dia sampai berhati
sejahat Iblis, ada riwayatnya," jawab Karang Sewu.
"Kalau kau tak keberatan
menuturkannya..." mohon Mahesa.
"Aku akan tuturkan. Dulunya si
Nenek Iblis ini seorang perempuan baik-baik. Nama aslinya aku tak ingat lagi.
Ketika masih belasan tahun dia sudah diambil murid oleh seorang pertapa sakti
disatu pulau kecil di pantai utara. Menanjak dewasa nyatalah bahwa dia bakal
menjadi seorang gadis berparas jelita. Banyak pendekar-pendekar muda yang jatuh
cinta tergila-gila padanya. Dia sendiri jinak-jinak merpati. Namun demikian
akhirnya dia terpikat juga pada seorang pemuda berilmu tinggi dan dijuluki Simo
Gembong...."
"Simo Gembong?" seru Mahesa
Kelud.
"Hai, kau terkejut sekali
mendengar nama itu. Kau kenal Simo Gembong?" tanya Karang Sewu dari kamar
sebelah.
"Tidak. Tapi...."
"Tapi apa?"
"Simo Gembong adalah manusia
yang aku harus cari," menerangkan Mahesa Kelud.
"Hemm... kau punya urusan dengan
orang itu agaknya?"
Mahesa ragu-ragu seketika lalu
membuka mulut. "Karang Sewu, ketahuilah bahwa waktu aku dilepas turun
gunung oleh guruku, beliau memberikan dua buah tugas penting padaku. Salah satu
di antaranya ialah harus mencari sampai dapat seorang yang bernama Simo Gembong
dan membunuhnya!"
Di kamar sebelah si Karang Sewu
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mahesa Kelud," katanya, "Bukan
aku memandang rendah kepada ilmumu atau meremehkanmu. Tapi jika Simo Gembong
masih hidup saat ini, kurasa sukar dicari orang yang sanggup menandinginya. Aku
sendiri tidak sungkan-sungkan mengaku bahwa ilmuku masih berada di bawahnya.
Berbahaya, terlalu berbahaya mencari urusan dengan dia Mahesa!"
"Tapi Karang Sewu," berkata
Mahesa Kelud. "Guruku agaknya juga memaklumi kehebatan Simo Gembong
tersebut. Karenanya sebelum aku mencari dia, Embah Jagatnata menugaskan aku
agar terlebih dahulu mencari sebuah pedang bernama Samber Nyawa. Menurut beliau
hanya dengan pedang itulah si Simo Gembong bisa dihabisi riwayatnya."
"Kalau kau sebut-sebut pedang
Samber Nyawa, itu lain perkara, Mahesa."
"Jadi kau tahu mengenai senjata
ini?"
"Semua jago silat dalam dunia
persilatan pernah mendengar tentang pedang sakti itu. Semua mereka ingin
memilikinya. Namun sebegitu jauh tidak satu orangpun yang tahu di mana pedang
itu berada, termasuk aku. Lambat laun diragukan tentang adanya senjata
tersebut. Mahesa... tugas yang diletakkan gurumu di atas pundakmu adalah tugas
sangat berat. Nyawa hadangannya."
"Aku maklum Karang Sewu. Tapi
sebagai murid aku harus laksanakan. Kapan lagi aku berbakti kepadanya...."
"Betul, betul.... Tandanya kau
seorang murid yang tahu balas jasa. Mari kuteruskan mengenai riwayat si Nenek
Iblis tadi. Jadi semasa gadisnya dia adalah seorang gadis yang jelita. Banyak
pemuda tergila padanya sampai suatu hari dia terpikat pada Simo Gembong yang
juga masa itu merupakan seorang pemuda gagah dan berilmu. Simo Gembong
sebenarnya adalah pemuda hidung belang doyan perempuan. Kesempatan ini tidak
disia-siakannya. Dia segera tempel si gadis. Sebagaimana setiap pemuda hidung
belang maka begitulah, Simo Gembong cuma permainkan itu gadis. Ketika dia puas
mencicipi tubuh yang indah dan mulai bosan maka dia segera tinggalkan si gadis.
Padahal saat itu gadis tersebut sudah berbadan dua!
Si gadis mencari Simo Gembong.
Celakanya waktu itu dipergokinya Simo Gembong sedang meniduri anak gadis orang
di satu pondok di tengah ladang yang sepi. Si Nenek Iblis tidak mau ambil
perduli dengan urusan Simo Gembong. Yang penting baginya ialah mendapatkan
pemuda itu dan meminta pertanggung jawabnya. Si Nenek Iblis yang cinta akan
Simo Gembong mengharap agar mereka bisa buru-buru kawin demi menutupi malu
karena kandungannya sudah membesar. Tapi Simo Gembong mengelak diri dan tidak
mengacuhkan dia sama sekali. Si Nenek Iblis jadi kalap dan mengamuk hebat. Dia
serang Simo Gembong. Maka terjadilah perkelahian yang sangat hebat. Tadinya
mereka saling suka sama suka dan kini sebaliknya bertekad bulat untuk mencabut
nyawa satu sama lain. Sekali lagi Simo Gembong menunjukkan kepengecutan di mana
dia tidak bertanggung jawab. Tahu bahwa bekas kekasihnya itu memiliki ilmu yang
lebih tinggi, maka ketika dia mulai kepepet dia segera ambil langkah seribu dan
kabur. Si Nenek Iblis mengejar dan memburunya terus. Tapi Simo Gembong hilang
lenyap seperti di telan bumi. Sampai saat ini tidak satu orangpun tahu di mana
dia berada. Cuma satu hal yang dapat dipastikan ialah bahwa tentunya, kalau dia
masih hidup maka ilmu silat dan kesaktiannya tentu sudah mencapai tingkat yang
tinggi, yang bukan sembarang orang bisa mencapainya...."
"Bagaimana dengan si Nenek Iblis
sesudah dia tak berhasil menemui Simo Gembong?" tanya Mahesa Kelud.
"Beberapa bulan sesudah Simo
Gembong lenyap maka diapun melahirkan. Ternyata anak haram jadah yang ia brojolkan
ke dunia ini adalah seorang laki-laki dan celakanya tampangnya sangat sama
dengan Simo Gembong. Sudah barang tentu dendam si Nenek Iblis terhadap Simo
Gembong menggejolak kembali, ditambah pula bahwa itu adalah anak haram jadah
maka tanpa hati kemanusiaan sedikit pun si Nenek Iblis lantas saja bunuh itu
bayi! Sejak dia membunuh anak sendiri, sejak itu sifatnya yang kejam dan
terkutuk menjadi-jadi. Dia membenci kepada semua orang, terutama terhadap
laki-laki yang bertampang gagah dan punya ilmu tinggi. Di mana-mana dia mencari
lantaran, menganiaya dan membunuh. Sementara itu dia tak henti-hentinya
mengelana mencari Simo Gembong. Sambil mengelana dia menyebar maut. Dan ketika
puluhan tahun kemudian dia sudah menjadi seorang nenek-nenek maka orang-orang menggelarinya
si Nenek Iblis. Kurasa gelar itu sangat cocok."
"Lantas apa perlunya si Nenek
Iblis menyebarkan delapan surat rahasia itu?" tanya Mahesa Kelud.
"Dengan dua maksud," jawab
Karang Sewu. "Pertama untuk mengundang pendekar-pendekar kawakan di
delapan penjuru angin. Dan jika mereka datang ke sini lantas dipenjarakan
hidup-hidup tanpa diberi makan sampai akhirnya mereka menemui ajal mati
kelaparan. Ini adalah disebabkan karena lekatnya sifat membenci dalam diri si
Nenek Iblis terhadap setiap laki-laki karena seorang laki-lakilah yaitu Simo
Gembong yang telah merusakkan kehidupannya. Maksud yang kedua tak lain adalah
untuk memancing datangnya Simo Gembong sendiri ke Gua Iblis ini.
Dan bila ini benar-benar kejadian
maka mungkin akan kesampaian maksud si Nenek iblis untuk membalas dendam. Namun
sebegitu jauh, sampai saat ini Simo Gembong tak pernah kelihatan mata
hidungnya. Hilang lenyap seperti gaib. Entah masih hidup entah sudah
berkubur...."
"Bagaimana dengan Cambuk Iblis
yang tertera dalam surat rahasia itu?" tanya Mahesa.
"Sudah aku katakan kita semua
yang datang ke sini tertipu. Cambuk Iblis itu sama sekali tidak pernah
ada!" sahut Karang Sewu.
Mahesa Kelud tak habisnya menyumpah
dan memaki dalam hati. Tapi apa mau dikata. Dirinya sendiri sudah kena dikeram
dalam Gua Iblis itu!
***
SEPULUH
MENDADAK di luar terdengar
lapat-lapat suara menderu yang halus. Mahesa Kelud pasang telinganya, coba menduga
suara apa itu adanya, tapi tak berhasil. Diketuknya dinding karang di
sampingnya.
"Karang Sewu..." dia
memanggil.
"Ya, ada apa Mahesa?"
terdengar suara si orang tua dari kamar sebelah.
"Kau dengar suara menderu di
luar sana?"
"Oh itu? Tak usah khawatir. Itu
cuma suara hujan dan derasnya arus sungai di belakang dinding karang ini,"
menerangkan Karang Sewu.
Sunyi seketika. Lalu terdengar suara
si orang tua bertanya. "Mahesa, kau tahu bahwa kau tak akan bisa keluar
lagi hidup-hidup dari penjara iblis ini?"
Mahesa Kelud tak menjawab. "Tak
ada seorang pun di dunia luar yang sanggup menolong kita."
"Sebaiknya kita tak usah
bicarakan hal itu," kata Mahesa Kelud jadi tidak enak. "Bukankah
lebih bagus bila kita berpikir berusaha mencari akal agar bisa keluar dari
sini?"
"Sudah sejak sepuluh tahun lalu
aku mencari akal anak muda," ujar si orang tua pula.
"Dan buktinya sampai saat ini
aku masih tetap mengeram di sini, menunggu mampus!"
"Namun tidak ada yang tidak
mungkin diatas jagat ini. Siapa tahu ada yang akan menolong kita."
"Betul, Mahesa. Betul sekali
katamu. Kau mungkin bisa ditolong tapi aku tidak. Kau mungkin bisa lolos tapi
aku tidak. Dan aku ingin agar kau bisa keluar hidup-hidup dari sini!"
"Kau punya akal?" tanya
Mahesa Kelud penuh harapan seraya ingsutkan diri lebih rapat ke dinding.
"Akal dan cara," jawab si
Karang Sewu.
"Katakanlah!" ujar Mahesa
tak sabaran.
"Tapi sebelumnya kau mau
berjanji? Yaitu bila aku tolong kau maka apa kau mau tolong aku?"
"Sudah barang tentu! Bila saja aku berhasil keluar dari penjara batu
karang ini maka aku akan adu jiwa untuk selamatkan kau!"
"Oh, bukan... bukan itu
maksudku," kata Karang Sewu pula.
"Lantas?"
"Dengar Mahesa, aku tolong kau
keluar dari sini dan sebagai ganti budi aku minta agar kau melaksanakan
beberapa tugas. Tugas-tugas yang berat, Mahesa."
"Melaksanakan tugas-tugas berat
bagiku adalah lebih baik daripada terkurung di sini menunggu ajal!"
"Bagus aku gembira kau bicara
demikian. Aku akan beritahu tugas-tugas itu lebih dahulu, baru cara bagaimana
aku menolongmu lolos dari sini. Pertama, bila kau sudah berada di luar nanti
maka pergilah ke barat, ke daerah kesultanan Banten, hambakan dirimu di sana
karena aku mendapat firasat bahwa Banten kini tengah berada dalam kekalutan.
Bila kekalutan itu berakhir sudah maka berarti selesainya tugasmu. Sanggup kau
laksanakan tugas yang pertama ini?"
"Dengan doa restumu, Karang
Sewu."
"Bagus. Sekarang tugas yang
kedua atau yang terakhir. Pergilah ke Lembah Maut yang terletak di tanah utara
di mana bersarang seorang gadis berhati jahat digelari si Dewi Maut. Dia telah
membunuh dua orang anak laki-lakiku. Kuharapkan kepadamu agar kau bisa menuntut
balas untukku. Sanggup?"
"Sanggup Karang Sewu," kata
Mahesa Kelud tanpa ragu-ragu. Meskipun dua tugas yang dipikulkan gurunya
sendiri di pundaknya belum terlaksana dan kini mendapat dua tugas tambahan yang
tak kalah beratnya namun bagi Mahesa itu adalah lebih baik daripada harus
mengeram menunggu mati di dalam penjara Gua Iblis.
"Nah, sekarang aku akan
terangkan padamu cara bagaimana aku bisa menolongmu lolos dari sini," kata
Karang Sewu.
Mahesa Kelud merasakan dadanya
berdebar. Kemudian didengarnya suara si orang sakti dari balik dinding.
"Dengar baik-baik, Mahesa. Mulai saat ini aku akan ajarkan kepadamu aji
kesaktian pukulan Karang Sewu. Dengan mempergunakan ilmu pukulan itu nanti kau
akan sanggup menghancurkan dinding karang dan melarikan diri!"
"Kalau begitu aku akan panggil
kau guru, Karang Sewu!" seru Mahesa Kelud penuh gembira.
"Ah, tak usah pakai peradatan
segala Mahesa."
"Bila nanti kau sudah keluar,
aku akan segera tolong kau menyelamatkan diri dari sini," berjanji pemuda
itu.
"Tentang diriku tak usah
dipikirkan. Dalam keadaan tubuh yang cacat seperti ini hidup di dunia bebas tak
ada artinya bagiku. Biar aku tetap mengeram di sini menunggu ajal, tak usah
dipikirkan. Yang penting jalankan tugas yang aku pikulkan atasmu. Dengan
demikian aku bisa menjadi puas."
"Baiklah kalau itu maumu,"
ujar Mahesa Kelud namun dalam hatinya dia tetap berniat untuk bebaskan si orang
tua.
"Nah, Mahesa. Bersiap-siaplah
untuk menerima pelajaran permulaan.
"Baik guru."
***
Dua bulan berlalu seperti tak
terasa...
"Mahesa, syukur kau sudah
mempunyai dasar ilmu dalam yang sangat tinggi sehingga kini kurasa kau sudah
memiliki ilmu pukulan Karang Sewu, sama dengan yang kumiliki. Kau tinggal
memilih waktu saja lagi kapan kau akan melarikan diri dari sini. Lebih cepat lebih
baik."
"Kalau aku memiliki ilmu pukulan
yang ampuh, maka itu adalah berkat keikhlasanmu, Karang Sewu. Aku mengucapkan
terima kasih dan tak akan lupakan budimu. Kalau kau tak keberatan aku akan
pergi sekarang juga."
"Ya, pergilah Mahesa. Hati-hati
dan jangan lupa tugas yang kupikulkan padamu."
"Menghindarlah ke sudut ruangan,
Karang Sewu. Aku akan bobolkan dinding yang membatasi tempat kita agar kita
berdua bisa keluar sama-sama."
"Mahesa, kau tidak ingat
kata-kataku tempo hari. Jangan pikirkan aku, tak usah tolong diriku. Kau
pergilah sendirian. Aku...."
Karang Sewu hentikan kalimatnya
dengan serta merta ketika di luar sana mendadak terdengar suara tertawa
cekikikan. Mahesa sendiri juga terkejut.
"Mahesa, larilah! Cepat sebelum
si Nenek Iblis itu mengetahuinya!" kata Karang Sewu.
"Hi... hi... hi! Tidak ada satu
manusia pun yang bisa lari dari sini! Tidak satu manusia pun! Karang Sewu,
rupanya kau sudah bosan hidup...sudah mau cepat-cepat pergi ke neraka. Aku
dengar semua apa yang kau bicarakan dengan itu pemuda. Karenanya kau harus
mampus saat ini juga."
Dari tempat di mana dia berada Mahesa
Kelud mendengar dinding karang digedor lalu suara benda berat bergeser yang
disusul dengan suara tertawa cekikikan menegakkan bulu roma. Mahesa segera tahu
bahwa si Nenek iblis tengah membuka pintu karang di tempat di mana Karang Sewu
dipenjarakan. Tanpa menunggu lebih lama pemuda ini kerahkan aji kesaktian yang
diterimanya dari si orang tua. Tangan kanannya terasa panas dan bergetar.
Tangan kanan yang membentuk tinju itu kemudian dihantamkannya ke muka.
"Braak!!!"
Sungguh luar biasa! Dinding karang di
hadapannya ambruk bobol. Karena pintu di kamar sebelah terbuka maka di antara
sinar tipis yang masuk, samar-samar Mahesa Kelud dapat melihat si Nenek Iblis.
Dia segera menerobos masuk ke kamar sebelah itu. Tapi Mahesa Kelud terlambat.
Dengan satu gerakan cepat luar biasa si Nenek Iblis yang menggenggam pedang
pada tangan kanannya melompat ke muka dan menghunjamkan senjata itu dalam-dalam
ke dada Karang Sewu yang terbaring tanpa daya di lantai. Orang tua ini mengeluh
tinggi. Nyawanya melayang seketika itu juga.
"Perempuan laknat!" maki
Mahesa Kelud seraya mencabut pedangnya dari balik punggung.
"Pemuda sedeng!" semprot si
Nenek Iblis.
"Berani memaki aku! Apa tidak
tahu nyawamu hanya tinggal sekejapan mata saja?! Kau akan segera susul anjing
tua itu!"
Si Nenek Iblis cabut pedangnya dari
dada Karang Sewu yang sudah menjadi mayat dan menangkis sambaran pedang Mahesa
Kelud yang menderu ke arah kepalanya.
Trang!
Dua senjata beradu keras mengeluarkan
suara nyaring. Bunga api memercik. Kedua musuh itu sama-sama mundur ke
belakang. Mahesa merasakan tangannya bergetar, sebaliknya si Nenek Iblis merasa
tangan kanannya panas dan pedas! Mau tak mau ini membuat dia terkejut. Tidak
menunggu lebih lama dia segera putarkan pedangnya sampai mengeluarkan suara
menderu. Namun Mahesa tidak kalah sigap. Gerakan pedangnya yang tidak
terduga-duga memaksa si Nenek Iblis mengambil sikap bertahan. Demikianlah di
dalam ruangan yang samar-samar itu kedua manusia tersebut bertempur dahsyat.
Yang satu perempuan yang lain laki-laki. Yang satu sudah tua renta sedang yang
lain masih muda belia!
Mereka lebih banyak mempergunakan
perasaan dari pada penglihatan. Si Nenek Iblis memaki dalam hatinya ketika dia
kena didesak keluar kamar. Tanpa perdulikan tata cara persilatan tangan kirinya
menyelinap cepat ke balik kain yang dipakainya. Ketika tangan itu keluar maka
melayanglah tiga butir senjata rahasia ke jurusan Mahesa Kelud.
"Licik!" teriak si pemuda
seraya miringkan kepalanya dengan cepat. Dua buah senjata rahasia yang
menyerang ke arah sepasang matanya lewat. Yang ketiga dibuat mental dengan
lambaian tangan kiri!
Si Nenek menggerakkan tangannya
kembali tapi kali ini Mahesa Kelud tidak mau memberi kesempatan. Tubuhnya
melesat ke muka. Pedang membabat bersiuran sedang kaki kanan menendang ke
tangan kiri lawannya. Si Nenek miringkan tubuh. Tendangan kaki kanan Mahesa
lewat. Serangan pedang ditangkis dengan pedang. Untuk kesekian kalinya sepasang
senjata itu beradu lagi. Tapi kali ini si Nenek Iblis sudah kepayahan dan
kehabisan tenaga. Pedangnya terlepas dan mental.
"Celaka!" kata si Nenek
Iblis dalam hati. Dia melompat mundur menjauh lalu putarkan tubuh hendak lari.
"Perempuan iblis! Mau lari ke
mana?!" teriak Mahesa seraya lari mengejar. Tapi si Nenek Iblis sudah
lenyap di dalam salah satu lorong gua yang sangat gelap!
***
SEBELAS
MAHESA Kelud geram bukan main. Tapi
apa mau dikata. Musuh besarnya itu sudah lenyap. Dia tidak mau mengejar karena
dalam lorong gua yang gelap itu akan mudah bagi si Nenek Iblis untuk membokong
mencelakainya. Pemuda itu putar tubuh dan masuk ke dalam ruangan batu karang di
mana sebelumnya Karang Sewu dipenjarakan. Dia berlutut di hadapan mayat Karang
Sewu. Hatinya terharu. Bukan saja terharu melihat tubuh cacat dari si orang tua
tapi juga terharu karena Karang Sewulah yang menyelamatkan nyawanya keluar dari
penjara maut itu dan kini manusia sakti yang telah menolongnya itu harus mati dalam
keadaan seperti itu.
"Karang Sewu," kata Mahesa
Kelud. "Aku bersumpah di hadapan mayatmu untuk membunuh si Nenek
Iblis!" Diangkatnya mayat si orang tua dan diletakkannya di bahu kirinya.
Mahesa meninggalkan tempat itu, mencari jalan keluar. Setiap dia menemui
dinding karang yang menghadang, dia pergunakan pukulan Karang Sewunya untuk
membobolkan dinding tersebut. Akhirnya ketika dia membobolkan untuk kesekian
kalinya dinding karang di hadapannya maka masuklah sinar terang yang
menyilaukan mata. Ternyata sinar matahari. Mahesa menarik nafas lega.
Kini dia sudah sampai di luar gua
maut itu. Untung sekali saat itu hari siang sehingga tidak sukar bagi si pemuda
untuk mencari tanah yang baik guna menguburkan mayat Karang Sewu. Mahesa Kelud
kemudian teringat akan lima orang pendekar silat yang diceritakan oleh Karang
Sewu tempo hari. Jika mereka benar-benar menjadi tawanan si Nenek Iblis... dan
masih hidup saat itu... Mahesa bulatkan tekat bahwa dia harus menolong kelima
pendekar yang malang itu. Dibuatnya sebuah obor. Lalu dia melangkah masuk ke
dalam gua melalui bagian yang bobol dari mana dia keluar tadi. Tapi baru saja
dia sampai dihadapan bagian gua yang bobol itu mendadak sontak terdengar suara
tertawa cekikikan di belakangnya.
Pemuda ini terkejut dan cepat putar
tubuhnya. Di hadapannya berdiri si Nenek Iblis. Ditangan kanannya tergenggam
sebatang tombak aneh bermata tiga sedang pada tangan kirinya ada sebuah senjata
lain dari yang lain yaitu sebuah kendi! Sekilas pandang kendi itu tak ubahnya
seperti kendi-kendi lain yang terbuat dari tanah liat. Tapi Mahesa tahu bahwa
kendi yang ada di tangan Nenek Iblis saat itu adalah terbuat dari besi dan
merupakan senjata yang berbahaya!
Namun dari semuanya itu, apa yang
sangat mengejutkan Mahesa Kelud ialah bahwa si Nenek Iblis yang berdiri di
hadapannya saat itu sama sekali tidak berpakaian alias telanjang bulat!
"Perempuan edan!" maki
Mahesa dalam hatinya. Diperhatikannya tubuh Nenek Iblis yang kurus tinggi,
seluruh kulitnya hitam keriputan. Buah dadanya yang hampir sama rata dengan
tubuhnya kelihatan bergoyak-goyak melepet karena tertawanya yang cekikikan.
"Ha...! Ha...! Kau terkejut
Mahesa Kelud?!
Pandangi tubuhku yang bagus ini
baik-baik! Kau tidak punya kesempatan lama untuk menikmatinya karena sebentar
lagi nyawamu akan minggat ke neraka!"
"Perempuan terkutuk!" maki
Mahesa. Bersamaan dengan itu dilemparkannya obor yang di tangannya ke muka si
nenek. Nenek Iblis menangkis obor itu dengan tombak di tangan kanannya. Lalu
sambil mengeluarkan suara jeritan melengking mengerikan tubuhnya melesat ke hadapan
Mahesa Kelud.
Si pemuda tidak tunggu lebih lama.
Dia segera cabut pedang milik Cakar Setan yang tersisip di punggungnya. Senjata
ini diputarkannya sedemikian rupa untuk menangkis dan melindungi dirinya dari
serangan ganas Nenek Iblis. Pedang dan tombak beradu. Suaranya berdencing dan
meskipun hari siang tapi samar-samar masih kelihatan bunga api. Tubuh si Nenek
Iblis sempoyongan sedang tubuh Mahesa Kelud tidak bergerak sedikit pun! Ini tak
lain berkat keampuhan ilmu Karang Sewu yang dimilikinya. Meskipun tahu bahwa
tenaga dalam lawannya lebih tinggi namun Nenek Iblis yang sudah seperti kalap
terus saja mengirimkan serangan kedua.
Dia tusukkan tombak bermata tiganya
ke arah dada Mahesa Kelud. Si pemuda menggeser tubuhnya ke samping tapi ujung
tombak itu dengan cepat mengikuti arah elakannya. Mahesa pergunakan pedangnya
untuk memapas tombak. Tapi tak terduga Nenek Iblis enjot tubuh dan melesat
tinggi ke atas. Saat itu dengan berbarengan dia lancarkan dua serangan
sekaligus!
Yang pertama yaitu serangan tombak
bermata tiga menusuk lurus dengan deras dari atas ke arah batok kepala Mahesa
Kelud yang tertutup dengan sapu tangan putih. Sedang yang kedua adalah hantaman
senjata berbentuk kendi mengarah lambung Si pemuda. Jika Mahesa membungkuk
mengelakkan tusukan tombak maka senjata yang berbentuk kendi pasti akan
menghantam dagunya. Sebaliknya jika dia melompat maka tusukan tombak niscaya
menembus kepalanya!
Dalam posisi yang menegangkan itu
tiba-tiba Mahesa keluarkan suara membentak menggeledek! Lutut kiri dilipat,
kepala dimiringkan. Dia enjot kaki kanannya dan sedetik kemudian tubuhnya rebah
jungkir balik ke belakang! Serangan tombak dan kendi besi lewat sekaligus.
Dengan gusar si nenek memburu ke muka untuk kirimkan serangan berantai. Tapi
ketika jungkir balik ke belakang tadi Mahesa Kelud tidak bodoh. Dia babatkan
pedang kuning di tangannya ke arah perut Nenek Iblis, membuat perempuan berhati
setan ini terpaksa menarik pulang serangannya. Untuk menangkis senjata Mahesa
dia tidak punya nyali karena dia maklum akan kalah tenaga dalam.
Jurus selanjutnya Mahesa Kelud yang
membuka serangan. Pedangnya berputar tak menentu, menyerang ke bagian-bagian
mematikan dari tubuh si Nenek Iblis yang telanjang bulat. Perempuan itu tidak
mau kalah. Tubuhnya berkelebat cepat seperti bayang-bayang. Ilmu mengentengi
tubuhnya memang patut dikagumi. Tapi walau bagaimanapun pemuda yang menjadi
tandingannya tetap berada di atas angin. Memasuki jurus ke sembilan terlihatlah
Mahesa mulai mendesak si Nenek Iblis ke arah semak-semak. Dengan lebih
mempercepat gerakannya si Nenek Iblis coba untuk bertahan bahkan sekali dua
ganti melancarkan serangan. Tapi tidak ada guna. Mahesa tidak memberikan
kesempatan padanya. Gulungan pedang kuning seakan-akan mengurung tubuh si Nenek
Iblis dan dia terdesak hebat!
"Keparat!" gertak Nenek
Iblis penuh geram. Dia pasang kuda-kuda baru dan ketika dia lancarkan serangan
maka gerakan ilmu silatnya berubah sama sekali. Sangat gesit dan serangan-
serangan yang dilancarkannya tidak terduga. Mahesa dibikin sibuk kini! Tapi
pemuda ini tetap tenang. Gerakannya diperhitungkannya benar-benar.
"Nah... nah Jaliteng palsu!
Nyawamu sudah tinggal sekejapan mata lagi! Sebutkan nama gurumu!"
"Perempuan bejat pembunuh anak
kandung sendiri!" balas memaki Mahesa Kelud. "Tak usah banyak
bacot!" Pemuda ini kirimkan satu tusukan ke dada lawannya tapi dengan
mudah dielakkan oleh si Nenek Iblis. Namun demikian perempuan ini salah duga,
tak tahu kalau serangan empuk itu adalah tipuan belaka. Dengan kesusu dan
sembrono begitu mengelak dia segera hantamkan kendi besinya ke arah sambungan
siku lawan. Mahesa sengaja tidak menghindarkan tangannya cepat-cepat dan si
Nenek sudah dapat membayangkan bagaimana sesaat lagi siku lawannya itu akan
menjadi hancur luluh!
Si Nenek Iblis menjadi terkejut
ketika kendi besinya sudah sangat dekat dengan siku lawan tiba-tiba Mahesa
Kelud melesat ke udara. Nenek Iblis hantamkan mata tombaknya ke perut pemuda
itu. Tapi dia terlambat. Siku kanan Mahesa yang dahsyat lebih dahulu menghantam
rahangnya.
Si Nenek menjerit keras. Tubuhnya
mental dan terguling beberapa tombak. Mahesa tetap berdiri di tempatnya dengan
pedang di tangan, memperhatikan tak berkesiap. Perempuan bejat ini berdiri
terhuyung-huyung. Mukanya mengelam sedang rahangnya kelihatan merah dan bengkak
besar. Kepalanya yang berambut putih jarang itu miring. Mulutnya kini menjadi
mencong! Kedua matanya memandang garang tak berkedip pada Mahesa Kelud. Dia
maju selangkah demi selangkah mendekati si pemuda.
"Setan alas! Mampuslah!"
Bersamaan dengan makian itu Nenek Iblis menyerbu ke muka. Dia ayunkan kendi
besinya ke pinggang Mahesa. Tombak di tangan kanan menusuk ke arah tenggorokan.
Mahesa miringkan kepalanya. Ketika tombak lewat dengan tangan kiri dia coba
memukul pangkal ketiak si nenek. Tapi dengan gesit, meskipun sudah kena cedera
perempuan tua itu masih sanggup mengelak sambil kirimkan tendangan kaki kanan
sementara kendi besinya mencari sasaran di pinggang Mahesa.
***
DUA BELAS
MURID Embah Jagatnata babatkan
pedangnya dari atas ke bawah. Maksudnya sekaligus hendak memapas dan
memusnahkan tendangan serta serangan kendi besi lawan yang sangat berbahaya.
Tapi dengan cerdik segera Nenek Iblis hunjamkan tombaknya ke bahu Mahesa
membuat pemuda ini terpaksa pergunakan pedangnya untuk menangkis. Tombak si
Nenek Iblis putus kena dibabat oleh pedang kuning. Bersamaan dengan itu Mahesa
membuang diri ke samping. Meskipun dia bisa luput dari hantaman kendi besi tapi
tak urung tendangan kaki Nenek Iblis bersarang juga di pinggulnya. Mahesa
terhuyung-huyung beberapa langkah. Jangankan mengeluh sakit, mengerenyit pun
pemuda ini tidak! Melihat tendangan dahsyatnya tidak berhasil merobohkan lawan
Nenek Iblis jadi beringas. Dilemparkannya patahan tombaknya ke arah Mahesa. Si
pemuda menghantam patahan tombak tersebut dengan pedangnya sehingga terpotong
dua lagi dan bermentalan. Dengan dua senjata di tangan Nenek Iblis belum tentu
bisa melayani Mahesa apalagi kini cuma dengan kendi besi itu saja. Menyadari
hal itu si Nenek Iblis segera gerakkan tangannya kearah konde kecil di belakang
kepala. Konde itu terlepas dan di tangan kirinya kini kelihatan satu tusuk
konde berwarna hijau. Mahesa Kelud tidak mau meremehkan tusuk konde kecil itu.
Dia tahu bahwa benda semacam itu besar juga bahayanya bila tidak waspada. Dan
bukan mustahil kalau tusuk konde tersebut diberi racun berbisa!
"Seranglah, anak muda!"
kata si Nenek Iblis. Kedua tangannya dikembangkannya ke samping sehingga
susunya yang sudah rata jadi tambah rata dan memuakkan untuk dipandang.
"Seranglah!" teriaknya sekali lagi ketika Mahesa masih tetap berdiri
di tempatnya.
"Kalau kau tidak punya nyali,
ini rasakan!"
Si Nenek melompat ke muka. Gerakannya
seperti seekor alap-alap hendak menyambar anak ayam. Setengah lompatan
tiba-tiba kedua tangannya bergerak ke muka. Maksudnya hendak menggerus kepala
Mahesa Kelud. Si pemuda mendongakkan kepalanya ke belakang seraya kirimkan
tusukan pedang ke perut lawan yang telanjang. Menyadari bahwa ujung pedang yang
lebih panjang akan mengenai tubuhnya lebih dahulu Nenek iblis cepat ayunkan
kendi besinya ke arah lengan Mahesa sambil miringkan tubuh. Mau tak mau Mahesa
tarik pulang tangannya. Arah serangan pedangnya dirubah ke tangan kiri lawan
yang memegang tusuk konde. Si Nenek pagi-pagi sudah merubah kedudukannya
sehingga tusuk konde yang di tangan kirinya kalau tadi menyerang kepala kini
menusuk ke arah leher. Mahesa Kelud terkejut ketika merasakan angin dingin
menyambar keluar dari tusuk konde di tangan kiri Nenek Iblis. Pasti sudah bahwa
senjata itu mengandung racun sangat berbisa dan jahat. Dengan cepat dia
menggerakkan tubuhnya ke samping kanan. Si Nenek Iblis memburu. Tapi dia kena
tertipu! Meskipun tubuh lawannya dilihatnya miring ke samping kanan namun
dengan menggeserkan kedua kakinya cepat sekali maka Mahesa tahu-tahu sudah
melesatkan diri ke samping kiri. Dengan sendirinya kedua senjata si Nenek Iblis
lewat. Akibat menyerang sasaran kosong tubuh perempuan jahat itu menjadi
terhuyung-huyung. Dalam keadaan itu dia tidak dapat lagi mengelakkan kaki kanan
Mahesa yang menyerang ke arah perutnya yang telanjang!
Untuk mengelak si Nenek Iblis sudah
tidak punya kesempatan. Satu-satunya jalan menyelamatkan diri hanyalah dengan
mempergunakan kendi besi di tangan kanannya untuk dipakai memukul kaki Mahesa
Kelud. Si Nenek Iblis mengadu untung! Sedetik kemudian kaki kanan Mahesa Kelud
saling beradu dengan kendi besi. Terdengar suara seperti letusan. Kendi besi
Nenek Iblis mental ke belakang sedang Mahesa merasakan kaki kanannya kesemutan.
Si Nenek Iblis mulai jeri. Mahesa maklum kalau lawannya mulai bimbang untuk
menghadapinya terus. Tanpa menunggu lebih lama pemuda sakti ini segera
menyerang. Pedang milik si Cakar Setan yang di tangan kanannya menderu bergulung-gulung.
Dengan hanya mengandalkan tusuk konde dan kegesitannya si Nenek tak bisa
mempertahankan diri. Dia terdesak hebat. Kedua matanya yang sipit berputar liar
mencari kesempatan untuk larikan diri.
"Mau coba lari perempuan
terkutuk?!" tanya Mahesa Kelud mengejek yang siang-siang sudah tahu maksud
lawannya itu.
"Setan alas!" maki Nenek
Iblis. "Aku bukan manusia pengecut!" Dia kirimkan pukulan tangan kiri
yang dahsyat. Ketika Mahesa melompat untuk mengelak maka si Nenek segera putar
tubuh dan merat!
"Jangan lari manusia
rendah!" teriak Mahesa Kelud. Pemuda ini menjejakkan kedua kakinya di
tanah. Tubuhnya membungkuk dan seperti anak panah lepas dari busurnya Mahesa
Kelud kemudian melesat cepat ke udara. Inilah ilmu warisan Embah Jagatnata yang
bernama "Gendewa Emas Melepas Anak". Si Nenek Iblis yang lari cepat
tidak tahu sama sekali kalau saat itu musuhnya seperti terbang sudah berada di
atasnya! Dia baru menyadari dan terkejut setengah mati ketika satu tangan
menjambak rambutnya yang putih jarang!
"Anjing busuk! Mampuslah!"
rutuk Nenek Iblis sambil menusukkan tusuk kondenya ke selangkangan Mahesa Kelud
yang ada di atasnya. Serangannya ini meskipun mematikan namun tidak pakai
perhitungan. Akibatnya dia harus tanggung sendiri. Tak ayal lagi Mahesa Kelud
babatkan pedangnya!
"Trass!"
Suara tertebasnya lengan kiri Nenek
iblis dibarengi dengan jeritan yang melolong tinggi. Darah menyembur dari urat
nadinya, membasahi pakaian Mahesa. Si Nenek mengamuk seperti orang gila. Dia
meronta-ronta. Rambutnya yang dijambak Mahesa bertanggalan. Tubuh telanjangnya
bergelimang darah yang keluar dari tangan kirinya yang buntung. Dari mulutnya
keluar jerit bercampur kutuk serapah.
"Manusia iblis! Jangan terlalu
banyak merutuk di tempat ini! Sisakan nanti di liang neraka!" teriak
Mahesa Kelud. Lalu dia hantamkan kaki kirinya ke kepala perempuan tua itu.
"Praaak!"
Jerit dan kutuk serapah Nenek Iblis
lenyap. Kaki kiri Mahesa Kelud yang mengandung aji Karang Sewu telah membuat
kepala itu rengkah mengerikan!
Mahesa Kelud pandangi tubuh telanjang
tanpa nyawa itu. Beberapa kali dia meludah karena jijik. Selama puluhan tahun
si Nenek iblis telah menjadi penghuni dan penguasa Gua Iblis yang menjadi
tempat kematian bagi siapa saja yang berani datang. Delapan surat kematian
telah disebarnya selama hidupnya.
"Menurut Karang Sewu lima surat
telah jatuh ke tangan lima tokoh silat. Lima tokoh silat itu kemudian diketahui
lenyap secara aneh. Mungkinkah mereka sudah terkubur di dalam Gua iblis ini?
Delapan surat kematian telah disebar oleh manusia celaka itu. Yang keenam jatuh
ke tangan Karang Sewu. Yang ketujuh sampai di tanganku. Berarti masih ada satu
surat lagi....Aku harus menyelidik. Si nenek jelas punya dosa besar selangit
tembus. Menjadi pembunuh para tokoh yang kena ditipunya. Tapi kalau dipikir
lebih dalam manusia bernama Simo Gembong itu yang jadi biang racun pangkal
bahala! Justru guru menugaskan diriku untuk mencari dan membunuhnya!"
Mahesa Kelud ambil beberapa lembar
daun pepohonan. Dengan daun itu dibersihkannya noda-noda darah yang melekat di
tangan serta pakaiannya. "Aku harus menyelidik masuk ke dalam Gua Iblis
itu..." membathin Mahesa "Siapa tahu, bukan hanya lima orang yang
dipendam si nenek di dalam sana. Siapa tahu pula masih ada yang hidup.... Di
samping itu aku harus mengurus dan mengebumikan jenazah Karang Sewu. Orang tua
sakti itu.... Kalau tak ada dia pasti aku akan terpendam sampai mati di gua
celaka itu!"
***
TAMAT
Selanjutnya:
Emoticon