Pengantar.
Buku berjudul "Dewi Sritanjung Mencari Ayah kandung" ini
didahului oleh buku berjudul "Persekutuan Dua Iblis".
Dalam buku tersebut diceritakan terjadinya usaha
Iblis, bernama Kaligis dan Sangkan, dan yang ingin diracun
tokoh sakti bernama Julung Pujud. Tetapi usaha peracunan
itu tidak berhasil karena tokoh itu tidak mempan diracun.
Namun celakanya tuduhan malah kepada gadis cantik
cucu Si Tangan Iblis sendiri bernama Sarindah. Dan Julung
Pujud menuntut agar cucu berdosa itu diserahkan
kepadama untuk diadili.
Setelah Julung Pujud pergi, Sarwiyah tidak percaya
apabila yang melakukan peracunan kakak perempuannya.
Ia menduga tentu orang dalam sendiri, dan perlu dicari.
Alasan Sarwiyah dapat diterima oleh Si Tangan Iblis, dan
kakek ini menjadi khawatir kalau Sarindah yang pergi
sampai bertemu dengan Julung Pujud dan dihukum. Untuk
itu Si Tangan Iblis bersama Sarwiyah lalu meninggalkan
rumah, setelah semua murid diperintahkan mencari
Sarindah, juga Sentiko (cucu laki-laki) yang sudah tiga
bulan lebih pergi tanpa kabar.
Kaligis dan Sangkan yang merasa rahasianya tertutup
karena tuduhan malah kepada Sarindah, gembira. Dalam
perjalanan mencari Sarindah maupun Sentiko ini, mereka
bertemu dengan Dewi Sritanjung di sebuah warung. Gadis
yang cantik, polos, lugu ini bisa ditipu oleh mereka. Di
dalam hutan Dewi Sritanjung ditangkap oleh mereka
dengan maksud yang tidak baik. Untung Dewi Sritanjung
gadis perkasa, hingga Sangkan dan Kaligis dapat
dikalahkan, tetapi dilepas tanpa disakiti.
Di saat gadis ini akan melanjutkan perjalanan, ia kaget
mendengar bentakan perempuan. Dewi Sritanjung lalu
mengintip, dan melihat Sarindah berhadapan dengan
Kaligis dan Sangkan. Gadis ini marah kepada dua pemuda
tersebut, karena merasa difilnah meracun Julung Pujud.
Padahal yang berbuat malah Kaligis dan Sangkan sendiri.
Apa yang terjadi dengan Sangkan dan Kaligis, maupun
Dewi Sritanjung dalam ancaman Si Tangan Ibhs silakan
Anda mengikuti cerita dalam buku ini. Nama pengarang
menjadi jaminan!!
***
1
ewi Sritanjung kaget mendengar bentakan nyaring
suara perempuan.
“Hai Sangkan dan Kaligis. Kamu lari ke mana?”
Dewi Sritanjung heran. Bukankah Kaligis dan Sangkan
itu, dua pemuda yang baru saja ia kalahkan dan ia usir?
Sekarang ada perempuan membentak. Agaknya
perempuan itu seperti dirinya, pernah ditipu oleh dua
pemuda itu.
Bagi Dewi Sritanjung apapun peristiwa akan menarik
perhatiannya. Karena kejadian dan peristiwa yang ia alami
dan ia saksikan akan memberi pengalaman berharga bagi
dirinya. Maka ia membatalkan niatnya melanjutkan per-
jalanan ke ibukota Majapahit untuk mencari ayah kandung-
nya, kemudian malah timbullah keinginan tahunya, apa
yang bakal terjadi antara perempuan itu dengan Kaligis
dan Sangkan? Maka menggunakan kecepatan larinya
gadis ini sudah menerobos hutan. Tak lama kemudian ia
melihat seorang gadis yang wajahnya cukup cantik ber-
hadapan dengan Sangkan dan Kaligis, dan gadis itu
bertolak pinggang.
Dewi Sritanjung segera mendekati dengan hati-hati lalu
menyembunyikan diri di belakang batu besar.
“Adi Indah….. ahh sungguh kebetulan. Aku dan Kakang
Kaligis mencari engkau setengah mati ternyata sekarang
kami malah bertemu di sini.” Sangkan berkata.
Perempuan muda yang memang Sarindah itu men-
dengus dingin. “Apakah keperluanmu mencari aku?”
“Atas perintah Guru, kami harus memanggil engkau
pulang.”
“Untuk diadili karena sudah mencoba meracun Julung
Pujud?”
“Ahh.... Adi Indah sudah tahu?” Sangkan dan Kaligis
D
terkejut sekali.
“Hi hi hik, kamu jangan berpura-pura di depanku dan
kamu jangan mencoba membela diri dengan cara mencuci
tanganmu yang kotor. Huh, bukankah kamu sendiri yang
sudah sengaja menaruh racun dalam tuak itu?”
“Tid.... tidak!” Hampir berbareng Kaligis dan Sangkan
menyangkal, akan tetapi ucapannya tidak lancar.
“Huh huh, kamu bisa menipu orang lain, tetapi kamu
tidak dapat menipu diriku. Kamu sudah memberi racun
pada tuak yang dihidangkan kepada Paman Julung Pujud
kemudian kamu memfitnah aku, bukan? Pengecut!”
Sangkan yang lebih licin dan pandai bicara cepat
membela diri, “Tidak! Sungguh mati aku dan Kakang
Kaligis tidak melakukan perbuatan itu. Adi Indah, kami
berani bersumpah. Kami tidak melakukan perbuatan itu.”
“Kamu keparat huh! Siapakah yang mau percaya
kepada omonganmu? Tanganmu sudah berlumuran darah!
Kamu bangsat busuk! Bukankah kamu secara curang
sudah membunuh Kakang Tanu Pada dan Kakang Kebo
Pradah?!”
“Ohh .... ohh..... tidak! Demi Dewata Agung, aku tidak
melakukannya!” sahut Kaligis cepat, tetapi wajahnya
berubah pucat.
“Aku juga tidak!” bantah Sangkan dengan wajah pucat
pula. “Selama mencari Adi Sentiko, aku belum pernah
ketemu dengan mereka.”
Akan tetapi diam-diam dua orang pemuda ini kaget
seengah mati, mengapa rahasia yang selama ini mereka
tutup rapat, Sarindah sudah bisa tahu?
Lalu siapakah yang sudah membocorkan rahasia ini?
Tetapi kemudian dua orang ini teringat Mahisa Singkir yang
ketika itu menyaksikan apa yang sudah mereka lakukan,
membunuh Tanu Pada dan Kebo Pradah. Tentu dialah yang
sudah membocorkan rahasia ini.
Teringat kepada Mahisa Singkir, mereka amat menyesal.
Mengapa ketika itu tidak membunuh mati saja Mahisa
Singkir seperti yang telah mereka lakukan kepada Tanu
Pada dan Kebo Pradah? Kalau saja ketika itu membunuh
Mahisa Singkir tentunya rahasia ini takkan bisa terbuka
karena tidak ada saksi lagi.
Akan tetapi semuanya sudah terjadi, sesal kemudian
tidak ada gunanya lagi. Sekarang orang sudah tahu rahasia
mereka. Maka apabila dapat mereka akan membela diri
dengan mulut. Kalau tidak mungkin mereka akan membela
diri dengan ketajaman pedang.
“Kamu keparat busuk!” caci Sarindah dengan marah.
“Baik usahamu meracun itu, maupun pernbunuhan yang
kamu lakukan terhadap Kakang Tanu Pada maupun Kebo
Pradah....”
Sarindah berhenti sejenak, karena sedu sedan naik ke
kerongkongan. Lalu “......tak mungkin kamu dapat mungkir
lagi. Tahu? Kamu manusia busuk yang tidak pandai
membalas budi. Maka sekarang menyerahlah aku tangkap
agar mendapat pengadilan dari Kakekku. Jika kamu
melawan, pedang ini akan bicara!”
“Sring.....”
Seleret sinar putih memancar dari sebatang pedang,
tertimpa sinar matahari. Sarindah sekarang sudah tidak
kuasa menahan kemarahannya lagi berhadapan dengan
Sangkan dan Kaligis.
Karena sudah menduga rahasia sudah bocor maka tidak
ada perlunya lagi berpanjang mulut. Sangkan menatap
Kaligis.
“Kakang Kaligis!” Katanya. “Cabut senjatamu. Tidak ada
gunanya lagi kita membela diri dengan mulut. Hayo,
rahasia sudah bocor. Mau apa lagi?”
“Tapi..... tapi....” Kaligis masih ragu dan berusaha men-
cegah.
Sangkan memotong, “Kakang Kaligis! Kalau rahasia
sudah bocor, mau apa lagi? Mungkirpun tak ada gunanya
lagi. Huh, semua ini gara-gara Mahisa Singkir.”
Sarindah ketawa terkekeh nyaring, dan suara ketawa itu
bercampur dengan sedu sedan yang naik ke
kerongkongan, “Kakang Tanu Pada..... Oh, ternyata kau
sudah dibunuh oleh manusia biadab ini. Hemm,
saksikanlah hari ini aku akan membalaskan sakit hatimu,
dan akan aku penggal kepala manusia busuk itu, lalu akan
kubawa kepada Kakek, sebagai bukti selesainya tugasku!”
“Trang!”
“Trang!”
Terdengar benturan yang nyaring kelika pedang
Sarindah menyambar dan ditangkis oleh Kaligis maupun
Sangkan.
Dewi Sritanjung yang mengintip dari belakang batu men-
jadi berdebar dan hatinya tegang. Ia tidak tahu arti dan
arah yang mereka bicarakan. Yang dapat ia simpulkan
hanya sedikit, gadis ini marah karena dua orang pemuda
ini sudah mencoba meracun orang. Disamping itu juga
dituduh pula sudah membunuh dua orang. Dalam hati
gadis ini kemudian timbul pendapat, kalau benar tuduhan
itu, berarti dua orang pemuda ini memang jahat. Dirinya
mendapat beban tugas dan kewajiban oleh guru, agar
selalu ringan tangan membela kebenaran dan keadilan.
Maka dalam hatinya sudah memutuskan, apabila
perempuan itu sampai kalah, ia akan turun tangan dan
menolong.
Apa yang sudah terjadi, sehingga bertemu dengan
Sangkan dan Kaligis, Sarindah sudah dapat memastikan
bahwa percobaan peracunan maupun pembunuhan ter-
hadap Tanu Pada dan Kebo Pradah, semua dilakukan oleh
Sangkan dan Kaligis?
Memang ada sebabnya.
Seperti apa yang sudah di ceritakan di dalam cerita
berjudul "Kobaran Api Asmara", para murid Si Tangan Iblis
atau kakek Sarindah mendapat tugas supaya mencari
Sentiko yang pergi diam-diam. Si Tangan Iblis kawatir,
karena jelas kepergian Sentiko itu dengan maksud mem-
balas dendam kepada Gajah Mada dan Mpu Nala. Tetapi
ternyata di antara murid ini ada yang tidak melakukan
tugas dengan baik, malah mementingkan kepentingan
pribadi. Murid ini adalah Sangkan dan Kaligis, karena diam-
diam mereka mencintai cucu guru mereka sendiri bernama
Sarindah dan Sarwiyah.
Padahal diam-diam, Sarindah dan Sarwiyah sudah terl-
anjur mencintai Tanu Pada dan Kebo Pradah. Dalam usaha
mendapatkan cinta dari dua gadis ini maka Kaligis dan
Sangkan secara curang membunuh pemuda tersebut.
Maksudnya apabila dua orang pemuda itu mati, cintanya
akan beralih kepada mereka. Pada saat terjadinya pem-
bunuhan atas diri Tanu Pada dan Kebo Pradah di desa
Sukorejo ini, justru ada seorang saksi hidup, ialah Mahisa
Singkir. Tetapi pemuda ini diancam akan dibunuh apabila
berani membocorkan rahasia itu.
Akibatnya Mahisa Singkir ketakutan. Ia tidak berani
pulang kepada gurunya, dan malah bermaksud membunuh
diri. Tetapi usahanya membunuh diri ini gagal dihalangi
oleh Mpu Anusa Dwipa, yang kemudian malah menjadi
guru Mahisa Singkir secara tidak resmi.
Sesudah berhasil membunuh Kebo Pradah dan Tanu
Pada ini, kemudian mereka menjadi kecewa, karena atas
persetujuan antara Si Tangan Iblis dan Julung Pujud, maka
Sarwiyah dipertunangkan dengan Warigagung. Akibat
kekecewaan ini maka kemudian Kaligis bekerjasama
dengan Sangkan berusaha meracuni tuak yang dihidang-
kan untuk Julung Pujud.
Pada saat itu Sarindah sendiri justru kecewa hatinya,
karena Sarwiyah mau saja dijodohkan dengan Warigagung.
Akibat kecewa ini maka kemudian Sarindah pergi dengan
maksud mencari Tanu Pada yang terlambat kembali pulang
dan melaporkan hasilnya mencari Sentiko. Tetapi justru
kepergiannya secara diam-diam ini, kemudian menimbul-
kan salah duga, Sarindah dicurigai telah melakukan
peracunan tuak itu. (Baca cerita berjudul "Persekutuan Dua
Iblis”, Anda akan tahu lebih jelas duduk perkaranya ).
Dalam penasaran dan jengkelnya dituduh meracun
Julung Pujud ini kemudian tanpa kenal lelah Sarindah
pergi. Kepergiannya itu, disamping mencari kakeknya
untuk membersihkan diri dari tuduhan, iapun curiga bahwa
peracunan itu tentu dilakukan oleh Kaligis dan Sangkan.
Ketika dirinya tiba di desa Nongkojajar, berhentilah
Sarindah dalam sebuah warung, untuk mengisi perut. Di
warung ini Sarindah curiga oleh pandang main seorang
pemuda yang jajan pula di warung itu dan gadis ini menjadi
gelisah. Untung ia segera tertolong oleh keadaan, karena
pemuda yang bernama Rudra Sangkala itu kemudian
terlibat perselisihan dengan Adityawarman. Maka setelah
perut kenyang dan rasa haus hilang, Sarindah meneruskan
perjalanan.
Akan tetapi betapa kaget gadis ini, ketika sedang masuk
ke dalam kawasan hutan kecil tak jauh dari desa
Poncokusumo, gadis ini menjerit saking kagetnya. Sebab
secara tiba-tiba seorang pemuda sudah melompal turun
dari sebatang dahan pnhon. Dan yang menyebabkan
Sarindah kaget adalah karena turunnya pemuda tersebut
justru tepat di depannya, hingga hampir saja dirinya dapat
dipeluk. Untung sekali ia masih dapat menghindarkan diri
kemudian ia berdiri dengan sepasang matanya yang
memancarkan kemarahan.
“Kurangajar kau!” Bentaknya.
Namun kemudian hati gadis ini berdebar dan tegang,
ketika mengenal kembali pemuda kurang ajar ini bukan
lain adalah pemuda yang mencurigakan di warung
kemarin, yang bukan lain adalah Rudra Sangkala.
Bentakan Sarindah ini disambut dengan ketawa Rudra
Sangkala yang terkekeh. Lalu sambil mengamati wajah
jelita Sarindah, mulut pemuda itu cengar-cengir.
“Siapakah yang kau sebut kurang ajar itu?” tanyanya.
“Huh, siapa lagi kalau bukan kau. Aku sedang lewat,
kenapa engkau melompat turun dari pohon tanpa melihat-
lihat dahulu? Huh, apakah jadinya apabila kakimu tadi
jatuh tepat pada pundakku? Kau manusia tanpa aturan!”
Rudra Sangkala terkekeh. Lalu. “Tetapi nyatanya toh
tidak, heh heh heh heh.”
“Tetapi engkau kurang ajar karena mau memeluk
orang!”
“Apakah salahnya? Engkau gadis dan aku jejaka.
Engkau perempuan cantik dan aku laki-laki. Bukankah itu
sudah lumrah?”
Jawaban Rudra Sangkala yang seenaknya sendiri ini
memancing kemarahan Sarindah. Dasar gadis ini wataknya
berangasan, maka sudah membantingkan kakinya saking
gemas, lalu dampratnya,
“Bangsat kau, mulutmu kotor! Huh, aku tidak sudi bicara
dengan kau. Minggirlah!”
Rudra Sangkala menyeringai. Jawabnya seenaknya,
“Kalau aku tak mau, kau bisa apa?!”
Seperti meledak dada gadis yang berangasan ini men-
dengar jawaban yang menantang itu. Bentaknya geram.
“Huh, akan kupukul remuk kepalamu!”
“Aduh, jangan, heh heh heh heh!” Rudra Sangkala
malah mengejek. “Jauh-jauh aku menyusulmu, mengapa
tanggapanmu malah seperti ini, manis. Ahh, Adikku yang
aku kasihi, tidakkah engkau merasa bagaimanakah
perasaanku sejak kemarin bertemu di warung itu? Aku
menjadi jatuh cinta pada saat pandang mata pertama kali.
Apakah engkau tidak merasa? Ahh, engkau jangan
menyiksa hatiku Manis, dan tanggapilah cintaku ini.
Ketahuilah aku tidak enak makan dan tidak enak tidur
akibat selalu ingat padamu yang jelita. Hayo......”
“Tutup mulutmu!” bentak Sarindah memotong ucapan
Rudra Sangkala yang belum selesai. Gadis ini menjadi
amat muak mendengar ucapan pemuda itu. “Huh,
sangkamu aku ini perempuan macam apa?”
“Heh... heh... heh... heh, tentu saja engkau bukanlah
perempuan palsu. Adik manis, lihatlah aku. Bukankah aku
seorang pemuda gagah dan ganteng? Hayolah, jangan
rewel lagi. Kita.....”
“Makanlah pedang ini!” bentaknya memotong ucapan
Rudra Sangkala yang belum selesai.
Gadis berangasan ini, tidak kuat lagi menahan sabarnya,
ketika ucapan Rudra Sangkala semakin menjadi kurang
ajar.
“Ahhh... pedang itu tidak bermata Adikku cantik, engkau
jangan sembrono! Heh... heh... heh... heh!” Dengan ringan
dan gesit pemuda ini melompat ke samping, namun mulut-
nya tetap terkekeh dan mengejek.
Akan tetapi Sarindah yang berwatak berangasan ini,
sudah tidak peduli lagi. Pedangnya bergerak seperti kilat
cepatnya menyambar-nyambar menghujani serangan
kepada pemuda yang dianggap kurangajar itu. Sambaran
pedangnya demikian mantap dan berbahaya.
Memang tidak percuma gadis ini sebagai salah seorang
cucu dan murid Si Tangan Iblis. Sambaran pedangnya
mantap, gerak pedangnya menggetar, menyebabkan arah
serangan sulit diduga. Tampaknya menyerang sebelah kiri,
tetapi sebenamya menyerang sebelah kanan. Tampaknya
menyerang bagian atas, tahu-tahu ujung pedang sudah
menukik turun dan menyerang bagian bawah. Ilmu pedang
hasil gubahan Si Tangan Iblis ini gerakannya campuran
antara gerak ilmu tombak dan ilmu pedang memang benar-
benar berbahaya.
Sebaliknya Rudra Sangkala bukanlah pemuda
sembarangan. Ia murid seorang wanita sakti Murti Sari,
yang sudah menganggapnya sebagai anak kandungnya
sendiri. Maka walaupun sambaran pedang gadis ini seperti
kilat cepatnya, ia tidak kesulitan menghindarkan diri
dengan berlompatan.
“Tring... tring... cring... cring....!” terdengar beberapa kali
dencingan pedang nyaring oleh sentilan jari tangan Rudra
Sangkala. Pedang gadis ini menyeleweng dan diam-diam
gadis yang berangasan ini menjadi kaget juga, ketika ia
merasakan lengannya tergetar hebat dan panas. Namun
dalam marahnya, ia terus menghujani serangan-serangan
berantai yang amat dahsyat.
“Heh... heh... heh... heh,” Rudra Sangkala terkekeh.
“Engkau jangan bandel dan keras kepala Adik Manis.
Percayalah, aku benar-benar sudah jatuh cinta padamu!”
Tetapi Sarindah terus menghujani serangan berbahaya,
tanpa membuka mulut. Sebab ia sudah menduga, pemuda
ini tentu seorang pemuda bejat moral. Pemuda yang suka
mempemiainkan perempuan, dan seorang pemuda yang
hanya mengumbar nafsu. Ia sadar akan celakalah dirinya
apabila sampai jatuh ke tangan pemuda macam ini. Maka
apapun jadinya, ia harus dapat merobohkan pemuda
kurangajar ini.
“Cring... cring... tring... tring....!” sentilah jari tangan
Rudra Sangkala secara tepat memukul batang pedang,
hingga pedang Sarindah menyeleweng. Tetapi apa yang
dilakukan oleh pemuda ini sekarang, bukan hanya sekadar
menangkis pedang. Sebab sambil menangkis, diam-diam ia
sudah menyebarkan racun wangi untuk membuat gadis ini
pening lalu tidak sadarkan diri. Dan dengan demikian ia
akan dengan gampang dapat menangkap gadis galak yang
ayu ini.
Hidung Sarindah tiba-tiba menghirup bau yang wangi.
Namun karena gadis ini tidak menduga buruk, ia tidak
menutup pernapasannya. Pedangnya terus menyambar
dengan dahsyat sedang pemuda itu belompatan ke sana
dan kemari sambil mengejek dan tertawa.
Tiba-tiba saja Sarindah merasakan kepalanya ber-
denyutan pening sekali. Pandang matanya menjadi kabur.
Namun demikian Sarindah masih terus menyerang Rudra
Sangkala dengan dahsyat Hanya sayang, gerakannya
sekarang mulai kacau dan ngawur.
Tring.....! Ahhhhh......!
Pedang gadis itu sudah terpental terbang, ketika dipukul
keras oleh Rudra Sangkala dan Sarindah berteriak nyaring
saking kaget.
Kemudian sambil ketawa terkekeh gembira Rudra
Sangkala sudah melompat maju dengan maksud me-
nubruk, menangkap dan memeluk gadis jelita yang me-
narik hatinya itu.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring dan angin
pukulan menyambar dari arah belakang. Tetapi tanpa
membalikkan tubuh Rudra Sangkala sudah menggerakkan
tangan kin ke belakang.
“Plakk..... Aihhh.....!” seruan kaget meluncur dari mulut
dua-duanya.
Sebagai akibat benturan tangan tadi, dua-duanya sudah
terhuyung dan sesaat kemudian mereka sudah melompat,
lalu berhadapan dengan mata saling mendelik.
Adapun Sarindah yang sudah terpengaruh oleh racun
wangi itu tidak kuasa bertahan lagi, gadis ini terhuyung,
kemudian roboh terguling di tanah dan tidak sadarkan diri
lagi.
“Siapa kau!” bentak Rudra Sangkala marah karena
merasa terganggu.
“Hemm, tidak ada yang perlu aku sembunyikan. Aku
Mahisa Singkir. Dan kau, apakah namamu Rudra
Sangkala?”
Rudra Sangkala berjingkrak kaget, pemuda yang baru
datang ini sudah mengenal namanya. Namun sejenak
kemudian pemuda ini terkekeh. Karena sudah barang
tentu pemuda yang baru datang ini mengenal namanya.
Bukankah namanya sekarang menjadi semakin menanjak
tinggi sesudah ia membuai kegemparan di Mojoduwur,
membunuh Tumenggung Gora Swara dan membakar desa
itu ?
“Heh... heh... heh... heh, engkau sudah mengenal aku?”
Rudra Sangkala mengejek. “Hayo, lekaslah enyah dari sini,
sebelum aku marah dan menghajarmu. Apakah sebabnya
engkau mencampuri urusanku?”
Hemm. Mahisa Singkir mendengus dingin, “jika engkau
tidak melakukan kejahatan dan berbuat sewenang-
wenang, tentu saja aku takkan mencampuri urusanmu ini.
Tetapi dengan perbuatanmu sekarang ini, yang mau
mencelakakan Mbakyu Sarindah manakah mungkin aku
dapat berdiam diri?”
Rudra Sangkala mendelik. Tetapi sejenak kemudian
segera terkekeh, “Heh heh heh heh, engkau sudah kenal
dengan gadis ini? Bagus! Engkau akan menjadi
pembelanya? Bagus! Ha... ha... ha... ha, marilah kita coba!”
Selesai mengucapkan kata-katanya, dengan gerak yang
cepat luar biasa. Rudra Sangkala sudah melesat. Jari
tangannya terbuka seperti cakar garuda. Cengkeramannya
segera mengancam bagian tubuh Mahisa Singkir yaug
lemah, bertubi-tubi dan tidak terduga.
Akan tetapi untunglah, Mahisa Singkir sekarang bukan-
lah Mahisa Singkir beberapa bulan lalu, setelah ia men-
dapat gemblengan dari Mpu Anusa Dwipa. Cengkeraman
cengkeraman berbahaya dan bertubi-tubi itu tanpa
kesulitan dapat ia hindari, dan salah satu cengkeraman
Rudra Sangkala yang mengancam ubun-ubunnya ia tangkis
dengan tangan kanan. Sedang pukulan tangan kanan
lawan yang mengarah dadanya, diterima oleh Mahisa
Singkir dengan tangan dengan gerakan mendorong.
“Plak........Aihh.....!”
Tubuh dua orang muda itu masing-masing terhuyung
mundur beberapa langkah ke belakang. Rudra Sangkala
kaget setengah mati. Sebaliknya Mahisa Singkir juga men-
jadi kagum. Pikirnya, Ahh benar-benar perkasa bocah ini.
Maka pantas menjadi begitu sombong dan tidak
memandang sebelah mata kepadaku.
Dalam pada itu Rudra Sangkala menjadi penasaran.
Sambil menggeram keras pemuda ini sudah melompat
tinggi ke depan. Dua belah tangannya dengan jari terbuka
sudah melakukan serangan dari atas sedang tangan
kirinya berusaha mencengkeram ubun-ubun dan tangan
kanan berusaha menusuk mata.
Dengan gerak gesit Mahisa Singkir sudah berhasil
menyelamatkan diri. Kemudian ia membalas dengan
dorongan menggunakan dua tangan. Rudra Sangkala
jungkir balik di udara untuk raenghindarkan diri dari
dorongan lawan yang bertenaga itu. Namun Mahisa Singkir
tidak mau memberi kesempatan, dan ia sudah melompat
tinggi dengan maksud memukul lawan di saat lawan
kurang menjaga diri. Tetapi tahu-tahu kepalanya menjadi
pening dan pandang matanya menjadi kabur.
“Dess.......blukk.....!”
Tubuh Mahisa Singkir terbanting keras di tanah. Muntah
darah lalu pingsan. Pemuda ini ketika menghirup bau
wangi tidak curiga, dan ia tidak berusaha menutup
pernapasannya. Dan sebagai akibatnya ia menjadi korban
racun wangi Rudra Sangkala.
“Heh... heh... heh, mana mungkin engkau dapat menang
melawan aku?” Sesumbar Rudra Sangkala sambil
terkekeh. “Tetapi huh... engkau sudah mengganggu diriku.
Engkau sekarang harus mampus. Enyahlah sekarang juga!”
Sambil berkata, kakinya sudah bergerak untuk
menendang. “Buk.... Aduh….!”
Ternyata bukan tubuh Mahisa Singkir yang terpental
oleh tendangannya, malah dirinya sendiri yang terpental,
kemudian jatuh terguling.
Pemuda inipun cepat-cepat melompat dan berdiri.
Namun celakanya tubuhnya terhuyung-huyung seperti
orang mabuk. Dan ketika ia dapat berdiri tegak, mata
pemuda ini terbelalak. Ternyata di samping tubuh Mahisa
Singkir yang menggeletak pingsan itu sekarang ada
seorang laki-laki tua yang gendut, memakai jubah putih
kedodoran dan kepalanya gundul pula. Agaknya
tendangannya tadi tidak memukul tubuh Mahisa Singkir,
tetapi malah memukul kakek itu. Pantas saja dirinya
terdorong oleh tenaga yang kuat sekali.
Kakek gendut yang berjubah putih kedodoran itu,
sekarang sudah meloncat berdiri sambil mengebas-ngebas
jubahnya yang kotor oleh tanah.
“Heh... heh... heh... heh, kurangajar kau. Mengapa
sebabnya ada orang tidur kau tendang?”
Wajah Rudra Sangkala merah padam, karena merasa
diejek dan direndahkan. Maka meledaklah kemarahan
pemuda ini, kemudian “sring....” pedang pusaka Wesi
Kuning sudah tercabut dari sarung. Sinar kuining
kemilauan tertimpa oleh sinar matahari. Dan sambil
mengamangkan pedang pusakanya ini Rudra Sangkala
sudah membentak.
“Jahanam tua! Siapa kau berani mencampuri urusanku?
Hayo, lekas enyahlah sebelum pedang ku ini memancung
kepalamu!”
“Heh... heh... heh... heh, anak muda, mengapa engkau
bermain-main dengan pedang itu?” tegur Mpu Anusa
Dwipa guru Mahisa Singkir yang baru. “Sarungkanlah
pedangmu dan kemudian pergilah. Apakah kesalahan
muridku, hingga engkau membuat dia pingsan seperti ini?
Huh, kau terlalu sembrono. Bukankah engkau meng-
gunakan semacam racun yang baunya wangi? Hai, apakah
hubunganmu dengan Murti Sari?”
Kalau saja Rudra Sangkala mau berpikir dan tidak
takabur, seharusnya ia sadar bahwa orang tua gendut ini
amat luas pengetahuan dan pengalaman. Ini membuktikan
seorang sakti mandraguna, dan seharusnya ia tahu diri dan
lekas pergi sambil minta maaf. Tetapi sayang sekali ia
terlalu membanggakan diri dan membanggakan nama
besar gurunya. Dan ia malah menduga, apabila kakek ini
tahu dirinya murid tunggal dan anak angkat Murti Sari,
kakek gendut ini tentu ketakutan, lalu lari terkencing-
kencing.
“Huh, kau ingin tahu siapa aku?” sahut Rudra Sangkala
dengan nadanya yang amat merendahkan. “Aku adalah
anak angkat dan murid tunggal Murti Sari. Dan sekarang
kau tak lekas pergi apakah minta kuhajar babak belur?”
Mendengar jawaban Rudra Sangkala yang sombong dan
ketus ini Mpu Anusa Dwipa mengerutkan alis kurang
senang. Kemudian katanya, “Hemm, gurumu sesat
engkaupun ikut menjadi sesat. Sayang .... engkau masih
muda, tetapi sepak terjangmu sudah sewenang-wenang.
Anak, ingatlah engkau akan hari depanmu sendiri.”
“Aku tidak butuh obrolanmu!” bentak Rudra Sangkala
semakin marah. “Sekali lagi aku peringatkan. Lekaslah
engkau enyah dari sini, dan bawa pergi pula muridmu yang
memuakkan itu. Salahnya sendiri muridmu lancang
mengganggu kesenanganku. Pergi. Pergi! Dan aku akan
memadu kasih dengan perempuan cantik ini!”
“Hemm, bocah! Engkau jangan meneruskan niatmu
yang sesat itu!”
“Cerewet!” bentak pemuda ini. “Terimalah pedangku!”
Sambil mengucapkan ancaman ini, Rudra Sangkala
sudah menerjang maju dan pedangnya menyambar ke
depan menikam ke arah dada. Akan tetapi sebelum tiba
pada sasarannya, gerak pedang itu sudah berubah meng-
geletar ke kiri, lalu menyabat leher.
“Plakk.....dess......Aduhh.....!” Rudra Sangkala mengeluh
dan terhuyung ke belakang.
Gerakan Rudra Sangkala memang cepat. Tetapi gerak
tangan Mpu Anusa Dwipa lebih cepat lagi. Tangan kanan
telah menampar batang pedang sehingga pedang itu ter-
pental lalu jatuh ke tanah. Belum hilang rasa kagetnya,
tubuhnya sudah terpental dan terhuyung-huyung oleh
pukulan tangan kiri lawan.
Masih untung pemuda ini berhadapan dengan Mpu
Anusa Dwipa, seorang kakek berhati emas. Pukulan kakek
tersebut tidak menyebabkan terluka, hanya menyebabkan
dadanya sesak saja. Tetapi sekalipun demikian pemuda ini
sekarang menjadi sadar diri. Kakek gendut ini jelas sakti
mandraguna dan bukanlah tandingannya. Sebagai seorang
yang licik dan cerdik, ia takkan menjadi nekad apabila
tidak ingin celaka.
Ia sadar dirinya tidak boleh nekad. Karena nekad sama
artinya membunuh diri. Tetapi sekalipun demikian sebelum
melangkah pergi, ia berkata ketus, “Lumrah saja engkau
menang melawan aku. Tetapi huh, kemudian hari jika
engkau berhadapan dengan Guruku, tahu rasa!”
Mpu Anusa Dwipa tidak menyahut, dan hanya sepasang
matanya saja memandang kepergian Rudra Sangkala. Ia
menghela napas terharu, merasa kasihan kepada pemuda
sesat itu. Sebab pemuda itu tidak bersalah, maka kakek ini
tidak benci kepada pemuda itu. Sebab bagi dirinya, rasa
benci itu adalah salah satu bentuk dari kekecewaan dan
kekecewaan bukan lain adalah bentuk dari perwujudan
dari "si aku" yang selalu menghendaki terpenuhinya
keinginan.
Sesudah bayangan Rudra Sangkala tidak nampak lagi,
kakek gendut ini segera mengambil butiran ohat dari
tempat simpanannya. Sebutir obat dimasukkan ke dalam
mulut Mahisa Singkir, dan sedikit air dituangkan ke dalam
mulut Mahisa Singkir. Sesudah itu ia berbuat sama untuk
Sarindah. Lalu tanpa mengucapkan sesuatu kakek gendut
ini sudah pergi dan membiarkan Mahisa Singkir dan
Sarindah menggeletak di tanah.
Tak lama kemudian Mahisa Singkir sudah bergerak dan
membuka matanya. Pemuda ini mula-mula heran men-
dapatkan dirinya menggeletak di tanah. Tetapi sesudah
otaknya kembali bekerja, ia segera ingat apa yang sudah
terjadi. Rasa pening sudah hilang dan pandang matanya
juga sudah pulih kembali, la meloncat bangkit, tetapi lawan
yang tadi menyebabkan dirinya roboh pingsan sudah tidak
tampak lagi. Di sekitar tempat ini sudah sepi.
Namun ketika ia melihat Sarindah masih belum ber-
gerak dan menggeletak, Mahisa Singkir terjingkrak. Ia
cepat menghampiri. Tetapi belum juga pemuda ini sempat
menyentuh tubuh Sarindah, gadis inipun sudah bergerak
pula.
Melihat pemuda tadi sudah pergi, dirinya tahu-tahu pulih
kembali seperti sedia kala, dan Sarindah pun sekarang
sudah sadar, maka pemuda ini segera pula sadar apa yang
terjadi. Ia percaya, Mpu Anusa Dwipa sudah muncul pada
saat yang tepat, sehingga dapat mengusir pemuda itu dan
menolong dirinya maupun Sarindah.
Diam-diam Mahisa Singkir geleng-geleng kepala, apabila
teringat sepak terjang kakek gendut itu. Selama beberapa
bulan ini dirinya digembleng penuh kasih dan mencapai
kemajuan pesat. Namun demikian Mpu Anusa Dwipa tetap
saja tidak mau disebut sebagai guru, Kakek gendut itu
selalu saja memberi alasan, dirinya bukanlah guru. Mpu
Anusa Dwipa selalu mengatakan, secara kebetulan dirinya
mempunyai ilmu yang perlu dipelajari Mahisa Singkir, dan
diajarkannya. Maka hubungan antara Mahisa Singkir
dengan Mpu Anusa Dwipa selama ini seperti dua orang
sahabat saja.
Akan tetapi betapa kaget Mahisa Singkir, ketika tiba-tiba
Sarindah sudah menodongkan pedang mengancam dada.
Maka pemuda ini pucat disamping heran.
“Mbakyu Indah, apa-apaan ini?” tanya Mahisa Singkir
sambil memandang gadis itu.
Diam diam pemuda ini khawatir sekali, melihat wajah
yang marah dan sepasang mata yang mengeluarkan sinar
api.
“Engkau jahanam Mahisa Singkir!” bentak Sarindah.
“Apa saja yang sudah engkau lakukan terhadap diriku.
Huh, apakah sebabnya tahu-tahu aku sudah menggeletak
di tanah dan pakaianku menjadi kotor seperti ini?”
Gadis berangasan ini sudah tentu salah duga. Karena
dirinya menggeletak di tanah dan melihat Mahisa Singkir
berdiri tak jauh dari tempatnya terbaring, lalu menduga
buruk. Gadis ini cepat menduga, Mahisa Singkir sudah
melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap dirinya.
Untung sekali Mahisa Singkir tidak menjadi gugup oleh
todongan ujung pedang yang tajam itu. Dan dalam pada
itu, pemuda ini pun sudah dapat menduga, tentang
sebabnya Sarindah berbuat seperti ini.
“Mbakyu, mau bunuh boleh bunuh, tetapi dengarkan
dahulu keteranganku. Sebelum aku datang di sini, lebih
dahulu engkau berhadapan dengan siapa? Bukankah
engkau tadi berkelahi dengan seorang laki-laki?”
Mendengar ucapan Mahisa Singkir ini, semula Sarindah
mengerutkan alis. Namun kemudian lengannya gemetar
dan pedangnya runtuh di tanah, kemudian gadis ini
menjatuhkan diri dan menangis sesenggukan.
Melihat ini Mahisa Singkir menjadi semakin heran dan
tidak mengerti. Apa-apaan ini? Tadi begitu bangun sudah
marah dan menodong dirinya. Sekarang setelah diberi
penjelasan, tahu-tahu sudah menangis.
Mahisa Singkir terharu, lalu bertanya. “Mbakyu, apakah
sebabnya kau menangis?”
“Hu... hu... huk.... huuuuu.... memang nasibku amat
buruk.” Sarindah meratap di tengah tangisnya. “Aku.... aku
sekarang sudah ternoda.... oh.... aku tentu sudah bukan
gadis suci lagi.... oleh perbuatan manusia terkutuk tadi.
Oh… lebih baik aku bunuh diri saja.....”
Tiba-tiba tangan Sarindah menyambar pedangnya guna
memenggal lehernya sendiri. Untung Mahisa Singkir
waspada, secepat kilat tangannya menyambar pergelangan
tangan Sarindah lalu memencet.
A”duhh, jahanam kau Mahisa Singkir!” cacinya.
“Sabarlah Mbakyu,” hibur Mahisa Singkir. “Bertindak
tanpa pikir hanya akan merugikau diri sendiri. Maka.....”
“Jangan cerewet! bentak Sarindah. Keparat kau!
Gampang saja orang buka mulut, tetapi aku... hu hu
huuuu.....aku sudah tidak berharga lagi sesudah......hu hu
huuuuu.....”
“Apakah dugaanmu itu sudah benar?” tanya pemuda ini.
“Sebaiknya Mbakyu memeriksa diri sendiri lebih dahulu.
Ada perubahan ataukah tidak? Kalau tidak, jelas dugaan
Mbakyu hanya ngawur belaka. Dan sebaliknya apabila itu
memang benar terjadi, bukan engkau saja yang mati.
Hemm, sebelum engkau bunuh diri, bunuhlah aku lebih
dahulu.”
Gadis ini matanya terbelalak, memandang Mahisa
Singkir. Tetapi mendadak tangisnya berhenti. Ia mengusap
air matanya yang membasahi pipi.
“Ahh, Mahisa Singkir, engkau benar. Hemm, biarlah aku
sekarang mencari tem pat untuk memeriksa diriku sendiri,
tetapi janganlah engkau berani pergi dari sini dan
mengintip. Jika engkau berani melanggar perintahku ini,
hemm, jangan sesalkan aku kalau tanganku sampai hati
membunuhmu. Mengerti?”
“Mengerti. Mbakyu,” sahut Mahisa Singkir sungguh-
sungguh.
Akan tetapi diam-diam hatinya kurang senang juga, akan
sikap Sarindah yang selalu mau menang sendiri ini. Untung
ia sudah mengenal watak gadis ini, maka sekalipun tidak
senang, ia dapat memaklumi.
Sarindah sudah melompat dan berlarian mencari tempat
bersembunyi.
Mahisa Singkir duduk di tanah sambil me-undukkan
kepala memandang ke bawah. Dan sambil menunggu
kembalinya Sarindah ini, lalu terbayang kembali peristiwa
beberapa bulan lalu. Peristiwa yang menyedihkan dan
menyebabkan dirinya tidak berani lagi pulang ke Tosari.
Dan sekarang secara tidak terduga, ia bertemu dengan
Sarindah.
Kemudian timbul keinginannya untuk membeberkan
semua peristiwa itu kepada Sarindah. Maksudnya agar
Sarindah mengetahui peristiwa yang sebenarnya,
kemudian dapat memberi laporan kepada kakeknya.
Tak lama kemudian sudah terdengar suara ketawa
Sarindah. Mendengar ini Mahisa Singkir mengangkat
kepalanya lalu memandang gadis itu yang sekang
melangkah bcrgontai. Sekarang gadis itu sudah tidak
tampak lagi bekas menangis, dan bayangan rasa sesal dan
kekecewaan juga sudah tak berbekas lagi. Wajah gadis itu
sekarang berseri, cantik dan sudah berganti pakaian pula.
Diam-diam Mahisa Singkir kagum pula akan kecantikan
Sarindah ini. Kendati galak gadis ini mempunyai daya tarik
tersendiri. Wajahnya ayu dan tubuh padat berisi.
Masih agak jauh gadis itu sudah berkata. “Adi Singkir,
ah..... maafkanlah kekasaranku tadi. Ahh......ternyata kau
benar.”
“Benar bagaimana?”
“Hi hi hik….benar ya benar. Mengapa sebabnya kau
masih bertanya? Dan sekarang, di manakah pemuda
bangsat tadi? Hemm, aku ingin menghajar dia dengan
pedangku.”
Sambil berkata Sarindah menebarkan pandang matanya
ke sekeliling.
“Mbakyu, duduklah! Aku akan memberi keterangan
penting!”
Tetapi gadis ini tidak juga duduk dan masih menyelidik
dengan pandang matanya.
“Engkau tadi tentu sudah mengalahkan pemuda
bangsat itu. Tetapi mengapa engkau biarkan pergi?!”
tegurnya.
“Mbakyu, aku sendiri juga roboh dalam usahaku
membela kau. Lihatlah, pakaianku juga kotor.”
“Hi... hi... hik, mengapa aku ini berubah menjadi tolol?
Kalau aku saja kalah, manakah mungkin engkau bisa
menang melawan bangsat itu?” ujarnya dengan bangga,
karena dalam ilmu kesaktian gadis ini merasa lebih tinggi
tingkatannya.
Mahisa Singkir mengangguk. Ia tidak tersinggung oleh
ucapan Sarindah. Dan ia juga tidak ingin membocorkan
apa yang sudah diperoleh dari Mpu Anusa Dwipa. Bukan
hanya kepada Sarindah, tetapi juga kepada Si Tangan Iblis
maupun saudara seperguruannya yang lain.
“Mbakyu benar. Aku tadi hanya dalam dua gebrakan
saja sudah roboh.”
“Tetapi.... apakah sebabnya engkau selamat dan aku
juga selamat?”
“Oh.... memang ada sebabnya, Mbakyu. Begini, di saat
aku tadi akan roboh pingsan, aku melihat berkelebatnya
bayangan seorang kakek gendut. Kakek itu menangkis
pukulan pemuda bangsat itu yang diarahkan kepadaku.
Hemm, tentu kakek itu pula yang sudah mengusir dia.”
“Siapakah dia?”
“Mana aku tahu?”
Sarindah menghela napas. Diam-diam ia bersyukur
dapat terhindar dari malapetaka yang mengerikan. Namun
setelah bahaya lewat, ia segera ingat kembali sebabnya
pergi dari Tosari. Karena itu ia kemudian mengangkat
kepalanya dan memandang Mahisa Singkir penuh selidik.
“Adi Singkir. Mana Kakang Tanu Pada dan Kebo
Pradah?”
“Marilah kita mencari tempat yang enak dan semuanya
akan aku ceritakan.”
Mahisa Singkir bangkit lalu menuju tempat di bawah
pohon gayam yang rindang, kemudian duduk di akar
pohon. Sarindah pun duduk di atas akar pohon
berhadapan dengan Mahisa Singkir.
Akan tetapi gadis yang tidak sabaran ini cepat
mendesak. “Lekas katakanlah. Hemm, engkau jangan
dusta dan mengarang cerita. Engkau akan tahu sendiri
upah yang bakal kau terima jika berani bohong.”
Mahisa Singkir menghela napas panjang, terkenang
kembali akan peristiwa yang menyedihkan itu. Diam-diam
ia amat menyesal mengapa Sangkan dan Kaligis sampai
hati berbuat seperti itu terhadap saudara seperguruan
sendiri.
Setelah ia berhasil menekan perasaan, kemudian ia
menceritakan peristiwa pembunuhan itu. Namun karena
dalam dadanya berkecamuk perasaan tidak keruan. maka
dalam bercerita ini tidak lancar.
“Apa? Kakang Tanu Pada…”
Mahisa Singkir mengangguk.
Tiba-tiba saja Sarindah sudah menutup wajahnya
dengan telapak tangan, lalu menangis sesenggukan. Tentu
saja! Sulit diiukiskan betapa perasaan gadis ini saat
sekarang, mendengar pemuda yang sudah meucuri hatinya
dan selama ini ia cari karena rindu, sudah mati dibunuh
oleh Kaligis dan Sangkan.
“Mbakyu, engkau jangan menangis,” hibur Mahisa
Singkir. “Betapa sedih hatiku ketika itu, tidak dapat
kugambarkan. Timbul hasratku untuk membalas dendam
dan sakit hati Kakang Tanu Pada maupun Kakang Kebo
Pradah. Tetapi manakah mungkin aku bisa menang
melawan dua orang itu?”
Mendadak Sarindah melepaskan telapak tangannya.
Sedang air mata gadis ini masih membasahi pipi yang
montok Namun ketika gadis ini memhuka mulut, Mahisa
Singkir kaget setengah mati.
“Pengecut.....! Engkau pengecut! Mengapakah sebabnya
engkau tidak berani membela orang tak bersalah? Mati
membela kebenaran lebih berharga dibanding mati
sebagai pengecut. Tahu?”
Mahisa Singkir menghela napas panjang. Kemudian,
“Mbakyu, engkau memang tidak salah apabila menuduh
diriku sebagai pengecut! Tetapi sebaliknya aku mempunyai
pendirian, kalau aku mengorbankan diri, kemudian aku
mati, akan merugikan kita dan menyebabkan rahasia ini
tidak mungkin bisa dibongkar.”
Mahisa Singkir berhenti mengambil napas. Lalu,
“Mengapa demikian? Karena satu-satunya orang yang
dapat diajukau sebagai saksi tentang pembunuhan itu ikut
mati pula Mbakyu, terserah penilaianmu. Namun yang jelas
sekarang terbukti aku yang benar, karena masih ada
gunanya aku ini hidup. Sekarang aku dapat bertemu
dengan Mbakyu, hingga kemudian hari dosa dan
kesalahan dua orang itu masih dapat diusut dan dihukum
sesuai kesalahannya.”
“Tetapi apakah sebabnya engkau tidak segera pulang
dan memberi laporan kepada Kakek?”
“Ketika itu aku tidak berani mengambil risiko, Mbakyu.
Mereka mengancam akan membunuh aku jika berani
pulang ke Tosari. Mengingat itu maka aku memilih
gelandangan sambil menunggu kesempatan.”
Mahisa Singkir tidak berani berterus lerang, dirinya
berguru kepada Mpu Anusa Dwipa.
“Huh... huh, bangsat busuk Kaligis dan Sangkan!” desis
Sarindah geram. “Akan datang saatnya aku membunuh
dua murid durhaka itu. Hemm, pantas yang lain sudah
pulang, tetapi Kakang Tanu Pada dan Kebo Pradah dan
juga kau sendiri tidak pulang. Hemm, tahukah engkau.
Ananto juga mati dibunuh oleh dua bedebah itu?”
Mahisa Singkir berjingkrak saking kaget. “Benarkah
itu?”
“Mengapa tidak betul? Sangkan dan Kaligis bertugas
bersama Ananto. Tetapi mereka pulang tanpa Ananto dan
lapor kepada Kakek, bocah itu mati tergelincir masuk
jurang. Manakah mungkin? Siapa dapat percaya? Huh,
dosa dua orang itu bertumpuk. Merekapun sampai hati
memfitnah diriku.”
“Memfitnah apa?”
“Memfitnah diriku meracun tamu. Akibatnya Kakek
marah sekali dan akan membunuh aku.”
“Ahhh....!” Mahisa Singkir berjingkrak kaget. “Mengapa
bisa begitu?”
“Hemm, itu bisa terjadi karena waktu itu aku sedang
pergi. Begini, aku gelisah memikirkan Kakang Tanu Pada
yang belum juga pulang, dan maksudku akan
menyongsong. Nah, disaat aku pergi itulah dua bangsat itu
meracun tamu, kemudian memfitnah diriku. Aku tidak
sabar lagi, lalu pergi mencari bangsat itu. Dan kau, hayo
sekarang ikut aku sebagai saksi.”
“Ahhh.... Mbakyu....” Mahisa Singkir kaget berbareng
bingung. “Kiranya... tidak baik apabila aku menyertai
engkau pergi mencari dua orang itu. Aku.... aku takut....”
Gadis ini sekarang terkekeh. “Hi hi hik, mengapa takut?
Toh ada aku yang akan melindungi keselamatanmu dari
ancaman mereka.”
Mahisa Singkir menggelengkan kepala, “Tidak Mbakyu.
Aku mohon jangan memaksa aku dalam masalah ini.
Mbakyu, kasihanilah diriku ini dan biarkanlah aku pulang
ke Tosari saja, melapor kepada Guru. Dengan demikian
engkau terbebas dari tuduhan itu dan agar guru tahu pula
tentang pengkhianatan dua orang itu”.
Sarindah memandang Mahisa Singkir dengan mata
mendelik. Gadis ini tidak senang perintahnya dibantah
orang. Namun sejenak kemudian dia menghela napas dan
kemudian berkata, “Hemm, baiklah jika demikian. Lapor-
kanlah juga kepada Kakek, aku takkan pulang sebelum
dapat menyeret dua orang murid durhaka itu.”
“Nah, itu lebih bagus”, puji Mahisa Singkir dengan lega.
“Biarlah Guru sendiri yang akan menjatuhkan hukuman
kepada mereka itu.”
“Baiklah. Kita sekarang berpisah dan sampai ketemu!”
Itulah yang terjadi. Dan itu pula sebabnya Sarindah
dapat membongkar rahasia pembunuhan atas diri Tanu
Pada dan Kebo Pradah, bersumber keterangan Mahisa
Singkir.
2
erkelahian yang terjadi antara Sangkan dan Kaligis
yang mengeroyok Sarindah seru sekali. Perkelahian
antara hidup dan mati, karena Sarindah ingin
membalas dendam atas kematian pemuda yang ia cintai.
Sedang di pihak Kaligis dan Sangkan, berusaha membela
nyawa dari ancaman maut.
Berkali-kali terdengar dencing pedang yang berbenturan.
Mereka menggunakan ilmu dari satu sumber, baik
menyerang maupun bertahan. Bedanya gerak Sarindah
lebih cepat dan mantap dibanding dua orang pemuda itu,
sedang ilmunya juga setingkat lebih tinggi.
Akan tetapi karena menghadapi keroyokan dua orang,
maka sulitlah bagi Sarindah untuk dapat mengalahkan
dalam waktu singkat. Sebaliknya kalau satu lawan satu,
tentu Sarindah bisa menang dengan gampang.
Menghadapi kesulitan ini, Sarindah menjadi penasaran.
Gadis ini tambah sesalnya, mengapa Mahisa Singkir tidak
mau bersama dirinya. Kalau saja Mahisa Singkir ada, tentu
takkan kesulitan seperti ini.
Saking penasaran mulut Sarindah melengking nyaring
sambil menerjang dengan pedangnya. Sambaran
pedangnya cepat sekali kearah mata, leher dan dada
Kaligis. Sedangkan tangan kiri membantu dengan
cengkeraman ke arah pundak. Akan tetapi gerakan itu
kemudian terpaksa ia ubah, pedang ia tarik dan ia
sabatkan ke belakang untuk menghalau sambaran pedang
Sangkan.
“Trang!
Kaligis terhuyung mundur dengan lengan bergetar.
Akan tetapi manakah dua pemuda ini mau mengalah
dan mundur? Secepat kilat dua pemuda ini menerjang lagi
dari kiri dan kanan. Lalu terjadi lagi perkelahian sengit.
P
Dewi Sritanjung yang menonton sambil bersembunyi ini
hatinya tegang. Sebenarnya ia ingin muncul lalu membantu
gadis yang belum ia kenal itu, agar secepatnya dapat
mengalahkan dan menangkap dua orang berdosa itu.
Namun Dewi Sritanjung ingat kembali pesan kakeknya.
Membantu orang yang belum kalah, bisa menimbulkan
akibat salah paham. Dan salah-salah bisa dianggap meng-
hina atau merendahkan orang. Yang akibatnya bermaksud
mendapat sahabat malah berbalik mendapat musuh.
Karena itu ia tahankan hatinya, terus bersembunyi sambil
menonton perkelahian sengit itu.
Mendadak Dewi Sritanjung kaget dan jantungnya ber-
debar keras ketika mendengar bentakan menggeledek.
“Berhenti! Apakah sebabnya kamu berkelahi?!”
Suara bentakan itu menyebabkan wajah Sarindah
berseri. Ia kenal suara kakeknya, dan diam-diam ia men-
duga, lengkingannya yang tidak sengaja tadi telah meng-
undang kakeknya.
Sarindah melompat mundur dan membalikkan tubuh,
kemudian tampaklah kakeknya dan Sarwiyah.
Hadirnya Si Tangan Iblis ini menyebabkan Kaligis dan
Sangkan kaget setengah mati. Pada saat masih ada
kesempatan mengapa tidak lari? Maka mereka sudah
melompat dan pergi menyelamatkan diri.
“Berhenti!” bentak Si Tangan Iblis.
Tetapi mereka bukannya berhenti, malah semakin
mempercepat lannya Sarindah menjadi amat penasaran
dan mengejar. Namun tahu-tahu berkelebatlah bayangan
kakeknya yang mendahului. Saking takutnya, mereka
membalikkan tubuh sambil menyerang.
“Cring.... cring....” dua batang pedang itu terpental
terbang oleh sentilan jari tangan Si Tangan Iblis. Sebelum
Sangkan dan Kaligis dapat berbuat sesuatu dua orang ini
sudah roboh terduduk dan wajah mereka pucat.
Sarindah yang penasaran sudah menyerbu sambil
membentak. “Hu... huu, mampuslah kamu!”
“Cring...!” pedang Sarindah tertangkis oleh sentilan Si
Tangan Iblis dan menyeleweng.
Pedang gadis ini memang tidak lepas dari tangan,
namun demikian ia merasakan lengannya sakit seperti
lumpuh mendadak.
Sarindah menjadi tidak senang dan protes, “Kakek!
Mengapa sebabnya engkau melarang aku membunuh
murid durhaka ini? Semua yang terjadi adalah gara-gara
perbuatan mereka ini. Mereka bukan saja meracun Kakek
Julung Pujud, tetapi mereka jugalah yang membunuh
Kakang Tanu Pada maupun Kebo Pradah... hu... hu...
huuuu.”
Ia memang tidak kuasa menahan perasaannya lagi dan
menangis setelah menyebut nama Tanu Pada maupun
Kebo Pradah.
“Apa? Tanu Pada dan Kebo Pradah terbunuh?” Si
Tangan Iblis kaget dan setengah tidak percaya.
Sarwiyah cepat menghampiri Mbakyunya, lalu men-
desak, “Mbakyu, benarkah itu? Lalu siapakah pelakunya?”
Sarindah melompat dan menggerakkan pedangnya
untuk menikam Sangkan. Tetapi dengan tangkas Si Tangan
Iblis sudah menangkis dengan jari telunjuk dan jari tengah,
untuk menjepit batang pedang kemudian mendorong.
Sebagai akibatnya gadis ini terhuyung ke belakang dan
pedangnya lepas.
Setelah dapat berdiri tegak lagi, Sarindah mendelik dan
membentak, “Engkau mau mungkir ya? Kamu sudah
membunuh Kakang Tanu Pada dan Kebo Pradah.....”
“Ahhh….!” Sarwiyah menjerit dan wajahnya pucat
Sekarang ia baru menyadari, Kebo Pradah yang ia cintai itu
terbunuh mati.
Sangkan dan Kaligis tidak membuka mulut.
“Kamu membunuh mereka di pinggir Desa Sukorejo.
Kamu masih mau mungkir?” Sarindah meneruskan
tuduhannya.
“Tidak! Aku tidak pernah melakukan itu!” bantah
Sangkan dengan mantap dalam usaha membela diri.
“Huh, kamu jangan coha-coba mungkir!” geram
Sarindah yang tambah penasaran.
Tangan dan kakinya gemetar ingin sekali memukul
remuk kepala dua orang pemuda itu, dan kakinya juga
ingin menendang. “Kamu membunuh dua orang saudara
seperguruanmu sendiri, di saat ditugaskan oleh Kakek,
mencari Sentiko.”
Sangkan tetap menggelengkan kepala dan tetap
mungkir. “Tidak. Aku tidak berbuat!”
Dengan wajah pucat Kaligis memandang Sangkan,
karena mendengar keterangan Sangkan yang mengatakan
Aku tidak berbuat. Tiba-tiba saja dalam hatinya timbul rasa
khawatir, apabila Sangkan akan menimpakan seluruh
kesalahan pada dirinya.
Pemuda ini sudah akan membuka mulut dan protes,
tetapi sudah didahului oleh bentakan Sarindah, “Bangsat
kau! Mahisa Singkir sudah menceritakan semuanya, dan
mungkirpun tak ada gunanya. Hayo, sekarang apakah
masih tetap mungkir?”
Di sebut nama Mahisa Singkir makin menjadi
khawatirlah Kaligis, apabila Sangkan yang licik itu
menimpakan seluruh kesalahan kepada dirinya. Karena
khawatir tanpa pikir panjang lagi Kaligis sudah menegur.
“Adi Sangkan, engkau ini bagaimana? Kalau Mahisa
Singkir sudah membuka rahasia, mungkirpun tak ada
gunanya lagi. Apakah engkau lupa bahwa waktu itu engkau
malah membujuk aku, supaya bekerja sama membunuh
Tanu Pada dan Kebo Pradah?
Sangkan marah sekali dan mendelik dan dalam hati
mengumpat caci. “Tolol! Goblog! Aku membela diri dan
mungkir, ternyata engkau malah mencari mampus. Karena
gara-garamu, aku bakal celaka di tangan guru. Huh, aku
belum ingin mati. Engkau sendirilah yang harus mampus.”
Tiba-tiba Sangkan terkekeh, “Heh... heh... heh... heh,
mengapakah sebabnya engkau menjadi pengecut seperti
itu, Kakang Kaligis. Huh, engkau mau menyeret aku yang
bersalah? Engkau sendiri yang sudah melakukan
pembunuhan, mengapa orang tidak bersalah engkau
libatkan? Hemm, sayang sekali Adi Mahisa Singkir tidak
ada di sini. Kalau hadir, dia akan dapat kujadikan saksi,
engkaulah yang membunuh saudara seperguruan sendiri!”
“Sangkan!” teriak Kaligis yang kaget berbareng
penasaran. “Engkau bilang apa? Semua adalah gara-
garamu. Malah Adi Ananto yang tergelincir ke jurang pun,
engkau sendiri yang melakukannya....”
“Plakk..... Aihhh.....!”
Sarindah terhuyung, ketika kakinya yang dipergunakan
menendang Sangkan ditangkis kaki kakeknya. Hingga
Sarindah memekik tertahan dan meringis menahan sakit.
“Indah, mundurlah,” bentak kakeknya. “Biarkan
kakekmu sendiri yang mengurus soal ini. Yang salah harus
dihukum, tetapi tidak di sini dan harus di rumah, sambil
mendengar keterangan Mahisa Singkir sebagai saksi satu-
satunya. “Indah, engkau harus mengerti persoalan ini
merupakan urusan rumah tangga perguruan. Karena itu
orang luar tidak boleh mendengar dan mengerti.”
Bentakan kakeknya ini menyebabkan Sarindah takut
lalu mundur. Sedang Si Tangan Iblis lalu memandang ke
arah batu besar lalu meneruskan bentakannya, “Hai! Siapa
yang bersembunyi di belakang batu dan mendengarkan
urusan kami? Hayo cepatlah keluar sebelum aku terpaksa
memaksamu!”
Dewi Sritanjung kaget setengah mati mendengar
bentakan yang ditujukan kepada dirinya itu. Diam-diam
gadis ini heran sekali. Sudah lama dirinya bersembunyi di
belakang batu ini dan tidak terlihat oleh siapapun. Tetapi
setelah kakek ini datang, tahu-tahu dirinya sudah dibentak
dan disuruh muncul.
Sarindah dan Sarwiyah saling pandang keheranan.
Mereka tidak melihat seorangpun. Tetapi mengapa kakek-
nya menyuruh orang keluar dari tempat persembunyian?
Karena kurang percaya, dua gadis ini sudah melompat ke
arah batu besar dalam usaha membuktikan. Tetapi pada
saat itu justru Dewi Sritanjung sudah melompat dari balik
batu.
“Aihhh….!” hampir berbareng Sarindah dan Sarwiyah
berseru tertahan.
Sebaliknya Dewi Sritanjung yang berdiri dengan tenang
ini, menyebabkan Sarindah penasaran dan menjadi marah
Bentaknya, “Siapa engkau, berani mencuri dengar orang
bicara?”
Dewi Sritanjung tidak senang dibentak seperti ini dan
mengerutkan alis. Dalam dada gadis ini timbul pula rasa
penasaran. Kehadirannya di tempat ini bukan lain siap
menolong gadis ini sendiri kalau terancam bahaya. Tetapi
mengapa sekarang gadis ini tahu-tahu malah bersikap
galak kepada dirinya?
Sebagai gadis yang baru saja terjun ke dunia
masyarakat, tentu saja menjadi tersinggung dan tidak
senang. Beginikah sikap orang kepada dirinya yang tidak
bersalah? Sebagai seorang gadis yang belum mengenal
tata hidup dan tata kesopanan masyarakat, tentu saja
kurang dapat menguasai sikap dan bahasa dalam
menjawab pertanyaan orang.
Gadis ini hanya merasa dirinya tidak bersalah, maka
jawabnya angkuh, “Huh, siapa yang melarang aku berada
di belakang batu itu? Aku sudah lebih dahulu di belakang
batu itu dibanding kalian semua. Dan aku juga tidak
mempunyai kepentingan dengan apa yang sekarang kamu
bicarakan. Apakah gunanya aku harus mencuri dengar
pembicaraanmu? Huh, entah urusanmu penting atau tidak,
pendeknya aku tidak membutuhkan!”
Celakanya Dewi Sritanjung sekarang ini berhadapan
dengan Sarindah, seorang gadis berangasan. Jawaban
yang angkuh ini menyebabkan Sarindah tambah
penasaran.
“Kurangajar engkau!” bentaknya. “Kurangajar kau!
Orang sudah bersalah tidak mau minta maaf, malah
lagaknya angkuh. Tahukah engkau, siapa kami?”
Dewi Sritanjung dengan sikap yang polos menggeleng.
“Tak tahu! Engkau keliru, jika mengatakan aku bersalah.
Aku sudah lebih dahulu datang di sini dan kamu datang
belakangan, dan kemudian membuat keributan di sini.
Hemm, engkau yang mengganggu aku di saat istirahat,
mestinya malah engkaulah yang minta maaf kepadaku
dan bukan aku.”
Melihat munculnya Dewi Sritanjung ini, Kaligis dan
Sangkan kaget sekali. Namun di balik itu tiba saja Sangkan
memperoleh pikiran bagus dan ingin membalas dendam. Ia
akan menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Rasa
penasaran dan dengki kepada gadis itu campur aduk
dalam dadanya. Sebab gadis itu yang membuat dirinya
tergila-gila, yang semula dikira gadis lemah, ternyata malah
menyebabkan dirinya malu.
‘Jangan percaya omongan siluman perempuan itu, Adi
Indah!” teriaknya lantang. “Dia datang di sini dan mencuri
dengan pembicaraan kita, tentu mengandung maksud
tidak baik. Buktinya, siluman perempuan itu tadi sudah
berusaha membujuk Kakang Kaligis, supaya bersedia
membocorkan rahasia perguruan. Dan ketika aku dan
Kakang Kaligis menolak, dia marah lalu menggunakan
kekerasan. Sudah tentu kami tak sampai hati berhadapan
dengan perempuan. Kami mengalah dan memilih
melarikan diri. Lalu secara tidak terduga bertemu dengan
engkau di sini!”
Dewi Sritanjung mendelik marah mendengar ucapan
orang yang memutarbalikkan kenyataan itu. Teriaknya.
“Keparat kau! Huh, kau jangan mengumbar mulut
sembarangan. Siapa yang butuh rahasia perguruanmu?”
“Huh, kamu manusia tidak tahu malu, siapa yang tadi lari
terbirit-birit setelah kalah berkelahi melawan aku?
Berdirilah sekarang! Keroyoklah! Mana aku takut
menghadapi kamu dua orang bangsat itu?”
Mendengar ucapan gadis berbaju biru muda ini. Si
Tangan Iblis memandang dengan mata berapi tanda
marah. Gadis ini demikian sombong dan di depannya
berani menantang dua orang muridnya agar mengeroyok.
Manakah ada seorang guru tidak merasa terhina oleh
ucapan orang lain yang demikian takabur? Sebab
menantang muridnya sama pula menantang gurunya.
Dalam marahnya Si Tangan Iblis menjadi lupa
kedudukannya sebagai seorang kakek.
“Bocah! Siapakah kau!” bentaknva tiba-tiba.
Karena pengalamannya yang tadi hampir celaka di
tangan Sangkan dan Kaligis, sekarang gadis ini hati-hati.
Huh, apakah gunanya nama ku perkenalkan? Sekalipun
engkau mengerti, juga tidak ada gunanya.
Baik Si Tangan Iblis, Sarindah maupun Sarwiyah marah
kepada gadis ini dan mereka menganggap terlalu angkuh
dan sombong. Tetapi sebelum Sarindah sempat mem-
bentak, telah didahului oleh teriakan Sangkan.
“Guru! Perempuan itu mempunyai hubungan dekat
dengan Gajah Mada!”
Si Tangan Iblis membalikkan tubuh dan memandang
Sangkan. Bentaknya. “Apa?”
“Guru! Manakah murid berani berdusta kepada guru? Di
Nganjuk, dia mengatakan mau pergi ke Majapahit, dan
untuk bertemu dengan Gajah Mada. Itulah sebabnya murid
bersama Kakang Kaligis tadi berusaha menangkap dia.
Tetapi.....murid......gagal....”
“Apakah sebabnya gagal?” desak Sarindah. “Karena....
sekalipun sudah mengeroyok dua…tetap saja kalah.....”
“Huh ... murid memalukan!” Sarindah penasaran. “Kek,
kalau benar gadis ini mempunyai hubungan dekat dengan
Gajah Mada, biarkanlah aku yang menangkap. Siapa tahu,
Kek, gadis ini dapat kita jadikan sandera sehubungan
dengan cita-cita kita?”
“Baiklah Indah, tetapi kau harus berhati-hati.”
Sulit dilukiskan betapa kaget dan gentar hati Dewi
Sritanjung saat ini. Diam-diam ia menyesal, mengapa diri-
nya begitu sembrono, sehingga dirinya berhadapan dengan
bahaya?
Di samping ia menyesal akan kelancangannya, dalam
hati gadis ini juga timbul rasa heran. Mengapa sebabnva
Mahapatih Gajah Mada dimusuhi oleh guru dan murid ini?
Kalau demikian apakah Mahapatih Gajah Mada seorang
jahat, sehingga dimusuhi banyak orang?
Sebagai seorang gadis yang masih hijau dalam per-
gaulan dan sama sekali belum mempunyai pengetahuan
akan faedahnya membohong dan menipu orang guna
menyelamatkan diri dan membela kepentingannya, maka
gadis ini jawabannya lugu.
“Huh, huh, kamu ini manusia-manusia macam apa?
Begitu bertemu dengan orang sudah memusuhi aku. Kalau
benar aku mempunyai hubungan dengan Mahapatih Gajah
Mada, apakah salahnya?”
“Kami akan membunuh engkau,” bentak Sarindah yang
berangasan.
Sambil membentak, Sarindah sudah menerjang ke
depan, menggerakkan dua tangannya. Tangan kanan
dengan jari telunjuk, sedangkan jari lain ditekuk untuk
menusuk mata orang dan untuk tangan kiri dengan jari ter-
buka membentuk cakar garuda mencengkeram ulu hati.
Akan tetapi serangan tersebut sebelum sampai ke
sasaran sudah berubah. Sekarang menjadi pukulan ke
dada, sedang tangan kiri menyusul mencengkeram ke arah
kepala. Gerakan gadis ini cukup cepat. Namun Dewi
Sritanjung tidak menjadi gentar. Ia menggeser kaki
setengah lingkaran dan kaki kanan mundur dengan
setengah langkah. Lalu disusul tangannya bergerak seperti
kilat memukul pundak lawan.
Untung Sarindah waspada, menarik tangan yang kanan
guna menangkis.
“Plaaakkk.....Aih.....!”
Sarindah berseru tertahan, ketika tangannya ber-
benturan. Bukan saja tubuhnya terdorong sehingga ter-
huyung, tetapi juga merasakan lengannya panas dan
kesemutan.
Dewi Sritanjung menjadi penasaran merasa dimusuhi
orang. Ia cepat menerjang ke depan tanpa memberi
kesempatan lawan bernapas. Gerakannya cepat tidak
terduga dan tahu-tahu.... “Bukkk....!”
“Aduhhh....!”
Sarindah sudah tertendang pantatnya sekalipun sudah
berusaha menghindar dan menangkis. Sarindah menjerit
kesakitan, lalu terhuyung-huyung hampir roboh. Dewi
Sritanjung sudah menyerbu dengan maksud untuk
secepatnya dapat mengalahkan lawan.
“Plakk....!” Pukulannya sudah tertangkis.
Namun Sarwiyah yang menolong mbakyunya dengan
menangkis pukulan Dewi Sritanjung itu meringis kesakitan
dan terhuyung mundur.
“Bagus! Kamu mau mengeroyok?” desisnya.
Kemudian tubuhnya sudah berkelebat seperti kilat
menyambar, menghujani serangan kepada dua gadis itu.
Angin yang halus keluar dari telapak tangannya
menyambar-nyambar ke arah lawan, menyebabkan
Sarindah dan Sarwiyah gelagapan kaget, karena dada
mereka seperti ditindih batu berat.
Si Tangan Iblis yang memperhatikan heran bukan main.
“Murid siapakah bocah ini? Masih amat muda, tetapi
sungguh luar biasa.” Kalau dua orang cucunya yang sudah
mempunyai ilmu lebih tinggi dari saudara-saudara seper-
guruannya saja kesulitan melawan, apalagi Sangkan dan
Kaligis. Kakek ini mengamati penuh perhatian. Ia ingin
mengenal ciri-ciri gerakan gadis itu, sehingga dengan tepat
akan dapat menebak, siapakah guru gadis ini ?
Akan tetapi Si Tangan Iblis semakin tambah keheranan.
Telah lama ia mengamati gerakan gadis ini, belum juga
dapat meraba asal usul ilmu gadis ini. Gerakannya cepat
bukan main disamping setiap gerakannya berisi tenaga
kilat yang tidak tampak.
Dewi Sritanjung menjadi penasaran merasa dimusuhi
orang. Ia cepat menerjang ke depan tanpa memberi
kesempatan lawan bernapas. Gerakannya cepat tidak
terduga dan tahu-tahu.... “bukkk....!
Makin lama kakek ini menjadi tambah heran. Ia sudah
mendidik cucunya sejak masih kecil dengan gemblengan
keras. Tetapi mengapa dalam hal kecepatan bergerak
maupun tenaga, dua cucunya masih belum dapat
memadai? Ia menjadi penasaran. Namun perasaan itu
masih ditahan dalam dada. Kalau ternyata dua orang
cucunya tidak mampu mengalahkan dan menangkap gadis
itu, barulah ia mempunyai alasan kuat untuk bertindak
sendiri.
***
3
erkelahian satu lawan dua ini makin lama menjadi
semakin sengit. Lebih-lebih Sarindah dan Sarwiyah
didorong oleh rasa penasaran, menyebabkan kakak
beradik ini mengerahkan seluruh kepandaian yang mereka
miliki. Serangannya ganas dan menyambar-nyambar,
pukulannya bertubi-tubi mengarah bagian tubuh lawan
yang mematikan. Akan tetapi yang menggemaskan, semua
serangan itu hanya mengenai tempat kosong. Bagi kakak
beradik ini gerakan Dewi Sritanjung teramat cepat di
samping aneh, sehingga tidak berhasil menyentuh ujung
bajunya.
Dewi Sritanjung melawan keroyokan ini dengan hati
mantap dan tanpa rasa gentar sedikit pun. Makin lama
berkelahi, peredaran darah dalam tubuhnya makin tambah
lancar, dan hawa sakti dalam tubuh menyebar sendiri
tanpa ia gerakkan, dan gerakannya menjadi semakin luwes
dan berbahaya, di samping juga tidak merasakan lelah.
Gadis ini masih tetap dalam keadaan segar, scbaliknya
Sarindah dan Sarwiyah dadanya sesak hampir kehabisan
napas, peluh sudah membanjir membasahi tubuh.
Sarindah yang berangasan menjadi tidak telaten lagi.
“Wiyah! teriaknya. Mari kita gunakan pedang!”
“Sring! Sring...!” Dua leret sinar putih sudah menyambar
tubuh lawan.
Tetapi Dewi Sritanjung menghindari serangan ini dengan
mantap, sekalipun masih tetap bertangan kosong. Untung
sekali gadis ini ketika berhadapan dengan Kaligis dan
Sangkan, ia amat memperhatikan gerak serangan lawan.
Maka sedikit banyak ia sudah mengenal ilmu pedang
lawan.
Namun diam-diam timbul pula rasa heran dalam hati
P
gadis ini. Ternyata walaupun gerakannya serupa tetapi
lawan ini gerakannya lebih cepat dan lebih bertenaga.
Sekalipun demikian gadis ini dapat menghadapi serangan
bertubi-tubi tanpa kesulitan. Ilmu tangan kosong yang
bernama “Sindung Riwut” ternyata menolong dirinya dari
ancaman bahaya.
Dewi Sritanjung tidak sadar sama sekali, bukan hanya
ilmu ajaran gurunya saja yang menolong dirinya. Gadis ini
tidak sadar, bahwa di samping ilmu tangan kosong ini
merupakan kesaktian tingkat tinggi, juga air susu harimau
yang menghidupi dirinya ketika bayi itu amat besar
pengaruhnya bagi dirinya. Air susu harimau yang memberi
hidup pada saat dirinya masih bayi, pengaruhnya
mempunyai tubuh yang kuat luar biasa.
“Cring! Cring....! sentilan jari tangannya menyebabkan
dua pedang itu terpental dan menyeleweng. Kemudian
disusul oleh gerak tangan dan kaki menyerang,
menyebabkan dua gadis itu meloncat untuk meng-
hindarkan diri dari serangan, sambil meringis karena
lengannya bergetar hebat.
Sarindah tambah penasaran, lawannya belum juga
mencabut pedang, Teriaknya, “Cabutlah senjatamu!
Apakah engkau memang ingin mampus?”
“Tangan dan kakiku masih sanggup menghadapi engkau
berdua,” sahut Dewi Sritanjung dingin.
Emoticon