SATU
SUARA gamelan mengalun merdu ditabuh para nayaga yang duduk
berjajar di sebuah panggung besar. Malam yang biasanya gelap gulita, tampak
terang benderang oleh cahaya api obor yang terpancang di setiap sudut halaman
besar sebuah rumah yang di padati orang. Segala macam tingkah dan celoteh di
sertai derai tawa terdengar semarak mengimbangi alunan gamelan.
Suasana malam ini terasa begitu hangat, meskipun angin saat
itu berhembus kencang menaburkan udara dingin menusuk kulit. Keceriaan terlihat
di wajah semua orang yang memenuhi halaman dan bagian dalam rumah besar itu.
Bukan hanya orang dewasa saja, bahkan anak-anak pun ikut menikmati kegembiraan
itu.
"Beruntung sekali anak Ki Murad ya, Kang...?"
terdengar gumaman seseorang yang berdiri agak terlindung di sudut halaman dekat
pohon beringin.
"Hm...," orang bertubuh gemuk dan berperut buncit,
hanya menggumam saja. Pandangan matanya tidak lepas ke arah sepasang mempelai
yang duduk di pelaminan berwajah cerah penuh senyum.
"Seharusnya kaulah yang duduk di situ, Kang Wregu,
Bukan si Wiraguna...!" agak tertahan nada suara anak muda itu.
Lelaki yang diajak bicara hanya diam saja. Sepasang bola
matanya tidak berkedip memandangi mempelai yang duduk didampingi kedua orang
tua masing-masing. Begitu banyak tamu yang hadir, karena mempelai wanita adalah
anak orang terpandang di Desa Kali Wungu ini.
Namanya, Ki Danupaya. Orang tua laki-laki mempelai wanita
itu tidak hanya sebagai saudagar kaya tapi juga sangat berkuasa. Ki Danupaya benar-benar
melebihi kepala desa sendiri. Bahkan kalau kepala desanya tidak disukai maka
dengan mudah dia bisa menggantikannya.
"Ayo kita pulang, Situyu," ajak Wregu seraya
membalikkan rubuh dan melangkah di samping Wregu. Kedua laki-laki berusia muda
itu berjalan bersisian tanpa banyak bicara lagi.
Sementara malam semakin larut. Tapi orang-orang yang
menghadiri pesta pernikahan itu, terus saja berdatangan. Bahkan semakin jauh
malam, semakin meriah saja suasananya. Bukan hanya penduduk desa ini saja yang
berdatangan, tapi juga dari penduduk desa-desa lain. Kalau saja bukan orang
yang terpandang dan mempunyai kekuasaan, mungkin pesta itu tidak akan semeriah
ini.
Suara gamelan terus mengalun membuat suasana semakin hangat
dan meriah. Para penari terus berlenggak-lenggok mengikuti irama gamelan yang
ditabuh para nayaga di atas panggung. Sementara di sudut lain terlihat dua
orang wanita muda dengan wajah cukup cantik duduk di sebuah bangku di bawah
pohon kemuning. Pandangan mereka juga tidak berkedip ke arah sepasang mempelai
yang tidak henti-hentinya memberikan senyum pada setiap tamu yang hadir.
"Mereka kelihatan bahagia sekali, Rukmini," ujar
salah seorang yang mengenakan baju merah muda cukup ketat.
"Hanya sebentar," desah wanita berbaju biru yang
dipanggil Rukmini. "Tidak lama juga akan menderita. Lihat saja nanti,
Selasih."
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Rukmini. Kalau aku jadi
kau, sudah kubunuh si Wiraguna sebelum naik ke pelaminan!" agak mendesis
suara wanita yang bernama Selasih.
"Seumur hidup, tidak akan hilang rasa sakit di hatiku
ini, Selasih."
"Bukan hanya kau. Tapi banyak gadis lain yang
berperasaan begitu. Aku tahu betul, siapa itu Wiraguna. Apalagi
ayahnya...," sambung Selasih.
Rukmini menoleh, menatap sahabatnya. Ada sebentuk senyuman
tipis menghiasi bibirnya yang tipis dan merah menggoda. Sejak kecil mereka
sudah bersahabat, dan tak ada satu pun yang menjadi rahasia di antara dua orang
itu. Bahkan sampai ke hal-hal yang bersifat pribadi sekalipun, selalu terbuka.
"Kuharap, ini malam terakhir mereka bisa tertawa dan
tersenyum bahagia," desah Rukmini.
"Harus!" sambut Selasih mantap agak mendesis.
Kedua wanita muda itu saling berpandangan. Entah kenapa,
mereka sama-sama melemparkan senyuman tipis dan hambar, kemudian bangkit
berdiri. Kini mereka telah melangkah meninggalkan keramaian itu, tanpa ada yang
bicara lagi. Mereka tidak lagi memperdulikan semua yang terjadi, semua
keramaian, keceriaan, dan senda gurau serta tawa lepas yang memecah keheningan
malam ini.
Malam yang membuat semua orang ceria, tertawa bahagia. Tapi
ada beberapa orang yang tampak tidak menikmati semua itu. Terutama mereka yang
merasa punya hubungan, atau merasa dirugikan atas semua pesta hajat yang besar
dan meriah ini. Entah apa yang terjadi, hanya mereka sendiri yang tahu.
***
Malam masih terlalu dingin. Namun kehangatan masih bisa juga
menyelimuti sekitar rumah besar milik Ki Danupaya. Meskipun sepasang mempelai
sudah tidak berada lagi di pelaminan, namun masih saja banyak tamu yang belum beranjak
dari tempatnya. Bahkan Ki Danupaya sendiri belum juga beranjak, dan tengah
dikelilingi sahabat-sahabatnya.
Dinginnya udara malam juga tidak terasa di dalam sebuah
kamar yang cukup besar dengan penataan apik sehingga terlihat indah. Dua tubuh
tergolek bersimbah keringat di atas pembaringan yang beralaskan kain sutra
halus berwarna merah muda. Desah napas memburu dan rintihan lirih masih
terdengar mengganggu gendang telinga. Mereka tidak lagi mempedulikan
suara-suara bising di luar sana. Juga tidak mempedulikan angin dingin yang
menyusup masuk dari celah-celah jendela.
"Ah...!" tiba-tiba saja salah seorang memekik
tertahan. Dan tubuh yang berada di atas, mengejang sesaat. Kemudian mendesah
panjang sambil menjatuhkan dirinya yang bersimbah keringat ke samping. Sesaat
lamanya suasana di dalam kamar itu hening sepi. Tarikan-tarikan napas mulai
terdengar teratur.
Brak!
Tiba-tiba saja jendela kamar itu terhempas kencang, membuat
sepasang insan yang tengah tergolek berpelukan itu terlonjak kaget. Dan belum
lagi disadari apa yang terjadi, tahu-tahu sebuah bayangan hitam berkelebat
masuk. Arahnya langsung ke pembaringan, diikuti kelebatannya satu cahaya
keperakan. Dan belum ada yang bisa menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu...
"Aaa...!" satu jeritan melengking terdengar keras
menyayat. Tak berapa lama, terdengar keluhan tertahan. Bayangan hitam itu
kembali berkelebat melompat keluar dari jendela yang terbuka berantakan. Tampak
di pundaknya memanggul sesosok tubuh yang terbungkus kain selimut tebal.
Tak ada yang mengetahui. Semua kejadian itu sangat cepat,
sukar untuk diikuti mata. Suasana di dalam kamar itu kembali hening, tak
terdengar satu mata pun di sana. Sementara di luar, suara tawa dan kelakar
masih terdengar riuh mengimbangi alunan merdu suara gamelan.
"Nurmi...!" terdengar suara panggilan dari luar
kamar, diikuti ketukan pintu berulang-ulang. Suara panggilan dan ketukan itu
semakin sering dan keras terdengar. Tapi tak ada sahutan sama sekali. Suara
ketukan itu seketika berubah menjadi gedoran keras. Pintu kamar itu bergetar
hebat, dan...
Brak!
"Nurmi...!" pekik seorang laki-laki setengah baya
yang tiba-tiba saja muncul di ambang pintu kamar itu. Laki-laki setengah baya
berbaju indah bersulam itu langsung menerobos masuk. Kedua bola matanya membeliak
begitu mendapati sesosok tubuh terbujur kaku dengan leher terbabat hampir
putus. Darah mengalir membasahi pembaringan. Laki-laki setengah baya itu
bergegas lari ke jendela yang terbuka lebar.
"Penjaga...!" serunya keras. Tidak berapa lama,
enam orang laki-laki muda bersenjata golok di pinggang berhamburan masuk. Dan
mereka semua terperangah begitu melihat dipembaringan terbujur sesosok tubuh
yang lehernya hampir putus berlumuran darah.
Tidak berapa lama kemudian, muncul seorang laki-laki tua
berjubah putih panjang membawa tongkat yang bagian kepalanya bulat berkilat.
"Wiraguna...! Oh..., tidak...!" sentak laki-laki
tua berjubah putih panjang itu, langsung memburu ke pembaringan. Laki-laki tua
itu seperti tidak percaya apa yang dilihatnya. Kemudian ditubruknya tubuh
terbujur itu, dan diguncang-guncangnya disertai rintihan keras.
Beberapa orang mulai berdatangan memadati kamar itu. Dan
mereka yang mengetahui, langsung terpekik tertahan. Kesunyian langsung
mengurung seluruh kamar ini. Dan tiba-tiba saja suara gamelan dan canda tawa di
luar sana terhenti seketika. Malam yang semula semarak itu, seketika jadi sunyi
sepi. Wajah murung dengan sorot mata setengah tidak percaya terpancar dari
orang yang memadati ruangan itu. Seorang laki-laki setengah baya yang pertama
kali masuk, menghampiri laki-laki tua yang tengah menangisi tubuh terbujur di
pembaringan.
"Ki Murad...," pelan suara laki-laki setengah baya
itu seraya menepuk pundak Ki Murad.
Laki-laki tua berjubah putih itu menoleh, lalu bangkit
berdiri. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka melangkah ke luar menyeruak
kerumunan itu. Dan beberapa orang langsung bergerak mengurus mayat yang
terbujur kaku itu, di atas pembaringan. Sebagian lagi melangkah ke luar sambil
menundukkan kepala dan mengunci mulut rapat-rapat. Ki Danupaya membawa Ki Murad
ke ruangan tengah yang tampak sepi. Mereka duduk dengan kepala tertunduk lesu.
Beberapa orang mulai bermunculan, dan langsung duduk
bersimpuh di depan kedua laki-laki yang duduk di kursi berukir yang memiliki
sanda-ran tinggi itu. Tak ada yang membuka suara sedikit pun. Kepala mereka
semua tertunduk menekuri lantai. Saat semua orang sedang terdiam sambil
tertunduk, tiba-tiba...
Slap! Sebatang anak panah melesat cepat dari luar jendela.
"Uts!" Ki Murad langsung mengegoskan kepalanya,
maka anak panah itu menancap tepat di sandaran kursinya. Semua orang yang
berada di ruangan itu tersentak kaget. Empat orang bergegas melompat ke luar
melalui jendela. Sedang Ki Murad mencabut anak panah itu. Sebentar dipandangi,
lalu diserahkannya pada Ki Danupaya. Laki-laki setengah baya itu menerimanya,
dan membuka ikatan daun lontar pada batang anak panah itu.
"Keparat...!" geram Ki Danupaya setelah mem-baca
sebaris kalimat pada daun lontar itu Dengan wajah merah padam, Ki Danupaya
menyerahkan lembaran daun lontar itu pada Ki Murad.
Seketika itu juga wajah laki-laki tua. berjubah putih itu
memerah. Gerahamnya bergemeletuk setelah membaca sebaris kalimat yang tertera
pada daun lontar di tangannya. Seluruh ototnya menegang, dan daun lontar itu
hancur diremas tangannya. Ki Murad segera bangkit berdiri.
"Jangan sendiri, Ki...!" seru Ki Danupaya seraya
berdiri.
"Si Keparat itu hanya menginginkan aku, Ki
Danupaya," tegas Ki Murad seraya mengayunkan kakinya.
"Anakmu sudah tewas, Ki. Sekarang orang itu menculik
anakku. Bagaimanapun juga, aku harus ikut!" tegas kata-kata Ki Danupaya.
Ki Murad tidak berkata-kata lagi dan terus saja melangkah ke
luar. Sementara Ki Danupaya memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk
ikut. Sedangkan sisanya mengurus mayat Wiraguna, dan menjaga rumahnya itu.
Tidak lama berselang, tampak sekitar dua belas ekor kuda berpacu cepat keluar
dari gerbang rumah besar itu. Orang masih banyak berkumpul, tapi tak ada
seorang pun yang membuka suara. Mereka hanya memandangi saja kepergian Ki Murad
dan Ki Danupaya bersama sepuluh orang anak buahnya.
***
Dua belas ekor kuda berpacu cepat memasuki sebuah padang
rumput di sebelah Timur Desa Kali Wungu. Sebuah bukit terpampang terlihat kelam
terselimut kabut di seberang padang rumput yang tidak seberapa luas itu. Ki
Murad yang berpacu paling depan, mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Maka
semua kuda di belakangnya itu berhenti berpacu seketika.
Ki Danupaya yang selalu berada di samping laki-laki tua
berjubah putih itu, segera menghentikan lari kudanya. Dia segera menoleh dan
menatap Ki Murad yang bergerak turun dari punggung kudanya.
"Tak ada siapa-siapa di sini," gumam Ki Danupaya
segera turun dari kudanya, lalu berjalan menghampiri laki-laki tua di samping
kanannya.
"Hm...," Ki Murad hanya menggumam sedikit.
Tempat ini memang sepi. Apalagi malam masih menyelimuti
sekitarnya. Hanya desir angin yang terdengar mengusik gendang telinga. Suara
gemerisik dedaunan menambah ketegangan semua orang yang berada di padang rumput
itu. Tampak Ki Murad menggeleng-gelengkan kepalanya pelahan-lahan, mencoba
mendengarkan setiap gerakan suara yang halus di sekitarnya.
"Aku merasa ini hanya permainan saja, Ki," kata Ki
Danupaya lagi.
Ki Murad menoleh menatap laki-laki setengah baya di
sampingnya. Keningnya sedikit berkerut dan matanya agak menyipit Kemudian
dihembuskan napas panjang, dan dialihkan pandangannya ke arah bukit di depan.
"Aku yakin, orang yang melakukan perbuatan ini pasti
menyimpan dendam. Mungkin juga dendam padamu, atau padaku. Dan anak-anak kita
yang menjadi sasarannya," kata Ki Danupaya lagi.
"Apa pun alasannya, aku tidak bisa menerima kenyataan
ini semua!" tegas kata-kata Ki Murad.
"Bukan hanya kau. Bahkan aku seperti ditantang! Tidak
bakalan aku diam saja!" sambung Ki Danupaya.
Ki Murad yang akan membuka mulutnya lagi, langsung
mengurungkan niatnya begitu matanya menangkap gerakan bayangan putih tengah
melintasi padang rumput yang cukup luas ini. Bayangan itu terus bergerak ringan
menuju ke arahnya, dan semakin lama semakin jelas terlihat. Ternyata bayangan itu
datang dari seorang laki-laki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Wajahnya cukup tampan. Rambutnya panjang meriap dan sedikit
tergelung ke atas. Selembar kain putih mengikat bagian keningnya. Baju yang
dikenakannya berwarna putih tanpa lengan dengan bagian dada terbuka hingga ke
perut. Baju itu melambai-lambai dipermainkan angin. Pemuda itu berhenti
melangkah setelah dekat di depan dua belas orang yang berdiri bersikap
menghadang.
"Oh, maaf. Bolehkah aku lewat...?" ucap pemuda itu
ramah.
"Hm..., siapa kau?" dengus Ki Murad dingin.
Tatapan matanya begitu tajam menusuk, meneliti sekujur tubuh pemuda di
depannya.
"Aku seorang pengembara, dan hendak ke desa di depan
sana," sahut pemuda itu tetap ramah dan sopan.
"Aku tidak tanya ke mana tujuanmu. Yang kutanyakan,
siapa namamu?" bentak Ki Murad.
"Hm...," pemuda itu mengerutkan keningnya
mendengar bentakan laki-laki tua berjubah putih yang nampak tidak ramah
padanya.
"Anak muda, siapa kau sebenarnya. Dan apa maksudmu
datang ke sini?" tanya Ki Danupaya agak ramah.
"Namaku, Rangga, dan hanya seorang pengembara. Aku
tidak ada tujuan yang pasti," sahut pemuda itu.
"Anak muda, namaku Danupaya. Aku ingin tanya sekali
lagi padamu," kata Ki Danupaya lagi.
"Silakan," ucap Rangga.
"Apakah kau melihat ada orang lain di sekitar tempat
ini selain kami?" tanya Ki Danupaya.
"Sekitar tengah malam tadi, aku memang melihat ada
seseorang lewat di kaki bukit sana...," Rangga menunjuk bukit di
belakangnya.
"Apakah dia membawa seseorang?" serobot Ki Murad
tidak sabaran.
"Tidak. Dia hanya sendiri saja."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Tidak jelas. Aku hanya melihat dari jauh. Hm..., ada
apa rupanya?"
"Tidak ada apa-apa, Anak Muda. Terima kasih atas
keteranganmu," ucap Ki Danupaya seraya melirik pada Ki Murad.
Tanpa berkata apa-apa lagi, kedua laki-laki itu bergegas
melompat ke punggung kudanya masing-masing. Dan sepuluh orang yang berada di
belakang, juga bergegas melompat naik ke kudanya. Sebentar saja mereka sudah
menggebah kudanya dengan cepat. Derap lari kuda terdengar menggetarkan jantung.
Sementara pemuda berbaju rompi putih itu hanya memandangi
saja. Pemuda yang bernama Rangga dan lebih di kenal berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti itu hanya mengangkat bahunya, kemudian kembali berjalan sambil bersiul
kecil berirama tidak jelas. Sementara rombongan berkuda itu semakin jauh
menyeberangi padang rumput, menuju ke bukit yang berdiri megah terselimut
kabut. Sedangkan pemuda itu terus saja melangkah menuju ke Desa Kali Wungu.
***
DUA
Semua orang di Desa Kali Wungu selalu membicarakan kejadian
malam itu di rumah Ki Danupaya. Peristiwa yang sangat mengejutkan dan tidak
pernah terbayangkan sebelumnya. Bukan hanya orang-orang tua, bahkan anak-anak
muda pun ikut membicarakan peristiwa yang merenggut nyawa Wiraguna. Sebenarnya
putra tunggal Ki Murad ini memang beruntung dapat mempersunting putri Ki
Danupaya, seorang saudagar kaya di Desa Kali Wungu ini.
Tapi, nasib ternyata lebih menentukan. Sudah tiga hari
peristiwa itu berlalu, tapi masih terlalu hangat untuk dilupakan begitu saja.
Masalahnya, Nurmi belum juga diketemukan dan tidak diketahui nasibnya sampai
sekarang. Tidak ada seorang pun yang tahu, siapa pembunuh Wiraguna dan penculik
Nurmi. Waktu itu semua orang tengah sibuk berpesta.
Bukan hanya di rumah, di kedai, atau di ladang. Bahkan di
sungai pun gadis-gadis membicarakan tentang peristiwa pembunuhan dan penculikan
itu. Mereka selalu bertanya-tanya tentang hilangnya Nurmi Tapi ada juga yang
merasa gembira atas kematian Wiraguna. Dan tidak sedikit yang menyesalkan
kejadian itu. Terlalu banyak tanggapan yang terlontarkan, dan semuanya hanya
menduga-duga saja.
"Tolooong...!" tiba-tiba saja siang yang tenang
itu pecah oleh suara teriakan seorang wanita. Dan tampak seorang perempuan
setengah baya berlari-lari dengan baju sobek dan kain kedodoran. Pe-rempuan itu
terus berteriak-teriak sambil berlari ken-cang. Teriakan yang keras itu
mengagetkan semua orang. Baik yang berada di sungai, di rumah, ataupun di
ladang.
"Tolooong...!" teriak perempuan itu
sekeras-kerasnya. Sebatang akar yang menyembul ke permukaan tanah mengganjal
kaki wanita itu, hingga jatuh bergulingan di tanah berumput. Wanita setengah
baya itu berusaha cepat bangkit, tapi tiba-tiba saja sebuah bayangan sudah
berkelebat cepat.
"Akh!" wanita itu terpekik tertahan. Kedua bola
matanya membeliak lebar, dan mulutnya ternganga. Belum sempat bisa melakukan
sesuatu, mendadak saja terlihat kilatan cahaya keperakan yang langsung
menyambar leher wanita itu.
"Aaa...!" Satu jeritan melengking terdengar,
disusul ambruknya wanita itu ke tanah. Darah mengucur deras dari lehernya yang
terbabat hampir buntung. Sebentar tubuhnya menggelepar, kemudian diam tidak
bergerak-gerak lagi.
Terlihat seseorang berdiri tegak memandangi wanita setengah
baya yang sudah jadi mayat itu, kemudian berkelebat cepat bagai kilat. Seketika
bayangannya lenyap bagai ditelan bumi. Pada saat yang sama, orang-orang
berdatangan ke tempat itu. Dan mereka langsung terperangah begitu melihat
seorang wanita setengah baya menggeletak dengan leher koyak berlumur darah
segar yang masih mengalir deras. Dari kerumunan orang, menyentak seorang
laki-laki setengah baya.
"Nyai...!" sentak laki-laki setengah baya yang
ternyata adalah Ki Danupaya.
Laki-laki setengah baya yang selalu memakai baju indah dari
bahan sutra halus itu, bergegas berlutut dan memeriksa tubuh wanita yang
dikenal bernama Nyai Mirta. Dan semua penduduk Desa Kali Wungu sering
memanggilnya Nyai Murad. Wanita itu memang istri Ki Murad.
Saat Ki Danupaya bangkit berdiri, menyeruak seorang
laki-laki tua dari kerumunan orang-orang. Sesaat dia terpaku, lalu menubruk
wanita itu. Ki Danupaya hanya tertunduk, tak mampu mengeluarkan satu kata pun.
Semua orang yang berkerumun pun terdiam. Tak ada satu suara pun yang terdengar.
Semua kepala tertunduk.
Laki-laki tua berjubah putih itu bangkit berdiri sambil
memondong wanita itu. Sebentar bola matanya yang berkaca-kaca menatap Ki
Danupaya, lalu kakinya terayun pelahan-lahan. Orang-orang yang berkerumun
bergegas menyingkir, memberi jalan. Sukar untuk dilukiskan, bagaimana perasaan
Ki Murad saat ini mendapati istrinya tewas dengan leher koyak. Baru beberapa
hari kehilangan putranya yang baru saja melangsungkan pernikahan, kini juga
harus kehilangan istrinya.
Sementara Ki Danupaya memperhatikan dengan bibir bergetar
dan tubuh menggelegar menahan geram. Dilayangkan pandangannya ke sekeliling,
lalu bergegas melangkah menyusul sahabatnya itu. Langkah kaki Ki Danupaya
berhenti seketika saat matanya, menangkap sosok pemuda berbaju rompi putih yang
berdiri di bawah sebatang pohon besar. Pemuda yang pernah ditemuinya di padang
rumput dekat Bukit Mangun. Hanya sebentar Ki Danupaya menatap, kemudian kembali
melangkah cepat menyusul Ki Murad.
Orang yang berkerumun, kembali bubar menuju arahnya masing-masing.
Beberapa celotehan terdengar. Sebentar saja, tempat itu menjadi sunyi kembali.
Hanya seorang pemuda berbaju rompi putih yang masih duduk di bawah pohon.
Pemuda itu baru bangkit berdiri setelah semua orang tidak terlihat lagi. Dia
melangkah menghampiri tempat Nyai Murad tadi tergeletak tewas. Pandangan
matanya tertuju langsung pada seuntai kalung bergambar tengkorak dan bulan
sabit. Kalung itu hampir tertutup tanah, sehingga sukar dilihat dalam sepintas
saja.
"Hm...," pemuda itu bergumam pelan.
***
Suasana di Desa Kali Wungu semakin diliputi hawa maut.
Tewasnya Nyai Murad oleh seseorang yang belum diketahui, sepertinya merupakan
lanjutan dari malapetaka sebelumnya. Peristiwa mengerikan secara beruntun itu
kini menjadi pembicaraan hangat, di samping menimbulkan beberapa macam dugaan
dan pertanyaan. Tidak mudah untuk mencari pelaku dua pembunuhan itu. Apalagi
seminggu setelah tewasnya Nyai Murad, tidak ada lagi peristiwa mengerikan
terjadi. Dan para penduduk pun sudah mulai melupakannya.
Tapi tidak demikian dengan Ki Murad. Laki-laki tua itu tidak
pernah tenang. Karena, setelah peristiwa yang meminta nyawa istri dan anaknya,
dia selalu menerima ancaman. Setiap hari, kehidupannya selalu dihantui ancaman.
"Keparat...!" geram Ki Murad. Laki-laki tua
berjubah putih itu meremas daun lontar yang baru saja diterima dari salah
seorang muridnya. Daun lontar itu ditemukan menancap di ujung anak panah pada
tiang beranda depan rumahnya. Hampir setiap hari Ki Murad selalu menerima
ancaman yang bernada sama. Tapi tidak diketahui, siapa pengirim surat ancaman
itu.
Ki Murad memandangi muridnya yang berjumlah sepuluh orang.
Mereka rata-rata masih muda, dan berseragam biru tua. Di punggung masing-masing
tersampir sebilah pedang. Mereka duduk bersila dengan kepala tertunduk.
"Ini sudah jelas! Bajingan itu sengaja
mengincarku!" dengus Ki Murad menahan geram.
"Mungkin salah seorang dari musuh kita, Ki,"
celetuk salah seorang yang duduk paling kanan.
"Siapa pun dia, tidak boleh didiamkan terlalu
lama!"
"Benar, Ki!" sambut sepuluh murid Ki Murad
serempak.
"Mungkin inilah saatnya kalian harus berhadapan secara
sungguh-sungguh. Perlihatkan bakti kalian pada ku," ujar Ki Murad menatap
tajam murid-muridnya yang berjumlah sepuluh orang itu.
"Kami siap mengorbankan nyawa, Ki!" sahut sepuluh
orang pemuda itu serempak.
Ki Murad terangguk-angguk. Hatinya merasa bangga terhadap
kesetiaan muridnya yang hanya berjumlah sepuluh orang itu. Dia memang sengaja
tidak mengambil murid banyak-banyak. Baginya, jumlah yang sedikit bisa
menurunkan ilmunya lebih baik, dan bermutu tinggi. Murid-murid Ki Murad memang
terkenal cukup tangguh dalam ilmu olah kanuragan. Mereka rata-rata satu tingkat
di atas orang-orang Ki Danupaya.
"Hi hi hi...!" tiba-tiba saja terdengar suara tawa
mengikik.
Ki Murad langsung menggerinjang bangkit dari duduknya.
Demikian juga sepuluh orang muridnya, Sesaat mereka saling berpandangan. Dan
tanpa menunggu perintah lagi, sepuluh orang berpakaian biru tua itu berlompatan
ke luar. Ki Murad sendiri langsung melesat cepat bagaikan kilat melalui jendela
yang terbuka lebar. Mereka semua terperanjat begitu tiba di luar rumah yang
tidak begitu besar ini.
Tampak di tengah-tengah halaman yang tidak begitu luas,
berdiri seseorang berpakaian merah menyala sambil membawa sebatang tongkat.
Orang itu mengenakan tudung besar yang hampir menutupi wajahnya. Namun dari
bentuk tubuhnya yang terbungkus baju merah ketat, dapat dipastikan kalau orang
itu adalah wanita. Demikian pula kulit tangan dan kaki yang putih halus, sudah
menandakan kalau wanita itu masih berusia muda.
"Hm.... Siapa kau, Nisanak! Apa keperluanmu datang ke
tempatku?" tanya Ki Murad dengan tatapan mata tajam menusuk. Laki-laki tua
berjubah putih itu berdiri tegak di depan sepuluh orang muridnya yang berdiri
berjajar dan bersikap penuh kewaspadaan.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Ki Murad. Aku datang
untuk membunuhmu!" sahut orang itu ketus.
Srer! Sepuluh orang yang berada di belakang Ki Murad,
langsung mencabut pedangnya. Sementara orang bertudung bambu lebar itu
kelihatan tenang saja. Nampak bibirnya yang merah menyunggingkan senyuman tipis
mengejek. Ki Murad merentangkan tangannya sedikit, mencegah murid-muridnya agar
tidak bertindak gegabah.
Laki-laki tua berjubah putih itu memandangi wanita bercaping
yang mengenakan baju merah menyala itu. Sudah bisa ditebak kalau wanita itu
memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap remeh. Terbukti kedatangannya
secara terbuka dan langsung menantang.
"Aku tidak kenal siapa dirimu, Ni sanak. Mengapa
datang-datang ingin membunuhku?" nada suara Ki Murad masih terdengar
ramah, meskipun hatinya sudah geram.
"Karena kau berlaku curang!" masih bernada ketus
jawaban wanita itu.
"Curang...? Aku tidak mengerti maksudmu, Ni
sanak."
"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, karena tinggal
kau yang belum mampus!" Setelah berkata demikian, wanita berbaju merah
yang wajahnya hampir tertutup tudung bambu itu langsung menggerakkan
tongkatnya.
"Tunggu...!" sentak Ki Murad mencegah.
"Tidak ada waktu lagi, Ki Murad. Bersiaplah untuk mari!
Hiyaaat..!" Wanita itu langsung melompat sambil mengebutkan tongkatnya ke
depan. Sungguh dahsyat kebutan tongkat itu. Belum juga sampai ke arah sasaran,
angin kebutannya telah terasa menderu bagai angin topan.
"Hup!" Ki Murad bergegas melompat ke belakang, Dan
sepuluh orang muridnya langsung berlompatan ke samping, membentuk lingkaran
mengepung wanita berbaju merah itu.
Gagal dengan serangan pertamanya, wanita itu segera
menyerang dahsyat kembali. Ki Murad berlompatan, berkelit, menghindari sambaran
tongkat putih yang begitu dahsyat. Setiap kebutannya menimbulkan suara angin
menderu disertai hawa panas menyengat kulit.
Ki Murad sadar, kalau wanita itu sungguh-sungguh ingin
membunuhnya. Serangan-serangannya begitu dahsyat dan cepat luar biasa. Lengah
sedikit saja bisa berakibat fatal. Laki-laki berjubah putih itu melompat mundur
sejauh tiga batang tombak begitu ada kesempatan. Langsung dicabut pedangnya
yang selalu tergantung di pinggang. Pedang berwarna keperakan itu berkilatan
tertimpa cahaya matahari.
"Hiyaaat..!" Wanita berbaju merah itu kembali
menyerang disertai satu teriakan keras. Ki Murad bergegas mengangkat pedangnya,
menyampok tebasan tongkat putih berujung runcing itu. Tak pelak lagi, dua benda
beradu keras di udara.
Trang! Pijaran api memercik dari kedua senjata yang beradu
keras itu. Ki Murad langsung mengibaskan pedangnya ke bawah, namun wanita itu
cepat sekali memutar tongkatnya. Akibatnya, kembali dua senjata itu beradu,
hingga menimbulkan pijaran api memercik ke segala arah. Satu percikan api
menyambar atap rumah. Sepuluh orang murid Ki Murad, tersentak melihat kobaran
api mulai melahap atap rumah gurunya. Sejenak mereka berpandangan, lalu lima
orang bergegas berlompatan berusaha memadamkan api yang mulai membesar itu.
Sementara Ki Murad masih bertarung sengit melawan wanita
berbaju merah. Jurus demi jurus berlalu cepat, tapi wanita berbaju merah dan
bercaping besar itu masih juga tangguh. Bahkan jurus-jurusnya semakin dahsyat
dan berbahaya. Beberapa kali Ki Murad harus berpelantingan di udara,
menghindari terjangan lawannya. Hingga suatu saat...
"Akh...!" tiba-tiba saja Ki Murad terpekik keras
tertahan. Satu tendangan telak, tepat mendarat di dada laki-laki tua itu,
hingga terjengkang sejauh dua batang tombak ke belakang. Saat Ki Murad terhuyung-huyung,
wanita itu sudah melompat sambil mengibaskan tongkatnya yang berujung runcing.
"Hiyaaat..!"
"Uts!" Buru-buru Ki Murad mengegoskan tubuhnya.
Tapi ujung tongkat berwarna putih itu masih juga menggores bahunya. Darah
langsung merembes ke luar. Ki Murad kembali terhuyung, melangkah mundur
beberapa tindak.
"Mampus kau! Hiyaaat..!" teriak wanita itu
melengking tinggi. Bagaikan kilat, wanita berbaju merah itu melompat cepat
menghunus ujung tongkat ke arah dada.
Saat itu keadaan Ki Murad tidak menguntungkan sama sekali.
Rasanya tidak ada waktu untuk menghindar. Laki-laki tua itu terperangah sambil
membeliakkan matanya. Cepat sekali ujung tongkat putih itu mengarah ke dadanya.
Namun belum juga ujung tongkat itu mengenai dada Ki Murad, tiba-tiba sebuah
bayangan berkelebat bagaikan kilat. Dan...
Trak! "Akh!" wanita itu memekik tertahan, dan
tubuhnya mencelat ke belakang.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan Ki Murad sudah
berdiri seorang pemuda memakai baju putih tanpa lengan. Bagian dadanya
dibiarkan terbuka lebar. Sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger di
punggungnya.
"Keparat..!" geram wanita itu. Wanita berbaju
merah itu langsung melompat sambil berteriak keras. Cepat sekali dikebutkan
tongkatnya, sehingga yang terlihat hanya bayangan putih berkelebat mengarah ke
tubuh pemuda berbaju rompi putih itu.
Namun manis sekali pemuda itu mengelakkannya. Bahkan saat
tangan kanannya bergerak mengibas, wanita itu memekik keras tertahan. Kembali
wanita itu terdorong ke belakang beberapa langkah. Tampak dari sudut bibirnya
mengalir darah kental. Sebelah tangan memegangi dadanya. Rupanya kibasan tangan
pemuda berbaju rompi putih itu tepat mengenai dadanya. Wanita itu menggeram
marah.
"Phuih!" wanita itu menyemburkan ludahnya.
Tiba-tiba saja tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat, dan tahu-tahu lenyap di
antara pepohonan yang rimbun di samping rumah Ki Murad. Pemuda berbaju rompi
putih itu mendesah panjang, lalu membalikkan tubuhnya menghadap pada laki-laki
tua berjubah putih itu. Dibungkukkan tubuhnya sedikit kemudian kembali diputar
tubuhnya. Kini kakinya melangkah pergi tanpa berkata-kata sedikit pun.
"Tunggu...!" seru Ki Murad mencegah.
Pemuda berbaju rompi putih itu menghentikan langkah, dan
memutar tubuhnya. Kembali dia menghadap ke arah Ki Murad yang masih tetap
berdiri pada tempatnya.
"Rasanya kita pernah bertemu. Hm.... Siapa kau, Anak
Muda?" tanya Ki Murad setengah bergumam.
Pemuda tampan berbaju rompi putih itu hanya tersenyum saja.
Sedangkan Ki Murad melangkah menghampiri. Sementara lima orang murid laki-laki
berjubah putih yang berusaha memadamkan api, sudah menyelesaikan pekerjaannya.
Untung saja hanya bagian atap depan yang terbakar, dan tidak sampai merambat
lebih jauh lagi. Mereka segera bergabung dengan yang lainnya.
Ki Murad baru teringat. Dia memang pernah bertemu pemuda
yang tadi telah menyelamatkan nyawanya. Ya..., dia ingat! Mereka bertemu di
tepi padang di Kaki Bukit Mangun. Laki-laki tua itu juga melihat pemuda itu
saat. istrinya ditemukan tewas terbunuh di tepi hutan. Ki Murad kemudian
mengajaknya ke dalam rumah, dan pemuda itu tidak bisa menolak. Mereka kemudian
duduk di ruangan tengah. Sementara sepuluh orang murid Ki Murad, membetulkan
atap yang hangus terbakar.
"Kalau tidak salah, kau pernah menyebutkan namamu.
Hm.... Rangga.... Benar bukan?" tebak Ki Murad mencoba mengingat-ingat.
"Benar, Ki," sahut pemuda itu mengangguk ramah.
"Ah...! Kau seorang pengembara, dan kepandaianmu tinggi
sekali. Aku senang bisa berkenalan lebih dekat lagi denganmu," ujar Ki
Murad.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Kau bisa mengusir bajingan itu. Tentu kepandaianmu
lebih tinggi darinya...," sambung Ki Murad lagi.
"Ah! Hanya kebetulan saja, Ki," sahut Rangga
merendah.
"Nak Rangga, dari manakah asalmu? Apakah kedatanganmu
ke sini karena memang ada keperluan?" tanya Ki Murad tanpa bermaksud
menyelidik.
"Hanya kebetulan lewat saja, Ki. Dan asalku tidak
tentu," sahut Rangga ramah. Tentu saja tidak ingin diungkapkan tentang
diri sebenarnya.
"Kau seorang pengembara berkepandaian tinggi. Tentu kau
seorang pendekar. Apa julukanmu, Nak Rangga?" tanya Ki Murad ingin tahu.
"Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rangga.
"Oh...!" seketika bola mata Ki Murad berbinar
begitu mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki tua berjubah putih itu
memandangi pemuda di depannya tanpa berkedip. Sepertinya ingin dipastikan kalau
pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya tadi adalah seorang pendekar yang sudah
ternama dan sangat digdaya. Apalagi dicari tandingannya. Pendekar yang sangat
disegani, baik lawan maupun kawan. Ki Murad hampir tidak percaya kalau kini
tengah duduk bersama seorang pendekar yang selalu menjadi buah bibir
orang-orang rimba persilatan.
"Ada apa, Ki? Apa ada yang aneh pada diriku?"
tegur Rangga merasa jengah dipandangi seperti itu.
"Oh, tidak.... Hanya aku...," Ki Murad jadi
tergagap.
"Kenapa, Ki?" desak Rangga.
"Aku merasa mendapat kehormatan karena kedatangan
seorang pendekar besar dan digdaya. Namamu sering kudengar, dan aku selalu
mengagumi segala sepak terjangmu yang sudah banyak membasmi
keangkaramurkaan," ungkap Ki Murad sambil tersenyum bangga karena bisa duduk
bersama dan berbincang-bincang dengan seorang pendekar ternama saat ini.
"Kau terlalu memujiku, Ki," ucap Rangga agak
tersipu.
"Aku berkata sebenarnya, Nak Rangga. Sudah sepatutnya
aku menyambutmu penuh rasa hormat. Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti itu hanya
tersenyum saja. Memang tidak disangkal kalau namanya saat ini selalu menjadi
buah bibir orang-orang rimba persilatan. Bahkan biasanya, mereka langsung
mengenali begitu berhadapan dengannya. Dengan baju rompi putih dan pedang
bergagang kepala burung di punggung, adalah menjadi satu ciri khas Pendekar
Rajawali Sakti.
"Seharusnya kau bisa ku kenali saat pertama kali
bertemu, Nak Rangga. Tapi memang dasar sudah tua, dan...," suara Ki Murad
terputus.
Rangga mengernyitkan keningnya melihat perubahan pada air
muka laki-laki tua di depannya. Mendadak saja Ki Murad jadi merenung dan
wajahnya mendung. Sedangkan bola matanya berkaca-kaca. Tapi itu hanya sebentar.
Ki Murad menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat, seakan hendak
melepaskan ganjalan yang tiba-tiba membuat dadanya sesak.
"Nampaknya kau sedang dilanda kesulitan, Ki," ujar
Rangga hari-hati.
"Hhh...!" Ki Murad hanya mendesah panjang.
Laki-laki tua berjubah putih itu menatap Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam.
Beberapa kali ditarik napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat, tapi tidak
ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dan Rangga juga tidak ingin mendesak,
dan hanya diam memperhatikan raut wajah yang selalu berubah-ubah itu. Wajah
yang terselimut kabut hitam.
***
TIGA
Malam baru saja menyelimuti bumi, namun suasana di Desa Kali
Wungu telah demikian sunyi. Suasana yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Keadaan yang mencekam itu dikarenakan dalam beberapa hari ini terjadi
pembunuhan terhadap orang-orang Ki Danupaya. Terlebih lagi setelah peristiwa
pahit yang menimpa Ki Murad. Laki-laki tua itu hampir tewas kalau saja tidak
ditolong Pendekar Rajawali Sakti.
Malam gelap terselimut kabut ini begitu sunyi. Tidak
terlihat seorang pun di luar rumah. Namun di jalan yang tidak terlalu besar dan
berdebu, terlihat seseorang berpakaian merah menyala tengah berjalan sambil
membawa tongkat putih yang terayun-ayun di sampingnya. Jika dilihat dari kulit
tangan dan bentuk tubuhnya, jelas orang itu pastilah wanita. Hanya saja
wajahnya tidak terlihat karena hampir tertutup tudung tikar yang cukup besar.
Orang itu berjalan ringan, dan pandangannya lurus ke depan.
"Berhenti...!" tiba-tiba terdengar suara bentakan
keras.
Wanita berbaju merah yang bertudung tikar di kepalanya itu
langsung berhenti melangkah. Dia hanya menoleh sedikit saat telinganya
mendengar langkah kaki dari arah belakangnya.
"Hm.... Dua tikus Danupaya...," gumam wanita itu
pelahan.
Dan memang benar. Dua orang anak buah Ki Danupaya tengah
menghampiri dan langsung menghadang di depan wanita bertudung tikar pandan itu.
Masing-masing menggenggam gagang golok yang ma-sih terselip di pinggang.
"Siapa kau? Malam-malam begini masih ke-luyuran!"
bentak salah seorang yang berkumis lebat.
"Hm...," wanita itu hanya menggumam saja. Dan,
tiba-tiba saja wanita itu bergerak cepat seraya mengibaskan tongkatnya bagaikan
kilat.
Dua orang anak buah Ki Danupaya terperanjat kaget, karena
tiba-tiba orang di depannya menyerang tanpa berkata-kata lagi. Dan belum sempat
melakukan sesuatu, ujung tongkat wanita itu sudah menyambar leher mereka. Dua
jeritan panjang melengking terdengar hampir bersamaan. Sesaat kemudian, dua
sosok tubuh menggelepar di tanah dengan leher hampir putus dan mengucurkan
darah segar.
Wanita bertudung bambu itu memandangi sebentar, lalu kembali
melangkah tenang setelah dua orang yang menghadangnya tidak bergerak-gerak
lagi. Jeritan menyayat dari dua orang anak buah Ki Danupaya, rupanya
mengejutkan semua penduduk Desa Kali Wungu ini. Tapi tidak ada seorang pun yang
berani ke luar. Mereka hanya mengintip saja dengan mata membeliak lebar begitu
mendapati dua sosok mayat menggeletak.
Apalagi saat mendapati pula seorang wanita berbaju merah dan
bertudung besar tengah berjalan ringan menuju kediaman Ki Danupaya. Rumah besar
milik saudagar kaya itu memang sudah tidak seberapa jauh lagi. Dan tentu saja,
jeritan panjang melengking tadi terdengar jelas sampai ke sana. Tampak pintu
gerbang yang semula tertutup rapat, seketika terbuka. Maka berhamburanlah
sekitar sepuluh orang dan dalam pintu pagar bagai benteng itu.
Tapi belum juga mereka jauh meninggalkan tempat itu,
mendadak wanita berbaju merah menyala itu sudah melentingkan tubuhnya cepat.
Dan seketika saja terdengar jeritan-jeritan melengking saat bayangan merah
disertai kilatan cahaya putih berkelebatan bagai kilat ke arah sepuluh orang
yang baru keluar dari gerbang kediaman Ki Danupaya. Sukar dipercaya. Dalam
waktu singkat saja, sepuluh orang itu sudah tergeletak tak bernyawa dengan
leher koyak hampir buntung. Dan wanita berbaju merah itu kembali melangkah
tenang, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu pada dirinya. Langkahnya
ringan mendekati pintu gerbang kediaman Ki Danupaya.
"Hm...," wanita itu bergumam pelan. Tiba-tiba saja
tubuhnya melesat ke udara, lalu mendadak lenyap tanpa bekas. Sungguh tinggi
ilmu meringankan tubuhnya. Bisa bergerak cepat melebihi kilat. Bayangannya saja
sudah lenyap tak terlihat lagi. Tak ada seorang pun yang tahu, ke mana arah perginya.
Bahkan orang-orang di atas pagar yang sudah siap membidik anak panah, jadi
bengong keheranan. Mereka mencari-cari tanpa meninggalkan tempatnya. Namun
orang berbaju merah itu seperti lenyap ditelan bumi.
Ki Danupaya terperanjat begitu menerima laporan sepuluh
orang anak buahnya tewas. Lebih terkejut lagi saat mendengar orang yang
membunuhnya lenyap di depan pintu gerbang rumahnya. Laki-laki setengah baya itu
bergegas menuju ke kamar istrinya yang selalu mengurung diri di dalam kamar,
sejak putri mereka diculik saat pesta pernikahannya. Hingga kini belum ada
kabar berita tentang hilangnya Nurmi yang tanpa jejak sama sekali. Ki Danupaya
menggedor keras pintu kamar istrinya. Memang keselamatan istrinya selalu
dikhawatirkan sejak terbunuhnya istri Ki Murad di tepi hutan.
"Nyai...! Buka pintunya, Nyai...!" seru Ki
Danupaya keras sambil menggedor pintu kamar itu.
Tidak ada sahutan sama sekali. Ki Danupaya semakin cemas. Di
gedornya pintu itu semakin keras, sambil terus memanggil istrinya agar membuka
pintu. Agak lama juga, dan akhirnya pintu kamar itu terbuka pelahan. Tampak
seorang wanita yang belum begitu tua usianya berdiri di ambang pintu. Wanita
yang berusia sekitar tiga puluh delapan tahun itu menggeser ke samping. Ki
Danupaya menerobos masuk, langsung menghampiri jendela yang terbuka sedikit. Di
longoknya keadaan di luar, lalu ditutup jendela itu rapat-rapat. Ki Danupaya
menghampiri wanita yang hanya mengenakan kemben saja.
"Ada apa, Kakang?" lembut suara Nyai Danupaya
bertanya.
"Si Keparat itu ada di sini. Aku cemas terhadap mu,
Nyai," sahut Ki Danupaya.
"Tidak ada siapa-siapa di sini," kata Nyai
Danupaya. "Lagi pula, apa yang diinginkan di sini?"
"Aku tidak tahu. Yang jelas dia telah membunuh sepuluh
orang anak buahku," kata Ki Danupaya.
Nyai Danupaya mendesah panjang. Dihampirinya pembaringan,
dan direbahkan dirinya di sana. Ki Danupaya menghampiri dan duduk di tepi
pembaringan. Di pandanginya wajah istrinya yang nampak lesu dengan sinar mata
redup tanpa gairah. Meskipun Nurmi bukan anak kandungnya, tapi Nyai Danupaya
sangat menyayangi. Dia adalah istri muda Ki Danupaya. Sedangkan ibu Nurmi
sendiri telah meninggal saat anak itu berusia tujuh tahun. Dan Nyai Danupaya
sendiri masih memiliki seorang anak gadis yang baru berusia delapan belas tahun,
yang saat ini bersama kakeknya di Pertapaan Jati Wangi.
Ki Danupaya menoleh saat mendengar suara ketukan di pintu.
Dan pintu kamar itu memang tidak tertutup. Seorang laki-laki muda berdiri di
ambang pintu, lalu menjura memberi hormat. Ki Danupaya hanya menganggukkan
kepalanya sedikit.
"Semua penjaga sudah disebar, Gusti. Tapi orang itu
tidak ada. Mungkin sudah pergi," lapor pemuda itu.
"Kalau begitu, lipat gandakan penjagaan. Terutama di
sekitar rumah ini!" perintah Ki Danupaya.
"Baik, Gusti," sahut pemuda itu seraya membungkuk
memberi hormat.
Ki Danupaya mengibaskan tangannya sedikit, maka pemuda itu
bergegas pergi. Segera ditutupnya pintu kamar ini. Ada sedikit desahan
terdengar dari hidung laki-laki setengah baya itu. Sementara Nyai Danupaya masih
terbaring dengan mata menerawang jauh ke langit-langit kamar.
"Sudahlah, Nyai. Aku pun tidak tinggal diam begitu
saja. Kita berdoa saja, mudah-mudahan anak kita selamat," kata Ki Danupaya
mencoba menghibur.
"Bisa kau biarkan aku sendiri saja, Kakang?" pinta
Nyai Danupaya.
Ki Danupaya merayapi wajah istrinya sesaat, kemudian bangkit
berdiri dan melangkah ke luar. Sedangkan Nyai Danupaya masih terbaring. Matanya
kembali menerawang jauh, menatap langit-langit kamar. Sedikit pun kepalanya
tidak berpaling meskipun mendengar suara pintu kamar tertutup kembali. Suasana
di dalam kamar kembali sunyi, tanpa terdengar satu suara pun.
***
Malam terus merambat semakin larut. Suasana di Desa Kali
Wungu semakin terasa sepi. Sementara orang-orang Ki Danupaya menjaga penuh
kewaspadaan. Tidak jauh dari rumah besar saudagar kaya itu terlihat seseorang
berdiri di bawah pohon, terlindung dari cahaya sang dewi malam. Seorang
laki-laki muda yang wajahnya cukup tampan. Rambut yang sebatas bahu, tergerai
sedikit tergulung ke atas dengan ikat kepala berwarna putih.
Udara malam yang dingin, bagai tidak terasa meskipun pemuda
itu hanya mengenakan baju rompi putih yang bagian dadanya dibiarkan terbuka
lebar. Dia tetap berdiri tegak merapatkan tubuhnya di batang pohon yang melindunginya
dari cahaya bulan. Sedikit pun matanya tidak berkedip mengamati rumah besar
yang dijaga cukup ketat itu. Setiap ada gerakan, selalu menjadi perhatiannya.
"Hm... Dia tidak keluar lagi..," pemuda berbaju
rompi putih itu bergumam pelan. Pandangan matanya beralih ke ujung jalan ketika
mendengar suara derap seekor kuda putih yang dipacu cepat melintasi jalan
berdebu. Derap kaki kuda menghantam tanah, terdengar keras di malam yang sepi
ini. Pemuda itu mengernyitkan dahinya saat mengenali penunggang kuda putih itu.
"Ki Murad... Mau apa ke sini...?" bisiknya pelan.
Penunggang kuda putih itu memang Ki Murad. Seorang laki-laki
tua yang selalu mengenakan jubah putih panjang. Sebilah pedang tergantung di
pinggangnya. Sementara pemuda berbaju rompi putih yang masih berdiri di bawah
pohon, terus saja mengawasi. Kerut di keningnya semakin dalam saat mengetahui
penunggang kuda itu menuju rumah Ki Danupaya. Dua orang penjaga pintu gerbang,
bergegas membuka pintu begitu melihat Ki Murad datang. Tanpa menghentikan laju
kudanya, laki-laki tua berjubah putih itu terus menerobos masuk.
Pada saat itu, pemuda berbaju rompi putih yang lebih dikenal
sebagai Pendekar Rajawali Sakti, melesat tinggi ke udara. Dan dengan manisnya
hinggap di atas dahan yang cukup tinggi. Dari dahan pohon ini bisa terlihat
jelas ke bagian dalam halaman besar yang dikelilingi tembok tinggi bagai
benteng itu. Tampak Ki Murad melompat turun dari kudanya setelah sampai di
depan beranda yang disangga dua buah pilar.
Dari dalam muncul Ki Danupaya yang langsung menyongsongnya.
Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. Sementara di atas pohon tidak
jauh dari tembok benteng, Pendekar Rajawali Sakti masih mengamati. Pemuda
berbaju rompi putih itu mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara' untuk
mendengarkan pembicaraan dua orang yang cukup disegani di Desa Kali Wungu ini.
"Dia sudah berani menjarah ke sini lagi, Kakang
Murad," terdengar suara Ki Danupaya.
"Hm..., ya. Aku sudah dengar. Itu sebabnya aku langsung
cepat-cepat ke sini," sahut Ki Murad setengah bergumam.
"Oh! Dari mana kau tahu?" Ki Danupaya agak terkejut.
Begitu cepat kabar yang sampai, sehingga Ki Murad bisa cepat mengetahui.
Padahal jarak dari rumah ini ke rumah Ki Murad cukup jauh.
"Seorang muridku melihat kejadian di luar sana, dan
langsung melaporkannya padaku," sahut Ki Murad kalem.
"Sepuluh orang, Kakang. Ditambah dua orang yang sedang
meronda," lirih suara Ki Danupaya.
"Yang kita hadapi sekarang orang berilmu tinggi, Adi
Danupaya. Dia juga sudah mendatangiku, bahkan hampir saja aku tewas."
"Oh...!" lagi-lagi Ki Danupaya tersentak kaget.
"Tapi seorang pendekar menyelamatkan nyawaku,"
lanjut Ki Murad.
"Siapa dia, Kakang?" tanya Ki Danupaya.
"Pemuda yang kita jumpai di padang rumput dekat Bukit
Mangun," sahut Ki Murad lagi.
Ki Danupaya terdiam dengan kepala agak tertunduk. Keningnya
sedikit berkerut, berusaha mengingat-ingat pemuda yang ditemui di padang rumput
dekat Bukit Mangun. Seorang pemuda berwajah tampan dengan ikat kepala putih dan
rambut meriap sedikit tergelung ke atas. Baju rompinya berwarna putih, dan
gagang pedang berbentuk kepala burung menyembul dari balik punggungnya. Agak
lama juga Ki Danupaya berdiam diri sambil mengingat-ingat. Dan akhirnya
teringat juga. Dia pernah bertemu pemuda itu saat kematian istri Ki Murad di
tepi hutan. Pelahan-lahan Ki Danupaya mengangkat kepalanya, langsung menatap
pada laki-laki tua berjubah putih yang duduk di depannya.
"Namanya Rangga. Dia terkenal dengan julukan Pendekar
Rajawali Sakti," kata Ki Murad, seakan bisa membaca arti pandangan Ki
Danupaya.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Ki Danupaya
pelan. Begitu pelannya, hampir tidak terdengar suaranya.
"Pernah kau dengar nama itu, Adi Danupaya?" dalam
sekali nada suara Ki Murad.
"Ya. Aku sering mendengar tentang seorang pendekar yang
selalu menumpas keangkaramurkaan. Tapi..., ah! Rasanya aku tidak
yakin...," Ki Danupaya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kau akan percaya kalau sudah berbicara dengannya, Adi
Danupaya. Tapi sayang..., dia sudah pergi," ujar Ki Murad.
"Apakah kau minta bantuannya, Kakang?" tanya Ki
Danupaya setelah agak lama berdiam diri saja.
"Tidak," sahut Ki Murad pelan.
"Kenapa? Saat ini kita benar-benar sedang membutuhkan
bantuan seorang pendekar digdaya. Mengapa sekarang kau sia-siakan kehadiran
seorang pendekar digdaya hadir di desa ini? Kalau kau yakin pemuda itu Pendekar
Rajawali Sakti, kenapa tidak meminta bantuannya? Aku yakin, kalau memang
benar-benar Pendekar Rajawali Sakti, dia pasti bersedia membantu sekaligus
melenyapkan si keparat itu!"
"Aku rasa belum perlu, Adi Danupaya."
"Belum perlu katamu...?!" Ki Danupaya terperanjat
"Orang yang kita hadapi berilmu sangat tinggi, Kakang. Aku sendiri belum
tentu mampu menandinginya. Kau lihat, dua belas orang anak buahku tewas hanya
dalam waktu singkat. Bahkan dia bisa menghilang seperti setan!" agak keras
nada suara Ki Danupaya.
"Kau mulai panik, Adi Danupaya...," pelan suara Ki
Murad.
"Aku tidak tahu." dengus Ki Danupaya. "Yang
jelas, setiap hari aku selalu diliputi ketegangan. Coba kau lihat istriku tidak
pernah lagi ke luar kamar sejak Nurmi hilang. Hanya denganku saja mau bicara,
itu pun hanya sebentar! Benar-benar seperti berada di dalam neraka
saja...!" keluh Ki Danupaya.
"Bukan hanya kau. Tapi seluruh penduduk desa ini merasa
begitu. Terlebih lagi aku, Adi Danupaya. Istri dan anakku tewas!"
Ki Danupaya terdiam menundukkan kepalanya. Memang masih saja
disesali sikap Ki Murad yang tidak meminta bantuan Pendekar Rajawali Sakti.
Padahal, pendekar muda dan digdaya itu ada di desa ini. Meskipun belum yakin
kalau pemuda berbaju rompi putih itu adalah Pendekar Rajawali Sakti, tapi pada
saat seperti ini benar-benar dibutuhkan seseorang yang berkemampuan tinggi
untuk menghadapi perusuh yang sudah mengambil nyawa beberapa orang, dan membuat
semua orang resah.
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti yang berada di atas dahan
di luar pagar benteng, telah mendengar semua pembicaraan kedua orang itu.
Pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih itu, melesat turun dengan
gerakan indah tanpa suara sedikit pun. Hanya sekali lesatan saja, pemuda itu
sudah lenyap ditelan kegelapan malam, bersamaan keluarnya Ki Murad dari rumah
besar kediaman Ki Danupaya.
***
Ki Murad memacu kudanya dengan kecepatan tinggi ke arah
Timur. Kuda putih itu berlari bagai dikejar setan. Hentakan kakinya yang
menyepak debu, terdengar keras memecah keheningan malam yang gelap ini.
"Heh...!" tiba-tiba saja laki-laki tua berjubah
putih itu tersentak kaget. Kuda putih yang ditungganginya meringkik keras
sambil mengangkat kedua kaki depannya. Setengah mati Ki Murad mencoba
mengendalikannya, tapi kuda putih itu jadi semakin liar. Kuda itu terus
meringkik keras dan berlompatan bagai melihat hantu.
"Hup!" Ki Murad melompat turun, ketika kuda
putihnya ambruk. Tampak sebuah benda berbentuk mata tombak menancap di leher
kuda itu. Sejenak Ki Murad memandangi, namun tiba-tiba saja dikejutkan oleh
suara tawa mengikik.
"Hi hi hi..!"
Laki-laki tua berjubah putih itu langsung melompat mundur
ketika tiba-tiba saja sebuah bayangan merah berkelebat di depannya. Tahu-tahu
di situ sudah berdiri seseorang berpakaian ketat berwarna merah menyala. Hampir
seluruh kepalanya tertutup tudung besar sehingga wajahnya hampir tak terlihat.
Hanya bagian bibir dan dagu saja yang tampak.
"Kau lagi...!" dengus Ki Murad langsung bersiaga.
"Kali ini tak ada yang bisa menyelamatkan nyawamu, Ki
Murad!" tegas wanita berbaju merah itu dingin.
"Hm...," Ki Murad hanya menggumam saja.
"Bersiaplah untuk mati, tua bangka!"
"Tunggu...!" sentak Ki Murad keras.
"Kau ingin memperlambat kematianmu, Ki Murad...?!"
dengus wanita itu dingin.
"Ni sanak, mengapa kau begitu ingin membunuh ku? Siapa
kau sebenarnya?" tanya Ki Murad masih diliputi rasa penasaran terhadap
orang berbaju merah yang wajahnya selalu ditutupi tudung besar itu.
"Sudah kukatakan, tua bangka! Kau tidak perlu tahu
siapa diriku!" bentak wanita berbaju merah itu ketus.
"Hm..., kau selalu menyembunyikan diri di balik tudung
bambu. Apa maksudmu sebenarnya, Ni sanak?" Ki Murad masih juga mendesak.
"Membunuhmu! Hiyaaa...!" Wanita bertudung itu
langsung melompat sambil mengebutkan tongkat putihnya. Kebutan yang begitu
dahsyat menimbulkan suara angin menderu bagai badai.
Ki Murad bergegas melompat mundur sambil mencabut pedangnya.
Cepat sekali dikibaskan pedangnya, mengganjal serangan tongkat putih itu.
Trang! Satu benturan keras terjadi, dan mereka sama-sama
berlompatan mundur sejauh beberapa langkah, namun kembali berlompatan saling
menyerang. Ki Murad yang menyadari kalau lawannya tidak main-main, tidak ingin
ambil resiko. Langsung saja digunakan jurus-jurus yang dahsyat dan mematikan.
Gerakan-gerakan laki-laki tua berjubah putih itu demikian cepat, sukar diikuti
mata biasa.
Namun wanita berbaju merah yang tidak pernah membuka
tudungnya itu, dapat mengimbangi. Bahkan tidak jarang membalas serangan dalam
keadaan sulit sekalipun. Jurus-jurus yang di gunakannya juga tidak kalah
dahsyat. Setiap serangan yang dilancarkan mengandung hawa maut. Jurus demi
jurus berlalu cepat. Tidak terasa, lebih dari dua puluh jurus telah terlewati.
Tapi sejauh ini belum ada seorang pun yang kelihatan terdesak. Masing-masing
sudah mengeluarkan jurus-jurus andalannya.
Pertarungan itu disertai gerakan yang cepat luar biasa,
sehingga yang terlihat hanya dua bayangan merah dan putih berkelebatan saling
sambar dalam kegelapan malam. Tempat sekitar pertarungan sudah tidak berbentuk
lagi. Pohon-pohon tumbang, dan batu-batuan pecah berantakan. Belum bisa
dipastikan, siapa yang bakal unggul dalam pertarungan itu. Dan sekarang mulai terlewati
jurus ketiga puluh, namun masih belum juga ada tanda-tanda yang terdesak.
Ki Murad yang pernah bertarung melawan wanita ini, dan
hampir saja tewas, tidak sudi bermain-main lagi. Sudah bisa diukur tingkat
kepandaian lawannya. Paling tidak, seimbang atau setingkat lebih tinggi darinya
atau malah sebaliknya. Hal ini sangat disadarinya. Tapi wanita berbaju merah
yang tidak pernah melepaskan tudungnya, sepertinya juga menyadari kalau
lawannya sangat tangguh. Dia bertarung sangat hati-hati, meskipun gerakannya
cepat luar biasa. Jurus-jurusnya juga demikian dahsyat, sukar untuk diketahui
arah serangannya.
Beberapa kali Ki Murad kecolongan. Bahkan hampir tewas di
ujung tongkat putih itu, tapi masih mampu diatasi. Sesekali masih mampu pula
dia membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Kini mereka bukan lagi bertarung
menggunakan jurus-jurus, tapi sudah masuk pada adu ilmu kesaktian. Pada saat
memasuki ajian yang ke sepuluh, mendadak Ki Murad tersentak kaget.
"Heh...!" "Hiyaaa...!" Wanita bertudung
itu sudah melancarkan serangannya. Tampak dari ujung tongkat putihnya meluncur
seberkas sinar kuning kemerahan. Sinar itu langsung meluruk ke arah Ki Murad
yang tengah terkesiap.
"Hup!" Bergegas laki-laki tua berjubah putih itu
melompat menghindar, tapi gerakannya terlambat. Akibatnya sinar kuning
kemerahan itu menghantam bahu kanannya. Ki Murad terpekik tertahan, dan
tubuhnya terlontar jauh menabrak dua batang pohon hingga tumbang. Ki Murad
berusaha bangkit, tapi langsung memuntahkan darah kental kekuningan. Seluruh
tangan kanannya terasa kaku dan sukar digerakkan.
"Ha ha ha...! Mampus kau, tua bangka...!" wanita
itu tertawa terbahak-bahak.
"Phuih! Siapa kau? Ada hubungan apa kau
dengan...." Tapi sebelum habis ucapan Ki Murad, wanita berbaju merah itu
sudah melompat sambil menghujamkan ujung tongkatnya. Ki Murad cepat
menggulirkan tubuhnya ke samping, maka ujung tongkat itu menancap di tanah.
Tapi cepat sekali wanita itu memutar tubuhnya, dan kembali menyerang ganas.
Trak! Tiba-tiba saja, di saat ujung tongkat wanita Itu
hampir menghunjam dada Ki Murad, mendadak sebuah bayangan berkelebat. Langsung
bayangan itu membuat tongkat wanita itu terpental balik. Disusul pekikan
tertahan. Bergegas wanita berbaju merah itu melompat mundur sambil buru-buru
menyilangkan tongkatnya di depan dada. Sementara Ki Murad berusaha bangkit
meskipun sebagian tubuhnya mulai terasa kaku. Tampak di depannya berdiri
seorang pemuda berambut panjang. Pakaiannya rompi putih dengan gagang pedang
berkepala burung menyembul dari punggungnya.
"Rangga...," desis Ki Murad mengenali pemuda itu.
"Setan belang...! Lagi-lagi kau halangi maksud
ku!" dengus wanita itu geram.
"Hm.... Seorang pendekar sejati tidak akan menganiaya
orang tua yang sudah tidak berdaya lagi," ujar Rangga lembut.
"Phuih! Kemarin aku menghindar karena tidak ingin ada
orang lain ikut campur urusanku. Tapi kau terlalu congkak untuk diberi ampun,
anak setan!" geram wanita itu sengit.
"Dan aku pun tidak akan ikut campur jika kau tidak
bertindak kejam, Ni sanak," sahut Rangga. kalem.
"Phuih! Seharusnya kau mampus, anak setan! Tapi waktuku
terlalu berharga untuk mengurusi mu!" wanita itu menoleh pada Ki Murad.
"Dan kau, tua bangka! Kali ini kau boleh merasa beruntung!" Setelah
berkata demikian, wanita berbaju merah itu melesat cepat dan langsung lenyap
menembus kegelapan malam.
Rangga menarik napas panjang, kemudian memutar tubuhnya
menghadap Ki Murad yang berdiri bertopang pada pedangnya. Pendekar Rajawali
Sakti itu menghampiri, lalu memeriksa luka di bahu Ki Murad. Tampak bahu kanan
laki-laki tua itu seperti hangus terbakar. Jubah putih di bagian bahunya koyak
bagai termakan api.
"Lukamu cukup parah, Ki," ujar Rangga seraya
membantu Ki Murad duduk bersandar di pohon yang tumbang.
"Apa yang akan kau lakukan, Nak?" tanya Ki Murad
saat Rangga menyobek baju di bahu kanannya.
"Akan ku coba mengurangi lukamu," sahut Rangga.
"Percuma saja, Nak. Tidak ada yang bisa menyembuhkan
luka dari.... Akh!" ucapan Ki Murad terputus.
Saat itu Rangga menepuk pundak yang hangus bagai terbakar
itu. Tampak tangan yang menempel erat di bahu itu bergetar. Ki Murad meringis
merasakan hawa panas yang menjalar dari bahunya. Seketika darah berwarna
kekuningan merembes keluar dari bahunya.
"Akh...!" Ki Murad memekik keras. Laki-laki tua
itu terkulai, dan langsung jatuh pingsan.
***
EMPAT
Hangatnya sinar matahari membangunkan Ki Murad dari
pingsannya. Laki-laki tua itu mulai merintih, dan menggeleng-gelengkan
kepalanya setelah semalaman tidak sadarkan diri. Ki Murad menggerinjang
berusaha bangkit berdiri, tapi sebuah tangan mencegahnya. Laki-laki tua
berjubah putih itu kembali berbaring. Sebentar dikerjapkan matanya, memandang
seraut wajah tampan di dekatnya.
"Nak Rangga, berapa lama aku pingsan?" tanya Ki
Murad pelan.
"Semalaman," sahut Rangga.
"Uh!" Ki Murad mencoba bangkit.
"Berbaringlah dulu, Ki. Biarkan darahmu mengalir lebih
baik lagi," kata Rangga tanpa mencegah lagi.
"Uh! Bagaimana bisa kau sembuhkan aku, Rangga?"
tanya Ki Murad setelah bisa duduk bersandar di pohon tumbang.
"Hanya dengan hawa mumi," sahut Rangga diiringi
senyuman tipis. "Lukamu cukup parah, tapi belum terlambat untuk
disembuhkan."
"Terima kasih," ucap Ki Murad, hampir tidak
terdengar suaranya.
Rangga merayapi wajah laki-laki tua itu yang mendadak saja
jadi mendung. Pendekar Rajawali Sakti itu menggeser duduknya lebih mendekat
"Ada apa, Ki?" tanya Rangga ingin tahu.
"Entahlah...!" desah Ki Murad berat "Aku
tidak yakin...."
"Apa yang dipikirkan, Ki?" desak Rangga.
"Orang itu," sahut Ki Murad pelan.
"Yang melukaimu?"
"Ya. Aku kenal betul aji 'Mata Kilat' yang melukai ku.
Aku begitu terpana, sehingga tidak keburu menghindar lagi. Aku tidak tahu, ada
hubungan apa dia dengan Dewi Iblis...," nada suara Ki Murad terdengar
bergumam.
"Siapa Dewi Iblis itu?" tanya Rangga semakin ingin
tahu.
"Seorang tokoh wanita yang sangat tinggi kepandaiannya.
Sampai saat ini belum ada yang bisa menandinginya. Tapi...," ucapan Ki
Murad terputus.
"Kenapa, Ki?" desak Rangga.
"Hampir dua puluh tahun aku tidak pernah lagi mendengar
namanya, bahkan sepertinya menghilang begitu saja."
"Apakah dia seorang tokoh hitam, Ki?" Rangga
meminta kejelasan.
"Lebih dari itu, Rangga. Dia seorang iblis yang tidak
pernah berkedip saat membunuh lawannya. Tidak peduli siapa yang dihadapi.
Seorang petani yang tidak bisa ilmu olah kanuragan pun akan dibunuh kalau tidak
menyenangkan hatinya."
"Hm...," Rangga menggumam pelan. Sedangkan Ki
Murad diam seraya menerawang jauh ke depan. Tampaknya masih belum dipercaya
kalau orang yang hampir menewaskannya dua kali itu mempunyai salah satu ajian
dahsyat yang dulu sangat ditakuti. Ajian andalan milik seorang tokoh wanita
yang mendapat julukan Dewi Iblis.
"Kenapa dia ingin membunuhmu, Ki?" tanya Rangga
setelah cukup lama berdiam diri.
"Itulah yang membuatku tidak habis mengerti, Rangga.
Sejak kejadian malam itu, aku selalu dihantui oleh ancaman-ancaman," sahut
Ki Murad mengeluh.
"Kejadian malam itu...? Kejadian apa, Ki?"
"Hm. Kau pasti tidak tahu, Anak Muda. Baiklah, akan
kuceritakan semuanya."
Dengan singkat, Ki Murad kemudian menceritakan peristiwa
yang bermula dari kematian anaknya pada malam pesta pernikahan. Dan
kejadian-kejadian lain yang datang secara beruntun, hingga istrinya tewas di
tepi hutan. Pada saat itu, Rangga memang ada. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu
belum mengerti dan hanya diam saja melihat Ki Murad memondong mayat istrinya.
Rangga hanya diam mendengarkan sampai laki-laki tua berjubah putih itu selesai
bercerita. Untuk beberapa saat lamanya, kebisuan menyelimuti mereka dengan
pikiran berkecamuk. Beberapa kali terdengar tarikan napas panjang dari dua
orang yang duduk bersila saling berhadapan itu.
"Rasanya mustahil kalau semua yang dilakukannya itu
tanpa alasan yang pasti, Ki," ujar Rangga setengah bergumam.
"Itulah yang menjadi beban pikiranku selama ini. Sama
sekali tidak ku mengerti kenapa dia melakukan semua itu pada keluargaku? Aku
sendiri tidak tahu siapa dia sebenarnya," sambung Ki Murad bernada seperti
mengeluh.
"Apa dia pernah mengucapkan sesuatu, Ki?" tanya
Rangga.
Ki Murad tidak langsung menjawab. Keningnya sedikit
berkerut, mencoba mengingat-ingat semua perkataan wanita berbaju merah yang
wajahnya hampir tertutup tudung bambu. Sebentar kemudian laki-laki tua itu
menatap lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti
"Ya, aku ingat! Dia menuduhku berlaku curang. Aneh....
Aku sendiri tidak mengerti maksudnya. Seumur hidup, belum pernah aku berlaku
curang pada siapa pun," setengah bergumam nada suara Ki Murad.
"Mungkin kau pernah punya perjanjian, Ki," tebak
Rangga.
"Perjanjian...?" Ki Murad menatap dalam-dalam
pemuda di depannya.
"Aku hanya menduga-duga saja, Ki..."
Ki Murad termenung beberapa saat. Benar-benar sulit
dimengerti dugaan Pendekar Rajawali Sakti itu. Tapi dia berusaha
mengingat-ingat, kalau-kalau pernah punya perjanjian dengan seseorang. Tapi
rasanya dia tidak pernah terikat janji satu pun.
"Perjanjian...," gumam Ki Murad pelan, hampir
tidak terdengar suaranya.
***
Ki Murad memandangi rumahnya yang tinggal puing-puing habis
terbakar. Asap masih mengepul tipis dari kayu-kayu yang hangus. Laki-laki tua
itu hampir tidak percaya mendapati sepuluh orang muridnya sudah tergeletak jadi
mayat dengan leher koyak hampir buntung. Tak ada seorang pun yang hidup, dan
semua bangunan hancur rata dengan tanah.
"Biadab...!" desis Ki Murad menggeretak menahan
marah.
"Ki...," Rangga menepuk pundak laki-laki tua itu.
"Iblis keparat itu benar-benar ingin menghancurkanku
tanpa sisa!" geram Ki Murad.
"Tenangkan dirimu, Ki. Jangan terbawa arus...,"
ujar Rangga mencoba menenangkan amarah laki-laki tua itu.
Ki Murad menatap dalam-dalam Pendekar Rajawali Sakti,
kemudian menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Seluruh rongga
dadanya serasa sesak bagai terhimpit batu yang sangat besar dan berat. Wajahnya
merah padam menghadapi kenyataan seperti ini. Tinggal dia sendiri yang masih
hidup. Dan entah kapan, wanita berbaju merah itu pasti akan datang merenggut
nyawanya. Ki Murad menyadari kalau kepandaiannya masih di bawah perempuan
berbaju merah itu. Dua kali dia hampir tewas. Kalau saja tidak ditolong
Pendekar Rajawali Sakti ini, entah apa jadinya.
"Kau lihat, Rangga. Mereka adalah muridku yang setia.
Aku sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Kini semuanya telah tewas. Iblis
keparat itu harus kubunuh! Harus...!" geram Ki Murad memuncak amarahnya.
"Tidak dalam keadaan marah begini, Ki. Kemarahan bisa
mengakibatkan kelengahan yang sangat fatal," kata Rangga mengingatkan.
"Rangga, aku tidak tahu lagi. Apa yang harus kulakukan?
Aku mohon padamu, Rangga. Hentikan iblis terkutuk itu," ujar Ki Murad
bagai seorang yang sudah putus asa.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Meskipun kepandaiannya di atasku, tapi aku tidak takut
mati. Bagaimanapun juga harus kubalas kematian mereka semua. Mereka adalah
orang-orang yang kucintai," sambung Ki Murad.
"Aku mengerti perasaanmu, Ki," ucap Rangga pelan.
Ki Murad mendesah panjang. Dihempaskan tubuhnya, duduk di
atas sebongkah batu yang tidak be gitu besar. Pandangannya nanar merayapi
puing-puing dan mayat sepuluh orang muridnya yang berserakan di tanah. Sesak
seluruh rongga dadanya menyaksikan semua kehancuran ini. Bertahun-tahun sepuluh
orang itu digembleng dan akan dipersiapkan untuk terjun dalam rimba persilatan,
tapi kini hancur. Tak ada lagi yang tersisa.
Laki-laki tua berjubah putih itu bangkit berdiri setelah
menarik napas dalam-dalam. Kemudian dicabut pedangnya, dan mulai menggali
tanah. Sementara Rangga hanya memperhatikan saja tanpa berkata se-dikit pun. Ki
Murad menggali tanah dengan mengerahkan seluruh tenaganya tanpa berhenti.
Sebentar saja keringat sudah membanjiri seluruh tubuhnya.
"Kau belum pulih benar, Ki," kata Rangga
mengingatkan luka yang diderita Ki Murad.
"Mereka harus segera dikuburkan, Rangga," dengus
Ki Murad.
"Biar aku yang mengerjakannya."
Ki Murad berhenti menggali. Dia mendongak menatap Pendekar
Rajawali Sakti itu. Sudah dua lubang digali, dan ini yang ketiga baru sebatas
lutut. Rangga menghampiri dan mengulurkan tangannya. Sebentar Ki Murad
memandangi, kemudian menerima uluran tangan itu, dan melompat naik. Ki Murad
melangkah mundur setelah berada di atas lubang.
Rangga menggerak-gerakkan tangannya di depan dada, kemudian
berteriak keras. Dihentakkan kedua tangannya beberapa kali ke depan. Suara
ledakan terdengar dahsyat. Seketika debu mengepul ke udara. Sukar untuk
dimengerti. Tiba-tiba saja di depan mereka sudah tersedia sepuluh lubang yang
cukup dalam!
Meskipun Ki Murad seorang tokoh tua, tapi masih juga merasa
heran dan kagum. Tanpa berkata apa-apa lagi, Rangga mulai menguburkan satu
persatu mayat murid Ki Murad. Dengan kekuatan ilmu tenaga dalam yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan, Pendekar Rajawali Sakti itu mampu menguburkan
sepuluh mayat dalam waktu tidak berapa lama saja. Sementara Ki Murad hanya bisa
memandangi penuh kekaguman.
"Kau hebat, Rangga. Aku yakin, kau pasti mampu
menandingi iblis keparat itu," puji Ki Murad setelah Rangga selesai
menguburkan sepuluh mayat.
Rangga hanya tersenyum saja. Diputar tubuhnya dan
dilangkahkan kakinya menghampiri laki-laki tua berjubah putih itu. Sejenak
dipandangi wajah tua di depannya, kemudian kakinya bergeser ke samping dan
terus berjalan. Ki Murad bergegas memburu, lalu mensejajarkan langkahnya di
samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Mau ke mana, Rangga?" tanya Ki Murad.
"Apa yang kau inginkan dariku?" Rangga malah balik
bertanya.
Ki Murad tersenyum, lalu menepuk pundak Pendekar Rajawali
Sakti itu. Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi. Sementara matahari sudah
naik semakin tinggi. Sinarnya yang terik sangat menyengat kulit, namun kedua
orang itu terus berjalan dengan mulut terkunci rapat.
***
Berita tentang tewasnya sepuluh orang murid Ki Murad serta
terbakarnya rumah laki-laki tua yang selalu memakai jubah putih itu cepat
tersebar luas. Dan berita itu sampai ke telinga Ki Danupaya. Segera diutus
beberapa orang anak buahnya untuk menyelidiki kebenarannya. Dan begitu
orang-orangnya kembali membawa berita kebenaran itu, Ki Danupaya langsung
terhenyak lemas di kursinya.
"Apa kau menemukan mayat Ki Murad?" tanya Ki
Danupaya dengan mata kosong menatap seorang yang memberi laporan.
"Tidak. Bahkan kami hanya menemukan sepuluh kuburan
yang kelihatannya masih baru," sahut laki-laki yang nampak masih muda itu.
"Aku tidak mengerti, apa keinginan orang itu? Kenapa
membantai habis orang-orang yang ada hubungannya dengan Kakang Murad?" gumam
Ki Danupaya seperti bicara kepada dirinya sendiri.
"Barangkali ada unsur dendam, Gusti," celetuk
pemuda yang mengenakan baju kuning, dan bagian dada terbuka itu. Tampaklah pada
dada yang bidang itu bulu-bulu dada yang lebat menghitam.
"Dendam...? Lalu, apa hubungannya denganku? Kenapa
mesti menculik anakku dan juga mengincar ku? Bahkan membunuh belasan
orang-orangku!" agak tinggi nada suara Ki Danupaya.
Pemuda berkumis tebal yang duduk di lantai itu, hanya diam
saja. Sedangkan tiga orang yang duduk di belakangnya tidak membuka mulut
sedikit pun. Mereka semua tahu, apa yang sedang terjadi pada majikannya ini.
Sejak peristiwa malam itu, Ki Danupaya memang tidak pernah
tenang. Terlebih lagi sekarang ini istrinya masih belum mau keluar dari kamar
pribadinya. Tidak heran kalau Ki Murad selalu uring-uringan, karena tidak ada
lagi yang bisa diajak bicara.
"Gusti...," terdengar ragu-ragu suara pemuda itu.
"Hm.... Ada apa, Gandil?" agak dingin nada suara
Ki Danupaya.
"Maaf, Gusti. Apa tidak sebaiknya seluruh desa kita
geledah. Barangkali saja bisa ditemukan petunjuk untuk mengetahui di mana dan
siapa orang itu," kata Gandil mengajukan saran.
"Aku tidak akan melibatkan seorang penduduk pun,
Gandil. Sudah terlalu banyak korban yang jatuh. Aku tidak ingin menambah korban
lagi," Ki Danupaya menolak usul anak buahnya itu.
"Tapi, Gusti.... Pagi tadi seorang penduduk ditemukan
tewas," lapor Gandil.
"Apa...?!" Ki Danupaya terkejut bukan main.
"Maaf, Gusti. Baru sekarang bisa dilaporkan," ucap
Gandil.
"Edan! Apa sebenarnya keinginannya? Mengapa penduduk
jadi sasaran juga?!" geram Ki Danupaya semakin tidak mengerti.
Dan belum juga pertanyaan Ki Danupaya bisa terjawab,
tiba-tiba saja sebatang anak panah melesat masuk menerobos jendela. Anak panah
itu tepat menancap di samping kepala laki-laki setengah baya itu. Ki Danupaya
langsung menggerinjang melompat bangkit. Hanya dengan sekali lesatan saja, dia
sudah mencapai jendela yang jaraknya cukup jauh. Pada saat itu, terlihat satu
bayangan merah berkelebat ke atas atap.
"Kejar dia...!" perintah Ki Danupaya.
Gandil dan ketiga temannya langsung melompat bangkit. Mereka
bergegas melompat ke luar, langsung melesat ke atas atap. Sementara Ki Danupaya
memutar tubuhnya, lalu melangkah menghampiri kursi yang didudukinya tadi.
Tampak sebatang anak panah berwarna merah tertancap pada sandaran kursi.
Laki-laki setengah baya itu mencabut anak panah, dan memperhatikan sebentar.
Tergores sebaris kalimat pada batang anak panah itu."Jangan ikut campur
kalau ingin selamat!"
"Keparat...!" geram Ki Danupaya. Laki-laki
setengah baya itu mengangkat kepalanya. Saat itu Gandil dan ketiga temannya
kembali, dan langsung membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
"Tidak perlu melapor! Kalian pasti gagal
mengejarnya!" sergah Ki Danupaya berang.
"Maaf, Gusti," ucap Gandil.
"Kalian pergi ke tempat Ki Murad. Katakan kalau aku
datang sendiri menemuinya!" perintah Ki Danupaya.
"Baik, Gusti." Gandil dan ketiga temannya kembali
menjura memberi hormat, kemudian bergegas melangkah ke luar. Sedangkan Ki
Danupaya bergegas masuk ke ruangan dalam rumahnya yang besar dan indah bagai
sebuah istana.
***
LIMA
Di sebelah Timur Lereng Bukit Mangun, tampak Ki Murad tengah
berdiri memandang matahari terbit. Sepasang matanya tidak berkedip, menatap
lurus ke satu arah. Sepertinya sedang menunggu seseorang di tempat ini.
Sedangkan tidak jauh di belakangnya, berdiri Pendekar Rajawali Sakti di bawah
naungan sebatang pohon yang cukup rindang untuk melindungi dirinya dari
sengatan sinar matahari pagi.
Wajah pemuda berbaju rompi putih itu mendadak agak menegang
ketika menangkap sesosok tubuh bergerak cepat menuju ke arahnya. Sosok tubuh
bungkuk mengenakan jubah warna merah menyala. Sedangkan Ki Murad lebih tegang
lagi. Beberapa kali digeser gagang pedangnya yang tergantung di pinggang.
Mereka terus mengamati sosok tubuh yang semakin mendekat itu.
Tampak seorang wanita tua bertubuh bungkuk menggenggam
sebatang tongkat berkepala tengkorak manusia. Rambutnya yang tidak teratur,
meriap hampir menutupi wajahnya yang keriput. Wanita tua berjubah merah menyala
itu berhenti tepat sekitar dua batang tombak di depan Ki Murad. Dia melirik
Rangga yang tidak bergeming sedikit pun dari tempatnya.
"Cukup lama aku menunggu kedatanganmu, Dewi
Iblis," ucap Ki Murad datar.
"Hi hi hi...!" wanita tua bertubuh bungkuk yang
dipanggil Dewi Iblis itu tertawa mengikik.
Sementara Ki Murad menggeser kakinya ke kanan. Dengan sudut
ekor matanya sempat diliriknya Pendekar Rajawali Sakti. Hatinya sedikit tenang
mengetahui pemuda berbaju rompi putih itu masih berada di tempat.
"Hik hik hik...! Belum pernah kuterima undangan dari
seseorang. Apakah kau sudah mampu menandingiku, sehingga berani
mengundangku?" terlalu kering nada suara Dewi Iblis.
"Kuharap kau tidak salah paham dulu, Nyai Dewi. Aku
mengundangmu bukan untuk bertarung. Ada satu pertanyaan yang ingin kuketahui
jawabannya darimu," kata Ki Murad, melunak nada suaranya.
"Huh! Aku paling benci dengan pertanyaan!" dengus
Dewi Iblis.
"Ini penting, Nyai Dewi."
"Penting bagimu, tapi memuakkan untukku!"
"Maaf, Nyai. Jika tidak keberatan, apakah Nyai Dewi
mempunyai murid?" Ki Murad tidak peduli terhadap gerutuan perempuan tua
berjubah merah itu.
"Kau sudah berani mengusik pribadiku, Ki Murad!"
dengus Dewi Iblis kurang senang.
"Bukan maksudku mengusik urusan pribadimu, Nyai Dewi.
Aku bertanya seperti itu karena belakangan ini ada seseorang yang mengacau desa
ku. Dia menggunakan aji Mata Kilat. Dan yang kuketahui, hanya kaulah yang
memiliki ajian itu," kata Ki Murad lagi
"Setan tua! Kau menuduhku...!" bentak Dewi Iblis
keras.
"Tunggu, Nyai..!" cegah Ki Murad cepat-cepat
ketika Dewi Iblis sudah menggerakkan tongkatnya.
"Kau sudah menuduhku, Ki Murad. Dan ini merupakan
penghinaan bagiku. Kau harus mampus, setan tua!" geram Dewi Iblis.
Setelah berkata demikian, Dewi Iblis berteriak keras.
Tubuhnya segera melompat menerjang sambil mengebutkan tongkatnya ke arah Ki
Murad. Tapi belum juga ujung tongkat perempuan tua itu sampai pada sasaran,
mendadak saja sebuah bayangan putih berkelebat cepat memapak serangan itu.
Tak!
"Hm...!" Dewi Iblis mendengus seraya menarik
pulang tongkatnya. Perempuan tua itu menatap tajam seorang pemuda berbaju rompi
putih yang tahu-tahu sudah berdiri di depan Ki Murad. Dia menggereng dalam
dengan sinar mata tajam menusuk.
Sedangkan Rangga hanya berdiri tenang sambil melipat tangan
di depan dada. "Jangan mengotori namamu yang sudah penuh lumpur, Dewi
Iblis!" ujar Rangga dingin.
"Pendekar Rajawali Sakti...! Jangan ikut campur
urusanku!" bentak Dewi Iblis.
"Kau sudah berjanji untuk tidak terjun kembali ke dunia
ramai, Dewi Iblis," tetap dingin nada suara Rangga.
"Kau yang membuatku keluar, Rangga! Untuk apa kau
membawaku ke sini? Untuk orang tua tidak tahu adat ini...?!" bentak Dewi
Iblis.
"Hm.... Rupanya kau tidak pernah mau mendengar
kata-kataku lagi, Dewi Iblis!" kata-kata Rangga bernada setengah
mengancam.
Dewi Iblis terdiam, namun sorot matanya tetap tajam penuh
kemarahan. Kedatangannya ke Lereng Bukit Mangun ini memang atas permintaan
Pendekar Rajawali Sakti. Memang mereka pernah bertemu sebelumnya dalam suatu
pertarungan yang panjang dan melelahkan. Pemuda berbaju rompi putih itu memang
berhasil mengalahkannya, tapi tidak membunuhnya. Bahkan memberi kesempatan
untuk memperbaiki segala tindakannya. Dewi Iblis berjanji untuk tidak kembali
terjun ke dunia persilatan lalu menyepi di Puncak Bukit Mangun ini. Tidak heran
kalau Rangga bisa cepat menemuinya.
"Aku tahu, orang yang selama ini membuat kekacauan di
Desa Kali Wungu bukan dirimu. Kuketahui itu dari bekas pukulan aji 'Mata Kilat'
yang belum sempurna. Maka itulah sebabnya kuminta kau ke sini agar lebih jelas
persoalannya. Bukan untuk mengumbar nafsu!" agak keras nada suara Rangga.
"Hhh...! Apa keinginanmu sebenarnya?" dengus Dewi
Iblis mulai lunak setelah ingat kalau dirinya tidak akan unggul menghadapi
pemuda itu.
"Hanya pernyataan mu!" tegas Rangga.
"Apa yang harus kukatakan?"
"Tentang orang yang memiliki ajian mu."
"Aku tidak tahu!" dengus Dewi Iblis.
"Dia bukan muridmu?" Rangga menatap dalam-dalam
wanita tua bungkuk berjubah merah itu.
"Aku tidak pernah mempunyai murid seorang pun!"
lantang dan cukup tegas jawaban Dewi Iblis.
Rangga menggeser kakinya ke samping, lalu menoleh pada Ki
Murad yang hanya diam saja. Semua pertemuan ini memang sudah direncanakan
Pendekar Rajawali Sakti itu, dan Ki Murad hanya menurut saja. Sungguh tidak
disangka kalau Dewi Iblis yang dulu pernah menggemparkan dunia persilatan, kini
tunduk kepada seorang pemuda yang usianya jauh berbeda. Dunia persilatan memang
aneh, dan sering tidak mudah dimengerti akal sehat manusia.
"Rangga! Aku bersumpah bahwa aku tidak mempunyai murid
seorang pun. Tidak pernah sekalipun aku mengingkari janji untuk kembali terjun
dalam rimba persilatan. Meskipun selama hidupku selalu di lumuri darah dan
dosa, tapi pantang melanggar janji!" tegas kata-kata Dewi Iblis.
"Hm.... Aku percaya padamu, Dewi Iblis," gumam
Rangga pelan.
"Akan kubuktikan, Rangga!" janji Dewi Iblis tegas.
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Memenggal kepala bangsat itu, dan menyerahkannya
padamu!" tegas jawaban Dewi Iblis.
Rangga melirik Ki Murad. Laki-laki tua berjubah putih itu
menganggukkan kepalanya sedikit. Pendekar Rajawali Sakti kembali berpaling
memandang pada perempuan tua bungkuk berjubah merah di depannya.
"Baiklah. Kuterima tawaranmu. Jika memang benar dia
bukan salah seorang suruhanmu, kau bisa bebas malang melintang di dalam rimba
persilatan. Tapi jika kudengar kau membuat keonaran, maka tidak segan-segan
kupenggal kepalamu!" mantap nada suara Rangga kali ini.
"Huh! Aku tidak perlu jaminan mu, Rangga!" dengus
Dewi Iblis.
Rangga tersenyum kecut. Memang keras watak Dewi Iblis,
karena sudah terbiasa malang melintang di dalam rimba persilatan. Terlebih lagi
perempuan tua ini masuk dalam golongan hitam. Sudah menjadi watak tokoh
golongan hitam yang tidak pernah lunak. Tapi Rangga kagum juga kepada perempuan
tua itu, karena masih ingin memperbaiki sisa hidupnya. Dan ini kesempatan baik
bagi Dewi Iblis untuk membuktikan keteguhan pendiriannya yang tidak mengingkari
janji pada Pendekar Rajawali Sakti.
***
Rangga memandangi kepergian Dewi Iblis yang menuju Desa Kali
Wungu. Perempuan tua itu bertekad untuk membekuk orang yang telah membuatnya
terpaksa keluar lagi dari pengasingannya. Sementara Ki Murad hanya diam saja.
Sama sekali tidak dimengerti semua rencana Pendekar Rajawali Sakti itu. Baginya
kemunculan Dewi Iblis akan menambah rumit persoalan saja. Perempuan tua itu
sudah sangat terkenal segala macam tindakan kekejamannya.
"Masih ku sangsikan kejujurannya, Rangga," ujar Ki
Murad.
"Lihat saja nanti," sahut Rangga seraya
mengayunkan kakinya melangkah pergi.
Ki Murad mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping
Pendekar Rajawali Sakti itu. Memang masih belum bisa dipahami maksud Rangga
sebenarnya. Terlebih lagi dengan melibatkan seorang tokoh hitam yang sudah
terkenal kekejamannya. Meskipun Rangga sudah menjamin kalau Dewi Iblis sudah
ditaklukkannya dan akan melupakan masa lalunya, tapi Ki Murad masih juga
khawatir. Memang besar resikonya. Bahkan keselamatan penduduk menjadi
taruhannya. Namun Ki Murad hanya bisa diam saja. Dia terlalu mempercayai
kemampuan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalau ternyata dia sendiri pelakunya, Rangga?"
tanya Ki Murad.
"Tidak ada ampun lagi baginya," tegas Rangga.
"Hhh,..! Aku yakin, orang itu menggunakan aji Mata
Kilat. Hanya saja jurus-jurusnya tidak ada yang sama dengan Dewi Iblis,"
ucapan Ki Murad bernada bergumam, seakan-akan sedang berbicara kepada dirinya
sendiri.
Rangga menghentikan ayunan kakinya. Ditatapnya Ki Murad
dalam-dalam. Baru kali ini Ki Murad berkata begitu yang sepertinya tidak yakin
kepada dirinya sendiri. Sedangkan yang ditatap hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya pelahan lahan.
"Maaf, Rangga. Kejadian ini membuatku serasa
gila!" ujar Ki Murad.
"Sudahlah," desah Rangga kembali melanjutkan
langkahnya.
Namun baru saja mereka berjalan beberapa tindak, mendadak
saja sebuah bayangan merah berkelebat. Tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri
seorang wanita berbaju merah dan bertudung lebar menutupi hampir seluruh
kepalanya. Rangga dan Ki Murad langsung menghentikan langkahnya.
"Kau sudah terlalu jauh mencampuri urusanku, Pendekar
Rajawali Sakti!" dengus wanita itu dingin.
"Aku selalu mencampuri setiap kejahatan!" sahut
Rangga mantap.
"Kejahatan? Ha ha ha...!" wanita itu tertawa
terbahak-bahak.
Rangga menggeser kakinya sedikit ke samping, seraya memberi
isyarat pada Ki Murad untuk menyingkir. Laki-laki tua berjubah putih itu
melangkah mundur beberapa tindak. Sementara wanita berbaju merah yang kepalanya
tertutup tudung bambu, masih tertawa tergelak-gelak.
"Kau bicara tentang kejahatan, Pendekar Rajawali Sakti.
Tanyakan pada tua bangka itu. Aku atau dia yang melakukan kejahatan?!"
ujung tongkat wanita itu mengarah pada Ki Murad.
"Jangan memutarbalikkan kenyataan, perempuan
iblis!" geram Ki Murad sengit.
"Ha ha ha...! Wajahmu pucat sekali, Ki Murad. Apa kau
takut jika rahasiamu terbongkar?" ejek wanita itu ketus.
"Phuih! Kau coba-coba memutar lidah!" dengus Ki
Murad.
"Kau lihat, Pendekar Rajawali Sakti. Sikapnya seperti
kucing kepergok nyolong ikan," sinis nada suara wanita itu.
"Kubunuh kau, keparat...!" geram Ki Murad.
"Tahan!" bentak Rangga begitu Ki Murad sudah
bersiap-siap hendak menyerang.
Laki-laki tua berjubah putih itu mengurungkan niatnya yang
ingin menyerang perempuan berbaju merah itu. Namun tatapan matanya begitu tajam
menusuk. Napasnya mendengus-dengus bagai seekor kuda yang dipacu cepat.
Gerahamnya bergemeletuk menahan geram.
"Ni sanak, bisa kau jelaskan persoalan yang
sebenarnya?" pinta Rangga, lunak nada suaranya.
Wanita bertudung itu tidak langsung menjawab. Dipalingkan
mukanya ke arah Ki Murad. Dari balik tudung lebar ditatapnya laki-laki tua itu,
kemudian kembali berpaling pada Pendekar Rajawali Sakti. Agak lama juga dia
berdiam diri. Mungkin sedang mempertimbangkan permintaan pemuda yang selalu
memakai baju rompi putih itu.
"Ikut aku, tapi dia jangan!" wanita itu menunjuk
pada Ki Murad.
Tanpa menunggu jawaban lagi, wanita bertudung itu melesat
cepat bagai kilat. Sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tertelan kelebatan
hutan. Sejenak Rangga menatap Ki Murad, kemudian melompat mengikuti arah
kepergian wanita bertudung itu.
"Rangga, tunggu...!" seru Ki Murad cepat-cepat.
Rangga yang baru saja melompat, langsung berhenti. Dia
berbalik menghadap laki-laki tua itu. Ki Murad melangkah menghampiri.
"Dia akan menjebakmu, Rangga," ujar Ki Murad
memperingatkan.
"Kembalilah ke penginapan, Ki. Aku menyusul
nanti," kata Rangga seraya berbalik.
"Rangga...!" Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu
sudah lebih dulu melesat mengejar Wanita bertudung bambu yang sudah tidak
terlihat lagi.
Sementara Ki Murad hanya berdiri terpaku memandang arah
kepergian Rangga. Laki-laki tua itu menarik napas panjang, kemudian melangkah
pelan menuju Desa Kali Wungu. Sejak kediamannya terbakar habis, dia memang
tinggal di penginapan milik sahabatnya di Desa Kali Wungu.
"Hhh.... Mudah-mudahan Rangga tidak terpen-garuh,"
desah Ki Murad terus berjalan.
***
Rangga berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Begitu cepatnya bergerak, sehingga yang
terlihat hanya bayangan putih berkelebatan menyelinap di antara pepohonan.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, wanita bertudung itu sudah terlihat.
Larinya juga demikian cepat menembus lebatnya hutan di Lereng Bukit Mangun ini.
Kening Rangga agak berkerut juga saat mengetahui arah yang
dituju wanita berbaju merah menyala itu. Dikenali betul arah itu, yang ternyata
menuju Puncak Bukit Mangun sebelah Selatan. Dan itu berarti ke tempat Dewi
Iblis mengasingkan diri selama ini. Tapi Rangga terus mengikuti sambil menjaga
jarak. Dan pandangannya tidak berpaling sedikit pun ke arah wanita yang terus
berlari cepat di depannya.
Pendekar Rajawali Sakti itu menghentikan larinya begitu
melihat wanita itu juga berhenti tepat di tepi sebuah sungai kecil yang
mengalir tenang dan jernih. Rangga mengayunkan kakinya menghampiri. Dikenali
betul bahwa ini tempat tinggal Dewi Iblis selama dalam pengasingan dirinya.
Tampak di seberang sungai, sebuah pondok kecil berdiri di antara bebatuan dan
pohon jarak. Pendekar Rajawali Sakti itu berhenti setelah jaraknya tinggal
beberapa langkah lagi di bela-kang wanita itu.
"Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya Rangga.
Wanita bertudung itu tidak langsung menjawab, tapi hanya
memutar tubuhnya menghadap pada Pendekar Rajawali Sakti. Pelahan kepalanya
terangkat, dan pelahan pula tangannya terangkat. Segera dibukanya tudung yang
selama ini menutupi kepalanya. Rangga melangkah mundur tiga tindak. Hampir
tidak dipercaya dengan apa yang dilihatnya. Di balik tudung besar itu terdapat
seraut wajah cantik, dihiasi sepasang bola mata indah bercahaya bening.
"Kau tentu tidak mengenal diriku, tapi aku mengenalmu
lebih dari yang kau duga, Rangga," lembut sekali suara wanita itu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga.
"Apakah itu penting?" wanita itu malah balik
bertanya.
"Jika ingin membuktikan bahwa dirimu tidak bersalah,
kurasa perlu kau sebutkan nama dan alasanmu berbuat seperti ini," kata
Rangga mantap.
"Aku selalu bertahan untuk tidak memperkenalkan diri
pada siapa pun sebelum si bangsat tua bangka itu mati...!" agak tertekan
nada suara wanita itu. "Tapi karena kau sudah melibatkan orang yang paling
kuhormati, maka tidak ada jalan lain bagiku untuk menyelamatkan orang-orang
yang aku kasihi. Orang-orang yang kuhormati melebihi rasa cinta dan hormat ku
pada diriku sendiri."
"Apa hubungannya kau dengan Dewi Iblis?" Rangga
langsung bisa menebak arah tujuan pembicaraan wanita berbaju merah menyala itu.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Diputar tubuhnya, lalu
berjalan menyusuri sungai kecil ini. Rangga mengikuti sambil tetap menjaga
jarak. Mereka berjalan pelahan-lahan tanpa mengucapkan sepatah kata pun,
kemudian berhenti setelah sampai pada sebuah jembatan dari seutas tambang yang
terikat di pohon untuk menyeberangi sungai kecil ini. Memang tidak pantas jika
disebut jembatan. Tapi memang hanya itulah yang dapat menghubungkan dengan
seberang sungai sana.
"Hup!" Wanita berbaju merah dengan tudung
tersampir di punggung itu melompat ke atas tambang. Kakinya bergerak lincah
menyusuri tambang dari sabut kelapa itu. Sungguh lincah dan ringan sekali
gerakannya, bahkan tambang yang dilalui tidak bergerak sedikit pun!
Rangga memperhatikan sampai wanita itu tiba di seberang.
Kemudian dilentingkan tubuhnya. Dan begitu kakinya menyentuh tambang dengan
ujung jari kakinya, ditotoknya tambang itu. Lalu diputar tubuhnya di udara dua
kali. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti itu mendarat di seberang tanpa
menyusuri tambang itu.
"Ilmu meringankan tubuhmu sempurna sekali, Pendekar
Rajawali Sakti," ujar wanita itu memuji dengan tulus.
"Tidak lebih tinggi darimu...," sahut Rangga
sengaja memutus ucapannya.
Wanita itu tersenyum, lalu menghenyakkan tubuhnya di atas
sebongkah batu yang tidak begitu besar. Matanya menerawang jauh ke seberang
sungai. Sedangkan Rangga tetap berdiri dengan jarak sekitar dua batang tombak
jauhnya. Tampak sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti itu masih menjaga jarak.
"Rasanya memang tidak enak kalau berbicara tanpa
mengetahui nama masing-masing. Tidak adil.... Aku sudah tahu namamu, sedangkan
kau sendiri belum tahu siapa diriku," kata wanita itu seperti bicara pada
dirinya sendiri.
Rangga hanya menggumam kecil. Hampir tidak terdengar suara
gumamannya. Ditatapnya dalam-dalam wajah yang cantik dengan bibir indah yang
selalu nampak merah menantang.
"Kau bisa memanggilku Nurmi, Rangga," kata wanita
itu memperkenalkan diri.
"Nurmi...? Bukankah itu nama putri Ki Danupaya?"
agak tersentak juga Rangga mendengar nama wanita itu. Rangga sudah mengenal
nama-nama yang ada sangkut pautnya dengan peristiwa itu dari Ki Murad. Dan
salah satunya adalah Nurmi, putri Ki Danupaya yang hilang diculik pada saat
malam pernikahan. Dia sudah tahu semuanya dari Ki Murad yang menceritakan awal
kejadiannya secara gamblang dan terbuka.
"Benar. Aku memang putri Ki Danupaya. Orang yang
terpandang di Desa Kali Wungu. Bahkan desa-desa lain di sekitar Bukit Mangun
ini," tenang sekali nada suara Nurmi.
"Aku sudah mendengar semua tentang dirimu, Nurmi.
Hm.... Kenapa kau lakukan itu semua?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Rangga. Tadi kau tanya tentang hubunganku dengan Dewi
Iblis, bukan?" Nurmi mengingatkan.
"Ya..."
"Dewi Iblis adalah adik kakekku yang memimpin sebuah
padepokan atau sering disebut Pertapaan Jati Wangi. Jadi aku adalah
cucunya," jelas Nurmi.
"Hm..., jadi kau mendapatkan beberapa ilmu kesaktian
darinya?" tebak Rangga.
"Benar. Dan itu kudapatkan sebelum Dewi Iblis kau
taklukkan. Setelah itu, aku tidak pernah lagi bertemu meskipun tahu tempat
tinggalnya. Dewi Iblis selalu menghindar dan tidak suka ditemui siapa pun
juga."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia kini mengerti,
mengapa wanita bertudung ini selalu menghindarinya. Mungkin juga Nurmi sudah
diberitahu agar tidak bentrok dengan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi Rangga belum
merasa puas. Sampai saat ini memang masih belum ditemukan alasan kebenaran
semua tindakan Nurmi, hingga tega membunuh dan mengancam ketentraman orang
tuanya sendiri.
"Lalu, dari mana kau dapatkan kepandaian yang
lain?" tanya Rangga.
"Kakekku," sahut Nurmi singkat.
"Hm.... Jadi itu sebabnya mengapa Ki Murad tidak
mengenali jurus-jurusmu," gumam Rangga, seolah bicara pada dirinya
sendiri.
"Tak ada yang tahu. Apalagi ayahku."
"Ibumu...?"
"Jangan sangkut pautkan ibuku!" sentak Nurmi.
"Oh...?!" Rangga terkejut. Sungguh tidak disangka
kalau wanita ini bisa berang jika ibunya disangkutpautkan dalam masalah ini.
"Dia bukan ibuku!" dengus Nurmi dengan wajah
berang. "Ibuku sudah lama meninggal. Semua gara-gara manusia-manusia
keparat itu!"
"Oh, maafkan. Aku tidak tahu," ucap Rangga.
"Sudahlah, kubawa kau ke sini agar tahu semua
permasalahannya. Dan kuharap jangan mencampuri urusanku. Kau sudah terlalu
jauh, Rangga. Dan sekarang kau libatkan juga nenekku yang tidak tahu apa-apa.
Kau membuat semua rencanaku jadi berantakan!" dengus Nurmi sengit.
"Rencana apa?" tanya Rangga menyelidik.
"Melenyapkan keparat-keparat itu!" sahut Nurmi
mantap.
"Maksudmu..., Ki Murad?" tebak Rangga.
"Bukan hanya dia!"
"Oh...?!" lagi-lagi Rangga terkejut. Rangga memang
sudah tahu sekarang, siapa orang bertudung yang telah membuat hampir seluruh
penduduk Desa Kali Wungu resah. Tapi maksud Nurmi sebenarnya memang belum
diketahuinya. Wanita itu selalu mengelak, dan meminta Pendekar Rajawali Sakti
itu tidak ikut campur dalam persoalan ini.
***
ENAM
"Mustahil..!" geram Ki Danupaya seraya menggebrak
meja di sampingnya.
Wajah laki-laki setengah baya itu nampak merah padam bagai
udang rebus. Sepasang bola matanya menatap tajam Ki Murad yang duduk di
depannya. Tidak ada orang lain di ruangan tengah yang cukup besar ini, selain
mereka berdua. Sesaat suasana di ruangan itu sunyi sepi. Ki Danupaya bangkit
berdiri dan berjalan pelahan-lahan menuju ke jendela. Sebentar dia menatap
keadaan di luar, lalu memutar tubuhnya menatap pada Ki Murad yang masih tetap
duduk di kursinya.
"Tidak mungkin anakku sendiri yang melakukan ini
semua!" dengus Ki Danupaya tidak percaya.
"Kau boleh saja tidak percaya, Adi Danupaya. Tapi
kulihat dan kudengar sendiri percakapan mereka di Puncak Bukit Mangun sebelah
Selatan," kata Ki Murad meyakinkan.
Ki Danupaya diam membisu, namun pandangannya tetap tajam
menusuk langsung ke bola mata laki-laki tua yang tetap duduk di kursinya.
"Semula memang aku akan langsung kembali, tapi niatku
berubah karena merasa khawatir kalau-kalau Pendekar Rajawali Sakti terjebak.
Tapi yang kusaksikan malah membuatku hampir pingsan. Jelas sekali kalau orang
itu adalah Nurmi. Putrimu!" ujar Ki Murad mantap.
"Bagaimana mungkin suaminya sendiri dibunuh?! Sedangkan
dia di..." ucapan Ki Danupaya terputus.
"Bukan diculik seperti yang kita duga selama ini, Adi
Danupaya. Tapi sengaja menghilang untuk mengelabui kita semua," selak Ki
Murad cepat.
Kembali Ki Danupaya terdiam. Masih belum dipercaya
sepenuhnya laporan Ki Murad kalau orang yang selama ini membuat rusuh adalah
putrinya sendiri. Memang sukar untuk dipercaya. Nurmi membunuh suaminya
sendiri, tepat pada saat malam pertama pernikahan mereka. Dan kini membuat
rusuh dengan membunuh istri Ki Murad, membantai anak buah ayahnya sendiri, dan
bahkan membumihanguskan kediaman mertuanya. Ki Danupaya menggeleng-gelengkan
kepalanya beberapa kali. Sukar baginya untuk menerima dan mempercayai semua
ini.
"Kakang Murad. Setahuku Nurmi tidak memiliki ilmu olah
kanuragan. Apalagi sampai bisa mempecundangimu. Tidak mungkin, Kakang.
Mustahil...!" ujar Ki Danupaya masih tidak bisa mempercayai.
"Beberapa kali aku bentrok dengannya, Adi Danupaya. Dan
yang terakhir sempat ku kenali salah satu ajiannya. Aji Mata Kilat milik Dewi
Iblis, bibimu sendiri!" kata Ki Murad masih mencoba meyakinkan Ki
Danupaya.
"Kau jangan membawa-bawa bibiku, Kakang. Sudah lama
Bibi Dewi tidak pernah kelihatan lagi setelah ditaklukkan Pendekar Rajawali
Sakti," nada suara Ki Danupaya terdengar tidak senang.
"Itulah masalahnya sekarang, Adi Danupaya."
"Apa maksudmu, Kakang?"
"Dewi Iblis takluk oleh Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Nurmi mempunyai aji Mata Kilat yang sangat dahsyat. Padahal yang ku
tahu, Dewi Iblis tidak memiliki murid seorang pun. Apalagi wanita itu telah
berjanji untuk tidak terjun kembali dalam dunia persilatan, setelah dikalahkan
Pendekar Rajawali Sakti. Aku merasa mereka bersekongkol..." Ki Murad
menduga-duga.
"Bersekongkol...? Apa maksudmu, Kakang?" Ki
Danupaya semakin tidak mengerti.
"Lihatlah kenyataan yang ada, Adi Danupaya. Kau
membunuh istrimu di depan Nurmi. Meskipun saat itu masih berumur tujuh tahun,
tapi ingatannya tentang kejadian itu tidak pernah lepas. Kemudian kau menikahi
seorang wanita yang tidak pernah akur dengan Nurmi. Anak itu tertekan. Terlebih
lagi setelah kau mengeluarkan wasiat untuk menyerahkan semua ini sepenuhnya
pada istrimu. Aku yakin kalau Nurmi berusaha mencegah, karena semua yang kau
milik adalah milik kakeknya yang seharusnya diturunkan padanya," ujar Ki
Murad panjang lebar menyingkap latar belakang kehidupan sahabatnya ini.
"Kakang, apa yang kulakukan ini semua demi kau juga.
Semua itu terjadi dan kau mengetahui, bahkan ikut mendukungnya. Istriku itu
sepupu mu. Sengaja kuwariskan seluruh harta ku padanya agar bisa digunakan
untuk membiayai maksudmu, menggulingkan Gusti Adipati. Itu semua sudah rencana
kita, Kakang, Aku rela mengorbankan semuanya demi memperoleh kadipaten,"
Ki Danupaya tidak suka disalahkan begitu saja.
"Dan kau tidak sadar kalau hanya sebagai menantu yang
tidak berhak sepenuhnya atas seluruh harta ini. Hhh...! Kalau saja kau turuti
nasihatku, tidak akan jadi begini," ada nada keluhan pada suara terakhir
Ki Murad.
"Kau gila, Kakang. Mana mungkin aku membunuh Nurmi?
Anak itu satu-satunya senjata bagiku untuk tetap menguasai Desa Kali Wungu, dan
desa-desa lainnya. Bahkan seluruh desa di kadipaten ini. Tanpa Nurmi, aku tidak
bisa berbuat apa-apa lagi. Kau sudah mengetahui hal itu, bukan...?!" agak
keras nada suara Ki Danupaya.
Ki Murad menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Memang pelik persoalan yang dihadapi sekarang ini. Mereka berdua bagaikan
berada di ujung tanduk saja. Sedikit saja tergelincir, tamatlah sudah semua
yang telah dibangun dengan segala daya dan upaya. Kedua laki-laki itu menoleh
hampir bersamaan ketika mendengar suara langkah kaki halus.
Tampak seorang wanita berwajah cukup cantik dan berbaju
ketat indah, muncul dari sebuah kamar. Wanita itu melangkah menghampiri kursi
di dekat Ki Murad dan duduk anggun di sana. Ki Murad menundukkan kepalanya
sedikit, memberi hormat pada istri Ki Danupaya ini.
"Sudah kudengar semua pembicaraan kalian berdua,"
kata wanita itu pelan, hampir tidak terdengar suaranya.
"Nyai Canting...," desis Ki Danupaya agak terkejut
juga.
Laki-laki setengah baya itu melangkah menghampiri dan duduk
di samping istrinya. Sesaat suasana di ruangan itu sunyi senyap. Tak ada yang
mengeluarkan suara sedikit pun. Ki Murad dan Ki Danupaya memandangi wanita yang
bernama Nyai Canting ini. Wanita yang usianya jauh lebih muda dari suaminya.
"Kakang! Tidak kusangka kalau kau menikahi ku hanya
karena maksud tertentu. Aku benar-benar kecewa, Kakang...," lirih suara
Nyai Canting.
"Nyai...," tercekat suara Ki Danupaya di
tenggorokan.
"Jangan memberi alasan apa pun, Kakang. Aku sudah tahu
dan sudah mendengar semuanya. Aku tidak ingin terlibat, dan tidak suka
disalahkan. Aku tidak pernah membujukmu, dan tidak pernah melakukan kesalahan
apapun. Apalagi untuk membenci Nurmi dan adiknya. Katakan itu pada semuanya,
Kakang," kata Nyai Canting, agak tersendat suaranya.
Setelah berkata demikian, Nyai Canting bangkit berdiri dan
melangkah pelahan-lahan meninggalkan tempat itu. Ki Danupaya bergegas bangkit
dan mengejarnya. Sementara Ki Murad hanya duduk saja dengan wajah kusut.
***
"Nyai...!" panggil Ki Danupaya terus mengejar.
Laki-laki setengah baya itu mencekal pergelangan Nyai Canting kuat-kuat, dan
membalikkan tubuh wanita itu sehingga menghadap padanya. Ditatapnya dalam-dalam
bola mata yang bening agak berkaca-kaca itu.
"Nyai..., kau mau ke mana?" tanya Ki Danupaya
dibuat lembut suaranya.
"Pergi," sahut Nyai Canting singkat.
"Ke mana?"
"Pulang."
"Pulang?! Pulang ke mana? Ini rumahmu, Nyai!"
"Kau lupa, Kakang. Ini bukan rumahku, dan bukan
milikmu. Aku akan kembali ke asalku dulu. Mudah-mudahan pondokku masih
berdiri," Nyai Canting tersenyum kecut.
"Dengarkan dulu penjelasanku, Nyai...!"
"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Kakang. Maaf, aku
harus pergi. Aku tidak ingin terlibat dengan segala macam urusan kotormu!"
tegas Nyai Canting.
Setelah berkata demikian, dengan halus Nyai Canting
melepaskan cekalan Ki Danupaya. Dia melangkah mundur tiga tindak, kemudian
berbalik dan terus berjalan ke luar. Ki Danupaya hendak mengejar, tapi mendadak
saja pundaknya ada yang menahan. Dia menoleh. Tampak Ki Murad tahu-tahu sudah
berada di belakangnya. Ki Danupaya tidak jadi mengejar istrinya yang terus
berjalan semakin jauh meninggalkannya.
"Biarkan dia pergi, Adi Danupaya," ujar Ki Murad.
"Tapi...."
"Canting memang tidak perlu terlibat persoalan. Dia
sudah cukup menerima beban," ujar Ki Murad.
Ki Danupaya diam saja memandang kepergian istrinya yang
semakin jauh. Nyai Canting sudah melewati gerbang, dan menghilang di balik
pintu gerbang yang dijaga dua orang anak buah Ki Danupaya. Laki-laki setengah
baya itu menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Ingat semua yang telah kita bina dengan susah payah,
Adi Danupaya. Aku tidak ingin hanya karena seorang wanita kau jadi...,"
suara Ki Murad terputus.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara jeritan melengking
tinggi. Tampak dua orang penjaga pintu gerbang menggelepar dengan dada terbelah
berlumuran darah. Kedua laki-laki itu terperanjat saat melihat seorang
perempuan tua agak bungkuk mengenakan jubah merah sudah berdiri di
tengah-tengah halaman rumah ini. Sebatang tongkat berkepala tengkorak manusia
tergenggam erat di tangan kanannya. Sebentar saja, di sekitar halaman yang luas
itu sudah berdiri sepuluh orang bersenjata golok terhunus mengepung wanita tua
yang dikenal berjuluk Dewi Iblis.
Sementara di dalam rumah, Ki Murad dan Ki Danupaya hanya
saling berpandangan sesaat. Kemudian Ki Danupaya melangkah hendak ke luar. Tapi
baru saja berjalan dua tindak, Ki Murad sudah mencegah dengan mencekal
tangannya. Terpaksa Ki Danupaya berhenti melangkah, lalu berpaling menatap
laki-laki tua berjubah putih itu.
"Dia tamuku, Kakang," ucap Ki Danupaya seraya
melepaskan halus cekalan Ki Murad.
"Kedatangannya sudah menunjukkan tidak
bersahabat," desis Ki Murad.
Ki Danupaya hanya tersenyum saja, kemudian melangkah ke
luar. Sedangkan Ki Murad hanya berdiri saja memandangi dari dalam. Memang cukup
jelas memandang ke halaman depan dari ruangan tengah ini, tapi tidak begitu
jelas bila melihat ke dalam dari luar.
***
Sementara itu Ki Danupaya sudah sampai di depan rumahnya. Di
turuninya anak-anak tangga beranda depan rumah besar bagai istana kecil itu.
Dia kemudian berhenti di depan Dewi Iblis setelah jaraknya tinggal sekitar dua
batang tombak lagi. Sementara tiga puluh orang anak buahnya sudah mengepung
tempat ini dengan senjata terhunus.
"Kedatanganmu tiba-tiba sekali, Bibi Dewi," ucap
Ki Danupaya setelah memberi isyarat agar seluruh anak buahnya menyingkir.
"Hm.... Aku senang dengan cara sambutanmu yang
hangat," gumam Dewi Iblis tersenyum tipis.
"Maaf. Mereka belum mengetahuimu, Bibi Dewi," ucap
Ki Danupaya.
"Aku datang memang bukan untuk dikenal mereka, karena
memang tidak ada perlunya mengenalku!" ketus nada suara Dewi Iblis.
"Ada keperluan apakah sehingga Bibi jauh-jauh datang ke
sini?" tanya Ki Danupaya masih tetap berusaha ramah, meskipun sikap Dewi
Iblis jelas-jelas tidak bersahabat.
"Mencari anakmu!" tajam jawaban Dewi Iblis.
"Anakku...?!" Ki Danupaya berkerut juga kening. Ki
Danupaya tampak kebingungan. Mata laki-laki setengah baya itu melirik ke kanan
dan ke kiri, lalu menoleh ke belakang.
Tampak di balik tembok, Ki Murad berlindung mengawasi. Dia
tahu kalau sahabatnya itu tengah mendengarkan semua pembicaraannya dengan
perempuan tua yang dulu dikenal sebagai tokoh hitam yang sangat kejam.
"Mana dia, Danupaya? Dia telah lancang menjual namaku!
Membuatku lebih terhina di depan Pendekar Rajawali Sakti! Berikan anak setan
itu padaku!" lantang suara Dewi Iblis.
"Bibi..., aku tidak mengerti maksudmu? Mengapa
tiba-tiba ingin bertemu Nurmi?" agak bergetar nada suara Ki Danupaya.
Laki-laki setengah baya itu tahu betul siapa yang sedang dihadapinya ini.
Meskipun cukup lama Dewi Iblis menghilang, tapi bukan berarti kepandaiannya
ikut hilang. Bahkan mungkin semakin dahsyat saja.
"Dia sudah lancang menggunakan ajian yang ku berikan
untuk membunuh orang. Anak setan itu telah merusak janji ku pada Pendekar
Rajawali Sakti!" masih lantang nada suara Dewi Iblis.
"Ajian...?! Ajian apa...? Setahuku, Nurmi tidak pernah
belajar ilmu olah kanuragan, apalagi ilmu kesaktian. Bibi, siapa yang
mengatakan hal itu pada mu?"
"Temanmu yang ada di dalam!" sahut Dewi Iblis
seraya melirik ke dalam rumah.
Ki Danupaya terkejut bukan main. Ternyata wanita tua ini
mengetahui kalau Ki Murad ada di dalam. Dan pada saat Ki Danupaya menoleh ke
belakang, Ki Murad melangkah keluar. Laki-laki berjubah putih itu berdiri di
beranda. Tangan kanannya sudah memegang gagang pedang meskipun belum tercabut
dari sarungnya di pinggang.
Ki Danupaya benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi. Baru
saja Ki Murad melaporkan kalau orang yang selama ini membuat kekacauan adalah
Nurmi, dan sekarang Dewi Iblis mencari anak itu karena merasa namanya
dicemarkan. Terlebih lagi, saat ini perempuan tua itu sedang terikat perjanjian
pada Pendekar Rajawali Sakti. Perjanjian setelah ditaklukkan oleh pemuda itu.
"Bibi, mungkin ini hanya salah paham saja. Sebaiknya
kita bicarakan baik-baik di dalam," kata Ki Danupaya mencoba meredakan
amarah wanita berjubah merah itu.
"Kau jangan berpura-pura bodoh, Danupaya! Telah
kudengar semua pembicaraanmu tadi. Dan memang sudah kuduga sebelumnya kalau
Nurmi yang melakukan semua itu. Asal tahu saja, aku tidak menyalahkannya.
Justru aku ingin memberi pelajaran padamu, juga teman setanmu itu. Aku mencari
Nurmi agar dia bertanggung jawab setelah mencemarkan namaku di depan Pendekar
Rajawali Sakti!" tegas kata-kata Dewi Iblis.
Seketika itu juga wajah Ki Danupaya memerah pucat. Demikian
juga Ki Murad yang berada di beranda. Mereka semua tahu kalau Dewi Iblis tidak
main-main. Dan yang lebih dikhawatirkan, kepandaian perempuan berjubah merah
itu tidak akan bisa tertandingi. Kepandaiannya jauh lebih tinggi dari mereka
berdua. Bahkan seluruh anak buah Ki Danupaya jika dikerahkan, tidak akan bisa
membendungnya.
"Aku tidak punya waktu lagi, Danupaya. Mungkin kalian
berdua bisa melihat matahari pagi besok kalau Nurmi bisa diserahkan
padaku!" kata Dewi Iblis.
"Nurmi tidak ada di rumah ini, Bibi Dewi. Dia diculik
beberapa hari yang lalu," kata Ki Danupaya.
"Semua orang berkata begitu! Huh....! Kau pikir aku
percaya bualan kosong mu?!" dengus Dewi Iblis.
"Aku berkata yang sebenarnya, Bibi. Nurmi diculik saat
malam pernikahannya," Ki Danupaya berusaha menjelaskannya.
"Satu lagi kesalahanmu, Danupaya! Kau menikahkan anakmu
tanpa memberitahukan ku!" gerutu Dewi Iblis.
"Maaf, Bibi," hanya itu yang bisa diucapkan Ki
Danupaya agar wanita bungkuk berjubah merah itu tidak meluap amarahnya.
Bagaimanapun juga, harus bisa dihindari bentrokan yang pasti tidak akan
menguntungkan baginya.
"Dengan siapa Nurmi kawin?" tanya Dewi Iblis
kasar.
"Putra sahabatku ini," sahut Ki Danupaya menunjuk
Ki Murad.
"Dasar manusia bejad! Kalian memperalat anak untuk
kepentingan pribadi!" gerutu Dewi Iblis yang sudah mengetahui semua
maksud-maksud Ki Danupaya.
Ki Danupaya hanya diam saja. Di depan wanita bungkuk itu,
rasanya memang tidak mungkin untuk membusungkan dada. Baginya lebih baik
merendah untuk keselamatan diri, daripada mati sia-sia di tangan Dewi Iblis.
Semula hatinya sudah gembira saat mendengar kekalahan Dewi Iblis di tangan
Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh tidak dinyana sama sekali kalau pemuda yang
selalu mengenakan baju rompi putih itu tidak membunuhnya, bahkan membiarkan
hidup.
Kini Dewi Iblis muncul kembali, dan membuat Ki Danupaya jadi
gelisah. Laki-laki setengah baya itu tidak pernah khawatir meskipun Dewi Iblis
sudah mengetahui semua maksud-maksud tersembunyinya. Karena memang sebenarnya
wanita tua agak bungkuk berjubah merah itu tidak pernah mau tahu segala urusan
Ki Danupaya. Baginya yang terpenting cucunya tidak disakiti. Itulah sebabnya,
mengapa Ki Danupaya mempertahankan Nurmi agar tidak dibunuh, meskipun anak itu
menyaksikan pembunuhan yang dilakukannya terhadap istrinya sendiri. Semua itu
dilakukan hanya karena ambisinya yang tinggi untuk menguasai suatu wilayah
kadipaten.
"Danupaya, kali ini kau kuberi kesempatan untuk bisa
bernapas sampai besok. Ingat...! Sebelum matahari terbenam besok, kau harus
sudah mendapatkan Nurmi!"
Setelah berkata demikian, Dewi Iblis langsung melesat pergi.
Sungguh tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Dalam sekejap saja bayangan tubuhnya
sudah lenyap. Ki Danupaya mendesah panjang, seakan ingin melonggarkan rongga
dadanya yang sejak tadi terasa sesak. Laki-laki setengah baya itu memutar
tubuhnya dan melangkah pelahan menuju ke beranda rumahnya. Langkahnya terhenti
setelah berada di depan Ki Murad. Sejenak kedua laki-laki itu saling
berpandangan, kemudian berjalan masuk tanpa berkata apa-apa lagi.
***
TUJUH
Sepertinya tidak ada yang dapat dilakukan Pendekar Rajawali
Sakti untuk menyelesaikan kemelut yang terjadi di Desa Kali Wungu. Semua
persoalan itu hanya bersifat pribadi dan terbatas pada lingkungan keluarga
saja. Tanpa melibatkan seorang penduduk pun yang tidak tahu menahu. Kalaupun
pun ada penduduk yang terbunuh, itu dilakukan Nurmi karena terpaksa. Salah
seorang penduduk waktu itu tanpa sengaja melihat wajahnya saat wanita itu
membuka tudung.
Nurmi, tidak ingin dirinya diketahui sebelum kehancuran keluarganya.
Hanya satu yang tidak bisa dimengerti Rangga, yakni jalan pikiran Nurmi yang
dianggapnya tidak waras. Membunuh suaminya sendiri dan menteror kehidupan
keluarga ayahnya. Padahal wanita itu tidak ingin mencelakakan ayahnya sendiri.
Yang ingin dibunuh hanya Ki Murad agar terpisah untuk selama-selamanya dari Ki
Danupaya. Tidak ada maksud lain lagi.
"Kau masih belum percaya kalau bukan aku yang membunuh
Wiraguna, Rangga?" ucap Nurmi sambil memain-mainkan kakinya ke dalam
sungai.
"Kalau bukan kau, lalu siapa?" tanya Rangga yang
berdiri membelakangi wanita itu.
"Adikku," sahut Nurmi.
"Adikmu...?" Rangga terkejut tidak percaya.
"Benar. Aku memintanya datang tepat pada tengah malam
pesta pernikahanku. Sengaja tidak kukunci jendela agar adikku mudah masuk ke
dalam kamar dan membunuh Wiraguna, lalu pura-pura menculikku," jelas
Nurmi.
"Kenapa dia lakukan itu?" tanya Rangga seraya
membalikkan tubuhnya menghadap Nurmi.
"Wiraguna telah mengecewakannya. Adikku telah direnggut
kehormatannya dan ditinggalkan begitu saja. Bajingan itu memang mata keranjang.
Sudah banyak gadis yang terpedaya dan terenggut kehormatannya."
"Lantas kenapa kau rela dinikahkan?"
"Hanya itu jalan satu-satunya. Aku rela berkorban asal
musuh besar keluargaku musnah. Sudah lama Ki Murad hendak menghancurkan
keluargaku, dan setelah sahabatnya bisa menikahi ibuku barulah dilancarkan
aksinya."
"Kenapa dia menginginkan kehancuran keluarga mu?"
tanya Rangga terus menyelidik dan membuat Nurmi mengatakan terus terang apa
adanya dan tanpa ditutup-tutupi.
"Persoalan lama. Dia selalu kalah dalam mendapatkan
pengaruh dan kekuasaan. Oleh sebab itu dia sengaja bekerja sama dengan ayahku
sebelum menikahi ibuku. Mereka ingin menggunakan harta kekayaan keluargaku
untuk ambisi pribadinya yang gila," jelas Nurmi.
"Apa tujuannya?" tanya Rangga ingin tahu.
"Merebut kadipaten."
"Edan!" desis Rangga agak kaget juga mendengarnya.
Beberapa saat lamanya mereka terdiam membisu, sibuk dengan
pikirannya masing-masing. Sementara itu matahari terus merayap menggulir ke
arah Barat. Sinarnya yang semula terik, kini terasa lembut menyapu kulit. Angin
mulai menghembus kencang menaburkan hawa dingin menggigilkan tulang. Nurmi
mengangkat kakinya keluar dari dalam sungai, lalu melompat ringan ke tepi
sungai kecil ini.
"Nurmi, dimana adikmu sekarang?'' tanya Rangga
"Di Pertapaan Jati Wangi," sahut Nurmi. "Aku
memintanya untuk tidak terus terlibat, biar semuanya ku tanggung sendiri. Harus
ada satu orang yang nantinya bisa mewarisi kejayaan keluarga. Aku merasa kalau
semua yang kulakukan sangat berbahaya, bahkan nyawa taruhannya. Dan mungkin
juga tidak bisa mencegah darah ayah melumuri tanganku."
"Kenapa? Toh dia ayahmu juga, bukan?"
"Dia yang membunuh ibuku!"
"Oh...!" lagi-lagi Rangga terkejut. Sungguh mati
Rangga tidak menyangka kalau semua persoalannya begitu banyak kaitannya. Bahkan
persoalan yang sudah berjalan entah berapa tahun. Yang pasti, sebelum Nurmi
lahir ke dunia ini. Rasa iba mulai menjalar di hati Pendekar Rajawali Sakti
itu, setelah mengetahui beban penderitaan wanita ini. Masih terlalu muda bagi
Nurmi untuk menanggung semua itu.
Tidak heran kalau wanita itu tekun mempelajari ilmu olah
kanuragan dan kesaktian tanpa setahu ayahnya. Rupanya dendam sudah membara di
hatinya sejak melihat sendiri pembunuhan yang dilakukan ayahnya terhadap
ibunya. Terlebih lagi setelah mengetahui maksud-maksud buruk yang tersirat di benak
Ki Danupaya dan Ki Murad. Dan dendam yang terpendam tahunan itu rupanya meledak
juga.
"Sekarang kau sudah mengetahui semua permasalahannya,
Rangga. Kuminta jangan melibatkan diri dalam persoalan ini," kata Nurmi
setelah cukup lama berdiam diri.
"Memang tidak ada perlunya mencampuri urusan mu, Nurmi.
Tapi kau akan berhadapan dengan Dewi Iblis, bibimu sendiri," sahut Rangga
bernada sedikit menyesal.
"Seharusnya tidak perlu melibatkan dia, Rangga,"
Nurmi juga menyesali.
"Maaf aku terlalu gegabah, percaya saja terhadap cerita
Ki Murad," ucap Rangga menyesal.
"Yaaah..., aku harap Bibi Dewi tidak sempat bertemu
denganku sebelum Ki Murad tewas. Aku akan menyerahkan diri padanya nanti,"
desah Nurmi.
"Kenapa?"
"Aku telah melanggar pesannya untuk tidak mengeluarkan
ilmu yang diajarkan. Aku terpaksa, Rangga. Akibatnya Ki Murad mengetahui."
"Sudahlah Nurmi. Akan kujelaskan nanti pada Dewi
Iblis," janji Rangga.
"Mudah-mudahan Bibi Dewi mau mengerti."
"Ya," desah Rangga pendek.
***
Rangga terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara
ribut-ribut. Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas mengerinjang bangkit, lalu
mengintip dari celah-celah jendela. Tampak Nurmi tengah beradu mulut dengan
Dewi Iblis. Jelas sekali pembicaraan yang terdengar. Dan Rangga jadi terkejut,
karena Dewi Iblis memang diam-diam memberikan pelajaran ilmu olah kanuragan dan
ilmu kesaktian pada Nurmi untuk membalas kematian ibunya yang dilakukan ayahnya
sendiri. Juga untuk membunuh Ki Murad yang telah mengecewakan wanita tua itu
selagi masih muda dulu. Jelas sekali terdengar, kalau antara Dewi Iblis dan Ki
Murad pernah terjalin hubungan asmara.
Baru bisa dimengerti, kenapa Nurmi menuduh Ki Murad curang,
licik! Semua itu dimaksudkan karena Ki Murad meninggalkan Dewi Iblis dalam
keadaan hamil. Ki Murad malah menikah dengan wanita lain dan menghasilkan
seorang putra. Persoalan yang saling berkaitan dan sangat pelik.
"Kau benar-benar telah mengecewakan aku, Nurmi. Tidak
ada hukuman lain bagimu kecuali mati!" terdengar suara Dewi Iblis.
"Bi...."
"Bersiaplah untuk mati, Nurmi! Hiyaaat..!"
"Bi...!" Tapi Dewi Iblis sudah melontarkan satu
pukulan keras ke dada Nurmi yang tidak berkelit sedikit pun. Akibatnya wanita
itu terjengkang ke belakang sejauh tiga batang tombak.
"Heh...!" Rangga terkejut melihat kejadian itu.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu melesat ke luar menerobos jendela kamar
ini. Tepat pada saat itu kepala tongkat Dewi Iblis yang berbentuk tengkorak
manusia mengibas mengarah ke kepala Nurmi. Bagaikan kilat Rangga melentik dan
mencabut pedang pusaka Rajawali Sakti. Dia tahu betul kalau tongkat itu terlalu
berbahaya bila hanya ditandingi tangan kosong, meskipun dikerahkan tenaga dalam
penuh.
Secercah cahaya biru berkelebat cepat bagaikan kilat,
langsung memapak tongkat Dewi Iblis. Satu benturan keras terjadi hingga
menimbulkan ledakan menggelegar bagai gunung meletus. Dewi Iblis memekik keras
tertahan, dan tubuhnya mencelat ke belakang sejauh tiga batang tombak. Dua kali
tubuhnya berputaran di udara sebelum mendarat manis di tanah. Sedangkan Rangga
langsung menjejakkan kakinya di samping Nurmi yang menggeletak dengan mulut
berlumuran darah.
"Cukup, Dewi Iblis!" seru Rangga keras.
"Eh...!" Dewi Iblis terkejut setengah mati begitu
mengetahui yang menggagalkan serangannya adalah pemuda berbaju rompi putih yang
dulu pernah menak-lukkannya.
"Kau tidak apa-apa, Nurmi?" tanya Rangga seraya
menoleh sedikit pada wanita yang masih terduduk di sampingnya.
"Uh...! Dadaku seperti remuk," dengus Nurmi
merintih tertahan. Ditekap dadanya yang terkena pukulan telak bertenaga dalam
tinggi. Napasnya tersengal, terasa sulit sekali bernapas.
Rangga memalingkan mukanya kembali menatap pada Dewi Iblis.
Begitu tajam pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti itu. Sementara Dewi Iblis
menggeser kakinya beberapa langkah ke depan. Sikapnya begitu waspada, karena
telah tahu siapa pemuda berbaju rompi putih itu. Meskipun usianya jauh lebih
muda, namun tingkat kepandaiannya berada di atasnya. Terlebih lagi pedangnya
itu. Dewi Iblis tahu kalau tadi Rangga menggunakan pedang pusakanya untuk
menggagalkan serangannya.
Memang cepat sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu.
Secepat kilat dicabut pedang, secepat itu pula dimasukkannya kembali ke dalam
warangkanya. Begitu cepatnya, sehingga sukar untuk diikuti pandangan mata
biasa. Sepertinya Rangga tidak mengeluarkan pedang pusakanya tadi.
"Kau pernah berjanji padaku, Dewi Iblis. Dan aku juga
tidak akan lupa kata-kataku sendiri...!" terasa dingin dan datar nada
suara Rangga.
Dewi Iblis hanya mendengus saja. Tentu saja dia tidak akan
melupakan janjinya sendiri, dan kata-kata yang diucapkan Rangga waktu itu. Dan
disadari betul kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak akan menarik kembali ucapan
yang sudah dilontarkan. Dewi Iblis merasa kalau saat ini, mau tidak mau harus
bertarung kembali melawan Pendekar Rajawali Sakti sampai pada hembusan napasnya
yang terakhir.
"Kau telah menyalahgunakan kepercayaan yang kuberikan
padamu, Dewi Iblis. Rasanya sukar bagiku untuk memberi kesempatan lagi
padamu," kata Rangga lagi.
"Phuih! Majulah, bocah...! Kau pikir aku gentar
padamu?! He he he...!" Dewi Iblis mendengus langsung terkekeh.
"Bagus! Itu berarti kau sudah siap ke neraka!"
semakin dingin suara Rangga.
"Banyak omong! Hiyaaat..!" Dewi Iblis melompat
menerjang sambil mengebutkan tongkatnya, disertai pengerahan tenaga dalam
sangat tinggi.
Saat itu Rangga hanya menggeser kakinya sedikit dan menarik
tubuhnya ke belakang. Kibasan tongkat itu lewat di depan dadanya. Rangga bisa
merasakan angin kibasannya yang begitu dahsyat. Bergegas dilentingkan tubuhnya
ke atas, melewati kepala perempuan tua bungkuk berjubah merah itu.
"Hiya...!" Cepat sekali Rangga menggerakkan
kakinya, dan menggunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Tapi
rupanya Dewi Iblis sudah menyadari akan serangan itu, dengan cepat diputar
tongkatnya di atas kepala. Rangga terpaksa memutar tubuhnya, dan meluruk turun
ke belakang tubuh wanita bungkuk itu. Secepat kilat dilepaskan satu pukulan ke
punggung Dewi Iblis. "Hiyaaa...!"
"Uts!" Dewi Iblis memutar tongkatnya ke belakang,
melindungi punggungnya dari pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Dan cepat-cepat
diputar tubuhnya sambil mengayunkan tongkatnya ke arah kaki pemuda berbaju
rompi putih itu. Manis sekali Rangga melompat, dan melayangkan satu tendangan
menggeledek ke arah kepala Dewi Iblis.
"Hup! Hiyaaa...!" Dewi Iblis menghindar dengan
melentingkan tubuhnya ke belakang sambil mengibaskan ujung tongkatnya yang
runcing. Tapi saat itu Rangga sudah melepaskan satu pukulan keras bertenaga
dalam sempurna dibarengi pengerahan aji 'Bayu Bajra'. Suatu ajian yang dahsyat
membawa angin pukulan bagai gelombang badai topan menghancurkan gunung!
"Hiyaaa...!"
"Akh...!" Dewi Iblis memekik keras tertahan.
Perempuan tua bungkuk berjubah merah itu tak mampu lagi menahan gempuran Rangga
yang begitu dahsyat. Apalagi keadaan tubuhnya berada di atas tanah. Tak ampun
lagi, tubuh tua bungkuk itu meluncur deras ke belakang, menghantam dinding batu
cadas hingga hancur berantakan. Bumi serasa berguncang. Sementara itu batu-batu
cadas tiba-tiba berguguran menimpa tubuh Dewi Iblis.
Rangga berdiri tegak memperhatikan batu-batu yang berjatuhan
menimbun Dewi Iblis. Suara bergemuruh masih terdengar memekakkan telinga
disertai guncangan yang cukup keras pada tanah. Rangga masih berdiri tegak
sampai tidak ada lagi batu-batu yang berguguran. Tampak gundukan batu besar
dari kecil membentuk sebuah bukit batu kecil di atas bukit.
Rangga menarik napas panjang, kemudian berpaling pada Nurmi
yang sudah bisa bangkit berdiri. Pemuda berbaju rompi putih itu menghampiri.
Sedangkan Nurmi hanya diam mematung memandangi tumpukan batu yang menimbun Dewi
Iblis. Entah apa yang ada di dalam hati wanita itu. Bibirnya terkatup rapat
dengan pandangan lurus tak berkedip. Rangga menepuk lembut pundaknya. Nurmi
berpaling, menatap redup.
"Meskipun dia jahat, tapi selalu baik padaku,"
ujar Nurmi lirih.
"Maaf...."
"Tidak perlu disesali, Rangga. Aku tahu, kau
melakukannya demi kebenaran," potong Nurmi cepat.
Wanita itu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi
pelahan-lahan. Sementara Rangga memandangi sejenak, lalu ikut berjalan
menyusul.
***
Suasana di Desa Kali Wungu tampak tenang. Namun ketenangan
itu bukan berarti ketentraman. Seluruh rumah terkunci rapat, dan tak ada
seorang pun yang terlihat berada di luar. Hanya dua orang saja yang berjalan
menyusuri jalan tanah berdebu membelah desa itu. Mereka adalah Rangga dan
Nurmi. Wanita itu berjalan sekitar sepuluh tombak di depan Pendekar Rajawali
Sakti. Sebuah tudung bambu besar menutupi kepalanya.
Sedangkan Rangga memperlambat langkahnya setelah Nurmi
berada tak jauh di depan pintu gerbang sebuah rumah besar yang tertutup rapat.
Tak ada seorang pun yang terlihat menjaga. Wanita berbaju merah dengan tudung
bambu bertengger di kepalanya itu berhenti sekitar sepuluh langkah lagi
jaraknya. Diangkat kepalanya, dan tampaklah empat orang di atas tembok benteng
dengan anak panah siap terpasang di busur.
"Hm...," Nurmi menggumam pelahan.
Wut! Sing...!
Tiba-tiba saja empat orang di atas tembok itu melepaskan
anak panah dengan cepat. Anak-anak panah itu meluruk bagaikan hujan, menghunjam
ke arah Nurmi. Namun gadis itu lincah sekali bisa mengelak-kan serbuan anak
panah itu. Dia berlompatan cepat sambil memutar tongkat putihnya, menghalau
serbuan anak panah yang datang bagai hujan.
Sementara dari tempat yang cukup jauh, Rangga menyaksikan
tanpa berkedip. Semula dia ingin membantu. Tapi melihat Nurmi masih mampu
mengatasi, Pendekar Rajawali Sakti itu mengurungkan niatnya. Pertarungan itu
diperhatikan saja sambil berjaga-jaga kalau ada yang bermain curang.
"Hiyaaat...!" Tiba-tiba saja wanita berbaju merah
dengan kepala tertutup tudung besar itu melesat ke atas sambil memutar tongkat
putihnya, membuat perisai bagi dirinya sendiri. Lesatannya bagus dan cepat luar
biasa, sehingga empat orang di atas tembok benteng itu tidak bisa berbuat
apa-apa.
Bagaikan kilat, Nurmi mengibaskan tongkatnya menghajar empat
orang itu. Jerit pekik melengking terdengar sating sambut, disusul ambruknya
empat sosok tubuh dari atas tembok benteng itu. Tampak Nurmi berdiri tegak
dengan tongkat putih menyilang di depan dada. Pandangannya tajam beredar
mengamati bagian dalam halaman yang cukup luas, dan di kelilingi pagar tembok
yang cukup tinggi dan kokoh ini.
"Ki Murad...! Keluar kau...!" lantang suara Nurmi.
"Jangan hanya bisa bersembunyi di balik punggung monyet buduk!" Suara
yang disalurkan lewat pengerahan tenaga dalam itu bergema terbawa angin.
Cukup lantang, dan pasti seluruh penduduk Desa Kali Wungu
ini mendengar semua. Tampak dari balik jendela dan pintu rumah-rumah yang
berdekatan dengan kediaman Ki Danupaya, menyembul beberapa kepala yang melongok
ke luar. Tak ada yang berani ke luar, begitu melihat seseorang berbaju merah menyala
berdiri tegak di atas tembok benteng yang mengelilingi bangunan besar bagai
istana itu.
"Hm...," Nurmi bergumam pelan. Dari balik tudung
yang besar, bibirnya tersenyum melihat sekitar sepuluh orang bersenjata tombak
bermunculan keluar dari dalam bangunan besar itu. Mereka berlompatan ke halaman
dan memamerkan keahliannya menggunakan tombak panjang bermata berkilat tertimpa
cahaya matahari.
"Hup...!" Indah sekali Nurmi melesat turun. Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, wanita itu mendarat tepat di tengah-tengah
lingkaran sepuluh orang bersenjata tombak terhunus. Nurmi mengedarkan
pandangannya ke sekeliling, merayapi sepuluh orang yang terus bergerak
memutarinya sambil memain-mainkan tombak.
Saat itu tampak sebuah bayangan putih berkelebat, dan
tahu-tahu sudah berada di atas atap. Tampak di situ berdiri seorang pemuda
berbaju rompi putih, yang ternyata adalah Pendekar Rajawali Sakti. Dia duduk
dengan enaknya di atap, menonton Nurmi yang di kepung sepuluh orang bersenjata
tombak panjang.
"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"
Teriakan-teriakan keras terdengar, disusul berlompatannya sepuluh orang yang
menyerang Nurmi dari berbagai jurusan.
"Hait...!" Gesit sekali gerakan wanita berbaju
merah itu menghindari setiap serangan yang datang dari segala penjuru. Tongkat
putihnya berkelebatan cepat diimbangi gerakan kaki dan tubuhnya yang lincah
cepat luar biasa. Dalam beberapa gebrak saja, tampak dua orang terjungkal
menimbulkan suara pekikan melengking tinggi. Darah bersimbah membasahi tanah
berumput halus dan terawat rapi itu.
Nurmi bertarung bagai singa betina kehilangan anaknya.
Tongkat putihnya berkelebat cepat menyebarkan hawa maut. Teriakan-teriakan
pertempuran, kini bercampur pekik tertahan kesakitan. Itu pun masih diikuti
jeritan melengking dari tubuh-tubuh yang bergelimpangan dan menggelepar
bersimbah darah. Sepuluh orang itu memang bukan lawan Nurmi. Sehingga dalam
waktu tidak berapa lama saja sudah lebih dari separuhnya yang tergeletak tidak
bernyawa lagi.
Pada saat jumlah mereka tinggal tiga orang lagi, dari dalam
rumah kembali bermunculan sekitar dua puluh orang bersenjata terhunus berbagai
jenis. Mereka langsung berlompatan menyerang wanita berbaju merah itu. Mereka
yang baru muncul, rupanya memiliki kepandaian yang lebih tinggi. Sehingga Nurmi
kelihatan cukup repot juga menghadapinya, meskipun masih mampu mengimbangi.
Tapi pada jurus-jurus berikutnya, kelihatan kalau Nurmi amat
terdesak. Beberapa kali tubuhnya harus menerima pukulan yang cukup keras,
sehingga membuatnya bergulingan di tanah. Pada saat keadaan Nurmi semakin tidak
menguntungkan, mendadak dari atap bangunan besar dan megah itu meluncur
bayangan putih, yang langsung menghajar orang-orang itu. Jerit dan pekik
kesakitan terdengar membahana saling sambut, disusul oleh berpentalannya orang
yang mengeroyok wanita bertudung itu.
"Rangga...," desis Nurmi mengenali orang yang
menolongnya pada saat yang tepat.
***
DELAPAN
"Kau temui ayahmu di dalam. Dia ada di ruangan
depan," kata Rangga memberitahu.
Hampir bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti itu memukul roboh
salah seorang yang mencoba membokongnya dari belakang. Nurmi yang mendengar
ucapan Rangga, bergegas melentingkan tubuhnya melewati beberapa kepala. Masih
sempat diayunkan tongkatnya, membuat dua orang menjerit keras sambil memegangi
kepalanya yang terhantam senjata wanita itu.
Sementara Rangga terus mengamuk sambil bergerak mendekati
beranda depan. Sedangkan Nurmi sudah tiba lebih dahulu. Wanita berbaju merah
itu berdiri tegak di tengah-tengah beranda depan yang disangga dua buah pilar
besar. Tatapan matanya tajam dan lurus ke depan.
Dari dalam rumah itu muncul seorang laki-laki setengah baya
mengenakan baju putih dengan ikat kepala juga putih bersih. Di tangan kirinya
tergenggam sebilah pedang yang masih terbungkus sarungnya. Tidak berapa lama
berselang, keluar lagi seorang laki-laki tua berjubah putih menyandang pedang
di pinggang. Di belakangnya mendampingi enam orang tubuh tinggi besar dengan
dada telanjang.
"Bagus! Berkumpullah di sini, agar aku tidak perlu
susah payah meminta tanggung jawab kalian semua!" terdengar dingin nada
suara Nurmi.
"Bisa kau buka tudungmu, Nurmi?" agak bergetar
suara Ki Danupaya. Laki-laki itu langsung mengenali suara anaknya.
"Hhh...! Ternyata kau tidak melupakan suaraku, Ki
Danupaya!" dengus Nurmi seraya membuka tudungnya.
"Tentu saja, Anakku," sahut Ki Danupaya berusaha
lembut.
"Phuih! Tidak pantas kau menyebutku anak,
keparat!" geram Nurmi.
"Nurmi...."
"Aku bukan anakmu! Aku tidak punya ayah
sepertimu!" sentak Nurmi memotong cepat.
"Nurmi, sadarlah.... Kau dalam kesulitan besar, Anakku.
Kendalikan dirimu," bujuk Ki Danupaya.
"Kesulitanku merupakan awal kehancuran kalian!"
lantang suara Nurmi.
"Percuma kau membujuknya, Adi Danupaya. Bocah ini sudah
dirasuki iblis!" celetuk Ki Murad.
"Sebaiknya bercerminlah dulu, Ki Murad. Dirimu sendiri
tidak lebih busuk dari iblis neraka!" desis Nurmi sengit.
"Bocah lancang! Mulutmu harus diajar tata krama!" geram
Ki Murad.
"Juga otakmu, tua bangka!" balas Nurmi sengit.
Trek!
"Tahan, Kakang!" sentak Ki Danupaya begitu
dilihatnya Ki Murad mencabut pedang.
Tapi Ki Murad sudah tidak bisa lagi menahan diri. Terlebih
lagi saat mengingat nyawa anak dan istrinya, serta sepuluh orang murid
kesayangannya yang tewas. Dengan teriakan keras, Ki Murad melesat sambil
mengibaskan pedangnya ke leher Nurmi.
"Uts! Hait...!" Bergegas Nurmi melompat sambil
mengegoskan tubuhnya ke samping. Tapi belum juga bisa berdiri sempurna, kembali
datang serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Wanita berbaju merah itu terpaksa
mengibaskan tongkatnya. Dan...
Trang! "Akh...!" Ki Murad terpekik tertahan begitu
pedangnya membentur tongkat putih milik Nurmi. Tapi wanita berbaju merah itu
juga terpental mundur sejauh lima langkah. Sebentar mereka saling menatap, lalu
berlompatan seraya memberikan serangan menggunakan jurus-jurus maut.
Sementara itu di halaman depan, Rangga sudah membereskan
lawan-lawannya. Dia berjalan tenang mendekati arena pertarungan antara Nurmi
melawan Ki Murad. Nurmi yang bertarung dengan hati terselimut dendam dan
amarah, jadi tidak bisa mengontrol dirinya. Akibatnya dia lupa memperhitungkan
pertahanannya. Wanita itu terus menyerang dan ini diketahui Ki Murad yang sudah
kenyang makan asam garamnya dunia persilatan. Laki-laki tua berjubah putih itu
men-gambil kesempatan pada saat Nurmi menyerang tanpa mengindahkan pertahanan
dirinya sendiri, sehingga...
"Jebol!" seru Ki Murad tiba-tiba. Seketika itu
juga tangan kiri Ki Murad menghentak ke depan setelah pedangnya berhasil
menghalau tusukan tongkat putih wanita yang berselimut dendam dan amarah itu.
Hantaman tangan kiri Ki Murad tidak bisa terhindarkan lagi dan...
"Akh...!" Nurmi terpekik keras. Tubuh ramping
terbalut baju merah ketat itu terjungkal keras ke belakang, dan bergulingan
beberapa kali di tanah. Bagaikan kilat, Ki Murad melompat sambil berteriak
keras melengking, menghunus ujung pedang ke depan. Saat itu posisi Nurmi memang
tidak menguntungkan sekali, dan tidak mungkin bisa berkelit Tapi...
Trang!
"Eh...!" Ki Murad terperanjat kaget. Buru-buru
laki-laki tua itu mundur. Dan tiba-tiba saja di depan Nurmi sudah berdiri
seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju rompi putih yang bagian dadanya
dibiarkan terbuka lebar.
"Pendekar Rajawali Sakti..." desis Ki Murad. Agak
bergetar suaranya, begitu mengenali orang yang baru saja menyelamatkan nyawa
Nurmi.
Sementara itu Nurmi sudah bisa bangkit berdiri, meskipun
masih sedikit limbung. Sebentar diatur napasnya, mengalirkan hawa mumi untuk
mengusir rasa sesak yang mengganjal dadanya. Dari sudut bibirya mengalir darah
kental. Untung saja pukulan Ki Murad tadi tidak bertenaga dalam penuh, sehingga
Nurmi masih bisa bertahan. Tapi tak urung masih terasa sakit pada rongga
dadanya.
"Rangga..., kenapa kau bela bocah keparat itu?"
agak keras nada suara Ki Murad.
"Aku akan berada di pihak yang benar, Ki Murad,"
sahut Rangga kalem, namun nada suaranya terdengar datar.
"Sudah jelas bocah iblis itu yang bersalah! Mengapa kau
malah membelanya?!"
"Beberapa hari yang lalu, mungkin aku berpendapat
begitu. Tapi sekarang justru tidak akan kubiarkan kau menyentuhnya sedikit pun,
Ki Murad. Sayang sekali, sandiwara mu yang hebat itu tidak bisa mengelabuiku
terus-menerus," masih terdengar tenang suara Rangga.
"Dengar, Pendekar Rajawali Sakti...! Bocah setan itu
adalah keturunan manusia iblis, dan selamanya akan menjadi iblis berbentuk
manusia. Jika berpihak padanya, sama saja kau melumuri nama besarmu dengan
darah iblis!" lantang suara Ki Murad.
"Hmm..." Rangga hanya berguman saja dengan mata
agak menyipit.
"Jangan dengarkan omongannya Rangga, dia itu manusia
licik! Mulutnya sangat berbisa...!" sentak Nurmi ketus.
"Ha... ha... ha...! Kau akan cari pengaruh rupanya,
bocah setan!" keras sekali suara Ki Murad.
Rangga jadi terdiam, dia kebingungan juga, karena satu sama
lain saling membenarkan dirinya sendiri. Pada saat Pendekar Rajawali Sakti itu
diliputi kebimbangan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Dan mendadak saja
pintu gerbang benteng rumah ini hancur. Tampaklah dua ekor kuda putih menerobos
masuk pintu gerbang diikuti sekitar enam orang berkuda. Semua orang yang berada
di tempat ini langsung menoleh.
"Kakek...," desis Nurmi mengenali laki-laki tua
yang menunggang kuda putih di samping seorang wanita muda berbaju merah, hampir
sama dengan yang dikenakan Nurmi.
Para penunggang kuda itu berlompatan turun. Tampak wanita
muda berbaju merah itu bergegas menghampiri Nurmi. Sedangkan laki-laki tua yang
membawa tongkat, melangkah ringan menghampiri Ki Danupaya yang masih saja
berdiri di ujung tangga beranda depan.
"Sudah kudengar semua yang terjadi di sini, Danupaya.
Aku harap secepatnya kau tinggalkan desa ini!" tegas kata-kata laki-laki
tua itu.
"Kenapa kau ikut campur urusan ini, Eyang
Baraga?!" sergah Ki Murad menyeletuk.
Laki-laki tua bertongkat itu hanya mendengus kecil. Langsung
diputar tubuhnya, menatap tajam Ki Murad. Sementara Ki Danupaya hanya diam
saja, kemudian melangkah mendekati Ki Murad dan berdiri di sampingnya.
"Sejak semula sudah kuduga kehadiranmu di desa ini akan
membawa malapetaka...!" dingin nada suara laki-laki tua yang dipanggil
Eyang Baraga itu.
"Ha ha .ha...!" Entah kenapa, tiba-tiba saja Ki
Murad tertawa terbahak-bahak. Ki Murad menjentikkan tangannya, maka empat orang
yang masih berada di tangga beranda, langsung melontarkan benda-benda kecil
berwarna kuning keemasan ke arah Eyang Baraga.
"Bedebah! Licik...!" dengus Eyang Baraga
meng-geram. Laki-laki tua itu mengebutkan tangannya, dan langsung cepat memutar
tongkatnya bagai baling-baling. Benda-benda kecil berbentuk mata panah itu
berguguran sebelum mengenai sasarannya. Pada saat yang sama, Ki Murad melesat
cepat bagaikan kilat sambil mengebutkan pedangnya ke arah Nurmi.
"Nurmi, awas...!" seru Rangga tersentak kaget.
Tapi peringatan Pendekar Rajawali Sakti itu terlambat, Nurmi yang tengah
terpana oleh satu pola serangan yang begitu cepat dan tidak terduga sama
sekali, hanya terkesiap sehingga ujung pedang Ki Murad menggores bahunya,
walaupun wanita itu sempat memiringkan tubuhnya ke kanan.
"Akh!" Nurmi memekik tertahan. Darah langsung
merembes keluar dari luka di bahu wanita itu. Rangga yang melihat kelicikan
itu, jadi geram setengah mati. Dengan satu teriakan keras, langsung menyerang
Ki Murad. Seketika dicabutnya pedang pusaka dari warangkanya. Saat itu juga
cahaya biru membias terang dari mata Pedang Rajawali Sakti.
"Hiyaaat...!" Tidak tanggung-tanggung lagi, Rangga
langsung mengeluarkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Jurus yang sangat dahsyat
dan sukar untuk ditandingi. Terlebih lagi Rangga juga mengerahkan tenaga
dalamnya yang sudah mencapai tahap kesempurnaan. Begitu cepatnya pedang itu
berkelebat, sehingga Ki Murad tidak sempat lagi berkelit. Buru-buru diangkat
pedangnya, memapak pedang yang memancarkan cahaya biru menyilaukan itu.
Trang!
"Akh...!" Ki Murad terpekik keras. Laki-laki tua
itu jadi terperangah, karena pedang andalannya terbabat buntung! Dan belum lagi
bisa menguasai dirinya, Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali mengibaskan
pedangnya. Ki Murad bergegas melompat mundur, tapi gerakannya kalah cepat.
Akibatnya....
"Aaa...!" Ki Murad menjerit melengking tinggi. Tak
dapat dihindarkan lagi. Pedang Rajawali Sakti kini telah mengoyak dalam dada
laki-laki tua berjubah putih itu. Darah seketika muncrat bersamaan dengan
ambruknya tubuh tua itu ke tanah. Hanya sebentar Ki Murad mampu menggelepar,
sesaat kemudian diam tidak bernyawa lagi.
Sementara pada waktu yang bersamaan, Eyang Baraga juga sudah
membereskan empat orang yang menyerangnya secara curang. Empat orang itu
menggeletak berlumuran darah. Mereka semua memandang Ki Danupaya yang bergerak
mundur sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Sementara Nurmi meringis
saat adiknya membebat luka di bahunya.
"Rasanya sudah cukup menahan kesabaranku selama ini,
Danupaya. Rupanya kau tidak bisa lagi diberi kesempatan untuk merubah diri
menjadi benar," kata Eyang Baraga, terdengar dingin nada suaranya.
"Kau pikir aku takut...?! Ayo maju kalian semua!
Keroyok aku...!" sentak Ki Danupaya sambil mencabut pedangnya. Sret!
"Aku hargai ambisi mu untuk menjadi adipati yang
disegani, Danupaya. Tapi cara dan jalan yang kau tempuh dengan bergabung
bersama Murad, jelas tidak bisa ku benarkan. Bahkan tega-teganya membunuh
istrimu sendiri dan menjual anakmu demi ambisi pribadi. Kau fitnah diriku
sebagai pemberontak, hingga harus terpaksa meninggalkan Desa Kali Wungu ini.
Hhh...! Rasanya sudah cukup tingkah polah mu, Danupaya," kata Eyang Baraga
pelan. Nada suara laki-laki tua itu terdengar menyesali semua kelakuan
Danupaya.
Sementara Rangga hanya mendengarkan saja tanpa membuka mulut
sedikit pun. Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak mundur beberapa
langkah. Pedang pusakanya sudah kembali bersemayam dalam warangkanya.
"Jika kau melakukan semua ini dengan cara yang baik dan
benar, tentu aku akan membantumu, Danupaya. Tapi cara yang kau lakukan membuat
perutku mual!" sambung Eyang Baraga.
"Ha ha ha...! Kau pikir aku bodoh, setan tua? Kau paksa
diriku untuk menikahi puterimu yang sudah hamil dan punya anak satu tanpa ayah.
Kau pikir aku puas dengan harta yang kau berikan, walaupun dengan janji harus
pergi setelah anak-anak setan itu berusia dewasa? Ha ha ha...! Bodoh...!
Benar-benar dungu kau, setan tua!" lantang kata-kata Ki Danupaya.
Ucapan Ki Danupaya membuat Nurmi dan adiknya jadi memerah
wajahnya. Tentu saja kata-kata itu langsung ditujukan pada diri mereka berdua.
Dan mereka benar-benar terkejut
"Eyang..., benarkah itu?" tanya Nurmi dengan suara
agak bergetar.
Eyang Baraga menatap tajam penuh geram pada Ki Danupaya.
Pelahan kemudian kepalanya terangguk membenarkan.
"Jadi...," suara Nurmi terputus. "Kenapa
Eyang tidak mengatakannya padaku?"
"Aku terlalu sayang pada kalian semua. Percayalah, apa
yang kulakukan demi kalian berdua, Cucu-cucuku," Eyang Baraga mencoba
menjelaskan.
"Eyang jahat..!" desis Nurmi. Tiba-tiba saja
wanita itu melompat cepat dan berlari kencang menerobos pintu gerbang yang
hancur berantakan.
"Nurmi...!" seru Eyang Baraga terkejut
"Kak...!" Tapi Nurmi sudah lenyap tidak terlihat
lagi. Eyang Baraga menggeram keras. Seketika dia pat menerjang Ki Danupaya.
Begitu cepat terjangannya, sehingga Ki Danupaya tidak sempat lagi berkelit.
Keras sekali tongkat laki-laki tua itu menghantam kepala Ki Danupaya.
"Prak! "
"Aaa...!" Ki Danupaya menjerit melengking tinggi.
"Mampus kau, bajingan tengik!" geram Eyang Baraga.
Belum lagi tubuh Ki Danupaya yang kepalanya hancur jatuh ke
tanah, Eyang Baraga sudah melompat ke punggung kudanya. Sekali gebah saja, kuda
putih itu melesat lari bagai anak panah lepas dari busur. Gadis berbaju merah
yang ternyata adik Nurmi, bergegas menyusul dengan kudanya. Demikian juga
orang-orang yang tadi datang bersama mereka. Pada saat itu, tak seorang pun
yang menyadari kalau sejak tadi Rangga sudah tidak berada di tempat itu.
Sementara, Ki Danupaya telah tergeletak tak bernyawa dengan ke-pala hancur.
***
Nurmi terus berlari tanpa mempedulikan air mata yang
berlinangan membasahi pipinya. Dia memang pernah mendengar kalau dirinya bukan
anak Ki Danupaya, tapi semua itu selalu dianggap sebagai kabar burung. Tapi
setelah Eyang Baraga mengakui meskipun tanpa kata-kata, hatinya begitu hancur.
Sungguh tidak disangka sama sekali kalau kelahirannya ke dunia ini tanpa
diketahui siapa ayahnya sesungguhnya.
"Nurmi...!" terdengar panggilan keras dari arah
belakang.
Nurmi terus berlari semakin kencang mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang cukup tinggi tingkatannya. Dia terus berlari menerobos
masuk ke dalam Hutan Bukit Mangun. Tapi tiba-tiba saja wanita itu berhenti
ketika mendadak di depannya menghadang seorang pemuda berwajah tampan
mengenakan baju rompi putih. Wanita itu menoleh ke belakang. Tak ada seorang
pun terlihat mengejarnya. Kembali kepalanya berpaling sambil buru-buru
menghapus air matanya.
"Kenapa kau lari, Nurmi?" tanya Rangga.
"Pergilah, Rangga.... Biarkan aku sendiri...,"
tersendat suara Nurmi.
Rangga tersenyum menggeleng-gelengkan kepalanya. Dihampiri
dan digamitnya tangan wanita itu. Rangga kemudian mengajaknya melangkah. Nurmi
menurut saja, bahkan juga tidak menolak ketika Rangga membawanya duduk di bawah
pohon rindang yang melindungi mereka dari sengatan matahari. Nurmi hanya
tertunduk saja. Kini air matanya sudah kering, namun masih kelihatan sembab
pada matanya.
"Nurmi..., kau sudah tahu kalau Ki Danupaya itu bukan
ayahmu. Tapi kenapa bersikap seperti anak kecil begini? Tidak seharusnya
melarikan diri dan menyalahkan kakekmu begitu saja...."
"Tidak ada gunanya kau berkata seperti itu,
Rangga," potong Nurmi cepat sebelum Rangga menyelesaikan ucapannya.
"Sejak pertama kali mengenalmu, aku sudah kagum padamu,
Nurmi. Aku tidak ingin rasa kagumku kau rusak begitu saja karena sikap
kekanak-kanakan mu. Berpikir lah secara dewasa, jernih, dan tidak mengikuti
perasaan hati. Aku yakin kau bisa menarik hikmah dari semua yang telah
terjadi," lembut sekali nada suara Rangga. Nurmi hanya diam tertunduk.
"Aku yakin, sikap yang diambil kakekmu ada alasan
tertentu demi kebaikanmu dan adikmu. Aku juga yakin kalau kakekmu tahu siapa
ayahmu sebenarnya," sambung Rangga.
"Kalau tahu, mengapa tidak mengatakannya dari dulu?
Kenapa malah mengawinkan ibu dengan bajingan keparat itu?" agak keras
suara Nurmi.
"Kenapa tidak kau tanyakan itu pada Eyang Baraga?"
Rangga malah membalikkan pertanyaan.
Nurmi menatap Pendekar Rajawali Sakti itu dalam-dalam.
Pertanyaan Rangga yang sedikit itu langsung menggetarkan hatinya. Ya..., kenapa
tidak ditanyakan langsung pada Eyang Baraga? Kenapa harus melarikan diri dan
membenci orang tua itu? Apa yang dikatakan Rangga barusan memang tidak ada
salahnya. Pelahan wanita itu menundukkan kepalanya.
"Ayo, kuantar menemui kakekmu," ajak Rangga.
Sebentar Nurmi mengangkat kepalanya dan menatap dalam-dalam pada bola mata
pemuda itu, kemudian bangkit berdiri. Rangga ikut bangkit, tapi belum juga
mereka mengayunkan kaki, terdengar suara derap langkah kaki kuda menuju ke
arahnya. Tak lama kemudian beberapa ekor kuda menuju tempat itu. Tampak Eyang
Baraga diikuti sekitar enam orang penunggang kuda. Laki-laki tua itu langsung
melompat turun sebelum kudanya berhenti. Bergegas dihampirinya Nurmi yang
berdiri didampingi Pendekar Rajawali Sakti.
"Nurmi...," agak tertahan suara Eyang Baraga di
tenggorokan. Terasa kaku sikap kakek dan cucu ini. Sementara Rangga bergerak
menyingkir ke belakang, membiarkan mereka berdua saja. Sedangkan enam orang
yang ikut serta bersama Eyang Baraga hanya berdiri saja di tempat yang agak
jauh, di samping kudanya masing-masing.
"Maafkanlah aku, Nurmi. Kau boleh membenciku, tapi
dengarlah dulu penjelasanku," kata Eyang Baraga setelah agak lama juga
terdiam.
Nurmi hanya diam saja. Masih sulit rasanya untuk membuka
suaranya. Entah apa yang ada dalam relung hatinya saat ini, hanya dirinya
sendiri yang bisa mengetahuinya. Yang jelas sikap Nurmi masih terlihat kaku.
"Sengaja kulakukan ini semua karena tidak ingin
mengecewakan ayahmu. Memang semua ini kesalahanku yang terlalu angkuh dan keras
kepala. Padahal aku tahu kalau antara ibumu dengan ayahmu saling mencintai.
Mereka ku pisahkan saat ibumu mengandungmu. Tapi rupanya mereka masih tetap
berhubungan tanpa sepengetahuanku. Hingga setahun setelah kau lahir, ibumu
mengandung lagi. Aku tidak bisa menanggung beban malu terus-menerus. Maka ku
putuskan menikahkan ibumu dengan pemuda pilihanku yang sebenarnya sudah
kuketahui wataknya. Tapi memang hanya dia yang bersedia, tapi dengan satu
syarat, seluruh harta kekayaanku harus jatuh ke tangannya. Syarat itu kuterima,
tapi dengan satu perjanjian pula. Seluruh harta akan jatuh kepadamu kalau kau
sudah dewasa, dan Danupaya menyetujuinya. Tapi, sama sekali tidak kuketahui
maksud sebenarnya yang terkandung dalam dada laki-laki keparat itu," Eyang
Baraga menjelaskan dengan suara agak terbata-bata.
"Di mana ayahku sekarang?" tanya Nurmi.
"Tanpa setahuku, rupanya ayahmu mencoba membawa lari
ibumu dari tangan Danupaya, tapi ketahuan. Akhirnya dia tewas di tangan anak
buah Danupaya. Sebulan setelah peristiwa itu, Danupaya membunuh ibumu. Saat itu
aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena Danupaya sudah menyebar fitnah. Aku
dituduh menghimpun kekuatan dan akan memberontak pada kerajaan. Terpaksa aku
lari dengan membawa adikmu, tapi tidak sempat membawamu, Nurmi."
Nurmi kembali diam. "Di mana adikku sekarang?"
tanya Nurmi setelah cukup lama berdiam diri. "Kembali ke pertapaan,"
sahut Eyang Baraga.
"Eyang..., maafkan aku," lirih ucapan Nurmi.
Eyang Baraga tersenyum dan merengkuh cucunya dalam pelukan.
Untuk sesaat mereka saling berpelukan. Tak ada yang menyadari kalau Rangga
telah meninggalkan tempat itu diam-diam. Nurmi melepaskan pelukan kakeknya,
lalu menoleh ke arah Rangga tadi berdiri. Tapi wanita itu jadi kebingungan.
"Eh...! Mana dia...?" tanya Nurmi seperti bertanya
pada dirinya sendiri.
"Siapa, Nurmi?" tanya Eyang Baraga.
"Rangga," sahut Nurmi.
"Kekasihmu?"
"Ah, Eyang...," wajah Nurmi menyemburat merah
dadu.
"Ayolah kita pulang," ajak Eyang Baraga. Nurmi
mengangguk dan melangkah di samping kakeknya.
Sesekali wanita itu melayangkan pandangannya ke sekeliling.
Dia berharap bisa melihat Pendekar Rajawali Sakti, tapi sampai jauh berjalan,
Rangga tidak terlihat lagi. Nurmi hanya bisa mengucapkan terima kasih dalam
hati saja. Kalau bukan karena Pendekar Rajawali Sakti, entah apa jadinya dia
sekarang ini. Mungkin selama hidupnya akan berkelana tanpa tujuan pasti,
membawa kehampaan hati. Tapi sekarang... paling tidak dimiliki suatu harapan
untuk masa depannya.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
Emoticon