Dua lengan Sobrah Tulus segera terangkat
pula. Pada mulanya gerakan ini agak ragu dan
gemetaran, dalam memegang lengan Widoretno
itu. Namun ketika perempuan ini tidak mele-
paskan rabaan tangannya, maka jari tangan So-
brah Tulus bergerak merayap sepanjang lengan
itu, dan akhirnya sampai di bawah pundak. Ke-
mudian jari tangan pemuda itu bergerak turun
- Ihhh ..... kau.....- tiba-tiba saja Widoretno
tak kuasa menahan hatinya lagi, lalu memeluk
pemuda ini erat sekali dan langsung menyerang
bibir si pemuda.
Widoretno menjadi lupa diri berhadapan
dengan pemuda tampan dan ganteng ini, masih
muda pula. Ia tidak ingat lagi bahwa saat seka-
rang ini sebenarnya Sobrah Tulus sedang terluka
pada beberapa bagian tubuhnya. Dan hanya oleh
pengaruh perasaan aneh yang memenuhi da-
danya saja, Sobrah Tulus menjadi lupa kepada
keadaan tubuhnya yang terluka.
Akan tetapi setelah mendapat pelukan Wi-
doretno, pundaknya yang terluka terasa sakit
- Ahhhh.....!- terdengar desah dari mulut
Sobrah Tulus ketika Widoretno melepaskan bibir
pemuda itu.
Tubuh Sobrah Tulus menggigil, dan tentu
pemuda itu sudah roboh apabila tidak cepat dipe-
luk lagi oleh perempuan itu.
- Aduhhh ..... maafkanlah aku sampai ter-
lupa kau terluka. –
Sambil berkata demikian Widoretno mem-
bimbing pemuda yang memikat hatinya ini, ke-
mudian mereka duduk di bawah pohon rindang.
- Biarlah aku yang memeriksa dan mengobati-
Sobrah Tulus menahan rasa sakit dan pe-
dih pada lukanya. Dan ia membiarkan ketika jari
tangan Widoretno melepas bajunya yang bernoda
darah.
- Ahhh, untung sekali lukamu ringan saja.
Setelah aku obati dalam waktu singkat tentu su-
dah sembuh kembali!- ujarnya lirih dengan nada
menghibur.
Sobrah Tulus mengangguk. Namun ia me-
ringis juga ketika luka yang darahnya sudah
mengering itu dibersihkan oleh Widoretno.
Cekatan juga jari tangan Widoretno dalam
membersihkan dan mengobati luka-luka itu. Sete-
lah membubuhi obat, luka itu kemudian ia balut
menggunakan kain penutup dadanya yang dibagi-
bagi. Dan pada saat Widoretno melepas kain pe-
nutup dadanya ini, maka Widoretno terpaksa me-
nyingsingkan bajunya ke atas.
Mereka berhadapan dan dada pemuda ini
bergetar hebat sekali ketika melihat Widoretno
melepas kain penutup dada itu, disamping amat
berterima kasih.
Aneh juga yang dilakukan perempuan ini.
Ia mempunyai persediaan ganti pakaian dalam
bungkusan. Mestinya kalau memerlukan kain pe-
nutup dada, ia bisa mengambil dari bungkusan
itu. Tetapi mengapa malah melepas yang sudah ia
pakai?
Jari tangan Widoretno cekatan sekali keti-
ka melepas kain penutup dada itu. Dan ketika
kain penutup dada lepas, perempuan ini lalu si-
buk merobek-robek kain ini untuk pembalut
Saking sibuk, perempuan ini menjadi lupa
bahwa waktu itu bajunya terbuka ke atas, dan
dada yang tanpa penutup itu sekarang tampak
membukit penuh di depan mata Sobrah Tulus.
Mata pemuda ini silau memandang dada
membukit penuh tanpa penutup itu, tetapi mata
itu malah melotot dan menelan ludah.
Semenjak dirinya menjadi dewasa, baru
pertama kali ini saja dirinya melihat pemandan-
gan menarik seperti ini. Pandangan asing dan ba-
ru bagi dirinya, bukit kembar yang halus, kuning
dan montok.
Untung sekali ketika itu Widoretno segera
sadar keadaan. Ia menjerit lirih dan secepatnya
menurunkan ujung baju dan dadanya sekarang
tertutup kembali. Namun sekalipun sudah tertu-
tup kembali, pemuda ini masih juga memandang
seakan dapat menembus baju.
Widoretno tersenyum memikat sekali. Ke-
mudian katanya dengan nada manja, -
Aihhh.....apakah sejak sekarang, panggilan itu ti-
dak kita ubah menjadi sebaliknya?-
- Apakah maksudmu?- Sobrah Tulus kehe-
ranan,
- Hemm, aku adalah perempuan yang suka
blak-blakan. Sekarang aku bertanya, bagaimana-
kah perasaanmu kepada diriku ?-
- Perasaan yang mana?-
- Hemm, engkau jangan pura-pura tidak
tahu. Hi hi hik, aku perempuan dan kau laki-laki.
Katakanlah, apakah engkau tidak tertarik kepa-
daku?-
- Aku.....aku.....- Sobrah Tulus gelagapan.
Sebenarnya ia memang amat tertarik kepa-
da perempuan cantik ini. Tetapi ia tidak tahu,
apakah getaran jantungnya sekarang ini merupa-
kan tanda dirinya sudah jatuh cinta? Namun ke-
nyataannya memang timbul pula rasa suka kepa-
da perempuan ini. Dan kemudian timbul pula ha-
rapannya agar selalu dapat berdekatan dengan
Widoretno.
- Hi hi hik ..... aku.....aku apa?- Widoretno
ketawa lirih setengah mengejek.
Ketika Sobrah Tulus tidak juga menjawab,
ia mengulang, - Hi hi hik ..... aku .....aku apa?-
- Aku.....aku......ya.....- Sobrah Tulus sulit
untuk mengucapkan kata-katanya, sehingga ja-
waban yang keluar dari mulutnya hanya seperti
itu.
Namun jawaban ini sudah cukup jelas bagi
Widoretno. Perempuan ini tahu, Sobrah Tulus la-
ki-laki perjaka yang belum pernah kenal perem-
puan. Terbukti dari sikapnya yang malu-malu
dan kata-katanya yang setengah takut. Untuk itu
maka dirinyalah yang harus memimpin dan me-
mulai.
Manusia di dunia ini, biasanya menjadi
paling lemah apabila berhadapan dengan nafsu
birahi. Manusia yang sanggup menghadapi amu-
kan nafsu birahi, hanyalah terbatas jumlahnya,
sehingga tidak gampang diperkuda oleh nafsu itu,
karena jiwanya kuat.
Manusia yang disebut kuat jiwanya bukan-
lah terbawa semenjak dilahirkan, tetapi terbentuk
oleh pengaruh pendidikan yang dilambari kesada-
ran. Sebab pendidikan takkan dapat menolong
tanpa adanya kesadaran. Pendidikan menyebab-
kan orang mengerti, tetapi kalau tidak menyadari,
manakah mungkin bisa terjadi?
Sebagai manusia mereka adalah sama-
sama memiliki nafsu birahi ini. Maka apabila ma-
nusia tidak mau menyadari bakal menjadi binal
dan buas. Demikian pula yang terjadi dan berke-
camuk dalam dada Widoretno ini. Dahulu ketika
dirinya kawin dengan Kebo Sadewo. sesungguh-
nya ia merasa terpaksa. Ia tidak dapat mencintai
Kebo Sadewo yang umurnya terpaut jauh. Dan
kalau toh ia kawin dengan Kebo Sadewo tidak lain
karena sudah kalah janji.
Pada mulanya melihat sikap suaminya
yang amat mencintai dirinya secara tulus dan se-
lalu bersikap mengalah, ia selalu berusaha meng-
hibur diri. Ia berusaha untuk mencintai Kebo Sa-
dewo. Namun ternyata kemudian usahanya ini
bertemu dengan kegagalan, setelah tahu Kebo
Sadewo seorang laki-laki yang lebih suka menyi-
bukkan diri dengan urusan di luar rumah, di-
banding dengan memperhatikan pembinaan cinta
kasih sebagai suami isteri.
Lebih lagi setelah sepuluh tahun kawin be-
lum juga mendapatkan keturunan, menyebabkan
ia menjadi masygul dan selalu menyalahkan su-
aminya. Widoretno hanya ingin menang saja, tan-
pa mau berpikir bahwa seal anak ini ada bebera-
pa penyebabnya.
Mungkin Widoretno sendiri yang mandul.
Mungkin juga Kebo Sadewo yang mandul. Atau
dua-duanya mempunyai penyakit, sehingga
menghalangi untuk memperoleh keturunan. Atau
ada sebab lain, disamping juga sudah menjadi
kehendak Dewata Yang Agung.
Sebagai akibat rasa kecewa dan kemasygu-
lannya inilah kemudian mendorong Widoretno in-
gin lepas dari kekangan Kebo Sadewo, setelah ia
melihat ketampanan dan wajah ganteng pemuda
bernama Sobrah Tulus. Saking tertarik dan terpi-
kat hatinya inilah maka kemudian Widoretno
sengaja membuat Kebo Sadewo marah dengan ka-
ta-kata yang menusuk perasaan suami. Dan usa-
hanya ternyata berhasil, maka sekarang seperti
seekor kuda yang lepas dari kandang, Widoretno
menjadi banal. Ia merayu Sobrah Tulus baik den-
gan sikap, perbuatan maupun ucapan.
Jadilah kemudian Widoretno dan Sobrah
Tulus hidup sebagai suami isteri. Mereka hidup
amat rukun, sebab sekalipun umurnya lebih tua,
namun sebagai perempuan sakti mandraguna
dan berpengalaman, dapat membuat Sobrah Tu-
lus bertekuk lutut
Akan tetapi benarkah Sobrah Tulus men-
cintai setulus hati? Terbuktilah bahwa Sobrah
Tulus tidak mencintai Widoretno sepenuh hati.
Dan kalau toh pemuda ini sedia kawin dengan
Widoretno, memang ada maksud tersembunyi.
Dorongan yang terutama bagi Sobrah Tulus
mengawini Widoretno, adalah ingin bisa mempe-
roleh rahasia ilmu yang dapat merobohkan lawan
hanya dengan mantra itu, ialah Aji Netra Luyub.
Pada mulanya Widoretno memang kikir
dan tidak bersedia membuka rahasia ilmu terse-
but. Namun berkat kecerdikan dan bujuk rayu,
akhirnya Sobrah Tulus dapat menguasai ilmu ter-
sebut.
Kemudian apakah yang terjadi? Ternyata
laki-laki ini curang. Kemudian ia mencampurkan
obat tidur dengan nasi dan minuman Widoretno.
Kemudian menggunakan kesempatan pada saat
Widoretno tertidur ini Sobrah Tulus membuang
Widoretno ke dalam jurang amat dalam.
Apa yang ia lakukan ini bukan lain karena
Sobrah Tulus tidak tega membunuh isteri dan se-
kaligus gurunya itu. Maka menurut pendapatnya,
dengan jalan ia buang ke jurang, nyawa Widoret-
no tentu melayang.
Namun Sobrah Tulus tidak menyadari,
orang bisa mengharapkan tetapi ketentuan di
tangan Yang Maha Tinggi. Ternyata Widoretno ti-
dak mati dan hanya menderita patah dua kakinya
dan luka-luka ringan yang lain, hingga akibatnya
Widoretno menjadi lumpuh. Dan kemudian,
sungguh merupakan keajaiban yang diciptakan
oleh Yang Maha Tinggi, Nenek Widoretno masih
hidup.
Widoretno menghela napas panjang men-
gambil napas. Kemudian katanya kepada Dewi
Sritanjung, - Anak baik, itulah kisah hidupku
yang kemudian menyebabkan aku menderita se-
perti ini. Aku amat menyesal sekali dan merasa
berdosa pula kepada Kakang Kebo Sadewo.....
yang kemudian berganti nama Ki ageng Tunjung
Biru itu....... Kalau saja aku tetap menjadi iste-
rinya, tentu aku takkan sampai mengalami nasib
buruk ini.-
Nenek Widoretno menyeka air mata yang
bercucuran dari matanya, menyesali nasib.
- Tetapi Nek, kenapa yang kau ceritakan
kok hanya Sobrah Tulus. Lalu Klinthung Waluh
itu, siapa?- tanya Dewi Sritanjung.
- Hemm.....Sobrah Tulus dan Klinthung
Waluh itu sama saja orangnya -
- Ahhhh.....biadab benar manusia busuk
itu. Huh, apabila aku cepat membawa Nenek ke-
luar dari tempat ini, akan aku lumatkan kepa-
lanya.-
- Heh heh heh heh .....- Nenek Widoretno
terkekeh. - Engkau jangan melamun kosong. Ma-
nakah mungkin kita bisa keluar dari tempat ini?-
- Tetapi Nek, apabila aku berusaha terus,
aku percaya Dewata Agung akan mengulurkan
tangan dan menolong. Entah keajaiban apa yang
akan terjadi, tetapi aku percaya kelak kemudian
hari akan dapat keluar dari tempat ini,-
Mendengar tekad gadis yang penuh seman-
gat ini Widoretno tidak tega untuk membuat tipis
harapan. Katanya kemudian, - Ya! Akupun berha-
rap agar kau dapat menemukan jalan keluar itu.
Dan harapanku pula, engkau akan dapat memba-
laskan sakit hatiku.-
- Hemm, tentu Nek. Nenek adalah isteri
Kakekku dan juga Guruku. Manakah mungkin
aku membiarkan manusia biadab itu hidup enak
dan terlepas dari hukuman ?-
Sesungguhnya saja ketika muda, Widoret-
no seorang perempuan angkuh, suka menurutkan
kemauannya sendiri disamping congkak. Tetapi
sesudah puluhan tahun lamanya terhukum dan
tersiksa di tempat terasing ini, jiwa perempuan ini
kemudian memperoleh kesadaran. Wataknya be-
rubah seperti bumi dengan langit. Maka ketika
melihat gadis ini secara tidak sengaja terperosok
masuk ke dalam jurang ini, Widoretno menjadi
amat kasihan kepada Dewi Sritanjung.
Lebih-lebih setelah ia mengerti, Dewi Sri-
tanjung merupakan pewaris ilmu kesaktian dari
suaminya, maka hanya kepada gadis ini sajalah
yang menjadi tumpuan harapannya, agar kelak
kemudian hari dapat membalaskan sakit hatinya.
Tiba-tiba Widoretno teringat sesuatu, lalu
katanya halus, - Cucuku, ahhh..... manakah
mungkin kau sanggup berhadapan dengan Klin-
thung Waluh, justru dia mempunyai Aji Netra
Luyub?-
Mendengar ini Dewi Sritanjung lalu teringat
kepada peristiwa yang sudah ia alami. Kalau tidak
tertolong oleh Mpu Kepakisan, tentu dirinya su-
dah celaka dalam tangan Klinthung Waluh, seba-
gai akibat terpengaruh oleh Aji Netra Luyub itu.
Untung sekali gadis bernama Dewi Sritanjung ini
seorang gadis cerdik. Kalau saja sekarang dirinya
dapat memiliki Aji Netra Luyub seperti Klinthung
Waluh, tentunya akan dapat membalas dendam
kepada orang itu.
Maka kemudian Dewi Sritanjung menatap
Widoretno. Ujarnya, - Nenek yang baik, kalau
Klinthung Waluh bisa memiliki Aji Netra Luyub
itu atas ajaran Nenek, apakah aku tidak dapat
pula memperoleh Ajian tersebut dari Nenek?-
Widoretno terkekeh mendengar permintaan
ini. Jawabnya, - Heh heh heh heh, ternyata eng-
kau cucuku yang cerdik. Asalkan kau mau dan
tekun, mengapa tidak? Tentu saja aku akan dapat
pula menurunkan ilmu atau aji tersebut untuk
kepentinganmu.-
Betapa gembira gadis ini mendengar kese-
diaan Widoretno. Tiba-tiba saja gadis ini berlutut
sambil membenturkan dahinya ke tanah.
- Terima kasih, Nenek, dan sekaligus Gu-
ruku, atas kesediaan Nenek untuk mengajarkan
Aji Netra Luyub untuk diriku,- katanya mantap.
- Heh heh heh heh, bangkitlah! Sudah, kau
tidak perlu berlutut. Sebab sudah sewajarnya pu-
la, jika engkau sebagai murid suamiku, maka
engkau juga muridku pula.-
Saking gembira gadis ini sampai tak ingat
lagi tempatnya sekarang ini terpisah dengan du-
nia ramai. Manakah mungkin Dewi Sritanjung
dapat memanfaatkan aji kesaktian tersebut apabi-
la selama hidup terus terkurung di tempat ini?
3
Bagaimanapun sedih dan sengsara hati
Dewi Sritanjung yang terperosok ke dalam jurang
yang buntu ini, kiranya masih lebih enak apabila
dibandingkan dengan nasib Mahisa Singkir dan
Sarwiyah. Sebab sekalipun di tempat terasing, te-
tapi Dewi Sritanjung bisa bebas, bisa sesuka hati,
tidak tertekan perasaannya oleh siapapun. Se-
dangkan Nenek Widoretno sikapnya amat baik
dan malah mengajarkan Aji Netra Luyub pula.
Siapakah Mahisa Singkir dan Sarwiyah ini?
Untuk dapat mengetahui secara rinci, kiranya
Pembaca perlu membaca buku berjudul "Perjala-
nan Yang Berbahaya" dan "Terkurung Di Perut
Gunung". Dua orang muda ini sedang dalam per-
jalanan menuju Belambangan untuk mencari tu-
nangannya Warigagung dan guru pemuda itu
bernama Julungpujud, dengan maksud minta
bantuan agar dapat membalaskan sakit hatinya
kepada Gajah Mada. Tetapi sungguh celaka dalam
perjalanan ini mereka tertangkap dan kemudian
tertawan dalam lembah terasing yang penuh ra-
hasia. Pada lembah ini yang berkuasa adalah
Mpu Galuh, sisa pemberontak Sadeng.
Memang setelah Mahisa Singkir dan Sar-
wiyah secara paksa harus hidup di dalam kamar
tahanan, sikap para penjaga memang baik dan
menghormat. Pelayanannya pun baik, karena se-
mua orang tahu belaka, baik si pemuda maupun
si gadis merupakan calon-calon menantu Mpu
Galuh. Akan tetapi walaupun demikian, manakah
mungkin dua orang muda ini bisa merasakan hi-
dup senang?
Selama dua hari dalam tahanan di kamar
ini, Sarwiyah terus menerus menangis dan mogok
makan. Akibatnya mata yang semula indah itu
sekarang menjadi merah dan pelupuk matanya
bengkak.
Dalam keadaan sedih dan menangis ini
kemudian ia teringat kepada kakeknya yang su-
dah meninggal maupun kakak perempuannya Sa-
rindah dan adik laki-lakinya yang lenyap bersama
Sentiko. Lalu di manakah Sentiko sekarang ini?
Masih hidup ataukah sudah mati? Dan di mana
pula kakak perempuannya itu, yang setelah ber-
pisah dengan dirinya tidak pernah ia dengar ka-
barnya lagi?
- Mbakyu ..... ohhh .....- desisnya di tengah
isak dan tangisnya. - Kalau saja aku dan kau ti-
dak berpisah, kiranya takkan sampai menderita
seperti ini ......
Benar, gadis ini sekarang amat menyesal,
mengapa ketika itu kakak perempuannya me-
maksa, supaya dirinya pergi seorang diri mencari
Julung Pujung dan Wariagung. Sedang Sarindah
kemudian menyatakan ingin mencari juru tenung
yang pandai untuk menenung Gajah Mada.
Sekarang timbul pertanyaan dalam hati,
berhasilkah usaha kakak perempuannya itu? Ka-
lau benar kakak perempuannya itu berhasil
membunuh Gajah Mada dari tempat jauh, sekali-
pun dirinya sekarang menderita sengsara, ada pe-
rasaan lega juga. Sebab cita-cita kakeknya yang
ingin dapat membunuh Gajah Mada telah berha-
sil. Akan tetapi sebaliknya apabila usaha kakak
perempuannya itu sampai gagal, bukankah berar-
ti semua pengorbanan ini hanya sia-sia belaka?
Karena selama dalam tahanan ini Sarwiyah
mogok makan, maka dalam waktu singkat saja,
gadis ini menjadi pucat dan kurus. Rambutnya
menjadi kusut dan terurai awut-awutan, pakaian
kusut tidak mau ganti, sehingga dari gadis muda
cantik jelita, sekarang berubah menjadi seperti
perempuan gila.
Apabila Sarwiyah selalu menangis dan se-
dih, sebaliknya Mahisa Singkir tidak kurang pula
sedihnya. Namun demikian cara berpikir pemuda
ini lain dengan Sarwiyah. Sebab Mahisa Singkir
tidak mogok makan seperti Sarwiyah, melainkan
semua pemberian jatah makanan itu, ia terima
dan ia makan dengan lahap. Sebabnya ia bersi-
kap seperti ini karena ia sadar, raganya membu-
tuhkan makanan dan guna menjaga kekuatan
dan kesehatannya pula. Supaya pada saat perlu,
dan pada saat berhadapan dengan bahaya, ia bisa
menggunakan tenaganya. Oleh sebab itu tubuh-
nya masih segar seperti ketika masih bebas, wa-
laupun wajahnya agak pucat.
Dalam kamar tahanan inipun disamping
menjaga kekuatan dan kesehatan tubuhnya, ia-
pun tidak pernah lupa untuk melatih diri, sekali-
pun ia tidak mempunyai harapan dapat melo-
loskan diri.
Ia tidak pernah melupakan pesan kakek
gemuk yang baik hati dan bernama Mpu Anusa
Dwipa itu. Kakek yang sudah menyelamatkan
nyawanya, kemudian malah bersedia menggem-
bleng dirinya, sekalipun tidak diakui sebagai mu-
ridnya.
- Bocah, - kata Mpu Anusa Dwipa ketika
itu. - Dalam keadaan yang bagaimanapun, mela-
tih diri sambil mawas diri, adalah penting kau la-
kukan secara rajin. Sebab semua itu akan bergu-
na bagi dirimu sendiri dan dalam usahamu me-
nunaikan tugas.-
Pesan kakek gendut ini tidak pernah ia ab-
aikan dan ia lupakan. Maka selama dalam taha-
nan di tempat ini, waktu malah ia pergunakan
sebaik-baiknya. Sebab siapa tahu kemudian hari
ia memerlukan tenaganya sendiri apabila mempe-
roleh kesempatan lolos?
Manusia tidak seharusnya lekas patah ha-
rapan dan tanpa berusaha, sekalipun takdir tentu
berlaku terhadap semua manusia hidup. Itulah
sebabnya setiap usai makan, seperti yang terjadi
pada sore tadi, pemuda ini lalu duduk bersila di
pembaringan batu guna melatih ilmu ajaran Mpu
Anusa Dwipa. Ajaran itu adalah mengumpulkan
hawa sakti dalam tubuh, lalu ia salurkan ke selu-
ruh bagian tubuhnya.
Karena ia sedang tenggelam dalam melatih
diri dengan bersamadi ini, Mahisa Singkir sampai
tidak tahu dan tidak mendengar, pintu kamar ta-
hanannya terbuka. Kemudian seseorang masuk
ke dalam kamar sambil membawa lentera kecil
dari minyak kelapa. Mula-mula orang ini menyu-
luhi sekitar kamar. Tetapi kemudian memusatkan
perhatian kepada Mahisa Singkir yang duduk ti-
dak bergerak.
- Bangunlah!- tegur orang itu dengan suara
halus dan merdu, dan sambil berdiri di depan
Mahisa Singkir.
Mahisa Singkir geragapan kaget, wajahnya
tersorot oleh sinar lampu, sedangkan suara yang
halus merdu itu menyelundup masuk dalam
rongga telinganya. Untuk sejenak pemuda ini ter-
belalak menatap wajah perempuan yang cantik di
depannya ini. Wajah yang sebenarnya malah lebih
cantik apabila dibandingkan dengan Sarwiyah.
- Ohhhh ..... apakah maksudmu masuk ke
kamar ini?- tanyanya agak gugup.
Bibir indah itu tersenyum. Sepasang mata
yang redup menarik ini memandang tanpa rasa
kikuk. Diam-diam tergetar juga jantung Mahisa
Singkir mendapat tatapan demikian rupa oleh se-
pasang mata gadis itu. Maka cepat-cepat pemuda
pemalu ini menundukkan muka. Dan karena ga-
dis ini belum juga menjawab, maka dalam usa-
hanya untuk menekan perasaan, Mahisa Singkir
mengulang pertanyaannya.
- Apakah sebabnya engkau masuk kema-
ri?-
- Apakah tidak boleh?-
Jawaban Ika Dewi, puteri Mpu Galuh ini
menyebabkan Mahisa Singkir melengak untuk se-
jenak. Tentu saja sebagai seorang puteri raja di
wilayah ini, Ika Dewi mempunyai kebebasan pergi
kemanapun.
- Ya.....Memang tidak ada yang dapat mela-
rang kau pergi kemana kau suka...- ujar Mahisa
Singkir seperti menyesali apa yang tadi telah ia
ucapkan sendiri. - Akan tetapi apakah sebabnya
kau masuk dalam kamar tahananku ini?-
Bibir Ika Dewi tersenyum lagi dan manis
sekali. Dan sebenarnya senyum gadis ini bagi
pemuda yang masih hijau ini, cukup membuat
jantungnya bergetar hebat sekali.
Ika Dewi kemudian meletakkan lampu pe-
nyuluh itu di lantai kamar. Dan bagian tembok
yang terkena oleh sinar lampu itu menjadi terang.
Tetapi bagian di mana Mahisa Singkir duduk itu
agak gelap, sebab sinar lampu teraling oleh papan
kayu.
Sesudah meletakkan lampu suluh itu, Ika
Dewi segera duduk di pembaringan, dan kemu-
dian mereka duduk berhadapan,
Pemuda yang jujur dan sopan ini kaget dan
cepat mencegah.
- Aduhhh ..... jangan! Apakah..... maksud-
mu? Ayahmu bisa marah.....jika tahu kau di da-
lam kamarku ini.....-
Ika Dewi memandang Mahisa Singkir den-
gan sepasang matanya yang bersinar. Bibir gadis
ini tersenyum lagi, lalu jawabnya halus.
- Engkau tidak perlu takut maupun kha-
watir. Sebab aku datang ke kamarmu ini sudah
sepengetahuan Ayahku ......-
- Untuk apa...? - Mahisa Singkir kaget
mendengar jawaban ini dan memandang tajam
kepada Dewi Ika.
Gadis ini bersenyum lagi, jawabnya, - Guna
meninjau kesehatanmu.-
- Ohhh.....terima kasih ...... –
- Ihhh.....- Ika Dewi berseru tertahan. –
Apakah sebabnya kau mengucapkan terima ka-
sih?-
- Karena kau.....baik hati..... dan sudi me-
ninjau keselamatanku.....sebagai tawanan di sini
...... -
- Ohhh! Engkau jangan ..... salah paham
dan berkata seperti itu, Mahisa Singkir. Sebab ti-
dak ada maksud Ayahku untuk menempatkan
engkau di kamar ini.-
- Tetapi buktinya.....-
- Ya, memang untuk sementara waktu saja.
Selama kau belum memberi keputusan seperti
harapan Ayah..... dan harapanku...-
Mahisa Singkir mengangkat kepala me-
mandang Ika Dewi. Pada saat itu Ika Dewi juga
sedang memandang Mahisa Singkir, dan dua pa-
sang mata bertaut. Lalu disusul bibir gadis ini
menyungging senyum manis sekali.
Diam-diam Mahisa Singkir mengakui gadis
ini manis dan tak dapat ia cela. Disamping itu ge-
rak-geriknya pun halus, dan ucapannya pun se-
juk dan merdu dalam telinganya. Sikap dan uca-
pan gadis ini sesungguhnya menimbulkan rasa
hormat dalam hatinya.
Kalau saja hatinya belum terisi oleh Sar-
wiyah, bisa jadi dirinya akan terpikat oleh manis-
nya wajah gadis ini
Mahisa Singkir menundukkan kepala sam-
bil menghela napas pendek. Sesungguhnya dalam
hati timbul pula semacam perasaan yang agak
menyesal, mengapa dirinya menjadi jatuh cinta
kepada Sarwiyah? Padahal ia sudah tahu, Sar-
wiyah sudah menjadi calon isteri Warigagung.
Bukankah sesungguhnya rasa cinta yang timbul
dalam hatinya bisa dikatakan sesat jalan?
Banyak gadis yang masih bebas, mengapa
sebabnya malah mencintai gadis yang sudah ber-
tunangan? Apakah hal ini kemudian hari tidak
akan menimbulkan hal-hal yang tidak ia ha-
rapkan?
Lebih-lebih sedikit banyak ia sudah men-
dengar watak Warigagung maupun Julung Pujud
yang ganas dan kejam. Jika dirinya merebut Sar-
wiyah dari tangan Warigagung, apakah perbua-
tannya itu benar?
Akan tetapi entah mengapa, rasa kesada-
rannya ini kalah pengaruh dengan keinginan ha-
tinya. Entah mengapa sebabnya, dirinya menjadi
tergila-gila kepada Sarwiyah. Ia tidak tahu sebab-
nya, namun mungkin sekali, sebabnya ia menjadi
tertarik adalah oleh peristiwa di luar kesengajan-
nya. Ialah akibat perjalanannya hanya berdua
dengan Sarwiyah sampai berbulan-bulan, me-
nempuh perjalanan jauh dengan saling penger-
tian.
Witing trisna jalaran saka kulina (sebabnya
timbul rasa cinta oleh sebab terbiasa dalam per-
gaulan). Disamping itu mungkin juga oleh penga-
ruh kejadian pada suatu pagi, ketika ia melihat
Sarwiyah dalam keadaan polos, merendam diri
dalam telaga kecil di tengah hutan waktu itu. Apa
yang sudah ia saksikan menjadi kenangan dalam
benaknya, tidak pernah mau diusir dan ia lupa-
kan.
- Pandanglah aku..... Kakang.....- ujar Ika
Dewi dengan nada halus, tetapi penuh
permintaan.
Mahisa Singkir mengangkat kepalanya dan
menatap Ika Dewi. Tetapi hanya sejenak saja,
kemudian ia kembali menundukkan kepala sam-
bil menghela napas pendek. Ia merasa malu ber-
tatap pandang dengan gadis ini dalam jarak dekat
sekali.
- Kenapa kau malu?- tegur Ika Dewi tanpa
rasa rikuh sedikitpun,
Tetapi sikap yang terang-terangan ini, se-
benarnya tidak pada tempatnya bagi seorang ga-
dis.
Namun hal ini juga perlu dimaklumi, kare-
na Ika Dewi hidup di tempat yang terasing dari
pergaulan masyarakat luas. Maka gadis ini dalam
menghadapi Mahisa Singkir tidak perlu merasa
malu untuk berterus terang sesuai dengan ke-
hendak hatinya.
Karena agak bingung menghadapi gadis
yang berterus terang seperti ini, menyebabkan
Mahisa Singkir gelagapan dan bingung. Jawabnya
tidak lancar, - Ahhh ..... ohhh..... mengapa sebe-
narnya kau ini.....?-
- Bukankah ayah sudah memberitahu ke-
pada dirimu ?-
- Tetapi ah..... tetapi.....aku hanyalah seo-
rang pemuda tidak berharga.....-
- Hi hi hik,- Ika Dewi ketawa lirih. – Apakah
sebabnya kau berkata seperti itu? Dan apa pula
sebabnya kau merendahkan diri macam itu? Yang
dapat menilai dirimu bukan dirimu sendiri, tetapi
orang lain, termasuk diriku. Hemmm.....-
Ika Dewi berhenti dan sejenak kemudian
gadis ini meneruskan. - Cinta kasih itu, bagiku
tidak ditentukan oleh pangkat, kedudukan dan
martabat seseorang. Kakang..... aku mencintaimu
dengan sepenuh hati, sejak aku melihat kau per-
tama kali. Apakah engkau tidak merasa...?-
Setelah berkata Ika Dewi menundukkan
muka. Agaknya setelah mengucapkan kata-kata
ini, Ika Dewi menjadi lega, namun merasa malu
juga.
Sedang Mahisa Singkir menghela napas la-
gi, ujarnya, - Hem.....sudilah engkau memaafkan
aku. Karena..... karena.....-
Tiba-tiba gadis ini mengangkat kepalanya,
menatap Mahisa Singkir dengan tajam. Lalu ter-
dengar ucapannya bernada sengit - Karena kau
sudah mencintai gadis lain, bukan ...?!-
Mahisa Singkir yang jujur itu mengangguk
sambil menghela napas.
- Gadis yang bersama kau itukah.....?- ma-
ta Ika Dewi berbinar, dan tiba-tiba saja bibir yang
semula menyungging senyum itu sekarang le-
nyap.
Mahisa Singkir menggelengkan kepalanya,
- Manakah mungkin aku berani mencintai dia?-
- Jangan bohong!- bentak Ika Dewi tiba-
tiba. - Huh..... tentu kau mencintai dia. Kalau
demikian huh! Dia akan kubunuh.....!-
- Jangan.....! - teriak Mahisa Singkir yang
menjadi amat khawatir. - Bukan dia! Manakah
mungkin aku berani mencintai gadis yang sudah
menjadi calon isteri orang lain? Dia itu ..... dia itu
calon isteri Warigagung dan calon menantu tokoh
sakti Julung Pujud.-
Memang tidak biasa Mahisa Singkir mem-
bohong seperti ini. Tetapi ia sadar, apabila dirinya
berterus terang, tentu akan memancing kemara-
han Ika Dewi nan bisa jadi ancaman akan mem-
bunuh ini benar-benar dia lakukan.
- Hemm, kau bohong.....!- hardik Ika Dewi
dingin.
- Tidak!- Mahisa Singkir menggeleng.
- Jika kau tidak saling cinta dengan dia.....
mengapa ketika kamu berdua menghadap Ayah-
ku, engkau dengan dia saling genggam jari .....?-
- Ohh ..... itu.....itu ...... –
- Huh! Kau dusta!- bentak Ika Dewi marah.
- Engkau sudah saling cinta dengan gadis itu!-
- Tidak! Oh ..... aku tidak dusta .....!- Mahi-
sa Singkir yang gelagapan membela diri. Lalu ce-
pat-cepat menekan perasaan agar hatinya tidak
berdebaran. - Engkau jangan menuduh yang ti-
dak-tidak. Engkau menuduh orang ngawur bela-
ka..... –
- Huh! Siapa yang menuduh secara nga-
wur?-
- Itu dalam usahaku mencegah agar dia ti-
dak bersikap kurang ajar terhadap ayahmu!-
- Huh! Dapat berbuat apakah dia andaika-
ta berani kurang ajar di sini?-
- Itulah sebabnya aku melarang dia agar
tunduk!-
Untuk sejenak mereka berdiam diri. Kamar
ini menjadi hening. Yang terdengar hanyalah he-
laan napas mereka berdua.
Ika Dewi tanpa malu menatap Mahisa
Singkir. Sebaliknya pemuda ini malah menun-
dukkan kepalanya.
Diam-diam pemuda ini menjadi bingung
disamping khawatir menghadapi gadis ini, yang
sudah terang-terangan mengucapkan cintanya,
dan malah sekarang berani berkunjung ke ka-
marnya. Kejujuran hatinya sebenarnya membe-
rontak harus berbohong. Tetapi sebaliknya iapun
sadar, Sarwiyah dalam bahaya apabila ia berte-
rus-terang.
- Kakang Mahisa Singkir.....- Ika Dewi me-
mecah kesepian kamar. - Katakanlah terus te-
rang! Siapakah gadis yang engkau cintai itu?-
Sungguh, merupakan pertanyaan yang ter-
lalu berani bagi seorang gadis. Akan tetapi sejak
kecil Ika Dewi memang terpisah dari masyarakat
luas, sehingga sopan santun kurang ia ketahui.
Gadis ini tidak tahu, tabu bagi seorang gadis
mengejar laki-laki, karena hal itu hanya akan
menurunkan derajatnya atau martabatnya sendiri
sebagai seorang gadis.
Sebaliknya Mahisa Singkir tidak cepat da-
pat menjawab. Ia menjadi bingung sendiri dalam
usahanya untuk memberi jawaban.
- Lekas katakanlah. Siapa dia?- desak ga-
dis ini yang tidak sabar.
Desakan ini menyebabkan Mahisa Singkir
gugup. Jawabnya, - Ahhh..... anu..... anu.....gadis
tetanggaku sendiri.....-
- Dari desa mana?-
- Desa Koripan.....-
- Siapakah namanya?-
- Suripah.....-
- Hemm.....cantikkah.....?-
Mahisa Singkir mengangkat kepala dan
menatap gadis itu sejenak. Tetapi ketika bertatap
pandang dengan Ika Dewi, maka pemuda ini le-
kas-lekas menundukkan kepalanya lagi.
- Entahlah.....- sahutnya tanpa pikir.
- Engkau ini aneh. Mengapa mencintai pe-
rempuan tidak dapat menyebut cantik atau ti-
dak?-
- Hemm.....aku tak tahu gadis itu cantik
atau tidak. Tetapi yang jelas aku suka.....-
- Sekarang katakan. Lebih cantik mana dia
dengan aku?-
Mahisa Singkir kembali terbelalak dan
memandang wajah manis Ika Dewi sejenak.
- Engkau .... jauh lebih cantik .....!- Tetapi
setelah mengucapkan jawaban ini diam-diam ia
kaget sendiri.
- Hi hi hik, terima kasih,- sahut Ika Dewi
sambil ketawa senang sekali. - Apabila demikian
jelas di dalam segala hal, aku lebih menang di-
banding gadismu itu, bukan?-
- Benar ...... –
- Dan kau akan lebih beruntung menjadi
suamiku ...... –
Mahisa Singkir menjadi kaget setengah ma-
ti ketika secara tiba-tiba Ika Dewi sudah menu-
bruk dan memeluk.
Untung sekali Mahisa Singkir dalam kea-
daan sadar sepenuhnya. Bagaimanapun ia tidak
mencintai gadis ini, sekalipun sekarang dirinya
dalam kekuasaan ayah Ika Dewi. Maka dengan
halus ia sudah melepaskan pelukan Ika Dewi
sambil mendorong halus.
- Jangan! ..... Jangan kau lakukan ..... - ce-
gahnya.
Ika Dewi menjadi kecewa dan tidak senang
oleh sikap pemuda ini. Maka gadis ini mendelik
marah, lalu bentaknya, - Huh! Engkau pemuda
tidak tahu di untung.....! Engkau berani menolak
aku? Huh! Apakah aku kurang cantik dan kurang
berharga?-
Tetapi setelah membentak, tiba-tiba saja
gadis ini terisak-isak. Agaknya hati gadis ini men-
jadi kecewa dan marah. Sebagai gadis ia sudah
mendahului dan berterus terang menyatakan cin-
ta kasihnya, tetapi pemuda tolol ini tidak juga
mau tahu!
Mahisa Singkir menjadi semakin kebingun-
gan menghadapi Ika Dewi ini. Menghadapi gadis
yang berani dan tidak tahu malu. Karena bin-
gung, pemuda ini tidak dapat menemukan jawa-
ban yang tepat. Dan akibatnya pula pemuda ini
hanya berdiam diri.
- Mahisa Singkir!- hardik gadis ini sengit
dan menjadi tidak senang. - Katakanlah. Apakah
engkau tetap menolak aku.....? –
- Aku.....aku ...... –
- Yang jelas! -
Bentakan Ika Dewi ini, yang pada mulanya
membuat Mahisa Singkir kebingungan, tiba-tiba
menyadarkan dirinya. Sekalipun dirinya sekarang
ini sebagai tawanan, tetapi dirinya tidak bisa di-
hina dan direndahkan orang. Lebih baik dirinya
mati terbunuh, daripada dirinya tidak mendapat
penghargaan sewajarnya sebagai manusia.
- Huh! Engkau jangan menghina aku!- ben-
tak Mahisa Singkir tiba-tiba, setelah menda-
patkan kesadarannya kembali.
Bentakan ini menyebabkan Ika Dewi kaget
dan terbelalak. Kemudian wajahnya merah pa-
dam.
- Huh! Mahisa Singkir. Boleh dibunuh te-
tapi tidak boleh dihina. Tahu?- hardiknya. - Pen-
deknya aku tidak mencintai kau! Huh, kau wanita
tidak tahu malu! Kau gadis rendah, dan lekaslah
enyah dari kamar ini.-
- Kau ..... kau.....! –
Sekarang giliran Ika Dewi yang gelagapan.
Wajah gadis ini sekarang pucat dan ma-
tanya terbelalak. Hingga yang bisa ia ucapkan
hanyalah seperti itu.
- Jangan cerewet! Lekas pergi atau tidak? -
hardiknya lagi.
Tiba-tiba saja Ika Dewi menangis. Bibirnya
gemetaran seperti mau mengucapkan kata-kata,
tetapi tiada ucapan yang bisa terdengar. Dan
mendadak gadis ini berdiri lalu ...plak plak!
Tanpa terduga sama sekali telapak tangan
Ika Dewi yang lumar dan halus itu sudah bersa-
rang ke pipi Mahisa Singkir. Sejenak kemudian
gadis ini menjerit lirih lalu keluar dari kamar
sambil berlarian. Dan gadis ini sampai lupa tidak
membawa keluar lentera yang tadi ia bawa.
Sebenarnya saja apabila ia mau, tidak sulit
bagi Mahisa Singkir untuk menghindari tamparan
gadis itu. Tetapi pemuda ini sengaja tidak mau
menghindar, dan pipinya ia pergunakan menang-
kis tamparan dua kali itu, hingga terasa panas.
Meskipun demikian pemuda ini tersenyum, lebih
baik ia memberikan pipinya mendapat tamparan
daripada gadis itu terus berusaha merayu dan
membujuk.
Hatinya terasa sebal dan rasa gandrungnya
(cintanya) kepada Sarwiyah menjadi semakin
mendalam. Perbedaan antara Sarwiyah dengan
Ika Dewi ibarat bumi dengan langit. Sarwiyah
adalah gadis yang halus, sebaliknya, Ika Dewi be-
randalan. Ya, hanya sebutan berandalan ini saja
yang tepat bagi gadis yang baru saja meninggal-
kan kamarnya itu. Sebab jika bukan gadis beran-
dalan, manakah sanggup mengucapkan cinta,
mendahului pihak pria? Sebab bagi gadis timur
yang tahu sopan santun, bagaimanapun akan
menahan diri untuk tidak mendahului pihak pria.
Setelah Ika Dewi meninggalkan kamar ta-
hanannya, Mahisa Singkir hanya menghela napas
saja dan masih tetap duduk di pembaringan.
Mahisa Singkir menghela napas pendek.
Sebenarnya, sesuai dengan wataknya yang jujur
dan sederhana, ia merasa kasihan juga kepada
Ika Dewi yang terpaksa harus ia tolak mentah-
mentah pernyataan cintanya. Sebagai seorang
pemuda, sebenarnya ia mengakui baik wajah
maupun bentuk tubuh, Ika Dewi lebih menonjol
dibanding dengan Sarwiyah. Maka kalau saja ha-
tinya belum terisi oleh Sarwiyah, mungkin dirinya
bisa membalas cinta gadis itu. Tetapi karena da-
lam hatinya sudah terisi oleh Sarwiyah, maka ia
memutuskan akan tetap setia kepada cintanya
yang pertama. Apapun dan bagaimanapun yang
akan terjadi, hanya Sarwiyah saja yang pantas
menjadi kekasih dan isterinya.
- Ahhhh .... tetapi dia calon isteri Wariga-
gung Apakah dengan perbuatanku ini tidak berar-
ti aku merebut calon isteri lain orang ? Lalu, apa-
kah yang akan terjadi kalau Warigagung sampai
marah?-
Terpikir demikian, mau tak mau pemuda
ini menghela napas dan agak khawatir pula. Apa-
kah tidak memalukan apabila dirinya harus ber-
kelahi dengan Warigagung hanya karena persoa-
lan wanita saja?
- Ahhh .....tidak boleh!- bentaknya sendiri.
- Ini tidak benar! Sarwiyah harus tetap
menjadi isteri Warigagung!-
- Akan tetapi aku.....lalu bagaimana?- bisik
hatinya. - Apakah aku harus menderita akibat
gagal mencintai wanita?-
Mahisa Singkir menghela napas dalam lagi.
Ketika itu seorang penjaga kamar tahanan
masuk untuk mengambil lentera yang tadi dibawa
Ika Dewi. Sambil memegang lentera itu, penjaga
mendelik dan menghardik.
- Huh! Kau berani menghina puteri junjun-
ganku? Kau akan celaka apabila penghinaanmu
ini sampai dia laporkan kepada Gusti Mpu Ga-
luh.-
Mahisa Singkir mengangkat kepalanya,
memandang orang itu sejenak. Tetapi kemudian
ia menundukkan kepalanya lagi dan bersikap
acuh tak acuh. Sebab tidak ada gunanya ia men-
jawab maupun berbantahan dengan penjaga itu.
Kalau toh Mpu Galuh marah, ia takkan dapat
berbuat apa-apa. Sebab seluruh nasibnya seka-
rang ini telah ia serahkan bulat-bulat kepada De-
wata Yang Agung.
Kalau saja ia mau, menyerang dan mero-
bohkan penjaga yang masuk kamarnya ini tidak-
lah sulit.
Kemudian menggunakan kamar yang ter-
buka ia dapat meloloskan diri.
Tetapi untuk apa lolos, jika Sarwiyah tetap
menjadi tawanan di tempat ini? Tidak urung di-
rinya akan menderita dan penuh penyesalan apa-
bila gadis itu sampai celaka dalam tahanan ini.
Bagaimanapun ia merasa bertanggung jawab. Ka-
rena Sarwiyah tertawan di tempat ini tidak lain
sedang melakukan perjalanan bersama dengan
dirinya. Jika dirinya membiarkan Sarwiyah men-
derita, apakah yang ia lakukan ini bukan perbua-
tan pengecut? Betapa rasa sesal gadis itu, apabila
tahu adik seperguruannya dapat lolos tanpa mau
memberi pertolongan.
Mahisa Singkir kembali menghela napas
panjang. Kemudian ia teringat, lembah ini meru-
pakan lembah terasing dan hanya bisa keluar dan
masuk lewat jalan rahasia. Manakah mungkin di-
rinya bisa lolos dengan selamat dari tempat ini?
Guna menentramkan hatinya, ia kemudian
kembali samadi di pembaringan untuk mene-
ruskan melatih hawa sakti. Tetapi walaupun ia te-
lah berusaha menenteramkan hati, ia gagal. Ha-
tinya tidak enak dan tidak tenteram, karena tim-
bul kekhawatiran dalam hatinya, Sarwiyah yang
ditahan di kamar lain itu, malam ini mendapat
kunjungan Rakit Cendana dan berusaha membu-
juk.
Apabila yang perempuan saja, Ika Dewi ti-
dak mengenal tata santun, manakah mungkin
pemuda itu mengenal sopan santun?
4
Dugaan Mahisa Singkir memang tidak keli-
ru.
Sebab tidak bedanya dengan Ika Dewi, ma-
ka Rakit Cendana juga telah membuka kamar
Sarwiyah yang ia gandrungi itu. Selama dua hari
setelah Sarwiyah berhasil tertawan, pemuda ini
menjadi tidak bisa tidur. Sebab wajah ayu Sar-
wiyah selalu menggoda dan terbayang dalam be-
naknya, menyebabkan pemuda ini amat rindu
dan ingin menjumpainya.
Ia merasa tidak kuasa lagi menahan hati.
Ia ingin bertemu, ingin bercakap, ingin merayu
dan ingin pula memeluk gadis itu.
Akan tetapi ketika Rakit Cendana membu-
ka pintu kamar, pemuda ini menjadi kaget, meli-
hat Sarwiyah rambutnya awut-awutan, wajahnya
pucat dan kurus.
Mula-mula pemuda ini keheranan, kenapa
hanya dalam waktu dua hari saja, sudah terjadi
perubahan atas diri gadis ini? Namun setelah
berbisik dan bertanya kepada penjaga, pemuda
ini menjadi tahu sebabnya. Perubahan ini terjadi
tidak lain karena selama dua hari, gadis ini mo-
gok makan.
Gerakan Rakit Cendana yang masuk dalam
kamar ini memang perlahan dan berhati-hati se-
kali. Menyebabkan Sarwiyah yang ketika itu se-
dang duduk di pembaringan dan memejamkan
mata kurang perhatian, karena memang tidak
pernah menduga malam ini Rakit Cendana akan
datang berkunjung. Tahu-tahu si pemuda sudah
masuk ke dalam kamar, dan menyebabkan gadis
ini kaget dan terbelalak.
- Kau ..... kau.....!- hanya itu sajalah yang
keluar dari mulut Sarwiyah.
- Ya, aku! Adik yang manis. malam ini aku
berkunjung kepadamu,- sahut Rakit Cendana
sambil bersenyum, dalam usahanya untuk memi-
kat perhatian.
- Kau.....kau.....apakah maksudmu? –
Sarwiyah cepat melompat turun dari pem-
baringan ketika melihat Rakit Cendana meng-
hampiri.
Memang sekarang ini wajah Sarwiyah tam-
pak pucat pasi. Pakaiannya tidak terurus, justru
selama dua hari Sarwiyah tidak sempat mengurus
diri dan terus saja menangis. Oleh karena itu, se-
pasang matanya merah dan agak bengkak.
Hanya dalam waktu dua hari saja, keadaan
gadis ini sudah jauh berbeda. Dari seorang gadis
yang cantik dan menarik, tubuhnya padat berisi
sekarang menjadi kurus. Akan tetapi sekalipun
demikian, dalam pandangan Rakit Cendana gadis
ini tetap cantik dan menarik. Amat memikat dis-
amping mempesona. Justru selama dua hari ini
wajah Sarwiyah selalu terbayang dan menggoda
benaknya dan menyebabkan pemuda ini tidak
dapat tidur.
- Sarwiyah, Adikku yang cantik......-
- Aku bukan adikmu!- bentak Sarwiyah
sengit, tanpa memberi waktu kepada Rakit Cen-
dana selesai mengucapkan kata-katanya.
- Heh heh heh heh,- Rakit Cendana tertawa
terkekeh. Kemudian katanya, - Ya, aku keliru!
Engkau bukan adikku, tetapi adalah calon isteri-
ku.....-
- Jangan sembarangan membuka mulut! -
Saking marahnya Sarwiyah membentak nyaring,
sepasang matanya menyala dan dua belah tan-
gannya bertolak pinggang.
- Eh.....ehh..... apakah sebabnya engkau
menjadi marah, Manisku?-
- Sudahlah lekas enyah dari kamar ini. Aku
tidak sudi bicara dengan engkau !-
Sesungguhnya tidak biasa bagi Sarwiyah
menjadi pemarah seperti ini. Karena ia adalah
seorang gadis yang sabar, perasaannya halus dan
tidak mudah marah.
Perubahan dalam waktu singkat yang ter-
jadi atas diri gadis ini, tak lain adalah karena ga-
dis ini menjadi sedih berbareng penasaran, kare-
na telah ditawan dalam kamar yang sempit ini.
Disamping itu ia telah mendengar pula, pemuda
ini menginginkan dirinya untuk dipaksa menjadi
isteri.
Akan tetapi Rakit Cendana seperti tidak
mendengar apa yang sudah diucapkan oleh Sar-
wiyah. Pemuda ini sudah duduk di pembaringan
batu. Namun demikian perhatiannya tidak pernah
lepas kepada Sarwiyah yang ia gandrungi itu. Wa-
jah gadis ini pucat dan tubuhnya agak kurus.
Namun demikian tidak mengurangi kecantikan
dan rasa terpikatnya.
Sebaliknya Sarwiyah berdiri dengan berto-
lak pinggang, sepasang matanya yang merah itu
bertambah merah lagi seperti mengeluarkan api.
- Hemmm ..... engkau tak segera enyah dari
tempat ini?-
- Sarwiyah, kenapa engkau aku kunjungi
malah marah-marah seperti ini? Aku.....-
- Cerewet!- potong Sarwiyah tanpa me-
nunggu selesainya ucapan Rakit Cendana. - Aku
tidak butuh kunjunganmu. Huh, aku tahu di ba-
lik kunjungan mu ini, di balik sikapmu yang ha-
lus, engkau bermaksud kurang baik. Lagi pula
apakah kesalahanku harus kau lawan di kamar
yang sempit dan jorok ini? -
- Sabarlah dahulu, dan berilah kesempatan
aku bicara. Sarwiyah, aku akan menerangkan
supaya kau tidak salah mengerti. Begini.....-
Lagi-lagi Sarwiyah yang penasaran ini me-
motong ucapan Rakit Cendana yang belum sele-
sai, - Huh! Aku sudah tahu! Sudah, tidak perlu
kau banyak mulut!-
Karena ucapannya selalu dipotong Sar-
wiyah sebelum selesai, maka Rakit Cendana yang
biasa dihormati dan dimanja ini, menjadi dongkol
dan marah. Di tempat ini, dirinya merupakan
anak "raja". Dirinya merupakan orang kedua sete-
lah ayahnya. Oleh karena itu biasanya orang
akan selalu tunduk, selalu patuh dan tidak berani
membantah, lebih-lebih memotong kata-katanya
yang belum selesai seperti ini, dan malah mem-
bentak. Mengapa sekarang ia tidak mendapat
penghormatan di depan "tawanannya" ini? Padah-
al ibaratnya sekarang ini ia bisa menghitam pu-
tihkan Sarwiyah. Dirinya dapat berbuat apa saja,
bisa menyiksa maupun membunuh.
Teringat kedudukannya sebagai orang yang
selalu dihormati itu, mata pemuda ini tiba-tiba
mendelik. Mulutnya hampir saja menyemprot dan
mencaci maki tawanannya ini.
Akan tetapi sebelum membuka mulut un-
tuk menyemprot, tiba-tiba ia ingat kepada kepen-
tingannya terhadap gadis ini. Kalau dirinya dapat
membujuk dan merayu, mengapa tidak melaku-
kannya, agar gadis ini mau tunduk secara halus?!
Teringat hal ini ia kemudian menekan perasaan-
nya dan menyabarkan diri.
- Sarwiyah, hemm, kenapa engkau menjadi
begini dan juga tidak mau mengerti?- katanya ha-
lus. - Baik aku maupun Ayah tidak bermaksud
menyulitkan kau. Sebab tujuan Ayah maupun
aku adalah sebaliknya, dengan maksud akan
membahagiakan kau. Sarwiyah, hem ..... engkau
harus mau tahu bahwa di daerah ini Ayahlah
yang berkuasa tidak bedanya seorang raja. Jika
kau bersedia mendengar apa yang aku katakan
ini, percayalah kau akan hidup bahagia dan seka-
lian penduduk daerah ini akan menghormati. -
Karena Sarwiyah tidak memotong kata-
katanya, maka Rakit Cendana gembira. Setelah
menatap sejenak, terusnya, - Sarwiyah, dengar-
lah! Hanya kau seorang sajalah wanita di dunia
ini yang kucintai dan kukasihi. Maka ketika meli-
hat engkau, aku sudah tak dapat melupakan lagi
dan jatuh cinta. Ohhhh..... Sarwiyah, dunia ini
akan menjadi sepi tanpa engkau berada di sam-
pingku. Hidupku ini akan menjadi tidak berarti,
dan aku akan selalu dalam kegelapan tanpa kerl-
ing mata dan senyum bibirmu. Oleh sebab itu,
Adikku yang cantik, dengarlah jerit hatiku dan
dengar pula detak jantungku yang selalu mengha-
rapkan.....-
- Sudah! Tutup mulutmu!- bentak Sar-
wiyah tiba-tiba memotong ucapan Rakit Cendana
yang sesungguhnya masih banyak lagi. - Aku
muak..... tahu? Muak melihat tampangmu dan ti-
dak sudi mendengar bujuk rayumu yang beracun.
Hayo, kau lekas enyah dari kamar ini apa tidak?
Huh, tidak tahu malu!-
Wajah Rakit Cendana merah padam men-
dapat bentakan seperti itu dan sekaligus merasa
terhina. Rasa penasaran dan mendongkol yang
semula dapat ia tekan itu, tiba-tiba memberontak
dan meledak. Kalau tadi apa yang ia ucapkan na-
danya halus, sekarang menjadi berubah kasar la-
gi.
- Huh! Apa katamu? Engkau berani meng-
hina aku? Huh, sundal busuk! Sundal keparat!
Apakah kau tidak menyadari sudah dalam kekua-
saanku dan aku bisa berbuat apa saja terhadap
kau?-
Pemuda ini menatap Sarwiyah dengan se-
pasang mata menyala. Tetapi Sarwiyah tidak
menjadi gentar maupun takut. Ia masih tetap ber-
tolak pinggang, sedang mata gadis itupun mena-
tap tajam seperti mengeluarkan api. Tantangnya
kemudian.
- Huh! Siapa takut akan ancamanmu? Aku
tahu baik engkau maupun ayahmu adalah manu-
sia busuk !-
- Bedebah! Setan alas! Engkau jangan bica-
ra sembarangan!- teriak Rakit Cendana yang ti-
dak kuasa lagi menahan ledakan kemarahannya.
- Siapa yang dapat melarang aku membuka
mulut? Hayo, mau bunuh silakan bunuh! Apakah
sangkamu aku takut mati?-
Tiba-tiba saja Rakit Cendana ketawa terke-
keh, - Heh heh heh heh, terlalu enak bagimu jika
kubunuh begitu saja!-
Mata gadis ini terbelalak sejenak menden-
gar ancaman itu. Bagi orang-orang seperti pemu-
da ini, ayahnya maupun para pembantunya, Sar-
wiyah sadar dan bisa menduga, akan sanggup
melakukan perbuatan di luar batas kemanusiaan.
Karena itu ia cukup maklum akan arti
ucapan Rakit Cendana tadi, ucapan yang bisa ia
artikan sebagai ancaman yang mengerikan. Ia sa-
dar pemuda ini akan sampai hati untuk menyiksa
orang.
Tetapi walaupun sadar dirinya sekarang ini
sulit bisa lolos maupun menyelamatkan diri, ia ti-
dak mau mundur dan menyerah. Ia malu apabila
orang menganggap takut ancaman. Maka katanya
dingin.
- Hemm.....siapa takut ancamanmu? Aku
tidak takut mati. Huh, makanlah ini!-
Tanpa memberi kesempatan lagi, Sarwiyah
sudah menerjang ke depan dan melancarkan pu-
kulan dan tendangan kakinya.
Dengan gesit Rakit Cendana melompat ke
samping menghindarkan diri. Kalau saja menu-
rutkan amarahnya, inginlah ia mencabut guna
membalas serangan tawanannya ini. Akan tetapi
sayang sekali, hatinya yang sudah tergila-gila ke-
pada gadis ini mencegah, sedapat-dapatnya harus
menahan diri dan menahan tangannya dan jan-
gan sampai mencelakai gadis ini.
Plak.....! sambaran pukulan Sarwiyah ia
tangkis dengan tangan kiri, sedang tangan kanan
secepat kilat sudah berusaha mencengkeram
pundak guna menangkap. Tetapi sayang sekali
dengan gesit, Sarwiyah sudah menghindarkan di-
ri.
Rakit Cendana kaget dan terhuyung oleh
cengkeramannya yang luput, sedangkan lengan
kirinya tergetar hebat.
Ternyata sekalipun hanya perempuan,
Sarwiyah bukan perempuan lemah, malah tan-
gannya cukup kuat. Untuk menjaga segala ke-
mungkinan yang bisa terjadi, dengan wajah me-
rah padam pemuda ini sudah siap siaga dengan
kuda-kuda kokoh.
Apabila diam-diam Rakit Cendana menjadi
kaget, maka Sarwiyah menjadi lebih kaget lagi.
Belum juga lama bergerak, tiba-tiba saja tubuh-
nya terasa lemas dan tenaganya seperti habis.
Merasakan perubahan tubuhnya ini, baru-
lah gadis ini ingat selama dua hari perutnya ko-
song tidak terisi oleh makanan. Maka diam-diam
timbullah rasa sesal dalam hatinya, mengapa se-
lama dua hari dirinya hanya menurutkan hati
mendongkol dan penasaran dan menyebabkan di-
rinya mogok makan. Kalau saja dalam dua hari ia
tidak mogok makan, tentu tenaganya tidak seperti
sekarang ini.
Dan celakanya lagi, disamping tubuhnya
sekarang terasa lemas, perutnya pun tiba-tiba
melilit-lilit minta isi. Apabila dirinya memaksa, ti-
dak urung dirinya sendiri akan roboh kehabisan
tenaga. Apabila sampai terjadi demikian akan ce-
lakalah dirinya dalam kekuasaan pemuda yang
sudah marah dan pada dasarnya berwatak jahat
itu.
Sadar akan keadaan, Sarwiyah tidak segera
menerjang lagi melanjutkan serangannya. Sedang
Rakit Cendana sendiri juga tidak bergerak, masih
menunggu serangan gadis itu.
Untuk beberapa lama mereka hanya berdiri
saling pandang dalam keadaan siaga penuh.
Agaknya pemuda ini merasa ragu untuk membu-
ka serangannya membalas terjangan Sarwiyah
Setiap orang yang berhadapan dengan ba-
haya tentu akan menggunakan akal dan kepan-
daiannya guna mencari daya. Demikian pula Sar-
wiyah sekarang ini sambil berdiri memutar otak-
nya guna mencari daya guna menyelamatkan diri.
Sebenarnya apabila sama-sama dalam
keadaan segar dan sehat, bagaimanapun ilmu ke-
saktian Sarwiyah masih di atas Rakit Cendana.
Mana tidak mungkin pemuda ini sanggup mena-
han amukan gadis ini? Namun sekarang Sarwiyah
dalam keadaan perut kosong, tubuhnya lemas.
Keadaan menjadi berbalik. Apabila diteruskan,
tentu gadis ini sendiri yang akan kalah.
- Rakit Cendana. Apakah kau akan meng-
gunakan kekerasan dan kesewenangan terhadap
diriku?- tanya gadis ini setelah beberapa saat la-
manya menatap pemuda itu.
Rakit Cendana tersenyum mendengar nada
suara Sarwiyah sudah berubah, tidak seperti tadi.
Ia cepat bisa menduga terjadinya perubahan pada
gadis ini. Bagi dirinya, dalam usaha menunduk-
kan gadis ini memang tidak menginginkan lewat
kekerasan, karena sadar jalan itu tidak baik.
Hanya kalau Sarwiyah tetap membandel, apa bo-
leh buat! Kekerasan akan ia lakukan juga, guna
mencegah maksudnya sampai gagal memperistri
gadis ini.
- Adikku Sarwiyah yang ayu, apakah yang
engkau kehendaki?- tanya Rakit Cendana dengan
wajah yang dibuat semanis mungkin.
- Jawablah sejujurnya. Engkau benar-
benar mencintai diriku ini, ataukah hanya terdo-
rong oleh nafsu kebinatanganmu?-
- Heh heh heh heh, apakah sebabnya eng-
kau masih belum mau percaya, Adikku manis?
Sungguh mati, hanya Kau seorang sajalah yang
pantas menjadi isteriku. Adikku, hanya kau seo-
rang sajalah yang dapat mengisi hidupku ini.
Tanpa kau, hidupku selanjutnya takkan ada ar-
tinya lagi. Hemm, apa yang kuucapkan ini meru-
pakan pencerminan hatiku yang tulus, Sarwiyah.-
Diam-diam Rakit Cendana gembira sekali,
lalu kakinya sudah bergeser maju untuk mende-
kati gadis itu. Sekalipun gadis ini sekarang awut-
awutan dan wajahnya pucat, namun pengaruh
rasa gandrungnya kepada gadis ini menyebabkan
dalam pandang matanya semakin menarik dan
menggiurkan. Ia merasa tidak kuat lagi menahan
hati, dan sekarang juga ia ingin dapat memeluk
dan menciumi bibir indah itu.
- Berhenti!- bentak Sarwiyah tiba-tiba.
Dan sungguh aneh, pemuda yang biasanya
selalu minta perhatian dan manja itu, secara tiba-
tiba menghentikan langkahnya.
- Hemm..... tak gampang kau mencintai di-
riku - Sarwiyah berkata tandas. - Dan tidak gam-
pang pula aku percaya ucapanmu, sebelum aku
mendapat pembuktian.-
- Engkau ingin bukti? Apakah kau ingin
kubuktikan sekarang juga?- sahut pemuda itu.
Dan sesudah berkata ia melangkah maju sambil
mengembangkan dua tangannya.
- Ehhh.....tunggu! Berhenti di situ!-
Sarwiyah menjadi kaget sekali maka seda-
pat bisa ia mencegah sambil mundur. - Bukan itu
yang aku maksudkan. Tetapi jika benar kau men-
cintai diriku, kau harus berani bersumpah.-
- Sumpah? Sumpah yang bagaimana?-
- Sumpah ya sumpah. Nanti akulah yang
akan menuntun kau mengucapkan kata-kata
sumpah yang harus kau ucapkan.-
- Bagaimana bunyi sumpah itu?-
- Bagaimana bunyi sumpah itu?-
- Sudahlah, pendeknya kau bersedia ber-
sumpah ataukah tidak? Jika kau tidak mau ber-
sumpah dan menuruti apa yang aku inginkan,
hemm, jangan harap kau dapat memiliki aku da-
lam keadaan masih hidup. Sebab bagiku, jika
engkau tidak mau menurut, lebih baik aku mati
daripada harus melayani kau sebagai suami. Ka-
renanya tanya kau lain di mulut dan lain di hati.-
Untuk beberapa jenak lamanya Rakit Cen-
dana tidak membuka mulut dan menjawab. Se-
bab ia harus berpikir lebih dahulu sebelum men-
jawab, karena ia khawatir sampai tertipu.
Ia justru seorang licik. Karena itu ia men-
dengus dingin, ujarnya, - Huh, engkau jangan
mencoba menipu aku.-
- Siapakah yang akan menipu kau? Huh,
aku menginginkan agar kau bersumpah, bukan
menipu! Tetapi ..... sudahlah! Tak mau bersum-
pah, silakan! Hanya saja kau jangan mengha-
rapkan lagi dapat memiliki diriku dan masih da-
lam keadaan hidup!-
Sarwiyah kemudian membalikkan tubuh.
Namun diam-diam selalu siap siaga menghadapi
serangan Rakit Cendana yang tidak terduga.
Melihat Sarwiyah menjadi ngambek, Rakit
Cendana menjadi khawatir. Ia sudah terlanjur ja-
tuh hati kepada gadis ini, Apakah salahnya untuk
memikat perhatian Sarwiyah dengan cara menga-
lah sedikit?
- Baiklah! Aku setuju dengan syaratmu,-
akhirnya pemuda ini menyetujui, kemudian me-
langkah maju guna mendekati gadis ini.
Sarwiyah melompat ke samping, hardiknya,
- Rakit Cendana! Jika engkau benar-benar men-
cintai diriku, kau harus tunduk kepadaku. Berdiri
di situ dan jangan mendekati sebelum kau men-
gucapkan sumpahmu! –
Rakit Cendana meringis dan terpaksa men-
galah. - Baiklah, lekas katakanlah sumpah itu
dan akan ku tirukan.-
- Tetapi kau benar bersedia?-
- Lekas katakanlah!-
- Aku bersumpah, demi Dewata Yang
Agung, yang menguasai bumi dan langit ini.....-
Dan seperti beo belajar bicara, Rakit Cen-
dana menirukan.
- Aku bersumpah, demi Dewata Yang
Agung, yang menguasai bumi dan langit.....-
- Demi cinta kasihku kepada seorang gadis
bernama Sarwiyah, maka sebagai pembuktian
cinta itu, aku harus selalu mendengar dan mema-
tuhi apa yang dikatakan oleh gadis itu.....-
- Ehhhh.....mengapa begitu?- Rakit Cenda-
na tidak segera menirukan tetapi membantah. -
Aku tidak sudi menirukan kata-katamu sebagai
sumpah, apabila kau akan menjerumuskan diriku
kepada kesulitan. Bukankah dengan selalu men-
dengar dan mematuhi apa yang kau katakan,
engkau dapat menyalahgunakan sumpah itu?-
Sarwiyah mendelik tidak senang. Hardik-
nya, - Huh! Sangkamu aku ini orang macam apa
hingga engkau berani menduga seperti itu? Huh!
Aku tidak akan memaksa kau. Dan kau tidak
mau bersumpah, itu adalah hakmu dan aku tidak
dapat memaksa. Tetapi sekarang cepatlah kau
meninggalkan kamar ini!-
- Ohhhh.....ehhh.....mengapa kau menjadi
begitu dan cepat marah?-
- Hemm, siapakah yang tidak menjadi ma-
rah jika kau mencurigai aku yang tidak-tidak?
Huh! Jika kau tidak mau, akupun tidak akan
memaksa.-
- Tetapi bagaimanakah jika kau menyalah-
gunakan sumpah itu, apakah tebusanmu?-
- Hemm, dengarkan baik-baik. Apabila aku
sampai menyalahgunakan sumpah ini, mudah-
mudahan Dewata Yang Agung akan menghukum
dan mengutuk diriku. Dan setelah aku mati, akan
menjadi setan gentayangan. Nah, bukankah sum-
pahku ini juga berat? Sebaliknya sumpah ini pun
akan berlaku pula bagi kau. Apabila kau berani
melanggar sumpahmu, kau akan mendapat kutu-
kan Dewata Yang Agung, dan setelah kau mati
akan menjadi setan gentayangan. –
- Baik, baik! Aku setuju sekarang!- sahut
Rakit Cendana dengan wajah berseri dan bibir
bersenyum. Kemudian ia sedia menirukan apa
yang tadi sudah diucapkan oleh Sarwiyah
Dan Sarwiyah menjadi gembira sekali
mendengar sumpah pemuda ini. Lalu berlindung
kepada sumpah yang telah diucapkan Rakit Cen-
dana sendiri, sekarang dirinya akan dapat men-
gusir Rakit Cendana dari kamar ini secara halus.
- Terima kasih Rakit Cendana, ternyata
kau memang pemuda baik.-
- Tentu saja,- katanya bangga. - Aku me-
mang pemuda baik. Maka engkau akan menjadi
isteriku dan kita akan hidup bahagia.-
Sambil berkata pemuda ini yang gembira,
segera melangkah maju, ingin sekali bisa meme-
luk dan menciumi pipi dan bibir merekah gadis
itu.
Sarwiyah cepat memperingatkan, - Demi
sumpahmu, kau jangan maju mendekati aku.-
Rakit Cendana terbelalak, tetapi kakinya
berhenti melangkah juga, karena takut kepada
sumpah yang sudah ia ucapkan. Sudah tentu ia
tidak ingin setelah mati dirinya menjadi setan
gentayangan.
Dan Sarwiyah mulai menggunakan penga-
ruh sumpah itu. Namun sesuai dengan watak dan
tabiatnya yang halus, dalam mengucapkan kata-
katanya inipun, nadanya halus dan enak terden-
gar.
- Kakang Rakit Cendana!- gadis ini sengaja
sudah menggunakan "Kakang". Hal ini dengan
maksud agar pemuda ini tidak menjadi curiga
dan ia dapat menyelamatkan diri dari tindak ke-
kerasan.
Dan ternyata pancingannya ini berhasil
baik sekali karena pemuda ini menjadi senang
sekali, lalu terkekeh gembira.
- Kakang Rakit Cendana, karena engkau
ternyata seorang pria yang baik dan suka menu-
ruti apa yang aku inginkan, maka terus terang
aku katakan pada dirimu, bahwa sebenarnya
akupun .....cinta kepada dirimu.....-
Dalam mengucapkan "cinta" ini, sesung-
guhnya bibir Sarwiyah hampir mogok tidak mau
bergerak. Tetapi demi keselamatan dan dalam
usaha menghindarkan diri dari kekerasan, ter-
paksa ia menghibur diri.
- Aduh biyung..... aduh biyung.....heh heh
heh heh, terima kasih ..... Adikku yang manis ......
–
Saking hatinya gembira, pemuda ini ber-
jingkrakan lalu bermaksud menubruk Sarwiyah.
- Ihhh! Dengar dulu!- Sarwiyah cepat men-
cegah sambil menghindar,
- Kenapa? Bukankah kau mencintai aku
juga? Heh heh heh heh.....- ujarnya.
- Benar. Tetapi dengar dulu!-
- Marilah Sarwiyah, kita buktikan cinta ka-
sih kita bersama. Aku akan memeluk kau dan
aku akan memberi hadiah ciuman mesra.....-
Wajah Sarwiyah menjadi merah mendengar
ucapan Rakit Cendana ini. Akan tetapi ia cukup
sadar apabila dirinya sampai lupa dan bersikap
kasar sedikit saja, pemuda ini akan curiga, se-
hingga usahanya yang sudah hampir berhasil bi-
sa gagal total.
- Ingatlah Kakang Rakit Cendana, engkau
harus menurut dan mau mendengar peringatan-
ku,- ia memperingatkan tetapi ucapannya halus. -
Kakang, kau harus mau mengerti takkan lari gu-
nung dikejar. Secara terus terang tadi sudah aku
katakan, akupun mencintaimu sepenuh hatiku.
Lambat atau cepat, aku dan kau akan menjadi
suami isteri! Tetapi apakah sebabnya kau menjadi
kurang sabar? Cinta yang suci tidak boleh terko-
tori oleh dorongan nafsu yang merusak. Apakah
engkau bisa mengerti, Kakang?-
Walaupun sebenarnya Rakit Cendana me-
rasa kecewa, ia terpaksa mengangguk setuju. Se-
bab ia sudah kalah janji, seperti sumpah yang
sudah ia ucapkan sendiri.
- Nah, memang tidak salah dugaanku eng-
kau memang pemuda baik hati dan baik budi.
Engkau memang pemuda yang pantas menjadi pi-
lihan setiap wanita, karena ternyata kau pandai
memegang sumpahmu sendiri. Sekarang dengar-
lah kataku, dan kata-kataku ini tidak boleh kau
bantah maupun kau langgar. Jika kau sampai be-
rani melanggar, engkau bakal dikutuk oleh Dewa-
ta Yang Agung dan kau akan menjadi setan gen-
tayangan –
- Ya.....ya.....aku tak ingin jadi setan gen-
tayangan.- Rakit Cendana menjawab sambil
menghela napas pendek.
- Bagus!- puji Sarwiyah untuk menggembi-
rakan pemuda ini. - Sungguh gembira hatiku,
Kakang, kau mau mengerti. Sekarang aku minta
kepada kau agar mau bersabar, menunggu sete-
lah tiba saatnya kita kawin. Katakanlah kepada
ayahmu, aku setuju kawin dengan kau, sebulan
lagi. -
- Ihhh! Apakah sebabnya begitu lama? Se-
baiknya esok hari saja perkawinan itu kita laku-
kan.-
- Sebulan lagi, Kakang. Dengar kataku, se-
bulan lagi! Apakah engkau akan melanggar sum-
pahmu sendiri, dengan membantah kehendak-
ku?-
- Ahhh, tetapi sebulan itu terlalu lama,
Adikku,- ratapnya. - Kalau begitu, sebaiknya satu
minggu lagi saja.-
- Aku bilang satu bulan, tidak bisa kurang.
–
- Setengah bulan saja ah.....setuju kan, se-
tengah bulan? Adikku yang manis, aku minta se-
tengah bulan lagi.-
Rakit Cendana masih berusaha membujuk
dan setengah meratap.
- Tidak! Harus satu bulan lagi!- Sarwiyah
kokoh pada pendiriannya.
- Ahhh, kenapa kau ini? Adikku, apakah
kau belum pernah pergi dan berbelanja ke pasar?
Di pasar banyak kali terjadi tawar-menawar. Satu
pihak menurunkan harga yang diminta semula
sedang pihak lain menaikkan tawarannya. Ehh,
Sarwiyah, dari satu hari, kemudian satu minggu
dan sekarang naik setengah bulan, teta-
pi.....kenapa kau tidak juga mau turun? Aku min-
ta belas kasihanmu, Adikku, hendaknya kau mau
mengurangi lagi, jangan sebulan ...... –
Geli tetapi juga mendongkol hati gadis ini
mendengar ucapan Rakit Cendana ini. Kenapa da-
lam persoalan ini Rakit Cendana menggunakan
contoh orang yang jual beli di pasar? Akan tetapi
ia juga bukan orang tolol. Ia tahu pasti, apabila
dirinya tetap pada pendirian salah-salah bisa me-
nimbulkan kecurigaan. Untuk ini sekalipun tera-
sa berat, akhirnya ia mengurangi juga.
- Baiklah! Sekarang aku kurangi satu hari.!
Jadi, duapuluh sembilan hari lagi.-
- Ahhh, kenapa kau pelit? Jangan hanya
sehari ahh, aku minta kurangilah sepuluh hari.
Jadi, kita kawin dua puluh hari lagi? –
- Hemm, pendeknya kau mau menurut aku
apa tidak? Dalam hal perkawinan, pihak pria ha-
rus mau menuruti kemauan pihak wanita. Seka-
rang inipun demikian pula, kau harus mau mene-
rima. Dan apabila kau tidak mau menerima, apa-
kah engkau akan melanggar sumpahmu sendiri?
Bukankah waktu yang hanya sebulan kurang se-
hari Itu tidak lama?-
Rakit Cendana tidak cepat membuka mu-
lut. Pemuda ini menundukkan kepala beberapa
saat lamanya. Dan ketika mengangkat kepalanya
ia menghela napas panjang.
- Bagaimana?-
Rakit Cendana tergagap. Kemudian ia
mengangguk sambil menjawab, - Hemm, baiklah!
Aku terpaksa setuju permintaanmu. Tetapi..... –
- Tetapi apa .....?-
- Jika aku menuruti apa yang kau katakan,
maka sekarang akupun minta agar kau sudi me-
nuruti apa yang kuminta.-
- Tidak mungkin! Kau harus ingat, kau te-
rikat sumpah, sebaliknya aku tidak!-
- Tetapi aku mohon.....Sarwiyah, aku mo-
hon -
Tiba-tiba pemuda ini menjatuhkan diri ber-
lutut di depan Sarwiyah. Lalu dengan sepasang
matanya yang tak berkedip, ia meneruskan, - Aku
mohon, untuk mengobati kerinduanku padamu,
izinkanlah aku memeluk dan menciummu.-
- Ihhhh.....! -
Kaget juga gadis ini mendengar permintaan
itu. Sebagai seorang gadis yang masih suci murni,
ia menjadi malu dan pipinya berubah kemerahan.
Namun Sarwiyah takkan sedia menuruti
permintaan ini. Permintaan duapuluh sembilan
hari lagi bukan lain dalam usahanya mengulur
waktu dan bukannya mencintai pemuda ini. Da-
lam hati ia berharap agar dalam waktu yang cu-
kup panjang itu datanglah pertolongan hingga
dapat membebaskan dirinya dari tempat yang ti-
dak menyenangkan ini.
Dan sesungguhnya saja mendengar per-
mintaan Rakit Cendana ini, Sarwiyah menjadi
marah dan ingin sekali menampar mulut lancang
ini. Namun perasaannya ini ia tekan, kemudian
katanya halus.
- Kakang, kenapa engkau menjadi tidak
sabaran seperti ini? Engkau adalah pemuda tam-
pan, pemuda berbudi dan hanya kau seorang saja
yang aku cintai. Apakah kau ingin membuat hati-
ku menjadi kecewa?-
- Ahhh ..... ahhh .....sudahlah, jika kau ti-
dak mau, tidaklah mengapa .....- jawab pemuda
ini gugup, khawatir jika gadis pujaan kati ini
menjadi kurang senang hatinya. - Ya, duapuluh
sembilan hari lagi. Tetapi.....setelah kita kawin,
tentunya kau tidak menolak lagi, bukan?-
- Hemm, sudahlah! Kita telah cukup! Seka-
rang kau harus meninggalkan kamar ini agar aku
dapat mengaso.-
- Tetapi..... tetapi aku akan minta kepada
Ayah, agar kau mau pindah kamar. Kau harus
aku tempatkan di kamar yang sepadan sebagai
calon pengantin wanita yang terhormat.-
- Sudahlah, hal itu tak perlu lagi kau pikir-
kan. Aku sudah kerasan di dalam kamar ini, ka-
rena memang lebih cocok. Yang penting sekarang
keluarlah dari kamar ini, aku sudah mengantuk
dan ingin tidur.-
- Jika kau memang mengantuk, silakan ti-
dur. Aku akan menjagamu agar tidak ada lalat
maupun nyamuk yang mengganggu dirimu.-
- Hush! Sekalipun tidak kau jaga, nyamuk
dan lalat tidak dapat masuk ke dalam kamar ini.
Sudahlah, sekarang kau harus pergi. –
Rakit Cendana masih berusaha mencari
alasan lagi, supaya dapat lebih lama dalam kamar
ini. Bujuknya, - Aku sudah menurut dan menye-
tujui waktu duapuluh sembilan hari seperti yang
kau minta. Tetapi kenapa kau demikian pelit dan
tidak bersedia memberi kesempatan kepada diri-
ku untuk lebih lama dalam kamar ini?-
Agak kewalahan juga Sarwiyah menghada-
pi Rakit Cendana yang keras kepala ini. Namun ia
tidak kekurangan akal, sahutnya, - Bukannya
aku pelit, Kakang. Tetapi semua ini dalam usaha
menjaga nama baik masing-masing. Kau putra
mahkota raja yang berkuasa di daerah ini dan se-
baliknya aku seorang gadis yang masih suci. Ma-
nusia di dunia ini ada yang dengki dan ada yang
baik. Nah kalau yang melihat kau masuk kamar
ini, yang dengki dia bisa memfitnah kita dengan
tuduhan buruk. Bagaimanakah kita akan me-
nangkis, kalau ada tuduhan kita telah berbuat ti-
dak senonoh di kamar ini? Tidak urung kau dan
aku sendiri yang menjadi malu, bukan?-
- Siapakah yang berani berbuat seperti itu?
- Rakit Cendana membelalakkan matanya. - Jika
orang itu masih kepengin hidup, takkan mungkin
berani menuduh aku dan dirimu berbuat tidak
senonoh. Nah, karena itu kau tidak perlu khawa-
tir dan takut, Adikku.-
- Tidak!- Sarwiyah membentak. - Pokoknya
sekarang juga kau harus meninggalkan kamar
ini. Aku sudah mengantuk dan ingin tidur.
Hemm, masih banyak waktu untuk kita gunakan
bertemu.-Akhirnya Rakit Cendana terpaksa men-
galah. Namun demikian hatinya sudah mene-
tapkan, esok malam ia akan menggunakan cara
lain agar Sarwiyah dapat ia tundukkan dengan
mudah. Ia sudah tidak kuasa lagi menahan ha-
tinya yang gandrung.
Apa yang akan terjadi? Rakit Cendana
akan mencampur obat yang selalu berhasil me-
nundukkan siapapun, yang menjadi andalan ke-
rajaan terasing ini. Ia merasa pasti Sarwiyah men-
jadi lupa daratan dan menyerah.
Pikiran Rakit Cendana ini sejalan dengan
pikiran Ika Dewi yang juga tidak kuasa menahan
hatinya lagi kepada Mahisa Singkir. Ia takkan
puas sebelum dapat menundukkan pemuda itu.
Benarkah rencana kakak beradik ini ber-
hasil? Ikutilah buku baru yang akan terbit, berju-
dul "JANGAN KAU SIKSA HATIKU". Percayalah
buku baru ini takkan mengecewakan hati Anda,
karena cerita dalam buku baru ini lebih menarik
dan mengesankan. Antara lain akan anda jumpai
adegan seperti di bawah ini.
..... Mpu Galuh mengerutkan alis dan me-
natap tajam kepada anaknya, - Apa katamu?-
Ika Dewi langsung menubruk dan memeluk
ayahnya. Gadis ini tidak peduli kepada orang lain,
lalu berkata tidak lancar.
- Ayah ..... aku sudah mencampurkan obat
racun.....Kemudian dia.....dan aku sudah menjadi
suami-isteri.....Ayah ... tetapi ahh, aku tadi terti-
dur.....Ketika aku terjaga.....Kakang Mahisa Sing-
kir sudah tidak ada lagi......
Mpu Galuh mendorong pundak Ika Dewi
secara kasar. Ika Dewi terhuyung kemudian jatuh
terduduk.
- Ayah... kenapa kau.....?- protes Ika Dewi
sambil melompat bangkit. Wajah yang sudah pu-
cat itu tampak lebih pucat lagi. - Ayah.....kau.....
kau tega kepada anakmu sendiri .....? Aku kehi-
langan suamiku ..... Ayah tidak menghibur..... te-
tapi malah marah-marah......
..... Julung Pujud terbelalak untuk sejenak
kemudian terkekeh dan berkata, - Heh heh heh
heh, apakah yang akan kau lakukan di sana?-
- Jika Guru berhadapan dengan Gajah Ma-
da, apakah murid tidak dapat berhadapan dengan
yang lain? Hemm, biarlah Guru tahu, murid bu-
kan seorang penakut. Murid akan memilih salah
seorang pembantu Gajah Mada yang paling sakti!-
- Jika kau sampai tak mampu melawan,
apakah jadinya?-
- Bukankah taruhannya hanya mati? Apabila toh
murid tewas dalam perkelahian itu, bu-
kankah murid akan mati dengan puas? Murid
mati membela nama baik Kakek mertua, dan da-
lam usaha membalaskan sakit hati keluarga ......
Nah para Pembaca Yang Baik, silakan
mengikuti cerita baru berjudul "JANGAN KAU
SIKSA HATIKU", segar, mengesankan dan mena-
rik.
s e l e s a i
Sala, pertengahan Mei 1987
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon