Serial Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
MANUSIA BERACUN
SEEKOR kuda hitam muncul dari
gumpalan kabut tebal. Sementara itu, dari angkasa menukik deras seekor burung
rajawali berbulu putih keperakan. Burung raksasa itu berputar-putar di atas
kepala seorang pemuda berwajah tampan yang rambutnya agak panjang tergelung ke
atas. Pakaian yang dikenakannya adalah rompi putih. Dia menunggang kuda hitam
yang berpacu cepat menembus kabut tebal.
Pada saat yang sama, tiba-tiba
berkelebat sebuah bayangan merah dan langsung menyambar pemuda di punggung kuda
hitam itu. Sambaran yang begitu cepat, sehingga pemuda itu tidak sempat lagi
menghindar. Satu jeritan keras melengking terdengar menyayat mengiringi tubuh
pemuda itu yang terlontar ke angkasa.
Seketika rajawali putih berusaha
mengejarnya. Namun belum sempat mencapai pemuda itu, mendadak dari angkasa
meluncur seekor rajawali lain berwarna hitam pekat. Burung rajawali hitam itu
mencelat bagaikan kilat menyambar tubuh pemuda itu.
"Rangga...!"
"Pandan…, Pandan,
bangun…!"
"Oh!"
Malam begitu pekat. Langit tampak
menghitam kelam tertutup awan tebal. Malam ini angin seperti enggan berhembus.
Sedikit pun tak ada gerakan pada dedaunan di belakang bangunan besar dan indah.
Di tengah-tengah sebuah taman, nampak duduk seorang wanita muda cantik
mengenakan baju biru ketat. Bentuk tubuhnya yang ramping dan indah membayang di
balik baju birunya.
Gadis itu tidak beranjak dari
tempat duduk sejak sang surya tenggelam tadi. Pandangannya lurus kosong ke
depan. Sama sekali tidak disadari kalau ada seseorang menghampiri. Seorang
gadis yang mengenakan baju hijau muda tengah melangkah pelahan-lahan.
"Pandan..."
"Oh!" wanita berbaju
biru itu terkejut saat merasakan tepukan halus di pundaknya.
Wajahnya berpaling dan tersenyum
melihat ada gadis lain di belakangnya. Digeser duduknya sedikit untuk memberi
tempat.
"Sudah larut. Kau belum
tidur juga?" lembut sekali suara wanita berbaju hijau muda itu seraya
duduk di samping wanita berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi.
"Dik Cempaka. Kau sendiri
sedang apa di sini?" Pandan Wangi malah balik bertanya.
"Memperhatikanmu, Kak,"
jawab Cempaka seenaknya.
Pandan Wangi tersenyum getir
sambil menepuk-nepuk punggung tangan gadis itu. Sedangkan Cempaka memandangi
raut wajah Pandan Wangi yang kelihatan gundah. Meskipun bibirnya menyunggingkan
senyum, tapi terasa kalau amat dipaksakan.
"Sudah seminggu ini Kak
Pandan kelihatan gundah dan suka menyendiri. Bahkan setiap malam
berteriak-teriak, tapi tidak pernah menceritakan kenapa?" terdengar serius
kata-kata Cempaka.
Pandan Wangi tidak menjawab, tapi
hanya tersenyum saja. Pelahan gadis berbaju biru muda itu bangkit berdiri
seraya menghembuskan napas panjang. Pelan sekali kakinya terayun mendekati
sebuah kolam yang dihiasi batu-batu karang tersusun, membentuk sebuah bukit
kecil.
Gadis itu memetik selembar daun
dan melemparkannya ke dalam kolam. Tampak air kolam yang menghitam itu
bergolak. Ternyata beberapa ekor ikan bermunculan berebut daun yang dilemparkan
Pandan Wangi. Sementara Cempaka masih tetap duduk di kursi taman yang terbuat
dari rotan. Dia hanya memperhatikan saja tanpa berkedip. Sinar matanya
memancarkan sesuatu yang sukar diketahui artinya.
"Kak Pandan rindu pada
Kakang Rangga...?" tebak Cempaka ragu-ragu.
Pandan Wangi tersentak kaget.
Dibalikkan tubuhnya dan ditatapnya Cempaka dalam-dalam. Tapi itu hanya sesaat
saja, kemudian kembali dipalingkan mukanya, memandang ke arah lain. Sebenarnya
Pandan Wangi tidak ingin Cempaka mengetahui perubahan wajahnya yang tiba-tiba.
Tapi rupanya Cempaka sudah mengetahui keterkejutan Pandan Wangi saat nama
Rangga disebut. Wajah gadis itu juga berubah memerah dengan bola mata berputar.
"Memang telah lama Kakang
Rangga belum kembali. Yaaah... sejak kau hidup lagi," ujar Cempaka agak
mendesah suaranya.
Pandan Wangi hanya diam saja.
Memang sudah cukup lama dia tidak lagi melihat Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan
lagi sudah lama juga dirinya tinggal di Istana Karang Setra ini sejak hidup
kembali dari kematian semu (Untuk lebih jelas, baca Serial Pendekar Rajawali
Sakti. Dalam kisah Bangkitnya Pandan Wangi).
Dan Pandan sendiri tidak
membantah kalau hatinya memang merindukan kehadiran Rangga di sisinya. Tapi
yang membuat Pendan Wangi gundah dalam satu pekan ini, bukan karena hanya
merindukan Pendekar Rajawali Sakti saja. Ada sesuatu yang mengganggu benak dan
hatinya, dan hanya dia sendiri yang tahu.
"Kalau saja aku tahu, di
mana Kakang Rangga sekarang berada..." gumam Cempaka setengah mendesah,
seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Cempaka, rasanya sudah
cukup lama aku berada di sini..." ujar Pandan Wangi seraya melangkah
menghampiri gadis berbaju hijau muda itu.
"Tapi jangan katakan kalau
kau akan pergi, Kak Pandan," tebak Cempaka langsung.
Pandan Wangi tersenyum, dan
kembali duduk di samping Cempaka. "Kau tahu siapa aku, bukan? Aku senang
berada di sini, tapi rasanya seperti seekor burung di dalam sangkar emas. Sejak
lahir aku sudah terbiasa hidup di alam terbuka, menjelajah alam dan hidup penuh
kekerasan," Pandan Wangi seperti merindukan kehidupannya yang dulu.
"Tapi, Kak. Kakang Rangga
sudah berpesan agar kau tidak pergi ke mana-mana sampai dia kembali,"
tegas Cempaka.
"Itulah kehidupan seorang
pendekar, Cempaka. Meskipun sudah menjadi raja, tapi tidak akan bisa tinggal
selamanya di dalam istana. Begitu juga diriku. Aku lahir sudah ditakdirkan
untuk menjadi pendekar wanita yang selalu hidup bebas di alam luas. Bukan
takdirku untuk mengurung diri di dalam benteng istana. Kau tentu mengerti,
karena kau juga...."
"Belum, Kak," potong
Cempaka. "Aku tidak sempat mengecap kehidupan sepertimu. Aku keluar dari
padepokan, lalu langsung tinggal di sini. Terus terang, sebenarnya aku juga
ingin sekali mengembara, mencari pengalaman hidup merambah ganasnya rimba
persilatan. Aku merasa apa yang kumiliki belum mendapatkan tantangan yang
berarti."
Pandan Wangi tersenyum, lalu
kembali bangkit berdiri dari duduknya. Pelahan-lahan diayunkan kakinya
melangkah meninggalkan taman belakang Istana Karang Setra ini. Cempaka juga
ikut berdiri dan berjalan mengikuti di belakang gadis itu. Sementara malam
terus merayap semakin larut.
***
Pagi-pagi sekali Pandan Wangi
sudah menyiapkan kudanya di istal yang terletak di samping kanan bangunan
istana. Gadis itu tersenyum melihat Cempaka datang menghampirl bersama
Danupaksi.
"Kau jadi pergi juga, Kak
Pandan?" tanya Danupaksi yang sudah mengetahui rencana Pandan Wangi untuk
kembali mengembara menjelajah rimba persilatan dari Cempaka.
"Rasanya jadi," sahut
Pandan Wangi, kembali menyiapkan kudanya yang sempat terhenti sebentar.
"Aku tidak tahu, apa yang
harus kukatakan. Melarang pun tidak bisa," ujar Danupaksi. Pandan Wangi
kembali menghentikan pekerjaannya memasang pelana kuda. Dipandangi kakak
beradik lain ibu ini, yang juga adik tiri Pendekar Rajawali Sakti. Memang berat
meninggalkan orang-orang yang telah begitu baik padanya. Tapi Pandan sudah
tidak bisa menahan diri lagi.
"Sebenarnya aku ingin juga
ikut bersamamu, Kak. Tapi..." Cempaka tidak melanjutkan ucapannya. Diliriknya
Danupaksi yang berada di sampingnya.
"Bukannya melarangmu, tapi
aku hanya tidak ingin disalahkan. Mengertilah, Cempaka. Tugas kita di sini
masih banyak dan tidak kalah pentingnya," tegas Danupaksi.
Cempaka hanya diam saja.
Sedangkan Pandan Wangi tersenyum melihat wajah adik tiri Pendekar Rajawali
Sakti itu sedikit memberengut. Semalaman gadis itu berbicara dengan Cempaka di
dalam kamar tidur. Mereka saling terbuka dan mengemukakan seluruh isi hati yang
terpendam tanpa ada yang dirahasiakan. Dan Pandan Wangi bisa mengerti keinginan
Cempaka untuk mencari pengalaman di luar benteng istana ini, tapi juga tidak
ingin mengajak Cempaka dalam pengembaraannya kali ini. Karena disadarinya kalau
Cempaka memiliki kewajiban yang sangat berat di Kerajaan Karang Setra ini.
Pandan Wangi kembali meneruskan
pekerjaannya memasang pelana pada kuda putih pemberian Rangga. Begitu selesai
memasang pelana berwana merah dengan hiasan sulaman benang emas, tubuhnya
melompat naik. Sedangkan Cempaka dan Danupaksi masih berdiri di sampingnya.
"Aku berharap, kita bertemu
lagi kelak," ucap Pandan Wangi.
"Selamat jalan, Kak
Pandan," ucap Cempaka.
"Berhati-hatilah, semoga kau
bertemu Kakang Rangga," sambung Danupaksi.
"Ada yang akan kau titipkan,
Adik Danupaksi?" tanya Pandan Wangi.
"Ada. Tapi hanya ini,"
Danupaksi menyerahkan selongsong bambu yang digosok halus. Kedua ujungnya
tertutup rapat. Pandan Wangi menerima dan menyelipkannya di balik lipatan
bajunya.
"Sampaikan itu pada Kakang
Rangga," kata Danupaksi.
"Tidak ada lagi?"
"Tidak," sahut
Danupaksi dan Cempaka hampir bersamaan.
"Kalau begitu, sebaiknya aku
segera pergi."
Pandan Wangi menggebah kuda putih
yang gagah dan berotot itu. Kuda putih itu berlari kencang meninggalkan istal,
langsung menuju depan. Tanpa mengendurkan kecepatan larinya, kuda itu melintasi
halaman depan istana yang sangat luas. Dua orang penjaga bergegas membuka pintu
gerbang, dan Pandan Wangi terus menggebah kuda melewatinya.
Hampir semua orang di Kota
Kerajaan Karang Setra itu mengetahui dan mengenal kalau Pandan Wangi adalah
calon permaisuri. Semua orang yang berada di jalan, membungkukkan badannya saat
melihat gadis itu melintas diatas kuda putih yang tinggi tegap dan sangat
gagah. Namun Pandan Wangi terus saja menggebah cepat, sehingga lari kuda itu
bagaikan terbang saja! Debu berkepul membumbung tinggi ke angkasa tersepak
kaki-kaki kuda putih yang dipacu bagai dikejar setan itu.
Sementara itu, di depan istal,
Danupaksi dan Cempaka masih berdiri di sana. Meskipun Pandan Wangi sudah tidak
terlihat lagi, tapi mereka masih memandang ke arah kepergian gadis itu.
Danupaksi mengayunkan kakinya pelahan-lahan setelah menarik napas panjang.
Cempaka mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping pemuda itu.
"Mudah-mudahan tidak terjadi
apa-apa terhadap Kak Pandan," desah Cempaka seperti bicara pada diri
sendiri.
"Kenapa kau bicara begitu,
Cempaka?" Tanya Danupaksi.
"Aku memang tidak sempat
mengatakannya padamu, tapi rasanya tidak penting," sahut Cempaka.
Danupaksi menghentikan
langkahnya. Ditatapnya Cempaka dalam-dalam. Diyakini kalau gadis ini menyimpan
sesuatu yang berhubungan dengan kepergian Pandan Wangi. Tapi Danupaksi tidak
ingin menduga terlebih dahulu.
"Satu pekan ini Kak Pandan
kelihatan gundah, dan senang menyendiri sambil melamun. Setiap malam aku selalu
membangunkannya, karena dia selalu bermimpi. Bahkan selalu menjerit-jerit dan
menyebut-nyebut nama Kakang Rangga. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi pada
diri Kakang Rangga," Cempaka tak bisa menyembunyikan lagi. Diungkapkan
keresahan hatinya yang selama ini selalu dipendam sendiri.
"Kau pernah menanyakan hal
itu pada Kak Pandan?" tanya Danupaksi jadi ikut gelisah.
"Pernah, bahkan beberapa
kali. Tapi Kak Pandan tak pernah bersedia mengatakan tentang mimpinya,"
sahut Cempaka.
Danupaksi terdiam.
"Aku jadi khawatir,
Danupaksi," tersirat kecemasan di wajah Cempaka.
"Seharusnya kau katakan itu
sebelumnya, Cempaka," desah Danupaksi menyesalkan.
"Maaf," hanya itu yang
bisa diucapkan Cempaka.
"Hhh...! Sekarang Kak Pandan
sudah pergi, dan tak jelas ke mana tujuannya..." desah Danupaksi pelahan.
"Apa tidak sebaiknya kita
menyusul saja, Danupaksi?" usul Cempaka.
Danupaksi kembali terdiam.
Kembali diayun kakinya melangkah perlahan-lahan. Kepalanya tertunduk dalam
dengan kening berkerut, pertanda tengah berpikir keras. Memang selama beberapa
hari ini, ia selalu memergoki Pandan Wangi menyendiri di taman belakang. Bahkan
terkadang mengunci diri dalam kamarnya hampir satu harian.
Selama ini Danupaksi hanya
menganggap kalau Pandan Wangi mungkin rindu hendak bertemu Rangga. Tidak ada
terlintas di benaknya kalau kekasih kakak tirinya itu memiliki ganjalan akibat
mimpi-mimpi yang selalu datang menghantui setiap malam. Memang tidak ada yang
tahu apa yang terjadi dalam mimpi Pandan Wangi.
Tapi Danupaksi sudah bisa menduga
kalau mimpi yang dialami Pandan Wangi merupakan pertanda. Dan pemuda itu tidak
bisa menduga, karena tidak pernah tahu tentang mimpi itu. Sedangkan Cempaka
sendiri juga tidak mengetahuinya. Pandan Wangi selalu mengelak untuk
menceritakan perihal mimpi-mimpinya yang datang hampir setiap malam dalam satu
pekan ini.
***
"Tidaaak...!"
Danupaksi terjaga dari tidurnya
ketika tiba-tiba terdengar jeritan melengking. Pemuda itu melompat bangun dari
pembaringannya. Jeritan itu hanya terdengar sekali, dan sekarang berganti suara
isak tangis. Bergegas Danupaksi keluar dari kamarnya, lalu menuju arah
datangnya suara tangisan itu. Sebentar Danupaksi tercenung ketika tiba di depan
pintu kamar Cempaka. Masih terdengar suara isak tangisan, dan datangnya dari
dalam kamar di depannya. Agak ragu-ragu juga, tapi akhirnya Danupaksi
memberanikan diri mengetuk pintu kamar adik tirinya itu.
"Cempaka..." panggil
Danupaksi sambil mengetuk pintu kamar yang tertutup rapat. Tidak ada sahutan.
Danupaksi mencoba membuka pintu yang tidak terkunci. Segera didorongnya
pelahan-lahan. Keadaan dalam kamar tidak begitu terang, hanya sebuah pelita
kecil yang menyala redup tak sanggup menerangi seluruh kamar yang luas ini.
Tampak di atas pembaringan, sesosok tubuh ramping tergolek gelisah. Memang
suara tangisan itu datang dari sana.
"Cempaka...," Danupaksi
terkejut juga begitu dekat. Ternyata Cempaka menangis di dalam tidurnya.
Danupaksi duduk di tepi pembaringan, lalu tangannya menyentuh pundak gadis itu.
Tapi mendadak saja...
"Tidak! Jangaaan...!"
Cempaka tiba-tiba saja menjerit keras.
Danupaksi terkejut, langsung
mengangkat tangannya. Tapi tanpa diduga sama sekali, Cempaka menyentakkan
tangannya, hingga menghantam perut pemuda itu. "Hughk!" Danupaksi
mengeluh pendek. Pemuda itu sampai terjatuh ke lantai, tapi bergegas berdiri,
tepat saat Cempaka bangun dengan mendadak. Gadis itu nampak tersengal, dan
keringat bercucuran di sekitar wajah dan lehernya. Perlahan Danupaksi
menghampiri lalu duduk di tepi pembaringan lagi.
"Cempaka…" panggil
Danupaksi pelan seraya menyentuh punggung tangan adik tirinya ini.
"Oh ...!" Cempaka tersentak
kaget, langsung menoleh dan menatap Danupaksi. Cempaka tiba-tiba saja memeluk
Danupaksi dan menangis di dada pemuda itu. Tentu saja Danupaksi jadi keheranan,
tapi dibiarkan saja adik tirinya itu menangis. Memang tidak ada yang bisa
dilakukan, selain membiarkan gadis itu menangis di dalam pelukannya.
"Cempaka…" pelan suara
Danupaksi setelah cukup lama Cempaka menangis memeluknya. Pelahan-lahan Cempaka
melepaskan pelukannya. Buru-buru diseka air mata dengan punggung tangannya.
Beberapa kali gadis itu menarik napas dalam-dalam, seakan-akan ingin
melonggarkan rongga dadanya yang terasa sesak. Sedangkan Danupaksi membiarkan
saja, menunggu sabar.
"Ada apa, Cempaka? Kau
bermimpi?" tanya Danupaksi lembut. Cempaka masih belum bisa menjawab.
Hanya anggukan kepalanya saja untuk menjawab pertanyaan pemuda itu. "Masih
terlalu malam, tidurlah lagi," ujar Danupaksi seraya bangkit berdiri.
"Danupaksi..." selak
Cempaka seraya memegang tangan pemuda itu.
Terpaksa Danupaksi duduk lagi di
tepi pembaringan. Sesaat mereka hanya terdiam saling tatap. Danupaksi belum
ingin membuka suara, membiarkan Cempaka lebih tenang dulu.
"Kau percaya arti sebuah
mimpi, Danupaksi?" tanya Cempaka begitu pelan dan lirih suaranya.
Danupaksi tidak segera menjawab,
tapi malah memandangi saja raut wajah gadis itu. Hatinya mulai merasa tidak
tenang karena teringat akan kata-kata Cempaka siang tadi. Kepergian Pandan
Wangi dari istana ini juga diakibatkan sering mendapat mimpi. Dan sekarang
Cempaka juga mendapat mimpi yang membuat gadis itu bagai kerasukan setan.
"Mimpi hanya bunga tidur
Cempaka," Danupaksi mencoba menghibur.
"Tapi..." suara Cempaka
terputus.
"Masih terlalu malam.
Tidurlah kembali," bujuk Danupaksi seraya merebahkan tubuh gadis itu.
Danupaksi hendak meninggalkan kamar ini, tapi Cempaka memegangi tangan pemuda
itu. Terpaksa Danupaksi tetap duduk di tepi pembaringan, sedangkan Cempaka
sudah rebah kembali. Malam memang masih terlalu larut, dan suasana pun begitu
sunyi. Sesekali terdengar detak langkah kaki penjaga yang bertugas malam ini.
"Kau tidur di sini,
Kakang," pinta Cempaka.
"Jangan gila, ah!"
sentak Danupaksi terkejut
"Malam ini saja..."
rengek Cempaka memohon.
"Jangan bersikap seperti
anak kecil, Cempaka. Kita berada dalam lingkungan istana. Tidak baik kalau aku
keluar pagi-pagi dari kamarmu."
"Tapi..."
"Tidurlah. Kalau ada
apa-apa, aku ada di depan..." Danupaksi menepuk punggung tangan gadis itu
kemudian bangkit berdiri dan melangkah keluar.
Cempaka tidak bisa mencegah lagi.
Memang benar apa yang dikatakan Danupaksi. Meskipun mereka bersaudara, tapi
bisa mendatangkan malapetaka bila ada yang melihat Danupaksi tidur di kamar
ini. Cempaka masih terbaring, namun matanya terpentang lebar menatap
langit-langit kamarnya.
Sementara pintu kamar sudah
tertutup kembali setelah Danupaksi keluar. Terdengar suara pemuda itu memanggil
penjaga, dan memerintahkan untuk tetap berada di depan pintu kamar ini.
Sementara Cempaka berusaha untuk tidur kembali, tapi begitu sulit.
Bayang-bayang mimpi tadi masih membekas nyata di dalam ingatannya.
"Oh...," keluh Cempaka
jadi gelisah.
***
DUA
Sementara itu jauh di luar
Kerajaan Karang Setra, tepatnya di kaki lereng Gunung Ajibarang, tampak seorang
laki-laki muda berwajah tampan tengah duduk bersila di atas sebongkah batu
besar dan pipih. Rambutnya panjang meriap sedikit tergelung ke atas. Sebuah
pohon kayu yang cukup rindang menaunginya dari sengatan cahaya matahari.
Pemuda itu duduk bersila, tapi
matanya terpejam. Kedua telapak tangannya menempel pada lutut yang ditekuk.
Dada yang terbuka lebar, bergerak turun naik teratur. Angin siang ini cukup
keras, membuat baju putih tanpa lengan yang dikenakannya berkibar-kibar. Pemuda
itu membuka kelopak mata saat telinganya mendengar ranting patah terinjak.
"Itu dia! Seraaang…!"
Tiba-tiba saja terdengar suara yang keras, disusul berlompatannya beberapa
orang bersenjata golok terhunus dari dalam semak belukar. Sekitar dua puluh orang
itu langsung menyerang pemuda yang tengah duduk bersila di atas batu.
"Hup!" pemuda itu
bergegas melompat, menghindari sabetan sebilah golok yang begitu cepat mengarah
ke pinggangnya. Dan begitu kakinya mendarat ke tanah, satu serangan cepat
datang dari arah samping. Bergegas pemuda berbaju putih tanpa lengan itu
menggeser kakinya ke samping, sehingga tebasan golok itu lewat sedikit. Namun
angin tebasan golok yang begitu kuat membuat tubuhnya agak limbung. Pada saat
yang hampir bersamaan, sebuah kaki melayang deras mengarah ke punggungnya.
"Uts!" Cepat-cepat
pemuda itu berkelit, namun tidak bisa lagi menghindari satu pukulan keras yang
mendarat di bahu kanannya. Dia memekik tertahan, dan tubuhnya terdorong
limbung. Pada saat itu satu tendangan keras menggeledek mendarat di
punggungnya, sehingga membuatnya terjerembab mencium tanah. Belum lagi bisa
bangkit, sebuah golok meluruk deras ke arahnya. Buru-buru digelimpangkan
tubuhnya sehingga tebasan golok itu hanya mengenai tanah kosong. Tapi beberapa
golok kembali cepat mencecarnya, membuat pemuda itu harus bergelimpangan
menghindari setiap serangan yang datang beruntun tanpa henti.
"Hup!" Begitu ada
kesempatan, pemuda itu bergegas melompat bangkit berdiri. Namun belum juga
dapat berdiri tegak di atas kedua kakinya, satu pukulan keras kembali mendarat
di dadanya. Pukulan yang begitu keras dan cepat luar biasa, tidak dapat
dihindari lagi.
"Akh!" pemuda itu
memekik tertahan. Tubuhnya kembali limbung terdorong ke belakang. Pada saat
itu, salah seorang pengeroyoknya telah melompat cepat sambil berteriak keras,
mengibaskan goloknya ke arah leher. Namun mendadak saja orang itu terpental
sebelum berhasil membabatkan goloknya ke leher pemuda itu. Belum lagi ada yang
menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba sebuah bayangan biru berkelebatan cepat.
Dan entah bagaimana awalnya, tahu-tahu dua puluh orang itu sudah berpelantingan
dan golok mereka beterbangan ke udara!
Jerit dan pekik terdengar
sahut-menyahut. Namun kedua puluh orang itu bergegas bangkit berdiri. Semua terperanjat.
Ternyata golok tidak lagi berada di tangan mereka. Dan lebih terkejut lagi,
karena tiba-tiba saja di samping pemuda itu sudah berdiri seorang gadis
berparas cantik mengenakan baju biru.
"Nisanak, siapa kau? Kenapa
menolong iblis keparat itu?" bentak salah seorang yang mengenakan baju
kuning ketat. Wajahnya dihiasi kumis tebal melintang. Wanita berbaju muda itu
tidak menyahut. Diliriknya pemuda di sampingnya. Wajah yang tampan, terlihat
membiru lebam. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar. Pemuda itu memegangi
dadanya, dengan bernapas tersengal.
"Kau terluka?" tanya
wanita itu tidak menghiraukan dua puluh orang yang kelihatan berang.
"Ya..." desah pemuda
itu pelahan. Lemah sekali suaranya.
"Siapa mereka? Kenapa
mengeroyokmu?"
"Aku... aku tidak
tahu." Wanita berbaju biru muda itu memandangi wajah pemuda di sampingnya
dalam-dalam. Tersirat sesuatu dalam sinar matanya. Kemudian tanpa berkata-kata
lagi, disambarnya tubuh pemuda itu, dan langsung melesat pergi.
"He!" "Berhenti...
!" Tentu saja kedua puluh orang itu jadi terkejut setengah mati. Mereka
cepat-cepat memungut goloknya yang tergeletak di tanah, dan langsung
berlompatan mengejar. Namun wanita berbaju biru itu sudah lenyap bagai ditelan
bumi. Meskipun sudah tidak terlihat lagi bayangannya, kedua puluh orang itu
terus berlarian cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
***
Di mana sebenarnya wanita berbaju
biru itu? Ternyata dia berada di atas pohon yang cukup tinggi dan lebat. Wanita
itu mengawasi dua puluh orang yang berlarian cepat dan semakin jauh
meninggalkan tempat ini. Setelah kedua puluh orang itu tidak terlihat lagi,
barulah tubuhnya melompat turun sambil membawa pemuda yang nampak lemah.
Diletakkannya pemuda itu duduk di bawah pohon.
"Kakang..." agak
tertahan suara wanita cantik berbaju biru muda itu. Sepasang bola matanya yang
bening bulat dan indah, agak berkaca-kaca merayapi wajah yang tampan biru
lebam. Sedangkan yang dipandangi hanya diam, duduk bersila. Sinar matanya sangat
redup. Perlahan mengangkat kepalanya, membalas tatapan mata wanita di depannya.
"Terima kasih. Kau telah
menyelamatkan nyawaku." ucap pemuda itu lirih.
"Oh, Kakang...! Kau tidak
mengenaliku lagi...?!" semakin terdengar tersendat suara wanita itu.
Sedangkan pemuda berbaju putih
tanpa lengan itu hanya memandanginya saja. Redup sekali sinar matanya. Bahkan
raut wajahnya juga demikian kosong, bagai tidak memiliki gairah hidup lagi.
Tiba-tiba saja wanita berbaju biru muda menghambur, langsung memeluk pemuda
itu. Tangisnya tak dapat ditahan lagi, terisak-isak menyembunyikan wajahnya di
dada yang bidang terbuka lebar. Tapi pemuda itu hanya diam saja dengan raut
wajah terlihat kebingungan. Perlahan dilepaskan pelukan wanita cantik berbaju
biru pemuda itu.
"Nisanak, kenapa
menangis?" pelan sekali suara pemuda itu bertanya.
"Kakang... kau..."
tersendat suara wanita cantik berbaju biru muda itu. Perlahan digeser duduknya
agak menjauh. Sepasang bola matanya berputar merayapi wajah yang lesu tanpa
gairah kehidupan lagi. Perlahan sekali gadis menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tatapan matanya seperti tidak mempercayai apa yang ada di depannya ini.
"Kakang... Aku Pandan,
Kakang. Kau tidak mengenaliku lagi?" tersendat suara gadis berbaju biru
tua itu. Sedangkan pemuda berbaju putih tanpa lengan itu hanya memandangi saja
dengan mata redup. Sementara gadis yang mengaku bernama Pandan Wangi itu jadi
keheranan, bercampur sedih melihat pemuda yang selama ini dirindukan tidak
mengenalinya lagi. Pandan Wangi mengamati pemuda berbaju rompi putih yang
diyakini adalah Rangga itu, sambil menggeleng beberapa kaget.
"Kakang, ke mana
pedangmu?" tanya Pandan Wangi ketika melihat di punggung pemuda itu tidak
ada pedang. Padahal senjata itu adalah ciri dan kebanggaan Pendekar Rajawali
Sakti.
"Pedang..." pemuda yang
diyakini Pandan Wangi sebagai Rangga itu malah melihat seperti kebingungan.
"Oh, Kakang... Apa yang
terjadi terhadapmu?" Pandan Wangi tidak lagi menyembunyikan kesedihannya.
Air matanya jatuh berlinangan tak terbendung lagi. Sukar untuk dilukiskan,
bagaimana perasaan Pandan Wangi saat itu. Berhari-hari mencari Rangga yang
sangat dicintai, tapi setelah bertemu, pemuda itu seperti orang bodoh, Bahkan
tidak mengenalnya sama sekali. Sedih, gundah, bingung, dan entah apa lagi yang
ada di dalam dada gadis itu. Semua perasaannya hanya ditumpahkan lewat air
mata. Inilah air mata yang pertama kali dalam hidupnya!
"Nisanak..." pelan
suara Rangga.
"Oh, Kakang..." desah
Pandan Wangi di sela isak tangisnya.
"Siapa kau ini? Mengapa
menangis?" tanya Rangga.
"Kakang! Kau benar-benar
tidak mengenaliku? Aku Pandan Wangi, Kakang. Kekasihmu..." sahut Pandan
Wangi sambil menahan kesedihan yang amat sangat di hatinya.
"Pandan Wangi...?"
Rangga memandangi gadis cantik di depannya. "Kakang, apa yang telah
terjadi padamu? Mengapa begitu cepat melupakan diriku?" tanya Pandan
Wangi.
"Aku.... Aku... tidak
tahu," sahut Rangga kebingungan.
Pandan Wangi menyeka air mata
dengan punggung tangannya, sebentar kemudian menarik napas panjang. Dirayapinya
wajah Pendekar Rajawali Sakti yang tampak kebingungan itu. Perlahan, gadis itu
bisa menguasai perasaannya. Dugaannya, pasti Rangga mengalami sesuatu yang
membuat dirinya sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi! Bahkan
mungkin Rangga tidak mengetahui dirinya lagi. Pandan Wangi menggeser duduknya
lebih mendekat lagi. Diambilnya tangan Rangga dan digenggamnya erat-erat.
Sedangkan pemuda berwajah tampan mengenakan baju rompi putih itu hanya diam
saja.
"Siapa namamu, Kakang?"
tanya Pandan Wangi. Suaranya sudah terdengar agak tenang.
"Aku.... Aku," pemuda
itu jadi kebingungan.
Dan Pandan Wangi langsung bisa
menangkap kalau pemuda ini benar-benar tidak mengenali lagi dirinya. Dan
semakin diyakini kalau Pendekar Rajawali Sakti mengalami suatu peristiwa yang
mengguncangkan pikirannya, sehingga lupa akan segala-galanya. Bahkan dirinya
sendiri saja tidak tahu. Pandan Wangi semakin erat menggenggam tangan pemuda
itu.
"Namamu Rangga, Kakang.
Julukanmu Pendekar Rajawali Sakti. Kau juga seorang raja di Kerajaan Karang
Setra. Dan aku sendiri bemama Pandan Wangi, kekasihmu, Kakang," jelas
Pandan Wangi.
"Rangga.... Pandan
Wangi..." pemuda itu menggumamkan nama-nama yang disebutkan Pandan Wangi.
Dipandanginya wajah cantik di depannya lekat-lekat.
"Benar. Namamu Rangga dan
aku Pandan Wanggi," Pandan Wangi mengulangi.
"Benarkah?"
"Benar, Kakang. Kau seorang
pendekar, dan biasa dipanggil Pendekar Rajawali Sakti."
"Pendekar Rajawali
Sakti..." lagi-lagi Rangga menggumam pelan.
"Itu julukanmu, Kakang. Di
dalam rimba persilatan, kau lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali
Sakti," Pandan Wangi tidak jenuh menjelaskan.
"Benarkah aku seorang
pendekar?" nada suara Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Ingin rasanya Pandan Wangi
menangis dan menjerit sekuat-kuatnya menghadapi kenyataan ini. Tapi sekuat daya
dia berusaha untuk bisa tenang. Digigit-gigitnya bibirnya sendiri, mencoba
melawan gejolak perasaan yang beraneka ragam berkecamuk dalam dada. Pandan
Wangi teringat pada mimpi-mimpi yang selalu menghantuinya belakangan ini.
Apakah semua ini kenyataan dari setiap mimpi yang hadir di dalam tidurnya?
Pandan Wangi menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Dicobanya untuk tetap tegar,
meskipun hatinya tercabik bagai sehelai kain rapuh. Baru saja gadis itu hendak
membuka mulut lagi, tiba-tiba terdengar suara-suara teriakan disertai langkah-langkah
kaki yang berlarian menuju tempat ini. Pandan Wangi bergegas berdiri. Wajahnya
langsung berubah menegang begitu melihat banyak orang berlarian ke arahnya
sambil menghunus senjata. Sebentar gadis itu memandang ke sekelilingnya.
Orang-orang itu datang dari segala arah, dan tempat ini benar-benar terkepung.
"Oh, ada apa ini...?"
Pandan Wangi jadi kebingungan. Bergegas gadis itu membangunkan Rangga yang
sejak tadi hanya diam duduk bersila. Pandan Wangi semakin bingung, karena sikap
Rangga seperti tidak mempedulikan keadaan ini. Tanpa berpikir panjang lagi,
gadis itu bersiul keras dua kali. Beberapa saat kemudian, terdengar suara
ringkik kuda, disusul munculnya seekor kuda putih yang tinggi dan tegap.
"Hup!" Sambil menyambar
tubuh Rangga, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu melompat cepat bagai kilat
ke punggung kuda putih itu. Langsung saja digebah, sehingga membuat kuda putih
itu terlonjak meringkik keras. Bagaikan sebatang anak panah lepas dari
busurnya, kuda putih itu berlari cepat.
"Hiya!! Hiyaaa...!"
"Kejar! Jangan biarkan
mereka lolos...!" terdengar teriakan memerintah yang begitu keras. Pandan
Wangi tidak punya pilihan lain lagi. Langsung dikeluarkan senjatanya. Pedang
Naga Geni yang berwarna merah itu berkelebatan cepat membuka kepungan orang
yang berjumlah begitu banyak. Sungguh luar biasa! Kibasan pedang merah itu
membuat orang-orang yang mengepung menjadi porak-poranda bagai daun-daun kering
terhempas angin!
"Ayo, Putih! Cepat pergi
dari sini!" seru Pandan Wangi seraya menghentakkan tali kekang kuda
putihnya. Jerit dan pekik melengking terdengar saling sambut, dibarengi
ambruknya tubuh-tubuh berlumuran darah!
Sementara Pandan Wangi terus
mengibaskan cepat pedangnya sambil menghentakkan tali kekang agar kuda putih
itu terus bergerak cepat membuka jalan keluar dari kepungan yang semakin
terlihat rapat. Sedangkan Rangga yang berada di belakang Pandan Wangi, hanya
diam saja. Sedikit pun tidak melakukan sesuatu. Padahal Pandan Wangi berusaha
keras keluar dari kepungan ini. Sedikit demi sedikit, gadis itu bisa menghalau
para pengepungnya. Dan begitu melihat ada celah, bergegas digebah kudanya
kuat-kuat.
"Hiyaaa...!" Kuda putih
itu meringkik keras, langsung melompat melewati beberapa kepala. Bagaikan
kilat, kuda putih itu berlari menerobos kelebatan hutan. Pandan Wangi terus
menggebah kudanya agar tetap berlari kencang.
Sementara di belakang,
orang-orang berlarian sambil berteriak-teriak. Suara-suara keras bernada
memerintah terus terdengar, disertai umpatan dan caci maki. Namun Pandan Wangi
sudah begitu jauh bersama kuda putihnya dan Pendekar Rajawali Sakti yang
membonceng di belakang.
***
Pandan Wangi melompat turun dari
punggung kudanya. Dipandanginya Rangga yang turun dari kuda seperti bukan
seorang pendekar saja. Lompatannya begitu berat, dan seperti tanpa daya. Gadis
itu melangkah mendekati sungai kecil yang mengalir tepat di depannya. Sedangkan
Rangga hanya diam saja, duduk bersandar di bawah pohon. Kuda putih sudah asyik
merumput tidak jauh dari pemuda berbaju rompi putih itu.
Pandan Wangi menghampiri setelah
selesai membasuh mukanya di sungai. Sambil mendesah panjang, gadis itu duduk di
depan Rangga. Sebentar dipandangi pemuda itu, kemudian digenggamnya tangan
Rangga erat-erat. Perlahan tangan pemuda itu dibawa ke depan bibirnya, dan dikecupnya
lembut. Terasa dingin punggung tangan pemuda itu, dan Pandan Wangi
menggenggamnya penuh kehangatan.
"Walaupun aku tidak tahu apa
yang terjadi padamu, tapi aku yakin kalau kau adalah kekasihku," kata
Pandan Wangi pelan.
"Nisanak! Mengapa kau begitu
yakin kalau aku kekasihmu?" tanya Rangga.
"Meskipun kau jauh berubah,
bahkan tidak mengenali dirimu sendiri, tapi hatiku mengatakan kalau kau adalah
Rangga," tegas Pandan Wangi pasti.
"Jika aku memang Rangga, apa
yang kau ketahui tentang diriku?"
"Oh, Kakang. Mengapa kau
siksa aku seperti ini?" keluh Pandan Wangi lirih. "Katakan, Kakang.
Apa yang harus kulakukan untuk mengembalikan dirimu?"
Pemuda yang diyakini Pandan Wangi
sebagai Pendekar Rajawali Sakti itu melepaskan genggaman tangan Pandan Wangi,
kemudian bangkit berdiri. Pelahan-lahan kakinya terayun mendekati sungai. Dia
berlutut di tepi sungai dan memandangi wajahnya yang terpantul di air.
Sementara Pandan Wangi sudah berdiri. Dihampirinya pemuda itu, lalu berdiri di
belakangnya. Agak lama juga Rangga memandangi dirinya di dalam sungai yang
berair jernih, lalu perlahan-lahan bangkit berdiri dan berbalik menghadap
Pandan Wangi. Dipandanginya gadis itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Ceritakan tentang diriku
yang sebenarnya, Nisanak," pinta Rangga.
Tanpa diminta dua kali, Pandan
Wangi menceritakan tentang diri Pendekar Rajawali Sakti. Diceritakan juga
tentang pertemuannya, pengembaraannya mengarungi rimba persilatan yang penuh
kekerasan dan tanpa mengenal arti kehidupan wajar. Hanya hukum rimba yang ada.
Siapa kuat, dialah yang menguasai kehidupan! Sampai pada hal-hal terkecil
Pandan Wangi menceritakan. Dan Rangga mendengarkan penuh perhatian.
"Ada sesuatu yang kau ingat,
Kakang?" tanya Pandan Wangi setelah mengakhiri ceritanya tentang diri
Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak," sahut Rangga
seraya menggelengkan kepalanya.
"Kakang..., dari mana
asalmu?" tanya Pandan Wangi mencoba membuka ingatan Rangga.
"Aku... aku tidak
tahu," sahut Rangga.
"Kau tidak lahir ke dunia
ini dengan begitu saja, bukan? Kau tidak langsung besar, dan tentu punya ayah,
ibu, saudara, dan tempat kelahiran. Apa kau tidak tahu itu, Kakang?"
Pemuda berbaju rompi putih itu
hanya mengeleng-gelengkan kepalanya saja. Sinar matanya menyiratkan
ketidak-mengertian terhadap penjelasan Pandan Wangi.
"Aku yakin, kau pasti
Rangga. Tapi, mengapa kau jadi tidak ingat dirimu sendiri...?" Pandan
Wangi seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Pandan Wangi benar-benar tidak
mengerti. Sungguh tidak diketahui, apa penyebabnya sehingga Rangga menjadi
seperti ini? Yang tidak mengetahui lagi siapa dirinya yang sebenarnya. Bahkan
tidak tahu dari mana berasal. Rangga bagaikan seorang bayi yang baru lahir!
Tidak mengenali dunia yang dipijaknya. Gadis itu jadi bertanya-tanya sendiri.
Bagaimana dia bisa mengetahui dan menolongnya kalau yang hendak ditolong saja
tidak ingat apa-apa? Tapi bukanlah Pandan Wangi kalau menyerah begitu saja.
Gadis itu bertekad dalam hati, untuk mengembalikan Rangga seperti semula. Namun
dia tidak tahu, bagaimana caranya, dan dari mana harus memulai?
"Kakang, di mana kau sebelum
berada di hutan itu tadi?" tanya Pandan Wangi.
"Di hutan...?"
"Iya, waktu kita diserang
tadi."
"Aku tidak tahu.
Tapi..."
"Tapi apa, Kakang?"
Pandan Wangi mulai gembira melihat Rangga mulai berpikir.
"Aku..., aku tidak
ingat," Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Mari, Kakang. Kita kembali
ke tempat itu," ajak Pandan Wangi.
Pemuda yang tidak bisa mengingat
apa pun itu hanya menuruti saja. Kakinya melangkah di samping Pandan Wangi yang
sudah menuntun kuda putihnya. Mereka berjalan sambil berbicara apa saja.
Terutama Pandan Wangi. Pembicaraannya selalu mengarah tentang siapa diri Rangga
sebenarnya. Gadis itu tidak juga putus asa, meskipun yang diajak bicara selalu
tidak tahu, seperti orang linglung.
***
TIGA
Pandan Wangi mengedarkan
pandangannya ke sekeliling hutan tempat pertama kali menemukan Rangga yang kini
tidak mengenal lagi dirinya. Masih terlihat beberapa mayat bergelimpangan tak
tentu arah. Bau anyir darah menyebar terhempas angin yang tertiup agak kencang.
Sedangkan pemuda berbaju rompi di sampingnya hanya berdiri saja memandangi
mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.
"Di tempat ini kita bertemu,
Kakang," jelas Pandan Wangi.
"Kenapa banyak orang mati di
sini?" tanya Rangga seperti orang bodoh.
"Mereka yang menyerang kita
tadi, dan hendak membunuhmu," sahut Pandan Wangi.
"Membunuhku…?! Apa
salahku?"
"ltulah yang harus kita
ketahui, Kakang. Mengapa mereka hendak memhunuhmu?"
"Aku..., aku tidak mengerti.
Mereka tiba-tiba saja datang lalu menyerangku. Aku... aku...."
"Teruskan, Kekang...
Teruskan," Pandan Wangi mulai gembira melihat Rangga mulai bisa mengingat
sesuatu.
"Oh, batu ini..."
Rangga menghampiri sebongkah batu yang cukup besar. "Aku ingat. Ketika aku
duduk di sini, mereka tiba-tiba menyerangku. Tapi.... Aku tidak tahu, mengapa
mereka tiba-tiba menyerangku?"
"Sebelum duduk di sini, kau
berada di mana?" tanya Pandan Wangi mulai melihat adanya harapan.
Pemuda berbaju rompi putih itu
tidak segera menjawab. Sebentar dipandanginya gadis cantik di dekatnya,
kemudian pandangannya merayapi ke sekeliling. Perlahan-lahan kakinya terayun
melangkah. Pandan Wangi mengikuti dari belakang. Rangga terus berjalan menuju
Utara, menyibak semak belukar dan rapatnya pepohonan di dalam hutan ini.
Dan Pandan Wangi mulai berseri
wajahnya kala mendapatkan bekas jejak-jejak kaki tertera pada tanah berumput
dan dipenuhi daun kering. Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi. Sementara
Pandan Wangi semakin gembira melihat jejak kaki semakin jelas tertera. Namun
tiba-tiba mereka berhenti. Ternyata di situ terdapat seekor kuda hitam sedang
merumput di depan, di sebuah padang rumput yang tidak begitu luas.
"Dewa Bayu...," desis
Pandan Wangi begitu mengenali kuda hitam itu. Bergegas Pandan Wangi menghampiri
kuda yang telah berpelana itu. Pandan Wangi memegang tali kekang, dan
membawanya mendekati Rangga yang memegangi tali kekang kuda putih milik gadis
itu.
"Kakang, kau ingat! ini kuda
siapa?" tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak langsung menjawab.
Dihampiri kuda hitam itu dan diambil tali kekangnya dari tangan Pandan Wangi.
Sementara gadis itu menyingkir, menghampiri kudanya sendiri. Gadis itu tersenyum,
karena kuda hitam itu terangguk-angguk menyorongkan kepalanya pada pemuda
berbaju rompi putih itu. Rangga tersenyum dan menoleh memandang Pandan Wangi
yang juga tengah tersenyum gembira. Semakin diyakini kalau pemuda itu adalah
Rangga. Karena, Dewa Bayu tidak akan bersikap demikian pada seseorang yang
tidak dikenalnya.
"Kuda ini jinak sekali,
Pandan. Siapa pemiliknya?" tanya Rangga seraya mengelus-elus leher kuda
hitam itu.
"Kaulah pemiliknya,"
sahut Pandan Wangi.
"Aku?" Rangga
memandangi kuda hitam itu, kemudian melompat naik ke punggungnya.
Dan Pandan Wangi tersenyum penuh
keharuan melihat kuda itu tidak bergeming sedikitpun. Jelas sudah, kalau pemuda
itu memang benar-benar Rangga. Tapi masih ada ganjalan di hati gadis itu. Masih
belum jelas, mengapa Rangga jadi lupa akan dirinya sendiri?
"Bagaimana, Pandan? Kuda ini
kelihatannya menyukaiku," Rangga tersenyum lebar.
"Kau gagah sekali,
Kakang," agak tersedak suara Pandan Wangi.
Gadis itu melompat naik ke
punggung kudanya sendiri. Seekor kuda putih yang tegap dan berotot indah.
Sebentar mereka saling berpandangan, kemudian sama-sama menggebah kudanya
perlahan-lahan melintasi padang rumput yang tidak seberapa luas ini. Sesekali Pandan
Wangi melirik pemuda yang berkuda di sampingnya.
Setiap kali memandang wajah
pemuda itu ada sesuatu yang membuat hatinya begitu trenyuh. Namun, Pandan Wangi
tidak ingin menunjukkan kegalauan hatinya. Mereka kembali berhenti setelah tiba
di seberang padang rumput itu. Tak ada lagi jejak yang bisa diikuti, dan
berhenti di tempat ini. Pandan Wangi melompat turun dari punggung kudanya.
Rangga juga mengikuti, lalu berdiri di samping kanan gadis itu.
"Ke mana lagi?" tanya
Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu," sahut
Rangga seperti kebingungan.
"Cobalah kau ingat-ingat,
Kakang. Pernahkah kau lewati tempat ini?"
"Entahlah...," desah
Rangga terdengar ragu-ragu.
Pandan Wangi tidak bertanya lagi.
Hanya dipandangi saja wajah pemuda yang nampaknya sedang berusaha mengingat-ingat.
Dengan sabar gadis itu menunggu Rangga untuk bisa mengingat, apakah pernah
melewati daerah ini atau tidak. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa
mengingat sesuatu, tiba-tiba saja.
"Hik hik hik...!"
***
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba
saja muncul seorang perempuan tua berjubah hitam memegang cambuk ekor kuda.
Rambutnya yang tergelung ke atas seluruhnya berwarna putih. Ada sebuah amel
berwarna kuning emas menghiasi gelungan rambutnya, Di lehernya melingkar
seuntai kalung dari batu-batu hitam, bagai tasbih seorang pendeta. Keterkejutan
Pandan Wangi lenyap saat melihat Rangga tengah terpaku memandangi perempuan tua
itu.
"Kau,... Kau...,
iblis!" tiba-tiba Rangga menggeram.
"Hik hik hik...,"
perempuan tua itu terkikik.
"Mampus kau, iblis!
Hiyaaa...!" Cepat sekali, tahu-tahu Rangga sudah melompat menerjang
perempuan tua itu. Namun mendadak nenek perempuan tua berjubah hitam itu
mengibaskan cambuknya, menyampok terjangan Rangga. Begitu cepatnya, sehingga
Rangga tidak bisa lagi berkelit menghindarinya.
Ctar! "Akh...!"
"Kakang...!" pekik
Pandan Wangi terkejut.
Rangga terpelanting dan
bergulingan di tanah namun bisa cepat bangkit. Tampak di dada sebelah kirinya
membiru bekas cambukan perempuan tua itu. Sementara Pandan Wangi berlari
menghampiri pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kau tidak apa-apa,
Kakang?" tanya Pandan Wangi cemas.
"Tidak," sahut Rangga.
"Menyingkirlah kau,
Pandan."
"Bagus! Kau juga boleh maju
sekalian, Kipas Maut!" dengus perempuan tua itu dingin. Suaranya kering
dan serak.
"Siapa kau?!" sentak
Pandan Wangi.
"Hik hik hik... Tanyakan
saja pada kekasih tololmu itu, Kipas Maut!" sahut perempuan tua itu.
Pandan Wangi memandang Rangga
yang saat itu juga menoleh padanya.
"Cambuk saktiku sudah
membuatnya pulih," kata perempuan tua itu lagi.
"Kakang...," pelan
suara Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu...,"
sahut Rangga, bisa dimengerti arti pandangan Pandan Wangi. Padahal gadis itu
belum bertanya apa-apa lagi padanya.
"Aku..., aku... Akh!"
"Kakang...!"
"Mampus kau, iblis!
Hiyaaa...!" Rangga menerjang perempuan tua itu. Namun mendadak saja,
perempuan tua berjubah hitam itu mengibaskan cambuknya.
"Ctar!" Rangga tidak
sempat berkelit lagi. Cambuk itu tepat mengenai dada sebelah kirinya! Tiba-tiba
saja Rangga meraung keras sambil memegangi kepalanya yang terdongak ke atas.
Seketika Pandan Wangi panik. Tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya.
Sementara Rangga sudah menggeliat-geliat di tanah, meraung keras bagai ayam
disembelih. Pandan Wangi mengalihkan perhatiannya ke arah perempuan tua
berjubah hitam itu. Tapi dia sudah tidak ada lagi di sana!
"Kakang..., kau
kenapa?" Pandan Wangi semakin cemas melihat keadaan Rangga yang
menggelepar dan meraung-raung di tanah.
Pandan Wangi menghambur memeluk
Rangga yang tiba-tiba saja mengejang kaku, lalu lunglai tak bergerak-gerak
lagi! Dari mulutnya mengalir cairan hijau kekuning-kuningan. Pandan Wangi
memeluk tubuh pemuda itu, dan pandangannya beredar ke seIiing. Tak ada seorang
pun di tempat yang sunyi ini. Sementara Rangga masih belum sadarkan diri.
Dadanya bergerak begitu lemah, dan kelopak matanya tertutup rapat. Pandan Wangi
membersihkan cairan yang keluar dari mulut Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kakang, kau kenapa?"
tersendat suara Pandan Wangi. Pandan Wangi memberikan beberapa totokan di
sekitar dada Rangga. Tak, berapa lama kemudian, pemuda itu mulai siuman.
Mulutnya mengeluh panjang dan agak lirih suaranya. Sebentar dikerjapkan
matanya, kemudian bergegas bangkit duduk. Dipandanginya gadis cantik yang duduk
dengan menekuk kedua lututnya.
"Pandan..., kaukah
itu?"
"Oh, Kakang. Kau..., kau
sudah ingat..?" Pandan Wangi gembira.
Pandan Wangi begitu gembira.
Langsung dipeluknya pemuda itu. Keras sekali pelukan Pandan Wangi, hingga
membuat Rangga sesak napas untuk sesaat. Dengan lembut, Rangga melepaskan
pelukan gadis itu.
"Pandan? Mengapa kau ada di
sini?" tanya Rangga penuh keheranan.
"Aku rindu padamu, Kakang.
Aku selalu bermimpi buruk tentang dirimu," ungkap Pandan Wangi tanpa
sungkan-sungkan lagi.
"Mimpi buruk?"
"Ya. Mimpi tentang
keadaanmu."
"Ah, sudahlah! Bagaimana
keadaan Danupaksi dan Cempaka?" tanya Rangga yang tidak mau berpikir lebih
jauh lagi.
"Mereka baik-baik saja. Oh,
ya. Danupaksi menitipkan ini padamu."
Pandan Wangi lalu menyerahkan
selongsong bambu halus yang dititipkan Danupaksi kepadanya. Rangga menerimanya,
dan membuka isinya. Ternyata hanya sebuah surat yang tidak begitu penting, dia
segera menyimpan dalam lipatan bajunya. Rangga kembali menatap dalam-dalam
Pandan Wangi. Rasanya, ingin diungkapkan seluruh perasaan hatinya. Tapi
mengingat masih ada semacam gannjalan di hatinya, Rangga seperti tidak tahu
harus berbuat apa. Sejenak suasana menjadi hening.
"Aku gembira kau sudah
kembali pulih," ujar Pandan Wangi, memecahkan keheningan di antara mereka.
"Pulih...? Ada apa dengan
diriku?" Rangga kelihatan heran.
"Jadi...?!" Pandan
Wangi terkejut.
Dipandanginya dalam-dalam pemuda
berbaju rompi putih itu. Gadis itu bukan hanya terkejut, tapi juga heran.
Bagaimnna mungkin seseorang bisa begitu cepat melupakan peristiwa yang baru
saja dialami? Dan ini terjadi pada Rangga, seorang pendekar digdaya yang sangat
disegani baik lawan maupun kawan. Pandan Wangi semakin tidak mengerti, apa yang
terjadi sebenarnya pada Rangga.
"Sebenarnya, apa yang
terjadi padaku, Pandan? Mana...! Mana pedangku?" Rangga terkejut begitu
disadari pedangnya tidak ada.
"Itulah yang ingin
kutanyakan padamu, Kakang," jelas Pandan Wangi. Pandan Wangi bangkit
berdiri, lalu melangkah menghampiri kudanya.
Sementara Rangga masih terduduk
di atas rerumputan. Pendekar Rajawali Sakti itu baru berdiri saat Pandan Wangi
sudah berada di atas punggung kuda putihnya. Hanya sekali lesatan, Rangga sudah
duduk di atas punggung kuda hitamnya.
"Kau sudah pulih, tentu kau
tahu apa yang terjadi hingga pedangmu hilang," kata Pandan Wangi.
Rangga tidak menjawab. Otaknya
bekerja beberapa saat, mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada
dirinya. Bahkan kini pedang pusakanya hilang. Pelahan-lahan Pendekar Rajawali
Sakti itu berpaling, memandang Pandan Wangi.
"Siapa perempuan tua yang
membawa cambuk ekor kuda itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi, mencoba
membantu ingatan Rangga.
"Wanita tua? Wanita tua yang
mana, Pandan?" Rangga malah balik bertanya.
"Belum lama dia muncul, lalu
menghilang begitu saja setelah membuatmu pingsan tadi. Dia hanya mengatakan
kalau cambuknya sudah bisa memulihkanmu kembali," jelas Pandan Wangi.
"Tapi aku juga heran, dia
bisa mengenaliku. Bahkan kelihatannya begitu membenci melihat aku ada di
sini."
"Kau tidak tahu siapa
dia?" tanya Rangga.
"Kalau aku tahu, untuk apa
bertanya padamu," rungut Pandan Wangi.
Rangga meringis. Pertanyaannya
memang bodoh. Tentu saja Pandan Wangi tidak tahu, dan tidak mungkin bertanya
kalau sudah tahu. Rangga merutuk dirinya sendiri dalam hati.
"Aku juga tidak tahu,
Pandan," ujar Rangga
"Tapi, sepertinya kau tadi
mengenalnya, Kakang!"
"Oh, ya...?" Rangga
terkejut.
"Kelihatannya kau amat
membenci. Bahkan langsung menyerang. Tapi dia berhasil mencambuk dadamu.
Katanya, cambukan itu bisa memulihkan semua ingatanmu," jelas Pandan Wangi
kembali.
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Pandan. Dia mencambukku, untuk memulihkan ingatanku...? Memangnya aku
ini kenapa?" Rangga benar-benar kebingungan.
"Aku tidak tahu kau kenapa,
Kakang. Tapi yang jelas ingatanmu sempat hilang. Bahkan kau tidak mengenali dirimu
lagi. Kau juga tidak mengenali diriku dan tidak ingat setiap kejadian yang baru
saja kita alami. Hanya itu yang kuketahui tentang dirimu," jelas sekali
tutur kata Pandan Wangi.
Sedangkan Rangga hanya diam saja
membisu. Diraba punggungnya yang kosong. Tidak ada lagi Pedang Rajawali Sakti
di situ. Pendekar Rajawali Sakti lalu kembali memandang Pandan Wangi
lekat-lekat. Penjelasan gadis itu memang gamblang, tapi membuatnya jadi
bertambah bingung. Yang masih dipikirkan, mengapa pedangnya bisa terpisah dari
dirinya. Belum pernah senjata andalannya itu ditinggalkan, meskipun hanya
sebentar saja.
"Ada yang bisa diingat,
Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Tidak... Eh, tunggu! Bukit
Sanggung...!"
"Bukit Sanggung...?"
"Ayo, Pandan!"
Pandan Wangi tidak sempat lagi
bertanya, karena Rangga sudah menggebah cepat kudanya. Buru-buru gadis itu
melarikan kudanya mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Sulit dimengerti, mengapa
tiba-tiba Rangga menyebut Bukit Sanggung. Namun si Kipas Maut itu mulai
gembira, karena Rangga sudah bisa mengingat kembali.
***
Bukit Sanggung memang tidak
begitu indah untuk dinikmati. Hampir seluruh permukaan bukit itu hanya terdiri
batu-batu kapur yang mudah sekali longsor, tidak terlalu tinggi, namun puncak
bukit ini dapat terlihat jelas dari tempat yang cukup jauh sekalipun. Hanya
sebentar Pandan Wangi memandangi bukit itu lalu mengalihkan perhatiannya pada
pemuda berbaju rompi yang duduk di punggung kuda hitam di samping kanan.
"Tidak ada apa-apa di sini,
Kakang," kata Pandan Wangi.
"Ada sebuah desa di balik
bukit ini. Hm..., cukup sulit untuk ke sana," sahut Rangga.
"Kita bisa
memutarinya."
"Sulit. Kalaupun bisa, makan
waktu lama. Bisa dua pekan baru sampai."
"Tapi, bukit ini kelihatan
kecil."
"Banyak jurang dan lembah
serta rawa yang melingkari bukit ini. Belum lagi batu-batu itu sering longsor
tiba-tiba," jelas Rangga.
"Lalu...?" "Hanya
dengan satu cara."
"Rajawali Putih?" tebak
Pandan Wangi.
Rangga tersenyum, kemudian
melompat turun dari punggung kudanya. Ditepuknya leher kuda itu tiga kali, maka
Dewa Bayu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Pandan Wangi juga bergegas turun dari kudanya. Gadis itu hanya memandangi kedua
ekor kuda yang berlari meninggalkan tempat ini. Sementara Rangga sudah berdiri
memandang ke langit. Sebentar kemudian, mulutnya bersiul keras melengking
tinggi. Nada suaranya terdengar aneh di telinga.
Pandan Wangi tahu kalau Pendekar
Rajawali Sakti itu memanggil Rajawali Putih. Tiga kali bersiul, bernada sama
dalam waktu yang berselang cukup lama. Kepalanya masih terdongak memandang ke
langit yang terlihat cerah siang ini. Pendekar Rajawali Sakti tersenyum saat
melihat satu titik keperakan di angkasa. Pandan Wangi jadi ikut melihat ke
langit, dan juga tersenyum begitu melihat seekor burung rajawali tengah
meluncur cepat ke arah mereka. Semakin lama terlihat jelas bentuknya yang besar
bagai sebuah bukit kecil melayang di angkasa.
"Kemarilah, Rajawali!"
seru Rangga keras seraya melambaikan tangannya.
"Khraghk!" Rajawali
Putih menukik keras, dan langsung mendarat di depan Rangga. Tanpa bicara lagi,
pemuda berbaju rompi putih itu melompat naik ke punggung burung rajawali
raksasa itu. Sedangkan Pandan Wangi masih berdiri memandangi. Meskipun pernah
melihat burung raksasa ini, tapi dia masih juga terpana.
"Ayo, Pandan! Apa mau
tinggal di sini?" seru Rangga menyuruh Pandan Wangi naik.
"Oh! Eh, iya.... Hup!"
Pandan Wangi melompat ringan bagai kapas tertiup angin. Manis sekali
ditempatkan dirinya, duduk didepan Rangga. Sedangkan pemuda berbaju rompi
putiuh itu menepuk leher burung raksasa itu tiga kali.
"Khraghk!"
Hanya sekali kepakan sayap saja,
burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah melambung tinggi ke
angkasa. Sekejap Pandan Wangi memejamkan mata. Dirasakan jantungnya seperti
copot, dan darahnya berhenti mengalir begitu Rajawali Putih melambung tinggi ke
angkasa. Untung saja Rangga tidak melihat, jadi si Kipas Maut itu tidak perlu
merasa malu. Rajawali Putih terus meluncur ke atas Puncak Bukit Sanggung.
Tampak dari atas, puncak bukit itu hanya terdiri dari tumpukan batu kapur rapuh
dan mudah longsor. Hampir seluruh permukaannya putih bagai terselimut salju.
Tiga kali Rajawali Putih memutari
puncak bukit itu, kemudian meluncur ke arah Barat. Sangat jelas terlihat
keadaan di bawah sana dari ketinggian seperti ini. Dan Pandan Wangi membenarkan
kata-kata Rangga tentang Bukit Sanggung kini. Memang tidak mudah untuk
melaluinya. Apalagi menggunakan kuda. Tarlalu besar resikonya.
Pandan Wangi kembali menahan
napas ketika tiba-tiba saja Rajawali Putih menukik, menuju sebuah hutan yang
tidak begitu labat. Tapi burung rajawali raksasa itu tidak mendarat turun, dan
hanya berputar-putar saja di atas permukaan hutan ini. Dan Pandan Wangi dapat
melihat kalau di tengah-tengah hutan ini terdapat sebuah perkampungan yang
tidak begitu besar. Nampak suasana di perkampungan itu sunyi sekali. Hanya
beberapa orang saja terlihat. Begitu kecil, seperti seekor semut.
"Apa nama desa itu,
Kakang?" tanya Pandan Wangi agak keras, karena angin di atas sini begitu
bising.
"Desa Sanggung," sahut
Rangga.
"Ke sana tujuan kita, Kakang?"
tanya Pandan Wangi lagi.
Rangga tidak menjawab.
Diperintahkan Rajawali Putih agar mendarat di luar desa. Kembali Pandan Wangi
merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak ketika Rajawali Putih meluruk
deras menuju sebuah tempat yang tidak begitu banyak ditumbuhi pepohonan. Ringan
sekali burung rajawali raksasa itu mendarat, sehingga tidak dirasakan kedua
penunggangnya.
"Hup!" Rangga melompat
turun, diikuti Pandan Wangi.
"Rajawali, jangan jauh-jauh.
Aku masih membutuhkanmu," kata Rangga berpesan.
"Khraghk!"
Burung rajawali raksasa itu
langsung melambung tinggi ke angkasa sambil memperdengarkan suaranya yang serak
memekakkan telinga. Pandan Wangi masih mematung memandangi burung raksasa itu
dengan perasaan kagum.
"Ayo, Pandan," ajak
Rangga.
"Oh!" Pandan Wangi
tersentak kaget. Buru-buru gadis itu mengayunkan kakinya mengikuti Rangga yang
sudah jalan lebih dahulu. Disejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali
Sakti itu.
Mereka berjalan menembus hutan
yang tidak begitu lebat, menuju Desa Sanggung yang terlihat jelas dari atas.
Letaknya memang di tengah-tengah hutan yang tidak terlalu lebat. Maka, mudahlah
bagi mereka untuk berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
***
EMPAT
Pandan Wangi agak heran juga,
karena hampir semua penduduk Desa Sanggung selalu memperhatikannya. Terlebih
lagi terhadap Rangga. Tapi, tak ada seorang pun yang menyapa. Mereka
memperhatikan secara sembunyi-sembunyi. Ingin gadis itu bertanya pada Rangga, tapi
tidak mau membuka mulut lebih dulu. Ingin diketahui, ke mana tujuan Rangga di
desa ini.
Mereka berhenti di depan sebuah
rumah yang tidak begitu besar, namun kelihatan terawat. Halaman yang luas
dipenuhi berbagai macam tanaman, sehingga dapat dipetik hasilnya. Seorang
laki-laki berusia lanjut, menghampiri sambil terbungkuk-bungkuk. Nampaknya
sudah mengenal Rangga.
"Oh, Den.... Mari silakan,
Den," sambut laki-laki yang hanya mengenakan celana hitam sebatas lutut
saja.
"Terima kasih, Ki
Buyut" sahut Rangga seraya melangkah kembali.
Laki-laki tua yang dipanggil Ki
Buyut itu berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi
terpaksa mengikuti dari belakang. Diedarkan pandangannya ke sekeliling. Tampak
para penduduk desa memperhatikan dari jarak yang cukup jauh, di luar halaman
rumah ini.
Ki Buyut mempersilakan Rangga dan
Pandan Wangi duduk setelah mereka berada di beranda depan. Mereka duduk di
sebuah balai-balai bambu yang beralaskan tikar daun pandan. Sementara Pandan
Wangi masih juga memperhatikan sekelilingnya. Hannya masih diliputi rasa
penasaran melihat tingkah para penduduk di desa ini.
"Aku kira kau tidak akan
datang lagi ke sini, Den." ujar Ki Buyut Kaweyan.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Maaf, Ki. Apakah Kakang
Rangga pernah datang ke sini?" tanya Pandan Wangi.
Ki Buyut Kaweyan memandangi gadis
yang duduk di samping Rangga. Baru kali ini gadis itu dilihat dan dikenalinya.
Pandan Wanai buru-buru memperkenalkan dirinya, dan mengaku sebagai teman dekat
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kira-kira dua pekan yang
lalu, Den Rangga pernah berada di sini. Yaaah..., lebih kurang sepekan
lamanya," jelas Ki Buyut setelah mengetahui gadis yang bertanya tadi
adalah teman dekat Rangga. Tapi ada juga dugaan di hatinya kalau Pandan Wangi
adalah kekasih pemuda berbaju rompi putih itu.
Pandan Wangi melirik Rangga yang
hanya diam saja. Gadis itu tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti masih diliputi
kabingungan, akibat ingatannya sedikit terganggu sehingga melupakan dirinya
sendiri. Sedangkan Rangga sendiri seperti mengenal Ki Buyut, bahkan sepertinya
memang kenal dekat. Hanya saja, yang masih belum bisa diingat, apakah ada
sesuatu yang pernah terjadi di Desa Sanggung ini. Maka sekarang dicobanya untuk
mengingat kembali.
"Ki Buyut, apakah Kakang
Rangga mengalami seuatu di sini? Hm..., maksudku suatu peristiwa," tanya
Pandan Wangi lagi. Terpaksa harus gadis itu yang lebih banyak bertanya, karena
Rangga masih diliputi kebingungan. Malah hanya diam saja.
"Wah! Kalau masalah
kejadian, seharusnya seluruh penduduk desa ini berterima kasih kepada Den
Rangga, Nini Pandan Wangi. Tapi ini malah sebaliknya. Mereka begitu senang
waktu Den Rangga terjerumus ke dalam jurang penuh lumpur dan batu-batu cadas
berkapur, " sahut Ki Buyut Kaweyan.
"Bisa dijelaskan, mengapa
Kakang Rangga terjerumus, Ki?" desak Pandan Wangi seraya melirik pemuda di
sampingnya.
"Seharusnya Nini Pandan
menanyakan pada Den Rangga sendiri. Aku sendiri tidak begitu jelas mengetahui
kejadiannya. Tapi menurut apa yang kudengar, Den Rangga bertarung melawan Anta
Gopa yang lebih dikenal sebagai Iblis Selaksa Racun. Aku tidak tahu persis,
bagaimana kejadiannya sampai Den Rangga terjerumus ke dalam jurang," jelas
Ki Buyut Kaweyan.
"Siapa itu Anta Gopa,
Ki?" cecar Pandan Wangi yang mulai melihat adanya jalan terang untuk
mengetahui sebab-sebab Rangga bisa melupakan dirinya sendiri.
"Seorang tokoh hitam yang
sakti dan digdaya, Nini Pandan. Tidak ada seorang pendekar pun yang sanggup
menandingi, karena seluruh tubuhnya mengandung racun yang sangat ganas dan
mematikan. Bahkan setiap gerakannya menimbulkan hawa racun. Di mana dia berada,
di sekitarnya pasti dipenuhi hawa racun yang bisa membuat orang tewas hanya
karena menghirup udara beracun di sekitar tubuhnya," kembali Ki Buyut Kaweyan
menjelaskan.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Diliriknya orang-orang yang masih memandang ke arah rumah ini dari
luar halaman. Gadis itu heran mengapa seluruh penduduk seperti enggan mendekati
rumah ini. Dan Pandan Wangi baru menyadari kalau di sekitar rumah ini sangat
sepi, tak ada orang lain lagi selain Ki Buyut Kaweyan ini.
"Mereka semua tidak ada yang
berani datang ke sini, Nini Pandan," ujar Ki Buyut, seolah mengetahui
jalan pikiran Pandan Wangi.
"Kenapa?" tanya Pandan
Wangi.
"Mereka takut keracunan,
Nini," pelan suara Ki Buyut Kaweyan. Mata tuanya sedikit melirik ke arah
Rangga yang masih tetap diam, duduk di samping Pandan Wangi.
"Maksudmu, Ki?" Pandan
Wangi ingin penjelasan lebih jauh, meskipun sudah bisa menduga.
"Mungkin Den Rangga lebih
tahu, Nini," sahut Ki Buyut merasa tidak enak untuk menjelaskannya.
"Mereka takut padaku,
Pandan. Aku dianggap sudah tercemar racun akibat bertarung melawan Iblis
Selaksa Racun," sahut Rangga menjelaskan tanpa diminta.
"Oh...," Pandan Wangi
mendesah lirih.
"Dan sebaiknya kau juga
jangan terlalu dekat denganku, Pandan," sambung Rangga lagi.
"Kenapa?" tanya Pandan
Wangi.
"Mungkin aku tidak akan
terpengaruh racun itu, tapi kau lain."
"Kita sudah tiga hari
bersama-sama, tapi aku tidak merasakan adanya kelainan apa pun? Aku tidak
percaya kalau kau bisa tercemar racun, Kakang. Aku tahu siapa dirimu. Aku pun
tidak percaya kalau...," kata-kata Pandan Wangi terputus.
"Aku hanya manusia biasa,
Pandan. Waktu bertarung melawan Iblis Selaksa Racun, aku juga merasakan hawa
racun yang menyebar dari seluruh tubuhnya. Saat itu kepalaku terasa pening.
Itulah sebabnya aku bisa dikalahkannya," tutur Rangga mulai teringat
kembali pertarungannya melawan Iblis Selaksa Racun.
"Apakah racun itu yang juga
menyebabkan dirimu kehilangan ingatan, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Entahlah," desah
Rangga pelan.
***
Memang sulit untuk mencari sebab,
mengapa Rangga bisa sempat kehilangan ingatan. Mungkin kalau tidak ditolong
seorang perempuan aneh yang membawa senjata cambuk ekor kuda, Pendekar Rajawali
Sakti itu masih belum bisa mengingat siapa dirinya sebenarnya. Tapi Pandan
Wangi masih belum mengerti, mengapa perempuan tua itu tiba-tiba muncul, dan
membebaskan Rangga dari ketidaksadarannya.
Pandan Wangi benar-benar tidak
tahu, dari mana harus memulai. Sebab, Rangga sendiri belum begitu pulih benar
ingatannya. Terlebih lagi, tidak ada seorang penduduk pun yang suka didekati.
Mereka takut terkena hawa racun, karena Pandan Wangi selalu dekat dengan
Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan mereka juga menjauhi Ki Buyut Kaweyan.
"Pandan, kau sudah
siap?"
"Oh!" Pandan Wangi
tersentak dari lamunannnya.
"Kau melamun lagi,
Pandan," tegur Rangga tahu-tahu sudah barada di samping gadis itu.
"Ayo kita berangkat
sekarang, Kakang," kata Pandan Wangi seraya malompat naik ke punggung
kudanya. Pandan Wangi memang berusaha untuk tidak menunjukkan kegelisahannya di
depan Rangga, meskipun hatinya selau dirundung kegelisahan yang mendalam. Gadis
itu selalu memikirkan keadaan Rangga yang belum benar-benar pulih ingatannya.
Kadang-kadang Pendekar Rajawali Sakti itu masih juga lupa akan dirinya. Bahkan
tidak jarang lupa pada Pandan Wangi ataupun Ki Buyut Kaweyan.
Tiga hari mereka berada di rumah
Ki Buyut Kaweyan. Dan selama itu tidak ada yang bisa diperoleh walau hanya
sekadar petunjuk. Mereka memang memutuskan untuk meninggalkan desa ini. Begitu
juga Ki Buyut Kaweyan yang bersikeras untuk ikut dalam pengembaraan mereka,
mencari kejelasan tentang jati diri Pendekar Rajawali Sakti yang seperti
hilang. Terutama mencari Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Tidak berapa lama kemudian, tiga
ekor kuda bergerak meninggalkan halaman depan rumah Ki Buyut Kaweyan. Mereka
mengendalikan kuda pelahan-lahan melintasi jalan desa yang berdebu. Beberapa
penduduk yang kebetulan berada di jalan itu, bergegas menyingkir. Mereka
seakan-akan takut, bagaikan melihat sosok makhluk mengerikan di atas punggung
tiga ekor kuda.
Memang menyakitkan, tapi tak ada
yang perduli. Hanya Pandan Wangi yang hatinya begitu sedih melihat sikap
penduduk Desa Sanggung ini. Namun tidak ingin ditunjukkan kepedihan hatinya di
depan Rangga. Sekuat daya gadis itu berusaha tegar dan tabah menghadapi
kenyataan ini. Tekadnya sudah bulat, harus mengembalikan Rangga seperti semula
dan harus mendapatkan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang hilang dari
punggung Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Berhenti...!"
tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
Ketiga penunggang kuda yang baru
saja melewati perbatasan Desa Sanggung, langsung menghentikan langkah kuda
masing-masing. Tiba-tiba saja di sekeliling mereka sudah bermunculan sekitar
dua puluh orang bersenjata golok terhunus. Pandan Wangi mengenali kalau mereka
semua adalah pengeroyok Rangga saat ingatan Pendekar Rajawali Sakti itu hilang.
"Ki Buyut! Rupanya kau
benar-benar pengkhianat busuk!" salah seorang dari mereka membentak.
Pandan Wangi memandangi orang
yang mengeluarkan suara itu. Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh
tahun, mengenakan baju agak ketat berwarna merah. Tangannya memegang golok
cukup besar ukurannya, yang berkilatan tertimpa cahaya matahari.
"Siapa dia, Ki Buyut?"
tanya Pandan Wangi setengah berbisik.
"Urawan, Wakil Ketua Partai
Golok Perak," sahut Ki Buyut menjelaskan.
"Hm..., jadi mereka semua
orang-orang Partai Golok Perak?" tanya Pandan Wangi, seperti untuk dirinya
sendiri.
"Benar," sahut Ki Buyut
Kaweyan.
"Mereka dari Desa
Sanggung?"
"Bukan. Tapi, tempat mereka
memang tidak jauh dari desa itu."
"Kenapa mereka menuduhmu
pengkhianat?" tanya Pandan Wangi lagi.
Belum lagi Ki Buyut Kaweyan
menjawab, laki-laki berbaju merah yang dikenal bernama Urawan sudah membentak
lagi. Suaranya keras, dan terdengar buas sekali.
"Apa yang kalian bicarakan,
heh? Kalian mau coba-coba melawan, ya?!"
"Hm...," dengus Pandan
Wangi yang muak melihat tingkah Urawan. Kalau saja Rangga tidak buru-buru
mencegah, gadis itu sudah melompat turun dari punggung kudanya. Terpaksa Pandan
Wangi diam saja, walaupun dadanya menggelegak menahan geram.
Sementara Rangga melompat turun
dari punggung kudanya. Gerakannya sungguh indah dan ringan sekali. Sehingga
saat kakinya menjejak tanah, tak terdengar satu suara sedikit pun.
"Aku tahu siapa dirimu,
Urawan. Pergilah sebelum kulaporkan perbuatanmu pada Pemimpin Besar Partai
Golok Perak," ancam Rangga tenang. Namun di balik suaranya yang tenang,
tersimpan nada kemarahan yang meluap.
"Phuih! Jangan coba-coba
mengancam, Pendekar Rajawali Sakti. Semua orang boleh gentar dan mengagumimu.
Tapi aku tahu kalau kau sekarang ini tidak lebih dari seonggok sampah busuk!
Kau harus mampus sebelum malapetaka yang lebih besar menimpa seluruh
manusia!" lantang suara Urawan.
"Lancang sekali mulutmu,
Urawan!" bentak Ki Buyut Kaweyan gusar.
"Kau juga harus mampus, Ki
Buyut!" dengus Urawan ketus.
"Kata-katamu tidak mungkin
lagi bisa dimaafkan, Urawan!" desis Ki Buyut Kaweyan menggeram. Wajah
laki-laki tua itu memerah bagai terpanggang. Mendadak saja, Ki Buyut Kaweyan
melompat sambil berteriak keras menerjang Urawan.
Namun rupanya Urawan sudah
bersiap sejak tadi. Bergegas dimiringkan tubuhnya ke kanan untuk berkelit. Dan
dengan cepat goloknya dikibaskan ke arah pinggang Ki Buyut Kaweyan.
Wut! "Uts!" Cepat
sekali Ki Buyut Kaweyan menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan golok
Urawan hanya beberapa rambut di depan perut laki-laki tua itu. Namun Ki Buyut
Kaweyan langsung melentingkan tubuhnya ke atas, melewati kepala laki-laki
berbaju merah itu. Dan dengan satu tendangan keras, Urawan berhasil dibuat
terjengkang ke depan.
"Setan keperat...!"
geram Urawan bergegas memutar tubuhnya sambil mengibaskan goloknya.
Meskipun sudah berusia lanjut,
namun Ki Buyut Kaweyan masih teriihat lincah. Manis sekali dihindari tebasan
golok Urawan. Bahkan masih juga mampu memberikan serangan balasan. Pertarungan
tidak mungkin bisa dihindari lagi. Bahkan Rangga sendiri sudah tidak bisa
mencegah. Pendekar Rajawali Sakti itu hanya mengawasi sembilan belas orang
lainnya, kalau-kalau berbuat curang. Begitu juga Pandan Wangi.
Jurus demi jurus terlewat cepat.
Namun belum ada tanda-tanda bakal ada yang terdesak. Kini Ki Buyut Kaweyan
sudah menggunakan senjatanya yang berupa rantai baja putih berbandul bola
berduri dengan senjata itu, Ki Buyut Kaweyan semakin sukar ditaklukkan. Namun,
rupanya Urawan juga bukan lawan enteng. Permainan jurus-jurus goloknya sungguh
dahsyat dan sangat berbahaya. Gerakan-gerakannya sangat luar biasa. Setiap
kibasan goloknya mengandung hantaman angin yang begitu kuat disertai hawa panas
menyengat.
Memasuki jurus kedua puluh,
tampak kalau Ki Buyut Kaweyan mulai goyah. Laki-laki tua itu tidak sanggup
menghadapi hawa panas yang membuat dadanya terasa sesak, dan sulit bernapas.
Entah sudah berapa kali tubuhnya harus bergelimpangan menghindari serangan
Urawan. Bahkan sudah tidak terhitung lagi, berapa kali menerima pukulan dan
tendangan keras. Hingga suatu saat...
"Mampus kau!
Hiyaaat...!" Mendadak saja Urawan berteriak keras sambil melontarkan satu
pukulan tangan kiri yang sangat cepat dan bertenaga dalam tinggi. Saat itu Ki
Buyut Kaweyan baru saja bangkit berdiri, dan tidak mungkin lagi menghindarinya.
Des! "Akh...!" Ki Buyut
Kaweyan memekik keras. Tubuh tua itu terpental ke belakang sejauh dua batang
tombak. Dan pada saat Ki Buyut Kaweyan limbung, Urawan sudah melompat cepat
sambil mengibaskan goloknya beberapa kali.
"Hup! Uts...!" Ki Buyut
Kaweyan masih berusaha berkelit menghindari tebasan golok yang mengandung hawa
panas luar biasa. Namun pada kibasan yang entah keberapa kali, laki-laki tua
itu tidak bisa lagi menghindari. Sehingga...
"Akh...!" lagi-lagi Ki
Buyut Kaweyan memekik keras. Darah langsung mengucur deras dari bahu laki-laki
tua itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke balakang. Pada saat itu, Urawan sudah
melompat kembali sambil menghunus golok lurus ke depan. Dalam posisi seperti itu,
tak ada lagi kesempatan bagi Ki Buyut Kaweyan untuk berkelit. Namun belum juga
ujung golok Urawan dapat menyentuh tubuh laki-laki tua mendadak...
"Hup! Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Pandan Wangi melentingkan tubuhnya sambil mancabut kipas baja
putih yang terselip di sabuknya. Dangan kipas terbuka lebar, gadis itu
mengepakkannya, menyampok golok Urawan.
Tring! Bunga api memijar saat
kedua senjata itu beradu tidak jauh di depan dada Ki Buyut Kaweyan. Pandan
Wangi sempat mendorong laki-laki tua itu hingga terhuyung ke arah Rangga.
Sementara Urawan sempat terkejut, lalu bergegas melompat mundur. Tampak
bibirnya yang tebal meringis kecil. Sepasang matanya memerah bagai sepasang
bola api yang berkobar menyala.
"Setan betina!" geram
Urawan mengumpat.
"Kau terlalu kejam, Urawan.
Tidak sepatutnya memberi contoh buruk pada anak buahmu!" dengus Pandan
Wangi dingin.
"Phuih! Apa
pedulimu...?!" bentak Urawan gusar. Goloknya sudah dilintangkan di depan
dada.
Sementara itu Rangga membantu Ki
Buyut Kaweyan menghentikan darah yang mengalir dari luka di bahu. Tidak terlalu
lebar, tapi cukup dalam sehingga darah yang keluar begitu banyak. Rangga
memberikan tiga totokan di sekitar luka, sehingga darah berhenti mengalir
seketika. Sementara itu Urawan yang sudah memuncak amarahnya menggerak-gerakkan
goloknya di depan dada. Kakinya bergerak bergeser menyusur tanah. Pandangan
matanya sangat tajam menusuk, mengamati sikap Pandan Wangi yang hanya diam saja
sambil memain-mainkan kipas baja putih yang ujung-ujungnya runcing.
"Mampus kau, perempuan
laknat! Hiyaaat...!" seru Urawan keras.
"Hup! Hiyaaa...!"
"Pandan, mundur...!"
seru Rangga keras.
***
Tapi seruan Pendekar Rajawali
Sakti tidak mungkin lagi membendung pertarungan. Urawan sudah menyerang lewat
jurus-jurus pendek, mencecar Pandan Wangi yang sempat terhenti mendengar seruan
Rangga yang begitu keras. Untung saja gadis itu masih bisa cepat berkelit, dan
menjaga jarak. Sehingga masih bisa mengontrol setiap serangan yang cepat
datangnya dan sangat dahsyat itu. Rangga tak dapat lagi mencegah. Sementara
Urawan tampak begitu bernafsu hendak merobohkan si Kipas Maut.
Namun rupanya Pandan Wangi
bukanlah seorang gadis lemah, tanpa ilmu olah kanuragan. Kali ini Urawan
mendapat lawan tangguh dan sudah banyak mengenyam pahit getirnya kehidupan
rimba persilatan yang keras dan penuh persaingan. Meskipun Urawan langsung
mengerahkan jurus-jurus ampuh, namun belum juga berhasil mendesak pertahanan
Pandan Wangi. Bahkan tanpa diduga sama sekali, si Kipas Maut itu mampu membalas
dahsyat. Urawan jadi kelabakan menghindari setiap serangan kipas baja putih
yang sebentar mengembang dan sebentar kemudian menutup rapat!
"Lepas…!" tiba-tiba
Pandan Wangi berteriak keras. Seketika itu juga dikebutkan kipasnya yang
mengembang tarbuka. Urawan tampak terkesiap, buru-buru dikebutkan goloknya
melindungi leher dari serangan si Kipas Maut.
Trang!
"Akh...!" Semua orang
yang berada di situ jadi terlongong kecuali Rangga yang sudah mengetahui
kedigdayaan Pandan Wangi. Sungguh sukar dipercaya! Golok Urawan yang begitu
besar dan kelihatan berat terpenggal buntung oleh kipas baja putih Pandan
Wangi. Belum lagi Urawan bisa terbebas dari rasa terkejut, Pandan Wangi sudah
berteriak keras sambil melayangkan satu tendangan lurus ke arah dada.
"Hiyaaat...!"
Des! "Akh...!" kembali
Urawan memekik keras tertahan. Laki-laki bertubuh tinggi tegap itu terjajar ke
belakang sejauh tiga batang tombak. Dan belum lagi sempat bangkit berdiri,
Pandan Wangi sudah melompat. Langsung dijejak dada laki-laki itu dengan
lututnya yang tertekuk. Ujung kipas yang runcing tajam, ditekan ke tenggorokan
Urawan.
"Aku bisa membunuhmu dengan
mudah, keparat!" geram Pandan Wangi mengancam.
"Phuih! Kau pikir aku takut
mati? Heh!?" dengus Urawan sengit.
Plak!
"Akh!" Satu tamparan
keras mendarat di pipi Urawan, hingga laki-laki itu terpekik. Darah muncrat
keluar dari mulutnya.
Pandan Wangi bergegas bangkit
berdiri dan melangkah mundur beberapa tindak. Sementara Urawan masih
tergeletak, dan matanya memerah menyimpan kemarahan yang amat sangat. Mulutnya
menggeram sambil menyeka darah dengan punggung tangan kanan pada dua sudut
bibirnya. Pelahan dia bangkit berdiri.
"Pergilah, sebelum aku
berubah pikiran mengirim kalian semua ke neraka!" bentak Pandan Wangi
tajam.
Urawan tidak menyahuti.
Dipandanginya Pandan Wangi dengan hati panas terbalut dendam. Belum pernah
dirinya dipecundangi begini rupa oleh seorang gadis di depan anak buahnya.
Urawan mengegoskan kepalanya sedikit, dan tiba-tiba saja sembilan belas anak
buahnya bergerak maju, sambil melintangkan golok di depan dada.
"Tahan...!" seru Rangga
keras.
Seruan yang dibarengi pengerahan
tenaga dalam itu membuat orang-orang yang hendak mengeroyok langsung berhenti
bergerak. Mereka semua memandang Pendekar Rajawali Sakti yang tengah melangkah
menghampiri Pandan Wangi. Pemuda berbaju rompi putih itu kini berdiri tegak di
samping si Kipas Maut.
"Dengar! Jika tetap
membandel, kalian akan mati sia-sia! Kami bukan musuh kalian, tapi si Iblis
Selaksa Racun!" lantang suara Rangga berbicara.
"Kami semua memang hendak
membunuh si Iblis Selaksa Racun. Tapi kau harus mati lebih dulu, Pendekar
Rajawali Sakti!" sahut Urawan tidak kalah lantangnya.
"Siapa yang memerintahkan
kalian untuk membunuhku?" tanya Rangga seraya mengedarkan pandangannya ke
sekeliling.
Tak ada seorang pun yang
menjawab. Sembilan belas orang anggota partai Golok Perak itu saling
berpandangan satu sama lainnya, kemudian sama-sama memandang Urawan yang agak
terpisah dari anak buahnya. Saat itu Rangga dan Pandan Wangi menatap tajam
Urawan yang melangkah mundur beberapa tindak.
"Jangan hiraukan
manusia-manusia iblis ini! Kalian semua akan mati keracunan jika tidak
membunuhnya!" seru Urawan lantang.
"Jika aku memang menyebarkan
racun, kalian tentu tidak akan melihat Ki Buyut hari ini. Juga, gadis ini"
Rangga menunjuk Pandan Wangi di sampingnya.
Sembilan belas orang itu
kelihatan ragu-ragu dan bimbang, setelah melihat kenyataan kalau Ki Buyut
Kaweyan dan Pandan Wangi masih hidup. Padahal orang itu selalu berdekatan
dengan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan menurut kabar, siapa saja yang
berdekatan dengan Pendekar Rajawali Sakti akan mati ketika itu juga.
Memang sudah tersiar desas-desus
kalau Pendekar Rajawali Sakti terkena racun akibat bertarung melawan si Iblis
Selaksa Racun. Bahkan pemuda berbaju rompi putih ini sempat menghilang berapa
waktu. Setelah saling berpandangan sejenak, sembilan belas orang bersenjata
golok itu bergegas pergi. Mereka tidak mempedulikan Urawan yang
berteriak-teriak memerintahkan untuk tetap tinggal. Melihat sikap anak buahnya
itu, Urawan jadi gusar. Mulutnya menggeram, mengumpat, dan memaki
habis-habisan.
***
LIMA
Merasa tidak ada lagi
pengikutnya, Urawan jadi kelabakan juga. Matanya berputar, merayap ke
sekeliling mencari sesuatu. Tapi yang diinginkan tidak ditemukan. Sebentar
dipandanginya Rangga, kemudian beralih pada Pandan Wangi. Pandangannya lalu
tertuju pada Ki Buyut Kaweyan yang sudah berada di punggung kudanya. Tak ada
lagi yang bisa diharapkan Urawan. Untuk mundur pun rasanya tidak mungkin lagi.
Di mana akan ditaruh mukanya? Posisi Urawan saat ini memang tidak menguntungkan
sama sekali. Dan disadari kalau dirinya tidak mungkin menghadapi ketiga orang
itu. Hanya menghadapi Pandan Wangi saja tidak mampu apalagi Pendekar Rajawali
Sakti.
"Persetan...!" dengus Urawan.
Tiba-tiba saja laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu melompat
menerjang Pandan Wangi yang berada di samping Rangga. Tentu saja perbuatan
nekadnya membuat si Kipas Maut terkejut. Demikia pula Rangga yang jadi terpana
karena tidak menyangka same sekali kalau Urawan akan berbuat senekad ini.
"Hiyaaa...!"
"Hait!"
Pandan Wangi cepat-cepat berkelit
memiringkan tubuhnya ke samping, menghindari pukulan Urawan yang begitu cepat
mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Tapi mendadak saja Urawan
merubah arah serangan, sebelum pukulannya yang diarahkan pada Pandan Wangi
mencapai sasaran. Cepat sekali laki-laki itu memutar tubuhnya seraya
melayangkan satu tendangan kilat menggeledek ke arah Rangga.
"Hap!" Tangkas sekali
Rangga menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tendangan Urawan hanya berada
beberapa jengkal di depan dadanya. Secepat kilat Rangga melentingkan tubuhnya,
begitu kaki Urawan lewat. Dan bagai seekor burung, Pendekar Rajawali Sakti itu
menukik deras dengan kaki berada di bawah.
Ternyata Rangga mengerahkan jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Gerakan kaki Pendekar Rajawali Sakti
begitu cepat, disertai lurukan yang tidak dapat diikuti pandangan mata biasa.
Hal ini membuat Urawan tidak sempat lagi menghindari serangan balik pemuda
berbaju rompi putih itu.
Des! Des! Prak!
"Aaa...!" Urawan
menjerit melengking tinggi. Due kali kaki Rangga menyambar kepala Urawan hingga
pecah. Laki-laki hampir setengah baya itu langsung menggelepar di tanah. Darah
berlumuran deras keluar dari kepala yang remuk terkena tendangan maut jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Kakang...," panggil
Pandan Wangi begitu Rangga menjejakkan kakinya di tanah, tidak jauh dari Urawan
yang sudah tidak bergerak-gerak lagi.
Rangga berpaling, memandang si
Kipas Maut yang sudah berada di sampingnya kembali. Kedua pendekar itu
memandangi mayat Urawan yang kepalanya pecah berlumuran darah. Saat itu Ki
Buyut Kaweyan juga, menghampiri sambil menuntun dua ekor kuda milik dua
pendekar itu. Dia sendiri masih berada di punggung kudanya. Luka di bahunya
sudah terbalut kain yang berlumuran darah.
"Seharusnya kau tidak perlu
membunuhnya, Kakang," kata Pandan Wangi pelan.
"Aku muak melihat manusia
berkepala dua seperti dia!" sahut Rangga mendengus.
Pendekar Rajawali Sakti itu
mengambil tali kekang kudanya dari tangan Ki Buyut Kaweyan. Dengan satu
loncatan indah dan sangat ringan, Pendekar Rajawali Sakti itu naik ke punggung
kuda hitam yang bernama Dewa Bayu. Pandan Wangi segera naik ke kuda putihnya
sendiri, yang tinggi dan tegap pemberian Rangga. Tanpa berkata apa-apa lagi,
mereka menggebah kudanya pelahan-lahan meninggalkan tempat itu.
Rangga berkuda paling depan,
sedangkan Pandan Wangi berada di belakangnya bersama Ki Buyut Kaweyan. Tak ada
seorang pun yang membuka mulut, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
Jalan pikiran yang berbeda, namun menuju pada titik yang sama. Tampak sekali
kalau Pandan Wangi selalu mendesah lirih manakala melihat punggung Rangga yang
kosong, tanpa sepucuk pedang pun.
"Ke mana tujuan kita
sekarang, Ki?" tanya Pandan Wangi setelah cukup lama juga berdiam diri.
"Entahlah. Aku menurut saja
ke mana Den Rangga pergi," sahut Ki Buyut Kaweyan juga pelan.
Pandan Wangi menarik napas
panjang dan terdengar berat. Diliriknya kuda Ki Buyut Kaweyan yang membawa
beban cukup banyak juga. Entah apa yang dibawa laki-laki tua itu, Ki Buyut
Kaweyan hanya mengatakan kalau yang dibawa adalah bekal untuk perjalanan.
Gadis itu kembali mengalihkan
pandangannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang berkuda di depan. Ada jarak
sekitar tiga batang tombak antara mereka. Meskipun kelihatan laju kuda mereka
sama, tapi Dewa Bayu terlihat semakin membuat jarak saja. Kuda hitam itu memang
luar biasa, dan bukan kuda sembarangan.
***
Sudah tiga desa disinggahi, dan
selalu saja terjadi masalah. Sudah beberapa kali Rangga, Pandan Wangi, dan Ki
Buyut Kaweyan harus bentrok melawan orang-orang rimba persilatan yang hendak
membunuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Entah dari mana tersebarnya berita
tentang diri Pendekar Rajawali Sakti yang tercemar racun mematikan. Tak ada seorang
pun yang mau mendekat.
Setiap kali menjumpai seseorang
dalam perjalanan, maka orang itu selalu menghindar karena takut terkena racun
yang menyebar dari tubuh Rangga. Memang sanngat menyakitkan, tapi harus
dihadapi dengan tabah. Namun hal ini membuat Rangga jadi berang juga. Sulit
dimengerti, kenapa setiap orang yang dijumpai selalu menghindar. Bahkan tidak
sedikit tokoh rimba persilatan yang mengejar hendak membunuhnya.
Yang lebih menyakitkan lagi, yang
mengejar adalah tokoh-tokoh rimba persilatan dari golongan putih. Hal ini
membuat Rangga, Pandan Wangi, dan Ki Buyut Kaweyan jadi serba salah. Karena
jelas, tidak mungkin memerangi orang-orang yang berada satu jalur dalam
memerangi kejahatan dan keangkaramurkaan.
"Setan...!" umpat
Rangga ketika baru saja akan menghampiri seorang laki-laki perambah hutan.
Laki-laki setengah tua dan
berdada telanjang itu langsung lari sambil berteriak-teriak minta tolong begitu
melihat Rangga yang selalu didampingi Pandan Wangi dan Ki Buyut Kaweyan
menghampiri. Entah dari mana sumbernya, hampir semua orang yang dijumpai selalu
mengenali Pendekar Rajawali Sakti itu. Satu hal yang tidak biasanya terjadi.
Rangga bukan saja terkenal karena kedigdayaannya, tapi kini juga dikenal karena
menyebarkan maut. Pendekar Rajawali Sakti itu seperti momok yang sangat
menakutkan.
"Sabar, Kakang. Mereka yang
tidak tahu apa-apa tidak bisa disalahkan," kata Pandan Wangi meredakan
amarah Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Tidak seharusnya mereka
berbuat seperti itu padaku, Pandan!" rungut Rangga gusar.
"Kehidupan tidak selamanya
mengenakkan, Den Rangga. Ada kalanya kita berada di atas, tapi juga ada kalanya
berada di bawah. Rasa manis tidak akan selamanya bisa dikecap. Tentu ada juga
pahitnya," Ki Buyut Kaweyan ikut berbicara.
Rangga menatap laki-laki tua yang
selalu setia mengikutinya sejak dari Desa Sanggung. Pendekar Rajawali Sakti itu
menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Sebenarnya Rangga
tidak ingin menyusahkan Ki Buyut Kaweyan lagi. Apalagi sudah terlalu banyak
membuat kesulitan pada laki-laki tua itu.
Bahkan anak dan istri Ki Buyut
Kaweyan tewas hanya karena menolongnya dari kejaran orang-orang yang hendak
membunuhnya saat Rangga terluka berat. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali
teringat pada pertarungannya, yang benar-benar melelahkan dan sangat menguras
tenaga.
Belum pernah dia bertarung hingga
dua hari dua malam penuh tanpa henti. Tapi kalau saja tidak dicurangi, tentu
lawannya bisa dikalahkan. Rangga mendesah panjang, lalu mendongakkan kepalanya.
"Aku tidak tahu, bagaimana
harus membalas budimu, Ki Buyut," desah Rangga pelan.
"Tidak ada yang harus
dibalas, Den. Semua yang kulakukan atas dasar kerelaan. Bahkan anak dan istriku
tersenyum gembira bisa mengorbankan nyawan demi seorang junjungan," jawab
Ki Buyut Kaweyan mantap.
"Junjungan...?!" Pandan
Wangi mengerutkan keningnya, lalu menatap dalam-dalam Ki Buyut Kaweyan.
"Pandan, Ki Buyut ini dulu
seorang penasehat terpercaya ayahku. Dia tahu kalau aku...," ucapan Rangga
terputus.
"Semua kuketahui dari kalung
yang dikenakannya. Hanya ada tiga. Dan itu dikenakan oleh Rangga Pati Permadi,
Danupaksi, dan Cempaka. Aku tahu semua itu. Bahkan juga tahu kalau Karang Setra
kini sudah menjadi kerajaan yang besar," sambung Ki Buyut Kaweyan.
"Dan kau jangan sekali-kali
memanggilku dengan sebutan Gusti, Ki Buyut," selak Rangga cepat.
Ki Buyut Kaweyan hanya tersenyum
saja. Sementara Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak disangka
kalau Ki Buyut Kaweyan dulunya seorang penasehat adipati di Kadipaten Karang
Setra yang kini sudah menjadi Kerajaan Karang Setra. Tidak heran kalau seorang
penasehat pribadi pasti mengetahui semuanya, termasuk kalung yang merupakan
pertanda keturunan sah Adipati Arya Permadi.
Dan Pandan Wangi tidak ingin
bertanya, bagaimana Ki Buyut Kaweyan meninggalkan Karang Setra lalu menetap di
Desa Sanggung. Padahal, desa itu jauh dari Kota Kerajaan Karang Setra, meskipun
masih termasuk wilayah kerajaan itu. Seperti juga halnya bekas para pembesar
kadipaten lainnya, tentu Ki Buyut Kaweyan meninggalkan Karang Setra karena
tidak suka mengabdi pada Wira Permadi yang merebut kekuasaan secara tidak sah.
(Untuk lebih jelas, baca Serial Pendekar Rajawali Sakti. Dalam kisah, Api di
Karang Setra)
"Ayo, kita jalan lagi,"
ajak Rangga seraya menggebah kudanya.
Mereka kembali melanjutkan
perjalanan tanpa banyak bicara lagi. Kali ini sengaja melintasi pemukiman
penduduk, untuk mencegah ketidakenakan di hati Pendekar Rajawali Sakti.
Masalahnya sudah jelas, bahwa kabar tentang diri Rangga yang terjangkit racun
mematikan sudah menyebar luas. Apalagi racun itu dapat menular dan bisa
mematikan! Bahkan bisa jadi kabar itu sudah sampai ke Kotaraja Kerajaan Karang
Setra. Dan inilah yang dikhawatirkan Pandan Wangi.
"Kakang, Kotaraja tidak jauh
lagi dari sini. Bagaimana kalau singgah dulu di istana?" usul Pandan
Wangi, bernada ragu-ragu.
"Untuk apa?" tanya
Rangga enggan.
"Kau bisa menyebar telik
sandi untuk mencari keterangan sumber berita bohong ini, Kakang. Yang
terpenting adalah mencari si Iblis Selaksa Racun,." sahut Pandan Wangi
memberi alasan atas sarannya tadi.
Rangga hanya tersenyum saja. Dan
memang, Pendekar Rajawali Sakti itu telah merencanakan hendak kembali ke istana
untuk melihat keadaan selama ditinggalkan mengembara. Tapi sesuatu telah
terjadi sehingga rencananya terhalang. Bahkan sekarang ini sepertinya enggan
menginjakkan kakinya di tanah kelahirannya itu.
Belum berapa jauh mereka
melanjutkan perjalanan, mendadak dikejutkan suara gaduh dan jeritan-jeritan
melengking. Kadang-kadang bahkan juga terdengar keluhan keras, disertai denting
senjata beradu. Suara-suara itu datang tidak jauh di depan mereka. Sebentar
ketiga orang itu saling berpandangan, lalu cepat menggebah kudanya menuju ke
arah suara tadi.
Meskipun sudah cepat menggebah
kudanya, namun Pandan Wangi dan Ki Buyut Kaweyan tertinggal jauh oleh kuda
hitam yang ditunggangi Pendekar Rajawah Sakti. Kuda hitam yang bernama Dewa
Bayu itu berlari bagaikan tarbang saja. Sebentar saja sudah begitu jauh
meninggalkan dua orang penunggang kuda di belakangnya.
"Hiya! Hiya…!" Rangga
terus menggebah kudanya dencan cepat seakan-akan lupa kalau masih ada dua orang
yang tertinggal jauh di belakang. Dewa Bayu terus berlari cepat meninggalkan
debu dan dedaunan kering yang mengepul membumbung tinggi ke angkasa.
"Oh, tidak…!" pekik
Rangga tiba-tiba.
***
Apa yang disaksikan Pendekar Rajawali
Sakti itu memang sungguh sukar dipercaya. Suara-suara yang didengarnya sudah
tidak ada lagi, tepat pada saat dirinya tiba. Rangga bergegas melompat turun
dari punggung kudanya. Kedua bola matanya membeliak tidak percaya, memandangi
mayat-mayat yang bergelimpangan tidak tentu arah. Yang membuat pemuda berbaju
rompi putih itu terbeliak, ternyata mayat-mayat itu mengenakan seragam Prajurit
Karang Setra.
Apalagi jumlahnya juga tidak
sedikit. Sekitar lima puluh orang bergelimpangan tanpa nyawa lagi. Rangga
benar-benar terpaku, karena tidak melihat setetes darah pun yang mengalir
membasahi tanah. Mayat-mayat yang bergelimpangan dengan wajah membiru itu
memang tidak terluka. Pendekar Rajawali Sakti itu mendekati salah satu mayat,
dan memeriksanya.
"Tidak..! Tidak
mungkin...!" Rangga mendesis seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sukar
baginya untuk mempercayai kalau mayat-mayat berseragam prajurit ini tewas
karena keracunan.
Tepat pada saat Rangga bangkit
berdiri, Pandan Wangi dan Ki Buyut Kaweyan muncul. Mereka bergegas melompat
turun dari punggung kuda masing-masing, dan bergegas pula menghampiri Rangga
yang tengah terpaku memandangi mayat-mayat berseragam Prajurit Karang Setra.
"Kakang...," pelan
suara Pandan Wangi, agak tarcekat di tenggorokan.
"Iblis Selaksa
Racun...," desis Ki Buyut Kaweyan mengenali ciri-ciri kematian para
Prajurit Karang Setra.
"Oh, benarkah...?!"
Pandan Wangi tersentak kaget, setengah tidak percaya. Pandan Wangi ingin
memeriksa salah satu mayat di dekatnya, tapi Rangga keburu mencegah dan menarik
tangan gadis itu. Cepat-cepat Rangga membawanya menyingkir jauh-jauh. Demikian
juga Ki Buyut Kaweyan yang bergegas meninggalkan tempat itu sambil menuntun
tiga ekor kuda.
"Ada apa, Kakang?"
tanya Pandan Wangi.
"Aku tidak ingin kau mati
seperti mereka, Pandan," sahut Rangga.
"Maksudmu...?" tanya
Pandan Wangi tidak mengerti.
"Mereka semua tewas karena
racun, yang tersebar dari seluruh tubuh si Iblis Selaksa Racun. Sekali saja kau
sentuh tubuh mereka, maka racun yang ada akan berpindah padamu," Rangga
menjelaskan.
Pandan Wangi masih belum mengerti
dan ingin bertanya lagi, tapi tidak punya kesempatan karena Rangga sudah
mendekati mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Gadis itu hendak menghampiri,
tapi Ki Buyut Kaweyan sudah keburu mencegahnya. Dia hanya bisa melihat Pendekar
Rajawali Sakti yang tengah menumpuk mayat-mayat itu menjadi sepuluh tumpukan.
Kemudian ditimbunnya mayat-mayat itu dengan ranting-ranting kering.
Tak berapa lama kemudian, api
berkobar membakar tubuh-tubuh prajurit yang bertumpukan tertimbun ranting
kering. Rangga bergegas menghampiri Pandan Wangi dan Ki Buyut Kaweyan. Gadis
itu hendak mendekati Rangga, tapi Ki Buyut Kaweyan epat-cepat mencekal tangan
gadis itu.
"Kenapa, Ki?" tanya
Pandan Wangi.
"Jangan, Nini. Den Rangga
baru saja menyentuh tubuh mereka," tegas Ki Buyut Kaweyan agak khawatir
juga.
"Jangan khawatir, Ki. Tidak
ada sedikit racun pun yang bisa bersarang di tubuhku," kata Rangga seraya
tersenyum.
"Tapi...," Ki Buyut
Kaweyan masih terlihat khawatir.
"Kakang Rangga kebal
terhadap segala jenis racun, Ki," Pandan Wangi memberitahu.
"Racun itu sangat dahsyat
dan mematikan, Den," masih terdengar kekhawatiran dalam nada suara Ki
Buyut Kaweyan.
"Memang benar, Ki. Dan aku
sempat juga terbius. Meskipun kebal terhadap segala jenis racun, tapi aku
sempat terbius karena terlalu banyak menghirup udara beracun sewaktu bertarung
dengannya. Aku sempat goyah dan terjerumus ke dalam jurang setelah mendapat tiga
pukulan beruntun di dada," jelas Rangga.
"Oh! Kau sudah bisa
mengingatnya, Kakang?" seru Pandan Wangi gembira.
Rangga hanya tersenyum saja.
Memang, sedikit demi sedikit Rangga mulai pulih kesadarannya. Dan itu terjadi
secara bertahap serta memerlukan waktu yang cukup lama. Terlebih lagi, selama
dalam perjalanan ini, secara tidak langsung, beberapa peristiwa yang terjadi
membangkitkan ingatan Rangga kembali.
"Kakang, bagaimana awal
mulanya hingga kau bisa bertarung dengan Iblis Selaksa Racun?" tanya Pandan
Wangi.
"Peristiwanya sendiri
terjadi di Desa Sanggung. Waktu itu aku menemukan banyak penduduk yang tewas
akibat keracunan. Kucoba untuk menyelidiki dan kutemukan sumbernya dari mata
air yang sudah tercemar racun akibat Iblis Selaksa Racun sering mandi di situ.
Aku memintanya untuk meninggalkan Sanggung, tapi dia membangkang. Bahkan
mengancam hendak membunuh semua orang di Kerajaan Karang Setra...," Rangga
mulai mengisahkan.
"Dan akhirnya kau bertarung
dengannya?" tebak Pandan Wangi langsung.
"Benar. Aku tidak punya
pilihan lain lagi. Orang itu sangat berbahaya. Terlebih lagi ketika dengan
kepala sendiri aku melihat beberapa orang dari Partai Golok Perak tewas hanya
karena tersentuh sedikit saja."
"Kakang, apakah kepandaian
manusia beracun sangat tinggi?" tanya Pandan Wangi agak bergidik juga
mendengar Iblis Selaksa Racun mampu menewaskan orang hanya dengan menyentuhkan
sedikit saja ujung jarinya.
"Tidak. Bahkan boleh
dikatakan dangkal. Tapi tidak mudah untuk mendekatinya. Aku sendiri kesulitan
untuk bisa menyentuhnya. Racun yang tersebar dari seluruh tubuhnya sangat
dahsyat. Apalagi dia juga memiliki suatu ilmu yang sangat aneh. Bisa menolakkan
apa saja tanpa melakukan sesuatu."
"Maksudmu?" Pandan
Wangi tidak mengerti.
"Dia seperti memiliki benteng
yang mengelilingi tubuhnya. Entah apa namanya, yang jelas tidak mudah
ditembus," Rangga merasa sukar untuk menjelaskannya.
Meskipun masih belum begitu
mengerti, tapi Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Dia tahu betul kalau Rangga
mengalami kesulitan untuk menjelaskannya. Memang Pendekar Rajawali Sakti itu
sendiri belum mengetahui ilmu yang digunakan Iblis Selaksa Racun, sehingga
memiliki suatu bentuk pertahanan yang tidak terlihat dan sukar ditembus.
Mereka kembali meneruskan
perjalanannya setelah api yang membakar mayat-mayat Prajurit Karang Setra
mengecil. Angin yang berhembus agak keras siang ini menyebarkan debu bekas
bakaran. Mereka kembali menunggang kuda pelahan-lahan, dan tak ada yang membuka
suara sedikit pun.
"Uhk..!" tiba-tiba Ki
Buyut Kaweyan mengeluh dan terbungkuk sambil memegangi dadanya.
"Ki..!" Pandan Wangi
yang berkuda di samping laki-laki tua itu terkejut.
Bruk! Mendadak saja Ki Buyut
Kaweyan terguling jatuh dari punggung kudanya. Pandan Wangi bergegas melompat
turun dan hendak menghampiri laki-laki tua itu. Tapi belum sempat menyentuhnya,
Rangga sudah mencegah lebih dahulu.
"Pandan, jangan...!"
"Tapi...," Pandan Wangi
tidak jadi menyentuh tubuh Ki Buyut Kaweyan yang mengerang dan merintih lirih
sambil memegangi dada.
"Mundur, kataku!"
bentak Rangga seraya melompat turun dari punggung Dewa Bayu.
Pandan Wangi tidak mengerti, tapi
melangkah mundur juga. Bergegas Rangga menghampiri Ki Buyut Kaweyan yang
menggeletak di tanah. Erangan dan rintihan lirih terdengar dari bibir yang
terlihat membiru. Rangga memeriksa dada laki-laki tua itu, lalu mengeluh
panjang.
"Kakang, kenapa Ki
Buyut?" tanya Pandan Wangi tidak berani mendekat.
"Menyingkirlah lebih jauh,
Pandan Wangi. Ki Buyut terkena hawa beracun," sahut Rangga memperingatkan.
"Hawa beracun...?!"
Pandan Wangi benar-benar, tidak mengerti, tapi akhirnya melangkah mundur juga
menjauhi tempat itu.
Sementara Rangga merobek baju
yang dikenakan Ki Buyut Kaweyan. Ditempelkan kedua telapak tangannya di dada
yang mulai terlihat membiru itu, Pendekar Rajawali Sakti berusaha menyalurkan
hawa murni ke dalam tubuh Ki Buyut Kaweyan.
"Tidak perlu, Den.
Percuma...," rintih Ki Buyut Kaweyan lirih. Rangga menghentikan usahanya.
Pelahan dijauhkan kedua telapak tangannya dari dada laki-laki tua itu.
Sedangkan napas Ki Buyut Kaweyan mulai tersengal. Wajahnya pun sudah mulai
membiru, dan bibirnya bergetar seolah-olah hendak mengucapkan sesuatu. Rangga
mendekatkan telinganya ke bibir yang sudah membiru itu.
"Den..., pedang itu ada
di...," terputus suara Ki Buyut Kaweyan yang begitu lemah.
"Ki...,"
Rangga berusaha agar Ki Buyut
Kaweyan bisa bertahan untuk beberapa saat. Sebentar Ki Buyut Kaweyan terbatuk
sebelum melanjutkan kata-katanya. Rangga semakin mendekatkan telinganya di
depan bibir laki-laki tua itu.
"Aku menyimpan pedangmu di
Goa Kera..., akh!"
"Ki...!" sentak Rangga.
Tapi Ki Buyut Kaweyan sudah menghembuskan napasnya yang terakhir. Seluruh wajah
dan tubuhnya membiru. Dari mulutnya keluar buih berwarna kuning kehijauan.
Rangga berlutut sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sementara jauh di belakang
Pendekar Rajawali Sakti itu, Pandan Wangi hanya bisa memperhatikan.
"Begitu besar jasamu padaku,
Ki. Semoga kau tenang di samping Hyang Widi," desah Rangga lirih.
Dengan lesu, Pendekar Rajawali
Sakti itu mengumpulkan ranting kering, lalu menumpuknya di tubuh Ki Buyut
Kaweyan. Dengan batu pemantik api dinyalakan ranting-ranting kering itu. Api
cepat berkobar melahap ranting yang tertumpuk di atas tubuh Ki Buyut Kaweyan.
Pelahan-lahan Rangga melangkah mundur menjauh. Hanya dengan cara itulah pengaruh
racun bisa dihilangkan.
"Kakang...," panggil
Pandan Wangi, agak tersendat suaranya.
Rangga menoleh dan menghampiri
gadis itu. Untuk beberapa saat mereka hanya berhadapan saling pandang. Rangga
tidak tahu, apakah Pandan Wangi sudah tercemar racun yang tersebar dari tubuh
Iblis Selaksa Racun atau belum. Tapi hatinya merasa khawatir juga.
"Kakang, apakah aku juga
sudah terkena hawa racun itu?" tanya Pandan Wangi seperti bisa membaca
arti sorot mata Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Entahlah," desah
Rangga tidak yakin.
Pandan Wangi menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Sementara Rangga menghempaskan
tubuhnya, duduk bersandar pada sebatang pohon yang cukup rindang untuk menaungi
diri dari sengatan matahari. Sementara Pandan Wangi hanya berdiri saja
memandangi api yang masih berkobar membakar tubuh Ki Buyut Kaweyan.
***
ENAM
Rangga menghentikan lari kudanya
secara tiba-tiba. Ternyata seorang perempuan tua mengenakan baju hitam telah
menghadang di tengah jalan. Tangan kanannya memegang cambuk berbentuk ekor
kuda. Jubah hitam yang panjang, berkibar-kibar tertiup angin senja. Sementara
Pandan Wangi yang berkuda di samping Pendekar Rajawali Sakti itu sudah
mengenali perempuan tua itu, meskipun belum tahu namanya.
"Hhh...! Kau lagi, Cambuk
Sakti!" dengus Rangga bernada kurang senang melihat perempuan tua itu
menghadang jalannya.
"Hik hik hik.... Aku akan
selalu ada selama kau belum memenuhi tuntutanku, Pendekar Rajawali Sakti!"
tegas perempuan tua yang dikenal Rangga bernama si Cambuk Sakti.
"Kakang, apa
maksudnya?" tanya Pandan Wangi setengah berbisik.
"Jangan dengarkan
kata-katanya, Pandan, dia orang yang tidak waras!" sahut Rangga.
"Hik hik hik... Kau akan
berkata lain tentang diriku, Pendekar Rajawali Sakti. Kalau saja kau...."
"Persetan dengan cucumu,
Cambuk Sakti!" sontak Rangga memotong cepat.
"Sebenarnya aku tidak akan
memaksamu, Pendekar Rajawali Sakti. Kau telah memenangkan sayembara yang
kuadakan untuk cucuku Nilam Kencana. Hanya kau yang cocok menjadi suaminya,
karena berhasil mengalahkannya," tegas si Cambuk Sakti.
"Kakang, ada apa lagi
ini?" tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak menyahuti, tapi
langsung melompat turun dari punggung kudanya. Ringan sekali gerakan Pendekar
Rajawali Sakti itu. Tak ada suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah
berumput di depan kuda hitam tunggangannya.
Sementara Pandan Wangi bergegas
melompat turun, tapi hanya berdiri saja di samping kuda putihnya. Dia tidak
mengerti, tapi berbagai macam dugaan mulai memenuhi benaknya. Satu masalah
belum lagi selesai, kini muncul persoalan lagi.
"Cambuk Sakti, sebenarnya
aku juga tidak ingin berurusan denganmu. Sama sekali aku tidak pernah berniat
mengikuti sayembaramu. Bahkan mendengar pun tidak pernah. Nilam Kencana sendiri
yang tiba-tiba menyerangku tanpa alasan pasti. Sungguh... Aku tidak punya
maksud apa-apa, dan tidak melukainya sedikit pun. Aku hanya membuatnya tidak
sadarkan diri untuk beberapa saat," Rangga mencoba menjelaskan duduk
permasalahnnya.
"Aku tahu itu, Pendekar
Rajawali Sakti. Dan tidak akan pernah kusangkal. Tapi bagaimanapun juga, kau
sudah berhasil mengalahkan cucuku, dan sumpahku sudah jatuh. Siapa saja yang
berhasil mengalahkan Nilam Kencana, maka dialah jodohnya. Dan kau harus
menerimanya, Pendekar Rajawali Sakti," jelas Cambuk Sakti.
"Tidak mungkin...!"
dengus Rangga.
"Tidak ada waktu lagi untuk
berdebat, Pendekar Rajawali Sakti. Kau harus menikahi cucuku, atau memilih
mati!" dingin sekali suara si Cambuk Sakti bernada ancaman.
"Langkahi dulu mayatku,
perempuan edan!" bentak Pandan Wangi tiba-tiba. Gadis itu jadi panas
mendengar semua pembicaraan itu. Rasa cemburunya menggelegak bercampur berang.
Pandan Wangi percaya betul kalau Rangga tak mungkin akan menoleh pada wanita
lain. Dan gadis itu sudah bisa menebak, apa yang terjadi sebenarnya.
"Hik hik hik..," Cambuk
Sakti terkikik. "Bagus! Memang hanya kau satu-satunya penghalang, Kipas
Maut."
Sret! Pandan Wangi langsung saja
mengeluarkan kipas baja putihnya yang selalu terselip pada sabuk pinggang. Tapi
kipas itu belum juga dibuka, dan hanya digenggam dengan tangan kanan. Pelahan
kakinya melangkah menghampiri Rangga dan berdiri tegak di samping pemuda itu.
"Kau masih kuberi kesempatan
sekali lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Atau lebih senang jika gadis itu enyah
lebih dahulu?" ujar Cambuk Sakti seraya tersenyum sinis pada Pandan Wangi.
"Keparat..!" geram
Pandan Wangi memuncak amarahnya. Bagaikan seekor kijang, si Kipas Maut melompat
menerjang si Cambuk Sakti. Rrrt...! Cepat sekali gadis yang berjuluk si Kipas
Maut itu mengebutkan kipasnya yang langsung terbuka lebar. Dengan jurus-jurus
pendek yang cepat, gadis itu menyerang Cambuk Sakti.
Tapi Pandan Wangi jadi tersentak
juga, karena perempuan tua itu bisa menghindari setiap serangannya. Bahkan
diiringi senyum sinis, dan kadang-kadang tawa terkikik mengejek. Tentu saja hal
ini membuat si Kipas Maut jadi semakin gusar.
"Hiya! Hiya!
Hiyaaat...!" Pandan Wangi meningkatkan serangan-serangannya yang semakin
dahsyat. Kipas baja putih yang ujung-ujungnya runcing, berkelebatan cepat
mengurung tubuh si Cambuk Sakti. Namun setiap serangannya selalu dapat
dihindari dengan manis oleh Cambuk Sakti. Bahkan tiba-tiba saja...
"Lepas...!" Tap!
"Akh!" tiba-tiba saja
Pandan Wangi memekik tertahan.
Entah bagaimana kejadiannya,
tahu-tahu tangan kiri si Cambuk Sakti bergerak cepat menepak pergelangan tangan
kanan Pandan Wangi yang memegang kipas baja putih kebanggaannya. Dan tanpa
terbendung lagi, kipas baja putih itu melayang terpental ke udara. Sejenak si
Kipas Maut terkesiap. Belum lagi Pandan Wangi sempat melompat ingin mengejar
senjata mautnya, si Cambuk Sakti sudah mengebutkan senjatanya yang berbentuk
cambuk ekor kuda.
Ctar!
"Aaakh...!" Pandan
Wangi menjerit keras.
Ujung cambuk yang berbulu halus
itu tepat menghantam dada Pandan Wangi. Akibatnya, gadis itu terpental ke
belakang sejauh beberapa tombak. Secepat itu pula si Cambuk Sakti melompat
sambil berteriak keras.
Buk! Satu tendangan keras
bertenaga dalam tinggi mendarat di tubuh Pandan Wangi sebelum menyentuh tanah.
Tak pelak lagi, gadis itu bergulingan beberapa kali sambil memekik keras agak
tertahan. Tendangan Cambuk Sakti tepat menghantam perutnya.
"Mampus kau! Hiyaaat...!"
teriak Cambuk Sakti keras. Bagaikan seekor macan betina, perempuan tua itu
kembali melompat sambil mengebutkan cambuknya ke arah tubuh Pandan Wangi yang
masih bergulingan di tanah.
"Hiyaaat... !"
Tiba-tiba saja Rangga melesat cepat bagaikan kilat. Kakinya merentang lurus ke
depan, Pendekar Rajawali Sakti itu memotong arus si Cambuk Maut, dan sempat
dikibaskan tangannya ke arah dada.
"Uts!" Buru-buru si
Cambuk Sakti melentingkan tubuhnya ke belakang, lalu berputaran dua kali di
udara. Dan manis sekali kakinya mendarat di tanah. Tepat pada saat itu, Rangga
juga sudah berdiri kokoh di atas sepasang kakinya membelakangi Pandan Wangi
yang tergeletak sambil merintih lirih.
"Huh! Rupanya kau lebih
memilih mati daripada diberi kesenangan hidup!" dengus si Cambuk Sakti
sengit.
"Cambuk Sakti, kau jangan
memaksakan kehendakmu. Nilam Kencana belum cukup umur untuk memilih calon
suami. Dia baru berusia lima belas tahun, dan masih banyak yang harus
dilakukannya," ujar Rangga mencoba menyadarkan kekeliruan perempuan tua itu.
"Jangan mencari-cari alasan,
Pendekar Rajawali Sakti! Kau tinggal pilih, menikahi Nilam Kencana atau
mati!" bentak si Cambuk Sakti.
"Cambuk Sakti, sebaiknya
persoalan ini tidak perlu diperpanjang. Aku yakin, Nilam Kencana sendiri tidak
menyetujui rencanamu. Dia masih belum dewasa, dan masih perlu banyak belajar
untuk bekal hidupnya," Rangga tetap berusaha menyadarkan perempuan tua
berjubah hitam itu.
"Cerewet!" bentak si
Cambuk Sakti geram.
Baru saja Rangga akan membuka
mulut lagi, tiba-tiba saja perempuan tua yang berjuluk Cambuk Sakti itu sudah
cepat menerjang. Mau tidak mau Rangga terpaksa melayani perempuan tua itu. Dan,
dipergunakanlah jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
***
Kemarahan si Cambuk Sakti semakin
memuncak, karena Rangga seperti bermain-main saja. Pendekar Rajawali Sakti itu
hanya berkelit dan menghindari setiap serangannya tanpa membalas satu serangan
pun. Bahkan gerakan-gerakannya seperti mengejek.
Ctar! Ctar!
Si Cambuk Sakti
mengebut-ngebutkan cambukya beberapa kali mengarah ke bagian-bagian tubuh
Rangga yang mematikan. Namun dengan gerakan yang manis sekali, Pendekar
Rajawali Sakti itu mampu berkelit. Bahkan tak satu pun serangan si Cambuk Sakti
yang menemui sasaran. Tentu saja hal ini membuat perempuan tua berjubah hitam
itu semakin berang, karena merasa dipermainkan pemuda berbaju rompi putih itu.
"Phuih! Tahan seranganku
kali lni, bocah sombong!" dengus si Cambuk Sakti geram.
Cepat sekali perempuan tua itu
merubah jurusnya. Dan kali ini Rangga tidak bisa lagi menggunakan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'. Serangan-serangan yang dilancarkan Cambuk Sakti kali
ini sungguh dahsyat dan sulit diterka arahnya.
"Uts!" Rangga merunduk
ketika ujung cambuk berbentuk buntut kuda itu menyambar kepalanya. Namun belum
juga bisa menegakkan kepalanya lagi, mendadak si Cambuk Sakti melayangkan satu
tendangan menyimpang mengarah ke perut. Cepat dan tidak terduga sama sekali,
sehingga Rangga tidak sempat menghindarinya.
Buk!
"Heghk..!" Pendekar
Rajawali Sakti itu terdorong beberapa langkah ke belakang. Dan belum lagi bisa
menguasai keseimbangan tubuhnya, ujung cambuk buntut kuda itu sudah menggelegar
menjilat dada.
"Akh...!." Rangga
memekik keras. Seluruh rongga dada Pendekar Rajawali Sakti itu bagai terbakar,
dan mendadak saja napasnya terasa sesak.
Pada saat itu, si Cambuk Sakti
sudah menyerang kembali. Rangga benar-benar tidak diberi kesempatan untuk bisa
mengambil napas barang sejenak. Pendekar Rajawali Sakti yang baru saja pulih
dari cedera akibat bertarung melawan Iblis Selaksa Racun dan membuatnya bagai
hilang ingatan itu, jadi bulan-bulanan si Cambuk Sakti, Rangga benar-benar
tidak berdaya sama sekali. Tubuhnya jadi sasaran empuk setiap pukulan dan
tendangan perempuan tua itu. Bahkan tidak terhitung lagi, berapa cambukan
mendarat di tubuhnya.
"Mampus kau, bocah keparat!
Tidak ada yang boleh menghina cucuku!" bentak si Cambuk Sakti sengit.
"Hih, hiyaaa...!"
Cambuk Sakti mengangkat tubuh Rangga, dan melayangkan pukulan kerasnya ke wajah
pemuda berbaju rompi putih itu. Kemudian disusul sebuah tendangan bertenaga
dalam tinggi, sehingga membuat tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu membumbung
tinggi ke angkasa.
Pada saat yang bersamaan,
tiba-tiba meluncur sebuah bayangan merah ke arah Pendekar ajawali Sakti. Belum
lagi bayangan merah itu berhenti mencapai tubuh Rangga yang masih melayang di
angkasa, dari atas meluruk deras seekor burung raksasa berwarna hitam berkilat.
Cepat sekali burung raksasa itu menyambar tubuh Rangga dan membawanya pergi.
Pada saat tubuh Rangga
dilemparkan ke udara oleh Cambuk Sakti, terlihat sebuah bayangan merah meluncur
ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Belum juga bayangan merah itu berhasil
mencapainya, tiba-tiba dari atas meluruk deras seekor burung raksasa berwarna
hitam. Cepat sekali burung itu menyambar tubuh Rangga dan membawanya pergi.
"Nilam...!" seru si
Cambuk Sakti begitu mengenali bayangan merah yang berkelebat hendak menyambar
tubuh Rangga tadi.
Bayangan merah itu memang
ternyata seorang gadis berwajah cukup cantik. Bajunya merah ketat, sehingga
memetakan tubuhnya yang ramping dan indah. Setiap orang yang melihatnya tidak
akan percaya kalau gadis itu masih berusia lima belas tahun. Memang, tubuhnya
benar-benar sudah berbentuk indah bagai seorang gadis dewasa.
"Nenek kejam! Kenapa ingin
membunuh Kakang Rangga?" rungut Nilam Kencana memberengut.
"Bocah keparat itu sudah
sepantasnya mampus, Nilam!" dengus si Cambuk Sakti.
"Tapi, Kakang Rangga calon
suamiku, Nek," rengek Nilam Kencana manja.
"Lupakan saja, Nilam."
"Tidak!" sentak Nilam
Kencana keras. Gadis itu memandang sosok tubuh ramping yang tergeletak di
tanah. Pada saat yang sama, Cambuk Sakti juga berpaling menatap Pandan Wangi.
"Siapa dia, Nek?" tanya
Nilam Kencana.
"Pandan Wangi. Dia kekasih
Rangga," jawab si Cambuk Sakti mantap.
"Kekasih Kakang
Rangga...?!"
"Benar..."
"Huh! Tidak ada seorang pun
yang boleh merebut Kakang Rangga dari tanganku!" dengus Nilam Kencana.
Mendadak saja gadis muda berbaju
merah itu melompat sambil berteriak keras. Tangannya terkepal erat mengarah ke
kepala Pandan Wangi. Pada saat itu, Pandan Wangi tidak bisa berbuat lain, dan
hanya mampu membeliak saja dengan sikap pasrah. Tapi belum juga Nilam Kencana
berhasil menyarangkan pukulannya, tiba-tiba...
"Khraghk..!" Wut!
Mendadak seekor burung rajawali
putih raksasa meluncur deras menyambar tubuh Pandan Wangi yang tergolek di
tanah. Sehingga pukulan Nilam Kencana hanya mengenai tanah tempat Pandan Wangi
tadi terbaring tanpa daya.
"Heh...!" si Cambuk
Sakti terkejut bukan main.Terlebih lagi Nilam Kencana. Gadis itu jadi
terlongong mendongak ke atas, menatap burung rajawali putih raksasa yang
membawa Pandan Wangi dalam cakarnya. Kedua perempuan itu terbengong beberapa
saat sampai bayangan burung raksasa itu lenyap dari pandangan.
"Apa arti semua
ini...?" si Cambuk Sakti bertanya-tanya sendiri.
"Nek.., bagaimana ini?"
rengek Nilam Kencana.
Si Cambuk Sakti tidak bisa
menjawab.
"Nenek harus dapatkan Kakang
Rangga untukku. Dia calon suamiku, Nek...," rengek Nilam Kencana.
"Ayo kita pulang saja, Nilam," ajak si Cambuk Sakti.
"Tidak! Aku akan mencari
Kakang Rangga! Dia harus menikah denganku!" sentak Nilam Kencana seraya
melesat berlari cepat.
"Nilam...!"
Tapi Nilam Kencana sudah begitu
jauh, karena mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.
"Dasar anak bengal!"
gerutu si Cambuk Sakti. Tapi perempuan tua berjubah hitam yang memegang senjata
cambuk buntut kuda itu bergegas mengejar cucunya. Larinya begitu cepat karena
mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sangat tinggi. Bahkan hampir mencapai
taraf kesempurnaan. Si Cambuk Sakti memang seorang tokoh rimba persilatan yang
cukup disegani baik kaum golongan putih maupun hitam. Segala tindak dan tingkah
lakunya yang tidak beraturan membuat kesulitan dua golongan dalam rimba
persilatan untuk menentukan golongan mana yang cocok untuknya.
"Nilam, tunggu...!"
seru si Cambuk Sakti keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Aku akan mencari Kakang
Rangga, Nek!" sahut Nilam Kencana juga keras.
"Kita cari sama-sama,
Nilam!"
***
TUJUH
"Ohhh...," Rangga
merintih lirih. Pendekar Rajawali Sakti itu tersentak saat membuka matanya.
Belum juga tubuhnya bisa bangkit berdiri, sebuah tangan yang halus telah
menahan dadanya. Maka pemuda berbaju rompi putih itu putih itu pun kembali terbaring
di atas batu pipih yang beralaskan tikar. Rangga memandangi seraut wajah cantik
yang amat dikenalnya. Wanita itu mengenakan baju hitam yang ketat, dan selembar
cadar hitam melingkar lehernya.
"Intan...," pelan suara
Rangga.
"Lukamu tidak terlalu parah,
Kakang. Tapi berbaringlah dulu agar jalan darahmu kembali normal," lembut
suara perempuan cantik berbaju hitam itu yang ternyata adalah Intan Kemuning.
"Bagaimana kau bisa berada
di sini?" tanya Rangga ingin tahu.
"Hanya kebetulan saja,
Kakang. Kebetulan aku lewat, dan melihatmu bertarung melawan seseorang.
Tampaknya kepandaian lawanmu cukup tinggi juga, sehingga kau terdesak
sekali," tutur Intan Kemuning.
Rangga menarik napas panjang,
mencoba melonggarkan rongga dadanya. Pelahan dia beranjak duduk. Intan Kemuning
hendak mencegah, namun Pendekar Rajawali Sakti itu menolak halus. Rangga duduk
bersila, dan kedua telapak tangannya berada di lutut. Pendekar Rajawali Sakti
itu memandangi Intan Kemuning dalam-dalam. Entah sudah berapa lama mereka tidak
berjumpa lagi sejak peristiwa di Lembah Neraka. (Baca Serial Pendekar Rajawali
Sakti. Dalam kisah Sabuk Penawar Racun)
Rangga kemudian mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Dan baru disadari kalau tempat ini merupakan sebuah
goa yang tidak begitu besar. Cahaya matahari masih bisa menerobos masuk
menerangi bagian dalam goa ini.
"Di mana ini, Intan?"
tanya Rangga.
"Goa Kera," sahut Intan
Kemuning yang juga bernama Putri Rajawali Hitam.
"Goa Kera...?!" Rangga
terperanjat.
"Ada apa, Kakang?
Kelihatannya kau terkejut sekali mendengarnya," Intan Kemuning memandangi
wajah Pendekar Rajawali Sakti itu dalam-dalam.
"Intan, apakah kau...."
"Jangan khawatir, Kakang.
Pedangmu aman bersamaku," selak Intan Kemuning memotong kata-kata Rangga.
"Di mana kau simpan
pedangku, Intan?"
"Itu." Intan Kemuning
menunjuk ke satu arah. Rangga langsung melayangkan pandangannya ke arah yang
ditunjuk gadis itu, dan menjadi terpana. Memang Pedang Pusaka Rajawali Sakti
masih utuh tergantung di dinding bersama warangkanya. Sungguh pedang itu tidak
dilihatnya tadi, karena letaknya memang cukup tersembunyi, terhalang dua buah
batu yang menjorok keluar dari dinding goa ini.
"Kebetulan pedangmu
kutemukan di sini. Aku tidak sengaja. Waktu itu aku mencari tempat untuk
berteduh karena hujan lebat. Ketika kulihat goa ini maka segera kumasukinya.
Terus terang, Kakang. Aku terkejut sekali melihat pedangmu ada di sini, tapi
kau sendiri tidak ada. Aku jadi penasaran dan menunggumu sampai tiga hari, tapi
kau tidak muncul juga," Intan Kemuning menjelaskan bagaimana dia bisa
menemukan Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
"Jadi kau bukannya tidak
sengaja menolongkukan?" tebak Rangga langsung.
"Terus terang, iya. Aku
memang sengaja mencarimu, Kakang. Aku hanya ingin tahu, mengapa kau tinggalkan
senjata pusaka itu di tempat ini?"
"Aku tidak meninggalkannya
di sini, Intan," pelan suara Rangga.
"Apa yang telah terjadi,
Kakang? Mengapa sampai terpisah dengan senjata pusakamu?" tanya Intan
Kemuning.
Rangga menarik napas dalam-dalam.
Dan tanpa ragu-ragu lagi diceritakan semua yang terjadi. Mulai dari
pertarungannya dengan Iblis Selaksa Racun, hingga terjerumus ke dalam jurang.
Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi. Bahkan tidak tahu siapa dirinya yang
sebenarnya. Rangga memang tidak tahu kalau saat terjerumus ke dalam jurang,
dirinya ditolong Ki Buyut Kaweyan. Dan laki-laki tua itulah yang menyelamatkan
Pedang Pusaka Rajawali Sakti ini, begitu mengetahui pemiliknya kehilangan
ingatan.
Tindakan Ki Buyut Kaweyan memang
tepat. Jelas terlalu berbahaya bagi Rangga jika masih membawa pedang pusaka
yang sangat dahsyat, sementara dia sendiri tidak tahu siapa dirinya yang
sebenarnya. Rangga menceritakan semua itu sambil berusaha mengingat-ingat semua
kejadian yang dialaminya: Sedangkan Intan Kemuning mendengarkan penuh
perhatian.
"Lalu, siapa yang bertarung
denganmu?" tanya Intan Kemuning.
"Si Cambuk Sakti. Ah...,
sebaiknya kau tidak perlu mengetahui persoalannya, Intan," Rangga tidak
ingin persoalannya dengan si Cambuk Sakti diketahui gadis ini.
Intan Kemuning mengangkat bahunya
saja. Dugaannya, pasti pertarungan itu karena persoalan pribadi antara Rangga
dengan perempuan tua itu. Tapi hatinya masih penasaran, karena Pendekar
Rajawali Sakti bisa diperdaya. Bahkan dibuat babak belur begini rupa.
"Kau seperti mengalah tadi,
Kakang," pancing Intan Kemuning.
"Entahlah, Intan. Waktu itu
tiba-tiba saja aku seperti lupa pada semua jurus-jurusku. Bahkan sama sekali
seperti tidak tahu caranya bertarung," sahut Rangga.
"Mungkin pengaruh racun yang
berada di jalan darahmu masih tersisa, Kakang."
"Mungkin juga," desah
Rangga.
"Tapi sekarang sudah tidak
ada lagi pengaruh racun pada dirimu. Rupanya senjata yang digunakan lawanmu
membuyarkan racun yang mengendap dalam jalan darahmu, Kakang. Aku sendiri tidak
mengerti. Tapi tadi aku sempat mencoba dan berhasil mengeluarkan sisa-sisa
racun itu yang bisa membuatmu tiba-tiba jadi hilang ingatan," Intan
Kemuning mencoba menjelaskan.
"Apa yang kau lakukan,
Intan?" tanya Rangga ingin tahu.
"Aku hanya menyalurkan hawa
panas saja. Itu kulakukan setelah memeriksa bekas cambukan di tubuhmu yang
seperti melepuh bagai terkena besi panas," jelas Intan Kemuning lagi.
"Hm...," Rangga
menggumam tidak jelas.
***
"Khraghk…!"
Rangga mendongakkan kepalanya
saat mendengar suara berkaokan keras dan agak serak. Pendekar Rajawali Sakti
itu tersenyum melihat Rajawali Putih menukik turun menghampirinya. Ringan
sekali burung rajawali raksasa itu mendarat di depan Rangga. Sementara di depan
mulut goa, Intan Kemuning memandangi di samping seekor burung rajawali raksasa
berwarna hitam pekat berkilat.
"Hup!" Rangga melompat
naik ke punggung Rajawali Putih. Dipandanginya Intan Kemuning yang masih juga
berdiri di samping Rajawali Hitam.
"Pergilah, Kakang,"
ucap Intan Kemuning. Rangga menepuk leher Rajawali Putih tiga kali.
"Khraghk!"
Bagaikan kilat, Rajawali Putih
melesat membumbung tinggi ke angkasa. Sebentar saja burung raksasa itu sudah
melayang menembus awan. Setelah berputar tiga kali, burung raksasa itu lalu
meluncur deras menuju arah Utara. Sedangkan di depan mulut Goa Kera, Intan
Kemuning melangkah masuk ke dalam goa. Tinggal Rajawali Hitam yang masih
mendekam di samping mulut goa.
Sementara di angkasa, Rangga
terus meluncur bersama Rajawali Putih. Pandangannya tidak lepas mengamati
setiap jengkal tanah yang dilewatinya. Kali ini Pendekar Rajawali Sakti
benar-benar ingin mencari si Iblis Selaksa Racun. Tidak ada cara lain untuk
menghentikan manusia yang mengandung racun di seluruh tubuhnya itu, selain
melenyapkannya dari muka bumi ini.
"Rajawali, langsung ke
Karang Setra!" seru Rangga.
"Khraghk!"
Rajawali Putih menambah kecepatan
terbangnya menuju Istana Karang Setra. Dari ketinggian seperti ini, bangunan
istana itu sudah terlihat, meskipun jaraknya masih jauh. Dan Rangga
memandanginya disertai perasaan rindu yang mendalam. Semakin lama, semakin
jelas terlihat bangunan megah ya berdiri kokoh dikelilingi tembok benteng yang
tinggi dan kuat.
Pendekar Rajawali Sakti itu
mengerutkan keningnya saat melihat penjagaan disekitar benteng begitu ketat.
Bahkan prajurit panah sudah siaga meluncurkan anak panah. Mereka berbaris di
atas tembok benteng. Demikian pula prajurit berkuda yang sudah berbaris rapi di
alun-alun istana. Belum lagi prajurit jalan kaki dan beberapa kereta kuda.
Suasana di dalam benteng istana itu bagaikan sedang mempersiapkan peperangan.
"Aneh..., ada apa ini?"
Rangga bertanya-tanya dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu
memerintahkan Rajawali Putih untuk mengelilingi sekitar bangunan istana. Setiap
jengkal tanah diperhatikan dengan seksama. Bahkan setiap bangunan yang ada
diteliti dari atas. Rangga benar-benar tidak mengerti, suasana di Karang Setra
bagaikan hendak perang saja!
"Rajawali, aku turun di
belakang istana," pinta Rangga.
"Khraghk!" Rajawali
Putih meluruk deras ke bagian belakang istana itu. Dan belum lagi burung
raksasa itu mencapai tanah, Rangga sudah melompat turun, mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna. Tiga kali Rangga berputar di
udara, kemudian manis sekali didaratkan kakinya di tanah tanpa menimbulkan satu
suara sedikit pun. Sementara Rajawali Putih kembali membumbung tinggi ke
angkasa. Tapi burung raksasa itu tidak jauh-jauh meninggalkan Istana Karang
Setra.
"Hup!" Indah sekali
Rangga melentingkan tubuhnya ke atas, dan hinggap di atas atap bangunan istana.
Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan, Pendekar Rajawali Sakti itu berlari lincah di atas atap bangunan
megah ini.
Wut! Rangga meluruk turun begitu
sampai di atas jendela kamar Danupaksi. Pemuda berbaju rompi putih itu menjulurkan
kepalanya ke dalam melalui jendela kamar yang terbuka. Tak ada siapa-siapa di
dalam kamar ini. Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian melompat mendekati
jendela kamar lainnya lagi. Rangga tahu kalau kamar ini ditempati Cempaka.
Pendekar Rajawali Sakti itu
menahan napas dan merapatkan tubuhnya ke dinding ketika mendengar suara dari
dalam kamar. Jelas itu adalah suara Cempaka dan Danupaksi. Rangga mengedarkan
pandangannya ke sekeliling, kemudian melesat naik ke atas, dan hinggap pada
balok yang melintang di atas jendela. Dari sini bisa terlihat seluruh isi kamar
tanpa diketahui orang yang berada di dalam. Sengaja Rangga tidak ingin
memperlihatkan diri. Dia ingin tahu, apa sebenarnya yang tengah terjadi di
istana ini.
"Aku yakin, Kakang Rangga
pasti tidak akan setuju terhadap rencanamu ini, Danupaksi," terdengar
suara Cempaka.
"Apa yang kulakukan ini demi
keamanan seluruh negeri, Cempaka. Meskipun hanya satu orang, tapi sangat
berbahaya dan sukar ditandingi. Hhh.... Kalau saja Kakang Rangga ada, kita tidak
mungkin kehilangan begitu banyak prajurit dan para jawara istana, " sahut
Danupaksi bernada mengeluh.
"Mungkin ini kenyataan dari
mimpi-mimpi burukku, Danupaksi," pelan suara Cempaka.
"Ya, mungkin juga,"
desah Danupaksi.
"Danupaksi, apakah Karang
Setra akan hancur seperti yang ada dalam mimpiku?" tanya Cempaka seperti
untuk dirinya seradiri. "Aku melihat Istana Karang Setra terbakar, dan
Kakang Rangga terlempar ke dalam api. Sedangkan kita semua terkurung di
dalamnya tanpa bisa melakukan apa-apa lagi. Aku takut, Danupaksi. Aku takut
mimpiku jadi kenyataan," suara Cempaka terdengar agak bergetar.
"Tenanglah, Cempaka. Jangan
panik. Mudah-mudahan saja Kak Pandan bisa menemukan Kakang Rangga secepatnya,
sehingga kita semua tidak perlu mengorbankan begitu banyak prajurit Yaaah....
Terus terang saja, aku merasakan akan sia-sia...," keluh Danupaksi.
"Danupaksi, apa tidak
sebaiknya kita mendahului sebelum dia menjarah ke sini?" usul Cempaka.
"Percuma saja, Cempaka.
Lembah Mayat bukanlah tempat yang mudah dijangkau. Bisa-bisa separuh prajurit
akan tewas sebelum sampai di sana," sahut Danupaksi.
"Tapi, Kakang...."
"Kita tunggu saja di sini.
Kalaupun mimpimu harus iadi kenyataan, kuharap Kakang Rangga tidak ada di sini
dan bisa membalas," potong Danupaksi mendesah.
Tak ada lagi terdengar suara
percakapan. Kini yang terdengar suara-suara langkah keluar dari kamar itu.
Sementara Rangga yang berada di balok melintang di atas jendela, bergegas
meluruk turun. Sebentar tercenung di depan jendela kamar Cempaka, kemudian
dengan cepat dia melesat ke bagian belakang istana. Pendekar Rajawali Sakti itu
mendongak, dan masih melihat Rajawali Putih berputar-putar di atas sana.
"Rajawali, ke sini!"
panggil Rangga seraya melambaikan tangannya. Rajawali Putih meluruk deras. Dan
belum juga burung raksasa itu mencapai tanah, Rangga sudah melenting tinggi,
langsung hinggap di punggung Rajawali Putih.
"Khraghk!" Bagaikan
kilat, Rajawali Putih meluncur deras melambung tinggi ke angkasa membawa Rangga
dipunggungnya. Burung raksasa itu masih berputar berapa kali mengelilingi
bangunan megah di Kerajaan Karang Setra itu.
"Ke Lembah Mayat, Rajawali
Putih!" perintah Rangga.
"Khraghk!"
***
"Hup!" Rangga melompat
turun dari punggung Rajawali Putih sebelum burung raksasa itu mendarat di
tanah. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu memandang sekitarnya. Daerah ini
begitu sunyi tanpa adanya tanda-tanda kehidupan. Lembah Mayat memang suatu
tempat yang tidak pernah didatangi orang. Bahkan kelihatannya sangat angker,
dan banyak dihuni ular berbisa dan binatang berbahaya lainnya.
Pelahan-lahan Rangga mengayunkan
kakinya ke tengah-tengah lambah ini. Begitu sunyi dan sangat mencekam sekali.
Bahkan angin pun seakan-akan enggan berhembus. Namun demikian, Rangga masih
merasakan hidungnya mencium bau yang tidak sedap. Seperti bau bangkai buruk
yang dapat membuat perut jadi mual, bercampur bau amis memuakkan. Hanya saja
Pendekar Rajawali Sakti tidak menghiraukan semua itu.
"Heh...!" mendadak
pemuda berbaju rompi putih itu tersentak kaget. Tiba-tiba saja terdengar suara
seperti orang bertarung. Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya
berkeliling sekali lagi. Segera ditajamkan telinganya, mempergunakan ilmu
'Pembeda Gerak dan Suara'. Suara pertempuran itu datang dari balik sebuah
gundukan tanah yang menyerupai bukit kecil di dalam lembah ini.
Gundukan tanah memanjang mirip
sebuah kuburan raksasa. Di atasnya terdapat dua buah batu menyembul pada bagian
ujungnya. Itulah sebabnya mengapa lembah ini disebut Lembah Mayat. Apalagi
ditambah aroma busuk yang selalu menyebar, sehingga menambah keangkerannya.
"Hup!" Hanya sekali
lesatan saja, Rangga sudah berada di puncak gundukan tanah bagai kuburan
raksasa itu. Matanya seketika terbeliak begitu melihat dua orang tengah
bertarung sengit. Rangga mengenali kedua orang itu, dan langsung menahan napas.
Ternyata orang berbaju hitam ketat seperti kewalahan karena tidak bisa
menjangkau orang yang mengenakan baju merah ketat. Padahal, orang berbaju merah
itu tidak menggunakan senjata apa pun juga.
"Intan, mundur... !"
seru Rangga seraya melentingkan tubuhnya, meluruk mendekati tempat itu.
"Kakang...! Hup!" Gadis
berbaju hitam ketat yang ternyata memang Intan Kemuning, bergegas melompat
mundur mendekati Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berdiri tegak, dan
tanpa berkedip menatap tajam seorang laki-laki yang kelihatan masih muda.
Seluruh wajahnya penuh bisul. Bahkan hampir seluruh kulit tubuhnya mengeluarkan
cairan kuning kental yang menyebar bau tidak sedap. Rambutnya yang panjang,
dibiarkan meriap hampir menutupi wajahnya.
"He he he.... Akhirnya kau
muncul juga, Pendekar Rajawali Sakti," laki-laki berwajah buruk penuh
bisul itu terkekeh memperlihatkan baris-baris giginya yang hitam.
"Aku memang sengaja
mencarimu, Iblis Selaksa Racun!" dingin nada suara Rangga.
"He he he..., bagus. Hari
ini kita tentukan, siapa yang akan merajai rimba persilatan. Kau atau aku,
Pendekar Rajawali Sakti!"
"Menyingkirlah kau,
Intan," perintah Rangga tanpa berpaling sedikit pun.
"Hati-hati, Kakang,"
bisik Intan Kemuning.
Rangga tidak menyahuti. Bukannya
meremehkan peringatan gadis itu, tapi dia memang sudah tahu kalau Iblis Selaksa
Racun sukar ditaklukkan. Ilmu olah kanuragan yang dimiliki laki-laki buruk
penuh bisul itu memang tidak tinggi. Bahkan bisa dikatakan sangat rendah. Namun
ilmu meringankan tubuhnya sungguh sempurna sekali. Tapi yang terpenting adalah,
Iblis Selaksa Racun memiliki suatu ilmu yang bisa membentengi dirinya sehingga
sukar ditembus dan tidak terlihat oleh pandangan mata. Meskipun Rangga
mempergunakan aji 'Tatar Netra' ataupun aji 'Mata Dewa', tetap saja tidak bisa
melihat tabir yang menyelimuti tubuh Iblis Selaksa Racun.
Pelahan-lahan Rangga menggeser
kakinya ke samping menjauhi Intan Kemuning. Tatapan matanya begitu tajam
menusuk. Seakan-akan sedang mengukur kesiapan dan tingkat kepandaian yang
dimiliki lawan, meskipun sudah tahu kalau lawannya hanya memiliki kepandaian
rendah. Tapi Rangga harus hati-hati, dan tidak ingin membuat kesalahan untuk
kedua kalinya.
"Bersiaplah, Iblis Selaksa
Racun! Hiyaaat...!" seru Rangga keras.
"Hait!" Iblis Selaksa
Racun menggeser kakinya sedikit ke samping ketika Rangga melompat cepat
menerjangnya. Dengan gerakan lambat, laki-laki berbaju merah itu menghentakkan
tangannya ke depan. Dan...
"Uh!" Buru-buru Rangga
melentingkan tubuhnya ke atas ketika dirasakan adanya hawa dingin meluncur ke
arahnya. Begitu jelas terasa kalau hawa dingin itu meluncur melewati bawah
telapak kakinya. Dan Rangga tahu kalau hawa dingin itu mengandung racun yang
sangat berbahaya dan mematikan. Dua kali Rangga berputaran di udara, dan manis
sekali mendarat di samping kanan Iblis Selaksa Racun. Secepat kilat Pendekar
Rajawali Sakti itu melayangkan kakinya, menendang iga lawan.
Dug! "Ikh... !" Rangga
terperanjat bukan main. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti itu melompat mundur.
Sungguh tidak diduga sama sekali! Begitu kakinya menghantam iga Iblis Selaksa
Racun, dirasakan seperti menendang segumpal karet sehingga tendangannya
berbalik arah. Hampir saja Rangga terkena arus tenaga dalamnya sendiri kalau
saja tidak cepat-cepat membuangnya ke arah lain.
"He he he...," Iblis
Selaksa Racun terkekeh.
***
DELAPAN
Sementara itu, tidak jauh dari
Lembah Mayat, tampak serombongan prajurit yang dipimpin Danupaksi dan Cempaka
bergerak menuju lembah yang mengandung hawa busuk itu. Mereka bergerak
hati-hati dan penuh kewaspadaan. Terlebih lagi setelah memasuki daerah yang
belum pernah dipijak manusia sebelumnya, dan terkenal akan ular berbisanya.
Tapi tiba-tiba saja mereka
dikejutkan sebuah bayangan biru yang berkelebat menghadang. Tahu-tahu di depan
mereka sudah berdiri seorang gadis cantik mengenakan baju biru ketat dengan
sebuah kipas terbuka di depan dada. Danupaksi dan Cempaka kenal, siapa gadis
itu.
"Kak Pandan...!" seru
Cempaka seraya bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Danupaksi juga
bergegas turun dari kudanya. Diperintahkan para prajuritnya untuk tetap
berwaspada. Mereka menghampiri Pandan Wangi yang sudah melipat kembali kipas
baja putihnya, dan menyelipkan di pinggang.
"Kalian mau ke mana?"
tanya Pandan Wangi.
"Ke Lembah Mayat,"
sahut Danupaksi.
"Kak Pandan sendiri, kenapa
berada di sini?"
"Aku memang sengaja mencegat
kalian di sini," sahut Pandan Wangi.
"Mencegat kami...?!"
Cempaka tidak mengerti.
"Sebaiknya kalian
perintahkan para prajurit kembali ke istana. Keamanan istana lebih penting
daripada mengejar satu orang yang kini sudah ditangani," kata Pandan
Wangi.
"Kak Pandan tahu tentang
Iblis Selaksa Racun?" tanya Danupaksi.
"Aku sudah tahu sebelum
kalian tahu. Kembalilah ke istana dan tunggu kami di sana," sahut Pandan
Wangi.
Danupaksi dan Cempaka saling
berpandangan. "Kak Pandan sudah bertemu Kakang Rangga?" tanya
Cempaka.
"Sudah," sahut Pandan
Wangi tersenyum.
"Oh, di mana sekarang?"
tanya Cempaka lagi. Hatinya memang sudah demikian rindu ingin segera bertemu
kakak tirinya itu.
"Ada," sahut Pandan
Wangi. "Sekarang Kakang Rangga sedang bertarung melawan Iblis Selaksa
Racun di Lembah Mayat."
"Apa...?!" Danupaksi
dan Cempaka benar-benar terkejut mendengarnya.
Sungguh tidak disangka kalau
Rangga kini sedang bertarung melawan orang yang seluruh tubuhnya mengandung
racun dahsyat dan sangat mematikan itu. Terlihat jelas pada raut wajah mereka,
kecemasan yang amat sangat.
"Kita harus membantunya, Kak
Pandan," kata Cempaka.
"Tidak ada yang bisa kita
lakukan, Cempaka. Kakang Rangga sudah dibantu Putri Rajawali Hitam. Aku yakin
mereka berdua mampu menghadapi manusia beracun itu," tegas Pandan Wangi
mantap.
"Putri Rajawali Hitam...?
Siapa dia?" tanya Danupaksi (Bagi para pembaca yang mau tahu lebih jauh
tentang Putri Rajawali Hitam, silakan baca Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam
episode Sepasang Rajawali)
"Aku sendiri belum begitu
tahu persis. Tapi ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Bahkan tampaknya sudah
mengenal dekat dengan Kakang Rangga. Demikian juga sebaliknya, Kakang Rangga
seperti sudah lama mengenal Putri Rajawati Hitam," Pandan Wangi mencoba
coba menjelaskan.
Cempaka memandangi Pandan Wangi
dalam-dalam. Sesama wanita, bisa dirasakan adanya sesuatu di dalam nada suara
Pandan Wangi. Dan Cempaka tahu perasaan apa itu.
Sedangkan Pandan Wangi
membalikkan tubuhnya seraya menarik napas panjang. Entah kenapa, mendadak saja
dirasakan dadanya menjadi sesak. Terbayang kembali peristiwa yang hampir
merenggut nyawanya. Dirinya dibuat tidak berdaya oleh si Cambuk Sakti, dan
hampir saja mati. Juga, masih terlihat jelas dalam bayangannya, bagaimana
Rangga dibuat seperti barang mainan oleh perempuan tua yang hendak menjodohkan
Pendekar Rajawali Sakti dengan cucunya. Untunglah Rangga disambar oleh seekor
burung rajawali hitam pada saat yang kritis sekali.
Pandan Wangi sendiri tidak
mengerti, mengapa Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak berdaya menghadapi si
Cambuk Sakti. Dan Pandan Wangi sendiri juga tertolong nyawanya oleh Rajawali
Putih. Gadis itu hampir tidak percaya kalau telah dibawa ke belakang Goa Kera,
dan dirawat oleh seorang gadis cantik berbaju hitam yang mengaku bernama Putri
Rajawali Hitam. Di goa itu juga dilihatnya, bagaimana Putri Rajawali Hitam
merawat luka-luka yang diderita Rangga. Dan dia juga melihat, kalau Putri
Rajawali Hitam begitu akrab dan... ah! Pandan Wangi mendesah panjang, tidak
ingin mengingat lagi peristiwa itu.
"Kak Pandan...,"
Cempaka menepuk pundak Pandan Wangi.
"Oh!" Pandan Wangi
tersentak bangun dari lamunannya.
"Kenapa Kak Pandan
menangis?" tanya Cempaka agak kaget juga melihat ada titik air mata
menggulir di pipi yang halus itu.
"Oh! Eh..., tidak... "
Buru-buru Pandan Wangi menyeka air mata yang tidak terasa menggulir di pipinya.
Beberapa kali ditariknya napas panjang, mencoba melonggarkan rongga dadanya
yang mendadak terasa sesak.
"Kak...," lembut suara
Cempaka.
"Pergilah kalian. Tinggalkan
tempat ini," kata Pandan Wangi.
"Tapi, kenapa Kakak
menangis?" tanya Cempaka.
"Tidak apa-apa, Cempaka. Aku
hanya mengkhawatirkan Kakang Rangga," sahut Pandan Wangi berusaha
tersenyum.
"Apakah keadaan Kakang
Rangga begitu gawat, Kak?" tanya Cempaka.
Pandan Wangi tidak menjawab.
Diayunkan kakinya menuju ke Lembah Mayat yang sudah terlihat di depan.
Sementara Cempaka dan Danupaksi saling berpandangan sesaat.
"Sebaiknya kau bawa saja
para prajurit ke istana, Danupaksi," usul Cempaka.
"Kau sendiri?"
"Aku akan bersama Kak
Pandan."
Danupaksi segera memerintahkan
para prajuritnya untuk kembali ke istana, tapi dia memutuskan untuk tetap
tinggal bersama Cempaka. Tak ada para prajurit yang membantah, dan sebenarnya
mereka juga enggan datang ke tempat angker itu. Bergegas mereka memutar arah
kembali ke istana. Danupaksi menghampiri adik tirinya yang sudah melangkah
mengikuti Pandan Wangi.
"Apa pun yang terjadi, kita
harus selalu bersama-sama, Cempaka," tegas Danupaksi setelah bisa
mensejajarkan langkahnya di samping gadis itu.
Cempaka hanya tersenyum tipis
saja. Mereka kemudian mempercepat langkahnya menyusul Pandan Wangi yang sudah
berjalan cukup jauh menuju Lembah Mayat. Mereka bertiga berjalan berdampingan
tanpa berkata-kata lagi. Sesekali Cempaka memperhatikan wajah, yang kelihatan
tegang dan penuh berbagai macam perasaan, namun rasanya tidak ingin banyak
tanya. Cempaka bisa merasakan kalau Pandan Wangi menyimpan api cemburu.
***
Sementara itu pertarungan antara
Rangga melawan Iblis Selaksa Racun masih terus berlangsung sengit. Namun
terlihat jelas kalau pertarungan itu berjalan kurang menarik, karena Rangga
masih juga belum mampu memperpendek jarak dengan lawannya. Beberapa kali
Pendekar Rajawali Sakti itu terpental setiap kali mencoba menembus tirai halus
yang melindungi Iblis Selaksa Racun.
Sedangkan tidak berapa jauh dari
tempat pertarungan itu, terlihat Intan Kemuning memperhatikan disertai hati
yang penuh kecemasan. Kakinya melangkah mundur, karena daerah sekitar
pertarungan mulai terasa dingin. Dan dia tahu kalau daerah itu sudah dipenuhi
hawa beracun yang dapat membuat orang mati seketika jika menghirupnya. Intan
Kemuning berpaling ketika mendengar suara langkah kaki dari arah belakang.
Bergegas Putri Rajawali Hitam itu melompat menghampiri dan mencegah Pandan
Wangi, Cempaka, dan Danupaksi lebih mendekat.
"Tetap di sini, Pandan
Wangi," kata Intan Kemuning.
"Kenapa?" tanya Pandan
Wangi yang tidak ingin diatur oleh seorang gadis yang mungkin sebaya dengannya.
"Udara beracun semakin
menyebar. Terlalu berbahaya bagi...," Intan Kemuning memutus kalimatnya.
Dipandanginya Cempaka dan Danupaksi.
"Mereka adik-adik
Rangga," jelas Pandan Wangi memperkenalkan.
"Oh! Aku sahabat Kakang
Rangga. Kalian boleh memanggilku Intan," Intan Kemuning memperkenalkan
diri.
Cempaka dan Danupaksi juga
memperkenalkan diri. Tampak sekali kalau Danupaksi merayapi terus wajah cantik
Putri Rajawali Hitam ini. Dan Intan Kemuning mengetahui hal itu. Buru-buru
dialihkan pandangannya pada Pandan Wangi.
"Bagaimana keadaanmu?"
tanya Intan Kemuning.
"Baik. Terima kasih atas
pertolonganmu," sahut Pandan Wangi tanpa tersenyum sedikit pun.
Intan Kemuning mengajak Pandan
Wangi menjauh dari Cempaka dan Danupaksi. Sebentar Pandan Wangi memandang kedua
adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian mengikuti Intan Kemuning.
"Kenapa kau bawa mereka ke
sini? Terlalu berbahaya, Pandan," tegur Intan Kemuning.
"Aku tidak bisa mencegah,
Intan. Mereka juga punya hak untuk mempertahankan Karang Setra. Kau kan tahu,
kalau Iblis Selaksa Racun ingin menghancurkan Karang Setra hanya karena merasa
terusik oleh Kakang Rangga," jawab Pandan Wangi agak ketus.
Intan Kemuning mengangkat
bahunya. Memang tidak mungkin Pandan Wangi mencegah kedatangan mereka ke tempat
ini, meskipun daerah ini sangat berbahaya. Terlebih lagi akibat pertarungan itu
hawa beracun memenuhi daerah ini, dan semakin menyebar luas.
***
"Hiyaaa... !" Tiba-tiba
saja Rangga berteriak keras menggelegar. Seketika itu juga tubuhnya melenting
tinggi ke atas, lalu bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti itu menukik deras
sambil mencabut pedang pusakanya. Saat itu juga cahaya biru berkilau
menyemburat menerangi daerah Lembah Mayat ini.
Wut! Wut! Dua kali pedang Rangga
dikebutkan kuat-kuat, lalu dengan cepat ditusukkan ujungnya tepat mengarah ke
ubun-ubun kepala Iblis Selaksa Racun.
"Hup! Hiyaaa...!" Cepat
sekali Iblis Selaksa Racun menjatuhkan dirinya dan bergulingan di tanah,
menghindari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti yang mengancam ubun-ubun
kepalanya. Namun belum juga sempat bangkit berdiri, Rangga sudah menerjang
kembali sambil mengebutkan pedangnya beberapa kali. Dengan mempergunakan jurus
'Pedang Pemecah Sukma'. Pendekar Rajawali Sakti mencoba membuka pertahanan
Iblis Selaksa Racun yang begitu kokoh.
"Keparat...!" geram
Iblis Selaksa Racun sambil berlompatan, menghindari tebasan-tebasan pedang
Rangga yang begitu cepat.
"Awas kaki...!" seru
Rangga tiba-tiba.
Wut! Cepat sekali Rangga
mengibaskan pedangnya ke arah kaki. Iblis Selaksa Racun terperanjat. Ternyata
pedang itu mampu menembus tabir yang membentengi tubuhnya. Buru-buru dia
melompat ke atas, menghindari tebasan pedang yang memancarkan cahaya biru itu.
Tapi pada saat yang bersamaan, Rangga melontarkan satu pukulan keras bertenaga
dalam sempurna dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' sambil melesat ke atas
mengikuti lesatan Iblis Selaksa Racun.
Des! "Akh...!" Iblis
Selaksa Racun memekik keras tertahan. Hantaman jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' tingkat terakhir itu mendarat telak di dada Iblis Selaksa Racun.
Jurus yang sangat dahsyat dan mengandung hawa panas luar biasa itu membuat
tubuh Iblis Selaksa Racun terpental beberapa tombak ke belakang.
Beberapa kali Iblis Selaksa Racun
bergulingan di tanah. Pada saat itu, pedang Rangga sudah melintang di depan
dada, sedangkan kedua kakinya berpijak merentang agak tertekuk di tanah.
Digosoknya mata pedang dengan telapak tangan kirinya. Sesaat kemudian, cahaya
biru menggumpal di ujung pedang membentuk bulatan seperti bola sebesar kepala
manusia dewasa. "Aji 'Cakra Buana Sukma'!
Hiyaaaa...!"
Tepat pada saat Iblis Selaksa
Racun baru berdiri, Rangga menghentakkan bola biru terang. Bagaikan kilat,
cahaya biru itu meluncur deras dan langsung menghajar tubuh Iblis Selaksa
Racun. Sebentar saja seluruh tubuh laki-laki berbaju merah itu sudah
terselubung cahaya biru yang memancar dari Pedang Rajawali Sakti.
"Ugh ! Akh... !" Iblis
Selaksa Racun menggeliat-geliat, berusaha membebaskan diri dari selubung cahaya
biru yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Sementara Rangga pelahan-lahan
menggeser kakinya mendekati. Namun tiba-tiba saja...
Blarrr...!
"Akh...!" Rangga
memekik keras tertahan. Mendadak saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu
terpental ke belakang.
Sedangkan Iblis Selaksa Racun
telah terbebas dari selubung cahaya biru. Tapi laki-laki berbaju merah yang
seluruh wajah dan tubuhnya penuh bisul itu jatuh berlutut di tanah. Rupanya
seluruh kekuatannya telah dikeluarkan untuk melawan aji 'Cakra Buana Sukma'.
Sementara Rangga bergulingan
beberapa kali di tanah. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melompat
bangkit berdiri, dan langsung melesat cepat ke arah Iblis Selaksa Racun. Pada
saat yang bersamaan, Iblis Selaksa Racun juga sudah bisa bangkit berdiri.
Segera dihentakkan tangannya ke depan.
"Hiyaaa...!"
"Hait!" Rangga
mengebutkan pedangnya beberapa kali sambil tubuhnya berputaran di udara. Dan
dia terus meluruk deras mengarah pada Iblis Selaksa Racun.
"Mampus kau!
Hiyaaa...!" teriak Rangga keras menggelegar.
Wut! Cras...! "Aaa...!"
Iblis Selaksa Racun tidak bisa lagi menghindari tebasan pedang yang bersinar
biru itu. Hanya sebentar laki-laki penuh bisul itu mampu menjerit melengking
tinggi, kemudian berdiri tegak tak bergeming.
"Hih!" Rangga menendang
dada laki-laki berbaju merah itu. Seketika Iblis Selaksa Racun terguling
ambruk, dan kepalanya menggelinding terpisah! Darah langsung muncrat keluar
dari leher yang terpenggal buntung. Rangga menarik napas panjang dan memasukkan
kembali Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di balik punggung. Dia
berbalik begitu mendengar suara-suara langkah kaki menghampiri.
"Jangan dekat!" seru
Rangga keras begitu melihat Cempaka dan Danupaksi mendekati. Kedua adik tiri
Pendekar Rajawali Sakti itu berhenti melangkah seketika. Pandan Wangi bergegas
menghampiri Cempaka dan Danupaksi, lalu membawa mereka menjauh. Tentu saja
kedua adik tiri Rangga itu jadi kebingungan, tapi akhirnya mundur juga menjauh.
"Pandan, bawa mereka
pulang," tegas Rangga.
"Kakang...!" agak
tersendat suara Cempaka.
"Jangan membantah,
Cempaka!" bentak Rangga.
Rangga mengambil sulur pohon yang
kuat dan cukup besar, kemudian bersiul keras melengking tinggi. Tak berapa lama
kemudian dari angkasa meluruk seekor burung rajawali putih raksasa. Dengan
mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Rajawali Sakti itu melemparkan sulur kayu
itu, dan cakar Rajawali Putih pun langsung menangkapnya.
"Cepat, Rajawali!" seru
Rangga keras.
"Khraghk...!" Cepat
sekali burung rajawali raksasa itu melesat ke angkasa membawa Rangga yang
tergantung berpegangan pada sulur kayu. Sekejap saja bayangan mereka sudah
lenyap ditelan kabut yang mulai turun menutupi sekitar Lembah Mayat ini.
Sementara yang ditinggalkan hanya
memandangi saja. Terutama Cempaka dan Danupaksi yang tidak mengerti, mengapa
Rangga begitu tergesa-gesa meninggalkan mereka. Bahkan tidak ingin didekati.
"Ayo pulang, Cempaka,
Danupaksi," ajak Pandan Wangi. Pandan Wangi sempat melirik pada Intan
Kemuning yang hanya berdiri saja. Intan Kemuning tersenyum, kemudian berbalik
dan cepat sekali melesat pergi. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
Putri Rajawali Hitam itu, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari
pandangan mata.
"Kak Pandan, ada apa dengan
Kakang Rangga?" tanya Cempaka tidak bisa menyimpan rasa penasarannya.
"Kakang Rangga hendak
membuang racun yang berada di tubuhnya," jelas Pandan Wangi.
"Apakah Kakang Rangga tidak
apa-apa?" tanya Danupaksi yang juga tidak bisa menyembunyikan
kecemasannya.
"Tidak..."
"Sungguh?" Pandan Wangi
hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis.
Padahal dia sendiri sebenarnya
juga mengkhawatirkan keadaan Rangga yang tentu saja kini tengah berjuang
melawan racun yang disebarkan Iblis Selaksa Racun. Meskipun Pendekar Rajawali
Sakti itu memiliki kekebalan terhadap segala jenis racun, tapi bisa jadi
berbahaya. Sebab, racun yang berada di tubuhnya bisa menyebar dan membahayakan
orang lain.
Kalau toh Pendekar Rajawali Sakti
tadi bisa bertarung melawan Iblis Selaksa Racun, tanpa terbius, itu karena
Rangga selalu memperhatikan keseimbangan pengerahan hawa murninya. Dulu, waktu
bertarung pertama kali melawan laki-laki beracun itu, Rangga sama sekali tidak
memperhatikan.
Baru setelah Rajawali Putih
mengajarkan, Pendekar Rajawali Sakti itu menyadarinya. Dan kini Rangga perlu
waktu untuk menghilangkan racun itu. Tak ada yang tahu, di mana Pendekar
Rajawali Sakti itu menyembuhkan dirinya. Hanya dirinya dan Rajawali Putih yang
tahu.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
JARI MALAIKAT
Serial Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
MANUSIA BERACUN
SATU
SEEKOR kuda hitam muncul dari
gumpalan kabut tebal. Sementara itu, dari angkasa menukik deras seekor burung
rajawali berbulu putih keperakan. Burung raksasa itu berputar-putar di atas
kepala seorang pemuda berwajah tampan yang rambutnya agak panjang tergelung ke
atas. Pakaian yang dikenakannya adalah rompi putih. Dia menunggang kuda hitam
yang berpacu cepat menembus kabut tebal.
Pada saat yang sama, tiba-tiba
berkelebat sebuah bayangan merah dan langsung menyambar pemuda di punggung kuda
hitam itu. Sambaran yang begitu cepat, sehingga pemuda itu tidak sempat lagi
menghindar. Satu jeritan keras melengking terdengar menyayat mengiringi tubuh
pemuda itu yang terlontar ke angkasa.
Seketika rajawali putih berusaha
mengejarnya. Namun belum sempat mencapai pemuda itu, mendadak dari angkasa
meluncur seekor rajawali lain berwarna hitam pekat. Burung rajawali hitam itu
mencelat bagaikan kilat menyambar tubuh pemuda itu.
"Rangga...!"
"Pandan…, Pandan,
bangun…!"
"Oh!"
Malam begitu pekat. Langit tampak
menghitam kelam tertutup awan tebal. Malam ini angin seperti enggan berhembus.
Sedikit pun tak ada gerakan pada dedaunan di belakang bangunan besar dan indah.
Di tengah-tengah sebuah taman, nampak duduk seorang wanita muda cantik
mengenakan baju biru ketat. Bentuk tubuhnya yang ramping dan indah membayang di
balik baju birunya.
Gadis itu tidak beranjak dari
tempat duduk sejak sang surya tenggelam tadi. Pandangannya lurus kosong ke
depan. Sama sekali tidak disadari kalau ada seseorang menghampiri. Seorang
gadis yang mengenakan baju hijau muda tengah melangkah pelahan-lahan.
"Pandan..."
"Oh!" wanita berbaju
biru itu terkejut saat merasakan tepukan halus di pundaknya.
Wajahnya berpaling dan tersenyum
melihat ada gadis lain di belakangnya. Digeser duduknya sedikit untuk memberi
tempat.
"Sudah larut. Kau belum
tidur juga?" lembut sekali suara wanita berbaju hijau muda itu seraya
duduk di samping wanita berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi.
"Dik Cempaka. Kau sendiri
sedang apa di sini?" Pandan Wangi malah balik bertanya.
"Memperhatikanmu, Kak,"
jawab Cempaka seenaknya.
Pandan Wangi tersenyum getir
sambil menepuk-nepuk punggung tangan gadis itu. Sedangkan Cempaka memandangi
raut wajah Pandan Wangi yang kelihatan gundah. Meskipun bibirnya menyunggingkan
senyum, tapi terasa kalau amat dipaksakan.
"Sudah seminggu ini Kak
Pandan kelihatan gundah dan suka menyendiri. Bahkan setiap malam
berteriak-teriak, tapi tidak pernah menceritakan kenapa?" terdengar serius
kata-kata Cempaka.
Pandan Wangi tidak menjawab, tapi
hanya tersenyum saja. Pelahan gadis berbaju biru muda itu bangkit berdiri
seraya menghembuskan napas panjang. Pelan sekali kakinya terayun mendekati
sebuah kolam yang dihiasi batu-batu karang tersusun, membentuk sebuah bukit
kecil.
Gadis itu memetik selembar daun
dan melemparkannya ke dalam kolam. Tampak air kolam yang menghitam itu
bergolak. Ternyata beberapa ekor ikan bermunculan berebut daun yang dilemparkan
Pandan Wangi. Sementara Cempaka masih tetap duduk di kursi taman yang terbuat
dari rotan. Dia hanya memperhatikan saja tanpa berkedip. Sinar matanya
memancarkan sesuatu yang sukar diketahui artinya.
"Kak Pandan rindu pada
Kakang Rangga...?" tebak Cempaka ragu-ragu.
Pandan Wangi tersentak kaget.
Dibalikkan tubuhnya dan ditatapnya Cempaka dalam-dalam. Tapi itu hanya sesaat
saja, kemudian kembali dipalingkan mukanya, memandang ke arah lain. Sebenarnya
Pandan Wangi tidak ingin Cempaka mengetahui perubahan wajahnya yang tiba-tiba.
Tapi rupanya Cempaka sudah mengetahui keterkejutan Pandan Wangi saat nama
Rangga disebut. Wajah gadis itu juga berubah memerah dengan bola mata berputar.
"Memang telah lama Kakang
Rangga belum kembali. Yaaah... sejak kau hidup lagi," ujar Cempaka agak
mendesah suaranya.
Pandan Wangi hanya diam saja.
Memang sudah cukup lama dia tidak lagi melihat Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan
lagi sudah lama juga dirinya tinggal di Istana Karang Setra ini sejak hidup
kembali dari kematian semu (Untuk lebih jelas, baca Serial Pendekar Rajawali
Sakti. Dalam kisah Bangkitnya Pandan Wangi).
Dan Pandan sendiri tidak
membantah kalau hatinya memang merindukan kehadiran Rangga di sisinya. Tapi
yang membuat Pendan Wangi gundah dalam satu pekan ini, bukan karena hanya
merindukan Pendekar Rajawali Sakti saja. Ada sesuatu yang mengganggu benak dan
hatinya, dan hanya dia sendiri yang tahu.
"Kalau saja aku tahu, di
mana Kakang Rangga sekarang berada..." gumam Cempaka setengah mendesah,
seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Cempaka, rasanya sudah
cukup lama aku berada di sini..." ujar Pandan Wangi seraya melangkah
menghampiri gadis berbaju hijau muda itu.
"Tapi jangan katakan kalau
kau akan pergi, Kak Pandan," tebak Cempaka langsung.
Pandan Wangi tersenyum, dan
kembali duduk di samping Cempaka. "Kau tahu siapa aku, bukan? Aku senang
berada di sini, tapi rasanya seperti seekor burung di dalam sangkar emas. Sejak
lahir aku sudah terbiasa hidup di alam terbuka, menjelajah alam dan hidup penuh
kekerasan," Pandan Wangi seperti merindukan kehidupannya yang dulu.
"Tapi, Kak. Kakang Rangga
sudah berpesan agar kau tidak pergi ke mana-mana sampai dia kembali,"
tegas Cempaka.
"Itulah kehidupan seorang
pendekar, Cempaka. Meskipun sudah menjadi raja, tapi tidak akan bisa tinggal
selamanya di dalam istana. Begitu juga diriku. Aku lahir sudah ditakdirkan
untuk menjadi pendekar wanita yang selalu hidup bebas di alam luas. Bukan
takdirku untuk mengurung diri di dalam benteng istana. Kau tentu mengerti,
karena kau juga...."
"Belum, Kak," potong
Cempaka. "Aku tidak sempat mengecap kehidupan sepertimu. Aku keluar dari
padepokan, lalu langsung tinggal di sini. Terus terang, sebenarnya aku juga
ingin sekali mengembara, mencari pengalaman hidup merambah ganasnya rimba
persilatan. Aku merasa apa yang kumiliki belum mendapatkan tantangan yang
berarti."
Pandan Wangi tersenyum, lalu
kembali bangkit berdiri dari duduknya. Pelahan-lahan diayunkan kakinya
melangkah meninggalkan taman belakang Istana Karang Setra ini. Cempaka juga
ikut berdiri dan berjalan mengikuti di belakang gadis itu. Sementara malam
terus merayap semakin larut.
***
Pagi-pagi sekali Pandan Wangi
sudah menyiapkan kudanya di istal yang terletak di samping kanan bangunan
istana. Gadis itu tersenyum melihat Cempaka datang menghampirl bersama
Danupaksi.
"Kau jadi pergi juga, Kak
Pandan?" tanya Danupaksi yang sudah mengetahui rencana Pandan Wangi untuk
kembali mengembara menjelajah rimba persilatan dari Cempaka.
"Rasanya jadi," sahut
Pandan Wangi, kembali menyiapkan kudanya yang sempat terhenti sebentar.
"Aku tidak tahu, apa yang
harus kukatakan. Melarang pun tidak bisa," ujar Danupaksi. Pandan Wangi
kembali menghentikan pekerjaannya memasang pelana kuda. Dipandangi kakak
beradik lain ibu ini, yang juga adik tiri Pendekar Rajawali Sakti. Memang berat
meninggalkan orang-orang yang telah begitu baik padanya. Tapi Pandan sudah
tidak bisa menahan diri lagi.
"Sebenarnya aku ingin juga
ikut bersamamu, Kak. Tapi..." Cempaka tidak melanjutkan ucapannya. Diliriknya
Danupaksi yang berada di sampingnya.
"Bukannya melarangmu, tapi
aku hanya tidak ingin disalahkan. Mengertilah, Cempaka. Tugas kita di sini
masih banyak dan tidak kalah pentingnya," tegas Danupaksi.
Cempaka hanya diam saja.
Sedangkan Pandan Wangi tersenyum melihat wajah adik tiri Pendekar Rajawali
Sakti itu sedikit memberengut. Semalaman gadis itu berbicara dengan Cempaka di
dalam kamar tidur. Mereka saling terbuka dan mengemukakan seluruh isi hati yang
terpendam tanpa ada yang dirahasiakan. Dan Pandan Wangi bisa mengerti keinginan
Cempaka untuk mencari pengalaman di luar benteng istana ini, tapi juga tidak
ingin mengajak Cempaka dalam pengembaraannya kali ini. Karena disadarinya kalau
Cempaka memiliki kewajiban yang sangat berat di Kerajaan Karang Setra ini.
Pandan Wangi kembali meneruskan
pekerjaannya memasang pelana pada kuda putih pemberian Rangga. Begitu selesai
memasang pelana berwana merah dengan hiasan sulaman benang emas, tubuhnya
melompat naik. Sedangkan Cempaka dan Danupaksi masih berdiri di sampingnya.
"Aku berharap, kita bertemu
lagi kelak," ucap Pandan Wangi.
"Selamat jalan, Kak
Pandan," ucap Cempaka.
"Berhati-hatilah, semoga kau
bertemu Kakang Rangga," sambung Danupaksi.
"Ada yang akan kau titipkan,
Adik Danupaksi?" tanya Pandan Wangi.
"Ada. Tapi hanya ini,"
Danupaksi menyerahkan selongsong bambu yang digosok halus. Kedua ujungnya
tertutup rapat. Pandan Wangi menerima dan menyelipkannya di balik lipatan
bajunya.
"Sampaikan itu pada Kakang
Rangga," kata Danupaksi.
"Tidak ada lagi?"
"Tidak," sahut
Danupaksi dan Cempaka hampir bersamaan.
"Kalau begitu, sebaiknya aku
segera pergi."
Pandan Wangi menggebah kuda putih
yang gagah dan berotot itu. Kuda putih itu berlari kencang meninggalkan istal,
langsung menuju depan. Tanpa mengendurkan kecepatan larinya, kuda itu melintasi
halaman depan istana yang sangat luas. Dua orang penjaga bergegas membuka pintu
gerbang, dan Pandan Wangi terus menggebah kuda melewatinya.
Hampir semua orang di Kota
Kerajaan Karang Setra itu mengetahui dan mengenal kalau Pandan Wangi adalah
calon permaisuri. Semua orang yang berada di jalan, membungkukkan badannya saat
melihat gadis itu melintas diatas kuda putih yang tinggi tegap dan sangat
gagah. Namun Pandan Wangi terus saja menggebah cepat, sehingga lari kuda itu
bagaikan terbang saja! Debu berkepul membumbung tinggi ke angkasa tersepak
kaki-kaki kuda putih yang dipacu bagai dikejar setan itu.
Sementara itu, di depan istal,
Danupaksi dan Cempaka masih berdiri di sana. Meskipun Pandan Wangi sudah tidak
terlihat lagi, tapi mereka masih memandang ke arah kepergian gadis itu.
Danupaksi mengayunkan kakinya pelahan-lahan setelah menarik napas panjang.
Cempaka mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping pemuda itu.
"Mudah-mudahan tidak terjadi
apa-apa terhadap Kak Pandan," desah Cempaka seperti bicara pada diri
sendiri.
"Kenapa kau bicara begitu,
Cempaka?" Tanya Danupaksi.
"Aku memang tidak sempat
mengatakannya padamu, tapi rasanya tidak penting," sahut Cempaka.
Danupaksi menghentikan
langkahnya. Ditatapnya Cempaka dalam-dalam. Diyakini kalau gadis ini menyimpan
sesuatu yang berhubungan dengan kepergian Pandan Wangi. Tapi Danupaksi tidak
ingin menduga terlebih dahulu.
"Satu pekan ini Kak Pandan
kelihatan gundah, dan senang menyendiri sambil melamun. Setiap malam aku selalu
membangunkannya, karena dia selalu bermimpi. Bahkan selalu menjerit-jerit dan
menyebut-nyebut nama Kakang Rangga. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi pada
diri Kakang Rangga," Cempaka tak bisa menyembunyikan lagi. Diungkapkan
keresahan hatinya yang selama ini selalu dipendam sendiri.
"Kau pernah menanyakan hal
itu pada Kak Pandan?" tanya Danupaksi jadi ikut gelisah.
"Pernah, bahkan beberapa
kali. Tapi Kak Pandan tak pernah bersedia mengatakan tentang mimpinya,"
sahut Cempaka.
Danupaksi terdiam.
"Aku jadi khawatir,
Danupaksi," tersirat kecemasan di wajah Cempaka.
"Seharusnya kau katakan itu
sebelumnya, Cempaka," desah Danupaksi menyesalkan.
"Maaf," hanya itu yang
bisa diucapkan Cempaka.
"Hhh...! Sekarang Kak Pandan
sudah pergi, dan tak jelas ke mana tujuannya..." desah Danupaksi pelahan.
"Apa tidak sebaiknya kita
menyusul saja, Danupaksi?" usul Cempaka.
Danupaksi kembali terdiam.
Kembali diayun kakinya melangkah perlahan-lahan. Kepalanya tertunduk dalam
dengan kening berkerut, pertanda tengah berpikir keras. Memang selama beberapa
hari ini, ia selalu memergoki Pandan Wangi menyendiri di taman belakang. Bahkan
terkadang mengunci diri dalam kamarnya hampir satu harian.
Selama ini Danupaksi hanya
menganggap kalau Pandan Wangi mungkin rindu hendak bertemu Rangga. Tidak ada
terlintas di benaknya kalau kekasih kakak tirinya itu memiliki ganjalan akibat
mimpi-mimpi yang selalu datang menghantui setiap malam. Memang tidak ada yang
tahu apa yang terjadi dalam mimpi Pandan Wangi.
Tapi Danupaksi sudah bisa menduga
kalau mimpi yang dialami Pandan Wangi merupakan pertanda. Dan pemuda itu tidak
bisa menduga, karena tidak pernah tahu tentang mimpi itu. Sedangkan Cempaka
sendiri juga tidak mengetahuinya. Pandan Wangi selalu mengelak untuk
menceritakan perihal mimpi-mimpinya yang datang hampir setiap malam dalam satu
pekan ini.
***
"Tidaaak...!"
Danupaksi terjaga dari tidurnya
ketika tiba-tiba terdengar jeritan melengking. Pemuda itu melompat bangun dari
pembaringannya. Jeritan itu hanya terdengar sekali, dan sekarang berganti suara
isak tangis. Bergegas Danupaksi keluar dari kamarnya, lalu menuju arah
datangnya suara tangisan itu. Sebentar Danupaksi tercenung ketika tiba di depan
pintu kamar Cempaka. Masih terdengar suara isak tangisan, dan datangnya dari
dalam kamar di depannya. Agak ragu-ragu juga, tapi akhirnya Danupaksi
memberanikan diri mengetuk pintu kamar adik tirinya itu.
"Cempaka..." panggil
Danupaksi sambil mengetuk pintu kamar yang tertutup rapat. Tidak ada sahutan.
Danupaksi mencoba membuka pintu yang tidak terkunci. Segera didorongnya
pelahan-lahan. Keadaan dalam kamar tidak begitu terang, hanya sebuah pelita
kecil yang menyala redup tak sanggup menerangi seluruh kamar yang luas ini.
Tampak di atas pembaringan, sesosok tubuh ramping tergolek gelisah. Memang
suara tangisan itu datang dari sana.
"Cempaka...," Danupaksi
terkejut juga begitu dekat. Ternyata Cempaka menangis di dalam tidurnya.
Danupaksi duduk di tepi pembaringan, lalu tangannya menyentuh pundak gadis itu.
Tapi mendadak saja...
"Tidak! Jangaaan...!"
Cempaka tiba-tiba saja menjerit keras.
Danupaksi terkejut, langsung
mengangkat tangannya. Tapi tanpa diduga sama sekali, Cempaka menyentakkan
tangannya, hingga menghantam perut pemuda itu. "Hughk!" Danupaksi
mengeluh pendek. Pemuda itu sampai terjatuh ke lantai, tapi bergegas berdiri,
tepat saat Cempaka bangun dengan mendadak. Gadis itu nampak tersengal, dan
keringat bercucuran di sekitar wajah dan lehernya. Perlahan Danupaksi
menghampiri lalu duduk di tepi pembaringan lagi.
"Cempaka…" panggil
Danupaksi pelan seraya menyentuh punggung tangan adik tirinya ini.
"Oh ...!" Cempaka tersentak
kaget, langsung menoleh dan menatap Danupaksi. Cempaka tiba-tiba saja memeluk
Danupaksi dan menangis di dada pemuda itu. Tentu saja Danupaksi jadi keheranan,
tapi dibiarkan saja adik tirinya itu menangis. Memang tidak ada yang bisa
dilakukan, selain membiarkan gadis itu menangis di dalam pelukannya.
"Cempaka…" pelan suara
Danupaksi setelah cukup lama Cempaka menangis memeluknya. Pelahan-lahan Cempaka
melepaskan pelukannya. Buru-buru diseka air mata dengan punggung tangannya.
Beberapa kali gadis itu menarik napas dalam-dalam, seakan-akan ingin
melonggarkan rongga dadanya yang terasa sesak. Sedangkan Danupaksi membiarkan
saja, menunggu sabar.
"Ada apa, Cempaka? Kau
bermimpi?" tanya Danupaksi lembut. Cempaka masih belum bisa menjawab.
Hanya anggukan kepalanya saja untuk menjawab pertanyaan pemuda itu. "Masih
terlalu malam, tidurlah lagi," ujar Danupaksi seraya bangkit berdiri.
"Danupaksi..." selak
Cempaka seraya memegang tangan pemuda itu.
Terpaksa Danupaksi duduk lagi di
tepi pembaringan. Sesaat mereka hanya terdiam saling tatap. Danupaksi belum
ingin membuka suara, membiarkan Cempaka lebih tenang dulu.
"Kau percaya arti sebuah
mimpi, Danupaksi?" tanya Cempaka begitu pelan dan lirih suaranya.
Danupaksi tidak segera menjawab,
tapi malah memandangi saja raut wajah gadis itu. Hatinya mulai merasa tidak
tenang karena teringat akan kata-kata Cempaka siang tadi. Kepergian Pandan
Wangi dari istana ini juga diakibatkan sering mendapat mimpi. Dan sekarang
Cempaka juga mendapat mimpi yang membuat gadis itu bagai kerasukan setan.
"Mimpi hanya bunga tidur
Cempaka," Danupaksi mencoba menghibur.
"Tapi..." suara Cempaka
terputus.
"Masih terlalu malam.
Tidurlah kembali," bujuk Danupaksi seraya merebahkan tubuh gadis itu.
Danupaksi hendak meninggalkan kamar ini, tapi Cempaka memegangi tangan pemuda
itu. Terpaksa Danupaksi tetap duduk di tepi pembaringan, sedangkan Cempaka
sudah rebah kembali. Malam memang masih terlalu larut, dan suasana pun begitu
sunyi. Sesekali terdengar detak langkah kaki penjaga yang bertugas malam ini.
"Kau tidur di sini,
Kakang," pinta Cempaka.
"Jangan gila, ah!"
sentak Danupaksi terkejut
"Malam ini saja..."
rengek Cempaka memohon.
"Jangan bersikap seperti
anak kecil, Cempaka. Kita berada dalam lingkungan istana. Tidak baik kalau aku
keluar pagi-pagi dari kamarmu."
"Tapi..."
"Tidurlah. Kalau ada
apa-apa, aku ada di depan..." Danupaksi menepuk punggung tangan gadis itu
kemudian bangkit berdiri dan melangkah keluar.
Cempaka tidak bisa mencegah lagi.
Memang benar apa yang dikatakan Danupaksi. Meskipun mereka bersaudara, tapi
bisa mendatangkan malapetaka bila ada yang melihat Danupaksi tidur di kamar
ini. Cempaka masih terbaring, namun matanya terpentang lebar menatap
langit-langit kamarnya.
Sementara pintu kamar sudah
tertutup kembali setelah Danupaksi keluar. Terdengar suara pemuda itu memanggil
penjaga, dan memerintahkan untuk tetap berada di depan pintu kamar ini.
Sementara Cempaka berusaha untuk tidur kembali, tapi begitu sulit.
Bayang-bayang mimpi tadi masih membekas nyata di dalam ingatannya.
"Oh...," keluh Cempaka
jadi gelisah.
***
DUA
Sementara itu jauh di luar
Kerajaan Karang Setra, tepatnya di kaki lereng Gunung Ajibarang, tampak seorang
laki-laki muda berwajah tampan tengah duduk bersila di atas sebongkah batu
besar dan pipih. Rambutnya panjang meriap sedikit tergelung ke atas. Sebuah
pohon kayu yang cukup rindang menaunginya dari sengatan cahaya matahari.
Pemuda itu duduk bersila, tapi
matanya terpejam. Kedua telapak tangannya menempel pada lutut yang ditekuk.
Dada yang terbuka lebar, bergerak turun naik teratur. Angin siang ini cukup
keras, membuat baju putih tanpa lengan yang dikenakannya berkibar-kibar. Pemuda
itu membuka kelopak mata saat telinganya mendengar ranting patah terinjak.
"Itu dia! Seraaang…!"
Tiba-tiba saja terdengar suara yang keras, disusul berlompatannya beberapa
orang bersenjata golok terhunus dari dalam semak belukar. Sekitar dua puluh orang
itu langsung menyerang pemuda yang tengah duduk bersila di atas batu.
"Hup!" pemuda itu
bergegas melompat, menghindari sabetan sebilah golok yang begitu cepat mengarah
ke pinggangnya. Dan begitu kakinya mendarat ke tanah, satu serangan cepat
datang dari arah samping. Bergegas pemuda berbaju putih tanpa lengan itu
menggeser kakinya ke samping, sehingga tebasan golok itu lewat sedikit. Namun
angin tebasan golok yang begitu kuat membuat tubuhnya agak limbung. Pada saat
yang hampir bersamaan, sebuah kaki melayang deras mengarah ke punggungnya.
"Uts!" Cepat-cepat
pemuda itu berkelit, namun tidak bisa lagi menghindari satu pukulan keras yang
mendarat di bahu kanannya. Dia memekik tertahan, dan tubuhnya terdorong
limbung. Pada saat itu satu tendangan keras menggeledek mendarat di
punggungnya, sehingga membuatnya terjerembab mencium tanah. Belum lagi bisa
bangkit, sebuah golok meluruk deras ke arahnya. Buru-buru digelimpangkan
tubuhnya sehingga tebasan golok itu hanya mengenai tanah kosong. Tapi beberapa
golok kembali cepat mencecarnya, membuat pemuda itu harus bergelimpangan
menghindari setiap serangan yang datang beruntun tanpa henti.
"Hup!" Begitu ada
kesempatan, pemuda itu bergegas melompat bangkit berdiri. Namun belum juga
dapat berdiri tegak di atas kedua kakinya, satu pukulan keras kembali mendarat
di dadanya. Pukulan yang begitu keras dan cepat luar biasa, tidak dapat
dihindari lagi.
"Akh!" pemuda itu
memekik tertahan. Tubuhnya kembali limbung terdorong ke belakang. Pada saat
itu, salah seorang pengeroyoknya telah melompat cepat sambil berteriak keras,
mengibaskan goloknya ke arah leher. Namun mendadak saja orang itu terpental
sebelum berhasil membabatkan goloknya ke leher pemuda itu. Belum lagi ada yang
menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba sebuah bayangan biru berkelebatan cepat.
Dan entah bagaimana awalnya, tahu-tahu dua puluh orang itu sudah berpelantingan
dan golok mereka beterbangan ke udara!
Jerit dan pekik terdengar
sahut-menyahut. Namun kedua puluh orang itu bergegas bangkit berdiri. Semua terperanjat.
Ternyata golok tidak lagi berada di tangan mereka. Dan lebih terkejut lagi,
karena tiba-tiba saja di samping pemuda itu sudah berdiri seorang gadis
berparas cantik mengenakan baju biru.
"Nisanak, siapa kau? Kenapa
menolong iblis keparat itu?" bentak salah seorang yang mengenakan baju
kuning ketat. Wajahnya dihiasi kumis tebal melintang. Wanita berbaju muda itu
tidak menyahut. Diliriknya pemuda di sampingnya. Wajah yang tampan, terlihat
membiru lebam. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar. Pemuda itu memegangi
dadanya, dengan bernapas tersengal.
"Kau terluka?" tanya
wanita itu tidak menghiraukan dua puluh orang yang kelihatan berang.
"Ya..." desah pemuda
itu pelahan. Lemah sekali suaranya.
"Siapa mereka? Kenapa
mengeroyokmu?"
"Aku... aku tidak
tahu." Wanita berbaju biru muda itu memandangi wajah pemuda di sampingnya
dalam-dalam. Tersirat sesuatu dalam sinar matanya. Kemudian tanpa berkata-kata
lagi, disambarnya tubuh pemuda itu, dan langsung melesat pergi.
"He!" "Berhenti...
!" Tentu saja kedua puluh orang itu jadi terkejut setengah mati. Mereka
cepat-cepat memungut goloknya yang tergeletak di tanah, dan langsung
berlompatan mengejar. Namun wanita berbaju biru itu sudah lenyap bagai ditelan
bumi. Meskipun sudah tidak terlihat lagi bayangannya, kedua puluh orang itu
terus berlarian cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
***
Di mana sebenarnya wanita berbaju
biru itu? Ternyata dia berada di atas pohon yang cukup tinggi dan lebat. Wanita
itu mengawasi dua puluh orang yang berlarian cepat dan semakin jauh
meninggalkan tempat ini. Setelah kedua puluh orang itu tidak terlihat lagi,
barulah tubuhnya melompat turun sambil membawa pemuda yang nampak lemah.
Diletakkannya pemuda itu duduk di bawah pohon.
"Kakang..." agak
tertahan suara wanita cantik berbaju biru muda itu. Sepasang bola matanya yang
bening bulat dan indah, agak berkaca-kaca merayapi wajah yang tampan biru
lebam. Sedangkan yang dipandangi hanya diam, duduk bersila. Sinar matanya sangat
redup. Perlahan mengangkat kepalanya, membalas tatapan mata wanita di depannya.
"Terima kasih. Kau telah
menyelamatkan nyawaku." ucap pemuda itu lirih.
"Oh, Kakang...! Kau tidak
mengenaliku lagi...?!" semakin terdengar tersendat suara wanita itu.
Sedangkan pemuda berbaju putih
tanpa lengan itu hanya memandanginya saja. Redup sekali sinar matanya. Bahkan
raut wajahnya juga demikian kosong, bagai tidak memiliki gairah hidup lagi.
Tiba-tiba saja wanita berbaju biru muda menghambur, langsung memeluk pemuda
itu. Tangisnya tak dapat ditahan lagi, terisak-isak menyembunyikan wajahnya di
dada yang bidang terbuka lebar. Tapi pemuda itu hanya diam saja dengan raut
wajah terlihat kebingungan. Perlahan dilepaskan pelukan wanita cantik berbaju
biru pemuda itu.
"Nisanak, kenapa
menangis?" pelan sekali suara pemuda itu bertanya.
"Kakang... kau..."
tersendat suara wanita cantik berbaju biru muda itu. Perlahan digeser duduknya
agak menjauh. Sepasang bola matanya berputar merayapi wajah yang lesu tanpa
gairah kehidupan lagi. Perlahan sekali gadis menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tatapan matanya seperti tidak mempercayai apa yang ada di depannya ini.
"Kakang... Aku Pandan,
Kakang. Kau tidak mengenaliku lagi?" tersendat suara gadis berbaju biru
tua itu. Sedangkan pemuda berbaju putih tanpa lengan itu hanya memandangi saja
dengan mata redup. Sementara gadis yang mengaku bernama Pandan Wangi itu jadi
keheranan, bercampur sedih melihat pemuda yang selama ini dirindukan tidak
mengenalinya lagi. Pandan Wangi mengamati pemuda berbaju rompi putih yang
diyakini adalah Rangga itu, sambil menggeleng beberapa kaget.
"Kakang, ke mana
pedangmu?" tanya Pandan Wangi ketika melihat di punggung pemuda itu tidak
ada pedang. Padahal senjata itu adalah ciri dan kebanggaan Pendekar Rajawali
Sakti.
"Pedang..." pemuda yang
diyakini Pandan Wangi sebagai Rangga itu malah melihat seperti kebingungan.
"Oh, Kakang... Apa yang
terjadi terhadapmu?" Pandan Wangi tidak lagi menyembunyikan kesedihannya.
Air matanya jatuh berlinangan tak terbendung lagi. Sukar untuk dilukiskan,
bagaimana perasaan Pandan Wangi saat itu. Berhari-hari mencari Rangga yang
sangat dicintai, tapi setelah bertemu, pemuda itu seperti orang bodoh, Bahkan
tidak mengenalnya sama sekali. Sedih, gundah, bingung, dan entah apa lagi yang
ada di dalam dada gadis itu. Semua perasaannya hanya ditumpahkan lewat air
mata. Inilah air mata yang pertama kali dalam hidupnya!
"Nisanak..." pelan
suara Rangga.
"Oh, Kakang..." desah
Pandan Wangi di sela isak tangisnya.
"Siapa kau ini? Mengapa
menangis?" tanya Rangga.
"Kakang! Kau benar-benar
tidak mengenaliku? Aku Pandan Wangi, Kakang. Kekasihmu..." sahut Pandan
Wangi sambil menahan kesedihan yang amat sangat di hatinya.
"Pandan Wangi...?"
Rangga memandangi gadis cantik di depannya. "Kakang, apa yang telah
terjadi padamu? Mengapa begitu cepat melupakan diriku?" tanya Pandan
Wangi.
"Aku.... Aku... tidak
tahu," sahut Rangga kebingungan.
Pandan Wangi menyeka air mata
dengan punggung tangannya, sebentar kemudian menarik napas panjang. Dirayapinya
wajah Pendekar Rajawali Sakti yang tampak kebingungan itu. Perlahan, gadis itu
bisa menguasai perasaannya. Dugaannya, pasti Rangga mengalami sesuatu yang
membuat dirinya sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi! Bahkan
mungkin Rangga tidak mengetahui dirinya lagi. Pandan Wangi menggeser duduknya
lebih mendekat lagi. Diambilnya tangan Rangga dan digenggamnya erat-erat.
Sedangkan pemuda berwajah tampan mengenakan baju rompi putih itu hanya diam
saja.
"Siapa namamu, Kakang?"
tanya Pandan Wangi. Suaranya sudah terdengar agak tenang.
"Aku.... Aku," pemuda
itu jadi kebingungan.
Dan Pandan Wangi langsung bisa
menangkap kalau pemuda ini benar-benar tidak mengenali lagi dirinya. Dan
semakin diyakini kalau Pendekar Rajawali Sakti mengalami suatu peristiwa yang
mengguncangkan pikirannya, sehingga lupa akan segala-galanya. Bahkan dirinya
sendiri saja tidak tahu. Pandan Wangi semakin erat menggenggam tangan pemuda
itu.
"Namamu Rangga, Kakang.
Julukanmu Pendekar Rajawali Sakti. Kau juga seorang raja di Kerajaan Karang
Setra. Dan aku sendiri bemama Pandan Wangi, kekasihmu, Kakang," jelas
Pandan Wangi.
"Rangga.... Pandan
Wangi..." pemuda itu menggumamkan nama-nama yang disebutkan Pandan Wangi.
Dipandanginya wajah cantik di depannya lekat-lekat.
"Benar. Namamu Rangga dan
aku Pandan Wanggi," Pandan Wangi mengulangi.
"Benarkah?"
"Benar, Kakang. Kau seorang
pendekar, dan biasa dipanggil Pendekar Rajawali Sakti."
"Pendekar Rajawali
Sakti..." lagi-lagi Rangga menggumam pelan.
"Itu julukanmu, Kakang. Di
dalam rimba persilatan, kau lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali
Sakti," Pandan Wangi tidak jenuh menjelaskan.
"Benarkah aku seorang
pendekar?" nada suara Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Ingin rasanya Pandan Wangi
menangis dan menjerit sekuat-kuatnya menghadapi kenyataan ini. Tapi sekuat daya
dia berusaha untuk bisa tenang. Digigit-gigitnya bibirnya sendiri, mencoba
melawan gejolak perasaan yang beraneka ragam berkecamuk dalam dada. Pandan
Wangi teringat pada mimpi-mimpi yang selalu menghantuinya belakangan ini.
Apakah semua ini kenyataan dari setiap mimpi yang hadir di dalam tidurnya?
Pandan Wangi menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Dicobanya untuk tetap tegar,
meskipun hatinya tercabik bagai sehelai kain rapuh. Baru saja gadis itu hendak
membuka mulut lagi, tiba-tiba terdengar suara-suara teriakan disertai langkah-langkah
kaki yang berlarian menuju tempat ini. Pandan Wangi bergegas berdiri. Wajahnya
langsung berubah menegang begitu melihat banyak orang berlarian ke arahnya
sambil menghunus senjata. Sebentar gadis itu memandang ke sekelilingnya.
Orang-orang itu datang dari segala arah, dan tempat ini benar-benar terkepung.
"Oh, ada apa ini...?"
Pandan Wangi jadi kebingungan. Bergegas gadis itu membangunkan Rangga yang
sejak tadi hanya diam duduk bersila. Pandan Wangi semakin bingung, karena sikap
Rangga seperti tidak mempedulikan keadaan ini. Tanpa berpikir panjang lagi,
gadis itu bersiul keras dua kali. Beberapa saat kemudian, terdengar suara
ringkik kuda, disusul munculnya seekor kuda putih yang tinggi dan tegap.
"Hup!" Sambil menyambar
tubuh Rangga, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu melompat cepat bagai kilat
ke punggung kuda putih itu. Langsung saja digebah, sehingga membuat kuda putih
itu terlonjak meringkik keras. Bagaikan sebatang anak panah lepas dari
busurnya, kuda putih itu berlari cepat.
"Hiya!! Hiyaaa...!"
"Kejar! Jangan biarkan
mereka lolos...!" terdengar teriakan memerintah yang begitu keras. Pandan
Wangi tidak punya pilihan lain lagi. Langsung dikeluarkan senjatanya. Pedang
Naga Geni yang berwarna merah itu berkelebatan cepat membuka kepungan orang
yang berjumlah begitu banyak. Sungguh luar biasa! Kibasan pedang merah itu
membuat orang-orang yang mengepung menjadi porak-poranda bagai daun-daun kering
terhempas angin!
"Ayo, Putih! Cepat pergi
dari sini!" seru Pandan Wangi seraya menghentakkan tali kekang kuda
putihnya. Jerit dan pekik melengking terdengar saling sambut, dibarengi
ambruknya tubuh-tubuh berlumuran darah!
Sementara Pandan Wangi terus
mengibaskan cepat pedangnya sambil menghentakkan tali kekang agar kuda putih
itu terus bergerak cepat membuka jalan keluar dari kepungan yang semakin
terlihat rapat. Sedangkan Rangga yang berada di belakang Pandan Wangi, hanya
diam saja. Sedikit pun tidak melakukan sesuatu. Padahal Pandan Wangi berusaha
keras keluar dari kepungan ini. Sedikit demi sedikit, gadis itu bisa menghalau
para pengepungnya. Dan begitu melihat ada celah, bergegas digebah kudanya
kuat-kuat.
"Hiyaaa...!" Kuda putih
itu meringkik keras, langsung melompat melewati beberapa kepala. Bagaikan
kilat, kuda putih itu berlari menerobos kelebatan hutan. Pandan Wangi terus
menggebah kudanya agar tetap berlari kencang.
Sementara di belakang,
orang-orang berlarian sambil berteriak-teriak. Suara-suara keras bernada
memerintah terus terdengar, disertai umpatan dan caci maki. Namun Pandan Wangi
sudah begitu jauh bersama kuda putihnya dan Pendekar Rajawali Sakti yang
membonceng di belakang.
***
Pandan Wangi melompat turun dari
punggung kudanya. Dipandanginya Rangga yang turun dari kuda seperti bukan
seorang pendekar saja. Lompatannya begitu berat, dan seperti tanpa daya. Gadis
itu melangkah mendekati sungai kecil yang mengalir tepat di depannya. Sedangkan
Rangga hanya diam saja, duduk bersandar di bawah pohon. Kuda putih sudah asyik
merumput tidak jauh dari pemuda berbaju rompi putih itu.
Pandan Wangi menghampiri setelah
selesai membasuh mukanya di sungai. Sambil mendesah panjang, gadis itu duduk di
depan Rangga. Sebentar dipandangi pemuda itu, kemudian digenggamnya tangan
Rangga erat-erat. Perlahan tangan pemuda itu dibawa ke depan bibirnya, dan dikecupnya
lembut. Terasa dingin punggung tangan pemuda itu, dan Pandan Wangi
menggenggamnya penuh kehangatan.
"Walaupun aku tidak tahu apa
yang terjadi padamu, tapi aku yakin kalau kau adalah kekasihku," kata
Pandan Wangi pelan.
"Nisanak! Mengapa kau begitu
yakin kalau aku kekasihmu?" tanya Rangga.
"Meskipun kau jauh berubah,
bahkan tidak mengenali dirimu sendiri, tapi hatiku mengatakan kalau kau adalah
Rangga," tegas Pandan Wangi pasti.
"Jika aku memang Rangga, apa
yang kau ketahui tentang diriku?"
"Oh, Kakang. Mengapa kau
siksa aku seperti ini?" keluh Pandan Wangi lirih. "Katakan, Kakang.
Apa yang harus kulakukan untuk mengembalikan dirimu?"
Pemuda yang diyakini Pandan Wangi
sebagai Pendekar Rajawali Sakti itu melepaskan genggaman tangan Pandan Wangi,
kemudian bangkit berdiri. Pelahan-lahan kakinya terayun mendekati sungai. Dia
berlutut di tepi sungai dan memandangi wajahnya yang terpantul di air.
Sementara Pandan Wangi sudah berdiri. Dihampirinya pemuda itu, lalu berdiri di
belakangnya. Agak lama juga Rangga memandangi dirinya di dalam sungai yang
berair jernih, lalu perlahan-lahan bangkit berdiri dan berbalik menghadap
Pandan Wangi. Dipandanginya gadis itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Ceritakan tentang diriku
yang sebenarnya, Nisanak," pinta Rangga.
Tanpa diminta dua kali, Pandan
Wangi menceritakan tentang diri Pendekar Rajawali Sakti. Diceritakan juga
tentang pertemuannya, pengembaraannya mengarungi rimba persilatan yang penuh
kekerasan dan tanpa mengenal arti kehidupan wajar. Hanya hukum rimba yang ada.
Siapa kuat, dialah yang menguasai kehidupan! Sampai pada hal-hal terkecil
Pandan Wangi menceritakan. Dan Rangga mendengarkan penuh perhatian.
"Ada sesuatu yang kau ingat,
Kakang?" tanya Pandan Wangi setelah mengakhiri ceritanya tentang diri
Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak," sahut Rangga
seraya menggelengkan kepalanya.
"Kakang..., dari mana
asalmu?" tanya Pandan Wangi mencoba membuka ingatan Rangga.
"Aku... aku tidak
tahu," sahut Rangga.
"Kau tidak lahir ke dunia
ini dengan begitu saja, bukan? Kau tidak langsung besar, dan tentu punya ayah,
ibu, saudara, dan tempat kelahiran. Apa kau tidak tahu itu, Kakang?"
Pemuda berbaju rompi putih itu
hanya mengeleng-gelengkan kepalanya saja. Sinar matanya menyiratkan
ketidak-mengertian terhadap penjelasan Pandan Wangi.
"Aku yakin, kau pasti
Rangga. Tapi, mengapa kau jadi tidak ingat dirimu sendiri...?" Pandan
Wangi seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Pandan Wangi benar-benar tidak
mengerti. Sungguh tidak diketahui, apa penyebabnya sehingga Rangga menjadi
seperti ini? Yang tidak mengetahui lagi siapa dirinya yang sebenarnya. Bahkan
tidak tahu dari mana berasal. Rangga bagaikan seorang bayi yang baru lahir!
Tidak mengenali dunia yang dipijaknya. Gadis itu jadi bertanya-tanya sendiri.
Bagaimana dia bisa mengetahui dan menolongnya kalau yang hendak ditolong saja
tidak ingat apa-apa? Tapi bukanlah Pandan Wangi kalau menyerah begitu saja.
Gadis itu bertekad dalam hati, untuk mengembalikan Rangga seperti semula. Namun
dia tidak tahu, bagaimana caranya, dan dari mana harus memulai?
"Kakang, di mana kau sebelum
berada di hutan itu tadi?" tanya Pandan Wangi.
"Di hutan...?"
"Iya, waktu kita diserang
tadi."
"Aku tidak tahu.
Tapi..."
"Tapi apa, Kakang?"
Pandan Wangi mulai gembira melihat Rangga mulai berpikir.
"Aku..., aku tidak
ingat," Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Mari, Kakang. Kita kembali
ke tempat itu," ajak Pandan Wangi.
Pemuda yang tidak bisa mengingat
apa pun itu hanya menuruti saja. Kakinya melangkah di samping Pandan Wangi yang
sudah menuntun kuda putihnya. Mereka berjalan sambil berbicara apa saja.
Terutama Pandan Wangi. Pembicaraannya selalu mengarah tentang siapa diri Rangga
sebenarnya. Gadis itu tidak juga putus asa, meskipun yang diajak bicara selalu
tidak tahu, seperti orang linglung.
***
TIGA
Pandan Wangi mengedarkan
pandangannya ke sekeliling hutan tempat pertama kali menemukan Rangga yang kini
tidak mengenal lagi dirinya. Masih terlihat beberapa mayat bergelimpangan tak
tentu arah. Bau anyir darah menyebar terhempas angin yang tertiup agak kencang.
Sedangkan pemuda berbaju rompi di sampingnya hanya berdiri saja memandangi
mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.
"Di tempat ini kita bertemu,
Kakang," jelas Pandan Wangi.
"Kenapa banyak orang mati di
sini?" tanya Rangga seperti orang bodoh.
"Mereka yang menyerang kita
tadi, dan hendak membunuhmu," sahut Pandan Wangi.
"Membunuhku…?! Apa
salahku?"
"ltulah yang harus kita
ketahui, Kakang. Mengapa mereka hendak memhunuhmu?"
"Aku..., aku tidak mengerti.
Mereka tiba-tiba saja datang lalu menyerangku. Aku... aku...."
"Teruskan, Kekang...
Teruskan," Pandan Wangi mulai gembira melihat Rangga mulai bisa mengingat
sesuatu.
"Oh, batu ini..."
Rangga menghampiri sebongkah batu yang cukup besar. "Aku ingat. Ketika aku
duduk di sini, mereka tiba-tiba menyerangku. Tapi.... Aku tidak tahu, mengapa
mereka tiba-tiba menyerangku?"
"Sebelum duduk di sini, kau
berada di mana?" tanya Pandan Wangi mulai melihat adanya harapan.
Pemuda berbaju rompi putih itu
tidak segera menjawab. Sebentar dipandanginya gadis cantik di dekatnya,
kemudian pandangannya merayapi ke sekeliling. Perlahan-lahan kakinya terayun
melangkah. Pandan Wangi mengikuti dari belakang. Rangga terus berjalan menuju
Utara, menyibak semak belukar dan rapatnya pepohonan di dalam hutan ini.
Dan Pandan Wangi mulai berseri
wajahnya kala mendapatkan bekas jejak-jejak kaki tertera pada tanah berumput
dan dipenuhi daun kering. Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi. Sementara
Pandan Wangi semakin gembira melihat jejak kaki semakin jelas tertera. Namun
tiba-tiba mereka berhenti. Ternyata di situ terdapat seekor kuda hitam sedang
merumput di depan, di sebuah padang rumput yang tidak begitu luas.
"Dewa Bayu...," desis
Pandan Wangi begitu mengenali kuda hitam itu. Bergegas Pandan Wangi menghampiri
kuda yang telah berpelana itu. Pandan Wangi memegang tali kekang, dan
membawanya mendekati Rangga yang memegangi tali kekang kuda putih milik gadis
itu.
"Kakang, kau ingat! ini kuda
siapa?" tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak langsung menjawab.
Dihampiri kuda hitam itu dan diambil tali kekangnya dari tangan Pandan Wangi.
Sementara gadis itu menyingkir, menghampiri kudanya sendiri. Gadis itu tersenyum,
karena kuda hitam itu terangguk-angguk menyorongkan kepalanya pada pemuda
berbaju rompi putih itu. Rangga tersenyum dan menoleh memandang Pandan Wangi
yang juga tengah tersenyum gembira. Semakin diyakini kalau pemuda itu adalah
Rangga. Karena, Dewa Bayu tidak akan bersikap demikian pada seseorang yang
tidak dikenalnya.
"Kuda ini jinak sekali,
Pandan. Siapa pemiliknya?" tanya Rangga seraya mengelus-elus leher kuda
hitam itu.
"Kaulah pemiliknya,"
sahut Pandan Wangi.
"Aku?" Rangga
memandangi kuda hitam itu, kemudian melompat naik ke punggungnya.
Dan Pandan Wangi tersenyum penuh
keharuan melihat kuda itu tidak bergeming sedikitpun. Jelas sudah, kalau pemuda
itu memang benar-benar Rangga. Tapi masih ada ganjalan di hati gadis itu. Masih
belum jelas, mengapa Rangga jadi lupa akan dirinya sendiri?
"Bagaimana, Pandan? Kuda ini
kelihatannya menyukaiku," Rangga tersenyum lebar.
"Kau gagah sekali,
Kakang," agak tersedak suara Pandan Wangi.
Gadis itu melompat naik ke
punggung kudanya sendiri. Seekor kuda putih yang tegap dan berotot indah.
Sebentar mereka saling berpandangan, kemudian sama-sama menggebah kudanya
perlahan-lahan melintasi padang rumput yang tidak seberapa luas ini. Sesekali Pandan
Wangi melirik pemuda yang berkuda di sampingnya.
Setiap kali memandang wajah
pemuda itu ada sesuatu yang membuat hatinya begitu trenyuh. Namun, Pandan Wangi
tidak ingin menunjukkan kegalauan hatinya. Mereka kembali berhenti setelah tiba
di seberang padang rumput itu. Tak ada lagi jejak yang bisa diikuti, dan
berhenti di tempat ini. Pandan Wangi melompat turun dari punggung kudanya.
Rangga juga mengikuti, lalu berdiri di samping kanan gadis itu.
"Ke mana lagi?" tanya
Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu," sahut
Rangga seperti kebingungan.
"Cobalah kau ingat-ingat,
Kakang. Pernahkah kau lewati tempat ini?"
"Entahlah...," desah
Rangga terdengar ragu-ragu.
Pandan Wangi tidak bertanya lagi.
Hanya dipandangi saja wajah pemuda yang nampaknya sedang berusaha mengingat-ingat.
Dengan sabar gadis itu menunggu Rangga untuk bisa mengingat, apakah pernah
melewati daerah ini atau tidak. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa
mengingat sesuatu, tiba-tiba saja.
"Hik hik hik...!"
***
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba
saja muncul seorang perempuan tua berjubah hitam memegang cambuk ekor kuda.
Rambutnya yang tergelung ke atas seluruhnya berwarna putih. Ada sebuah amel
berwarna kuning emas menghiasi gelungan rambutnya, Di lehernya melingkar
seuntai kalung dari batu-batu hitam, bagai tasbih seorang pendeta. Keterkejutan
Pandan Wangi lenyap saat melihat Rangga tengah terpaku memandangi perempuan tua
itu.
"Kau,... Kau...,
iblis!" tiba-tiba Rangga menggeram.
"Hik hik hik...,"
perempuan tua itu terkikik.
"Mampus kau, iblis!
Hiyaaa...!" Cepat sekali, tahu-tahu Rangga sudah melompat menerjang
perempuan tua itu. Namun mendadak nenek perempuan tua berjubah hitam itu
mengibaskan cambuknya, menyampok terjangan Rangga. Begitu cepatnya, sehingga
Rangga tidak bisa lagi berkelit menghindarinya.
Ctar! "Akh...!"
"Kakang...!" pekik
Pandan Wangi terkejut.
Rangga terpelanting dan
bergulingan di tanah namun bisa cepat bangkit. Tampak di dada sebelah kirinya
membiru bekas cambukan perempuan tua itu. Sementara Pandan Wangi berlari
menghampiri pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kau tidak apa-apa,
Kakang?" tanya Pandan Wangi cemas.
"Tidak," sahut Rangga.
"Menyingkirlah kau,
Pandan."
"Bagus! Kau juga boleh maju
sekalian, Kipas Maut!" dengus perempuan tua itu dingin. Suaranya kering
dan serak.
"Siapa kau?!" sentak
Pandan Wangi.
"Hik hik hik... Tanyakan
saja pada kekasih tololmu itu, Kipas Maut!" sahut perempuan tua itu.
Pandan Wangi memandang Rangga
yang saat itu juga menoleh padanya.
"Cambuk saktiku sudah
membuatnya pulih," kata perempuan tua itu lagi.
"Kakang...," pelan
suara Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu...,"
sahut Rangga, bisa dimengerti arti pandangan Pandan Wangi. Padahal gadis itu
belum bertanya apa-apa lagi padanya.
"Aku..., aku... Akh!"
"Kakang...!"
"Mampus kau, iblis!
Hiyaaa...!" Rangga menerjang perempuan tua itu. Namun mendadak saja,
perempuan tua berjubah hitam itu mengibaskan cambuknya.
"Ctar!" Rangga tidak
sempat berkelit lagi. Cambuk itu tepat mengenai dada sebelah kirinya! Tiba-tiba
saja Rangga meraung keras sambil memegangi kepalanya yang terdongak ke atas.
Seketika Pandan Wangi panik. Tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya.
Sementara Rangga sudah menggeliat-geliat di tanah, meraung keras bagai ayam
disembelih. Pandan Wangi mengalihkan perhatiannya ke arah perempuan tua
berjubah hitam itu. Tapi dia sudah tidak ada lagi di sana!
"Kakang..., kau
kenapa?" Pandan Wangi semakin cemas melihat keadaan Rangga yang
menggelepar dan meraung-raung di tanah.
Pandan Wangi menghambur memeluk
Rangga yang tiba-tiba saja mengejang kaku, lalu lunglai tak bergerak-gerak
lagi! Dari mulutnya mengalir cairan hijau kekuning-kuningan. Pandan Wangi
memeluk tubuh pemuda itu, dan pandangannya beredar ke seIiing. Tak ada seorang
pun di tempat yang sunyi ini. Sementara Rangga masih belum sadarkan diri.
Dadanya bergerak begitu lemah, dan kelopak matanya tertutup rapat. Pandan Wangi
membersihkan cairan yang keluar dari mulut Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kakang, kau kenapa?"
tersendat suara Pandan Wangi. Pandan Wangi memberikan beberapa totokan di
sekitar dada Rangga. Tak, berapa lama kemudian, pemuda itu mulai siuman.
Mulutnya mengeluh panjang dan agak lirih suaranya. Sebentar dikerjapkan
matanya, kemudian bergegas bangkit duduk. Dipandanginya gadis cantik yang duduk
dengan menekuk kedua lututnya.
"Pandan..., kaukah
itu?"
"Oh, Kakang. Kau..., kau
sudah ingat..?" Pandan Wangi gembira.
Pandan Wangi begitu gembira.
Langsung dipeluknya pemuda itu. Keras sekali pelukan Pandan Wangi, hingga
membuat Rangga sesak napas untuk sesaat. Dengan lembut, Rangga melepaskan
pelukan gadis itu.
"Pandan? Mengapa kau ada di
sini?" tanya Rangga penuh keheranan.
"Aku rindu padamu, Kakang.
Aku selalu bermimpi buruk tentang dirimu," ungkap Pandan Wangi tanpa
sungkan-sungkan lagi.
"Mimpi buruk?"
"Ya. Mimpi tentang
keadaanmu."
"Ah, sudahlah! Bagaimana
keadaan Danupaksi dan Cempaka?" tanya Rangga yang tidak mau berpikir lebih
jauh lagi.
"Mereka baik-baik saja. Oh,
ya. Danupaksi menitipkan ini padamu."
Pandan Wangi lalu menyerahkan
selongsong bambu halus yang dititipkan Danupaksi kepadanya. Rangga menerimanya,
dan membuka isinya. Ternyata hanya sebuah surat yang tidak begitu penting, dia
segera menyimpan dalam lipatan bajunya. Rangga kembali menatap dalam-dalam
Pandan Wangi. Rasanya, ingin diungkapkan seluruh perasaan hatinya. Tapi
mengingat masih ada semacam gannjalan di hatinya, Rangga seperti tidak tahu
harus berbuat apa. Sejenak suasana menjadi hening.
"Aku gembira kau sudah
kembali pulih," ujar Pandan Wangi, memecahkan keheningan di antara mereka.
"Pulih...? Ada apa dengan
diriku?" Rangga kelihatan heran.
"Jadi...?!" Pandan
Wangi terkejut.
Dipandanginya dalam-dalam pemuda
berbaju rompi putih itu. Gadis itu bukan hanya terkejut, tapi juga heran.
Bagaimnna mungkin seseorang bisa begitu cepat melupakan peristiwa yang baru
saja dialami? Dan ini terjadi pada Rangga, seorang pendekar digdaya yang sangat
disegani baik lawan maupun kawan. Pandan Wangi semakin tidak mengerti, apa yang
terjadi sebenarnya pada Rangga.
"Sebenarnya, apa yang
terjadi padaku, Pandan? Mana...! Mana pedangku?" Rangga terkejut begitu
disadari pedangnya tidak ada.
"Itulah yang ingin
kutanyakan padamu, Kakang," jelas Pandan Wangi. Pandan Wangi bangkit
berdiri, lalu melangkah menghampiri kudanya.
Sementara Rangga masih terduduk
di atas rerumputan. Pendekar Rajawali Sakti itu baru berdiri saat Pandan Wangi
sudah berada di atas punggung kuda putihnya. Hanya sekali lesatan, Rangga sudah
duduk di atas punggung kuda hitamnya.
"Kau sudah pulih, tentu kau
tahu apa yang terjadi hingga pedangmu hilang," kata Pandan Wangi.
Rangga tidak menjawab. Otaknya
bekerja beberapa saat, mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada
dirinya. Bahkan kini pedang pusakanya hilang. Pelahan-lahan Pendekar Rajawali
Sakti itu berpaling, memandang Pandan Wangi.
"Siapa perempuan tua yang
membawa cambuk ekor kuda itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi, mencoba
membantu ingatan Rangga.
"Wanita tua? Wanita tua yang
mana, Pandan?" Rangga malah balik bertanya.
"Belum lama dia muncul, lalu
menghilang begitu saja setelah membuatmu pingsan tadi. Dia hanya mengatakan
kalau cambuknya sudah bisa memulihkanmu kembali," jelas Pandan Wangi.
"Tapi aku juga heran, dia
bisa mengenaliku. Bahkan kelihatannya begitu membenci melihat aku ada di
sini."
"Kau tidak tahu siapa
dia?" tanya Rangga.
"Kalau aku tahu, untuk apa
bertanya padamu," rungut Pandan Wangi.
Rangga meringis. Pertanyaannya
memang bodoh. Tentu saja Pandan Wangi tidak tahu, dan tidak mungkin bertanya
kalau sudah tahu. Rangga merutuk dirinya sendiri dalam hati.
"Aku juga tidak tahu,
Pandan," ujar Rangga
"Tapi, sepertinya kau tadi
mengenalnya, Kakang!"
"Oh, ya...?" Rangga
terkejut.
"Kelihatannya kau amat
membenci. Bahkan langsung menyerang. Tapi dia berhasil mencambuk dadamu.
Katanya, cambukan itu bisa memulihkan semua ingatanmu," jelas Pandan Wangi
kembali.
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Pandan. Dia mencambukku, untuk memulihkan ingatanku...? Memangnya aku
ini kenapa?" Rangga benar-benar kebingungan.
"Aku tidak tahu kau kenapa,
Kakang. Tapi yang jelas ingatanmu sempat hilang. Bahkan kau tidak mengenali dirimu
lagi. Kau juga tidak mengenali diriku dan tidak ingat setiap kejadian yang baru
saja kita alami. Hanya itu yang kuketahui tentang dirimu," jelas sekali
tutur kata Pandan Wangi.
Sedangkan Rangga hanya diam saja
membisu. Diraba punggungnya yang kosong. Tidak ada lagi Pedang Rajawali Sakti
di situ. Pendekar Rajawali Sakti lalu kembali memandang Pandan Wangi
lekat-lekat. Penjelasan gadis itu memang gamblang, tapi membuatnya jadi
bertambah bingung. Yang masih dipikirkan, mengapa pedangnya bisa terpisah dari
dirinya. Belum pernah senjata andalannya itu ditinggalkan, meskipun hanya
sebentar saja.
"Ada yang bisa diingat,
Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Tidak... Eh, tunggu! Bukit
Sanggung...!"
"Bukit Sanggung...?"
"Ayo, Pandan!"
Pandan Wangi tidak sempat lagi
bertanya, karena Rangga sudah menggebah cepat kudanya. Buru-buru gadis itu
melarikan kudanya mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Sulit dimengerti, mengapa
tiba-tiba Rangga menyebut Bukit Sanggung. Namun si Kipas Maut itu mulai
gembira, karena Rangga sudah bisa mengingat kembali.
***
Bukit Sanggung memang tidak
begitu indah untuk dinikmati. Hampir seluruh permukaan bukit itu hanya terdiri
batu-batu kapur yang mudah sekali longsor, tidak terlalu tinggi, namun puncak
bukit ini dapat terlihat jelas dari tempat yang cukup jauh sekalipun. Hanya
sebentar Pandan Wangi memandangi bukit itu lalu mengalihkan perhatiannya pada
pemuda berbaju rompi yang duduk di punggung kuda hitam di samping kanan.
"Tidak ada apa-apa di sini,
Kakang," kata Pandan Wangi.
"Ada sebuah desa di balik
bukit ini. Hm..., cukup sulit untuk ke sana," sahut Rangga.
"Kita bisa
memutarinya."
"Sulit. Kalaupun bisa, makan
waktu lama. Bisa dua pekan baru sampai."
"Tapi, bukit ini kelihatan
kecil."
"Banyak jurang dan lembah
serta rawa yang melingkari bukit ini. Belum lagi batu-batu itu sering longsor
tiba-tiba," jelas Rangga.
"Lalu...?" "Hanya
dengan satu cara."
"Rajawali Putih?" tebak
Pandan Wangi.
Rangga tersenyum, kemudian
melompat turun dari punggung kudanya. Ditepuknya leher kuda itu tiga kali, maka
Dewa Bayu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Pandan Wangi juga bergegas turun dari kudanya. Gadis itu hanya memandangi kedua
ekor kuda yang berlari meninggalkan tempat ini. Sementara Rangga sudah berdiri
memandang ke langit. Sebentar kemudian, mulutnya bersiul keras melengking
tinggi. Nada suaranya terdengar aneh di telinga.
Pandan Wangi tahu kalau Pendekar
Rajawali Sakti itu memanggil Rajawali Putih. Tiga kali bersiul, bernada sama
dalam waktu yang berselang cukup lama. Kepalanya masih terdongak memandang ke
langit yang terlihat cerah siang ini. Pendekar Rajawali Sakti tersenyum saat
melihat satu titik keperakan di angkasa. Pandan Wangi jadi ikut melihat ke
langit, dan juga tersenyum begitu melihat seekor burung rajawali tengah
meluncur cepat ke arah mereka. Semakin lama terlihat jelas bentuknya yang besar
bagai sebuah bukit kecil melayang di angkasa.
"Kemarilah, Rajawali!"
seru Rangga keras seraya melambaikan tangannya.
"Khraghk!" Rajawali
Putih menukik keras, dan langsung mendarat di depan Rangga. Tanpa bicara lagi,
pemuda berbaju rompi putih itu melompat naik ke punggung burung rajawali
raksasa itu. Sedangkan Pandan Wangi masih berdiri memandangi. Meskipun pernah
melihat burung raksasa ini, tapi dia masih juga terpana.
"Ayo, Pandan! Apa mau
tinggal di sini?" seru Rangga menyuruh Pandan Wangi naik.
"Oh! Eh, iya.... Hup!"
Pandan Wangi melompat ringan bagai kapas tertiup angin. Manis sekali
ditempatkan dirinya, duduk didepan Rangga. Sedangkan pemuda berbaju rompi
putiuh itu menepuk leher burung raksasa itu tiga kali.
"Khraghk!"
Hanya sekali kepakan sayap saja,
burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah melambung tinggi ke
angkasa. Sekejap Pandan Wangi memejamkan mata. Dirasakan jantungnya seperti
copot, dan darahnya berhenti mengalir begitu Rajawali Putih melambung tinggi ke
angkasa. Untung saja Rangga tidak melihat, jadi si Kipas Maut itu tidak perlu
merasa malu. Rajawali Putih terus meluncur ke atas Puncak Bukit Sanggung.
Tampak dari atas, puncak bukit itu hanya terdiri dari tumpukan batu kapur rapuh
dan mudah longsor. Hampir seluruh permukaannya putih bagai terselimut salju.
Tiga kali Rajawali Putih memutari
puncak bukit itu, kemudian meluncur ke arah Barat. Sangat jelas terlihat
keadaan di bawah sana dari ketinggian seperti ini. Dan Pandan Wangi membenarkan
kata-kata Rangga tentang Bukit Sanggung kini. Memang tidak mudah untuk
melaluinya. Apalagi menggunakan kuda. Tarlalu besar resikonya.
Pandan Wangi kembali menahan
napas ketika tiba-tiba saja Rajawali Putih menukik, menuju sebuah hutan yang
tidak begitu labat. Tapi burung rajawali raksasa itu tidak mendarat turun, dan
hanya berputar-putar saja di atas permukaan hutan ini. Dan Pandan Wangi dapat
melihat kalau di tengah-tengah hutan ini terdapat sebuah perkampungan yang
tidak begitu besar. Nampak suasana di perkampungan itu sunyi sekali. Hanya
beberapa orang saja terlihat. Begitu kecil, seperti seekor semut.
"Apa nama desa itu,
Kakang?" tanya Pandan Wangi agak keras, karena angin di atas sini begitu
bising.
"Desa Sanggung," sahut
Rangga.
"Ke sana tujuan kita, Kakang?"
tanya Pandan Wangi lagi.
Rangga tidak menjawab.
Diperintahkan Rajawali Putih agar mendarat di luar desa. Kembali Pandan Wangi
merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak ketika Rajawali Putih meluruk
deras menuju sebuah tempat yang tidak begitu banyak ditumbuhi pepohonan. Ringan
sekali burung rajawali raksasa itu mendarat, sehingga tidak dirasakan kedua
penunggangnya.
"Hup!" Rangga melompat
turun, diikuti Pandan Wangi.
"Rajawali, jangan jauh-jauh.
Aku masih membutuhkanmu," kata Rangga berpesan.
"Khraghk!"
Burung rajawali raksasa itu
langsung melambung tinggi ke angkasa sambil memperdengarkan suaranya yang serak
memekakkan telinga. Pandan Wangi masih mematung memandangi burung raksasa itu
dengan perasaan kagum.
"Ayo, Pandan," ajak
Rangga.
"Oh!" Pandan Wangi
tersentak kaget. Buru-buru gadis itu mengayunkan kakinya mengikuti Rangga yang
sudah jalan lebih dahulu. Disejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali
Sakti itu.
Mereka berjalan menembus hutan
yang tidak begitu lebat, menuju Desa Sanggung yang terlihat jelas dari atas.
Letaknya memang di tengah-tengah hutan yang tidak terlalu lebat. Maka, mudahlah
bagi mereka untuk berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
***
EMPAT
Pandan Wangi agak heran juga,
karena hampir semua penduduk Desa Sanggung selalu memperhatikannya. Terlebih
lagi terhadap Rangga. Tapi, tak ada seorang pun yang menyapa. Mereka
memperhatikan secara sembunyi-sembunyi. Ingin gadis itu bertanya pada Rangga, tapi
tidak mau membuka mulut lebih dulu. Ingin diketahui, ke mana tujuan Rangga di
desa ini.
Mereka berhenti di depan sebuah
rumah yang tidak begitu besar, namun kelihatan terawat. Halaman yang luas
dipenuhi berbagai macam tanaman, sehingga dapat dipetik hasilnya. Seorang
laki-laki berusia lanjut, menghampiri sambil terbungkuk-bungkuk. Nampaknya
sudah mengenal Rangga.
"Oh, Den.... Mari silakan,
Den," sambut laki-laki yang hanya mengenakan celana hitam sebatas lutut
saja.
"Terima kasih, Ki
Buyut" sahut Rangga seraya melangkah kembali.
Laki-laki tua yang dipanggil Ki
Buyut itu berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi
terpaksa mengikuti dari belakang. Diedarkan pandangannya ke sekeliling. Tampak
para penduduk desa memperhatikan dari jarak yang cukup jauh, di luar halaman
rumah ini.
Ki Buyut mempersilakan Rangga dan
Pandan Wangi duduk setelah mereka berada di beranda depan. Mereka duduk di
sebuah balai-balai bambu yang beralaskan tikar daun pandan. Sementara Pandan
Wangi masih juga memperhatikan sekelilingnya. Hannya masih diliputi rasa
penasaran melihat tingkah para penduduk di desa ini.
"Aku kira kau tidak akan
datang lagi ke sini, Den." ujar Ki Buyut Kaweyan.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Maaf, Ki. Apakah Kakang
Rangga pernah datang ke sini?" tanya Pandan Wangi.
Ki Buyut Kaweyan memandangi gadis
yang duduk di samping Rangga. Baru kali ini gadis itu dilihat dan dikenalinya.
Pandan Wanai buru-buru memperkenalkan dirinya, dan mengaku sebagai teman dekat
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kira-kira dua pekan yang
lalu, Den Rangga pernah berada di sini. Yaaah..., lebih kurang sepekan
lamanya," jelas Ki Buyut setelah mengetahui gadis yang bertanya tadi
adalah teman dekat Rangga. Tapi ada juga dugaan di hatinya kalau Pandan Wangi
adalah kekasih pemuda berbaju rompi putih itu.
Pandan Wangi melirik Rangga yang
hanya diam saja. Gadis itu tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti masih diliputi
kabingungan, akibat ingatannya sedikit terganggu sehingga melupakan dirinya
sendiri. Sedangkan Rangga sendiri seperti mengenal Ki Buyut, bahkan sepertinya
memang kenal dekat. Hanya saja, yang masih belum bisa diingat, apakah ada
sesuatu yang pernah terjadi di Desa Sanggung ini. Maka sekarang dicobanya untuk
mengingat kembali.
"Ki Buyut, apakah Kakang
Rangga mengalami seuatu di sini? Hm..., maksudku suatu peristiwa," tanya
Pandan Wangi lagi. Terpaksa harus gadis itu yang lebih banyak bertanya, karena
Rangga masih diliputi kebingungan. Malah hanya diam saja.
"Wah! Kalau masalah
kejadian, seharusnya seluruh penduduk desa ini berterima kasih kepada Den
Rangga, Nini Pandan Wangi. Tapi ini malah sebaliknya. Mereka begitu senang
waktu Den Rangga terjerumus ke dalam jurang penuh lumpur dan batu-batu cadas
berkapur, " sahut Ki Buyut Kaweyan.
"Bisa dijelaskan, mengapa
Kakang Rangga terjerumus, Ki?" desak Pandan Wangi seraya melirik pemuda di
sampingnya.
"Seharusnya Nini Pandan
menanyakan pada Den Rangga sendiri. Aku sendiri tidak begitu jelas mengetahui
kejadiannya. Tapi menurut apa yang kudengar, Den Rangga bertarung melawan Anta
Gopa yang lebih dikenal sebagai Iblis Selaksa Racun. Aku tidak tahu persis,
bagaimana kejadiannya sampai Den Rangga terjerumus ke dalam jurang," jelas
Ki Buyut Kaweyan.
"Siapa itu Anta Gopa,
Ki?" cecar Pandan Wangi yang mulai melihat adanya jalan terang untuk
mengetahui sebab-sebab Rangga bisa melupakan dirinya sendiri.
"Seorang tokoh hitam yang
sakti dan digdaya, Nini Pandan. Tidak ada seorang pendekar pun yang sanggup
menandingi, karena seluruh tubuhnya mengandung racun yang sangat ganas dan
mematikan. Bahkan setiap gerakannya menimbulkan hawa racun. Di mana dia berada,
di sekitarnya pasti dipenuhi hawa racun yang bisa membuat orang tewas hanya
karena menghirup udara beracun di sekitar tubuhnya," kembali Ki Buyut Kaweyan
menjelaskan.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Diliriknya orang-orang yang masih memandang ke arah rumah ini dari
luar halaman. Gadis itu heran mengapa seluruh penduduk seperti enggan mendekati
rumah ini. Dan Pandan Wangi baru menyadari kalau di sekitar rumah ini sangat
sepi, tak ada orang lain lagi selain Ki Buyut Kaweyan ini.
"Mereka semua tidak ada yang
berani datang ke sini, Nini Pandan," ujar Ki Buyut, seolah mengetahui
jalan pikiran Pandan Wangi.
"Kenapa?" tanya Pandan
Wangi.
"Mereka takut keracunan,
Nini," pelan suara Ki Buyut Kaweyan. Mata tuanya sedikit melirik ke arah
Rangga yang masih tetap diam, duduk di samping Pandan Wangi.
"Maksudmu, Ki?" Pandan
Wangi ingin penjelasan lebih jauh, meskipun sudah bisa menduga.
"Mungkin Den Rangga lebih
tahu, Nini," sahut Ki Buyut merasa tidak enak untuk menjelaskannya.
"Mereka takut padaku,
Pandan. Aku dianggap sudah tercemar racun akibat bertarung melawan Iblis
Selaksa Racun," sahut Rangga menjelaskan tanpa diminta.
"Oh...," Pandan Wangi
mendesah lirih.
"Dan sebaiknya kau juga
jangan terlalu dekat denganku, Pandan," sambung Rangga lagi.
"Kenapa?" tanya Pandan
Wangi.
"Mungkin aku tidak akan
terpengaruh racun itu, tapi kau lain."
"Kita sudah tiga hari
bersama-sama, tapi aku tidak merasakan adanya kelainan apa pun? Aku tidak
percaya kalau kau bisa tercemar racun, Kakang. Aku tahu siapa dirimu. Aku pun
tidak percaya kalau...," kata-kata Pandan Wangi terputus.
"Aku hanya manusia biasa,
Pandan. Waktu bertarung melawan Iblis Selaksa Racun, aku juga merasakan hawa
racun yang menyebar dari seluruh tubuhnya. Saat itu kepalaku terasa pening.
Itulah sebabnya aku bisa dikalahkannya," tutur Rangga mulai teringat
kembali pertarungannya melawan Iblis Selaksa Racun.
"Apakah racun itu yang juga
menyebabkan dirimu kehilangan ingatan, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Entahlah," desah
Rangga pelan.
***
Memang sulit untuk mencari sebab,
mengapa Rangga bisa sempat kehilangan ingatan. Mungkin kalau tidak ditolong
seorang perempuan aneh yang membawa senjata cambuk ekor kuda, Pendekar Rajawali
Sakti itu masih belum bisa mengingat siapa dirinya sebenarnya. Tapi Pandan
Wangi masih belum mengerti, mengapa perempuan tua itu tiba-tiba muncul, dan
membebaskan Rangga dari ketidaksadarannya.
Pandan Wangi benar-benar tidak
tahu, dari mana harus memulai. Sebab, Rangga sendiri belum begitu pulih benar
ingatannya. Terlebih lagi, tidak ada seorang penduduk pun yang suka didekati.
Mereka takut terkena hawa racun, karena Pandan Wangi selalu dekat dengan
Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan mereka juga menjauhi Ki Buyut Kaweyan.
"Pandan, kau sudah
siap?"
"Oh!" Pandan Wangi
tersentak dari lamunannnya.
"Kau melamun lagi,
Pandan," tegur Rangga tahu-tahu sudah barada di samping gadis itu.
"Ayo kita berangkat
sekarang, Kakang," kata Pandan Wangi seraya malompat naik ke punggung
kudanya. Pandan Wangi memang berusaha untuk tidak menunjukkan kegelisahannya di
depan Rangga, meskipun hatinya selau dirundung kegelisahan yang mendalam. Gadis
itu selalu memikirkan keadaan Rangga yang belum benar-benar pulih ingatannya.
Kadang-kadang Pendekar Rajawali Sakti itu masih juga lupa akan dirinya. Bahkan
tidak jarang lupa pada Pandan Wangi ataupun Ki Buyut Kaweyan.
Tiga hari mereka berada di rumah
Ki Buyut Kaweyan. Dan selama itu tidak ada yang bisa diperoleh walau hanya
sekadar petunjuk. Mereka memang memutuskan untuk meninggalkan desa ini. Begitu
juga Ki Buyut Kaweyan yang bersikeras untuk ikut dalam pengembaraan mereka,
mencari kejelasan tentang jati diri Pendekar Rajawali Sakti yang seperti
hilang. Terutama mencari Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Tidak berapa lama kemudian, tiga
ekor kuda bergerak meninggalkan halaman depan rumah Ki Buyut Kaweyan. Mereka
mengendalikan kuda pelahan-lahan melintasi jalan desa yang berdebu. Beberapa
penduduk yang kebetulan berada di jalan itu, bergegas menyingkir. Mereka
seakan-akan takut, bagaikan melihat sosok makhluk mengerikan di atas punggung
tiga ekor kuda.
Memang menyakitkan, tapi tak ada
yang perduli. Hanya Pandan Wangi yang hatinya begitu sedih melihat sikap
penduduk Desa Sanggung ini. Namun tidak ingin ditunjukkan kepedihan hatinya di
depan Rangga. Sekuat daya gadis itu berusaha tegar dan tabah menghadapi
kenyataan ini. Tekadnya sudah bulat, harus mengembalikan Rangga seperti semula
dan harus mendapatkan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang hilang dari
punggung Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Berhenti...!"
tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
Ketiga penunggang kuda yang baru
saja melewati perbatasan Desa Sanggung, langsung menghentikan langkah kuda
masing-masing. Tiba-tiba saja di sekeliling mereka sudah bermunculan sekitar
dua puluh orang bersenjata golok terhunus. Pandan Wangi mengenali kalau mereka
semua adalah pengeroyok Rangga saat ingatan Pendekar Rajawali Sakti itu hilang.
"Ki Buyut! Rupanya kau
benar-benar pengkhianat busuk!" salah seorang dari mereka membentak.
Pandan Wangi memandangi orang
yang mengeluarkan suara itu. Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh
tahun, mengenakan baju agak ketat berwarna merah. Tangannya memegang golok
cukup besar ukurannya, yang berkilatan tertimpa cahaya matahari.
"Siapa dia, Ki Buyut?"
tanya Pandan Wangi setengah berbisik.
"Urawan, Wakil Ketua Partai
Golok Perak," sahut Ki Buyut menjelaskan.
"Hm..., jadi mereka semua
orang-orang Partai Golok Perak?" tanya Pandan Wangi, seperti untuk dirinya
sendiri.
"Benar," sahut Ki Buyut
Kaweyan.
"Mereka dari Desa
Sanggung?"
"Bukan. Tapi, tempat mereka
memang tidak jauh dari desa itu."
"Kenapa mereka menuduhmu
pengkhianat?" tanya Pandan Wangi lagi.
Belum lagi Ki Buyut Kaweyan
menjawab, laki-laki berbaju merah yang dikenal bernama Urawan sudah membentak
lagi. Suaranya keras, dan terdengar buas sekali.
"Apa yang kalian bicarakan,
heh? Kalian mau coba-coba melawan, ya?!"
"Hm...," dengus Pandan
Wangi yang muak melihat tingkah Urawan. Kalau saja Rangga tidak buru-buru
mencegah, gadis itu sudah melompat turun dari punggung kudanya. Terpaksa Pandan
Wangi diam saja, walaupun dadanya menggelegak menahan geram.
Sementara Rangga melompat turun
dari punggung kudanya. Gerakannya sungguh indah dan ringan sekali. Sehingga
saat kakinya menjejak tanah, tak terdengar satu suara sedikit pun.
"Aku tahu siapa dirimu,
Urawan. Pergilah sebelum kulaporkan perbuatanmu pada Pemimpin Besar Partai
Golok Perak," ancam Rangga tenang. Namun di balik suaranya yang tenang,
tersimpan nada kemarahan yang meluap.
"Phuih! Jangan coba-coba
mengancam, Pendekar Rajawali Sakti. Semua orang boleh gentar dan mengagumimu.
Tapi aku tahu kalau kau sekarang ini tidak lebih dari seonggok sampah busuk!
Kau harus mampus sebelum malapetaka yang lebih besar menimpa seluruh
manusia!" lantang suara Urawan.
"Lancang sekali mulutmu,
Urawan!" bentak Ki Buyut Kaweyan gusar.
"Kau juga harus mampus, Ki
Buyut!" dengus Urawan ketus.
"Kata-katamu tidak mungkin
lagi bisa dimaafkan, Urawan!" desis Ki Buyut Kaweyan menggeram. Wajah
laki-laki tua itu memerah bagai terpanggang. Mendadak saja, Ki Buyut Kaweyan
melompat sambil berteriak keras menerjang Urawan.
Namun rupanya Urawan sudah
bersiap sejak tadi. Bergegas dimiringkan tubuhnya ke kanan untuk berkelit. Dan
dengan cepat goloknya dikibaskan ke arah pinggang Ki Buyut Kaweyan.
Wut! "Uts!" Cepat
sekali Ki Buyut Kaweyan menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan golok
Urawan hanya beberapa rambut di depan perut laki-laki tua itu. Namun Ki Buyut
Kaweyan langsung melentingkan tubuhnya ke atas, melewati kepala laki-laki
berbaju merah itu. Dan dengan satu tendangan keras, Urawan berhasil dibuat
terjengkang ke depan.
"Setan keperat...!"
geram Urawan bergegas memutar tubuhnya sambil mengibaskan goloknya.
Meskipun sudah berusia lanjut,
namun Ki Buyut Kaweyan masih teriihat lincah. Manis sekali dihindari tebasan
golok Urawan. Bahkan masih juga mampu memberikan serangan balasan. Pertarungan
tidak mungkin bisa dihindari lagi. Bahkan Rangga sendiri sudah tidak bisa
mencegah. Pendekar Rajawali Sakti itu hanya mengawasi sembilan belas orang
lainnya, kalau-kalau berbuat curang. Begitu juga Pandan Wangi.
Jurus demi jurus terlewat cepat.
Namun belum ada tanda-tanda bakal ada yang terdesak. Kini Ki Buyut Kaweyan
sudah menggunakan senjatanya yang berupa rantai baja putih berbandul bola
berduri dengan senjata itu, Ki Buyut Kaweyan semakin sukar ditaklukkan. Namun,
rupanya Urawan juga bukan lawan enteng. Permainan jurus-jurus goloknya sungguh
dahsyat dan sangat berbahaya. Gerakan-gerakannya sangat luar biasa. Setiap
kibasan goloknya mengandung hantaman angin yang begitu kuat disertai hawa panas
menyengat.
Memasuki jurus kedua puluh,
tampak kalau Ki Buyut Kaweyan mulai goyah. Laki-laki tua itu tidak sanggup
menghadapi hawa panas yang membuat dadanya terasa sesak, dan sulit bernapas.
Entah sudah berapa kali tubuhnya harus bergelimpangan menghindari serangan
Urawan. Bahkan sudah tidak terhitung lagi, berapa kali menerima pukulan dan
tendangan keras. Hingga suatu saat...
"Mampus kau!
Hiyaaat...!" Mendadak saja Urawan berteriak keras sambil melontarkan satu
pukulan tangan kiri yang sangat cepat dan bertenaga dalam tinggi. Saat itu Ki
Buyut Kaweyan baru saja bangkit berdiri, dan tidak mungkin lagi menghindarinya.
Des! "Akh...!" Ki Buyut
Kaweyan memekik keras. Tubuh tua itu terpental ke belakang sejauh dua batang
tombak. Dan pada saat Ki Buyut Kaweyan limbung, Urawan sudah melompat cepat
sambil mengibaskan goloknya beberapa kali.
"Hup! Uts...!" Ki Buyut
Kaweyan masih berusaha berkelit menghindari tebasan golok yang mengandung hawa
panas luar biasa. Namun pada kibasan yang entah keberapa kali, laki-laki tua
itu tidak bisa lagi menghindari. Sehingga...
"Akh...!" lagi-lagi Ki
Buyut Kaweyan memekik keras. Darah langsung mengucur deras dari bahu laki-laki
tua itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke balakang. Pada saat itu, Urawan sudah
melompat kembali sambil menghunus golok lurus ke depan. Dalam posisi seperti itu,
tak ada lagi kesempatan bagi Ki Buyut Kaweyan untuk berkelit. Namun belum juga
ujung golok Urawan dapat menyentuh tubuh laki-laki tua mendadak...
"Hup! Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Pandan Wangi melentingkan tubuhnya sambil mancabut kipas baja
putih yang terselip di sabuknya. Dangan kipas terbuka lebar, gadis itu
mengepakkannya, menyampok golok Urawan.
Tring! Bunga api memijar saat
kedua senjata itu beradu tidak jauh di depan dada Ki Buyut Kaweyan. Pandan
Wangi sempat mendorong laki-laki tua itu hingga terhuyung ke arah Rangga.
Sementara Urawan sempat terkejut, lalu bergegas melompat mundur. Tampak
bibirnya yang tebal meringis kecil. Sepasang matanya memerah bagai sepasang
bola api yang berkobar menyala.
"Setan betina!" geram
Urawan mengumpat.
"Kau terlalu kejam, Urawan.
Tidak sepatutnya memberi contoh buruk pada anak buahmu!" dengus Pandan
Wangi dingin.
"Phuih! Apa
pedulimu...?!" bentak Urawan gusar. Goloknya sudah dilintangkan di depan
dada.
Sementara itu Rangga membantu Ki
Buyut Kaweyan menghentikan darah yang mengalir dari luka di bahu. Tidak terlalu
lebar, tapi cukup dalam sehingga darah yang keluar begitu banyak. Rangga
memberikan tiga totokan di sekitar luka, sehingga darah berhenti mengalir
seketika. Sementara itu Urawan yang sudah memuncak amarahnya menggerak-gerakkan
goloknya di depan dada. Kakinya bergerak bergeser menyusur tanah. Pandangan
matanya sangat tajam menusuk, mengamati sikap Pandan Wangi yang hanya diam saja
sambil memain-mainkan kipas baja putih yang ujung-ujungnya runcing.
"Mampus kau, perempuan
laknat! Hiyaaat...!" seru Urawan keras.
"Hup! Hiyaaa...!"
"Pandan, mundur...!"
seru Rangga keras.
***
Tapi seruan Pendekar Rajawali
Sakti tidak mungkin lagi membendung pertarungan. Urawan sudah menyerang lewat
jurus-jurus pendek, mencecar Pandan Wangi yang sempat terhenti mendengar seruan
Rangga yang begitu keras. Untung saja gadis itu masih bisa cepat berkelit, dan
menjaga jarak. Sehingga masih bisa mengontrol setiap serangan yang cepat
datangnya dan sangat dahsyat itu. Rangga tak dapat lagi mencegah. Sementara
Urawan tampak begitu bernafsu hendak merobohkan si Kipas Maut.
Namun rupanya Pandan Wangi
bukanlah seorang gadis lemah, tanpa ilmu olah kanuragan. Kali ini Urawan
mendapat lawan tangguh dan sudah banyak mengenyam pahit getirnya kehidupan
rimba persilatan yang keras dan penuh persaingan. Meskipun Urawan langsung
mengerahkan jurus-jurus ampuh, namun belum juga berhasil mendesak pertahanan
Pandan Wangi. Bahkan tanpa diduga sama sekali, si Kipas Maut itu mampu membalas
dahsyat. Urawan jadi kelabakan menghindari setiap serangan kipas baja putih
yang sebentar mengembang dan sebentar kemudian menutup rapat!
"Lepas…!" tiba-tiba
Pandan Wangi berteriak keras. Seketika itu juga dikebutkan kipasnya yang
mengembang tarbuka. Urawan tampak terkesiap, buru-buru dikebutkan goloknya
melindungi leher dari serangan si Kipas Maut.
Trang!
"Akh...!" Semua orang
yang berada di situ jadi terlongong kecuali Rangga yang sudah mengetahui
kedigdayaan Pandan Wangi. Sungguh sukar dipercaya! Golok Urawan yang begitu
besar dan kelihatan berat terpenggal buntung oleh kipas baja putih Pandan
Wangi. Belum lagi Urawan bisa terbebas dari rasa terkejut, Pandan Wangi sudah
berteriak keras sambil melayangkan satu tendangan lurus ke arah dada.
"Hiyaaat...!"
Des! "Akh...!" kembali
Urawan memekik keras tertahan. Laki-laki bertubuh tinggi tegap itu terjajar ke
belakang sejauh tiga batang tombak. Dan belum lagi sempat bangkit berdiri,
Pandan Wangi sudah melompat. Langsung dijejak dada laki-laki itu dengan
lututnya yang tertekuk. Ujung kipas yang runcing tajam, ditekan ke tenggorokan
Urawan.
"Aku bisa membunuhmu dengan
mudah, keparat!" geram Pandan Wangi mengancam.
"Phuih! Kau pikir aku takut
mati? Heh!?" dengus Urawan sengit.
Plak!
"Akh!" Satu tamparan
keras mendarat di pipi Urawan, hingga laki-laki itu terpekik. Darah muncrat
keluar dari mulutnya.
Pandan Wangi bergegas bangkit
berdiri dan melangkah mundur beberapa tindak. Sementara Urawan masih
tergeletak, dan matanya memerah menyimpan kemarahan yang amat sangat. Mulutnya
menggeram sambil menyeka darah dengan punggung tangan kanan pada dua sudut
bibirnya. Pelahan dia bangkit berdiri.
"Pergilah, sebelum aku
berubah pikiran mengirim kalian semua ke neraka!" bentak Pandan Wangi
tajam.
Urawan tidak menyahuti.
Dipandanginya Pandan Wangi dengan hati panas terbalut dendam. Belum pernah
dirinya dipecundangi begini rupa oleh seorang gadis di depan anak buahnya.
Urawan mengegoskan kepalanya sedikit, dan tiba-tiba saja sembilan belas anak
buahnya bergerak maju, sambil melintangkan golok di depan dada.
"Tahan...!" seru Rangga
keras.
Seruan yang dibarengi pengerahan
tenaga dalam itu membuat orang-orang yang hendak mengeroyok langsung berhenti
bergerak. Mereka semua memandang Pendekar Rajawali Sakti yang tengah melangkah
menghampiri Pandan Wangi. Pemuda berbaju rompi putih itu kini berdiri tegak di
samping si Kipas Maut.
"Dengar! Jika tetap
membandel, kalian akan mati sia-sia! Kami bukan musuh kalian, tapi si Iblis
Selaksa Racun!" lantang suara Rangga berbicara.
"Kami semua memang hendak
membunuh si Iblis Selaksa Racun. Tapi kau harus mati lebih dulu, Pendekar
Rajawali Sakti!" sahut Urawan tidak kalah lantangnya.
"Siapa yang memerintahkan
kalian untuk membunuhku?" tanya Rangga seraya mengedarkan pandangannya ke
sekeliling.
Tak ada seorang pun yang
menjawab. Sembilan belas orang anggota partai Golok Perak itu saling
berpandangan satu sama lainnya, kemudian sama-sama memandang Urawan yang agak
terpisah dari anak buahnya. Saat itu Rangga dan Pandan Wangi menatap tajam
Urawan yang melangkah mundur beberapa tindak.
"Jangan hiraukan
manusia-manusia iblis ini! Kalian semua akan mati keracunan jika tidak
membunuhnya!" seru Urawan lantang.
"Jika aku memang menyebarkan
racun, kalian tentu tidak akan melihat Ki Buyut hari ini. Juga, gadis ini"
Rangga menunjuk Pandan Wangi di sampingnya.
Sembilan belas orang itu
kelihatan ragu-ragu dan bimbang, setelah melihat kenyataan kalau Ki Buyut
Kaweyan dan Pandan Wangi masih hidup. Padahal orang itu selalu berdekatan
dengan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan menurut kabar, siapa saja yang
berdekatan dengan Pendekar Rajawali Sakti akan mati ketika itu juga.
Memang sudah tersiar desas-desus
kalau Pendekar Rajawali Sakti terkena racun akibat bertarung melawan si Iblis
Selaksa Racun. Bahkan pemuda berbaju rompi putih ini sempat menghilang berapa
waktu. Setelah saling berpandangan sejenak, sembilan belas orang bersenjata
golok itu bergegas pergi. Mereka tidak mempedulikan Urawan yang
berteriak-teriak memerintahkan untuk tetap tinggal. Melihat sikap anak buahnya
itu, Urawan jadi gusar. Mulutnya menggeram, mengumpat, dan memaki
habis-habisan.
***
LIMA
Merasa tidak ada lagi
pengikutnya, Urawan jadi kelabakan juga. Matanya berputar, merayap ke
sekeliling mencari sesuatu. Tapi yang diinginkan tidak ditemukan. Sebentar
dipandanginya Rangga, kemudian beralih pada Pandan Wangi. Pandangannya lalu
tertuju pada Ki Buyut Kaweyan yang sudah berada di punggung kudanya. Tak ada
lagi yang bisa diharapkan Urawan. Untuk mundur pun rasanya tidak mungkin lagi.
Di mana akan ditaruh mukanya? Posisi Urawan saat ini memang tidak menguntungkan
sama sekali. Dan disadari kalau dirinya tidak mungkin menghadapi ketiga orang
itu. Hanya menghadapi Pandan Wangi saja tidak mampu apalagi Pendekar Rajawali
Sakti.
"Persetan...!" dengus Urawan.
Tiba-tiba saja laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu melompat
menerjang Pandan Wangi yang berada di samping Rangga. Tentu saja perbuatan
nekadnya membuat si Kipas Maut terkejut. Demikia pula Rangga yang jadi terpana
karena tidak menyangka same sekali kalau Urawan akan berbuat senekad ini.
"Hiyaaa...!"
"Hait!"
Pandan Wangi cepat-cepat berkelit
memiringkan tubuhnya ke samping, menghindari pukulan Urawan yang begitu cepat
mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Tapi mendadak saja Urawan
merubah arah serangan, sebelum pukulannya yang diarahkan pada Pandan Wangi
mencapai sasaran. Cepat sekali laki-laki itu memutar tubuhnya seraya
melayangkan satu tendangan kilat menggeledek ke arah Rangga.
"Hap!" Tangkas sekali
Rangga menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tendangan Urawan hanya berada
beberapa jengkal di depan dadanya. Secepat kilat Rangga melentingkan tubuhnya,
begitu kaki Urawan lewat. Dan bagai seekor burung, Pendekar Rajawali Sakti itu
menukik deras dengan kaki berada di bawah.
Ternyata Rangga mengerahkan jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Gerakan kaki Pendekar Rajawali Sakti
begitu cepat, disertai lurukan yang tidak dapat diikuti pandangan mata biasa.
Hal ini membuat Urawan tidak sempat lagi menghindari serangan balik pemuda
berbaju rompi putih itu.
Des! Des! Prak!
"Aaa...!" Urawan
menjerit melengking tinggi. Due kali kaki Rangga menyambar kepala Urawan hingga
pecah. Laki-laki hampir setengah baya itu langsung menggelepar di tanah. Darah
berlumuran deras keluar dari kepala yang remuk terkena tendangan maut jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Kakang...," panggil
Pandan Wangi begitu Rangga menjejakkan kakinya di tanah, tidak jauh dari Urawan
yang sudah tidak bergerak-gerak lagi.
Rangga berpaling, memandang si
Kipas Maut yang sudah berada di sampingnya kembali. Kedua pendekar itu
memandangi mayat Urawan yang kepalanya pecah berlumuran darah. Saat itu Ki
Buyut Kaweyan juga, menghampiri sambil menuntun dua ekor kuda milik dua
pendekar itu. Dia sendiri masih berada di punggung kudanya. Luka di bahunya
sudah terbalut kain yang berlumuran darah.
"Seharusnya kau tidak perlu
membunuhnya, Kakang," kata Pandan Wangi pelan.
"Aku muak melihat manusia
berkepala dua seperti dia!" sahut Rangga mendengus.
Pendekar Rajawali Sakti itu
mengambil tali kekang kudanya dari tangan Ki Buyut Kaweyan. Dengan satu
loncatan indah dan sangat ringan, Pendekar Rajawali Sakti itu naik ke punggung
kuda hitam yang bernama Dewa Bayu. Pandan Wangi segera naik ke kuda putihnya
sendiri, yang tinggi dan tegap pemberian Rangga. Tanpa berkata apa-apa lagi,
mereka menggebah kudanya pelahan-lahan meninggalkan tempat itu.
Rangga berkuda paling depan,
sedangkan Pandan Wangi berada di belakangnya bersama Ki Buyut Kaweyan. Tak ada
seorang pun yang membuka mulut, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
Jalan pikiran yang berbeda, namun menuju pada titik yang sama. Tampak sekali
kalau Pandan Wangi selalu mendesah lirih manakala melihat punggung Rangga yang
kosong, tanpa sepucuk pedang pun.
"Ke mana tujuan kita
sekarang, Ki?" tanya Pandan Wangi setelah cukup lama juga berdiam diri.
"Entahlah. Aku menurut saja
ke mana Den Rangga pergi," sahut Ki Buyut Kaweyan juga pelan.
Pandan Wangi menarik napas
panjang dan terdengar berat. Diliriknya kuda Ki Buyut Kaweyan yang membawa
beban cukup banyak juga. Entah apa yang dibawa laki-laki tua itu, Ki Buyut
Kaweyan hanya mengatakan kalau yang dibawa adalah bekal untuk perjalanan.
Gadis itu kembali mengalihkan
pandangannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang berkuda di depan. Ada jarak
sekitar tiga batang tombak antara mereka. Meskipun kelihatan laju kuda mereka
sama, tapi Dewa Bayu terlihat semakin membuat jarak saja. Kuda hitam itu memang
luar biasa, dan bukan kuda sembarangan.
***
Sudah tiga desa disinggahi, dan
selalu saja terjadi masalah. Sudah beberapa kali Rangga, Pandan Wangi, dan Ki
Buyut Kaweyan harus bentrok melawan orang-orang rimba persilatan yang hendak
membunuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Entah dari mana tersebarnya berita
tentang diri Pendekar Rajawali Sakti yang tercemar racun mematikan. Tak ada seorang
pun yang mau mendekat.
Setiap kali menjumpai seseorang
dalam perjalanan, maka orang itu selalu menghindar karena takut terkena racun
yang menyebar dari tubuh Rangga. Memang sanngat menyakitkan, tapi harus
dihadapi dengan tabah. Namun hal ini membuat Rangga jadi berang juga. Sulit
dimengerti, kenapa setiap orang yang dijumpai selalu menghindar. Bahkan tidak
sedikit tokoh rimba persilatan yang mengejar hendak membunuhnya.
Yang lebih menyakitkan lagi, yang
mengejar adalah tokoh-tokoh rimba persilatan dari golongan putih. Hal ini
membuat Rangga, Pandan Wangi, dan Ki Buyut Kaweyan jadi serba salah. Karena
jelas, tidak mungkin memerangi orang-orang yang berada satu jalur dalam
memerangi kejahatan dan keangkaramurkaan.
"Setan...!" umpat
Rangga ketika baru saja akan menghampiri seorang laki-laki perambah hutan.
Laki-laki setengah tua dan
berdada telanjang itu langsung lari sambil berteriak-teriak minta tolong begitu
melihat Rangga yang selalu didampingi Pandan Wangi dan Ki Buyut Kaweyan
menghampiri. Entah dari mana sumbernya, hampir semua orang yang dijumpai selalu
mengenali Pendekar Rajawali Sakti itu. Satu hal yang tidak biasanya terjadi.
Rangga bukan saja terkenal karena kedigdayaannya, tapi kini juga dikenal karena
menyebarkan maut. Pendekar Rajawali Sakti itu seperti momok yang sangat
menakutkan.
"Sabar, Kakang. Mereka yang
tidak tahu apa-apa tidak bisa disalahkan," kata Pandan Wangi meredakan
amarah Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Tidak seharusnya mereka
berbuat seperti itu padaku, Pandan!" rungut Rangga gusar.
"Kehidupan tidak selamanya
mengenakkan, Den Rangga. Ada kalanya kita berada di atas, tapi juga ada kalanya
berada di bawah. Rasa manis tidak akan selamanya bisa dikecap. Tentu ada juga
pahitnya," Ki Buyut Kaweyan ikut berbicara.
Rangga menatap laki-laki tua yang
selalu setia mengikutinya sejak dari Desa Sanggung. Pendekar Rajawali Sakti itu
menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Sebenarnya Rangga
tidak ingin menyusahkan Ki Buyut Kaweyan lagi. Apalagi sudah terlalu banyak
membuat kesulitan pada laki-laki tua itu.
Bahkan anak dan istri Ki Buyut
Kaweyan tewas hanya karena menolongnya dari kejaran orang-orang yang hendak
membunuhnya saat Rangga terluka berat. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali
teringat pada pertarungannya, yang benar-benar melelahkan dan sangat menguras
tenaga.
Belum pernah dia bertarung hingga
dua hari dua malam penuh tanpa henti. Tapi kalau saja tidak dicurangi, tentu
lawannya bisa dikalahkan. Rangga mendesah panjang, lalu mendongakkan kepalanya.
"Aku tidak tahu, bagaimana
harus membalas budimu, Ki Buyut," desah Rangga pelan.
"Tidak ada yang harus
dibalas, Den. Semua yang kulakukan atas dasar kerelaan. Bahkan anak dan istriku
tersenyum gembira bisa mengorbankan nyawan demi seorang junjungan," jawab
Ki Buyut Kaweyan mantap.
"Junjungan...?!" Pandan
Wangi mengerutkan keningnya, lalu menatap dalam-dalam Ki Buyut Kaweyan.
"Pandan, Ki Buyut ini dulu
seorang penasehat terpercaya ayahku. Dia tahu kalau aku...," ucapan Rangga
terputus.
"Semua kuketahui dari kalung
yang dikenakannya. Hanya ada tiga. Dan itu dikenakan oleh Rangga Pati Permadi,
Danupaksi, dan Cempaka. Aku tahu semua itu. Bahkan juga tahu kalau Karang Setra
kini sudah menjadi kerajaan yang besar," sambung Ki Buyut Kaweyan.
"Dan kau jangan sekali-kali
memanggilku dengan sebutan Gusti, Ki Buyut," selak Rangga cepat.
Ki Buyut Kaweyan hanya tersenyum
saja. Sementara Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak disangka
kalau Ki Buyut Kaweyan dulunya seorang penasehat adipati di Kadipaten Karang
Setra yang kini sudah menjadi Kerajaan Karang Setra. Tidak heran kalau seorang
penasehat pribadi pasti mengetahui semuanya, termasuk kalung yang merupakan
pertanda keturunan sah Adipati Arya Permadi.
Dan Pandan Wangi tidak ingin
bertanya, bagaimana Ki Buyut Kaweyan meninggalkan Karang Setra lalu menetap di
Desa Sanggung. Padahal, desa itu jauh dari Kota Kerajaan Karang Setra, meskipun
masih termasuk wilayah kerajaan itu. Seperti juga halnya bekas para pembesar
kadipaten lainnya, tentu Ki Buyut Kaweyan meninggalkan Karang Setra karena
tidak suka mengabdi pada Wira Permadi yang merebut kekuasaan secara tidak sah.
(Untuk lebih jelas, baca Serial Pendekar Rajawali Sakti. Dalam kisah, Api di
Karang Setra)
"Ayo, kita jalan lagi,"
ajak Rangga seraya menggebah kudanya.
Mereka kembali melanjutkan
perjalanan tanpa banyak bicara lagi. Kali ini sengaja melintasi pemukiman
penduduk, untuk mencegah ketidakenakan di hati Pendekar Rajawali Sakti.
Masalahnya sudah jelas, bahwa kabar tentang diri Rangga yang terjangkit racun
mematikan sudah menyebar luas. Apalagi racun itu dapat menular dan bisa
mematikan! Bahkan bisa jadi kabar itu sudah sampai ke Kotaraja Kerajaan Karang
Setra. Dan inilah yang dikhawatirkan Pandan Wangi.
"Kakang, Kotaraja tidak jauh
lagi dari sini. Bagaimana kalau singgah dulu di istana?" usul Pandan
Wangi, bernada ragu-ragu.
"Untuk apa?" tanya
Rangga enggan.
"Kau bisa menyebar telik
sandi untuk mencari keterangan sumber berita bohong ini, Kakang. Yang
terpenting adalah mencari si Iblis Selaksa Racun,." sahut Pandan Wangi
memberi alasan atas sarannya tadi.
Rangga hanya tersenyum saja. Dan
memang, Pendekar Rajawali Sakti itu telah merencanakan hendak kembali ke istana
untuk melihat keadaan selama ditinggalkan mengembara. Tapi sesuatu telah
terjadi sehingga rencananya terhalang. Bahkan sekarang ini sepertinya enggan
menginjakkan kakinya di tanah kelahirannya itu.
Belum berapa jauh mereka
melanjutkan perjalanan, mendadak dikejutkan suara gaduh dan jeritan-jeritan
melengking. Kadang-kadang bahkan juga terdengar keluhan keras, disertai denting
senjata beradu. Suara-suara itu datang tidak jauh di depan mereka. Sebentar
ketiga orang itu saling berpandangan, lalu cepat menggebah kudanya menuju ke
arah suara tadi.
Meskipun sudah cepat menggebah
kudanya, namun Pandan Wangi dan Ki Buyut Kaweyan tertinggal jauh oleh kuda
hitam yang ditunggangi Pendekar Rajawah Sakti. Kuda hitam yang bernama Dewa
Bayu itu berlari bagaikan tarbang saja. Sebentar saja sudah begitu jauh
meninggalkan dua orang penunggang kuda di belakangnya.
"Hiya! Hiya…!" Rangga
terus menggebah kudanya dencan cepat seakan-akan lupa kalau masih ada dua orang
yang tertinggal jauh di belakang. Dewa Bayu terus berlari cepat meninggalkan
debu dan dedaunan kering yang mengepul membumbung tinggi ke angkasa.
"Oh, tidak…!" pekik
Rangga tiba-tiba.
***
Apa yang disaksikan Pendekar Rajawali
Sakti itu memang sungguh sukar dipercaya. Suara-suara yang didengarnya sudah
tidak ada lagi, tepat pada saat dirinya tiba. Rangga bergegas melompat turun
dari punggung kudanya. Kedua bola matanya membeliak tidak percaya, memandangi
mayat-mayat yang bergelimpangan tidak tentu arah. Yang membuat pemuda berbaju
rompi putih itu terbeliak, ternyata mayat-mayat itu mengenakan seragam Prajurit
Karang Setra.
Apalagi jumlahnya juga tidak
sedikit. Sekitar lima puluh orang bergelimpangan tanpa nyawa lagi. Rangga
benar-benar terpaku, karena tidak melihat setetes darah pun yang mengalir
membasahi tanah. Mayat-mayat yang bergelimpangan dengan wajah membiru itu
memang tidak terluka. Pendekar Rajawali Sakti itu mendekati salah satu mayat,
dan memeriksanya.
"Tidak..! Tidak
mungkin...!" Rangga mendesis seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sukar
baginya untuk mempercayai kalau mayat-mayat berseragam prajurit ini tewas
karena keracunan.
Tepat pada saat Rangga bangkit
berdiri, Pandan Wangi dan Ki Buyut Kaweyan muncul. Mereka bergegas melompat
turun dari punggung kuda masing-masing, dan bergegas pula menghampiri Rangga
yang tengah terpaku memandangi mayat-mayat berseragam Prajurit Karang Setra.
"Kakang...," pelan
suara Pandan Wangi, agak tarcekat di tenggorokan.
"Iblis Selaksa
Racun...," desis Ki Buyut Kaweyan mengenali ciri-ciri kematian para
Prajurit Karang Setra.
"Oh, benarkah...?!"
Pandan Wangi tersentak kaget, setengah tidak percaya. Pandan Wangi ingin
memeriksa salah satu mayat di dekatnya, tapi Rangga keburu mencegah dan menarik
tangan gadis itu. Cepat-cepat Rangga membawanya menyingkir jauh-jauh. Demikian
juga Ki Buyut Kaweyan yang bergegas meninggalkan tempat itu sambil menuntun
tiga ekor kuda.
"Ada apa, Kakang?"
tanya Pandan Wangi.
"Aku tidak ingin kau mati
seperti mereka, Pandan," sahut Rangga.
"Maksudmu...?" tanya
Pandan Wangi tidak mengerti.
"Mereka semua tewas karena
racun, yang tersebar dari seluruh tubuh si Iblis Selaksa Racun. Sekali saja kau
sentuh tubuh mereka, maka racun yang ada akan berpindah padamu," Rangga
menjelaskan.
Pandan Wangi masih belum mengerti
dan ingin bertanya lagi, tapi tidak punya kesempatan karena Rangga sudah
mendekati mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Gadis itu hendak menghampiri,
tapi Ki Buyut Kaweyan sudah keburu mencegahnya. Dia hanya bisa melihat Pendekar
Rajawali Sakti yang tengah menumpuk mayat-mayat itu menjadi sepuluh tumpukan.
Kemudian ditimbunnya mayat-mayat itu dengan ranting-ranting kering.
Tak berapa lama kemudian, api
berkobar membakar tubuh-tubuh prajurit yang bertumpukan tertimbun ranting
kering. Rangga bergegas menghampiri Pandan Wangi dan Ki Buyut Kaweyan. Gadis
itu hendak mendekati Rangga, tapi Ki Buyut Kaweyan epat-cepat mencekal tangan
gadis itu.
"Kenapa, Ki?" tanya
Pandan Wangi.
"Jangan, Nini. Den Rangga
baru saja menyentuh tubuh mereka," tegas Ki Buyut Kaweyan agak khawatir
juga.
"Jangan khawatir, Ki. Tidak
ada sedikit racun pun yang bisa bersarang di tubuhku," kata Rangga seraya
tersenyum.
"Tapi...," Ki Buyut
Kaweyan masih terlihat khawatir.
"Kakang Rangga kebal
terhadap segala jenis racun, Ki," Pandan Wangi memberitahu.
"Racun itu sangat dahsyat
dan mematikan, Den," masih terdengar kekhawatiran dalam nada suara Ki
Buyut Kaweyan.
"Memang benar, Ki. Dan aku
sempat juga terbius. Meskipun kebal terhadap segala jenis racun, tapi aku
sempat terbius karena terlalu banyak menghirup udara beracun sewaktu bertarung
dengannya. Aku sempat goyah dan terjerumus ke dalam jurang setelah mendapat tiga
pukulan beruntun di dada," jelas Rangga.
"Oh! Kau sudah bisa
mengingatnya, Kakang?" seru Pandan Wangi gembira.
Rangga hanya tersenyum saja.
Memang, sedikit demi sedikit Rangga mulai pulih kesadarannya. Dan itu terjadi
secara bertahap serta memerlukan waktu yang cukup lama. Terlebih lagi, selama
dalam perjalanan ini, secara tidak langsung, beberapa peristiwa yang terjadi
membangkitkan ingatan Rangga kembali.
"Kakang, bagaimana awal
mulanya hingga kau bisa bertarung dengan Iblis Selaksa Racun?" tanya Pandan
Wangi.
"Peristiwanya sendiri
terjadi di Desa Sanggung. Waktu itu aku menemukan banyak penduduk yang tewas
akibat keracunan. Kucoba untuk menyelidiki dan kutemukan sumbernya dari mata
air yang sudah tercemar racun akibat Iblis Selaksa Racun sering mandi di situ.
Aku memintanya untuk meninggalkan Sanggung, tapi dia membangkang. Bahkan
mengancam hendak membunuh semua orang di Kerajaan Karang Setra...," Rangga
mulai mengisahkan.
"Dan akhirnya kau bertarung
dengannya?" tebak Pandan Wangi langsung.
"Benar. Aku tidak punya
pilihan lain lagi. Orang itu sangat berbahaya. Terlebih lagi ketika dengan
kepala sendiri aku melihat beberapa orang dari Partai Golok Perak tewas hanya
karena tersentuh sedikit saja."
"Kakang, apakah kepandaian
manusia beracun sangat tinggi?" tanya Pandan Wangi agak bergidik juga
mendengar Iblis Selaksa Racun mampu menewaskan orang hanya dengan menyentuhkan
sedikit saja ujung jarinya.
"Tidak. Bahkan boleh
dikatakan dangkal. Tapi tidak mudah untuk mendekatinya. Aku sendiri kesulitan
untuk bisa menyentuhnya. Racun yang tersebar dari seluruh tubuhnya sangat
dahsyat. Apalagi dia juga memiliki suatu ilmu yang sangat aneh. Bisa menolakkan
apa saja tanpa melakukan sesuatu."
"Maksudmu?" Pandan
Wangi tidak mengerti.
"Dia seperti memiliki benteng
yang mengelilingi tubuhnya. Entah apa namanya, yang jelas tidak mudah
ditembus," Rangga merasa sukar untuk menjelaskannya.
Meskipun masih belum begitu
mengerti, tapi Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Dia tahu betul kalau Rangga
mengalami kesulitan untuk menjelaskannya. Memang Pendekar Rajawali Sakti itu
sendiri belum mengetahui ilmu yang digunakan Iblis Selaksa Racun, sehingga
memiliki suatu bentuk pertahanan yang tidak terlihat dan sukar ditembus.
Mereka kembali meneruskan
perjalanannya setelah api yang membakar mayat-mayat Prajurit Karang Setra
mengecil. Angin yang berhembus agak keras siang ini menyebarkan debu bekas
bakaran. Mereka kembali menunggang kuda pelahan-lahan, dan tak ada yang membuka
suara sedikit pun.
"Uhk..!" tiba-tiba Ki
Buyut Kaweyan mengeluh dan terbungkuk sambil memegangi dadanya.
"Ki..!" Pandan Wangi
yang berkuda di samping laki-laki tua itu terkejut.
Bruk! Mendadak saja Ki Buyut
Kaweyan terguling jatuh dari punggung kudanya. Pandan Wangi bergegas melompat
turun dan hendak menghampiri laki-laki tua itu. Tapi belum sempat menyentuhnya,
Rangga sudah mencegah lebih dahulu.
"Pandan, jangan...!"
"Tapi...," Pandan Wangi
tidak jadi menyentuh tubuh Ki Buyut Kaweyan yang mengerang dan merintih lirih
sambil memegangi dada.
"Mundur, kataku!"
bentak Rangga seraya melompat turun dari punggung Dewa Bayu.
Pandan Wangi tidak mengerti, tapi
melangkah mundur juga. Bergegas Rangga menghampiri Ki Buyut Kaweyan yang
menggeletak di tanah. Erangan dan rintihan lirih terdengar dari bibir yang
terlihat membiru. Rangga memeriksa dada laki-laki tua itu, lalu mengeluh
panjang.
"Kakang, kenapa Ki
Buyut?" tanya Pandan Wangi tidak berani mendekat.
"Menyingkirlah lebih jauh,
Pandan Wangi. Ki Buyut terkena hawa beracun," sahut Rangga memperingatkan.
"Hawa beracun...?!"
Pandan Wangi benar-benar, tidak mengerti, tapi akhirnya melangkah mundur juga
menjauhi tempat itu.
Sementara Rangga merobek baju
yang dikenakan Ki Buyut Kaweyan. Ditempelkan kedua telapak tangannya di dada
yang mulai terlihat membiru itu, Pendekar Rajawali Sakti berusaha menyalurkan
hawa murni ke dalam tubuh Ki Buyut Kaweyan.
"Tidak perlu, Den.
Percuma...," rintih Ki Buyut Kaweyan lirih. Rangga menghentikan usahanya.
Pelahan dijauhkan kedua telapak tangannya dari dada laki-laki tua itu.
Sedangkan napas Ki Buyut Kaweyan mulai tersengal. Wajahnya pun sudah mulai
membiru, dan bibirnya bergetar seolah-olah hendak mengucapkan sesuatu. Rangga
mendekatkan telinganya ke bibir yang sudah membiru itu.
"Den..., pedang itu ada
di...," terputus suara Ki Buyut Kaweyan yang begitu lemah.
"Ki...,"
Rangga berusaha agar Ki Buyut
Kaweyan bisa bertahan untuk beberapa saat. Sebentar Ki Buyut Kaweyan terbatuk
sebelum melanjutkan kata-katanya. Rangga semakin mendekatkan telinganya di
depan bibir laki-laki tua itu.
"Aku menyimpan pedangmu di
Goa Kera..., akh!"
"Ki...!" sentak Rangga.
Tapi Ki Buyut Kaweyan sudah menghembuskan napasnya yang terakhir. Seluruh wajah
dan tubuhnya membiru. Dari mulutnya keluar buih berwarna kuning kehijauan.
Rangga berlutut sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sementara jauh di belakang
Pendekar Rajawali Sakti itu, Pandan Wangi hanya bisa memperhatikan.
"Begitu besar jasamu padaku,
Ki. Semoga kau tenang di samping Hyang Widi," desah Rangga lirih.
Dengan lesu, Pendekar Rajawali
Sakti itu mengumpulkan ranting kering, lalu menumpuknya di tubuh Ki Buyut
Kaweyan. Dengan batu pemantik api dinyalakan ranting-ranting kering itu. Api
cepat berkobar melahap ranting yang tertumpuk di atas tubuh Ki Buyut Kaweyan.
Pelahan-lahan Rangga melangkah mundur menjauh. Hanya dengan cara itulah pengaruh
racun bisa dihilangkan.
"Kakang...," panggil
Pandan Wangi, agak tersendat suaranya.
Rangga menoleh dan menghampiri
gadis itu. Untuk beberapa saat mereka hanya berhadapan saling pandang. Rangga
tidak tahu, apakah Pandan Wangi sudah tercemar racun yang tersebar dari tubuh
Iblis Selaksa Racun atau belum. Tapi hatinya merasa khawatir juga.
"Kakang, apakah aku juga
sudah terkena hawa racun itu?" tanya Pandan Wangi seperti bisa membaca
arti sorot mata Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Entahlah," desah
Rangga tidak yakin.
Pandan Wangi menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Sementara Rangga menghempaskan
tubuhnya, duduk bersandar pada sebatang pohon yang cukup rindang untuk menaungi
diri dari sengatan matahari. Sementara Pandan Wangi hanya berdiri saja
memandangi api yang masih berkobar membakar tubuh Ki Buyut Kaweyan.
***
ENAM
Rangga menghentikan lari kudanya
secara tiba-tiba. Ternyata seorang perempuan tua mengenakan baju hitam telah
menghadang di tengah jalan. Tangan kanannya memegang cambuk berbentuk ekor
kuda. Jubah hitam yang panjang, berkibar-kibar tertiup angin senja. Sementara
Pandan Wangi yang berkuda di samping Pendekar Rajawali Sakti itu sudah
mengenali perempuan tua itu, meskipun belum tahu namanya.
"Hhh...! Kau lagi, Cambuk
Sakti!" dengus Rangga bernada kurang senang melihat perempuan tua itu
menghadang jalannya.
"Hik hik hik.... Aku akan
selalu ada selama kau belum memenuhi tuntutanku, Pendekar Rajawali Sakti!"
tegas perempuan tua yang dikenal Rangga bernama si Cambuk Sakti.
"Kakang, apa
maksudnya?" tanya Pandan Wangi setengah berbisik.
"Jangan dengarkan
kata-katanya, Pandan, dia orang yang tidak waras!" sahut Rangga.
"Hik hik hik... Kau akan
berkata lain tentang diriku, Pendekar Rajawali Sakti. Kalau saja kau...."
"Persetan dengan cucumu,
Cambuk Sakti!" sontak Rangga memotong cepat.
"Sebenarnya aku tidak akan
memaksamu, Pendekar Rajawali Sakti. Kau telah memenangkan sayembara yang
kuadakan untuk cucuku Nilam Kencana. Hanya kau yang cocok menjadi suaminya,
karena berhasil mengalahkannya," tegas si Cambuk Sakti.
"Kakang, ada apa lagi
ini?" tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak menyahuti, tapi
langsung melompat turun dari punggung kudanya. Ringan sekali gerakan Pendekar
Rajawali Sakti itu. Tak ada suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah
berumput di depan kuda hitam tunggangannya.
Sementara Pandan Wangi bergegas
melompat turun, tapi hanya berdiri saja di samping kuda putihnya. Dia tidak
mengerti, tapi berbagai macam dugaan mulai memenuhi benaknya. Satu masalah
belum lagi selesai, kini muncul persoalan lagi.
"Cambuk Sakti, sebenarnya
aku juga tidak ingin berurusan denganmu. Sama sekali aku tidak pernah berniat
mengikuti sayembaramu. Bahkan mendengar pun tidak pernah. Nilam Kencana sendiri
yang tiba-tiba menyerangku tanpa alasan pasti. Sungguh... Aku tidak punya
maksud apa-apa, dan tidak melukainya sedikit pun. Aku hanya membuatnya tidak
sadarkan diri untuk beberapa saat," Rangga mencoba menjelaskan duduk
permasalahnnya.
"Aku tahu itu, Pendekar
Rajawali Sakti. Dan tidak akan pernah kusangkal. Tapi bagaimanapun juga, kau
sudah berhasil mengalahkan cucuku, dan sumpahku sudah jatuh. Siapa saja yang
berhasil mengalahkan Nilam Kencana, maka dialah jodohnya. Dan kau harus
menerimanya, Pendekar Rajawali Sakti," jelas Cambuk Sakti.
"Tidak mungkin...!"
dengus Rangga.
"Tidak ada waktu lagi untuk
berdebat, Pendekar Rajawali Sakti. Kau harus menikahi cucuku, atau memilih
mati!" dingin sekali suara si Cambuk Sakti bernada ancaman.
"Langkahi dulu mayatku,
perempuan edan!" bentak Pandan Wangi tiba-tiba. Gadis itu jadi panas
mendengar semua pembicaraan itu. Rasa cemburunya menggelegak bercampur berang.
Pandan Wangi percaya betul kalau Rangga tak mungkin akan menoleh pada wanita
lain. Dan gadis itu sudah bisa menebak, apa yang terjadi sebenarnya.
"Hik hik hik..," Cambuk
Sakti terkikik. "Bagus! Memang hanya kau satu-satunya penghalang, Kipas
Maut."
Sret! Pandan Wangi langsung saja
mengeluarkan kipas baja putihnya yang selalu terselip pada sabuk pinggang. Tapi
kipas itu belum juga dibuka, dan hanya digenggam dengan tangan kanan. Pelahan
kakinya melangkah menghampiri Rangga dan berdiri tegak di samping pemuda itu.
"Kau masih kuberi kesempatan
sekali lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Atau lebih senang jika gadis itu enyah
lebih dahulu?" ujar Cambuk Sakti seraya tersenyum sinis pada Pandan Wangi.
"Keparat..!" geram
Pandan Wangi memuncak amarahnya. Bagaikan seekor kijang, si Kipas Maut melompat
menerjang si Cambuk Sakti. Rrrt...! Cepat sekali gadis yang berjuluk si Kipas
Maut itu mengebutkan kipasnya yang langsung terbuka lebar. Dengan jurus-jurus
pendek yang cepat, gadis itu menyerang Cambuk Sakti.
Tapi Pandan Wangi jadi tersentak
juga, karena perempuan tua itu bisa menghindari setiap serangannya. Bahkan
diiringi senyum sinis, dan kadang-kadang tawa terkikik mengejek. Tentu saja hal
ini membuat si Kipas Maut jadi semakin gusar.
"Hiya! Hiya!
Hiyaaat...!" Pandan Wangi meningkatkan serangan-serangannya yang semakin
dahsyat. Kipas baja putih yang ujung-ujungnya runcing, berkelebatan cepat
mengurung tubuh si Cambuk Sakti. Namun setiap serangannya selalu dapat
dihindari dengan manis oleh Cambuk Sakti. Bahkan tiba-tiba saja...
"Lepas...!" Tap!
"Akh!" tiba-tiba saja
Pandan Wangi memekik tertahan.
Entah bagaimana kejadiannya,
tahu-tahu tangan kiri si Cambuk Sakti bergerak cepat menepak pergelangan tangan
kanan Pandan Wangi yang memegang kipas baja putih kebanggaannya. Dan tanpa
terbendung lagi, kipas baja putih itu melayang terpental ke udara. Sejenak si
Kipas Maut terkesiap. Belum lagi Pandan Wangi sempat melompat ingin mengejar
senjata mautnya, si Cambuk Sakti sudah mengebutkan senjatanya yang berbentuk
cambuk ekor kuda.
Ctar!
"Aaakh...!" Pandan
Wangi menjerit keras.
Ujung cambuk yang berbulu halus
itu tepat menghantam dada Pandan Wangi. Akibatnya, gadis itu terpental ke
belakang sejauh beberapa tombak. Secepat itu pula si Cambuk Sakti melompat
sambil berteriak keras.
Buk! Satu tendangan keras
bertenaga dalam tinggi mendarat di tubuh Pandan Wangi sebelum menyentuh tanah.
Tak pelak lagi, gadis itu bergulingan beberapa kali sambil memekik keras agak
tertahan. Tendangan Cambuk Sakti tepat menghantam perutnya.
"Mampus kau! Hiyaaat...!"
teriak Cambuk Sakti keras. Bagaikan seekor macan betina, perempuan tua itu
kembali melompat sambil mengebutkan cambuknya ke arah tubuh Pandan Wangi yang
masih bergulingan di tanah.
"Hiyaaat... !"
Tiba-tiba saja Rangga melesat cepat bagaikan kilat. Kakinya merentang lurus ke
depan, Pendekar Rajawali Sakti itu memotong arus si Cambuk Maut, dan sempat
dikibaskan tangannya ke arah dada.
"Uts!" Buru-buru si
Cambuk Sakti melentingkan tubuhnya ke belakang, lalu berputaran dua kali di
udara. Dan manis sekali kakinya mendarat di tanah. Tepat pada saat itu, Rangga
juga sudah berdiri kokoh di atas sepasang kakinya membelakangi Pandan Wangi
yang tergeletak sambil merintih lirih.
"Huh! Rupanya kau lebih
memilih mati daripada diberi kesenangan hidup!" dengus si Cambuk Sakti
sengit.
"Cambuk Sakti, kau jangan
memaksakan kehendakmu. Nilam Kencana belum cukup umur untuk memilih calon
suami. Dia baru berusia lima belas tahun, dan masih banyak yang harus
dilakukannya," ujar Rangga mencoba menyadarkan kekeliruan perempuan tua itu.
"Jangan mencari-cari alasan,
Pendekar Rajawali Sakti! Kau tinggal pilih, menikahi Nilam Kencana atau
mati!" bentak si Cambuk Sakti.
"Cambuk Sakti, sebaiknya
persoalan ini tidak perlu diperpanjang. Aku yakin, Nilam Kencana sendiri tidak
menyetujui rencanamu. Dia masih belum dewasa, dan masih perlu banyak belajar
untuk bekal hidupnya," Rangga tetap berusaha menyadarkan perempuan tua
berjubah hitam itu.
"Cerewet!" bentak si
Cambuk Sakti geram.
Baru saja Rangga akan membuka
mulut lagi, tiba-tiba saja perempuan tua yang berjuluk Cambuk Sakti itu sudah
cepat menerjang. Mau tidak mau Rangga terpaksa melayani perempuan tua itu. Dan,
dipergunakanlah jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
***
Kemarahan si Cambuk Sakti semakin
memuncak, karena Rangga seperti bermain-main saja. Pendekar Rajawali Sakti itu
hanya berkelit dan menghindari setiap serangannya tanpa membalas satu serangan
pun. Bahkan gerakan-gerakannya seperti mengejek.
Ctar! Ctar!
Si Cambuk Sakti
mengebut-ngebutkan cambukya beberapa kali mengarah ke bagian-bagian tubuh
Rangga yang mematikan. Namun dengan gerakan yang manis sekali, Pendekar
Rajawali Sakti itu mampu berkelit. Bahkan tak satu pun serangan si Cambuk Sakti
yang menemui sasaran. Tentu saja hal ini membuat perempuan tua berjubah hitam
itu semakin berang, karena merasa dipermainkan pemuda berbaju rompi putih itu.
"Phuih! Tahan seranganku
kali lni, bocah sombong!" dengus si Cambuk Sakti geram.
Cepat sekali perempuan tua itu
merubah jurusnya. Dan kali ini Rangga tidak bisa lagi menggunakan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'. Serangan-serangan yang dilancarkan Cambuk Sakti kali
ini sungguh dahsyat dan sulit diterka arahnya.
"Uts!" Rangga merunduk
ketika ujung cambuk berbentuk buntut kuda itu menyambar kepalanya. Namun belum
juga bisa menegakkan kepalanya lagi, mendadak si Cambuk Sakti melayangkan satu
tendangan menyimpang mengarah ke perut. Cepat dan tidak terduga sama sekali,
sehingga Rangga tidak sempat menghindarinya.
Buk!
"Heghk..!" Pendekar
Rajawali Sakti itu terdorong beberapa langkah ke belakang. Dan belum lagi bisa
menguasai keseimbangan tubuhnya, ujung cambuk buntut kuda itu sudah menggelegar
menjilat dada.
"Akh...!." Rangga
memekik keras. Seluruh rongga dada Pendekar Rajawali Sakti itu bagai terbakar,
dan mendadak saja napasnya terasa sesak.
Pada saat itu, si Cambuk Sakti
sudah menyerang kembali. Rangga benar-benar tidak diberi kesempatan untuk bisa
mengambil napas barang sejenak. Pendekar Rajawali Sakti yang baru saja pulih
dari cedera akibat bertarung melawan Iblis Selaksa Racun dan membuatnya bagai
hilang ingatan itu, jadi bulan-bulanan si Cambuk Sakti, Rangga benar-benar
tidak berdaya sama sekali. Tubuhnya jadi sasaran empuk setiap pukulan dan
tendangan perempuan tua itu. Bahkan tidak terhitung lagi, berapa cambukan
mendarat di tubuhnya.
"Mampus kau, bocah keparat!
Tidak ada yang boleh menghina cucuku!" bentak si Cambuk Sakti sengit.
"Hih, hiyaaa...!"
Cambuk Sakti mengangkat tubuh Rangga, dan melayangkan pukulan kerasnya ke wajah
pemuda berbaju rompi putih itu. Kemudian disusul sebuah tendangan bertenaga
dalam tinggi, sehingga membuat tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu membumbung
tinggi ke angkasa.
Pada saat yang bersamaan,
tiba-tiba meluncur sebuah bayangan merah ke arah Pendekar ajawali Sakti. Belum
lagi bayangan merah itu berhenti mencapai tubuh Rangga yang masih melayang di
angkasa, dari atas meluruk deras seekor burung raksasa berwarna hitam berkilat.
Cepat sekali burung raksasa itu menyambar tubuh Rangga dan membawanya pergi.
Pada saat tubuh Rangga
dilemparkan ke udara oleh Cambuk Sakti, terlihat sebuah bayangan merah meluncur
ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Belum juga bayangan merah itu berhasil
mencapainya, tiba-tiba dari atas meluruk deras seekor burung raksasa berwarna
hitam. Cepat sekali burung itu menyambar tubuh Rangga dan membawanya pergi.
"Nilam...!" seru si
Cambuk Sakti begitu mengenali bayangan merah yang berkelebat hendak menyambar
tubuh Rangga tadi.
Bayangan merah itu memang
ternyata seorang gadis berwajah cukup cantik. Bajunya merah ketat, sehingga
memetakan tubuhnya yang ramping dan indah. Setiap orang yang melihatnya tidak
akan percaya kalau gadis itu masih berusia lima belas tahun. Memang, tubuhnya
benar-benar sudah berbentuk indah bagai seorang gadis dewasa.
"Nenek kejam! Kenapa ingin
membunuh Kakang Rangga?" rungut Nilam Kencana memberengut.
"Bocah keparat itu sudah
sepantasnya mampus, Nilam!" dengus si Cambuk Sakti.
"Tapi, Kakang Rangga calon
suamiku, Nek," rengek Nilam Kencana manja.
"Lupakan saja, Nilam."
"Tidak!" sentak Nilam
Kencana keras. Gadis itu memandang sosok tubuh ramping yang tergeletak di
tanah. Pada saat yang sama, Cambuk Sakti juga berpaling menatap Pandan Wangi.
"Siapa dia, Nek?" tanya
Nilam Kencana.
"Pandan Wangi. Dia kekasih
Rangga," jawab si Cambuk Sakti mantap.
"Kekasih Kakang
Rangga...?!"
"Benar..."
"Huh! Tidak ada seorang pun
yang boleh merebut Kakang Rangga dari tanganku!" dengus Nilam Kencana.
Mendadak saja gadis muda berbaju
merah itu melompat sambil berteriak keras. Tangannya terkepal erat mengarah ke
kepala Pandan Wangi. Pada saat itu, Pandan Wangi tidak bisa berbuat lain, dan
hanya mampu membeliak saja dengan sikap pasrah. Tapi belum juga Nilam Kencana
berhasil menyarangkan pukulannya, tiba-tiba...
"Khraghk..!" Wut!
Mendadak seekor burung rajawali
putih raksasa meluncur deras menyambar tubuh Pandan Wangi yang tergolek di
tanah. Sehingga pukulan Nilam Kencana hanya mengenai tanah tempat Pandan Wangi
tadi terbaring tanpa daya.
"Heh...!" si Cambuk
Sakti terkejut bukan main.Terlebih lagi Nilam Kencana. Gadis itu jadi
terlongong mendongak ke atas, menatap burung rajawali putih raksasa yang
membawa Pandan Wangi dalam cakarnya. Kedua perempuan itu terbengong beberapa
saat sampai bayangan burung raksasa itu lenyap dari pandangan.
"Apa arti semua
ini...?" si Cambuk Sakti bertanya-tanya sendiri.
"Nek.., bagaimana ini?"
rengek Nilam Kencana.
Si Cambuk Sakti tidak bisa
menjawab.
"Nenek harus dapatkan Kakang
Rangga untukku. Dia calon suamiku, Nek...," rengek Nilam Kencana.
"Ayo kita pulang saja, Nilam," ajak si Cambuk Sakti.
"Tidak! Aku akan mencari
Kakang Rangga! Dia harus menikah denganku!" sentak Nilam Kencana seraya
melesat berlari cepat.
"Nilam...!"
Tapi Nilam Kencana sudah begitu
jauh, karena mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.
"Dasar anak bengal!"
gerutu si Cambuk Sakti. Tapi perempuan tua berjubah hitam yang memegang senjata
cambuk buntut kuda itu bergegas mengejar cucunya. Larinya begitu cepat karena
mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sangat tinggi. Bahkan hampir mencapai
taraf kesempurnaan. Si Cambuk Sakti memang seorang tokoh rimba persilatan yang
cukup disegani baik kaum golongan putih maupun hitam. Segala tindak dan tingkah
lakunya yang tidak beraturan membuat kesulitan dua golongan dalam rimba
persilatan untuk menentukan golongan mana yang cocok untuknya.
"Nilam, tunggu...!"
seru si Cambuk Sakti keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Aku akan mencari Kakang
Rangga, Nek!" sahut Nilam Kencana juga keras.
"Kita cari sama-sama,
Nilam!"
***
TUJUH
"Ohhh...," Rangga
merintih lirih. Pendekar Rajawali Sakti itu tersentak saat membuka matanya.
Belum juga tubuhnya bisa bangkit berdiri, sebuah tangan yang halus telah
menahan dadanya. Maka pemuda berbaju rompi putih itu putih itu pun kembali terbaring
di atas batu pipih yang beralaskan tikar. Rangga memandangi seraut wajah cantik
yang amat dikenalnya. Wanita itu mengenakan baju hitam yang ketat, dan selembar
cadar hitam melingkar lehernya.
"Intan...," pelan suara
Rangga.
"Lukamu tidak terlalu parah,
Kakang. Tapi berbaringlah dulu agar jalan darahmu kembali normal," lembut
suara perempuan cantik berbaju hitam itu yang ternyata adalah Intan Kemuning.
"Bagaimana kau bisa berada
di sini?" tanya Rangga ingin tahu.
"Hanya kebetulan saja,
Kakang. Kebetulan aku lewat, dan melihatmu bertarung melawan seseorang.
Tampaknya kepandaian lawanmu cukup tinggi juga, sehingga kau terdesak
sekali," tutur Intan Kemuning.
Rangga menarik napas panjang,
mencoba melonggarkan rongga dadanya. Pelahan dia beranjak duduk. Intan Kemuning
hendak mencegah, namun Pendekar Rajawali Sakti itu menolak halus. Rangga duduk
bersila, dan kedua telapak tangannya berada di lutut. Pendekar Rajawali Sakti
itu memandangi Intan Kemuning dalam-dalam. Entah sudah berapa lama mereka tidak
berjumpa lagi sejak peristiwa di Lembah Neraka. (Baca Serial Pendekar Rajawali
Sakti. Dalam kisah Sabuk Penawar Racun)
Rangga kemudian mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Dan baru disadari kalau tempat ini merupakan sebuah
goa yang tidak begitu besar. Cahaya matahari masih bisa menerobos masuk
menerangi bagian dalam goa ini.
"Di mana ini, Intan?"
tanya Rangga.
"Goa Kera," sahut Intan
Kemuning yang juga bernama Putri Rajawali Hitam.
"Goa Kera...?!" Rangga
terperanjat.
"Ada apa, Kakang?
Kelihatannya kau terkejut sekali mendengarnya," Intan Kemuning memandangi
wajah Pendekar Rajawali Sakti itu dalam-dalam.
"Intan, apakah kau...."
"Jangan khawatir, Kakang.
Pedangmu aman bersamaku," selak Intan Kemuning memotong kata-kata Rangga.
"Di mana kau simpan
pedangku, Intan?"
"Itu." Intan Kemuning
menunjuk ke satu arah. Rangga langsung melayangkan pandangannya ke arah yang
ditunjuk gadis itu, dan menjadi terpana. Memang Pedang Pusaka Rajawali Sakti
masih utuh tergantung di dinding bersama warangkanya. Sungguh pedang itu tidak
dilihatnya tadi, karena letaknya memang cukup tersembunyi, terhalang dua buah
batu yang menjorok keluar dari dinding goa ini.
"Kebetulan pedangmu
kutemukan di sini. Aku tidak sengaja. Waktu itu aku mencari tempat untuk
berteduh karena hujan lebat. Ketika kulihat goa ini maka segera kumasukinya.
Terus terang, Kakang. Aku terkejut sekali melihat pedangmu ada di sini, tapi
kau sendiri tidak ada. Aku jadi penasaran dan menunggumu sampai tiga hari, tapi
kau tidak muncul juga," Intan Kemuning menjelaskan bagaimana dia bisa
menemukan Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
"Jadi kau bukannya tidak
sengaja menolongkukan?" tebak Rangga langsung.
"Terus terang, iya. Aku
memang sengaja mencarimu, Kakang. Aku hanya ingin tahu, mengapa kau tinggalkan
senjata pusaka itu di tempat ini?"
"Aku tidak meninggalkannya
di sini, Intan," pelan suara Rangga.
"Apa yang telah terjadi,
Kakang? Mengapa sampai terpisah dengan senjata pusakamu?" tanya Intan
Kemuning.
Rangga menarik napas dalam-dalam.
Dan tanpa ragu-ragu lagi diceritakan semua yang terjadi. Mulai dari
pertarungannya dengan Iblis Selaksa Racun, hingga terjerumus ke dalam jurang.
Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi. Bahkan tidak tahu siapa dirinya yang
sebenarnya. Rangga memang tidak tahu kalau saat terjerumus ke dalam jurang,
dirinya ditolong Ki Buyut Kaweyan. Dan laki-laki tua itulah yang menyelamatkan
Pedang Pusaka Rajawali Sakti ini, begitu mengetahui pemiliknya kehilangan
ingatan.
Tindakan Ki Buyut Kaweyan memang
tepat. Jelas terlalu berbahaya bagi Rangga jika masih membawa pedang pusaka
yang sangat dahsyat, sementara dia sendiri tidak tahu siapa dirinya yang
sebenarnya. Rangga menceritakan semua itu sambil berusaha mengingat-ingat semua
kejadian yang dialaminya: Sedangkan Intan Kemuning mendengarkan penuh
perhatian.
"Lalu, siapa yang bertarung
denganmu?" tanya Intan Kemuning.
"Si Cambuk Sakti. Ah...,
sebaiknya kau tidak perlu mengetahui persoalannya, Intan," Rangga tidak
ingin persoalannya dengan si Cambuk Sakti diketahui gadis ini.
Intan Kemuning mengangkat bahunya
saja. Dugaannya, pasti pertarungan itu karena persoalan pribadi antara Rangga
dengan perempuan tua itu. Tapi hatinya masih penasaran, karena Pendekar
Rajawali Sakti bisa diperdaya. Bahkan dibuat babak belur begini rupa.
"Kau seperti mengalah tadi,
Kakang," pancing Intan Kemuning.
"Entahlah, Intan. Waktu itu
tiba-tiba saja aku seperti lupa pada semua jurus-jurusku. Bahkan sama sekali
seperti tidak tahu caranya bertarung," sahut Rangga.
"Mungkin pengaruh racun yang
berada di jalan darahmu masih tersisa, Kakang."
"Mungkin juga," desah
Rangga.
"Tapi sekarang sudah tidak
ada lagi pengaruh racun pada dirimu. Rupanya senjata yang digunakan lawanmu
membuyarkan racun yang mengendap dalam jalan darahmu, Kakang. Aku sendiri tidak
mengerti. Tapi tadi aku sempat mencoba dan berhasil mengeluarkan sisa-sisa
racun itu yang bisa membuatmu tiba-tiba jadi hilang ingatan," Intan
Kemuning mencoba menjelaskan.
"Apa yang kau lakukan,
Intan?" tanya Rangga ingin tahu.
"Aku hanya menyalurkan hawa
panas saja. Itu kulakukan setelah memeriksa bekas cambukan di tubuhmu yang
seperti melepuh bagai terkena besi panas," jelas Intan Kemuning lagi.
"Hm...," Rangga
menggumam tidak jelas.
***
"Khraghk…!"
Rangga mendongakkan kepalanya
saat mendengar suara berkaokan keras dan agak serak. Pendekar Rajawali Sakti
itu tersenyum melihat Rajawali Putih menukik turun menghampirinya. Ringan
sekali burung rajawali raksasa itu mendarat di depan Rangga. Sementara di depan
mulut goa, Intan Kemuning memandangi di samping seekor burung rajawali raksasa
berwarna hitam pekat berkilat.
"Hup!" Rangga melompat
naik ke punggung Rajawali Putih. Dipandanginya Intan Kemuning yang masih juga
berdiri di samping Rajawali Hitam.
"Pergilah, Kakang,"
ucap Intan Kemuning. Rangga menepuk leher Rajawali Putih tiga kali.
"Khraghk!"
Bagaikan kilat, Rajawali Putih
melesat membumbung tinggi ke angkasa. Sebentar saja burung raksasa itu sudah
melayang menembus awan. Setelah berputar tiga kali, burung raksasa itu lalu
meluncur deras menuju arah Utara. Sedangkan di depan mulut Goa Kera, Intan
Kemuning melangkah masuk ke dalam goa. Tinggal Rajawali Hitam yang masih
mendekam di samping mulut goa.
Sementara di angkasa, Rangga
terus meluncur bersama Rajawali Putih. Pandangannya tidak lepas mengamati
setiap jengkal tanah yang dilewatinya. Kali ini Pendekar Rajawali Sakti
benar-benar ingin mencari si Iblis Selaksa Racun. Tidak ada cara lain untuk
menghentikan manusia yang mengandung racun di seluruh tubuhnya itu, selain
melenyapkannya dari muka bumi ini.
"Rajawali, langsung ke
Karang Setra!" seru Rangga.
"Khraghk!"
Rajawali Putih menambah kecepatan
terbangnya menuju Istana Karang Setra. Dari ketinggian seperti ini, bangunan
istana itu sudah terlihat, meskipun jaraknya masih jauh. Dan Rangga
memandanginya disertai perasaan rindu yang mendalam. Semakin lama, semakin
jelas terlihat bangunan megah ya berdiri kokoh dikelilingi tembok benteng yang
tinggi dan kuat.
Pendekar Rajawali Sakti itu
mengerutkan keningnya saat melihat penjagaan disekitar benteng begitu ketat.
Bahkan prajurit panah sudah siaga meluncurkan anak panah. Mereka berbaris di
atas tembok benteng. Demikian pula prajurit berkuda yang sudah berbaris rapi di
alun-alun istana. Belum lagi prajurit jalan kaki dan beberapa kereta kuda.
Suasana di dalam benteng istana itu bagaikan sedang mempersiapkan peperangan.
"Aneh..., ada apa ini?"
Rangga bertanya-tanya dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu
memerintahkan Rajawali Putih untuk mengelilingi sekitar bangunan istana. Setiap
jengkal tanah diperhatikan dengan seksama. Bahkan setiap bangunan yang ada
diteliti dari atas. Rangga benar-benar tidak mengerti, suasana di Karang Setra
bagaikan hendak perang saja!
"Rajawali, aku turun di
belakang istana," pinta Rangga.
"Khraghk!" Rajawali
Putih meluruk deras ke bagian belakang istana itu. Dan belum lagi burung
raksasa itu mencapai tanah, Rangga sudah melompat turun, mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna. Tiga kali Rangga berputar di
udara, kemudian manis sekali didaratkan kakinya di tanah tanpa menimbulkan satu
suara sedikit pun. Sementara Rajawali Putih kembali membumbung tinggi ke
angkasa. Tapi burung raksasa itu tidak jauh-jauh meninggalkan Istana Karang
Setra.
"Hup!" Indah sekali
Rangga melentingkan tubuhnya ke atas, dan hinggap di atas atap bangunan istana.
Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan, Pendekar Rajawali Sakti itu berlari lincah di atas atap bangunan
megah ini.
Wut! Rangga meluruk turun begitu
sampai di atas jendela kamar Danupaksi. Pemuda berbaju rompi putih itu menjulurkan
kepalanya ke dalam melalui jendela kamar yang terbuka. Tak ada siapa-siapa di
dalam kamar ini. Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian melompat mendekati
jendela kamar lainnya lagi. Rangga tahu kalau kamar ini ditempati Cempaka.
Pendekar Rajawali Sakti itu
menahan napas dan merapatkan tubuhnya ke dinding ketika mendengar suara dari
dalam kamar. Jelas itu adalah suara Cempaka dan Danupaksi. Rangga mengedarkan
pandangannya ke sekeliling, kemudian melesat naik ke atas, dan hinggap pada
balok yang melintang di atas jendela. Dari sini bisa terlihat seluruh isi kamar
tanpa diketahui orang yang berada di dalam. Sengaja Rangga tidak ingin
memperlihatkan diri. Dia ingin tahu, apa sebenarnya yang tengah terjadi di
istana ini.
"Aku yakin, Kakang Rangga
pasti tidak akan setuju terhadap rencanamu ini, Danupaksi," terdengar
suara Cempaka.
"Apa yang kulakukan ini demi
keamanan seluruh negeri, Cempaka. Meskipun hanya satu orang, tapi sangat
berbahaya dan sukar ditandingi. Hhh.... Kalau saja Kakang Rangga ada, kita tidak
mungkin kehilangan begitu banyak prajurit dan para jawara istana, " sahut
Danupaksi bernada mengeluh.
"Mungkin ini kenyataan dari
mimpi-mimpi burukku, Danupaksi," pelan suara Cempaka.
"Ya, mungkin juga,"
desah Danupaksi.
"Danupaksi, apakah Karang
Setra akan hancur seperti yang ada dalam mimpiku?" tanya Cempaka seperti
untuk dirinya seradiri. "Aku melihat Istana Karang Setra terbakar, dan
Kakang Rangga terlempar ke dalam api. Sedangkan kita semua terkurung di
dalamnya tanpa bisa melakukan apa-apa lagi. Aku takut, Danupaksi. Aku takut
mimpiku jadi kenyataan," suara Cempaka terdengar agak bergetar.
"Tenanglah, Cempaka. Jangan
panik. Mudah-mudahan saja Kak Pandan bisa menemukan Kakang Rangga secepatnya,
sehingga kita semua tidak perlu mengorbankan begitu banyak prajurit Yaaah....
Terus terang saja, aku merasakan akan sia-sia...," keluh Danupaksi.
"Danupaksi, apa tidak
sebaiknya kita mendahului sebelum dia menjarah ke sini?" usul Cempaka.
"Percuma saja, Cempaka.
Lembah Mayat bukanlah tempat yang mudah dijangkau. Bisa-bisa separuh prajurit
akan tewas sebelum sampai di sana," sahut Danupaksi.
"Tapi, Kakang...."
"Kita tunggu saja di sini.
Kalaupun mimpimu harus iadi kenyataan, kuharap Kakang Rangga tidak ada di sini
dan bisa membalas," potong Danupaksi mendesah.
Tak ada lagi terdengar suara
percakapan. Kini yang terdengar suara-suara langkah keluar dari kamar itu.
Sementara Rangga yang berada di balok melintang di atas jendela, bergegas
meluruk turun. Sebentar tercenung di depan jendela kamar Cempaka, kemudian
dengan cepat dia melesat ke bagian belakang istana. Pendekar Rajawali Sakti itu
mendongak, dan masih melihat Rajawali Putih berputar-putar di atas sana.
"Rajawali, ke sini!"
panggil Rangga seraya melambaikan tangannya. Rajawali Putih meluruk deras. Dan
belum juga burung raksasa itu mencapai tanah, Rangga sudah melenting tinggi,
langsung hinggap di punggung Rajawali Putih.
"Khraghk!" Bagaikan
kilat, Rajawali Putih meluncur deras melambung tinggi ke angkasa membawa Rangga
dipunggungnya. Burung raksasa itu masih berputar berapa kali mengelilingi
bangunan megah di Kerajaan Karang Setra itu.
"Ke Lembah Mayat, Rajawali
Putih!" perintah Rangga.
"Khraghk!"
***
"Hup!" Rangga melompat
turun dari punggung Rajawali Putih sebelum burung raksasa itu mendarat di
tanah. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu memandang sekitarnya. Daerah ini
begitu sunyi tanpa adanya tanda-tanda kehidupan. Lembah Mayat memang suatu
tempat yang tidak pernah didatangi orang. Bahkan kelihatannya sangat angker,
dan banyak dihuni ular berbisa dan binatang berbahaya lainnya.
Pelahan-lahan Rangga mengayunkan
kakinya ke tengah-tengah lambah ini. Begitu sunyi dan sangat mencekam sekali.
Bahkan angin pun seakan-akan enggan berhembus. Namun demikian, Rangga masih
merasakan hidungnya mencium bau yang tidak sedap. Seperti bau bangkai buruk
yang dapat membuat perut jadi mual, bercampur bau amis memuakkan. Hanya saja
Pendekar Rajawali Sakti tidak menghiraukan semua itu.
"Heh...!" mendadak
pemuda berbaju rompi putih itu tersentak kaget. Tiba-tiba saja terdengar suara
seperti orang bertarung. Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya
berkeliling sekali lagi. Segera ditajamkan telinganya, mempergunakan ilmu
'Pembeda Gerak dan Suara'. Suara pertempuran itu datang dari balik sebuah
gundukan tanah yang menyerupai bukit kecil di dalam lembah ini.
Gundukan tanah memanjang mirip
sebuah kuburan raksasa. Di atasnya terdapat dua buah batu menyembul pada bagian
ujungnya. Itulah sebabnya mengapa lembah ini disebut Lembah Mayat. Apalagi
ditambah aroma busuk yang selalu menyebar, sehingga menambah keangkerannya.
"Hup!" Hanya sekali
lesatan saja, Rangga sudah berada di puncak gundukan tanah bagai kuburan
raksasa itu. Matanya seketika terbeliak begitu melihat dua orang tengah
bertarung sengit. Rangga mengenali kedua orang itu, dan langsung menahan napas.
Ternyata orang berbaju hitam ketat seperti kewalahan karena tidak bisa
menjangkau orang yang mengenakan baju merah ketat. Padahal, orang berbaju merah
itu tidak menggunakan senjata apa pun juga.
"Intan, mundur... !"
seru Rangga seraya melentingkan tubuhnya, meluruk mendekati tempat itu.
"Kakang...! Hup!" Gadis
berbaju hitam ketat yang ternyata memang Intan Kemuning, bergegas melompat
mundur mendekati Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berdiri tegak, dan
tanpa berkedip menatap tajam seorang laki-laki yang kelihatan masih muda.
Seluruh wajahnya penuh bisul. Bahkan hampir seluruh kulit tubuhnya mengeluarkan
cairan kuning kental yang menyebar bau tidak sedap. Rambutnya yang panjang,
dibiarkan meriap hampir menutupi wajahnya.
"He he he.... Akhirnya kau
muncul juga, Pendekar Rajawali Sakti," laki-laki berwajah buruk penuh
bisul itu terkekeh memperlihatkan baris-baris giginya yang hitam.
"Aku memang sengaja
mencarimu, Iblis Selaksa Racun!" dingin nada suara Rangga.
"He he he..., bagus. Hari
ini kita tentukan, siapa yang akan merajai rimba persilatan. Kau atau aku,
Pendekar Rajawali Sakti!"
"Menyingkirlah kau,
Intan," perintah Rangga tanpa berpaling sedikit pun.
"Hati-hati, Kakang,"
bisik Intan Kemuning.
Rangga tidak menyahuti. Bukannya
meremehkan peringatan gadis itu, tapi dia memang sudah tahu kalau Iblis Selaksa
Racun sukar ditaklukkan. Ilmu olah kanuragan yang dimiliki laki-laki buruk
penuh bisul itu memang tidak tinggi. Bahkan bisa dikatakan sangat rendah. Namun
ilmu meringankan tubuhnya sungguh sempurna sekali. Tapi yang terpenting adalah,
Iblis Selaksa Racun memiliki suatu ilmu yang bisa membentengi dirinya sehingga
sukar ditembus dan tidak terlihat oleh pandangan mata. Meskipun Rangga
mempergunakan aji 'Tatar Netra' ataupun aji 'Mata Dewa', tetap saja tidak bisa
melihat tabir yang menyelimuti tubuh Iblis Selaksa Racun.
Pelahan-lahan Rangga menggeser
kakinya ke samping menjauhi Intan Kemuning. Tatapan matanya begitu tajam
menusuk. Seakan-akan sedang mengukur kesiapan dan tingkat kepandaian yang
dimiliki lawan, meskipun sudah tahu kalau lawannya hanya memiliki kepandaian
rendah. Tapi Rangga harus hati-hati, dan tidak ingin membuat kesalahan untuk
kedua kalinya.
"Bersiaplah, Iblis Selaksa
Racun! Hiyaaat...!" seru Rangga keras.
"Hait!" Iblis Selaksa
Racun menggeser kakinya sedikit ke samping ketika Rangga melompat cepat
menerjangnya. Dengan gerakan lambat, laki-laki berbaju merah itu menghentakkan
tangannya ke depan. Dan...
"Uh!" Buru-buru Rangga
melentingkan tubuhnya ke atas ketika dirasakan adanya hawa dingin meluncur ke
arahnya. Begitu jelas terasa kalau hawa dingin itu meluncur melewati bawah
telapak kakinya. Dan Rangga tahu kalau hawa dingin itu mengandung racun yang
sangat berbahaya dan mematikan. Dua kali Rangga berputaran di udara, dan manis
sekali mendarat di samping kanan Iblis Selaksa Racun. Secepat kilat Pendekar
Rajawali Sakti itu melayangkan kakinya, menendang iga lawan.
Dug! "Ikh... !" Rangga
terperanjat bukan main. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti itu melompat mundur.
Sungguh tidak diduga sama sekali! Begitu kakinya menghantam iga Iblis Selaksa
Racun, dirasakan seperti menendang segumpal karet sehingga tendangannya
berbalik arah. Hampir saja Rangga terkena arus tenaga dalamnya sendiri kalau
saja tidak cepat-cepat membuangnya ke arah lain.
"He he he...," Iblis
Selaksa Racun terkekeh.
***
DELAPAN
Sementara itu, tidak jauh dari
Lembah Mayat, tampak serombongan prajurit yang dipimpin Danupaksi dan Cempaka
bergerak menuju lembah yang mengandung hawa busuk itu. Mereka bergerak
hati-hati dan penuh kewaspadaan. Terlebih lagi setelah memasuki daerah yang
belum pernah dipijak manusia sebelumnya, dan terkenal akan ular berbisanya.
Tapi tiba-tiba saja mereka
dikejutkan sebuah bayangan biru yang berkelebat menghadang. Tahu-tahu di depan
mereka sudah berdiri seorang gadis cantik mengenakan baju biru ketat dengan
sebuah kipas terbuka di depan dada. Danupaksi dan Cempaka kenal, siapa gadis
itu.
"Kak Pandan...!" seru
Cempaka seraya bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Danupaksi juga
bergegas turun dari kudanya. Diperintahkan para prajuritnya untuk tetap
berwaspada. Mereka menghampiri Pandan Wangi yang sudah melipat kembali kipas
baja putihnya, dan menyelipkan di pinggang.
"Kalian mau ke mana?"
tanya Pandan Wangi.
"Ke Lembah Mayat,"
sahut Danupaksi.
"Kak Pandan sendiri, kenapa
berada di sini?"
"Aku memang sengaja mencegat
kalian di sini," sahut Pandan Wangi.
"Mencegat kami...?!"
Cempaka tidak mengerti.
"Sebaiknya kalian
perintahkan para prajurit kembali ke istana. Keamanan istana lebih penting
daripada mengejar satu orang yang kini sudah ditangani," kata Pandan
Wangi.
"Kak Pandan tahu tentang
Iblis Selaksa Racun?" tanya Danupaksi.
"Aku sudah tahu sebelum
kalian tahu. Kembalilah ke istana dan tunggu kami di sana," sahut Pandan
Wangi.
Danupaksi dan Cempaka saling
berpandangan. "Kak Pandan sudah bertemu Kakang Rangga?" tanya
Cempaka.
"Sudah," sahut Pandan
Wangi tersenyum.
"Oh, di mana sekarang?"
tanya Cempaka lagi. Hatinya memang sudah demikian rindu ingin segera bertemu
kakak tirinya itu.
"Ada," sahut Pandan
Wangi. "Sekarang Kakang Rangga sedang bertarung melawan Iblis Selaksa
Racun di Lembah Mayat."
"Apa...?!" Danupaksi
dan Cempaka benar-benar terkejut mendengarnya.
Sungguh tidak disangka kalau
Rangga kini sedang bertarung melawan orang yang seluruh tubuhnya mengandung
racun dahsyat dan sangat mematikan itu. Terlihat jelas pada raut wajah mereka,
kecemasan yang amat sangat.
"Kita harus membantunya, Kak
Pandan," kata Cempaka.
"Tidak ada yang bisa kita
lakukan, Cempaka. Kakang Rangga sudah dibantu Putri Rajawali Hitam. Aku yakin
mereka berdua mampu menghadapi manusia beracun itu," tegas Pandan Wangi
mantap.
"Putri Rajawali Hitam...?
Siapa dia?" tanya Danupaksi (Bagi para pembaca yang mau tahu lebih jauh
tentang Putri Rajawali Hitam, silakan baca Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam
episode Sepasang Rajawali)
"Aku sendiri belum begitu
tahu persis. Tapi ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Bahkan tampaknya sudah
mengenal dekat dengan Kakang Rangga. Demikian juga sebaliknya, Kakang Rangga
seperti sudah lama mengenal Putri Rajawati Hitam," Pandan Wangi mencoba
coba menjelaskan.
Cempaka memandangi Pandan Wangi
dalam-dalam. Sesama wanita, bisa dirasakan adanya sesuatu di dalam nada suara
Pandan Wangi. Dan Cempaka tahu perasaan apa itu.
Sedangkan Pandan Wangi
membalikkan tubuhnya seraya menarik napas panjang. Entah kenapa, mendadak saja
dirasakan dadanya menjadi sesak. Terbayang kembali peristiwa yang hampir
merenggut nyawanya. Dirinya dibuat tidak berdaya oleh si Cambuk Sakti, dan
hampir saja mati. Juga, masih terlihat jelas dalam bayangannya, bagaimana
Rangga dibuat seperti barang mainan oleh perempuan tua yang hendak menjodohkan
Pendekar Rajawali Sakti dengan cucunya. Untunglah Rangga disambar oleh seekor
burung rajawali hitam pada saat yang kritis sekali.
Pandan Wangi sendiri tidak
mengerti, mengapa Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak berdaya menghadapi si
Cambuk Sakti. Dan Pandan Wangi sendiri juga tertolong nyawanya oleh Rajawali
Putih. Gadis itu hampir tidak percaya kalau telah dibawa ke belakang Goa Kera,
dan dirawat oleh seorang gadis cantik berbaju hitam yang mengaku bernama Putri
Rajawali Hitam. Di goa itu juga dilihatnya, bagaimana Putri Rajawali Hitam
merawat luka-luka yang diderita Rangga. Dan dia juga melihat, kalau Putri
Rajawali Hitam begitu akrab dan... ah! Pandan Wangi mendesah panjang, tidak
ingin mengingat lagi peristiwa itu.
"Kak Pandan...,"
Cempaka menepuk pundak Pandan Wangi.
"Oh!" Pandan Wangi
tersentak bangun dari lamunannya.
"Kenapa Kak Pandan
menangis?" tanya Cempaka agak kaget juga melihat ada titik air mata
menggulir di pipi yang halus itu.
"Oh! Eh..., tidak... "
Buru-buru Pandan Wangi menyeka air mata yang tidak terasa menggulir di pipinya.
Beberapa kali ditariknya napas panjang, mencoba melonggarkan rongga dadanya
yang mendadak terasa sesak.
"Kak...," lembut suara
Cempaka.
"Pergilah kalian. Tinggalkan
tempat ini," kata Pandan Wangi.
"Tapi, kenapa Kakak
menangis?" tanya Cempaka.
"Tidak apa-apa, Cempaka. Aku
hanya mengkhawatirkan Kakang Rangga," sahut Pandan Wangi berusaha
tersenyum.
"Apakah keadaan Kakang
Rangga begitu gawat, Kak?" tanya Cempaka.
Pandan Wangi tidak menjawab.
Diayunkan kakinya menuju ke Lembah Mayat yang sudah terlihat di depan.
Sementara Cempaka dan Danupaksi saling berpandangan sesaat.
"Sebaiknya kau bawa saja
para prajurit ke istana, Danupaksi," usul Cempaka.
"Kau sendiri?"
"Aku akan bersama Kak
Pandan."
Danupaksi segera memerintahkan
para prajuritnya untuk kembali ke istana, tapi dia memutuskan untuk tetap
tinggal bersama Cempaka. Tak ada para prajurit yang membantah, dan sebenarnya
mereka juga enggan datang ke tempat angker itu. Bergegas mereka memutar arah
kembali ke istana. Danupaksi menghampiri adik tirinya yang sudah melangkah
mengikuti Pandan Wangi.
"Apa pun yang terjadi, kita
harus selalu bersama-sama, Cempaka," tegas Danupaksi setelah bisa
mensejajarkan langkahnya di samping gadis itu.
Cempaka hanya tersenyum tipis
saja. Mereka kemudian mempercepat langkahnya menyusul Pandan Wangi yang sudah
berjalan cukup jauh menuju Lembah Mayat. Mereka bertiga berjalan berdampingan
tanpa berkata-kata lagi. Sesekali Cempaka memperhatikan wajah, yang kelihatan
tegang dan penuh berbagai macam perasaan, namun rasanya tidak ingin banyak
tanya. Cempaka bisa merasakan kalau Pandan Wangi menyimpan api cemburu.
***
Sementara itu pertarungan antara
Rangga melawan Iblis Selaksa Racun masih terus berlangsung sengit. Namun
terlihat jelas kalau pertarungan itu berjalan kurang menarik, karena Rangga
masih juga belum mampu memperpendek jarak dengan lawannya. Beberapa kali
Pendekar Rajawali Sakti itu terpental setiap kali mencoba menembus tirai halus
yang melindungi Iblis Selaksa Racun.
Sedangkan tidak berapa jauh dari
tempat pertarungan itu, terlihat Intan Kemuning memperhatikan disertai hati
yang penuh kecemasan. Kakinya melangkah mundur, karena daerah sekitar
pertarungan mulai terasa dingin. Dan dia tahu kalau daerah itu sudah dipenuhi
hawa beracun yang dapat membuat orang mati seketika jika menghirupnya. Intan
Kemuning berpaling ketika mendengar suara langkah kaki dari arah belakang.
Bergegas Putri Rajawali Hitam itu melompat menghampiri dan mencegah Pandan
Wangi, Cempaka, dan Danupaksi lebih mendekat.
"Tetap di sini, Pandan
Wangi," kata Intan Kemuning.
"Kenapa?" tanya Pandan
Wangi yang tidak ingin diatur oleh seorang gadis yang mungkin sebaya dengannya.
"Udara beracun semakin
menyebar. Terlalu berbahaya bagi...," Intan Kemuning memutus kalimatnya.
Dipandanginya Cempaka dan Danupaksi.
"Mereka adik-adik
Rangga," jelas Pandan Wangi memperkenalkan.
"Oh! Aku sahabat Kakang
Rangga. Kalian boleh memanggilku Intan," Intan Kemuning memperkenalkan
diri.
Cempaka dan Danupaksi juga
memperkenalkan diri. Tampak sekali kalau Danupaksi merayapi terus wajah cantik
Putri Rajawali Hitam ini. Dan Intan Kemuning mengetahui hal itu. Buru-buru
dialihkan pandangannya pada Pandan Wangi.
"Bagaimana keadaanmu?"
tanya Intan Kemuning.
"Baik. Terima kasih atas
pertolonganmu," sahut Pandan Wangi tanpa tersenyum sedikit pun.
Intan Kemuning mengajak Pandan
Wangi menjauh dari Cempaka dan Danupaksi. Sebentar Pandan Wangi memandang kedua
adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian mengikuti Intan Kemuning.
"Kenapa kau bawa mereka ke
sini? Terlalu berbahaya, Pandan," tegur Intan Kemuning.
"Aku tidak bisa mencegah,
Intan. Mereka juga punya hak untuk mempertahankan Karang Setra. Kau kan tahu,
kalau Iblis Selaksa Racun ingin menghancurkan Karang Setra hanya karena merasa
terusik oleh Kakang Rangga," jawab Pandan Wangi agak ketus.
Intan Kemuning mengangkat
bahunya. Memang tidak mungkin Pandan Wangi mencegah kedatangan mereka ke tempat
ini, meskipun daerah ini sangat berbahaya. Terlebih lagi akibat pertarungan itu
hawa beracun memenuhi daerah ini, dan semakin menyebar luas.
***
"Hiyaaa... !" Tiba-tiba
saja Rangga berteriak keras menggelegar. Seketika itu juga tubuhnya melenting
tinggi ke atas, lalu bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti itu menukik deras
sambil mencabut pedang pusakanya. Saat itu juga cahaya biru berkilau
menyemburat menerangi daerah Lembah Mayat ini.
Wut! Wut! Dua kali pedang Rangga
dikebutkan kuat-kuat, lalu dengan cepat ditusukkan ujungnya tepat mengarah ke
ubun-ubun kepala Iblis Selaksa Racun.
"Hup! Hiyaaa...!" Cepat
sekali Iblis Selaksa Racun menjatuhkan dirinya dan bergulingan di tanah,
menghindari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti yang mengancam ubun-ubun
kepalanya. Namun belum juga sempat bangkit berdiri, Rangga sudah menerjang
kembali sambil mengebutkan pedangnya beberapa kali. Dengan mempergunakan jurus
'Pedang Pemecah Sukma'. Pendekar Rajawali Sakti mencoba membuka pertahanan
Iblis Selaksa Racun yang begitu kokoh.
"Keparat...!" geram
Iblis Selaksa Racun sambil berlompatan, menghindari tebasan-tebasan pedang
Rangga yang begitu cepat.
"Awas kaki...!" seru
Rangga tiba-tiba.
Wut! Cepat sekali Rangga
mengibaskan pedangnya ke arah kaki. Iblis Selaksa Racun terperanjat. Ternyata
pedang itu mampu menembus tabir yang membentengi tubuhnya. Buru-buru dia
melompat ke atas, menghindari tebasan pedang yang memancarkan cahaya biru itu.
Tapi pada saat yang bersamaan, Rangga melontarkan satu pukulan keras bertenaga
dalam sempurna dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' sambil melesat ke atas
mengikuti lesatan Iblis Selaksa Racun.
Des! "Akh...!" Iblis
Selaksa Racun memekik keras tertahan. Hantaman jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' tingkat terakhir itu mendarat telak di dada Iblis Selaksa Racun.
Jurus yang sangat dahsyat dan mengandung hawa panas luar biasa itu membuat
tubuh Iblis Selaksa Racun terpental beberapa tombak ke belakang.
Beberapa kali Iblis Selaksa Racun
bergulingan di tanah. Pada saat itu, pedang Rangga sudah melintang di depan
dada, sedangkan kedua kakinya berpijak merentang agak tertekuk di tanah.
Digosoknya mata pedang dengan telapak tangan kirinya. Sesaat kemudian, cahaya
biru menggumpal di ujung pedang membentuk bulatan seperti bola sebesar kepala
manusia dewasa. "Aji 'Cakra Buana Sukma'!
Hiyaaaa...!"
Tepat pada saat Iblis Selaksa
Racun baru berdiri, Rangga menghentakkan bola biru terang. Bagaikan kilat,
cahaya biru itu meluncur deras dan langsung menghajar tubuh Iblis Selaksa
Racun. Sebentar saja seluruh tubuh laki-laki berbaju merah itu sudah
terselubung cahaya biru yang memancar dari Pedang Rajawali Sakti.
"Ugh ! Akh... !" Iblis
Selaksa Racun menggeliat-geliat, berusaha membebaskan diri dari selubung cahaya
biru yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Sementara Rangga pelahan-lahan
menggeser kakinya mendekati. Namun tiba-tiba saja...
Blarrr...!
"Akh...!" Rangga
memekik keras tertahan. Mendadak saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu
terpental ke belakang.
Sedangkan Iblis Selaksa Racun
telah terbebas dari selubung cahaya biru. Tapi laki-laki berbaju merah yang
seluruh wajah dan tubuhnya penuh bisul itu jatuh berlutut di tanah. Rupanya
seluruh kekuatannya telah dikeluarkan untuk melawan aji 'Cakra Buana Sukma'.
Sementara Rangga bergulingan
beberapa kali di tanah. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melompat
bangkit berdiri, dan langsung melesat cepat ke arah Iblis Selaksa Racun. Pada
saat yang bersamaan, Iblis Selaksa Racun juga sudah bisa bangkit berdiri.
Segera dihentakkan tangannya ke depan.
"Hiyaaa...!"
"Hait!" Rangga
mengebutkan pedangnya beberapa kali sambil tubuhnya berputaran di udara. Dan
dia terus meluruk deras mengarah pada Iblis Selaksa Racun.
"Mampus kau!
Hiyaaa...!" teriak Rangga keras menggelegar.
Wut! Cras...! "Aaa...!"
Iblis Selaksa Racun tidak bisa lagi menghindari tebasan pedang yang bersinar
biru itu. Hanya sebentar laki-laki penuh bisul itu mampu menjerit melengking
tinggi, kemudian berdiri tegak tak bergeming.
"Hih!" Rangga menendang
dada laki-laki berbaju merah itu. Seketika Iblis Selaksa Racun terguling
ambruk, dan kepalanya menggelinding terpisah! Darah langsung muncrat keluar
dari leher yang terpenggal buntung. Rangga menarik napas panjang dan memasukkan
kembali Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di balik punggung. Dia
berbalik begitu mendengar suara-suara langkah kaki menghampiri.
"Jangan dekat!" seru
Rangga keras begitu melihat Cempaka dan Danupaksi mendekati. Kedua adik tiri
Pendekar Rajawali Sakti itu berhenti melangkah seketika. Pandan Wangi bergegas
menghampiri Cempaka dan Danupaksi, lalu membawa mereka menjauh. Tentu saja
kedua adik tiri Rangga itu jadi kebingungan, tapi akhirnya mundur juga menjauh.
"Pandan, bawa mereka
pulang," tegas Rangga.
"Kakang...!" agak
tersendat suara Cempaka.
"Jangan membantah,
Cempaka!" bentak Rangga.
Rangga mengambil sulur pohon yang
kuat dan cukup besar, kemudian bersiul keras melengking tinggi. Tak berapa lama
kemudian dari angkasa meluruk seekor burung rajawali putih raksasa. Dengan
mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Rajawali Sakti itu melemparkan sulur kayu
itu, dan cakar Rajawali Putih pun langsung menangkapnya.
"Cepat, Rajawali!" seru
Rangga keras.
"Khraghk...!" Cepat
sekali burung rajawali raksasa itu melesat ke angkasa membawa Rangga yang
tergantung berpegangan pada sulur kayu. Sekejap saja bayangan mereka sudah
lenyap ditelan kabut yang mulai turun menutupi sekitar Lembah Mayat ini.
Sementara yang ditinggalkan hanya
memandangi saja. Terutama Cempaka dan Danupaksi yang tidak mengerti, mengapa
Rangga begitu tergesa-gesa meninggalkan mereka. Bahkan tidak ingin didekati.
"Ayo pulang, Cempaka,
Danupaksi," ajak Pandan Wangi. Pandan Wangi sempat melirik pada Intan
Kemuning yang hanya berdiri saja. Intan Kemuning tersenyum, kemudian berbalik
dan cepat sekali melesat pergi. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
Putri Rajawali Hitam itu, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari
pandangan mata.
"Kak Pandan, ada apa dengan
Kakang Rangga?" tanya Cempaka tidak bisa menyimpan rasa penasarannya.
"Kakang Rangga hendak
membuang racun yang berada di tubuhnya," jelas Pandan Wangi.
"Apakah Kakang Rangga tidak
apa-apa?" tanya Danupaksi yang juga tidak bisa menyembunyikan
kecemasannya.
"Tidak..."
"Sungguh?" Pandan Wangi
hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis.
Padahal dia sendiri sebenarnya
juga mengkhawatirkan keadaan Rangga yang tentu saja kini tengah berjuang
melawan racun yang disebarkan Iblis Selaksa Racun. Meskipun Pendekar Rajawali
Sakti itu memiliki kekebalan terhadap segala jenis racun, tapi bisa jadi
berbahaya. Sebab, racun yang berada di tubuhnya bisa menyebar dan membahayakan
orang lain.
Kalau toh Pendekar Rajawali Sakti
tadi bisa bertarung melawan Iblis Selaksa Racun, tanpa terbius, itu karena
Rangga selalu memperhatikan keseimbangan pengerahan hawa murninya. Dulu, waktu
bertarung pertama kali melawan laki-laki beracun itu, Rangga sama sekali tidak
memperhatikan.
Baru setelah Rajawali Putih
mengajarkan, Pendekar Rajawali Sakti itu menyadarinya. Dan kini Rangga perlu
waktu untuk menghilangkan racun itu. Tak ada yang tahu, di mana Pendekar
Rajawali Sakti itu menyembuhkan dirinya. Hanya dirinya dan Rajawali Putih yang
tahu.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
JARI MALAIKAT
Emoticon