Serial Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Jari Malaikat
SATU
SAAT ini masih terlalu pagi untuk
membuka mata. Kabut pun masih terlalu tebal menyelimuti permukaan bumi. Cahaya
matahari yang menyemburat merah jingga di balik Gunung Bekasan seakan-akan tak
sanggup menembus kabut yang menggumpal, menutupi puncak gunung itu.
Namun kesunyian yang syahdu ini
mendadak pecah oleh teriakan-teriakan keras diwarnai denting senjata beradu.
Sesekali terdengar ledakan dahsyat menggelegar bagai guntur membelah angkasa.
Suara-suara itu jelas datang dari Puncak Gunung Bekasan. Di dalam selimut kabut
tebal, terlihat dua sosok tubuh tengah berkelebat saling sambar bagai dua sosok
bayangan malaikat yang bertarung memperebutkan bidadari kahyangan.
Dua bayangan putih dan biru itu
berkelebat cepat saling sambar di antara kelebatan kabut tebal, pepohonan,
semak, dan bebatuan sekitar tempat pertarungan itu sudah porak-poranda bagai
habis diamuk ribuan gajah yang marah akibat ruang lingkupnya tergusur
keserakahan manusia. Mereka tak mempedulikan cahaya matahari pagi yang mulai
menyibak kabut dengan kehangatan dan keindahan sinarnya. Dua sosok itu terus
bertarung bagaikan tak akan pernah berhenti. Entah sudah sejak kapan terjadi
pertarungan di Puncak Gunung Bekasan ini.
Glarrr!
Tiba-tiba suatu ledakan yang
begitu dahsyat terdengar. Tampak batu-batu besar dan kecil beterbangan ke
udara. Pepohonan bertumbangan, tanah terbongkar menimbulkan awan debu tebal.
Seakan-akan Gunung Bekasan tengah murka. Namun yang terjadi sebenarnya, orang
yang mengenakan baju putih telah melepaskan satu ajian sangat dahsyat.
Akibatnya, gunung yang biasanya tenang itu seperti meletus. Begitu dahsyatnya,
hingga daerah sekitarnya bergetar seperti terjadi gempa dahsyat!
"Ha ha ha...!"
Terdengar tawa terbahak-bahak
dari seorang laki-laki muda berusia sekitar tiga puluh tahun yang mengenakan
baju putih ketat kotor berdebu. Beberapa puluh tombak di depannya tertihat
seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, tergeletak
menggeliat-geliat di tanah. Baju warna biru yang dikenakan sudah koyak
bercampur bercak darah dan debu serta keringat.
"Kuakui ketangguhanmu,
Pendekar Bayangan Dewa. Tapi itu belum cukup untuk bisa menandingiku! Ha ha
ha...!" laki-laki muda berbaju putih ketat itu kembali tertawa
tergelak-gelak.
Sedangkan orang yang mengenakan
baju biru tampak diam, tak bergerak-gerak lagi. Kedua matanya terpejam rapat.
Sedikit pun tak ada gerakan di tubuhnya. Sebatang pohon yang cukup besar
menimpa sebelah kakinya hingga sedikit terbenam ke tanah. Sedangkan sebongkah
batu sebesar anak domba menghimpit dadanya. Keadaan orang itu sungguh mengenaskan.
Malah sepertinya tidak ada harapan untuk hidup kembali.
"Ha ha ha...!"
laki-laki muda berbaju putih ketat itu kembali tertawa terbahak bahak.
Slap!
Sungguh ringan dan cepat bagaikan
kilat lompatan laki-laki berbaju putih ketat itu. Tahu-tahu dia sudah berdiri
tegak di samping tubuh yang tergeletak, tak bergerak-gerak lagi. Sebentar
diamati lawannya tadi, kemudian bibirnya bergerak menyunggingkan senyum.
Semakin lama senyum di bibirnya itu semakin lebar, kemudian tawanya kembali
pecah menggelegar.
"Ha ha ha...! Siapa lagi
yang ingin menantangku...?!" serunya pongah. "Dewata pun tak akan
sanggup menandingi kesaktianku! Ha ha ha…!"
Swing!
Tiba-tiba saja pemuda berbaju
putih ketat yang telah dibasahi keringat itu melesat cepat bagai kilat. Begitu
cepatnya, tahu-tahu sudah lenyap dari pandangan mata. Bagaikan lenyap ditelan
bumi saja layaknya. Namun suara tawanya masih terdengar, lalu lambat laun
menghilang terbawa angin pagi yang dingin menebarkan kabut ke angkasa luas.
Sebentar saja kesunyian sudah
mencekam menyelimuti seluruh permukaan Puncak Gunung Bekasan ini. Sisa-sisa
bekas pertarungan masih terlihat. Dan sosok tubuh baju biru yang koyak, dan
kotor berdebu, masih tergeletak tertindih batang pohon serta batu sebesar anak
domba. Tak ada gerakan sedikit pun.
Namun tak lama setelah orang
berbaju putih tadi pergi, muncul seorang perempuan tua mengenakan jubah kumal.
Tangannya menggenggam tongkat berbentuk seekor ular. Gerakannya begitu ringan,
dan kelihatannya terkejut begitu mendapati ada orang tergeletak tertindih
batang pohon dan batu di puncak gunung yang sunyi ini. Bergegas dihampiri orang
yang tergeletak itu, lalu berlutut di situ. Tanpa menunggu waktu lagi,
perempuan tua berjubah kumal itu memeriksa laki-laki yang masih tak bergerak bagai
mati.
"Oh..., untung belum mati.
Hm..., siapa yang melakukan ini...?" perempuan tua itu bergumam seperti
bicara pada dirinya sendiri.
Memang tidak ada orang lain lagi
yang bisa diajak bicara. Sebentar diedarkan pandangannya berkeliling, lalu
cepat sekali digerakkan tongkatnya. Sungguh luar biasa! Dari tongkat berbentuk
ular itu keluar cahaya putih keperakan yang langsung menyelimuti batang pohon
besar itu. Pelahan-lahan diangkat tongkatnya. Seketika pohon yang begitu besar
dan tidak mungkin dilingkari dua orang sambil berpegangan tangan itu terangkat
bagai segumpal kapas tertiup angin.
"Hiya...!" Brak!
Pohon itu menghantam pohon-pohon
lain hingga tumbang, begitu perempuan tua betiubah kumal itu menghentakkan
tongkatnya. Kemudian, dilakukannya hal yang sama untuk memindahkan batu yang
menghimpit dada laki-laki berbaju biru iu. Ringan sekali batu sebesar domba itu
dipindahkan, dan dibuang jauh-jauh melewati beberapa pohon tinggi. Batu itu
bagaikan terbang dilemparkan sepasang tangan raksasa yang bertenaga luar biasa
sekali.
"Siapa pun yang melakukan
ini padamu, kau harus selamat dan membalas!" desis perempuan tua berjubah
kumal itu pelan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
diangkatnya tubuh laki-laki separuh baya yang belum juga bisa bergerak itu.
Sebentar perempuan tua itu memandangi wajah yang berlumuran darah dan kotor
berdebu, kemudian melesat cepat bagaikan kilat meninggalkan Puncak Gunung
Bekasan ini. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap tak
berbekas lagi. Kembali Puncak Gunung Bekasan dilanda kesunyian yang mencekam.
Namun kesunyian itu tak
berlangsung lama, karena burung-burung mulai berkicau menyemarak-kan pagi yang
telah dikoyak oleh ulah segelintir manusia. Dan sinar matahari pun kembali
tersenyum. Begitu hangat menyirami permukaan puncak gunung itu. Kabut pun telah
sejak tadi memudar, sebagai tanda dimulainya kegiatan rutin setiap hari. Tak
ada lagi yang tersisa. Sementara alam kembali normal seperti biasa. Akankah hal
ini berlangsung untuk selamanya...? Itulah kehidupan.
***
Suasana di Desa Banyu Reges yang
terletak di Kaki Gunung Bekasan tidak seperti hari-hari biasanya. Desa itu
kelihatan meriah, dihiasi umbul-umbul di setiap sudut desa yang tidak begitu
besar itu. Wajah-wajah ceria terpancar dari setiap orang yang memadati jalan
berdebu. Anak-anak berkejar-kejaran, bermain riang. Pemuda-pemuda dan
gadis-gadis bergerombol bercanda ria. seperti tak akan menemui lagi hari esok
untuk bergembira. Seluruh warga Desa Banyu Reges tumpah ke jalan, seolah-olah
hari ini hendak kedatangan seorang pembesar dari kotaraja.
Seluruh warga Desa Banyu Reges
berbondong-bondong menuju suatu tempat yang merupakan sebuah tanah lapang luas
berumput tebal. Di tengah-tengah lapangan itu berdiri sebuah panggung berukuran
cukup besar dan tampak kokoh. Kelihatannya, terbuat dari balok-balok kayu
pilihan. Tanah lapang luas itu merupakan halaman depan sebuah padepokan yang
terletak di sebelah Barat Desa Banyu Reges. Lapangan luas itu bagai tak mampu
lagi menampung orang yang memadatinya. Bahkan banyak anak-anak dan pemuda yang
terpaksa harus memanjat pohon agar dapat melihat jelas ke panggung.
Suasana gaduh di sekitar lapangan
itu mendadak sunyi senyap ketika seorang laki-laki berusia setengah baya dan
berbaju putih panjang melangkah tenang menaiki panggung. Di belakangnya ikut
melangkah dua orang anak muda berwajah tampan. Wajah maupun bentuk tubuh mereka
hampir mirip. Dua pemuda itu berjalan tenang mengapit seorang wanita berusia
sekitar empat puluh tahun. Di belakang mereka juga berjalan delapan orang
menyandang pedang di pinggang. Mereka berhenti tepat di tengah-tengah panggung.
Seluruh warga Desa Banyu Reges
mengenal betul mereka yang kini berada di atas panggung. Laki-laki setengah
baya yang berdiri paling depan itu adalah Ketua Padepokan Pedang Perak.
Julukannya Dewa Pedang. Sedangkan di belakangnya adalah istri dan dua anak
laki-lakinya. Delapan orang yang berdiri di belakang mereka adalah para ketua
cabang Padepokan Pedang Perak yang tersebar di delapan penjuru mata angin.
"Terima kasih atas
kedatangan saudara-saudaraku semua dalam acara tahunan memperingati berdirinya
Padepokan Pedang Perak yang keduapuluhsatu ..." ucap Dewa Pedang. Suaranya
terdengar dalam dan berwibawa.
Semua yang hadir terdiam
mendengarkan. Tak ada seorang pun yang membuka mulut untuk menyelak. Seluruh
perhatian mereka tertumpah ke atas panggung.
"Seperti tahun-tahun yang lalu,
dalam peringatan ini, Padepokan Pedang Perak mencari pemuda-pemuda ber-kemauan
keras untuk ditempa menjadi seorang pendekar sejati…" sambung Dewa Pedang.
Sorak-sorak bergemuruh menyambut
pengumuman yang memang sedang dinanti-nantikan itu. Sambutan meriah datang dari
para pemuda desa yang datang bukan saja dari Desa Banyu Reges, tapi juga datang
dari desa-desa lain di sekitar Kaki Gunung Bekasan. Padepokan Pedang Perak
memang sudah terkenal sebagai padepokan yang melahirkan pendekar-pendekar
tangguh pembela kebenaran, dan sudah tersebar ke seluruh jagat.
"Seperti biasa, selain akan
menerima murid baru, kami juga akan mengadakan pertandingan untuk mempererat
jalinan persahabatan antar sesama. Untuk itu, dipersilakan kepada siapa saja
untuk mencoba murid-murid Padepokan Pedang Perak," lanjut Dewa Pedang.
Kembali seluruh hadirin bersorak
gembira menyambut pengumuman itu. Memang mereka tengah menantikan kehebatan
murid-murid Padepokan Pedang Perak. Dewa Pedang mengakhiri pidatonya dengan
mengucapkan salam dan mempersilakan pembawa acara melanjutkan kembali acara
peringatan berdirinya Padepokan Pedang Perak.
Dewa Pedang didampingi istri dan
anaknya serta para ketua cabang dari delapan penjuru meninggalkan panggung.
Mereka kembali ke tempat semula di beranda depan bangunan utama Padepokan
Pedang Perak. Sementara di atas panggung, pembawa acara sudah mengumumkan untuk
memulai pertandingan.
Acara dimulai dengan menampilkan
sepuluh orang murid Padepokan Pedang Perak yang memperagakan beberapa kembangan
jurus tangan kosong maupun jurus penggunaan senjata dari berbagai jenis. Namun
kelihatannya mereka lebih mahir menggunakan senjata pedang yang menjadi senjata
andalan padepokan itu. Secara bergantian mereka memperagakan kepandaian
masing-masing.
"Bosan...!"
Tiba-tiba saja terdengar gerutuan
yang begitu keras. Suaranya menggema bagai datang dari segala arah. Sepuluh
orang murid Padepokan Pedang Perak yang tengah berlaga memamerkan kepandaian,
berhenti seketika. Demikian pula seluruh pengunjung yang jadi terkejut. Bahkan
tak urung Dewa Pedang juga tersentak. Dia tahu kalau gerutuan itu dikeluarkan
dengan penge-rahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
"Kisanak, kami menghendaki
kau keluar dan memilih untuk menguji murid-murid Padepokan Pedang Perak!"
tegas pembawa acara lantang. Dia seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh
tahun. Wajahnya cukup tampan, dan bentuk tubuhnya tegap berotot. Sebilah pedang
tergantung di pinggangnya.
"Tidak ada gunanya sesumbar.
Dewa Pedang sendiri belum tentu mampu menghadapiku!" terdengar sahutan
menggema.
Sahutan itu tentu saja membuat
semua orang yang hadir jadi terpana. Berbagai macam suara terdengar bagai lebah
terusik sarangnya. Bahkan kedua putra Dewa Pedang langsung melompat berdiri.
"Jangan terpancing,
Anakku," kata Dewa Pedang lembut dan berwibawa.
"Tapi, Ayah..." ujar
salah seorang yang mengenakan baju ketat berwarna biru dengan ikat kepala juga
biru. Namanya, Arya Dipa.
"Kembalilah kalian,"
kata Dewa Pedang tegas.
Arya Dipa memandang adiknya yang
dikenal bernama Arya Gara. Mereka tak berani membantah perintah ayahnya. Sambil
menahan geram, kedua anak muda itu kembali ke tempatnya masing-masing. Dewa
Pedang bangkit berdiri. Tangan kanannya menggeser gagang pedang yang tergantung
di pinggang. Wajahnya begitu tenang. Sinar matanya yang bening merayapi
sekitarnya.
"Aku tahu di mana kau,
Kisanak. Keluarlah…!" lantang dan sangat berwibawa suara Dewa Pedang.
"Ha ha ha...!"
terdengar suara tawa menggelegar.
Belum lagi hilang suara itu,
mendadak berkelebat sebuah bayangan hitam dari kerumunan pengunjung yang
memadati lapangan itu. Dan tahu-tahu, di atas panggung sudah berdiri seorang
laki-laki berusia lanjut mengenakan baju panjang berwarna hitam pekat. Pada bagian
dadanya, terdapat gambar kepala tengkorak manusia. Di tangannya tergenggam dua
buah kapak berukuran besar. Di tiap ujung tangkai kapak, terdapat seuntai
rantai cukup panjang yang menyatu dengan pergelangan tangan.
"Kapak Maut..." desis
Dewa Pedang mengenali laki-laki tua yang kini berdiri tegak di atas panggung.
Sepuluh orang murid Padepokan
Pedang Perak yang tadi berlaga mempertunjukkan keahliannya, bergegas turun dari
atas panggung. Kini di atas panggung hanya ada si Kapak Maut yang berdiri
bersikap angkuh menantang.
"Satu kehormatan baglku kau
bersedia hadir di Padepokan Pedang Perak, Kapak Maut," sambut Dewa Pedang
ramah.
"Tidak perlu basa-basi, Dewa
Pedang! Aku datang khusus hendak menantangmu!" lantang suara si Kapak
Maut.
"Ayah...," Arya Dipa
berdiri. Dia tidak tahan lagi mendengar kepongahan si Kapak Maut.
Tapi Dewa Pedang sudah memberinya
isyarat agar putranya tetap tenang di tempatnya. Istri Dewa Pedang yang bernama
Dewi Ratih menarik tangan putranya agar duduk kembali. Arya Dipa terpaksa
mengikuti perintah dan isyarat itu, namun wajahnya menyimpan geram. Dewi Ratih
sendiri sebenarnya seorang pendekar wanita yang berjuluk Dewi Selendang Sakti.
"Saudaraku, Dewa Pedang.
Ijinkan aku memberi pelajaran manusia tak tahu adat itu," tiba-tiba salah
seorang wakil dari cabang Padepokan Pedang Perak, bangkit berdiri seraya
menjura memberi hormat.
Dewa Pedang memandang laki-laki
berusia sekitar lima puluh tahun itu. Bibirnya tersenyum, seraya menganggukkan
kepalanya. Sebagai seorang pemimpin besar sebuah padepokan, tidak layak kalau
melarang seorang ketua cabang untuk mengusir seorang pengacau seperti si Kapak
Maut itu.
"Terima kasih,
Saudaraku."
"Hati-hatilah. Darma Surya.
Dia sangat licik dan kejam," ujar Dewa Pedang memberi tahu.
Darma Surya menjura memberi
hormat sekali lagi, kemudian melompat ke atas panggung. Begitu indah dan ringan
sekali gerakan lompatannya. Tak bersuara sedikit pun. Bahkan saat kaki menapak
papan panggung, seperti kapas saja layaknya.
"He he he.... Bodoh sekali
kau mengirim monyet busuk tiada guna padaku, Dewa Pedang!" ejek Kapak Maut
meremehkan.
"Beri sedikit pelajaran
beberapa jurus kepadaku, Kapak Maut," kata Darma Surya masih bersikap
sopan.
"Sebaiknya kau mundur saja,
monyet jelek!" bentak Kapak Maut tak memandang sebelah mata pun pada calon
lawannya.
"Aku akan mundur jika kau
bersedia turun dari panggung ini!" tegas jawaban Darma Surya. Geram juga
hatinya diejek sedemikian rupa.
"Phuah! Rupanya kau sudah
bosan hidup, heh?!"
"Mungkin aku akan mati di
sini. Tapi, aku akan puas bila mati di tangan seorang tokoh digdaya berjiwa
besar. Bukan di tangan pengacau busuk sepertimu yang merusak kesucian suatu
acara." Kata-kata Darma Surya yang begitu tenang, mampu juga membuat air
muka Kapak Maut berubah merah kehitaman. Mulutnya mengumpat dan menyemburkan
ludahnya karena menahan marah.
"Kurobek mulutmu, monyet!
Hiyaaat...!"
Kapak Maut tidak bisa lagi
memendam amarahnya. Dia langsung melompat menerjang Darma Surya sambil
melontarkan kapak besar yang berada di tangan kanannya.
Wut! "Hap...!"
****
DUA
Dengan suatu gerakan indah dan
manis sekali, Darma Surya berhasil menghindari serangan pertama si Kapak Maut.
Begitu serangan pertamanya yang cepat dapat dihindari lawan, si Kapak Maut jadi
semakin geram. Kembali diserangnya lawan dengan ganas. Kedua kapak besarnya
berkelebatan cepat mengurung tubuh Darma Surya yang masih melayani dengan
tangan kosong.
"Setan alas..!" geram
Kapak Maut.
Wut! Wut!
Kapak Maut melayangkan kedua
kapaknya hampir bersamaan secara menyilang mengarah ke bagian kaki dan dada
Darma Surya. Namun lewat satu gerakan manis, Darma Surya melompat ke belakang
sambil memutar tubuhnya. Maka, kembali serangan si Kapak Maut luput dari
sasaran. Namun belum juga Darma Surya menjejakkan kakinya, Kapak Maut sudah
melayangkan satu tendangan keras menggeledek.
Buk!
"Hugh!" Darma Surya
mengeluh pendek.
Tendangan si Kapak Maut begitu
keras dan cepat, sehingga tak bisa dihindari lagi. Darma Surya terjungkal keras
menghantam panggung hingga bergetar. Tendangan itu tepat menghantam dadanya.
"Mampus kau!
Hiyaaa...!" teriak si Kapak Maut keras.
"Uts!" Darma Surya
buru-buru menggulingkan tubuhnya ke samping begitu sebuah kapak besar meluncur
ke arahnya.
Brak!
Papan panggung kontan hancur
berantakan begitu kapak besar itu menghantam keras. Si Kapak Maut mengumpat
habis-habisan melihat lawannya berhasil lolos meskipun sudah terjepit.
Cepat-cepat dihentakkan rantai yang menyatu dengan tangkai kapaknya. Pada saat
itu Darma Surya sudah mampu berdiri. Darah menetes dari mulutnya.
Sret! Cring…!
Cepat sekali Darma Surya mencabut
pedangnya yang tergantung di pinggang. Pedang berwarna keperakan itu berkilat
tertimpa cahaya matahari. Darma Surya mengibas-ngibaskan pedangnya di depan
dada. Namun si Kapak Maut hanya terkekeh saja melihat lawannya yang kini sudah
memegang senjata.
"Bagus! Lebih cepat kau
mati, lebih bagus!" dengus si Kapak Maut.
"Tahan seranganku!
Hiyaaat...!"
"Hap!"
Wuk! Darma Surya mengebutkan
pedangnya ke depan begitu sebuah kapak besar berantai meluruk deras ke arahnya.
Kapak itu terpental begitu
terbabat pedang Darma Surya. Namun Darma Surya sendiri sampai terdorong tiga
langkah ke belakang. Pada saat tubuhnya limbung, si Kapak Maut melompat sambil melontarkan
satu kapak lainnya. Begitu cepat serangan laki-laki tua berbaju hitam itu,
sehingga Darma Surya tak mungkin lagi menghindarinya.
"Hiya...!" Darma Surya
bergegas mengibaskan pedang menyambut kapak yang meluruk mengancam nyawanya.
Trang! Kembali kapak itu
terpental. Namun belum juga Darma Surya bisa menarik napas lega, kembali satu
tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi mendarat di dadanya.
"Akh!" Darma Surya
memekik keras tertahan.
Pada saat tubuh Darma Surya
terpental ke belakang, si Kapak Maut sudah melepaskan kembali senjata
dahsyatnya. Kapak besar berantai itu meluruk cepat kilat mengancam nyawa Darma
Surya.
"Oh, tidak...!" sentak
Darma Surya yang dalam keadaan tidak menguntungkan ini.
Cras!
"Aaakh..!" Darma Surya
menjerit keras.
Kapak itu berhasil membelah dada
laki-laki separuh baya itu. Darah seketika mengucur deras dari dada yang
terbelah cukup dalam. Kalau saja Darma Surya tidak melentingkan tubuhnya ke
belakang, kapak itu bisa tembus sampai ke punggung. Namun begitu, Darma Surya
tetap ambruk ke tanah, keluar dari panggung dengan dada sobek berlumuran darah.
Beberapa orang murid Padepokan
Pedang Perak berhamburan mencoba menolong Darma Surya. Sedangkan si Kapak Maut
berdiri congkak bertolak pinggang. Dia tertawa terbahak-bahak menyaksikan
lawannya digotong enam orang murid Padepokan Pedang Perak keluar arena.
"Biadab...!" geram Arya
Dipa.
Kemunculan si Kapak Maut rupanya
sudah memberi tanda kalau hari peringatan berdirinya Padepokan Pedang Perak
akan kacau. Dan ini membuat seluruh pengunjung yang ingin menyaksikan hiburan
segar, jadi menggerutu tidak senang. Namun ada juga yang senang, karena bisa
menyaksikan pertarungan tokoh-tokoh persilatan. Hampir seluruh pengunjung yang
tadi memadati tepi panggung, sudah menyingkir.
Hanya beberapa orang saja yang
memiliki kepandaian cukup tinggi tetap tinggal di situ. Juga para undangan yang
hadir, tetap setia duduk di kursinya masing masing. Wajah-wajah para undangan
itu memang menunjukkan ketidaksenangan, walaupun tidak semuanya demikian.
Bahkan ada yang tersenyum-senyum seperti mendapatkan pertunjukan indah dan
menghibur hati. Entah apa yang ada di dalam benak masing-masing. Yang jelas,
suasana ceria kini berubah jadi menegangkan dan mencekam.
****
"Manusia biadab! Akulah
lawanmu...! Hiyaaa...!" Tiba-tiba saja Arya Dipa melompat dari kursinya,
langsung meluruk ke arah pangggung.
"Arya Dipa!" Dewa
Pedang tersentak kaget. Namun Ketua Besar Padepokan Pedang Perak itu tidak bisa
lagi mencegah putra sulungnya. Karena, Arya Dipa kini sudah berada di atas
panggung berhadapan dengan si Kapak Maut. Bukannya meragukan kemampuan
putranya, namun dia tahu betul siapa si Kapak Maut itu. Laki-laki tua bejubah
hitam itu adalah seorang tokoh persilatan kondang dan terkenal akan
kekejamannya. Dia beraliran sesat dan menjadi musuh kaum pendekar yang berjalan
di jalur lurus.
"Kapak Maut! Aku putra Dewa
Pedang menantangmu untuk bertarung sampai mati!" tegas Arya Dipa lantang.
"Ha ha ha...!" si Kapak
Maut tertawa terbahak-bahak.
Tenggorokannya sungguh terasa
tergelitik melihat seorang anak muda berusia sekitar dua puluh tahun berani
menantangnya. Terlebih lagi bocah itu adalah putra Dewa Pedang yang
ditantangnya. Kapak Maut sudah mempersiapkan cukup lama agar bisa bertarung
melawan Dewa Pedang. Kelihatannya memang tidak ada persoalan pribadi di antara
mereka. Namun, memang sudah tidak asing lagi bagi kaum persilatan untuk saling
menantang dan mengukur tingkatan kepandaiannya.
"Bocah! Sebaiknya kau turun
dan suruh ayahmu ke sini!" tegas si Kapak Maut bernada penuh ejekan.
"Langkahi dulu mayatku, baru
kau bisa menghadapi ayahku!" sahul Arya Dipa lantang.
"Bocah edan!" geram si
Kapak Maut merasa terhina.
"Jangan salahkan jika kau
harus mati muda!"
"Lihat saja nanti, siapa
yang lebih dahulu terbang ke akherat!" tantang Arya Dipa.
"Kadal buduk! Tahan
seranganku! Hiyaaat...!"
Si Kapak Maut tidak dapat lagi
menahan amarah yang meluap dan menggelegak, saat mendapat tantangan dari
seorang anak muda yang sangat jauh berbeda usia dan pengalamannya. Dia langsung
melompat menerjang sambil melontarkan secara cepat sebuah kapaknya.
Wuk!
"Hup! Hiyaaat...!
Sret!
Arya Dipa langsung mencabut
pedangnya, dan secepat itu pula dikibaskan ke kapak yang meluncur mengarah ke
dada.
Trang! Kapak besar berantai itu
terpental ke udara tersabet pedang Arya Dipa. Dan belum lagi ada yang
menyadari, tahu-tahu Arya Dipa sudah melentingkan tubuhnya. Cepat sekali
kakinya melayang deras mengarah dada si Kapak Maut. Bukan main terperangahnya
si Kapak Maut mendapat serangan balasan yang sama sekali tidak diduga
sebelumnya.
"Hait!"
Kapak Maut mengegoskan tubuhnya
ke samping, sehingga tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi itu berhasil
dielakkannya. Namun hatinya begitu terperanjat. Ternyata angin tendangan itu
membuat tubuhnya terhuyung ke belakang. Pada saat itu Arya Dipa menggunakan
kesempatan yang sedikit ini. Cepat sekali dilontarkan satu pukulan tangan kiri
yang keras dan bertenaga dalam cukup tinggi.
Duk! "Akh!" Kapak Maut
terpekik kaget.
Sungguh tidak disangka kalau anak
muda itu memiliki kepandaian yang begitu mengagumkan. Gerakannya lincah cepat
luar biasa, dan tidak terduga sama sekali. Pukulan Arya Dipa telak mengenal
dada si Kapak Maut, membuat orang tua berbaju hitam itu terpental ke belakang
beberapa langkah.
"Kampret! Phuih...!"
geram Kapak Maut langsung menguasai keseimbangan tubuhnya.
"Heh! Hanya sampai di sini
sajakah orang yang hendak menantang ayahku?" ejek Arya Dipa memanasi.
"Setan alas! Kubunuh
kau!" umpat Kapak Maut geram.
Tanpa diduga sama sekali, semua
pengunjung yang menyaksikan pertarungan itu bersorak gembira menyambut
kehebatan putra sulung Dewa Pedang ttu. Dan hal ini tidak membuat Arya Dipa
jadi besar kepala. Tapi sebaliknya, si Kapak Maut bertambah geram, marah luar
biasa. Segera dibukanya jurus kembali, lalu melompat menerjang dahsyat.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Hiya..."
Pertarungan pun kembali
berlangsung sengit. Kini pertarungan berjalan semakin dahsyat menggunakan
jurus-jurus luar biasa. Namun tampaknya Arya Dipa mampu menandingi si Kapak
Maut. Jurus-jurus pemuda itu ternyata tidak bisa dianggap enteng.
Serangan-serangannya juga sangat berbahaya dan sering membuat si Kapak Maut
kewalahan. Laki-laki tua itu harus jatuh bangun meng-hindarinya.
Tapi Arya Dipa tidak bisa
memandang rendah lawannya. Dia sendiri juga kewalahan menghindari setiap
serangan si Kapak Maut yang begitu dahsyat dan sangat berbahaya. Sedikit saja
lengah, nyawa taruhannya. Pertarungan terus berjalan semakin sengit. Jurus demi
jurus terlewati tanpa terasa. Mereka sama-sama sudah menghabiskan lebih dari
sepuluh jurus, namun belum ada tanda-tanda bakal yang terdesak. Para penonton
selalu bersorak bila Arya Dipa berhasil membuat lawannya jatuh bangun. Tapi,
sebaliknya mereka mengejek si Kapak Maut jika tengah mendesak pemuda itu. Dan
hal itu membuat si Kapak Maut semakin marah luar biasa.
Sementara itu di bawah panggung,
Dewa Pedang yang duduk di samping istrinya tidak berkedip memperhatikan
jalannya pertarungan. Sebenarnya dia bisa saja membantu putranya secara
diam-diam. Tapi, itu tidak akan pernah dilakukan. Bukan saja para undangan yang
terdiri dari tokoh persilatan tingkat ringgi yang mencela perbuatannya, tapi
itu bukanlah jiwa seorang pendekar jika harus membokong lawan. Dewa Pedang
hanya bisa mengharap, putra sulungnya tidak terpancing atau besar kepala. Arya
Dipa harus mampu mengontrol diri dan tidak terpancing kelicikan lawan.
"Lihat pedang...!"
tiba-tiba Arya Dipa berteriak keras.
Wuk! Seketika itu juga Arya Dipa
meliukkan tubuhnya sambil menusukkan pedangnya ke arah leher si Kapak Maut.
Serangan yang begitu cepat selagi lawannya tengah mengerahkan serangan juga. Si
Kapak Maut jadi ter-perangah. Cepat-cepat ditarik lehernya ke belakang sambil
memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan.
Namun tanpa diduga sama sekali,
Arya Dipa menarik pedangnya sebelum sampai pada tujuan serangan. Dan sungguh
tidak ada yang menyangka sama sekali kalau itu merupakan serangan pancingan
agar dada lawan terbuka. Cepat sekali kaki Arya Dipa melayang menghantam dada
si Kapak Maut yang terbuka.
Buk!
"Heghk!" Kapak Maut
mengeluh pendek. Tendangan yang begitu keras dan mengandung tenaga dalam cukup
tinggi itu tidak dapat dielakkan lagi. Tubuh si Kapak Maut terhuyung-huyung ke
belakang. Tangan kanannya menekap dada, dan dari mulutnya mengucurkan darah
segar. Pada saat itu Arya Dipa tidak membuang-buang kesempatan lagi. Sambil
berteriak keras melengking tinggi, pemuda itu melentingkan tubuhnya ke udara.
Dan...
Bet!
"Aaa...!" tiba-tiba
saja si Kapak Maut menjerit keras.
Selagi di udara. Arya Dipa
mengibaskan pedangnya seraya memutar tubuhnya dengan posisi lurus. Seketika
pedang keperakan itu berhasil membabat kepala lawan hingga hampir terbelah jadi
dua bagian.
Si Kapak Maut meraung keras, dan
tubuhnya terhuyung-huyung. Kedua tangannya memegangi kepalanya yang hampir
terbelah oleh pedang Arya Dipa. Dan selagi laki-laki tua itu terhuyung meregang
nyawa, Arya Dipa langsung menghunjamkan pedangnya ke dada hingga tembus ke
punggung. Secepat ditarik ke luar pedangnya, secepat itu pula kakinya melayang
menghantam perut lawan.
Brak!
Tak ayal lagi, si Kapak Maut
tertontar jauh dan jatuh menghantam deretan kursi kosong di depan panggung.
Kursi itu patah berantakan. Si Kapak Maut menggelepar sebentar, lalu diam tidak
bergerak-gerak lagi. Seketika itu juga tokoh sesat itu tewas dengan kepala
pecah dan dada berlubang besar.
Kemenangan Arya Dipa langsung
disambut sorak sorai seluruh penonton yang menyaksikan peristiwa itu dengan
perasaan tegang. Seketika itu juga lapangan depan Padepokan Pedang Perak
menggemuruh dan bergetar bagai terjadi gempa. Semua orang mengelu-elukan Arya
Dipa yang berdiri tegak di atas panggung sambil memegang pedang berlumuran
darah lawannya. Sambil melangkah menuruni panggung, pemuda itu memasukkan
kembali pedang ke dalam sarungnya di pinggang.
****
Waktu terus berjalan, berputar
sesuai kodratnya. Siang pun berganti senja. Dan upacara peringatan berdirinya
Padepokan Pedang Perak ditutup untuk sementara, begitu senja merambat
menyelimuti mayapada ini. Seperti tahun-tahun lalu, peringatan itu akan
berlangsung selama tiga hari berturut-turut.
Beberapa murid padepokan
membenahi panggung yang berantakan akibat pertarungan di luar susunan acara,
setelah para pengunjung meninggalkan tempat itu. Para tamu undangan kembali ke
kamar peristirahatan yang disediakan. Sedangkan Dewa Pedang masih duduk di
beranda depan bersama istri dan kedua putranya, serta tujuh orang ketua cabang
padepokan ini.
"Bagaimana keadaan Darma
Surya, Arya Gara?" tanya Dewa Pedang pada putra bungsunya.
"Masih dalam perawatan.
Ayah. Lukanya tidak begitu berbahaya, tapi perlu istirahat banyak," sahut
Arya Gara.
"Hhh...! Syukurlah,"
desah Dewa Pedang.
"Kenapa Kakang kelihatan
begitu gelisah?" tegur Dewi Ratih.
"Peristiwa ini pasti akan
berbuntut panjang." sahut Dewa Pedang terasa berat.
"Maksud Ayah?" tanya
Arya Dipa.
"Kematian si Kapak Maut
tentu akan membangkitkan dendam tokoh persilatan golongan hitam. Terlebih
lagi...," Dewa Pedang tidak melanjutkan kalimatnya.
"Apa pun yang terjadi, akan
kuhadapi, Ayah. Akulah yang membunuh si pengacau itu!" tegas Arya Dipa.
Dewa Pedang tersenyum dan menepuk
pundak putra sulungnya dengan perasaan bangga. Namun dari sorot matanya
memancarkan kekhawatiran terhadap Arya Dipa. Dan ini sangat terasakan. Bukan
saja oleh Arya Dipa, tapi juga yang lainnya.
"Ada apa sebenarnya,
Ayah?" tanya Arya Dipa.
"Sebenarnya aku bangga
padamu, Arya Dipa. Tapi aku sungguh menyesalkan kejadian ini. Tidak seharusnya
hal seperti ini terjadi pada hari-hari suci, saat kita sedang memperingati
berdirinya padepokan tercinta ini," pelan sekali suara Dewa Pedang.
"Kenapa Ayah berkata begitu?
Kami semua rela berkorban nyawa demi ketegakan dan kejayaan Padepokan Pedang
Perak. Tak ada satu lalat pun yang akan dibiarkan mengusik, Ayah." tegas
Arya Dipa.
"Benar, Saudaraku. Kami
semua rela mati demi padepokan yang kita cintai ini." celetuk salah
seorang ketua cabang yang duduk dekat Arya Dipa.
"Aku menghargai kesetiaanmu,
Waneng Pati. Juga kalian semua yang tentunya selalu setia padaku dan Padepokan
Pedang Perak ini. Tapi persoalan yang akan dihadapi tidaklah ringan. Persoalan
ini tidak seperti mengusir lalat busuk yang hanya akan mengotori tempat yang
kita cintai ini," kata Dewa Pedang tanpa bermaksud mengecilkan arti
teman-temannya.
Tak ada seorang pun yang membuka
suara. Mereka tidak mengerti apa yang dimaksudkan Ketua Besar Padepokan Pedang
Perak itu. Mereka tidak pernah berpikir kalau kejadian siang ini membuat risau
hati Dewa Pedang. Mereka semua menduga kalau kemunculan si Kapak Maut hanyalah
suatu kekacauan kecil yang cepat dapat ditanggulangi tanpa menimbulkan banyak
korban. Tapi kini Dewa Pedang kelihatan begitu masygul.
Apa sebenarnya yang tengah
mengganggu pikiran Dewa Pedang? Sebelum ada yang bertanya lebih jauh lagi, Dewa
Pedang sudah beranjak berdiri dari kursinya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun
dilangkahkan kakinya, masuk ke dalam rumah besar yang berdiri di antara
rumah-rumah panjang tempat tinggal seluruh murid padepokan ini. Sedangkan tujuh
orang ketua cabang Padepokan Pedang Perak hanya saling berpandangan saja dengan
sorot mata penuh tanda tanya.
Dewi Ratih bergegas mengikuti
suaminya. Sedangkan Arya Gara pergi ke samping dan berkumpul bersama
murid-murid Padepokan Pedang Perak. Tinggal Arya Dipa yang masih termenung
duduk di kursinya. Satu persatu sahabat Dewa Pedang meninggalkan tempat itu.
Tinggal Waneng Pati yang masih tetap menemani Arya Dipa. Lama juga mereka tidak
ada yang bicara.
"Apa sebenarnya yang terjadi
pada ayahmu, Arya Dipa?" tanya Waneng Pati seperti bertanya pada dirinya
sendiri.
"Entahlah, Paman,"
sahut Arya Dipa rnendesah panjang.
"Tidak biasanya ayahmu
bersikap seperti itu jika menghadapi persoalan," gumam Waneng Pati.
"Paman, siapa sebenarnya si
Kapak Maut itu?" tanya Arya Dipa ingin tahu.
"Hhh…! Dia seorang tokoh
sesat dalam rimba per-silatan..." sahut Waneng Pati seraya mendesah
panjang.
"Aku tahu itu, Paman. Tapi
apa hubungannya dengan Ayah?" desak Arya Dipa.
"Aku tidak tahu, Arya Dipa.
Aku dan ayahmu memang sudah puluhan tahun bersahabat. Bahkan sebagian besar
kepandaianku berasal darinya. Tapi aku tidak begitu tahu kehidupan pribadinya.
Bahkan musuh-musuhnya saja tidak semuanya kuketahui," jelas Waneng Pati.
"Apakah Ayah pernah
bertarung dengan si Kapak Maut, Paman?" tanya Arya Dipa lagi.
"Setahuku tidak pernah.
Tapi..."
"Tapi kenapa, Paman?"
"Si Kapak Maut memang pernah
menantang, tapi ayahmu tidak pernah melayani hingga sekarang ini. Sampai
akhirnya laki-laki itu tewas di tanganmu tadi." terdengar pelan suara
Waneng Pati
"Kenapa begitu?" Arya
Dipa jadi semakin ingin tahu.
"Entahlah, Arya Dipa. Aku
sendiri tidak tahu, kenapa ayahmu tidak pernah mau menerima tantangan si Kapak
Maut."
"Aneh...?! Padahal Ayah
selalu menerima setiap tantangan yang datang secara adil dan jujur. Kenapa Ayah
tidak mau menerima tantangan si Kapak Maut?" Arya Dipa bergumam seperti
bicara pada dirinya sendiri.
Arya Dipa memandang dalam dalam
Waneng Pati, sahabat ayahnya yang begitu dekat. Bukan saja usianya yang hampir
sama, tapi Waneng Pati adalah pengikut setia Dewa Pedang semasih pendekar itu
melanglang buana dan belum mendirikan padepokan di pinggiran Desa Banyu Reges
ini. Hampir semua ilmu yang dimiliki Dewa Pedang diajarkan pada Waneng Pati.
Dan Arya Dipa tidak percaya kalau orang yang sudah dianggap sebagai pamannya
ini tidak mengetahui tentang kehidupan pribadi ayahnya. Terlebih lagi yang
berhubungan dengan si Kapak Maut, hingga akhirnya membuat Dewa Pedang itu
gelisah hatinya.
"Penat rasanya seluruh
badanku. Aku istirahat dulu, Arya Dipa," ujar Waneng Pati seraya bangkit
bendiri dan menggeliat-geliatkan badannya.
"Sebentar, Paman."
cegah Arya Dipa meminta Waneng Pati duduk lagi.
"Ada apa lagi, Arya
Dipa?" tanya Waneng Pati seraya duduk kembali di kursinya.
"Paman tahu, dari mana si
Kapak Maut berasal?" tanya Arya Dipa.
"Untuk apa kau tanyakan itu,
Arya Dipa?" Waneng Pati terkejut juga mendengar pertanyaan pemuda itu.
"Aku akan menyelidikinya,
Paman."
"Jangan bergurau, Arya
Dipa."
"Aku tidak main-main,
Paman."
"Ah, sudahlah. Biar semua
ini ayahmu yang menyelesaikan."
"Paman...!"
Tapi Waneng Pati sudah beranjak
berdiri, lalu me-langkah meninggalkan beranda. Arya Dipa tidak bisa mencegah
lagi, dan hanya memandangi saja kepergian Waneng Pati. Pemuda itu duduk
merenung. Berbagai macam pikiran berkecamuk di kepalanya. Macam-macam
pertanyaan menyemaraki benaknya, namun tak satu pun mampu terjawab.
"Uh! Apa sebenarnya yang
terjadi pada Ayah...?" keluh Arya Dipa dalam hati.
****
TIGA
Keramaian masih terasa di Desa
Banyu Reges, meskipun hari peringatan berdirinya Padepokan Pedang Perak sudah
berakhir sepekan lalu. Dan semua orang sudah melupakan peristiwa berdarah yang
terjadi pada hari pertama peringatan itu. Bahkan murid-murid padepokan itu
sendiri tidak lagi membicarakannya. Keramaian di Desa Banyu Reges terjadi
karena masa menuai hampir tiba. Apalagi ditambah para undangan Padepokan Pedang
Perak yang belum semuanya kembali pulang. Masih ada juga yang ingin tinggal
lebih lama untuk menikmati keindahan desa itu.
Kehadiran tokoh-tokoh rimba
persilatan di Desa Banyu Reges bukan saja membuat penduduknya senang, tapi juga
membuat persoalan yang tidak biasa terjadi menjadi terjadi. Berbagai macam
tingkah polah mereka, sehingga membuat para penduduk Desa Banyu Reges sukar
untuk memahami. Apa yang diperbuat terasa janggal. Dan ini membuat para pemuka
desa dirundung kegelisahan jika tokoh-tokoh rimba persilatan masih terlalu lama
tinggal di situ. Mereka khawatir kalau kalau tingkah polah tokoh persilatan itu
merambat dan merasuki pemuda pemuda desa yang masih polos dan lugu.
Namun suasana seperti itu tentu
sangat dimanfaatkan pemilik kedai dan rumah penginapan. Tempat-tempat seperti
itulah yang selalu dikunjungi mereka hingga padat. Terlebih lagi kedai atau
rumah makan yang menyediakan minuman keras serta gadis-gadis penghibur. Tidak
heran lagi jika keributan selalu muncul dari kedai-kedai minum ataupun
rumah-rumah penginapan. Desa Banyu Reges yang sehari-harinya aman tentram dan
tenang, kini mendadak berubah bagai desa mesum yang penuh tingkah polah
manusia-manusia berkelakuan sesuka hati.
"Heh! Pembunuhan
lagi...!" dengus Ki Junta, Kepala Desa Banyu Reges saat menerima laporan
adanya perkelahian di sebuah kedai.
Empat orang yang melaporkan
perkelahian itu hanya diam saja, sambil menunggu perintah dari kepala desa itu.
Tapi laki-laki tua yang rambutnya sudah memutih semua itu hanya diam saja
seraya mengayunkan kaki keluar dari rumahnya. Empat orang laki-laki bertubuh
tegap yang menyandang sebilah golok di pinggang itu mengikuti dari belakang.
"Di mana perkelahian itu,
Teja?" tanya Ki Junta terus saja berjalan tak terburu-buru.
"Di kedai Ki Sangir,"
sahut Teja yang berjalan di sebelah kiri Ki Junta.
"Huh! Selalu saja terjadi di
situ...!" rungut Ki Junta.
Sudah beberapa kali ini Ki Junta
menerima laporan perkelahian yang berakhir dengan terbunuhnya dua atau tiga
orang di kedai Ki Sangir. Letak kedai itu agak mendekati perbatasan desa
sebelah Barat. Memang agak jauh dari pemukiman penduduk, namun yang paling
ramai dikunjungi orang. Ki Junta merasa jengkel karena setiap saat selalu
menerima laporan perkelahian atau tindak kekerasan lain yang membuatnya jadi
sukar beristirahat.
Letak kedai Ki Sangir memang
tidak seberapa jauh dari kediaman kepala desa, sehingga bisa ditempuh dalam
waktu singkat. Sebentar saja Ki Junta yang didampingi empat orang bawahannya
sampai di kedai Ki Sangir. Suasana kedai itu tampak ramai, tapi tak ada
tanda-tanda bekas terjadi keributan. Ki Junta langsung masuk ke dalam kedai.
Dipanggilnya Ki Sangir pemllik kedai itu. Laki-laki tua bertubuh agak bungkuk,
dan bernama Ki Sangir bergegas menghampiri.
"Oh, Ki Junta. Silakan,
masih ada tempat kosong," sambut Ki Sangir, bersikap hormat
"Kedatanganku bukan untuk
makan atau minum di sini!" kata Ki Junta ketus.
Ki Sangir terdiam. Sempat
diliriknya empat orang laki-laki di belakang kepala desa itu. Ki Sangir sudah
bisa meraba maksud kedatangan Ki Junta ke kedainya ini. Sedangkan Ki Junta
mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kedai ini. Cukup padat juga
pengunjungnya, tapi masih ada beberapa meja yang belum terisi. Kebanyakan, para
pengunjung itu adalah orang rimba persilatan. Ini ditandai dari pakaian dan
senjata yang dibawa.
Pandangan mata Ki Junta tertumpu
pada satu sudut yang agak terhalang oleh dinding kayu berlubang-lubang. Pada
sebuah meja yang hanya ada seguci arak serta beberapa potong pisang goreng,
duduk seorang laki-laki muda berwajah tampan. Rambutnya panjang tergelung ke
atas. Pemuda itu mengenakan baju warna putih tanpa lengan. Sebuah gagang pedang
berbentuk kepala burung rajawali, menyembul dari balik punggungnya. Ki Junta
kembali mengalihkan pandangannya ke arah Ki Sangir yang masih tetap berdiri
terbungkuk di depannya. Tubuh Ki Sangir memang agak bungkuk.
"Ki Sangir! Sudah berapa
kali kuperingatkan padamu? Jangan biarkan tamu-tamu mabuk-mabukan seenaknya hingga
mengganggu ketertiban dan keamanan, mengerti!" tegas sekali kata-kata
kepala desa itu.
"Ah! Sudah dua hari ini
tidak ada keributan di sini. Ki," sahut Ki Sangir.
"Jangan suka menutup mata di
depanku, Ki Sangir!" sentak Ki Junta Jengkel.
"Maaf, Ki Apa sebenarnya
yang telah terjadi? Kenapa Ki Junta seperti tidak menyukai kedai ini dikunjungi
banyak tamu?" tanya Ki Sangir merasa tidak suka pada sikap kepala desa
itu.
"Bukannya tidak suka. Tapi
aku sering dengar kalau di kedaimu selalu terjadi keributan yang membuat
penduduk resah!" kata Ki Junta, agak keras nada suaranya.
"Oh...!" Ki Sangir
mengeluh panjang.
Laki-laki tua bungkuk pemilik
kedal itu kembali melirik empat orang di belakang Ki Junta. Memang sejak
datangnya tokoh-tokoh rimba persilatan di desa ini, selalu saja terdengar
keributan yang berakhir dengan jatuh korban nyawa dari orang-orang persilatan
itu sendiri. Untunglah sampai sekarang ini belum ada seorang penduduk pun yang
tewas akibat perkelahian atau apa saja.
Ki Sangir memang mengakui kalau
sudah tiga kali kedainya jadi ajang pertarungan yang tidak jelas
per-masalahannya. Mereka hanya memamerkan kepandaian yang selalu berakhir
kematian. Tapi sudah dua hari ini tidak terjadi perkelahian di kedainya,
walaupun pertengkaran kecil memang selalu saja ada.
"Sebaiknya kau tidak usah
mendengar, tapi melihat sendiri keadaan desamu...!" tiba-tiba terdengar
sebuah suara menggema.
Ki Junta tersentak kaget. Suara
itu jelas ditujukan untuk dirinya. Tapi, entah siapa yang baru saja berbicara.
Kedai ini begitu banyak orang yang kelihatannya tidak peduli antara satu dengan
lainnya. Ki Junta mengedarkan pandangannya. mencoba mencari arah sumber suara
tadi. Sedangkan empat orang yang berada di belakangnya sudah memegang gagang
golok masing-masing, tapi belum dicabut dari sarungnya.
"Kisanak, siapa kau yang
berbicara?!" lantang suara Ki Junta.
Tak ada sahutan sama sekali. Ki
Junta jadi gusar sekali. Kembali diedarkan pandangannya berkeliling, mencoba
mencari orang usil tadi.
"Mata lebih sempurna dari
pada telinga. Melihat lebih baik daripada mendengar...,"
kembali terdengar suara yang
bernada sama. Ki Junta langsung berpaling, dan menatap seorang pemuda berwajah
tampan duduk di dekat jendela. Pakaiannya putih bersih dan ketat, sehingga
membentuk tubuhnya yang tegap berisi. Pemuda itu kelihatan tenang menghadapi
arak dan beberapa piring makan yang sudah kosong.
"Ilmu pemindah suaramu cukup
bagus, Kisanak. Tapi belum cukup untuk mengelabuiku!" dengus Ki Junta
dingin.
Belum lagi kata-kata Ki Junta
hilang dari pendengaran, mendadak saja kepala desa itu mengibaskan tangannya ke
arah pemuda yang duduk di bawah jendela itu. Dari balik lengan bajunya meluncur
sebuah benda kecil berwarna hitam. Benda kecil seperti mata tombak tersebut
bagaikan kitat meluruk ke arah pemuda tampan itu.
Tap! Tapi sungguh di luar dugaan
sama sekali. Pemuda itu hanya mengangkat guci araknya sedikit ke depan. Maka,
benda hitam berbentuk mata tombak itu menancap di guci. Masih bersikap tenang,
ditenggaknya arak dari dalam guci. Tak ada setetes arak pun yang keluar,
meskipun guci itu berlubang tertancap mata tombak hitam yang dilemparkan Ki
Junta.
"Ki, sebaiknya jangan di
sini. Meja dan kursiku baru diganti semua," kata Ki Sangir, agak bergetar
suaranya.
"Minggir kau!" bentak
Ki Junta kasar seraya mendorong tubuh laki-laki bungkuk pemilik kedai itu.
Ki Sangir terhuyung-huyung ke
belakang. Kalau saja tidak ditahan seorang gadis muda berbaju biru, mungkin
tubuhnya sudah menabrak meja.
"Oh! Terima kasih, Nini."
ucap Ki Sangir bergegas membungkuk memberi hormat.
"Menyingkirlah, Ki.
Kelihatannya kepala desa itu sudah kerasukan setan," kata gadis cantik
berbaju biru itu lembut.
"Heh! Apa katamu,
Nisanak?!" bentak Ki Junta berang.
"Ini, Ki," gadis itu
tidak mempedulikan bentakan Ki Junta.
Sambil berdiri, dibayar makanan
dan minumannya pada Ki Sangir, kemudian dilangkahkan kakinya pelahan-lahan ke
luar kedai. Tapi belum juga mencapai ambang pintu, dua orang yang mendampingi
Ki Junta sudah menghadangnya. Gadis itu terpaksa berhenti melangkah.
****
Suasana di dalam kedai Ki Sangir
semakin bertambah panas. Gadis berbaju biru yang menyandang pedang bergagang
seekor naga di punggung itu menatap tajam dua orang yang menghadangnya di depan
pintu kedai. Tangan kirinya menggeser sebuah kipas putih yang tertutup di balik
sabuk ikat pinggang. Sempat juga diliriknya pemuda berbaju rompi putih yang
duduk di sudut. Pemuda itu memberikan senyum sambil mengangkat gelasnya
sedikit. Gadis itu pun tersenyum kecil, lalu menatap tajam Ki Junta.
"Maaf, aku akan
keluar," kata gadis cantik itu ramah.
"Kau sudah menghina kepala
desa kami, Nisanak!" ujar salah seorang yang menghadang di depan pintu
dengan suara dingin
"Hm..., lucu sekali. Aku
hanya membantu pemilik kedai, kenapa dituduh menghina?"
"Kembalilah ke tempatmu,
Nisanak!" bentak laki-laki itu lagi.
"Baik. Apa yang akan kalian
lakukan?"
"Tunggu sampai Ki Junta
menyelesaikan urusan dengan manusia kurang ajar itu!" dengus orang itu
lagi.
Gadis berbaju biru itu mengangkat
pundaknya setelah melirik pemuda berbaju rompi putih yang duduk di sudut.
Pemuda itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. Kemudian gadis
itu berbalik dan melangkah kembali ke kursinya, tapi tidak jadi duduk di sana.
Dia berjalan menghampiri pemuda yang duduk di sudut, dan duduk di depannya.
"Sudah kukatakan, Kakang.
Desa ini tidak ramah untuk disinggahi," kata gadis cantik itu setengah
berbisik.
"Tapi aku tertarik pada
sikap kepala desa itu," sahut pemuda berbaju rompi putih itu tidak lepas
mengamati Ki Junta yang sudah melangkah menghampiri pemuda berbaju putih yang
duduk di bawah jendela.
"Huh! Sok jual lagak!"
"Diamlah. Calon lawanmu
memperhatikan terus. Sebaiknya kita terus saja seperti tidak saling mengenal"
"Percuma!"
Pemuda berbaju rompi putih itu
mengangkat pundaknya sedikit. Perhatiannya tidak pernah beralih ke arah Ki
Junta yang kini sudah berada di depan pemuda berbaju putih yang duduk di bawah
jendela kedai ini. Jelas sekali kalau sikap pemuda itu tampak tenang dan
seperti tidak mempedulikan suasana yang semakin panas menegangkan.
"Anak muda, siapa kau? Mau
apa datang ke desa ini?" tanya Ki Junta bernada dingin.
"Maaf, apakah Kisanak bicara
denganku?" pemuda berbaju putih itu malah balik bertanya.
"Bocah kadal! Kau pikir aku
bicara dengan siapa, heh?!" bentak Ki Junta semakin berang.
"Oh... Kau bicara
denganku...?" sikap pemuda itu masih juga tidak peduli.
Tentu saja hal ini membuat dua
orang yang duduk di sudut jadi menahan senyum. Terlebih lagi gadis berbaju
biru. Dia sampai terkikik kecil, sehingga membuat empat orang pengikut Ki Junta
mendelik. Ki Junta semakin berang saja melihat sikap pemuda itu yang tidak
peduli sama sekali. Bahkan dia berdiri dan hendak pergi dari kedai ini. Dengan kasar
sekali Ki Junta menyentakkan bahu pemuda itu. Seketika satu pukulan keras
melayang, tepat mendarat di perut pemuda berbaju putih itu.
Dig! "Heghk!"
Selagi pemuda itu terbungkuk, Ki
Junta kembali melayangkan satu pukulan keras menghantam wajah pemuda itu hingga
terdongak. Belum lagi pemuda itu mampu melakukan apa-apa, Ki Junta sudah
menghantamkan satu pukulan lagi ke dada. Akibatnya pemuda berbaju putih itu
terjungkal menabrak meja sampai hancur berantakan.
"Bangun!" bentak Ki
Junta keras.
Pemuda berbaju putih itu bangkit
berdiri. Disekanya darah yang mengalir dari sudut bibir. Kejadian itu membuat
seluruh pengunjung kedal jadi tidak tenang. Mereka bergegas ke luar, tidak
ingin ikut campur. Hanya beberapa orang saja yang masih tetap tinggal di kedai
ini. Pelahan-lahan pemuda itu berdiri tegak. Sorot matanya begitu tajam menusuk
langsung ke bola mata Ki Junta.
"Heh...!" Ki Junta
menghentakkan tangannya sejajar dengan bahu.
Dua orang yang sejak tadi
mengawalnya segera melompat maju, seraya mencabut goloknya. Langsung saja
dirangsek pemuda berbaju putih itu. Namun sungguh di luar dugaan sama sekali,
pemuda berbaju putih ketat itu melentingkan tubuhnya ke udara. Seketika kedua
kakinya menyentak menendang dua orang bersenjata golok yang hendak meringkusnya.
Dug! Des!
Kedua orang itu mengeluh pendek
dan terjungkal ke belakang sampai menabrak meja kursi. Bergegas mereka bangkit
berdiri sambil menggeram marah. Dua orang pengawal Ki Junta itu langsung
berlompatan menyerang pemuda itu dengan senjata golok berkilat.
"Hiya! Yeaaah...!"
Sukar untuk diikuti pandangan
mata biasa, mendadak saja pemuda itu memutar tubuhnya sambil melompat sedikit.
Tangan kanannya berkelebat cepat bagai kilat, maka tahu-tahu dua orang
penyerangnya menjerit keras dan terpental ke belakang. Dua orang itu menggeliat
sebentar di tanah, lalu diam tak berkutik lagi.
"Hah...!" Ki Junta
terperanjat bukan main. Kedua bola mata kepala desa itu mendelik, ketika
mendapati kening kedua anak buahnya berlubang mengucurkan darah segar. Ki Junta
menatap pemuda berbaju putih itu yang berdiri tenang melipat kedua tangannya di
depan dada. Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyuman sinis. Ki Junta
melangkah mundur beberapa tindak.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ki
Junta berbalik dan langsung melangkah cepat keluar dari kedai Ki Sangir. Dua
orang pengawalnya jadi kebingungan, tapi bergegas mengikuti kepala desa itu.
Sedangkan pemuda berbaju putih itu juga keluar dari kedai, melangkah tenang
seperti tidak pernah terjadi apa-apa padanya tadi. Tinggal Ki Sangir yang sibuk
memerintahkan pekerjanya menyingkir-kan dua mayat yang tergeletak dengan kening
bolong sebesar jari!
****
"Mustahil...!" dengus
Dewa Pedang seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Berani sumpah, Dewa Pedang.
Aku sendiri melihat, bahkan sempat bertarung dengannya sebelum orang itu
membunuh dua orang pengawalku," kata Ki Junta.
Dewa Pedang bangkit berdiri dari
duduknya, lalu berjalan menghampiri jendela ruangan kecil yang khusus untuk
bersemadi. Pandangannya lurus menatap bulan yang bersinar penuh malam ini,
kemudian berbalik dan menatap Ki Junta yang masih duduk bersimpuh di lantai.
Kepala Desa Banyu Reges itu sudah
menceritakan semua peristiwa di kedai Ki Sangir siang tadi. Dan setiap kali
terjadi peristiwa di Desa Banyu Reges, Ki Junta selalu melaporkan hal itu pada
Ketua Padepokan Pedang Perak itu. Dan ini membuat Dewa Pedang jadi gundah.
Belum pernah terjadi tamu-tamu yang diundang tidak langsung pulang. Bahkan
menetap beberapa hari di Desa Banyu Reges.
Yang menjadi beban pikirannya,
tokoh-tokoh persilatan yang kini berada di Desa Banyu Reges sebagian beraliran
hitam. Bahkan tidak sedikit tokoh persilatan yang tidak dikenalnya berada di
desa itu. Apa sebenarnya yang mereka inginkan? Ataukah sedang menunggu sesuatu?
Tapi, apa yang ditunggu...? Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu menghantui
Dewa Pedang.
"Ki Junta tahu, apa tujuan
orang itu datang ke desa ini?" tanya Dewa Pedang setelah cukup lama
berdiam diri.
"Entahlah, Dewa Pedang. Dia
tidak banyak bicara, tapi setiap ucapannya sungguh menyakitkan sehingga
kemarahanku tidak bisa lagi ditahan," sahut Ki Junta.
"Hhh.... Setahuku, orang
yang memiliki jurus Jari Malaikat hanya Pendekar Jari Malaikat. Tapi pendekar
itu sudah lama tidak terdengar sepak terjangnya lagi setelah ditaklukkan
seorang pendekar muda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti," jelas Dewa
Pedang setengah bergumam.
"Pendekar Jari Malaikat
bukan lagi seorang pemuda. Usianya saja lebih sepuluh tahun dariku.
Aneh...?!"
"Aku melihatnya sendiri,
Pende..."
"Aku percaya, Ki
Junta," potong Dewa Pedang cepat "Luka di kening kedua pengawalmu itu
memang jelas akibat jurus 'Jari Malaikat'."
"Kalau pemuda itu bukan
Pendekar Jari Malaikat. lalu siapa...?" Ki Junta seperti bicara pada
dirinya sendiri.
"Itulah yang mengganggu
pikiranku," kata Dewa Pedang.
"Atau mungkin
muridnya...?" Ki Junta menduga-duga.
"Mungkin juga...,"
gumam Dewa Pedang pelan seraya melangkah kembali ke tempat duduknya.
Dewa Pedang duduk bersila di
depan Ki Junta. Untuk beberapa saat lamanya tak ada yang berbicara.
Masing-masing sibuk bersama pikirannya sendiri. Suasana di ruangan semadi itu
jadi sunyi senyap. Hanya tarikan napas saja yang terdengar. Kedua orang itu
mendadak mendongak begitu terdengar ketukan di pintu. Belum lagi Dewa Pedang
membuka mulut, pintu ruangan semadi ini telah terbuka. Muncul Arya Dipa dan
adiknya. Mereka menjura memberi hormat, kemudian melangkah masuk dan bersila di
samping Ki Junta.
"Ada apa, Anak-anakku?"
tanya Dewa Pedang.
"Ayah, ada tamu yang hendak
bertemu," sahut Arya Dipa memberitahu.
"Hm..., siapa?" tanya
Dewa Pedang.
"Pendekar Jari
Malaikat," sahut Arya Dipa.
"Siapa...?!" Dewa
Pedang terperanjat bukan main.
Tubuh laki-laki Ketua Padepokan
Pedang Perak itu sampai terlonjak berdiri, sehingga membuat kedua putranya
keheranan tidak mengerti. Sedangkan Ki Junta hanya bisa memandang saja, tanpa
mampu berkata-kata lagi.
"Kalian temui dulu. Katakan,
nanti aku akan datang menemuinya," kata Dewa Pedang setelah bisa tenang
kembali.
Kedua pemuda itu bangkit dan
menjura memberi hormat, lalu melangkah ke luar. Arya Gara menutup pintu ruangan
semadi itu kembali setelah berada di luar. Dewa Pedang masih berdiri mematung,
dan bibirnya terkatup rapat. Ki Junta berdiri dan membungkuk memberi hormat.
"Ikutlah menemuinya, Ki.
Mungkin dialah orangnya yang telah membunuh dua pengawalmu," kata Dewa
Pedang.
"Baik, Dewa Pedang."
sahut Ki Junta hormat.
"Ayolah! Jangan sampai dia
menunggu lama."
****
EMPAT
Dewa Pedang menjadi tertegun
begitu melihat tamu yang datang ke padepokannya. Seperti yang dikatakan
putranya, tamu itu memang benar Pendekar Jari Malaikat. Hanya sesaat Dewa
Pedang tertegun, kemudian segera mempersilakan tamunya duduk. Di ruangan depan
yang cukup luas ini, Dewa Pedang duduk menghadapi meja bundar. Di sampingnya
duduk Ki Junta. Sedangkan Pendekar Jari Malaikat berada di seberang meja.
"Ada angin apa sehingga
Kisanak singgah di padepokanku ini...?" Dewa Pedang membuka suara.
Sikapnya ramah penuh persahabatan.
"Aku memang sengaja datang
ke sini, Dewa Pedang," ujar Pendekar Jari Malaikat.
"Oh...," Dewa Pedang
mendesah panjang.
"Terus terang, kedatanganku
ada hubungannya dengan tewasnya si Kapak Maut," tegas Pendekar Jari
Malaikat.
Dewa Pedang tidak lagi terkejut
mendengarnya. Namun tidak demikian halnya Ki Junta. Kepala Desa Banyu Reges itu
terkejut bukan main, hingga ternganga menatap dalam pada laki-laki berusia
sekitar tujuh puluh tahun itu. Dia mengenakan baju putih panjang, bergambar
jari-jari tangan terkembang pada bagian dada kiri.
"Yaaah.... Aku juga
menyesalkan kejadian itu, tapi tidak bisa mencegah. Si Kapak Maut datang ke
sini tepat pada hari pertama peringatan berdirinya Padepokan Pedang Perak.
Kedatangannya ternyata hanya untuk menantang dan melukai seorang wakil wilayah
padepokan ini. Tapi sayang, dia tewas di tangan putraku sendiri," Jelas
Dewa Pedang tenang. Tak ada nada kegelisahan pada suaranya.
Namun tidak demikian halnya hati
Ketua Padepokan Pedang Perak itu. Dia terus menduga-duga apa yang akan
dilakukan Pendekar Jari Malaikat. Wajahnya terlihat tenang, namun dari sorot
matanya memancarkan sesuatu yang sukar untuk ditebak. Sementara Ki Junta hanya
menjadi pendengar saja, seperti tidak ingin mencampuri urusan itu. Apalagi
setelah melihat kalau Pendekar Jari Malaikat yang kini berada di depannya
bukanlah orang yang telah membunuh dua orang pengawalnya. Ki Junta sendiri
masih belum bisa menebak, siapa pemuda yang memiliki jurus Jari Malaikat itu?
"Dewa Pedang. Kau tentu
tahu, siapa itu si Kapak Maut, bukan?" agak dingin nada suara Pendekar
Jari Malaikat.
"Ya, aku tahu," sahut
Dewa Pedang mendesah.
"Dan kau pasti sudah
mengetahui maksud kedatanganku ke sini," sambung Pendekar Jari Malaikat.
"Jika kau ingin membalas
kematian adikmu, akulah yang bertanggung jawab sepenuhnya," tegas
kata-kata Dewa Pedang.
"Hhh...! Itu bukan sifatku,
Dewa Pedang!" dengus Pendekar Jari Malaikat "Kau sendiri sudah
mengetahui, bahkan menjadi saksi sumpahku. Siapa pun yang membunuh si Kapak
Maut, harus berhadapan denganku. Baik itu kawan maupun lawan. Kecuali aku sudah
mati."
"Yang mengalahkan si Kapak
Maut adalah putraku sendiri. Dan itu menjadi tanggung jawabku karena aku tidak
berusaha mencegahnya. Kau sendiri juga tahu kalau si Kapak Maut selalu membenci
dan menantangku bertarung, tapi semua itu tidak pernah kulayani. Ini karena aku
menghormati sumpahmu, dan tidak mau mengkhianati persahabatan kita," tegas
juga jawaban Dewa Pedang.
"Apa pun alasannya, putramu
tetap harus berhadapan denganku!" tegas Pendekar Jari Malaikat memberi
keputusan.
"Dan itu berarti kau harus
berhadapan denganku juga, Jari Malaikat!" sambut Dewa Pedang tidak kalah
tegasnya.
"Menyesal sekali,
persahabatan kita harus berakhir secara menyedihkan," desah Pendekar Jari
Malaikat pelan.
"Semua itu sudah kuduga
sebelumnya, Jari Malaikat. Sejak aku menikahi Dewi Ratih dan adikmu membenciku
tanpa alasan pasti."
"Si Kapak Maut membenci dan
selalu menantangmu karena kau dianggap telah merebut kekasihnya."
"Dewi Ratih,
maksudmu...?"
"Benar. Sebelum kau kenal
Dewi Ratih, adikku sudah mengenal sekaligus mencintainya lebih dahulu. Tapi
memang kaulah yang beruntung dan berhasil memperistrinya."
"Kenapa tidak kau katakan
itu sejak dulu...?" Dewa Pedang seperti menyesali sikap sahabatnya itu.
"Sudah kukatakan, segala
tindakan si Kapak Maut tidak akan pernah kucampuri. Tapi, tak ada seorang pun
yang boleh mencelakakannya, apalagi membunuhnya. Itu sumpahku, Dewa Pedang.
Sumpah di depan pusara ayahku, ayah si Kapak Maut juga. Dan itu merupakan
amanat yang harus kujalankan!"
"Sama sekali aku tidak
bermaksud menyalahkanmu, Jari Malaikat. Tapi yang kusesalkan adalah sikapmu
yang selalu membela si Kapak Maut. Akibatnya, kau sendiri selalu berhadapan
dengan berbagai macam kesulitan akibat tingkah laku adikmu."
"Itu urusanku, Dewa Pedang!
Kau tidak perlu ikut campur urusanku!"
"Dan sekarang kau hendak
menuntut balas atas kematian adikmu. Apa kau tidak tahu kalau si Kapak Maut
berbuat seperti itu karena didasari nafsu ke angkar-amurkaannya. Sedangkan Arya
Dipa hanya mencoba meredam keangkuhannya. Lain tidak! Anakku juga terpaksa
membunuhnya, karena adikmu telah melukai salah seorang pamannya dan hampir
membunuhnya. Bukan satu dua mata yang menyaksikan, tapi puluhan. Bahkan
ratusan!" Dewa Pedang memaparkan kejadian yang sebenarnya.
"Dewa Pedang, aku tidak
ingin bertengkar mulut denganmu. Kedatanganku ke sini hendak menuntut kematian
adikku. Maka kau harus merelakan putramu berhadapan denganku. Kutunggu Arya
Dipa besok pagi di Puncak Gunung Bekasan!"
Setelah berkata demikian.
Pendekar Jari Malaikat langsung berdiri. Tanpa berkata apa-apa lagi, laki-laki
berusia sekitar tujuh puluh tahun itu cepat melangkah ke luar. Dewa Pedang
hendak mengejar, tapi Ki Junta sudah keburu mencegah dengan mencekal tangannya.
Dewa Pedang menghembuskan napas panjang dan berat.
"Hhh...! Apa yang kurisaukan
ternyata jadi kenyataan juga...!" keluh Dewa Pedang.
"Aku tidak menyangka kalau
si Kapak Maut itu adik Pendekar Jari Malaikat," gumam Ki Junta.
Tak ada lagi yang bicara.
Kesunyian melanda ruangan besar itu. Beberapa kali Dewa Pedang menarik napas
panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Sedangkan Ki Junta hanya bisa
memandangi tanpa dapat menyumbangkan sedikit pikiran. Persoalan yang dihadapi Dewa
Pedang kali ini begitu pelik dan berat sekali.
Sungguh di luar jangkauan dan
kemampuannya. Ki Junta hanya bisa berharap agar Dewa Pedang mampu menyelesaikan
persoalan ini tanpa harus kehilangan putra sulungnya. Mereka jadi seperti
melupakan persoalan yang dibawa Ki Junta. Persoalan serius yang kini sedang
dihadapi seluruh warga Desa Banyu Reges.
****
Tidak mudah bagi Dewa Pedang
untuk menyampaikan tuntutan Pendekar Jari Malaikat terhadap Arya Dipa. Tapi,
biar bagaimanapun harus disampaikan juga. Dengan perasaan berat dan amat
tertekan, Dewa Pedang mengutarakan maksud kedatangan Pendekar Jari Malaikat
malam ini. Sedangkan Arya Dipa hanya menanggapi dengan sikap tenang tanpa
menampakkan keterkejutan sedikitpun.
"Kakang, apakah kau tidak
bisa mencegah?" pinta Dewi Ratih yang wajahnya diliputi kecemasan.
"Aku sudah berusaha, tapi
memang sudah begitu wataknya. Sekarang tinggal keputusan Arya Dipa saja,"
kata Dewa Pedang pasrah.
"Tapi, Kakang... Arya Dipa
bukanlah tandingan Pendekar Jari Malaikat," sergah Dewi Ratih.
"Aku tahu itu, Ratih. Tapi
harus diingat, kalau Pendekar Jari Malaikat hanya melaksanakan amanat dan
sumpahnya. Aku sendiri sebenarnya tidak setuju pada sikapnya yang begitu keras,
sampai-sampai tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah."
"Sudahlah, Ayah, Ibu. Tidak
perlu dicemaskan. Aku akan pergi ke Puncak Gunung Bekasan sebelum matahari
terbit," selak Arya Dipa dengan suara yang sangat tenang.
"Kau tidak akan mampu
menghadapinya dalam lima jurus, Anakku," kata Dewi Ratih.
"Memohon saja pada Hyang
Widi, Bu," ujar Arya Dipa diiringi senyum.
"Aku tidak bisa berbuat
apa-apa, tapi tidak akan membiarkan kau mati di tangan Pendekar Jari Malaikat,
Arya Dipa," tegas Dewa Pedang.
"Tidak perlu Ayah lakukan
itu untukku. Aku yang membunuh si Kapak Maut, maka aku juga yang harus
mempertanggung jawabkannya. Aku akan mewakili Ayah. Percayalah. Jurus-jurus
'Dewa Pedang' sudah kuperdalam, meskipun belum sesempuma Ayah." jelas Arya
Dipa mencoba menenangkan hati orang tuanya.
Betapa terharunya Dewa Pedang
menyaksikan jiwa putra sulungnya ini. Bola matanya berkaca-kaca, tak mampu
membendung keharuan yang menggelegak di dalam dada. Dewa Pedang merengkuh
putranya, lalu memeluk erat-erat. Seakan-akan tidak ingin dilepaskannya lagi.
Sedangkan Dewi Ratih menyusut air bening yang menetes di sudut matanya.
Keharuan begitu menyelimuti mereka.
"Aku bangga padamu,
Anakku," ucap Dewa Pedang agak tersendat.
"Restui aku. Ayah, Ibu....
Semoga Hyang Widi bersamaku," ujar Arya Dipa seraya melepaskan pelukan
ayahnya.
"Pergilah
beristirahat," ucap Dewi Ratih.
Arya Dipa bangkit berdiri, lalu
menjura memberi hormat sebagaimana lazimnya murid-murid Padepokan Pedang Perak
memberi hormat terhadap gurunya. Meskipun Dewa Pedang adalah ayah kandungnya,
tapi Arya Dipa tidak pernah lupa kalau laki-laki setengah baya itu juga adalah
gurunya. Pemuda itu melangkah keluar dari ruangan itu.
Arya Dipa agak terkejut juga
begitu keluar. Ternyata adiknya sudah menunggu di depan pintu ruangan pribadi
ayah mereka. Arya Dipa hanya memandang Arya Gara sejenak, kemudian terus saja
berjalan agak cepat setelah menutup pintu. Arya Gara mengikuti dan
mensejajarkan langkah di samping kakaknya.
"Kau pasti mendengarkan
semua pembicaraan tadi, Arya Gara," kata Arya Dipa mendahului.
"Aku akan mendampingimu,
Kakang," ujar Arya Gara.
"Untuk apa?"
"Kalau-kalau orang tua itu
membawa murid"
"Tidak, Arya Gara. Pendekar
Jari Malaikat tidak mempunyai murid seorang pun."
"Kakang lupa. Siang tadi,
muncul orang yang memiliki jurus 'Jari Malaikat'. Apa Kakang sudah lupa pada
pembicaraan Ayah bersama Ki Junta di ruangan semadi? Aku tidak bisa
melupakannya, Kakang. Dan aku yakin kalau orang itu adalah murid si Pendekar
Jari Malaikat," tegas Arya Gara.
Arya Dipa mendadak tercenung, dan
seketika berhenti melangkah. Dipandangi adiknya dalam-dalam. Siang tadi mereka
memang sengaja menguping pembicaraan ayahnya dengan Ki Junta di dalam ruang
semadi. Bahkan juga sudah mendengar tentang perkelahian di kedai Ki Sangir.
Sampai saat ini memang belum diketahui, siapa pemuda yang telah membunuh dua
orang pengawal Ki Junta dengan jurus 'Jari Malaikat'. Sedangkan ayah mereka
sendiri mengatakan kalau Pendekar Jari Malaikat tidak memlliki seorang murid
pun.
"Kakang! Ayah dan Pendekar
Jari Malaikat sudah tidak bertemu hampir sepuluh tahun. Bukannya tidak mustahil
kalau Pendekar Jari Malaikat ternyata juga mempunyai murid seperti Ayah.
Sedangkan buktinya sudah ada. Dua orang pengawal Ki Junta tewas terkena jurus
'Jari Malaikat'," kata Arya Gara lagi.
"Orang itu belum terbukti,
siapa dan dari mana asalnya, Arya Gara," bantah Arya Dipa terhadap
pemikiran adiknya.
"Tentu saja belum diketahui,
Kakang. Siapa tahu itu hanya siasat Pendekar Jari Malaikat saja. Kita semua
toh, belum mengetahui maksud kedatangan orang itu ke Desa Banyu Reges. Segala
kemungkinan bisa saja terjadi, Kakang."
"Sudahlah! Aku ingin
lstirahat," kata Arya Dipa seraya melangkah lagi.
"Diijinkan atau tidak, aku
tetap akan ke Puncak Gunung Bekasan, Kakang!"
"Terserah kau!"
"Terima kasih,
Kakang...!"
****
Pagi-pagi sekali sebelum matahari
memancarkan penuh sinarnya, Arya Dipa sudah memacu cepat kudanya keluar dari
lingkungan Padepokan Pedang Perak. Kuda putih itu berpacu cepat bagai terbang
saja layaknya. Arya Dipa sama sekali tidak mengetahui kalau kepergiannya selalu
diperhatikan seseorang yang mengikuti sambil menjaga jarak.
Pemuda itu terus memacu cepat
kudanya menuju Gunung Bekasan. Dalam waktu tidak berapa lama, putra Dewa Pedang
itu sudah mendaki Lereng Gunung Bekasan yang cukup terjal. Arya Dipa terpaksa
meninggalkan kudanya, dan melanjutkan perjalanannya dengan berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Tingkat kepandaian yang dimiliki Arya
Dipa memang cukup tinggi. Tidak heran kalau pemuda itu mampu berlari cepat
menembus lebatnya hutan di Lereng Gunung Bekasan, meskipun keadaan masih cukup
gelap.
Tepat pada saat matahari
menampakkan diri, Arya Dipa sudah tiba di Puncak Gunung Bekasan. Pemuda yang
mengenakan baju biru laut itu menghampiri sebuah pohon beringin besar yang
berdiri tepat di tengah-tengah Puncak Gunung Bekasan ini. Tak ada seorang pun
yang terlihat. Bahkan seekor binatang pun seperti enggan menampakkan diri.
Seluruh penghuni hutan di Puncak Gunung Bekasan seakan-akan mengetahui kalau
sebentar lagi di daerah ini akan menjadi ajang pertarungan. Arya Dipa berdiri
tegak membelakangi pohon beringin besar itu. Matanya memandang ke sekeliling
mengamati keadaan sekitarnya.
"Hm.... Kenapa Pendekar Jari
Malaikat belum juga muncul...?" gumam Arya Dipa pelan.
Cukup lama juga Arya Dipa menunggu
munculnya Pendekar Jari Malaikat di Puncak Gunung Bekasan ini. Tapi yang
ditunggu-tunggu belum juga menampakkan batang hidungnya. Hingga matahari
bersinar penuh dengan sinarnya yang terik, Pendekar Jari Malaikat belum juga
muncul. Arya Dipa mulai jenuh, dan menjadi kesal karena merasa dipermainkan.
"Huh! Apa tantangan ini cuma
main-main saja...?" dengus Arya Dipa kesal.
Pemuda itu mengayunkan kakinya
hendak meninggalkan Puncak Gunung Bekasan ini. Tapi baru saja berjalan beberapa
langkah, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat di depannya. Tahu-tahu di
depan Arya Dipa sudah berdiri seorang laki-laki tua mengenakan Jubah panjang.
Arya Dipa berhenti melangkah, karena mengenali laki-laki tua itu.
"Pendekar Jari Malaikat...
Akhirnya kau datang juga," dengus Arya Dipa.
"Aku sudah ada di sini
sebelum kau datang, Arya Dipa," kata Pendekar Jari Malaikat kalem, seraya
bibirnya mengulas senyuman tipis.
"Hm..." gumam Arya Dipa
tidak percaya.
"Aku tahu kau tidak datang
sendiri, Arya Dipa. Itu sebabnya aku menunggu, tapi ternyata temanmu cukup
sabar juga," kata Pendekar Jari Malaikat tetap kalem.
"Pendekar Jari Malaikat, aku
datang sendiri. Dan kau tidak perlu mengada-ada!" keras suara Arya Dipa.
"Mungkin aku bisa percaya.
Tapi kenyataannya, kau membawa adikmu. Bahkan juga membawa orang lain yang
tidak kukenal. Mereka semua sudah ada di sini begitu kau tiba," kata
Pendekar Jari Malaikat lagi.
Betapa terkejutnya Arya Dipa.
Pemuda itu memang tahu kalau adiknya mengikuti, tapi tidak tahu sejak kapan
Arya Gara mengikutinya. Dia datang ke sini hanya seorang diri, tanpa teman atau
siapa pun. Tapi mengapa Pendekar Jari Malaikat berkata sebaliknya? Apakah
memang di puncak gunung ini sudah banyak orang? Arya Dipa benar-benar tidak
mengetahui. Sama sekali tidak diketahui kalau di tempat ini ada orang lain
selain dirinya sendiri.
"Arya Gara! Apakah kau ada
di sini...?" seru Arya Dipa keras.
Teriakan Arya Dipa yang disertai
sedikit pengerahan tenaga dalam itu menggema ke seluruh puncak gunung ini.
Suara itu menggaung terpantul lereng, lembah, dan pepohonan serta
dinding-dinding batu yang cukup banyak terdapat di Gunung Bekasan ini.
Begitu hilang gaung suara Arya
Dipa, dari balik semak berukar muncul seorang pemuda berwajah tampan dan hampir
mirip Arya Dipa. Pemuda itu menghampiri Arya Dipa dan berdiri di sampingnya,
agak ke belakang. Pendekar Jari Malaikat tersenyum-senyum melihat kemunculan Arya
Gara.
"Bagus! Ternyata putra-putra
Dewa Pedang cukup jantan juga. Aku senang... Senang sekali..," ular
Pendekar Jari Malaikat.
"Kau bisa menanyakan
padanya, apakah aku membawa adikku atau tidak!" tegas Arya Dipa lantang.
Pendekar Jari Malaikat hanya
tersenyum saja sambil mengelus-elus pipinya yang kempot. Bibirnya yang tipis
selalu menyunggingkan senyuman tipis pula. Arya Dipa semakin tidak mengerti,
apa kemauan orang tua itu sebenarnya? Sikapnya sungguh menjengkelkan, tapi juga
penuh tanda tanya.
"Arya Gara, sebaiknya kau
pulang saja. Katakan pada ayah dan ibumu kalau Arya Dipa baik-baik saja,"
kata Pendekar Jari Malaikat lembut.
Arya Gara memandang kakaknya yang
pada saat itu juga menoleh padanya. Kedua pemuda itu semakin tidak mengerti
sikap Pendekar Jari Malaikat. Benar-benar membingungkan dan sukar diterka
keinginannya. Tapi Arya Dipa menganggukkan kepalanya juga, pertanda menyetujui
ucapan Pendekar Jari Malaikat.
"Kakang...."
"Pulanglah, Arya Gara. Ini
bukan urusanmu," kata Arya Dipa lembut.
"Kakang! Kalau kau sampai
tewas di tangannya, aku bersumpah untuk membalas," ucap Arya Gara.
"Percayalah, Adikku. Aku
bisa mengatasi," tekad Arya Dipa seraya memberikan senyum.
Arya Gara menatap tajam Pendekar
Jari Malaikat. kemudian kembali berpaling pada kakaknya. Arya Dipa kembali
menganggukkan kepalanya sambil menepuk pundak adiknya. Pelahan Arya Gara
menggeser kakinya menjauh.
"Pergilah," pinta Arya
Dipa kepada adiknya.
Dengan perasaan berat Arya Gara
meninggalkan Puncak Gunung Bekasan ini. Pendekar Jari Malaikat menghampiri Arya
Dipa setelah adik pemuda ini tidak terlihat lagi. Laki-laki tua itu
mengerdipkan sebelah matanya, kemudian melangkah melewati pemuda itu. Hal ini
benar-benar tidak bisa dipahami Arya Dipa, tapi diikuti juga laki-laki tua itu.
"Gunakan ilmu meringankan
tubuh semampumu, dan ikuti aku." kata Pendekar Jari Malaikat berbisik.
Kata-kata yang diucapkan Pendekar
Jari Malaikat begitu pelan, namun cukup jelas terdengar di telinga Arya Dipa.
Memang pemuda itu maklum kalau Pendekar Jari Malaikat pasti menggunakan tenaga
dalam serta ilmu pemindah suara yang sudah mencapai taraf hampir sempurna. Arya
Dipa juga langsung mengerti kalau di Puncak Gunung Bekasan ini ada orang lain,
kecuali mereka berdua.
Tanpa membantah sedikit pun. Arya
Dipa mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya sebatas kemampuan yang dimiliki.
Pada saat itu, Pendekar Jari Malaikat juga sudah mengerahkan ilmu meringankan
tubuh. Mereka kelihatan berjalan biasa, namun kecepatannya melebihi lari kuda
di arena balap. Arya Dipa semakin bertanya-tanya dalam benaknya. Benar-benar
heran, mengapa Pendekar Jari Malaikat membawanya ke arah Utara...?
****
LIMA
Arya Dipa benar-benar tidak
mengerti begitu sampai di suatu tempat yang belum pernah didatangi. Sebuah goa
yang tidak begitu besar, namun kelihatan bersih. Di dalam goa itu duduk bersila
seorang perempuan tua mengenakan jubah kumal di samping sesosok tubuh yang
terbaring tanpa daya. Sosok tubuh seorang laki-laki berbaju biru.
"Siapa mereka?" tanya
Arya Dipa seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Mereka adalah Pendekar
Bayangan Dewa dan Nyi Palak yang lebih dikenal sebagai si Ular Betina dari
Selatan," Pendekar Jari Malaikat memperkenalkan Arya Dipa pada perempuan
tua berbaju kumal yang memegang tongkat itu.
Perempuan tua itu hanya
menganggukkan kepalanya sedikit, dan sedikit pun tidak beranjak dari tempat
duduknya. Pendekar Jari Malaikat duduk bersila. Sementara Arya Dipa mengikuti,
duduk di samping laki-laki tua berbaju putih panjang itu. Benaknya masih
berputar untuk bisa memahami semua yang dialami sekarang ini. Arya Dipa
memandangi laki-laki berbaju biru yang terbaring di lantai goa beralaskan
rerumputan kering dan dedaunan.
Kelopak matanya terpejam rapat.
Namun dari gerakan dada yang lemah, menandakan kalau orang yang namanya disebut
Pendekar Jari Malaikat sebagai Pendekar Bayangan Dewa itu masih hidup.
Perhatian Arya Dipa beralih pada perempuan tua berbaju kumal yang memegang
tongkat berbentuk ular hitam. Wajah wanita tua itu kelihatan murung, dan tidak
pernah lepas merayapi laki-laki yang terbaring itu.
"Kita masih menunggu seorang
lagi, Arya Dipa," jelas Pendekar Jari Malaikat memecah kebisuan yang
terjadi beberapa saat tadi.
"Siapa?" tanya Arya
Dipa.
"Pendekar Rajawali Sakti.
Mungkin saat ini masih berada di Desa Banyu Reges," sahut Pendekar Jari
Malaikat.
"Pendekar Rajawali Sakti…?
Siapa lagi dia?" gumam Arya Dipa seolah bertanya pada dirinya sendiri.
Belum lagi pertanyaan Arya Dipa
terjawab, terdengar suara langkah kaki di luar goa. Arya Dipa menoleh, begitu
juga Pendekar Jari Malaikat. Tapi dia cepat melompat bangkit berdiri, dan
menatap Nyi Palak. Perempuan tua itu juga bangkit berdiri dengan wajah tegang.
Suara langkah kaki itu berhenti tidak jauh di depan mulut goa.
"Dua orang ," gumam
Pendekar Jari Malaikat.
"Biar kulihat, Kakang."
kata Nyi Palak.
Namun belum juga Nyi Palak
bergerak, di depan mulut goa muncul seorang laki-laki muda berwajah tampan
mengenakan baju rompi putih. Di sampingnya, seorang gadis mengenakan baju biru
yang wajahnya sangat cantik bagai bidadari dari kahyangan.
"Oh!" desah Pendekar
Jari Malaikat.
Nyi Palak juga menarik napas
panjang, Namun tatapan matanya sangat tajam menusuk pada wanita cantik berbaju
biru di samping pemuda berbaju rompi putih itu. Pendekar Jari Malaikat
menghampiri dan menyalami pemuda itu.
"Aku kira kau tidak muncul,
Pendekar Rajawali Sakti," ucap Pendekar Jari Malaikat.
"Aku pasti datang,"
sahut pemuda berbaju rompi putih yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti atau
Rangga.
Pendekar Jari Malaikat menatap
pada gadis di samping Rangga.
"Oh, ini temanku. Namanya
Pandan Wangi," ucap Rangga buru-buru memperkenalkan gadis dit sebelahnya.
"Kau katakan akan datang
sendiri, Pendekar Rajawali Sakti," celetuk Nyi Palak.
"Tadinya memang begitu.
Tapi, aku tidak bisa meninggalkan Pandan Wangi sendirian di rumah penginapan,"
sahut Rangga.
"Terlalu berbahaya, apalagi
dalam suasana seperti ini"
"Ah.... sebaiknya duduk
dulu. Mari..." potong Pendekar Jari Malaikat.
Rangga menganggukkan kepalanya
sedikit, kemudian duduk di samping Nyi Palak yang sudah duduk lebih dahulu. Sedangkan
Pandan Wangi tidak mau jauh-jauh di samping Pendekar Rajawali Sakti itu.
Pendekar Jari Malaikat kembali duduk di sebelah Arya Dipa. Mereka melingkari
Pendekar Bayangan Dewa yang masih terbaring dengan mata terpejam rapat.
"Bagaimana keadaannya?"
tanya Rangga
"Belum ada perubahan,"
sahut Nyi Palak pelan. Ada kesenduan pada nada suaranya.
"Luka dalamnya cukup parah,
dan aku tidak yakin Pendekar Bayangan Dewa masih mampu bertahan untuk beberapa
hari. Kalaupun dapat sembuh, kemungkinan akan bungkuk dan kehilangan satu
kaki," jelas Pendekar Jari Malaikat.
"Maaf. Bisa memberi sedikit
penjelasan padaku...?" pinta Arya Dipa memotong.
Semua yang ada di dalam goa itu
langsung memandang Arya Dipa yang seperti terlupakan kehadirannya. Mendapat
sorotan beberapa pasang mata. Arya Dipa jadi rikuh juga. Tapi pemuda itu memang
ingin mengetahui. Dia memang jenuh menduga-duga terus tanpa dapat mengerti.
Kehadirannya di dalam goa ini juga tanpa dimengerti sama sekali. Dan dia tidak
tahu, untuk apa Pendekar Jari Malaikat membawanya ke tempat ini.
****
"Oh, ya.... Pemuda ini
sengaja kubawa sebagai pengganti ayahnya," jelas Pendekar Jari Malaikat
memperkenalkan Arya Dipa.
"Dia bernama Arya Dipa,
putra sulung Dewa Pedang."
"Aku sudah tahu. Hanya saja
tidak kumengerti, kenapa bukan Dewa Pedang saja yang kau bawa ke sini!"
dengus Nyi Palak, agak ketus suaranya.
"Kau harus bisa menahan
diri, Nyi. Sengaja kubawa ke sini, karena dia telah menewaskan si Kapak
Maut," kata Pendekar Jari Malaikat.
"Apa...?!" Nyi Palak
terperanjat.
Kedua bola mata perempuan tua itu
terbeliak lebar, seakan tidak percaya kalau pemuda yang berusia sekitar dua
puluh tahun itu mampu membunuh si Kapak Maut yang sudah kenyang makan asam
garam di dunia persilatan. Dunia yang keras, dan penuh persaingan dan percikan
darah. Nyi Palak memang sudah mendengar kalau si Kapak Maut mati akibat
bertarung di Padepokan Pedang Perak. Tapi tidak diduga kalau kematiannya di
tangan seorang pemuda yang jauh berbeda usia dan pengalamannya. Namun rasa
heran dan ketidakpercayaannya tertimbun oleh gejolak yang membara.
"Kau telah membunuh
saudaraku...! Mampus kau, hiyaaat..!" seru Nyi Palak tiba-tiba.
"Nyi..!" sentak
Pendekar Jari Malaikat terkejut.
Tapi Nyi Palak sudah tidak bisa
dicegah lagi. Masih dalam posisi duduk bersila, perempuan tua itu menyodokkan
ujung tongkatnya ke arah dada Arya Dipa. Begitu cepat dan tidak diduga sama
sekali serangan itu, sehingga membuat pemuda itu terperangah. Namun sebelum
tongkat Nyi Palak berhasil menyentuh dadanya, Pendekar Jari Malaikat sudah
cepat mengebutkan tangannya.
Takkk!
"Hh...!" Nyi Palak
langsung menarik pulang tongkatnya. Namun, secepat itu pula diputar tongkatnya,
dan dikibaskan ke samping. Cepat sekali putaran tongkat itu, membuat Pendekar
Jari Malaikat tak mungkin menyelamatkan Arya Dipa lagi. Karena, kalau tidak segera
melompat mundur, tongkat itu bisa menyambarnya lebih dahulu.
Wuk!
"Uts! Hiya...!"
Arya Dipa tersentak kaget.
Buru-buru dilentingkan tubuhnya ke belakang menghindari tebasan tongkat
berbentuk ular hitam itu. Namun angin tebasan tongkat ular Nyi Palak
menimbulkan hempasan angin luar biasa. Akibatnya Arya Dipa harus bergulingan
beberapa kali di lantai goa. Pemuda itu sengaja menggulingkan tubuhnya ke arah
mulut goa.
"Mau ke mana kau,
heh...?!" bentak Nyi Palak terkejut.
Secepat Arya Dipa melompat ke luar
goa, secepat itu pula Nyi Palak melesat mengejar. Pendekar Jari Malaikat,
Rangga dan Pandan Wangi bergegas mengikuti ke luar goa. Dan mereka terkejut
karena sesampainya di luar, Nyi Palak sudah menyerang Arya Dipa dengan
jurus-jurus dahsyat dan sangat berbahaya.
"Nyi... tahan!" bentak
Pendekar Jari Malaikat keras.
"Bocah ini telah membunuh
saudara kita, Kakang!" seru Nyi Palak tanpa menghentikan serangannya.
"Tunggu penjelasanku,
Nyi!"
"Tidak! Hiya...!
Hiyaaa...!"
Nyi Palak tidak mempedulikan lagi
peringatan Pendekar Jari Malaikat. Bahkan semakin memperhebat
serangan-serangannya pada Arya Dipa yang hanya bisa berkelit dan menghindar
tanpa diberi kesempatan sedikit pun untuk balas menyerang. Keadaan Arya Dipa
memang sungguh tidak menguntungkan. Tubuhnya jatuh bangun berusaha
menyelamatkan diri dari serangan si Ular Betina dari Selatan yang begitu gencar
dan ganas.
"Modar! Hiya...!"
teriak Nyi Palak tiba-tiba. Seketika itu juga Nyi Palak menghentakkan tangan
kirinya ke arah perut. Serangan yang begitu cepat dan mendadak ini sukar
dihindari lagi. Sehingga....
Des!
"Ughk...!" Arya Dipa
mengeluh panjang. Pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang dengan tubuh sedikit
membungkuk. Namun belum juga menguasai keadaan tubuhnya, mendadak satu
tendangan keras mendarat di dadanya. Seketika itu juga Arya Dtpa terjungkal
keras menghantam sebatang pohon hingga tumbang disertai suara pekikan keras.
Tubuh Arya Dipa menggeliat di antara reruntuhan pohon yang tumbang, hancur
berantakan terlanda punggungnya!
"Nyi, tahan...!" sentak
Pendekar Jari Malaikat saat Nyi Palak sudah kembali melompat sambil mengerahkan
ujung tongkatnya yang runcing ke dada Arya Dipa.
Secepat kilat Pendekar Jari
Malaikat melesat. Dan dengan satu jarinya, disentil ujung tongkat Nyi Palak
yang hampir saja menembus dada Arya Dipa. Nyi Palak terpekik kaget. Bergegas
ditarik pulang tongkatnya, lalu melompat mundur beberapa tindak. Kedua bola
matanya memerah menatap Pendekar Jari Malaikat yang sudah berdiri membelakangi
Arya Dipa. Sedangkan pemuda itu tengah berusaha bangkit berdiri.
"Minggir, Kakang! Bocah
keparat ini harus mampus! Dia sudah membunuh adikmu, adik iparku, saudara kita!
Mungkin juga dialah yang membuat suamiku kini terbaring...!" Nyi Palak
menuding Arya Dipa.
"Jangan menuduh sembarangan,
Nyi," lembut suara Pendekar Jari Malaikat
"Kenapa kau selalu
membelanya, Kakang? Apa karena dia anak sahabatmu...?!" dengus Nyi Palak
ketus
"Tenang, Nyi. Ingatlah nyawa
suamimu. Sekarang ini dia butuh pertolongan. Kendalikanlah dirimu, Nyi,"
Pendekar Jari Malaikat mencoba meredakan amarah Nyi Palak.
"Huh!" Nyi Palak
mendengus kesal. Tapi kata-kata Pendekar Jari Malaikat yang terakhir tadi
rupanya membuat perempuan tua itu tidak lagi melanjutkan serangannya pada Arya
Dipa. Sambil menggerutu, perempuan tua itu kembali masuk ke dalam goa.
Sedangkan Pendekar Jari Malaikat membantu Arya Dipa berdiri. Laki-laki tua itu
melirik Rangga dan Pandan Wangi yang sejak tadi hanya diam saja.
"Kau lihat, Pendekar
Rajawali Sakti. Kalau sampai Pendekar Bayangan Dewa meninggal, aku tidak akan
mampu lagi membendung amarahnya," ujar Pendekar Jari Malaikat seakan-akan
mengeluh.
"Lalu, apa yang harus
kulakukan, Pendekar Jari Malaikat?" tanya Rangga.
"Temukan bocah itu dan bawa
ikat kepalanya padaku," pinta Pendekar Jari Malaikat
"Kalau dia tidak
memberikan?"
"Terserah apa yang akan kau
lakukan padanya. Aku tidak peduli lagi."
Rangga menarik napas panjang,
kemudian melirik Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja. Kemudian Pendekar
Rajawali Sakti itu mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Pandan Wangi
mengikuti, namun bibirnya masih terkunci rapat. Sedangkan Pendekar Jari
Malaikat memeriksa luka-luka di tubuh Arya Dipa. Pemuda itu masih belum bisa
memahami sikap Pendekar Jari Malaikat yang kelihatan aneh dan sukar diterka.
Tapi Arya Dipa masih harus bersabar dan menahan diri.
****
Senja sudah merayap turun
mendekati permukaan bumi. Di ufuk Barat, rona merah menyemburat indah mewarnai
alam yang sebentar lagi akan tenggelam ditelan kegelapan malam. Namun keindahan
alam ini tidak dirasakan Pandan Wangi yang berjalan sambiil memberengut di
samping Rangga. Mereka baru saja meninggalkan Lereng Gunung Bekasan. Desa Banyu
Reges sudah tampak di kaki gunung ini.
"Baik! Kalau Kakang tidak
bersedia menjelaskan padaku, aku akan pergi sekarang juga!" rungut Pandan
Wangi langsung menghentikan ayunan langkahnya.
Rangga juga berhenti berjalan,
lalu memutar tubuhnya menghadap gadis itu. Wajah Pandan Wangi memberengut terlipat
bagai nenek-nenek kehabisan sirih. Sebenarnya Rangga ingin tertawa melihat
Pandan Wangi memberengut begitu. Tapi melihat sorot mata yang tajam menusuk,
membuat Pendekar Rajawali Sakti itu menarik napas panjang.
"Apa yang harus kujelaskan,
Pandan..?" Rangga ber-pura-pura tidak mengerti.
"Pakai tanya segala...
Memangnya, apa yang sedang kau lakukan sejak kemarin? Kau pikir aku tidak tahu,
heh...?!" agak keras nada suara Pandan Wangi.
"Kalau kau sudah tahu, untuk
apa dijelaskan lagi?"
"Kakang...!"
Pandan Wangi jadi kesal. Hatinya
benar-benar penasaran dan tidak mengerti akan sikap Rangga kali ini. Sungguh
sulit dipahami, apa sebenarnya yang tengah teriadi pada diri Pendekar Rajawali
Sakti. Selama ini belum pernah Pandan Wangi melihat sikap Rangga begitu
merahasiakan persoalan yang sedang dihadapi. Sejak mereka masuk ke Desa Banyu
Reges, sikap Rangga sudah membuatnya jengkel. Kekesalannya kian memuncak begitu
Rangga meminta untuk berpura-pura tidak saling mengenal.
Mereka menyewa kamar penginapan
masing-masing, makan masing-masing, dan jalan sendiri-sendiri tanpa ada tegur
sapa di tempat umum. Benar-benar suasana yang tidak menyenangkan sama sekali.
Dan Pandan Wangi benar-benar tidak menyukainya. Kekesalannya meledak saat
Rangga tadi menolak untuk terus didampingi. Namun gadis itu tetap nekad dan
terus mengikuti Rangga sampai ke Puncak Gunung Bekasan. Di tempat itu juga
Pandan Wangi semakin tidak mengerti, terutama terhadap orang-orang yang
dijumpai, yang bertingkah laku seperti menyimpan segudang misteri.
"Pandan, kali ini aku minta
pengertianmu. Bukannya tidak memperhatikanmu, tapi sekarang ini aku tidak ingin
melibatkan dirimu. Terlalu berbahaya, dan kau tidak akan mengerti
persoalannya," jelas Rangga mencoba meminta pengertian Pandan Wangi.
"Selalu itu saja yang kau
katakan," dengus Pandan Wangi masih memberengut.
"Kali ini saja,
Pandan," mohon Rangga.
"Kali ini aku bisa diam saja
untukmu, Kakang. Tapi untuk lain kali, kau pasti akan meminta hal sama padaku.
Kakang..., bukannya hendak mencampuri segala urusanmu, tapi aku tidak ingin
melihat kau mendapat kesulitan seorang diri. Aku ingin merasakan bagaimana yang
kau rasakan. Apakah keinginanku ini berlebihan, Kakang?"
Rangga tidak bisa lagi berkata,
dan hanya menghembuskan napas panjang saja. Sukar rasanya membuat Pandan Wangi
tidak terus-menerus mendesaknya. Rangga sendiri sebenarnya tidak ingin membuat
Pandan Wangi jadi sedemikian rupa. Tapi ini terpaksa dilakukannya, karena
disadari kalau tokoh yang akan dihadapi sangat digdaya dan sukar dicari tandingannya.
Hal ini sangat dirasakan, karena Pendekar Jari Malaikat sendiri meminta bantuan
padanya.
Demikian pula si Ular Betina dari
Selatan dan beberapa tokoh persilatan lainnya. Rangga tidak bisa menolak dan
berjanji untuk mencari tokoh persilatan yang memiliki hampir segala jenis
kepandaian. Rangga merangkul pundak gadis itu dan mengajaknya berjalan kembali.
Pandan Wangi tidak menolak, dan
malah melingkarkan tangannya di pinggang Pendekar Rajawali Sakti itu. Mereka
berjalan pelahan-lahan sambil berangkulan. Namun masing-masing belum ada yang
membuka suara lebih dulu. Pandan Wangi terus memandangi wajah tampan di
sampingnya.
"Kenapa memandangku terus
begitu?" tegur Rangga jengah.
"Aku ingin mengenalmu lebih
jauh lagi," sahut Pandan Wangi diiringi senyuman tipis.
"Jangan ikut-ikutan gila,
Pandan. Dunia ini sudah penuh orang gila!" rungut Rangga.
"Belakangan ini kau mudah
sekali tersinggung, Kakang. Apa persoalan ini yang menyebabkan kau tertekan?
Apa sebenarnya yang terjadi, Kakang?" desak Pandan Wangi.
"Untuk kali ini, Pandan.
Sebaiknya kau tidak perlu melibatkan diri. Maaf, aku tidak bisa menjelaskan
padamu," tegas Rangga.
"Baik kalau begitu. Aku akan
kembali ke penginapan, mengambil kuda, dan terus pulang ke ..." Pandan
Wangi tidak melanjutkan ucapannya. Dilepaskan rangkulan Rangga dan ditatapnya
pemuda itu dalam-dalam.
Pandan Wangi ingin melihat
tanggapan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi ternyata yang didapatkan adalah
ketidakpedulian Rangga. Bahkan pemuda berbaju rompi putih itu malah mengayunkan
kakinya melangkah pergi. Pandan Wangi jadi kesal bukan main. Dihentakkan
kakinya ke tanah keras-keras.
Sikap Rangga belakangan ini
benar-benar membuat Pandan Wangi tidak habis mengerti. Aneh dan sukar diterka.
Belum pernah Rangga bersikap seperti itu yang seperti menganggap orang lain
saja padanya. Meskipun kesal, tapi Pandan Wangi berpendapat kalau persoalan yang
dihadapi Rangga tidak ringan. Dan ini membuat Pendekar Rajawali Sakti itu
seperti mendapat tekanan batin yang sangat berat.
Sambil bersungut-sungut, Pandan
Wangi berlari mengejar Rangga yang sudah berjalan cukup jauh meninggalkannya.
Gadis itu terus berlari menyusul Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti sama
sekali tidak mempedulikan, bahkan seperti tidak mau tahu terhadap sikap Pandan
Wangi yang begitu kesal dan marah. Gadis itu terus berlari cepat mempergunakan
Ilmu meringankan tubuh menuju Desa Banyu Reges.
****
ENAM
Pagi-pagi sekali Rangga sudah
memacu cepat kudanya meninggalkan rumah penginapan yang disewa untuk beberapa
hari. Kuda Pandan Wangi masih terlihat tertambat, dan itu berarti dia tidak
jadi pergi. Rangga memang sudah yakin betul kalau gadis itu tidak akan
meninggalkannya. Bibirnya tersenyum saja saat melihat kuda putih milik Pandan
Wangi masih tertambat di tempatnya tanpa pelana.
Kuda hitam bernama Dewa Bayu itu
berpacu cepat menembus kabut yang mulai memudar. Sinar matahari menyemburat merah
di ufuk Timur dari balik Gunung Bekasan. Sinarnya yang hangat membuat kabut
menyebar ke udara. Demikian pula dengan embun-embun yang mulai menguap dari
puncak pohon dan rerumputan. Namun udara masih terlalu dingin. Rangga tidak
peduli, dan terus memacu cepat kudanya menuju Gunung Bekasan yang berdiri
angkuh menantang langit.
Wusss...!
Tiba-tiba sebuah benda sepanjang
jengkal telapak orang dewasa meluncur ke arah Pendekar Rajawali Sakti begitu
sampat di Kaki Gunung Bekasan. Bagaikan kilat Rangga melentingkan tubuhnya,
melompat dari punggung Dewa Bayu yang terus berlari cepat.
Merasa bebannya tidak ada lagi,
kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggi. Pada saat itu Rangga sudah mendarat manis di tanah. Di tangan
kanannya tergenggam sebatang ranting kering.
"Hm...," Rangga
menggumam tidak jelas. Dilemparkan ranting kering di tangannya ke depan kaki.
Ternyata benda yang meluncur ke arahnya tadi hanya sebatang ranting kering.
Namun karena dilemparkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, ranting itu
jelas bisa mencelakakan. Bahkan bisa membunuhnya. Namun Pendekar Rajawali Sakti
bukanlah orang sembarangan. Ranting itu berhasil ditangkap sambil berputaran di
udara.
"Ha ha ha...!"
tiba-tiba saja terdengar suara tawa keras menggelegar.
Belum lagi hilang suara tawa itu,
mendadak saja berkelebat sebuah bayangan putih. Tahu-tahu di depan Rangga sudah
berdiri seorang laki-laki berbaju putih agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya
yang tegap, padat, dan berotot. Wajahnya cukup tampan, namun menyiratkan
ketegasan dan kekerasan hidup. Sinar matanya begitu tajam, bagai mata seekor
ular yang tak memiliki perasaan.
"Hm...," Rangga
menggumam tidak jelas Pendekar Rajawali Sakti itu ingat kalau pemuda itu pernah
dilihatnya di kedai milik Ki Sangir. Pemuda ini yang merobohkan dua orang
pengawal kepala desa hanya dengan jari telunjuk saja. Pendekar Rajawali Sakti
itu sudah bisa menebak, siapa pemuda berbaju putih itu, tapi belum mau
mengucapkannya.
"Semula aku tidak peduli
dengan kehadiranmu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi karena terlalu banyak ikut
campur dan selalu menghalangi setiap langkahku, maka aku tidak punya pilihan
lain, kecuali membunuhmu," kata pemuda itu, dingin nada suaranya.
"Hm..., rasanya aku belum
pernah mengenalmu," gumam Rangga kalem. "Siapa kau? Dari mana kau
tahu namaku?"
"Tidak terlalu sukar mengetahui
siapa dirimu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sayang sekali, nama besarmu akan
tamat di tempat jelek ini," tetap dingin nada suara pemuda berbaju putih
itu.
"Kisanak, siapa kau?"
tanya Rangga lagi.
"Ha ha ha...! Aku rasa kau
sudah tahu siapa diriku, Pendekar Rajawali Sakti. Bukankah kau juga ada di
kedai waktu itu?"
"Hm.... jadi kau yang
dijuluki si Jari Malaikat Maut itu?" gumam Rangga menebak.
"Tepat!" sambut pemuda
berbaju putih itu diiringi senyuman tipis yang begitu dingin membeku.
"Kalau begitu, aku harus
membawamu kepada Pendekar Jari Malaikat," ujar Rangga, agak datar
suaranya.
"Ha ha ha...!" si Jari
Malaikat Maut tertawa terbahak-bahak. "Kenapa bukan si tua bangka itu saja
yang datang padaku? Ha ha ha...!"
Rangga tidak menanggapi, dan
hanya menggeretakkan rahangnya saja. Sedikit digeser kakinya ke kanan.
Pandangan matanya begitu tajam menusuk, dan langsung menuju ke bola mata si
Jari Malaikat Maut.
"Tidak sepantasnya kau
bicara begitu, Kisanak," dengus Rangga dingin.
"Apa yang kukatakan dan
kulakukan, tak ada seorang pun yang bisa melarang! Tidak juga si tua bangka
keparat itu. Juga kau, Pendekar Rajawali Sakti!" tegas si Jari Malaikat
Maut tidak kalah dinginnya.
"Memang tidak akan ada yang
bisa menghalangimu. Terlebih lagi, kau sudah menguasai jurus-jurus 'Jari
Malaikat' yang sangat dahsyat."
"Kau sudah tahu itu,
Pendekar Rajawali Sakti. Lalu, kenapa tidak menyingkir dan menjauh
dariku?" dengus si Jari Malaikat Maut.
"Karena tindakanmu sudah
kelewat batas, dan hanya aku yang bisa menghentikanmu!" tegas jawaban
Rangga.
"Setan alas...!" geram
si Jari Malaikat Maut memerah mukanya.
"Kau bisa saja mencuri
ilmu-ilmu dari para pendekar lain, dan mengembangkannya menjadi jurus ampuh.
Tapi kau tidak akan bisa menguasai apa yang kukuasai, Jari Malaikat Maut. Untuk
itu aku bertanggung jawab atas keselamatan seluruh manusia yang terancam akibat
tingkah polahmu!" tegas dan dingin sekali kata-kata Rangga.
"Bagus! Itu namanya ular
mencari penggebuk. Akan kau rasakan akibat kesombonganmu, Pendekar Rajawali
Sakti!"
"Hem..."
****
Rangga benar-benar tidak akan
menganggap enteng si Jari Malaikat Maut. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau
laki-laki muda berbaju putih itu memiliki sebuah ilmu yang dapat menyerap
setiap kepandaian lawannya tanpa dapat disadari lawan itu sendiri. Dalam setiap
pertarungan, benturan anggota tubuh tidak akan mungkin terhindari. Dalam
benturan itulah si Jari Malaikat Maut mempergunakan ilmunya yang sangat langka.
Dari benturan itu, tanpa terasa lawannya akan membagi kekuatan dan ilmu tanpa
dapat dicegah lagi. Semakin banyak benturan, semakin banyak pula ilmu yang
tersedot.
Sementara itu Jari Malaikat Maut
sudah bersiap-siap hendak mengadakan serangan. Sedangkan Rangga masih berdiri
tegak memperhatikan sambil berpikir untuk menghindari benturan secara langsung.
Memang, Pendekar Rajawali Sakti itu menyadari kalau tidak akan mungkin
menghindari bentrokan dalam sebuah pertarungan. Tapi paling tidak bisa
dihindari dan dikurangi. Itu pun akan membuat si Jari Malaikat Maut sudah
bertambah kepandaiannya. Rangga jadi pusing sendiri, dan tidak mungkin lagi
menghindari pertarungan yang akan terjadi.
"Terimalah seranganku,
Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaa...!" seru Jari Malaikat Maut keras
menggelegar.
Rangga sempat terperangah ketika
tiba-tiba saja si Jari Malaikat Maut menghentakkan tangan kanannya ke depan.
Seketika dari telapak tangannya meluncur sinar merah yang meluruk deras ke arah
Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Hup...!" Rangga
langsung melompat ke samping.
Glarrr...!
Ledakan keras terdengar
menggelegar ketika sinar merah itu menghantam pohon di belakang Pendekar
Rajawali Sakti. Pohon itu langsung hancur berkeping-keping. Dua kali Rangga
berputaran di udara sebelum mendaratkan kakinya dengan manis di tanah.
"Gila! Rupanya dia sudah
menguasai ilmu 'Pukulan Tapak Api'," dengus Rangga dalam hati.
Rangga tahu kalau pukulan itu
sangat berbahaya dan berasal dari Pendekar Tangan Api. Sama sekali Pendekar
Rajawali Sakti tidak menyangka kalau si Jari Malaikat Maut sudah berhasil juga
menguasai ilmu dahsyat itu. Dan itu berarti pula si Jari Malaikat Maut pernah
bertarung melawan Pendekar Tangan Api, sehingga menguasai ilmu yang amat
dahsyat itu dengan baik sekali. Rangga semakin waspada dan hati-hati
menghadapinya, dan tidak bisa lagi bermain-main. Disadari kalau lawannya kali
ini memiliki begitu banyak kepandaian dahsyat, yang diambil dari para pendekar
ternama.
Pendekar Rajawali Sakti itu hanya
bisa berlompatan menghindari setiap serangan yang dilontarkan si Jari Malaikat
Maut yang masih mempergunakan ilmu 'Pukulan Tapak Api'. Sebentar saja, tempat
sekitar pertarungan itu sudah porak-poranda. Pohon-pohon besar dan kecil hancur
berkeping-keping. Batu-batuan pecah menjadi debu dan kerikil. Tak ayal lagi
tempat yang tadinya kelihatan utuh, semua hancur berantakan terkena pukulan
dahsyat yang dilontarkan si Jari Malaikat Maut.
"Ha ha ha...! Ternyata
Pendekar Rajawali Sakti bisanya cuma berlompatan seperti monyet!" ejek si
Jari Malaikat Maut Rangga tidak menanggapi. Dia berdiri tegak dengan pandangan
tajam mengamati sikap Jari Malaikat Maut. Pemuda berbaju putih ketat itu kini
tengah mempersiapkan serangan lain. Dan Rangga tahu kalau kali ini pasti tentu
lebih dahsyat dari yang pertama.
"Hm.... Apakah aji 'Cakra
Buana Sukma' harus kukerahkan?" gumam Rangga menimbang-nimbang. "Ah,
tidak! Rasanya belum perlu."
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba
saja si Jari Malaikat Maut berteriak keras, dan seketika itu juga melesat
bagaikan kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti yang tengah berpikir mencari
jalan agar bisa mengalahkannya.
"Uts!" buru-buru Rangga
melompat ke samping sambil menjatuhkan diri ke tanah.
Pendekar Rajawali Sakti
bergulingan beberapa kali, sebelum melompat bangkit berdiri. Namun belum juga
kakinya kokoh menjejak tanah, si Jari Malaikat Maut sudah melontarkan satu
tendangan kilat menggeledek. Rangga terkejut bukan main. Ternyata lawannya
mampu menyerang dalam keadaan tubuh berada di udara.
"Hap!" Tak ada
kesempatan lagi bagi Rangga untuk berkelit. Maka terpaksa ditangkis tendangan
itu dengan mengibaskan tangannya menyamping.
Dug! Satu benturan keras terjadi.
Si Jari Malaikat Maut terpental ke belakang beberapa langkah, sedangkan Rangga
sendiri berputar bagai gasing sebanyak tiga kali.
"Edan!" umpat Rangga
dalam hati.
"Ha ha ha...!" si Jari
Malaikat Maut tertawa terbahak-bahak.
Rangga menggeser kakinya. Tadi,
ketika menangkis serangan si Jari Malaikat Maut, tenaga dalamnya hanya
dikerahkan sedikit saja. Dan akibatnya, dia hampir saja terpental. Sedikit pun
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menggunakan jurus, dan hanya menggunakan
tangkisan biasa. Tapi itu sudah membuat si Jari Malaikat Maut kesenangan.
Dugaannya, satu jurus Pendekar Rajawali Sakti sudah terserap ke tubuhnya.
Si Jari Malaikat Maut sudah
kembali bersiap menggunakan jurus lain. Sedangkan Rangga menggeser kakinya ke samping
secara pelahan-lahan. Pandangannya tajam memperhatikan gerak-gerak yang
dilakukan lawan. Agak terkejut juga Pendekar Rajawali Sakti ketika melihat
gerakan-gerakan dari jurus 'Sapuan Gelombang Samudra' yang sangat dahsyat. Dan
Rangga tahu kalau jurus itu andalan dari seorang tokoh persilatan yang sudah
menghilang namanya setahun ini.
"Terima seranganku, Pendekar
Rajawali Sakti! Hiyaaa...!" seru si Jari Malaikat Maut keras menggelegar.
"Hup! Hiyaaa...!"
Rangga bergegas menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Sepasang kakinya
bergerak lincah begitu si Jari Malaikat Maut meluruk menyerang menggunakan
jurus 'Sapuan Gelombang Samudra' yang dahsyat bukan main.
Setiap gerakan si Jari Malaikat
Maut menimbulkan hembusan angin dahsyat bagai badai mengamuk di atas samudra.
Rangga sendiri hampir-hampir tidak bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, dan
beberapa kali harus jatuh bangun menghindari pukulan dan tendangan yang datang
secara beruntun bertenaga dalam tinggi. Kalau saja tingkat kepandaian Pendekar Rajawali
Sakti terhitung menengah, mungkin sudah terhempas bagai daun kering tertiup
angin. Dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' saja Rangga sudah hampir tidak
mampu menahan gempuran jurus 'Sapuan Gelombang Samudra' si Jari Malaikat Maut.
"Phuih! Aku tidak bisa
menandingi dengan cara seperti ini terus menerus!" dengus Rangga dalam
hati.
Bagaikan seekor Rajawali, Rangga
melentingkan tubuhnya ke udara ketika si Jari Malaikat Maut menyampok ke arah
kaki. Dengan meminjam hembusan angin akibat sampokan tangan lawan, Pendekar
Rajawali Sakti melambung ringgi ke angkasa, langsung hlnggap di atas puncak
pohon yang tinggi.
Begitu kakinya menjejak puncak
pohon, Rangga kembali melentingkan tubuhnya. Cepat sekali gerakan Pendekar
Rajawali Sakti, dan dalam waktu sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata.
Si Jari Malaikat Maut mengumpat melihat lawannya kabur.
"Phuih! Ke mana pun kau
pergi, tidak akan lepas dari tanganku, Pendekar Rajawali Sakti!" keras
sekali suara si Jari Malaikat Maut, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga
dalam yang cukup tinggi.
Namun Rangga sudah tidak terlihat
lagi batang hidungnya, lenyap bagai tertelan awan yang menggumpal bercampur
debu. Jari Malaikat Maut mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia mendengus
berat dan menyemburkan ludahnya beberapa kali, tapi sesaat kemudian bibirnya
menyunggingkan senyuman tipis. Maka mulai digerakkan tangannya, namun keningnya
jadi berkerut.
"Setan...!" umpat si
Jari Malaikat Maut geram.
Beberapa kali dicoba gerakan itu,
namun tidak juga berhasil menirukan setiap gerak yang dilakukan Rangga tadi
dalam menghadapinya. Memang hanya sekali terjadi benturan yang cukup keras
sebelum si Jari Malaikat Maut mengeluarkan jurus 'Sapuan Gelombang Samudra'
yang begitu dahsyat.
"Keparat! Setan
alas...!" umpat si Jari Malaikat Maut semakin berang, begitu mengetahui
kalau dirinya tidak mampu menyerap jurus-jurus yang dimiliki Pendekar Rajawali
Sakti.
Si Jari Malaikat Maut semakin
geram saja, karena yang didapat dari pertarungannya melawan Pendekar Rajawali
Sakti tidak ada artinya sama sekali. Kemarahannya dilampiaskan pada pohon dan
bebatuan di sekitarnya. Si Jari Malaikat Maut mengamuk seperti kehilangan
istri. Sungguh dahsyat! Setiap pukulan yang menghantam batu atau pepohonan,
menimbulkan ledakan keras yang menghancurkan apa saja.
"Pendekar Rajawali Sakti!
Kau harus mampus di tanganku, keparat..!" teriak si Jari Malaikat Maut
keras menggelegar.
****
Sebenarnya Rangga tidak pergi ke
mana-mana. Diperhatikannya saja tingkah si Jari Malaikat Maut dari tempat yang
cukup tersembunyi di atas pohon rimbun. Pendekar Rajawali Sakti itu baru
meluruk turun setelah si Jari Malaikat Maut meninggalkan tempat yang sudah
porak-poranda bagai di terjang seribu ekor gajah. Rangga berdiri tegak
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kuda Dewa Bayu masih berada tidak jauh
dari daerah itu, dan tengah merumput tenang di bawah sebatang pohon beringin.
"Sukar dipercaya. Ternyata
jurus-jurus para pendekar terkenal telah dikuasainya!" desah Rangga
pelahan.
Pendekar Rajawali Sakti itu
mengayunkan kakinya menghampiri kuda hitam yang masih tenang merumput. Ditepuk
tepuk leher kuda itu, kemudian melompat naik ke punggungnya. Namun belum juga
menghentakkan tali kekang kuda hitam itu, mendadak dari balik gerumbul semak
melesat Pendekar Jari Malaikat dan Arya Dipa. Rangga memandangi kedua orang
itu, kemudian turun kembali dari punggung kudanya.
"Ternyata aku tidak salah
meminta bantuanmu, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Pendekar Jari Malaikat
setelah dekat didepan Rangga.
"Hm..., kalian melihat
pertarunganku tadi?" tanya Rangga seraya menebak.
"Ya, sejak awal," sahut
Pendekar Jari Malaikat.
"Sungguh tidak kukira kalau
dia sudah begitu banyak mengalahkan pendekar," desah Rangga pelan.
"Itulah sebabnya, kenapa
tidak ada seorang pendekar pun yang sanggup menandinginya. Dia bertarung
seperti kesetanan. Tidak pernah lawannya tidak diberi kesempatan untuk balas
menyerang. Bahkan kadang-kadang tubuhnya sengaja diberikan pada lawan. Inilah
yang sulit, Pendekar Rajawali Sakti. Bukannya ia terluka, tapi kemampuannya
semakin bertambah jika terkena serangan," jelas Pendekar Jari Malaikat
bernada agak mengeluh.
"Terus terang, Pendekar Jari
Malaikat. Aku tidak suka berjudi, dan tidak akan berjudi dengan nasib. Tapi
kalau tidak ada seorang pendekar pun yang bersedia menghentikannya, dunia
persilatan tidak akan bertambah baik. Bahkan bisa semakin hancur," kata
Rangga.
"Aku percaya padamu,
Pendekar Rajawali Sakti. Memang tidak ada pendekar lain yang bisa kuajak
menghentikan tindakannya," ujar Pendekar Jari Malaikat.
Rangga diam tercenung. Pernyataan
Pendekar Jari Malaikat bagaikan pernyataan dari setiap pendekar beraliran putih
diseluruh jagad raya ini. Seakan-akan, mereka semua mengharapkan Rangga dapat
menghentikan tindakan si Jari Malaikat Maut. Memang kalau tidak dihentikan,
semakin banyak tokoh persilatan yang bertarung dengannya, berarti pula semakin
dahsyat ilmu si Jari Malaikat Maut. Bisa jadi tidak akan terkalahkan, karena
memiliki bermacam-macam ilmu dari segala macam tokoh rimba persilatan. Tentu
saja hal ini bisa dimanfaatkan tokoh-tokoh persilatan golongan hitam yang
selalu mencuri-curi kesempatan yang ada.
"Maaf, Pendekar Rajawali
Sakti. Tidak seharusnya kau kubebani persoalan ini," ucap Pendekar Jari
Malaikat bernada menyesal.
"Memang seharusnya
begitu!" tiba-tiba terdengar suara wanita.
Semua orang yang berada di tempat
itu berpaling ke arah datangnya suara tadi. Mereka terkejut, karena tiba-tiba
muncul seorang wanita muda berparas cantik, mengenakan baju warna biru. Di
balik punggungnya menyembul gagang pedang, berbentuk kepala naga hitam.
"Pandan Wangi..." desis
Rangga.
"Sudah kuduga, kau pasti
menyimpan sesuatu dariku, Kakang. Tapi aku tidak akan diam begitu saja, dan aku
sudah tahu semuanya." kata Pandan Wangi seraya melangkah menghampiri.
Pandan Wangi berdiri tegak di
depan Rangga. Dibalik-kan tubuhnya menghampiri Pendekar Jari Malaikat dan Arya
Dipa yang berjarak sekitar dua tombak di depan Rangga. Kedua laki-laki itu
hanya memandangi Pandan Wangi dan Rangga bergantian.
"Siapa sebenarnya dia,
Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pendekar Jari Malaikat.
"Adikku," sahut Rangga.
"Kau tidak mengatakan yang
sebenarnya, mengapa kau membawanya ke tempat persembunyian Pendekar Bayangan
Dewa?"
"Dia yang memaksa, dan terus
mengikutiku. Maaf," ucap Rangga. "Aku tidak ingin mengajak Pandan
Wangi, karena persoalan ini tidak main-main. Bahkan nyawa taruhannya."
"Hm.... Bisa kupahami,
Pendekar Rajawali Sakti," ucap Pendekar Jari Malaikat
"Terima kasih." sahut
Rangga.
"Dan seharusnya kau bisa
memahami keadaan, Nisanak," kata Pendekar Jari Malaikat pada Pandan Wangi.
"Aku akan mengerti kalau
Kakang Rangga berterus terang," sahut Pandan Wangi tandas.
"Baiklah. Aku yang akan
menjelaskannya padamu. Mari...."
Pandan Wangi menatap Rangga
sejenak, kemudian mengikuti Pendekar Jari Malaikat yang berjalan menjauhi
tempat itu. Mereka berjalan berdampingan. Sedangkan Rangga dan Arya Dipa
mengikuti pelahan-lahan dari belakang. Bisa saja Rangga mendengarkan
pembicaraan Pendekar Jari Malaikat bersama Pandan Wangi dengan mempergunakan
aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Tapi itu tidak dilakukannya. Pendekar Rajawali
Sakti sudah tahu, apa yang dibicarakan Pendekar Jari Malaikat pada si Kipas
Maut itu.
"Aku benar-benar belum bisa
mengerti semua kejadian ini...," gumam Arya Dipa pelahan, seolah-olah
bicara pada dirinya sendiri.
"Apa lagi yang kau pikirkan,
Arya Dipa?" tanya Rangga.
"Tentang keterlibatan
diriku," sahut Arya Dipa pelan.
"Maksudmu...?"
"Sampai sekarang masih belum
kumengerti, mengapa Pendekar Jari Malaikat tidak mengijinkan aku kembali ke
Desa Banyu Reges? Aku lebih suka bertarung sampai mati, daripada dijadikan
budak pengawal seperti ini. Aku tahu dia seorang pendekar yang tangguh, tapi paling
tidak bisa kuhadapi dalam beberapa jurus. Dan aku berada di Gunung Bekasan ini
juga karena tantangannya. Heran...? Apa sebenarnya yang diinginkan
dariku...?" keluh Arya Dipa bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
"Apakah Pendekar Jari
Malaikat tidak mengatakannya padamu?" tanya Rangga seraya menepuk pundak
pemuda itu.
"Tidak," sahut Arya
Dipa.
Rangga tersenyum senyum.
Ditatapnya Pendekar Jari Malaikat yang masih asyik berbicara dengan Pandan
Wangi. Rangga berhenti berjalan, lalu duduk bersandar di bawah pohon. Arya Dipa
ikut berhenti, tapi masih tetap berdiri menatap Pendekar Rajawali Sakti itu.
Sedangkan Pendekar Jari Malaikat dan Pandan Wangi terus saja berjalan
pelahan-lahan sambil berbicara.
"Kau yang mengalahkan si
Kapak Maut, Arya Dipa?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Ya, karena dia menghina dan
menantang ayahku," sahut Arya Dipa.
"Kau tahu kalau si Kapak
Maut itu adik Pendekar Jari Malaikat?"
"Aku tahu."
"Itulah sebabnya, mengapa
Pendekar Jari Malaikat membawamu ke sini. Ini tak lain agar kau luput dari
kematian," tenang kata-kata Rangga.
"Aku tidak mengerti
maksudmu...?"
"Si Jari Malaikat Maut
datang ke Desa Banyu Reges hendak menantang si Kapak Maut. Tapi ternyata kau
telah mendahuluinya, sehingga dialihkan padamu," jelas Rangga
Arya Dipa mendengarkan dengan
seksama.
"Sebenarnya si Jari Malaikat
Maut adalah anak angkat dan murid tunggal pasangan Pendekar Bayangan Dewa dan
Ular Betina dari Selatan. Tapi anak itu ternyata dipengaruhi pikiran kotor dan
nafsu serakah setelah berhasil mencuri kitab yang berisi ilmu langka dan sangat
berbahaya."
"Kitab apa?" tanya Arya
Dipa.
"Kitab Malih Jiwa. Kitab itu
berisi sebuah ilmu yang bisa mengambil tenaga dan kepandaian seseorang melalui
pertarungan. Semakin banyak bertarung dengan tokoh berilmu tinggi, semakin kuat
dan tinggilah ilmu kepandaiannya. Dia berkelana hanya hendak menantang para
tokoh persilatan yang kemudian diserap ilmunya tanpa disadari. Setelah lawannya
lemah, baru dibunuh. Hal itu juga dilakukan terhadap Pendekar Bayangan Dewa
yang juga ayah angkat sekaligus gurunya," jelas Rangga.
"Milik siapa kitab
itu?" tanya Arya Dipa.
"Milik keluarga Pendekar
Jari Malaikat yang disimpan Pendekar Bayangan Dewa. Mereka tidak ingin
mempelajari ilmu itu karena dianggap sebagai ilmu keji yang membuat orang dapat
lebih kejam daripada iblis.
Mereka bermaksud memusnahkannya,
tapi keburu dicuri si Jari Malaikat Maut"
"Lalu, di mana kitab itu
sekarang?"
"Masih ada pada si Jari
Malaikat Maut, karena belum seluruhnya dikuasai. Bisa kau bayangkan, bagaimana
kalau dia sampai menguasai seluruh isi kitab itu."
"Dunia persilatan akan
hancur...," desah Arya Dipa.
"Itulah sebabnya, mengapa
Pendekar Jari Malaikat memintaku untuk merebut kembali kitab itu yang
disembunyikan di balik ikat kepalanya. Pendekar Jari Malaikat bermaksud
memusnahkan begitu kitab itu kembali ke tangannya."
"Kalau begitu, kita harus
merebut dan membunuhnya, Pendekar Rajawali Sakti."
"Memang! Tapi, itu tidak
mudah. Kau sudah melihat pertarunganku dengannya, bukan?"
Arya Dipa menganggukkan
kepalanya.
"Ayo jalan lagi," ajak
Rangga seraya bangkit berdiri.
****
TUJUH
Malam sudah teramat larut.
Suasana di sekitar Padepokan Pedang Perak begitu sunyi. Hanya beberapa orang
saja yang terlihat berjaga-jaga di beberapa tempat. Sebagian besar penghuni
padepokan itu sudah terlelap dibuai mimpi. Namun di dalam salah satu ruangan,
terlihat Dewa Pedang masih terjaga, didampingi istri dan anak bungsunya.
"Sudah tiga hari Arya Dipa
belum juga kembali. Tak ada kabar beritanya lagi...," gumam Dewa Pedang
agak mendesah, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri.
"Sebaiknya besok pagi aku ke
Gunung Bekasan, Ayah," usul Arya Gara.
"Untuk apa?" tanya Dewa
Pedang
"Barangkali saja masih bisa
bertemu Kakang Arya Dipa."
"Hidup atau mati. Pendekar
Jari Malaikat sendiri yang akan mengatakannya padaku.
Tapi..."
"Tapi kenapa?" celetuk
Dewi Ratih yang sejak tadi diam saja.
"Aku merasakan adanya
keanehan. Belum pernah Pendekar Jari Malaikat bertarung sampai tiga hari.
Apalagi kemampuan yang dimiliki Arya Dipa masih terlalu jauh untuk bisa
menandinginya. Aku merasakan ada sesuatu di balik tantangan ini, Dinda
Dewi," nada suara Dewa Pedang seperti bergumam.
"Kenapa Kakang tidak melihat
saja sendiri ke sana?" usul Dewi Ratih.
"Tidak. Aku tidak akan
merusak perjanjian itu."
"Tapi ini sudah tiga hari,
Kakang. Kau berhak melihat keadaan anak kita. Apakah sudah tewas, atau masih
hidup."
"Meskipun sampai seratus
tahun sekalipun, aku tidak berhak mencampuri urusan ini, Dinda. Itu sudah
perjanjianku dengan Pendekar Jari Malaikat. Meskipun kini yang menjadi urusan
adalah anakku sendiri."
"Perjanjian itu antara
Kakang dengan Pendekar Jari Malaikat. Bukan denganku atau Arya Gara. Berarti
aku atau Arya Gara bisa mengunjungi Gunung Bekasan," bantah Dewi Ratih.
Dewa Pedang tercenung diam.
Kata-kata istrinya memang benar, dan tidak bisa dibantah lagi. Dan dia tidak
akan mungkin melarang seandainya Arya Gara atau Dewi Ratih pergi ke Puncak
Gunung Bekasan. Mereka memang tidak ada sangkut pautnya dengan penanjiannya
itu. Dewa Pedang hanya menarik napas panjang saja. Dirayapi wajah istri dan
anaknya secara bergantian. Ada beban yang teramat berat menghimpit dadanya,
tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kata-kata Dewi Ratih yang terakhir
membuat dirinya benar-benar tidak berdaya lagi.
"Arya Gara, siapkan kuda.
Kita berangkat sekarang juga," kata Dewi Ratih.
"Baik, Bu," sahut Arya
Gara seraya bangkit berdiri.
"Tunggu...!" cegah Dewa
Pedang cepat. "Mau ke mana kalian?"
"Ke Gunung Bekasan,"
sahut Dewi Ratih kalem.
"Untuk apa? Malam-malam
begini...?"
"Ya! Agar besok pagi sudah
sampai di sana. Lebih cepat lebih baik," sahut Dewi Ratih masih kalem.
"Tidak! Kalian tidak boleh
ke sana!" cegah Dewa Pedang tegas.
Arya Gara dan ibunya saling
berpandangan tidak mengerti. Namun belum juga wanita itu bisa bersuara,
mendadak saja terdengar suara dari arah luar.
"Kalian semua memang tidak
boleh ke sana jika ingin selamat...!"
"Heh...!" Dewa Pedang
terperanjat bukan main.
Begitu pula Dewi Ratih dan Arya
Gara. Sesaat mereka saling berpandangan, lalu hampir bersamaan melompat ke luar
melalui jendela yang terbuka. Sebentar saja ketiga orang itu sudah berada di luar
ruangan. Mereka berdiri berdampingan di tengah-tengah halaman samping yang
luas, di tumbuhi tanaman bunga bermekaran menyebarkan bau harum. Tak ada
seorang pun yang terlihat kecuali bayang-bayang pohon tersiram cahaya bulan di
sekitarnya.
"Kisanak, keluarlah!"
seru Dewa Pedang lantang.
Suara yang dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam tinggi itu menggema sampai ke delapan penjuru angin.
Namun tak ada sahutan sedikit pun, dan suasana tetap sunyi. Hanya desiran angin
malam yang terdengar mengusik gendang telinga.
"Saat ini aku tidak ingin
bermain-main, Kisanak. Keluarlah...!" seru Dewa Pedang sekali lagi.
"Kau tidak perlu berteriak,
Dewa Pedang. Aku di belakangmu!" terdengar sahutan ringan bernada tenang.
Dewa Pedang, Dewi Ratih dan Arya
Gara langsung memutar tubuhnya berbalik. Betapa terkejutnya mereka, karena di
tempat itu sudah berdiri seorang laki-laki muda berwajah cukup tampan. Baju
putihnya agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Dewa
Pedang melangkah maju tiga tindak. Pandangannya tajam, namun terlihat begitu
waspada. Kehadiran pemuda itu yang tidak diketahui, sudah memberikan peringatan
agar Dewa Pedang berhati-hati.
"Siapa kau, dan apa
maksudnya datang ke tempatku malam-malam begini?" tanya Dewa Pedang tegas.
"Ha ha ha...!"
laki-laki muda berbaju putih itu hanya tertawa saja.
Dewa Pedang menjentikkan jari
tangannya, memberi isyarat pada istri dan anaknya agar berhati-hati. Sudah
terasa kalau kehadiran pemuda itu tidak diiringi maksud baik.
Tanpa banyak bicara lagi,
laki-laki muda berbaju putih yang ternyata adalah si Jari Malaikat Maut itu
langsung saja melompat menerjang Dewa Pedang. Serangan yang mendadak ini
membuat laki-laki setengah baya itu jadi terperangah sesaat. Tapi, cepat-cepat
dijatuhkan dirinya dan bergulingan di tanah. Serangan si Jari Malaikat Maut
hanya mengenai tempat kosong. Namun belum juga Dewa Pedang bisa berdiri tegak,
Jari Malaikat Maut sudah menyerang kembali.
"Tunggu...!" seru Dewa
Pedang sambil berkelit menghindari serangan pemuda berbaju putih itu.
Tapi rupanya si Jari Malaikat
Maut tidak mempedulikan seruan Dewa Pedang. Bahkan semakin gencar menyerang
tanpa memberi kesempatan lawan untuk berbuat sesuatu, selain berkelit
menghindarkan diri. Dewa Pedang jadi geram juga dibuatnya. Mendadak saja dia
berteriak keras, lalu...
"Hiyaaat..!" Tubuh Dewa
Pedang melesat ke udara, lalu cepat sekali menukik sambil mencabut pedang
peraknya yang terkenal sangat ampuh dan ditakuti lawan maupun kawan.
"Uts...!" Si Jari
Malaikat Maut bergegas menundukkan kepalanya, menghindari tebasan pedang perak
yang datang bagaikan kilat itu. Hanya sedikit saja ujung mata pedang itu
berkelebat di atas kepala si Jari Malaikat Maut. Bergegas digeser kakinya ke
belakang, tepat saat Dewa Pedang menjejakkan kakinya kembali ke tanah.
Secepat si Jari Malaikat Maut
berkelit, secepat itu pula tangan kanannya mengibas ke depan. Kalau saja Dewa
Pedang tidak cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, pasti tebasan tangan si
Jari Malaikat Maut sudah menjebol perutnya. Si Jari Malaikat Maut berdiri tegak
bertolak pinggang, kemudian menggerak-gerakkan tangannya di depan dada dengan
sepuluh jari terkembang lebar.
"Heh...!" Dewa Pedang
tersentak kaget. Bergegas dia melompat mundur dua tindak. Hampir-hampir tidak
dipercaya pada penglihatannya sendiri. Pemuda itu tengah membuka jurus 'Sepuluh
Jari Maut'. Satu jurus yang sangat dikenalnya dan merupakan jurus andalan
dahsyat milik Pendekar Jari Malaikat.
"Anak Muda, apa hubungannya
kau dengan Pendekar Jari Malaikat?" tanya Dewa Pedang bercampur rasa heran
yang amat sangat.
"He he he.... Rupanya kau
gentar juga melihat Jurus 'Sepuluh Jari Maut' ini, Dewa Pedang," si Jari
Malaikat Maut terkekeh sinis.
"Aku tidak percaya kalau kau
murid Pendekar Jari Malaikat' Dari mana kau dapatkan jurus itu, Anak
Muda?!" dengus Dewa Pedang.
"Kau akan tahu jika anakmu
sudah jadi mayat'" jawab si Jari Malaikat Maut dingin.
Dewa Pedang tercenung. Namun
belum sempat mulutnya terbuka, mendadak Arya Gara melompat sambil berteriak
keras menerjang si Jari Malaikat Maut.
"Arya Gara...!" sentak
Dewa Pedang terperanjat.
"Hih!" Hanya dengan
sedikit memiringkan tubuhnya, si Jari Malaikat Maut berhasil mengelakkan
serangan Arya Gara. Dan dengan keceparan luar biasa, dihentakkan tangan
kanannya ke arah kepala Arya Gara. Ujung jari yang menegang kaku itu meluruk
deras ke arah kening. Arya Gara terperangah. Buru-buru ditarik kepalanya ke
belakang. Namun....
"Hiyaaa...!"
Crab!
"Aaa...!"
Sukar untuk diikuti pandangan
mata biasa. Pada saat Arya Gara menarik kepalanya ke belakang, si Jari Malaikat
Maut menghentak kakinya ke tanah. Dan bagaikan kilat tubuhnya melesat ke depan
sambil menjulur tangan ke arah kening Arya Gara bagaikan sebatang pedang saja.
Arya Gara menjerit melengking
tinggi. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Darah kontan menyembur deras dari
kening yang bolong tertembus jari telunjuk si Jari Malaikat Maut. Pemuda itu
jatuh menggelepar di tanah, sebentar kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
"Keparat..!" geram Dewa
Pedang melihat putranya tewas terkena Jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Biar bagaimanapun
tegarnya seorang pendekar, sebagai ayah. Dewa Pedang tidak bisa memungkiri
hatinya yang terpukul melihat kematian anaknya.
"Arya Gara...!" teriak
Dewi Ratih histeris. Wanita itu berlari dan menubruk tubuh putranya yang sudah
tidak bernyawa lagi. Meskipun Dewi Ratih seorang pendekar wanita yang cukup
tangguh, tapi tidak kuasa juga membendung air matanya melihat putra bungsunya
tewas menyedihkan.
"Kubunuh kau, iblis
keparat..!" geram Dewi Ratih gusar.
Sambil berteriak keras, Dewi
Ratih melompat mener-jang si Jari Malaikat Maut yang terkekeh bernada penuh
ejekan. Terjangan Dewi Ratih disambut liukan tubuhnya sedikit ke samping. Lalu
bagaikan kilat diayunkan kakinya menyepak wanita itu.
Dug!
"Akh...!" Dewi Ratih
memekik keras tertahan.
Tendangan si Jari Malaikat Maut
yang begitu cepat dan keras tidak dapat dielakkan lagi. Wanita itu terlontar
beberapa langkah ke belakang. Pada saat itu si Jari Malaikat Maut sudah
melompat dengan jari-jari tangan terkembang ke depan.
"Hiyaaa...!"
"Ratih, awas...!" seru
Dewa Pedang. Hatinya benar-benar bergolak melihat istrinya diserang
terus-menerus oleh si Jari Malaikat Maut. Namun naluri kependekarannya melarang
untuk turut menyerang lawan yang hanya sendiri. Serangan si Jari Malaikat Maut
memang begitu cepat. Sedangkan pada saat itu, Dewi Ratih dalam keadaan tidak
seimbang berdirinya. Wanita itu hanya mampu membanting tubuhnya ke tanah. Tapi
sungguh sukar dimengerti, si Jari Malaikat Maut masih mampu menyepakkan kakinya
ke tubuh wanita itu.
Buk!
"Akh!" lagi-lagi Dewi
Ratih memekik keras. Wanita itu bergulingan di tanah begitu terkena tendangan
telak pada bagian iga, namun masih sempat bangkit berdiri. Langsung dikeluarkan
senjatanya yang berupa sehelai selendang berwarna merah muda. Selendang sutra
halus, yang pada ujungnya berumbai merah darah.
Wut! Dewi Ratih langsung
mengerahkan jurus 'Selendang Maut'. Suatu jurus yang sangat diandalkan dan
jarang dikeluarkan. Kematian putranya membuat wanita ini tidak bisa lagi
mengendalikan kemarahannya. Tanpa mempedulikan peringatan suaminya, Dewi Ratih
langsung menyerang si Jari Malaikat Maut dengan senjata mautnya. Selendang
berwarna merah muda itu meliuk-liuk bagaikan seekor ular raksasa, memburu si
Jari Malaikat Maut. Bagai memiliki mata saja, selendang itu mengejar setiap
langkah dan gerak si Jari Malaikat Maut.
"Huh!" dengus Jari
Malaikat Maut kesal.
Pada saat ujung selendang Dewi
Ratih meluruk ke arah dadanya, si Jari Malaikat Maut tidak bergeming sedikit
pun. Bahkan dibuka dadanya lebar-lebar. Tak pelak lagi, ujung selendang merah
muda itu menghantam telak dada si Jari Malaikat Maut. Namun pada saat itu si
Jari Malaikat Maut menggerakkan tangannya, menangkap selendang itu.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil membuat gerakan berputar,
si Jari Malaikat Maut melayang sambil menarik selendang merah muda itu. Hal ini
membuat Dewi Ratih tercengang, dan berusaha menarik selendangnya. Namun pada
saat menarik, si Jari Malaikat Maut mempergunakan hentakan tenaga lawannya.
Dibiarkan saja tubuhnya meluruk bersama selendang itu ke arah pemiliknya.
"Oh, tidak...," desis
Dewi Ratih terperanjat.
Belum juga Dewi Ratih bisa
melakukan sesuatu, ujung jari pemuda berbaju putih itu sudah menusuk keningnya.
Bahkan sampai melesak hingga ke pangkalnya.
"Aaa...!" Dewi Ratih
menjerit keras melengking tinggi.
Darah segar langsung muncrat
begitu si Jari Malaikat Maut menarik keluar jari yang terbenam di kening wanita
itu. Sebentar Dewi Ratih masih mampu berdiri, kemudian jatuh menggelepar ke
tanah. Darah semakin banyak keluar dari kening yang berlubang sebesar jari
tangan.
"Dewi..!" sentak Dewa
Pedang melihat istrinya dibantai si Jari Malaikat Maut. Seketika laki-laki tua
itu menghambur, memeluk mayat istrinya. Dia seperti ingin menangis, tapi jiwa
kependekarannya menolak.
"Tidak! Aku tidak boleh
menangis! Ini adalah takdir yang harus kuhadapi!" tekad Dewa Pedang dalam
hati.
Tapi biar bagaimanapun, Dewa
Pedang tidak memungkiri hatinya yang terbakar!
"Keparat! Iblis...!"
desis Dewa Pedang menggeram marah. Hati pendekar ini sekarang benar-benar
bergolak. Betapa tidak! Dua mutiara hatinya tewas di tangan orang biadab ini.
"Ha ha ha...!" si Jari
Malaikat Maut tertawa terbahak-bahak melihat dua korbannya bergeletakan
bersimbah darah pada kening yang berlubang.
Keributan yang terjadi di tengah
malam buta itu rupanya membuat seluruh murid Padepokan Pedang Perak terjaga.
Mereka berlarian ke arah sumber keributan itu. Betapa terkejutnya mereka begitu
melihat tstri dan putra gurunya sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Semuanya
jadi terpaku dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Sementara si Jari Malaikat Maut
berdiri tegak dengan tenangnya. Sedikit pun tidak dipedulikan kehadiran
murid-murid Padepokan Pedang Perak yang kini sudah mengepung tempat ini sambil
menghunus senjata. Perhatiannya hanya tertuju pada Dewa Pedang yang wajahnya
memerah menahan kemarahan amat sangat.
****
"Kau harus bayar mahal semua
ini, Anak Muda!" dengus Dewa Pedang menggeram marah.
"Tentu...! Akan kubayar
semuanya dengan nyawamu, Dewa Pedang," sahut si Jari Malaikat Maut kalem.
Dewa Pedang mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Disadari kalau pemuda itu memiliki kepandaian
tinggi sekali. Ketua Padepokan Pedang Perak itu memerintahkan murid-muridnya
untuk menyingkir. Dia tak ingin pemuda itu mengamuk dan membantai habis
murid-muridnya. Laki-laki setengah baya itu bisa mengukur kalau murid-muridnya
tidak akan mampu menandingi pemuda yang tidak dikenalnya ini.
"Anak Muda, apa maksudmu
datang ke sini?" tanya Dewa Pedang setelah semua murid-muridnya berada
dalam jangkauan yang cukup jauh.
"Mencari anakmu!" sahut
si Jari Malaikat Maut.
"Kau sudah membunuh anakku.
Kisanak!"
"Kau pikir aku tidak tahu,
heh? Di mana kau sembunyikan Arya Dipa? Dia harus bertanggung jawab padaku
karena berani menyerobot hakku!" lantang nada suara si Jari Malaikat Maut.
"Apa yang dilakukan
putraku?"
"Membunuh si Kapak Maut yang
seharusnya menjadi bagianku! Jelas...?!"
"Oh...." desah Dewa
Pedang.
Kini laki-laki setengah baya itu
baru tahu dan menyadari. Ternyata pemuda ini adalah si Jari Malaikat Maut.
Memang pernah didengarnya tentang pemuda ini dari Pendekar Jari Malaikat.
Rupanya orang yang telah menggemparkan rimba persilatan ini masih begitu muda
bagai seorang putra bangsawan, tapi hatinya terselimut nafsu iblis. Dewa Pedang
semakin berhati-hati. dan tidak ingin gegabah menghadapi pemuda ini.
Ketua Padepokan Pedang Perak itu
sudah mendengar banyak tentang sepak terjang si Jari Malaikat Maut. Demikian
pula tentang ilmunya yang paling ditakuti hampir seluruh tokoh rimba
persilatan, baik yang beraliran hitam maupun putih. Sebuah ilmu yang dapat
menyerap ilmu lawan hanya lewat benturan badan dalam pertarungan. Tak ada satu
ilmu kesaktian atau suatu jurus pun yang dapat menandinginya. Ilmu yang
dimiliki si Jari Malaikat Maut itu bahkan membuat tubuhnya kebal tak dapat
digempur ajian apa pun.
Dewa Pedang juga kini tahu kalau
si Jari Malaikat Maut mencari Arya Dipa, karena telah membunuh si Kapak Maut,
yang sedianya akan ditantang pemuda ini. Si Jari Malaikat Maut memang selalu
menantang tokoh-tokoh persilatan hanya untuk mencuri ilmunya saja. Kemudian
baru dibunuh dengan mata tak berkedip sedikit pun. Dewa Pedang menggeser
kakinya sedikit ke samping. Pelahan-lahan ditarik pedangnya keluar dari
warangkanya. Sebuah pedang panjang dan tipis berwarna keperakan. Pedang itu
berkilatan tertimpa cahaya bulan.
"Bagus! Rupanya kau sudah
siap ke neraka, Dewa Pedang!" dengus si Jari Malaikat Maut seraya
tersenyum tipis.
"Kita tentukan malam ini.
Kau, atau aku yang lebih dulu ke neraka!" dengus Dewa Pedang dingin.
"Ha ha ha...!" si Jari
Malaikat Maut tertawa terbahak-bahak
"Majulah, Anak Muda! Dosa
besar kalau aku tidak bisa membunuhmu malam ini!" tantang Dewa Pedang.
"Waspadalah!
Hiyaaa...!"
Si Jari Malaikat Maut langsung
melompat menerjang Dewa Pedang. Tubuhnya melesat bagai sebatang anak panah
lepas dari busur. Kedua tangannya menjulur ke depan dengan jari-jari terbuka
lebar. Gerakannya bagai sepasang cakar seekor burung elang yang siap menerkam
mangsa.
"Hait..!" Bagaikan
kilat Dewa Pedang melompat ke samping sambil mengebutkan pedangnya. Begitu
cepat kebutan laki-laki setengah baya itu, sehingga sukar diikuti pandangan
mata biasa. Semua murid Padepokan Pedang Perak pasti menyangka kalau tubuh si
Jari Malaikat Maut akan terbelah dua. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan
sama sekali.
"Hiyaaa...!" Si Jari
Malaikat Maut melentingkan tubuhnya berputar ke belakang. Dan pada saat ujung
pedang Dewa Pedang menyambar tepat di depan perutnya, bagaikan kilat
dihentakkan kakinya menyepak pergelangan tangan yang menggenggam pedang itu.
"Uts!" Dewa Pedang
bergegas menarik pulang pedangnya, maka sepakan kaki si Jari Malaikat Maut
luput dari sasaran. Tapi dia tidak berhenti di situ saja. Sambil memutar
tubuhnya, dikibaskan tangan kanannya, disusul tangan kiri menuju arah dua
bagian tubuh Dewa Pedang. Satu serangan dahsyat jurus 'Sepuluh Jari Maut'.
Jurus ini sangat diandalkan Pendekar Jari Malaikat, pemilik jurus yang syah
itu. Hanya saja, kini menjadi milik si Jari Malaikat Maut.
Wut! Wuk!
"Edan! Hih...!"
****
DELAPAN
Cepat sekali Dewa Pedang berkelit,
namun tetap saja masih harus menerima hempasan angin kibasan tangan si Jari
Malaikat Maut itu. Akibatnya, tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah.
Pada saat ttu, si Jari Malaikat Maut sudah meluruk cepat dengan sepuluh jari
terkembang bagai sepasang cakar burung elang.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Buru-buru Dewa Pedang membanting
tubuhnya ke tanah. Namun lagi-lagi hatinya terperanjat karena kaki lawannya
berhasil menyepak iga sehingga membuatnya harus bergulingan sejauh beberapa
batang tombak di tanah.
"Mampus kau, Dewa Pedang!
Hiyaaat..!" teriak Jari Malaikat Maut keras menggelegar. Seketika itu juga
dihentakkan tangan kanannya ke depan. Saat itu secercah cahaya merah bagai bola
api sebesar kepala orang dewasa, meluncur deras dari telapak tangan pemuda
berbaju putih itu. Dewa Pedang terperangah, dan tidak punya kesempatan
menghindar lagi.
Dan pada saat yang kritis,
mendadak saja berkelebat bayangan putih bercampur cahaya biru berkilau
menyampok bola api yang dilepaskan si Jari Malaikat Maut. Bola api itu langsung
terlontar balik ke arah pemiliknya. Hal ini membuat si Jari Malaikat Maut harus
berpelantingan menghindarinya. Satu ledakan keras menggelegar terdengar begitu
bola api itu menghantam dinding tembok pagar yang melingkari padepokan itu. Tembok
itu hancur berkeping-keping menimbulkan kepulan debu yang membumbung tinggi ke
angkasa.
"Setan alas...!" umpat
si Jari Malaikat Maut geram.
Entah dari mana datangnya,
tahu-tahu di depan Dewa Pedang sudah berdiri seorang pemuda tampan mengenakan
baju rompi putih. Tangannya memegang sebilah pedang bergagang kepala burung
Rajawali yang memancarkan sinar biru berkilau, sehingga membuat malam yang
pekat ini jadi terang benderang bagai siang hari.
"Kau tidak apa-apa, Paman
Dewa Pedang?" lembut suara pemuda berbaju rompi putih itu.
"Tidak, terima kasih,"
sahut Dewa Pedang sambil bangkit berdiri. "Kau tentu Pendekar Rajawali
Sakti!"
Pemuda berbaju rompi putih itu
hanya tersenyum dan menoleh sedikit pada Dewa Pedang yang sudah berdiri di
samping kanannya. Dia memang Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda itu melintangkan
pedangnya di depan dada begitu melihat si Jari Malaikat Maut sudah bersiap
menyerang kembali.
"Menyingkirlah, Paman. Biar
kuhadapi sendiri," kata Rangga yang lebih dikenal sebagai Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hati-hatilah. Ilmunya
tinggi sekali," Dewa Pedang mengingatkan seraya melangkah mundur.
Rangga hanya bergumam saja. Digeser
kakinya ke kiri, menjauhi Dewa Pedang. Dia tidak ingin laki-laki setengah baya
itu menjadi sasaran serangan si Jari Malaikat Maut. Rangga sempat melirik ke
arah lain. Tampak Pendekar Jari Malaikat datang menghampiri bersama Arya Dipa.
"Huh! Selalu saja kau
muncul, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus si Jari Malaikat Maut gusar.
"Sudah kuduga, kau pasti
akan datang ke sini, Kobar," ujar Rangga menyebut nama asli si Jari
Malaikat Maut.
"Aku Jari Malaikat Maut,
bukan Kobar," bentak pemuda itu geram.
"Apa pun julukanmu, kau
tetap Kobar. Anak angkat Pendekar Bayangan Dewa dan si Ular Betina dari
Selatan. Aku sudah tahu siapa kau sebenarnya. Dan aku tidak ingin kau terlalu
lama mendewakan nafsu serakah dan keangkaramurkaan!" lantang suara Rangga.
"Ha ha ha...!" si Jari
Malaikat Maut yang sebenarnya bernama Kobar tertawa terbahak-bahak. Sama sekali
memandang sebelah mata pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Tertawalah sepuasmu, Kobar.
Malam ini akan kuhentikan segala tindakanmu!" dingin nada suara Rangga.
"Monyet..! Sepatutnya kau
mampus lebih dulu, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak si Jari Malaikat Maut
gusar.
"Hiyaaa...!" Belum lagi
hilang suara pemuda berbaju putih ketat itu, mendadak saja si Jari Malaikat
Maut melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
Cepat sekali serangannya, tapi
Rangga lebih cepat lagi berkelit menghindari serangan itu. Pertarungan pun
tidak dapat dihindarkan lagi. Meskipun menggenggam Pedang Pusaka Rajawali
Sakti, tapi Rangga masih belum mau berbenturan secara langsung dengan lawannya.
Dia menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', dan selalu menghindari setiap
serangan si Jari Malaikat Maut.
Pedang Pendekar Rajawali Sakti
yang memancarkan cahaya biru menyilaukan itu selalu berkelebatan cepat,
mengacaukan setiap serangan si Jari Malaikat Maut. Namun setiap kali pemuda itu
berusaha menahan arus kibasan pedang dengan tangannya, Rangga selalu berhasil
mengindari dengan memutar balik arah tebasannya. Dan ini semakin membuat si
Jari Malaikat Maut bertambah marah.
"Keparat! Kau mempermainkan
aku, heh...!" geram si Jari Malaikat Maut gusar.
Umpatan si Jari Malaikat Maut
tidak dihiraukan Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu terus
saja mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', sambil memain-mainkan
pedangnya. Sinar biru yang memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu
semakin bertambah terang menyilaukan mata, membuat si Jari Malaikat Maut
semakin terkecoh. Bola matanya mulai terasa pedih, dan berusaha dihindari
tatapan matanya pada sinar biru berkilau itu.
"Keluarkan semua ilmu
curianmu, Kobar!" seru Rangga memancing amarah si Jari Malaikat Maut.
"Bedebah! Kubunuh kau,
setaaan..!" geram si Jari Malaikat Maut semakin memuncak amarahnya.
Serangan-serangan si Jari
Malaikat Maut semakin gencar dan berbahaya sekali. Jurus demi jurus berganti
cepat. Semakin lama pertarungan itu, semakin dahsyat serangan yang dilakukan si
Jari Malaikat Maut. Tapi rupanya Rangga masih mampu menghindari setiap serangan
itu. Dengan bantuan cahaya pedangnya yang menyilaukan, Pendekar Rajawali Sakti
mampu berkelit cepat dan mengecoh serangan-serangan lawannya. Tapi bagaimanapun
juga, Rangga menyadari kalau pertarungan seperti ini tidak akan bertahan lama
lagi. Dan sudah dipersiapkan apa yang akan terjadi nanti. Rangga sadar, kalau
tidak si Jari Malaikat Maut maka dirinyalah yang akan tewas malam ini!
****
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba
saja si Jari Malaikat Maut berteriak keras menggelegar. Seketika itu juga
tubuhnya melesat ke udara, dan berputaran beberapa kali. Pemuda berbaju putih
ketat ttu meluruk jauh ke depan Pendekar Rajawali Sakti. Dan begitu kakinya
menjejak tanah, langsung dihentakkan tangan kanannya ke depan. Segumpal cahaya
bagai bola api meluncur deras keluar dari telapak tangan yang terbuka lebar
itu.
"Hup! Hiyaaa...!" Cepat
sekali Rangga menyilangkan pedangnya di depan dada. Maka bola api ttu tepat
menghantam mata pedang yang bersinar biru itu. Satu ledakan keras terjadi. Tapi
sungguh menakjubkan. Bola api itu langsung lenyap begitu membentur pedang
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa! Yeaaah...!"
Dua kali si Jari Malaikat Maut menghentakkan tangan kanan dan kirinya secara
cepat bergantian. Dua bola api bertebaran meluruk deras ke arah Pendekar
Rajawali Sakti yang masih berdiri tegak sambil menyilangkan pedang di depan
dada. Dua ledakan keras kembali terdengar begitu bola-bola api yang dilepaskan
si Jari Malaikat Maut menghantam mata Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
"Phuih...!" si Jari
Malaikat Maut menyemburkan ludahnya, gusar. Baru kali ini didapatkan lawan
tangguh, yang dapat menahan gempuran aji 'Tapak Api' yang sangat dahsyat. Tiga
kali Rangga digempur, tapi tidak kurang satu apa pun. Padahal dia belum
berpindah dari tempatnya berdiri. Bahkan semua ajian yang dilepaskan si Jari
Malaikat Maut mudah sekali diredamnya.
"Hup! Hup! Hsss...!"
Si Jari Malaikat Maut
menggerak-gerakkan tangannya turun naik di depan dada. Pandangan matanya begitu
tajam menusuk. Kedua kakinya terpentang lebar, dan lututnya agak tertekuk ke
depan. Sedangkan Rangga masih berdiri tegak. Namun pelahan-lahan dilebarkan
kakinya, dan tangan kirinya menggosok Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Sungguh
menakjubkan...! Sinar biru yang memancar dari pedang itu menggumpal membentuk
bulatan pada ujung pedang
"Hiyaaat..!" Sambil
berteriak keras, si Jari Malaikat Maut berlari cepat mengarah ke Pendekar
Rajawali Sakti. Pada saat itu, Rangga memasukkan pedang pusakanya ke dalam
warangkanya di punggung. Tapi bulatan cahaya biru, tetap menyelimuti kedua
tangannya. Dan pemuda berbaju rompi putih itu menghentakkan tangannya ke depan,
tepat pada saat jari-jari tangan si Jari Malaikat Maut yang memerah membara
bagai terbakar itu mencengkeram dada Rangga.
"Hhh!"
"Hup...!"
Dua orang pemuda itu saling
berhadapan. Jari-jari tangan si Jari Malaikat Maut menancap dalam di dada
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu mencengkeram
bahu lawannya kuat-kuat. Terjadi adu kekuatan ilmu kesaktian yang tinggi.
Inilah adu kekuatan kesaktian
yang saling berlawanan satu sama lain, meskipun sama-sama mempunyai tujuan
serupa yaitu menyedot kekuatan dan tenaga lawan! Saling tarik-menarik kekuatan
pun terjadi. Dan Rangga agak terkejut juga begitu merasakan tarikan kekuatan si
Jari Malaikat Maut begitu kuat. Tanpa membuang-buang waktu lagi. Pendekar
Rajawali Sakti itu mengerahkan tingkat terakhir aji 'Cakra Buana Sukma'.
"Aji 'Cakra Buana
Sukma'...!" seru Rangga keras. Seketika itu juga seluruh tubuh Pendekar
Rajawali Sakti terselimut cahaya biru berkilauan. Sedangkan seluruh tangan si
Jari Malaikat Maut sudah memerah membara bagaikan terbakar. Tubuh yang
bermandikan keringat itu bergetar. Sedangkan Rangga mulai memusatkan kekuatan
pada kedua tangannya yang mencengkeram pundak si Jari Malaikat Maut.
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba
saja si Jari Malaikat Maut menghentakkan tangannya. Dan bersamaan dengan itu,
digedornya dada Rangga dengan kekuatan penuh. Bukan main terkejutnya Pendekar
Rajawali Sakti itu. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba saja tubuh
Pendekar Rajawali Sakti sudah melayang ke udara.
Pada saat itu si Jari Malaikat
Maut melesat ke angkasa. Bukannya untuk mengejar Rangga, tapi untuk melarikan
diri dengan arah yang berlawanan. Namun belum juga sempat meninggalkan tempat
itu, mendadak saja sebuah bayangan biru berkelebat menyampoknya.
"Uts...!" Buru-buru si
Jari Malaikat Maut melentingkan tubuhnya dan berputar beberapa kali. Tubuhnya
lalu meluruk turun dengan ringan dan manis sekali. Tanpa menimbulkan suara
sedikit pun, kakinya lembut menjejak tanah. Tampak dari sudut bibirnya
mengucurkan darah kental. Rupanya tadi seluruh kekuatannya dikerahkan untuk
melepaskan diri dari balutan aji 'Cakra Buana Sukma'.
Sementara itu Rangga yang jatuh
ke tanah bergulingan beberapa kali, langsung duduk bersila seraya merapatkan
kedua telapak tangan di depan dada. Kelopak matanya agak terpejam, namun
menatap lurus si Jari Malaikat Maut yang berdiri berhadapan dengan seorang
gadis cantik mengenakan baju berwarna biru. Begitu ketatnya baju yang
dikenakan, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah sekali.
"Pandan...," desis
Rangga mengenali gadis itu.
Tapi Rangga tidak sempat lagi
memperhatikan gadis itu. Kekuatannya yang hampir hilang harus segera
dipulihkan, akibat tersedot ilmu yang dimiliki si Jari Malaikat Maut. Dalam
hati, dia merasa khawatir kalau aji 'Cakra Buana Sukma' sempat disadap si Jari
Malaikat Maut. Kalau hal itu sampai terjadi, sukar bagi Rangga untuk
mengalahkannya.
****
Pada saat itu si Jari Malaikat
Maut sudah menyerang Pandan Wangi yang menggunakan senjata khasnya berupa kipas
baja putih yang ujung-ujungnya runcing dan tajam melebihi tajamnya mata pisau
cukur. Pertarungan itu berlangsung sengit. Namun dalam beberapa jurus saja,
sudah terlihat kalau Pandan Wangi terdesak.
Menyadari kalau lawannya sangat
tangguh, Pandan Wangi segera mencabut Pedang Naga Geni yang berwarna hitam
kelam mengepulkan asap kemerahan. Dengan pedang di tangan kanan dan kipas baja
di tangan kiri, Pandan Wangi kembali mampu menandingi kehebatan si Jari
Malaikat Maut yang bertarung menggunakan tangan kosong. Namun jari-jari
tangannya merupakan senjata yang dahsyat, melebihi senjata apa pun juga!
"Pandan, mundur...!"
seru Rangga yang sudah dapat memulihkan kekuatannya kembali.
Tapi Pandan Wangi tidak
menghiraukan peringatan Rangga, dan terus saja bertarung sengit. Hal ini
membuat Rangga cemas, karena sudah bisa diukur kalau Pandan Wangi tidak mungkin
bisa mengalahkan si Jari Malaikat Maut. Dan dugaan Rangga ternyata terbukti tidak
lama kemudian.
Saat itu Pandan Wangi tengah
membabatkan pedangnya ke arah kaki si Jari Malaikat Maut. Tapi sungguh tidak
diduga sama sekali, pemuda berbaju putih itu hanya mengangkat sebelah kakinya
ke atas. Langsung dihentakkan ke depan, sehingga membuat Pandan Wangi
terperangah kaget. Dan belum hilang rasa keterkejutannya, gadis itu sudah
merasakan adanya tendangan keras menghantam perut.
"Hughk...!" Pandan
Wangi mengeluh pendek.
Selagi tubuh gadis itu
terbungkuk, cepat sekali si Jari Malaikat Maut mengayunkan satu pukulan ke arah
wajah. Namun belum juga pukulan itu sampai ke wajah Pandan Wangi, Rangga cepat
melompat dan menangkap pergelangan tangan pemuda itu. Sambil mengerahkan kekuatan
tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, Pendekar Rajawali Sakti
itu memutar tangan si Jari Malaikat Maut.
"Hiyaaa...!"
Wuk..!
Tubuh si Jari Malaikat Maut
terlontar ke atas, namun tangannya masih dicekal Rangga. Dan dengan keras sekali
pemuda itu jatuh ke tanah begitu Rangga menghentakkannya ke bawah. Satu
tendangan keras dilayangkan ke tubuh si Jari Malaikat Maut, membuat pemuda
berbaju putih ketat itu terguling sejauh beberapa batang tombak. Hebat! Dia
cepat bangkit berdiri dan menyemburkan ludahnya penuh kegeraman.
"Mundur kau, Pandan,"
dengus Rangga memerintah.
Pandan Wangi ingin bersikeras,
tapi Pendekar Rajawali Sakti bergegas menghampiri gadis itu dan membawanya
menyingkir. Terpaksa Pandan Wangi menurut, menjauhi tempat pertarungan itu.
Sementara Rangga sudah menggeser kakinya ke samping, siap menghadapi lawan yang
sangat tangguh ini.
"Majulah! Kita bertarung
sampai ada yang mati, Kobar!" ujar Rangga dingin.
"Hm...." si Jari
Malaikat Maut hanya menggumam tidak jelas.
Pertarungannya tadi rupanya
membuat si Jari Malaikat Maut harus bersikap hati-hati menghadapi Pendekar
Rajawali Sakti ini. Kalau saja tidak beruntung tadi, mungkin dia sudah tidak
bernyawa lagi. Sungguh belum pernah dihadapinya lawan yang begini tangguh, dan
berkepandaian tinggi. Bahkan kepandaiannya sukar sekali dicuri melalui ilmu
andalannya yang sangat dibanggakan.
Rangga yang menyadari kalau
lawannya ini sungguh alot, tidak mau lagi membuang-buang waktu dan memberi
kesempatan. Bagaikan burung Rajawali, pemuda berbaju rompi putih itu melompat
sambil berteriak keras menerjang si Jari Malaikat Maut. Kembali pertarungan
sengit terjadi, masing-masing mengerahkan jurus-jurus dahsyat dan berbahaya
sekali. Sedikit kelengahan akan berakibat kematian.
Untuk pertama kali Ini, Rangga
bukan saja mengeluarkan jurus-jurus 'Rajawali Sakti', tapi juga jurus-jurus
yang pernah didapatkannya dari Satria Naga Emas. Namun ternyata si Jari
Malaikat Maut mampu menandinginya, bahkan masih mampu juga membalas tidak kalah
dahsyat.
Pertarungan terus berlangsung
hingga ke luar tembok benteng Padepokan Pedang Perak bagian belakang yang
langsung berhadapan dengan hutan lebat. Semua orang yang menyaksikan
pertarungan itu terus mengikuti sambil menjaga jarak dan berjaga-jaga.
Pertarungan itu terus berpindah-pindah tempat dan semakin jauh masuk ke dalam
hutan mendekati Gunung Bekasan. Tidak terkatakan lagi, bagaimana hancurnya
hutan yang dijadikan arena pertarungan itu.
Hingga fajar menyingsing,
pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Si Jari Malaikat Maut masih
terus berlangsung. Bahkan sampai matahari naik tinggi, pertarungan itu belum
juga berhenti. Rangga memang mengalami kesukaran untuk menjatuhkan, karena
lawannya kali ini memiliki berbagai macam ilmu dari banyak tokoh rimba persilatan.
Bahkan tidak jarang Rangga terkecoh.
"Hhh... Pertarungan ini
harus segera disudahi!" dengus Rangga dalam hati.
Baru saja Rangga berpikir
demikian, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan pekat yang langsung meluruk
ke arah si Jari Malaikat Maut. Hal ini membuat pemuda berbaju putih itu jadi
terkejut. Buru-buru diputar tubuhnya. Tapi sungguh tidak terduga sama sekali,
bayangan itu malah melentingkan tubuhnya dan menyambar kepala si Jari Malaikat
Maut.
Wut!
"Hait...!"
Bet..!
Ikat kepala si Jari Malaikat Maut
terlepas disambar bayangan itu. Si Jari Malaikat Maut bergegas melompat ke
belakang. Pada saat yang tepat, Rangga sudah melompat sambil mengirimkan satu
pukulan bertenaga dalam sempuma sekali.
"Hiyaaa...!" Buk!
"Akh...!" si Jari
Malaikat Maut memekik keras. Tubuhnya langsung terlontar kembali ke depan dan
terjerembab mencium tanah. Bergegas dia menggerinjang hendak bangkit berdiri,
tapi sebuah kaki sudah menginjak dadanya. Si Jari Malaikat Maut terbeliak
begitu mengenali, siapa yang menginjak dadanya. Ternyata seorang perempuan tua
berbaju kumal menggenggam sebatang tongkat berbentuk ular hitam yang ujungnya menekan
leher pemuda itu.
"Ibu..." desis si Jari
Malaikat Maut.
"Tidak pantas kau menyebutku
ibu, Anak durhaka!" bentak perempuan tua itu yang tidak lain adalah Nyi
Palak, atau lebih dikenal berjuluk si Ular Betina dari Selatan.
Sementara itu, Rangga hanya
memperhatikan saja dengan jarak yang tidak seberapa jauh. Sedangkan beberapa
tombak di belakang Nyi Palak, terlihat Pendekar Jari Malaikat, Pandan Wangi,
dan Arya Dipa. Dan begitu Arya Dipa melihat Dewa Pedang, pemuda itu menghambur
menubruk ayahnya.
"Di mana ibu dan adikku,
Ayah?" tanya Arya Dipa yang tidak melihat kedua orang itu.
Mendengar pertanyaan itu, Dewa
Pedang tersentak. Hatinya begitu pedih seperti tersayat sembilu. Dia seperti
tak mampu menjawab.
"Kenapa, Ayah? Mengapa Ayah
kelihatan sedih?"
"Benar, Nak. Hari ini aku
benar-benar berduka ibu dan adikmu telah tiada." tutur Dewa Pedang
berusaha menegarkan hatinya.
"Apa?!"
****
"Kau sudah membunuh ayahmu
sendiri. Dan sekarang kau harus mampus di ujung tongkatku!" dingin nada
suara Nyi Palak. Pucat pasi wajah si Jari Malaikat Maut. Dia berusaha
menggerinjang mencoba membebaskan diri, tapi Nyi Palak malah menekan ujung tongkatnya
lebih keras ke leher pemuda itu hingga meringis kesakitan.
"Kau bisa saja menantang
pendekar pendekar lain. Tapi, kau tidak akan mampu mengalahkan aku, bocah
setan!" kata Nyi Palak lagi.
"Ibu, aku hanya ingin
menambah ilmu," kilah si Jari Malaikat Maut mencoba membela diri.
"Kau boleh saja memohon maaf
seribu kali, tapi nanti di neraka!" ketus nada suara Nyi Palak.
"Ibu…" "Bersiaplah
untuk mati, iblis! Hih...!"
"Aaa...!"si Jari
Malaikat Maut menjerit melengking tinggi.
Ujung tongkat Nyi Palak langsung memanggang
leher pemuda yang memang anak angkatnya sendiri. Tidak sampai di situ saja,
perempuan tua itu juga menghunjamkan tongkatnya ke dada. Bahkan menjejak dada
yang berlumuran darah itu dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Trek! Terdengar tulang-tulang
dada berpatahan. Seketika itu juga si Jari Malaikat Maut terkulai tak bernyawa
lagi. Nyi Palak melangkah mundur. Dibalikkan tubuhnya dan dihampirinya Pendekar
Jari Malaikat.
"Benda ini tidak ada
harganya lagi, Kakang," kata Nyi Palak sambil menyerahkan ikat kepala
milik si Jari Malaikat Maut.
Dengan mata berkaca-kaca.
Pendekar Jari Malaikat menerima ikat kepala itu. Dia mengerti, kalau Pendekar
Bayangan Dewa sudah meninggal. Ini semua akibat keserakahan anak angkatnya
sendiri yang durhaka setelah menguasai ikat kepala berisi sebuah kitab dari
ilmu yang sangat langka dan sangat berbahaya jika digunakan pada jalan sesat.
Pendekar Jari Malaikat memandangi
ikat kepala di tangannya, kemudian dilemparkan ke tanah. Dan seketika itu juga
dihentakkan tangannya ke arah benda itu. Sebuah bola api sebesar kepalan tangan
meluncur, langsung membakar hangus ikat kepala berikut kitab yang tersembunyi
di dalamnya.
Tanpa mengucapkan satu kata pun,
Pendekar Jari Malaikat melesat pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap
dari pandangan mata. Sedangkan Nyi Palak menghampiri Arya Dipa.
Ditepuk-tepuknya pundak pemuda itu.
"Maaf atas kekasaranku
padamu, Arya Dipa," ucap Nyi Palak.
Arya Dipa tak mampu menjawab, dan
hanya mengangguk saja. Nyi Palak memandang Dewa Pedang, lalu beralih pada
Pandan Wangi. Puas menatap Pandan Wangi, dia berbalik dan menghampiri Rangga.
Sebentar dirayapi wajah Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian ditepuknya pundak
Rangga tiga kali.
"Aku ingin memberimu
sesuatu, tapi aku tidak yakin akan berguna kembali," ungkap Nyi Palak.
"Apa itu?" tanya
Rangga.
"Ah, sudahlah. Tidak ada
lagi yang bisa menguasai ilmu iblis itu. Biarkanlah musnah bersama kenangan
pahit ini."
Rangga tidak lagi mendesak. Sudah
bisa dimengerti apa yang dibicarakan perempuan tua ini. Setelah menyalami
Pendekar Rajawali Sakti itu, Nyi Palak melangkah pergi. Ayunan langkahnya
seperti biasa saja, tapi begitu cepat seakan-akan tidak menjejak tanah. Cepat
sekali tubuhnya lenyap dari pandangan mata. Rangga segera menghampiri Pandan
Wangi, lalu mengajaknya pergi.
Kedua pendekar itu pergi diiringi
pandangan mata Dewa Pedang dan putranya. Mereka masih berada di tempat itu
sampai semua pendekar tidak terlihat lagi. Kemudian Dewa Pedang mengajak
putranya kembali ke padepokan, diiringi murid-murid Padepokan Pedang Perak.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
SERULING PERAK
Emoticon