PEDANG SAKTI KERIS ULAR EMAS
Karya: Bastian Tito
Episode 09
TELAGA API SALJU
SATU
EMPU SORA, tokoh silat dari Ujung
Kulon berada dalam kebimbangan. Sebelum meninggalkan Ujung Kulon dia sudah
bertekad bulat untuk turun tangan, menangkap Jayengrana alias Lutung Gila
hidup-hidup dan jika tidak mungkin langsung saja membunuhnya!
"Kalau tidak kubunuh dia,
apa pertanggungan jawabku pada perguruan yang ku pimpin. Apa pertanggung
jawabanku terhadap rimba persilatan!" Hati kecil Empu Sora berkata. Dalam
kebimbangan begitu rupa salah satu kakinya siap untuk melangkah pergi. Namun
tiba-tiba di belakangnya Lutung Gila keluarkan suara tawa bekakakan disusul
dengan ucapan mengejek merendahkannya.
"Tua bangka jelek! Icuh
biung! Memang lebih baik bagimu angkat kaki dari hadapanku! Sayang kalau
jauh-jauh datang ke sini cuma mau mengantar nyawa. Hik... hik... hik!
Umur tinggal sejengkal, badan
sudah bau tanah mengapa mau menyia-nyiakan sisa hidup! Ciluk biung...! Hik...
hik... hik!"
Empu Sora merasa kepalanya
membesar. Darahnya mendidih. Secepat kilat dia berbalik. Bersamaan dengan itu
tangan kanannya menghantam ke atas batok kepala Lutung Gila! Hebatnya,
menghadapi serangan maut seperti itu Lutung Gila malah tertawa bergelak. Kaki
dan kepalanya digerakkan sedikit dan wuttt! Pukulan Empu Sora menghantam tempat
kosong! Kejut orang tua itu bukan kepalang. Pukulan yang barusan dilancarkannya
bukan sembarang pukulan, benar-benar mematikan. Jangankan makhluk gila seperti
muridnya itu, para tokoh silat ternama sekalipun tidak mungkin mampu bergerak
mengelak secepat yang dilakukan Lutung Gila! Sempat terkesiap sejurus, Empu
Sora membentak.
"Bagus! Rupanya kau sudah
memiliki ilmu kepandaian yang kau anggap bisa diandalkan! Rupanya kau sudah
berguru kepada setan, kepada iblis! Pergunakan ilmu iblismu itu untuk
menghadapiku! Aku mau tahu sampai dimana kehebatanmu!"
Untuk kedua kalinya Empu Sora
lancarkan serangan ganas luar biasa. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan. Tapi
kali kedua inipun dia dibikin melongo karena serangannya hanya memukul tempat
kosong. Bahkan dirinya sendiri huyung karena menghantam udara kosong! Dengan
kalap Empu Sora kelebatkan diri dan lancarkan serangan tangan kosong
bertubi-tubi. Lutung Gila gerabak-gerubuk kian kemari berputar, miringkan
tubuh, kadang-kadang seperti orang bertarung, kadang-kadang seperti hendak
rebah. Sepuluh jurus berlalu. Pasir dan debu beterbangan! Semua serangan Empu
Sora satupun tak mengenai sasaran. Dielakkan dengan gerakan-gerakan aneh oleh
Lutung Gila sedang saat itu Lutung Gila masih juga terus menimang bayinya!
Dewa Tongkat tidak bisa heran!
Kedua mata melotot besar! Siapa mau percaya! Seorang berotak miring, sambil
mendukung bayi, dengan gerakan-gerakan aneh tak teratur macam monyet terbakar
ekor lompat sana lompat sini, berhasil mengelakkan serangan-serangan hebat dari
seorang tokoh silat utama macam Empu Sora sampai sepuluh jurus!
Di lain pihak di samping kobaran
amarah semakin menggelegak maka Empu Sora merasa malu bukan main tak dapat
turun tangan terhadap muridnya yang dianggapnya murtad itu, bahkan saat itu
disaksikan pula oleh Dewa Tongkat! Mau diletakkan di mana nama besar dan
mukanya!
Tanpa tedeng aling-aling Empu
Sora cabut pedangnya. Sinar hijau berkelebat menyilaukan! "Dosamu tidak
terampun lagi murid murtad!" bentak orang tua itu lalu menyerbu dengan
ganas. Pedangnya menyambar ke leher, membalik ke perut, menusuk ke dada dan
membacok hebat ke kepala! Angin menderu, debu dan pasir beterbangan!
"Icuh! Icuh! Biung... orang
tua gila! Orang tua sedeng! Mengapa serang aku?!" Lutung Gila lompat sana
lompat sini. Kakinya kadang-kadang kelihatan berputar-putar, bergeser aneh! Dan
dengan gerakan-gerakan yang serba asing itu semua sambaran pedang dapat
dielakannya!
Bukan kepalang marahnya Empu
Sora. Gerakannya dipercepat. Tubuhnya berkelebat. Sesaat kemudian hanya dua
bayangan sinar hijau yang kelihatan yaitu kelebatan jubah serta gulungan pedang
Empu Sora. Dua puluh jurus berlalu cepat sekali. Keringat dingin mengucur di
kening Empu Sora! Pada saat itulah terdengar suara nyaring berseru.
"Lutung Gila! Apakah kau
sudah bosan hidup membiarkan saja dirimu jadi bulan-bulanan pedang?! Letakkan
Lutung Bawean di atas batu itu dan bunuh orang tua jubah hijau! Dia orang tua
iblis!"
Mendengar suara yang tak asing
itu, Lutung Gila segera melompat ke luar menembus gulungan pedang hijau. Bayi
yang di dalam dukungannya diletakkan di atas sebuah batu besar lalu sambil
tertawa aneh menggidikkan dia melangkah mendekati Empu Sora. Bergidik juga
orang tua ini melihat cara dan suara tertawa muridnya itu. Tapi hanya sebentar
karena sesaat kemudian dia sudah menyerbu pula menyerang!
Kali ini Lutung Gila tidak
tinggal diam. Tubuhnya jingkrak-jingkrak. Kaki dan tangannya mencak-mencak
seperti anak kecil kegirangan. Dan setiap gerakan anggota tubuhnya itu
mengeluarkan angin keras dahsyat laksana topan, membuat serangan pedang hijau
Empu Sora seperti tertahan oleh selapis dinding baja yang tebal ampuh!
Menggerenglah si orang tua melihat bagaimana dia tak mampu maju selangkahpun
untuk mengirimkan serangan. Tubuhnya terhuyung-huyung limbung. Tiba-tiba
terdengar raung Empu Sora dahsyat membelah langit! Tubuhnya mental ke udara
sampai beberapa tombak dan menyangsang di antara dua cabang pohon dengan kepala
terkulai ke bawah! Dari mulutnya menggelegak darah kental. Tulang-tulang dada
dan iganya hancur remuk. Nyawanya putus. Pedang hijau di tangannya terlepas dan
menancap di tanah sampai ke hulu!
Waktu terdengar seruan perempuan
tadi, Dewa Tongkat memutar kepala dan melihat muridnya, Kemaladewi memakai baju
merah, rambut awut-awutan, muka kusut-masai berdiri di bawah sebatang pohon
randu!
Meski banyak perubahan pada diri
gadis ini namun kecantikannya masih tetap membayang! Iba juga hati Dewa Tongkat
melihat keadaan muridnya. Namun sebelum dia berbuat apa-apa ataupun bicara
kepada muridnya dia terpaksa putarkan kepala lagi ketika mendengar raung maut dari
Empu Sora! Dewa Tongkat kerenyitkan kening, sipitkan mata. Mukanya mengkerut
bergidik melihat kematian yang mengerikan dari Empu Sora!
Kemudian terdengar suara tertawa
nyaring melengking Kemaladewi. "Bagus! Bagus Lutung Gila! Iblis tua itu
memang harus mampus!"
Lutung Gila tertawa panjang, puas
dan gembira. "Biung ciluk! Baaa...!"
Dewa Tongkat tak dapat menahan
hatinya lagi. Karena perintah Kemaladewilah maka Lutung Gila membunuh gurunya
sendiri! "Kemala! Rupanya kaulah yang menjadi biang runyam selama ini!
Rupanya kau juga sudah berotak keblinger!"
"E... e... e... eeeee.
Kambing tua!" ujar Kemaladewi pada Dewa Tongkat seraya tolakkan pinggang.
"Kau datang ke sini mau minta disembelih?!"
Kedua mata Dewa Tongkat
terpentang lebar-lebar. Tubuhnya
menggigil gemetar karena amarahnya tidak terperikan! Seumur hidupnya baru hari
itu dia dikatakan kambing tua dan oleh muridnya sendiri pula! Sudah lupakah Kemala
pada dirinya atau memang gadis itu benar-benar sudah gila?!
"Demi Tuhan! Muridku, kau
berlututlah dan minta ampun kepadaku!" seru Dewa Tongkat. Kemaladewi
tertawa mengikik. "Kau yang harus minta ampun dan harus berlutut di
depanku, kambing tua!" tukasnya.
"Kemala! Kau benar-benar
kelewatan kurang ajar! Kelewatan murtad! Sudah memberi malu aku, sudah berbuat
kotor, saat ini kau memaki aku pula! Sulit bagiku untuk mengampuni kau punya
dosa!"
"Begok! Siapa yang minta
ampun dosa sama kau! Angkat kaki dari sini! Kalau tidak kau pasti akan minggat
menyusul kunyuk yang nyangsrang di pohon itu!" Kemaladewi menunjuk ke
mayat Empu Sora di atas cabang pohon. Marahlah Dewa Tongkat. Tanpa banyak
bicara lagi dia keluarkan tongkat rotan berkeluknya dan menyerbu. Tapi serangan
ini mudah dielakkan oleh Kemaladewi. Dewa Tongkat dengan penasaran sekali lalu
kirimkan serangan beruntun. Ujung tongkatnya yang polos menusuk ke pelbagai
penjuru sedang bagian yang berkeluk mengait ke leher, pinggang, ketiak dan
kedua kaki! Seperti Lutung Gila tadi, Kemaladewi membuat gerakan-gerakan tak
teratur, gerabak-gerubuk macam monyet terbakar ekor! Tapi justru dengan gerakan
yang asing aneh ini semua serangan Dewa Tongkat menjadi luput!
Seumur hidupnya baru hari itu
Dewa Tongkat menyaksikan ilmu silat seperti itu. Besar kepalanya menghadapi
murid sendiri yang bertangan kosong! Jika orang luaran sampai tahu bagaimana
Dewa Tongkat dipermainkan begitu rupa, lunturlah nama harumnya! Segera orang
tua ini merobah permainan tongkatnya. Senjata itu menderu menimbulkan angin
keras! Tongkatnya berubah seperti puluhan banyaknya dan tempat-tempat yang
diserang tiada terduga. Waktu berada di Lembah Rotan, Dewa Tongkat belum pernah
memberikan pelajaran ilmu ini kepada muridnya. Dengan keluarkan ilmu tersebut
dia mengharap akan dapat meringkus Kemaladewi. Tapi dugaannya meleset!
Meskipun permainan tongkat
gurunya aneh dan tak pernah dipelajarinya sebelumnya tapi dengan keluarkan ilmu
silat tangan kosong yang dipelajarinya dari Raja Lutung maka seperti tahu liku
jurus permainan lawannya, semua serangan Dewa Tongkat berhasil dielakkan bahkan
sebaliknya gadis itu mendesak Dewa Tongkat dengan hebatnya!
Jurus demi jurus orang tua itu
semakin kepepet. Didahului dengan pekik nyaring menggetarkan anak telinga.
Kemaladewi lancarkan serangan sehebat badai!
"Buk!"
Dewa Tongkat terguling di tanah.
Mengerang lalu muntah darah! Belum lagi dia bisa berdiri maka tendangan kaki
kanan Kemaladewi mendarat di batok kepalanya! Kepala itu rengkah, otak dan
darah bermuncratan!
Kemaladewi berdiri tolak
pinggang. Hatinya puas sekali dan suara tawanya tinggi meningkah. Lutung Gila
yang melihat gadis itu berhasil kalahkan lawannya bertepuk-tepuk gembira.
"Biung... biung! Kau hebat, hebat sekali ciluk!" katanya memuji.
Demikianlah, dua orang tua sakti, dua orang guru yang tadinya datang ke pulau
Bawean untuk menghukum murid masing-masing ternyata terpaksa pasrahkan nyawanya
di sana, menemui kematian dalam cara yang mengenaskan!
***
DUA
KEMBALI ke telaga Api-Salju
berair seputih salju mendidih.... Kedua kekasih itu sadarkan diri dalam waktu
yang hampir bersamaan. Mahesa Kelud membuka kedua matanya. Wulansari duduk
menggeletak di sampingnya, tengah berusaha bangun. Keduanya memandang
berkeliling. Ternyata mereka dikurung di satu ruangan empat persegi berdinding
putih tanpa pintu tanpa jendela.
"Mahesa, di mana
kita...?" tanya Wulansari berbisik.
Pemuda itu sendiri tak dapat
memastikan di mana mereka berada saat itu. Tadi dia ingat bagaimana dia bersama
kekasihnya dilemparkan ke dalam telaga berair putih. Kenapa tahu-tahu kini
berada di dalam ruangan tersebut? Apakah mereka sudah menjadi tawanan makhluk
aneh Si Api Salju? Apakah mereka masih berada di dalam telaga? Mustahil,
masakan di dasar telaga ada ruangan begini rupa!
Mahesa Kelud berdiri. Dia membaca
mantera. Tangan kanannya kemudian bergetar. Tenaga dalamnya berpusat. Dia
melangkah mendekati salah satu bagian dinding putih dan memukul dengan aji
"batu karang". Pemuda itu mengeluarkan seruan kesakitan. Tubuhnya
terhuyung beberapa langkah ke belakang sedang tangannya yang dipakai memukul
lecet! Dia menggigit bibir menahan sakit! Selama dia memiliki ilmu pukulan batu
karang itu, tak ada satu kekuatan apapun sanggup menahannya. Batu karang hancur
remuk, besi bobol! Mahesa Kelud berpaling pada Wulansari dan memandang berkeliling.
Saat itulah terdengar suara
sesuatu yang berat bergeser. Tiba-tiba dinding putih sebelah kanan terbuka.
Serentak dengan itu didahului oleh teriakan yang mengerikan melompat masuk satu
bayangan putih! Api Salju! Kini kedua kekasih itu sama tahu bahwa mereka memang
masih berada ditempat makhluk aneh sakti itu, menjadi tawanan! Keduanya berdiri
merapat dan bersiap sedia kalau-kalau terjadi apa-apa. Dinding yang terbuka di
belakang Api-Salju telah menutup kembali dengan sendirinya.
"Bodoh!" teriak Api
Salju. Kakinya dihentakkan ke lantai. Ruangan Putih itu bergoyang keras.
"Bodoh!" katanya sekali lagi. Mahesa dan Wulansari saling melirik.
Keduanya serentak menjura. "Api Salju, kami datang dengan maksud baik,
mengapa dikurung ditempat ini?"
"Bodoh!" teriak Api
Salju lagi. Kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya jungkir balik. Kini
dia berdiri di atas kedua tangannya, kaki ke atas. "Bodoh!" teriaknya
lagi. Kedua kakinya digerak-gerakkan ke muka dan ke belakang. Angin laksana
badai menyambar di seantero ruangan. Tubuh Mahesa Kelud dan Wulansari
berpelantingan. Api Salju hentikan perbuatannya dan tiupan angin dahsyatpun
lenyaplah. "Bodoh!" teriak makhluk itu kembali. Dia jungkir balik
lagi dan berdiri kembali di atas kedua kakinya. Kemangkelan terbayang di mukanya
yang penuh bulu putih itu.
"Besok aku akan kembali lagi
ke sini! Jika kalian masih berlaku bodoh, kalian akan mampus!" Api Salju
keluarkan lengkingan dahsyat. Dinding putih di belakangnya membuka dan sesaat
kemudian tubuhnya pun raiblah di balik dinding!
Untuk beberapa lamanya kedua
pasang mata mereka masih saja memandang pada dinding yang tadi menutup. Mahesa
maju dan coba meneliti, tapi batas sambungan sama sekali tidak kelihatan.
Dicobanya memukul, tapi tangannya yang jadi sakit dan lecet!
"Aku tak mengerti mengapa
kita terus-terusan di katakan bodoh!" ujar si pemuda. Wulansari hanya bisa
menarik nafas dalam. Keduanya berdiam diri mencoba memecahkan rahasia kata-kata
Api-Salju tadi.
"Jika kita dikatakan
bodoh..." desis Wulansari antara kedengaran dan tidak, "Berarti kita
harus melakukan sesuatu. Sesuatu yang tidak bodoh! Tapi apakah itu?"
Sunyi lagi. Keduanya sibuk dengan
pikiran dan mencari jalan pemecahan masing-masing. Disamping itu, karena
terkurung di dalam ruangan tertutup mereka tidak pula dapat menentukan apakah
saat itu hari siang atau malam. Berapa lama lagi datangnya hari esok yang
dikatakan oleh Api-Salju itu? Mereka dikatakan bodoh tetapi mereka tidak tahu
kebodohan apakah yang mereka lakukan. Dan bila besok Api-Salju datang, mereka
masih saja dikatakan bodoh, berarti tamat riwayat mereka!
"Aku dapat akal!" kata
Wulansari tiba-tiba. Mahesa Kelud memandang paras kekasihnya dengan harap-harap
cemas. "Akal apa?" tanyanya.
"Jika Api-Salju besok datang
dan mengatakan kita bodoh, kita tanyakan saja padanya perbuatan bodoh apakah
yang kita lakukan!"
Mahesa Kelud berpikir sebentar
lalu gelengkan kepala. "Justru dengan bertanya kepadanya itulah kita
memperlihatkan kebodohan kita! Dan putuslah nyawa kita, Wulan!"
Apa yang dikatakan Mahesa terasa
benar bagi si gadis dan ini membuat dirinya terdiam. Tiba-tiba terdengar benda
bergeser. Dinding putih membuka. Api-Salju masuk dengan segala kehebatannya.
"Hari esok sudah tiba!" serunya.
Menggigillah tubuh Wulansari.
Mahesa Kelud sendiri gemetar sekujur tubuhnya. Mereka tidak menyangka bahwa
hari esok yang dimaksudkan oleh Api-Salju tidak lebih dari beberapa saja!
Api-Salju berdiri tolak pinggang. Tiba-tiba dia jungkir balik, tangan di bawah
kaki ke atas. Entah bagaimana saja, mendadak Mahesa Kelud mendapat firasat. Dia
berbisik pada kekasihnya. "Kalau kita harus mati di sini, mungkin itu
sudah takdir. Wulan, cepat tirukan perbuatannya!"
Mahesa Kelud bergerak meniru
perbuatan Api-Salju. Dia berdiri dengan kaki ke atas tangan ke bawah. Dalam
kebingungannya, Wulansari meniru pula perbuatan Mahesa.
"Bodoh!" teriak
Api-Salju.
"Bodoh!" teriak Mahesa
Kelud.
"Bodoh!" menirukan
Wulansari.
Api-Salju gerak-gerakan kedua
kakinya dan angin membadai bersiuran. Mahesa dan Wulansari meniru pula, sama
menggerakkan kaki masing-masing dan anehnya tubuh mereka tidak berpelantingan
tersapu sambaran angin yang keluar dari kedua kaki Api-Salju bahkan dari
kaki-kaki mereka kiri kanan melesat pula keluar pukulan-pukulan angin yang tak
kalah dahsyatnya sehingga tiupan angin di dalam ruangan putih tersebut menjadi
seimbang. Ruangan bergoyang keras laksana kapal oleng dilanda ombak besar di
tengah lautan!
Api-Salju putar tubuh dan berdiri
diatas kakinya kembali. "Bodoh!" teriaknya.
Mahesa serta Wulansari tak
tinggal diam. Keduanya berbuat yang sama pula dan berteriak: "Bodoh!"
Tiba-tiba Api-Salju memukulkan
kedua tangannya ke muka. Dua sinar putih panas dan menyilaukan mata melesat ke
arah dua kekasih itu. Tubuh mereka mental terpelanting ke dinding putih di
belakang mereka. Pakaian mereka hangus tapi mereka tidak terluka! Keduanya
menjadi heran tapi tidak memikirkan lebih lama keanehan itu sebaliknya
cepat-cepat pula meniru memukulkan kedua tangan masing-masing ke muka! Dan
kelihatanlah empat sinar putih menyambar ke luar dari telapak-telapak tangan
mereka ke arah Api-Salju. Tubuh Api-Salju laksana sebuah pohon kelapa ditiup
angin bergoyang menghuyung tapi kedua kakinya tetap tidak bergeser! Mahesa dan
Wulansari sama keluarkan seruan tertahan. Mereka hanya meniru-niru saja, lain
tidak!
Tapi bagaimana tahu-tahu dari
kaki dan kedua tangan mereka bisa keluar pukulan-pukulan angin dahsyat itu!
Pukulan Api-Salju?! Kedua pendekar muda ini tidak tahu bahwa mereka
sesungguhnya bernasib untung berbintang terang. Selama satu hari satu malam
mereka terkubur di dasar telaga air putih. Pada saat itulah terjadi
kemujizatan. Melalui pori-pori di seluruh kulit tubuh mereka merasuk masuk
kekuatan dahsyat yang mengandung ilmu kesaktian pukulan Api-Salju yang melarut
di dalam air telaga untuk kemudian masuk ke dalam tubuh mereka dan larut di
dalam darah!
"Bodoh!" teriak
Api-Salju.
"Bodoh!" meniru Mahesa
Kelud.
"Bodoh!" menuruti pula
Wulansari.
Api-Salju turunkan tangannya yang
bertolak pinggang lalu tertawa berkakakan! Kedua kekasih itupun tertawa pula
bekakakan!
Tiba-tiba Api-Salju hentikan
tawanya dan bertanya: "Mengapa kalian tirukan semua perbuatan dan ucapanku
hah?!"
"Kami tidak ingin jadi orang
bodoh!" jawab Mahesa Kelud beranikan diri meski diam-diam hatinya kecut
karena dia belum tahu apakah makhluk sakti itu tetap akan melaksanakan niat
untuk membunuhnya bersama Wulansari atau tidak!
"Bukankah meniru berarti
bodoh?!" Api-Salju tertawa menggidikkan.
Mahesa berpaling pada Wulansari.
"Celaka, Mahesa. Tamatlah riwayat kita," kata gadis itu. Suaranya
menyendat dan mukanya pucat pasi!
Tapi Mahesa tak kehabisan akal.
Pemuda cerdik ini segera buka mulut berikan jawaban.
"Tapi yang kami tirukan
adalah perbuatanmu. Jika kami mati, kau pun harus mati!"
Tertawalah Api-Salju mendengar
ucapan Mahesa Kelud itu. "Kau pemuda cerdik!" katanya. Pandangan mata
yang merah yang tadi begitu ganas kini kelihatan berseri.
"Kalian berdua sama
beruntung! Apa kalian tak tahu bahwa selama dua hari di tempatku kalian sudah
meresapkan ilmu pukulan Api-Salju?"
Kejut Mahesa Kelud dan Wulansari
bukan main! Mereka saling pandang dan melotot seperti tak percaya akan
pendengaran!
Benarkah? Sungguhkah mereka sudah
memiliki ilmu pukulan Api-Salju itu? Selama dua hari dua malam mereka tidak
sadarkan diri, kapan pula mereka telah belajar ilmu pukulan tersebut? Ini
benar-benar satu hal yang tidak dimengerti!
Api-Salju maklum apa yang
terpikir dalam kepala kedua orang itu. Dia segera memberikan keterangan.
"Kalian berdua ketahuilah! Bahwa siapa-siapa yang tenggelam kedasar telaga
berair putih lebih dari setengah hari maka dia akan meresapkan ilmu pukulan
sakti tersebut dengan sendirinya tanpa dipelajari, tanpa membaca
mantera-mantera waktu mempergunakannya!"
Mendengar ini maka dengan serta
merta kedua orang ini jatuhkan diri ke lantai dan berseru: "Guru!"
Api-Salju tertawa menggumam. "Kalian cerdik tapi kali ini unjukkan lagi
kebodohan!" katanya. "Siapa yang angkat kau jadi murid maka memanggil
aku guru? Siapa yang ajar kalian ilmu pukulan itu? Tidak seorangpun. Tidak aku
dan juga tidak setan jin dedemit hantu gentayangan! Kalian telah mempelajari
dan memilikinya sendiri tanpa ada yang mengajar, tanpa kalian sadari. Kalian
cuma menang di dalam dua hal, yaitu nasib baik serta cerdik. Jika saja kalian
tidak meniru perbuatan dan ucapanku tadi, tamatlah riwayat kalian!"
Mahesa dan Wulansari ingat pada
kata-kata guru mereka Suara Tanpa Rupa yaitu bahwa ilmu pukulan Api-Salju tak
bisa diajarkan, harus dicari langsung ke sumbernya. Bahwa jika mereka bernasib
untung mereka akan mendapatkannya dan kalau tidak terpaksa menebus dengan
nyawa!
"Kalian mengaku anak-anak
murid Suara Tanpa Rupa." terdengar suara Api-Salju.
"Apakah guru kalian yang
menyuruh datang kemari?"
"Betul," jawab kedua
orang tersebut.
"Apa katanya?!"
"Cari telaga berair putih
mendidih karena di situlah sumber ilmu pukulan Api-Salju," sahut Mahesa.
"Hanya itu saja
katanya?"
"Ya."
Api-Salju tertawa puas.
"Gurumu seorang sakti yang cerdik dan patuh! Ketahuilah oleh kalian, siapa
saja boleh datang kemari untuk mendapatkan ilmu pukulan Api-Salju. Tapi
sekali-sekali tidak boleh diberitahu cara-cara untuk mendapatkan ilmu tersebut!
Jika rahasia dibukakan maka yang diberi tahu dan yang memberitahu akan menemui
ajal! Kalian ingat betul-betul pantangan tersebut! Dan kalian ketahui pulalah.
Dalam dunia persilatan sampai saat ini hanya ada lima orang yang memiliki ilmu
pukulan Api-Salju tersebut. Pertama gurumu si Suara Tanpa Rupa, kedua dan
ketiga kalian berdua, keempat Kyai Gandasuli di gunung Merapi dan kelima aku
sendiri! Di antara yang berlima ini
kalian berdualah yang paling untung karena kalian yang termuda!"
Kedua orang muda itu
manggut-manggut penuh suka cita. "Kemudian kalian harus ingat pula bahwa ilmu pukulan tersebut hanya ampuh
dipergunakan untuk kebaikan. Seandainya dipakai buat kejahatan maka ilmu
tersebut akan membalik menyerang diri kalian sehingga tubuh kalian menjadi
panas laksana api dan dingin laksana salju. Dan keadaan panas dingin itu tubuh
kalian akan membatu lalu lumer dan mampus laksana sebuah getah damar
terbakar!"
Api-Salju memandang pada kedua
orang itu untuk penghabisan kalinya lalu berkata: "Nah, kalian telah
beruntung. Pertemuan kita cuma di sini!" Api-Salju membuka mulutnya lebar-lebar
dan dari mulut itu keluarlah kepulan asap hitam pekat. Dinding ruangan yang
putih bersih berubah sontak menjadi hitam legam sehingga ruangan itu gelap
gulita, jari di depan matapun tiada kelihatan! Mahesa dan Wulansari
terbatuk-batuk waktu kepulan asap hitam memasuki liang hidung dan mulut mereka.
Keduanya menggeletak ke lantai tanpa sadarkan diri!
***
TIGA
KETIKA keduanya siuman kembali,
mereka dapatkan diri mereka berhamparan tak berapa jauh di tepi telaga
Api-Salju. Tapi anehnya kini air telaga itu tidak lagi berwarna putih seperti
salju, tidak lagi mendidih serta mengepulkan asap melainkan seperti air-air
telaga kebanyakan lainnya, bening tenang antara hijau kebiruan.
"Dunia serba aneh,"
desis Mahesa Kelud. Dia memandang pada Wulansari dan terkejut melihat muka
serta tangan kaki dan sekujur tubuh kekasihnya itu hitam celemongan?!
"Wulan! Tubuhmu kenapa
celemongan?!" Saat itu si gadis berbaring menelentang. Dia putar kepalanya
sedikit dan dengan tersenyum berkata. "Tubuhmu sendiri celemongan mulai dari
ujung rambut sampai ujung kaki!"
Mahesa Kelud meneliti dirinya.
Apa yang dikatakan Wulansari memang benar. Keadaan dirinya tiada beda dengan
diri gadis itu. Mahesa mau tak mau jadi tertawa sendirian. "Lapisan debu
hitam ini pasti berasal dari kepulan asap yang keluar dari mulut Api-Salju
waktu di ruangan putih! Kau ingat?" Wulansari mengangguk lalu bangun
duduk. Dia memandang ke telaga. "Bagaimana kalau kita bersihkan diri di
telaga itu?" tanyanya.
"Jangan Wulan. Meski bentuk
telaga ini beda dengan yang kita lihat dua malam lewat, tapi sebaiknya kita
cari tempat lain. Barangkali ada sungai di dekat-dekat sini!". Keduanya
pun berdirilah. Memang tak berapa jauh dari situ terdapat sebuah anak sungai.
Masing-masing mencari tempat yang baik dan mulai membersihkan diri. Kemudian
mereka duduk di tepi sungai. Saat itu hari masih pagi. Udara sekitar mereka
rindang dan sejuk. Lebih-lebih bila angin bertiup sepoi-sepoi basah nyaman
sekali rasanya. Wulansari memperhatikan jari-jari tangannya yang dipermainkan
Mahesa Kelud dan balas meremas. "Wulan..." kata pemuda itu.
"Ya Mahesa?" sahut si
gadis seraya sandarkan kepalanya ke bahu Mahesa Kelud.
"Coba kau ingat baik-baik.
Sudah berapa lamakah kita saling kenal satu sama lain...?"
"Maksudmu sejak mula pertama
aku bertemu dengan kau dan kita berkelahi itu?"
Ya," jawab Mahesa dengan
mengulum senyum.
"Hemmm... kurasa hampir tiga
tahun, Mahesa."
"Betul, tiga tahun. Cukup
lama sekali bukan? Dan selama tiga tahun itu banyaklah berbagai hal dan
pengalaman yang kita hadapi dalam suasana duka maupun suka. Dan masih ingat
pulakah kau akan apa yang pernah kita cita-citakan, Wulan...?"
Dada gadis itu berdebar. Kedua
pipinya yang montok kelihatan memerah. "Aku tak pernah melupakan hal itu,
kakak," katanya membisik.
"Kurasa sudah saatnya kini
kita melaksanakan apa yang kita cita-citakan itu, Wulan. Lagi pula gurupun
sudah menyerahkan nasib perjodohan kita di tangan kita masing-masing.
Bagaimanakah pendapatmu?"
"Aku... aku hanya menurutkan
apa katamu saja, kakak," jawab gadis itu dengan tundukkan kepala. Sedang
kedua matanya berkaca-kaca.
"Aku sudah merencanakan
untuk membangun satu tempat kediaman di puncak Gunung Muria di pantai utara.
Juga merencanakan untuk mendirikan satu perguruan silat di sana. Setujukah
kau?"
Wulansari anggukkan kepala.
Ketika Mahesa Kelud memandang kejurusan lain, cepat-cepat dia menyeka kedua
matanya.
"Mahesa... sebelum kita ke
Gunung Muria maukah kau ke kampungku lebih dahulu. Disana masih ada
kenalan-kenalan dekatku. Kalau kau tak keberatan aku lebih suka agar kita...
menikah di sana saja..."
"Itu baik sekali!" ujar
Mahesa Kelud dengan hati gembira. Diciumnya pipi kekasihnya lalu berdiri.
"Mari kita lanjutkan perjalanan. Kampungmu cukup jauh dari sini,
Wulan."
Kedua manusia yang berbahagia itu
melangsungkan pernikahan di kampung Banjaran. Dari sini mereka kemudian
berangkat ke Gunung Muria di utara. Perjalanan penuh suasana mesra, karena
antara mereka yang sudah jadi suami istri tak ada lagi batas penghalang. Mereka
bisa berbuat apa saja sebagai suami istri dan di mana serta kapan saja!
Gunung Muria sebuah gunung
tinggi, terletak di pesisir utara pulau Jawa. Di sinilah Mahesa Kelud membangun
rumah dan tinggal bersama istrinya. Mereka hidup bahagia. Tiga bulan kemudian,
karena banyak tugas-tugas yang harus dilaksanakannya maka Mahesa turun dari
gunung meninggalkan istrinya yang waktu itu tengah mulai mengandung!
Tugas-tugas yang masih harus dilaksanakan Mahesa Kelud di antaranya yang
terpenting adalah mencari pedang Samber Nyawa, kemudian mencari manusia bernama
Simo Gembong. Lalu mencari Dewi Maut di sebuah Lembah Maut yang kabarnya
terletak di ujung timur pulau Jawa. Di samping ketiga tugas-tugas penting
tersebut masih ada satu hal yang harus dilaksanakannya terlebih dahulu yakni
memenuhi janji dengan Namadjeni, si orang tua sakti yang dulu pernah
ditolongnya. Sudah hampir satu tahun berlalu dan berarti sudah memasuki waktu
perjanjian yang telah ditetapkan. Berat sungguh berpisah dengan istri. Apalagi
mereka masih dalam suasana pengantin baru. Tapi demi tugas dan kepatuhan
sebagai seorang murid terhadap guru maka kepentingan pribadi ditinggalkan. Tak
diceritakan lagi perjalanan pendekar itu maka pada suatu hari sampailah Mahesa
Kelud ke tepi rawa-rawa lumpur di mana dulu pertama kali dia bertemu dengan
Namadjeni yang sedang disiksa oleh muridnya Langlangseta! Berhari-hari Mahesa
Kelud menunggu Hari berganti minggu. Sudah dua minggu tapi Namadjeni tak
kunjung datang! Dia tidak percaya kalau orang tua tersebut menipunya atau tidak
akan menepati janji. Tapi dalam waktu yang sudah ditentukan mengapa tahu-tahu
dia tidak muncul? Barangkali terjadi apa-apa dengan orang sakti itu?!
Mahesa memutuskan untuk menunggu
sampai satu minggu lagi. Ketika satu minggu berlalu pula maka diapun bersiaplah
untuk meninggalkan tempat tersebut dengan hati kecewa. Mendadak di hadapan
sebuah pohon kayu besar dia hentikan langkah. Pada batang kayu ini terdapat
rentetan kalimat yang agaknya dibuat dengan jari-jari tangan dengan
mempergunakan tenaga dalam yang tinggi. Di sini tertulis:
"Pergi ke timur,
hentikan langkah di pohon
beringin.
Tirulah perbuatan tikus
Ketuk pintu masuk goa
Sudah lama menunggu pendekar
Senjata ampuh sukar tandingan
Seribu nyawa seribu bahaya
Tabahkan hati kuatkan nyawa
Senjata sakti pasti bersua
Mahesa membaca sekali lagi
rentetan kalimat-kalimat tersebut. Meski tiada nama penulisnya namun dia sudah
dapat memastikan bahwa tulisan tersebut adalah Namadjeni yang membuatnya.
Kalimat demi kalimat diingatnya baik-baik. Kemudian sebagaimana yang tertunjuk
maka Mahesa segera berangkat lurus ke timur! Ketika malam tiba pohon beringin
yang dimaksudkan belum juga ditemuinya. Mahesa berhenti untuk berkemah. Paginya
perjalanan dilanjutkan kembali. Terus-terusan dia menuju ke timur. Empat hari
berlalu. Hatinya mulai was-was dan ragu karena selama itu tidak satu pohon
beringinpun yang ditemuinya. Perjalanan sukar bukan main! Pada tengah hari
ketujuh akhirnya ditemuinya juga sebuah pohon beringin, yang terletak di tengah
hutan belantara tiada tertembus matahari! di sini dia berhenti. Dia
mengingat-ingat rentetan kalimat yang dibacanya di batang pohon tempo hari.
"Pergi ke timur
Hentikan langkah di pohon
beringin
Tirulah perbuatan tikus...."
Sampai di sini Mahesa termenung.
Apakah maksudnya dengan kalimat ketiga. "Tirulah perbuatan tikus..."
Ditelitinya pohon beringin dan keadaan sekitarnya kalau-kalau akan menemukan
petunjuk lain. Tapi sama sekali tidak ada. Mahesa termenung dan termangu.
Apakah yang harus diperbuatnya? Perbuatan tikus yang macam manakah yang harus
dilakukannya? Dalam dia termangu-mangu seperti saat itu di dekat kakinya
menggeresek sesuatu. Dia memandang ke bawah dan seekor tikus lewat di
hadapannya, menyelinap di antara akar-akar besar dan lenyap di dalam sebuah
lobang!
Mahesa berpikir, apakah perbuatan
tikus masuk ke lobang itukah yang harus ditirukannya?! Mustahil! Mana mungkin
tubuhnya yang sebesar itu harus masuk ke dalam lobang? Kakinya saja pun tak
akan masuk!
Sambil terus berpikir-pikir
Mahesa melangkah mengelilingi pohon besar tersebut. Di beberapa bagian
dikoreknya tanah di bawah akar pohon dengan ujung ibu jarinya. Dalam korek
mengorek itu tiba-tiba terbukalah sebuah lobang sebesar kepala. Mahesa
terkejut. Dia membungkuk dan mempergunakan tangannya untuk memperbesar lobang
itu. Tanah di sekitar berguguran dan akhirnya kelihatanlah sebuah lobang besar
yang merupakan mulut sebuah lorong di bawah tanah, di bawah pohon beringin!
Tanpa ragu-ragu Mahesa Kelud
terjun ke dalam lobang dan memasuki lorong tanah yang gelap itu! Beberapa kali
kepalanya tertumbuk tanah bagian atas lorong. Matanya perih kelilipan tapi dia
jalan terus. Semakin jauh masuk ke dalam semakin gelap serta sempit lorong
tersebut. Dari arah mukanya datang menyambar hidung bau busuk yang memuakkan!
Nafas orang muda ini mulai menyengal. Kekuatannya seperti disedot. Dari
membungkuk-bungkuk kini dia hanya bisa merayap perlahan. Tubuhnya sudah basah
oleh keringat dan kotor oleh tanah. Tapi hatinya dikeraskan untuk maju terus
sementara bau busuk dari mukanya semakin menjadi-jadi juga! Dia ingat pula akan
rentetan kalimat yang berbunyi: Tabahkan hati kuatkan jiwa. Mahesa merayap
terus tapi tenaganya benar-benar sudah habis sedang nafasnya sudah menyesak.
Dalam keadaan seperti itu akhirnya dia melosoh ke tanah tanpa sadarkan diri!
Dia tak tahu entah berapa lama
dia pingsan. Juga tidak tahu apakah di luar sana hari masih siang atau sudah
malam. Kedua matanya dibuka tapi seperti sebelumnya dalam lorong itu hanya
kegelapan belaka yang dilihatnya. Dengan mengumpulkan tenaga yang ada Mahesa
maju merangkak kembali. Tiba-tiba satu pikiran terlintas di kepalanya. Dia
segera memperbaiki keadaan dirinya. Tenaga dalamnya dialirkan ke tangan kanan
lalu dipukulkan ke muka!
Seperti suara angin punting
beliung gulungan tenaga dalam yang dipukulkan itu melesat sepanjang lorong
gelap. Tanah lorong terkikis mengepulkan abu. Mahesa menutup mata dan
hidungnya. Dia menunggu dan memasang telinga. Suara seperti angin punting
beliung yang disebabkan oleh tenaga dalamnya hilang dikejauhan. Satu dua saat
kemudian suara itu terdengar kembali. Mula-mula perlahan lalu makin keras,
makin keras, makin dekat dan....
Mahesa Kelud jatuhkan dirinya
serata mungkin ke tanah lorong. Hantaman tenaga dalamnya yang dikirimkan ke
muka berbalik kembali dan memukul ke arahnya! Meski dia sempat jatuhkan diri
tak urung dia masih kena terseret sampai beberapa tombak ke belakang! Mahesa
menarik nafas dalam. Dari lamanya tenaga dalam itu kembali segera dimakluminya
bahwa ujung dari lorong dimana dia berada saat itu masih sangat jauh! Mahesa
kertakkan geraham. Dia merayap lagi disepanjang lorong. Berjam-jam kemudian bau
busuk semakin santar menyambar hidungnya. Ini suatu tanda bahwa dia sudah dekat
pada benda yang mengeluarkan bau busuk itu. Dan perhitungannya itu memang
benar. Selewatnya satu tikungan tajam maka di mukanya kelihatanlah sinar
berkilauan. Mahesa merayap lebih cepat. Sinar menyilaukan itu ternyata
ditimbulkan oleh sebuah pintu besar terbuat dari baja putih! Dan nyali orang
muda ini jadi mengkerut ketika dia menyaksikan apa yang bertebaran di hadapan
pintu baja tersebut!
***
EMPAT
DI SANA, di depan pintu baja
bertebaran jerangkong-jerangkong manusia dan mayat-mayat yang membusuk. Ada
yang tersandar ke pintu, ada yang menggeletak patah siku di pojok mulut
terowongan dan ada pula yang berhamparan di tanah. Kebanyakan dari
tengkorak-tengkorak manusia dan mayat-mayat ini berada dalam keadaan berantakan
serta rusak. Mungkin sekali ini disebabkan oleh pukulan tenaga dalam yang
dilancarkan Mahesa Kelud waktu di dalam terowongan tadi! Pemuda itu menutup
hidungnya. Bau mayat yang rusak dan busuk seakan-akan hendak merurutkan bulu
hidung, bahkan seperti mau menanggalkan hidungnya!
Apakah yang telah terjadi di sini
sebelumnya! Di muka pintu baja itu? Apakah telah terjadi pembantaian! Apa pula
yang tersembunyi di balik pintu baja di hadapannya? Dengan kuatkan hati Mahesa
Kelud coba meneliti mayat-mayat di hadapannya. Kemudian dilihatnya bahwa pada
setiap mayat tertancap dua sampai lima buah keris berwarna kuning hulunya
berbentuk kepala ular, mungkin keris ular emas beracun! Pada tulang-tulang iga
jerangkong-jerangkong yang masih agak utuh juga dilihatnya benda-benda yang
sama! Pasti sudah semua manusia-manusia itu menemui ajalnya karena
tusukan-tusukan keris tersebut! Tengkuk Mahesa Kelud merinding. Matanya
dipejamkannya seketika dan dia teringat pada kalimat keempat: Ketuk pintu masuk
ke goa. Pintu inilah pasti yang dimaksudkan. Dan apakah yang akan menyambutnya bila
pintu itu terbuka? Seekor binatang buas? Seorang raksasa? Hantu iblis? Ataukah
senjata-senjata rahasia? Apapun yang menyambutnya pastilah bahaya maut, pikir
Mahesa karena dia ingat akan kalimat ketujuh berbunyi: Seribu nyawa seribu
bahaya!
Mahesa Kelud bergerak di antara
tebaran jerangkong dan mayat-mayat membusuk. Diulurkannya tangan kirinya untuk
mengetuk pintu baja lalu cepat-cepat dia menghindar ke samping. Anehnya pintu
baja yang diketuk itu mengeluarkan suara nyaring laksana sebuah gong besar yang
ditempa! Suara getaran bunyi pintu ini menggelombang keras membuat
tebaran-tebaran jerangkong dan mayat bergelinding kian kemari. Mahesa Kelud
sendiri turut menghuyung tubuhnya! Tapi tak satu apapun yang terjadi. Mahesa
ulurkan tangan kiri kembali untuk mengetuk kedua kalinya. Tapi cepat-cepat
tangannya ditarik pulang! Karena tiada disangka sama sekali mendadak sontak
pintu baja itu membuka lebar dan setiup angin laksana badai menyambar ke luar!
Lusinan jerangkong melesak menyumpal di mulut lorong! Dan semuanya dalam
keadaan hancur lebur! Dingin kuduk Mahesa Kelud. Kalau saja dia tidak cepat
hindarkan diri ke samping pastilah nasibnya akan sama dengan mayat-mayat dan
jerangkong-jerangkong itu! Hancur lebur. Dan hanya namanya saja yang akan
pulang ke puncak Gunung Muria!
Beberapa saat berlalu. Tak
terjadi apa-apa. Mahesa melangkah dengan hati-hati mendekati pintu bersiap
masuk. Namun baru saja sebahagian dari tubuhnya mendekati pintu yang terbuka
itu, dari ruangan batu yang gelap di dalamnya berdesingan beberapa buah benda
kuning. Mahesa secepat kilat menghindar ke samping kembali. Namun tak urung
salah satu dari benda tersebut masih sempat menyerempet lengan bajunya.
"Bret!" Lengan baju itu robek besar. Hawa panas dan jahat mengalir ke
lengannya terus ke badan tapi segera sirna oleh hawa sakti yang keluar dari
pedang merah di balik punggung Mahesa Kelud. Pada saat yang sama lima buah
benda bertancapan susul menyusul di dinding tanah di atas mulut lorong. Ketika
diperhatikan oleh Mahesa ternyata kelima benda itu adalah keris-keris kuning
emas yang hulunya berbentuk kepala ular! Mahesa teringat pada tumpukan
jerangkong dan mayat manusia yang tadi dilihatnya. Tentu nasib buruk itulah
yang akan dialaminya jika saja dia tidak keburu melompat ke samping. Laki-laki
ini usap tangan kirinya ke mukanya yang
keringatan. Dia menunggu lagi. Sunyi saja selama beberapa saat. Mahesa
berpikir-pikir siapakah gerangan yang melempar lima keris ular emas tersebut?
Apakah juga sama dengan makhluk
yang telah lepaskan pukulan angin dahsyat sebelumnya? Dia mencabut salah sebuah
keris yang tertancap di dinding tanah. Senjata ini keseluruhannya memang
terbuat dari emas dan berkeluk tiga. Ditimangnya sebentar keris itu, tiba-tiba
matanya yang tajam melihat sebaris
tulisan-tulisan kecil pada lekukan senjata. Diperhatikannya baik-baik tulisan
tersebut, ternyata berbunyi:
"Bila badan mau selamat,
bila nyawa akan tetap di badan, kembalikan kepada yang empunya."
Susah Payah Mahesa Kelud
memecahkan apa rahasia atau arti dari tulisan tersebut. Kepada siapa tulisan
itu ditujukan pastilah kepada mereka yang mencoba masuk ke dalam ruangan di
belakang pintu. Tapi apakah yang harus dikembalikan dan kepada siapa?! Mahesa
Kelud memutar otaknya. Dicabutnya keris emas yang kedua dan memperhatikannya.
Pada senjata ini juga terdapat tulisan dengan bunyi yang sama. Demikian pula
pada keris ketiga, keempat dan kelima. Terpikirlah akhirnya oleh Mahesa Kelud,
apa bukannya kelima keris itu yang harus dikembalikan? Boleh jadi! Tapi kepada
siapa?! Dipegangnya kelima senjata tersebut sekaligus lalu dilemparkannya ke
ruangan gelap di belakang pintu baja putih!
Lemparan yang dilakukan Mahesa
Kelud tidak kalah hebatnya dengan waktu kelima senjata tersebut mendesing dari
ruangan dalam. Tiba-tiba Mahesa jadi terkesiap. Tak lama sesudah lima keris itu
melesat dan ditelan kegelapan ruangan maka terdengarlah lima suara lolongan
serigala yang sangat menyeramkan. Lalu disusul oleh suara-suara binatang
berlarian dan sejurus kemudian menghamburlah lima ekor serigala besar, melosoh
mati bergeletakan di muka pintu baja. Pada batok kepala masing-masing menancap
lima keris ular emas yang tadi dilemparkan Mahesa Kelud!
Laki-laki ini berdiri tak
bergerak-gerak beberapa jurus lamanya. Dari mana datangnya kelima serigala
tersebut? Siapakah sesungguhnya yang menjadi penghuni dari lorong dan ruangan
mengerikan di bawah tanah ini?!
Seperti tadi kesunyian kembali
mencekam. Mahesa Kelud cabut pedang merahnya dan melompat masuk ke dalam. Sinar
merah yang memancar dari pedang itu membuat ruangan yang gelap di mana dia
berada menjadi agak terang. Tiba-tiba terdengar suara seperti bunyi gong dan
pintu baja putih di belakang Mahesa Kelud menutup! Celaka, kata laki-laki itu.
Bagaimana dia akan keluar nanti? Namun Mahesa Kelud tak bisa berpikir lebih lama
karena pada saat itu pula kira-kira dua puluh sinar kuning melesat dari dinding
ruangan sekelilingnya, menyerang ke arahnya! Keris-keris ular emas!
Cepat laki-laki ini atur
kedudukan kakinya dan serentak dengan itu putar pedang dewa di tangannya dengan
sebat. Sinar pedang bergulung membungkus tubuhnya dari kepala sampai ke kaki
dan dua puluh kali terdengar suara senjata itu beradu dengan keris-keris ular
emas, dua puluh kali pula kelihatan bunga api memancar. Keris ular emas dibikin
runtuh semua! Mahesa Kelud cepat-cepat berpindah tempat karena dia khawatir
akan menjadi bulan-bulanan maut gila! Dan benar saja! Satu detik dia berpindah
tempat maka lantai di mana dia tadi berdiri amblas ke bawah. Mahesa coba
menjenguk ke dalam lobang empat persegi. Di bawah penerangan sinar pedang
saktinya maka kelihatanlah belasan ekor ular kuning emas sebesar-besar tangan
berjalaran di lantai lobang itu! Binatang-binatang ini seperti mengamuk ketika
merasakan hawa panas yang keluar dari ujung pedang di tangan Mahesa Kelud.
Goyah lutut Mahesa ketika dia memikirkan bagaimana jadinya jika dia tidak
cepat-cepat berpindah tempat tadi! Pasti tubuhnya akan kelojotan dipatuk
ular-ular kuning emas itu! Dan setahunya ular kuning jenis yang dilihatnya
itulah yang sangat berbahaya! Seseorang yang dipatuk ular kuning, bila dalam
waktu cepat tidak mendapat obat penawar racun, pasti tak akan ketolongan
nyawanya!
Mahesa menghindar dari tepi
lobang dan melangkah dengan hati-hati. Ruangan panjang besar yang dilaluinya
kotor berdebu. Di sudut-sudut atas ruangan itu dilihatnya penuh dengan sarang
laba-laba. Karena dia memandang ke atas maka tanpa disadari kakinya terantuk
pada beberapa buah benda. Mahesa angsurkan pedangnya ke muka dan memandang ke
bawah. Tubuh laki-laki itu seperti diguyur air es! Menggigil! Betapa tidak!
Benda yang tadi tertendang ujung kakinya adalah dua buah kepala manusia! Nyawa
laki-laki ini serasa terbang. Cepat-cepat dia lari meninggalkan tempat itu.
Celakanya di muka sana tubuhnya bertabrakan dengan sesuatu dan ketika
dilihatnya! Terbanglah semangat Mahesa Kelud. Yang barusan ditabraknya tiada
lain dari tubuh manusia, tapi tubuh manusia tanpa kepala! Dari bagian lehernya
bersemburan darah merah kental dan bau amis. Pakaian Mahesa Kelud kotor oleh
muncratan darah tersebut!
Tubuh tanpa kepala itu melangkah
huyung mendekatinya. Kedua tangannya menggapai-gapai. Tiba-tiba tubuh tersebut
melompat ke muka dan tengkuknya kena dicekal! Mahesa gerakkan siku kanannya.
"Buk!" ujung sikunya
menghantam tulang dada sosok tubuh. Tetapi anehnya sosok tubuh tanpa kepala ini
keluarkan suara tertawa meringkik seperti kuntilanak. Kaki kanannya bergerak
mengirimkan tendangan. Mahesa tak kuasa mengelak maka tubuhnya mental ke atas
atap. Dia menggerakkan kakinya maksudnya untuk membuat gerakan jungkir balik
dan turun ke lantai kembali tapi saat itu satu tangan sudah menjambak rambutnya
dari atas! Mahesa memandang ke atas! Yang menjambak rambutnya adalah hanya
sebuah tangan berjari-jari sebesar pisang-pisang ambon! Hanya tangan sampai ke
lengan! Jika saja laki-laki ini bukan seorang yang bernyali besar pastilah dia
sudah berteriak setinggi langit atau jatuh pingsan saat itu juga!
Mahesa Kelud gerakkan tangan
kanannya. Pedang sakti memapas! Lengan yang menjambak rambutnya putus, tubuhnya
melayang ke bawah tapi jari-jari yang mencengkeram rambutnya masih tetap berada
di atas kepalanya. Mahesa memapas lagi. Jari-jari tangan itu putus-putus tapi
sebagian dari rambutnya terpaksa pula terbabat putus!
Sesak nafas Mahesa Kelud bukan
main. Dia memandang berkeliling. Tubuh tanpa kepala tadi sudah lenyap entah ke
mana. Tiba-tiba dia mendengar suara petikan kecapi mengiringi suara nyanyian
seorang perempuan yang merdu sekali. Tapi kemerduan itu tiada terasakan oleh
Mahesa Kelud karena jiwa raga dan perasaannya masih saja diselimuti oleh segala
macam kengerian yang tadi dihadapinya dengan mata kepala sendiri!
Namun demikian dia melangkah juga
ke arah datangnya suara kecapi dan suara nyanyian, seperti ada satu kekuatan
ajaib yang menariknya. Suara tersebut datang dari lorong di sebelah kanan.
Mahesa memasuki lorong ini. Semakin jauh, semakin keras suara petikan kecapi
dan suara nyanyian. Tiba-tiba suara kecapi terputus! Suara nyanyian berhenti
dan terdengarlah suara tangisan yang merawankan hati. Mahesa melangkah terus.
Di hadapan sebuah pintu kayu dia berhenti karena dari belakang ruangan di balik
pintu kayu itulah didengarnya suara tangisan tersebut! Suara tangisan mendadak
sontak berhenti ketika mendengar suara membentak lantang.
Tolol! Apa perlu menangis! Apa
guna air mata dibuang tak karuan! Toh benda itu harus pindah ke tangan orang
lain! Toh benda itu bukan milik kita! Tolol! Goblok! Kalau...."
Suara bentakan-bentakan lenyap
ketika Mahesa Kelud di luar sana mengetuk daun pintu. Di dalam ruangan
terdengar suara berisik. Lalu terdengar pintu dibanting dan sunyi.... Mahesa
menunggu. Tetap sunyi. Dia hendak mendorong daun pintu di hadapannya, tapi daun
pintu tersebut membuka lebih dahulu. Mahesa masuk. Pintu di belakangnya
terkunci kembali. Ruangan di mana dia berada saat itu memantulkan sinar kuning
menyilaukan karena seluruh dindingnya dilapisi oleh emas murni! Kalau tadi
diketahuinya ada dua orang manusia di dalam ruangan ini, yang satu tadi
menyanyi dan memetik kecapi yang kedua yang tadi membentak, maka kini
dilihatnya ruangan tersebut kosong melompong! Tidak sepotong manusia pun, juga
tidak sepotong perabotanpun yang kelihatan!
"Aneh." desis Mahesa
Kelud. Dia tengadahkan kepala ke atas atap ruangan emas dan tersiraplah
darahnya!
***
LIMA
DI ATAS langit-langit ruangan
emas bergelantungan puluhan ekor ular kuning emas yang panjangnya rata-rata
satu setengah tombak. Kepala ke bawah ekor menempel pada langit-langit!
Mulutnya terbuka memperlihatkan taring serta lidah beracun yang menjulur ke
luar masuk. Dari dalam mulut semua ular itu mengepul keluar asap kuning!
Mahesa Kelud memegang pedangnya
erat-erat. Tiba-tiba secara serentak, seperti dikomandokan oleh sesuatu,
puluhan ular kuning emas itu berjatuhan ke bawah dan menyerang Mahesa Kelud.
Mahesa keluarkan bentakan keras. Pedang sakti di tangannya berputar laksana
titiran. Puluhan ekor ular berpelantingan dalam keadaan tubuh putung-putung.
Tapi beberapa ekor di antaranya masih sempat mematuk laki-laki itu pada
pinggang, dada dan paha kiri! Mahesa putar pedangnya. Ular-ular yang mematuknya
tadi putus-putus, tapi ini tak ada gunanya. Meski semua binatang berbisa itu
sudah mati namun tiga patukan di tubuh Mahesa Kelud membawa akibat yang sangat
berbahaya. Betapa pun dia kerahkan tenaga dalamnya, betapa pun tubuhnya sudah
melarutkan ilmu Api-Salju, sekalipun pedang sakti tergenggam di tangan namun
aliran bisa ular terus melarut ke dalam tubuh, mengalir dalam darahnya!
Mahesa merasakan ruangan di mana
dia berada seperti digoyang gempa. Nafasnya menyesak. Pemandangannya
berkunang-kunang. Tubuhnya panas dingin. Dia tergelimpang ke lantai dengan
pedang masih di tangan. Dia berusaha untuk tidak jatuh pingsan. Di sudut
ruangan dia melihat suatu lobang empat persegi yang lebarnya sepemasukan tubuh
manusia. Dia merangkak dengan susah payah. Di belakang lobang tersebut kelihatan
tangga kuning menuju ke bawah. Mahesa melewati lobang empat persegi lalu
menggulingkan tubuhnya di atas tangga. Dia terhampar ke lantai di kaki tangga.
Tulang-tulangnya serasa bertanggalan dari persendian. Dia merangkak lagi. Di
ujung kiri kelihatan sebuah pelita yang menyalakan api bersinar kuning. Mahesa
merangkak ke arah pelita ini namun sebelum sampai ke sana tubuhnya sudah kejang
dan melosoh ke lantai jatuh pingsan!
Ketika kemudian dia sadarkan
diri. Pelita kuning masih ada di hadapannya, dekat tangan kanan. Dia
menggerakkan tangan kanannya tapi malang, menyentuh pelita. Pelita terbalik dan
padam! Ruangan itupun gelaplah! Mahesa gelagapan! Dalam keadaan setengah mati
setengah hidup itu dia melapatkan ajian "karang sewu" lalu
memukuldinding di sebelahnya. Dinding pecah. Lewat pecahan dinding memancarlah
sinar kuning yang terang. Sinar kuning itu turut jatuh menimpa sebahagian dari
tubuh Mahesa Kelud. Dan anehnya, Mahesa seperti mendapat kekuatan baru. Dia
merangkak ke pecahan dinding dan menjenguk ke ruangan di sebelahnya. Ruangan
itu tidak besar tapi bagus bersih dan berbau harum sekali.
Di tengah ruangan kelihatan
bergelung seekor ular kuning yang besarnya hampir sebesar manusia sedang
panjangnya menurut taksiran Mahesa Kelud mungkin lebih dari sepuluh tombak!
Binatang ini bergelung dengan mulut membuka lebar. Lidahnya yang bercabang
menjulur ke luar. Tepat di antara kedua cabang lidah ini maka terdapat sebuah
keris besar berhulu dan bersarung emas, tegak berdiri lurus! Senjata inilah
yang telah memancarkan sinar terang kuning sampai ke ruangan sebelah. Sinarnya
yang kuning penuh keajaiban dan mempunyai mujizat kekuatan.
"Mungkin inilah senjata
sakti yang dikatakan oleh Namajeni," kata Mahesa Kelud dalam hatinya, ia
menyeruak di antara pecahan dinding dan masuk ke ruangan tersebut. Matanya
terpaksa disipitkan karena sinar kuning keris besar itu menyilaukan mata.
Mahesa Kelud berhenti beberapa langkah dihadapan ular raksasa. Sebenarnya
nyalinya sudah mengkerut, tapi laki-laki ini dengan segala daya yang ada mencoba
kuatkan jiwa dan tabahkan hati. Bukankah demikian bunyi kalimat ke delapan yang
ditulis oleh Namajeni?
Mahesa bersila di hadapan ular
dan keris. Tak tahu apa langkah selanjutnya yang harus diperbuatnya. Apakah
langsung ulurkan tangan menjangkau keris? Ular besar dihadapannya tidak
bergerak sedikitpun. Matanya yang merah memandang tak berkedip. Bentuk kepala
ular ini sama benar dengan hulu dari keris emas yang ada di ujung lidahnya.
Sukar bagi Mahesa untuk memastikan apakah ular besar tersebut masih hidup
ataukah sudah mati?! Meski demikian sebagai orang yang tahu peradatan Mahesa
kemudian segera menjura.
"Ular Emas," kata
Mahesa. "Aku yang rendah minta maaf karena telah berani datang mengotori
tempatmu. ini kulakukan adalah dalam memegang janji terhadap seorang tua sakti
karena aku tak mau mengecewakan hatinya.... Sekali lagi mohon
dimaafkan....."
Kepala ular besar kuning itu
tidak bergerak sedikitpun. Tapi tiba-tiba sekali, sebahagian dari tubuhnya yang
bergelung terbuka dan laksana topan ujung ekor binatang ini menyambar ke kepala
Mahesa Kelud!
Kalau saja tidak cepat laki-laki
ini jatuhkan diri ke lantai pastilah kepalanya akan hancur! Ekor ular menyerang
lagi untuk kedua kalinya. Mahesa bergulingan. Ekor ular menghantam lantai.
Lantai yang bagus itupun amblas sampai sepertiga jengkal!
Mahesa terkejut. Kejutnya belum
habis dan ekor ular itu sudah datang kembali mengirimkan serangan-serangan
beruntun yang mematikan. Mahesa bersikap mengelak terus-terusan. Meski saat itu
pedang merah masih tergenggam di tangannya namun dia sama sekali tidak mau
balas menyerang! Makin lama serangan ular makin dahsyat dan Mahesa Kelud
semakin kepepet. Sudah beberapa kali hampir tubuhnya kena dihantam sabetan ekor
yang berbahaya itu! Tiba-tiba entah dari mana datangnya tahu-tahu di ruangan
itu sudah berdiri seorang perempuan muda yang parasnya cantik sekali, seperti
bidadari dari khayangan. Dia mengenakan pakaian tipis warna kuning sehingga
tubuhnya yang bagus membayang nyata. Mahesa tundukkan kepala tak berani
memandang. Satu senyum terlukis di sudut bibir perempuan itu.
"Ular emas," terdengar
suara perempuan itu, merdu menggairahkan, mendatangkan birahi bagi laki-laki
yang mendengarnya:
"Orang tak melawan mengapa
diserang?!"
Mendengar ini maka ular besar
itupun hentikan serangan. Tubuh dan ekornya digelung dan dia tak
bergerak-gerak, kembali bersikap seperti tadi. Mahesa segera atur jalan darah
dan pernafasannya lalu menjatuhkan diri dan menjura hormat pada perempuan muda
itu, tapi mengunci mulut karena bingung tak tahu apa yang harus diucapkan.
Perempuan cantik berbaju kuning melangkah dan berhenti dekat sekali di hadapan
Mahesa Kelud. Tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya dan pakaian yang melekat di
dirinya terlepas, jatuh ke lantai. Tubuhnya yang bagus mulus itu kini tiada tertutup
selembar benangpun!
Hati laki-laki mana yang tidak
akan bergoncang? Tidak akan berdebar? Darah muda mana yang tidak akan
bergejolak dan nafsu siapa yang tidak akan menggelegak?
Mahesa Kelud tundukkan kepala.
Ditekannya perasaan gairah birahi dan nafsu yang menggelora. Tubuhnya bergetar.
Beberapa ketika berlalu.
"Orang muda, angkat
kepalamu! Aku Dewi Ular Emas! Apa kau tak mau lihat keindahan tubuhku?"
suara itu lembut merdu penuh rayuan.
Bergoncang dada Mahesa Kelud.
Namun kepalanya tetap ditundukkan. Ditabahkannya hati dan iman.
"Ah, orang muda..."
terdengar suara Dewi Ular Emas pelahan mengajuk. "Jika kau tak mau
memandang tak apalah. Tapi ulurkan kedua tanganmu. Tidakkah kau ingin menjamah
segala yang dimiliki tubuhku? Parasku? Dadaku, perutku, pahaku.... Ulurkan
kedua tanganmu orang muda...."
Hati laki-laki mana yang tidak
akan tergoncang mendengar undangan itu? Nafsu manusia mana yang tidak akan
menggelegak? Birahi siapa yang tidak akan berkecamuk? Namun Mahesa Kelud terus
tundukkan kepala. Bergerak sedikitpun tidak dia. Ditekannya setiap rangsangan
yang menimbulkan butiran-butiran keringan pada pori-pori sekujur kulit
tubuhnya!
Dewi Ular Emas menunggu. Akhirnya
dia membungkuk dan mengenakan pakaiannya kembali lalu mundur beberapa langkah.
"Orang muda... hari ini kau
adalah orang yang paling beruntung di atas dunia. Kau telah berhasil melewatkan
berbagai rintangan maut, cobaan dan ujian. Ketahuilah bahwa ada tiga hal yang
menghancurkan diri laki-laki. Pertama pangkat, kedua harta kekayaan, ketiga perempuan!
Kau seorang yang tabah hati kuat jiwa dan teguh iman. Kau pantas memiliki keris
Ular Emas itu...!"
Mahesa menjura. 'Terima kasih,
Dewi." katanya.
"Siapakah namamu?"
tanya Dewi Ular.
"Mahesa Kelud."
"Ah... itu hanya nama palsu
bukan? Nama yang diberikan orang sesudah kau menjadi dewasa? Aku tanya namamu
yang sebenarnya."
Terkejutnya Mahesa Kelud
mendengar ucapan Dewi Ular Emas itu. Bagaimana Dewi Ular tahu bahwa Mahesa
Kelud adalah nama palsunya? Nama yang disuruh pakai oleh gurunya Embah
Jagatnata waktu dia turun dari Gunung Kelud sekitar tiga tahun yang silam?
"Namaku sebenarnya adalah
Panji Ireng, Dewi." kata Mahesa Kelud akhirnya memberitahu. Dewi Ular Emas
tersenyum dan anggukkan kepala. Dia mengambil keris yang berdiri di atas lidah
ular besar lalu berkata.
"Berdirilah Panji
Ireng."
Mahesa Kelud berdiri tapi tetap
dengan tundukkan kepala.
"Angkat kepalamu,"
perintah Dewi Ular. Mahesa patuh dan mengangkat kepalanya. Sepasang mata mereka
saling beradu. Mahesa tertegun melihat kejelitaan paras Dewi Ular Emas yang
dekat sekali di hadapannya. Dewi Ular Emas sendiri diam-diam mengagumi
kegagahan paras orang muda itu. Untuk beberapa detik lamanya mereka berdiam
diri dan saling pandang seperti itu. Akhirnya Dewi Ular Emas melirik ke keris
di tangannya.
"Panji Ireng, keris ini
bernama keris Ular Emas. Sudah dua puluh tahun senjata sakti ini berada di
sini, sama-sama ditempa pada waktu aku dilahirkan. Rupanya kaulah manusianya
yang berjodoh untuk memilikinya. Terimalah!"
Mahesa Kelud ulurkan kedua tangan
dan menerima keris tersebut dengan sikap hormat. Begitu jari-jari tangannya
menyentuh hulu dan sarung senjata tersebut maka mendadak sontak sirnalah bisa
ular emas yang telah mengalir di dalam darahnya. Luka-luka bekas patukan
binatang jahat itupun sembuh dengan sendirinya. Tubuhnya sehat sembuh seperti
sediakala. Ajaib!
"Terima kasih Dewi,"
kata Mahesa Kelud. Keris sakti itu kemudian disisipkannya di pinggang kanan.
"Nah Panji Ireng, pertemuan
kita hanya sampai di sini. Kau lanjutkan perjalanan kembali. Lakukan tugas yang
harus kau lakukan...."
"Dewi, jika ada apa-apa
bagaimanakah aku yang rendah ini dapat bertemu dengan kau?" tanya Mahesa
Kelud.
Dewi Ular Emas tersenyum cantik
sekali. "Gunung tinggi menjulang, daratan menghampar lautan membentang.
Pertemuan bukan kita yang tentukan! Di mana ada nasib, di mana ada pelangkahan
pasti kita akan bertemu, Panji!"
Mahesa Kelud anggukkan kepala.
"Ular Emas, kau
menghindarlah dahulu. Beri jalan pada orang muda ini!" kata Dewi Ular Emas
memerintah pada binatang sakti peliharaannya. Ular kuning besar itu membuka
gelungnya dan bergerak ke samping. Di lantai di atas mana tadi dia berada maka
kelihatanlah sebuah tangga turun ke bawah menuju ke sebuah mulut gang.
"Turuni tangga itu, tempuh
gang di bawahnya. Kau akan menemui beberapa cabang gang di kiri kanan tapi
ikuti terus yang pertama kali kau tempuh. Setelah setengah hari penuh kau akan
sampai ke dalam sebuah hutan." demikian Dewi Ular memberi keterangan.
Mahesa Kelud mengangguk dan
menghaturkan terima kasihnya. Sebelum dia menuruni tangga, dia menjura
penghabisan kalinya. Meski Mahesa Kelud sudah lama hilang di balik gang namun
pandangan kedua mata Dewi Ular Emas masih saja tertuju ke tangga yang menurun
itu. Tanpa disadari dua butiran air mata menggenang di pelupuk matanya.
"Ah, kalau saja dia masih hidup... betapa parasnya sama benar dengan orang
muda tadi..." Hati Dewi Ular Emas seperti diiris. Dia memberi isyarat pada
binatang peliharaannya untuk menutup lobang tangga. Lalu ditinggalkannya
ruangan tersebut. Untuk beberapa lamanya paras Mahesa Kelud masih saja
membayang di pelupuk matanya!
Sebagaimana yang dikatakan oleh
Dewi Ular Emas, setengah hari kemudian maka akhirnya diapun keluar dari gang
yang ditempuhnya. Ternyata dia sampai di tengah rimba belantara. Lobang di mana
dia keluar tadi ditutupnya dengan ranting-ranting serta semak belukar. Hatinya
puas, dadanya lapang. Kegembiraan yang tiada tertahankan membuat dia berteriak
keras meninggi langit. Dia jadi terkejut sendiri ketika menyaksikan bagaimana
suara teriakannya itu membuat tanah yang dipijaknya bergetar, pohon-pohon kayu
bergoyang keras, daun-daun berguguran, udara menggelombang! Ini tidak heran.
Sewaktu dia dilepas oleh gurunya Suara Tanpa Rupa dia telah memiliki tenaga
dalam yang tinggi hebat. Ditambah pula kekuatan mujizat yang merasuk ke dalam
tubuhnya sewaktu dia terendam di dalam air telaga Api-Salju. Kemudian saat itu
pada tubuhnya tersisip dua senjata keramat sakti yang mempunyai pengaruh dan
daya kekuatan yang tiada taranya. Pedang Dewa Delapan Penjuru Angin serta keris
Ular Emas!
Mahesa mencabut keris Ular Emas
dari pinggang kanannya. Waktu di dalam ruangan Dewi Ular tadi dia belum puas
benar meneliti senjata tersebut. Sarung dan hulu keris terbuat dari emas murni.
Hulu senjata ini merupakan kepala seekor ular yang mulutnya membuka dan
lidahnya yang bercabang menjulur keluar. Kedua mata dari ular tersebut dihiasi
dengan sebutir batu delima merah sebesar kuku jari telunjuk. Ketika senjata
tersebut dicabut oleh Mahesa Kelud maka memancarlah sinar kuning menyilaukan
mata. Ternyata keris itu berlekuk tujuh. Meski senjata itu kini adalah menjadi
miliknya namun diam-diam Mahesa Kelud merasa gentar juga melihat sinar kuning
yang memancar. Keris disarungkannya dan disisipkan kembali. Mahesa kemudian
melanjutkan perjalanan.
***
ENAM
UJUNG KULON.... Tiada pulangnya
Empu Sora ke pertapaannya hampir setengah bulan menggelisahkan hati para murid
orang tua sakti tersebut. Waktu pergi Empu Sora tidak meninggalkan pesan sama
sekali. Apakah yang akan dilakukan dan ke manakah harus dicari sang guru
tersebut? Sebelumnya tak pernah terjadi sampai selama itu Empu Sora meninggalkan
perguruan. Bisa jadi ada sesuatu yang penting yang dilakukan oleh Empu Sora,
atau mungkin... guru mereka sudah mendapat celaka di tengah jalan? Mustahil,
demikianlah pikiran murid-murid Empu Sora. Mereka tahu benar siapa adanya Empu
Sora. Seorang tua sakti yang dikenal keharuman namanya dalam rimba persilatan!
Tapi mengapa dia pergi selama ini dan tak kunjung kembali?
Gemparlah perguruan Ujung Kulon,
hebohlah para murid Empu Sora ketika mereka mendapat kabar bahwa guru mereka
yang pergi dan selama ini ditunggu-tunggu telah menemui ajalnya di pulau
Bawean, dibunuh oleh muridnya sendiri yang dulu telah diusir yakni Jayengrana!
Semua murid hampir tak bisa percaya bagaimana mungkin guru mereka yang sakti
luar biasa dapat terbunuh oleh Jayengrana alis Lutung Gila? Padahal waktu
diusir dari perguruan tempo hari Jayengrana hanyalah murid terpandai nomer
tiga! Jangankan dia, murid terpandai nomor satupun belum tentu akan mampu
menghadapi Empu Sora! Tapi mungkin Jayengrana telah berguru pula pada seorang lain
yang lebih hebat dan lebih sakti dari Empu Sora! Kalau tidak mustahil itu bisa
terjadi.
Mendengar kabar kematian guru
mereka meluaplah amarah murid-murid di perguruan. Murid tertua yang boleh
dikatakan telah memiliki hampir semua ilmu yang diajarkan oleh Empu Sora segera
mengumpulkan saudara-saudara seperguruannya untuk diajak berunding membicarakan
langkah-langkah apa yang akan mereka ambil sehubungan dengan kematian guru
mereka. Murid tertua ini bernama Dipa Putra.
"Saudara-saudaraku
sekalian," kata Dipa Putra. "Perguruan kita telah ditimpa nasib buruk
yang memalukan, karena peristiwa kematian guru kita! Lebih mencemarkan lagi
karena kematian guru kita dilakukan oleh dibunuh bekas muridnya sendiri yaitu
Jayengrana yang kini memakai nama Lutung gila! Sebagai murid-muridnya, tentulah
kita harus turun tangan membalaskan sakit hati! Pembalasan satu-satunya adalah
hanya dengan menamatkan riwayat Jayengrana? Kalau tidak begitu kemana muka kita
akan diletakkan? Kupanggil saudara-saudara sekalian disini adalah untuk
memberitahukan bahwa aku sebagai murid tertua sudah bertekad bulat untuk pergi
ke pulau Bawean guna mengambil jenazah guru kita dan sekaligus menebas batang
leher si Jayengrana keparat itu!"
Ketika Dipa Putra hentikan
bicaranya maka untuk beberapa lamanya sunyilah suasana.
"Kakak guru," berkata
Gagak Nandra. Dia adalah murid perguruan nomer empat.
"Kita semua adalah
murid-murid Empu Sora dan sudah seharusnya membalaskan sakit hati kematian
beliau. Sebagai murid tertua, maka kaulah kini yang menjadi pemegang pucuk
pimpinan. Jika kau pergi dan terjadi apa-apa pula di sini, kata siapakah yang
akan diturut? Perintah siapakah yang akan dipatuhi kalau bukan kau? Karenanya,
urusan dengan Jayengrana itu biarlah aku yang pergi untuk menyelesaikan!"
"Tidak bisa!" kata Dipa
Putra pula dengan gelengkan kepala. "Kau Gagak Nandra dan adik-adik
seperguruan lainnya tetap disini, aku yang akan pergi sendirian!"
"Bolehkah aku bicara?"
tanya satu suara dari dekat pintu. Semua kepala dipalingkan. Yang berkata
adalah kakek-kakek tua juru masak perguruan. Di samping jadi tukang masak dia
juga turut belajar ilmu sejurus dua jurus dan meski ilmunya paling rendah
sekali namun karena umurnya dia dihormati oleh murid-murid Empu Sora lainnya
yang jauh lebih muda.
"Silahkan kakek! Memang
pertimbanganmu kami harapkan sekali," kata Dipa Putra.
Si kakek pun membuka mulutnya.
"Apa yang dikatakan oleh Dipa Putra memang betul. Yang diucapkan oleh
Gagak Nandra juga sama betulnya! Tapi janganlah menimbulkan rasa yang tidak
enak di antara masing-masing kalian. Dalam menghadapi peristiwa besar ini
sekali-kali kita jangan sampai salah langkah, apalagi jika sampai terjadi
perpecahan dan saling bersakit-sakitan hati! Sebagai murid tertua dalam ilmu
memang kau berhak memutuskan untuk menanggung jawab dan menyelesaikan dendam
kesumat kita terhadap Jayengrana. Tapi betul pula kata adikmu, apa akan jadinya
jika sewaktu-waktu selama kau pergi timbul peristiwa besar pula di sini melanda
perguruan kita? Kata siapa yang akan dituruti, perintah siapa yang akan
dipatuhi? Aku sudah tua saudara-saudaraku karenanya aku berpendapat kau Dipa
Putra tetap di sini menjaga perguruan kita. Bukan mustahil si Jayengrana gila
itu akan nyasar pula ke sini membuat keonaran. Serahkan urusan ke pulau Bawean
pada Gagak Nandra. Dia harus berangkat bersama beberapa orang lainnya, akupun
bersedia untuk pergi jika diizinkan."
Dipa Putra termenung. Gagak
Nandra puas hatinya karena diberikan peluang baik oleh si kakek untuk pergi.
"Saudara-saudara, baiklah," kata Dipa Putra pada akhirnya.
"Kau Gagak Nandra, pergilah
bersama adikmu Sura Mana. Bawa serta lima orang saudara-saudara kita dari
tingkat ke lima."
Gagak Nandra segera berdiri.
Disusul oleh Sura Mana, seorang separuh baya yang merupakan murid ke empat
setingkat dengan Gagak Nandra. Kedua orang ini kemudian memilih lima orang
saudara seperguruan dari tingkat kelima. Tanpa banyak penuturan lagi maka ke tujuh
saudara seperguruan itupun berangkatlah!
***
TUJUH
KETUJUH orang itu segera tekap
hidung mereka ketika bau busuk ditiupkan angin menyambar ke hidung mereka.
"Bau busuk apa ini?" ujar Sura Mana seraya memandang berkeliling.
Tiba-tiba salah seorang seperguruannya dari tingkat kelima berseru dan
menunjuk. "Lihat! Ada mayat!"
Ketujuh orang itupun berlari
menghampiri mayat yang menggeletak di tanah. Sungguh mengerikan. Paras mayat
itu sudah tak bisa dikenal lagi. Kepalanya rengkah, mukanya hancur. Darah kering
bertebaran diseluruh pakaiannya. Mayat ini sudah sangat rusak dan
berlubang-lubang bekas patukan burung-burung pemakan mayat yang banyak
beterbangan di atas pulau. Busuknya bau mayat dalam jarak sedekat itu tiada
terkirakan! Dari pakaian mayat itu ketujuh orang tersebut tahu bahwa itu
bukanlah mayat guru mereka. Angin dari laut bertiup keras menerbangkan debu
serta pasir dan menghamparkan bau busuknya mayat yang makin menjadi-jadi!
"Adik-adikku," seru
Gagak Nandra. "Kita berpencaran di sini. Beri tanda jika salah seorang
dari kalian menemukan jenazah guru atau bangsat rendah si Ja..." mendadak
sontak Gagak Nandra putuskan bicaranya. Mukanya pucat pasi, mulutnya menganga
sedang kedua matanya melotot seperti mau melompat keluar dari sarangnya! Rupa
Gagak Nandra saat itu tak ubahnya seperti seorang yang tengah dicekik oleh
setan laut!
"Demi Tuhan!" seru
Gagak Nandra.
"Saudara-saudaraku, lihat di
atas pohon sana!"
Semua kepala sama diputar dan
semua orang mengeluarkan seruan tertahan. Di sana di atas pohon, di antara dua
buah cabang besar kelihatan sesosok mayat berjubah hijau terjuntai kaki ke atas
ke kepala ke bawah. Elang-elang laut pemakan mayat seperti semut berkerumun
memakani daging mayat yang sudah rusak busuk dan memutih tinggal tulang
belulangnya saja!
"Guru!" jerit ketujuh
orang tersebut. Tenggorokan mereka menyendat. Tak menunggu lebih lama, begitu
hilang kejutnya maka Gagak Nandra dengan gunakan ilmu entengi tubuhnya yang
tinggi segera melompat ke atas pohon. Ketika dia turun kembali maka jenazah
Empu Sora sudah berada dalam kempitannya. Gagak Nandra mencari tempat yang
baik. Ketika dilihatnya batu besar di ujung sana maka dia melangkah ke situ dan
membaringkan jenazah Empu Sora di atas batu. Tujuh murid Empu Sora sama
pejamkan mata tak tahan melihat jenazah guru mereka yang demikian rusaknya. Di
sela-sela mata yang dipejamkan itu maka mengambanglah butiran-butiran air mata!
Meskipun mereka adalah pendekar-pendekar berhati tabah berjiwa satria, tapi
menyaksikan kematian guru yang mereka cintai demikian mengenaskannya, mau tak
mau ketujuhnya sama teteskan air mata. Sura Mana membuka kedua matanya
perlahan-lahan. Dia meneliti mayat Empu Sora. Kedua matanya berputar mencari
sesuatu. Kemudian dia berkata: "Pedang pusaka hijau milik guru tidak ada!"
Terkejutlah saudara-saudara
seperguruannya yang enam orang. Mereka sama bukakan mata, dan meneliti.
"Pasti manusia celaka Jayangrana itu yang mengambilnya! Keparat!"
ujar Gagak Nandra. Dia cabut pedangnya, sebuah pedang warna hijau. Untuk setiap
muridnya, Empu Sora telah membuatkan sebilah pedang hijau pertanda lambang
perguruan mereka. Dengan kertakkan geraham maka berkatalah Gagak Nandra.
"Guru, biarlah cuma jenazahmu yang akan menyaksikan bahwa kami murid-murid
akan menindak manusia yang telah berbuat keji atas dirimu ini! Semoga Tuhan
memberikan tempat yang sebaik-baiknya bagimu di akhirat!"
Sura Mana dan lima orang saudara
seperguruan lainnya meniru perbuatan Gagak Nandra. Mencabut pedang dan
bersumpah serta mendoakan arwah guru mereka. Dalam suasana yang penuh khidmat
dan juga kobaran balas dendam itu maka terdengarlah satu suara tertawa
perempuan meringkik seperti kuda.
"Lutung Gila! Kemarilah kau!
Lihat ada kunyuk-kunyuk sinting dari mana yang nyasar main komidi di sini!
Kik... kik... kik...!"
Kaget sekali maka ketujuh murid
Empu Sora palingkan kepala. Hampir tak percaya mereka ketika pandangan mereka
membentur seorang perempuan muda cantik jelita, berpakaian merah, berdiri
dengan bertolak pinggang tak berapa jauh di hadapan mereka. Sedang di pinggang
kirinya tergantung pedang pusaka hijau, pedang pusaka perguruan Ujung Kulon
milik guru mereka! Belum lagi habis kaget ketujuh orang tersebut maka tahu-tahu
di samping perempuan muda itu muncullah sesosok tubuh aneh. Meskipun sosok
tubuh ini memakai pakaian seperti lutung dan rambutnya awut-awutan namun mereka
masih dapat mengenali siapa adanya dia. Maka menggelegaklah amarah ketujuh
orang tersebut.
"Jayengrana keparat!"
bentak Gagak Nandra. "Hari ini kau serahkan nyawa di tangan kami!"
Lutung Gila alias Jayengrana tertawa aneh menggidikkan. Begitu suara tawanya
sirna maka dia balas membentak! "Kurang ajar, sudah tempat peranginan
anakku dipakai untuk meletakkan mayat busuk, berani pula memaki! Konyol"
serentak dengan itu Lutung Gila mengirimkan tendangan jarak jauh ke arah
ketujuh murid Empu Sora yang tak lain adalah juga bekas saudara-saudara
seperguruannya sendiri!
Melihat angin tendangan yang
sangat dahsyat ini maka ketujuh murid Empu Sora terkejut sekali dan buru-buru
menghindar. Malang bagi dua orang murid dari tingkat kelima, mereka tak sempat
menghindar. Tubuh mereka kena dihantam angin tendangan! Keduanya terguling
muntah darah dan meregang nyawa! Saudara-saudara seperguruannya yang lain jadi
kalap. "Serbu!" teriak Gagak Nandra berikan komando. Kelimanya kemudian
menyerang dengan pedang di tangan. Sinar hijau berkelebatan mengurung Lutung
Gila. Kemaladewi tiada hentinya mengeluarkan suara tertawa melengking seperti
kuntilanak!
Tiga keluhan kesakitan terdengar.
Tiba tubuh mencelat dan waktu jatuh ke tanah nyawanya sudah putus! Gagak Nandra
dan Sura Mana melompat mundur! Keringat dingin memercik di kening mereka
melihat betapa tiga lagi saudara mereka menemui ajal secara mengerikan di
tangan Lutung Gila! Tiada disangka bekas saudara seperguruan mereka itu demikian
hebatnya. Pantas saja guru mereka tiada sanggup pertahankan nyawa. Dan keduanya
menyadari pula bahwa meskipun mereka mengeroyok berdua dan sama memegang pedang
ampuh pemberian guru tapi mereka pasti akan bernasib malang pula! Akan menemui
ajal! Hati kedua bersaudara seperguruan ini bergetar. Tapi untuk menyerah atau
lari selamatkan diri tak ada dalam kamus hidup mereka! Keduanya segera menyerbu
kembali!
Lutung Gila tertawa membahak. Dia
maju gerabak-gerubuk menyongsong serangan lawan-lawannya. Sukar sekali bagai
Gagak Nandra dan Sura Mana untuk memperhatikan gerakan yang serba aneh dari
lawan mereka. Tahu-tahu pedang di tangan Sura Mana kena dirampas! Belum lagi
murid kelas empat ini sempat melompat selamatkan diri maka ujung pedang sudah
menancap di dadanya! Sura Mana mati seketika itu juga!
"Jayengrana murid murtad!
Aku mengadu nyawa dengan kau!" teriak Gagak Nandra murka tiada terperikan.
"Biung biung...! Sejak kapan
kau punya nyawa rangkap hendak mengadu nyawa dengan Lutung Gila? Biung?"
Pedang menyambar di muka
hidungnya dibiarkannya saja. Tiba-tiba dia bergeser sedikit dan... seperti
nasib yang diterima Sura Mana maka pedang hijau Gagak Nandra kena dirampas
Lutung Gila. Pedang itu kemudian membalik membacok ke kepala Gagak Nandra!
"Lutung Gila, tahan! Yang
satu ini jangan dibunuh!" terdengar tiba-tiba seruan Kemaladewi. Patuh
sekali. Lutung Gila miringkan pedang hijau di tangannya dan senjata itu
menancap sampai ke hulunya di tanah di samping kaki Gagak Nandra!
Lutung Gila putar kepala.
"Eeee ciluk, kenapa yang satu ini tidak dimampuskan saja?!" tanyanya.
"Aku ada rencana!"
jawab Kemaladewi dengan tolak pinggang. Dia memandang pada Gagak Nandra yang
berdiri mematung dengan tubuh keringatan dan paras pucat pasi! "Eh kunyuk
kau muridnya orang tua bau busuk itu?!"
Gagak Nandra tak menyahut.
Matanya melotot memandang geram pada Kemaladewi.
"Hai jawab!" bentak
Kemaladewi.
Gagak Nandra tetap membungkam.
Lutung Gila berkata, "Ciluk, monyet bisu ini memang murid orang tua busuk
itu!"
"Siapa namamu?!" tanya
Kemaladewi lagi.
Gagak Nandra meludah ke tanah!
"Menghina! Keparat! Bosan
hidup ya?!" Kemaladewi melompat ke muka dan.... "Plak!"
tamparannya mendarat di pipi
Gagak Nandra. Gagak Nandra meraung kesakitan. Mulutnya pecah dan darah
berlelehan!
"Kalau aku tidak salah ingat
ciluk, monyet ini bernama Nandra Gagak!" kata Lutung Gila pula. Ternyata
dia menyebut nama Gagak Nandra terbalik!
"Gagak Nandra!" kata
Kemaladewi.
"Dengar! Kau masih punya
nasib untung tidak seperti saudara-saudara seperguruanmu yang lain! Bawa mayat
busuk gurumu dan kembali ke Ujung Kulon dan terangkan pada kunyuk-kunyuk yang
ada di perguruan bahwa pada tanggal tujuh bulan tujuh aku bersama Lutung Gila
dan Lutung Bawean serta Raja Lutung akan datang ke sana! Kalian harus menyambut
aku dengan upacara besar-besaran karena ketahuilah bahwa sejak gurumu mampus
maka akulah yang akan menjadi Ketua Perguruan! Mengerti?!"
Geram Gagak Nandra bukan
kepalang. Tapi dia tidak bisa berbuat apa. Melawan sudah pasti tidak mungkin.
Untuk beberapa lamanya dia masih berdiam diri.
"Mengerti tidak mengerti,
angkat kaki dari sini! Biung kunyuk," bentak Lutung Gila.
Gagak Nandra melangkah ke dekat
batu besar di mana jenazah yang rusak membusuk dari Empu Sora tadi
dibaringkannya. Dipanggulnya jenazah gurunya itu di pundak kiri. Sebelum dia
melangkah meninggalkan kedua orang tersebut dia berpaling lebih dahulu dan
berkata: "Kutuk Tuhan akan jatuh atas diri kalian berdua! Hari pembalasan
akan tiba kelak!"
"Kunyuk sinting! Masih mau
berbacot!" bentak Lutung Gila seraya melangkah hendak menendang Gagak
Nandra. Tapi tangannya dipegang oleh Kemaladewi.
"Biarkan saja!" kata
Kemala.
"Biung!
Gagak Nandra menyeka darah di
mulutnya, memutar tubuh dan tinggalkan tempat tersebut menuju ke tepi pasir.
***
DELAPAN
DARI lereng bukit terdengar suara
teriakan keras yang disertai tenaga dalam. "Gagak Nandra kembali membawa
jenazah guru seorang diri!"
Dari dalam rumah besar keluarlah
Dipa Putra dan kira-kira dua puluh orang saudara seperguruannya dari berbagai
tingkatan. Mereka berlari dan saat itu di pintu halaman masuklah Gagak Nandra
memanggul jenazah Empu Sora.
"Gagak Nandra!" seru
Dipa Putra. "Mana yang Iain-Iain! Eh, mengapa mulutmu?!"
Gagak Nandra tak segera menjawab.
Jenazah Empu Sora diberikannya pada salah seorang saudara seperguruannya. Dia
sendiri kemudian duduk bersila, mengatur jalan nafas serta peredaran darah.
Alirkan tenaga dalam dengan pejamkan mata. Beberapa saat kemudian kedua matanya
dibuka kembali. Gagak Nandra menangis terisak.
"Ee, Gagak Nandra! Sebagai
kesatria kau tak pantas menangis! Apa yang terjadi, mana yang
lain-lainnya?" tanya Dipa Putra.
"Aku bukan kesatria sejati!
Aku hanya memalukan perguruan kita saja yang enam orang itu menemui ajal
semua!"
Terkejutlah Dipa Putra dan yang
lain-lainnya mendengar keterangan tersebut. Sunyi sejurus lamanya, hanya suara
isakan Gagak Nandra yang terdengar. Setelah tangisnya mereda maka Gagak Nandra
kemudian menuturkan apa yang terjadi dan dialami di pulau Bawean.
"Meski aku beruntung dilepas
untuk membawa jenazah guru kita..." kata Gagak Nandra pula. "Tapi
hatiku tidak puas! Dan aku malu sekali!"
"Tak ada yang harus
dimalukan Gagak Nandra," ujar si kakek yang bernama Waranoa.
"Jangankan kau, guru kita sekalipun tidak sanggup melawan Si Lutung Gila
jahanam itu!"
Hari itu juga jenazah Empu Sora
dikuburkan dengan upacara khidmat khusus. Selesai penguburan maka Dipa Putra
memanggil berkumpul semua saudara seperguruannya. Hatinya masygul sekali sedang
darahnya tak kunjung dingin akibat dendam kesumat serta amarah yang mendidih!
Dia memandang berkeliling dan pandangannya terhenti ketika membentur si kakek
Waranoa.
"Kakek," ujar Dipa
Putra. "Kau sebagai orang yang paling tua di antara kami, kepadamulah kami
pertama kali akan minta petunjuk. Gerangan langkah apakah yang akan kita
perbuat guna membalaskan sakit hati kita kepada si Jayengrana itu?"
Waranoa meraba dagunya. Kedua
matanya menyipit seperti seseorang yang tengah memperhatikan sesuatu di
kejauhan. Dia membuka mulut hendak bicara, tapi mendadak terdengar suara Gagak Nandra
mendahului.
"Saudara-saudara ada sesuatu
yang lupa kukatakan pada kalian!"
"Apakah?!" tanya Dipa
Putra.
"Pesanan! Pesan dari
perempuan iblis yang kabarnya menjadi istri Jayengrana keparat itu!"
"Pesan apakah, Gagak Nandra?
Cepat katakan!" ujar Dipa Putra tak sabar.
"Katanya pada tanggal tujuh
bulan tujuh dia bersama Lutung Gila dan Lutung Bawean serta Raja Lutung akan
datang ke sini!"
"Akan datang ke sini?!"
"Ya!"
Semua mata terbuka lebar-lebar dan
semua orang saling berpandangan. "Katanya lagi kita harus menyambutnya
dengan upacara besar-besaran karena dialah, si iblis betina itu, yang akan
menggantikan guru menjadi Ketua Perguruan Ujung Kulon ini! Dan padanya kulihat
pedang pusaka milik guru!"
"Keparat rendah!" maki
Dipa Putra seraya tinjukan tangan kanannya ke telapak tangan kiri.
"Siapa Raja Lutung dan
Lutung Bawean?" tanya Waranoa.
Gagak Nandra angkat bahu.
"Tapi pastilah mereka juga manusia-manusia sakti macam Lutung Gila dan
perempuan iblis itu!"
Dipa Putra mengeluh dalam
hatinya. Sebagai murid tertua dalam menuntut ilmu, sebagai murid yang
terpandai, maka tanggung jawab besar dalam menuntut balas terletak di
tangannya! Tapi kalau gurunya sendiri kepada siapa dia belajar menuntut segala
macam ilmu kesaktian harus serahkan nyawa menghadapi Lutung Gila, bagaimana dia
akan sanggup membalaskan dendam sakit hati itu?! Apa yang terpikir oleh Dipa
Putra ini terpikir pula oleh anak-anak murid perguruan lainnya. Dan pada
tanggal tujuh bulan tujuh Lutung Gila bersama ketiga bangsat-bangsat yang
disebutkan namanya itu akan datang pula ke Ujung Kulon! Tanggal tujuh bulan
tujuh ini hanya tiga bulan di muka! Bisakah mereka mengadakan persiapan selama
tiga bulan itu untuk menyambut kedatangan Lutung Gila, istrinya, Lutung Bawean
dan Raja Lutung? Bukan menyambut dengan upacara besar-besaran tapi dengan
pedang di tangan dan bertempur hidup mati membalaskan sakit hati dendam
kesumat?!
Pandangan Dipa Putra kembali
tertuju pada Waranoa. "Kakek, petunjukmu tetap kami harapkan."
"Saudara-saudaraku,"
kata Waranoa.
"Melihat singkatnya waktu
yang dikatakan perempuan iblis bini si Jayengrana itu, nyatalah kita tak bisa
mengadakan persiapan untuk menyambut kedatangan mereka! Ini berarti
satu-satunya jalan bagi kita ialah meminta bantuan pihak luar...."
"Saya tidak setuju urusan
perguruan kita sampai dibawa-bawa keluar," tukas Dipa Putra. "Itu
hanya akan merendahkan perguruan kita dan mencemarkan nama guru!"
"Itu betul!" jawab
Waranoa. "Apa yang terjadi di perguruan kita harus kita sendiri yang turun
tangan menyelesaikannya. Tapi dalam persoalan macam mana? Apakah kita mau mati
dan mampus semua menghadapi lawan yang bukan tandingan kita? Dimana kita pada
akhirnya tidak seorang pun sanggup menuntut balas dendam guru kita dan saudara-saudara
kita?! Pikir itu baik-baik!"
Dipa Putra dan yang lain-lainnya
termenung berdiam diri. Waranoa meneruskan.
"Nasib kita tak beda dengan
sebuah sabut kelapa yang hendak melawan menerjang ombak besar. Nasib kita tak
ubah seperti sebuah mentimun yang hendak kalap-kalapan melawan durian! Apa
jadinya?! Badan berkubur niat tak sampai! Meminta tolong kepada sesama kawan
dalam dunia persilatan adalah soal biasa. Mendiang Empu Sora bukan tokoh biasa,
bukan tokoh kemarin. Beliau pasti banyak mempunyai kawan tokoh-tokoh kawakan
sakti! Mustahil mereka tidak akan mau membantu bila kita murid-murid Empu Sora
datang rendahkan diri minta bantuan mereka! Sebagai orang tertua yang diam di
sini, memang aku pernah dengar seorang sakti bernama Lor Munding Saksana. Umurnya
sekarang mungkin sudah lebih dari tujuh puluh! Menurut keterangan yang kudapat,
puluhan tahun silam Lor Munding Saksana pernah berdiam di sini dan menjadi guru
Empu Sora, jadi kakek guru kita sekalian! Lor Munding Saksana kemudian pergi
meninggalkan tempat ini entah ke mana. Kemudian dikabarkan dia berada di Bukit
Bangkai. Di mana letaknya Bukit Bangkai inipun aku yang sudah tua tidak pernah
tahu!" Dipa Putra pejamkan matanya. Dia tahu mata semua saudara-saudara
seperguruannya ditujukan kepadanya karena sebagai murid utama segala keputusan
terletak di tangannya. "Saudara-saudara sekalian. Begini saja.... Kita
usahakan dahulu mencari Bukit Bangkai dan menemui kakek guru Lor Munding
Saksana. Jika tidak berhasil baru meminta bantuan pihak luar. Bagaimana...
setuju?!"
Rata-rata semua orang menyatakan
persetujuannya termasuk si orang tua Waranoa. "Tapi siapakah yang akan
pergi?" bertanya orang tua itu. "Kau Dipa Putra tidak mungkin. Gagak
Nandra juga tidak mungkin karena masih sakit...."
"Aku sudah sembuh, biar aku
yang pergi!" potong Gagak Nandra dengan tiba-tiba. Dia rela pergi agar
dapat menebus rasa malunya terhadap peristiwa di pulau Bawean tempo hari.
Dipa Putra gelengkan kepala.
"Tidak bisa Gagak Nandra. Kau tetap di sini, kau masih sakit...."
Seorang anak murid bertubuh tegap
berbadan tinggi tiba-tiba berdiri, ia dari tingkat empat, sama dengan Gagak
Nandra. Dia memandang berkata: "Saudara-saudara sekalian biarlah aku
Udayana kali ini kalian lepaskan untuk menunjukkan bakti kepada guru dan perguruan!
Izinkan aku pergi mencari kakek guru Lor Munding Saksana!"
Semua mata ditujukan kepada
pemuda itu dan akhirnya setuju. "Doa kami bersamamu, semoga kau berhasil.
Semoga kita dapat menyelamatkan perguruan kita dan menjaga nama harum mendiang
guru!" kata Dipa Putra pula.
Udayana menjura pada
saudara-saudara seperguruannya lalu meninggalkan tempat itu.
***
SEMBILAN
PAKAIANNYA kotor dan robek-robek,
kakinya luka-luka serta bengkak. Rambutnya panjang awut-awutan. Sudah hampir
tiga bulan dia malang-melintang di delapan penjuru angin. Sudah puluhan bukit
dinaik-turuninya namun Bukit Bangkai tak kunjung bertemu sedang hari tujuh
bulan tujuh semakin dekat juga! Hari itu dia berdiri di tepi sebuah jurang
dalam berbatu-batu. Di seberang jurang kelihatan sebuah bukit kecil.
"Kalau yang satu ini
bukannya Bukit Bangkai, celakalah aku! Hancurlah nama perguruan dan cemarlah
nama guruku," demikian kata Udayana dalam hatinya.
Dengan seribu satu macam
kesulitan dituruninya jurang berbatu-batu itu. Sebentar-sebentar dia terpeleset
oleh lumut licin dan masih untung dia terjatuh dihalangi oleh batu, kalau tidak
pasti tamatlah riwayat anak murid Perguruan Ujung Kulon ini di dasar jurang
maut! Tak jarang pula kakinya tersandung. Ketika malam tiba maka Udayana baru
sanggup mencapai dasar jurang. Karena letih dia tertidur juga meski perutnya
kosong tiada berisi!
Esok paginya pemuda berhati tabah
ini melanjutkan perjalanan mendaki lereng jurang. Malam hari pula baru dia
berhasil mencapai puncak jurang yang membawanya kekaki bukit. Di sini anak
murid Perguruan Ujung Kulon itu jatuh pingsan. Menjelang dinihari baru dia
siuman. Dicarinya tetumbuhan apa saja yang bisa dimakan penyumpal perut. Namun
semua itu dimuntahkannya kembali karena tak sanggup perutnya menerima!
Dengan perut tetap berisi angin
kosong Udayana mulai mendaki bukit di hadapannya. Menjelang tengah hari pemuda
ini mencapai lereng yang ditumbuhi berbagai tanaman liar. Dia menyeruak di
antara semak-semak dan tiada henti-hentinya berteriak.
"Kakek guru!"
demikianlah yang dilakukan Udayana setiap dia menaiki sebuah bukit. Suaranya
sudah parau karena terus-terusan berteriak. Mendadak Udayana hentikan
teriakannya. Mulutnya menganga bengong melompong, kedua matanya melotot
memandang ke pohon kecil di hadapannya. Pohon kecil itu seluruh daunnya sudah
berguguran. Ranting-rantingnya kecil halus dan pada salah satu ujung ranting
yang besarnya tidak lebih dari besar ibu jari duduk berjuntai seorang tua
berambut putih. Mulutnya komat-kamit. Apa yang dimakannya adalah seekor burung
mentah!
Bagaimana Udayana mau percaya.
Jangankan seorang manusia, seekor kucingpun jika berada di ujung ranting
tersebut, pastilah ranting itu patah! Tapi si orang tua rambut putih duduk
seenaknya, bahkan sambil makan itu dia goyang-goyangkan kedua kakinya seperti
anak kecil tengah makan kue yang disukainya!
Orang tua berambut putih itu
membuang sisa-sisa tulang-belulang burung yang dimakannya. "Pluk!"
tulang burung mentah tersebut jatuh di kening Udayana. Terbang semangat pemuda
itu karena terkejut. Tiba-tiba dilihatnya orang tua di atas ranting kayu
melambaikan tangan kirinya. Lalu menengadah sambil tertawa-tawa. Dari langit
jatuhlah suatu benda hitam bergelapakan. Ternyata seekor burung! Si orang tua
mencabuti bulu-bulu binatang itu, sesudah gundul mulai menyantapnya seperti
tadi!
Udayana gelengkan kepala. Bukan
sembarang orang bisa melepaskan pukulan jarak jauh seperti itu untuk membunuh
seekor burung yang melayang cepat di udara! Bukan manusia biasa yang makan
daging mentah-mentah! Pastilah ini seorang sakti luar biasa. Mungkin sekali
orang tua yang tengah dicarinya!
"Kakek guru!" seru
Udayana. Orang tua itu terus saja makan seenaknya, komat-kamit dan cengar-cengir.
Seakan-akan tidak mendengar seruan Udayana, seakan-akan pemuda tersebut tidak
ada di dekatnya!
"Kakek guru! Kakek guru Lor
Munding Saksana! Saya Udayana dari... hek." Pemuda itu keluarkan suara
tercekik. Daging burung yang sudah gundul, tinggal tulang-belulang saja
dilemparkan oleh si orang tua dan tepat jatuh di dalam mulut Udayana yang
tengah berteriak sehingga mulut pemuda itu tersumpal, teriaknya terhenti dan
tercekik! Udayana keluarkan tulang burung yang bau amis itu dari mulutnya. Ulu
hatinya naik, cacing gelang-gelang memberontak dan perutnya memual. Sesaat
kemudian pemuda inipun muntah-muntah! Sedang si orang tua mulai pula memandang
ke langit mencari burung baru untuk pengisi perutnya!
Kesal Udayana bukan
alang-kepalang. Kalau saja dia bukan berhadapan dengan kakek-kakek aneh itu,
pastilah sudah didamprat dan dicaci makinya habis-habisan! Dia berteriak lagi:
"Kakek guru! Kakek guru Lor Munding Saksana! Saya dari Perguruan Ujung
Kulon! Datang meminta bantuanmu! Guru kami Empu Sora dibunuh orang! Perguruan
terancam bahaya besar!"
Untuk pertama kalinya kakek-kakek
itu palingkan kepala. Dia memandang ke jurusan Udayana. Tapi cuma sebentar.
Sesat kemudian dia kembali komat-kamit makan daging burung mentah! Udayana
tidak putus asa. Meski suaranya sudah parau dan hampir hilang namun dia
berteriak terus. Si orang tua hentikan makannya untuk kedua kalinya.
"Sompret," makinya. "Kau manusia atau monyet huh?!"
"Kakek guru! Saya Udayana
dari...."
"Aku tidak tanya kau siapa.
Perduli amat sekalipun kau setan dari neraka! Aku tanya kau manusia atau
monyet?!"
"Saya manusia, kakek
guru...."
"Kalau manusia mengapa
berteriak macam monyet terbakar ekor?!"
"Kakek guru...."
"Aku bukan kakek gurumu!
Juga bukan moyang gurumu!" hardik si orang tua.
"Kalau begitu mungkin kau bisa
beri sedikit keterangan padaku...."
"Sompret! Aku bukan kotak
penerangan!"
Udayana jadi terdiam, tak tahu
apa yang musti dikatakannya. Hatinya kesal sekali sedang tubuhnya letih tiada
terkirakan. Dia akhirnya duduk menjelepok di tanah.
"Eh kunyuk! Mengapa duduk di
situ? Apa ini bukit bapakmu yang punya? Berdiri! Sompret!" bentak si orang
tua. Matanya melotot.
Udayana buru-buru berdiri dan
memaki dalam hati.
"Eh sompret! Kau memaki
dalam hati ya?! Kunyuk!"
Udayana terkejut. Mukanya
memucat. Tak diduganya si orang tua akan tahu bahwa dia memang memaki dalam
hati!
Orang tua rambut putih itu
menghabiskan daging burungnya lalu tulang-tulang burung seperti tadi dengan
sikap acuh tak acuh dilemparkannya ke kepala Udayana. Pemuda itu merunduk namun
anehnya tulang burung tetap saja mampir di kepalanya!
"Eh sompret!" kata si
orang tua seraya seka mulutnya. "Ada apa kau datang ke sini?!"
Harapan membayang dalam hati
Udayana. "Saya anak murid Perguruan Ujung Kulon. Datang untuk mencari
kakek guru bernama Lor Munding Saksana...."
"Eh siapa? Lor Bunting
Saksana...?"
"Bukan... Lor Bunting
Saksana!" membetulkan Udayana.
Orang itu tertawa. Kelihatanlah
gusinya yang ompong semua! "Ada apa kau cari itu manusia bernama Lor
Munding Saksana? Mau ngempeng sama dia huh?!"
Udayana memaki dalam hati.
"Nah... nah... kau memaki
lagi ya? Sompret!"
"Saya mencari kakek guru
karena Perguruan terancam bahaya besar sedang guru sudah mati dibunuh
orang!"
"Siapa nama gurumu?!"
"Empu Sora."
"Siapa yang membunuh!"
"Lutung Gila...."
"Eh masa manusia kalah sama
lutung? Lutung Gila pula!" tukas si orang tua.
"Lutung Gila hanya nama
julukan. Nama sebenarnya adalah Jayengrana. Tadinya murid Empu Sora
sendiri!"
"Eh lantas kenapa bunuh
gurunya?"
"Dia sudah gila dan
murtad!" jawab Udayana.
Orang tua itu diam seketika.
Lalu. "Jadi Lor Munding Saksana itu, kakek gurumu ya!"
"Betul! Orang tua."
"Kau belum pernah ketemu
dia?"
"Belum...."
"Tahu di mana
tinggalnya?"
"Kabarnya di Bukit
Bangkai...."
"Kau tahu di mana bukit
ini?"
"Tidak, orang tua."
"Goblok! Pergi ke puncak
bukit dan coba perhatikan lereng bukit di sebelah timur! Lekas!"
Dengan kesal tapi juga takut,
Udayana lakukan perintah si orang tua aneh. Ada apakah di lereng bukit sebelah
sana, pikir Udayana.
***
SEPULUH
JALAN menuju puncak bukit rapat
ditumbuhi pepohonan dan semak belukar namun Udayana, murid Perguruan Ujung
Kulon melangkah terus sampai akhirnya dia tiba di puncak bukit. Dilayangkannya
pandangan kebawah, ke lereng bukit sebelah timur dan tersiraplah darah pemuda
itu! Semangatnya serasa terbang! Lereng bukit sebelah timur ini sama sekali
gundul tandus. Tidak satu pohon atau semak belukarpun yang tumbuh! Dan di
lereng bukit tandus ini, dari barat sampai ke timur, dari puncak sampai ke
kaki, pokoknya sejauh mata memandang bertebaran berbagai rupa, tulang mulai
burung sampai kepada harimau, singa, buaya, gajah dan manusia! Tulang-tulang
itu sudah memutih, bersih, licin tiada berdaging lagi! Entah sudah berapa tahun
tulang-tulang ini berserakan di sana! Bagaimanakah tulang-tulang tersebut berada
di lereng bukit ini? Sedemikian banyaknya? Mungkin terjadi pembantaian di sini.
Pasti pernah terjadi pembunuhan besar-besaran, pikir Udayana. Dan barangkali si
orang tua aneh itulah yang melakukannya! Tak dapat dilukiskan kengerian Udayana
menyaksikan pemandangan tersebut. Tengkorak manusia...tulang-belulang
binatang... semuanya sudah pada rusak dan bercampur baur tak karuan! Berdiri di
puncak bukit tersebut seperti berdiri di hadapan pintu neraka rasanya bagi
Udayana!
Tubuhnya menggigil, lututnya goyah
gemetar. Tak tahan dia berdiri lebih lama di situ. Sebelum dirinya jatuh
pingsan menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu cepat-cepat anak murid
Perguruan Ujung Kulon itu putar tubuh dan ambil langkah seribu!
Dia lari seperti orang dikejar
setan sepuluh muka! Semak belukar diterjangnya. Pakaiannya robek-robek tak
diperdulikan, kadangkala tubuhnya terantuk dengan batang-batang pohon atau
kepalanya membentur cabang rendah! Tapi semua itu tak diacuhkannya! Dia lari
terus! Pokoknya asal bisa meninggalkan bukit itu, apapun yang akan terjadi
dengan dirinya, tak akan ambil perduli!
"Eei! Kunyuk! Mau lari ya?!
Sompret!" terdengar suara berteriak memaki.
Udayana tahu benar itulah
suaranya si orang tua yang tadi duduk di ujung ranting! Tanpa putar kepala lagi
untuk berpaling, pemuda ini segera tancap gas dan lari lebih kencang!
"Monyet! Berhenti!
Kembali!"
Tapi Udayana lari terus.
"Sompret!"
Tiba-tiba tubuh Udayana mematung
seperti batu. Jangankan lari, bergerak sedikitpun dia tak sanggup! Tubuhnya
mulai dari kepala sampai ke kaki dilibat oleh seutas tali hitam, kuat dan
kukuh! Sedetik kemudian kelihatanlah tubuh Udayana tertarik ke belakang dan
jatuh ke tanah menelentang. Di hadapannya berdiri orang tua berambut putih aneh
itu!
"Sompret! Kenapa kabur
hah?!" tanya orang tua itu membentak.
"Orang tua... a... aku
takut!"
'Takut! Apa yang kau takutkan
kunyuk?! Kau sudah pergi ke puncak bukit?"
"Ya, sudah...."
"Sudah lihat apa yang ada di
lereng sebelah timur?!"
"Sudah...."
"Apa yang kau lihat?!"
"Tu... tulang..." jawab
Udayana gemetar. Dia coba gerakkan tubuh, tak berhasil karena tali hitam masih
mengikat di sekujur tubuhnya! "Celaka!" pikir Udayana. "Pastilah
tubuhku akan digerogot oleh setan tua ini! Tulang-tulangku akan dibuang di
antara tumpukan tulang-tulang di lereng timur sana! Ampun!"
"Hai sompret! Kau bilang
lihat tulang tadi?!" terdengar bentakan si orang tua.
"Betul...."
"Tulang apa?!"
"Tul... tulang manusia...."
"Hanya tulang
manusia...."
"Tulang-tulang binatang
juga..."
"Binatang apa,
sompret!"
"Burung... kelinci...
rusa... kambing hutan...."
"Apalagi?!"
"Harimau!.. serigala...
buaya... gajah...."
"Sompret! Apa kau tidak
melihat tulang monyet?" bentak si orang tua.
"A... aku tidak tahu.
Mungkin ada...."
"Mungkin ada! Sompret! Kau
sama saja dengan monyet! Tunggu saja, sebentar lagi akan kuremukkan
tubuhmu! Tulang-belulangmu akan
kulemparkan ke lereng bukit sana!"
"Orang tua, aku
mohon...!" ujar Udayana setengah meratap. "Jangan celakai diriku! Aku
tidak bermaksud jahat! Aku tengah mengemban satu tugas berat dari perguruan!
Aku... aku murid Empu Sora dari
Ujung Kulon!"
Orang tua itu meludah ke tanah.
"Sekalipun kau murid setan alas dari neraka, siapa perduli!" bentak
orang tua berambut putih.
"Orang tua.... Harap kau
punya sedikit welas asih. Jika aku memang salah aku mohon maaf dan ampunmu!
Biarkan aku meninggalkan tempat ini. Aku harus cari kakek guru, aku harus temui
dia. Kalau tidak celaka semua! Perguruan Ujung Kulon akan ambruk! Manusia-manusia
jahat akan gentayangan lebih leluasa!"
"Sompret! Aku muak mendengar
omonganmu! Sekali aku bilang kau harus mampus, berarti kau benar-benar musti
mampus!"
Habis berkata begitu orang tua
aneh tapi ganas ini gerakkan tangan kanannya yang memegang ujung tali hitam.
Gerakannya perlahan saja tapi apa yang terjadi sungguh luar biasa. Tubuh
Udayana yang terlibat tali hitam itu tersentak dan terlempar ke atas. Ketika
tubuh itu kemudian jatuh dengan keras ke bawah Udayana tak sanggup lagi menahan
takutnya. Jeritan keras menggeledek dari mulut pemuda ini. Tapi hanya sejengkal
lagi tubuhnya akan terhempas ke tanah bukit, si orang tua sentakkan lagi tangan
kanannya. Tubuh Udayana serta-merta terlempar kembali ke atas!
Untuk kedua kalinya kemudian
pemuda itu jatuh lagi malah lebih deras dari pertama tadi. Dan celakanya kali
ini kepalanya menukik lebih dulu! Kembali Udayana menjerit. Kali ini putus
sudah harapannya. Dia bakal menemui kematian dengan kepala pecah menghunjam
tanah!
Namun pada saat batok kepala
pemuda itu hanya tinggal setengah jengkal dari tanah, kembali si orang tua
menyentakkan tali hitam yang dipegangnya. Akibatnya tubuh Udayana terlempar
setinggi tiga tombak ke udara. Si orang tua tertawa-tawa mengekeh seperti anak
kecil kegirangan bermain tali bandringan! Sambil terus tertawa-tawa tubuh
Udayana diputar-putarnya di udara. Pemuda itu sendiri tidak tahu apa yang
terjadi atas dirinya karena saat itu dia sudah jatuh pingsan.
"Walah tua bangka geblek!
Satu tahun lalu aku ke sini, tingkahmu sudah tidak karuan! Sekarang ternyata
kau makin tambah tidak waras!"
Terdengar suara melengking
tinggi. Baru saja suara itu lenyap berkelebatlah satu bayangan disertai
menebarnya bau busuk. Di hadapan si kakek kini tegak seorang nenek-nenek
mengenakan jubah putih dekil terbuat dari bahan yang sangat tebal. Sulit diduga
apakah pakaian atau tubuhnya yang menebar busuk, mungkin juga kedua-duanya.
"Jembel bau! Kau tidak
bosan-bosannya datang lagi ke tempat ini! Jangan harap kali ini aku akan
memberikan apa yang kau minta!" berkata orang tua berambut putih. Dia
hentikan tawanya tapi tubuh Udayana masih terus diputar-putarnya di udara
hingga mengeluarkan suara berdesing.
"Kau tidak mau berikan hari
ini, lain hari aku akan muncul lagi di sini! Sampai kau bosan! Hik... hik...
hik!" Nenek berjubah dekil membuka mulut.
"Kali ini jangan-jangan kau
tak bakal muncul lagi di tempat ini Nyi Gambir.... Ini kemunculanmu yang
terakhir kali!"
"Hik... hik... hik! Kenapa
begitu?!" Si nenek bertanya sambil tertawa cekikikan.
"Karena sebentar lagi, jika
urusanku dengan budak sompret ini selesai, aku akan membunuhmu!" jawab
kakek berambut putih.
"Membunuhku boleh-boleh saja
kakek kecoak! Kau memang manusia aneh! Minta nyawa orang tapi tak mau memberi
nyawa sendiri!"
"Eh nenek bau, apa
maksudmu?!"
"Kau sungguhan tidak mau
memberikan surat sakti itu padaku?!" bertanya nenek yang dipanggil dengan
sebutan Nyi Gambir itu.
"Tua bangka tak tahu diri!
Dulu aku bilang tidak, sekarangpun tidak!" jawab orang tua berambut putih.
"Hemmm.... Apa gunanya kau
simpan simpan surat itu kalau tidak dipergunakan?!"
"Dipergunakan atau tidak itu
bukan urusanmu!"
"Hik... hik.... Betapa
tololnya dirimu. Kau menyimpan satu petunjuk berharga. Yang bisa membawamu
menjadi raja diraja dunia persilatan. Tapi menyia-nyiakannya begitu saja. Apa
salahnya memberikan padaku...."
Sambil terus memutar tubuh
Udayana di udara, si kakek mendongak, tampaknya seperti tengah berpikir-pikir.
Tiba-tiba dari balik pakaiannya dia keluarkan sehelai kertas yang merupakan
sebuah surat dimana tertulis serangkaian kalimat berbunyi:
Kepada pendekar-pendekar utama
dari delapan penjuru angin
Siapa-siapa dari kalian yang
ingin merajai
dunia persilatan datanglah
membawa surat ini
ke Gua Iblis untuk mendapatkan
senjata ampuh Cambuk Iblis
(Mengenai surat iblis tersebut
harap baca serial Mahesa Kelud berjudul "Delapan Surat Kematian")
"Kau inginkan surat maha
berharga ini Nyi Gambir? Ambillah dari dalam perutku!"
Habis berkata demikian orang tua
rambut putih ini lantas masukkan kertas yang dipegangnya ke dalam mulut,
mengunyahnya lalu menelannya!
Si nenek sampai terbelalak
melihat kejadian itu. "Benar-benar tua bangka tolol!" katanya
memaki-panjang-pendek.. Tahu bahwa kedatangannya ke bukit itu merupakan
kesia-siaan besar si nenek segera bersiap angkat kaki dari situ. Namun dia
tidak mau pergi begitu saja sebelum memberi sedikit pelajaran pada si kakek.
Sambil umbar tawa cekikikan dia cabut lima lembar rambutnya yang berwarna
kelabu. Lalu sekali tangannya bergerak maka lima helai rambut itu melesat
ke udara laksana jarum-jarum saat
kemudian terdengar suara te tes... tes... tes!
Tali hitam yang dipegang si kakek
dan mengikat sekujur tubuh Udayana putus di lima tempat!
"Sompret!" teriak orang
tua rambut putih itu marah sekali. Dia hendak mengejar Nyi Gambir, tapi si
nenek sudah berkelebat pergi. Sambil menyumpah-nyumpah kakek ini terpaksa
tumpahkan perhatiannya pada sosok tubuh Udayana yang saat itu melayang jatuh.
Cepat dia angkat kedua tangannya. Tubuh Udayana tersentak beberapa kali lalu
kalau tadi jatuhnya begitu deras kini laksana ditahan oleh satu kekuatan yang
tidak terlihat, tubuh itu melayang turun secara perlahan-lahan hingga akhirnya
terbujur di tanah.
***
TAMAT
Selanjutnya :
BANJIR DARAH DI UJUNG KULON
PEDANG SAKTI KERIS ULAR EMAS
Karya: Bastian Tito
Episode 09
TELAGA API SALJU
SATU
EMPU SORA, tokoh silat dari Ujung
Kulon berada dalam kebimbangan. Sebelum meninggalkan Ujung Kulon dia sudah
bertekad bulat untuk turun tangan, menangkap Jayengrana alias Lutung Gila
hidup-hidup dan jika tidak mungkin langsung saja membunuhnya!
"Kalau tidak kubunuh dia,
apa pertanggungan jawabku pada perguruan yang ku pimpin. Apa pertanggung
jawabanku terhadap rimba persilatan!" Hati kecil Empu Sora berkata. Dalam
kebimbangan begitu rupa salah satu kakinya siap untuk melangkah pergi. Namun
tiba-tiba di belakangnya Lutung Gila keluarkan suara tawa bekakakan disusul
dengan ucapan mengejek merendahkannya.
"Tua bangka jelek! Icuh
biung! Memang lebih baik bagimu angkat kaki dari hadapanku! Sayang kalau
jauh-jauh datang ke sini cuma mau mengantar nyawa. Hik... hik... hik!
Umur tinggal sejengkal, badan
sudah bau tanah mengapa mau menyia-nyiakan sisa hidup! Ciluk biung...! Hik...
hik... hik!"
Empu Sora merasa kepalanya
membesar. Darahnya mendidih. Secepat kilat dia berbalik. Bersamaan dengan itu
tangan kanannya menghantam ke atas batok kepala Lutung Gila! Hebatnya,
menghadapi serangan maut seperti itu Lutung Gila malah tertawa bergelak. Kaki
dan kepalanya digerakkan sedikit dan wuttt! Pukulan Empu Sora menghantam tempat
kosong! Kejut orang tua itu bukan kepalang. Pukulan yang barusan dilancarkannya
bukan sembarang pukulan, benar-benar mematikan. Jangankan makhluk gila seperti
muridnya itu, para tokoh silat ternama sekalipun tidak mungkin mampu bergerak
mengelak secepat yang dilakukan Lutung Gila! Sempat terkesiap sejurus, Empu
Sora membentak.
"Bagus! Rupanya kau sudah
memiliki ilmu kepandaian yang kau anggap bisa diandalkan! Rupanya kau sudah
berguru kepada setan, kepada iblis! Pergunakan ilmu iblismu itu untuk
menghadapiku! Aku mau tahu sampai dimana kehebatanmu!"
Untuk kedua kalinya Empu Sora
lancarkan serangan ganas luar biasa. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan. Tapi
kali kedua inipun dia dibikin melongo karena serangannya hanya memukul tempat
kosong. Bahkan dirinya sendiri huyung karena menghantam udara kosong! Dengan
kalap Empu Sora kelebatkan diri dan lancarkan serangan tangan kosong
bertubi-tubi. Lutung Gila gerabak-gerubuk kian kemari berputar, miringkan
tubuh, kadang-kadang seperti orang bertarung, kadang-kadang seperti hendak
rebah. Sepuluh jurus berlalu. Pasir dan debu beterbangan! Semua serangan Empu
Sora satupun tak mengenai sasaran. Dielakkan dengan gerakan-gerakan aneh oleh
Lutung Gila sedang saat itu Lutung Gila masih juga terus menimang bayinya!
Dewa Tongkat tidak bisa heran!
Kedua mata melotot besar! Siapa mau percaya! Seorang berotak miring, sambil
mendukung bayi, dengan gerakan-gerakan aneh tak teratur macam monyet terbakar
ekor lompat sana lompat sini, berhasil mengelakkan serangan-serangan hebat dari
seorang tokoh silat utama macam Empu Sora sampai sepuluh jurus!
Di lain pihak di samping kobaran
amarah semakin menggelegak maka Empu Sora merasa malu bukan main tak dapat
turun tangan terhadap muridnya yang dianggapnya murtad itu, bahkan saat itu
disaksikan pula oleh Dewa Tongkat! Mau diletakkan di mana nama besar dan
mukanya!
Tanpa tedeng aling-aling Empu
Sora cabut pedangnya. Sinar hijau berkelebat menyilaukan! "Dosamu tidak
terampun lagi murid murtad!" bentak orang tua itu lalu menyerbu dengan
ganas. Pedangnya menyambar ke leher, membalik ke perut, menusuk ke dada dan
membacok hebat ke kepala! Angin menderu, debu dan pasir beterbangan!
"Icuh! Icuh! Biung... orang
tua gila! Orang tua sedeng! Mengapa serang aku?!" Lutung Gila lompat sana
lompat sini. Kakinya kadang-kadang kelihatan berputar-putar, bergeser aneh! Dan
dengan gerakan-gerakan yang serba asing itu semua sambaran pedang dapat
dielakannya!
Bukan kepalang marahnya Empu
Sora. Gerakannya dipercepat. Tubuhnya berkelebat. Sesaat kemudian hanya dua
bayangan sinar hijau yang kelihatan yaitu kelebatan jubah serta gulungan pedang
Empu Sora. Dua puluh jurus berlalu cepat sekali. Keringat dingin mengucur di
kening Empu Sora! Pada saat itulah terdengar suara nyaring berseru.
"Lutung Gila! Apakah kau
sudah bosan hidup membiarkan saja dirimu jadi bulan-bulanan pedang?! Letakkan
Lutung Bawean di atas batu itu dan bunuh orang tua jubah hijau! Dia orang tua
iblis!"
Mendengar suara yang tak asing
itu, Lutung Gila segera melompat ke luar menembus gulungan pedang hijau. Bayi
yang di dalam dukungannya diletakkan di atas sebuah batu besar lalu sambil
tertawa aneh menggidikkan dia melangkah mendekati Empu Sora. Bergidik juga
orang tua ini melihat cara dan suara tertawa muridnya itu. Tapi hanya sebentar
karena sesaat kemudian dia sudah menyerbu pula menyerang!
Kali ini Lutung Gila tidak
tinggal diam. Tubuhnya jingkrak-jingkrak. Kaki dan tangannya mencak-mencak
seperti anak kecil kegirangan. Dan setiap gerakan anggota tubuhnya itu
mengeluarkan angin keras dahsyat laksana topan, membuat serangan pedang hijau
Empu Sora seperti tertahan oleh selapis dinding baja yang tebal ampuh!
Menggerenglah si orang tua melihat bagaimana dia tak mampu maju selangkahpun
untuk mengirimkan serangan. Tubuhnya terhuyung-huyung limbung. Tiba-tiba
terdengar raung Empu Sora dahsyat membelah langit! Tubuhnya mental ke udara
sampai beberapa tombak dan menyangsang di antara dua cabang pohon dengan kepala
terkulai ke bawah! Dari mulutnya menggelegak darah kental. Tulang-tulang dada
dan iganya hancur remuk. Nyawanya putus. Pedang hijau di tangannya terlepas dan
menancap di tanah sampai ke hulu!
Waktu terdengar seruan perempuan
tadi, Dewa Tongkat memutar kepala dan melihat muridnya, Kemaladewi memakai baju
merah, rambut awut-awutan, muka kusut-masai berdiri di bawah sebatang pohon
randu!
Meski banyak perubahan pada diri
gadis ini namun kecantikannya masih tetap membayang! Iba juga hati Dewa Tongkat
melihat keadaan muridnya. Namun sebelum dia berbuat apa-apa ataupun bicara
kepada muridnya dia terpaksa putarkan kepala lagi ketika mendengar raung maut dari
Empu Sora! Dewa Tongkat kerenyitkan kening, sipitkan mata. Mukanya mengkerut
bergidik melihat kematian yang mengerikan dari Empu Sora!
Kemudian terdengar suara tertawa
nyaring melengking Kemaladewi. "Bagus! Bagus Lutung Gila! Iblis tua itu
memang harus mampus!"
Lutung Gila tertawa panjang, puas
dan gembira. "Biung ciluk! Baaa...!"
Dewa Tongkat tak dapat menahan
hatinya lagi. Karena perintah Kemaladewilah maka Lutung Gila membunuh gurunya
sendiri! "Kemala! Rupanya kaulah yang menjadi biang runyam selama ini!
Rupanya kau juga sudah berotak keblinger!"
"E... e... e... eeeee.
Kambing tua!" ujar Kemaladewi pada Dewa Tongkat seraya tolakkan pinggang.
"Kau datang ke sini mau minta disembelih?!"
Kedua mata Dewa Tongkat
terpentang lebar-lebar. Tubuhnya
menggigil gemetar karena amarahnya tidak terperikan! Seumur hidupnya baru hari
itu dia dikatakan kambing tua dan oleh muridnya sendiri pula! Sudah lupakah Kemala
pada dirinya atau memang gadis itu benar-benar sudah gila?!
"Demi Tuhan! Muridku, kau
berlututlah dan minta ampun kepadaku!" seru Dewa Tongkat. Kemaladewi
tertawa mengikik. "Kau yang harus minta ampun dan harus berlutut di
depanku, kambing tua!" tukasnya.
"Kemala! Kau benar-benar
kelewatan kurang ajar! Kelewatan murtad! Sudah memberi malu aku, sudah berbuat
kotor, saat ini kau memaki aku pula! Sulit bagiku untuk mengampuni kau punya
dosa!"
"Begok! Siapa yang minta
ampun dosa sama kau! Angkat kaki dari sini! Kalau tidak kau pasti akan minggat
menyusul kunyuk yang nyangsrang di pohon itu!" Kemaladewi menunjuk ke
mayat Empu Sora di atas cabang pohon. Marahlah Dewa Tongkat. Tanpa banyak
bicara lagi dia keluarkan tongkat rotan berkeluknya dan menyerbu. Tapi serangan
ini mudah dielakkan oleh Kemaladewi. Dewa Tongkat dengan penasaran sekali lalu
kirimkan serangan beruntun. Ujung tongkatnya yang polos menusuk ke pelbagai
penjuru sedang bagian yang berkeluk mengait ke leher, pinggang, ketiak dan
kedua kaki! Seperti Lutung Gila tadi, Kemaladewi membuat gerakan-gerakan tak
teratur, gerabak-gerubuk macam monyet terbakar ekor! Tapi justru dengan gerakan
yang asing aneh ini semua serangan Dewa Tongkat menjadi luput!
Seumur hidupnya baru hari itu
Dewa Tongkat menyaksikan ilmu silat seperti itu. Besar kepalanya menghadapi
murid sendiri yang bertangan kosong! Jika orang luaran sampai tahu bagaimana
Dewa Tongkat dipermainkan begitu rupa, lunturlah nama harumnya! Segera orang
tua ini merobah permainan tongkatnya. Senjata itu menderu menimbulkan angin
keras! Tongkatnya berubah seperti puluhan banyaknya dan tempat-tempat yang
diserang tiada terduga. Waktu berada di Lembah Rotan, Dewa Tongkat belum pernah
memberikan pelajaran ilmu ini kepada muridnya. Dengan keluarkan ilmu tersebut
dia mengharap akan dapat meringkus Kemaladewi. Tapi dugaannya meleset!
Meskipun permainan tongkat
gurunya aneh dan tak pernah dipelajarinya sebelumnya tapi dengan keluarkan ilmu
silat tangan kosong yang dipelajarinya dari Raja Lutung maka seperti tahu liku
jurus permainan lawannya, semua serangan Dewa Tongkat berhasil dielakkan bahkan
sebaliknya gadis itu mendesak Dewa Tongkat dengan hebatnya!
Jurus demi jurus orang tua itu
semakin kepepet. Didahului dengan pekik nyaring menggetarkan anak telinga.
Kemaladewi lancarkan serangan sehebat badai!
"Buk!"
Dewa Tongkat terguling di tanah.
Mengerang lalu muntah darah! Belum lagi dia bisa berdiri maka tendangan kaki
kanan Kemaladewi mendarat di batok kepalanya! Kepala itu rengkah, otak dan
darah bermuncratan!
Kemaladewi berdiri tolak
pinggang. Hatinya puas sekali dan suara tawanya tinggi meningkah. Lutung Gila
yang melihat gadis itu berhasil kalahkan lawannya bertepuk-tepuk gembira.
"Biung... biung! Kau hebat, hebat sekali ciluk!" katanya memuji.
Demikianlah, dua orang tua sakti, dua orang guru yang tadinya datang ke pulau
Bawean untuk menghukum murid masing-masing ternyata terpaksa pasrahkan nyawanya
di sana, menemui kematian dalam cara yang mengenaskan!
***
DUA
KEMBALI ke telaga Api-Salju
berair seputih salju mendidih.... Kedua kekasih itu sadarkan diri dalam waktu
yang hampir bersamaan. Mahesa Kelud membuka kedua matanya. Wulansari duduk
menggeletak di sampingnya, tengah berusaha bangun. Keduanya memandang
berkeliling. Ternyata mereka dikurung di satu ruangan empat persegi berdinding
putih tanpa pintu tanpa jendela.
"Mahesa, di mana
kita...?" tanya Wulansari berbisik.
Pemuda itu sendiri tak dapat
memastikan di mana mereka berada saat itu. Tadi dia ingat bagaimana dia bersama
kekasihnya dilemparkan ke dalam telaga berair putih. Kenapa tahu-tahu kini
berada di dalam ruangan tersebut? Apakah mereka sudah menjadi tawanan makhluk
aneh Si Api Salju? Apakah mereka masih berada di dalam telaga? Mustahil,
masakan di dasar telaga ada ruangan begini rupa!
Mahesa Kelud berdiri. Dia membaca
mantera. Tangan kanannya kemudian bergetar. Tenaga dalamnya berpusat. Dia
melangkah mendekati salah satu bagian dinding putih dan memukul dengan aji
"batu karang". Pemuda itu mengeluarkan seruan kesakitan. Tubuhnya
terhuyung beberapa langkah ke belakang sedang tangannya yang dipakai memukul
lecet! Dia menggigit bibir menahan sakit! Selama dia memiliki ilmu pukulan batu
karang itu, tak ada satu kekuatan apapun sanggup menahannya. Batu karang hancur
remuk, besi bobol! Mahesa Kelud berpaling pada Wulansari dan memandang berkeliling.
Saat itulah terdengar suara
sesuatu yang berat bergeser. Tiba-tiba dinding putih sebelah kanan terbuka.
Serentak dengan itu didahului oleh teriakan yang mengerikan melompat masuk satu
bayangan putih! Api Salju! Kini kedua kekasih itu sama tahu bahwa mereka memang
masih berada ditempat makhluk aneh sakti itu, menjadi tawanan! Keduanya berdiri
merapat dan bersiap sedia kalau-kalau terjadi apa-apa. Dinding yang terbuka di
belakang Api-Salju telah menutup kembali dengan sendirinya.
"Bodoh!" teriak Api
Salju. Kakinya dihentakkan ke lantai. Ruangan Putih itu bergoyang keras.
"Bodoh!" katanya sekali lagi. Mahesa dan Wulansari saling melirik.
Keduanya serentak menjura. "Api Salju, kami datang dengan maksud baik,
mengapa dikurung ditempat ini?"
"Bodoh!" teriak Api
Salju lagi. Kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya jungkir balik. Kini
dia berdiri di atas kedua tangannya, kaki ke atas. "Bodoh!" teriaknya
lagi. Kedua kakinya digerak-gerakkan ke muka dan ke belakang. Angin laksana
badai menyambar di seantero ruangan. Tubuh Mahesa Kelud dan Wulansari
berpelantingan. Api Salju hentikan perbuatannya dan tiupan angin dahsyatpun
lenyaplah. "Bodoh!" teriak makhluk itu kembali. Dia jungkir balik
lagi dan berdiri kembali di atas kedua kakinya. Kemangkelan terbayang di mukanya
yang penuh bulu putih itu.
"Besok aku akan kembali lagi
ke sini! Jika kalian masih berlaku bodoh, kalian akan mampus!" Api Salju
keluarkan lengkingan dahsyat. Dinding putih di belakangnya membuka dan sesaat
kemudian tubuhnya pun raiblah di balik dinding!
Untuk beberapa lamanya kedua
pasang mata mereka masih saja memandang pada dinding yang tadi menutup. Mahesa
maju dan coba meneliti, tapi batas sambungan sama sekali tidak kelihatan.
Dicobanya memukul, tapi tangannya yang jadi sakit dan lecet!
"Aku tak mengerti mengapa
kita terus-terusan di katakan bodoh!" ujar si pemuda. Wulansari hanya bisa
menarik nafas dalam. Keduanya berdiam diri mencoba memecahkan rahasia kata-kata
Api-Salju tadi.
"Jika kita dikatakan
bodoh..." desis Wulansari antara kedengaran dan tidak, "Berarti kita
harus melakukan sesuatu. Sesuatu yang tidak bodoh! Tapi apakah itu?"
Sunyi lagi. Keduanya sibuk dengan
pikiran dan mencari jalan pemecahan masing-masing. Disamping itu, karena
terkurung di dalam ruangan tertutup mereka tidak pula dapat menentukan apakah
saat itu hari siang atau malam. Berapa lama lagi datangnya hari esok yang
dikatakan oleh Api-Salju itu? Mereka dikatakan bodoh tetapi mereka tidak tahu
kebodohan apakah yang mereka lakukan. Dan bila besok Api-Salju datang, mereka
masih saja dikatakan bodoh, berarti tamat riwayat mereka!
"Aku dapat akal!" kata
Wulansari tiba-tiba. Mahesa Kelud memandang paras kekasihnya dengan harap-harap
cemas. "Akal apa?" tanyanya.
"Jika Api-Salju besok datang
dan mengatakan kita bodoh, kita tanyakan saja padanya perbuatan bodoh apakah
yang kita lakukan!"
Mahesa Kelud berpikir sebentar
lalu gelengkan kepala. "Justru dengan bertanya kepadanya itulah kita
memperlihatkan kebodohan kita! Dan putuslah nyawa kita, Wulan!"
Apa yang dikatakan Mahesa terasa
benar bagi si gadis dan ini membuat dirinya terdiam. Tiba-tiba terdengar benda
bergeser. Dinding putih membuka. Api-Salju masuk dengan segala kehebatannya.
"Hari esok sudah tiba!" serunya.
Menggigillah tubuh Wulansari.
Mahesa Kelud sendiri gemetar sekujur tubuhnya. Mereka tidak menyangka bahwa
hari esok yang dimaksudkan oleh Api-Salju tidak lebih dari beberapa saja!
Api-Salju berdiri tolak pinggang. Tiba-tiba dia jungkir balik, tangan di bawah
kaki ke atas. Entah bagaimana saja, mendadak Mahesa Kelud mendapat firasat. Dia
berbisik pada kekasihnya. "Kalau kita harus mati di sini, mungkin itu
sudah takdir. Wulan, cepat tirukan perbuatannya!"
Mahesa Kelud bergerak meniru
perbuatan Api-Salju. Dia berdiri dengan kaki ke atas tangan ke bawah. Dalam
kebingungannya, Wulansari meniru pula perbuatan Mahesa.
"Bodoh!" teriak
Api-Salju.
"Bodoh!" teriak Mahesa
Kelud.
"Bodoh!" menirukan
Wulansari.
Api-Salju gerak-gerakan kedua
kakinya dan angin membadai bersiuran. Mahesa dan Wulansari meniru pula, sama
menggerakkan kaki masing-masing dan anehnya tubuh mereka tidak berpelantingan
tersapu sambaran angin yang keluar dari kedua kaki Api-Salju bahkan dari
kaki-kaki mereka kiri kanan melesat pula keluar pukulan-pukulan angin yang tak
kalah dahsyatnya sehingga tiupan angin di dalam ruangan putih tersebut menjadi
seimbang. Ruangan bergoyang keras laksana kapal oleng dilanda ombak besar di
tengah lautan!
Api-Salju putar tubuh dan berdiri
diatas kakinya kembali. "Bodoh!" teriaknya.
Mahesa serta Wulansari tak
tinggal diam. Keduanya berbuat yang sama pula dan berteriak: "Bodoh!"
Tiba-tiba Api-Salju memukulkan
kedua tangannya ke muka. Dua sinar putih panas dan menyilaukan mata melesat ke
arah dua kekasih itu. Tubuh mereka mental terpelanting ke dinding putih di
belakang mereka. Pakaian mereka hangus tapi mereka tidak terluka! Keduanya
menjadi heran tapi tidak memikirkan lebih lama keanehan itu sebaliknya
cepat-cepat pula meniru memukulkan kedua tangan masing-masing ke muka! Dan
kelihatanlah empat sinar putih menyambar ke luar dari telapak-telapak tangan
mereka ke arah Api-Salju. Tubuh Api-Salju laksana sebuah pohon kelapa ditiup
angin bergoyang menghuyung tapi kedua kakinya tetap tidak bergeser! Mahesa dan
Wulansari sama keluarkan seruan tertahan. Mereka hanya meniru-niru saja, lain
tidak!
Tapi bagaimana tahu-tahu dari
kaki dan kedua tangan mereka bisa keluar pukulan-pukulan angin dahsyat itu!
Pukulan Api-Salju?! Kedua pendekar muda ini tidak tahu bahwa mereka
sesungguhnya bernasib untung berbintang terang. Selama satu hari satu malam
mereka terkubur di dasar telaga air putih. Pada saat itulah terjadi
kemujizatan. Melalui pori-pori di seluruh kulit tubuh mereka merasuk masuk
kekuatan dahsyat yang mengandung ilmu kesaktian pukulan Api-Salju yang melarut
di dalam air telaga untuk kemudian masuk ke dalam tubuh mereka dan larut di
dalam darah!
"Bodoh!" teriak
Api-Salju.
"Bodoh!" meniru Mahesa
Kelud.
"Bodoh!" menuruti pula
Wulansari.
Api-Salju turunkan tangannya yang
bertolak pinggang lalu tertawa berkakakan! Kedua kekasih itupun tertawa pula
bekakakan!
Tiba-tiba Api-Salju hentikan
tawanya dan bertanya: "Mengapa kalian tirukan semua perbuatan dan ucapanku
hah?!"
"Kami tidak ingin jadi orang
bodoh!" jawab Mahesa Kelud beranikan diri meski diam-diam hatinya kecut
karena dia belum tahu apakah makhluk sakti itu tetap akan melaksanakan niat
untuk membunuhnya bersama Wulansari atau tidak!
"Bukankah meniru berarti
bodoh?!" Api-Salju tertawa menggidikkan.
Mahesa berpaling pada Wulansari.
"Celaka, Mahesa. Tamatlah riwayat kita," kata gadis itu. Suaranya
menyendat dan mukanya pucat pasi!
Tapi Mahesa tak kehabisan akal.
Pemuda cerdik ini segera buka mulut berikan jawaban.
"Tapi yang kami tirukan
adalah perbuatanmu. Jika kami mati, kau pun harus mati!"
Tertawalah Api-Salju mendengar
ucapan Mahesa Kelud itu. "Kau pemuda cerdik!" katanya. Pandangan mata
yang merah yang tadi begitu ganas kini kelihatan berseri.
"Kalian berdua sama
beruntung! Apa kalian tak tahu bahwa selama dua hari di tempatku kalian sudah
meresapkan ilmu pukulan Api-Salju?"
Kejut Mahesa Kelud dan Wulansari
bukan main! Mereka saling pandang dan melotot seperti tak percaya akan
pendengaran!
Benarkah? Sungguhkah mereka sudah
memiliki ilmu pukulan Api-Salju itu? Selama dua hari dua malam mereka tidak
sadarkan diri, kapan pula mereka telah belajar ilmu pukulan tersebut? Ini
benar-benar satu hal yang tidak dimengerti!
Api-Salju maklum apa yang
terpikir dalam kepala kedua orang itu. Dia segera memberikan keterangan.
"Kalian berdua ketahuilah! Bahwa siapa-siapa yang tenggelam kedasar telaga
berair putih lebih dari setengah hari maka dia akan meresapkan ilmu pukulan
sakti tersebut dengan sendirinya tanpa dipelajari, tanpa membaca
mantera-mantera waktu mempergunakannya!"
Mendengar ini maka dengan serta
merta kedua orang ini jatuhkan diri ke lantai dan berseru: "Guru!"
Api-Salju tertawa menggumam. "Kalian cerdik tapi kali ini unjukkan lagi
kebodohan!" katanya. "Siapa yang angkat kau jadi murid maka memanggil
aku guru? Siapa yang ajar kalian ilmu pukulan itu? Tidak seorangpun. Tidak aku
dan juga tidak setan jin dedemit hantu gentayangan! Kalian telah mempelajari
dan memilikinya sendiri tanpa ada yang mengajar, tanpa kalian sadari. Kalian
cuma menang di dalam dua hal, yaitu nasib baik serta cerdik. Jika saja kalian
tidak meniru perbuatan dan ucapanku tadi, tamatlah riwayat kalian!"
Mahesa dan Wulansari ingat pada
kata-kata guru mereka Suara Tanpa Rupa yaitu bahwa ilmu pukulan Api-Salju tak
bisa diajarkan, harus dicari langsung ke sumbernya. Bahwa jika mereka bernasib
untung mereka akan mendapatkannya dan kalau tidak terpaksa menebus dengan
nyawa!
"Kalian mengaku anak-anak
murid Suara Tanpa Rupa." terdengar suara Api-Salju.
"Apakah guru kalian yang
menyuruh datang kemari?"
"Betul," jawab kedua
orang tersebut.
"Apa katanya?!"
"Cari telaga berair putih
mendidih karena di situlah sumber ilmu pukulan Api-Salju," sahut Mahesa.
"Hanya itu saja
katanya?"
"Ya."
Api-Salju tertawa puas.
"Gurumu seorang sakti yang cerdik dan patuh! Ketahuilah oleh kalian, siapa
saja boleh datang kemari untuk mendapatkan ilmu pukulan Api-Salju. Tapi
sekali-sekali tidak boleh diberitahu cara-cara untuk mendapatkan ilmu tersebut!
Jika rahasia dibukakan maka yang diberi tahu dan yang memberitahu akan menemui
ajal! Kalian ingat betul-betul pantangan tersebut! Dan kalian ketahui pulalah.
Dalam dunia persilatan sampai saat ini hanya ada lima orang yang memiliki ilmu
pukulan Api-Salju tersebut. Pertama gurumu si Suara Tanpa Rupa, kedua dan
ketiga kalian berdua, keempat Kyai Gandasuli di gunung Merapi dan kelima aku
sendiri! Di antara yang berlima ini
kalian berdualah yang paling untung karena kalian yang termuda!"
Kedua orang muda itu
manggut-manggut penuh suka cita. "Kemudian kalian harus ingat pula bahwa ilmu pukulan tersebut hanya ampuh
dipergunakan untuk kebaikan. Seandainya dipakai buat kejahatan maka ilmu
tersebut akan membalik menyerang diri kalian sehingga tubuh kalian menjadi
panas laksana api dan dingin laksana salju. Dan keadaan panas dingin itu tubuh
kalian akan membatu lalu lumer dan mampus laksana sebuah getah damar
terbakar!"
Api-Salju memandang pada kedua
orang itu untuk penghabisan kalinya lalu berkata: "Nah, kalian telah
beruntung. Pertemuan kita cuma di sini!" Api-Salju membuka mulutnya lebar-lebar
dan dari mulut itu keluarlah kepulan asap hitam pekat. Dinding ruangan yang
putih bersih berubah sontak menjadi hitam legam sehingga ruangan itu gelap
gulita, jari di depan matapun tiada kelihatan! Mahesa dan Wulansari
terbatuk-batuk waktu kepulan asap hitam memasuki liang hidung dan mulut mereka.
Keduanya menggeletak ke lantai tanpa sadarkan diri!
***
TIGA
KETIKA keduanya siuman kembali,
mereka dapatkan diri mereka berhamparan tak berapa jauh di tepi telaga
Api-Salju. Tapi anehnya kini air telaga itu tidak lagi berwarna putih seperti
salju, tidak lagi mendidih serta mengepulkan asap melainkan seperti air-air
telaga kebanyakan lainnya, bening tenang antara hijau kebiruan.
"Dunia serba aneh,"
desis Mahesa Kelud. Dia memandang pada Wulansari dan terkejut melihat muka
serta tangan kaki dan sekujur tubuh kekasihnya itu hitam celemongan?!
"Wulan! Tubuhmu kenapa
celemongan?!" Saat itu si gadis berbaring menelentang. Dia putar kepalanya
sedikit dan dengan tersenyum berkata. "Tubuhmu sendiri celemongan mulai dari
ujung rambut sampai ujung kaki!"
Mahesa Kelud meneliti dirinya.
Apa yang dikatakan Wulansari memang benar. Keadaan dirinya tiada beda dengan
diri gadis itu. Mahesa mau tak mau jadi tertawa sendirian. "Lapisan debu
hitam ini pasti berasal dari kepulan asap yang keluar dari mulut Api-Salju
waktu di ruangan putih! Kau ingat?" Wulansari mengangguk lalu bangun
duduk. Dia memandang ke telaga. "Bagaimana kalau kita bersihkan diri di
telaga itu?" tanyanya.
"Jangan Wulan. Meski bentuk
telaga ini beda dengan yang kita lihat dua malam lewat, tapi sebaiknya kita
cari tempat lain. Barangkali ada sungai di dekat-dekat sini!". Keduanya
pun berdirilah. Memang tak berapa jauh dari situ terdapat sebuah anak sungai.
Masing-masing mencari tempat yang baik dan mulai membersihkan diri. Kemudian
mereka duduk di tepi sungai. Saat itu hari masih pagi. Udara sekitar mereka
rindang dan sejuk. Lebih-lebih bila angin bertiup sepoi-sepoi basah nyaman
sekali rasanya. Wulansari memperhatikan jari-jari tangannya yang dipermainkan
Mahesa Kelud dan balas meremas. "Wulan..." kata pemuda itu.
"Ya Mahesa?" sahut si
gadis seraya sandarkan kepalanya ke bahu Mahesa Kelud.
"Coba kau ingat baik-baik.
Sudah berapa lamakah kita saling kenal satu sama lain...?"
"Maksudmu sejak mula pertama
aku bertemu dengan kau dan kita berkelahi itu?"
Ya," jawab Mahesa dengan
mengulum senyum.
"Hemmm... kurasa hampir tiga
tahun, Mahesa."
"Betul, tiga tahun. Cukup
lama sekali bukan? Dan selama tiga tahun itu banyaklah berbagai hal dan
pengalaman yang kita hadapi dalam suasana duka maupun suka. Dan masih ingat
pulakah kau akan apa yang pernah kita cita-citakan, Wulan...?"
Dada gadis itu berdebar. Kedua
pipinya yang montok kelihatan memerah. "Aku tak pernah melupakan hal itu,
kakak," katanya membisik.
"Kurasa sudah saatnya kini
kita melaksanakan apa yang kita cita-citakan itu, Wulan. Lagi pula gurupun
sudah menyerahkan nasib perjodohan kita di tangan kita masing-masing.
Bagaimanakah pendapatmu?"
"Aku... aku hanya menurutkan
apa katamu saja, kakak," jawab gadis itu dengan tundukkan kepala. Sedang
kedua matanya berkaca-kaca.
"Aku sudah merencanakan
untuk membangun satu tempat kediaman di puncak Gunung Muria di pantai utara.
Juga merencanakan untuk mendirikan satu perguruan silat di sana. Setujukah
kau?"
Wulansari anggukkan kepala.
Ketika Mahesa Kelud memandang kejurusan lain, cepat-cepat dia menyeka kedua
matanya.
"Mahesa... sebelum kita ke
Gunung Muria maukah kau ke kampungku lebih dahulu. Disana masih ada
kenalan-kenalan dekatku. Kalau kau tak keberatan aku lebih suka agar kita...
menikah di sana saja..."
"Itu baik sekali!" ujar
Mahesa Kelud dengan hati gembira. Diciumnya pipi kekasihnya lalu berdiri.
"Mari kita lanjutkan perjalanan. Kampungmu cukup jauh dari sini,
Wulan."
Kedua manusia yang berbahagia itu
melangsungkan pernikahan di kampung Banjaran. Dari sini mereka kemudian
berangkat ke Gunung Muria di utara. Perjalanan penuh suasana mesra, karena
antara mereka yang sudah jadi suami istri tak ada lagi batas penghalang. Mereka
bisa berbuat apa saja sebagai suami istri dan di mana serta kapan saja!
Gunung Muria sebuah gunung
tinggi, terletak di pesisir utara pulau Jawa. Di sinilah Mahesa Kelud membangun
rumah dan tinggal bersama istrinya. Mereka hidup bahagia. Tiga bulan kemudian,
karena banyak tugas-tugas yang harus dilaksanakannya maka Mahesa turun dari
gunung meninggalkan istrinya yang waktu itu tengah mulai mengandung!
Tugas-tugas yang masih harus dilaksanakan Mahesa Kelud di antaranya yang
terpenting adalah mencari pedang Samber Nyawa, kemudian mencari manusia bernama
Simo Gembong. Lalu mencari Dewi Maut di sebuah Lembah Maut yang kabarnya
terletak di ujung timur pulau Jawa. Di samping ketiga tugas-tugas penting
tersebut masih ada satu hal yang harus dilaksanakannya terlebih dahulu yakni
memenuhi janji dengan Namadjeni, si orang tua sakti yang dulu pernah
ditolongnya. Sudah hampir satu tahun berlalu dan berarti sudah memasuki waktu
perjanjian yang telah ditetapkan. Berat sungguh berpisah dengan istri. Apalagi
mereka masih dalam suasana pengantin baru. Tapi demi tugas dan kepatuhan
sebagai seorang murid terhadap guru maka kepentingan pribadi ditinggalkan. Tak
diceritakan lagi perjalanan pendekar itu maka pada suatu hari sampailah Mahesa
Kelud ke tepi rawa-rawa lumpur di mana dulu pertama kali dia bertemu dengan
Namadjeni yang sedang disiksa oleh muridnya Langlangseta! Berhari-hari Mahesa
Kelud menunggu Hari berganti minggu. Sudah dua minggu tapi Namadjeni tak
kunjung datang! Dia tidak percaya kalau orang tua tersebut menipunya atau tidak
akan menepati janji. Tapi dalam waktu yang sudah ditentukan mengapa tahu-tahu
dia tidak muncul? Barangkali terjadi apa-apa dengan orang sakti itu?!
Mahesa memutuskan untuk menunggu
sampai satu minggu lagi. Ketika satu minggu berlalu pula maka diapun bersiaplah
untuk meninggalkan tempat tersebut dengan hati kecewa. Mendadak di hadapan
sebuah pohon kayu besar dia hentikan langkah. Pada batang kayu ini terdapat
rentetan kalimat yang agaknya dibuat dengan jari-jari tangan dengan
mempergunakan tenaga dalam yang tinggi. Di sini tertulis:
"Pergi ke timur,
hentikan langkah di pohon
beringin.
Tirulah perbuatan tikus
Ketuk pintu masuk goa
Sudah lama menunggu pendekar
Senjata ampuh sukar tandingan
Seribu nyawa seribu bahaya
Tabahkan hati kuatkan nyawa
Senjata sakti pasti bersua
Mahesa membaca sekali lagi
rentetan kalimat-kalimat tersebut. Meski tiada nama penulisnya namun dia sudah
dapat memastikan bahwa tulisan tersebut adalah Namadjeni yang membuatnya.
Kalimat demi kalimat diingatnya baik-baik. Kemudian sebagaimana yang tertunjuk
maka Mahesa segera berangkat lurus ke timur! Ketika malam tiba pohon beringin
yang dimaksudkan belum juga ditemuinya. Mahesa berhenti untuk berkemah. Paginya
perjalanan dilanjutkan kembali. Terus-terusan dia menuju ke timur. Empat hari
berlalu. Hatinya mulai was-was dan ragu karena selama itu tidak satu pohon
beringinpun yang ditemuinya. Perjalanan sukar bukan main! Pada tengah hari
ketujuh akhirnya ditemuinya juga sebuah pohon beringin, yang terletak di tengah
hutan belantara tiada tertembus matahari! di sini dia berhenti. Dia
mengingat-ingat rentetan kalimat yang dibacanya di batang pohon tempo hari.
"Pergi ke timur
Hentikan langkah di pohon
beringin
Tirulah perbuatan tikus...."
Sampai di sini Mahesa termenung.
Apakah maksudnya dengan kalimat ketiga. "Tirulah perbuatan tikus..."
Ditelitinya pohon beringin dan keadaan sekitarnya kalau-kalau akan menemukan
petunjuk lain. Tapi sama sekali tidak ada. Mahesa termenung dan termangu.
Apakah yang harus diperbuatnya? Perbuatan tikus yang macam manakah yang harus
dilakukannya? Dalam dia termangu-mangu seperti saat itu di dekat kakinya
menggeresek sesuatu. Dia memandang ke bawah dan seekor tikus lewat di
hadapannya, menyelinap di antara akar-akar besar dan lenyap di dalam sebuah
lobang!
Mahesa berpikir, apakah perbuatan
tikus masuk ke lobang itukah yang harus ditirukannya?! Mustahil! Mana mungkin
tubuhnya yang sebesar itu harus masuk ke dalam lobang? Kakinya saja pun tak
akan masuk!
Sambil terus berpikir-pikir
Mahesa melangkah mengelilingi pohon besar tersebut. Di beberapa bagian
dikoreknya tanah di bawah akar pohon dengan ujung ibu jarinya. Dalam korek
mengorek itu tiba-tiba terbukalah sebuah lobang sebesar kepala. Mahesa
terkejut. Dia membungkuk dan mempergunakan tangannya untuk memperbesar lobang
itu. Tanah di sekitar berguguran dan akhirnya kelihatanlah sebuah lobang besar
yang merupakan mulut sebuah lorong di bawah tanah, di bawah pohon beringin!
Tanpa ragu-ragu Mahesa Kelud
terjun ke dalam lobang dan memasuki lorong tanah yang gelap itu! Beberapa kali
kepalanya tertumbuk tanah bagian atas lorong. Matanya perih kelilipan tapi dia
jalan terus. Semakin jauh masuk ke dalam semakin gelap serta sempit lorong
tersebut. Dari arah mukanya datang menyambar hidung bau busuk yang memuakkan!
Nafas orang muda ini mulai menyengal. Kekuatannya seperti disedot. Dari
membungkuk-bungkuk kini dia hanya bisa merayap perlahan. Tubuhnya sudah basah
oleh keringat dan kotor oleh tanah. Tapi hatinya dikeraskan untuk maju terus
sementara bau busuk dari mukanya semakin menjadi-jadi juga! Dia ingat pula akan
rentetan kalimat yang berbunyi: Tabahkan hati kuatkan jiwa. Mahesa merayap
terus tapi tenaganya benar-benar sudah habis sedang nafasnya sudah menyesak.
Dalam keadaan seperti itu akhirnya dia melosoh ke tanah tanpa sadarkan diri!
Dia tak tahu entah berapa lama
dia pingsan. Juga tidak tahu apakah di luar sana hari masih siang atau sudah
malam. Kedua matanya dibuka tapi seperti sebelumnya dalam lorong itu hanya
kegelapan belaka yang dilihatnya. Dengan mengumpulkan tenaga yang ada Mahesa
maju merangkak kembali. Tiba-tiba satu pikiran terlintas di kepalanya. Dia
segera memperbaiki keadaan dirinya. Tenaga dalamnya dialirkan ke tangan kanan
lalu dipukulkan ke muka!
Seperti suara angin punting
beliung gulungan tenaga dalam yang dipukulkan itu melesat sepanjang lorong
gelap. Tanah lorong terkikis mengepulkan abu. Mahesa menutup mata dan
hidungnya. Dia menunggu dan memasang telinga. Suara seperti angin punting
beliung yang disebabkan oleh tenaga dalamnya hilang dikejauhan. Satu dua saat
kemudian suara itu terdengar kembali. Mula-mula perlahan lalu makin keras,
makin keras, makin dekat dan....
Mahesa Kelud jatuhkan dirinya
serata mungkin ke tanah lorong. Hantaman tenaga dalamnya yang dikirimkan ke
muka berbalik kembali dan memukul ke arahnya! Meski dia sempat jatuhkan diri
tak urung dia masih kena terseret sampai beberapa tombak ke belakang! Mahesa
menarik nafas dalam. Dari lamanya tenaga dalam itu kembali segera dimakluminya
bahwa ujung dari lorong dimana dia berada saat itu masih sangat jauh! Mahesa
kertakkan geraham. Dia merayap lagi disepanjang lorong. Berjam-jam kemudian bau
busuk semakin santar menyambar hidungnya. Ini suatu tanda bahwa dia sudah dekat
pada benda yang mengeluarkan bau busuk itu. Dan perhitungannya itu memang
benar. Selewatnya satu tikungan tajam maka di mukanya kelihatanlah sinar
berkilauan. Mahesa merayap lebih cepat. Sinar menyilaukan itu ternyata
ditimbulkan oleh sebuah pintu besar terbuat dari baja putih! Dan nyali orang
muda ini jadi mengkerut ketika dia menyaksikan apa yang bertebaran di hadapan
pintu baja tersebut!
***
EMPAT
DI SANA, di depan pintu baja
bertebaran jerangkong-jerangkong manusia dan mayat-mayat yang membusuk. Ada
yang tersandar ke pintu, ada yang menggeletak patah siku di pojok mulut
terowongan dan ada pula yang berhamparan di tanah. Kebanyakan dari
tengkorak-tengkorak manusia dan mayat-mayat ini berada dalam keadaan berantakan
serta rusak. Mungkin sekali ini disebabkan oleh pukulan tenaga dalam yang
dilancarkan Mahesa Kelud waktu di dalam terowongan tadi! Pemuda itu menutup
hidungnya. Bau mayat yang rusak dan busuk seakan-akan hendak merurutkan bulu
hidung, bahkan seperti mau menanggalkan hidungnya!
Apakah yang telah terjadi di sini
sebelumnya! Di muka pintu baja itu? Apakah telah terjadi pembantaian! Apa pula
yang tersembunyi di balik pintu baja di hadapannya? Dengan kuatkan hati Mahesa
Kelud coba meneliti mayat-mayat di hadapannya. Kemudian dilihatnya bahwa pada
setiap mayat tertancap dua sampai lima buah keris berwarna kuning hulunya
berbentuk kepala ular, mungkin keris ular emas beracun! Pada tulang-tulang iga
jerangkong-jerangkong yang masih agak utuh juga dilihatnya benda-benda yang
sama! Pasti sudah semua manusia-manusia itu menemui ajalnya karena
tusukan-tusukan keris tersebut! Tengkuk Mahesa Kelud merinding. Matanya
dipejamkannya seketika dan dia teringat pada kalimat keempat: Ketuk pintu masuk
ke goa. Pintu inilah pasti yang dimaksudkan. Dan apakah yang akan menyambutnya bila
pintu itu terbuka? Seekor binatang buas? Seorang raksasa? Hantu iblis? Ataukah
senjata-senjata rahasia? Apapun yang menyambutnya pastilah bahaya maut, pikir
Mahesa karena dia ingat akan kalimat ketujuh berbunyi: Seribu nyawa seribu
bahaya!
Mahesa Kelud bergerak di antara
tebaran jerangkong dan mayat-mayat membusuk. Diulurkannya tangan kirinya untuk
mengetuk pintu baja lalu cepat-cepat dia menghindar ke samping. Anehnya pintu
baja yang diketuk itu mengeluarkan suara nyaring laksana sebuah gong besar yang
ditempa! Suara getaran bunyi pintu ini menggelombang keras membuat
tebaran-tebaran jerangkong dan mayat bergelinding kian kemari. Mahesa Kelud
sendiri turut menghuyung tubuhnya! Tapi tak satu apapun yang terjadi. Mahesa
ulurkan tangan kiri kembali untuk mengetuk kedua kalinya. Tapi cepat-cepat
tangannya ditarik pulang! Karena tiada disangka sama sekali mendadak sontak
pintu baja itu membuka lebar dan setiup angin laksana badai menyambar ke luar!
Lusinan jerangkong melesak menyumpal di mulut lorong! Dan semuanya dalam
keadaan hancur lebur! Dingin kuduk Mahesa Kelud. Kalau saja dia tidak cepat
hindarkan diri ke samping pastilah nasibnya akan sama dengan mayat-mayat dan
jerangkong-jerangkong itu! Hancur lebur. Dan hanya namanya saja yang akan
pulang ke puncak Gunung Muria!
Beberapa saat berlalu. Tak
terjadi apa-apa. Mahesa melangkah dengan hati-hati mendekati pintu bersiap
masuk. Namun baru saja sebahagian dari tubuhnya mendekati pintu yang terbuka
itu, dari ruangan batu yang gelap di dalamnya berdesingan beberapa buah benda
kuning. Mahesa secepat kilat menghindar ke samping kembali. Namun tak urung
salah satu dari benda tersebut masih sempat menyerempet lengan bajunya.
"Bret!" Lengan baju itu robek besar. Hawa panas dan jahat mengalir ke
lengannya terus ke badan tapi segera sirna oleh hawa sakti yang keluar dari
pedang merah di balik punggung Mahesa Kelud. Pada saat yang sama lima buah
benda bertancapan susul menyusul di dinding tanah di atas mulut lorong. Ketika
diperhatikan oleh Mahesa ternyata kelima benda itu adalah keris-keris kuning
emas yang hulunya berbentuk kepala ular! Mahesa teringat pada tumpukan
jerangkong dan mayat manusia yang tadi dilihatnya. Tentu nasib buruk itulah
yang akan dialaminya jika saja dia tidak keburu melompat ke samping. Laki-laki
ini usap tangan kirinya ke mukanya yang
keringatan. Dia menunggu lagi. Sunyi saja selama beberapa saat. Mahesa
berpikir-pikir siapakah gerangan yang melempar lima keris ular emas tersebut?
Apakah juga sama dengan makhluk
yang telah lepaskan pukulan angin dahsyat sebelumnya? Dia mencabut salah sebuah
keris yang tertancap di dinding tanah. Senjata ini keseluruhannya memang
terbuat dari emas dan berkeluk tiga. Ditimangnya sebentar keris itu, tiba-tiba
matanya yang tajam melihat sebaris
tulisan-tulisan kecil pada lekukan senjata. Diperhatikannya baik-baik tulisan
tersebut, ternyata berbunyi:
"Bila badan mau selamat,
bila nyawa akan tetap di badan, kembalikan kepada yang empunya."
Susah Payah Mahesa Kelud
memecahkan apa rahasia atau arti dari tulisan tersebut. Kepada siapa tulisan
itu ditujukan pastilah kepada mereka yang mencoba masuk ke dalam ruangan di
belakang pintu. Tapi apakah yang harus dikembalikan dan kepada siapa?! Mahesa
Kelud memutar otaknya. Dicabutnya keris emas yang kedua dan memperhatikannya.
Pada senjata ini juga terdapat tulisan dengan bunyi yang sama. Demikian pula
pada keris ketiga, keempat dan kelima. Terpikirlah akhirnya oleh Mahesa Kelud,
apa bukannya kelima keris itu yang harus dikembalikan? Boleh jadi! Tapi kepada
siapa?! Dipegangnya kelima senjata tersebut sekaligus lalu dilemparkannya ke
ruangan gelap di belakang pintu baja putih!
Lemparan yang dilakukan Mahesa
Kelud tidak kalah hebatnya dengan waktu kelima senjata tersebut mendesing dari
ruangan dalam. Tiba-tiba Mahesa jadi terkesiap. Tak lama sesudah lima keris itu
melesat dan ditelan kegelapan ruangan maka terdengarlah lima suara lolongan
serigala yang sangat menyeramkan. Lalu disusul oleh suara-suara binatang
berlarian dan sejurus kemudian menghamburlah lima ekor serigala besar, melosoh
mati bergeletakan di muka pintu baja. Pada batok kepala masing-masing menancap
lima keris ular emas yang tadi dilemparkan Mahesa Kelud!
Laki-laki ini berdiri tak
bergerak-gerak beberapa jurus lamanya. Dari mana datangnya kelima serigala
tersebut? Siapakah sesungguhnya yang menjadi penghuni dari lorong dan ruangan
mengerikan di bawah tanah ini?!
Seperti tadi kesunyian kembali
mencekam. Mahesa Kelud cabut pedang merahnya dan melompat masuk ke dalam. Sinar
merah yang memancar dari pedang itu membuat ruangan yang gelap di mana dia
berada menjadi agak terang. Tiba-tiba terdengar suara seperti bunyi gong dan
pintu baja putih di belakang Mahesa Kelud menutup! Celaka, kata laki-laki itu.
Bagaimana dia akan keluar nanti? Namun Mahesa Kelud tak bisa berpikir lebih lama
karena pada saat itu pula kira-kira dua puluh sinar kuning melesat dari dinding
ruangan sekelilingnya, menyerang ke arahnya! Keris-keris ular emas!
Cepat laki-laki ini atur
kedudukan kakinya dan serentak dengan itu putar pedang dewa di tangannya dengan
sebat. Sinar pedang bergulung membungkus tubuhnya dari kepala sampai ke kaki
dan dua puluh kali terdengar suara senjata itu beradu dengan keris-keris ular
emas, dua puluh kali pula kelihatan bunga api memancar. Keris ular emas dibikin
runtuh semua! Mahesa Kelud cepat-cepat berpindah tempat karena dia khawatir
akan menjadi bulan-bulanan maut gila! Dan benar saja! Satu detik dia berpindah
tempat maka lantai di mana dia tadi berdiri amblas ke bawah. Mahesa coba
menjenguk ke dalam lobang empat persegi. Di bawah penerangan sinar pedang
saktinya maka kelihatanlah belasan ekor ular kuning emas sebesar-besar tangan
berjalaran di lantai lobang itu! Binatang-binatang ini seperti mengamuk ketika
merasakan hawa panas yang keluar dari ujung pedang di tangan Mahesa Kelud.
Goyah lutut Mahesa ketika dia memikirkan bagaimana jadinya jika dia tidak
cepat-cepat berpindah tempat tadi! Pasti tubuhnya akan kelojotan dipatuk
ular-ular kuning emas itu! Dan setahunya ular kuning jenis yang dilihatnya
itulah yang sangat berbahaya! Seseorang yang dipatuk ular kuning, bila dalam
waktu cepat tidak mendapat obat penawar racun, pasti tak akan ketolongan
nyawanya!
Mahesa menghindar dari tepi
lobang dan melangkah dengan hati-hati. Ruangan panjang besar yang dilaluinya
kotor berdebu. Di sudut-sudut atas ruangan itu dilihatnya penuh dengan sarang
laba-laba. Karena dia memandang ke atas maka tanpa disadari kakinya terantuk
pada beberapa buah benda. Mahesa angsurkan pedangnya ke muka dan memandang ke
bawah. Tubuh laki-laki itu seperti diguyur air es! Menggigil! Betapa tidak!
Benda yang tadi tertendang ujung kakinya adalah dua buah kepala manusia! Nyawa
laki-laki ini serasa terbang. Cepat-cepat dia lari meninggalkan tempat itu.
Celakanya di muka sana tubuhnya bertabrakan dengan sesuatu dan ketika
dilihatnya! Terbanglah semangat Mahesa Kelud. Yang barusan ditabraknya tiada
lain dari tubuh manusia, tapi tubuh manusia tanpa kepala! Dari bagian lehernya
bersemburan darah merah kental dan bau amis. Pakaian Mahesa Kelud kotor oleh
muncratan darah tersebut!
Tubuh tanpa kepala itu melangkah
huyung mendekatinya. Kedua tangannya menggapai-gapai. Tiba-tiba tubuh tersebut
melompat ke muka dan tengkuknya kena dicekal! Mahesa gerakkan siku kanannya.
"Buk!" ujung sikunya
menghantam tulang dada sosok tubuh. Tetapi anehnya sosok tubuh tanpa kepala ini
keluarkan suara tertawa meringkik seperti kuntilanak. Kaki kanannya bergerak
mengirimkan tendangan. Mahesa tak kuasa mengelak maka tubuhnya mental ke atas
atap. Dia menggerakkan kakinya maksudnya untuk membuat gerakan jungkir balik
dan turun ke lantai kembali tapi saat itu satu tangan sudah menjambak rambutnya
dari atas! Mahesa memandang ke atas! Yang menjambak rambutnya adalah hanya
sebuah tangan berjari-jari sebesar pisang-pisang ambon! Hanya tangan sampai ke
lengan! Jika saja laki-laki ini bukan seorang yang bernyali besar pastilah dia
sudah berteriak setinggi langit atau jatuh pingsan saat itu juga!
Mahesa Kelud gerakkan tangan
kanannya. Pedang sakti memapas! Lengan yang menjambak rambutnya putus, tubuhnya
melayang ke bawah tapi jari-jari yang mencengkeram rambutnya masih tetap berada
di atas kepalanya. Mahesa memapas lagi. Jari-jari tangan itu putus-putus tapi
sebagian dari rambutnya terpaksa pula terbabat putus!
Sesak nafas Mahesa Kelud bukan
main. Dia memandang berkeliling. Tubuh tanpa kepala tadi sudah lenyap entah ke
mana. Tiba-tiba dia mendengar suara petikan kecapi mengiringi suara nyanyian
seorang perempuan yang merdu sekali. Tapi kemerduan itu tiada terasakan oleh
Mahesa Kelud karena jiwa raga dan perasaannya masih saja diselimuti oleh segala
macam kengerian yang tadi dihadapinya dengan mata kepala sendiri!
Namun demikian dia melangkah juga
ke arah datangnya suara kecapi dan suara nyanyian, seperti ada satu kekuatan
ajaib yang menariknya. Suara tersebut datang dari lorong di sebelah kanan.
Mahesa memasuki lorong ini. Semakin jauh, semakin keras suara petikan kecapi
dan suara nyanyian. Tiba-tiba suara kecapi terputus! Suara nyanyian berhenti
dan terdengarlah suara tangisan yang merawankan hati. Mahesa melangkah terus.
Di hadapan sebuah pintu kayu dia berhenti karena dari belakang ruangan di balik
pintu kayu itulah didengarnya suara tangisan tersebut! Suara tangisan mendadak
sontak berhenti ketika mendengar suara membentak lantang.
Tolol! Apa perlu menangis! Apa
guna air mata dibuang tak karuan! Toh benda itu harus pindah ke tangan orang
lain! Toh benda itu bukan milik kita! Tolol! Goblok! Kalau...."
Suara bentakan-bentakan lenyap
ketika Mahesa Kelud di luar sana mengetuk daun pintu. Di dalam ruangan
terdengar suara berisik. Lalu terdengar pintu dibanting dan sunyi.... Mahesa
menunggu. Tetap sunyi. Dia hendak mendorong daun pintu di hadapannya, tapi daun
pintu tersebut membuka lebih dahulu. Mahesa masuk. Pintu di belakangnya
terkunci kembali. Ruangan di mana dia berada saat itu memantulkan sinar kuning
menyilaukan karena seluruh dindingnya dilapisi oleh emas murni! Kalau tadi
diketahuinya ada dua orang manusia di dalam ruangan ini, yang satu tadi
menyanyi dan memetik kecapi yang kedua yang tadi membentak, maka kini
dilihatnya ruangan tersebut kosong melompong! Tidak sepotong manusia pun, juga
tidak sepotong perabotanpun yang kelihatan!
"Aneh." desis Mahesa
Kelud. Dia tengadahkan kepala ke atas atap ruangan emas dan tersiraplah
darahnya!
***
LIMA
DI ATAS langit-langit ruangan
emas bergelantungan puluhan ekor ular kuning emas yang panjangnya rata-rata
satu setengah tombak. Kepala ke bawah ekor menempel pada langit-langit!
Mulutnya terbuka memperlihatkan taring serta lidah beracun yang menjulur ke
luar masuk. Dari dalam mulut semua ular itu mengepul keluar asap kuning!
Mahesa Kelud memegang pedangnya
erat-erat. Tiba-tiba secara serentak, seperti dikomandokan oleh sesuatu,
puluhan ular kuning emas itu berjatuhan ke bawah dan menyerang Mahesa Kelud.
Mahesa keluarkan bentakan keras. Pedang sakti di tangannya berputar laksana
titiran. Puluhan ekor ular berpelantingan dalam keadaan tubuh putung-putung.
Tapi beberapa ekor di antaranya masih sempat mematuk laki-laki itu pada
pinggang, dada dan paha kiri! Mahesa putar pedangnya. Ular-ular yang mematuknya
tadi putus-putus, tapi ini tak ada gunanya. Meski semua binatang berbisa itu
sudah mati namun tiga patukan di tubuh Mahesa Kelud membawa akibat yang sangat
berbahaya. Betapa pun dia kerahkan tenaga dalamnya, betapa pun tubuhnya sudah
melarutkan ilmu Api-Salju, sekalipun pedang sakti tergenggam di tangan namun
aliran bisa ular terus melarut ke dalam tubuh, mengalir dalam darahnya!
Mahesa merasakan ruangan di mana
dia berada seperti digoyang gempa. Nafasnya menyesak. Pemandangannya
berkunang-kunang. Tubuhnya panas dingin. Dia tergelimpang ke lantai dengan
pedang masih di tangan. Dia berusaha untuk tidak jatuh pingsan. Di sudut
ruangan dia melihat suatu lobang empat persegi yang lebarnya sepemasukan tubuh
manusia. Dia merangkak dengan susah payah. Di belakang lobang tersebut kelihatan
tangga kuning menuju ke bawah. Mahesa melewati lobang empat persegi lalu
menggulingkan tubuhnya di atas tangga. Dia terhampar ke lantai di kaki tangga.
Tulang-tulangnya serasa bertanggalan dari persendian. Dia merangkak lagi. Di
ujung kiri kelihatan sebuah pelita yang menyalakan api bersinar kuning. Mahesa
merangkak ke arah pelita ini namun sebelum sampai ke sana tubuhnya sudah kejang
dan melosoh ke lantai jatuh pingsan!
Ketika kemudian dia sadarkan
diri. Pelita kuning masih ada di hadapannya, dekat tangan kanan. Dia
menggerakkan tangan kanannya tapi malang, menyentuh pelita. Pelita terbalik dan
padam! Ruangan itupun gelaplah! Mahesa gelagapan! Dalam keadaan setengah mati
setengah hidup itu dia melapatkan ajian "karang sewu" lalu
memukuldinding di sebelahnya. Dinding pecah. Lewat pecahan dinding memancarlah
sinar kuning yang terang. Sinar kuning itu turut jatuh menimpa sebahagian dari
tubuh Mahesa Kelud. Dan anehnya, Mahesa seperti mendapat kekuatan baru. Dia
merangkak ke pecahan dinding dan menjenguk ke ruangan di sebelahnya. Ruangan
itu tidak besar tapi bagus bersih dan berbau harum sekali.
Di tengah ruangan kelihatan
bergelung seekor ular kuning yang besarnya hampir sebesar manusia sedang
panjangnya menurut taksiran Mahesa Kelud mungkin lebih dari sepuluh tombak!
Binatang ini bergelung dengan mulut membuka lebar. Lidahnya yang bercabang
menjulur ke luar. Tepat di antara kedua cabang lidah ini maka terdapat sebuah
keris besar berhulu dan bersarung emas, tegak berdiri lurus! Senjata inilah
yang telah memancarkan sinar terang kuning sampai ke ruangan sebelah. Sinarnya
yang kuning penuh keajaiban dan mempunyai mujizat kekuatan.
"Mungkin inilah senjata
sakti yang dikatakan oleh Namajeni," kata Mahesa Kelud dalam hatinya, ia
menyeruak di antara pecahan dinding dan masuk ke ruangan tersebut. Matanya
terpaksa disipitkan karena sinar kuning keris besar itu menyilaukan mata.
Mahesa Kelud berhenti beberapa langkah dihadapan ular raksasa. Sebenarnya
nyalinya sudah mengkerut, tapi laki-laki ini dengan segala daya yang ada mencoba
kuatkan jiwa dan tabahkan hati. Bukankah demikian bunyi kalimat ke delapan yang
ditulis oleh Namajeni?
Mahesa bersila di hadapan ular
dan keris. Tak tahu apa langkah selanjutnya yang harus diperbuatnya. Apakah
langsung ulurkan tangan menjangkau keris? Ular besar dihadapannya tidak
bergerak sedikitpun. Matanya yang merah memandang tak berkedip. Bentuk kepala
ular ini sama benar dengan hulu dari keris emas yang ada di ujung lidahnya.
Sukar bagi Mahesa untuk memastikan apakah ular besar tersebut masih hidup
ataukah sudah mati?! Meski demikian sebagai orang yang tahu peradatan Mahesa
kemudian segera menjura.
"Ular Emas," kata
Mahesa. "Aku yang rendah minta maaf karena telah berani datang mengotori
tempatmu. ini kulakukan adalah dalam memegang janji terhadap seorang tua sakti
karena aku tak mau mengecewakan hatinya.... Sekali lagi mohon
dimaafkan....."
Kepala ular besar kuning itu
tidak bergerak sedikitpun. Tapi tiba-tiba sekali, sebahagian dari tubuhnya yang
bergelung terbuka dan laksana topan ujung ekor binatang ini menyambar ke kepala
Mahesa Kelud!
Kalau saja tidak cepat laki-laki
ini jatuhkan diri ke lantai pastilah kepalanya akan hancur! Ekor ular menyerang
lagi untuk kedua kalinya. Mahesa bergulingan. Ekor ular menghantam lantai.
Lantai yang bagus itupun amblas sampai sepertiga jengkal!
Mahesa terkejut. Kejutnya belum
habis dan ekor ular itu sudah datang kembali mengirimkan serangan-serangan
beruntun yang mematikan. Mahesa bersikap mengelak terus-terusan. Meski saat itu
pedang merah masih tergenggam di tangannya namun dia sama sekali tidak mau
balas menyerang! Makin lama serangan ular makin dahsyat dan Mahesa Kelud
semakin kepepet. Sudah beberapa kali hampir tubuhnya kena dihantam sabetan ekor
yang berbahaya itu! Tiba-tiba entah dari mana datangnya tahu-tahu di ruangan
itu sudah berdiri seorang perempuan muda yang parasnya cantik sekali, seperti
bidadari dari khayangan. Dia mengenakan pakaian tipis warna kuning sehingga
tubuhnya yang bagus membayang nyata. Mahesa tundukkan kepala tak berani
memandang. Satu senyum terlukis di sudut bibir perempuan itu.
"Ular emas," terdengar
suara perempuan itu, merdu menggairahkan, mendatangkan birahi bagi laki-laki
yang mendengarnya:
"Orang tak melawan mengapa
diserang?!"
Mendengar ini maka ular besar
itupun hentikan serangan. Tubuh dan ekornya digelung dan dia tak
bergerak-gerak, kembali bersikap seperti tadi. Mahesa segera atur jalan darah
dan pernafasannya lalu menjatuhkan diri dan menjura hormat pada perempuan muda
itu, tapi mengunci mulut karena bingung tak tahu apa yang harus diucapkan.
Perempuan cantik berbaju kuning melangkah dan berhenti dekat sekali di hadapan
Mahesa Kelud. Tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya dan pakaian yang melekat di
dirinya terlepas, jatuh ke lantai. Tubuhnya yang bagus mulus itu kini tiada tertutup
selembar benangpun!
Hati laki-laki mana yang tidak
akan bergoncang? Tidak akan berdebar? Darah muda mana yang tidak akan
bergejolak dan nafsu siapa yang tidak akan menggelegak?
Mahesa Kelud tundukkan kepala.
Ditekannya perasaan gairah birahi dan nafsu yang menggelora. Tubuhnya bergetar.
Beberapa ketika berlalu.
"Orang muda, angkat
kepalamu! Aku Dewi Ular Emas! Apa kau tak mau lihat keindahan tubuhku?"
suara itu lembut merdu penuh rayuan.
Bergoncang dada Mahesa Kelud.
Namun kepalanya tetap ditundukkan. Ditabahkannya hati dan iman.
"Ah, orang muda..."
terdengar suara Dewi Ular Emas pelahan mengajuk. "Jika kau tak mau
memandang tak apalah. Tapi ulurkan kedua tanganmu. Tidakkah kau ingin menjamah
segala yang dimiliki tubuhku? Parasku? Dadaku, perutku, pahaku.... Ulurkan
kedua tanganmu orang muda...."
Hati laki-laki mana yang tidak
akan tergoncang mendengar undangan itu? Nafsu manusia mana yang tidak akan
menggelegak? Birahi siapa yang tidak akan berkecamuk? Namun Mahesa Kelud terus
tundukkan kepala. Bergerak sedikitpun tidak dia. Ditekannya setiap rangsangan
yang menimbulkan butiran-butiran keringan pada pori-pori sekujur kulit
tubuhnya!
Dewi Ular Emas menunggu. Akhirnya
dia membungkuk dan mengenakan pakaiannya kembali lalu mundur beberapa langkah.
"Orang muda... hari ini kau
adalah orang yang paling beruntung di atas dunia. Kau telah berhasil melewatkan
berbagai rintangan maut, cobaan dan ujian. Ketahuilah bahwa ada tiga hal yang
menghancurkan diri laki-laki. Pertama pangkat, kedua harta kekayaan, ketiga perempuan!
Kau seorang yang tabah hati kuat jiwa dan teguh iman. Kau pantas memiliki keris
Ular Emas itu...!"
Mahesa menjura. 'Terima kasih,
Dewi." katanya.
"Siapakah namamu?"
tanya Dewi Ular.
"Mahesa Kelud."
"Ah... itu hanya nama palsu
bukan? Nama yang diberikan orang sesudah kau menjadi dewasa? Aku tanya namamu
yang sebenarnya."
Terkejutnya Mahesa Kelud
mendengar ucapan Dewi Ular Emas itu. Bagaimana Dewi Ular tahu bahwa Mahesa
Kelud adalah nama palsunya? Nama yang disuruh pakai oleh gurunya Embah
Jagatnata waktu dia turun dari Gunung Kelud sekitar tiga tahun yang silam?
"Namaku sebenarnya adalah
Panji Ireng, Dewi." kata Mahesa Kelud akhirnya memberitahu. Dewi Ular Emas
tersenyum dan anggukkan kepala. Dia mengambil keris yang berdiri di atas lidah
ular besar lalu berkata.
"Berdirilah Panji
Ireng."
Mahesa Kelud berdiri tapi tetap
dengan tundukkan kepala.
"Angkat kepalamu,"
perintah Dewi Ular. Mahesa patuh dan mengangkat kepalanya. Sepasang mata mereka
saling beradu. Mahesa tertegun melihat kejelitaan paras Dewi Ular Emas yang
dekat sekali di hadapannya. Dewi Ular Emas sendiri diam-diam mengagumi
kegagahan paras orang muda itu. Untuk beberapa detik lamanya mereka berdiam
diri dan saling pandang seperti itu. Akhirnya Dewi Ular Emas melirik ke keris
di tangannya.
"Panji Ireng, keris ini
bernama keris Ular Emas. Sudah dua puluh tahun senjata sakti ini berada di
sini, sama-sama ditempa pada waktu aku dilahirkan. Rupanya kaulah manusianya
yang berjodoh untuk memilikinya. Terimalah!"
Mahesa Kelud ulurkan kedua tangan
dan menerima keris tersebut dengan sikap hormat. Begitu jari-jari tangannya
menyentuh hulu dan sarung senjata tersebut maka mendadak sontak sirnalah bisa
ular emas yang telah mengalir di dalam darahnya. Luka-luka bekas patukan
binatang jahat itupun sembuh dengan sendirinya. Tubuhnya sehat sembuh seperti
sediakala. Ajaib!
"Terima kasih Dewi,"
kata Mahesa Kelud. Keris sakti itu kemudian disisipkannya di pinggang kanan.
"Nah Panji Ireng, pertemuan
kita hanya sampai di sini. Kau lanjutkan perjalanan kembali. Lakukan tugas yang
harus kau lakukan...."
"Dewi, jika ada apa-apa
bagaimanakah aku yang rendah ini dapat bertemu dengan kau?" tanya Mahesa
Kelud.
Dewi Ular Emas tersenyum cantik
sekali. "Gunung tinggi menjulang, daratan menghampar lautan membentang.
Pertemuan bukan kita yang tentukan! Di mana ada nasib, di mana ada pelangkahan
pasti kita akan bertemu, Panji!"
Mahesa Kelud anggukkan kepala.
"Ular Emas, kau
menghindarlah dahulu. Beri jalan pada orang muda ini!" kata Dewi Ular Emas
memerintah pada binatang sakti peliharaannya. Ular kuning besar itu membuka
gelungnya dan bergerak ke samping. Di lantai di atas mana tadi dia berada maka
kelihatanlah sebuah tangga turun ke bawah menuju ke sebuah mulut gang.
"Turuni tangga itu, tempuh
gang di bawahnya. Kau akan menemui beberapa cabang gang di kiri kanan tapi
ikuti terus yang pertama kali kau tempuh. Setelah setengah hari penuh kau akan
sampai ke dalam sebuah hutan." demikian Dewi Ular memberi keterangan.
Mahesa Kelud mengangguk dan
menghaturkan terima kasihnya. Sebelum dia menuruni tangga, dia menjura
penghabisan kalinya. Meski Mahesa Kelud sudah lama hilang di balik gang namun
pandangan kedua mata Dewi Ular Emas masih saja tertuju ke tangga yang menurun
itu. Tanpa disadari dua butiran air mata menggenang di pelupuk matanya.
"Ah, kalau saja dia masih hidup... betapa parasnya sama benar dengan orang
muda tadi..." Hati Dewi Ular Emas seperti diiris. Dia memberi isyarat pada
binatang peliharaannya untuk menutup lobang tangga. Lalu ditinggalkannya
ruangan tersebut. Untuk beberapa lamanya paras Mahesa Kelud masih saja
membayang di pelupuk matanya!
Sebagaimana yang dikatakan oleh
Dewi Ular Emas, setengah hari kemudian maka akhirnya diapun keluar dari gang
yang ditempuhnya. Ternyata dia sampai di tengah rimba belantara. Lobang di mana
dia keluar tadi ditutupnya dengan ranting-ranting serta semak belukar. Hatinya
puas, dadanya lapang. Kegembiraan yang tiada tertahankan membuat dia berteriak
keras meninggi langit. Dia jadi terkejut sendiri ketika menyaksikan bagaimana
suara teriakannya itu membuat tanah yang dipijaknya bergetar, pohon-pohon kayu
bergoyang keras, daun-daun berguguran, udara menggelombang! Ini tidak heran.
Sewaktu dia dilepas oleh gurunya Suara Tanpa Rupa dia telah memiliki tenaga
dalam yang tinggi hebat. Ditambah pula kekuatan mujizat yang merasuk ke dalam
tubuhnya sewaktu dia terendam di dalam air telaga Api-Salju. Kemudian saat itu
pada tubuhnya tersisip dua senjata keramat sakti yang mempunyai pengaruh dan
daya kekuatan yang tiada taranya. Pedang Dewa Delapan Penjuru Angin serta keris
Ular Emas!
Mahesa mencabut keris Ular Emas
dari pinggang kanannya. Waktu di dalam ruangan Dewi Ular tadi dia belum puas
benar meneliti senjata tersebut. Sarung dan hulu keris terbuat dari emas murni.
Hulu senjata ini merupakan kepala seekor ular yang mulutnya membuka dan
lidahnya yang bercabang menjulur keluar. Kedua mata dari ular tersebut dihiasi
dengan sebutir batu delima merah sebesar kuku jari telunjuk. Ketika senjata
tersebut dicabut oleh Mahesa Kelud maka memancarlah sinar kuning menyilaukan
mata. Ternyata keris itu berlekuk tujuh. Meski senjata itu kini adalah menjadi
miliknya namun diam-diam Mahesa Kelud merasa gentar juga melihat sinar kuning
yang memancar. Keris disarungkannya dan disisipkan kembali. Mahesa kemudian
melanjutkan perjalanan.
***
ENAM
UJUNG KULON.... Tiada pulangnya
Empu Sora ke pertapaannya hampir setengah bulan menggelisahkan hati para murid
orang tua sakti tersebut. Waktu pergi Empu Sora tidak meninggalkan pesan sama
sekali. Apakah yang akan dilakukan dan ke manakah harus dicari sang guru
tersebut? Sebelumnya tak pernah terjadi sampai selama itu Empu Sora meninggalkan
perguruan. Bisa jadi ada sesuatu yang penting yang dilakukan oleh Empu Sora,
atau mungkin... guru mereka sudah mendapat celaka di tengah jalan? Mustahil,
demikianlah pikiran murid-murid Empu Sora. Mereka tahu benar siapa adanya Empu
Sora. Seorang tua sakti yang dikenal keharuman namanya dalam rimba persilatan!
Tapi mengapa dia pergi selama ini dan tak kunjung kembali?
Gemparlah perguruan Ujung Kulon,
hebohlah para murid Empu Sora ketika mereka mendapat kabar bahwa guru mereka
yang pergi dan selama ini ditunggu-tunggu telah menemui ajalnya di pulau
Bawean, dibunuh oleh muridnya sendiri yang dulu telah diusir yakni Jayengrana!
Semua murid hampir tak bisa percaya bagaimana mungkin guru mereka yang sakti
luar biasa dapat terbunuh oleh Jayengrana alis Lutung Gila? Padahal waktu
diusir dari perguruan tempo hari Jayengrana hanyalah murid terpandai nomer
tiga! Jangankan dia, murid terpandai nomor satupun belum tentu akan mampu
menghadapi Empu Sora! Tapi mungkin Jayengrana telah berguru pula pada seorang lain
yang lebih hebat dan lebih sakti dari Empu Sora! Kalau tidak mustahil itu bisa
terjadi.
Mendengar kabar kematian guru
mereka meluaplah amarah murid-murid di perguruan. Murid tertua yang boleh
dikatakan telah memiliki hampir semua ilmu yang diajarkan oleh Empu Sora segera
mengumpulkan saudara-saudara seperguruannya untuk diajak berunding membicarakan
langkah-langkah apa yang akan mereka ambil sehubungan dengan kematian guru
mereka. Murid tertua ini bernama Dipa Putra.
"Saudara-saudaraku
sekalian," kata Dipa Putra. "Perguruan kita telah ditimpa nasib buruk
yang memalukan, karena peristiwa kematian guru kita! Lebih mencemarkan lagi
karena kematian guru kita dilakukan oleh dibunuh bekas muridnya sendiri yaitu
Jayengrana yang kini memakai nama Lutung gila! Sebagai murid-muridnya, tentulah
kita harus turun tangan membalaskan sakit hati! Pembalasan satu-satunya adalah
hanya dengan menamatkan riwayat Jayengrana? Kalau tidak begitu kemana muka kita
akan diletakkan? Kupanggil saudara-saudara sekalian disini adalah untuk
memberitahukan bahwa aku sebagai murid tertua sudah bertekad bulat untuk pergi
ke pulau Bawean guna mengambil jenazah guru kita dan sekaligus menebas batang
leher si Jayengrana keparat itu!"
Ketika Dipa Putra hentikan
bicaranya maka untuk beberapa lamanya sunyilah suasana.
"Kakak guru," berkata
Gagak Nandra. Dia adalah murid perguruan nomer empat.
"Kita semua adalah
murid-murid Empu Sora dan sudah seharusnya membalaskan sakit hati kematian
beliau. Sebagai murid tertua, maka kaulah kini yang menjadi pemegang pucuk
pimpinan. Jika kau pergi dan terjadi apa-apa pula di sini, kata siapakah yang
akan diturut? Perintah siapakah yang akan dipatuhi kalau bukan kau? Karenanya,
urusan dengan Jayengrana itu biarlah aku yang pergi untuk menyelesaikan!"
"Tidak bisa!" kata Dipa
Putra pula dengan gelengkan kepala. "Kau Gagak Nandra dan adik-adik
seperguruan lainnya tetap disini, aku yang akan pergi sendirian!"
"Bolehkah aku bicara?"
tanya satu suara dari dekat pintu. Semua kepala dipalingkan. Yang berkata
adalah kakek-kakek tua juru masak perguruan. Di samping jadi tukang masak dia
juga turut belajar ilmu sejurus dua jurus dan meski ilmunya paling rendah
sekali namun karena umurnya dia dihormati oleh murid-murid Empu Sora lainnya
yang jauh lebih muda.
"Silahkan kakek! Memang
pertimbanganmu kami harapkan sekali," kata Dipa Putra.
Si kakek pun membuka mulutnya.
"Apa yang dikatakan oleh Dipa Putra memang betul. Yang diucapkan oleh
Gagak Nandra juga sama betulnya! Tapi janganlah menimbulkan rasa yang tidak
enak di antara masing-masing kalian. Dalam menghadapi peristiwa besar ini
sekali-kali kita jangan sampai salah langkah, apalagi jika sampai terjadi
perpecahan dan saling bersakit-sakitan hati! Sebagai murid tertua dalam ilmu
memang kau berhak memutuskan untuk menanggung jawab dan menyelesaikan dendam
kesumat kita terhadap Jayengrana. Tapi betul pula kata adikmu, apa akan jadinya
jika sewaktu-waktu selama kau pergi timbul peristiwa besar pula di sini melanda
perguruan kita? Kata siapa yang akan dituruti, perintah siapa yang akan
dipatuhi? Aku sudah tua saudara-saudaraku karenanya aku berpendapat kau Dipa
Putra tetap di sini menjaga perguruan kita. Bukan mustahil si Jayengrana gila
itu akan nyasar pula ke sini membuat keonaran. Serahkan urusan ke pulau Bawean
pada Gagak Nandra. Dia harus berangkat bersama beberapa orang lainnya, akupun
bersedia untuk pergi jika diizinkan."
Dipa Putra termenung. Gagak
Nandra puas hatinya karena diberikan peluang baik oleh si kakek untuk pergi.
"Saudara-saudara, baiklah," kata Dipa Putra pada akhirnya.
"Kau Gagak Nandra, pergilah
bersama adikmu Sura Mana. Bawa serta lima orang saudara-saudara kita dari
tingkat ke lima."
Gagak Nandra segera berdiri.
Disusul oleh Sura Mana, seorang separuh baya yang merupakan murid ke empat
setingkat dengan Gagak Nandra. Kedua orang ini kemudian memilih lima orang
saudara seperguruan dari tingkat kelima. Tanpa banyak penuturan lagi maka ke tujuh
saudara seperguruan itupun berangkatlah!
***
TUJUH
KETUJUH orang itu segera tekap
hidung mereka ketika bau busuk ditiupkan angin menyambar ke hidung mereka.
"Bau busuk apa ini?" ujar Sura Mana seraya memandang berkeliling.
Tiba-tiba salah seorang seperguruannya dari tingkat kelima berseru dan
menunjuk. "Lihat! Ada mayat!"
Ketujuh orang itupun berlari
menghampiri mayat yang menggeletak di tanah. Sungguh mengerikan. Paras mayat
itu sudah tak bisa dikenal lagi. Kepalanya rengkah, mukanya hancur. Darah kering
bertebaran diseluruh pakaiannya. Mayat ini sudah sangat rusak dan
berlubang-lubang bekas patukan burung-burung pemakan mayat yang banyak
beterbangan di atas pulau. Busuknya bau mayat dalam jarak sedekat itu tiada
terkirakan! Dari pakaian mayat itu ketujuh orang tersebut tahu bahwa itu
bukanlah mayat guru mereka. Angin dari laut bertiup keras menerbangkan debu
serta pasir dan menghamparkan bau busuknya mayat yang makin menjadi-jadi!
"Adik-adikku," seru
Gagak Nandra. "Kita berpencaran di sini. Beri tanda jika salah seorang
dari kalian menemukan jenazah guru atau bangsat rendah si Ja..." mendadak
sontak Gagak Nandra putuskan bicaranya. Mukanya pucat pasi, mulutnya menganga
sedang kedua matanya melotot seperti mau melompat keluar dari sarangnya! Rupa
Gagak Nandra saat itu tak ubahnya seperti seorang yang tengah dicekik oleh
setan laut!
"Demi Tuhan!" seru
Gagak Nandra.
"Saudara-saudaraku, lihat di
atas pohon sana!"
Semua kepala sama diputar dan
semua orang mengeluarkan seruan tertahan. Di sana di atas pohon, di antara dua
buah cabang besar kelihatan sesosok mayat berjubah hijau terjuntai kaki ke atas
ke kepala ke bawah. Elang-elang laut pemakan mayat seperti semut berkerumun
memakani daging mayat yang sudah rusak busuk dan memutih tinggal tulang
belulangnya saja!
"Guru!" jerit ketujuh
orang tersebut. Tenggorokan mereka menyendat. Tak menunggu lebih lama, begitu
hilang kejutnya maka Gagak Nandra dengan gunakan ilmu entengi tubuhnya yang
tinggi segera melompat ke atas pohon. Ketika dia turun kembali maka jenazah
Empu Sora sudah berada dalam kempitannya. Gagak Nandra mencari tempat yang
baik. Ketika dilihatnya batu besar di ujung sana maka dia melangkah ke situ dan
membaringkan jenazah Empu Sora di atas batu. Tujuh murid Empu Sora sama
pejamkan mata tak tahan melihat jenazah guru mereka yang demikian rusaknya. Di
sela-sela mata yang dipejamkan itu maka mengambanglah butiran-butiran air mata!
Meskipun mereka adalah pendekar-pendekar berhati tabah berjiwa satria, tapi
menyaksikan kematian guru yang mereka cintai demikian mengenaskannya, mau tak
mau ketujuhnya sama teteskan air mata. Sura Mana membuka kedua matanya
perlahan-lahan. Dia meneliti mayat Empu Sora. Kedua matanya berputar mencari
sesuatu. Kemudian dia berkata: "Pedang pusaka hijau milik guru tidak ada!"
Terkejutlah saudara-saudara
seperguruannya yang enam orang. Mereka sama bukakan mata, dan meneliti.
"Pasti manusia celaka Jayangrana itu yang mengambilnya! Keparat!"
ujar Gagak Nandra. Dia cabut pedangnya, sebuah pedang warna hijau. Untuk setiap
muridnya, Empu Sora telah membuatkan sebilah pedang hijau pertanda lambang
perguruan mereka. Dengan kertakkan geraham maka berkatalah Gagak Nandra.
"Guru, biarlah cuma jenazahmu yang akan menyaksikan bahwa kami murid-murid
akan menindak manusia yang telah berbuat keji atas dirimu ini! Semoga Tuhan
memberikan tempat yang sebaik-baiknya bagimu di akhirat!"
Sura Mana dan lima orang saudara
seperguruan lainnya meniru perbuatan Gagak Nandra. Mencabut pedang dan
bersumpah serta mendoakan arwah guru mereka. Dalam suasana yang penuh khidmat
dan juga kobaran balas dendam itu maka terdengarlah satu suara tertawa
perempuan meringkik seperti kuda.
"Lutung Gila! Kemarilah kau!
Lihat ada kunyuk-kunyuk sinting dari mana yang nyasar main komidi di sini!
Kik... kik... kik...!"
Kaget sekali maka ketujuh murid
Empu Sora palingkan kepala. Hampir tak percaya mereka ketika pandangan mereka
membentur seorang perempuan muda cantik jelita, berpakaian merah, berdiri
dengan bertolak pinggang tak berapa jauh di hadapan mereka. Sedang di pinggang
kirinya tergantung pedang pusaka hijau, pedang pusaka perguruan Ujung Kulon
milik guru mereka! Belum lagi habis kaget ketujuh orang tersebut maka tahu-tahu
di samping perempuan muda itu muncullah sesosok tubuh aneh. Meskipun sosok
tubuh ini memakai pakaian seperti lutung dan rambutnya awut-awutan namun mereka
masih dapat mengenali siapa adanya dia. Maka menggelegaklah amarah ketujuh
orang tersebut.
"Jayengrana keparat!"
bentak Gagak Nandra. "Hari ini kau serahkan nyawa di tangan kami!"
Lutung Gila alias Jayengrana tertawa aneh menggidikkan. Begitu suara tawanya
sirna maka dia balas membentak! "Kurang ajar, sudah tempat peranginan
anakku dipakai untuk meletakkan mayat busuk, berani pula memaki! Konyol"
serentak dengan itu Lutung Gila mengirimkan tendangan jarak jauh ke arah
ketujuh murid Empu Sora yang tak lain adalah juga bekas saudara-saudara
seperguruannya sendiri!
Melihat angin tendangan yang
sangat dahsyat ini maka ketujuh murid Empu Sora terkejut sekali dan buru-buru
menghindar. Malang bagi dua orang murid dari tingkat kelima, mereka tak sempat
menghindar. Tubuh mereka kena dihantam angin tendangan! Keduanya terguling
muntah darah dan meregang nyawa! Saudara-saudara seperguruannya yang lain jadi
kalap. "Serbu!" teriak Gagak Nandra berikan komando. Kelimanya kemudian
menyerang dengan pedang di tangan. Sinar hijau berkelebatan mengurung Lutung
Gila. Kemaladewi tiada hentinya mengeluarkan suara tertawa melengking seperti
kuntilanak!
Tiga keluhan kesakitan terdengar.
Tiba tubuh mencelat dan waktu jatuh ke tanah nyawanya sudah putus! Gagak Nandra
dan Sura Mana melompat mundur! Keringat dingin memercik di kening mereka
melihat betapa tiga lagi saudara mereka menemui ajal secara mengerikan di
tangan Lutung Gila! Tiada disangka bekas saudara seperguruan mereka itu demikian
hebatnya. Pantas saja guru mereka tiada sanggup pertahankan nyawa. Dan keduanya
menyadari pula bahwa meskipun mereka mengeroyok berdua dan sama memegang pedang
ampuh pemberian guru tapi mereka pasti akan bernasib malang pula! Akan menemui
ajal! Hati kedua bersaudara seperguruan ini bergetar. Tapi untuk menyerah atau
lari selamatkan diri tak ada dalam kamus hidup mereka! Keduanya segera menyerbu
kembali!
Lutung Gila tertawa membahak. Dia
maju gerabak-gerubuk menyongsong serangan lawan-lawannya. Sukar sekali bagai
Gagak Nandra dan Sura Mana untuk memperhatikan gerakan yang serba aneh dari
lawan mereka. Tahu-tahu pedang di tangan Sura Mana kena dirampas! Belum lagi
murid kelas empat ini sempat melompat selamatkan diri maka ujung pedang sudah
menancap di dadanya! Sura Mana mati seketika itu juga!
"Jayengrana murid murtad!
Aku mengadu nyawa dengan kau!" teriak Gagak Nandra murka tiada terperikan.
"Biung biung...! Sejak kapan
kau punya nyawa rangkap hendak mengadu nyawa dengan Lutung Gila? Biung?"
Pedang menyambar di muka
hidungnya dibiarkannya saja. Tiba-tiba dia bergeser sedikit dan... seperti
nasib yang diterima Sura Mana maka pedang hijau Gagak Nandra kena dirampas
Lutung Gila. Pedang itu kemudian membalik membacok ke kepala Gagak Nandra!
"Lutung Gila, tahan! Yang
satu ini jangan dibunuh!" terdengar tiba-tiba seruan Kemaladewi. Patuh
sekali. Lutung Gila miringkan pedang hijau di tangannya dan senjata itu
menancap sampai ke hulunya di tanah di samping kaki Gagak Nandra!
Lutung Gila putar kepala.
"Eeee ciluk, kenapa yang satu ini tidak dimampuskan saja?!" tanyanya.
"Aku ada rencana!"
jawab Kemaladewi dengan tolak pinggang. Dia memandang pada Gagak Nandra yang
berdiri mematung dengan tubuh keringatan dan paras pucat pasi! "Eh kunyuk
kau muridnya orang tua bau busuk itu?!"
Gagak Nandra tak menyahut.
Matanya melotot memandang geram pada Kemaladewi.
"Hai jawab!" bentak
Kemaladewi.
Gagak Nandra tetap membungkam.
Lutung Gila berkata, "Ciluk, monyet bisu ini memang murid orang tua busuk
itu!"
"Siapa namamu?!" tanya
Kemaladewi lagi.
Gagak Nandra meludah ke tanah!
"Menghina! Keparat! Bosan
hidup ya?!" Kemaladewi melompat ke muka dan.... "Plak!"
tamparannya mendarat di pipi
Gagak Nandra. Gagak Nandra meraung kesakitan. Mulutnya pecah dan darah
berlelehan!
"Kalau aku tidak salah ingat
ciluk, monyet ini bernama Nandra Gagak!" kata Lutung Gila pula. Ternyata
dia menyebut nama Gagak Nandra terbalik!
"Gagak Nandra!" kata
Kemaladewi.
"Dengar! Kau masih punya
nasib untung tidak seperti saudara-saudara seperguruanmu yang lain! Bawa mayat
busuk gurumu dan kembali ke Ujung Kulon dan terangkan pada kunyuk-kunyuk yang
ada di perguruan bahwa pada tanggal tujuh bulan tujuh aku bersama Lutung Gila
dan Lutung Bawean serta Raja Lutung akan datang ke sana! Kalian harus menyambut
aku dengan upacara besar-besaran karena ketahuilah bahwa sejak gurumu mampus
maka akulah yang akan menjadi Ketua Perguruan! Mengerti?!"
Geram Gagak Nandra bukan
kepalang. Tapi dia tidak bisa berbuat apa. Melawan sudah pasti tidak mungkin.
Untuk beberapa lamanya dia masih berdiam diri.
"Mengerti tidak mengerti,
angkat kaki dari sini! Biung kunyuk," bentak Lutung Gila.
Gagak Nandra melangkah ke dekat
batu besar di mana jenazah yang rusak membusuk dari Empu Sora tadi
dibaringkannya. Dipanggulnya jenazah gurunya itu di pundak kiri. Sebelum dia
melangkah meninggalkan kedua orang tersebut dia berpaling lebih dahulu dan
berkata: "Kutuk Tuhan akan jatuh atas diri kalian berdua! Hari pembalasan
akan tiba kelak!"
"Kunyuk sinting! Masih mau
berbacot!" bentak Lutung Gila seraya melangkah hendak menendang Gagak
Nandra. Tapi tangannya dipegang oleh Kemaladewi.
"Biarkan saja!" kata
Kemala.
"Biung!
Gagak Nandra menyeka darah di
mulutnya, memutar tubuh dan tinggalkan tempat tersebut menuju ke tepi pasir.
***
DELAPAN
DARI lereng bukit terdengar suara
teriakan keras yang disertai tenaga dalam. "Gagak Nandra kembali membawa
jenazah guru seorang diri!"
Dari dalam rumah besar keluarlah
Dipa Putra dan kira-kira dua puluh orang saudara seperguruannya dari berbagai
tingkatan. Mereka berlari dan saat itu di pintu halaman masuklah Gagak Nandra
memanggul jenazah Empu Sora.
"Gagak Nandra!" seru
Dipa Putra. "Mana yang Iain-Iain! Eh, mengapa mulutmu?!"
Gagak Nandra tak segera menjawab.
Jenazah Empu Sora diberikannya pada salah seorang saudara seperguruannya. Dia
sendiri kemudian duduk bersila, mengatur jalan nafas serta peredaran darah.
Alirkan tenaga dalam dengan pejamkan mata. Beberapa saat kemudian kedua matanya
dibuka kembali. Gagak Nandra menangis terisak.
"Ee, Gagak Nandra! Sebagai
kesatria kau tak pantas menangis! Apa yang terjadi, mana yang
lain-lainnya?" tanya Dipa Putra.
"Aku bukan kesatria sejati!
Aku hanya memalukan perguruan kita saja yang enam orang itu menemui ajal
semua!"
Terkejutlah Dipa Putra dan yang
lain-lainnya mendengar keterangan tersebut. Sunyi sejurus lamanya, hanya suara
isakan Gagak Nandra yang terdengar. Setelah tangisnya mereda maka Gagak Nandra
kemudian menuturkan apa yang terjadi dan dialami di pulau Bawean.
"Meski aku beruntung dilepas
untuk membawa jenazah guru kita..." kata Gagak Nandra pula. "Tapi
hatiku tidak puas! Dan aku malu sekali!"
"Tak ada yang harus
dimalukan Gagak Nandra," ujar si kakek yang bernama Waranoa.
"Jangankan kau, guru kita sekalipun tidak sanggup melawan Si Lutung Gila
jahanam itu!"
Hari itu juga jenazah Empu Sora
dikuburkan dengan upacara khidmat khusus. Selesai penguburan maka Dipa Putra
memanggil berkumpul semua saudara seperguruannya. Hatinya masygul sekali sedang
darahnya tak kunjung dingin akibat dendam kesumat serta amarah yang mendidih!
Dia memandang berkeliling dan pandangannya terhenti ketika membentur si kakek
Waranoa.
"Kakek," ujar Dipa
Putra. "Kau sebagai orang yang paling tua di antara kami, kepadamulah kami
pertama kali akan minta petunjuk. Gerangan langkah apakah yang akan kita
perbuat guna membalaskan sakit hati kita kepada si Jayengrana itu?"
Waranoa meraba dagunya. Kedua
matanya menyipit seperti seseorang yang tengah memperhatikan sesuatu di
kejauhan. Dia membuka mulut hendak bicara, tapi mendadak terdengar suara Gagak Nandra
mendahului.
"Saudara-saudara ada sesuatu
yang lupa kukatakan pada kalian!"
"Apakah?!" tanya Dipa
Putra.
"Pesanan! Pesan dari
perempuan iblis yang kabarnya menjadi istri Jayengrana keparat itu!"
"Pesan apakah, Gagak Nandra?
Cepat katakan!" ujar Dipa Putra tak sabar.
"Katanya pada tanggal tujuh
bulan tujuh dia bersama Lutung Gila dan Lutung Bawean serta Raja Lutung akan
datang ke sini!"
"Akan datang ke sini?!"
"Ya!"
Semua mata terbuka lebar-lebar dan
semua orang saling berpandangan. "Katanya lagi kita harus menyambutnya
dengan upacara besar-besaran karena dialah, si iblis betina itu, yang akan
menggantikan guru menjadi Ketua Perguruan Ujung Kulon ini! Dan padanya kulihat
pedang pusaka milik guru!"
"Keparat rendah!" maki
Dipa Putra seraya tinjukan tangan kanannya ke telapak tangan kiri.
"Siapa Raja Lutung dan
Lutung Bawean?" tanya Waranoa.
Gagak Nandra angkat bahu.
"Tapi pastilah mereka juga manusia-manusia sakti macam Lutung Gila dan
perempuan iblis itu!"
Dipa Putra mengeluh dalam
hatinya. Sebagai murid tertua dalam menuntut ilmu, sebagai murid yang
terpandai, maka tanggung jawab besar dalam menuntut balas terletak di
tangannya! Tapi kalau gurunya sendiri kepada siapa dia belajar menuntut segala
macam ilmu kesaktian harus serahkan nyawa menghadapi Lutung Gila, bagaimana dia
akan sanggup membalaskan dendam sakit hati itu?! Apa yang terpikir oleh Dipa
Putra ini terpikir pula oleh anak-anak murid perguruan lainnya. Dan pada
tanggal tujuh bulan tujuh Lutung Gila bersama ketiga bangsat-bangsat yang
disebutkan namanya itu akan datang pula ke Ujung Kulon! Tanggal tujuh bulan
tujuh ini hanya tiga bulan di muka! Bisakah mereka mengadakan persiapan selama
tiga bulan itu untuk menyambut kedatangan Lutung Gila, istrinya, Lutung Bawean
dan Raja Lutung? Bukan menyambut dengan upacara besar-besaran tapi dengan
pedang di tangan dan bertempur hidup mati membalaskan sakit hati dendam
kesumat?!
Pandangan Dipa Putra kembali
tertuju pada Waranoa. "Kakek, petunjukmu tetap kami harapkan."
"Saudara-saudaraku,"
kata Waranoa.
"Melihat singkatnya waktu
yang dikatakan perempuan iblis bini si Jayengrana itu, nyatalah kita tak bisa
mengadakan persiapan untuk menyambut kedatangan mereka! Ini berarti
satu-satunya jalan bagi kita ialah meminta bantuan pihak luar...."
"Saya tidak setuju urusan
perguruan kita sampai dibawa-bawa keluar," tukas Dipa Putra. "Itu
hanya akan merendahkan perguruan kita dan mencemarkan nama guru!"
"Itu betul!" jawab
Waranoa. "Apa yang terjadi di perguruan kita harus kita sendiri yang turun
tangan menyelesaikannya. Tapi dalam persoalan macam mana? Apakah kita mau mati
dan mampus semua menghadapi lawan yang bukan tandingan kita? Dimana kita pada
akhirnya tidak seorang pun sanggup menuntut balas dendam guru kita dan saudara-saudara
kita?! Pikir itu baik-baik!"
Dipa Putra dan yang lain-lainnya
termenung berdiam diri. Waranoa meneruskan.
"Nasib kita tak beda dengan
sebuah sabut kelapa yang hendak melawan menerjang ombak besar. Nasib kita tak
ubah seperti sebuah mentimun yang hendak kalap-kalapan melawan durian! Apa
jadinya?! Badan berkubur niat tak sampai! Meminta tolong kepada sesama kawan
dalam dunia persilatan adalah soal biasa. Mendiang Empu Sora bukan tokoh biasa,
bukan tokoh kemarin. Beliau pasti banyak mempunyai kawan tokoh-tokoh kawakan
sakti! Mustahil mereka tidak akan mau membantu bila kita murid-murid Empu Sora
datang rendahkan diri minta bantuan mereka! Sebagai orang tertua yang diam di
sini, memang aku pernah dengar seorang sakti bernama Lor Munding Saksana. Umurnya
sekarang mungkin sudah lebih dari tujuh puluh! Menurut keterangan yang kudapat,
puluhan tahun silam Lor Munding Saksana pernah berdiam di sini dan menjadi guru
Empu Sora, jadi kakek guru kita sekalian! Lor Munding Saksana kemudian pergi
meninggalkan tempat ini entah ke mana. Kemudian dikabarkan dia berada di Bukit
Bangkai. Di mana letaknya Bukit Bangkai inipun aku yang sudah tua tidak pernah
tahu!" Dipa Putra pejamkan matanya. Dia tahu mata semua saudara-saudara
seperguruannya ditujukan kepadanya karena sebagai murid utama segala keputusan
terletak di tangannya. "Saudara-saudara sekalian. Begini saja.... Kita
usahakan dahulu mencari Bukit Bangkai dan menemui kakek guru Lor Munding
Saksana. Jika tidak berhasil baru meminta bantuan pihak luar. Bagaimana...
setuju?!"
Rata-rata semua orang menyatakan
persetujuannya termasuk si orang tua Waranoa. "Tapi siapakah yang akan
pergi?" bertanya orang tua itu. "Kau Dipa Putra tidak mungkin. Gagak
Nandra juga tidak mungkin karena masih sakit...."
"Aku sudah sembuh, biar aku
yang pergi!" potong Gagak Nandra dengan tiba-tiba. Dia rela pergi agar
dapat menebus rasa malunya terhadap peristiwa di pulau Bawean tempo hari.
Dipa Putra gelengkan kepala.
"Tidak bisa Gagak Nandra. Kau tetap di sini, kau masih sakit...."
Seorang anak murid bertubuh tegap
berbadan tinggi tiba-tiba berdiri, ia dari tingkat empat, sama dengan Gagak
Nandra. Dia memandang berkata: "Saudara-saudara sekalian biarlah aku
Udayana kali ini kalian lepaskan untuk menunjukkan bakti kepada guru dan perguruan!
Izinkan aku pergi mencari kakek guru Lor Munding Saksana!"
Semua mata ditujukan kepada
pemuda itu dan akhirnya setuju. "Doa kami bersamamu, semoga kau berhasil.
Semoga kita dapat menyelamatkan perguruan kita dan menjaga nama harum mendiang
guru!" kata Dipa Putra pula.
Udayana menjura pada
saudara-saudara seperguruannya lalu meninggalkan tempat itu.
***
SEMBILAN
PAKAIANNYA kotor dan robek-robek,
kakinya luka-luka serta bengkak. Rambutnya panjang awut-awutan. Sudah hampir
tiga bulan dia malang-melintang di delapan penjuru angin. Sudah puluhan bukit
dinaik-turuninya namun Bukit Bangkai tak kunjung bertemu sedang hari tujuh
bulan tujuh semakin dekat juga! Hari itu dia berdiri di tepi sebuah jurang
dalam berbatu-batu. Di seberang jurang kelihatan sebuah bukit kecil.
"Kalau yang satu ini
bukannya Bukit Bangkai, celakalah aku! Hancurlah nama perguruan dan cemarlah
nama guruku," demikian kata Udayana dalam hatinya.
Dengan seribu satu macam
kesulitan dituruninya jurang berbatu-batu itu. Sebentar-sebentar dia terpeleset
oleh lumut licin dan masih untung dia terjatuh dihalangi oleh batu, kalau tidak
pasti tamatlah riwayat anak murid Perguruan Ujung Kulon ini di dasar jurang
maut! Tak jarang pula kakinya tersandung. Ketika malam tiba maka Udayana baru
sanggup mencapai dasar jurang. Karena letih dia tertidur juga meski perutnya
kosong tiada berisi!
Esok paginya pemuda berhati tabah
ini melanjutkan perjalanan mendaki lereng jurang. Malam hari pula baru dia
berhasil mencapai puncak jurang yang membawanya kekaki bukit. Di sini anak
murid Perguruan Ujung Kulon itu jatuh pingsan. Menjelang dinihari baru dia
siuman. Dicarinya tetumbuhan apa saja yang bisa dimakan penyumpal perut. Namun
semua itu dimuntahkannya kembali karena tak sanggup perutnya menerima!
Dengan perut tetap berisi angin
kosong Udayana mulai mendaki bukit di hadapannya. Menjelang tengah hari pemuda
ini mencapai lereng yang ditumbuhi berbagai tanaman liar. Dia menyeruak di
antara semak-semak dan tiada henti-hentinya berteriak.
"Kakek guru!"
demikianlah yang dilakukan Udayana setiap dia menaiki sebuah bukit. Suaranya
sudah parau karena terus-terusan berteriak. Mendadak Udayana hentikan
teriakannya. Mulutnya menganga bengong melompong, kedua matanya melotot
memandang ke pohon kecil di hadapannya. Pohon kecil itu seluruh daunnya sudah
berguguran. Ranting-rantingnya kecil halus dan pada salah satu ujung ranting
yang besarnya tidak lebih dari besar ibu jari duduk berjuntai seorang tua
berambut putih. Mulutnya komat-kamit. Apa yang dimakannya adalah seekor burung
mentah!
Bagaimana Udayana mau percaya.
Jangankan seorang manusia, seekor kucingpun jika berada di ujung ranting
tersebut, pastilah ranting itu patah! Tapi si orang tua rambut putih duduk
seenaknya, bahkan sambil makan itu dia goyang-goyangkan kedua kakinya seperti
anak kecil tengah makan kue yang disukainya!
Orang tua berambut putih itu
membuang sisa-sisa tulang-belulang burung yang dimakannya. "Pluk!"
tulang burung mentah tersebut jatuh di kening Udayana. Terbang semangat pemuda
itu karena terkejut. Tiba-tiba dilihatnya orang tua di atas ranting kayu
melambaikan tangan kirinya. Lalu menengadah sambil tertawa-tawa. Dari langit
jatuhlah suatu benda hitam bergelapakan. Ternyata seekor burung! Si orang tua
mencabuti bulu-bulu binatang itu, sesudah gundul mulai menyantapnya seperti
tadi!
Udayana gelengkan kepala. Bukan
sembarang orang bisa melepaskan pukulan jarak jauh seperti itu untuk membunuh
seekor burung yang melayang cepat di udara! Bukan manusia biasa yang makan
daging mentah-mentah! Pastilah ini seorang sakti luar biasa. Mungkin sekali
orang tua yang tengah dicarinya!
"Kakek guru!" seru
Udayana. Orang tua itu terus saja makan seenaknya, komat-kamit dan cengar-cengir.
Seakan-akan tidak mendengar seruan Udayana, seakan-akan pemuda tersebut tidak
ada di dekatnya!
"Kakek guru! Kakek guru Lor
Munding Saksana! Saya Udayana dari... hek." Pemuda itu keluarkan suara
tercekik. Daging burung yang sudah gundul, tinggal tulang-belulang saja
dilemparkan oleh si orang tua dan tepat jatuh di dalam mulut Udayana yang
tengah berteriak sehingga mulut pemuda itu tersumpal, teriaknya terhenti dan
tercekik! Udayana keluarkan tulang burung yang bau amis itu dari mulutnya. Ulu
hatinya naik, cacing gelang-gelang memberontak dan perutnya memual. Sesaat
kemudian pemuda inipun muntah-muntah! Sedang si orang tua mulai pula memandang
ke langit mencari burung baru untuk pengisi perutnya!
Kesal Udayana bukan
alang-kepalang. Kalau saja dia bukan berhadapan dengan kakek-kakek aneh itu,
pastilah sudah didamprat dan dicaci makinya habis-habisan! Dia berteriak lagi:
"Kakek guru! Kakek guru Lor Munding Saksana! Saya dari Perguruan Ujung
Kulon! Datang meminta bantuanmu! Guru kami Empu Sora dibunuh orang! Perguruan
terancam bahaya besar!"
Untuk pertama kalinya kakek-kakek
itu palingkan kepala. Dia memandang ke jurusan Udayana. Tapi cuma sebentar.
Sesat kemudian dia kembali komat-kamit makan daging burung mentah! Udayana
tidak putus asa. Meski suaranya sudah parau dan hampir hilang namun dia
berteriak terus. Si orang tua hentikan makannya untuk kedua kalinya.
"Sompret," makinya. "Kau manusia atau monyet huh?!"
"Kakek guru! Saya Udayana
dari...."
"Aku tidak tanya kau siapa.
Perduli amat sekalipun kau setan dari neraka! Aku tanya kau manusia atau
monyet?!"
"Saya manusia, kakek
guru...."
"Kalau manusia mengapa
berteriak macam monyet terbakar ekor?!"
"Kakek guru...."
"Aku bukan kakek gurumu!
Juga bukan moyang gurumu!" hardik si orang tua.
"Kalau begitu mungkin kau bisa
beri sedikit keterangan padaku...."
"Sompret! Aku bukan kotak
penerangan!"
Udayana jadi terdiam, tak tahu
apa yang musti dikatakannya. Hatinya kesal sekali sedang tubuhnya letih tiada
terkirakan. Dia akhirnya duduk menjelepok di tanah.
"Eh kunyuk! Mengapa duduk di
situ? Apa ini bukit bapakmu yang punya? Berdiri! Sompret!" bentak si orang
tua. Matanya melotot.
Udayana buru-buru berdiri dan
memaki dalam hati.
"Eh sompret! Kau memaki
dalam hati ya?! Kunyuk!"
Udayana terkejut. Mukanya
memucat. Tak diduganya si orang tua akan tahu bahwa dia memang memaki dalam
hati!
Orang tua rambut putih itu
menghabiskan daging burungnya lalu tulang-tulang burung seperti tadi dengan
sikap acuh tak acuh dilemparkannya ke kepala Udayana. Pemuda itu merunduk namun
anehnya tulang burung tetap saja mampir di kepalanya!
"Eh sompret!" kata si
orang tua seraya seka mulutnya. "Ada apa kau datang ke sini?!"
Harapan membayang dalam hati
Udayana. "Saya anak murid Perguruan Ujung Kulon. Datang untuk mencari
kakek guru bernama Lor Munding Saksana...."
"Eh siapa? Lor Bunting
Saksana...?"
"Bukan... Lor Bunting
Saksana!" membetulkan Udayana.
Orang itu tertawa. Kelihatanlah
gusinya yang ompong semua! "Ada apa kau cari itu manusia bernama Lor
Munding Saksana? Mau ngempeng sama dia huh?!"
Udayana memaki dalam hati.
"Nah... nah... kau memaki
lagi ya? Sompret!"
"Saya mencari kakek guru
karena Perguruan terancam bahaya besar sedang guru sudah mati dibunuh
orang!"
"Siapa nama gurumu?!"
"Empu Sora."
"Siapa yang membunuh!"
"Lutung Gila...."
"Eh masa manusia kalah sama
lutung? Lutung Gila pula!" tukas si orang tua.
"Lutung Gila hanya nama
julukan. Nama sebenarnya adalah Jayengrana. Tadinya murid Empu Sora
sendiri!"
"Eh lantas kenapa bunuh
gurunya?"
"Dia sudah gila dan
murtad!" jawab Udayana.
Orang tua itu diam seketika.
Lalu. "Jadi Lor Munding Saksana itu, kakek gurumu ya!"
"Betul! Orang tua."
"Kau belum pernah ketemu
dia?"
"Belum...."
"Tahu di mana
tinggalnya?"
"Kabarnya di Bukit
Bangkai...."
"Kau tahu di mana bukit
ini?"
"Tidak, orang tua."
"Goblok! Pergi ke puncak
bukit dan coba perhatikan lereng bukit di sebelah timur! Lekas!"
Dengan kesal tapi juga takut,
Udayana lakukan perintah si orang tua aneh. Ada apakah di lereng bukit sebelah
sana, pikir Udayana.
***
SEPULUH
JALAN menuju puncak bukit rapat
ditumbuhi pepohonan dan semak belukar namun Udayana, murid Perguruan Ujung
Kulon melangkah terus sampai akhirnya dia tiba di puncak bukit. Dilayangkannya
pandangan kebawah, ke lereng bukit sebelah timur dan tersiraplah darah pemuda
itu! Semangatnya serasa terbang! Lereng bukit sebelah timur ini sama sekali
gundul tandus. Tidak satu pohon atau semak belukarpun yang tumbuh! Dan di
lereng bukit tandus ini, dari barat sampai ke timur, dari puncak sampai ke
kaki, pokoknya sejauh mata memandang bertebaran berbagai rupa, tulang mulai
burung sampai kepada harimau, singa, buaya, gajah dan manusia! Tulang-tulang
itu sudah memutih, bersih, licin tiada berdaging lagi! Entah sudah berapa tahun
tulang-tulang ini berserakan di sana! Bagaimanakah tulang-tulang tersebut berada
di lereng bukit ini? Sedemikian banyaknya? Mungkin terjadi pembantaian di sini.
Pasti pernah terjadi pembunuhan besar-besaran, pikir Udayana. Dan barangkali si
orang tua aneh itulah yang melakukannya! Tak dapat dilukiskan kengerian Udayana
menyaksikan pemandangan tersebut. Tengkorak manusia...tulang-belulang
binatang... semuanya sudah pada rusak dan bercampur baur tak karuan! Berdiri di
puncak bukit tersebut seperti berdiri di hadapan pintu neraka rasanya bagi
Udayana!
Tubuhnya menggigil, lututnya goyah
gemetar. Tak tahan dia berdiri lebih lama di situ. Sebelum dirinya jatuh
pingsan menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu cepat-cepat anak murid
Perguruan Ujung Kulon itu putar tubuh dan ambil langkah seribu!
Dia lari seperti orang dikejar
setan sepuluh muka! Semak belukar diterjangnya. Pakaiannya robek-robek tak
diperdulikan, kadangkala tubuhnya terantuk dengan batang-batang pohon atau
kepalanya membentur cabang rendah! Tapi semua itu tak diacuhkannya! Dia lari
terus! Pokoknya asal bisa meninggalkan bukit itu, apapun yang akan terjadi
dengan dirinya, tak akan ambil perduli!
"Eei! Kunyuk! Mau lari ya?!
Sompret!" terdengar suara berteriak memaki.
Udayana tahu benar itulah
suaranya si orang tua yang tadi duduk di ujung ranting! Tanpa putar kepala lagi
untuk berpaling, pemuda ini segera tancap gas dan lari lebih kencang!
"Monyet! Berhenti!
Kembali!"
Tapi Udayana lari terus.
"Sompret!"
Tiba-tiba tubuh Udayana mematung
seperti batu. Jangankan lari, bergerak sedikitpun dia tak sanggup! Tubuhnya
mulai dari kepala sampai ke kaki dilibat oleh seutas tali hitam, kuat dan
kukuh! Sedetik kemudian kelihatanlah tubuh Udayana tertarik ke belakang dan
jatuh ke tanah menelentang. Di hadapannya berdiri orang tua berambut putih aneh
itu!
"Sompret! Kenapa kabur
hah?!" tanya orang tua itu membentak.
"Orang tua... a... aku
takut!"
'Takut! Apa yang kau takutkan
kunyuk?! Kau sudah pergi ke puncak bukit?"
"Ya, sudah...."
"Sudah lihat apa yang ada di
lereng sebelah timur?!"
"Sudah...."
"Apa yang kau lihat?!"
"Tu... tulang..." jawab
Udayana gemetar. Dia coba gerakkan tubuh, tak berhasil karena tali hitam masih
mengikat di sekujur tubuhnya! "Celaka!" pikir Udayana. "Pastilah
tubuhku akan digerogot oleh setan tua ini! Tulang-tulangku akan dibuang di
antara tumpukan tulang-tulang di lereng timur sana! Ampun!"
"Hai sompret! Kau bilang
lihat tulang tadi?!" terdengar bentakan si orang tua.
"Betul...."
"Tulang apa?!"
"Tul... tulang manusia...."
"Hanya tulang
manusia...."
"Tulang-tulang binatang
juga..."
"Binatang apa,
sompret!"
"Burung... kelinci...
rusa... kambing hutan...."
"Apalagi?!"
"Harimau!.. serigala...
buaya... gajah...."
"Sompret! Apa kau tidak
melihat tulang monyet?" bentak si orang tua.
"A... aku tidak tahu.
Mungkin ada...."
"Mungkin ada! Sompret! Kau
sama saja dengan monyet! Tunggu saja, sebentar lagi akan kuremukkan
tubuhmu! Tulang-belulangmu akan
kulemparkan ke lereng bukit sana!"
"Orang tua, aku
mohon...!" ujar Udayana setengah meratap. "Jangan celakai diriku! Aku
tidak bermaksud jahat! Aku tengah mengemban satu tugas berat dari perguruan!
Aku... aku murid Empu Sora dari
Ujung Kulon!"
Orang tua itu meludah ke tanah.
"Sekalipun kau murid setan alas dari neraka, siapa perduli!" bentak
orang tua berambut putih.
"Orang tua.... Harap kau
punya sedikit welas asih. Jika aku memang salah aku mohon maaf dan ampunmu!
Biarkan aku meninggalkan tempat ini. Aku harus cari kakek guru, aku harus temui
dia. Kalau tidak celaka semua! Perguruan Ujung Kulon akan ambruk! Manusia-manusia
jahat akan gentayangan lebih leluasa!"
"Sompret! Aku muak mendengar
omonganmu! Sekali aku bilang kau harus mampus, berarti kau benar-benar musti
mampus!"
Habis berkata begitu orang tua
aneh tapi ganas ini gerakkan tangan kanannya yang memegang ujung tali hitam.
Gerakannya perlahan saja tapi apa yang terjadi sungguh luar biasa. Tubuh
Udayana yang terlibat tali hitam itu tersentak dan terlempar ke atas. Ketika
tubuh itu kemudian jatuh dengan keras ke bawah Udayana tak sanggup lagi menahan
takutnya. Jeritan keras menggeledek dari mulut pemuda ini. Tapi hanya sejengkal
lagi tubuhnya akan terhempas ke tanah bukit, si orang tua sentakkan lagi tangan
kanannya. Tubuh Udayana serta-merta terlempar kembali ke atas!
Untuk kedua kalinya kemudian
pemuda itu jatuh lagi malah lebih deras dari pertama tadi. Dan celakanya kali
ini kepalanya menukik lebih dulu! Kembali Udayana menjerit. Kali ini putus
sudah harapannya. Dia bakal menemui kematian dengan kepala pecah menghunjam
tanah!
Namun pada saat batok kepala
pemuda itu hanya tinggal setengah jengkal dari tanah, kembali si orang tua
menyentakkan tali hitam yang dipegangnya. Akibatnya tubuh Udayana terlempar
setinggi tiga tombak ke udara. Si orang tua tertawa-tawa mengekeh seperti anak
kecil kegirangan bermain tali bandringan! Sambil terus tertawa-tawa tubuh
Udayana diputar-putarnya di udara. Pemuda itu sendiri tidak tahu apa yang
terjadi atas dirinya karena saat itu dia sudah jatuh pingsan.
"Walah tua bangka geblek!
Satu tahun lalu aku ke sini, tingkahmu sudah tidak karuan! Sekarang ternyata
kau makin tambah tidak waras!"
Terdengar suara melengking
tinggi. Baru saja suara itu lenyap berkelebatlah satu bayangan disertai
menebarnya bau busuk. Di hadapan si kakek kini tegak seorang nenek-nenek
mengenakan jubah putih dekil terbuat dari bahan yang sangat tebal. Sulit diduga
apakah pakaian atau tubuhnya yang menebar busuk, mungkin juga kedua-duanya.
"Jembel bau! Kau tidak
bosan-bosannya datang lagi ke tempat ini! Jangan harap kali ini aku akan
memberikan apa yang kau minta!" berkata orang tua berambut putih. Dia
hentikan tawanya tapi tubuh Udayana masih terus diputar-putarnya di udara
hingga mengeluarkan suara berdesing.
"Kau tidak mau berikan hari
ini, lain hari aku akan muncul lagi di sini! Sampai kau bosan! Hik... hik...
hik!" Nenek berjubah dekil membuka mulut.
"Kali ini jangan-jangan kau
tak bakal muncul lagi di tempat ini Nyi Gambir.... Ini kemunculanmu yang
terakhir kali!"
"Hik... hik... hik! Kenapa
begitu?!" Si nenek bertanya sambil tertawa cekikikan.
"Karena sebentar lagi, jika
urusanku dengan budak sompret ini selesai, aku akan membunuhmu!" jawab
kakek berambut putih.
"Membunuhku boleh-boleh saja
kakek kecoak! Kau memang manusia aneh! Minta nyawa orang tapi tak mau memberi
nyawa sendiri!"
"Eh nenek bau, apa
maksudmu?!"
"Kau sungguhan tidak mau
memberikan surat sakti itu padaku?!" bertanya nenek yang dipanggil dengan
sebutan Nyi Gambir itu.
"Tua bangka tak tahu diri!
Dulu aku bilang tidak, sekarangpun tidak!" jawab orang tua berambut putih.
"Hemmm.... Apa gunanya kau
simpan simpan surat itu kalau tidak dipergunakan?!"
"Dipergunakan atau tidak itu
bukan urusanmu!"
"Hik... hik.... Betapa
tololnya dirimu. Kau menyimpan satu petunjuk berharga. Yang bisa membawamu
menjadi raja diraja dunia persilatan. Tapi menyia-nyiakannya begitu saja. Apa
salahnya memberikan padaku...."
Sambil terus memutar tubuh
Udayana di udara, si kakek mendongak, tampaknya seperti tengah berpikir-pikir.
Tiba-tiba dari balik pakaiannya dia keluarkan sehelai kertas yang merupakan
sebuah surat dimana tertulis serangkaian kalimat berbunyi:
Kepada pendekar-pendekar utama
dari delapan penjuru angin
Siapa-siapa dari kalian yang
ingin merajai
dunia persilatan datanglah
membawa surat ini
ke Gua Iblis untuk mendapatkan
senjata ampuh Cambuk Iblis
(Mengenai surat iblis tersebut
harap baca serial Mahesa Kelud berjudul "Delapan Surat Kematian")
"Kau inginkan surat maha
berharga ini Nyi Gambir? Ambillah dari dalam perutku!"
Habis berkata demikian orang tua
rambut putih ini lantas masukkan kertas yang dipegangnya ke dalam mulut,
mengunyahnya lalu menelannya!
Si nenek sampai terbelalak
melihat kejadian itu. "Benar-benar tua bangka tolol!" katanya
memaki-panjang-pendek.. Tahu bahwa kedatangannya ke bukit itu merupakan
kesia-siaan besar si nenek segera bersiap angkat kaki dari situ. Namun dia
tidak mau pergi begitu saja sebelum memberi sedikit pelajaran pada si kakek.
Sambil umbar tawa cekikikan dia cabut lima lembar rambutnya yang berwarna
kelabu. Lalu sekali tangannya bergerak maka lima helai rambut itu melesat
ke udara laksana jarum-jarum saat
kemudian terdengar suara te tes... tes... tes!
Tali hitam yang dipegang si kakek
dan mengikat sekujur tubuh Udayana putus di lima tempat!
"Sompret!" teriak orang
tua rambut putih itu marah sekali. Dia hendak mengejar Nyi Gambir, tapi si
nenek sudah berkelebat pergi. Sambil menyumpah-nyumpah kakek ini terpaksa
tumpahkan perhatiannya pada sosok tubuh Udayana yang saat itu melayang jatuh.
Cepat dia angkat kedua tangannya. Tubuh Udayana tersentak beberapa kali lalu
kalau tadi jatuhnya begitu deras kini laksana ditahan oleh satu kekuatan yang
tidak terlihat, tubuh itu melayang turun secara perlahan-lahan hingga akhirnya
terbujur di tanah.
***
TAMAT
Selanjutnya :
BANJIR DARAH DI UJUNG KULON
Emoticon