Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Penari Berdarah Dingin
SATU
SELURUH rakyat Kadipaten Bojong
Picung saat ini tumpah ruah memadati sepanjang jalan utama kadipaten yang tidak
begitu besar itu. Sorak sorai bergema menyambut serombongan orang berseragam
yang berkuda, mengawal sebuah kereta besar terbuka. Semua orang yang memadati
pinggir jalan, mengelu-elukan sekitar tiga puluh orang yang berada di atas
kereta itu.
Di antara penumpang kereta,
terlihat enam orang wanita berwajah cantik dan bertubuh indah. Mereka itu
memakai kemben dari kain halus berwarna cerah. Wanita-wanita itu mengumbar
senyum dan sesekali melambaikan tangannya. Tampak duduk di depan dekat kusir
kereta, seorang laki-laki berusia lanjut. Pakaiannya merah menyolok, dan
berikat kepala berbentuk lancip tinggi. Bibirnya yang hampir tertutup kumis
putih, selalu menyunggingkan senyum.
Rombongan kecil itu terus
bergerak mengelilingi seluruh Kota Kadipaten Bojong Picung. Semakin dekat ke
arah kadipaten, semakin banyak orang mema-dati jalan. Sehingga, laju rombongan
itu agak tersendat. Hal ini membuat orang-orang berseragam prajurit yang berada
di atas, bergegas menghalau orang-orang yang menghalangi jalan.
"Minggir...!
Minggir...!"
Bentakan-bentakan keras terdengar
di antara seruan-seruan orang yang mengelu-elukan penumpang kereta besar itu.
Rombongan kecil itu terus mendekati pintu gerbang kadipaten yang dijaga ketat
sekitar sepuluh orang prajurit bersenjatakan tombak panjang. Mereka bergegas
membuka pintu gerbang, seraya berjaga-jaga menghadapi orang-orang yang mencoba
menerobos masuk mengikuti rombongan kecil itu.
"Cepat, tutup
pintunya...!" Terdengar teriakan keras bernada memerintah.
Pintu gerbang dari kayu jati
tebal yang tinggi dan kokoh itu ditutup setelah rombongan kecil melewatinya.
Sorak-sorai masih terdengar di luar benteng kadipaten. Sedangkan rombongan
kecil itu terus bergerak mendekati sebuah bangunan besar dan indah yang dijaga
ketat para prajurit bersenjata lengkap.
Rombongan itu langsung disambut
penguasa Kadipaten Bojong Picung. Orang-orang yang berada di kereta terbuka dan
cukup besar itu langsung dibawa ke dalam sebuah ruangan besar beralaskan
permadani bulu yang tebal dan halus. Mereka duduk bersila, sedangkan sang
adipati duduk di kursi berukir didampingi dua orang pengawal. Di samping
Adipati, duduk seorang wanita cantik berbaju merah dari kain sutera halus yang
agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah.
"Aku gembira akhirnya kau
memenuhi undanganku, Ki Jawara," kata Adipati Anggara.
"Hamba merasa undangan ini
sebagai suatu kehormatan, Gusti Adipati. Hamba membawa seluruh anggota,
termasuk penari-penari utama," sahut Ki Jawura.
Adipati Anggara tersenyum, dan
semakin lebar. Bola matanya berputar merayapi wanita-wanita cantik yang duduk
di belakang laki-laki tua berbaju merah. Di belakang laki-laki tua itu, duduk
berjajar beberapa laki-laki muda dan tua, yang terdiri dari para nayaga dan
para penari pria.
"Kudengar, rombonganmu sudah
cukup terkenal. Oleh karena itu, aku ingin melihat pertunjukanmu, Ki Jawura.
Dengan demikian, aku secara khusus mengundangmu untuk main di sini, menghibur
seluruh rakyatku selama tujuh malam penuh," jelas Adipati Anggara.
"Terima kasih, Gusti
Adipati," ucap Ki Jawura seraya menyembah, merapatkan kedua tangannya di
depan hidung.
Sikap Ki Jawura diikuti yang
lainnya. Sehingga, membuat Adipati Anggara semakin senang, dan senyumnya juga
semakin lebar menghiasi kecerahan wajahnya. Namun tidak demikian dengan wanita
yang duduk di sampingnya. Wajahnya kelihatan tidak gembira, bahkan sedikit pun
tidak tersenyum. Sikap wanita muda itu sama sekali tidak mendapat perhatian
Adipati Anggara yang tengah bergembira akan kedatangan rombongan pimpinan Ki
Jawura ini.
"Perjalanan yang kalian
tempuh tentu sangat jauh dan melelahkan. Sudah kusediakan tempat untuk kalian
beristirahat. Malam ini kalian akan tampil khusus untukku, dan keesokan hari
baru bermain di alun-alun kadipaten," jelas Adipati Anggara lagi.
"Terima kasih, Gusti
Adipati," ucap Ki Jawura penuh rasa hormat.
Dengan diantar dua orang prajurit
dan seorang pelayan wanita, rombongan penari itu menuju tempat peristirahatan
nya yang sudah disediakan. Sedangkan Adipati Anggara masih saja duduk di
tempatnya didampingi wanita muda berparas cantik, dan berkulit putih halus.
"Kelihatannya kau tidak
suka, Diah?" tegur Adipati Anggara baru menyadari sikap wanita itu.
"Ayahanda yang berkuasa di
sini. Nanda tidak bisa berbuat apa-apa," sahut wanita berbaju merah itu
yang bernama Diah Mardani. Nada suaranya terdengar keras.
"Kau anakku. Tentu saja kau
bisa mengemukakan pendapatmu di sini. Sudah tentu rombongan penari itu tidak
akan kupanggil, kalau kau tidak suka," kata Adipati Anggara seraya mengelus
rambut Diah Mardani yang hitam dan panjang.
Gadis itu tidak menyahut.
Diberikannya sembah kepada ayahnya itu dengan merapatkan kedua telapak tangan
di depan hidung. Sebentar kemudian gadis itu pergi dari ruangan itu. Adipati
Anggara menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah anak gadisnya ini.
***
Alunan gending begitu merdu
ditabuh para nayaga yang duduk berjajar rapi di pojok ruangan besar, dalam
bangunan megah Kadipaten Bojong Picung. Di tengah-tengah ruangan, terlihat enam
wanita berwajah cantik yang memiliki tubuh ramping gemulai melengak-lenggok
mengikuti irama gamelan yang ditabuh merdu menghanyutkan. Ruangan yang besar
itu juga telah dipenuhi para tamu undangan Adipati Anggara.
Semua tamu tidak berkedip
menyak-sikan lenggak-lenggok para penari yang begitu indah dan gemulai. Tampak
di samping kiri Adipati Anggara, duduk Ki Jawura yang selalu mengangguk-angguk
mengikuti irama gamelan. Bibirnya tidak pernah lepas dari senyuman. Sedangkan
mata Adipati Anggara sendiri tidak lepas ke arah salah seorang penari yang
mengenakan baju biru muda.
"Tampaknya Gusti Adipati
menyukai salah seorang penariku," tebak Ki Jawura tiba-tiba setengah
berbisik.
"Oh...!" Adipati
Anggara terkejut
Buru-buru laki-laki berusia
sekitar lima puluh tahun itu berpaling menatap Ki Jawura yang juga tengah
memperhatikannya. Adipati Anggara kembali memalingkan wajahnya memperhatikan
enam penari wanita yang masih melengak-lenggok gemulai. Bahkan kini, beberapa
tamu undangan mulai ikut menari di tengah-tengah ruangan besar ini.
"Siapa nama penarimu itu,
Ki?" Tanya Adipati Anggara.
"Yang mana, Gusti?" Ki
Jawura balik bertanya.
"Yang berbaju dan
berselendang biru," sahut Adipati Anggara tanpa mengalihkan pandangannya
ke arah wanita muda berwajah cantik yang sedang menari dengan salah seorang
tamu undangan.
"Oh..., itu. Namanya Onila.
Dia masih keponakan hamba, Gusti," sahut Ki Jawura, kemudian bibirnya
semakin lebar tersenyum.
"Aku ingin kau tidak
menyertakan dia menari, Ki," pinta Adipati Anggara.
"Kenapa, Gusti?" Tanya
Ki Jawura agak terkejut juga. Sungguh tidak disangka kalau Adipati Anggara akan
berkata begitu. Padahal tadi bayangannya lain.
"Hentikan saja dia, dan
suruh duduk di sini," tegas Adipati Anggara.
"Baik, Gusti." Ki
Jawura bergegas memberi hormat, lalu beranjak bangkit berdiri dan melangkah ke
tengah ruangan. Laki-laki tua itu langsung mendekati wanita yang dimaksud
Adipati Anggara. Dibisikkan sesuatu di telinga wanita cantik berbaju biru itu. Sebentar
wanita itu menatap Adipati Anggara, lalu melangkah mengikuti Ki Jawura yang
sudah lebih dahulu kembali ke tempatnya.
Wanita cantik yang disebutkan Ki
Jawura tadi bernama Onila ini, berlutut di depan Adipati Anggara dan merapatkan
kedua telapak tangannya di depan hidung. Wajahnya tertunduk, seperti tidak
kuasa membalas sorot mata penguasa Kadipaten Bojong Picung ini.
"Duduklah di sampingku ini,
Onila," ajak Adipati Anggara lembut.
Onila memandang Ki Jawura, dan
laki-laki tua itu menganggukkan kepalanya disertai sedikit kerdipan sebelah
mata. Onila memberikan sembah, lalu beringsut duduk di samping Adipati Anggara
yang duduk di kursi berukir indah. Wanita itu duduk bersimpuh di lantai dekat
penguasa Kadipaten Bojong Picung itu.
Adipati Anggara memandangi wajah
cantik di sampingnya lekat-lekat. Tidak lagi dipedulikan penari-penari lainnya.
Sudah berganti-ganti para tamu undangan yang ikut menari, dan kelihatannya
begitu puas. Wajah mereka berseri-seri. Sementara penabuh gamelan semakin giat
membuat irama panas yang menambah semaraknya suasana malam ini.
"Onila, aku ingin kau menari
khusus untukku. Hanya untukku," pinta Adipati Anggara.
"Gusti...," Onila
terperanjat Langsung diangkat kepalanya, dan ditatapnya laki-laki setengah baya
yang masih kelihatan gagah itu.
"Jika keberatan, aku tidak
akan memaksa," kata Adipati Anggara lagi. Begitu lembut suaranya.
Onila tidak menjawab. Dipandangi
wajah Ki Jawura yang kelihatannya juga kebingungan atas permintaan Adipati
Anggara itu. Sukar bagi Ki Jawura memberi jawaban yang diminta Onila melalui
tatapan mata. Melihat laki-laki tua itu hanya diam saja, Onila jadi tertunduk.
Sementara pesta terus berlangsung semakin meriah.
Sampai jauh malam pesta di
kadipaten itu belum juga berakhir. Bahkan semakin larut, suasana semakin
semarak. Ki Jawura hanya, diam saja. Sesekali dilirik Onila yang tertunduk.
Sedangkan Adipati Anggara tampaknya sudah tidak tertarik lagi pada suasana ini,
tapi tidak ingin meninggalkan tempat sebelum pesta berakhir. Biar bagaimanapun
tamu-tamu undangan nya harus dihormati, karena mereka tengah bergembira
menghabiskan malam semarak penuh gelak tawa ini.
Ki Jawura berjalan mondar-mandir
di dalam kamar berukuran tidak terlalu besar. Beberapa kali ditariknya napas
panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat Sedangkan di tepi pembaringan, terlihat
Onila duduk dengan kepala tertunduk dalam. Dimain-mainkan rambutnya yang hitam
panjang bergelombang. Gadis itu masih mengenakan kebaya biru muda, dan
berselendang biru tersampir di leher yang putih jenjang.
"Tidak kusangka kalau Gusti
Adipati begitu cepat tertarik...," desah Ki Jawura. Segera dihentakkan
tubuhnya di kursi yang berada di bawah jendela besar, sambil memandang Onila.
"Hhh..., seharusnya...."
"Ki...!" sentak Onila
memotong cepat. Diangkat kepalanya menatap pada laki-laki tua itu.
"Terus terang, sejak semula
aku tidak suka dengan ini semua. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang tak
diinginkan pada dirimu, Gusti Ayu...."
"Jangan panggil aku Gusti
Ayu, Ki!" potong Onila lagi lebih cepat.
"Tugas ini terlalu
berbahaya. Dan sungguh tidak kusangka kalau Gusti Adipati justru
memilihmu," keluh Ki Jawura.
"Aku suka tugas ini, Ki. Dan
akan kulaksanakan sebaik-baiknya," kata Onila diiringi senyuman manisnya.
"Itulah yang
kupikirkan," pelan suara Ki Jawura.
"Jangan khawatir, Ki. Aku
pasti tidak akan tergoda. Aku tahu siapa itu Adipati Anggara," tegas Onila
lagi.
"Mudah-mudahan kau bisa
menjaga diri, Onila."
Onila tersenyum semakin manis.
Sementara Ki Jawura melangkah keluar dari kamar ini. Onila terbaring
menelentang memandangi langit-langit kamar. Sedikit pun, tidak ditoleh saat
mendengar pintu kamar ini tertutup. Kepalanya baru berpaling setelah tidak
terdengar lagi suara langkah Ki Jawura yang meninggalkan kamar ini.
Malam sudah beranjak pergi,
berganti pagi. Pesta semalam membuat semua orang lelah, dan langsung tertidur.
Namun tidak demikian halnya Onila. Gadis penari itu masih terjaga di
pembaringan. Matanya menerawang jauh menembus langit-langit kamar yang dikapur
putih. Pelahan gadis itu beranjak bangkit, lalu turun dari pembaringan. Tapi,
Onila kembali duduk di tepi pembaringan itu.
Cukup lama juga Onila duduk diam
merenung di tepi pembaringan, kemudian kembali bangkit berdiri dan melangkah
keluar dari kamar ini. Sebentar ditengok ke kanan dan ke kiri setelah membuka
pintu kamar. Ringan sekali kakinya terayun melangkah menyusuri lorong yang di
kanan dan kirinya terdapat kamar-kamar yang pintunya tertutup rapat. Bagian
belakang kadipaten ini memang lebih mirip sebuah rumah penginapan. Onila terus
berjalan menyusuri lorong yang cukup panjang. Gadis itu baru berhenti melangkah
setelah melewati batas lorong dengan bagian taman belakang kadipaten. Gadis itu
mengernyitkan alisnya saat melihat di dalam taman belakang ada seorang wanita
yang usianya sebaya dirinya.
Wanita berbaju biru muda itu
menoleh, dan tampaknya terkejut begitu melihat Onila tahu-tahu sudah berada di
taman belakang ini. Dipandangi Onila dalam-dalam. Sedangkan Onila mengayunkan
kakinya mendekati, dan berhenti kira-kira lima langkah lagi jaraknya dari gadis
muda berwajah sangat cantik itu.
"Apakah aku mengganggumu,
Gusti Ayu?" Tanya Onila sopan, mengenali gadis cantik ini. Dia adalah Diah
Mardani, putri tunggal Adipati Anggara.
"Ada apa kau datang ke sini?"
Diah Mardani balik bertanya, dan nadanya agak ketus.
"Aku tidak bisa tidur, lalu
berjalan-jalan mencari udara segar," sahut Onila dengan kening agak
berkerut melihat sikap putri adipati ini.
"Banyak tempat yang bisa
didatangi di kadipaten ini," masih terdengar ketus nada suara Diah
Mardani.
"Jika Gusti Ayu tidak
berkenan, sebaiknya aku segera pergi dari sini," kata Onila seraya
membalikkan tubuhnya.
Tapi belum juga gadis penari itu
melangkah pergi, Diah Mardani lebih dulu mencegahnya. Onila memutar tubuhnya
kembali, menghadap putri tunggal adipati Itu. Sesaat mereka tidak berbicara,
dan hanya saling pandang saja.
"Sudah berapa lama kau jadi
penari?" Tanya Diah Mardani seraya duduk di kursi taman.
"Sejak kecil," sahut
Onila masih tetap berdiri.
"Kau tidak berdusta?"
Nada pertanyaan Diah Mardani jelas terdengar tidak percaya.
Pandangan mata gadis itu juga
penuh selidik. Namun Onila bersikap biasa saja, meskipun dalam hatinya
bertanya-tanya juga. Dia hanya diam, membalas tatapan penuh selidik itu agak
tajam.
"Meskipun bukan seorang
penari, tapi aku bisa membedakan antara yang sudah terbiasa menari dan yang
bukan," kata Diah Mardani lagi.
"Apa maksud Gusti Ayu
berkata demikian?" Tanya Onila.
"Ki Jawura mengakui kalau
kau adalah keponakannya. Tapi kulihat antara kau dengan yang lain tidak begitu
akrab. Bahkan kau lebih suka menyendiri, dan selalu dekat dengan Ki Jawura.
Siapa kau sebenarnya, Onila?"
Onila terperanjat juga mendengar
kata-kata yang begitu lancar, tegas, dan tanpa tedeng aling-aling lagi. Begitu
lugas, seperti tidak memiliki beban apa-apa. Namun demikian, ada sedikit
kegelisahan di hati gadis itu. Onila jadi tidak betah berlama-lama di sini.
"Mungkin Ayahanda atau yang
lain bisa tertipu pandangannya! Tapi aku tidak! Dan kau tidak akan bisa
melaksanakan niat yang terkandung di dalam kepalamu!" Ujar Diah Mardani
lagi.
"Maaf, Gusti Ayu. Aku harus
beristirahat," kata Onila seraya cepat-cepat memutar tubuhnya,
meninggalkan taman belakang itu.
"Itu baru peringatan
untukmu, Onila!" Tegas Diah Mardani diiringi senyuman sinis.
Onila mendengar kata-kata itu,
tapi tetap menutup telinga. Kakinya berjalan meninggalkan taman belakang ini.
Sedangkan Diah Mardani masih tetap duduk memandangi kepergian gadis penari itu.
Bibirnya yang selalu basah dan merah, masih menyunggingkan senyuman. Entah apa
arti senyuman itu, hanya dirinya sendiri yang tahu.
***
DUA
Siang ini udara terasa begitu
panas menyengat. Matahari bersinar terik, seakan-akan hendak menghanguskan apa
saja yang ada di atas permukaan bumi. Keadaan seperti ini membuat semua orang
enggan berada di dalam rumah. Mereka lebih senang duduk-duduk berangin-angin di
bawah pohon. Meskipun angin bertiup keras, namun tidak mampu mengurangi teriknya
cahaya matahari.
Di halaman samping Kedaton
Kadipaten Bojong Picung, tampak Diah Mardani tengah duduk di bawah pohon
rindang yang melindungi kulitnya dari sengatan matahari. Gadis itu hanya
ditemani dua orang emban pengasuh yang terkantuk-kantuk bersandar pada pohon.
Sedangkan Diah Mardani tengah menggosok-gosok pedang keperakan yang berkilau
tertimpa cahaya sinar matahari.
"Hhh...! Kerja kalian hanya
tidur saja!" Rungut Diah Mardani seraya melirik dua emban pengasuhnya.
"Maaf, Den Ayu. Semalaman
kami tidak bisa tidur," sahut seorang emban bertubuh gemuk dan
berselendang kuning yang melingkari pinggangnya.
"Kalian pasti ikut menonton
pertunjukan jelek itu, ya?" Dengus Diah Mardani ketus.
"Tidak, Gusti Ayu. Tapi
suaranya membuat kami tidak bisa memejamkan mata," sahut emban yang
bertubuh kurus.
Diah Mardani mendengus.
Dimasukkan pedangnya ke dalam sarungnya, lalu digeletakkan pedang itu di
samping. Pandangannya beredar ke sekeliling, dan langsung tertumbuk pada sebuah
jendela kamar yang sedikit terbuka. Gadis itu tidak berkedip memandang ke dalam
kamar dari jendela yang terbuka sedikit itu.
"Hm.... Ada apa Ayah berada
di dalam kamar Onila...?" Gumam Diah Mardani bertanya pada dirinya
sendiri.
Di dalam kamar itu memang
terlihat Adipati Anggara duduk di tepi pembaringan. Tidak jauh di depannya,
terlihat Onila yang duduk di sebuah kursi rotan. Entah apa yang tengah
dibicarakan. Terlalu jauh bagi Diah Mardani untuk bisa mendengar percakapan di
dalam kamar itu. Tapi matanya tetap tidak berkedip memandangi kedua orang di
dalam kamar itu.
Diah Mardani menahan napas
seketika saat melihat ayahnya bangkit berdiri dan menghampiri Onila. Jelas
terlihat laki-laki setengah baya penguasa Kadipaten Bojong Picung itu merengkuh
pundak Onila dengan kedua tangannya yang kekar dan membawanya berdiri. Begitu
dekat jarak antara mereka, sehingga hampir tidak ada batas lagi. Diah Mardani
buru-buru memalingkan muka saat kepala ayahnya tertunduk mendekati wajah Onila
yang terdongak, ditopang jari laki-laki setengah baya itu.
"Dasar perempuan
rendah!" Rungut Diah Mardani. Diah Mardani tidak tahu lagi, apa yang
terjadi di dalam kamar itu. Memang, Adipati Anggara bergegas menutup
jendelanya. Gadis itu segera bangkit berdiri, lalu melangkah cepat menghampiri
kamar itu. Tidak tertahankan lagi deburan jantungnya yang bagaikan gempuran
ombak di tepi pantai.
Namun belum juga gadis itu dekat
dengan jendela kamar yang sudah tertutup rapat, mendadak saja sebuah bayangan
berkelebat cepat menghadangnya. Kalau saja gadis itu tidak cepat-cepat melompat
ke belakang, pasti bayangan merah itu sudah menyambar tubuhnya.
"Bedebah...!" Umpat
Diah Mardani.
Gadis itu langsung meraba
pinggangnya, dan langsung terkejut. Ternyata baru disadari kalau pedangnya
tertinggal di bawah pohon. Dan belum lagi sempat melakukan sesuatu, bayangan
merah itu sudah kembali cepat menerjang gadis itu. Buru-buru Diah Mardani
mengambil sikap menghadang bayangan merah itu.
"Hiya...!"
Des!
"Akh..."
Diah Mardani terpental ke
belakang sejauh tiga batang tombak begitu bayangan merah menghantam tubuhnya.
Beberapa kali gadis itu harus bergulingan di tanah. Namun begitu cepat bangkit
berdiri, bayangan merah itu sudah kembali melesat cepat bagai kilat
menerjangnya.
"Ah...!"
Putri Adipati Anggara itu tidak
mungkin lagi berkelit. Dirasakan adanya hentakan kecil di bagian dada. Dan tak
bisa dihindari lagi, tubuh gadis itu melorot turun, lalu ambruk lemas ke tanah.
Sebelum gadis itu menyadari apa yang terjadi pada dirinya, bayangan merah itu
sudah berkelebat cepat menyambar, lalu membawanya pergi. Begitu cepat gerakan
bayangan merah itu, sehingga dua orang emban yang sejak tadi hanya bisa
menonton, jadi terpana tak mampu berbuat apa-apa.
"Tolong...!" Tiba-tiba
saja emban bertubuh gemuk berteriak keras begitu tersadar.
Teriakan yang keras itu
mengejutkan semua orang yang berada di lingkungan bangunan besar itu. Emban
satunya lagi juga berteriak-teriak menambah ributnya siang yang panas ini. Tak
berapa lama saja, hampir semua orang di Istana Kadipaten Bojong Picung ini
sudah tumpah ke tempat itu. Mereka berebutan bertanya pada dua orang emban
pengasuh itu. Tentu saja kedua emban itu jadi kebingungan menjawabnya, belum
lagi juga harus menenangkan din dari keterpanaan dari kejadian yang begitu
cepat dan tidak terduga sama sekali.
***
Adipati Anggara murka bukan
kepalang begitu mendapat laporan kalau putrinya diculik. Laki-laki setengah
baya itu bergegas keluar dari kamar Onila, sedangkan gadis penari itu hanya
tergolek saja di atas pembaringan dengan pakaian setengah terbuka. Dipandangi
kepergian Adipati Anggara yang dikawal sekitar enam orang prajurit. Onila
bergegas membereskan pakaiannya, lalu melompat bangkit dari pembaringan.
Bergegas ditutup pintu yang terbuka itu dan kembali duduk di tepi pembaringan.
"Hhh..., untung
saja...!" desah Onila seraya menarik napas panjang. Gadis itu mendongakkan
kepalanya begitu mendengar ketukan pintu kamar dari luar.
"Masuk...!"
Pintu kamar itu terkuak, dan
muncul Ki Jawura. Laki-laki tua itu bergegas masuk dan menutup pintu itu
kembali. Dipandangi Onila yang rambutnya acak-acakan, tapi pakaiannya masih
lengkap meskipun agak berantakan. Onila bisa mengerti pandangan Ki Jawura, lalu
mempersilakan laki-laki tua itu duduk.
"Belum terjadi, Ki,"
desah Onila diiringi hembusan napasnya.
"Ingat, Onila. Jangan sampai
kau terjebak rayuannya. Tugasmu di sini lebih penting dari...," Ki Jawura
menghentikan ucapannya.
"Aku tahu, Ki," potong
Onila cepat.
"Onila! Kau sudah mendengar
kalau...."
"Sudah," celetuk Onila
sebelum Ki Jawura menyelesaikan ucapannya.
Ki Jawura menghela napas panjang.
Dipandanginya gadis itu dalam-dalam. Sedangkan yang dipandangi hanya kelihatan
biasa saja. Dirapikan pakaian dan rambutnya. Tidak dipedulikan lagi pandangan
mata laki-laki tua itu.
"Kejadian ini bisa
menyulitkan kita, Onila," kata Ki Jawura seraya memalingkan mukanya.
Kecantikan dan keindahan tubuh
Onila memang sangat mengundang, tidak peduli terhadap laki-laki berusia lanjut.
Ki Jawura sendiri selalu mengalihkan pandangannya ke arah lain kalau sudah
merasakan kelelakiannya tergoda. Pokoknya, jangan sampai dirinya tergoda
kecantikan dan keindahan tubuh gadis itu. Dia sadar, siapa dirinya dan siapa
Onila itu. Gadis itu harus dilindungi dari segala apa pun.
"Mudah-mudahan bukan orang
kita yang melakukannya," desah Onila setelah selesai merapikan diri.
"Siapa yang tahu, Onila.
Kudengar kau bertengkar dengan Diah Mardani pagi tadi," kata Ki Jawura.
Onila tersentak kaget Sungguh
tidak disangka kalau Ki Jawura mengetahui tentang pertengkarannya dengan putri
Adipati Anggara pagi tadi. Dan sekarang gadis itu diculik orang tidak dikenal.
Onila menatap Ki Jawura dalam-dalam. Ingin diketahuinya, apakah laki-laki tua
ini memandang lain terhadapnya. Tapi sangat sukar untuk melihat isi hati Ki
Jawura. Terlalu datar raut wajahnya. Malah sinar matanya juga tidak pernah
berubah.
"Separuh rombongan kita
adalah orangmu. Dan aku tidak punya hak untuk mengawasi satu persatu. Maaf,
Onila. Bukannya aku mencurigaimu dengan bertindak menculik Diah Mardani,"
ujar Ki Jawura seperti mengerti arti pandangan gadis cantik itu.
"Sebaiknya jangan bicarakan
lagi persoalan penculikan ini, Ki. Masih banyak yang harus dilakukan," tegas
Onila.
"Baik, Gusti Ayu. Hamba
hanya menjalankan perintah," kata Ki Jawura seraya berdiri dan
membungkukkan badannya memberi hormat.
"Ki Jawura...!" Sentak
Onila melihat laki-laki tua Itu. "Sudah berapa kali kau
kuperingatkan?!"
"Maaf, Onila," ucap Ki
Jawura.
"Keluarlah!"
Ki Jawura membalikkan tubuhnya
dan melangkah keluar dari kamar ini. Sedangkan Onila menghenyakkan tubuhnya di
pembaringan, namun sebentar kemudian cepat bangun dan duduk di tepi pembaringan
itu. Pada saat itu Adipati Anggara masuk ke dalam Onila masih duduk memandangi
laki-laki setengah baya itu yang juga menatapnya dalam-dalam. Adipati Anggara
menjatuhkan dirinya di kursi.
"Bagaimana, Gusti
Adipati?" Tanya Onila tetap duduk di tepi pembaringan.
"Tidak ada jejak. Sudah ku
sebarkan hampir seluruh prajurit kadipaten mencari Diah Mardani," sahut
Adipati Anggara lesu.
"Apakah tidak ada yang
melihat, Gusti?"
"Dua orang emban. Tapi
mereka tidak tahu siapa yang menculik putriku. Mereka hanya mengatakan kalau si
penculik memakai baju merah dan lari ke arah Barat."
"Mungkin mereka...,"
Onila tidak meneruskan kata-katanya.
"Kau tahu siapa orang itu,
Onila?"
"Ah! Aku hanya seorang
penari, Gusti, Aku tidak tahu apa-apa," sahut Onila buru-buru.
Adipati Anggara menarik napas
panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Dia bangkit berdiri, lalu menghampiri
Onila. Sepasang tangannya yang kekar menggenggam erat bahu gadis itu. Onila
menengadahkan kepalanya menatap wajah laki-laki setengah baya itu. Pelahan
Adipati Anggara menundukkan kepalanya. Tapi belum juga dekat, Onila sudah
mencegah dengan halus.
"Gusti harus memusatkan
perhatian pada Gusti Ayu Diah," tolak Onila lembut.
"Hhh..." Adipati
Anggara menghela napas panjang.
Laki-laki setengah baya penguasa
Kadipaten Bojong Picung itu melepaskan tangannya dari bahu Onila. Dilangkahkan
kakinya mundur dua tindak. Segera dibalikkan tubuhnya, kemudian melangkah
keluar dari kamar ini. Tapi sebelum menutup pintu, kepalanya menoleh.
"Aku akan memintamu secara
resmi pada Ki Jawura," tegas Adipati Anggara.
"Gusti...!" Onila
tersentak kaget.
Namun Adipati Anggara sudah
keluar dan menutup pintu kamar ini. Onila jadi terlongong mendengar ucapan
terakhir adipati di Bojong Picung itu. Sesaat lamanya gadis itu hanya bisa
ternganga.
"Oh..., tidak! Ini tidak
boleh terjadi...!" desah Onila berat.
Gadis itu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Sebentar kemudian dibanting tubuhnya menelentang di atas
pemba-ringan. Sepasang bola matanya yang indah, menerawang jauh ke langit-langit
kamar ini. Sungguh tidak diduga kalau Adipati Anggara akan mengucapkan
kata-kata itu.
Cukup lama juga Onila
membaringkan tubuhnya menelentang merayapi langit-langit kamar, kemudian
menggelinjang bangkit dan keluar dari kamar ini. Entah lupa atau bagaimana,
Onila tidak lagi menutup pintunya. Sehingga, dua orang penjaga pintu kamar itu
terpaksa menutupnya setelah Onila berjalan jauh meninggalkan kamar yang
diperuntukkannya beristirahat. Kamar yang terpisah dari rombongannya.
***
Sementara itu jauh di sebelah
Barat Kadipaten Bojong Picung, tepatnya di Bukit Cangking, terlihat sebuah
bayangan merah berkelebat cepat menyelinap dari satu pohon ke pohon lain. Di
pundak kanannya tersampir sesosok tubuh ramping yang terkulai lemas tak
berdaya. Rambutnya yang hitam panjang, bergerak dipermainkan angin mengikuti
irama gerakan orang berbaju merah itu.
Arah yang dituju jelas, puncak
bukit. Namun jalan yang dilalui sungguh tidak menguntungkan. Pepohonan begitu
rapat dan mendaki sangat terjal. Belum lagi bebatuan di lereng bukit ini nampak
rapuh dan mudah sekali longsor. Namun orang berbaju merah itu terus bergerak
cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh."
"Eh...!" tiba-tiba saja
orang itu tersentak kaget ketika tampak di depannya duduk seorang pemuda.
Kelihatannya pemuda berwajah
tampan dan berambut panjang tergelung ke atas itu, juga terkejut dengan
kedatangan orang berbaju merah. Masalahnya, orang itu memanggul sesosok tubuh
ramping berpakaian sangat indah dari bahan sutra halus, dan beri sulamkan
benang-benang emas. Pemuda itu sampai terlonjak berdiri.
"Kisanak, ada apa kau di
sini?!" Kasar sekali teguran orang berbaju merah itu.
Pemuda itu tidak menyahuti.
Dikerutkan alisnya hingga bertaut rapat. Dari bibirnya terdengar suara gumaman
kecil yang tidak begitu jelas. Sepasang bola matanya sangat tajam merayapi
wajah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun yang memondong seorang
wanita di pundaknya.
"He, Anak Muda! Apa kau
bisu?!" Bentak orang itu semakin kasar nada suaranya.
"Tidak," sahut pemuda
itu kalem, namun bernada penuh ketegasan. "Minggirlah!" bentak orang
itu lagi.
"Hm.... Kenapa begitu kasar,
Ki sanak? Dan siapa yang kau bawa itu? Apakah terluka?" Tanya pemuda itu.
"Bukan urusanmu!"
Bentak orang berbaju merah itu sengit.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
orang berbaju merah itu melompat cepat bagai kilat. Kalau saja pemuda berbaju
rompi putih itu tidak bergegas menyingkir, pasti tubuhnya sudah terlanda.
Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari
pandangan.
"Hm...," pemuda itu
menggumam pelan.
Wut!
Mendadak saja pemuda itu melesat
ke arah perginya orang berbaju merah. Begitu cepatnya, sehingga bagai hilang
saja. Sementara itu orang berbaju merah yang memondong sosok tubuh ramping di
pundak, terus berlari cepat mendaki Lereng Bukit Cangkring ini. Cepat sekali
gerakannya, sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja sudah tiba di puncak.
Orang itu melemparkan tubuh yang
dipanggulnya begitu saja ke tanah, kemudian mendekati sebongkah batu besar.
Sebentar dipandangi batu itu, lalu kedua telapak tangannya ditekan kuat-kuat ke
batu itu. Pelahan-lahan batu itu menggeser ke samping. Tampak sebuah mulut gua
terpampang, setelah batu itu tergeser cukup lebar.
Dan begitu dia berbalik, langsung
menyumpah. Entah kapan dan dari mana datangnya, tahu-tahu di tempat itu sudah
berdiri seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut panjang agak tergelung ke
atas. Dia hanya mengenakan baju rompi putih, dan gagang pedangnya yang
berbentuk kepala burung menyembul dari balik punggung.
"Kau lagi...! Mau apa kau ke
sini?!" geram orang berbaju merah itu sengit.
"Hanya kebetulan
lewat," sahut pemuda itu kalem, seraya melirik sosok ramping yang tergolek
lemas di tanah. "Apakah gadis itu terluka?"
"Sudah kubilang, itu bukan
urusan mu!" bentak orang berbaju merah itu semakin tidak senang.
Pemuda berbaju rompi putih itu
tidak menghiraukan bentakan keras yang tidak bersahabat itu. Dihampirinya gadis
yang tergolek di tanah, lalu diperiksa. Mulutnya bergumam pelan, lalu wajahnya
berpaling pada orang yang berbaju merah. Tampak sekali kalau wajahnya memerah
menahan kemarahan.
"Dia hanya tertotok jalan
darahnya. Apakah kau yang melakukannya, Kisanak?" Tenang nada suara pemuda
berbaju rompi putih itu.
"Sikapmu memuakkan sekali,
Anak Muda! Aku paling tidak suka urusanku dicampuri orang asing!" Geram
laki-laki berbaju merah itu.
"Bukannya hendak mencampuri,
tapi nampaknya kau tidak bermaksud baik pada gadis itu," tetap kalem nada
suara pemuda itu.
"Bedebah! Kau benar-benar
memuak-kan!" Geram orang itu membentak kasar.
Tanpa berkata-kata lagi, laki-laki
berbaju merah agak ketat itu melompat cepat bagai anak pariah lepas dari busur.
Lesatan disertai lontaran dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu sungguh cepat
dan tidak terduga sama sekali. Sehingga pemuda berbaju rompi] putih itu tidak
bisa berkelit lagi. Cepat-cepat diangkat tangannya ke depan, lalu disambut dua
pukulan beruntun itu.
Des! Buk!
Mereka sama-sama terpental ke
belakang begitu tangan masing-masing saling berbenturan keras. Tampak laki-laki
berbaju merah itu bergulingan sejauh tiga batang tombak. Sedangkan pemuda
berbaju rompi putih itu hanya terpental sejauh beberapa langkah saja.
"Setan alas...!" Geram
orang berbaju merah itu sengit
Sedangkan pemuda berbaju rompi
putih hanya menggumam pelan saja.
"Anak Muda! Siapa kau
sebenarnya?!" Tanya orang berbaju merah itu kasar.
"Aku kira kau tidak perlu
mengetahui namaku, Kisanak," sahut pemuda itu kalem.
"Phuih! Kau terlalu keras
kepala, bocah! Kau akan menyesal mencampuri urusan Klabang Geni!" Ancam
orang berbaju merah itu sambil menyombongkan namanya.
"Hm..., Klabang Geni....
Seharusnya kau berada di daerah Wetan. Kenapa sampai kesasar ke daerah
Kulon...?" Pemuda berbaju rompi putih itu bergumam seperti bertanya pada
dirinya sendiri.
"Heh! Kau tahu
aku...?!" Klabang Geni nampak terkejut "Siapa kau sebenarnya,
bocah?!"
"Asal kau tahu saja, Klabang
Geni. Aku utusan khusus dari Kerajaan Karang Setra, dan sengaja datang untuk
mencarimu!" tegas sekali kata-kata pemuda berbaju rompi putih itu
"Hua ha ha ha...!"
Klabang Geni tertawa terbahak-bahak.
"Gusti Prabu memerintahkan
aku untuk meminta tanggung Jawabmu, Klabang Geni!" tegas pemuda itu lagi.
"Kenapa bukan rajamu saja
yang datang, heh?! Kenapa hanya mengirim tikus busuk padaku? Ha ha ha...!"
Klabang Geni kembali terbahak-bahak.
Pemuda berbaju rompi putih itu
hanya menggerung pelahan, melihat kecongkakan laki-laki berbaju merah yang
bernama Klabang Geni itu.
"Bagaimana kau bisa
mengetahui Raja Karang Setra, Klabang Geni?" Tanya pemuda berbaju rompi
putih itu dingin.
"Nenek-nenek juga tahu. Raja
Karang Setra adalah raja pengecut yang mengaku berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti! Dengar, bocah! Rajamu itu tidak lebih dari seorang pembual kelas teri.
Semua orang tahu kalau Pendekar Rajawali sudah mampus seratus tahun yang
lalu!"
Merah padam wajah pemuda itu,
namun kelihatannya masih bisa menahan diri agar tidak terpancing. Tentu saja
Klabang Geni tidak mengetahui Raja Karang Setra, karena memang belum pernah
berjumpa sebelumnya. Dan dia tidak tahu kalau kini sedang berhadapan dengan
seorang pemuda yang mengaku utusan khusus Kerajaan Karang Setra.
Klabang Geni tidak tahu kalau
pemuda berbaju rompi putih itu adalah Rangga, berjuluk Pendekar Rajawali Sakti,
yang juga seorang raja besar di Karang Setra. Tentu saja Rangga tidak
mengatakan dirinya sebenarnya. Dia ingin memancing dulu, apakah benar Klabang
Geni yang membunuh urusan pribadinya ke Kadipaten Bojong Picung? Dan kalau
memang benar, apa maksudnya? Itu yang ingin diketahui Rangga hingga harus
dirinya sendiri yang mencari Klabang Geni.
"Aku berani bertaruh, kau
pasti belum pernah bertemu Prabu Rangga," kata pemuda berbaju rompi putih
itu dingin nada suaranya.
"Phuih! Sebaiknya kau pulang
saja, bocah! Dan katakan pada rajamu agar jangan mengganggu Kadipaten Bojong
Picung!" dengus Klabang Geni.
"Sayang sekali! Aku harus
kembali, tapi sambil membawa kepalamu, Klabang Geni." Dingin sekali suara
Rangga.
"Keparat..! Kau tidak bisa
dikasih ampun lagi, bocah!" geram Klabang Geni.
Setelah berkata demikian, Klabang
Geni langsung melompat menerjang cepat. Pada saat yang sama, pemuda berbaju
rompi putih itu menggeser kakinya sedikit ke samping, dan tubuhnya ditarik ke
kiri. Terjangan Klabang Geni hanya sedikit meleset di samping tubuh Pendekar
Rajawali Sakti itu. Dan sebelum Klabang Geni bisa menarik pulang serangannya
yang gagal, tangan Rangga sudah berkelebat cepat Dan....
Des!
"Akh...!" Klabang Gem
memekik tertahan. Laki-laki berbaju merah menyala itu terpental beberapa
langkah. Dan memang, tebasan tangan Rangga tepat mendarat pada bagian pinggang.
"Monyet keparat..!"
umpat Klabang Geni geram.
Bet! Bet!
Klabang Geni kembali
mempersiapkan dengan jurus lainnya. Dan Rangga sendiri sudah siap menanti
serangan berikut. Pemuda itu kelihatan tenang, namun tatapan matanya sangat
tajam menusuk langsung ke bola mata Klabang Geni.
"Hiyaaa...!"
"Hait!"
***
TIGA
Pertarungan antara Rangga melawan
Klabang Geni tidak mungkin dihindari lagi. Mereka adalah tokoh tingkat tinggi
rimba persilatan. Tidak heran, kalau masing-masing langsung mengerahkan
jurus-jurus andalan yang sangat dahsyat dan mematikan. Buat Klabang Geni
sendiri, dia begitu geram karena semula meremehkan pemuda itu. Tapi kini, sukar
baginya untuk mendesak lawan.
Sementara tidak jauh dari tempat
pertarungan, terlihat sosok tubuh ramping tergolek lemah tak berdaya di tanah
berumput tebal. Meskipun tidak memiliki tenaga untuk bergerak, namun wanita itu
masih bisa mengikuti pertarungan dua orang yang tak dikenalnya. Dia berusaha
bergerak, namun seluruh ototnya terasa kaku dan sukar digerakkan. Gadis
berwajah cantik itu hanya bisa mengeluh dalam hati dan memperhatikan jalannya
pertarungan. Namun rasanya cukup sulit untuk melihat, karena pertarungan itu
berjalan cepat. Sehingga, yang terlihat hanya dua bayangan yang berkelebatan
saling sambar saja.
"Awas kaki...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan
peringatan keras menggelegar. Pada saat itu, sebuah bayangan putih berkelebat
cepat menyusur tanah. Sedangkan bayangan merah melesat ke udara. Namun pada
saat yang bersamaan, bayangan putih melesat juga ke udara.
Dug!
"Akh...!"
Entah bagaimana kejadiannya,
tahu-tahu sosok tubuh berbaju merah terpental dan jatuh bergulingan di tanah.
Sedangkan pemuda berbaju rompi putih mendarat manis di tanah. Tepat pada saat
kedua kakinya menjejak tanah, Klabang Geni menggelinjang bangkit berdiri.
Tampak dari mulutnya mengeluarkan darah segar kemerahan.
"Keparat..!" umpat
Klabang Geni seraya menyeka darah di mulut dengan punggung tangan.
Bet! Wut!
Klabang Geni menyilangkan
tangannya di depan dada dengan jari-jari terkembang, Pelahan ditarik tubuhnya
sehingga doyong ke kanan, kemudian pelahan-lahan pula ditarik tubuhnya ke kiri
agak memutar ke belakang. Tampak napasnya ditarik dalam-dalam. Sedangkan
matanya menatap tajam menusuk ke arah pemuda berbaju rompi putih di depannya.
Melihat lawannya bersiap-siap
mempergunakan ilmu kesaktian, Pendekar Rajawali Sakti itu tidak tinggal diam.
Segera dirapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Sebentar ditariknya
napas panjang dan dalam, lalu pelahan-lahan tangannya ditarik ke samping dengan
telapak tangan terkepal. Kedua kakinya dipentang lebar ke samping, tepat pada
saat kedua tangannya terkepal di sisi pinggang.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Klabang Geni
melesat menerjang Pendekar Rajawali Sakti itu. Terjangannya begitu dahsyat
sehingga menimbulkan desiran angin yang sangat kuat, membuat daun-daun
berguguran. Pada saat Klabang Geni menghentakkan tangannya ke depan, Rangga
cepat-cepat mendorong kedua tangannya ke depan untuk menyambut serangan
laki-laki berbaju merah itu.
"Hap!"
"Hiyaaa...!"
Glaaar. .!
Suatu ledakan keras terdengar
bagai gunung meletus, tepat ketika dua pasang tangan beradu rapat.
"Aaakh...!" Klabang
Geni menjerit keras.
Laki-laki berbaju merah itu
terpental keras dan jatuh. Dua batang pohon yang terlanda tubuhnya langsung
tumbang. Beberapa kali Klabang Geni bergulingan di tanah, tapi masih mampu
bangkit berdiri meskipun agak limbung. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri
tegak, dan hanya terdorong dua langkah ke belakang.
Tampak sekali dari sinar matanya,
Klabang Geni seperti tidak mempercayai apa yang baru saja terjadi pada dirinya.
Pemuda itu masih berdiri tegak tanpa mengalami luka sedikit pun. Sedangkan
dirinya sendiri seperti remuk seluruh tulang tubuhnya. Bahkan badannya masih
terasa sesak dan sulit mengatur napasnya. Tapi rasa penasaran membuatnya
kembali melompat mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Hap!"
Tap!
Klabang Geni mengangkat kedua
tangannya ke atas lalu menyilangkan tepat pada pergelangannya. Pelahan
diturunkan tangannya sampai di depan dada. Tampak seluruh tubuhnya bercahaya
merah membara bagai terbakar. Melihat itu Rangga bergerak mundur dua langkah. Tapi
sikapnya masih terlihat tenang, bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman dingin.
"Hiyaaat..!" Klabang
Geni berteriak keras menggelegar. Secepat itu pula dihentakkan tangannya ke
depan. Seleret sinar merah melesat mengarah pada Rangga yang masih berdiri
tegak tak bergeming.
Glar...!
Kembali ledakan keras terdengar.
Asap tebal seketika mengepul saat cahaya merah tadi menghantam tubuh Pendekar
Rajawali Sakti.
"Ha...!"
Bukan main terkejutnya Klabang
Geni begitu asap tebal memudar. Tampak Rangga masih berdiri tegak pada
tempatnya. Padahal jelas sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti tadi terhantam
sinar merah yang dilepaskan Klabang Geni. Bahkan pemuda berbaju rompi putih itu
terlihat tersenyum tipis.
"Hiya! Hiya...!"
Klabang Geni jadi geram bukan
main. Segera dihentakkan tangannya dua kali ke depan. Dan seketika dua cahaya
merah bertebaran meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Kembali
terdengar ledakan keras mengguntur dua kali berturut-turut Maka untuk kedua
kali Klabang Geni ternganga melihat lawannya yang masih muda mampu menahan
ajian kesaktiannya yang dahsyat.
"Hanya sampai di situ
sajakah ilmu kesaktianmu Klabang Geni?" Rangga tersenyum penuh ejekan.
"Phuih!" Klabang Geni
menyemburkan ludahnya.
Klabang Geni menggerak-gerakkan
tangannya di depan dada. Kemudian melompat deras ke arah Rangga. Jari-jari
kedua tangannya terkembang, menjulur ke depan. Sedangkan Pendekar Rajawali
Sakti masih berdiri tegak tak bergeming sedikit pun. Maka, mudahlah bagi
Klabang Geni untuk mendaratkan jari-jari tangannya yang mengembang kaku ke dada
Pendekar! Rajawali Sakti.
"Hup"
Pada saat itu Rangga
menghembuskan napas dan mencengkeram pundak Klabang Geni kuat-kuat Tampak
cahaya biru menyelimuti seluruh tubuh Rangga sedangkan seluruh tubuh Klabang
Geni berselimut cahaya merah.
Pelahan-lahan namun pasti, cahaya
biru mulai menyelimuti seluruh tubuh Klabang Geni. Sehingga, cahaya merah
memudar, dan akhirnya lenyap dari tubuh laki-laki berbaju merah itu. Klabang
Geni menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri, namun jari-jari tangannya
menempel erat pada dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Aaa...!" Klabang Geni
menjerit keras melengking.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rangga mendorong
tubuh Klabang Geni kuat-kuat. Akibatnya laki-laki berbaju merah itu terpental
ke belakang sejauh dua batang tombak. Rangga sendiri melompat ke belakang
sekitar tiga langkah. Tampak Klabang Geni menggeliat-geliat sambil merintih
lirih. Sebentar kemudian laki-laki berbaju merah itu tak bergerak-gerak lagi.
Tubuhnya kaku membiru, seperti habis tersengat ribuan ular berbisa.
"Hhh...," Rangga
menarik napas panjang dan berat.
***
Pendekar Rajawali Sakti
membebaskan totokan pada jalan darah gadis cantik yang tergeletak di tanah.
Gadis itu langsung bangkit duduk. Sebentar digerak-gerakkan tubuhnya untuk
melemaskan otot-otot yang terasa kaku. Dipandanginya mayat Klabang Geni yang
terbujur kaku membiru, kemudian beralih pada pemuda tampan berbaju rompi putih
yang baru saja membebaskannya dari totokan Klabang Geni.
"Terima kasih, kau telah
menolongku," ucap gadis itu.
"Siapa kau? Dan kenapa
diculik Klabang Geni?" Tanya Rangga lembut
"Aku Diah Mardani, putri
Adipati Anggara di Kadipaten Bojong Picung," sahut gadis itu
memperkenalkan diri.
"Totokan di tubuhmu tidak
mempengaruhi jalan pendengaran. Jadi kau pasti mendengar semua yang kubicarakan
dengan Klabang Geni," kata Rangga seraya menghentakkan tubuhnya bersandar
pada sebatang pohon yang cukup rindang melindungi dirinya dari sengatan sinar
matahari.
"Ya," sahut Diah
Mardani setengah mendesah.
"Aku memang sedang mencari
Klabang Geni, karena dia telah mencegat dan membunuh utusan pribadi Raja Karang
Setra untuk Adipati Bojong Picung," jelas Rangga tanpa membuka siapa
dirinya sebenarnya. Padahal, dia sendiri adalah raja di Karang Setra.
"Aku dengar semuanya. Dan
kau adalah utusan khusus Prabu Rangga Pati Permadi," kata Diah Mardani.
Rangga memandangi wajah gadis
cantik yang duduk tidak jauh didepan. Sedangkan yang dipandangi hanya tertunduk
saja, dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Seakan-akan tidak ingin
kecantikannya dipandangi pemuda itu. Atau dibiarkan saja pemuda tampan berbaju
rompi putih itu menikmati wajahnya.
"Jika kau memang benar putri
Adipati Anggara, aku ingin tahu. Apa benar di Kadipaten Bojong Picung ini
terjadi pemberontakan?" Tanya Rangga yang juga sepertinya tengah
menyelidiki kebenaran pengakuan gadis itu.
"Sepertinya kau tidak
mempercayai aku, Kisanak," agak ketus nada suara Diah Mardani.
"Terus terang, kami semua di
Karang Setra mendengar kalau di Kadipaten Bojong Picung terjadi pemberontakan
dan usaha penggulingan kekuasaan. Dan ini pasti akan merembet sampai ke
Kerajaan Karang Setra. Maka aku harus bersikap waspada dan tidak mudah percaya
pada siapa pun. Aku harap kau mengerti, Nini Diah," jelas Rangga.
Diah Mardani hanya mengangkat
bahunya saja.
"Nah! Kau mengaku sebagai
putri Adipati Anggara. Apakah kau tahu adanya pemberontakan di kadipaten
ini?" Rangga mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab tadi.
"Tidak," sahut Diah
Mardani.
"Tidak...?!" Pendekar
Rajawali Sakti kelihatan terkejut mendengar jawaban Diah Mardani barusan.
"Keadaan di Kadipaten Bojong
Picung aman-aman saja. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bakal ada
pemberontakan," tegas Diah Mardani.
Rangga mengernyitkan alisnya
hingga bertaut menjadi satu. Sesaat lamanya dipandangi gadis di depannya,
kemudian bangkit berdiri seraya menghembuskan napas panjang dan agak berat.
Diah Mardani juga ikut bangkit, lalu melangkah begitu Rangga mengayunkan
kakinya meninggalkan tempat ini. Tak ada lagi yang bicara, mereka berjalan
bersisian dengan pikiran masing-masing.
Cukup lama tidak ada yang berbicara.
Sampai cukup jauh meninggalkan Puncak Bukit Cangking ini, masih belum ada yang
membuka mulut terlebih dahulu. Mereka terus berjalan membelah kele-batan hutan,
menuruni Lereng Bukit Cangking. Tapi mendadak saja Diah Mardani berhenti
berjalan, lalu menatap lurus Pendekar Rajawali Sakti yang juga menghentikan
langkahnya dan berbalik menghadap gadis itu.
"Kisanak, selama ini
Kadipaten Bojong Picung aman-aman saja. Tapi..," suara Diah Mardani
terhenti
"Tapi, kenapa?" Tanya
Rangga minta diteruskan.
"Aku tidak mengerti, kenapa
Klabang Geni menculikku...?" Tanya Diah Mardani seperti untuk dirinya
sendiri.
"Kalau kau cerdik, kau akan
bisa menjawab sendiri," tegas Rangga.
"Pemberontakan...?!"
Diah Mardani memandangi Rangga
dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya kalau ada rencana makar di Kadipaten
Bojong Picung. Kadipaten ini memang berada di wilayah Kerajaan Karang Setra.
Gadis itu benar-benar tidak tahu kalau ada urusan datang ke kadipaten ini..
"Kisanak, apa yang dibawa
utusan dari Karang Setra?" Tanya Diah Mardani.
"Sepucuk surat khusus Prabu
Rangga untuk Adipati Anggara," sahut Rangga.
"Surat..?" Kembali Diah
Mardani mengerutkan keningnya. "Kami mendengar akan adanya rencana makar.
Itulah sebabnya Prabu Rangga mengirim urusan dan hendak menanyakan kebenaran
berita itu langsung dari Adipati Anggara. Tapi di tengah jalan, urusan itu
telah dicegat Klabang Geni. Tiga orang tewas dan seorang berhasil kembali dalam
keadaan terluka parah, tapi akhirnya tewas juga ketika sampai di hadapan Prabu
Rangga," jelas Rangga tanpa memberitahukan siapa dirinya sebenarnya.
Diah Mardani bungkam,
mendengarkan penuh perhatian. Sungguh mati tidak diketahui kalau di Kadipaten
Bojong Picung akan ada pemberontakan yang terencana. Dan rencana itu sudah
tercium sampai ke Istana Karang Setra, sehingga Prabu Rangga sampai mengirim
urusan khusus untuk menanyakan kebenaran berita itu.
"Kejadian itu semakin
memperkuat dugaan kalau Kadipaten Bojong Picung benar-benar terancam,"
sambung Rangga.
"Dan kau dikirim khusus
untuk menyelidiki kebenarannya?" sergah Diah Mardani.
"Bukan hanya itu. Aku juga
harus melenyapkan Klabang Geni serta menghancurkan gerombolannya yang mungkin
sudah menyebar dan menyusup ke dalam Kedaton Kadipaten Bojong Picung."
"Oh! Benarkah itu...?!"
"Semua baru dugaanku saja.
Kebenarannya memang harus
dibuktikan terlebih dahulu."
"Kalau begitu, Ayahanda
harus diberitahu secepatnya," kata Diah Mardani.
"Kau akan memberitahu pada
ayahmu?"
"Tentu!" tegas jawaban
Diah Mardani.
"Jika ayahmu tidak
percaya?" Tanya Rangga ingin tahu.
"Aku yang akan bertindak
sendiri."
"Ha ha ha...!"
Entah kenapa, tahu-tahu Rangga
jadi tergelitik mendengar jawaban yang begitu tegas seperti tidak dipikir lebih
dahulu. Diah Mardani jadi mendelik diperlakukan seperti itu. Tapi Rangga masih
saja tertawa terbahak-bahak sambil melanjutkan berjalan. Putri Adipati Anggara
menggerutu, lalu mengayunkan kakinya mengikuti langkah kaki Pendekar Rajawali
Sakti di depannya.
"Kau boleh saja meremehkan,
tapi lihat saja nanti!" rungut Diah Mardani.
"Aku memang pernah mendengar
kalau putri Adipati Anggara gemar mempelajari ilmu olah kanuragan dan
kesaktian. Tapi, rasanya belum cukup untuk menghadapi para pemberontak,"
kata Rangga tanpa bermaksud meremehkan.
"Kalau aku sanggup?"
"Aku akan mohon pada Prabu
Rangga, agar kau dijadikan pendamping khusus Gusti Ayu Cempaka."
"Aku pegang janjimu,
Kisanak!"
Tentu saja Diah Mardani senang
kalau bisa dijadikan pendamping khusus adik tiri Raja Karang Setra yang sudah
dikenal bukan saja kecantikannya, tapi juga tingkat kepandaiannya. Di samping
itu, Cempaka juga berbudi luhur dan welas asih. Diah Mardani ingin sekali kenal
dengan adik tiri laki-laki Prabu Rangga yang tampan dan juga berkepandaian
tinggi. Sudah tidak terhitung lagi, berapa gadis putri pembesar yang mendekati
Raden Danupaksi. Tapi, pemuda itu seperti belum melirik seorang gadis pun.
***
Bukan main gembiranya Adipati
Anggara mendapati putri tunggalnya kembali dalam keadaan selamat tanpa kurang
suatu apa pun. Tapi di balik kegembiraan nya, hatinya terkejut karena Diah
Mardani justru kembali bersama seorang pemuda berbaju rompi putih. Adipati
Anggara tahu siapa pemuda itu, sehingga buru-buru membawanya ke ruangan khusus.
Hanya mereka berdua saja yang memasuki ruangan itu, tanpa ada seorang pengawal
pun di sana. Bahkan Diah Mardani sendiri dilarang ke ruangan khusus itu.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba
tidak menyambut kedatangan Gusti Prabu secara layak," ucap Adipati Anggara
seraya berlutut memberikan sembah.
"Bangunlah, Paman
Adipati," kata Rangga lembut.
Adipati Anggara bangkit berdiri,
bersikap penuh hormat. Tapi Rangga meminta untuk bersikap biasa saja, karena
tidak ingin orang lain mengetahui siapa dirinya sebenarnya.
"Diah Mardani sudah
menceritakan semua peristiwanya. Dan sungguh hamba tidak menduga kalau Gusti
Prabu sendiri yang akan datang, serta menolong putri hamba," ucap Adipati
Anggara.
"Aku memang datang untuk
menemuimu, Paman Adipati. Ada sesuatu yang hendak kutanyakan padamu,"
jelas Rangga.
"Hamba, Gusti Prabu."
"Aku mendapat kabar kalau
ada rencana makar di sini. Itulah sebabnya aku mengutus empat orang yang
membawa surat untukmu. Tapi mereka dicegat Klabang Geni. Tiga orang tewas
seketika dan seorang berhasil kembali dalam keadaan luka parah, namun akhirnya
juga tewas, Kejadian itu membuatku harus pergi sendiri untuk mengetahui
kebenaran berita yang kudengar itu," kata Rangga.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba
tidak mendengar di Kadipaten Bojong Picung ini, Keadaannya aman tentram, bahkan
kemajuannya sangat pesat."
Rangga menggumam tidak jelas.
Kakinya melangkah mendekati jendela yang terbuka lebar. Pendekar Rajawali Sakti
itu memandang keluar. Sedangkan Adipati Anggara hanya berdiri saja tanpa
bergeser sedikit pun, masih bersikap penuh rasa hormat. Pelahan Rangga membalikkan
tubuhnya sambil menghembuskan napas panjang.
"Untuk apa kau membuat
panggung besar di tengah alun-alun, Paman Adipati?" Tanya Rangga.
"Gusti..., panggung itu
hamba buat untuk rombongan para penari yang hamba undang selama tujuh
hari," jawab Adipati Anggara terus terang.
"Kau mengadakan pesta?"
"Hanya pesta kecil, Gusti.
Rombongan penari hamba datangkan dari Desa Kuripan."
Rangga mengangguk-anggukkan
kepala-nya. Memang sudah pernah didengarnya kalau di Desa Kuripan terkenal akan
gadis penarinya yang cantik-cantik Desa itu memang seperti suatu tempat
berkumpulnya rombongan penari dan kesenian rakyat lainnya. Mereka sudah
terkenal sampai ke seluruh pelosok Kerajaan Karang Setra.
"Ampun, Gusti.... Jika Gusti
Prabu tidak berkenan, hamba akan menghentikan pesta dan memulangkan seluruh
rombongan penari," ujar Adipati Anggara.
"Tidak! Teruskan saja
pestamu," tegas Rangga.
"Terima kasih, Gusti.
Tapi...."
"Kau teruskan pesta,
sementara aku akan menyelidiki terus sampai benar-benar yakin kalau tidak ada
pemberontakan di sini," potong Rangga cepat.
"Hamba akan mengerahkan
prajurit dan telik sandi, Gusti," kata Adipati Anggara.
"Tidak perlu, Paman Adipati.
Bersikaplah wajar seperti tidak terjadi sesuatu. Tapi kau harus tetap waspada.
Dan lebih waspada lagi dengan segala yang akan terjadi."
"Hamba, Gusti Prabu."
"Hm...."
***
Malam sudah beranjak semakin
larut Udara yang dingin jadi tidak terasa oleh kehangatan suasana yang
ditimbulkan rombongan penari pimpinan Ki Jawura. Semakin larut, semakin hangat
suasananya. Ini karena irama gamelan yang ditabuh pada nayaga kelihatan semakin
bergairah.
Namun semua itu seperti tidak
dirasakan Onila yang hanya duduk saja di pinggir belakang panggung di antara
para nayaga. Wajah gadis itu kelihatan murung, seolah-olah sudah jemu berada di
tengah-tengah keramaian ini. Beberapa kali ditariknya napas panjang, tidak
peduli dengan sorotan mata Ki Jawura yang selalu berada di sampingnya.
"Kau gelisah sekali malam
ini, Onila," tegur Ki Jawura.
"Tidak, Ki," desah
Onila seraya menghembuskan napas panjang.
"Apa sebenarnya yang kau
pikirkan, Onila?" Ki Jawura tidak percaya pada jawaban Onila.
"Hhh...!" Onila
mendesah berat.
Gadis itu melayangkan
pandangannya ke depan panggung. Di sana, terlihat seorang pemuda berwajah
tampan mengenakan baju rompi putih tengah duduk di kursi paling depan. Di
sebelahnya duduk seorang gadis cantik mengenakan baju biru muda yang agak ketat
sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang ramping dan indah. ki Jawura
mengarahkan pandangannya ke arah yang sama dengan gadis penari itu. Kepalanya
terangguk-angguk seperti bisa mengerti kegelisahan yang terjadi pada diri
Onila.
"Aku juga sudah mendengar
tentang pemuda itu. Kabarnya, dia utusan khusus Kerajaan Karang Setra,"
kata Ki Jawura agak pelan, seolah bicara untuk dirinya sendiri.
Onila kembali mendesah berat.
Ditatapnya laki-laki tua yang duduk bersila di sampingnya. Sementara para
nayaga terus memainkan gending yang berirama semakin cepat dan hangat. Para
penari berlenggak-lenggok memancing suasana. Tidak sedikit lelaki yang ikut
naik ke atas panggung, memilih para penari yang disukai.
"Aku ke belakang dulu,
Ki," kata Onila seraya beranjak berdiri.
"Mau ke mana kau?"
Tanya Ki Jawura.
"Aku tidak enak badan."
Onila terus saja melangkah
menuruni panggung. Ki Jawura memperhatikan gadis itu yang terus saja berjalan
menuju bagian samping kanan bangunan besar bagai istana kecil itu. Ki Jawura
tidak lagi memperhatikan setelah tubuh ramping itu lenyap di balik tembok.
Sementara Onila terus berjalan
cepat menyusuri tepi dinding yang cukup tinggi dan kokoh. Tak ada seorang pun
yang terlihat di sekitar tempat itu. Perhatian semua orang tertumpah ke
alun-alun, tempat suara irama gending masih terdengar hangat menghalau udara
dingin yang berhembus kencang malam ini. Onila berhenti melangkah di samping
sebuah jendela besar. Gadis itu menjulurkan kepalanya, memperhatikan ke dalam.
"Hm...," gadis itu
bergumam pelan. Pelahan-lahan kembali dilangkahkan kakinya melintasi depan jendela
itu. Langkahnya terus memasuki lorong yang di kiri dan kanannya terdapat
kamar-kamar yang pintunya tertutup rapat. Ada empat orang prajurit berjaga-jaga
di sana. Mereka membungkuk memberi hormat. Onila membalasnya dengan senyuman
tipis. Gadis itu membuka salah satu pintu kamar, langsung masuk ke dalam.
Terdengar suara pintu terkunci dari dalam. Empat orang prajurit yang menjaga
lorong itu saling berpandangan.
"Kenapa Onila tidak
menari...?" Tanya salah seorang prajurit.
"Mungkin Gusti Adipati tidak
mengijinkan seperti kemarin," sahut satunya lagi.
"Kurang seru kalau Onila
tidak menari," celetuk satunya lagi.
"Ah...! Penari lain juga
cantik-cantik. Bahkan gerakannya lebih luwes dari Onila."
"Iya sih..., tapi kurang
enak lah!"
Obrolan para prajurit itu terus
berlangsung. Semakin lama obrolan itu semakin terdengar sungguh-sungguh. Bahkan
kedengarannya lebih terpusat pada Onila. Mereka adalah para prajurit yang gemar
melihat kesenian rakyat, sehingga bisa membedakan penari yang benar-benar luwes
dengan penari yang seperti dipaksakan. Kini Onila mulai jadi pusat perhatian
karena dinilai tidak seperti lima orang penari lainnya.
"Jangan-jangan si Onila itu
bukan penari, Kang...," celetuk salah seorang prajurit yang masih muda.
"Hus! Jangan ngomong sembarangan!"
dengus salah seorang prajurit yang berada di dekatnya.
"He, Kang. Sebelum jadi
prajurit, aku dulu pernah ikut dalam rombongan penari. Jadi, aku tahu betul
mana yang benar-benar penari dan yang bukan. Aku yakin Onila itu bukan penari
tulen, Kang," prajurit muda itu bersikeras dengan pendapatnya.
Dan belum lagi ketiga prajurit
lainnya bisa membuka suara, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat
cepat bagai kilat. Dan belum lagi bisa menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu
mereka merasakan adanya sesuatu yang dingin menggorok leher. Sesaat kemudian,
empat sosok tubuh prajurit terjungkal dengan leher terkoyak hampir putus. Darah
mengucur deras membasahi lantai. Tak ada suara sedikit pun yang keluar. Empat
orang prajurit itu langsung tewas seketika. Bayangan merah itu berkelebat cepat
melintasi lorong belakang yang tidak begitu panjang itu.
***
Kegemparan terjadi di Istana
Kadipaten Bojong Picung ketika empat orang prajurit ditemukan tewas dengan
leher terpenggal hampir putus. Adipati Anggara langsung memerintahkan agar
penjagaan diperkuat Dan dia melarang semua rombongan penari keluar dari kamarnya.
Jelas, keselamatan para penari dan para nayaga adalah tanggung jawabnya. Bahkan
Adipati Anggara menempatkan dua puluh prajurit di sekitar kamar peristirahatan
mereka.
Adipati Anggara berjalan
mondar-mandir di ruangan khusus pribadinya. Hanya ada Rangga dan Diah Mardani.
di ruangan itu, dan tak ada seorang prajurit pun yang terlihat Rangga dan Diah
Mardani duduk di kursi menghadap meja bundar beralaskan batu pualam putih
berkilat. Adipati Anggara berdiri membelakangi jendela. Raut wajahnya tampak
kusut, dan matanya lesu menatap Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak mengerti, mengapa
mereka memilih Kadipaten Bojong Picung sebagai pusat pemberontakan...?"
keluh Adipati Anggara seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Kelemahan," sahut
Rangga tanpa diminta.
Kalau saja tidak ada Diah Mardani
dan teringat pesan Rangga, Adipati Anggara sudah menjatuhkan diri di depan
Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra. Kadipaten Bojong Picung
ini berada di dalam wilayah Kerajaan Karang Setra, maka sudah tentu Adipati
Anggara berada di bawah Rangga.
"Diah, kau bisa pergi
sebentar?" Pinta Adipati Anggara merasa sungkan berbicara dengan Rangga di
depan putrinya.
Diah Mardani memandang Rangga
yang mengangguk sedikit, kemudian beranjak bangkit dan melangkah meninggalkan
ruangan ini. Tinggal Adipati Anggara dan Rangga yang masih berada di ruangan
yang cukup besar dan indah ini. Adipati Anggara langsung berlutut di lantai
begitu pintu tertutup. Sementara Diah Mardani telah lenyap di balik pintu.
"Ampun, Gusti Prabu. Adakah
kesalahan dalam kepemimpinan hamba selama ini?" Pelan sekali suara Adipati
Anggara.
"Tidak. Aku tidak melihat
adanya kesalahan dalam kepemimpinanmu, Paman Adipati," kata Rangga penuh
kewibawaan. "Bangunlah, duduk dekatku disini."
Adipati Anggara memberikan sembah
dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung, kemudian beranjak bangkit
berdiri dan menghampiri Pendekar Rajawali Sakti itu. Sebelum duduk di samping
pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih itu, sekali lagi dia memberikan
sembah hormatnya. Dengan sikap agak sungkan, Adipati Anggara duduk di samping
Rangga.
"Aku hanya melihat kelemahan
pada kemampuan prajurit-prajuritmu," jelas Rangga lagi.
"Apa yang harus hamba
lakukan, Gusti Prabu?" Tanya Adipati Anggara penuh rasa hormat.
"Tidak ada," sahut
Rangga seraya bangkit berdiri. Pendekar Rajawali Sakti itu berjalan mendekati
jendela dan memandang keluar.
Pada saat itu terlihat adanya
sebuah bayangan berkelebat menjauhi jendela. Rangga tersenyum tipis dan
membalikkan tubuhnya memandang laki-laki setengah baya itu.
"Satu hal lagi, Paman
Adipati. Kau tidak menekankan kedisiplinan di sini," kata Rangga seraya
melangkah keluar dari ruangan ini.
Adipati Anggara hanya termangu
dan mulutnya terbuka lebar. Sungguh tidak dimengerti, apa yang dikatakan
Pendekar Rajawali Sakti barusan. Sementara Rangga sudah keluar dari ruangan
itu, dan terus berjalan ke bagian samping bangunan besar dan megah ini. Bibirnya
menyunggingkan senyuman tipis saat melihat sosok tubuh ramping mengenakan baju
biru muda duduk di bangku taman. Sebatang pohon rindang menaungi dari sengatan
cahaya matahari pagi.
Rangga menghampiri gadis itu yang
ternyata adalah Diah Mardani. Gadis itu tampak terkejut begitu Rangga menyentuh
pundaknya. Wajahnya langsung bersemu merah, dan tubuhnya agak bergetar.
Buru-buru ditundukkan kepalanya, tidak sanggup membalas tatapan mata pemuda
berbaju rompi putih itu.
"Apa yang kau dengar tadi,
Diah?" Tanya Rangga lembut
"Aku..., aku,..," Diah
Mardani tergagap.
Gadis itu meluruk turun dari
kursi, lalu berlutut d depan Rangga. Dirapatkan kedua tangannya di depan hidung
untuk memberi sembah pada Raja Karang Setra itu. Rangga tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. Digamitnya pundak Diah Mardani dan dibawanya
berdiri. Namun sikap gadis itu jadi berubah Jauh. Dan Rangga membawanya duduk
kembali di kursi. Dia sendiri juga duduk di kursi itu.
"Ampun, Gusti. Hamba telah
berlaku tidak sopan," ucap Diah Mardani yang baru mengetahui kalau pemuda
yang menolongnya dari cengkeraman Klabang Geni adalah Raja Karang Setra, yang
berarti adalah junjungannya.
"Ah, sudahlah. Tidak perlu
kau bersikap seperti Itu, Diah," kata Rangga diiringi senyumannya.
"Hamba hanya ingin tahu,
Gusti, Hamba..., hamba...."
"Kau sudah tahu siapa aku,
Diah, Sekarang kuminta janganlah bersikap seperti itu padaku. Bersikaplah wajar
dan seperti biasanya. Itu akan memudahkan aku membekuk gerombolan pemberontak
yang sudah merasuk ke dalam keraton ini," Rangga mencoba memberi
pengertian gadis itu.
Diah Mardani hanya mengangguk
saja.
"Diah..."
Belum juga Rangga bisa meneruskan
ucapannya, mendadak saja sekelebatan terlihat adanya sebuah bayangan melesat
cepat ke atas atap. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap
dari pandangan mata. Namun meskipun hanya melihat sekejap, Rangga sudah yakin
kalau bayangan tadi telah mendengar dan mengetahui keberadaan dan siapa dirinya
yang sebenarnya.
"Kau di sini saja, Diah.
Hup..!"
Bagai kilat, Rangga melesat
mengejar ke arah bayangan tadi berkelebat. Tinggal Diah Mardani melongo takjub,
memperhatikan Pendekar Rajawali Sakti berkelebat bagai kilat. Tahu-tahu
bayangan tubuh pemuda berbaju rompi putih itu sudah lenyap dari pandangan
matanya.
Hanya sejenak Diah Mardani
tertegun kagum, sesaat kemudian sudah berlari cepat ke arah perginya Pendekar
Rajawali Sakti itu. Diah Mardani memang bukanlah gadis manja. Dia ternyata juga
memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi. Bahkan ilmu meringankan
tubuhnya juga sudah cukup tinggi, sehingga bisa bergerak cepat bagai tidak
menjejak tanah.
***
Slap! Slap...! Beberapa kali
lompatan saja, Rangga sudah bisa membayangi bayangan merah yang berkelebat
cepat bagai kilat. Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya
di udara, lalu berputaran beberapa kali melewati kepala orang itu.
Jleg!
"Berhenti...!" bentak
Rangga keras begitu kakinya menjejak tanah di depan orang berbaju merah ketat.
Rangga memperhatikan orang
berbaju merah yang wajahnya hampir tertutup kain merah. Hanya kepala bagian
atas saja yang terlihat, dengan sepasang bola mata bulat indah dan bening.
Orang itu berhenti berlari. Kelihatan sekali dari sinar matanya kalau hatinya
terkejut melihat Rangga tahu-tahu sudah berdiri menghadang di depan.
"Siapa kau?! Apa maksudmu
menyelinap di sini?!" Bentak Rangga bertanya.
"Kau tidak perlu ikut campur
urusanku, Pendekar Rajawali Sakti!" Dengus orang itu.
Dari suaranya, Rangga sudah bisa
memastikan kalau orang berbaju merah itu adalah wanita. Tapi menyadari kalau
wanita berbaju merah itu memiliki kepandaian yang tidak rendah, Rangga harus
hati-hati menghadapinya. Buktinya, hampir saja tadi tidak bisa mengejar. Ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki wanita berbaju merah ini cukup tinggi, dan sudah
pasti ilmu olah kanuragannya juga tidak rendah.
"Kau terlalu serakah,
Rangga. Tidak seharusnya Bojong Picung dijadikan daerah kekuasaan Karang Setra.
Dan kami semua tidak akan membiarkan orang-orang tamak dari Karang Setra
menguasai Bojong Picung!" terdengar dingin nada suara wanita itu.
"Hm..., siapa kau
sebenarnya?" Tanya Rangga mulai bisa meraba maksud wanita berbaju merah
ini.
Dari kata-katanya, Rangga sudah
bisa menebak kalau wanita berbaju merah ini tidak sendirian berada di dalam
lingkungan Kedaton Kadipaten Bojong Picung. Rangga kini mendapat bukti kalau
berita yang didengarnya ternyata benar. Memang, di Kadipaten Bojong Picung
tengah terjadi penyusunan kekuatan untuk memberontak terhadap, Kerajaan Karang
Setra.
"Kau tidak perlu tahu siapa diriku,
Rangga. Tapi yang perlu diketahui, kami adalah para ksatria yang akan
membebaskan Bojong Picung dari cengkeraman manusia-manusia tamak Karang Setra
sepertimu!" Ketus jawaban wanita berbaju merah itu.
"Hmmm.... Aku yakin, kau
adalah korban dari hasutan orang tidak bertanggung jawab," gumam Rangga
seraya menggeser kakinya ke kanan.
"Dan kau harus mampus,
Rangga!" Setelah berkata demikian, wanita berbaju dan bercadar merah itu
langsung melesat sambil berteriak keras, menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
Begitu cepat serangannya, sehingga Rangga tidak punya kesempatan berkelit. Satu
pukulan keras mendarat telak di bahu kanan Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya
pemuda berbaju rompi putih itu terpental ke belakang
"Hup!"
Cepat sekali Rangga menggelinjang
bangkit. Pada saat itu, serangan sudah kembali datang. Bergegas Rangga melompat
ke kanan, maka serangan itu hanya lewat tanpa mengenai sasaran. Dan cepat
sekali Rangga memutar tubuhnya sambil melayangkan satu tendangan keras ke arah
punggung, selagi lawannya belum sempat memperbaiki posisi tubuh.
Dug!
"Akh...!" wanita
berbaju merah itu memekik tertahan dan seketika terhuyung limbung.
Tendangan Rangga memang begitu
keras. Meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam, namun cukup membuat
wanita itu meringis kesakitan. Dan belum lagi dia bisa menguasai keseimbangan
tubuhnya, kembali Rangga sudah melompat menerjang disertai kiriman satu pukulan
keras bertenaga dalam tidak penuh.
"Hait..!"
Cepat-cepat wanita itu berkelit dengan
membanting tubuhnya ke samping dan bergulingan beberapa kali. Dan secepat itu
pula dia melompat bangkit sambil melontarkan satu pukulan keras ke arah
pinggang lawan.
"Uts!" Rangga menarik
tubuhnya sedikit ke samping, Sehingga pukulan wanita bercadar merah itu luput
dari sasaran. Namun belum juga wanita itu bisa menarik pulang tangannya, Rangga
sudah cepat mengibaskan tangannya. Dan...
Tap...!
"Ikh!" wanita berbaju
merah itu memekik tertahan. Dia berusaha memberontak, mencoba melepaskan
tangannya dari cekalan Rangga yang begitu kuat. Sebelah tangannya yang bebas,
segera dilayangkan ke wajah Pendekar Rajawali Sakti. Namun cepat sekali Rangga
mengegoskan kepalanya, dan secepat itu pula tangan sebelah lagi menangkap
tangan wanita itu tepat di depan wajahnya.
"Lepaskan...!" sentak
wanita itu sambil memberontak mencoba melepaskan diri.
"Kau cukup tangguh, Nisanak.
Tapi terlalu angkuh!" ujar Rangga agak tersengal.
"Uh!"
Sambil mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya wanita berbaju merah itu menarik kedua tangannya yang dicekal kuat
pemuda berbaju rompi putih itu. Begitu kuat tangannya ditarik, dan pada saat
itu Rangga mengendorkan pegangannya. Akibatnya wanita itu terpental, karena
tarikan tenaga dalamnya sendiri.
"Akh...!"
Brak!
Sebuah pilar besar hancur
berantakan terlanda tubuh ramping terbalut baju merah menyala itu. Rangga
tersenyum melihat wanita itu menggeliat berusaha bangkit Kalau saja tidak
tertutup kain merah, sudah pasti mulutnya terlihat meringis merasakan sakit di
sekujur tubuh.
Pada saat itu, terlihat Diah
Mardani dan sekitar dua puluh orang prajurit berlarian menghampiri. Di antara
mereka juga terlihat Adipati Anggara. Di belakang mereka menyusul lagi sekitar
tiga puluh prajurit yang berlarian cepat dengan tombak dan pedang terhunus.
"Hup!"
Cepat sekali Rangga melompat, dan
kakinya langsung menjejak dada wanita berbaju merah yang masih, tergeletak di
antara puing-puing reruntuhan pilar. Dia berusaha menggeliat, namun pijakan
kaki Pendekar Rajawali Sakti begitu kuat. Tak ada lagi yang bisa dilakukan,
karena sekelilingnya sudah terkepung sekitar lima puluh orang prajurit Adipati
Anggara dan Diah Mardani menghampiri.
"Bangun!" Bentak
Adipati Anggara di saat Rangga memindahkan kakinya dari tubuh wanita itu.
Sambil mendengus kesal, wanita
berbaju merah itu bangkit berdiri. Adipati Anggara yang wajahnya berang dan
matanya berkilat, bergerak mendekati.
"Hih!"
Bret!
Cadar merah yang menutupi wajah
wanita itu seketika terbuka dijambret Adipati Anggara dengan kasar. Tampak
seraut wajah cantik yang tersembunyi di balik cadar merah itu. Adipati Anggara
langsung menggelinjang dua tindak ke belakang begitu mengenali wajah cantik
itu. Demikian juga Diah Mardani yang nampak begitu terkejut
"Kau..., Karsini...?!"
Agak tertahan suara Adipati Anggara.
"Ya! Aku memang
Karsini!" Ketus nada suara wanita itu.
Sementara Rangga yang
menyaksikan, jadi tidak mengerti. Dipandangi wanita berbaju merah itu beberapa
saat, kemudian beralih pada Adipati Anggara dan Diah Mardani.
"Bawa dia ke penjara!"
Perintah Adipati Anggara. Dua orang prajurit langsung bergerak meringkus wanita
yang dikenali Adipati Anggara sebagai Karsini. Wanita berbaju merah itu
langsung dibawa para prajurit ke penjara. Sedangkan Adipati Anggara tampak
gundah, seperti tidak sanggup menerima tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Diah Mardani sudah berjalan pelahan meninggalkan tempat ini. Kepala
gadis itu tertunduk, seperti ada beban berat di kepalanya. Rangga menghampiri
Adipati Anggara, lalu berdiri sekitar dua langkah di depan laki-laki setengah
baya itu.
"Siapa dia, Paman
Adipati?" Tanya Rangga.
"Namanya Karsini. Dia dulu
bekas seorang penari dan pernah menjadi selirku. Tapi sudah tiga tahun ini
menghilang dan tak ada kabar beritanya lagi," Adipati Anggara mencoba
menjelaskan.
Rangga tidak bertanya lagi.
Diayunkan kakinya meninggalkan Adipati Anggara yang dikawal enam orang
prajurit. Pendekar Rajawali Sakti itu terus berjalan tanpa menoleh lagi.
Sedangkan Adipati Anggara menghembuskan napas panjang dan terdengar begitu
berat. Dia tahu kalau pengakuannya tadi tidak menyenangkan hati junjungannya.
Meskipun seorang raja, tapi
Rangga tidak menyukai adanya selir. Dia masih teringat akan kehidupan ayahnya
yang memiliki banyak selir. Akibatnya, lahirlah anak-anak yang bisa dikatakan
terlantar sekarang ini. Akibatnya dari selir juga, bisa menyebabkan perpecahan
dan perang saudara. Itu semua dialami Rangga ketika pertama kali kembali ke
tanah kelahirannya. Maka, dia bersumpah untuk tidak memiliki selir seorang pun.
Namun begitu, Rangga tidak
melarang para Adipati, demang, ataupun pembesar lainnya untuk memiliki selir.
Hanya saja, mereka juga merasa sungkan bila memiliki selir dan diketahui
rajanya. Hingga tak ada seorang pun dari pembesar Istana Kerajaan Karang Setra
yang memiliki selir. Mereka memang merasa tidak patut, mengingat rajanya
sendiri tidak memiliki selir barang seorang pun.
"Hhh...! Untuk apa Karsini
muncul? Apakah hendak mempermalukan aku di depan Gusti Prabu...?" keluh
Adipati Anggara dalam hati.
***
LIMA
Malam sudah demikian larut.
Seluruh penghuni Kedaton Kadipaten Bojong Picung sudah terlelap dalam buaian
mimpi. Hanya para prajurit yang mendapat tugas jaga saja yang masih terlihat di
tempat-tempat penjagaan. Sejak terbunuhnya empat orang prajurit, Adipati
Anggara melarang para penari dan nayaga untuk melanjutkan kebolehan nya di atas
panggung. Namun demikian, rombongan itu belum diijinkan meninggalkan keraton.
Malam ini suasana terasa sunyi
sekali. Angin berhembus kencang menyebarkan udara dingin yang membekukan
tulang. Beberapa prajurit penjaga mulai merapatkan tubuhnya ke dinding, mencoba
melindungi diri dari gempuran angin dingin. Bahkan beberapa di antaranya mulai
terkantuk-kantuk tak kuat menahan gempuran udara dingin yang membuat kelopak
mata terasa begitu berat Namun beberapa saat kemudian, terlihat kalau seluruh
penjaga merasakan kantuk yang amat sangat. Bahkan dua orang penjaga di pintu
depan keraton sudah mendengkur. Demikian pula beberapa penjaga di sekitar
benteng!
Sementara itu di dalam sebuah
kamar, terlihat Rangga tengah duduk bersila dengan mata setengah terpejam di
atas pembaringan. Pelahan-lahan dibuka matanya, lalu kepalanya bergerak ke kiri
dan ke kanan. Pendekar Rajawali Sakti kemudian menggelinjang melompat bangkit
dari pembaringannya.
"Hmmm..., Ilmu Sirep"
gumam Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu bisa
merasakan adanya hawa lain dari suatu ajian yang dapat membuat orang terlelap
sampai batas waktu yang sangat lama. Menyadari kalau ajian itu menyebar, Rangga
bergegas keluar dari kamarnya. Harinya langsung terkejut begitu melihat para
penjaga istana sudah mendengkur dalam tidur.
Rangga terus berjalan
mengelilingi seluruh bangunan besar itu. Semua prajurit yang bertugas sudah
tertidur lelap. Tak seorang pun yang masih terjaga. Pendekar Rajawali Sakti itu
mulai memutar otaknya, dan bagai kilat melesat naik ke atas atap.
"Hmmm.,., tak ada
apa-apa," gumam Rangga dalam hati. "Tapi.... Heh...?!"
Tiba-tiba Rangga melihat sebuah
bayangan berkelebat di bagian belakang bangunan megah itu. Tanpa menunggu waktu
lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya mengejar bayangan yang
dilihatnya hanya sekilas itu. Sebenarnya mudah sekali bagi Rangga untuk
mengejar. Namun, pemuda berbaju rompi putih itu sengaja menjaga jarak dan terus
memperhatikan bayangan merah itu bergerak.
"Hm..., mau apa dia ke
penjara...?" gumam Rangga dalam hati.
Rangga merapatkan tubuhnya ke
dinding saat melihat orang berpakaian serba merah itu sudah sampai di depan
pintu penjara. Empat orang prajurit penjaga sudah tergeletak mendengkur di
depan pintu penjara. Tampak orang berbaju merah itu menoleh ke kanan dan ke
kiri, lalu membuka pintu penjara yang terbuat dari lempengan baja tebal. Bunyi
derik daun pintu tidak dihiraukan lagi, seolah-olah begitu yakin tidak ada
orang yang melihatnya.
Sementara di tempat
persembunyiannya, Rangga masih mengawasi. Pendekar Rajawali Sakti masih tetap
tidak bergerak meskipun orang berbaju merah itu sudah masuk ke dalam ruangan
penjara itu. Tak berapa lama kemudian, orang itu keluar lagi bersama seseorang
yang juga berbaju merah. Rangga tahu kalau orang yang dibawa keluar itu adalah
Karsini yang siang tadi ditangkapnya.
"Hmmm..., akan ku ikuti
mereka," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu
bergegas melentingkan tubuhnya begitu dua orang berpakaian merah berkelebat
cepat meninggalkan tempat itu. Di malam yang gelap dan dingin ini, terlihat dua
bayangan merah berkelebatan cepat melompati bagian Barat tembok benteng
Kadipaten Bojong Picung. Tidak jauh di belakangnya terlihat satu bayangan putih
yang bergerak cepat menjaga jarak.
Tak ada seorang pun dari kedua
orang yang berkelebat itu menyadari, kalau semua tindakannya selalu diamati
sepasang mata bulat bercahaya dari balik tempat yang cukup tersembunyi dan
gelap. Pemilik sepasang mata itu juga mengikuti, namun tetap menjaga jarak di
tempat-tempat yang terlindung dari cahaya bulan. Sosok tubuh berpakaian gelap
itu seperti sengaja menjauh dari Pendekar Rajawali Sakti, namun tidak terlalu
jauh dari dua orang berbaju merah yang terus bergerak ke arah Barat
Namun begitu tiba di Kaki Bukit
Cangking, mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti itu berhenti berlari. Dan
secepat itu pula tubuhnya melambung tinggi, lalu hinggap dengan manisnya di
atas dahan pohon yang cukup tinggi dan rimbun. Pada saat yang tidak terlalu lama,
terlihat seseorang berpakaian gelap berkelebat cepat, tepat di bawah pohon
tempat Rangga hinggap.
"Diah.... Mau apa dia ke
sini...?" Rangga agak tercenung begitu mengenali orang berpakaian hitam
yang sudah jauh mengejar dua orang berbaju merah yang kini tengah mendaki
lereng bukit.
Meskipun orang berpakaian hitam
itu selalu menjaga jarak, namun Pendekar Rajawali Sakti masih juga bisa
mengetahui kehadirannya. Dan dia sengaja menunggu di atas pohon untuk
mengetahui siapa orang lain yang sama-sama membuntuti dua orang berbaju merah
itu. Rangga sendiri baru mengetahui setelah berada di luar perbatasan sebelah
Barat Kadipaten Bojong Picung.
"Hmmm.... Apakah dia punya
ilmu penangkal aji 'Sirep'? Atau..., ah! Aku harus mengungkap semua ini!
Hup!"
Rangga bergegas melompat turun,
dan langsung berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan. Sekejap saja bayangan tubuh Pendekar Rajawali
Sakti itu sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
***
Puncak Bukit Cangking tampak
sunyi sepi. Kabut menggumpal tebal menye-limuti seluruh permukaan puncak bukit
itu. Angin berhembus kencang sehingga udara semakin dingin. Embun pun semakin
menebal membasahi daun-daun dan rerumputan. Namun keadaan alam yang tampak
tidak ramah itu tidak menghalangi dua orang berpakaian serba merah untuk
mendaki sampai ke Puncak Bukit Cangking. Mereka terus berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh, meskipun sudah sampai di puncak bukit
Mereka baru berhenti setelah tiba
di depan sebuah mulut gua yang gelap dan hampir tertutup semak belukar kering.
Kedua orang berbaju merah itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, lalu yang
seorang melangkah masuk ke dalam gua. Sedangkan seorang lagi tetap tinggal di
depan mulut gua. Dia mengenakan selembar cadar merah yang agak tipis, sehingga
menyamarkan wajahnya. Hanya sepasang bola matanya yang terlihat bersinar tajam
memandang ke satu arah.
"Hmmm.... Rupanya ada tamu
datang ke sini," gumamnya pelahan.
"Bicara dengan siapa, Gusti
Ayu?" terdengar suara dari dalam gua.
"Ada tamu tak diundang
datang ke sini, Nyai Karsini," sahut orang bercadar merah itu.
Dari nada suaranya, jelas kalau
orang itu wanita. Tapi karena wajahnya tertutup cadar, memang agak sukar
dikenali. Saat itu dari dalam, keluar seorang wanita cantik mengenakan baju
merah. Tampak sebuah pedang tersampir di pinggang. Wanita itu tidak lain adalah
Karsini, salah seorang bekas selir Adipati Anggara.
"Hmmm..., tampaknya dia
tidak bermaksud baik. Biar kuhadapi sendiri, Gusti Ayu," pinta Karsini
setengah bergumam.
"Hati-hatilah! Mungkin dia
itu utusan dari Karang Setra."
"Dengan Keris Kyai Lumajang,
hamba yakin bisa menghadapinya, Gusti Ayu."
Wanita bercadar merah itu menepuk
pundak Karsini, kemudian melangkah masuk ke dalam gua. Sedangkan Karsini
mengayunkan kakinya pelahan-lahan. Sepasang bola matanya berputar mengamati
sekeliling. Langkahnya berhenti tepat di tengah-tengah lapangan berumput di
depan gua. Pandangannya lurus menatap langsung ke arah sebuah pohon besar.
Sebentar diangkat kedua tangannya ke atas kepala. Lalu sambil merapatkan kedua
telapak tangan, dipentang kakinya lebar-lebar ke samping.
Pelahan-lahan tangannya bergerak
turun sampai ke depan dada. Tampak seluruh tubuhnya menjadi bersinar merah
bagai terbakar. Kemudian kedua tangannya terbuka bergerak ke samping pinggang.
"Hiyaaa...!" Sambil
berteriak keras, Karsini menghentakkan tangan kanannya ke depan. Sedangkan
tangan kiri tetap di samping pinggangnya. Seketika seleret sinar merah meluncur
deras ke arah pohon besar di depannya.
Glaaar...!
Ledakan keras terjadi bersamaan
dengan hancurnya pohon besar yang terlanda sinar merah dari telapak tangan
Karsini. Pada saat bersamaan, melesat sesosok tubuh terbalut baju berwarna
gelap. Tahu-tahu di depan Karsini sudah berdiri seseorang yang mengenakan baju
warna biru tua yang ketat Tampak sebilah pedang tersampir di punggungnya.
"Hm.... Ternyata yang datang
tikus dari Bojong Picung," gumam Karsini agak mendengus setelah mengetahui
orang yang tadi bersembunyi di balik pohon besar yang sudah hancur
berkeping-keping.
Karsini menggeser gagang keris
yang terselip di pinggang. Tangan kanannya sudah meraba gagang pedang.
Sedangkan orang berbaju biru gelap itu hanya berdiri tegak sambil menatap
tajam. Dia seorang wanita cantik, berambut tergelung ke atas. Bagian belakang
rambutnya terkepang panjang hampir ke pinggang. Gadis itu memang Diah Mardani.
"Mimpimu sudah berakhir,
Karsini. Hentikan semua pikiran kotor di kepalamu!" Dengus Diah Mardani dingin.
"Ha ha ha...! Bocah masih
bau kencur sudah berani menggertak ku. Ha ha ha...!" Karsini tertawa
terbahak-bahak.
ertawalah sepuasmu, Karsini.
Sebentar lagi kau akan merasakan kepedihan di dalam neraka!" Tetap dingin
nada suara Diah Mardani.
"Phuih! Lagakmu seperti
orang yang berkepandaian tinggi saja! Kau jangan terlalu bangga bisa menghalau
aji 'Sirep'. Itu bukanlah ukuran untuk bisa berhadapan denganku!" sentak
Karsini.
Sret! Karsini mencabut pedang
yang tergantung di pinggangnya. Sedangkan Diah Mardani tetap berdiri tegak tak
bergeming sedikit pun. Sedangkan bola matanya bersinar tajam, memperhatikan
setiap gerak wanita berbaju merah di depannya.
ahan seranganku, bocah!
Hiyaaat...!" seru Karsini keras.
"Hait!" Secepat Karsini
melompat menerjang, secepat itu pula dikibaskan pedangnya ke arah dada. Namun
Diah Mardani lebih cepat lagi menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Dan
tanpa diduga sama sekali diayunkan satu tendangan keras begitu ujung pedang
lewat di depan dadanya.
"Uts!" Buru-buru
Karsini melentingkan tubuhnya ke belakang, menghindari sapuan kaki Diah Mardani
yang begitu cepat dan keras. Dan sebelum Karsini bisa berdiri tegak, putri
Adipati Anggara itu sudah melompat menerjang sambil mengirimkan dua pukulan
beruntun yang mengandung tenaga dalam cukup tinggi.
"Hup! Hup! Hiyaaa...!"
"Edan!" rungut Karsini.
Wanita berbaju merah menyala itu
berjumpalitan menghindari terjangan Diah Mardani yang begitu dahsyat. Hampir
saja serangan itu tidak bisa dibendung. Untung Karsini cepat-cepat melentingkan
tubuhnya ke udara, dan bersalto beberapa kali sebelum menjejakkan kakinya agak
jauh di depan Diah Mardani.
"Bagus! Ternyata kau
mengalami kemajuan pesat,; Diah!" dengus Karsini sambil mengatur jalan
nafasnya.
"Hmmm...," Diah Mardani
hanya tersenyum tipis.
"Sungguh aku suka melawan
muridku sendiri. Ayo, majulah!" dingin sekali nada suara Karsini.
"Aku bukan muridmu!"
bentak Diah Mardani.
"Paling tidak, kau bisa
menangkal aji 'Sirep' yang di dilepaskan Gusti Ayu...," ucapan Karsini bernada
terputus.
"Hh! Aku tahu, orang yang
kau panggil Gusti Ayu itu, Karsini. Dan sebentar lagi, Gusti Ayumu itu akan
mampus di tanganku!" Tegas Diah Mardani.
"Kau terlalu besar kepala,
Diah! Seharusnya kau bercermin, siapa dirimu sebenarnya!"
"Aku tahu. Tapi aku bukan
manusia rendah sepertimu!" Sentak Diah Mardani langsung memerah wajahnya.
"Ha ha ha...!" Karsini
tertawa terbahak-bahak. "Kau tidak lebih rendah daripada kotoran binatang,
Diah!"
"Keparat! Kurobek mulutmu,
perempuan setan!! Hiyaaat..!"
Diah Mardani tidak kuasa lagi
menahan amarahnya. Dia langsung melompat menerjang sambil mencabut pedangnya.
Cepat sekali dikibaskan pedangnya ke arah dada Karsini. Namun wanita berbaju
merah bekas selir Adipati Anggara itu lebih cepat melompat ke samping sambil
mengibaskan pedangnya untuk menangkis tebasan pedang Diah Mardani.
Tring!
"Ah...!"
"Hiyaaat..!"
Bug!
Karsini terpental beberapa tombak
begitu satu tendangan keras mendarat tepat di dadanya. Dan pedangnya pun juga
terpental jauh ke udara. Sungguh cepat serangan yang dilakukan Diah Mardani,
sehingga membuat Karsini tidak mampu membendung lagi. Karsini terhuyung-huyung
sambil menekap dadanya bagai daun kering terhempas angin.
Sedangkan Diah Mardani sudah
bersiap kembali, mengerahkan jurus lain. Sementara Karsini buru-buru
menggerakkan tangan, mencoba mengatur jalan napasnya yang mendadak terasa sesak
bagai tersumbat Dari sudut bibirnya mengalir darah kental akibat tendangan yang
sangat keras di dadanya tadi.
"Phuih!"
Karsini menggeram. Hatinya juga
masih diliputi keterkejutannya karena Diah Mardani bisa membuatnya terpental.
Sungguh tidak disangka kalau gadis itu mengalami kemajuan sangat pesat. Karsini
tidak ingin lagi memandang ringan pada gadis itu. Maka segera disiapkan jurus
ampuhnya. Pelahan-lahan ditarik Keris Kyai Lumajang dari sabuk pinggangnya.
"Heh...?!" Diah Mardani
terperanjat melihat senjata di tangan lawan, bahkan sampai terlompat mundur
beberapa tindak ke belakang.
"Kau terkejut melihat keris
ini, Diah!" Karsini ten senyum sinis.
"Dari mana kau dapatkan
Keris Kyai Lumajang? Tanya Diah Mardani tak bisa menyembunyikan
keterkejutannya.
"Ha ha ha...!" Karsini
hanya tertawa saja terbahak-bahak.
"Kau pasti...."
"Tak perlu menebak-nebak,
Diah! Mampus kau! hiyaaat...!"
Karsini cepat memotong kata-kata
Diah Mardani dan secepat itu pula melompat menerjang putri Adipati Anggara,
penguasa Kadipaten Bojong Picung. Dengan Keris Kyai Lumajang berada dalam
genggaman, Karsini kelihatan penuh percaya diri. Menyerang dan mendesak, tanpa
memberi kesempatan sedikit pun pada Diah Mardani untuk mengambil napas. Namun
gadis itu bukanlah gadis sembarangan, dan ternyata masih, mampu menandingi
jurus-jurus dahsyat yang dimainkan Karsini.
Pertarungan terus berjalan
semakin sengit. Sementara tidak jauh dari tempat itu, di tempat yang tea
sembunyi, sepasang mata tengah mengawasi sejak tadi tanpa berkedip sedikit pun.
Sedangkan dari dalam gua juga terlihat beberapa pasang mata mengawasi jalannya
pertarungan itu.
Jurus demi jurus berlalu cepat Namun
dua orang yang bertarung itu tetap saja tangguh. Bahkan sukar untuk memastikan
siapa yang bakal terdesak. Semakin jauh pertarungan itu, semakin dahsyat
jurus-jurus yang dikerahkan. Tempat sekitar pertarungan sudah porak poranda
bagai diamuk ribuan gajah murka. Batu-batu bertebaran ke mana-mana, pohon-pohon
hancur bertumbangan, malang melintang tak tentu arah.
Memasuki jurus kedua puluh, Diah
Mardani mulai kelihatan kewalahan membendung gempuran Karsini yang menggenggam
Keris Kyai Lumajang. Senjata berkeluk yang ujungnya runcing berwarna hitam
legam itu mengeluarkan uap yang semakin lama semakin menebal. Sekeliling daerah
pertarungan mulai dihinggapi bau busuk yang tidak sedap dan memualkan.
"Ugh...!" Diah Mardani
mulai kelihatan limbung. Beberapa kali gadis itu melenguh berusaha menahan
gempuran bau busuk yang menyengat hidungnya. Tampak sekali kepalanya selalu
digeleng-gelengkan, berusaha mengusir bau busuk yang keluar dari Keris Kyai
Lumajang dari tangan Karsini.
"Ha ha ha...! kau tidak akan
mampu menghadapi Keris Kyai Lumajang, Diah!"
"Hup...!" Diah Mardani
melompat mundur sejauh dua batang tombak. Segera ditekan perutnya yang terasa
mual. Wajahnya yang putih, nampak memucat dengan bola mata berputar.
"Hoek!" Diah Mardani
memuntahkan cairan kekuningan bercampur gumpalan darah kental. Wajah gadis itu
semakin terlihat pucat pasi. Bibirnya juga mulai membiru. Sedangkan Karsini
terus tertawa terbahak-bahak sambil mengibas-ngibaskan kerisnya yang
mengepulkan asap.
"Saatnya kau mampus, Diah!
Hiyaaat..!"
Bagai seekor camar menyambar ikan
di laut, Karsini melompat cepat sambil menghunus ujung keris ke arah dada Diah
Mardani. Sedangkan gadis putri Adipati Bojong Picung itu hanya bisa membeliak.
Dia masih sibuk menghalau rasa mual dan pening yang menyerang semakin dahsyat.
Bet! Trang...!
Mendadak saja, tepat di saat
ujung Keris Kyai Lumajang hampir menghunjam dada Diah Mardani, sebuah bayangan
putih bercampur kilatan cahaya biru berkelebat memapak serangan Karsini.
"Akh...! Karsini terpental
ke belakang sejauh beberapa tombak. Tiga kali dia berjumpalitan di udara
sebelum mendarat manis di tanah. Wanita berbaju merah itu mendengus kesal
sambil menyemburkan ludahnya. Kedua matanya membelalak lebar begitu di depan
Diah Mardani sudah berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih dengan gagang
pedang berbentuk kepala burung bertengger di balik punggung.
"Pendekar Rajawali
Sakti...," desis Karsini hampir tidak terdengar suaranya.
Pemuda berwajah tampan berbaju
rompi putih itu menggeser kakinya mendekati Diah Mardani yang sudah jatuh
berlutut di tanah. "Kau terluka, Diah?" Tanya Rangga sambil menepuk
pundak Diah Mardani.
"Hhh...!" Hanya keluhan
panjang saja yang keluar dari bibir gadis itu.
"Menyingkirlah. Pulihkan
dulu kekuatanmu," kata Rangga lagi lebih lembut
Diah Mardani mengangkat
kepalanya, lalu pelahan bangkit berdiri dibantu Rangga. Dengan langkah
terhuyung sambil memegangi dada dan perutnya, gadis itu berjalan menjauhi
tempat itu. Sedangkan Rangga masih berdiri tegak di tempatnya. Sebentar
diliriknya Diah Mardani yang sudah duduk bersila di bawah pohon.
Pandangannya kemudian beralih
pada Karsini. Wanita berbaju merah bekas selir Adipati Anggara itu masih
menghunus Keris Kyai Lumajang. Namun senjata berkeluk berwarna hitam pekat itu
sudah tidak lagi mengepulkan uap beracun.
***
ENAM
Dua tindak Rangga melangkah maju.
Sikapnya begitu hati-hati dan waspada sekali terhadap senjata di tangan
Karsini. Pendekar Rajawali Sakti itu sudah menyaksikan kehebatan keris berwarna
hitam legam itu, meskipun Karsini tidak menggunakan secara benar. Kalau saja
tenaga dalam wanita itu sudah mencapai tingkat tinggi, tentu akan lebih
berbahaya lagi senjata itu.
"Hm. Kau bisa saja membekuk
ku dengan mudah kemarin, Rangga. Tapi sekarang, jangan harap bisa mengalahkan
aku!" dengus Karsini dingin.
"Karsini, kenapa kau ingin
memberontak pada Karang Setra?" Tanya Rangga.
"Aku tidak ada urusan dengan
Karang Setra!" sentak Karsini berang.
"Kau mencoba membuat
kekacauan di Kadipaten Bojong Picung. Itu sama saja mengusik ketenangan
Kerajaan Karang Setra," kata Rangga, suaranya masih tenang.
"Dengar, Pendekar Rajawali
Sakti. Ini urusan pribadiku dengan Adipati Anggara. Dan bukan denganmu atau
Kerajaan Karang Setra. Bahkan aku tidak peduli dengan Kadipaten Bojong
Picung!" masih terdengar keras suara Karsini.
"Urusan pribadimu dengan
Adipati Anggara bisa diselesaikan secara pribadi. Tapi tindakanmu yang sudah
membuat keresahan harus ditanggung seluruh rakyat. Dan aku sendiri yang akan
menangani," tegas kata-kata Rangga.
Karsini terdiam. Meskipun tadi
sempat sesumbar, tapi dia berpikir juga bahwa yang dihadapi adalah Pendekar
Rajawali Sakti yang bukan manusia sembarangan. Tingkatan kepandaiannya sukar
diukur dan dicari tandingannya. Bahkan dia sempat mendengar pembicaraan pemuda
itu dengan Diah Mardani, sebelum berhasil dibekuk dan dijebloskan ke dalam
tahanan. Karsini menyadari kalau dirinya kini sedang berhadapan dengan Raja
Karang Setra yang juga seorang pendekar digdaya.
Pelahan-lahan Karsini bergerak
mundur ke belakang mendekati mulut gua. Sementara malam sudah berganti
menjelang pagi. Rona merah mulai terlihat menyemburat di ufuk Timur. Sebentar
lagi Puncak Bukit Cangking itu akan terang benderang oleh siraman cahaya sang
surya. Karsini berhenti mundur setelah tidak berapa jauh lagi di depan mulut
gua.
Dan Rangga terus memperhatikan
tanpa berkedip. Dia tahu kalau di dalam gua itu ada beberapa orang bersembunyi
sambil memperhatikan. Pendekar Rajawali Sakti Itu bisa merasakan adanya
hembusan napas halus meskipun keadaan di dalam gua begitu gelap. Malah sukar
ditembus pandangan mata biasa.
Belum lagi Rangga sempat membuka
mulut, dari dalam gua bermunculan sekitar enam orang berpakaian merah menyala.
Mereka semua mengenakan cadar merah tipis, sehingga menyamarkan wajahnya. Hanya
mata saja yang tak tertutupi. Enam orang bercadar merah itu berdiri di belakang
Karsini. Masing-masing di pinggang tergantung sebilah pedang panjang. Karsini
memasukkan kembali Keris Kyai Lumajang ke dalam warangkanya.
"Rupanya kau juga menghimpun
kekuatan, Karsini," ujar Rangga setengah bergumam.
"Mereka semua orang yang
punya urusan pribadi dengan Adipati Anggara," tegas Karsini.
"Kau selalu menyebut urusan
pribadi. Apa yang telah dilakukan Adipati Anggara? Kalau pun dia melakukan
kesalahan dan penyelewengan dalam menjalankan tugas sebagai adipati, kau atau
teman-temanmu ini bisa mengadukan hal ini pada Raja Karang Setra. Dengan caramu
bertindak sendiri seperti ini bisa menimbulkan keresahan yang akan membawamu
dalam kemelut besar. Kau dan teman-temanmu bisa dituduh akan melakukan makar
terhadap kewibawaan pemerintah Kerajaan Karang Setra," lantang suara
Pendekar Rajawali Sakti.
"Karsini, siapa dia?"
salah seorang yang berdiri paling kiri bertanya setengah berbisik.
"Dia utusan khusus Prabu
Rangga Pati Permadi. Sahut orang yang berdiri tepat di belakang Karsini. Nada
suaranya menunjukkan kalau dia itu seorang wanita.
"Bukan. Justru dia
sendirilah Prabu Rangga," kata, Karsini.
Tampak sekali sinar mata enam
orang yang berada di belakang Karsini begitu terkejut mendengar kalau pemuda
berbaju rompi putih itu adalah Raja Karang Setra. Sedangkan Karsini sendiri
hanya menatap tajam pada Rangga. Dia seperti sedang memikirkan kata-kata
Pendekar Rajawali Sakti itu tadi. Sementara enam orang berbaju merah yang
semuanya mengenakan cadar di wajahnya, saling berpandangan satu sama lain.
Entah apa yang ada dalam benak mereka saat itu. Sementara Rangga hanya
memperhatikan saja sinar mata mereka.
"Karsini. Sebaiknya kita
menyingkir dulu dari sini," usul orang yang berada paling kiri lagi.
mmm...," gumam Karsini tidak
jelas.
"Ayolah, Karsini. Jangan
membuang-buang waktu lagi di sini," bujuk seorang lagi.
"Baiklah," desah
Karsini.
"Pendekar Rajawali Sakti,
mungkin belum saatnya kita saling berhadapan. Masih ada yang harus
kukerjakan,"
Setelah berkata demikian, Karsini
langsung melesat pergi. Enam orang berbaju merah di belakangnya juga bergegas
melesat mengikuti. Sedangkan Rangga sama sekali tidak berusaha mengejar, tapi
malah membalikkan tubuhnya dan menghampiri Diah Mardani yang kini sudah bisa
berdiri kembali. Raut wajah gadis itu mulai kelihatan Segar setelah berhasil
mengusir uap racun.
***
Diah Mardani berlutut dan memberi
sembah begitu Rangga sudah berada di depannya. Pendekar Rajawali Sakti itu
menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu membawa Diah Mardani berdiri. Namun gadis
itu hanya tertunduk saja, tak berani mengangkat wajahnya.
"Bagaimana keadaanmu,
Diah?" Tanya Rangga lembut.
"Untung racun itu belum
merasuk ke dalam. Hamba masih bisa mengeluarkannya dengan bersemadi, Gusti
Prabu," sahut Diah Mardani.
"Ah! Kau masih saja
memanggilku begitu, Diah. Aku lebih suka kalau dipanggil dengan sebutan Kakang
daripada Gusti Prabu," ujar Rangga.
"Tapi, Gusti...."
"Baiklah. Jika kau tidak
mau, maka akan kuperintahkan kau memanggilku kakang!"
Diah Mardani mengangkat wajahnya
dan memandang lekat-lekat pemuda tampan berbaju rompi putih itu. Rangga
tersenyum dan mengangkat alis kanannya sedikit. Diah Mardani kembali tertunduk.
Pelahan-lahan dianggukkan kepalanya. Memang tidak mudah untuk memanggil sebutan
lain pada seorang raja. Tapi Rangga sudah memerintahkannya demikian. Dan
perintah seorang raja tidak bisa diabaikan begitu saja.
Namun bagi Diah Mardani perintah
itu sangat berat dan sukar dilaksanakan. Baginya lebih baik mendapat perintah
menghancurkan gerombolan perampok atau pemberontak daripada harus memanggil
seorang raja dengan sebutan yang sukar diterima telinga. Bahkan bisa menimbulkan
permasalahan besar!
"Ayo kita pulang,
Diah," ajak Rangga,
"Baik, Gusti," sahut
Diah Mardani.
"O o o.... Kau bisa dihukum
gantung karena tidak mentaati perintah, Diah," Rangga menggeleng-gelengkan
kepalanya sambil tersenyum.
"Maaf, tapi....."
"Memang sukar, tapi harus
dibiasakan."
"Tapi kenapa Gusti Prabu
menghendaki begitu?" Tanya Diah Mardani masih sukar untuk memanggil Rangga
dengan tidak menyebut Gusti Prabu.
"Karena aku bukan seorang
raja di sini. Kau boleh memanggilku begitu kalau berada di istana. Tapi di
sini, aku orang biasa, seorang pengembara, dan seorang pendekar. Bukan raja!
Kau harus bisa membedakan semua itu, Diah," jelas Rangga.
"Di mana pun adanya, raja
tetap raja, Gusti."
"Mungkin yang lain begitu,
Tapi aku tidak. Ah, sudahlah.... Tidak ada gunanya mempermasalahkan hal itu
lagi, Diah. Kau bisa menghilangkan sebutan Gusti padaku, bukan?" pinta
Rangga.
api hamba takut jika Ayahanda
tahu."
"Kau boleh memanggilku
begitu. Tidak depan ayahmu. Tapi kalau berdua dan berada di luar keraton,
jangan sekali-sekali memanggilku Gusti Prabu. Mengerti, Diah?"
"Mengerti, Gusti..."
"Eee..., Gusti lagi."
"Maaf, Kakang."
"Nah! Begitu kan, lebih
enak."
Diah Mardani hanya tersenyum
saja. Diayunkan kakinya mengikuti Rangga yang sudah berjalan lebih dulu. Tapi
Pendekar Rajawali Sakti itu malah menunggu dan mensejajarkan langkahnya di
samping Diah Mardani. Rangga tidak peduli meskipun sikap gadis itu kelihatan
canggung. Bahkan selalu membiasakan agar Diah tidak bersikap canggung dan
menjaga jarak.
"Oh, ya. Kau tentu mendengar
semua yang dikatakan Karsini tadi. Kau tahu, ada persoalan apa antara Karsini
dan teman-temannya dengan ayahmu?" Tanya Rangga kembali menjurus pada
persoalan yang tengah dihadapi sekarang ini.
"Aku tidak tahu,
Kakang," sahut Diah Mardani mulai terbiasa.
"Kau tahu kalau Karsini
bekas selir ayahmu, bukan?"
ahu. Bahkan dia yang pertama kali
mengajari menunggang kuda dan ilmu olah kanuragan," sahut Diah Mardani.
"Bagaimana dia bisa berpisah
dengan ayahmu?
"Aku tidak tahu, Kakang.
Hampir tiga tahun, aku hanya mendengar kabar kalau Karsini menghilang.'
"Menghilang:..?!"
"Awalnya, waktu Karsini
hendak mengunjungi orang tuanya di Desa Hargaling, tapi di tengah jalan
dihadang gerombolan perampok. Tiga puluh prajurit yang mengawalnya tewas semua.
Demikian pula sebagian pelayan. Tapi Karsini dan beberapa pelayan menghilang.
Ayahanda sudah berusaha mencari, tapi tidak juga diketemukan. Hingga...."
"Dia muncul lagi sekarang
ini?" potong Rangga.
"Benar, Kakang."
"Aneh.... Belum pernah aku
mendengar ada gerombolan perampok di wilayah ini," gumam Rangga seperti
bicara pada dirinya sendiri.
"Memang aneh, Kakang.
Perampok-perampok itu beraksi hanya sekali itu saja. Dan sampai kini tidak
pernah lagi terdengar ada perampokan setelah kejadian itu, meskipun para
prajurit yang dikerahkan tidak bisa menemukannya."
"Hm..., mengapa kau begitu
memusuhi Karsini?"
"Karena dia merebut cinta
Ayahanda, dan yang menyebabkan Ibunda meninggal," sahut Diah.
"Diah! Ibumu meninggal
sekitar empat tahun lalu. Dan aku tahu itu, meskipun tidak bisa menghadiri saat
pemakamannya. Aku juga tahu kenapa ibumu meninggal," jelas Rangga.
"Apa yang Kakang ketahui,
pasti sama seperti yang orang lain katakan. Padahal kenyataannya sama sekali
berbeda."
"Maksudmu?"
"Ibu tewas terbunuh."
"Oh...?!" Rangga
terhenyak kaget.
Pendekar Rajawali Sakti itu
sampai memandangi Diah Mardani dalam-dalam. Hampir tidak dipercaya kalau
pendamping Adipati Anggara tewas terbunuh. Sedangkan yang didengarnya tentang
kematian itu adalah karena penyakit. Bahkan Adipati Anggara sendiri yang
melaporkannya begitu. Tapi sekarang yang didengar lain. Bahkan begitu mengejutkan
sekali. Rangga menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya menghadap Diah
Mardani yang juga berhenti berjalan.
"Sudah kuduga, Kakang pasti
tidak akan percaya seperti yang lainnya," kata Diah Mardani seolah
mengeluh.
"Bukannya tidak mempercayai,
Diah. Tapi...."
"Tidak ada bukti,"
potong Diah Mardani cepat "Semua orang selalu berkata seperti itu padaku.
Tapi aku tetap yakin kalau Ibu terbunuh. Bahkan pembunuhnya masih berkeliaran
sampai sekarang. Malah sepertinya Ayahanda melindungi."
"Siapa pembunuhnya,
Diah?" Tanya Rangga bernada memancing.
"Karsini," sahut Diah
Mardani.
"Oh..," lagi-lagi
Rangga terkejut
"Karsini dulu juga seorang
penari," jelas Diah Mardani lagi.
Rangga menggeleng-gelengkan
kepalanya, dan kembali melangkah perlahan. Diah Mardani mengikuti di samping
kanan Pendekar Rajawali Sakti itu. Kini Rangga mengerti, mengapa Diah Mardani
begitu membenci para penari yang kini berada di Kedaton Kadipaten Bojong
Picung. Rangga bukannya tidak mempercayai semua yang diutarakan gadis itu, tapi
memang sukar untuk membuktikan. Lagi pula apa yang dilakukan Diah Mardani masih
dilandasi perkataan hati. Bukan dari akal pikiran.
***
Kadipaten Bojong Picung kembali
gempar. Tempat penyimpanan senjata ternyata telah terbongkar. Dengan demikian
seluruh senjata yang tersimpan, hilang tanpa tersisa satu pun juga. Bahkan
seluruh kuda di istal juga ikut lenyap. Padahal semalam Rangga dan Diah Mardani
mengejar seseorang yang membebaskan Karsini dari penjara. Sama sekali tidak
diketahui kalau pada waktu yang bersamaan ada orang menjarah hingga seluruh
senjata di ruangan penyimpanan senjata lenyap.
Adipati Anggara sendiri semakin
kusut. Terlebih lagi begitu mendapat laporan kalau tahanannya ikut hilang.
Tidak mungkin prajuritnya diperintahkan untuk mencari, karena semua kuda tidak
ada lagi di istal. Sukar dipercaya! Dalam waktu semalaman saja, seluruh kuda
dan senjata lenyap tanpa tersisa.
"Aku yakin, semalam kita
sengaja dijebak, Kakang," duga Diah Mardani di depan pintu ruangan
penyimpanan senjata yang jebol berantakan.
Rangga yang sedang mengamati
ruangan itu membalikkan tubuhnya menghadap gadis itu. Kakinya melangkah
menghampiri Diah Mardani. Dipandangi gadis itu sebentar, lalu Rangga berjalan
keluar. Diah Mardani mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar
Rajawali Sakti. Mereka berhenti di depan istal yang sudah kosong tanpa seekor
kuda pun tertambat di sana. Beberapa prajurit mondar mandir bersama kesibukan
masing-masing.
"Rombongan penari itu pasti
terlibat, Kakang," tebak Diah Mardani lagi.
"Jangan berprasangka buruk,
Diah," Rangga memperingatkan.
"Sejak mereka datang, aku
memang sudah curiga. Apalagi pada orang yang bernama Onila," rungut Diah
Mardani.
Rangga menatap gadis itu yang
sedang memandang ke satu arah tanpa berkedip. Pendekar Rajawali Sakti
mengalihkan pandangannya ke arah yang sama dengan tatapan Diah Mardani. Tampak
di depan jendela sebuah kamar, seorang wanita berwajah cantik tengah membenahi
rambutnya yang panjang dan hitam berkilat. Didekatnya berdiri seorang laki-laki
tua yang mengenakan baju dan ikat kepala kuning.
"Kau terlalu terbawa emosi,
Diah," kata Rangga.
"Naluriku berkata demikian,
Kakang. Dan naluriku tidak pernah berdusta," tegas Diah Mardani mantap.
Rangga kembali melangkah
meninggalkan kandang kuda. Diah Mardani mengikuti di samping. Namun pandangan
gadis itu sesekali masih tertuju pada wanita yang duduk di depan jendela sebuah
kamar bersama seorang laki-laki tua. Entah apa yang dibicarakan karena terlalu
jauh untuk bisa mendengar.
"Ayahanda pernah membawa
Onila dan Ki Jawura melihat-lihat sekeliling keraton. Bahkan yang seharusnya
tidak boleh diketahui orang lain diperlihatkan juga," jelas Diah Mardani
lagi.
tu bukan alasan untuk mencurigai
mereka, Diah."
"Menurutku itu merupakan
alasan kuat, Kakang. Tidak ada seorang pun yang mengetahui ruangan penyimpanan
senjata kecuali Ayahanda dan para pemimpin pasukan serta pengurus senjata. Kau
lihat sendiri, Kakang. Ruangan itu tersamar. Bahkan menyatu di tengah-tengah
bangsal keprajuritan. Tidak ada yang menyangka kalau itu merupakan ruang
penyimpanan senjata, kecuali mereka yang mengetahui,". Diah Mardani
mengemukakan alasannya.
"Hmmm...," Rangga
menggumam tidak jelas.
Apa yang dikatakan Diah Mardani
memang tidak bisa disangkal lagi. Dan Rangga memang mengerti kalau ruangan
penyimpanan senjata biasanya tersamar dan tidak ada yang bisa menduga. Hanya
orang-orang tertentu saja yang mengetahuinya. Sedangkan Diah Mardani mengatakan
kalau Adipati Anggara memperlihatkan sekeliling keraton itu pada Onila dan Ki
Jawura. Bahkan tempat yang seharusnya dirahasiakan juga diperlihatkan. Cukup
beralasan juga kalau putri Adipati Anggara itu mencurigai Onila.
Rangga mencoba
menghubung-hubungkan semua yang telah terjadi di Kadipaten Bojong Picung ini.
Semuanya dihubungkan dengan cerita, dugaan, dan kecurigaan Diah Mardani.
Pendekar Rajawali Sakti itu agak terkejut juga begitu menyadari semua berkaitan
erat. Dan memang tidak disangka kalau apa yang diceritakan Diah justru sangat
erat kaitannya dengan semua peristiwa ini.
Rangga langsung menemui Adipati
Anggara di ruangan khusus setelah mengantarkan Diah Mardani ke dalam kamar
pribadinya. Adipati Anggara tampak kusut, karena sampai siang ini belum ada
seorang prajurit pun yang melapor tentang kuda-kuda yang hilang.
"Apakah kedatanganku
mengganggu, Paman?" Tanya Rangga melihat wajah Adipati Anggara begitu
kusut.
"Oh, tidak.... Tidak,
Gusti," sahut Adipati Anggara terburu-buru.
Adipati Anggara langsung berdiri
dari kursinya dan berlutut memberi sembah dengan merapatkan kedua tangan di
depan hidung. Rangga menghentakkan tubuhnya duduk di kursi di depan Adipati
Anggara. Pendekar Rajawali Sakti itu mempersilakan Adipati Anggara duduk di
depannya. Mereka duduk berhadapan, dibatasi sebuah meja bundar beralaskan batu
pualam putih.
"Paman, keadaan kadipaten
sedang tidak menentu. Tapi mengapa Paman mengadakan pesta dan memanggil
rombongan penari?" Tanya Rangga langsung tanpa basa-basi lagi.
"Ampun, Gusti. Semula
suasana di kadipaten aman tentram. Tapi mendadak saja terjadi kekacauan
begini," sahut Adipati Anggara, penuh rasa hormat
"Kau tentu masih ingat, apa
yang kukatakan," kata Rangga.
"Hamba, Gusti."
"Suasana yang aman dan
tentram merupakan pangkal kelengahan yang menjadikan suatu kelemahan.
Akibatnya, akan timbul sikap masa bodoh dan kurang waspada," jelas Rangga.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba
memang menyadari akan hal itu," ujar Adipati Anggara.
"Tapi kenapa hal ini sampai
terjadi, Paman?"
"Gusti Prabu, hukumlah hamba
yang telah lengah dan gagal memimpin kadipaten. Hamba mengaku bersalah, Gusti.
Hukumlah hamba..," Adipati Anggara menjatuhkan diri, berlutut di depan
kaki Rangga.
"Hukuman tidak akan
menyelesaikan suatu permasalahan, Paman Adipati. Bangunlah. Busungkan dada,
lalu hadapi semua dengan kejantanan dan pikiran terang," tegas Rangga
berwibawa.
"Oh, Gusti...."
"Tidak ada gunanya mengeluh
dan menyesali diri, Paman. Kesalahan merupakan cambuk menuju kebenaran."
Setelah berkata demikian, Rangga
bangkit dan melangkah meninggalkan ruangan pribadi adipati itu. Sementara
Adipati Anggara masih berlutut, dan masih menundukkan kepala. Dia tetap saja
berlutut meskipun Rangga sudah lenyap di balik pintu. Agak lama juga Adipati
Anggara berlutut di lantai, lalu pelahan-lahan berdiri dan melangkah keluar.
Wajahnya sudah tidak lagi kusut, dan matanya kini bersinar penuh semangat
kehidupan yang semula hampir padam, kini tersulut kembali. Bahkan semakin
berkobar. Kata-kata Rangga merupakan setitik api yang membakar semangat
hidupnya kembali.
***
TUJUH
Malam sudah merangkak semakin
jauh. Kegelapan menyelimuti seluruh permukaan bumi Kadipaten Bojong Picung.
Tidak seperti biasanya, malam ini langit begitu pekat tersaput awan hitam yang
menggumpal menghalangi sinar rembulan dan kerlipnya bintang. Suasana malam
kelihatannya begitu mencekam, ditambah tiupan angin kencang menderu,
menyebarkan hawa dingin menggigilkan tubuh.
Namun suasana malam yang tidak
ramah itu, tidak menghalangi Pendekar Rajawali Sakti untuk meronda di
sekeliling Kedaton Kadipaten Bojong Picung. Pemuda yang selalu mengenakan baju
rompi putih itu sudah dapat menyimpulkan kalau berita mengenai adanya makar di
kadipaten ini belum bisa dibuktikan kebenarannya. Hanya saja, memang ada
masalah lain yang semakin gawat karena menyangkut keselamatan Adipati Anggara
sendiri. Dan itu akibat dari persoalan pribadi yang belum bisa diketahuinya
sampai saat ini.
"Hmmm..., tampaknya aku
harus mempercayai cerita Diah Mardani," gumam Rangga dalam hati.
Perhatian Pendekar Rajawali Sakti
itu tidak pernah lepas ke arah kamar Onila yang berada di bagian belakang
bangunan megah Kedaton Kadipaten Bojong Picung. Ada beberapa kamar lagi yang
semuanya ditempati rombongan penari dan penabuh nayaga pimpinan Ki Jawura.
Mereka memang belum diijinkan meninggalkan keraton sampai masalah ini selesai.
Paling tidak, setelah membekuk orang yang mencoba merongrong kewibawaannya.
Tapi mendadak saja perhatian
Rangga beralih ke sebuah sudut yang cukup gelap dan terlindung oleh tembok
tebal dan tinggi. Kegelapan itu semakin terasa dengan adanya pohon beringin
besar yang berdaun rimbun hampir menyentuh tanah. Rangga mengerahkan aji 'Tatar
Netra' untuk mengetahui orang yang bersembunyi itu.
"He! Mau apa dia di
sini?"
Rangga benar-benar terkejut
begitu mengetahui, siapa orang yang bersembunyi di dalam kegelapan itu. Hampir
tidak dipecayai penglihatannya sendiri. Tapi yang dilihat memang kenyataan.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak dapat lagi menahan diri, dan langsung melesat
cepat bagai kilat Hanya dua kali lesatan saja, Rangga sudah mencapai tempat
persembunyian orang itu.
Jleg!
"He...
Betapa terkejutnya orang itu
begitu tiba-tiba saja di depannya muncul Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya
sampai terlonjak melompat ke belakang beberapa tindak. Bola matanya membeliak
lebar dan mulutnya ternganga, namun tak ada suara sedikit pun yang keluar.
Sedangkan Rangga berdiri tegak dengan pandangan mata tajam, lurus menyoroti
wajah orang itu.
"Ka..., ka...,
Kakang...," tersendat dan gugup sekali orang itu.
"Apa yang kau lakukan di
sini, Danupaksi? Tanya Rangga tajam.
"Aku.., Aku...,"
laki-laki muda yang ternyata memang Danupaksi itu tergagap menjawab pertanyaan
Rangga.
Pucat pasi seluruh wajah pemuda
itu, dan rasanya tidak sanggup membalas tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti.
Kepalanya tertunduk dalam, dan tubuhnya agak gemetar seperti pencuri yang
kepergok. Rangga menghampiri adik tirinya itu, lalu membawanya ke tempat yang
cukup terlindung. Dia tidak ingin kehadiran Danupaksi di Kedaton Kadipaten
Bojong Picung ini diketahui orang lain. Rangga bisa menduga kalau kehadiran
Danupaksi yang tidak disangka-sangka ini, pasti punya alasan tertentu dan
bersifat amat pribadi.
"Sudah berapa lama kau
berada di sini?" Tanya Rangga.
"Sehari setelah Kakang
berangkat dari istana," sahut Danupaksi.
"Kau sudah melalaikan
amanatku, Danupaksi."
"Aku ingat, Kakang.
Tapi...," terputus ucapan Danupaksi.
"Tapi kenapa?" Desak
Rangga ingin tahu.
"Maaf, Kakang. Ini masalah
pribadi," pelan sekali suara Danupaksi. Kepalanya tertunduk dalam, tak
sanggup membalas sorot mata kakak tirinya itu.
"Danupaksi.! Kau tahu apa
yang sedang terjadi di sini, bukan? Dan kau juga tahu, kenapa aku berada di Kadipaten
Bojong Picung ini. Kuharap kau jangan menambah-nambah persoalan lagi,"
tegas kata-kata Rangga.
"Aku tahu, Kakang. Tapi aku
tidak bisa hanya berdiam diri di istana sambil mendengar kabar," kata
Danupaksi seraya mengangkat kepalanya pelahan.
"Katakan, apa persoalan
pribadimu," pinta Rangga
Danupaksi tidak langsung
menjawab. Dirayapi nya wajah Pendekar Rajawali Sakti itu dalam kegelapan.
Terdengar tarikan napas yang panjang disusul hembusan kuat. Rangga mengamati
raut wajah adik tirinya itu. Sebelumnya, belum pernah Danupaksi terlihat begitu
gundah, seakan-akan menyimpan beban berat yang sukar dipikul. Berbagai macam
dugaan mengalir di benak Pendekar Rajawali Sakti, namun tidak ada satu pun
terlintas pikiran buruk. Dia memang begitu percaya pada adik tirinya ini,
"Kau sudah tidak lagi
menganggapku kakak, Danupaksi? Katakan, apa yang membuatmu datang ke
sini?" desak Rangga.
"Onila," kata Danupaksi
pelan. Begitu pelan suaranya sehingga hampir tidak terdengar.
"Onila...? Gadis penari itu
maksudmu, Danupaksi? Ada apa dengannya?" Rangga memberondong berbagai
macam pertanyaan. Benar-benar tidak dimengerti, apa masalahnya antara Danupaksi
dengan Onila.
"Sebenarnya aku sendiri
tidak percaya, Kakang. Tapi setelah kuselidiki...," kata-kata Danupaksi
terputus. Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya, disertai desahan panjang
dan terasa begitu berat
"Katakan semua yang kau
ketahui, Danupaksi, terdengar lembut suara Rangga.
Danupaksi tidak segera membuka
suara, dan hanya memandang bola mata Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam.
Seakan-akan hatinya hendak minta kekuatan untuk membuka mulutnya.
"Ada hubungan apa kau dengan
Onila?" Tanya Rangga, setelah melihat Danupaksi hanya diam saja.
"Kakang...," desah
Danupaksi hampir tidak terdengar suaranya.
"Sudah berapa lama kau kenal
dengannya?" Tanya Rangga yang sudah begitu yakin kalau antara Danupaksi
dan Onila punya hubungan yang tidak diketahui.
"Tiga bulan," sahut
Danupaksi pelan.
"Kau mencintainya?"
desak Rangga.
"Hmmmmmm."
"Entahlah, Kakang."
Rangga menepuk pundak adik
tirinya itu, kemudian mengajaknya meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan
berdampingan tanpa berkata-kata lagi. Danupaksi berjalan sambil menundukkan
kepala. Sedangkan Rangga sempat melirik ke arah kamar Onila yang sudah gelap.
***
Pagi-pagi sekali Adipati Anggara
sudah berdiri di depan pintu kamar Onila. Di belakangnya berdiri Rangga,
Danupaksi, dan Diah Mardani serta tiga puluh orang prajurit Kadipaten Bojong
Picung. Adipati Anggara memandang Rangga sejenak, kemudian mengetuk pintu kamar
itu. Tak ada sahutan sama sekali dari dalam kamar. Adipati itu segera
memperkeras ketukan di pintu, tapi tetap tidak ada sahutan.
Rangga melangkah maju dan
mendorong pintu itu. Pelahan pintu yang terbuat dari kayu jati berukir itu
terkuak lebar. Semua yang ada di tempat itu jadi tercengang, karena keadaan
kamar ternyata kosong. Adipati Anggara bergegas menerobos masuk ke dalam.
Ketika dia membuka lemari, tak ada sepotong pakaian pun di dalam lemari itu.
"Bedebah!" geram
Adipati Anggara.
"Periksa kamar
lainnya!" perintah Rangga. Tanpa ada yang membantah Semua prajurit yang
menunggu di luar kamar bergegas memeriksa kamar-kamar lainnya. Adipati Anggara
keluar dari dalam kamar, tepat saat para prajurit datang memeriksa kamar-kamar
lain. Mereka semua melaporkan kalau seluruh kamar dalam keadaan kosong. Tak ada
seorang pun terlihat
"Danupaksi! Kerahkan
sebagian prajurit, susul mereka ke Desa Kuripan!" perintah Rangga tegas.
"Baik, Kakang Prabu,"
sahut Danupaksi seraya memberi hormat.
Bergegas Danupaksi melangkah
pergi sambil membawa beberapa prajurit yang ada. Kemudian, dikumpulkan sebagian
prajurit, lalu bergegas berangkat menuju Desa Kuripan. Mereka semua berjalan
kaki, kecuali Danupaksi yang datang membawa kuda. Sementara Rangga meminta
Adipati Anggara untuk mengatur penjagaan di sekitar keraton.
"Kakang...!" panggil
Diah Mardani ketika Rangga bergegas melangkah keluar.
Rangga menoleh sedikit, namun
tidak menghentikan ayunan kakinya. Diah Mardani berlari-lari mengejar, dan
mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau akan ke mana,
Kakang?" Tanya Diah Mardani.
"Mengejar mereka, mungkin
belum begitu jauh," sahut Rangga tanpa menghentikan ayunan kakinya.
"Aku ikut," pinta Diah
Mardani.
"Kau diperlukan di sini,
Diah."
"Tapi...."
"Tunggu Danupaksi kembali.
Kalau mereka tidak ada di Desa Kuripan, kau bisa menyusulku ke Bukit Cangking
bersama Danupaksi," ujar Rangga semakin mempercepat langkahnya.
"Ka...."
"Ini perintah!" potong
Rangga cepat.
"Hamba, Gusti,"
buru-buru Diah Mardani memberi hormat dengan merapatkan kedua tangannya di
depan hidung. Diah Mardani seakan-akan baru tersadar kalau Pendekar Rajawali
Sakti itu adalah raja, sekaligus junjungannya yang harus dipatuhi segala perintahnya.
Gadis itu langsung berhenti melangkah mengikuti Rangga yang tidak berhenti
mengayunkan kakinya keluar.
Putri Adipati Anggara itu masih
berdiri mematung memandangi punggung Rangga hingga lenyap di balik tembok. Dia
masih saja berdiri mematung meskipun bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti
sudah tidak terlihat lagi. Pelahan-lahan sepasang kaki yang indah itu terayun
melangkah. Terdengar suara tarikan napas panjang dan terdengar begitu berat
"Diah..."
"Oh!" Diah Mardani
terkejut ketika mendengar panggilan dari belakang.
Gadis itu menoleh, dan tampak
Adipati Anggara menghampiri. Ayunan kakinya lebar-lebar, seperti tergesa-gesa.
Diah Mardani berhenti berjalan dan menunggu sampai ayahnya dekat. Dia kembali
melangkah pelahan setelah laki-laki setengah baya itu berada di sampingnya.
"Kau lihat Rang..., eh!
Gusti Prabu, Diah?" Tanya Adipati Anggara.
"Kakang Rangga pergi,"
sahut Diah Mardani.
"Kakang...?!" Adipati
Anggara terkejut mendengar Diah Mardani menyebut kakang pada Rangga.
"Maksudku Gusti Prabu,
Ayah," buru-buru Diah Mardani meralat ucapannya.
"Ke mana perginya?"
Tanya Adipati Anggara tidak mempersoalkan kekeliruan anak gadisnya tadi.
"Entahlah. Katanya, akan
mengejar mereka," sahut Diah Mardani masih bernada lesu.
Adipati Anggara merayapi raut
wajah anak gadisnya itu. Sedangkan yang dipandangi seakan-akan tidak
mengetahui, dan tetap saja berjalan dengan pandangan lurus ke depan. Namun
karena Adipati Anggara terus memandangi, gadis itu jadi jengah juga. Langkahnya
terhenti. Segera dibalikkan tubuhnya membalas pandangan ayahnya. Untuk beberapa
saat mereka hanya saling melemparkan pandangan dengan jalan pikiran
masing-masing.
"Aku tahu apa yang
merisaukan hatimu, Diah. Aku hanya minta kau bisa menyadari dirimu sendiri.
Jangan berharap terlalu melambung jauh," ujar Adipati Anggara seraya
menepuk pundak putrinya.
"Ayah...," hanya itu
yang bisa keluar dari bibir mungil Diah Mardani. Gadis itu sudah bisa menebak,
ke mana arah pembicaraan ayahnya ini.
"Dia seorang raja dan sudah
mempunyai calon permaisuri meskipun masih belum jelas asal usulnya. Masih
banyak pemuda yang sepadan denganmu," jelas Adipati Anggara lagi.
"Aku tidak ada apa-apa,
Ayah. Sungguh...!" kilah Diah Mardani.
"Aku harap begitu, Diah.
Jangan menambah-nambah kemelut lagi. Ayah tidak ingin membuat Gusti Prabu murka
dan kecewa untuk kedua kali."
"Aku berjanji, Ayah,"
ucap Diah pelan.
Adipati Anggara tersenyum, lalu
menepuk-nepuk pundak putrinya lembut Kemudian dia kembali berjalan meninggalkan
gadis itu seorang diri. Tinggal Diah Mardani kembali tercenung memikirkan
pembicaraan singkat namun penuh arti itu.
"Yaaah.... Aku memang sudah
berharap terlalu banyak. Ah, Kakang..., kenapa kita dipertemukan dalam keadaan
seperti ini? Kenapa kau bukan seorang pendekar saja? Seandainya kau hanya
pemuda desa, aku tidak peduli. Tapi..., ahhh...," Diah Mardani
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Diah Mardani tidak bisa lagi
mendustai dirinya sendiri. Hatinya sudah tergetar akan ketampanan, kegagahan
dan tindak-tanduk Pendekar Rajawali Sakti. Namun harus disadari kalau pemuda
yang sudah menyemai benih cinta di hatinya itu tidak akan mungkin bisa
dimiliki. Terlalu jauh jurang pemisah yang menghalangi, tak mungkin dapat
diseberangi. Dan itu sangat disadari. Namun tidak mudah baginya untuk menutup
kembali pintu hati yang sudah terkuak tanpa disadari itu.
"Kakang..., mungkinkah aku
hanya dapat mengenang dan bermimpi saja? Tidakkah Hyang Widi membuka mata untuk
hati kita berdua? Oh, Dewata Yang Agung...," desah Diah Mardani lirih.
Begitu pesannya seakan-akan hanya desiran angin yang terdengar. Halus dan
lembut sekali.
***
Sementara itu jauh di luar
perbatasan Kadipaten Bojong Picung, tampak Danupaksi dan para prajurit
kadipaten yang menyertainya tengah bertarung sengit membendung serangan
orang-orang yang semuanya mengenakan baju dan cadar tipis merah.
Tampak sekali kalau Danupaksi
begitu kerepotan, karena kemampuan para prajurit kadipaten yang menyertainya
begitu rendah. Mereka seperti tidak mampu membendung gempuran orang-orang
berbaju merah yang wajahnya tertutup cadar. Danupaksi seperti bertarung sendiri
melawan satu pasukan prajurit terlatih. Peluh sudah bercucuran membasahi
sekujur tubuhnya, namun serangan orang-orang itu tidak ada hentinya.
Sudah lebih dari separuh prajurit
yang tergeletak tak bernyawa lagi. Darah bersimbah membasahi bumi. Sedangkan
dari pihak lawan, hanya beberapa saja yang menggelimpar berlumuran darah.
Danupaksi benar-benar cemas melihat keadaan para prajurit yang semakin
kedodoran menahan gempuran orang-orang tak dikenal ini. Jerit kematian terus
terdengar membahana ditingkahi denting senjata beradu, dan teriakan-teriakan
pertarungan.
Mundur! Selamatkan diri
kalian..!" seru Danupaksi keras sambil mengibaskan cepat pedangnya.
Danupaksi terus berteriak-teriak
memerintahkan para prajurit Kadipaten Bojong Picung agar mundur. Sedangkan dia
sendiri sibuk membendung gempuran orang-orang berbaju merah yang nampaknya
tidak ingin membiarkan para prajurit bisa bernapas lagi esok hari. Mereka terus
saja menggempur dengan brutal.
Tidak mudah bagi Danupaksi untuk
menyelamatkan para prajurit Kadipaten Bojong Picung. Mempertahankan diri dari
gempuran lawan saja sudah memaksanya memeras keringat. Dalam pertempuran
seperti ini, tidak mungkin digunakan ilmu kesaktian. Lagi pula orang-orang
berbaju merah itu tidak memberi kesempatan untuk merapalkan ajian. Danupaksi
terpaksa hanya menggunakan jurus-jurus untuk mempertahankan diri sambil
berusaha melindungi para prajurit yang semakin berkurang jumlahnya.
"Mundur...! Mundur...!"
teriak Danupaksi memberi perintah.
Semua prajurit berusaha bergerak
mundur dan menyelamatkan diri. Namun, orang-orang berbaju merah itu terus saja
mendesak dan tidak memberi kesempatan. Danupaksi semakin geram, dan langsung
diperhebat jurus-jurusnya. Pedangnya berkelebatan cepat diimbangi gerakan-gerakan
lincah. Namun lawannya seperti tidak ada habis-habisnya, meskipun tidak sedikit
yang menggelepar bersimbah darah terbabat pedang adik tiri Pendekar Rajawali
Sakti itu.
Namun pada saat yang semakin
kritis, mendadak saja orang-orang berbaju merah tiba-tiba berpelantingan ke
udara. Jerit pekik melengking terdengar menyayat saling susul. Pola serangan
mereka mendadak saja jadi tidak beraturan. Suasana semakin bertambah kacau dan
tidak menentu.
"Mundur...!" teriak
Danupaksi memberi perintah pada para prajurit yang dibawanya.
Kesempatan yang baik ini memang
dimanfaatkan Danupaksi untuk menyelamatkan sisa prajurit Kadipaten Bojong
Picung yang masih bertahan hidup. Tanpa menunggu waktu lagi, para prajurit itu
segera bergerak mundur. Danupaksi sendiri bergegas melompat keluar dari arena
pertarungan. Tampak orang-orang berbaju merah tengah terpusat perhatiannya pada
sesosok bayangan putih yang berkelebat cepat menyambar-nyambar bagai kilat
"Kakang..," desis
Danupaksi begitu mengenali bayangan putih yang tengah mengamuk mengobrak-abrik
orang-orang berbaju merah.
"Suit..!" Tiba-tiba
saja terdengar siulan keras melengking tinggi. Seketika itu juga orang-orang
berbaju merah yang mengenakan cadar berlompatan meninggalkan tempat
pertempuran. Begitu cepat dan mendadak sekali, sehingga dalam waktu sebentar
saja semuanya sudah pergi. Tinggal seorang pemuda berbaju rompi putih berdiri
tegak di antara mayat-mayat bergelimpangan berlumuran darah. Danupaksi bergegas
menghampiri.
"Kakang...!" seru
Danupaksi Pemuda berbaju rompi putih yang ternyata Rangga berpaling seraya
memutar tubuhnya. Danupaksi bergegas membungkuk memberi hormat pada kakak
tirinya itu. Bagaimanapun juga Rangga adalah Raja Karang Setra, walaupun
kesehariannya adalah pendekar.
"Bagaimana kau bisa bentrok
dengan mereka, Danupaksi?" Tanya Rangga.
"Tiba-tiba saja mereka
menghadang, Kakang. Mereka tidak mengatakan apa-apa, dan langsung mengepung dan
menyerang tanpa memberi kesempatan. Oh, aku malu.... Malu sekali, Kakang. Aku
tidak mampu melindungi para prajurit," keluh Danupaksi.
"Bukan kesalahanmu,
Danupaksi. Kemampuan mereka memang lebih tinggi daripada prajurit kadipaten.
Inilah salah satu kelemahan Adipati Anggara yang tidak mempedulikan kemampuan
prajuritnya," jelas Rangga.
"Ya..., mereka memang bukan
prajurit Karang Setra yang tangguh dan berkemampuan tinggi," desah
Danupaksi
"Sebaiknya kau perintahkan
mereka pulang, Danupaksi. Biar kita saja yang mengejar pemberontak-pemberontak
itu," tegas Rangga memberi perintah dengan halus.
"Baik, Kakang," sahut
Danupaksi seraya memberi hormat.
Rangga menggeleng-gelengkan
kepalanya. Memang hanya Danupaksi yang tidak pernah meninggalkan sikapnya yang
seperti itu. Tapi tidak demikian Cempaka. Gadis itu begitu manja dan tidak
menganggap Rangga sebagai raja kecuali di dalam istana. Danupaksi bergegas
memerintahkan sisa-sisa prajurit Kadipaten Bojong Picung untuk kembali ke
keraton, setelah itu kembali menemui Rangga. Setelah para prajurit itu bergerak
kembali ke keraton, Rangga dan Danupaksi bergegas berlari cepat mengejar
orang-orang berbaju merah. Tentu saja ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan.
***
DELAPAN
Hampir saja Danupaksi jatuh
pingsan ketika Rangga memanggil Rajawali Putih. Adik tiri Pendekar Rajawali
Sakti itu seperti berada di alam mimpi melihat seekor burung rajawali raksasa
yang bagai bukit tingginya. Akalnya masih belum bisa mempercayai meskipun sudah
mengangkasa, duduk di punggung rajawali raksasa sahabat Pendekar Rajawali Sakti
itu. Sedangkan Rangga sendiri tidak mempedulikan. Perhatiannya tercurah penuh,
untuk mencari letak sarang gerombolan pemberontak yang telah gagal dengan
rencana pertamanya menggulingkan Adipati Anggara secara halus.
"Itu dia, Rajawali! Turun di
balik bukit sana!" seru Rangga tiba-tiba.
"Khraghk!"
Rajawali putih raksasa menukik
turun ke balik sebuah bukit kecil yang ditunjuk Rangga. Belum juga burung
raksasa itu mencapai tanah, Rangga sudah melompat turun. Sedangkan Danupaksi
baru turun setelah rajawali raksasa itu mencapai tanah. Pemuda itu masih
memandangi disertai perasaan tidak percaya dan seperti mimpi.
"Kau boleh pergi, Rajawali.
Temui Dewa Bayu dan katakan aku membutuhkannya di sini," kata Rangga.
"Khraghk!"
Rajawali putih mengepakkan sayap
lebarnya, kemudian dengan sekali lesatan saja sudah membumbung tinggi di
angkasa. Danupaksi memandangi kepergian burung raksasa itu hingga lenyap di
balik awan.
"Ayo...," ajak Rangga
seraya menepuk pundak adik tirinya itu.
"Oh!" Danupaksi
tergagap.
"Ada apa, Danupaksi?"
Tanya Rangga melihat sikap adik tirinya yang seperti orang bodoh.
"Oh tidak... tidak apa-apa,
Kakang," sahut Danupaksi
"Suatu saat kau akan lebih
mengenalnya, Danupaksi," kata Rangga seraya tersenyum. Dia mengerti,
kenapa Danupaksi bersikap seperti itu.
"Sejak kapan Kakang punya
tunggangan begitu?" Tanya Danupaksi seraya mengayunkan kakinya mengikuti
langkah Pendekar Rajawali Sakti yang sudah lebih dahulu berjalan.
Rangga tidak langsung menjawab,
tapi terus saja berjalan. Pertanyaan Danupaksi hanya dijawab lewat senyuman
saja. Kemudian kedua pemuda itu sudah berjalan mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Kalau saja mau, Rangga bisa meninggalkan Danupaksi karena ilmu meringankan
tubuhnya lebih tinggi dari yang dimiliki Danupaksi. Tapi itu saja sudah membuat
Danupaksi terpaksa mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengimbangi ilmu yang
dimiliki Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa berhenti di sini,
Kakang?" Tanya Danupaksi begitu Rangga berhenti
"Kita tunggu di sini,"
sahut Rangga.
"Apakah mereka akan lewat
tempat ini?" Tanya Danupaksi lagi.
"Perkiraan ku begitu,
Danupaksi," sahut Rangga.
Danupaksi tidak bertanya lagi,
lalu memandang lurus ke satu arah. Tanpa disadari, Rangga memperhatikannya
sejak tadi. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah mundur menghampiri sebatang
pohon yang cukup rindang. Perhatiannya masih tertuju pada Danupaksi yang masih
tetap berdiri memandang ke satu arah tanpa berkedip.
"Apa yang kau pikirkan,
Danupaksi?" Tanya Rangga.
"Oh...!" Danupaksi
tersentak kaget
"Kau tidak perlu merasa
bersalah. Aku mengerti kau terjebak sehingga tidak menyadari apa yang kau
perbuat," kata Rangga lembut nada suaranya.
api, Kakang. Karena kesalahanku
lah Keris Kyai Lumajang jatuh ke tangan manusia-manusia setan itu!" Agak
tertekan nada suara Danupaksi.
Tidak ada seorangpun yang luput
dari kesalahan dan kelalaian, Danupaksi. Apalagi kau masih muda dan kurang
berpengalaman dalam menghadapi seorang wanita yang penuh tipu daya licik,"
kata Rangga bijaksana.
"Bagaimanapun aku merasa
bersalah, Kakang. Aku harus merebut kembali Keris Kyai Lumajang dan membunuh
Onila!" tegas kata-kata Danupaksi.
"Bukankah kau mencintai
gadis itu, Danupaksi?" pancing Rangga.
Tidak!" sahut Danupaksi
tegas.
"Justru aku membencinya
karena telah menipu dan memperdayaiku, Kakang."
"Onila melakukan hal itu
karena mendapat tekanan dari Karsini, atau mungkin ada orang lain yang lebih
berpengaruh di belakangnya. Sedangkan Keris Kyai Lumajang sekarang berada di
tangan Karsini, bukan pada Onila atau siapa pun. Terus terang, aku sendiri sebenarnya
juga terkejut begitu melihat Keris Kyai Lumajang berada di tangan Karsini.
Hanya saja aku tidak mau gegabah," papar Rangga.
"Aku merasa berdosa sekali
tidak bisa menjaga pusaka Eyang Resi Wanapati, Kakang," lirih suara
Danupaksi
"Sudahlah, Danupaksi. Bukan
dengan keluhan atau penyesalan untuk mendapatkan Keris Kyai Lumajang kembali.
Tapi dengan perbuatan dan tekad yang bulat," Rangga membakar semangat adik
tirinya itu.
"Kau benar, Kakang. Apa pun
yang terjadi, Keris Kyai Lumajang peninggalan guruku harus kurebut
kembali," tekad Danupaksi.
Rangga tersenyum melihat
Danupaksi kembali bersemangat. Mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti itu
melompat cepat bagai kilat menyambar Danupaksi dan membawanya pergi dari tempat
itu. Tentu saja hal ini mengejutkan Danupaksi. Tapi, pemuda itu belum bisa
membuka suara begitu Rangga tahu-tahu sudah berpijak pada sebatang dahan pohon
bersamanya. Dan belum lagi Danupaksi bertanya, matanya sudah terbentur pada
satu rombongan kecil berwarna merah di balik lebatnya pepohonan lereng bukit
ini.
***
"Kendalikan dirimu,"
cegah Rangga berbisik sambil mencekal tangan Danupaksi.
Danupaksi membatalkan niatnya
untuk mencegat rombongan yang seluruhnya mengenakan baju merah itu, Mereka
sudah demikian dekat. Bahkan sebagian sudah berada di bawah pohon tempat Rangga
dan Danupaksi berada. Dan sekarang sudah ada yang melewatinya. Danupaksi hanya
bisa memandangi sambil menahan napas. Gelegak di dadanya begitu mengguruh
melihat orang yang berjalan paling depan. Ada tiga orang. Yang dua orang wanita
muda dan cantik, sedangkan seorang lagi adalah laki-laki berusia lanjut Rambut
dan janggutnya telah memutih semua.
Rangga dan Danupaksi tetap berada
di atas pohon tanpa memperdengarkan suara sedikit pun. Mereka mempergunakan
ilmu meringankan tubuh agar dahan pohon yang dipijak tetap bergoyang tertiup
angin tanpa menimbulkan gerakan mencurigakan sedikit pun. Sampai orang-orang
berbaju merah yang jumlahnya lebih dari lima puluh itu lewat, mereka masih
tetap berlindung pada daun-daun pohon yang lebat itu.
"Hup...!"
Ringan sekali Rangga melompat
turun dari atas pohon. Danupaksi bergegas mengikuti. Ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki Danupaksi sudah mencapai tingkat cukup tinggi, sehingga mampu
mendarat tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
"Bagaimana sekarang,
Kakang?" Tanya Danupaksi.
"Aku tahu ke mana mereka
pergi," sahut Rangga. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali
Sakti itu berlari cepat diikuti Danupaksi yang langsung mengerahkan penuh Ilmu
meringankan tubuhnya. Dia tahu, siapa dan sampai di mana tingkat kepandaian
Pendekar Rajawali Sakti itu. Maka kini Danupaksi tidak tanggung-tanggung lagi
mengimbanginya, jika tidak ingin tertinggal jauh.
Mereka terus berlari cepat
menerobos lebatnya hutan di Lereng Bukit Cangking. Rangga sengaja memilih jalan
memutar, karena sudah merasa pasti tujuan orang-orang berbaju merah yang hendak
memberontak itu. Sedangkan Danupaksi hanya mengikuti saja dari belakang, dan
berusaha agar tidak tertinggal jauh.
"Mereka sudah tertinggal
jauh di belakang, Kakang," kata Danupaksi begitu bisa mensejajarkan
langkahnya di samping Rangga.
"Sebentar lagi," sahut
Rangga terus saja berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Rangga baru berhenti berlari
setelah sampai di depan sebuah gua yang hampir tertutup semak belukar. Hanya
sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu mencapai bagian atas gua itu.
"Hup!"
Danupaksi bergegas mengikuti,
lalu berputaran di udara dua kali. Dan dua kali pula ditotoknya ranting pohon
untuk membantu tenaga lesatan agar mencapai bagian atas gua itu. Ringan sekali
kakinya mendarat di samping Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mulai bergerak
lagi.
"Kau terlalu banyak
bersenang-senang di istana, Danupaksi," tegur Rangga tanpa mengurangi
kecepatan ayunan langkahnya.
Danupaksi tidak menyahut sedikit
pun. Memang diakui kalau jarang berlatih sejak tinggal di Istana Karang Setra.
Kini pemuda itu baru merasakan kalau kemampuannya menurun. Tapi karena tidak
ingin terlihat lemah, dia terus saja mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga memberi isyarat dengan
merentangkan tangannya sambil berhenti berjalan. Danupaksi bergegas menghampiri
dan berdiri agak merunduk di samping Rangga yang juga merunduk melindungi diri
di dalam semak. Hampir Danupaksi tidak percaya kalau gua yang tadi dilihatnya
ternyata tembus ke sebuah tempat yang terlindung dinding-dinding batu. Tempat
itu bagai sebuah lembah kecil. Hanya dari gua itulah jalan masuknya.
"Inikah tempat persembunyian
mereka, Kakang?" Tanya Danupaksi setengah berbisik.
"Benar," sahut Rangga.
"Hebat sekali. Cocok untuk
sarang penyamun," puji Danupaksi tulus.
Rangga mengedarkan pandangannya,
meneliti keadaan lembah kecil itu. Tidak mudah untuk mencapai ke sana kalau
tidak melalui gua yang hanya satu-satunya di Puncak Bukit Cangking ini. Lembah
itu dikelilingi tebing batu curam dan berlumut tebal. Seorang yang berilmu
tinggi sekalipun tidak akan gegabah untuk menuruninya. Otak Rangga terus
berputar mencari jalan agar bisa masuk tanpa melalui gua.
Memang tidak terlalu dalam lembah
itu, namun sukar dimasuki. Rangga berpaling memandang Danupaksi. Baginya tidak
ada masalah untuk menuruninya, tapi tidak demikian dengan Danupaksi. Lembah itu
kelihatan sunyi. Dan rumah-rumah yang berdiri juga seperti tidak berpenghuni.
Namun itu bukan berarti bisa seenaknya saja memasukinya. Kesunyian merupakan
jebakan sangat ampuh, bagi orang yang kurang waspada.
"Aku akan menunggu di sini,
Kakang," kata Danupaksi bisa mengerti arti pandangan Rangga.
"Kau bisa kembali ke mulut
gua, Danupaksi. Hadang siapa saja yang mencoba keluar nanti," perintah
Rangga.
"Lalu, bagaimana mereka yang
hendak masuk?" Tanya Danupaksi.
"Biarkan saja masuk,"
sahut Rangga.
"Apa tidak sebaiknya
dihadang saja, Kakang?" Usul Danupaksi.
"Jangan tolol,
Danupaksi!" Sentak Rangga.
Danupaksi langsung diam.
"Cepatlah pergi sebelum
mereka sampai. Kau masih bisa bersuara burung, bukan?" ujar Rangga.
"Masih, Kakang," sahut
Danupaksi.
"Tirukan suara burung kalau
mereka sampai," pinta Rangga.
"Baik, Kakang."
Danupaksi bergegas pergi dari tepi lembah di Puncak Bukit Cangking ini.
Sementara Rangga kembali
mengamati keadaan di dalam lembah sekali lagi. Kemudian dituruninya tebing
lembah yang berbatu curam dan berlumut licin. Dengan mempergunakan ilmu
meringankan tubuh ditambah jurus yang pernah diajarkan Satria Naga Emas, Rangga
menuruni tebing itu. Memang tidak begitu sukar bagi Pendekar Rajawali Sakti
yang sudah menguasai jurus-jurus 'Naga Emas' yang beraneka macam dan
kegunaannya. (Untuk lebih jelas, baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam
kisah Asmara Maut)
***
"Hup!" Rangga melompat
ringan begitu mendekati dasar lembah di Puncak Bukit Cangking. Begitu ringannya
sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah berumput
kering. Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa berdiri tegak,
mendadak....
Wut! Sing...!
"Uts...!" Sebuah ruyung
kecil meluruk deras bagai kilat mengancam tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Cepat
sekali pemuda berbaju rompi putih itu memiringkan tubuhnya sedikit seraya
mengibaskan tangannya ke depan dada.
Tap! Ruyung kecil itu ditangkap
dengan dua jari Pendekar Rajawali Sakti. Dan secepat itu pula Rangga
mengebutkan tangannya, melemparkan ruyung itu ke arah datangnya tadi.
Slap! Sebuah bayangan berkelebat
ke udara tepat saat ruyung itu menembus sebuah bilik rumah yang terbuat dari
anyaman bambu. Tahu-tahu di depan Rangga sudah berdiri seorang laki-laki tua
mengenakan jubah dan ikat kepala berwarna merah. Rambut dan janggutnya sudah
memutih semua. Tangannya menggenggam sebatang tongkat yang tak berbentuk sama
sekali. Rangga menggeser kakinya sedikit kesamping. Kedua matanya begitu tajam
memperhatikan laki-laki tua di depannya.
"He he he.... Rupanya kau
memang hebat, Anak Muda. Pantas saja semua muridku tidak ada yang mau
berhadapan denganmu," kata laki-laki tua berjubah merah itu.
"Siapa kau, Orang Tua?"
Tanya Rangga.
"Kau memang tidak pernah
tahu tentang diriku, Anak Muda. Tapi aku tahu siapa dirimu. He he he...!"
laki-laki tua berjubah merah itu terkekeh.
Suara tawanya begitu kering dan
tidak sedap terdengar di telinga. Digeser kakinya ke samping beberapa tindak,
namun tatapan matanya begitu tajam menusuk. Sedangkan Rangga masih berdiri
kokoh dan kelihatannya begitu tenang. Perhatiannya juga tidak lepas pada
laki-laki tua itu. Gerakan kakinya ketika menggeser begitu ringan. Jelas kalau
laki-laki tua berjubah merah itu memiliki kepandaian yang tidak bisa dipandang
enteng.
"Aku kagum akan kepekaanmu,
Anak Muda. Sayang sekali kita harus bertemu secepat ini, tidak seperti yang
kuharap dan kurencanakan," kata laki-laki tua itu lagi
"Kisanak! Siapa kau ini
sebenarnya?" Tanya Rangga lagi "Kenapa kau ingin memberontak pada
Kerajaan Karang Setra?"
"He he he.... Rupanya kau
ingin tahu, Rangga. Dengarkan baik-baik. Aku bernama Ki Jagatnata, kakak ibu
adik tirimu. Kau puas...?" laki-laki tua itu menjelaskan jati dirinya.
"Oh...," Rangga
mendesah.
Sungguh tidak disangka kalau
laki-laki tua ini adalah paman tirinya juga. Dan sekarang baru dimengerti
permasalahannya. Rupanya Ki Jagatnata tidak senang kemenakannya tersingkir dari
Karang Setra. Maka dia hendak membalas dendam dengan mengacaukan Kerajaan
Karang Setra. Pilihannya memang tepat. Dia memulai dari Kadipaten Bojong Picung
yang begitu lemah dalam segala hal, tapi sangat makmur dan kaya akan hasil
bumi.
"Aku akan memberimu
kesempatan hidup jika kau bersedia turun tahta dan memberikannya pada
kemenakanku yang berhak atas Karang Setra!" tegas Ki Jagatnata mulai
terdengar dingin nada suaranya.
"Siapa kemenakanmu
itu?" Tanya Rangga.
"Onila," sahut Ki
Jagatnata.
"Oh...," lagi-lagi
Rangga mendesah.
Kini Rangga benar-benar mengerti.
Ternyata Ki Jagatnata sudah mempersiapkan hal ini sebelumnya secara matang.
Apalagi seluk beluk keluarga Istana Karang Setra diketahui betul sampai ke
akar-akarnya. Rupanya dia juga mengetahui tentang kehebatan Pedang Pusaka
Pendekar Rajawali Sakti, sehingga harus menandinginya dengan Keris Kyai
Lumajang yang begitu ampuh dan sukar dicari tandingannya. Untuk mendapatkan
keris itu, Onila berhasil memperdaya Danupaksi yang memegang keris peninggalan
mendiang gurunya. Suatu rencana rapi, tapi sayang sudah tercium sebelum
melangkah jauh.
"Hanya ada dua pilihan,
Rangga. Turun dari tahta, atau mampus di sini!" Ki Jagatnata memberikan
pilihan yang tidak mudah.
"Aku tidak memilih keduanya,
Ki Jagatnata. Bahkan aku tidak akan memberikan Karang Setra begitu saja padamu,
juga pada yang tidak berhak!" Tegas jawaban Rangga.
"Kalau begitu, bersiaplah
untuk mati, Rangga!" Setelah berkata demikian, Ki Jagatnata langsung
memutar cepat tongkatnya di depan dada. Rangga sampai berjingkrak beberapa
langkah ke belakang. Putaran tongkat itu menimbulkan deru angin dahsyat bagai
topan, ditambah lagi pancaran hawa panas yang menyengat.
"Hmmm.... Kau langsung
memulai dengan ilmu kesaktian, Ki Jagatnata," gumam Rangga.
"Menghadapimu, tidak perlu
mengeluarkan tenaga banyak dan percuma!" sahut Ki Jagatnata.
Laki-laki tua itu tiba-tiba saja
menghentakkan tongkatnya ke depan. Seketika itu juga dari ujung tongkat yang
tumpul memercik bola-bola api yang langsung meluncur ke arah Pendekar Rajawali
Sakti.
"Hiyaaa...!" Secepat
kilat Rangga melompat ke samping menghindari bola-bola api itu. Ledakan
menggelegar terdengar dahsyat ketika bola-bola api itu menghantam tebing batu
yang mengelilingi lembah ini. Belum juga Rangga bisa berdiri tegak, bola-bola
api itu sudah datang kembali dengan cepatnya. Terpaksa Rangga berjumpalitan
menghindari bola-bola apt itu.
Beberapa kali Rangga berhasil
menghindari bola-bola api yang keluar dari ujung tongkat Ki Jagatnata. Dan pada
serangan yang entah ke berapa kalinya, Pendekar Rajawali Sakti itu tidak
menghindar sama sekali. Dia berdiri tegak di atas sebongkah batu besar yang
menjorok keluar dari dinding tebing.
Glaaar...! Ledakan keras kembali
menggelegar begitu bola api menghantam batu yang dipijak Rangga. Asap tebal
mengepul menghalangi pandangan mata. Ki Jagatnata tersenyum menyangka kalau
Pendekar Rajawali Sakti sudah hancur bersama batu yang dipijaknya. Namun
senyumnya langsung lenyap.
"Edan...!" dengus Ki
Jagatnata terkejut.
Dari kepulan asap dan debu,
Rangga meluncur ke luar dari atas sebongkah batu yang dipijaknya tadi. Begitu
cepatnya meluncur, sehingga membuat Ki Jagatnata terperangah sesaat Tapi
buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Secepat
laki-laki tua itu melompat berdiri, secepat itu pula kembali melepaskan bola
apinya.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Rangga melentingkan tubuhnya ke
udara dan berputaran beberapa kali. Terdengar ledakan keras di belakang. Batu
yang dipijaknya hancur berkeping-keping terhantam bola api yang dilepaskan Ki
Jagatnata. Tepat pada saat itu, Rangga sudah mendarat manis di tanah, sekitar
tiga batang tombak jauhnya dari Ki Jagatnata.
"Phuih! Hiyaaat..!"
Bukan main marahnya laki-laki tua berjubah merah itu melihat Rangga berdiri
tegak bertolak pinggang.
"Terimalah aji pamungkas ku,
Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat!"
Rangga masih berdiri tegak tak
bergeming. Segera dirapatkan kedua tangannya di depan dada. Kemudian pelahan
kedua tangannya naik ke atas kepala, lalu pelahan turun hingga sampai ke
pinggang. Tepat pada saat Ki Jagatnata melompat dengan jari-jari terkembang,
Rangga merentangkan tangannya yang sudah terselimut cahaya biru bagai bola.
"Hiyaaa...!" Ki
Jagatnata menghujamkan jari-jari tangannya yang membara bagai terbakar ke dada
Pendekar Rajawali Sakti.
Pada saat yang sama, Rangga
mencengkeram pundak laki-laki tua itu kuat-kuat. Cepat sekali sinar biru
menjalar menyelimuti seluruh tubuh Ki Jagatnata, Pendekar Rajawali Sakti itu
mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma yang semakin disempurnakan tingkatannya.
"Aaakh...!" tiba-tiba
saja Ki Jagatnata berteriak keras.
Tubuh laki-laki tua itu
menggeliat-geliat, berusaha melepaskan diri. Namun semakin kuat tenaga
dikerahkan semakin kuat pula tenaganya tersedot. Darah mulai mengucur dari
hidung dan sudut matanya. Seluruh rongga mulutnya sudah dipenuhi darah yang
menetes keluar. Ki Jagatnata semakin keras menggeliat.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba
saja Rangga berteriak keras. Mendadak dilepaskan cengkeraman tangannya, dan
begitu cepat dikibaskan tangan kanannya menghantam kepala Ki Jagatnata.
Prak! Ki Jagatnata tak bisa lagi
bersuara. Kepalanya hancur berantakan menyemburkan darah segar. Hanya sesaat
laki-laki tua itu mampu berdiri tegak, kemudian langsung roboh dan tewas
seketika. Rangga melompat mundur dua tindak. Dipandanginya tubuh yang terbujur
tak bernyawa lagi. Darah terus mengalir dari kepala yang hancur berantakan.
"Maaf, aku terpaksa
membunuhmu," ucap Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti itu
bergegas melompat ke mulut gua yang menjadi penghubung lembah ini dengan luar.
Cepat sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu, dan terus menembus lorong gua
yang gelap dan tidak begitu panjang. Sebentar saja Rangga sudah sampai di mulut
gua lainnya. Dan betapa terkejut hatinya begitu melihat di depan sana terjadi pertarungan
sengit.
Sepasang bola mata Pendekar
Rajawali Sakti itu semakin terbeliak lebar begitu mengenali siapa yang tengah
bertarung itu. Mereka adalah orang-orang berbaju merah yang akan memberontak
terhadap Kerajaan Karang Setra dengan alasan masing-masing. Dan yang sekarang
mereka hadapi adalah para prajurit Karang Setra. Tampak Danupaksi tengah
bertarung sengit. Dan di dekatnya.... Ini yang membuat Rangga hampir tidak
percaya.
"Pandan Wangi..," desis
Rangga. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung
melompat terjun dalam kancah pertempuran. Munculnya Pendekar Rajawali Sakti
ternyata merupakan api semangat bagi para prajurit Kerajaan Karang Setra yang
langsung dipimpin Pandan Wangi. Tentu saja hal ini membuat lawannya jadi kalang
kabut. Mereka jadi tidak menentu, dan sebagian malah berusaha melarikan diri.
"Berhenti...!" seru
Rangga tiba-tiba dengan suara lantang disertai pengerahan tenaga dalam sangat
tinggi.
Seketika itu juga pertarungan
terhenti. Para prajurit Karang Setra bergegas membentuk lingkaran mengepung
daerah ini. Sedangkan orang-orang berbaju merah yang terperangkap dalam
kepungan, menjadi kehilangan semangat. Danupaksi dan Pandan Wangi bergegas
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Menyerahlah kalian! Tidak
ada lagi pemimpin kalian di sini!" lantang suara Rangga.
Orang-orang berbaju merah itu
saling berpandangan satu sama lain. Sadar kalau tidak ada lagi yang memimpin,
segera dijatuhkan senjata mereka masing-masing. Rangga memberi isyarat pada
para prajurit Karang Setra yang segera bergerak meringkus mereka.
"Hmmm..., di mana Onila dan
Karsini?" tanya Rangga.
"Kak Pandan berhasil
membunuh Karsini, Kakang. Tapi Onila berhasil kabur," jelas Danupaksi
memberitahu.
Rangga tidak bertanya lagi, lalu
memandang berkeliling. Cukup banyak juga mayat yang bergelimpangan. Di antara
mayat-mayat itu terlihat mayat Ki Jawura dan para penabuh nayaga serta beberapa
wanita penari. Mereka semua sebenarnya adalah pengikut Ki Jagatnata yang
menyamar jadi rombongan penari dan menyusup ke Kadipaten Bojong Picung. Rangga
menatap Pandan Wangi yang berdiri di sampingnya.
"Bagaimana kau bisa sampai
ke sini, Pandan?" Tanya Rangga.
"Dewa Bayu yang membawaku ke
sini," sahut Pandan Wangi diiringi senyuman manisnya.
Rangga hanya tersenyum getir. Dia
memang telah meminta Rajawali Putih untuk memanggil Dewa Bayu, tapi sama sekali
tidak teringat kalau Dewa Bayu berada di istal istana. Dan Pandan Wangi yang
sudah mengetahui semua ini tentu tidak mengalami kesulitan lagi. Mudah baginya
mencapai Bukit Cangking ini, karena hanya kurang dari setengah hari bisa
dicapai dari Karang Setra.
"Kau akan mengejar Onila,
Danupaksi?" Tanya Rangga penuh arti.
"Jika Kakang
mengijinkan," sahut Danupaksi.
"Kenapa begitu?"
"Keris Kyai Lumajang sudah
kudapatkan kembali, dan aku tidak peduli dengannya," sahut Danupaksi
seraya menunjukkan Keris Kyai Lumajang yang sudah berada di pinggangnya.
"Aku memberi kebebasan
padamu, Danupaksi."
erima kasih, Kakang. Pengejaran
itu akan kulakukan setelah aku membereskan pemberontak-pemberontak ini,"
jelas Danupaksi.
"Baiklah kalau begitu.
Sebaiknya cepat bawa mereka ke Karang Setra atau ke Kadipaten Bojong Picung.
Uruslah mereka tanpa aku harus turun tangan, Danupaksi. Dan jika hendak
mengejar Onila, lakukanlah atas namamu sendiri," kata Rangga bisa
memaklumi perasaan adik tirinya ini.
Terima kasih, Kakang," ucap
Danupaksi.
Danupaksi bergegas memerintahkan
para prajurit yang dibawa Pandan Wangi untuk menggiring para pemberontak yang
menyerah. Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian menunggang kudanya.
Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi masih berada di tempat itu, di samping kuda
masing-masing. Mereka memandangi Danupaksi yang berkuda memimpin para
prajuritnya menggiring para tawanan yang sudah terbelenggu.
"Apa sebenarnya yang terjadi
di sini, Kakang?" Tanya Pandan Wangi.
"Nanti aku ceritakan.
Yuk...?!"
Pandan Wangi mengangkat pundak,
kemudian naik ke punggung kudanya. Rangga juga melompat naik ke punggung kuda
hitam. Sebentar mereka saling berpandangan, kemudian menjalankan kuda
pelahan-lahan meninggalkan Puncak Bukit Cangking ini. Pandan Wangi menagih
kembali keingintahuannya, tapi Rangga masih belum bersedia bercerita. Dan ini
membuat Pandan Wangi jadi penasaran, tapi tidak mendesak lagi.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
SANG PENAKLUK
Emoticon