PEDANG SAKTI KERIS ULAR EMAS
Karya: Bastian Tito
Episode 12
PUNCAK GUNUNG KELUD.......
Awan berarak tinggi. Sesaat
menyelimuti puncak gunung kemudian bergerak menjauh, ditiup angin ke arah
timur. Di dalam pondok kayu beratap rumbia, letaki tua itu duduk bersila. Kedua
tangan diletakkan diatas paha. Mata kanan terpejam rapat sedang mata kiri yang
hanya merupakan rongga besar nyalang menantang mengerikan. Janggutnya yang
hitam panjang bergoyang-goyang ditiup angin yang masuk dari pintu. Dari batok
kepalanya yang ditutupi rambut kotor awutan-awutan tampak mengepul asap hijau
aneh. Jelas orang tua ini tengah bersemedi sambil mengerahkan tenaga dalam yang
sangat tinggi. Ketika sekelompok awan datang lagi menyelimuti puncak Gunung
Kelud, orang tua bertampang angker ini membuka mata kanannya yang sejak tadi
dipejamkan. Ternyata mata ini berwarna sangat merah, membuat wajahnya tambah
menyeramkan untuk dipandang. Kemudian terdengar suaranya serak besar ketika
mulutnya terbuka.
"Syukur kau sudah kembali
Mahesa. Aku gembira!"
Dan mata kanan yang merah itu
memandang tak berkedip pada sosok tubuh pemuda yang duduk khidmat dihadapannya.
"Muridku, kau berhasil
mendapatkan pedang Samber Nyawa?"
"Berhasil Embah."
"Bagus!"
Mulut orang tua itu
menyunggingkan senyum. Tapi senyum ini malah membuat tampangnya tambah seram.
"Bagus sekali! Lalu apakah
kau juga sudah berhasil menemukan dan membunuh manusia bernama Simo
Gembong?"
Sang murid Mahesa Kelud tidak
menjawab. Diperhatikannya sesaat tanda hitam disiku tangan kanan orang tua itu.
Hatinya berdebar. Tanda itu adalah salah satu dari ciri-ciri manusia yang
namanya barusan disebutkan oleh sang guru!
"Aku bertanya. Apakah kau
sudah berhasil menemukan manusia bernama Simo Gembong dan membunuhnya
....?"
Orang tua itu kembali bertanya.
"Embah Jagatnata,"
sahut Mahesa Kelud menyebut nama gurunya itu.
"Petunjuk-petunjuk yang saya
dapatkan masih kurang jelas. Saya memerlukan tambahan petunjuk dari Embah. Air
muka Embah Jagatnata tampak berubah.
"Kalau begitu, percuma kau
datang kemari! Bukankah dulu sudah kuberi ingat? Kau sekali-kali tidak boleh
kembali kesini sebelum berhasil menemui dan membunuh orang bernama Simo Gembong
itu?! Apa jawabmu Mahesa?!"
"Embah, hasil penyelidikan yang
saya dapat, membuat saya jadi bingung sendiri," jawab Mahesa Kelud. Nama
itu adalah pemberian gurunya. Nama sebenarnya pemuda ini adalah Panji Ireng.
"Bingung?" Kening Embah
Jagatnata tampak berkerenyit.
"Bingung bagaimana?"
"Harap maafkan saya Embah.
Ciri-ciri orang bernama Simo Gembong itu sangat sama dengan ciri-ciri Embah
sendiri.”
"Kalau begitu apakah kau
sudah berpendapat bahwa aku gurumu ini adalah Simo Gembong itu?!"
"Walau kenyataan memberi
petunjuk demikian, tapi saya tidak berani mengatakan begitu Embah. Saya tidak
dapat mempercayainya ..."
"Lalu kau berpegang pada
yang mana. Pada kenyataan atau pada jalan pikiranmu sendiri?!" Tanya sang
guru.
"Pada kedua-duanya Embah"
sahut Mahesa.
"Kalau kau memang berpegang
pada keduanya, lalu mengapa masih belum berhasil menemui dan membunuh manusia
Simo Gembong itu?"
"Justru disitulah saya ingin
petunjuk lebih lanjut dari Embah, agar tidak keliru mengambil keputusan."
Embah Jagatnata memandang pada
Mahesa dengan matanya yang cuma satu. Asap kehijauan masih mengepul keluar dari
ubun-ubun kepalanya.
"Bodoh!" bentak orang
tua itu tiba-tiba.
"Kau sudah lihat kenyataan!
Kau sudah lihat kesamaan ciri-ciri antara aku dan Simo Gembong! Apakah kau
masih belum dapat menarik kesimpulan?!"
Sesaat pemuda itu terkesiap.
Lalu:
"Kalau kesimpulan itu
berbunyi bahwa manusia bernama Simo Gembong adalah Embah sendiri, lantas
mengapa Embah menyuruh saya turun gunung untuk mencarinya dan membunuhnya?"
Pemuda ini benar-benar tidak
mengerti. Embah Jagatnata geleng-gelengkan kepala.
"Akan kuterangkan,
akan kuterangkan," katanya kemudian.
"Selama puluhan tahun hidup,
aku telah melewatinya dengan percuma. Bahkan dengan menanam dosa di sepanjang
hari kehidupanku itu. Aku berilmu tinggi. Tak ada yang menandingi. Dengan
ilmuku itu aku berbuat apa yang aku mau. Membunuh! Merampok! Memeras!
Menculik gadis-gadis, merusak kehormatannya. Melarikan istri orang,
memperkosanya. Bahkan aku juga membunuh anak-anak! Tak ada satu orangpun berani
turun tangan menghukumku! Aku semakin tua dan dosa-dosaku yang selangit tembus
itu semakin karatan! Aku ingin mati! Ingin mampus! Biar Tuhan menghukumku
diliang kubur. Tapi ajal tak kunjung sampai. Malaikat maut masih belum mau
datang! Satu-satunya senjata yang sanggup memisahkan nyawaku dengan jazadku
adalah pedang Samber Nyawa. Aku tak tahu dimana senjata sakti itu berada.
Karena itu kusuruh kau mencarinya. Dan katamu kau telah berhasil mendapatkan
pedang itu. Dimana kau temukan pedang itu Mahesa?"
"Di sebuah lembah bernama
Lembah Maut di Pulau Mayat. Tempat kediaman Dewi Maut......."
"Dewi Maut......Ah, ternyata
dia masih hidup!"
Paras Embah Jagatnata tampak
memutih. Mata kanannya terpejam. Berulang kali dia menarik nafas dalam.
"Aih, ternyata dia masih
hidup. Bagaimanakah keadaannya? Apakah dia masih mendendam diriku? Ingin sekali
aku melihatnya. Sungguh tak disangka kalau dia masih hidup dan masih memiliki
senjata itu...." Kata-kata itu diucapkan Embah Jagatnata dalam hati
sehingga Mahesa Kelud tidak mendengarnya. Keinginan untuk mati kini tiba-tiba
saja memudar dalam diri sanubari si orang tua.
"Embah," kata Mahesa.
"Menurut Dewi Maut, dengan pedang itu dia membabat puntung telinga
kananmu. Apa benar....?"
Embah Jagatnata mengangguk
perlahan. Hatinya terasa perih.
"Aku membuat segudang dosa
besar padanya. Dia ingin membalaskan sakit hati. Kami berkelahi. Saat itu,
puluhan tahun silam tingkat kepandaian kami masih sama. Namun dia memiliki
pedang Samber Nyawa. Aku tak sanggup menghadapinya dan melarikan diri setelah
dia menabas buntung telinga kananku. Kau bertemu muka dengan Dewi Maut.
Bagaimana keadaannya....
Atau kau sudah membunuhnya?"
Hati orang tua ini mendadak berdebar.
"Tidak, saya tidak
membunuhnya.Keadaannya.....
Dia hidup di alam aneh..."
"Aneh bagaimana
maksudmu?"
"Embah tahu perempuan itu
seusia Embah. Tapi wajahnya dan tubuhnya tetap muda....."
"Aku tahu! Aku tahu! Pasti
dia mendapat mantera awet muda itu dari gurunya si Dewi Cabut Nyawa..."
"Memang begitu
menurut pengakuannya."
Embah Jagatnata geleng-gelengkan
kepala. Hasrat ingin bertemu dengan perempuan itu semakin menyentak. Tapi
keinginan untuk mati yang sudah dipanteknya dihadapan muridnya apakah harus
dibatalkan begitu saja? Dia tak bakal punya muka terhadap Mahesa!
Setelah menghela nafas dalam,
orang tua ini berkata.
"Di hari-hari tuaku ini,
dimasa hampir masuk ke liang kubur terbit rasa penyesalan dalam hatiku.
Menyesal atas segala kejahatan dan dosa tak berampun yang telah kuperbuat. Aku
ingin cepat-cepat mempertanggungjawabkan semua itu dihadapan llahi. Tapi ajal
tak kunjung datang. Hidup dan batinku tersiksa. Kau tahu Mahesa. Kau adalah
seorang anak manusia yang menjadi korban kebejatanku!"
"Saya tidak mengerti
Embah….." kata Mahesa ketika sang guru menghentikan penuturannya sejenak.
"Tentu kau tak mengerti
muridku. Tabahkan hatimu," jawab Embah Jagatnata.
"Ketahuilah, ibumu seorang
perempuan cantik dan hidup bahagia bersama ayahmu. Ketika dia baru saja
melahirkan kau yang waktu itu berusia dua bulan, ibumu kularikan. Ayahmu
kubunuh. Juga paman serta kakekmu. Juga mertuamu. Ibumu kubawa kesebuah pondok
di rimba belantara. Disitu kugauli, kurusak kehormatannya selama
berminggu-minggu. Kemudian kubunuh! Bejat! Aku terlalu bejat. Dosa semacam itu
merupakan dosa tak berampun. Dan yang seperti itu bukan hanya sekali kulakukan,
tapi puluhan kali. Puluhan gadis, anak istri orang jadi korbanku!"
Mahesa Kelud merasakan sekujur
tubuhnya bergetar. Darahnya memanas dan kuduknya mendadak menjadi dingin. Saat
itu terdengar kembali suara gurunya.
"Penyesalan selalu datang
terlambat. Ketika aku tahu bahwa kau adalah anak perempuan yang dulu aku bunuh
maka aku berniat agar kelak kaulah yang dapat membunuhku sebagai pembalasan
atas dosa-dosaku. Waktu itu kau sudah menjadi seorang pemuda dan di ambil jadi
anak angkat oleh satu keluarga miskin di kampung Sariwangi. Kau diberi nama
Panji Ireng oleh mereka. Suatu malam sehabis kau menonton wayang golek, di
bawah hujan lebat kau kuhadang di Kali Brantas. Arus sungai melemparkan kau ke
dalam air. Dalam keadaan pingsan kau kubawa kemari, kuambil jadi murid, kudidik
dan kuajari berbagai ilmu silat serta kesaktian. Semua itu agar kau punya bekal
untuk mencari pedang Samber Nyawa. Hanya senjata itulah satu-satunya yang bisa
membunuhku, Senjata lain bisa melukaiku tapi tak sanggup mematikan!"
Embah Jagatnata diam sejenak,
baru meneruskan.
"Kau pergi dan sekarang
kembali membawa pedang sakti itu. Hari ini adalah hari kematianku Sampai disitu
kembali orang tua itu terdiam sesaat. Di pelupuk matanya yang hanya satu
kembali terbayang wajah Dewi Maut dan di lubuk hatinya dia bertanya benarkah
dia menginginkan kematiannya hari itu?
"Hari ini adalah hari
kematianku," mengulang Embah Jagatnata yang kenyataannya adalah Simo
Gembong adanya.
"Hari ini hari pembalasan.
Aku tahu kematianku ditanganmu belum tentu dapat menebus semua dosa-dosaku.
Mahesa! Keluarkan pedang Samber Nyawa, tetakkan ke batok kepalaku. Cincang
tubuhku sampai lumat. Biar terbalas sakit hati kematian kedua orang tuamu.
Kematian semua orang yang telah kubunuh dan kurusak kehidupannya! Lakukan
Mahesa! Sekarang!"
Meskipun hatinya menggeram dan
darahnya seperti terbakar mendengar penuturan Embah Jagatnata namun sampai saat
itu Mahesa Kelud tetap duduk tak bergerak.
"Kau tunggu apa lagi
Mahesa?!"
"Tak mungkin Embah, tak
mungkin saya memenuhi permintaan Embah," akhirnya terdengar jawaban si
pemuda.
"Tapi aku telah membunuh
ayahmu, ibumu. Kau tak akan berdosa jika kau membunuhku karena aku yang
tanggung semua dosa!" ujar sang guru.
"Mohon dimaafkan Embah jika
saya berpendapat bodoh. Tak ada manusia yang bisa menanggung dosa manusia
lainnya dihadapan Tuhan. Apapun yang telah terjadi tak mungkin saya harus
membunuh guru . . .."
Antara guru dan murid itu terjadi
perdebatan panjang yang mungkin tak akan ada habisnya. Jagatnata alias Simo
Gembong kehabisan kesabarannya. Dicabutnya sebatang tongkat kecil dari
pinggangnya lalu berdiri seraya berkata:
"Mari kita keluar Aku tahu
hatimu. Kau memang kesatria murni. Keluarkan pedang Samber Nyawa. Mari kita
bertempur sampai kau berkesempatan membunuhku secara kesatria!"
Orang tua itu mendahului
melangkah ke luar pondok. Setelah lama menunggu baru Mahesa Kelud menyusul.
"Cabut pedang Samber Nyawa
itu!" teriak Simo Gembong.
Mahesa menggerakkan tangannya.
Tapi yang dicabutnya bukan pedang Samber Nyawa melainkan sebilah pedang merah.
Pedang Dewa. Melihat sosok senjata mustika itu Simo Gembong menyeringai.
"Pedang Dewa," katanya
mengenali.
"Pedang bagus. Merupakan
satu dari beberapa senjata langka dunia persilatan. Tentu kau telah berguru
pada Suara Tanpa Rupa. Nasibmu baik Mahesa. Tapi ketahuilah senjata itu hanya
bisa melukaiku. Tak dapat membunuhku. Sekalipun kau melakukan seribu tusukkan
ke sekujur tubuhku!"
Sesaat sang murid berdiri
bimbang.
"Kalau kau tak percaya mari
kita buktikan!" kata Embah Jagatnata. Tubuhnya berkelebat ke depan.
Tongkat di tangan kanan dipukulkan. Meski benda ini kecil saja tapi derunya
laksana badai, menyambar ke arah leher Mahesa. Pemuda ini cepat berkelit namun
tak mau membalas. Tongkat membalik, menggempur ke arah dada, letak peredaran
darah besar. Ketika pemuda ini mengelak lagi tahu-tahu terdengar suara
berdentrang. Pedang Dewa terpukul lepas oleh tongkat sang guru! Sebelum senjata
ini jatuh ketanah Mahesa cepat-cepat menangkap hulunya lalu pemuda ini tegak
termangu.
"Kau lihat sendiri muridku
betapa tidak bergunanya pedang sakti itu. Keluarkan pedang Samber
Nyawa…..!"
Mahesa masukkan kembali Pedang
Dewa ke dalam sarung dibalik punggung. Di tangan kanannya kemudian terlihat
sinar kuning terang. Ternyata pemuda ini telah keluarkan Keris Ular Emas yang
didapatnya dari Dewi Ular.
"Aih, kau benar-benar
bernasib baik muridku. Tidak gampang mendapatkan Keris Ular Emas itu! Senjata
sakti yang sanggup mematikan segala macam racun. Namun untukku tetap tak ada
manfaatnya. Lihat…..!"
Tubuh Simo Gembong seperti seekor
burung elang. Melayang ke udara. Kakinya menggempur lebih dulu. Mahesa meskipun
pegang keris sakti di tangan namun tak berani memapaki serangan, mengambil sikap
mengelak. Tongkat kecil di tangan sang guru menusuk ke kepala itu sebenarnya
adalah bayangan saja dari tongkat yang asli. Sementara badan tongkat yang asli
meluncur deras ke bawah dan plak!
Keris Ular Emas terlepas mental.
Sebelum jatuh kembali Mahesa cepat menyambuti dan menyimpannya. Pemuda ini
berpikir-pikir, apakah benar Pedang Dewa dan Keris Ular Emas itu tidak sanggup
menandingi sang guru. Apakah bukan karena dia mengambil sikap bertahan dan
mengelak, sama sekali tidak mau balas menyerang?
"Masih juga kau belum mau
keluarkan pedang Samber Nyawa itu Mahesa?!"
Perlahan-lahan Mahesa gerakkan
tangannya ke pinggang kiri. Sebuah benda hitam tergulung seperti ikat pinggang
kini berada di tangan kanannya. Begitu gulungan dibuka maka benda itu berubah
menjadi sebilah pedang yang memancarkan sinar hitam legam!
Mata kanan Simo Gembong yang
merah membuka lebar, memandang tak berkedip pada senjata di tangan Mahesa,
kemudian sinar matanya yang galak buas meredup dan akhirnya terpejam.
"Senjata itu....." desisnya
dalam hati. "Pedang itu…..Palsu! Ternyata palsu, bukan yang asli. Bentuk,
sinarnya memang hampir sama.....Tapi palsu. Muridku telah tertipu. Hari
kematianku tak akan sampai.....!" Dan dilubuk hati Simo Gembong kembali
menyusup perasaan yang ingin menolak kematian. Dipelupuk matanya kembali
terbayang wajah Dewi Maut.
"Bagaimana ini bisa terjadi?
Bagaimana Mahesa hanya dapatkan pedang yang palsu! Dan pemuda itu agaknya tidak
mengetahui hal ini. Kasihan muridku...Tapi aku tak ingin mengecewakannya. Aku
tak ingin membuat dia merasa sia-sia ....!"
Perlahan-lahan mata kanan itu
membuka kembali. Simo Gembong angsurkan kepalanya ke arah Mahesa.
"Ayo Mahesa! Tebas leherku!
Bacok kepalaku! Cepat!" Mahesa tak bergerak.
"Mahesa! Kau dengar
perintahku?!" Suara Simo Gembong menggeledek. Puncak Gunung Kelud laksana bergetar.
"Tidak guru! Saya tidak bisa
melakukannya!? Kata Mahesa kemudian. Ketika pemuda itu masih tak mau bergerak
maka menyeranglah Simo Gembong. Tongkat di tangan sang guru berubah laksana
puluhan banyaknya dan menyerang ke berbagai bagian tubuh si pemuda hingga mau
tak mau Mahesa harus bertindak cepat selamatkan diri. Sekali-sekali dia
terpaksa pergunakan pedang hitam untuk membentengi diri. Kesempatan ini sengaja
dipergunakan Simo Gembong untuk mengangsurkan tongkatnya dalam gerakan lebih
perlahan hingga tongkat itu terbabat putus oleh pedang hitam.
"Ayo Mahesa. Bacokkan
pedangmu! Tusukkan senjata itu!"
Tetap saja Mahesa mengambil sikap
mengelak dan mempertahankan diri. Setelah bertempur puluhan jurus
terdengar Simo Gembong menggembor.
Bagaimanapun memaksa muridnya itu tak akan mau membunuhnya. Tahu betul akan hal
ini si orang tua buang tongkatnya yang buntung. Matanya tampak berapi-api,
rahangnya menggembung. Tiba-tiba dia melompat ke muka, menerkam seperti seekor
harimau lapar. Kedua tangannya cepat sekali mencekal lengan kanan Mahesa Kelud.
Sebelum pemuda ini tahu apa yang hendak dilakukan gurunya, dengan kekuatan luar
biasa Simo Gembong tarik tangan muridnya yang memegang pedang kemuka, ke arah
dadanya dan keras! Ujung pedang Samber Nyawa terhunjam di dadanya!
"Mahesa...Selamat tinggal
muridku!"
Mahesa tersentak kaget. Dia
lepaskan pegangan pada hulu pedang dan cepat merangkul tubuh gurunya sebelum
jatuh terbanting ke tanah.
"Guru .... Embah ....
Mengapa kau senekad itu...." ujar Mahesa terbata-bata. Sosok tubuh yang
tak bergerak dan bermandikan darah itu dibopongnya ke dalam pondok
dibaringkannya diatas balai-balai kayu. Dipandanginya jenazah sang guru dengan
mata berkaca-kaca.
"Guru, Tuhan sendiri belum
mau menjatuhkan hukuman padamu. Mengapa kau mengambil keputusan sendiri . . .
.? Aku memaafkan apapun yang telah kau lakukan terhadap kedua orang tuaku.
Semoga semua orang mengambil sikap begitu...."
Kata-kata itu meluncur
tersendat-sendat dari mulut Mahesa. Perlahan-lahan dia membalikkan tubuh,
melangkah keluar pondok. Udara tampak mendung. Dalam beberapa waktu lagi hujan
akan turun. Sebelum hujan turun sebaiknya dia menyempurnakan jenazah gurunya. Sang
guru yang telah membunuh ayah dan ibunya, yang telah membantai kakek serta
mertuanya. Guru yang telah memusnahkan kehidupan keluarganya, tapi kepada siapa
dia tidak menaruh dendam kesumat barang secuilpun.
Mahesa mulai menggali tanah di
depan pondok. Menyiapkan kubur untuk Embah Jagatnata alias Simo Gembong.
Setelah lubang yang digali dirasakan cukup dalam maka diapun masuk ke dalam
pondok untuk menjemput jenazah gurunya. Tapi baru sampai diambang pintu, kedua
kakinya laksana dipantek. Kedua matanya membeliak besar. Jenazah sang guru yang
tadi dibaringkan diatas balai-balai kayu, yang masih ditancapi pedang Samber
Nyawa lenyap!
"Embah!" seru Mahesa
Pemuda itu memeriksa seluruh pondok kecil itu. Membalikkan balai-balai kayu.
Tapi jenazah sang guru bersama pedang hitam tetap tidak ditemuinya.
"Apa yang terjadi?!"
pikir Mahesa sambil tegak tersandar ke dinding pondok. "Seseorang mencuri
mayat dan pedang itu... ?"
Mahesa lari keluar pondok.
Menyelidik. Sama sekali tak ada tanda-tanda kemunculan seseorang dipuncak
gunung itu. Menurutnya tak mungkin ada seseorang sanggup mencuri mayat dan
pedang itu tanpa diketahuinya. Setan sekalipun tak bakal sanggup melakukannya!
Tapi itulah kenyataan yang terjadi. Pemuda itu duduk terperangah ditepi lobang
yang baru digalinya.
***
Apakah sebenarnya yang terjadi?
Sesaat sesudah tubuhnya dibaringkan diatas balai-balai dan ditinggal keluar
pondok oleh Mahesa, mata kanan Simo Gembong membuka. Kedua tangannya bergerak
mencabut pedang yang menancap di dadanya. Darah masih mengucur deras namun
dengan melakukan beberapa kali totokan darah itu serta merta berhenti mengalir.
Seperti orang baru bangun tidur saja, manusia sakti ini sambil memegang
gulungan pedang di tangan kanan melangkah ke pintu, keluar dari pondok tanpa
suara, tanpa diketahui oleh Mahesa yang sibuk menggali lubang. Seperti
dikatakan sendiri oleh Embah Jagatnata alias Simo Gembong, berbagai senjata
hanya bisa melukainya Tapi tak bisa membunuhnya. Satu-satunya yang sanggup
mematikannya ialah pedang Samber Nyawa. Samber Nyawa yang asli. Bukan yang
palsu yang didapat Mahesa dan yang tadi menusuk dadanya!
Mahesa Kelud duduk termenung
ditikungan Kali Brantas, dibawah pohon-pohon bambu. Berbagai pikiran menyamak
hati dan kepalanya. Sampai saat itu masih belum tersingkap apa sebenarnya yang
terjadi dengan jenazah gurunya Embah Jagatnata alias Simo Gembong. Dalam pada
itu dia teringat pula pada Wulansari, istri yang ditinggalkannya di puncak
Gunung Muria. Sangat rindu dia pada sang istri dan ingin sekali cepat-cepat
kembali kepuncak Muria. Namun sebelum kabut lenyapnya jenazah Embah Jagatnata
dapat disingkapkan, tak mungkin baginya menemui Wulansari. Disamping itu
urusannya dengan Kemaladewi belum pula selesai. Benarkah bayi yang ditemuinya
di Ujung Kulon itu anak hasil hubungannya dengan gadis itu? Hubungan akibat
terjebak oleh manusia jahat Iblis Buntung alias Sitaraga? Dan terngiang ucapan
Kemaladewi ditelinga Mahesa sebelum gadis itu lari bersama Raja Lutung dan
bayinya.
"Dengar baik-baik, kelak
bayi itu, anakmu sendiri nanti di satu hari akan membunuhmu Ingat itu! Anak
sendiri yang akan membunuh ayahnya!"
Mahesa Kelud usap wajahnya
beberapa kali. Kenapa jalan hidupnya penuh liku seperti ini? Kenapa dia tidak
mati tenggelam saja di Kali Brantas tempo hari?! Pemuda itu seperti menyesali
nasib sendiri. Menyesali kenapa dia harus lahir kedunia kalau hanya akan
menghadapi persoalan hidup yang begini rumit.
"Orang muda, kesusahan
apakah yang membuat kau duduk termenung di tepi Kali Brantas
ini....?"Tiba-tiba satu suara datang menegur.
Astaga! Mahesa Kelud terkejut.
Saking begitu dalamnya dia tenggelam dalam persoalan yang dihadapi sampai tidak
mendengar kedatangan orang. Berpaling ke kiri Mahesa melihat seorang lelaki
berpakaian biru tegak memandang padanya sambil tersenyum. Orang itu memakai
caping bambu yang lebar hingga sebagian mukanya tertutup.
"Siapa kau, saudara?"
tanya Mahesa. Kembali orang itu tersenyum.
"Seperti kau, akupun
kebetulan lewat disini dan melihatmu duduk termenung. Banyak persoalan
rupanya?"
"Itu bukan urusanmu
...."
"Ah . . ah . . .! Tentu saja
bukan urusanku. Tapi ketahuilah. Aku seorang juru ramal. Meski miskin tapi
pandai meramal. Mahesa diam saja seperti tak perduli.
"Apakah kau tak mau
diramal?"
Mahesa tetap diam. Malah
sebenarnya hendak berdiri dan melanjutkan perjalanan tinggalkan orang itu.
"Apakah kau tidak ingin
mengetahui gambaran kehidupanmu dimasa datang? Langkah, rezeki, jodoh dan
maut.. ..?" tanya orang yang mengaku peramal tadi.
"Empat hal itu hanya Tuhan
yang tahu!" kata Mahesa akhirnya. Sang peramal tertawa.
"Pengetahuan Tuhan memang
sejagat luasnya. Pengetahuan manusia tidak ada sepersejutanya! Tapi apakah itu
berarti Tuhan menginginkan kita ummat manusia menjadi orang bodoh dan hidup
tanpa usaha? Dengan belajar kita bisa menemukan berbagai rahasia dalam
kehidupan ini. Termasuk pengetahuan tentang masa depan kita. Apalagi kulihat
dirimu seperti diselimuti banyak kesulitan. Jika kau tahu langkah masa depanmu
bukankah berarti kau bisa melakukan sesuatu. Mencegah hal-hal yang tak
diingini....?"
Mahesa terdiam. Dalam hati dia
membenarkan juga ucapan juru ramal itu.
"Nah, kau tentu mau kuramal.
Ulurkan tangan kirimu. Kembangkan telapak tanganmu ...."
Perlahan-lahan Mahesa ulurkan
tangan kirinya dengan telapak dibuka lebar-lebar. Si juru ramal pegang tangan
kiri Mahesa dan mendekatkan matanya seperti meneliti guratan-guratan yang ada
di telapak tangan itu. Tiba-tiba cepat sekali sang juru ramal tekan urat besar
di pergelangan kiri Mahesa hingga pemuda ini merasakan sekujur tubuhnya seperti
ditusuk jarum. Dan belum sempat dia berbuat sesuatu, tangan kanan orang
didepannya menyelinap menusuk ke dada kiri. Detik itu juga tubuh pemuda ini
kaku tegang tak bisa bergerak tak dapat lagi bersuara! Mahesa hanya bisa
merutuk kebodohannya sendiri. Sebetulnya sejak semula dia sudah curiga terhadap
orang tak dikenal yang muncul secara tiba-tiba itu. Namun kini semua terlambat
sudah.
"Siapa sebenarnya setan alas
pembongkong ini?!" tanya Mahesa dalam hati. Kelak pertanyaannya itu cukup
lama baru bisa terjawab. Si juru ramal bertepuk tiga kali. Dari balik tikungan
sungai muncul sebuah gerobak ditarik seekor kuda coklat.
"Garda! Tolong aku
menggotong orang ini ke atas gerobak!" kata juru ramal pada kusir kereta.
Keduanya kemudian menggotong tubuh Mahesa, dinaikkan ke atas gerobak. Bagian
atas gerobak itu kemudian ditutup dengan kain lebar tebal hingga ketika gerobak
mulai bergerak Mahesa tidak tahu kejurusan mana dia dibawa. Saking jauhnya
perjalanan pemuda ini sempat tertidur diatas gerobak yang dipacu kencang itu.
Selama perjalanan hanya dua kali kendaraan itu berhenti. Dan selama itu dia
sama sekali tidak diberi minum maupun makan!
Ketika akhirnya gerobak itu
berhenti dan kain penutup dibuka, Mahesa melihat langit gelap diatasnya tanda
saat itu malam hari. Kusir gerobak menggotong tubuhnya bersama lelaki juru
ramal lalu membawanya masuk ke dalam sebuah gedung. Mahesa terkejut ketika dia
kemudian mengenali gedung itu adalah tempat kediaman bekas Adipati Suto Nyamat
yang tewas di tangan Wulandari. Berarti dia berada di Madiun!
Mahesa dimasukkan ke dalam sebuah
kamar. Tak lama kemudian lelaki juru ramal itu muncul kembali. Dia tegak bertolak
pinggang. Sesaat kemudian dia membungkuk menggeledah tubuh Mahesa hingga
akhirnya menemukan Pedang Dewa dan Keris Ular Emas.
"Senjata-senjata
mustika....." katanya tersenyum puas. Kedua senjata itu kemudian
dimasukkannya kedalam sebuah lemari, ditutup dengan tumpukan pakaian. Lalu si
juru ramal kembali mendekati Mahesa dan kali ini dia bergerak melepaskan
totokan jalan suara pemuda itu. Begitu jalan suaranya pulih Mahesa segera
membuka mulut.
"Bagus! Jadi kau ternyata
juru ramal palsu. Dengar, jika kau berani mengambil pedang dan keris itu,
nyawamu tak akan kuampuni!"
Sang juru ramal tertawa. Aneh!
Suara tawanya bukan lagi suara tawa lelaki. Tapi suara tawa perempuan. Merdu
nyaring!
"Kau sendiri akan segera
mampus! Bagaimana bisa mengampuni nyawaku?!"
"Keparat! Siapa kau
sebenarnya?!" bentak Mahesa.
"Siapa aku? Sebentar lagi
kau akan lihat!"
Sang juru ramal palsu buka topi
capingnya dan lemparkan ke sudut kamar. Rambutnya yang putih dijambaknya. Kini
kelihatan rambut lain dibawah rambut itu dan berwarna hitam berkilat. Lalu dia
tarik lepas selembar kulit tipis dari wajahnya. Ternyata wajah dibalik kulit
itu adalah wajah seorang gadis cantik jelita.
"Kau!" seru Mahesa
kaget. Si gadis tersenyum.
"Sekarang kau tahu siapa
aku!"
"Kau ... kau Retno! Puteri
tunggal Suto Nyamat!"
"Tepat sekali!" kata
sang dara.
"Kenapa kau lakukan ini? Aku
tidak ada permusuhan denganmu!"
Sang dara tertawa panjang.
Tiba-tiba wajahnya yang cantik tampak berubah buas.
"Tidak ada permusuhan
katamu? Ngacok! Dusta besar! Kau punya andil segudang atas kematian
ayahku!"
"Dia memang pantas mati
sesuai dengan dosanya yang setumpuk langit! Lagi pula sahabatku yang
membunuhnya!"
"Tidak sangka kau terlalu
pengecut mengakui keterlibatanmu! Apapun dalihmu kematian ayahku menjadi
tanggungjawabmu! Sayang kawanmu yang perempuan itu ... siapa namanya?
Wulansari? Sayang dia tak ada bersamamu. Tapi tak mengapa.
Lain waktu aku pasti berhasil
menangkapnya!"
"Apa yang hendak kau lakukan
terhadapku?"" tanya Mahesa.
"Coba kau terka. Atau kau
ada usul ingin mampus cara bagaimana?"
Mahesa merasakan tengkuknya
dingin. Dalam keadaan tertotok tak berdaya seperti itu mudah sekali bagi Retno
untuk membunuhnya. Dan kalau memang nasibnya harus mati di tangan gadis itu,
diapun tidak takut.
"Kalau kau memang ingin
membunuhku, lakukan dengan cepat!" kata Mahesa.
"Sebetulnya memang itu
niatku sejak kau dan kawanmu membunuh ayah. Tapi kalau aku bisa mendapatkan
keuntungan dari kematianmu mengapa tidak kulakukan...?"
"Apa maksudmu?!" Tanya
Mahesa penasaran.
"Aku akan menjual nyawamu
pada hartawan Prajadika!" sahut puteri Suto Nyamat.
Hartawan Prajadika. Siapa manusia
ini. Mahesa coba mengingat-ingat. Dan dia ingat. Hartawan itu seorang terkemuka
di Kotaraja yang dekat dengan kalangan istana. Putera hartawan tersebut, yang
bernama Prajakuncara adalah murid Niliman Toteng, seorang tokoh silat sesat
berkepandaian tinggi bergelar Iblis Jangkung. Prajakuncara mati di tangan
Mahesa, dalam kamarnya ketika hendak memperkosa Wulansari. Kalau begitu sang
hartawan mendendam setengah mati terhadapnya dan inginkan jiwanya sebagai
pengganti kematian puteranya. Kini Mahesa mengetahui apa yang ada dalam benak
Retno dan menjadi latar belakang perbuatannya saat itu. Di pintu terdengar
ketukan.
"Masuk!" kata Retno
tanpa berpaling dari Mahesa yang terus diawasinya. Pintu terbuka lalu tertutup
kembali. Dua orang berpakaian serba biru berbadan tinggi kekar masuk. Mereka
adalah hulubalang istana kelas tiga yang saat itu mengenakan pakaian preman dan
menjalankan perintah seorang pejabat tinggi istana untuk kepentingan hartawan
Prajadika.
"Kalian boleh membawa orang
ini. Tapi sesuai perjanjian serahkan dulu uang imbalan!" berkata puteri
Suto Nyamat.
"Jangan kawatir den ayu Retno.
Uang sudah kami siapkan!" Lalu salah seorang dari dua hulubalang itu
mengeluarkan sebuah kantong kain dari balik pakaian birunya. Terdengar suara bergemerincing. Retno
menerima dan memeriksa isi kantong itu. Dia tersenyum puas dan melemparkan
kantong itu ke dalam lemari.
"Perjanjian dipenuhi.
Silahkan bawa orang itu."
"Den ayu Retno. Ada satu hal
yang ingin kami tanyakan….." berkata hulubalang disebelah kanan.
"Tanyakan cepat!"
"Ketika kau pertama kali
menangkap pemuda ini, apakah kau juga menemui sesuatu di tubuhnya? Menurut
pengetahuan kami dia memiliki lebih dari satu senjata mustika ...."
"Soal senjata tidak termasuk
dalam perjanjian. Raden Mas Prajadika hanya menginginkan nyawanya. Bukan yang
lain-lain. Lagi pula ketika kuperiksa, aku tidak menemukan apa-apa
padanya," menjelaskan Retno.
"Kalau memang begitu
baiklah. Kami akan membawanya dan minta diri...."
Lalu tubuh Mahesa digotong dan
dinaikkan ke atas sebuah kereta. Malam itu juga dia dibawa ke gedung kediaman
Prajadika di Kotaraja. Mahesa tidak takut apapun yang bakal terjadi atas
dirinya. Yang dicemaskannya adalah Pedang Dewa dan Keris Ular Emas yang telah
dirampas oleh puteri Suto Nyamat. Kalau senjata itu sampai jatuh ketangan
manusia-manusia jahat tak bertanggung jawab atau tokoh silat sesat lainnya,
maka akan celakalah dunia persilatan!
Disamping itu pemuda ini juga
merasa heran, dari mana Retno mendapat kepandaian menyamar dan menotok.
Setahunya gadis itu bukanlah seorang yang pernah mendapat pengajaran ilmu
silat.
***
Kita tinggalkan dulu Mahesa Kelud
yang mengalami nasib sial. Kita ikuti apa yang kemudian dilakukan Simo Gembong
alias Embah Jagatnata begitu dia berhasil menyelinap keluar dari pondok di
puncak Gunung Kelud. Orang tua berwajah angker ini lari secepat angin menuruni
gunung ke arah timur. Dia sama sekali tidak merasakan perihnya luka bekas
tusukan pedang Samber Nyawa palsu di dadanya. Sepanjang berlari senantiasa
terbayang olehnya wajah Dewi Maut, apapun yang terjadi dia harus menemui
perempuan itu. Ada dua maksud terkandung dalam hati orang tua ini. Pertama
untuk menjajagi kemungkinan hidup bersama. Selama hidupnya manusia ini telah
puluhan kali menculik anak gadis dan istri orang. Namun harus diakuinya Dewi
Maut adalah perempuan paling cantik yang pernah ditemui dan kepada siapa
sebenarnya hatinya terpikat. Siapa tahu kini perempuan itu yang kabarnya awet
muda dapat dibujuk melupakan kejadian masa lalu dan hidup bersama. Kawin jadi,
tanpa nikahpun tak jadi apa!
Tujuan kedua ialah jika dia tidak
berhasil membujuk Dewi Maut maka dia akan minta agar perempuan itu membunuhnya
dengan pedang Samber Nyawa. Karena jika dia memberikan pedang yang palsu pada
Mahesa berarti dia memiliki pedang yang asli. Namun setelah sekian tahun
mengucilkan diri di puncak Gunung Kelud, tidak lagi mencampuri segala macam
urusan duniawi, kini setelah turun dari puncak gunung itu memasuki kehidupan
dunia nyata apakah dia tidak akan terpikat lagi untuk melakukan kejahatan dan kebejatan
seperti dimasa mudanya?
Disamping itu sekali dia
diketahui muncul kembali dalam dunia persilatan, apakah sekian banyak manusia
yang pernah disakitinya dan mendendam sampai mati akan berdiam diri saja? Hal
ini tidak pernah terfikirkan oleh Simo Gembong. Dia lari terus menuju ke timur.
Tujuannya adalah Pulau Mayat.
Siang itu, setelah dua hari dia
meninggalkan Gunung Kelud, Simo Gembong sampai di Gucialit, sebuah desa subur
dikaki tenggara pegunungan Tengger. Dimulut jalan yang menuju ke desa
perhatiannya terbagi pada serombongan orang yang berpakaian serba bagus. Disebelah
depan terdapat lima orang membawa bendera-bendera besar. Ke lima orang ini
diikuti oleh serombongan penabuh rebana dan alat-alat bebunyian lainnya
termasuk sebuah gong besar. Disebelah belakang enam orang lelaki bertubuh tegap
memanggul sebuah tandu yang dihias aneka warna gaba-gaba. Dikiri kanan tandu
dan dibagian belakangnya bersenjata melangkah selusin lelaki golok terhunus.
Rupanya mereka bertindak sebagai pengawal tandu. Lalu menyusul beberapa orang
lelaki dan perempuan. Yang lelaki berpakaian bagus rapi dan gagah, menyisipkan
keris di pinggang sedang para perempuan berdandan cantik lengkap dengan
perhiasan. Perhatian Simo Gembong tidak tertuju pada perempuan-perempuan cantik
yang melangkah dibarisan belakang itu. Matanya yang hanya satu itu senantiasa
mengarah pada tandu. Di atas tandu yang ditutup dengan kain merah muda tipis
itu duduk seorang gadis dalam pakaian pengantin yang gemerlapan. Wajahnya
berseri-seri. Sebentar lagi dia akan sampai di rumah pengantin pria, duduk
disandingkan dengan pemuda yang hari itu bakal menjadi suaminya. Simo Gembong
beberapa kali mengusap mukanya. Setan mulai merasuk hatinya. Dicobanya
menghindar bujukan iblis dengan membayangkan Dewi Maut kekasihnya dimasa muda.
Namun yang lebih nyata dihadapannya jauh lebih menawan. Tak dapat lagi menahan
goncangan jiwanya yang selama ini tidak pernah menyentuh kehidupan duniawi maka
orang tua inipun memapasi rombongan tersebut di sebelah tengah, langsung
melompat ke atas tandu. Enam orang pemandu tandu tersentak kaget ketika melihat
satu bayangan cepat sekali menyambar tubuh pengantin. Tandu terjungkir balik.
Sang pengantin terdengar memekik. Dua belas pengawal bertindak cepat.
Pemimpinnya membentak garang.
"Penculik keparat! Lepaskan
pengantin!"
Simo Gembong menyeringai. Mulutnya
komat kamit. Tanpa berkata apa-apa dia berkelebat cepat tinggalkan tempat itu
yang serta merta menjadi gaduh. Tiga pengawal di tambah pemimpinnya tadi
berusaha mencegah sambil membabatkan golok masing-masing ke bagian bawah tubuh
Simo Gembong. Mereka tak berani menghantam sebelah atas karena takut akan
mencelakai pengantin perempuan. Empat serangan itu dielakkan Simo Gembong
dengan sangat mudah. Sebelum lenyap dia masih sempat menghadiahkan tumitnya ke
dada pemimpin pengawal hingga orang ini terhempas roboh muntah darah!
Sejak peristiwa penculikan
pengantin di Gucialit itu mata dan telinga rimba persilatan tiba-tiba saja
menjadi terbuka. Ciri-ciri si penculik yang disebar dan dituturkan dari mulut
kemulut jelas seperti ciri-ciri Simo Gembong. Benarkah manusia ini muncul
kembali setelah sekian lama tak pernah terdengar lagi kabar beritanya? Diduga
sudah mati benarkah dia masih hidup? Dan kini muncul dengan membawa kejahatan
bejad masa lalunya? Mulai lagi menebar angkara murka, menculik dan membunuh?!
Tampaknya bencana itulah yang bakal melanda dunia persilatan kembali. Buktinya
korban pertama telah jatuh!
***
Hujan lebat baru saja berhenti.
Di dalam sebuah rumah kayu bertingkat yang terletak di lereng sebuah bukit,
ditingkat atas duduk tiga orang tua mengelilingi sebuah meja. Di atas meja ada
lampu minyak yang berkelap kelip setiap kali angin datang meniupnya. Lelaki
yang duduk di ujung meja sebelah kanan mengenakan pakaian serba putih dan
memakai sorban. Namanya Ki Ampel Sampang. Dia adalah seorang pengurus Pesantren
Megasuryo yang terletak di Sampang, Madura. Di sebelah kirinya duduk kakek tua
berbadan kurus, mengenakan baju hitam lengan panjang dan celana hitam sebatas
betis juga berwarna hitam. Dia memakai destar hitam di kepalanya. Sepuluh jari
tangannya berkuku panjang dan berwarna hitam legam. Orang tua ini dikenal
dengan julukan Kelabang Hitam. Lelaki ketiga yang duduk di hadapan Kelabang
Hitam memiliki wajah aneh menyeramkan. Kepalanya seperti tidak berdaging lagi
dan tanpa rambut sama sekali. Wajahnya hampir tidak ada beda dengan sebuah
tengkorak. Sepasang matanya cekung. Dia mengenakan jubah biru gelap. Di
pinggangnya melilit sebuah ikat pinggang besar terbuat dari bangkai ular Sanca.
Saat itu dialah yang menjadi pimpinan dalam pembicaraan karena diantara mereka
bertiga memang dialah yang diketahui paling tinggi ilmu kepandaiannya. Namanya
tak ada yang tahu tapi julukannya menggetarkan rimba persilatan yakni Datuk
Ular Muka Tengkorak.
"Jika kalian berdua setuju,
kita akan coba menghadang iblis bermata satu itu di Lembah Suket. Karena jika
benar dia menuju ke timur pasti dia ingin mencari kekasih lamanya si Dewi Maut.
Dan pasti dia akan melewati Lembah itu. Lembah yang penuh kenangan dimasa
mudanya.
"Datuk Ular," Kelabang
Hitam ganti bicara.
"Aku tahu pengetahuanmu
tentang tindak tanduk Simo Gembong luas sekali. Hanya dapatkah kau menerangkan
apa alasanmu bahwa dia pasti menuju ke timur?"
"Aku menyokong pertanyaan
sahabat Datuk Ular," ikut berkata Ki Ampel Sampang. "Lagi pula
bukankah markas tempat kediaman Dewi Maut di Pulau Mayat diobrak abrik seorang
pendekar muda dua bulan berselang?"
Datuk Ular Muka Tengkorak
manggut-manggut beberapa kali.
"Kalian benar. Kita harus
mempergunakan perhitungan yang matang. Agar tidak membuang tenaga dan waktu."
Sesaat dia mengusap muka
tengkoraknya lalu meneruskan.
"Turut penyelidikan, dari
salah seorang anak buah Dewi Maut yang melarikan diri setelah kediamannya
dihancurluluhkan, ternyata Dewi Maut tidak mati. Perempuan itu masih hidup.
Berarti pula dia akan menuju ke timur. Apalagi sudah ada kenyataan bahwa saat
ini dia berada di antara Gunung Kelud dan Lembah Suket. Terus terang segala
sesuatunya diatas perhitungan segala kemungkinan. Kalau kita tidak berusaha
atau melakukan sesuatu, kemungkinan itu tidak bakal menjadi kenyataan. Dan
berarti tak ada sesuatupun yang bisa kita lakukan untuk mencegah angkara murka
Simo Gembong. Atau apakah kita harus menunggu sampai banyak korban
berjatuhan?"
Tiba-tiba diluar sana terdengar
suara tawa membahak membahana! Para sahabat! Jangan lupakan aku!"
Bersamaan dengan lenyapnya ucapan
itu pintu ditingkat atas bangunan terpentang lebar. Sesosok tubuh berjubah
merah berkelebat masuk. Jubahnya penuh dengan gambar bunga-bunga yang semuanya
berwarna merah. Tiga orang tua yang ada dalam ruangan, kalau tadi tersentak
kaget dan bersiap waspada, kini mereka menarik nafas lega. Ternyata yang datang
adalah kawan sealiran.
"Pendekar Kembang
Merah!" seru Kelabang Hitam.
"Kami gembira kau
muncul!"
"Makin banyak jumlah kita
makin baik!" kata Ki Ampel Sampang.
Datuk Ular Muka Tengkorak menarik
kursi dihadapannya dan mempersilahkan Pendekar Kembang Merah duduk.
"Para sahabat, angin membawa
kabar pertemuan ini padaku. Karenanya jangan jengkel kalau aku datang tanpa
diundang!" berkata Pendekar Kembang Merah.
Ki Ampel Sampang tersenyum.
"Untuk melakukan sesuatu kebaikan mengapa harus menunggu undangan? Mari
kita duduk dan membicarakan masalah yang tengah kita hadapi."
Maka dengan kedatangan anggota
baru, pertemuan itu diulang dan digodok kembali. Keempatnya sepakat untuk
menghadang Simo Gembong di Lembah Suket. Selesai perundingan Ki Ampel Sampang
berdiri.
"Kawan-kawan, aku mohon diri
lebih dulu. Ada seorang sahabat lama yang harus kusambangi sebelum berangkat ke
Suket. Sampai bertemu pada hari yang ditentukan disana….." Pengurus
Pesantren Megasuryo ini menjura lalu tinggalkan ruangan. Tiga orang lainnya
menjelang pagi baru meninggalkan tempat tersebut.
LEMBAH SUKET
Lembah ini terletak antara kaki
Gunung Suket dan Gunung Raung. Merupakan lembah subur tetapi hampir tak pernah
didatangi manusia, apalagi untuk didiami. Disini, ditepi sebuah telaga berair
aneka warna akibat pantulan pepohonan dan langit biru diatasnya, terdapat
sebuah bangunan kayu yang sudah lapuk dimakan usia. Atapnya banyak yang bocor.
Dinding dan lantainya banyak yang sudah dimakan bubuk atau rayap. Daun jendela
dan daun pintu pada miring hampir tanggal. Bangunan yang diselimuti debu dan
sarang laba-laba itu meskipun kecil tapi tampak angker. Tiga orang itu
berlindung dibalik semak belukar rapat di tepi telaga diseberang rumah kayu.
Mereka tak banyak bicara. Kalaupun harus bicara maka mereka harus
berbisik-bisik. Sesekali terdengar burung berkicau atau gerakan binatang melata
yang menggeresek semak belukar. Tiga pasang mata mereka tiada henti-hentinya
memandang ke arah bangunan. Mereka berada di tempat itu sejak dini hari tadi.
Dan kini hari telah pagi, matahari mulai naik. Sampai matahari tinggi menjelang
tengah hari apa yang mereka tunggu masih belum tampak. Mereka seperti mulai
gelisah. Salah seorang diantara ketiganya yakni Pendekar Kembang Merah
berbisik:
"Manusia angkara murka itu
belum muncul. Tetapi adalah mengherankan mengapa sahabat kita Ki Ampel Sampang
masih belum datang?"
Datuk Ular Muka Tengkorak
sebenarnya sudah sejak tadi menindih rasa was-wasnya. Bukan kawatir karena Simo
Gembong masih belum muncul, tapi was-was karena Ki Ampel Sampang tidak kunjung
datang. Sebelum berpisah malam itu, Ki Ampel Sampang mengatakan akan
menyambangi seorang sahabat lama. Kalau hanya sekedar menyambangi, pasti saat
itu dia sudah sampai di Lembah Suket. Dia memandang ke arah rumah kayu di
seberang sana. Dulu di rumah itulah Simo Gembong pernah hidup bercinta mesra
dengan Dewi Maut. Sebagaimana sifat dan kebiasaan Simo Gembong, cinta mesra itu
hanya tipuan busuk belaka. Setelah bosan maka ditinggalkannya Dewi Maut
mentah-mentah. Dicari kian kemari akhirnya Dewi Maut berhasil menemukan Simo
Gembong. Keduanya berkelahi puluhan jurus. Dengan pedang Samber Nyawa di tangan
lawan, Simo Gembong tak berkutik dan akhirnya melarikan diri setelah kupingnya
sebelah kanan ditebas puntung. Seharusnya dihari tuanya Simo Gembong menanam
dendam terhadap perempuan itu. Tetapi justru semakin dikenang, semakin mendalam
rasa sukanya.
"Datuk, berapa hari
menurutmu kita menunggu disini... ?" Kelabang Hitam bertanya berbisik.
Datuk Ular merenung. Lalu menjawab:
"Sampai dua hari dimuka.
Jika dia tidak muncul kita langsung ke pantai timur. Bila perlu menyeberang ke
Pulau Mayat....."
"Tapi, Pulau Mayat
itu…..apakah kita tahu jelas dimana letaknya?" Tanya Pendekar Kembang
Merah.
"Aku bisa menduga dimana
letaknya. Berdasarkan keterangan anak buah Dewi Maut yang melarikan diri.
Sayang, kalau dia berada bersama kita, kita tak akan susah-susah mencari pulau
itu ..."
Ketiganya berdiam diri. Kembali
tempat itu diselimuti kesunyian. Mendadak ketiga orang itu serentak berpaling
saling pandang! Jauh didalam kerapatan pepohonan dibelakang rumah kayu
tiba-tiba terdengar suara sesuatu. Suara berbunyian!
"Itu suara rebab!"
bisik Pendekar Kembang Merah.
"Ya .... ada seseorang
menggesek rebab," balas berbisik Datuk Ular.
Ketiga orang itu memasang telinga
dalam tegang.
"Mungkinkah itu Simo Gembong
....?" ujar Kelabang Hitam.
"Aku menyangsikan,"
sahut Datuk Ular.
"Manusia sejahat Simo
Gembong mana tahu segala macam peralatan bebunyian. Kita tunggu saja. Mungkin
aku bisa menduga siapa adanya pemain rebab itu...."
Sementara itu suara rebab yang
semula digesek perlahan kini terdengar mengalun semakin keras, tetapi lagu yang
diperdengarkannya bernada sedih memilukan. Sejurus kemudian suara alunan rebab
itu dibarengi dengan suara nyanyian. Yang menyanyi adalah seorang perempuan!
Tiga tokoh silat dibalik semak
belukar kembali saling pandang. Pendekar Kembang Merah membuka mulut hendak
mengatakan sesuatu tapi Datuk Ular Muka Tengkorak cepat memberi isyarat seraya
berbisik:
"Dengar saja nyanyian itu.
Akurasa-rasa mulai mengenali siapa orangnya."
Di utara Gunung Suket
Di selatan Gunung Raung
Di tengah-tengah lembah subur
Menghias danau indah berair
bening
Rumah tua saksi bisu
Seribu dosa seribu dendam
Apakah saat pembalasan sudah
datang?
Di utara Gunung Suket
Di selatan Gunung Raung
Rumah tua saksi bisu
Tapi mengapa kalian menjadi buta
Mengapa kalian menjadi tuli
Tidak melihat apa yang terjadi
Tidak mendengar apa yang tak
bernafas lagi!
"Datuk....." bisik
Kelabang Hitam tak dapat menahan hati.
"Kira-kira kau tahu siapa
yang dimaksudkan kalian oleh penyanyi itu?"
"Juga apa yang
dimaksudkannya dengan yang tidak bernafas lagi?" ikut bertanya Pendekar
Kembang Merah. Datuk Ular tak segara dapat menjawab. Suara nyanyian dan alunan
rebab semakin memilukan.
Mengapa kalian menjadi buta
Mengapa kalian menjadi tuli
Tidak melihat apa yang terjadi
Tidak mendengar apa yang tak
bernafas lagi!
Buka mata pentang telinga
Melangkah datang jangan hanya
sembunyi!
Datuk Ular mengusap wajahnya. Dia
memandang pada dua sahabat didepannya.
"Nyanyian itu jelas
ditujukan pada kita....." bisiknya.
"Kita harus melakukan
sesuatu….."
"Mendatangi penyanyi
itu?" Tanya Pendekar Kembang Merah.
"Ya, tapi itu nanti. Yang
perlu saat ini kita harus memeriksa rumah tua itu...."
"Maksudmu Simo Gembong sudah
ada di dalam rumah tua itu?"
"Tak dapat kupastikan. Mari
kita memeriksa!" jawab Datuk Ular lalu memberi isyarat pada Pendekar
Kembang Merah dan Kelabang Hitam untuk mengikutinya. Ketiganya melangkah dengan
hati-hati mendekati rumah tua di tepi telaga. Mereka tak berani masuk. Jika
Simo Gembong benar ada di dalam maka mereka akan menjadi sasaran empuk
pembokongan. Lewat jendela dan pintu yang terbuka di sebelah depan mereka dapat
melihat sebagian ruangan di dalam rumah kayu itu. Ketiganya kemudian melangkah
ke samping bangunan. Tepat dijendela samping yang hampir tanggal Datuk Ular dan
dua kawannya melengak kaget. Di sana, di dalam rumah sesosok tubuh berpakaian
serba putih dengan sorban hampir terjatuh dari kepalanya, tampak tergantung
telah jadi mayat dengan lidah terjulur dan mata mencelet!
"Ki Ampel Sampang!"
ujar Datuk Ular dengan mulut bergetar. Melupakan bahaya kalau sekiranya Simo
Gembong memang ada dalam bangunan itu, Datuk Ular berkelebat masuk ke dalam
rumah lewat jendela. Kelabang Hitam dan Pendekar Kembang Merah ikut melompat
masuk. Ketiganya segera menurunkan tubuh Ki Ampel Sampang setelah terlebih dulu
memutuskan tali penggantung.
"Pasti Simo Gembong yang
melakukan ini!" kata Datuk Ular.
"Berarti dia sudah ada di
tempat ini!" kata Pendekar Kembang Merah dan memandang cepat berkeliling
dengan wajah tegang. Mayat Ki Ampel Sampang mereka baringkan dilantai rumah.
Datuk Ular memeriksa dengan cepat. Terdapat beberapa tanda merah di kedua
lengan pengurus Pesantren Megasuryo itu. Rupanya sebelumnya terjadi
perkelahian. Ketika dada pakaian putihnya disingkap, kelihatan tanda hitam di
bagian kiri. Itulah pukulan maut yang mematikan.
"Selagi sakarat tubuhnya
digantung!" kata Datuk Ular menarik kesimpulan.
"Biadab!" kutuk
Kelabang Hitam. Di luar sana masih terdengar terus suara alunan rebab dan
nyanyian.
"Kalian berdua tunggui mayat
ini disini," kata Datuk Ular. "Aku akan menemui penyanyi itu. Dia
pasti tahu apa yang telah terjadi. Datuk Ular cepat melangkah ke pintu belakang
rumah. Namun sebelum sempat mencapai pintu dari atap bangunan tua itu terdengar
suara tawa bergelak. Dilain saat atap bangunan ambruk jebol dan sesosok tubuh
melayang turun.
"Simo Gembong! "seru
ketiga orang itu serempak.
Yang melompat turun itu memang
Simo Gembong, rambutnya gondrong awut-awutan. Kedua kakinya yang memakai akar
bahar tegak terkembang dalam kuda-kuda silat yang kokoh. Hidungnya yang pesek
kembang kempis sedang mata kanannya tampak melotot merah menyapu ketiga orang
dihadapannya. Dari mulutnya masih mengumbar suara tawa. Begitu suara tawa
lenyap dia pun membentak.
"Kalian sudah saksikan apa
yang terjadi?! Apakah kini masih punya nyali untuk meneruskan rencana
kalian?!"
"Manusia iblis! Kematian
bukan apa-apa bagi kami orang persilatan golongan putih. Apalagi demi
menghancurkan angkara murka!" Yang menjawab adalah Datuk Ular.
Simo Gembong tertawa mengekeh.
"Datuk Ular, Datuk
Ular....Nada bicaramu seperti pemain sandiwara saja. Kau hendak jadi pahlawan
rupanya!"
Pendekar Kembang Merah maju
selangkah tapi segera dihardik.
"Berani lagi kau maju satu
langkah, selembar nyawamu akan minggat dari tubuh!"
"Simo Gembong manusia
keparat!" balas membentak Pendekar Kembang Merah.
"Dosamu selangit tembus!
Hari ini kami bertiga justru datang untuk mengambil nyawamu!"
"Ha .. ha .. ha…..! Tadinya
kalian berempat, kini hanya tinggal tiga. Sebentar lagi tumpas semua!"
Datuk Ular letakkan tangan
kanannya diatas kepala ular sanca yang jadi ikat pinggangnya.
"Beberapa tahun lalu kalian
menculik murid-murid kami. Merusak kehormatan mereka lalu membunuh mereka!
Beberapa lama mengucilkan diri
ternyata tidak membuat kau bertobat! Malah sebulan lalu kau mulai mengganas
kembali. Menculik seorang pengantin di desa Gucialit!"
"Lalu apa urusan kalian
dengan pengantin perempuan itu?!" sentak Simo Gembong.
Kelabang Hitam buka pakaiannya di
bagian dada. Pada kulit dadanya yang tersingkap kelihatan rajah gambar seekor
kelabang besar. Simo Gembong menyeringai.
"Kenapa kau tidak buka
celana sekalian. Biar kulihat apakah dibawah perutmu juga ada gambar kelabang
jelek itu!" kata Simo Gembong mengejek. Kelabang Hitam mengelam dan
membesi mukanya.
"Sahabat! Tak ada gunanya
bicara berlama-lama dengan manusia iblis mata picak ini! Lebih cepat kita kirim
dia menemui teman-temannya di neraka akan lebih baik!"
Habis berkata begitu Kelabang
Hitam melompat sambil menggapaikan tangan kanannya yang berkuku panjang dan
mengandung racun jahat.
Sreeettt.....!
Tangan kanan Simo Gembong
bergerak. Sebuah benda yang tadi tergulung, membuka panjang dan memancarkan
sinar hitam.
Kagetlah ketiga orang itu.
"Pedang Samber Nyawa!"
seru Pendekar Kembang Merah. Dia mengenali senjata yang jadi buah bibir rimba
persilatan itu tapi tidak mengetahui kalau senjata itu adalah pedang palsu
meskipun memancarkan sinar hitam pekat yang menyeramkan. Datuk Ular dan
Kelabang Hitam ikut tercekat. Ketiganya sama mengetahui. Siapa yang memegang
pedang Samber Nyawa maka dia akan menguasai dunia persilatan! Dan kini mereka
menghadapi lawan yang memiliki senjata luar biasa itu!
Menghadapi kenyataan ini maka
Datuk Ular segera loloskan senjatanya dari pinggang. Yakni bangkai ular sanca
besar. Kelabang Hitam alirkan seluruh tenaga dalamnya pada kedua tangan hingga
jari-jari tangan sampai ke kuku memancarkan sinar hitam. Pendekar Kembang Merah
susupkan tangan ke balik pakaian. Sesaat kemudian selusin bunga berwarna merah
tampak tergenggam ditangannya. Memang inilah senjata sang pendekar. Sejenis
bunga yang terbuat dari kertas, mengandung racun jahat dan sanggup
menghancurkan pohon atau batu besar sekalipun!
"Majulah kalian bertiga
sekaligus!
Jangan takut aku akan tidak akan
mencap kalian sebagai pengeroyok-pengeroyok pengecut!
Dengan maju serentak lebih mudah
dan lebih cepat bagiku membantai kalian!"
Kata-kata Simo Gembong itu
membakar amarah ketiga tokoh silat dihadapannya. Tanpa banyak bicara lagi Datuk
Ular, Kelabang Hitam dan Pendekar Kembang Merah menyerbu serentak dari tiga
jurusan. Sepuluh larik sinar hitam yang memancar dari kuku Kelabang Hitam
menderu laksana sepuluh kelabang yang menggapai mangsanya dalam kecepatan
kilat. Dari samping kiri sebuah kembang kertas merah melesat mencari sasaran di
leher Simo Gembong. Lalu dari depan, kepala ular sanca mati yang merupakan
senjata Datuk Ular membuat gerakan membeset dari kiri ke kanan, seperti hendak
membabat putus pinggang guru Mahesa Kelud itu.
Bagaimanapun Simo Gembong
mengejek dan memperhinakan ketiga lawannya tadi namun dia tahu betul kalau tiga
orang yang dihadapinya itu benar-benar memiliki kepandaian tinggi. Meskipun
jauh dari perasaan takut namun dia tak mau bertindak ayal. Pedang Samber Nyawa
Palsu yang dialiri dengan lebih dari tiga perempat tenaga dalamnya diputar
setengah lingkaran. Senjata itu menderu memancarkan sinar hitam menggidikkan!
Tring!
Kembang merah yang menyerang dari
sebelah kiri hancur berantakan tapi salah satu bagian pada mata padang di
tangan Simo Gembong menjadi gompal!
Pedang terus membabat ke arah
kedua tangan Kelabang Hitam, membabat putus. Tapi saat itu yang punya tangan
sudah tarik pulang kedua tangannya, sambil membuat lompatan jungkir balik
Kelabang Hitam layangkan tendangan kaki kiri ke bawah perut lawan sementara
dari atas kedua tangannya kemudian kembali menggapai ke batok kepala Simo
Gembong. Orang tua bermata satu itu tekuk kedua lututnya. Sesaat kemudian
tubuhnya rebah ke belakang. Bukan saja sekaligus dia menghindari tendangan
serta cakaran Kelabang Hitam, tetapi disaat yang sama dia berhasil pula
mengelakkan sambaran senjata Datuk Ular. Sambil menggulingkan diri di lantai
lapuk, Simo Gembong kembali babatkan pedang Samber Nyawa Palsu ke arah lawannya
terdekat yakni Pendekar Kembang Merah. Jengkel lemparan kembang mautnya tadi
dapat ditangkis lawan, Pendekar Kembang Merah kini lemparkan dua bunga merah
beracun sekaligus. Lemparannya kali ini bukan lemparan biasa karena dari kedua
bunga kertas itu tampak bertaburan debu merah yang mengandung racun! Simo
Gembong kertakkan rahang. Dia pukulkan tangan kirinya ke arah dua kembang
kertas. Hebat sekali!
Dua kembang kertas berikut debu
beracunnya membalik menghantam ke arah pemiliknya. Pendekar Kembang Merah cepat
merunduk. Tapi sambaran debu beracun masih sempat menghantam jalan hafasnya.
Masih untung dia cepat menutup jalan nafas lalu melompat menjauh sambil
lepaskan lagi satu kembang kertas. Bangkai ular ditangan Datuk Ular berkelebat
menderu-deru. Senjata ini setiap saat bisa berubah menjadi tongkat keras atau
seperti ular benaran yang mematuk atau menelikung tubuh lawan. Cakaran sepuluh
kuku Kelabang Hitam datang tiada henti. Setelah bertempur lebih dari dua belas
jurus kelihatannya ketiga lawan itu mulai berhasil mendesak Simo Gembong.
Sementara itu di belakang rumah masih terdengar alunan rebab dan suara orang
menyanyi. Pada jurus ke dua puluh tiga Simo Gembong mempercepat gerakannya.
Sebentar saja dia berhasil keluar dari himpitan serangan ketiga lawan.
Pedangnya telah beberapa kali dipakai menangkis bunga kertas yang dilemparkan
Pendekar Kembang Merah. Akibatnya mata pedang semakin banyak yang gompal.
Mengetahui hal ini Pendekar Kembang Merah tambah bersemangat namun menjadi
kawatir ketika menyadari bahwa persediaan senjata anehnya itu hanya tinggal
empat buah!
Datuk Ular kini tahu kalau pedang
di tangan Simo Gembong bukan benar-benar pedang Samber Nyawa yang sakti. Pedang
asli tak mungkin akan gompal dihantam bunga merah Pendekar Kembang Merah. Maka
semangat sang datuk jadi berkobar kembali. Gempuran bangkai ular sancanya
semakin menggebu-gebu. Malah kini dia semprotkan sejenis racun biru dari mulut
ular itu. Kelabang Hitam berkelebat cepat dan ganas kian kemari. Sepuluh jari
tangannya berkelebat tiada henti. Demikian hebatnya serangan ketiga orang itu
namun mereka masih belum sanggup merobohkan Simo Gembong. Memasuki jurus ke
empat puluh dua, terjadilah gebrakan hebat. Kelabang Hitam melihat kesempatan
baik ketika Simo Gembong sibuk menghadapi gempuran senjata bangkai ular sanca
sementara bunga terakhir milik Pendekar Kembang Merah meluncur ke arah batok
kepala kakek itu. Karena menganggap serangan kembang dan hantaman bangkai ular
lebih berbahaya maka Simo Gembong tidak begitu ambil perhatian terhadap
serangan Kelabang Hitam yang datang dari kiri. Dengan bacokan ganas serta
pukulan tangan kiri yang dahsyat dia melabrak bunga merah terakhir dan membuat
Datuk Ular terpaksa mundur. Ketika serangan sepuluh kuku Kelabang Hitam datang
Simo Gembong hanya sempat miringkan tubuh. Tapi pinggangnya tak mungkin
diselamatkan. Dengan menggembor marah kakek ini biarkan pinggangnya terkena
cakaran kuku-kuku beracun itu. Dia tak perlu kawatir karena saat itu dia
membekal obat penawar racun yang ampuh.
Bret... bret. .. !
Pinggang pakaian Simo Gembong
robek besar. Daging tubuhnya di bagian pinggang tampak tergurat dalam. Luka dan
darah yang mengucur keluar kelihatan bukannya merah tetapi berwarna hitam tanda
racun kuku Kelabang Hitam benar-benar ganas. Keberhasilannya menciderai lawan
membuat Kelabang Hitam berlaku ayal. Dia tak sempat mengelak ketika kaki kanan
Simo Gembong berdesing dan mendarat dipertengahan dadanya. Kelabang Hitam
mencelat, terhempas ke dinding lapuk. Dinding ini jebol dan tubuh Kelabang
Hitam mental keluar rumah, jatuh tergelimpang di tepi telaga tanpa berkutik
lagi. Isi dadanya di sebelah dalam luluh lantak. Tokoh ini mati dengan mata
membeliak. Simo Gembong mengekeh.
"Kalian sudah siap menyusul
Kelabang Hitam?" tanyanya mengejek. Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah
tidak menyahut. Sang datuk lipat gandakan kecepatan serangannya. Seluruh tenaga
dalam dikerahkan. Bangkai ular di tangan kanannya menderu laksana badai.
Sebaliknya Pendekar Kembang Merah yang kini tidak memiliki senjata lagi hanya
mampu meneruskan serangan dengan tangan kosong. Jelas dia merupakan titik
kelemahan dari hujan serangan itu. Dan hal ini diketahui benar oleh Simo
Gembong yang punya segudang pengalaman. Maka dia pun pusatkan serangan
mematikan ke arah lawan yang satu ini. Dalam satu kesempatan dia lemparkan
pedang Samber Nyawa palsu di tangan kanannya ke arah Pendekar Kembang Merah
disaat pendekar ini kehilangan keseimbangan akibat pukulannya mengenai tempat
kosong. Pendekar Kembang Merah tak mungkin berkelit. Datuk Ular tak mungkin
menolong kawannya karena saat yang sama diapun harus selamatkan diri dari
hantaman tangan kiri Simo Gembong yang dahsyat dengan jatuhkan diri. Angin
pukulan Simo Gembong menghantam dinding rumah. Rumah tua itu semakin hancur
berantakan dan atapnya miring ke kiri, siap untuk roboh!
Paras Pendekar Kembang Merah
menjadi sepucat kain kafan. Dia sadar nyawanya tak tertolong lagi. Simo Gembong
tertawa mengekeh. Pedang Samber Nyawa hanya tinggal sejengkal lagi siap
menembus perut Pendekar Kembang Merah. Tiba-tiba terdengar suara rebab
melengking tinggi menusuk liang telinga. Dikejap yang sama berkiblat sinar
putih kekuningan. Begitu sinar ini menghantam pedang Samber Nyawa maka senjata
itu mental patah dua!
SIMO Gembong melompat mundur
dengan wajah kaget sekaligus tegang. Datuk Ular hampir keluarkan seruan tertahan
sementara Pendekar Kembang Merah melosoh lemas karena hampir tak percaya
sesuatu telah terjadi dan menyelamatkannya dari kematian!
"Keparat! Siapa yang berani
ikut campur urusan orang!"
Sebagai jawaban sentakan itu
terdengar gesekan rebab, keras melengking dan satu cahaya putih kekuningan
kembali menerpa. Simo Gembong cepat jatuhkan diri. Sinar putih kekuningan yang
mengandung hawa panas melabrak dinding rumah dibagian satu-satunya yang masih
utuh. Dinding dan tiang-tiangnya hancur berantakan. Atap yang kini tidak
tersanggah langsung amblas roboh. Empat sosok tubuh cepat melesat keluar dari
bangunan yang runtuh itu. Tapi sampai diluar hanya tiga sosok manusia yang
kelihatan. Yakni Datuk Ular, Pendekar Kembang Merah dan seorang perempuan
separuh baya berambut panjang terurai berparas pucat yang tegak sambil
memegangi rebab dan alat penggeseknya. Simo Gembong sendiri tidak kelihatan.
Lenyap!
"Bangsat itu kabur!"
ujar Pendekar Kembang Merah.
"Pengecut!" kertak
Datuk Ular geram. Lalu dia berpaling ke kiri dimana perempuan berparas pucat
berambut terurai tegak berdiri memegang rebab.
"Dewi Rebab Kencana!"
sapa sang datuk. "Terima kasih kau telah mau membantu ... ." Lalu
sambil menjura dalam dia melirik kepada Pendekar Kembang Merah. Pendekar
Kembang Merah yang mengerti maksud lirikan itu cepat-cepat pula menjura seraya
berkata:
"Nama besarmu sudah lama
kudengar. Tidak tahunya hari ini sekali muncul kau telah selamatkan nyawaku.
Aku tidak tahu bagaimana harus mengucapkan terima kasih.... "
Orang yang memegang rebab tidak
memberi jawaban apa-apa. Wajahnya yang pucat juga tampak tak berubah, dingin
seperti tadi-tadi. Hal ini membuat Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah
menjadi kikuk.
"Kita harus segera mengejar
manusia pengacut itu!" kata Datuk Ular.
Perempuan bergelar Dewi Rebab
Kencana tampak mendongak ke langit. Lalu menggesek rebabnya, mengeluarkan suara
pendek pilu. Manusia itu bukan pengecut! Jika dia mau mudah saja baginya
membunuh kita satu persatu….."
Datuk Ular mengerling ke arah
Pendekar Kembang Merah.
"Dewi, apakah kau bisa
memberi petunjuk lebih lanjut?" tanya Pendekar Kembang Merah. Perempuan
itu kembali menggesek rebabnya, baru menjawab:
"Jika dia pergi berarti ada
sesuatu yang lebih penting yang harus dilakukannya....." Lalu dia
melangkah menghampiri pedang hitam yang terletak di tanah. Pedang Samber Nyawa
yang tadi dilemparkan Simo Gembong dan patah dua dihantam sinar putih
kekuningan yang menyambar keluar dari tali-tali rebab sang dewi. Diambilnya
kedua patahan pedang. Sesaat dia meneliti benda itu lalu mencampakkannya ke
tanah.
"Setahu kami dia dalam
perjalanan ke Pulau Mayat guna mencari kekasih lamanya dimasa muda. Pasti saat
ini dia menuju kesana!" berkata Datuk Ular sambil lilitkan senjatanya,
bangkai ular sanca ke pinggang. Tanpa berkata apa-apa perempuan memegang rebab
balikkan tubuh dan melangkah pergi.
"Manusia aneh..." desis
Datuk Ular. Melihat orang hendak pergi Pendekar Kembang Merah cepat berkata:
"Dewi Rebab Kencana! Sekali
lagi terima kasih atas pertolonganmu Tanpa berpaling perempuan bermuka pucat
itu menjawab: "Aku tidak merasa menolong siapa-siapa. Simo Gembong punya
hutang tersendiri padaku. Yang harus dibayarnya dengan darah dan
nyawa....."
Lalu perempuan ini gesekkan
rebabnya.Terdengar suara melengking. Disusul sambaran sinar putih kekuningan.
Ketika sinar itu lenyap sosok tubuhnyapun ikut lenyap. Datuk Ular geleng-geleng
kepala sementara Pendekar Kembang Merah hanya tegak leletkan lidah.
"Apa yang akan kita lakukan
sekarang Datuk?"
"Mengejar Simo Gembong ke
Pulau Mayat. Tapi jenazah Kelabang Hitam dan Ki Ampel Sampang harus kita
kuburkan dulu," sahut Datuk Ular.
***
"JADI ini tampang manusia
yang membunuh puteraku?!" ujar hartawan Prajadika ketika Mahesa Kelud
dibawa kehadapannya. Dengan kedua tangan terkepal dia maju mendekati.
Tampangnya sebuas harimau lapar. Lalu jotosannya kiri kanan diayunkan berulang
kali ke wajah Mahesa hingga muka pemuda itu babak belur. Darah mengucur dari
hidung, mulut dan pinggiran matanya. Mahesa menggeram menahan sakit. Prajadika
baru berhenti memukul setelah kedua tangannya terasa sakit. Masih belum puas
dia menyambar sebatang tombak yang terletak di sudut ruangan. Ketika dia hendak
menambus perut Mahesa dengan tombak ini, dua orang hulubalang istana cepat mencegah.
"Lepaskan! Biar kubunuh
bangsat ini detik ini juga!" teriak Prajadika.
"Raden Mas, ingat apa
rencana kita semula?" berkata hulubalang di sebelah kanan.
Kawannya ikut bicara: "Jika
dibunuh seperti keinginan Raden Mas bukankah terlalu enak baginya? Bukankah
Raden Mas ingin dia mati sedikit demi sedikit?
Tersiksa agar dia dapat merasakan
bagaimana sakitnya hati Raden Mas atas kematian putera?"
Dengan dada turun naik dan nafas
menyengal, hartawan Prajadika buang tombaknya ke lantai. Kedua matanya
berapi-api.
"Masukkan dia kedalam sumur
tua itu!
Jangan diberi makan dan minum
sampai dia mampus kelaparan dan kehausan! Jangan lupa tuangkan segayung air
mendidih setiap pagi biar tubuhnya melepuh dan busuk!"
"Perintah kami jalankan
Raden Mas."
"Satu hal! Jangan kalian
lepaskan totokan ditubuhnya!"
Kedua hulubalang itu tersenyum.
"Kami tidak sebodoh itu
Raden Mas," kata salah seorang dari mereka.
***
Di belakang gedung kediaman Raden
Mas Prajadika terdapat halaman luas. Disitu ada sebuah sumur tua sedalam empat
meter yang mata airnya sudah kering. Kesitulah dalam keadaan tertotok tubuh
Mahesa mereka lemparkan. Masih untung pemuda ini jatuh ke dasar sumur dengan kaki
lebih dulu. Sempat kepalanya mendarat lebih dulu celakalah dia.
"Bagaimana dengan air panas
mendidih?" tanya hulubalang pertama.
"Siapa yang mau memasak
malam-malam begini. Besok pagi saja kita guyur. Kalau perlu tidak hanya satu
gayung. Satu ember!" jawab kawannya. Lalu keduanya tinggalkan sumur tua
itu. Mahesa kerahkan tenaga dalamnya sampai butir-butir keringat memercik
dikening. Dia berusaha melepaskan totokan. Tapi sia-sia saja. Pemuda ini heran
dari mana puteri Suto Nyamat mempelajari ilmu totokan yang sangat lihay itu.
Padahal dua tahun lalu gadis itu tidak mempunyai kepandaian apa-apa. Menghadapi
kematian bukan satu hal yang menakutkan bagi Mahesa. Tetapi yang saat itu
teringat olehnya adalah istrinya Wulansari. Lalu bayi yang menurut Kemaladewi
adalah puteranya. Terbayang wajah gurunya Karang Sewu dan Suara Tanpa Rupa. Dia
berusaha bersikap tabah. Tapi tak urung air mata mengalir membasahi pipinya.
Dalam sumur tua yang gelap dan dingin serta pengap itu, Mahesa tegak pejamkan
mata, berusaha bersemedi menenangkan jiwa. Hanya itulah yang bisa dilakukannya
sementara menunggu saat kematian yang datang merayap. Besok pagi siksaan
pertama akan dirasakannya. Diguyur dengan air mendidih!
Hampir menjelang pagi, ketika
udara dingin mencucuk daging menembus tulang, Mahesa Kelud merasakan sebuah
benda meluncur kebahu, terus turun kepunggung. Dia tak mau membuka kedua
matanya yang terpejam. Sangkaannya benda yang meluncur itu pastilah ular atau
sejenis binatang tanah yang berbisa. Biarlah binatang itu mematuknya. Mati
terkena racun ular lebih baik dari pada mengalami siksa. Tapi tak ada yang
mematuk. Tak ada yang menggigit walau benda itu masih terus meluncur naik turun
dipunggungnya. Tiba-tiba bret! Pantat celananya robek. Sesuatu menyangkut di
ikat pinggangnya. Kemudian perlahan-lahan, sedikit demi sedikit tubuhnya
terangkat keatas sampai akhirnya kepalanya muncul ditepi bibir sumur. Mahesa
membuka matanya lebar-lebar menembus kegelapan malam. Seseorang dilihatnya
dengan susah payah menarik tali yang berhubungan dengan besi pengait yang
dipakai untuk menggeret tubuhnya ke atas. Dia tidak dapat mengenali siapa
adanya orang ini. Tubuhnya ditarik keluar sumur. Baru saja dibaringkan di tanah
yang basah, tiba-tiba dari arah bangunan terdengar suara seseorang membentak.
"Hai! Siapa didekat
sumur?!"
Bentakan disusul
dengan mendatanginya sesosok tubuh sambil menghunus golok. Orang yang
menolong Mahesa Kelud Jatuhkan diri ke balik sumur sambil tangannya mencabut
sebilah belati. Ketika lelaki yang memegang golok melangkah lebih dekat,
secepat kilat belati itu dilemparkannya.
"Heekk. .!"
Golok terlepas dari tangan. Orang
itu hanya sempat mengeluarkan suara seperti ayam tercekik lalu roboh ke tanah.
Belati besar menancap di lehernya!
“Supitmantil!" seru Mahesa
Kelud ketika dalam gelap kemudian dia mengenali siapa orang yang menolongnya
itu. Supitmantil silangkan jari telunjuk di depan bibir memberi isyarat agar
Mahesa jangan bicara keras.
"Sahabat...” berbisik
Mahesa.
"Kebaikanmu dimasa lalu
masih belum sempat kubalas, hutang budi belum kulunaskan. Kini kau telah
menanam budi baru. Aku berhutang nyawa padamu Supit.
"Kita harus segera keluar
dari sini," ujar Supitmantil. Pemuda inilah dulu yang memberi keterangan
kemana Wulansari dilarikan ketika diculik oleh Niliman Toteng alias Iblis
Jangkung (Baca Pedang Sakti Keris Ular Emas) Kini kembali dia jadi tuan
penolong.
"Ya, tapi aku tak bisa
jalan. Aku tertotok. Bisakah kau mendukungku...?"
"Tentu saja tapi kita harus
hati-hati. Dua hulubalang istana masih ada di gedung sana..."
"Kalau begitu kau lepaskan
totokanku. Disini, disebelah dada!"
Supitmantil seorang pemuda yang
memiliki kepandaian silat cukup tinggi. Ini karena dia berguru pada beberapa
tokoh silat kalangan istana. Namun dalam soal ilmu totok menotok pemuda ini
masih belum matang. Maka Mahesa harus membimbing memberi tahu bagaimana cara
yang ampuh untuk melepaskan totokan ditubuhnya. Setelah mencoba beberapa kali
baru Supitmantil berhasil. Namun totokan itu belum pulih seluruhnya. Terpaksa
Mahesa duduk bersila dan kerahkan tenaga dalamnya ke dada untuk memusnahkan
sisa-sisa totokan. Selagi dia melakukan hal itu tiba-tiba melayang dua buah
obor besar. Benda ini menancap di kiri kanan sumur hingga tempat itu jadi
terang benderang.
"Supitmantil! Bagus sekali
perbuatanmu!" terdengar bentakan marah. Itu suara hartawan Prajadika.
Supitmantil berpaling. Ditangga belakang gedung tampak tegak Raden Mas
Prajadika dengan bertolak pinggang. Disebelahnya tegak dua lelaki berpakaian
biru, tinggi dan kekar. Mereka adalah dua hulubalang istana kelas tiga yang
membawa Mahesa sebelumnya dari tempat kediaman Suto Nyamat di Madiun.
"Celaka!" keluh
Supitmantil. Dia tidak takut terhadap hartawan yang dianggapnya mempergunakan
kedudukan dan kekayaannya untuk berbuat sesuka hatinya itu. Tapi dua hulubalang
istana kelas tiga itu adalah dua lawan berat. Satu saja sulit bagi Supitmantil
untuk menghadapi. Kini mereka malah berdua!
Pemuda ini melirik pada Mahesa.
Saat itu Mahesa masih mengerahkan tenaga dalam
untuk memulihkan sisa totokan. Justru disaat itu pula dua hulubalang
istana berkelebat, menerkam ke arah Supitmantil. Pemuda ini jatuhkan diri.
Tendangan yang mengarah ke batok kepalanya berhasil dielakkan. Baru saja dia
bangkit berdiri hulubalang yang tadi menyerang sudah menghantamkan jotosan ke
dadanya, Supitmantil menangkis dengan lengan kiri dan balas memukul dengan
tinju kanan. Dua lengan beradu. Supitmantil mengeluh kesakitan. Lengan kirinya
laksana ditabas pedang sedang tinju kanannya hanya memukul angin.
"Gonto! Cepat kau ringkus
pemuda yang bersila itu! Yang satu ini biar aku yang melumatkan!"
Terdengar hulubalang yang menyerang Supitmantil berseru. Maka kawannya yang
semula ikut menghantam Supitmantil, kini melompat ke hadapan Mahesa Kelud. Sikap
duduk Mahesa merupakan sasaran empuk untuk diserang. Terdengar suara bersiur
ketika kaki kanan hulubalang bernama Gonto melesat ke muka Mahesa Kelud, disaat
pemuda ini masih meramkan mata memusnahkan totokan di dadanya. Pukulan yang
mengenai angin membuat Supitmantil terhuyung ke depan. Akibatnya dadanya
menjadi sasaran terbuka. Tinju hulubalang kelas tiga itu laksana palu godam
melabrak dada kanannya. Supitmantil keluarkan seruan kesakitan. Tubuhnya
mencelat dan terkapar dekat sumur tua. Mulutnya terasa panas dan asin. Ada
darah yang keluar dari saluran di dadanya tanda saat itu dia menderita luka
dalam yang parah akibat hantaman lawan. Menahan sakit Supitmantil berusaha
berdiri. Dia tahu apa artinya jika tubuhnya masih tergeletak begitu rupa. Lawan
akan menghantamnya kembali dengan tendangan atau pukulan maut.
Sambil bangkit Supitmantil cabut
sebilah belati besar dari balik pinggangnya. Memang pemuda ini memiliki
keahlian melempar senjata tajam. Tadi telah dibuktikannya dengan sekali hantam
saja berhasil merobohkan pengawal gedung. Tapi sekali ini orang yang
dihadapinya bukan manusia jenis ronda malam. Dengan mudah hulubalang istana ini
berhasil mengelakkan sambaran belati. Dilain kejap dia sudah menerkam
Supitmantil. Lututnya menusuk ke perut pemuda itu. Selagi Supitmantil terlipat
ke depan, kedua tangannya yang besar kuat datang menyambar dan mencekik leher
si pemuda laksana japitan besi. Supitmantil meronta-ronta. Tapi kehabisan nafas
membuat tenaganya lumpuh. Tak mungkin lagi baginya menyelamatkan diri. Matanya
mendelik dan lidahnya mulai menjulur.
Prakk!!!
Satu pekik kesakitan menggeledek.
Hulubalang Gonto melengak kaget ketika Mahesa yang hendak ditendangnya
tiba-tiba melayang melewatinya lalu melabrak temannya yang tengah mencekik
Supitmantil. Hulubalang ini terbanting roboh ke tanah. Tulang belikatnya patah.
Cekikannya terlepas. Supitmantil mereguk udara segar sebanyak-banyaknya. Lalu
selagi hulubalang itu terkapar tak berdaya pemuda ini hunjamkan sebilah belati
ke dadanya. Sang hulubalang hanya keluarkan keluhan pendek, kaki menggelepar
beberapa kali, setelah itu diam tak berkutik lagi! Melihat kematian kawannya
Gonto menggembor marah. Ditangan kanannya tahu-tahu sudah tergenggam sebilah
golok besar. Sambil menerjang dia babatkan goloknya ke arah leher Supitmantil.
Tapi setengah jalan seseorang menyambar pinggangnya hingga hulubalang ini
terpuntir.
Wuutt!
Dia membabat ke arah Mahesa Kelud
yang menelikung pinggangnya namun satu pukulan menghancurkan sambungan sikunya
hingga hulubalang ini meraung kesakitan. Goloknya terlepas mental. Selagi
meraung kesakitan itu dirasakannya tubuhnya terangkat lalu tiba-tiba Sekali
dilemparkan kebawah. Kembali hulubalang ini menjerit ketika mengetahui dirinya
dilemparkan ke dalam sumur tua, kepala kebawah kaki ke atas. Suara teriakannya
serta merta lenyap ketika batok kepalanya menghantam dasar sumur tua hingga
pecah dan lehernya patah. Nyawanya putus detik itu juga! Supitmantil cepat
datangi Mahesa dan berkata:
"Kita harus tinggalkan
tempat ini segera Mahesa”
"Ya, tapi aku harus membayar
hutang dulu pada orang kaya itu!" sahut Mahesa.
Sekali lompat saja dia sudah
berdiri dihadapan Raden Mas Prajadika yang tegak ketakutan di pintu belakang
gedung. Dia segara balikkan diri sambil berteriak namun Mahesa jambak
rambutnya, putar tubuhnya hingga keduanya berhadap-hadapan.
"Prajadika!" kata
Mahesa.
"Aku membunuh puteramu bukan
karena aku manusia jahat buas! Tapi karena anakmu memang pantas ditabas batang
lehernya! Dia kupancung ketika hendak memperkosa seorang gadis!"
"Aku tidak percaya! Puteraku
anak baik-baik! Aku tidak percaya. Lepaskan jambakanmu! Keparat...!!"
Plak!
Satu tamparan keras menghantam
pipi kanan hartawan itu hingga bibirnya pecah dan tiga giginya tanggal.
Prajadika meraung kesakitan. Tubuhnya melintir. Kalau saja rambutnya tidak
dijambak pasti sudah terkapar di tangga gedung.
"Itu hadiah dari gadis yang
hendak dirusak oleh puteramu!" kata Mahesa.
"Dan ini pembayar hutang
tadi malam!"
Lalu Mahesa hantam muka Prajadika
dengan tinju kiri. Kembali orang ini meraung kesakitan, tapi raungan itu segera
lenyap karena dirinya keburu pingsan. Mahesa lepaskan jambakannya. Prajadika
tergelimpang di tangga batu. Hidungnya hancur dan darah mengucur!
Di gedung sebelah depan terdengar
suara orang berlari. Beberapa diantaranya meneriakkan sesuatu. Mahesa memberi
isyarat pada Supitmantil. Kedua pemuda ini lompati tembok halaman belakang.
Ketika enam orang penjaga gedung sampai disitu keduanya telah lenyap dalam
kegelapan. Ketika ayam berkokok di kejauhan dan langit di ufuk timur tampak
kemerahan, kedua pendekar itu sampai di sebuah anak sungai berair dangkal tapi
jernih. Baik Mahesa maupun Supitmantil segera menggulingkan diri di tebing
sungai dan merendam muka mereka yang berlepotan darah.
"Seharusnya kubunuh orang
kaya itu ...." kata Supitmantil beberapa saat kemudian sambil menyisir
rambutnya yang basah dengan jari-jari tangan.
"Dia mengetahui
pengkhianatanku. Kini aku jadi orang buronan! Pasti Prajadika meminta
tokoh-tokoh istana untuk menangkapku hidup atau mati!"
"Semua karena aku!"
ujar Mahesa.
"Aku tidak menyesal
menolongmu," kata Supitmantil yang tahu maksud kata-kata Mahesa tadi.
"Sekarang apa yang hendak
kau lakukan?" tanya Mahesa.
"Jelas aku tak mungkin
kembali ke Kotaraja. Mungkin aku harus menempuh hidup sepertimu. Mengembara
sambil menambah ilmu."
"Kalau begitu seandainya kau
tersesat ke utara maukah kau singgah di puncak Muria. Istriku berada disana.
Namanya Wulansari. Kau pasti kenal dia karena dialah gadis yang dulu berhasil
kuselamatkan dari kebejatan Prajakuncara berkat
pertolonganmu….."
"Apa yang harus kukatakan
jika bertemu?" tanya Supitmantil.
"Katakan bahwa aku dalam
keadaan baik. Aku akan segera pulang ke Muria begitu beberapa urusanku
selesai…." Supitmantil mengangguk.
"Aku akan mampir menemui
istrimu," katanya.
"Terima kasih sahabat.
Sekarang ada satu hal yang amat penting yang harus kulakukan"
"Apa itu?"
"Dua senjata milikku
dirampas puteri Suto Nyamat. Untuk mendapatkan kedua senjata itu nyawaku
taruhannya. Karenanya aku harus mengambilnya kembali sekalipun mungkin kali ini
aku harus membunuh gadis itu! Sebelum kesana aku perlu keterangan
darimu..."
"Katakanlah….."
"Dua tahun lalu Retno hanya
seorang gadis cantik biasa yang tidak memiliki kepandaian apa-apa. Tapi melihat
kemampuannya menotokku, pastilah dia telah berguru pada seseorang. Mungkin kau
mengetahui siapa guru gadis itu dan dimana kediamannya?"
Supitmantil menggeleng.
"Sekali ini aku tak bisa menolongmu Mahesa….."
"Tidak jadi apa," jawab
Mahesa. Dia merangkul Supitmantil sambil mengucapkan terima kasih berulang
kali.
"Jangan berterima
kasih terus-terusan Mahesa. Kau lupa bahwa kaupun tadi menyelamatkan
jiwaku dari tangan hulubalang istana itu!"
Mahesa Kelud hanya angkat
bahu."Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas," katanya.
"Selamat jalan Mahesa,"
"Selamat mengembara Supit.
Sampai ketemu...." Kedua sahabat itupun berpisah, tepat ketika sang surya
menyembul di ufuk timur.
***
Begitu sampai di Madiun, Mahesa
Kelud langsung menuju rumah kediaman Suto Nyamat. Saat itu remang senja
memasuki malam. Gedung besar itu tampak sepi. Tak seorangpun kelihatan. Setelah
menunggu sambil meneliti keadaan beberapa lamanya, baru Mahesa menyelinap
kedalam, terus memasuki kamar dimana dulu dia dijebloskan oleh Retno sebelum
diserahkan pada dua hulubalang istana. Lemari yang terkunci sekali dobrak saja
hancur berantakan pintunya. Mahesa melemparkan semua pakaian yang ada dalam
lemari itu. Namun sampai lemari itu menjadi kosong dia tidak menemukan Pedang
Dewa ataupun Keris Ular Emas.
"Celaka!" keluh Mahesa
dalam hati. Kemana harus dicarinya kedua senjata mustika itu? Kemana harus
dicarinya puteri Suto Nyamat? Mahesa kemudian menggeledah seluruh gedung. Tetap
saja dia tidak menemukan apa yang dicari. Geram dan marah akhirnya Mahesa
lepaskan beberapa pukulan karang sewu hingga dinding bangunan jebol besar dan
atap runtuh. Tiba-tiba pemuda ini mendengar suara kuda meringkik. Dia segera
melompat ke halaman samping lewat dinding yang jebol. Seorang lelaki berdestar
hitam dilihatnya melompat turun dari kuda lalu lari menuju gedung. Di ruangan
depan langkahnya terhenti dan terdengar suaranya.
"Gusti Allah! Tak ada gempa
tak ada badai! Kenapa bangunan ini jebol dan ambruk?!"
Baru saja dia berkata begitu satu
tangan yang kuat mendadak dirasakannya mencekal tengkuknya.
"Sis ... siapa.......?"
"Kau yang siapa?!"
Mahesa membentak. Lalu memutar tubuh orang itu dengan keras hingga hampir
terpelanting jatuh. Orang itu tampak ketakutan. Seperti melihat hantu. Mulutnya
terbuka tapi tak ada kata-kata yang keluar.
"Kemana penghuni rumah ini
dan kau siapa?!" kembali Mahesa membentak.
"Rum ... rumah ini kosong.
Tak ada yang mendiami lagi. A .. aku ditugaskan menjaga... Tapi kenapa gedung ini
sekarang hancur seperti ini. Celaka, matilah aku......"
"Siapa yang menugaskanmu
menjaga rumah ini?"
"Siapa? Pemiliknya
tentu….."
"Siapa pemiliknya ...."
"Den ayu Retno Kumalasari .
. . ." jawab si penjaga.
"Dimana gadis itu sekarang
....?"
"Di rumah kekasihnya!"
"Bagus! Kau antarkan aku
kesana!"
"Tapi......."
Plak!
Mahesa yang sudah tidak sabaran
langsung tampar pipi orang itu hingga destarnya tercampak dan sesaat
pemandangannya gelap berkunang-kunang.
"Kau mau antarkan aku kesana
atau kutampar lagi hingga robek mulutmu?!"
"Aku . . . aku akan
antarkan. Kau ini siapa.....
Apa kau yang merusak bangunan
ini.....?"
Mahesa tak menjawab. Dia tarik
tengkuk penjaga itu dan mendorongnya keras-keras hingga jatuh terguling di
tangga gedung!
***
Tempat yang dituju ternyata cukup
jauh di tenggara Madiun. Sepanjang perjalanan Mahesa berusaha mendapat
keterangan dari penjaga yang mengantarkannya. Meskipun tidak banyak keterangan
yang didapat tapi ada satu yang sangat penting. Yaitu bahwa kekasih Retno
Kumalasari adalah juga gurunya dalam ilmu pengobatan. Satu hal yang tidak jelas
bagi Mahesa ialah mengapa puteri bekas Adipati itu walaupun ayahnya sudah
meninggal kini tidak tinggal bersama ibunya yang tentunya disatu gedung bagus
tetapi memilih diam bersama kekasihnya di daerah terpencil. Lapat-lapat
dikejauhan terdengar suara air menderu. Suara air terjun. Si penjaga melarikan
kudanya ke arah suara air itu. Mahesa menempel di belakang. Disatu tempat
ketinggian si penjaga hentikan kuda dan menunjuk ke lembah yang terletak di
bawah mereka diselimuti kegelapan. Orang ini menerangkan disebelah kanan air
terjun terdapat sebuah kali. Di sebelah utara dekat tikungan ada sebuah rumah
kecil. Disitulah Retno Kumalasari bersama kekasihnya berada.
"Kau tahu apa akibatnya jika
kau memberi keterangan dusta?!" ujar Mahesa seraya pegang dan tekan bahu
si penunjuk jalan.
"Demi Tuhan. Aku bersumpah!
Gadis itu pasti ada disana!"
"Siapa nama
kekasihnya?"
"Pergola.
Pergola apa aku tak tahu..."
Mahesa melompat dari punggung
kuda.
"Kau boleh pergi!"
katanya. Tanpa menunggu lebih lama orang itu segera putar kudanya dan
tinggalkan tempat itu sekencang yang bisa dilakukannya.
***
Rumah kayu itu selain kecil juga
tampak tidak terurus. Di ruang depan menyala sebuah pelita. Puteri Suto Nyamat,
Retno Kumalasari berbaring diatas sehelai tikar sementara seorang lelaki
berambut tebal dan beralis mata tebal hitam berusia sekitar empat puluh tahun
duduk di sebelahnya tengah membuka ikatan sebuah kantong besar.
"Retno, sudah saatnya kau
masuk kedalam dan tidur. Besok pagi-pagi sekali kita akan berangkat ke
Kotaraja." terdengar yang lelaki berkata. Dialah Pergola. Sepasang mata
Retno menatap sayu ke langit-langit diatasnya. Lalu ada senyum aneh tersungging
di bibirnya.
"Aku tidak akan mau tidur
sebelum kau berikan barang itu…..." katanya.
"Sudah cukup Retno. Terlalu
banyak kau bisa sakit..."
"Aku ingin menghisap lagi.
Biar sakit. Aku memang sudah sakit. Dan akan lebih sakit jika tidak kau
berikan..."
"Dengar, besok kita akan
bicara dengan pejabat tinggi istana mengenai jual beli senjata-senjata mustika
ini. Aku kawatir kau masih dibawah pengaruh barang itu dan bicara tak karuan”
"Aku berjanji akan bersikap
dan bicara baik," jawab Retno lalu gulingkan tubuhnya.
Sesaat kemudian dia telah
memperbantal paha Pergola. Matanya terpejam Mulutnya ternganga dan lidahnya
yang merah basah setengah terjulur. Pergola geleng-geleng kepala dan kecup
bibir gadis itu lumat-lumat. Dia mengeluarkan sebuah kotak kain dari dalam saku
pakaiannya. Dari dalam kotak ini
dikeluarkannya sehelai daun kering. Di atas daun diletakkannya tembakau kering
yang dicampur sejenis obat. Lalu daun kering tadi digulungnya hingga berbentuk
sebatang rokok. Rokok ini kemudian disulutnya ke api pelita. Baru saja rokok
menyala Retno sudah menyambar, lalu gulingkan diri ke sudut kamar, duduk
menjelepok disana dan sedot rokok itu dalam-dalam hingga kedua pipinya menjadi
cekung. Asap rokok berbau aneh dihembuskannya ke udara sementara kedua matanya
terbuka lebar tetapi kuyu dan sayu.
"Betapa nikmatnya kakak....
Nikmat sekali rokok ganja ini!" Dihisapnya lagi rokok itu dalam-dalam.
"Ahh…..Indah sekali. Aku
mulai melihat sesuatu yang indah. Tidakkah kau ingin menyaksikannya....."
Dia angkat kedua kakinya setinggi
dada hingga kainnya tersingkap.
"Aku tak bisa hidup tanpa
rokok ini kakak. Kau dengar itu kakak Pergola ....?"
"Eh, apakah kau bisa hidup
tanpa aku?" tanya Pergola.
"Tentu saja tidak. Kau dan
rokok ini jadi satu. Datanglah kesini kakak. Peluk aku, biar lebih nikmat
rasanya menghisap ganja ini."
Pergola tetap duduk di tempatnya.
Dia telah membuka ikatan kantong besar. Dari dalam kantong itu dikeluarkannya
dua buah senjata yang sarungnya memancarkan sinar kuning dan sinar merah.
Pedang Dewa dan Keris Ular Emas! Retno melirik sebentar lalu berkata "Kau
tak bosan-bosannya memandangi benda itu. Jika kau memang suka benda itu mengapa
tidak turut kataku? Belajar ilmu silat dan kau akan jadi raja diraja dalam
rimba persilatan!"
Pergola tertawa. "Aku sudah
terlalu tua untuk belajar silat. Lagi pula apa untungnya jadi raja diraja dunia
persilatan? Hidup tak tenang, musuh banyak. Bukankah lebih baik dua senjata
mustika itu kita jual. Ditukar dengan uang emas dan harta perhiasan? Kita akan
jadi kaya raya. Memiliki gedung bagus, hidup mewah!"
Retno mencibir. "Aku bosan
tinggal di gedung bagus. Aku muak dengan hidup mewah. Aku lebih suka tinggal
disini bersamamu. Asal saja kau selalu menyediakan rokok ganja ini untukku.
Hik... hik ... hik!"
Siapakah sebenarnya lelaki
bernama Pergola itu?
Dulu dia tinggal di Magetan,
putera seorang ahli obat. Ayahnya memiliki hubungan baik dengan banyak pejabat
tinggi yang sekaligus jadi langganannya. Salah satu diantara langganannya
Adipati Suto Nyamat. Ketika ahli obat itu meninggal sekitar dua tahun lalu,
Pergola yang telah mewariskan hampir keseluruhan kepandaian ayahnya melanjutkan
pekerjaan sang ayah. Hanya saja secara diam-diam Pergola mempergunakan
kepandaiannya untuk maksud tidak baik alias kejahatan. Lelaki yang sudah lama
menduda ini menaruh hati terhadap puteri Suto Nyamat yakni Retno. Hubungannya
yang akrab dengan keluarga itu membuat mudah baginya mendekati si gadis. Dengan
dalih memberikan obat untuk menjaga kesehatan serta agar tetap langsing dan
wajah berseri Pergola memberikan obat aneh hingga si gadis ketagihan dan tak
dapat membebaskan diri lagi dari tangan Pergola. Ketika Adipati Suto Nyamat
terbunuh hubungan Pergola dengan Retno sudah tak ubah seperti suami istri saja.
Sang ibu yang tak dapat mencegah dan tak berdaya berbuat apa akhirnya dalam
keadaan sakit-sakitan pulang ke rumah orang tuanya di selatan. Bagi Pergola
justru ini yang diinginkannya. Retno diboyongnya ke rumah di tepi sungai itu.
Gadis ini semakin lengket setelah Pergola mengajarkannya menghisap rokok daun
ganja yang tembakaunya dibubuhi obat terlarang. Sejalan dengan kepandaiannya
dalam pengobatan. Pergola juga memiliki keahlian dalam bidang ilmu menotok.
Sambil terus mengikat Retno dengan rokok dan obat, kepada gadis ini diajarkannya
bagaimana cara menotok hingga orang dalam waktu sekejap tidak berdaya. Kaku
diam dan bisu! Karena pada dasarnya Retno adalah seorang gadis yang cerdas maka
dalam waktu singkat dia sudah menguasai ilmu itu. Pergola mengajarkan ilmu
menotok itu sebenarnya karena mempunyai tujuan tertentu. Disamping ahli
mengobati dan menotok lelaki ini memiliki keahlian lain yakni pengetahuan yang
amat luas tentang berbagai macam senjata mustika atau senjata sakti yang ada di
tanah Jawa. Dia mampu mengingat diluar kepala senjata-senjata yang terdapat
diberbagai Keraton di pulau Jawa ataupun yang dimiliki para tokoh ternama
lainnya, termasuk tokoh-tokoh dunia persilatan. Sejak lama dia berniat memiliki
beberapa dari senjata sakti mandraguna tersebut. Bukan untuk dimiliki, tapi
untuk dijual dengan harga tinggi. Diantara senjata-senjata yang jadi incarannya
adalah Pedang Dewa Dewi yang selama ini tersimpan disebuah gua tempat kediaman
tokoh sakti Suara Tanpa Rupa. Lalu Keris Ular Emas yang dikuasai Dewi Ular dan
yang ketiga Pedang Samber Nyawa yang berada di sebuah pulau diujung Jawa Timur.
Pergola tengah menyusun rencana bagaimana caranya mendapatkan ketiga senjata
itu ketika telinganya yang tajam dan pengetahuannya yang luas menyirap kabar
bahwa Pedang Dewa dan pasangannya Pedang Dewi tak ada lagi di gua Suara Tanpa
Rupa. Lalu Keris Ular Emaspun telah berpindah tangan sedang Pedang Samber Nyawa
terakhir sekali direbut oleh seorang pendekar gagah bernama Mahesa Kelud. Ada
petunjuk nyata bahwa Pedang Dewa dan Keris Ular Emas telah berada pula di
tangan pendekar itu. Maka Pergola menyusun rencana baru. Retno Kumalasari
diperalatnya untuk mendapatkan senjata-senjata itu. Maka diapun menyirap kabar
dimana beradanya Mahesa Kelud. Dan akhirnya Retno berhasil memperdayai Mahesa. Bukan
saja dia berhasil mendapatkan Pedang Dewa dan Keris Ular Emas, tapi dia juga
berhasil "menjual" tubuh pamuda itu pada hartawan Prajadika yang
menaruh dendam terhadap Mahesa karena kematian puteranya!
"Kakak Pergola, rokokku
habis….." terdengar suara Retno bernada setengah merengek.
"Aku minta lagi….."
Kedua matanya hampir terpicing.
"Cukup Retno. Kau harus
tidur ....!" jawab Pergola. Tangan kanannya bergerak mencabut Pedang Dewa.
Sinar merah menerangi ruangan itu.
"Senjata luar biasa! Senjata
yang akan membuatku jadi kaya!"
Braak!
Baru saja Pergola berkata begitu
pintu rumah terpentang dan mental berantakan. Mahesa Kelud tegak diambang
pintu.
"Senjata curian itu akan
membuat kau celaka Pergola! Bukan membuatmu jadi kaya!" bentak Mahesa.
Pergola melompat dari duduknya, siap dengan pedang sakti di tangan. Retno,
meskipun belum melihat orangnya tapi telah mengenali suara pendekar itu. Dengan
cerdik dia segera menyambar Keris Ular Emas. Tapi pengaruh obat dan rokok
membuat gerakannya menjadi lamban. Mahesa bergerak lebih cepat mengambil Keris
Ular Emas yang terjatuh di lantai sewaktu Pergola berdiri tadi. Bersamaan
dengan itu dia pergunakan tumitnya untuk menendang Retno, tidak keras tapi
cukup membuat puteri Suto Nyamat itu terpekik dan terpelanting ke samping. Baru
saja jari-jari tangan Mahesa Kelud menyentuh Keris Ular Emas tiba-tiba
terdengar suara menderu. Sinar merah yang terang berkiblat. Pedang Dewa
menyambar ganas ke arah pinggang pendekar itu. Walaupun Pergola tidak memiliki
ilmu silat atau ilmu pedang, namun serangan yang dilancarkannya dengan senjata
sakti itu tetap saja merupakan serangan maut!
Mahesa jatuhkan diri ke lantai,
hampir menabrak pelita. Bacokan pedang lewat diatasnya.
"Pergola! Kalau kau serahkan
pedang itu secara baik-baik, aku tak akan menyakitimu! Juga tidak akan
menyakiti kekasihmu!" ujar Mahesa. Saat itu dia sudah tegak berdiri,
antara Pergola dan Retno. Retno Kumalasari yang berdiri dibelakangnya tanpa
terlihat oleh Mahesa memberikan isyarat rahasia lalu berseru:
"Kakak Pergola! Turuti
katanya. Serahkan pedang itu dan biarkan dia pergi!"
Pergola yang sudah melihat
isyarat yang diberikan Retno, semula kembali hendak menyerang, tapi batalkan
niatnya.
"Aku menyadari tingginya
puncak Merapi!" kata Pergola pula. "Meski pedang sakti di tangan mana
mungkin aku bisa menang menghadapimu. Apalagi kau memegang Keris Ular Emas.
Ini, ambil kembali pedangmu. Lalu pergilah dari sini….."
Pergola angsurkan pedang dan
sarungnya. Pedang di tangan kanan sarung di tangan kiri. Mahesa sisipkan Keris
Ular Mas ke pinggang lalu ulurkan tangan untuk menerima senjata itu. Namun
sebelum sempat menyentuh senjata ataupun sarungnya tiba-tiba, dalam gerakan
luar biasa sarung pedang berkelabat, ujungnya menusuk ke dada kiri Mahesa.
"Bangsat curang....!" maki Mahesa.
Dia cepat hindarkan tusukkan ujung sarung pedang. Namun agak terlambat. Ujung
sarung itu masih sempat menusuk bahu kanannya. Saat itu juga dia merasakan
tubuhnya sebelah kanan menjadi sangat linu. Dia tak dapat menggerakkan tangan
kanan sedang kaki kanan terasa berat untuk dilangkahkan seolah-olah diganduli
batu besar!
Menyangka lawannya lumpuh total
maka ahli obat itu angkat tangannya yang memegang pedang tinggi-tinggi, lalu
ditetakkan sekencang-kencangnya ke kepala Mahesa. Setengah jalan Pergola tersentak
kaget ketika melihat lawannya tiba-tiba mengangkat tangan kiri dan
memukulkannya ke depan. Serangkum angin luar biasa panasnya menderu. Mahesa
telah lepaskan pukulan inti api. Pergola menjerit setinggi langit. Tubuhnya
mencelat menghantam dinding lalu roboh ke lantai. Sebagian dada dan perutnya
hangus. Pedang Dewa jatuh tergeletak di sampingnya.
"Kakak Pergola!"
terdengar pekik Retno Kumalasari lalu gadis ini lari menubruk tubuh Pergola
yang tidak bergerak dan tak bernafas lagi. Mahesa lepaskan totokan dibahunya
dengan tangan kiri lalu ambil Pedang Dewa berikut sarungnya dan selipkan
senjata itu ke balik pakaiannya.
"Pembunuh! Pembunuh!"
teriak Retno. Hendak diterkamnya Mahesa. Tapi kali ini si pemuda tidak punya
rasa kasihan lagi. Tamparannya mendarat pulang balik ke muka gadis itu. Retno
terhempas ke lantai, meraung-raung, memanggil-manggil kekasihnya. Darah
bercucuran dari bibirnya yang pecah!
***
Tiga orang gadis berbaju biru,
cantik-cantik semuanya, menjura
dihadapan Dewi Maut.
"Cepat katakan apa hasil
penyelidikan kalian?" Dewi Maut langsung bertanya. Sejak markasnya
dilabrak Mahesa Kelud beberapa bulan lalu dia merasa masygul. Pertama dia dan
anak buahnya belum sempat membenahi bangunan rahasia mereka yang terletak di
Lembah Maut. Kedua dia telah sengaja menipu Mahesa dengan memberikan pedang
Samber Nyawa palsu. Hal ini mungkin akan mendatangkan kelanjutan yang tidak
enak atau yang menyenangkan hatinya. Yang tidak enak si pemuda akan muncul
kembali mengobrak abrik tempat kediamannya bahkan kali ini mungkin membunuh
anak buahnya. Yang menyenangkan ialah dia dapat melihat wajah pemuda itu
kembali. Satu hal yang dirindukannya sejak kedatangannya dulu. Hal ketiga yang
menimbulkan rasa kawatir dalam diri sang dewi ialah minggatnya salah seorang
anak buahnya yakni empat Biru. Seperti yang dilaporkan sembilan Biru ada
kecurigaan bahwa anak buah yang kabur itu telah terpikat pada Mahesa dan
melarikan diri untuk dapat mengejar pemuda tersebut.
Tiga Biru maju selangkah. Dia
memberi keterangan:
"Ada dua orang lelaki
diketahui naik perahu dari pantai Timur menuju kemari. Saya tidak mengetahui
siapa mereka”.
“Terangkan ciri-ciri
keduanya!" ujar Dewi Maut. Hatinya bertambah masygul.
"Yang seorang kakek memiliki
muka seperti tengkorak. Berpakaian biru gelap. Pada pinggangnya ada seeker ular
mati, besar sekali..."
Dewi Maut merenung. "Aku
pernah dengar tokoh silat dengan ciri-ciri seperti itu. Tapi lupa nama atau
gelarnya. Bagaimana tampang lelaki yang kedua?"
"Separuh baya. Berpakaian
bunga-bunga merah... ." jawab Tiga Biru.
"Pasti itu si Pendekar
Kembang Merah.... Kenapa orang-orang itu datang kemari? Kalau tidak sengaja
mencari mati pasti ada sesuatu . . ." Dewi Maut memandang pada anak
buahnya yang kedua. Sembilan Biru. Anak buah ini menerangkan dia tidak berhasil
mencari jejak kemana perginya Empat Biru.
"Dan kau Lima Biru, apa
hasil penyelidikanmu?" Lima Biru menjura dulu baru menjawab. "Di luar
pulau tak ada yang dapat saya temukan. Tapi di dalam pulau ada suatu keanehan.
Di sebelah timur Lembah Maut, sejak satu hari lalu selalu terdengar suara orang
menyanyi diiringi gesekan rebab….”
Paras Dewi Maut berubah. Dia
tegak dari kursi besar empuk yang didudukinya lalu melangkah mundar mandir.
"Kalau benar Dewi Rebab
Kencana yang muncul sungguh luar biasa." Lalu dia terdiam sesaat, baru
bertanya:
"Tidak satupun dari kalian
yang menyirap kabar tentang pemuda bernama Mahesa Kelud itu?"
"Tidak Dewi," jawab
ketiga anak buah itu hampir berbarengan.
"Dengar kalian bertiga.
Untuk sementara jangan ganggu orang yang menyanyi dengan iringan rebab itu.
Lima Biru, kau pimpin lima orang kawan-kawanmu dan berjaga-jaga disepanjang
pantai. Siang malam! Jangan sampai dua tamu tak diundang itu lolos. Dan kau
Sembilan Biru, bersama dua kawanmu tetap berjaga-jaga disini. Karena alat-alat
rahasia kita belum seluruhnya terpasang rampung, agaknya kita harus
mempergunakan kekuatan dan kepandaian. Laksanakan tugas!'"
Ketiga gadis itu menjura dan siap
berlalu ketika tiba-tiba anak buah dengan panggilan Enam Biru muncul membawa
kabar baru.
"Dewi, mata-mata kita di
daratan memberi tahu ada seorang kakek bermuka angker menuju kemari pagi tadi.
Mata-mata itu tak dapat mencegah, malah dua kawannya tewas ditangan si
kakek!"
"Bagaimana keangkeran
tampang orang itu?" tanya Dewi Maut.
"Matanya hanya satu,
hidungnya sangat pesek. Kuping sebelah kanan sumplung. Kedua kakinya memakai
gelang bahar. Berjanggut tebal sampai ke dada..."
"Tubuhnya kurus. . .?"
"Betul sekali Dewi."
"Ah......." seru sang
dewi pendek dan berusaha menenangkan darahnya yang tersirap.
"Dia berani datang lagi.
Pasti mengandalkan sesuatu ..." Lalu pada ketiga anak buahnya yang
terdahulu dia memerintahkan untuk segera melaksanakan tugas. Dewi Maut sendiri
kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan batu yang pintunya hanya bisa dibuka
secara rahasia dan sulit dilihat karena hamper sama rata dengan dinding.
***
Malam gelap sekali dan dingin.
Tambah dingin menjelang memasuki dini hari. Dibalik gundukan batu karang di
sebelah timur Pulau Mayat dua sosok tubuh tampak mendekam. Keduanya hampir tak
banyak bergerak ataupun bicara. Kalau bicara mereka berbisik-bisik. Dikejauhan
terdengar suara alunan rebab.
"Perempuan muka pucat itu
ternyata lebih cepat dari kita, Datuk," bisik lelaki berpakaian
kembang-kembang. Ternyata keduanya adalah Datuk Ular Muka Tengkorak dan
Pendekar Kembang Merah.
"Tak jadi apa, yang penting
kita sampai disini lebih dulu dari si keparat itu!"
"Apakah menurutmu Simo
Gembong belum sampai disini?" tanya Pendekar Kembang Merah.
"Aku yakin. Walau dia
sebelumnya berada di depan kita tapi kita menempuh jalan memotong
dan....."
Ucapan Datuk Ular terhenti ketika
tiba-tiba terdengar bentakan garang.
"Dua manusia dibalik batu
karang! Jika kalian serahkan diri secara baik-baik, kami akan mengampuni nyawa
kalian!"
Datuk Ular dan Pendekar Kembang
Merah terkejut. Mereka hampir tak mendengar kedatangan orang tahu-tahu sudah
berada didekat sana dan membentak. Keduanya palingkan kepala. "Ah!
Ternyata gadis-gadis cantik!" ujar sang datuk sambil tertawa menyeringai.
"Kalian bertiga pasti anak
buah Dewi Maut…..!"
"Jika sudah tahu mengapa
masih banyak mulut!" Yang menjawab adalah gadis paling ujung kanan. Dia
bukan lain Lima Biru bersama Tujuh Biru dan Tiga Biru. "Kawan-kawan, mari
kita tangkap dua tikus tak diundang ini!"
"Hai! Tunggu dulu!"
Kata Pendekar Kembang Merah cepat.
"Kami tidak ada silang
sengketa dengan kalian ataupun Dewi Kalian. Mengapa hendak menangkap kami? Apa
kesalahan kami berdua?!"
Lima Biru mendengus. "Apa
tidak tahu peraturan? Siapa saja orang luar yang berani injakkan kaki di Pulau
Mayat berarti mati! Masih untung kalian berdua hanya kami tangkap! Soal nyawa
nanti Dewi yang memutuskan!"
"Alangkah hebatnya!"
ujar Datuk Ular seraya batuk-batuk." Kalian bertiga seperti kurang
pekerjaan. Sebaiknya kembali ke tempat kediaman kalian. Tidur dibawah selimut
hangat. Malam-malam begini berada diluaran bisa masuk angin!"
"Tua bangka bermulut
ceriwis!" sentak Lima Biru. Dia memberi isyarat pada dua kawannya. Ketiga
gadis itu langsung berkelebat ke arah Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah.
Dua lelaki ini memang sudah lama mendengar kehebatan Dewi Maut dan anak
buahnya. Kini menyaksikan sendiri mereka jadi terkejut. Gadis-gadis muda dan
cantik itu sebat sekali gerakan mereka. Tangan kanan memukul, tangan kiri
berusaha menotok. Kalau tidak berkelit dengan cepat, salah satu serangan itu
pasti akan menemui sasaran. Ketika menghindar melihat lawan sanggup kini Lima
Biru dan dua kawannya yang ganti terkejut. Jelas dua orang ini memiliki
kepandaian tinggi. Maka didahului penyerangan.
Tujuh jurus
menggempur habis-habisan tanpa dapat merobohkan lawan membuat Lima Biru
dan dua kawannya menyadari bahwa mereka tak bakal sanggup menangkap dua orang
itu hidup-hidup. Diikuti oleh Tujuh Biru dan Tiga Biru, Lima Biru cabut pedang
hitamnya. Dengan senjata di tangan mereka kembali menyerbu. Tiga pedang
membentuk tiga buntalan sinar hitam yang menggidikkan didalam gelapnya malam.
Tekanan tiga pedang membuat Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah terdesak.
Ternyata nama Dewi Maut bukan satu nama kosong. Kalau ingin selamat tak ada
jalan lain. Datuk Ular harus keluarkan pukulan-pukulan sakti atau loloskan ikat
pinggang ular sancanya dan Pendekar Kembang Merah harus siap dengan bunga
kertasnya.
Di jurus ke sepuluh ketika
serbuan lawan tidak tertahankan lagi dua tokoh silat ini terpaksa keluarkan
senjata masing-masing. Disaat itulah terdengar suara tawa mengekeh.
"Ha .. ha .. ha.! Dua
manusia yang katanya tokoh persilatan baru menghadapi gadis-gadis bau kencur
saja sudah kalang kabut! Sangat memalukan!"
Baik Datuk Ular maupun Pendekar
Kembang Merah sama-sama tersentak kaget. Suara tawa dan yang tadi bicara itu
adalah suaranya Simo Gembong. Berpaling ke arah datangnya suara keduanya hanya
sempat melihat lenyapnya satu sosok bayangan di dalam gelap.
"Tiga Biru!" sera Lima
Biru. "Lekas kejar orang itu! Beritahu kawan-kawan!"
Tiga Biru segera tinggalkan
kalangan pertempuran, mengejar kearah lenyapnya suara tertawa tadi. Sambil
mengejar dia keluarkan suitan panjang. Inilah tanda rahasia bagi tiga orang
kawannya yang berada di jurusan lain. Setelah kedua lawan keluarkan senjata
sementara kepergian Tiga Biru membuat Lima Biru kini hanya berdua saja dengan
Tujuh Biru, setelah terjadi gebrakan-gebrakan hebat dalam dua jurus, anak buah
Dewi Maut itu kini merasakan bukan saja semua serangan mereka jadi terbendung
tapi serangan balasan lawan membuat keduanya terpaksa bertahan malah sejurus
kemudian terdesak hebat.
PEDATARAN PEMANCUNGAN
Nama yang menggidikkan ini
diberikan oleh Dewi Maut dan sesuai dengan keadaannya. Meskipun pedataran itu
merupakan lapangan luas berumput yang dikelilingi pohon-pohon bunga, namun
disekelilingnya juga terdapat lebih dari selusin tiang pembantaian. Pada masing-masing
tiang terpancang mayat manusia. Ada yang masih baru, ada yang sudah membusuk
dan beberapa diantaranya hanya tinggal jerangkong putih. Simo Gembong
memandangi tiang-tiang kematian itu satu demi satu. Dia membalik ketika
dibelakangnya terdengar beberapa sosok tubuh berkelebat. Di pedataran itu kini
tampak tujuh gadis berpakaian biru, berpencaran dan jelas mengurungnya. Simo
Gembong menyeringai. Matanya yang Cuma satu berkilat-kilat. Sekian tahun
mengucilkan diri di puncak Gunung Kelud, siapa yang tidak terpesona melihat
sekian banyak gadis cantik walau jelas pandangan mata mereka membersitkan sinar
maut.
"Gadis gadis cantik! Mana
Dewi kalian. Cepat suruh dia datang kemari!"
“Kau tak layak memerintah kami.
Apalagi menyuruh Dewi datang kemari! Kau tahu kematianmu sudah diujung
mata?!"
Yang membuka suara adalah Tiga
Biru. Si mo Gembong tertawa mengekeh.
"Gadis secantikmu tak layak
segalak itu!"
"Lekas sebutkan nama atau
gelarmu sebelum nyawa lepas dari tubuhmu!"
"Kalian rupanya
memang manusia-manusia haus nyawa! Tapi ketahuilah nyawa burukku tidak
begitu sedap untuk diteguk! Katakan pada Dewi kalian aku Simo Gembong ingin
bertemu dan bicara dengannya!"
"Kentut busuk! Biar kepalamu
kubuat menggelinding dulu!" Tiga Biru cabut pedang hitamnya lalu menerjang.
Sinar hitam menderu dalam gelapnya malam. Simo Gembong masih tertawa mengekeh.
Tubuhnya berkelebat. Terdengar seruan Tiga Biru. Gadis ini melompat mundur.
Memandang ke depan dia hampir tak percaya melihat pedang hitamnya telah
berpindah tangan. Kini dipegang oleh Simo Gembong! Meskipun melihat kenyataan
bahwa orang tua kurus berambut awut-awutan itu memiliki kepandaian luar biasa
tingginya namun Tiga Biru tidak menaruh takut sama sekali. Dengan tangan kosong
dia kembali menyerbu. Enam gadis lainnya kini tak tinggal diam. Mereka serentak
cabut padang dan menyerang.
"Tahan!"
Satu seruan lantang terdengar
membelah kegelapan malam. Tujuh gadis baju biru cepat menahan gerakan mereka
begitu mengenali suara tadi. Sesosok tubuh tinggi semampai berpakaian hijau
tipis tegak di tengah Pedataran Pemancungan. Dewi Maut! Dia berdiri dengan kaki
merenggang tangan di pinggang.
"Puluhan tahun lalu kau
melarikan diri dariku. Melarikan diri dari tanggung jawab secara pengecut!
Malam dingin begini tahu-tahu muncul kembali! Apakah kau sudah bersiap sedia
untuk mati Simo Gembong…..?"
"Dewi Maut... Dewi Maut!
Sajakmu sungguh bagus. Ah! Aku tak boleh memanggilmu dengan nama itu. Lebih
layak menyebut nama aslimu. Sutri.... Sutri!"
Paras Dewi Maut tampak berubah
ketika Simo Gembong menyebut namanya. "Dengar Sutri, aku datang memang
untuk mati. Jika itu sudah takdirku! Tak ada yang lebih nikmat dari pada
kematian .... Tapi sebelumnya aku ingin bicara empat mata dulu denganmu!"
"Begitu?! Orang yang mau
mampus memang layak dikabulkan pemintaannya!"
jawab Dewi Maut. Lalu dia memberi
isyarat pada ketujuh anak buahnya.
"Dewi....." Tiga Biru
menunjukkan rasa kawatir.
"Jangan takut!" berkata
sang dewi.
"Tua bangka rongsokan ini
tampangnya memang angker. Lagaknya selangit. Tapi dia tak ada apa-apanya!
Kalian boleh pergi.....!"
Meskipun tetap kawatir akan
keselamatan dewi mereka namun Tiga Biru dan kawan-kawannya terpaksa harus
mematuhi perintah pimpinannya itu. Kini di Pedataran Pemancungan hanya Dewi
Maut tegak berhadap-hadapan, terpisah sejarak sepuluh langkah.
"Lekas katakan apa
maumu!" kata Dewi Maut.
"Aku ingin memperlihatkan
bahwa bagaimanapun aku adalah manusia yang bisa bertanggung jawab ...."
"Maksudmu?!"
"Dalam sisa hidupku, aku
ingin tinggal bersamamu disini atau dimana saja sebagai suami istri....!"
Simo Gembong bicara blak-blakan.
"Jadi itu tanggung jawab
yang kau maksudkan!"
"Betul sekali Sutri….."
Sutri alias Dewi Maut mendongak
ke langit gelap lalu tertawa panjang.
"Tanggung jawabmu sudah basi
Simo Gembong! Dosamu tak mungkin terampunkan dengan cara apapun! Lagi pula aku
berpikir-pikir, apakah kau pernah berkaca sebelum datang kemari dan bicara
melantur seperti ini?"
Paras Simo Gembong kelihatan
menjadi merah.
"Matamu cuma satu, hidungmu
pesek, kupingmu sumplung. Dan hatimu lebih jahat dari iblis kepala seribu!
Apakah kau cukup pantas tinggal bersamaku?!
Jangan mimpi Simo. Atau kau
mabok? Atau ada niat keji di balik maksudmu itu ...."
"Tidak ada niat keji apapun.
Aku benar-benar ingin melupakan masa lalu dan ingin menempuh hidup
baik-baik".
"Ah, ternyata kaupun pandai
bersajak. Tapi sajakmu itu sayang, tak laku disini! Malam ini malaikat maut
siap menjemput nyawa anjingmu!"
Dendam kesumat Dewi Maut yang
pernah dirusak kehidupannya dimasa muda lalu ditinggalkan begitu saja, rupanya
tak mungkin dihapus dengan maksud dan janji muluk.
"Kalau memang begitu katamu,
akupun sudah siap untuk mati!" kata Simo Gembong. Lalu maju dua langkah.
"Aku tahu kau memiliki
pedang Samber Nyawa yang asli. Keluarkan senjata itu. Gorok batang leherku! Kau
puas dan akupun terlepas dari siksa batin puluhan tahun!"
Dari balik pinggang pakaian
hijaunya Dewi Maut keluarkan sebuah benda berbentuk gulungan. Ketika gulungan
ini dibuka . .. sret!
Membersitlah sinar hitam pekat
menggidikkan. Sebilah pedang angker kini tergenggam di tangan Dewi Maut.
Senjata ini demikian tipisnya dan bergoyang-goyang tiada henti, sulit dilihat
mana badannya yang asli dan mana yang bayangan belaka!
"Aku sudah siap!" kata
Simo Gembong dan maju lagi dua langkah. Dewi Maut juga melangkah mendekat.
Pedang Samber Nyawa melintang di depan dada. Ketegangan menggantung di udara
malam yang dingin mencucuk sungsum. Justru saat itulah tiba-tiba dua sosok
tubuh berkelebat dan satu bentakan nyaring terdengar.
"Nyawa Simo Gembong adalah
milik kami!"
Sesaat kemudian Datuk Ular Muka
Tengkorak dan Pendekar Kembang Merah sudah berada di Pedataran Pemancungan.
Sebelumnya mereka telah berhasil
merobohkan Lima Biru dan Tujuh Biru.
"O ladalah! Dua ekor monyet
ini rupanya!" kata Simo Gembong ketika mengenali dua tokoh silat itu dalam
gelapnya malam. Dia sengaja menyebut mereka sebagai dua ekor monyet karena
jengkel.
"Aku mengampuni nyawa kalian
waktu pertempuran di Lembah Suket! Sekarang malah menyusul kemari. Benar-benar
minta mampus!"
Pendekar Kembang Merah
bertonjolan rahangnya mendengar ucapan Simo Gembong yang merendahkan itu.
Sebaliknya Datuk Ular cepat menyahuti sambil tak lupa mengumbar tawa mengejek.
"Simo Gembong manusia
durjana! Kami datang justru mengejarmu yang secara pengecut melarikan diri dari
Lembah Suket!"
"Bagus! Kalau kalian merasa
diri sebagai jago silat kelas satu terima salam hormatku ini!"
Simo Gembong lambaikan kedua
tangannya ke depan. Perlahan saja. Tapi dari telapak tangan kiri kanan menderu
angin dahsyat berwarna hitam!
Baru saja dua sinar pukulan itu
menghantam setengah jalan tiba-tiba terdengar suara rebab digesek keras
melengking langit menembus kegelapan malam dingin.
Sinar putih kekuningan yang
mengembang seperti kipas berkiblat. Sesaat Pedataran Pemancungan terang
benderang. Lalu des! des! Dua larik sinar hitam dari telapak tangan Simo
Gembong terpapas lebur berantakan. Beberapa seruan kaget terdengar. Simo
Gembong tampak miring tubuhnya ke kiri tapi dia cepat mengimbangi diri dan
pasang kuda-kuda baru. Di sebelah kanan pedataran tampak seorang perempuan
berambut panjang tergerai, berwajah pucat. Dia memegang alat penggesek di
tangan kanan dan rebab di tangan kiri. Perempuan ini tampak terhuyung-huyung
kebelakang. Ketika dia hampir jatuh terduduk di rumput cepat dia melompat
jungkir balik di udara lalu tegak kembali diatas kedua kakinya. Sepasang
matanya memandang tak berkesip ke arah Simo Gembong.
"Ah, mengapa perempuan ini
muncul lagi disini," diam-diam Simo Gembong mengeluh.
"Dewi Rebab Kencana!"
seru Datuk Ular menyebut julukan perempuan bermuka pucat. "Terima kasih,
kau lagi-lagi menolong kami. Hanya saja mohon dimaafkan. Biarkan kami
menyelesaikan urusan dengan manusia durjana bermata satu itu!" Perempuan
yang memegang rebab mendengus. "Apapun urusan kalian aku tidak perduli.
Darah dan nyawanya adalah bagianku!" Lalu alat penggesek ditangannya
meluncur diatas tali-tali rebab. Terdengar suara rebab melengking yang disusul
dengan kiblatan sinar putih kekuningan. Kali ini lebih hebat, lebih panas dan
lebih terang. Menghantam ke arah Simo Gembong!
"Manusia-manusia tolol!
Kalian datang tidak pada waktu yang tepat!
Biarkan aku menyelesaikan urusan
dengan Dewi Maut!" teriak Simo Gembong seraya melompat tiga tombak ke
atas. Dari atas dia memukul dengan tangan kanan ke bawah. Angin sedahsyat badai
menerpa.
Buum!
Pedataran berumput itu laksana
dilanda gempa. Para tokoh silat yang ada disitu berlompatan berserabutan.
Ketika muncratan pukulan-pukulan sakti itu lenyap tampak Dewi Rebab Kencana
duduk bersila di rumput. Rebab dan penggeseknya terletak di atas pangkuan.
Dadanya turun naik, wajahnya tambah pucat dan rambutnya yang panjang
awut-awutan. Jelas dia tengah mengatur jalan nafas dan peredaran darah dari
gejolak hebat akibat bentrokan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga dalam
tinggi. Di seberang sana Simo Gembong tampak tersandar ke salah satu tiang
pemancungan. Rahangnya menggembung. Matanya yang cuma satu membeliak besar.
Terlebih ketika dilihatnya Dewi Rebab Kencana perlahan-lahan berdiri sambil
pegang rebab dan penggeseknya.
"Dewi Rebab! Datuk Ular dan
Pendekar Kembang Merah! Kalian bertiga pantas dihukum mati karena telah masuk
ke Pulau Mayat tanpa izinku! Tapi mengingat akupun punya persoalan dengan kakek
buruk ini, jika kalian mau meninggalkan tempat ini dengan segera maka nyawa
kalian aku ampunkan!"
"Kalau kita semua mempunyai
urusan yang sama, mengapa tidak saling berebut cepat berbuat pahala menamatkan
riwayat manusia biang racun malapataka ini?!" ujar Datuk Ular. Dewi Rebab
menggesek rebabnya, keras melengking. Tanda dia setuju dengan ucapan Datuk
Ular. Pendekar Kembang Merah tidak berkata apa-apa, tapi diapun ikut setuju dan
diam-diam sudah kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan dan tangan kiri menyelinap
mengambil senjatanya yaitu kembang kertas warna merah. Sebelum Dewi Maut dapat
mencegah ketiga tokoh silat itu sudah menyerbu Simo Gembong. Kawatir kedahuluan
ketiganya, Dewi Maut yang sejak tadi telah memegang pedang Samber Nyawa
akhirnya menyerbu pula ke tengah kalangan pertempuran. Sinar hitam menggidikkan
yang mengeluarkan deru angin panas berkelebat di udara ketika pedang sakti itu
membabat. Badan pedang berubah menjadi puluhan. Sulit diterka mana yang asli
dan mana bayangannya!
Dua bunga kertas merah menyambar
ganas ke perut dan batok kepala Simo Gembong. Ikat pinggang berupa ular sanca
besar ditangan Datuk Ular menderu membabat ke pinggang dan sinar putih
kekuningan yang keluar dari tali-tali rebab yang digesek bersiur dahsyat melabrak
kakek bertubuh kurus itu!
Simo Gembong berteriak keras.
Putus asa karena Sutri alias Dewi Maut menolak untuk hidup bersama. Disamping
itu dia juga marah melihat kenyataan dirinya menjadi bulan-bulanan
pengeroyokan. Namun suara teriakan Simo Gembong yang dahsyat itu ternggelam
dalam satu bentakan menggeledek yang datang dari ujung timur Pedataran
Pemancungan. Semua serangan punah berantakan!
"Manusia-manusia Beraninya
main keroyok! pengecut! Benar-benar memalukan!"
Segulungan asap putih datang
membuntal. Udara di pedataran berumput itu mendadak sontak menjadi dingin luar
biasa. Semua yang ada disitu menggigil. Pendekar Kembang Merah goyah lututnya dan jatuh tersungkur.
Datuk Ular komat-kamit entah membaca mantera apa. Tubuhnya menggeletar. Dewi
Rebab Kencana menggigil, berusaha bertahan agar tidak melosoh ke tanah. Dewi
Maut pegang Pedang Samber Nyawa erat-erat dan salurkan hawa panas dari pedang
itu ke dalam tubuhnya. Namun tak urung tetap saja dia merasa kedinginan. Simo
Gembong tegak tergontai-gontai. Matanya yang besar merah tampak membeliak. Tapi
dia tidak merasa dingin. Jelas pukulan asap putih dingin itu tidak ditujukan
padanya! Tapi tak dapat dia menduga. Kawan atau lawankah yang datang ini? Di
saat dia sudah kepingin cepat-cepat mati mengapa masih ada saja yang hendak
menolongnya? Asap putih dingin perlahan-lahan sirna meninggalkan kabut tipis.
Dibalik asap tipis itu kelihatan tegak sesosok tubuh tinggi kekar, berpakaian
putih dengan baju terbuka hingga tampak dadanya yang penuh dengan otot.
"Mahesa!" seru Simo
Gembong ketika dia mengenali siapa adanya orang itu. Dewi Maut tersentak kaget.
Mendadak saja hatinya gembira berbunga-bunga. Benarkah pemuda yang
dirindukannya itu yang tegak dibalik kabut putih tipis itu?
Embah!" seru si pemuda
seraya melompat ke hadapan gurunya dan tegak dengan sikap melindungi. Embah Jagatnata alias Simo Gembong sesaat
masih terkesiap namun kemudian terdengar suara tawanya panjang.
"Muridku! Aku gembira kau
datang! Tapi aku tidak senang kau turun tangan menolongku! Aku kagum melihat
kau memiliki ilmu pukulan sakti bernama Api Salju tadi! Muridku, biarkah aku
mati ditangan orang-orang ini! Untuk menebus semua dosaku. Termasuk dosaku
padamu! Dosa membunuh ayah dan ibumu!"
"Embah, saya telah melupakan
hal itu ...." kata Mahesa.
"Bagus! Terima kasih
muridku. Tapi ada yang tak bakal melupakan. Yakni hukuman Tuhan! Jika kau
merasa masih muridku, patuh padaku, pergi ke ujung lapangan sana! Biarkan
orang-orang ini membantaiku di pedataran rumput ini!"
"Sebagai murid saya tak bias
berlepas tangan membiarkan mereka membunuh Embah!"
"Jangan keras kepala! Turut
perintahku!" Simo Gembong tampak marah. Mahesa tetap tegak ditempatnya.
Kedua matanya memandang ke arah orang-orang yang siap mengeroyok gurunya. Simo
Gembong diam-diam mengetahui apa yang ada dalam benak pemuda itu. Maka dia
cepat berkata.
"Mahesa, dengar! Apapun yang
mereka lakukan terhadapku jangan sekali-kali kau mendendam pada mereka!"
Datuk Ular, Dewi Rebab Kencana
dan Pendekar Kembang Merah hampir tak dapat mempercayai kalau yang muncul itu
adalah seorang pemuda yang diakui murid oleh Simo Gembong. Jika gurunya jahat
apakah sang murid juga jahat? nyatanya sang murid memiliki kepandaian yang
tidak berada dibawah tingkat kepandaian gurunya. Apakah dia berkeras kepala untuk
membantu Simo Gembong?
Sebaliknya Dewi Maut tidak
perdulikan siapapun adanya Mahesa. Melihat wajah pemuda itu kembali hilanglah
kerinduannya selama ini. Selintas pikiran muncul dibenaknya. Serangkum senyum
menyungging dibibirnya yang merah mungil. Dia berpaling pada Simo Gembong dan
berkata:
"Tua Bangka durjana!
Aku bisa melupakan dendam
kesumatku terhadapmu dan mengampuni selembar nyawa busukmu. Asal saja kau mau
membujuk muridmu untuk tinggal disini, di Pulau Mayat ini!"
Paras Mahesa Kelud tampak menjadi
sangat merah. Datuk Ular, Dewi Rebab dan Pendekar Kembang Merah sama memandang
ke arahnya.
"Eh, apa katamu Sutri. ..
.?!" ujar Simo Gembong seraya memandang pulang balik pada Mahesa dan Dewi
Maut.
"Ha ...ha ... ha .. !
Rupanya kau sudah jatuh cinta pada muridku! Ha.. ha.. ha..!
Pantas tak ada tempat lagi
untukku dihatimu!"
Meskipun mulutnya tertawa tapi
hati dan batin Simo Gembong benar-benar terpukul. Kemungkinan hidup bersama
dengan perempuan yang pernah dirusak kemudian dicintainya itu sudah tertutup. Apalagi
yang kini dicarinya selain kematian?! Dia memandang berkeliling.
"Siapa yang ingin
membunuhku, bunuhlah! Mahesa, jangan kecewakan hatiku dihari terakhir hidupku
ini! Menyingkir ke tepi pedataran!"
Mahesa merasakan tenggorokannya
tercekik. Dengan langkah gontai dia berjalan ke tepi pedataran berumput. Saat
itulah Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah pergunakan kesempatan. Ikat
pinggang ular sanca menderu. Kembang kertas merah melesat. Disaat yang sama
Dewi Rebab gesek rebabnya. Sinar putih kekuningan menyambar ke arah perut Simo
Gembong. Tubuh orang tua itu mencelat ketika sinar putih menghantam perutnya.
Belum sempat mencelat jauh, kepala ular menggebuk punggungnya hingga dia
terbanting ke bawah. Disaat itu pula kembang kertas yang sekeras kepingan besi
itu menancap di dadanya! Jelas sekali terlihat Simo Gembong tidak berusaha
menghindar atau balas menyerang. Dia biarkan dirinya menjadi sasaran tiga
serangan itu. Tubuhnya terkapar di tanah. Tapi dia bangkit kembali sambil
menyeringai. Darah mengucur dari dadanya yang ditancapi kembang kertas.
Tulang-tulang iganya dibarisan belakang kiri hancur oleh gebukan senjata Datuk
Ular dan sinar putih yang menghantam dadanya membuat dada itu hangus. Darah
kental kelihatan mengucur di sela bibirnya.
"Embah!" pekik Mahesa.
"Tetap ditempatmu!"
teriak Embah Jagatnata alias Simo Gembong. Dia melangkah ke hadapan Dewi Maut.
"Sutri.....Mereka bisa
menggebukku sampai hancur! Mereka bisa mencincang tubuh kasarku! Tapi aku tak
akan mati! Nyawaku tak akan lepas! Hanya pedang di tanganmu itu yang sanggup
membunuhku! Tusukkan ke dadaku Sutri! Tusukkan!"
"Jangan dengar ucapannya
Dewi!"
Mahesa berteriak dari tepi
pedataran. Sesaat Dewi Maut menjadi ragu. Kata-kata siapa yang harus
diikutinya. Sebaliknya Simo Gembong yakin bahwa perempuan itu akan mengikuti
ucapan Mahesa. Tak ada jalan lain. Simo Gembong menerkam ke depan. Dewi Maut
terpekik. Tubuhnya mencelat dan jatuh terhampar di rumput. Pedang Samber Nyawa
tertarik lepas dari genggamannya. Ketika dia memandang ke depan senjata sakti
itu sudah berada dalam tangan Simo Gembong.
"Embah! Jangan!" teriak
Mahesa menggeledek. Dia memburu. Tapi Simo Gembong lebih cepat. Pedang Samber
Nyawa ditusukkannya ke dadanya. Persis seperti kejadian di puncak Gunung Kelud
tempo hari. Tapi sekali ini yang menancap di dadanya adalah pedang Samber Nyawa
yang asli. Terdengar suara aneh dari tenggorokan Simo Gembong. Suara seperti
kerbau disembelih. Darah membusah dimulutnya, mengucur dari luka didada.
Matanya yang merah membeliak besar. Mahesa cepat cabut pedang Samber Nyawa dari
dada gurunya. Tubuh Simo Gembong rebah menelentang ke tanah. Mahesa
merangkulnya.
"Embah…..Embah!"
Tapi sang guru tak menjawab.
Tidak bergerak dan tak bernafas lagi. Benar-benar mati. Dewi Maut melangkah
mendekat. Dipungutnya, Pedang yang tergeletak di rumput.
"Dia sudah mati Mahesa.
Gurumu sudah mati...." terdengar perempuan itu berkata. Mahesa hanya bisa
tundukkan kepala. Disampingnya terdengar Dewi Maut membentak.
"Dewi Rebab! Datuk Ular!
Pendekar Kembang Merah! Kalian tak punya kepentingan apa-apa lagi disini! Pergi
sebelum aku merubah keputusan untuk mengampuni nyawa kalian!"
Datuk Ular berpaling pada
Pendekar Kembang Merah. Keduanya saling mengangguk. "Memang, tak ada
perlunya kami berlama-lama disini!" Lalu keduanya cepat-cepat tinggalkan
tempat itu. Dewi Maut berpaling pada Dewi Rebab Kencana. Yang dipandang
tersenyum tawar lalu gesek rebabnya. Kali ini tak ada sinar dahsyat yang
berkiblat. Hanya bunyi yang keras tapi bernada pilu. Begitu bunyi itu lenyap,
Dewi Rebab juga ikut lenyap dari tempat tersebut. Dewi Maut bertepuk tiga kali.
Tujuh anak buahnya segera muncul.
"Urus mayat kakek itu,"
katanya pada mereka.
"Baik Dewi!" Tujuh
gadis cantik berpakaian biru menyahut berbarengan.
'Tidak!" tiba-tiba terdengar
suara Mahesa.
"Aku sendiri yang akan
mengurus mayat guru! Jangan ada yang berani menyentuh jenazahnya!"
Dewi Maut termangu sesaat. Lalu
berkata:
"Jika itu maumu, akupun
tidak melarang. Hanya saja kau harus menguburkannya di pulau ini!"
Mahesa tak menyahut. Didukungnya
jenazah Simo Gembong yang selama ini hanya dikenalnya dengan nama Embah
Jagatnata. Ditepi pantai dia berhenti, memandang ke tengah laut sementara hari
mulai terang dan di timur langit kelihatan mulai merah. Dewi Maut yang sejak
tadi mengikutinya bersama tujuh anak buahnya tegak di belakangnya. Ketika
Mahesa menurunkan jenazah Simo Gembong, Dewi Maut memberi isyarat. Dua orang anak
buah Dewi Maut yakni Tiga Biru dan Dua Biru meletakkan alat-alat penggali
disamping Mahesa yakni pacul dan linggis. Keduanya kemudian mundur ke tempat
semula. Tanpa berkata apa-apa Mahesa ambil pacul itu lalu mulai menggali kubur
untuk gurunya. Dewi Maut mengambil linggis. Sesaat dia tegak memandangi Mahesa.
Ketika Mahesa mengangkat kepalanya, pandangan mereka bertemu.
"Kalau kau memang ingin
membantu, mulailah," kata Mahesa. Dewi Maut tersenyum lebar. Dia segera
mengambil linggis dan masuk ke dalam lobang yang telah digali Mahesa. Tiga Biru
memandang pada kawan-kawannya.
"Tak ada pekerjaan untuk
kita disini," katanya. Lalu ketujuh gadis itu segera tinggalkan tempat
tersebut. Mahesa dan Dewi Maut terus menggali sementara sang surya sudah
menyembul di sebelah timur.
***
TAMAT
Episode Selanjutnya:
Serigala Berbulu Domba
Emoticon