PEDANG SAKTI KERIS ULAR EMAS
Karya: Bastian Tito
Episode 15
KOLAM IBLIS
SATU
INI BENAR-BENAR merupakan satu
pemandangan yang sukar dicari tandingannya. Di kaki pegunungan Dieng sebelah
selatan, dibawah udara yang selalu sejuk dalam tiupan angin lembut terdapat
sebuah lembah yang ditumbuhi aneka ragam pohon-pohon bunga. Bagian tanah yang
tidak ditumbuhi pepohonan. menghijau pedataran rumput. Di ujung timur lembah
menjulang tinggi pohon-pohon berdaun aneka warna. Di sebelah barat pada
ketinggian yang menurun, diapit oleh pohon-pohon bunga dan pedataran rumput,
mengalir sebuah anak sungai. Dari induknya di pegunungan Dieng anak sungai ini
mengalirkan air sejuk bening ke dalam lembah di mana terdapat sebuah danau
berbentuk bulat. Seperti air sungai yang menjadi sumbernya, air danau itu
sebenarnya berwarna biru. Namun pantulan daun-daun pepohonan dan bunga-bunga
yang sedang berkembang serta pedataran rumput yang seperti berkilauan tertimpa
cahaya matahari, membuat air danau memiliki belasan warna yang indah
menakjubkan.
Bagian tepi danau dilingkari oleh
batu-batu besar hitam. Demikian rata dan bagusnya letak bebatuan itu hingga
sulit dipercaya kalau batu-batu itu terletak begitu dengan sendirinya tanpa
diatur oleh tangan manusia. Maka banyak yang berpendapat bahwa danau itu
bukanlah danau ciptaan alam, melainkan dibuat dan dibentuk oleh tangan manusia.
Dan dulunya mungkin sekali merupakan kolam mandi para dewi, permaisuri raja
atau para puteri cantik jelita. Apalagi di antara bebatuan di sepanjang tepian
danau tumbuh banyak pohon-pohon bunga melati yang menebar bau harum semerbak.
Siapa saja yang berdiri di tepi kolam itu pasti akan tergerak hatinya untuk
turun ke dalam air, berkecimpung bermain air yang ternyata dalamnya hanya
sebatas dada. Pada malam hari. apalagi ketika saat bulan purnama, pemandangan
di atas kolam dan sekitarnya sungguh sangat menakjubkan. Sangat cocok untuk
tempat pasangan yang sedang berkasih-kasihan memadu asmara. Namun adalah sulit
dipercaya kalau di balik semua keindahan menakjubkan dan kesejukan yang
menyegarkan tersembunyi malepetaka ganas mengerikan yang berakhir hanya pada
satu titik, yakni titik kematian!
Saat itu memasuki bulan ke dua
musim panas. Sejak lama hujan tak pernah turun. Tanam-tanaman mulai kekeringan.
Para petani mulai mengeluh. Sumur-sumur banyak yang menjadi kering. Bahkan
sungai-sungai besar mulai susut airnya. Adalah aneh kalau kekeringan yang
menggila itu seperti tak sanggup menyentuh kaki selatan pegunungan Dieng dimana
terletak kolam yang dikitari pemandangan indah itu. Pohon-pohon bunga di sana
tetap subur dan berkembang sebagaimana biasanya. Rerumputan tetap menghijau.
Anak sungai tetap mengalirkan air sejuk ke dalam kolam, dan tiupan angin tetap
lembut menyegarkan. Karenanya tidak mengherankan kalau Tumenggung Singaranu
yang dalam perjalanan kembali ke Surakarta menghentikan rombongannya di lereng
lembah, memandang ke bawah dengan penuh takjub.
"Taman bidadari atau kolam
istana raja-rajakah yang dibawah sana...?" ujar sang tumenggung seraya
turun dari kudanya yang keletihan. "Tapi aneh, tak ada rumah tak ada
bangunan. Siapa gerangan pemilik kolam bulat itu. Mustahil terpelihara begitu
bersih dan bagus kalau tak ada yang merawatnya..."
Tumenggung Singaranu berpaling
pada lelaki bermisai lebat di sampingnya dan berkata, "Seharian penuh kita
menempuh jalan sulit penuh debu di bawah terik matahari. Saatnya untuk
beristirahat, Bagaimana kalau kita turun kebawah lembah?"
Parangwulung, lelaki bermisai
lebat mengangguk dan menjawab hormat, "Saya hanya mengikut saja
Tumenggung."
Maka Tumenggung Singaranu
mendahului rombongan yang terdiri dari sembilan orang itu menuruni lembah,
melangkah di antara pohon-pohon bunga, berlari-lari kecil di atas pedataran
rumput yang menurun.
"Parangwulung," kata
Singaranu sambil membelai-belai sekuntum bunga, "Apakah kau melihat
keanehan ditempat ini?"
Lelaki berkumis tebal yang
merupakan kepala pengawal sang tumenggung memandang berkeliling,coba menerka
apa jawab yang harus diberikannya. Akhirnya dia menggeleng. "Saya tidak
melihat keanehan apa-apa, Tumenggung," katanya.
Sang tumenggung tersenyum.
"Rupanya kau hanya terpesona melihat keindahan alam yang terhampar di
depan mata saja. Tidak berusaha menyimak bagaimana keindahan ini bisa
tercipta."
"Saya tidak mengerti maksud
Tumenggung," jawab Parangwulung terus terang. Sambil melangkah menuruni
pedataran rumput hijau Tumenggung Singaranu berkata, "Dua hari dua malam
kita menempuh perjalanan sebelum sampai ke tempat ini. Apa yang kita lihat?
Bukit bukit dan pedataran tandus. Hamparan tanah keras yang pecah-pecah karena
sekian lama tak tersentuh air. Sawah ladang yang mengering. Para petani yang
dirundung kesusahan. Tapi di sini! Kau saksikan sendiri. Segalanya serba
menghijau. Bahkan air sungai pun mengalir seolah-olah mata airnya tak
terpengaruh oleh musim panas. Lihat bunga-bunga itu. Lihat rerumputan yang kita
pijak. Lembah ini benar-benar luar biasa. Bukankah ini satu keanehan?"
Parangwulung manggut-manggut
berulang kali. Baru dia mengerti apa maksud kata-kata sang tumenggung tadi.
Rombongan sampai di tepi kolam. Tumenggung Singaranu tegak di atas sebuah batu
besar sementara para pengikutnya duduk di batu-batu lain keletihan. Semua
memandang ke dalam kolam yang airnya tampak berwarna-warni. Dalam warna-warni
itu kejernihannya memungkinkan mata melihat dasar kolam yang tidak seberapa
dalam. Kesejukan menyelubungi diri setiap orang yang memandang air kolam itu.
Apalagi saat itu angin bertiup Iembut, menambah sejuk tenteramnya perasaan di
tempati tu. Hasrat setiap anggota rombongan untuk ingin menceburkan tubuh ke
dalam kolam itu seolah tak tertahankan. Hanya saja mereka tidak berani
melakukan karena takut terhadap sang tumenggung. Singaranu berjongkok di atas
batu. Dicelupkannya tangan kirinya ka dalam air kolam. Terasa kesejukan
menjalar sampai ke lengannya. Dicelupkannya sekali lagi tangan kirinya, lalu
tangan yang basah itu diusapkannya ke mukanya yang penuh debu.
"Ah.... benar-benar
segar," kata sang tumenggung. "Aku ingin mandi di kolam ini!"
"Kami akan menunggu sampai
Tumenggung selesai mandi." kata Parangwulung.
"Sementara itu biar
anak-anak beristirahat...."
Kepala pengawal ini lalu memberi
tahu pada anak buahnya bahwa Tumenggung hendak mandi dikolam. Mereka boleh
beristirahat agak jauh dari tepi kolam karena tak pantas memperhatikan atasan
mereka sedang mandi. Parangwulung sendiri pergi duduk di bawah sebatang pohon
rindang. Pedang besarnya ditanggalkan dari pinggang dan diletakkan di atas
pangkuan. Hembusan angin sejuk membuat ke dua matanya terkantuk-kantuk.
Diseberang sana tampak Tumenggung Singaranu menanggalkan pakaian luarnya,
meletakkan topi tingginya di atas batu lalu terdengar suara air berdebur tanda
sang tumenggung sudah melompat masuk ke dalam kolam yang berair jernih dan
sejuk itu. Tapi, tak sampai sepuluh hitungan sejak Tumenggung Singaranu masuk
ke dalam kolam, mendadak terdengar suara jeritan sang tumenggung. Panjang dan
berulang kali!
Parangwulung dan anak buahnya
melompat dari tempat masing masing. Langsung menghambur ke tepi kolam! Apa yang
mereka saksikan kemudian membuat tengkuk masing-masing merinding dan muka pucat
pasi seperti kain kafan!
Di sana! Di dalam kolam itu
mereka menyaksikan ratusan, bahkan mungkin ribuan ikan berwarna hitam sebesar
empu jari kaki, bertebar berkerumun menggerogoti tubuh Tumenggung Singaranu.
Dalam waktu sangat cepat seluruh daging di tubuh sang tumenggung, mulai dari
kepala sampai ke kaki, licin tandas tak bersisa lagi. Termasuk isi perut dan
dadanya. Sosok tubuh itu kini hanya tinggal tulang belulang alias jerangkong
dengan sedikit sisa-sisa rambut pada batok tengkorak kepalanya!
Parangwulung dan tujuh anak
buahnya sampai terlompat mundur menyaksikan kejadian yang sangat mengerikan
itu. Saking ngerinya mereka hampir-hampir tak berani melihat. Untuk melakukan
usaha pertolongan pun saat itu tidak terpikirkan lagi. Malah ketika mereka
melirik ke tengah kolam, sosok tubuh Tumenggung Singaranu telah lenyap. Yang
ada hanya jerangkong terapung-apung dan air kolam tampak ke merah-merahan oleh
darah!
***
Kita kembali pada beberapa saat
sewaktu rombongan Tumenggung Singaranu sampai di atas lembah. Di balik deretan
batu-batu besar di bagian timur kolam di mana tumbuh rapat pohon-pohon besar
berdaun rimbun, sulit terlihat oleh siapa pun yang berada di sekotar kolam,
tampak duduk menjelepok di tanah dua orang kakek berpakaian dan bertingkah laku
aneh. Keduanya berwajah lonjong berkepala botak plontos. Mata dan pipi cekung
sedang mulut tak lagi ditumbuhi gigi alias ompong, tanda usia keduanya sudah
sangat lanjut. Kakek yang duduk di sebelah kiri hanya mengenakan sehelai celana
kolor putih yang sudah bulukan dan dekil apek. Matanya sebelah kanan picak
sedang tulang kakinya melengkung hingga kalau dia berdiri kedua kaki itu hampir
membentuk huruf O.
Kakek ke dua yang menjelepok di
sebelah kanan, juga memiliki mata buta alias picak, tapi kalau kawannya
disebelah kanan maka dia picak di sebelah kiri. Tubuhnya kurus kerempeng hanya
tertutup oleh sehelai cawat hitam. Di dagunya ada sebuah tahi lalat besar yang
ditumbuhi rambut panjang. Dua kakek aneh itu asyik bercakap-cakap sambil
sesekali tertawa terkekeh-kekeh. Entah apa yang mereka bicarakan. Tiba-tiba
Picak Kiri, begitu nama kakek yang matanya picak di sebelah kiri, menggamit
lutut temannya dan letakkan jari di atas mulut.
"Ada apa...?" bertanya
kakek yang digamit. Namanya Picak Kanan.
"Lihat ke atas lembah sana.
Ada orang datang ...." si Picak Kiri menunjuk ke arah kejauhan, ke atas
lembah. Kawannya memandang ke tempat yang ditunjuk. Saat itu kelihatan
serombongan orang berkuda berhenti di atas lembah, memandang ke bawah.
"Yang paling depan
berpakaian bagus. Pakai topi tinggi... Pasti orang terkemuka. Kalau bukan
bangsawan kaya mungkin orang dalam keraton"
Picak Kanan mengangguk
"Delapan orang lainnya itu tentu pengiring-pengiringnya. Lihat, mereka
turun dari kuda. Yang berpakaian bagus mulai menuruni lembah.
"Yang lain lainnya juga mengikuti.
Nan .... nah .. . nah!
Ada rejeki besar buat kita hari
ini rupanya!" kata Picak Kiri.
"Perlahan bicaramu! Jangan
sampai mereka mendengar!" memperingatkan si Picak Kanan. Lalu dia
menggaruk-garuk perutnya yang gatal. Orang-orang yang mendatangi lembah itu
bukan lain adalah rombongan Tumenggung Singaranu yang dalam perjalanan kembali
ke Surakarta, berhenti di lembah karena terpesona akan keindahan pemandangan
dan kesejukan di tempat itu. Apalagi ketika mereka melihat sebuah kolam berair
jernih di dasar lembah. Ketika Tumenggung Singaranu menyentuh air kolam yang
sejuk dengan tangan kirinya lalu membasahi mukanya yang berdebu dengan air
kolam itu, si Picak Kiri berbisik, "Aku yakin orang berpakaian bagus itu
pasti akan masuk mandi ke dalam kolam kita. Peralatanmu sudah siap...?"
"Sudah," jawab si Picak
Kanan. "Tanganku sudah gatal untuk mendorong rotan itu...."
Kedua kakek itu, sambil
memperhatikan gerakan rombongan Tumenggung Singaranu, keduanya beringsut
mendekati semak belukar pendek di antara dua batang pohon besar.
"Dugaanku tepat! Lihat!
Orang itu membuka pakaiannya!" kata si Picak Kiri ketika terlihat
Tumenggung Singaranu mulai menanggalkan pakaian sementara para pengiringnya
bertebar beristirahat tak berapa jauh dari tepi kolam. Picak Kanan segera
memasukkan tangan kanannya ke dalam semak belukar sampai dia menyentuh ujung
dari sebuah tali rotan sepanjang tiga tombak yang berhubungan dengan sebuah
terowongan berair di bawah tanah yang berbatu-batu. Ujung lain dari tali rotan
itu melekat pada sebuah lempengan tembaga tebal dan berat yang merupakan sekat
atau pintu penutup mulut terowongan berair.
Picak Kanan tertawa mengekeh tapi
tanpa suara ketika dia melihat Tumenggung Singaranu memasukkan kedua kakinya ke
dalam air kolam. Kawannya si Picak Kiri tampak berkomat-kamit dan basahi bibir
dengan ujung lidah berulang kali. Terdengar suara air kolam berdebur ketika
tubuh sang tumenggung masuk sampai sebatas dadanya yang berbulu.
"Sekarang Picak...
Sekarang!" bisik Picak Kiri ketika Tumenggung Singaranu bergerak ke bagian
tengah kolam. Picak Kanan dorong ujung tali rotan yang sejak tadi dipegangnya.
Tembaga tebal dan berat penutup mulut terowongan air terdorong ke depan dan
membuka lebar. Dari mulut terowongan yang terbuka itu, yang ternyata
berhubungan dengan bagian bawah kolam, menderulah ratusan bahkan ribuan ekor
ikan aneh berwarna hitam. Berbentuk segitiga dengan mulut terbuka lebar
memperlihatkan gigi-giginya yang runcing seperti mata gergaji yang luar biasa
tajamnya!
Ribuan ikan ini menyerbu kaki, perut
dan dada Tumenggung Singaranu hingga orang ini terlonjak kesakitan, menjerit
dan menggapai-gapai, berusaha melarikan diri ke tepi kolam. Tapi terlambat!
Cepat sekali ribuan mulut gergaji itu melumat sekujur tubuhnya. Ketika sang
tumenggung roboh tergelimpang ke dalam air kolam, maka leher, muka dan
kepalanya pun jadi santapan ikan-ikan hitam itu.
"Bagus...! Bagus...! Ikan
peliharaan kita memang hebat!" Si Picak Kiri tertawa mengekeh tanpa suara.
Kawannya si Picak Kanan juga tampak senang dan ikut-ikutan tertawa. "Tidak
percuma kuberi nama ikan-ikan Iblis Prahara! Jangankan manusia! Kuda pun akan
disantapnya dalam sekejapan mata!"
Di dalam kolam sosok tubuh
Tumenggung Singaranu yang malang telah lenyap. Yang tampak kini hanyaIah tulang
belulang atau jerangkong berselimut air dan darah, mengapung mengerikan.
Delapan orang pengiringnya tertegun menggigil di tepi kolam, memandang dengan
muka pucat pasti dan mata membeliak.
"Picak Kanan, lekas kau
masukkan ikan-ikan itu. Jangan sampai orang-orang itu tahu jelas apa yang
terjadi. Ayo cepat!" Si Picak Kiri berbisik. Picak Kanan goyang-goyangkan
ujung rotan yang dipegangnya. Dari atas terowongan berjatuhan benda-benda halus
seperti pasir yang memancarkan warna putih berkilat-kilat. Kilatan benda-benda
halus ini menarik perhatian ribuan ikan hitam segitiga. Mereka segera melesat
masuk ke dalam terowongan. Setelah tak seekor pun yang tertinggal di dalam
kolam. Picak Kanan menarik ujung rotan. Lempengan tembaga tebal dan berat ikut
tertarik dan menutup rapat-rapat mulut terowongan!
Picak Kanan gosok-gosok kedua
telapak tangannya dengan sukacita. Kawannya tak henti-hentinya menepuk bahunya
dan berbisik: "Bagus! Permainan kita sudah selesai. Atau mungkin ada lagi
dari orang-orang itu yang mau mencebur masuk ke dalam kolam kita?"
Kedua kakek aneh menunggu. Tapi
tak ada seorangpun yang masuk ke dalam kolam itu. Bahkan ketakutan membuat
mereka sama sekali tidak berusaha mengambil atau menarik sosok tubuh Tumenggung
Singaranu yang kini telah berubah menjadi jerangkong tulang belulang itu.
Parangwulung lari paling dulu menuju ke atas lembah diikuti oleh tujuh anak
buahnya. Seperti dikejar setan mereka melompat ke atas punggung kuda
masing-masing, lalu menghambur meninggalkan tempat itu tanpa berani menoleh ke
belakang!
***
DUA
KUDA PUTIH besar tinggi dan gagah
itu berhenti di depan sebuah surau kecil di puncak bukit. Meski baru saja
menempuh perjalanan jauh dan sulit di dalam musim kemarau yang membara tetapi
binatang yang jinak ini tidak kelihatan letih. Ekornya yang panjang tebal di
kibas-kibaskan. Sikapnya tetap tegak dengan gagah sampai tuannya—seorang pemuda
berpakaian putih yang duduk menunggangnya—turun dari punggungnya. Setelah si
pemuda turun baru kuda putih ini melangkah menghampiri rumput liar di bawah
sebatang pohon nangka hutan. Pemuda berpakaian putih tadi mencuci kaki dan
tangannya di sebuah pancuran di samping surau lalu mengambil air wudhu. Setelah
itu dia masuk ke dalam surau berlantai papan. Kiai Kali Mutu tengah khusuk
bersembahyang lohor. Pemuda tadi berdiri di samping sang kiai, agak ke belakang
sadikit. lalu ikut sembahyang dan menjadikan orang tua itu sebagai imam. Sesaat
setelah si orang tua mengucap salam dan diikuti oleh si pemuda, keduanya
membaca doa dan berzikir.
Begitu zikir selesai pemuda tadi
beringsut mendekat Kiai Kali Mutu seraya memberi salam dan berkata, "Guru
murid sudah kembali..." Lalu diambilnya tangan kanan orang tua itu,
disalami dan diciumnya. Kiai Kali Mutu tersenyum gembira dan tepuk bahu
muridnya dengan tangan kiri.
"Aku bersyukur kepada Tuhan
kau telah kembali dengan selamat, Panji," kata Kiai Kali Mutu.
"Sebelum ke mari apakah kau ada menziarahi makam kakekku di desa
Kadilangu?"
"Saya tidak lupa hal itu,
guru. Saya ada menziarahi makam Sunan," sahut si pemuda yang bernama
Panji.
"Bagus. Kau memang murid
yang tahu berbakti."
"Apakah selama ini guru ada
baik-baik dan sehat-sehat?"
"Ah... orang setuaku ini
bagaimana bisa selalu sehat. Kadang-kadang kena angin sedikit saja terus
meriang atau batuk-batuk. Tapi syukurlah semua penyakit itu tidak kerasan
mendekam dalam tubuh rongsokan ini. Cepat datang cepat pula perginya. Muridku,
satu tahun kulepas, pengalaman apa saja yang telah kau dapati... ?"
"Banyak guru. Saya kira-kira
dapat menarik satu kesimpulan."
"Kesimpulan apa?" tanya
Kiai Kali Mutu.
"Ternyata dunia kita ini
masih banyak didiami oleh manusia-manusia jahat. Mulai dari bangsa maling dan
rampok yang berbuat kejahatan secara terang terangan, sampai pada para penguasa
yang berbuat kejahatan secara tersamar..."
Kiai Kali Mutu tertawa.
"Itulah hidup di dunia,
muridku," katanya. "Sepanjang umur dunia manusia jahat dan kejahatan
tidak akan pernah lenyap. Hanya cara mereka melakukan kejahatan berbeda-beda.
Satu hal jangan kau lupakan Panji. Segala pelajaran dan ilmu yang kuberikan
padamu justru adalah untuk mengikis kejahatan itu. Kenapa kukatakan mengikis?
Karena kita orang-orang yang berusaha di jalan yang benar hanya merupakan
segelintir kecil saja dari satu kekuatan melawan kejahatan. Ketahuilah kejahatan
itu banyak temannya sedang kebenaran banyak musuhnya. Karena itulah kau kusuruh
kembali ke mari untuk menggali lebih banyak ilmu. Jika kau rajin mungkin hanya
enam bulan saja kau sudah boleh pergi lagi..."
"Saya akan mengikuti segala
petunjuk guru dan berjanji rajin belajar..." kata Panji.
Sang kiai menepuk bahu muridnya
kembali. "Aku senang mendengar kata-katamu itu. Apakah Panah Putih tidak
banyak bertingkah selama berkelana bersamamu?"
"Dia kuda yang baik guru.
Saya suka padanya. Kalau saya boleh bertanya apakah adik Sri Megaresmi sudah
kembali?"
"Kau tahu adikmu itu gadis
bandel. Waktu kusuruh dia mengelana satu tahun, dia minta diberikan waktu tiga
tahun. Akhirnya setelah berdebat panjang pendek. kusetujui dua tahun. Berarti
baru tahun depan dia muncul di sini."
Kiai Kali Mutu meIihat ada
bayangan rasa cemas di wajah Panji. Maka diapun barkata, "Kau tak usah
kawatir, muridku. Ilmu kepandaian yang dimilikinya cukup dapat diandalkan untuk
menjaga diri. Asal saja dia jangan suka nakal dan jahil. Lagi pula dia pergi
dengan menyamar seperti lelaki. Kalau pun kau bersua dengannya, mungkin kau tak
akan mengenali itu adalah adik kandungmu sendir.” Mendengar penjelasan gurunya
itu puaslah hati Panji.
"Waktu berjalan cepat.
Panji. Waktu tak pernah menunggu kita. Besok selesai sembahyang subuh kita
mulai. Pertama sekali kau harus memperlihatkan padaku seluruh jurus-jurus silat
yang telah kau miliki. Jika ada kekurangan-kekurangan harus diperbaiki dulu,
Setelah itu akan kucoba pukulan-pukulan yang mengandung tenaga putih. Lalu
menguji kecepatan gerakmu. Satelah itu baru mulai dengan pelajaran baru. Jika
apa yang kini kau miliki benar-benar sudah mantap, aku hanya akan
menitikberatkan pelajaran pada latihan menghimpun dan melepas tenaga dalam.
Apakah kau siap besok subuh?"
"Saya siap guru. Sekarang
izinkan saya memberi minum Panah Putih dulu."
Kiai Kali Mutu mengangguk. Begitu
muridnya lenyap dipintu surau, dia pun bangkit berdiri dan mengerjakan
sembahyang sunat.
***
PICAK KANAN menguap lebar-lebar
lalu menyeka mata kirinya yang berair.
"Sial benar nasib kita kali
ini. Hampir sebulan lebih tak ada seorang pun yang lewat di sini. Ke mana semua
manusia di kolong langit ini....?!"
Picak Kiri yang duduk bersandar
di batang pohon sambil mencabuti janggutnya memandang ke atas lembah lalu
berkata, "Yang aku kawatirkan adalah jangan-jangan telah tersiar kabar di
luaran bahwa kolam kita ini merupakan kolam maut. Hingga tak ada yang berani
lewat apalagi datang dekat-dekat ke mari."
"Kekawatiranmu itu beralasan
juga," ujar Picak Kanan dengan wajah gundah sambil usap-usap kepalanya
yang botak plontos. Sesaat kemudian dia bangkit berdiri seraya memegang-megang
perutnya yang kempis. "Aku lapar. Lebih baik kita cari makanan dulu, baru
memikirkan lagi korban-korban baru."
Malas-malasan Picak Kiri bangkit
pula dari duduknya, tapi cepat sekali dia tundukkan badannya di balik semak
belukar, malah bergerak berlindung ke balik pohon besar. "Kenapa
kau?" tanya Picak Kanan melihat gerak-gerik kawannya yang aneh itu.
"Sttt... Kau lihat ke atas
sana. Ada serombongan orang muncul. Seperti serombongan pasukan. Kelihatannya
seperti orang-orang Kerajaan dari timur. Picak Kiri menyibak semak belukar dan
memandang ke atas lembah. Apa yang dikatakan kawannya memang benar. Di atas
sana kelihatan serombongan orang berkuda berhenti di bibir lembah. Semuanya
menunggang kuda. Kira-kira dua puluh berpakaian prajurit lengkap dengan senjata
di pinggangnya. Lalu ada dua orang tua berpakaian seperti orang persilatan. Di
antara ke dua orang tua ini kelihatan seorang lelaki baya bermisai tebal. Di
depan orang bermisai ada seorang penunggang kuda berpakaian perwira kerajaan.
Lalu ada tujuh orang berpakaian seragam pengawal, tapi tidak seperti pakaian
yang dikenakan dua puluh perajurit pertama Ketika melihat lelaki bermisai itu,
Picak Kanan berbisik pada kawannya, "Aku ingat betul! Lelaki berkumis
lebat itu, bukankah dia orang yang mengawal lelaki berpakaian bagus yang mampus
di kolam kita tempo hari?"
Picak Kiri buka mata kanannya
lebar lebar dan otaknya coba mengingat ingat.
"Kau betul. Aku ingat. Dia
yang kabur paling dulu. Hik... hik... . . . hik. Aku ingat. Memang dia!"
"Hus! Jangan tertawa
keras-keras. Lihat, rombongan itu mulai menuruni lembah. Mereka menuju kemari!
Apakah letak persembunyian kita ini sudah aman?"
"Jangan kawatir! Setan mata
sepuluhpun tak bakal tahu kalau kita ada di sini!" jawab Picak Kiri.
"Kelihatannya rombongan ini seperti hendak melakukan penyelidikan. Kita
harus hati-hati, Picak Kanan. Lelaki berkumis itu kelihatan tidak bergerak
bebas. Dua orang tua itu seperti selalu mengapitnya....Dan kau lihat. Dua puluh
perajurit menuruni lembah sambil menyebar... Tujuh orang lainnya... Ah aku
ingat sekarang! Tujuh orang itu adalah orang-orang yang mengawal lelaki
berpakaian bagus dulu! Ada apa ini sebenarnya!"
Saat itu memang rombongan yang
barusan datang tampak menuruni lembah. Lelaki berkumis yang bukan lain adalah
Parangwulung menunggangi kuda diapit oleh dua orang tua berpakaian seperti
orang persilatan. Di sebelah depan memimpin orang bertubuh tegap, berseragam
perwira kerajaan. Dia menunggangi kudanya dengan mata tak berkesip memandang ke
arah kolam yang airnya tampak berwarna-warni. Di belakang keempat orang ini,
bergerak tujuh orang anak buah Parangwulung, lalu di sebelah belakang sekali
dua puluh perajurit menuruni lembah dengan sikap penuh waspada, menebar
memanjang. Rombongan itu sampai di depan kolam. Orang berpakaian perwira
berpaling pada Parangwulung dan bertanya, "Jadi inilah kolam yang kau
katakan sebagai tempat Tumenggung Singaranu menemui ajalnya dengan cara
aneh!"
"Betul sekali Kebo Alit
...." jawab Parangwulung.
"Kolam begini bagus. Berair
jernih. Di lembah yang berpemandangan luar biasa indah. Bagaimana seseorang
bisa menemui kematian di sini...?" kata sang perwira yang bernama Kebo
Alit sambil geleng-geleng kepala. "Katamu kau menyaksikan ada ikan ikan
hitam yang ribuan banyaknya menyambar tubuh Tumenggung. Lalu sebentar saja
tubuh itu hanya tinggal tulang belulang. Tapi aku tidak melihat sisa-sisa
jenasah Tumenggung di sini..."
"Mungkin sekali sudah
dimakan atau dilarikan binatang hutan," jawab Parangwulung.
"Bisa jadi!" ujar sang
perwira pula sambil usap-usap dagunya. "Tapi aku pun tidak melihat
ikan-ikan hitam itu di dalam kolam yang dasarnya jelas tampak dari sini. Atau
mungkin mataku buta...? Paman Randu Wungu dan paman Randu Ireng, apakah kau
melihat ada ikan atau binatang lain dalam kolam ini?!"
Dua orang tua yang mengapit
Parangwulung sama-sama menggelengkan kepala Parangwulung tampak pucat parasnya.
Kebo Alit mangusap-usap kuduk
kudanya lalu berkata, "Aku akan mengitari kolam ini. Menyelidik,
kalau-kalau ada petunjuk yang dapat menunjang keteranganmu. Kalian semua tunggu
di sini... !"
Lalu dengan menunggang kuda
perwira itu mengitari kolam sambil menunggang kudanya perlahan-Iahan. Tak
selang berapa lama dia sampai di tempat rombongan berhenti, langsung berkata,
"Tak ada satu pun yang kutemui. Tak ada hal-hal yang mencurigakan. Tak ada
ikan di dalam kolam, tak ada juga binatang lain. Bagaimana kami bisa
mempercayai keteranganmu tentang kematian Tumenggung Singaranu itu,
Parangwulung!"
"Sudah kukatakan berulang
kali. Kebo Alit! Aku berani bersumpah bahwa aku tidak memberikan keterangan
dusta! Tumenggung Singaranu menemui kematiannya di kolam ini. Ketika hendak
mandi! Diserbu oleh ribuan ikan-ikan hitam! Tujuh pengawal itu ikut
menyaksikan! Kami kemudian melarikan diri ketakutan ketika melihat sosok tubuh
Tumenggung Singaranu hanya tinggal jerangkong dan tengkorak belaka!"
"Parangwulung! Kau tahu apa
hukuman bagi seorang bawahan yang membunuh atasannya hanya untuk merebut
kedudukan atasan! Kau terlalu bodoh! Sekalipun Tumenggung menemui kematian
secara wajar, kedudukan itu tak bakal diberikan padamu! Kau hanya seorang
kepala pengawal yang tidak layak menduduki jabatan Tumenggung! Apalagi sangat
besar kecurigaan bahwa kaulah yang talah membunuh Tumenggung Singaranu lalu
mengarang cerita yang tidak masuk akal!"
"Aku bersumpah! Aku tidak
membunuh Tumenggung Singaranu! Aku tidak mengarang cerita! Tujuh perajurit itu
melihat dengan mata kepala mereka sendiril"
Kebo Alit memandang pada tujuh
orang bawahan Parangwulung dan bertanya, "Benar kalian melihat sendiri
Tumenggung Singaranu menemui ajal dimakan ikan di dalam kolam yang berair sejuk
ini?!"
Tujuh orang perajurit itu
serentak menggelengkan kepala. Dua orang diantara mereka membuka mulut:
"Parangwulung yang membunuh
Tumenggung! Mayatnya dibuang ke dalam hutan sana. Dan kami disuruhnya untuk
ikut berserikat memberi keterangan palsu!"
Berubahlah paras Parangwulung.
Tiba-tiba dia berteriak, "Manusia-manusta pengkhianat! Kalian tahu apa
yang terjadi! Kini kalian berani bicara dusta"
Tubuh Parangwulugng melesat dari
punggung kudanya. Salah satu perajurit yang tadi membuka mulut dihantamnya
dengan tendangan kaki kanan hingga terjengkang dan roboh pingsan dekat bebatuan
di tepi kolam. Ketika dia hendak mengamuk menghajar bawahannya yang lain, Randu
Wungu dan Randu Ireng cepat melompat turun dari kuda masing-masing dan berusaha
menangkap Parangwulung. Melihat orang merintangi amukannya Parangwulung
berteriak marah.
"Aku lebih baik mati mengadu
jiwa dengan kalian daripada mati difitnah!"
Sebagai orang yang dipercayakan
menjadi kepala pengawal Tumenggung Singaranu semasa hidupnya tentu saja
Parangwulung memiliki kepandaian silat yang dapat diandalkan. Gebrakan-gebrakan
kilatnya yang dilandasi hawa amarah membuat dua orang tua yang diserangnya
terpaksa menyingkir. Ketika Kebo Alit mendorong punggungnya dengan tumit hingga
dia hampir jatuh terjerembab, Parangwulung segera hunus pedang besarnya. Sekali
membabat pedang itu hampir saja membacok putus kaki kanan Kebo Alit. Untuk
selamatkan kakinya perwira ini jatuhkan diri dari punggung kuda. Begitu
menjejak tanah dia langsung kirimkan satu jotosan ke dada Parangwulung. Tapi
yang diserang cepat menerpa dengan senjatanya hingga Kebo Alit dengan geram
terpaksa tarik pulang tangannya dan melompat mundur! Dengan pedang di tangan
memang sulit bagi Kebo Alit untuk menghadapi lawan karena tingkat kepandaian
mereka memang hampir sejajar.
Tetapi lain haInya dengan dua
orang tua itu. Baik Randu Wungu maupun Randu Ireng sama-sama memiliki
kepandaian silat yang jauh lebih tinggi dari Parangwulung. Sehingga sekalipun
Parangwulung memegang pedang di tangan, setelah menyerang gencar dan beringas,
empat jurus kemudian dua orang tua ini berhasil melumpuhkan Parangwulung dengan
satu totokan. Dalam keadaan tak berdaya lagi sementara pedangnya jatuh
tergeletak di atas rumput, kedua orang tua itu membawa kepala pengawal itu ke
tepi kolam.
Di sini Randu Wungu berkata,
"Parangwulung, harap maafkan kami berdua! Walau kita bersahabat tetapi
sebagai hamba kerajaan kami tunduk akan perintah yang diberikan oleh mahapatih
kerajaan. Jika kolam ini memang ada ikan ganas seperti katamu mari sama-sama
kita buktikan!"
Lalu kedua orang itu melemparkan
tubuh Parangwulung ke dalam kolam. Parangwulung berteriak ketakutan. Tubuhnya
jatuh duduk di dasar kolam. Karena kedua kaki dan tangannya lumpuh akibat
totokan, dia tak sanggup berdiri dan megap-megap dalam air. Dia yakin seperti
apa yang disaksikannya terjadi atas diri Tumenggung Singaranu, sebentar lagi
akan menimpa dirinya. Ribuan ikan hitam berbentuk segitiga dengan gigi-gigi
yang runcing seperti gergaji akan menyerbu dan melumat seluruh daging yang
membalut tubuh dan kepalanya.
Tetapi sampai sekian lama
menunggu tak seekor ikan pun muncul. Dalam keadaan lemas hampir pingsan Randu
Wulung dan Randu Ireng mengangkat Parangwulung ke luar dari dalam kolam lalu
melepas totokannya. Begitu totokannya lepas langsung dia telungkupkan badan
hingga air kolam yang banyak terminum keluar kembali.
Kebo Alit melangkah mendekatmya
dan berkata, "Kau saksikan sendiri Parang! Kolam itu tak ada makhluk
apa-apanya! Apa itu tidak cukup bukti atas kedustaanmu...?!"
Parangwulung yang tidak berdaya
karena masih sangat lemas tak bisa menjawab apa apa. Dia hanya memandang dengan
mata merah melotot pada Kebo Alit ketika perwira ini memberi perintah pada dua
orang perajurit untuk mengikat dua pergelangan tangan serta bahunya.
"Parang! Kau telah
membuktikan kedustaanmu sendiri! Atas nama mahapatih kerajaan, kau kami tangkap
dan dibawa kembali ke Kotaraja!"
Parangwulung diangkat dan
didudukkan di punggung Kuda. Ketika rombongan itu meninggalkan lembah, Picak
Kiri berpaling pada Picak Kanan dengan wajah menunjukkan rasa kesal.
"Kenapa tidak kau lepaskan
ikan-ikan Iblis Prahara itu?!"
"Aku tak merasa perlu
meskipun sudah sekian lama tak ada yang dapat dijadikan mangsa
ikan-ikanku!"
"Gila! Kenapa tidak merasa
perlu?!" si Picak Kiri jadi sewot.
"Kau yang gila!" balas
menyemprot Picak Kanan. Kedua kakek aneh itu serantak sama sama berdiri, hampir
beradu hidung dan sama-sama kepalkan tangan.
"Kau berani memaki aku
gila?!" sentak Picak Kiri.
"Kau yang duluan mengatakan
aku gila!" balas menyentak Picak Kanan.
"Kau memang gila! Apa kau
tidak menyadari akibatnya jika ikan-ikan itu kulepas?! Mereka akan melihat dan
tahu di kolam ini benar-benar ada ikan iblis itu! Dan mereka akan menghancurkan
tempat ini. Lalu apa lagi permainan kita?!"
Picak Kanan terdiam. Amarahnya
surut. Perlahan-lahan dia kembali duduk menjelepok di tanah. Tapi bangun lagi
ketika ingat akan perutnya yang lapar lalu mengajak kawannya mancari makanan.
***
TIGA
PEMUDA bertubuh ramping itu
memacu kuda hitamnya di kaki pegunungan Dieng menuju ke arah timur. Kulitnya
yang putih tampak kemerah-merahan oleh teriknya sinar matahari. Sambil
menunggang kuda kedua matanya memandang kian kemari meneliti keadaan di
sekelilingnya. Ke mana pun mata memandang yang dilihatnya hanya pedataran atau
bukit tandus, atau pohon-pohon yang mengering dedaunannya. Bosan menempuh
pedataran gersang sejajar kaki pegunungan, pemuda ini membelokkan kudanya
menuju ke sebuah bukit.
"Kudaku, kau tentu haus.
Siapa tahu di puncak bukit sana kita bakal menemukan mata air," kata si
pemuda pada kuda tunggangannya sambil mengelus-elus tengkuk binatang itu.
Seperti mengerti akan ucapan tuannya. kuda hitam itu kedap-kedipkan kedua
matanya dan mempercepat larinya menuju bukit. Pada saat baru saja mencapai
lereng. Dari atas bukit si pemuda melihat serombongan orang berkuda menuruni
bukit, tepat mengarah ke jurusannya. Meskipun lereng bukit itu cukup luas dan
sebenarnya si pemuda bisa menghindar agar tidak berpapasan langsung dengan
rombongan yang turun, namun nyatanya pemuda ini tak mau melakukan hal itu. Dia
terus mendaki bukit, menyongsong arus rombongan di depannya. Baru sejarak dua
puluh tombak dari orang-orang itu dia hentikan kudanya dan menunggu sambil
memandang tajam-tajam ke depan. Makin dekat ke arahnya makin dapat dilihatnya
siapa-siapa para penunggang kuda itu. Di sebelah depan adalah seorang lelaki
separuh baya berpakaian perwira kerajaan. Di belakangnya menyusul tiga
penunggang kuda. Yang dua orang berusia lanjut, mengenakan pakaian seperti
orang-orang dari rimba persilatan. Keduanya menunggang kuda mengapit seorang
lelaki berkumis tebal. Ada keanehan pada lelaki berkumis ini yang membuat si
pemuda memperhatikannya dengan seksama. Dia mengenakan pakaian perajurit kepala
yang basah kuyup dan kedua tangannya berada di depan perut dalam keadaan
terikat. Di belakang tiga orang ini tampak lebih dari dua puluh perajurit,
bergerak dalam posisi demikian rupa seperti mengawal orang-orang yang ada di
sebelah depan mereka. Melihat ada penunggang kuda yang sengaja berhenti di arah
jalan yang mereka lalui, lelaki berpakaian perwira angkat tangannya memberi
tanda. Maka seluruh rombongan pun berhenti. Perwira itu yang bukan lain adalah
Kebo Alit mendekati si pemuda dan berhenti sejarak empat langkah. lalu menegur.
"Orang muda, kau seperti
sengaja menghadang perjalanan kami!"
Pemuda itu menatap wajah sang
perwira sesaat dengan sepasang matanya yang bening, lalu menjawab, "Aku
tak merasa menghadang siapa-siapa. Lereng bukit ini cukup luas dan aku berhenti
di sini tanpa mengandung maksud apa-apa ..."
"Begitu? Kalau demikian
menyingkirlah. Kami akan lewat!"
"Sekali lagi kukatakan, lereng
bukit ini cukup luas.
Mengapa aku harus
menyingkir?!"
"Hemm... Pemuda ini mungkin
bebal atau keras kepala!" kata Kebo Alit dalam hati. Sementara itu Randu
Wungu dan Randu Ireng memperhatikan si pemuda dengan perasaan jengkel sedang
Parangwulung yang dalam keadaan seperti itu hanya tundukkan kepala, merasa tak
ada perlunya dia memperhatikan siapa adanya orang di hadapan rombongan.
"Anak muda! Jadi kau tidak
mau menyingkir memberi jalan?!" tanya Kebo Alit. Suaranya bernada
memperingatkan, bahkan mengancam.
"Kenapa aku harus menyingkir
atau memberi jalan?
Aku tidak menghadang siapa-siapa
di tempat ini. Jika kau dan rombonganmu ingin lewat silahkan. Berbelok ke kiri
atau mengambil jalan di sebelah kanan. Terus juga boleh asalkan jangan
menabrakku!"
Kebo Alit jadi penasaran.
"Kau tidak tahu kalau kami rombongan kerajaan?!"
"Dari pakaian kalian
tadi-tadi pun aku sudah tahu kalian rombongan atau pasukan kerajaan. Tapi apa
sangkut pautnya diriku dengan siapa pun adanya kalian?!"
Untuk pertama kalinya Parangwulung
mengangkat kepala memperhatikan orang di depannya. Ketika dilihatnya orang itu
adalah seorang pemuda berparas cakap, berkulit putih dan bertubuh ramping maka
dia pun berkata, "Anak muda, kau menghindarlah. Beri jalan. Biar lebih
cepat aku sampai di Kotaraja dan menerima hukuman!"
"Ah, rupanya kau seorang
tawanan!" ujar si pemuda pula sambil meneliti dari kepala sampai ke kaki
Parangwulung. "Tetapi kau tawanan yang aneh! Kau mengenakan pakaian
perajurit tingkat tinggi. Pakaianmu basah kuyup!"
"Siapa dia dan apa yang
terjadi dengan dirinya bukan urusanmu!" membentak Kebo Alit. "Kalau
kau tak lekas menyingkir, para perajuritku akan kuperintahkan untuk
menindakmu!"
"Sungguh malang nasibku! Tak
bersalah apa-apa mau ditindak perajurit kerajaan!" sahut si pemuda pula
dengan nada mengejek. Lalu dia berpaling pada Parangwulung.
"Aku kasihan melihatmu!
Sudah basah kuyup dan harus menunggang kuda dengan tangan terikat. Sekali kau
kehilangan keseimbangan kau akan terjungkal jatuh dan lehermu bisa patah, kau
bisa mati konyol!"
"Mati konyol jatuh dari atas
kuda lebih baik baginya daripada mati di tiang gantungan!" tukas Kebo
Alit.
"Oh, dia mau digantung! Apa
sih salahnya?!" bertanya si pemuda. Sampai di situ Randu Wungu tak dapat
menahan rasa kesalnya. Dia berkata, "Kebon Alit! Kenapa menghabiskan waktu
melayani pemuda tidak beres itu?!"
Dikatakan tidak beres membuat si
pemuda jadi gusar dan balik memaki, "Kalianlah orang-orang yang tidak
beres! Meributkan soal jalan! Membawa tawanan seenaknya!"
Randu Wungu geleng-geleng kepala.
"Kebo, pemuda ini pantas diberi pelajaran sopan-santun. Perintahkan
perajurit-perajuritmu untuk mengajarnya!"
Kebo Alit yang memang sejak tadi
menahan marah, mendengar ucapan Randu Wungu itu segera berikan isyarat, pada
lima orang perajurit. Lalu pada anggota rombongan yang lain dia memberi aba-aba
untuk mengikutinya meneruskan perjalanan dengan menyibak ke kiri. Tetapi baru
beberapa langkah kuda-kuda mereka bergerak, di sebelah belakang terdengar suara
gedebak-gedebuk disertai pekik-pekik kesakitan. Ketika berpaling, kagetlah Kebo
Alit dan yang lain-lainnya. Lima perajurit yang tadi diperintahkan menghajar si
pemuda kini kelihatan berkaparan di tanah, merintih kesakitan!
"Hemmm......!"
menggumam Randu Ireng. "Rupanya ada sedikit ilmu yang diandalkan makanya
dia bersikap pongah dan bertindak kurang ajar!" Orang tua ini majukan
kudanya mendekati si pemuda. "Apa hubunganmu dengan Parangwulung tawanan
ini! Katakan!"
"Aku tak punya hubungan
apa-apa!"
"Kalau tak ada hubungan
berarti kau memang sengaja menjadi lantaran!" Randu Ireng lalu kibaskan
lengan baju tangan panjangnya sebelah kiri. Angin keras menggebu menghantam ke
arah si pemuda. Meskipun kaget dan tak mengira orang tua itu dapat lepaskan
pukulan tangan kosong yang hebat, namun si pemuda tidak mau tunjukkan sikap
terkejut.
"Orang tua! Kau sendiri
rupanya sengaja obral kepandaian!" teriak si pemuda lalu gebrak pinggul
kuda hitamnya. Binatang ini melompat ke samping tapi bersamaan dengan itu dia
hantamkan kaki kiri belakangnya ke arah kuda lawan. Tendangan kaki kuda yang
keras ini mendarat tepat dilutut kuda yang ditunggangi Randu Ireng.
Kraak!!!
Kaki kuda itu patah. Binatang ini
meringkik. Tubuhnya langsung terjerambab ke depan, melemparkan penunggangnya.
Sambil bersuit nyaring Randu Ireng jungkir balik di udara. Sebelum kedua
kakinya menjejak tanah dia kembali lepaskan pukulan tangan kosong. Kali ini
dengan tangan kiri. Namun seperti tadi, si pemuda kembali menggebrak tubuh
kudanya, binatang ini melompat jauh hingga serangan Randu Ireng hanya mengenai
tempat kosong! Randu Wungu terkesima, diam-diam merasa kagum juga melihat
kelincahan pemuda itu namun hatinya menjadi penasaran karena saudaranya
seolah-olah dipermainkan.
Randu Ireng sendiri malu bukan
main. Di hadapan sekian banyak mata perajurit dan perwira kerajaan, bahkan di
depan hidung Parangwulung yang menjadi tawanan, dirinya seperti orang yang baru
belajar silat saja. Dua kali menyerang dua kali gagaI. MaIah kudanya dibuat
patah kaki dan dia terpaksa tunggang-langgang berjumpalitan agar tidak melosoh
jatuh ke tanah! Ketika Randu Ireng hendak menyerbu kembali, Randu Wungu
berseru, "Tunggu dulu Ireng! Aku perlu bertanya dengan pemuda ini!
Jangan-jangan dia kaki tangan orang-orang Pajang. Bukan mustahil dia kemari
tidak seorang diri!"
Pemuda berkuda hitam yang dituduh
kaki tangan orang-orang Pajang itu tertawa. "Kau bisa saja mengada-ada!
Orang tua, orang yang jatuh dari kuda itu pasti saudaramu. Cara kalian
berpakaian sama dan tampang kalian juga mirip satu sama lain! Melihat bagaimana
dia hendak mengobral kepandaian tapi hampir celaka sendiri, jelas dia bukan
tandinganku!"
"Pemuda lancang! Kau hendak
merendahkan Randu Ireng tokoh pengawal Keraton Surakarta?!" Yang membentak
adalah Kebo Alit.
"Siapa dia aku tidak
perduli!" menyahuti pemuda itu dengan beraninya "Jika ada tokoh
pengawal istana yang kepandaiannya seperti dia, tidak dapat menahan amarah dan
bertindak seenaknya saja, wah! Istana bisa kebobolan. Kalau aku jadi raja
kalian, orang seperti dia tak akan kupakai"
Paras Randu Ireng mengelam sampai
ke telinga. Darahnya mendidih. Seumur hidup baru hari itu dia mendapat
penghinaan demikian rupa. Dan oleh seorang pemuda tak dikenal pula Kebo Alit
memajukan kudanya beberapa langkah lalu menunjuk tepat-tepat si pemuda,
"Mulutmu kotor kurang ajar! Kau sangat berani menghina kami orang-orang
Keraton! Kau terpaksa kutangkap saat ini juga!" Habis berkata begitu Kebo
Alit merangsak ke depan tapi si pemuda dapat berkelit ke samping seraya
berseru.
"Perwira! Tahan dulu!
Bagaimana kalau kita membuat taruhan!"
"Taruhan kepala bapak
moyangmu!" bentak Kebo Alit seraya menerjang ke depan. Tapi saat itu Randu
Wungu menyela: "Kebo Alit! Biarkan saja! Aku ingin tahu apa taruhannya!
Orang muda sombong jelaskan maksudmu'"
"Terima kasih kau mau
memberi kesempatan," ucap si pemuda seraya menjura ke arah Randu Wungu.
Sikapnya dirasakan bukan seperti penghormatan tapi lebih banyak merupakan satu
ejekan! "Begini, jika perwira kerajaan ini sanggup menangkapku dalam waktu
lima jurus perkelahian, aku akan serahkan diri dan bersedia dijadikan tawanan
seperti lelaki bermisai itu! Tetapi, jika lima jurus dia tak berhasil menangkapku
maka kalian harus membebaskan tawanan itu! Bagaimana .... ?!"
Randu Wungu terkesiap. Randu
Ireng menggeram. Sementara puluhan perajurit melongo di atas kuda
masing-masing. Ucapan si pemuda itu benar-benar merupakan tantangan gila! Dalam
marahnya Kebo Alit menjawab.
"Setuju! Jika lima jurus kau
tak berhasil kutangkap, tawanan ini akan kami bebaskan! Tapi jika dalam lima
jurus kau dapat kulumpuhkan, maka kau harus serahkan kepalamu pada aku! Akan
kupancung di tempat ini juga!"
Semula semua orang akan menyangka
si pemuda menjadi ciut nyalinya ditantang begitu rupa. Tapi! Malah dia
terdengar menjawab, "Setuju! Kepalaku atau kebebasan tawanan itu!"
Parangwulung yang masih berada
dalam keadaan terikat di atas kudanya sampai ternganga tak percaya.
"Pemuda tak dikenal itu
mengapa mau korbankan nyawa untuk diriku yang tak punya hubungan apa-apa,
bahkan kenal pun tidak. "Terlalu ceroboh Terlalu ceroboh!" kata
Parangwulung berulang kali. Kebo Alit bukan perwira sembarangan. Tingkat
kepandaiannya hampir sejajar dengan dua tokoh silat istana yaitu Randu Ireng
dan Randu Wungu.
"Perwira, kau ingin
berkelahi di atas kuda atau sama-sama turun ke tanah?!" si pemuda bertanya
menantang menyepelekan lagi sikapnya!
Dari apa yang dilakukan terhadap
kuda tunggangan Randu Ireng. Kebo Alit maklum kalau kuda hitam tunggangan si
pemuda buka kuda sembarangan. Menyadari hal ini maka dia tak mau melakukan
perkelahian di atas kuda. Kebo Alit langsung melompat ke tanah. Gerakannya
cepat dan enteng. Si pemuda pun melakukan hal yang sama. Turun dari punggung
kudanya, tapi sikapnya jelas dibuat-buat yaitu berpagut pada leher kudanya,
melosoh ke tanah seperti anak kecil yang ketakutan atau gampang turun dari
tempat tinggi! Begitu sampai di tanah pemuda ini usap-usap kedua telapak
tangannya satu sama lain dan bertanya, "Perwira, kau ingin berkelahi
dengan tangan kosong atau pakai senjata?"
"Untuk meringkus tikus busuk
sepertimu perlu apa pakai senjata! Sebaliknya kalau kau punya senjata silahkan
keluarkan!" sahut Kebo Alit semakin mendidih amarahnya.
"Kalau begitu aku pun akan
melayanimu dengan tangan kosong. Ingat lima jurus! Nah silahkan mulai
perwira!"
Baru saja si pemuda selesai
mengucapkan kata kau itu Kebo Alit sudah melompat menerjang dan buk! Buk!
Jotosan kiri kanan perwira itu bersarang di perut dan pertengahan dada si
pemuda, membuatnya terpental dua langkah dan jatuh duduk di tanah!
"Nah... nah.... nah!"
Randu Wungu buka suara. "Belum lima jurus kau sudah roboh! Ternyata
kemampuanmu tidak sesuai dengan kecongkakan dan mulut besarmu!"
Serangan Kebo Alit tadi memang
luar biasa cepatnya dan tidak terduga oleh si pemuda. Dia sengaja terus
bersikap dan mengeluarkan kata-kata mengejek untuk memancing kemarahan orang.
Namun karena bertindak sedikit lengah maka ketika dua pukulan Kebo Alit menghantam
dia tak sempat berkelit dan hanya mampu membentengi dada dan perutnya dengan
tenaga dalam. Meskipun begitu tetap saja pemuda ini merasakan dada dan perutnya
sakit bukan main. Tapi dasar bandel, sambil menahan sakit dia cepat berdiri dan
berkata, "Cuma dua pukulan anak kecil, seperti digelitik! Meskipun aku
jatuh tapi bukan di situ letak perjanjian kita! Aku belum kalah! Dia belum
melumpuhkan apa lagi menangkapku!"
Apa yang dikatakan si pemuda
memang benar. Kenyataan dan lagi-lagi ucapan serta sikap mengejek ini membuat
Kebo Alit kembali terbakar amarahnya. Dia yakin pemuda itu cidera di dalam
akibat dua jotosannya tadi, namun diam-diam dia merasa heran bagaimana pemuda
ini masih bisa bangkit berdiri dan seperti tidak mengalami apa-apa.
"Pemuda sombong! Ini jurus
kedua!" teriak Kebo Alit. Perwira ini kembali menyerbu. Seperti tadi kedua
tangannya menjotos dan lagi-lagi satu mengarah perut satu mengarah dada. Ketika
lawan bersiap menangkis, mendadak dua serangan berupa jotosan itu ditarik
pulang dan kini kaki kanan Kebo Alit yang melesat ke dada lawan!
"Hebat!" Seru si pemuda
memuji. Tubuhnya melesat ke atas setinggi satu tombak, tangan kanannya
terkembang dan menepis betis Kebo Alit. Gerakan menepis ini tampak perlahan
saja bahkan ketika balik telapak tangannya menyentuh betis sang perwira sama
sekali tidak terdengar suara beradunya betis dengan tangan. Namun Kebo Alit
merasakan kaki kanannya terdorong keras ke kiri. Akibatnya kaki kiri yang
menjadi tumpuan kuda-kuda ikut berputar ke kiri. Di saat yang sama tangan kiri
lawan tiba-tiba menderu dengan pinggiran tangan membabat laksana sebilah
pedang. Kebo Alit cepat rundukkan kepala. Kepalanya selamat tapi dia masih
kurang cepat. Topi tingginya yang berwarna hitam kena dibabat tangan si pemuda,
mental tercampak jauh. Ketika Randu Ireng dan Randu Wungu melihat topi yang
jatuh itu kagetlah keduanya. Topi hitam sang perwira ternyata telah terpotong
dua! Tebasan tangan pemuda itu setajam pedang! Kebo Alit sendiri tampak berubah
parasnya. Dapat dibayangkan kalau tepi telapak tangan itu tadi tepat menghantam
muka atau batok kepalanya!
"Jurus ketiga!" teriak
Kebo Alit yang tak mau menunggu lebih lama. Dia bergerak memutari lawan. Si
pemuda mengikuti arah putaran hingga Kebo Alit selalu berada di depannya.
Tiba-tiba Kebo Alit merubah arah gerakannya. Kalau tadi dari kiri ke kanan maka
kini dari kanan ke kiri. Perubahan gerakan yang mendadak ini membuat si pemuda
sesaat berada pada jurusan menyamping. Di kejap inilah Kebo Alit masuk
menyusupkan jotosan tangan kanan ke pelipis si pemuda. Di pihak lain, meskipun
kedudukannya tidak tepat menghadapi lawan namun sudut mata si pemuda cukup jeli
melihat datangnya serangan. Tubuhnya dilontarkan ke belakang seperti sebatang
pohon tumbang. Tapi bersamaan dengan itu tangan kanannya membabat ke atas yaitu
ke arah pinggang sang perwira. Kebo Alit tadi telah melihat kehebatan pukulan
tepi telapak tangan si pemuda. Tak mau mencari celaka dia terpaksa batalkan
jotosannya dan tangan kanannya kini dipergunakan untuk menyapu lengan lawan.
Maka beradunya dua lengan tak dapat dihindarkan lagi!
Buk!
Pemuda itu terbanting ka tanah.
Lengan kanannya tampak merah kebiruan. Sebaliknya Kebo Alit...Tampak kesakitan
dan ketika memeriksa lengannya ternyata lengan itu pun tampak merah dan
bengkak. Tapi dia tak perdulikan. Lawan yang jatuh tertelentang merupakan
makanan empuk baginya. Cepat dia melompat dan hunjamkan tumitnya ke perut Si
pemuda. Tapi si pemuda lebih cepat berguling jauhkan diri hingga kaki kanan
Kebo Alit menghantam tanah dan tanah itu tampak melesak sampai setengah
jengkal. Dengan demikian jurus ke tiga dan keempat berlalu sudah. Kini masuk
jurus ke lima yang merupakan jurus terakhir.
Kebo Alit sadar betapa malunya
dia kalau sampai dalam jurus kelima tidak dapat meringkus atau melumpuhkan
lawannya. Apalagi itu akan berarti dia harus membebaskan Parangwulung yang
menjadi tawanannya. Gila! Bagaimana dia sampai mau menerima pertaruhan gila
itu! Tak ada jalan lain. Dia harus menghantam habis lawannya pada jurus kelima
ini. Pemuda berpakaian putih itu tampak tegak seenaknya tapi sambil usap-usap
lengan kanannya pertanda bahwa bentrokan pukulan tadi betapa pun kuatnya dia
telah mendatangkan rasa sakit pada daging dan tulang lengannya.
"Jika kau mau menyerah aku
akan memperingan hukuman yang bakal dijatuhkan terhadapmu!" tiba-tiba Kebo
Alit berkata sambil menggeser kakinya beberapa langkah mendekati lawan.
Si pemuda menyeringai dan
menjawab, "Bukan begitu taruhan kita!" Agaknya pemuda ini sudah
mencium adanya rasa kekawatiran dalam diri sang perwira.
"Rupanya kau memang minta
digebuk dan ingin diseret jadi tawanan!" Kebo Alit menggeram. Tubuhnya
membungkuk memasang kuda-kuda rendah. Lawannya tegak tak bergerak.
"Hiaatt!" Kebon Alit
berteriak dan dari jarak empat langkah dia lepaskan pukulan tangan kosong.
Sebelum angin pukulan sampai di jarak sasaran satu kali lagi terdengar suara
teriakan perwira itu lalu tubuhnya tampak mencelat ke udara, jungkir balik.
Gerakannya sangat cepat sekali. Ketika tubuhnya melayang turun tahu-tahu dia
sudah berada di belakang lawan dan langsung menerkam leher pemuda itu dengan
kedua tangannya yang kuat dan besar.
"Hek!" suara tercekik
keluar dari tenggorokan si pemuda. Tak dapat tidak tamatlah perlawanan pemuda
itu saat itu juga apalagi jelas napasnya mulai menyengal.
"Mampus!" teriak Kebo
Alit seraya melipatgandakan cekikan mautnya. Tapi perwira ini lupa menjaga
jarak. Saat itu dia berada terlalu dekat dengan tubuh lawannya. Ketika si
pemuda tiba-tiba menghantamkan siku tangan kanannya ke belakang, Kebo Alit tak
sempat berkelit. Siku lawan melabrak lambungnya. Pada saat dia menggeliat
kesakitan lawan rundukkan kepala lalu secepat kilat tangannya bergerak ke
belakang menjambak rambut Kebo Alit. Begitu rambut sang perwira terjambak maka
pemuda itu membuat gerakan setengah berputar yang mengakibatkan cekikan kedua
tangan Kebo Alit terlepas dan di lain detik tubuhnya terlontar ke atas lalu
brukk! Kebo Alit terbanting keras ke tanah. Dia tidak pingsan tapi sekujur
tubuhnya sebelah belakang terasa seperti remuk. Untuk beberapa saat dia
terkapar dan menggigit bibir agar tidak keluarkan suara keluhan kesakitan!
Pemuda bertubuh ramping berkulit
putih memandang berkeliling sambil usut-usut lehernya yang tampak
kemerah-merahan akibat cekikan Kebo Alit tadi. Lalu dia menarik napas dalam
beberapa kali. Di depannya sang perwira tampak berusaha bangun dengan susah
payah.
"Kau kalah taruhan. Sudah
saatnya membebaskan tawanan itu!" kata si pemuda pula. Dia melangkah
mendekati Parangwulung yang sampai saat itu berada di atas punggung kuda dan
terikat kedua pergelangan tangannya. Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara
Kebo Alit memberi perintah, "Tangkap pemuda itu!"
Hampir selusin perajurit
mengurung dengan cepat. Randu Ireng dan Randu Wungu sesaat tampak ragu-ragu.
Tapi ketika Kebo Alit mereka lihat memimpin para bawahannya itu maka kedua
tokoh silat itu pun ikut melakukan pengurungan untuk menangkap si pemuda. Yang
dikurung tampak terheran-heran karena tidak menyangka hal itu. Jika semua orang
yang ada di situ benar-benar hendak menangkapnya, dia bakal mendapat kesulitan.
Walaupun begitu tak sedikit pun ada bayangan rasa takut di wajahnya yang polos.
Cepat sekali dia melompat ke kiri, menggebuk seorang perajurit terdekat lalu
merampas pedangnya. Dengan senjata rampasan di tangan dia tegak tak bergerak,
menunggu serbuan para pengeroyok.
"Kalau tak bisa ditangkap
hidup-hidup, dibunuh pun tak jadi apa!' teriak Kebo Alit. Lalu dia mendahului
menyerang. Saat itu mendadak terdengar suara membentak.
"Kalian orang-orang kerajaan
curang semua!"
***
EMPAT
SUARA bentakan itu demikian keras
dan membahana hingga menggetarkan seantero bukit tandus dan membuat semua orang
hentikan gerakan. Semua berpaling ke arah kiri, dari mana tadi datangnya suara
membentak. Namun aneh, tak seorang pun tampak di jurusan itu! Padahal suara
bentakan tadi begitu keras nyaring tanda siapapun yang mengeluarkan bentakan
pasti berada dekat dari situ. Randu Ireng yang berada, di bawah pohon kering
melambaikan tangannya pada Randu Wungu, memberi isyarat bahwa suara bentakan itu
tadi datang dari arah belakangnya. Randu Wungu menyelidik ke jurusan yang
dikatakan saudaranya, tetap saja dia tak dapat melihat siapa-siapa. Dia
memandang lagi berkeliling. Aneh, di bukit tandus begini rupa, yang hanya
ditumbuhi pohon-pohon berdaun kering tak mungkin si pembentak dapat sembunyikan
diri. Randu Wungu sesaat saling pandang dengan Kebo Alit. Keduanya saling
mendekati.
"Apa pendapatmu?" bisik
Randu Wungu.
"Begini, aku dan yang
Iain-Iain meneruskan membekuk pemuda itu. Kau tetap di sini berjaga-jaga. Jika
ada yang muncul dan bermaksud membantu pemuda itu kau harus menghalangi dan
menghajarnya. Mengerti...?"
Randu Wungu tak begitu senang
diperintah seperti itu. Bagaimanapun dia seorang perwira. Namun karena diapun
ingin sekali mengetahui siapa adanya orang yang berteriak tadi maka diapun
anggukkan kepala menyetujui. Kebo Alit kembali memimpin perajurit-perajurit itu
mengurung dan menyerbu si pemuda.
"Benar-benar pengecut!"
suara yang tadi membentak kembali terdengar. Bersamaan dengan itu sebuah benda
panjang tampak melayang di udara disertai suara jeritan. Benda panjang ini
jatuh tepat di atas kepala Kebo Alit. Sang perwira hantamkan tangannya untuk
memukul namun cepat menarik pulang pukulannya ketika menyadari benda yang jatuh
itu bukan lain adalah sosok tubuh Randu Ireng. Orang tua ini menjerit kesakitan
ketika tubuhnya terhempas di tanah lalu pingsan tak berkutik lagi. Gemparlah
semua orang yang ada di situ. Randu Wungu lari ke balik pohon di mana
sebelumnya saudaranya menggeletak. Namun dia tidak menemukan apa-apa di situ,
apalagi melihat seseorang. Dia mendongak ke atas pohon. Tetap saja tidak
menemukan siapa-siapa. Dengan perasaan sangat tidak enak dia segera mendekati
Kebo Alit dan berkata perlahan. "Jangan-jangan tempat ini ada dedemitnya.
Ingat keterangan Parangwulung tentang ikan-ikan aneh yang menggerogoti daging
Tumenggung Singaranu ..."
"Aku tidak begitu percaya
pada segala tahyul seperti itu," sahut Kebo Alit. "Mana ada dedemit
yang sanggup melemparkan tubuh Randu Ireng begitu rupa. Besar kemungkinan ada
seorang berkepandaian tinggi di sekitar tempat ini. Mungkin kawan pemuda
keparat itu... "
"Menurutku baiknya kita
pergi saja dari sini. Biarkan pemuda itu tapi Parangwulung tetap harus dibawa
ke kotaraja sebagai tawanan!"
"Aku setuju," sahut
Kebo Alit yang memang sudah melihat dan mendapat firasat tidak enak.
Cepat-cepat dia memberi isyarat pada semua orang untuk naik ke kuda
masing-masing. Dia dan Randu Wungu membantu Randu Ireng naik ke atas seekor
kuda cadangan, lalu mengapit Parangwulung.
"Hai! Kalian mau ke
mana?!" seru pemuda berpakaian putih ketika melihat rombongan itu siap
untuk pergi.
"Kemana kami mau pergi
perduli setan!" bentak Kebo Alit. "Tidak kami cincang kau juga sudah
untung!"
"Kalian boleh pergi tapi
sesuai perjanjian kalian tidak boleh membawa tawanan itu. Dia harus
dibebaskan!"
Yang berkata ini bukanlah si
pemuda, tapi orang yang tadi membentak. Suaranya datang dari satu tempat yang
sulit untuk dijajagi!
"Keparat!" kertak Kebo
Alit marah sekali. "Kau hanya berani bermulut besar tapi takut unjukkan
muka!"
"Mukaku tidak penting bagi
kalian! Tapi aku lebih penting mengingatkan agar kalian membebaskan tawanan
itu!" terdengar suara jawaban.
"Apakah kau tahu kalau
tawanan ini telah membunuh Tumenggung Singaranu? Dia layak dihukum
gantung!"
"Layak kalau dia memang
bersalah! Apakah kalian telah membuktikan kesalahannya?!" tanya suara tadi
pula.
"Soal bukti membuktikan
bukan urusanmu dedemit pengecut!" yang berteriak adalah Randu Wungu. Orang
yang tak kelihatan keluarkan suara tawa panjang.
"Randu Wungu! Sebagai tokoh
tertinggi di keraton Surakarta kau harus tahu bagaimana mengatur dan
menjatuhkan hukum. Ternyata kau lebih banyak menurutkan hawa amarah dari pada
bertindak bijak. "
Paras Randu Wungu menjadi
berubah. Ternyata orang yang bicara tanpa memperlihatkan ujud itu mengetahui
nama dan siapa dia adanya. Sementara pemuda bertubuh ramping berkulit putih
diam-diam juga jadi terheran heran dan berusaha menduga-duga siapa adanya orang
yang bicara tanpa memperlihatkan muka itu. Gurunya? Pasti tidak. Dia kenal
betul suara gurunya.
"Orang-orang kerajaan!"
terdengar kembali suara tanpa ujud tadi. "Aku akan menunggu sampai tiga
daun kering pohon di sebelah kanan kalian melayang ke tanah. Jika sampai saat
ketiga daun kering itu menyentuh tanah kalian masih belum membebaskan tawanan.
salah satu dari kalian bertiga akan kujadikan tawanan pengganti!"
Kebo Alit, Randu Wungu saling
pandang. Sedang Randu Ireng masih melingkar pingsan di atas kuda. Tiba-tiba
semua orang di tempat itu mendengar suara angin mendesir. Memandang ke atas
pohon di samping kanan mereka mereka melihat tiga daun kering melayang jatuh
Beberapa saat kemudian daun pertama yang menyentuh tanah. Menyusul daun kedua,
terakhir sekali daun ketiga!
"Kebo Alit," kata Randu
Wungu. "Kita benar-benar berhadapan dengan dedemit! Sebaiknya lekas pergi
dari sini. Tinggalkan saja Parangwulung. Aku akan membuat laporan pada
Mahapatih seolah-olah orang ini terbunuh karena melakukan perlawanan. Habis
perkara..." Lalu Randu Wungu menggerakkan kudanya sambil menarik tali
kekang kuda yang membawa sosok tubuh Randu Ireng.
"Keparat sialan!" maki
Kebo Alit. "Kalaupun kita terpaksa meninggalkannya, dia harus mampus lebih
dulu!"
Lalu perwira ini cabut kerisnya
dan hunjamkan ke dada Parangwulung. Di saat itu tiga helai daun kering yang
tadi berguguran jatuh secara aneh ke tanah, tiba-tiba terangkat dari tanah lalu
melesat laksana panah ke arah Kebo Alit. Daun pertama menghantam tangan
kanannya yang memegang keris. Gagang daun yang kering menancap di dagingnya
membuat perwira ini kesakitan dan lepaskan keris. Daun kedua memukul telinganya
hingga merah lecet. Sesaat Kebo Alit merasakan telinganya berdengung dan tuli.
Daun ketiga menyerempet alis matanya sebelah kiri hingga menimbulkan luka tersayat
dan mengucurkan darah. Nyali perwira kerajaan itu menjadi lumer. Lebih-lebih
ketika diketahuinya dia hanya tinggal seorang diri di tempat itu. Yang
Iain-Iain telah pergi meninggalkannya. Kebo Alit cepat pungut kerisnya yang
jatuh, menyeka darah yang mengucuri alisnya lalu melompat ke atas punggung
kudanya dan membedal binatang itu secepat yang bisa dilakukannya. Tinggal kini
Parangwulung yang duduk bingung serta heran di atas punggung kudanya.
"Anak muda, terima kasih kau telah menolongku..."
"Bukan aku yang menolongmu.
Ada seorang lain yang kepandaiannya sangat tinggi. Tapi dia malu-malu
memperlihatkan wajahnya Mungkin wajahnya jelek sekali!" sahut si pemuda
lalu tolong membuka tali yang mengikat pergelangan tangan Parangwulung.
"Kau boleh pergi sekarang!" kata si pemuda.
"Ya, aku akan pergi. Tapi
tak tahu akan pergi ke mana. Jelas tak mungkin ke kotaraja. Mereka akan
menangkapku kembali. Tapi anak dan istriku berada di sana. Ah bagaimana
ini..." Parangwulung benar benar bingung. Namun akhirnya dia meninggalkan
tempat itu setelah sekali lagi mengucapkan terima kasih dan si pemuda tetap
menolak bahwa bukan dialah yang telah menolong lelaki itu. Sesaat setelah
Parangwulung lenyap dari kejauhan, pemuda itu memandang berkeliling. Lalu dia
menjentikkan tangan memanggil kuda hitamnya. Ketika binatang ini hendak
ditungganginya mendadak terdengar lagi suara tanpa ujud itu.
"Anak muda! Jangan pergi
dulu. Aku ingin bicara denganmu!"
Si pemuda memandang lagi
berkeliling. "Hmm..." gumamnya "Kukira kau pun sudah pergi.
Ternyata masih nongkrong di sini. Orang pandai kenapa kau tidak mau menunjukkan
diri? "
"Sejak tadi aku ada di
dekatmu. apa kau tidak melihat? Atau matamu mungkin lamur?" Suara itu
datang dari sebelah kiri Si pemuda berpaling. Astaga! Di sampingnya saat itu
memang berdiri sesosok tubuh serba putih. Mulai dari pakaiannya yang berbentuk
jubah lebih dalam sampai ke rambut, alis, janggut dan kumisnya. Di atas bahu
orang tua ini tampak duduk enak-enakan seekor anak rusa "Hah... orang tua,
kau ini setan atau malaikat? Bicara tak kelihatan, tahu-tahu ada di depan
hidungku!" kata si pemuda pula. Sebelum yang ditanya menjawab dia kembali
memberondong. "Kaukah tadi yang melempar tubuh orang tua bernama Randu
Ireng itu? Kau juga yang meluruhkan tiga daun kering lalu menghantamkannya ke
tubuh si perwira?"
Orang tua itu tertawa.
"Pertanyaanmu banyak amat anak muda. Biar kujawab satu satu. Pertama aku
bukan setan bukan malaikat. Aku manusia sepertimu, cuma aku hampir empat kali
lipat umurmu. Memang aku yang tadi melemparkan sosok tubuh Randu Ireng itu.
Juga aku mempergunakan tiga helai daun untuk menghantam perwira kerajaan itu.
Nah semua pertanyaanmu sudah kujawab Ada lagi pertanyaan lain . . . ?"
"Binatang yang di pundak
kirimu itu. Kucing apa itu? Bentuknya aneh....!"
Si orang tua tertawa mengekeh.
"Seumur hidupmu tentu kau belum pernah melihat binatang seperti ini. Ini
bukan kucing. Tapi seekor anak rusa ..."
"Apa namanya?"
"Rusa!"
"Rusa!" mengulang si
pemuda. Orang tua itu mengangguk. "Kini giliranku bertanya Kenapa kau
sengaja menghadang rombongan kerajaan tadi. Mengapa kau begitu repot-repot
mencampuri urusan orang lain dan ingin membebaskan tawanan berkumis itu? Lalu
siapa namamu, kau berasal dari mana dan mau ke mana?"
"Aih! Pertanyaanmu ternyata
banyak amat. Dan dengar, aku tak akan menjawab satupun dari pertanyaan
itu!"
Si orang tua kerenyitkan kening
lalu tersenyum. "Anak muda. ada beberapa hal kulihat pada dirimu yang
kurang pantas kau miliki..."
"Heh! Apa?!" si pemuda
jadi penasaran dikatakan demikian.
"Pertama, kau termasuk anak
jahil yang suka mencari tantangan tanpa perduli apakah itu mengganggu orang
lain..."
"Tidak bisa!" memotong
pemuda itu.
"Dengar dulu, bicaraku belum
selesai. Kedua, kau termasuk orang yang agak keras kepala. Ketiga, sikapmu bicara
menyatakan bahwa kau kurang mengenal sopan santun ..."
"Orang tua! Kau benar benar
menghinaku!"
"Tidak! Karena tabiat yang
kukatakan itu memang benar-benar melekat di dirimu. Selain pelajaran silat
apakah gurumu tak pernah mengajarkan sikap yang baik hormat dan bagaimana
bicara sopan bagaimana jangan sampai usil mengganggu orang?!"
"Orang tua. sekali lagi kau
menyebut-nyebut nama guruku, kutampar mulutmu!"
"Nah... nah... Itu bukti
kekurangsopanan dan kekerasan kepalamu!"
Si pemuda hentakkan kaki kanannya
ke tanah saking marahnya.
"Kalau kau bukan orang tua,
benar benar sudah kutampar mulutmu"
"Nah, kau menunjukkan
tanda-tanda ingin berlaku baik tak jadi menamparku tapi masih memperlihatkan
sikap kurang ajar!"
"Orang tua! Aku tak ingin
bicara denganmu lagi'"
Pemuda itu lantas naik ke
punggung kudanya. Si orang tua cuma tertawa. "Kudaku, ayo jalan!" Si
pemuda tepuk pinggul kudanya. Tapi binatang itu tak mau jalan. "Hai! Ayo
jalan Panah Hitam!" seru si pemuda. Tetap saja kudanya tak mau jalan,
bahkan bergerak sedikitpun tidak. Ada apa denganmu sebenarnya?" Si pemuda
memeriksa dan dapatkan ternyata binatang itu tertegak kaku, entah ditotok entah
diapakan. "Pasti kau yang melakukannya!" ujar si pemuda dengan mata
dibesarkan pada orang tua berpakaian putih. Orang tua itu kembali tertawa.
"Anak muda, ketahuilah. Kau berjodoh denganku!"
Mendengar ucapan itu si anak muda
melotot besar matanya. "Tua bangka gila! Apa katamu! Kupecahkan
kepalamu!"
"Eh, kenapa kau marah-marah?
Seharusnya kau senang!"
"Tua bangka busuk! Barusan
tadi kau mengatakan usiamu empat kali umurku! Kini kau mengatakan aku berjodoh
denganmu. Apa itu namanya bukan gila... !"
Orang tua berambut putih
geleng-geleng kepala "Akhirnya kau membuka kedokmu sendiri nak. Sejak tadi
aku sudah tahu kalau kau bukan seorang pemuda..."
Tiba-tiba saja paras si pemuda
menjadi pucat pasi. Orang tua di hadapannya kembali berkata, "Kalau aku
menyebut soal jodoh bukan berarti aku ingin memperistrikanmu! Soal jodoh adalah
soal jodoh sebagai guru dan murid. Kau berjodoh denganku! Kau pantas jadi
muridku..."
"Jadi muridmu? Memangnya apa
sih kepandaianmu?!"
"Nah, keras kepala dan
kurang sopanmu kembali. Aku tahu kau memiliki kepandaian silat cukup tinggi.
Dan pasti saat ini kau tengah mengelana mencari pengalaman. Tapi ketahuilah,
ilmu itu apa pun adanya tak ada batasnya. Semakin dituntut semakin kita ketahui
bahwa kita masih banyak ketinggalan. Apakah kau tidak ingin belajar bagaimana
cara meruntuhkan daun dan mempergunakan sebagai senjata seperti yang kulakukan
tadi...?"
"Tidak, aku tak perlu ilmu
seperti itu?" jawab si pemuda. "Dan aku tak sudi bicara denganmu
lebih lama!"
Kembali pemuda itu melompat ke
atas kudanya. Namun segera pula disadarinya bahwa binatang itu masih berada
dalam keadaan kaku tegang. Bagaimanapun dia berusaha tetap saja dia tak dapat
membuat kudanya mampu bergerak apalagi berjalan.
"Orang tua! Kalau tidak kau
bebaskan kudaku, kupatahkan tanganmu. Ternyata kau pun seorang yang
jahil!" pemuda itu mengancam.
"Kudamu itu akan bebas
dengan sendirinya beberapa saat lagi. Dengar, pada permulaan bulan ke tujuh
datanglah ke tempat kediamanku di selatan. di tepi hutan Grinting. Jika kau
tidak datang kau akan menyesal seumur hidup..."
Pemuda itu hendak mengatakan
sesuatu, tetapi didapatnya orang tua itu tak ada lagi di hadapannya. Memandang
ke depan dilihatnya si orang tua sudah berada jauh di kaki bukit tandus.
"Ah... dia benar-benar
hebat. Ilmunya jelas jauh lebih tinggi dari guru..." kata si pemuda dalam
hati. Lalu dia kembali memeriksa kudanya dan ternyata binatang ini sudah bisa
bergerak kembali. Maka dia pun naik ke punggungnya dan memacunya menuju puncak
bukit tandus.
***
LIMA
KETIKA sampai di puncak bukit
tandus dan memandang ke depan, tercenganglah pemuda penunggang kuda hitam itu.
Dia hampir-hampir tak dapat mempercayai pemandangan matanya. Di bawah sana
terdapat sebuah Iembah yang sebagiannya tertutup rumput hijau serta pohon pohon
bunga yang sedang mekar berwarna-warni. Di sebelah timur ada sungai kecil yang
airnya mengalir menuju sebuah kolam di pertengahan lembah. Keseluruhannya
menyajikan satu pemandangan yang luar biasa indahnya.
Bagaimana bisa terjadi bagian
bukit yang baru dilewatinya berada dalam keadaan tandus kering kerontang sedang
bagian yang di sini merupakan satu lembah subur dengan pemandangan yang sangat
menakjubkan.
"Kudaku, nasib kita hari ini
sedang mujur. Lihat, di sana ada air dan rumput segar untukmu!"
Pemuda itu lalu menuruni lembah
dengan cepat. Sebelum turun dari kudanya dia mengelilingi dulu kolam yang
airnya tampak berwarna-warni itu, menikmati satu keindahan yang belum pernah
disaksikannya sebelumnya.
"Kau minumlah sepuasmu lalu
merumput di pedataran sana!" kata si pemuda seraya mengusap tengkuk
kudanya. Lalu turun dan berlari-lari kecil menuju aliran anak sungai. Di sini
pemuda itu membasahi mukanya lalu meneguk air segar sepuasnya. Memandang Ke
kolam dari tempatnya duduk, hatinya terdorong untuk membasahi sekujur tubuhnya.
Tapi ada rasa kawatir. Kalau kalau ada orang lain di tempat itu. Dia memandang
berkeliling. Meneliti setiap sudut lembah dengan seksama. Tak tampak
siapa-siapa. Perlahan-Iahan dia menuju ke tepi kolam. Dia tidak segera masuk ke
dalam air tapi duduk dulu di atas batu batu besar dan mencelupkan kedua kakinya
yang putih. Terasa segar sejuk air kolam itu. Sekali lagi dia memperhatikan
berkeliling. Setelah memastikan tak ada orang lain di tempat itu selain kudanya
yang merumput di kejauhan maka pemuda ini segera lepaskan pakaian putihnya.
Terlindung di balik batu-batu besar dan batang-batang pohon rapat. dua kakek
berkepala lonjong dan bermata picak tertawa lebar.
"Sekian minggu menunggu
akhirnya datang juga mangsa baru!" kata si Picak Kiri sambil usap-usap
telapak tangannya satu sama lain. "Sudahkah kau periksa peralatanmu, Picak
Kanan?"
"Jangan kawatir. Peralatanku
beres. Dan ikan-ikan iblis itu pasti akan menyantap mangsanya cepat sekali!
Bayangkan sekian lama mereka tidak mendapat makanan. Dan kau lihat, yang datang
ternyata seorang pemuda berparas cakap berkulit putih! Tentu daging dan
darahnya sedap sekali. Hik... hik.... hik....!"
"Huss! Jangan keras keras
tertawamu. Nanti kedengaran! Lihat, pemuda itu sudah duduk di tepi kolam. Nah,
dia mencelupkan kedua kakinya dan memain-mainkan air kolam. Sekarang lihat, dia
mulai menanggalkan pakaiannya. Hai.... Lihat!" seru Picak Kiri.
"Ada apa?" Picak Kanan
bertanya.
"Pemuda itu! Ternyata dia...
dia... Lihat dadanya! Dia bukan seorang laki-laki! Tapi perempuan! Seorang
gadis! Nah, dia melepas ikat kepalanya. Nah, benarkan. Rambutnya panjang
sebahu! Aih, cantiknya. Dan buah dadanya itu... Bagus sekali... Bagus sekali!
Tak pernah aku melihat pemandangan begini luar biasa. Sebentar lagi dia tentu akan
membuka seluruh pakaiannya ..."
Mata kiri Picak Kanan terpentang
lebar. Apa yang dikatakan saudaranya memang benar. Orang di tepi kolam yang
semula mereka sangka adalah seorang lelaki muda, setelah membuka pakaian dan
melepas ikatan rambutnya ternyata adalah seorang gadis berkulit putih mulus
berparas jelita.
"Pinggangnya ramping amat
dan pinggul serta pahanya begitu putih. Ampun mau mati aku rasanya
melihatnya!" kata si Picak Kanan.
Orang yang di tepi kolam
perlahan-lahan masuk ke dalam air, bergerak ke tengah sambil sesekali membasahi
mukanya dengan air sejuk.
"Jangan kau lepas dulu
ikan-ikan Iblis Prahara itu, Picak Kanan. Biar kita menikmati pemandangan yang
luar biasa ini!" kata si Picak Kiri. Matanya yang cuma satu tidak
berkedip-kedip. Dara di tengah kolam tampak memandang berkeliling. Dia masih
kawatir kalau-kalau ada orang lain di tempat itu. Setelah yakin benar memang
tak ada siapa-siapa di situ maka diapun berkecimpung di dalam kolam
sepuas-puasnya. Rambutnya yang hitam basah berkilat kilat ditimpa sinar
matahari. Letih bermain air dia duduk sebentar di tepi kolam. Dua kakek botak
seperti mau gila melihat tubuh putih mulus itu. Sesaat kemudian gadis itu masuk
kembali ke dalam kolam.
"Picak Kiri..."
berbisik Picak Kanan. "Aku ada usul. Sebaiknya ikan-ikan itu tidak kita
lepas. Jika gadis itu kita bunuh sekarang berarti hanya kali ini kita melihat
keindahan tubuh telanjangnya. Tapi kalau kita biarkan hidup, siapa tahu dia
bakal datang lagi kemari? Berarti kita akan dapat lagi melihat pemandangan yang
begini menakjubkan! Bagaimana pendapatmu?"
Picak Kiri usap usap mata
kanannya. Dia berpikir sejenak. "Kau betul!" sahutnya kemudian.
"Aku setuju. Biar kita lepaskan yang satu ini. .. "
Gadis di dalam kolam berenang
perIahan ke tepian di mana tadi dia meninggalkan pakaiannya. Sampai di tepi
kolam dia tidak segera mengenakan pakaian tetapi duduk-duduk dulu seperti
berjemur mengeringkan air yang menempel di badannya. Sambil menunggu keringnya
badan dia memetik bunga-bunga melati yang banyak tumbuh di sela-sela batu-batu
besar. Rambutnya disanggul lalu bunga melati itu diselipkannya di sela gulungan
rambut. Sesaat kemudian diapun sudah mengenakan pakaian kembali. Picak Kanan
dan Picak Kiri sama-sama menarik nafas dalam dan mengurut dada.
"Luar biasa... Benar-benar
luar biasa!" kata Picak Kanan sambil rebahkan diri ke tanah dan
menelentang menatap langit sesaat lalu bangkit kembali. Saat itu gadis yang
berpakaian seperti lelaki itu tampak tegak di atas batu besar memandang
berkeliling lalu melangkah mendekati kudanya yang juga telah puas merumput.
"Panah Hitam, mari kita
pergi. Tempat ini sangat indah. Lain kali kita akan kemari lagi. .. " Lalu
sekali lompat saja dia sudah berada di punggung kuda hitam itu. Si gadis yang
menyamar sebagai laki-laki ini bukan lain adalah Sri Megaresmi, murid perempuan
Kiai Kali Mutu dari Demak.
"Kalau saja aku tak dapat
menahan hati, mungkin tadi aku sudah keluar dari tempat persembunyian ini dan
masuk ke dalam kolam. Mandi bersama gadis cantik tadi! Dan tidak mandi saja
tentunya. Akan kupeluk tubuhnya. Kudekap dadanya yang putih kencang itu
dan..."
"Ssstt... !" Picak Kiri
menggamit kaki saudaranya. "Lihat ada orang datang di puncak lembah!"
Saat itu di atas lembah memang tampak seekor kuda putih tegak berhenti. Di
punggungnya duduk seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih.
"Yang satu ini kuharap benar
benar lelaki! Bukan gadis berpakaian pemuda!" kata Picak Kiri. "Jika
dia mandi di kolam kita maka dialah mangsa ikan-ikan kita itu. Hitung-hitung
sebagai pengganti gadis tadi!" kata Picak Kanan pula.
Penunggang kuda putih adalah
Panji murid Kiai Kali Mutu dari Demak. telah menyelesaikan gemblengan terakhir
sekitar satu bulan lalu. Sang Kiai kini melepaskan kembali ke dalam rimba
persilatan untuk mencari pengalaman agar benar-benar menjadi seorang pendekar
yang mantap. Seperti siapa saja yang baru pertama kali melihat keadaan lembah
itu. Diapun merasa terheran-heran. Di musim kemarau yang panjang, di mana
segala sesuatunya menjadi tandus kerontang. Tahu-tahu di lembah itu terdapat
kesuburan yang disertai pemandangan indah luar biasa.
"Panah Putih," si
pemuda memanggil nama kudanya. "kita akan bersenang-senang di lembah itu.
Kau menyantap rumput sepuasmu dan aku beristirahat di kolam sana."
Bersama kudanya dia menuruni
lembah. Binatang itu dilepas di padataran rumput, dia sendiri menuju kolam,
merendam kepalanya beberapa saat lalu menarik nafas segar dalam-dalam.
"Air kolam ini sejuk nyaman
sekali. Tak puas rasanya kalau tidak mandi berendam..." Panji membuka
kancing-kancing pakaiannya. Sesaat kemudian dia sudah mencebur masuk ke dalam
kolam. Picak Kiri berpaling pada saudaranya, "Mangsa sudah di dalam kolam.
Kau tunggu apa lagi...?"
Picak Kanan menyeringai. Lidahnya
berulang kali dijulurkan membasahi bibir. Tenggorokannya turun naik. Perlahan
lahan tangan kanannya bergerak ke dalam Iubang di antara semak belukar. Begitu
menyentuh ujung tali rotan. segera dia mendorong ke depan. Lempengan tembaga
berat penutup mulut terowonganpun terbuka. Panji mendengar suara berdesir aneh
di dalam air kolam. Memandang ke samping kiri dilihatnya ikan hitam aneh banyak
sekali berenang melesat ke arahnya. Hanya ikan-ikan kecil, pasti binatang
penghuni kolam itu, apa yang ditakutinya? Pemuda ini tak pernah menyangka kalau
hari itu, di tempat itu, adalah akhir dari perjalanan hidupnya yang masih
sangat muda. Kematian datang menjemput bukan dalam berlaga menghadapi musuh dan
kejahatan, tetapi justru muncul di sebuah kolam bagus berair sejuk.
Pemuda ini tersentak kaget dan
menjerit kesakitan sewaktu ikani-kan Iblis Prahara manancapkan gigi-giginya di
paha, di perut, sepanjang kedua kaki, pinggang, dada dan punggungnya Dia
pergunakan kedua tangannya untuk menepis binatang itu. Tetapi percuma. Hanya
beberapa ekor yang barjatuhan sedang yang datang menyerbu jauh labih banyak.
Panji kerahkan tenaga dalam, maksudnya hendak lepaskan pukulan guna memusnahkan
ikan-ikan Iblis itu. Tetapi pemuda ini menjerit sewaktu melihat kedua tangannya
ternyata hanya tinggal tulang saja! Tubuhnya kemudian seperti diseret kuat-kuat
ke dasar kolam. Kini ikan-ikan hitam berbentuk segitiga dengan gigi-giginya
yang lancip runcing serta tajam seperti mata gergaji bukan saja manggerogoti
tubuhnya, tetapi juga muka dan kepalanya. Air kolam yang tadi bening jernih
kini tampak merah oleh darah!
Kuda putih yang tengah merumput
di lereng lembah dongakkan kepala. Matanya berkedip-kedip memandang ke arah
kolam. Seperti tahu apa yang terjadi binatang ini meringkik. Panjang dan keras.
Barulangkali tiada henti.
***
ENAM
SUARA ringkik kuda yang keras
panjang dan terus itu menarik perhatian Mahesa Kelud yang tengah dalam
perjalanan menuju ke timur. Mungkin itu hanya ringkik kuda liar yang kehausan.
Mungkin juga ringkik seekor kuda yang tengah menghadapi bahaya. Atau ada kuda
penarik kereta terbalik. Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pemuda
ini segera mendaki bukit tandus di depannya. Sampai di puncak bukit kalau saja
dia tidak melihat seekor kuda putih yang terus meringkik, pastilah dia akan
terpesona melihat keindahan yang terbentang di depan matanya.
Mahesa berlari mendekati kuda
putih itu. Pada jarak tiga langkah mendadak binatang ini tendangkan kaki kiri
belakangnya ke arah Mahesa. Kalau tidak cepat menghindar pasti perutnya kena
diterjang kaki kuda itu.
"Kuda putih... tenang.
Tenang... Aku sahabatmu. Aku tak akan mengganggumu! Kenapa kau meringkik terus
menerus!" Mahesa berkata itu sambil ulurkan tangan mengelus tengkuk kuda
putih. Binatang ini masih terus meringkik, tetapi tidak galak lagi. Mahesa
memandang berkeliling. Tangannya terus mengusap leher kuda. Ketika dia menuruni
pedataran berumput menuju ke kolam di bawah sana. Kuda putih itu mengikutinya.
Di tepi kolam Mahesa menemukan sehelai pakaian yang terdiri dari pakaian dan
celana panjang putih. Lalu ikat kepala putih. Persis seperti yang saat itu
dikenakannya sendiri. Namun apa yang menjadi perhatiannya dan membuat pandekar
ini keranyitkan kening adalah sesosok kerangka manusia lengkap dengan tengkorak
kepala, terapung di air kolam yang tampak kemerah-merahan. Bau amis menusuk
hidungnya. Kuda putih di sampingnya meringkik keras.
"Celaka! Kita tidak keburu
mengambil dan menyembunyikan tengkorak itu. Air kolampun masih ada
darahnya!" terdengar bisikan di balik tumpukan batu besar dan kerapatan
pohon pohon. Yang berbisik adalah kakek botak Picak Kanan.
"Tenang saja...." Picak
Kiri menyahut. "Tak mungkin orang itu mengetahui apa yang terjadi. Yang
penting jangan keluarkan suara berisik. Pemuda itu jelas tengah meneliti
keadaan di tempat ini!"
Mahesa tegak di atas batu besar
di tepi kolam. Otaknya bekerja keras memecahkan teka-teki apa yang telah
terjadi di tempat itu. Pembunuhan? Seseorang, pemilik pakaian putih dan pemilik
kuda putih itu. diakah yang jadi korban? Tapi siapa yang membunuh? Mahesa
menatap ke arah tengkorak yang terapung di air kolam. Pada saat itulah di
belakangnya terdengar suara derap kaki kuda, disusul oleh suara seseorang
berseru, "Kakak Panji!"
Mahesa cepat berpaling. Bukan
saja ingin melihat siapa yang memanggil itu tetapi juga karena Panji adalah
nama aslinya, nama sebelum gurunya Embah Jagatnata memberikan nama Mahesa Kelud
kepadanya. Siapa gerangan orang yang mengetahui nama aslinya itu? Ketika
berpaling Mahesa dapatkan dirinya berhadap-hadapan dengan seorang muda
penunggang kuda hitam. Pemuda itu bertubuh ramping, berpakaian serba putih dan
memiliki paras serta kulit sehalus perempuan.
"Ah! Kau bukan kakak
Panji!" penunggang kuda hitam berkata dan di wajahnya tampak bayangan rasa
heran. Dia memandang ke tengah kolam di mana tampak mengapung tengkorak
manusia. Lalu melirik pada kuda putih di samping kiri si pemuda. "Kau
bukan kakak Panji! Tapi kuda itu adalah Panah Putih. Kuda miliknya. Dan
..." Penunggang kuda hitam meluncur turun dan kudanya ketika melihat
seonggok pakaian putih di atas batu di tepi kolam. "Ini pasti pakaiannya.
Kakak Panji! Di mana kau!" seru pemuda ramping itu yang bukan lam adalah
Sri Megaresmi murid Kiai Kali Mutu, adik seperguruan Panji. Kenapa gadis
berpakaian lelaki ini kembali ke tempat itu?
Seperti diceritakan, sebelumnya
Megaresmi telah datang ke lembah yang indah itu dan sempat mandi di kolam.
Meskipun hatinya diselimuti rasa senang karena dapat mandi di air yang bersih
bening dan sejuk demikian rupa namun setelah meniggalkan tempat itu gadis ini
menaruh rasa tidak enak. Dia yakin gerak-geriknya ketika mandi tadi telah
diintip oleh orang lain. Rasa jengah timbul dalam dirinya. Tetapi sekaligus
juga rasa marah. Jika ada orang yang berani mengintipnya mandi, orang itu
siapapun adanya harus digebuk dan dihajar. Maka gadis yang keras hati ini
sengaja kembali ke tempat itu untuk menyelidik. Justru yang ditemuinya adalah
Mahesa Kelud dan kuda putih milik kakak seperguruannya.
"Saudara, kau memanggil nama
Panji berulang kali! Siapakah dia? Aku sendiri juga bernama Panji!" Mahesa
menegur.
"Aku tak perduli siapa
namamu! Yang kucari adalah Panji kakak seperguruanku! Kulihat kuda putihnya ada
bersamamu! Dan itu pasti pakaiannya!"
"Ketika aku sampai di tempat
ini kutemui kuda ini meringkik terus-terusan. Lalu kutemui pakaian. Aku tidak
melihat siapapun di sini, kecuali tengkorak yang terapung apung di dalam kolam
..." menerangkan Mahesa.
Megaresmi memandang ka kolam
kembali. Hatinya tidak enak. Berpaling ke arah Mahasa dia tiba-tiba berkata:
"Pasti kau yang tadi
mengintip aku mandi!"
"Hah! Aku baru saja sampai
di tempat ini! Bagaimana kau bisa menuduh aku mengintipmu mandi! Memangnya
kapan kau mandi di sini? Di dalam kolam yang ada jerangkong ada airnya amis
itu?!"
"Jangan berpura-pura! Ketika
aku mandi kolam itu bersih dan sejuk airnya. Tak ada bau amis, apalagi
jerangkong!" tukas Megaresmi.
"Aneh, kalau begitu sesuatu
telah terjadi sesaat setelah kau pergi dan sebelum aku muncul di tempat
ini!" kata Mahesa pula.
"Aku curiga! Kaulah yang
telah membunuh kakak seperguruanku!"
Mahesa Kelud tentu saja terkejut
mendengar tuduhan itu.
"Tuduhanmu tak beralasan.
Aku tak pernah bertemu dangan kakak seperguruanmu itu. Lalu apa pula pasal
musababnya aku membunuhnya?!" Mahesa memandang ke arah kolam. "Apa
kau bisa membuktikan bahwa aku yang membunuh saudaramu dan bagaimana cara aku
membunuh!"
"Aku tidak merasa perlu
membuktikannya. Justru kau yang harus mengakuinya. Jika kau berani bardusta
kupecahkan batok kepalamu!"
Mahesa tersenyum. "Siapa
sudi mengakui sesuatu yang tidak dilakukannya? Apalagi membunuh orang!"
"Kalau begitu bersiaplah
untuk mampus! Aku yakin kau membunuh kakakku Mungkin karena kau menginginkan
kuda putihnya itu Atau antara kalian ada dendam kesumat!"
"Pemuda picik! Jika aku
membunuh seseorang mana mayatnya?!"
"Pasti telah kau
sembunyikan. Atau mungkin jerangkong yang ada dalam kolam itu!"
Mahesa tertawa. "Membunuh
seseorang lalu membuatnya hanya tinggal tulang belulang dan tengkorak seperti
itu bukan pekerjaan mudah! Mayat yang dikuburpun berbilang tahun baru menjadi
tengkorak putih!"
"Sudahlah! Kau mau mengaku
atau tidak?!" Megaresmi mengancam.
"Apa yang harus
kuakui?!" tukas Mahesa.
"Keparat! Mulutmu pandai
berdalih! Lihat serangan!"
Mahesa Kelud terkejut ketika
melihat "pemuda" di hadapannya menerjang dengan satu pukulan kilat
mengarah mukanya. Dari angin pukulan yang mengeluarkan suara berdesir. Mahesa
segera maklum kalau pemuda yang kelihatannya lemah lembut itu memiliki
kepandaian yang tidak rendah. Untuk menjajal sampai di mana kekuatan lawan maka
diapun angkat lengan kiri, menangkis.
Megaresmi dalam marahnya juga
ingin menjajagi kehebatan si pemuda maka diapun tidak berusaha untuk
menghindarkan terjadinya bentrokan lengan. Buk!
Mahesa melompat mundur sambil
teliti pergelangan tangannya. Ternyata lengannya tampak kemerah-merahan dan
rasa sakit membuat pendekar ini menatap kagum ke depan. Tidak disangka pemuda
yang bertubuh ramping halus itu memiliki kekuatan luar biasa. Sebaliknya Megaresmi
sendiri tampak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi tangannya. Jelas dia menderita
sakit yang amat sangat. Melihat hal ini diam-diam Mahesa jadi kasihan dan
berkata, "Harap maafkan, bukan maksudmu mencelakaimu. Tanganmu
cidera?!"
"Kentut busuk!" Megaresmi
memaki gemas. Ucapan belas kasihan itu olehnya terasa justru seperti ejekan.
Tubuhnya berkelebat ke depan. Tangan kirinya membabat deras mencari sasaran
seru. Jurus demi jurus berlalu sangat cepat. Tak terasa dua puluh jurus telah
terlewatkan. Megaresmi keluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat memukul atau
merobohkan lawan. Namun sampai tenaganya terkuras dia tak mampu menyentuh tubuh
pemuda itu. Sebaliknya Mahesa bekerja keras dan harus keluarkan jurus-jurus
silat yang dipelajarinya dari Embah Jagatnata, sesekali digabung dengan
jurus-jurus ilmu pedang yang didapatnya dari Suara Tanpa Rupa. Selama
perkelahian Mahesa lebih banyak mengambil sikap bertahan. Entah mengapa dia
merasa tidak tega balas menyerang. apalagi sampai menjatuhkan tangan keras. Selain
tidak ada silang sengketa dengan "pemuda" itu. Mahesa juga sadar
kalau lawannya banyak terpengaruh oleh anggapan bahwa dialah yang telah
membunuh kakak seperguruannya.
Memasuki jurus keduapuluh lima
gerakan Mega resmi tampak semakin lamban. Nafasnya menyengal. Gila! Maki
"pemuda" ini. Tadi bertempur melawan orang-orang kerajaan itu dia
sama sekali tidak merasa lemas. Mengapa menghadapi lawan yang seorang ini
tenaganya seperti tersedot. Dalam keadaan kehabisan tenaga, ketika Mahesa
menepuk bahunya, Megaresmi akhirnya jatuh terduduk di antara pohon-pohon bunga
yang sedang bermekaran. Perasaannya campur aduk. Malu, gemas, marah dan
menyesal. Sekian lama menjadi murid Kiai Kali Mutu ternyata kepandaiannya hanya
sampai di situ saja. Tak sanggup menghadapi pemuda itu. Percuma menghabiskan
waktu sekian lama di Demak kalau hasilnya hanya begini saja. Terlupa akan
penyamarannya. Megaresmi duduk bersimpuh di tanah sambil tekap mukanya dengan
kedua tangan. lalu tak sadar dia menjambak-jambak rambut di kepalanya hingga
gelungannya terlepas dan rambutnya yang panjang sebatas bahu tergerai.
Melihat ini Mahesa Kelud tentu
saja jadi terkejut.
"Hah... kau ini lelaki atau
..."
Megaresmi turunkan kedua
tangannya, memandang melotot pada Mahesa
"Kau... seorang
perempuan!" ujar Mahesa.
Baru Megaresmi sadar. Kedua
tangannya diusapkan ke kepala. Sadar dia apa yang terjadi. Sanggulnya lepas.
Penyamarannya terbuka. Yang bisa dilakukannya kini adalah menangis dan
menangis!
Mahesa geleng geleng kepala. Dia
duduk di tanah di hadapan gadis itu tapi tetap menjaga jarak karena bukan
mustahil tiba-tiba si gadis kembali menyerangnya.
"Apa yang hendak kau lakukan
padaku?!" tiba-tiba Megaresmi bertanya dengan suara keras. Nadanya penuh
putus asa.
"Eh. aku tak akan melakukan
apa apa. Memangnya kenapa?" tanya Mahesa heran.
"Kalau begitu enyahlah dari
hadapanku!"
"Jika kau tidak suka pada
tampangku yang jelek, tak jadi apa." sahut Mahesa. "Tapi di tempat
ini ada sesuatu yang tidak beres. Bagaimana kalau kita melakukan penyelidikan
bersama-sama. Bukankah kau menaruh curiga bahwa kakak seperguruanmu berada di
tempat ini dan lenyap secara aneh. Lalu ada jerangkong terapung di kolam
sana... Dan kuda putih itu yang menurutmu adalah kuda kakakmu. Dan pakaian
putih... Atau mungkin kau masih menuduhku sebagai pembunuh?"
"Sampai kau sendiri yang
membuktikan bahwa kau bukan pembunuh, aku tetap mencapmu sebagai
pembunuh!"
"Kau keterlaluan. Siapa sih
namamu?!" Tanya Mahesa.
"Perlu apa kau tahu namaku!
Dengar! Hari ini aku mengaku kalah. Mengejek dan mempermankanku! Tapi tunggu
saja! Aku akan datang lagi mencarimu. Aku akan berguru ke selatan. Sekali kau
kutemui lagi akan kuhajar kau sampai menggelepar!"
"Kau gadis keras hati!"
kata Mahesa. Megaresmi tak menyahut. Dia bangkit berdiri, mengambil pakaian
putih yang terletak di atas batu di tepi kolam lalu melompat ke atas kuda
hitamuya. Sebelum pergi dia berpaling pada kuda putih yang tegak di samping
Mahesa.
"Panah Putih." katanya.
"aku tak bisa membawamu. Jagalah dirimu baik-baik..." Sesaat gadis
itu melirik ke arah Mahesa lalu membedal kudanya dan tinggalkan tempat itu.
Yang ada di benaknya saat itu adalah bayangan orang tua serba putih yang muncul
bersama anak rusa di pundaknya. Orang tua itu telah menyuruhnya pergi
menemuinya di selatan. Semula sama sekali tak ada niat di hati Megaresmi untuk
memenuhi permintaan itu. Tapi setelah dia dikalahkan oleh pemuda tadi. Hatinya
benar-benar kesal. Dia bertekad untuk membalas kekalahan itu. Untuk kembali ke
gurunya di Demak dia merasa malu. Karena itu dia menuju ke selatan, mencari
kakek sakti yang mengatakan bahwa dirinya berjodoh untuk diambil murid. Gadis
ini sama sekali tak pernah mengetahui kalau orang tua yang hendak mengambilnya
menjadi murid itu sesungguhnya adalah juga guru Mahesa Kelud. Sesaat setelah
sendirian Mahesa tegak termangu. Akhirnya didekatinya kuda putih itu,
dielus-elusnya tengkuk binatang ini seraya berkata, "Kuda putih, namamu
Panah Putih, benar...?" Sang kuda kedip-kedipkan mata.
"Dari pada tak ada yang
mengurusmu, lebih baik ikut bersamaku." Lalu Mahesa melompat ke punggung
kuda itu dan memacunya ke jurusan timur.
***
TUJUH
TIGA ekor kuda berpacu menuruni
lembah berumput. Dua kuda di tunggangi oleh dua orang bertubuh kekar berwaiah
bengis dan memiliki rambut gondrong menjela bahu. Muka masing-masing selain
tertutup debu juga terbungkus oleh cambang bawuk serta kumis tebal. Kuda ketiga
tidak berpenumpang tapi membawa sejumlah buntalan dan peti kayu.
"Delapan tahun
malang-melintang di daerah ini, baru hari ini aku tahu kalau di sini ada lembah
yang begini indah, lengkap dengan bunga dan kolam sejuk!"
Penunggang kuda yang sebelah
kanan berkata sambil tekankan telapak tangan kanannya ke gagang golok besar
yang tersisip di pinggang.
"Warok. tempat ini pantas
kita jadikan markas!" kata kawan di sebelahnya.
Yang dipanggil dengan sebutan
warok usap-usap cambang bawuknya lalu menjawab, "Itu tadi memang terlintas
dalam benakku. Tapi tempat seindah ini tidak aman bagi kita dan anak-anak. Kau
tahu siapa saja yang lewat di sini pasti menyempatkan singgah untuk menikmati
pemandangan serta bermain di kolam. Aku sendiri merasa gerah. Sudah seminggu
tubuhku tak menyentuh air. Sampang Ijo. Kau berangkatlah duluan. Bawa serta
barang-barang itu. Tunggu aku di Goa Srindil. Aku ingin mandi dulu di kolam
ini.. . "
"Kalau warok berkata begitu
baiklah," kata Sampang Ijo lalu dia menarik tali kuda barang dan segera
tinggalkan tempat itu.
Kakek botak Picak Kiri
mengusap-usap kepatanya yang botak. "Kalau aku tidak salah terka, manusia
gondrong bertampang buas itu adalah Warok Suto Jagal, kepala rampok yang
terkenal jahat dan ganas itu... "
"Memang dia," jawab
Picak Kanan. "Gerak-geriknya dia hendak mandi kolam kita. Kali ini ikan-ikan
kita akan dapat mangsa alot! Daging dan darahnya pasti tidak sedap!"
"Tak jadi apa. Yang penting
ikan-ikan Iblis Prahara itu dapat makan. Yang aku takutkan justru kalau mereka
sampai mati kelaparan. Siapkan perkakasmu Picak Kanan. Sebentar lagi sang warok
akan berlangir darah dan dagingnya sendiri! Hik... hik... hik!"
Saat itu Warok Suto Jagal memang
sudah menanggalkan pakaiannya. Dadanya tampak penuh tertutup bulu sampai ke
pusar dan perutnya yang buncit berlemak. Air kolam muncrat tinggi ketika tubuh
yang besar gendut itu mencemplung masuk.
"Sedapnya mandi di sini
..." kata sang warok. "Sehabis mandi sebaiknya aku tidak terus ke Goa
Srindil. Aku mampir dulu ke tempat Nyi Jumilah. Dia tentu senang bergelut-gelut
dengan tubuhku yang bersih. Selama ini dia selalu mengatakan badanku
bau...!"
Suto Jagal berenang ke tepi,
maksudnya hendak mengambil daun-daun dan kembang-kembang melati untuk
digosokkan ke badannya agar harum. Tetapi sebelum dia mencapai tepi kolam
tiba-tiba ada sesuatu yang menggigit kakinya. pahanya, lalu pinggul dan
pinggangnya. Dari terpekik kesakitan. Kini malah dada dan perutnya seperti
dicucuk.
"Binatang keparat!"
maki kepala rampok itu ketika melihat ternyata yang menggigit tubuhnya adalah
ikan-ikan kecil berwarna hitam. Dia mengibas kian kemari sambil berusaha
mencapai tepi kolam. Namun ikan-ikan yang ribuan ekor banyaknya itu lebih
dahulu menyeretnya ke dalam kolam. Ketika tak lama kemudian Warok Suto Jagal
muncul di permukaan air maka tubuhnya hanya tinggal tulang belulang dan tengkorak
yang mengerikan!
"Ikan-ikan luar biasa!"
kata Picak Kiri sambil menyeringai puas. "Tubuh begitu besar alot dan
penuh lemak dihabisi dalam waktu singkat! Picak Kanan, ayo cepat masukkan ikan
ikanmu. Aku harus mengangkat jerangkong itu dari dalam air. Kawatir ada
pendatang lain muncul seperti kejadian tempo hari..."
Picak Kanan goyang-goyang ujung
tali rotan yang dipegangnya. Dan bagian atas tarowongan di dalam tanah
berjatuhan butir-butir pasir berkilauan. Ribuan ikan hitam yang tertarik
melihat benda-benda ini segera menghambur masuk ke dalam terowongan. Picak
Kanan lalu menarik ujung tali rotan. Lempengan tembaga berat turut menutup
mulut terowongan. Sementara itu Picak Kiri keluar dari tempat persembunyian
mereka membawa sebuah galah yang ujungnya ada pengait. Dengan galah itu
dikaitnya jerangkong tengkorak Suto Jagal lalu diseretnya sejauh dua ratus
tombak, ke satu tempat tersembunyi di mana terpampang satu pemandangan yang
mengerikan. Di situ tertumpuk puluhan tulang belulang dan tengkorak manusia. Semua
adalah korban-korban tak berdosa yang menemui ajal terjebak dalam kolam iblis!
Selesai membuang tulang belulang
Warok Wuto Jagal, Picak Kiri kembali ke tempat persembunyian di belakang batu
dan pohon-pohon besar. Dia mengeluarkan sebuah pisau kecil, lalu menggurat
batang pohon di depannya dengan ujung pisau. Pada batang pohon itu terdapat
puluhan guratan.
"Sudah berapa semuanya Picak
Kiri?" tanya kakek Picak Kanan.
"Tiga puluh satu ..."
"Banyak juga. Hik... hik...
hik... Berapa korban lagi yang bakal kita dapatkan!"
Mendadak dari atas salah satu
pohon di bawah mana kedua kakek botak ompong ini berada, terdengar suara
seseorang membentak.
"Manusia-manusia edan!
Kalian tidak akan mendapat korban baru! Kalau ada yang mampus dalam kolam itu,
itu adalah kalian berdua!"
Tentu saja Picak Kanan dan Picak
Kiri kaget bukan main. Kedua kakek botak ini mendongak ke atas pohon. Saat itu
tampak sesosok tubuh melayang turun. Sambil turun orang itu hantamkan kaki kiri
kanan ke batok kepala dua kakek aneh. Ini adalah satu serangan maut yang ganas!
Dua kakek berseru keras dan
serentak menghambur selamatkan diri. Satu melompat ke kiri, satunya lagi
membuang diri ke kanan. Sambil berkelit keduanya sama hantamkan tangan ke atas.
Dua gelombang angin deras laksana gunting menyambar tubuh yang melayang turun.
Tapi meleset karena orang itu kelihatan jungkir balik dan di lain kejap dia
sudah menjejakkan kedua kaki di tanah. Tegak sejauh enam langkah dari dua kakek
botak plontos. Orang ini seorang tua mengenakan pakaian biru. Di pinggangnya
tergelung sebuah ikat pinggang berupa ular sanca besar yang merupakan satu
senjata ampuh berbahaya. Yang menggidikkan dari orang ini ialah mukanya yang
tinggal kulit pembungkus tulang hingga muka itu hampir menyerupai sebuah
tengkorak!
"Datuk Ulat Muka
Tengkorak!" seru Picak Kiri dan Picak Kanan dengan suara bergetar.
"Tak ada hujan tak ada
angin! Tak ada silang sengketa tak ada lantai terjungkat! Kenapa kau hendak
membunuh kami?!" bertanya Picak Kanan. Baik dia maupun Picak Kiri tahu
betul kehebatan Datuk Ular apalagi kalau manusia ini sampai pergunakan ikat
pinggang ular sancanya urusan bisa berabe.
Datuk Ular meludah ke tanah.
"Antara kita memang tak ada silang sengketa ataupun perselisihan! Tetapi
antara kau dan kebenaran ada yang perlu diselesaikan! Tigapuluh satu orang tak
berdosa telah jadi korban kejahatan kaiian! Untuk itu kalian pantas dihajar
sampai mati!" (Mengenai siapa adanya Datuk Ular Muka Tengkorak ini harap
baca serial Pedang Sakti Keris Ular Emas: Simo Gembong Mencari Mati dan Srigala
Berbulu Domba)
"Datuk Ular... Datuk
Ular..." kata Picak Kiri sambil geleng-geleng kepala. "Aku
menghormati nama besarmu. Tapi jika kau memaksa bukan berarti aku dan saudaraku
ini akan diam saja seperti kerbau dungu!"
Datuk Ular Muka Tengkorak tertawa
mengekeh. "Perlu dibuktikan dulu apa betul kalian bukan dua ekor kerbau
dungu!" Habis berkata begitu sang datuk langsung menyerbu kedua orang itu.
Meskipun dikeroyok dua namun
tampaknya sulit bagi dua kakek botak untuk mengalahkan lawan. Setelah
menggebrak terus-terusan selama delapan jurus Picak Kiri dan Picak Kanan mulai
mendapat serangan-serangan balasan yang membuat keduanya terdesak.
"Celaka, dua jurus di muka
dia pasti dapat menggebuk kita. Bagaimana pendapatmu?" bisik Picak Kiri
pada Picak Kanan.
"Tak ada jalan lain. Kau
harus memancingnya berkelahi di tepi kolam. Begitu ada kesempatan dorong
tubuhnya ke dalam air. Aku akan membuka katup tembaga di mulut
terowongan!"
Mendengar ucapan itu maka Picak
Kiri lepaskan dua serangan berantai ke arah Datuk Ular, begitu lawan balas
menghantam dia cepat melompat ke atas batu-batu besar pembatas kolam iblis.
Sementara saudaranya Picak Kanan menyelinap ke balik pepohonan di mana terdapat
peralatan rahasia. Datuk Ular bukan orang bodoh. Dia sempat melihat kasak-kusuk
di antara kedua lawannya. Pasti mereka menyusun rencana, pikirnya. Maka diapun
lebih berhati-hati.
"Datuk Ular! Mari kita
berkelahi satu lawan satu di atas batu-batu ini!" seru Picak Kiri.
Datuk Ular menyeringai mendengar
tantangan itu. Datuk Ular menyeringai mendengar tantangan itu. "Kenapa
cuma di atas batu-batu di tepi kolam itu? Mengapa tidak di dalam kolam
saja?!" sahutnya.
Picak Kiri lemparkan senyum
mengejek. "Nyalimu rupanya hanya sampai di situ! Lagakmu bersikap bersih,
seolah-olah hendak melenyapkan kejahatan di muka bumi ini. Tapi semua orang
tahu kau tak lebih dari seekor ular busuk kepala dua!"
Mendengar caci maki itu marahlah
Datuk Ular. Dia terpancing melompat ke atas batu dan kirimkan serangan gencar
pada Picak Kiri. Yang terserang pergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Dengan
satu gerak tipu dia berhasil membetot pinggang Datuk Ular dan menariknya ke
dalam kolam. Tapi sang Datuk tidak bodoh. Begitu tubuhnya jatuh, kakinya cepat
mengait kaki lawan hingga keduanya sama-sama tercebur masuk ke dalam kolam.
Malang bagi Picak Kiri justru tubuhnya terbenam lebih dulu. Selagi dia
megap-megap karena hidung dan mulutnya kemasukan air, Datuk Ular hantam mukanya
dengan satu jotosan. Di balik pohon Picak Kanan telah mendengar suara tubuh
masuk ke dalam kolam, tapi dia tak dapat mengetahui dengan jelas siapa yang
tercebur. Maka diapun bangkit mengintip-intip lewat celah-celah batu. Justru
saat itu satu tendangan menghantam pelipisnya hingga si botak ini terpental dan
roboh di tanah antara sadar dan pingsan. Datuk Ular seret tubuh Picak Kanan dan
masukkan ke dalam kolam. Sadar apa yang bakal dialaminya Picak Kanan berteriak
dan kumpulkan tenaga yang ada untuk keluar dari dalam air. Namun kembali satu
tendangan menghantam tubuhnya di bagian dada. Picak Kanan terhempas ke
belakang. Jatuh manimpa tubuh Picak Kiri yang dalam keadaan megap-megap
berusaha pula selamatkan diri.
Datuk Ular lari ke balik
pohon-pohon besar. Selama satu minggu secara diam-diam dia telah mengintai
gerak-gerik kedua kakek botak itu dan tahu betul seluk-beluk alat rahasia yang
tersembunyi di balik semak belukar. Dengan cepat dia mendorong ujung tali
rotan. Tembaga penutup mulut terowongan terbuka. Ribuan ikan hitam menyerbu ke
luar terowongan, langsung melumat dua sosok tubuh yang ada di dalam kolam,
Picak Kiri dan Picak Kanan menggelepar-gelepar. Teriakan-teriakan putus asa
keluar dari mulut keduanya. Namun itu hanya merupakan teriakan pengantar
kematian mereka.
***
DELAPAN
SEBELUM menamatkan riwayat dua
kakek jahat Picak Kiri dan Picak Kanan tujuan utama Datuk Ular semata-mata
adalah untuk membasmi kejahatan dari muka bumi ini. Namun setelah kedua kakek
itu terbunuh, maka satu pikiran sesat justru merasuk hati sang Datuk, malah
sangat bertentangan dengan niat baiknya semula.
Seperti diketahui Datuk Ular
adalah termasuk tokoh silat golongan putih. Meskipun demikian kerap kali
tindakan-tindakan yang dilakukannya tidak begitu disukai oleh para tokoh
golongan karena hanya mengikuti kehendak pribadi dan terkadang bahkan
menguntungkan mereka dari golongan hitam. Dengan kematian dua kakek botak, sang
datuk kini sadar betul bahwa hanya dia seorang yang mengetahui seluk beluk dan
rahasia kolam iblis di lembah subur itu. Maka dalam hatinya yang telah terhasut
oleh setan itu, Datuk Ular merasa dengan menguasai kolam itu dia dapat
melakukan satu kejutan besar tetapi secara rahasia, yakni menguasai dunia
persilatan! Caranya tentu saja mula-mula dengan membunuhi para tokoh silat yang
tidak sehaluan dengan dia. Manusia pertama yang ingin dibunuhnya adalah bekas
sekutunya sendiri yakni Dewi Rebab Kencana. Perempuan sakti ini yang termasuk
golongan putih dalam banyak hal selalu menentang apa-apa yang ingin dilakukan
sang datuk sehingga Datuk Ular mencapnya sebagai musuh dalam selimut. Setelah
Dewi Rebab Kencana dibereskan, orang kedua yang masuk dalam daftar maut sang
datuk adalah Mahesa Kelud. Beberapa waktu yang lalu, bersama beberapa orang
kawannya dia pernah menempur pemuda murid Simo Gembong itu hingga terjungkal
masuk ke dalam jurang batu bersama seorang anak buah Dewi Maut. Semula
diperkirakan kedua orang itu telah menemui ajal di dasar jurang. Tetapi
beberapa waktu yang lalu Datuk Ular menyirap kabar dan menemui bukti-bukti kuat
yang menyatakan bahwa Mahesa Kelud masih hidup!
Tempat kematian yang paling tepat
bagi kedua orang tersebut adalah kolam ikan iblis itu. Namun Datuk Ular tahu
betul, tidak mudah untuk menjebak Dewi Rebab Kencana ataupun Mahesa Kelud untuk
datang ke lembah itu. Tapi dasar manusia cerdik panjang akal, sang datuk segera
menemukan akal bagaimana agar Mahesa Kelud serta Dewi Rebab bisa dibuat muncul.
Selain cerdik Datuk Ular juga seorang yang memiliki perhitungan panjang. Untuk
menjaga segala kemungkinan, dia menghubungi Pengemis Sableng dan Pengemis
Berkipas Putih yaitu dua orang tokoh silat pentolan istana yang dulu pernah
ditugaskan hartawan Prajadika untuk menangkap Mahesa Kelud karena pendekar ini
telah membunuh putera sang hartawan yang bernama Prajakuncara, yaitu ketika
Prajakuncara hendak merusak kehormatan Wulansari. (Baca Simo Gembong Mencari
Mati dan Srigala Berbulu Domba).
Begitulah, selama beberapa bulan
ini dunia persilatan diam-diam telah dilanda kegegeran. Beberapa tokoh silat
dikabarkan lenyap tanpa diketahui apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka.
Dalam kegegeran itu, dua orang menerima surat secara aneh. Surat pertama
diterima oleh Dewi Rebab Kencana, berbunyi :
Berbilang bulan telah berlalu
sejak kematian guru
Jika dendam kesumat masa lalu
bisa dipupus
Ada satu pesan Simo Gembong yang
perlu disampaikan.
Sudikah Dewi datang ke lembah
subur di kaki selatan pegunungan Dieng.
Datanglah tepat pada tengah hari
ketika sang surya bersinar terik.
Pada hari ke lima bulan enam.
Aku menunggu Dewi di tepi kolam
berair sejuk.
Mehesa Kelud
Surat kedua sampai di tangan
Mahesa Kelud. Di situ tertulis :
Berbulan-bulan telah berlalu
sejak kematian gurumu
Ada pesan mendiang Simo Gembong
yang terlupa kusampaikan
Jika kau murid yang patuh
datanglah tepat pada
tengah hari ketika sang surya
bersinar terik.
Pada hari ke tujuh bulan enam.
Aku menunggumu di tepi kolam
berair sejuk.
Di lembah subur kaki selatan
pegunungan Dieng.
Dewi Rebab Kencana.
Sewaktu Dewi Rebab Kencana
menerima surat itu. hatinya diliputi berbagai kebimbangan. Pertama apakah benar
surat itu dikirimkan oleh Mahesa Kelud, murid mendiang Simo Gembong, kekasihnya
di masa muda. Kedua surat itu secara aneh disampaikan oleh seorang berpakaian
seperti nelayan ketika dia berada di pantai selatan. Sewaktu dia berusaha
menguntit nelayan itu, orang tersebut lenyap tanpa jejak. Nelayan biasa tak
bakal bisa melakukan hal itu. Pasti nelayan tadi adalah seorang berkepandaian
tinggi yang sengaja menyamar. Ketiga, jika Simo Gembong memang mempunyai pesan
untuknya mengapa sang murid tidak memberitahukan ketika mereka berada di Pulau
Mayat, tempat kediaman Dewi Maut, yaitu ketika mereka berada di sana sebelum
Simo Gembong menemui ajal bunuh diri. Namun mengenang kehidupan masa lalunya
bersama Simo Gembong dan teringat pada bayangan wajah Mahesa Kelud yang tak pernah
dilupakannya karena wajah pemuda itu mirip seseorang yang pernah dicintainya,
maka Dewi Rebab Kencana memutuskan untuk segera berangkat ke utara, menuju
pegunungan Dieng. Hanya saja perempuan berusia lanjut tetapi awet muda ini
mengadakan perjalanan seenak yang disukainya, maka dia sampai di lembah subur
itu bukan pada hari ke lima bulan enam, melainkan pada hari ke tujuh bulan
enam. Jadi terlambat dua hari dari yang tertulis dalam surat. Sang Dewi merasa
tak perlu harus tepat seperti yang ditetapkan pengirim surat karena menurut
anggapannya jika Mahesa memang memerlukannya, pemuda itu harus mau menunggu.
Mahesa Kelud sendiri dengan
menunggang kuda putih milik Panji sampai di lembah lewat tengah hari, hanya
terpaut beberapa saat dari Dewi Rebab Kencana. Pemuda ini datang dari arah
utara, jadi tidak melalui bukit tandus seperti ketika pertama kali dia sampai
di tempat itu. Justru karena kedatangannya dari arah yang berlawanan ini Mahesa
berhasil mengetahui bahaya maut yang mengancam di tempat itu. Karena datang
dari sebelah utara, Mahesa berada di kaki pegunungan yang lebih tinggi dan
lembah tujuannya. Semakin ke bawah ternyata jalan yang ditempuh bukan semakin
mudah, malah bertambah sulit karena bebatuan gunung bukan saja besar-besar
tetapi juga licin berlumut.
Mahesa turun dari atas Panah
Putih. Di satu tempat dia terpaksa meninggalkan binatang ini dan melanjutkan
perjalanan dengan jalan kaki. Sekitar lima puluh tombak sebelum dia mencapai
lembah subur di mana terletak kolam berair sejuk itu, dari kejauhan Mahesa
melihat sosok tubuh seseorang membelakanginya. Orang ini duduk di tanah, di
balik batu-batu besar dan pohon-pohon rimbun. Tampaknya seperti tengah
memperhatikan ke arah kolam. Dari pakaian dan potongan tubuhnya Mahesa tahu
betul orang itu bukanlah Dewi Rebab Kencana. Siapa adanya orang ini dan apa
yang dila kukannya di tempat yang tersembunyi itu? Mahesa mendekati dengan
hati-hati. Ketika jaraknya hanya terpisah lima belas tombak Mahesa segera
mengenali siapa adanya orang itu, walau dia belum sempat melihat waiahnya.
Pakaiannya yang biru, ikat pinggang ular besar yang tergelung di pinggangnya!
"Datuk Ular..." kata
Mahesa dalam hati. Perasaannya tiba-tiba saja menjadi tidak enak. Dari balik
pohon besar tempat dia berlindung pemuda ini coba melihat ke sebelah depan. Dia
hanya dapat melihat sebagian dari kolam. Lalu pedataran berumput serta
pohon-pohon bunga. Tak tampak siapapun di sekitar kolam. Tapi tunggu dulu!
Seseorang berambut panjang tergerai, memegang sebuah rebab di tangan kiri dan
penggesek di tangan kanan tiba-tiba tampak melangkah mundar-mandir di tepi
kolam itu. Dewi Rebab Kencana! Sikapnya menandakan perempuan ini berada dalam
ketidak sabaran. Dewi Rebab Kencana kini menyesali diri sendiri yang terlambat
dua hari datang ke tempat itu hingga tidak menemui Mahesa Kelud si pengirim
surat. Tapi dia juga menyesali pemuda itu yang tak mau menunggu sampai dia
muncul.
Di balik pepohonan rapat Datuk
Ular Muka Tengkorak merasa kesal, mengapa Dewi Rebab Kencana datang pada hari
ketujuh bukannya hari ke lima seperti yang disebutkan dalam surat. Dia sengaja
mengatur perbedaan waktu datang antara perempuan itu dengan Mahesa. Karena jika
keduanya datang dalam waktu bersamaan, sulit baginya untuk menjalankan rencana
jahatnya. Dia berharap agar Dewi Rebab cepat-cepat masuk ke dalam kolam dan
agar Mahesa tidak muncul di tempat itu sebelum dia dapat membereskan perempuan
sakti tersebut. Sang datuk tidak tahu kalau pendekar itu justru sudah ada di
belakangnya. Mahesa merasa heran rnengapa Datuk Ular—orang yang selama ini
menganggapnya sebagai musuh—berada di tempat itu dan apa yang dikerjakannya di
tempat itu. Jelas dia tengah memperhatikan gerak-geik Dewi Rebab dan sengaja
bersembunyi.
"Bangsat ini pasti punya
maksud yang tidak baik," kata Mahesa dalam hati. "Dua kali dia
berusaha hendak membunuhku. Terakhir ketika dia membuat aku jatuh ke dalam
jurang batu bersama Sembilan Biru. Jangan-jangan dia yang mengirimkan surat
itu. Tapi mengapa Dewi Rebab juga bisa ada di sini...?"
Di tepi kolam Dewi Rebab
menghibur hati dengan memetik bunga-bunga melati, menciumi bunga-bunga yang
harum itu dan menyisipkannya di kelepak pakaiannya. Angin lembab bertiup sejuk.
Sang Dewi melangkah di atas batu-batu besar pembatas tepi kolam. Memandang ke
dalam kolam, mau tak mau hati perempuan ini jadi tergerak. Air kolam begitu
jernih hingga dia dapat melihat dasar kolam yang tak seberapa dalam.
"Sebelum pemuda itu datang
sebaiknya aku mandi saja dulu," pikir sang dewi. "Tapi kalau dia
datang dan aku berada di kolam tanpa pakaian ..." Hati perempuan ini
sesaat ragu. Akhirnya dia memutuskan untuk tetap masuk ke dalam kolam tapi
tanpa membuka pakaian dalamnya. Di balik pohon-pohon besar Datuk Ular Muka
Tengkorak tersenyum lega ketika dilihatnya Dewi Rebab Kencana masuk ke dalam
kolam. Mula-mula bermain air di tepian, kemudian bergerak ke tengah. Datuk Ular
menyeringai. Tangan kanannya menyelusup di antara semak-semak sampai akhirnya
dia menyentuh ujung tali rotan.
"Tamat riwayatmu sekarang
dewi ... !" desis Datuk Ular. Lalu didorongnya ujung tali rotan itu.
Lempengan tembaga berat penutup mulut terowongan terbuka. Ikan-ikan Iblis
Prahara menyerbu keluar. Pada saat itu dari lereng pedataran berumput terdengar
suara kuda dipacu, menyusul satu teriakan memperingatkan.
"Hai! Jangan mandi di kolam
itu! Berbahaya! Lekas naik ke darat!"
Tiga orang tersentak kaget! Dewi
Kencana, Datuk Ular Muka Tengkorak dan Mahesa Kelud!
***
SEMBILAN
KEPARAT sialan!" maki Datuk
Ular. "Siapa bangsat yang berteriak memberi peringatan itu?!" Dia
cepat berdiri dan mengintai dari balik pohon besar. Di dalam kolam saat itu
ribuan ikan Iblis Prahara telah ke luar dari terowongan, langsung menyerbu Dewi
Rebab Kencana. Perempuan sakti ini sempat mendengar suara aneh bersiuran di
dalam air, namun teriakan orang tadi membuatnya lebih cepat waspada. Bukan saja
karena dia merasa sangat malu kalau sampai kedapatan orang lain hanya dalam
keadaan mengenakan pakaian dalam serta basah kuyup begitu rupa hingga setiap
liku badannya yang bagus tersembul dengan jelas, tetapi juga peringatan itu
sekaligus membuat dia mencium memang adanya bahaya yang tak kelihatan di dalam
kolam itu.
Satu hal cerdik yang dilakukan
oleh Dewi Rebab ialah dia bukan berenang menuju tepi kolam. tapi pergunakan
kepandaiannya untuk melompat ke udara, jungkir balik dan melesat ke atas
batu-batu. Tak urung tiga ikan iblis masih sempat mematuk dan menancap di
kakinya hingga sang dewi terpekik kesakitan. Begitu sampai di batu dia segera
menggebuk hancur ketiga ikan ini. Lalu cepat menotok beberapa bagian dari
kakinya agar darah tidak terus mengucur dan sekaligus membendung rasa sakit.
Dewi Rebab cepat cepat mengenakan
pakaian luarnya tanpa membuka pakaian dalam yang basah. Dia memandang tak
berkedip pada penunggang kuda. Membuat orang ini bergidik merasakan keangkeran
pada wajah cantik tapi pucat itu.
"Aku tidak kenal padamu!
Tapi aku berterima kasih kau telah menolong. Siapa kau dan apa sebenar nya yang
ada dalam kolam itu?" bertanya Dewi Rebab Kencana.
"Aku Parangwulung. Bekas
kepala pengawal Tumenggung Singaranu! Tumenggungku menemui ajalnya di kolam Ini
tiga bulan yang lalu. Mati dilumat ribuan ikan-ikan ganas! Lihat ke dalam kolam
sana!"
Parangwulung melompat turun dari
kudanya dan melangkah ke tepi kolam. Dewi Kencana ikut memperhatikan ke dalam
kolam. Tengkuknya menjadi dingin. Bulu kuduknya merinding. Ribuan ikan aneh
berwarna hitam legam berbentuk segi tiga berkeliaran kian ke mari. Mulutnya
selalu membuka hingga jelas kelihatan gigi-giginya yang runcing tajam seperti
mata gergaji.
"Binatang binatang
jahanam!" sumpah Dewi Rebab Kencana. Dia ingat pada tiga ikan hitam itu
yang sempat menancap di kakinya. Tapi apa benarkah ikan-ikan itu ganas
berbahaya?
Seekor burung hutan melayang
rendah di permukaan kolam. Dewi Rebab Kencana cepat mengambil rebabnya lalu
menjetik satu dari empat tali rebab. Terdengar suara melengking dan satu sinar
putih kekuningan berkelebat ke atas. Burung hutan yang sedang terbang terdengar
mencicit, tubuhnya langsung jatuh dan masuk ke dalam kolam. Ribuan ikan hitam
bersirebut cepat. Dalam waktu sekejapan mata saja tubuh burung itu amblas
lenyap. Tak bersisa lagi baik tulang-tulang maupun bulunya!
Bagaimana Parangwulung bisa
berada dan muncul di tempat itu kembali? Seperti yang telah diceritakan
sebelumnya, ketika dia ditangkap oleh orang-orang kerajaan dan di bawanya ke
tempat itu untuk memasitkan bahwa Tumengggung Singaranu memang menemui ajal
karena diserbu ikan aneh di dalam kolam, ketika Sri Megaresmi yang menyamar
sebagai seorang muda bersama seorang kakek sakti berpakaian serba putih telah
menolongnya. Meskipun dirinya kini bebas tetapi untuk kembali ke kotaraja tak
mungkin bagi Parangwulung. Kembali ke kotaraja berarti sama dengan menyerahkan
diri bulat-bulat untuk ditangkap. Malah mungkin dia akan menerima perlakuan
yang lebih kejam. Karena itu dia bertekad untuk mendapatkan bukti-bukti bahwa
Tumenggung Singaranu memang menemui ajal di kolam itu. Setelah malang-melintang
lebih dari dua bulan di luar kotaraja akhirnya dia kembali ke lembah subur
tersebut untuk melakukan penyelidikan. Dia sampai di lembah pada hari dan saat
ketika Dewi Rebab Kencana dilihatnya baru saja masuk ke dalam kolam. Karena
sudah menyaksikan sendiri sebelumnya ikan-ikan hitam ganas dalam kolam itu,
langsung saja Parangwulung berteriak memberi peringatan. Dan peringatannya itu
tidak sia-sia karena berhasil menyelamatkan Dewi Rebab Kencana dari kematian
yang mengerikan dan mengenaskan.
"Siapa yang punya pekerjaan
gila ini?!"' tanya Dewi Rebab Kencana.
Parangwulung menggeleng.
"Justru aku datang ke mari untuk menyelidik. Aku menjadi manusia buronan
gara-gara kolam dan ikan-ikan iblis itu."
Dewi Rebab Kencana berpikir-pikir
"Mungkinkah pemuda
itu...?" tanyanya dalam hati.
"Mungkin dia yang sengaja
memancingku mengirimkan surat jebakan. Tapi... aku dan dia tak ada
perselisihan. Malah di pulau Mayat dia tahu betul bagaimana aku bertindak
bijaksana, aku tidak ikut mengejarnya bersama Datuk Ular dan tokoh-tokoh silat
istana. Dia sendiri menunjukkan sikap hormat terhadapku . .
Di balik pepohonan besar di
sebelah timur kolam iblis, Datuk Ular membalik cepat ketika terdengar suara
menggeresek di belakangnya. Matanya terpentang lebar ketika melihat siapa yang
tegak di hadapannya. Tapi dia tak mau menunjukkan sikap takut.
"Bagus! Ternyata benar kau
masih hidup. Tahukah bahwa kedatanganmu ke mari hanya untuk mengantar
nyawa!"
Mahesa Kelud menyeringai.
"Mulutmu terlalu busuk!
Hatimu ternyata sangat jahat! Jangan harap hari ini kau bakal kulepaskan
hidup-hidup!"
"Pemuda sombong! Sampai di
mana kehebatanmu!"
Datuk Ular menerjang ke depan
seolah-olah hendak menyerang Tetapi begitu Mahesa berkelit ke samping manusia
muka tengkorak itu cepat menghambur ke kiri dan melarikan diri.
"Datuk keparat! Kau mau Iari
ke mana?!" bentak Mahesa Kelud.
Suara bentakan yang keras ini
sempat terdengar oleh Dewi Rebab Kencana.
"Hai! Itu suara
Mahesa!" seru sang Dewi. Dia memandang berkeliling! Di lain saat tubuhnya
melayang laksana terbang ke arah batu-batu besar dan pohon-pohon di sebelah
timur kolam. Parangwulung menyusul. Di situ keduanya menemukan Mahesa Kelud
tengah berkelahi melawan seorang kakek muka tengkorak barbaju biru gelap.
"Datuk ular!" teriak
Dewi Rebab Kencana ketika mengenali orang tua itu. "Jadi kau...!"
"Dewi Rebab Kencana!"
balas berseru Datuk Ular. Otaknya yang cerdik segera bekerja. "Syukur kau
datang! Lekas kau bantu aku menangkap pemuda ini! Bukankah dia murid Simo
Gembong dengan siapa kau menanam dendam kesumat?!"
Dewi Rebah Kencana menyeringai
"Dendam kesumatku dengan Simo Gembong tak ada sangkut pautnya dengan
pemuda ini. Katakan apakah kau yang mengirim surat keparat ini?!" Sang
Dewi keluarkan surat yang pernah diterimanya dan balik pakaian dan
melemparkannya ke tanah ke hadapan Datuk Ular.
"Dewi! Kau tahu aku tak
pandai tulis baca. Mana mungkin aku yang mengirim surat itu. Pasti pemuda ini!
Dia yang sengaja hendak menjebakmu!"
Hampir Dewi Rebab Kencana
termakan oleh ucapan sang datuk kalau Mahesa Kelud tidak lekas membuka mulut.
"Otakmu cerdik, mulutmu
licin! Tapi hatimu busuk! Aku juga menerima sepucuk surat jebakan untuk datang
ke mari. Bukankah kau yang menulis?!" Mahesa keluarkan surat yang
dibawanya dan melemparkannya ke arah Datuk Ular. "Dewi, aku tadi menangkap
basah tengah menggerakkan satu alat rahasia di balik pohon sana!"
Muka Dewi Rebab yang selalu pucat
kini tampak merah. Sepasang matanya laksana dikobari api.
"Antara aku dan kau tak ada
perselisihan. Mengapa kau inginkan jiwa secara keji?" Suara Dewi Rebab
bergetar tanda dia tidak dapat mengendalikan amarah. Sang datuk tak bisa
menjawab. Mahesa membuka mulut. "Kalau dia tidak mau menerangkan saat ini
biar arwahnya yang bicara di hadapan setan akhirat!"
"Betul sekali! Mari kita
berebut pahala menghajar manusia ular kepala dua ini!" teriak sang dewi
lalu menerjang kirimkan serangan dengan penggesek rebab.
"Celaka! Rencanaku
berantakan!" keluh Datuk Ular dalam hati menghadapi Dewi Rebab seorang
saja bukan urusan mudah baginya, apalagi kini di situ ada pula Mahesa Kelud.
Datuk ini memandang berkeliling dan dalam hati dia menyumpah, "Sialan!
Mana dua keparat edan itu! Sampai saat ini masih juga belum muncul!" maki
sang datuk keluarkan suara suitan keras.
Dari kaki Iembah sebelah selatan
mendadak terdengar suitan balasan. Dua kali berturut-turut. Di lain saat dua
orang tua berpakaian aneh seperti pengemis muncul di tempat itu sambil
tertawa-tawa. Yang satu sambil berkipas-kipas.
Mahesa Kelud terkejut setelah
melihat kemunculan dua manusia ini. Namun hatinya tidak kecut. Dua orang tua
ini punya hutang piutang dengan dirinya. Merekalah dulu yang membantu Datuk
Ular sampai dia jatuh ke dalam jurang batu!
***
SEPULUH
DUA ORANG TUA itu tertawa-tawa
memandang pada Mahesa Kelud. Yang satu menuding seraya berkata:
"Hai! Bukankah budak ini
sudah mampus waktu jatuh di jurang batu?!"
"Memang aku sudah
mampus!" sahut Mahesa marah karena dipanggil dengan sebutan budak.
"Yang tegak di depanmu adalah arwahku yang gentayangan. Yang akan mencopot
kepalamu!"
"Hik... hik...hik! Lucu ada
arwah bisa bicara." Dan mau mencopot kepala kita!" kata orang tua
yang satu lagi. Dia mengenakan pakaian dekil bertambal-tambal. Rambutnya
panjang awut-awutan. Dialah yang bernama Pengemis Sableng dan otaknya memang
tidak watas. Di sebelahnya berdiri adik kembarnya yang dikenal dengan nama
julukan Pengemis Berkipas Putih. Seperti kakaknya dia juga berotak tidak waras,
mengenakan pakaian penuh tambalan tetapi bersih dan selalu membawa sebuah kipas
putih. Kipas ini bukan kipas biasa, melainkan sebuah senjata sakti yang hebat.
"Hai... kalian berdua jangan
tetap mematung saja!" berteriak Datuk Ular. "Tangkap dan kalau perlu
bunuh pemuda itu! Aku akan melayani perempuan bermuka pucat tukang pengamen
ini!"
Lagi-lagi Datuk Ular berlaku
cerdik. Dengan begitu dia akan menghadapi Dewi Rebab Kencana yang dianggapnya
bisa dilayaninya sementara dua pengemis mengeroyok Mahesa Kelud yang menurut
Datuk Ular jauh lebih berbahaya dari Dewi Rebab. Karena sebelumnya telah pemah
dikeroyok oleh dua kakek berotak miring itu, Mahesa tahu betul kehebatan
mereka. Terlebih pengemis yang memegang kipas putih. Maka tanpa menunggu lebih
lama Mahesa segera cabut pedang Dewa dan siapkan pukulan karang sewu di tangan
kiri.
"Aha! Pedang Dewa!"
seru Pengemis Sableng. "Dulu aku inginkan senjata itu tapi tak kesampaian!
Tidak tahunya hari ini kembali bertemu! Rupanya aku memang berjodoh
memilikinya!"
Selesai berseru Pengemis Sableng
menggapai ke depan hendak merampas senjata sakti itu. Gerakannya tampak lamban
saja. Tapi seolah-olah kedua tangannya menjadi panjang secara aneh, tahu-tahu
tangan yang kiri telah berkelebat ke pergelangan kanan Mahesa sementara tangan
kanannya meluncur hendak menarik badan pedang!
Mahesa cepat putar tangannya
pedang sakti merah menderu. Sinar merah berkiblat menyilaukan. Pengemis Sableng
tersentak kaget dan cepat tarik kedua tangannya yang hampir terbabat putus.
Begitu pedang lewat dia kembali merangsak dengan gerakan-gerakan aneh! Dari
samping di saat yang sama. Pengemis Berkipas Putih mulai membuka serangan
dengan kibaskan kipas saktinya. Satu gelombang angin panas menerpa Mahesa.
Pendekar ini merasakan tangannya yang memegang pedang bergetar. Cepat dia
melompat ke atas untuk hindari serangan ganas itu lalu secepat kilat membalik
menukik tusukkan pedang ke pangkal tenggorokan Pengemis Berkipas Putih!
Braakk!
Badan pedang sakti dan kipas
putih saling beradu ketika Pengemis Berkipas Putih membuat gerakan menggebrak
memukul senjata lawan. Mahesa yang sengaja tak mau manghindari bentrokan karena
mengetahui keampuhan pedangnya hanya menggerakkan tangan sedikit lalu menerpa
senjata lawan sambil kerahkan tenaga dalam. Dua bagian kipas putih robek besar.
Pengemis Berkipas Putih melompat kaget dan mengomel tak karuan ketika dapati
senjatanya telah rusak sementara Mahesa cepat atur pernafasan. Bentrokan tadi
membuat rasa sakit menjalar dari lengan sampai ke pundak kanannya. Dalam
keadaan seperti itu mendadak Pengemis Sableng menyerbunya sambil
berteriak-teriak.
Kita tinggalkan dulu Mahesa dan
dua pengeroyoknya. Di tepi kolam sebelah kiri Datuk Ular Muka Tengkorak tengah
menempur Dewi Rebab Kencana dengan serangan serangan mematikan. Sejak jurus
pertama sang datuk telah loloskan ikat pinggang ular sancanya. Senjata yang
bisa berubah jadi tongkat atau bergelung seperti ular hidup ini menderu-deru
menggempur sang dewi yang bertahan dengan rebab di tangan kiri dan penggesek di
tangan kanan. Setelah lewat tujuh jurus dia masih belum dapat mendesak lawannya
maka Datuk Ular mulai semburkan racun jahat dari mulut bangkai ular. Mau tak
mau Dewi Rebab Kencana menghadapi lawannya dengan lebih hati-hati dan terpaksa
menutup jalan pernafasan pada saat racun menyemprot ke arahnya.
"Datuk Ular!" seru Dewi
Rebab. "Sejak dulu kau selalu mencari penyakit! Hari ini kau malah
menggunting dalam lipatan hendak mencelakai teman sendiri! Kelakuanmu sungguh
keji! Jangan harap aku akan memberi ampun padamu!"
"Perempuan muka pucatl Siapa
yang merengek minta ampun padamu! Perempuan yang telah dirusak Simo Gembong di
mataku tak lebih daripada barang rongsokan yang tak ada harganya!" balas
berteriak Datuk Ular. Ucapan sang datuk benar-benar membuat Dewi Rebab marah
sekali. Tubuhnya mencelat ke udara. Dari atas perempuan ini gesekkan rebabnya.
Suara melengking menembus langit di atas lembah. Cahaya putih kekuningan
menyilaukan mata berkiblat. Datuk Ular sapukan senjatanya ke atas untuk
menangkis. Namun dia salah perhitungan. Bagaimana pun juga cahaya lebih cepat
jalannya dari pada gebukan bangkai ularnya. Datuk Ular terhempas ke belakang.
Sekujur tubuhnya terasa panas seperti dipanggang. Dia gerakkan lagi tangannya
untuk menghantam dengan senjatanya. Tetapi apa yang terjadi membuat nyalinya
jadi lumer. Bangkai ular sanca yang sangat diandalkannya itu ternyata telah
hangus dan begitu digerakkan senjata ini jadi luruh ke tanah!
Dewi Rebab Kencana tertawa
panjang. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan sang datuk dengan
penggesek rebab ditekankan ke tenggorokannya.
"Datuk, apakah kau senang
mandi di kolam yang sejuk sana...?"
Sepasang mata Datuk Ular terbeliak
besar ketika mendengar kata-kata Dewi Rebab. Kemudian dirasakannya tekanan kuat
pada lehernya membuat dia terjajar mundur ke arah kolam.
"Tidak! Jangan!" teriak
Datuk Ular.
Dewi Rebab kembali perdengarkan
suara tawa panjang. Dia terus menekan leher sang datuk dengan penggesek rebab.
"Kau boleh bunuh aku dengan
cara apa pun! Tapi jangan suruh aku masuk ke dalam kolam iblis itu!"
teriak Datuk Ular
"Itu satu-satunya tempat
kematian yang paling bagus untukmu!" sahut Dewi Rebab.
Dalam takutnya Datuk Ular menjadi
nekad. Dia menyeruduk ke muka sambil menendang salah satu tangan mencengkeram.
Bret!
Datuk Ular hanya berhasil merobek
dada pakaian Dewi Rebab. Sebaliknya penggesek rebab yang menekan lehernya
tiba-tiba bergerak sangat kuat hingga kepalanya terbanting ke kiri dan badannya
ikut miring. Sebelum dia mampu mengimbangi kedua kaki, ujung penggesek menusuk
dadanya. Datuk Ular menjerit. Tapi bukan rasa sakit tusukan pada dada itu yang
membuat dia menjerit. Melainkan rasa takut luar biasa ketika dia menyadari
tubuhnya terpelanting ke belakang dan tak ampun lagi terjerumus masuk ke dalam
kolam!
Jeritan Datuk Ular masih
terdengar dua kali lagi. Setelah itu lenyap. Tubuhnya yang sesaat
menggelepar-gelepar kini tampak diam. Ribuan ikan Iblis Prahara menggerogoti
tubuhnya mulai dari batok kepala sampai ke ujung kaki. Tubuh itu kemudian hanya
tinggal tulang belulang!
Dewi Rebab yang sudah sering
menyaksikan berbagai macam kematian yang mengerikan kini benar-benar merinding
bulu tengkuknya. Tak ada kematian sedahsyat seperti yang dilihatnya di kolam
itu. Kalau saja tadi dia tidak mendapat teriakan peringatan dan tak sempat
melompat ke luar dari dalam kolam, nasibnya pasti sama seperti yang di alami
Datuk Ular itu.
"Datuk Ular! Kami bertempur
mati-matian kau enak-enak mandi di kolam!" Tiba-tiba terdengar teriakan
kakek sinting Pengemis Sableng. Dasar otaknya miring. Datuk Ular yang meregang
nyawa dan kini hanya tinggal jerangkong dikatakannya sedang enak-enakan mandi.
Saat itu meskipun dia bersama adik kembarnya berada dalam keadaan terdesak,
enak saja dia meninggalkan kalangan perkelahian dan melompat ke tepi kolam.
"Hai! Datuk Ular! Di mana
kau?" teriak Pengemis Sableng. Di dalam kolam yang airnya telah butek oleh
darah dia hanya melihat ribuan ikan hitam dan tulang tengkorak manusia.
"Pengemis Sableng!"
menegur Dewi Rebab. "Jika kau tidak lekas ajak adikmu minggat dari sini
kalian akan segera menyusul Datuk Ular menjadi tulang belulang!"
"Perempuan muka pucat
mulutmu sombong amat!" maki Pengemis Sableng. Dia hendak menyerang Dewi
Rebab tapi di sebelah sana terdengar saudaranya minta tolong. Ditinggal
sendirian rupanya Pengemis Berkipas Putih tak sanggup menahan gempuran Mahesa
Kelud. Walau dia berhasil melepaskan beberapa kali gebukan ke tubuh dan muka
Mahesa, namun kipas saktinya telah hancur terbabat pedang sakti lawan.
Pakaiannya bahkan telah robek-robek di beberapa bagian. Pengemis Sableng cepat
kembali membantu adiknya. Namun saat itu serangan Mahesa Kelud tak terbendung
lagi. Pemuda ini keluarkan seluruh jurut-jurus ilmu pedang dewa yang didapatnya
dari gurunya Suara Tanpa Rupa.
"Adikku! Baiknya kita
tinggalkan saja tempat ini. Tak ada gunanya meneruskan perkelahian!" kata
Pengemis Sableng. Pengemis Berkipas Putih menyambut marah. "Pengecut! Jika
kau mau kabur, kaburlah! Tapi hubungan kita sebagai adik kakak putus hari ini
juga!"
"Manusia tolol! Datuk Ular
sudah mampus. Upah yang kita dapat dari hartawan Prajadika tidak seberapa! Apa
kau mau korbankan nyawa untuk hadiah yang secuil itu!" bentak Pengemis
Sableng.
"Ucapanmu memalukan!"
balas membentak Pengemis Berkipas Putih. Dia menarik tangannya ketika Pengemis
Sableng membetotnya memaksa agar meninggalkan tempat itu. Justru di saat itu
Pedang Dewa di tangan Mahesa Kelud datang membabat dan crass!
Pengemis Berkipas Putih menjerit.
Lengan kirinya putus. Darah mengucur. Pengemis Sableng ikut menjerit. Tapi
menjerit marah dan menyerbu Mahesa dalam gerakan tak karuan hingga mudah sekali
bagi pemuda itu menghantamnya dengan pukulan karang sewu ke arah dadanya.
Pengemis Sableng terpentaI jauh.
Darah mengucur dari mulutnya. Dengan susah payah dia bangkit berdiri. Tanpa perdulikan
lagi adiknya dia melarikan diri tinggalkan lembah itu. Menyadari dirinya
ditinggal sendirian. Pengemis Berkipas akhirnya mengikuti jejak kakaknya
melarikan diri dalam keadaan luka parah.
Mahesa Kelud bersihkan pedang
saktinya. Setelah masukkan senjata itu ke dalam sarungnya dia melangkah menemui
Dewi Rebab dan menjura memberi penghormatan.
"Dewi, jika kau tak ada di
sini, sulit bagiku menghadapi ketiga manusia itu sekaligus."
"Kau pandai merendahkan diri
Mahesa," sahut Dewi Rebab sambiI menatap paras pemuda itu. Wajahnya tetap
pucat dan dingin. Namun di lubuk hatinya ada rasa gembira. Dia ingat Mahesalah
orang yang pernah memuji kepolosan hati dan kecantikan wajahnya. Mahesa
manggoyangkan kepala ke arah kolam. "Sulit dipercaya ada kolam iblis seperti
ini."
"Pasti puluhan orang telah
jadi korban di tempat ini. Kurasa lenyapnya beberapa tokoh silat ada sangkut
pautnya dengan tempat ini. Ulah Datuk celaka itu. Ikan-ikan ini harus
dimusnahkan!"
"Harus dimusnahkan sabelum
ada korban lagi yang jatuh!" mengulang Mahesa. Lalu dia melangkah ke tepi
kolam, tegak di atas batu-batu besar. Tangan kanannya di angkat ke atas.
Mulutnya berkomat-kamit. Tangan kanan itu tampak bergetar ketika ada asap tipis
keluar. Dewi Rebab dan Parangwulung merasakan lembah yang tadinya begitu sejuk
kini tiba-tiba menjadi panas. Mahesa berteriak keras lalu pukukan tangan
kanannya ke arah kolam. Asap putih menggebu disertai hawa yang sangat panas.
"Pukulan Api Salju!"
teriak Dewi Rebab kaget dan kagum lalu melompat menjauh. Air kolam muncrat lalu
terdengar mendidih. Ketika asap putih Ienyap tampakIah ribuan ikan-ikan Iblis
Prahara telah mengambang dalam keadaan mati seperti direbus. Perlahan-lahan
Mahesa Kelud turun dari batu besar.
"Mahesa... Apakah... apakah
kau juga murid Pendekar Api Salju....." terdengar Dewi Rebab Kencana
bertanya. Mahesa hanya tundukkan kepala tak memberikan jawaban. Tapi itu sudah
cukup menjadi pertanda jawaban bagi sang dewi. Dan hatinya bertambah kagum
terhadap pemuda ini. Dengan menguasai ilmu pukulan Api Salju itu maka dia sadar
kalau ilmu kepandaiannya jauh tertinggal di bawah si pemuda.
"Tak ada gunanya kita
berlama-lama di tempat ini Mahesa."
"Ya, sebaiknya kita pergi
dari sini. Sebentar lagi maIam akan tiba," menyahuti Mahesa. Lalu dia
bersiul memanggil kuda putih yang menunggu sabar di bukit-bukit batu.
"Ah... kau memiliki kuda
bagus. Aku hanya berjalan kaki!" kata Dewi Rebab pula.
"Kalau kau suka kau boleh
ambil kudaku..." kata Parangwulung yang sejak tadi tegak berdiam diri,
tertegun menyaksikan segala kejadian.
"Terima kasih. Aku tak
menolak pemberianmu yang tulus. Tapi kau sendiri bagaimana tanpa kuda..."
tanya Dewi Rebab.
"Jangan pikirkan diriku Apa
yang telah terjadi di sini mendatangkah nikmat bagiku. Kini aku punya
bukti-bukti bahwa Tumenggung Singaranu memang menemui ajal karena ikan-ikan
keparat itu! Aku akan membawa kepala pengawal istana bernama Kebo Alit itu ke
mari. Agar dia melihat sendiri!"
Dewi Rebab hendak naik ke atas
kuda pemberian Parangwulung ketika dia ingat sesuatu sementara Mahesa sudah
siap di atas punggung Panah Putih.
"Kau telah menyelamatkan
jiwaku dari ikan-ikan iblis itu. Tidak pantas rasanya kalau aku tidak
meninggalkan sesuatu sebagai tanda terima kasih... "
"Dewi... aku tidak meminta
balas jasa apapun..." kata Parangwulung. Saat itu Dewi Rebab telah berada
di hadapannya. Parangwulung tak tahu apa yang hendak dilakukan perempuan sakti
ini. Tiba-tiba Dewi Rebab ulurkan tangan kanan dan mencengkeram perut
Parangwulung di bagian pusar. Lelaki ini menjerit kesakitan ketika dirasakannya
ada hawa panas mengalir masuk ke dalam pusarnya lalu menyebar ke seluruh badan.
Perlahan-lahan rasa sakit itu pun lenyap. Ketika Parangwulung buka kedua
matanya yang tadi terpejam karena kesakitan, dilihatnya Mahesa Kelud dan Dewi
Rebab Kencana telah memacu kuda masing-masing ke arah timur. Lelaki ini
singkapkan pakaiannya di bagian perut. Tampak tanda merah bekas cengkeraman
Dewi Rebab. Ketika dia melangkahkan kakinya, bekas pengawal Tumenggung ini
terkejut. Dia dapatkan gerakannya sangat enteng.
"Eh, apa yang telah
dialirkan perempuan sakti itu tadi ke dalam tubuhku...?" membatin
Parangwulung. Dia acungkan tinju kanannya, mengusap-usap dengan tangan kiri.
"Jangan-jangan ..." Parangwulung memandang ke arah Dewi Rebab di
kejauhan. Lalu ke arah sebuah batu besar di tepi kolam yang telah ambruk itu.
Sesaat hatinya meragu. Namun dengan satu keyakinan Parangwulung hantamkan
tangan kanan itu ke atas batu besar.
Braakk!
Batu besar itu hancur berantakan!
Parangwulung berteriak girang. Lalu lelaki ini jatuhkan diri berlutut ke arah
Dewi Rebab yang semakin jauh di arah Timur. "Terima kasih Dewi... Kau baik
sekali. Terima kasih untuk tenaga dalam yang kau berikan! Aku tak pernah
mengimpikan rezeki begini besar...!"
***
TAMAT
Emoticon