Serial Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Seruling Perak
SATU
ALUNAN seruling terdengar merdu
ditiup seorang bocah gembala di Kaki Bukit Paderesan. Alunan merdu itu terbawa
hembusan angin pagi, terus menyelusup ke dalam lembah, dan terpantul dinding
tebing membawa keindahan tersendiri bagi yang mendengarnya. Suara merdu itu
terus menembus jauh sampai ke sebuah tempat yang dikenal bernama Kadipaten
Panjawi. Sebuah kadipaten yang tidak begitu besar, terletak di sebelah Utara
Bukit Paderesan.
Semua orang di kadipaten itu
selalu mendengar alunan suling yang merdu itu, setiap kali fajar menyingsing.
Bahkan alunan sending itu menjadikan tanda datangnya fajar, yang selalu
ditunggu-tunggu untuk memulai kegiatan rutin setiap hari. Entah kapan
dimulainya, yang jelas sebelum terdengar suara seruling itu, tak ada seorang
pun yang keluar dari dalam rumahnya.
"Gusti Ayu, suara seruling
itu sudah terdengar," ujar seorang wanita bertubuh gemuk yang duduk
bersimpuh di samping sebuah pembaringan besar.
Tampak sosok tubuh ramping
tergolek di pembaringan beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda. Tubuh
itu menggeliat dan bangkit berdiri, kemudian duduk di tepi pembaringan sambil
mendengarkan alunan suara seruling yang menyusup ke dalam kamar berukuran cukup
besar dan indah ini.
"Buka jendelanya, Emban
Giri," lembut terdengar suara wanita muda berwajah cantik itu.
Perempuan gemuk yang mengenakan
kemben sebatas dada itu beranjak bangkit setelah memberi hormat dengan
merapatkan kedua telapak tangannya didepan hidung. Kemudian, dibukanya jendela
lebar-lebar, dan dibiarkan cahaya matahari pagi menerobos masuk menghangatkan
ruangan besar ini. Dan kini wanita gemuk itu kembali lagi dan duduk bersimpuh
di lantai.
"Sudah disiapkan air hangat
untuk mandiku, Emban?" masih terdengar lembut suara wanita itu.
"Semuanya sudah siap, Gusti
Ayu Nila Kumala!" sahut Emban Giri seraya memberi hormat.
Wanita yang dipanggil Gusti Ayu
Nila Komala itu tersenyum manis, kemudian beranjak turun dari pembaringannya.
Ayunan kakinya lembut dan gemulai menuju sebuah pintu kamar pesiraman yang
terbuka lebar. Dia masuk melewati pintu itu dan menutupnya kembali. Sedangkan
Emban Giri tetap duduk bersimpuh di lantai menunggu junjungannya membersihkan
diri.
Pada saat itu terdengar suara
ketukan di pintu. Bergegas Emban Giri bangkit dan berjalan ke pintu kamar ini.
Dibukanya sedikit, diintip keluar. Begitu yang dilihatnya seorang laki-laki
berusia setengah baya dan dikawal empat orang berseragam prajurit berdiri di
ambang pintu, bergegas Emban Giri membuka pintu kamar itu lebar-lebar.
Laki-laki setengah baya itu melangkah masuk ke dalam. Wanita gemuk itu menutup
pintu, sedangkan empat orang pengawal memegang tombak panjang, menjaga di depan
pintu.
"Katakan pada putriku, hari
ini aku akan mengajaknya berburu," kata laki-laki setengah baya itu.
"Hamba, Gusti Adipati,"
sahut Emban Giri.
Laki-laki setengah baya yang
ternyata adalah Adipati Panjawi itu memutar tubuhnya dan berjalan keluar. Emban
Giri bergegas membuka pintu dan memberi hormat Ditutupnya pintu kamar itu
kembali setelah Adipati Panjawi jauh meninggalkan kamar ini diiringi empat
orang pengawal bersenjata tombak.
"Ada siapa tadi,
Emban?" tiba-tiba saja Gusti Ayu Nila Komala muncul.
"Oh, Gusti Ayu.... Itu tadi
Gusti Adipati," sahut Emban Giri langsung berlutut memberi hormat.
"Ada apa Ayah ke sini?"
Tanya Nila Komala.
"Gusti Adipati ingin
mengajak Gusti Ayu berburu. Katanya agar bergegas, sebentar lagi
berangkat," Emban Giri menyampaikan pesan Adipati Panjawi.
"Tidak biasanya...?"
Nila Komala mengerutkan
keningnya. Belum pernah ayahnya mengajak berburu begitu mendadak. Kalau pun
mereka akan berburu, pasti sudah direncanakan satu pekan sebelumnya. Tapi
ini.... Nila Komala menatap dalam-dalam wanita gemuk yang berlutut di lantai,
di samping pintu kamar ini. Nila Komala membalikkan tubuhnya, lalu melangkah
menuju jendela. Dilayangkan pandangannya keluar, sebentar kemudian kembali
menatap wanita tua gemuk itu.
"Siapkan perlengkapanku,
Emban," perintah Nila Komala.
"Baik, Gusti Ayu."
Semua orang yang berdiri di
sepanjang jalan Kota Kadipaten Panjawi membungkukkan tubuh saat rombongan
berkuda melintasi jalan itu. Tampak di atas seekor kuda putih yang tinggi
tegap, Nila Komala duduk didampingi ayahnya yang berkuda di sampingnya. Di
punggung gadis itu tersampir anak-anak panah. Sebuah busur yang sangat indah
tersimpang di dadanya. Cantik sekali, namun juga terlihat gagah bagai seorang
pendekar wanita.
Rombongan berkuda itu terus
bergerak cepat memasuki hutan yang berada di sebelah Barat Kadipaten Panjawi.
Mereka terus memacu kudanya semakin masuk ke dalam hutan, dan baru berhenti
setelah senja mulai merayap turun. Orang-orang yang mengenakan seragam
prajurit, dengan cekatan mendirikan tenda-tenda untuk bermalam di tepi sungai
kecil berair jernih. Nila Komala menempati tenda yang cukup besar di samping
tenda ayahnya. Delapan buah tenda lain berdiri mengelilingi kedua tenda yang
cukup besar itu. Masing-masing pintu tenda dijaga dua orang prajurit.
"Tidak ada hewan buruan yang
baik di hutan ini," ujar Adipati Panjawi sambil memandang ke sekeliling
dari depan tendanya.
"Mungkin mereka takut,
Ayahanda," sahut Nila Komala.
"Takut! Takut pada
siapa?" Adipati Panjawi menoleh menatap putrinya yang berdiri di
sampingnya.
"Yaaa..., sama kita
semua."
"Kau bicara seperti seorang
pendeta saja, Nila."
"Mungkin karena aku cukup
lama tinggal di Pertapaan Sokapura. Eyang Brantapati selalu menjejaliku dengan
norma-norma kehidupan. Bahkan sampai lupa memberiku ilmu-ilmu olah kanuragan
dan kesaktian," terlalu ringan suara Nila Komala.
"Tapi kepandaian yang kau
miliki sekarang ini tidak ada bandingannya di Kadipaten Panjawi, Anakku. Bahkan
panglima kerajaan sendiri rasanya harus berpikir seribu kali jika berhadapan
denganmu," ujar Adipati Panjawi bernada bangga.
"Ayahanda terlalu berlebihan
memujiku," Nila Komala tersipu.
"Tidak. Eyang Brantapati
juga berkata demikian. Bahkan katanya kau hampir menyamai ilmunya
sendiri."
Nila Komala hanya tersenyum saja.
Rasanya terlalu sering mendapat pujian seperti itu dari ayahnya. Dan memang
hanya dialah satu-satunya putri Adipati Panjawi. Namun Nila Komala bukan gadis
manja yang lemah. Sejak kecil kepribadiannya selalu ditempa berbagai pelajaran
keras dan dijejali norma-norma kehidupan di Pertapaan Sokapura. Memang bukan
hanya ayahnya saja yang selalu memuji, tapi hampir semua orang selalu
memujinya. Bahkan begitu menghormatinya, melebihi rasa hormatnya pada Adipati
Panjawi sendiri.
Pelahan-lahan gadis itu melangkah
mendekati sungai kecil yang berada tidak Jauh dari tempat perkemahan ini.
Adipati Panjawi mengikutinya dari belakang. Demikian pula empat orang pengawal
yang selalu setia menjaga junjungannya. Nila Komala melompat ke atas batu yang
cukup besar dan tinggi. Gerakannya begitu ringan dan indah. Tak ada suara
desiran angin sedikit pun saat melompat. Gadis itu memandang berkeliling.
"Apakah Ayahanda tidak salah
memilih jika tempat ini dijadikan tempat berburu?" Tanya Nila Komala
seraya melompat turun dari batu besar hitam itu. Tanpa menimbulkan suara
sedikit pun, kakinya mendarat lunak di depan ayahnya.
"Tidak. Kenapa?" sahut
Adipati Panjawi.
"Hutan ini sering didatangi
orang. Rasanya tidak mungkin ada hewan buruan di sini. Aku melihat adanya
bekas-bekas tebangan pencari kayu," kata Nila Komala.
"Ha ha ha...!" Adipati
Panjawi tertawa terbahak-bahak.
Nila Komala berkerut keningnya,
lalu menatap dalam-dalam wajah ayahnya. Sudah diduga kalau maksud sebenarnya
bukan untuk berburu. Hanya saja sampai saat ini belum bisa ditebak, apa maksud
ayahnya sebenarnya membawa ke hutan ini. Hutan yang tidak begitu lebat yang selalu
menjadi tempat untuk mencari kayu bakar. Nila Komala bisa mengetahui dari
banyaknya pohon bekas tebangan. Juga rerumputan di sini, sepertinya sering
diinjak kaki manusia. Bukan kaki binatang buruan, atau binatang lainnya.
"Sudah kuduga, kau pasti
bisa cepat mengetahui," ujar Adipati Panjawi setelah berhenti tawanya.
"Cukup lama aku tidak pergi
berburu, tapi bukan berarti lupa terhadap pengetahuanku di dalam hutan,"
kata Nila Komala.
"Itulah yang kuharapkan
darimu, Nila," pelan suara Adipati Panjawi
"Ayahanda punya maksud
tertentu?" tebak Nila Komala langsung.
Adipati Panjawi tidak segera
menjawab, tapi malah menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
Pelahan kakinya terayun melangkah kembali ke tendanya. Nila Komala mengikuti
dan mensejajarkan langkahnya di samping laki-laki setengah baya itu. Untuk
sesaat tidak ada yang berbicara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
Mereka masuk ke dalam tenda
paling besar, yang digunakan untuk Adipati Panjawi sendiri. Empat orang
pengawal yang mengikuti, hanya menjaga di depan tenda, bergabung bersama dua
penjaga yang tidak bergerak dari tempat tugas-nya. Adipati Panjawi duduk
bersila beralaskan permadani tebal dari bulu domba. Sedangkan Nila Komala
mengambil tempat di depan laki-laki setengah baya itu. Adipati Panjawi masih
juga belum membuka suara, meskipun Nila Komala ingin sekali mengetahui jawaban
dari pertanyaannya tadi.
"Sejak ibumu meninggal,
tidak ada yang bisa kulakukan selain menjaga dan mempersiapkanmu untuk mewarisi
Kadipaten Panjawi ini." ujar Adipati Panjawi pelan, seakan-akan berbicara
kepada dirinya sendiri.
"Ayahanda.... Janganlah
mengingat-ingat mendiang Bunda lagi. Biarkan Bunda tenang di Taman Nirwana
bersama para bidadari," kata Nila Komala ikut terkenang akan mendiang
ibunya.
"Kau begitu tabah, Anakku.
Ketabahanmu itulah yang membuatku bertahan untuk tidak mencari pengganti
ibumu," agak terbata nada suara Adipati Panjawi Nila Komala hanya diam
saja.
Dia memang tahu. Sejak ibunya
meninggal, ayahnya selalu menyendiri dan berubah jauh dari sebelumnya. Tapi
yang paling dirasakan, Adipati Panjawi itu selalu mendesak agar putrinya
mempelajari ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian. Itu sebabnya sebelum
Nila Komala dikirim ke Pertapaan Sokapura, gadis itu telah digembleng oleh
berbagai ilmu olah kanuragan dan ilmu keprajuritan. Dan kini Nila Komala
menjadi seorang Wanita tegar berhati singa.
Tidak pernah gadis itu berpikiran
lain, tapi tiba-tiba saja mempunyai pikiran yang selalu dibantahnya sendiri.
Jelas maksud suci ayahnya tidak ingin dinodai, yang diyakininya memiliki alasan
tertentu bagi kebaikan dirinya. Satu niatan yang suci di mata Nila Komala.
"Berapa usiamu ketika Ibu
meninggal?" Tanya Adipati Panjawi setelah cukup lama berdiam diri.
"Lebih kurang lima belas
tahun, Ayahanda," sahut Nila Komala dengan kening agak berkerut.
Pertanyaan ayahnya itu terasa aneh di telinganya. Hanya saja, Nila Komala tidak
ingin menyelak lebih dahulu.
"Tentu kau masih ingat,
Nila...," kata Adipati Panjawi lagi.
"Maksud, Ayahanda...?"
jantung Nila Komala mulai terasa lebih cepat berdetak.
"Peristiwa itu yang membuat
ibumu meninggalkan kita semua." Nila Komala tidak berkata-kata.
Digigit-gigit bibirnya sendiri dan kepalanya bergerak tertunduk. Tentu saja
ingatannya tidak akan terlupa, meskipun sudah berusaha melupakannya. Namun bayang-bayang
peristiwa itu masih tetap melekat di benaknya. Pelahan Nila Komala mengangkat
kepalanya, langsung menatap sepasang bola mata ayahnya. Tampak jelas kalau bola
mata Adipati Panjawi berkaca-kaca.
"Kalau saja aku mampu, dan
tidak bodoh, tentu kejadian itu tidak perlu sampai seperti itu. Bertahun-tahun
aku selalu menyesali kebodohanku, Nila. Itu sebabnya aku tidak ingin kau bodoh
dan lemah seperti ayahmu ini. Aku ingin kau tegar, berhati baja, dan sanggup
melakukan apa saja, meskipun hanya seorang wanita," agak tersendat suara
Adipati Panjawi.
"Aku selalu berusaha untuk
tidak mengecewakan Ayahanda," ucap Nila Komala.
"Sedikit pun kau tidak
pernah mengecewakanku, Nila. Bahkan aku begitu bangga kepadamu," Adipati
Panjawi mencoba tersenyum, namun terasa hambar senyuman laki-laki setengah baya
itu.
Kembali mereka terdiam untuk
beberapa saat lamanya. Tak ada yang bersuara. Bahkan suara binatang malam pun
seakan-akan terhenti secara tiba-tiba. Dua kali Nila Komala menarik napas
panjang. Dicobanya untuk bisa memahami dan menebak maksud ayahnya membawa ke
hutan ini Yang pasti, Nila Komala sudah menebak kalau ayahnya mengajak ke hutan
ini bukan untuk berburu, melainkan ada alasan tertentu yang belum diungkapkan.
Tapi dari sikap ayahnya, Nila Komala sudah bisa menarik kesimpulan, meskipun
masih belum diyakini kebenarannya.
***
Pagi ini udara terasa begitu
cerah. Burung-burung berkicau ramai, menyambut datangnya cahaya kehidupan bagi
seluruh makhluk di permukaan bumi ini. Kicauan burung itu semakin semarak,
karena ditimpali oleh suara alunan seruling yang selalu terdengar di saat fajar
menyingsing.
Nila Komala terjaga dari
tidurnya. Tubuhnya menggerinjang bangkit, dan duduk di pembaringan yang hanya
beralaskan permadani tebal berbulu halus. Gadis itu bangkit berdiri dan
melangkah keluar. Dua orang prajurit yang menjaga pintu tenda segera membungkuk
memberi hormat. Nila Komala mengayunkan kakinya mendekati tenda ayahnya, tapi
mendadak saja langkahnya berhenti.
"Kau sudah bangun,
Nila...?" terdengar teguran dari arah belakang.
Nila Komala segera membalikkan
tubuhnya, dan lantas tersenyum begitu melihat ayahnya sudah berada di depannya.
Gadis itu memandang ke sekeliling. Hatinya agak heran juga, karena
prajurit-prajurit ayahnya tidak membongkar tenda. Biasanya tempat ini hanya
untuk persinggahan saja sambil menunggu malam, kemudian melanjutkan perjalanan
kembali menjelang fajar.
"Kenapa mereka tidak segera
ber-kemas...?" Tanya Nila Komala setengah bergumam. Nada suaranya
seolah-olah bertanya pada dirinya sendiri.
"Masih beberapa hari lagi
kita di sini," jawab Adipati Panjawi seraya mengajak jalan Nila Komala.
Mereka kemudian melangkah
pelahan-lahan sambil menghirup udara pagi yang segar. Suara alunan seruling
masih terdengar merdu, mengiringi kicauan burung yang bernyanyi riang. Suara
itu seperti datang dari segala penjuru, mengalun merdu terbawa hembusan angin
pagi.
"Ayahanda...."
"Ada apa, Anakku?"
"Boleh bertanya
sesuatu?" terdengar ragu-ragu suara Nila Komala.
"Tanyakanlah," desah
Adipati Panjawi.
"Siapa peniup seruling
itu?" Tanya Nila Komala, setelah menarik napas sebentar.
"Kenapa...? Kau tertarik
dengan iramanya?" Adipati Panjawi malah balik bertanya.
"Sepertinya sejak kecil aku
sudah mendengar suara seruling itu, sehingga begitu akrab di telinga. Bahkan
seluruh rakyat kadipaten jadi tergantung pada suara itu," Nila Komala
berkata sangat hati-hati sekali.
"Hhh...!" Adipati
Panjawi mendesah panjang.
Laki-laki setengah baya itu
berhenti me-langkah, lalu menyandarkan punggungnya pada sebatang pohon jati.
Nila Komala juga ikut berhenti melangkah, kemudian meman-dangi wajah ayahnya
yang mendadak saja berubah murung.
"Maaf, Ayahanda. Bukannya
aku hendak membuat kesedihan hatimu," ucap Nila Komala menyesal.
"Ahhh.... Tidak,
Anakku," sahut Adipati Panjawi mendesah panjang.
Nila Komala menghampiri sebatang
pohon yang tumbang, lalu duduk di sana. Alunan suara seruling itu sudah tidak
lagi terdengar, dan kicauan burung pun berhenti. Hanya desiran angin saja yang
mengusik gendang telinga.
Baru saja Nila Komala hendak
membuka suara kembali, mendadak terdengar jeritan melengking tinggi. Dan belum
lagi hilang jeritan itu, kembali muncul jeritan yang saling susul. Gadis itu
tersentak kaget, karena para prajurit yang berada di sekitar tenda bertumbangan
dan bergelimpangan di tanah. Belum lagi gadis itu sempat menyadari apa yang
terjadi, mendadak saja dari segala penjuru bertebaran anak panah mengarah
tubuhnya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Nila Komala langsung melompat dan
berputaran di udara, menghindari hujan anak panah yang datang tidak ada
hentinya. Dalam keadaan sibuk seperti ini, gadis itu masih sempat melihat
ayahnya yang juga sedang menghalau anak-anak panah dengan pedang. Tapi mendadak
saja sebatang anak panah luput, dan langsung menancap dalam di bahu laki-laki
setengah baya itu.
"Akh...!" Adipati
Panjawi memekik tertahan.
"Ayah...!" seru Nila
Komala terkejut
Darah langsung merembes dari bahu
yang tertembus panah. Nila Komala bergegas melompat sambil menjambret sebatang
ranting. Dengan ranting itu dihalaunya anak anak panah yang masih ganas
menghujaninya. Hanya dalam sekali lesatan saja, gadis itu sudah sampai di
tempat ayahnya. Pada saat yang sama, sebatang panah meluruk deras tak dapat
dibendung lagi oleh Adipati Panjawi.
"Hiyaaat..!"
Wut! Trak!
Hanya menggunakan ranting rapuh,
Nila Komala berhasil membabat panah yang hampir menembus leher ayahnya. Dan
dengan kecepatan yang luar biasa, gadis itu menyambar tubuh ayahnya, langsung
melesat membawa pergi dari tempat ini. Sungguh tinggi ilmu meringankan tubuh
yang dimilikinya. Dalam waktu singkat saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak
terlihat lagi.
"Bunuh mereka semua..!
Jangan ada yang dibiarkan hidup!" tiba-tiba saja terdengar teriakan keras
menggelegar.
Dan belum lagi hilang suara
teriakan bernada perintah itu, dari balik semak belukar dan puncak pohon
berlompatan sosok-sosok tubuh yang langsung menyerbu para prajurit Kadipaten
Panjawi. Mereka bergerak bagaikan setan saja. Begitu cepatnya mereka membantai
habis para prajurit itu. Dalam waktu singkat, tidak ada seorang pun yang
tersisa hidup.
"Cepat! Tinggalkan tempat
ini...!" kembali terdengar suara teriakan keras menggelegar.
Sosok-sosok tubuh itu berlompatan
meninggalkan tempat di tepian sungai kecil itu. Dalam waktu sebentar saja,
tempat ini kembali sunyi. Suasana menggiris terlihat Mayat-mayat bergelimpangan
berlumuran darah. Tenda-tenda porak-poranda, dan pepohonan bertumbangan tidak
tentu arah. Kesunyian begitu mencekam. Namun hanya sesaat kesunyian itu
terjadi, karena sebentar saja terdengar alunan suara seruling. Tapi kali ini
nadanya jauh berbeda. Suaranya bagai jeritan hati seorang gadis belia yang
tidak kuat menanggung beban kehidupan.
***
DUA
Nila Komala menghentikan larinya
setelah cukup jauh meninggalkan tepian sungai. Diturunkan ayahnya yang berada
di punggungnya. Dibaringkan laki-laki setengah baya itu di bawah pohon rindang.
Sebatang panah masih menancap di bahu Adipati Panjawi itu.
"Ayah...," panggil Nila
Komala.
Adipati Panjawi tersenyum tipis.
Wajahnya mulai memucat dan membiru. Nila Komala memeriksa daerah bahu di
sekitar luka, kemudian tersentak kaget saat melihat bahu ayahnya membiru
kehitaman. Buru-buru ditotoknya bagian yang belum terjalar warna biru kehitaman
itu.
"Kita harus cepat cari
tabib. Panah ini beracun," kata Nila Komala.
"Terlambat..!"
tiba-tiba saja terdengar suara menggema.
"Eh...!" Nila Komala
terkejut, dan langsung bangkit berdiri.
Belum lagi gadis itu dapat
berbuat sesuatu, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat menerjangnya.
Bergegas Nila Komala membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan beberapa
kali. Gadis itu bergegas melompat bangkit, namun bayangan itu telah cepat
kembali menyerangnya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Nila Komala menghentakkan
tangannya ke depan, menyambut bayangan itu. Satu benturan keras terjadi
disertai terdengarnya ledakan menggelegar. Nampak Nila Komala terdorong dua
langkah ke belakang, sedangkan bayangan itu terpental balik begitu keras hingga
menabrak sebatang pohon besar sampai tumbang.
"Hiyaaa...!"
Nila Komala melentingkan tubuhnya
dan berputaran dua kali di udara, Gadis itu tepat mendarat di samping sesosok
tubuh terbalut baju merah yang wajahnya ditutupi topeng berbentuk kera berwarna
perak. Nila Komala menjejakkan kakinya di dada orang itu. Seketika keningnya
jadi berkerut, karena orang itu tidak bergerak sama sekali.
Cepat-cepat Nila Komala
memeriksa, dan semakin terkejut. Ternyata orang itu sudah tewas. Nila Komala
membuka topeng yang menutupi wajah orang berbaju merah itu. Dibaliknya, tampak
seraut wajah pemuda cukup tampan. Tapi yang membuat gadis itu terkejut,
ternyata orang itu membunuh dirinya sendiri dengan meminum pil beracun.
Mulutnya berbuih berwarna kuning kehijauan. Ada bekas pukulan di dadanya. Nila
Komala tahu, itu adalah bekas pukulannya. Gadis itu tahu bahwa sebenarnya
pukulannya tadi tidak membahayakan. Jelas tidak mungkin orang itu sampai tewas.
Paling tidak hanya pingsan. Itu pun kalau yang terkena pukulan tidak memiliki
daya tahan tubuh sama sekali.
"Nilaaa...," terdengar
panggilan lirih.
"Oh, Ayah...!" Nila
Komala tersentak.
Gadis itu bergegas menghampiri
ayahnya yang masih terbaring di bawah pohon. Wajah laki-laki setengah baya itu
semakin pucat membiru. Napasnya terlihat lemah, dan dadanya hampir tidak
bergerak. Nila Komala kelihatan cemas. Dia tidak tahu lagi, harus berbuat apa
untuk menolong ayahnya. Racun dari panah itu sudah merasuk ke aliran darah
Adipati Panjawi. Lambat, tapi sangat mematikan.
"Bertahanlah sebentar, Ayah.
Aku akan membawamu pada tabib istana," kata Nila Komala.
"Percuma, Anakku. Tidak ada
gunanya...," Lirih suara Adipati Panjawi.
"Tidak, Ayah. Bagaimanapun
juga kau harus sembuh. Bertahanlah sebentar."
Adipati Panjawi lemah
menggeleng-gelengkan kepalanya. Tatapan matanya semakin terlihat sayu. Seluruh
wajah laki-laki setengah baya itu sudah pucat membiru. Totokan yang dilakukan
Nila Komala rupanya sia-sia belaka. Racun itu sangat kuat, dan telah merambat
menguasai jalan darah di tubuh Adipati Panjawi.
Nila Komala jadi kebingungan.
Hatinya semakin cemas melihat keadaan ayahnya. Gadis itu mengangkat kepala
ketika mendengar suara siulan yang berirama tak beraturan. Suara siulan itu
semakin lama semakin jelas terdengar. Nila Komala menatap semak yang
bergerak-gerak. Sikapnya begitu waspada. Tangannya seketika meraba gagang
pedang di pinggang.
"Oh...!" Nila Komala
terkejut begitu dari dalam semak keluar seorang laki-laki muda berwajah cukup
tampan.
Pemuda itu rupanya juga terkejut
melihat ada seorang gadis berlutut di samping sesosok tubuh dengan bahu
tertancap sebatang anak panah. Siulannya langsung berhenti seketika, kemudian
terpaku sesaat. Bergegas dihampirinya gadis itu. Nila Komala hanya memandangi
saja, bahkan sedikit pun tidak berbuat apa-apa saat pemuda yang mengenakan baju
rompi putih itu memeriksa tubuh Adipati Panjawi.
"Ck ck ck...!" Pemuda
itu berdecak sambil menggelengkan kepala beberapa kali.
Sejenak diangkat wajahnya,
langsung menatap Nila Komala. Kemudian jari-jari tangannya bergerak membuat
beberapa pijatan di tubuh Adipati Panjawi. Pemuda itu segera duduk bersila, dan
tangan kanannya memegang panah yang tertancap di bahu laki-laki setengah baya
itu, lalu....
"Akh!" Adipati Panjawi
memekik tertahan.
Panah beracun di bahunya tercabut
dan kini berada di tangan pemuda tampan berbaju rompi putih itu. Sebentar
dipandangi, lalu dibuangnya jauh-jauh. Jari-jari tangannya bergerak cepat dan
lembut di sekitar luka di bahu Adipati Panjawi. "Cukup parah...,"
gumam pemuda itu mendesah.
Pemuda itu menempelkan kedua
telapak tangannya di dada Adipati Panjawi. Sebentar kemudian, matanya terpejam,
lalu tubuhnya bergetar. Tampak asap tipis mengepul dari sela-sela jari
tangannya. Sebentar kemudian Adipati Panjawi berdahak, lalu memuntahkan darah
kental kehijauan beberapa kali. Seluruh tubuh laki-laki setengah baya itu
terlihat lemah, dan wajahnya semakin memucat pasi. Namun tidak lagi membiru
seperti tadi.
"Hhh...!" pemuda
berbaju rompi putih itu menarik napas panjang sambil menarik tangannya.
Adipati Panjawi memejamkan
matanya pelahan-lahan. Tarikan napasnya berangsur teratur. Pemuda itu menyobek
baju Adipati Panjawi dan membalut luka di bahunya. Sebentar diperiksa tubuh
laki-laki setengah baya itu, kemudian dihenyakkan tubuhnya sendiri bersandar
pada pohon yang menaungi mereka dari sengatan sinar matahari.
"Tidak lama lagi akan sadar.
Kau harus cepat mencari tabib yang ahli mengobati racun. Aku rasa racun itu
tidak asing lagi, dan banyak penawarnya," kata pemuda berbaju rompi putih
itu seraya bangkit berdiri.
"Tunggu...!" cegah Nila
Komala seraya bergegas bangkit berdiri.
Pemuda berbaju rompi putih itu
mengurungkan langkahnya. Tubuhnya berputar, dan kembali menghadap pada Nila
Komala. Sesaat mereka saling tatap. Jelas sekali kalau sikap Nila Komala
terlihat kaku. Bibirnya terbuka, tapi tak ada suara yang terdengar.
"Ada apa...?" Tanya
pemuda itu.
"Oh,..! Eh, terima
kasih," hanya itu yang keluar dari bibir mungil memerah.
Pemuda itu hanya tersenyum saja,
kemudian melangkah mundur beberapa tindak. Tapi belum juga membalikkan
tubuhnya, Nila Komala sudah memanggil lagi walaupun suaranya agak bergetar.
Entah kenapa, gadis itu sendiri tidak mengerti. Tiba-tiba saja sikapnya jadi
kaku, terlebih lagi saat menatap pada bola mata bening yang mengandung kekuatan
aneh.
"Ada yang ingin kau
katakan?" lembut suara pemuda itu.
"Ehm..., aku...
Aku...," Nila Komala tergagap. "Edan! Kenapa jadi gugup
begitu...?" Nila Komala memaki dalam hati.
Sungguh tidak mengerti akan
sikapnya sendiri yang mendadak saja jadi gugup. Apakah karena terpaku pada
ketampanan pemuda itu? Atau karena pemuda berbaju rompi putih itu memiliki satu
daya tarik yang luar biasa? Nila Komala menarik napas dalam-dalam, berusaha
untuk bisa menenangkan diri.
"Tidak jauh dari sini ada
sebuah kadipaten. Disana kau bisa mencari tabib yang ahli dalam hal
racun," jelas pemuda itu mengisi kekakuan yang terjadi di antara mereka.
"Ya, aku tahu," desah
Nila Komala.
"Kalau begitu, cepatlah.
Sebelum terlambat Aku tadi hanya bisa memperlambat penjalaran racun ke dalam
jantungnya...," kata pemuda itu lagi.
"Ng..., tapi..," suara
Nila Komala terputus. Pemuda itu mengerutkan keningnya, sedangkan matanya agak
menyipit memandang gadis itu. Kemudian diangkat bahunya sedikit, lalu mendekati
Adipati Panjawi. Tanpa berkata apa-apa lagi, pemuda itu memondong tubuh
laki-laki setengah baya yang masih tidak sadarkan diri. Segera diayunkan
kakinya meninggalkan tempat itu. Tapi Nila Komala masih berdiri terpaku.
"Ayolah! Sebentar lagi
malam," ajak pemuda itu.
"Oh! Eh..., iya."
Bergegas Nila Komala mengayunkan
kaki, dan mensejajarkan langkah di samping pemuda itu. Mereka berjalan agak
cepat tanpa berbicara lagi. Sesekali Komala melirik wajah ayahnya yang masih
terlihat pucat, dan beberapa kali pula melirik pemuda tampan di sampingnya.
"Uh! Kenapa sikapku jadi
gugup begini? Apa sih kelebihan pemuda ini?" Nila Komala berbicara dalam
hatinya sendiri, "Tapi, kelihatannya dia bukan pemuda sembarangan. Dan...,
ah! Tidak! Aku tidak boleh.... Setan! Kenapa ada pikiran seperti itu?
Gila...!" Nila Komala menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan dia tidak lagi
mencuri-curi pandang pada pemuda di sampingnya.
Mereka terus saja berjalan tanpa
berkata-kata. Memang tidak enak, tapi hanya itu yang bisa dilakukan. Terlebih
lagi Nila Komala yang sedang berperang melawan batinnya sendiri. Sementara
Adipati Panjawi tetap belum sadarkan diri juga, dan masih berada dalam
pondongan pemuda berbaju rompi putih itu.
***
Nila Komala duduk memeluk lutut
didepan pondok kecil beratapkan daun rumbia. Hanya ada sebuah pelita yang
menyala redup, menerangi bagian dalam pondok itu. Beberapa lubang terlihat di
dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Gadis itu hanya menoleh sedikit saat
mendengar pintu pondok terbuka. Muncul seorang laki-laki muda mengenakan baju
rompi berwarna putih, yang kemudian menghenyakkan tubuhnya di samping gadis
itu.
"Untung belum tertambat.
Eyang Jayanggu masih bisa mengatasinya...," ujar pemuda itu setengah
mendesah.
"Apa bisa sembuh?"
Tanya Nila Komala.
"Mudah-mudahan," sahut
pemuda itu.
Nila Komala menggeser duduknya
agak menjauh, kemudian berpaling menatap pemuda itu. Sesaat mereka terdiam,
hanya saling tatap saja. Sementara malam sudah beranjak larut. Tak ada yang
bisa didengar, kecuali jerit binatang malam mengusik keheningan malam ini.
"Aku tidak tahu lagi harus
berkata apa kepadamu...," pelan suara Nila Komala.
"Katakan saja apa yang ingin
kau katakan," sahut pemuda itu ringan.
Nila Komala mengulas senyuman
tipis. Sebentar ditarik napasnya dalam-dalam.
"Kita sudah banyak bicara,
tapi belum saling mengenal," ungkap Nila Komala menyadari kalau belum
mengenal nama pemuda itu.
"Seharusnya aku yang lebih
dahulu memperkenalkan diri padamu. Kau telah berbuat banyak menolong
ayahku."
"Oh..., jadi itu
ayahmu?" Pemuda itu baru tahu.
"Benar. Ayahku seorang
adipati di kadipaten ini. Sebenarnya ayahku bernama Indra Nata, tapi lebih
sering dipanggil Adipati Panjawi. Dan aku sendiri bernama Nila Komala."
"Aku Rangga," pemuda
itu juga mengenalkan diri. Mereka saling melempar-kan senyuman, dan secara
bersamaan menarik napas panjang. Untuk beberapa saat tak ada yang bicara lagi.
Hanya pandangan mata mereka saja yang lebih banyak mengucapkan kata-kata. Nila
Komala memalingkan mukanya, menatap arah lain. Rasanya tak sanggup terus
menerus membalas pandangan mata pemuda itu. Entah kenapa, dadanya selalu
berdebar jika memandang sepasang bola mata yang bening penuh ketegasan dan
kekerasan hidup itu.
"Kenapa ayahmu sampai
terluka?" Tanya Rangga yang lebih dikenal berjulukan Pendekar Rajawali
Sakti.
"Entahlah..., aku tidak
tahu," sahut Nila Komala mendesah pelahan.
Rangga menatap dalam-dalam wajah
cantik di sampingnya. Agak aneh juga jawaban Nila Komala tadi. Sudah jelas
ayahnya terluka kena panah beracun, tapi gadis ini sepertinya tidak tahu
menahu.
"Jangan pandangi aku seperti
itu, Kakang...," ujar Nila Komala agak tertahan suaranya kala menyebut
kakang pada Rangga.
"Kenapa?" Rangga
tersenyum dikulum.
"Tidak apa-apa. Hanya
saja..., jengah."
Rasanya Rangga ingin tertawa
mendengar jawaban polos itu, tapi hanya senyum saja yang keluar. Pemuda yang
selalu mengenakan baju rompi berwarna putih itu memalingkan mukanya ke arah
lain, tapi sempat dilihatnya rona wajah Nila Komala yang menyemburat merah
dadu. Memang diakui, sejak siang tadi suasana di antara mereka begitu kaku.
Bahkan Nila Komala jarang mengeluarkan suara kalau tidak ditanya.
Rangga sendiri tidak merasa aneh
setelah tahu kalau gadis ini putri seorang adipati yang kini sedang terbaring
di dalam, dirawat seorang tabib ahli dalam hal racun. Seorang gadis berdarah
biru memang berbeda dengan gadis-gadis biasa. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu
bisa memaklumi sikap Nila Komala.
Saat mereka tengah terdiam,
tiba-tiba saja terdengar suara desingan halus dari arah samping. Rangga
menoleh, dan langsung mengebutkan tangan kanannya begitu menangkap sebuah benda
meluncur bagai kilat ke arah Nila Komala.
Tap!
Pendekar Rajawali Sakti itu
bergegas melompat berdiri. Di tangan kanannya sudah tergenggam sebatang anak
panah berwarna hitam pekat. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu
melemparkan panah ke arah datangnya tadi. Begitu cepat kejadiannya, sehingga
Nila Komala belum sempat menyadari. Gadis itu tersentak kaget begitu mendengar
jeritan melengking tinggi.
Tepat pada saat Nila Komala
melompat bangkit, dari balik pohon di samping pondok kecil ini keluar sesosok
tubuh limbung, dan langsung ambruk. Pada lehernya tertancap sebatang anak panah
hitam. Dan belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, mendadak saja....
"Aaa...!" terdengar
jeritan melengking dari dalam pondok.
"Ayah,..," desis Nila
Komala.
"Eyang Jayanggu...," Rangga
mendesis.
Tanpa berkata apa-apa lagi mereka
berlompatan masuk menerobos pintu pondok itu. Pada saat yang sama, terlihat
sesosok tubuh melesat cepat menerobos atap pondok hingga jebol berantakan.
Rangga dan Nila Komala tidak sempat lagi mengejar, karena perhatiannya
tertumpah pada dua sosok tubuh yang tergeletak di pembaringan bambu. Tiga anak
panah tertancap di masing-masing dada dua orang yang tergeletak itu.
"Ayah...!" jerit Nila
Komala langsung menubruk salah satu sosok tubuh laki-laki setengah baya.
Sedangkan Rangga menghampiri
seorang laki-laki tua yang tergeletak di samping Adipati Panjawi. Pendekar
Rajawali Sakti itu segera memeriksanya. Kepalanya seketika tertunduk saat
mengetahui Eyang Jayanggu sudah tidak bernyawa lagi. Dia melirik Nila Komala
yang merintih menangisi ayahnya. Laki-laki setengah baya itu sudah tewas dengan
tiga batang panah tertanam dalam di dada.
"Nila...," Rangga
menepuk lembut pundak gadis itu.
Perlahan-lahan Nila Komala
mengangkat kepalanya. Sepasang bola mata bersimbah air mata itu menatap lurus
bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian dirayapi seluruh tubuh ayahnya yang
terbaring kaku tak bernyawa lagi. Nila Komala menggeser tubuhnya menjauh sambil
menghapus air matanya yang membasahi pipinya.
Rangga mencabut panah-panah yang
tertanam di dada Adipati Panjawi maupun Eyang Jayanggu. Segera dibetulkan
posisi kedua laki-laki itu agar terbaring sempurna. Sebentar kemudian, Rangga menghampiri
Nila Komala, yang tengah duduk di tepi pembaringan bambu ini. Rangga berdiri di
depannya sambil menepuk-nepuk lembut pundak gadis itu.
"Sepertinya...."
Belum juga Rangga menyelesaikan
ucapannya, mendadak saja atap pondok ini terbakar. Api seketika membesar.
Dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti itu menyambar tubuh Nila Komala, dan
melesat keluar menerobos dinding pondok ini. Sungguh di luar dugaan, sebentar
saja api sudah membesar melahap pondok kecil dari kayu dan anyaman bambu itu.
"Ayah...? Desis Nila Komala
memandangi pondok yang terbakar demikian cepatnya.
Tak ada yang sempat menyelamatkan
dua sosok mayat di dalam pondok itu. Api semakin membesar melahap pondok itu.
Seketika saja suasana malam yang gelap dan dingin ini menjadi terang benderang
dan terasa hangat. Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling, tapi Pendekar
Rajawali Sakti itu tidak melihat apa-apa. Tak ada seorang pun yang nampak,
kecuali mereka berdua.
Sementara Nila Komala hanya bisa
memandang pondok itu disertai linangan air mata yang membasahi pipinya. Gadis
itu melorot turun, jatuh berlutut di tanah. Lemas seluruh tubuhnya menyaksikan
kematian ayahnya yang begitu tragis, terbakar dalam pondok tanpa dapat
melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya.
***
TIGA
Nila Komala berdiri mematung
sambil memandangi gundukan tanah merah yang masih baru di depannya. Mereka baru
pagi ini dapat menguburkan mayat Adipati Panjawi yang sudah hangus terbakar.
Sementara Rangga masih merapikan kuburan Eyang Jayanggu yang ikut terbakar
dalam pondoknya.
Pendekar Rajawali Sakti itu
melangkah menghampiri Nila Komala, dan menepuk pundaknya dengan lembut Gadis
itu berpaling. Tak ada lagi air mata terlihat di pipinya, meskipun kedua mata
gadis itu masih merembang. Dua kali dalam hidupnya disaksikan kematian tragis
seperti ini. Pertama, saat masih kecil. Ibunya tewas terbakar dalam pondok
peristirahatan. Dan sekarang ayahnya pun tewas dengan cara yang sama. Terbakar
dalam pondok setelah terlebih dahulu ditembus tiga batang panah berwarna hitam.
"Aku yakin..., pasti mereka
yang melakukan...," desis Nila Komala tanpa sadar.
"Nila...," tegur Rangga
lembut
"Hhh...," Nila Komala
menarik napas panjang, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah pelahan-lahan.
Rangga mengikuti, dan mensejajarkan langkahnya di samping gadis itu. Mereka
terus berjalan pelahan-lahan tanpa berkata sedikit pun, sepertinya tanpa tujuan
yang pasti. Tak terasa, mereka sudah demikian jauh. Tiba-tiba Nila Komala
berhenti melangkah begitu di depannya terlihat sebuah bangunan batu yang
merupakan tanda dari Kota Kadipaten Panjawi.
Pandangan gadis itu beralih pada
seseorang yang duduk di bawah sebatang pohon rindang. Tidak jauh darinya
terlihat beberapa ekor domba tengah merumput Orang itu sama sekali tidak
menyadari kalau dirinya tengah diperhatikan, dan terus asyik meniup serulingnya
yang berwarna keperakan. Pelahan-lahan Nila Komala melangkah menghampiri, lalu
berhenti sekitar tiga langkah lagi di depan orang yang bertubuh kecil dan
berperut buncit itu.
Orang yang tingginya sebaya
dengan anak berumur dua belas tahun itu mengenakan baju putih dan celana hitam
sebatas lutut. Walaupun tubuhnya kecil, tapi wajahnya sudah tua dengan janggut
dan kumis putih panjang. Kepalanya yang ditumbuhi rambut putih, terikat kain
lusuh berwarna hitam pekat. Seketika dihentikan tiupan serulingnya, dan
diangkat kepala menatap Nila Komala. Di belakang gadis itu berdiri Pendekar
Rajawali Sakti.
"He he he..., kau tertarik
oleh suara serulingku?" suara laki-laki kecil tua itu terdengar serak dan
kering.
"Indah sekali," ucap
Nila Komala.
"Kalau begitu, duduklah di
sampingku," wajah laki-laki tua seperti anak kecil itu berseri-seri.
Nila Komala menempatkan dirinya
di samping laki-laki tua itu, sedangkan Rangga duduk bersila didepannya. Tanpa
diminta, laki-laki bertubuh kecil itu meniup serulingnya kembali. Terdengar
alunan lembut yang menghanyutkan. Sungguh indah tiupan seruling perak itu,
sehingga membuat Nila Komala tertegun.
Tapi tidak demikian halnya
Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu bisa merasakan adanya pengerahan tenaga
dalam dari tiupan seruling itu, dan terasakan semakin kuat. Rangga melirik Nila
Komala yang nampak mengantuk. Kelopak matanya mulai turun, dan akhirnya jatuh
tertidur. Rangga berpaling menatap laki-laki bertubuh kecil namun sudah berumur
itu.
"He he he...,"
laki-laki itu terkekeh setelah menghentikan tiupan serulingnya.
Dielus-elus serulingnya bagai
mengelus sesuatu yang amat berharga dan disayanginya. Kemudian diselipkan
seruling berwarna perak itu di balik ikat pinggangnya. Rangga masih memandangi
tidak berkedip. Masih terasa kekuatan dari irama tiupan seruling tadi.
"Biarkan dia tidur. Jiwanya
begitu lelah...," ujar laki-laki tua itu.
"Hmmm...," Rangga hanya
bergumam saja. Sedikit dilirik nya Nila Komala yang tertidur pulas di samping
laki-laki bertubuh kecil bagai seorang bocah berusia dua belas tahun itu.
"Dia adikmu...? Atau
kekasihmu?" Tanya laki-laki tua itu.
"Bukan," sahut Rangga
kembali menatap agak dalam.
"Aku merasakan adanya
goncangan berat pada jiwanya. Begitu lelah, seperti mendapat tekanan
berat," tebak laki-laki tua bertubuh kecil itu seraya menatap Nila Komala.
"Kisanak, siapa kau
sebenarnya?" Tanya Rangga, agak heran juga dengan tebakan laki-laki di
depannya yang begitu tepat.
Nila Komala memang baru saja
mendapat guncangan jiwa yang sangat hebat Dan. Rangga jadi curiga, karena
laki-laki tua ini seperti sudah tahu semuanya. Laki-laki tua itu terkekeh, dan
kembali menatap pemuda di depannya.
"Belum ada seorang pun yang
bertanya begitu padaku. Biasanya mereka hanya memandang tidak peduli, meskipun
aku sudah berbuat banyak untuk mereka," ungkap laki-laki tua itu. Ada nada
keluhan dalam suaranya.
"Boleh aku tahu namamu,
Kisanak?" Tanya Rangga lembut
"He he he...! Entahlah, Anak
Muda. Aku sendiri sudah lupa siapa namaku. Tapi orang-orang selalu memanggilku
si Seruling Perak Yaaah..., mungkin karena setiap hari selalu meniup seruling
ini," laki-laki itu menepuk-nepuk seruling perak yang terselip di
pinggang.
Rangga melirik Nila Komala yang
masih tertidur lelap.
"Aku hanya memberinya
sedikit ketenangan jiwa. Sepertinya dia butuh istirahat banyak," kata si
Seruling Perak, seolah-olah bisa mengerti arti lirikan Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf, Kisanak Tadinya
aku...?
"He he he... Sudahlah, Anak
Muda. Aku bisa memahami," potong si Sending Perak cepat. "Kau bukan
saudaranya, juga bukan kekasihnya. Lantas, kau ini apanya?"
"Hanya teman yang kebetulan
bertemu di jalan. Hhh.. Namaku Rangga, Kisanak," sahut Rangga seraya
memperkenalkan diri.
"Aku tahu," ringan
sekali suara Seruling Perak.
"Kau tahu..?" Rangga
heran juga.
"Tentu. Sejak melihatmu, aku
sudah tahu siapa dirimu. Itu sebabnya aku bertanya, apakah wanita ini saudaramu
atau kekasihmu. Sebab yang kudengar, kau biasanya berjalan bersama kekasihmu.
Hmmm.... Siapa ya, namanya...? Oh, iya! Pandan Wangi.... Benar?"
Rangga tersenyum seraya
mengangguk. Tapi dari sorot matanya masih terpancar keheranan, karena si
Seruling Perak bisa mengetahui persis tentang dirinya.
"Wanita ini pasti bukan
Pandan Wangi, karena tidak membawa kipas yang menjadi senjata utamanya,"
tegas Seruling Perak.
"Memang benar, Ki. Dia
bernama Nila Komala, putri Adipati Panjawi," jelas Rangga.
"Oh..., penguasa kadipaten
ini?"
"Benar."
"Kenapa bisa berada di sini
bersamamu? Bukankah Adipati Panjawi dan putrinya sedang berburu?" Tanya
Seruling Perak.
"Sukar untuk dijelaskan,
Kisanak. Tapi aku yakin kau sudah bisa menduga," sahut Rangga.
"He he he.... Kau begitu
cepat sekali menangkapku, Pendekar Rajawali Sakti. Tidak percuma kau menjadi
tokoh nomor satu saat ini," ujar Seruling Perak seraya terkekeh.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Gadismu sudah bangun,"
kata Seruling Perak seraya melirik Nila Komala.
"Hanya teman," Rangga
meralat.
"He he he...."
***
Nila Komala memandangi istana
kadipaten yang porak poranda. Sebagian besar hangus ter-bakar. Tinggal
puing-puing saja yang berserakan. Mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah.
Sebagian besar adalah para prajurit, dan beberapa di antaranya adalah orang
berbaju merah yang terdapat gambar tengkorak pada bagian dada. Nila Komala
melangkah pelahan-lahan memasuki bangunan besar yang tinggal puing-puing saja.
Setiap kakinya melangkah, selalu menemukan mayat teronggok berlumuran darah.
"Ohhh...," terdengar
suara rintihan lirih.
"Oh, Paman...," desis
Nila Komala begitu menoleh.
Tampak seorang laki-laki setengah
baya duduk bersandar di dinding hitam bekas terbakar. Seluruh tubuhnya kotor,
dan berlumur darah. Bajunya compang-camping tak karuan lagi. Nila Komala
bergegas menghampiri. Sementara di belakang gadis itu berdiri Pendekar Rajawali
Sakti bersama laki-laki bertubuh kecil dan berwajah tua. Rambut dan janggutnya
juga telah putih.
"Paman..., Paman Mataun...,
apa yang terjadi?" Tanya Nila Komala.
"Oh..., Gusti Ayu...,"
hanya itu yang bisa terucapkan laki-laki setengah baya itu, karena langsung
tidak sadarkan diri.
"Paman..., Paman
Mataun...!" panggil Nila Komala seraya mengguncang tubuh laki-laki itu.
Tapi Paman Mataun tetap diam
dengan mata terpejam. Nila Komala menoleh menatap dua orang yang berdiri saja
di belakangnya. Gadis itu kemudian berdiri dan melangkah mundur. Sebentar
Rangga menatap si Seruling Perak, atau Ki Garatala. Rangga dan Nila Komala baru
tahu nama laki-laki tua yang sebenarnya ketika memasuki gerbang kadipaten.
Laki-laki tua itu sendirilah yang menyebutkannya.
Rangga menghampiri Paman Mataun.
Sebentar diperiksa laki-laki setengah baya itu, kemudian dipondongnya. Sejenak
Pendekar Rajawali Sakti itu memandang berkeliling, kemudian membawa Paman
Mataun ke tempat yang lebih bersih. Laki-laki setengah baya itu dibaringkan di
atas dipan bambu. Dipan yang biasa digunakan Nila Komala bercengkerama bersama
ayahnya ketika masih hidup.
"Hanya pingsan," kata
Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu
menatap Nila Komala, tapi yang ditatap hanya tertunduk saja di samping Ki Garatala.
Sebentar Rangga menarik napas panjang, dan matanya beredar berkeliling.
Sunyi...! Tak ada suara terdengar sedikit pun. Hanya desir angin yang mengusik
gendang telinga, membawa bau anyir darah.
Suasana di Kadipaten Panjawi ini
memang sudah terasa aneh saat mereka memasuki batas gerbang yang berada di Kaki
Bukit Paderesan. Banyak rumah yang hangus terbakar. Juga, tidak sedikit mayat
bergelimpangan di sepanjang jalan. Pandangan Pendekar Rajawali Sakti itu
kembali terarah pada Nila Komala.
"Apa sebenarnya yang terjadi
di sini, Nila?" Tanya Rangga ingin tahu.
"Aku..., aku tidak
tahu," sahut Nila Komala.
"Hm.... Sejak bertemu
denganmu, aku sudah merasakan ada sesuatu yang terjadi," gumam Rangga
sambil menatap tajam pada Nila Komala.
"Sudahlah, Rangga. Jangan
mendesak terus. Aku yakin Nila Komala tidak tahu apa-apa," Ki Garatala
menengahi.
Rangga menarik napas panjang.
Mereka semua menoleh ketika mendengar erangan lirih. Tampak Paman Mataun mulai
siuman kembali. Ketiga orang itu bergegas menghampiri. Laki-laki setengah baya
itu memandangi wajah-wajah di dekatnya satu persatu, kemudian menatap Nila
Komala dengan bibir bergetar.
"Gusti Ayu...," lemah
sekali suara Paman Mataun.
"Paman..., apa yang
terjadi?" Tanya Nila Komala seraya melirik Rangga.
"Mereka, Gusti Ayu. Mereka
benar-benar menghancurkan Kadipaten Panjawi ini. Oh...!" tersendat dan
lirih sekali suara Paman Mataun.
"Mereka siapa, Paman?"
desak Nila Komala seraya menggigit bibirnya.
"Mereka..., oh! Orang-orang
dari Seruling Perak.... Akh.'"
"Paman...!" sentak Nila
Komala. Tapi laki-laki setengah baya itu sudah mengejang kaku. Dari mulutnya
menyembur darah berwarna hitam kehijauan. Kedua matanya membeliak lebar dan
mulutnya ternganga. Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya setelah memeriksa
bagian bawah leher Paman Mataun. Sedangkan Nila Komala menatap tajam orang tua
bertubuh kecil berperut buncit Sedangkan yang dipandang hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya saja sambil berdecak pelahan hampir tidak
terdengar.
"Bajingan...!" desis
Nila Komala menggeram.
Gadis itu tiba-tiba saja melompat
menerjang si Seruling Perak dengan kecepatan luar biasa. Tentu saja hal ini
membuat laki-laki tua itu jadi terkejut, dan buru-buru melompat mundur. Tapi
tak urung satu pukulan tangan dari Nila Komala berhasil mendarat di pundak
kanannya.
"Akh!" Garatala
terpekik tertahan.
Nila Komala kembali melompat
selagi tubuh tua kecil itu limbung ke belakang. Dua pukulan beruntun dilepaskan
gadis itu. Tapi kali ini si Seruling Perak berhasil menghindari dengan manis.
Sementara Rangga hanya diam terpaku tidak mengerti. Memang tadi sempat didengar
ketika Paman Mataun menyebut nama Seruling Perak yang melakukan semua
penghancuran di Kadipaten Panjawi ini. Sementara itu Nila Komala semakin ganas
menyerang laki-laki tua bertubuh kecil bagai bocah berusia dua belas tahun.
"Nila, tunggu...!" seru
Garatala sambil berkelit menghindari serangan Nila Komala yang dahsyat dan
sangat mematikan.
"Kau harus mampus, keparat!
Hiyaaat..!" seru Nila Komala.
Sret! Tring...!
Secepat gadis itu mencabut
pedangnya, secepat itu pula dikibaskan ke arah dada Garatala. Tapi laki-laki
tua kecil itu cepat berkelit, sehingga pedang Nila Komala membabat sebuah pilar
yang hangus menghitam. Sungguh dahsyat pedang gadis itu. Pilar besar tumbang
terbabat pedangnya.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras melengking
tinggi, Nila Komala melompat Secepat kilat dikibaskan pedangnya ke arah leher
Garatala. Tapi belum juga mata pedang itu sampai pada sasarannya, mendadak
secercah cahaya biru berkelebat memapak pedang itu.
Trang!
"Ikh!" Nila Komala
terpekik tertahan.
Buru-buru gadis itu melompat
mundur. Mulutnya meringis merasakan nyeri pada pergelangan tangan kanannya
ketika pedangnya membentur sebuah benda keras bercahaya biru berkilau tadi.
Tatapan gadis itu langsung tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti yang tahu-tahu
sudah berdiri di tengah-tengah antara dirinya dengan Garatala.
"Minggir, Kakang. Biar
kupenggal leher manusia keparat itu!" desis Nila Komala menggeram.
"Tahan, Nila. Kendalikan
dirimu," kata Rangga coba menenangkan. .
"Kau dengar apa yang
dikatakan Paman Mataun tadi, Kakang? Tua bangka keparat ini biang keladi
semuanya! Dialah yang membunuh ibuku, ayahku, dan menghancurkan semua yang ada
di sini! Lihat, Kakang...! Mereka semua. tewas!" keras suara Nila Komala.
"Aku tahu, Nila. Aku juga
dengar, bahkan Ki Garatala pasti mendengar. Aku tidak yakin kalau semua ini Ki
Garatala yang melakukan," sergah Rangga tetap kalem dan lembut suaranya.
"Bukan dia...?! Huh! Kau
jangan coba-coba membelanya, Kakang. Atau..., barangkali kau memang
bersekongkol dengannya?" Nila Komala jadi balik menuduh.
"Jangan turuti napsu,
Nila," desis Rangga kurang senang juga dituduh demikian.
"Kalau tidak bersekongkol,
kenapa membelanya?" Nila Komala menunjuk Garatala.
"Sudah..., Sudah. Tidak ada
gunanya kalian bertengkar. Sejak semula sudah kuduga akan begini kejadiannya.
Yaaah..., memang tidak mudah untuk menjelaskannya. Tapi aku sama sekali tidak
bersalah! Kehadiranku di sini justru ingin mencegah. Tapi, yaaah.... Semuanya
sudah terlambat. Bahkan sekarang aku kena fitnah," kata Garatala.
"Huh! Mau cuci tangan!"
dengus Nila Komala.
Pendekar Rajawali Sakti
menghampiri si Seruling Perak. Diliriknya Nila Komala yang kelihatan masih
berang sambil menghunus pedang melintang di depan dada.
"Sebaiknya kau pergi saja
dulu, Ki. Percayalah, akan ku coba menyelesaikan persoalan ini. Aku yakin kau
tidak bersalah," ujar Rangga lembut penuh pengertian.
"Aku percaya padamu,
Pendekar Rajawali Sakti," sahut Garatala seraya mengembangkan senyum.
Setelah berkata demikian, si
Seruling Perak itu langsung melesat pergi. Dalam sekejap saja, bayangannya
sudah lenyap dari pandangan mata.
"Hei...!" Nila Komala
tersentak kaget begitu menyadari si Seruling Perak sudah pergi.
"Biarkan dia pergi,
Nila," selak Rangga.
"Huh! Kenapa kau biarkan
pergi?!" Dengus Nila Komala memberengut.
"Karena aku yakin dia tidak
bersalah. Bahkan aku rasa dia ingin menolongmu," sahut Pendekar Rajawali
Sakti kalem.
"Dan sebaiknya kau juga
pergi!" Kata Nila Komala tandas.
"Nila...!" Rangga
terkejut.
"Aku memang berhutang
padamu. Tapi saat ini, sulit rasanya untuk mempercayaimu," tetap tegas
nada suara Nila Komala.
"Kau terlalu terbawa napsu,
Nila," Rangga masih berusaha menenangkan gadis itu.
"Kalau kau tidak pergi, aku
yang akan pergi!" ujar Nila Komala berusaha menahan kemarahannya terhadap
tindakan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Nila...!"
Tapi Nila Komala sudah lebih
cepat melesat pergi. Rangga jadi bengong memandangi arah kepergian gadis itu.
Sungguh cepat lesatannya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti itu hampir tidak
mengetahui arahnya.
"Hhh...," Rangga
menarik napas panjang, lalu melangkah hendak meninggalkan istana yang porak
poranda ini.
Tapi baru saja berjalan beberapa
langkah, tiba-tiba saja....
"Ha ha ha...!"
"Eh!"
***
Rangga terkejut bukan main ketika
tiba-tiba saja di depannya muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan
berwajah penuh berewok. Pakaiannya berwarna merah menyala yang bagian dadanya
bergambar tengkorak dan menggenggam senjata berupa tongkat putih, yang ujungnya
berbentuk kepala tengkorak manusia berwarna merah.
Dan belum lagi hilang
terkejutnya, tiba-tiba saja muncul lagi tiga orang berpakaian sama, memegang
senjata yang sama pula. Jumlah mereka kini empat orang, dan telah mengepung
dari empat jurusan. Rangga bergumam pelan, sambil mempelajari keadaan yang
tidak menguntungkan ini. Dia tidak tahu, siapa mereka. Tapi dari sorot mata dan
caranya muncul, sudah dapat diduga kalau keempat orang ini tidak bermaksud baik
padanya.
"Bocah, siapa kau? Apa
maksudmu datang ke sini?" Tanya orang yang pertama muncul. Suaranya besar
dan terdengar berat
"Kalian sendiri siapa?"
Rangga malah balik bertanya.
"Monyet beledek! Jawab saja
pertanyaanku!" bentak orang itu berang. Geram!
"Mana mungkin bisa menjawab
kalau tidak tahu siapa kalian," terdengar tenang nada suara Rangga.
"Kadal edan! Apa kau sudah
punya nyawa rangkap sehingga berani menentangku, heh?!" bentak orang itu
semakin berang.
"Nyawaku hanya satu, tapi
tidak akan kuberikan untuk kalian," masih terdengar tenang suara Rangga.
"Keparat! Rupanya ingin cari
mampus!"
Orang yang berada di depan,
langsung mengibaskan tongkat putih itu ke depan. Rangga agak terkejut juga
mendengar deru angin dari kibasan tongkat itu. Juga sempat dirasakan adanya
satu tenaga dorongan yang amat kuat. Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu
bisa berpikir jauh, mendadak saja orang yang pertama muncul tadi sudah melompat
cepat menerjangnya.
"Mampus kau!
Hiyaaat..!""
"Uts!"
Rangga memiringkan tubuhnya
sedikit ke kanan, sehingga serangan tongkat yang dahsyat itu lewat di
sampingnya. Namun belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu bisa menarik pulang
posisi tubuhnya, mendadak datang lagi serangan dari arah kanan. Mau tidak mau harus
ditarik kakinya ke samping. Dan kembali dia terkejut, karena datang lagi
serangan dari arah belakang.
Pendekar Rajawali Sakti itu
bergegas melompat ke depan. Dan dengan kecepatan luar biasa, diputar tubuhnya
sambil dikibaskan tangan kanannya. Sungguh cepat luar biasa gerakan Rangga,
sehingga membuat salah seorang terpekik terhantam tangan kanan Pendekar
Rajawali Sakti itu Tubuh yang tinggi besar itu terjungkal ke belakang,
menghantam lantai dengan kerasnya.
"Tahan...!" seru Rangga
tiba-tiba sambil melompat keluar dari kepungan itu.
Seketika tiga orang yang tengah
mengeroyoknya berhenti. Dan seorang yang terjungkal kembali bangkit sambil
menggeram marah. Rangga berdiri tegak di atas sebuah pilar yang roboh. Sebentar
ditatapnya empat orang di depannya.
"Aku tidak punya persoalan
pada kalian, kenapa ingin membunuhku?" Tanya Rangga.
"Kau sudah melanggar daerah
larangan, bocah!" Sahut salah seorang yang berdiri paling kanan.
"Daerah larangan...?
Bukankah ini Istana Kadipaten Panjawi? Sejak kapan daerah ini terlarang?"
Tanya Rangga tidak mengerti.
"Sejak sekarang. Dan kau
telah melanggarnya, itu berarti harus mampus!"
Empat orang berbaju merah itu
kembali berlompatan.
"Tunggu...!" cegah
Rangga.
Tapi keempat orang itu tidak lagi
peduli. Mereka kembali menyerang lebih ganas. Rangga tidak bisa berbuat lain
lagi, tapi tetap tidak ingin mencelakakan ke empat orang itu. Mereka hanya
dilayani dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib?. Satu jurus yang hanya
mengandalkan kelincahan gerakkan serta kelenturan tubuh. Gayanya memang seperti
orang yang tidak pandai ilmu olah kanuragan, tapi sangat sukar untuk
mendesaknya. Gerakan-gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak beraturan. Tentu
saja hal ini membuat keempat orang berbaju merah itu semakin berang. Mereka
merasa dipermainkan oleh seorang bocah.
Keempat orang itu sudah
mengeluarkan beberapa jurus, tapi belum juga bisa mendesak pendekar muda itu
yang hanya berkelit dan menghindar tanpa membalas satu serangan pun, Rangga
memang masih menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', dan terus mencoba
menghentikan serangan-serangan itu. Namun nampaknya empat orang itu malah
semakin ganas saja. Bahkan serangan-serangannya juga semakin dahsyat.
"Ufh! Mereka benar-benar
ingin membunuhku." dengus Rangga dalam hati.
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali
Sakti itu berteriak keras menggelegar. Dan bagai kilat, dihentakkan tangannya
beberapa kali. Sukar untuk diikuti mata biasa, tahu-tahu keempat orang yang
mengeroyoknya menjerit dan berpelantingan ke belakang. Dan mereka jadi
terbeliak. Ternyata Rangga sudah memegang golok mereka sambil berdiri tenang.
"Dengar! Kalian dengan mudah
bisa saja kubunuh. Tapi itu tidak akan kulakukan, karena aku tidak tahu siapa
kalian dan mengapa kalian ingin membunuhku!" Dingin nada suara Rangga.
Keempat orang itu saling
berpandangan sejenak, kemudian bangkit berdiri.
"Siapa kalian
sebenarnya?!" Tanya Rangga tegas. Keempat orang itu tidak segera menjawab,
tapi malah mencabut sebilah pisau kecil yang terselip di pinggang
masing-masing. Tanpa berkata sedikit pun, tahu-tahu mereka menggorok leher
sendiri dengan pisau itu, lalu menghunjamkan ke dada, tepat menembus jantung.
"He...!" Rangga
terkejut setengah mati.
Pendekar Rajawali Sakti itu
terbeliak melihat empat orang itu telah menggelepar. Darah mengucur deras dari
leher dan dada. Hanya sebentar mereka mampu bergerak, kemudian mengejang kaku
dan diam untuk selamanya. Sementara Rangga masih terpaku. Dan tanpa disadari,
tongkat rampasan di tangannya jatuh ke lantai. Sungguh sulit dimengerti kelakuan
empat orang itu. Membunuh dirinya sendiri setelah menyadari tidak akan dapat
menandingi lawannya. Untuk beberapa saat Rangga hanya bisa terpaku, benar-benar
tidak mengerti.
"Gila! Nekad...!" desis
Rangga seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kau tidak akan bisa
mengerti, Pendekar Rajawali Sakti," tiba-tiba saja terdengar suara kering
dari arah belakang.
"Eh!" Rangga terkejut
Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti
itu membalikkan tubuhnya. Mulutnya jadi ternganga begitu melihat seorang
laki-laki tua bertubuh kecil seperti bocah berusia dua belas tahun, sudah
berada di tempat ini kembali.
"Ki Garatala.... Bukankah
kau tadi sudah pergi?" desis Rangga setengah bergumam, seolah-olah
bertanya pada dirinya sendiri.
"He he he.... Tidak sebodoh
itu, Pendekar Rajawali Sakti," Ki Garatala yang lebih dikenal berjulukan
si Seruling Perak itu terkekeh.
"Hm..., jadi kau tadi
melihat semuanya?" gumam Rangga bertanya.
"Benar," sahut Ki
Garatala.
Rangga menggeleng-gelengkan
kepalanya. Terdengar suara gumaman yang tidak jelas. Pendekar Rajawali Sakti
itu kemudian melangkah pergi.
"Akan ke mana kau, Anak
Muda?" Tanya Ki Garatala.
"Ke mana saja," sahut
Rangga terus saja melangkah tanpa berhenti.
"He he he.... Kau tidak bisa
pergi begitu saja, Pendekar Rajawali Sakti."
"He! Apa maksudmu?!"
Rangga tersentak kaget, dan langsung berhenti melangkah. Diputar tubuhnya
menghadap kembali pada laki-laki tua kecil berperut buncit itu.
"Ingat janjimu, Anak Muda,"
kata Ki Garatala.
"Kampret!" dengus
Rangga.
"He he he...!"
***
EMPAT
Nila Komala menjatuhkan dirinya
dan menangis di pangkuan seorang laki-laki tua berjubah putih yang duduk di
atas sebongkah batu putih pipih. Laki-laki tua yang tengah bersemadi itu
terkejut dan segera membuka matanya. Dia semakin terkejut saat melihat seorang
gadis menangis menelungkup di pangkuannya. Tangan yang kurus berkulit putih itu
bergerak mengelus rambut hitam tebal bergelombang di pangkuannya.
"Ada apa, Cucuku? Kenapa datang-datang
menangis?" Lembut sekali suara laki-laki tua itu.
"Eyang...," Nila Komala
mengangkat kepalanya. Tampak seluruh wajah gadis itu bersimbah air mata.
Laki-laki tua yang ternyata Eyang Brantapati itu memandangi wajah Nila Komala
yang dibasahi air mata. Lembut sekali dia menghapus air mata gadis itu,
kemudian membawanya duduk di atas batu, tepat di sampingnya.
"Apa yang terjadi?"
Tanya Eyang Brantapati tetap lembut nada suaranya.
"Ayah, Eyang...,"
tersendat suara Nila Komala.
"Kenapa ayahmu,
Cucuku?"
"Dibunuh."
Eyang Brantapati menatap
dalam-dalam bola mata gadis itu, kemudian menarik napas panjang-panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat. Pelahan-lahan kepalanya tertunduk. Dielus-elus
jenggotnya yang putih dan panjang, sampai menutupi leher.
"Sudah kuduga, peristiwa ini
pasti terjadi..," gumam Eyang Brantapati.
"Eyang...," masih
tersendat suara Nila Komala.
"Aku pernah mengatakan hal
ini padamu, bukan? Seharusnya kau bisa menjaga ayahmu agar lebih hati-hati
lagi. Tapi, yaaah.... Semua sudah terjadi, dan ini memang bukan salahmu."
Nila Komala tertunduk. Ancaman
itu memang pernah didengarnya. Dan dia telah dipesankan oleh Eyang Brantapati
untuk berhati-hati dalam menjaga ayahnya. Tapi sampai ayahnya meninggal
terbunuh, dia masih belum bisa mengerti, mengapa gurunya ini berpesan seperti
itu. Pelahan Nila Komala mengangkat kepalanya. Ditatapnya dalam-dalam bola mata
laki-laki tua di sampingnya.
"Eyang, kenapa ada orang
yang ingin membunuh ayahku?" Tanya Nila Komala setelah agak tenang.
"Hhh...!" Eyang
Brantapati menarik napas dalam-dalam. "Itulah yang selalu menjadi
pertanyaanku sampai sekarang ini, Cucuku. Aku sendiri tidak tahu, mengapa
begitu banyak orang ingin mencelakakan ayahmu. Dan sekarang...," suara
Eyang Brantapati terputus.
"Eyang tidak tahu...?"
ada kekecewaan pada nada suara Nila Komala.
"Dulu ayahmu memang pernah
mengatakan kalau dirinya terancam, Hal itu dikata-kannya sewaktu kau masih
kecil. Itu pula sebabnya mengapa kau dikirim ke sini untuk mempelajari ilmu olah
kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian. Dia ingin agar kau bisa menjaga diri dan
menghadapi semuanya," pelan sekali suara Eyang Brantapati.
"Menghadapi siapa,
Eyang?" desak Nila Komala, tak dapat lagi membendung rasa ingin tahunya.
"Sayang sekali, ayahmu tidak
mengatakan lebih jauh lagi. Aku sendiri tidak pernah tahu, kenapa dirinya
merasa terancam. Bahkan tampaknya dia tidak peduli sama sekali," sahut
Eyang Brantapati.
"Eyang..., apa ini ada
hubungannya dengan Seruling Perak?" Tanya Nila Komala.
"Seruling Perak...?!"
Eyang Brantapati tampak terkejut. Keningnya sampai berkerut dalam. Dan kedua
bola matanya menyipit menatap tajam Nila Komala.
"Benarkah musuh Ayah si
Seruling Perak, Eyang?" Desak Nila Komala sambil menahan tekanan suaranya.
"Entahlah...," desah
Eyang Bagaspati.
Nila Komala menghembuskan
napasnya. Ada nada kekecewaan pada sorot mata gadis itu. Semula diharapkan
Eyang Brantapati mengetahui tentang semua peristiwa yang di alaminya ini. Tapi
rupanya laki-laki tua pertapa ini juga tidak mengetahui banyak. Nila Komala
merasa kedatangannya kembali ke pertapaan ini jadi sia-sia belaka. Gadis itu
beranjak bangkit dari hendak melangkah keluar dari gua ini.
"Mau ke mana kau?"
tegur Eyang Brantapati sebelum Nila Komala mengayunkan kakinya.
"Mencari pembunuh
Ayah," sahut Nila Komala.
"Ke mana?" Tanya Eyang
Brantapati.
"Entahlah," sahut Nila
Komala.
Gadis itu memang tidak tahu harus
ke mana untuk mencari pembunuh ayahnya. Apa lagi untuk mengetahui pelakunya.
Memang ada satu-satunya petunjuk, yakni harus mencari laki-laki tua kecil yang
berjuluk si Seruling Perak. Sebelum menghembuskan napas yang terakhir, Paman
Mataun menyebut nama Seruling Perak. Inilah satu-satunya petunjuk untuk mencari
pembunuh ayahnya.
Eyang Brantapati beranjak turun
dari batu yang didudukinya. Langkahnya dibantu oleh sebatang tongkat, bergerak
menghampiri Nila Komala. Laki-laki tua itu menepuk pundak gadis itu, lalu
mengajaknya keluar dari dalam gua batu ini. Gua yang tidak begitu besar, tapi
nampak bersih dan terawat. Mereka berjalan bersisian tanpa berkata-kata lagi,
dan baru berhenti setelah sampai di depan gua. Tampak sebuah pondok kecil
berdiri merapat ke dinding batu cadas pada bagian belakangnya. Di pondok kecil
itu dulu Nila Komala tinggal sambil menuntut ilmu pada pertapa tua ini.
"Di mana mereka membunuh
ayahmu?" Tanya Eyang Brantapati.
"Di Lereng Bukit Paderesan
sebelah Barat" Sahut Nila Komala.
"Tepatnya?"
"Dekat sungai kecil"
Eyang Brantapati bergumam.
"Ada apa, Eyang?" Tanya
Nila Komala merayapi wajah laki-laki tua itu.
"Aku tidak mengerti, mengapa
ayahmu selalu pergi ke lereng bukit itu. Dia pasti mengajakmu dengan alasan
berburu, bukan?"
"Benar."
"Padahal semua orang tahu,
bahkan kau juga tahu kalau di sana bukan tempatnya untuk berburu."
"Ayah selalu melewati tempat
itu, Eyang. Memang, untuk mencapai hutan perburuan seharusnya tidak perlu
memutar begitu jauh. Dari kaki bukit sebelah Selatan saja bisa lebih dekat.
Bahkan kalau mau bisa melalui perbatasan sebelah Utara. Tapi Ayah selalu
memilih jalan itu, Eyang," jelas Nila Komala.
"Dan yang pasti ada
alasannya," selak Eyang Brantapati.
"Maksud Eyang?" Nila
Komala tidak mengerti.
"Seperti yang kau katakan
tadi. Seruling Perak..," sahut Eyang Brantapati.
"Seruling Perak..?!"
Nila Komala terkejut mendengarnya.
"Hanya itu satu-satunya
petunjuk buntu yang dimiliki sampai sekarang. Aku tidak tahu, apa hubungannya
antara ayahmu dengan si Seruling Perak? Juga dengan Partai Tengkorak
Merah...."
"Sebentar, Eyang!"
sentak Nila Komala tiba-tiba.
"Ada apa, Cucuku?"
Nila Komala tidak langsung
menjawab. Ingatannya kini tertuju pada mayat-mayat yang bergelimpangan di
sekitar Istana Kadipaten Panjawi. Di antara mayat-mayat berseragam prajurit,
juga terdapat mayat-mayat berbaju merah dengan gambar tengkorak pada bagian
dadanya.
"Eyang, apakah orang-orang
Partai Tengkorak Merah selalu mengenakan baju merah dan bergambar tengkorak di
dada?" Tanya Nila Komala.
"Ya," sahut Eyang
Brantapati.
"Benar, Eyang...?!"
Nila Komala tidak percaya.
"Ada apa, Cucuku?"
"Eyang, sekarang ini istana
kadipaten sudah hancur. Disana aku menemukan beberapa mayat mengenakan baju
merah bergambar tengkorak di dadanya bercampur dengan para prajurit yang tewas.
Aku yakin, merekalah yang menghancurkan istana kadipaten dan juga yang membunuh
Ayah," kata Nila Komala mencoba menjelaskan dengan singkat.
"Hm..., berarti benar mereka
yang melakukannya," gumam Eyang Brantapati.
"Eyang, apakah orang-orang
Partai Tengkorak Merah memiliki dendam pada Kadipaten Panjawi?" Tanya Nila
Komala.
"Entahlah, aku tidak tahu.
Tapi mereka ini memang sudah terkenal berkemampuan tinggi dan sukar diberantas.
Jago-jago dari kerajaan pun tidak mampu mengatasinya. Hanya, sekarang ini aku
tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Dan terakhir kudengar, mereka kini berada
di daerah Hulu Sungai Bacan. Jadi, sudah berada di luar batas wilayah kerajaan,
Cucuku," jelas Eyang Brantapati.
"Apa mereka bukan anak buah
si Seruling Perak?" tebak Nila Komala.
揟idak! Seruling Perak adalah seorang
pendekar beraliran putih. Tapi sudah hampir dua puluh tahun ini aku tidak lagi
mendengar namanya."
"Eyang, belum lama ini aku
telah bertemu dengannya."
"Oh...!" Eyang
Brantapati nampak terkejut. "Bagaimana ciri-cirinya?"
"Orangnya sudah tua,
bertubuh kecil seperti anak berumur dua belas tahun, dan rambutnya putih
panjang, terikat kain berwarna hitam pekat. Dia selalu membawa seruling
berwarna perak," Nila Komala menjelaskan.
Eyang Brantapati
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa, Eyang?" Tanya
Nila Komala.
"Dia bukan Seruling
Perak," sahut Eyang Brantapati.
"Kalau bukan si Seruling
Perak, lalu siapa?" Nila Komala jadi kebingungan.
Eyang Brantapati tidak segera
menjawab. Sementara Nila Komala menatap dalam-dalam wajah laki-laki tua itu.
Pikirannya benar-benar bingung dan tidak mengerti akan semua ini. Kalau orang
tua bertubuh kecil itu bukan si Seruling Perak, lalu siapa? Dan siapa pula
orang-orang berbaju merah dengan gambar tengkorak di dada itu? Berbagai macam
pertanyaan berkecamuk di benak Nila Komala. Ternyata kematian ayahnya berbuntut
panjang, dan tidak dimengerti sama sekali. Sedangkan orang yang diharapkan bisa
membantu banyak juga tidak mengetahui. Bahkan malah membuatnya semakin bingung.
***
Nila Komala terjaga dari
tidurnya. Betapa terkejutnya gadis itu ketika mendengar suara pertarungan dari
luar pondok. Dan belum juga bisa berbuat sesuatu, mendadak saja atap pondok
kecil ini terbakar. Bergegas Nila Komala melompat keluar, menerobos dinding
pondok yang terbuat dari anyaman bambu tipis. Tiga kali gadis itu berputaran di
udara, dan dengan manisnya mendarat di tanah.
Pada saat itu terdengar suara
jeritan keras tertahan. Nila Komala membeliak lebar melihat Eyang Brantapati
terhuyung-huyung sambil menekap dada sebelah kiri. Tampak darah mengucur deras
membasahi jubah putihnya yang panjang. Dan di depan laki-laki tua itu berdiri
seorang berpakaian merah mengenakan topeng berbentuk wajah kera berwarna
keperakan.
"Hiyaaat..!" tiba-tiba
saja orang itu melompat bagai kilat.
"Hup! Hiyaaa...!"
Secepat itu pula Nila Komala
melentingkan tubuhnya sambil mencabut pedangnya. Dengan mengerahkan seluruh
tenaga dalam, gadis itu mengibaskan pedangnya menghantam senjata lawan yang
berbentuk tongkat putih yang ujungnya berbentuk kepala tengkorak manusia warna
merah.
Trang!
"Akh!" Nila Komala
memekik tertahan.
Buru-buru gadis itu melentingkan
tubuhnya ke belakang. Mulutnya meringis merasakan seluruh tangan kanannya
mengejang kaku kesemutan.
Sedangkan orang bertopeng muka kera keperakan itu mulai bergerak lagi hendak
menyerang. Sementara Eyang Brantapati terduduk bersila sambil merapatkan tangan
di depan dada. Hanya sebentar dia melakukan semadi, mencoba mengurangi sakit
dan menghentikan darah yang keluar dari dadanya itu.
"Eyang...," Nila Komala
bergegas menghampiri.
Namun belum juga gadis itu
sampai, mendadak orang bertopeng kera keperakan itu sudah melompat
menyerangnya. Nila Komala terpaksa melentingkan tubuhnya ke belakang, dan
secepat kilat dibabatkan pedangnya ke arah orang itu. Namun lagi-lagi dia
memekik tertahan saat pedangnya beradu dengan senjata aneh itu.
Nila Komala jadi terbeliak.
Ternyata pada saat yang sama, Eyang Brantapati sudah harus bertarung melawan
dua orang berpakaian merah yang juga mengenakan topeng kera keperakan. Nila
Komala tidak sempat lagi berpikir, karena juga sudah diserang dua orang
bertopeng kera keperakan yang entah datangnya dari mana. Tahu-tahu mereka muncul,
dan langsung menyerangnya.
"Aaa,..!" Tiba-tiba
saja terdengar jeritan melengking tinggi.
"Eyang...!" seru Nila
Komala.
Tampak Eyang Brantapati
terhuyung-huyung. Dan belum lagi laki-laki tua itu mampu menguasai tubuhnya,
sebatang panah hitam melesat bagai kilat, langsung menghunjam dalam di dada
laki-laki tua pertapa itu. Kembali Eyang Brantapati menjerit melengking. Belum lagi
tubuhnya ambruk, kembali dua batang panah menancap di dadanya.
"Eyang...!" Jerit Nila
Komala langsung melompat memburu.
Tapi gadis itu tidak mungkin
dapat menolong laki-laki tua itu, karena dua orang yang menjadi lawannya sudah
memberikan serangan dahsyat. Terpaksa Nila Komala harus menghadapinya.
"Bajingan keparat..! Mampus
kalian! Hiyaaat..!"
Nila Komala bertarung disertai
kemarahan yang meluap. Pedangnya berkelebatan cepat bagai kilat. Begitu
cepatnya, sehingga hanya cahaya kuning jingga yang terlihat berkelebatan
menyambar dua orang bertopeng kera itu. Sungguh dahsyat serangan Nila Komala.
Dua orang lawannya itu jadi kewalahan. Dan pada satu ketika, pedang berwarna
kuning jingga itu berhasil merobohkan salah seorang lawan.
Jeritan melengking kembali
terdengar memecah keheningan malam. Belum lagi orang itu ambruk ke tanah, Nila
Komala sudah melompat bagai kilat sambil menusukkan pedangnya ke arah lawan
yang lain. Serangan kilat yang cepat dan sukar diduga itu tidak bisa dihindari
lagi.
Crab!
"Aaa...!" orang
bertopeng kera itu menjerit melengking tinggi.
Nila Komala tidak lagi menunggu
lawannya ambruk ke tanah. Begitu dicabut pedangnya dari dada orang itu,
langsung dihampirinya Eyang Brantapati. Laki-laki tua itu sudah tergeletak di
tanah. Darah berlumuran membasahi jubah berwarna putih.
"Eyang...," desis Nila
Komala seraya berlutut.
"Cepatlah pergi, Cucuku
Selamatkan dirimu," ucap Eyang Brantapati lirih.
"Siapa mereka Eyang? Kenapa
mereka hendak mencelakakanmu?" Tanya Nila Komala.
"Dengar, Cucuku.... Dulu
ayahmu pernah bercerita bahwa dia hendak mengembalikan sesuatu. Itu sebabnya
dia sering pergi ke Lereng Bukit Paderesan. Di tempat itu dia..., akh!" '
"Eyang...! Eyang:..!"
Nila Komala mengguncang tubuh laki-laki tua itu.
Nila Komala tertunduk lemas.
Eyang Brantapati sudah menghembuskan napas yang terakhir. Cukup banyak luka di
tubuh pertapa itu, ditambah lagi tiga batang panah hitam beracun tertanam dalam
di dada. Melihat luka-lukanya, tentu Eyang Brantapati sudah bertarung sejak
semalam. Dan yang pasti, tidak sedikit lawan yang dihadapi.
"Eyang, siapa pun mereka,
akan kubalas kematianmu," desis Nila Komala.
Entah kenapa, gadis ini tidak
menangis sedikit pun. Mungkin karena kemarahan yang meluap, sehingga air
matanya tidak bisa keluar lagi. Nila Komala berdiri sambil mengangkat tubuh
pertapa tua gurunya itu. Pelahan kakinya melangkah ke dalam gua. Sebentar dia
berhenti di depan mulut gua, dan berbalik. Tatapannya tajam menusuk langsung
pada dua sosok tubuh yang tergeletak tidak bernyawa lagi. Kemudian gadis itu
mengedarkan pandangannya berkeliling.
"Hhh...! Ke mana yang dua
orang lagi?" desisnya.
Nila Komala melangkah mundur,
lalu langsung berbalik dan berjalan masuk ke dalam gua. Gadis itu meletakkan
tubuh tua itu di atas batu pipih yang biasa digunakan Eyang Brantapati untuk
bersemadi. Sebentar dipandangi mayat gurunya itu, lalu berlutut didepan batu
pualam putih itu.
"Aku janji, Eyang. Mereka
tidak akan lepas dari tanganku. Hanya pedangku ini yang harus membunuh
mereka!" Desis Nila Komala dingin.
Nila Komala beranjak bangkit
berdiri, kemudian berbalik dan melangkah keluar gua. Gadis itu terus melangkah
pergi, tapi kembali berhenti dan memandangi pondok kecil yang sudah rata dengan
tanah. Api masih menyala meskipun tidak besar lagi.
Kembali gadis itu mengayunkan
langkahnya pelahan-lahan. Dengan kesal disepaknya dua sosok mayat bertopeng
kera itu, kemudian kembali berjalan. Pedangnya yang berlumuran darah tergenggam
erat di
tangan. Nila Komala meluapkan
kemarahannya. Dikebutkan pedangnya, membabat pohon-pohon yang dilaluinya.
"Hiyaaat..!"
Cras!
Sekali tebas saja, sebatang pohon
besar tumbang. Entah berapa pohon besar dan kecil tumbang terbabat pedang
berwarna kuning jingga itu. Nila Komala baru berhenti melampiaskan kemarahannya
setelah merasa lelah. Tubuhnya jatuh terduduk dan bersandar pada sebongkah batu
hitam sebesar badan kerbau. Pedangnya tergeletak di samping. Sekarang gadis itu
baru bisa menangis, menyembunyikan wajahnya diantara kedua lutut yang tertekuk
dipeluk rapat.
***
LIMA
Tidak seperti hari-hari yang
lalu, pagi ini tak terdengar lagi alunan seruling yang menyongsong datangnya
sang surya menyinari permukaan bumi. Sejak runtuhnya Istana Kadipaten Panjawi,
suara seruling itu tak pernah terdengar lagi. Dan seluruh rakyat kadipaten jadi
merindukan alunan merdu yang sudah melekat di telinga. Tapi tak ada seorang pun
yang mencoba untuk mencari tahu, mengapa suara seruling itu tidak mengalun
lagi. Kadipaten Panjawi ini bukan lagi kadipaten yang dulu. Kini wilayah
kadipaten itu dikuasai orang-orang biadab yang mengatur dengan tangan besi.
Kadipaten Panjawi yang dulu
selalu ramai, kini terlihat sepi bagai kota mati tak berpenghuni. Tak terdengar
lagi canda tawa. Tak ada lagi terlihat kesibukan para petani dan pekerja. Dan
tak terlihat lagi anak-anak berlarian, bermain di sepanjang jalan. Semuanya
sunyi lengang, bahkan hampir tidak terlihat adanya orang di luar rumah.
Kesunyian itu mendadak saja pecah
oleh suara teriakan dan jerit pekik. membahana diselingi denting senjata
beradu. Suara-suara gaduh itu datang dari halaman reruntuhan Istana Kadipaten
Panjawi. Tampak seorang gadis berparas cantik mengamuk dengan pedang di tangan.
Di sekitarnya terlihat mayat-mayat bergelimpangan tumpang tindih tak tentu
arah. Gadis itu ternyata adalah Nila Komala yang mengamuk menghajar orang-orang
berbaju merah, dan bergambar tengkorak pada bagian dadanya.
"Maju kalian semua,
iblis-iblis keparat!" Seru Nila Komala lantang.
"Hiyaaat..!"
Tidak terhitung lagi, berapa
tubuh bergelimpangan berlumuran darah terbabat pedang gadis itu. Nila Komala
bagai seekor singa betina kehilangan anaknya. Amukannya membabi buta, menghajar
setiap orang berbaju merah tanpa berkedip sedikit pun. Gadis itu bertarung
dengan kemarahan meledak di dalam dada. Sedikit pun tidak memberi kesempatan
pada lawan-lawannya untuk balas menyerang.
"Tahan...!" Tiba-tiba
terdengar benta-kan keras menggelegar.
Seketika itu juga orang-orang
yang tengah mengeroyok Nila Komala berlompatan mundur. Tampak di undakan bagian
depan reruntuhan istana kadipaten, berdiri seorang berjubah merah. Wajahnya
ditutup topeng berbentuk wajah kera berwarna keperakan. Di belakang orang
berjubah merah itu berjajar sekitar dua puluh orang bertopeng muka kera! Mereka
semua memegang senjata berbentuk sabit yang tipis melengkung. Sementara Nila
Komala berdiri tegak sambil menatap tajam menusuk. Dadanya bergerak turun naik
demikian cepatnya.
"Sudah kuduga, kau pasti
datang ke sini..," kata orang berjubah merah dan bertopeng kera itu.
"Hm... siapa kau?"
dengus Nila Komala tajam.
"Kau tidak perlu tahu siapa
diriku, Nila Komala. Serahkan saja potongan seruling perak padaku!"
Nila Komala terdiam. Sama sekali
tidak dimengerti maksud kata-kata orang bertopeng kera berwarna keperakan itu.
Tapi sedikit banyak, sudah bisa diraba, apa yang sedang terjadi sebenarnya.
Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Memang tidak mudah baginya
mengalahkan mereka yang berjumlah begitu banyak. Untuk bisa lolos saja, sudah
untung.
Ada sedikit penyesalan di hati
Nila Komala yang tidak memperhitungkan untung ruginya datang ke sini. Meskipun
sudah puluhan orang berhasil dirobohkan, tapi bukan berarti bisa lolos dengan
mudah. Apalagi menghancurkan mereka. Tapi mengingat harus membalas kematian
ayahnya, gadis itu telah bertekad. Apa pun yang akan terjadi, orang-orang
bertopeng kera ini harus bisa dihancurkan.
"Aku tidak mengerti apa yang
kau katakan!" Lantang suara Nila Komala.
"Dengar bocah! Ini bukan
saatnya bermain-main!" bentak orang bertopeng kera itu.
"Kau pikir aku main-main,
heh...?" Tiba-tiba saja Nila Komala berteriak nyaring. Dan bagai kilat dia
melompat sambil mengibaskan pedangnya. Sebelum ada yang menyadari, telah
terdengar jeritan melengking tinggi, disusul ambruknya tiga orang yang
mengepung gadis itu. Nila Komala kembali berdiri tegak di tengah-tengah sambil
menyilangkan pedang di depan dada. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis.
"Tangkap dia
hidup-hidup!" perintah orang bertopeng kera itu.
Seketika dua puluh orang yang
berdiri di belakangnya berlompatan. Dari batik baju, mereka mengeluarkan
tambang panjang yang memiliki dua bandulan besi pada ujungnya. Mereka mengepung
Nila Komala. Lincah sekali mereka memutar-mutar tambang itu.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Dua puluh orang itu melemparkan tambangnya
secara serentak. Tambang-tambang itu bertebaran di sekeliling Nila Komala. Dan
belum lagi gadis itu bisa melakukan sesuatu, tambang-tambang itu sudah
membentuk jaring melingkari tubuhnya. Nila Komala cepat menggerakkan pedangnya.
"Hiyaaat..!"
Tas! Slap!
Tiga utas tambang terbabat putus.
Tapi beberapa tambang lain melingkari tubuh ramping gadis itu. Nila Komala
berusaha melepaskan diri dari belitan tambang yang semakin banyak dan kuat
menjepit tubuhnya. Tangannya yang memegang pedang dan masih bebas, berusaha
memutuskan tambang-tambang itu. Tapi dua puluh orang itu sudah bergerak cepat
memutari tubuhnya. Bahkan ada beberapa orang yang berlompatan melewati
kepalanya. Nila Komala semakin terjepit. Ruang geraknya pun semakin menyempit
dan terbatas.
"Keparat..!" geram Nila
Komala.
Nila Komala berusaha melepaskan
diri dari jeratan tambang-tambang di tubuhnya. Tapi semakin keras memberontak,
semakin kuat tambang-tambang itu membelit tubuhnya. Gadis itu benar-benar tidak
berdaya lagi. Pedangnya sudah menggeletak di tanah, dan tubuhnya sama sekal
tidak berdaya ketika orang-orang itu menyeretnya hingga terguling ke tanah.
"Kurung dia!" perintah
orang bertopeng kera itu.
"Bajingan! Keparat..!
Kubunuh kau!" maki Nila Komala.
"Ha ha ha...!"
***
Nila Komala merayapi ruangan
sempit dan kotor. Beberapa orang bertopeng kera menjaga di setiap sudut
ruangan. Gadis itu melirik ikatan pada tangan dan kakinya yang terentang pada
sebatang. tiang bersilang, yang tergeletak di tanah. Pandangan gadis itu beralih
ketika pintu terkuak lebar. Bunyi derit engsel berkarat seakan-akan hendak
menggetarkan jantung gadis itu.
Tampak dari pintu yang terbuka
lebar, masuk seorang berjubah merah mengenakan topeng berwajah kera. Dia
diiringi empat orang yang juga mengenakan topeng kera. Hanya saja mereka
mengenakan baju warna merah dan bergambar kepala tengkorak manusia pada bagian
dada. Nila Komala mengamati orang-orang yang baru masuk itu. Dia jadi teringat
pada pembicaraan Eyang Brantapati dengannya di Pertapaan Sokapura.
"Hmmm..., siapa sebenarnya
mereka? Mengapa mereka menghancurkan. Kadipaten Panjawi hanya karena ingin
mencari potongan Seruling Perak..?" Nila Komala bertanya-tanya dalam hati.
Dia berusaha tetap sadar walau dalam keadaan yang tidak menguntungkan ini.
Pandangan gadis itu tertuju pada
orang-orang bertopeng kera. Mata gadis itu berkerenyit saat melihat mereka
membawa tongkat berwarna putih yang satu ujungnya berbentuk kepala tengkorak
manusia berwarna merah. Tapi Nila Komala tidak yakin kalau mereka dari Partai
Tengkorak Merah. Gadis itu teringat lagi akan kata-kata seorang tua perambah
hutan yang ditemuinya sebelum mendatangi reruntuhan puing-puing istana
kadipaten tadi.
"Sebaiknya urungkan saja
niatmu, Ni sanak," kata perambah hutan itu setelah Nila Komala
mengemukakan maksudnya untuk mendatangi Istana Kadipaten Panjawi saat itu.
"Kenapa, Ki?" Tanya
Nila Komala ingin tahu.
"Istana kadipaten saat ini
sudah berubah jadi neraka. Lagi pula, untuk apa ke sana?"
"Menemui keluarga yang
bekerja di istana itu, Ki," sahut Nila Komala menyembunyikan maksud
sebenarnya.
"Ah...," laki-laki tua
perambah hutan itu mendesah pelahan.
"Ada apa, Ki?" Tanya
Nila Komala.
"Siapa keluargamu?"
perambah hutan itu balik bertanya.
"Kepala pelayan," sahut
Nila Komala berdusta.
"Mudah-mudahan dia masih
hidup," gumam perambah hutan itu mendesah.
"Memangnya ada apa,
Ki?" Tanya Nila Komala menyelidik.
"Sekarang ini Gusti Adipati
tidak berada di istana. entah ke mana. Dan istana kadipaten kini dikuasai
orang-orang yang menamakan dirinya Partai Tengkorak Merah."
Nila Komala terdiam membisu.
Ctar!
"Akh...!" tiba-tiba
saja Nila Komala terpekik ketika merasakan satu sengatan panas di tubuhnya.
Seketika itu juga lamunannya
menghilang. Tampak seorang laki-laki berkepala gundul dan bertubuh tinggi kekar
berotot memegang cambuk di depannya. Nila Komala mendelik tajam. Rupanya
tubuhnya tadi dicambuk, sehingga lamunannya lenyap seketika. Laki-laki gundul
berotot kekar itu kembali mengayunkan cambuknya. Dan untuk kedua kalinya Nila
Komala terpekik keras begitu ujung cambuk merobek bajunya hingga tembus ke
kulit Darah merembes keluar dari kulit yang sobek tercambuk.
Ctar! Ctar...!
"Akh...!"
"Cukup...!" tiba-tiba
terdengar seruan keras.
Tampak Nila Komala terkulai
lemas. Entah berapa cambukan telah mendarat di tubuhnya. Baju kuning yang
dikenakannya sudah koyak. Kulit putih mulusnya telah terkoyak berlumuran darah,
Nila Komala mendesis geram menatap tajam orang berjubah merah yang mengenakan
topeng kera keperakan.
"Aku bisa berbuat lebih
kejam lagi padamu, Nila Komala. Pikirkan itu..." dingin nada suara orang
bertopeng kera itu Dari suaranya, Nila Komala sudah bisa menduga kalau orang
itu adalah laki-laki.
"Phuih! Kau pikir aku
takut?" Geram Nila Komala menyemburkan ludahnya.
"Aku percaya. Mati pun kau
tidak takut. Tapi bukan itu yang kuinginkan darimu, bocah."
"Kau menginginkan potongan
Seruling Perak? Kalau pun aku punya, tidak bakalan kuberikan padamu, pengecut
jelek!"
"Di mana kau sembunyikan
potongan seruling perak itu, Nila?" tetap dingin nada suara orang
bertopeng kera itu.
"Di perut!" sahut Nila
Komala langsung tertawa tergelak-gelak.
Ctar!
"Akh...!" Nila Komala
kembali memekik ketika tiba-tiba tubuhnya disengat cambukan yang keras merobek
kulit Gadis itu mendelik menahan amarah yang meluap, tapi tidak berdaya
apa-apa. Ikatan di pergelangan tangan dan kakinya begitu kuat.
"Dengar, bocah. Aku tidak
suka lagi bermain-main. Kutunggu jawabanmu besok Kalau tidak...," orang
bertopeng itu menoleh ke arah beberapa laki-laki berwajah kasar yang menjaga
ruangan pengap ini. "Aku akan menghadiahkan mu pada mereka...!"
"Iblis...!" geram Nila
Komala bergidik.
"Waktumu tinggal besok pagi,
Nila Komala! Ha ha ha...!"
Orang berjubah merah yang
mengenakan topeng kera keperakan itu berbalik dan melangkah meninggalkan
ruangan pengap ini. Sedangkan Nila Komala hanya dapat memaki, dan menyumpah
serapah habis-habisan. Pintu ruangan kembali tertutup. Gadis itu tiba-tiba
bergidik ketika delapan orang laki-laki berwajah kasar menghampirinya.
"Mau apa kalian?!"
Bentak Nila Komala agak bergetar suaranya.
"He he he.... Kami semua
tidak sabar menunggu sampai besok pagi, Cah Ayu," ujar salah seorang
diiringi tawa terkekeh.
"Bajingan! Monyet tengik..!
Kubunuh kalian jika berani menyentuhku!" Geram Nila Komala mengancam.
Tapi delapan orang laki-laki
kasar itu hanya tertawa saja. Sementara Nila Komala hanya bisa memaki dengan
tubuh bergidik ngeri. Sungguh tidak bisa dibayangkan. Dan benar-benar tidak
sanggup untuk membayangkannya. Sementara delapan orang itu semakin dekat saja.
Pandangan mereka liar, dan tawa terkekeh terus terdengar. Nila Komala
benar-benar mual menyaksikan wajah-wajah yang memiliki sorot mata liar penuh
napsu iblis itu.
"Akh! Tidak..!" Pekik
Nila Komala ketika salah seorang mulai mengulurkan tangannya ke arah dada gadis
itu.
Tapi belum juga jari-jari tangan
menyentuh, mendadak orang itu menjerit keras bersamaan berkelebatnya sebuah
bayangan putih. Tampak orang itu menggelepar dengan leher koyak bersimbah
darah. Sementara tujuh orang lainnya terbeliak dibarengi mulut yang ternganga
lebar. Demikian pula dengan Nila Komala.
"Rangga...," desis Nila
Komala saat matanya terpaku pada seorang pemuda berbaju rompi putih.
Entah dari mana datangnya,
tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada di samping Nila Komala. Dan
sebelum tujuh orang itu menyadari apa yang terjadi, Rangga sudah melepaskan
tambang yang mengikat Nila Komala pada sebatang tiang bersilang di atas tanah
itu.
Nila Komala bergegas melompat
begitu ikatan yang membelenggunya terlepas. Dan gadis itu kontan menerjang
orang-orang kasar yang hampir saja menghancurkan hidupnya. Seketika saja
terdengar jerit melengking, disusul bergulingnya tubuh-tubuh kekar. Dan belum lagi
ada yang sempat menyadari, Nila Komala sudah menewaskan tiga orang yang
bertelanjang dada itu.
Sementara empat orang lainnya
segera bergerak. Tapi pada saat yang bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti sudah
melompat, dan tangannya bergerak cepat mengibas beberapa kail. Kembali
terdengar jerit melengking mengiringi kematian empat orang itu. Sungguh dahsyat
jurus yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Hanya sekali gebrak saja, empat
orang itu telah tergeletak tak bernyawa lagi. Sementara Nila Komala berdiri
tegak memandangi pemuda tampan berbaju rompi putih itu.
"Terima kasih," ucap
Nila Komala.
"Simpan saja dulu, mereka
bisa datang sewaktu-waktu," ujar Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu
langsung melesat ke atas. Sebentar Nila Komala mendongak, dan terlihatlah
sebuah lubang yang hanya cukup untuk satu tubuh saja. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, gadis itu melesat ke atas, menyusul Rangga yang sudah lebih dahulu
berada di luar.
***
Nila Komala baru berhenti berlari
setelah jauh berada di dalam hutan, dan jauh dari bangunan penjara istana
Kadipaten Panjawi. Gadis itu langsung menjatuhkan tubuhnya di atas rerumputan.
Disandarkan tubuhnya pada sebatang pohon rindang yang cukup melindunginya dari
hembusan angin malam yang dingin menggigilkan.
Saat itu Rangga juga menghentikan
larinya, lalu berbalik menghadap Nila Komala. Pendekar Rajawali Sakti itu
menghampiri dan menghenyakkan tubuhnya di depan gadis itu. Tampak sekali kalau
Nila Komala tengah mengatur jalan napasnya. Keringat menitik bagai butiran
mutiara membasahi wajah dan leher. Terasa pedih saat keringat-keringat itu
membasahi luka-luka bekas cambukan yang masih berdarah.
"Maaf, aku tidak cepat-cepat
membebaskanmu," ucap Rangga seraya merayapi luka-luka bekas cambukan di
tubuh gadis itu. "Bagaimana lukamu?"
"Hanya luka luar. Aku sempat
meng-rahkan hawa murni, jadi tidak seberapa parah. Hanya pedih sedikit,"
sahut Nila Komala.
"Syukurlah kalau
begitu," desah Rangga.
"Bagaimana kau bisa
mengetahui kalau aku ditangkap mereka?" Tanya Nila Komala ingin tahu.
"Kau ingat ketika bertemu
dengan perambah hutan?" Tanya Rangga berbalik.
'Tentu," sahut Nila Komala
mengangguk. api, apa hubungannya?"
"Aku berada tidak jauh dari
tempat itu, dan mendengar semua yang kau bicarakan...."
"Dan kau mengikutiku sampai
ke istana kadipaten?!" potong Nila Komala menebak cepat
"Benar."
"Sudah tahu begitu, kenapa
tidak membantuku dari tadi?" Nila Komala memberengut kesal.
"Penjagaan terlalu ketat Kau sendiri juga tahu, bukan?"
Nila Komala terdiam. Memang
penjagaan terlalu ketat, dan sukar ditembus. Meskipun agak sedikit kesal, tapi
gadis itu masih bersyukur bisa keluar dari cengkeraman tangan-tangan kotor
berhati iblis. Dan kini gadis itu juga tidak bisa lagi meredam api dendam yang
semakin membara di dada.
Nila Komala bangkit berdiri dan
melangkah pelahan-lahan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tetap duduk. Kelopak
matanya tidak berkedip memperhatikan sikap gadis itu. Rangga tetap duduk
meskipun Nila Komala sudah berjalan agak jauh. Dan gadis itu berhenti
melangkah, lalu memutar tubuhnya.
"Kenapa kau tidak
mencegahku?" Tanya Nila Komala.
"Untuk apa? Kau tidak ingin
urusanmu dicampuri, bukan?" tenang sekali suara Rangga. Bahkan bibirnya
mengulas senyuman tipis.
Rangga tahu kalau sebenarnya tadi
Nila Komala ingin agar dia mencegahnya. Dan gadis itu rupanya juga tidak tahan
karena merasa Pendekar Rajawali Sakti tidak mencegah. Apalagi untuk
mengikutinya. Entah apa yang ada dalam diri gadis itu. Rangga semakin lebar
senyumnya melihat Nila Komala kembali melangkah menghampiri. Dan gadis itu
kembali duduk bersandar di tempat semula.
"Kakang..., apa sebenarnya
yang kau inginkan di Kadipaten Panjawi ini?" Tanya Nila Komala sambil
menatap dalam-dalam penuh selidik ke bola mata pemuda tampan di depannya.
"Tidak ada. Aku hanya
kebetulan saja lewat sini," sahut Rangga kalem.
"Sungguh?" Nila Komala
ingin memastikan.
"Untuk apa berdusta? Aku
yakin, Eyang Brantapati sudah memberitahu tentang diriku padamu," kembali
Rangga tersenyum tipis.
"Eh...! Kau tahu
guruku?" Nila Komala terkejut.
entu saja. Bahkan sempat bicara
dengannya. Itu sebabnya aku terus mengikutimu. Gurumu sudah berpesan agar aku
membantumu menumpas musuh-musuh ayahmu, yang telah menghancurkan seluruh
keluarga dan kehidupanmu," jelas Rangga.
"Kapan kau bertemu dengan
Eyang Brantapati?" Tanya Nila Komala penuh selidik. Nada suaranya setengah
tidak percaya pada pembicaraan Pendekar Rajawali Sakti itu tadi.
"Saat kau tidur, sebelum dia
tewas," sahut Rangga.
"Jadi...?!" Nila Komala
semakin tidak mengerti. Hatinya benar-benar terkejut karena Rangga mengetahui
semuanya.
Gadis itu jadi semakin menaruh
curiga pada pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Rangga bisa mengetahui
semuanya, tanpa bisa disadarinya. Nila Komala meraba pedangnya, tapi menjadi
terkejut karena di pinggangnya hanya tersampir sarung pedang tanpa isinya.
Gadis itu baru sadar kalau pedangnya tertinggal di istana kadipaten.
Nila Komala merasakan dirinya
saat ini sudah telanjang, tanpa ada sebuah senjata pun yang melekat Meskipun
memiliki kepandaian cukup tinggi, tapi tanpa senjata bisa membuat kepercayaan
dirinya hilang. Dan itu memang selalu ditakuti orang-orang rimba persilatan.
Bagi mereka, senjata merupakan tameng nyawa. Tanpa senjata, jelas akan sulit
mempertahankan nyawa.
"Sebenarnya aku ingin
membantu ketika gurumu dikeroyok. Hanya sayangnya dia sudah berpesan agar aku
tidak perlu ikut campur, meski apa pun yang terjadi. Sampai kau muncul, aku
tetap memperhatikan dan mengikutimu sampai ke istana kadipaten," jelas
Rangga dengan singkat.
Bagaimana kau bisa mengetahui
tempat Pertapaan Sokapura?" Tanya Nila Komala ingin tahu.
"Dari bau keringat mu,"
sahut Rangga berolok.
"Sialan!" rutuk Nila
Komala tersenyum kecut.
Gadis itu memalingkan mukanya.
Dikutuki dirinya sendiri dalam hati. Pertanyaan yang bodoh! Tentu saja Rangga
tidak akan memberitahu bagaimana caranya bisa mengetahui Pertapaan Sokapura.
Itu memang urusan Rangga sendiri, dan dia tidak perlu mengetahui.
Untuk beberapa saat, mereka membisu.
Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Beberapa kali Nila Komala
mencuri pandang, menatap wajah tampan di depannya. Batin gadis itu jadi
berperang sendiri. Memang diakui, kalau Eyang Brantapati pernah mengatakan
untuk meminta bantuan Pendekar Rajawali Sakti setelah menceri-takan
pertemuannya dengan pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini. Nila
Komala sendiri tidak mengerti, mengapa Eyang Brantapati seperti mempercayai
pemuda ini. Padahal, setahu Nila Komala, laki-laki tua pertapa itu belum pernah
bertemu Pendekar Rajawali Sakti sebelumnya.
"Kakang, kau pernah
mendengar nama Pendekar Seruling Perak?" Tanya Nila Komala bernada penuh
selidik.
"Pernah," sahut Rangga.
"Apa yang kau ketahui
tentang dia?" Tanya Nila Komala lagi.
"Tidak banyak. Aku hanya
tahu kalau Pendekar Seruling Perak seorang pendekar bersih, dan selalu berada
di jalan benar," sahut Rangga singkat.
"Kau pernah bertemu
dengannya?" Nila Komala semakin ingin tahu saja.
"Sekali. Memangnya ada
apa?" Rangga balik bertanya.
idak apa-apa. Aku hanya yakin
kalau dia ada hubungannya dengan kejadian yang kualami ini," sahut Nila
Komala agak mendesah.
entang potongan Seruling
Perak?"
Nila Komala kembali tersentak
kaget. Sungguh tidak disangka kalau Pendekar Rajawali Sakti itu mengetahui
segala-galanya. Nila Komala menatap dalam-dalam bola mata pemuda tampan di
depannya, seakan-akan ingin mencari sesuatu di dalam sinar mata itu.
Sedangkan yang ditatap malah
membalasnya dengan lembut dan tentu saja hal ini membuat Nila Komala jadi
jengah sendiri. Buru-buru dipalingkan mukanya ke arah lain. Kembali mereka
terdiam membisu, tanpa berkata-kata lagi. Sedangkan Nila Komala semakin jauh
berperang dalam batinnya sendiri. Entah apa yang ada di hatinya saat ini. Hanya
dia sendiri yang tahu.
***
ENAM
Nila Komala melangkah keluar dari
pondok kecil yang dibangun. Rangga untuk berteduh dan menetap sambil
menyelidiki suasana di Kadipaten Panjawi. Gadis itu tertarik mendengar alunan
seruling yang telah sekian lama tidak didengarnya lagi. Pelahan dibukanya pintu
pondok, lalu melangkah keluar.
Rindangan gadis itu langsung
tertuju pada seorang laki-laki tua bertubuh kecil dengan perut buncit yang
tengah duduk di bawah pohon rindang. Jari tangan laki-laki tua kecil itu asyik
bermain-main pada lubang seruling. Alunan irama seruling berwarna keperakan itu
demikian merdu, membuat Nila Komala terus melangkah menghampiri. Gadis itu baru
berhenti setelah berada sekitar tiga langkah lagi didepan laki-laki tua kecil
yang dikenal bernama Ki Garatala.
"Kau lihat di mana Kakang
Rangga, Ki?" Tanya Nila Komala.
Ki Garatala menghentikan tiupan
serulingnya. Pelahan-lahan diangkat kepalanya menatap gadis cantik di depannya,
kemudian menggeleng pelahan. Matanya tetap menatap Nila Komala.
"Kau sudah tidak marah lagi
padaku, Nila Komala?" Ki Garatala balik bertanya.
"Tidak," sahut Nila
Komala tersenyum seraya duduk di depan laki-laki tua bertubuh seperti bocah
berusia dua betas tahun itu. "Maafkan atas kekasaranku waktu itu,"
ucap Nila Komala.
"Begitu cepat kau berubah
sikap. Apakah Rangga yang merubah sikapmu?"
Nila Komala hanya tersenyum saja.
Dilayangkan pandangannya ke arah Puncak Bukit Paderesan yang terselimut kabut
tebal. Memang diakui kalau sikapnya bisa berubah karena Pendekar Rajawali Sakti
itu. Dia juga menyesal telah menaruh kecurigaan besar, hingga marah dan
mengusir laki-laki tua ini.
"Apa saja yang telah
dikatakan tentang diriku, Nila Komala?" Tanya Ki Garatala.
"Tidak banyak," sahut
Nila Komala.
Gadis itu kembali berpaling dan
menatap laki-laki tua kecil di depannya. Perhatian Nila Komala tercurah pada
seruling perak di tangan Ki Garatala. Agak menyipit juga matanya saat menyadari
kalau seruling itu hanya sepotong. Nila Komala kemudian merayapi wajah tua itu,
dan jadi teringat akan kata-kata Eyang Brantapati. Terlintas pertanyaan di
benaknya. "Apakah orang tua ini Pendekar Seruling Perak?"
"Kenapa kau memandangku
seperti itu, Nila?" tegur Ki Garatala.
"Ki, boleh aku bertanya
padamu?" Nila Komala tidak mempedulikan teguran Ki Garatala.
"Kenapa tidak?"
"Apakah itu
serulingmu?" Tanya Nila Komala langsung.
"Ha ha ha...!" Ki
Garatala tertawa mendengar pertanyaan langsung dan polos itu.
Nila Komala terdiam namun
pandangannya tajam penuh selidik. Eyang Brantapati pernah mengatakan kalau
Pendekar Seruling Perak bertubuh tinggi tegap. Tapi, laki-laki tua bertubuh
kecil ini juga mengaku bernama si Seruling Perak atau Ki Garatala. Apakah di
dunia ini ada dua pendekar yang memiliki senjata sama? Sama-sama berupa
seruling berwarna perak.
Gadis itu juga teringat akan
orang-orang bertopeng kera yang sekarang menguasai Istana Kadipaten Panjawi.
Mereka menginginkan potongan seruling perak. Dan anehnya, gadis itu dituduh
sebagai pemiliknya. Nila Komala jadi menghubungkan peristiwa ini dengan
pembunuhan ayahnya. Adipati Panjawi itu juga dibunuh oleh orang-orang bertopeng
kera, dan nampaknya ia memang sudah mengetahui kejadian itu. Terlalu banyak
pertanyaan di benak Nila Komala, dan tidak bisa cepat terjawab saat ini. Gadis
itu hanya bisa menghubung-hubungkan peristiwa yang terjadi. Dicarinya kaitan
antara peristiwa yang satu dengan lainnya.
"Berapa banyak kau
mengetahui tentang seruling perakku ini?" Tanya Ki Garatala.
erus terang, hanya tahu sedikit
Tapi aku tidak yakin kalau kau pemiliknya yang sah," sahut Nila Komala
terus terang.
"Kau terlalu polos, Cah Ayu.
Tapi aku menyukai kepolosanmu," Ki Garatala tersenyum dikulum.
"Jadi benar, itu bukan
milikmu?" desak Nila Komala seperti yakin pada dirinya.
"He he he...," Ki
Garatala tidak menjawab, tapi hanya tertawa terkekeh saja, kemudian bangkit
dari duduknya.
Nila Komala ikut berdiri, dan
juga ikut melangkah saat laki-laki tua bertubuh kecil itu berjalan. Seruling
perak yang hanya sepotong itu diselipkan ke batik sabuk pinggangnya. Nila
Komala mensejajarkan langkah di samping orang tua aneh itu. Mereka berjalan
tanpa berkata-kata lagi. Sesekali Nila Komala melirik, memperhatikan wajah tua
berjanggut putih panjang di sampingnya.
Bibir tipis yang tertutup misai
putih selalu menyunggingkan senyuman tipis dikulum. Memang aneh sikap Ki
Garatala, dan ini membuat Nila Komala penasaran. Terlebih lagi sekarang
orang-orang dari Partai Tengkorak Merah mencari potongan seruling perak hingga
menewaskan ayahnya dan menghancurkan Istana Kadipaten Panjawi. Bahkan kini
mereka menguasai reruntuhan istana itu.
"Eh...!" Nila Komala
terkejut ketika mereka tiba pada suatu tempat yang sangat dikenalnya.
Gadis itu langsung berhenti
melangkah. Pandangannya lurus ke suatu tempat yang membuat jantungnya seketika
jadi seperti berhenti berdetak. Sedangkan Ki Garatala tetap melangkah tenang
tanpa mempedulikan gadis itu.
***
Nila Komala masih berdiri terpaku
di tempatnya. Sepasang bola matanya tidak berkedip memandangi Ki Garatala yang
tengah berbicara dengan seseorang. Nila Komala tahu, siapa pemuda berbaju rompi
putih itu. Di depan mereka terbaring sesosok tubuh laki-laki berpakaian putih
ketat agak keperakan, di atas sebongkah batu pipih. Tubuhnya tegap dengan
otot-otot bersembulan. Di atas sosok tubuh yang terbaring itu berdiri naungan
dari anyaman daun rumbia.
Yang membuat Nila Komala terkejut,
orang itu terbaring tepat di samping makam ayahnya. Pelahan-lahan gadis itu
melangkah mendekati. Ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti, Ki Garatala, dan orang
yang terbaring di atas batu secara bergantian. Sedangkan yang dipandangi jadi
terdiam, tapi membalas tatapan gadis cantik itu. Tak ada yang bicara untuk
beberapa saat lamanya.
"Siapa dia...?" Tanya
Nila Komala seraya menatap orang yang terbaring di atas batu. Pertanyaan itu
bernada seperti untuk dirinya sendiri.
"Pendekar Seruling
Perak," sahut Ki Garatala.
Nila Komala menatap laki-laki tua
bertubuh kecil dengan perut membuncit itu, kemudian kembali menatap laki-laki
muda yang terbaring di atas batu. Sepertinya jawaban yang diberikan Ki Garatala
tidak membuatnya percaya.
"Kenapa dia?" Tanya Nila
Komala lagi, masih seperti untuk dirinya sendiri pertanyaan itu.
"Perlu waktu satu hari penuh
untuk menjelaskannya, Gusti Ayu," sahut Ki Garatala lagi.
Kembali Nila Komala menatap
laki-laki tua kecil itu. Baru kali ini didengarnya Ki Garatala memanggil Gusti
Ayu. Panggilan yang biasa didengar saat masih berada di dalam Istana kadipaten.
Tapi Nila Komala tidak sempat berkata apa-apa, karena Pendekar Rajawali Sakti
sudah menepuk pundaknya dan mengajak menjauhi tempat itu.
Nila Komala tidak menolak, lalu
berjalan mengikuti pemuda berbaju rompi putih itu. Sementara Ki Garatala duduk
bersila di samping orang yang terbaring bagai tengah tertidur lelap. Laki-laki
tua bertubuh seperti bocah berusia dua belas tahun itu duduk bersila.
Dikeluarkannya seruling perak dari balik sabuk yang membelit pinggangnya.
Sebuah seruling perak yang tinggal sepotong.
Ki Garatala kemudian meniup
seruling itu lambat-lambat. Begitu merdu suara alunannya, tapi baru kini Nila
Komala bisa menyadari ada nada sumbang pada suara seruling itu. Dan ini baru
disadari kalau suara alunan merdu bernada sedikit sumbang itu sudah didengarnya
sejak beberapa hari terakhir ini. Nila Komala berhenti melangkah, dan
membalikkan tubuhnya memandangi Ki Garatala yang kini sudah asyik meniup
seruling perak terpotong itu.
"Sudah berapa lama dia
terbaring di situ?" Tanya Nila Komala tanpa mengalihkan pandangannya ke
arah Ki Garatala.
"Sejak kemarin," sahut
Rangga yang berdiri di samping gadis itu.
"Kemarin...?!" Sentak
Nila Komala seraya menoleh menatap Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Ya, kenapa?"
"Tidak..., tidak
apa-apa," sahut Nila Komala.
"Hanya aku agak heran kenapa
dia dibaringkan di samping makam ayahku...?
"Kalau seruling perak
benar-benar ada pada ayahmu, Pendekar Seruling Perak akan langsung
sembuh," jelas Rangga.
Gadis itu terus menatap Ki
Garatala yang asyik meniup seruling perak yang tinggal sepotong. Baru beberapa
hari ayahnya tewas di tangan orang-orang bertopeng kera. Dan Rangga tadi
mengatakan sejak kemarin orang itu terbaring di samping kuburan Adipati
Panjawi. Sedangkan Nila Komala baru bisa menyadari kalau suara alunan merdu seruling
perak itu bernada sumbang sejak beberapa waktu lalu.
Nila Komala kembali berpaling,
menatap wajah Pendekar Rajawali Sakti di sampingnya. Sementara yang ditatap
hanya bersiul-siul berirama tidak jelas. Pandangannya menatap lurus ke awan,
puncak bukit dan sekitarnya. Seakan-akan sengaja menghindari tatapan tajam
gadis di sebelahnya.
"Kakang, kau bisa jelaskan
semua ini padaku?" Pinta Nila Komala.
"Apa yang bisa kujelaskan,
Gusti Ayu?" Tanya Rangga mengikuti Ki Garatala memanggil Gusti Ayu pada
Nila Komala.
"Sejak kapan kau memanggilku
seperti itu?" Nila Komala tidak suka dipanggil seperti itu.
"Sudah sepantasnya aku
memanggilmu begitu," kalem jawaban Rangga.
"Uh, sudahlah! Sekarang aku
minta penjelasanmu, titik!" Dengus Nila Komala.
Rangga tersenyum kecut
"Kok diam...?!"
"Penjelasan yang mana, Gusti
Ayu?" Tanya Rangga pura-pura bodoh.
entang dia!" Nila Komala
memonyongkan bibirnya, mengarah pada orang yang sedang terbaring.
"Pendekar Seruling
Perak?!" Rangga sengaja memperlambat atau mungkin sedang mempermainkan
gadis ini.
Nila Komala tidak menjawab, tapi
malah mendengus memberengut kesal. Disadari kalau Pendekar Rajawali Sakti itu
hanya mempermainkan dirinya saja. Dan mendadak saja wajah gadis itu memerah.
Baru disadari kalau Pendekar Seruling Perak masih muda dan wajahnya.... tampan
juga. Nila Komala merutuk dalam hati. Dia bisa menangkap arti sorot mata
Rangga. Secara jujur, Nila Komala memang mengakui kalau Pendekar Rajawali Sakti
juga tampan. Bahkan tidak kalah tampannya dengan Pendekar Seruling Perak. Nila
Komala melenguh pendek. Dipalingkan wajahnya ke arah lain.
"Aku hanya tahu sedikit
tentang Pendekar Seruling Perak. Dan mungkin sama dengan apa yang kau ketahui,
Gusti Ayu," kata Rangga tidak enak juga melihat wajah gadis itu memerah
dadu.
"Kenapa terbaring
terus?" Tanya Nila Komala.
"Kehilangan kekuatannya.
Selamanya dia akan terbaring antara mati dan tidak, sebelum kekuatannya pulih
kembali," sahut Rangga sedikit menjelaskan.
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Kakang," Nila Komala berterus terang.
"Memang benar kata Ki
Garatala. Tidak cukup seharian memberi penjelasan padamu. Sebab, ini juga
menyangkut Ayah dan ibumu, dan dirimu sendiri, Gusti Ayu," kata Rangga.
Nila Komala memalingkan wajahnya
kembali menatap pemuda berbaju rompi di sampingnya. Sama sekali tidak diduga
kalau semua ini saling berhubungan satu sama lainnya. Dan yang tidak disangka,
dirinya juga ikut terlibat baik secara langsung maupun tidak. Hanya saja gadis
itu tidak tahu, di mana keterlibatan dirinya. Sedangkan teka-teki pembunuhan
Ayah dan ibunya saja sampai sekarang belum bisa terungkap.
Agak lama juga Nila Komala
terdiam, menatap dalam-dalam bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu
menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Kemudian dia kembali
berpaling, menatap Pendekar Seruling Perak yang masih terbaring tanpa daya.
Sama sekali masih belum bisa dipahami tentang kehilangan kekuatan seperti yang
dikatakan Rangga tadi.
***
Nila Komala duduk diam sambil
memeluk lututnya sendiri. Pandangannya nanar menatap lurus ke depan. Sementara
malam semakin beranjak larut. Udara terasa dingin menggigilkan tubuh, merasuk
sampai ke tulang. Gadis itu mendesah panjang, lalu kepalanya menoleh menatap
pemuda berbaju rompi putih yang duduk bersandar di sampingnya. Agak jauh di
belakang Pendekar Rajawali Sakti terlihat seonggok api unggun menghangati sosok
tubuh terbaring di atas batu pipih. Tampak Ki Garatala masih tetap duduk
bersila di sampingnya.
"Sukar dipercaya kalau Ayah
mencuri seruling perak...," desah Nila Komala setengah bergumam, Pelan
sekali suaranya, seolah-olah berbicara untuk diri sendiri.
"Ayahmu melakukan itu karena
ingin menyembuhkan istrinya, Nila, ibumu...!" Ujar Rangga meyakinkan gadis
itu.
"Tapi, kenapa harus
mencuri?" Tanya Nila tidak mengerti.
tulah yang sulit dimengerti,
Nila. Usaha ayahmu hanya sia-sia saja, karena hanya mendapatkan sepotong
seruling perak."
Nila Komala kembali terdiam.
Kembali diingat-ingatnya cerita Rangga tentang Pendekar Seruling Perak yang
kini terbaring tidak berdaya setelah sepotong serulingnya dicuri Adipati
Panjawi, ayah gadis itu sendiri. Padahal Adipati Panjawi tahu kalau seruling
perak itu adalah sumber kekuatan Pendekar Seruling Perak. Tanpa seruling itu,
Pendekar Seruling Perak akan musnah untuk selama-lamanya.
Sebenarnya, antara, Pendekar
Seruling Perak dengan Adipati Panjawi telah terjalin satu hubungan erat. Ketika
istri adipati itu terluka parah oleh panah beracun yang dilepaskan orang-orang
bertopeng kera, Adipati Panjawi jadi mata gelap. Dia tahu kalau seruling perak
bisa menyembuhkan segala jenis penyakit dan menjadi penawar dari segala macam
jenis racun apa pun di dunia ini. Padahal Adipati Panjawi tahu kalau Pendekar
Seruling Perak tidak akan berdaya tanpa benda pusakanya itu. Bahkan seluruh
jiwanya sudah dipindahkan ke dalam benda berbentuk seruling berwarna perak itu.
Jelas, dia akan mati jika terlepas dari seruling peraknya.
Adipati Panjawi jadi mata gelap,
sebab Pen-dekar Seruling Perak yang dimintai bantuan untuk menyembuhkan
istrinya tidak menyanggupi. Adipati Panjawi tidak percaya kalau seruling perak
tidak bisa menyedot racun yang ada di dalam tubuh istrinya. Padahal Pendekar
Seruling Perak sudah mengatakan bahwa racun itu sudah menjalar sampai ke
jantung dan tidak ada harapan lagi untuk hidup.
Sejak saat itu Adipati Panjawi
selalu dihantui perasaan bersalah. Dan dia jadi merasa seperti terancam setiap
kali mendengar suara seruling. Teringat akan perbuatannya mencuri sepotong
seruling perak itu dari Pendekar Seruling Perak.
Nila Komala menatap Ki Garatala
yang duduk bersimpuh disamping Pendekar Sending Perak. Laki-laki tua bertubuh
kecil itu selalu setia menunggu Pendekar Seruling Perak. Bahkan setiap pagi
selalu memainkan sepotong seruling perak agar sebagian jiwa Pendekar Seruling
Perak tetap hidup, sementara potongan lainnya lagi berusaha dicarinya. Baru
kemarin Pendekar Seruling Perak dipindahkan ke sini, dan sebelumnya berada di
atas Puncak Bukit Paderesan.
Kini Nila Komala baru tahu,
mengapa ayahnya selalu mengajaknya ke lereng bukit Ternyata ayahnya ingin
menemui Pendekar Seruling Perak, dan hendak meminta maaf pada pendekar itu.
Tapi belum juga niatnya terlaksana, sudah tewas di tangan orang-orang bertopeng
kera.
"Kakang, apakah Ayah memang
menyimpan potongan seruling perak itu?" Tanya Nila Komala seraya berpaling
pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Mungkin," sahut Rangga
mendesah. Nada suaranya seakan-akan kurang yakin akan jawabannya sendiri.
"Kalau memang Ayah memiliki
potongan seruling perak itu, mengapa mereka juga menginginkannya, Kakang?"
Tanya Nila Komala.
"Itulah kerasnya kehidupan
rimba persilatan, Nila. Terlalu banyak hal yang sukar untuk dimengerti oleh
akal sehat manusia normal. Mereka yakin kalau sudah memiliki potongan seruling
perak, akan mampu mengenyahkan Pendekar Seruling Perak untuk selama-lamanya.
Selama ini Pendekar Seruling Perak memang selalu jadi penghalang bagi mereka
untuk merajai dunia persilatan. Yaaah.... Ki Garatala sendiri mengatakan, seandainya
sepotong seruling perak itu dimusnahkan, sama artinya sebagian jiwa Pendekar
Seruling Perak musnah," jelas Rangga singkat
"Apakah itu artinya dia
tidak akan hidup kembali, Kakang?" Tanya Nila Komala polos.
"Benar," sahut Rangga
setengah mendesah.
"Kalau begitu, kita harus
mendapatkan potongan seruling perak lainnya, Kakang!" mantap nada suara
Nila Komala.
entu saja, Nila. Tapi sampai
sekarang kita tidak tahu, di mana potongan seruling perak itu. Sedangkan saat
ini hanya ayahmu saja yang mengetahuinya."
"Aku tahu, Kakang!"
seru Nila Komala seraya melonjak berdiri.
"Heh! Kau tahu...?"
Rangga tersentak kaget
"Benar, kini aku tahu. Ayah
pasti menyimpannya di ruangan senjata pusaka. Beliau sering berlama-lama berada
di sana, bahkan hampir seluruh harinya dihabiskan di ruangan penyimpanan
senjata pusaka," mantap sekali nada suara Nila Komala.
Rangga tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. Nila Komala memperhatikan dengan kening
berkerut dalam.
"Ruangan itu sudah porak
poranda, Nila. Tidak mungkin ayahmu menyimpan benda berharga seperti itu di
sana," kata Rangga.
"Kalau begitu...,"
ucapan Nila Komala terputus.
Rangga bergegas bangkit berdiri
saat melihat gadis itu melangkah menghampiri reruntuhan puing yang menghitam
bekas terbakar. Reruntuhan puing itu bekas pondok Eyang Jayanggu, seorang tabib
yang ahli segala macam racun dan penyakit-penyakit lainnya. Rangga tidak
mengerti akan sikap Nila Komala yang mengobrak-abrik reruntuhan pondok itu.
"Nila, apa yang kau
lakukan?" Tanya Rangga.
Nila Komala tidak menjawab, dan
terus saja mengobrak-abrik puing-puing yang sebagian besar sudah jadi abu itu.
Rangga hanya memperhatikan saja tanpa melakukan apa-apa. Sama sekali tidak
dimengerti, apa yang dilakukan Nila Komala. Debu bekas pondok yang terbakar bertebaran
membuat sesak pernapasan. Namun Nila Komala tidak peduli, dan terus membongkar
reruntuhan puing pondok itu tanpa berkata-kata lagi.
"Apa sih yang
dilakukannya...?" Rangga bertanya-tanya sendiri dalam hati.
***
TUJUH
Nila Komala terduduk lemas di
antara reruntuhan pondok yang hangus terbakar. Hampir seluruh tubuh dan
wajahnya penuh debu hitam bekas bakaran kayu. Keringat mengucur deras membasahi
seluruh tubuhnya. Sementara Rangga masih berdiri agak jauh sambil memperhatikan.
Hatinya geli juga melihat wajah yang cantik, kini seperti penari ledek
kebanyakan pupur.
"Nila...," panggil
Rangga sambil menahan perasaan gelinya.
Nila Komala mendengus dan
menoleh. Hampir-hampir Rangga tertawa melihat wajah gadis itu, tapi cepat
ditahan. Dia tidak ingin gadis itu tersinggung kemudian mengamuk karena
ditertawakan. Nila Komala bangkit berdiri, lalu berjalan cepat menuju sungai
kecil yang terletak tidak jauh dari tempat ini. Rangga hampir saja terlonjak
begitu Nila Komala langsung melompat menceburkan tubuhnya ke dalam sungai.
Agak lama juga gadis itu berada
di dalam air. Begitu muncul di permukaan, wajah dan tubuhnya sudah bersih.
Dengan tubuh basah, gadis itu melangkah keluar dari dalam sungai. Sama sekali
tidak dipedulikan pakaiannya yang basah kuyup. Gadis itu duduk di atas sebatang
pohon tumbang yang menjorok ke dalam sungai. Gadis itu acuh saja saat pandangan
Rangga merayapi tubuhnya yang dalam keadaan basah kuyup seperti ini.
Baju yang dikenakan gadis itu
melekat rapat membentuk tubuhnya yang indah mempesona. Pelahan Rangga
menghampiri, dan berdiri di depan gadis itu. Nila Komala tetap diam, sambil
memandang ke arah lain. Meskipun menggigil kedinginan, tapi gadis itu tetap
saja diam tidak peduli.
"Mendekatlah ke api sana,
agar menjadi hangat," kata Rangga melihat tubuh ramping indah itu
menggigil kedinginan.
"Biar saja ah," sahut
Nila Komala.
"Kenapa kamu lakukan itu,
Nila?" Tanya Rangga ingin tahu.
Nila Komala tidak langsung
menjawab. Kepalanya berpaling, langsung menatap dalam-dalam bola mata Pendekar
Rajawali Sakti di depannya. Sedangkan yang ditatap malah mebalas dengan tajam
pula.
"Ayah tidak mungkin
meninggalkan benda berharga begitu saja. Beliau pasti membawanya ke mana
pergi," ujar Nila Komala seraya memalingkan wajahnya kembali ke arah lain.
"Oh.... Jadi kau menyangka
Eyang Jayanggu yang mengambil, dan kau mencarinya di reruntuhan
pondoknya...?" Rangga mulai bisa mengerti tindakan Nila Komala tadi.
idak ada salahnya jika berusaha,
bukan...?"
"Memang tidak. Asal, jangan
membuatmu seperti penari ledek kehabisan pupur, terus jadi basah kuyup
begini...!" Rangga tidak bisa lagi menahan tawanya. Dia terbahak-bahak
sambil memegangi perutnya.
"Huh!" Nila Komala
mendengus, tapi akhirnya tertawa juga.
Tawa mereka berhenti ketika
tiba-tiba Ki Garatala berdiri di antara mereka. Laki-laki tua bertubuh kecil
seperti bocah berusia sekitar dua belas tahun itu memandangi Rangga dan Nila
Komala secara bergantian. Sedang yang dipandangi kontan diam. Mereka saling
berpandangan dan sama-sama mengangkat pundak.
"Bukan waktunya untuk
tertawa!" dengus Ki Garatala dingin.
"Maaf, Ki," ucap
Rangga.
"Seharusnya kalian
membantuku mencari potongan seruling perak itu, bukannya malah bersenang-senang
di atas penderitaan orang lain!" gerutu Ki Garatala.
Rangga dan Nila Komala terdiam.
Gadis itu memandangi laki-laki tua bertubuh kecil di depannya. Kalau saja
Rangga belum menceritakan siapa sebenarnya orang tua aneh ini, mungkin sudah
disemprot sejak tadi, karena berani membentak dan menggerutu di depannya. Tapi
mengingat kalau orang tua aneh ini adalah guru Pendekar Seruling Perak, Nila
Komala hanya diam saja.
Memang, baru sekarang ini Ki
Garatala keluar dari pertapaannya, karena murid tunggalnya dalam keadaan
kritis. Tidak heran kalau Ki Garatala bisa memainkan seruling perak itu,
meskipun hanya sepotong saja. Nila Komala melompat turun, dan langsung
menggamit tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu
membawa Rangga pergi. Sejenak Rangga kebingungan, tapi ikut melangkah juga
dengan tangan terseret
"Akan ke mana kalian?"
Tanya Ki Garatala agak keras suaranya.
"Seperti yang kau katakan
tadi, Ki. Mencari potongan seruling perak!" Sahut Nila Komala tidak kalah
keras suaranya.
"Nila, tunggu!" Sentak Rangga
langsung berhenti melangkah.
Nila Komala menghentikan ayunan
kakinya. Ditatapnya pemuda berbaju rompi putih itu dalam-dalam. Sedangkan
Rangga memandang ke arah Ki Garatala.
"Ke mana kau akan mencari
seruling perak itu?" Tanya Ki Garatala masih tetap berdiri pada tempatnya.
"Ke mana saja," sahut
Nila Komala. "Aku bertanggung jawab, karena semua ini gara-gara ulah
ayahku!" tegas suara gadis itu. Pandangannya juga tajam menusuk langsung
bola mata Ki Garatala.
"Aku tahu kau memang harus
bertanggung jawab. Tapi, ke mana akan kau dapatkan potongan seruling perak
itu?" Tanya Ki Garatala.
"Ke mana saja, asal
dapat!" sahut Nila Komala seraya berbalik dan kembali melangkah cepat
meninggalkan tempat itu.
Sementara Rangga jadi kebingungan
sendiri menghadapi kekerasan sikap Nila Komala. Pendekar Rajawali Sakti itu
bergegas menyusul, setelah mendapat anggukan kepala dari Ki Garatala. Rangga
cepat mensejajarkan langkahnya di samping Nila Komala yang berjalan cepat.
"Kemana tujuanmu,
Nila?" Tanya Rangga.
"Kadipaten Panjawi,"
sahut Nila Komala terus saja melangkah cepat.
"Ke istana itu lagi?"
Tebak Rangga yakin.
"Ya," sahut Nila Komala
terus saja melangkah cepat.
"Untuk apa?"
"Bukan hanya seruling perak
yang harus didapat, tapi mereka juga harus musnah dari muka bumi ini. Hidupku
tidak akan tenang sebelum mereka hancur, seperti yang mereka lakukan
terhadapku!" Tegas Nila Komala.
"Kau tidak akan mampu
menandingi mereka sendirian, Nila," Rangga memperingatkan.
"Kenapa tidak? Nyawaku
taruhannya!"
"Hhh...!" Rangga
menarik napas panjang.
Memang sulit menghadapi seorang
gadis yang sudah terbiasa hidup manja dan serba keturutan. Sepanjang jalan
menuju Istana Kadipaten Panjawi, tidak sedikit rintangan yang harus dihadapi
Pendekar Rajawali Sakti dan Nila Komala. Hampir setiap tempat, mereka terpaksa
memeras keringat untuk menghalau orang-orang berbaju merah bergambar tengkorak
pada dadanya dan bertopeng gambar kera keperakan.
"Berapa puluh lagi yang
harus kita hadapi, Nila?" Tanya Rangga mendengus.
"Bukan puluhan, tapi mungkin
ratusan atau bahkan ribuan," sahut Nila Komala seraya mengedarkan
pandangannya ke sekeliling, menatap mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar
tempat ini.
Tanpa berkata apa-apa lagi mereka
meninggalkan tempat ini dengan langkah cepat dan ringan. Agar lebih cepat
sampai di Istana Kadipaten Panjawi, maka di pergunakanlah ilmu meringankan
tubuh. Tidak terlalu sulit bagi Rangga untuk mengimbangi ilmu meringankan tubuh
Nila Komala. Tentu saja, karena ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sudah
mencapai taraf kesempurnaan. Bahkan kalau mau, gadis itu bisa tertinggal jauh.
Setelah melewati tiga rintangan,
mereka akhirnya tiba di depan pintu gerbang benteng istana kadipaten yang sudah
dalam keadaan hancur berantakan. Yang tersisa hanya puing-puing berserakan.
Nila memandangi bangunan yang punya banyak arti dalam kehidupannya selama ini.
Pelahan kepalanya berpaling menatap Rangga di sampingnya.
"Ragu-ragu?" Tanya
Rangga.
"Firasatku, mereka sudah
menunggu," kata Nila pelan.
"Memang, kalau kau bisa
melihat dengan teliti," sahut Rangga kalem.
Nila Komala menyipitkan matanya
saat memandang ke dalam dari pintu gerbang yang hancur berantakan. Tampak
sosok-sosok tubuh berbaju merah tengah berlindung di balik reruntuhan tembok
istana kadipaten itu. Juga di atap, di balik pohon, dan tempat-tempat
tersembunyi lainnya. Mereka sudah siaga dengan panah terpasang pada busur yang
meregang siap dilepaskan.
"Ingin masuk juga?"
Rangga menawarkan.
Nila Komala tidak langsung
menjawab. Sejenak dirayapi bagian dalam bangunan benteng istana dari pintu
gerbang yang hancur. Memang tidak mudah untuk menerobos masuk ke dalam. Bahkan
mungkin baru kakinya melewati pintu saja, sudah terpanggang ratusan panah
beracun.
agaimana pendapatmu,
Kakang?" Tanya Nila Komala yang menjadi lemah juga hatinya menghadapi
kenyataan pahit ini.
Rangga tidak menjawab, tapi malah
melangkah setelah membalikkan tubuhnya. Nila Komala memandangi sejenak,
kemudian menyusul dengan ayunan langkah tergesa-gesa. Mereka berjalan menjauhi
bangunan istana di Kadipaten Panjawi itu.
"Kau ada rencana,
Kakang?" Tanya Nila Komala.
"Tidak," sahut Rangga
kalem.
"Tidak...?!" Nila
Komala mendelik setelah mendengar jawaban ringan itu.
"Aku hanya menghindari
mereka saja. Aku belum mau mati konyol terpanggang panah," kata Rangga
tetap kalem.
"Kau punya rasa takut juga,
Pendekar Rajawali Sakti," terdengar sinis nada suara Nila Komala.
"Bukannya takut, tapi
berusaha berpikir secara waras," elak Rangga manis.
"Kalau begitu, kau tentu
punya rencana, bukan?" ujar Nila Komala terdengar yakin.
"Sial!" rutuk Rangga
dalam hati.
Rangga mengakui kalau gadis ini
cukup cerdik memancing dalam hal pembicaraan. Bukan hanya sekali ini saja
Rangga terjebak dan masuk dalam pancingannya. Sudah beberapa kali, dan sama
sekali tidak disadari sebelumnya. Rangga hanya merutuk dalam hati, sedangkan
Nila Komala tersenyum-senyum merasa pancingannya mulus mengenai sasaran.
"Nanti aku beritahu.'"
dengus Rangga terus saja berjalan cepat.
"Ke mana kita
sekarang?" Tanya Nila Komala.
"Cari tempat yang
aman," sahut Rangga masih dengan hati mendongkol.
Bukannya kesal pada gadis ini,
tapi kesal pada kebodohannya sendiri. Kesal karena selalu saja tidak bisa
menangkap arah ucapan dan sikap Nila Komala yang selalu mempunyai maksud
tersembunyi tanpa diduga sama sekali. Hatinya kesal, tapi juga mengakui kecerdikan
gadis ini.
***
Malam terus merayap semakin
larut. Suasana di sekitar bangunan Istana Kadipaten Panjawi nampak sunyi
senyap. Tak terlihat seorang pun di sekitar reruntuhan bangunan megah itu.
Dalam keremangan cahaya sinar rembulan, terlihat sebuah bayangan putih
berkelebat cepat bagai kilat melewati tembok benteng yang tinggi dan teramat
kokoh.
Bayangan putih itu melenting
cepat ke atas atap, lalu berhenti. Dirapatkan tubuhnya di atap bangunan yang
menghitam bekas terbakar. Dalam keremangan cahaya bulan, dapat dilihat kalau
orang itu masih muda, mengenakan baju rompi putih dengan pedang tersampir di
punggung. Sepasang bola matanya tajam mengamati sekeliling.
Pelahan-lahan, dan ringan sekali
pemuda berbaju rompi putih itu merayap mendekati atap yang berlubang. Begitu
ringannya sehingga tak terdengar suara sedikit pun. Pemuda itu berhenti tepat
di tepi lubang atap bangunan istana ini. Dijulurkan kepalanya, melongok ke
dalam. Begitu gelap di dalam sana, sukar untuk dapat melihat kalau saja pemuda
itu tidak mempergunakan ilmu yang bisa menajamkan penglihatan.
"Hmm... Aku harus
menggunakan aji 'Tatar Netra'," gumam pemuda berbaju rompi putih dalam
hati.
Tanpa berkedip sedikit pun pemuda
itu merayapi bagian dalam bangunan istana ini dari lubang di atas atap. Dengan
aji 'Tatar Netra bisa terlihat jelas meskipun di dalam sana keadaannya gelap
gulita. Tak ada yang bisa ditemukan dalam ruangan
gelap berantakan itu. Tapi baru
saja hendak menarik kepalanya, mendadak terlihat dua orang keluar dari salah
satu ruangan yang pintunya jebol berantakan. Dua orang berpakaian merah dengan
gambar tengkorak pada dadanya dan mengenakan topeng berbentuk wajah kera
berwarna keperakan.
Tidak lama kemudian dari ruangan
yang sama keluar lagi beberapa orang berpakaian sama, diikuti orang-orang
berpakaian sebagaimana layaknya tokoh rimba persilatan. Dan terakhir, muncul
seorang berjubah merah yang juga mengenakan topeng kera diikuti sekitar dua
puluh orang yang bertopeng serupa.
"Hm...," pemuda di atas
atap itu menggumam dalam hati.
Dengan pandangannya terus diikuti
ke mana orang-orang itu pergi. Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan lain yang
masih memiliki pintu. Dan pintu tebal berukir itu tertutup setelah semuanya
berada di dalam. Tampak dari pintu-pintu lainnya bermunculan orang berbaju
merah, orang bertopeng kera dan orang berpakaian biasa. Mereka berkumpul di
ruangan besar yang kotor berantakan itu. Tak terdengar suara percakapan sedikit
pun. Sedangkan perhatian pemuda itu langsung tertuju ke arah pintu sebuah kamar
yang tertutup rapat.
"Hup!"
Pemuda berbaju rompi putih itu
melentingkan tubuhnya, langsung hinggap di atas atap lain. Ringan sekali
gerakannya, tak terdengar suara sedikit pun. Begitu juga saat mendarat di atap yang
tampak rapuh penuh berlubang itu. Kembali dirapatkan tubuhnya, dan dipasang
matanya tajam-tajam. Juga dikerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara, mencoba
mendengarkan suara dari bawah sana.
"Hmmm...," pemuda itu
bergumam dalam hati.
Dari sebuah lubang kecil,
terlihat jelas ke dalam ruangan di bawah atap ini. Tampak orang-orang yang tadi
dilihatnya, tengah berkumpul dalam satu ruangan cukup besar, dan nampak bersih.
Pemuda itu tahu kalau ruangan ini biasanya disebut Balai Sema Agung. Tempat itu
biasa digunakan Adipati untuk menerima tamu atau para pembesar kadipaten.
Tampak di atas singgasana, duduk seorang wanita berwajah cantik mengenakan baju
merah muda.
"Oh...!" pemuda itu
terhenyak ketika melihat wajah wanita yang duduk di singgasana itu.
Lenguhan pemuda itu rupanya
terdengar. Maka orang berjubah merah mengenakan topeng kera, kontan mengibaskan
tangannya ke atap. Tampak sebuah benda bulat berwarna kemerahan meluncur deras.
Secepat itu pula pemuda berbaju rompi di atas atap melentingkan tubuhnya. Seketika
terdengar ledakan dahsyat ketika benda bulat kemerahan itu menghantam atap
hingga jebol berantakan.
Tepat pada saat kaki pemuda
berbaju rompi putih itu mendarat di tanah, dari dalam bangunan istana kadipaten
itu berlompatan orang-orang yang tadi berkumpul di ruangan pertama. Itu pun
masih disusul oleh orang-orang yang berkumpul di ruangan Balai Sema Agung. Di
antara mereka, terlihat seorang wanita berbaju merah muda yang kini mengenakan
topeng wajah kera berwarna hitam pekat
"Rangga. wanita itu mendesis
pelahan agak tertahan.
Sementara pemuda berbaju rompi
putih itu merayapi sekitarnya. Begitu cepat dirinya sudah terkepung rapat Tak
ada lagi celah untuk bisa meloloskan diri, kecuali menggempur salah satu sisi.
Tapi, itu pun tampaknya tidak mudah dilakukan. Dan pemuda berbaju rompi putih
yang tak lain adalah Rangga itu jadi berpikir keras. Tatapannya tertuju tajam
pada wanita berbaju merah muda dengan pedang tersampir di punggung. Wanita itu
menyembunyikan wajahnya di balik topeng kera berwarna hitam pekat.
***
"Hmmm...," Rangga
bergumam pelahan, hampir tidak terdengar suaranya.
Baru saja Rangga hendak membuka
mulutnya ingin berbicara, mendadak saja wanita bertopeng kera hitam itu
menggerakkan tangannya, memberi isyarat. Maka seketika itu juga, sekitar
sepuluh orang berbaju merah dan bergambar tengkorak pada dadanya berlompatan
menyerang. Tongkat panjang mereka berkelebat cepat, menimbulkan suara angin
menderu bagai badai topan.
Secepat kilat Rangga melompat
sambil melontarkan beberapa pukulan beruntun seraya berkelit menghindari
tebasan tongkat yang datang dari segala penjuru. Malam yang semula hening
sunyi, mendadak pecah oleh suara teriakan dan jerit melengking sosok-sosok
tubuh bergelimpangan menggelepar tersambar pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang
mengandung tenaga dalam sempurna.
Hanya dalam tiga gebrakan saja,
sepuluh orang itu sudah tergeletak tak bernyawa. Rangga berdiri tegak sambil
melipat tangan di depan dada. Pandangannya tajam menusuk langsung pada wanita
bertopeng kera hitam yang membuatnya sempat terperanjat tadi, sehingga
rencananya untuk mengintai tempat ini jadi berantakan. Dan kini, harus
menghadapi kepungan yang rapat.
"Tangkap dia
hidup-hidup!" Perintah wanita itu tegas.
Mendengar perintah itu, mereka
yang mengepung Pendekar Rajawali Sakti segera mengeluarkan tambang dengan
bandulan besi berjumlah tiga pada ujungnya. Hampir semua orang yang mengepung
memutar-mutar tambang. Sedangkan yang berada di barisan belakang hanya menunggu
sambil menghunus senjata.
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah..."
Sing! Swing...!
Sekitar dua puluh orang segera
melemparkan tambang yang memiliki tiga bandulan besi bulat Benda itu berputaran
membentuk lingkaran bagai baling-baling. Tambang-tambang itu meluncur deras
melewati tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya tambang-tambang itu bergerak
sendiri membentuk simpulan bagai jaring mengurung pemuda berbaju rompi putih
itu.
"Hmmm. Tidak mungkin aku
bisa lolos, tanpa.... Ikh!"
Rangga tidak sempat lagi
berpikir, karena dua puluh orang itu sudah bergerak berputar sambil menarik
tambang-tambang itu. Rangga tak dapat berpikir banyak lagi, maka secepat itu
pula ditarik senjata pusakanya. Dan begitu terlihat secercah biru memancar,
secepat kilat Rangga berkelebat sambil mengibaskan pedang pusaka yang
memancarkan cahaya biru menyilaukan mata.
"Hiyaaat..!"
Tas! Tas! Cras...!
Semua orang yang ada di sekitar
tempat itu terbeliak melihat tambang-tambang yang hampir menjerat tubuh
Pendekar Rajawali Sakti kini terbabat putus. Dan mereka yang berlarian memutari
Pendekar Rajawali Sakti itu kontan terpental ke belakang. Ternyata, sambil
berlarian berputar, mereka mengerahkan tenaga untuk menarik tambang agar
Pendekar Rajawali Sakti itu terjerat.
"Seraaang...!"
Terdengar perintah keras melengking tinggi.
Seketika itu juga kedamaian
angkasa dipecahkan oleh teriakan membahana, disusul berlompatannya orang-orang
yang mengepung Pendekar Rajawali Sakti. Berbagai bentuk senjata berkelebatan
cepat mengarah ke tubuh pemuda berbaju rompi putih itu. Namun yang dihadapi
kali ini adalah seorang pendekar digdaya yang kepandaiannya sukar diukur.
Rangga berkelebatan cepat
mempergunakan jurus dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'. Hanya dengan
lima jurus yang dikombinasikan itu, Pendekar Rajawali Sakti bagai seekor singa
lapar mendapat santapan domba-domba gemuk. Terlebih lagi dengan Pedang Rajawali
Sakti terhunus di tangan. Rangga bagai sosok malaikat maut yang tengah mencabut
nyawa manusia-manusia yang lupa akan kodrat dan kewajibannya di bumi ini.
Sebentar saja sudah tidak
terhitung tubuh-tubuh bergelimpangan berlumuran darah. Udara malam yang semula
segar, kini berubah tidak sedap, Angin yang berhembus kencang menyebarkan bau
anyir darah yang menggenang dari tubuh-tubuh bergelimpangan tak bernyawa lagi.
"Phuih! Benar-benar tidak
punya otak!" Dengus Rangga menggeram.
Orang-orang itu memang seperti
tidak mengenal rasa takut, meskipun kematian membayangi. Mereka tidak peduli
walau sudah tidak terhitung lagi yang bergelimpangan tak bernyawa. Bahkan terus
merangsek ganas, mencoba melumpuhkan Pendekar Rajawali Sakti yang sudah jelas
memiliki kemampuan jauh di atas rata-rata para pengeroyoknya.
"Gusti Ayu.... Kalau
didiamkan terus, bisa habis orang-orang kita," kata orang berjubah yang
mengenakan topeng kera keperakan.
"Hmmm...," wanita
berbaju merah muda dengan wajah tertutup topeng kera hitam itu hanya bergumam
saja.
Sementara Rangga terus bertarung
menghadapi keroyokan orang-orang nekad tanpa kenal takut. Sedangkan di tempat
lain, ada sekitar tiga puluh orang yang berdiri memperhatikan jalannya
pertarungan itu dengan berbagai macam perasaan.
***
DELAPAN
Orang-orang yang mengeroyok
Rangga jadi semakin berantakan ketika tiba-tiba saja muncul dua orang yang
langsung terjun dalam kancah pertempuran. Mereka tidak lain adalah Nila Komala
dan Ki Garatala. Kemunculan dua orang itu membuat mereka yang sejak tadi
memperhatikan di lain tempat menjadi geram. Terlebih lagi wanita berbaju merah
muda yang mengenakan topeng kera berwarna hitam. Gerahamnya bergemeletuk
menahan marah menyaksikan anak buahnya bertumbangan tak mampu menghadapi
gempuran tiga orang berkepandaian tinggi.
"Kalian semua, maju!"
Perintah wanita itu sengit.
"Gusti Ayu...,"
laki-laki berjubah merah mengenakan topeng kera perak tersentak kaget menerima
perintah itu. Sedangkan yang lainnya langsung menatap padanya.
"Tunggu apa lagi?! Bunuh
monyet-monyet keparat itu!" geram wanita bertopeng kera itu semakin sengit
Tanpa menunggu perintah untuk
ketiga kalinya, mereka segera berlompatan membantu yang lain. Tinggal orang
berjubah merah yang masih menemani wanita itu. Tapi rupanya mereka juga tidak
dapat berbuat banyak. Terlebih lagi menghadapi Pendekar Rajawali Sakti dan Ki
Garatala yang bertarung menggunakan potongan seruling perak.
Pertarungan terus berlangsung
semakin sengit. Jerit dan pekik kematian terdengar membahana di antara
teriakan-teriakan pertempuran dan denting senjata beradu. Suasana malam yang
dingin ini berubah menjadi hangat oleh kobaran pertempuran di halaman depan
Istana Kadipaten Panjawi. Dan suasana pertempuran semakin meningkat hangat
ketika tiba-tiba saja dari pintu gerbang bermunculan orang berseragam prajurit
kadipaten ditambah beberapa orang berpakaian biasa. Mereka langsung meluruk
masuk dalam kancah pertarungan.
Hal ini membuat Rangga sedikit
longgar, karena lawan-lawannya jadi terpecah. Pertempuran massal pun tak dapat
dihindari lagi. Jerit melengking ditingkahi teriakan pertempuran dan denting
senjata beradu semakin gencar terdengar memecah udara malam. Pada saat itu, Rangga
melihat dua orang yang sejak tadi tidak ikut bertempur mencoba melarikan diri.
up! Hiyaaa...!"
Hanya sekali lesatan saja,
Pendekar Rajawali Sakti sudah menghadang dua orang bertopeng kera itu. Dan
mereka terkejut ketika tiba-tiba di depannya berdiri Pendekar Rajawali Sakti
bersikap menghadang angker. Pemuda berbaju rompi putih itu menyilangkan pedangnya
di depan dada.
"Kalian tidak bisa pergi
begitu saja!" dingin nada suara Rangga.
"Phuih!" Wanita
bertopeng kera hitam menyemburkan ludahnya.
"Biar aku yang
menghadapinya. Sebaiknya, Gusti Ayu segera pergi. Selamatkan potongan seruling
perak itu," kata orang berjubah merah sambil membuka topeng kera yang
menutupi wajahnya.
Tampak seraut wajah tua
terpampang di balik topeng kera keperakan itu. Dengan mengerahkan tenaga dalam
yang sangat tinggi, orang tua berjubah merah itu melemparkan topeng perak ke arah
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi hanya sedikit mengibaskan pedangnya, Rangga
berhasil menghalau topeng perak itu hingga terbelah menjadi dua bagian.
Pada saat yang bersamaan, orang
tua berjubah merah itu melompat menerjang sambil mengayunkan tongkat putih yang
bagian atasnya berbentuk kepala tengkorak manusia berwarna merah. Dan pada saat
yang sama, wanita bertopeng kera warna hitam itu melesat kabur, melompat ke
atas atap.
"Rangga, kejar dia..!"
seru Ki Garatala sambil melentingkan tubuhnya menghadang orang tua berjubah
merah.
"Setan keparat..!"
geram orang tua berjubah merah itu mengumpat
Kalau saja tidak cepat-cepat
melompat mundur, dada orang itu pasti terbelah tersambar potongan seruling
perak Ki Garatala. Dan Rangga yang diberi kesempatan, tidak menyia-nyiakannya.
Secepat kilat tubuhnya melesat mengejar orang bertopeng kera hitam. Sedangkan
Ki Garatala sudah menyerang laki-laki berjubah merah itu menggunakan
jurus-jurus dahsyat dan sangat berbahaya. Sementara pertarungan di tempat lain
masih terus berlangsung sengit Korban semakin banyak berjatuhan, namun
pertempuran terus berlangsung bagai tidak akan berhenti.
"Sudah kuduga! Pasti kau
biang keladi semua ini, Tengkorak Merah!" Dengus Ki Garatala tanpa
menghentikan serangan-serangannya.
"Phuih! Aku tidak akan
berhenti sebelum kau dan murid keparatmu musnah dari muka bumi!" Geram
laki-laki tua berjubah merah yang ternyata pemimpin Partai Tengkorak Merah, dan
juga dikenal sebagai si Tengkorak Merah. Entah siapa nama aslinya. Dia sendiri
sudah tidak ingat lagi nama sebenarnya.
"Sudah waktunya kau kukirim
ke neraka, Tengkorak Merah!"
"Kita buktikan, siapa yang
lebih dulu terbang ke neraka malam ini! Hiyaaat..!"
Tengkorak Merah memperhebat
serangan-serangannya. Segera dikerahkan jurus-jurus andalannya yang dahsyat
mematikan. Sedangkan Ki Garatala melayaninya dengan mengerahkan jurus-jurus
yang tidak kalah dahsyatnya. Pertarungan dua orang yang selalu bermusuhan itu
berlangsung sengit Jurus-jurus yang digunakan pun sudah mencapai tingkat yang
tinggi, sehingga gerakan-gerakannya sukar diikuti pandangan mata biasa. Hanya
dua bayangan berkelebatan sating sambar demikian cepatnya.
"Pecah kepalamu,
hiyaaat..!" Tiba-tiba Ki Garatala berseru keras.
Bagai kilat, tangan kiri Ki
Garatala melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke kepala
Tengkorak Merah.
"Uts!" Buru-buru
Tengkorak Merah merundukkan kepalanya, menghindari pukulan itu. Tapi tanpa
diduga sama sekali, Ki Garatala menarik cepat tangan kirinya. Dan dengan tubuh
memutar, dilayangkan satu tendangan keras menggeledek. Si Tengkorak Merah
terperanjat bergegas ditarik tubuhnya ke belakang, namun terlambat. Akibatnya,
tendangan keras bertenaga dalam tinggi itu berhasil mendarat di perutnya.
"Heghk...!" Tengkorak
Merah melenguh panjang.
Pada saat tubuh si Tengkorak
Merah terhuyung ke belakang, secepat kilat Ki Garatala melemparkan seruling
perak yang hanya sepotong itu. Tak dapat dihindari lagi. Seruling perak itu
menghunjam dalam di dada si Tengkorak Merah.
"Aaa...!" Tengkorak
Merah menjerit melengking tinggi.
"Hiyaaat..!" Ki
Garatala melompat deras sambil melontarkan dua pukulan beruntun. Kembali
Tengkorak Merah menjerit keras, dan tubuhnya langsung terbanting keras ke
tanah. Ki Garatala memburu. Segera ditekannya dada Tengkorak Merah dengan
lututnya. Beberapa kali dihunjamkan pukulan bertenaga dalam tinggi ke wajah dan
dada laki-laki berjubah merah itu, hingga Tengkorak Merah terkulai tak bergerak
lagi.
"Hih!" Ki Garatala
mencabut seruling perak yang tertanam di dada Tengkorak Merah, kemudian
melompat berdiri. Dipandanginya tubuh Tengkorak Merah yang tergeletak tak
bernyawa lagi. Darah bersimbah dari kepala, dada, dan bagian tubuh lainnya. Ki
Garatala memutar tubuhnya memandangi pertempuran yang masih berlangsung. Tampak
jelas kalau orang-orang dari Partai Tengkorak dan tokoh-tokoh rimba persilatan
yang bergabung, semakin terdesak kewalahan. Bahkan tidak sedikit yang melarikan
diri.
"Nila...! Ikut aku!"
Seru Ki Garatala.
Bersamaan dengan melesatnya Nila
Komala keluar dari arena pertarungan, Ki Garatala melompat ke atas atap.
Seketika tubuhnya melenting lenyap ditelan kegelapan malam. Nila Komala
mengikuti kepergian laki-laki tua bertubuh kecil itu. Sejenak gadis itu sempat
melirik ke arah pertarungan. Dan tampaknya para prajurit kadipaten dan rakyat
sudah bisa menguasai keadaan. Nila Komala terus berlompatan mempergunakan ilmu
meringankan tubuhnya mengikuti Ki Garatala.
***
Sementara itu di daerah Timur
Kadipaten Panjawi, tepatnya di Kaki Lereng Bukit Paderesan, dua bayangan
berkelebat cepat berkejaran. Mereka adalah wanita bertopeng kera berwarna hitam
dan Pendekar Rajawali Sakti. Jelas terlihat kalau jarak mereka semakin dekat
saja. Dan pada saat yang tepat, Pendekar Rajawali Sakti kan tubuhnya,
berputaran di udara beberapa kali melewati kepala wanita berbaju merah muda
mengenakan topeng kera hitam.
"Eh!" wanita bertopeng
kera hitam ini terperangah begitu tiba-tiba di depannya sudah menghadang
Pendekar Rajawali Sakti.
"Mau lari ke mana kau,
perempuan iblis!" Dengus Rangga ketus.
"Phuih!" wanita
bertopeng kera hitam itu menyemburkan ludahnya.
"Tidak ada gunanya
menyembunyikan wajah di balik topeng jelek, Mayang," ujar Rangga tetap
ketus bernada dingin.
Wanita bertopeng itu terhenyak,
melompat mundur dua tindak. Kemudian, dibuka topengnya yang melindungi wajah.
Tampak seraut wajah cantik terpampang di balik topeng kera berwarna hitam pekat
itu. Wajah yang amat dikenal Rangga. Wajah yang dulu sempat dikagumi, tapi kini
sangat dibencinya. (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Bangkitnya
Pandan Wangi)
"Sayang sekali, kau tidak
pernah sadar. Bahkan semakin mengotori tangan dan hatimu!" kata Rangga
dingin.
"Apa pedulimu? Aku bebas
melakukan apa saja. Kau bukan apa-apaku lagi!" Balas Mayang ketus.
"Itu berarti kau akan selalu
berhadapan denganku, Mayang."
"Kau pikir aku takut..?! Kau
salah kalau berpikir seperti itu, Kakang. Aku akan melakukan apa saja agar bisa
berhadapan denganmu. Aku ingin mati di tanganmu!" mantap nada suara
Mayang.
"Gila...!" desis
Rangga. Rangga memang membenci gadis ini. Tapi bukan membenci orangnya,
melainkan tingkah dan hatinya yang selalu diliputi perasaan dengki. Rangga
sengaja mengusir Mayang dari Karang Setra dengan harapan gadis ini mau
menyadari kekeliruannya. Bagaimanapun juga, Mayang pernah bertunangan
dengannya. Apalagi gadis itu juga murid tunggal bibinya. Mereka pun sudah kenal
sejak masih kecil, tapi suatu malapetaka besar telah memisahkan mereka. Dan
Rangga tahu betul seluk beluk keluarga Mayang, yang sebenarnya bukan orang
asing lagi. Apalagi juga dari keluarga yang cukup terpandang.
"Mayang, serahkan potongan
seruling perak itu padaku. Kau tidak berhak memilikinya. Lagi pula, itu bukan
barang milikmu," kata Rangga mencoba lembut membujuk.
"Kau boleh merebutnya dari
tanganku, Kakang!" Tantang Mayang.
"Tidak, Mayang. Aku tidak
mungkin melakukan kekerasan padamu," kata Rangga lembut.
"Kenapa? Takut..? Atau
Pandan Wangi melarangmu?" Mayang tersenyum sinis.
"Kau adikku, Mayang.
Serahkan saja potongan seruling perak itu. Tidak ada gunanya benda itu
bagimu," bujuk Rangga.
"Tidak ada gunanya
katamu...? Heh? Dunia persilatan akan tunduk padaku dengan seruling perak di
tanganku. Kau sendiri tidak akan mampu menghadapiku, Kakang."
"Percuma, Mayang. Kau tetap
tidak akan bisa menggunakan seruling yang hanya sepotong itu."
"Kenapa tidak? Aku bisa
memperoleh yang sepotong lagi. Dan aku pasti tahu di mana potongan seruling itu
berada!"
Rangga menggeleng-gelengkan
kepalanya. Mayang memang sangat keras kepala. Pendekar Rajawali Sakti itu tahu
kalau Mayang bertindak demikian hanya karena pelampiasan kekecewaan dan
kekesalan hatinya saja, karena gagal memperoleh cinta pemuda di depannya itu.
Dan hati Rangga sendiri sudah tertutup bagi seorang gadis bernama Mayang. Namun
demikian, Rangga tidak akan mengambil tindakan keras pada gadis ini.
"Dengar, Mayang...."
Belum lagi selesai ucapan Rangga,
tiba-tiba muncul Ki Garatala diikuti Nila Komala. Mereka langsung menghampiri
Rangga, dan berdiri mengapit Pendekar Rajawali Sakti itu. Tatapan Ki Garatala
langsung tertumbuk pada potongan seruling perak yang terselip di sabuk Mayang.
"Bagus, kalian datang! Ayo
keroyok aku! Rebutlah barang rongsokan ini!" Tantang Mayang sambil
mengambil seruling perak dari sabuk yang membelit pinggangnya.
"Rupanya kaulah pencuri
cilik itu!" dengus Ki Garatala.
"Memfitnah ayahku!"
geram Nila Komala.
"Ha ha ha...! Siapa bilang
memfitnah ayahmu? Aku mendapatkan barang rongsokan ini karena kebodohan ayahmu,
gadis manja!"
"Keparat..!" geram Nila
Komala.
"Benda ini kudapatkan di
tempat penyimpanan senjata, di istana kadipaten yang telah runtuh itu. Karena
benda itu sudah tak bertuan lagi, maka aku berhak memilikinya," sambung
Mayang seenaknya.
Gadis itu tidak bisa menahan
kemarahannya, mendengar ayahnya dihina dan direndahkan sedemikian rupa. Bagai
seekor burung elang, Nila Komala melompat sambil mencabut pedangnya.
"Mampus kau, keparat!
Hiyaaat..!"
"Nila...!" seru Rangga
hendak mencegah.
Tapi Nila Komala sudah tidak bisa
lagi dicegah. Lompatnya bagai kijang, menyerang Mayang. Dan pertarungan dua
gadis itu tidak bisa dielakkan lagi. Ki Garatala yang ingin membantu Nila
Komala, menjadi urung, karena Rangga sudah keburu mencekal tangan laki-laki tua
bertubuh kecil itu.
"Kenapa tidak kau hajar saja
pencuri cilik edan itu, Rangga?" Dengus Ki Garatala.
Rangga tidak menjawab, pura-pura
tidak mendengar pertanyaan itu. Memang sulit untuk menjelaskannya. Perhatiannya
kini tertumpah pada pertarungan antara Mayang melawan Nila Komala.
"Aku harus merebut potongan
seruling perak itu!" Dengus Ki Garatala.
"Ki...!" Rangga
terkejut ketika tiba-tiba Ki Garatala menghentakkan tangannya yang dicekal
Pendekar Rajawali Sakti. Dan secepat itu pula tubuhnya melompat membantu Nila
Komala, mengeroyok Mayang.
Sementara Rangga tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Sepasang bola matanya berputar mengamati pertarungan
tidak seimbang itu. Jelas, kepandaian Mayang berada di bawah Ki Garatala. Kalau
kepandaian Nila Komala, Rangga sudah bisa mengukur. Walaupun kepandaian Mayang
berada di atas putri Adipati Panjawi itu, tapi untuk menghadapi dua orang
berkepandaian cukup tinggi, Mayang tidak akan mampu menghadapinya. Kekhawatiran
Rangga terbukti. Dalam beberapa jurus saja, Mayang sudah kelihatan terdesak.
"Apa yang harus
kulakukan...?" Rangga jadi kebingungan sendiri. Perang batin terjadi dalam
hatinya.
Bagi seorang pendekar, lebih baik
bertarung mempergunakan ilmu olah kanuragan dan kesaktian dari pada bertarung
melawan batinnya sendiri. Dan itu yang kini dialami Rangga. Sukar baginya
memenangkan pertarungan batin. Terlebih lagi saat dihadapkan pada dua pilihan
yang sangat sulit. Sementara itu Mayang semakin terdesak, dan tidak mampu lagi
membendung serangan-serangan Ki Garatala. Belum lagi dia juga harus waspada
pada Nila Komala yang selalu menyerangnya dari arah yang sulit.
"Uh! Aku akan berdosa seumur
hidup kalau Mayang sampai tewas di depan mataku!" Dengus Rangga.
"Tapi..., aku tidak boleh
kelihatan memihak padanya di depan Ki Garatala dan Nila Komala. Huuuh...!"
Rangga mencari jalan agar bisa
menyelamatkan Mayang, tapi juga tidak menyolok kalau tengah membela gadis itu
di depan Ki Garatala dan Nila Komala. Dia tidak ingin dikatakan sebagai
pendekar plin-plan yang membiarkan seorang pencuri meloloskan diri. Rangga
benar-benar kebingungan. Otaknya terus berputar mencari jalan keluar yang
terbaik.
***
Tidak ada jalan lain. Aku harus
meminta bantuan Rajawali Putih! gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu
kemudian bersiulan nyaring bernada sangat aneh terdengar di telinga. Tiga kali
mulutnya bersiul panjang melengking tinggi, sambil tidak lepas memperhatikan
pertarungan itu. Rangga semakin cemas, karena Mayang sudah demikian terdesak.
Entah sudah berapa kali pukulan bersarang di tubuhnya. Tapi gadis itu masih
tetap belum mengalah, bahkan tidak peduli seandainya mati sekalipun. Dan ini
memang diketahui Rangga. Mayang memang mengharapkan mati di depan matanya.
Sebab, Rangga memang tidak pernah mau menjatuhkan tangan pada gadis itu. Maka
dengan sengaja Mayang selalu mencari ulah agar bisa mati di depan Pendekar
Rajawali Sakti. Laki-laki yang dicintai, sekaligus dibencinya.
"Ayo..., Cepatlah, Rajawali
Putih," desis Rangga tidak sabar.
Sementara itu Mayang semakin
kewalahan saja. Bahkan sepertinya tidak mampu lagi balas menyerang. Gadis itu
hanya bisa berkelit dan menghindar sebisanya. Sedangkan Rangga beberapa kali
mendongak ke atas, menunggu kedatangan Rajawali Putih tunggangannya. Pendekar
Rajawali Sakti itu tersenyum melihat titik kehitaman mengambang di angkasa.
Semakin lama, titik itu semakin jelas terlihat
"Khraghk...!"
"Rajawali Putih! Bawa Mayang
ke tempat yang aman. Cepat..!" Rangga mempergunakan ilmu pemindah suara.
"Khraghk..!"
"Bagus, ternyata kau bisa
mengenalinya.
Hup! Hiyaaa...!"
Secepat Rajawali Putih menukik,
secepat kilat pula Rangga melompat. Pada saat itu Mayang terpekik, terkena
pukulan keras di bahu kanannya. Akibatnya, tangan kanan yang memegang potongan
seruling perak terangkat ke atas. Maka kesempatan ini tidak disia-siakan
Rangga. Cepat sekali ditepak pergelangan tangan kanan gadis itu.
"Akh!" Mayang terpekik
keras.
Seruling perak terlontar jauh ke
udara. Tepat pada saat Rangga berhasil menangkap seruling perak itu, Rajawali
Putih menukik Langsung disambarnya tubuh Mayang dengan cakarnya. Bagai kilat
rajawali raksasa itu membumbung tinggi ke angkasa membawa Mayang pada
cengkeraman cakarnya. Sementara Rangga sudah mendarat manis di tanah.
"Sial, dia lolos...!"
rutuk Ki Garatala seraya memandang ke angkasa.
"Apa, Ki?" Rangga
pura-pura terkejut.
"Kau lihat itu,
Rangga!" Ki Garatala menunjuk Rajawali Putih yang sudah membumbung tinggi
di angkasa.
"Apa itu?" Tanya Rangga
pura-pura.
"Aku tidak tahu Kelihatannya
seperti seekor burung raksasa," sahut Ki Garatala.
Rangga tersenyum, tapi buru-buru
menarik kembali senyumnya. Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri Ki Garatala
dan menyerahkan potongan seruling perak di tangannya. Laki-laki kecil tua itu
menerima seruling perak. Langsung diselipkan benda itu di pinggang,
bersebelahan dengan potongan satunya lagi. Sementara Nila Komala menghampiri
dengan napas masih tersengal.
"Apa yang akan kau lakukan
dengan seruling perak itu, Ki?" Tanya Nila Komala.
"Mengembalikan pada
pemiliknya," sahut Ki Garatala
"Bukankah kau
pemiliknya?" Sergah Rangga.
"Sekarang sudah jadi milik
muridku."
Ki Garatala menatap Nila Komala
yang berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki tua bertubuh kecil
itu menggamit tangan Nila. Pandangannya lurus, penuh arti. Sedangkan Nila
Komala menatap Rangga.
"Kau ikut bersamaku, Cah
Ayu," pinta Ki Garatala.
"Apa...?!" Nila Komala
terkejut.
"Kau akan menjadi muridku
yang kedua. Itu kalau kau bersedia," kata Ki Garatala lagi.
Nila Komala menatap Pendekar
Rajawali Sakti. Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum dan menganggukkan
kepalanya. Kemudian gadis itu menoleh pada Ki Garatala, lalu mengangguk
diiringi senyuman manis.
"Ayo, kita berangkat
sekarang," ajak Ki Garatala gembira menerima kesediaan Nila Komala menjadi
muridnya.
Setelah menjabat tangan Rangga,
Ki Garatala bergegas melangkah pergi sambil menarik tangan Nila Komala. Gadis
itu tidak sempat lagi mengucapkan sesuatu pada pemuda berbaju rompi putih itu.
Langkahnya setengah terseret, karena tangannya dicekal laki-laki tua bertubuh
kecil yang aneh itu. Sedangkan Rangga memandanginya dengan bibir mengulas
senyum.
"Hmmm..., aku harus
secepatnya menemui Mayang. Mudah-mudahan tidak terluka parah," gumam
Rangga. Yakin pada kemampuan Rajawali Putihnya. Semoga saja Mayang sadar akan
kesalahan yang telah berulang kali dilakukannya itu," desah Rangga lagi.
Kemudian bagai seekor burung
rajawali, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat cepat bagai terbang. Dalam
sekejap mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kelebatan hutan.
Sementara fajar sudah menyingsing. Matahari muncul dari balik bukit, memancarkan
sinarnya yang hangat.
Tak lama kemudian, terdengar
alunan seruling terbawa angin pagi yang berhembus lembut menyapu embun. Alunan
merdu yang menghilang dari udara dalam beberapa hari ini, kini muncul kembali.
Alunan seruling itu, sekarang terdengar lembut dan merdu. Tidak ada lagi nada
sumbang pada alunan suaranya.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
PENARI BERDARAH DINGIN
Emoticon