PEDANG SAKTI KERIS ULAR EMAS
Karya: Bastian Tito
Episode 07
MENGGEBRAK KOTARAJA
SATU
Matahari baru saja muncul di ufuk
timur. Sinarnya masih merah kekuningan. Dia sampai ke sebuah sungai kecil dan
berhenti di sana. Alangkah menyegarkan udara pagi di tepi sungai tersebut.
Sungai berair jernih serta dangkal. Timbullah niat di hati gadis ini untuk
turun mandi membersihkan diri.
Dia memandang berkeliling. Memang tak
adadilihatnya seorangpun di sekitar sana. Tapi bagian tepi sungai itu kelewat
terbuka. Dia melangkah menyusuri tepi sungai itu menuju ke hilir. Di satu
bagian sungai yang banyak ditumbuhi pohon-pohon serta semak belukar lebat dia
menghentikan langkah. Di sini adalah tempat yang baik untuk mandi karena sepi
serta kelindungan.
Ditinggikannya ikatan rambutnya
yang hitam lebih ke atas kepala. Kemudian dia melangkah ke balik semak belukar
dekat pohon keladi besar. Di sini gadis tersebut membuka pakaian luarnya yang
berwarna kuning. Pakaian ini dibuat seperti pakaian laki-laki yaitu celana
panjang serta baju lengan panjang yang diikat dengan sehelai selendang warna
kuning pula pada pinggangnya.
Pakaian kuning itu dihamparkannya
diatas semak-semak kemudian dia mulai memasukkan kakinya satu demi satu ke
dalam air sungai. Dingin. Dia agak menggigil. Tapi diteruskannya juga membuka
pakaian dalamnya. Kini gadis itu berada dalam keadaan sebagaimana dia dahulu
dilahirkan oleh ibunya ke dunia yakni tanpa pakaian. Dipandanginya tubuhnya
itu. Sinar matahari yang jatuh dibadannya seakan-akan membuat kulit badannya
yang kuning mulus itu seperti bercahaya. Dia bangga memiliki tubuh begitu
indah, yang masih suci dan belum pernah disentuh atau dijamah satu tangan
laki-laki pun, juga belum oleh kekasihnya yang tercinta!
Gadis ini melemparkan pakaian
dalamnya ke bawah semak-semak di mana baju dan celana kuningnya tadi
dihamparkannya. Kemudian dia melangkah ke tengah air naik sebatas lutut, terus
kepaha dan sampai di pinggang. Di atas permukaan air hanya tubuh sebatas
pinggang ke ataslah kini yang terlihat. Gadis ini menyeka dadanya, mulai mandi
membersihkan diri. Sambil mandi dia bernyanyi-nyanyi kecil. Suara nyanyiannya
ditingkahi oleh kicauan burung-burung yang baru keluar dari sarang
masing-masing. Binatang-binatang itu seakan-akan gembira menyambut datangnya
pagi dengan menyaksikan seorang gadis berparas cantik, tanpa pakaian, tengah
mandi disungai jernih. Kalau saja burung-burung ini mempunyai akal seperti
manusia dan melihat seorang gadis dalam keadaan seperti itu mungkin mereka akan
menyesali diri, mengapa mereka diciptakan Tuhan menjadi burung, bukan seorang
pemuda, bukan seorang laki-laki, bukan seorang manusia, sehingga mereka bisa menikmati pemandangan luar biasa
di tengah sungai sepagi itu! Tapi mereka tetap binatang, tetap burung kecil
yang tak tahu apa-apa, yang tak akan perduli apa-apa meski dihadapan mata mereka
ada seorang gadis berparas cantik jelita, berkulit halus mulus, mandi telanjang
di dalam sungai!
Gadis itu menyelamkan tubuhnya
sampai ke kening untuk terakhir kali lalu menuju ke tepian kembali. Naik ke
daratan tubuhnya terasa segar. Diambilnya pakaian dalam yang baru dari buntalan
kecil yang dibawanya lalu cepat-cepat mengenakannya. Kemudian di lekatkannya
pula baju serta celana kuningnya. Terakhir sekali dibereskannya letak rambutnya
dan sesudah itu cepat-cepat ia meninggalkan sungai tersebut Ketika dia berada
di puncak bukit kecil itu, dibawahnya kelihatan sesosok tubuh berpakaian kuning
lari dengan sangat cepat. Saat itu jaraknya dengan manusia baju kuning tersebut
terlalu jauh sehingga dia tak dapat memastikan apakah orang yang lari itu
seorang laki-laki atau perempuan, apakah orang tersebut adalah orang yang
tengah dicari-carinya sejak hampir satu tahun yang lewat. Hati Jaliteng
berdebar keras, jantungnya mendegup kencang. Kedua kakinya bergerak, sesaat
kemudian diapun lari menuruni bukit tersebut mengejar si baju kuning di bawah
sana. Ilmu lari yang diajarkan gurunya yang kedua yaitu Si Harimau Betina
ternyata tidak mengecewakan,apalagi memang dari gurunya yang pertama yakni Si
Cakar Setan pemuda ini sudah mendapat pelajaran ilmu lari pula. Ilmu lari
ajaran kedua guru tersebut "digabungkannya" sehingga jadilah satu
ilmu lari yang hebat dan mengagumkan!
Meski demikian, untuk dapat
mengejar orang berbaju kuning di muka sana, Jaliteng terpaksa
mengeluarkan banyak tenaga dan keringat serta membutuhkan waktu agak
lama juga karena rupanya orang yang dikejarnya itu memiliki pula ilmu lari yang
lihay! Pada jarak lima puluh tombak
lebih baru dia dapat mengenali orang yang dikejarnya itu. Tak sabaran
lagi dia berteriak keras penuh gembira :
"Wulan! Wulansari!"
Orang berbaju kuning di muka sana
memutar kepala dengan terkejut lalu menghentikan langkah. Sesaat kemudian
Jaliteng sampai di hadapannya. Dan masing-masing mereka sama berseru gembira.
"Wulan!".
"Kakak!"
Kedua orang itu sama mengulurkan
tangan dan saling berangkulan. Sesaat kemudian dengan kemalu-maluan serta paras
yang kemerahan Wulansari melepaskan dirinya dari pelukan kakak seperguruannya.
"Aduh Wulan, aku sudah
sangat rindu padamu.
Kemana saja kau selama hampir
satu tahun belakangan ini?" tanya Jaliteng.
"Mengembara" jawab
Wulansari. "Dan kau sendiri?"
Pemuda itu menuturkan riwayatnya.
Lalu: "Kau tambah cantik
saja, Wulan."
"Ah, kakak bisa saja. Kau
sendiri tambah tampan dan gemukan..." balas memuji Wulansari. Jaliteng
tertawa. Kedua matanya senantiasa memandang tepat-tepat Pada gadis di
hadapannya itu. Sesungguhnya sudah sejak lama, sejak tahunan, sejak mereka
sama-sama diambil murid oleh Si Cakar Setan, bahwasanya Jaliteng secara
diam-diam mencintai Wulansari.
Karena mereka masih berada
dipertapaan saat itu maka Jaliteng tak pernah menerangkan secara terus terang
perasaan hatinya. Lagipula pikirannya dipusatkan pada setiap ilmu pelajaran
yang diberikan gurunya kepadanya. Kini bertemu muka berhadap-hadapan dan
melihat bagaimana Wulansari sudah jauh berbeda dari dahulu, tambah cantik dan tambah
mekar dewasa tubuhnya maka dengan sendirinya kerinduan selama ini kembaii
bergejolak menggelombang menimbulkan hawa asmara yang berkobar!
"Adikku Wulan, kemanakah
tujuanmu saat ini?" tanya Jaliteng. Gadis itu hendak menjawab bahwa dia
tengah dalam perjalanan kembali menuju ke goa gurunya Si Suara Tanpa Rupa
karena satu tahun sudah lewat dan waktu untuk kembali sudah datang. Namun
Wulansari memutuskan untuk merahasiakan hal tersebut. Bukan dia tidak mau
bicara jujur pada kakak seperguruannya itu, tapi karena ia kawatir apakah sang
guru Suara Tanpa Rupa, tidak akan marah bila mengenai dirinya dikatakan pada
orang lain.
"Aku tengah mengembara"
jawab Wulansari pada akhirnya berdusta.
"Mengembara! Gadis
secantikmu ini mengembara dan sendirian pula!" Jaliteng bertolak pinggang
dan menggelengkan kepalanya.
"Apa kau tidak takut akan
bahaya, Wulan?"
"Mengapa aku takut kakak.
Percuma saja kalau begitu kita memiliki ilmu kepandaian tinggi."
"Betul... betul. Tapi Wulan,
jika kau tak keberatan ikutlah bersamaku. Kita...kita bisa membangun...."
Pemuda itu tak dapat meneruskan kalimatnya. Dia memandang ke tanah.
"Membangun apa, kakak?"
tanya Wulansari.
"Maksudku...membangun...
membangun sebuah rumah...rumahmu dan rumahku...sebuah rumah tangga
Wulan...."
"Oh" Betapa terkejutnya
gadis itu. Parasnya merah sekali. Dia coba tersenyum dan berkata: "Kau ini
ada ada saja, kakak. Masakan kau suka pada gadis seburukku ini. Kan banyak yang
jauh lebih cantik...."
"Siapa bilang kau buruk
Wulan? Kau cantik, cantik sekali...."
"Ah, kau main-main
kakak....""Tidak Wulan, tidak adikku. Aku sungguhan. Aku sudah
mengasihimu sejak kita sama-sama menuntut pelajaran pada guru dahulu...."
Wulansari menjadi gelisah. Sekujur
tubuhnya gemetar. Dia tahu Jaliteng seorang pemuda berhati baik serta
parasnyapun gagah. Dia suka kepada pemuda ini, suka sebagai seorang adik pada
kakaknya. Tapi untuk mencintai pemuda ini, apalagi kawin dengan dia... itu
adalah satu hal yang jauh diluar perkiraannya. Dia hanya punya satu hati dan
hatinya itu sudah diberikannya untuk satu orang. Dia hanya punya satu rasa
kasih sayang yang jujur murni dan rasa kasih sayang itu juga hanya untuk satu
orang yakni Mahesa Kelud! Dan kini dihadapannya berdiri Jaliteng. Apakah akan
jawabnya?. Bagaimana dia harus menolak dengan tidak mengecewakan serta
menyakiti hati pemuda ini?
"Kakak," kata Wulansari
pada akhirnya. "Kau ini seperti yang tidak tahu saja siapa kita adanya.
Bukankah kita saudara seperguruan?"
"Lantas kalau saudara
seperguruan memangnya kenapa...?" tanya Jaliteng.
"Mana boleh kita berumah
tangga" jawab gadis itu.
"Siapa kata tidak boleh,
Wulan? Tak ada larangan. Baik larangan adat ataupun agama."
Wulansari tahu bahwa apa yang
dikatakan Jaliteng tersebut adalah benar. Kembali gadis ini menjadi gelisah dan
terdesak. Otaknya berputar mencari akal. Kemudian dia membuka mulutnya yang
mungil, berkata memutar pembicaraan.
"Kakak, apa kau tak tahu
bahwa guru sudah meninggal?"
"Aku tahu Wulan, justru
pengembaraanku adalah untuk mencari si pembunuh di samping juga
mencarimu."
"Dan kau sudah tahu siapa
yang membunuh beliau?" tanya Wulansari pula.
"Yang, seorang yang bernama
Ma...."
Jaliteng tak bisa meneruskan
ucapannya karena pada saat itu dari samping kiri terdengar langkah orang
berlari dan seruan keras.
"Wulan, adikku!"
Kedua orang itu terkejut. Mereka
sama berpaling.
"Mahesa!" pekik
Wulansari penuh gembira ketika melihat dan mengenali siapa adanya orang yang
datang itu. Dia berlari menyongsong dan memeluk kekasihnya yang sudah sangat
dirindui itu, yang sudah satu tahun lamanya tak pernah jumpa!
Bergetar sekujur tubuh Jaliteng,
mendidih darahnya dan meluap amarahnya sampai ke kepala ketika melihat
bagaimana kedua orang itu berpelukan mesra, bagaimana si pemuda mencium
Wulansari gadis yang dicintainya pada keningnya! Ditambah pula Jaliteng segera
mengenali bahwa manusia itulah yang tengah dicari-carinya.
Mahesa Kelud! Orang yang
diketahuinya sebagai pembunuh gurunya!
"Wulansari! Menjauh dari
manusia itu!" kata Jaliteng dengan suara menggeledek!
Mereka yang tengah berangkulan
terkejut dan memutar kepala masing-masing memandang kepada Jaliteng. Wulansari
melihat bagaimana kakak seperguruannya berdiri dengan sebatang tongkat besi di
tangan. Parasnya buas merah mengelam!
"Wulan! Menjauh
kataku!" perintah Jaliteng sekali lagi. Perlahan-lahan Mahesa melepaskan
pelukannya.
Dia bertanya: "Wulan, siapa
pemuda ini?"
"Dia adalah kakak
seperguruanku, Jaliteng."
Jaliteng maju dua langkah dan
berkata dengan membentak. "Wulan, sungguh menusuk mata sekali apa yang kau
lakukan di hadapanku! Apakah kau tidak punya sopan-santun dan peradaban! Apa
kau sudah gila memeluk manusia itu sedemikian rupa, di hadapanku?! Minggir
Wulan! Kau tidak tahu bangsat inilah yang kucari-cari. Dia yang membunuh guru
kita!"
"Kakak," kata Wulansari
cepat. "Kau jangan salah sangka... Dia adalah Mahesa Kelud...."
"Ya, memang itu namanya.
Mahesa Kelud! Pembunuh!"
"Tidak kakak, bukan dia yang
membunuh guru kita...."
"Bukan dia katamu?!"
tanya Jaliteng dengan mata membeliak.
"Betul bukan dia, tapi Warok
Kate!"
"Ha... ha... pemuda ini
tentu telah menipumu, adikku! Menipu lalu memperrnainkanmu!"
"Kakak, jangan bicara
demikian...."
"Minggir!" bentak
Jaliteng geram.
"Bukan dia yang membunuh
guru kita!Tapi Warok Kate. Percayalah. Aku akan berikan keterangan lebih jelas
jika kau sudi...."
"Tutup mulutmu, Wulan! Kau
berusaha hendak melindungi pembunuh bejat ini? Pembunuh gurumu sendiri?! Cukup
bukti-bukti bagiku bahwa dia memang manusianya bahkan dia melarikan pedang Naga
Kuning milik mendiang guru!"
Sebenarnya dendam Jaliteng
terhadap Mahesa Kelud yang disangkanya sebagai pembunuh gurunya meskipun
demikian besarnya namun masih bisa baginya untuk bicara dengan hati sabar serta
kepala dingin. Tapi apa yang membuat amarahnya itu menggejolak ialah melihat
bagaimana Wulansari, gadis yang dikasihinya selama bertahun-tahun, berpelukan
dengan Pemuda musuh besarnya, di hadapan mata kepalanya sendiri!
Bahkan pemuda itu mencium sigadis
pada keningnya! Sesungguhnya, bilamana dendam kesumat, amarah yang meluap dan
rasa cemburu sakit hati yang amat sangat bercampur aduk menjadi satu, maka
memang sukar bagi seseorang untuk diberi penjelasan, untuk berpikir secara
tenang dan hati sabar. Demikianlah, tubuh Jaliteng menggigil panas dingin. Dia
maju satu langkah lagi dan berdiri beberapa tombak di hadapan Mahesa Kelud.
"Bangsat rendah!"
semprot Jaliteng.
"Dicari-cari tidak bertemu.
Kini datang sendiri mengantar nyawa!"
Mahesa Kelud yang sejak tadi diam
saja memperhatikan gerak-gerik Jaliteng dan membiarkan saja dia dicaci-maki,
kini membuka mulut, bicara dengan tenang. "Saudara, segala sesuatunya yang
dimulai dengan cara tidak baik serta kesusu dan marah tak karuan, pasti akan
tidak baik pula akibatnya. Aku...."
"Keparat! Jangan pidato!
Bersiaplah untuk mampus!" serentak dengan itu Jaliteng menerjang ke muka.
Tongkat besinya membabat ke kepala Mahesa Kelud.
"Kakak!" jerit
Wulansari. "Tahan!
Jangan...!"
Tapi Jaliteng yang sudah tidak
punya hati kemanusiaan lagi dan sudah lenyap pikiran sehatnya tidak mengacuhkan
teriakan adik seperguruannya itu. Malahan teriakan itu membuat dia bertambah
nekat serta mendorongnya untuk
cepat-cepat memecahkan kepala Mahesa Kelud.
***
DUA
Mahesa telah melihat bahwa tongkat
besi di tangan Jaliteng bukan tongkat sembarangan. Menurut taksirannya senjata
ini sekitar sepuluh sampai lima belas kilo beratnya. Tapi Jaliteng memegang
senjata tersebut seperti memegang sebuah tongkat dari kayu halus belaka dan
ringan sekali! Ini satu pertanda bahwa kakak seperguruan kekasihnya itu di
samping dengan Si Cakar Setan tentu telah berguru pula pada seorang sakti
lainnya yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya dari Si Cakar Setan. Karenanya
Mahesa Kelud bertindak hati-hati penuh waspada. Pada saat tongkat besi Jaliteng
menyambar ganas ke kepalanya, Mahesa Kelud dengan cepat melompat ke belakang.
Sementara itu Wulansari tiada hentinya berteriak:
"Kakak Jaliteng, tahan!
Hentikan semua ini! Bukan Mahesa yang membunuh guru, tapi Warok Kate! Dan Warok
Kate aku sendiri yang membunuhnya!"
Ketika suaranya mulai parau dan
Jaliteng sama sekali tidak mengacuhkannya maka gadis ini menangis terisak-isak.
Dari gerakan-gerakan kakak seperguruannya itu dan dari senjata tongkat besi
ditangannya Wulan tahu bahwa kakak seperguruannya itu sudah berguru pula pada
seorang sakti lainnya. Dia khawatir kalau-kalau kekasihnya, Mahesa Kelud, tak
sanggup mempertahankan diri!
Tiga kali sudah serangannya
dielakkan dengan mudah oleh lawan. Ini membuat Jaliteng jadi penasaran dan naik
pitam. Dia mengamuk. Tongkat besinya yang berat bersiur kian kemari mencari
sasaran di tubuh lawan. Untuk mengimbangi kehebatan serangan senjata lawan
Mahesa Kelud harus bergerak cepat, berkelebat kian kemari!
Delapan jurus berlalu sangat
cepat Jaliteng geram sekali karena jangankan berhasil memukul lawan bahkan
mendesakpun dia tidak bisa. Di lain pihak Wulansari merasa lega melihat bahwa
ilmu kepandaian kekasihnya lebih tinggi dari pada Jaliteng. Ini membuat dia tak
perlu kawatir Mahesa Kelud akan roboh atau kena celaka oleh kakak
seperguruannya. Jaliteng merobah cara berkelahinya. Kini tangan kirinya yang
berkuku-kuku panjang serta kedua kakinya kiri kanan turut bekerja. Tapi
meskipun demikian untuk menghadapi Mahesa Kelud yang sudah digembleng oleh
beberapa orang sakti, Jaliteng tetap berada di bawah angin. Saudara seperguruan
Wulansari ini mulai terdesak ketika Mahesa mengeluarkan jurus-jurus pukulan
yang mengandung aji "batu karang" Jaliteng dibuat repot. Beberapa
kali hampir saja dada atau perutnya kena jotosan. Tongkat besinya yang berat
diputar semakin cepat laksana titiran. Tak disangkanya musuh besar yang
dicapnya sebagai pembunuh gurunya berkepandaian tinggi sekali!
Keringat dingin mulai mengucur di
tengkuk dan di kening Jaliteng. Lawannya mendesak terus. Dia kepepet ke dekat
sebatang pohon, lalu dengan cepat melompat ke samping seraya menghantamkan
tongkat besinya ke perut Mahesa Kelud. Yang diserang memiringkan tubuh
kesamping. Begitu tongkat lewat, laksana seekor ular yang tengah mematil Mahesa
melompat ke samping. Dari sini dia melancarkan jotosan "batu karang"
ke arah sambungan siku lawan yang memegang tongkat. Melihat bahaya ini Jaliteng
segera melompat ke udara tapi sayang kurang cepat! Di saat dia melompat keatas
tubuh bagian bawahnya terbuka tiada terlindung lagi. Ini satu peluang yang
bagus serta empuk bagi Mahesa. Tapi mengingat lawannya saat itu adalah masih
saudara seperguruan Wulansari maka Mahesa masih mempunyai hati belas kasihan.
Dengan pukulan tangan kiri yang mengandung aji "batu karang"
sebenarnya dia dapat memukul dan menghancurkan perut Jaliteng. Tapi ini tak
dilakukannya. Sebaliknya Mahesa merunduk cepat. Tangannya yang sebelah kiri
menangkap betis kanan Jaliteng. Terdengar bentakan keras dari mulut Mahesa Kelud.
Jaliteng berseru kaget! Tongkat besinya terlepas dan terlempar jauh. Tubuhnya
sendiri jatuh ke tanah. Sebenarnya dia sanggup untuk jatuh dengan kedua kaki
lebih dahulu karena ilmu mengentengi tubuhnya tidak rendah. Tapi dalam keadaan
gugupJaliteng tak berdaya apa-apa. Dia jatuh ke tanah dengan keras, masih
untung dia bisa menyelamatkan mukanya, kalau tidak pasti muka itu lecet
berkelukuran diparut tanah!
Untuk beberapa lamanya Jaliteng
tergeletak nanar di tanah tanpa bergerak. Tubuhnya sakit dan pemandangannya gelap.
Sesaat kemudian dia berdiri dengan periahan dan huyung. Pemuda ini maklum walau
sampai seribu juruspun dia tak akan bisa mengalahkan Mahesa Kelud, bahkan
sebaliknya dirinyalah yang akan dapat celaka. Jaliteng melangkah mengambil
tongkat besinya.
"Akan diteruskan saudara,
atau cukup sampai di sini saja?" tanya Mahesa.
Panas telinga Jaliteng mendengar
ejekan itu. Mukanya merah gelap. Dia tak menjawab.
"Kakak" seru Wulansari
ketika gadis itu melihat saudara seperguruannya hendak melangkah pergi.
"Tutup mulutmu Wulan!"
bentak Jaliteng. "Mulai hari ini jangan panggil aku kakak lagi! Mulai hari
ini tali persaudaraan kita putus! Kau bersekutu dengan pembunuh gurumu sendiri!
Kau murid murtad, Wulan! Arwah gurumu akan mengutuk kau seumur hidup dari liang
kubur! Ingat baik-baik, satu ketika aku akan kembali untuk membunuh kau dan
bangsat ini!"
"Kakak, dengar dulu..."
kata Wulansari sambil lari memburu. Tapi lengannya dipegang oleh Mahesa Kelud.
"Biarkan saja dia pergi,
Wulan..." kata Mahesa.
Wulansari menangis terisak-isak.
Mahesa menyeka air mata gadis itu lalu memeluknya. Wulan menyandarkan kepalanya
ke dada si pemuda.
"Sudahlah, tak perlu
menangis. Mari kita ke tempat guru. Kurasa sudah waktunya kita kembali ke
sana." Wulansari membetulkan rambutnya,merapikan bajunya lalu menyeka
matanya dengan selendang kuning. Ketika dia menoleh pada Mahesa, dilihatnya
pemuda ini tersenyum. Wulansari tersenyum pula. Mahesa Kelud memegang jari-jari
tangan kiri gadis itu. Dengan berpegangan seperti itu, keduanya kemudian
berlari meneruskan perjalanan menuju ke goa tempat kediaman guru mereka Si
Suara Tanpa Rupa. Ketika malam tiba mereka berhenti di tepi sebuah hutan.
Mahesa Kelud mencari ranting-ranting kering lalu menyalakan api unggun. Di
tengah jalan sebelumnya mereka sudah membeli dua bungkus nasi. Meskipun nasi
itu dingin serta basi tapi karena keduanya sudah sangat lapar maka akhirnya
nasi tersebut licin tandas juga masuk ke dalam perut mereka!
Keduanya duduk di muka api unggun
berhadap-hadapan. Mahesa Kelud menatap paras kekasihnya. Memandang wajah yang
cantik itu hatinya terasa tenang dan bahagia. "Wulan," katanya,
"kau tambah cantik saja, dik."
Gadis itu tersipu malu. Dia ingat
bahwa Jaliteng kakak seperguruannya, waktu bertemu tadi siang juga memujinya
demikian.
"Coba tuturkan riwayat
pengembaraanmu selama satu tahun ini," kata Mahesa.
"Kau lebih dahulu,"
balas Wulansari. Mahesa tersenyum dan menuturkan segala kisah pengalamannya,
terutama waktu dia datang ke Banten. Satu hal yang tidak diterangkan oleh
pemuda ini ialah "peristiwa"nya dengan Kemaladewi. Selesai Mahesa
Kelud menceritakan riwayatnya menceritakan maka kemudian Wulansari pun
pula pengalaman pengembaraannya. Mereka
bicara-bicara sampai jauh malam. Kemudian Mahesa membentangkan alas ketiduran
buat kekasihnya itu. “Tidurlah Wulan. Aku akan menjagamu...." Si gadis
mengangguk lalu mencium jari-jari tangan kanan pemuda itu. Beberapa hari
kemudian sampailah kedua muda-mudi gagah ini ke tempat tujuan. Anehnya, seperti
yang sudah tahu saja bahwa mereka akan datang, maka dimulut gua yang tertutup
dan tersembunyi rapat oleh semak belukar telah menunggu Joko Cilik yaitu anak
rusa sakti peliharaan guru mereka Si Suara Tanpa Rupa. Binatang ini
melompat-lompat kian kemari lalu menyelinap-nyelinapkan badannya ke kaki kedua
orang itu.
"Hai Joko! Kau sudah besar
sekarang ya?" kata Wulansari seraya menangkap binatang itu dan
mendukungnya. Joko Cilik mengedip-ngedipkan kedua matanya yang bening dan
Wulansari mengusap kepala binatang itu. Joko Cilik melepaskan diri dari dukungan
gadis itu, lalu lari menyeruak di balik semak belukar, hilang lenyap masuk ke
dalam goa. Mahesa segera menyibakkan semak belukar rapat, memberi jalan pada
Wulansari lebih dahulu untuk masuk ke dalam goa lalu dia menyusul dari
belakang. Satu tahun lamanya mereka meninggalkan tempat tersebut dan ketika
kembali saat itu tak ada sedikit perbedaanpun yang mereka lihat di dalam goa.
Joko Cilik duduk di atas batu karang putih licin. Mahesa Kelud serta Wulansari
menjura dan berlutut di lantai.
"Guru, kami murid-muridmu,
kembali ke sini..." kata Mahesa Kelud. Sunyi beberapa detik, kemudian baru
terdengar satu suara yang pelahan tapi menggetarkan dinding-dinding karang goa
batu tersebut. Sedang orangnya yang berkata sama sekali tidak kelihatan.
"Bagus Mahesa, kau kembaii
ke sini bersama saudara seperguruanmu tepat pada waktu yang aku sudah janjikan.
Ini berarti bahwa kalian berdua akan mendapat pelajaran lanjutan atau tambahan
dariku selama beberapa bulan, mungkin satu tahun, tergantung pada kemampuan
kalian masing-masing. Tapi sebelum semua itu dimulai, kalian berdua pergilah ke
sebuah sungai terdekat dan bersihkan diri kalian di sana, lalu baru kembali ke
sini Dengar...?"
"Dengar guru" jawab
kedua orang tersebut hampir bersamaan. Mereka menjura lalu meninggalkan goa
tersebut. Tak berapa jauh dari situ mereka menemukan sebuah sungai kecil.
Keduanya berpisah mencari tempat mandi masing-masing yang agak berjauhan.
Selesai membersihkan diri, mereka segera kembali ke goa. Dan mulai hari itulah
Mahesa Kelud serta Wulansari menuntut ilmu kembali pada guru mereka. Dalam
waktu beberapa bulan saja ilmu pedang mereka sudah meningkat jauh menuju
kesempurnaannya. Demikian juga tenaga dalam serta ilmu meringankan tubuh
semakin mencapai tingkat tertinggi. Pelajaran terakhir yang diberikan oleh guru
mereka ialah mempergunakan sejenis pasir berwarna merah panas sebagai senjata.
Pasir merah ini tersimpan di bekas lobang-lobang dalam di mana dulu telah
dikeluarkan sepasang Pedang Dewi Delapan Penjuru Angin. Mempelajari ilmu senjata
rahasia ini tidak mudah. Pasir-pasir halus merah itu panasnya bukan main dalam
satu minggu pertama kulit tangan kedua orang itu merah melepuh. Sebulan
kemudian barulah mereka terbiasa dengan benda tersebut!
Akhirnya sampailah pada suatu
hari."Murid-muridku," kata Suara Tanpa Rupa dari tempatnya yang tiada
terlihat. "Hari ini berakhirlah segala pelajaran yang aku berikan padamu.
Banyak hal yang harus kalian ingat, murid-muridku.Pertama kalian harus sadar
bahwa betapapun tingginya segala ilmu luar dan dalam yang kalian miliki saat
ini, tapi itu semua belum mencapai kesempurnaannya karena memang itulah sifat
segala apa saja yang ada di dunia yaitu tak pernah sempurna! Kedua, juga jangan
kalian menduga bahwa dengan ilmu kepandaian serta pedang-pedang sakti yang kalian
miliki, kalian sudah menjadi manusia-manusia terpandai dan terjago di atas bumi
ini atau kalian menjadi bersifat sombong congkak. Ingatlah selalu bahwa masih
banyak, puluhan bahkan ratusan manusia-manusia yang lebih pandai dari kalian.
Ingatlah pula bahwa di atas langit ada lagi langit! Ketiga, ilmu-ilmu pelajaran
yang kalian miliki itu hanya dan harus dipergunakan untuk maksud-maksud baik
dan lurus serta diridhoi Tuhan. Jika kalian menyimpang, menyeleweng dan
mempergunakan untuk maksud-maksud jahat, maka ilmu-ilmu itusendiri yang akan
berbalik mengutuk kalian sampai kalian akhirnya mendapat celaka sendiri! Nah,
itulah pesan-pesanku yang penting dan kalian harus ingat baik-baik. Sekarang
kalian boleh pergi. Sudah tiba saatnya bagi kalian berdua, terutama kau
Wulansari, untuk mencari musuh besarmu Adipati Madiun Suto Nyamat dan membuat
perhitungan dengan dia serta kaki-kaki tangannya. Sekali lagi ingat, Suto
Nyamat bukan orang sembarangan dan yang lebih berbahaya ialah bahwa dia
mempunyai banyak kaki-kakitangan yang
terdiri dari manusia-manusia sakti berilmu tinggi. Kalian berdua harus
hati-hati!
Nah kalian boleh pergi...."
Mahesa melirik pada gadis yang duduk disampingnya. Dilihatnya kedua mata
Wulansari berkaca-kaca. Ketika gadis ini hendak berdiri. Mahesa memberi isyarat
agar dia tetap duduk dulu di tempatnya.
"Guru" berkata pemuda
itu. "Sebelum kami pergi bolehkah kami memohon untuk dapat bertemu muka
dengan guru?"
"Aku dapat memaklumi
permintaan kalian itu," jawab Suara Tanpa Rupa.
"Tapi sayang sekali, saat
ini belum waktunya. Nanti suatu ketika
pasti kita akan bertemu muka juga." Mahesa Kelud dan Wulansari sedikit
kecewa mendengar jawaban tersebut.
"Guru" berkata lagi
Mahesa Kelud."Dapatkah saya meminta beberapa keterangan?"
"Keterangan apa yang kau
maui, Mahesa?"
"Waktu saya dilepas oleh
guru saya yang terdahulu yakni Embah Jagatnata saya diberi dua tugas yang mana
sampai saat ini masih belum dapat saya jalankan...."
"Katakan tugas-tugas
tersebut."
"Pertama saya disuruh
mencari sebuah pedang sakti bernama Samber Nyawa. Yang kedua mencari seorang
manusia bernama Simo Gembong dan membunuhnya! Dapatkah guru memberi
keterangan-keterangan?"
Sunyi seketika. Kemudian
terdengar suara sang guru.
"Pedang Samber Nyawa itu,
terakhir sekali kuketahui berada di Pulau Mayat sedang manusia menurut dugaanku
bernama Simo Gembong bersembunyi di satu
tempat di tanah Jawa ini. Pastinya aku tak tahu...."
Terima kasih, guru," kata
Mahesa gembira.
"Ada pertanyaan lagi?"
tanya Suara Tanpa Rupa.
"Ya" jawab Mahesa
Kelud. "Seorang guru lainnya telah meminta kepada saya untuk pergi ke
Lembah Maut. Katanya di sana berdiam seorang perempuan jahat yang telah
membunuh murid-muridnya. Saya mohon keterangan tentang letak Lembah Maut tersebut...."
"Aku memang pernah dengar
tentang lembah tersebut. Kalau tak salah letaknya jauh di ujung timur pulau
Jawa ini, sekitar kerajaan Hindu, Belambangan...."
"Terima kasih, guru"
Mahesa hendak menanyakan tentang Sitaraga yakni perempuan tua yang bergelar
Iblis Buntung yang telah memberi obat perangsang kepadanya dan Kumaldaewi
sehingga keduanya melakukan hubungan kotor diluar kesadaran. Namun Mahesa
membatalkan niat untuk bertanya itu karena dia kawatir kalau itu hanya membuka
rahasianya sendiri di hadapan Wulansari!
"Ada pertanyaan lagi?"
terdengar sang guru bertanya. Mahesa berpaling pada Wulansari. Gadis ini
kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Mahesa Kelud. Lalu Mahesa cepat-cepat
berkata: "Ada guru, tapi sebenarnya bukan pertanyaan. Kami mengharapkan petunjuk
guru...."
"Petunjuk mengenai
apa?" tanya Suara Tanpa Rupa.
"Harap terlebih dahulu
dimaafkan kalau ini bagi guru tak pantas dikemukakan. Kami... kami mohon
petunjuk mengenai diri kami berdua...."
"Heh, ada apa dengan diri
kalian berdua?" tanya sang guru pula. Mahesa tak segera menjawab. Dia
melirik ke samping dan melihat Wulansari duduk dengan menundukkan kepala sedang
parasnya yang jelita kelihatan kemerah-merahan karena jengah!
"Mahesa, ada apa dengan
kalian?"tanya Suara Tanpa Rupa sekali lagi.
"Begini guru. Apakah...
apakah menurut guru kami ini cocok satu sama lain untuk... untuk membangun...
hem...rumah tangga...?"
"Maksudmu kalian mau kawin
eh?"
"Betul, guru" sahut
Mahesa Kelud. Maka terdengarlah suara tawa terbahak si Suara Tanpa Rupa. Mahesa
Kelud dan Wulansari saling berpandang-pandangan tidak mengerti. Selama dua
tahun mereka pernah menetap di goa tersebut, baru inilah kali pertama mereka
mendengar guru mereka tertawa bergelak sedemikian rupa. Tawa sang guru berakhir
lalu terdengar suaranya bertanya, "Mahesa, apa kau mencintai
Wulansari?"
"Betul guru. Saya
mencintainya" jawab Mahesa.
"Dan kau Wulan... kau juga
cinta pada pemuda ini?"
"Ya, guru." Suara si
gadis seperti orang tercekik karena menjawab agak kikuk gugup. Suara Tanpa Rupa
tertawa lagi terbahak-bahak.
"Ada-ada saja kalian berdua
ini!" kata-nya.
"Kalian harus ingat... bahwa
soal jodoh itu bukan di tangan kita manusia, bukan di tanganku,tapi di tangan
Yang Kuasa! Di tangan Tuhan! Tak ada yang menyuruh kalian untuk berumah tangga,
juga tak ada yang melarangnya. Putusan terletak di tangan kalian berdua. Jika
memang sudah suka sama suka, sudah sama mencintai, perduli apa dengan orang
lain?! Bukankah begitu...?"
"Betul guru" kata
Mahesa. Hatinya gembira.
"Namun sebaiknya hal ini
kami ajukan supaya guru mengetahui dan nanti dikemudian hari tidak menganggap
kami murid-murid yang tak tahu peradatan dan melupakan gurunya...."
"Kalian murid yang
baik," kata SuaraTanpa Rupa. "Laksanakanlah cita-cita kalian itu
dengan sebaik-baiknya dan dengan cara yang wajar syah. Aku merestui kalian.
Memang agaknya kalau kalian sudah berjodoh dengan sepasang Pedang Dewi itu maka
kini dari kalian sendiri yang berjodoh satu sama lain. Kapan cita-cita itu akan
kalian laksanakan?"
"Oh... itu masih belum dapat
kami tentukan, guru. Mungkin jika sudah selesai urusan kami dengan Adipati Suto
Nyamat serta kaki-kaki tangannya."
"Memang itu bagus sekali.
Selesaikanlah semua urusan dulu, baru kawin. Jangan kawin dulu lalu membuat
urusan, nanti bisa berabe!"
Mahesa Kelud dan Wulansari tertawa
mendengar kata-kata guru mereka itu. Tak disangka sang guru rupanya suka pula
bergurau!
"Karena kalian bermaksud
demikian,maka agaknya perlu pula aku berikan sedikit peringatan. Yaitu selama
kalian belum menjadi suami istri secara syah, meskipun saling mencintai dan
suka sama suka namun kalian harus perhatikan dan ingat betul-betul walau
bagaimanapun kalian masih tetap orang lain, karenanya harus dapat menjaga dan
membatasi diri masing-masing."
“Terima kasih guru, nasihat itu
akan kami ingat baik-baik...."
"Bukan hanya diingat,
Mahesa" memotong sang guru. “Tapi juga harus dijalankan."
"Akan kami jalankan,"
kata Mahesa Kelud pula. Kedua muda-mudi ini berdiri. "Guru, kami berdua
mohon diri," kata Mahesa. Suaranya agak bergetar karena haru.
Wulansari sendiri berlinang air
matanya. Begitu besar kecintaan mereka pada sang guru meskipun keduanya tak
pernah bertemu muka sehingga perpisahan itu berat sekali rasanya. Wulansari
mengusap Joko Cilik. Sekali lagi mereka minta diri dan menjura, lalu
keduanyapun meninggalkan goa tersebut.
***
Dengan mempergunakan ilmu lari
cepat maka keesokan harinya sampailah kedua orang itu ke Madiun. Mereka
menunggu malam tiba dimana mereka menentukan saat penyerbuan ke Kadipaten
Madiun tempat bersarangnya Suto Nyamat yang telah membunuh ayah dan ibu serta kakek
dan guru Wulansari!
Malam tiba, pintu gerbang
kadipaten tertutup rapat tanpa seorang pengawalpun kelihatan di sekitar sana.
Mahesa Kelud dan Wulansari bergerak ke bagian yang lebih gelap. Di sini mereka
berdua melompati tembok samping tingginya tak kurang dari Kadipaten yang sampai
di halaman dalam Tanpa menimbulkan suara sedikitpun!
Gedung Kadipaten kelihatan sunyi
sepi. Satu-satunya lampu yang menyala hanyalah di bagian belakang gedung
tersebut. Mahesa dan Wulansari bergerak ke sana dengan hati-hati. Mereka
menemui sebuah pintu yang terkunci. Mahesa mengetuk dengan keras! Tak ada
jawaban. Pemuda ini mengetuk lagi lebih keras. Sesaat kemudian baru terdengar
langkah-langkah kaki, lalu daun pintu terbuka. Mahesa Kelud dan Wulansari tanpa
menunggu lebih lama segera menyerbu masuk. Orang yang membuka pintu,
seorang pelayan tua hampir saja
terpelanting jatuh ke lantai karena ditabrak begitu saja oleh Mahesa Kelud.
Orang tua itu berdiri dengan
paras pucat. "Ka... kalian siapa...?" tanyanya....
"Orang tua, mengapa gedung
ini sunyi saja? Mana Suto Nyamat?!" tanya Mahesa
membentak.
"Adipati Suto Nyamat sudah
berangkat dua hari yang lalu ke Pajang bersama keluarga dan para
pengawal..." menerangkan pelayan tua itu.
"Dusta!" hardik
Wulansari. "Manusia keparat itu pasti ada di sini dan bersembunyi!"
"Tidak... Adipati tidak ada
di sini. Aku tidak dusta," kata si pelayan ketakutan.
***
TIGA
Kelihatannya orang tua ini tidak
berdusta. Namun untuk memastikan bahwa Suto Nyamat benar-benar tidak ada di
sana maka Mahesa Kelud dan Wulansari menggeledah seluruh pelosok gedung
Kadipaten! Memang benar tak ada seorangpun selain si pelayan tua tersebut di
dalam gedung.
"Ada urusan apa bangsat itu
ke kotaraja?!" tanya Wulansari.
"Bang... bangsat
siapa?" tanya si pelayan.
"Suto Nyamat!" bentak
Wulansari.
"Kabarnya... kabarnya
Baginda yang menariknya ke kotaraja untuk memangku satu jabatan baru...."
"Lantas siapa yang
menggantikannya di sini?"
"Aku tidak tahu tapi
kabarnya Adipati yang baru itu akan segera datang ke sini dalam tempo sehari
dua hari ini...."
Mahesa Kelud menoleh pada
Wulansari. Kedua orang ini kemudian meninggalkan gedung tersebut dengan cepat.
Si pelayan tua menarik nafas lega lalu mengunci pintu lekas-lekas.
Jarak antara Madiun dan Kotaraja
tidak dekat. Dengan berlari cepat mereka baru bisa sampai ke sana selama
seminggu mungkin lebih! Karenanya malam itu juga kedua orang tersebut
memutuskan untuk berangkat ke kotaraja.
Hari ke empat, mereka
beristirahat di satu kaki bukit yang subur. Mereka duduk berdampingan dan bersandar
ke sebuah pohon besar yang rindang. Mahesa memandang jauh ke muka. Duduk berdua
dengan Wulansari, seperti itu mengingatkan pemuda ini pada Kemaladewi, gadis
yang menjadi murid si Dewa Tongkat. Bagaimanakah keadaan gadis itu sekarang,
sesudah ditinggalkannya sejak satu tahun yang lewat? Pemuda ini tak habisnya
mengutuki dirinya sendiri dan menyumpahi Si Iblis Buntung yang menjadi biang
racun dari semua perbuatan terkutuknya atas diri Kemaladewi. Kemudian terpikir
oleh pemuda ini yaitu jika perbuatannya tempo hari bersama Kemaladewi
menyebabkan gadis tersebut sampai hamil, maka tentu Kemala sudah melahirkan
seorang anak saat ini ! Anaknya dan anak Kemala! Merinding bulu tengkuk Mahesa
Kelud.
"Apa yang tengah kau
renungkan, Mahesa?" tanya satu suara di sampingnya. Pemuda ini terkejut.
Parasnya pucat seketika. Lalu dia coba tersenyum untuk menyembunyikan rasa
terkejutnya itu, tapi tak berhasil!
"Eh, agaknya kau terkejut
mendengar pertanyaanku, Mahesa?" Mahesa diam-diam menjadi takut sendiri
meski takut yang tak beralasan. Dia takut kalau-kalau gadis di sampingnya itu
mengetahui rahasia atau peristiwanya dengan Kemaladewi."
Kau melamunkan seseorang
agaknya,Mahesa?"
"Ya. Melamunkan kau."
jawab pemuda itu berdusta.
"Aku berada di dekatmu, di
sampingmu. Mengapa harus dilamunkan? Kalau aku jauh lain perkara..." kata
Wulansari pula. Ucapan Wulansari itu seperti satu tempelak yang keras
menghantam mukanya bagi Mahesa Kelud. Hatinya serasa diiris. Meski perbuatannya
atas Kemaladewi bukan mau dan diluar kesadarannya namun dia tetap saja merasa
berdosa. Bukan saja berdosa kepada Kemaladewi, berdosa kepada Tuhan, tapi lebih
dari itu adalah berdosa kepada Wulansari, gadis satu-satunya yang dikasihinya
di dunia ini!
Mahesa tak berkata apa-apa.
Dipeluknya bahu gadis itu dengan penuh kasih sayang, lalu diciumnya keningnya.
"Eh... eh... apa-apaan ini,
Mahesa?" kata Wulansari sambil menjauhkan kepalanya.
"Apa-apaan apa
maksudmu?"
"Kau lupa pesan guru
kita?"
"Pesan apa...?"
"Bahwa sebelum kita berumah
tangga secara resmi kau dan aku masih tetap merupakan orang lain dan mempunyai
batas-batas tertentu...?"
"Aku ingat" jawab
Mahesa dengan tersenyum
"Tapi kalau cuma peluk cium
saja kan boleh!"
"Ih, kau ceriwis sekali
sekarang!" kata Wulansari pula. Dikatakan "ceriwis" pemuda kita
jadi penasaran. Kedua tangannya diulurkan kemuka memeluk tubuh kekasihnya lalu
diciumnya muka gadis itu berulang kali.
"Sudah...sudah..."
peluk Wulansari pelahan.
Tapi dia tak berusaha untuk
menghindarkan ciuman-ciuman pemuda yang dikasihinya itu bahkan memberikan
balasan!
Mahesa melepaskan pelukannya.
Kedua pipi Wulansari kelihatan merah. Gadis ini cepat-cepat menyembunyikan
mukanya didada si pemuda.
"Kalau kau berani bilang aku
ceriwis lagi... aku akan cium kau sampai lama sekali dan tidak
lepas-lepas!" kata Mahesa Kelud.
"Kau memang ceriwis!
Genit!" kata Wulansari dengan tertawa merdu lalu melepaskan dirinya dan
lari.
"Kau mau lari kemana,
Wulan?!" kata Mahesa seraya mengejar gadis tersebut. Dan dengan demikian
keduanyapun berlari meneruskan perjalanan menuju kotaraja.
***
Siang itu mereka mencapai sebuah
kampung kecil agak jauh diluar kotaraja. Keduanya mencari kedai nasi.
Satu-satunya kedai nasi terletak di tengah pasar yang sudah agak sepi karena
hari sudah tinggi. Mereka masuk dan Mahesa memesan makanan. Kedatangan kedua
orang ini tentu saja menarik perhatian tamu-tamu yang sudah terlebih dahulu
berada di dalam kedai. Pandangan mata yang kagum takjub lebih banyak ditujukan
kepada Wulansari, gadis berparas jelita ini. Wulansari sendiri bersikap acuh
tak acuh sedang Mahesa Kelud yang duduk di sampingnya tenang-tenang saja.
Sambil mengunyah nasi dalam mulutnya, Wulansari menggeser kursinya lebih dekat
pada Mahesa lalu dia berkata pelahan,
"Mahesa... coba kau
perhatikan tiga orang prajurit yang duduk dipojok sana." Mahesa pura-pura
menjangkau gelas minumannya. Lalu sambil menempelkan tepi gelas ke bibirnya dia
memandang ke arah yang dikatakan Wulansari. Di sana duduk tiga orang prajurit
kerajaan dan ketiganya memandang tajam menyorot pada mereka. Pandangan mata
orang-orang ini agaknya sudah disengaja sejak tadi dan kurang ajar.
"Aku rasa-rasa pernah
bertemu dengan mereka..." ujar Mahesa Kelud.
"Aku sendiri juga
demikian," kata Wulansari.."Mungkin mereka adalah
cecunguk-cecunguknya si Suto Nyamat."
"Boleh jadi,.. bagaimana
kalau diberi sedikit pelajaran pada mereka?" tanya sigadis yang sudah
gatal-gatal tangannya melihat cara memandang ketiga prajurit yang kurang ajar
itu.
"Ssssh..." desis
Mahesa.
"Biarkan saja mereka seperti
anjing-anjing lapar begitu. Kita harus berhati-hati dan jangan sampai membuat
urusan baru sebelum urusan kita dengan Suto Nyamat selesai...."
Wulansari tak berkata apa-apa.
Gadis ini meneruskan makannya.
"Satu hal lagi yang harus
diingat Wulan," ujar Mahesa,
"Sesampainya kita di
kotaraja nanti jangan bertindak gegabah. Kotaraja bukan saja tempat diamnya
Suto Nyamat serta pentolan-pentolannya tapi juga sarangnya para pendekar gagah
pengawal Baginda yang sudah barang tentu akan turun tangan bila kita mereka
anggap sebagai pengacau!"
Tiga prajurit di pojok kedai
berdiri. Salah satu dari mereka membayar harga makanan lalu bersama kawannya
yang dua orang lagi segera keluar meninggalkan kedai tersebut. Di luar
terdengar suara derap kaki kuda mereka yang akhirnya lenyap di kejauhan.
***
Apa yang diduga oleh Mahesa Kelud
memang tidak meleset. Ternyata ketiga prajurit tersebut adalah kaki-kaki tangan
Suto Nyamat yang kini diam di kotaraja. Ketiganya memacu kuda masing-masing
menuju kotaraja. Mereka adalah sebagian dari bawahan Braja Kunto yang tempo
hari pernah bertempur dengan Mahesa Kelud serta Wulansari di dekat goa kediaman
guru kedua orang ini, cuma sayang Mahesa dan Wulan tidak mengingat mereka lagi.
Tak lama
kemudianprajurit-prajurit Ini sampai ke gedung kediaman Suto Nyamat. Salah
seorang dari mereka, yang bertubuh tinggi kurus turun dari kuda. "Kalian
berdua tunggu di sini, aku akan menemui Adipati. Waspadalah, bukan tidak
mustahil kedua orang tadi membuntuti kita!"
Demikianlah, meski kini Suto
Nyamat sudah diberi kedudukan lain oleh Baginda namun para prajurit dan anak
buahnya tetap saja menyebutnya dengan "Adipati."
Saat itu menjelang senja. Suto
Nyamat baru selesai mandi dan habis berpakaian ketika seorang pelayan datang
menerangkan bahwa ada seorang prajurit hendak menghadap.
"Katanya ada satu urusan
penting, Gusti!" menambahkan pelayan tersebut.
Ketika Suto Nyamat keluar,
prajurit tinggi kurus tadi menjura.
"Ada apa Lokan?" tanya
Suto Nyamat.
"Adipati, masih ingat
sepasang muda-mudi yang tempo hari menyerang ke Kadipaten Madiun dan yang
kemudian kami kejar-kejar?"
"Tentu! Ada apa dengan
mereka?"
"Keduanya berada di kampung
Tenginan, tengah menuju ke sini."
Terkejut Suto Nyamat mendengar
keterangan prajurit tersebut.
"Kau tidak salah lihat?...
tanyanya.
"Tidak. Saya dan kawan-kawan
mengenali benar keduanya."
Suto Nyamat berpikir dengan cepat
"Baiklah," katanya.
"Bawa beberapa orang kawan-kawanmu ke pintu gerbang kotaraja. Aku akan
menyusul ke sana. Jika sebelum aku datang mereka sudah sampai, tahan
sedapat-dapatnya agar kedua monyet jantan betina itu tidak masuk ke sini ke
kotaraja!"
"Siap Adipati." Lokan
menjura dan berlalu dengan cepat. Suto Nyamat sengaja tidak mau menghadapi
kedua musuh besarnya itu didalam kotaraja karena ini akan membuat namanya jadi
kurang baik sedangkan dia baru saja dipindahkan Baginda untuk menduduki jabatan
tinggi serta terhormat. Karena itu diaturnya rencana untuk menghadapi Mahesa
Kelud diluar batas kota, di pintu gerbang!
Satu tahun yang lewat Mahesa
Kelud dan Wulansari pernah menyerbu ke gedung Kadipaten Madiun bersama seorang
kakek-kakek bernama Sentot Bangil atau yang lebih dikenal dengan gelaran
Pendekar Budiman. Saat itu dengan bantuan Waranganaya Toteng para penyerbu
berhasil dipreteli bahkan Pendekar Budiman sendiri meregang nyawa di tangan
Waranganaya Toteng. Kini tahu-tahu Mahesa Kelud dan Wulansari muncul kembaii
mencarinya! Kalau tidak ada sesuatu yang diandalkan pasti kedua orang muda
tersebut tidak akan mengejarnya sampai ke kotaraja. Menurut Suto Nyamat yang
memang punya otak cerdik tapi busuk ini hanya ada dua hal menjadi andalan
musuh-musuh besarnya itu. Pertama mereka datang bersama seorang atau beberapa
orang sakti yang membantu mereka. Kedua mungkin selama satu tahun yang lalu
mereka berhasil memperdalam ilmu silat atau berguru pada seorang sakti!
Dugaan pertama tidak bisa jadi
karena Lokan tadi memberi kesempatan bahwa hanya Mahesa Kelud serta Wulansari
saja yang terlihat. Jadi dugaan jatuh pada andalan kedua yakni bahwa kedua muda
mudi tersebut kini sudah memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari dahulu! Suto
Nyamat harus mengakui bahwa dalam pertempuran setahun yang silam, satu lawan
satu menghadapi salah seorang dari muda-mudi itu belum tentu dia akan dapat
mengalahkan lawannya, apalagi kini! Namun demikian dia tak perlu khawatir.
Waranganaya Toteng memang saat ini tidak ada disampingnya yang akan turun
tangan membantu, tapi kotaraja penuh dengan hulubalang-hulubalang dan
pendekar-pendekar Baginda yang rata-rata berilmu tinggi dan dikenal baik oleh
Suto Nyamat!
Di samping itu kebetulan sekali
di gedungnya saat ini ada empat orang tokoh kelas tinggi yang menjadi tamunya
yang sudah pasti bisa dimintakan bantuannya!
Suto Nyamat masuk ke dalam
kamarya. Ketika dia keluar maka dia sudah mengenakan pakaian perang dengan
sepasang golok panjang tergantung di sisinya!
***
EMPAT
Hari mulai gelap. Di langit
bintang-bintang mulai muncul bertaburan. Bulan purnama menyusul kemudian
menampakkan diri sehingga kegelapan malam berkurang sedikit oleh sinarnya yang
sejuk. Kedua orang itu lari terus. Masing-masing memperlambat larinya ketika
mendekati batas kotaraja. Pada saat mereka sampai ke pintu gerbang kota maka
kelihatanlah selusin manusia berkumpul menghadang di muka pintu tersebut! Dalam
jarak beberapa tombak Mahesa Kelud Dan Wulansari menghentikan langkah mereka.
Kedua muda-mudi ini menggeram dalam hati. Lebih-lebih ketika mengetahui bahwa
manusia berkening lebar, bermata besar dan berkumis lebat yang mengenakan
pakaian perang tak lain adalah Suto Nyamat, musuh besar mereka!
Agak kebelakang kelihatan tiga
orang berjubah ungu yang karena malam kelihatannya hitam. Baik Mahesa maupun
Wulansari tidak tahu siapa mereka adanya namun memaklumi bahwa ketiga orang ini
tentu memiliki ilmu yang tinggi. Di samping kiri Suto Nyamat berdiri pula
sesosok tubuh yang menarik perhatian murid-murid Si SuaraTanpa Rupa ini. Sosok
tubuh ini adalah seorang laki-laki berbadan sangat pendek, bermuka buruk dan
cuma punya satu tangan yakni tangan kanan sedang tangan kirinya puntung! Di
pinggang si buntung tangan ini melilit sebuah rantai baja yang sudah dapat
dimaklumi merupakan senjata andalannya!
Manusia ini mengenakan pakaian
aneh. Kalau saja saat itu mereka tidak tengah menghadapi musuh besar, sudah
past! Mahesa Kelud dan Wulansari akan tertawa membahak. Betapakah tidak! Karena
manusia berbadan pendek dan bertangan buntung ini mengenakan pakaian "baju
monyet," seperti anak anak umur tiga tahun! Di bagian perut dari baju ini
terdapat pula sebuah saku besar empat segi!
Di belakang kelima orang tersebut
maka berjejerlah tujuh prajurit di mana tiga di antaranya adalah yang dilihat
Mahesa dan Wulansari di kedai siang tadi. Sambil kedua tangannya bersitekan
pada hulu-hulu golok Suto Nyamat maju satu langkah dan berkata dengan suara
membentak. "Anak-anak yang masih ingusan! Kalian mengandalkan apakah
berani-beranian datang mengantar nyawa kemari?!"
Wulansari, tidak sabaran yang
sudah sejak tadi melihat musuh besar pembunuh ayah bunda, paman serta kakeknya
ini, menerjang ke muka.
"Iblis bermuka manusia!
Bersiaplah untuk mampus!" bentak
Wulansari. Serentak dengan itu kelihatanlah sinar merah panjang melesat
membabat ke arah Suto Nyamat. Sinar merah panjang ini tak lain adalah sambaran
Pedang Dewi yang dicabut oleh Wulansari bersamaan ketika tubuhnya melesat ke
muka!
Suto Nyamat dengan cepat mencabut
golok panjang di sisi kirinya untuk dipakai menangkis. Dan
"Trang!"
Golok yang masih tergenggam di
tangan laki-laki itu hanya tinggal hulunya saja. Bagiannya yang tajam terbabat
buntung dan dibikin mental oleh teriakan Pedang Dewi sakti yang luar biasa
tajamnya di tangan Wulansari! Tak dapat dilukiskan bagaimana terkejutnya Suto
Nyamat. Bukan saja karena goloknya yang buntung itu tapi juga karena tangan
kanannya terasa panas sekali! Dan sebelum habis rasa terkejutnya maka Pedang
Dewi di tangan Wulansari berbalik membabat deras ke arah lehernya!
Sukar bagi Suto Nyamat dalam keadaan
kepepet begitu untuk mengelak ataupun mencabut senjatanya yang satu lagi!
Manusia ini berteriak ngeri seperti orang yang melihat datangnya malaekat maut!
Namun sebelum pedang sakti
tersebut sempat memisahkan kepala dan badan Suto Nyamat, salah seorang dari
tiga manusia yang mengenakan jubah ungu melompat ke muka sambil menusukkan
senjatanya, berupa sebuah penggada dari batu hitam yang lebih kuat daripada
besi, ke dada Wulansari! Hal ini membuat Wulansari terpaksa menarik pulang
serangannya karena kalau diteruskan meski dia mungkin berhasil menebas batang
leher Suto Nyamat namun penggada si jubah ungu pasti akan bersarang di dadanya
pula!
Bukan main geramnya si gadis.
Kedua matanya melotot.
"Tua bangka yang sudah bosan
hidup!" makinya.
"Kau juga harus mampus
bersama anjing ini!"
"Eeee... e... e. Gadis
kurang ajar!
Kau tak tahu tengah berhadapan
deng..."
Si jubah ungu tak sempat
meneruskan kalimatnya karena saat itu Wulansari telah menyerangnya dengan
ganas. Dua kawannya yang lain maju pula ke muka. Ketiganya memiliki senjata
yang sama yakni penggada batu hitam. Suto Nyamat sementara itu sudah mencabut
golok panjangnya yang satu lagi dan menyerbu pula. Melihat kekasihnya dikeroyok
demikian rupa Mahesa Kelud yang memang sudah gatal tangan segera mencabut
pedang saktinya, maju ke depan membantu Wulansari. Tapi manusia pendek berbaju
monyet tahu-tahu melompat pula menghalanginya. Demikian pula tujuh prajurit
kerajaan, anak buah Suto Nyamat!
"Manusia pendek! Rupanya kau
kaki tangan cecunguknya Suto Nyamat juga huh?!"
"Eit! Anak muda bau amis!
Kau tahu dengan siapa kau berhadapan saat ini sampai berani unjukkan nyali
besar?!
Ketahuilah akulah manusianya yang
dijuluki Setan Puntung!"
"Hem..,. Bagus kalau
begitu!" kata Mahesa dengan nada mengejek.
"Lekas maju biar kubikin
buntung tanganmu yang satu lagi!"
Tak terkirakan marahnya si pendek
itu diejek demikian rupa oleh Mahesa Kelud, dan dihadapan banyak orang pula.
"Kupecahkan kepalamu,
kunyuk!"
Sambil membentak dibukanya rantai
besi yang melilit di pinggang lalu menyabetkannya ke kepala Mahesa Kelud!
Pemuda ini menggerakkan pedang saktinya untuk memapaki senjata lawan. Si Setan
Puntung yang memaklumi bahwa pedang di tangan lawannya bukan pedang sembarangan
tapi sebuah pedang mustika sakti, tak berani mengadu senjata dan cepat-cepat
menurunkan sedikit tangan kanannya sehingga kini rantai besinya menyambar ke
perut Mahesa Kelud!
Mahesa di lain pihak juga
memaklumi bahwa lawannya bukan seorang lawan enteng dan empuk. Begitu
serangannya mengenai tempat kosong pemuda ini segera geser kedua kakinya dan
serentak dengan itu pedang mustika merah di tangannya membalik membabat ke
lengan yang memegang rantai dari Si Setan Puntung!
Si Setan Puntung mengeluarkan
seruan kaget. Tidak diduganya bahwa begitu mengelak sang lawan masih sanggup
melancarkan serangan balasan yang sedemikian cepatnya! Manusia pendek bertangan
satu ini cepat-cepat melompat ke belakang menyelamatkan tangannya. Ketika dia
maju kembaii, maka tujuh prajurit yang tadi masih diam saja ditempat, turut
pula menyerbu Mahesa Kelud. Dikeroyok delapan demikian rupa, tidak
tanggung-tanggung Mahesa Kelud segera keluarkan jurus-jurus ilmu "Pedang
Dewi Delapan Penjuru Angin!"
Sesaat kemudian maka terdengarlah
pekik-pekik tiga orang prajurit pengeroyok. Yang satu terpapas buntung
lengannya, darah muncrat!
Yang kedua meliuk roboh dengan
usus berbusaian, yang ketiga mundur menjerongkang terbacok bahunya! Si Setan
Puntung sendiri mengeluarkan seruan tertahan karena sebagian dari senjata
rantai besinya dibabat putus oleh pedang di tangan lawan!
Demikianlah hebatnya Pedang Dewi
ditangan Mahesa Kelud dan lihaynya ilmu silat yang dimainkannya sehingga dalam
satu gebrakan saja dia membuat tiga lawan roboh dan yang ke empat menciut
nyalinya, padahal jurus ilmu "Pedang Dewi Dari Delapan Penjuru Angin"
yang dimainkannya tadi baru tingkat terendah saja!
Di bagian lain Wulansari tengah
mengamuk hebat melawan musuh besarnya yakni Suto Nyamat yang dibantu oleh tiga
orang berjubah ungu yang rata-rata memiliki ilmu tinggi! Suto Nyamat telah mengambil
sebuah golok lagi sehingga pedang merah di tangan Wulansari harus melayani
sepasang golok panjang Suto Nyamat serta tiga penggada batu! Dengan tiada
gentar sedikitpun gadis remaja itu melayani keempat musuhnya dengan
mengeluarkan jurus-jurus menengah dari ilmu Pedang Dewi yang dipelajari dari
gurunya Si Suara Tanpa Rupa. Bukan saja gadis ini bisa mengimbangi kehebatan ke
empat lawan tangguh tersebut bahkan dia berhasil pula mendesak mereka. Karena
dalam hal ini Suto Nyamat adalah musuh besar yang paling dibencinya, maka
kebanyakan dari serangan-serangannya diarahkan kepada manusia tersebut. Suto
Nyamat menjadi sibuk, untung saja tiga orang yang membantunya mempunyai
kepandaian tinggi kalau tidak pasti dalam jurus sembilan tadi dia sudah kena
dibacok bahunya oleh pedang sakti
Wulansari!
Siapakah ketiga manusia berjubah
ungu ini? Seperti Waranganaya Toteng, mereka adalah resi-resi dari kerajaan
Belambangan yang tersesat dan mempergunakan ilmu kepandaian mereka untuk
membuat kejahatan di setiap pelosok negeri. Ketiganya berasal dari satu
perguruan sehingga pakaian dan juga senjata mereka sama semua. Namun dibanding
dengan ilmunya WaranganayaToteng, ketiganya sangat ketinggalan jauh! Mereka
tinggal di kotaraja sebagai pengawal-pengawal kelas enam. Pedang merah di
tangan Wulansari menciut menyambar ke resi yang paling ujung. Resi ini coba
menangkis dengan penggadanya, namun ujung penggada itu hancur lebur dihantam
pedang! Suto Nyamat mulai kecut nyalinya. Lambat laun tetapi pasti dia dan
kawan-kawannya akan kena celaka, apalagi Wulansari senantiasa mengincarnya
terus-terusan!
Ketiga resi tersebut merubah
permainan gada mereka. Mereka berdiri agak merapat dengan Suto Nyamat di ujung
paling kanan. Salah seorang dari resi itu mengeluarkan suara melengking tinggi.
Serentak dengan itu ketiganya berpencar menyerang Wulansari dari tiga jurusan.
Ini berarti ditambah dengan Suto Nyamat, Wulansari harus menghadapi empat
serangan sekaligus!
Wulansari memutar pedangnya
disekeliling tubuh!
Sinar merah bergulung membungkus dirinya.
Bersamaan dengan itu dia melompat ke atas tinggi sekali. Begitu empat senjata
lewat di bawahnya, maka dengan menggerakkan kedua kakinya kelihatanlah kini
tubuh gadis itu menukik laksana seekor burung rajawali yang menyambar empat
ekor anak ayam! Terdengar suara jeritan keras! Salah seorang dari resi itu
roboh ke tanah dengan bahu mandi darah kena dibacok pedang Wulansari. Dia cepat
berguling jauh menyelamatkan diri. Dua golok panjang yang ada di tangan Suto
Nyamat kini hanya tinggal gagang-gagangnya saja karena terbabat buntung oleh
pedang mustika sakti! Masih untung bagi dua resi lainnya karena mereka sempat
mengelak menyelamatkan diri masing-masing!
Melihat naga-naga macam begini
tanpa pikir panjang lagi Suto Nyamat
segera putar tubuh dan ambil langkah seribu!
"Manusia keparat! Jangan
lari!" teriak Wulansari dia segera melompat memburu. Namun dua resi tadi
secara bersamaan menyerangnya dengan tidak terduga! Niatnya untuk memburu musuh
besarnya terpaksa urung seketika untuk memberikan hajaran pada kedua manusia jubah
ungu penghalang itu!
Di bagian yang lain, Mahesa Kelud
sudah berhasil pula merobohkan dua orang prajurit lagi. Namun untuk lekas-lekas
membereskan si Setan Puntung memang agak sukar juga karena harus diakui oleh
Mahesa bahwa manusia pendek berbaju monyet ini mempunyai ilmu yang tinggi serta
gerakan-gerakannya cepat dan gesit!
Namun demikian, di lain pihak Si
Setan Puntung memaklumi pula bahwa dia tak akan sanggup mempercundangi Mahesa
Kelud sekalipun dia harus bertempur sampai seribu jurus!
Karenanya dia segera menggeser
kedudukannya. Dia bergerak mendekati dua resi yang masih mengeroyok Wulansari.
Maksudnya dengan berada dalam satu kelompok itu mereka akan dapat membantu satu
sama lain. Tapi justru inilah merupakan satu kesalahan yang besar baginya karena
ketika bergerak berpindah tempat itu dia bertindak terlampau kesusu, tak
memperhitungkan lagi kedudukan lawan. Pedang Mahesa Kelud menyambar dari
samping. Setan Puntung miringkan tubuh, namun bahu kirinya yang tiada berlengan
lagi tak urung masih sempat dibabat senjata lawan! Baju monyetnya basah oleh
darah! Prajurit-prajurit yang masih hidup yang tak mau mati konyol segera kabur
meninggalkan tempat itu, apalagi sesudah mereka melihat Suto Nyamat sendiri
lari lintang pukang!
Setan Puntung sendiri dan kedua
resi baju ungu sebenarnya sudah berpikir-pikir pula untuk lari menyelamatkan
nyawa, namun niat tersebut mereka tahan-tahan juga karena diam-diam saling
merasa malu dan tahan harga diri!
Kini jumlah pengeroyok hanya
tinggal tiga orang. Satu di antaranya yaitu Setan Puntung sudah terluka parah,
sebentar lagi tubuhnya akan menggeletak mampus kena bisa pedang mustika yang
panas itu!
Menurut Mahesa, Wulansari
sendiripun akan sanggup menumpas ketiganya dalam beberapa jurus di muka.
Karenanya ketika Suto Nyamat melarikan diri pemuda ini berseru: "Wulan,
biar aku yang kejar Suto Nyamat keparat itu! Kau bereskanlah tikus-tikus tua
ini!"
Sebelum Wulansari sempat
mengatakan sesuatu, Mahesa Kelud sudah berkelebat dan lari mengejar kejurusan
mana tadi Suto Nyamat menghilang!
Dugaan Mahesa Kelud bahwa
Wulansari akan sanggup merobohkan ketiga lawan yang sudah babak belur itu
memang benar, tapi benarnya adalah kalau keadaan tetap seperti itu, artinya
jumlah mereka tetap terus tiga orang! Tak ada seorang lain yang kemudian
datang!
Begitulah, beberapa ketika
setelah Mahesa Kelud meninggalkannya maka Wulansari putar pedangnya lebih
cepat. Resi pertama roboh jungkir balik tanpa nyawa. Gadis ini menyerang dan
mendesak terus sampai Setan Puntung serta resi yang satu lagi kewalahan!
Keduanya saling memberi isyarat, sama-sama hendak melarikan diri. Namun ketika
itulah datang seseorang yang sangat menggembirakan mereka!
"Amboi... amboi! Apakah yang
terjadi di sini?!" terdengar orang yang baru datang itu berkata, suaranya
tinggi melengking, tapi seperti orang tercekik!
***
LIMA
Orang yang baru datang ini adalah
seorang perempuan bermuka hitam, berjubah merah. Tubuhnya tinggi sekali. Satu
jengkal kurang dari dua meter. Mungkin karena tubuhnya yang tinggi ini serta
hatinya yang jahat seperti iblis maka dia digelari dalam dunia persilatan
sebagai "Iblis Jangkung!" Nama sebenarnya ialah Niliman Toteng. Dan
dia adalah kakak seperguruan Waranganaya Toteng dan juga kakak kandung resi
dari Blambangan itu!
Sebagai kakak seperguruan, tentu
saja ilmu kepandaian Niliman Toteng lebih tinggi beberapa tingkat dari
adiknya,Waranganaya Toteng. Sebelumnya sudah kita saksikan kehebatan
Waranganaya Toteng ketika menghadapi dan membunuh Pendekar Budiman yang datang
menyerbu ke gedung Kadipaten Madiun bersama Wulansari dan Mahesa Kelud.
Karenanya dapatlah dibayangkan betapa dahsyatnyaSi Iblis Jangkung ini dan tak
heran bila Si Setan Puntung serta resi baju ungu menjadi sangat gembira melihat
kedatangannya!
Niliman Toteng memandang dengan
mata menyipit beberapa mayat prajurit serta mayat dua orang resi yang
dikenalnya baik menggeletak di muka pintu gerbang. Dihadapannya Setan Puntung
dan resi bernama Majineh tengah didesak hebat oleh seorang gadis muda belia!
Niliman Toteng geleng-gelengkan
dia punya kepala.
"Biung...biung... biung!
Setan Puntung dan Majineh, lagi apa kalian di sini?! Menghadapi anak gadis yang
masih menyusu saja kalian sampai dibikin babak belur begini?
Bahkan kawan-kawan kalian dibuat
menggeletak mampus? Biung...biung!"
Perkataan perempuan sakti itu
membuat Si Setan Puntung serta Majineh menjadi merah muka mereka karena malu!
"Niliman Toteng," kata
Si Setan Puntung seraya babatkan rantai besinya yang sudah pendek akibat
ditebas terus-terusan oleh pedang mustika Wulansari.
"Jangan berdiri dan menonton
saja, cobalah maju sejurus dua jurus dan kau akan tahu bahwa sesungguhnya bukan
gadis ini yang masih menyusu, tapi kitalah yang musti menyusu kepadanya!"
Maka melengkinglah tertawa
perempuan sakti berjubah merah, bermuka hitam itu. Wulansari sendiri bukan main
geramnya mendengar kata-kata tersebut. Segera pedangnya menyambar kian kemari
membuat Si Setan Puntung yang sudah terluka pada bahu kirinya menjadi sibuk
kewalahan! Jika saja kejadian pertempuran ini didengar dari cerita orang lain,
maka pasti Niliman Toteng tak akan bisa mempercayai bagaimana seorang kawakan
dalam dunia persilatan seperti Si Setan Puntung dapat "dipermainkan"
oleh seorang gadis muda remaja yang umurnya belum lagi dua puluh tahun, bahkan
Setan Puntung dibantu pula oleh seorang resi yang berkepandaian cukup tinggi!
Niliman Toteng seorang perempuan berhati jahat! Ini dapat dilihat dari kulit
mukanya yang hitam, bibirnya yang ungu serta hidungnya yang tinggi bengkok
seperti paruh burung betet! Meski jahat namun diam-diam mengagumi kehebatan
jurus-jurus permainan silat Wulansari yang tak pernah dilihatnya sebelumnya.
Dan yang sangat menarik perhatian perempuan bergelar "Iblis Jangkung"
ini ialah pedang mustika sakti yang mengeluarkan sinar merah yang dipegang oleh
Wulansari! Tak salah kalau si Setan Puntung bisa dibikin babak belur demikian
rupa!
Niliman Toteng maju selangkah
mendekati kalangan pertempuran. "Gadis baju kuning, siapakah engkau yang
berani menumpahkan darah di pintu gerbang kotaraja ini?!"
Wulansari tidak menjawab malahan
memutar pedangnya dengan hebat serta cepat sehingga membuat rantai besi
ditangan Si Setan Puntung terbabat putus untuk kesekian kalinya dan kini hanya
tinggal dua jengkal saja lagi! Sedang untuk kesekian kalinya pula Setan Puntung
merasakan tangannya serta seluruh tubuhnya menjadi panas. Keadaannya sudah
payah sekali cuma karena malu diusahakannya untuk bertahan sedapat-dapatnya.
Sementara itu rasa panas akibat hawa pedang merah yang sebelumnya membabat
bahunya terasa semakin menjadi-jadi. Meski dia sudah kerahkan tenaga dalamnya
yang tinggi untuk menolak hawa maut tersebut namun sia-sia belaka! Majineh
sendiri bertempur setengah mati. Diam-diam dia memaki dalam hati karena sampai
saat itu Niliman Toteng masih belum juga turun tangan membantu. Si jangkung
maju lagi. "Setan Puntung dan kau Majineh, minggirlah! Biar aku yang
ringkus tikus kuning ini! Kalian berdua hanya memalukan sahabat-sahabat yang
ada di kotaraja saja!"
Setan Puntung dan Majineh gembira
sekali. Tanpa menunggu lebih lama keduanya segera melompat ke luar dari
kalangan pertempuran. Setan Puntung pergi duduk bersandar ke sebatang
pohon,mengatur jalan darah serta pernafasannya. Tenaga dalamnya dikerahkan ke
seluruh bagian tubuhnya. Namun demikian sama sekali manusia kate ini tidak
sanggup menolak dan melenyapkan hawa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya.
Si pendek ini mulai mengerang, merintih kesakitan. Majineh datang, bantu
mengerahkan tenaga dalamnya ke tubuh Si Setan Puntung, tapi hasilnya nihil.
Hawa panas semakin menjadi-jadi. Setan Puntung kelangsangan, mengerang
kelojotan dan tampangnya benar-benar jadi menyeramkan seperti setan! Tiba-tiba
erangannya terhenti.
Tubuhnya tak bergerak lagi! Mati!
Setan Puntung mati dengan membawa satu penyesalan besar. Selama puluhan tahun
menjadi tokoh dunia persilatan dia telah menghadapi berbagai lawan tangguh!
Namun hari ini akhirnya dia terpaksa menyerahkan nyawa di tangan seorang pemuda
belia, satu kematian yang tak pernah diduganya. Inilah penyesalan yang dibawa
mati oleh si pendek sakti tersebut!
Niliman Toteng berdiri dengan
bertolak pinggang di muka Wulansari.
"Gadis baju kuning,
orang-orang menggelariku Iblis Jangkung!
Tapi hari ini aku masih punya
sedikit belas kasihan padamu. Terlalu sayang kalau mukamu yang cantik itu
kukepruk dengan tanganku. Serahkan pedangmu padaku, berlutut minta ampun dan
kau boleh pergi dengan aman...."
Wulansari tertawa mendengus. Dia
tahu manusia di hadapannya ini berilmu tinggi. Suaranya yang melengking agaknya
disertai dengan aliran tenaga dalam karena Wulansari dapat merasakan bagaimana
gendang-gendang kedua telinganya jadi bergetar!
"Iblis Jangkung, atau
siapapun namamu..." sahut Wulansari,
"Aku tak mau cari urusan
dengan kau yang sudah tua, tapi bila kau berpihak pada anjing-anjing kotaraja
kaki tangan Suto Nyamat ketahuilah, aku yang masih muda tidak takut
terhadapmu!"
Niliman Toteng tertawa melengking
tinggi. Mukanya kelihatan semakin hitam sedang hidungnya tambah membengkak!
"Bocah sombong! Dikasih hati malahan
menantang. Di kasih ampun malahan melawan! Hari ini Iblis Jangkung akan
mematahkan batang lehermu!"
Serentak dengan itu maka Niliman
Toteng melompat ke muka. Kedua tangannya diulur ke arah leher si gadis! Tapi
tidak begitu mudah untuk dapat mematahkan begitu saja batang leher
"pendekar betina" ini!
Wulansari memutar pedang
saktinya. Angin panas keluar menyambar dari pedang itu ke arah Niliman Toteng
sedang mata pedang membabat dengan cepat memapaki kedua lengannya yang terulur!
Niliman Toteng cepat bungkukkan
tubuh dan turunkan kedua tangannya. Kini kedua tangan perempuan jangkung ini
menyelinap dari bawah, berusaha merampas pedang merah sakti di tangan
Wulansari! Tapi siapa sangka, begitu lawannya menurunkan tangan dengan
kecepatan yang luar biasa pedang merah itu membabat pula ke bawah, seakan-akan
tahu apa yang bakal dilakukan Niliman Toteng!
Perempuan muka hitam ini
terkejut! Kini dia benar-benar merasakan sendiri kehebatan Wulansari dan
cepat-cepat dia tarik pulang kedua tangannya! Dari dalam saku besar jubah
merahnya Niliman Toteng kemudian mengeluarkan satu gulungan kain berwarna merah
yang ternyata adalah sebuah stagen! Benda ini salah satu senjata ampuh yang
dimiliki NilimanToteng. Dia sengaja mengeluarkan stagen tersebut karena dia
maklum, sebelum dapat merampas pedang di tangan Wulansari maka akan sukar
bagihya untuk meringkus gadis baju kuning itu! Dia lebih dari maklum bahwa
Wulansari adalah murid seorang sakti yang tidak boleh dibuat main-main!Niliman
Toteng gerakkan tangankanannya. Gulungan stagen membuka dan melesat ke muka
laksana seekor ular piton bergerak meliuk ke arah pinggang Wulansari. Gadis ini
cepat-cepat melompat ke samping seraya kirimkan satu tusukan dahsyat ke dada
Niliman Toteng tapi serangan ini dengan mudah dapat dielakkan perempuan
jangkung itu dan malahan stagennya kini meluncur kearah hulu pedang di tangan
Wulansari!
Si gadis tinggikan tangannya dan
putar senjata itu dengan sebat. Stagen Niliman Toteng tak berhasil membelit
hulu pedang bahkan gerakkannya terhalang oleh sambaran-sambaran angin pedang
mustika yang panas itu! Niliman Toteng mempercepat gerakannya. Tubuhnya
berkelebat sehingga sesaat kemudian kelihatanlah dua sinar merah di udara. Sinar
yang pertama bergulung membabat kian kemari. Inilah sinar pedang Wulansari.
Sinar merah kedua membuntal dan meliuk cepat laksana seekor ular mengamuk,
inilah sinar stagen merah Niliman Toteng. Beberapa jurus lagi berlalu.
Perempuan sakti itu geramnya bukan main karena sampai saat itu usahanya untuk
membelit dan merampas pedang lawan dengan stagennya tidak kunjung berhasil!
Bahkan satu kali ketika stagen merah itu sudah melilit sebahagian dari pedang
lawan, siap untuk ditarik dan dirampas tahu-tahu seperti seekor belut licin,
pedang mustika tersebut terlepas bahkan jika saja Niliman Toteng tidak
cepat-cepat menarik stagen pasti sebagian dari senjatanya kena dirobek ujung
pedang!"
Disamping rasa mengkal geram
dan penasaran terhadap gadis muda belia
itu, Niliman Toteng juga menjadi malu pada diri sendiri, apalagi saat itu Majinehada pula di sana!
Siapun yang tidak kenal dengan Niliman Toteng yang bergelar Si Iblis Jangkung
itu! Di Blambangan dia merupakan orang sakti nomor tiga dan diKotaraja sendiri
pahlawan-pahlawan Baginda yang berilmu tinggi sekalipun menaruh hormat serta
jerih kepadanya. Tapi hari ini... seorang gadis berbaju kuning yang umurnya
belum lagi mencapai dua puluhan, telah membuat dia benar-benar gusar mendongkol
dan besar kepala!
Sebenarnya, dalam ilmu
mengentengi tubuh serta tenaga dalam Wulansari masih berada jauh di bawah
Niliman Toteng. Namun karena gadis ini memegang sebilah pedang merah yang sakti
luar biasa serta mempergunakannya dalam jurus-jurus Yang sebelumnya tak pernah
dilihat oleh Niliman Toteng, yakni "Dewi Pedang Delapan Penjuru
Angin," maka untuk beberapa lamanya perempuan tua sakti yang sudah punya
berbagai pengalaman dalam dunia persilatan itu dibikin tidak berdaya, apalagi
untuk mendesak Wulansari!
Waktu pertempuran hampir memasuki
jurus kelima puluh maka Niliman Toteng benar-benar kehilangan muka dan malu
sekali! Dengan mengandalkan ilmu silatnya saja dia tak akan sanggup meringkus
gadis itu! Satu-satunya jalan ialah dengan mempergunakan cara yang licik dan
busuk!
Niliman Toteng membentak keras
melengking tinggi memekakkan anak telinga. Bersamaan dengan itu tangan kirinya
dengan sangat cepat, hampir tidak kelihatan Bergerak memgeruk saku jubahnya!
Sebuah benda hitam kemudian melesat ke arah Wulansari dan...
Pesss!!!
Kelihatanlah asap hitam mengepul
ganas di muka Wulansari. Asap ini berbau busuk dan amis sekali serta mengandung
zat yang melumpuhkan bila tercium!
Bagaimana Wulansari mengerahkan
tenaga dalamnya untuk menolak bau busuk amis tersebut namun pernafasannya telah
menghirup sedikit dari asap buruk itu,terus terbawa ke dalam rongga
paru-parunya! Wulan merasakan kepalanya pusing dan berat. Pemandangannya
menggelap dan akhirnya dengan pedang sakti masih tergenggam di tangan gadis ini
roboh pingsan!
***
ENAM
KOTARAJA besar sekali, banyak
bangunan dan gedung-gedung besar, banyak jalan serta persimpangan. Sebagai
orang baru yang pertama kali datang ke sana tentu saja Mahesa Kelud menjadi
kebingungan. Apalagi di malam seperti itu dan tengah mencari seorang buruan
pula!
Tapi dengan tetapkan hati dan
dengan cara-cara yang tidak mencurigakan akhirnya pemuda ini berhasil juga
mendapat keterangan di mana letak gedung kediaman Suto Nyamat yang baru saja
dipindahkan ke kotaraja. Gedung ini besar sekali lagi mewah. Beberapa pengawal
menjaga di pintu gerbang. Mahesa Kelud menempuh jalan di samping gedung. Di
bagian yang tidak begitu terang, pemuda ini segera gunakan ilmu mengentengi
tubuhnya untuk melompati tembok gedung yang tingginya dua kali manusia! Dia
sampai di tepi sebuah kolam dalam taman yang indah. Tak satu orangpun
kelihatan. Pemuda ini dengan cepat tapi tetap waspada segera bergerak mendekati
gedung utama yang kelihatannya sunyi-sunyi saja. Di bagian belakang dari gedung
ini di mana terdapat sebuah pintu, berdiri dua orang pengawal. Mahesa mengambil
sebuah batu dan melemparkan batu itu beberapa langkah di hadapan
pengawal-pengawal. Ketika kedua pengawal ini menjadi terkejut dan memandang
kearah benda yang jatuh itu, maka Mahesa dengan cepat segera melompat dari
ujung dinding gedung dan menotok punggung mereka. Keduanya rubuh kaku. Mahesa
menyeret mereka ke bagian taman yang gelap!
Pintu belakang tidak terkunci.
Dengan mudah Mahesa Kelud masuk lewat pintu ini. Dia sampai di satu ruang
belakang yang besar, kemudian melewati dapur lalu menyusuri sebuah gang yang
lantainya ditutupi dengan permadani indah berbunga-bunga. Gang ini membawanya
ke sebuah ruangan tengah yang besar dan mewah dengan kursi-kursi serta meja
yang keseluruhannya berukir-ukir terbuat dari kayu jati. Di dinding kiri kanan
ruangan ini terdapat masing-masing tiga buah pintu. Mahesa mulai dengan pintu
paling ujung di samping kiri. Pintu ini dibukanya dan ruang di dalamnya
ternyata sebuah kamar yang luas mewah. Tapi taksatu orangpun yang dilihatnya.
Mahesa Kelud keluar dengan cepat dan memeriksa kamar kedua. Juga ini sebuah
kamar mewah tapi juga tiada satu manusiapun ada di dalamnya! Di kamar ketiga
baru pemuda ini menemui orang pertama penghuni gedung dan ternyata adalah istri
Suto Nyamat yang saat itu tengah tertidur nyenyak. Perempuan ini tidak cantik
dan kulitnyapun agak hitam. Tapi untuk jadi istri Suto Nyamat yang bertampang
buruk, dia sudah terlalu bagus!
Dengan berpikir-pikir di mana
manusia yang dicarinya bersembunyi maka pemuda ini segera menuju ke pintu
keluar. Tapi baru saja daun pintu dibukanya sedikit maka matanya yang tajam
dapat melihat bagaimana pintu paling ujung di dinding ruangan di seberangnya
terbuka. Seorang perempuan separuh baya, yaitu seorang pelayan, keluar membawa
sebuah baki berisi piring serta gelas kotor. Ini memberi pertanda pada Mahesa
Kelud bahwa di dalam kamar itu pasti ada seseorang!
Pelayan dilihatnya menutupkan
pintu kamar dan meninggalkan ruangan itu menuju ke belakang. Mahesa Kelud
segera keluar dari kamar di mana dia berada dan menyeberangi ruangan menuju
kamar tempat pelayan tadi keluar. Di muka pintu sebentar dia berdiri untuk
memasang telinga. Lalu Mahesa membungkuk dan mengintip lewat lobang kunci.
Seseorang dilihatnya dalam kamar itu. Tapi seseorang ini bukan Suto Nyamat.
Melainkan seorang gadis remaja puteri yang parasnya cantik sekali! Demikian
cantiknya sehingga Mahesa Kelud harus mengakui bahwa gadis di dalam kamar ini
adalah lebih cantik dari Kemaladewi, bahkan lebih cantik dari kekasihnya
sendiri, Wulansari! Siapakah gerangan gadis itu? Istri Suto Nyamat yang
termuda? Tak dapat dipastikan. Anaknya....? Mustahil, Suto Nyamat dan istrinya
bertampang buruk tapi anaknya sejelita itu! Mahesa mengintip lagi lewat lobang
kunci dan kali ini dilihatnya si gadis tengah mengambil sesuatu lalu duduk di
kursi besar. Benda yang diambilnya ternyata adalah jahitan. Gadis ini duduk dan
mulai menyulam.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki
dari ujung gang. Mahesa Kelud cepat meninggalkan pintu tersebut dan bersembunyi
di balik sebuah kursi panjang besar. Yang datang adalah pelayan perempuan tadi.
Dia masuk ke dalam kamar dan menutupkan pintu. Mahesa menunggu sebentar lalu
kembali melangkah ke pintu tersebut. Pada saat matanya mengintai maka
telinganya mendengar suara yang merdu dari gadis di dalam kamar.
"Embok Inah, ayahku masih
belum pulang?"
"Belum Den Ayu...."
"Aku tak mengerti ke mana
beliau malam-malam begini.... Setiap malam selalu pergi seperti orang yang tak
betah di rumah!" Gadis itu memutuskan benang sulaman dengan gigi-gi-ginya
yang rata bagus serta berkilat lalu mengganti benang baru.
"Mungkin ayahmu pergi ke
istana, Den Ayu," terdengar suara Embok Inah, si pelayan.
"Mungkin" desis si
gadis. "Ibu sudah tidur?"
"Sudah."
Kini tahulah Mahesa Kelud bahwa
gadis cantik yang tengah menyulam di dalam kamar itu memang adalah putri Suto
Nyamat. Meski dari pembicaraan yang dapat ditangkapnya cukup jelas bahwa Suto
Nyamat memang tak ada dalam gedung tersebut, namun untuk memastikan bahwa
manusia tersebut benar-benar tidak ada maka Mahesa memeriksa dua kamar lainnya
serta bagian-bagian di seluruh gedung itu. Ternyata memang penghuni di dalam
gedung cuma istri dan anak Suto Nyamat serta Embok Inah. Ketika pemuda itu
kembaii mengintai lewat lobang kunci maka Embok Inah tak ada lagi di kamar. Si
gadis masih juga menyulam dengan asyiknya. Mahesa Kelud berdiri termangu. Apa
yang akan dilakukannya sesudah mengetahui bahwa Suto Nyamat tidak ada di dalam
gedung itu? Tiba-tiba satu pikiran terlintas dikepalanya.
"Jika ini kulakukan... ya,
pasti Suto Nyamat akan keluar dari persembunyiannya!" kata Mahesa
dalam hati. Lalu dibukanya pintu di hadapannya dan masuk ke dalam. Gadis itu
meskipun tahu ada seseorang yang masuk masih saja terus menyulam tanpa
mengangkat kepalanya karena dia menyangka yang masuk itu adalah pelayannya,
Embok Kinem. Namun ketika akhirnya dia mengangkat kepala betapa terkejutnya
dia! Matanya terbuka lebar mulutnya hendak berteriak tapi teriakan itu tiada
keluar dari tenggorokannya. Seorang pemuda gagah, yang sama sekali tak
dikenalnya berdiri hanya beberapa langkah di hadapannya!
"Saudari, tak usah takut,
tak usah berteriak.
Aku tidak akan
mengganggumu..." kata Mahesa.
"K... kau... kau mengejutkan
aku...."
"Maafkan kalau begitu."
"Kau siapa?!" tanya si
gadis, hatinya agak tenang sedikit melihat sikap dan tutur kata si pemuda yang
ramah itu.
"Aku seseorang yang tengah
mencari ayahmu. Kau anak Suto Nyamat, bukan...?"
Gadis itu terkejut mendengar
bagaimana Mahesa Kelud menyebut nama ayahnya dengan "Suto Nyamat"
saja, padahal semua orang selalu memanggil dengan sebutan Raden Mas, atau
Adipati!
Diletakkannya sulamannya ke atas
meja di samping kursi.
"Ada apa kau mencari ayahku,
saudara...?"
"Ada urusan yang harus
diselesaikannya."
"Urusan apa?" tanya
puteri Suto Nyamat.
"Urusan nyawa," jawab
Mahesa Kelud. Untuk kedua kalinya mata gadis itu jadi membeliak sedang mulutnya
menganga. Tahulah dia bahwa pemuda ini tidak bermaksud baik terhadap ayahnya.
"Kau hendak membunuh
ayahku?"
Mahesa melangkah lebih dekat lalu
mengangguk. Puteri Suto Nyamat berteriak, namun sebelum suara teriakan itu
keluar dari tenggorokannya tubuhnya sudah kejang kaku lebih dahulu karena
ditotok oleh Mahesa Kelud!
***
Dengan cepat Mahesa Kelud
membopong tubuh gadis itu di bahu kirinya. Dia melangkah ke pintu dan keluar.
Tapi tiba-tiba saja tubuhnya bertabrakan dengan sesosok tubuh lain, yaitu tubuh
Embok Inah yang kebetulan hendak masuk ke dalam kamar tersebut! Bukan main
terkejutnya sipelayan melihat ada seorang Pemuda tak dikenal di hadapannya. Dan
jadi lebih terkejut lagi ialah menyaksikan bagaimana tubuh Retno, puteri
majikannya, dipanggul oleh pemuda tersebut, entah masih hidup entah sudah mati!
Maka berteriaklah pelayan ini
setinggi langit.
"Culik! Tolong! Pengawal!
Culik...."
Mahesa Kelud keluar dari kamar
dengan cepat. Badannya membentur tubuh Embok
Inah, membuat perempuan ini
terpelanting dan jatuh duduk. Si pelayan berkunang-kunang pemandangannya
seketika. Namun dia berdiri dengan cepat dan Berteriak kembali.
"Culik Den Ayu Retno
diculik! Tolong!"
Ketika Mahesa sampai di ujung
gang yang menghubungkan ruang tengah dengan bagian belakang gedung besar itu
maka dipintu berjubalanlah kira-kira sepuluh orang pengawal, masing-masing
dengan senjata di tangan!
"Maling rendah!" maki
pengawal paling muka. "Jangan harap kau bisa kabur dari sini!"
Kesepuluh prajurit tersebut
segera menyerbu. Mahesa Kelud menjangkau sebuah kursi kayu yang berada di
dekatnya. Kursiini diputarnya dengan sebat pada para penyerang. Beberapa
pengawal menjerit roboh kena dihantam kursi. Yang lain-lain masih coba
mengurung pemuda itu. Mahesa putarkan lagi patahan kursi yang masih ada di
tangannya. Kembali terdengar pekik kesakitan. Dua orang pengawal terdekat
menjerongkang jatuh kena tendangan kaki dan sesaat kemudian Mahesa sudah keluar
dari pintu belakang, lari ke taman melompati tembok untuk kemudian hilang di
telan kegelapan malam sementara isi gedung di mana Suto Nyamat tinggal itu
menjadi hiruk pikuk!
Di pintu gerbang kotaraja Mahesa
Kelud menghentikan langkahnya. Di tempat ini tadi mana terjadi pertempuran
antara dia dan Wulansari melawan kaki-kaki tangan Suto Nyamat maka kini di sini
tak ada satu orangpun yang dilihatnya! Apakah pertempuran sudah selesai?
Mana mayat-mayat yang sebelumnya
menggeletak dihadapan pintu gerbang ini? Di mana Wulansari? Mahesa Kelud tak
bisa berpikir lebih lama. Dia sudah susun rencana untuk menculik dan melarikan
puteri Suto Nyamat agar musuh besar itu keluar dari persembunyiannya. Dengan
hati tidak enak pemuda ini kemudian lari cepat menuju ke bagian timur luar
kota. Waktu menuju ke kotaraja tadi bersama Wulansari, di satu tempat yang
sunyi di luar kota mereka telah menemui sebuah pondok buruk yang didiami oleh
seorang nenek-nenek tua renta. Perempuan ini baik sekali. Mahesa membawa Retno
ke pondok ini, akan disembunyikan di sini. Nenek tua yang membuka pintu sangat
terkejut ketika melihat pemuda yang pernah datang ke tempatnya sebelumnya kini
muncul dengan membawa sesosok tubuh gadis berparas cantik yang dari pakaiannya
segera diketahui bahwa gadis ini adalah seorang anak hartawan atau orang
berpangkat!
"Anak muda," kata si
nenek. "Jika kau hendak berbuat kotor di pondokku ini, lebih baik
siang-siang kau angkat kaki dari sini!"
Mahesa Kelud masuk dan
membaringkan gadis culikannya di atas balai-balai yang beralas tikar pandan.
Dia berpaling menghadapi si nenek.
"Jangan khawatir nenek. Aku
tidak sejahat yang kau sangkakan...."
"Lantas mengapa kau culik
gadis ini?
Anak siapa dia...?"
"Sengaja aku larikan ke sini
adalah untuk memancing keluar ayahnya yang tengah bersembunyi dan merupakan
musuh besarku dan kawanku tempo hari."
"Siapa ayah gadis ini?"
"Suto Nyamat, bekas Adipati
Madiun yang kini dipindahkan ke kotaraja!"
"Suto Nyamat....? Ampun,
tobat aku!
Anak muda kalau ayahnya tahu
puterinya kau sekap di sini pasti kepalaku akan
dipancung! Tobat!"
"Tak akan terjadi apa-apa
denganmu, nenek. Aku jamin," kata Mahesa dengan dua jari tangannya pemuda
ini kemudian melepaskan totokan di tubuh si gadis. Retno segera sadar dan duduk
di tepi balai-balai. Dua orang ada di hadapannya. yang satu tua renta, tak
dikenalnya. Yang satu lagi pemuda gagah, penculiknya. Gadis ini segera menutup
muka dengan kedua tangannya yang berjari-jari halus panjang dan menangis
tersedu-sedu.
"Kembalikan aku...
kembalikan aku ke rumah," katanya berulang kali di antara tangisnya.
"Den Ayu," demikian
Mahesa Kelud memanggil gadis itu. Meski Retno adalah anak musuh besarnya
bersama Wulansari, namun dia tetap tidak melupakan peradatan, apalagi
disadarinya bahwa gadis ini tak ada sangkut paut dengan segala kejahatan yang
diperbuat ayahnya!
"Aku sekali-kali menculikmu
bukan untuk membuat sesuatu yang jahat atau buruk. Aku terpaksa melakukannya
untuk memancing agar ayahmu keluar dari persembunyiannya. Kalau saja ayahmu
bukan seorang pengecut yang melarikan diri dan sembunyi, mungkin kau tak akan
turut terlibat dalam persoalan ini!"
"Ayahku bukan seorang
pengecut!" tukas Retno.
"Mungkin...."
"Dia juga tidak jahat!"
"Mungkin..." jawab
Mahesa lagi. Kali ini Retno mengangkat kepalanya, menatap paras pemuda itu.
Aneh, mengapa hatinya berdebar melihat paras yang gagah ini?
Mengapa dia tak sanggup membenci
si pemuda meski dia tahu bahwa Mahesalah yang telah menculik dan
melarikannya?!"
"Den Ayu," kata Mahesa
Kelud.
"Dengarlah, aku akan segera
pergi. Tapi kepergianku ini janganlah kau anggap merupakan kesempatan baik
bagimu untuk melarikan diri! Jika kau lari kembali kegedung ayahmu, mungkin
keadaanmu akan menjadi lebih sulit lagi dari sekarang...."
Retno tidak menyahut. Mukanya
ditutup dengan sehelai sapu tangan dan kembali gadis ini menangis tersedu-sedu.
***
TUJUH
Ketika dia kembaii lagi ke pintu
gerbang kotaraja, keadaan tetap seperti waktu dia sehabis menculik Retno
tadi.Tak sepotong manusiapun ada di sana sementara hari semakin gelap juga dan
malam tambah melarut. Pemuda ini mulai kawatir. Di mana semua manusia tadi itu
kini? Dan di mana pula kekasihnya Wulansari? Apakah gadis itu berhasil
mengalahkan semua lawan-lawannya? Atau sudah kena celaka, diringkus oleh musuh?
Tapi yang belakangan ini mustahil adanya bagi Mahesa karena dia yakin benar
dalam menghadapi Si Setan Puntung dan dua resi baju ungu yang sudah babak belur
itu Wulansari pasti menang. Tapi kini gadis itu hilang lenyap begitu saja!
Dalam dia termenung dan termangu seperti itu tiba-tiba melompatlah sesosok
tubuh ke hadapannya. Orang ini gesit sekali gerakannya dan ternyata dia adalah
seorang pemuda sebaya Mahesa Kelud dan bertampang keren. Potongan tubuh mereka
hampir sama.
"Kau tengah mencari
seseorang sobat?" bertanya pemuda yang baru datang. Mahesa Kelud tak
segera menjawab. Ditelitinya dulu pemuda itu. Dia segera maklum bahwa pemuda
ini memiliki ilmu tinggi dan orang dari dunia persilatan juga. Hulu pedang
tersembul di punggungnya sedang sebilah keris tersisip di pinggangnya!
"Saudara," kata Mahesa
Kelud,
"Sebelum aku menjawab
pertanyaanmu aku ingin tahu dulu, apakah kau lawan atau kawan?"
Yang ditanya mengulum senyum.
"Kalau kau percaya kau boleh anggap aku kawan,"
sahutnya.
"Betul kau mencari
seseorang?"
"Betul."
"Gadis baju kuning
tua?"
"Bagaimana kau bisa
tahu?" tanya Mahesa Kelud heran. Pemuda itu tersenyum lagi.
"Waktu terjadi pertempuran
antara kalian dan orang-orangnya Suto Nyamat aku berdiri tak jauh dari sini.
Kemudian Suto Nyamat melarikan diri dan kau mengejarnya. Menurutku, kau
tinggalkan kawanmu itu adalah karena kau merasa yakin gadis baju kuning
tersebut akan sanggup menyelesaikan ketiga lawannya. Dugaanmu memang betul jika
kemudian tidak datang seorang lain yang sakti dan licik!"
"Jadi kawanku kena
diringkus?!" tanya Mahesa Kelud tegang.
Pemuda itu mengangguk.
"Kawanmu sudah merobohkan salah seorang resi baju ungu dan melukai Si
Setan Puntung. Pada saat itu datanglah perempuan tua bertubuh jangkung bermuka
hitam. Dialah yang digelari Si Iblis Jangkung! Nama sebenarnya Niliman Toteng.
Dia kakak kandung dan kakak seperguruan Waranganaya Toteng! Ilmunya tinggi
sekali dan disamping itu dia licik! Bagaimana hebatnya kawanmu namun Niliman
Toteng akhirnya dapat meringkus gadis tersebut!"
Mahesa Kelud hampir tak bisa
mempercayai kalau kekasihnya yang sudah tinggi ilmu kepandaiannya serta memiliki
pedang sakti masih bisa diringkus dengan mudah. Namun dia ingat kata-kata
gurunya bahwa di luar langit masih ada langit lagi! Setiap ada orang pandai
akan ada pula orang lain yang lebih pandai!
Kemudian terdengar pula pemuda
itu berkata.
"Setelah bertempur
beberapapuluh jurus maka Niliman Toteng mengeluarkan bola beracunnya. Bola itu
menyebarkan bau amis busuk dan menyebabkan adikmu jatuh pingsan ketika mencium
bau amis busuk tersebut. Niliman Toteng kemudian melarikannya...."
Mahesa Kelud tiba-tiba teringat
sesuatu. Dia memandang dengan tajam pada pemuda itu. "Tadi kau bilang
kepadaku sebagai seorang kawan. Jika gadis baju kuning itu dicelakai mengapa
kau tidak bantu...?"
"Namaku Supitmantil,"
katanya, "Dan walau bagaimanapun aku mengambil sikap bersahabat terhadap
kalian tapi membantumu secara terang-terangan itu satu hal yang aku tidak bisa
lakukan...."
"Mengapa?" tanya Mahesa
Kelud pula. "Karena aku adalah masih orang dalam juga yang kenal baik
dengan semua hulubalang dan pendekar-pendekar istana,meski banyak diantara
mereka yang aku tidak senangi, termasuk Suto Nyamat...."
"Kalau begitu kau manusia
ular kepala dua," ujar Mahesa Kelud.
"Kau boleh bilang
demikian," kata si pemuda itu pula dengan tertawa. Tak ada perubahan nada
pada ucapannya yang menandakan bahwa dia tidak marah dengan kata-kata Mahesa
tadi.
"Kau bisa menunjukkan ke
mana kawanku gadis baju kuning itu dilarikan?" tanya Mahesa. Supitmantil
mengangguk.
"Niliman Toteng membawanya
ke gedung hartawan Prajadika, seorang hartawan yang dekat hubungannya dengan
Baginda. Putra hartawan ini bernama Prajakuncara dan adalah murid Niliman
Toteng. NilimanToteng sangat sayang pada sang murid karena Prajakuncara pandai
mengambil hati sang guru dan memenuhi segala apa saja yang diinginkan oleh
Niliman Toteng. Prajakuncara sendiri bukan seorang pemuda baik-baik. Dia suka
mengganggu istri orang, suka mempermainkan dan merusak kehormatan anak gadis
orang, pokoknya dia seorang manusia yang masih muda belia tapi terlalu doyan
sama perempuan! Kau bisa memaklumi apa maksud Niliman Toteng membawa sahabatmu
ke gedung hartawan itu...."
Menggeletar sekujur tubuh Mahesa
Kelud mendengar itu. Menggeram hatinya dan menggejolak amarahnya.
"Lekas tunjukkan aku gedung
manusia keparat itu!" katanya.
"Ikuti aku," jawab
Supitmantil.
"Tapi tunggu dulu,
Supit."
Si pemuda balikkan tubuh.
"Ya?"
"Jika kau coba menipu dan
menjebakku, itu satu tanda bahwa umurmu tak akan lama lagi!"
Supitmantil tersenyum.
"Percaya padaku, sobat!" katanya.
Kedua pemuda itu berlari cepat
memasuki kotaraja di malam yang telah larut serta gelap pekat itu. Di satu
jalan mereka menghentikan lari dan berjalan seperti biasa.
"Lihat gedung besar dan
bagus itu?" tanya Supitmantil seraya menunjuk ke muka. Mahesa mengangguk.
"Itulah gedung
Prajadika...."
"Mari kita serbu!" kata
Mahesa sudah tak sabaran.
"Jangan gegabah,
sobat," memperingatkan Supitmantil.
"Kita harus hati-hati karena
tidak mudah untuk masuk ke gedung. Banyak orang-orang pandai di sana. Kurasa
Niliman Toteng sendiri menginap di situ!"
"Aku tidak takut sama iblis
perempuan itu!" kata Mahesa geram.
"Memang banyak orang yang
tidak takut padanya, tapi harus diingat bahwa selain ilmunya tinggi dia juga
licik busuk. Lihat saja bagaimana dia meringkus gadis sahabatmu. Kita sebaiknya
atur rencana. Aku melompati tembok masuk ke dalam menemui Niliman Toteng dan
ajak dia bicara-bicara. Sementara itu kau melompat ke atas genting gedung dan
selidiki dikamar mana sahabatmu disekap. Aku pasti sekali bahwa gadis itu berada
di kamar Prajakuncara!"
"Baik, cepatlah!"
Di luar, gedung hartawan
Prajadika memang tidak dijaga oleh siapa-siapa.Tapi di dalam gedung terdapat
beberapa orang berkepandaian tinggi, satu di antaranya adalah Niliman Toteng
yang saat itu tengah duduk menyirih dengan mulut komat kamit di samping gedung.
Meski dia tidak melihat orangnya namun dia dapat mendengar suara turunnya
sepasang kaki menginjak tanah di halaman samping yang agak gelap itu!
Demikianlah hebatnya daya dengar Iblis Jangkung ini!
Tanpa memutar kepala ataupun
menggeser duduknya, Niliman Toteng bertanya membentak: "Tamu tak diundang
dari mana yang berani datang malam-malam begini?!"
"Niliman Toteng harap
dimaafkan dan jangan marah kalau aku yang muda ini mengganggu
ketenteramanmu. Aku Supitmantil datang
untuk bicara dengan kau."
Barulah Niliman Toteng memutar
duduknya. Dia memang kenal baik dengan pemuda bertampang keren itu dan suka
bicara-bicara. Dengan tiada sedikitpun rasa curiga dia menyambut kedatangan
sipemuda. Percakapan yang asyikpun segera terjadi. Sementara itu dari jurusan
yang lain Mahesa Kelud dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuhnya yang
tinggi, laksana seekor burung rajawali melompat melayang ke atas wuwungan
gedung tanpa menimbulkan suara sedikit pun ketika kedua kakinya menginjak
wuwungan tersebut! Dia segera memulai pemeriksaannya, membuka genteng gedung
sebagian demi sebagian, mencari di kamar mana kekasihnya di sekap. Ketika dia
bergerak mendekati bagian tengah dari atap gedung maka didengarnya suara
bentakan-bentakan lantang menggeledek. Hatinya gembira karena dia dapat
mengenali suara tersebut yang tak lain dari pada suara Wulansari adanya!
Dibukanya bagian genteng di jurusan suara itu. Di bawahnya kemudian dilihatnya
sebuah kamar besar dengan perabotan serta mewah. Di atas tempat tidur di kamar
itu terbaring Wulansari. Meski gadis ini bisa membuka mulut dan bicara keras
namun tubuhnya tidak dapat bergerak. Ini satu tanda bahwa gadis itu ditotok
pada bagian tubuhnya! Sesudah mencium bau amis dari senjata rahasia Niliman
Toteng tadi, Wulansari jatuh pingsan dan dilarikan ke gedung tersebut. Niliman kemudian memberikan obat
penawar sehingga Wulansari sadar kembali tapi sebelum sadar tubuhnya telah
lebih dahulu ditotok, hingga biarpun dia bisa bicara namun sekujur tubuhnya
tetap tumpuh kaku!
Meskipun gadis ini kerahkan
tenaga dalamnya untuk membuyarkan totokan tersebut namun sia-sia saja karena
totokan Niliman Toteng benar-benar ampuh. Di samping kekasihnya sendiri maka
dalam kamar itu Mahesa Kelud melihat seorang pemuda bermuka putih dan
berpakaian bagus sekali. Pasti ini adalah anak si hartawan, Prajakuncara.
Pemuda ini duduk di tepi tempat tidur dengan senyum-senyum meskipun Wulansari
mencaci makinya habis-habisan.
"Pemuda hidung belang! Pergi
dari sini! Terkutuk kau!" Ingin sekali gadis ini menggerakkan kedua
kakinya untuk menendang tubuh Prajakuncara tapi apa daya kedua kaki dan sekujur
tubuhnya berada dalam keadaan lumpuh!
"Dengar gadis cantik!"
kata Prajakuncara sambil dekatkan kepalanya ke muka si gadis. "Daripada kau
memaki berteriak hingga akhirnya suaramu yang merdu itu jadi serak. Lebih bagus
kita bicara secara baik-baik. Kau cantik sekali dan pantas jadi istriku! Aku
belum punya istri dan ingin kawin!"
"Kawinlah dengan setan
neraka!" bentak Wulansari. Prajakuncara tertawa membahak.
"Kau ini ada-ada saja,"
katanya sambil memegang pipi Wulansari dengan kedua tangannya.
"Masakan aku yang begini
gagah disuruh kawin dengan setan neraka! Kau lebih pantas!" Tangan pemuda
yang memegang pipi turun ke bahu, berhenti di sini sebentar lalu bergerak
menyusup di balik baju kuning Wulansari!
"Keparat jahanam! Jangan
jamah tubuhku!" teriak Wulansari. Sebaliknya kedua tangan itu semakin
menggerayang bahkan Prajakuncara kini kelihatan merebahkan tubuhnya di samping
si gadis dan menyilangkan kakinya di atas paha Wulansari!
Seperti disengat kalajengking
Mahesa Kelud melihat pemandangan ini! Dia segera melompat turun dari atas
genteng dengan pedang merah terhunus!
"Manusia rendah! Hari ini
kau musti mampus!"
Bukan main kagetnya Prajakuncara.
Tangannya yang meremes dada Wulansari keluar dari balik baju. Dengan cepat dia
segera bangun. Pemuda ini serta merta jatuhkan tubuhnya di lantai ketika satu
sambaran merah melesat ke kepalanya. Masih untung dia sempat berbuat begitu,
kalau tidak pasti kepalanya akan terbelah dua!
Ketika dia berdiri lagi maka
Prajakuncara sudah menghunus sebatang pedang hitam. Senjata ini adalah buatan
gurunya Si Iblis Jangkung. Dengan geram murid Niliman Toteng ini menyerbu
Mahesa Kelud. Untuk kedua kalinya pedang dewi di tangan Mahesa membabat.
Prajakuncara gunakan pedangnya untuk menangkis. Namun keringat dingin membasahi
tubuhnya ketika senjata tersebut menjadi buntung dua di babat pedang lawan.
Belum lagi habis rasa kaget serta kecut ngerinya maka sinar merah menyambar
untuk ketiga kalinya! Dan kali ini pemuda doyan perempuan itu tidak bisa lagi
selamatkan nyawanya.
"Cras!"
Kepala dan tubuh Prajakuncara
saling terpisah satu sama lain!.
Darah muncrat deras. Tubuh anak
hartawan itu rebah kelantai beralaskan permadani indah sedang kepalanya
menggelinding ke sudut kamar!
Sebagai murid dari Niliman Toteng
yang sakti sebenarnya Prajakuncara memiliki ilmu silat tinggi. Namun karena dia
berada dalam keadaan kaget serta gugup, lagi pula dalam menyerang tadi Mahesa
Kelud mempergunakan jurus yang hebat dari ilmu "Dewi Pedang Delapan
Penjuru Angin" yakni jurus yang dinamakan "kitiran dewi memapas
puncak gunung" maka mana sanggup murid Niliman Toteng tersebut selamatkan
nyawanya!
Dengan cepat Mahesa Kelud
melompat ke tempat tidur dan melepaskan totokan di tubuh kekasihnya. Kedua mata
Wulansari nampak berkaca-kaca karena gembira dan terharu melihat bagaimana
pemuda kecintaannya sendiri yang melepaskannya dari bahaya yang luar biasa
terkutuknya itu! Dipeluknya Mahesa Kelud erat-erat.
"Wulan, mari kita keluar
dari sini dan buat perhitungan dengan setan perempuan itu!"
"Ya, kita harus cari dia dan
bikin mampus karena pedang merahku juga telah dirampasnya!"
"Apa?!" terkejut sekali
Mahesa mendengar keterangan kekasihnya itu. Keduanya segera melompat ke atas
atap.
***
DELAPAN
Niliman Toteng tutup mulutnya
yang sedang bicara ketika mendengar suara Wulansari di samping kirinya.
"Perempuan Iblis! jika kau
benar-benar punya nyali dan sakti, mari kita bertempur sampai seribu jurus
tanpa mempergunakan ilmu yang kotor dan licik!"
Supitmantil, yang tengah
bicaradengan Niliman Toteng, pura-pura terkejut. Niliman Toteng sendiri juga
terkejut tapi dapat menyembunyikan rasa terkejutnya itu!
Niliman Toteng tertawa.
"Hem...rupanya ada tikus kepala hitam yang bebaskan kau sehingga kau kini
bisa pentang mulut huh?!"
"Perempuan keparat! Jangan
banyak bacot! Kau takut menerima tantanganku?!"
bentak Wulansari. Kedua alis mata
Niliman Toteng tampak menjadi naik. Kemudian didengarnya pula Mahesa Kelud
berkata mengejeknya.
"Wulan, aku pernah dengar
tentang riwayat perempuan tua buruk ini! Dia seorang pelarian dari Blambangan,
persis sama seperti adiknya si Waranganaya Toteng!
Orang mengatakan bahwa dia lari
meninggalkan Blambangan karena terjadi perpecahan diantara orang-orang pandai
di sana. Tapi kau tahu hal yang sebenarnya? Setan tua ini tak lain melarikan
diri karena kehilangan muka, dikalahkan oleh beberapa orang muda seperti kita yang
dianggapnya tikus kepala hitam! Datang ke sini dia berhasil jual lagak!
Buktinya dia tak punya nyali melayanimu secara jujur tanpa ilmu busuk licik
itu!"
Muka Niliman Toteng jadi
mengkerut karena mendengar ejekan tajam itu.Hidungnya yang bengkok semakin
tambah bengkok!
"Pemuda mulut besar! Kau
murid siluman dari gunung manakah yang berani mengejek aku. Sudah bosan hidup,
ya?!"
Mahesa Kelud tertawa sinis.
"Jika kau anggap guruku seorang siluman, maka kau tentunya nenek moyang
siluman! Tapi dari jenis yang pengecut! Menghadapi tantangan adik seperguruanku
saja kau sudah mengkerut!"
Di sampingnya, Supitmantil
berbisik pada Niliman Toteng.
"Hati-hati, Niliman. Pemuda
ini lebih berbahaya dari gadis itu."
"Baiklah, biar kubikin lumat
tubuh keduanya!" kata Si Iblis Jangkung seraya maju ke muka.
"Eh, tunggu dulu Iblis
Jangkung!"kata Mahesa Kelud sambil angkat tangan kirinya. Dari tangan itu
keluar angin yang menyambar ke arah Niliman Toteng, padahal gerakan tangan
tersebut demikian pelahan!
"Pemuda banyak bacot!
Apalagi maumu?!" bentak Niliman Toteng penuh geram dan hentikan
langkahnya.
"Aku tidak yakin kau akan
melayani adik seperguruanku dengan jujur sebelum kau kembalikan pedang
merahnya!" kataMahesa Kelud.
"Soal pedang soal
kemudian!" jawab Niliman Toteng.
"Kalau begitu..." ujar
Wulansari,
"Siapa sudi berkelahi dengan
maling tua!
"Niliman Toteng menggereng
menahan amarahnya yang sudah tak terkendalikan. Dari balik jubah merahnya
dikeluarkannya pedang Wulansari.
"Ini, ambillah pedangmu
kembali!" kata perempuan jangkung itu. Lemparan yang dilakukannya bukan
lemparan biasa karena pedang tersebut melesat laksana anak panah lepas dari
busur dengan mata pedang mengarah ke dada Wulansari! Jika orang berilmu kepalang
tanggung pasti akan kena celaka bila coba menyambut senjata tersebut. Namun
dengan sikap acuh tak acuh si gadis gerakkan tubuhnya ke samping. Tangan
kanannya bergerak dan tahu-tahu hulu pedang sudah berada dalam genggamannya!
"Bagus!"
Memuji Si Iblis Jangkung.
Serentak dengan itu dia keluarkan stagennya dari balik jubah dan menyerbu
Wulansari! Meski cuma sehelai stagen namun keampuhannya luar biasa. Ujung dari
benda ini bisa dipakai untuk menotok, memukul mata sampai buta atau mematakan
tulang-tulang dada dan iga! Belitannya dapat mematahkan tulang pinggang atau
meremukkan tulang leher!
Mahesa Kelud dapat melihat
bagaimana gerakan-gerakan yang dibuat oleh Niliman Toteng sangat gesit, cepat
laksana kilat dan berbahaya sekali. Stagen merahnya meliuk-liuk laksana seekor
ular piton dan adakalanya seperti sebuah cambuk yang dipukulkan dan
mengeluarkan suara menggelegar!
Untuk beberapa lamanya Wulansari
hanya bisa bertahan. Ketika gadis ini mulai mengeluarkan jurus-jurus menengah
dari ilmu "Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin," maka setiap serangan
Niliman Toteng menjadi gagal buyar dan ngelantur sama sekali. Betapapun
perempuan tua ini mempercepat gerakannya namun sia-sia saja. Tak bisa dia
mendesak Wulansari, malahan keadaannya jurus demi jurus semakin kepepet! Pedang
merah merambas dan membabat kian kemari!
Serangan-serangan yang
dilancarkan Wulansari cepat serta banyak sekali perubahannya. Dalam satu
tusukan hebat senjata itu sampai berubah arah dua tiga kali sehingga sukar
diduga bagian tubuh yang mana dari Niliman Toteng yang diserang! Seumur
hidupnya baru kali ini perempuan tua kawakan itu menghadapi ilmu pedang yang
demikian anehnya dan berbahaya!
Dalam satu gebrakan yang hebat
tiba-tiba:
"Breet"!
Jubah merah di bagian dada
Niliman Toteng robek besar dimakan ujung pedang. Perempuan tua ini keluarkan
seruan tertahan. Keringat dingin memercik ditengkuknya. Cepat-cepat dia
kerahkan tenaga dalamnya untuk menolak hawa panas yang terasa bersarang di
dadanya!
Penasaran perempuan iblis ini
kemudian kerahkan tenaga bathinnya. Mulutnya komat kamit terpencong-pencong!
Jelas sudah bahwa Niliman Toteng
tengah membaca mantera-mantera sihir untuk memukul lawannya yang tak sanggup
dihadapinya secara jujur itu!
"Ha... ha! Anak ingusan
hendak mempermainkan aku?! Rebah! Kau harus rebah! Harus! Ayo rebah!"
Suara Niliman Toteng yang
diiringi dengan tenaga ilmu hitamnya masuk memukul-mukul lubang telinga
Wulansari, menguasai otak serta menanarkan pemandangannya.
"Rebah! Kau harus rebah....!
Lihat aku, rebah!"
Kedua lutut Wulansari melipat.
"Wulan! Jangan pandang
dia!" seru Mahesa Kelud dengan kerahkan tenaga dalam-nya.
"Dia tengah
menyihirmu!"
Wulansari sendiri segera maklum
bahwa lawan tengah berlaku licik terhadapnya. Dia memandang kejurusan lain
sambil kerahkan tenaga dalam menolak sihiran Niliman Toteng! Bersamaan dengan
itu dari hulu pedang mustika sakti yang dipegangnya keluar hawa panas yang
sama-sama menolak dan memusnahkan pengaruh sihir Si Iblis Jangkung!
Sesaat kemudian kelihatanlah
bagaimana tubuh Wulansari berkelebat cepat dan dengan ganas kembali mengirimkan
serangan bertubi-tubi ke arah Niliman Toteng!
Melihat bagaimana ilmu sihirnya
tiada mempan dan tidak sanggup merobohkan lawannya bukan main geram dan
penasaran sekali Niliman Toteng! Tangan kirinya bergerak. Kemudian dengan satu
teriakan peringatan dia melemparkan rahasianya berupa jarum-jarum senjata
beracun yang sangat berbahaya sekali.
"Awas jarum!"
Puluhan jarum berkilauan
menyambar ke arah Wulansari. Gadis ini putar pedangnya di muka dada dan semua
senjata rahasia Niliman Toteng dibikin mental!
"Keparat!" maki Si
Iblis Jangkung dalam hatinya. Dia kembali di desak hebat sampai akhirnya bahu
kirinya kena tersambar ujung pedang. Jubahnya robek sedang daging bahunya
terkelupas! Disamping rasa sakit Niliman Toteng merasakan pula bagaimana dari
lukanya itu menjalar hawa panas menggidikkan!Perempuan ini cepat-cepat kerahkan
tenaga dalamnya yang disertai bacaan mentera-mantera hingga akhirnya hawa panas
itu tertolak juga sesudahnya terjadi pergumulan seru dalam tubuh Niliman Toteng.
Jika saja Niliman bukan seorang berilmu sangat tinggi, ketika pergumulan antara
hawa panas dari pedang Wulansari dengan tenaga dalamnya, pasti tubuhnya akan
kelojotan dan mampus seperti yang terjadi dengan Si Setan Puntung sebelumnya!
Jago tua ini benar-benar
kehilangan muka. Tanpa malu-malu dia berteriak pada Supitmantil.
"Supit jangan menonton saja!
Bantu aku!"
Untuk tidak menimbulkan
kecurigaan orang tua itu maka Supitmantil segera cabut kerisnya yang
memancarkan sinar biru. Senjata ini adalah sebuah mustika sakti. Ketika dia
maju ke dalam kalangan pertempuran maka Mahesa Kelud segera memapakinya dengan
pedang merah di tangan. Kini terjadilah pertempuran yang seru di antara kedua
anak muda itu. Walau bagaimanapun ampuhnya keris di tangan Supitmantil namun
pedang sakti Mahesa Kelud belum dapat ditandinginya. Supitmantil sendiri tidak
berani beradu senjata, disamping itu pertempurannya melawan Mahesa Kelud
dilakukannya dengan setengah hati pula! Dengan mengandalkan kegesitan yang luar
biasa pemuda ini masih sanggup membendung serta mengelakkan setiap serangan
Mahesa Kelud. Tapi itu tidak bisa lama dilakukannya. Kalau saat itu tidak
segera datang kira-kira setengah lusin orang-orang jago kelas tiga,
pendekar-pendekar istana,mungkin Supitmantil sudah kena dilukai! Datangnya
jago-jago kelas tiga istana ini merupakan lawan berat bagi Mahesa Kelud serta
Wulansari meski mereka memiliki sepasang pedang sakti. Mereka bisa bertahan
sampai ratusan jurus sekalipun, tapi selain membuang waktu dan menghabiskan
tenaga saja maka semua itu tak ada gunanya!
Sambil mendekati kekasihnya,
Mahesa Kelud memberi isyarat untuk lari. Diiringi dengan bentakan tinggi dari
Mahesa Kelud serta lengkingan dahsyat dari Wulansari maka kedua orang itupun
putar tubuh, melompati tembok gedung. Iblis Jangkung dan beberapa orang lainnya
segera lemparkan senjata rahasia masing-masing! Dengan putar pedang sakti
mereka di belakang tubuh semua senjata rahasia itu bermentalan! Mahesa Kelud
dan Wulansari kemudian membalas serangan senjata rahasia tersebut dengan pasir
panas merah. Sebelum berlalu mereka masih sempat mendengar suara pekikan
beberapa orang yang tubuhnya kena dihantam pasir panas! Mereka tidak menduga
kalau dua muda mudi itu memiliki senjata rahasia pula dan di malam yang begitu
pekat butiran-butiran pasir yang demikian kecilnya siapa sanggup melihatnya!
Niliman Toteng segera
meninggalkan tempat itu menuju ke kamarnya di belakang gedung. Dia menuju ke
sini bukan saja untuk bersemedi guna mengatur jalan darah dan pernafasan serta
mengobati lukanya, tapi juga untuk menghindarkan orang-orang di luar sana yang
tak sanggup dipandangnya karena malu! Namanya sebagai jago tua yang disegani
seluruh orang sakti di kotaraja pasti akan luntur! Kemana mukanya hendak
dihadapkan!Supitmantil sendiri sesudah Niliman Toteng mengunci diri dalam kamar
segera tinggalkan gedung tersebut. Gedung hartawan itu untuk beberapa lamanya
diliputi kesunyian seperti tak ada terjadi apa-apa sebelumnya!
Tapi ketika pelayan menemui mayat
tanpa kepala Prajakuncara, maka heboh dan hiruk pikuklah seluruh isi gedung
tersebut!
***
Kedua muda-muda itu menuju ke
pondok di luar kotaraja. Wulansari terkejut ketika melihat di dalam pondok itu
ada seorang gadis cantik jelita, duduk di balai-balai kayu. Pakaiannya bagus
sekali menandakan bahwa dia adalah anak seorang berpangkat atau bangsawan kaya
raya!
Retno sendiri terkejut pula
melihat Mahesa Kelud kembaii bersama seorang gadis remaja berpakaian kuning dan
berparas cantik!
"Siapa dia, Mahesa?"
tanya Wulansari.
"Dia adalah puteri Suto
Nyamat...."
"Puteri Suto Nyamat?! Kalau
begitu dia harus mampus!"
Wulansari mencabut pedangnya.
"Wulan! Tahan!" seru
Mahesa Kelud seraya pegang pergelangan tangan kekasihnya!
Wulansari jadi heran dan
penasaran sekali melihat perbuatan Mahesa Kelud.
"Mahesa," katanya,
"Apa kau lupa manusia ini adalah anak musuh besar kita, yang telah
membunuh ibu serta ayah dan guru?!
Kau lupa?!"
"Aku tidak lupa, Wulan...
masukkan pedangmu kembali," kata Mahesa.
Gadis itu merengut. Tapi dia
mematuhi juga perintah kekasihnya, meski hatinya tidak senang sama sekali!
"Wulan, dia memang puteri
musuh besar kita! Tapi dia tidak berdosa apa-apa dan tidak ada sangkut pautnya
dengan segala kejahatan yang dibuat ayahnya!"
"Tapi dia cukup pantas untuk
menanggung dosa ayahnya!" tukas Wulansari tajam. Mahesa Kelud gelengkan
kepala. “Tidak Wulan, jika ayahnya bersalah kita tak bisa salahkan anaknya.
Tapi sebaliknya jika anaknya bersalah mungkin kita bisa salahkan ayahnya...."
Wulansari tambah penasaran
melihat sikap dan mendengar kata-kata kekasihnya itu. Rasa cemburu segera
menjalari dirinya terutama ketika dia menyadari bahwa anak gadis Suto Nyamat
itu memang lebih cantik dari dia!
"Siapa namamu?!" tanya
Wulansari dengan membentak serat kasar. Retno tak menjawab. Diam-diam dia
penasaran diperlakukan seperti itu dan diam-diam entah mengapa dia merasa benci
sekali pada Wulansari!
"Kau tak mau menjawab? Minta
ditampar hah?!" hardik Wulansari. Air muka Retno merah padam.
"Saudari, walau bagaimanapun
aku adalah manusia yang punya harga diri, mungkin lebih berharga dari kau!
Karena itu tak usah menanya dengan membentak. Jika kau mau bunuh aku, silahkan!
Aku tidak takut mati!"
Wulansari jadi naik pitam.
Tangannya bergerak untuk menampar muka Retno tapi lagi-lagi niatnya itu
dihalangi oleh Mahesa Kelud! Wulansari berpaling dan memandang beringas pada
kekasihnya. Belum pernah Mahesa Kelud melihat gadis itu memandangnya demikian
rupa. Tiba-tiba Wulansari merenggutkan lengannya dari pegangan Mahesa dan lari
keluar!
Mahesa Kelud menyusul.
Didapatinya kekasihnya berdiri menangis dan menutupi mukanya dengan kedua
tangan. Pemuda itu memegang bahu kekasihnya. "Wulan,dengarlah..."
katanya. Wulan menggerakkan tubuhnya sehingga pegangan kekasihnya terlepas.
"Mengapa kau ke sini?! Sudah saja di dalam sana! Kau membela gadis itu!
Belalah terus!Pergi sana!"
"Wulan, dengar...."
"Aku tidak mau dengar!"
"Aku tidak membelanya,
Wulan."
"Memang tidak, cuma
menolongnya! Dia lebih cantik dariku, pergilah ke sana!
Pergi!"
Bergetar tubuh Mahesa Kelud
mendengar kata-kata itu. Namun dengan tenang dia bertanya: "Kau cemburu,
adik?!"
"Aku bukan adikmu lagi,
Mahesa! Kau telah bersekutu dengan puteri musuhku! Dia adikmu yang baru!"
Mahesa memutar tubuh gadis itu.
Ketika berhadapan-hadapan Wulansari yang sudah mata gelap dan tak sanggup lagi
menahan segala kekesalan yang menyesakkan dadanya, tanpa disadari memukul
mendorong Mahesa Kelud sehingga pemuda itu terjajar ke belakang!
Mahesa Kelud merasa sedih dan
kecewa sekali atas sikap tindakan Wulansari itu. Dengan langkah gontai
ditinggalkannya tempat itu. Hatinya murung, pikirannya kacau balau. Musuh besar
masih bersembunyi dan antara dia dengan Wulansari terjadi perbantahan yang seharusnya
tidak boleh terjadi! Apakah yang akan dilakukan sekarang? Sementara malam sudah
larut begitu? Langkahnya dihentikannya di muka pintu. Di luar sana didengarnya
Wulansari menangis dan didalam pondok didengarnya pula tangisan Retno. Akhirnya
pemuda ini memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu,tak tahu
harus pergi ke mana. Dia berjalan si pembawa kakinya!
***
SEMBILAN
Tanpa disadarinya pemuda ini
sampai di tepi sebuah anak sungai. Langkahnya terhenti waktu kakinya terpeleset
ditebing sungai. Dia terduduk di tanah beberapa lamanya, kemudian berdiri
dengan perlahan dan melangkah menuju ke sebuah batu besar di sebelah sana. Dia
duduk diatas batu ini, bersila. Kedua matanya dipejamkan. Sukar baginya untuk
mulai bersemedi karena hatinya masih kecewa, sedih dan seperti diiris-iris.
Karena pikirannya kacau balau sukar dipusatkan dan karena telinganya
seakan-akan masih mendengar kata-kata bentakan Wulansari.... Kau membela gadis
itu...belalah terus.... Pergi sana! Aku tidak mau dengar... dia lebih cantik
dariku, pergi kepadanya... pergi!" Dan apa yang lebih memedihkan hati
pemuda ini ialah ketika Wulansari berkata:
"Aku bukan adikmu lagi, Mahesa! Kau telah bersekutu dengan puteri
musuhku!
Dia adikmu yang baru!"
"Wulan..." kata Mahesa
dalam hatinya.
"Daripada kau bicara
demikian, lebih baik tetakkan pedangmu di kepalaku. Bunuh aku! Rasanya itu
lebih baik!" Pemuda ini menarik nafas dalam. Seperempat jam kemudian baru
dia dapat memusatkan pikirannya dan menutup kelima panca inderanya, mulai
bersemedi.
Gadis itu tidak tahu berapa lama
dia berdiri menangis seperti itu. Disekanya muka serta matanya dengan selendang
kuning pengikat pinggang pakaiannya. Dia memandang berkeliling. Tak terlihat
Mahesa Kelud. Hanya kegelapan yang ada disekelilingnya. Dirapikannya letak
rambut serta pakaiannya, disekanya mukanya sekali lagi lalu melangkah ke pintu
pondok yang terbuka sedikit. Pintu didorongnya dan mengeluarkan suara
berkereketan menyebabkan Retno yang saat itu masih duduk terisak-isak ditepi
balai-balai kayu mengangkat kepalanya. Untuk beberapa detik lamanya pandangan
kedua gadis ini saling beradu. Kemudian Retno cepat-cepat memutar kepala
berpaling ke jurusan lain. Nenek-nenek pemiiik pondok tersebut duduk di bagian
lain dari balai-balai kayu tertidur ayam. Kedua matanya membuka sedikit dan
mengikuti Wulansari yang melangkah di hadapannya. Di hadapan pintu sebuah kamar
Wulansari berhenti. Di dalam kamar ini ada sebuah tempat tidur juga dari kayu.
Tempat tidur itu kosong, seluruh kamar kosong tak ada manusia. Pemuda yang
dicarinya tak ada di sana. Wulansari menuju ke belakang di mana terletak dapur
sempit yang perabotannya hanya sebuah tungku besi yang sudah sumbing dan panci
kaleng yang bocor!
Juga di sini tidak ditemuinya
pemuda itu. Ketika dia melewati bagian muka dari pondok, ingin sekali dia
menanyakan di mana adanya Mahesa Kelud pada si nenek. Tapi niat tersebut
dibatalkannya. Dia melangkah terus, keluar dari pondok dan kembali kegelapan
malam serta udara dingin sembilu menyambutnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Dadanya
turun naik dan dia mulai terisak-isak. Kemarahannya telah mereda dan jauh
dilubuk hatinya kini terasalah penyesalan yang
menyesakkan rongga-rongga
pernafasannya. Dia ingat betapa dia
telah bicara kasar terhadap kekasihnya itu! Telah membentak bahkan memukulnya.
Semuanya itu dilakukannya karena marah yang tidak beralasan, karena cemburu
buta terhadap anak gadis Suto Nyamat!
Dalam hati sedih penuh penyesalan
itu, dengan air mata mengalir membasahi kedua pipinya, dia melangkah perlahan.
Dia tak tahu di mana Mahesa Kelud berada, entah masih di sekitar situ, entah
sudah pergi jauh meninggalkannya dan tak kembali lagi.
"Mahesa..." rintih
gadis ini dalam hatinya. Dia melangkah terus, kadang-kadang terhuyung atau
tersandung. Dia melangkah, dan dia menangis. Di manakah kekasihnya... dapatkah
Mahesa memaafkan segala tindak lakunya yang kasar tadi?
Kalau saja pemuda itu ada di
hadapannya saat ini, maulah dia berlutut memagut kedua kaki Mahesa Kelud dan
menangis. Tapi Mahesa tidak ada, Entah di mana....
Seperti Mahesa Kelud tadi,
Wulansaripun dalam ketidaksadarannya melangkah sipembawa kakinya hingga
akhirnya sampai pula di tepi sungai, di bagian yang tidak berapa jauh dari
tempat di mana Mahesa Kelud duduk bersemedi. Wulansari duduk di atas batang
pohon kayu tumbang. Menutup mukanya dengan kedua tangannya dan menangis,
sejadi-jadi sepuas-puas hatinya. Jika saja Mahesa Kelud tidak tengah bersemedi,
pasti pemuda ini dapat mendengar tangis kekasihnya itu!
Tak berapa lama lagi hari akan
pagi, matahari akan segera terbit. Dari pedesaan telah terdengar kokok ayam
bersahut-sahutan. Perlahan-lahan Mahesa Kelud membuka semua panca indera yang
tadi ditutupnya ketika bersemedi. Meski tubuhnya kini segar namun kepedihan
hati yang begitu mendalam masih belum dapat dihilangkannya.
Mendadak,lapat-lapat ia dengar seorang perempuan yang tengah menangis,
tangisnya ini demikian sedih menusuk perasaan, membuat bertambah perihnya luka
dihati si pemuda. Perlahan-lahan Mahesa Kelud berdiri dan meninggalkan tempat
itu, menuju ke arah datangnya suara tangisan. Samar-samar dalam kegelapan
dilihatnya sosok tubuh duduk di atas batang kayu di tepi sungai,
membelakanginya. Langkahnya serta merta terhenti ketika pemuda ini mengenali siapa adanya orang tersebut. Satu
pergolakan terjadi dalam dadanya. Pergolakan antara rasa kasih sayang dan
kasihan dengan rasa kekecewaan dan kelukaan hati! Pemuda ini termangu sejurus.
Rasa kasih sayang dikalahkan oleh rasa kekecewaan. Rasa iba dikalahkan oleh
kelukaan hati yang amat sangat. Pemuda ini segera putar tubuhnya namun kakinya
menginjak sebatang ranting kering! Suara patahan ranting terdengar jelas dan
keras dalam kesunyian itu. Orang yang sedang menangis memutar tubuh!
"Mahesa!"
Betapapun, kerasnya hati, namun
seruan itu, suara itu membuat mau tak mau Mahesa Kelud menghentikan langkahnya.
Wulansari menjatuhkan dirinya di hadapan pemuda itu, memeluk kakinya dan
menangis tersedu-sedu. Mahesa merasakan butiran-butiran air mata hangat
membasahi kakinya.
"Mahesa... Mahesa..."
ratap Wulansari. Hati yang tadi keras, hati yang tadi begitu kecewa dan sedih,
hati yang tadi demikian lukanya, kini seperti diguyur air dingin sejuk. Kalau
tadi Mahesa Kelud mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, memandang ke arah
kejauhan, maka kini perlahan-lahan kepala itu diturunkannya.
"Wulan..." bergetar
suara pemuda ini ketika menyebut nama kekasihnya.
"Berdirilah," katanya.
"Kau... kau maafkan aku,
Mahesa...?" sedu Wulansari.
"Tak ada yang harus
dimaafkan, Wulan."
"Ada, aku salah. Aku
bersalah besar terhadapmu, Mahesa. Aku berdosa besar!"
"Tak ada kesalahan yang kau
buat, adik. Tak ada dosa yang kau lakukan. Berdirilah."
"Tidak Mahesa, aku merasa
bersalah dan berdosa meski kau anggap itu semua tidak ada. Maafkan dulu aku,
Mahesa,maafkan dulu adikmu ini, baru aku berdiri...."
"Aku maafkan kau
Wulan.Berdirilah...."
Gadis itu berdiri. Dipeluknya
tubuh Mahesa, disembunyikannya kepalanya di dada yang bidang itu. Dia masih
menangis tapi bukan menangis karena sedih, sebaliknya kini menangis gembira!
Mahesa Kelud membelai rambut
kekasihnya. Kemudian disekanya pipi yang basah dengan air mata itu, bahkan
dengan penuh kasih sayang diciumnya kedua mata yang bening berkilauan oleh air
mata itu. Wulansari tersenyum. Betapa indahnya senyum itu, lebih indah rasanya
dari yang dulu-dulu.
"Wulan, mari kita pergi dari
sini..." kata Mahesa. Keduanya meninggalkan tempat itu, menuju ke pondok.
Beberapa tombak dari pondok tersebut Mahesa menghentikan langkahnya.
"Kau tunggu di sini saja,
Wulan."
"Kau mau ke mana,
Mahesa...."
"Menemui gadis itu untuk
menerangkan kepadanya bahwa bila pagi tiba dia bisa kembali ke kotaraja, ke
gedung ayahnya."
"Kau tak boleh temui dia,
Mahesa. Aku benci padanya."
"Aku memaklumi,Wulan....
Kalau begitu kaulah yang
pergi." Gadis itu gelengkan kepalanya.
"Sudah, pergilah...."
"Kau tidak marah...?"
"Tidak."
"Kau tidak cemburu?"
Wulan mencubit lengan Mahesa
Kelud.Sambil mengusap tangannya yang sakit pemuda itu menuju ke pondok. Tak
lama kemudian dia kembali mendapatkan kekasihnya. "Gadis itu sudah tidur.
Aku bicara dengan nenek pemilik pondok. Kau marah dan cemburu aku bicara
padanya?" tanya Mahesa menggoda.
Wulansari mengulurkan tangan
kanannya dan tahu-tahu telinga kiri Mahesa Kelud terjewer keras hingga pemuda
ini mengaduh kesakitan!
"Ampun, tipu ilmu mana yang
kau pergunakan untuk menjewer telingaku ini, Wulan?!"
"Itu namanya tipu gadis
manis menjewer pemuda ceriwis!" kata Wulansari pula sambil tertawa
cekikikan. Mau tak mau Mahesa juga jadi ikut tertawa gelak-gelak.
Tapi dia tidak tinggal diam.
Tiba-tiba tangan kirinya meraih pinggang gadis itu dan tahu-tahu tubuh
Wulansari sudah berada di atas bahu kirinya untuk kemudian dibawanya lari
secepat-cepatnya.
"Hai!
Kau mau culik aku
kemana?!"teriak Wulansari.
"Lepaskan! Ayo turunkan
aku!"
"Ha... ha... ha!"
bergelak Mahesa Kelud.
"Ini namanya tipu pemuda ceriwis menculik
pacar genit!"
Wulansari selinapkan tangan
kirinya di belakang kepala Mahesa. Begitu jari-jarinya berhasil menangkap daun
telinga pemuda itu maka segera dipuntir dijewernya. Mahesa terpekik kesakitan
tapi dia lari terus walau termiring-miring. Betapa mesranya ke dua insan itu
walau kadang-kadang kemesraan itu disingkapkan dalam cara dan keadaan aneh dan
lucu.
***
TAMAT
Episode Selanjutnya :
LUTUNG GILA
Emoticon