PEDANG SAKTI KERIS ULAR EMAS
Karya: Bastian Tito
Episode 10
BANJIR DARAH DI UJUNG KULON
SATU
PUNCAK bukit itu kini diselimuti
kesunyian. Orang tua berambut putih duduk menjelepok di tanah di hadapan sosok
tubuh Udayana yang masih berada dalam keadaan terikat dan pingsan tak berkutik.
"Nyi Gambir sompret!"
Orang tua itu memaki menyebut nama nenek yang barusan saja tinggalkan tempat
itu. "Kalau dia tidak muncul mengganggu, urusanku dengan pemuda sialan ini
pasti sudah selesai! Sekarang aku terpaksa harus menunggu sampai dia siuman!
Sompret betul!"
Dia garuk-garuk kepalanya
berulang kali. Lalu sudut matanya menangkap sesuatu melayang di udara.
"Hemmm... ada baiknya sambil menunggu aku mengisi perut dulu!"
katanya dalam hati. Dekat tempatnya duduk menjelepok di tanah ada sebuah batu
sebesar ibu jari kaki. Batu itu diambilnya. Lalu acuh tak acuh, tanpa mendongakkan
kepalanya ke atas, orang tua ini lemparkan batu itu ke udara.
"Plekkk!"
Terdengar suara batu mengenai
benda yang terbang di udara menyusul suara berkuik pendek. Lalu benda itu jatuh
ke bawah dan "breekk!" Jatuh tepat di atas pangkuan orang tua itu.
"Hemmm... Cuma seekor burung
hutan. Kurang sedap tapi lumayan dari pada tidak makan apa-apa!". Orang
tua ini lantas dengan cepat menguliti burung besar yang barusan dihantamnya
jatuh dengan lemparan batu. Tak lama kemudian tampak dia komat kamit asyik
menyantap daging burung mentah itu.
"Sialan! Kalau gigiku tidak
pada ompong tentu akan lebih cepat burung ini kuhabiskan!" Si orang tua
memaki sendiri.
Sebelum burung itu habis
disantapnya tiba-tiba dia melihat tubuh Udayana bergerak. Si orang tua buang
daging burung yang tengah dimakannya.
"Hemmmm.... Anak sompret,
kau sudah siuman rupanya! Bagus!"
Si orang tua tepuk-tepuk pipi
Udayana kiri kanan. Karena tepukan itu sama saja dengan tamparan tak urung
Udayana jadi menjerit kesakitan!
"Bangun! Jangan tidur saja
sompret!" maki si orang tua yang menganggap pingsannya si pemuda sebagai
tidur. "Tadi kau bilang kau muridnya Empu Sora! Betul?!"
Sambil menahan sakit Udayana
menjawab. "Betul! Apa kau kini mau percaya?" Pemuda murid Empu Sora
dari Ujung Kulon itu menatap wajah si kakek sementara dalam hatinya dia
bertanya-tanya apa yang barusan telah terjadi atas dirinya. Mengapa dia kini
terbujur di tanah dan dengan bertanyanya si orang tua apakah kini dia punya
harapan?
"Kalau kau memang anak murid
perguruan Ujung Kulon, coba kau tunjukkan bukti!"
"Bukti...? Bagaimana aku
harus membuktikan...?" Udayana membatin. Tiba-tiba dia ingat pada pedang
hijau di punggungnya. Dia gerakkan tangan hendak mencabut tapi baru sadar kalau
saat itu sekujur tubuhnya masih berada dalam keadaan terikat tali hitam aneh.
"Sompret! Mana buktinya!
Jangan kau berani dusta padaku!" membentak si orang tua.
"Di punggungku! Aku membawa
sebilah pedang hijau pemberian guru pertanda aku murid perguruan Ujung
Kulon," menjawab Udayana.
"Coba tunjukkan! Perlihatkan
senjata itu padaku!"
"Tubuhku terikat! Mana
mungkin mengambil pedang!" ujar Udayana.
"Sompret!" Si orang tua
aneh segera lepaskan ikatan Udayana. Begitu ikatan dilepaskan. Udayana segera
cabut pedang hijau dari balik punggung, dia berdiri dan perlihatkan senjata itu
pada si orang tua.
"Baik, aku percaya sekarang!
Tapi aku tidak percaya kalau Empu Sora mati dibunuh orang! Kau jangan bicara
ngaco! Sompret!"
Udayana telan air ludahnya.
Jakun-jakunnya bergerak. "Orang tua, aku sama sekali tidak bicara ngaco!
Mula pertama kami semua anak-anak murid Perguruan Ujung Kulon tidak dapat
percaya mendengar nasib guru kami! Beberapa orang kemudian pergi ke pulau
Bawean! Tujuh yang pergi tapi hanya seorang yang kembali membawa jenazah
guru...."
"Yang enam orang lainnya
mampus?!"
Udayana mengangguk. "Mereka
gugur secara kesatria...."
"Aku tidak tanya itu,
sompret! Siapa yang bunuh gurumu?"
"Jayengrana, bekas murid
sendiri. Sekarang memakai nama Lutung Gila?"
"Kenapa begitu...?"
"Karena dia memang gila!
Miring otak!"
Orang tua itu tertawa. Inilah
untuk kali pertama Udayana melihatnya tertawa lebar seperti itu. "Kau juga
tadi bilang bahwa perguruanmu terancam bahaya besar! Sebagaimana besarnya?
Ada kira-kira segunung eh,
sompret?!"
Udayana hendak memaki dalam hati
tapi tak jadi karena khawatir orang tua aneh itu akan tahu pula.
"Menurutku orang tua, bahaya itu lebih besar dari gunung...." Udayana
kemudian menuturkan bahaya besar yang mengancam Perguruan Ujung Kulon yaitu
malapetaka yang bakal ditimbulkan oleh Lutung Gila dan istrinya serta dua orang
lainnya. Orang tua itu manggut-manggutkan kepalanya seperti seorang kyai.
"Kualat!" katanya
tiba-tiba. Udayana hendak bertanya siapa yang kualat, tapi kemudian memutuskan
untuk diam saja.
"Kualat!" kata
kakek-kakek itu lagi.
"Siapa... siapa yang kualat
orang tua?" akhirnya bertanya anak murid Perguruan Ujung Kulon itu.
"Jayengrena. Sompret!"
"Kualat dan murtad!"
menyambung Udayana. Orang tua itu garuk-garuk rambutnya yang putih sehingga
jadi awut-awutan. Sepasang matanya melotot pandangi wajah Udayana membuat
pemuda itu gentar hatinya.
"Orang tua," kata
Udayana pula. "Aku harus pergi sekarang... aku harus cari kakek guru untuk
selamatkan perguruan dari kehancuran."
"Eee kunyuk! Tunggu dulu!
Betul kau mencari kakek gurumu?!"
Udayana mengangguk.
"Kau sudah lihat lereng
bukit sebelah timur hah, sompret?!"
Udayana mengangguk lagi.
"Kini kau tahu apa nama bukit ini, kunyuk?!"
Udayana berpikir, tapi otaknya
mana bisa bekerja tajam saat itu. Rasa takut masih tetap menjalari dirinya
sedang kekesalannya terhadap si orang tua aneh itu makin detik makin tambah.
Dia menggeleng.
"Anak murid Ujung Kulon
goblok!" semprot si orang tua.... "Lihat ini!" katanya pula.
Orang tua berambut putih seperti kapas itu angkat kedua tangannya tinggi-tinggi
di udara lalu diputar-putar sedang mulutnya yang kempot senantiasa meniup-niup
ke muka. Putaran tangan dan tiupan mulut menimbulkan angin aneh yang keras
sekali. Daun-daun sekitar sana bergerak-gerak menggerisik, cabang dan ranting-ranting
pohon bergoyangan sedang debu dan pasir beterbangan! Sesaat kemudian di sekitar
situ menghamparlah bau busuk yang amat sangat, bau mayat, mayat yang banyak
sekali! Udayana tekap hidungnya, tutup mulut rapat-rapat. Kepalanya terasa
pusing. Dipejamkannya matanya. Meski hidung serta mulutnya sudah ditutup rapat
namun bau busuk yang amat sangat itu seperti menembus kulit tubuhnya, seperti
merasuk lewat pori-pori yang membuat napasnya detik demi detik jadi menyengal.
Dirinya tak ubah laksana seorang yang tengah dicekik saat itu! Orang tua
tersebut hentikan putaran-putaran tangan dan tiupannya. Saat itu juga bau
busuknya mayat pun lenyap!
"Ei sompret! Kau sudah tahu
apa nama bukit ini sekarang?!"
"Ya... ya orang tua..."
sahut Udayana dengan buka kedua mata serta turunkan tangannya yang menutup
hidung.
"Apa?!"
"Mun... mungkin Inilah Bukit
Mayat."
"Naa... naaaa... kau tidak
goblok lagi. Sompret! Tahu namaku siapa?!"
Udayana kini berpikiran cerdik.
Kalau bukit itu bernama Bukit Mayat, tak boleh tidak si orang tua yang di
hadapannya adalah kakek gurunya yang memang tengah dicari! Buru-buru anak murid
Perguruan Ujung Kulon ini jatuhkan diri berlutut. Orang tua itu tertawa
mengakak. "Namaku bukan kakek Guru, sompret!" Kaki kanannya bergerak
ke muka dan masuk di bawah selangkangan Udayana. Ketika kaki itu bergerak
sedikit maka kelihatanlah Udayana mental ke udara sampai tujuh tombak. Orang
tua itu memang tiada lain dari kakek guru Perguruan Ujung Kulon yang bernama
Lor Munding Saksana tertawa lagi. Begitu tubuh Udayana jatuh ke bawah segera
disambutnya. Dipanggul di bahu kanan dan dengan kecepatan seperti angin
dilarikannya ke arah lereng bukit sebelah barat!
***
DUA
HARI tujuh bulan tujuh hanya
tinggal tiga hari di muka. Perguruan Ujung Kulon menjadi kalang kabut. Udayana
yang meninggalkan perguruan sejak tiga bulan lewat sampai hari itu belum juga
muncul! Apakah anak murid kelas empat itu berhasil menemui kakek guru Lor
Munding Saksana atau tidak, sama sekali tidak diketahui. Juga apakah Udayana
hanya tinggal nama belaka sekarang ini tak pula diketahui!
Hari itu Dipa Putra, anak murid
Perguruan Ujung Kulon kelas satu yang sementara diangkat menjadi pemegang pucuk
pimpinan perguruan mengumpulkan seluruh saudara-saudara seperguruannya di ruang
pertemuan.
"Saudara-saudaraku sekalian.
Hampir tiga bulan telah lalu. Hari tujuh bulan tujuh sudah didepan mata sedang
saudara kita Udayana sampai hari ini tiada berita tiada kabar, apakah dia
berhasil menemui kakek guru ataukah sudah menemui nasib seperti saudara-saudara
kita yang terdahulu. Jika sampai lewat tengah hari nanti Udayana tidak datang
juga maka beberapa orang di antara kita harus pergi menemui orang-orang sakti
di beberapa perguruan yang menjadi sahabat guru kita untuk dimintakan
pertolongan mereka!"
Ruang pertemuan itu sunyi senyap
beberapa lamanya. Kemudian terdengar suara Waranoa, si kakek tua yang juga
menjadi murid merangkap tukang masak di perguruan. "Apa yang dikatakan
Dipa Putra betul. Kita tunggu sampai lewat tengah hari, mudah-mudahan Udayana
kembali. Kalau tidak baru ambil tindakan lain...."
Detik demi detik senantiasa
diselimuti ketegangan di perguruan tersebut. Waktu seolah-olah merayap-rayap.
Dipa Putra akhirnya mengusulkan. "Sebaiknya kita menunggu di luar, di
sekeliling makam guru."
Saudara-saudara seperguruannya
tak ada yang menjawab tapi mereka semua berdiri tanda setuju dan pergi keluar.
Mereka berkumpul di sekeliling makam Empu Sora. Di hati masing-masing mereka
memohon restu sang guru agar perguruan yang dibina sejak bertahun-tahun itu
diselamatkan dari kehancuran. Permohonan itu disertai pula dengan panjatan doa
kepada Yang Esa. Udara panas terik. Di langit matahari semakin dekat juga
menggeser ke titik tertingginya. Tak lama kemudian sang surya itupun mencapai
titik tertingginya di langit cerah tiada berawan. Ini tanda bahwa saat itu
sudah tepat tengah hari. Dan Udayana tidak juga kembali. Kegelisahan yang sudah
menyungkupi hati anak-anak murid Perguruan Ujung Kulon itu kini semakin
mencekam. Mereka saling lirik dan saling pandang. Biasanya mereka selalu
bersikap arif tenang kini tak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Hanya Dipa
Putra si murid utama tetap berdiri dengan tenang sambil memegang nisan makam
gurunya. Pemuda ini tundukkan kepala. Sepeminuman teh lewat. Masa penantian
sudah lampau dari batas dan Dipa Putra akhirnya angkatkan kepala. Di mukanya
yang licin itu tiada terbayang sama sekali kegelisahan ataupun kecemasan. Ini
berkat pandainya dia menahan gelisah hatinya. Jika dia bersikap kecut gelisah
pasti akan membawa pengaruh yang lebih tidak diinginkan pada diri
saudara-saudara seperguruannya.
Dipandangnya satu demi satu paras
saudara-saudara seperguruannya itu. "Beberapa di antara kita harus pergi
saat ini juga," katanya.
"Jombang Ulo, kau pergi ke
puncak... "
Kalimat Dipa Putra terputus oleh
satu suara dahsyat melengking tinggi mendesing di anak telinga. Suara
lengkingan ini datangnya seperti dari atas langit! Bukan saja menggetarkan hati
dan menyentak perasaan tapi juga menggetarkan segala apa yang ada di sekitar
tempat tersebut.Semua orang terkejut dan semangat mereka serasa terbang!
Satu bayangan hitam besar dan
tinggi berkelebat laksana kilat, mendatangkan angin sederas topan. Dan pada
detik itu pula terdengarlah jeritan kematian membelah langit! Enam orang anak
murid Perguruan Ujung Kulon mencelat mental menggeletak di tanah, meregang
nyawa dalam keadaan mengerikan! Empat dari mereka koyak dadanya sehingga tulang
dada dan tulang-tulang iga mereka kelihatan jelas memutih, kemudian tertutup
oleh darah yang menggelimang. Yang dua lagi hancur luluh robek muka mereka!
Kelimanya mati seperti orang-orang dicakar setan buas berkuku panjang!
Anak-anak murid Perguruan Ujung
Kulon yang lain dengan muka pucat pasi segera mundur menyebar dan cabut pedang.
Sembilan belas pedang hijau berkilauan di bawah pantulan sinar matahari berada
di tangan. Sembilan belas pasang mata memandang ke satu jurusan di mana berdiri
satu makhluk yang mereka belum pernah lihat sebelumnya!
Seekor lutung berbulu hitam
panjang, berbadan besar setinggi tiga meter berdiri dengan seringai
menggidikkan. Gigi-gigi serta calingnya besar dan runcing tajam.
"Raja Lutung!" kata
Gagak Nandra yang pernah melihat makhluk ini di pulau Bawean, memberitahukan
kepada saudara-saudara seperguruannya. "Hati-hati makhluk ini berbahaya
dan sakti sekali!"
"Kenapa dia datang
sendirian?" tanya Dipa Putra.
"Tidak, dia pasti tidak
datang sendirian," sahut Gagak Nandra. Diperhatikannya kuku-kuku tangan makhluk
tersebut yang berlumuran darah. Darah enam orang saudara-saudara seperguruannya
yang barusan dibunuh! Menggelegak amarah pemuda ini. Dia maju ke muka tapi
kakak seperguruannya memberi isyarat. Dipa Putra melangkah ke depan sambil
melintangkan pedang hijau di muka dada.
"Raja Lutung! Kami tidak
punya permusuhan dengan kau, mengapa lakukan kekejaman ini?!" tanya Dipa
Putra. Raja Lutung menggereng dan menyeringai memperlihatkan taringnya yang
besar serta runcing. Dari mulutnya melengking teriakan tinggi membelah langit
dan sedetik kemudian tubuhnya melesat ke muka dengan kedua tangan terulur siap
untuk mengoyak muka serta dada Dipa Putra!
Melihat serangan ini, anak murid
terpandai dari Perguruan Ujung Kulon segera memapas dengan pedang sakti
pemberian gurunya. Namun terjadilah hal yang benar-benar luar biasa bagi semua
murid-murid Empu Sora itu. Serangan yang dilancarkan oleh Dipa Putra adalah
serangan hebat dan tersulit serta mematikan. Sampai saat itu hanya Dipa Putra
sendiri yang berhasil memiliki jurus serangan tersebut, yang lain-lainnya masih
belum! Betapa mengenaskan sekali ketika Raja Lutung dengan gerakan sedikit saja
tangan kirinya berhasil merampas pedang di tangan Dipa Putra. Senjata itu
digigitnya, hulu pedang ditekan ke bawah.
"Trak!" pedang patah
dua!
Bersamaan dengan gerakan merampas
serta mematahkan pedang tadi maka tangan kanan Raja Lutung bergerak pula ke
muka. Untung saja Dipa Putra berlaku sebat rundukkan kepala karena kalau tidak
maka pastilah mukanya akan robek besar! Namun demikian Raja Lutung tidak
tinggal diam. Cakaran kuku-kukunya yang panjang serta tajam itu diteruskan ke
dada. Sukar bagi Dipa Putra untuk mengelak. Namun demikian dia berusaha juga
membuang diri ke belakang, tapi tak urung pakaiannya kena juga dicakar dan koyak,
tubuhnya terasa dingin ngilu! Begitu lawannya jatuh ke tanah, Raja Lutung
kirimkan tendangan ke kepala Dipa Putra. Pemuda ini juga masih untung karena
sebelum tendangan sampai dia sudah berguling menjauh! Dia cepat berdiri,
mukanya pucat pasi. Dipa Putra maklum bahwa meski bagaimana pun, meski segala
ilmu yang dipelajarinya dikeluarkan, maka untuk menghadapi Raja Lutung dia tak
akan mampu! Dipa Putra segera beri tanda. Dua belas orang saudaranya segera
menyerbu. Dipa Putra sendiri mengeluarkan sebilah keris dari pinggangnya!
Raja Lutung meringkik seperti
kuda! Sekali tubuhnya berkelebat maka empat orang lagi anak murid Perguruan
Ujung Kulon menemui ajalnya! Yang lain-lain segera mundur dan merinding bulu
tengkuk mereka! Pada saat itu terdengarlah suara pekik perempuan melengking
dibarengi dengan suara tertawa mengikik.
"Raja Lutung! Pelajaran itu
sudah cukup baik bagi kunyuk-kunyuk macam mereka!"
Raja Lutung mundur menjauh sedang
semua anak-anak murid Perguruan Ujung Kulon sama palingkan kepala ke jurusan datangnya
suara tertawa serta pekik melengking tadi. Di sana, sembilan tombak di hadapan
mereka berdiri dua sosok tubuh manusia. Laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki
hanya kepalanya saja yang masih kelihatan tersembul seperti manusia sedang
sebatas leher ke bawah, terbungkus dengan sejenis pakaian yang tak ubahnya
seperti kulit lutung berbulu-bulu dan memang pakaian itu dibuat dari kulit
lutung dan yang memakainya adalah Lutung Gila. Di samping Lutung Gila berdiri
seorang perempuan muda yang sebelumnya tak pernah dilihat oleh anak-anak murid
Perguruan Ujung Kulon itu, kecuali Gagak Nandra. Perempuan muda ini berpakaian
kotor dan tidak karuan. Rambutnya awut-awutan. Namun ini tidak dapat
menyembunyikan kecantikan alamiah yang dimiliknya. Pipinya yang montok
kelihatan merah sedang sepasang matanya bening menyorotkan sinar galak,
pandangannya buas. Dia mendukung seorang bayi!
"Celaka, Kakak Dipa
Putra," bisik Gagak Nandra. "Manusia-manusia penyebar bahala ini
datang lebih cepat dari waktu yang dikatakan mereka!"
"Jayengrana!" kata Dipa
Putra. "Apakah kau datang ke sini untuk menyerahkan diri, menebus dosa
atas apa yang kau telah lakukan terhadap guru?!"
Jayengrana alias Lutung Gila
komat-kamitkan mulutnya beberapa kali. Tiba-tiba meledaklah tertawanya. Tertawa
aneh tapi juga menggidikkan telinga yang mendengarkannya.
"Jayengrana," kata Dipa
Putra lagi. "Mendiang guru telah mengusir kau dari sini, sekarang kau
kembali! Kembali dengan membawa dosa besar, membunuh guru sendiri! Kau mau apa
datang anak beranak kemari?! Dosamu sudah lewat dari takaran! Batang lehermu
jadi imbalannya, Jayengrana!"
"Eeeeeee biung! Lagakmu
segagah seorang Pangeran! Mulutmu sebesar kawah gunung meletus! Biung...
biung!"
"Ciluk! Kau dengar bagaimana
manusia ini buka bacot?! Biung! Hei kunyuk, namamu Putra Dipa ya?!"
Gagak Nandra yang memang sudah
sejak peristiwa di pulau Bawean mendendam berurat berakar terhadap Lutung Gila
yang telah membunuh gurunya itu segera melompat ke muka dan membabatkan pedang
hijaunya ke leher Lutung Gila!
"Murid murtad! Lebih cepat
kau mampus lebih baik!" maki Gagak Nandra membentak.
"Biung! Masih muda sudah
kepingin mampus! Baah!" Lutung Gila pukulkan tangan kanannya ke muka,
kakinya menyelinap di bawah ketiak Gagak Nandra, dalam gerakan yang aneh!
"Trak!" tulang pangkal
bahu Gagak Nandra patah. Pedangnya mental jauh ke tanah. Tubuhnya mencelat ke
belakang diiringi dengan jeritan yang menggidikkan. Dia coba imbangi diri tapi
tak berhasil. Setelah muntah darah anak murid Perguruan Ujung Kulon kelas dua
inipun rebah ke tanah dan tak bergerak-gerak lagi untuk selama-lamanya!
Saudara-saudara seperguruan Gagak
Nandra termasuk Dipa Putra yang menyaksikan kejadian itu benar-benar menjadi
kecut nyali mereka. Mereka perhatikan tadi gerakan yang dibuat Lutung Gila,
aneh tak teratur seperti sembarangan saja! Namun justru dengan gerakan yang
aneh ngelantur itu Gagak Nandra yang tidak berilmu rendah bisa dirobohkan dalam
satu gebrakan saja!
"Biung... biung! Terlalu
buruk mati terlalu muda. Sorga dunia banyak ragamnya, mengapa memilih mati?!
Biung masih ada yang mau menyusul?!" Lutung Gila ucapkan kata-kata itu
dengan tolak pinggang serta goleng-golengkan kepala!
Kemaladewi yang berdiri di
sampingnya, mendukung anaknya Lutung Bawean mengejek dan perhatikan muka
manusia-manusia di hadapannya itu satu demi satu. "Kalian saksikan sendiri,"
dia berkata. "Siapa tak tahu tingginya gunung akan hancur! Siapa tak tahu
besarnya ombak akan lebur! Kalian monyet-monyet Ujung Kulon berlututlah di
hadapanku! Aku Ketua Perguruan kalian yang baru!"
Dipa Putra dan saudara-saudara
seperguruannya kaget sekali dan saling pandang.
"Biung buset! Kalian apa
tuli semua! Tidak dengar perintah istriku?" bentak Lutung Gila dengan
hentakan kaki kirinya ke tanah dan tanah itu melesak sampai sejengkal!
"Ayo lekas berlutut!"
"Jayengrana! Kau benar-benar
terkutuk! Bukan manusia! Kau benar-benar binatang! Lutung jahanam! Kau membunuh
guru! Membunuh saudara-saudaramu sendiri!" berteriak Dipa Putra.
"Biung... biung! Kalau aku
binatang kalian apa?! Pasti moyangnya binatang! Biung! Baah.... Dipa Putra, kau
juga mau mampus ya? Konyol! Eeeee aku tanya kau mau mampus cara bagaimana,
kunyuk?! Mau cara meram atau cara melek?! Icuh... icuh!"
Dipa Putra tak dapat tekan
kesabarannya lagi. Dengan keris yang sudah sejak tadi dipegangnya di tangan dia
siap untuk menerjang ke muka. Namun satu suara membuat dia hentikan gerakannya.
"Dipa, tahan dulu!"
Orang yang berkata ini adalah Waranoa, orang tertua yang menjadi murid Empu
Sora dan dihormati karena umurnya oleh sesama saudara seperguruan. Waranoa
melangkah ke hadapan Lutung Gila. Sepasang matanya yang penuh kerenyut-kerenyut
ketuaan di kulit pinggiran mata itu memandang tepat-tepat ke muka Lutung Gila.
Lutung Gila seperti hendak tertawa mengakak. Tapi mendadak mukanya berubah
buas. Dia membentak! "Orang tua bau amis! Kau mau jual tampang sama kami
anak beranak?! Icuh!"
"Jayengrana, sudah waktunya
kau harus kembali pada pikiran yang sehat...."
"Eeee biung! Memangnya kau
sudah lihat isi kepalaku berani bilang aku tidak sehat?!
Orang tua gelo! Tapi...
hemm...." Lutung Gila usap-usap dagunya yang berjanggut tebal liar. Dia
melirik pada bayi yang dalam dukungan Kemaladewi. "Cocok! Cocok!"
katanya. "Kau pantas untuk jadi pengasuh anakku, orang tua! Ee... kau
punya nama siapa biung?!"
"Mengapa kau lakukan ini
semua, Jayengrana?"
"Biung buset! Kenapa kau
orang tua jadi banyak tanya, sudah bagus kau diambil jadi pengasuh anakku!
Sudah minggir sana! Jangan sampai aku jadi muak!" Lutung Gila lambaikan
tangan kirinya dan Waranoa terjajar beberapa langkah ke belakang, hampir jatuh
duduk di tanah kalau tidak salah seorang saudara seperguruannya segera
menolong. Waranoa begitu bisa mengimbangi diri, dengan bersemangat dia
melangkah ke hadapan Lutung Gila kembali dan menuding. "Lihat tempat
sekelilingmu di mana kau berada, Jayengrana...!"
"Aku bukan Jayengrana,
monyet tua!"
"Lihat sekelilingmu,
kataku," ujar Waranoa tanpa mengacuhkan kata-kata Lutung Gila.
"Disini, di tempat inilah kau dulu dididik, diberi berbagai pelajaran oleh
Empu Sora, diambil murid oleh orang tua sakti itu! Aku tahu riwayatmu Jayengrana.
Kau anak sepasang suami istri miskin! Kau dibuang di tengah hutan karena kau
bukan anak yang dilahirkan secara syah! Karena kau anak haram! Orang tuamu
berzinah dulu baru kawin blak-blakan! Seharusnya anak haram jadah macam kau ini
tak pantas hidup di dunia milik Tuhan yang begini suci dan kudus! Tapi Tuhan
masih punya rasa kasih terhadapmu! Masih Adil! Empu Sora menerimamu dalam
sebuah keranjang beralaskan kain di tengah hutan! Dan kau dibawanya ke sini,
diasuhnya seperti anak sendiri, dididiknya, diberi berbagai ilmu sehingga kau
menjadi besar! Tapi setelah besar kau ternyata bukan seorang manusia berbudi
karena kau memang dasar manusia jahanam turunan haram jadah yang tak bisa lagi
diperbaiki! Kau beri nama buruk dan malu besar pada Empu Sora. Kau diusir dari
sini dengan harapan agar kau menjadi sadar tapi diluaran kau bikin lagi segala
macam kebejatan dan membuat kepala guru jadi lebih besar! Ketika guru datang
untuk menghukummu kau bunuh beliau! Itukah balasanmu terhadapnya? Terhadap
seorang guru? Terhadap seorang tua? Terhadap seorang yang telah mengasuhmu dari
masih bayi sampai dewasa?! Pikir, Jayengrana! Pikir baik-baik! Apakah itu
perbuatan baik yang kau lakukan ataukah satu dosa besar tiada berampun?! Pikir
Jayengrana! Kau masih punya otak dan pasti bisa berpikir!"
Untuk beberapa lamanya Lutung
Gila berdiri tak bergerak seperti patung batu! Sepasang matanya yang buas
menjadi redup! Tapi itu hanya seketika belaka, hanya beberapa detik saja!
Karena sesaat kemudian mata yang redup itupun kembali menjadi menyorot ganas
dan parasnya menjadi beringas buas!
"Orang tua buruk! Biung baaa
icuh! Menghindar! Minggir dari hadapanku! Kalau tidak kau pasti konyol!
Buset!"
Waranoa tetap di tempatnya.
"Ingat, Jayengrana. Bila kau mau bertobat dan minta ampun, dosamu pasti
diampuni Tuhan! Ingat!"
"Biung! Disuruh minggir
malah banyak mulut! Orang buruk macammu bikin malu dunia saja kalau hidup
lama-lama! Pergi cari kawan-kawanmu di neraka!" Habis berkata begitu
Lutung Gila melangkah berputar-putar ke muka.
"Awas!" teriak Dipa
Putra memperingatkan Waranoa. Tubuh orang tua itu didorongnya ke samping namun
kasip.
"Bluk!" Tempelak tangan
kanan Lutung Gila sudah mendarat di dadanya. Waranoa menjerit ngeri. Darah
membusah dari mulutnya. Orang tua yang malang ini menggeletak di tanah tanpa
nyawa!
"Manusia iblis
durjana!" bentak Dipa Putra. Dengan keris dia menyerbu ke muka.
"Biung! Ini satu lagi contoh
kunyuk yang mau mampus! Icuh... icuh!"
"Lutung Gila, biar aku
layani yang satu ini!" terdengar suara Kemaladewi. Lutung Gila agak
menggerutu namun dengan patuh dia mundur ke belakang dan Kemaladewi dengan
anaknya Lutung Bawean dalam dukungan menyambut serangan Dipa Putra! Sudah barang
tentu murid terpandai dari mendiang Empu Sora itu jadi terkejut melihat
serangannya dipapasi oleh perempuan muda belia yang mendukung anak! Buru-buru
tusukan keris yang tadi dilancarkannya ke muka ditarik pulang karena dia
khawatir akan mengenai bayi dalam dukungan Kemaladewi! Dipa Putra mundur.
"Manusia bernyali besar
kenapa mundur!" bentak Kemaladewi.
"Siapa sudi melawan
perempuan!" tukas Dipa Putra. "Suruh lakimu maju atau Lutung
peliharaanmu itu!"
"Bangsat rendah, bicara
seenak kentut saja!" semprot Kemaladewi. Tubuhnya miring ke kiri dan dia
lari ke arah Dipa Putra dengan langkah-langkah yang aneh sambil berteriak
melengking-lengking persis seperti seekor lutung! Dipa Putra yang masih
ragu-ragu mundur terus. Tapi ini justru membuat dirinya celaka. Setiap kaki kiri
atau kanan Kemaladewi bergerak menimbulkan angin dahsyat sekali. Dan ketika
kaki itu menendang pergelangan tangan yang memegang keris, tulang lengan Dipa
Putra patah dua, senjatanya mental. Sementara tubuh anak murid Perguruan Ujung
Kulon ini terhuyung limbung, dengan satu gerakan sebat Kemaladewi kirimkan
tendangan yang tak terelakkan ke ulu hati Dipa Putra. Laki-laki ini meliuk ke
muka. Perutnya bobol, darah membanjir dan dia mati dengan menelungkup! Melihat
bagaimana Kemaladewi yang masih begitu muda, seorang perempuan pula dan dengan
mendukung bayi di tangan dapat mengalahkan murid utama Empu Sora, dapatlah
dijajagi betapa hebatnya Ilmu yang telah dimiliki perempuan itu sejak beberapa
bulan saja dia berada di pulau Bawean!
***
TIGA
KALAU tadi semua mata murid-murid
mendiang Empu Sora sudah membuka lebar maka kini tambah membeliak tak berkedip.
Semua hati berdebar ngeri dan bulu-bulu tengkuk mereka berdiri merinding!
Mereka saksikan sendiri bagaimana saudara seperguruan mereka yang terpandai dan
paling tinggi ilmunya dibikin roboh oleh seorang perempuan muda belia yang
bertempur sambil menggendong bayi! Benar-benar mereka hampir tak bisa percaya!
"Icuh icuh!" terdengar
suara Lutung Gila. Dia melompat-lompat seperti anak kecil sedang kedua jempol
tangannya ditudingkan. "Biung ciluk!"
Kemaladewi tertawa melengking
seperti seekor lutung betina. Begitu suara tertawanya berhenti maka
terdengarlah suara bentakannya yang ditujukan kepada anak-anak murid mendiang
Empu Sora.
"Kalian semua berlututlah!
Hari ini aku mengangkat diri sebagai Ketua Perguruan Ujung Kulon yang baru!
Berlutut! Berlutut atau mampus!"
"Berlutut atau mampus! Icuh!
Biung!" menirukan Lutung Gila. Saat itu murid-murid mendiang Empu Sora
yang masih hidup hanya tinggal enam orang. Dua murid-murid kelas lima dan empat
dari kolas keempat. Di hadapan mereka, di atas tanah halaman perguruan
bergeletakan mayat-mayat saudara-saudara mereka. Tiga belas orang semuanya
termasuk mayat Dipa Putra, Gagak Nandra dan Waranoa! Tak ada satu orang pun
mula-mula yang bergerak ketika Kemaladewi memerintah dengan membentak tadi!
"Biung buset?! Apa kuping
kalian tuli semua?!" hardik Lutung Gila.
"Berlutut!" perintah
Kemaladewi sekali lagi sambil menggeser kedua kakinya. Pandangan mata serta
mimik parasnya galak membuas. Tiga orang anak-anak murid kelas keempat dan
seorang tingkat kelima yang menyadari bahwa kalau melawan tak akan ada gunanya
selain korbankan nyawa setelah bimbang seketika akhirnya berlutut di tanah di
hadapan Kemaladewi. Keempatnya kemudian merasa malu sendiri ketika melihat
bagaimana dua orang saudara seperguruannya masih tetap berdiri dengan pedang di
tangan.
"Kalian berdua mau pergi ke
neraka?!" hardik Kemaladewi.
"Kami lebih baik mati dari
pada berlutut di hadapan perempuan Iblis macam kau!"
Tanpa banyak bicara lagi dua
orang pemuda berhati jantan dan berjiwa besar serta tahu harga diri itu segera
menyerbu ke muka meskipun mereka tahu bahwa mereka pasti akan mati! Pemuda yang
melompat dari kanan menebaskan pedangnya ke batang leher Kemaladewi sedang
saudaranya melancarkan tusukkan sebat ke dada perempuan itu! Kemaladewi hanya
keluarkan tertawa melengking melihat serangan-serangan tersebut. Kedua kakinya
bergerak aneh. Pedang yang menyambar leher lewat di atas kepalanya. Kaki
kirinya bergerak dan tusukkan ke dada lolos lalu Kemaladewi membuat satu
gerakan lagi dan kali ini korban yang pertama mencelat ke belakang kena hantam
ujung siku tangan kiri Kemaladewi, berputar-putar sebentar lalu rebah ke tanah
tanpa nyawa! Saudaranya yang satu lagi memutar pedang dengan deras. Tubuh
Kemaladewi seperti terkurung sinar hijau. Namun setengah jurus saja pemuda itu
bisa bertahan. Lewat yang setengah jurus itu maka dia pun menyusul saudaranya
meregang nyawa!
Lutung Gila komat-kamit
senyum-senyum, "Itu bagiannya manusia-manusia yang keras kepala berotak
encer! Pilih mampus dari pada hidup! Biung! istriku, suruh kunyuk-kunyuk yang
empat orang ini untuk angkat sumpah mengakui kau sebagai Ketua Perguruan Ujung
Kulon!"
Kemaladewi mengangguk,
"Kalian ikuti apa yang aku katakan!" perintahnya.
"Kami...!"
"Kami!" menirukan
keempat murid-murid Empu Sora yang berlutut itu.
"Kunyuk-kunyuk Ujung
Kulon!"
"Kunyuk-kunyuk Ujung
Kulon!"
"Hari ini!"
"Hari ini!"
"Mengangkat dan
mengakui!"
"Mengangkat dan
mengakui!"
"Bahwa Kemaladewi!"
"Bahwa Kemaladewi!"
"Adalah Ketua Perguruan
Ujung Kulon yang baru...."
"Adalah Ketua Perguruan
Ujung Kulon yang baru...."
"Yang harus kami patuhi!
Kecuali kalau kami mau mampus!"
"Yang harus kami patuhi!
Kecuali kalau kami mau mampus!"
"Selesai!"
"Selesai!" menirukan
pula keempat orang itu.
"Kunyuk-kunyuk sompret! Itu
tak usah kau tirukan!" bentak Kemaladewi geram.
Demikianlah, hari itu Kemaladewi
di hadapan murid-murid mendiang Empu Sora mengangkat diri sebagai Ketua
Perguruan Ujung Kulon. Kelak hal ini akan menggemparkan dunia persilatan!
Kemaladewi memutar tubuh ke arah
rumah besar dan melangkah. "Eee ciluk! Tunggu dulu!" kata Lutung Gila
pula. "Ini mayat-mayat busuk apa dibiarkan di sini saja?!"
"Lemparkan semuanya ke
jurang! Suruh kunyuk-kunyuk itu melakukannya!" sahut Kemaladewi sambil
terus melangkah tanpa putar kepala sedang Raja Lutung duduk di dahan rendah
sebuah pohon besar dan menggaruk-garuk kepala. Lutung Gila berpaling pada
keempat orang yang masih berlutut. "Eeeit kunyuk! Berdiri dan lemparkan
mayat-mayat ini ke jurang dekat laut sana! Cepat!"
Dengan hati pilu perih keempatnya
menyeret mayat saudara-saudara seperguruan mereka ke tepi jurang karang di
pinggir laut. Keempatnya sama-sama mengintai mencari kesempatan untuk melarikan
diri dalam melakukan perintah tersebut namun Lutung Gila senantiasa
memperhatikan gerak-gerik mereka.
***
Apa yang telah terjadi dengan
diri Empu Sora, apa pula yang telah terjadi di Perguruan Ujung Kulon dalam
waktu singkat tersebar luas ke pelbagai penjuru dunia persilatan. Semua orang
hampir tak percaya, terutama tokoh-tokoh persilatan. Tak percaya bahwa seorang
guru dibunuh oleh muridnya sendiri bahkan jabatan Ketua Perguruan Ujung Kulon
kini dipegang oleh istri murid murtad itu! Pastilah keduanya merupakan
manusia-manusia iblis yang tidak punya otak sehat dan tidak berhati manusia
lagi!
Beberapa orang tokoh persilatan
yang cukup terkenal yang menjadi kawan baik dari mendiang Empu Sora berdatangan
ke Ujung Kulon, bukan saja untuk membuktikan apa yang mereka dengar itu betul
adanya, tapi juga untuk menghukum kedua suami istri tersebut! Mereka sama-sama
dapat memastikan bahwa dunia persilatan akan kejangkitan perbuatan-perbuatan
kejam busuk dan menusuk mata seperti apa yang dilakukan oleh Kemaladewi dan
Lutung Gila. Karenanya sebelum kedua orang ini berbuat lebih jauh, satu demi
satu datanglah tokoh-tokoh silat tersebut.
Sebagai seorang sahabat, mereka
wajib membalaskan sakit hati Empu Sora, sekurang-kurangnya membuat tenteram
arwah Empu Sora di alam baka. Namun semua tokoh silat yang datang ke Ujung
Kulon tersebut sama mengalami nasib mengenaskan. Mati di tangan Kemaladewi atau
Lutung Gila atau Raja Lutung. Dunia persilatan kehilangan tokoh-tokoh berhati
jujur, polos dan berbudi luhur serta berjiwa besar! Dan kematian tokoh-tokoh
tersebut tentu pula menambah gegernya dunia persilatan!
***
EMPAT
MATAHARI bersinar terik. Angin
dari laut bertiup kencang, Lor Munding Saksana berlari secepat tiupan angin
topan. Debu berterbangan diudara, batu-batu kerikil yang terpijak
berpelantingan. Di bahu kirinya terbujur tubuh Udayana. Pemuda ini pejamkan
mata karena ngeri dibawa lari sedemikian cepatnya. Ketika dia coba membukakan
matanya ternyata dikesilauan matahari dilihatnya dia sudah sampai ke daerah di
mana Perguruan Ujung Kulon terletak. Kemudian Udayana merasakan kakek-kakek
sakti yang mendukungnya menghentikan lari dan sebelum dia membuka mata dia
sudah diturunkan dari atas bahu dan dilemparkan sampai terguling ke
semak-semak. Cepat-cepat Udayana berdiri dan memandang ke depan. Lor Munding
Saksana kelihatan menggaruk-garuk rambutnya yang putih awut-awutan. Mulutnya
komat-kamit sedang sepasang matanya memandang ke jurusan seorang perempuan yang
berdiri dekat batu besar membelakanginya, tengah menimang-nimang seorang bayi.
Perempuan ini adalah Kemaladewi, perempuan muda berilmu tinggi. Namun demikian
sepasang telinganya yang tajam masih tak sanggup menangkap langkah suara
larinya kedua kaki Lor Munding Saksana! Ini bukan saja menyatakan betapa
hebatnya ilmu mengentengi tubuh serta ilmu lari cepat orang tua itu namun juga
sekaligus menyatakan bahwa bagaimana pun tingginya ilmu kesaktian Kemaladewi
namun tetap saja masih berada di bawah kesaktian Lor Munding Saksana!
Udayana sendiri tampak
terheran-heran melihat di situ ada seorang perempuan muda tengah mendukung
bayi. Siapakah gerangan perempuan ini! Hati Udayana berdebar keras ketika
dugaannya berat bahwa perempuan ini adalah istri Lutung Gila! Lagi pula saat
itu memang sudah lewat hari tujuh bulan tujuh!
"Eiiit sompret! Coba putar
tubuh! Aku mau lihat tampangmu!" kata Lor Munding Saksana seraya ulurkan
tangan menjangkau ranting rendah sebuah pohon dan mematahkannya. Ujung ranting
itu dilemparkannya ke udara dengan sikap acuh tak acuh, demikian tingginya
sehingga lenyap di udara dari pemandangan mata. Ketika ranting kayu jatuh
kembali ke bawah, ranting tersebut amblas dan hilang di dalam tanah!
Begitu mendengar suara seseorang
di belakangnya yang memaki dan menyuruhnya putar tubuh, bukan main terkejutnya
Kemaladewi. Parasnya menjadi merah karena marah. Dengan cepat dia memutar
tubuh. Sepasang matanya yang tajam menyipit menyorot. Dia melirik pada Udayana
sekilas.
"Orang tua buruk, kau
siapa?!" bentak Kemaladewi dengan mata melotot meneliti Lor Munding
Saksana mulai dari rambutnya yang putih sampai ke kaki. Lor Munding Saksana
mendongak ke langit, mengeluarkan suara tertawa panjang. Tangannya digerakkan
lagi menjangkau ujung ranting. Ketika di udara dilihatnya melayang seekor
burung maka ranting yang di tangannya dilemparkan ke atas. Burung yang terbang
di udara bergelepakan lalu jatuh ke bawah. Sambil ulurkan tangan kiri menyambut
binatang tersebut Lor Munding Saksana melompat ke atas ranting kecil dan duduk
di sana! Kedua kakinya digoyang-goyang. Dan dia mulai memakan burung mentah itu
seenaknya!
Apa yang disaksikan oleh
Kemaladewi tentu saja membuat perempuan muda tersebut kaget bukan main! Dia
masih mungkin bisa meniru perbuatan kakek-kakek tak dikenalnya itu melempar
burung yang terbang di udara, tapi untuk duduk di ujung ranting demikian kecil
sambil ongkang-ongkang kaki, benar-benar dia tak sanggup! Lutung Gila sendiri
pun tidak akan sanggup!
"Ahoi...! Kau terkejut ya?!
Kau heran ya?! Sompret!"
Kemaladewi menjadi marah.
"Orang tua gila!" balasnya memaki. "Kau siapa sebenarnya?
Jawab! Kalau tidak jangan
menyesal...."
"Hemmm..." Lor Munding
Saksana mengunyah daging burung mentah yang di dalam mulutnya sambil
mengeluarkan suara bergumam.
"Tampangmu boleh juga,
sompret! Tapi, coba kau dulu kasih keterangan siapa kau adanya! Aku yang sudah
tua pasti tak akan menyesal bila kau beritahu namamu! Ahoi!"
Kemaladewi marahnya bukan main.
Namun dia tidak berani bertindak kesusu. Dia tahu orang tua ini bukan manusia
sembarangan dan dia sadar bahwa ilmunya mungkin sekali berada di bawah tingkat
Ilmu yang dimiliki orang tua tersebut.
"Orang tua edan! Kalau kau
mau tahu akulah Ketua Perguruan Ujung Kulon yang baru!"
"Oho,,,?!" Lor Munding
Saksana berhenti mengunyah. Dia menatap paras Kemaladewi sejurus lalu berpaling
pada Udayana. "Eit sompret! Betul ini dia Ketua Perguruan Ujung
Kulon?!"
Udayana menjawab cepat
"Tidak! Perempuan ini pastilah istri Lutung Gila yang telah merampas
kedudukan Ketua Perguruan dari tangan saudara seperguruanku!"
"Pemuda, jadi kau salah
seorang anak murid Perguruan Ujung Kulon? Kalau begitu berlututlah di hadapan
Ketuamu yang baru!" perintah Kemaladewi.
"Siapa sudi!" jawab
Udayana.
"Tidak sudi berarti minta
mampus!" Kemaladewi hendak melangkah ke muka.
"Sompret! Tunggu dulu!"
kata Lor Munding Saksana cepat. "Jika kau mengaku sebagai Ketua Perguruan
Ujung Kulon, maka kaulah yang harus berlutut di hadapanku! Sompret!"
Kemaladewi hentikan langkah,
"Ahoi! Jangan marah tapi cepat berlutut arena aku adalah kakek guru dari
anak-anak murid Empu Sora! Ayo berlutut sompret!"
Bahwa orang tua yang di
hadapannya itu mengaku sebagai kakek guru murid Empu Sora sungguh mengejutkan
hati Kemaladewi!
"Sompret! Kenapa berdiri
bengong?! Ayo berlutut!" bentak Lor Munding Saksana.
"Orang tua, kalau kau datang
untuk mencari mampus turunlah dari ranting itu!" menantang Kemaladewi.
Bayi yang dalam dukungannya diletakkan di atas batu besar. Waktu meletakkan
bayi tersebut tubuhnya membungkuk. Lor Munding Saksana kelihatan cengar-cengir.
Tulang belulang burung mentah yang dimakannya dilemparkan dari "pluk"
jatuhnya tepat di pantat Kemaladewi!
"Orang tua gelo! Kau
benar-benar sudah bosan hidup! Kurang ajar!" Kemaladewi putar badannya
kaki kanannya menendang ke muka, tangan kiri memukul ke depan. Dua rangkum
angin dahsyat melesat menyerang Lor Munding Saksana. Ranting yang didudukinya
patah sampai ke cabang-cabang pohon. Daun-daun pohon berguguran. Akar pohon itu
terbongkar dan sesaat kemudian pohon tersebut pun tumbanglah!
Pada waktu dirinya diserang dan
ranting yang didudukinya patah, Lor Munding Saksana membuat gerakan memutar
seperti seorang akrobatik yang lihay. Dia turun ke tanah dengan kedua tangan
lebih dahulu sedang kedua kakinya menerjang melancarkan tendangan jarak jauh!
Kemaladewi terkejut besar dan
cepat-cepat menghindar ke samping mengelakkan angin tendangan yang dahsyatnya
bukan main.
"Krak!" Pohon besar di
belakang perempuan muda itu patah dan tumbang! Sedang Lor Munding Saksana sudah
berdiri kembali dengan bertolak pinggang.
"Ayo! Masih belum mau
berlutut?! Masih belum mau minta ampun terhadapku, perempuan sompret?!"
Kemaladewi kertakkan
rahang-rahangnya. Parasnya benar-benar tertutup oleh kabut kegeraman dan amarah
yang memuncak kini. Kedua kakinya bergerak cepat tak teratur, kedua tangannya
yang seperti tambah panjang disentak-sentakkan dan semua gerakan ini adalah
merupakan serangan yang berbahaya!
Lor Munding Saksana mula-mula
terheran-heran melihat gerakan serangan yang aneh dari lawannya ini. Dia
menggeser ke samping siap untuk menotok urat besar di sisi tubuh sebelah kiri
perempuan itu, namun secara aneh pula Kemaladewi merubah gerakannya. Sepasang
tangannya bergerak hendak mencengkeram muka dan dada Lor Munding Saksana. Orang
tua ini mundur ke belakang sambil rundukkan kepala dan memonyongkan mulutnya
meniup ke muka. Angin deras berbau busuknya mayat menyerang muka Kemaladewi!
Perempuan ini terhuyung nanar ke belakang. Sebelum dia sempat mengimbangi tubuh
ataupun membuat gerakan yang lain tahu-tahu jotosan keras menghantam dadanya.
Kemaladewi menjerit. Tubuhnya terguling dan jatuh tersandar di atas batu besar
di mana anaknya, Lutung Bawean, tadi dibaringkannya. Kemaladewi merasakan
dadanya sangat sakit dan napasnya menyesak. Dia berdiri sambil mengatur jalan
napas dan peredaran darah. Selama dia mendapat pelajaran ilmu silat dari Lutung
Gila dan Raja Lutung baru hari itulah seorang lawan dapat menyentuh tubuh dan
memukulnya demikian hebat! Dengan gemas perempuan ini cabut pedang hijau dari
balik punggungnya. Pedang ini adalah milik Empu Sora, pedang pusaka tumbal
pertanda bahwa siapa yang memegang atau memiliki senjata tersebut maka dia
adalah Ketua Perguruan Ujung Kulon.
"Kau lihat pedang ini,
anjing tua?!"
"Eit, aku tidak buta,
sompret!"
"Bagus! Bersiaplah untuk
terima mampus!"
Dengan pedang di tangan, dengan
mempergunakan jurus ilmu silat yang dipelajarinya dari Raja Lutung maka
menyeranglah Kemaladewi dengan segala kehebatannya. Lor Munding Saksana yang
diserang hanya tertawa meringis. "Pedang pusaka sakti itu tak pantas
berada di tangan manusia iblis macammu ini, sompret! Ayo berikan padaku!"
Habis bicara demikian si orang tua maju ke muka ulurkan tangan kanan
menyongsong serangan Kemaladewi. Perempuan itu jadi semakin naik pitam melihat
serangannya dipapasi. Sambaran pedang menderu tak tanggung-tanggung Kemaladewi
sekaligus hantamkan pula kaki kanannya ke selangkangan lawan. Gerakannya serba
tak teratur dan aneh. Jika saja yang dihadapinya itu bukan orang tua sakti
macam Lor Munding Saksana pasti sejak jurus pertama tadi dia sudah kena
dicelakai!
Betapa kagetnya Kemaladewi ketika
dengan satu gerakan kilat saja Lor Munding Saksana bukan saja dapat mengelakkan
tendangan kaki kanannya tapi bahkan juga berhasil merampas pedang hijau di
tangannya!
"Aha.... Bukankah tadi aku
bilang bahwa pedang pusaka ini tidak pantas di tangan manusia macammu?! Nah
sompret! Apa kau masih belum mau bertobat dan berlutut minta ampun di
hadapanku? Ayo berlutut som...."
Ucapan orang tua itu belum lagi
habis. Mendadak dari samping datang satu bayangan sosok tubuh dan
"buk!" Lor Munding Saksana terjajar sampai beberapa tombak ke kanan.
Bahunya sakit bukan main, tulang tangannya serasa hancur! Dipalingkannya kepalanya
dan orang tua ini kemudian melihat sosok tubuh seperti lutung tapi kepala
manusia.
"Sompret! Kau pastilah setan
alasnya yang bernama Lutung Gila! Murid murtad! Murtad tujuh turunan!"
"Icuh! Biung! Sudah tua
bangka masih bermulut kotor! Biung! Apa tak tahu kalau umur hanya tinggal
sekejapan mata? Apa tidak sadar kalau liang kubur sudah di depan hidung?!
Icuh...icuh!"
***
LIMA
LOR Munding Saksana marah bukan
main. Diputarnya pedang hijau di tangannya dengan sebat sehingga senjata itu
tak ubahnya seperti seekor ular panjang yang memancarkan sinar hijau kemilau
mengurung dan menyerang Lutung Gila serta Kemaladewi! Demikian kejadiannya,
seorang tua renta sakti berotak miring, bertempur melawan dua orang suami istri
berotak gila!
Satu sampai dua jurus di muka
Lutung Gila dan Kemaladewi masih bisa mengimbangi lawan mereka bahkan ganti
balas melancarkan serangan. Namun memasuki jurus ketiga, keempat dan seterusnya
keduanya mulai terdesak dan dibikin tak berdaya. Kemarahan Lor Munding Saksana
lebih besar terhadap Jayengrana alias Lutung Gila, bukan saja karena manusia
ini seorang murid murtad yang telah membunuh guru serta saudara-saudara
seperguruannya tapi juga karena dialah tadi yang memukul dari samping maka Lor
Munding Saksana boleh dikatakan memusatkan hampir seluruh serangannya terhadap
Lutung Gila! Lutung Gila menjadi repot sekali. Betapa pun lihaynya dia selama
ini namun saat itu dia benar-benar ketemu batu! Dalam keadaan terdesak hebat
dan tak berdaya akhirnya pedang pusaka Perguruan Ujung Kulon tak dapat lagi dielakkan
oleh Jayengrana si murid murtad! Dua tulang iganya terbabat putus. Kulit dada
robek besar sampai ke perut. Ususnya menjela-jela. Lutung Gila terhuyung
megap-megap. Darah kental membuih di sudut-sudut bibirnya. Lutung Gila
melengking setinggi langit, sesudah itu tubuhnya pun rebah ke tanah tak
bergerak lagi!
"Keparat edan! Hari ini aku
mengadu nyawa dengan kau sampai seribu jurus!" teriak Kemaladewi.
Dikeluarkannya tongkat rotan berkeluk pemberian gurunya dulu yakni Dewa
Tongkat. Dengan senjata tersebut di tangan seperti orang kemasukan setan dia
menerjang ke muka. Udayana yang berdiri di kejauhan menyaksikan pertempuran itu
diam-diam merasa lega.
Jika kakek gurunya berhasil
mengalahkan Lutung Gila, membunuh perempuan muda itu pasti tidak akan lebih sukar.
Dia merasa gembira dan bangga pada diri sendiri karena tugas yang diletakkan di
atas pundaknya untuk mencari kakek gurunya demi menyelamatkan Perguruan ini
tampaknya sudah hampir selesai setengah jalan.
"Aku yang sudah tua telah
beri kesempatan untuk minta tobat dan berlutut minta ampun!
Tapi dasar kau manusia sompret
sontoloyo! Malahan mau mampus! Nah mampuslah kini sompret!"
Pedang hijau di tangan Lor
Munding Saksana membabat ke kiri, membalik ke kanan, memapas kembali ke
pinggang dan menusuk ke leher. Kemaladewi geser kaki dan badannya dalam gerakan
aneh guna hindarkan tusukan tersebut. Namun kenyataannya tusukan pedang yang
dilancarkan oleh si orang tua hanyalah tusukan tipuan belaka! Karena sesaat
kemudian dengan sangat cepat pedang hijau itu membuat gerakan babatan ke kanan,
membalik ke kiri. Memapas ke pinggang dan menusuk ke perut, tusukan mana tak
dapat lagi dielakkan oleh Kemaladewi!
Perempuan itu menjerit
melengking. "Raja Lutung! Tolong aku!"
Sedetik sebelum ujung pedang
bersarang di perut Kemaladewi maka "trang", terdengar suara beradunya
senjata. Bunga api berpijar. Pedang ditangan Lor Munding Saksana terangkat ke
atas dan gompal bagian yang tajamnya! Merasakan tangannya tergetar hebat
kesemutan cepat-cepat orang tua itu melompat mundur. Lor Munding Saksana
terkejut ketika menyaksikan bahwa yang berdiri di hadapannya bukanlah seekor
lutung yang bernama Raja Lutung, tapi seorang laki-laki muda dengan paras cakap
dan potongan tubuh kekar berpakaian serba putih! Di tangannya ada sebilah pedang
mustika memancarkan sinar merah, sinar mana menggetarkan hati Lor Munding
Saksana karena sinar merah senjata tersebut membuat sinar hijau pedang di
tangannya menjadi redup!
Jika orang tua itu terkejut maka
Kemaladewi jauh lebih terkejut lagi. Mata perempuan ini terbuka lebar-lebar.
Mulutnya menganga bahkan kaget dan tak percaya. Tapi parasnya menjadi pucat
pasi sedang sepasang matanya yang bening kelihatan berkaca-kaca.
"Mahesa..." kata
Kemaladewi berbisik antara terdengar dan tiada. "Kucari kau berminggu bahkan
berbilang bulan tidak kunjung bersua. Kini kau datang... kau selamatkan
nyawaku. Kakak... untuk menepati janjimu dulukah kau datang ke sini...?"
Waktu mengucapkan kata-kata yang tertahan-tahan itu butiran-butiran air mata
mulai jatuh menetes meluncur di pipinya yang licin.
Kata-kata yang diucapkan
Kemaladewi itu, terutama pertanyaan yang diajukannya sungguh mengiris hati
menyayat sanubari Mahesa Kelud. Tenggorokannya turun naik. Mulutnya membuka
tapi tak sepatah ucapanmu bisa diluncurkannya.
"Manusia-manusia
sompret!" terdengar suara Lor Munding Saksana. Dia memandang silih
berganti pada Kemaladewi dan Mahesa Kelud.
"Kalian berdua rupanya
tengah main sandiwara ya? Gila! Pakai nangis segala! Dasar sompret! Ini bukan
panggung. Kalian..."
Angin sedahsyat badai menyambar
dari belakang. Lor Munding Saksana hampir terjungkal ke muka kalau ia tidak
cepat-cepat melompat ke samping. Dia membalikkan tubuhnya ketika satu
lengkingan sangat keras menggetarkan dada dan seperti memecahkan
gendang-gendang anak telinga terdengar. Di hadapannya berdiri seekor lutung
setinggi tiga meter, menyeringai menggidikkan memperlihatkan taring serta
gigi-giginya yang besar dan runcing!
"Lutung bego! Menyerang dari
belakang, dasar binatang sompret! Kalau kau bernama Lutung maka kau juga musti
mampus!" Dengan pedang di tangan orang tua itu menyerbu ke muka maka
terjadilah pertempuran yang seru!
"Kakak... kau datang untuk
menepati janjimu dulu... benar...?" terdengar lagi suara merawankan hati
dari Kemaladewi. Kalau dulu dendamnya demikian berurat berakar, amarahnya
begitu berkobar menggelegak dan kebenciannya tiada terperikan terhadap Mahesa
Kelud, maka kini sesudah berhadap-hadapan dengan laki-laki itu hilang semua
perasaan tersebut, hilang lenyap tanpa bekas laksana setetes air yang setitik
jatuh di atas pasir di gurun Sahara. Bahkan detik pertama dia melihat Mahesa
Kelud, ingin sekali Kemala hendak menubruk dan memeluk laki-laki itu!
"Kemaladewi..." ujar
Mahesa. "Aku datang hanya untuk bertanya...."
"Untuk bertanya?"
Mahesa mengangguk. Kemaladewi
kerenyitkan kening.
"Mengapa kau jadi sampai
begini, Adik? Melakukan segala hal yang hampir tidak dapat diterima akal
manusia sehat? Kau bunuh gurumu...kau kawin dengan manusia setengah orang
setengah lutung! Dan ilmu kesaktianmu kau pakai untuk membunuh manusia-manusia
tidak berdosa, membunuh tokoh-tokoh persilatan, merusak tempat kediaman dan
Perguruan orang lain. Mengapa Kemala...?"
Kemaladewi merasakan tubuhnya
lemah lunglai. Tak ubah laksana seseorang yang dibanting dihenyakkan ke bumi!
"Itu maksud kedatanganmu Mahesa? Hanya untuk bertanya...?!"
"Dan juga untuk meminta agar
kau menghentikan semua perbuatan keblinger ini!" jawab
Mahesa Kelud. Perempuan itu
terdiam sejurus. Parasnya kemudian berobah. "Kau tanya mengapa, baik! Aku
akan jawab. Semua itu kulakukan adalah karena kau! Karena kau seorang manusia
yang tidak bertanggung jawab! Tidak bertanggung jawab atas apa yang kau telah
perbuat! Kau lari...kau manusia pengecut berjiwa kintel! Manusia macammu ini
harus dilenyapkan dari muka bumi agar tidak merusak gadis-gadis lainnya!"
Muka Mahesa Kelud menjadi sangat
merah sampai ke telinga. Sebelum dia membuka mulut maka Kemaladewi sudah
menyerang dengan tongkat rotannya. Terkejut juga Mahesa Kelud melihat gerakan
yang aneh dari cara melancarkan serangan tersebut. Untung saja dia sudah siap
waspada sehingga dengan cepat sempat mengelak sambaran tongkat yang menyerang
kepalanya!
Penuh penasaran Kemaladewi
menyerang kembali. Sekali ini Mahesa Kelud tidak tinggal diam. Begitu serangan
tongkat dielakkannya maka dengan sebat tangan kirinya bergerak! Dan tongkat
rotan berkeluk lepas dari pegangan Kemaladewi! Paras Kemaladewi semakin pucat.
Dia mulai sesenggukan menangis. Selagi dia menjadi murid Dewa Tongkat memang
ilmunya berada dibawah tingkat laki-laki itu. Sesudah dia belajar dan dapat
banyak ilmu tambahan dari Lutung Gila serta Raja Lutung disangkanya dia akan
mudah saja dapat mengalahkan Mahesa namun kenyataannya dalam satu tahun
belakangan ini kepandaian Mahesa Kelud sudah tambah lebih jauh dari yang
dimilikinya!
Kemala berdiri tak
bergerak-gerak. "Mahesa aku tak sanggup hidup lebih lama dengan cara
begini! Tusukkan pedang itu ke dadaku! Bunuh aku! Biar lepas segala-galanya
dari bathinku, biar bebas aku dari penderitaan yang berlarut-larut ini! Bunuh
aku, Mahesa dan bila kau sudah bunuh aku maka bunuh pulalah bayi yang di atas
batu sana, dia adalah anakku. Anakku dan juga anakmu, hasil dari hubungan kita
di goa batu tempo hari...."
Jika saja ada seekor singa atau
harimau yang tahu-tahu menerkam di muka hidungnya saat itu mungkin tidak
demikianlah terkejutnya Mahesa Kelud ketika dia mendengar apa yang diucapkan
oleh Kemaladewi.
"Kau bilang apa, Kemala?!
Anakmu dan anakku?!" Mahesa berpaling ke batu besar di seberangnya dan
memang di atas batu itu dilihatnya seorang bayi terbaring. Kulitnya merah tanda
umurnya masih beberapa bulan saja. Mahesa melangkah ke arah batu tempat bayi
terbaring.
"Jangan dekat!" bentak
Kemaladewi lantang.
"Bunuh aku lalu bayi
itu!"
Mahesa hentikan langkah. Lututnya
goyah seperti mau lepas dari persendiannya. Kedua matanya memandang sayu pada
Kemaladewi. Hatinya teriris-iris. Dicobanya untuk menekan perasaan yang ada dan
agar jangan sampai meneteskan air mata. "Adikku, kau tahu... peristiwa itu
terjadi bukan mauku. Di luar kesadaran kita berdua...."
"Meski demikian lantas apa
anak itu bukan anakmu?!"
"Aku masih belum bisa
memastikan, Kemala. Karena bukankah kudengar pula kabar bahwa kau kawin dengan
Lutung Gila?!"
"Kami tidak kawin!"
tukas Kemaladewi.
"Aku hanya menganggap dia
sebagai suami dan dia menganggap aku sebagai istri! Kami tidak pernah campur!
Jangan membalikkan tuduhan, Mahesa! Jangan mengambing hitamkan orang lain dan
jangan coba-coba hendak cuci tangan! Bayi itu adalah anakmu! Kau dengar?!
Anakmu!"
"Kalau begitu kau serahkan
dia padaku dan kau kembalilah ke jalan yang benar...."
"Jalan benar macam
bagaimana, Mahesa? Macam yang telah kau perbuat atasku? Tak ada pertanggung
jawaban sama sekali?! Cis, kau laki-laki pengecut! Dosamu terlalu besar! Tidak
terampunkan! Kau lari.... Pengecut! Berani berbuat tak berani tanggung
jawab!"
"Kemala...."
"Jangan sebut namaku!"
potong perempuan itu.
"Kalau menurutmu dosaku tidak
terampunkan dan bila kau katakan aku tidak bertanggung jawab maka ambil pedang
ini dan kau yang membunuh aku!" Habis berkata demikian Mahesa Kelud
mengangsurkan hulu pedang merah di tangannya ke muka Kemaladewi tapi perempuan
ini tak mau menyambutnya.
"Tidak, terlalu enak bagimu
mati dengan cara ini, Mahesa. Dengar baik-baik, kelak bayi itu, anakmu sendiri
nanti di satu hari akan membunuhmu! Ingat itu! Anak sendiri yang akan membunuh
ayahnya!"
Kemaladewi memutar tubuh, lari ke
arah batu besar. Lutung Bawean didukungnya lalu dia berteriak. "Raja
Lutung! Mari kita tinggalkan tempat ini!"
Saat itu Raja Lutung yang tengah
bertempur dengan Lor Munding Saksana berada di atas angin. Si orang tua sudah
terdesak hebat. Pedang hijau yang dipegangnya berhasil dirampas dan dipatahkan
oleh lawan. Dalam dua tiga jurus dimuka pastilah Raja Lutung akan dapat
menyelesaikan lawannya yang saat itu sudah babak belur!
Namun begitu mendengar perintah
Kemaladewi, dengan patuh Raja Lutung melompat dari kalangan pertempuran lalu lari
menyusul Kemaladewi. Mahesa hendak mengejar mereka. Namun membatalkan niat
tersebut.
***
ENAM
LOR Munding Saksana berdiri
terhuyung-huyung. Orang tua ini akhirnya dudukkan diri ditanah bersandar ke
batang kayu tumbang. Pipi sebelah kiri berselomotan darah yang keluar dari
luka-luka bekas cakaran Raja Lutung. Tangan kanan sukar digerakkan karena
persendian bahu terlepas. Kakek guru Perguruan Ujung Kulon ini mengerang
pelahan. Matanya antara membuka dan terpejam. Sebagaimana yang sudah kita
saksikan dan ketahui, dia bukan seorang berilmu rendah, namun menghadapi Raja
Lutung memang cukup berat. Dalam pertempuran tadi beberapa kali jotosan-jotosan
mautnya mendarat di tubuh lawan namun Raja Lutung dapat menghadapi semua itu
dengan segala kehebatannya. Lor Munding Saksana sendiri beberapa kali pula
mendapat serangan dahsyat. Jika saja ilmunya tidak sampai pada tingkat yang
dimilikinya saat itu, niscayalah luka-luka di tubuhnya akan mencelakai jiwanya!
Mahesa Kelud melangkah mendekati
orang tua itu dan memperhatikan luka cakaran serta keadaan tangan kanannya.
Ketika disentuhnya tubuh Lor Munding Saksana terasa panas sekali seperti
lembaran seng yang terjemur diteriknya matahari! Lor Munding Saksana buka kedua
matanya.
"Sompret! Pergi kau!"
bentaknya.
"Orang tua, kau terluka
berat!"
"Eit sompret! Aku suruh kau
pergi! Sudah tahu orang terluka diajak bicara! Gila!"
Kalau saja orang tua tersebut
tidak berada dalam keadaan demikian rupa mungkin mulutnya sudah ditampar oleh
Mahesa Kelud.
"Orang tua, kau siapa dan
ada permusuhan apa dengan kedua suami istri itu?" Bertanya
Mahesa.
"Benar-benar sompret! Pergi
kataku!" bentak Lor Munding Saksana.
"Hem... kalau otakmu tidak
senewen pasti kau setengah sinting!" kata Mahesa pula dengan hati dongkol
karena dimaki terus-terusan. Dia melangkah hendak meninggalkan tempat itu. Lor
Munding Saksana memandang berkeliling mencari Udayana. Namun pemuda tersebut
bersama empat orang saudara seperguruannya yang masih hidup sudah sejak tadi
lenyap melarikan diri yaitu ketika mereka melihat bagaimana kakek guru mereka
dibikin kewalahan oleh Raja Lutung!
Lor Munding Saksana menoleh pada
Mahesa.
"Hai, sompret! Tunggu
dulu!" teriaknya. Mahesa jalan terus.
"Hai, kembali sompret!
Tolong aku dulu!" teriak orang tua itu sekali lagi.
Mahesa Kelud tetap tak
mengacuhkan.
"Pura-pura tuli kau ya?
Awas!" Lor Munding Saksana memonyongkan mulutnya dan meniup ke depan.
Serangkum angin deras berbau mayat busuk menyambar ke punggung Mahesa.
Laki-laki ini cepat buang diri ke samping. Sesaat kemudian dirasakan oleh
Mahesa segulung tali hitam melibat kedua kakinya sehingga dia tak dapat lagi
bergerak atau melangkah. Dengan tenaga dalamnya dicobanya untuk memutuskan tali
hitam tersebut tapi tak berhasil. Mahesa cabut pedang merahnya.
"Tras!" Sekali tebas saja
tali hitam itupun putuslah. Lor Munding Saksana jadi melongo! Sepasang matanya
meneliti pada pedang di tangan Mahesa. Otaknya coba mengingat-ingat. Kemudian
dia berseru: "Jika kau merasa muridnya Suara Tanpa Rupa kembalilah dan
tolong aku! Jika tidak, pergi bersama kutukanku!"
Mendengar nama gurunya
disebut-sebut Mahesa memutar langkah. Dia berdiri di hadapan orang tua itu
kembali. Lor Munding Saksana tertawa.
"Aha, jadi kau benar-benar
muridnya Suara Tanpa Rupa, ya?!"
"Orang tua, kau siapa
sebenarnya?"
"Sompret! Jangan banyak
tanya, tolong aku dulu!"
"Tolong apa?"
"Tolong apa... tolong apa!
Apa kau tidak lihat tubuhku terluka?! Sompret!"
Mahesa Kelud dengan menahan rasa
dongkolnya berlutut. Dari mulut orang tua itu terbau olehnya bau busuk mayat.
Mahesa menutup jalan pernapasan lewat hidung. Hal ini diketahui oleh Lor
Munding Saksana dan dia tertawa.
"Di dalam kantong pakaianku
sebelah kiri ada sekotak bubuk obat. Ambil dan kunyah lalu semburkan ke luka di
pipiku! Ayo sompret!"
"Orang tua gila," rutuk
Mahesa Kelud dalam hati. "Sudah hendak ditolong masih saja memaki!"
"Nah... nah... kau merutuk
dalam hati ya, sompret!"
Mahesa Kelud menyembunyikan rasa
terkejutnya ketika mendengar kata-kata orang tua itu. Dari dalam kantong
sebelah kiri ditemuinya sebuah kotak. Di dalam kotak ini ada satu benda
berbentuk akar pohon kecil, diselimuti oleh sejenis bubuk berwarna hitam.
Mahesa menuangkan sedikit bubuk itu ke dalam telapak tangan kirinya lalu
mengunyah. Dia hampir-hampir saja hendak membuang bubuk tersebut keluar kembali
karena pahitnya bukan main!
"Ayo semburkan ke
pipiku!" perintah Lor Munding Saksana tanpa menambahkan ucapan
"sompret".
Seperti yang dikatakan maka
Mahesa Kelud menyemburkan bubuk hitam di dalam mulutnya ke pipi terluka dari
Lor Munding Saksana. Luka-luka bekas cakaran tertutup oleh ludah campur bubuk
dan kelihatan mengepulkan asap hitam. Si orang tua mengerenyitkan kulit mukanya
yang sudah keriputan itu menahan sakit, matanya dipejamkan. Mulutnya
komat-kamit, membaca mantera. Diludahinya tangan kirinya tiga kali
berturut-turut lalu diusapkannya ke pipinya yang terluka. Sungguh aneh! Luka
bekas cakaran tadi lenyap tiada berbekas. Pipinya utuh seperti semula hanya
agak kehitaman oleh bubuk hitam yang masih melekat!
Lor Munding Saksana buka kedua matanya.
Untuk pertama kalinya dia tertawa kepada Mahesa Kelud. Namun sesaat kemudian
mulutnya kembali melontarkan makian. "Eh sompret! Mengapa diam saja?
Persendian tangan kananku masih lepas! Ayo tolong sambung kembali cepat!"
Sesudah memasukkan kotak obat ke
dalam saku kiri Lor Munding Saksana maka Mahesa Kelud kemudian meneliti keadaan
tangan orang tua itu. Kulit tangan mulai dari pangkal bahu sampai ke lengan
bengkak biru serta panas, kaku tak dapat digerakkan. Terlebih dahulu Mahesa
Kelud mengalirkan tenaga dalamnya yang beraliran dingin ke dalam tubuh orang
tua itu lewat telapak tangannya sampai hawa panas yang menjalari sekujur tubuh
terutama lengan kanan itu menjadi punah.
"Ehhh, kenapa jadi sejuk
rasanya? Kenapa sompret?!"
"Diam sajalah!" tukas
Mahesa kesal. Dipijitnya bahu kanan Lor Munding Saksana. Orang tua itu
merintih. Dengan cepat Mahesa kemudian memutar lengan si orang tua dan
mendorongnya dengan keras tapi hati-hati. Persendian bahu bersambung kembali ke
tempatnya. Lor Munding Saksana menggerak-gerakkan tangan kanannya, makin lama
makin cepat dan tak terasa sakit sama sekali. Dia tertawa.
"Bagus! Tidak percuma kau
jadi muridnya Suara Tanpa Rupa. Sompret! Namamu siapa?!"
"Mahesa Kelud."
"Hemmm...." Lor Munding
Saksana berdiri.
"Di mana gurumu
sekarang?"
Mahesa berdiri pula dan menjawab
bahwa dia tak tahu di mana gurunya berada.
"Goblok! Masa guru sendiri
tak tahu berada di mana!"
"Kau belum terangkan namamu,
orang tua," ujar Mahesa.
"Buat apa namaku? Apa kau
mau pungut aku jadi mantumu?"
"Orang tua, meski otakmu
miring tapi kurasa kau bisa bicara benar seperti orang sehat!"
"Siapa bilang aku sakit?!
Sompret!"
Mahesa hampir-hampir habis
kesabarannya. Sebaliknya Lor Munding Saksana tertawa terpingkal, membuat
laki-laki muda itu jadi tambah dongkol!
"Mahesa Belut
dengar..." kata Lor Munding Saksana pula. Mahesa diamkan saja namanya
disebut salah. "Aku Lor Munding Saksana, guru Empu Sora, kakek guru
anak-anak Perguruan Ujung Kulon! Nah puas kau sekarang?!"
"Belum."
"Sompret! Aku juga
sebenarnya tidak senang dengan kau! Kenapa kau selamatkan perempuan tadi? Dia
gendakmu ya?!"
Merah muka Mahesa Kelud mendengar
ucapan itu. Dia memperingatkan. "Orang tua, kuharap kau tahu diri sedikit!
Jaga mulutmu!"
"Eh, yang muda mau kasih
nasihat pada yang tua? Gila!"
"Kau yang gila!" bentak
Mahesa karena sudah hilang kesabarannya.
"Sompret, berani
memaki!" Lor Munding Saksana angkat tangan kanannya untuk menampar muka
Mahesa Kelud. Tapi setengah jalan laki-laki itu sudah menangkis. Dua lengan saling
beradu keras! Lor Munding Saksana mengeluh kesakitan karena tulang bahunya
terlepas kembali!
"Uh... orang muda...
aduh."
"Sompret kau. Tolong...
tolong... persendian bahuku lepas lagi!"
"Biar rasa!" semprot
Mahesa.
"Aduh... eh sompret
tolonglah.... Kalau kau tidak mau tolong percuma jadi murid Suara Tanpa Rupa.
Percuma jadi orang sakti dan pandai tapi tak punya jiwa welas asih!"
Mahesa menarik lengan kanan orang
tua itu. "Kau mau kurenggutkan tulang lenganmu ini hah?!"
"Auw... sakit sompret! Orang
minta tolong malah dipersakit!" Lor Munding Saksana mengerenyit-ngerenyit.
Keringat berlelehan di keningnya. Mahesa memutar persendian bahu orang tua itu
dan mengembalikan letaknya ke tempatnya. Lor Munding Saksana merasa lega begitu
mengetahui bahwa untuk kedua kalinya Mahesa Kelud berhasil menolongnya. Mahesa
sendiri tidak menunggu lebih lama. Dia putar tubuh untuk berlalu.
"Eiit tunggu dulu Mahesa
Kelud! Tunggu...!"
"Apalagi?!"
"Aku belum bilang terima
kasih padamu."
"Tak perlu," jawab
Mahesa sambil terus melangkah.
"Tak perlu? Baiklah...! Tapi
sebentar!
Tunggu sebentar! Bagaimana aku
harus balas jasamu?!"
"Aku tak membutuhkan
balasan!"
"Itu bagus! Tapi hem...
mungkin... mungkin kau hendak mengajukan pertanyaan... mungkin juga kau mohon
beberapa keterangan? Kau tahu orang muda... dalam dunia ini banyak seribu satu
hal aneh. Karenanya juga banyak seribu satu pertanyaan yang sukar dijawab
sehingga manusia pun butuh seribu satu macam keterangan. Bukankah begitu...?!"
Mahesa Kelud menjadi bimbang dan
akhirnya laki-laki ini menghentikan langkahnya. Dia berpaling kembali sedang
Lor Munding Saksana tertawa kepadanya.
"Apa yang kau ingin tanyakan
orang muda?"
"Pernah dengar tentang
sebuah pedang sakti bernama Samber Nyawa?" bertanya Mahesa Kelud. Lor
Munding Saksana termenung sejurus. Mulutnya komat-kamit dan tangan kirinya
menggaruk-garuk kepalanya sehingga rambutnya yang putih semakin awut-awutan.
"Eh, kau tanya apa tadi sompret?!"
Mahesa Kelud menahan kekesalannya
sedapat mungkin. "Pedang Samber Nyawa! Pernah dengar...?"
"Oh tentu!"
"Aku mendapat beberapa
keterangan yang menyatakan bahwa senjata tersebut berada di satu pulau yakni
Pulau Mayat. Apa keterangan itu betul? Kalau betul di mana letak pulau
tersebut?"
Lor Munding Saksana nampak
berpikir-pikir lagi. Kemudian berikan jawaban. "Keterangan yang kau dapat
itu memang betul. Tapi ada apa kau tanya tentang pedang itu, sompret?!"
"Guruku menyuruh untuk
mencarinya," menerangkan Mahesa.
"Suara Tanpa Rupa?"
"Bukan. Embah Jagatnata,
guruku yang pertama. Kau juga kenal dengan beliau...?"
Lor Munding Saksana gelengkan
kepala.
"Selama puluhan tahun hidup
mengembara di delapan penjuru angin dan selama puluhan tahun diam di bukit
Mayat tak pernah kudengar nama tokoh persilatan itu! Gurumu yang satu ini,
dimana tempat tinggalnya?!"
"Puncak Gunung
Kelud...."
"Ah... kau pasti berdusta
terhadapku sompret! Kau berdusta ya?! Tak ada satu tokoh silat pun pernah diam
di puncak gunung itu! Sialan kau!"
"Aku tidak bicara dusta.
Percaya atau tidak itu bukan urusanku...."
"Baik... baik... baik! Kau
bilang gurumu suruh mencari pedang Samber Nyawa itu. Betul?"
Mahesa Kelud mengangguk.
"Kalau begitu dia sudah
gila!"
Mahesa maju ke hadapan si orang
tua dengan kedua tangan terkepal. "Tak seorang pun kubiarkan berani
menghina guru di hadapan mata kepalaku!" Dua jotosan yang keras mendarat
berturut-turut di tubuh Lor Munding Saksana tanpa dapat terelakkan karena
demikian cepatnya. Orang tua itu mencelat mental dan terguling ditanah sampai
beberapa tombak jauhnya. Dia berdiri huyung sambil mengusap dadanya yang terasa
menyesak. Napasnya menyengal.
"Sompret! Dari mana kau
dapat belajar Ilmu pukulan batu karang itu hah?!" bentak Lor Munding
Saksana. "Sialan kau!"
Di samping kagum melihat
kehebatan lawannya yang sanggup menahan dua pukulan batu karang sekaligus,
Mahesa Kelud juga terkejut bahwa orang tua itu mengetahui pukulan apa yang tadi
dilancarkannya! Tiba-tiba dilihatnya Lor Munding Saksana memutar-mutar kedua
lengannya di udara sedang mulutnya meniup-niup ke depan. Angin deras berhembus
menghamparkan bau busuk yang tiada terkirakan! Mahesa maklum bahwa orang tua
itu tengah menyerangnya dengan ilmu aneh tapi berbahaya. Cepat-cepat dia
menutup jalan pernapasan. Ketika tubuhnya tergetar hebat oleh tiupan angin busuk
itu, Mahesa rangkapkan kedua kaki, membungkuk sedikit dan memukul ke depan!
Seberkas sinar putih menyilaukan mata menyambar. Lor Munding Saksana terkejut
bukan main! Serangan angin busuknya musnah dan dia sendiri pasti akan dapat
celaka besar bila seandainya tidak cepat-cepat dapat hindarkan diri dari
pukulan. "Api-Salju" yang dilancarkan oleh Mahesa Kelud. Meski
diam-diam dia keluarkan keringat dingin namun Lor Munding Saksana coba tertawa
bergelak. "Sompret, ilmu pukulan apa itu hah? Kau benar-benar hebat
Mahesa! Aku yakin kau pasti punya banyak guru...."
"Dan bila kau menghina salah
seorang dari mereka berarti kau menghina semua guruku!" tukas Mahesa Kelud
pula masih geram.
"Dengar orang muda... dengar
sompret! Aku pasti punya alasan mengapa kukatakan gurumu itu gila, maksudku
gurumu yang pertama! Kau bilang namanya Embah Jagatnata sedang aku yang sudah
tua tak pernah dengar nama itu berarti gurumu tidak terkenal dalam dunia
persilatan dan kalau dia tidak terkenal maka berarti ilmunya rendah! Dengan bekal
ilmu rendah kau disuruhnya mencari pedang Samber Nyawa! Sungguh satu
kesia-siaan belaka! Seorang yang punya nyawa rangkap pun belum tentu akan dapat
berhasil mendapatkan senjata sakti tersebut! Kau tahu orang muda, di Pulau
Mayat di ujung timur Pulau Jawa, sudah puluhan manusia dan tokoh-tokoh silat
ternama datang ke sana untuk mencarinya, jangankan untuk dapat memiliki senjata
tersebut, sebelum mereka sempat melihatnya pun mereka sudah meregang nyawa!
Lembah Maut dan Pulau Mayat dikuasai oleh sekumpulan perempuan-perempuan setan
berhati iblis yang akan membunuh siapa saja yang menginjakkan kakinya di sana!
Perempuan-perempuan setan itu dikepalai oleh seorang gadis bernama Dewi Maut,
sakti luar biasa! Tapi aku tidak memuji... aku tidak memuji kau sompret! Dengan
pedang merah yang kau miliki dan sedikit ilmu yang kau pamerkan tadi ada
kemungkinan kau bisa mendapatkan pedang sakti tersebut! Sekali senjata itu
berada di tanganmu maka kau akan menjadi Raja Pedang Dunia Persilatan! Kau
dengar itu?! Raja Pedang sompret!"
Mendapat keterangan itu Mahesa
kini tidak lagi menjadi kesal meskipun dia terus-terusan dipanggil dengan
"sompret". Karang Sewu pernah menyuruhnya untuk pergi ke Lembah Maut
guna membunuh Dewi Maut yang jahat dan luar biasa itu. Tak tahunya sang Dewi
adalah sekaligus pemilik pedang Samber Nyawa. Dua tugas berada di satu tempat
tujuan!
"Hai sompret! Mengapa kau
jadi bengong melompong? Ada pertanyaan lagi?!" terdengar suara Lor Munding
Saksana.
"Guruku yang pertama juga
menugaskan aku untuk mencari seorang manusia bernama Simo Gembong. Kenal nama
itu?"
"Simo Gembong?! Cilaka!
Cilaka, kau bisa cilaka sompret!" kata Lor Munding Saksana seraya pukul
keningnya sendiri.
"Cilaka bagaimana?!"
"Simo Gembong seorang
manusia bermuka buruk seram seperti iblis dan hatinya sejahat hati nenek moyang
iblis! Pembunuh tanpa hati kemanusiaan sedikit pun! Tukang rusak rumah tangga
orang lain, doyan perempuan! Tapi ilmu kesaktiannya tinggi sekali dan setahuku
sejak akhir-akhir ini dia tak pernah kelihatan muncul dalam kalangan persilatan...!
Ada apa kau tanyakan tentang tokoh sakti itu?!"
"Guruku menugaskan untuk
membunuhnya!" menerangkan Mahesa Kelud.
"Seribu kali lebih celaka
kalau begitu sompret! Kalau Simo Gembong masih hidup dan kau berhasil
menemuinya, sebelum kau turun tangan nyawamu pasti sudah dilemparkan ke neraka!
Sepuluh manusia macam kau akan dilalapnya mentah-mentah!"
"Menurut Embah
Jagatnata..." kata Mahesa Kelud pula, "Aku harus mendapatkan pedang
sakti Samber Nyawa itu lebih dahulu baru pergi mencari Simo Gembong karena
hanya satu-satu itulah senjata sakti yang dapat menamatkan riwayat Simo
Gembong!"
"Hem... itu mungkin, tapi
aku masih sangsi Mahesa...."
Kedua orang itu diam sejurus.
Mahesa Kelud membuka pembicaraan kembali. Tadi kau bilang bahwa Simo Gembong
seorang manusia bermuka buruk seram seperti iblis. Apakah kau sudah pernah
berhadapan muka dengan dia?!"
"Pernah, tapi cuma secara
singkat," jawab Lor Munding Saksana sambil menggaruk rambutnya untuk
kesekian kalinya.
"Bisa kau terangkan
ciri-cirinya...?" tanya Mahesa Kelud.
"Rambutnya gondrong
awut-awutan seperti rambutku! Umurnya sudah sangat tua, lebih tua dariku dan
mukanya penuh keriputan. Dia memelihara janggut sampai ke dada panjangnya.
Memiliki hidung yang besar tapi pesek hampir sama rata dengan kulit pipinya
yang keriput! Telinga kanan sumplung akibat ditebas oleh salah seorang
perempuan yang pernah dipermainkannya semasa muda dan mata kiri picak buta.
Tubuhnya sedikit bungkuk... mungkin sekarang sudah bungkuk melipat! Itulah Simo
Gembong yang pernah kulihat sekitar sepuluh tahun lalu. Sekarang bagaimana
tampangnya aku tak bisa tahu pasti jauh lebih buruk seperti biang iblis!"
Mahesa Kelud mengingat-ingat
baik-baik setiap ciri-ciri tentang Simo Gembong yang diberikan oleh Lor Munding
Saksana. Kemudian dia mengucapkan terima kasih dan hendak berlalu.
"Eit sompret! Tunggu
dulu!" seru si orang tua. "Kau mau pergi enak-enakan begitu saja?
Aku juga hendak bertanya dengan
kau sompret!"
"Bertanya apa?"
"Apa yang membawamu ke pulau
ini dan apa hubunganmu dengan kedua suami istri gila itu! Terutama yang
perempuan! Ayo jawab dan awas kalau kau berani dusta!"
"Aku tidak suka pada
manusia-manusia sakti yang mempergunakan ketinggian ilmunya untuk berbuat
kejahatan di atas muka bumi."
"Itu alasan yang bisa
diterima," ujar Lor Munding Saksana. "Tapi kau pasti punya alasan
lain, ayo terangkan!"
"Tak ada alasan-alasan lain,
aku datang hanya untuk membasmi angkara murka yang merajalela tanpa
kemanusiaan!"
"Dusta! Kau pasti ada
hubungan apa-apa dengan perempuan muda tadi! Hubungan yang menghasilkan anak
ya?!"
Wajah Mahesa Kelud menjadi sangat
merah.
"Nah, tampangmu jadi merah!
Kata-kataku pasti kena batunya!" Orang tua itu tertawa bergelak. Mahesa
dengan kesal putar tubuh lalu lari meninggalkan tempat itu. "Hai sompret,
tunggu dulu! Mari kita pergi sama-sama!" seru Lor Munding Saksana. Tapi
Mahesa sudah lenyap dari pemandangan.
***
TUJUH
MATAHARI hampir tenggelam. Di
hadapannya membentang laut luas. Jauh di seberang sana kelihatan pulau-pulau
kecil bertebaran. Dan di mana-mana tampak pula perahu-perahu nelayan. Sinar
matahari yang hendak tenggelam membuat air laut yang biru menjadi seperti merah
kuning keemasan. Seorang nelayan tua berjalan di belakangnya. Mahesa Kelud
memutar badan dan melangkah mendapatkan nelayan tersebut. Mengetahui ada
seseorang yang mendatanginya nelayan tua berpaling dan hentikan langkah.
"Ya, orang muda ada apa?"
Mahesa mengangguk hormat.
"Mungkin Bapak bisa memberikan keterangan yang mana di antara sekian
banyaknya pulau-pulau di ujung sana itu yang bernama Pulau Mayat."
Paras nelayan tua jelas kelihatan
berubah. Dia memandang ke kiri dan ke kanan seakan-akan khawatir kalau-kalau
ada seseorang lain berada di sekitar sana mendengarkan percakapan mereka. Tapi
tak ada siapa-siapa. "Orang muda," kata nelayan itu pula dengan suara
perlahan sekali dan gemetar, "Aku tak bisa berikan keterangan apa-apa padamu.
Cari orang lain saja..." Lalu cepat-cepat orang tua itu hendak berlalu
namun bahunya dipegang oleh Mahesa Kelud.
"Kau seperti seorang yang
ketakutan saja orang tua, aku hanya sekedar bertanya. Tak ada yang harus
ditakutkan...."
"Kau orang asing di sini.
Kau tidak tahu apa-apa...." Nelayan itu menurunkan tangan Mahesa lalu
melangkah lagi. Mahesa mengikutinya.
"Justru karena aku orang
asing dan tidak tahulah maka aku bertanya," kata Mahesa pula.
"Aku yakin kau yang sudah
tua tahu pasti di mana letak pulau tersebut!"
Orang tua itu melangkah terus
bahkan mempercepat langkahnya. "Jika kau bicara pada siapa saja tentang
letak pulau itu, aku akan mati!
Setiap orang yang bicara tentang
pulau itu akan mati, termasuk kau!"
"Hem...." Mahesa
menggumam dan usap dagunya tapi juga tetap terus melangkah mengikuti si orang
tua.
"Kenapa demikian?"
"Aku tak mau bicara denganmu
di sini orang muda...."
"Kalau begitu di mana kita
bisa bicara?" bertanya Mahesa Kelud.
Nelayan itu menghentikan
langkahnya. Ditelitinya Mahesa Kelud dari kepala sampai ke kaki. Dia
menggoyangkan kepalanya. "Ikut aku kepondokku," katanya dengan suara
perlahan.
Mahesa Kelud melangkah mengikuti
orang tua itu. Pondok nelayan ini terletak tak berapa jauh dari pantai. Seorang
gadis berkulit hitam manis membukakan pintu. Dekat pintu dapur berdiri
perempuan separuh baya, istri nelayan tua tadi sedang gadis yang membuka pintu
adalah anak tunggalnya.
"Silahkan duduk," kata
nelayan itu pula. Kemudian dia menerangkan namanya pada Mahesa dan Mahesa
memberitahukan pula namanya pada nelayan itu. Di luar senja sudah mendatang dan
malam menggantikan siang.
"Pak Rono, tadi kau bilang
bahwa siapa-siapa yang bicara tentang Pulau Mayat akan menemui kematian.
Mengapa begitu?"
"Anak muda, ketahuilah bahwa
di pulau tersebut terdapat sebuah lembah bernama Lembah Maut. Di sini diam
seorang gadis jelita tapi jahat luar biasa bernama Dewi Maut. Dia mengepalai
kira-kira selusin dara-dara jelita yang rata-rata berkepandaian tinggi dan sama
jahatnya dengan Dewi Maut itu sendiri! Tiada seorang pun yang berani
menginjakkan kaki di pulau tersebut. Karena datang ke sana berarti maut! Dewi
Mautpun mempunyai banyak sekali mata-mata sehingga siapa saja yang mencari
jalan untuk datang ke pulaunya atau mencari keterangan apa saja tentang dia
pasti ketahuan dan orang itu pasti akan menemui ajalnya! Pernah beberapa
nelayan tak berdosa terhampar di sana waktu ombak besar. Nelayan-nelayan itu
pun meski mereka datang ke sana secara tidak sengaja dibunuh tanpa peri
kemanusiaan sama sekali! Beberapa orang tokoh persilatan berusaha menumpas
komplotan terkutuk Dewi Maut itu namun sukar bagi mereka untuk menentukan di
mana sebenarnya letak pulau tersebut karena tak seorang pun bisa memberi
keterangan. Kalau pun ada tokoh-tokoh silat yang sampai ke sana maka pastilah
Cuma untuk mengantarkan nyawa karena Dewi Maut sakti luar biasa...."
"Jadi Pak Rono sendiri
sebenarnya juga tidak tahu tepat letak pulau tersebut?"
"Letak tepatnya memang
tidak. Namun seseorang akan bisa mengetahuinya dari tanda-tanda," jawab
nelayan tua itu.
"Apakah tanda-tanda tersebut
kiranya?" tanya Mahesa Kelud.
"Pulau itu bernama Pulau
Mayat, berarti banyak mayat berhamparan di sana. Di mana terdapat mayat akan
terdapat pula burung-burung pemakan mayat beterbangan. Kau maklum maksudku,
orang muda?"
Mahesa mengangguk. "Maksud
Bapak pastilah bahwa di atas pulau tersebut terlihat lebih banyak burung-burung
dari pada pulau-pulau lainnya."
"Benar."
"Bapak memiliki perahu
bukan?"
"Ya. Tapi kalau untuk
mengantarkanmu mencari pulau itu, sebaiknya kau cari orang lain," sahut
pak Rono yang sudah dapat meraba pikiran Mahesa Kelud.
"Bagaimana kalau perahu
Bapak saya sewa?"
Pak Rono gelengkan kepala.
"Harap maafkan Mahesa, aku bukan tak mau menolongmu. Sebagaimana kukatakan
tadi Dewi Maut mempunyai banyak mata-mata. Sekali dia kenali perahuku, tamatlah
riwayatku dan...."
Tiba-tiba pintu muka pondok
terpentang lebar oleh satu tendangan. Sekelebatan kelihatan bayangan sesosok
manusia melemparkan sebuah pisau terbang ke arah nelayan tua itu. Mahesa Kelud
bertindak cepat. Tangan kirinya dilambaikan. Begitu pisau mental dan menancap
di dinding maka dia segera menghambur keluar mengejar si pembunuh gelap. Mahesa
berkeyakinan manusia itu pastilah salah seorang dari kaki-kaki tangan atau
mata-mata Dewi Maut! Di luar malam yang gelap dan berangin deras menyambut
Mahesa. Matanya yang tajam masih sempat melihat ke mana larinya sosok tubuh
tadi. Mahesa segera mengejar. Dia berhasil menyusul si pembokong.
Tahu bahwa dirinya tak bisa lari
lebih jauh maka manusia berpakaian serba hitam segera cabut pedang dan
lemparkan sebilah pisau terbang ke arah Mahesa. Pisau dibikin mental dengan
lambaian tangan. Serangan pedang dielakkan. Mahesa ingin menangkap manusia itu
hidup-hidup. Dengan cepat dirampasnya pedang di tangan lawan. Sang lawan yang mengetahui
kehebatan luar biasa dari musuhnya tanpa banyak cerita segera cabut belati
besar dari balik pinggang dan menggorok lehernya sendiri! Darah menyembur.
Tubuhnya rebah ke pasir tanpa nyawa. Dari arah pondok terdengar suara pekik
merobek udara malam. Mahesa Kelud terkejut.
Suara pekikan tadi disusul dengan
dua suara pekikan lainnya. Ketika Mahesa sampai ke dalam pondok didapatinya
istri dan anak pak Rono tengah memeluki tubuh nelayan itu yang menggeletak di
lantai pondok dalam keadaan tak bernyawa lagi. Pada tenggorokannya menancap
sebuah pisau yang sama bentuknya dengan pisau yang dilemparkan oleh manusia
berpakaian serba hitam. Kedua anak beranak itu menangis sejadi-jadinya menyayat
hati mengharukan. Mahesa keluar dari pondok dengan cepat untuk mencari si
pembunuh namun hanya kepekatan malam yang ditemuinya.
Mahesa masuk lagi ke dalam
pondok. Kali yang kedua ini ketika matanya memandang ke atas maka dilihatnyalah
atap rumbia pohon bobol. Pasti si pembunuh bersembunyi di atas atap. Pada waktu
Mahesa keluar mengejar kawannya yang satu ini lalu turun dan membunuh pak Rono
untuk kemudian melompat lagi ke atas atap dan melarikan diri! Mahesa Kelud
hanya bisa kepalkan tinju menahan kegeramannya. Dia merasa bahwa karena dialah
sampai nelayan tua tiada berdosa itu menemui kematiannya dengan cara mengerikan
seperti itu!
***
DELAPAN
PULAU Mayat.... Di sekeliling
pulau tumbuh pohon-pohon kelapa. Melihat rapatnya pohon-pohon tersebut satu
sama lain jelaslah bahwa pohon-pohon kelapa tersebut sengaja ditanam demikian
rupa membentuk pagar tinggi yang kokoh. Di sebelah dalam tumbuh lagi berbagai
pohon serta semak belukar rapat. Lalu menyusul pedataran yang penuh dengan
batu-batu karang lancip tinggi diselingi oleh batu hitam besar-besar.
Selewatnya daerah berbatu-batu ini tanah pulau menurun ceguk seperti pasir
turun di bagian bawah yang menjadi pusat bersembunyinya undur-undur. Inilah
yang dinamakan Lembah Maut.
Bila dilihat begitu saja maka
pulau itu sunyi senyap seperti tiada berpenghuni, namun bila seseorang
menginjakkan kaki di sana maka sesungguhnya dari tempat-tempat yang tersembunyi
mengintai belasan pasang mata tajam yang memancarkan sorotan maut!
Pulau itu mempunyai udara berbau
busuk karena mulai dari balik pagar pohon-pohon kelapa yang menjulang sampai ke
dasar pusat lembah bertebaran mayat-mayat manusia. Ada yang mati menggeletak
memalang di atas pohon-pohon kayu, ada yang mendekam di dalam semak-semak, ada
yang terpancang di pohon kelapa, banyak pula yang terbantai di atas batu-batu
karang atau batu-batu hitam. Yang bertebaran ditanah tak terhitungkan lagi.
Sebagian besar dari mayat-mayat itu hanya merupakan jerangkong-jerangkong
tulang belulang saja. Mayat-mayat barulah yang menimbulkan bau busuk. Langit
diatas pulau senantiasa penuh oleh burung-burung pemakan mayat. Bau busuknya
mayat-mayat tersebut menarik binatang-binatang itu untuk datang ke pulau.
Di bawah sorotan matahari pagi
Mahesa Kelud mengayuh perahunya. Meskipun ilmu mengentengi tubuhnya belum
mencapai tingkat kesempurnaan paling tinggi namun sebenarnya laki-laki ini
sudah sanggup mempergunakan ilmu lari di atas air. Tapi hal itu tak
dilakukannya karena sudah barang tentu akan menarik perhatian orang banyak,
terutama para kaki tangan dan mata-mata Dewi Maut. Bahkan dengan adanya
peristiwa malam tadi Mahesa sudah menduga bahwa Dewi Maut telah mengetahui
tentang dirinya. Karena itulah Mahesa sengaja menyamar seperti seorang nelayan.
Dalam perahunya dia membawa serta
jala dan pancingnya. Tak lupa dimuatinya perahu itu dengan ikan-ikan basah.
Pakaiannya ditambal disana sini dan kepalanya ditutup dengan sebuah topi daun
pandan. Di bawah topi, sepasang matanya senantiasa tertuju tajam pada salah
satu dari sekian banyaknya pulau-pulau yang berada di lautan luas di ujung
Pulau Jawa sebelah timur itu. Sudah sejak tadi dilihatnya di atas pulau yang
satu ini banyak beterbangan burung-burung laut. Sebentar-sebentar
binatang-binatang itu menukik ke bawah lalu terbang lagi berputar-putar di
udara untuk kemudian menukik lagi, demikian tiada kunjung hentinya. Makin lama
makin dekat juga Mahesa Kelud ke pulau tersebut. Pada jarak yang telah
ditentukannya, dengan satu pukulan tangan kiri Mahesa Kelud menghantam tiang
layar perahu kecilnya. Tiang patah dan layar rebah, perahu terbalik. Mahesa
melompat dengan cekatan. Dipegangnya tepi perahu dan perlahan-lahan laki-laki
ini berenang mendorong perahu tersebut mendekati Pulau Mayat.
***
SEMBILAN
DI BAWAH pusaran Lembah Maut di
Pulau Mayat terdapat banyak sekali lorong-lorong gang yang berpenerangan lampu
minyak berbentuk aneh. Seorang dari luar yang masuk ke dalam gang-gang tersebut
pastilah akan tersesat dan tak dapat keluar lagi sampai akhirnya menemui ajal
karena kelaparan! Pada setiap gang terdapat pintu-pintu rahasia. Salah satu
dari pintu rahasia diujung gang kesembilan belas terbuka dan seorang dara
jelita berpakaian berbentuk jubah berwarna biru keluar. Pada pinggangnya yang
ramping terikat sebuah ikat pinggang kulit, tergantung sebilah pedang hitam.
Gadis ini menunggu sebentar. Begitu pintu di belakangnya menutup kembali maka
baru dia melangkahkan kaki. Gang itu disusurinya ke arah ujung kanan. Di sini
dia membelok memasuki gang seratus empat belas sampai akhirnya dia berdiri di
hadapan sebuah pintu. Mulutnya komat-kamit. Kemudian diketuknya pintu batu
tersebut dua kali, lalu tiga kali kemudian dua kali lagi. Pintu batu membuka
secara aneh. Dia masuk dan pintu menutup kembali. Gadis itu sampai ke sebuah
taman yang indah sekali. Kalau dipikir memang tak masuk akal bahwa sebuah
pulau, di bawah lembah terdapat sebuah taman sedemikian bagusnya. Tapi ini
barulah salah satu dari sekian banyaknya keanehan yang terdapat di Pulau Mayat.
Di tengah taman terdapat sebuah
lantai ubin merah berkilat. Gadis baju biru tadi melangkah dengan dada
dibusungkan dan kepala senantiasa menghadap ke depan. Di hadapannya terdapat
sebuah bangunan mungil berbentuk istana yang keseluruhannya dicat putih bersih.
Gadis ini menaiki tangga bangunan tersebut dan berhenti di muka pintu besi yang
tertutup. Di sudut bawah pintu terdapat sebuah alat rahasia berbentuk tombol yang
kalau dilihat sepintas lalu hanya merupakan sebuah paku biasa saja. Gadis ini
memandang berkeliling lebih dahulu kemudian angsurkan kaki kanannya ke muka.
Ibu jari kakinya menekan tombol tersebut. Si gadis menunggu dengan perasaan
tegang. Khawatir kalau-kalau pintu di hadapannya tak akan terbuka. Sesaat
menunggu maka pintu besi itu pun terbukalah. Gadis baju biru cepat-cepat masuk
karena hanya sedetik sesudah dia masuk pintu besi menutup kembali!
Ruang di belakang pintu besi
terang benderang. Gadis ini melangkah di sepanjang jalur permadani yang menuju
ke arah lapisan-lapisan lima tirai berwarna. Tirai pertama berwarna hitam pekat
disingkapkannya. Di belakang tirai ini berdiri seorang gadis jelita berpakaian
yang sama dengan gadis pertama tadi. Keduanya saling mengangguk. Gadis pertama
melangkah terus dan mencapai tirai terakhir berwarna hijau. Seseorang tak akan
dapat melewati tirai-tirai tersebut tanpa diketahui para gadis pengawal. Selain
tirai tersebut tebal dan berat sekali sehingga membutuhkan tenaga untuk
menyibakkannya maka pada bagian-bagian bawah tirai terdapat semacam
giring-giring yang akan berbunyi bilamana tirai bergerak sedikit saja!
Ketika tirai kelima dibuka maka
di atas sebuah pembaringan yang indah sekali kelihatanlah seorang gadis berpakaian
serba hijau. Salah satu kakinya terjuntai ke lantai yang beralaskan permadani
sehingga pahanya yang putih bagus tersingkap jelas! Gadis baju hijau ini
cantiknya bukan main!
Di kiri kanannya dua orang gadis
baju biru berdiri mengipasinya! Inilah dia Dewi Maut penguasa Lembah Maut dan
Pulau Mayat. Dewi Maut memandang ke muka ketika tirai di hadapannya terbuka.
Gadis baju biru yang masuk segera berlutut lalu berdiri kembali.
"Ada kabar apa Empat
Biru?" tanya Dewi Maut pada gadis itu. Terhadap para murid atau anak buah
atau pengawal-pengawalnya yang semua terdiri dari gadis-gadis jelita sejumlah
dua belas orang. Dewi Maut memberikan nama panggilan sesuai dengan deretan
angka-angka. Gadis yang datang itu gadis nomor empat, karenanya kepadanya diberi
nama panggilan Empat Biru.
"Selamat sejahtera di hari
ini, Dewi," kata Empat Biru. "Menyesal kalau di hari sembilan di
bulan sepuluh ini Empat Biru datang menghadap membawa kabar buruk"
Sepasang alis yang indah dari
Dewi Maut menaik ke atas. "Kabar buruk apakah gerangan yang kau
bawa?" tanya Dewi Maut pula. "Coba ceritakan!"
"Kemarin sore menjelang
senja di kampung nelayan di ujung pulau seberang sebelah timur telah datang
seorang laki-laki muda. Ternyata dia adalah seorang yang datang untuk
menyelidik tentang Lembah dan Pulau kita...."
"Tentang Lembah dan Pulau
ini...?"
"Betul Dewi," sahut
Empat Biru. Kemudian diteruskannya keterangannya. "Dua orang mata-mata
kita berhasil mempergoki orang tersebut di memberi keterangan padanya. Salah
seorang dari mata-mata berhasil membunuh nelayan itu namun kawannya yang tak
sempat melarikan diri terpaksa menemui ajal di tangan orang muda
tersebut."
"Kurang ajar!" maki
Dewi Maut seraya duduk di tepi pembaringan. "Apakah kau sudah suruh
selidik mata-mata kita yang lain atas diri itu orang muda?!"
"Sudah Dewi."
"Siapa dia adanya?"
"Namanya Mahesa Kelud
berasal dari tanah barat. Melihat gerak-geriknya serta apa yang telah
dilakukannya terhadap salah seorang mata-mata kita pastilah dia tidak berilmu
rendah! Namun ada sedikit kesangsian, Dewi...."
"Mengenai apa?"
"Mengenai apakah betul orang
asing tersebut yang membunuh mata-mata kita atau mata-mata kita sendiri yang
bunuh diri."
"Kenapa kau bilang
demikian?"
"Karena pisau belati yang
menancap di leher mata-mata itu adalah miliknya sendiri!"
Dewi Maut manggut-manggutkan
kepalanya beberapa kali. "Empat Biru kau kembali ke tempat, perintahkan
kawan-kawanmu yang lain untuk lebih waspada dari yang sudah-sudah!"
"Baik Dewi!" Empat Biru
berlutut lalu berdiri kembali dan meninggalkan ruangan itu.
Mahesa Kelud memeriksa keadaan
dirinya ketika dia semakin dekat juga ke pantai pulau tujuannya. Pedang serta
keris sakti tersembunyi dengan baik di balik bajunya. Dengan satu dorongan
keras serta bantuan ombak maka menghamparlah dia bersama perahunya ke tepi
pasir. Mahesa Kelud menggeletak menelungkup tak bergerak-gerak. Namun sepasang
telinganya mendengarkan setiap suara dengan tajam sedang kedua matanya yang
seperti terpejam itu terbuka sedikit memperhatikan keadaan sekitarnya. Mahesa
Kelud tak menunggu lebih lama karena sejurus kemudian telinganya mendengar suara
desiran angin dan dari batang kelapa tinggi di muka sana melesat turun bayangan
biru.
Di hadapannya kemudian dilihatnya
dua orang dara jelita berdiri. Ketika Mahesa memperhatikan pasir pantai sama
sekali tidak kelihatan bekas-bekas jejak kaki kedua dara tersebut padahal dia
telah meloncat dalam jarak yang tinggi sekali! Diam-diam Mahesa mengagumi
kehebatan ilmu mengentengi tubuh dara-dara muda itu dan dia maklum sudah bahwa
mereka pastilah dua orang anak buahnya Dewi Maut.
"Nelayan muda yang terdampar,"
kata salah seorang dari gadis itu. Dia adalah anak buah yang kesembilan dan
nama panggilannya Sembilan Biru.
"Tapi bukan mustahil dia
adalah orang asing yang diterangkan oleh mata-mata kita," sahut kawannya
yaitu si Empat Biru.
"Coba periksa perahunya!"
Sembilan Biru memeriksa perahu yang terdampar tak jauh dari sana. Sesaat
kemudian dia kembali. "Tiang layar perahu patah...."
"Patah?" desis Empat
Biru. "Aneh, tak ada topan atau angin besar di lautan sekitar sini,
bagaimana tiang perahu itu bisa patah?!"
"Mungkin tiangnya sudah
sangat tua," ujar Sembilan Biru.
"Apalagi yang kau temui di
perahu itu, Sembilan Biru?"
"Alat penangkap ikan,
beberapa ekor ikan dan kain-kain buruk."
Empat Biru memandang pada Mahesa
Kelud yang menggeletak tak bergerak-gerak. "Dilihat kepada pakaiannya aku
percaya bahwa dia seorang nelayan muda yang miskin. Tapi dilihat kepada tampang
serta kulitnya, aku tetap masih bercuriga. Coba kau perhatikan Sembilan Biru.
Tampangnya bagus dan kulit
tubuhnya kuning langsat halus seperti perempuan! Mana ada kulit nelayan yang
senantiasa berkenalan dengan matahari begini macam!"
"Apa yang harus kita lakukan
kalau begitu?!"
"Apa yang harus kita lakukan
katamu?!" ujar Empat Biru. Tangannya bergerak mencabut pedang hitam yang
tergantung di pinggangnya. Mahesa Kelud dapat mendengar suara gesekan pedang
yang dicabut dari sarungnya. Sepasang matanya lebih dibukakan. Dia bersiap
sedia.
"Tunggu dulu Empat
Biru," kata Sembilan Biru. "Dewi tidak memberi perintah cabut nyawa
atas manusia ini! Aku khawatir kalau kita kesalahan tangan!"
Empat Biru tersenyum. "Bukan
Dewi yang kau khawatirkan tapi paras orang muda yang gagah ini bukan? Hem....
Dia memang cakap!"
Sembilan Biru jadi
kemerah-merahan parasnya. Dia memandang ke deretan pohon-pohon kelapa rapat dan
berkata: "Sebaiknya kita tanyakan dulu pada Dewi."
"Tanyakanlah. Aku yakin Dewi
akan menyuruh kita memancung kepala manusia ini!" ujar Empat Biru.
Sembilan Biru berteriak. Suara teriakannya yang disertai tenaga dalam tinggi
menggelombang ke arah Lembah dan masuk ke tempat pembaringan Dewi Maut.
"Dewi, di sini Sembilan Biru
dan Empat Biru. Kami menemui seorang nelayan muda terdampar di pasir. Mohon
petunjuk apa yang kami harus lakukan! Dia masih bernapas!"
Dari arah Lembah terdengar suara
jawaban Dewi Maut. Jawabannya adalah sekalimat bertanya. "Apakah ada
hal-hal yang tidak pada tempatnya yang kalian lihat dengan diri manusia
itu?!"
"Ada," jawab Sembilan
Biru dan Empat Biru hampir bersamaan.
"Kalau begitu bawa dia
hidup-hidup ke ruang pembantaian!" terdengar perintah Dewi Maut. Sembilan
Biru melirik pada kawannya. Lirikan kemenangan. Kedua orang itu kemudian
masing-masing memegang tangan serta kaki Mahesa Kelud. Mahesa merasa tubuhnya
seperti dibawa terbang melewati pohon-pohon kelapa tinggi lalu dibawa berlari
di antara pepohonan. Di sana sini dilihatnya mayat-mayat membusuk serta tulang
belulang manusia. Bau busuk menyesakkan pernapasan. Kemudian di sekitarnya
tampak batu-batu karang runcing tinggi serta batu-batu hitam besar. Sesudah itu
tubuhnya dibawa berlari memasuki lorong sampai akhirnya berhenti di hadapan
sebuah pintu besi.
Pintu besi terbuka aneh dengan
mengeluarkan suara berkereketan. Orang yang mendukungnya menerobos melewati
pintu itu. Tak selang berapa lama terlihat lagi sebuah pintu. Mahesa dibawa
masuk ke dalam lalu dilemparkan seperti melemparkan sarapan. Murid Embah
Jagatnata menyumpah dalam hati. Dia memandang berkeliling cepat meneliti
keadaan. Namun belum sempat hal itu dilakukan tiba-tiba dinding di sebelah
kanan terbuka secara aneh dan saat itu pula menerobos cahaya putih menyilaukan.
Begitu cahaya putih lenyap, di hadapan Mahesa kini membentuk satu dinding
tembus pandang, tak ubahnya terbuat dari kaca. Di belakang dinding kaca tegak
sesosok tubuh perempuan muda cantik jelita mengenakan pakaian hijau sangat
tipis hingga lekuk-lekuk auratnya terlihat dengan jelas. Di pinggangnya
tergantung sebilah pedang bersarung hitam. Walaupun rasa ngeri dan kecemasan
masih menguasai dirinya namun diam-diam dalam hati Mahesa Kelud muncul satu
harapan besar. Dia membatin.
"Tidak salah datang ke
tempat ini walau nyawaku hampir melayang beberapa kali. Tugas pertama dari
Embah Jagatnata untuk mendapatkan pedang Samber Nyawa agaknya akan dapat aku
selesaikan."
***
TAMAT
Selanjutnya:
PULAU MAYAT
Emoticon