PEDANG SAKTI KERIS ULAR EMAS
Karya: Bastian Tito
Episode 14
MAYAT DALAM ISTANA
SATU
LANGKAH, REZEKI, JODOH DAN MAUT…
ITULAH empat parkara yang tidak
dapat ditentukan oleh manusia. Keempatnya berada dalam kuasa dan kehendak Yang
Maha Kuasa. Kekuasaan dan kehendak itulah yang menjadi dasar dari jalannya
cerita, menyangkut pendekar sakti mandraguna Mahesa Kelud dan istrinya
Wulansari....
PUNCAK GUNUNG MURIA…
Pagi itu langit tampak mendung.
Angin bertiup kencang. Supitmantil berdiri di ambang pintu rumah kayu,
memperhatikan Wulansari —yang sejak lebih dua bulan lalu jadi
istrinya—berkemas-kemas. Hatinya gembira karena akhirnya hari itu Wulansari
bersedia juga meninggalkan tempat kediamannya itu. Selama ini Supitmantil
selalu merasa kawatir kalau-kalau Mahesa Kelud tiba-tiba muncul.
"Kita berangkat sekarang
Wulan?" tanya Supitmantil. Wulansari mengangguk. Dibetulkannya letak
Pedang Dewi yang tersisip di balik punggung. Walaupun kini sudah lebih dari dua
bulan dia menjadi isteri lelaki itu, namun bayangan Mahesa Kelud, suaminya yang
pertama—yang disangkanya benar-benar sudah mati—tidak dapat pupus dari
ingatannya. Dia merasa bersyukur bahwa Supitmantil ternyata seorang suami yang
sangat baik, lemah lembut tutur cakapnya hingga keperihan hati akibat
kehilangan Mahesa Kelud cukup terhibur meskipun dia sadar cintanya terhadap
Supitmantil tidak sebesar cintanya terhadap Mahesa.
"Hai! Mendung sekali cuaca
hari ini. Dan angin begini kencang. Sebentar lagi pasti turun hujan!" seru
Wulansari ketika dia sampai di beranda rumah "Bagaimana kalau kita tunggu
biar hujan turun lebih dulu. Begitu berhenti baru kita berangkat."
Supitmantil yang sudah tidak
sabar dan ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu merangkul bahu Wulansari
seraya memandang ke langit lalu berkata: "Cuaca memang agak buruk. Tapi
hujan tak segera akan turun. Paling cepat setelah kita sampai di kaki gunung.
Sebaiknya kita berangkat sekarang saja Wulan."
Wulansari akhirnya mengikuti juga
kemauan suaminya. Untuk terakhir kali dia memandangi rumah kayu di puncak Muria
itu. Hatinya terasa pilu. Dia akan meninggalkan rumah penuh kenangan. Entah
kapan akan kembali lagi ke situ. Kedua matanya berkaca-kaca.
"Mari Wulan," bisik
Supitmantil.
Sambil berpegangan tangan kedua
orang itu menuruni serambi rumah, melangkah ke ujung kiri halaman di mana
tertambat dua ekor kuda. Ketika Supitmantil hendak membantu Wulansari naik ke
atas kuda, tiba-tiba terdengar satu seruan yang luar biasa mengejutkan baik
Wulansari apa lagi bagi Supitmantil. Muka pemuda ini berubah sepucat kain
kafan!
"Wulan! Aku datang!"
Sebelum gema saruan itu lenyap,
sesosok bayangan berkelebat. Di lain kejap Mahesa Kelud tampak tegak enam
langkah di depan kedua orang itu, menatap dengan pandangan mata aneh, penuh
tanda tanya.
"Mahesa! Kau . .. !"
Wulansari terpekik. Jelas ada
kegembiraan pada wajahnya namun lebih banyak terlihat bayangan ketidakpercayaan
akan pandangan matanya sendiri!
"Mahesa! Betul kau ini yang
datang ... ?!"
"Wulan .... Ada apa? Apakah
matamu tidak melihat hingga tidak mengenali diriku lagi?" tanya Mahesa
tanpa bergerak dari tempatnya. Setelah berbulan-bulan tidak berjumpa dan penuh
kerinduan tentu saja saat itu ingin dia memeluk istrinya. Tapi entah mengapa dia
tetap diam ditempatnya. Ada sesuatu kelainan dirasakannya di puncak gunung
Muria itu.
"Aku tidak buta. Aku dapat
melihatmu dangan jelas Mahesa. Tapi....Tentu Tuhan telah menyelamatkanmu dari
malapetaka itu!"
Wulansari sandiri ingin lari
menubruk Mahesa. Namun detik itu pula dia sadar akan keadaan dirinya yang telah
menjadi istri Supitmantil. Parempuan ini merasakan tubuhnya berguncang, dadanya
bergetar. Jalan nafasnya menjadi sesak. "Ya Tuhan! Bagaimana semua ini
bisa terjadi...?"
Meskipun tambah heran melihat
sikap dan mendengar ucapan istrinya namun Mahesa berkata: "Betul Wulan.
Tuhan telah menyelamatkan sewaktu terpental masuk jurang batu. Seorang kakek
sakti menolongku. Bagaimana kau bisa tahu kalau aku selamat dari malapetaka
masuk jurang batu itu ... ?"
"Jurang batu . . . ?"
Wulansari mengulang heran.
"Ya, jurang batu!"
sahut Mahesa. "Bukankah itu malapetaka yang kau maksudkan?" Mahesa
berpaling sedikit ke arah Supitmantil. "Kulihat ada sahabatku Supitmantil
di sini. Dan kalian berdua seperti bersiap-siap hendak meninggalkan tempat
ini...."
Di atas mereka langit tambah
mendung. Udara tambah gelap. Angin bertiup kencang menimbulkan suara bersiuran.
Di kejauhan kilat menyambar. Rambut Mahesa berkibar-kibar ditiup angin.
Mendadak saja dia teringat mimpinya waktu di goa dulu. Mimpi rembulan disambar
petir! Guntur menggelegar menegakkan bulu roma. Puncak gunung Muria bergetar.
Tapi lebih hebat lagi getaran yang ada di dada ketiga orang itu!
"Mahesa! Ya Tuhan….Kalau
taja aku tahu kau masih hidup!" Wulansari menjerit setengah meratap sedang
kedua matanya telah basah oleh air mata. "Bagaimana ….bagaimana mungkin
semua ini bisa terjadi....?"
"Memangnya siapa yang
mengatakan aku sudah mati Wulan?" tanya Mahesa. Ketika Wulansari tak
menjawab Mahesa membentak. "Katakan! Apa arti semua ini!" Lalu dia
maju mendekati Wulansari. Tapi baru satu langkah kakinya tertahan seperti
dipantek ke tanah ketika mendengar keterangan Wulansari.
"Menurut Supit kau tewas
dalam kecelakaan di tengah laut. Jenazahmu tak pernah ditemukan. Dia ....
dia.... "
Wulansari berpaling ka arah
Supitmantil dangan mata berapi-api. "Dia yang mengatakan semua itu. Lalu
dia meminta aku jadi istrinya. Karena tak ada harapan lagi bahwa kau masih
hidup aku .... aku .... "
"Jadi saat ini sebenarnya
kau telah jadi istrinya?!" Suara Mahesa bergetar. Dadanya terasa panas
seperti mau meledak. Wulansari tak bisa menjawab. Tubuhnya terasa lunglai dan
meluncur ke bawah, jatuh berlutut.
"Jadi, jelas dia telah
menyusun cerita dusta!" Rahang Mahesa Kelud menggembung. "Aku
menyesalkan kau begitu mudah percaya dan tidak menyelidik…". Dengan mata
membeliak garang dan pelipis bergerak-gerak Mahesa barpaling pada Supitmantil,
"Manusia keparat! Ternyata kau hanya seekor srigala berbulu domba.
Pengkhianat terkutuk! Kupatahkan batang lehermu!"
Mahesa melompat ke depan. Kedua
tangannya terkembang. Dari mulutnya terdengar suara menggeram seperti seekor
harimau yang hendak menerkam mangsanya.
"Tunggu dulu!" seru
Supitmantil seraya berkelit menghindar. "Aku akan terangkan pada
kalian...."
"Keparat! Manusia penipu!
Biar roh busukmu yang memberi keterangan pada setan-setan neraka!" teriak
Wulansari. Tubuhnya yang tadi berlutut tiba-tiba melompat sebat. Sinar merah
berkiblat. Ternyata perempuan ini telah mencabut Pedang Dewi pemberian gurunya
Suara Tanpa Rupa. Tetapi dia bukan menyerang ka arah Supitmantil, melainkan
memapas serangan Mahesa Kelud!
"Bagus! Kau memang patut
membela suamimu!" teriak Mahesa. Di samping marah hatinya juga hancur sekali
melihat kenyataan ini.
"Aku tidak membela dajal
busuk itu! Aku tak ingin kau membunuhnya! Dia harus mampus di tanganku!"
balas teriak Wulansari. Namun ucapannya itu tidak dapat menyurutkan amarah dan
sakit hati Mahesa Kelud. Selagi Mahesa dan Wulansari terlibat dalam
pertengkaran mulut itu Supitmantil yang sudah lumer nyalinya pergunakan
kesempatan untuk melompat kepunggung salah seekor dari dua kuda yang ada di
situ. Akan tetapi sebelum sempat membedal binatang itu, Wulansari sudah lebih
dulu berkelebat dan kirimkan satu bacokan pedang sakti yang ganas. Supitmantil
cepat melompat dari punggung kuda selamatkan diri. Sesaat kemudian terdengar
ringkik binatang itu ketika Pedang Dewi di tangan Wulansari membabat lehernya,
membuat luka manganga yang amat besar. Darah menyembur. Kuda yang malang ini
lari menghambur, namun ambruk tarsungkur ke tanah setelah lari beberepa belas
tombak, meringkik keras untuk penghabisan kali sebelum terkapar tak bernafas
lagi!
Saat itu hujan mulai turun. Petir
menyambar berulangkali disusul gelegar guntur. Begitu meloncat dari kuda dan
lolos dari sambaran pedang Wulansari, Supitmantil selamatkan diri ke balik
sebatang pohon. Maksudnya hendak terus melarikan diri di bawah hujan lebat
serta kabut yang menutup pemandangan. Tetapi dua sosok tubuh lebih cepat
bergerak menghadang. Di sebelah kanan Mahesa Kelud, di sebelah kiri Wulansari.
"Wulan! Kau sungguhan hendak
membunuhku?" tanya Supitmantil dangan suara bergetar. Dalam ketakutan yang
amat sangat dia seperti berusaha menaruh seberkas harapan. Tapi dia keliru.
"Keparat terkutuk sepertimu
apakah masih pantas hidup di muka bumi ini?!"
"Siapapun diriku aku adalah
suamimu! Kita kawin secara sah!"
"Suami jahanam! Kau berhasil
memperistrikanku karena menipuku!" teriak Wulansari lalu siap untuk
membantai dengan pedang saktinya. Namun tubuhnya tersentak dan mukanya pucat
ketika tiba-tiba Supitmantil berkata. "Kalau kau membunuhku, bagaimana
dangan benih bayi yang kini kau kandung?! Apa kau ingin melahirkan seorang anak
tanpa ayah? Anak yang ayahnya mati di tangan ibunya sendiri?!"
Wulansari merasakan tengkuknya
sedingin es. Sebaliknya Mahesa Kelud merasakan dadanya menggemuruh seperti
sebuah kepundan gunung api yang siap meledak memuntahkan cairan dan lumpur
panas! Jelas rupanya kedua orang itu telah melangsungkan parkawinan secara sah.
Bahkan Wulansari kini tengah hamil, mungkin sekitar satu atau dua bulan.
Menghamili anak hasil hubungan perkawinannya dangan Supitmantil, sahabat yang
telah mengkhianatinya secara terkutuk. Kalau tadi dalam kemarahannya Mahesa
ingin sekali membunuh Supitmantil saat itu juga, kini dia jadi bingung sendiri.
Supitmantil jelas telah melakukan dosa besar karena telah menipu Wulansari
untuk dapat mengawini perempuan itu. Tetapi apakah Wulansari sendiri tidak
terlepas dari kasalahan? Yaitu kurang periksa dan dalam waktu singkat mau saja
menerima Supitmantil jadi suaminya. Seolah-olah kasih sayang dan kecintaannya
terhadap dirinya hanya selapis kabut yang segera lenyap begitu tertiup angin
dan kini hanya tinggal kenangan belaka. Lalu siapa pula yang telah mengawinkan
mereka dan di mana? Jika dia membunuh Supitmantil, tegakah dia melihat
Wulansari hidup menjadi janda, memelihara seorang anak tanpa ayah?
Bagaimanapun besarnya amarah
Mahesa Kelud terhadap Wulansari namun jauh di lubuk hatinya masih tersemat rasa
cinta kasih terhadap parempuan itu meskipun kini mungkin hanya seperti sebuah
pelita kehabisan minyak. Mahesa Kelud yang tertegun dalam gelegak amarah tapi
kemudian menjadi bingung sendiri, baru sadar ketika didepannya terdengar
raungan Supitmantil. Di bawah hujan lebat tampak pakaian putihnya yang basah
oleh air hujan kini juga basah oleh cairan merah. Darah! Sinar pedang di tangan
Wulansari menyambar tiada henti. Supitmantil tak kuasa untuk melarikan diri
bahkan sama sekali tidak mampu menghindar dari serangan ganas perempuan yang
selama dua bulan menjadi istrinya itu. Luka besar menganga di sekujur tubuhnya.
Ketika Wulansari yang seperti gila itu menusuk bahunya sebelah kiri Supitmantil
terhuyung-huyung. Luka-luka yang dideritanya menimbulkan hawa panas di sekujur
tubuhnya.
"Wulan .... Aku mohon jangan
bunuh aku. Aku mohon Wulan ..." pinta Supitmantil meratap. Namun saat itu
tak ada belas kasihan apalagi kasih sayang di hati Wulansari. Ratapan lelaki
itu malah membakar amarahnya. Pedangnya membabat, membacok dan menusuk berulang
kali. Dari mulutnya tiada henti terdengar pekikan mengerikan. Supitmantil yang
menjadi bulan-bulanan serangan pedang akhirnya terkapar di tanah becek dalam
keadaan menggidikkan. Tubuhnya seperti dicincang. Beberapa bagian anggota
lengan dan kakinya buntung putus. Mulutnya masih tampak bergerak, megap-megap
berusaha bernafas dan tampak seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi tak ada
suara yang keluar dari mulutnya. Bagian hitam bola matanya lenyap. Kedua mata
itu kini membeliak putih memandang ke langit yang masih terus menumpahkan air
hujan. Tiba-tiba Wulansari keluarkan pekik keras, menembus deru angin dan hujan
lebat. Mukanya tampak beringas dan sepasang matanya berputar ganas. Pedang Dewi
yang masih digenggam di tangan kanan ditusukkan dalam-dalam ke leher
Supitmantil hingga menembus sampai ke tanah. Wulansari tak berusaha mencabut
pedang merah itu, membiarkannya sengaja menancap terus di leher lelaki yang
pernah menjadi suaminya, lelaki yang semula disangkanya benar-benar
mengasihinya. Tetapi kemudian ternyata srigala berbulu domba. Yang telah menipu
dan menghancurkan kehidupannya.
Ketika perempuan ini membalikkan
tubuh, pandangannya beradu dangan Mahesa Kelud. Keberingasan pada wajahnya
langsung mengendur. Ingin sekali dia berlari memeluk Mahesa dan menangis di
dada lelaki itu. Tapi dia merasakan dirinya seperti seonggok sampah kotor yang
tak layak melakukan hal itu. Maka di bawah hujan lebat Wulansari lari ke rumah,
menjatuhkan diri di tangga serambi depan dan menangis sambil menutup wajahnya
dengan kedua tangan.
Mahesa Kelud termangu sesaat
Apakah dia akan mendatangi Wulansari. Atau .... Ternyata Mahesa Kelud kemudian
melangkah mendekati mayat Supitmantil. Dicabutnya pedang yang menancap di leher
lalu ditendangnya mayat lelaki itu hingga mental jauh ke lereng gunung. Pedang
Dewi yang berlumuran darah itu kemudian diletakkannya di tangga serambi, di
samping Wulansari. Setelah diam sejenak lelaki ini merasa tak ada hal lain yang
bisa dilakukannya selain bertekad meninggalkan tempat itu membawa segala
kesengsaraan dan kehancuran lahir batin. Sebenarnya untuk terakhir kali ingin
dia mengatakan sesuatu pada Wulansari. Namun bibirnya terasa berat, lidahnya
kelu dan tenggorokannya terasa kering. Dia hanya bisa memandangi perempuan yang
pernah sangat dikasihinya itu dengan perasaan pilu. Ada air mata membasahi
kedua matanya. Sebelum airmata itu jatuh membasahi pipinya, Mahesa segera
membalikkan diri hendak pergi. Justru pada saat itu dibawah deru hujan lebat
dan tiupan angin keras tiba-tiba terdengar gelegar suara seseorang.
"Murid-muridku! Tabahkan
hati kalian menghadapi cobaan yang sangat besar dan maha berat ini... !"
Perlahan-lahan Wulansari turunkan
kedua tangannya yang menutupi muka dan memandang ke depan. Mahesa sendiri cepat
membalik.
"Guru!" seru keduanya
hampir bersamaan dan cepat menjura hormat. Di halaman di seberang sana, di
bawah hujan lebat tegak seorang lelaki sangat tua. Berambut putih laksana
kapas. Mukanya meski tua tapi masih licin. Janggut dan kumisnya pun putih, juga
kedua alis matanya. Di atas bahu kirinya kelihatan seekor anak rusa. Orang tua
ini bukan lain adalah si Suara Tanpa Rupa. Guru yang telah mewariskan sepasang
pedang sakti serta ilmu Pedang Dewa dari Delapan Penjuru Angin kepada Mahesa
dan Wulansari.
"Kalian berdua
dengarlah…" sang guru kembali berkata. "Jika ada manusia paling
bersalah dalam persoalan kalian, orang itu adalah aku si tua bangka buruk ini.
Mahesa…aku telah menikahkan istrimu dengan Supitmantil tanpa melakukan
penyelidikan. Aku benar benar merasa bersalah...."
Terdengar ratap tangis Wulansari
meninggi. Mahesa tegak terdiam, tak tahu apa yang hendak dikatakannya.
"Aku benar-benar bersalah.
Bagaimana aku harus minta maaf…" terdengar kembali suara sang guru penuh
penyesalan. Akhirnya Mahesa Kelud membuka mulut juga, berkata:" Guru tak
ada yang bersalah dalam hal ini. Mungkin semua ini sudah takdir dan kehendak
Tuhan....Kita manusia hanya menerima nasib."
Tangisan Wulansari terdengar
semakin memilukan. "Tak lama setelah aku menikahkan mereka…"
menyambung Suara Tanpa Rupa. "Ada timbul satu kecurigaan dalam hatiku.
Namun karena ada satu pekerjaan mendesak yang harus aku rampungkan, baru saat
ini aku bisa muncul di sini. Ternyata kedatanganku sudah sangat
terlambat!"
Di bawah hujan lebat wajah orang
tua yang kelimis itu tampak pucat penuh penyesalan. Anak rusa yang ada
dipundaknya memandang sayu pada Mahesa Kelud seolah mengerti kehancuran hati
dan kehancuran hidup yang dihadapi pemuda itu.
"Guru…" kata Mahesa
pula. "Apapun yang telah terjadi saya tetap menghormatimu." Diusapnya
mukanya yang basah oleh air hujan. "Izinkan saya pergi sekarang..."
"Tunggu! Jangan pergi
dulu…!" seru Suara Tanpa Rupa ketika dilihatnya muridnya hendak memutar
tubuh. Saat itu Wulansari telah berdiri sambil memegang Pedang Dewi di tangan
kanan dan sarungnya di tangan kiri. Dia melangkah ke hadapan Suara Tanpa Rupa
seraya berkata: "Guru, saya merasa tidak layak lagi memegang senjata sakti
ini. Diriku terlalu kotor. Biarlah pedang ini saya serahkan kembali padamu..."
Suara Tanpa Rupa menggeleng.
"Tidak muridku,"
katanya. "Apa yang telah kuberikan padamu tetap menjadi milikmu. Masukkan
kembali pedang itu ke dalam sarungnya. Mari kita bicara di dalam rumah…"
Kini Wulansari yang balas
menggeleng. Dia mengatakan sesuatu tapi suaranya terbata-bata, tak jelas apa
yang diucapkannya. Matanya sesaat memandang pada Mahesa. Hatinya perih hancur
luluh. Apa yang tadi diucapkan Mahesa dan keinginan lelaki itu untuk pergi jelas
memberi kenyataan padanya bahwa Mahesa tidak lagi mengharapkan dirinya. Lalu
apakah lagi gunanya hidup ini dengan setumpuk dosa dan kesalahan tak berampun
membungkus diri? Rasa malu dan putus asa membuat perempuan ini menjadi nekad.
Segala sesuatunya kemudian
terjadi cepat sekali. Baik Mahesa maupun sang guru yang berada dekat dengan
Wulansari tidak mampu mencegah ketika perempuan itu tiba-tiba sekali menusukkan
pedang merah sakti ke dadanya.
"Wulan!" seru Mahesa
dan cepat melompat ke depan. Suara Tanpa Rupa masih sempat memegang tangan
muridnya. Namun kedua orang itu tetap saja terlambat. Ujung pedang telah lebih
dulu menancap, menembus sampai setengah tubuh Wulansari. Kedua matanya menatap
sayu ke arah Mahesa. Ada sekelumit senyum disudut bibirnya. Lalu pandangan mata
itu mulai berbinar-binar kuyu, perlahan-lahan mengelam. Ketika Mahesa mendukung
tubuhnya ke dalam rumah, sepasang mata yang dulu indah menawan itu kini
terkatup dan tak akan pernah lagi terbuka. Dari langit hujan turun semakin lebat,
semakin deras. Seolah-olah turut meratapi apa yang terjadi di puncak gunung
Muria itu....
***
Satu pemandangan baru kini tampak
di puncak gunung Muria. Yaitu kehadiran sebuah kuburan bertanah merah dibawah
sebatang pohon rindang di rumah kayu. Saat itu menjelang tengah hari. Hujan
telah lama berhenti tapi angin masih kencang dan udara masih terasa dingin.
Mahesa tampak berlutut beberapa lamanya di kepala kuburan. Kemudian pemuda ini
berdiri, berpaling pada orang tua yang tegak di kaki makam dan berkata:
"Guru sudah saatnya saya pergi sekarang…"
Suara Tanpa Rupa manarik nafas
dalam dan mengangguk. "Jika kau hendak pergi baiklah Mahesa. Aku tak bisa
melarang. Hanya kalau aku boleh bertanya ke manakah tujuanmu...?"
"Saya sendiri tidak tahu guru. Jadi tak dapat menjawab..." sahut si
pemuda. Suara Tanpa Rupa mengulurkan Pedang Dewi yang dipegangnya.
"Ambillah senjata pasangan
Pedang Dewi ini. Bawalah biar lengkap perbendaharaan senjata saktimu...,"
Gelengan kapala Mahesa Kelud
membuat si orang tua tercengang.
"Kau tak mau menerimanya
Mahesa ... ?"
"Tarima kasih guru. Kau baik
sekali. Bukan saya tak mau menerimanya, tapi tidak berani...."
"Kenapa tidak berani?"
"Membawa Pedang Dewa saja
besar tantangannya bagi murid, apalagi membawa pasangannya sekaligus. Malah
kalau guru tidak keberatan, murid ingin mengembalikan Pedang Dewa ini…"
Mahesa bergerak hendak mengambil pedang sakti yang tersisip di balik punggungnya.
"Jangan kau lakukan itu
Mahesa!" kata Suara Tanpa Rupa dengan keras dan jelas merasa tersinggung.
Namun orang tua ini kemudian menyadari muridnya sampai bertindak begitu karena
tekanan perasaan yang menggejolak tinggi hampir tak tertahankan. Maka orang tua
ini pun kembali berkata dengan nada sabar.
"Muridku, aku mengerti
perasaanmu saat ini. Mungkin mati pun kau mau. Namun hal ini mengingatkan aku
pada seorang nenek sakti sahabatku di masa lalu. Namanya Kunti Kendil. Aku tak
tahu di mana dia berada sekarang. Dia punya sebuah ujar-ujar yaitu: Jangan
sampai perasaan mangalahkan pikiran. Kuharap hal itu tidak akan terjadi padamu.
Karena jika manusia lebih banyak bertindak berdasarkan perasaan, bukan menurut
pikiran, akan celakalah dia ..."
"Murid akan perhatikan
kata-katamu itu guru," sahut Mahesa. "Hanya saja memang saat ini saya
merasa sangat terpukul. Sejak semula hidup ini penuh sengsara dan derita
agaknya masih belum berakhir. Sejak eyang Jagatnata mengambil saya jadi murid
sampai saat ini saya tak pernah lagi melihat orang tua. Lalu satu-satunya orang
yang saya kasihi kini telah tiada. Bagaimana mungkin melupakan hal ini…?"
"Mahesa." kata Suara
Tanpa Rupa pula. "Ingat ketika pertama kali kau memegang Pedang Dewa?
Mula-mula kau merasakan aliran hawa panas menjalar ke seluruh tubuhmu. Lalu
hawa panas sirna, berubah dengan aliran sejuk menyegarkan yang memberikan satu
kekuatan tenaga dalam padamu. Aliran panas itu masuk ke tubuhmu untuk
memusnahkan segala kekotoran jasmani dan rohani yang ada di situ. Setelah semua
dimusnahkan dan dirimu menjadi kosong suci maka aliran sejuk yang masuk
kemudian memberikan satu kekuatan lahir batin baru. Kekuatan yang berdasarkan
amalan suci, berdasarkan jalan pikiran yang sehat, bukan berdasarkan panutan
perasaan sesat. Karenanya selayaknya saat ini kau tidak harus menyesali diri
sendiri, menyesali kehidupanmu, apalagi sampai menjadi putus asa. Apakah kau
mendengar dan mengerti Mahesa?''
"Murid mendengar dan
mengerti, guru."
"Bagus. Sekarang kau boleh
pergi. Jika kau tak ingin membawa serta Pedang Dewi tak jadi apa. Senjata sakti
ini akan kembali kubawa ka dalam goa. Mudah-mudahan suatu saat bisa kuserahkan
pada seorang pengganti Wulansari agar dia dapat muncul lagi dalam rimba
belantara persilatan menjalankan tugasnya membasmi kejahatan dan
kesesatan."
Mahesa Kelud menjura hormat
dalam-dalam, beberapa saat dia mengusap dan mencium rusa bernama Joko Cilik
itu, lalu tinggalkan puncak gunung Muria. Suara Tanpa Rupa menghela nafas
panjang. "Saatnya kita juga pergi Joko," katanya pada anak rusa di
pundaknya. Lalu orang tua ini pun tinggalkan tempat tersebut....
***
DUA
SEPERTI biasanya malam menjelang
pagi udara selalu terasa lebih dingin. Namun karena sore sebelumnya hujan turun
dengan lebat maka sejak dini hari udara dingin terasa lebih mencucuk sampai ke
tulang sumsum. Di bawah udara dingin begitu rupa dan kegelepan malam yang masih
memekat sesosok bayangan berkelebat cepat menuju pusat kota di mana Istana
Sultan Banten terletak. Karena orang ini berpakaian serba hitam, ditambah
gerakannya serba luar biasa maka dia tak ubah seperti setan malam yang
berkelebat, lenyap sebelum dapat terlihat jelas. Dalam waktu singkat dia sudah
berada di luar tembok istana yang berketinggian lebih dari empat meter dan
ditancapi besi-besi runcing pada sebelah atasnya. Dengan satu lompatan luar
biasa orang berpakaian hitam-hitam itu mudah saja melompati tembok istana.
Seperti seekor burung alap-alap dia turun di bagian dalam istana, tepat di
sebuah taman besar yang terletak di bagian belakang istana.
Dua orang penjaga yang bertugas
terkantuk-kantuk di tempat itu tersentak kaget dan segera memburu dangan tombak
di tangan. Tiga langkah dari hadapan mereka, tiba-tiba si penyusup lambaikan
lengan kanan baju hitamnya, Selarik angin menerpa deras. Perajurit di sebelah
kanan keluarkan keluhan pendek. Tubuhnya terhempas di belakang lalu roboh di
halaman taman. Kawannya yang satu lagi angkat tombaknya tinggi-tinggi, siap
untuk menghujamkan senjata ini ka arah orang-orang berpakaian serba hitam, tapi
belum sempat bergerak lebih jauh kembali si baju hitam lambaikan lengan
pakaiannya. Hal yang sama terjadi. Prajurit kedua mencelat, roboh pingsan dekat
bangku batu. Dengan mudah, tanpa banyak halangan lagi si penyusup bergerak ke
ujung kiri halaman belakang di mana terletak sebuah bangunan besar dan bagus.
Di sini terdapat beberapa kamar besar tempat ketiduran istri-istri Sultan.
Masing-masing kamar tidak ubahnya seperti sebuah rumah kecil saja karena
dilengkapi dengan ruang tamu dan ruang keluarga yang besar. Di tangga bangunan
besar yang tampaknya sepi tiba-tiba saja orang berpakaian serba hitam itu
dapatkan dirinya sudah dikurung oleh empat orang pengawal bersenjata golok.
Salah seorang pengawal membentak.
"Maling tua dari mana yang
malam-malam begini berani masuk istana Banten?!"
Orang yang dibentak menyeringai.
Dia ternyata memang seorang tua bermata sangat cekung, berambut panjang hitam
dikuncir. Tiba-tiba orang ini mambuat gerakan aneh dan luar biasa cepatnya. Dua
pengawal di sebelah depan—salah satu di antaranya yang tadi membentak—langsung
roboh begitu dada masing-masing dilabrak jotosan kaki kanan orang itu! Melihat
ini pengawal yang dua lagi tanpa banyak cerita segera bacokkan goloknya. Namun
meraka pun menerima nasib sama. Dengan mudah orang tua berpakaian serba hitam
itu tundukkan tubuh mengelakkan sambaran golok. Di lain saat jotosan kirinya
menghantam perut pengawal sebelah kiri hingga terpuntir dan terguling pingsan.
Pengawal terakhir kena dicekal lengannya yang memegang golok. Sekali banting
saja pengawal ini tersungkur ke tanah. Lehernya patah. Nyawanya lepas! Sesaat
orang berpakaian hitam itu memandang berkeliling. Merasakan segala sesuatunya
aman maka dia pun berkelebat menuju pintu depan bangunan besar.
***
Hari masih gelap dan pagi belum
datang ketika seorang perajurit memacu kudanya menuju gudang besar kediaman
Patih Sumapraja. Sang patih yang sedang lelap tidur segera dibangunkan dan
langsung menemui prajurit itu. Atas perintah Sultan dia diminta segara
menghadap.
"Apa yang terjadi?"
tanya Sumapraja.
"Mohon dimaafkan, saya tak
boleh mengatakan apa-apa. Hanya diperintah agar patih segera datang ke
istana…." jawab perajurit itu lalu menjura dan cepat-cepat pergi. Penuh
rasa heran patih Sumapraja segera berganti pakaian. "Apakah Sultan
gering…?" pikir patih berusia setengah abad ini. Ketika dia sampai di
istana bersama pengiringnya didapatinya puluhan perajurit berjaga-jaga di luar
dan di dalam istana. Dia diantar ke sebuah ruangan di bagian belakang istana di
mana telah duduk menunggu Sultan Hasanuddin. Selesai mengatur sembah Sumapraja
segera bertanya mengapa Sultan memanggilnya. Dilihatnya keadaan dalam istana
tidak seperti biasa. Dua orang istri Sultan duduk di sebuah kursi panjang sedang
di lain sudut dilihatnya beberapa pelayan perempuan yang biasa mengurusi
keperluan permaisuri dan istri-istri Sultan duduk di lantai, bersimpuh sambil
terisak-isak. Sultan Hasanuddin tidak menjawab pertanyaan patih Sumapraja. Dia
tegak dari duduknya lalu memegang bahu sang patih dan mengajaknya melangkah
menuju rumah besar tempat kediaman para istrinya. Mereka langsung masuk ke
sebuah kamar. Di situ tampak para pengawal memenuhi ruangan dengan senjata
terhunus. Di dalam kamar, di atas ranjang besar dan bagus terbaring tubuh
seorang perempuan muda berparas cantik yang segera dikenali oleh patih
Sumapraja sebagai Dewi Kemulansari, istri termuda Sultan. Sepintas tampaknya
perempuan ini seperti tidur nyenyak. Namun setelah lebih diperhatikan patih
Sumapraja segera melihat bahwa ada tanda merah kebiruan pada leher istri ketiga
Sultan itu. Bekas cekikan ganas. Dari seorang pengurus istana Sumapraja juga
mendapat laporan bahwa enam orang pengawal istana ditemui pingsan, satu di
antaranya malah telah menemui ajal. Meskipun dia dihadapi dengan laporan dan
kenyataan namun masih kabur bagi sang patih untuk menduga apa yang sebenarnya
telah terjadi, sampai pada saat Sultan Hasanuddin membawanya ke sebuah ruangan
pertemuan. Di situ telah duduk menunggu beberapa orang petinggi kerajaan. Di
ruangan ini Sultan menyerahkan sehelai surat pada patih Sumapraja seraya
berkata: "Surat itu ditemui di atas tempat tidur Kemulansari. Kau bacalah
paman patih." Sumapraja mengambil surat itu, membuka lipatannya dan
membaca isinya.
Sultan Hasanuddin,Sumpah bukannya
sumpah kalau tidak menjadi kenyataan.Sepuluh orang yang sangat kau kasihi
dalamhidupmu akan menemui ajal satu demi satu. Semuaitu untuk membalas sakit
hati kematian murid-muridku.Hari ini korban pertama menemui kematiannya.Dalam
waktu dekat akan menyusul korban kedua!
Surat itu tidak ada tanda tangan
ataupun nama pengirimnya. Patih Sumapraja memandang berkeliling lalu menatap
langit-langit ruang pertemuan seperti merenung.
"Paman patih bisa menduga
siapa penulis sekaligus pembunuh Kemulansari . . . ?" bertanya Sultan.
"Bunyi surat ini
mengingatkan saya pada kutukan seorang tokoh silat Pajajaran pada peristiwa
beberapa waktu lalu Ki Balangnipa ... !"
"Betul!" kata Sultan
pula. "Aku yakin memang dia orangnya. Dua tahun lebih telah berlalu.
Segala sesuatunya aman tenteram di dalam dan di luar istana walau sampai saat
ini kita masih belum memiliki Kepala Balatentara dan Kepala Pengawal Istana.
Tahu-tahu sumpah orang itu benar-benar dijalankannya...."
Pikiran Sultan dan sang patih
teringat kambali pada peristiwa dua tahun yang silam. Waktu itu dalam sebuah
sayembara mencari orang yang dapat dijadikan Kepala Balatentara Karajaan telah
keluar sebagai pemenang seorang pemuda bernama Tirta. Sesuai dengan jabatannya
maka dia diberi gelar Raden Mas. Setelah menduduki jabatan tarsebut ternyata
barsama saudara seperguruannya bernama Jaka Luwak, Tirta melakukan
pengkhianatan. Dia bersekutu dengan kaki tangan Kerajaan Pajajaran untuk
menghancurkan Banten di mana kelak dia dijadikan kedudukan sebagai patih
Pajajaran dan sekaligus menjadi penguasa tertinggi di Banten. Namun sebelum
maksud busuknya itu kesampaian, rahasia keburu bocor dan diketahui oleh Raden
Mas Ekawira. Kepala Pengawal Istana Banten. Celakanya Tirta dapat memutar balik
kenyataan dan berhasil memfitnah Ekawira dengan mengatakan bahwa sebenarnya
Ekawiralah yang diam-diam telah bersekutu dengan Pajajaran. Kepada Sultan,
Tirta memperlihatkan sepucuk surat dari raja Pajajaran yang ditujukan pada
Ekawira, padahal surat ini adalah surat palsu buatan Tirta sendiri. Akibatnya
Ekawira ditangkap dan dipenjarakan. Tapi dengan pertolongan Mahesa Kelud yang
menjadi pembantu kepercayaannya Ekawira kemudian berhasil melarikan diri. Dalam
pelarian, Kepala Pengawal Istana ini berhasil mencari tahu siapa sebenarnya
ular kepala dua yang telah mengkhianati Banten. Dari keterangan seorang
mata-mata Pajajaran yang berhasil ditangkap dan dibawa ke hadapan Sultan
diketahuilah bahwa memang Raden Mas Tirta serta kakaknya seperguruannya Jaka
Luwak yang hendak merebut kekuasaan di Banten dengan jalan bersekutu dengan
Pajajaran. Raden Mas Tirta terbunuh dalam suatu rimba belantara. Menemui ajal
di tangan Resi Mintaraya, guru dari seorang pemuda yang bernama Unang Gondola
yang sebenarnya berpeluang untuk jadi Kepala Balatentara Banten sebelum Tirta
muncul dangan tiba-tiba dan mengalahkannya dalam sayembara yang sebenarnya
talah ditutup. Jaka Luwak, saudara seperguruannya berhasil ditawan oleh Mahesa
Kelud lalu dibawa ke Banten. Namun sebelum dia sempat memberi keterangan apapun
pada Sultan, Ki Balangnipa muncul dan membunuh muridnya sendiri untuk menutup
rahasia. Di saat itu pula Ki Balangnipa mengeluarkan sumpahnya terhadap Sultan.
Yakni dia akan membunuh sepuluh orang yang paling di kasihi Sultan sebagai akibat
kematian kedua orang muridnya. Resi Mintaraya sendiri kemudian juga menemui
kematiannya di tangan Ki Balangnipa setelah terlibat dalam perkelahian puluhan
jurus. Sementara Ekawira yang tadinya memegang jebatan Kepala Pengawal Istana
meninggalkan jabatannya meskipun Sultan telah menawarkan jabatan baru yang
lebih tinggi yaitu Kepala Balatentara Kerajaan. Pemuda ini telah terlanjur
sakit hati atas perlakuan Sultan. Bersama Mahesa Kelud dia meninggalkan Banten.
"Sultan ...," kata
patih Sumapraja, "kejadian ini mungkin salah satu kelalaian kita yang
sampai saat ini masih belum mendapatkan seorang yang pantas untuk jabatan
Kepala Pengawal Istana dan Kepala Balatentara Kerajaan . .. ."
"Mungkin." jawab Sultan
perlahan, "tapi kita telah berusaha mencarinya. Hanya saja belum
mendapatkan calon yang tepat. Apakah harus dengan jalan mengadakan sayembara
seperti dua tahun lalu? Kau tahu sendiri hasilnya paman. Salah-salah kita bisa
kemasukan pengkhianat lagi. Karena itulah jabatan tersebut selama ini terpaksa
kau rangkap ..."
Setelah diam sesaat Sultan
kembali berkata "Kelalaian atau kekeliruan itu tidak saatnya kita
bicarakan dalam sidang kilat ini paman patih. Kita semua di sini sudah tahu di
mana tempat kediaman Ki Balangnipa. Kau boleh membawa ratusan pasukan. Naik ke
puncak Gunung Gede. Cari dan dapatkan pembunuh itu. Aku ingin melihat tubuhnya
digantung di alun-alun!"
"Perintah saya jalankan
Sultan!" jawab patih Sumapraja seraya berdiri. Sebelum pergi dia bertanya:
"Adakah hal lain yang ingin Sultan katakan sebagai petunjuk ...?"
"Sebelum pergi minta
beberapa orang pajabat kita untuk menghubungi tokoh silat. Dengan adanya
kejadian ini kita memerlukan bantuan mereka. Para tokoh silat istana yang ada
kurasa masih belum cukup…"
"Akan saya jalankan Sultan.
Cuma harap Sultan maklum. Sejak perginya Ekawira entah mengapa para tokoh silat
tampak seperti menjauhkan diri dari istana…."
Sultan jadi termenung beberapa
lamanya.
"Apa kau tak pernah
mendengar lagi tentang Ekawira? Dan juga pemuda pembantunya yang berkepandaian
tinggi itu. Siapa namanya….?"
"Mahesa Kelud," jawab
sang patih. Lalu dia menggelengkan kepala. "Keduanya tak pernah terdengar
lagi Sultan….."
Sultan Hasanuddin menarik nafas
panjang. Setelah memberi beberapa petunjuk lagi terutama yang menyangkut
keamanan lingkungan istana maka sidang darurat itupun dibubarkan. Hari itu
Sultan kehilangan salah satu dari orang-orang yang dikasihinya. Masih sembilan
lagi akan menyusul.
***
TIGA
SESAMPAI di kaki barat gunung
Muria Mahesa Kelud seolah-olah menemui jalan yang buntu, tak tahu lagi dia akan
menuju ke mana. Dirinya terasa kosong. Pendekar malang ini akhirnya menundukkan
diri di bawah sebatang pohon waru. Apa yang akan dilakukannya dan ke mana dia
harus pergi? Semula terlintas dalam pikirannya untuk pulang saja ke kampung
halamannya di kampung Sariwangi, sebelah timur Kali Brantas. Tetapi sesampai di
sana apa yang akan diperbuatnya? Kedua orang tuanya sudah tak ada lagi. Mati
dibunuh Simo Gembong yang juga adalah gurunya sendiri. Sanak saudara dia pun
tidak punya. Saat itu baru disadarinya kalau dirinya sebatang kara di dunia
ini. Dapatkah dia melupakan masa lalunya yang serba pahit dan getir itu?
Sekilas timbul keinginannya untuk memencilkan diri di satu tempat sunyi dan
jadi pertapa. Namun kemudian dia tertawa sendiri. Orang semuda dia mana mungkin
tabah menjadi pertapa.
Mahesa tak sadar entah berapa
lama dia merenung-renung di kaki gunung ini sementara sinar sang surya tampak
mulai suram tanda hari sudah sore menjelang senja. Perlahan-lahan Mahesa Kelud
berdiri dari duduknya. Tubuhnya terasa letih. Tapi keletihan batin terasa lebih
menikam dari keletihan aurat. Sesaat ketika dia hendak melangkah pergi di atas
pohon di depannya dilihatnya sepasang kera coklat berlari-larian, melompat dari
satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya. Kera betina tampak melompat-lompat
sambil mendukung seekor anaknya yang mungil dan tak henti-hentinya mengeluarkan
suara hiruk pikuk. Kera yang jantan tegak di cabang pohon, memandang
tepat-tepat ke arah Mahesa sambil menyeringai memperlihatkan gigi dan taringnya
yang tajam. Dari tenggorokannya keluar suara seperti menggereng. Sikapnya jelas
seperti bertindak waspada melindungi anak dan istrinya.
"Aku tak akan mengganggumu.
Apalagi menyakitimu!
Jangan kawatir. Aku bukan orang
jahat!" kata Mahesa pada kera-kera itu. Sang anak kembali berteriak
hiruk-pikuk. Induknya ikut-ikutan memekik sementara si kera jantan terus
memandang beringas dan tak berkesiap pada Mahesa. Mahesa yang tidak perdulikan
lagi binatang-binatang itu segera melangkah pergi. Namun tiba-tiba saja dia
menghentikan langkahnya. Telinganya sebelah kiri mendadak mendenging. Di saat
itu juga teringatlah dia pada Kemaladewi, murid almarhum Dewa Tongkat yang
telah melahirkan seorang bayi hasil hubungannya di masa lalu akibat ditipu
diberi obat rangsangan oleh Sitaraga alias Iblis Buntung. Ah, di manakah
perempuan yang malang itu kini berada dan bagaimana keadaannya. (Mengenai
kejadian hubungan Mahesa dengan Kemaladewi silahkan baca: Pedang Sakti Keris
Ular Emas – Noda Iblis - ) Lalu bagaimana pula dengan bayinya yang bernama
Lutung Bawean, benarkah bayi itu hasil hubungannya dengan Mahesa, bukan dan
suaminya manusia bertubuh monyet yang dikenal dengan nama Lutung Gila? Lalu
bagaimana pula dengan lutung raksasa yang disebut Raja Lutung itu? Langkah
pendekar dari gunung Kelud ini jadi tertahan. Kembali dia duduk ke bawah pohon
waru tadi sementara kera-kera di atas pohon sana telah lenyap masuk ke dalam rimba
belantara.
Diam-diam Mahesa merasakan ada
rasa bersalah dan berdosa dalam dirinya. Memang hubungan mesum itu terjadi
antara dia dengan Kemaladewi adalah akibat kejahatan si Iblis Buntung yang
sengaja memasukkan obat perangsang ke dalam minuman mereka. Yaitu ketika kedua
muda-mudi itu tersesat ke dalam goa kediaman si nenek jahat. Setelah sadar apa
yang terjadi Kemaladewi meminta agar Mahesa bersedia mengawininya. Sesungguhnya
Kemaladewi memang sejak lama diam-diam mencintai pemuda itu.
Sebaliknya Mahesa yang sudah
tertambat hatinya pada Wulansari tidak dapat memberi kata putus. Dia berjanji
setelah menyelesaikan urusannya mencari pedang Samber Nyawa, dia akan kembali
menemui gadis itu untuk membicarakan persoalan mereka. Namun sampai Kemaladewi
melahirkan seorang anak lelaki dia tak pernah menemui perempuan itu. Malah dia
dibingungkan dengan rasa curiga, apakah betul anak itu hasil hubungan mereka
dulu, dan bukan dari perkawinan Kemaladewi dengan manusia aneh bernama Lutung
Gila itu?
Mahesa ingat pada peristiwa
sekitar dua tahun silam di Perguruan Ujung Kulon. Itulah saat terakhir kali dia
melihat Kemaladewi. Dan pertemuan itu sangat mempengaruhi jiwa raganya.
Kemaladewi yang dulu cantik jelita dilihatnya seperti seorang yang tidak waras
lagi. Pakaian dan rambutnya kotor awut-awutan ....
Saat itu Kemaladewi muncul sambil
menggendong bayi. Ditemani oleh seorang lelaki berpakaian aneh, menyerupai bulu
lutung menutupi sekujur tubuhnya. Selain aneh makhluk setengah manusia setengah
lutung itu jelas berotak miring. Dan yang mengerikannya dalam ketidakwarasan
itu Lutung Gila ternyata memiliki ilmu silat hebat luar biasa yang didapatnya
dari ayah angkatnya yakni Raja Lutung. Raja Lutung yang memiliki kepandaian
sukar di gambarkan, sampai di perguruan Ujung Kulon lebih dahulu.
Ketika Kemaladewi dan Lutung Gila
bersama anaknya, Lutung Bawean, sampai di situ, Raja Lutung telah membantai
lebih dari setengah lusin anak murid perguruan. Kemaladewi kemudian mengangkat
dirinya menjadi Ketua Perguruan Ujung Kulon, bersama Lutung Gila membunuh pula
beberapa orang anggota perguruan. Angka kematian bertambah menjadi lebih dari
selusin. Dan dari sekian banyaknya anak murid perguruan kini hanya tinggal
empat orang yang masih hidup.
Keganasan Raja Lutung, Kemaladewi
dan Lutung Gila bukan saja membuat geger dunia persilatan tetapi sekaligus
membuat prihatin para tokoh silat. Mereka yang tidak bisa berpangku tangan
segera mendatangi Ujung Kulon. Ada yang datang dengan cara memberi peringatan
dan nasihat. Ada pula yang langsung menyerbu untuk melenyapkan ketiga mahluk
itu. Namun mereka semua tidak pernah kembali. Tidak pernah meninggalkan Ujung
Kulon hidup-hidup. Semua menemui kematian dengan cara amat mengenaskan!
Sampai pada suatu hari, muncullah
seorang tua berusia lebih dari 70 tahun, berambut putih, dan suka sekali
mengucapkan kata-kata "sompret" dalam setiap perkataannya. Orang tua
ini bernama Lor Munding Saksana, guru dari Empu Sora yakni ketua perguruan yang
talah dibunuh oleh Lutung Gila alias Jayengrana, muridnya sendiri! Lor Munding
Saksana datang bersama Udayana, seorang murid perguruan yang memang diutus
untuk mencari dan menemui kakek gurunya itu guna menyelamatkan perguruan.
Begitu melihat kemunculan orang tua tak dikenalnya, Kemaladewi yang sedang
mendukung Lutung Bawean segera membentak.
"Orang tua buruk, kau
siapa?!"
Lor Munding Saksana mendongak ke
langit, mengeluarkan suara tertawa panjang. Tangannya bergerak menjangkau
mematahkan ujung ranting. Ketika itu di udara melayang seekor burung. Ranting
yang di tangannya dilemparkan ke atas. Burung yang terbang di udara terdengar
mencicit lalu menggelepar jatuh ke bawah. Lor Munding Saksana ulurkan tangan
kirinya menyambut burung yang jatuh, lalu kelihatan tubuhnya melayang ke atas
pohon pendek dan sesaat kemudian dia sudah duduk di salah satu ranting pohon
itu. Kedua kakinya digoyang-goyangkan seenaknya. Dia duduk sambil menyantap
burung mentah hasil "tangkapannya" tadi!
Meski diketahui Kemaladewi seperti
kurang waras ingatannya namun jelas dia menunjukkan rasa terkejut amat sangat
ketika menyaksikan perbuatan orang tua itu. Dia masih mampu meniru perbuatan si
kakek tak dikenalnya dalam melempar burung yang terbang di udara. Tapi untuk
dapat duduk ongkang-ongkang kaki di atas ranting yang begitu kecil benar-benar
tak mungkin dilakukannya! Lutung Gila sekalipun tak akan sanggup!
"Ahoi ... ! Kau terkejut
ya?! Kau heran ya?! Sompret!"
Kemaladewi menjadi marah
mendengar kata-kata orang tua itu.
"Tua bangka gila! Kau siapa
sebenarnya? Lekas jawab! Kalau tidak jangan menyesal... !"
"Hemm ... ehmmmm ..."
Lor Munding Saksana mengunyah daging burung mentah dalam mulutnya sambil
mengeluarkan suara bergumam. Beberapa kali terdengar ciplakannya. "Aih, wajahmu
boleh juga sompret! Tapi ...coba... ehmmmm kau kasih keterangan dulu siapa kau
adanya. Aku yang sudah tua pasti tak akan menyesal bila kau beri tahu namamu,
ahoi!"
Kemaladewi marahnya bukan main.
Namun dia tidak berani bertindak kesusu. Dari gerak-gerik dan dari apa yang
tadi diperlihatkan orang tua itu dia maklum tengah berhadapan dangan bukan
sembarang orang.
"Orang tua edan! Kalau kau
mau tahu akulah Ketua Perguruan Ujung Kulon yang baru!"
"Oho . . . ? Hemmm!" Si
orang tua berhenti mengunyah. Dia menatap paras Kemaladewi sejurus lalu
berpaling pada Udayana, anak murid perguruan yang tadi datang bersamanya.
"Hai sompret! Apa betul dia Ketua Perguruan Silat Ujung Kulon?!"
"Tidak!" jawab Udayana
cepat. "Perempuan ini pasti istri Lutung Gila. Dia pasti merampas
kedudukan Ketua Perguruan dangan kekerasan dan membunuh saudara-saudaraku...
!"
Kemaladewi berpaling pada Udayana
lalu berkata: "Hemmm... jadi kau adalah salah seorang anak murid perguruan.
Kalau begitu lekas kau berlutut di hadapan ketuamu yang baru!"
"Siapa sudi!" sahut
Udayana. Tidak sudi berarti minta mampus!" Kemala maju mendekati pemuda
itu.
"Sompret! Tunggu dulu!"
kata Lor Munding Saksana cepat. "Jika kau mengaku Ketua Perguruan maka
kaulah yang harus berlutut di hadapanku! Ayo lekas lakukan sompret!"
Paras Kemaladewi jadi beringas
ganas. "Ahoi! Jangan marah. Lekas berlutut karena aku adalah kakek guru
anak-anak murid Empu Sora! Ayo berlutut sompret!"
Bahwa orang tua di hadapannya itu
mengaku kakek guru murid-murid perguruan sungguh mengejutkan Kemaladewi. Namun
dia sama sekali tidak merasa takut. "Sompret! Kenapa berdiri bengong?! Ayo
berlutut!" bentak Lor Munding Saksana.
"Orang tua, kalau kau datang
untuk mencari mampus turunlah dari ranting itu!" balas membentak
Kemaladewi. Bayi yang ada dalam gendongannya diletakkannya di atas sebuah batu
besar. Waktu meletakkan bayi itu tubuh Kemaladewi membungkuk. Lor Munding
Saksana kelihatan menyeringai. Tulang burung yang ada di tangannya
dilemparkannya dan "pluk" jatuh tepat di pantat Kemaladewi!
"Orang tua kurang ajar! Kau
benar-benar sudah bosan hidup!"
Kemaladewi putar tubuhnya. Sambil
berputar kaki kanannya menendang ke muka, tangan kiri ikut memukul ke depan.
Dua rangkum angin dahsyat melesat menghantam Lor Munding Saksana. Ranting yang
didudukinya hancur berantakan sampai ke cabang pohon. Daun-daun pohon
berguguran. Akar pohon terbongkar dan sesaat kemudian pohon itu pun tumbang!
Namun si orang tua sendiri tidak cidera barang sedikitpun!
Pada saat dirinya diserang dan
ranting yang didudukinya hancur orang tua itu membuat gerakan berputar seperti
seorang ahli akrobat. Dia turun ke tanah dengan kedua tangan lebih dulu sedang
sepasang kakinya menyentak mengirimkan tendangan jarak jauh. Kemaladewi sangat
tarkejut ketika dapatkan dirinya dihantam angin deras luar biasa. Secepat kilat
dia selamatkan diri dengan jalan melompat ke samping.
"Krak!"
Pohon besar di belakang perempuan
jelita itu patah lalu tumbang bergemuruh. Di saat yang sama Lor Munding Saksana
sudah berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang.
"Sompret! Apa kau masih
belum mau berlutut? Masih belum mau minta ampun padaku, sompret?!" bentak
si orang tua.
Rahang Kemaldawi menggembung
tanda dia marah sekali. Parasnya mengelam merah. Kedua kakinya digerakkan cepat
tapi seperti tidak beraturan. Kedua tangan kelihatan seolah tambah panjang, disentakkan
kian kemari. Semua gerakan ini ternyata adalah serangan yang sangat berbahaya!
Lor Munding Saksana semula
terheran-heran melihat serangan dengan gerakan aneh itu. Dia menggeser
kuda-kuda ke samping, siap untuk menotok urat besar di sisi kiri Kemaladewi.
Namun secara aneh kembali perempuan muda itu membuat gerakan tak terduga hingga
totokan si orang tua tidak menemui sasaran. Tiba-tiba sepasang tangan
Kemaladewi tahu-tahu sudah mencengkeram muka dan dada kakek guru Perguruan
Silat Ujung Kulon itu. Si kakek berseru keras. Dia melompat ke belakang untuk
selamatkan diri dari serangan ganas lawan. Bersamaan dengan itu mulutnya tampak
mengembung, lalu meniup ke muka. Angin deras berbau busuknya mayat menyembur ke
wajah Kemaladewi, membuat dia terhuyung nanar. Seumur hidupnya tak pernah dia
mencium bau busuk sehebat itu hingga jalan pernafasannya seperti tercekik.
Belum sampat dia mengimbangi tubuh tahu-tahu satu jotosan keras menghantam
pertengahan dadanya. Kemaladewi menjerit. Tubuhnya jatuh tersandar di atas batu
besar di mana anaknya— Lutung Bawean—tadi dibaringkannya.
Susah payah Kemaladewi mencoba
bangkit. Dadanya sakit dan sesak. Dia berusaha mengatur jalan nafas dan
peredaran darah untuk mengurangi rasa sakit. Selama mendapat pelajaran ilmu silat
dari Lutung Gila dan Raja Lutung baru hari itulah seorang lawan dapat menyentuh
tubuh dan memukulnya demikian hebat!
Penuh gelegak amarah Kemaladewi
cabut pedang hijau dari balik punggungnya. Senjata ini adalah milik Empu Sora,
pedang pusaka tumbal pertanda bahwa siapa yang memegang atau memiliki senjata
tersebut maka dia adalah Ketua Perguruan Silat Ujung Kulon.
"Kau lihat pedang ini anjing
tua?!"
"Eit, aku toh tidak buta
sompret!"
"Bagus! Kalau begitu
bersiaplah untuk mampus!"
Dengan pedang di tangan, dangan
menggunakan jurus-jurus ilmu silat yang dipelajarinya dari Raja Lutung maka
mengamuklah Kemaladewi dangan segala kehebatannya. Tetapi orang yang diserang
hanya ganda tertawa. Padahal jika orang lain yang dihadapi Kemaladewi saat itu
mungkin tubuhnya telah terkutung-kutung paling tidak jadi tiga bagian!
"Pedang pusaka sakti itu tak
pantas berada di tangan manusia setengah iblis macammu sompret! Lekas berikan
padaku!"
Habis membentak begitu si orang
tua maju ke muka ulurkan tangan kanan menyongsong serangan Kemaladewi. Hal ini
membuat Kemaladewi menjadi semakin naik pitam melihat serangannya dipapasi.
Karenanya selain menggempur dengan pedang, Kemala juga hantamkan kaki kanannya.
Gerakannya seperti tadi serba tak teratur dan aneh. Dalam keanehan itu
terkandung bahaya ganas yakni maut!
"Serahkan pedang!"
Lor Munding Saksana berseru.
Kemaladewi terpekik. Kagetnya bukan main. Bukan saja seluruh serangannya
berhasil dielakkan lawan, tapi si orang tua malah berhasil merampas pedang
hijau dari tangannya!
"Sompret! Bukankah tadi
sudah kukatakan pedang pusaka ini tidak pantas berada di tanganmu?! Nah
sompret, apa kau masih belum mau bertobat dan berlutut minta ampun?! Ayo
berlutut somp….."
Buk!
Ucapan Lor Munding Saksana terputus.
Tubuhnya terjajar ke kanan sampai dua tombak. Bahunya sakit bukan main. Tulang
bahu itu serasa hancur! Siapakah yang telah menyerangnya dan memukul bahu
kanannya dengan tiba-tiba? Barpaling ka samping kanan orang tua ini melihat
sesosok tubuh seperti lutung berbulu hitam, namun berkepala manusia!
"Sompret! Kau pasti setan
alasnya yang bernama Lutung Gila! Murid murtad tujuh turunan!" memaki si
kakek. "Icuh! Biung! Sudah tua bangka begini rupa masih bermulut kotor!
Biung. Apa kau tidak sadar kalau umur hanya tinggal sekejapan mata? Apa tidak
tahu kalau liang kubur hanya tinggal sejengkal dari depan hidung?!
Icuh…icuh!"
Inilah Lutung Gila yang mengaku
dan menganggap diri sebagai suami Kemaladewi. Lor Munding Saksana marah bukan
main. Bukan saja oleh rasa sakit akibat kena gebukan tadi, tetapi juga oleh
ucapan Lutung Gila yang sengaja menghina dan mempermainkannya. Diputarnya
pedang hijau di tangan kanan dengan sebat hingga senjata itu tak ubahnya
seperti seekor ular panjang yang memancarkan sinar hijau kemilau, mengurung dan
menyerang Lutung Gila serta Kemaladewi sekaligus! Demikianlah kejadiannya.
Seorang tua renta berotak miring, bertempur melawan dua orang suami istri
berotak tidak waras!
Sampai dua jurus di muka Lutung
Gila dan Kemaladewi masih dapat mengimbangi lawan mereka bahkan ganti melancarkan
serangan balasan. Namun memasuki jurus ketiga, keempat dan seterusnya keduanya
mulai terdesak dan dibikin tak berdaya. Kemarahan Lor Munding Saksana
sebenarnya lebih banyak tertumpah pada Lutung Gila alias Jayengrana yang
sesungguhnya adalah cucu muridnya sendiri. Bukan saja karena Jayengrana seorang
murid murtad yang telah membunuh guru dan saudara-saudaranya seperguruan tetapi
juga adalah dia tadi yang menyerang dan memukul secara mendadak. Hampir seluruh
serangan si kakek ditujukan pada Lutung Gila. Akibatnya Lutung Gila menjadi
sibuk sekali. Betapapun lihaynya dia selama ini namun saat itu dia benar-benar
ketemu batu! Dalam keadaan terdesak hebat dan kepepet tak berdaya akhirnya
pedang pusaka Perguruan Silat Ujung Kulon mulai mencari sasaran bertubi-tubi di
tubuhnya. Mula-mula dua tulang iganya terbabat putus. Lalu kulit dada robek
besar sampai ke perut. Ususnya menjela-jela. Lutung Gila terhuyung megap-megap.
Satu jeritan dahsyat keluar dari mulutnya. Setelah itu diapun roboh tak
bergerak lagi!
"Keparat edan! Hari ini aku
mengadu nyawa denganmu!" teriak Kemaladewi kalap. Dikeluarkannya tongkat
rotan berkeluk pemberian gurunya dulu yakni Dewa Tongkat. Dengan senjata ini
seperti kemasukan setan dia menyerbu si kakek. Udayana yang berdiri di kejauhan
menyaksikan perkelahian itu diam-diam merasa lega. Jika kakek gurunya berhasil
mengalahkan dan membutuh Lutung Gila, membunuh perempuan muda itu jelas akan
lebih mudah.
"Perempuan sompret
sontoloyo! Aku yang tua sudah berikan kesempatan bertobat dan berlutut minta
ampun padamu! Tapi dasar sompret! Malah kau inginkan mampus! Nah mampuslah kau
kini sompret!"
Pedang hijau di tangan Lor
Munding Saksana membabat ke kiri, membalik ke kanan, memapas ke pinggang dan
menusuk ke leher! Kemaladewi perlihatkan gerakan aneh untuk menghindarkan semua
serangan itu. Kelihatannya dia akan berhasil. Namun apa lacur. Serangan
terakhir yakni tusukan pedang ternyata hanya tipuan lihay belaka. Karena sesaat
kemudian dangan cepat pedang hijau ini membalik ke kiri lalu kembali membabat
ke kanan, memapas ke pinggang untuk kemudian menusuk ke perut. Dan tutukan ini
tidak dapat dielakkan lagi oleh Kemaladewi!
"Raja Lutung! Tolong
aku!" jerit Kemala. Sedetik sabelum ujung pedang menembus perut Kemaladewi
maka trang! Terdengar suara beradunya senjata. Bunga api berpijar. Pedang di
tangan Lor Munding Saksana terangkat ke atas dan gompal bagian tajamnya!
Merasakan tangannya tergetar hebat dan kesemutan cepat-cepat orang tua ini
melompat menjauh. Si orang tua tarkejut ketika menyaksikan bahwa yang berdiri
di hadapannya bukanlah seekor binatang yang dipanggil dengan sebutan Raja
Lutung itu, melainkan seorang lelaki muda berparas cakap dengan potongan tubuh
kakar berotot berpakaian serba putih! Di tangan pemuda ini ada sebilah pedang mustika
yang memancarkan sinar terang merah, sinar yang membuat Lor Munding Saksana
merasa kagum tetapi juga tergetar hatinya. Sinar merah pedang di tangan si
pemuda membuat sinar hijau pedang di tangannya menjadi redup! Jika orang tua
itu terkejut maka Kemaladewi jauh lebih terkejut. Mata perempuan ini terbuka
lebar-lebar. Mulutnya menganga, wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan.
Sesaat kemudian wajah itu tampak
pucat pasi sedang sepasang matanya yang tadi beringas galak kini kelihatan
berkaca-kaca.
"Mahesa..." ucap
Kemaladewi antara terdengar dan tiada. "Kucari kau berbilang minggu bahkan
berbilang bulan. Lebih delapan belas bulan telah berlalu, kau tak pernah
kutemu. Kini kau datang. Kau selamatkan nyawaku setelah kau sia-siakan.
Kakak... apakah kau datang untuk menepati janjimu dulu ...." Air mata
menggelinding ke pipi Kemaladewi.
Mahesa Kelud merasakan hatinya
seperti disayat-sayat ketika mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang diucapkan
dangan sangat perlahan, hampir berupa bisikan. Tetapi berdesing sampai ke
telinga si pemuda!
"Manusia-manusia
sompret!" terdengar bentakan Lor Munding Saksana. Dia memandang pada
Kemaladewi lalu pada Mahesa. "Kalian berdua rupanya tengah main sandiwara
ya? Gila! Pakai nangis segala! Dasar sompret! Ini bukan panggung!
Kalian….."
Angin sedahsyat badai tiba-tiba
menyambar dari belakang. Lor Munding Saksana terpental, hampir terjungkal kalau
tidak lekas-lekas melompat ke samping. Dia cepat membalik ketika satu
lengkingan sangat keras menggetarkan telinga mendebarkan dada terdengar menggeledek.
Di hadapannya berdiri seekor lutung setinggi tiga meter, menyeringai
memperlihatkan gigi-gigi yang besar serta taring yang panjang runcing!
"Lutung sompret! Menyerang
dari belakang! Pasti kau yang dijuluki si Raja Lutung! Bagus! Berarti kau pun
harus mampus menyusul muridmu! Dengan pedang hijau gompal Lor Munding Saksana
menerjang binatang raksasa itu. Maka terjadilah perkelahian yang seru antara
manusia berkepandaian tinggi dangan binatang yang juga memiliki ilmu luar
biasa.
Tapi Kemaladewi tidak perhatikan
perkelahian itu. Dia berpaling pada Mahesa dan memandang pada pemuda itu dengan
mata basah.
"Kakak... kau datang untuk
menepati janjimu dulu? Benar?" Kalau sebelumnya dendam Kemaladewi demikian
hebat, berurat berakar terhadap Mahesa Kelud, kini sesudah berhadap-hadapan
dangan lelaki itu hilang semua perasaan tersebut. Hilang lenyap tanpa bekas
laksana setitik air jatuh di atas pedang pasir. Namun jawaban yang didengarnya
dari Mahesa sungguh mengejutkan.
"Kemala ... aku datang hanya
untuk bertanya….."
"Untuk bertanya?!"
mengulang Kemala. Mahesa mengangguk. Kening Kemaladewi mengernyit. Matanya
menyipit.
"Mengapa kau jadi sampai
begini Kemala? Melakukan hal yang tidak dapat diterima oleh akal manusia sehat.
Kau bunuh gurumu. Kau kawin dangan mahluk setengah manusia setengah lutung itu.
Lalu ilmu kesaktian yang kau miliki kau pergunakan untuk membunuh tokoh-tokoh
persilatan, merusak tempat kediaman dan Perguruan orang. Mengapa Kemala
...?"
Perempuan itu merasakan tubuhnya
lunglai. Tidak beda seperti seseorang yang dibanting dihenyakkan ke bumi.
"Jadi itu rupanya maksud
kedatanganmu Mahesa?
Hanya untuk bertanya ... ?!"
"Dan juga untuk meminta agar
kau menghentikan semua perbuatan ganas sesat itu!"
Kemala tampak diam sejurus. Lalu
wajahnya yang tadi lembut kini berubah beringas, "Kau tanya mengapa? Baik!
Aku akan jawab! Semua itu terjadi dan kulakukan karena kau! Karena kau seorang
manusia yang tidak bertanggung jawab. Tidak bertanggung jawab atas apa yang
telah kau lakukan! Kau lari dari tanggung jawabmu! Kau manusia paling pengecut
di dunia ini! Manusia macammu harus dilenyapkan dari muka bumi agar tidak
merusak gadis-gadis lainnya!"
Wajah Mahesa Kelud menjadi sangat
merah dan kelam sampai ke telinga. Kata-kata yang diucapkan Kemaladewi kini
bukan saja menyayat hatinya, tetapi juga membakar amarahnya. Selagi dia
berusaha menahan hati di depannya dilihatnya Kemaladewi talah menyerbu dangan
tongkat rotan berkeluk. Sebelumnya Mahesa telah pemah melihat ilmu tongkat yang
menjadi andalan Kemala. Karenanya dia tak perlu merasa gentar. Tetapi ketika
tongkat itu berkiblat Mahesa menjadi kaget. Jurus silat yang dimainkan Kemala
bukan jurus silat ajaran gurunya si Dewa Tongkat, tetapi satu jurus yang sangat
aneh. Untung saja Mahesa sudah bersiap waspada hingga serangan maut yang
mengarah batok kepalanya berhasil dielakkan. Namun begitu serangan pertama
gagal, tongkat berkeluk itu dangan ganas membalik. Kali ini ujungnya yang
berkeluk seperti seekor ular berusaha menggelung batang leher Mahesa. Murid
Embah Jagatnata dari gunung Kelud ini rundukkan kepala sambil pukulkan lengan
kiri ke atas. Lengan dan tongkat beradu keras. Mahesa merasakan tangannya
bergetar sedang Kemaladewi cepat melompat mundur ketika hantaman tangan Mahesa
membuat tongkatnya lepas dan mental!
Bertambah pucatlah paras
perempuan ini. Selagi dia menjadi murid Dewa Tongkat memang ilmunya berada di
bawah Mahesa. Sesudah belajar dan mendapat ilmu tambahan yang aneh dari Lutung
Gila dan Raja Lutung disangkanya akan mudah baginya untuk mangalahkan Mahesa,
orang yang pemah sangat dicintainya namun kini sangat dibencinya. Tak di sangka
Mahesa kini malah jauh lebih tinggi tingkat kepandaiannya. Dalam amarahnya
Kemala memutuskan untuk kembali menyerbu dangan tangan kosong serta
tendangan-tendangan dahsyat. Namun mendadak Kemala batalkan keputusan itu.
Matanya berkilat-kilat memandang pedang merah di tangan Mahesa.
"Mahesa! Kau telah
menghancurkan kehidupanku! Adalah lebih baik kau bunuh saja aku saat ini juga!
Tusukkan pedang itu ke tubuhku biar aku mati! Biar lepas dari siksa dan derita
batin! Bila aku sudah mati, kau bunuhlah anak di atas batu itu! Dia adalah
anakku. Anakku dan anakmu juga! Hasil hubungan kita di goa batu dulu!"
Jika ada seekor singa atau
harimau yang tiba-tiba menerkam di muka hidungnya saat itu, mungkin tidak
sedemikianlah kegetnya Mahesa Kelud ketika mendengar apa yang diucapkan Kemala
tadi.
"Kemala! Kau ... kau bilang
apa?! Bayi itu .... Anakku?!"
Mahesa barpaling ke batu besar di
atas mana dilihatnya terbaring seorang bayi. Kulitnya masih merah tanda umurnya
baru beberapa bulan saja. Mahesa melangkah menghampiri.
"Jangan dekat!" teriak
Kemaladewi. "Bunuh aku, lalu bunuh bayi itu!"
Mahesa hentikan langkah. Lututnya
goyah seperti mau lepas dari persendiannya. Kedua matanya memandang sayu pada
Kemala namun dalam dadanya laksana ada bara api yang berkobar.
"Adikku, kau tahu ....
Peristiwa itu terjadi bukan mauku. Bukan pula karena kahendakmu. Semua terjadi
di luar kesadaran kita. Kita telah ditipu oteh nenek jahat Iblis Buntung hingga
teraniaya…"
"Aku tahu. Lebih dari
tahu!" sahut Kemaladewi. "Meskipun begitu apa anak itu jadinya bukan
anakmu?!"
"Bagaimana aku dapat
memastikan Kemala. Karena kudengar bukankah kau kawin dengan Lutung
Gila?!"
"Kami tidak kawin!"
jawab Kemaledewi hampir berteriak.
"Aku hanya menganggap dia
sebagai suami dan dia menganggap aku sebagai istri! Kami tidak pernah satu
ketiduran! Kami tidak pernah bercampur! Jangan coba berdalih Mahesa! Jangan
mengambing hitamkan orang lain! Jangan kau coba-coba hendak mencuci tangan!
Bayi itu adalah anakmu! Darah dagingmu! Kau dengar... ?!"
"Kalau begitu serahkan dia
padaku. Dan kau kembali ke jalan yang benar!" kata Mahaaa pula. Kepalanya
seperti dipentung-pentung ketika mandangar ucapan Kemaladewi tadi.
"Kau minta aku kembali ke
jalan yang benar? Jalan yang benar bagaimana Mahesa? Macam yang telah kau
perbuat tarhadapku?! Tak ada tanggung jawab sama sekali?! Cis! Kau laki-laki
pengecut! Dosamu terlalu besar! Tidak terampunkan! Kau lari .... Pengecut!
Berani berbuat tak berani tanggung Jawab!"
"Kemala...."
"Jangan sebut namaku!"
potong Kemaladewi menghardik. Mahesa terkesiap mendengar hardikan itu.
"Kalau menurutmu dosaku tidak terampunkan dan jika kau katakan aku tidak
bartanggung jawab, ada jalan yang sangat mudah bagimu. Ambil pedang ini! Kau
pantas membunuhku!"
Habis berkata bagitu Mahesa Kelud
mengangsurkan hulu pedang merah kepada Kemaladewi. Tapi perempuan ini tidak mau
menyambutnya. Malah dia menyeringai sinis dan berkata: "Tidak! Terlalu
enak bagimu mati cara begitu! Kau dengar baik-baik! Kelak bayi itu, anakmu
sendiri nanti di satu hari yang akan membunuhmu! Ingat itu! Anak sendiri yang
akan membunuh ayahnya!"
Kemaladewi putar tubuhnya lalu
lari ke arah batu besar. Lutung Bawean didukungnya. Dia berteriak pada Raja
Lutung "Raja Lutung! Mari kita tinggalkan tempat ini!"
Saat itu Raja Lutung tengah
bertempur malawan Lor Munding Saksana dan berada di atas angin. Meskipun si
kakek berhasil menghujani Raja Lutung dengan pukulan dan tendangan keras namun
semua itu seperti tidak di rasakan oleh binatang raksasa itu. Lama-lama Lor
Munding Saksana menjadi terdesak dan terancam nyawanya. Untunglah Raja Lutung
patuh pada Kemaladewi. Begitu mendengar kata-kata perempuan itu binatang ini
segera tinggalkan si kakek dan lari menyusul Kemaladewi. Mahesa hendak mengejar
namun kemudian membatalkan niatnya ....
***
Mahesa tersadar dari kenangan
masa lalu itu ketika nyamuk-nyamuk hutan mulai menyerangnya dan didapatinya
hari telah malam. Pendekar ini menarik nafas dalam. Dia merasa seperti tak ada
gunanya lagi hidup ini. Dia berpikir-pikir mungkinkah semua derita sengsara dan
cobaan besar yang dialaminya saat itu merupakan sebagian dari kutuk sumpah
Kemaladewi, merupakan pembalasan dan dosa besarnya yang telah menyia-nyiakan
perempuan itu?
"Anak itu . . ." desis
Mahesa. "Saat ini tentu dia sudah berumur dua tahun .... Aku harus mencari
Kemala dan minta maaf. Aku harus memelihara anak itu .... Ya Tuhan..tunjukkan
aku jalanMu yang lurus agar aku dapat menghadapi semua cobaan ini!"
Perlahan-lahan Mahesa berdiri lalu tinggalkan tempat itu.
***
EMPAT
BEBERAPA hari setelah lewat masa
perkabungan, tiga ratus perajurit Banten barangkat menuju Gunung Gede, di
pimpin langsung oleh Patih Sumapraja. Setelah menempuh jalan yang sulit
melewati rimba belantara, menyeberangi sungai dan mendaki bebukitan, dua minggu
kemudian pasukan ini sampai di kaki gunung yang dituju. Di sini rombongan
dipecah tiga. Seratus prajurit dipimpin oleh sang patih sendiri. Seratus
lainnya dipimpin oleh Tampak Ungu, seorang perajurit kepala bertubuh tinggi
hampir dua meter dan memiliki kepandaian silat cukup tinggi meskipun hanya
silat luar tanpa "isi". Rombongan terakhir yang juga berjumlah
seratus perajurit dikepalai oleh Purajaya, keponakan Patih Sumapraja. Meskipun
baru berusia 22 tahun tetapi pemuda ini memiliki kepandaian silat yang cukup
dapat diandalkan serta ahli memainkan tombak pendek bermata tiga. Menjelang
tengah hari rombongan yang terbagi tiga itu mulai mendaki gunung dari tiga
jurusan berbeda. Hampir sore mereka baru berhasil mencapai sepertiga ketinggian
Gunung Gede dan tidak menemukan apa-apa yang memberi petunjuk adanya orang yang
mereka cari yakni Ki Balangnipa yang telah membunuh istri termuda Sultan
Banten. Pendakian diteruskan sampai ke pertengahan lereng gunung dan saat itu
hari telah mulai gelap. Tiga rombongan pasukan berhenti dan berkemah di tiga
bagian lereng yang saling terpisah jauh. Keesokan paginya baru mereka kembali
bergerak. Semakin ke atas semakin sulit jalan yang ditempuh. Masing-masing
rombongan bergerak sangat perlahan. Satu hari untuk mereka hanya mampu mencapai
ketinggian dua pertiga gunung. Sebegitu jauh penyelidikan yang mereka lakukan
masih belum membawa hasil. Berarti rombongan harus terus naik sampai ke puncak
gunung karena pasti di situlah Ki Balangnipa bercokol. Siang keesokannya tiga rombongan
akhirnya berhasil mencapai puncak gunung dalam waktu tak jauh barbeda. Di
puncak gunung itu ditemukan sebuah bangunan kayu yang hampir roboh. Melihat
keadaan bangunan itu, baik Patih Sumapraja maupun Tampak Ungu dan Purajaya
segera maklum kalau orang yang mereka cari tak ada di situ. Sambil mengelilingi
bangunan tersebut sang patih tiada hentinya mengeluarkan ucapan yang menyatakan
kejengkelannya.
"Perjalanan yang sia sia ...
!" kata Sumapraja.
"Kelihatannya orang yang
kita cari itu sudah sejak lama tidak diam di sini, paman Patih." Berkata
Purajaya.
"Apa yang akan kita lakukan
sekarang?!'' tanya Tampak Ungu sembari memijat-mijat betisnya yang berbulu.
"Kita beristirahat dan
bermalam di sini. Besok pagi segera kembali ke Banten. Aku menyirap firasat
tidak enak..."
Purajaya segara menyatakan
ketidaksetujuannya.
"Paman, sebaiknya kita tidak
bermalam di puncak gunung ini. Siang hari begini saja dinginnya bukan kepalang.
Apalagi malam hari. Perajurit-perajurit kita yang sudah amat letih ini bisa
mati kedinginan!"
Pendapat Purajaya itu masuk akal.
Maka Patih Sumapraja memerintahkan seluruh rombongan untuk beristirahat
seadanya kemudian menuruni gunung. Kini mereka tidak dipecah tiga seperti waktu
mendaki, melainkan tetap bergabung jadi satu. Meskipun perjalanan menuruni
gunung itu tidak sesulit sewaktu mendaki namun perajurit-perajurit yang sudah
kecapaian itu hanya mampu bergerak sangat perlahan. Karenanya sewaktu malam
tiba mereka belum mencapai setengah ketinggian gunung. Rombongan berhenti dan
membangun kemah. Setelah makan seadanya dari persediaan yang semakin menipis,
perajurit-perajurit itu mencari tempat ketiduran masing-masing dan segera saja
pulas, termasuk tiga pimpinan mereka. Yang kebagian tugas untuk berjaga-jaga
sebagaian malah sudah ikut mendengkur!
Di dalam salah satu kemah patih
Sumapraja walaupun merasakan tubuhnya sangat letih tapi sampai saat itu masih
belum dapat memicingkan mata. Sejak masih di puncak gunung tadi hatinya entah
mengapa merasa tidak enak. Jika saja dia tidak memimpin rombongan perajurit
sedemikian banyaknya, dia lebih suka meninggalkan tempat itu terlebih dulu.
Dalam hatinya patih Banten ini juga menyesali hubungan yang tidak baik antara
Sultan dengan para tokoh dunia persilatan akhir-akhir ini. Jika saja hubungan
itu masih seperti tiga empat tahun silam, dia tak akan perlu bersusah payah
mengadakan perjalanan sejauh itu ke puncak Gunung Gede untuk mencari Ki
Balangnipa. Cukup dengan meminta bantuan dua atau tiga tokoh silat maka segala
urusan pasti bisa dibereskan. Selagi sang patih merenung-renung begitu
tiba-tiba di luar didengarnya suara pengawal berteriak:
"Ada orang datang!"
Patih Sumapraja cepat melompat
bangun. Ketika dia keluar kemah dilihatnya Purajaya dan Tampak Ungu juga sudah
keluar dari kemah masing-masing. Puluhan perajurit bersiap sedia dengan senjata
ditangan. Di kejauhan terdengar suara kaki kuda. Dari suara langkah kuda yang
satu-satu itu jelas penunggangnya bergerak perlahan lahan dan hati-hati di
malam gelap. Atau mungkin juga karena keletihan dalam menempuh jalan buruk
terjal dan mendaki. Kemudian tampak cahaya terang. Tak lama berselang kelihatan
sosok tubuh kuda dan penunggangnya membawa obor yang hampir padam karena
kehabisan minyak. Tampak Ungu memberi isyarat.
Lebih sepuluh perajurit segera
bergerak menghadang dan mengurung orang yang datang. Melihat gelagat yang tidak
baik, penunggang kuda cepat berseru: "Tahan! Aku Umbara utusan
Sultan!"
Perajurit-perajurit yang
mengurung segera turunkan senjata masing-masing. Salah seorang dari mereka
bertanya : "Ada apa kau datang jauh-jauh kemari?!"
"Sesuatu telah terjadi di
istana. Aku dikirim untuk memanggil Patih ..."
"Sesuatu apa?" tanya
perajurit yang lain.
"Aku hanya akan bicara
dengan patih." jawab sipenunggang kuda.
"Aku ada di sini!"
terdengar suara Patih Sumapraja yang tegak di depan kemahnya. Umbara cepat
turun dari kuda, menjura di hadapan sang patih. Sampai saat itu dia masih
memegang obor yang tadi dibawanya sampai seorang perajurit mengambilnya dari
tangannya.
"Katakan siapa yang
mengirimmu kemari?"
"Sultan Banten. Sesuatu
terjadi di Istana. Patih diharap segera kembali ke Banten!"
"Apa yang tarjadi?!"
tanya Patih Sumapraja pula dengan kening berkerenyit. Rasa tidak enak yang
dipendamnya sejak siang tadi agaknya akan muncul menjadi satu kenyataan.
"Pemberontakan?"
"Tidak..." jawab
Umbara.
"Orang-orang Pajajaran
menyerang perbatasan lagi?"
"Bukan Patih. Bukan itu ...
"
"Sultan gering... ?"
"Tidak. Seseorang telah mem
..." Ucapan Umbara mendadak terpotong oleh suara tawa bergelak yang mengumandang
di dalam malam gelap dan dingin itu, mengejutkan puluhan bahkan ratusan orang
yang ada di situ! Patih Sumapraja, Tampak Ungu dan Purajaya dan mereka yang ada
di situ sama memalingkan kepala ke arah kanan lamping gunung yang terjal dan
gelap tertutup pepohonan lebat, yakni dari mana datangnya suara tawa tadi.
"Ada orang pandai yang
sengaja hendak mengganggu." kata Purajaya.
"Kita harus waspada."
ujar Patih Sumapraja. Lalu dia berbisik pada Tampak Ungu agar menyiapkan para
perajurit. Namun perintahnya belum lagi selesai ketika tiba-tiba Umbara yang
barusan datang membawa berita tersungkur ke tanah di hadapan mereka sambil pegangi
leher. Tiga pimpinan dari Banten itu cepat membungkuk dan memeriksa. Tapi
Umbara saat itu sudah tidak bernafas lagi. Lahernya berkubang darah. Sebuah
senjata rahasia berbentuk bintang terbuat dari perak putih menancap di
tenggorokannya.
Paras Patih Sumapraja berubah.
Dia pernah melihat senjata rahasia seperti itu. Dulu, sekitar dua tahun silam.
Di dalam istana Sultan Banten. Yang jadi korban saat itu adalah Jaka Luwak.
Kakak seperguruan Raden Mas Tirta bekas Kepala Balatentara Banten. Yang
membunuh Jaka Luwak adalah gurunya sendiri yaitu Ki Balangnipa, yang tak ingin
muridnya membuka rahasia! Saat itu Umbara menemui kematian oleh senjata rahasia
yang sama.Pembunuhnya pasti adalah orang yang lama pula yaitu Ki Balangnipa!
"Pengecut!" Kertak
Patih Sumapraja. Lalu dia berteriak: "Ki Balangnipa! Jika kau seorang
tokoh silat gagah, tunjukkan kejantananmu! Perlihatkan dirimu!"
Sebuah benda putih berdesing di
kegelapan malam, melesat ke arah kepala Patih Banten. Sang patih cepat melompat
ke samping sembil lepaskan satu pukulan tangan kosong seperti menampar ke bumi.
Senjata rahasia yang hendak menghantamnya terpental lalu amblas ke tanah
gunung! Bersamaan dengan itu terdengar suara tertawa bergelak yang kemudian
menghilang di kejauhan.
"Ternyata bangsat itu berada
di sekitar sini…" kata Sumapraja sambil kepalkan tinju.
"Paman, saya dan beberapa
orang akan mengejarnya!" kata Purajaya.
"Jangan. Terlalu
berbahaya!" mencegah Sumapraja.
"Semua tetap di tempat dan
mengambil sikap lebih waspada. Aku dan Tampak Ungu serta beberapa pengawal
harus berangkat duluan ke Banten malam ini juga. Sesuatu telah terjadi di sana.
Sayang Umbara tidak sempat memberi penjelasan ..."
Beberapa ekor kuda segera
disiapkan. Tak lama kemudian sang patih bersama Tampak Ungu dan beberapa orang
pengawal meninggalkan tempat tersebut. Udara menjelang pagi terasa semakin
dingin. Tetapi para perajurit tampak gerah dan gelisah. Jika manusia lihay
bernama Ki Balangnipa itu muncul kembali dan menebar maut seenaknya celakalah
mereka.
***
KETIKA Patih Sumapraja dan
rombongannya memasuki Kotaraja dari pintu gerbang sebelah barat segera terlihat
bendera-bendera kuning terpancang di mana-mana. Itu pasti bukan bendera tanda
berkabung atas kematian Dewi Kemulansari Istri termuda Sultan. Tapi deretan
bendera bendera kuning itu jelas merupakan satu tanda perkabungan. Tanda
perkabungan baru. Siapa yang meninggal? Patih Sumapraja, Tampak Ungu dan empat
pengawal memacu kuda masing-masing lebih cepat. Begitu sampai di depan istana
sang patih dan Tampak Ungu langsung masuk ke dalam, terus menuju ke ruang
tunggu khusus. Tak lama kemudian Sultan Hasanuddin masuk ke dalam ruangan itu
diiringi oleh beberapa petinggi kerajaan. Wajah Sultan tampak jauh lebih tua
dari biasanya. Sosok tubuhnya nyata sekali menunjukkan rasa letih. Patih
Sumapraja dan Tampak Ungu segera memberi salam dan hormat.
"Sultan, kami datang atas
perintahmu. Apa yang terjadi?
Kami melihat bendera kuning tanda
berkabung..."
Sultan Hasanuddin tak segera
menjawab. Sesaat dia berpegangan pada tepi meja, lalu perlahan-lahan duduk di
atas kursi besar berukir. Setelah diam sesaat baru dia membuka mulut.
"Cucuku Asih Permani
meninggal dunia. Bukan meninggal biasa paman Patih. Dibunuh seseorang ... Dua
minggu lalu!"
Patih Sumapraja melengak kaget.
Asih Permani. Cucu perempuan kesayangan Sultan yang baru berusia enam tahun itu
mati dibunuh!
"Ki Balangnipa...?"
tanya Patih Sumapraja memberanikan diri.
"Siapa lagi . .. "
sahut Sultan. Dia barpaling pada salah seorang petinggi Kerajaan dan berkata.
"Perlihatkan surat terkutuk itu ... "
"Sepucuk surat yang sudah
lecak diletakkan di atas meja di hadapan Sumapraja. Sang patih segera mengambil
dan membacanya.
Sultan Hasanuddin,
Hari ini korban kedua jatuh
sudah.Masih delapan orang menunggu giliran.Semua adalah orang-orang yang kau
kasihi!Semoga kau cukup tabah menghadapi kenyataan ini.Ha ... ha… ha...
Jangankan Sultan, sang patih
sendiripun mendidih amarahnya membaca surat itu. Benar-benar manusia pengecut.
Apa dosa anak enam tahun itu maka dia harus menjadi korban balas dendam sumpah
keparat?! Kesunyian di ruangan itu dipecahkan oleh suara Sultan yang terdengar
bergetar karena menahan gejolak hatinya.
"Sebelum paman patih datang,
aku dan beberapa petinggi telah berunding. Kita akan mengumumkan sebuah
sayembara. Siapa yang bisa menangkap Ki Balangnipa hidup atau mati akan
mendapatkan hadiah besar....
Bagaimana menurut paman?"
Patih Sumapraja merenung sejenak
lalu berkata: "Sebelum saya menjawab pertanyaan Sultan, saya akan
ceritakan dulu apa yang terjadi di lereng Gunung Gede ..."
Lalu patih ini menuturkan
peristiwa kematian Umbara ketika Ki Balangnipa muncul sacara mendadak. Agaknya
Sultan tidak tertarik akan keterangan patihnya itu, dia bertanya kembali,
"Bagaimana pendapat paman mengenai rancana sayembara tadi?"
"Itu baik. Maksud kita jelas
ingin menangkap manusia penebar maut tapi pengecut itu. Hanya saja, kalau saya
boleh mengusulkan, bagaimana kalau kita lebih dulu menghubungi tokoh-tokoh
persilatan tertentu untuk dimintakan bantuannya?"
"Bukankah paman sendiri dulu
yang mengatakan bahwa mereka seperti menjauhi istana sejak peristiwa Ekawira
tempo hari..." ujar Sultan.
"Betul. Tapi mencoba adalah
jalan yang terbaik. Kalau mereka kita ajak bicara tentu mereka mau
mendengar..."
"Yang aku takutkan paman
patih, sebelum kita bisa berbuat apa-apa korban selanjutnya telah jatuh
pula." Kata Sultan.
"Hal itu memang juga jadi
pikiran saya. Karenanya kita harus bergerak cepat. Di samping memagari istana
agar tidak kebobolan lagi.
"Lalu bagaimana kalau usaha
kita tidak berhasil?"
"Mungkin kita memang harus
manempuh cara sayembara yang Sultan katakan itu ... "
Sultan terdiam beberapa lamanya.
Kemudian berkata: "Baiklah paman, usulmu aku setujui. Siapa yang akan
bertindak menghubungi para tokoh itu? Kuharap bukan kau yang pergi karena
kehadiranmu diperlukan di sini..."
"Saya akan menunjuk Empu
Lodaya, Jika Sultan setuju."
"Aku setuju paman patih.
Jalankan semua tugas secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Sebelum malam aku
perlu bicara lagi denganmu ..."
***
LIMA
PADA masa itu tokoh silat paling
tua dan dianggap paling tinggi ilmu kepandaiannya di dearah Jawa Barat adalah
seorang perempuan tua sakti bernama Eyang Sinto Weni atau lebih dikenal dengan
julukan Sinto Gendeng. Dalam dunia persilatan namanya menjadi lebih beken
setelah muridnya yang bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 turun gunung dan bertualang di rimba persilatan, membawa nama besar
yang disegani kawan ditakuti lawan.
Satu keanehan disirap kabar bahwa
Sinto Gendeng juga tinggal di puncak Gunung Gede, gunung yang diketahui adalah
juga tempat kediaman Ki Balangnipa. Namun duduk cerita yang sebenarnya hanya
Empu Lodayalah yang mengetahui. Kedua tokoh silat itu memang pernah sama-sama
tinggal di puncak Gunung Gede. Si nenek bernama Sinto Gendeng menetap di situ
selama beberapa tahun, terutama selagi dia menggembleng muridnya Wiro Sableng.
Selanjutnya bagaimana keadaan si nenek tidak diketahui orang lagi. Dia seperti
lenyap dari puncak Gunung Gede. Rumah kayu bekas kediamannya kemudian ditempati
oleh seorang tokoh silat lain, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan si nenek
yakni Ki Balangnipa. (Mengenai kisah petualangan Wiro Sableng, Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212, harap baca buku-buku serial Wiro Sableng yang telah banyak
beredar).
Karena tidak tahu di mana harus
mencari Sinto Gendeng maka Empu Lodaya memilih tokoh berikutnya yakni Kiai
Malabar, seorang pertapa sakti yang diam di tepi sebuah danau di kaki selatan
Gunung Malabar. Dengan ditemani dua orang pengiring Empu Lodaya menuju ke
selatan. Tubuhnya yang sudah lanjut tidak memungkinkan sang empu dapat menunggang
kuda terlalu cepat. Karenanya perjalanan ke selatan cukup memakan waktu lama.
Kiai Malabar membangun tempat kediamannya di atas air di tepi danau. Di sinilah
dia bermukim hampir lebih dari separuh usianya yang kini telah mencapai 80
tahun. Empu Lodaya bersama pengiringnya sampai ke tempat itu larut malam
menjelang pagi. Tetapi sang kiai tidak terkejut. Orang tua ini sebenarnya telah
lama menyirap kabar atas hampir semua kejadian yang berlangsung diBanten.
Setelah saling berangkulan maka Kiai Malabar mempersilakan Empu Lodaya duduk di
atas tikar sementara dua pengiring beristirahat dan menunggu di luar.
"Sahabatku Empu Lodaya, aku
benar-benar mendapat kehormatan dikunjungi oleh seorang tokoh istana Banten
sepertimu. Lebih dari dua windu kita tak pernah bertemu. Angin apakah yang
membawamu kemari sahabatku? Kulihat kau sehat-sehat dan masih kuat, tidak rapuh
sakit-sakitan sapertiku. Kehidupan istana rupanya cocok dan menyenangkanmu
..."
Saat itu sehabis mengadakan
perjalanan demikian jauhnya, selain letih sang empu juga merasakan tubuh dan
tulang-tulangnya seperti bertanggalan. Namun dia menjawab sambil tersenyum:
"Orang tua buruk yang sudah bau tanah sepertiku ini mana terkesan dengan
kehidupan mewah dalam istana. Apalagi aku hanya seorang kuli yang bekerja di
bengkel istana. Sehari-hari sibuk membuat pisau dapur..."
Kiai Malabar tertawa mengekeh.
"Kau pandai merendahkan diri, sahabatku ..." katanya. Siapa yang
tidak tahu bahwa Empu Lodaya adalah seorang yang dipercayakan Sultan untuk
membuat berbagai senjata sakti mandraguna. Di samping itu diapun ikut tergabung
dalam kedudukan tokoh istana yang menjaga keselamatan Sultan beserta
keluarganya.
"Empu Lodaya, kudengar
keadaan di Banten akhir-akhir ini kurang tenteram. Apakah itu yang membawamu
datang kemari... ?"
Empu Lodaya hendak menjawab namun
sesaat dia berdiam diri karena telinganya menangkap kecupak suara air danau di
bawah bangunan di mana dia berada.
"Kiai, kudengar suara air
danau berkecupak keras di bawah lantai ini. Apakah kau memelihara ikan besar. .
. ?"
"Itu bukan suara ikan
sahabatku. Tapi manusia juga adanya..."
Empu Lodaya tampak heran dan Kiai
Malabar cepat berkata: "Nanti kau akan bertemu sendiri dangan orang itu.
Sekarang katakan maksud kedatanganmu ..."
Empu Lodaya lalu menceritakan apa
yang terjadi di istana Banten. Dia memulai kisahnya dari kejadian lebih dua
tahun lalu ketika Ki Balangnipa terpaksa membunuh muridnya sendiri yang bernama
Jaka Luwak itu. Keterangannya ditutup dengan kematian cucu Sultan beberapa
waktu lalu.
"Aku datang mewakili Patih
Sumapraja selaku utusan Sultan," kata Empu Lodaya. "Sultan minta agar
kau dan para tokoh dunia persilatan lainnya bersedia turun tangan, menangkap
manusia bernama Ki Balangnipa itu, hidup atau mati ..."
Kiai Malabar termenung beberapa
lamanya. Dia memang sudah mendengar banyak hal runyam dalam istana Banten.
Namun tidak menyangka sampai demikian buruk kejadiannya.
"Mungkin kau datang ke
tempat yang salah, Empu Lodaya. Orang tua jelek sepertiku ini mana ada
kemampuan memenuhi permintaanmu ..."
"Jangan berkata begitu Kiai.
Keamanan dan ketenteraman kerajaan adalah tanggungjawab kita semua. Saat ini
kita terpanggil oleh kewajiban. Sudah sepantasnya bersama-sama bahu-membahu
ikut ambil bagian ..."
"Kau benar Empu. Tapi harap
maafkan kalau aku akan mengatakan sesuatu yang mungkin tidak sedap bagi
pendengaran telingamu dan tak enak dihatimu. Ketika kerajaan aman tenteram,
adakah kerajaan mengingat kami orang-orang tua buruk yang hidup terpencil?
Padahal kami tidak menginginkan apa-apa. Ketika anak murid kami berusaha
menegakkan kebenaran demi keagungan kerajaan, apakah yang mereka terima? Mereka
diperlakukan sewenang-wenang. Bahkan banyak yang dimasukkan penjara..."
"Apa yang kau katakan itu
memang benar Kiai. Tapi semua itu terjadi karena akal busuk orang-orang
Pajajaran..." menyanggah Empu Lodaya.
"Orang-orang Pajajaran
adalah orang-orang Pajajaran. Orang-orang Banten tetap orang-orang Banten.
Inilah akibat kalau pimpinan kerajaan mudah diombang-ambingkan tipu
muslihat..."
"Kiai, sampai sepuluh hari
kita tak akan habis-habisnya membahas hal itu. Kedatanganku membawa maksud lain
dan aku tidak punya waktu lama ..." Di kejauhan terdengar ayam berkokok.
Di bawah lantai bangunan terdengar kecupak air danau semakin keras. Empu Lodaya
meneruskan kata-katanya: "Bersediakan Kiai membantu kami yang sedang susah
ini... ?"
Kiai Malabar memegang bahu Empu
Lodaya. "Tentu saja aku bersedia. Hanya saja saat ini aku terikat oleh
satu pantangan ..."
"Pantangan? Pantangan apa
sahabatku . . . ?" tanya Empu Lodaya.
"Saat ini aku tengah
menjalankan tugas. Menggembleng seorang murid. Sesuai ketentuan yang kuterima
sebagai aturan dari guruku dan guruku menerimanya dari kakek guruku, maka
selama tiga tahun aku dan muridku tidak boleh meninggalkan tempat kediaman melebihi
jarak 1700 tombak ..."
"Ah, itu satu pantangan yang
amat mahal" kata Empu Lodaya. Namun orang tua ini tak dapat mengatakan
apa-apa karena maklum tak bisa meminta atau memaksa Kiai Malabar untuk membantu
dalam urusan Ki Balangnipa. Di luar, tanpa terasa hari telah mulai terang. Empu
Lodaya minta diri dan Kiai Malabar mengantar tamunya turun ke darat melewati
tangga tinggi. Ketika sampai di tepi danau Empu Lodaya dapatkan kedua
pengiringnya tertidur di bawah sebatang pohon. Namun yang menjadi perhatiannya
saat itu bukanlah kedua pengiring tersebut, melainkan sosok tubuh seorang
pemuda yang berada di dalam air danau, tepat di bawah lantai bangunan. Pemuda
itu tengah melatih jutus-jurus pukulan dan tendangan dalam air. Setiap pukulan
dan tendangan yang dilakukannya membuat air danau muncrat tinggi dan jauh serta
mengeluarkan suara kecupak keras.
"Itulah yang tadi kau sangka
ikan besar, sahabatku," kata Kiai Malabar sambil menggoyangkan kepalanya
ke arah si pemuda.
"Pemuda itu ... " ujar
Empu Lodaya, "Bukankah dia…bukankah dia Ekawira, bekas Kepala Pengawal
Istana Banten?"
Kiai Malabar tersenyum.
"Betul sekali sahabatku. Memang dia Ekawira. Pemuda yang pernah mendapat
gelar Raden Mas dan pernah menjadi Kepala Pengawal Istana Sultan. Dia kuambil
jadi murid sejak dua tahun lalu..."
"Terus terang Sultan masih
berkenan padanya. Sultan sering menanyakannya. Jika kau mengizinkan diapun
dapat membantu dalam urusan dengan Ki Balangnipa ini... "
"Aku tentu saja akan mengizinkan.
Hanya ingat, kami berdua, guru dan murid terikat pantangan yang kukatakan
tadi... "
Empu Lodaya menarik nafas dalam.
Maklum kalau dia tidak bisa berbuat lebih banyak, maka diapun membangunkan
kedua pengiringnya.
"Mungkin aku dapat membantu
dengan cara lain ..." kata Kiai Malabar sesaat setelah Empu Lodaya berada
di punggung kuda.
"Maksudku ... ?"
"Apakah kau sudah mencoba
menghubungi nenek aneh bernama Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede?"
"Nenek itu lenyap begitu
saja sejak beberapa tahun silam. Bahkan tempat kediamannya besar kemungkinan
pernah dipakai oleh Ki Balangnipa . .. "menerangkan Empu Lodaya.
"Kalau begitu cobalah kau
pergi ke Pamanukan di pantai utara. Temui sahabatku, sahabatmu juga, yakni
Manik Aryapala. Kakek aneh berjuluk Si Penjala Sakti. Dia pasti mau menolong.
Mungkin juga mau mengajak tokoh-tokoh silat lainnya untuk sama-sama membantu ..."
"Terima kasih atas
petunjukmu. Aku memang berencana untuk pergi ke sana," kata Empu Lodaya
pula. Dengan tubuh masih sangat letih dan perut keroncongan orang tua ini
bersama pengiringnya tinggalkan tempat itu. Dalam hatinya sang empu setengah mengomel.
Mengadakan perjalanan sejauh itu, di pagi yang dingin tidak secangkir kopi atau
teh panaspun ditawarkan sang kiai!
***
ENAM
PANTAI JEPARA indah
pemandangannya laut pun selalu membiru tenang. Puluhan perahu tampak di tepi
pantai, mulai dari perahu pencari ikan atau nelayan sampai pada perahu-perahu
kayu yang biasa memuat dan memunggah barang. Layar serta bendera-bendera perahu
yang aneka warna menambah semarak keindahan pantai Jepara. Namun semua
keindahan itu seperti tidak terlihat di mata Mahesa Kelud, tidak terasa di hati
sanubarinya yang bergalau kosong. Bahkan setelah sampai di tepi pantai itu,
langkahnya seperti buntu, dia tak tahu lagi mau pergi ke mana. Bayangan wajah
Kemaladewi dan bayi bernama Lutung Bawean itu selalu muncul di pelupuk matanya.
Mahesa melangkah mundar-mandir di
sepanjang pangkalan papan. Ketika sebuah perahu kayu bermuatan sarat
meninggalkan pangkalan siap untuk mengarungi laut entah mengapa pemuda itu
tiba-tiba saja langsung melompat naik. Karuan saja juragan pemilik perahu yang
ada di buritan segera menghampiri dan bertanya: "Orang muda, kau naik ke
perahuku apakah hendak menumpang?"
"Ya, aku ingin
menumpang," jawab Mahesa sambil memandang ke tengah lautan.
"Kalau menumpang ke manakah
tujuanmu?" tanya juragan perahu kembali. Hatinya merasa tidak enak karena
mendapat jawaban secara acuh tak acuh.
"Ke mana saja tujuan
perahumu aku akan ikut sampai ke sana." jawab Mahesa.
Pemilik perahu semakin merasa
heran. Dalam hati dia berkata. "Pemuda berbadan kokoh dan bertampang keren
ini benar-benar aneh. Jangan-jangan dia berniat jahat. Hendak merampok! Apalagi
kulihat dia membawa pedang di balik punggungnya.
Mahesa menatap pemilik perahu
itu. Dia dapat meraba kekawatiran orang. Maka dia pun berkata. "Aku tidak
berniat jahat. Aku hanya ingin berlayar. Dan aku akan bayar..." Lalu
Mahesa serahkan sekeping kecil perak ke dalam genggaman pemilik perahu. Setelah
menimang-nimang perak itu, pemilik perahu akhirnya mengangkat bahu.
"Perahu ini berlayar menuju Merak. Sampean bermaksud ke mana?
"Sama dengan tujuan
perahu." jawab Mahesa pula.
Setelah menepuk-nepuk bahu
Mahesa, pemilik perahu itu kembali ka buritan dan Mahesa melangkah ke samping
kanan perahu, berpegang di pagar terali, memandang ke pantai yang semakin lama
semakin menjauh dan akhirnya lenyap dibatas pemandangan.
Malang tak dapat diraih, untung
tak dapat ditolak. Itulah nasib perahu layar "Sinar Utara" yang
ditumpangi Mahesa Kelud. Menjelang pagi hari keempat topan dahsyat melanda laut
ketika perahu berada di utara Losari. Ombak menggulung tinggi menghempaskan
perahu kian kemari.
Dua orang awak perahu terlempar
ke tengah laut dan lenyap tak muncul lagi. Ketika angin menyapu deras, tiang
layar perahu patah. Perahu oleng tajam ke kiri lalu cepat sekali miring keras.
Air laut masuk laksana bah. Perahu yang malang itu hancur berantakan. Muatannya
terlempar ke mana-mana. Mahesa masih sempat mendengar teriakan pemilik perahu,
setelah itu diapun harus terjun ke air yang menggila, menyelamatkan diri.
Kepandaiannya berenang tidak ada gunanya di laut yang menggila itu. Tubuhnya
timbul tenggelam. Kekuatannya tersedot dengan cepat.
"Kalau aku harus mati di
laut, aku akan pasrah!" kata Mahesa. Kembali wajah Kemaladewi dan Lutung
Bawean muncul di pelupuk matanya. Ombak besar memukul mendera. Mahesa tanggelam
sampai sedalam tujuh meter lalu muncul lagi megap-megap. Saat itu hari telah
terang. Beberapa meter di samping kirinya Mahesa melihat sekeping papan bekas
pecahan badan perahu. Pemuda ini tak berusaha berenang mencapai papan itu
karena tekadnya sudah bulat untuk menerima kematian.
"Ini adalah pembalasan atas
dosa-dosaku ..." katanya dalam hati.
Tetapi ajaib. Papan yang terpisah
jauh itu terombang-ambing dimainkan ombak malah seperti datang mendekatinya dan
akhirnya menyentuh dadanya. Mahesa terperangah dalam nafas megap-megap. Akhirnya
dipegangnya juga papan besar itu dengan kedua tangannya. Tubuhnya terbanting
kian kemari setiap papan itu dihantam gelombang.
Ketika siang tiba dan matahari
bersinar terik. Mahesa merasakan sekujur tubuhnya yang berada di atas air
seperti dipanggang api. Kulitnya mengelupas. Setiap air laut membasahi kulit
yang mengelupas itu sakitnya bukan alang kepalang. Seharian penuh
terombang-ambing sambil berpegangan di atas papan Mahesa tidak pernah melihat
pantai atau pulau di kejauhan. Bahkan tak satu perahupun kelihatan di laut yang
luas itu. Pemuda ini tak tahu sampai berapa lama dia dapat bertahan bersama
sepotong papan itu semantara sekujur tubuhnya seperti terkelupas dipanggang,
tenaganya hampir sampai di batas terakhir. Keadaannya antara sadar dan pingsan.
Ketika malam tiba matanya masih
sanggup melihat ada cahaya di kejauhan. Mungkin itu cahaya lampu atau pelita
dari rumah-rumah penduduk. Yang berarti dia berada di dekat pantai. Tetapi
mungkin juga itu hanya ilusi palsu belaka. Dan Mahesa tidak berusaha untuk
berenang ke arah cahaya di kejauhan itu. Jangankan berenang, untuk masih dapat
memegang papan penyelamat itupun tenaganya sudah tidak ada lagi.
***
"Kakek Penjala
Sakti...apakah kau tidak turun ke laut hari ini...?"
Seruan pertanyaan itu keluar dari
mulut empat orang anak laki-laki yang tegak di depan pintu sebuah rumah bilik
di tepi pantai Pemanukan. Setelah beberapa kali anak-anak itu berteriak-teriak
begitu, pintu rumah terbuka. Seorang tua berambut kelabu bermata jereng yang
mengenakan celana hitam serta berselimut kain sarung keluar dari dalam rumah
sambil menggosok-gosok matanya.
"Hai! Kek! Kau
kesiangan!" kata salah seorang dari tiga anak.
Orang tua itu memandang ke tengah
lautan. Cuaca dilihatnya memang cerah dan di pantai belasan perahu yang melaut
malam tadi baru saja kembali memunggah hasil. Tapi rata-rata hasil yang didapat
nelayan-neyalan itu tidak seberapa. Ikan-ikan yang bisa mereka dapat hanya
cukup untuk dimakan sendiri dan hanya sebagian kecil dijual di pasar.
"Apa perahuku sudah kalian
bersihkan?" si kakek bertanya pada ke empat anak itu.
"Sudah" jawab anak-anak
itu serentak. "Pasti ibu kalian yang menyuruh kalian kemari hah?!"
"Betul kek. Kata ibu kami
hanya punya beras saja tapi tak punya ikan ..."
"Ayah kalian tidak melaut...
?"
"Ada, tapi hasilnya. Kau
tahu sendiri kek ... . "
Orang tua itu tersenyum. Tiga
kali dalam seminggu anak-anak itu selalu datang seperti itu. Mereka tahu, samua
orang ditepi pantai itu tahu bahwa si kakek memiliki satu kepandaian yang
dianggap aneh. Orang yang pergi melaut semalam suntuk kadang-kadang hanya
mandapatkan ikan sedikit sekali. Tapi sekali si kakek pergi ke laut pada pagi
atau siang hari dan kembali beberapa jam kemudian, dia datang membawa ikan sepenuh
perahunya. Ikan-ikan itu selalu dibagi-bagikannya pada penduduk atau nelayan
yang tinggal di tepi pantai, termasuk ke empat anak lelaki itu. Sebenarnya para
nelayan yang diam di situ merasa heran akan kepandaian si kakek menjala ikan.
Banyak di antara mereka yang minta diberitahu. Tapi si kakek tidak pernah mau
mengatakan. Setiap kali ditanya dia selalu menjawab: "Jika kalian perlu
ikan untuk dimakan atau dijual, aku akan carikan ke laut. Tapi jika kalian
tanya bagaimana caranya aku menangkap ikan, itu adalah rahasia hidupku!"
"Baiklah anak-anak, aku akan
mencuci muka dulu dan mengambil jala." kata orang tua berambut kelabu
bermata jereng itu.
Anak-anak bersorak ramai. Tak
lama kemudian si kakek yang dipanggil dengan sebutan Kakek Penjala Sakti itu
tampak meninggalkan pondoknya, memanggul jala besar di bahu kirinya, melangkah
terbungkuk-bungkuk menuju perahunya. Sebuah perahu tua yang dindingnya banyak
tambalan di sana sini. Si kakek masuk ke dalam perahu. Empat orang anak tadi
membantu mendorong perahu sampai ke tengah lalu mereka melambai-lambaikan
tangan sambil berteriak: "Ikannya tangkap yang banyak ya kek! Yang banyak
ya kek!"
Si kakek balas lambaikan tangan
sambil tersenyum-senyum.
Sampai di tengah laut, jauh dari
pantai, orang tua itu rapikan dan atur jala besarnya. Dan dalam sebuah bumbung
bambu dia mengambil segenggam bubuk berwarna putih. Dengan tangan kirinya bubuk
itu dilemparkan ke dalam laut. Begitu bubuk bersatu dengan air laut maka
butiran bubuk bubuk yang ratusan bahkan ribuan banyaknya itu memantulkan sinar
berkilau-kilau. Dalam waktu singkat ratusan ikan besar kecil muncul ke
permukaan air laut, ingin melihat apa adanya butiran-butiran bercahaya yang
menarik hati itu. Kalau sudah begini si kakek hanya tinggal mengangkat jalanya
dari lantai perahu. Sekali tangannya bergerak maka jala besar itu melebar luas.
Ratusan ikan terjerat di dalamnya. Sambil tertawa-tawa orang tua ini tarik
jalanya. Ketika hasil tangkapan itu dimasukkannya ke dalam perahu, maka perahu
kecil itu terisi sampai setengahnya!
"Sekali tangkap lagi
penuhlah perahu buruk ini. Aku bisa kembali ke pantai membagi-bagikan ikan ….
" begitu si kakek berkata dalam hati. Maka diapun mengayuh perahunya ke
jurusan lain. Sampai di satu tempat yang dirasakannya baik diapun siap
mengambil bubuk dalam bumbung bambu. Namun tiba-tiba sepasang matanya yang
jereng melihat sebuah benda terapung-apung di kejauhan. Orang tua ini lindungi
kedua matanya dengan telapak tangan kiri agar bisa melihat lebih jelas.
"Aneh, benda itu seperti
kepala manusia…" kata si kakek. Lalu perahunya dikayuh mendekati benda di
kejauhan. Begitu sampai di dekat benda tadi diapun tersirap. "Astaga,
betul kepala manusia…Sudah mati atau masih hidup? Salah satu tangannya
menggapai sepotong papan..."
Si Penjala Sakti cepat tebarkan
jala besarnya. Sosok tubuh manusia di permukaan laut bersama papan yang
dipegangnya segera masuk dalam jeratan jala. Si kakek menarik. Cukup sulit
baginya menarik sosok tubuh itu ke atas perahu kecil yang setengahnya sudah
penuh dengan ikan. Ternyata sosok tubuh itu adalah sosok tubuh seorang pemuda
yang hampir seluruh kulitnya telah terkelupas hangus. Pakaiannya robek-robek
dan ada luka-luka pada beberapa bagian tubuhnya. Si kakek membaringkan tubuh
pemuda itu di atas tumpukan ikan. Dia terkejut ketika pada pinggang pakaian si
pemuda dilihatnya tersisip sebilah keris berhulu kepala ular dan keseluruhannya
terbuat dari emas murni serta memancarkan warna kuning. Lebih terkejut lagi dia
jadinya sewaktu menemukan sebilah pedang berwarna merah tersisip di balik
punggung si pemuda.
Cepat-cepat kakek itu memutar
perahunya dan mengayuh menuju ke pantai. Sampai di pantai anak-anak yang empat
orang tadi telah menunggunya. Malah jumlah mereka kini tambah banyak, belum
terhitung para nelayan yang juga ingin kebagian ikan. Kakek itu tidak
mengacuhkan orang-orang tersebut, dengan susah payah dia mendukung tubuh pemuda
yang ditamuinya di tengah laut itu sementara orang banyak tampak menyaksikan
keheranan.
"Kek, siapa orang itu. Di
mana kau temui ... ?" beberapa orang bertanya.
"Sudah, jangan banyak tanya.
Ambil ikan dalam perahu. Bagi-bagilah. Tapi jangan ribut dan bertengkar ...
!"
Kakek Penjala Sakti mambawa tubuh
pemuda yang pingsan itu ke dalam rumah biliknya, membaringkannya di tempat
tidur yang terbuat dari bambu. Telinga kirinya diletakkannya di atas dada si
pemuda. Lapat-lapat dia masih mendengar suara degup jantung.
"Masih hidup . . .
Untung," katanya. Tubuh itu dibalikkannya hingga menelungkup. Lalu tangan
kirinya ditekankan ke pinggang sedang tangan kanan ditekankan ke punggung.
Begitu ditekan pemuda yang pingan keluarkan suara seperti muntah. Air laut
keluar mengucur dari mulutnya...
***
TUJUH
EMPU LODAYA menatap paras kakek
rambut kelabu. Matanya yang jereng membuat sang empu meragu apakah si kakek
memandang ke jurusannya atau memperhatikan ke jurusan lain.
"Manik, kau lupa padaku . .
. ?" menegur Empu Lodaya.
"Ah!" Manik Aryapala
alias Panjala Sakti pukul jidatnya sendiri. "Aku kenal tampangmu, tapi
otakku yang sudah hampir pikun ini tak ingat siapa namamu. Pakaian putihmu yang
berdebu, kudamu yang keletihan, serta dua pengiring yang ikut bersamamu
menyatakan kau datang dari jauh dan kau tentunya orang penting ..."
Empu Lodaya tersenyum. "Aku
Lodaya, dari Banten!" sang empu coba mengingatnya.
"Astaga! Betul kau!" Si
Penjala Sakti langsung manarik lengan Empu Lodaya hingga orang tua yang masih
ada di punggung kuda itu terseret ke bawah. Tetapi Penjala Sakti tidak
menariknya terus ke bawah melainkan melemparkannya ke atas hingga Empu Lodaya
tampak mencelat, jungkir balik di udara. Ketika turun kedua tangannya menekan
bahu Penjala Sakti. Kakek mata jereng ini cepat merunduk. Tapi tahu-tahu kedua
ketiaknya terangkat ka atas.
"Hup! " seru Empu
Lodaya.
Kini Si Penjala Sakti yang ganti
mencelat ke atas dan jungkir balik di udara. Begitu turun keduanya berhadapan
hidung dengan hidung. Dua kakek ini seperti anak kecil tertawa gelak-gelak lalu
saling rangkul.
"Kurasa tiga puluh tahun
telah berlalu sejak terakhir sekali aku melihat tampangmu Lodaya!" kata Si
Penjala Sakti.
"Memang lama sekali kita tak
pernah bertemu. Kau tetap seperti dulu. Suka bercanda. Apakah masih gemar
menjala ikan di siang bolong?"
Manik Aryapala tertawa mengekeh
mendengar kata-kata sahabat lamanya itu.
"Aku masih ada tangkapan
ikan sisa kemarin. Masih segar. Kita makan sama-sama, tapi nasinya tak
ada..."
"Siapa sudi makan ikan tanpa
nasi? Salah-salah aku bisa cacingan!" gurau Empu Lodaya.
"Jangan kawatir," kata
Si Penjala Sakti cepat. "Aku punya tetangga-tetangga yang baik. Satu bakul
nasi untukmu dan pengiringmu tidak jadi soal!"
Setelah menjamu makan minum para
tamunya. Si Penjala Sakti membawa Empu Lodaya ke tepi pantai.
"Sekarang katakan mengapa
kau datang jauh-jauh kemari," kata kakek mata jereng itu.
"Aku perlu bantuanmu
menangkap seseorang. Sebelumnya aku telah menemui Kiai Malabar. Tapi dia tak
dapat menolong ..." menerangkan Empu Lodaya.
"Hemmm , . . begitu? Bantuan
untuk dirimu atau untuk kerajaan?" bertanya Penjala Sakti.
"Untuk yang
terakhir..."
"Ha... ha ... Rupanya
kerajaan bernasib buruk akhir-akhir ini. Tak ada orang-orang pandai dunia
persilatan yang mau diajak bekerja sama ..."
"Apakah kau juga tidak mau
bekerjasama?" tanya Empu Lodaya.
"Siapa yang diinginkan
Sultanmu?"
"Ki Balangnipa." jawab
Empu Lodaya pula.
"Ah... manusia satu itu...
" kata si Penjala Sakti sambil geleng-geleng kepala. "Dulu dia
dikenal sebagai tokoh baik. Karena teriakan hasutan orang-orang Pajajaran dia
jadi berubah …. "
"Mungkin kita tak dapat
menyalahkan orang Pajajaran saja. Apa yang terjadi di Bantenpun ikut pegang
peranan."
Lalu Empu Lodaya menerangkan
pangkal musabab Ki Balangnipa menaruh dendam kesumat terhadap Kerajaan dan
Sultan Banten.
"Itu rupanya yang menjadikan
sebab Sultanmu menginginkan Ki Balangnipa hidup atau mati. Lalu bantuan apa
yang dapat kuberikan pada Sultanmu, Lodaya?"
"Mencari dan menangkap Ki
Balangnipa." sahut Empu Lodaya.
Mata jereng Si Penjala Sakti
tampak berputar-putar memandang ke tengah laut. Tiba-tiba meledaklah tawanya.
"Kenapa kau tertawa?"
tanya Empu Lodaya heran.
"Inilah namanya dunia!
Inilah namanya kehidupan di alam fana. Jika dibutuhkan dicari-cari. Jika tidak
dibutuhkan tak pernah diingat-ingat. Tapi dengar sahabatku, bukan kenapa segala
asalan itu aku tak dapat membantumu atau membantu Sultanmu ..."
Paras Empu Lodaya berubah,
"Kau lupa darah Banten dalam tubuhmu, Manik Aryapala?!"
Si Penjala Sakti menyeringai lalu
tertawa hambar.
"Darah Banten dalam tubuhku
sudah lama membeku. Itulah sebabnya aku lebih suka memencilkan diri di pantai
ini. Lebih enak jadi rakyat jelata. Tak ada pikiran tak ada kesulitan. Miskin
dalam harta tapi kaya dalam kebahagiaan ..."
Memandang pada wajah sang empu
yang kelihatan sangat kecewa. Si Penjala Sakti berkata: "Sahabatku Lodaya,
kau tak usah kecewa dan marah padaku ..."
"Aku tidak marah. Hanya
merasa sedih kenapa kehidupan di dunia bisa begini. Waktuku tak banyak. Aku
minta diri..."
"Eee . . . eae . . . Tunggu
dulu Lodaya, jangan pergi dulu!"
"Apa yang kulakukan
lama-lama di sini? Bantuan pun tak akan ku dapat!" jawab Empu Lodaya.
"Benar, memang benar kau
tidak mendapatkan apa-apa dariku. Kecuali nasi dan ikan bakar enak tadi. Ha ...
ha ...ha... ! Tapi dengarlah, ada seorang lain yang bisa menolong Sultanmu
itu.."
"Cerita lama!" mamotong
Empu Lodaya dengan kesal.
"Ketika aku bertemu Kiai
Malabar, dia melemparkanku padamu. Kini bertemu denganmu pada siapa lagi aku
hendak kau lemparkan?!"
"Dengar, jangan kesusu
jengkel," kata Si Penjala Sakti sambil tepuk-tepuk bahu sahabatnya itu.
"Aku tak akan melemparkanmu pada siapa-siapa. Dengar, ada seorang lain
yang lebih pantas dan lebih mampu menolong Sultanmu itu... "
"Nah, apa kataku! Ternyata
kaupun hendak melemparkan aku pada orang lain itu!"
"Dengar dulu, dengar dulu
Lodaya," kata Si Penjala Sakti dengan sabar. "Orangnya memang bukan
berdarah Banten. Tetapi baktinya boleh dipuji. Dia lebih Banten dari orang
Banten sendiri! Dan dia telah pernah membuktikan sembah baktinya itu pada
Sultanmu sekitar tiga tahun yang silam..."
"Eh, siapa orang yang kau
maksudkan itu?" tanya Empu Lodaya jadi tertarik.
"Kau ingat Raden Mas Ekawira
... ?"
"Bekas Kepala Pengawal
Istana Banten itu?!"
"Betul!"
"Ah, kalau dia yang kau
maksudkan tak ada gunanya. Aku telah menemuinya di tempat kediaman Kiai
Malabar. Anak muda itu telah jadi murid sang kiai. Baik dia maupun gurunya tak
bisa membantu. Katanya terikat oleh pantangan!"
"Mungkin memang begitu. Kau
tahu sendiri. Orang-orang dalam dunia persilatan banyak aneh-aneh tingkah
lakunya. Entah memang musti demikian, entah karena dibuat-buat! Tapi yang
kumaksudkan bukan si Ekawira itu!"
"Lantas?!" tanya Empu
Lodaya.
"Kau ingat, ketika dia jadi
Kepala Pasukan Pengawal Istana, dia mampunyai seorang pembantu berbadan tinggi
tegap penuh otot dan bertampang cakap itu ... !"
"Aku ingat. Tapi lupa
namanya. Ada apa dengan pemuda itu... ?"
"Dialah yang dapat kau
harapkan untuk menghadapi Ki Balangnipa!"
Empu Lodaya menarik nafas
panjang. "Mengharapkan sesuatu yang sukar jadi kenyataan. Di mana pemuda
itu kini berada siapa yang tahu! Pangkal hidungnya tak pernah kelihatan lagi
sejak dia meninggalkan Banten tiga tahun lalu ... !"
Si Penjala Sakti
tersenyum-senyum. "Inilah namanya rahasia hidup, sahabatku! Segala
sesuatunya menjadi rahasia Yang Satu. Apa yang terjadi dengan kita besok, mana
kita tahu. Di mana kita berada besok, siapa yang bisa tahu. Perolehan apa yang
bisa kita dapat besok, mana ada orang yang tahu! Semua Tuhan yang mengatur.
Bukankah begitu sahabatku?"
Empu Lodaya mengangguk perlahan.
"Sebulan yang lalu, secara
tak sengaja aku telah menyelamatkan pemuda itu di tengah laut. Perahu yang
ditumpanginya tenggelam dilanda badai. Dia diombang- ambingkan ombak sampai ke
pantai Pamanukan ini. Di tengah laut, dalam keadaan sekarat, tubuh penuh luka
dan kulit terkelupas dia kutemui dan kutolong. Pemuda itu bernama Mahesa Kelud.
Bukan begitu ... ?"
"Ya aku ingat sekarang. Namanya
Mahesa Kelud. Lanjutkan kisahmu Manik," kata Empu Lodaya.
Setelah sembuh dan menyadari
bahwa dia berhutang nyawa padaku maka untuk membalas budi dia meminta aku
memilih salah satu dari dua senjata mustika yang dimilikinya. Yang pertama
sebilah pedang yang sarung dan badannya memancarkan sinar merah, itulah Pedang
Sakti pemberian gurunya di timur sana. Senjata kedua sebilah keris terbuat dari
emas yang juga merupakan senjata sakti mandraguna! Bukan aku meremehkan
keahlianmu membuat senjata. Tapi jika kau coba membuat salah satu dari senjata
itu, menirunya saja sampai mirip mungkin kau memerlukan waktu dua puluh
tahun!"
"Kau terima permintaannya
itu? Berarti kau kini memiliki senjata sakti. Eh, pedang atau keris yang kau
ambil?!" tanya Empu Lodaya.
Si Penjala Sakti geleng-gelengkan
kepala. "Aku bukan manusia pencari pamrih, yang berbuat sesuatu untuk
mengharapkan sesuatu! Permintaannya itu kutolak. Mahesa kecewa sekali. Kemudian
dia berkata, jika ada satu permintaan lain atau satu tugas yang diberikan
kepadanya sebagai pembalas budi dan hutang nyawa itu maka dia akan
melaksanakannya sampai berhasil. Waktu itu sulit bagiku hendak meminta atau
menugaskan apa padanya. Tetapi setelah berpikir keras aku teringat akan keadaan
di Banten. Lagi pula bukankah dia pernah mengabdi di Banten? Maka kataku
padanya: "Telah lama aku menyirap kabar bahwa suatu malapetaka telah
menimpa Sultan Banten. Pergilah ke sana. Abdikan dirimu seperti dulu kau pernah
melakukannya bersama Ekawira. Dengan berbuat begitu anggaplah bahwa kau telah
membalas segala hutang budi dan nyawa. Maka Mahesapun pergi. Hanya beberapa
saat sebelum kau dan dua pengiringmu sampai di sini!"
Empu Lodaya tentu saja menjadi
kaget. "Menurutmu, apakah pemuda itu benar-benar akan pergi ke
Banten?" tanyanya.
"Aku yakin dia bukan seorang
pendekar yang pandai bermulut manis berminyak air. Kalau kau tidak percaya
mengapa tidak segera saja kembali ke Banten?"
Empu Lodaya berpikir-pikir
sesaat. Nasihat sahabatnya itu tak ada salahnya. Maka dia pun berkata:
"Terima kasih Manik. Aku minta diri sekarang juga!"
***
DELAPAN
KETIKA meninggalkan Banten
sekitar satu bulan lalu Empu Lodaya mengambil jalan ka arah selatan, menempuh
rimba belantara dan bebukitan tinggi serta pegunungan. Jalan yang sulit
menyebabkan dia dan pengiring hanya mampu bergerak perlahan. Kini dalam perjalanan
kembali ke Banten dia mengambil jalan di sebelah utara yang merupakan pantai
datar hingga dapat bergerak sangat cepat. Dalam waktu satu minggu Empu Lodaya
telah sampai ka Mauk. Satu hari di muka dia akan segera memasuki perbatasan
kerajaan. Selama perjalanan orang tua ini menaruh khawatir kalau-kalau
keterangan yang diberikan Si Penjala Sakti tidak benar dan Mahesa Kelud tidak
datang ke Banten. Dalam pada itu sepanjang perjalanan dia merasakan seperti ada
seseorang yang menguntit dari kejauhan. Kekhawatiran yang terakhir ini menjadi
kenyataan ketika dia bersama dua pengiringnya baru saja beristirahat di sebuah
anak sungai dipertengahan lembah dan siap meneruskan perjalanan melewati bukit
kecil ditumbuhi pohon-pohon jati besar berusia ratusan tahun.
Saat itu masih pagi. Sang surya
bersinar lembut dan udara masih terasa segar, menyusup melalui hidung, masuk ke
paru-paru. Memandang ke puncak bukit yang berada di depan mereka, salah seorang
pengiring tiba-tiba berkata: "Empu ada seseorang di atas bukit. Cara tegaknya
seperti sengaja menghadang kita!"
"Aku sudah melihat,"
jawab Empu Lodaya. Hatinya mendadak saja tidak enak namun dia berusaha bersikap
tenang. Makin tinggi naik ke bukit jati itu, makin kentara adanya orang yang
berdiri di depan mereka. Orang itu berpakaian serba hitam. Rambutnya yang
panjang hitam dikuncir ke belakang. Sepasang matanya yang cekung membersitkan
keganasan, memandang tak berkesip ke arah tiga penunggang kuda yang menaiki
bukit. Baik Empu Lodaya mau pun dua pengiringnya belum pernah melihat orang itu
sebelumnya, jadi tidak mengenalinya. Semula Empu Lodaya berniat mengambil jalan
memutar di lereng bukit sebelah kanan untuk menghindari lelaki berpakaian hitam
itu. Namun seperti tahu maksud orang, si baju hitam melangkah ke kiri, sejajar dengan
gerakan Empu Lodaya. Jelas sudah orang ini sengaja menghadang dan pasti
memiliki maksud yang tidak baik.
Empu Lodaya memberi tanda pada
kedua pengiringnya yang berada satu di sisi kanan satu lagi di sebelah kiri.
Ketiganya sama menghentikan kuda sejarak enam tombak dari hadapan orang itu.
Melihat ketiga kuda berhenti, si baju hitam pun hentikan langkahnya lalu tegak
sambil berkacak pinggang.
"Empu Lodaya!" orang
itu menegur. Suaranya lantang dan membahana di seantero bukit jati.
"Apakah kau sudah berhasil menemukan orang gagah yang bisa menolong
Sultanmu?!"
Sang Empu segera maklum kalau
tengah berhadapan dengan seseorang yang memiliki kepandaian tinggi.
"Kau bertanya di tempat yang
tidak pantas. Caramu menghadang menjelaskan niatmu yang terselubung, dan pasti
tidak baik!" menjawab Empu Lodaya.
Orang berbaju dan bercelana hitam
keluarkan suara tawa bergelak. "Tidak sangka tukang bikin pisau dapur
istana pandai pula mengucapkan kata-kata seperti seorang penyair! Empu Lodaya,
kau hanya membuang-buang waktu sia-sia! Mengadakan perjalanan sejauh itu tanpa
hasil sementara mayat demi mayat semakin bergeletakan dalam istana Sultan
Banten!"
"Apa maksudmu?! Katakan
siapa kau adanya!" ujar Empu Lodaya.
Orang itu menyeringai dan
usap-usap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu panjang tapi jarang.
"Seminggu setelah kau
meninggalkan Banten, adik perempuan sepupu Sultan ditemui telah jadi mayat di
tepi kolam istana. Selagi kau kasak kusuk di pantai utara, satu lagi orang
terdekat dan dikasihi Sultan menemui ajal. Pangeran Artakusumah!"
Empu Lodaya dan dua pengiringnya
tentu saja kaget sekali mendengar ucapan itu. Berarti empat orang sudah menemui
kematian di tangan Ki Balangnipa! Berarti segala penjagaan dan pengawalan yang
dilakukan untuk melindungi keselamatan keluarga Sultan sama sekali tidak
berdaya menghadapi musuh tunggal itu! Demikian hebatnyakah ketinggian ilmu Ki
Balangnipa sehingga tidak ada yang dapat membendungnya. Atau memang selain
hebat dia juga cerdik dan licin, mampu menembus istana tanpa banyak kesulitan.
"Orang tak dikenal! Apa
maksudmu memberi tahu hal itu padaku?!" Empu Lodaya lemparkan pertanyaan.
Yang ditanya kembali tertawa, tapi tidak sekeras tadi.
"Jadi kau masih belum tahu
tingginya gunung dalamnya lautan. Masih belum jelas tengah berhadapan dengan
siapa! Jika kau masih berumur panjang kau akan menyaksikan korban-korban
kelima, keenam dan seterusnya!"
Paras Empu Lodaya jadi berubah.
Juga kedua pengiringnya. Ketika orang tua ini berkata: "Jadi kau ... kau
Ki Balangnipa!"
Si baju hitam tertawa lagi.
"Mungkin kau perlu
bukti!" katanya. Entah kapan tangan kanannya bergerak tahu-tahu kini dia
telah menimang-nimang sebuah benda terbuat dari perak, berbentuk bintang!
"Ah, benar. Manusia ini
adalah Ki Balangnipa!" membatin Empu Lodaya ketika dia mengenali senjata
rahasia berbentuk bintang yang pernah dilihatnya menembus tubuh Jaka Luwak dan
sekaligus membunuhnya dua tahun yang silam. Si baju hitam gerakkan tangan
kanannya. Senjata rahasia bintang perak itu melesat ke arah pengiring Empu
Lodaya yang di sebelah kanan. Detik itu juga terdengar pekiknya. Tubuhnya jatuh
dari punggung kuda, terjungkal dan melingkar di tanah. Pada keningnya menancap
senjata rahasia bintang perak itu!
Tubuh Empu Lodaya bergetar.
"Manusia pengecut! Beraninya
hanya membunuh orang-orang tak berdaya!" teriak sang empu marah.
"Aku pun tidak segan-segan
menghabisi nyawamu orang tua! Sekalipun kau bukan termasuk sepuluh orang yang
berada dalam daftar mautku!"
Ki Balangnipa tertawa panjang.
Tangan kanannya kembali bergerak. Kembali pula senjata bintang perak melesat
dengan kecepatan setan!
Melihat senjata rahasia itu
menderu ke arahnya, Empu Lodaya cepat melompat dari atas kuda. Sambil melayang
ke tanah dia pukulkan tangan kirinya ke depan. Serangkum angin menerpa bintang
perak. Tapi dia tertipu. Senjata itu sebenarnya memang tidak ditujukan ke
arahnya. Karena sesaat kemudian terdengar pekik pengiringnya yang kedua sewaktu
bintang perak dengan ganas menembus tenggorokannya!
"Biadab!" kertak Empu
Lodaya. Sebelum tubuh pengiringnya jatuh mencium tanah orang tua ini sudah
menghantamkan satu pukulan tangan kosong dari jarak dua langkah. Deru angin
pukulan yang keluar dari tangan kanan Empu Lodaya diam-diam mengejutkan Ki
Balangnipa. Tetapi sambil keluarkan suara mendengus dan mengejek Ki Balangnipa
cepat menghindar.
"Tukang pisau dapur! Hari
ini kau akan mati sia-sia!"
Bukan main panasnya hati Empu
Lodaya diejek sebagai tukang pisau dapur itu. Meskipun tugasnya memang ahli
pembuat senjata kerajaan namun sebagai salah seorang yang ikut bertanggung
jawab atas keselamatan Sultan serta keluarganya, orang tua ini tentu saja memiliki
kepandaian silat yang tidak rendah. Buktinya begitu serangannya tadi tidak
menemui sasaran, orang tua ini cepat berputar. Sekali berkelebat tendangannya
menghantam ke arah batok kepala lawan!
"Tukang pisau! Jelek-jelek
rupanya kau punya kepandaian juga!" kembali Ki Balangnipa mengejek. Tangan
kanannya dinaikkan ke atas, melintang memayungi kepalanya dari tendangan Empu
Lodaya. Sang Empu yang sudah naik pitam karena diejek direndahkan begitu rupa
dan menganggap tangan tak bakal menang dari kaki, teruskan tendangannya bahkan
lipat gandakan tanaga dalamnya.
Praak!
Pergelangan tangan beradu keras
dengan tulang kering kaki. Empu Lodaya menggigit bibirnya sampai berdarah agar
tidak keluarkan suara teriakan karena sakit yang bukan kepalang. Tulang kering
kaki kanannya remuk. Tubuhnya melintir. Selagi orang tua ini terbungkuk-bungkuk
kasakitan, Ki Balangnipa menyergapnya dengan satu jotosan ke arah perut hingga
Empu Lodaya tertekuk ke depan. Dalam keadaan seperti ini menyusul satu
tendangan dengan tepat menghantam rahangnya. Orang tua itu mencelat lalu
menggeletak di tanah. Tapi tidak disangka dia mempunyai daya tahan luar biasa.
Meski kaki kanan patah dan dari mulut serta hidung dan telinga kanan keluar
darah mengucur, tapi dia merayap bangkit. Terbungkuk-bungkuk Empu Lodaya
keluarkan suara menggeram, melangkah mendekati Ki Balangnipa. Di tangan
kanannya tampak sebilah golok pendek, terbuat dari perak yang memancarkan sinar
berkilau oleh pantulan sinar mentari pagi.
"Aha! Rupanya inilah pisau
dapur buatanmu! Baru kali ini aku melihat pisau dapur sebesar ini!" Ki
Balangnipa tertawa mengejek. Dia tegak menunggu sambil bertolak pinggang.
Ketika Empu Lodaya menusukkan senjatanya ke arah perut, dengan mudah Ki
Balangnipa berkelit sambil susupkan satu tendangan ke perut si orang tua. Untuk
kadua kalinya Empu Lodaya tarpental. Golok pendek terlepas dari tangannya. Ki
Balangnipa cepat menyambar senjata itu. Begitu berhasil menggenggam hulu golok,
dia segera membacokkannya ke kepala Empu Lodaya yang saat itu tengah mengerang
megap-megap tanpa daya untuk selamatkan diri dari bacokan maut senjata miliknya
sendiri! Namun justru di saat itu Ki Balangnipa mendengar suara gemerisik di
belakangnya, disusul oleh suara tawa bergelak.
"Ikan besar berbaju hitam!
Aih . . Tentu enak kalau dipanggang!"
***
SEMBILAN
KI BALANGNIPA bertindak capat,
melompat ke samping seraya lepaskan pukulan ke belakang dari arah mana barusan
terdengar suara bergemerisik serta suara tawa. Tapi apa lacur. Gerakan orang
jauh lebih cepat. Tokoh silat ini tahu-tahu dapatkan sekujur tubuhnya telah
terperangkap dalam sebuah jala besar. Segera dia berontak dan coba renggutkan
jala itu. Namun semakin keras gerak-rontanya, semakin kencang cengkaman jala!
"Keparat!" maki Ki
Balangnipa. Golok yang tadi hendak dipakainya, untuk membunuh Empu Lodaya kini
ditabaskan kiri kanan untuk membabat putus tali-tali jala, namun alangkah
kagetnya ketika melihat kenyataan jala itu tidak sanggup diputus oleh ketajaman
golok! Sambil menggereng merah Ki Balangnipa dalam keadaan terjerat putar
tubuhnya. Kira-kira delapan langkah di hadapannya tampak berdiri seorang kakek
berambut kelabu, mengenakan celana hitam dan berselempangkan sarung. Kedua
matanya jereng dan dia tak hentinya tertawa. Dia memegang sasuatu yang bukan
lain adalah ujung jala yang membungkus tubuh Ki Balangnipa! "Panjala
keparat! Jadi kau rupanya yang berani barlaku curang! Menyerang dari
belakang!" bentak Ki Balangnipa marah dan diam-diam kerahkan tenaga dalam
pada kedua telapak tangannya.
"Aih! Jangan salah
sangka!" menyahuti si kakek jereng yakni Manik Aryapala alias si Penjala
Sakti. "Aku tidak menyerang siapa-siapa! Hanya menangkap seekor ikan
hitam! Besar nian rejekiku hari ini!"
Habis berkata begitu Si Penjala
Sakti tarik jalanya. Tapi orang tua ini jadi kaget ketika bagaimana pun dia
mengerahkan tenaga, tubuh Ki Balangnipa yang ada di dalam jala tak bisa
tertarik, bahkan bergeser pun tidak kedua kakinya! Dan Si Penjala Sakti tambah
kaget sewaktu dilihatnya Ki Balangnipa menggerakkan kedua tangannya.
Bret! Bret ...! Bret...!
Jala tebal itu koyak putus-putus.
Sesaat kemudian Ki Balangnipa telah melompat keluar dari bungkusan jala! Begitu
ke luar langsung dia menyerang Si Penjala Sakti. Maka terjadilah perkelahian
yang seru di antara kedua tokoh silat ini, sementara Empu Lodaya yang terhampar
di tanah, hanya bisa menyaksikan kejadian itu sambil mengerang kesakitan.
Sepuluh jurus berlalu Si Penjala
Sakti segara maklumi bahwa lawan hampir dua tingkat lebih tinggi kepandaiannya.
Untung saja dia memiliki kecepatan gerak yang luar biasa hingga setiap serangan
Ki Balangnipa sanggup dikelit atau dihindarinya. Berulang kali lawan berusaha
untuk kontak kekuatan dengan jalan hendak memperadukan pukulan tangan atau
tendangan kaki. Si Penjala Sakti yang mengetahui lawan memiliki tenaga dalam
lebih tinggi terpaksa bekerja keras untuk menghindarkan bentrokan langsung.
Gemas melihat lawan sanggup mengelakkan semua serangannya Ki Balangnipa berteriak
keras. Bersamaan dengan itu dia membuka baju hitamnya.
"Aih…..aih! Kenapa cuma
bajumu saja yang kau buka? Mengapa tidak celanamu juga agar telanjang
sekalian?!" berteriak Si Penjala Sakti. Nadanya mengejek tetapi kakek ini
maklum kalau pakaian hitam milik lawan adalah merupakan satu senjata yang
sangat berbahaya. Kehebatan pakaian itulah yang membuat nama Ki Balangnipa
menjulang di antara para tokoh dan ditakuti di mana-mana. Si Penjala Sakti
segera tutup jalan nafasnya.
"Nelayan buruk!"
membentak Ki Balangnipa. "Keluarkan seluruh kepandaianmu. Kalau tidak kau
akan mampus dengan tubuh lumat!"
Ki Balangnipa putar-putar pakaian
hitamnya di atas kepala. Terdengar siuran angin kencang sekali. Hembusan angin
yang keluar dari baju hitam itu menebar bau apek yang dapat menyesakkan jalan
pernafasan. Untung saja si Penjala Sakti telah menutup penciumannya. Namun
demikian kekuatan lain dari pakaian hitam itu—yakni kekuatan yang sanggup
melumpuhkan lawan — kini mengancam si kakek mata jereng. Untuk membuat agar sambaran
angin tidak mengenai tubuhnya, Si Penjala Sakti lepaskan pukulan-pukulan tangan
kosong kiri kanan susul menyusul. Mula-mula arus serangan baju hitam di tangan
lawan seperti terbendung. Namun ketika Ki Balangnipa mulai berputar-putar
mengelilingi lawannya. Si Penjala Sakti menjadi sibuk. Selain hawa yang
melumpuhkan yang harus dihindarinya, dia juga harus waspada karena setiap saat
ujung tangan atau ujung kelepak baju hitam itu sanggup menghantam seperti
sabatan golok atau tusukan pedang!
Plak! Plak!
Ujung pakaian menampar ganas ke
dada dan muka Si Penjala Sakti. Kakek ini jatuhkan diri seraya menyambar
jalanya yang telah koyak. Jala ini digulungnya hingga membentuk tongkat lemas
dan panjang, kemudian dipergunakan untuk menghadapi baju hitam lawan. Karena
jala itu juga dialiri kekuatan tenaga dalam maka perkelahian berkecamuk tambah
dahsyat. Dua batang pohon jati tumbang. Pertama patah kena hantaman lengan baju
hitam, satunya lagi tersambar gulungan jala!
Sepuluh jurus lagi berlalu.
Bagaimana pun hebatnya perlawanan Si Penjala Sakti tetap saja Ki Balangnipa
lebih unggul. Apalagi Si Penjala Sakti tak dapat menutup jalan nafasnya terus
menerus. Sesekali dia harus membuka pernafasan untuk menghirup udara baru. Baru
sedikit saja dia membuka penciuman, bau apek yang menebar dari pakaian hitam Ki
Balangnipa langsung merambas masuk rongga hidungnya. Kakek ini tersengal dan
batuk-batuk. Gerakannya tiba-tiba saja menjadi lamban.
"Celaka!" keluh Si
Penjala Sakti. Dia hantamkan jalanya ke arah leher lawan. Jala ini laksana
seekor ular siap menggelung leher Ki Balangnipa. Tapi Ki Balangnipa yang sudah
melihat gerakan lamban serta air muka yang berubah dari lawannya, dengan cepat
sebatkan pukulannya ke atas. Salah satu lengan pakaian serta merta menggelung pertengahan
jala. Sekali dia menarik maka jala itu pun lepas. Lalu lengan pakaian yang lain
seperti hidup, menggelepar ke arah dada si Penjala Sakti.
Buk!
Si Penjala Sakti mengeluh tinggi.
Tubuhnya mencelat. Dadanya terasa seperti dihantam batu besar. Kedua matanya
yang jereng berputar nanar. Terasa ada darah panas dan asin di mulutnya. Sesaat
ketika tubuhnya hendak jatuh terhempas ke tanah, orang tua ini merasa kaget
karena tubuhnya mengambang di udara, tertahan oleh sesuatu. Dia jatuh dalam
pelukan seseorang. Sebelum dia sempat mengetahui siapa orang yang mendukungnya
itu, satu suara bertanya. "Kek, kau terluka dan merasa sakit?"
***
SEPULUH
SI PENJALA SAKTI mendongak ke
atas. Ketika dia melihat wajah itu, dia pun menyeringai. Walaudadanya sakit
bukan kepalang namun dia sempat tersenyum dan menjawab. "Tidak, aku tidak
apa apa….! Turunkan aku! Tak pantas sudah tua bangka begini digendong seperti
anak kecil!"
Mahesa Kelud ikut tersenyum dan
turunkan tubuh Si Penjala Sakti ke tanah.
"Kek, siapa orang tua yang
berkelahi setengah telanjang itu. Pakaiannya dikibar-kibar begitu rupa, apa dia
tidak sadar bau apek?" berbisik-bisik Mahesa Kelud.
"Jangan anggap enteng iblis
biang racun itu! Apa kau lupa. Dialah Ki Balangnipa, penimbul bencana di istana
Sultan Banten. Itulah sebabnya kau kusuruh pergi ke Banten. Tak tahunya masih
berkeliaran di tempat ini . ."
"Apakah ini berarti aku
telah menemui tugas yang harus kujalankan kek?"
Si Penjala Sakti mengangguk.
"Hanya saja kau harus hati-hati Mahesa. Pakaian hitam si bangsat itu
adalah senjata luar biasa. Bau apeknya bisa menyesakkan pernafasan dan sambaran
anginnya melumpuhkan sekujur badan. Kalau kau menghadapinya, harus bertindak
cepat. Kau punya dua senjata sakti. Pergunakan salah satunya."
Mahesa Kelud mengangguk, lalu
maju dua langkah mendekati Ki Balangnipa. Melihat sikap pemuda ini yang jelas
hendak ikut-ikutan cari perkara Ki Balangnipa segera membentak. Maksudnya
hendak membuat lumer nyali orang.
"Apa maumu?! Minta
digebuk?!"
Mahesa menjawab dengan balas
bertanya: "Benar kau orangnya yang membuat kekacauan di istana
Banten?"
"Pemuda bau kencur sepertimu
tak layak menanyaiku!"
"Kalau pun kau tak mau
mengaku, aku sudah tahu memang kau orangnya yang jadi biang keladi membunuh
orang-orang yang tidak berdosa itu!"
Ki Balangnipa tertawa mendengar
ucapan Mahesa itu. "Lagakmu seperti tuan besar yang hendak menghukum
kacungmu saja!"
"Aku memang hendak
menghukummu. Manusia sepertimu harus dibikin tobat seumur-umur", jawab
Mahesa pula.
Kini marahlah Ki Balangnipa. Dia
mulai putar-putar baju hitamnya. Sekali gebuk saja pasti pemuda besar mulut ini
akan roboh kelojotan, pikir Ki Belangnipa yang tidak memandang sebelah mata
terhadap Mahesa. Padahal kalau saja dia mau memperhatikan bagaimana tadi Mahesa
tiba-tiba muncul dan dengan sigap menangkap tubuh Si Penjala Sakti yang
terpental, dia seharusnya dapat menilai kalau pemuda itu bukan serendah yang
disangkanya.
Pergelangan tangan Ki Balangnipa
bergerak.
Wut!
Baju hitam berputar setengah
lingkaran. Bau apek menebar, menyambar ke arah muka Mahesa Kelud.
Wut!
Bagian lengan pakaian menghantam
ke tenggorokan pemuda itu, Mahesa mundur selangkah. Hantaman lengan pakaian tak
sempat mengenai lehernya. Sebaliknya bau apek menembus pernafasannya dan
sambaran angin pakaian yang aneh membuat persendian di tubuhnya seperti
lunglai. Namun saat itu pula terjadilah satu keanehan. Dari pinggang kiri si
pemuda, di mana terselip Keris Ular Emas merambas hawa hangat yang langsung
menolak hawa busuk yang masuk lewat penciuman serta memusnahkan hawa jahat yang
hendak melumpuhkan tubuhnya.
Plak!
Ujung leher pakaian hitam di
tangan Ki Balangnipa menghantam dada Mahesa, tepat seperti tadi Si Penjala
Sakti kena dilabrak. Mahesa terpental, jatuh duduk.
"Celaka'" keluh Si
Penjala Sakti.
Tapi Mahesa cepat bangkit
kembali. Membuat Ki Balangnipa terkejut. Si Penjala Sakti saja keluarkan darah
dan terluka di dalam oleh hantaman pakaian saktinya. Apakah pemuda ini jauh
lebih hebat dari kakek mata jereng itu?!
Sewaktu menerima pukulan baju
hitam sakti itu tadi, Mahesa telah bentengi dadanya dengan aji karang sewu
sehingga meskipun dorongan keras membuatnya jatuh duduk, namun tubuhnya luar
dalam tidak cedera sama sekali. Sepasang mata KI Balangnipa membeliak dan
berapi-api. Seumur hidupnya tak pernah dia menemukan lawan yang bisa selamat
dari hantaman baju hitamnya. Diselimuti rasa tak percaya bercampur marah
kembali tokoh silat dari Gunung Gede itu menyerbu dengan baju saktinya. Angin
menderu-deru laksana topan prahara. Daun-daun pohon jati rontok dan jatuh ke
tanah. Debu pesir beterbangan. Batang-batang pohon jati yang sudah tua
bergoyang-goyang. Kulit kayunya retak pecah-pecah. Si Penjala Sakti jejakkan ke
dua kakinya kencang-kencang ke tanah agar tidak jatuh disambar angin dahsyat
yang keluar dari baju hitam Ki Balangnipa. Empu Lodaya yang terkapar di tanah
dan mengerang kesakitan karena sampai saat itu tak seorang pun yang datang
menolong, kini terpaksa telungkupkan badan di tanah dan pejamkan kedua matanya
agar tidak kemasukan debu dan pasir.
Mahesa sendiri merasakan tubuhnya
bergetar keras hingga dia cepat-cepat kerahkan tenaga dalam sambil memasang
kuda-kuda setengah berlutut. Ketika ujung lengan kanan baju di tangan lawan
membeset ke arah kepalanya, pendekar ini cepat membungkuk. Tubuhnya miring ke
belakang tapi kaki kanannya tiba-tiba menderu mencari sasaran di perut lawan.
Ki Balangnipa berseru keras. Begitu serangannya gagal, ujung lengan baju yang
satu lagi ganti menyambar, kini menghantam ke arah bahu kanan Mahesa Kelud.
Tapi serangan ini pun gagal karena Mahesa saat itu sudah jatuhkan diri,
berguling di tanah, sesaat bangkit berdiri dengan cepat dia dorongkan tangan
kanannya ke depan.
Segulung angin bergulung menyapu
ke arah Ki Balangnipa. Debu dan pasir kembali beterbangan menutupi pemandangan.
Daun-daun pohon jati semakin banyak yang rontok berguguran. Inilah Pukulan
"Menembus Ombak Membelah Gelombang" yang didapat Mahesa Kelud dari
mendiang gurunya Embah Jagatnata alias Simo Gembong. Ki Balangnipa terkesiap
ketika melihat datangnya gulungan angin deras itu.
"Pemuda tak dikenal ini,
siapakah dia sebenarnya?!" membatin Ki Balangnipa. Meskipun kagum tapi
juga jadi penasaran. Sambil melompat ke atas untuk menghindari sambaran angin
pukulan lawan, dia kebutkan baju hitam di tangan kanannya.
Dess!
Angin dahsyat dari baju sakti saling
bentrok dengan angin pukulan Mahesa Kelud. Bukit jati itu bergetar. Tanah di
atas tempat beradunya dua kekuatan dahsyat muncrat mental ke atas. Di tanah itu
kini kelihatan sebuah lobang yang cukup dalam. Si Penjala Sakti leletkan lidah.
Mahesa Kelud tegak dengan sepasang lutut bergoyang keras sedang Ki Balangnipa
berubah parasnya. Dia tak sempat berpikir lebih jauh karena saat itu tiba-tiba
dilihatnya Mahesa Kelud melompat ke arahnya dengan kedua tangan terkembang ke
samping, seperti seekor rajawali yang siap mencengkeram dan mematuk mangsanya!
Ki Balangnipa kebutkan baju
hitamnya dalam gerakan aneh dan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang ada. Kini
bukan debu dan pasir saja yang beterbangan, tanah pun ikut bermentalan ke
udara. Dan selagi tubuh Mahesa melayang di udara Ki Balangnipa lemparkan senjata
rahasianya. Lima bintang perak melesat ganas ke arah Mahesa Kelud.
"Pengecut curang!"
teriak Si Penjala Sakti ketika sempat melihat apa yang dilakukan Ki Balangnipa.
Dengan jalanya yang sudah rusak sembrawutan dia menghantam ke udara. Dua
bintang perak mental. Tapi tiga lainnya terus menerjang Mahesa Kelud.
"Celaka!" seru Si
Penjala Sakti. Dia tak berdaya lagi untuk menolong. Tetapi Mahesa Kelud memang
tidak perlu pertolongan lebih lanjut. Selarik sinar merah berkiblat di udara
dibarengi suara deru seperti tawon mengamuk. Terdengar tiga kali suara
berdentringan. Tiga bintang perak senjata rahasia Ki Balangnipa mental dan
hancur. Sinar merah menukik membelah udara.
Bret! Bret!
Baju hitam di tangan Ki
Balangnipa kini berubah menjadi tiga potong. Dua potong jatuh ke tanah, sisanya
yang sepotong lagi masih tergenggam di tangannya. Dengan muka pucat pasi Ki
Balangnipa melompat mundur. Mulutnya tergagap ketika dia berkata: "Pe...
pedang Dewa!" Rupanya Ki Balangnipa sudah mengetahui senjata apa yang ada
di tangan lawannya.
"Jadi... kau muridnya...
muridnya Suara Tanpa Rupa!" seru Ki Balangnipa.
Mahesa tak menjawab. Justru yang
membuka mulut adalah Si Penjala Sakti. "Siapa pemuda itu adanya bukan
urusanmu! Balangnipa, apapun kepandaianmu kau tak bakal dapat mengalahkannya!
Menyerahlah! Jika kau bertobat siapa tahu Sultan mau memperingan hukuman
atasmu!"
Ki Balangnipa meludah ke tanah.
Meskipun tengkuknya memang bergeming dingin karena tahu kehebatan Pedang Dewa
yang memancarkan sinar merah angker di tangan lawan, namun dia tidak bisa
percaya akan kalah begitu saja di tangan pemuda tak bernama itu. Menyerah sudah
barang tentu tak bakal dilakukannya! Dia lebih baik bunuh diri dari pada
diadili di Banten. Dia yakin tak ada keringanan hukuman baginya. Satu-satunya
yang bakal menyambutnya di Banten jika dia sampai tertangkap hidup-hidup adalah
tiang gantungan atau papan pemancungan!
Ki Balangnipa keluarkan bentakan
garang. Kaki kanannya menderu ke perut Mahesa Kelud. Melihat lawan kini tidak
memegang senjata apa-apa, jiwa ksatrianya membuat Mahesa segera memasukkan
Pedang Dewa kembali ke sarungnya. Melihat hal ini diam-diam Ki Balangnipa
merasa lega. Tapi dia kecele kalau merasa tanpa pedang sakti di tangan dia akan
mudah merobohkan si pemuda. Dia menggereng ketika tendangannya luput lalu
berjingkrak ke udara. Tiba-tiba tubuh Ki Balangnipa tampak berputar seperti
gasing. Tangan dan kakinya terkembang.
Dua batang pohon yang kena
hantaman kaki dan tangannya patah dan tumbang. Inilah jurus silat langka yang sangat
berbahaya bernama "kitiran maut"! Apa saja yang terkena sambaran kaki
atau tangan akan terbabat putus atau dihantam hancur. Kitiran maut bukan saja
merupakan jurus serangan yang dahsyat tapi sekaligus juga merupakan jurus
bertahan yang kokoh.
Mahesa Kelud melompat mundur
untuk meneliti gerakan serangan aneh ini lalu coba susupkan satu jotosan ke
kepala Ki Balangnipa yang ikut berputar. Tapi pemuda ini cepat tarik pulang
serangannya ketika salah satu kaki dan tangan lawan mendadak melesat ke arah
tenggorokan dan selangkangannya. Selagi dia melompat untuk menghindari serangan
susulan, tubuh Ki Balangnipa yang berputar itu cepat sekali melesat ke arahnya.
Dari tempatnya berdiri menyaksikan jalannya perkelahian Si Penjala Sakti
geleng-geleng kepala. Dia tahu betul, itu adalah ilmu simpanan Ki Balangnipa
yang terakhir. Meskipun dia tadinya yakin si orang tua tak bakal dapat
mengalahkan pemuda itu, tapi kini hati kecilnya diliputi rasa was-was.
Ketika tubuh berputar datang
mengejar Mahesa Kelud segera lafatkan aji karang sewu, dan salurkan tenaga
dalamnya ke empat anggota badan yakni sepasang tangan dan kedua kaki. Sesaat
lagi tubuh lawan datang menghantam Mahesa langsung menyongsong sambil susupkan
jurus "menembus ombak membelah gelombang"
Buk!
Buk!
Praak!
Dua sosok tubuh saling beradu
keras lalu sama-sama tarpental. Satu langsung terkapar tak berkutik lagi,
satunya lagi masih bisa tegak walau terhuyung-huyung!
Mahesa tegak bersandar ke batang
pohon jati sambil pegangi dadanya yang mendenyut sakit. Lututnya masih tergetar
dan seperti ditusuk-tusuk. Ketika terjadi bentrokan tadi, tinju Ki Balangnipa
manghantam dadanya sedang tendangan kaki mendarat di lututnya. Kalau saja dia
tidak membentengi diri dengan aji karang sewu pasti dada dan tulang lututnya
sudah remuk. Pemuda ini atur jalan nafas dan peredaran darahnya. Dia maklum
kalau dadanya sebelah dalam menderita cidera walau tak sampai membahayakan
jiwanya. Beberapa langkah di hadapannya tubuh Ki Balangnipa terkapar di tanah
tanpa nafas lagi. Kepalanya sebelah kiri remuk hancur akibat pukulan karang
sewu yang dilepaskan Mahesa dengan tangan kanannya.
"Semua berakhir sudah! Semua
berakhir sudah!" terdengar suara Si Penjala Sakti seraya melangkah
mendekati Mahesa den menepuk-nepuk bahu pemuda itu.
"Kakek, apakah ini berarti
aku telah menjalankan tugas yang kau berikan dan membayar impas hutang piutang
budi dan nyawa di antara kita?" tanya Mahesa Kelud.
Si kakek tertawa. "Tak ada
hutang piutang!" katanya.
"Menjadi kewajiban kita
untuk menyingkirkan manusia-manusia jahat dan sesat seperti yang satu
itu!"
"Kalau begitu aku tak perlu
lagi pergi ke Banten," kata Mahesa karena sejak lama dia ingin segera
pergi ke timur.
"Siapa bilang tidak
perlu!" satu suara menyahuti. "Aduh, tolong aku.....!"
Mahesa dan Si Penjala Sakti baru
ingat pada Empu Lodaya. Keduanya segera menolong orang tua itu. Sang empu
memandang sejurus pada Mahesa. Sambil menyeka sudut bibirnya dia berkata:
"Anak muda, bukankah kau yang bernama Mahesa, yang dulu menjadi pembantu
Ekawira, pernah ikut mengabdi pada kesultanan Banten...?"
Mahesa hanya mengangguk perlahan.
"Kau harus ikut aku ke
Banten! Kau harus menghadap Sultan!"kata Empu Lodaya.
"Eh, kenapa begitu?"
tanya Mahesa.
"Jangan banyak tanya! Apa
kau tidak menyadari bahwa kau baru saja menyelamatkan kerajaan dari malapetaka
besar yang disebabkan oleh manusia bernama Ki Balangnipa itu? Apa kau tidak
tahu bahwa kau baru saja menyelamatkan enam nyawa dari orang-orang yang
dikasihi Sultan?"
Mahesa angkat bahu. Empu Lodaya
menarik bahu pakaian si pemuda. "Kau harus ke Banten menghadap Sultan! Aku
percaya kau akan diangkatnya jadi Kepala Balatentara Banten."
Si Penjala Sakti
tersenyum-senyum. "Wah, rejekimu besar nian Mahesa," katanya. Tapi
dia sudah tahu apa bakal jawab pemuda itu.
"Orang tua, siapa pun kau
adanya aku berterima kasih atas maksud baikmu membawaku ke Banten," kata
Mahesa. "Hanya saja aku tidak ingin mendapatkan balas jasa apa-apa. Semua
kulakukan karena kakekku ini!"
"Tidak bisa!" sahut
Empu Lodaya. Pegangannya pada Mahesa semakin diperkencang.
"Kalau begitu maumu,
baiklah. Mengingat kau terluka cukup parah, maka berangkatlah dulu naik kuda.
Aku menyusul kemudian ..." kata Mahesa pula.
"Aku akan mendampinginya
sampai di pintu gerbang Kotaraja.'' berkata Si Penjala Sakti. Lalu kakek ini
cepat-cepat menaikkan Empu Lodaya ke atas kuda. Keduanya meninggalkan tempat
itu. Empu Lodaya sesekali menoleh ke belakang, ke arah Mahesa Kelud yang masih
tegak di puncak bukit jati itu.
"Aku kawatir, dia tidak
menepati janjinya," kata Empu Lodaya. "Dia tak akan menyusul kita ke
Banten ... "
Si Penjala Sakti menyeringai.
"Kau tahu pasti hal itu sahabatku. Apa pun yang diberikan Sultan Banten
padanya dia tak akan mau menerima. Pendekar sejati seperti dia tak pemah
mengharapkan balas jasa. Bertindak tanpa pamrih…."
"Sayang .... sayang. Sultan
dan rakyat Banten benar-benar berterima kasih padanya," ujar Empu Lodaya.
Lalu menambahkan: "Kalau saja aku punya anak gadis. Pasti kujodohkan
dengan pemuda itu. Dia sangat tampan. Ilmunya tinggi pula….."
Si Penjala Sakti tertawa
mengekeh.
"Kenapa kau tertawa?!"
tanya Empu Lodaya seraya pegangi pipinya yang mendenyut sakit.
"Mana mungkin kau punya anak
gadis! Sampai setua ini kawin saja pun kau belum ... !" sahut Si Penjala
Sakti. Kedua tua renta itu kemudian sama-sama tertawa terpingkal-pingkal.
***
T A M AT
Selanjutnya:
KOLAM IBLIS
Emoticon