1
Semilir angin malam menghembuskan udara
yang terasa sangat dingin ketika seorang wanita cantik tengah membuka pakaian
warna merah yang dikenakannya.
Rambutnya yang semula digelung dengan
tusuk konde, dilepas hingga terurai. Hal itu membuat kecantikan Dewi Rukmini
kian bertambah nyata.
Tanpa sepengetahuannya, seseorang dengan
mata tak berkedip mengintip tubuhnya yang kuning langsat dan meng-
gairahkan. Lelaki itu berulang kali
menelan ludah serta menahan napas dengan mata jalang.
"Ck, ck, ck.... Pantas saja kalau
Segoro Wedi sampai mabuk kepayang kepadanya. Tidak kusangka, kalau sang Dewi
benar-benar mempesona," gumamnya dengan gairah yang bergejolak.
Ketika ia tengah asyik mengintip
tubuh mulus dan mempesona itu, kakinya
yang tak mampu menahan getaran birahi tanpa disengaja membentur sesuatu.
Krak
Kegaduhan kecil itu membuat Dewi
Rukmini yang tengah mengganti pakaian
tersentak dan terburu-buru mengenakannya kembali. Mata cantiknya memandang
lekat pada dinding bilik rumahnya, sedangkan pendengarannya dipasang setajam
mungkin.
"Hm, kurang ajar" rutuk hati
Dewi Rukmini setelah menyadari kalau sejak tadi ada seseorang yang
mengintipnya.
Mata Dewi Rukmini memandang tajam, lalu
tanpa banyak bicara
tangannya segera
mengibas ka arah dinding rumah di mana
orang itu berada.
"Rasakan ini Heaaa..."
Wuut
Terdengar desiran angin tajam
menyertai puluhan jarum kecil yang
menerobos dinding. Lelaki hidung belang itu tak mampu lagi mengelak dari
ancaman senjata
rahasia yang dilepaskan Dewi
Rukmini.
Jlep Jlep Jlep...
"Akh..."
Jeritan lelaki naas tadi tidak
hanya mengejutkan Citra Yuda yang saat
itu sedang menunggu istrinya di luar kamar, tetapi juga mengejutkan beberapa
pengintai lain yang bersembunyi di sekeliling rumah itu.
"Hm, ada apa ini?" gumam Citra
Yuda seraya bangkit dari duduknya.
Pendekar muda dari Perguruan Golok Sakti
itu melangkah ke arah kamar di mana istrinya tengah mengganti pakaian.
"Ada apa, Diajeng? Kudengar tadi
ada jeritan di luar?" tanya Citra Yuda setelah sampai di ambang pintu
kamar.
"Mereka telah datang, Kakang,"
sahut Dewi Rukmini dengan wajah geram.
"Maksudmu...?"
"Antek-antek pengkhianat, Segoro
Wedi," desis Dewi Rukmini penuh kebencian terhadap orang yang disebutnya.
"Apa Segoro Wedi masih belum
kapok?" gumam Citra Yuda.
Setelah menghela napas pelan,
Pendekar Golok Sakti itu kembali
berkata.
"Kalau tahu dia tidak akan jera
seperti sekarang ini, dulu dia tidak akan kuampuni"
Kedua suami istri itu terdiam,
saling pandang dengan dengusan napas
yang memburu. Terlebih Dewi Rukmini yang merasa telah diperlakukan tak senonoh
oleh anak buah Segoro Wedi yang lancang mengintipnya.
"Kali ini tidak akan kubiarkan
pengkhianat itu hidup" dengus Dewi Rukmini sengit, lalu disambarnya golok
miliknya.
Golok sakti itu sebenarnya kembar.
Yang pertama dipegang oleh suaminya,
sedangkan yang lain dipegang Dewi Rukmini. Ilmu golok mereka telah terkenal
sejak keduanya bertualang di rimba persilatan untuk membela kebenaran dan
keadilan.
Jangankan ilmu golok yang
mereka miliki dipadukan, sedangkan untuk
menghadapi salah satunya saja orang akan berpikir seratus kali.
Dewi Rukmini menyelipkan goloknya di
pinggang, kemudian dengan wajah penuh kemarahan melangkah meninggalkan
kamarnya. Hal itu membuat Citra Yuda terkejut.
Tidak diduganya sama sekali Dewi Rukmini
akan begitu berang. Mau tidak mau, Citra Yuda ikut melangkah ke luar.
"Sabar, Diajeng.... Biar aku saja
yang menghadapi mereka. Kau selamatkan saja anak kita. Kalau aku selamat, aku
akan
menyusulmu," tutur Citra Yuda,
berusaha menenangkan istrinya. Dia tahu watak Dewi Rukmini, terlebih terhadap
Segoro Wedi yang sangat dibencinya.
"Tidak, Kakang. Dia harus kuhajar
Berulang kali kita coba menyadarkannya.
Berulang kali pula kita ampuni, tetapi
dia tetap saja bandel. Itu sama saja mencari penyakit" dengus Dewi Rukmini
sengit
Citra Yuda menghela napas pelan.
Dia sadar, kalau Segoro Wedi sangat
mencintai istrinya. Bahkan lelaki itu tidak jera-jeranya berusaha untuk
mendapatkan Dewi Rukmini. Dulu, ketika mereka masih sama-sama di perguruan, Segoro
Wedi malah nekat menculik Dewi Rukmini.
Beruntung seorang pendekar sakti telah
menolongnya. Lalu setelah mereka menikah, Segoro Wedi pun tidak juga mau
memahami kedudukan Citra Yuda sebagai suami Dewi Rukmini.
Berulang kali Segoro Wedi diberi
pelajaran oleh Citra Yuda dan istrinya,
tapi tetap saja orang itu tak mau mengalah begitu saja. Sesungguhnya Citra Yuda
dapat saja menghabisi nyawa Segoro Wedi saat itu. Berhubung Citra Yuda masih
menghargai Segoro
Wedi sebagai adik
seperguruan, masih bisa memaafkannya.
Kini, apakah dia masih bisa memaafkan
tindakan Segoro Wedi?
Kedua suami istri yang bergelar
Sepasang Pendekar Golok Sakti itu
melangkah dengan mantap. Sorot mata mereka tajam, memandang ke luar yang masih
gelap. Mereka memasang seluruh indera, agar gerak sekecil apa pun dapat
ditangkap.
"Hei Kalau kalian memang laki-laki,
keluarlah" tantang Dewi Rukmini yang kelihatannya sudah tidak sabar lagi
untuk secepatnya menghajar orang yang dibenci. Matanya beredar tajam, setajam
mata elang yang memburu mangsa. Tangan kanannya menggenggam gagang golok di
pinggang, siap mencabut golok sakti itu untuk memenggal leher lawan.
"Segoro Wedi, keluarlah Jangan
berlaku pengecut" seru Citra Yuda.
Seperti juga istrinya, Citra Yuda pun
telah slap menyambut kedatangan tamu-tamu tak diundang. Tangan kanannya ikut
meraba gagang golok. Sedangkan matanya
nyalang menyapu kegelapan malam yang
lengang.
Tengah keduanya memandang ke
sekeliling pelataran rumah, tiba-tiba
terdengar
alunan harpa yang membelah
kesunyian malam. Dentingan harpa itu
mulanya terdengar lambat, tapi makin lama bertambah keras. Bahkan suaranya kini
tak beraturan lagi, hingga yang terdengar hanya nada melengking yang aneh dan
memekakkan telinga.
Ting, tong, ting...
Citra Yuda dan istrinya tersentak kaget,
sehingga mata mereka membelalak lebar. Tapi keduanya cepat sadar kalau
dentingan harpa itu bukanlah dentingan sembarangan. Alunan harpa itu dilepaskan
dengan tenaga dalam sempurna yang menimbulkan hentakan amat keras di telinga.
"Akh... Cepat tutup saluran telinga
mu, Diajeng Ini bukan denting harpa sembarangan. Jelas pemetiknya menginginkan
kematian kita," kata Citra Yuda memperingatkan istrinya. Kemudian segera
tenaga dalamnya dikerahkan untuk menutup gendang telinga agar tidak pecah.
"Ohhh...," keluh Dewi Rukmini.
Telinga wanita cantik itu terasa sangat
sakit. Dewi Rukmini memang sedikit terlambat menutup gendang telinganya.
Untung saja telinganya tidak sempat
pecah
oleh lengking harpa yang memekakkan.
"Bedebah Siapa yang memetik harpa
itu? Kalau kalian memang laki-laki, keluarlah"
Tantangan Dewi Rukmini sia-sia,
karena tidak ada seorang pun yang
menyahuti. Yang terdengar tetap denting harpa yang kian menggila hingga mampu
menggigilkan tubuh Sepasang Pendekar Golok Sakti.
"Celaka, Diajeng kalau kita terus
bertahan seperti ini, kita tak akan mampu melawan. Cabut golokmu Kita harus
menyatukannya" perintah Citra Yuda yang merasa sia-sia jika mereka terus
menguras tenaga untuk melawan suara harpa itu.
Sret
Sepasang Pendekar Golok Sakti
segera mencabut senjata kembarnya.
Kemudian, keduanya segera menyatukan
mata golok dengan cara menyilangkan ke muka.
Dari penyilangan golok itu, terpancar
seberkas cahaya sangat terang berwarna merah dan putih. Cahaya itu terus
memancar untuk memapaki suara harpa yang datang.
Glarrr
Tercipta ledakan menggelegar yang
memekakkan telinga ketika sinar merah dan putih yang keluar dari golok itu
bertemu dengan suara harpa.
"Akh..."
Kedua pendekar itu terhuyung dua
tindak ke belakang dengan mata
membelalak tegang. Mereka tidak pernah menduga kalau
'Inti Cahaya Sakti' yang keluar dari
golok di tangan mereka akan berbenturan keras dengan suara yang keluar dari
petikan senar harpa itu.
Keduanya saling pandang, kemudian Dewi
Rukmini yang berwatak keras dengan sangit membentak,
"Kurang ajar Kau jangan
bersembunyi terus-menerus,
Pengecut"
"Ha ha ha..."
Terdengar suara tawa menggelegar
sebagai jawaban dari tantangan tadi.
Sepasang Pendekar Golok Sakti kembali
terkejut. Keduanya saling pandang, kemudian mereka kembali mempersiapkan golok
sambil memandang ke arah datangnya suara tawa itu.
Krasak
Dari semak-semak yang ada di
sekitar rumah mereka, berkelebat
beberapa orang dengan suara tawa yang memekakkan telinga.
Mereka berdiri kira-kira dua puluh lima
tombak di sekeliling kedua pendekar itu. Di antaranya, terlihat seseorang
dengan sebuah harpa bertengger pada punggungnya. Mata mereka bersinar liar,
pada Sepasang Pendekar Golok Sakti.
"Segoro Wedi..." seru Dewi
Rukmini
ketika mengetahui pembawa harpa itu.
***
Orang yang memanggul harpa tertawa.
Wajahnya yang sesungguhnya tampan,
dengan tajam memandang Sepasang Pendekar Golok Sakti yang juga kakak-kakak
seperguruannya. Kemudian, pandangannya diarahkan pada Dewi Rukmini yang semakin
sengit melihat tatap mata nakal itu, sehingga napasnya turun-naik. Matanya
melotot penuh kebencian.
"Segoro Wedi, masih belum jerakah
kau?" tanya Dewi Rukmini dengan bentakan marah.
Ucapan itu tidak menjadikan Segoro Wedi
takut. Malah, lelaki berpakaian serba merah itu tergelak-gelak hingga matanya
berlinang air mata.
"Ah, mana mungkin aku jera sebelum
mendapatkan Kitab Inti Golok Sakti?"
Usai berkata demikian, Segoro Wedi
memandang taman-temannya sambil tergelak-gelak. Sehingga teman-temannya turut
tertawa.
"Kau benar-benar keras kepala, Wedi
Sudah kukatakan, bahwa kitab itu tidak ada pada kami Lagi pula, jangan bermimpi
untuk mendapatkan kitab itu"
bentak Dewi Rukmini gusar. Kemarahannya
sudah tidak dapat lagi dibendung.
Dibentak begitu rupa oleh Dewi
Rukmini yang selama ini sangat
diidam-idamkan untuk menjadi pendampingnya, tidak membuat Segoro Wedi marah.
Malah lelaki itu tertawa keras kembali, menjadikan gerombolannya turut tertawa.
"Semakin kau galak, hatiku semakin
bertambah penasaran, Dewi. Percuma aku datang dan menunggu kesempatan seperti
ini kalau tidak mendapatkan kitab itu beserta dirimu," ucap Segoro Wedi
sambil tetap tertawa mengejek.
Hal itu tentu saja membuat muka
Dewi Rukmini merah. Begitu juga dengan
Citra Yuda yang merasa harga dirinya diinjak-injak. Betapa ia dianggap sampah
yang tidak berarti sama sekali di mata bekas adik seperguruannya itu.
"Tutup mulutmu, Segoro Wedi"
bentak Citra Yuda yang nampaknya sudah
hilang kesabaran.
"Sudah kukatakan bahwa kitab yang
kau maksud tak ada pada kami, namun kau tetap tak percaya Kau rupanya mencari
gara-gara"
Tapi Segoro Wedi benar-benar tak
mau peduli dengan dengusan dan bentakan
Sepasang Pendekar Golok Sakti yang dulu adalah kakak seperguruannya.
"He he he.... Sudah lama dendamku
menumpuk terhadapmu, Citra Yuda Kau memang lebih beruntung dariku Karena
kepandaianmu bicara, dan sikap yang sok
alim, membuat semua ilmu yang seharusnya untukku, berpindah ke tanganmu Guru
selalu pilih kasih Apalagi sejak kau berhasil merayu wanita ini" ujar Segoro
Wedi dengan suara yang ditekan sambil menunjuk ke arah Dewi Rukmini. "Aku
makin dicampakkan olehmu. Kau memang lelaki yang pintar merayu Dan sekarang,
aku ingin membalas sakit hatiku".
"Kau memang lelaki tak tahu
diuntung, Segoro Wedi Semestinya ayahku
tak mengampunimu Kau orang yang tak beriman" bentak Dewi Rukmini dengan
geram.
"Wajahmu makin menarik kalau sedang
marah, Dewi. Ha ha ha...."
"Kurang ajar" bentak Dewi
Rukmini makin geram.
Segoro Wedi segera mengerling pada lima
orang rekannya, sebagai isyarat kepada mereka untuk bersiap-siap.
"Baiklah, kalau memang itu yang kau
inginkan. Tapi harus kau ingat, sebelum kau mati, kau akan merasakan kenikmatan
bagaimana bergelut denganku" ujar Segoro Wedi dengan suara bergetar.
Mendengar
ucapan Segoro Wedi,
kelima kawannya terbahak-bahak.
Sepertinya ucapan Segoro Wedi tadi lucu.
Sepasang Pendekar Golok Sakti
menggere-takkan gigi mereka karena menahan amarah.
Mata mereka memandangi satu persatu
gerombolan Segoro Wedi.
Berdiri paling kiri, seorang lelaki
bermuka bengis agak kepucat-pucatan dengan cambang bauk menutupi mukanya.
Orang ini memegang sebilah pedang, yang
membuatnya mendapat julukan Pedang Akhirat
Di sampingnya, berdiri sepasang
lelaki kurus yang berwajah panjang. Di
tangan mereka tergenggam rantai baja yang di ujungnya terdapat bulatan sebesar
buah kelapa dengan duri-duri tajam. Keduanya terkenal dengan julukan Sepasang
Hantu dari Kelangit
Di sampingnya lagi, tepatnya di
samping kanan Segoro Wedi, seorang
lelaki berbadan tegap yang menggambarkan kekokohan dengan wajah tidak kalah
seram seperti hantu. Dia bertelanjang dada dengan perut agak buncit. Alis dan
kumisnya tebal. Di tangan orang itu tergenggam sebatang tongkat berukuran
kira-kira dua depa. Orang ini dikenal sebagai Raja Setan Muka Ular. Di samping
mukanya yang panjang seperti muka ular, kelakuannya pun tidak kalah bengis
dengan setan.
Dan satu lagi, seorang lelaki muda
berbaju rompi warna biru dengan kumis tipis menghias di atas bibirnya. Di
tangannya tergenggam senjata kapak,
hingga dia lebih terkenal dengan sebutan
si Kapak Iblis.
"Diam" bentak Citra Yuda
dengan suaranya yang menggelegar karena disertai tenaga dalam.
Keenam lelaki di hadapannya
seketika menghentikan tawa mereka. Mata
keenam lelaki itu melotot buas, memandang ke arah Citra Yuda.
"Selama ini, aku tidak pernah
berurusan dengan kalian berlima. Tapi rupanya kalian ingin berurusan denganku.
Baik, aku sebagai pewaris 'Ilmu Golok
Sakti' tidak akan membiarkan kehormatanku diinjak."
"Bagus" ejek si Kapak Iblis.
Dilihat dari pandangan matanya, pemuda
beraliran sesat ini sangat merendahkan lawan yang ada di hadapannya. Kemudian
tanpa dapat dicegah, tubuhnya melesat disertai bentakan menggelegar.
"Jangan banyak bacot Hadapilah
sepasang kapak iblisku. Hiaaa..."
Si Kapak Iblis dengan cepat
membabatkan kapaknya ke arah Citra Yuda
yang masih berdiri di samping istrinya.
Pemuda ini nampaknya sangat bernafsu
sekali untuk segera menjatuhkan Citra Yuda yang selama ini diagung-agungkan di
dunia persilatan. Karena itu, gerakan ilmu silat si Kapak Iblis nampak membabi
buta, menyerang tanpa perhitungan yang
matang.
Citra Yuda yang tidak mau memandang
enteng lawannya dengan cepat mendorong tubuh istrinya ke samping. Sedangkan dia
sendiri dengan cepat berkelit ke kiri sambil menarik kaki kanannya untuk
mendekati lawan. Lalu dengan gerakan cepat, kaki kanannya menendang ke arah
kemaluan lawan.
"Seranganmu terlalu mentah, Kawan.
Terimalah ini.... Heaaat"
Si Kapak Iblis terbelalak kaget
melihat serangan cepat yang dilancarkan
oleh Citra Yuda. Untuk mundur, jelas ia malu. Maka dengan nekat kembali kapak
di tangannya dibabatkan ke bawah, di mana kaki Citra Yuda meluncur. Namun,
ternyata serangan kaki Citra Yuda hanya pancingan belaka. Terbukti pendekar itu
segera menarik kakinya dengan cepat, lalu melontarkan pukulan dengan tangan
kirinya ke arah dada lawan.
"Celaka..." pekik si Kapak
Iblis.
Kembali si Kapak Iblis merasa kaget
dengan serangan cepat itu. Serangan lawan berusaha dielakkan dengan menggeser
kaki ke samping. Tapi....
Desss
"Uhk..."
2
Sebuah pukulan mendarat telak di
pundak sebelah kanan si Kapak Iblis.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang
sambil memegangi pundaknya yang terasa sakit.
Citra Yuda kembali berdiri dengan tenang.
Hanya matanya yang menyorot tajam menyapu wajah-wajah keenam lawannya yang
berdiri dengan mata membelalak
menyaksikan Kapak Iblis dapat dengan
mudah dipecundangi oleh Citra Yuda.
Tiba-tiba....
"Serang dia Biar aku menyerang Dewi
Rukmini" perintah Segoro Wedi pada kelima rekannya yang segera melesat
menyerang Citra Yuda. Dia sendiri segera meloncat untuk menghadapi Dewi
Rukmini.
"Jangan sampai keduanya menyatukan
golok mereka" serunya lagi.
"Kubunuh kau, Segoro Wedi..."
bentak Dewi Rukmini sengit.
Kemudian tanpa banyak berkata lagi, Dewi
Rukmini segera menyerang dengan tebasan-tebasan golok. Serangannya begitu
gencar, membuat golok di tangannya bagai menghilang. Ke mana pun Segoro Wedi
menghindar, golok di tangan Dewi Rukmini mengejarnya. Keadaan itu membuat
Segoro Wedi agak kerepotan juga.
"Hebat.. Rupanya ilmu golokmu
semakin lama semakin bertambah maju,
Dewi...," puji Segoro Wedi sambil tertawa terkekeh, membuat perempuan itu
semakin bertambah panas. Karena ia tahu kalau ucapan Segoro Wedi hanyalah
sebuah ejekan kepadanya.
"Jangan banyak bacot Terima
seranganku ini..." Dewi Rukmini semakin mempercepat serangannya. Golok di
tangan kanannya berkelebat cepat, menimbulkan sinar putih keperakan yang
bergulung cepat mengejar Segoro Wedi.
Menghadapi serangan gencar dari
Dewi Rukmini, Segoro Wedi yang tidak
memakai senjata mau tak mau harus mengeluarkan ilmu peringan tubuhnya untuk
berkelit ke sana kemari.
Sebuah sodokan gagang golok Dewi
Rukmini yang merangsek ke arah dada
Segoro Wedi dengan cepat, disusul oleh tendangan kaki kanan ke arah lambung
lawan. Sungguh perpaduan gerak yang luar biasa dan berbahaya. Kalau saja Segoro
Wedi lengah, mungkin nyawanya akan segera terbang
Kembali Segoro Wedi berkelit ke
samping, kemudian tangannya bergerak
mengebut ke arah kaki lawan yang hendak menendang ke lambungnya. Gerakannya tak
kalah cepat, sehingga menjadikan lawan agak kaget menghadapinya. Dewi Rukmini
tidak menyangka kalau serangan balasan
lawan begitu cepat dan tidak terduga.
Dia berusaha menarik kembali kakinya, sedangkan tangannya yang menyodok dengan
gagang golok, kini diputar dengan cepat, sehingga mata goloklah yang menyerang
ke arah Segoro Wedi.
"Uts Hebat.." puji Segoro Wedi
dengan senyum sinis menyaksikan bagaimana lawan menggerakkan goloknya begitu
rupa.
Sehingga kalau dia lengah, mata golok
yang tajam akan membelah tubuhnya menjadi dua. Tubuhnya ditarik ke belakang dua
tindak, kemudian tangannya bergerak cepat ke arah buah dada lawan.
Gerakan tangan Segoro Wedi yang
kurang ajar itu membuat mata Dewi
Rukmini membelalak kaget. Segera tangan kanannya diputar untuk membabatkan
golok pada tangan kiri Segoro Wedi yang hendak menjamah buah dadanya. Tapi,
rupanya serangan yang dilancarkan Segoro Wedi hanyalah pancingan belaka.
Terbukti ketika golok lawan menyerang, dengan cepat tangannya ditarik ke
belakang. Lalu dengan tangan kanannya, Segoro Wedi menghantam tangan Dewi
Rukmini yang menggenggam golok.
Takkk
"Akh..." Dewi Rukmini mengaduh.
Pergelangan tangan kanannya terasa sakit
akibat berbenturan dengan tangan Segoro Wedi. Tubuh wanita itu melompat ke
belakang, sedangkan goloknya terjatuh ke
tanah.
Segoro Wedi terbahak-bahak menyaksikan
bagaimana Dewi Rukmini kelihatan tegang setelah golok di tangannya jatuh.
Kakinya melangkah perlahan ke arah Dewi
Rukmini yang makin ketakutan. Dia tahu, tentunya Segoro Wedi akan berbuat
kurang ajar kepadanya. Kekurangajaran itu sudah berulang kali dilakukan Segoro
Wedi, tapi semua dapat digagalkan oleh Citra Yuda.
Tapi kini Segoro Wedi tidak seorang
diri, melainkan dengan kelima rekannya yang tengah mengeroyok Citra Yuda. Mana
mungkin Citra Yuda dapat menolongnya? Dia sendiri tengah sibuk menghadapi
keroyokan teman-teman Segoro Wedi dan belum tentu menang. Tak ada lagi yang
bisa menolong Dewi Rukmini dari rasa takut terhadap tindakan yang bakal
dilakukan Segoro Wedi terhadapnya.
"Kini tidak ada lagi yang bisa
menolongmu, Dewi. Kau harus mau melayani ku sekarang juga...," kata Segoro
Wedi sambil terkekeh senang. Sudah terbayang dalam benaknya, bagaimana mulus
dan indahnya tubuh wanita yang tengah ketakutan di hadapannya. Tubuh dan
kecantikan wanita itulah yang senantiasa menggoda, hingga ia selalu berharap
dapat memilikinya.
"Tidak Jangan kau kira akan dapat
menikmati tubuhku, Segoro Wedi Kalaupun
bisa, aku sudah menjadi mayat sebelum hal itu dapat kau lakukan," ancam
Dewi Rukmini seraya melangkah mundur berusaha meninggalkan Segoro Wedi. Ia
hendak masuk ke dalam rumah untuk mencari senjata yang dapat dijadikan
pelindung dirinya.
"Hm, mungkinkah itu?" sinis
suara Segoro Wedi. "Tak akan kubiarkan kau melakukannya sebelum kudapatkan
tubuhmu."
Segoro Wedi tertawa keras. Lalu
kakinya kembali melangkah perlahan,
menghampiri Dewi Rukmini yang bertambah takut dan tegang. Mata wanita itu
menyorot tajam penuh kebencian ke arah Segoro Wedi yang cengengesan dengan
sesekali menjulurkan tangan untuk meraih tangan Dewi Rukmini.
"Jangan macam-macam, Segoro Wedi
Aku adalah istri Citra Yuda, kakak
seperguruanmu" sentak Dewi Rukmini berusaha menyadarkan Segoro Wedi dari
keinginan kotor yang membeludak.
Mata lelaki itu merah dibakar api nafsu
yang membara. Sekian tahun niat nista itu dipendamnya. Kini api nafsu itu
berkobar kembali, setelah dia merasa yakin akan kemampuannya mendapatkan tubuh
Dewi Rukmini.
"Aku tidak macam-macam, Dewi Kalau
saja kalian mau menyerahkan kitab itu dan sekaligus dirimu..."
"Tak tahu malu Orang macam kau tak
pantas memiliki kitab itu Lagi pula, kitab itu tidak ada pada kami" bentak
Dewi Rukmini, sebelum ucapan Segoro Wedi selesai.
Segoro Wedi menyeringai di bentak begitu
rupa. Matanya yang merah terbakar, masih memandang tajam pada Dewi Rukmini.
Napasnya mendengus-dengus, bagai diburu
oleh nafsu dan dendam mendalam.
"He he he.... Kalian memang pintar
Sebenarnya kitab dan kau adalah
milikku,"
tutur Segoro Wedi seenaknya.
"Cihhh Tak tahu malu..."
bentak Dewi Rukmini "Bicaramu makin menjijikkan, Segoro Wedi. Kau kira aku
perempuan apa?"
Keduanya terus melangkah masuk ke dalam
rumah, hingga mereka berdua saja yang ada di dalamnya. Justru itu yang
diharapkan Segoro Wedi. Dengan begitu, apa pun yang akan dilakukannya terhadap
Dewi Rukmini,
tidak akan ada yang
mengganggu.
Melihat keadaan yang makin tidak
menguntungkan, Dewi Rukmini segera
mengerahkan tenaga dalamnya, dan bersiap untuk melawan Segoro Wedi yang sudah
kerasukan setan.
Dewi Rukmini secepat kilat
menyerang Segoro Wedi dengan pukulan
jarak jauh secara beruntun. Kemudian, disusul dengan lompatan ke arah Segoro
Wedi, lalu menendang dada laki-laki itu.
Desss
Segoro Wedi terhuyung lima depa ke
belakang. Matanya terbelalak gusar pada Dewi Rukmini. Sejenak laki-laki itu
merasakan sakit pada dadanya. Tapi, cepat dapat disembuhkannya. Lagi-lagi
bibirnya tersenyum mengejek.
"He he he.... Ternyata ilmumu masih
seperti dulu Kau perlu tahu, Dewi.
Segoro Wedi yang sekarang bukan Segoro
Wedi yang dulu"
Selesai berkata begitu, dengan
sekali lompat Segoro Wedi sudah berada
di depan Dewi Rukmini.
Melihat hal itu, Dewi Rukmini
segera mundur dengan kuda-kuda.
Kemudian, secepat kilat diserangnya Segoro Wedi.
Terjadilah perkelahian yang cukup seru.
Keduanya saling serang dengan
mengeluarkan jurus-jurus andalan. Terkadang keduanya melenting ke udara
disertai beradunya tangan dan pukulan.
Nampak sekali Segoro Wedi lebih
unggul dibanding Dewi Rukmini, sampai
akhirnya Segoro Wedi sempat memasukkan pukulan ke dada Dewi Rukmini.
"Akh" pekik Dewi Rukmini.
Tubuhnya terhuyung beberapa tombak ke belakang sambil memegangi dadanya.
Segoro Wedi menyeringai. Ia tak mau
menyia-nyiakan kesempatan. Maka dengan
gerakan cepat dia melompat memeluk tubuh
Dewi Rukmini.
"Hup..."
"Auh, tidak..." Dewi Rukmini
kembali memekik
seraya menghindari
sergapan Segoro Wedi. Kaki kanannya
memang mampu digeser agak melebar, tapi tetap saja tangan Segoro Wedi dapat
menjambret pakaiannya.
Breeet
Pakaian yang dikenakan Dewi Rukmini
robek di dadanya, sehingga bagian dadanya tampak jelas terlihat. Hal itu
membuat Segoro Wedi menelan ludahnya berulang kali. Sedangkan Dewi Rukmini
berusaha menutupinya dengan kedua tangan.
Dewi Rukmini menggeleng-gelengkan
kepalanya dengan mata masih memandang tegang ke arah Segoro Wedi yang kian
kerasukan setan. Tubuhnya kembali menerkam Dewi Rukmini. Dan tanpa dapat
dihindari lagi, tubuh Dewi Rukmini disergap dengan buas oleh Segoro Wedi.
"Lepaskan Lepaskan aku,
Pengecut"
jerit Dewi Rukmini sambil terus berontak
untuk dapat melepaskan dekapan kokoh tangan Segoro Wedi yang kian beringas dan
terus menciumi wajahnya.
Kegaduhan itu rupanya membangunkan
seorang bocah berusia sekitar sepuluh tahun yang tengah tidur di kamarnya.
Bocah kecil itu melangkah keluar untuk
melihat apa yang sebenarnya terjadi di
rumahnya. Betapa terkejutnya bocah itu ketika menyaksikan ibunya dalam dekapan
seorang lelaki berpakaian serba merah dengan harpa di punggungnya.
***
Darah bocah yang bernama Sena
Manggala itu mendidih menyaksikan ibunya
meronta-ronta dalam pelukan lelaki asing yang hendak memperkosanya. Naluri
untuk menolong ibunya muncul seketika. Dengan memekik laksana seekor anak
kucing, bocah itu menerkam ke arah Segoro Wedi.
Sementara, Segoro Wedi yang tengah asyik
menggumuli Dewi Rukmini tidak menyadari serangan itu. Tubuh Sena melompat ke
atas tubuh Segoro Wedi, kemudian menggigit tengkuknya dengan geram.
"Auh Kurang ajar... Bocah setan
Kubunuh kau..."
Sambil berkata begitu, tangan kanan
Segoro Wedi memukul tubuh bocah itu. Tak ayal lagi, mulut mungil itu langsung
menjerit setelah terkena pukulan.
Kemudian tubuhnya terpelanting deras
hingga membentur bilik rumahnya yang langsung jebol.
Begitu kuat pukulan Segoro Wedi,
sampai-sampai tubuh Sena terus
berguling-
guling ke luar, dan baru berhenti ketika
membentur sebongkah
batu yang cukup
besar.
"Uhhh..." keluh Sena ketika
tubuhnya terasa sakit akibat pukulan Segoro Wedi. Meski kepalanya terasa agak
pening, dia terus berusaha bangkit.
Bayangan ibunya dalam dekapan lelaki itu
membuat semangatnya tak padam. Dengan agak tertatih-tatih, bocah kecil itu
berusaha bangun. Tapi baru saja tubuhnya hendak bangkit, tiba-tiba telinganya
mendengar kegaduhan di depan rumahnya.
"Heh Sepertinya ada orang
bertarung. Kedengarannya seseorang
sedang dikeroyok...."
Naluri Sena kemudian membimbingnya untuk
melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi di halaman depan rumahnya.
Betapa terkejutnya bocah kecil itu
setelah menyaksikan apa yang tengah terjadi. Ayahnya tengah dikeroyok oleh lima
orang bersenjata lengkap di tangan masing-masing.
Sena kebingungan menyaksikan
pertarungan itu. Tetapi kembali
nalurinya memerintahkan agar dia membantu sang Ayah yang dikeroyok lima orang
jahat itu.
Tanpa pikir panjang, bocah kecil itu
segera melompat menyerang salah satu pengeroyok, lalu dengan geram digigitnya
tangan orang itu kuat-kuat.
"Auh... Bocah kurang ajar Kubunuh
kau..." maki Raja Setan Muka Ular geram sambil memegangi tangannya yang
tergigit oleh bocah itu. Matanya memandang bengis penuh kemarahan pada bocah
kecil yang tadi menggigitnya.
Melihat anaknya ada di dalam kancah
pertarungan, seluruh otot Citra Yuda semakin tegang. Dia sendiri kini dalam
keadaan terjepit, apalagi harus
melindungi anaknya? Celaka. Kalau sampai
terjadi apa-apa pada Sena, aku belum tentu bisa menyelamatkannya. Sedangkan aku
sendiri kini dalam keroyokan, keluh Citra Yuda dalam hati.
"Sena Cepat tinggalkan tempat
ini" seru Citra Yuda sambil menangkis serangan yang dilancarkan keempat
lawannya.
"Tapi, Ayah.... Ibu harus di
tolong," sahut Sena hendak lari ke dalam rumah ketika telinganya mendengar
jeritan sang Ibu yang berusaha melepaskan diri dari kebuasan Segoro Wedi.
"Sena, Jangan nekat Selamatkan
dirimu, cepat.." seru Citra Yuda semakin panik. Dia takut kalau-kalau
anaknya akan mendapat celaka jika tidak segera pergi dari tempat itu. Dia
sadar, tentunya Segoro Wedi dan kelima rekannya tidak akan membiarkan anaknya
hidup.
Sementara, Sena tampak masih
kebingungan. Jeritan ibunya seakan
mengharap agar dia menolong. Sementara ayahnya terus menyuruhnya segera pergi
meninggalkan tempat itu. Saat bocah kecil itu kebingungan, tiba-tiba terdengar
seruan sang Ayah.
"Sena, awas..."
Bocah kecil itu tersentak kaget
ketika melihat Raja Setan Muka Ular
menendang ke arahnya. Sena berusaha mengelakkan tendangan itu. tapi
terlambat. Tendangan yang dilancarkan
oleh Raja Setan Muka Ular sangat cepat, sehingga dia tidak mampu mengelak.
Tanpa ampun lagi, tubuh bocah kecil itu harus menerimanya.
Bugk
"Akh..." Sena menjerit
bersamaan tubuhnya yang melayang bagai kayu kering terkena tendangan Raja Setan
Muka Ular.
Tubuh kecil itu berguling-guling, lalu
berhenti saat membentur pohon.
Daya tahan tubuh bocah kecil itu
sungguh luar biasa. Kalau orang lain,
tentu tulangnya akan langsung patah terkena tendangan Raja Setan Muka Ular.
Tapi Sena tidak Dia hanya merasakan
sekujur tubuhnya panas bagai terpanggang.
Bocah itu mengeluh lirih. Kemudian
dengan tertatih-tatih tubuh kecilnya berusaha bangkit. Badannya terasa sangat
sakit. Dia kembali teringat akan ibunya
yang tengah dalam dekapan seorang lelaki
dengan
sebuah harpa di punggungnya.
Tentunya lelaki itu hendak memperkosa
wanita yang amat yang dicintai dalam hidupnya. Untuk itu dia harus menolong.
Namun, dia juga teringat ayahnya yang
menyuruh agar segera pergi meninggalkan tempat itu.
"Ayah, Ibu.... Semoga kalian
selamat. Oh, aku tak ada gunanya sama sekali. Aku tak mampu menolong
kalian,"
keluh Sena seraya melangkah meninggalkan
tempat itu. Dia kini menuruti apa yang dikatakan oleh ayahnya. Dia memang harus
menyelamatkan diri. Mereka bukan
tandingannya. Ayah dan ibunya yang
pendekar saja tak mampu berbuat apa-apa, apa-lagi dia yang cuma anak kecil dan
tidak tahu apa-apa tentang ilmu silat Dengan merasakan sakit serta panas di
tubuhnya akibat tendangan Raja Setan Muka Ular, kaki bocah kecil itu terus
melangkah semakin jauh dari tempat di mana ayah dan ibunya tengah menghadapi
orang-orang jahat
Kaki kecil itu terus melangkah,
menyelusuri jalanan gelap dan lengang.
Mungkin karena badannya sakit akibat
tendangan Raja Setan Muka Ular, membuat tubuh bocah itu gontai. Kepalanya
terasa berat. Bumi yang dipijaknya seperti berputar, hingga bocah kecil itu tak
mampu lagi mempertahankan diri untuk
tetap tegak. Dia tidak sadar, saat kakinya telah berada di bibir lereng sebuah
gunung.
"Akh..."
Sena kembali mengeluh saat tubuhnya
terpelanting, lalu bergulingan ke bawah.
Tubuhnya terus meluncur turun tanpa
dapat tertahan. Kesadarannya menjadi samar-samar, hingga dia pasrah menerima
apa pun yang terjadi. Tubuhnya dibiarkan
berguling ke bawah lereng, di mana
sebuah gua berada.
Tubuh kecil itu terus berguling,
semakin lama semakin bertambah dekat
pada mulut gua yang seakan siap menerima tubuhnya yang kecil. Benar juga Tubuh
Sena akhirnya masuk ke dalam gua.
Anehnya, setelah tubuh Sena masuk,
tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak.
Sebuah batu besar bergerak menutup pintu
gua. Mulut gua itu tiba-tiba menghilang, berganti dengan dinding batu cadas
yang kokoh. Tak akan ada orang yang tahu kalau di balik batu cadas yang kokoh
itu terdapat sebuah gua yang dinamakan Gua Setan.
"Ukh...,"
Sena kembali mengeluh
lirih.
Semuanya terlihat gelap gulita.
Matanya berusaha mengetahui di mana dia
sekarang berada, tapi kepalanya masih
terasa sakit. Begitu juga dengan sekujur
tubuhnya, hingga bocah kecil itu kembali terkulai pingsan.
3
Pertarungan Citra Yuda melawan
kelima begundal Segoro Wedi masih
berlangsung seru. Dilihat dari perkem-bangannya, jelas menunjukkan Citra Yuda
semakin terdesak hebat oleh kelima lawannya yang semakin bernafsu untuk
secepatnya menjatuhkan lawan mereka.
Meski begitu, Citra Yuda tidak mau
mengalah begitu saja. Selama hayat masih dikandung badan, ia akan tetap melawan
sampai titik darah penghabisan. Itulah jiwa ksatria sejati.
Golok Sakti di tangan Citra Yuda
bergerak cepat, memapak serangan lawan
yang datang
silih berganti. Sesekali
tangannya menyodokkan golok ke arah
lawan yang menyerang, tapi lawannya yang lain telah mendahului dari belakang.
Mau tak mau Citra Yuda mengurung serangannya.
Sambil membalikkan tubuh, ditangkisnya
serangan lawan.
"Heaaa..."
Senjata rantai berujung bola
berduri di tangan Sepasang Hantu dari
Kelangit mendesing di alas kepalanya.
Cepat-cepat Citra Yuda merundukkan tubuh
ke bawah untuk menghindar dari sabetan
ganas salah satu rantai. Kemudian dengan cepat pula goloknya ditebaskan ke arah
rantai yang lain.
Rantai milik Kelangit Sepuh dapat
dielakkan, sedangkan milik Kelangit Anom berbentur dengan golok di tangannya,
menimbulkan suara keras yang memekakkan telinga.
Trang
Ki Kelangit Anom terkejut, tangannya
langsung terasa bergetar
akibat
benturan tadi. Tidak disangkanya kalau
ilmu tenaga dalam lawan berada dua tingkat di atasnya. Kalau saja dia hanya
seorang diri, sudah barang tentu dengan cepat dapat dipecundangi lawan.
Diam-diam, Kelangit Anom merasa kagum terhadap lawannya.
Kemudian, tubuh Citra Yuda diserbu
serangan lain dari samping. Serangan itu dilancarkan oleh Pedang Akhirat dan
Kapak Iblis yang tidak kalah cepat dan ganas dibanding dengan serangan dua
lawan sebelumnya. Bahkan, senjata mereka yang berbentuk pedang dan kapak nampaknya
jauh lebih berbahaya. Gerakan senjata mereka sangat cepat, menimbulkan suara
laksana dengung ribuan tawon.
Kedua orang itu menggebrak dengan
tebasan sepasang senjata mereka ke arah lambung dan pinggang lawan. Hal itu
menjadikan Citra Yuda harus bergerak
lebih cepat untuk mengelitkan serangan mereka. Lalu dengan tak kalah cepatnya,
goloknya dibabatkan ke arah salah seorang lawan setelah mengelakkan serangan
yang lain.
Trang
Benturan golok di tangan Citra Yuda
dengan senjata di tangan Pedang Akhirat terjadi, menimbulkan percikan api
sekaligus keluhan dari mulut Pedang Akhirat. Tangannya yang memegang pedang
terasa nyeri, bahkan pedangnya sampai bergetar hebat
"Hebat Kau benar-benar hebat, Citra
Yuda. Tapi kami berlima tidak akan kalah olehmu," dengus Pedang Akhirat
sambil menyeringai akibat benturan itu.
Kemudian dengan menggerakkan tangan ke
atas, Pedang Akhirat kembali menyerang dibantu oleh keempat rekannya.
"Heaaa..."
Senjata di tangan mereka bergerak cepat,
berusaha mengurung tubuh Citra Yuda. Namun begitu, Citra Yuda nampaknya tidak
gentar sedikit pun menghadapi kurungan kelima lawannya. Matanya tajam menatap
setiap gerakan kelima orang lawannya yang terus mengurung sambil memutar
senjata masing-masing.
Citra Yuda cepat bergerak memutar,
menyapu kepungan lawan sambil menebaskan
golok di tangannya sedemikian rupa,
sehingga menciptakan sebuah benteng yang akan melindungi tubuhnya dari setiap
serangan lawan. Golok sakti di tangannya pun bagai menghilang, berubah menjadi
cahaya putih keperakan yang menutupi tubuhnya.
"Serang..."
Kembali terdengar seruan Pedang
Akhirat memerintahkan kepada keempat
rekannya yang langsung menyerang
berbareng ke arah Citra Yuda. Serangan
mereka sangat cepat diperkuat pula oleh tenaga dalam yang mereka kerahkan.
"Heaaa..."
Tongkat di tangan Raja Setan Muka Ular
bergerak memukul ke arah kepala lawannya, hingga menimbulkan suara menderu
keras.
"Pecah batok kepalamu....'"
Citra Yuda tersentak, segera
kakinya melompat ke belakang sambil
membabatkan goloknya ke arah ayunan tongkat lawan, sedangkan tangan kakinya
bergerak menghempaskan pukulan untuk menangkis serangan pedang.
Trak
"Hah...?"
Mata Raja Setan Muka Ular melotot tak
percaya pada apa yang dilihatnya.
Tongkat di tangannya yang terbuat dari
kayu langka itu ternyata bisa dibabat
putus oleh golok Citra Yuda. Raja Setan
Muka Ular melompat mundur, lalu sesaat tertegun menyaksikan kejadian yang baru
dialaminya. Celaka Kalau dibiarkan terus-menerus, bisa-bisa kami tak mampu
menghadapinya, keluh Raja Setan Muka Ular dalam hati.
Ternyata bukan hanya Raja Setan
Muka Ular saja yang kaget, Pedang
Akhirat pun melompat dua tindak ke belakang. Dia tidak menduga kalau serangan
pedangnya dapat dipatahkan oleh Citra Yuda dengan pukulan. Malah kembali
tangannya terasa linu akibat benturan pukulan lawan dengan pedangnya.
Sementara itu, Segoro Wedi berusaha
melampiaskan nafsunya pada Dewi Rukmini yang tetap berontak untuk melepaskan
diri. Namun berontakan Dewi Rukmini justru membuat Segoro Wedi bertambah nafsu.
"Lepaskan" jerit Dewi Rukmini
dengan nada suara bergetar. Pakaian telah sebagian lepas dari tubuhnya,
sehingga tubuh bagian atas benar-benar terbuka.
"Semakin kau berontak, semakin
membuat gairahku kian menggebu, Manis..,"
Segoro Wedi terkekeh, kemudian tangannya
kembali bergerak merenggut pakaian yang dikenakan oleh Dewi Rukmini.
Setelah tubuh wanita cantik itu
polos tak tertutup oleh sehelai benang
pun, dengan gerak cepat Segoro Wedi
menotok jalan darah wanita itu. Membuat Dewi Rukmini tak mampu lagi bergerak.
Hanya suaranya yang
masih terdengar
mencaci-maki.
"Pengecut Laknat... Lepaskan
totokan mu. Tak sudi aku melayanimu, Iblis"
Segoro Wedi tertawa terbahak-bahak, lalu
membopong keluar tubuh Dewi Rukmini.
Kemudian diletakkannya tubuh wanita itu
di rerumputan, tak jauh dari arena pertarungan Citra Yuda melawan para begundal
Segoro Wedi. Lalu dengan nafsu yang memuncak, tubuh Dewi Rukmini digelutinya.
Hal itu membuat Citra Yuda yang
sedang bertarung menghadapi kelima
lawannya seketika terpecah perhatiannya.
Kemarahannya kian menjadi, menyaksikan
bagaimana Segoro Wedi memperkosa istrinya dengan buas.
"Bangsat Kubunuh kau, Segoro
Wedi..."
Dengan dada penuh amarah, Citra
Yuda membabatkan goloknya ke arah lawan-lawannya.
Kemudian tubuhnya mencelat meninggalkan kelima lawannya memburu ke arah Segoro
Wedi yang masih menggeluti tubuh istrinya.
"Kubunuh kau. Hiaaat.." Citra
Yuda dengan penuh amarah menebaskan goloknya
ke arah tubuh Segoro Wedi. Namun dengan
cepat Segoro Wedi membuang tubuhnya ke samping. Hingga tanpa ampun lagi, tubuh
Dewi Rukminilah yang menjadi sasarannya.
"Kakang... Akh..." pekik Dewi
Rukmini ketika golok suaminya menghunjam di lambung sebelah kiri. Darah muncrat
keluar dari luka di mana golok Citra Yuda masih menghunjam.
"Dewi.... Oh, maafkan aku...,"
Citra Yuda segera memeluk tubuh istrinya
yang bermandi darah. Hingga dia tidak dapat lagi memperhatikan keenam lawannya.
Dia masih terisak menangisi kejadian
itu, sehingga ketika kelima lawannya
menyerang, dia tidak dapat lagi
mengelak.
Terlebih ketika Segoro Wedi menghajarnya
dengan pukulan maut 'Pasir Baja'nya yang mengandung racun jahat
"Citra Yuda, terimalah kematianmu
Hiaaa..."
Deggg
"Aaakh..." Citra Yuda menjerit
sejadi-jadinya, ketika pukulan Segoro Wedi menghantam tubuhnya. Matanya
mendelik, memandang ke arah Segoro Wedi dan teman-temannya yang tergelak-gelak
"Bajingan Pengecut... Kubunuh
kalian..."
Citra Yuda berusaha bangkit untuk
menyerang. Namun baru beberapa langkah, tubuhnya telah ambruk. Dari mulutnya
melelehkan darah segar kehitaman.
Melihat suaminya mati, Dewi Rukmini yang
masih merasakan sakit, dengan cepat mengambil golok suaminya. Lalu
dihunjamkan golok itu ke dadanya.
"Kakang...," Dewi Rukmini
berusaha menggenggam tangan suaminya. Setelah dapat, dia pun terkulai tanpa
nyawa dengan dada tertembus golok sang Suami.
"Dewi..." Segoro Wedi berusaha
mencegah, tapi terlambat. Semuanya telah terjadi. Dipandanginya dua sosok mayat
bekas kakak seperguruan yang ada di hadapannya. Dihelanya napas pelan, kemudian
dengan suara lirih Segoro Wedi bertanya pada temannya. "Di mana anak
mereka?"
"Mungkin sudah mampus, Wedi,"
sahut Raja Setan Muka Ular.
"Mati...?"
"Ya. Tadi kutendang karena
menggigit tanganku. Lihat, lukanya masih
ada," kata Raja Setan Muka Ular sembari menunjukkan luka bekas gigitan di
tangannya.
"Syukurlah kalau begitu, jadi kita
tidak usah repot-repot mencarinya," kata Segoro Wedi dengan helaan napas.
Tapi kemudian dia kembali bertanya. "Kau yakin bocah itu telah
mampus?"
"Ya"
"Sekarang cari kitab itu..."
perintahnya.
Kelima temannya segera menerobos
masuk ke rumah dan mengobrak-abrik isi
rumah itu. Namun mereka tidak menemukan apa yang dicari.
"Tak ada," lapor Raja Setan
Muka Ular.
"Hhh..." Segoro Wedi menghela
napas. "Bakar saja rumah ini"
***
Pagi lamat-lamat datang, menyibak
kegelapan malam dengan sinarnya yang terang. Kokok ayam bersahut-sahutan,
menyambut tersembulnya mentari dari kaki langit. Burung-burung berkicau dengan
riang, bagai bernyanyi bersama sambil bercanda. Semilir angin pagi bertiup,
perlahan mengusir kabut yang
menggelantung di pucuk-pucuk pepohonan.
Di dalam sebuah gua yang tertutup oleh
batu cadas, seorang bocah kecil berusia sekitar sepuluh tahun tergeletak
pingsan. Bocah yang tidak lain adalah Sena Manggala itu tidak mengetahui kalau
ayah dan ibunya telah meninggal oleh keroyokan Segoro Wedi dan begundalnya.
"Uhhh...," keluh Sena lirih.
Perlahan-lahan matanya membuka. Ia
terkejut menyaksikan dirinya berada di dalam sebuah ruangan yang terbuat dari
batu.
"Di manakah aku?" tanyanya
sambil terus memperhatikan sekelilingnya yang terasa asing. Anehnya, meski
ruangan itu terbuat dari batu, ia tidak merasa kedinginan. Justru hawa di dalam
ruangan itu hangat
Sena berusaha bangun dengan
tertatih-tatih meski tubuhnya dirasakan
masih agak linu. Benaknya masih
menggambarkan tendangan lelaki berwajah
menyeramkan yang membuat tubuhnya terasa remuk. Lalu tubuhnya menggelinding ke
bawah lereng, dan masuk ke dalam gua ini.
Setelah mampu bangun, bocah kecil itu
mencoba menajamkan pandangannya ke sekeliling gua. Matanya membelalak tiba-tiba
ketika melihat dinding gua di kanan dan kirinya terdapat gambar-gambar jurus
silat yang aneh. Jurus-jurus itu mirip dengan gerakan orang gila.
"Hai, gambar apa ini? Seperti
gambar orang gila sedang menari," gumam bocah kecil itu sambil mendekati
dinding batu untuk mengamati gambar-gambar yang ada di sana. Keningnya
mengerut, ketika lebih jelas lagi memperhatikan gambar-gambar itu.
"Gambar-gambar yang aneh. Jika
hanya gerakan orang gila, mengapa mesti ada aturannya?" gumamnya saat
melihat aturan dan cara yang tertulis, untuk
melakukan gerakan dari gambar-gambar
itu.
Sena kembali tertegun. Otaknya
mencoba mencerna gambar-gambar aneh itu.
Bocah kecil itu menggaruk-garukkan
kepalanya yang tidak gatal. Pikirannya berusaha keras menebak maksud gambar
yang ditemukannya. Lama dia memperhatikan, hingga tanpa disadari, tubuhnya
telah meniru-niru salah satu gerakan yang ada dalam gambar di dinding gua.
"Hei, kenapa aku meniru-niru
gerakan gambar itu?" tanya Sena tertegun-tegun setelah menyadari kalau
tubuhnya bergerak mengikuti salah satu gambar yang ada di dinding gua.
Bocah kecil itu terus memandangi
satu persatu gambar-gambar tersebut.
Sementara hatinya terus pula
bertanya-tanya.
Tiba-tiba matanya menemukan sesuatu yang
menarik perhatian. Sebuah batu berwarna ungu bulat menempel di satu bagian
dinding.
"Hm, batu apakah itu? Coba aku
dekati," pikir Sena seraya melangkah ke arah batu berwarna ungu itu.
Dipandanginya batu ungu bulat sebesar uang perak tersebut. Kemudian dengan
perasaan ingin tahu, tangannya meraba batu itu.
Srak
Sena tersentak kaget, ketika tiba-tiba
saja dinding gua di hadapannya yang
tadi tertutup, membuka. Mata bocah itu
membelalak lebar dan mulutnya menganga.
Belum juga hilang rasa kaget bocah itu,
dari mulut ruangan yang kini terbuka tiba-tiba berhembus asap tebal berwarna
ungu yang bergulung-gulung menyelimuti seluruh ruangan di mana bocah kecil itu
berada. Hal itu membuat Sena kelabakan.
Tangannya mengibas-ngibas untuk
menghalau asap ungu yang terus mengalir ke arahnya.
Ketika asap ungu itu semakin padat
mengurungnya, mau tak mau asap ungu itu terhisap juga.
"Uhk..." Sena terbatuk-batuk
kecil akibat asap ungu yang menerobos
tenggorokannya. Semakin lama semakin
banyak menghisapnya.
Sena tidak tahu, kalau asap ungu
itu sesungguhnya adalah racun yang belum
ada tandingannya. Racun itu sangat dahsyat. Siapa pun yang menghisapnya, akan
lumpuh dan mati Anehnya, bocah itu justru tidak merasakan kelumpuhan. Hanya
kepalanya terasa sangat pening. Semakin banyak asap ungu beracun itu
dihisapnya, semakin terasa pusing kepalanya. Tubuhnya sendiri merasakan
kehangatan yang lain, yang perlahan-lahan berubah menjadi sejuk.
Bocah itu terheran-heran. Otaknya
berusaha memahami apa yang terjadi.
Namun, kepalanya terasa semakin berat
dan
matanya mengantuk sekali. Bumi yang
dipijaknya seakan berputar dengan cepat.
Setelah banyak menghisap asap beracun,
kepalanya terasa amat berat.
Dan, Sena melihat gambar-gambar di
dinding gua seperti bergerak-gerak.
"Hi hi hi.... Ha ha ha..... Lucu
Lucu sekali"
Bocah kecil itu terus tertawa-tawa, dan
tidak menyadari dirinya malah bergerak-gerak mengikuti jurus-jurus gila yang
tertera di dinding tembok
Sena masih berusaha bertahan.
Dicobanya untuk membuka mata selebar
mungkin. Tiba-tiba semuanya kelihatan lucu. Gambar-gambar yang ada dinding gua
seperti bergerak-gerak, membuat Sena tertawa nyaring menyaksikan semua itu.
Kemudian tanpa sadar tubuhnya bergerak,
mengikuti gambar-gambar yang terlihat bergerak sendiri.
"Hi hi hi... Ha ha ha.... Lucu
Lucu sekali"
Sena terus tertawa-tawa dengan
tubuh bergerak lentur kian kemari. Bocah
kecil itu benar-benar tidak sadar kalau dirinya tengah mengikuti sekaligus
mempelajari jurus-jurus gila yang tertera di dinding tembok.
Lama Sena mengikuti gerakan-gerakan
gambar di dinding gua. Keringat bersem-bulan dari pori-pori tubuhnya. Tapi
bocah kecil itu sendiri tak peduli, terus diikutinya gerakan-gerakan itu.
Kepalanya yang pening tak dihiraukan. Pandangannya yang aneh tidak juga
mempengaruhinya. Dia terus bergerak dan bergerak. Setelah jurus-jurus yang
berada di dinding di ikuti seluruhnya, baru tubuhnya terkulai kecapaian.
4
Entah berapa lama Sena terkulai
pingsan, tanpa tahu di mana dirinya
kini.
Ketika matanya membuka, didapati dirinya
telah berada di atas sebuah batu datar dengan lebar sekitar dua depa dan
panjang dua setengah depa. Mata bocah kecil itu mengawasi sekelilingnya dengan
pandangan nanar.
"Di manakah aku...?" tanyanya
lirih pada diri sendiri.
Setelah pandangannya mulai jelas,
kembali didapatinya gambar-gambar pada kanan dan kiri dinding gua. Sena yakin
kalau dirinya kini berada di tempat yang berbeda dari sebelumnya, karena gambar
yang ditangkap matanya pun berbeda. Meski begitu tetap terlihat bergerak lucu,
memperagakan gerakan-gerakan yang aneh seperti jurus-jurus silat.
Mata bocah kecil itu terus
memandangi setiap gambar di dinding gua
yang terus bergerak ganjil, sehingga membuatnya kembali tertawa nyaring.
Tiba-tiba semangatnya muncul. Entah apa penyebabnya. Mungkin gambar di dinding
gua yang seperti bergerak memperagakan gerakan-gerakan ilmu silat. Atau karena
pengaruh Racun Kabut Ungu?
Tubuhnya segera bangkit. Rasa letih
setelah mengikuti gerakan-gerakan di
dinding gua sebelumnya, hilang seketika.
Bocah kecil itu turun dari batu datar,
lalu dengan tertawa-tawa diikutinya gerakan-gerakan gambar di dinding gua.
"Eh Kenapa aku kembali
mengikuti-nya? Oh, tapi gambar-gambar itu dapat bergerak dan lucu sekali. Hi hi
hi... Ha ha ha... Baik, aku pun senang dengan kalian. Aku suka sekali dengan
kalian,"
kata Sena sambil terus mengikuti
gerakan-gerakan yang ada di dinding gua.
Rasa letih yang sempat datang,
begitu saja hilang melihat lucunya
gerakan-gerakan yang tergambar di dinding gua.
"Heat.."
Sambil tertawa, tangan dan kakinya terus
bergerak mengikuti jurus-jurus aneh yang ada di dinding. Sesekali kepalanya
digaruk, lalu kembali tertawa-tawa senang, seperti mendapat teman bermain.
Tanpa diketahuinya, sejak bocah itu
berada di dalam gua, seorang lelaki tua berambut serta berjenggot panjang warna
putih, duduk di atas sebuah batu datar berukuran satu tombak kali satu tombak
sambil memperhatikannya. Dilihat dari sorot matanya, lelaki itu merasa kagum
pada bocah kecil yang masih mengikut gerakan-gerakan di dinding gua sambil
tertawa-tawa. Sepertinya bocah kecil itu tidak merasakan lelah barang sedikit
pun.
"Hm, bocah ini benar-benar hebat
Racun Kabut Ungu yang selama ini tak ada yang mampu menahan, seakan tiada
artinya sama sekali."
Orang tua itu menggelengkan
kepalanya, sambil sesekali
manggut-manggut. Diperhatikannya lekat-lekat tubuh Sena dengan pandangan tajam.
"Kulihat tulang tubuhnya pun sangat
rapi dan kokoh.... Hyang Jagat Dewa Batara, mungkin bocah inilah yang dimaksud
dalam mimpiku. Seorang bocah yang memiliki daya tahan tubuh yang sempurna. Hm,
semoga apa yang kuharapkan selama ini akan menjadi kenyataan," gumam orang
tua itu sambil terus memperhatikan tingkah laku Sena yang tiada hentinya
mengikuti gerakan-gerakan gambar di dinding gua sambil tertawa-tawa.
"He Hi hi hi.. Aneh sekali gerakan
ini. Tapi aku senang. Akan kuikuti kalian, Gambar-gambar Aneh"
ceracau bocah kecil itu sambil
memperagakan gerakan-gerakan tangan dan
kakinya yang ringan.
Bocah kecil itu terus melakukan
gerakan-gerakan seperti tergambar di
dinding. Gerakan bagai orang gila
Sesekali tangannya bergerak menimpuk,
lalu menepuk. Itulah jurus 'Kera Gila Melempar Batu', sebuah jurus gila yang
dahsyat dan ampuh.
Sesaat Sena menghentikan gerakan
untuk menarik napas sambil memperhatikan
gambar-gambar berikutnya. Lalu kembali lagi mengikuti gerakan-gerakan ilmu
silat itu dengan penuh semangat sambil terus tertawa-tawa. Keringat makin
membasahi seluruh tubuhnya. Tapi bocah itu tetap tak peduli.
Sementara, orang tua yang terus
memperhatikan tingkah laku Sena,
tercengang menyaksikan bagaimana bocah
kecil itu melakukan gerakan 'Kera Gila Melempar Batu'. Begitu cepatnya si bocah
menyerap gambar di dinding, sehingga mampu melakukan gerakan itu. Padahal jurus
yang kini tengah dilakukan olehnya adalah salah satu jurus yang sulit untuk
dipelajari. Orang lain paling tidak harus mempelajarinya dalam waktu tiga hari,
itu pun kalau berlatih terus menerus tanpa istirahat.
Orang tua itu berdecak kagum tanpa sadar.
Belum pernah selama ini dilihatnya seorang manusia mampu mempelajari
jurus-jurus gila dalam waktu yang singkat.
"Hebat Sungguh hebat..." pekik
orang tua itu dengan mata membelalak menyaksikan keluarbiasaan yang terjadi di
depan matanya.
Makin tersentak hati orang tua itu
melihat bocah kecil itu menghentikan jurus yang telah dilakukannya. Dikiranya
bocah kecil itu akan kelelahan dan
tertidur, tapi ternyata tidak. Kini bocah kecil itu mengalihkan pandangannya ke
dinding yang lain, di mana tertera jurus-jurus yang lebih sulit
Sesaat bocah kecil itu memakukan
pandangannya ke gambar-gambar yang dalam
penglihatannya bergerak-gerak bagai sedang memperagakan jurus. Sekali lagi,
bocah itu tertawa-tawa senang.
"Oh, begitu...? Baik, kurasa aku
bisa. Hi hi hi..."
Kembali tubuhnya bergerak mengikuti
gerakan-gerakan gambar di dinding.
Orang tua yang memperhatikannya
dari jauh semakin melebarkan matanya
mendengar ucapan si bocah yang menganggap gerakan-gerakan yang tengah
dilakukannya sebagai permainan yang menyenangkan.
Dengan tertawa-tawa Sena mengikuti
gerakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', sebuah jurus yang lebih tinggi
dibanding jurus sebelumnya. Tubuh kecilnya kini laksana menari-nari dengan
lemah gemulai. Sementara tangannya sesekali menepuk.
Tak diingatnya lagi kegetiran hidup yang
baru ia telan dengan meninggalkan kedua orangtuanya dalam keadaan di ujung
tanduk. Tidak ada lagi pertanyaan tentang nasib ayah dan ibunya dalam benak
Sena.
Perasaannya begitu terhibur dengan
gambar
yang bergerak lucu di matanya.
"Jagat Dewa Batara, apakah mataku
tak salah lihat?" gumam orang tua itu dengan mata memperlihatkan
ketidak-percayaan pada apa yang dilihatnya saat itu. "Tidak Aku tidak
bermimpi. Ini kenyataan. Bocah itu sungguh luar biasa.
Aneh bagaimana mungkin jurus sesulit itu
bisa cepat dikuasainya?"
Dengan mata berbinar takjub, orang tua
itu menyaksikan Sena mampu melakukan gerakan-gerakan yang amat sulit.
Jangankan orang lain, dulu dia sendiri
mempelajari jurus itu paling cepat sehari. Tapi bocah kecil itu malah sekejap,
seperti pernah mempelajarinya terlebih dahulu. Ingin rasanya bocah itu
dihampirinya, tapi dia tidak ingin mengganggu luapan rasa senang si bocah.
Sementara itu, Sena terlihat
menghentikan gerakannya, setelah dirasa
jurus-jurus itu sudah dihafalnya.
Kemudian tubuhnya dibalikkan, memandang
ke arah lain. Sesaat matanya memandang tajam ke satu deret gambar baru.
"Baik, kalau itu yang kalian
maksudkan. Aku pun merasa bisa. Hi hi hi.... Lihat, aku akan mengikuti
kalian."
Sena terkikik, lalu tangan serta
kakinya bergerak mengikuti gerakan
gambar-gambar di dinding yang menari.
Gerakan yang kini diikutinya adalah
jurus
'Si Gila Membelah Awan'. Kalau saja
bocah kecil ini mempunyai tenaga dalam yang sempurna, gua itu bisa dibuat
hancur berantakan.
"Hah...?"
Orang tua yang masih
memperhatikannya dari kejauhan lagi-lagi
tercengang menyaksikan bocah kecil itu melakukan gerakan 'Si Gila Membelah
Awan', sebuah jurus yang dahsyat luar biasa bila disertai tenaga dalam.
"Benar-benar bocah aneh. Hm, tidak
sia-sia selama lima puluh tahun lebih aku menanti," gumam orang tua itu.
Setelah melakukan jurus-jurus yang ada
di dinding gua, Sena tampak berdiri mematung. Kepalanya terasa pening.
Setelah tertawa, bocah kecil itu kembali
terkulai jatuh. Dia tidak pingsan, tapi tertidur kelelahan.
***
Orang tua penghuni Gua Setan
tersenyum-senyum, kemudian melangkah
menghampiri tubuh si bocah yang tertidur menggeletak di tanah begitu saja.
Dipegangnya dada si bocah, denyut
jantungnya sangat beraturan, seperti tidak merasakan lelah.
"Hebat.." puji orang tua
penghuni Gua Setan tanpa sadar sambil menggeleng-
geleng lemah. "Daya tahan tubuh
bocah ini benar-benar hebat. Mungkinkah karena pengaruh Racun Kabut Ungu? Hm,
kurasa itu hanya sebagian saja. Mungkin ada hal lain yang mempengaruhi
ketahanan tubuhnya hingga daya tahan tubuh bocah ini sangat kuat."
Orang tua itu kemudian membopong
tubuh Sena ke atas batu datar tempat ia
tertidur tadi. Kembali mata tuanya menatap tubuh bocah kecil itu penuh
perhatian, tanpa sejengkal pun terlewati.
"Hm. Bocah inilah yang ada dalam
mimpiku. Semuanya sama, tak ada
bedanya...," ucapnya perlahan namun
penuh keyakinan. Jarinya memijit beberapa bagian tubuh Sena untuk membuka jalan
darah di tubuhnya.
"Uhhh..."
Sena menggeliat. Perlahan-lahan
matanya membuka, lalu samar-samar
matanya melihat seorang lelaki tua berjubah putih dengan wajah dihiasi jenggot
dan kumis yang juga putih. Wajah orang tua itu mencerminkan sikap yang ramah
dan penyabar. Bibirnya tersenyum, menyaksikan si bocah telah terjaga.
"Kakek, siapakah engkau? Sedari
tadi aku tidak melihatmu?" tanya Sena sambil menggerakkan tubuh untuk
bangkit
"Bocah, aku adalah penghuni Gua
Setan ini. Sepantasnya aku yang bertanya
begitu padamu," ujar orang tua itu,
tanpa melepas senyumnya.
Sena terkejut mendengar penuturan orang
tua yang memberitahukan kalau dirinya berada di dalam gua angker yang ditakuti
oleh orang-orang rimba persilatan. Memang, walaupun masih kecil tapi ayah dan
ibunya sering memberitahukan hal-hal yang terjadi di dalam rimba persilatan.
"Jadi, inikah Gua Setan?"
tanya bocah kecil itu.
"Ya," sahut orang tua penghuni
Gua Setan masih tersenyum ramah.
"Dan kau penghuni Gua Setan
ini?"
"Benar," jawab orang tua itu
lagi.
Setelah tahu siapa lelaki tua di
hadapannya, tanpa diperintah bocah kecil
itu langsung turun dan sujud di kaki orang tua itu.
"Maafkan aku yang bodoh dan begitu
lancang memasuki Gua Setan ini serta mempelajari gambar-gambar di dinding.
Sekiranya engkau menyalahkan tindakanku,
aku siap menerima hukuman."
Orang tua penghuni Gua Setan
tersenyum, kemudian tangannya mengangkat
pundak si bocah.
"Berdirilah. Kau tidak bersalah,
Bocah. Bahkan aku bangga menyaksikan mu tanpa rasa lelah mempelajari
jurus-jurus ilmu silat yang ada di dinding gua ini.
Siapa namamu?" tanya orang tua itu.
"Ampunkan aku yang bodoh ini, Kek.
Namaku Sena Manggala. Kalau aku tidak
salah, bukankah engkau yang bernama Eyang Singo Edan?" tanya Sena,
memberanikan diri. Meski ia tidak berani mengadu pandang pada orang tua di
depannya yang saat itu tertawa.
"Benar.... Benar apa yang kau
katakan. Aku memang Singo Edan, penghuni Gua Setan ini," jawab orang tua
itu sambil terus tertawa. "Bocah, dari mana kau tahu kalau aku Singo
Edan?"
Sena tidak langsung menjawab, malah dia
balik bertanya untuk menegaskan kebenaran yang didengarnya.
"Jadi, benarkah kau Eyang Singo Edan?"
"Ya, kenapa...?"
Kembali bocah itu bersujud, lalu
dengan suara penuh hormat berkata,
"Oh, sekali lagi ampuni saya yang
bodoh dan lancang ini."
Singo Edan tertawa bergelak. Sekali lagi
diangkatnya pundak si bocah hingga berdiri. Matanya memandang lekat ke wajah
Sena sebelum kembali bertanya,
"Katakanlah, dari mana kau tahu aku
bernama Singo Edan? Dan, jangan kau pikirkan masalah kelancanganmu, sebab aku
justru senang dengan kehadiranmu di gua ini. Aku bahkan kagum dengan semangatmu
mempelajari jurus-jurus 'Ilmu Silat Si
Gila'."
Sena tercengang mendengar penuturan
Singo Edan yang mengatakan kalau dia telah mempelajari jurus-jurus langka yang
hebat itu.
"Apa? Jadi...," seru Sena
tanpa sadar.
"Benar. Semua yang kau anggap lucu
adalah jurus-jurus langka 'Ilmu Silat Si Gila'. Nah Sekarang katakan, dari mana
kau tahu namaku Singo Edan?" desak orang tua itu ingin tahu.
Setelah menjura, Sena menceritakan siapa
sesungguhnya dirinya, siapa orangtuanya dan siapa pula kakeknya.
Bocah kecil itu juga menceritakan kalau
dia tergelincir dan menggelinding ke bawah lereng karena tubuhnya lemah terkena
tendangan seorang pengeroyok ayahnya.
"Begitulah ceritanya, Eyang,"
kata Sena, mengakhiri ceritanya.
"Jadi kau cucu Senabrata?"
tanya Singo Edan dengan kening berkerut Sena menganggukkan kepala.
"Kakekmu telah meninggal?"
tanya Singo Edan kembali.
"Benar, Eyang. Kakek meninggal
karena usia tua, sedangkan ayah dan Ibu entah bagaimana nasibnya. Orang-orang
itu begitu jahat, Eyang...," tutur Sena
polos, membuat Singo Edan
manggut-manggut dengan raut wajah prihatin.
Di samping Singo Edan terharu
mendengar penuturan bocah kecil itu, dia
juga merasa sedih karena Senabrata sebenarnya adalah sahabatnya. Nasib yang
menimpa anak Senabrata dirasakan seperti menimpa anaknya sendiri.
"Sudahlah, Sena.... Semua sudah
menjadi suratan takdir. Tak perlu disesali lagi. Kini, Eyang mau menawarkan
padamu. Maukah kau mempelajari dengan tekun gambar-gambar itu?" tanya
Singo Edan setelah memberi petuah pada si bocah, sekaligus memberikan semangat
Sena memandangi wajah Singo Edan.
Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang
didengarnya barusan. Tapi, setelah Singo Edan kembali menganggukkan kepala
sambil tersenyum, segera bocah itu bersujud.
"Oh, sungguh aku yang bodoh dan
lancang ini tidak terkira bahagianya, sebab aku merasa telah mendapatkan
kehormatan menjadi murid Eyang. Terimalah sembahku, Eyang."
"Sudahlah, tak perlu begitu. Kita
sama-sama manusia. Hanya Tuhan yang patut disembah. Bangunlah," ujar Singo
Edan, kemudian diajaknya bocah kecil itu melangkah ke ruang dalam. Sejak saat
itulah, Sena Manggala menjadi murid tunggal tokoh sakti yang belum
tertandingi sampai saat ini.
5
Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa terasa
sepuluh tahun telah berlalu.
Selama itu, Sena Manggala dengan tekun
mempelajari jurus-jurus 'Ilmu Silat Si Gila' yang langka dan dahsyat. Sedikit pun
tak ada keluhan dari bibirnya. Bukan itu saja, Kitab Ilmu Silat Si Gila yang
ditulis Eyang Singo Edan pun telah dilalapnya dengan cepat, hingga semua
'Ilmu Silat Si Gila' tak satu pun
tersisa.
Ilmu-ilmu lainnya, seperti tenaga dalam,
meringankan tubuh, dan pukulan-pukulan sakti telah pula dipelajarinya.
Hingga pada usia dua puluh tahun, Sena
telah menjadi sosok pendekar muda yang memiliki bekal ilmu kedigdayaan yang
tinggi.
Pagi merambati muka bumi bersama
seluruh warna dan tembang alam. Di dalam
Gua Setan, dua orang tengah duduk berhadap-hadapan. Yang seorang adalah lelaki
tua berjubah putih dengan rambut yang kian memutih pula. Ia tak lain Singo Edan
atau lebih terkenal dengan julukan Penghuni Gua Setan. Di depannya duduk
seorang pemuda tampan, berkulit kuning
bersih serta rambut panjang rapi yang
diikat dengan selembar kulit ular.
Tubuhnya yang berotot menggambarkan
kalau selama ini ia telah menjalani godokan yang berat. Pemuda itu adalah Sena
Manggala.
"Sena, sepuluh tahun telah berlalu.
Sepuluh tahun pula kau berada di gua
ini.
Semua ilmu yang Eyang miliki, telah
diwariskan padamu...," kata Singo Edan setelah beberapa saat terdiam.
"Perpisahan memang berat,
Cucuku...."
Sena tak berkata apa-apa. Pemuda
itu nampaknya terharu mendengar
penuturan eyang gurunya. Bagaimanapun juga, selama sepuluh tahun mereka
senantiasa berdua.
Susah senang mereka jalani bersama.
Tapi, tiba-tiba kini mereka harus berpisah.
Siapa pun pasti akan merasa sedih.
"Sena, jangan kau pikirkan
perpisahan antara kita, sebab hal itu
adalah kenyataan hidup setiap manusia. Di mana ada pertemuan, tentu ada
perpisahan.
Kau telah dewasa, telah mewarisi seluruh
'Ilmu Silat Si Gila'...."
Kembali orang tua sakti itu
menghentikan ucapannya. Dihelanya napas
sebelum meneruskan ucapannya.
"Ketahuilah, ilmu seseorang tidak
berarti sama sekali jika digunakan untuk kejahatan. Dan harus kau ingat pula,
bahwa sesungguhnya ilmu yang dimiliki
manusia hanya bagai setetes air di
lautan dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Hyang Widhi. Kau paham,
Sena...?"
pesan Singo Edan, amat menggiris.
"Paham, Eyang...," sahut Sena
masih menunduk.
"Bagus.... Dengan begitu, kau tidak
akan tersesat nantinya. Kemudian yang perlu kau ingat juga, jangan menaburkan
benih permusuhan dalam hidupmu. Buanglah rasa dendam di hatimu, sebab dendam
adalah setan."
"Baik, Eyang.... Semua yang Eyang
petuahkan, akan senantiasa kuingat,"
jawab Sena.
Singo Edan mengangguk-angguk,
sementara tangannya mengelus-elus
jenggotnya yang semakin memutih.
"Satu lagi yang ingin kukatakan
padamu, Sena."
"Kalau Eyang berkenan, katakanlah.
Sebab semua petuah Eyang adalah penerang
jalan hidupku yang masih buta," tutur Sena, penuh hormat.
"Baiklah. Dengarkan baik-baik, dan
camkan. Pepatah mengatakan; Jangan melawan badai, jika kau tak mampu. Dan
jangan melawan arus jika kau tak memiliki pegangan. Kau tahu artinya,
Sena...?"
tanya Singo Edan.
"Ampun, Eyang.... Aku masih terlalu
buta dan bodoh untuk mengurai maksud
peribahasa itu," jawab Sena
merendah. Dan hal itu yang menjadikan Singo Edan semakin kagum terhadap
muridnya. Ternyata sang Murid bukan hanya cerdas, namun kepribadiannya pun
sangat luhur.
Singo Edan tersenyum seraya
mengangguk-anggukkan kepala. Dia tahu
kalau Sena sesungguhnya memahami apa maksud peribahasa itu. Tapi pemuda itu
tampaknya lebih suka merendah.
"Sena, arti peribahasa itu
begini.... Seorang manusia seharusnya
jangan menyombongkan diri hingga
membuatnya mencelakakan diri sendiri.
Seorang manusia seharusnya jangan
bertindak tanpa pertimbangan, hingga tindakannya menjadi sia-sia belaka. Bukan
mendapatkan yang terbaik, justru akan mencelakakan diri sendiri. Nah, kau
paham...?"
"Paham, Eyang...."
"Nah, kini tidak ada lagi yang
dapat Eyang berikan padamu. Hanya suling ini yang masih tersisa di tangan
Eyang.
Suling ini pun akan Eyang berikan
padamu.
Terimalah Anggaplah suling ini sebagian
hidupmu. Jagalah baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan manusia-manusia berhati
iblis, sebab akan menimbulkan celaka,"
tutur Singo Edan memberi petuah dengan
penuh penekanan pada setiap kata yang terucap. "Hm.... Mari ikut aku, biar
kutunjukkan keistimewaan suling sakti
ini."
Segera kaki Singo Edan melangkah ke
ruang lain yang luas dalam gua itu. Singo Edan lalu memperagakan sesuatu.
Suling itu dihentakkannya ke depan dan seketika batu-batu yang ada dalam gua
itu
terlempar berhamburan disertai angin
kencang.
"Ini sebagian dari kesaktian suling
ini," ujar Singo Edan setelah memperagakan kesaktian suling sakti itu,
membuat Sena berdecak kagum.
Setelah itu, Singo Edan memberikan
suling di tangannya pada Sena yang langsung menerimanya. Sekilas diamatinya
suling berwarna perak yang pada satu ujungnya terukir kepala naga. Itulah
Suling Naga Sakti, yang sampai saat ini menjadi incaran kaum rimba persilatan.
"Kini lengkap sudah semua yang kau
miliki. Semua milik Pendekar Gila telah kau dapatkan. Pergilah dari Gua Setan
ini. Banyak orang yang membutuhkan pertolongan dan uluran tanganmu.
Ber-jalanlah di jalan yang lurus, jangan sesekali berpaling ke jalan yang
sesat,"
tutur Singo Edan seraya membelai rambut
pemuda itu.
"Terima kasih, Eyang.... Sungguh
besar jasamu padaku. Entah dengan cara apa aku yang bodoh dan tiada guna ini
dapat membalasnya."
"Sudah, jangan pikirkan hal itu.
Eyang akan senang, jika kau dapat
membantu orang yang memerlukan pertolonganmu. Pergilah ke arah selatan, di sana
akan kau temukan pintu keluar dari gua ini. Ingat, jangan kembali ke Gua Setan
ini," tegas Singo Edan.
"Baik, Eyang. Aku mohon
pamit..."
Sena menjura hormat dengan
membungkukkan tubuhnya. Kemudian dengan
masih membungkuk, pemuda itu bangkit dari duduknya, melangkah mundur
meninggalkan orang tua yang masih duduk di atas batu datar.
Di bibir orang tua itu tersungging
senyum kepuasan. Hatinya merasa tenang, sebab kini telah ada penggantinya untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran di muka bumi.
"Semoga
Hyang Widhi senantiasa
melindungimu, Cucuku," desis orang
tua itu lirih. Matanya pun segera dipejamkan, seolah berusaha menahan rasa haru
yang menyelinap di harinya.
***
Pemuda berbadan tegap serta
berwajah tampan dengan pakaian terbuat
dari kulit ular sanca itu masih melangkah menyusuri lorong-lorong gua,
meninggalkan
eyang gurunya yang semakin jauh. Pemuda
itu tidak lain adalah Sena Manggala.
Kakinya terus menyelusuri lorong gua,
mencari jalan keluar yang ditunjukkan oleh gurunya.
Lama pemuda itu menyelusuri lorong gua,
hingga akhirnya matanya melihat sebuah sinar terang menyeruak masuk ke dalam.
"Hm, tentunya itu sinar dari luar.
Tidak salah lagi, itu memang pintu
gua,"
kata Sena sambil mempercepat langkahnya
menuju ke arah sumber sinar yang
menerobos masuk. Lorong gua yang
berliku, menjadikan sinar itu tidak tembus ke dalam. Dan tentunya orang lain
tidak akan menyangka ada jalan keluar dari lorong itu.
Benar juga dugaannya. Ketika tiba di
mulut gua, terlihat laut yang luas membentang. Dan ketika kepalanya
menengadah ke atas, ternyata pintu gua
itu terpayungi batu cadas, sehingga tidak terlihat dari atas sana.
"Heh Bagaimana aku bisa ke luar?
Di hadapanku laut, sedang di atasku
batu," gumam pemuda itu seperti kebingungan. Tangannya menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya cengar-cengir seperti melihat hal lucu.
"Ah, bodohnya aku Kenapa aku tidak
mencoba dengan menggunakan jurus 'Si Gila
Terbang Menyambar Ayam?"
Setelah mengangguk-angguk sambil
tersenyum, Sena menyurutkan kakinya tiga
langkah ke belakang. Lalu sambil tertawa, dia melesat laksana terbang. Tubuhnya
meluncur lurus di atas permukaan air laut, lalu berputar ke atas bagai
menunggang angin, dan dengan ringan kakinya dijejakkan di atas batu cadas yang
menutupi mulut gua.
"Huh, segar sekali udara di sini.
Hm, inikah dunia bebas?"
Bibirnya kembali cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
Kemudian diambilnya suling yang terselip
di pinggang. Lama suling itu diamati seraya menimangnya perlahan.
"Aku harus menjaga suling ini
baik-baik," gumam Sena seperti berjanji pada diri sendiri.
Sena kembali menimang-nimang suling itu.
Tiba-tiba hatinya tergerak untuk meniup suling sekadar menghibur diri.
Disatukan bibirnya pada ujung suling
berbentuk kepala naga, kemudian di tiupnya.
Suara suling mengalun merdu,
berkumandang ke seluruh pelosok dan
menyelusup di pucuk-pucuk pohon kelapa yang tumbuh di sekitar daerah itu.
Semakin lama, suara suling itu kian
tinggi. Dan....
Darrr
Ledakan terjadi, ketika lengking
suling membentur sebatang pohon kelapa.
Kejadian itu menyentakkan Sena, hingga
segera menghentikan tiupan sulingnya.
Matanya membuka lebar dan mulutnya
menganga melihat sesuatu yang dahsyat Pohon kelapa itu terbakar hangus,
kemudian tumbang dengan daun-daunnya yang mengering hangus.
"Oh.... Tidak salahkah yang
kulihat?" tanya Sena pada diri sendiri setengah bergumam. Matanya menyapu
ke segenap penjuru tempat itu. Tidak ditemukan adanya orang lain. Berarti,
pohon kelapa besar itu terbakar dan tumbang oleh suara sulingnya. "Oh,
sungguh dahsyat suara suling ini. Eyang, pemberianmu ini sungguh-sungguh benda
pusaka yang sangat hebat. Pantas kau begitu sungguh-sungguh berpesan
padaku."
Angin Laut Selatan bertiup ramah,
mengantar kesejukan. Gelombang laut masih bergulung, berusaha menggempur batu
karang.
Pemuda tampan dengan rompi kulit
ular itu masih mematung setelah
menyelipkan sulingnya pada sabuk kulit
ular yang melilit pinggangnya. Dia masih bingung ke mana harus melangkah. Dunia
bebas ini masih sangat asing baginya.
"Ah, bodohnya aku"
Kembali
Sena
menepuk keningnya
perlahan, seraya menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal.
"Bukankah aku punya kaki? Kenapa
mesti bingung?"
Usai berkata begitu, kakinya
melangkah mantap meninggalkan Pantai
Selatan di mana pintu rahasia Gua Setan berada. Sena hanya mengikuti kata hati,
melangkah tanpa tujuan yang pasti.
***
Sinar matahari pagi membelai
hangat. Sebuah kedai telah dibuka oleh
pemiliknya sejak kokok ayam pertama terdengar. Empat orang lelaki bertampang
kasar memperlihatkan kebengisan masuk ke kedai itu. Tingkah mereka tidak sopan,
menandakan kalau keempat lelaki itu bukan orang baik-baik. Dilihat dari golok
yang tergantung di pinggang, jelas keempat lelaki berwajah bengis itu dari
rimba persilatan.
"Sediakan arak empat guci,
cepat"
seru
seorang dari mereka. Tangannya
dengan keras menggebrak meja di
depannya.
Brak
Pemilik kedai dengan wajah
ketakutan, tergopoh-gopoh menghampiri
mereka. Tubuhnya menggigil, karena rasa takut tidak alang kepalang.
"Maaf, Aden sekalian minta
apa?"
tanya pemilik kedai itu, dengan suara
bergetar.
"Goblok Apa telingamu tuli, hah?
Cepat sediakan empat guci arak, juga
makanan yang enak" bentak orang yang tadi menggebrak meja.
"Ba..., baik," jawab pemilik
kedai semakin bertambah ketakutan.
Lalu, tanpa banyak tanya lagi dia
tergopoh-gopoh berlalu. Tidak lama kemudian, bersama seorang pelayan, laki-laki
tua itu membawa empat guci arak serta makanan-makanan lezat
"Cepat.." bentak orang itu
lagi tak sabar.
"I..., iya, Den," sahut
pemilik kedai.
Dengan tubuh gemetar ditaruhnya
empat guci arak di meja. Sedangkan
pelayannya menaruh makanan-makanan permintaan keempat lelaki kasar itu.
Keempat lelaki kasar itu terbahak-bahak
melihat wajah pucat pasi pemilik kedai yang masih berdiri di samping mereka
dengan tubuh gemetaran.
"Heh, kenapa kau masih di
sini?"
tanya orang kedua dari mereka. Nada
suaranya tidak sekasar orang pertama.
"Maaf, Den.... Barangkali masih ada
yang dipesan?" tanya pemilik kedai, mencoba tersenyum meski terlihat kaku.
"Apa? Pesan...? Siapa yang pesan?
Apakah kau belum tahu siapa aku? Kau
belum tahu kami, ya? Dengar, kami adalah Empat Iblis dari Kranggeng, anak buah
Segoro Wedi" tutur orang pertama dengan suara keras, seakan ingin
menyombongkan diri dengan menyebut Segoro Wedi sebagai tokoh sesat yang sangat
ditakuti.
"Ampunilah hamba yang buta
ini...,"
ujar orang tua pemilik kedai setelah
mendengar penuturan tadi.
"Baik, pergi cepat Jangan sampai
aku muak"
Tanpa diperintah dua kali, orang
tua itu berlalu meninggalkan mereka.
Bukan hanya pemilik kedai yang
ketakutan setelah tahu siapa keempat
lelaki beringas dan kasar itu. Para pengunjung kedai juga begitu. Satu persatu
mereka meninggalkan tempat itu dengan terburu-buru. Di wajah mereka terlukis
rasa takut luar biasa.
Semakin pongah saja keempat lelaki
bertampang beringas dan kasar itu, merasa kalau semua orang takut kepada
mereka.
Dengan tertawa-tawa, mereka menyantap
makanan. Tapi tawa mereka seketika terhenti ketika dari luar terdengar tawa
yang mampu menggetarkan hati mereka.
"He he he.... Ha ha ha... Lucu...,
lucu sekali. Iblis-iblis sekarang bergentayangan Ah, dunia ini aneh
sekali," ujar sebuah suara,
dibarengi dengan munculnya seorang pemuda tampan berompi kulit ular. Pemuda itu
tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sesekali menggeleng. Sedangkan
mulutnya cengengesan persis orang gila.
"Bocah edan Siapa kau? Lancang
sekali ucapanmu Apakah kau tidak tahu kami, hah?" bentak salah seorang
dari Empat Iblis dari Kranggeng. Wajahnya yang beringas semakin bertambah
beringas karena marah. Tapi pemuda yang dibentak bukan takut, malah semakin
memperkeras tawanya sambil menggaruk-garuk kepala.
"He he he.....Bukankah tadi kau
mengatakan kalian berempat iblis?" balik pemuda itu dengan maksud
mengejek.
Tangannya terus menggaruk-garuk kepala
serta mulutnya cengengesan. Kemudian dengan tingkah laku seperti orang gila,
pemuda yang ternyata Sena Manggala itu kembali berkata, "Ah, lucu....
Seharusnya orang seusia kalian belum pikun. Tapi...
Yah, mungkin inilah dunia. Ternyata
iblis pun bisa pikun...,"
Merah membara wajah Empat Iblis
dari Kranggeng mendengar ocehan pemuda
gila itu. Salah seorang dari mereka melontarkan paha ayam ke arah si pemuda,
disertai tenaga dalam penuh.
"Nih untukmu, terimalah Lalu pergi
dari sini, jangan sampai kesabaran kami
hilang"
Paha ayam yang masih utuh itu
melesat seperti mata anak panah ke arah
si pemuda. Tapi dengan enteng, Sena menangkapnya. Hal itu membuat Empat Iblis
dari Kranggeng cukup terkejut. Sedang pemuda itu dengan santai menggeragoti
daging ayam.
"Terima kasih, kau baik sekali.
Terimalah tulang ini. He he he..."
ujar Sena setelah paha ayam itu tinggal tulang.
Tulang ayam itu melesat cepat,
mengejutkan Empat iblis dari Kranggeng.
Mata mereka menegang, tidak menyangka
lemparan pemuda itu sangat kuat. Mau tidak mau mereka merundukkan kepala agar
tidak terkena sambaran tulang itu Wesss
Tulang itu meluncur tepat di atas rambut
mereka, lalu akhirnya tertanam dalam pada sebatang pohon yang ada di samping
kedai. Semakin terbuka lebar mata keempat lelaki beringas itu menyaksikan
pertunjukan tenaga dalam yang luar biasa itu.
Namun kepongahan rupanya membuat
mereka buta pada ilmu pemuda yang jauh
berada di atas mereka. Didahului
bentakan, Empat Iblis dari Kranggeng
mencabut golok dan menyerang pemuda yang masih tertawa cekikikan sambil
menggaruk-
garuk kepala.
"Kurang ajar Rupanya kau perlu
dihajar"
Sena agak terkejut mendapat
serangan begitu cepat dari keempat
lelaki yang menamakan dirinya Empat Iblis dari Kranggeng itu. Ia memang belum
banyak pengalaman dalam rimba persilatan yang penuh kelicikan dan tipu daya.
Tapi nalurinya menuntun agar serangan itu dielakkannya.
Dengan satu lentingan indah,
dimentahkannya serangan ganas itu.
Menyebabkan golok para penyerang beradu
di tempat kosong.
Trang
Sena kembali cengengesan. Tangannya
menggaruk-garuk kepala, lalu pantatnya ditepuk berulang kali.
"Kenapa kalian mengeroyokku? Wah,
celaka Kalian benar-benar orang jahat"
"Kurang ajar Kurencah tubuhmu,
Bocah Sinting" dengus orang pertama dari Empat Iblis dari Kranggeng. Lalu
dengan penuh amarah tubuhnya melesat untuk memburu pemuda itu, diikuti oleh
ketiga temannya.
"Heaaa..."
6
Semua orang yang menyaksikan pemuda itu
dikeroyok oleh Empat Iblis dari Kranggeng turut tegang. Mereka khawatir
kalau-kalau pemuda tampan yang bertingkah seperti orang gila itu akan menjadi
korban keberingasan dan kekejaman mereka.
Namun untuk membantu pemuda itu, mereka
tidak berani. Mereka tahu, siapa Empat Iblis dari Kranggeng, terlebih dengan
Segoro Wedi.
Tokoh yang terakhir, akhir-akhir
ini sangat ditakuti, baik oleh tokoh
rimba persilatan atau oleh tokoh
kebanyakan. Dia ditakuti karena
kekejamannya. Belum ada tokoh rimba
persilatan yang mampu menghadang sepak terjangnya. Semua yang mencoba
menghalangi, tak ada yang dibiarkan
hidup. Mereka dibantai bagai binatang tak berharga.
Kini seorang pemuda berani
menghadapi Empat Iblis dari Kranggeng,
itu berarti secara tak langsung telah menantang pimpinan mereka.
"Benar-benar nekat pemuda gila itu.
Apakah dia tidak takut terhadap Segoro
Wedi?" gumam pemilik kedai yang masih menyaksikan jalannya pertarungan
antara Sena melawan Empat Iblis dari Kranggeng, begundal Segoro Wedi.
"Namanya saja pemuda gila. Mana ada
sih, orang gila yang takut?" sambung temannya.
"Iya, ya.... Tapi kasihan juga dia;
semuda itu sudah gila," kata pemilik kedai seraya menghela napas.
"Semoga pemuda gila itu bisa menang. Muak rasanya aku melihat tingkah laku
bajingan-bajingan itu."
"Benar Mereka bukan hanya kejam,
tapi juga menculik gadis dan memperkosanya. Tindakan mereka benar-benar seperti
iblis" rutuk teman bicaranya.
Apa yang diharapkan kedua orang itu
menjadi kenyataan. Pemuda tampan yang tindak-tanduknya seperti orang gila itu
kini mampu menguasai keadaan. Bahkan kini dia mendesak Empat Iblis dari
Kranggeng dengan jurus-jurus yang aneh. Jurus-jurus yang menyerupai orang gila
tengah menari-nari dan sesekali tampak menepuk gemulai itu, ternyata mampu
membuat keempat lawannya kewalahan.
Semua orang yang melihat
pertarungan itu pun membelalakkan mata
dengan mulut berdecak kagum melihat gerakan pemuda aneh itu.
Gerakannya memang kelihatan lambat,
namun sesungguhnya sangat dahsyat dan cepat, karena disertai tenaga dalam serta
ilmu meringankan tubuh yang sempurna.
Berkali-kali pemuda itu terkepung
serangan golok Empat Iblis dari
Kranggeng. Tapi berkali-kali pula pemuda
itu mematahkan serangan lawan, hanya dengan jurus-jurus yang terlihat sangat
lemah dan lucu.
Kalau orang yang tidak mengerti
ilmu silat, mungkin melihat gerakan
pemuda itu hanyalah sebuah gerakan main-main. Untuk apa tangannya menepuk?
Untuk apa tubuhnya meliuk-liuk seperti menari?
Padahal dia dalam ancaman maut keempat
lawan yang menyerang bertubi-tubi.
Tapi bagi yang tahu ilmu silat,
justru akan berpikir seribu kali untuk
menghadapi gerakan aneh pemuda itu.
Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk
Lalat', salah satu jurus langka yang pernah menggemparkan rimba persilatan
puluhan tahun silam milik seorang pendekar gila yang bernama Singo Edan.
Dan selama itu pula, belum ada yang
mengalahkannya.
Kini jurus itu kembali muncul,
lewat seorang pemuda bau kencur yang
aneh. Kalau saja Empat Iblis dari Kranggeng tahu, tentunya mereka akan berpikir
berulang kali untuk menghadapi jurus itu.
"Bocah edan Rupanya kau memiliki
ilmu juga, heh?" bentak orang pertama dari Empat Iblis dari Kranggeng.
"Jangan bangga dulu, Bocah Kalau sejak tadi kau
bisa mematahkan serangan kami, maka kali
ini nyawamu akan hilang. Terimalah jurus
'Empat Golok Iblis Membelah Bumi'.
Heaaa..."
Empat Iblis dari Kranggeng
merangsek cepat. Mula-mula mereka
mengangkat golok masing-masing ke atas kepala. Kemudian menebaskan ke muka,
disusul dengan tebasan ke samping kiri dan kanan. Gerakan mereka serempak,
sehingga rasanya sangat sulit bagi Sena untuk dapat melepaskan diri dari
serangan itu.
"Celaka... O, matilah aku...,"
keluh pemuda itu sambil menggaruk-garuk
kepala. Mulutnya tetap cengengesan, layaknya orang gila.
"Belah tubuhmu, Bocah Edan..."
Empat bilah golok di tangan lawan
mengarah dari atas ke kepalanya. Sena tersentak merasakan angin tebasan. Segera
nalurinya memerintah agar dia mengelak.
Dengan menggunakan jurus 'Si Gila
Melepas Lilitan Benang', pemuda itu mencoba menyelamatkan diri dari maut Sebuah
gerakan aneh seperti
melepaskan lilitan benang yang menjerat
tubuh, ternyata mampu menyelamatkan nyawanya. Kini dengan menggerakkan tangan,
pemuda itu malah menghantamkan cengkeraman ke selangkangan salah seorang dari
pengeroyoknya.
Crak
"Akh..." jerit orang itu
sambil melepaskan goloknya dari genggaman lalu beralih memegangi kemaluannya
yang pecah.
Orang itu melotot sesaat, kemudian
terjerembab dengan tubuh bergelinjang sekarat lalu mati.
Ketiga temannya tersentak. Tubuh
mereka tegang menyaksikan kematian salah
seorang teman mereka. Kemarahan mereka kian membeludak. Kemudian dengan
mendengus, ketiganya kembali menyerang
ke arah Sena dengan membabi buta.
Hal itu sebenarnya sangat mengun-
tungkan bagi Sena karena mereka tak
mempedulikan keselamatan diri sendiri.
Dada mereka dipenuhi nafsu untuk segera
membinasakan pemuda gila yang telah membunuh salah satu temannya.
"Kurencah tubuhmu, Bocah Edan"
"Heaaa..."
Pemuda gila itu menggaruk-garuk
kepala. Setelah cengengesan, sekali lagi
pantatnya ditepuk, yang membuat
pengeroyoknya semakin marah dan langsung
menggebrak dengan babatan golok.
"Mampus kau..." bentak orang
kedua dari Empat Iblis dari Kranggeng.
Golok itu melesat cepat ke arah
Sena, namun dengan gerakan aneh tubuhnya
berhasil luput dari serangan. Malah tanpa diduga, tangannya menepak ke kening
si
penyerang.
Plak
"Akh..." jerit orang itu.
Tubuhnya meluncur deras ke belakang dengan tangan memegangi keningnya yang
hancur. Tulang tengkorak kepalanya pecah, sehingga dari mata, hidung, dan
telinganya mengalir darah segar. Untuk sesaat tubuh orang itu mengejang,
kemudian lunglai tanpa nyawa.
Sena bertepuk tangan sambil
berjingkrak-jingkrak seperti monyet.
Tangannya sesekali menggaruk-garuk
kepala, atau menepuk-nepuk pantat sambil tertawa-tawa girang. Seakan apa yang
terjadi hanya kejadian lucu yang
mengundang tawanya. Hal itu membuat sisa
pengeroyoknya semakin murka. Satu orang kembali melesat sambil membabatkan
goloknya. Orang inilah yang sangat bengis di antara mereka.
"Kurencah tubuhmu, Bocah Edan...
Heaaa..."
Golok di tangannya ganas mengancam
kepala pemuda tampan itu. Sebentar lagi, kepala Sena akan menjadi sasaran
empuk.
Orang-orang yang menyaksikan
pertarungan itu menjadi bergidik ngeri.
Tapi dugaan mereka meleset, dalam
sekejap pemuda itu menggeserkan kakinya dengan melebar ke samping. Kemudian,
mendorong miring tubuhnya ke arah kaki yang melebar.
Tangan lawan yang menggenggam golok
melesat cepat di sampingnya. Secepat itu pula, tangan Sena mencengkeram
per-gelangan tangan lawan, lalu tubuh lawan yang tengah melesat dibantingnya
dengan kuat
Bugkh
"Akh..."
Orang itu menjerit. Tulang
punggungnya langsung remuk akibat
bantingan tadi. Sesaat mata orang itu mendelik bagai hendak melompat keluar.
Kemudian diam tak berkutik dengan mulut
bersimbah darah.
Seorang lawannya yang masih hidup
seketika ciut nyalinya menyaksikan bagaimana ketiga rekannya mati. Lelaki
berwajah kasar itu mendadak pucat pasti, dan serta merta meminta ampun pada
pemuda itu.
"Ampunilah aku, Anak Muda,"
ratapnya mengiba.
Pemuda tampan itu tertawa, seakan
menganggap hal itu lucu. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepalanya yang
digeleng-gelengkan perlahan.
"Lucu... Baru kali ini aku melihat
hal yang amat lucu. Tadi kau menunjukkan kebengisanmu. Mengapa kini kau seperti
tikus pikun?" ujar Sena kembali terbahak bahak. "Dunia ini memang
aneh,... Ada kalanya orang yang mengaku waras,
bertindak seperti orang tak waras. Tapi
sebaliknya, orang yang dianggap tak waras, malah bertingkah bagaikan orang
waras. Ah, benar-benar lucu...."
Semua tertegun menyaksikan tingkah laku
pemuda itu yang dengan seenak perutnya berlalu sambil bernyanyi meninggalkan
semua orang. Termasuk seorang lawan yang terpaku bengong.
"Pendekar Gila..." gumam
lelaki kasar itu, sambil menatap punggung Sena yang makin lama makin jauh.
Sementara itu kasak-kusuk merambat di
sekitar arena pertarungan, bagai satu upacara untuk kepergian Sena Manggala.
"Ternyata pemuda gila itu seorang
pendekar. Pendekar Gila Dari mana dia datang?" gumam pemilik kedai dengan
nada kagum setelah menyadari siapa sesungguhnya pemuda gila yang telah mampu
mengalahkan keempat tangan kanan Segoro Wedi.
"Ck, ck, ck..." decak
temannya.
"Hebat Baru kali ini aku melihat
Pendekar Gila yang sering kudengar.
Ternyata orangnya masih muda."
"Bukankah Pendekar Gila hidup pada
puluhan tahun yang silam?" tanya yang lainnya terheran-heran.
"Mungkin dia muridnya," sahut
temannya.
Sejak itulah, orang-orang membica-
rakan pemuda gila itu. Tidak hanya
rakyat biasa, tapi tokoh-tokoh rimba persilatan pun mulai membicarakan
kehadiran seorang pemuda yang berulah gila-gilaan. Tetapi ilmu silatnya sangat
sakti. Dan, setiap Sena Manggala muncul mereka menyebutnya Pendekar Gila.
***
Segoro Wedi tengah berkumpul di
ruangan besar dengan ketujuh kaki
tangannya, termasuk seorang wanita cantik bernama Nyi Bangil yang baru saja
menjadi anggota. Seperti saat ini, ruangan itu dipakai mereka untuk berembuk
menentukan langkah yang akan mereka lakukan
selanjutnya.
Ada dua pengikut baru Segoro Wedi.
Salah satunya Nyi Bangil, wanita cantik
menggairahkan yang sesungguhnya mencintai Segoro Wedi. Hingga karena cintanya,
wanita itu rela mengabdi pada Segoro Wedi. Tapi selama ini, cintanya
dipermainkan oleh Segoro Wedi. Dia hanya
dijadikan pelampiasan nafsu lelaki berjubah merah yang kini duduk di singgasana
kepemimpinan.
Berulang kali Nyi Bangil meminta
pertanggungjawaban dari sang Pemimpin, tetapi semuanya tiada guna. Segoro Wedi
selalu berjanji dan berjanji. Malah
sering berbuat kasar jika dia terlalu
mendesaknya. Hal itulah yang membuat wanita cantik bertubuh sintal itu
menyimpan dendam cinta di hatinya. Tapi apa dayanya saat itu?
Segoro Wedi terlalu kuat baginya.
Apalagi dengan kelima begundalnya.
Hingga akhirnya dia hanya mampu menerima nasib, sambil menunggu datangnya
penolong yang akan membebaskannya dari belenggu cinta.
Seorang lagi adalah lelaki bertubuh
ceking bermata sayu. Mungkin hal itu disebabkan karena dia selalu meminum tuak.
Ke mana-mana, selalu dibawanya guci berisi tuak. Hingga dia dijuluki Tuak
Iblis.
"Sahabat-sahabat sekalian, sengaja
kuundang kalian karena aku ada rencana,"
kata Segoro Wedi membuka pertemuan
dengan ketujuh kaki tangannya. "Tentunya kalian telah tahu, setiap rencana
yang aku ungkapkan adalah rencana besar."
"Benar, Ketua...," sahut
Pedang Akhirat.
Segoro Wedi bangun dari
singgasananya, lalu berdiri tegak sambil
menopang tangan kanan yang mengelus jenggot dengan tangan kiri. Tatapan matanya
tajam serta lurus ke muka.
"Kalian tahu apa rencanaku?"
tanyanya tiba-tiba.
"Menyerang sebuah perguruan,
Ketua...?" tanya Sepasang Hantu
dari Kelangit hampir bersamaan. Segoro Wedi menggelengkan kepalanya.
"Bukan itu.
Semua perguruan di wilayah ini telah
kita taklukkan...," jawab Segoro Wedi. "Rasa-rasanya, kedudukan kita
telah kuat"
"Mungkin Ketua hendak menyerang
kadipaten?" tanya Raja Setan Muka Ular.
"Tidak perlu, Raja Setan Muka Ular.
Bagaimanapun juga, adipati masih ada
hubungan saudara denganku. Lagi pula, untuk apa merebut kadipaten? Kalau
kedudukanku kini jauh lebih enak dan lebih berpengaruh?" ujar Segoro Wedi
sambil melepas tawa terkekeh, menjadikan keenam rekan lelakinya turut tertawa.
Hanya Nyi Bangil yang diam, dengan wajah
agak merengut.
"Memang benar apa yang Ketua
katakan," tukas Kapak Iblis, bernada menjilat. Kemudian setelah melihat
ketuanya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala, Kapak Iblis melanjutkan
kata-katanya. "Kalau boleh kami tahu, rencana apa yang hendak Ketua
sampaikan pada kami dan harus kami laksanakan?"
Segoro Wedi tidak langsung
menjawab, tapi dia kini berjalan ke
samping kanan. Matanya menatap ke dinding, di mana sebuah lukisan seorang
wanita cantik bernama Dewi Rukmini terpajang. Ditatapnya wajah yang cantik
jelita dan membuatnya begitu
tergila-gila dalam lukisan itu.
Semua terdiam, tanpa seorang pun
berbicara. Sedangkan Nyi Bangil menjadi
geram menyaksikan Segoro Wedi memandangi lukisan itu. Kau benar-benar bajingan,
Segoro Wedi Kau permainkan aku Kau jadikan aku pelampias nafsumu Huh, tunggulah
pembalasanku Geramnya dalam hati.
Segoro Wedi membalikkan tubuh dan
kembali memandang ketujuh kaki tangannya sambil berkata.
"Apakah kalian telah mendengar
bahwa besok akan datang seorang saudagar Cina?" tanya Segoro Wedi.
"Belum, Ketua...," sahut
ketujuh kaki tangannya hampir berbareng, termasuk Nyi Bangil yang berusaha
memendam dendam cinta di harinya.
"Hm apakah kalian tidak menerima
laporan tentang hal itu dari Prangga yang memimpin di laut?" kembali
Segoro Wedi bertanya.
"Ampun, Ketua. Prangga sama sekali
tidak menceritakan pada kami," sahut ketujuh kaki tangannya setelah saling
pandang sejenak.
Kembali kepala Segoro Wedi
mengangguk-angguk.
Bibirnya
menyunggingkan seulas senyum. Hal itu
menjadikan ketujuh kaki tangannya
bertanya-tanya dalam hati, sebab mereka
merasa heran melihat senyumnya. Selama ini, ketua mereka tak pernah tersenyum
selebar itu. Kalaupun bibirnya tersenyum, sekadar senyum kecil. Itulah yang
menimbulkan tanda tanya di hati mereka.
Ada apa gerangan dengan sang Ketua?
Tak ada seorang pun yang berani
bertanya. Mereka hanya diam membisu
dengan menyimpan pertanyaan dalam hati
"Dengar Besok kapal saudagar itu
akan merapat ke pesisir. Untuk itu, kuharap kalian dapat menanganinya.
Prangga dan anak buahnya tak mampu
menghadapi pengawal saudagar yang terdiri dari sepuluh pendekar muda dari
Cina."
"Jadi kami harus menumpas mereka
semua, Ketua?" tanya Tuak Iblis, memberanikan diri.
Mata Segoro Wedi langsung melotot pada
Tuak Iblis yang segera menundukkan kepala:
"Bodoh Apakah kau tahu, bahwa di
kapal itu ada seorang gadis Cina yang cantik? Kalian boleh menumpas semuanya.
Tapi ingat, kalian harus bisa membawa
gadis itu hidup-hidup ke hadapanku untuk kujadikan istri Mengerti...?"
bentak Segoro Wedi keras, hingga ketujuh kaki tangannya sampai terlonjak karena
kaget
"Mengerti, Ketua...," jawab
mereka serentak sambil menundukkan kepala, tak
berani beradu pandang dengan mata bengis
Segoro Wedi. Mereka tahu, berani
menentang berarti kematian
"Besok, siapkan pasukan secukupnya
Tugas ini aku percayakan pada kalian.
Dan ingat, jika sampai gagal maka leher kalian sebagai gantinya" ancam
Segoro Wedi, membuat bulu kuduk mereka seketika berdiri. Mereka tahu, ancaman
ketuanya tidak main-main.
"Baik, Ketua," sahut mereka.
Tengah mereka rapat, tiba-tiba
masuk seorang lelaki yang mereka kenal
dengan tergopoh-gopoh. Lelaki yang tidak lain salah seorang dari Empat Iblis
dari Kranggeng, memperlihatkan wajah pucat.
Hal itu menjadikan Segoro Wedi
mengerutkan kening.
"Ada apa, Wangsana? Kau seperti
ketakutan, dan di mana ketiga saudara seperguruanmu?" tanya Segoro Wedi.
"Ampun, Ketua.... Aku datang untuk
melaporkan sesuatu," jawab Wangsana terbata-bata. Napasnya turun-naik
setelah berlari tiada henti.
"Katakanlah"
Dengan wajah masih ketakutan,
Wangsana pun menceritakan bentrokan
antara dia dan ketiga saudara
seperguruannya dengan seorang pemuda
gila yang memiliki kesaktian luar biasa.
Sampai mereka mengalami kekalahan.
Bahkan, tiga saudara seperguruannya mati
terbunuh. Hanya dia yang selamat dan sampai di tempat itu.
Mendengar cerita Wangsana, pimpinan
dunia hitam itu kelihatan sangat gusar.
Napasnya terdengar mendengus berat
"Kenapa kau tidak sekalian mampus
saja bersama mereka, Wangsana?
Menghadapi pemuda gila saja kalian tidak
becus Kau tidak berguna lagi bagiku.
Pengawal, tangkap orang ini Pancung di
depan, hingga semua melihatnya" perintah Segoro Wedi, membuat semua mata
terbelalak kaget
Wangsana menggigil ketakutan.
Mulutnya meratap agar mendapat ampunan
dari ketuanya. Bahkan kaki Segoro Wedi diciuminya dengan merengek-rengek. Tapi
semua itu tiada arti. Sekali keputusan diucapkan, maka hukuman harus
dilaksanakan.
"Ketua, ampunilah nyawa hamba....
Ampunilah...."
"Tak ada ampun bagi orang
sepertimu" dengus Segoro Wedi
"Kalian lihai sendiri bukan? Kalau sampai besok kalian gagal, maka kalian
pun akan mengalami hal seperti anjing itu"
Semua tertunduk tanpa ada yang
berani berbicara. Bahkan ketika pengawal
yang bertubuh besar dan kokoh menyeret tubuh Wangsana, tak seorang pun berani
melihatnya.
"Sekarang kalian boleh bubar untuk
mempersiapkan apa yang akan kalian lakukan besok" perintah Segoro Wedi.
Ketujuh kaki tangannya segera
bangkit lalu menjura hormat Ketika mereka
hendak pergi, Segoro Wedi memanggil salah seorang dari mereka.
"Nyi Bangil, jangan pergi"
Wanita cantik bertubuh sintal yang di
hatinya memendam dendam karena cintanya tak terbalas, menghentikan langkahnya.
Sakit sekali hatinya saat itu. Dia tahu, tentunya Segoro Wedi ingin
melampiaskan nafsunya lagi.
Segoro Wedi menghampiri wanita
cantik dan menggairahkan itu. bibirnya
tersenyum, kemudian tangannya merangkul pundak Nyi Bangil.
"Ikutlah aku, Nyi...," ajaknya
ramah.
Nyi Bangil tahu kalau keramahan itu
hanya ada di saat-saat tubuhnya
dibutuhkan. Setelah itu, dia akan
kembali seperti semula. Melihat Nyi Bangil cemberut Segoro Wedi mengerutkan
kening,
"Ada apa, Nyi? Mengapa wajahmu
begitu?"
Nyi Bangil menatap tajam ke arah
Segoro Wedi. Sorot matanya menyiratkan
kebencian.
"Kapan kau akan menjadikan aku
istri, Segoro Wedi?"
Segoro Wedi tersenyum. Diajaknya
Nyi Bangil melangkah masuk ke dalam
kamarnya. Kemudian setelah menutup pintu, tangan Segoro Wedi membuka pakaian
yang dikenakan Nyi Bangil yang berusaha menolak.
"Katakan, kapan...?"
"Jangan mendesakku, Nyi"
bentak Segoro Wedi kasar. Lalu tangannya dengan kasar merenggut pakaian wanita
itu hingga lepas dari tubuhnya.
Nyi Bangil tak dapat berbuat apa-
apa, kecuali menuruti apa yang
diinginkan oleh ketuanya. Dendam di hatinya semakin menganga dalam karena cinta
yang tak terbalas.
7
Dari kejauhan tampak sebuah kapal layar
melaju menuju pesisir. Kapal itulah yang tengah dinanti oleh anak buah Segoro
Wedi. Kapal yang membawa saudagar kaya dari dataran Cina dengan gadis cantik
jelita.
Beberapa orang tampak berdiri di
atas perahu dengan mata memandang
pesisir yang hendak mereka singgahi. Ada sepuluh orang lebih di atas perahu
itu. Dilihat dari sorot mata mereka yang tajam bagai elang dan pedang yang
tergantung di
punggung, sudah dapat dipastikan kalau
kesepuluh pemuda tersebut adalah para pendekar yang mengawal saudagar kaya itu.
Sepuluh pendekar Cina itu terus
mengawasi pesisir di mana sebentar lagi
kapal mereka akan merapat. Mereka kelihatannya waspada, mungkin karena kejadian
di laut tempo hari saat kapal mereka diserang sekelompok bajak laut.
Mereka yakin kalau bajak laut yang masih
hidup dan tidak sempat mereka tangkap telah melapor pada pimpinannya.
Tidak tertutup kemungkinan, kalau
kedatangan mereka diawasi oleh kawanan perompak itu.
"Waspadalah, tentunya bajak laut
yang tempo hari lolos telah melaporkan pada pimpinannya. Tidak tertutup
kemungkinan, kedatangan kita diawasi
mereka," kata seorang pendekar bertubuh tinggi tegap dalam bahasa Cina.
Tentunya pendekar ini yang menjadi pemimpin dari sembilan pendekar lainnya.
Di dada pemimpin pendekar dari
daratan Cina itu tertera sebuah lambang
seekor naga berwarna hijau dengan sepasang pedang menyilang. Gambar itu
mengandung arti kalau pendekar itu berasal dari Perguruan Naga Hijau, sebuah
perguruan besar di Cina yang banyak menghasilkan pendekar-pendekar tangguh dan
digdaya. Dia adalah kakak perguruan
tertua dari sembilan Pendekar Naga Hijau
lain di kapal layar itu.
"Baik, Koko Han Jin. Kami
senantiasa siap menjaga kemungkinan yang
akan terjadi. Kami siap mempertaruhkan nyawa untuk melindungi Koh Lie dan Nona
Cin Mei Lie," sahut salah seorang adik seperguruannya.
"Bagus Sebagai seorang pendekar,
kita harus bisa menjaga nama baik Perguruan Naga Hijau. Bersiaplah, sebab
sebentar lagi kapal akan mendarat..,"
pesan pemimpin rombongan yang bernama
Han Jin pada adik seperguruanya.
Mendengar ucapan itu, adik
seperguruan Han Jin segera
memberitahukan pada delapan pemuda lain untuk bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan yang bakal terjadi.
Kapal melaju dengan tenang, semakin lama
kian dekat dengan pesisir. Tanpa mereka ketahui, dari balik semak-semak sekitar
pesisir telah siap sekelompok anak buah Segoro Wedi untuk menunggu kapal itu
merapat. Nampaknya mereka sudah tidak sabar lagi untuk segera menyerang.
Kepungan itu dipimpin oleh tujuh orang
kaki tangan Segoro Wedi. Masing-masing pemimpin menempati tempat yang telah
diatur dengan seksama, hingga tidak akan ada jalan bagi orang-orang Cina itu
untuk meloloskan diri. Strategi mereka
benar-benar matang. Terbukti dari cara
mereka bersembunyi.
Tiga kelompok yang dipimpin oleh
tiga orang kaki tangan Segoro Wedi yaitu
Raja Setan Muka Ular, Kapak Iblis dan Tuak Iblis, berada paling depan. Mereka
akan melakukan serangan pertama.
Sedangkan sekitar dua puluh lima tombak
di belakang mereka, telah siap empat kelompok yang masing-masing dipimpin oleh
Sepasang Hantu dari Kelangit, Pedang Akhirat dan Nyi Bangil.
Jika kelompok terdepan menghadapi
bahaya, maka empat kelompok yang ada di belakangnya akan segera membantu.
Sungguh strategi yang hebat. Untuk membuat strategi itu, tidak
tanggung-tanggung Segoro Wedi dan tujuh begundalnya mengerahkan hampir delapan
puluh orang anggota. Dan telah tertanam peringatan di benak mereka kalau mereka
tidak boleh melukai gadis Cina. Mereka harus
mendapatkan gadis itu dalam keadaan
hidup dan utuh. Jika gagal, sudah dapat dibayangkan akibat 'Pukulan Pasir
Beracun', sebuah pukulan dahsyat milik ketua mereka.
Mata mereka terus mengawasi kapal layar
yang melaju perlahan dan semakin mendekati pesisir. Mereka tidak tahu kalau
para pendekar yang mengawal kapal itu pun telah siap menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi.
Sebelum kapal layar itu benar-benar merapat
di pesisir, terdengar aba-aba berkumandang lantang, seakan hendak membelah
ombak yang datang di bibir pantai.
"Serbu..."
Keempat pemimpin yang berada di
barisan belakang tersentak kaget. Mereka
tidak menduga sama sekali kalau pasukan di barisan depan telah mendahului
menyerbu sebelum kapal itu merapat ke pesisir.
Mendengar seruan dari pemimpin
mereka, serentak pasukan pada lapisan
terdepan yang terdiri dari tiga puluh orang, berlompatan keluar dari
persembunyian mereka.
Para pendekar Cina yang berada di atas
kapal tersentak kaget. Beruntung mereka telah waspada, hingga mereka tidak
panik menghadapinya. Dengan sigap, sepuluh pendekar Cina itu menghadang di
tepian kapal yang tentunya akan dijadikan jalan bagi penyerang untuk naik.
"Kita sambut mereka di atas"
Terdengar perintah dari Han Jin
yang merupakan pemimpin para pendekar
Cina. Dengan tubuh tegang dan mata tak berkedip, mata mereka mengawasi serbuan
orang-orang yang masih terus berlari menuju ke arah kapal dan segera melompat
ke laut yang bergelombang setelah mereka
tiba di bibir pantai. Sebab, jarak kapal dengan pantai memang masih sekitar dua
puluh lima tombak. Hal itu menguntungkan bagi para pendekar Cina. Dengan
mengarungi laut berarti tenaga mereka
akan terkuras. Jadi ketika tiba di kapal, tenaga mereka akan tinggal separuh.
Nafsu mereka yang terlalu menggebu,
membuat mereka luput memperhitungkan hal itu. Mereka terus merenangi laut dan
berusaha sampai di kapal.
Ketika mereka tiba di kapal, segera
sepuluh pendekar Cina menghadang mereka.
Pedang di tangan sepuluh pendekar dari
Cina berkelebat cepat untuk membabat penyerang yang berusaha naik ke atas
kapal.
"Hadang... Jangan sampai ada yang
bisa naik" teriak Han Jin sambil mengayunkan pedang sedemikian rupa.
Gerakannya begitu cepat dan lincah,
sehingga pedang di tangannya hanya terlihat sebagai kilatan cahaya perak
mengelilingi tubuhnya. Setiap kali penyerang berusaha naik, dengan cepat pedang
di tangannya bergerak membabat ke arah tubuh lawan.
Cras
"Akh..."
Terdengar jeritan melengking
tinggi, disusul dengan melayangnya tubuh
korban jatuh ke laut. Sesaat tubuh itu
menghilang di bawah permukaan air laut yang tiba-tiba berwarna merah, kemudian
muncul kembali ke permukaan dengan keadaan tak bernyawa.
Begitu juga yang dilakukan sembilan
pendekar Cina lain, mereka dengan mudah menghalau penyerang. Pedang di tangan
mereka laksana malaikat pencabut nyawa yang haus darah, menciptakan kelebatan
maut yang senantiasa membawa korban. Tapi hal itu tidak menjadikan nyali anak
buah Segoro Wedi ciut, bahkan mereka semakin buas dan beringas. Mereka berusaha
naik ke atas kapal, walau kematian siap menghadang mereka.
Pembantaian terhadap para penyerang
membuat tiga pemimpin mereka menjadi sengit. Ketiganya kini ikut melesat cepat
ke arah kapal yang semakin mendekati pesisir. Hingga mereka tidak terlalu
membuang tenaga dengan mengarungi laut untuk sampai di kapal itu.
"Bangsat Kalian harus
mampus..."
maki Kapak Iblis murka.
Tokoh sesat bersenjatakan sepasang kapak
itu tidak sungkan-sungkan lagi mengeluarkan senjata yang sudah terkenal haus
darah manusia. Disertai dengusan sebagai tanda kemarahan yang tak
terbendung lagi, Kapak Iblis memburu ke
arah Han Jin. Sepasang kapaknya bergerak
dengan ganas, menimbulkan suara
dengungan yang memekakkan telinga.
Han Jin tersentak mendapat serangan
tiba-tiba itu. Beruntung dia tetap waspada, sehingga dengan memiringkan
tubuhnya ke samping, serangan itu dapat dihindarinya. Kemudian, tanpa berpikir
panjang, pendekar dari Cina itu balas menyerang dengan menusukkan pedangnya ke
tubuh lawan yang meluruk ke depan.
Kapak Iblis tersentak kaget, hampir saja
pedang di tangan lawan menghunjam ulu hatinya, kalau saja ia tidak cepat
berkelit dengan memutar tubuh. Sementara tangan yang memegang sepasang kapak
turut bergerak menangkis tusukan.
Tring
Dua buah senjata beradu keras.
Memercikkan pijaran api di udara. Lalu
kedua pemilik senjata itu dengan cepat melompat ke belakang. Wajah Kapak Iblis
berubah pucat ketika tangannya tergetar akibat benturan senjata tadi. Dia sadar
kalau lawannya bukan orang sembarangan.
Tenaga dalam lawan ternyata berada dua
tingkat di atasnya. Benar-benar tidak terduga oleh Kapak Iblis, kalau lawannya
yang masih kelihatan muda itu memiliki tenaga dalam hebat. Namun, bagaimana
mungkin dia harus mengakui keunggulan lawan di depan anak buah dan
gerombolannya? Hendak ditaruh di mana
mukanya?
Sesaat mata kedua orang itu saling
berpandangan. Nampak ketenangan di wajah Han Jin. Sepertinya, dia tidak
merasakan apa-apa atas benturan senjatanya dengan senjata lawan. Hal itu
membuat Kapak Iblis semakin penasaran bercampur marah.
Dia mendengus, kemudian kembali
menyerang.
"Heaaa..."
***
Sepasang senjata di tangan Kapak
Iblis bergerak dengan cepat ke arah Han
Jin, yang dengan tenang mundur sambil mengelitkan badan ke kiri dan kanan. Lalu
dengan cepat dia balik menyerang dengan tusukan serta babatan pedang yang
mengarah ke bagian tubuh yang mematikan.
Kapak Iblis yang sudah tahu
kehebatan tenaga dalam lawannya berusaha
menghindari bentrokan senjata. Matanya membelalak kaget, menyaksikan serangan
lawan yang datang begitu cepat dan mengarah ke bagian tubuhnya.
"Celaka..." pekik Kapak iblis.
Dia tidak menyangka kalau lawan yang semula dianggap enteng ternyata memiliki
serangan-serangan yang sangat berbahaya.
Kalau tidak hati-hati, dalam beberapa
gebrakan saja dia akan menerima
kekalahan.
Han Jin yang melihat lawannya agak
kerepotan, tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan tusukan dan tebasan pedang
yang cepat, dia terus menyerang Kapak Iblis.
"Gila... Benar-benar gila..."
maki Kapak Iblis sambil berusaha
berkelit. Serangan-serangan itu terus
mencecarnya. Seakan-akan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menarik napas.
Han Jin terus memberondong dengan
kombinasi pukulan, tendangan, serta tusukan pedangnya. Membuat Kapak Iblis kian
kewalahan. Dia hanya mampu
menghindar dari serangan, tanpa berani
untuk mengadu senjata kembali. Tapi hal itulah yang menjadikan kedudukannya
semakin terjepit.
Gempuran-gempuran yang dilancarkan oleh
Han Jin kian cepat dan deras pada setiap titik kematian. Tangan, kaki, serta
pedangnya silih berganti menyerang, seakan tidak ada ruang bagi Kapak Iblis
untuk mengelak dan balik menyerang.
Kapak Iblis mencoba membuka benteng
serangan lawan dengan menyodorkan satu serangan. Tapi hampir saja dia menjadi
korban ketika pedang lawan dengan tiba-tiba melesat ke arah tubuhnya. Setelah
itu tak ada lagi kesempatan baginya untuk bisa menghindar dari serangan
beruntun
itu. Sebab dia baru saja melakukan
salto, sementara kakinya belum sempat menginjak lantai kapal. Mungkin ini saat
kematianku, keluh Kapak Iblis dalam
hati.
Pedang di tangan Han Jin sekejap
lagi akan melubangi ulu hatinya, ketika
sebuah benturan terjadi tiba-tiba, hingga menyelamatkan nyawa Kapak Iblis dari
kematian.
Trang
Han Jin menarik mundur serangannya,
matanya memandang ke arah orang yang telah menggagalkan serangan tadi. Orang
tersebut kini terhuyung ke belakang dengan mulut meringis sambil memegangi
tangan yang terasa ngilu. Sedangkan pedang yang tadi digunakan untuk
menangkis, kini terpental jauh. Orang
itu yang tidak lain Raja Setan Muka Ular membelalakkan mata. Dia tidak
menyangka kalau kejadiannya begitu tak terduga.
Raja Setan Muka Ular yang tadinya
menyangka kalau pendekar muda itu ilmunya belum seberapa, kini harus membuka
mata dan mengakui kalau tenaga dalamnya masih di bawah pemuda bermata sipit
itu.
"Kalian mencari mampus" dengus
Han Jin gusar, kemudian tanpa banyak kata lagi dia berkelebat melabrak dua
orang yang menjadi lawannya dengan serangan cepat dan sulit diduga.
"Awas..." pekik Kapak Iblis
dengan
mata membelalak menyaksikan serangan
yang begitu
mendadak dan cepat.
Tangannya
mendorong Raja Setan Muka Ular,
sedangkan tubuhnya dengan cepat dibuang ke kiri untuk mengelakkan tusukan
pedang lawan.
Ternyata dugaannya meleset, pendekar
muda itu menarik serangan pedangnya, kemudian dengan gerakan yang sulit diduga
kakinya menendang ke arah lambung Kapak Iblis.
Deg
Tak ampun lagi, tendangan yang
disertai tenaga dalam tinggi itu
mendarat telak di lambung Kapak Iblis, mendorong tubuhnya hingga terpental
keluar dari kapal lalu jatuh ke laut
Hal itu menjadikan Raja Setan Muka Ular
seketika terkejut. Sulit
sekali
diikutinya gerakan yang dilakukan
pendekar muda dari Cina itu. Belum juga hilang rasa kaget di hati Raja Setan
Muka Ular, tiba-tiba dia dikejutkan oleh serangan cepat yang dilakukan oleh
pendekar muda itu. Sebuah tusukan pedang melesat ke arah ulu hatinya. Mau tak
mau Raja Satan Muka Ular segera menjatuhkan diri untuk menggelakkan
tusukan itu.
Tangannya yang masih agak sakit langsung
digerakkan, memukul ke arah selangkangan lawan yang dengan cepat memapaskan
pedangnya ke bawah.
"Celaka" pekik Raja Setan Muka
Ular perlahan.
Raja Setan Muka Ular berusaha
menarik pukulannya, tapi tebasan pedang
lawan ternyata jauh lebih cepat dibanding gerakannya. Tanpa ampun lagi, pedang
lawan menebas tangan kanannya.
Cras
"Aaa..."
Pekik kesakitan pun keluar dari
mulut Raja Setan Muka Ular. Disusul
sebuah tendangan cepat menghantam dadanya. Tak ayal lagi, tubuh Raja Setan Muka
Ular pun terpental keluar dari kapal dan jatuh ke air.
Empat begundal Segoro Wedi yang
masih bersembunyi di semak-semak
tersentak menyaksikan dua orang temannya
dapat dikalahkan. Kini yang tersisa di kapal itu hanya Tuak Iblis dan beberapa
anak buahnya.
"Keparat Kalau didiamkan terus,
korban akan semakin banyak di pihak kita.
Nampaknya Tuak Iblis pun tak mampu
berbuat banyak menghadapi serangan pendekar-pendekar Cina itu. Kite bantu
dia," kata Pedang Akhirat "Kalian serang sembilan pendekar lainnya.
Bantu Tuak Iblis. Kami berempat akan mengeroyok pendekar itu. Serbu..."
Mendengar aba-aba itu, lebih dari lima
puluh orang dengan spontan
berlompatan keluar dari persembunyian
mereka diikuti oleh empat pimpinan
mereka. Dengan semangat tinggi mereka
menyerbu ke arah kapal.
Seperti telah direncanakan, sekitar lima
puluh orang anak buah itu segera membantu Tuak Iblis menghadapi sembilan
pendekar dari Cina itu. Sedangkan empat pemimpin mereka kini mengurung pemimpin
pendekar muda dari Cina yang sudah diketahui berilmu tinggi.
Pertarungan yang tadinya tidak
seimbang kini bertambah seru, karena
banyak para penyerang mengalami kematian.
Bahkan dua orang pemimpin mereka entah
bagaimana nasibnya. Semangat para penyerang yang tadinya telah melemah, kembali
berkobar. Mereka dengan berani mencoba merangsek sembilan pendekar muda dari
Cina, walau untuk itu mereka harus mengorbankan nyawa. Sebab, sembilan pendekar
muda dari Cina itu ternyata bukan lawan enteng. Ilmu mereka semuanya setara,
membuat gerakan mereka terlihat demikian kompak dan cepat
Kegaduhan di atas kapal itu rupanya
mengejutkan orang yang berada di bawah.
Termasuk saudagar Cina yang bernama Koh
Lie dan anaknya, Cin Mei Lie. Ayah dan anak itu segera naik untuk mencari tahu
apa yang sebenarnya terjadi. Dan, betapa kagetnya mereka ketika menyaksikan
para pengawal tengah bersabung nyawa.
"Oh Apa yang terjadi.
Ayah...?"
tanya gadis cantik jelita berkulit
kuning langsat itu. Di matanya terbayang kengerian menyaksikan pertarungan yang
memakan korban hingga berserakan di atas kapal.
Sang Ayah tak dapat menjawab. Dia tidak
tahu pasti apa yang tengah terjadi.
Saat itu, terdengar suara perintah dari
pendekar muda yang tengah dikeroyok oleh empat penyerangnya.
"Koh Lie, cepat selamatkan diri
Bawa Nona Mei Lie pergi..."
8
Koh Lie dan putrinya kebingungan.
Mereka tidak tahu harus berbuat apa.
Membantu kesepuluh pendekar untuk
menghadapi pengeroyok itu, rasanya tidak mungkin. Untuk lari juga sulit, sebab
di sana-sini terjadi pertempuran sengit yang mengerikan.
Melihat ayah dan anak itu masih
berdiri mematung kebingungan, pendekar
muda yang tengah menghadapi keroyokan empat lawan yang rata-rata berilmu
setingkat dengannya mau tak mau harus membagi perhatian.
Diputarnya pedang dengan cepat
membuat suatu lingkaran untuk melindungi
dirinya dari serangan yang dilancarkan oleh keempat lawannya.
"Cepat lari Tak ada waktu
lagi..." seru Han Jin lagi.
Setelah melihat tuan dan anaknya pergi,
dengan cepat perhatiannya kembali dicurahkan pada pertempuran yang tengah
dihadapi. Jurus-jurus pedangnya semakin dipercepat, menjadikan keempat lawannya
meski berilmu setingkat harus berhati-hati kalau tidak ingin bernasib seperti
Kapak iblis dan Raja Setan Muka Ular.
Dengan cepat keempat orang itu berpencar
mengelakkan serangan lawan, lalu mereka serentak menyerang dari empat penjuru.
"Heaaa..."
Serangan lawan yang datang dari
empat penjuru angin tidak membuat
pendekar muda itu gentar. Cepat-cepat kepalanya dirundukkan manakala senjata
milik Kelangit Anom yang berbentuk rantai dengan ujung bola besi berduri
sebesar buah kelapa melesat ke arahnya. Pedangnya digerakkan ke atas, menangkis
serangan senjata lawan. Sedangkan tangan kirinya menyerang ke arah lawan yang
berada di depan.
Tring
Terdengar suara beradu dua benda
yang terbuat dari logam keras disertai
percikan bunga api dan pekikan kaget Kelangit Anom ketika mendapatkan Ujung
senjatanya yang terbuat dari baja telah putus.
"Akh..." mata Kelangit Anom
membeliak, bagai tak percaya melihat kenyataan yang kini diterimanya.
Senjatanya yang belum pernah terkalahkan
oleh senjata lain, kini terputus oleh hantaman pedang di tangan pendekar muda
dari Cina itu.
Kalau Kelangit Anom kaget melihat
senjatanya putus, tidak kalah kagetnya Kelangit Sepuh yang tidak menduga kalau
dalam keadaan terjepit seperti itu, Han Jin masih mampu melontarkan pukulan
tenaga dalam yang mengeluarkan serangkum angin keras ke arahnya.
"Oh..." keluh Kelangit Sepuh
melihat selarik angin melesat ke arahnya.
Kalau saja dia kurang waspada dan tidak
cepat berkelit dengan menggeser kaki ke samping, sudah barang tentu tubuhnya
terhantam satu pukulan dahsyat. Pukulan itu luput beberapa rambut di
sampingnya.
Tak urung pakaiannya koyak akibat
terserempet angin pukulan lawan.
Darrr
Pukulan 'Naga Menyibak Samudera'
yang dilontarkan Han Jin menghantam sisi
kapal yang seketika hancur berantakan, membuat beberapa penyerang yang berada
di dekatnya terpental. Mereka adalah penyerang yang umumnya berilmu rendah.
Tubuh mereka langsung tertindih serpihan
kayu-kayu kapal. Sedangkan penyerang yang
berilmu lumayan melompat cepat untuk
menyelamatkan diri agar terhindar dari bencana itu.
Ketika kapal itu sudah benar-benar
merapat di satu dermaga kecil, maka pertarungan dilanjutkan di darat. Dengan
begitu, tampak gerakan mereka semakin leluasa.
Han Jin segera saja mencari tempat yang
luas untuk menghadapi empat
pengeroyoknya yang mengejar tanpa mau
membiarkan pendekar muda itu lepas.
"Mau lari ke mana, heh?"
bentak Pedang Akhirat
"Aku bukanlah pengecut seperti
kalian yang main keroyok Aku hanya mencari tempat yang agak lapang agar dapat
leluasa membantai kalian" tantang Han Jin lantang. Dengan segera
disiapkannya jurus-jurus andalan.
Pedangnya
dihunus di depan muka,
sementara matanya mengawasi gerakan
keempat orang yang mengurungnya.
"Heaaa..."
"Hiaaat..."
Empat orang itu menyerbu kalap
dengan senjata di tangan masing-masing,
diikuti pekikan membahana. Tubuh mereka bergerak laksana terbang dengan senjata
mengarah ke satu sasaran yang nampaknya masih tenang dan hanya menggeser-geser
kakinya. Baru ketika keempat penyerang
itu semakin dekat Han Jin bergerak cepat
Tubuhnya diputar sedemikian rupa, sementara pedang di tangan kanannya bergerak
membabat ke segala penjuru, sedangkan tangan kirinya memukul dengan pukulan
dahsyat yang terbukti mampu menghancurkan kapal.
"Heaaa..."
Melihat gerakan lawan yang begitu cepat
seketika keempat penyerang
tersentak. Mereka segera melompat
mundur, kemudian dengan
cepat mengubah
serangannya dan kembali melompat
menyerang.
"Hiaaat.."
Kembali senjata di tangan keempat
begundal Segoro Wedi bergerak ke satu titik di mana lawan berada. Kini mereka
benar-benar tak akan merubah lagi jurus serangannya. Mereka telah
memperhitungkannya masak-masak serangan
itu. Tenaga dalam mereka telah disalurkan ke tangan kanan yang menggenggam
senjata masing-masing. Hingga laju senjata di tangan mereka mampu mengeluarkan
angin dahsyat
Han Jin merasakan angin serangan
yang menerpanya begitu dahsyat. Namun
sebagai pendekar yang telah menjalani gemblengan keras, wajahnya sama sekali
tidak menunjukkan rasa kaget apalagi gentar.
Pedangnya digerakkan dengan
membentuk putaran di atas kepala.
Sementara tangan kirinya yang tidak
bersenjata, turut menghempas pukulan dahsyat ke depan, sedangkan kaki kanannya
dengan gerakan tak kalah gesit, menyepak ke belakang. Sungguh sebuah gerakan
yang sangat hebat. Jarang orang bisa melakukan gerakan-gerakan seperti itu.
Hampir semua anggota tubuhnya merupakan senjata ampuh.
"Heaaa...."
Keempat penyerang kembali harus
membuka mata menyaksikan gerakan yang
aneh dan dahsyat itu. Akan tetapi, tak ada kesempatan lagi bagi mereka untuk
menarik serangan karena jarak antara mereka dengan Han Jin telah demikian
dekat.
Trang
Benturan senjata mereka dengan
pedang Han Jin terjadi, menciptakan
percikan api dan keterkejutan keempat penyerangnya. Tangan mereka seperti
kesemutan.
Sementara itu, Han Jin rupanya
mengalami luka dalam yang cukup parah
akibat benturan tadi. Hingga dari sudut bibirnya meleleh darah kehitaman. Han
Jin menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menghilangkan rasa pening yang
berdenyut.
Matanya sedikit berkunang-kunang membuat
pandangannya agak meremang.
Di lain pihak, ternyata salah
seorang dari penyerang, yaitu Kelangit
Anom, nampak tergeletak tanpa nyawa. Di dadanya tergurat tanda hitam berbentuk
cakar naga. Ternyata ketika mereka menyerang, 'Pukulan Cakar Naga' yang
dilontarkan Han Jin tak mampu dielakkan Kelangit Anom. Tanpa ampun lagi,
pukulan dahsyat itu harus diterimanya.
Di sisi lain, Nyi Bangil nampak
memegangi dadanya yang terasa sesak. Dia
berusaha menahan rasa sakit akibat tendangan yang dilancarkan Han Jin.
Gerakan tendangan tadi yang begitu
cepat, hingga sulit baginya untuk mengelak.
Sedangkan Kelangit Sepuh dan Pedang
Akhirat masih tertegun merasakan tangan mereka yang berdenyut keras, sehingga
mereka tak segera bertindak menghabisi Han Jin yang kini terluka dalam. Mereka
sama sekali tidak menyangka, kalau tenaga dalam Han Jin masih mampu mengimbangi
tenaga dalam mereka. Padahal mereka terdiri dari empat tokoh yang rata-rata
berilmu tinggi dan disegani di rimba persilatan.
Sementara itu, sembilan pendekar
muda dari Cina lainnya tampak masih
sibuk menghadapi keroyokan yang dilakukan oleh Tuak Iblis dan anak buahnya yang
berjumlah cukup banyak. Ada sekitar dua
puluh orang yang terus berusaha menekan
mereka yang pantang menyerah. Sedangkan
Tuak Iblis dengan senjata tuaknya tak mau ketinggalan untuk menggempur sembilan
pendekar muda itu.
"Serang -terus Habisi
mereka..."
seru Tuak Iblis sambil menenggak
tuaknya.
Kemudian, dengan gerakan mulut yang
aneh, disemburkannya tuak itu....
Wusss
Tuak yang menyembur dari mulut Tuak
Iblis melesat cepat ke arah seorang dari Pendekar Naga Hijau yang bernama Can
Kok Han yang tengah dikeroyok oleh anak buahnya. Can Kok Han yang perhatiannya
tidak tertuju pada Tuak Iblis, tak dapat lagi mengelakkan serangan tersebut
"Cuhhh..."
"Akh..."
***
Can Kok Han menjerit. Sesaat
tubuhnya menggelepar-gelepar kejang
dengan tangan
menutupi mukanya yang
terasa sangat panas bagaikan terbakar.
Bahkan dari mukanya mengepul asap. Lalu,
tak begitu lama kemudian tubuhnya meregang dan mati.
Pertarungan semakin bertambah seru
dengan matinya salah seorang dari sembilan Pendekar Naga Hijau dari Cina.
Semangat anak buah Tuak Iblis yang
semula
surut kembali berkobar. Mereka dengan
berani kembali merangsek ke arah lawan yang tinggal delapan orang.
Kenekatan mereka tak dilandasi
perhitungan, sehingga dengan cepat
serangan mereka dapat dipatahkan oleh delapan adik seperguruan Han Jin yang
memiliki kepandaian di atas lawan-lawannya. Hingga pedang di tangan mereka
laksana malaikat maut yang dengan enteng mencabut nyawa.
"Bangsat Ini tidak bisa
didiamkan" dengus Tuak Iblis yang
kemudian melesat untuk
membantu anak
buahnya yang semakin bertambah kacau.
Tuak Iblis meneguk araknya dari
guci. Kemudian dengan penuh amarah yang
meledak-ledak dl dada, Tuak Iblis menyerang ke arah orang ketiga dari para
pendekar dari Cina yang bernama Lie Sauw Liang. Guci tuaknya bergerak cepat,
menyerang ke arah pendekar itu.
"Pecah kepalamu" bentak Tuak
Iblis.
Lie Sauw Liang tersentak, tak
menyangka akan diserang begitu cepat dan
tiba-tiba. Padahal saat itu dia tengah menghadapi gempuran anak buah Tuak
Iblis.
Untuk melindungi diri dari serangan Tuak
Iblis, Lie Sauw Liang membabatkan pedang untuk memapak luncuran guci. Secepat
itu pula Tuak Iblis menyemburkan tuaknya ke
muka lawan, hingga lawan yang tidak
menduga akan diserang oleh semburannya tak mampu lagi mengelak.
"Cuhhh..."
"Aaa..." Lie Sauw Liang
menjerit merasakan wajahnya terasa sangat panas.
Tangannya segera mendekap ke arah wajah.
Tubuhnya tak lama kemudian meregang dan
mats seperti yang dialami oleh temannya yang menjadi korban pertama.
Melihat dua orang temannya mat], ketujuh
orang pendekar muda dari Cina itu menjadi kalap. Terlebih-lebih ketika melihat
kakak seperguruan mereka tengah mengalami luka dalam dan nampaknya sulit untuk
bebas dari kepungan lawan. Ketujuh pendekar muda dari Cina itu kini menjadi
nekat. Mereka menyerang membabi buta, mencurahkan serangan yang cukup berbahaya
bagi para pengeroyok.
Tuak Iblis yang telah berhasil
membinasakan dua dari sembilan pendekar
muda itu terbahak-bahak. Dia semakin bersemangat. Serangan dengan guci tuaknya
kian gencar. Sesekali Tuak Iblis
menenggak tuak mautnya disertai serangan
ke arah lawan.
Pedang di tangan Tan Bing It
bergerak cepat, membabat dan menusuk ke
arah tubuh Tuak Iblis. Kaki dan tangan kirinya pun turut bergerak menangkis dan
menyerang.
"Cuhhh..."
Tuak Iblis menyemburkan lagi tuak
mautnya. Dengan cepat pendekar muda yang diserangnya melenting dengan tubuh
bersalto untuk mengelakkan serangan itu hingga luput dan tuak maut. Namun belum
juga kakinya sempat menginjak tanah, serangan dari Tuak Iblis menyusul. Guci
tuak yang juga merupakan senjata yang tidak boleh dipandang ringan, mendesing
ke arah tubuhnya.
Tan Bing It berusaha berkelit
dengan membuang tubuhnya ke samping.
Tapi sebuah tendangan kaki kiri yang
dilancarkan oleh Tuak Iblis
mengha-dangnya. Pendekar
muda itu hendak
melakukan gerakan menghindar, namun
tendangan Tuak Iblis lebih cepat
Buggg
"Huk...."
Tubuh Tan Bing It terhuyung ke
belakang dengan mata melotot berusaha
menahan rasa sakit akibat tendangan pada lambungnya itu. Tangannya mendekap
bagian tubuh yang terasa sakit hingga tubuhnya membungkuk. Pada saat itu,
sebatang tombak tanpa dapat dielakkan menghunjam dari belakang, tembus hingga
ke ulu hati.
"Aaa..."
Pendekar malang itu memekik dengan mata
melotot. Tangannya berusaha mencabut tombak yang
menancap di punggungnya,
namun maut telah mendahului. Tubuhnya
limbung, kemudian jatuh terkulai tanpa nyawa.
Kepanikan datang mendera keenam
pendekar muda dari Cina yang masih
hidup, terlebih ketika mereka mendengar jeritan yang menyayat. Ketika mata
mereka melirik ke arah kakak seperguruan mereka yang tengah menderita luka
dalam, mata mereka membelalak khawatir.
Han Jin terlihat memegangi
kepalanya yang melelehkan darah,
tersabet pedang di tangan Pedang Akhirat. Han Jin masih berusaha mempertahankan
diri, akan tetapi darah yang banyak keluar
menjadikannya tak mampu. Tubuhnya ambruk
dan mati.
Tuak Iblis yang melihat gelagat itu dengan
segera memberi semangat pada sisa-sisa anak buahnya yang masih berjumlah dua
puluh lima orang.
"Habiskan mereka"
Pertarungan jelas semakin tidak
seimbang dengan hilangnya rasa percaya
diri pada keenam pendekar muda dari Cina itu. Hal itu cukup menguntungkan bagi
Tuak Iblis dan anak buahnya. Mereka terus merangsek, berusaha secepat mungkin
menghabisi keenam pendekar dari Cina itu.
Hal itu menjadikan serangan yang
dilakukan tidak lagi terarah, hingga
mereka harus menerima kenyataan pahit
Ternyata dalam keadaan putus asa, keenam
pendekar dari Perguruan Naga Hijau itu melakukan pertarungan dengan nekat dan
untung-untungan. Tanpa ampun lagi, korban kembali berjatuhan, baik dari anak
buah Tuak iblis maupun dari pendekar-pendekar Cina itu sendiri
Kini tinggal seorang lagi dari
sepuluh pendekar muda Cina yang masih
hidup. Sedangkan di pihak Tuak Iblis, tinggal Tuak iblis seorang diri. Mereka
kini saling berhadapan, siap melakukan pertarungan penentuan. Tak begitu lama
kemudian, dengan diikuti pekikan dahsyat keduanya sama-sama melesat ke udara
untuk melakukan serangan.
"Heaaa..."
Tuak Iblis menghantamkan gucinya ke arah
lawan yang dengan cepat berkelit memiringkan tubuhnya dengan menggeser kaki
agak melebar. Kemudian dengan cepat tangan kanannya yang memegang pedang
bergerak menusuk ke arah ulu hati Tuak Iblis. Tusukan pedang yang cepat itu
hampir saja melubangi ulu hati Tuak Iblis kalau dia tidak segera merundukkan
tubuh ke bawah dengan cepat lalu menggeser kaki kanannya untuk melakukan
tendangan dengan kaki kanan.
Melihat serangan datang, dengan
cepat Sun Peng menarik serangannya, lalu
pedangnya dikibaskan ke kaki Tuak Iblis
yang mengarah ke selangkangannya.
Tuak Iblis tersentak. Serangannya
berusaha ditahan, namun terlambat.
Tebasan pedang lawan telah sulit untuk
dielakkan.
"Celaka..."
Tuak Iblis menjatuhkan diri ke
tanah, tangan kirinya cepat mencengkeram
selangkangan lawan. Gerakan itu bersamaan dengan tebasan pedang Sun Peng ke
arah leher Tuak Iblis. Seketika keduanya menjerit
Sun Peng matanya melotot karena
kemaluannya hancur teremas tangan Tuak
Iblis, kemudian tubuhnya limbung dan jatuh ke tanah tanpa nyawa. Keadaan Tuak
Iblis juga tak kalah mengerikan. Lehernya terpenggal. Kepalanya tergulir lepas
dari tubuh dengan mata melotot.
Pedang Akhirat, Kelangit Sepuh, dan Nyi
Bangil yang telah sembuh dari rasa sakit akibat tendangan lawan tak mampu
berbuat apa-apa. Mereka hanya mampu melihat bagaimana dua orang itu mati.
"Hai, sejak tadi kita tidak ingat
pada gadis itu Bagaimana kalau gadis itu mati? Bisa celaka kita. Ayo, kita cari
di kapal" ajak Pedang Akhirat pada kedua rekannya yang segera ikut
berlari.
Ketiga tangan kanan Segoro Wedi
yang masih hidup segera mencari gadis
Cina itu, namun mereka tidak
menemukannya.
"Celaka Rupanya mereka pergi ketika
kita sedang bertarung. Mari kita kejar, jangan pulang sebelum kita dapat
menemukan gadis itu...," seru Pedang Akhirat dengan wajah tegang.
Mereka tahu apa yang akan
didapatkan jika gadis Cina itu tidak
ditemukan. Tanpa membuang-buang waktu, ketiga begundal Segoro Wedi itu lari
meninggalkan tempat yang kini terhias oleh puluhan mayat.
9
Pemuda tampan berompi kulit ular
yang tidak lain Sena Manggala tengah
meneruskan langkah kakinya, setelah duduk istirahat di sebuah dahan pohon. Baru
saja hendak meneruskan langkahnya, tiba-tiba pendengarannya yang tajam
mendengar jeritan kematian. Disusul oleh suara teriakan seorang wanita.
Pemuda bertingkah laku seperti
orang gila itu kembali menghentikan
langkahnya. Tangannya menggaruk-garuk kepala, sedangkan keningnya berkerut.
"Oh, sungguh tiada hentinya
pembunuhan dan perkosaan di dunia ini.
Baru saja kulihat mayat-mayat
bergelimpangan di pantai utara. Kini,
kudengar suara kematian dan jeritan
seorang wanita. Hm, hidup...,"
gumam Sena. Nalurinya seketika menyeret kakinya untuk melihat apa yang telah terjadi.
Baru beberapa langkah dia ke utara,
matanya melihat seorang gadis cantik berkulit kuning, langsat dengan mata agak
sipit tengah berlari sambil berusaha memapah seorang lelaki yang telah lemah.
Di punggung lelaki setengah baya itu,
menancap sebuah senjata rahasia yang beracun. Hal itu terlihat dari wajahnya
yang kebiru-biruan.
"Mei Lie, cepatlah pergi.
Selamatkan dirimu...," ujar lelaki
setengah baya itu dengan suara lirih, mengharap anaknya yang bernama Mei Lie
pergi untuk menyelamatkan diri.
"Tidak, Ayah.... Ayah tak boleh
mati...."
Gadis itu menangis sambil terus
berusaha mendukung tubuh sang Ayah yang
semakin lama bertambah lemah, hingga pada akhirnya ambruk.
"Ayah..." pekik gadis Cina
itu, menangisi kematian ayahnya.
Hati Sena terenyuh melihat
kesedihan yang dialami oleh gadis Cina
itu. Perlahan kakinya melangkah mendekati gadis itu, kemudian dengan pelan
dipegangnya pundak si gadis.
"Nona..., sudahlah. Jangan kau
tangisi. Ayahmu telah meninggal. Semua
sudah menjadi suratan."
Mei Lie dengan terisak memandang
Sena. Kakinya tiba-tiba menyurut mundur
dengan pandangan takut. Melihat hal itu, Sena segera memperkenalkan dirinya.
Dengan harapan, gadis itu tidak takut
lagi. Tapi usahanya itu tidak mengubah keadaan.
"Nona, aku tidak bermaksud jahat
padamu," ucap Sena, mencoba meyakinkan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala,
sedangkan mulutnya nyengir. "Aku tak tahu harus berkata apa. Tapi
percayalah, aku bukan orang jahat seperti yang Nona duga."
Mei Lie tak lagi melangkah mundur.
Matanya yang agak sipit namun lentik dan
indah, memandangi sosok di hadapannya dari ujung kaki hingga ujung rambut
"Maafkan atas prasangka burukku
tadi...."
"Tidak apa... Kau orang asing di
sini dan nampaknya baru mengalami suatu kejadian yang menyedihkan. Kalau boleh
kutahu, bagaimana ceritanya hingga Nona sampai tersesat ke tanah Jawa Dwipa
ini?
Lalu siapakah lelaki ini?" tanya
Sena hati-hati.
Mei Lie kembali terisak, kemudian
menceritakan semua yang terjadi atas dirinya juga ayah serta para pengawalnya.
"Entah mengapa, mereka sepertinya
tidak bermaksud membunuhku," tutur
Mei Lie setelah menceritakan semua kejadian yang menimpa mereka.
"Jadi, mayat-mayat yang kemarin
kutemui, adalah mayat para pengawal kapal ayah Nona?" tanya Sena berusaha
memastikan.
"Tidak semuanya. Pengawal kami
hanya sepuluh orang. Selebihnya adalah begundal orang yang kudengar bernama
Segoro Wedi," jawab Mei Lie menegaskan, membuat mata pemuda itu membelalak
mendengar nama Segoro Wedi kembali diucapkan oleh seseorang sebagai simbol
kejahatan dan kekejaman.
Ingatan pemuda tampan yang tingkah
lakunya seperti orang gila itu seketika kembali ke masa sepuluh tahun silam.
Saat ayah dan ibunya dikeroyok oleh Segoro Wedi dan begundalnya. Dia sudah
mendatangi desa di tempat dia
dilahirkan.
Di sana telah didapatnya berita kalau
ayah dan ibunya mati di tangan Segoro Wedi.
"Jahanam Orang itu benar-benar
jahanam" dengus Sena seraya mengepalkan tinjunya. Tapi secepat itu pula,
pemuda itu tersenyum-senyum seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Ah,
sayang guru melarangku untuk mendendam. Kalau saja tidak...."
Sena tidak meneruskan kata-katanya,
tapi kembali mulutnya bertanya pada Mei
Lie.
"Nona, kulihat tadi kau dan ayahmu
berlari-lari. Kenapa?"
Setelah menyeka air matanya, Mei
Lie kembali bercerita sewaktu dia dan
ayahnya berlari meninggalkan kapal.
Setelah seharian berlari, akhirnya
mereka berhenti untuk istirahat. Tetapi rupanya Segoro Wedi dan ketiga temannya
yang masih hidup terus berusaha memburu.
Hingga
akhirnya
Segoro Wedi dan
begundalnya menemukan mereka.
Kejar-mengejar kembali terjadi.
"Seorang di antara mereka
melemparkan pisau beracun ke arah
ayahku, hingga Ayah mengalami kematian," isak gadis itu tak terbendung,
setelah menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya dan ayahnya.
"He he he.... Jadi Segoro Wedi ikut
mengejar?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Mei Lie mengangguk perlahan. Isak
tangisnya masih saja bersambung. Gadis itu benar-benar hancur hatinya, karena
ayahnya telah mati di tangan Segoro Wedi
***
"Mau lari ke mana, Manis? Bukankah
lebih baik kau menuruti keinginanku untuk
menjadi istriku.... Ha ha ha..."
Tiba-tiba terdengar suara keras
dari arah hutan yang membuat Mei Lie
tersentak. Seketika tubuhnya menggigil ketakutan setelah mengenali suara itu.
Gadis Cina itu hendak pergi meninggalkan
Sena, tapi dengan cepat pemuda itu mencegahnya.
"Tak usah lari, Nona...."
"Kenapa? Apakah kau teman
mereka?"
tanya Mei Lie semakin ketakutan. Matanya
memandang tajam ke wajah pemuda yang masih tersenyum sambil menggeleng-gelengkan
kepala itu.
"Bukan, aku bukan teman
mereka,"
sahut Sena.
"Lalu, kenapa kau melarangku
lari?"
tanya Mei Lie kembali dengan kecemasan
terlintas di wajahnya. Apalagi ketika matanya melihat empat orang keluar dari
dalam hutan. Seorang di antaranya adalah lelaki setengah baya dengan harpa
bertengger di punggungnya. Bibirnya menyeringai, membuat gadis Cina itu semakin
ketakutan. Seluruh badannya makin gemetaran.
Mei Lie berusaha melepaskan tangan Sena
yang masih menahannya agar tidak pergi.
"Lepaskan tanganku.
Tolonglah..."
pinta gadis itu semakin bertambah
ketakutan, sebab orang-orang yang
mengejarnya kini semakin mendekat.
Tetapi pemuda itu malah cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala seperti orang
gila.
"Tenanglah, Nona. Ketenangan akan
membuat semua masalah beres. He he he..." usai berkata begitu, Sena
kembali cengengesan.
Mei Lie akhirnya mau menuruti
nasihat Sena. Sementara pemuda itu
memandang keempat orang yang menatap mereka dengan angkuh dan tajam. Detak
jantung Sena terhenti sesaat dan matanya terbelelak lebar manakala melihat
lelaki angkuh berjubah merah dengan harpa di punggungnya.
Ingatan pemuda tampan berompi kulit ular
itu kembali melayang ke masa sepuluh tahun silam, bagaimana lelaki yang kini
melangkah ke arahnya berusaha memerkosa ibunya. Inikah Segoro Wedi? Tanya Sena
dalam hati seraya memandang tajam lelaki yang masih terlihat tampan itu.
Satu persatu, ditatapnya keempat
orang itu. Tiga orang telah dikenalnya.
Merekalah yang dulu telah menghancurkan
keluarganya. Tapi wanita muda dan cantik itu, tidak dikenalinya.
"Anak muda, berikan gadis itu
padaku Lalu cepatlah minggat dari hadapanku" bentak Segoro Wedi,
menyentakkan pemuda yang masih
memandangnya.
Sena tertawa nyaring. Kemudian
tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ah, kurasa aku tidak bisa
mengabulkan permintaanmu, sebelum aku
tahu apakah gadis ini mau atau tidak jika kau ajak. Bagaimana, Nona? Apakah kau
mau ikut dengannya?"
Tidak Aku tak sudi menjadi istri
pembunuh ayahku" sentak Mei Lie dengan mata terbakar dendam, memandang
liar ke arah Segoro Wedi.
Sena kembali tertawa riuh,
tangannya menggaruk-garuk kepala.
Tingkah laku pemuda itu seketika menyentakkan keempat
orang di depannya. Mereka
bertanya-tanya dalam hati, inikah pemuda
gila yang dimaksudkan Wangsana?
"Anak muda, jangan berlaku kurang
ajar di hadapanku Cepat serahkan gadis itu padaku, atau terpaksa kami
menghajarmu"
"Ha ha ha... Lucu sekali kau, Orang
Tua Tak ada angin, tak ada hujan.
Mengapa kau mau menghajarku? Ah,
aneh....
Aneh sekali," ejek pemuda itu
diiringi tawa terbahak. "Mengapa orang masih saja suka memaksakan
kehendak?"
Tanpa menghiraukan semua orang yang ada
di situ, Sena berdendang menyanyikan sebuah syair lagi. Syair itu menceritakan
tentang sebuah kejadian sepuluh tahun
yang silam, di mana sepasang pendekar
suami istri dan keluarganya menjadi korban dari sifat tamak dan keji orang yang
selalu berusaha memaksakan kehen-daknya.
"Bocah edan Apa maksud syair yang
kau nyanyikan itu, hah?" bentak Segoro Wedi yang terkejut mendengar syair
itu.
Sena menghentikan nyanyiannya.
Wajahnya ditengadahkan memandang ke
langit yang biru, kemudian dia tertawa sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkah
lakunya itu membuat Segoro Wedi
mengerutkan kening. Dia teringat akan
seorang pendekar sakti yang selama hidup belum ada yang mampu menandingi
ilmu-ilmu yang dimilikinya. Tapi pendekar itu hilang puluhan tahun yang silam.
Kemudian muncul seorang yang mirip dengan pendekar itu, bernama Singo Edan.
Tidak mungkin Singo Edan pun telah
hilang dari dunia persilatan. Lalu, ada hubungan apakah pemuda ini dengan kedua
orang itu? Tanya hati Segoro Wedi, mencoba menerka-nerka siapa sesungguhnya
pemuda gila di hadapannya.
"Orang tua, bukannya aku tak tahu
apa maksud syair yang baru saja
kudendangkan tadi, tapi tentunya kau dan
kedua temanmu sudah mengerti," jawab Sena dengan tenang. Bibirnya masih
cengengesan. Jawaban itu membuat Segoro
Wedi dan kedua temannya semakin
terkejut.
Mereka telah menduga, kalau syair itu
memang ditujukan kepada mereka.
"Bocah edan Cepat katakan, siapa
kau sebenarnya?" bentak Segoro Wedi gusar, merasa dipermainkan oleh pemuda
sinting yang dianggapnya masih bau kencur dan tidak memiliki apa-apa.
Sena yang mendapat julukan Pendekar Gila
sesaat memandang Mei Lie, lalu beralih menatap Segoro Wedi dengan tatapan
tajam.
"Orang tua, sesungguhnya kau yang
telah banyak makan asam garam kehidupan, sudah tahu siapa aku. Tapi baiklah,
kuberi tahu siapa aku sebenarnya. Pasang telinga kalian baik-baik. Aku bocah
kecil yang kedua orangtuanya kalian bantai.
Ayahku bernama Citra Yuda, kakak
seperguruanmu...."
Sesaat Sena menghentikan ucapannya,
memandang lekat wajah Segoro Wedi yang berubah terkejut. Pemuda itu terkekeh,
seakan perubahan wajah Segoro Wedi merupakan hal lucu yang tak mampu menahan
tawanya.
"Ibuku bernama Dewi Rukmini.
Seorang wanita yang setia pada suaminya.
Dan karena cinta butamu, kau berusaha
memperkosa ibuku. Nah Cukup jelas, bukan?"
Merah padam wajah Segoro Wedi
dilanda amarah. Kini tak ada waktu lagi
untuk membiarkan pemuda gila itu hidup.
Pemuda itu akan senantiasa menjadi duri
dalam setiap sepak terjangnya. Dengan mendengus sengit Segoro Wedi berseru
memerintahkan pada ketiga rekannya untuk menyerang.
"Bunuh pemuda sinting itu..."
Tanpa diperintah dua kali, ketiga
pengikutnya segera menyerang pemuda gila yang masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala menyaksikan tiga orang menerjang ke arahnya.
"Bocah edan Terimalah kematianmu
Heaaa..."
Pedang Akhirat yang sudah tahu
siapa pemuda yang menjadi lawannya, kini
tidak tanggung-tanggung menyerang.
Niatnya untuk menghabisi nyawa pemuda
itu menggebu. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang yang turut terlibat
pembantaian kedua orang tua pemuda itu. Pedang di tangannya bergerak cepat,
menusuk ke ulu hati lawan.
Sena Manggala yang diberi julukan
Pendekar Gila tersentak kaget mendapatkan serangan yang cepat dan tiba-tiba.
Hampir saja pedang itu menghunjam di ulu hatinya, kalau saja pemuda itu tidak
segera sadar dan menggeser kakinya ke belakang. Kemudian tubuhnya disorongkan
ke kiri, mengelakkan hantaman senjata di
tangan Kelangit Sepuh.
Serangan mereka dapat dielakkan
Pendekar Gila yang dengan cepat bergerak
ke arah semula. Disusul satu gerakan aneh yang kelihatannya sangat lemah
gemulai, mirip gerakan orang gila yang sedang menari sambil sesekali menepukkan
tangan.
Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk
Lalat', salah satu dari jurus 'Ilmu Silat Si Gila'.
Ketiga orang lawannya terkejut
menyaksikan jurus aneh yang dilakukan
pemuda itu. Mereka menyangka jurus tersebut sangat lemah, terbukti dari
gerakan-gerakannya yang terlihat sangat lamban dan lowong.
Pedang Akhirat kembali merangsek
dengan tusukan pedang dan pukulan tangan
kiri ke arah lawan. Tapi kali ini dia harus membuka mata lebar-lebar, serta
menarik kedua serangannya dengan cepat kalau tidak ingin celaka. Ketika pedang
di tangan kanan Pedang Akhirat menusuk yang disusul oleh pukulan tangan kirinya
tadi, rupanya pemuda itu membabatkan kedua tangannya pada dada Pedang Akhirat
Gemulai sekali gerakan kedua kaki dan tangan pemuda itu, membuat Pedang Akhirat
berusaha kembali merangseknya.
Tapi gerakan yang nampaknya lamban itu
justru mengandung kekuatan yang kuat.
Dari angin pukulannya saja, sudah dapat
diketahui bagaimana dahsyatnya gerakan
itu. Itu pun belum seberapa, ada yang lebih mengejutkan Pedang Akhirat ketika
telapak tangan pemuda itu menepuk.
"Celaka... Jurus gila..."
pekik Pedang Akhirat kaget, Dia segera melompat ke belakang untuk menarik
tangannya. Tapi justru dengan menarik serangan itu, dirinya kini balik
diserang.
Sena masih menggerakkan kedua
tangannya seperti menari dengan lemah
gemulai. Sesekali tangannya menepuk bagaikan memburu lalat. Kedua kakinya pun
turut bergerak, melangkah dengan teratur.
Pedang Akhirat benar-benar terkejut
dibuatnya. Segenap tenaganya telah dikerahkan untuk mengelitkan serangan itu.
Tapi entah bagaimana caranya, tiba-tiba tangan pemuda itu telah berada persis
di depannya. Hampir saja dadanya terhajar kibasan punggung tangan itu.
"Uts... Keparat Pemuda gila ini
benar-benar bukan pemuda sembarangan,"
maki Pedang Akhirat sambil terus
bergerak mengelakkan serangan lawan yang datang secara aneh dan susul-menyusul
bagaikan tiada henti. Dia makin tidak mengerti, bagaimana mungkin gerakan yang
terlihat lamban itu bisa mengejar tubuhnya yang telah mengerahkan seluruh ilmu
peringan tubuh untuk menghindar?
Kedua orang temannya pun seperti
terpaku dengan jurus-jurus yang
dilancarkan pemuda itu. Keduanya terpana
dan hanya menjadi penonton. Sedangkan Segoro Wedi telah hilang entah ke mana
bersama gadis Cina yang telah ditotoknya.
Sambil menyerang dengan jurus-jurus
'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Sena
melirik ke tempat Mei Lie berada. Dia terkejut ketika tak melihat gadis itu,
begitu juga Segoro Wedi. Pikirannya buyar, hingga dia menjadi lengah.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh
Pedang Akhirat yang segera menendang ke arah dagu lawan.
Deggg
"Akh..." Sena mengeluh
tertahan.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang,
dan dari sela bibirnya mengalir darah segar. Pendekar Gila meringis, kemudian
menyeka darah di sela bibirnya dan diludahkan ke tanah.
Merasa telah dapat menyarangkan
sebuah tendangan ke dagu lawan, Pedang
Akhirat kembali berkelebat menyerang sebelum
pemuda
itu sempat menguasai
keseimbangannya. Sebuah tendangan,
pukulan, serta tusukan pedang mengancam jiwa Pendekar Gila.
"Mampuslah kau, Bocah Edan
Heaaa..." Sena tersentak kaget
ketika ujung pedang semakin dekat ke ulu hatinya. Cepat-cepat kakinya digeser
ke
samping untuk mengelitkan tusukan itu
sambil melancarkan tepukan ke arah kening lawan.
Tusukan Pedang Akhirat dapat
dielakkan, tapi pukulan dan tendangan
itu telak menghantam dada dan perutnya, bersamaan dengan tepukan tangannya yang
mendarat di kening Pedang Akhirat
"Ukh..."
Tubuh Sena kembali terhuyung-huyung ke
belakang. Darah segar makin banyak keluar dari mulutnya. Kedua tangannya
memegangi dada dan perutnya yang agak sakit. Sedangkan mulutnya yang basah oleh
darah, meringis-ringis dengan napas terasa agak sesak.
Sementara apa yang dialami oleh
Pedang Akhirat jauh lebih parah. Akibat
tepukan tangan Pendekar Gila, kening Pedang Akhirat hancur dengan memuncratkan
darah. Matanya melotot mengerikan.
Melihat temannya mati, Kelangit
Sepuh yang juga terlibat pembunuhan
kedua orang tua pemuda itu berusaha menyerang, selagi pemuda itu masih dalam
keadaan luka dalam.
Benda bulat berduri kini mendesing di
atas kepala Sena. Dan sambil menahan rasa sakit, kakinya digeser agak
mendatar, kemudian mendoyongkan tubuhnya
ke samping kanan.
Benda bulat berduri itu lalu
menghantam ruang kosong. Pemuda tampan
itu dengan masih menahan rasa sakit, kembali bergerak mengelitkan serangan
susulan benda bulat berduri yang berada di tangan Kelangit Sepuh. Benda itu
terus mencecarnya, seperti tidak memberi kesempatan padanya untuk mengatur
napas.
"Pecah batok kepalamu, Bocah
Gila..." bentak Kelangit Sepuh sambil menyerang kembali dengan senjata
mautnya.
Bola baja berduri itu sekali lagi
mengancam kepala Sena. Dan, kalau tidak dapat dielakkan, pasti kepalanya akan
hancur. Meski pemuda itu merasakan rasa sakit yang tak terkira di dada dan perutnya,
dia tetap berusaha bertahan dari serangan lawan.
Singgg...
Senjata lawan menderu ke arah
Pendekar Gila. Sesaat lagi, pasti batok
kepalanya akan remuk dihantam rantai berduri milik lawan. Dalam keadaan kritis,
pemuda itu mencabut Suling Naga Sakti dari ikat pinggangnya. Kemudian
ditebaskannya suling itu ke atas dengan mengerahkan sisa tenaga dalamnya yang
dilapisi Racun Kabut Ungu.
"Heaaa..."
Trang
Percikan bunga api keluar ketika
dua senjata itu beradu.
Pendekar Gila terpental, jatuh
terduduk dengan darah meleleh dari
sela-sela bibirnya. Sedangkan mata Kelangit Sepuh melotot tegang ke arahnya.
Dari mulutnya keluar kata terputus-putus.
"Kau.... Kau Pendekar Gila.... Kau
pemilik Racun..., Ka...."
Belum usai ucapannya, tubuh
Kelangit Sepuh telah terjungkal setelah
mengeluarkan darah kehitaman. Sesaat dia mengerang, kemudian mati dengan tubuh
biru
Nyi Bangil terlonjak ke belakang dengan
mata melotot tegang. Tatapannya ngeri, menyaksikan betapa dahsyatnya tenaga
dalam pemuda gila itu. Tanpa sadar, mulutnya mendesiskan julukan pemuda itu.
"Pendekar Gila...? Pendekar Gila
dari Gua Setan..."
10
Nyi Bangil menghampiri pemuda
tampan berbaju rompi kulit ular yang
tengah duduk bersila. Kelihatannya pemuda itu tengah berusaha menyembuhkan luka
dalamnya akibat tendangan dan pukulan Pedang Akhirat. Dari tubuhnya mengepul
asap berwarna ungu, menjadikan Nyi Bangil terkejut dan melompat mundur. Matanya
membelalak, dan dari mulutnya keluar desisan.
"Racun Kabut Ungu... Hei, dari mana
pemuda gila ini mendapatkan racun langka itu?"
Nyi Bangil masih tertegun, setelah
melangkah untuk menjauh. Dia tahu, apa-apa yang baru saja keluar dari tubuh
pemuda itu. Kalau orang biasa, sudah barang tentu akan lumpuh dan mati. Tapi
pemuda itu justru mampu mengatur racun ganas itu di dalam tubuhnya, sehingga
bisa digunakan untuk menyembuhkan luka dalam.
Pendekar Gila membuka matanya
perlahan setelah tubuhnya dirasakan
pulih kembali. Matanya memandang tajam pada Nyi Bangil yang mendadak ketakutan.
"Aku telah siap melayanimu
bertarung, Nyi..." tantangnya
dingin.
Semakin menjadikan Nyi Bangil menggigil
ketakutan. Bagaimanapun juga, dia telah melihat dengan mata kepala sendiri
bagaimana kehebatan ilmu pemuda gila yang diyakininya sebagai pewaris tunggal
Ilmu Singo Edan.
"Ti..., tidak. Ampunilah aku.
Sungguh bukan maksudku untuk ikut
komplotan Segoro Wedi. Aku sangat mengharap pertolongan darimu, Tuan Pendekar...,"
desis Nyi Bangil lirih.
Nyi Bangil terdiam sesat, matanya
memandang wajah pemuda yang tampan itu tanpa berkedip, menyebabkan hati wanita
itu tiba-tiba bergetar. Kemudian,
napasnya dihela dengan tarikan berat
"Dugaanku tentang dirimu pasti benar"
"Hm, dugaan apa?" gumam Sena.
"Apa yang kau lihat?"
"Dilihat dari jurus-jurus yang kau
lakukan, serta asap ungu yang keluar dari tubuhmu, aku tak sangsi lagi kalau
kaulah pewaris ilmu si Gila. Sungguh beruntung kau menjadi pewaris ilmu langka
itu.
Untuk itulah, kumohon pertolonganmu.
Bukan hanya untukku, tapi juga untuk
seluruh rakyat yang sangat mengharapkan pertolonganmu."
"Aku masih tidak mengerti,
Nyi,"
sahut Sena seraya berdiri dari silanya.
"Kau harus mengerti. Sebagai
seorang pendekar, apalagi sebagai pewaris ilmu si Gila, kau harus mengerti
penderitaan orang yang selama ini dalam
cengkeraman Segoro Wedi," tutur Nyi Bangil menegaskan.
"Hm, itukah yang kau
inginkan?"
"Bukan hanya aku, tapi banyak
orang," tegas Nyi Bangil.
Sena mengerutkan kening, kemudian muncul
lagi tingkah gilanya. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya, lalu terdengar gelak
tawanya yang membahana.
"Ah, benar juga apa yang kau
katakan, Nyi. Memang selama Segoro Wedi masih hidup, wilayah kadipaten ini tak
akan aman. Hm, baiklah. Aku akan
membantumu."
"Kalau begitu, cepat kita
menyusulnya" ajak Nyi Bangil yang
kemudian lari menuju ke arah utara, diikuti oleh Sena.
***
Segoro Wedi baru saja hendak
melepaskan pakaiannya untuk menggeluti
Mei Lie yang masih tak berdaya dalam pengaruh totokan, ketika terdengar suara
gelak tawa menggelegar disusul oleh teriakan keras.
"Segoro Wedi, aku datang untuk
menagih hutang padamu"
Segoro Wedi yang merasa hasratnya
terganggu, seketika menjadi marah.
Pakaiannya kembali dikenakan. Kemudian
dengan membawa harpa di pundaknya, Segoro Wedi keluar untuk melihat siapa yang
berani berkoar di tempatnya.
Kening Segoro Wedi mengerut ketika tahu
siapa yang datang. Dilihatnya seorang pemuda berompi kulit ular yang tingkah
lakunya seperti orang gila.
Tetapi bukan pemuda gila itu yang
membuat keningnya berkerut melainkan wanita cantik yang datang bersamanya.
"Kau...? Rupanya kau telah
berkhianat, Bangil Jangan salahkan aku
kalau tubuhmu akan kuhancurkan?"
dengus Segoro Wedi marah melihat Nyi Bangil berkomplot dengan pemuda gila itu.
"Segoro Wedi, dari dulu aku memang
menunggu saat-saat seperti ini Aku memang mencintaimu, meski kutahu kaulah
pembunuh kedua orangtuaku," tutur Nyi Bangil. "Tapi kau benar-benar
iblis berbentuk manusia Cintaku yang tulus, malah kau permainkan. Kau jadikan
aku budak nafsumu. Kini, terimalah
kematianmu"
Segoro Wedi tergelak-gelak men-
dengar ancaman Nyi Bangil. Dia masih
menganggap enteng pemuda berkelakuan gila yang bersama Nyi Bangil.
"Rupanya kalian datang untuk
mengantar nyawa. Baiklah, jika itu yang kalian minta. Tapi sebelum itu, aku
ingin tanya pada pemuda gila di sampingmu itu...," ujar Segoro Wedi seraya
menunjuk Sena. "Anak muda, tingkah lakumu mengingatkan aku pada Pendekar
Gila dan muridnya yang bernama Singo Edan. Ada hubungan apa kau dengan
mereka?"
Sena Manggala tertawa riuh sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
"Dengar, Segoro Wedi Aku adalah
murid tunggal Singo Edan, yang berarti cucu murid Si Gila dari Gua Setan"
Segoro Wedi terkejut mendengar
penuturan pemuda gila yang mengatakan
pewaris tunggal ilmu silat Gila dari Gua
Setan. Tapi hatinya yang sudah diliputi kepongahan tak mau peduli dengan
semuanya.
"Anak muda, aku tak peduli kau cucu
murid Si Gila dari Gua Setan Aku Segoro Wedi, penguasa rimba persilatan tak
akan takut menghadapimu Bersiaplah kalian untuk mampus. Heaaa..."
Tubuh Segoro Wedi melesat menyerang dengan
harpanya ke arah Pendekar Gila dan Nyi Bangil. Harpa di tangannya seketika
menjadi sebuah senjata yang sangat dahsyat dan membahayakan. Sehingga memaksa
keduanya melompat untuk
mengelakkan serangan itu.
Nyi Bangil yang sudah tak sabar
lagi untuk menghabisi manusia keji itu
segera mencabut pedangnya. Kemudian dengan cepat menyerang ke arah Segoro Wedi.
"Hiaaat.."
Melihat serangan pedang Nyi Bangil
menuju ke arahnya, cepat Segoro Wedi menggeser kakinya ke samping. Kemudian
dengan memiringkan tubuh, tangannya yang memegang harpa menderu ke arah lawan.
Serangan Nyi Bangil dapat
dielakkan, malah harpa di tangannya menghantam
punggung wanita cantik yang selama ini menjadi pelampiasan nafsunya.
Wanita itu memekik, dan tubuhnya
terpelanting ke depan, kemudian jatuh
dengan muka mencium tanah.
Melihat Nyi Bangil jatuh, Pendekar Gila
dengan geram melenting untuk menyerang. Jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
dikeluarkannya, membuat tubuhnya meliuk-liuk laksana menari dengan tangan
sesekali menepuk ke arah lawan.
Gerakannya kelihatan lamban dan lemah
gemulai, membuat Segoro Wedi menganggap enteng.
Segoro Wedi segera menyabetkan
harpa di tangannya ke arah lawan. Dia
menyangka gerakan Pendekar Gila yang lamban dan lemah itu tak akan mampu
mengelakkan sabetan harpanya. Tapi betapa terkejut hatinya ketika menyaksikan
apa yang terjadi
Pemuda berkelakuan seperti orang
gila yang mengaku sebagai pewaris ilmu
Si Gila dari Gua Setan dan menurut dugaannya tak akan mampu mengelakkan
serangannya, ternyata justru sebaliknya. Meski gerakan pemuda itu kelihatan
lamban dan lemah, namun justru dengan mudahnya mengelak.
Hanya dengan menggeser kaki ke samping
dan melenturkan tubuh dengan membungkuk dan mendongak, semua serangan lawan
dapat dielakkannya. Bahkan kini tepukan pemuda itu mengejutkan Segoro Wedi.
Plak
Hampir saja Segoro Wedi dapat
ditepuk oleh tangan pemuda itu, kalau
tubuhnya tidak segera melompat ke belakang. Tidak alang kepalang kagetnya
Segoro Wedi ketika tiba-tiba tangan pemuda yang seperti menari itu telah dekat
ke arahnya. Padahal dia telah menguras ilmu meringankan tubuh, namun tetap saja
pemuda itu mampu mengejarnya.
"Jurus gila..." pekik Segoro
Wedi, kecut menyaksikan jurus aneh yang dikeluarkan pemuda itu. Tapi sebagai
orang yang telah banyak pengalaman, Segoro Wedi tidak mau mengalah begitu saja.
Segera tubuhnya melenting untuk mengelakkan serangan Sena, kemudian dengan
cepat dibukanya jurus andalan yang dinamakan 'Cakar Seribu Iblis'
Tangan Segoro Wedi seketika berubah
menjadi banyak karena cepatnya. Tangan dengan jemari membentuk cakar itu, kini
mencabik ke arah Pendekar Gila. Ke mana pemuda itu bergerak, tangan Segoro Wedi
terus mencecarnya dengan cakaran-cakaran maut
"Hiaaat.."
Tangan itu terus bergerak dengan cepat,
mencakar atau mencengkeram ke arah Pendekar Gila yang hanya mengelak dan
melompat. Belum juga pemuda itu bisa melepaskan diri dari serangan gencar
'Cakar Seribu Iblis', Segoro Wedi telah
menambah serangannya dengan pukulan maut
yang dinamakan 'Pukulan Pasir Baja'.
Pukulan itu semakin merepotkan Pendekar
Gila yang belum berpengalaman dalam rimba persilatan.
Beberapa kali Pendekar Gila harus berjumpalitan
untuk mengelakkan serangan-serangan maut yang dilancarkan Segoro Wedi.
Nampaknya Segoro Wedi tidak mau memberikan waktu barang sekejap untuk bernapas.
Dia terus mencecar pemuda itu dengan pukulan dan jurus mautnya.
"Gawat.. Kalau terus begini, bisa-bisa
aku mampus" gumam Sena perlahan.
Tubuhnya terus bersalto mengelakkan
serangan gencar lawan. Sekali saja dia lengah, berarti kematian baginya.
"Mampuslah kau, Pemuda Gila
Tamatlah riwayatmu.... Ha ha ha..."
Segoro Wedi kian bertambah congkak dan
pongah menyaksikan lawannya hanya mampu bersalto mengelitkan
serangan-serangannya. Dia semakin gencar
menyerang, menguras tenaganya.
Pendekar Gila terus berpikir sambil
menggaruk-garuk kepalanya. Ah, kenapa aku tidak mencoba menggunakan jurus 'Si
Gila Membelah Awan'? Pikir Pendekar Gila.
Kemudian setelah melakukan salto
mengelakkan serangan lawan, pemuda itu
mengeluarkan jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Tangan dan kakinya dipentang
lebar-lebar. Kemudian napasnya ditarik
dalam-dalam. Dan setelah itu, secara
bersamaan kedua tangannya bergerak seperti membelah dan kakinya
menendang-nendang sesuatu.
"Hiaaat.."
Wesss...
Segoro Wedi tersentak kaget,
melihat serangannya dapat dikandaskan
oleh jurus yang dilakukan oleh lawannya.
Kini giliran pemuda itu mencecarnya
dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan', sebuah jurus yang dahsyat. Setiap sabetan
tangan-tangan yang bergerak membelah, menimbulkan desingan angin yang dahsyat
"Edan Rupanya dia benar-benar
Pendekar Gila dari Gua Setan Semua jurus yang dilakukannya adalah jurus-jurus
dari
'Ilmu Silat Si Gila'" pekik Segoro
Wedi kaget sambil terus mengelakkan serangan-serangan Pendekar Gila yang dahsyat
namun terlihat lamban.
Segoro Wedi berkelit, mencoba
mengelakkan sabetan tangan dan jejakan
kaki Pendekar Gila. Tapi malang ternyata gerakan yang dilakukan Pendekar Gila
tadi hanya sebuah jebakan. Selanjutnya serangan-serangannya tak dapat dielakkan
lagi.
Deggg
Kaki Pendekar Gila mendepak
punggung Segoro Wedi sangat keras,
sampai-sampai tubuhnya terhuyung ke depan
hingga tersuruk mencium tanah.
Pendekar Gila tergelak-gelak sambil
menggaruk-garuk kepalanya. Dibiarkannya Segoro Wedi merutuk dan mencaci maki
sambil berusaha bangun. Dia terus tertawa, berjingkrak-jingkrak seperti monyet
gila.
"Bangsat Jangan kira aku akan kalah
olehmu, Pendekar Gila Meski ilmu gilamu memang hebat, tapi aku tak akan kalah.
Terimalah ini..."
Segoro Wedi segera menggerakkan
jemarinya untuk memetik senar harpa.
Seketika alunan harpa terdengar. Suara
itu melengking tinggi, membuat gendang telinga bagaikan hendak pecah.
Pendekar Gila tersentak, segera
tenaga dalamnya dikerahkan untuk
membendung suara dentingan senar harpa
yang memekakkan. Tapi, ternyata suara itu jauh lebih kuat menyerang telinganya.
"Ohhhh...," keluh Sena.
Seketika lututnya teras lemas dan
perlahan-lahan tubuhnya semakin merendah dan kian rendah. Dan kini dia berlutut
dengan kedua tangan masih menutup telinganya yang semakin terasa sakit
"Ha ha ha..."
Mendadak Sena melepas tawa keras
menggeledek. Suara tawanya amat dahsyat,
hingga mampu merontokkan daun pohon sekitar arena pertarungan. Tapi tetap
saja desakan suara harpa masih
dirasakannya.
Tubuh Sena menggigil, menahan rasa sakit
yang tiada terkira. Semakin dia mencoba mengerahkan hawa murni dan tenaga
dalam, kian terasa sengatan suara itu.
Saat tubuhnya masih terduduk, dicobanya
untuk memusatkan pikiran. Dicobanya terus untuk bertahan dari serangan suara
harpa.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-
tiba Pendekar Gila teringat pada Suling
Naga Sakti pemberian Eyang Singo Edan yang ada di pinggangnya. Seketika suling
itu dicabut dari pinggangnya, kemudian ditiupnya.
Suara Suling Naga Sakti yang ditiup oleh
Pendekar Gila mengalun lembut.
Semakin lama semakin bertambah kencang
melengking. Suara suling itu terus mendesak suara harpa yang tak juga mau
kalah.
Glarrr
Terdengar ledakan menggelegar,
ketika dua kekuatan saling beradu.
Sedangkan kedua orang yang tengah
bertarung itu sama-sama terpental. Segoro Wedi terpental tiga tombak ke belakang
dengan darah meleleh di sela bibirnya.
Sedangkan Pendekar Gila tersurut dua
tindak dalam keadaan tetap bersila.
"Uhk..., uhk.... Kau hebat,
Pendekar Gila Tapi aku belum mau kalah.
Terimalah seranganku. Heaaat.."
Tubuh Segoro Wedi melesat bagaikan
terbang. Harpa di tangannya kini siap menghantam lawan.
Pendekar Gila tak mau tinggal diam.
Dia pun melesat dengan Suling Naga
Saktinya.
"Heaaa..."
Dua orang berilmu tinggi, kini
sama-sama melesat laksana terbang. Dua
senjata di tangan mereka siap untuk menentukan siapa yang lebih hebat.
Sedangkan tangan kiri mereka yang
kosong, telah siap melakukan serangan pukulan sakti masing-masing. Pendekar
Gila dengan
'Pukulan Inti Bayu'nya. Sedangkan Segoro
Wedi kembali mengeluarkan 'Pukulan Pasir Baja'nya. Serangkum angin menderu
keluar dari tangan Pendekar Gila. Sedangkan selarik sinar seperti jutaan pasir
keluar dari tangan Segoro Wedi.
"Heaaa..."
Dua senjata di tangan mereka, dan
pukulan sakti di tangan kiri masing-masing siap beradu. Dan....
Trak Desss
"Hiaaat.."
Trak
Desss
'Pukulan Pasir Baja' yang
dilontarkan Segoro Wedi tersapu oleh
'Pukulan Inti Bayu' yang dilontarkan
Pendekar Gila. Tubuh Segoro Wedi bahkan
turut terpental dan melayang bagai tanpa bobot, diikuti pekikan menyayat.
Sementara harpa yang menjadi senjata
andalannya nampak hancur berantakan, tak mampu menandingi Suling Naga Sakti.
Saat tubuh Segoro Wedi melayang,
dengan cepat Nyi Bangil segera berlari
menyongsongnya. Pedang di tangan wanita cantik itu berkelebat cepat
"Hiyaaa..."
Desss
"Aaa..."
Lengkingan kematian terdengar,
bersamaan dengan ambruknya tubuh Segoro
Wedi tanpa nyawa. Tubuhnya hancur terbabat pedang Nyi Bangil yang kini justru
menangisi kematiannya. Kematian orang yang dicintai, sekaligus
dibencinya.
Pendekar Gila tertegun sesaat
menyaksikan kejadian itu. Kemudian dia
melesat ke kediaman Segoro Wedi untuk mencari Mei Lie.
"Nona Mei Lie.... Di manakah
kau...?"
"Koko.... Aku di sini,"
terdengar jawaban dari kamar yang tertutup.
Pendekar Gila segera menuju kamar itu.
Alangkah terkejutnya dia ketika membuka pintu kamar tersebut Matanya
membelalak, memandang tubuh Mei Lie yang
terkulai polos tanpa sehelai benang pun.
"Koko...," desis Mei Lie agak
tersipu-sipu.
Sena segera bergerak cepat.
Dibukanya totokan pada tubuh gadis
cantik itu.
"Koko.... Oh Terima kasih,
Koko...," desah Mei Lie seraya
memeluk tubuh Sena dalam keadaan masih polos. Hal itu membuat Sena salah
tingkah.
"Kenapa, Koko. Kau tak suka jika
aku senang?" tanya Mei Lie yang melihat Sena kebingungan.
"Bukan begitu, Nona Mei
Lie.
Tapi...."
"Tapi apa? Katakanlah,
Koko...?"
desak Mei Lie dengan tatapan mata penuh
harap. Ada detak aneh yang berdentang dalam dadanya kalau matanya beradu
pandang dengan pemuda tampan itu.
"Aku senang jika kau senang,
Nona...."
"Jangan panggil aku nona. Panggil
saja namaku..."
"Baiklah, Mei.,.. Kenakan lah
pakaianmu dulu," kata Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk
kepalanya.
Mendengar ucapan itu, Mei Lie
langsung menyadari keadaannya yang tidak
berpakaian. Kemudian, tubuhnya membungkuk untuk mengambil pakaiannya yang
tergeletak di bawah ranjang. Dan dengan
tergesa-gesa, setelah membalikkan tubuh, dia mengenakan kembali pakaiannya.
Tapi ketika telah selesai dan membalikkan tubuh kembali, Sena telah tiada.
"Koko..."
Mei Lie lari ke luar. Namun tetap saja
dia tidak menemukan pemuda tampan yang tingkah lakunya seperti orang gila itu.
Dia hanya menemukan sebaris tulisan Aku tak bisa membawamu, Mei Lie.
Pengembaraanku tak menentu.
Si Gila.
"Koko.... Tak tahukah kau akan isi
hatiku?" tangis Mei Lie setelah membaca tulisan itu, "Terus terang,
meski kau gila, aku mencintaimu. Kau telah banyak menolongku.... Mengapa kau
tinggalkan aku?"
Gadis itu masih menangis, ketika
sebuah belaian lembut menyentuh
rambutnya. Mei Lie menengok, dan melihat
seulas senyum di bibir seorang wanita cantik yang matanya masih sembab karena
habis menangis.
"Sudahlah, Nona.... Jangan kau
tangisi kepergiannya. Kalau memang jodohmu, kelak kalian akan bertemu,"
hibur Nyi Bangil.
"Kuharap begitu, Cici...,"
desah
Mei Lie hampir tak terdengar.
Kemudian Nyi Bangil membimbing Mei Lie
meninggalkan tempat itu yang kembali sepi bagaikan mati.
Nah, bagaimanakah kisah petualangan
Pendekar Gila selanjutnya? Dan, bagaimana pula kisah perjalanan Mei lie yang
sangat mengharapkan cinta Pendekar Gila? Apakah kelak mereka akan bertemu?
Untuk
mengetahui semua ini, silakan para
pembaca mengikuti serial Pendekar Gila pada episode-episode selanjutnya.
SELESAI
Emoticon