Sementara itu dipuncak
Galunggung...
Giri Mayang duduk bersila ditepi
lubang ke-
pundan. Segenap batinnya dipersatukan untuk men-
gadakan persekutuan dengan para
Iblis yang menghu-
ni di dalam kawah. Yang pada
malam purnama kema-
rin baru saja menerima korban
tujuh orang gadis. Te-
lah dipersembahkan dengan jalan
mencemplungkan
ketujuh gadis itu ke dalam kawah. Tak terlihat oleh
mata biasa ketujuh makhluk
kerdil penghisap darah,
duduk pula mengelilingi di
belakang wanita itu.
Sementara tak jauh dari gunung
itu di satu
puncak bukit, berdiri sesosok
tubuh menatap cemas
ke arah puncak Galunggung.
Dialah seorang wanita
tua dengan rambut putih yang
tergelung di atas kepa-
la. Berpakaian jubah serba
putih. Segera dapat dikena-
li yang tak lain dari si nenek
MURI ASIH.
Nenek sakti misterius ini
tampaknya sudah
maklum akan adanya bencana besar
yang bakal terja-
di. Cahaya merah yang membubung
dari puncak Ga-
lunggung telah membuat kecemasan
tokoh wanita sak-
ti ini.
“Celaka...! pertanda buruk dari
puncak Galung-
gung! Tampaknya bakal banyak
bencana yang akan
terjadi. Entah siapa yang telah
mengotori kesucian
puncak Galunggung itu..?"
berdesis suara wanita tua
ini.
"Hmm...! akan kulihat!
apakah tusuk kondeku
mampu melintasi lubang
kepundannya?" gumam wani-
ta tua itu lirih. Sebelah
lengannya tiba-tiba bergerak
mencabut tusuk konde emas yang
terselip digelung
rambutnya. Dengan kedua jarinya
nenek Muri Asih
menjepit tusuk konde itu.
Telapak tangannya yang
memegang tusuk konde itu tegak
menghadap ke ba-
wah dagu di atas dada bertumpu
dengan sebelah tela-
pak tangannya yang terbuka.
Sepasang mata wanita
tua itu bergerak mengatup, dan
bibirnya berkomat-
kamit membaca mantera.
Selang beberapa saat wanita tua itu kembali
membuka matanya. Sepasang mata
itu kini menatap
ke arah puncak gunung Galunggung. Lengan kirinya
kembali bergerak turun.
Sementara lengan kanannya
masih tetap berada di atas dada
menjepit tusuk konde
emas itu dengan kedua jarinya.
Dan... selanjutnya len-
gan kanannya segera terangkat ke
atas. Kemudian
bergerak mengayun. Membersitlah
tusuk konde emas
itu melesat ke udara bagaikan
anak panah terlepas da-
ri busurnya.
Tusuk konde emas itu sudah tak
menyerupai
tusuk konde lagi, melainkan
berubah menjadi secercah
sinar kuning yang berkilauan
meluncur pesat menuju
ke puncak gunung Galunggung...
Tak sampai sepemi-
numan teh, cahaya kuning kemilau
itu telah tiba tepat
di atas lubang kepundan puncak
gunung Galunggung.
Agaknya cahaya itu akan mampu
melewati lubang ke-
pundan itu dengan aman. Akan
tetapi tiba-tiba dari
atas puncak gunung itu membersit
dua larik cahaya
berwarna biru.
Kedua cahaya biru itu mengejar
cahaya kuning
berkilauan itu. Tampak wajah si
nenek Muri Asih be-
rubah menegang. Kedua lengannya
terangkat seperti
berusaha menarik kembali cahaya
kuning yang telah
dilepaskan. Akan tetapi terasa
tenaganya mengendur.
Cahaya kuning dari tusuk
kondenya tiba-tiba
lenyap. Ternyata telah berhasil
kena disergap dua ca-
haya berwarna biru itu. Dan
kedua cahaya biru yang
telah menyatu itu kini meluncur
kembali ke bawah, la-
lu lenyap. Terengah-engah si
nenek Muri Asih dengan
wajah berubah pucat. Tampaknya
dia seperti telah ke-
hilangan sepertiga dari tenaga
gaibnya yang lenyap
terbetot arus kekuatan dari dua
larik cahaya biru itu.
Tubuh nenek Muri Asih tampak
jatuh mende-
prok ke tanah. Namun cepat-cepat
dia, duduk bersila.
Sepasang matanya terpejam.
Bibirnya tampak komat-
kamit membaca mantera. Dengan
duduk bersila ber-
semadi itu si nenek Muri Asih tengah menghimpun
kembali kekuatannya. Sesaat
antaranya wajah si ne-
nek itu telah kembali cerah.
Lalu membuka matanya,
dan melompat berdiri.
"Luar biasa...! aku gagal
menarik kembali tusuk
konde emasku! Entah apakah dua
larik cahaya biru
itu?" desisnya tersentak.
Namun wanita sakti ini sege-
ra manggut-manggut. Jelaslah
sudah bahwa ada sesu-
atu di atas
puncak gunung Galunggung. Pembuktian
yang dicobanya melalui pertunjukan
barusan yang
mengalami kegagalan merupakan
bukti yang amat
kuat. Berarti kekuatan gaibnya
dapat dipatahkan den-
gan mudah oleh sesuatu di atas
puncak gunung itu.
Segera akan kuketahui..!"
gumamnya lirih.
Dan... melesatlah tubuh si nenek
Muri Asih dari atas
bukit itu. Sekelebatan saja
tubuhnya telah lenyap dari
atas bukit itu. Kemana gerangan
perginya nenek Muri,
Asih? Ternyata telah berkelebat
menuju ke sisi sungai.
Matanya jelalatan menatap ke
arah buah-buah kelapa
yang pohonnya banyak tumbuh di
sisi sungai itu. Wa-
nita tua ini menjumput sebutir
batu kecil. Lalu jentik-
kan jarinya ke atas. TES!
sebutir batu kerikil itu tepat
mengenai gagang sebuah kelapa
yang segera meluncur
jatuh ke tanah. Nenek Muri Asih
cepat menyambarnya.
Selanjutnya dengan gerakan cepat
seolah sepasang
tangannya laksana pisau telah
menguliti buah kelapa
itu lalu memapas dan
melubanginya. Dibuatnya lu-
bang yang cukup lebar, hampir
separuh dari bulatan
kelapa itu.
Apa yang diperbuatnya kemudian?
Nenek Muri
Asih duduk bersila dihadapan
buah kelapa yang sudah
terbuka dengan masih tergenang
airnya. Lalu pejam-
kan sepasang matanya untuk
bersemadi, dengan bibir
komat-kamit membaca mantera.
Selang sepeminuman
teh tampak wanita tua itu kembali
membuka matanya.
Menatap tajam-tajam ke dalam air
kelapa. Sementara
bibirnya tak hentinya
bergerak-gerak mengucapkan
mantera-mantera. Selanjutnya apa
yang terjadi kemu-
dian? Tampak wajah si nenek Muri
Asih berubah te-
gang. Alisnya menjungkat naik. Mulutnya
ternganga
separuh terbuka.
Dalam air kelapa itu kini jelas
membayang ca-
haya biru yang mulai terlihat
nyata bentuknya. Yaitu
sepasang tangan sebatas
siku yang bentuknya amat
menyeramkan. Melekat pada kedua
lengan manusia
yang tak dapat terlihat
wajahnya.
"Ah..! ? itulah SEPASANG
TANGAN IBLIS...!"
tersentak kaget nenek Muri Asih
dengan suara berde-
sis. Lalu melompat berdiri.
PRRAK! buah kelapa itu telah
dihantamnya
hingga hancur dengan hantaman
angin pukulan tela-
pak tangannya.
"Celaka! berbahaya sekali!
entah siapa si pemi-
lik Tangan Iblis itu! Pantas
tusuk konde Emasku tak
bisa pulang kembali!" Tak
lama nenek Muri Asih tam-
pak berlalu dari tepi sungai
dengan bibirnya kembali
perdengarkan suara berdesis.
"Celaka! celaka..! apakah
akan tiba masanya kekalahan besar buat golongan
kaum putih?" Dan
berkelebatlah wanita tua itu me-
ninggalkan tempat itu...
Sementara itu di atas puncak
gunung Galung-
gung...
Giri Mayang tampak tengah
memperhatikan
dengan seksama sebuah benda kuning
berkilauan
yang tak lain dari tusuk konde
emas yang telah tercek-
al di tangannya. Dari hasil semedinya memusatkan
kekuatan batin
untuk bersekutu dengan para iblis di
kawah gunung itu, Giri Mayang
telah mengerti bagai-
mana caranya mempergunakan
sepasang lengan Iblis-
nya. Ketika itulah membersit
cahaya kuning menyilau-
kan yang menyeberangi puncak
gunung, melintas di
atas kepundan. Tak ayal Giri
Mayang gerakkan sepa-
sang Lengan Iblisnya untuk
menyambar cahaya itu.
Ketika sepasang tangan itu
kembali menempel di len-
gannya menyatu kembali pada
tubuhnya, ternyata te-
lah mencekal sebuah tusuk konde
emas yang segera
diamatinya.
"Hm, agaknya telah ada
orang sakti yang mau
mencoba-coba mengusik ketenangan
ku di puncak Ga-
lunggung ini...!" desis
Giri Mayang. Mengikik tertawa
wanita iblis ini, seraya
selipkan benda itu ke balik pa-
kaiannya lalu melompat berdiri.
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
"Hm, tujuh setan kerdil!
kalian selidikilah di
sekitar tempat ini! berkata Giri
Mayang pada ketujuh
makhluk piaraan gurunya si Nenek
Lembutung. Ketu-
juh makhluk kerdil itu
membungkuk hormat, lalu ber-
kelebatan untuk menyebar
menjalankan perintah
mencari kalau-kalau bisa
dijumpai manusia sakti yang
telah melepaskan tusuk konde
emas itu. Sementara
Giri Mayang merapal ajiannya untuk segera mele-
nyapkan diri, hingga tubuhnya
tak nampak lagi oleh
mata manusia biasa...
***
DELAPAN
Kemanakah gerangan si Tutul
membawa maji-
kannya si Pendekar Wanita Pantai
Selatan yang duduk
di atas punggungnya dengan
memeluk erat lehernya
itu? Roro Centil tak berani
membuka matanya karena
bersitan angin yang terlalu
keras menerpa tubuhnya.
Seperti juga dalam perjalanan
yang biasa dilakukan
menjelajah dunia dalam
petualangannya, Roro Centil
selalu mengingat kebesaran Tuhan
yang telah membe-
rikan karunianya. Dengan
memiliki sahabat si Tutul
yang luar biasa itu Roro Centil
telah berpetualang ke-
tempat-tempat yang jauh.
keperbagai pulau di kawa-
san Nusantara pada masa itu.
Dua malam telah terlewati. Dalam
perjalanan
itu telah beberapa kali si
Tutul beristirahat memberi
kesempatan pada Roro untuk
menangsal perut. Bah-
kan sempat singgah di satu desa.
Namun tak bisa ber-
lama-lama karena si Tutul selalu
memberi isyarat den-
gan menggigit-gigit dan menarik
ujung bajunya agar
meneruskan perjalanan.
Kembali Roro Centil
mengarungi lautan yang
amat luas. Burung- burung camar menyingkir ketika
angin keras tahu-tahu membersit
melewati wilayah pe-
rairannya. Seorang nelayan tua
melengak kaget ketika
perahunya menjadi oleng karena
hempasan angin le-
wat telah menerpa layarnya.
Akan tetapi dia memang tak dapat
melihat apa-
apa. Kecepatan luncuran si Tutul
laksana hembusan
angin. Nelayan tua itu cuma
membelalak kaget seraya
menyambar dayung untuk menguasai
olengnya perahu
dengan bibir komat-kamit entah
do'a apa yang diba-
canya...
Selang kira-kira waktu setengah
hari, si Tutul
menghentikan luncuran. Ternyata
telah tiba di satu
daratan berpasir. Bukit-bukit
batu tampak bertebaran
disana-sini. "Ah, diwilayah
manakah ini...?" sentak Ro-
ro seraya melompat dari atas
punggung si Tutul. Ter-
mangu-mangu Roro Centil
memperhatikan tempat se-
kitarnya, yang melulu padang
pasir serta bukit-bukit
batu. Sementara si Tutul
tiba-tiba merubah dirinya
menjadi seekor harimau kecil
sebesar kucing. Dengan
menggeram dan
"mengeong" lirih sang Tutul kecil itu
menarik-narik ujung terompah
Roro.
"Aiiih, apa maksudmu,
Tutul...?" tanya Roro he-
ran. Si Tutul kecil kembali
menggeram dan mengeong
lirih, seraya kemudian melompat
ke arah sebuah batu
besar di sisi tebing batu.
Terpaksa Roro Centil melom-
pat menyusui. Sikap seperti itu
adalah menandakan si
Tutul mengajaknya untuk kesatu
tempat. "Mengapa
harus merobah menjadi anak
harimau...?" berkata Ro-
ro dalam hati.
Di atas batu besar itu si Tutul kecil mondar-
mandir menunggu kedatangan Roro.
Baru saja Roro
injakkan kakinya ke atas batu.
Si Tutul melompat
kembali ke bawah. Lalu apa yang
di lakukannya? Ter-
nyata si Tutul kecil
mengorek-ngorek pasir di bawah
batu itu seraya mengeram dan
mengeong tak hentinya.
Melengak Roro Centil, tak tahu
dia apa maksudnya.
Akhirnya Roro Centil cuma jadi
penonton saja, dengan
berjongkok di atas batu itu
memperhatikan tingkah la-
ku si Tutul kecil yang terus
menggali pasir hingga ber-
lubang. Tak memakan waktu lama
lubangpun semakin
dalam. Dan si Tutul kecil
seperti lenyap ditelan pasir
sekian lama ditunggu tak
munculkan dirinya. "Ah,
apakah yang telah terjadi
dengannya?" desis Roro den-
gan hati berdebar. "Ada
apakah di bawah batu besar
ini?" berkata Roro dalam
hati. Baru saja dia mau me-
lompat turun, si Tutul kecil
telah tongolkan kepalanya.
Ternyata pada moncongnya telah
menggigit sebuah tu-
lang lengan manusia. Tersentak
Roro dengan mata
membelalak. "Aiiiih?"
teriaknya tertahan karena terke-
jut dan herannya.
Baru saja meletakkan tulang
lengan itu di atas
lubang, si Tutul sudah masuk
lagi ke dalam lubang
itu. Tak lama keluar lagi dengan
membawa tulang-
tulang lainnya. Dari tulang
lengan, tulang leher, tulang
kaki sampai tulang pinggul dan rusuk kesemuanya
diseret keluar oleh makhluk itu.
Roro Centil cuma bisa
terpaku sambil garuk-garuk
kepala dan leletkan lidah-
nya tanpa mengetahui apa maksud
ulah si Tutul kecil
itu. Namun dia sudah dapat
menerka kalau di bawah
batu besar itu ada terdapat
kuburan manusia yang tu-
lang-tulangnya sedang digeret
keluar oleh sang hari-
mau Tutul kecil. Namun
kemisteriusan tingkah laku
sahabatnya itu membuat benaknya
tak habis memikir.
Hingga terpaksa Roro cuma
berdiam diri menunggu
habisnya tulang-belulang manusia
yang dibawa keluar
lubang oleh si Tutul.
Sementara Matahari memanggang
tubuh Roro
dengan panasnya yang menyengat
kulit. Namun Roro
Centil tetap tak beranjak dari
tempatnya untuk menge-
tahui kelanjutan dari apa yang
diperbuat sahabatnya
itu.
***
Kita tinggalkan dulu Roro Centil
yang tengah
bergelut dengan berbagai
pertanyaan dibenaknya itu.
Mari kita beralih kesekitar
wilayah gunung Galung-
gung. Giri Mayang ternyata
tengah mengumbar kesak-
tian sepasang Tangan Iblisnya.
Dua larik cahaya ber-
warna biru tampak membersit di
udara mengelilingi
beberapa buah desa.
Tampak satu kepanikan luar biasa
dari pendu-
duk kedua desa itu. Dengan
bersiyuranya dua larik
cahaya biru itu yang memutari
desa membuat pendu-
duk jadi ketakutan. Sementara
hawa dingin yang men-
cekam dan membangunkan bulu roma
menyelimuti
sekitar kedua desa itu.
Tiba-tiba terdengar
jeritan-jeritan menyayat ha-
ti ketika dua larik cahaya biru
itu meluncur turun.
Berjatuhan tubuh-tubuh tanpa
kepala dalam sekeja-
pan saja seperti dipoteskan saja
layaknya oleh lengan-
lengan mengerikan yang tak
terlihat oleh mata biasa.
Pekik ketakutan dan jerit
kematian membaur dalam
kengerian yang amat luar biasa.
Darah memercik dis-
ana sini membasahi tanah halaman
juga pada bilik-
bilik kamar. Lebih dari tiga
puluh manusia dari mas-
ing-masing desa mengalami
kematian dengan amat
mengerikan. Bukan saja
laki-laki, tapi perempuan dan
bahkan anak-anak yang tak
berdosa menjadi korban
ke "gila"an sepasang
tangan iblis.
Sementara dengan tertawa
mengikik Giri
Mayang duduk dengan kaki
menjuntai di atas wuwun-
gan rumah yang berada ditempat
agak tinggi menyak-
sikan bekerjanya sepasang Tangan
Iblisnya menyebar
maut.
Selang beberapa saat, tampak
wanita iblis itu
mengangkat sepasang lengan
buntungnya seraya ber-
kata dengan berdesis.
"Cukup!" Dan... Plash! kedua
lengan Iblisnya segera kembali
melekat ke tempatnya
semula, menelusup masuk ke dalam
lengan baju wani-
ta itu.
"Hihihihi... hihihi...
Mari, setan-setan kerdil! ki-
ta tinggalkan tempat ini!"
Dan selesai berkata tubuh
Giri Mayang segera melesat
lenyap dari atas wuwungan
rumah itu dengan diikuti tujuh
bayangan hitam dari
ketujuh makhluk kerdil yang
setia mengikuti tanpa
memperlihatkan diri.
Lagi-lagi Giri Mayang sengaja
menyebar maut
untuk memancing kemunculan para
pendekar.
Dan lagi-lagi rakyat yang tak
berdosa menjadi
korban! Pekik dan jerit serta
ratap tangis dari sisa-sisa
penduduk yang keluarganya
menjadi korban kegana-
san si Tangan Iblis segera
membaur didua desa. Se-
mentara Giri Mayang meninggalkan
tempat pemban-
taian itu dengan perdengarkan
suara tertawa mengikik
yang membuat bulu tengkuk
meremang.
Saat itu tiga bayangan tubuh
berkelebat me-
nyusul ke arah berkelebatnya
tubuh Giri Mayang. Ge-
rakan melompat dari ilmu
meringankan tubuh ketiga
orang yang mengejarnya itu cukup
hebat, pertanda
mereka bukan orang-orang biasa,
tapi orang-orang
yang mempunyai kepandaian tinggi
yang boleh dian-
dalkan. Sementara dari jurusan
lain dua bayangan ju-
ga berkelebat menyusul. Dialah
seorang laki-laki ber-
baju putih yang mempunyai
gerakan berlari cepat ba-
gaikan larinya seekor kijang. Di
belakangnya mengikuti
seorang wanita berbaju merah,
kembang-kembang.
Membawa sebuah topi tudung lebar
di lengannya.
Selarik cahaya putih yang
berkredepan meman-
jang laksana sehelai selendang
perak tiba-tiba melun-
cur menghalangi langkah lari
kedua orang ini. Terpak-
sa si laki-laki berbaju putih
menahan langkahnya den-
gan terkejut, yang diikuti si
wanita muda berbaju me-
rah. Sementara itu tiga
laki-laki yang tengah mengejar
Giri Mayang telah mendengar
suara halus yang dikirim
dari jarak jauh.
"Tiga orang gagah, tahanlah
langkah kalian!
Jangan mengumbar nafsu dan
menambah korban!"
Suara halus itu terdengar amat
berpengaruh, mem-
buat ketiga laki-laki itu segera
menahan langkah. Se-
mentara si laki-laki baju putih
dan gadis berbaju me-
rah kembang-kembang jadi
tersentak kaget ketika me-
lihat seorang wanita tua berdiri
kira-kira 10 tombak
dihadapannya. Cahaya selendang
perak itu terpaksa
membersit dari telapak
tangannya. Sesaat kemudian
tampak wanita tua itu gerakkan
lengannya seperti me-
narik kembali cahaya selendang
warna perak itu yang
seketika lenyap.
"Siapakah perempuan tua
itu?" bertanya gadis
yang berada di belakang
laki-laki baju putih. Pemuda
berwajah tampan itu menoleh.
"Ah!? kau mengapa
ikut-ikutan mengejar,
nona?" tanya si pemuda yang
tak lain dari Sambu Ruci si
Pendekar Selat Karimata
alias si Bujang Nan Elok.
"Hm, aku toh punya kaki!"
sahut gadis itu den-
gan merengut.
"Haiiih! semangat kalian
memang hebat, anak-
anak muda! Akan tetapi tahanlah
emosi kalian. Musuh
kalian itu adalah musuh kita
semua golongan kaum
pendekar, namun dengan kita
bertindak tanpa perhi-
tungan cuma akan sia-sia!"
terdengar suara halus si
wanita tua itu yang entah sejak
kapan telah berada di-
hadapan mereka.
Sementara itu tiga sosok tubuh
laki-laki tadi te-
lah berkelebatan melompat
ketempat itu.
"Nenek tua, siapakah kau?
mengapa mengha-
langi niat kami menumpas
keangkaraan yang amat ke-
terlaluan itu?" berkata
salah seorang dari ketiganya.
Ternyata mereka itu adalah tiga
laki-laki gagah yang
memang berada didesa itu. Yaitu
ketiga laki-laki yang
pernah mencari lenyapnya seekor
macam Tutul didesa
Kranji. Sudah beberapa malam
mereka menginap dide-
sa tersebut untuk berjaga-jaga dari kemungkinan
adanya tujuh makhluk kerdil yang
muncul didesa itu.
Wanita tua itu putarkan tubuhnya
untuk me-
natap ketiga Pendekar ini.
"Aku si tua renta ini berna-
ma Muri Asih. Sayangilah nyawa
kalian sobat-sobat
muda. Bukan aku mau mencegah
kalian dengan mem-
biarkan perempuan iblis itu
berlalu, tapi kukira mati
konyol adalah satu hal yang
paling sial! menyahut wa-
nita tua itu yang tak lain dari
nenek Muri Asih.
Perempuan iblis itu terlalu
berbahaya sobat-
sobat muda! Selain memiliki
Sepasang Tangan Iblis dia
juga membawa serta tujuh makhluk
kerdil penghisap
darah!" lanjutkan
kata-katanya nenek Muri Asih.
Melengak seketika ketiga
pendekar itu. "Tujuh
makhluk kerdil penghisap darah,
dan sepasang Tan-
gan Iblis...!?" Hampir
berbareng mereka tersentak ka-
get.
"Benar! aku telah
menyelidikinya, perempuan
iblis itu bernama Giri
Mayang!" tegaskan nenek Muri
Asih.
"Ah...!? tersentak kaget
Sambu Ruci.
***
SEMBILAN
SAMBU RUCI sebenarnya tak tahu
menahu
dengan pembantaian penduduk desa
itu. Dari arah
sungai dia mendengar suara jerit
dan pekik menyayat
hati di mulut desa yang telah
dilihatnya dari kejauhan.
Disamping terkejut melihat dua
larik cahaya berwarna
biru bersyiuran di angkasa, yang
menukik dan mem-
bumbung sebentar kelihatan
sebentar lenyap. Apapun
gadis berbaju kembang-kembang
itu dia tak menge-
nalnya, tapi Sambu Ruci
mengetahui kalau gadis itu
adalah gadis yang meniup
seruling di sisi sungai ketika
Sambu Ruci melintasi sungai
berbatu menyeberangi
dengan dua kali lompatan.
Sekilas pemuda ini telah
meliriknya, dan mengetahui kalau
si peniup seruling
itu seorang gadis.
Gadis itu hentikan tiupan
serulingnya, dan
membuka topi tudung dikepalanya.
Sejenak Sambu
Ruci menatap, dan dua pasang
mata segera beradu
pandang. Akan tetapi gadis itu
telah perdengarkan su-
ara dihidung lalu cepat-cepat
membuang muka dan
mengenakan lagi topi tudungnya,
untuk teruskan lagi
meniup seruling.
Melengak Sambu Ruci. Sekilas dia
memang da-
pat melihat satu wajah yang
cantik. Akan tetapi kece-
wa pemuda ini karena gadis itu
bukanlah orang yang
dicarinya. Yaitu Roro Centil.
Telah dua bulan lebih dia
gentayangan mencari kemana
lenyapnya si Pendekar
Wanita Pantai Selatan sahabatnya
itu.
Ada terbesit dihatinya untuk
mengetahui siapa
gadis peniup seruling yang telah
membuang muka se-
telah bertatap mata dengannya
itu. Akan tetapi tiba-
tiba dua larik cahaya berwarna
biru telah bersiutan di
angkasa. Membuat Sambu Ruci
tersentak kaget. "Ca-
haya apakah itu?" sentaknya
berdesis dan memandang
dengan terperangah memperhatikan
cahaya biru yang
berkelebatan itu. Dilihatnya
cahaya itu sebentar mun-
cul dan sebentar lenyap
berputar-putar ke beberapa
tempat. Otomatis si gadis
bertudung itupun hentikan
tiupan serulingnya untuk segera
membuka lagi topi
tudungnya dan menengadah
memperhatikan cahaya
biru yang berkelebatan di
angkasa.
Saat itulah dari tengah desa
yang tak berapa
jauh dari sungai itu terdengar
suara teriakan-teriakan
ketakutan dan jeritan menyayat
hati. Terkejut Sambu
Ruci. Serta merta tak ayal lagi
dia sudah berkelebat
melompat untuk memburunya
kesana. Sementara di-
am-diam si gadis peniup seruling
itupun ikut pula me-
lompat untuk berlari cepat
menyusul di belakang pe-
muda itu.
Tiga mayat dengan tiga buah
kepala yang su-
dah lepas dari tubuhnya dijumpai
Sambu Ruci diten-
gah jalan yang menuju ke desa.
Terkejut Sambu Ruci
ketika menjumpai lagi beberapa
mayat dalam keadaan
yang sama. Dan, tersentak
jantung pemuda ini ketika
melihat sesosok tubuh tengah
mengikik tertawa duduk
menjuntaikan kaki di atas wuwungan rumah. Belum
lagi dia tahu jelas wajahnya,
wanita itu telah berkele-
bat melesat dari atas wuwungan
rumah itu.
"Pasti perbuatan dia!"
desis Sambu Ruci dengan
geram. Tak ayal Sambu Ruci
segera berkelebat menge-
jarnya, yang diikuti pula oleh
si gadis peniup seruling
di belakangnya...
Kini mendengar penjelasan si
nenek Muri Asih
yang jelas adalah tokoh Rimba
Hijau yang berilmu
tinggi lagi-lagi dia tersentak
kaget karena wanita itu
tak lain dari Giri Mayang. Sambu
Ruci memang pernah
beberapa kali berjumpa bahkan
pernah bertarung den-
gan wanita iblis itu dan dia
pula yang berhasil mena-
bas putus sebelah lengan Giri
Mayang. Sedangkan se-
belah lagi tangan wanita iblis
itu diputuskan oleh keris
seorang pendekar tua yaitu
Gembul Sona alias si Belut
Putih, seperti yang telah
diceritakan dalam kisah:
Langkah-langkah Manusia Beracun.
"Anda mengenal wanita iblis
itu?" tanya nenek
Muri Asih.
"Benar! dialah musuh besar
sahabatku Roro
Centil! Aku pernah bertarung
dengannya beberapa
kali, bahkan dia pernah pula
menawan gadis Pendekar
sahabatku itu. Belakangan
manusia iblis itu berga-
bung dengan si Manusia Beracun.
Dalam pertarungan
terakhir kami berhasil menabas
putus kedua lengan-
nya...!" tutur Sambu Ruci.
Lalu ceritakan kejadiannya
hingga waktu itu dalam keadaan
terluka disaat mau
dihabisi nyawanya telah disambar
oleh sesosok tubuh
dan dibawa melesat melarikan
diri. Entah siapa peno-
long wanita iblis itu Sambu Ruci
tak mengetahuinya.
Dan dalam sekelebatan itu dia
mendengar suara Roro
Centil yang mengejar kemana
berkelebatnya si peno-
long Giri Mayang.
Sejak itu Sambu Ruci tak pernah
mendengar
lagi kabar berita wanita iblis
itu, bahkan sampai saat
ini tak pernah dijumpainya si
Pendekar Wanita Pantai
Selatan sahabatnya itu...
Nenek Muri Asih manggut-manggut,
lalu pa-
lingkan kepala menatap pada tiga
laki-laki Pendekar
yang masih berdiri mendengarkan
kisah penuturan
Sambu Ruci.
"Dan kalian ini
siapakah..?" tanya nenek Muri
Asih.
"Kami yang rendah adalah
tiga bersaudara.
Kaum persilatan menggelari kami
si Tiga Musafir Hati
Besi...!" sahut salah
seorang seraya menjura, yang se-
gera diikuti oleh kedua
laki-laki lainnya.
"Hehehe... pantas! hati
kalian sekeras besi. Tak
mengenal takut akan bahaya. Akan
tetapi untuk kali
ini harap anda bersabar dan
menahan diri. Keresahan
memang tengah melanda bukan saja
kaum Pendekar
Rimba Persilatan golongan Putih,
akan tetapi juga pi-
hak Kerajaan dan rakyat sekitar
wilayah ini. Bahkan
menjadi ancaman besar bagi umat
manusia umumnya!
Apakah kalian semua tak
mengetahui? kalau saat ini
puluhan mayat berkaparan di dua
desa akibat kegana-
san Sepasang Tangan Iblis si
Giri Mayang itu...!" Te-
gaskan Nenek Muri Asih.
"Kami tak melihat apa-apa,
apakah Tangan Iblis
yang anda maksudkan adalah dua
larik cahaya ber-
warna biru itu?" tanya
salah seorang dari Tiga Musafir
Hati Besi.
"Benar! Aku telah mengikuti
cahaya biru itu
yang membantai desa disebelah
sana hingga kemudian
meluncur ke desa ini. Ternyata
wanita Iblis itulah yang
telah melepaskan Sepasang Tangan
Iblisnya! Sejak ke-
jadian aneh pada beberapa hari
ketika puncak Ga-
lunggung membersitkan cahaya
merah itulah saat si
Perempuan Iblis itu memiliki Sepasang Lengan Iblis!
sahut Muri Asih seraya berikan
penjelasannya dengan
menatap silih berganti pada
semua orang yang menge-
lilingi. Tak satupun yang
membuka suara kecuali sama
menatap pada nenek Muri Asih
yang tengah memberi-
kan penjelasannya mengenai
wanita bernama Giri
Mayang itu. Dan lanjutkan penuturannya
wanita tua
itu...
Disamping mempunyai sepasang
lengan yang
mengerikan itu turut pula
bersamanya ketujuh mak-
hluk kerdil penghisap darah
seperti yang telah kukata-
kan tadi! Oleh sebab itu akan
sia-sialah kalian bila
menempur perempuan Iblis itu
pada saat ini. Nah, ku-
kira banyak jalan bagi anda
Pendekar-pendekar muda
jika ingin turut membantu
menegakkan keadilan dan
kebenaran dibumi ini.
Langkah yang harus kalian ambil
saat ini ada-
lah sebaiknya membantu penduduk
mengebumikan
mayat-mayat...! Apakah
pendapatku dapat kalian teri-
ma?"
"Ah... dengan segala senang
hati kami bersedia
untuk itu, nenek Muri
Asih...!" Tergesa-gesa mereka
saling menyahut dan menjura
dengan membungkuk-
kan tubuh. Wanita tua itu
tersenyum. "Nah, lakukan-
lah! pertolongan kalian sangat
diharapkan. Wanita Ib-
lis itu akan ku usahakan untuk memancingnya ke-
tempat yang tak dikunjungi
manusia. Sementara kita
Kaum Pendekar mencari jalan
untuk menumpasnya...!
Aku telah hubungi beberapa tokoh
Kaum Rimba Hijau
golongan putih untuk segera kami
berembuk...! Karena
Giri Mayang bukanlah musuh
perseorangan, akan te-
tapi musuh seluruh umat
manusia...! Kemerajalelaan-
nya akan banyak menimbulkan
musibah yang amat
mengkhawatirkan. Dan sudah
menjadi tugas kaum
Pendekar untuk melenyapkan
kebathilan yang mau
menguasai bumi ini!"
Tiga Musafir Hati Besi
manggut-manggut. Salah
seorang agaknya masih penasaran
kalau belum ber-
tanya.
"Nenek Muri Asih! kami
belum mengenal siapa
gelaran anda. Apakah anda dapat
memberitahukannya
untuk kami ingat?"
"Hehehehe... hehehe...
" mengekeh tertawa si
wanita tua itu. Tiba-tiba
sebelah lengannya bergerak
terangkat ke atas. Dan....
Selarik cahaya perak membersit
ke udara ba-
gaikan sehelai selendang yang
berkredepan. Dan keti-
ka sebelah lagi lengan si nenek
Muri Asih terangkat
pula ke atas, selarik cahaya
pelangi membersit ke uda-
ra. Bagian ujungnya membelit
batang pohon kelapa
bagian atas, dan...
KRRAAAK! batang pohon kelapa itu
patah kena
hantaman sinar perak.
Selanjutnya sinar pelangi le-
nyap. Sedang sinar perak
menghantam beberapa kali
hingga batang pohon kelapa itu
putus menjadi bebera-
pa belas potong.
Sedangkan puncak pohon kelapa
itu jatuh me-
luncur ke bawah. Namun tiba-tiba cahaya pelangi
kembali membersit menyambar dan
membelit pucuk
pohon kelapa itu. Ketika si
nenek Muri Asih gerakkan
lengannya, pucuk pohon kelapa
itu melayang jauh en-
tah kemana seperti dilemparkan
oleh sehelai selendang
warna-warni.
Tentu saja satu pertunjukan yang
mengagum-
kan itu membuat semua mata jadi
memandang si ne-
nek Muri Asih dengan
terperangah.
"Hebat...! oh, hebat
sekali...!" tak terasa suara
pujian terdengar dari
mulut-mulut pendekar muda itu.
Bahkan si gadis bertudung yang
sejak tadi tak ikut bi-
cara telah berseru.
"Ah, sungguh amat
mengagumkan! Sinar perak
dan pelangi yang
menakjubkan...!"
"Hehehe... hampir benar!
Julukanku pada pu-
luhan tahun yang silam adalah si
Pendekar Selendang
Perak Pelangi!" Dan selesai
berkata, si nenek Muri Asih
tertawa terkekeh-kekeh. Namun
sekejap kemudian tu-
buhnya melesat ke udara dan
lenyap dari pandangan
mata.
Terpaku lima sosok tubuh itu
dengan meman-
dang ke arah lenyapnya di
Pendekar Sinar Perak Pe-
langi. Gerakannya begitu cepat
sekali hingga tak sem-
pat mata mereka mengikuti.
Selang sesaat si Tiga Mu-
safir batu segera berkata,
dengan menatap pada Sam-
bu Ruci dan wanita peniup
seruling yang masih terpa-
na dengan mencekal erat topi
tudung dan serulingnya.
"Mari sobat...! kita bantu
menguburkan mayat-
mayat...!"
"Ya! ajaklah gadis kawanmu
itu turut serta
membantu...!" berkata pula
salah seorang dari mereka.
Sambu Ruci menoleh pada gadis
baju merah berkem-
bang itu dengan tersenyum.
"Nona bersedia membantu
kami...?"
"Hm, tanpa kau perintahkan
pun aku tak nan-
tinya berpeluk tangan!"
Menyahut sang gadis dengan
wajah cemberut. Lalu berkelebat
lebih dulu ke arah
desa. "Ah, gadis yang
ketus...!" tertawa Sambu Ruci se-
raya melompat menyusul. Ketiga
Musafir Hati Besi
cuma saling pandang dengan
tersenyum. Namun tak
lama segera berkelebatan
menyusul...
***
SEPULUH
RORO CENTIL benar-benar tak
mengerti den-
gan maksud si Tutul, setelah
mengangkut seluruh tu-
lang-belulang lalu menggeram
memperlihatkan taring-
nya pada Roro. Lalu menggigit
sebuah tulang lengan
manusia itu dan membawanya
melompat ke arah bukit
batu. Terpaksa Roro Centil
mengikutinya. "Mau dibawa
kemana tulang itu..?"
berkata Roro dalam hati. Ternya-
ta meletakkan tulang itu di atas batu pada pertenga-
han bukit yang di panjatnya. Di
sana dia menggeram-
geram dengan memutari kesana-kemari seperti men-
cari sesuatu. lalu melompat ke
arah sisi samping batu
yang agak menonjol. Disana dia
mengorek-ngorek den-
gan kukunya seperti mau menggali
lubang lagi. Kali ini
Roro telah dapat menerka
maksudnya. Segera dia me-
lompat kesana, lalu meneliti
sekitar sisi bukit itu. "Apa
maksudmu Tutul? Hm, apakah kau
mau sembunyikan
tulang-belulang itu di sini..!?"
berkata Roro lirih. Si Tu-
tul menggeram kecil. Tangan Roro
yang meraba-raba
segera temukan satu celah
didekatnya. "He? batu ini
bergerak...!?" sentak Roro
terkejut. Apakah ini sebuah
pintu goa...?" berpikir
Roro dalam benaknya. Dengan
kekuatan tenaga dalam segera
Roro salurkan untuk
menepuk beberapa kali dengan
pelahan.
Dan...BRRRAAASH...! batu itu
hancur menjadi kepin-
gan-kepingan kecil. Segera
terlihat sebuah rongga di
sisi tebing itu.
"Aiiih, benar
dugaanku!" teriak Roro dengan gi-
rang. Sementara si Tutul telah
menggigit kembali tu-
lang lengan manusia itu untuk
dibawa melompat ke
dalam. Dan selesai meletakkan
tulang lengan itu, sege-
ra melompat lagi keluar. Cepat
sekali bekerjanya si Tu-
tul mengangkuti tulang belulang
itu dan membawanya
sekerat demi sekerat. Sementara
Roro Centil perhati-
kan seluruh
ruangan itu. Dalam ruangan yang agak
samar-samar terangnya itu Roro
melihat setiap sudut
goa dipenuhi sarang laba-laba.
Sebuah peti berdebu
tergeletak di atas batu. cepat
Roro menghampirinya.
Rasa ingin tahu memang selalu
ada pada setiap
diri manusia. Begitu juga dengan
Roro Centil. Setelah
membersihkan debu di atas peti, segera berusaha
membukanya. Teramat mudah untuk
membuka peti
itu seperti tak diduganya.
Begitu peti terbuka segera
terlihat sebuah kitab usang yang
sudah lapuk dimakan
usia.
Saat Roro Centil membalik-balik
lembaran kitab
itu yang mempergunakan tulisan
lama. Roro Centil
melihat si Tutul telah selesai
dengan pekerjaannya
mengangkut tulang. Dengan
menggeram kecil si Tutul
melompat mendekati. Lalu
menjilati lengannya. Tapi
tak lama segera lenyapkan diri.
Roro Centil jadi garuk-garuk
kepala tidak gatal.
Jelas dengan si Tutul
melenyapkan diri berarti sudah
selesai tugasnya menuntun Roro
ketempat itu. Kini
tinggallah Roro yang harus
memecahkan apa yang be-
rada dihadapannya.
"Apakah tengkorak manusia
itu si pemilik kitab
ini...?" sentak Roro dalam
hati. Lalu apa maksudnya si
Tutul membawa kerangkanya
ketempat ini?" Dasar Ro-
ro Centil yang selalu ingin
memperbuat apa yang ter-
bersit dihatinya. Diletakkan
kembali kitab itu yang be-
lum sempat ditelitinya. Lalu
beranjak mendekati tu-
lang-belulang manusia itu.
Dan... lengannya mulai
bergerak kesana-kemari mengatur
tulang-tulang hing-
ga membentuk kembali sebuah
kerangka dengan posisi
sebuah tengkorak manusia yang
sedang duduk me-
nyandar didinding goa. Terasa
hawa seram melingkupi
sekitar ruangan goa itu.
Tiba-tiba baru saja dia bangkit
berdiri, telah
terdengar suara aneh. Rahang
mulut tengkorak itu hi-
dup dan bergerak-gerak.
Tersentak kaget Roro Centil,
hampir saja dia melompat keluar
goa.
"Hehehe... jangan takut
cucuku...! aku memang
sudah lama mati, tapi dengan
kekuatan ilmu yang
kumiliki aku masih bisa
menyimpan suara untuk bisa
didengar oleh orang yang
menemukan goa ini...!" Ter-
peranjat Roro Centil, tak terasa
kakinya melangkah
mundur dua tindak.
"Ssi... siapakah anda
.,.?" bertanya Roro. "He-
hehe... sudah pasti kau akan
bertanya tentang aku!
akulah yang pernah dijuluki si MANUSIA PADANG
PASIR...! Kematianku dalam usia
100 tahun lebih. Ki-
tab yang berada pada kotak di
atas batu itu kuwa-
riskan pada siapa yang telah
menemukannya! Pelajari-
lah cucuku! Pada kitab itu ada
pelajaran ilmu silat dari
yang pernah kumiliki. Sebagian
adalah ilmu silat se-
banyak tiga belas jurus.
Sedangkan sebagian lagi ada-
lah tujuh jurus kalimat MANTERA
SUCI! Ilmu penolak
setan dan iblis..!
Hanya orang yang berotak
cerdaslah yang dapat
menguasainya! Dan tentu saja
orang yang berjodoh
memiliki seekor Harimau Tutul,
yang dapat berjodoh
menjadi pewaris ilmuku...!
Karena Harimau Tutul itu
adalah rohku! Jangan heran bila
kelak terjadi satu
keanehan pada dirimu...! Bila
selesai kau mempelajari
ilmu warisanku, kau bakarlah
kerangka tubuhku ini
berikut kitab itu!"
Selesai berkata, tulang
tengkorak kerangka
manusia yang disusun Roro Centil
tiba-tiba berjatuhan
ke tanah dengan suara berkerotakan.
Roro Centil ter-
paku tak bergeming ditempatnya.
Seolah apa yang di-
lihatnya itu seperti dalam
khayal atau mimpi. Tapi ke-
nyataan telah terpampang
dihadapan matanya. Telin-
ganya jelas mendengar apa yang
diucapkan si kerang-
ka Manusia Padang Pasir.
Tiba-tiba Roro Centil jatuhkan
dirinya berlutut
dihadapan kerangka itu. Bibirnya
tergetar mengu-
capkan kata-kata.
"Guru...! aku Roro Centil
segera akan mentaati
pesan itu...!" Selesai Roro
Centil berkata tiba-tiba dari
langit-langit bagian atas goa memantulkan
cahaya te-
rang benderang. Di luar angin
membersit kencang me-
nerbangkan butiran-butiran
pasir. Roro bangkit berdiri
untuk mencari penutup lubang
goa. Akan tetapi tiba-
tiba dinding batu di sisinya
bergerak menggeser sendi-
ri. Dan... BRAK! goa itu telah
tertutup rapat. Terheran-
heran Roro Centil akan keanehan
itu. Ditatapnya ca-
haya terang yang membersit dari
langit-langit ruangan
goa itu. Ternyata sebuah batu
pualam sebesar tengko-
rak kepala manusia yang menempel
dibatu langit-
langit goa itu, memancarkan
sinarnya yang amat te-
rang benderang.
"Aiiih, benar-benar aneh
dan amat mengagum-
kan...!" desis Roro pelahan
"Selama hidupku baru aku
mendengar ada satu ilmu
kesaktian yang dapat me-
nyimpan suara. Sedangkan orangnya
sudah mati en-
tah berapa puluh tahun yang
silam..!" berkata Roro da-
lam hati.
Demikianlah! apa yang dialami
Roro Centil ada-
lah sudah menjadikan jodoh bagi
dirinya. Dan tak ayal
si Pendekar Wanita Pantai
Selatan segera mulai mem-
pelajari isi kitab usang itu dengan membalik-balik
lembarannya. Untunglah, walaupun
agak sulit dibaca,
Roro Centil dapat juga memahami
huruf-huruf kuno
yang tertera di kitab usang itu.
Segala daya dan kecerdasan Roro
Centil untuk
memahami dan mempelajari isi
kitab itu dikerahkan
demi terwarisnya ilmu si Manusia
Padang Pasir kepa-
danya... Lembar-demi lembar
mulai di hayati dan di-
praktekkan dengan kesungguhan
hati dan keyakinan
yang mantap, bahwa tak ada
sesuatu yang sukar di
dunia ini kalau diusahakan dengan kekerasan hati,
kemauan, tekad dan niat yang
bulat...!
Dan sejarah Persilatan memang
akan membuk-
tikan bahwa tak lama lagi Roro
Centil akan kembali
muncul di Rimba Persilatan
dengan segala kesaktian
yang dimilikinya...
***
SEBELAS
Ternyata dalam waktu sembilan
hari Roro Cen-
til berhasil menguasai ketiga
belas jurus ilmu Manusia
Padang Pasir. Dan dalam waktu
empat hari Roro ber-
hasil pula menguasai ketujuh
jurus ilmu Mantera Suci.
Tepat 13 hari Roro Centil telah
dapat mena-
matkan isi kitab itu dan
menguasai penuh isinya. Ter-
nyata tekad Roro untuk
menyelesaikan pelajarannya
agar tepat tiga belas hari,
dengan tekad yang bulat dan
kemauan yang keras membaja
membawa hasil yang
memuaskan. Roro memang mau
merobah pandangan
manusia yang sudah sejak puluhan
tahun yang lalu
menganggap angka 13 adalah angka
sial!
Namun Roro beranggapan hari yang
ke 13 itu
adalah hari yang penuh
kemujuran. Hari itu mutlak
sudah Roro Centil menjadi
pewaris tunggal ilmu si Ma-
nusia Padang Pasir.
Dan pada hari itu juga setelah
selesai memba-
kar tulang kerangka gurunya si
Manusia Padang Pasir
juga kitab peninggalannya, Roro
Centil menutup pintu
goa yang telah menjadi tempatnya
menempa ilmu-ilmu
warisan si Manusia Padang Pasir.
Di depan pintu goa Roro Centil
kembali mene-
kuk lutut dengan tundukkan
kepala dan berkata den-
gan suara lirih.
"Guru...! hari ini aku
telah selesai menjalankan
amanatmu. Hari ini aku muridmu,
Roro Centil telah
berhasil menamatkan pelajaran
dalam kitab warisan
mu. Dan hari ini pula aku segera
akan meninggalkan
tempat peristirahatan mu! Hari ini pula aku akan
mengemban tugas kewajiban yang
lebih berat untuk
menegakkan panji-panji keadilan
dimuka bumi...!
Aku berjanji untuk mengamalkan
segenap ilmu
dari apa yang telah kau wariskan
padaku! Mele-
nyapkan kebatilan, memusnahkan
keangkaramurkaan
yang mengotori bumi persada demi
tegaknya kebena-
ran. Demi tegaknya keadilan di
atas jagat raya ini...
Dan demi ketenteraman umat
manusia!"
Selesai berkata Roro Centil
menjura beberapa
kali memberikan penghormatan
terakhir sebelum me-
ninggalkan tempat itu.
Sementara angin mulai membersit
agak keras
memperdengarkan suara bersiutan
Roro angkat wa-
jahnya untuk segera melompat
bangkit berdiri. Lalu
putarkan tubuh untuk segera
melangkah beberapa
tindak. Sejenak Roro terhenti
karena merasa tiupan
angin semakin santar menerpa
tubuh. Di kejauhan di-
lihatnya seperti ada kabut
menghalang. "Ada apa-
kah...?" sentak Roro
terkejut dengan suara berdesis.
Ternyata angin semakin keras
membersitnya. Pasir
mulai beterbangan.
Dan apakah yang dilihat Roro
selanjutnya...?
Terbelalak mata si Pendekar
wanita Pantai Sela-
tan itu melihat di kejauhan
timbunan pasir yang mem-
bukit bergulung-gulung meluncur
bergelombang ba-
gaikan ombak raksasa bergerak
cepat mendatangi.
Begitu kagetnya Roro hingga
sampai melangkah
kembali mundur
beberapa tindak. Namun nalurinya
mengatakan adanya bahaya besar
bila dia tak cepat
menyingkir. Memikir demikian,
Roro Centil segera en-
jot tubuhnya untuk melompat
pergi menjauhi secepat-
nya tempat itu.
Dari kejauhan dia cuma bisa
menyaksikan ge-
lombang pasir yang menggunung
bagaikan menyerbu
ke arah tebing batu itu dengan
suara bergemuruh luar
biasa. Suara bersitan angin yang
membadai terdengar
bersiutan membuat Roro harus
menutupi matanya
agar tak kemasukan debu.
Gelombang demi gelombang pasir
raksasa itu
berhempasan. Dan dalam sekejapan
saja bukit batu
dimana terdapat goa tempat
disimpannya abu si Ma-
nusia Gurun Pasir, telah lenyap
tertimbun pasir yang
menggunung.
Selang beberapa saat badai pun
kembali mere-
da. Roro Centil memandang dengan
terperangah kare-
na tak melihat lagi adanya bukit
batu tempat dia me-
nempa ilmu selama ini, kecuali
timbunan pasir yang
menggunung. Lama dipandangnya
apa yang terpam-
pang didepan matanya dengan
tertegun itu. Namun
tak lama kemudian terdengar
suara helaan napas ga-
dis Pendekar. Segala sesuatu
yang terjadi itu seperti
punya makna. Seolah si Manusia
Gurun Pasir telah
merasa telah puas dengan apa
yang menjadi harapan-
nya. Dan mengubur diri untuk
menyatu kembali den-
gan pasir seperti sesuai dengan
julukannya...
"Selamat tinggal,
guru...!" ucap Roro dengan
suara tergetar. Dan
berkelebatlah tubuh si dara Perka-
sa meninggalkan tempat itu....
***
Roro Centil injakkan kakinya
ditepi pantai. An-
gin laut yang meniup santar
membuat rambutnya me-
nyibak berkibaran.
"Tutul...! kita harus cepat
kembali! Tugas berat
telah menantiku diseberang
lautan sana! Cahaya me-
rah itu membuat hatiku gundah
akan adanya musibah
yang melanda wilayah gunung
Galunggung. Tampak-
kanlah dirimu,
sahabatku...!" berkata Roro dengan su-
ara lirih.
Akan tetapi setelah ditunggunya
sekian lama si
Tutul tak menampakkan diri.
"Ah, kemanakah dia...?"
menyentak hati Roro.
"Tutul...! dimanakah kau..?"
ulangnya memanggil seraya
memutar tubuh dan me-
natap ke sekelilingnya. Namun
tak dijumpai apa-apa.
Semuanya tetap seperti tadi, tak
berubah. Sunyi, len-
gang dan tak ada siapa-siapa
selain dirinya sendiri.
Tercenung seketika Roro Centil,
dan termangu-
mangu memikirkan kemisteriusan
makhluk itu. Sejak
beberapa tahun makhluk itu
selalu setia mengiku-
tinya, mengapa kini tahu-tahu
menghilang sirna tak
munculkan diri? berpikir Roro
dalam hati.
Setelah lama ditunggu-tunggu
tetap si Tutul tak
menampakkan diri yakinlah dia
kalau sahabatnya itu
telah pergi meninggalkannya.
Barulah Roro teringat
akan kejadian di gurun pasir. "Hm, apakah dia telah
ikut pula terkubur gelombang
pasir...?" berdesis Roro.
Roro tak menemukan jawaban dari
pertanyaannya
sendiri.
Seketika tersentaklah Roro
ketika teringat akan
kata-kata suara gaib di Manusia
Padang Pasir yang
mengatakan agar dia tak terkejut
akan menjumpai
keanehan yang akan terjadi pada
dirinya. Apakah ini
salah satu dari keanehan yang
dimaksud? pikir Roro.
Dalam memecahkan teka-teki
lenyapnya si ha-
rimau Tutul sahabatnya itu Roro
benar-benar dibuat-
nya tak mengerti. Juga dengan
maksud kata-kata gaib
si Manusia Padang Pasir. Kembali
teringat satu kata-
kata gaib dari sang gurunya itu.
"Hanya orang yang be-
rotak cerdaslah yang dapat
menguasai ilmuku. Dan
orang yang memiliki seekor
harimau tutul yang dapat
berjodoh menjadi pewaris ilmuku!
karena Harimau Tu-
tul itu Rohku...!"
Tersentak Roro Centil seketika,
karena dari ka-
ta-kata itu segera dapat diambil
kesimpulan.
"Mm, kalau aku telah
menguasai ilmu- ilmu si
Manusia Gurun Pasir berarti
akupun menguasai pula
ilmu-ilmu si Tutul!"
berkata Roro dalam hati. "Jadi...
jadi... ah, begitu
mengerikan....!" desis Roro dengan
tersentak kaget. Makin mengingat
si Tutul ternyata
makin besar dorongan imajinasi
untuk menirukan apa
yang dilakukan si Tutul.
Itulah yang membuat Roro
terperangah kaget.
Menghadapi dorongan tenaga batin
yang menyeruak
dari dalam tubuhnya sendiri Roro
seperti kehabisan
akal untuk menghindarinya.
Semakin dia resah, sema-
kin daya kekuatan itu menelusup
merangsang pori-
pori dan pembuluh-pembuluh
darahnya.
Dan.... di luar
sadar dia telah melakukan apa
yang dilakukan si Tutul. Roro
Centil menahan napas,
lalu goyang-goyangkan tubuhnya.
Apakah yang terjadi kemudian..?
Tubuh Roro Centil lenyap jadi
gumpalan asap.
dan... di atas pasir pantai itu
telah berdiri seekor Ha-
rimau Tutul yang hampir sebesar
kerbau memperli-
hatkan giginya menyeringai
menyeramkan. Itulah Ha-
rimau Tutul penjelmaan dari Roro
Centil. Apapun yang
terjadi pada diri Roro ternyata
memang sudah di-
ucapkan oleh kata-kata gaib si
Manusia Padang Pasir.
Membelalak sepasang mata gadis
Pendekar itu
melihat perubahan bentuk pada
tubuhnya. "Aku... aku
telah menjadi Harimau...! aku
kini menjadi si Tutul!
Oh...! inikah satu keanehan yang
bakal terjadi seperti
yang dikatakan suara gaib itu
?" keluh Roro. Ditatap-
nya ke empat kakinya yang
berkuku runcing. Ditatap-
nya apa yang kini telah menjadi
bagian dari tubuhnya.
Terhenyak gadis Pendekar itu.
Dengan mendekam sang harimau
Tutul alias
Roro Centil itu termenung hingga
beberapa lama. Apa-
kah ujud asli ku akan lenyap seterusnya? dan tetap
menjadi makhluk yang jelas bukan
manusia ini...? "
berkata Roro dalam hati. Akan
tetapi selang sesaat Ro-
ro telah melompat bangun dan
perdengarkan suara
menggeramnya. Edan..!
suaraku pun telah berobah!"
sentak Roro dalam hati. Tentu
saja membuat Roro ter-
kejut mendengar perobahan
suaranya sendiri. Namun
titik terang dari pemikirannya
telah Kembali jernih.
Roro yakin kalau semua itu
adalah cuma "ilmu" bela-
ka. Dia takkan selamanya menjadi
Harimau. Keyaki-
nan yang mantap itu telah
membuka titik terang bagi
si Pendekar Wanita Pantai
Selatan itu. Segera dia ber-
semadi dengan pejamkan mata.
Batin menyatu untuk
kembali memulihkan ujudnya.
Terasa ada getaran pa-
da kulit dan pori-pori tubuhnya.
Ketika Roro Centil hentikan
semedinya lalu
membuka mata, membersitlah
senyum pada bibirnya.
Karena sekejap Harimau Tutul itu
telah kembali pada
ujud asalnya lagi.
"Aiiiiih, kalau tahu begini mengapa
aku pusing-pusing
memikirkannya..? Dasar otakku
bebal!" menggumam Roro
dengan tersenyum.
"Aku harus kembali
secepatnya! firasatku men-
gatakan ada sesuatu terjadi
disana yang memerlukan
aku turun tangan!" berdesis
Roro dengan mata mena-
tap jauh ke cakrawala. Matahari senja membuat ca-
hayanya memantul gemerlapan dari
ombak-ombak
laut yang tengah bermain
bagaikan hamparan perma-
dani perak. Dan saat itu juga
sebuah bayangan seekor
Harimau Tutul meluncur pesat
dari daratan itu bagai-
kan hembusan angin lewat.
Dialah Roro Centil si Pendekar
Wanita Pantai
Selatan. Si Pewaris Manusia
Gurun Pasir...
***
DUA BELAS
Di wilayah KOTA RAJA... Delapan
belas perwira
Kerajaan mati tergeletak dengan
tubuh tanpa kepala.
Dan delapan belas
"butir" kepala manusia berserakan
diantara tubuh-tubuh tanpa
kepala itu. Delapan ekor
kuda mati dengan tubuh hangus
dan kepala hancur...
Bau anyirnya darah menyebar di
sekitar tempat
itu. Sungguh satu pemandangan
yang amat mengeri-
kan dan mengenaskan hati.
Seekor kuda hitam meluncur pesat
ke tempat
kejadian. Di tangannya penunggangnya tercekal se-
buah tombak bermata tiga. Dialah
Tumenggung Shan-
dikala yang menerima laporan
dari beberapa orang
anak buahnya. Tak ayal segera
"meluncur" ke tempat
kejadian.
Bedebah! Perempuan iblis
edan...!" memaki la-
ki-laki berusia empat puluh
tahun ini. Kudanya telah
dihentikan dan bergerak memutari
mayat-mayat dan
bangkai kedelapan belas anak
buahnya.
Tampak wajahnya sebentar pucat
sebentar me-
rah. Dada laki-laki ini
berombak-ombak pertanda me-
nahan kemarahan yang amat luar
biasa yang ada di
dada.
Satu suara tertawa mengikik
membuat laki-laki
ini tersentak Jantungnya seperti
melonjak karena ter-
kejut. Walau niatnya memang mau
menempur si pe-
rempuan iblis itu, namun
mendengar suara tertawanya
saja membuat nyali laki-laki
Tumenggung ini agak
menciut.
"Hihihihi..... selamat
datang panglima yang ga-
gah! Kau pasti Tumenggung
Shandikala!" Satu kata-
kata penyambutan yang
dilontarkan si pemilik suara
telah dibarengi dengan kelebatan
tubuh seorang wani-
ta berpakaian warna kuning.
Berlengan baju lebar
yang menutupi seluruh lengan. "Siapa kau...!" mem-
bentak laki-laki Tumenggung itu
dengan membeliakan
matanya. Hatinya agak ragu untuk
menduga kalau
orang yang dihadapannya adalah
si perempuan iblis
itu.
Dia memang Giri Mayang adanya.
Wanita ini
dengan tersenyum genit bahkan
balik bertanya. "Coba
terka olehmu siapakah
aku...?"
Percikan darah yang melekat
dipakaian wanita
itu telah membuat si Tumenggung
membentak kasar.
Walau sebenarnya darahnya
seperti tersirap.
"Kau pasti si perempuan
iblis itu...!"
"Hihihihi... tepat! tepat
sekali dugaanmu! tapi
aku manusia biasa bukan iblis.
Tumenggung yang ga-
gah!" Baru saja selesai
ucapannya tubuh Giri Mayang
mendadak lenyap.
Tahu-tahu laki-laki itu merasa
pinggangnya di-
peluk orang dari belakang.
"Hihihihi... tubuhmu kekar,
dan wajahmu ga-
gah. Dan keberanianmu juga boleh
dibanggakan. Hihi-
hi... justru aku menyenangi
laki- laki sepertimu, Tu-
menggung!" terdengar suara
berdesis didaun telin-
ganya. Tentu saja membuat sang
Tumenggung kaget
setengah mati. Akan tetapi dia
sudah terkulai kena to-
tokan lengan wanita itu dengan
perdengarkan keluhan
dari mulutnya.
Dan... kuda hitam itu sudah
berlari cepat ke-
luar dari tempat berbau anyir
itu. Mencongklang pesat
menuju hutan jati.
Melewati hutan jati itu, sang
kuda ternyata te-
lah kehilangan penunggangnya.
Namun si kuda hitam
itu terus mencongklang lari
hingga lenyap di ujung hu-
tan. Ternyata tepat ditengah
jalan wanita itu telah me-
lompat dari atas punggung kuda
dengan menggondol si
Tumenggung.
BREET! BREET! BREBEEET...!
Sekejapan saja
tubuh laki-laki penegak hukum
itu sudah telanjang
bulat. Dan... sepasang matanya
menatap dengan
membeliak pada sosok tubuh putih
mulus yang tanpa
selembar benangpun menghalangi.
Namun yang mem-
buat laki-laki itu merasa ngeri
adalah sepasang tangan
wanita itu karena bentuk dan
rupanya amat menye-
ramkan.
"Hah!? ma... mau
apa...kka... kkau..." tergetar
suara Tumenggung Shandikala
dengan mencoba untuk
beringsut. Namun jalan darahnya
terasa ngilu. Hingga
dia cuma bisa menatap dengan
terbelalak dan keringat
dingin "membanjir"
deras di sekujur tubuhnya yang
polos.
"Hihihi... aku mau
kau!" menyahut Giri
Mayang.
Sepasang mata wanita itu menatap
tajam si
Tumenggung. Bibirnya
bergerak-gerak membaca man-
tera. "Kau pandanglah aku,
apakah aku kurang can-
tik?" ujarnya sesaat
kemudian.
"Kau... kau ccan.. cantik,
no... nona!... ta... tapi
lenganmu... lenganmu amat
menakutkan!" Sahut laki-
laki Tumenggung itu dengan suara
menggetar.
"He? siapa bilang? sepasang
tanganku halus
mulus tanpa cacad! Matamu telah
terbalik rupanya.
Perhatikanlah sungguh-sungguh...!"
berkata Giri
Mayang yang| telah selesai
merapal ajian Malih Rupa.
"A, bbbeb.. be... benar!?
tanganmu mulus! mu-
lus, tanpa cacad dan.... kau...
kau cantik sekali, no-
na..." berkata sang Tumenggung dengan memandang
terperangah.
Memang aneh dalam pandangan
Tumenggung
Shandikala karena kini yang
dilihatnya sepasang tan-
gan perempuan itu memang halus
mulus. Ternyata dia
telah kena pengaruh ilmu Malih
Raga. Bahkan dima-
tanya itu teramat cantiknya. Apa
lagi dalam keadaan
tanpa busana. Seluruhnya
membentang dengan nyata.
"Bagus! kini matamu sudah
terang!" ujar Giri
Mayang dengan meneguk air liur.
Sepasang matanya
seketika mulai membinar. Ujung
puti payudaranya
mulai terlihat kaku dan semakin
kemerahan.
Tiba-tiba lengannya bergerak
mengibas. Dan,
terlepaslah totokan pada tubuh
sang Tumenggung
Mendapatkan dirinya telah punya
tenaga lagi.
laki-laki ini tergesa bangkit
dengan gelora yang meng-
gelegak. Hawa rangsangan telah
menutup pikiran wa-
rasnya...
Giri Mayang tertawa lirih seraya
"menerkam"
mangsanya dengan berahi memuncak
di atas sega-
lanya. Sang Tumenggung
menyambutnya dengan gai-
rah melonjak-lonjak.
Merengkuhnya dengan seluruh
hasrat yang tak dapat terbendung
lagi....
WHUSSSS...! sesosok tubuh
terlempar dari ba-
lik rumpun dihutan Jati. Dan...
BRUK! tubuh itu jatuh
tepat di belakang dua orang yang
tengah berjalan di
satu jalan menuju desa.
"Hah!?"
"Ooh...!?"
"Hiiiiiiii..."
Menjerit dua orang itu seraya lari lin-
tang pukang. Ternyata mereka dua
orang laki-laki yang
sedang melintas ditempat itu.
Langkahnya tergesa-
gesa. Ketika tiba-tiba terdengar
suara menggabruk di
belakangnya. Ketika menoleh
ternyata sesosok tubuh
laki-laki tanpa kepala yang
dalam keadaan telanjang
bulat.
Tentu saja membuat mereka
terperanjat, dan
seketika lari ketakutan pontang
panting.
Sementara itu di desa yang
tengah ditujunya.
"Itu Karma dan Kubil! pasti
dikejar perempuan
iblis itu...!" teriak salah
seorang dari tiga laki-laki yang
berada di mulut desa.
"Celaka...! pasti! pasti...!" berkata kawannya
dengan wajah pucat.
"Cepat laporkan pada
Ketua!" perintah yang be-
rusaha berkata seraya mendorong
tubuh sang kawan
yang cuma menatap dengan mata
melotot dan bibirnya
terbuka. Tak ayal segera
laki-laki itu berlari cepat un-
tuk segera melapor.
"Apa yang telah
terjadi...?" terdengar suara dari
bernada depan sebuah rumah
disertai berdirinya seo-
rang laki-laki. Lalu diikuti
oleh beberapa laki-laki dan
seorang wanita tua.
"Celaka, Den...! perempuan
iblis itu... itu...
itu..."
"Ita itu ita itu!? bicara
yang benar goblok!" seo-
rang laki-laki berangasan
bertubuh kekar dengan pe-
rut yang buncit telah melompat
dan mencengkeram
tengkuk laki-laki ini
"Biarkan dia menenangkan
diri dulu, sobat An-
terja!" terdengar suara
lirih. Cepat sekali gerakannya,
tahu-tahu wanita tua berjubah
hijau itu telah berdiri
dihadapan laki-laki si pelapor.
Si tubuh kekar beran-
gasan itu lepaskan
cengkeramannya.
"Katakanlah! apakah
maksudmu si perempuan
iblis itu telah datang
kemari...?" tanya perempuan tua
itu dengan suara lembut.
"Hihihi... hihi... benar!
aku telah datang kemari!
dan datang kesetiap tempat untuk
membunuh habis
kaum Rimba Hijau golongan
putih!" belum lagi si pela-
por itu menyahuti telah
terdengar suara tertawa yang
menyahutinya. Dan, suaranya
belum habis, empat so-
sok tubuh telah terlempar dan
jatuh bergedebukan
dengan kepala yang sudah lenyap
dari tubuhnya.
Terkejut semua mata memandang
karena tahu-
tahu di hadapan mereka menjelma
sesosok tubuh wa-
nita berpakaian serba kuning
berlengan baju gom-
brong menutupi kedua lengannya.
Semua mata jadi memandang dengan
terperan-
gah. Akan tetapi sekejap saja
sosok-sosok tubuh dibe-
randa rumah itu segera
berlompatan untuk mengu-
rung wanita itu, dengan
senjata-senjata terhunus.
"Giri Mayang! perempuan
iblis, kau takkan lolos
kini dari tangan kami!"
teriak salah seorang. Ternyata
mereka adalah para pendekar yang
tengah berkumpul
menyusun rencana. Dua orang anak
buah dari salah
seorang tokoh Pendekar yang
memang berdiam di wi-
layah desa itu telah dikirim
Untuk melihat situasi di
sisi Kota Raja sejak pagi tadi.
Ternyata kembalinya te-
lah berikut dengan hilangnya
nyawa kedua murid utu-
san itu.
Sementara si nenek berjubah
hijau itu telah
mencabut keluar seuntai tasbih
dari balik jubahnya.
Bibirnya berkemak-kemik membaca
mantera. "Hihihi...
hihi... mantera apakah yang kau
baca itu, nenek peot?"
Berkata Giri Mayang dengan mengikik
tertawa.
Akan tetapi sepasang matanya
membersit tajam men-
gandung hawa pembunuhan. Dan...
tiba- tiba...
WMUUUK! Secercah cahaya biru
telah melun-
cur cepat ke arah nenek tua itu
disertai menyebarnya
hawa dingin mencekam.
Terdengarlah jeritan parau
menyayat hati. Dan... Krraak!
Batang leher si nenek
berjubah hijau itu
sekonyong-konyong berderak patah.
Darah memuncrat, dan kepalanya
jatuh menggelinding
diserta menggabruk jatuhnya
tubuh si wanita tua ber-
tasbih itu.
Terbelalak para Pendekar yang mengurung
si
wanita iblis Giri Mayang
menyaksikan kejadian itu.
Serta merta mereka menerjang
dengan berba-
reng. Senjata-senjata
berkelebatan menebas batang
tubuh perempuan iblis itu.
Akan tetapi dengan sekejap tubuh
Giri Mayang
telah kembali lenyap sirna tak
berbekas. Selanjutnya
yang terdengar adalah jerit dan
teriakan ngeri disertai
tumbangnya tubuh-tubuhnya para
Pendekar itu den-
gan masing-masing kepalanya
telah putus bagaikan
dipereteli saja dari leher
mereka.
Sekejapan saja belasan mayat
telah bergelim-
pangan dengan amat mengerikan.
Darah membanjir
menganak sungai...
Sungguh satu pemandangan yang
amat menge-
rikan! Lagi-lagi Giri Mayang
menambah korban-
korbannya.
Selang sesat terdengar kembali suara tertawa
mengikik menyeramkan
membangunkan bulu roma.
Namun suara tertawa itu semakin
menjauh, dan ak-
hirnya lenyap dalam kelengangan
yang membaur den-
gan hawa maut...
"GIRI MAYANG...! perempuan
iblis! perbuatan-
mu sudah keterlaluan!"
Terdengar satu bentakan keras
yang terdengar
bagaikan memecahkan anak
telinga. Wanita ini henti-
kan langkahnya yang baru saja
memasuki perbatasan
sebelah timur dari wilayah Kota
Raja. Disinipun terli-
hat beberapa mayat berserakan
dengan keadaan yang
mengerikan. Yaitu mayat dari empat
orang ponggawa
penjaga perbatasan.
Yang membentak adalah salah satu
dari Tiga
Musafir Hati Besi. Ketiga orang
ini melompat untuk se-
gera mengurungnya, dengan
masing-masing telah
mencabut senjata. "Hm.
lagi-lagi tiga Pendekar muncul
mencari mati!" berkata Giri
Mayang dengan suara din-
gin. Akan tetapi tiba-tiba
membersitlah senyum pada
bibirnya ketika menatap salah
satu dari si ketiga Mu-
safir Hati Besi seorang lelaki
yang bertubuh kekar den-
gan urat-uratnya yang
bertonjolan.
"Hihihi... dua diantara
kalian boleh mati, tapi
kau kuberi hidup untuk
sementara!" ujar Giri Mayang
seraya menunjuk pada
laki-laki gagah itu. Bahkan
langsung membaca mantera dengan
sepasang matanya
menatap tak berkedip pada
laki-laki bernama Bhadur
itu.
Akan tetapi dua dari si Tiga
Musafir Hati Besi
telah menerjang dengan golok
besar dan sepasang
ruyung bermata tombak tipis yang
meluncur deras
menabas tubuh dan menyerang
leher.
Akan tetapi belum lagi
senjata-senjata mereka
mengenai kulit wanita itu
selarik sinar biru meluncur
dari sepasang lengan baju Giri
Mayang.
Melihat dua larik sinar biru itu
meluncur ke
arah mereka Tiga Musafir Hati Besi sudah maklum
dengan serentak melompat
menghindari dengan letik-
kan tubuh ke arah samping.
Sesaat sudah berada da-
lam posisi berdiri dengan siap
siaga. "Hmm...!" men-
dengus Giri Mayang. "Aku
tak perlu melayaninya den-
gan tanganku! Hihihi... tujuh
setan kerdil! kalian hi-
saplah darah kedua Pendekar
tolol itu!" terdengar pe-
rintahnya dengan suara dingin
pada tujuh makhluk
kerdil yang berdiam diri
menunggu perintah.
Serentak mereka menampakkan
dirinya. Dan
dengan wajah menyeringai
menyeramkan ketujuh
makhluk hitam itu berkelebatan
ke arah dua dari Tiga
Musafir Hati Besi. Sementara
Bhadur baru saja tersa-
dar dari pengaruh ilmu penakluk
Sukma Giri Mayang.
Dengan marah dia menerjang
wanita itu.
Senjatanya sepasang kapak
bermata lebar me-
nebas beruntun memperdengarkan
suara bersiutan.
Akan tetapi melengak laki-laki
itu karena mata kapak-
nya seperti menebas angin.
Tahu-tahu... Plak! kedua
kapak telah terlepas dari
sepasang lengannya. Dan be-
lum lagi dia menyadari apa yang
bakal terjadi, tubuh-
nya telah serasa
"terbang" karena telah disambar di
wanita Iblis itu yang langsung
telah menotoknya.
Sementara pertarungan dua dari
Tiga Musafir
Besi dengan ketujuh makhluk
kerdil itu berlangsung
dengan tegang.
Sambaran-sambaran senjata mereka
cuma me-
nabas angin belaka, membuat bulu
kuduk kedua laki-
laki itu mulai berdiri meremang.
Berguling-guling dan
melompat mereka menyelamatkan
diri dari cengkera-
man ganas makhluk-makhluk kerdil
itu.
Selang kira-kira dua kali
sepeminuman teh,
tampaknya tenaga kedua Pendekar
itu semakin berku-
rang. Hal itu karena nyali
mereka mulai menciut. Ke-
putusasaan telah membayang di
wajah mereka yang
tak mungkin menang menghadap
makhluk yang bu-
kan manusia itu.
Tiga makhluk kerdil berhasil
menangkap perge-
langan tangan dan kaki dari
salah seorang Pendekar
itu. Bergulingan laki-laki ini
dengan segala daya untuk
melepaskan diri. Akan tetapi
sia-sia. Saat mana salah
satu makhluk kerdil itu telah
meluncur untuk mener-
kam ke arahnya yang dalam
keadaan terlentang tanpa
berdaya. Di lain pihak tiga
makhluk kerdil lainnya te-
lah meluruk pula untuk merencah
ganas pada Pende-
kar satunya yang sudah
megap-megap kehabisan na-
pas. Dia cuma terperangah
menanti datangnya maut,
dengan mata membelalak.
Akan tetapi di saat mau tinggal
sedetik lagi, ti-
ba-tiba secercah cahaya perak
telah membersit
menyambar tepat di atas kepala
makhluk-
makhluk kerdil itu dengan
menimbulkan suara meng-
gelegar.
BHLAAARRR...!
Tujuh makhluk kerdil itu
seketika berloncatan
dengan suara gaduh karena
terkejut. Hingga telah me-
lepaskan cengkeraman pada kedua
Pendekar itu.
Dan... di situ telah berdiri tegak si nenek Muri Asih,
alias si Pendekar Selendang
Perak Pelangi.
Melihat kemunculan wanita tua
renta itu si tu-
juh makhluk kerdil jadi
menyeringai gusar. Mereka te-
lah mengetahui karena nenek tua
ini pernah membuat
mereka menyasar dan sukar keluar
dari hutan belan-
tara karena dipancing
mengejarnya. Hingga Giri
Mayang terpaksa harus
menghubungi gurunya si Nini
LEMBUTUNG melalui semadi. Atas
bantuan Nini Lem-
butung itulah mereka bisa keluar
dari rimba belantara
yang seperti telah terpagar oleh
tembok kabut yang
sukar ditembus.
"GRRRRH...! KRAAA..!
KRWWOK! KRWOOK!
Menggeram ketujuh makhluk kerdil
itu dengan
marah. Tiba-tiba serentak
menerjang ke arah wanita
tua itu.
Membersitnya tubuh ketujuh
makhluk kerdil
itu dibarengi dengan lenyapnya
tubuh mereka. Akan
tetapi si Nenek Muri Asih telah
waspada. Sinar Perak
yang menyilaukan mata segera
terlihat seperti mem-
bungkus tubuhnya. Sementara
sinar
Pelangi membumbung ke atas memancarkan
warna-warni.
Tiba-tiba sinar pelangi itu
bagaikan sebuah se-
lendang yang panjang meluncur ke
bawah membentuk
lingkaran yang memutar cepat
seperti menggulung.
Dan saat itu sinar Perak yang
membungkus tubuh si
nenek Muri Asih mendadak
membersit ke udara.
Apakah yang terjadi kemudian...?
Tubuh ketujuh makhluk kerdil itu
telah terjerat
menjadi satu. Terbelit oleh
selendang warna Pelangi.
Terlemparlah ketujuh makhluk
kerdil yang telah kem-
bali menampakkan diri ke udara, karena
dibetot oleh si
wanita tua itu.
Saat mana dalam keadaan
mengapung di udara
si Nenek Muri Asih telah
lancarkan serangan dahsyat
dengan semburan sinar perak ke
arah ketujuh mak-
hluk kerdil yang bergulung
menjadi satu...
BHLAAARRRRR...!
Terdengar ledakan hebat di
udara. Asap hitam
tampak membumbung di bekas ledakan itu. Kedua
Pendekar yang berada di bawah memandang ke atas
dengan takjub, juga hati
berdebaran. Apakah nanti ke-
lanjutannya dengan pukulan sinar
perak yang tepat
mengenai ketujuh makhluk kerdil
itu...? Saat itu den-
gan ringan si nenek Muri Asih
telah meluncur turun
kembali, jejakkan kaki ke tanah
dengan tak menim-
bulkan suara.
Asap hitam yang membumbung
di udara itu
mendadak lenyap. Akan tetapi
tepat dari bekas le-
nyapnya asap hitam itu telah
mengucur turun cairan
darah, yang begitu menyentuh
bumi, sekejapan saja
terlihat menganak sungainya
cairan darah yang ber-
bau busuk.
Terperangah kedua Pendekar itu
memandang.
Sementara sudah terdengar suara
si nenek Muri Asih.
"Mereka telah musnah...!
Dan sebagian dari ke-
kejian manusia- manusia setan
itu telah berhasil kita
tumpas. Akan tetapi entah apakah
aku akan sanggup
menghadapi si perempuan iblis
itu...?"
"Ah, terima kasih atas
bantuanmu, Nenek Muri
Asih...!" berkata kedua
pendekar dari Tiga Musafir Hati
Besi seraya sama-sama menjura.
Pada saat itu...
"Hihihihi... hebat kau
Nenek Muri! biarlah si Gi-
ri Mayang itu aku yang akan
menghadapi!"
"RORO CENTIL...!"
hampir berbareng mereka
berseru, karena segeralah telah
melihat munculnya se-
sosok tubuh wanita muda berparas
rupawan. Senjata
Rantai Genit yang tergantung
dipinggang telah dikenali
oleh kedua Pendekar itu.
"Roro...! sukurlah kau
datang...!" berkata nenek
Muri Asih seraya melompat
menghampiri.
"Nona Pendekar Roro Centil,
Kami yakin anda
dapat menumpas perempuan iblis itu! berkata salah
seorang dari kedua Pendekar itu
yang bernama Bonar.
Sedangkan adiknya adalah Bhimo.
"Ah, kalian Bonar dan Bhimo
bukan...?
"Tidak salah! kami adalah
si Tiga Musafir Hati
Besi yang pernah menerima budi
anda dua bulan yang
lalu, namun belum sempat kami
ucapkan terimakasih.
Biarlah hari ini kami sempatkan
untuk mengucapkan-
nya!"
"Huss! sudahlah, tak
mengucapkan pun tak
apa-apa, Kemanakah
Bhadur..?" bertanya Roro dengan
mata jelalatan menatap pada
empat mayat ponggawa
Kerajaan menduga kalau-kalau
Bhadur telah tewas
dan ada diantaranya.
"Dia... dia dibawa pergi si
Perempuan iblis
itu...!" menyahut Bonar
dengan wajah pucat. Barulah
dia sadar akan lenyapnya sang
kakak. "Hmm...! terce-
nung sejenak Roro Centil.
"Kau tak boleh gegabah
menghadapinya, Roro...! Giri
Mayang mempunyai se-
pasang lengan Iblis! Bukan aku
meremehkan kepan-
daianmu, tapi kukira dengan
berdua kita menempur-
nya mungkin kita bisa
membinasakan perempuan iblis
itu!" berkata Nenek Muri
Asih dengan suara lembut.
Tampaknya wanita tua itu agak
mengkhawatirkan Ro-
ro, karena dia sendiri memaklumi
betapa berba-
hayanya sepasang Tangan Iblis
Giri Mayang. Roro Cen-
til tersenyum menatap wanita tua
itu. "Aku hargai
kekhawatiranmu itu, nenek
Muri...! Akan tetapi aku te-
lah berjanji dan bersumpah akan
membunuhnya den-
gan tanganku sendiri. Dia telah
menantangku untuk
bertarung! secara kesatria,
apakah aku harus berlaku
pengecut...! ujar Roro dengan
mengalihkan tatapannya
pada mayat-mayat yang
bergelimpangan.
"Giri Mayang telah banyak
membuat kejahatan,
mengumbar nafsu Iblisnya demi
memancing muncul-
nya aku pada peristiwa yang
lalu. Juga telah memfit-
nahku! Mencemarkan nama
baikku...! Pernah pula dia
berhasil menawanku, yang nyaris
membuat nyawaku
melayang. Untunglah dia tak
berniat membunuhku
siang-siang. Karena dia memang
mau menyiksaku se-
puas-puasnya. Aku berhasil
melepaskan diri dan balas
menyiksanya! sayang waktu itu
aku tak membunuh-
nya mampus! Dia kuampuni
jiwanya! Kubiarkan dia
hidup dalam menderita sebagai
balasan atas penyik-
saan yang dilakukan padaku yang
walaupun belum
sempat terjadi aku telah
berhasil melepaskan diri dari
tolokannya.
Tak dinyana dia masih bisa
hidup, dan bahkan
bergabung dengan si Manusia
Beracun yang telah di-
peralatnya. Kembali dia membawa
bencana..! Kali ini
bencana lebih besar! Dia telah
mempunyai Sepasang
Tangan Iblis pengganti kedua
tangannya yang putus!
Ayahnya adalah seorang tokoh
jahat golongan hitam
yang pernah melakukan
pembantaian di Kuil Istana
Hijau. Bernama Tun Parera. Akan
tetapi dia memper-
gunakan nama palsu, yang aku
lupa namanya. Dia te-
was oleh si Tutul...! Dialah si
Kelabang Kuning, alias
Giri Mayang anak dari Tun Parera
yang menyimpan
dendam kesumat terhadapku...!
Oleh sebab itu, perkenankanlah
aku membu-
nuhnya dengan tanganku sendiri!
sesuai dengan kein-
ginannya untuk bertarung
denganku secara kesatria!"
Tuturkan Roro Centil mengenai
siapa adanya Giri
Mayang itu.
Nenek Muri Asih manggut-manggut
yang telah
mendengarkan penuturan Roro
dengan panjang lebar.
Lalu tampak orang tua itu
menghela napas.
Lalu ujarnya kemudian.
"Aku tak bisa menahan kalau
memang demi-
kian! akan tetapi berhati-hatilah
menghadapinya. Dia
masih punya seorang guru baru
yang bernama Nini
Lembutung yang tak ku tahu
dimana tempat sembu-
nyinya. Dialah yang telah
berusaha dengan jerih payah
untuk memiliki sepasang tangan
Iblis demi muridnya
itu...!" tuturkan nenek
Muri Asih yang telah menyelidi-
ki dengan kekuatan batinnya yang
tinggi, hingga ber-
hasil mengetahui siapa adanya
guru perempuan iblis
itu. Bahkan Nini Lembutung
pulalah yang telah mele-
paskan Giri Mayang dari kurungan
tembok kabut cip-
taannya dihutan belantara, dalam
usahanya menying-
kirkan wanita iblis itu ketempat
yang jauh dari manu-
sia.
Pada saat mereka bercakap-cakap
itu tiba-tiba
tersentak Roro Centil melihat
sesosok tubuh manusia
melambung dari balik hutan bambu
dihadapannya.
Cepat sekali Roro melesat untuk
segera menangkap
sebelum tubuh itu jatuh ke bumi.
Ketika dibaringkan
tersentak Roro dan kedua
pendekar muda itu, karena
itulah tubuh Bhadur yang dalam
keadaan telanjang
bulat. Kepalanya terkulai karena
tulang lehernya patah
seperti kena cengkeraman.
"Iblis keji...!"
memekik Roro seraya melesat ke
balik hutan dengan lompatan
setinggi lima belas tom-
bak.
Roro Centil jejakkan kakinya ke
tanah. Matanya
menjalar ke beberapa arah untuk
memperhatikan se-
kelilingnya. Sunyi senyap.
Keheningan mencekam...
"Hihihihi... selamat
berjumpa Pendekar Wanita
yang hebat...!" terdengar
suara di belakang Roro tanpa
terlihat sosok tubuhnya.
Roro Centil cepat balikkan tubuh
seraya me-
rapal aji halimunan. Akan tetapi sengaja Roro tak
membentuk tubuhnya menjadi
harimau Tutul.
Segera terlihat siapa
dihadapannya.
"Giri Mayang...! saat
pertarungan telah tiba! ha-
ri ini kau harus menyudahi
perbuatan kejimu! Aku te-
lah siap untuk mengirim nyawa
iblismu ke Neraka...!
membentak Roro dengan suara
nyaring.
"Hebat! kau bisa
melihatku...?" puji Giri
Mayang dengan tersentak kaget,
tapi tetap tenang.
Keyakinannya untuk bisa
menghancurkan musuh be-
sarnya amat tegar, karena dia
yakin sepasang tangan
iblisnya akan mampu mencopot
kepala si Pendekar
wanita Pantai Selatan itu.
"Hihihi... kau kira cuma
kau sendiri yang
punya kesaktian macam begini?
Hm, kali ini silahkan
kau gunakan seluruh kesaktianmu
untuk menghadapi
aku. Roro Centil akan
melayaninya...! Dan... jangan
harap kau dapat menunda lagi
kematianmu, perem-
puan setan!"
"Baik! akan tetapi tempat
pertarungan kita ter-
lalu sempit!" ujar Giri
Mayang dengan wajah merah
menegang.
"Silahkan kau cari tempat
yang luas. Ataukah
kau mau ajak aku bertarung
diliang semut...! aku
akan melayani!" berkata
Roro dengan senyum sinis.
Tampak ketenangan tetap membayang di wajah sang
Pendekar kita.
"Baik! baik...! Silahkan
ikuti aku...!" berkata Gi-
ri Mayang, seraya melesat
bagaikan "terbang" keluar
dari hutan bambu itu. Roro
Centil enjot tubuhnya un-
tuk mengikuti. Dan, bagaikan dua
hembusan angin
lewat, dua sosok-sosok tubuh
yang tak terlihat oleh
mata biasa itu saling
berkelebatan meluncur pesat
meninggalkan tempat itu...
Pertarungan memang tampaknya tak
dapat di
elakkan lagi. Dan satu duel yang
amat menegangkan
pasti akan berlangsung untuk menentukan siapakah
yang masih bisa hidup
mempertahankan nyawanya.
Juga pada pertarungan itu akan
ditentukan apakah
kebathilan atau kebenaran yang
akan bercokol dijagat
ini. Segalanya memang belum bisa
dipastikan.
Nenek Muri Asih saling tatap
dengan kedua
pendekar muda itu.
Mereka cuma mendengar
bentakan-bentakan
dan tantangan yang menegangkan
dari balik hutan
bambu, yang kemudian suara-suara
itupun lenyap.
Alam kembali sunyi mencekam.
Ketiga manusia
itu tertegun dalam beberapa
saat. Namun akhirnya
nenek Muri Asih menyadarkan,
dengan berkata pela-
han.
"Segala sesuatunya tak
dapat lepas dari takdir!
Kita tak tahu apakah kemenangan
ada dipihak Roro
Centil, ataukah Giri Mayang.
Semuanya kita serahkan
pada Yang Maha Kuasa! Marilah
kita kuburkan mayat
saudaramu itu, sobat-sobat
Pendekar muda...! Juga
empat mayat pengawal itu kita
ke bumikan sekalian!
aku akan membantu kalian
menggali lubang...!"
Tersentak kedua dari Tiga
Musafir Hati Besi.
Lalu cepat-cepat menjawab.
"Terima kasih, nenek Muri
Asih! kami sudah
berhutang budi pada anda,
biarlah kami yang menggali
kubur untuk semua mayat yang
berada disini...!" ber-
kata Bonar.
Sejenak perempuan tua itu
tercenung. Lalu ter-
dengar menghela napas.
"Baiklah, kalau begitu...!
Doa'a-kan saja agar kemenangan ada pada Pendekar
Wanita kita..!" ujar Nenek
Muri Asih.
"Tentu...! tentu, nenek
Muri Asih!" menyahut
keduanya dengan serempak.
Nenek Muri Asih gerakkan
lengannya beberapa
kali ke arah depan.
Terdengarlah suara berdentum
beberapa kali
ketika sinar perak berkelebatan
menghantam tanah.
Debu mengepul, dan tanah
menyemburat ke udara.
Ketika abu tebal itu lenyap,
terperangah kedua
pendekar itu melihat
dihadapannya telah berjajar lima
buah lubang yang persis seperti
baru digali.
Kedua pendekar jadi saling
pandang dengan
keheranan.
"Beliau telah membantu kita
menggalikan ku-
buran...!" berkata Bhimo
dengan tertegun.
"Benar, adikku... ah,
sungguh sakti nenek itu
juga berhati mulia! Marilah kita
kuburkan dulu jena-
zah kakak kita..." ujar
Bonar.
Sang adik mengangguk, lalu
segera bantu men-
dukung membawa jenazah.
Kesedihan tampak mem-
bayang di wajah dua Pendekar
muda ini. Akan tetapi
mereka memang tak dapat
menentang takdir seperti
apa yang diucapkan nenek Muri
Asih. Begitu juga den-
gan pertarungan kedua tokoh
hitam dan putih itu ke-
lak.
Manusia, ya cuma manusia.
Setinggi apapun
ilmunya tetap di bawah kekuasaan
Yang Maha Pencip-
ta.
Langit tampak cerah tak berawan.
Cahaya Ma-
tahari membersit terik. Sesekali
terhalang sinarnya
oleh daun-daun bambu yang
bergoyang tertiup angin.
Setelah berdo'a untuk
arwah-arwah mereka yang telah
tiada, kedua. Pendekar Hati Besi
meninggalkan tempat
itu. Meninggalkan lima buah
gundukan tanah yang
masih baru. Mereka telah gugur
sebagai pahlawan wa-
laupun cuma dengan sedikit
perjuangan. Tapi masih
punya arti ketimbang matinya
seorang berpangkat
yang meninggalkan nama buruk
dimata manusia...
TAMAT
Emoticon