S A T U
KI RANGGA WULUNG duduk di kursi
goyang sambil
memilin-milin jenggotnya yang
cuma sejumput, hampir
memutih. Matanya menatap keluar
jendela. Tapi bukan
keadaan diluar rumah itu yang
terlihat didepan matanya.
Melainkan dia memandang
jauh....! jauh sekali kemasa
dimana dia masih menjabat
sebagai seorang Tumenggung
Kerajaan Mataram. Agak lama dia
termenung demikian,
hingga didengarnya suara langkah
mendekat dibelakang
menghampiri. Dia tahu yang
datang adalah anak gadis.
Karena, dirumah itu tak ada
siapa-siapa lagi.
"Ayah...! sampai kapan kita
akan begini terus? Apakah
tak ada jalan lain selain kau
bermenung setiap hari?"
berkata, gadis itu dengan
berdiri dibelakang punggung
sang ayah. Gadis yang berwajah cukup
cantik ini berna-
ma Jayeng Sari. Lengannya meraba
bahu ayahnya, seraya
bergerak memijit-mijit pundak
laki-laki tua ini.
Sementara Ki Rangga Wulung masih
belum lepaskan
pandangannya keluar jendela.
Tapi kali ini yang ditatap-
nya adalah keadaan diluar rumah.
Tak lama Ki Rangga
Wulung terdengar menghela nafas.
Lalu bangkit berdiri
dari kursinya.
"Sabarlah, anakku...! dalam
berdiam diri begini bu-
kannya aku tak berpikir apa-apa.
Akan tetapi aku tengah
merencanakan sesuatu....! Yah,
dengan diberhentikannya
aku dari jabatan semakin terasa
pahitnya hidup!" ujarnya
seraya berpaling menatap pada
sang gadis.
"Lalu...? apakah rencana
yang telah kau pikirkan itu,
ayah....?"
"Aku sudah cukup usia,
anakku. Jadi wajar kalau aku
diberhentikan dari jabatanku.
Aku tak memikirkan apa-
apa lagi dengan diriku. Akan
tetapi yang kupikirkan kini
adalah kau....!" menyahut
Ki Rangga Wulung.
"Aku....?" tukas
Jayeng Sari dengan agak terkejut.
"Ya! kau sudah cukup
dewasa. Bahkan sudah teramat
dewasa! Kau perlu segera
menikah....! agar ada yang me-
rawatmu!" ujar Ki Rangga
Wulung dengan suara tegas.
Akan tetapi Jayeng Sari menyahut
dengan cepat.
"Aku belum mau menikah,
ayah...!"
"Mengapa....?" tanya
Ki Rangga Wulung. Alisnya berge-
rak naik, menampakkan
kerut-kerut didahinya. Terheran
orang tua ini. Tapi yang ditanya
cuma berdiam diri, mena-
tap keluar jendela. Wajahnya
tampak kaku. Seperti eng-
gan memberikan jawaban pada
ayahnya. Akhirnya kem-
bali Ki Rangga Wulung yang
membuka mulut untuk bica-
ra.
"Aneh, kau ini....!"
ujarnya. "Laki-laki bernama
SATRYO yang menggantikan
kedudukanku sebagai Tu-
menggung itu cukup simpatik. Dia
memang pernah
punya istri. Tapi telah lama
menduda. Ketika dia kemari
menyambangiku sebelum menerima
jabatan Tumenggung
dari Baginda Raja, kunilai dia
seorang yang balk. Simpa-
tik, dan berwibawa. Bukankah dia
ada bercakap-cakap
dengan kau?"
"Hm, jadi ayah akan
menjodohkan aku dengan dia....?"
potong Jayeng Sari. "Maaf
ayah, aku tak dapat meneri-
manya. Seperti kukatakan tadi
aku belum mau menikah
dengan siapa saja....!"
ujar Jayeng Sari
"Bahkan.... aku.... aku
amat membencinya!" sambung-
nya lagi.
"Jayeng Sari....? waraskah
otakmu?" terkejut Ki Rang-
ga Wulung mendengar kata-kata
anak gadisnya itu.
"Otakku masih waras, ayah!
Aku tak sudi bersuamikan
laki-laki seperti itu. Apa cuma
dia laki-laki didunia ini...?
Aku dapat menentukan siapa
jodohku dan calon suamiku
kelak! akan tetapi bukan
dia!" sambut Jayeng Sari dengan
celotehnya yang tegas.
"Baik! baik, kalau itu yang
kau maui, akan tetapi apa
yang membuat kau
membencinya?" berkata Ki Rangga
Wulung.
Akan tetapi Jayeng Sari tak
menjawab. Tapi kemudian.
"Ayah, hal itu adalah
urusan pribadiku. Membenci saja
kukira tidaklah berdosa kalau
tidak mendendam. Kuha-
rap ayah tak mempertanyakan hal
itu.!" Selesai berucap,
Jayeng Sari kembali masuk
keruang dalam. Memasuki
kamarnya dan mengunci pintu Dan
luar kamar, Ki Rang-
ga Wulung mendengar suara isak
tersendat anak gadis-
nya. Dia berdiri dipintu kamar.
Keningnya berkerut. Len-
gannya bergerak mengeluk pintu.
Seraya panggilnya.
"Sari...! Jayeng Sari...!
Bukalah pintu, anakku...!
Suara isak itu mendadak lenyap.
Namun setelah di-
tunggu sekian lama pintu tetap
tak dibuka. Ki Rangga
Wulung tahu kalau anak gadisnya
tak mau membukanya
Dia masih marah, dan dia tahu
kalau hati Jayeng Sari te-
lah tersinggung dengan niat
baiknya itu. Setelah mere-
nung sejenak Ki Rangga Wulung
segera beranjak mening-
galkan pintu kamar Jayeng Sari
Terdengar lagi suara he-
laan napasnya.
Malam itu keadaan diluar gedung
Ki Rangga Wulung
nampak sunyi senyap. Akan tetapi
ruangan depan gedung
masih tampak terang dengan lampu
gantung berukir yang
terdapat diruangan itu. Suasana
sepi di Gedung itu se-
makin terasa oleh Ki Rangga
Wulung yang duduk me-
nyandar dikursinya. Alam
pikirannya kembali menera-
wang kemasa yang silam. Masa
jayanya, dimana dia ma-
sih berusia tiga puluh tahun.
Akan tetapi masa itu adalah
masa yang penuh dengan bermacam
peristiwa kehidupan
dan kemelut rumah tangga.
Dia bukanlah seorang suami yang
baik. Diakuinya dia
sering menyeleweng pada
wanita-wanita penjaja cinta. Itu
dikarenakan sang istri tak
pernah mempunyai keturunan.
Pertengkaran sering terjadi
dalam rumah gedung itu. Dan
bila hal itu terjadi, dia harus
segera menyingkir pergi un-
tuk melampiaskan perasaan
kesalnya pada wanita-wanita
penghibur. Atau minum arak
sampai mabuk. Walau de-
mikian dia tetap menjalankan
tugas dengan baik sebagai
seorang Tumenggung Kerajaan
Mataram.
Hingga akhirnya meletus pula
"perang kecil" dalam
rumah tangganya Sang istri
memutuskan untuk berpisah.
Rangga Wulung tak dapat menahan
lagi keinginan is-
trinya untuk itu. Dan
perpisahanpun terjadi. Akhirnya dia
menikah lagi. Dan dikaruniai
seorang anak perempuan.
Dialah Jayeng Sari. Namun sang
istri telah meninggal-
kannya terlebih dulu sebelum
Jayeng Sari dewasa. Dan
dia hidup menduda hingga sampai
saat diberhentikannya
dia dari jabatan tumenggung
Kerajaan Mataram.
Dalam masa-masa sepi demikian,
laki-laki tua Ini ter-
nyata telah membayangkan
kehadiran istrinya yang per-
tama. Betapa dia memang masih
amat mencintai Nyi Se-
kar. Dan ada hasrat dia untuk
mencarinya. Rupanya hal
itu agak mengganggu pikiran Ki
Rangga Wulung. Hingga
dia segera kecilkan lampu depan.
Berjingkat-jingkat Ki
Rangga Wulung mendekati kamar
anak gadisnya. Dari
lubang kunci dia mengintip
kedalam. Jayeng Sari ternyata
telah tidur. Niatnya untuk keluar
rumah jadi gagal, kare-
na kain selimut sang anak
gadis telah menyingkap hing-
ga menampakkan bagian tubuh
gadis itu dalam kereman-
gan cahaya lampu kamar.
Tampak wajah laki-laki tua ini
berubah tegang. Sekian
lama dia hidup berdua dengan
anak gadisnya tak disadari
kalau Jayeng Sari telah dewasa
dan semakin cantik. En-
tah mengapa dia tak mau menikah
cepat-cepat? pikirnya.
Padahal dia amat penuju dengan
Satryo si Tumenggung
Muda yang menggantikan
kedudukannya itu.
Wajah sang ayah ini menampakkan kegelisahannya.
Entah berapa kali dia
mondar-mandir didepan pintu ka-
mar anak gadisnya.
Sebentar-sebentar berhenti
didepan pintu untuk kem-
bali mengintip dari celah lubang
kunci. Akhirnya dengan
tangan gemetar dia membuka pintu
kamar dengan perla-
han. Ternyata pintu tak
terkunci. Rupanya Jayeng Sari
lupa menguncinya Rasa lelah dan
banyak memikir mem-
buat gadis itu tertidur agak
cepat.
Lengan tua itu mulai terulur
untuk meraba. Dan me-
nyingkapkan apa yang sudah
tersingkap itu semakin le-
bar. Gadis itu menggeliat. Dan
dia terkejut dengan mata
membelalak. Sang ayah telah
berada dipembaringannya
dengan mata membinar dan napas
memburu.
"Ayah...!? ada apakah...?
mengapa kau masuk keka-
marku....?" sentak Jayeng
Sari. Seraya beringsut mundur
kesudut pembaringan. Lengannya
bergerak menyambar
kain selimut untuk menutupi
tubuhnya.
"Sari...! Sari, aku....
aku...”
"Ayah! kelakuanmu tak
pantas! Sa...sadarlah ayah.....!"
membentak Jayeng Sari. Dari
sikap ayahnya tahulah dia
apa yang telah terjadi. Dan apa
yang akan dilakukan
ayahnya. Akan tetapi cepat
sekali tubuh Ki Rangga Wu-
lung melompat menerkamnya.
"Tidak! tidak...! jangan
ayah! kau, kau...telah gila! Le-
paskan aku!"
"Sari....! aku tahu kau
kesepian! aku tahu kau men-
dambakan laki-laki! Kalau kau
tak mau menikah, menga-
pa kau menolak....? berilah aku
kesempatan. Sekali ini
saja....! ya! cuma
sekali...." berkata Ki Rangga Wulung
dengan suara tergetar.
"Ayah! apakah kau tak takut
kutukan Tuhan? sadar-
lah! aku anakmu! Darah dagingmu...!"
berkata Jayeng Sa-
ri menyadarkan ayahnya.
Akan tetapi... "Sari! kalau
kau tak menuruti kemaua-
nku, lihatlah! lebih baik kau
kubunuh! Ya! kau akan ku-
bunuh...!" ancam Ki Rangga
Wulung yang sudah kerasu-
kan setan. Jari-jari lengannya
bergerak ke leher Jayeng
Sari untuk mencekik.
"Ayah...!? Oh, ja...jangan
ayah...! ampun! ampunkan
aku ayah! hk...hk...hk..jangan
ayah! ja jangan..." Pucat
pias wajah Jayeng Sari. Akhirnya
dia cuma menyerah. Dia
tak berdaya lagi. Sekujur
tubuhnya lemah lunglai. Dan
dia tak mampu berbuat apa apa
ketika dengan tersenyum
menyeringai sang ayah mulai
melolosi pakaiannya. Lalu
melepaskan pula pakaiannya
sendiri.
Akan tetapi tiba-tiba Jayeng
Sari yang telah katupkan
sepasang matanya dengan simbahan
air mata itu, mem-
buka lagi matanya.
"Ayah! kalau kau mau
lakukan, lakukanlah...! Akan te-
tapi ketahuilah, perbuatanmu
adalah terkutuk! Dan aku
tak mau menanggung dosanya...!
ucap gadis ini dengan
tandas. Dia telah berusaha
menahan segala perasaannya,
menghadapi kenekatan sang ayah
yang telah kerasukan
setan itu.
"Ba...baik! baik! aku yang
akan menanggung dosanya!"
menyahut laki-laki tua. Dan...
selesai berkata, dia telah
menindih tubuh anak gadisnya.
Dan....terjadilah apa yang
sebenarnya tak boleh terjadi!
Manusia yang beriman le-
mah apapun bisa saja dilakukan,
kalau setan telah mera-
suki hati dan jiwanya.
Malam semakin kelam! Desah angin
diluar gedung ba-
gaikan ribuan iblis yang
tertawa. Hitamnya malam ternya-
ta lebih hitam lagi ruangan
kamar tempat terjadinya per-
buatan terkutuk itu.
D U A
SESOSOK TUBUH tegak berdiri
didepan pintu kamar
yang tak tertutup itu.
Dilengannya tercekal sebuah
TOMBAK. Dan sebuah buntalan
besar berada pula dice-
kalan tangan kirinya.
Buntalan besar itu diletakkan
didepan pintu. Dan so-
sok tubuh itu berkelebat
lenyap...
Perbuatan terkutuk itupun berlanjut terus tanpa ada
hambatan. Suara desah napas yang
membaur dengan rin-
tihan kecil seperti sirna
ditelan lengangnya malam. Ma-
nakala Ki Rangga Wulung
perdengarkan lenguhannya.
Dan hempaskan tubuhnya kesisi
pembaringan dengan
napas tersengal. Selang sesaat,
Ki Rangga Wulung bang-
kit untuk duduk. Lengannya
mencengkeram rambutnya
yang awut-awutan. Sementara si
gadis bernama Jayeng
Sari menelungkup, menekap
kepalanya dengan bantal.
Tenggelam dengan sedu sedan yang
hampir tak terdengar.
Tiba-tiba sepasang mata Ki
Rangga Wulung membela-
lak lebar. Karena terpandang
buntalan besar didepan pin-
tu kamar. Dengan heran,
disambarnya kain selimut un-
tuk penutup tubuh dan dia
beranjak menghampiri. "Siapa
yang meletakkan disini...?"
berkata dia dalam hati.
"Aneh...?" desisnya
pelahan. Rasa penasaran membuat
dia ulurkan kepala untuk melihat
keluar kamar, tapi tak
ada bayangan sosok tubuhpun.
Pintu depan masih tertu-
tup rapat. Akhirnya diseretnya
buntalan itu ke dekat
pembaringan. Dan, dia segera
buka ikatannya untuk me-
lihat apa isi buntalan itu.
Seketika membelalak sepasang
mata laki-laki tua itu.
Karena yang berada dalam
buntalan tak lain dari berma-
cam senjata dan beberapa kotak
perhiasan. "Ah, apakah
tak salah mataku? Ini...ini
benda-benda Pusaka Kera-
jaan!" Mendadak tubuh Ki
Tumenggung bergetaran. Se-
mentara lengannya membinar,
ketika membuka isi kotak
berukir itu benar seperti
dugaannya adalah berisi perhia-
san dari berbagai macam, dari
emas. Juga terdapat ke-
pingan-kepingan uang emas.
Tiba-tiba meledaklah tertawanya,
gelak-gelak. Dan dia
sudah membangunkan anak
gadisnya. Mengguncang-
guncang punggungnya.
"Hahahaha... hahaha...
Sari! Sari! lihatlah, kita...kita
kaya raya! Lihat
perhiasan-perhiasan ini! Kita akan kaya!
Hahaha... hahaha..."
Diguncang-guncangkan demikian,
dan suara kata-kata aneh yang
didengarnya, membuat
Jayeng Sari terhenti dari sedu
sedannya.
Dan.....sepasang mata Jayeng
Sari jadi membelalak ke-
tika melihat sang ayah tengah
memperlihatkan uang
emas dan bermacam perhiasan
dihadapannya.
"Kau lihatlah, Sari...!
kita akan kaya....! Kita telah keja-
tuhan rejeki yang jatuh dari
langit!" ujar sang ayah. Se-
makin membelalak lebar mata
Jayeng Sari ketika ayahnya
mengangkat buntalan besar, dari
bawah pembaringan.
Meletakkannya diatas tempat
tidur, lalu menghamburkan
isinya.
"Hah!? dari mana kau
dapatkan benda-benda dalam
buntalan ini?" berkata
Jayeng Sari dengan wajah pucat.
"Hehehe... tak perlu
tanya-tanya! Segera kemasilah pa-
kaianmu! Lalu siapkan kuda. Kita
pergi dari sini!" berkata
Ki Rangga Wulung.
"Ayah! apakah ini bukan
benda-benda pusaka Kera-
jaan Mataram yang kudengar
lenyap dicuri oleh bekas
Senapati bernama Wira Rati
itu....?" Akan tetapi sebelum
Ki Rangga menjawab sebuah
bayangan berkelebat mema-
suki kamar. Dan satu suara
menyahuti, dibelakang Ki
Rangga Wulung.
"Benar! ini memang harta
benda milik Kerajaan Mata-
ram. Dan, akulah
pencurinya....!" Tentu membuat Ki
Rangga Wulung terkejut, dan
cepat balikkan tubuhnya.
Tapi... JROSS! Terhenyak
laki-laki bekas Tumenggung ini.
Sepasang matanya membeliak. Karena
tahu-tahu seba-
tang Tombak telah terhunjam
menembus lambungnya.
Hal kejadian itu demikian cepat.
Hingga Jayeng Sari cu-
ma bisa terperangarah dengan
mata membeliak dan mu-
lut terperangah.
"Kakk...k...kau...Wi....ra....pp...Patt..i...ii...?"
Terdengar
suara Ki Rangga Wulung
terputus-putus.
"Hahaha....benar! Nah,
berangkatlah kau ke Akhirat,
Rangga Wulung! Kukira kau bisa
diajak kerja sama. Anak
gadismu ku kepingini, kau tolak.
Tak tahunya kau "ma-
kan" sendiri! Dasar tua
bangka rakus!" berkata laki-laki
itu seraya menyentakkan
tombaknya. Dan terdengar jeri-
tan parau Ki Rangga Wulung.
Tubuhnya terlempar mem-
bentur tembok. Lalu menggabruk
dilantai. Darah me-
muncrat. Memercik diruangan
kamar itu. Diiringi pekik
histeris Jayeng Sari, laki-laki
bekas Tumenggung itu
menggeliat. Lalu terkulai dengan
melepaskan nyawanya.
Darah menggelogok dari luka
lebar yang menoreh isi pe-
rutnya. Bercampur isi perut yang
berhamburan.
"Ayaah...!? ayah....!"
memekik Jayeng Sari dengan wa-
jah pucat. Akan tetapi dia cuma
berdiri mematung me-
mandang pada ayahnya dan
laki-laki itu berganti-ganti.
"Kau....kau...mengapa
membunuh dia? mengapa...?" te-
riak wanita muda ini dengan mata
membelalak. Sementa-
ra lengannya menutupi bagian tubuhnya
yang terbuka.
"Hahaha...! dia sudah
pantas masuk kubur! Dan,
kau....? hm, rupanya dari pada
menerima lamaranku se-
tahun yang lalu rupanya lebih
senang disunting ayahmu
sendiri yang sudah tidak waras ini! Hahaha...dunia
me-
mang sudah edan!" tertawa
Wira Pati dengan mengham-
burkan kata-kata tajam.
"Wira Pati apakah kau
anggap dirimu juga bukan ma-
nusia bejat? Kau sama saja
dengan ayahku! Dan aku
amat yakin kalau perbuatan ayah
adalah akibat terpenga-
ruh oleh kelakuan burukmu.
Karena ayah bersahabat
denganmu!"
"Hm, jangan membawa-bawa
aku! perbuatan ayahmu
tak ada sangkut-pautnya dengan
diriku!" berkata dingin
Wira Pati. Tiba-tiba pancaran
matanya membinar menja-
lari liku-liku tubuh Jayeng
Sari. Wira Pati beranjak
menghampiri. Jayeng Sari
beringsut mundur. Wajahnya
tampak berubah pias. Dari
tatapan mata laki-laki berusia
hampir setengah abad itu, dia
telah tahu akan apa yang
bakal dilakukan manusia ini.
"Hm, setelah kau ternoda
begini apakah kau masih ju-
ga menolak keinginanku?"
berkata Wira Pati dengan wa-
jah sinis, dan tertawa
menyeringai. Kakinya terus me-
langkah mendekati Jayeng Sari
yang telah merapatkan
tubuh di sudut dinding, tak
berkutik.
"Pilih antara dua! apakah
kau mau cepat-cepat me-
nyusul ayahmu ke alam Baka
ataukah mau melayaniku
secara baik-baik...?" ancam
Wira Pati. Ujung tombaknya
yang masih berlumuran darah itu
terangkat untuk di-
arahkan ke dada wanita muda itu.
Tergetar tubuh Jayeng
Sari. Sepasang matanya membeliak
menatap ujung mata
tombak. "Aku...aku akan
melayanimu, Raden.... tapi, ti-
dak ditempat ini. Aku....aku
ngeri melihat jenazah
ayah...." menyahut Jayeng
Sari dengan napas tersengal.
"Hmm...." Wira Pati
palingkan wajahnya untuk mena-
tap pada mayat Ki Rangga Wulung.
Lalu palingkan lagi
pada Jayeng Sari.
"Baik! kau kemasilah
benda-benda ini! malam ini juga
kau harus turut denganku.
Hahaha... setelah selesai uru-
san kita tentunya! berkata dia.
"Nah! cepat kerjakan!"
bentaknya dengan halus. Lalu
menggeser tubuh untuk memberi
jalan pada Jayeng Sari.
"Ba..ba..baik Raden!"
menyahut Jayeng Sari. Lalu se-
gera turuti perintah Wira Pati.
Sementara hati wanita ini
tak menentu. Sedih, gusar
menjadi satu menindih da-
danya.
Selesai wanita muda itu
membungkus lagi benda-
benda itu dalam buntalan, Wira
Pati perintahkan Jayeng
Sari keluar ruangan,
Dan....Bruk! pintu kamar itu segera
ditutup rapat Wira Pati.
"Ke arah sana!" berkata Wira Pati dengan menunjuk
dengan tombaknya! Jayeng Sari
mengangguk. Lalu den-
gan tubuh terhuyung melangkahkan
kakinya menuju
ruangan dalam. Dia tahu ke
arah tempat itu adalah ke
arah kamar ayahnya.
"Ayo! buka pintu kamar itu.
Kita bermalam sejenak!
Menjelang pagi dinihari sebentar
lagi kita harus sudah
tinggalkan desa ini!"
"Ya... baik, Raden..!"
Menyahut Jayeng Sari. Lalu
membuka pintu kamar. Dan
melangkah masuk. Diikuti
Wira Pati...
Keadaan diluar gedung masih
sunyi seperti tadi. Se-
mua kejadian tak seorangpun dari
penduduk itu yang
mengetahui.
Dan, pada malam yang penuh
peristiwa itu, Jayeng Sa-
ri lagi-lagi harus menerima
kenyataan pahit. Menuruti
kemauan iblis Wira Pati untuk
memberikan kehangatan
tubuhnya pada laki-laki buronan
Kerajaan Mataram
itu......
WIRA PATI sang buronan Kerajaan
Mataram itu terka-
par kelelahan. Dengkurnya
terdengar memenuhi ruangan.
Laki-laki yang telah
melampiaskan keperkasaannya itu
tampaknya amat kelelahan setelah
banyak perjalanan dia
lakukan demi meloloskan diri
dari kejaran orang-orang
Kerajaan.
Kini dia terlena pulas dengan
tidur mendengkur. Sebe-
lah lengannya menempel diatas
perut wanita disebelah-
nya. Tidurkah wanita anak Ki
Rangga Wulung itu ? Tidak!
Jayeng Sari masih belalakkan
matanya. Mata yang telah
berkaca-kaca karena nasib telah
menyeretnya hingga
bermacam kejadian, menimpanya.
Wajahnya yang cantik
itu kini telah dilumuri dengan
simbahan air mata dipi-
pinya. Seakan tertegun dia
menatap langit-langit kamar,
menerangi diri yang bernasib
buruk.
Sesaat seperti tersadar dia,
ketika mendengar suara
dengkur Wira Pati. Dan
tercekatlah hatinya untuk bisa
meloloskan diri dari cengkeraman
laki-laki buronan Kera-
jaan itu.
Pelahan dia bangkit. Setelah
mengangkat dengan hati-
hati tangan Wira Pati yang
memeluknya: Laki-laki itu ter-
nyata benar-benar pulas. Jayeng
Sari menggeser tubuh-
nya untuk turun dari
pembaringan. Dia berhasil. Wira Pa-
ti tetap tak bergerak dari
posisi tidurnya.
Degup-degup jantung wanita itu
semakin cepat. Se-
mentara dia tak berayal untuk
segera merapihkan pa-
kaiannya. Lalu setelah meneliti
keadaan Wira Pati, den-
gan pelahan dan
berjingkat-jingkat segera beranjak men-
dekati pintu kamar. Membukanya
dengan pelahan sekali.
Dan dia menarik napas lega,
setelah berada diluar kamar.
Ditutupnya lagi pintu kamar itu.
Keringat dingin tam-
pak membasah disekujur tubuh.
Setelah mengatur napas,
dan detak jantungnya agak
mereda. Barulah Jayeng Sari
bergegas keluar dari dalam
gedung itu.
Dia harus cepat kalau tak ingin
jadi korban ketelenga-
san laki-laki yang telah
mengancam akan membunuhnya
itu, bila dia melarikan diri.
Namun segalanya memang
menggembirakan. Tak ada bahaya
apa-apa. Suasana da-
lam gedung itu masih tetap
seperti tadi. Dan suara deng-
kur laki-laki buronan Kerajaan
Itu masih terdengar sa-
mar-samar.
Jayeng Sari membuka pintu
belakang gedungnya. Dan
dari ruangan dapur itu, dia
berkelebat lari menembus ke-
pekatan malam. Sesaat tubuhnya
sudah lenyap ditelan
gelapnya malam yang sial itu...
Suara burung hantu ter-
dengar seperti mengantarkan
kepergiannya meninggalkan
tempat itu.....
TIGA
Esok harinya...
Seorang laki-laki berbaju putih
dari kain kasar. Berce-
lana pangsi warna abu-abu tampak
berjalan bergegas
menghampiri kerumunan orang.
Dipinggangnya tersoren
sebilah pedang. Dialah Ginanjar
adanya. Sementara dibe-
lakang pemuda itu terlihat
beberapa ekor kuda melintasi
pula jalan itu. Ternyata
rombongan orang-orang Kadipa-
ten. Seorang laki-laki tua yang
berada dibagian depan
adalah Adipati Kiduling Kuto.
Lima penunggang kuda di-
belakangnya adalah para
pengawalnya.
Ginanjar segera menyingkir untuk
memberi Jalan, Ke-
tika rombongan itu tiba ditempat
kejadian, kerumunan
orang itupun segera. menyibak
bubar. Semua mata tertu-
ju pada para penunggang kuda.
Mengetahui kalau yang
datang adalah Adipati Kiduling
Kuto, mereka menghatur-
kan sembah.
"Selamat datang kanjeng
Adipati..."
"Selamat datang Gusti
Adipati..!" beberapa orang
membuka suara.
Adipati Kiduling Kuto hentikan
kudanya. Matanya me-
nyapu pandangan semua orang yang
menunduk dihada-
pannya. Lalu menatap pada sosok
tubuh yang terbujur
ditanah itu. Sesosok tubuh
wanita yang sudah menjadi
mayat.
"Apakah kalian mengetahui
siapakah mayat perem-
puan itu?" tanya sang
Adipati.
"Ampun Gusti, hamba
mengenalnya. Dia puteri Ki
Rangga Wulung!" menyahut
salah seorang dihadapannya.
"Aneh? mengapa bisa berada
ditempat ini? Apakah ka-
lian mengetahui siapa yang telah
membunuhnya?" tanya
lagi Adipati Kiduling Kuto
dengan sapukan pandangannya
pada beberapa orang.
Sementara Ginanjar telah berada
pula dikerumunan
orang itu. Matanya menatap pada
perempuan yang terbu-
jur kaku itu. Sebuah belati
tampak jelas terhunjam dida-
danya. Salah seorang dari
kerumunan orang itu tiba-tiba
menyeruak keluar,
menghampiri ke hadapan Adipati Ki-
duling Kuto. Seraya menyembah,
laki-laki itu berkata.
"Ampun, Gusti.! Nama hamba
Wiryo Jembluk. Hamba
tadi malam bertugas meronda.
Jelas sekali hamba melihat
sebelum menjelang shubuh,
sesosok tubuh berlari-lari ke
arah tengah desa. Merasa curiga
kami yang meronda ber-
tiga segera mengejarnya.
Ternyata perempuan itu adalah
Nyi Jayeng Sari. Puteri Ki
Rangga Wulung. Lalu hamba
menanyai..."
"Aku tanyakan siapakah yang
telah membunuhnya!
apakah kau mengetahui?"
membentak Adipati Kiduling
Kuto. "Aku tak menanyakan
macam-macam!" sambung-
nya.
Dibentak demikian si laki-laki
bernama Wiryo Jembluk
ini jadi gelagapan.
"Ya...! Yya.. Gusti.
hamba...hamba.." belum lagi habis
kata-katanya tiba-tiba laki-laki
itu menjerit keras dan ro-
boh terjungkal. Ternyata dadanya
telah tertembus sebuah
belati kecil. Sesaat setelah
berkelojotan, Wiryo Jembluk
terkapar tak berkutik, karena
nyawanya telah melayang.
Pucatlah wajah semua orang. Juga
wajah Adipati Kiduling
Kuto.
Saat itu sesosok tubuh
berkelebat diantara kerumu-
nan orang. Ginanjar tersentak
kaget. Dia lihat jelas laki-
laki itu yang telah menyambitkan
pisau belati itu ke arah
Wiryo Jembluk.
"Dia pembunuhnya...! he!
jangan lari!!" membentak
pemuda ini. Tubuhnya berkelebat.
Dan dengan gerakan
salto diudara setinggi lima
tombak, tubuh Ginanjar mele-
wati kepala-kepala orang. Dilain
kejap dia sudah berada
dihadapan laki-laki yang mau
melarikan diri itu. SET!
SET!
Dua pisau belati meluncur ke
arah leher dan dada Gi-
nanjar yang dilontarkan
laki-laki Itu. Namun Ginanjar
berhasil mengelakkan diri dengan
gerakan lincah.
Dan...BUK! lengannya telah
menghantam dada orang.
Pukulan itu tak terlalu keras,
akan tetapi membuat laki-
laki pembunuh itu terdorong
mundur hingga jatuh ter-
jengkang.
Ginanjar tak berlaku ayal untuk
cepat melompat. Len-
gannya sudah bergerak untuk
mengirimkan totokannya.
Dia berpendapat harus meringkus
laki-laki itu tanpa ha-
rus membunuhnya.
Akan tetapi tiba-tiba sebatang
anak panah telah men-
dahuluinya menembus dada
laki-laki itu, yang jadi meng-
geliat sejenak. Setelah
mengerang, lalu terguling tak ber-
kutik. Tewas seketika.
"Bagus! kau amat cekatan
anak muda! manusia pem-
bunuh ini memang pantas
mampus!" terdengar suara
berkata. Ternyata Adipati
Kiduling Kuto telah berada di-
hadapannya bersama seorang
pengawalnya yang memba-
wa busur dan anak panah.
Ginanjar cepat-cepat mengha-
turkan hormat. Diam-diam hatinya
membathin. "Hebat!
tak dinyana Adipati ini punya
gerakan hebat. Juga pen-
gawalnya..." Ginanjar
memang telah melihat jelas kedua
orang Kadipaten itu melompat
dari punggung kuda mas-
ing-masing. Si pengawal
bersenjata panah itu telah men-
cabut sebatang anak panah dan
melemparkannya untuk
membunuh laki-laki itu tanpa
menggunakan busur lagi.
"Terima kasih atas pujian
anda Adipati...! akan tetapi
sayang, mengapa dia
dibunuh?" berkata Ginanjar.
"Apakah maksud anda, sobat?
Dan, siapa anda! meli-
hat dari caramu bicara kau pasti
orang Rimba Hijau. Si-
lahkan perkenalkan nama dan
julukanmu!" Berkata pen-
gawal Adipati itu dengan suara
lantang. Ginanjar mena-
tap pada Adipati Kiduling Kuto.
Laki-laki tua itu men-
gangguk seraya berkata.
"Benar! coba kau ungkapkan
maksud anda, anak mu-
da. Dan akupun ingin mengetahui
siapa anda gerangan.
Tentunya seorang pendekar dari
pihak golongan Putih,
yang berada dipihak
Kerajaan...!"
"Ah, hamba hanya seorang
pendekar picisan yang tak
berguna, Adipati! Namaku
Ginanjar. Dan julukan-
ku...ngng... aku tak punya
julukan!" menyahut Ginanjar
dengan suara datar merendah. Dia
sudah mau sebutkan
dirinya berjulukan si Dewa
Linglung. Akan tetapi merasa
julukan itu tak sesuai lagi
dengan keadaan dirinya yang
sudah kembali waras.
Adipati Kiduling Kuto
manggut-manggut. "Nah, seka-
rang jelaskan maksud
kata-katamu. Mengapa kau men-
cegah orangku membunuhnya?"
Ginanjar tersenyum, se-
raya menyahut.
"Maksudku demikian,
Adipati. Kalau orang ini tak di-
bunuh, kita bisa menanyai. Atau
memaksanya bicara.
Hamba berpendapat kalau- dia
pulalah yang telah mela-
kukan pembunuhan terhadap anak
gadis Ki Rangga Wu-
lung itu. Akan tetapi bukan
mustahil kalau dia hanya su-
ruhan orang lain. Nah, kita bisa
menanyai siapa gerangan
orang yang berada
dibelakangnya...!" tutur Ginanjar. Se-
jenak tercenung Adipati ini.
Sementara sang pengawal
menatap berganti-ganti pada
atasannya dan Ginanjar
dengan wajah kaku. Apakah
tindakannya akan disalah-
kan ataukah dibenarkan oleh sang
Adipati.
Tampak kemudian Adipati Kiduling
Kuto manggut-
manggut seraya mengelus
jenggotnya. Lalu berkata.
"Haih! pendapatmu benar,
anak muda! Ya! kau telah ber-
tindak salah, Hambali! akan
tetapi kejadian ini sudah ter-
lanjur...!"
"Lalu apakah selanjutnya yang
akan kita lakukan Gus-
ti Adipati?" tanya Hambali.
Wajahnya tampak berubah
merah. Tampaknya laki-laki ini
agak mendongkol juga
terhadap Ginanjar yang membuat
dia dipersalahkan oleh
Adipati. Untung sang Adipati tak
memperpanjang urusan.
"Hm, pergilah empat orang
dari kalian ketempat tinggal
Ki Rangga Wulung! Periksa
keadaan didalam rumahnya!"
perintah Adipati.
"Daulat, kanjeng Gusti
Adipati!" menyahut Hambali.
Dan selanjutnya memberi isyarat
pada keempat kawan-
nya, yang telah berdatangan.
Salah seorang kawan pen-
gawal itu membawakan pula
kudanya. Lalu, setelah me-
lompat keatas kuda, bergegas
empat orang pengawal Ka-
dipaten itu memacu kuda
masing-masing untuk mening-
galkan tempat itu. Dengan tujuan
ke arah tempat kedia-
man Ki Rangga Wulung. Ginanjar
menatap kepergiannya.
Sang Adipati mendekati Ginanjar
menepuk pundaknya.
"Anak muda, tampaknya kau
bisa diajak bekerja sama!
marl ketempat kediamanku...!
urusan ini kita serahkan
saja pada keempat pengawalku!
Kita kembali ke Kadipa-
ten!"
"Ah, kalau hamba diajak
singgah, mana mungkin kuto-
lak? Terima kasih
Adipati...!", menyahut Ginanjar. Sang
Adipati melompat kepunggung kuda
yang dibawakan oleh
seorang dari pengawal yang tak
turut serta. Lalu beri
isyarat pada pengawal itu untuk
berikan kudanya pada
Ginanjar.
Tak lama dua ekor kuda sudah
mencongklang pelahan
meninggalkan kerumunan ditempat
itu. Pengawal yang
seorang diperintahkan menunggu
kawan-kawannya di-
tempat itu, sekalian mengurus
jenazah wanita anak gadis
Ki Rangga Wulung itu untuk
dikuburkan sebagaimana
mestinya.
"Bila tak ada kejadian
apa-apa dikediaman Ki Rangga
Wulung ataupun ada terjadi
peristiwa, kau katakan pada
keempat pengawal kawanmu untuk
segera menghadapku
di Kadipaten!" teriak
Adipati Kiduling Kuto sesaat ketika
dia hentikan kudanya dan
membalik ke arah pengawal-
nya.
"Daulat kanjeng Gusti
Adipati. Perintah akan hamba
laksanakan!" menyahut
pengawal ini. Tak lama dia cuma
menatap punggung kedua orang itu
hingga lenyap me-
ninggalkan debu mengepul.
"Heh! pemuda bernama
Ginanjar itu jangan-jangan bi-
sa menggeser kedudukanku di
Kadipaten. Tampaknya
Adipati amat berkenan
melihatnya!" gumam pengawal ini.
Dan dengan bersungut-sungut
segera dia perintahkan
orang berkerumun itu bubar.
Beberapa orang laki-laki di-
perintahkan menggali lubang
untuk mengubur jenazah
perempuan itu.
Matahari mulai merayap naik.
Tampak kesibukan di-
tempat itu dari para penduduk
yang menjalankan perin-
tah menggali kubur.....
Sementara si pengawal Kadipaten
itu cuma duduk di
bawah pohon dengan bertopang
dagu. Seolah seribu ke-
melut membentang dalam benaknya.
Sikap Adipati pada
Ginanjar itu membuat dia takut
tergeser sebagai orang-
orang kepercayaan dan andalan
sang junjungannya.
EMPAT
"Ampun Gusti Adipati! hamba
melaporkan. Keadaan di
rumah kediaman Ki Rangga Wulung
tak dapat hamba ce-
ritakan. Segeralah gusti Adipati
melihatnya sendiri...!"
melapor salah satu dari keempat
pengawal Kadipaten. Di-
alah Hambali.
"Hm, mengapa
demikian?" bertanya Adipati Kiduling
Kuto. Keningnya berkerut, dan
alisnya naik terjungkat.
Ginanjar yang sedang duduk
bercakap-cakap dengan
Adipati ini juga terheran
mendengar laporan itu.
"Ampun Gusti Adipati.
Terlalu berat mengatakannya,
karena hal ini adalah sesuatu
yang diluar dugaan. Dan
hanya gusti Adipati sendirilah
yang berhak melihatnya.
Tiga orang kawan kami masih
berada disana...!" berkata
lagi pengawal bernama Hambali
itu. Setelah termenung
sejurus, laki-laki Adipati ini
berpaling pada Ginanjar.
"Sobat Ginanjar, mari kita
melihatnya. Kukira pasti
ada kejadian yang luar
biasa...!" Ginanjar mengangguk.
"Hamba tak keberatan,
Adipati...!" ujar pemuda ini. Nah,
Hambali segeralah kau siapkan kudaku.
Juga kuda buat
tetamuku sobat Ginanjar
ini!"
"Daulat, Gusti, perintah akan hamba
laksanakan...!"
menyahut Hambali. Lalu setelah
meminta diri, segera be-
ranjak keluar dari pendopo. Tak
lama diluar sudah terse-
dia dua ekor kuda.
"Mari sobat Ginanjar...!"
ajak Adipati Kiduling Kuto.
Dan dia melompat terlebih dulu
kepunggung kudanya.
Ginanjar mengikuti. Tak lama
kedua kuda telah men-
congklang cepat keluar halaman
gedung Kadipaten. Ham-
bali memandang disebelah dua orang pengawal
Kadipa-
ten, hingga kedua kuda itu
lenyap ditikungan jalan.
Diatas kuda, Adipati Kiduling
Kuto berkata. "Sobat Gi-
nanjar! anak buahku teramat
patuh padaku! lihatlah! un-
tuk satu hal yang amat besar,
dia tak mau melancangi
melapor, kecuali menitahkan aku
sendiri melihat keja-
dian. Tampaknya hal ini bukan
hal biasa! karena dia ta-
kut kesalahan bicara...!"
Ginanjar kerutkan aliasnya. "Ada
kejadian apakah sebenarnya,
dirumah kediaman Ki Reng-
gana itu ?" berkata
Ginanjar dalam hati. Akan tetapi dia
cuma manggut-manggut tanpa
memberikan komentar
pada Adipati Kiduling Kuto.
Tak lama mereka sudah berada
dihalaman sebuah
rumah gedung model lama yang
tampak diluar dijaga oleh
tiga orang pengawal berkuda.
Ketika melihat Adipati
muncul bersama Ginanjar, mereka seperti agak
terkejut
melihat pemuda itu. Tapi segera
turun dari kudanya, se-
raya menyembah hormat.
"Syukurlah Gusti Adipati ber-
kenan datang melihat sendiri
keadaan didalam. Hamba
takut melancangi kanjeng
Gusti...!"
Akan tetapi sambil berkata mata
laki-laki yang bicara
ini menatap pada Ginanjar dengan
sorot mata tajam. Be-
gitu pula kedua kawannya.
"Hm, kalian tak usah curiga
padanya. Dia orang sendi-
ri...!" berkata Adipati.
Ginanjar yang tahu diri segera men-
jura hormat pada ketiganya.
"Mari, sobatku! kita lihat
keadaan didalam. Apakah ge-
rangan yang telah
terjadi...?" Ginanjar mengangguk. Se-
mentara ketiga pengawal cuma
menunduk, setelah mem-
persilahkan Adipati Kiduling
Kuto untuk menindak ma-
suk. Didepan gedung keduanya
hentikan kuda. Setelah
menambatkan kudanya, Adipati
melangkah lebar mema-
suki ruangan dalam gedung Ki
Rangga Wulung yang be-
kas Tumenggung itu. Ginanjar
mengikutinya dari bela-
kang. Sementara dua dari
pengawal Kadipaten itu mengi-
kutinya dibelakang Ginanjar.
Satu persatu ruangan dipe-
riksa. Ketika melihat pintu
kamar terbuka dan bau mayat
menyerang hidung membuat Adipati
ini tampak berubah
wajahnya.
"Hm, pasti ada yang tidak
beres!" berbisik dia pada Gi-
nanjar. Dan... segera terpampang
dihadapan mereka, se-
sosok tubuh yang telah jadi
mayat terkapar diruangan
kamar. Sosok tubuh dari Ki
Rangga Wulung, yang tewas
dengan isi perut robek. Ususnya
terburai keluar. "Ah...!?"
tersentak Ginanjar. Adipati
inipun kelihatan berubah ka-
get wajahnya.
"Haiiih! inikah kejadian
yang tak mau dilaporkan itu?"
berkata Adipati. "Lagi-lagi
pembunuhan! siapakah bang-
sat tengik yang telah
melenyapkan nyawa bekas Tumeng-
gung Kerajaan ini...?"
Menggetar suara Adipati.
"Benar, Gusti Adipati. Akan
tetapi bukan ini saja!" me-
nyahut pengawal yang dibelakang
Ginanjar.
"Hm, mari kita periksa
ruangan lain..!" berkata Adipati
Kiduling Kuto. Lalu beranjak
melangkah kelain ruangan.
Dan ketika membuka sebuah pintu
kamar yang memang
sudah setengah terbuka pintunya.
Segera terpampang la-
gi sebuah pemandangan
menyeramkan. Hal ini bukan sa-
ja membuat Ginanjar terkejut,
akan tetapi sang Adipati
ini juga belalakkan matanya.
Mulutnya ternganga dengan
berteriak kaget.
"Hah!? dia..dia si WIRA
PATI,...?"
Tentu saja hal itu membuat
Ginanjar terpaku tak ber-
geming, karena melihat seorang
laki-laki berusia 40 ta-
hun lebih yang tergantung
lehernya oleh seutas tambang
pada langit-langit kamar,
Sementara di bawahnya tergele-
tak sebuah buntalan yang
setengah terbuka, berisi ben-
da-benda pusaka Kerajaan. Darah
membanjir menganak
sungai diatas pembaringan!
hingga kelantai. Lambung la-
ki-laki itu sobek memburaikan
isi perutnya. Sungguh se-
buah pemandangan yang amat
mengerikan.
"Wira Pati....? maksud
Adipati, apakah dia si orang bu-
ronan Kerajaan Mataram yang
tengah dicari-cari itu...?"
tanya Ginanjar terkejut.
"Tak salah, sobatku....!
dia Wira Pati adanya?" menya-
hut Adipati ini. "Akan
tetapi aneh! siapakah orang yang
telah membunuhnya, dan
menggantungnya dalam kamar
Ki Rangga Wulung ini?"
Wilayah Kota Raja jadi gempar,
karena si buronan Ke-
rajaan bernama Wira Pati yang
telah merampok harta pu-
saka Kerajaan, telah berhasil
dibawa mayatnya oleh Adi-
pati Kiduling Kuto, Tentu saja
orang-orang Kerajaan men-
gelu-elukan Adipati Kiduling
Kuto yang telah berhasil me-
nyelamatkan harta pusaka
Kerajaan Mataram. Benda-
benda pusaka itu masih utuh dalam buntalan. Kecuali
sebuah tombak. Yaitu Tombak
Pusaka Ratu Shima yang
lenyap tak ketahuan kemana
rimbanya. Untuk itu sang
Adipati itu telah menerima
penghargaan besar dari bagin-
da Raja Mataram. Selain
penghargaan, tentu saja menda-
pat pub hadiah istimewa dari
Baginda Raja Kerajaan Ma-
taram atas jasanya itu.
Rakyat tampaknya amat bersuka
cita dengan hasil ge-
milang yang dilakukan Adipati
Kiduling Kuto yang bertin-
dak cepat meringkus dan membunuh
mati si buronan
yang bekas Senapati itu bersama anak-anak buahnya.
Demikianlah. Apa yang memang
sudah seharusnya terja-
di, juga telah menjadi
kenyataan. Walaupun sebenarnya
bukanlah Adipati Kiduling Kuto
yang membunuh buronan
Kerajaan itu. Tapi karena tak
seorangpun dari pihak ra-
kyat maupun para pendekar yang
buka suara atau men-
getahui kejadian sebenarnya,
semua yakin kalau Adipati
Kiduling Kuto yang berjasa...
Hal mana membuat Ginanjar yang
telah menjadi teta-
mu di gedung Kadipaten Adipati
Kiduling Kuto jadi geleng
kepala tak mengerti. Dua hari
dia menjadi tetamu di ge-
dung Kadipaten, Ginanjar merasa
tugasnya sudah selesai.
Karena toh biang kerok yang
menjadi buronan Kerajaan
telah mati. Walau tak tahu siapa
pembunuhnya, namun
mau tak mau sang Adipati
Kiduling Kuto itulah yang be-
runtung. Mendapat penghargaan, juga hadiah istimewa
dari Raja.
"Hm, Adipati tentu tak
melupakan keempat pengawal
Kadipaten yang telah berjasa
dengan "anugerah" besar
itu...!" berdesis Ginanjar
dalam duduknya. Sepasang ma-
tanya menatap keluar dari kamar
tempat dia bermalam
sebagai tetamu istimewa Adipati
Kiduling Kuto.
"Apakah sebaiknya aku
meninggalkan gedung Kadipa-
ten ini? Info yang kudapat dari
orang Kadipaten, bahwa
penghargaan dan hadiah telah
diberikan hari ini oleh ba-
ginda Raja! Menurut seorang
pengawal yang bam pulang
dari Kota Raja, Adipati baru
kembali sore nanti...." berka-
ta Ginanjar dalam hati.
Termenung sesaat pemuda ini se-
perti menimbang-nimbang
keputusannya. Akhirnya dia
bangkit dari kursinya, lalu
beranjak ke ruangan pendopo.
Saat itu tiba-tiba terdengar
suara merintih dari dalam
ruang kamar ditengah gedung.
Tersentak pemuda ini.
"Aih, siapakah gerangan
yang merintih itu?" pikirnya. Tak
ayal dia sudah hentikan langkah,
dan berbalik ke arah
ruang dalam. Itulah ruangan
kamar istri Adipati Kiduling
Kuto.
Suara mengerang dan rintihan itu
semakin jelas dari
celah daun pintu kamar yang
setengah terbuka. Mau tak
mau Ginanjar tertegun bingung.
"Tidak! jangaan!
tolooong...! lepaskaaan...!" teriakan itu
semakin jelas. Membuat Ginanjar
tak sabar. Dan mem-
buka daun
pintu kamar dengan cepat. Dan selanjutnya
sudah melompat kedalam. Kelambu
pada tempat tidur is-
tri Adipati Kiduling Kuto tampak
tertutup dan bergoyang-
goyang. Orang didalam tak begitu
jelas.
"Celaka...!? jangan-jangan
ada orang jahat yang masuk
mau memperkosanya. Ataukah anak
buah Adipati sendiri
yang mau berbuat kurang
ajar?" seru tak hati Ginanjar.
Tak ayal dia sudah berkelebat
melompat. Lengannya me-
nyibak kelambu. Akan tetapi
tertegun dia, karena istri
Adipati itu tengah mengigau
dalam tidurnya. Dia telah
berteriak-teriak dan merintih
dengan mata tertutup. Ten-
tu saja dengan pakaian setengah
terbuka.
"Aiiih! siang-siang begini
mengigau..." memaki Ginan-
jar dalam hati. Seraya
garuk-garuk kepala yang tidak gat-
al. Akan tetapi tersentak dia.
karena mendengar langkah-
langkah kaki mendekat ke arah
kamar. "Celaka! aku bisa
dituduh berbuat tidak
senonoh...? Aii! aku harus cepat
menyingkir!" sentaknya
dalam hati. Akan tetapi terlam-
bat....'
"Bangsat licik! apa yang
kau lakukan disini bocah ke-
parat...?! tahu-tahu telah
terdengar suara bentakan. Dan
tiga sosok tubuh dari tiga
pengawal Kadipaten telah ber-
lompatan masuk. Pucatlah
seketika wajah Ginanjar. Dan
pada saat itu juga tahu-tahu
telah berkelebat sesosok tu-
buh dari balik pintu kamar itu.
Lengannya bergerak men-
girimkan jotosan kepunggung
Ginanjar. Mengetahui ada
bayangan sekilas dibelakang, dan
merasa angin pukulan
dibelakanganya, Ginanjar
bertindak cepat untuk menge-
lakkan diri. Dia berhasil.
Gerakan mengegos itu telah di-
barengi dengan lompatan ke arah
pintu. Tapi dua batang
tombak telah meluruk deras
mengancam dadanya. Ter-
paksa Ginanjar gunakan
kelincahannya. Lengannya ber-
gerak kedepan dengan jari tangan
mengembang.
Dan...Krep! Dua batang tombak
itu telah kena dicekal.
Selanjutnya yang terdengar
adalah suara bergedubrakan-
nya tubuh kedua pengawal
Kadipaten itu yang meluncur
ke arah meja.
Membentur keras hingga meja
tergelimpang terbalik
patah-patah tertindih dua tubuh
pengawal itu. Kiranya
Ginanjar telah gunakan
kekuatannya untuk membetot
tubuh lawan.
Selanjutnya dengan gerakan gesit, dia telah berhasil
melompat keluar dari dalam kamar
istri Adipati Kiduling
Kuto itu.
"Cegat dia...! cepat!
jangan biarkan meloloskan diri...!
membentak orang yang tadi
bersembunyi dipintu kamar.
Sementara itu terdengar pula
suara jeritan-jeritan kaget
dari istri sang Adipati yang
agaknya telah tersadar dari
mimpinya.
Seketika suasana didalam gedung
Adipati itu menjadi
hiruk pikuk. Suara bentakan dan
teriakan terdengar di
setiap sudut ruangan, sampai ke
pendopo.
"Kejaar! tangkaaap! Tangkap
bangsat itu! dia mau
memperkosa Kanjeng Ibu
Adipati....!"
"Tidak! dusta..! aku tak
melakukan apa-apa..!
aku...aku..." teriak Ginanjar
seraya melompat keruangan
pendopo. Akan tetapi belasan
pengawal Kadipaten telah
bermunculan mengurungnya.
"Tetamu macam beginikah
yang menjadi tamu istime-
wa gusti Adipati? Heh! tangkap
dia! Cincang sampai
mampus!!" terdengar
teriakan-teriakan disana sini. "Ru-
panya kau laki-laki hidung
belang ya..? Ayo. kawan-
kawan! ringkus setan bau kencur
ini...!"
LIMA
Dua orang pengawal menerjang
Ginanjar dengan dua
bilah golok besar. Satu
menyerang ganas untuk membe-
lah batok kepala. Sedang satu lagi
menabas pinggang.
Pemuda ini jadi gelagapan.
Terpaksa dia lakukan gerakan
jatuhkan tubuh kelantai. Kakinya
menjejak perut pen-
gawal yang satu. Sedangkan
sepasang lengannya me-
nangkap bilah golok yang nyaris
membelah tubuhnya.
Dengan sekali sentakan, tubuh si
penyerang yang golok-
nya tertangkap itu terlempar
membentur dinding
kayu...BRAKK! Dua teriakan
terdengar santar. Dan kedua
tubuh pengawal Kadipaten itu
terjengkang bergulingan.
Cepat Ginanjar gerakkan tubuh
melompat berdiri.
"Tunggu! kalian telah salah
menuduh orang! aku akan
berikan penjelasan! berteriak
Ginanjar. Akan tetapi per-
cuma. Suara kentongan telah
terdengar dipukul bertalu-
talu. Dan diluar gedung puluhan
prajurit Kadipaten telah
bermunculan mengurungnya.
"Edan! apa-apaan
ini...?" tersentak kaget Ginanjar.
"Kau tak dapat loloskan
diri kurcaci tengik! Menyerah-
lah! Kau akan menerima hukuman
berat dari Kanjeng
Adipati...!" terdengar
bentakan. Dan...enam orang pen-
gawal segera menerjang dengan
melontarkan tambang-
tambang atau tali laso untuk
menjerat dia. "Celaka...!?"
membathin pemuda ini.
Enam tali laso telah meluncur ke
arah Ginanjar untuk
menjeratnya. Pengawal-pengawal
Kadipaten itu ternyata
adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi.
Ginanjar
cepat cabut pedangnya untuk
menabas. Namun bersa-
maan dengan itu. Beberapa pisau
terbang telah pula me-
luncur deras kearahnya. Dalam
keadaan demikian ter-
nyata membuat pemuda ini jadi
melengak. Untunglah pa-
da saat itu selarik cahaya perak
telah menghantam buyar
semua serangan. Dan... selarik
sinar pelangi meluncur ke
arah Ginanjar.
Membelit tubuhnya. Saat
berikutnya tu-
buh pemuda itu tiba-tiba
meluncur deras keluar dari
ruang pendopo. Tentu saja
kejadian itu membuat para
pengawal Kadipaten jadi terkejut.
Ternyata bukan mereka saja.
Ginanjar pun terkejut
bukan main, karena tahu-tahu dia
rasakan tubuhnya
terbetot keluar pendopo. Detik
selanjutnya Ginanjar rasa-
kan tubuhnya mengapung ke udara.
Ternganga semua
pengawal Kadipaten melihat tubuh
Ginanjar melayang
keatas setinggi lebih dari
sepuluh tombak. Dan lenyap di-
balik wuwungan gedung Kedipatian
itu.
"Kejar.!" mereka
hampir serempak. Dan berloncatanlah
tubuh-tubuh para pengawal itu
untuk mengejar Ginanjar.
Akan tetapi mereka tak dapatkan
lagi pemuda itu disana.
Ginanjar telah lenyap entah
kemana bagaikan diterbang-
kan angin....
"RORO...? kau...kau...???
Ah, lagi-lagi kau telah me-
nyelamatkanku! Ilmu Sinar
perak-pelangi itu dari mana
kau dapatkan? Ah, ah..sungguh
mengagumkan!" berkata
Ginanjar, ketika dapatkan
dirinya berada diatas bukit.
Dihadapannya berdiri tegak Roro
Centil yang tersenyum
memandangnya.
"Hihihi... Ginanjar!
Ginanjar..! kau mengapa membuat
kerusuhan di kediaman Adipati
Kiduling Kuto itu?" ujar
Roro dengan suaranya yang merdu.
Lalu duduk diatas
batu. Pandangannya dialihkan
menatap kebawah bukit.
"Hm, aku tak membuat keasusilaan...!" tugas anak
muda ini.
"Lalu? mengapa
pengawal-pengawal Kadipaten mau
meringkusmu?" tanya Roro menyelidik.
"Menurut yang
kudengar kau mau mengganggu
istri Adipati itu!" Ginan-
jar jadi garuk-garuk kepala
kesal.
"Kau percaya?"
"Yah! Setengah percaya
setengah tidak!" "Kalau aku ce-
ritakan kejadian sesungguhnya
kau mau mempercayai-
ku?" tanya lagi Ginanjar.
"Akan kupertimbangkan dulu,
apakah ceritamu be-
nar!" sahut Roro.
"Baik! akan kukatakan
sebenarnya. Setelah itu terse-
rah kau, apakah mau mempercayai
atau tidak!" berkata
pemuda itu. Lalu tanpa ayal lagi
Ginanjar segera cerita-
kan kejadiannya dari awal hingga
akhir. Selain itu diceri-
takan pula kejadian sebelumnya mengenai peristiwa di
kediaman Ki Rangga Wulung.
Tentang diketemukannya
mayat WIRA PATI sang buronan
Kerajaan Mataram yang
telah tewas dalam keadaan
tergantung di langit-langit
kamar.
"Jadi sebenarnya bukanlah
Adipati Kiduling Kuto yang
telah membunuh Wira Pati!
melainkan seorang yang mis-
terius, yang telah bertindak
tanpa diketahui siapapun,"
berkata Ginanjar. Roro jadi
kerutkan keningnya. Alisnya
bergerak menyatu. Tampaknya dia
amat serius memikir-
kan hal kejadian.
"Kejadian itu memang
aneh!" berkata Roro, sesaat ke-
mudian setelah lama tercenung.
"Hahaha... memang
aneh! apakah kau percaya Adipati
itu ataukah percaya
aku?" tertawa hambar
Ginanjar seraya menatap Roro da-
lam-dalam.
"Hm, baik! aku percaya
padamu! akan tetapi kau ha-
rus membantuku. Aku akan
berusaha memecahkan per-
soalan ini. Saat ini kau pasti
akan dikejar terus oleh
orang-orang Kadipaten. Sebaiknya
kau menyingkir jauh-
jauh. Aku akan coba menyelinap
ke gedung Kadipaten
untuk menyelidiki..!"
berkata Roro.
"Aku sih setuju saja. Tapi
aku akan kemana baiknya
menurut pendapatmu?" tanya
Ginanjar. Roro jadi terme-
nung sejurus.
"Yak! kalau begitu
sebaiknya kau ke Kota Raja. Temui
Tumenggung SATRYO. Dan ceritakan
tentang kejadian
sebenarnya mengenai kematian
Wira Pati itu. Dua hari
kemudian aku akan menyusulmu
kesana...!" ujar Roro
dengan wajah cerah.
"Hm, baiklah kalau
begitu!"
"Bagus! akan tetapi kau
harus waspada! setiap saat
nyawamu akan terancam. Karena
pengawal-pengawal Ka-
dipaten takkan membiarkan kau
hidup. Kukira, kau kini
jadi orang penting. Karena hanya
kaulah yang mengeta-
hui kejadian terbunuhnya Wira
Pati. Takkan dibiarkan-
nya kau hidup karena amat
membahayakan kedudukan-
nya!" ujar Roro dengan
serius.
"Kalau begitu aku terpaksa
harus menyamar...!" berka-
ta Ginanjar.
"Hihihi, itulah jalan
terbaik! akan tetapi hati-hati. Aku
yakin orang-orang Adipati
Kiduling Kuto tak akan tinggal
diam dan bertebaran mencarimu!"
"Heh! jangan khawatir! aku
dapat menjaga diriku! ber-
kata Ginanjar. Roro Centil
manggut-manggut, lalu ujar-
nya kemudian. "Nah, baiklah
kalau begitu! Aku segera
pergi. Sampai jumpa lagi dua
hari kemudian di Kota Ra-
ja!"
"Kalau tak ada halangan, tentunya...!"
sambung Roro.
"Ya, kalau tak ada
halangan!" sahut Ginanjar sambil
tersenyum. Roro Centil bangkit
berdiri, lalu beranjak me-
langkah. Tak lama dia sudah
berkelebat lenyap dari atas
bukit itu. Ginanjar cuma terpaku
memandang. Hatinya
membathin. "Haiih, kalau
tak ada dia keadaanku bisa le-
bih gawat. Heh, dia benar-benar
seorang Dewi Peno-
long...!"
Adipati Kiduling Kuto telah
kembali dari Kota Raja sore
itu. Dengan diantar oleh pasukan
kehormatan dari Kera-
jaan Mataram. Tentu saja dengan
membawa hadiah isti-
mewa dari Kerajaan Mataram.
Hadiah istimewa dari Ba-
ginda Raja Mataram adalah Tiga
hektar sawah dan tanah,
mutlak jadi miliknya. Permintaan
hadiah itu adalah atas
dasar baginda menawarkan apa
yang diingini oleh Adipati
Kiduling Kuto. Ternyata sang
Adipati meminta hadiah ta-
nah dan sawah. Permintaan itu
dikabulkan Baginda Raja.
Hingga sang Adipati kembali ke
Kadipaten sore itu dengan
membawa surat ditangannya. Surat dari tiga hektar sa-
wah dan tanah yang menjadi hak
miliknya secara syah.
Selain itu pula Baginda telah
memberi pula uang emas
sebagai imbalan atas jasanya.
Tumenggung Satryo yang memimpin
pasukan kehor-
matan untuk mengantar sang
Adipati itu cuma mengan-
tar sampai perbatasan Kota Raja.
Selanjutnya kembali ke
markas, di Kota Raja. Adapun
Adipati Kiduling Kuto den-
gan pengawal-pengawal kadipaten
meneruskan perjala-
nan menuju ke Kedipatian. Derap
langkah kaki-kaki kuda
terdengar dan terlihat semakin
mendekat kewilayah Kadi-
paten. Dan, tak lama mereka tiba
dipintu gerbang gedung
Kadipaten.
Beberapa pengawal segera datang
menyambut. Juga
istri sang Adipati yang masih
berusia muda itu menyam-
but sang Adipati dipintu
pendopo.
"Selamat datang, kanda
Adipati...!"
"Hm, ya...!ya...! apakah
tak ada kejadian apa-apa di-
rumah kita?" bertanya
Adipati Kiduling Kuto.
"Marilah kita bicara
didalam, kanda!" berkata sang istri
dengan agak berubah wajahnya.
Laki-laki Adipati ini
mengangguk. Lalu beranjak
memasuki ruang pendopo.
"Celaka, kanda...! tetamu
kita, laki-laki muda bernama
Ginanjar itu berhasil meloloskan
diri!" tak sabar sang istri
telah buka pembicaraan, sambil
melangkah keruangan
tengah. Membelalak sepasang mata
Adipati ini. "Bagai-
mana bisa terjadi? bukankah
telah kuatur rencana agar
dia dijadikan tawanan!"
"Kanda dapat tanyakan nanti
pada pengawal-pengawal
Kadipaten yang telah ditugaskan kanda untuk hal itu
nanti!" berkata sang istri.
"Akan tetapi sebaiknya kanda
beristirahat dulu...!"
Adipati Kiduling Kuto tak menjawab.
Dihempaskannya tubuhnya kekursi
diruang tengah ber-
bantal empuk itu. Dan dihelanya
napasnya panjang-
panjang.
"Walau bagaimanapun anak
muda itu harus dile-
nyapkan! Karena hanya dia yang
mengetahui kejadian
itu!" berdesis suara sang
Adipati. Sepasang matanya tam-
pak membinar. Dan dia tampak
gelisah.
"Hal itu dapat diatur nanti
kanda! minumlah dulu! kau
tentu haus!" Laki-laki ini
tak menolak ketika istrinya me-
nyorongkan nampan berisi minuman
segar kehadapan-
nya. Diraihnya cangkir perak
berisi minuman segar kesu-
kaannya. Dan direguknya hingga
ludas.
ENAM
Malam itu bulan sabit mengambang
dilangit... Seekor
kuda pelahan keluar dari
belakang gedung Kedipatian.
Sesosok tubuh berpakaian serba
hitam telah menyeretnya
keluar dengan gerakan hati-hati.
Lalu melompat dengan
sigap. Dan selanjutnya
mencongklang pelahan mening-
galkan tempat itu. Laki-laki itu
memakai topeng untuk
menutupi wajahnya. Sekejap
kemudian telah lenyap diti-
kungan jalan. Ternyata penunggang
kuda itu menuju ke
arah utara. Memasuki jalan
setapak disisi hutan. Tak la-
ma telah menuruni sebuah bukit
kecil. Setelah membelok
ke arah timur, lalu berhenti
didepan sebuah candi.
Membelok disisi candi, ada
sebuah jalan lurus yang
menuju kesisi bukit. Dan tepat
dibelakang candi itu dia
hentikan langkah kudanya.
Melompat turun. Menyembu-
nyikan kuda, dan mengikatnya
disekitar pohon dibalik
semak. Lalu beranjak melangkah
kesisi bukit.
Disini terlihat sebuah pondok
terpencil ditempat itu.
Pondok satu-satunya. Tampak dari
kejauhan cahaya lam-
pu tersembul dari jendela yang terbuka. Dia terus me-
langkah menghampiri.
"Kokok Beluk terbang
malam...!" berteriak pelahan, la-
ki-laki bertopeng itu. Suasana
tampak hening mencekam.
Jarak antara laki-laki itu
tinggal beberapa tombak lagi.
"Hehehe... silahkan masuk,
sobatku...! aku telah men-
getahui kedatanganmu!"
terdengar suara serak dari dalam
pondok. Ternyata laki-laki itu
mengucapkan kata-kata
sandi (rahasia).
"Ah, terima kasih, kakek
Panembahan!" berkata laki-
laki itu seraya bergegas
mendekati pondok. Tak lama pin-
tu terbuka dengan suara
berderit. Aneh! pintu itu seperti
terbuka sendiri. Seorang kakek
berusia hampir tiga pe-
rempat abad tampak duduk
dibalai-balai bambu bera-
laskan tikar. Diatas meja terang
bersinar cahaya lampu
tempel menerangi wajahnya yang
keriput. Sepasang ma-
tanya terkatup rapat. Kakek ini
mengenakan jubah warna
hitam. Berkepala hampir gundul,
yang cuma tinggal bebe-
rapa lembar lagi rambutnya.
Dihadapannya terdapat sebuah
pedupaan. Dan sebuah
tombak berwarna hitam tergeletak
dihadapannya. Itulah
Tombak Pusaka Ratu Shima.
Laki-laki ini melangkah ke-
dalam dan menjura hormat, seraya
membuka topeng wa-
jahnya. Ternyata dia tak lain
dari Adipati Kiduling Kuto.
"Silahkan duduk sobat
Adipati...!" berkata si kakek
berjubah hitam itu. Tanpa
membuka matanya dan masih
tetap duduk seperti tadi.
"Terima kasih...!" sahut laki-laki
ini. Sang Adipati segera
beranjak untuk duduk disudut
sisi balai-balai.
"Tampaknya kau gelisah
sekali. Bukankah kau baru
terima hadiah dari Baginda Raja?
Ada maksud apakah
dengan kedatanganmu?"
bertanya si kakek itu.
"Aku perlu bantuanmu, kakek
Panembahan...!"
"Heheheh...sudah kuduga!
Apakah mengenai pemuda
bernama Ginanjar yang berhasil
meloloskan diri itu...?"
Melengak Adipati Kiduling Kuto.
"Kakek Panembahan
telah mengetahui?" tanyanya
terheran. Akan tetapi juga
kagum.
"Hm, mata bathinku lebih
awas dari pada kedua mata-
ku ini!" menyahut si kakek.
Lalu nampak membuka mata.
Ternyata kakek ini mempunyai
sepasang mata yang amat
kecil alias sipit. Hingga hampir
tak terlihat biji matanya.
"Benar sekali apa yang
kakek Panembahan katakan
itu. Bocah laki-laki itu amat
membahayakan. Dia harus
dilenyapkan secepatnya. Aku
khawatir dia membocorkan
hal ini dengan melapor ke Kota
Raja!" berkata sang Adipa-
ti.
"Hm, benar apa katamu!
Apakah kau tak berupaya un-
tuk berbuat sedini mungkin
sebelum anak muda itu
membocorkan rahasia itu?"
"Sudah, kakek Panembahan!
Aku telah sebar anak bu-
ahku yang menyamar untuk
mengawasinya disekitar wi-
layah Kota Raja. Akan tetapi
yang menjadi kekhawatiran-
ku adalah, adanya seseorang
sakti yang berada dibela-
kangnya!"
"He? siapa dia? mata
bathinku tak dapat menangkap-
nya...!?" tersentak Kakek
ini.
"Aku sendiri tak
mengetahui, kakek Panembahan.
Yang kutahu adalah para pengawal
Kadipaten anak-anak
buahku itu telah
menceritakan..." Lalu Adipati Kiduling
Kuto segera menuturkan kejadian
aneh hingga lolosnya
pemuda bernama Ginanjar itu dari
sergapan anak buah-
nya.
"Sinar perak dan pelangi
itu amat luar biasa. Dan telah
menyelamatkan nyawa _muda itu.
Kalau bukan seorang
yang sakti yang telah
menolongnya, tak mungkin dia da-
pat lolos dari ringkusan
anak-anak buahku yang telah
berpengalaman...!"
"Sinar perak dan
pelangi....?" menggumam si kakek
mata sipit ini.
"Benar, kakek
Panembahan!"
Kakek ini tampak kerutkan
keningnya dan tertegun se-
jenak. "Seperti aku pernah
mengenai siapa pemilik ilmu
aneh itu! Ya, ya..! aku ingat.
Si pemilik ilmu itu tak lain
dari seorang perempuan yang
pernah berjulukan si Pen-
dekar Selendang Perak Pelangi!
Hm, kalau tak salah ber-
nama MURI ASIH!" berkata si
kakek dengan suara berde-
sis. "Mungkinkah perempuan
sakti itu!" gumamnya.
Agak lama si kakek Panembahan
itu tercenung dengan
serius. Namun tak lama dia
berkata. "Sobat Adipati, coba
tolong kau ambilkan aku segelas
air putih!"
"Baik, kakek
Panembahan..." menyahut sang Adipati,
seraya beranjak menuju ruang
belakang pondok.
KAKEK Panembahan itu tampak
komat kamit memba-
ca mantera. Dihadapannya segelas
air putih yang diberi
asap pedupaan.
Diputar-putarkannya pedupaan itu bebe-
rapa kali. Sementara matanya
terpejam. Tak lama dia le-
takkan lagi pedupaan itu.
Sepasang matanya terbuka.
Memandang kedalam gelas berisi
air putih itu. Sementara
sang Adipati menanti dengan hati
berdebar.
Tampak wajah kakek itu berubah
pucat ketika mena-
tap kedalam air. Namun tak lama
wajah berubah membe-
si. Dia membentak keras.
"Kau akan menjadi gila,
bila turut campur urusanku!
Siapa kau bocah
perempuan...?" Adipati Kiduling Kuto
sampai terlonjak kaget.
PRAKK!
Terkejut dia karena tahu-tahu
gelas berisi air itu pe-
cah. Airnya tumpah membanjir
ditikar. Ternyata bukan
Adipati itu saja yang terkejut,
akan tetapi kakek inipun
terperanjat. Karena satu suara
terdengar mendenging di-
telinganya.
"Hihihi... kakek tua
bangka! hebat juga ilmu bathinmu!
Aku Roro Centil yang akan
memberantas pengacau licik
macam kau!" Tergetar tubuh
kakek ini. Tiba-tiba lengan-
nya meraih Tombak Pusaka Ratu
Shima. Bibirnya mem-
baca mantra. Dan... PLASH! aneh!
tiba-tiba tombak Pusa-
ka itu lenyap. Kakek ini
gerakkan lengannya mengibas.
Pintu pondok itu tahu-tahu
menjeblak terbuka. Dan tu-
buh si kakek telah melesat
keluar bagaikan terbang. Lalu
lenyap dikegelapan malam.
Adapun Adipati Kiduling Kuto
jadi terkejut. Dia jadi
serba salah. Apakah yang akan
dilakukannya? Dia pun
memburu keluar dari pondok.
"Sobat Adipati! segeralah
kau kembali pulang!" terden-
gar suara ditelinganya, tanpa
diketahui dimana adanya si
kakek Panembahan.
"Ah!? ha... baik, kakek
Panembahan!" sahutnya den-
gan cemas. Dan.. tak ayal dia
segera berlari-lari menuruni
bukit kecil itu. Tak lama telah
tiba ditempat dia menam-
batkan kuda. Dan selanjutnya
selang sesaat Adipati Ki-
duling Kuto telah melarikan
kudanya dengan cepat me-
ninggalkan tempat itu.
Sementara itu diatas Candi
sesosok tubuh tegak berdi-
ri mematung bagaikan arca. Sosok
tubuh seorang wanita
yang berambut panjang terurai.
Cahaya bulan sabit me-
nerangi wajahnya. Siapa lagi
wanita itu, kalau bukan
RORO CENTIL.
Ketika langkah kuda melewati
sisi Candi, kuda tung-
gangan Adipati itu meringkik
panjang. Mengangkat kaki
depannya tinggi-tinggi. Hawa
aneh yang membangunkan
bulu roma telah membuat sang
kuda mengetahui akan
adanya sesuatu yang menakutkan.
Karena dihadapannya
tegak berdiri seekor harimau
tutul yang luar biasa besar-
nya.
Akan tetapi harimau tutul itu
lenyap, ketika terdengar
bentakan.
"Roro Centil! akulah
lawanmu, jangan ganggu dia..!"
Dan segelombang angin menerpa
bergulung-gulung ke
arah harimau itu, yang segera
lenyapkan diri. Kuda Adi-
pati Kiduling Kuto jadi tenang
kembali. Dan bergegas
sang Adipati memacu kudanya
untuk segera minggat dari
tempat itu.
"Hihihi... boleh juga
ilmu pukulan angin taufanmu,
kakek!" terdengar suara
dari atas Candi. Entah sejak ka-
pan di bawah
Candi telah berdiri diatas batu, si kakek
Panembahan. kepalanya yang
gundul itu berkilat-kilat
kena cahaya rembulan. Laki-laki
tua ini menatap keatas
Candi.
"Bocah perempuan! ada
hubungan apakah kau dengan
si Pendekar Selendang Perak
Pelangi, Muri Asih itu...!"
bertanya dia. Suaranya terdengar
dingin. Akan tetapi jelas
mengandung tekanan tenaga dalam
hebat.
"Hihihi... dia boleh juga
disebut guruku! Sayang, beliau
yang berhati mulia itu telah tak
ada didunia ini lagi!"
menjawab Roro.
"Dia telah mati...?"
tanya kakek tua ini dengan suara
terkejut.
"Benar! ada apakah kau
menanyakannya? Aku datang
untuk meringkusmu, dan tentu
saja untuk mengambil
kembali benda Pusaka yang masih
ketinggalan dan bera-
da ditanganmu itu!" ujar
Roro. Terkejut kakek ini, karena
ternyata Roro dapat mengetahui kalau
Tombak Pusaka
Ratu Shima yang telah lenyap
sirna itu berada ditangan-
nya. Dengan kekuatan manteranya
si kakek ini memang
telah membuat tombak itu tak
nampak oleh mata biasa.
"Heheheh... bocah centil!
kau terlalu sombong! Walau
kau punya ilmu setinggi langit,
apa kau dapat buktikan
kata-katamu?" menantang si
kakek dengan mendongkol.
"Hm, akan kucoba! tapi
sebelumnya segera kau se-
butkan siapa dirimu! Gelarmu!
Bukankah kau yang telah
membunuh si Wira Pati itu? Juga
keluarga bekas Tu-
menggung Ki Rangga
Wulung...?" cerocos Roro Centil,
memberondong dengan pertanyaan.
"Hehehe... hehehe... Aku
digelari si Laba-laba Hitam.
Namaku tak perlu kusebutkan!
Memang aku yang telah
membunuh si Wira Pati itu. Dia
telah tak kuperlukan lagi.
Hehehe... ketahuilah, pencurian
harta pusaka Kerajaan
itu hanya dalihku saja untuk
memiliki Tombak Pusaka
Ratu Shima, yang kudengar
disimpan di Istana Kerajaan
Mataram!" ujar si kakek
yang bergelar si Laba-laba Hitam
itu. "Heh! kalau bekas
tumenggung, Ki Rangga Wulung
itu, bukan aku yang membunuh.
Akan tetapi si Wira Pati
itu sendiri. Sedangkan anak
gadis Ki Rangga Wulung
yang mati itu aku tak mengetahuinya!" sambungnya lagi.
"Hm, begitukah...? Hebat
juga rencanamu itu, Laba-
laba Hitam! Kematian gadis bekas
Tumenggung itu aku
telah mengetahui. Dia dibunuh si
Adipati Kiduling Kuto
yang bekerja sama denganmu!
Hebat! Hebat...! Tipu daya
licik yang mengagumkan. Dengan
cara demikian, bukan-
kah Adipati Kiduling Kuto dapat
penghargaan dari Bagin-
da Raja Kerajaan Mataram.
Padahal semua ini adalah
permainan busuk kalian. Wira
Pati kau bunuh, setelah
berhasil mencuri benda-benda
pusaka Kerajaan Mataram
demi keamanan kalian!"
"Hehehe... Roro Centil! aku
telah dengar kehebatanmu!
Dan kau telah mengetahui
rahasiaku. Maka jalan yang
baik buat kau adalah segera.
berangkat ke Akhirat!"
Emoticon