1
"Amm..., betapa malangnya nasibmu, Anakku.
Keluhan-keluhan penuh perasaan sedih yang
terdengar parau itu keluar dari mulut seorang lelaki
setengah baya berpakaian coklat. Tanpa sadar tangan-
nya mengepal-ngepalkan tanah merah dari sebuah
gundukan kuburan yang masih baru.
"Haruskah kutinggalkan tempat ini, Arum...?
Haruskah aku membalaskan kematianmu pada orang-
orang yang telah membunuhmu?! Kalau saja dulu aku
tak pernah berjanji di depan jenazah mendiang ibumu
tentu sekarang aku telah turun gunung. Maafkan
Ayah, Arum! Ayah tak bisa mengingkari sumpah," ucap
lelaki berpakaian coklat itu lagi, tetap dengan nada se-
dih.
"Tidak perlu hal itu harus kau lakukan, Sala-
ban!"
Lelaki berpakaian coklat menolehkan kepala ke
arah asal suara dengan perasaan kaget Dia tidak men-
dengar bunyi langkah, tapi tahu-tahu tepat di bela-
kangnya, hanya berjarak satu tombak, telah berdiri se-
sosok tubuh tinggi kurus, orang itu menatap ke arah-
nya dengan sorot kebencian! Sosok tinggi kurus inilah
yang telah memotong ucapannya secara ketus.
"Kau...?!" Suara lelaki berpakaian coklat terce-
kat di tenggorokan. Raut wajahnya membiaskan keter-
kejutan yang tidak tersembunyikan.
"Benar, Salaban. Ini aku! Kau kaget?!" sambut
sosok tinggi kurus itu dengan nada sinis.
"Mengapa kau bersikap seperti ini?! Dan apa
maksud ucapanmu tadi?!" tanya lelaki berpakaian cok-
lat yang ternyata bernama Salaban setelah berhasil
menenangkan diri.
Sosok tinggi kurus yang ternyata seorang lelaki
itu mendengus dengan kasar.
"Sebenarnya pertanyaan seperti itu tak perlu
kau ajukan, Salaban. Sadarilah dirimu! Arum telah te-
was, tapi orang yang telah menyebabkan dia terbunuh
kau biarkan pergi begitu saja! Dan kau berlindung di
balik sumpahmu. Menjijikkan sekali!" Ucapan tajam le-
laki tinggi kurus itu membuat wajah Salaban berubah
merah padam.
Sayang, Salaban tidak pandai berdebat seperti
halnya lelaki tinggi kurus itu. Maka mendapat desakan
dengan kata-kata tajam, dia tidak mampu memberikan
tanggapan, sanggahan, atau bantahan. Dia hanya ter-
tegun dengan tarikan wajah kebingungan.
"Memang kau memiliki nasib malang, Arum,"
lelaki tinggi kurus meneruskan ucapannya, tapi kali ini
seperti ditujukan pada orang yang telah tertidur di da-
lam gundukan tanah merah yang masih baru. "Kau
mati secara mengenaskan, tapi ayahmu sendiri tidak
berbuat apa-apa untuk menenteramkan rohmu agar
tidak penasaran di alam baka!"
Tubuh Salaban menggigil mendengar ucapan
lelaki bertubuh tinggi kurus.
Ucapan itu dengan telak menghujam ke lubuk
hatinya yang paling dalam. Sakit sekali rasanya seperti
luka berdarah tersiram air garam.
"Tapi, kau tidak usah khawatir, Arum. Meski-
pun ayahmu sendiri tidak mau membalaskan rasa pe-
nasaran yang membuat rohmu tidak bisa kembali ke
alam kekal, masih ada aku! Akulah yang akan mem-
buat jiwamu tenteram di sana Arum !"
"Diaaam...!" Akhirnya keluar juga kata-kata
yang tertekan di hati Salaban. Mencuat begitu saja da-
lam bentuk pekikan keras. "Cepat menyingkir dari sini,
sebelum aku lupa diri dan membunuhmu, Keparat!"
Lelaki tinggi kurus tidak bergeming sama sekali
dari tempatnya.
Padahal dia tahu kalau ucapan yang dikelua-
rkan Salaban tidak main-main. Bahkan dia balas me-
natap dengan tajam.
"Dan... orang yang pertama kali mendapatkan
balasannya adalah ayahmu sendiri, Arum! Karena aku
tahu, hatimu merasa kecewa dan sakit hati terhadap-
nya!"
Ucapan lelaki tinggi kurus langsung disergap
oleh teriakan nyaring Salaban. Lelaki berpakaian cok-
lat ini langsung mengirimkan serangan mematikan da-
ri sebuah sampokan tangan kanan ke arah pelipis.
"Hmh...!"
Lelaki tinggi kurus itu hanya mendengus meli-
hat serangan Salaban. Lalu dengan gerakan semba-
rangan dipapaknya serangan itu. Tangan kirinya men-
gibas sebelum serangan mendarat pada sasaran.
Plakkk! Rrrtt!
Salaban mengeluh tertahan ketika tangannya
tidak hanya tertangkis dan sakit akibat benturan itu.
Namun dengan gerakan aneh, dan kecepatan yang
mengagetkan, pergelangan tangannya telah kena ceng-
keram. Tidak hanya sampai di situ tindakan lelaki
tinggi kurus itu. Jari-jari tangannya kemudian berge-
rak meremas.
Wajah Salaban langsung pucat pasi. Keringat
dingin bersembulan memenuhi selebar wajahnya yang
putih laksana kertas. Tulang pergelangan tangannya
dirasakan seperti remuk. Kemudian terdengar bunyi
gemeretak keras ketika tulang-tulang jarinya hancur!
Salaban melolong menyayat hati. Rasa sakit
yang diderita membuatnya tidak kuasa untuk mena-
han jerit. Dan sebelum tindakan sesuatu sempat dila-
kukannya, lelaki tinggi kurus itu menarik tangannya.
Salaban berusaha mempertahankan, meski tin-
dakan yang dilakukan lelaki tinggi kurus itu terlalu
cepat untuk dapat diikuti. Akhirnya ia harus menerima
kenyataan yang mengejutkan hati. Dia tidak mampu
mempertahankan diri, karena ternyata tenaga lawan
demikian kuat.
Saat itu tangan kanan lelaki tinggi kurus berge-
rak secara cepat. Dan Salaban pun tewas dengan
ubun-ubun pecah. Darah bercampur otak keluar dari
bagian yang terluka, mengiringi ambruknya tubuh Sa-
laban di tanah, tepat di samping kuburan Sekar Arum.
Lelaki tinggi kurus menatap mayat Salaban se-
kilas, kemudian mengalihkan perhatian pada kuburan
Sekar Arum.
"Lihatlah, Arum !" ucap lelaki tinggi kurus itu
dengan suara parau sambil sesekali mendongak ke
langit. "Salah seorang di antara mereka yang terlibat
kematianmu telah menerima pembalasannya! Yang
lainnya pun akan menyusul pula!"
Lelaki tinggi kurus terdiam di depan kuburan
itu setelah selesai mengucapkan katanya. Kemudian
dengan sekali lesatan tubuhnya telah berada jauh dari
tempat itu.
***
Baru saja tubuh lelaki tinggi kurus itu lenyap
di kejauhan, dari arah yang berlawanan, melesat cepat
bagaikan kilat sesosok tubuh. Dan hanya dalam seke-
jap sosok itu telah berada di dekat kuburan Sekar
Arum.
"Ah...!" Sosok yang ternyata seorang pemuda
tampan gagah berambut panjang itu, berseru kaget.
Sepasang matanya tertuju pada sosok berpakaian co-
klat yang tergeletak tak bergerak dengan ceceran darah
dan otak, di kepalanya. Sekali lihat pemuda ini tahu
kalau sosok yang tak lain Salaban itu telah tewas.
Pemuda tampan itu berjongkok di dekat mayat
Salaban, dan memeriksanya sebentar. Kemudian sam-
bil menghela napas berat pemuda itu kembali berdiri
tegak.
"Malang sekali nasibmu, Kang Salaban," ucap
pemuda tampan sambil menundukkan kepala. "Baru
saja kau kehilangan putrimu..., sekarang harus kehi-
langan nyawamu pula. Tapi..., percayalah, Kang! Akan
kucari orang yang telah melakukan kekejian ini! Aku
percaya dia belum jauh dan...."
Pemuda tampan ini menghentikan ucapannya
secara mendadak, lalu menelengkan kepala dengan
kening berkenit. Mendadak pendengarannya yang ta-
jam menangkap bunyi langkah di sebelah kanannya.
Tampak di kejauhan sesosok tubuh bergerak
menuju ke arahnya. Tanpa sadar hati pemuda tampan
ini berdebar tegang. Segumpal dugaan bergulat di ha-
tinya. "Apakah sosok ini yang telah membunuh Sa-
laban?"
Sosok yang ternyata seorang gadis cantik ber-
tubuh montok dan menggiurkan, dengan pakaian war-
na merahnya menyolok, menghentikan larinya. Kemu-
dian menatap wajah pemuda tampan di hadapannya
penuh selidik.
"Siapa kau? Mengapa berada di tempat pema-
kamam keluargaku?" tanya gadis berpakaian merah
dengan tatapan penuh curiga.
Pemuda berambut panjang tidak langsung
memberikan jawaban. Dia malah tersenyum lebar ka-
rena tahu kalau gadis berpakaian merah ini bukan
orang yang telah membunuh Salaban. Bahkan mung-
kin anggota keluarganya. Itulah sebabnya dia me-
nyunggingkan senyum.
"Jadi... kau anggota keluarga dari orang-orang
yang telah menjadi penghuni alam kekal ini?" tanya
pemuda tampan meminta kepastian, agak mengha-
luskan kata-katanya.
"Benar," gadis berpakaian merah mengangguk-
kan kepala, tapi tetap tak menghilangkan kecurigaan-
nya. "Kau siapa?" tanyanya kemudian.
"Aku salah seorang dari sahabat... maaf, kau
kenal dengan orang yang bernama Salaban?!"
"Tentu saja!" sahut wanita berpakaian merah
itu. "Aku anaknya!"
"Ah...! Kalau begitu... kau Sekardati...?!" terka
pemuda tampan berambut panjang, agak heran dan ti-
dak percaya. "Ayahku banyak bercerita tentangmu,
Sekardati."
"Kau siapa?"
Untuk kesekian kalinya pertanyaan itu keluar
dari mulut gadis berpakaian merah yang ternyata ber-
nama Sekardati, karena sejak tadi belum mendapat
jawaban.
"Ah, maaf. Namaku Arya Buana... tapi bisa kau
panggil Arya!" pemuda berambut panjang itu memberi-
kan jawaban.
Sekardati mengangguk-anggukkan kepala. Se-
jak tadi dia merasa heran melihat ciri-ciri pemuda
tampan di hadapannya ini. Kalau melihat wajah dan
perawakannya sih, masuk golongan pemuda. Tapi,
rambutnya yang panjang itu berwarna putih kepera-
kan. Warna rambut yang hanya dimiliki orang berusia
lanjut!
Tapi anggukan kepala Sekardati terhenti ketika
melihat sikap Arya. Pemuda berpakaian ungu itu tam-
pak bingung.
"Jadi..., kau sahabat ayahku, Arya?" tanya Se-
kardati, tanpa canggung lagi langsung memanggil na-
ma pemuda berambut putih keperakan itu.
"Benar," Arya menganggukkan kepala. "Tapi...,
tahukah kau apa yang telah terjadi dengan ayah dan
saudaramu?"
Pemuda berambut putih keperakan itu hati-hati
sekali mengatakannya karena khawatir akan menge-
jutkan Sekardati. Toh, tak urung wajah gadis berpa-
kaian merah itu berubah hebat. Sepasang matanya
yang indah menyiratkan kekhawatiran yang dalam.
"Apa..., apa maksudmu, Arya?" tanya Sekardati
terbata-bata. Meskipun belum jelas, tapi telah bisa di-
perkirakan hal yang akan diberitakan pemuda beram-
but putih keperakan itu.
"Arum, saudaramu itu dan juga ayahmu telah
pergi mendahuluimu, Sekardati," ujar Arya lirih.
"Tidak...!" Sekardati menangis dan menjerit
menyayat hati mendengar pemberitahuan Arya. "Tidak
mungkin Ayah dan Arum meninggalkanku seorang diri
di dunia ini. Tidak mungkin! Katakan kalau kau bo-
hong, Arya! Katakan!"
Arya diam saja ketika dengan kalap Sekardati
mencengkeram baju dan mengguncang-
guncangkannya. Air mata bercucuran membasahi pi-
pinya yang halus.
"Aku tidak bohong, Sekardati. Dan aku tidak
akan pernah berbohong, ayahmu memang telah tiada.
Begitu juga dengan Arum, saudaramu," ucap Arya,
masih tetap lembut tapi lebih keras daripada sebelum-
nya. "Lihatlah sendiri!"
Arya bergeser dari tempatnya sehingga tubuh
Salaban yang tergolek di tanah tidak terhalang lagi
oleh tubuhnya. Dan Sekardati langsung melihatnya.
Dia meraung keras dan menubruk tubuh yang sudah
tidak bernyawa itu.
"Ayah...! Mengapa kau tinggalkan aku, Ayah...!"
seru gadis berpakaian merah itu, keras.
Arya hanya bisa berdiri diam di tempatnya dan
memandangi Sekardati dengan perasaan terharu. Dia
tahu tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali mem-
biarkan saja Sekardati menangis. Hanya itu jalan satu-
satunya yang terbaik.
Mendadak dengan cepat, Sekardati bangkit dan
menoleh ke arah Arya dengan wajah beringas dan se-
pasang mata seperti mengeluarkan api.
"Pasti kau yang telah membunuhnya! Mayat
ayahku masih hangat pertanda belum lama mati, bah-
kan mungkin baru saja. Satu-satunya orang yang ada
di sini hanya kau, Arya! Pasti kau yang telah membu-
nuhnya! Kubunuh kau...!"
"Tunggu, Sekar! Aku...!"
Aiya terpaksa menghentikan ucapannya karena
Sekardati telah menerjangnya dengan serangan dah-
syat. Sebuah tendangan lurus ke arah ulu hati yang
keras dan mengeluarkan angin menderu hebat diki-
rimkan gadis berpakaian merah itu.
Menyadari akan adanya serangan maut, Arya
segera melompat ke belakang, sehingga tendangan Se-
kardati mengenai tempat kosong. Tapi, Sekardati yang
telah kalap, tidak berhenti hanya sampai di situ. Sam-
bil memekik nyaring, tangan kanannya bergerak. Dan
Arya melihat sinar terang menyilaukan mata meluncur
deras ke arahnya. Sebagai seorang pendekar yang te-
lah kenyang pengalaman dia tahu kalau sinar terang
itu berupa senjata tajam yang ampuh!
Wuttt!
Hampir saja kepala Arya terpisah dari tubuh-
nya kalau dia tidak segera merunduk dengan cepat.
Dan pedang di tangan Sekardati yang semula mengan-
cam Arya pun meluncur tipis sekali di atas kepalanya.
Sehingga beberapa helai rambutnya yang putih kepe-
rakan putus tersambar!
Pada gebrakan-gebrakan selanjutnya Arya di-
paksa mengeluarkan kemampuannya untuk menyela-
matkan selembar nyawa. Sekardati ternyata memiliki
ilmu kepandaian hebat. Serangan-serangannya dah-
syat dan selalu mengarah bagian yang mematikan.
Arya tahu Sekardati salah paham sehingga ti-
dak bisa disalahkan. Ingin dia melawan, tapi tidak
sampai hati mengingat gadis berpakaian merah itu ba-
ru saja menerima pukulan batin yang amat berat. Na-
mun, membiarkannya pun bukan tindakan yang baik,
mengingat serangan gadis itu tak tanggung-tanggung
memburunya terus.
Itu sebabnya, begitu mendapat sebuah kesem-
patan, Arya segera melemparkan tubuh ke belakang
dan berlari meninggalkan tempat itu. Dikerahkan selu-
ruh ilmu lari cepat yang dimiliki karena khawatir Se-
kardati yang lihai akan menyusulnya.
"Keparat! Jangan lari kau, Pengecut..!" seru Se-
kardati keras seraya berlari mengejar. Tapi hanya se-
bentar dilakukan karena jarak antara mereka semakin
menjauh.
Sekardati hanya bisa melampiaskan amarahnya
pada benda-benda di sekitarnya. Pukulan-pukulan ja-
rak jauh dan kepalan tangan serta kakinya membuat
tempat-tempat di sekitar pemakaman keluarganya
hancur berantakan.
kkk
Sambil menggigit dan mengunyah potongan
ayam yang baru saja matang, Arya berpikir keras. Na-
mun, sampai beberapa kali mengunyah dan menelan
potongan daging ayam panggang itu, belum juga dite-
mukan cara yang tepat
"Rupanya di sini kau bersembunyi, Orang Sok
Suci!"
Aiya sampai terjingkat kaget dari duduk ber-
sandarnya di batang pohon mendapat teguran seperti
itu. Cepat kepalanya ditolehkan ke samping kanan.
Dalam jarak sekitar dua tombak berdiri angker seorang
kakek berkepala botak dengan tangan menggenggam
sebatang tongkat besar yang batangnya melingkar-
lingkar.
"Maaf, siapa kau, Kek?! Dan, apa maksud uca-
panmu?" tanya Arya seraya bangkit berdiri. Pemuda
berambut putih keperakan ini bisa menduga bahkan
yakin kalau ucapan tadi ditujukan padanya. Tapi, sifat
hati-hati dan rasa sopan membuatnya tidak langsung
bertindak keras.
"'Tidak usah berpura-pura sopan dan tahu atu-
ran, Orang Usilan!" sahut kakek berkepala botak, tetap
dengan nada tinggi. Bahkan semakin meningkat
Meskipun demikian, Aiya tetap bersikap te-
nang. Memang, rasa tidak puas bergelora di hatinya,
tapi berusaha ditindasnya karena menduga ada hal-
hal tidak beres di sini. Barangkali saja kakek berkepala
botak ini salah paham.
"Aku tidak mau berpanjang kata." Kakek berke-
pala botak itu melanjutkan ucapannya, "Cukup hanya
kukatakan kalau kedatanganku kemari untuk memba-
laskan sakit hati muridku! Ingin kurasakan sendiri ke-
lihaianmu yang telah menggemparkan dunia persila-
tan, Dewa Arak! Sehingga kau sampai begitu lancang
berani membunuh murid orang, tanpa memandang
muka gurunya! Bersiaplah kau, Dewa Arak!"
Sekarang Arya mengerti kalau masalah yang
dihadapi bukan sekadar salah paham seperti halnya
dengan Sekardati.
"Tunggu sebentar, Kek," ucap Arya buru-buru
karena khawatir kakek berkepala botak itu akan lebih
dulu menyerangnya. "Bisa kau jelaskan siapa murid-
mu yang kau katakan terbunuh di tanganku?!"
"Muridku adalah salah seorang anggota Pasu-
kan Iblis Neraka!" tandas kakek berkepala botak, "Ku-
akui kau benar, dan dia telah salah jalan. Tapi, masih
ada aku yang akan menghukumnya. Tidak perlu kau
harus membunuhnya dengan melewati kepalaku! Awas
serangan!"
Kakek berkepala botak menubruk maju. Kemu-
dian tongkat besar di tangannya ditusukkan sehingga
menimbulkan bunyi angin menderu keras.
Aiya sadar tindakan kakek berkepala botak itu
tidak bisa dicegahnya lagi. Tidak ada jalan lain baginya
kecuali membela diri kalau tidak ingin mati konyol.
Maka, kakinya dijejakkan sehingga tubuhnya melent-
ing ke atas.
Brakkk!
Pohon yang berada di belakang Dewa Arak ber-
getar hebat. Tongkat si Kakek Botak sampai hampir se-
tengahnya lebih amblas ke dalam batang pohon. Ka-
ruan saja Arya kaget bukan kepalang, karena kenya-
taan itu memperlihatkan kalau kakek berkepala botak
ini memiliki tenaga dalam tinggi dan terarah. Sehingga
semua tenaga serangan berpusat pada ujung tongkat.
Pada serangan biasa, mungkin pohon itu akan hancur
berantakan.
Namun ternyata kakek berkepala botak itu ti-
dak hanya memiliki tenaga besar, melainkan juga ge-
rakan gesit. Begitu serangannya tidak mengenai sasa-
ran dan langsung amblas ke batang pohon, tangannya
bergerak menyentak. Secepat itu dikirimkan ayunan
secara mendatar ke belakang seraya membalikkan tu-
buh. Sebagai orang yang kenyang pengalaman, dia ta-
hu kalau lawan pasti berada di belakangnya.
Serangan susulan ini membuat Dewa Arak yang
baru saja menjejakkan kaki, terpaksa melompat lagi.
Dan hanya itu yang dapat dilakukannya dalam bebera-
pa saat, karena kakek berkepala botak, secara gencar
dan terus mengirimkan serangan-serangan laksana ge-
lombang laut.
Dewa Arak dipaksa untuk menguras ilmu me-
ringankan tubuhnya. Serangan-serangan lawan terlalu
gencar sehingga membuatnya belum memperoleh ke-
sempatan melancarkan serangan balasan.
Di saat Dewa Arak bermaksud mengirimkan se-
rangan balasan, mendadak terdengar pekikan me-
lengking tinggi, panjang, dan berturut-turut. Secara ti-
ba-tiba, kakek berkepala botak melompat mundur dan
bersalto beberapa kali di udara, lalu menjejak tanah.
Sikapnya terlihat masih penasaran bukan kepalang.
"Untuk kali ini kau boleh bernapas lega, Dewa
Arak. Aku masih mempunyai urusan lain yang lebih
penting. Kau kuberi kesempatan untuk hidup lebih
lama di dunia ini. Manfaatkanlah sebaik-baiknya! Ka-
rena bila kita ketemu lagi, aku akan mencabut nya-
wamu!"
Setelah berkata demikian, tanpa memberi ke-
sempatan pada Arya, yang sekarang telah bisa berna-
pas lega untuk memberikan tanggapan, kakek berke-
pala botak itu melesat cepat meninggalkannya. Sekali
lihat saja Arya tahu kalau kakek berkepala botak itu
menuju ke arah asal suara lengkingan keras tadi.
Arya menghela napas berat. Sama sekali tidak
pernah disangkanya kalau dalam waktu sebentar saja
dia telah mendapatkan dua orang musuh yang cukup
berat. Ditatapnya sekali lagi, tubuh kakek berkepala
botak yang semakin mengecil di kejauhan. Baru sete-
lah itu diayunkan kaki menuju tempat ayam pang-
gangnya yang masih tersisa. Sesaat kemudian, mulut-
nya telah sibuk menggerogoti daging ayam panggang
itu.
2
"Ha ha ha...! Hendak lari ke mana kau, Manis?!
Sampai di ujung dunia pun kau pergi dan bersem-
bunyi, akan kukejar dan kutangkap! Ha ha ha...!"
Suara itu membuat Arya yang baru saja meng-
habiskan ayam panggangnya buru-buru bangkit. Dite-
lengkan kepalanya agar dapat lebih jelas mengetahui
arah suara itu berasal. Suara itu seperti berasal dari
berbagai arah, sukar untuk diperkirakan dengan pasti.
Hal ini membuat Dewa Arak bersikap waspada karena
tahu kalau pemilik suara itu adalah seorang yang me-
miliki tenaga dalam dan kepandaian tinggi. Hanya
orang-orang yang memiliki kepandaian sukar diukur-
lah yang mampu membuat suara yang dikeluarkan ti-
dak jelas asalnya.
"Ah...! Apa kubilang?! Lebih baik menyerah sa-
ja, Manis. Tidak ada gunanya melarikan diri dariku.
Percuma, karena aku akan berhasil menangkapmu!"
Jantung dalam dada Arya semakin cepat berde-
tak karena rasa tegang yang melanda, dia tahu ada se-
seorang yang pasti wanita tengah menghadapi bahaya.
Tapi sialnya, meski telah dua kali mendengar, pemuda
berambut putih keperakan itu tetap belum dapat me-
nentukan arahnya.
"Hih!"
Dewa Arak menjejakkan kaki sehingga tubuh-
nya melayang ke atas dan hinggap di sebuah cabang
pohon yang tinggi. Dan dari sana diedarkan pandan-
gannya ke sekeliling. Tempat yang tinggi memungkin-
kan dirinya untuk melihat ke sekitar tempat itu den-
gan leluasa.
Tak berapa jauh dari pohon tempat Dewa Arak
berada tampak sebuah bangunan, atau lebih tepatnya
bekas bangunan karena yang tinggal hanya bagian lan-
tainya. Atap dan dinding bangunan itu sudah tidak
ada lagi, mungkin karena terlalu tua hingga roboh
tinggal puing-puingnya.
Bekas bangunan itu tidak akan tampak kalau
tidak dilihat dari tempat tinggi, karena letaknya cukup
tersembunyi oleh kerimbunan semak-semak yang cu-
kup lebat. Namun bukan hal itu yang membuat Arya
merasa heran dan tertarik. Melainkan sesosok tubuh
kecil berpakaian teramat sederhana yang warna kain-
nya telah tidak tampak lagi. Sosok itu berlutut dan
menelungkup dengan menempelkan telinganya di lantai.
"Keparat!"
Terdengar oleh Arya mulut sosok kecil itu men-
geluarkan makian. Suaranya ternyata sama dengan
dua buah suara pertama yang didengarnya. Maka pe-
muda berambut putih keperakan itu tahu kalau sosok
kecil inilah yang tadi mengeluarkan seruan-seruan
yang tidak dapat ditangkap di mana asalnya.
Arya mengedarkan pandangan ke sekitar tem-
pat sosok kecil itu berada, mencari-cari wanita yang
membutuhkan pertolongan. Namun tetap saja tidak di-
jumpainya. Hatinya merasa heran. Bukankah mestinya
wanita itu berada di dekat sekitar situ, karena katanya
sudah tidak dapat meloloskan diri lagi? Tapi, mana?
"Rupanya kau tetap tidak mau keluar, Manis?!
Rupanya kau ingin kupaksa, ya?! Ha ha ha...!"
Sosok kecil berpakaian sederhana itu lalu me-
nepuk-nepuk lantai tempat kepalanya tadi ditempel-
kan. Seketika itu pula Arya terlongo keheranan. Berarti
wanita yang dipanggil manis oleh sosok kecil itu bera-
da di dalam tanah! "Tapi, mungkinkah itu?" pikir Dewa
Arak keheranan.
Perasaan tertarik dan ingin tahu yang amat
kuat, membuat Arya melompat turun dari atas pohon.
Kemudian dengan hati-hati karena takut ketahuan dan
tidak ingin mencari permusuhan, bergerak mendekati
sosok itu berada.
"Terkutuk! Kadal Busuk! Kucing Pincang! Lalat
Gemuk! Rupanya kau benar-benar bermaksud mem-
permainkan aku, Manis?!"
Kembali sosok kecil itu mengeluarkan makian-
makian aneh ketika Arya telah berada dekat tempat
sosok Itu berada. Pemuda berambut putih keperakan
ini bersembunyi di balik kerimbunan semak-semak.
"Kalau begitu terpaksa kau kusuruh keluar
dengan ini!"
Sosok kecil itu bangkit, kemudian membuka ce-
lananya dan mengencingi tempat telinganya tadi ditem-
pelkan. Di situ ternyata ada sebuah lubang kecil.
Wajah Arya seketika memerah ketika melihat
kelakuan sosok kecil yang ternyata seorang lelaki su-
dah tua. Rambutnya tampak riap-riapan. Kumis serta
jenggotnya telah memutih semua dan tidak terurus,
awut-awutan. Ternyata orang gila!
"Ha ha ha...!" Kakek kecil itu tertawa bergelak-
gelak penuh kegembiraan setelah mengencingi tempat
telinganya tadi ditempelkan. "Benar tidak kalau kau ti-
dak bisa lari dariku, Manis?!"
Kakek kecil itu lalu menjulurkan tangan men-
gambil sebuah benda kehitaman yang terapung di atas
air kencingnya. Rupanya lubang kecil itu tidak dalam,
sehingga langsung penuh ketika dikencingi kakek kecil
itu, dan si Manis buruan kakek itu pun terbawa ke-
luar.
Aiya menjadi geli ketika melihat si Manis bu-
ruan kakek kecil itu ternyata seekor jangkrik. Hampir
kepalanya digeleng-gelengkan karena tak kuat mena-
han rasa geli. Untung saja dia bisa menahannya kare-
na tahu kalau gerakan itu bisa mengakibatkan kebe-
radaannya diketahui. Dirinya tahu kakek kecil itu me-
miliki kepandaian luar biasa.
"Sebenarnya aku ingin mengadumu dengan
jangkrik milikku, Manis," ucap kakek kecil itu sambil
menatap jangkrik hitam di tangannya. "Tapi sayang,
kau telah mengecewakanku. Lagi pula, di sini ada
orang muda yang dapat kuajak bermain-main. Perta-
rungan antara kau dengan jangkrik milikku terpaksa
kubatalkan!"
Kakek itu lalu memasukkan jangkrik kecil hi-
tam itu ke dalam mulutnya dan mengunyahnya penuh
perasaan nikmat. Sehingga terdengar bunyi gemeretuk
ketika gigi kakek kecil itu beradu dengan badan jang-
krik.
Arya terkejut bukan main di persembunyian-
nya. Bukan karena kakek kecil itu memakan jangkrik
secara bulat-bulat seperti itu, karena dia tahu banyak
tokoh persilatan yang memiliki tingkah dan kebiasaan
aneh-aneh. Dewa Arak kaget karena menyadari kalau
kakek kecil itu ternyata mengetahui keberadaan di-
rinya.
"Ha ha ha...! Tidak usah malu-malu seperti pe-
rawan tingting, Anak Muda. Keluarlah, dan mari kita
bermain-main! Ha ha ha...! Setelah sekian lamanya ti-
dak bermain-main, akhirnya kutemukan juga seorang
kawan main yang aneh."
Mendengar ucapan kakek kecil ini, Arya tahu
kalau tidak ada gunanya lagi terus berdiam di tempat
persembunyiannya. Maka dengan wajah merah padam
karena malu ketahuan mengintai orang, dia melang-
kah keluar.
"Maafkan aku, Kek! Bukan maksudku untuk
mengintai perbuatanmu. Tapi...!"
"Kentut busuk! Siapa peduli ceritamu?! Ayo,
cepat kita bermain!" potong kakek kecil itu tidak sabar.
"Bermain-main?!" Arya mengerutkan alisnya.
Baru pertama kali dalam hidupnya ada orang, apalagi
seorang kakek mengajaknya bermain-main. Memang-
nya anak kecil? Tapi karena tahu kalau kakek kecil
yang berada di hadapannya bukan orang sembaran-
gan, melainkan tokoh persilatan yang memiliki watak
aneh, dia tidak mau melakukan tindakan yang dapat
menyebabkan terjadinya suatu permusuhan di antara
mereka.
"Rupanya kau tuli, Anak Muda. Kasihan sekali!
Tapi, tak apa! Yang penting kau merupakan orang sa-
tu-satunya yang kujumpai di sini. Ayo, kita bermain!
Kau mau bermain apa?"
Lagi-lagi Arya melongo. Tanpa sadar dia men-
gernyitkan dahi. Main apa? Kakek ini benar-benar
aneh!
"Sayang sekali, Kek Aku tidak tahu kita harus
main apa..., maksudku... aku tidak pernah bermain-
main...."
"Ah...! Sudahlah...! Biar aku yang tentukan!"
sentak kakek itu penuh perasaan tidak sabar.
Lalu, tanpa mempedulikan Dewa Arak yang
masih kebingungan mendapatkan pengalaman tidak
disangka-sangka itu, kakek kecil telah memunguti ba-
tu-batu kecil di sekitarnya. Batu-batu sebesar buah
ceremei.
"Ayo, tunggu apa lagi?! Mengapa masih ben-
gong? Apakah kau takut kalah? Jangan khawatir, hu-
kuman bagi yang kalah tidak berat"
"Apa yang harus kulakukan, Kek?" tanya Arya,
akhirnya.
Kakek itu menghentikan kegiatannya mencari
batu-batu kecil dan menatap Arya dengan sewot.
"Rupanya kau ini tidak hanya tuli, tapi juga bo-
doh! Kalau saja ada orang lain, tak akan kuajak kau
bermain-main. Tentu saja mencari batu-batu kecil ini,
Tolol! Terpaksa pantatmu harus kutendang agar keto-
lolanmu pergi!"
Setelah berkata demikian, kakek kecil itu men-
gayunkan kakinya dan benar-benar bermaksud me-
nendang pantat Arya. Tentu saja pemuda berambut
putih keperakan ini tidak membiarkannya, dan segera
mengelak. Tapi, entah dengan cara bagaimana, kaki
kakek itu tetap mendarat di pantat Aiya dengan keras.
Tubuhnya langsung terpental jauh dan terguling-
guling.
Arya bangkit dengan wajah berubah. Kenyataan
ini menyadarkannya kalau kakek kecil memiliki kepan-
daian luar biasa. Untung saja tidak bermaksud jahat.
Kalau tidak, dia sudah terluka akibat tendangan itu. Si
Kakek Kecil hanya bermaksud membuatnya terlempar
tanpa terluka.
"Nah! Sekarang sifat tololmu itu pasti sudah le-
nyap. Cepat, kumpulkan batu-batu, dan kita bermain!"
perintah kakek kecil itu tanpa mempedulikan keheran-
an Arya. "Tapi..., bagaimana kalau sebelum bermain
batu kita bermain tebak-tebakan dulu?"
Aiya diam, tidak memberikan tanggapan. Di-
rinya tengah sibuk memutar akal untuk mencari cara
agar dapat melarikan diri dari kakek kecil yang aneh
itu.
"Batu kecil ini," kakek kecil itu berkata tanpa
mempedulikan Arya yang tidak memperhatikan sikap-
nya. "Kalau kulemparkan jadi apa. Ayo tebak, Anak
Muda! Apabila kau tak bisa menjawabnya harus meng-
gendongku sampai ke pohon sana!"
Tanpa sadar, Aiya mengarahkan pandangan ke
arah telunjuk kakek kecil itu menuding. Ternyata yang
dimaksud pohon tempatnya bersandar tadi.
"Ayo, jawab! Cepat, kalau tidak bisa... kau ha-
rus menggendongku...!"
Arya pun terpaksa harus meladeni kemauan
kakek kecil itu. Dia memutar otak untuk mencari ja-
waban.
"Tapi... kalau aku bisa menjawabnya kau harus
membiarkanku pergi dari sini. Kau mau berjanji,
Kek?!"
"Itu soal mudah! Yang penting jawab dulu!"
"Tentu saja tetap jadi batu," jawab Arya, mantap.
"Salah!" seru kakek kecil itu penuh perasaan
gembira seperti seorang anak kecil.
"Bagaimana mungkin bisa salah?!" Arya bersi-
keras. "Kecuali kalau kau menggunakan ilmu sihir!"
"Ini tebak-tebakan, Anak Muda. Tidak ada hu-
bungannya dengan sihir. Ayo, cari jawabannya yang
tepat. Atau... kau harus menggendongku ke sana!"
Aiya mengarahkan seluruh kemampuan berpi-
kirnya untuk menjawab pertanyaan kakek itu. Tapi, te-
tap saja tidak menemukan jawaban yang mungkin se-
suai dan disetujui kakek itu.
"Aku menyerah," ucap Arya, akhirnya dengan
dahi berkeringat karena berpikir keras.
"Ha ha ha...!" Kakek kecil itu tertawa penuh pe-
rasaan gembira. "Jawaban yang benar, batu ini apabila
kulemparkan akan jadi... jauh! Ha ha ha...! Ayo, gen-
dong aku, Anak Muda!"
Arya melongo. Dia sadar kalau kakek kecil ber-
maksud mencari kemenangan sendiri dengan teba-
kannya yang unik itu. Tapi, bagaimanapun janji ada-
lah janji. Dan dia tidak mau mengingkarinya. Maka dia
berdiam diri saja ketika kakek itu melompat cepat dan
mendarat di punggungnya.
Arya menghela napas lega ketika merasakan
tubuh kakek itu ringan sekali tak ubahnya kapas. Ma-
ka bergegas diayunkan kaki agar segera tiba di tempat
pohon yang dimaksud. Tapi, Arya hampir berteriak
saking kagetnya ketika secara mendadak tubuh kakek
kecil itu menjadi berat. Bahkan amat berat, sehingga
jangankan untuk membawanya melangkah, tetap
mempertahankan tubuh kakek itu dengan berdiam diri
di tempat saja, seakan tak kuasa. Dewa Arak terpaksa
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk mena-
han bobot tubuh kakek itu. Dia seperti bukan meng-
gendong seorang kakek kecil. Tubuhnya dirasakan se-
perti tergencet dua buah bukit!
Adu tenaga dalam pun berlangsung. Tubuh
Arya tampak menggigil keras. Keringat sebesar-besar
biji jagung membasahi wajahnya yang merah padam.
Pemuda berambut putih keperakan ini telah menge-
rahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya untuk
menahan bobot tubuh kakek kecil yang diketahuinya
telah mengerahkan tenaga dalam sehingga menjadi
sangat berat
Perlahan-lahan kedua kaki Arya mulai amblas
ke dalam tanah. Bahkan dengan cepat telah sampai
mata kaki. Adu tenaga dalam tingkat tinggi itu ru-
panya tidak kuat ditanggung oleh tanah!
Dewa Arak menggertakkan gigi untuk menge-
rahkan seluruh tenaga dalam sampai tingkatan terak-
hir. Bahkan pemuda berambut putih keperakan ini te-
lah mengeluarkan 'Tenaga Dalam Inti Matahari' yang
membuat tubuhnya panas, sehingga mengepulkan uap
tipis dari sekujur tubuh. Tapi, kakek kecil itu seperti
tidak merasakannya dan tetap enak-enakan bertengger
di punggung Arya,
Aiya hampir putus asa, sadar kalau keselama-
tannya bagai telur di ujung tanduk! Dia dapat terkubur
hidup-hidup oleh kakek kecil yang luar biasa ini. Se-
karang sampai hampir lutut kakinya terbenam di da-
lam tanah.
"Tidak mengecewakan... tidak mengecewakan!"
di tengah-tengah pertarungan tenaga dalam itu, kakek
kecil berucap. Dan ini membuat Dewa Arak kaget bu-
kan kepalang. Dalam pertarungan tenaga dalam seper-
ti ini merupakan pantangan terbesar untuk berbicara.
Karena tenaga jadi mengendur, dan terbagi, sehingga
kemungkinan untuk terluka dalam akibat tenaga sen-
diri yang membalik. Tapi, toh, kakek kecil itu melaku-
kannya!
Dan begitu kakek kecil itu selesai berbicara, tu-
buhnya melesat dari gendongan Arya, bersalto bebe-
rapa kali di udara dan kemudian hinggap berjarak be-
berapa tombak dari tempat semula.
"Sayang sekali, Anak Muda. Aku tidak bisa me-
neruskan permainan karena ada permainan lebih me-
narik yang menungguku!"
Tanpa menunggu tanggapan Arya, kakek kecil
melesat meninggalkan tempat itu. Dan Arya yang sem-
pat melihatnya terbelalak kaget. Kakek kecil itu ternya-
ta berlari dengan mempergunakan kedua tangannya!
Tapi, kecepatan larinya mengagumkan!
Diam-diam Arya merasa heran melihat kela-
kuan si Kakek Kecil. Tadi, kakek itu begitu berhasrat
untuk mengajaknya bermain, tapi mengapa malah per-
gi. Padahal, sekali lihat saja Arya tahu kalau kakek itu
masih ingin bermain.
Namun pertanyaan itu langsung terjawab keti-
ka Arya mendengar bunyi geraman keras dari kejau-
han, tempat yang dituju kakek kecil itu. Sebagai seo-
rang pendekar yang telah kenyang pengalaman, Arya
tahu kalau suara itu bukan berasal dari mulut hari-
mau atau binatang buas lainnya, melainkan dari mu-
lut tokoh sakti yang memiliki tenaga dalam tinggi.
Rasa tertarik dan ingin tahu membuat Arya me-
lesat menuju ke arah asal suara!
kkk
Jantung Arya berdetak lebih cepat dari semula
ketika melihat pemandangan yang terpampang di ha-
dapannya. Tiga sosok tengah terlibat dalam pertarung-
an sengit yang amat dahsyat. Sedangkan tak jauh dari
tempat itu, si Kakek Kecil yang aneh tadi tengah me-
nyaksikan jalannya pertarungan sambil bermain batu-
batu kecil yang dijadikannya kelereng!
Arya merasa kaget bercampur gembira ketika
mengenali dua di antara tiga orang yang tengah berta-
rung itu. Satu seorang kakek berkepala botak yang ta-
di telah menyerangnya kalang kabut untuk menuntut
balas kematian muridnya. Sedangkan satu lagi, yang
justru membuatnya merasa gembira, seorang nenek
bertubuh tinggi kurus dan berhidung melengkung se-
perti burung kakaktua. Rambutnya yang panjang tam-
pak besar-besar dan tebal karena beberapa helai ram-
but dipilin menjadi satu. Nenek ini ternyata orang yang
tengah dicari-cari oleh Arya.
Namun Arya tidak langsung secara sembrono
terjun dalam kancah pertarungan, sungguhpun telah
melihat orang yang tengah dicari-carinya. Diperhati-
kannya jalan pertarungan secara seksama. Sebentar
saja telah diketahuinya kalau nenek berhidung me-
lengkung dan kakek berkepala botak berjuang bahu-
membahu menghadapi lawannya.
Baik nenek berhidung melengkung maupun
kakek berkepala botak sama-sama memiliki kepan-
daian yang amat tinggi. Namun harus diakui oleh Arya
bahwa lawan kedua orang ini, seorang kakek kurus
kering seperti mayat hidup, tampaknya memiliki ilmu
lebih tinggi ketimbang kedua lawannya. Kakek kurus
yang hanya mengenakan celana pendek kusam, tanpa
baju itu mampu mengimbangi keroyokan kedua la-
wannya, meskipun terlihat kerepotan.
Sekarang Arya mengerti mengapa kakek berke-
pala botak meninggalkannya begitu mendengar leng-
kingan. Rupanya lengkingan tadi merupakan isyarat
permintaan bantuan dari nenek berhidung meleng-
kung. Jelas mereka berdua merupakan kawan baik.
Tapi, yang menjadi pertanyaan bagi Arya mengapa ka-
kek kecil itu ikut kemari begitu mendengar geraman.
Apakah ada hubungan antara kakek kecil dengan ka-
kek kurus kering yang berilmu tinggi itu.
Di kancah pertarungan kakek berkepala botak
mengamuk dengan ayunan senjata andalannya. Tong-
kat besar dan berat di tangannya berkelebatan cepat
laksana tangan-tangan malaikat maut ke arah si Ka-
kek Kurus Kering. Tapi, ke mana pun tongkat itu me-
nyambar baik dalam bentuk tusukan maupun gebu-
kan selalu berbenturan dengan tangan atau kaki yang
kurus dari kakek kurus kering itu. Hal ini membuat
Dewa Arak kagum bukan kepalang. Dia tahu untuk
kesekian kalinya bertemu dengan tokoh yang luar bi-
asa. Menangkis tongkat kakek berkepala botak dengan
tangan atau kaki telanjang membuktikan kalau kakek
itu memiliki kekuatan yang menakjubkan.
Namun yang lebih membuat Arya merasa ka-
gum, ketika melihat kakek kurus kering melakukan
hal yang sama terhadap serangan-serangan dari nenek
berhidung melengkung. Padahal, senjata nenek itu be-
rupa dua batang anak panah yang ujung-ujungnya
berwarna kehijauan pertanda mengandung racun jahat
Kenyataan ini membuat Arya menduga kalau
kakek kurus kering itu memiliki kekebalan tubuh yang
hebat dan luar biasa. Kekebalan yang terjadi bukan
karena tenaga dalam kuat, melainkan karena sebuah
ilmu mukjizat
Desss!
Gebukan tongkat kakek berkepala botak den-
gan telak dan keras menghantam paha kanan kakek
kurus kering hingga tubuhnya terpental ke belakang
dan terguling-guling. Namun, dengan cepat bangkit
tanpa kurang suatu apa. Sepertinya pukulan tongkat
yang sanggup menghancurkan batu karang itu tidak
berarti apa-apa baginya.
Sebelum kakek kurus kering itu sempat ber-
buat sesuatu, anak panah nenek berhidung meleng-
kung telah lebih dulu menyerempet lehernya. Seperti
juga serangan tongkat, anak panah itu sama sekali ti-
dak menimbulkan akibat yang berarti! Tubuh kakek
kurus kering itu hanya terjajar ke belakang, tanpa ter-
luka sama sekali!
Hal ini membuat kakek berkepala botak dan
nenek berhidung melengkung penasaran bukan main.
Mereka menyerbu dengan lebih gencar dan kali ini
menjatuhkan serangan pada bagian-bagian yang ber-
bahaya dan lemah seperti mata dan ubun-ubun. Pili-
han mereka ternyata tepat. Sekarang kakek kurus ke-
ring itu tidak berani bertindak gegabah. Bahkan kini
mulai terdesak semakin hebat.
"Rongga...! Bantu aku...! Cepat, apa lagi yang
kau tunggu?!"
Kakek kurus kering itu berseru keras di ten-
gah-tengah kesibukannya menangkis dan mengelak-
kan serangan. Kepalanya ditolehkan pada kakek kecil
yang saat itu tengah sibuk bermain-main dengan lu-
dah, mencoba membuat bulatan-bulatan dengan
mempergunakan ludah dibantu bibir.
"Aku tak ingin bermain-main, Barureksa! Aku
sedang jenuh! Kau saja menghadapi mereka. Nanti ka-
lau aku mau, pasti aku akan turut campur tanpa kau
minta," sahut kakek kecil yang ternyata bernama
Rongga, tetap dengan kesibukannya bermain-main air
ludahnya.
Kakek kurus kering menggeram. Tapi geraman-
nya langsung terhenti ketika tongkat kakek berkepala
botak dengan keras menghantam perutnya hingga tu-
buhnya terjengkang ke belakang. Waktu yang ada di-
pergunakan sebaik-baiknya oleh kakek berkepala bo-
tak dan nenek berhidung melengkung untuk melesat
meninggalkan lawannya. Keduanya sadar dan merasa
percuma untuk terus melanjutkan pertarungan karena
keadaan yang tidak menguntungkan itu.
Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, baik nenek
berhidung melengkung maupun kakek berkepala botak
tahu kalau kakek kecil yang merupakan kawan kakek
kurus kering merupakan lawan yang amat tangguh.
Sehingga apabila kakek kecil yang bernama Rongga itu
ikut campur tangan, keadaan mereka akan sangat ti-
dak menguntungkan. Itulah sebabnya mereka melesat
mengambil langkah seribu.
Barureksa menggeram hebat penuh kemurkaan
melihat kedua lawannya melarikan diri. Jarak yang su-
dah jauh, membuatnya berhenti. Baginya menyusul
mereka merupakan hal yang mustahil. Maka dia hanya
bisa menimpakan kesalahan itu pada kakek kecil. Ka-
kek kurus kering menatap Rongga penuh selidik.
"Kalau saja kau ikut campur tangan, mereka ti-
dak akan bisa kabur, Rongga. Tindakanmu telah
membuat mereka berdua lolos. Ingat Rongga, kalau
lain kali kau bertemu denganku, jangan harap nyawa-
mu kuampuni!"
Kakek kurus kering melesat meninggalkan ka-
kek bernama Rongga setelah mengucapkan ancaman
itu. Tapi, Rongga bersikap tidak peduli. Dia seperti
tidak mendengar nada ancaman dalam ucapan Baru-
reksa. Dia masih saja tenggelam dalam permainan lu-
dahnya.
Arya tidak berani bertindak gegabah. Begitu di-
lihatnya kakek kecil kurus kering telah pergi jauh, dan
Rongga tenggelam dalam permainannya, dia melesat
cepat menyusul kakek berkepala botak dan nenek ber-
hidung melengkung, berlari.
3
Setelah berlari beberapa saat lamanya tidak ju-
ga menjumpai adanya sepotong tubuh pun, Arya ter-
paksa berhenti. Jangankan nenek berhidung meleng-
kung dan kakek berkepala botak, kakek kurus kering
pun tidak dijumpainya. Mereka lenyap seperti ditelan
bumi.
Sekarang, pemuda berambut putih keperakan
ini berada di daerah yang kering karena berupa ham-
paran pasir. Gundukan-gundukan batu besar kecil,
dan bukit yang menjulang tampak di sekitar tempat
itu.
Arya mengedarkan pandangan sekali lagi untuk
meyakinkan hati kalau usaha pengejarannya tidak
akan membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Pe-
muda berambut putih keperakan itu pun memutuskan
untuk membatalkan maksudnya. Di samping mempu-
nyai tugas untuk mencari nenek berhidung meleng-
kung yang merupakan pimpinan tertinggi gerombolan
sesat yang telah berhasil dihancurkannya, Arya masih
mempunyai sebuah tugas, yaitu memenuhi amanat
Sekar Arum. Gadis itu tewas karena menyelamatkan-
nya. Sekar Arum menjadi tameng dirinya, menerima
hunjaman ratusan anak panah yang mengancam diri-
nya.
Ingat akan Sekar Arum wajah Arya menjadi
murung. Ada perasaan sedih dan marah menusuk di
hatinya.
"Jangan khawatir, Arum. Pesanmu ini akan ku-
sampaikan!"
Dewa Arak melesat meninggalkan tempat beru-
pa hamparan pasir itu. Tujuannya ke tempat pergu-
ruan Sekar Arum!
Meski Arya mengerahkan seluruh kemampuan-
nya dan jarang istirahat, setelah dua hari dua malam
dirinya baru sampai di kaki bukit tempat perguruan
yang dituju. Sebuah perjalanan cukup panjang telah
ditempuhnya. Menyusuri hutan belantara, menyebe-
rangi sungai serta naik turun perbukitan terjal.
Tak membutuhkan waktu banyak bagi Dewa
Arak untuk mendaki lereng, tempat perguruan itu. Se-
telah beberapa saat berjalan mendaki, pondok pergu-
ruan tempat Sekar Arum menjadi murid itu pun telah
terlihat.
Namun sepasang alis pemuda berambut putih
keperakan itu berkerut dalam ketika melihat adanya
keanehan di sekitar bangunan perguruan. Keadaannya
sepi sekali, tidak terdengar suara apa pun. Hening se-
perti mati. Arya memang telah mendengar cerita dari
Sekar Arum kalau perguruannya hanya mempunyai
beberapa orang murid. Selain dirinya, ada enam orang
belajar di perguruan itu. Tapi, mungkinkah akan se-
perti ini keadaannya? Hening dan seperti tanpa peng-
huni?
Melihat kenyataan yang mencurigakan ini, De-
wa Arak berusaha mendekati pondok yang terkurung
papan kayu bulat. Dengan hati-hati pemuda berpa-
kaian ungu itu mengendap-endap mendekati sekelom-
pok bangunan pondok. Padahal, semula dia bermak-
sud datang secara terus terang.
Begitu tiba di depan pintu gerbang yang terbuka
lebar karena tidak mempunyai daun pintu itu, Arya
mengintip. Dan..., seketika itu pula dia segera mema-
lingkan wajah dengan perut terasa mual! Jelas sekali
terlihat oleh Dewa Arak, sesosok ramping berpakaian
merah tengah lahap memakan benda putih bergumpal-
gumpal sebesar kepalan!
Begitu tiba di depan pintu gerbang yang terbu-
ka lebar karena tidak mempunyai daun pintu itu, Arya
mengintip. Dan..., seketika itu pula dia segera mema-
lingkan wajah dengan perut terasa mual! Secara jelas
sekali terlihat olehnya, sesosok ramping berpakaian
merah tengah dengan lahapnya memakan benda putih
bergumpal-gumpal sebesar kepalan. Pada beberapa
bagian terdapat cairan merah kental.
Karena di dekat tubuh sosok berpakaian merah
itu tergolek sosok tubuh dengan kepala terbelah men-
jadi dua, Dewa Arak langsung bisa mengetahui kalau
benda putih bergumpal sebesar kepalan itu tentunya
otak manusia!
Seketika itu pula timbul perasaan geram di da-
lam hati Arya terhadap sosok berpakaian merah. Na-
mun, terselip juga rasa iba dan tidak sampai hati.
Meskipun hanya sekali melihatnya, dia yakin kalau so-
sok berpakaian merah itu adalah Sekardati!
Namun naluri kependekarannya yang tidak
pernah bisa membiarkan kekejian berlangsung di de-
pan matanya, langsung membuat Arya dapat mengam-
bil keputusan cepat.
"Tak pernah kusangka kalau dirimu akan ter-
sesat seperti ini, Sekardati!" seru Arya sambil melang-
kah keluar dari tempat pengintaiannya.
Sosok berpakaian merah itu membalikkan tu-
buh dengan kaget karena tidak menyangka kalau ke-
lakuannya diketahui orang.
Namun ternyata bukan hanya sosok berpa-
kaian merah itu yang merasa kaget, Aryapun demi-
kian.
Bahkan tubuh pemuda berpakaian ungu itu
sampai terjingkat ke belakang karena kagetnya. Hanya
saja ada tarikan kegembiraan pada sorot matanya di
samping keterkejutan yang melanda. Dan hal ini terja-
di karena Arya melihat sosok berpakaian merah ter-
nyata bukanlah Sekardati. Memang, dandanan ram-
butnya sama. Demikian juga potongan tubuh serta
model pakaiannya ketika terlihat dari belakang. Tapi,
wajah yang tampak bukan wajah Sekardati! Sekardati
memiliki wajah cantik manis dengan kulit halus. Se-
dangkan sosok berpakaian merah itu memiliki kulit
wajah penuh keriput. Wajah seorang nenek.
"Siapa kau, Bocah?! Menyingkirlah kalau tidak
ingin mengalami nasib sama dengan mereka ini!" ben-
tak nenek berpakaian merah seraya menuding sosok-
sosok yang bergelimpangan berlumuran darah.
Arya menggertakkan gigi. Dengan sepasang ma-
ta dihitungnya jumlah mayat yang tergolek di sana, tu-
juh orang! Berarti semua penghuni rumah perguruan
ini telah dibunuh oleh nenek berpakaian merah ini. Ti-
dak terkecuali guru Sekar Arum!
"Keji!" desis Arya tajam seraya mengalihkan
perhatian pada nenek berpakaian merah yang masih
sibuk menjilati jari-jari tangannya yang berlepotan da-
rah dan otak. "Semula kukira kau kawanku, dan aku
bimbang untuk membasmimu agar kekejian ini tidak
terulang. Tapi kini lenyap keraguanku.... Orang seper-
timu harus segera dilenyapkan dari muka bumi!"
"Kaulah yang akan menerima kematian di tan-
ganku, Bocah Usilan!"
Nenek berpakaian merah mendahului menye-
rang Dewa Arak dengan tendangan kaki kanan kiri
bertubi-tubi yang mengeluarkan bunyi mengaung ke-
ras.
Dewa Arak menyadari serangan itu berbahaya.
Sekali saja terkena kaki yang kelihatannya indah itu
nyawanya akan berada di pintu alam baka. Maka dia
bertindak cepat. Dengan kedua tangan ditangkisnya.
Plak, plak, plak!
Suara benturan terdengar berkali-kali ketika ta-
ngan dan kaki itu beradu. Dan setiap kali benturan
terjadi, tubuh kedua belah pihak sama-sama ter-
huyung-huyung ke belakang. Bahkan pada benturan
terakhir keduanya hampir terjengkang, karena begitu
kuatnya benturan itu terjadi.
Namun nenek berpakaian merah itu benar-
benar bermaksud membuktikan ancamannya. Dia
langsung mematahkan kekuatan yang membuat tu-
buhnya terhuyung, lalu melancarkan serangan susu-
lan yang tak kalah dahsyat. Setiap serangan yang dila-
kukan mengeluarkan bunyi angin menderu.
Dewa Arak yang tengah dilanda amarah karena
perbuatan keji nenek berpakaian merah itu memu-
tuskan untuk melawan dengan keras. Oleh karena itu
serangan susulan ini akan dipapakinya lagi. Namun
pemuda berpakaian ungu ini terkejut ketika menyadari
kedua tangan yang hendak digunakan memapak tidak
dapat digerakkan secara normal! Begitu dikerahkan
tenaga dalam, kedua tangannya terasa ngilu bukan ke-
palang.
Melihat kedua tangannya mulai berwarna kela-
bu, Arya langsung tahu kalau kedua tangannya telah
terkena racun jahat. Ternyata kaki perempuan tua itu
mengandung racun jahat.
Itulah sebabnya Dewa Arak tidak berani mela-
kukan tangkisan lagi. Di samping memang tidak bisa
karena kedua tangannya berada dalam keadaan ngilu
dan nyeri. Akhirnya dia hanya menggunakan kelinca-
hannya untuk mengelak.
Nenek berpakaian merah tidak tinggal diam.
Malah serangan gencar yang dilancarkannya semakin
menjadi-jadi setelah tahu hal yang telah dialami pe-
muda itu.
"Untung kau tidak terluka, Anak Muda. Kecil
saja kulitmu berdarah, racun itu akan terbawa aliran
darah menuju ke jantung. Apabila itu terjadi, nyawa-
mu akan melayang ke neraka! Hi hi hi...!"
Arya tahu kalau nenek berpakaian merah itu
tidak berbohong. Namun dia tidak merasa gentar, ka-
rena baginya mati bukan merupakan persoalan. Kehi-
dupannya sebagai seorang pembela kebenaran, mem-
buat hidupnya selalu terancam maut. Sewaktu-waktu
nyawanya bisa melayang. Luka merupakan hal yang
biasa.
Dalam keadaan seperti itu Dewa Arak tidak
mampu mempergunakan kedua tangannya. Yang dipa-
kainya, sekarang, hanya kedua kaki untuk melancar-
kan serangan. Itu pun langsung ditariknya kembali ke-
tika melihat lawan berusaha menangkis.
Tentu saja keberadaan pemuda berambut putih
keperakan itu sangat tidak menguntungkan. Betapa
pun kuatnya pertahanan, apabila tanpa penyerangan
sama sekali akan bobol juga. Lama-kelamaan Dewa
Arak tampak semakin kewalahan. Keadaannya sema-
kin mengkhawatirkan ketika rasa pusing mulai melan-
danya. Semula Arya bingung mengapa hal itu bisa ter-
jadi. Namun segera disadari bahwa serangan-serangan
yang dilakukan perempuan tua itu menimbulkan angin
yang membawa uap racun.
Kalau saja kedua tangannya tidak dalam kea-
daan seperti itu, mungkin Arya mempunyai kesempa-
tan untuk mengambil guci dan mengobati luka racun-
nya.
Desss!
Akhirnya pukulan telapak tangan terbuka ne-
nek berpakaian merah berhasil mendarat di bagian kiri
dada Dewa Arak. Tubuh pemuda berambut putih ke-
perakan itu terjengkang ke belakang dan menabrak
pagar kayu bulat hingga jebol!
Dewa Arak tidak kuasa untuk menahan jeritan
ketika tubuhnya melayang deras ke bawah. Di bela-
kang pagar kayu bulat itu ternyata menganga sebuah
jurang curam dan dalam. Tak pelak lagi, tubuh Dewa
Arak melayang ke jurang itu.
Nenek berpakaian merah kaget mendengar te-
riakan Arya. Dia pun melesat mengejar untuk melihat-
nya. Bulu kuduknya langsung berdiri ketika melihat
jurang menganga tampak kelihatan dasarnya itu. Se-
perti Arya, dia pun tidak menyangka kalau bagian be-
lakang perguruan ini ternyata sebuah jurang. Tanpa
berkata apa pun, nenek berpakaian merah itu men-
jauh. Kemudian, dia telah sibuk kembali memakan
otak mayat-mayat guru dan saudara seperguruan Se-
kar Arum.
kkk
Setelah melayang-layang beberapa saat la-
manya, tubuh Arya jatuh di atas permukaan air. Tu-
buh pemuda itu terus meluncur ke dalam air. Tak la-
ma kemudian, berkat ilmu meringankan tubuhnya
pemuda berambut putih keperakan itu berhasil men-
gapung di atas permukaan air. Arya masih tetap sadar,
meskipun telah melayang jatuh dari ketinggian jurang.
Dan sekarang, meskipun dalam keadaan terlu-
ka parah akibat racun dan pukulan pada dada kiri
yang juga beracun, Arya berusaha keras untuk menye-
lamatkan selembar nyawanya. Dengan keadaan tangan
hampir lumpuh, dia berjuang keras.
Namun dasar jurang yang ternyata air, dan me-
rupakan badan sungai itu mempunyai arus kuat seka-
li. Arya yang tengah berada dalam keadaan lemas, tak
mampu bertahan dari arus sungai yang sangat deras.
Tubuhnya terbawa arus, meskipun kedua kakinya
menjejak-jejak ke sana kemari berusaha menahan.
Entah berapa lama Dewa Arak yang dalam kea-
daan setengah pingsan terus terbawa arus air sampai
jauh. Ketika akhirnya sepasang matanya membuka
disadari kalau tubuhnya telah tidak terbawa air lagi.
Tapi, dia tahu kalau tubuhnya masih berada di dalam
sungai.
Ketika Arya memperhatikan sekelilingnya, baru
dia sadar tubuhnya tersangkut pada sebuah batu yang
menonjol di tengah permukaan sungai. Dengan susah
payah Arya beringsut mendaki gundukan batu itu,
agar tidak terendam di aliran air. Dan ketika akhirnya
berada di atas batu yang kebetulan mempunyai per-
mukaan rata, pemuda itu duduk bersila. Dia bersiap
untuk mengobati luka dalamnya.
Sebuah keuntungan masih berpihak pada Arya.
Guci araknya, sumber penangkal racun tidak terlepas
dari punggung. Bahkan isinya masih ada sungguhpun
tidak penuh. Sesaat kemudian, pemuda berpakaian
ungu itu telah sibuk dengan pengobatannya, luka da-
lam dan keracunan.
Cukup lama juga hal itu dilakukan, sejak ma-
tahari belum mencapai titik tengahnya sampai con-
dong ke barat, baru Aiya merasakan luka di dalam tu-
buhnya telah mulai pulih. Bahkan kedua tangannya
telah kembali seperti sediakala.
Pemuda berambut putih keperakan ini mem-
perhatikan keadaan di sekelilingnya. Tempatnya bera-
da ternyata diapit oleh dinding tebing yang cukup ting-
gi. Dinding-dinding yang di atasnya banyak tumbuh
pepohonan besar kecil. Sungai ini ternyata berada di
dalam hutan.
Dengan sorot matanya Aiya mengukur keting-
gian tebing di kanan kirinya. Sekali lihat saja dia tahu
kalau tebing di sebelah kanan jauh lebih rendah. Maka
dia segera memutuskan untuk menujukan tindakan ke
sana
Meskipun demikian, Arya tahu untuk mencapai
atas tebing dengan sekali atau dua kali lompatan me-
rupakan sebuah perbuatan mustahil. Tinggi tebing itu
tak kurang dari dua puluh tombak. Tapi, Arya tidak
kehilangan akal. Dipungutnya beberapa buah batu ke-
cil yang didapatkan dari tempat dirinya berada.
"Hih!"
Arya langsung melemparkan sebuah batu ke
atas. Kemudian tubuhnya menyusul melompat, lalu
menjejak batu itu untuk melompat lagi ke atas. Pada
saat yang bersamaan, batu kedua dilemparkannya,
dan hal serupa pun dilakukan. Begitu seterusnya,
hingga dapat mendarat di atas tebing dengan selamat
"Hihihi...!"
Sebuah tawa bergelak langsung menyambut ke-
tika Arya baru saja menjejakkan kaki di tanah tepian
tebing. Karuan saja hal ini membuat pemuda beram-
but putih keperakan itu langsung bersikap waspada.
Sesaat kemudian sekujur urat saraf dan otot-
otot tubuhnya kembali mengendur setelah sekian la-
manya menunggu, dan juga memperhatikan suasana
sekitar, tidak nampak adanya seseorang tadi tertawa.
Namun tiba-tiba Arya kaget lagi mendengar
pemilik suara itu kembali mengumandangkan kata-
katanya yang sarat dengan perasaan gembira.
"Hi hi hi...! Sebentar lagi usahaku ini akan ber-
hasil. Aku tidak akan pernah tua. Aku akan hidup se-
ribu tahun lagi. Hi hi hi...!"
Arya mengernyitkan dahi mendengar ucapan
itu. Kemudian setelah memperkirakan dari mana asal
suara, diayunkan kaki menuju ke tempat itu. Dia ingin
tahu orang yang telah mengeluarkan perkataan seperti
itu. Apalagi di tempat terpencil seperti ini!
Dengan cerdik, Arya memperhatikan jalan yang
ditempuhnya. Medan yang berupa kumpulan semak-
semak dan ilalang serta pepohonan liar seperti tidak
pernah terjamah manusia itu, membuatnya hati-hati
memilih langkah. Sekali menyentuh dahan kering, ke-
beradaannya akan diketahui oleh pemilik suara itu.
Dan hal ini tidak diinginkannya.
Ternyata asal suara itu berasal dari tempat
yang cukup jauh. Setelah cukup lama berjalan, pemu-
da berambut putih keperakan itu baru melihat pemilik
suara itu. Arya kaget ketika mengenali sosok yang ten-
gah tertawa-tawa gembira di depan mulut sebuah goa.
Aiya yang mengintai dari balik sebatang pohon men-
genal betul siapa sosok yang tertawa-tawa itu. Ternya-
ta dialah yang selama ini tengah dicari-carinya, nenek
berhidung melengkung! Pimpinan tertinggi Pasukan Ib-
lis Neraka yang telah berhasil dihancurkannya bersa-
ma para pendekar lain. Segerombolan tokoh jahat yang
melakukan tindakan-tindakan keji, menculiki wanita-
wanita perawan dan bayi-bayi yang masih kecil. Entah
untuk apa hal itu dilakukannya. Arya tidak tahu, bah-
kan sampai pimpinan tertinggi, yaitu nenek berhidung
melengkung itu, melarikan diri!
Kemarahan Arya bangkit ketika melihat nenek
berhidung melengkung. Apalagi disadari kalau ke-
mungkinan besar nenek ini baru saja melakukan keja-
hatan keji lagi. Tapi, sebelum pendekar muda itu ke-
luar dari tempat persembunyiannya untuk melakukan
penyerbuan, dari arah sebelah kanan melesat sesosok
bayangan biru. Dan tahu-tahu di depan nenek berhi-
dung melengkung berdiri seorang pemuda berwajah ti-
rus berpakaian biru. Sikapnya terlihat menantang se-
kali.
"Rupanya kau bersembunyi di sini, Nenek Pe-
nyihir!" bentak pemuda berpakaian biru, sambil me-
nudingkan jari telunjuknya ke muka nenek berhidung
melengkung. "Asal kau tahu saja, ke mana pun kau
pergi tetap akan kucari!"
Nenek berhidung melengkung seketika murka
melihat sikap pemuda berpakaian biru di hadapannya.
Kaki kanannya bergerak menjejak tanah, dan seketika
itu pula tanah amblas hampir sedalam betis!
"Siapa kau, Pemuda Lancang?! Sungguh berani
kau bersikap seperti itu di depanku! Apa kau telah bo-
san hidup?"
"Hmh!" Pemuda berpakaian biru mendengus
melihat kemarahan nenek berhidung melengkung. Dia
tidak kelihatan merasa kaget atau gentar. "Siapa
adanya aku tidak perlu kau tahu. Yang perlu kau tahu
maksud kedatanganku kemari. Aku ingin membu-
nuhmu, Nenek Tua!"
"Keparat!" Nenek berhidung melengkung mem-
bentak keras. "Rupanya kau sudah kepingin mati, Mo-
nyet Jelek! Pergilah ke neraka!"
Nenek berhidung melengkung mengibaskan ta-
ngan kanannya. Bunyi berdesir pun langsung terden-
gar berbarengan dengan meluncurnya benda-benda
halus ke arah pemuda berpakaian biru.
Arya yang memperhatikan secara seksama, ta-
hu kalau nenek berhidung melengkung mengirimkan
serangan dengan mempergunakan senjata berupa ja-
rum. Tidak kurang dari sepuluh banyaknya. Dan meli-
hat bagaimana keadaan nenek berhidung melengkung,
jarum-jarum itu sudah pasti mengandung racun jahat
Aiya mengkhawatirkan keselamatan pemuda berpa-
kaian biru itu.
Arya yang sudah bersiap-siap untuk memberi-
kan pertolongan apabila pemuda berpakaian biru itu
tidak melihat serangan atau tidak mampu mengelak-
kan, jadi terkejut. Ternyata kekhawatirannya tidak be-
ralasan sama sekali. Dengan sikap tenang, pemuda
berpakaian biru itu memutar-mutarkan kedua tangan.
Seketika jarum-jarum itu runtuh sebelum mencapai
sasaran.
Nenek berhidung melengkung kembali menge-
luarkan jeritan melengking sambil melancarkan seran-
gan susulan. Kali ini serangannya lebih ganas, karena
menggunakan anak panah.
Pemuda berpakaian biru rupanya tahu keli-
haian lawan, sehingga dia tidak berani bertindak gega-
bah. Begitu nenek berhidung melengkung mengelua-
rkan anak-anak panah yang ujungnya beracun, dia
pun mencabut senjatanya. Sebatang golok berwarna
merah membara seperti besi dibakar! Dengan adanya
senjata andalan di masing-masing pihak pertarungan
semakin sengit.
4
Arya yang menyaksikan dari jarak jauh dengan
penuh minat merasa kagum melihat pertarungan itu.
Untuk kesekian kali kembali dijumpai tokoh-tokoh per-
silatan yang berilmu tinggi. Pengalaman ini membuat-
nya harus mengakui bahwa banyak tokoh berilmu
tinggi di permukaan bumi ini.
Sementara di kancah pertarungan nenek berhi-
dung melengkung dan pemuda berpakaian biru masih
terlibat dalam pertarungan sengit. Tapi lambat laun
mulai tampak keunggulan si Nenek. Pemuda berpa-
kaian biru ternyata kurang memiliki pengalaman ber-
tempur, sehingga dengan mudah dapat dibaca lawan.
Dengan mengandalkan kelebihan jumlah senjatanya,
nenek berhidung melengkung menekan pemuda ber-
pakaian biru. Golok pemuda berpakaian biru selalu di-
apit dan ditempel oleh anak panah yang satu, se-
dangkan anak panah sisanya digunakan untuk melan-
carkan serangan. Cara ini membuat pemuda berpakai-
an biru selalu dalam kedudukan terdesak.
Trakkk!
Pemuda berpakaian biru mengeluarkan kelu-
han tertahan ketika golok merahnya tertempel anak
panah di tangan kiri lawan. Dan ketika nenek itu me-
mutarkan anak panahnya, golok di tangan pemuda
berpakaian biru ikut terputar tanpa dapat dicegah. Go-
lok itu seperti telah melekat dengan anak panah lawan.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya
oleh nenek berhidung melengkung. Anak panah di tan-
gan kanannya ditusukkan ke tenggorokan lawan. Se-
rangan ini memaksa pemuda berpakaian biru melem-
parkan tubuh ke belakang, dan dengan berat hati sen-
jata andalannya dilepaskan.
Nenek berhidung melengkung tidak berhenti
sampai di situ saja dalam bertindak. Dengan dua buah
anak panahnya dia terus memburu lawan dan meng-
hujaninya dengan serangan gencar. Sekali saja terke-
na, nyawa pemuda berpakaian biru akan terancam
bahaya maut.
Trakkk!
Di saat ujung anak panah di tangan kanan la-
wan hampir menembus ulu hati pemuda berpakaian
biru, melesat sesosok bayangan ungu, menyelak di an-
tara mereka dan menangkis dengan gucinya.
"Keparat! Lagi-lagi kau!" seru nenek berhidung
melengkung penuh perasaan geram ketika melihat so-
sok yang berdiri di depannya dengan tangan kanan
memegang guci.
"Benar, aku! Akhirnya kita bertemu lagi, Ken-
cana Wungu," ucap Dewa Arak, sosok berpakaian un-
gu itu, tersenyum sinis. "Dan ini berarti penentuan te-
rakhir di antara kita. Kalau bukan kau, tentu aku yang
akan mati! Bersiaplah, Kencana Wungu!"
"Kaulah yang akan mati, Pemuda Usilan!"
Sambil menjerit nyaring, nenek berhidung me-
lengkung yang ternyata bernama Kencana Wungu me-
nerjang Dewa Arak. Anak panah di tangan kanan diso-
dorkan ke arah leher, sedangkan yang kiri mengarah
ke lambung. Namun hanya dengan menarik tubuh ke
belakang, Arya telah membuat kedua serangan itu
kandas. Bahkan kemudian langsung mengirimkan se-
rangan balasan dengan sebuah tendangan kaki kiri ke
arah ulu hati lawan.
Namun, serangan itu buru-buru ditarik kembali
karena sebelum mencapai sasaran, anak panah di tan-
gan kanan Kencana Wungu digunakan untuk menang-
kal tendangan itu. Kalau Dewa Arak bersikeras untuk
meneruskan serangan, sebelum berhasil mendarat di
sasaran kakinya akan tertusuk anak panah yang men-
gandung racun. Sesaat kemudian, baik Dewa Arak
maupun Kencana Wungu telah saling melancarkan se-
rangan dan menggelakkannya.
Tak berapa jauh dari tempat mereka, pemuda
berpakaian biru menghapus keringat yang membasahi
keningnya. Kalau saja Dewa Arak tidak cepat bertin-
dak, nyawanya tentu sudah melayang. Dia memperha-
tikan jalannya pertarungan sesaat sebelum men-
gayunkan kaki mengambil golok merahnya yang tadi
dilemparkan Kencana Wungu begitu saja.
Pemuda berpakaian biru menimang-nimang go-
loknya sambil mengarahkan pandangan ke kancah
pertarungan. Dilihatnya masih berlangsung seimbang.
Meskipun demikian sepasang matanya yang tajam, da-
pat mengetahui kalau kemungkinan Dewa Arak keluar
sebagai pemenang besar sekali. Pemuda berambut pu-
tih keperakan itu ternyata memiliki kepandaian hebat,
ilmunya aneh. Setiap serangan Kencana Wungu, beta-
papun hebatnya, selalu dapat dielakkan dengan cara
aneh. Sebaliknya, serangan-serangan balasan yang di-
kirimkan, bertubi-tubi dan penuh mengandung teka-
nan tak ubahnya gelombang lautan.
Beratnya serangan-serangan Dewa Arak dira-
sakan sendiri oleh Kencana Wungu. Dia terus didesak
dan dihimpit
"Kuhitung sampai tiga, Kencana Wungu. Dan
kau harus melancarkan serangan berantai. Usahakan!
Pada saat yang sama aku pun melancarkan serangan.
Aku yakin Dewa Goblok itu akan berhasil kita binasa-
kan!"
Kencana Wungu agak tersentak begitu men-
dengar suara di telinganya. Bukan karena suara itu
dikeluarkan dengan ilmu mengirim suara dari jauh,
yang menjadi bukti kehebatan pengirimnya, tapi kare-
na mengenal siapa pemilik suara itu, sungguhpun dia
mendengarnya baru sekali. Mendengar adanya ke-
sungguhan dalam suara itu dia memutuskan untuk
menurutinya.
Maka begitu suara itu terdengar telah menghi-
tung sampai tiga, tanpa peduli keselamatan, nenek
berhidung melengkung itu melompat menerjang Dewa
Arak. Dua anak panah di tangannya ditusukkan ber-
tubi-tubi ke arah berbagai bagian tubuh lawan.
Bertepatan dengan meluncurnya serangan Ken-
cana Wungu, dari arah sebelah kanan melesat sesosok
bayangan ke arah Dewa Arak. Dalam sekejap tampak
segundukan sinar merah membara berputaran mende-
kati pemuda berambut putih keperakan itu. Dan ke-
mudian berubah menjadi seleret sinar merah yang me-
luncur cepat ke arah leher.
Arya yang tidak menyangka akan terjadinya hal
seperti ini kaget bukan kepalang. Serangan Kencana
Wungu saja sudah membuatnya repot, ini masih di-
tambah dengan serangan tak kalah dahsyat yang me-
luncur dari arah kanannya. Pemuda berambut putih
keperakan ini pun mengerahkan seluruh kemampuan-
nya dan melemparkan tubuh ke belakang.
Namun, rupanya baik Kencana Wungu maupun
sosok yang mengirim serangan belakangan, sudah
memperhitungkan hal itu. Tubuh mereka pun mela-
yang mengikuti Arya sambil terus menghujani serang-
an secara gencar.
Wajah Arya berubah tegang, tapi masih beru-
saha keras untuk menyelamatkan dirinya. Dengan ce-
pat dipalangkan gucinya di depan dada, sedangkan
kepalanya digelengkan ke kanan.
Crat, crattt! Srettt!
Arya tidak tahu apa yang terjadi, hanya dirasa-
kan sakit dan perih menyengat bahu kanan, serta ke-
dua pergelangan tangannya. Seketika itu pula, hawa
yang sangat panas dirasakan menjalar dari bahu ka-
nan, sedangkan dari pergelangan tangan mengalir ce-
pat hawa dingin! Kedua sergapan hawa ini membuat
pemuda berambut putih keperakan ini pusing. Namun,
nalurinya membisikkan adanya bahaya lanjutan yang
masih mengancam. Maka begitu berhasil menjejak ta-
nah, walau dengan agak terhuyung, tubuhnya lang-
sung bergulingan cepat.
Perhitungan Dewa Arak ternyata benar, begitu
melihat serangan tadi tidak membuahkan hasil seperti
yang diharapkan, Kencana Wungu dan penyerang sa-
tunya lagi, memburu Dewa Arak yang tengah bergulin-
gan di tanah.
Dewa Arak meskipun berada dalam cengkera-
man rasa pusing, masih sempat melihat samar-samar
dua sosok yang memburunya. Maka gulingan tubuh-
nya terus dilanjutkan. Tapi, hanya sebentar saja. Ka-
rena sesaat kemudian pandangan berubah gelap pekat
kkk
"Uhhh...!"
Arya mengeluh dengan mulut menyeringai ke-
sakitan ketika merasakan sakit laksana ditusuk-tusuk
oleh pisau mendera pergelangan tangannya. Sedang-
kan hawa yang sangat panas seakan tengah membakar
bahu kanannya.
"Tenanglah, kau tidak boleh banyak bergerak
dulu. Biarkan obatnya meresap dulu. Memang perih,
tapi tahanlah sebentar."
Terdengar sebuah suara halus dan lembut keti-
ka pemuda berambut putih keperakan itu bermaksud
untuk bangkit.
Aiya mematuhi ucapan halus itu. Perlahan-
lahan dia membelalakkan matanya berusaha melihat
orang itu. Namun, usahanya sia-sia. Sepasang ma-
tanya belum bisa melihat jelas. Pemandangan yang
tampak hanya sesosok tubuh samar-samar berwarna
hijau. Meskipun demikian, menilik warna pakaian dan
suaranya yang lembut, sosok ini pasti seorang wanita.
Terpaksa Aiya menutup mata lagi karena kepa-
lanya dirasakan pusing kembali. Meskipun demikian,
dia berusaha untuk mengingat-ingat mengapa bisa be-
rada bersama sosok berpakaian hijau yang diduganya
seorang wanita dan tentu berwajah cantik molek serta
bertubuh montok menggiurkan. Namun, betapapun
Dewa Arak mengorek ingatannya, yang didapat dan
sempat diingat hanya di saat dia menggulingkan tubuh
dalam usaha terakhir untuk menyelamatkan selembar
nyawanya. Setelah itu tidak ada lagi yang bisa diingat-
nya. Ataukah sosok hijau ini yang telah menyela-
matkannya dari tangan maut Kencana Wungu dan
penjahat satu lagi yang tidak disangka-sangkanya?
Tapi mungkinkah itu? Benarkah sosok hijau ini memi-
liki kepandaian melebihi Kencana Wungu dan kawan-
nya? Rasanya tidak mungkin! Kakek kurus kering yang
memiliki kepandaian dan berilmu tinggi saja tidak
sanggup menghadapi pengeroyokan Kencana Wungu
dan kakek berkepala botak. Padahal Arya berani berta-
ruh kalau penjahat yang membantu Kencana Wungu
memiliki kemampuan tak kalah hebat dengan kakek
berkepala botak
Teringat akan kakek kurus kering, Arya tanpa
sadar bergidik. Mau tidak mau harus diakui dalam ha-
ti kalau kepandaiannya tak akan cukup jika dipergu-
nakan untuk menghadapi kakek kurus kering yang
luar biasa itu. Belum lagi kakek kecil yang berwatak
seperti anak kecil! Kalau saja kedua tokoh sakti yang
sepertinya saling kenal itu melakukan tindak kejaha-
tan, dia tidak akan mampu menanggulangi.
Mendadak hati Arya tercekat ketika berhasil
mengingat-ingat sesuatu yang membuat hatinya ber-
debar tegang. Gerakan-gerakan pemuda berpakaian bi-
ru itu ternyata memiliki persamaan dengan kakek ku-
rus kering! Dan ini baru terpikirkan olehnya. Mengapa
dia begitu pelupa? Apakah ada hubungan antara ke-
dua orang itu?
Namun hanya sampai di situ Dewa Arak dapat
mengingat-ingat dan berpikir, karena sepasang mata-
nya mendadak berat. Dan tanpa mampu bertahan lagi,
dia tertidur.
Begitu terbangun, tubuhnya dirasakan enak
sekali. Tidak ada lagi rasa sakit, baik pada kedua per-
gelangan tangan maupun bahu kanan. Bahkan semua
luka itu telah sembuh. Arya tidak merasa heran meli-
hat hal ini, karena dia tahu banyak tokoh memiliki ob-
at luka yang amat mujarab, bahkan dia pun memili-
kinya.
Aiya mengedarkan pandangan, tapi tetap tidak
ditemukan sosok hijau yang dilihatnya sewaktu dia
masih belum sadar betul. Hal ini membuat hatinya
merasa penasaran sekali. Apakah sosok hijau itu lang-
sung pergi meninggalkannya begitu dia sembuh, tanpa
menunggunya bangun? Berpikir demikian, Dewa Arak
bergegas bangkit berdiri.
Baru saja Arya memutuskan untuk meninggal-
kan tempat itu, guna mencari sosok hijau, telinganya
menangkap adanya langkah-langkah halus pertanda
ada tokoh berkepandaian tinggi mendekati tempatnya.
Arya pun bersikap waspada. Barangkali saja pemilik
langkah itu si Nenek Kencana Wungu atau penjahat
yang membantu nenek berhidung melengkung itu me-
nyerangnya.
Tapi, urat-urat sarafnya yang telah mengejang
itu mengendur kembali ketika melihat sosok pemilik
langkah. Arya terpesona ketika menatapnya. Sosok
berpakaian hijau ini seperti yang diduga Arya memang
cantik, bahkan melebihi apa yang diperkirakan Arya.
Tidak hanya tubuhnya yang ramping indah dan meng-
giurkan. Kulit tubuhnya halus dan mulus, serta bersih
sekali.
"Ah...! Kiranya kau sudah bangun!"
Ucapan gadis berpakaian hijau itu membuat
Aiya sadar dari ketidakpantasan sikapnya, buru-buru
ditundukkan kepala untuk menyembunyikan wajah-
nya yang memerah. Dan ketika diangkat kembali wa-
jah itu telah kembali seperti semula.
"Atas pertolonganmu, Nisanak," ucap Arya.
"Kuucapkan terima kasih, atas segala jerih payahmu."
"Lupakanlah," ujar gadis berpakaian hijau
sambil mengulapkan tangan kanannya, sedangkan
tangan kirinya sibuk menjinjing setandan pisang yang
telah masak. "Hanya sebuah pertolongan kecil. Kalau
aku tidak salah kau Arya bukan?"
Aiya langsung melongo. Dari mana gadis berpa-
kaian hijau ini tahu namanya kalau bertemu saja baru
kali ini?
"Tidak perlu heran, Arya. Nanti kuceritakan.
Sekarang lebih baik kalau kita, terutama sekali kau...
makan dulu. Kau lapar kan? Pasti! Karena sudah se-
hari semalam kau tidak makan."
"Sehari semalam?" ulang Arya dalam hati. Be-
rarti dirinya pingsan sampai selama itu. Dan ini benar-
benar di luar dugaannya.
Sementara gadis berpakaian hijau langsung
duduk dan mengajak Arya untuk melakukan hal yang
sama. Tanpa banyak membantah, pemuda itu melaku-
kannya. Sesaat kemudian, sepasang muda-mudi ini te-
lah sibuk dengan pisang yang tergenggam di tangan.
"Bagaimana dengan Kencana Wungu dan ka-
wannya, Nisanak..?" tanya Arya berusaha untuk men-
gorek keterangan sehingga dirinya ditolong gadis ber-
pakaian hijau.
"Aku tidak tahu," jawab gadis berpakaian hijau
seraya mengangkat bahu, dan menelan pisang yang te-
lah dimasukkan ke dalam mulutnya. "Begitu kulem-
parkan bahan peledak yang membuat mereka kelaba-
kan dan mundur, kusambar tubuhmu dan kubawa
kabur. Sayang sekali, Arya, aku datang terlambat. Ka-
lau tidak, kita berdua akan menghadapi mereka ber-
sama-sama."
Arya hanya bisa mengangguk-anggukkan kepa-
la dengan perasaan bingung. Gadis berpakaian hijau
ini bercakap-cakap seolah Arya adalah kenalan la-
manya. Hal ini membuatnya merasa bingung dan si-
buk menduga-duga.
"Aku telah banyak mendengar tentang dirimu,
Arya. Jadi kau tidak perlu merasa heran," ucap gadis
berpakaian hijau, yang rupanya mengetahui perasaan
hati Dewa Arak. "Tapi, untuk tidak mengacaukan sua-
sana, baiknya kuperkenalkan diriku. Aku, Sekardati,
dan..."
Sekardati terpaksa menghentikan ucapannya di
tengah jalan ketika melihat Arya terbatuk-batuk kare-
na pisang yang telah berada di tenggorokan tidak sege-
ra ditelannya. Gadis berpakaian hijau ini menjadi he-
ran. Ia tahu, orang seperti Arya tidak mungkin menga-
lami hal itu sebenarnya kalau tidak mengalami keter-
kejutan, dan itu pasti karena ucapannya.
"Apakah ada ucapanku yang salah?" tanya Se-
kardati, hati-hati.
"Sebenarnya tidak," sahut Arya sambil menatap
tajam gadis berpakaian hijau di depannya. "Tapi kalau
kau maksudkan dirimu adalah Sekardati saudara
kandung Arum, dan putri sahabatku, Salaban, kea-
daan menjadi lain."
"Lho?! Memangnya kenapa, Arya?" Sekarang
gadis berpakaian hijau yang mengaku sebagai Sekar-
dati itu yang kebingungan. "Memang aku Sekardati
saudara kandung Sekar Arum, anak dari Salaban."
"Kalau boleh kutahu, sebenarnya Salaban itu
mempunyai berapa orang anak bernama Sekardati?!"
Arya malah balas bertanya.
Sekardati bangkit dengan perasaan berang. Pi-
sang yang baru saja digigit separo, dibantingnya ke ta-
nah dengan perasaan kesal.
"Apa maksudmu, Arya?! Apakah kau hendak
mempermainkan aku?! Tentu saja Sekardati hanya ada
satu, aku! Aku hanya mempunyai satu saudara kan-
dung, yaitu Sekar Arum! Apa maksud ucapanmu!"
Aiya menghela napas berat. Melihat sikap Se-
kardati, dia tahu ada sebuah kesalahpahaman di sini.
Atau lebih tepatnya lagi ada hal-hal unik yang tersem-
bunyi. Menuruti kemarahan akan menimbulkan per-
masalahan baru yang tidak akan pernah kunjung sele-
sai. Maka diberinya isyarat pada Sekardati untuk du-
duk. Untung, gadis itu menurutinya meskipun dengan
mulut masih monyong.
"Dengar baik-baik, Sekardati atau siapa pun
namamu," Arya memulai ucapannya yang membuat
Sekardati tak senang mendengarnya. Tapi pemuda be-
rambut putih keperakan itu berpura-pura tidak tahu.
"Beberapa hari yang lalu, di tempat pemakaman ke-
luargamu, aku bertemu dengan seorang gadis menga-
ku bernama Sekardati. Tentu saja aku percaya karena
dia kenal dengan Sekar Arum dan Salaban. Namun
kemudian dia menyerangku dengan kemarahan karena
kesalahpahaman, dan sampai sekarang permasalahan
ini belum selesai!"
"Keparat! Sungguh berani orang itu memalsu-
kan diriku...!" seru Sekardati penuh perasaan geram.
"Yang membuatku merasa heran," sambung
Aiya atas ucapannya yang belum tuntas. "Peran yang
dibawakannya sebagai Sekardati sangat pas sekali se-
hingga aku yakin kebenaran pengakuannya. Di samp-
ing dia mengetahui keluargamu, juga dia benar-benar
marah dan berniat membunuhku karena kesalahpa-
haman.... maksudku salah duga...."
"Apakah yang menyebabkannya salah paham
itu?" tanya Sekardati penasaran. Keningnya berkerut
menatap Dewa Arak yang duduk tenang di depannya.
Arya pun menatap wajah Sekardati lekat-lekat
sebelum mengutarakannya. Dan seperti yang telah di-
duganya, Sekardati kaget bahkan amat berduka, tapi
rupanya hati gadis itu tetap tegar sehingga tidak men-
jatuhkan air mata. Dia hanya terkesima dan mendadak
diam. Sementara sepasang matanya berkaca-kaca.
Arya tahu kalau gadis berpakaian hijau itu ten-
gah berusaha menahan gejolak perasaan, maka dia ti-
dak ingin mengusiknya.
"Aku pun, kalau tidak mendengar tentang diri-
mu dari Sekar Arum apalagi melihat keberadaanmu di
tempat itu, akan menduga demikian. Kesimpulan yang
diambil orang yang memalsukan aku tidak salah...
maksudku tidak bisa disalahkan...," ucap Sekardati,
akhirnya dengan suara mengambang, tidak berirama.
Sedangkan sepasang matanya menerawang jauh ke
atas. Kelincahannya lenyap.
"Hhh...!" Arya menghela napas berat, dan men-
gangguk-anggukkan kepala, menyetujui pendapat ga-
dis berpakaian hijau itu. "Kalau boleh kuberikan sa-
ran, keluarkan saja kesedihanmu, Sekardati. Tidak
baik menyimpannya di dalam dada kalau memang be-
rat. Lebih baik kau tumpahkan, keluarkan sampai ha-
bis biar dadamu ringan. Dan...."
"Maksudmu... menangis, Arya?!" potong Sekar-
dati dengan suara tetap datar, sedangkan sepasang
matanya meski melihat pada Arya, tapi tatapannya ko-
song. "Kau tahu, pantang bagiku untuk meneteskan
air mata. Aku tidak ingin menangis, dan tidak akan
pernah menangis. Jelas?!"
Arya terdiam, tidak memberikan tanggapan sa-
ma sekali.
"Kalau boleh, aku ingin kau memberikan ciri-
ciri wanita yang telah menyamar sebagai diriku, Arya.
Aku ingin menyelidikinya. Aku ingin tahu maksud
yang terkandung dalam penyalahgunaan nama ini."
"Dia seorang gadis berpakaian serba merah,
cantik, muda, dan berambut dikuncir satu. Pada wa-
jahnya, di bagian pipi atas...."
"Cukup..., Arya," potong Sekardati, cepat suara-
nya tetap datar.
"Kau mengenalnya, Sekardati?" tanya Arya,
yang dijawab dengan anggukan Sekardati.
"Dia kakak seperguruanku. Baik hati. Tapi
sayang, nasibnya buruk. Aku harap, apabila kau ber-
temu dengannya lagi, kau tidak menyakitinya, Arya.
Dia baik hati, tidak jahat. Dan sebagai tambahan, ka-
kak seperguruanku itu amat menyayangiku dan ayah-
ku. Semula dia anak yang terlantar, ditemukan oleh
ayahku lalu dipelihara secara baik dan penuh kasih
sayang sampai berusia sepuluh tahun. Jadi keluarga-
ku telah dianggap keluarganya sendiri."
"Akan kuingat, Sekardati," janji Arya, mantap.
"O ya, hampir aku lupa. Sekar Arum menitipkan ini
padaku, pesannya untuk diberikan pada guru atau
saudara seperguruannya, karena mereka sangat men-
ginginkannya. Tapi, ketika aku pergi ke sana, mereka
semua telah menjadi mayat. Yang kujumpai di sana
hanya seorang nenek berpakaian merah yang mengeri-
kan. Dia tengah memakan otak mayat-mayat itu. Se-
mula dia kusangka Sekardati, karena pakaian dan se-
mua ciri-cirinya mirip, tapi itu karena kulihat dari be-
lakang. Nenek itu biadab sekali. Tidak hanya membu-
nuh dan memakan otak mereka. Keji sekali! Semula
aku merasa ragu untuk bertindak keras karena mengi-
ra dia itu..., maaf Sekardati, dirimu. Itulah yang dibe-
rikan nama gadis berpakaian merah. Tapi ketika kuta-
hu bukan... Sekardati.... Maka aku bertindak dengan
maksud melenyapkannya...."
"Lalu...?!" potong Sekardati dengan suara berge-
tar, dan rasa ingin tahu yang begitu besar. Melihat hal
itu Arya merasa tidak enak. Mengapa Sekardati begitu
tertarik dengan cerita ini?
"Sayang, aku gagal. Dia terlalu lihai, dan lagi
aku kena pengaruh racunnya yang ganas...." Kemu-
dian secara singkat Arya menceritakan tentang dirinya
yang jatuh ke dalam jurang.
"Syukurlah kau tidak membunuhnya, Arya,"
ucap Sekardati, penuh perasaan lega, tapi tetap den-
gan wajah murung.
"Mengapa, Sekardati?! Nenek itu benar-benar
biadab. Dia tidak hanya membunuh, tapi juga mema-
kan otak mereka," bantah Arya seraya menatap wajah
Sekardati.
Tapi Sekardati menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau tidak tahu, Arya," ucap Sekardati dengan
air matanya yang hampir menetes. "Nenek itu tidak ja-
hat. Aku yakin betul. Dan juga orang-orang perguruan
Sekar Arum yang tewas bukan oleh tangannya. Aku
yakin...!"
"Tapi, Sekardati...," Arya mencoba untuk mem-
bantah. Tapi ketika teringat akan ucapan Sekardati,
jantungnya berdetak lebih cepat. "Sekardati..., apakah
nenek itu kakak seperguruanmu yang telah menyamar
jadi dirimu?!"
Sekardati mengangguk-anggukkan kepala ke-
mudian melesat meninggalkan Arya.
"Sekardati...! Tunggu...!" seru Arya keras.
Sekardati tak mempedulikan teriakan Dewa
Arak. Dia terus berlari. Dan Arya semula bermaksud
mengejar. Tapi, langsung diurungkan. Dia tahu kese-
dihan Sekardati telah tak mampu ditahannya. Mung-
kin gadis itu pun akan menangis. Namun karena Se-
kardati memiliki hati yang keras dan telah berkata di
depannya untuk tidak akan pernah menangis tentu dia
akan berusaha untuk menahannya. Kalau Arya tidak
berada di depan Sekardati, gadis itu tidak mempunyai
alasan untuk tidak menangis. Maka, Arya tidak menge-
jarnya dan membiarkan saja Sekardati kabur.
5
Tapi, Arya bimbang dengan keputusan itu keti-
ka pandangannya tertumbuk pada suling kecil dari
bambu yang ada di tangan kanannya. Benda ini yang
akan diberikannya pada Sekardati, tapi gadis berpa-
kaian hijau itu rupanya lupa untuk menerimanya.
Akhirnya, setelah mempertimbangkannya se-
bentar, Aiya memutuskan ingin menyusul Sekardati
untuk memberikan suling itu. Dia ingin tidak ada lagi
beban yang menghambat perjalanannya. Setelah dis-
ampaikannya amanat dari Sekar Arum, tinggal satu
tugas yang harus diselesaikan, membunuh Kencana
Wungu! Oleh karena itu, Arya melesat mengejar ke
arah perginya Sekardati.
Arya berhasil menyusul Sekardati hanya den-
gan perkiraan saja. Diakui kalau kemungkinan kecil
sekali untuk dapat menemukan gadis itu. Hutan ini
sangat luas dan dipenuhi pohon besar kecil serta ke-
rimbunan semak-semak. Tidaklah mudah untuk me-
nemukan orang di situ. Mungkin lebih mudah mene-
mukan jarum di dalam tumpukan jerami! Tapi, toh
Arya terus melakukannya. Pemuda berambut putih
keperakan ini mempunyai patokan. Sekardati pasti
akan kembali ke tempat tinggal ayahnya. Dia pasti
menuju ke pekuburan keluarga.
Hampir Arya tertawa gembira ketika mendengar
isak tangis lapat-lapat dari kejauhan. Hal ini menjadi
pertanda kalau dia menempuh arah yang benar. Ber-
gegas ayunan kakinya dipercepat. Dan ketika suara
tangis itu semakin terdengar jelas, Arya bertindak hati-
hati. Bahkan dia melompat ke atas pohon, hinggap di
salah satu cabang dan mengintai dari sana.
"Ayah...! Arum...! Mengapa kalian begitu tega
pergi lebih dulu...! Mengapa kalian tidak mau menung-
guku...!"
Tampak oleh Arya, Sekardati duduk bersimpuh
di tanah sambil menangis. Suara tangisannya cukup
keras terdengar karena suasana di hutan itu memang
sunyi. Kedua tangannya yang mungil dipukulkan ke
tanah berkali-kali.
Seketika Arya merasa dadanya sesak karena
terharu. Ada hawa yang membuat tenggorokannya te-
rasa gatal, bahkan sepasang matanya pun berkaca-
kaca. Ratap Sekardati memang terdengar sangat memi-
lukan hati, menyuarakan kesedihan yang telah dita-
han-tahan.
Tanpa sadar, Arya mengerjap-ngerjapkan sepa-
sang matanya yang tiba-tiba dirasakan gatal.
Kalau tidak mengingat akan kekerasan hati Se-
kardati yang tidak ingin kelemahan hatinya diketahui
orang, ingin rasanya Arya turun dan menghibur se-
mampunya.
Sementara Sekardati yang tidak tahu akan
adanya pengintai gelap itu, terus saja mengeluarkan
tangis yang sejak tadi ditahan-tahan. Dia tidak tahu
kalau di atas pohon, seorang pendekar muda yang ju-
lukannya menggemparkan dunia persilatan, telah ke-
nyang melihat penderitaan, hampir tak tahan mena-
han rasa harunya. Padahal, pendekar muda ini belum
pernah menjatuhkan air matanya.
Aiya yang tengah dilihat perasaan haru itu
mendadak kaget ketika melihat dua sosok tengah me-
lesat di kejauhan. Tempat yang tinggi memungkinkan
dirinya dapat melihat suasana di sekitar lebih dulu.
Hatinya terkejut karena sosok itu ternyata orang yang
telah membantu Kencana Wungu mencelakainya seca-
ra curang!
Tapi keberadaan sosok ini tidak terlalu dikha-
watirkannya. Yang membuat Arya merasa tegang ju-
stru ketika melihat sosok yang satu lagi. Sosok itu tak
lain kakek kurus kering yang memiliki kepandaian il-
mu mengiriskan. Bahkan mungkin di atas kakek kecil
yang telah menjatuhkannya secara mudah itu!
Dewa Arak semakin merasa khawatir dan was-
was ketika melihat arah yang ditempuh kedua sosok
itu bakal melalui tempat Sekardati berada. Mereka
pasti akan menjumpai Sekardati. Arya tahu, apabila
hal itu terjadi, penjahat yang kemarin membantu Ken-
cana Wungu mencelakainya, pasti akan mencelakai
Sekardati! Mungkin tak akan membiarkan Sekardati
begitu saja.
Arya bimbang. Di satu pihak dia ingin memberi-
tahu pada Sekardati akan adanya bahaya mengancam,
tapi di lain pihak, merasa khawatir gadis itu akan ma-
rah karena malu, kelemahan hatinya diketahui. Arya
bingung bercampur khawatir.
Namun ketika kakek bertubuh kurus kering
dan penjahat kawan tak terduga Kencana Wungu, se-
makin dekat, Aiya mengambil keputusan nekat.
"Sekardati, cepat menyingkir dari situ. Ada dua
tokoh sakti luar biasa yang tengah menuju kemari dan
akan melewati tempatmu. Cepat, menyingkirlah sebe-
lum terlambat!" beritahu Aiya dengan penggunaan il-
mu mengirim suara dari jauh.
Tepat seperti yang diperhitungkan Arya, Sekar-
dati terkejut bukan main. Tangisnya langsung berhen-
ti. Bahkan bekas-bekas air mata dibersihkan. Bibirnya
yang mungil indah membisikkan satu nama. Terlihat
jelas oleh Arya kalau gadis itu membisikkan namanya.
Namun sayangnya, Sekardati tidak langsung
melaksanakan perintah pemuda berambut putih kepe-
rakan. Bahkan dia mendongakkan kepala dan me-
mandang ke sekitarnya.
"Arya, di mana pun kau berada sekarang, kau
pasti mendengar ucapanku ini. Aku tidak suka dikun-
tit, dan kau telah melakukannya, maka apabila kita
bertemu aku akan membuat perhitungan denganmu!
Kau dengar, Arya?!"
Suara Sekardati terdengar keras dan bergema
ke seluruh penjuru hutan itu karena gadis berpakaian
hijau itu mengerahkan tenaga dalam pada seruannya.
Karuan saja tindakan tak tersangka-sangka itu mem-
buat Arya kaget. Dan sebelum dia sempat memberikan
peringatan lagi, kakek kurus kering dan kawan tak ter-
duga Kencana Wungu telah keburu tiba di tempat itu.
Mereka langsung melihat keberadaan Sekardati.
Tepat seperti yang diduga Arya, dua sosok itu
menghentikan langkah.
"Aha...! Sungguh tak kusangka akan bertemu di
sini denganmu, Anak Manis. Kau harus bertanggung
jawab atas lepasnya Dewa Arak dari tanganku!"
Setelah berkata demikian, kawan tak terduga
Kencana Wungu itu melompat menerjang dan mengi-
rimkan serangan dengan cengkeraman ke arah dada
Sekardati. Karuan saja gadis berpakaian hijau itu
mendelik, dan buru-buru menggeser tubuh ke samping
untuk mengelakkan serangan kurang ajar itu. Dari sa-
na dikirimkan serangan berupa tendangan ke arah
pinggang. Tapi, secara mudah kawan tak terduga Ken-
cana Wungu itu menangkisnya dengan kaki pula.
Dukkk!
Kedua kaki yang sama-sama mengandung te-
naga dalam bertemu di udara. Tubuh kedua belah pi-
hak sama-sama terhuyung ke belakang. Hanya saja,
Sekardati terhuyung selangkah lebih jauh.
Sekardati merasa geram bukan main melihat
keunggulan lawan dalam hal tenaga itu. Maka, sambil
mengeluarkan pekikan melengking nyaring, dia me-
lompat dan mengirimkan sebuah tendangan terbang ke
arah kepala.
Terdengar pekikan tertahan karena kaget. Tapi
bukan keluar dari mulut Sekardati atau kawan tak ter-
duga Kencana Wungu, melainkan dari mulut kakek
kurus kering. Dan sekali kakinya bergerak melangkah,
tubuhnya telah berada di antara Sekardati dan kawan
tak terduga Kencana Wungu. Kakek ini bergerak men-
gibas. Seketika tubuh Sekardati terpental kembali ke
belakang. Hanya dengan sebuah salto ke belakang be-
berapa kali gadis itu berhasil mematahkan kekuatan
yang membuat tubuhnya terlempar dan hinggap di ta-
nah secara tidak tetap.
"Tahan!" seru kakek kurus kering dengan suara
serak. Jari telunjuknya yang kurus kering dan tidak
berdaging, ditudingkan ke arah Sekardati. "Apa hu-
bunganmu dengan si Rongga Pendek?! 1 '
"Mau apa kau tanya-tanya guruku, Manusia
Tulang...?" ejek Sekardati dengan berani. Meskipun dia
tahu kalau sekali gebrakan saja kakek kurus kering itu
tak akan mungkin dapat dilawannya.
Tapi, kakek kurus kering sama sekali tidak ma-
rah. Dia malah mengalihkan perhatian pada kawan tak
terduga Kencana Wungu yang terpaksa berdiam diri
dan memperhatikan percakapan itu.
"Biarkan dia pergi, Sangkuni! Dia murid Rong-
ga," ujar kakek kurus kering itu, datar.
"Memangnya kenapa kalau dia adalah murid
Rongga pendek itu, Guru?!" tanya kawan tak terduga
Kencana Wungu yang ternyata murid kakek kurus ke-
ring itu. "Apakah Guru takut padanya?!"
"Cuhhh!" Kakek kurus kering itu meludah ke
tanah. "Siapa takut padanya! Kalau sekarang si Pen-
dek Jelek itu berada di sini pun akan kutekan tubuh-
nya biar tambah pendek!"
"Kalau begitu, mengapa Guru menyuruhku
membiarkan gadis binal murid Rongga pendek itu per-
gi?! Kalau si Pendek itu mendengar hal ini, disang-
kanya Guru takut padanya!" ujar kawan tak terduga
Kencana Wungu yang bernama Sangkuni.
"Hm.... Kau benar," gumam kakek kurus kering
sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Lakukanlah
apa yang kau mau! Tunjukkan pada Rongga pendek
kalau aku tidak takut padanya!"
Sangkuni tersenyum simpul. Kemudian, dialing
perhatiannya pada Sekardati yang sejak tadi menden-
garkan percakapan itu dengan hati bergolak penuh
kemarahan. Dan saking tak kuatnya menahan amarah
begitu murid kakek kurus kering itu mengalihkan per-
hatian, langsung saja diserangnya. Sangkuni menyam-
butnya dengan hangat, dan pertarungan sengit pun
berlangsung.
kkk
Di atas pohon, sudah sejak tadi, Arya hampir
saja turun tangan. Namun diurungkan karena melihat
perkembangan tak terduga, di mana kakek kurus ker-
ing hampir membiarkan Sekardati pergi. Dan sekarang
dia hanya bisa menyaksikan jalannya pertarungan
dengan hati berdebar tegang. Pemuda berambut putih
keperakan itu bermaksud menolong Sekardati apabila
keadaan memungkinkan, dan kabur. Karena tak
mungkin dirinya dan Sekardati mampu menghadapi
Barureksa dan Sangkuni itu. Mereka terlalu kuat un-
tuk dilawan.
Arya tahu Sangkuni yang pernah membantu
Kencana Wungu, memiliki kepandaian tinggi. Bahkan
tidak kalah dengan nenek berhidung melengkung itu
sendiri kalau saja tidak kalah pengalaman. Kepan-
daiannya boleh dibilang setingkat dengan Kencana
Wungu. Karena Sangkuni itulah orang yang bermak-
sud membunuh Kencana Wungu sendiri, tapi gagal
dan hampir tewas kalau tidak ditolong Arya. Sama se-
kali tidak di sangka oleh Dewa Arak kalau balasan
yang diterima adalah bergabungnya orang yang pernah
ditolong dengan Kencana Wungu. Mereka bersama
mengeroyoknya. Dan kawan tak terduga Kencana
Wungu itu tak lain adalah pemuda berpakaian biru,
yang ternyata bernama Sangkuni.
Jalannya pertarungan semakin menarik karena
kedua belah pihak telah mengeluarkan senjata mas-
ing-masing. Sekardati yang memulainya begitu menya-
dari kalau lawan lebih unggul darinya dalam ilmu tan-
gan kosong. Sangkuni memiliki tenaga dalam lebih
kuat, sehingga begitu terjadi benturan, Sekardati sela-
lu tampak kewalahan. Celakanya lagi, Sangkuni mem-
pergunakan kelebihannya dengan baik untuk menekan
pertahanan lawan.
Namun sekarang pertempuran kembali berjalan
seimbang setelah masing-masing pihak menggunakan
senjata. Sekardati menggunakan sabuk berwarna hijau
sedangkan Sangkuni mengeluarkan golok merahnya
yang beracun.
Bagaimanapun Sekardati harus mengakui
keunggulan Sangkuni. Begitu pertarungan menginjak
jurus ketiga puluh, perlahan-lahan pemuda berpa-
kaian biru itu berhasil mendesaknya. Sekardati kem-
bali terhimpit.
Yang lebih membuat Sekardati terdesak adalah
kelicikan Sangkuni. Sepanjang pertarungan pemuda
berpakaian biru itu selalu memecah perhatian lawan
dengan ucapan-ucapan kotornya.
"Kau harus mendapatkan imbalan atas kelan-
canganmu membebaskan Dewa Arak, Kuda Betina
Liar. Kau akan kuperkosa! Kau akan kutelanjangi...!
Akan kubiarkan semut-semut merah yang besar
menggigiti tubuhmu yang telah telanjang setelah puas
kuperkosa. Ha ha ha...! Nikmat bukan?!"
Sekardati memekik kaget ketika tanpa terduga
kaki Sangkuni telah menyapunya, sehingga dia ter-
jengkang ke belakang. Namun gadis berpakaian hijau
itu memang cerdik. Begitu terjengkang, langsung saja
diteruskan dengan membanting tubuhnya ke tanah,
lalu bergulingan menjauh. Tindakan yang diambilnya
tepat, karena Sangkuni langsung memburunya dan
menghujaninya dengan serangan gencar.
Melihat keadaan gawat Sekardati, Dewa Arak
tak bisa tinggal diam lagi. Tangannya segera menjum-
pul daun yang ada di dekatnya, tidak tanggung-
tanggung langsung segenggam. Tapi....
"Pengecut Hina...! Keluar kau...!" Kakek kurus
kering memutar-mutarkan tangan kanannya yang diju-
lurkan ke depan. Dan serangkum angin pukulan keras
yang berputar meluruk ke tempat Dewa Arak berada.
Pemuda berambut putih keperakan itu kaget namun
tetap tidak kehilangan akal. Buru-buru dia melompat
turun seraya melemparkan daun-daun yang digeng-
gamnya ke arah Sangkuni.
Brakkk!
Pohon tempat Dewa Arak tadi berdiam, lang-
sung hancur berantakan. Dedaunan dan ranting-
ranting yang berpatahan berjatuhan ke tanah. Namun
Dewa Arak telah lebih dulu melesat sebelum serangan
itu menghantamnya. Sehingga terlepaslah dirinya dari
reruntuhan pohon. Sebaliknya dedaunan yang dile-
paskannya meluruk cepat ke arah Sangkuni laksana
pisau terbang! Melihat serangan itu pemuda berpa-
kaian biru buru-buru melemparkan tubuh ke samping
untuk menyelamatkan diri dari puluhan dedaunan
yang tak kalah berbahaya dengan serangan senjata ta-
jam lainnya.
Cap, cap, cappp!
Puluhan daun itu menancap di tanah tempat
Sangkuni tadi berada. Pada saat yang bersamaan, De-
wa Arak mendarat dengan ringannya.
"Cepat lari, Sekardati! Cepat selamatkan diri-
mu!" Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera me-
lompat menerjang Sangkuni yang baru saja berdiri te-
gak di tanah. Tanpa membuang-buang waktu lagi, De-
wa Arak langsung mengeluarkan ilmu 'Sepasang Ta-
ngan Penakluk Naga' yang menjadi andalan ayahnya.
(Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam
episode "Pedang Bintang").
Sangkuni kelabakan begitu mendapat serangan
bertubi-tubi dan dahsyat itu. Memang, ilmu 'Sepasang
Tangan Penakluk Naga' memiliki kekuatan dahsyat da-
lam hal penyerangan.
Plak, plak, plak!
Tubuh keduanya sama-sama terhuyung-
huyung ke belakang ketika Sangkuni menangkis se-
rangan gencar yang dilancarkan Dewa Arak.
Dewa Arak rupanya sudah memperhitungkan
hal itu. Bahkan sudah merencanakannya meskipun
dalam waktu yang demikian sempit. Tatkala tubuhnya
terhuyung ke belakang dia segera menambahkan tena-
ga dorong itu untuk melesat. Sehingga tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu melesat ke arah kakek
kurus kering yang bermaksud mencegat Sekardati me-
larikan diri.
Kakek kurus kering mengeluarkan keluhan ter-
tahan ketika Dewa Arak membarengi tubuhnya yang
melesat ke arahnya dengan serangan-serangan mema-
tikan. Kedua tangan Arya meluncur ke ulu hati dan
tenggorokan, dua bagian terlemah di tubuh manusia.
Namun kakek kurus kering itu tak mempedulikan se-
rangan Dewa Arak. Tidak menangkis maupun menge-
lak. Sedangkan Sekardati mempergunakan kesempa-
tan itu untuk melanjutkan larinya. Kekerasan hatinya
lumer ketika teringat akan ancaman yang mengerikan
dari Sangkuni. Dirinya menyadari tidak akan menang
melawan Sangkuni. Apalagi di belakang pemuda ber-
pakaian biru itu masih ada gurunya yang sangat men-
giriskan. Sekardati semakin gentar kecut hatinya keti-
ka teringat akan cerita Rongga, gurunya, mengenai ka-
kek kurus kering ini. Semula dia tidak tahu, tapi per-
cakapan Sangkuni dan kakek yang hanya memakai ce-
lana pendek itu, membuatnya teringat.
Kakek kurus kering sebenarnya boleh dibilang
saudara seperguruan dengan guru Sekardati. Kedua-
nya termasuk dari sekian banyak orang-orang buan-
gan yang telah melanggar aturan perguruan, kemudian
dihukum atau lebih tepat lagi menghukum diri sendiri
selama lima puluh tahun lebih di sebuah pulau ko-
song. Dan kini setelah lima puluh tahun, mereka ke-
luar. Apalagi karena adanya sesuatu yang tengah me-
reka cari-cari.
Di pulau kosong itu, dua kakek yang sebelum-
nya sudah memiliki ilmu dan kedigdayaan, saling ber-
latih keras. Keduanya mampu menciptakan ilmu sen-
diri melalui caranya masing-masing. Cara-cara aneh
yang tidak lumrah manusia. Terlebih-lebih lagi si Ka-
kek Kurus Kering. Dirinya melakukan semadi dengan
cara tidur bersama mayat di kuburan-kuburan. Perbu-
atan aneh itu membuatnya memiliki ilmu-ilmu aneh,
di antaranya ilmu kebal yang tidak lumrah dimiliki
manusia biasa.
Sekardati telah mendapat cerita itu dari Rong-
ga. Rongga mengatakan kalau bertemu dengan kakek
kurus kering lebih baik menjauhkan diri. Sebab, dia
memiliki watak tidak bisa ditebak. Kalau timbul kein-
ginan membunuhnya, tanpa sungkan-sungkan akan
membunuh orang. Itulah sebabnya, Sekardati lang-
sung lari begitu tahu kalau kakek kurus kering ini
adalah orang yang diceritakan gurunya.
***
Tuk, tukkk!
Aiya tercekat kaget ketika kedua tangannya
yang mengenai ulu hati dan tenggorokan lawan, mem-
balik seperti menghantam benda keras yang kenyal.
Dua tempat kematian itu pun tidak sanggup ditem-
busnya. Hal ini menyadarkan Arya bahwa pengliha-
tannya sewaktu menyaksikan pertarungan kakek ku-
rus kering yang dikeroyok Kencana Wungu dan kakek
berkepala botak, ternyata tidak keliru. Kakek yang di-
ketahuinya bernama Barureksa memang memiliki ilmu
kebal yang luar biasa.
Sebelum hilang kekagetan Dewa Arak, kakek
kurus kering itu mengibaskan kedua tangannya. Angin
yang amat kuat keluar dari kedua tangan itu dan
membuat tubuh Dewa Arak terpental ke belakang se-
perti daun kering dihembus angin. Meski dengan agak
terhuyung-huyung pemuda berambut putih keperakan
itu berhasil mendaratkan kaki di tanah.
Dan belum lagi sempat Arya memperbaiki ke-
dudukan, mendadak Sangkuni telah meluruk ke arah-
nya dengan golok di tangan. Mau tidak mau Arya ha-
rus meladeninya.
Di lain pihak, begitu berhasil membuat tubuh
Arya terlempar, kakek kurus kering menjulurkan ke-
dua tangannya ke depan. Seketika itu pula Sekardati
yang tengah berlari, tertahan! Betapapun gadis itu
mengerahkan segenap tenaganya, dan bahkan men-
gayunkan kaki, dia hanya dapat berlari di tempat.
Namun Sekardati benar-benar gadis yang keras
hati. Meskipun tahu tindakannya tertahan, tetap saja
diteruskan. Dia tahu Barureksa pasti mengerahkan
banyak tenaga dalam untuk menahan larinya. Dia
akan mengajak kakek itu untuk menentukan siapa
yang lebih kuat bertahan.
Kakek kurus kering itu bukan orang bodoh. Dia
tahu, biar bagaimanapun Sekardati berada di pihak
yang lebih menguntungkan. Keberhasilannya menahan
lari gadis itu pun karena harus mengerahkan seluruh
tenaga dalam. Dan itu tidak bisa dilakukannya terus-
menerus. Sekardati telah memiliki tenaga dalam cukup
tinggi, tambahan lagi jarak antara mereka cukup jauh.
Ini memegang peranan. Kalau kemauan Sekardati di-
ikuti, dia bisa terluka dalam. Oleh karena itu kakek
kurus kering berlaku cerdik.
"Grrrhhh...!"
Sebuah gerengan keras yang penuh pengerahan
tenaga dalam, dikeluarkannya. Dan akibatnya memang
luar biasa. Tidak hanya Sekardati yang menerima pen-
garuhnya, Sangkuni dan bahkan Dewa Arak pun men-
galaminya. Kaki-kaki mereka menggigil karena menda-
dak terasa lemas. Bahkan dada mereka pun tergetar
hebat. Untung saja ketiga orang itu telah memiliki te-
naga dalam kuat, sehingga getaran yang berasal dari
gerengan kakek kurus kering itu tidak menghancurkan
isi dada mereka.
Di antara ketiga orang itu, Dewa Arak yang pal-
ing ringan terkena pengaruhnya. Kesempatan itu di-
pergunakan sebaik-baiknya untuk melesat ke arah
Sangkuni dengan sebuah tamparan ke arah pelipis.
Sehingga membuat pemuda berpakaian biru itu ter-
pental dan terhuyung ketika terpaksa menangkis.
Dewa Arak tidak mempedulikan Sangkuni lagi.
Dia melesat ke arah Barureksa dan mengirimkan ten-
dangan bertubi-tubi. Pada saat yang bersamaan, kakek
kurus kering itu mengibaskan tangan kiri. Sehingga
tubuh Sekardati yang karena pengaruh gerengan tadi
tak bisa mengerahkan tenaga dalam, langsung terbawa
tarikan Barureksa dan terlempar ke arah Sangkuni.
Kemudian dengan cepat sekali tangan Barurek-
sa berkelebat. Secepat itu pula kedua kaki Dewa Arak
telah berhasil dicekalnya. Sekali kakek kurus kering
ini bergerak membanting, tubuh Dewa Arak jatuh ber-
debuk keras di tanah. Untung, pemuda berambut pu-
tih keperakan itu sempat mengerahkan tenaga hingga
tubuhnya tidak luluh lantak.
Barureksa tidak memberikan kesempatan pada
Dewa Arak untuk menolong Sekardati lagi. Dia terus
menyerbu dengan ganas. Dewa Arak terpaksa harus
mengerahkan seluruh kemampuan dan memusatkan
perhatian untuk menghadapi kakek kurus kering ini.
Disadari benar kalau serangan-serangan lawan sangat
membahayakan keselamatannya.
Gluk... Gluk... Gluk...!
Arya langsung menenggak araknya hingga me-
nimbulkan bunyi tegukan ketika arak itu melewati
tenggorokan dalam perjalanan menuju perut. Sesaat
kemudian, pemuda itu telah siap dengan ilmu
'Belalang Sakti'nya.
Di lain pihak, Sekardati telah lemah akibat
pengaruh gerengan yang memang ditujukan padanya.
Tambahan lagi, pengaruh teriakan dan juga kibasan
tangan Barureksa sehingga membuat tubuhnya ter-
lempar, mengakibatkan pusing tak karuan. Tanpa me-
nemui kesulitan Sangkuni yang berada di dekatnya se-
gera dapat melumpuhkan Sekardati. Pemuda itu sege-
ra menotok tubuh Sekardati hingga roboh dan terkulai
lemas.
"Ha ha ha...!"
Sambil memanggul tubuh Sekardati di bahu
kanan, Sangkuni tertawa terbahak-bahak.
"Akan kau lihat dan rasakan sendiri ancaman
yang tadi kukatakan padamu, Gadis Liar!"
Brettt!
Sekardati tidak kuasa untuk menahan jeritan
ketika tangan Sangkuni merenggut bajunya di bagian
dada hingga robek lebar. Dan dua bukit kembar pun
mencuat keluar! Indah, mulus, dan menggiurkan! De-
ngan kasar, Sangkuni langsung meremas-remasnya.
"Keparat! Lepaskan aku! Mari, kita bertarung
sampai mati...!" seru Sekardati yang masih lemah ka-
rena pengaruh totokan.
Sangkuni tidak mempedulikannya sama sekali.
Sambil terus meremas-remas payudara Sekardati de-
ngan kasar dia melesat meninggalkan tempat itu. Se-
panjang perjalanan, di samping meremas-remas dan
menjarah sekujur tubuh Sekardati, dikoyaknya pa-
kaian gadis itu sepotong demi sepotong.
Meskipun tidak melihat kejadian itu, Dewa
Arak dapat mendengarnya. Hal itu membuatnya mera-
sa cemas bukan main. Dia tahu, Sangkuni pasti akan
melaksanakan ancamannya. Pemuda itu sudah seperti
orang yang mempunyai kelainan jiwa. Alias gila!
Dewa Arak hanya bisa menggigit bibir menahan
perasaan geram dan kasihan. Geram pada Sangkuni
dan tak sampai hati terhadap Sekardati. Dia bisa me-
rasakan betapa takutnya hati gadis itu menerima
pembuktian ancaman Sangkuni. Suara-suara lemah
yang keluar dari mulut Sekardati terdengar. Dari uca-
pan bernada tantangan sampai mohon dibunuh saja
daripada dihina seperti itu, telah menjelaskan sega-
lanya pada Dewa Arak yang berada jauh dari gadis itu.
Hati Dewa Arak diiris-iris mendengar semua ke-
luhan Sekardati yang semakin kecil dan pelan tertang-
kap telinganya karena jarak yang semakin jauh. Dan
kemarahan serta kegeraman terhadap Sangkuni itu di-
lampiaskan pada kakek kurus kering. Dewa Arak men-
gerahkan ilmu 'Belalang Sakti' sampai ke puncaknya.
6
Ilmu 'Belalang Sakti' memang merupakan ilmu
mukjizat. Baik bagi pertahanan maupun penyerangan,
sama-sama luar biasa. Dan ini bukan hal aneh karena
guru Dewa Arak, Ki Gering Langit yang memiliki ke-
pandaian tak masuk akal manusia, mengambilnya
sendiri dari alam gaib secara lengkap. Tidak seperti
layaknya ilmu ciptaan manusia pada umumnya.
Namun, betapapun hebatnya ilmu itu, karena
baik dalam hal tenaga maupun ilmu meringankan tu-
buh Arya berada di bawah Barureksa, keampuhan il-
mu itu seakan jadi tertutupi. Memang, sampai sekian
jauh, kakek kurus kering itu belum mampu mema-
sukkan satu pun serangan pada Dewa Arak. Namun
setiap kali serangan Dewa Arak tertangkis, selalu men-
gakibatkan tubuh pemuda itu yang terjengkang ke be-
lakang dan terguling-guling.
Terkadang, serangan Dewa Arak mengenai sa-
saran, baik karena lawan tidak mampu mengelakkan,
atau memang sengaja, tapi tidak menimbulkan akibat
apa pun. Hal itu bukan hanya membuat Dewa Arak
kebingungan dalam menghadapinya, tapi juga menga-
kibatkan kedudukannya kian terdesak hebat. Lawan
kali ini diakuinya benar-benar tangguh. Memiliki ilmu
kebal dan kekuatan yang luar biasa.
Dewa Arak yang tengah dilanda perasaan kalap
karena mengingat nasib Sekardati, mengambil keputu-
san untuk memanggil belalang raksasa di alam gaib
guna mengalahkan lawan yang luar biasa itu. Dia ya-
kin dengan keberadaan binatang gaib itu di dalam tu-
buhnya, lawan akan dapat dikalahkan dan bahkan di-
binasakan.
Plakkk!
Untuk kesekian kalinya terjadi benturan antara
Dewa Arak dan kakek kurus kering yang mengaki-
batkan tubuh pemuda berambut putih keperakan itu
terpental jauh dan terguling. Tangannya dirasakan sa-
kit-sakit dan dadanya sesak untuk menarik napas.
Kakek kurus kering tertawa terkekeh. Kemu-
dian dengan kecepatan yang membuat Arya tercekat
dia menubruk! Arya kaget, tapi dia sudah mantap
mengambil keputusan untuk memanggil belalang rak-
sasa.
Namun sebelum kedua tangan Barureksa ber-
hasil mengenai sasaran, dari belakang Arya, meluncur
sesosok bayangan yang langsung memapaki serangan
kakek kurus kering itu.
Glarrr!
Benturan keras langsung terdengar. Sekitar
tempat itu langsung tergetar hebat. Bahkan getaran-
nya terasa oleh Arya yang masih tergolek di tanah.
Baik tubuh kakek kurus kering maupun sosok yang
menolong Arya sama-sama terjengkang ke belakang.
"Rongga...!" Kakek kurus kering menggeram
marah. "Mengapa kau menghalangi tindakanku?! Apa
kau mengajakku bertarung?!"
"He he he...!" Sosok penolong Arya yang ternya-
ta kakek kecil tertawa terkekeh sambil mempermain-
kan ludahnya. "Siapa menantang siapa, Barureksa?!
Aku melihat adanya sobekan-sobekan pakaian murid-
ku di sini. Katakan, apa yang terjadi dengannya?! Dan
di mana muridku itu, Barureksa?! Aku tahu kau ber-
samanya belum lama ini. Katakan! Ingat, apabila terja-
di sesuatu atas Sekardati jangan salahkan aku kalau
mukamu itu kukencingi!"
"Keparat!" Barureksa yang selalu berwajah mu-
ram, menggeram. "Rupanya kau sudah ingin mampus
Rongga!"
Sebelum kakek kecil yang berwatak kekanak-
kanakan itu menjawab, Dewa Arak lebih dulu menye-
lak
"Sekardati ditawan oleh muridnya, Kek. Dia
akan mengalami penghinaan. Dan..."
"Aku sudah tahu, Anak Muda," potong kakek
kecil dengan muka muram. "Itu memang sudah meru-
pakan garis nasibnya. Tapi, kaulah yang akan men-
gakhiri petualangan keji Sangkuni. Dia akan tewas di
tanganmu. Tapi hati-hatilah, kau akan terlibat salah
paham dengan kakak seperguruan Sekardati. Dia pun
akan menjadi korban kebiadaban Sangkuni kalau kau
tidak bertindak cerdik. Pergilah, temui Sekardati. Ka-
lau nasibnya baik kau mungkin berhasil menyela-
matkannya, dari penghinaan itu."
Dewa Arak ingin memberikan tanggapan, tapi
segera menahannya karena kakek kurus kering yang
tampak sangat murka itu telah melancarkan serangan
terhadap Rongga. Dan pemuda berambut putih kepe-
rakan ini terbelalak ketika melihat serangan Barurek-
sa. Tubuh kakek kurus itu lurus dan menegang kaku
laksana sebatang tombak, meluncur dengan kepala le-
bih dulu ke arah Rongga.
Rongga tertawa terkekeh. Kemudian sekali ka-
kinya digerakkan tubuh kecil itu telah menggelinding
laksana bola ke samping kanan, dan serangan Baru-
reksa mengenai tempat kosong. Namun, dengan kece-
patan tak kalah dengan semula, tubuh kakek kurus
kering itu membalik dan meluncur seperti semula. Per-
tarungan sengit dan unik yang membuat Dewa Arak
mengernyitkan alis karena heran dan tertarik pun ter-
jadi.
Kalau saja tidak mengingat akan nasib Sekar-
dati, Dewa Arak ingin menyaksikan jalannya pertarun-
gan antara dua tokoh yang memiliki kepandaian hebat
itu. Namun, kali ini tidak ada pilihan lain baginya. Ma-
ka, meski dengan perasaan sayang, dia melesat me-
ninggalkan tempat itu untuk menyelamatkan Sekarda-
ti. Tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengikuti jejak
Sangkuni yang membawa kabur Sekardati. Sobekan-
sobekan pakaian gadis berpakaian hijau itu menun-
tunnya untuk menemukan jalan yang harus ditempuh.
Dan sobekan kain berwarna hijau itu terakhir berada
di dekat sebuah semak-semak yang rimbun.
Dengan hati berdebar-debar dan sikap waspa-
da, Dewa Arak menyibak kerimbunan semak-semak
itu. Seketika sepasang matanya langsung membelalak
kaget. Sesaat kemudian buru-buru dipalingkan, kemu-
dian dengan cepat dibuka pakaiannya sendiri. Namun,
ketika hendak melakukan tindakan lanjutan dirinya
tampak kebingungan.
"Maafkan aku, Sekardati," hanya itu yang dapat
diucapkan Dewa Arak dengan suara penuh penyesalan
seraya melangkah maju.
Di hadapan pemuda berambut putih keperakan
itu, dalam jarak sekitar satu tombak tergolek sesosok
tubuh polos yang montok, molek, dan menggiurkan.
Hanya sayangnya berada dalam keadaan mengenaskan
hati. Sosok itu memang Sekardati. Tubuhnya telanjang
bulat penuh luka, baik gigitan maupun cakaran di
berbagai bagian, terutama dada dan paha. Arya segera
dapat mengetahui kalau Sekardati telah diperkosa se-
cara keji!
"A... Arya...," bisik Sekardati lirih dengan bibir
bergetar dan sepasang mata basah
"Sekardati.... Ah... betapa malangnya nasibmu,
Sekardati," ucap Arya masih dengan suara menggigil
karena cekaman perasaan haru dan iba melihat ke-
adaan Sekardati. "Akan kuhancurkan seluruh tubuh si
Keparat Sangkuni!"
Dewa Arak kemudian menghentakkan kedua
tangannya secara bergantian. Sehingga semut-semut
merah besar yang merajalela di atas tubuh Sekardati
berpentalan karena dari kedua tangan pemuda itu ke-
luar angin keras yang membuat mereka beterbangan.
Baru setelah itu, Arya menyelimuti tubuh Sekardati
dengan pakaiannya.
"Terima kasih, Arya," ujar Sekardati lemah.
"Kau baik sekali. Tak salah Sekar Arum mencintaimu.
Dia banyak bercerita dan memuji-muji dirimu."
"Dari mana kau mendapat berita itu, Sekarda-
ti," tanya Arya sambil membopong tubuh Sekardati un-
tuk dibawa menghadap Rongga. Arya tahu keadaan
gadis itu sangat parah, bahkan mungkin sekali tak
akan tertolong.
Di hadapan Dewa Arak, dalam jarak sekitar sa-
tu tombak, tergolek sosok tubuh Sekardati dalam kea-
daan mengenaskan. Tubuhnya telanjang bulat penuh
luka, baik gigitan maupun cakaran di berbagai bagian,
terutama dada dan paha. Semut-semut merah besar
pun merajalela di atas tubuhnya. Melihat ini, Arya sege-
ra tahu kalau Sekardati telah diperkosa secara keji!
"Kami berhubungan dan saling mengirimkan
surat dengan mempergunakan burung merpati. Setiap
kali hendak mengirimkan surat Sekar Arum selalu
meniup suling bambunya untuk memanggil merpa-
tinya. Bukankah suling itu yang akan kau berikan pa-
daku. Suling itu banyak diminati orang, maksudku,
saudara-saudara seperguruan Sekar Arum. Itulah se-
babnya, Sekar Arum memintamu memberikannya pada
mereka."
"Sudahlah, Sekardati. Lebih baik kau istirahat
dulu. Jangan bicara. Akan kucincang Sangkuni!" ucap
Arya memberi nasihat pada gadis berpakaian hijau itu
yang keadaannya memang amat payah, bahkan berbi-
cara pun tampak kesulitan.
"Tidak, Arya. Aku malah ingin banyak bicara
sebelum meninggalkan dunia ini. Aku mengerti men-
gapa Sekar Arum berani berkorban nyawa untukmu.
Kau memang pemuda yang hebat. Arya..., aku cinta
padamu."
Dewa Arak tersentak kaget. Hampir saja tubuh
Sekardati terjatuh dari bopongannya kalau dia tidak
segera menguatkan perasaan.
"Aku tidak main-main, Arya. Tapi..., apa artinya
seorang wanita yang sudah ternoda sepertiku. Aku ti-
dak berharga lagi, Arya. Aku terlalu hina untuk men-
dapatkan cintamu."
"Jangan berkata begitu, Sekardati," ucap Arya
sambil terus mengayunkan kaki. "Bagiku kau tetap
Sekardati yang kukenal sebelumnya. Sekardati yang
lincah dan suci. Aku justru merasa berharga sekali
mendapatkan cinta dari seorang wanita secantik dan
sehebat dirimu. Aku... aku merasa bangga."
"Benarkah itu, Arya?" tanya Sekardati dengan
sepasang mata berbinar-binar penuh perasaan gembi-
ra dan tidak percaya.
"Aku tidak pernah berbohong, Sekardati," ucap
Arya, mantap.
Kemudian dengan lembut dan penuh kasih di-
kecupnya kening Sekardati. Gadis berpakaian hijau itu
pun segera melingkarkan kedua tangannya ke leher
Dewa Arak
Tapi, hanya sebentar saja kedua tangan halus
mulus itu melingkari leher Arya. Sebab, begitu pemuda
berambut putih keperakan itu melangkah dua tindak,
kedua tangan Sekardati terlepas dari leher dan jatuh
terkulai. Seketika Arya menghentikan langkah, karena
tahu apa artinya ini. Dan ketika diperhatikannya Se-
kardati untuk memastikan, nyawa gadis itu telah pergi
meninggalkan raga. Sekardati meninggal dengan mulut
menyunggingkan senyum.
Arya menggertakkan gigi untuk menguatkan
hati melihat kematian Sekardati yang berada dalam
bopongannya. Dadanya terasa sesak oleh isak yang
tertahan di tenggorokan. Sepasang matanya berkaca-
kaca. Kalau saja tidak malu dan lupa akan pantangan,
pemuda berambut putih keperakan ini sudah menan-
gis melolong-lolong mengingat nasib buruk Sekardati.
"Sangkuni...!" Arya berteriak dengan pengera-
han seluruh tenaga dalamnya, menyalurkan keinginan
untuk menangis dalam teriakan keras. "Aku bersum-
pah untuk meluluhlantakkan tubuhmu!"
Kemudian dengan hati penuh gelora amarah,
Dewa Arak melesat cepat menuju tempat Rongga. Ha-
tinya merasa khawatir kalau kakek kecil itu tidak
mampu menanggulangi Barureksa yang memiliki ilmu
tinggi dan kekebalan tubuh yang luar biasa.
•k-k-k
Sementara itu pertarungan Rongga melawan
kakek kurus kering masih terus berlangsung sengit.
Baik, Rongga maupun Barureksa tahu kalau lawan
yang dihadapi merupakan tokoh amat tangguh. Maka
masing-masing pihak segera mengeluarkan seluruh
kemampuannya. Beberapa kali kedua tokoh tua itu
saling melakukan gebrakan. Setiap gebrakan selalu
mengakibatkan tubuh keduanya terhuyung-huyung ke
belakang. Namun segera berdiri berhadapan dalam ja-
rak lima tombak. Kini tampak masing-masing pihak
menggerakkan tangan, melakukan pukulan dan tang-
kisan tapi tanpa bergeser dari tempatnya.
Kelihatannya aneh dan menggelikan, bahkan
mungkin apabila ada orang yang menyaksikan akan
merasa heran. Namun sebenarnya pertarungan dengan
cara ini tidak kalah berbahayanya dengan saling se-
rang dari jarak dekat dan berbenturan satu sama lain.
Bunyi angin menderu dan berdesing mengiringi setiap
gerakan tangan, baik sewaktu melakukan serangan
maupun tangkisan.
Beberapa saat lamanya kedua belah pihak ber-
tarung seperti ini. Kemudian, seperti telah disepakati
sebelumnya, masing-masing saling lompat menerjang
lawan, dengan kedua tangan terbuka dan terjulur ke
depan.
Plakkk!
Di udara, kedua pasang tangan itu berbenturan
dan saling melekat. Dengan kedua tangan saling me-
nempel, tubuh kedua tokoh tua itu meluncur turun
dan menjejak tanah. Dan di sini pertarungan yang le-
bih menegangkan kembali berlangsung. Sekarang,
Rongga dan Barureksa mengadu tenaga dalam secara
langsung. Sebuah pertarungan yang diakui oleh kedua
belah pihak sebagai pertarungan sangat berbahaya.
Karena, baik yang kalah maupun yang menang akan
mengalami kerugian. Yang kalah tewas, sedangkan
yang menang pun tidak akan luput dari luka dalam
amat parah, paling tidak cacat seumur hidup! Ini dis-
ebabkan kedua kakek sakti itu memiliki tenaga dalam
hampir setaraf.
Semula keadaan kedua belah pihak sama. Na-
mun beberapa saat kemudian terlihat wajah Rongga
penuh dibanjiri keringat sebesar biji-biji jagung. Uap
tebal mengepul dari atas kepalanya. Sementara itu Ba-
rureksa, meskipun juga penuh keringat di wajah, tapi
uap yang mengepul di kepalanya hanya tipis!
Pada saat menegangkan ini, Dewa Arak yang
membopong Sekardati, tiba di tempat pertarungan.
Dan hanya dengan sekali lihat, dirinya langsung tahu
kalau kekhawatirannya terbukti. Rongga ternyata tetap
tidak mampu menghadapi Barureksa yang mengeri-
kan.
Dengan perasaan gelisah, Dewa Arak menu-
runkan tubuh Sekardati dan menyaksikan jalannya
pertarungan. Dia tahu tidak ada yang bisa dilakukan-
nya saat ini. Pertarungan yang terjadi berupa adu te-
naga dalam antara dua tokoh yang memiliki tenaga da-
lam di atasnya. Apabila memaksakan untuk memisah-
kan pun hanya akan mencelakai dirinya sendiri. Tena-
ga dalam kedua kakek itu akan menghantamnya, dan
akibatnya dia akan tewas dengan seluruh isi dada
hancur berantakan.
Kecemasan Arya semakin menjadi-jadi ketika
melihat kedua tangan Rongga tampak mulai menggigil.
Uap yang menguap di atas kepalanya semakin meneb-
al. Barureksa rupanya tahu hal itu. Dia berniat mem-
berikan pukulan terakhir yang mematikan lawan, atau
paling tidak terluka dalam amat parah sedangkan di-
rinya tidak mengalami kerugian sedikit pun. Kalau pu-
kulan terakhir tidak dilakukan, dan adu tenaga ini di-
teruskan, memang dirinya akan keluar sebagai peme-
nang dengan menewaskan Rongga. Namun dia tetap
tidak akan terhindar dari luka dalam yang parah, ka-
rena Barureksa merasakan tenaganya mulai mengen-
dur.
"Grrrhhh...!"
Barureksa mengeluarkan suara menggereng ke-
ras dari tenggorokannya. Dan seketika terdengar bunyi
menggelogok dari mulut Rongga disusul dengan me-
nyemburnya darah segar. Tapi sialnya, semburan da-
rah itu justru mengancam wajah Barureksa.
Karuan saja Barureksa kelabakan karena tidak
menyangka akan terjadi hal seperti itu. Ditariknya tu-
buhnya ke belakang untuk menghindarkan semburan
darah dari mulut lawan. Dia khawatir semburan darah
itu mengenai mata. Meskipun hanya percikan tapi da-
rah yang keluar dari mulut Rongga tidak ubahnya
sambaran senjata rahasia. Apabila mengenai mata bisa
mengakibatkan kebutaan seketika.
Pada saat yang bersamaan tubuh Rongga pun
terjengkang ke belakang akibat pengaruh gerengan
menggelegar tadi. Namun, kakek kecil ini memang
memiliki banyak ilmu aneh yang mengandung gera-
kan-gerakan tidak lumrah. Tubuhnya yang terjengkang
ke belakang, justru dimanfaatkan untuk membarengi
dengan totokan kedua ibu jari kakinya ke arah wajah
lawan.
Barureksa mengeluarkan keluhan tertahan. Se-
rangan Rongga sama sekali tidak disangkanya. Selain
itu gerakannya berlangsung begitu cepat, sehingga Ba-
rureksa yang tengah kelabakan mengelakkan sem-
buran darah, tak sempat menangkis dan menghindar.
Meskipun demikian, Barureksa masih berusaha
keras untuk mengelak. Namun....
Jrot, jrot...!
Barureksa meraung laksana binatang buas ter-
luka, ketika ibu jari kaki Rongga, mengenai biji ma-
tanya. Tak pelak lagi, kedua matanya langsung pecah!
Seketika itu pula tubuh Barureksa yang hanya menge-
nakan celana pendek kumal itu terhuyung-huyung.
Darah segar membasahi kedua pipinya. Kepalanya ter-
getar-getar seperti menahan rasa sakit yang hebat.
"Cepat sudahi riwayatnya...! Jangan biarkan dia
lolos...!" seru Rongga pada Dewa Arak.
Dewa Arak tidak mau membuang waktu lagi.
Dia sadar kakek kecil itu lebih tahu daripada dirinya
mengenai keadaan Barureksa. Perintah itu tanpa ragu-
ragu langsung dilaksanakannya. Pemuda berambut
putih keperakan itu segera mengirimkan serangan
dengan sebuah sampokan ke arah pelipis.
Barureksa yang masih meraung-raung mena-
han rasa sakit, rupanya sempat juga merasakan
adanya bahaya mengancam. Maka tangan kirinya dige-
rakkan untuk menangkis.
Prattt!
Tubuh Arya terpelanting ke belakang. Tapi, ka-
kek kurus kering itu pun terhuyung-huyung dan ham-
pir jatuh. Dan hal ini membuat Dewa Arak girang da-
lam hati. Kenyataan itu menunjukkan padanya kalau
Barureksa tidak setangguh sebelumnya. Mungkin ka-
rena pengaruh luka, dan karena telah terkuras tenaga
dalamnya selama pertarungan habis-habisan melawan
Rongga. Sekarang Arya mengerti mengapa Rongga me-
nyuruhnya segera bertindak.
Karena itu, tanpa mempedulikan rasa sakit
yang mendera tangannya Dewa Arak langsung melon-
tarkan serangan gencar bertubi-tubi dengan kedua ka-
kinya. Namun seperti semula, meskipun telah buta,
Barureksa masih mampu melakukan tangkisan secara
tepat. Sayangnya satu di antara serangan itu tidak da-
pat ditangkis, dan mengenai pangkal paha kanannya.
Hampir Arya bersorak penuh perasaan gembira
ketika melihat tubuh Barureksa terpental ke belakang.
Bukan terpentalnya itu yang membuatnya gembira,
melainkan jeritan kesakitan yang keluar dari mulut ka-
kek kurus kering itu. Ini menandakan kalau Barureksa
sudah tidak kebal lagi, sehingga tendangan Dewa Arak
membuatnya merasa sakit.
Hasil serangannya membuat Dewa Arak sema-
kin bersemangat. Tanpa membuang-buang waktu se-
gera digunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya. Kemudian
pemuda berambut putih keperakan itu mengamuk se-
cara dahsyat.
Namun, meskipun sepasang matanya telah bu-
ta dan keadaan tubuhnya telah lelah sehingga tenaga
dalamnya merosot jauh, Barureksa tetap merupakan
lawan yang amat tangguh. Apalagi ilmunya aneh-aneh.
Karena itu, meski Dewa Arak telah menggunakan ilmu
andalan 'Belalang Sakti', tetap mengalami kesulitan
untuk merobohkannya.
Wuttt!
Ketika Barureksa melemparkan tubuh ke bela-
kang untuk mengelakkan serangan ayunan guci Dewa
Arak, pemuda berambut putih keperakan itu segera
menyusulinya dengan serangan jurus 'Pukulan Bela-
lang'. Tidak hanya sekali, melainkan bertubi-tubi dan
gencar sekali. Dewa Arak tidak ingin serangannya gag-
al.
Bresss!
Barureksa mengeluarkan jeritan menyayat hati,
ketika salah satu dari beberapa pukulan jarak jauh
yang dilepaskan Dewa Arak menghantam telak da-
danya. Seketika, samar-samar pada bagian yang ter-
hantam, seperti timbul nyala api. Tubuh kakek kurus
kering itu pun melayang ke belakang. Kemudian ter-
cium bau amis seperti daging terbakar. Tokoh tua yang
memiliki daya kekebalan tubuh serta ilmu tinggi itu se-
ketika tewas. Tubuhnya yang kurus tanpa baju meng-
gelepar sesaat di atas tanah berumput.
Arya menghapus keringat yang membasahi wa-
jahnya dengan punggung tangan. Sekilas dipandan-
ginya mayat Barureksa sebelum mengalihkan perha-
tiannya pada si Kakek Kecil, Rongga.
"Kau hebat, Dewa Arak. Tidak mengecewakan,"
ucap kakek kecil itu tanpa bangkit dari bergoleknya di
tanah.
"Kalau tidak ada kau, mana mungkin aku bisa
membunuhnya, Kek," ujar Arya memuji seraya me-
langkah menghampiri Rongga. Dewa Arak tahu kalau
guru Sekardati itu bukannya tidak mau bangkit, tap
karena memang tidak mampu. Luka-lukanya terlam-
pau parah. Bahkan untuk berbicara pun dia kelihatan
sangat parah. Arya tahu, nyawa kakek kecil ini tidak
akan bisa diselamatkan. Meskipun demikian, dia sege-
ra menghampirinya dan menyalurkan hawa murni un-
tuk mengurangi penderitaan Rongga, di samping un-
tuk menguatkannya.
"He he he...! Bagus...! Bagus...! Memang ini
yang kutunggu darimu, Dewa Arak. Aku belum ingin
mati. Bukankah kita belum menuntaskan permainan
tempo hari?!"
Arya tidak bisa menyambutnya karena segera
tenggelam dalam kesibukan menyalurkan hawa mur-
ninya. Cukup lama juga, sebelum akhirnya usaha itu
dihentikan. Kemudian dihapusnya peluh yang memba-
sahi kening dan lehernya.
"Kau memang pendekar tulen, Dewa Arak. Se-
karang agak lega rasanya dadaku."
Arya tahu kalau kakek kecil ini tidak berbo-
hong. Dilihatnya sendiri Rongga sudah tidak begitu
payah lagi ketika berbicara, bahkan dia telah mampu
untuk duduk. Namun Arya tahu, seperti juga kakek
kecil itu tahu, kalau hal ini hanya berlangsung seben-
tar saja. Kakek kecil itu tetap akan pergi ke alam baka.
"Ada satu hal yang masih merupakan teka-teki
bagiku, Kek," ucap Arya cepat menyadari waktu yang
dimiliki kakek kecil itu terbatas. "Mengapa kekebalan
Barureksa tidak terlihat lagi. Apakah ini karena dia
terluka atau lelah?"
"He he he...!" Rongga tertawa terkekeh. Ru-
panya tawa merupakan bagian dari kebiasaannya.
"Bukan, Dewa Arak. Rahasia kekebalannya ada pada
mata. Apabila matanya terluka, atau buta, kekebalan-
nya pun musnah. Sudahlah, untuk apa kau pusingkan
masalah itu. Lebih baik kita teruskan permainan yang
tertunda. Ah, sama sekali tidak kusangka kalau aku
pergi bersamaan dengan muridku."
Rongga menoleh ke arah mayat Sekardati. Arya
tahu, kakek kecil ini amat berduka dengan kematian
muridnya yang demikian mengenaskan, meskipun ke-
sedihannya itu tersembunyi dalam sikapnya yang sela-
lu dipenuhi gelak tawa.
"Aku mempunyai dua buah tebakan, Dewa
Arak. Apabila kau berhasil menebak, aku tidak akan
mengajukan permohonan apa pun padamu. Tapi, ka-
lau kau tidak bisa menjawab, kau harus memenuhi
permintaanku. Bagaimana, adil kan, peraturan yang
kubuat?"
Dewa Arak hampir tertawa mendengar peratu-
ran Rongga. Bagaimana bisa adil kalau taruhannya
hanya sepihak? Tapi, karena mengetahui watak kakek
kecil yang memang aneh, tambahan lagi usianya yang
sudah tidak lama lagi, Arya tidak sampai hati untuk
membantah.
"Sangat adil, Kek," jawab Arya dengan suara
sungguh-sungguh.
"Bagus! Sekarang dengarkan pertanyaanku
baik-baik! Apa bedanya kacang panjang dengan celana
panjang?! Ayo, cepat jawab!" ucap kakek kecil itu de-
ngan sepasang mata tampak berbinar-binar laksana
seorang anak kecil yang merasa gembira karena yakin
kalau pertanyaannya tak akan bisa terjawab.
7
Arya mengerutkan alis. Hampir dia tertawa
mendengar pertanyaan yang dianggapnya aneh dan
remeh untuk dipermasalahkan oleh orang dewasa,
apalagi tokoh persilatan seperti mereka. Namun ketika
teringat kalau Rongga memiliki watak tak ubahnya
anak kecil, Arya kembali memusatkan pikiran untuk
memecahkan jawaban bagi pertanyaan yang keliha-
tannya remeh itu.
"Sebuah pertanyaan sederhana dan mudah ja-
wabannya, Kek," ucap Arya tenang dan penuh keyaki-
nan. "Kau pasti kalah. Nah, dengarkan jawabanku
baik-baik! Perbedaan antara kacang panjang dengan
celana panjang adalah, kalau kacang panjang bisa di-
makan sedangkan celana panjang tidak."
"He he he...!" Rongga terkekeh penuh kemenan-
gan. "Jawabanmu memang benar, Dewa Arak tapi ti-
dak tepat untuk jawaban bagi pertanyaan ini."
"Kalau begitu, pasti karena celana panjang na-
ma pakaian sedangkan kacang panjang jenis sayuran,"
jawab Aiya lagi.
"Masih salah!"
"Habis... apa jawabannya, Kek? Aku menyerah,"
ucap Arya, mengalah.
Dengan sikap penuh kemenangan, Rongga me-
natap Arya.
"Dengarkan jawaban pertanyaan ini, Dewa
Arak. Beda antara celana panjang dengan kacang pan-
jang. Kalau kacang panjang sungguhpun dipotong
pendek-pendek tetap bernama kacang panjang, se-
dangkan celana panjang apabila dipotong menjadi ce-
lana pendek. Jawabannya tepat dan sesuai dengan
pertanyaannyakan?"
Mau tidak mau Arya mengangguk-anggukkan
kepala membenarkan jawaban yang diberikan kakek
kecil itu.
"O ya, Dewa Arak." Kali ini sikap kakek kecil ini
tampak sungguh-sungguh sehingga Dewa Arak menja-
di tertarik dan memperhatikan baik-baik. "Andaikata
sekarang kita berdua berjalan bersama kemudian di
tengah perjalanan bertemu dengan setumpuk tai kuda
maukah kau membagi dua denganku?"
"Tentu saja tidak, Kek!" jawab Arya, cepat.
"Astaga...! Tidak kusangka kau penggemar tai
kuda, Dewa Arak, sehingga mau menyerakahinya sen-
diri," ucap kakek kecil itu kalem tapi dengan nada geli
dan penuh kemenangan.
Arya melongo, berpikir sejenak sebelum berha-
sil mendapatkan jawaban kalau pertanyaan kakek itu
dimaksudkan untuk menjebaknya. Dan pemuda be-
rambut putih keperakan itu ikut tertawa geli kare-
nanya.
Sesaat kemudian, suasana di tempat itu dipe-
cahkan oleh dua buah tawa, tawa Arya dan Rongga.
Namun tak berapa lama, tawa kakek kecil diganggu
oleh batuk-batuk kecil. Napasnya kemudian memburu
secara cepat. Baik Arya maupun kakek kecil itu tahu
kalau saat perpisahan antara mereka untuk selama-
lamanya akan segera tiba.
Arya pun menghentikan tawa.
"Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan, Kek?"
tanya Arya hati-hati.
"Seperti yang pernah kukatakan tadi, Dewa
Arak. Kuharap kau berhati-hati, karena kau akan ter-
libat salah paham dengan kakak seperguruan Sekarda-
ti. Kau mengenalnya, kan? Dan apabila mungkin kuin-
gin kau membantunya untuk mendapatkan obat yang
dapat menyembuhkannya. Kau tahu kan penyakit
dia?" Dewa Arak menggelengkan kepala.
"Hhh...!" Rongga menghela napas berat. "Karena
kesalahan dalam mempelajari sebuah ilmu, dia beru-
bah menjadi seorang nenek. Tapi wujudnya akan kem-
bali seperti sediakala apabila memakan otak manusia.
Kasihan dia.... Padahal, dulu, sebelum mempelajari il-
mu itu pernah aku memperingatkannya, bahwa ting-
katan ilmunya belum cukup. Tapi dia memang berke-
ras hati. Sifatnya hampir mirip dengan Sekardati. Dan
itulah hasilnya.... Maklumlah, ilmu-ilmu ciptaanku
memang bukan ilmu-ilmu bersih. Kau mengerti...?"
Dewa Arak hanya mengangguk-anggukkan ke-
pala.
"Nah! Dengan obat yang berhasil diciptakan
oleh Kencana Wungu, penyakitnya akan dapat disem-
buhkan. Tapi sayangnya, bukan hanya dia yang men-
ginginkan obat itu. Banyak tokoh persilatan lain men-
carinya. Seperti halnya Kencana Wungu sendiri mau-
pun Sangkuni. Obat-obatan buatan Kencana Wungu
itu memang banyak gunanya. Itulah sebabnya aku dan
Barureksa keluar dari tempat persembunyian untuk
mendapatkan obat itu. Obat panjang usia.... Selamat
tinggal, Dewa Arak...!" Tiba-tiba kepala kakek kecil
yang lucu dan berilmu tinggi ini pun terkulai ketika
nyawanya melayang meninggalkan raga.
Arya menghela napas berat. Kemudian dibuat-
nya dua buah lubang kuburan untuk Rongga dan Ba-
rureksa berdampingan. Kemudian setelah itu dibo-
pongnya Sekardati untuk dikuburkan di pemakaman
keluarga gadis ini. Akan dibaringkannya Sekardati
berdekatan dengan ayah dan adiknya.
Sebuah perjalanan yang membutuhkan waktu
cukup lama, bahkan mungkin lebih dari dua hari. Un-
tung Arya memiliki obat untuk mengawetkan tubuh
Sekardati agar tidak keburu berbau di tengah jalan.
kkk
Baru sehari melakukan perjalanan, ketika me-
lintasi sebuah hamparan padang pasir yang luas dan
berbukit-bukit, Dewa Arak melihat dua sosok tengah
terlibat dalam pertarungan sengit. Meskipun jaraknya
masih cukup jauh, tapi karena ciri-ciri salah satu pi-
hak amat menyolok, Arya langsung dapat memperkira-
kannya. Sosok yang satu itu kakak seperguruan Se-
kardati. Pakaian merah yang dikenakan langsung
membuat pemuda berambut putih keperakan itu bisa
mengenalinya.
Dewa Arak pun semakin mempercepat larinya.
Meskipun jaraknya masih jauh, dirinya tahu kalau la-
wan yang dihadapi kakak seperguruan Sekardati yang
bernama Anyelir itu memiliki kepandaian tinggi.
Hal itu bisa diketahui Arya dari serunya perta-
rungan yang berlangsung di kejauhan.
Begitu semakin dekat, Dewa Arak tidak merasa
heran mengapa lawan Anyelir memiliki kepandaian
tinggi. Ternyata lawan kakak seperguruan Sekardati
itu tidak lain Kencana Wungu, pimpinan gerombolan
Pasukan Iblis Neraka yang dulu pernah mengganas,
melihat hal ini, Arya pun semakin mempercepat lari-
nya.
Tak lama kemudian, pemuda yang tanpa men-
genakan baju ini telah berada dekat dengan mereka.
Dan sekarang dia bisa melihat adanya sosok yang se-
mula tidak dilihatnya.
"Sosok itu tak lain si Kakek Berkepala Botak,
tapi kenapa dia tergeletak di tanah?" tanya Arya dalam
hati. "Tewaskah dia? Kalau tewas siapa yang telah
membunuhnya? Bukankah kakek botak itu memiliki
kepandaian tinggi pula? Bahkan mungkin tidak kalah
dengan Kencana Wungu."
Plak, plakkk!
Benturan keras yang terjadi ketika kedua belah
pihak saling beradu tangan secara keras membuat tu-
buh kedua wanita yang berbeda usia itu sama-sama
terhuyung ke belakang. Kejadian itu membuat Kenca-
na Wungu dan Anyelir melihat keberadaan Dewa Arak
di situ.
Baik Kencana Wungu maupun Anyelir tampak
kaget melihat kehadiran pemuda itu. Perasaan geram
dan kebencian pun tercampur di sana.
"Sekardati...!" seru Anyelir ketika melihat sosok
yang dipondong Dewa Arak yang bertelanjang baju.
Nada suara gadis berpakaian merah itu menyiratkan
keterkejutan dan kekagetan, juga kemarahan. "Benar,
dia Sekardati...."
"Kalau begitu, kau harus tujuh kali mampus
untuk menebus semua dosa-dosamu, Manusia Keji!"
Setelah berkata demikian, memotong ucapan
Arya, Anyelir langsung menubruk maju. Kedua tangan-
nya meluncur deras ke arah Dewa Arak dengan sam-
pokan bertubi-tubi ke arah kepala dari kanan kiri de-
ngan mengeluarkan bunyi mengaung keras.
"Anyelir...! Tunggu dulu...! Aku...!" Arya terpak-
sa menghentikan ucapannya karena serangan Anyelir
telah meluncur ke arahnya. Dia tak ingin mati konyol,
maka langsung merendahkan tubuh hingga serangan
bertubi-tubi Anyelir lewat di atas kepalanya. Namun
Anyelir memang hebat, dia langsung mengirimkan se-
rangan susulan dengan sebuah tendangan kanan-kiri
secara gencar ke arah kepala Arya yang tengah me-
nunduk.
Kali ini Arya terpaksa melempar tubuh ke bela-
kang, bersalto beberapa kali di udara untuk terus
menjauh karena Anyelir tidak memberikan kesempa-
tan dan terus mengejarnya sambil menghujani dengan
serangan-serangan berbahaya. Untuk ketiga kalinya,
pemuda berambut putih keperakan ini bertarung den-
gan Anyelir.
Dewa Arak benar-benar kerepotan. Adanya tu-
buh Sekardati dipondongan membuatnya kurang lelu-
asa. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak
mungkin mengirimkan serangan dengan kedua tangan.
Yang dapat dilakukannya hanya mengelak. Memang,
dapat melancarkan serangan dengan mempergunakan
kaki, tapi menghadapi Anyelir dengan kaki saja sama
dengan mencari mati konyol!
Akibatnya hanya dalam beberapa gebrakan,
Dewa Arak sudah terdesak hebat.
Sementara Kencana Wungu yang melihat Any-
elir telah terlibat dalam pertarungan dengan Dewa
Arak, segera mempergunakan kesempatan sebaik-
baiknya untuk melesat kabur. Mumpung kedua lawan
tangguh itu tengah sibuk cakar-cakaran. Menunggu
lebih lama di tempat itu hanya mencari penyakit. Ken-
cana Wungu tahu banyak tokoh yang menginginkan-
nya untuk mendapatkan ramuan-ramuan hasil cip-
taannya. Dia tidak takut, baik pada Anyelir maupun
Dewa Arak tapi dia terlalu cerdik untuk menuruti ke-
kerasan hatinya. Karena sikap itu akan membuatnya
kemungkinan besar kehilangan ramuan-ramuannya.
Kencana Wungu tahu, pertarungan dengan sa-
lah seorang di antara mereka saja akan membutuhkan
waktu cukup lama baginya untuk memperoleh keme-
nangan, itu andaikata berhasil menang. Dan waktu la-
ma itu cukup untuk membuat banyak lawan tangguh
berdatangan. Kencana Wungu ngeri kalau memikirkan
kakek kurus kering, Barureksa. Dia merasa kapok. Itu-
lah sebabnya, di saat Arya dan Anyelir sibuk ber-
tarung, dia melarikan diri.
Hanya dalam beberapa kali lesatan, tempat
Dewa Arak dan murid Rongga bertarung, sudah tidak
terlihat lagi. Namun Kencana Wungu tidak menjadi be-
sar hati, melainkan terus berlari. Tak lama kemudian,
dia telah memasuki daerah yang berbatu-batu cadas.
"Terburu-buru sekali, Kencana Wungu? Hendak
ke mana, sih?!"
Sebuah suara membuat Kencana Wungu yang
tengah gelisah, terjingkat kaget bagai disengat kala-
jengking. Segera ditolehnya kepalanya ke arah kiri
tempat banyak gundukan batu-batu besar. Beberapa
di antaranya sebesar rumah!
Dan di salah satu gundukan batu yang besar-
nya tak kalah dengan seekor gajah besar, tampak ber-
tengger duduk berjongkok sesosok tubuh berpakaian
biru. Pemuda berwajah tirus, Sangkuni!
"Kau...?!"
Ucapan Kencana Wungu tercekat di tenggoro-
kan, penuh perasaan gentar dan jerih. Sepasang ma-
tanya beredar berkeliling, seperti mencari-cari sesuatu
di situ.
"Tidak usah khawatir, Kencana Wungu. Guru-
ku tak ada di sini. Di tempat ini yang ada hanya kita
berdua, kau dan aku!" ujar Sangkuni yang tahu pe-
nyebab sikap nenek berhidung melengkung itu.
Mendengar ucapan ini, dan tahu kalau ucapan
itu bisa dipercaya, Kencana Wungu berbesar hati. Me-
mang, dia tidak merasa takut terhadap Sangkuni. Yang
ditakutinya hanya Barureksa seorang. Dia tahu, apabi-
la ada kakek kurus kering di sini, dirinya tak akan bisa
berdaya sama sekali.
"Sungguh berani mati kau menghadang jalan-
ku, Anak Muda!" tandas Kencana Wungu, yakin kalau
dirinya akan bisa mengungguli murid Barureksa itu.
Nenek berhidung melengkung itu mengelua-
rkan ucapan sambil mengayunkan kaki menuju se-
buah gundukan batu sebesar rumah, meletakkan
mayat kakek botak yang sejak tadi dipanggulnya.
"Rupanya kau merasa yakin akan dapat menga-
lahkanku dengan keberhasilanmu tempo hari, Nenek
Sombong?!"
Bersamaan keluarnya ucapan itu, Sangkuni
melompat dari atas gundukan batu. Untuk sesaat tu-
buhnya melayang-layang di udara laksana seekor bu-
rung sebelum akhirnya turun dan menjejak tanah.
"Kali ini kau tidak akan seberuntung dulu,
Anak Muda!"
Belum hilang gema ucapannya, Kencana Wun-
gu telah melancarkan serangan terhadap Sangkuni.
Sepasang anak panah di tangannya meluncur bertubi-
tubi ke arah berbagai bagian tubuh pemuda berpa-
kaian biru itu dengan mengeluarkan bunyi bercicitan
nyaring.
Namun Sangkuni bukan lawan lemah. Golok
merah di pinggang segera dikeluarkan, diputar laksana
kitiran untuk memapas perjalanan anak-anak panah
itu.
Trak, trakkkk!
Kencana Wungu menggeram keras ketika se-
rangannya berhasil dipatahkan. Dengan tak kalah ga-
nas serangan susulan segera dilancarkan. Dan anak
panahnya seakan lenyap berubah sinar kecoklatan
yang tidak jelas bentuknya. Kedua panah itu meluncur
ke berbagai bagian tubuh Sangkuni laksana kilat me-
nyambar. Pertarungan sengit pun berlangsung begitu
dahsyat
Kencana Wungu melancarkan serangan sambil
memekik-mekik nyaring penuh kemarahan. Tindakan-
nya mencerminkan dendam terpendam terhadap
Sangkuni. Terbayang kembali di benak nenek berhi-
dung melengkung itu kejadian yang menyebabkan ka-
kek botak, yang tak lain suaminya, tewas.
kkk
"Keparat! Siapa pun adanya orang itu, apabila
bertemu akan merasakan sendiri hukuman dariku,
Sangkuni! Dia akan menyesal seumur hidup berani
mencampuri urusanku!" tandas nenek berhidung me-
lengkung penuh perasaan geram ketika melihat sosok
berpakaian hijau lenyap. Hal itu terjadi setelah benda
bulat yang dilemparkan itu meledak dan menimbulkan
asap tebal.
Sangkuni mengalihkan pandangan ke arah
Kencana Wungu. Pada saat yang bersamaan nenek
berhidung melengkung itu tengah menatapnya pula.
Mereka berdua saling tatap sejenak.
"Biarlah...!" Sangkuni mengeluarkan ucapan
yang lebih mirip desahan. "Biarlah sekarang Dewa
Arak lolos dari tanganku, tapi ada orang yang akan
menggantikannya menerima kematian saat ini. Kau,
Kencana Wungu!"
Kencana Wungu seketika melangkah mundur.
Nenek berhidung melengkung itu langsung memasang
sikap waspada dan siap tempur.
"Sebenarnya..., mengapa kau demikian mem-
benciku, Anak Muda?! Sepanjang pengetahuanku, aku
tak pernah bermusuhan denganmu. Jangankan berta-
rung bertemu pun baru kali ini! Lalu, bagaimana
mungkin kita bisa bermusuhan. Mungkinkah kau sa-
lah mengenal orang!"
"Tidak, Kencana Wungu!" Sangkuni mengge-
lengkan kepala, keras. "Aku tidak salah. Kau memang
salah satu di antara sekian banyak musuh besarku.
Salah seorang yang telah menyebabkan seseorang yang
kusayangi tewas! Kau harus menerima akibatnya."
Sangkuni langsung melompat menerjang Ken-
cana Wungu. Golok merah di tangannya ditusukkan
cepat ke arah leher. Namun, kandas karena nenek
berhidung melengkung itu berhasil menangkalnya
dengan jepitan batang anak panahnya.
Sangkuni menyusulinya dengan sebuah ten-
dangan kaki kanan ke arah dada agar Kencana Wungu
melepaskan jepitan terhadap goloknya. Dan usahanya
tidak sia-sia. Kencana Wungu melempar tubuh ke be-
lakang untuk menghindarkan tendangan yang mampu
menghancurkan tulang-belulang dan juga isi dadanya
itu. Sangkuni memburu, hingga pertarungan sengit
berlangsung secara cepat
Berbeda dengan Sangkuni, Kencana Wungu
bertarung dengan adanya beban batin di hatinya. Dia
tidak ingin bertempur dengan siapa pun saat-saat se-
karang ini. Jangankan bertempur, bertemu pun diusa-
hakannya tidak terjadi. Nenek berhidung melengkung
ini mengkhawatirkan keselamatan ramuan-
ramuannya. Maka begitu bertarung beberapa gebra-
kan, dia melarikan diri setelah terlebih dulu melem-
parkan jarum-jarum beracun untuk menghadang pen-
gejaran Sangkuni. Dengan mengandalkan lebatnya hu-
tan dan dipenuhi pepohonan dan semak-semak belu-
kar, Kencana Wungu berhasil meloloskan diri dari
pengejaran Sangkuni.
Kencana Wungu berlari melalui tempat-tempat
yang sulit untuk dilalui. Melalui celah-celah pohon, ke-
rimbunan semak-semak, kumpulan anak duri yang
menghadang. Itu semua diterjangnya agar Sangkuni
tidak dapat menemukannya. Bukan karena Kencana
Wungu takut, tapi khawatir kalau pertempurannya de-
ngan pemuda berpakaian biru itu akan mengundang
munculnya tokoh-tokoh persilatan lainnya. Dan itu be-
rarti, bahaya bagi keselamatan ramuan-ramuannya.
"Ikh...!"
Namun tanpa sadar Kencana Wungu terpekik
kaget. Dia yang tengah sibuk memperhatikan kanan-
kiri dan belakang karena takut ada orang yang meli-
hatnya, jadi tanpa sadar mengeluarkan pekikan ketika
pandangannya diarahkan ke depan. Dalam jarak seki-
tar satu tombak terpampang pemandangan yang
menggetarkan hati.
Dekat pohon beringin tampak sesosok tubuh.
Anehnya dia berdiri dengan kepala, tidak dengan kaki.
Berdirinya pun bukan di tanah melainkan di hampa-
ran tengkorak kepala manusia yang disusun teratur.
Bagian terbawah berisi lebih banyak daripada atasnya.
Makin ke atas makin sedikit. Sampai di tempat paling
atas hanya ada sebuah tengkorak kepala manusia.
Dan pada tengkorak ini, kepala sosok itu bertengger.
Tenang. Tidak oleng maupun bergetar sedikit pun.
Semula Kencana Wungu tidak bisa mengetahui
secara persis siapa sosok yang berdiri secara aneh dan
di tempat yang aneh pula itu. Kedudukan tubuh itu
yang membuat nenek berhidung melengkung tidak da-
pat segera mengenalinya. Namun ketika akhirnya ber-
hasil mengenali setelah memperhatikan lebih teliti,
jantung Kencana Wungu seperti berhenti berdenyut.
Tanpa sadar Kencana Wungu melangkah mundur den-
gan wajah berubah hebat.
Sosok yang berdiri secara aneh itu ternyata
adalah kakek kurus kering yang tak lain Barureksa!
Kencana Wungu sampai menahan napas agar tidak
terdengar atau diketahui Barureksa keberadaannya di
situ. Diam-diam dia menyesal sekali mengapa harus
lari dari Sangkuni. Ini namanya kabur dari mulut anj-
ing tapi masuk dalam mulut macan lapar!
Kencana Wungu membalikkan tubuh dengan
hati-hati bermaksud melarikan diri dari kakek kurus
kering yang diketahui memiliki kepandaian luar biasa
itu. Dan ketika telah beberapa langkah tidak ada gera-
kan dari Barureksa, dia melesat cepat dari tempat itu
dengan hati lega. Aman, pekiknya dalam hati.
Tapi, jantungnya yang semula telah tenang itu
kembali berdetak kencang ketika melihat sesosok tu-
buh yang berada jauh di depannya. Sosok itu seperti
juga sosok yang tadi ditemuinya, berdiri dengan kaki di
atas. Hanya bedanya tidak di atas tumpukan teng-
korak, melainkan sebatang tongkat kecil yang terhun-
jam di tanah. Ujung tongkat itu berada setengah tom-
bak dari permukaan tanah.
Jantung Kencana Wungu berdebar keras ketika
mengetahui sosok yang berdiri di atas batang tongkat
itu ternyata Barureksa! Nenek berhidung melengkung
itu terkejut bukan kepalang melihat hal ini. Bukankah
Banureksa tengah sibuk dengan dirinya yang aneh, ta-
pi mengapa bisa berada di depannya tanpa diketahui
kapan bergerak dan bagaimana hal itu dilakukan.
Perasaan penasaran membuat nenek berhidung
melengkung itu kembali ke tempat semula, dilihatnya
kakek kurus kering berdiri dengan kepala di atas tum-
pukan tengkorak. Dan hatinya terkejut bukan kepa-
lang ketika melihat sosok itu ada! "Apakah pandan-
ganku tidak tertipu?" tanya Kencana Wungu di dalam
hati. Berarti ada dua sosok kakek kurus kering! Seba-
gai tokoh yang telah banyak pengalamannya, Kencana
Wungu langsung mengetahui kalau hanya ada satu so-
sok yang asli! Dipertimbangkannya, masak-masak ma-
na kemungkinan sosok yang asli dari kakek kurus ker-
ing itu.
Sebagai seorang tokoh yang memiliki kepan-
daian tinggi, Kencana Wungu tahu kalau saat itu dia
menyerang sosok yang asli, apabila mengenai sasaran
kemungkinan besar Barureksa akan tewas!
Kencana Wungu cukup lama mempertimbang-
kannya karena tidak ingin gagal. Dia berpikir, Baru-
reksa pasti akan memilih tempat yang lebih tersem-
bunyi untuk melindungi keselamatannya, dan tubuh
palsunya pasti terletak di tempat terbuka, yang gam-
pang dilihat orang.
Setelah mempertimbangkannya baik-baik, Ken-
cana Wungu menghentakkan kedua tangannya ke de-
pan ke arah sosok Barureksa yang berada di atas tum-
pukan tengkorak. Hembusan angin keras meluruk ke
arah tubuh kakek kurus kering itu.
Brakkk!
Pohon beringin besar yang ada di belakang tu-
buh kakek kurus kering itu langsung hancur beranta-
kan terhantam pukulan jarak jauh Kencana Wungu
yang luar biasa. Sedangkan tubuh Barureksa yang be-
rada di bawah pohon itu telah lenyap entah ke mana
seperti asap dihembus angin.
Kencana Wungu kaget. Namun, secepat itu pu-
la dia bertindak, menghentakkan kedua tangannya lagi
ke arah sosok Barureksa yang berdiri di atas tongkat
Bresss!
Kali ini semak-semak yang berada di belakang
sosok kakek kurus kering itu hancur berantakan, po-
rak-poranda seperti diterjang kelompok gajah liar. Se-
perti juga semula, pukulan jarak jauh Kencana Wungu
me-embus begitu saja tubuh Barureksa yang seakan-
akan berupa segumpal asal.
Melihat hal ini wajah Kencana Wungu jadi se-
perti tidak berdarah. Hatinya menjadi kalap dan geram
bukan main karena tahu kalau dua sosok yang dili-
hatnya hanya berupa jelmaan Barureksa. Sedangkan
sosok yang asli tidak berada di situ.
"He he he...!"
Suara tawa terkekeh menyambut munculnya
dugaan di hati Kencana Wungu. Suara itu tidak jelas
dari mana datangnya. Kencana Wungu sendiri tidak
tahu dari mana asal tawa itu. Mendadak...
Brakkkk!
Tengkorak manusia yang semula tersusun rapi
mendadak bergetar keras dan bergelindingan ke tanah.
Seakan-akan ada sesuatu yang bergerak dari bawah-
nya.
Kencana Wungu dengan hati berdebar tegang.
Sepasang matanya menatap tak berkedip pada kumpu-
lan tengkorak manusia yang berguguran jatuh itu. In-
gin diketahuinya mengapa semua ini bisa terjadi
8
Hanya dalam sekejap saja tidak ada lagi teng-
korak kepala manusia yang bertumpukan. Bahkan
tengkorak-tengkorak kepala manusia yang berada pal-
ing bawah pun berpentalan ke sana kemari.
Semula Kencana Wungu tidak mengerti menga-
pa hal itu bisa terjadi. Namun ketika melihat tanah te-
pat di bawah tumpukan tengkorak itu retak-retak dan
bergetar keras seperti ada sesuatu yang hendak keluar
dari dalamnya, dia mengerti. Hanya saja yang tidak
dimengertinya, apakah yang hendak keluar dari dalam
tanah itu? Mayat hidup?
Brulll!
Diiringi dengan berhamburannya tanah ber-
gumpal-gumpal dan debu mengepul tinggi, dari dalam
tanah yang retak-retak itu melayang naik sebuah peti
mati. Setelah berada setinggi setengah tombak dari ta-
nah, peti itu berhenti bergerak dan turun perlahan-
lahan ke tanah.
Sepasang mata Kencana Wungu hampir ter-
lompat keluar dari rongganya melihat pemandangan
mendebarkan hati ini. Kedua kakinya terasa lemas.
Benarkah ia akan berhadapan dengan mayat hidup?
Jantungnya memukul-mukul keras ketika peti mati itu
bergerak membuka. Dan dari dalamnya keluar Baru-
reksa!
"Jangan harap kau akan bisa membunuh Baru-
reksa, Nenek Dungu! Kau sendiri yang akan mampus
di tanganku!"
Kakek kurus kering itu mengulurkan tangan
kanan hendak mencengkeram. Tentu saja, Kencana
Wungu tidak membiarkannya dan segera melompat
mundur. Tapi, hatinya langsung mencelos ketika meli-
hat tangan itu tetap mengancam ubun-ubunnya. Pa-
dahal, dia telah berada dalam jarak yang aman dari
cengkeraman betapapun panjangnya tangan manusia.
Kencana Wungu kian tegang dan kebingungan.
Tangan itu tetap mengancamnya. Dia baru menyadari
kini, bahwa Barureksa memiliki ilmu yang membuat
tangannya mampu memanjang sampai dua kali pan-
jang semula.
Namun kesadaran Kencana Wungu datang ter-
lambat, tangan Barureksa tak akan tertahan lagi me-
nyambar ubun-ubunnya. Saat itu, sesosok benda hi-
tam meluncur deras dan....
Takkk!
Benda hitam yang ternyata sebuah tongkat be-
sar dan berat dengan bentuk batang melingkar-lingkar
itu terpental kembali ketika berbenturan dengan tan-
gan. Sungguhpun demikian, tindakan itu telah cukup
untuk membuat nyawa nenek berhidung melengkung
lepas dari cengkeraman malaikat maut.
Kakek kurus kering menggeram. Pandangannya
langsung dialihkan ke arah dari mana tongkat berat
dan besar itu berasal. Dari sana tampak melesat sosok
tubuh. Barureksa perlu memperhatikan beberapa saat
untuk mengenali sosok yang telah mengacaukan ren-
cananya itu. Namun tidak demikian halnya dengan
nenek berhidung melengkung, tongkat berat dan besar
itu telah memberitahukan padanya kalau pemiliknya
adalah kakek botak, suaminya.
Dan memang, ketika akhirnya sosok itu berada
dekat, Barureksa yang ternyata matanya tidak dapat
melihat jauh, baru dapat mengenali kalau sosok itu
kakek botak. Dulu, bersama-sama dengan Kencana
Wungu, kakek botak ini berhasil mendesaknya. Tapi,
Barureksa tidak akan membiarkan mereka bertindak
begitu untuk kedua kalinya.
"Ke mana saja kau, Wungu?" Begitu tiba kakek
botak itu langsung mengajukan pertanyaan. "Lenyap
begitu saja. Susah payah kucari kau, untung kali ini
berhasil bertemu. Kalau tidak, nyawamu tentu sudah
melayang."
Kencana Wungu yang tersenyum getir, tidak
memberikan jawaban sama sekali karena dirinya me-
mang bermaksud meninggalkan kakek botak itu.
Namun kedua orang ini tidak mempunyai wak-
tu lama untuk berbincang-bincang karena Barureksa
telah kembali melancarkan serangan. Kali ini yang di-
tuju si Kakek Botak. Meskipun demikian, Kencana
Wungu langsung turun tangan membantu. Pertarun-
gan dua lawan satu untuk yang kedua kalinya pun
berlangsung.
Kencana Wungu berusaha menyerang dengan
anak-anak panahnya. Sedangkan kakek botak dengan
tongkatnya yang besar dan berat terus menggempur
lawan. Sementara Barureksa menghadapi mereka de-
ngan tangan kosong.
Meskipun tanpa senjata, tapi keampuhan tan-
gan Barureksa itu tidak kalah dengan kekuatan senja-
ta yang bagaimanapun. Kedua tangan yang kurus ker-
ing dan seperti tidak memiliki daging itu, mampu men-
jadi pedang, golok, bahkan tongkat, malah terkadang
menjadi catut baja!
Bunyi berdetak keras senantiasa terdengar se-
tiap kali tangan kurus kering itu berbenturan dengan
tongkat atau anak-anak panah. Tanpa terluka sedikit
pun. Bahkan jarum-jarum beracun Kencana Wungu
roboh sendiri ketika menancap di tubuh Barureksa.
Kencana Wungu dan kakek botak mengeluh da-
lam hati, karena kemampuan kakek itu seperti me-
ningkat dibanding beberapa waktu lalu. Mereka tidak
tahu kalau itu karena Barureksa baru saja selesai
mengubur diri hidup-hidup di dalam tanah. Dan ketika
pertarungan telah berlangsung belasan jurus, Kencana
Wungu dan kakek botak harus mengakui kalau mere-
ka tak akan bisa menang terhadap Barureksa. Tubuh
kakek itu yang kebal menyulitkan keduanya untuk
memperoleh kemenangan. Beberapa kali senjata-
senjata mereka mengenai sasaran, tapi tanpa hasil
sama sekali. Sedangkan terhadap setiap serangan Ba-
rureksa keduanya harus berhati-hati kalau tidak ingin
mati konyol.
Mendadak Barureksa menggeram keras sehing-
ga membuat tubuh Kencana Wungu dan kakek botak
tergetar hebat. Bahkan kaki mereka menggigil. Saat
itu, Barureksa yang rupanya merasa geram terhadap
kakek botak segera melesat menyerang.
Kakek botak kaget, tapi cepat melemparkan tu-
buh dan bergulingan untuk menyelamatkan nyawa.
Barureksa mengejarnya. Sementara Kencana Wungu
yang melihat ancaman maut terhadap suaminya, bu-
kan membantu malah melarikan diri. Nenek yang cer-
dik ini tahu kalau tidak ada gunanya lagi pertarungan
itu diteruskan, karena suaminya itu tetap tidak akan
pernah menang terhadap Barureksa.
Kencana Wungu terus berlari meskipun samar-
samar didengarnya jeritan menyayat hati dari mulut
kakek botak. Tanpa melihat pun, nenek berhidung me-
lengkung ini tahu kalau nasib suaminya itu telah be-
rakhir di tangan Barureksa.
Setelah menunggu hingga hari menjadi gelap,
baru Kencana Wungu datang dan mengambil mayat
kakek botak. Saat itu Barureksa sudah tidak berada di
situ. Namun, dasar nasibnya sedang sial, di tengah
perjalanan setelah sehari melakukan perjalanan, dia
bertemu dengan Anyelir yang membuat mereka terlibat
dalam pertarungan. Anyelir ingin mengambil mayat
yang berada di tangan Kencana Wungu.
kkk
Kencana Wungu menggertakkan gigi karena pe-
rasaan geram bercampur penasaran. Kini dia tahu me-
ngapa Sangkuni begitu yakin akan dapat mengalah-
kannya. Kepandaian Sangkuni telah meningkat diban-
ding beberapa hari lalu ketika pertarungan antara me-
reka terjadi. Kencana Wungu tidak tahu kalau dalam
waktu beberapa hari, pemuda berpakaian biru itu
mendapat tambahan ilmu dari Barureksa. Gurunya itu
memang luar biasa, meski dalam waktu sehari, dia
sanggup membuat kepandaian Sangkuni meningkat
cukup pesat.
Sekarang, Sangkuni tidak mengalami kesulitan
sama sekali meskipun Kencana Wungu berusaha me-
nekannya dengan mempergunakan senjata andalan
yang jumlahnya lebih banyak. Bahkan nenek berhi-
dung melengkung ini yang terdesak hebat.
Trakkk!
Lagi-lagi Kencana Wungu yang ingin mendapat-
kan kemenangan, menggunting golok Sangkuni yang
tengah meluncur ke arah lehernya. Namun kali ini
Sangkuni tidak kalah cepat bergerak. Begitu lawannya
bergerak hendak memutar-mutarkan senjata, dia pun
melakukan hal yang sama, dengan arah berlawanan.
Akibatnya, tidak terjadi putaran sama sekali karena
gerak yang saling berlawanan itu membuat keduanya
saling mematikan.
Kencana Wungu menggertakkan gigi karena
merasa geram melihat lawan mempergunakan cara
sendiri untuk melawannya. Dikerahkan seluruh tenaga
dalam untuk memenangkan adu putaran ini.
Kencana Wungu tercekat hatinya ketika mera-
sa-an putaran yang dilakukannya tidak mendapatkan
perlawanan sama sekali. Rupanya pada saat yang ber-
samaan Sangkuni malah mengendurkan tenaga. Aki-
batnya putaran yang dilakukan Kencana Wungu terla-
lu cepat, dan hampir tidak terkuasai lagi. Saat itu,
Sangkuni bertindak cepat mengerahkan tenaga untuk
menambah kekuatan pada perputaran, sehingga mem-
buat putaran pun semakin cepat.
Crottt!
Kencana Wungu membelalakkan sepasang ma-
ta ketika golok Sangkuni menghujam perutnya hingga
tembus ke punggung. Di saat, nenek berhidung me-
lengkung itu kehilangan kendali, Sangkuni langsung
menusuknya. Darah pun menyembur deras dari bagi-
an yang terluka.
Tubuh Kencana Wungu mengejang sesaat, me-
regang maut sebelum akhirnya ambruk dan tidak ban-
gun lagi untuk selamanya. Baru, Sangkuni mencabut
goloknya yang tertinggal di perut Kencana Wungu, se-
telah yakin kalau nenek itu sudah tidak bernyawa lagi.
Sangkuni memang cerdik. Dia khawatir kalau Kencana
Wungu akan melakukan serangan dengan mengguna-
kan sisa-sisa tenaga terakhir. Maka begitu goloknya
berhasil menembus perut lawan, lalu dia langsung me-
lompat menjauh.
"Ha ha ha...!"
Sangkuni tertawa bergelak penuh kegembiraan
sambil menyeka goloknya yang berlumuran darah de-
ngan pakaian lawan. Ditatapnya tubuh nenek berhi-
dung melengkung itu dengan sorot mata puas.
"Arum, lihatlah...!" seru Sangkuni sambil me-
nengadahkan kepala ke langit seakan-akan orang yang
disebutnya berada di sana. "Salah seorang dari penye-
bab terbunuhnya kau telah berhasil kutumpas. Kini
tinggal satu orang lagi. Musuh terbesar, Dewa Arak!
Dia akan mengalami kematian yang lebih mengerikan
daripada Sekardati! Ha ha ha...!"
Tiba-tiba Sangkuni menghentikan tawa karena
pandangan matanya menangkap adanya dua titik di
kejauhan. Mula-mula kecil tapi semakin lama, secara
cepat sekali menjadi besar. Sepasang mata Sangkuni
yang telah terlatih langsung bisa mengetahui kalau ti-
tik itu merupakan dua tokoh persilatan yang bergerak
cepat menuju tempatnya berada. Menilik dari keadaan
mereka, Sangkuni dapat menduga kalau dua sosok itu
tengah saling berkejaran.
Jantung Sangkuni berdetak lebih cepat dari bi-
asa karena perasaan tegang dan gembira ketika meli-
hat kalau sosok yang berada di depan mengenakan
pakaian ungu, sedangkan yang di belakangnya berpa-
kaian merah.
Sangkuni tidak terlalu memperhatikan sosok
berpakaian merah. Seluruh perhatiannya ditumpah-
kan pada sosok yang satu lagi. Rambutnya yang putih
keperakan dan berkibar-kibar itu mengingatkan Sang-
kuni kepada Dewa Arak. Mungkinkah sosok itu Dewa
Arak, musuh terbesarnya?
Sangkuni gembira sekali ketika melihat sosok
itu benar Dewa Arak. Pemuda berambut putih kepera-
kan itu bertelanjang baju karena pakaiannya dipergu-
nakan untuk menutupi tubuh Sekardati yang berada
di bopongannya.
Begitu tahu kalau sosok itu ternyata Dewa
Arak, tanpa membuang-buang waktu lagi, Sangkuni
segera melesat menyambuti. Tak tanggung-tanggung
lagi, golok merahnya dicabut dan ditusukkan ke arah
leher pemuda berambut putih keperakan itu.
Bukan hanya Sangkuni saja yang merasa gem-
bira dengan pertemuan itu, Arya pun demikian. Ketika
pemuda berpakaian biru itu menyambutnya dengan
tusukan, kakinya dijejakkan. Sehingga tubuh Dewa
Arak melayang melewati kepala Sangkuni. Kemudian
kaki kanannya dijejakkan ke arah kepala.
Sangkuni yang melihat adanya ancaman ba-
haya itu langsung melompat ke depan dan bergulin-
gan. Ketika akhirnya berhasil bangkit, wajahnya agak
pucat karena dalam segebrakan saja nyawanya hampir
melayang.
Pada saat yang sama dengan bangkitnya Sang-
kuni, sosok berpakaian merah yang ternyata Anyelir
telah tiba di sebelah Sangkuni. Dia merasa heran me-
lihat pemuda berpakaian biru itu menyerang Dewa
Arak. Namun sebelum pertanyaan sempat diajukan,
pemuda berpakaian biru itu telah lebih dulu meluruk
ke arah Dewa Arak dengan golok di tangan mengelua-
rkan bunyi mengaung keras di saat diputar-putarkan
sebelum dihunjamkan ke tubuh lawan.
Untung saja saat itu, Arya telah meletakkan tu-
buh Sekardati di tempat yang aman. Maka terjangan
Sangkuni langsung disambutnya.
"Sangkuni...! Sekarang juga akan kuhancurle-
burkan tubuhmu!"
"Kaulah yang akan mati atas tindakanmu yang
menyebabkan kematian Sekar Arum!" teriak Sangkuni
tak mau kalah.
Klangngng!
Bunga api berpijar ketika golok Sangkuni ber-
benturan dengan guci di tangan lawan. Seketika itu ju-
ga Dewa Arak ternyata langsung menggunakan ilmu
'Belalang Sakti'-nya, serta dengan guci menangkis ba-
batan yang mengancam leher.
Tubuh kedua tokoh muda yang sama berke-
mampuan tinggi itu terhuyung-huyung ke belakang.
Dan sebelum keduanya saling gebrak kembali, Anyelir
telah lebih dulu menyelak melakukan serangan dengan
melontarkan pisau-pisau terbangnya. Gadis berpa-
kaian merah ini memang memiliki kemampuan me-
lempar pisau.
Dewa Arak agak terkejut ketika melihat lima
buah pisau terbang meluncur ke arahnya. Masing-
masing menuju ke bagian yang berbahaya. Pemuda be-
rambut putih keperakan ini sempat terkejut ketika me-
lihat kehebatan ilmu melempar pisau Anyelir. Mula-
mula pisau itu berkelompok tapi ketika berada di ten-
gah perjalanan langsung berpencar menjadi tiga ba-
gian.
Meskipun demikian, Dewa Arak masih sempat
membanting tubuh ke tanah dan bergulingan men-
jauh. Sangkuni segera menyusuknya dengan serangan
goloknya begitu pisau-pisau terbang Anyelir tak me-
nemui sasaran. Kini tanpa direncanakan lebih dulu,
Anyelir dan Sangkuni sama-sama melakukan penye-
rangan terhadap Dewa Arak.
Dewa Arak kaget bukan kepalang. Jangankan
pengeroyokan, menghadapi satu orang di antara mere-
ka saja, agak sulit baginya untuk mencapai kemenan-
gan.
Sambil terus mengerahkan seluruh kemam-
puan menghadapi pengeroyokan, Dewa Arak memutar
pikiran untuk mencari penyelesaian yang baik atas
pertarungan ini. Masalahnya, Dewa Arak hanya mem-
punyai urusan dengan Sangkuni. Sedangkan Anyelir
hanya salah paham. Itulah sebabnya, pemuda beram-
but putih keperakan itu mengirimkan serangan-
serangan mematikan hanya pada Sangkuni. Sedang-
kan pada Anyelir sekadar mengimbangi serangan gadis
itu. Tentu saja Anyelir mengetahuinya tapi dia tidak
peduli. Yang ada di benaknya adalah melancarkan se-
rangan mematikan terhadap Dewa Arak.
Menghadapi perlawanan sengit dari Anyelir dan
Sangkuni yang seperti tak kenal ampun itu Dewa Arak
tampak kewalahan juga. Apalagi dirinya tidaklah sepe-
nuh hati melayani gempuran dari Anyelir kakak seper-
guruan Sekardati. Sementara wanita itu seperti kese-
tanan terus merangseknya. Dewa Arak pun kian terde-
sak hebat menghadapi gempuran bertubi-tubi itu.
Untung saja Dewa Arak mempunyai jurus
'Delapan Langkah Belalang'. Jurus ini cukup memban-
tunya dalam mengelakkan setiap serangan yang da-
tang. Dirinya lebih banyak mengelak daripada melaku-
kan penyerangan.
Tukkk!
Dewa Arak mengeluarkan pekikan tertahan ke-
tika tangan kiri Sangkuni berhasil hinggap di bahu
kanannya dalam sebuah totokan dua jari. Seketika tu-
buh pemuda berambut putih keperakan ini terkulai di
tanah seperti sehelai karung basah.
"Ha ha ha...!"
Sangkuni tertawa bergelak mempertunjukkan
kegembiraan melihat Dewa Arak yang menjadi musuh
besarnya itu roboh tidak berdaya. Pertarungan lang-
sung berhenti.
"Biarkan aku yang menghukum keparat ini!"
ujar Anyelir menyelak Sangkuni yang berdiri di depan-
nya.
Gadis berpakaian merah itu meskipun keliha-
tannya sembarangan saja bertindak namun sebenar-
nya bersikap hati-hati. Dirinya tetap khawatir akan
terjadi sesuatu yang tak diinginkan dari Sangkuni.
Namun pemuda berpakaian biru itu tersenyum,
kemudian menggeser kaki seperti hendak menyingkir
dan memberi jalan pada Anyelir. Hal ini membuat ga-
dis berpakaian merah ini merasa lega.
Tiba-tiba Sangkuni mengirimkan babatan go-
loknya ke arah leher Anyelir. Tentu saja hal ini mem-
buat gadis berpakaian merah itu kaget karena tidak
menyangkanya. Semua ini terjadi begitu cepat. Sung-
guhpun demikian, Anyelir masih sanggup membukti-
kan kalau dirinya bukan orang yang mudah dipecun-
dangi. Bergegas dilemparkan tubuhnya ke belakang.
Namun, Sangkuni yang cerdik memang sudah mem-
perhitungkan kemungkinan itu. Dia pun melompat
mengejar. Dengan cepat dilancarkan totokan bertubi-
tubi melalui tangan kirinya. Beberapa di antaranya da-
pat dielakkan oleh Anyelir. Namun, akhirnya satu di
antaranya berhasil membuat tubuh gadis itu roboh
lemas. Ambruk seperti orang yang dilolosi tulang-
belulangnya.
"Ha ha ha...!"
Untuk yang kedua kalinya Sangkuni melepas
tawa bergelak. Sepasang matanya menatap berganti-
ganti pada Anyelir dan Dewa Arak yang sama-sama
tergolek di tanah.
"Keparat! Pengecut, ayo bebaskan aku, Penge-
cut! Kita bertarung, sampai di antara kita ada yang
tergeletak di tanah!" tantang Anyelir penuh kemara-
han.
"Ha ha ha...! Aku bukan seorang anak kecil
yang gampang kau tipu, Anak Manis! Untuk apa aku
bercapai lelah, kalau dengan cara mudah dapat me-
nangkapmu. Melihat ilmumu aku yakin kau murid
Rongga si Pendek. Kau akan mengalami nasib seperti
adik seperguruanmu. Bukankah wanita yang dipon-
dong-pondong Dewa Arak itu adik seperguruanmu?
Kau mau tahu apa yang dialaminya? Dia mati kelela-
han setelah kuperkosa! Kau dengar, kuperkosa! Dan
setelah kenyang, kuberikan tubuhnya yang mulus pa-
da semut-semut merah yang gigitannya mengandung
racun mematikan! Kau pun akan mengalami nasib se-
rupa, Anak Manis!"
Wajah Anyelir berubah pucat pasi seperti
mayat. Dia merasa ngeri mendengar ucapan Sangkuni
yang diketahuinya bukan ancaman kosong belaka. Di
samping itu timbul perasaan bersalah terhadap Dewa
Arak. Dia telah salah menuduh. Perasaan geram pun
muncul terhadap Sangkuni. Kalau saja bebas, akan di-
terjangnya Sangkuni mati-matian.
"Sekarang kau tenang-tenanglah dulu, Manis!
Aku akan berurusan dengan Dewa Arak dulu." Kemu-
dian, Sangkuni mengalihkan perhatian pada Dewa
Arak. "Kau mungkin bertanya-tanya mengapa aku
memusuhimu, Dewa Arak? Kau ingat, Arum. Sekar
Arum!"
Dewa Arak tidak menjawab hanya kepalanya
yang mengangguk perlahan.
"Asal kau tahu saja, aku adalah tunangan
Arum. Aku dendam karena kau telah menyebabkan
Arum yang kusayangi tewas...."
"Tapi bukan aku yang telah membunuhnya,
Sangkuni," bantah Arya tenang. "Dia tewas karena
perbuatan orang-orang dari gerombolan Pasukan Iblis
Neraka!"
"Aku tahu!" tandas Sangkuni, beringas. "Tapi
kaulah yang menyebabkan kematiannya. Pokoknya,
siapa pun yang telah menyebabkan kematiannya aka
mendapatkan balasan dariku!"
Arya terdiam. Disadari bahwa tidak ada gu-
nanya berdebat dengan Sangkuni. Pemuda berpakaian
biru itu telah mempunyai pikiran tidak waras. Dan
mendadak dia teringat akan ucapan Salaban. Diperha-
tikannya tubuh Sangkuni.
"Sekarang aku mengerti, kaulah yang telah
membunuh Salaban!" tandas Arya yakin.
"Ha ha ha...!" Sangkuni tertawa bergelak. "Syu-
kur kalau kau telah mengetahuinya, Dewa Arak. Orang
tua gila itu kubunuh karena dia tidak mau memba-
laskan dendam Arum kepadamu! Aku pula yang telah
membunuh guru dan saudara-saudara seperguruan
Arum, karena mereka pun lepas tangan atas kematian
Arum! Begitu pula Kencana Wungu, dan tinggal kau
yang belum kubunuh! Bersiaplah, Dewa Arak!"
Ucapan demi ucapan Sangkuni membuat wajah
Anyelir semakin menampakkan kekagetan. Sama se-
kali tidak disangka kalau dia benar-benar salah duga
terhadap Dewa Arak. Pemuda berambut putih kepe-
rakan itu ternyata tidak bersalah sama sekali. Sang-
kuni pelaku semua kekejian yang disangkanya dilaku-
kan oleh Dewa Arak.
"Tapi, sebelum kuhukum, kau harus menyak-
sikan sebuah pertunjukan menarik, Dewa Arak. Kau
akan melihat bagaimana aku mempermainkan anak
manis itu!"
Kemudian Sangkuni menghampiri Anyelir yang
langsung menjadi pucat wajahnya karena menyadari
adanya bahaya mengerikan akan mengancam. Dike-
rahkan seluruh tenaga dalam yang tersisa untuk
membebaskan diri. Tapi, sia-sia.
Brettt!
Anyelir tidak bisa menyembunyikan kengerian
di wajahnya ketika tangan Sangkuni merobek bajunya
di bagian dada hingga salah satu bukit kembarnya
yang montok dan mulus mencuat keluar. Gadis berpa-
kaian merah itu menjerit kecil penuh perasaan takut,
tapi Sangkuni malah tertawa-tawa gembira.
"Lepaskan dia, Sangkuni!" Seruan yang amat
dikenal Sangkuni itu membuatnya menoleh, tanpa bisa
menghilangkan keterkejutan di wajahnya. Ternyata te-
linganya tidak salah dengar. Tepat di belakangnya ber-
diri Dewa Arak dengan guci di tangan dan siap dengan
ilmu 'Belalang Sakti'-nya.
"Kau... kau mampu bebas dari totokanku?!"
tanya Sangkuni terbata-bata.
"Aku sengaja mengecohmu, Sangkuni. Sejak
tadi pun sebenarnya aku tidak apa-apa. Aku berpura-
pura saja. Hal ini kulakukan agar bisa menyadarkan
Anyelir dari kekeliruannya. Aku punya ilmu yang dapat
memindahkan jalan darah, Sangkuni!"
"Keparat!" Sangkuni menggeram, dan kemudian
dengan golok merahnya melancarkan penyerangan.
Arya menyambutnya, sehingga pertarungan sengit pun
terjadi. Mereka saling serang dengan hebatnya.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Bahkan
bayangan kedua tokoh muda itu pun lenyap karena
cepatnya bergerak. Yang terdengar hanya bunyi men-
gaung dan mendesing nyaring dari gerakan-gerakan
kedua belah pihak.
Untuk kesekian kalinya, pada jurus ketujuh
puluh, golok merah Sangkuni menghantam guci Dewa
Arak. Hanya saja kali ini langsung menempel. Sangku-
ni yang tidak menyangka tampak gugup bukan main.
Dan kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh
Dewa Arak untuk melancarkan gedoran tangan kiri ke
dada pemuda berpakaian biru itu. Seketika Sangkuni
mengeluarkan jeritan mengerikan yang menyayat hati,
ketika tubuhnya melayang dengan darah menyembur
deras dari mulut. Pemuda berpakaian biru itu pun te-
was setelah tubuhnya terbanting ke tanah.
Tanpa berkata apa pun Dewa Arak segera
membebaskan totokan di tubuh Anyelir. Gadis berpa-
kaian merah itu hampir menangis karena merasa ter-
haru. Hampir dia memeluk Arya untuk mengucapkan
terima kasihnya yang tidak terhingga.
"Ambillah ramuan yang ada pada Kencana Wu-
ngu, Anyelir! Menurut gurumu, obat itu dapat me-
nyembuhkan penyakitmu. Aku pergi dulu. Aku akan
membawa Sekardati dan menguburkan di tengah-
tengah keluarganya."
"Aku ikut, Dewa Arak!"
Arya hanya mengangkat bahu, lalu melangkah
diikuti Anyelir meninggalkan tempat itu....
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Makhluk Jejadian
Emoticon