1
"Benarkah... penjahat terkutuk itu memiliki ilmu
menghilang. Kang?" sebuah suara lembut menguak
Sosok berpakaian ungu yang diajukan pertanyaan
tidak segera menjawab. Kakinya terus saja dilangkahkan.
Saat itu dia dan temannya, seorang wanita muda berpakaian
putih, tengah menyusuri Jalan tanah di luar sebuah desa.
Tampaknya mereka tidak sedang tergesa- gesa.
"Entahlah, Melati. Aku tidak bisa memastikan. Tapi
kalau menurut pendapatku, tidak," jawab pemuda berpakaian
ungu yang berambut putih keperakan seraya menoleh.
Gadis berpakaian putih yang ternyata Melati tidak
memberi tanggapan. Pandangannya diarahkan ke tanah,
seperti tengah menghitung langkahnya.
Sekarang dapat diduga siapa sepasang muda-mudi
itu. Ya! Mereka adalah Arya Buana yang berjuluk Dewa Arak,
dan Melati. Di bahu kanan Melati terpanggul tubuh seorang
wanita berpakaian biru. Wanita itu adalah Trijati. (Untuk
lebih jelasnya silakan baca serial Dewa Arak episode Manusia
Kelelawar').
"Kalau tidak menghilang, bagaimana mungkin dia
bisa lenyap begitu saja. Kang?!" tanya Melati setelah
beberapa saat tercenung.
"Aku sendiri belum bisa menduganya. Melati," Arya
mengangkat bahu. "Hhh.J Kalau nanti bertemu lagi, tak
akan kubiarkan dia lolos!"
"Benar, Kang! Makhluk keji seperti dia sudah
sepantasnya dilenyapkan dari muka bumi!" sambung Melati
geram.
Arya diam. Pemuda itu tidak menanggapi ucapan
kekasihnya. Dan karena Melati tidak melanjutkan ucapannya,
suasana pun jadi hening. Yang terdengar hanya suara
serangga malam. Sepasang muda-mudi itu mengayunkan
langkah tanpa berkata-kata. Mendadak...
"Kakang.J Lihat...!" seru Melati menudingkan jari
telunjuknya ke depan.
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Sebenarnya
tanpa diberitahu pun dia telah melihatnya. Yang ditunjukkan
kekasihnya adalah serombongan orang yang tengah bergerak
menuju ke arah mereka berdua. Sekali lihat, Arya dan Melati
dapat menduga jumlah rombongan itu tak kurang dari dua
puluh orang. Beberapa di antara mereka membawa obor.
"Apakah mereka orang-orang yang melakukan
pengejaran terhadap penjahat keji itu. Kang?!" tanya Melati
meminta kepastian.
"Kurasa demikian. Melati," jawab Arya, "Bukankah
berkat petunjuk mereka kita dapat menemukan penjahat keji
itu?!"
"Aku agak ragu. Kang. Tadi jumlah mereka tidak
sebanyak itu. Bahkan tidak ada yang membawa obor," bantah
Melati.
"Barangkali tadi kejadiannya belum diketahui banyak
orang," jelas Arya.
Melati mengangguk-angguk. Rupanya gadis itu
menerima penjelasan kekasihnya. Tidak ada lagi pertanyaan
yang diajukan. Maka dengan berdiam diri, Arya dan Melati
melanjutkan peijalanan.
Pasangan pendekar muda itu menempuh arah yang
tengah ditinggalkan rombongan di depan. Sedangkan
rombongan itu menempuh arah sebaliknya. Tampaknya
mereka saling mendekati. Kedua kelompok itu akhirnya
bertemu di tengah perjalanan.
"Maaf, benarkah wanita ini yang dibawa kabur
penjahat itu, Ki?" dengan sopan Arya mengajukan pertanyaan
pada salah seorang di antara dua kakek yang berada di baris
terdepan dalam rombongan yang cukup besar itu.
Pandangan anggota rombongan itu serentak
mengarah pada Arya. Untung Melati cepat tanggap. Gadis itu
menurunkan tubuh Trijati dari panggulannya. Maka orang-
orang itu pun mengarahkan pandangannya pada Trijati yang
masih tak sadarkan diri.
"Benar," jawab orang yang ditanya sambil
menganggukkan kepala. Dia seorang kakek bertubuh tinggi
besar dan terlihat angker karena kumis, jenggot, dan
cambang bauknya yang lebat. Siapa lagi kalau bukan Jayeng
Praja.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Anak Muda," ujar
kakek berkumis melintang yang berdiri di sebelah Jayeng
Praja. Dia adalah Pendekar Tinju Maut.
"Lupakanlah, Ki," jawab Dewa Arak bijaksana.
"Merupakan kewajiban kita semua untuk tolong-menolong.
Kebetulan aku lewat tempat ini dan mendengar penculikan
mempelai wanita."
Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut mengangguk-
angguk membenarkan ucapan Arya. Kemudian keduanya
saling bertukar pandang. Hanya sebentar saja. Tapi sudah
cukup untuk mengetahui perasaan masing-masing.
Ternyata perasaan yang bergayut di hati mereka
sama. Keduanya heran melihat Arya dan Melati berhasil
membawa pulang Trijati. Sebab Jayeng Praja maupun
Pendekar Tinju Maut tahu Sangkala tidak akan mungkin
merelakan Trijati dibawa begitu saja oleh pasangan muda-
mudi itu. Arya dan Melati pasti membawa Trijati dengan
kekerasan!
Mungkinkah itu? Pertanyaan itu bergayut di benak
Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut. Kalau benar, berarti
Arya dan Melati telah berhasil mengalahkan Sangkala!
Rasanya mustahil! Kedua kawan Ki Ageng Sora tidak percaya
pasangan muda itu mampu mengalahkan Sangkala. Mereka
saja, ditambah murid-murid Perguruan Banteng Putih, tidak
mampu menghalangi kepergian Sangkala. Mungkinkah Arya
dan Melati mampu?
***
"Maaf, Ki. Kurasa sudah saatnya kami mohon diri.
Peijalanan yang akan kami tempuh masih jauh," ucap Arya
ketika telah menyerahkan Trijati pada Jayeng Praja.
"Ah! Mengapa terburu-buru. Anak Muda," ujar Ki
Rawung. "Kalian berdua baru saja tiba. Tentu masih lelah.
Apakah tidak sebaiknya tinggal dulu di desa kami untuk
beberapa hari?"
"Benar, Anak Muda," sambung Jayeng Praja,
"Rasanya tidak pantas menerima pertolongan tanpa
memberikan balasan.''
'Maaf, Ki. Kami memberikan pertolongan dengan
ikhlas. Tidak terbersit sedikit pun keinginan untuk mendapat
balasan," jelas Arya sopan tapi tegas.
"Kami pun tidak menganggap kau memberikan
pertolongan dengan pamrih. Anak Muda," lanjut Jayeng
Praja cepat karena menyadari kesalahan ucapnya. "Tapi...,
maksud kami begini. Anak Muda. Hm.... Rasanya tidak
pantas Jika kami tidak mengenalmu, orang yang telah
memberikan pertolongan pada kami. Aku, Jayeng Praja."
"Aku Loka Arya," sambung Pendekar Tinju Maut.
"Dan aku, Rawung, Kepala Desa Kawung," sambut Ki
Rawung.
"Namaku Arya dan kawanku ini. Melati," balas Arya
memperkenalkan diri.
"Arya...."
Hampir bersamaan Jayeng Praja dan Pendekar Tinju
Maut menggumamkan nama itu seraya berpandangan satu
sama lain. Dahi keduanya berkerut dalam seperti tengah
mengingat-ingat sesuatu. Dan rupanya Pendekar Tinju Maut
berhasil mengingatnya.
"Arya...?! Rasanya aku pernah mendengar nama
itu.... Kalau tidak salah Arya Buana...," Pendekar Tinju Maut
menggantung ucapannya.
"Memang itulah namaku selengkapnya, Ki," terpaksa
Arya mengakuinya.
"Ah...! Jadi..., sekarang kami berhadapan dengan
seorang pendekar muda yang julukannya telah membuat
persada ini gempar...!" ujar Jayeng Praja dan Pendekar Tinju
Maut bersamaan. "Bukankah kau Dewa Arak...?!"
Seketika itu pula wajah Arya merah padam karena
malu dan tidak enak.
"Rasanya berita itu terlalu berlebihan, Ki. Dan...."
"Berlebihan atau tidak yang penting sekarang kau
harus tinggal di desa ini dulu. Dewa Arak," potong Pendekar
Tinju Maut yang memang mempunyai watak sangat terbuka.
"Banyak hal yang ingin kami perbincangkan denganmu. Kami
yakin kau akan berminat mendengarkannya. Sebab ini ada
hubungannya dengan tugasmu sebagai seorang pendekar!
Bagaimana? Kau setuju?!"
Dewa Arak tidak segera memberi tanggapan. Pemuda
itu tercenung sebentar mempertimbangkannya. Tapi sesaat
kemudian kepalanya dianggukkan. Wajah Pendekar Tinju
Maut, Jayeng Praja, dan Ki Rawung berseri-seri mendengar
persetujuan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas
kesediaanmu memenuhi ajakan kami. Dewa Arak," ujar
Jayeng Praja gembira.
"Lupakanlah, Ki."
"Kalau demikian, mari ikut kami. Dewa Arak," lanjut
Jayeng Praja.
Sesaat kemudian rombongan dari Desa Kawung
bergerak ke arah semula. Kali ini jumlah mereka lebih banyak
dari sebelumnya. Rombongan itu bertambah dua orang. Arya
dan Melati.
***
"Ki...."
Arya membuka pembicaraan ketika dirinya. Melati,
Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, Ki Rawung, Ranjita, dan
dua orang murid utama Perguruan Banteng Putih telah
duduk bersila di ruang tengah bangunan Perguruan Banteng
Putih.
"Ada apa. Dewa Arak?" tanya Jayeng Praja pelan
Ucapan Arya memang ditujukan pada Ketua
Perguruan Harimau Terbang. Meskipun demikian, semua
yang hadir ikut memasang telinga. Mereka ingin mengetahui
masalah yang akan dibicarakan Dewa Arak dengan Jayeng
Praja.
"Boleh aku mengajukan pertanyaan?" tanya Dewa
Arak hati-hati.
"Tentu saja boleh. Dewa Arak," jawab Jayeng Praja
cepat, "Dengan senang hati aku akan menjawabnya. Tapi...,
tentu saja sebatas pengetahuanku...."
"Terima kasih, Ki. Ucapanmu akan kuperhatikan,"
janji Arya. "Begini, Ki.... Dalam peijalanan kami berdua
menemukan beberapa mayat yang masih baru. Kalau tidak
salah... sembilan orang! Ya, sembilan orang! Mereka
mengenakan pakaian yang warna dan lambangnya sama
dengan pakaianmu. Aku tidak tahu... apakah ini hanya
kebetulan... atau memang ada hubungannya?"
"Apakah kau menemukan mayat-mayat itu di dalam
Hutan Sawan, Dewa Arak?" tanya Jayeng Praja meminta
penegasan setelah termenung sejenak.
"Benar, Ki!" sambut Arya bersemangat. "Kau juga
mengetahui kejadian itu?"
"Hhh.J"
Jayeng Praja menghela napas berat. Membuang
beban yang mengganjal hatinya.
"Mayat-mayat yang kau temukan itu memang ada
hubungannya denganku. Dewa Arak. Mereka murid-
muridku," kemudian dengan singkat tapi jelas. Ketua
Perguruan Harimau Terbang itu menceritakan tentang usaha
sampingan perguruan silat yang dikelolanya.
"Jadi..., begitulah akhirnya. Dewa Arak. Putri
saudagar itu lenyap. Kami tidak tahu nasib yang dialaminya.
Tapi menurut Sangkala, gadis itu telah mati. Sangkala yang
membunuhnya. Begitu pengakuannya," tutur Jayeng Praja
mengakhiri kisahnya.
'' Sangkala... ?!" Arya mengernyitkan kening.
Pemuda itu memang tidak tahu orang yang dikejar-
kejarnya bernama Sangkala.
"Orang yang menculik mempelai wanita itu bernama
Sangkala, Dewa Arak," kali ini Pendekar Tinju Maut yang
memberikan j awaban.
Arya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Rupanya kalian mengenalnya dengan baik?" Melati
ikut berbicara.
"Aku dan dia tidak," jawab Jayeng Praja menunjuk
Pendekar Tinju Maut, "Kami bukan penduduk sini. Tapi
kenalan Ki Ageng Sora yang kebetulan datang karena
mendapat undangan untuk menghadiri pesta pernikahan."
"Jadi..., Sangkala... penduduk desa ini?!" Arya
melanjutkan pertanyaan kekasihnya.
"Begitulah, Dewa Arak!" Ki Rawung menyambuti,
"Dia adalah murid Ki Ageng Sora, Ketua Perguruan Banteng
Putih."
Lalu Kepala Desa Kawung itu menceritakan semua
kejadian mengenai Sangkala. Arya dan Melati mendengarkan
dengan penuh perhatian. Mereka tidak memotong hingga Ki
Rawung menyelesaikan ceritanya.
Sementara itu di luar bangunan Perguruan Banteng
Putih, murid-murid perguruan itu tampak beijaga-jaga. Sikap
mereka sangat waspada. Terlihat jelas kesungguhan murid-
murid Perguruan Banteng Putih. Padahal saat itu suasana di
persada terasa panas. Matahari yang berada tepat di atas ke¬
pala memancarkan sinarnya dengan garang.
Meskipun wajah mereka memancarkan kegarangan,
tapi raut kesedihan yang mendalam tetap terlihat! Semalam
Ketua Perguruan Banteng Putih tewas di tangan Sangkala.
Baru tadi pagi mereka memakamkan nya.
Kekhawatiran akan terulangnya peristiwa semalam
menyebabkan murid-murid Perguruan Banteng Putih
berjaga-jaga, meskipun di siang hari. Sebab tindakan
Sangkala tentu tidak akan berhenti sampai di situ. Pemuda
berwajah bopeng itu pasti akan terus merongrong hingga
sakit hatinya terbalas.
Karena itu mereka terus beijaga-jaga. Mata mereka
diedarkan ke sekeliling tempat itu. Bahkan di kejauhan. Tapi
kelihatannya keadaan aman. Tidak terlihat tanda-tanda akan
ada orang menyatroni Perguruan Banteng Putih.
Karena terlalu memusatkan perhatian pada sosok
manusia, murid-murid Perguruan Banteng Putih tidak
menaruh perhatian ketika sesosok bayangan hitam sebesar
kepalan tangan melesat masuk wilayah perguruan. Padahal,
beberapa di antaranya melihat sosok hitam itu adalah
kelelawar! Tapi guncangan perasaan akibat kematian guru
sekaligus ketua membuat mereka tidak menyadari keanehan
itu. Mana ada kelelawar berkeliaran siang hari? Maka
leluasalah kelelawar yang merupakan penjelmaan Sangkala
melaksanakan keinginannya.
Lagi-lagi keuntungan berpihak pada Sangkala.
Dengan bentuknya yang kedi, pemuda itu tidak mengalami
kesulitan memasuki setiap kamar melalui jendela. Baik yang
terbuka lebar maupun yang terkuak sedikit.
Entah untuk ke berapa kali menyelusup ke dalam
ruangan-ruangan yang ada. Kelelawar penjelmaan Sangkala
akhirnya menjumpai mangan yang dihuni Trijati. Kilatan
aneh tampak pada sepasang mata kelelawar jadi-jadian itu
melihat Trijati terbaring lemas di pembaringan. Rupanya
guncangan batin yang dialami karena kematian ayahnya
cukup berat. Sejak kemarin malam hingga sekarang Trijati
belum juga sadarkan diri.
Bluppp!
Begitu telah berada di dalam ruangan, kelelawar itu
berubah bentuk menjadi... Sangkala! Kepulan asap tipis
menyebar.
Baru saja Sangkala hendak beranjak mendekati
pembaringan, tiba-tiba kelopak mata Trijati bergerak
membuka. Bulu mata lentik itu pun mengerjap-ngeijap pelan.
Sepasang mata Trijati terbuka. Namun seketika itu pula
membelalak lebar memperlihatkan keterkejutan yang sangat.
Sebelum mulut mungil itu mengeluarkan jeritan,
Sangkala telah lebih dulu bertindak. J ari telunjuk kanannya
ditudingkan! Dan....
Tukkk!
Sekujur tubuh Trijati yang menegang langsung
lunglai. Dengan jitu dan dari jauh, Sangkala berhasil
menotoknya hingga lemas! Sungguh sebuah ilmu yang
mulgizat. Inilah salah satu keistimewaan jurus 'Kelelawar'.
Hehehe.J
Sangkala tertawa dalam hati melihat rencananya
berjalan dengan baik. Kemudian tanpa menunggu lebih lama,
mengingat kesempatan yang tidak memungkinkan,
dihampirinya Trijati dengan sorot mata liar.
Trijati hanya bisa menatap dengan ngeri. Hanya itu
yang dapat dilakukannya. Sangkala telah menotok urat
bicaranya, sehingga gadis itu tidak mampu mengeluarkan
suara sedikit pun.
"Trijati...," terdengar Sangkala berdesis pelan,
"Sungguh tidak kusangka bisa menikmati tubuhmu..."
Usai berkata, pemuda berwajah bopeng itu menindih
Trijati. Dengan kasar dan buas diduminya wajah putri Ki
Ageng Sera. Tidak hanya itu. Bagaikan bermata, kedua
tangannya menanggalkan pakaian calon korbannya satu
persatu.
Dengan mulut mengulum bibir Trijati dengan buas,
Sangkala berhasil melucuti pakaiannya dan pakaian Trijati.
Sekarang tubuh keduanya telah polos sama sekali, tanpa
selembar benang pun menutupi.
Seperti juga waktu menjarah tubuh Wulan dan
Widuri, kali ini pun Sangkala terlihat demikian bersemangat.
Tidak hanya wajah Trijati saja yang dicium. Dengan ganas,
kasar, dan penuh nafsu diciuminya juga leher Trijati, terus
turun ke dada.
Ingin rasanya Trijati menjerit sekeras-kerasnya agar
ada yang datang menolong. Tapi ada daya? Tidak ada sedikit
pun suara keluar dari kerongkongannya. Karena takut dan
ngeri akan bahaya yang tengah mengancam, Trijati menangis
tanpa suara Hanya linangan air mata yang menjadi tanda ke
hancuran hatinya.
2
Napas Sangkala memburu seperti habis berlari jauh
ketika menciumi sekujur tubuh Trijati. Tangannya sibuk
bergerilya. Meraba dan meremas apa yang dapat diremas.
Tak lama kemudian, sekujur tubuh Sangkala menegang
beberapa saat sebelum akhirnya mengendur kembali.
Sangkala tersenyum puas seraya bangkit dari tubuh
Trijati. Dihapusnya peluh yang membasahi sekujur tubuh,
tanpa mempedulikan Trijati yang merasa dunia mendadak
gelap. Linangan air mata pada kedua pipinya menjadi tanda
kehancuran hati putri Ki Ageng Sora. Tapi, di saat Sangkala
tengah sibuk dengan pekerjaannya, pendengarannya yang
tajam menangkap suara langkah-langkah kaki mendekati
tempat itu.
Walaupun dari bunyi langkahnya Sangkala tahu
kepandaian pemiliknya tidak perlu dikhawatirkan, tapi
pemuda itu tidak berani menganggap remeh. J ika
keberadaannya diketahui, bahaya besar mengancamnya. Di
situ ada Dewa Arak dan kawannya! Kalau mereka
mengeroyoknya pasti dia akan dapat dirobohkan! Sangkala
tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka, Sangkala buru-
buru memberesi pakaiannya dan mengenakan dengan
tergesa-gesa.
Kriiittt...!
Bertepatan dengan selesainya Sangkala berpakaian
terdengar bunyi bergerit nyaring diiringi membukanya daun
pintu kamar.
Sangkala terkejut. Saat itu juga dia sadar tidak ada
kesempatan baginya untuk kabur atau bersembunyi.
Dugaannya tidak keliru. Di ambang pintu berdiri sesosok
tubuh kekar seorang pemuda. Ranjita!
"Kau...! Keparat...!"
Ranjita bukan main terkejutnya melihat
pemandangan yang terpampang di hadapannya. Saat itulah
Sangkala mengibaskan tangan kirinya.
Wusss!
Serangkum angin dahsyat menyambar ke arah
Ranjita. Tibanya begitu mendadak, sangat cepat. Padahal saat
itu putra Ki Rawung sedang tidak bersiap. Maka....
Desss!
"Aaakh...!"
Pekikan menyayat keluar dari mulut Ranjita.
Tubuhnya terlempar ke belakang. Darah segar memancar
deras dari mulut, hidung, dan telinga. Seketika itu pula nyawa
Ranjita melayang ke alam baka.
Tapi Sangkala hanya memperhatikan sekilas.
Pemuda itu menyadari keadaannya yang tidak
menguntungkan, maka tubuhnya segera berbalik. Sangkala
bermaksud melarikan diri. Dasar Sangkala memang memiliki
watak keji! Dalam kedudukan seperti itu, masih sempat juga
dikirimkan totokan jarakjauh ke arah Trijati.
Cittt, tasss!
Tanpa mampu menjerit karena urat bicaranya telah
ditotok, Trijati terkulai lemas. Nyawanya telah melayang.
Totokan jarak jauh Sangkala memecahkan ubun-ubunnya!
Saat itulah Dewa Arak muncul di ambang pintu.
J eritan menyayat Ranjita terdengar jelas olehnya dan yang
lainnya, yang masih terlibat percakapan. Serempak mereka
melesat ke arah asal suara. Dewa Araklah yang tiba lebih
dulu.
Sekarang, begitu berada di ambang pintu dan melihat
Sangkala melesat keluar, kedua tangannya segera
dihentakkan. Dewa Arak mengirimkan serangan pukulan
j arah jauh.
Wusss!
Gelombang angin dahsyat meluncur ke arah
Sangkala. Pemuda berwatak bejat itu tampak sangat terkejut.
Disadarinya betapa berbahaya serangan jarak jauh Dewa
Arak.
Tangannya segera dikibaskan memapaki serangan itu
dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Sehingga....
Blarrr!
Bunyi menggelegar seperti halilintar menyambar
terdengar begitu dua pukulan jarah jauh berbenturan.
Ruangan itu bergetar hebat seperti akan runtuh. Tubuh Dewa
Arak terjengkang ke belakang. Demikian pula Sangkala.
Benturan dahsyat itu mengakibatkan tubuhnya terpental ke
depan menabrak sebagian jendela.
Brakkk!
Tubuh Sangkala terus meluncur ke bawah. Kamar
Trijati memang berada di lantai dua.
Rupanya nasib buruk masih menyertai Sangkala. Di
saat tubuhnya melayang ke bawah, murid-murid Perguruan
Banteng Putih yang sudah mengetahui ada keributan di
dalam bangunan menyambut luncuran tubuh Sangkala
dengan tusukan senjata.
Sangkala kelihatan tidak gugup. Tanpa ragu
dipapakinya tusukan beraneka ragam senjata itu dengan
tangan dan kaki telanjang!
Tak, tak, takkk!
Bunyi berdetak keras terdengar ketika tangan dan
kaki Sangkala berbenturan dengan senjata-senjata itu. Tubuh
murid-murid Perguruan Banteng Putih terhuyung-huyung ke
belakang dengan tangan terasa sakit.
Sedangkan Sangkala mempergunakan tenaga
benturan itu untuk bersalto beberapa kali. Kemudian
mendarat di luar kepungan. Dan dengan secepatnya melesat
meninggalkan tempat itu. Tentu saja murid-murid Perguruan
Banteng Putih tidak membiarkannya. Mereka bergegas
mengejar.
Tapi, mereka kalah cepat dengan Dewa Arak!
Laksana bayangan, pendekar muda yang julukannya
menggemparkan dunia persilatan itu menguntit di belakang
Sangkala.
Di belakang Dewa Arak, Melati, Jayeng Praja,
Pendekar Tinju Maut, dan yang lainnya ikut mengejar.
Meskipun kecepatan lari mereka tidak seperti Dewa Arak
maupun Sangkala, tapi tetap saja pengejaran terus dilakukan.
Semua itu diketahui dengan pasti oleh Sangkala. Itu sebabnya
kecepatan larinya ditambah.
Dewa Arak mengerutkan sepasang alisnya ketika
melihat Sangkala melesat ke belakang. Mengapa penjahat keji
itu tidak melesat ke depan? Pemuda berambut putih
keperakan itu tidak menduga Sangkala mempunyai rencana
lain sehingga memilih melarikan diri melalui jalan belakang.
Sebagai bekas murid Perguruan Banteng Putih
Sangkala tentu saja mengetahui seluk-beluk bangunan.
Pemuda itu tahu di belakang terdapat gudang. Sebuah tempat
yang kumuh karena jarang dibersihkan. Malah dibiarkan
begitu saja. Ke sanalah Sangkala menuju! Masih berjarak
beberapa tombak dari pintu gudang, Sangkala telah
menghentakkan kedua tangannya.
Wusss! Brakkk!
Daun pintu gudang langsung hancur berantakan.
Serpihan kayu berpentalan tak tentu arah. Tak mampu
menahan pukulan jarak jauh Sangkala yang dahsyat.
Tanpa menunggu lebih lama, Sangkala melesat ke
dalam dan menyelinap! Dewa Arak tidak berani bertindak
gegabah dengan begitu saja masuk. Bukan tidak mungkin
Sangkala telah menunggu dan akan membokongnya. Pemuda
itu tampak sangat hati-hati ketika melesat masuk ke dalam
gudang. Tapi sikap Dewa Arak sia-sia. Tidak teijadi hal-hal
yang dikhawatirkan saat telah berada di dalam.
"Hm...."
Dewa Arak menggumam pelan seraya merayapi
tempat itu dengan pandang matanya. Terlihat jelas tempat itu
sudah lama tidak terurus. Debu tebal memenuhi ruangan.
Bahkan sarang laba-laba tersebar di setiap sudut.
Gudang itu berbentuk persegi panjang. Ukurannya
kurang lebih tiga kali dua tombak. Cukup luas. Bahkan
kelihatan terlalu luas. Karena isinya tidak banyak dan tidak
ada yang tinggi atau besar. J adi, tak ada yang dapat dijadikan
tempat untuk bersembunyi. Demikian kesimpulan pemuda
berambut putih keperakan itu.
Arya menjadi penasaran. Itu berarti Sangkala
berhasil mengecoh dirinya lagi. Sangkala lenyap kembali
seperti sebelumnya!
"Apa yang teijadi. Kang?" tanya Melati yang telah
berada di belakang Arya.
"Si keparat itu lenyap lagi. Melati," jawab Arya putus
asa.
Bisa dimaklumi perasaan hati Arya saat itu. Di
gudang tidak terlihat Sangkala. Padahal, pintu dan jendela
tertutup rapat serta dipenuhi debu tebal. Ini membuktikan
tidak ada seorang pun yang telah keluar dari dalam gudang.
"Lalu ke mana perginya, Sangkala?" pertanyaan itu bergayut
di benak Dewa Arak.
"Bagaimana, Dewa Arak?" begitu tiba, Jayeng Praja
mengajukan pertanyaan. Sementara pandangannya
diedarkan ke sekeliling mangan.
Dewa Arak hanya mengangkat bahu.
"Mustahil!" desis Pendekar Tinju Maut yang juga
telah tiba. Nada suaranya menyiratkan ketidakpercayaan,
'Mungkinkah dia bisa menghilang atau menembus dinding?"
"Apa pun caranya, yang jelas Sangkala mampu
meloloskan diri dari kejaran kita!" timpal Ki Rawung tanpa
menyembunyikan rasa takut dan ngeri yang mencekam
hatinya.
"Maaf, Ki. Kalau menurut pendapatku... tidak
mungkin Sangkala meloloskan diri dengan menembus
dinding atau menghilang," ujar Dewa Arak.
Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, dan Ki Rawung
segera mengalihkan tatapannya.
"Mengapa kau berpendapat demikian. Dewa Arak?"
tanya Pendekar Tinju Maut tidak sabar. Sementara Jayeng
Praja dan Ki Rawung menganggukkan kepala mendukung
pertanyaan itu.
Arya tidak segera menjawab. Pemuda itu terdiam
beberapa saat
"Memang aku mempunyai alasan yang cukup kuat,"
ujar pemuda berambut putih keperakan itu, "Pertama,
berdasarkan pengalamanku sendiri ketika untuk pertama kali
dia berhasil menyelamatkan diri secara aneh. Kedua adalah
sifat ilmu yang disebutkan Pendekar Tinju Maut. Maaf, bukan
maksud-ku menggurui."
"Buang jauh-jauh perasaan tidak enak itu. Dewa
Arak. Dan jelaskan maksud ucapanmu. Aku belum mengerti
maksudmu!" sergah Pendekar Tinju Maut.
"Baiklah, Ki. Aku akan menjelaskannya. Pertama kali
Sangkala berhasil meloloskan diri dariku adalah ketika dia
menyelinap ke balik semak-semak. Berdasarkan itu rasanya
tidak mungkin dia menggunakan ilmu yang dapat membuat
raganya menembus dinding! Sebab untuk apa ilmu itu
digunakan? Tubuhnya tetap terlihat. J adi, kemungkinan dia
menggunakan ilmu 'Halimun'."
Sampai di sini Dewa Arak menghentikan uraiannya.
Dilihatnya Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, Ki Rawung,
dan yang lainnya mengangguk-angguk membenarkan
pendapatnya.
"Tapi, pendapat ini pun kurasa tidak benar. Bila
Sangkala memiliki ilmu 'Halimun' pasti digunakannya dalam
pertarungan. Dengan tubuh yang tidak terlihat, lebih mudah
baginya untuk mengalahkan lawan," lanjut Arya. "Rasanya
hal itu mustahil bila melihat keadaan di sini. Tidak mungkin
lenyapnya Sangkala karena menggunakan ilmu 'Halimun'."
"Jelaskan alasan ketidaksetujuanmu dengan dugaan
itu. Dewa Arak!" sergah Pendekar Tinju Maut
"Karena... sepengetahuanku..., ilmu 'Halimun' tidak
membuat raga kita menghilang. Tapi hanya menipu
pandangan orang. Dengan kata lain, orang yang
bersangkutan tetap berada di tempat itu. Hanya mata orang
lain tidak melihatnya. Jadi... bila Sangkala mempergunakan
ilmu 'Halimun', dia masih berada di sini! Apakah kalian
semua yakin dia masih berada di sini?!"
Arya menutup penjelasannya dengan pertanyaan.
Pandangannya diedarkan berkeliling ingin melihat tanggapan
orang-orang yang hadir. Tapi semuanya terdiam. Tak satu
pun memberikan tanggapan.
"Menurutku, Sangkala tidak berada di sini. Kalau dia
ada..., tentu kita akan diserangnya. Dengan keadaannya yang
tidak terlihat sangat mudah baginya membunuh kita satu
persatu," sambung Arya menguatkan pendapatnya.
Tanpa sadar semua yang berada di situ kembali
mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu..., bagaimana penjahat bejat itu bisa
berada di kamar Trijati, Dewa Arak?! Padahal, penjagaan
sangat ketat. Kami yakin bila Sangkala melakukan cara yang
wajar akan diketahui kedatangannya," ujar Bongara.
Murid-murid Perguruan Banteng Putih tampak
mendukung ucapan Bongara. Pandangan mereka
mengatakan semua itu. Mereka merasa telah menunaikan
tugas dengan baik. Tapi, mengapa Sangkala dapat masuk
juga? Itu yang tidak mereka mengerti.
"Hal itulah yang ingin kutanyakan pada kalian," ujar
Dewa Arak cepat, "Perlu kalian ketahui, menurut dugaanku
kemungkinan besar ini benar. Sangkala masuk ke tempat ini
dengan tidak wajar. Apa ilmu yang digunakannya, belum bisa
ditebak. Yang pasti jenis ilmu di dunia persilatan sangat
beragam. Banyak! Bahkan tidak terhitung. Banyak di
antaranya yang tidak masuk akal! Karena itu, aku ingin
mengajukan pertanyaan pada para penjaga. Apa kalian tidak
melihat sesuatu selama beijaga-jaga. Apa saja, masuk akal
maupun tidak!"
Suasana langsung hening ketika Dewa Arak
menyelesaikan perkataannya. Murid-murid Perguruan
Banteng Putih saling berpandangan. Dahi mereka berkemyit
mencoba mengingat-ingat
"Ah...! Aku ingat...!" ucap salah seorang dari mereka
yang bertubuh kedi kurus. Ucapan yang dikeluarkan
setengah berteriak itu membuat semua orang menoleh ke
arahnya.
"Katakan, Tambu...!" perintah Ki Rawung tak sabar.
"Di saat tengah berjaga aku melihat sosok hitam
sebesar kepalan tangan melesat masuk. Tapi, aku tidak
peduli. Saat itu pikiranku hanya tertuju pada Sangkala.
Seorang manusia! Bukan binatang!" jelas murid Perguruan
Banteng Putih yang bernama Tambu.
"Sosok hitam sebesar kepalan tangan?! Apa kau tidak
melihat dengan lebih jelas, Tambu?" tanya Arya meminta
penegasan.
Tambu terdiam. Laki-laki itu kelihatan ragu-ragu
untuk mengatakannya.
"Katakanlah, Tambu. J angan ragu-ragu. Percayalah.
Sedikit apa pun keterangan yang kau berikan akan berguna
banyak untuk melenyapkan Sangkala selama-lamanya,"
dukung Arya.
"Apa yang dikatakan Dewa Arak benar, Tambu.
Katakanlah. Jangan ragu-ragu," timpal Jayeng Praja ikut
memberi semangat.
"Aku tidak yakin akan penglihatanku.... Sosok hitam
itu terbang sangat cepat. Tapi, dari cara terbangnya bisa
kutebak sosok hitam itu adalah kelelawar!"
"Kelelawar?!"
Ucapan itu serempak keluar dari mulut semua orang
yang berada di situ. Tak terkecuali Dewa Arak dan Melati.
"Apa kau tidak salah lihat, Tambu?!" sergah Ki
Rawung. "Kelelawar? Di siang hari seperti ini?! Ah! Kurasa
kau mengada-ada!"
Seketika itu pula wajah Tambu merah padam
menahan malu. Tapi sebelum sempat menyesali keterangan
yang diberikannya, dukungan untuknya pun datang.
"Kurasa dia tidak mengada-ada, Ki! Aku yakni
Tambu tidak salah lihat! Sosok hitam yang dilihat Tambu
mungkin saja kelelawar. Sedang kemunculannya pada waktu
yang tidak tepat karena binatang itu bukan kelelawar biasa.
Kelelawar itu merupakan penjelmaan Sangkala!" urai Arya.
"Kau mempercayai keterangannya. Dewa Arak?"
tanya Kepala Desa Kawung setengah tak percaya.
"Benar!" Mantap dan tegas jawaban pemudi
berambut putih keperakan itu. "Tidak ada alas an bagiku
meragukannya, Ki. Bukti-bukti yang kutemukan cukup
mendukung keterangan Tambu!"
"Bisa kau jelaskan bukti-bukti yang kau maksud.
Dewa Arak?" kejar Ki Rawung masih tak percaya.
"Tentu, Ki," Dewa Arak menganggukkan kepala,
"Pertama, waktu Sangkala lenyap ketika menyelinap di balik
semak-semak dan pepohonan aku menemukan beberapa ekor
kelelawar. Aku yakin satu di antaranya merupakan jelmaan
Sangkala. Kedua, lenyapnya Sangkala di sini. Kalian saksikan
sendiri, hanya binatang kedi seperti kelelawar yang mampu
melewati lubang kedi di atas pintu itu"
Ki Rawung terdiam. Demikian pula Jayeng Praja,
Pendekar Tinju Maut, dan yang lainnya. Sesaat kemudian,
beberapa murid Perguruan Banteng Putih yang bertugas di
bagian belakang angkat bicara.
"Dugaan Dewa Arak benar! Kami melihat seekor
kelelawar keluar dari dalam gudang ini. Sayang kami tidak
tahu kelelawar itu penjelmaan Sangkala. Kalau tidak... sudah
kami sate dia!" geram lelaki bertahi lalat besar di pipi kanan.
"Ah...! Benar demikian?!" tanya Arya penuh
semangat.
"Benar!" jawab laki-laki bertahi lalat sambil
menganggukkan kepala.
"Kalau demikian, sekarang telah kita ketahui cara
Sangkala menghilang. Tapi, ingat jangan ada seorang pun
yang membocorkannya. Bila hal ini sampai terdengar
Sangkala, pasti dia akan bertindak lebih hati-hati!" ujar Dewa
Arak mengingatkan.
"Apa yang kau katakan benar. Dewa Arak. Lebih baik
kita bersikap seolah-olah tidak mengetahui cara dia
meloloskan diri. Mau tidak mau ini akan membuat
kewaspadaannya berkurang. Dengan demikian, kesempatan
meringkusnya hanya tinggal menunggu waktu yang tepat!"
dukung Pendekar Tinju Maut, "Bukankah demikian, Jayeng?"
"Benar," Jayeng Praja mengangguk, "Tapi...
kemungkinan besar aku tidak bisa ikut membantu meringkus
penjahat keji itu...."
"Mengapa, Jayeng? tanya Pendekar Tinju Mau heran.
"Hhh.J" Jayeng Praja menghela napas, "Kau kan
tahu. Loka. Perguruanku tengah dilanda musibah. Aku harus
kembali ke perguruan dan mengabarkan kepada saudagar itu
akan kejadian yang menimpa putrinya. Entah bagaimana
jadinya...."
Seketika orang-orang pun terdiam. Mereka bisa
menerima alasan yang dikemukakan Ketua Perguruan
Harimau Terbang. Mereka tahu tidak mungkin menahan-
nahan kepergian Jayeng Praja.
"Lagi pula... di sini tenagaku tidak berarti. Berbeda
dengan di perguruanku. Di sana kehadiran dan tenagaku
sangat dibutuhkan! Dengan keberadaan Dewa Arak di sini,
sepuluh orang sepertiku pun sudah tidak berarti. Sekarang
juga aku mohon diri kepada kalian semua...," usai berkata,
Jayeng Praja mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu.
Sementara semua yang hadir hanya bisa menatap
kepergiannya.
"Hhh.J"
Terdengar helaan napas berat. Ternyata Ki Rawung
yang mengeluarkannya, "Aku pun tidak bisa berlama-lama di
sini. Ranjita anakku, telah meninggal. Aku harus mengurus
pemakamannya."
"Sabar, Rawung," cegah Pendekar Tinju Maut, "Lebih
baik kita mengurusnya bersama-sama. Bukan hanya Ranjita
yang tewas di tangan Sangkala. Trijati pun demikian. Biarlah
aku mewakili kawanku, Ki Ageng Sora, untuk mengurus
perguruannya. Kurasa dia tidak keberatan."
Sesaat kemudian dengan didahului Pendekar Tinju
Maut dan Ki Rawung, rombongan itu bergerak meninggalkan
gudang. Tujuan mereka jelas. Tempat pemakaman.
3
Sementara itu, jauh dari Perguruan Banten Putih,
orang yang tengah dibicarakan sedang terbaring lemah
dilantai sebuah rumah kosong yang sudah tidak berpenghuni.
Tampaknya Sangkala terluka.
"Keparat! Kalau tidak ada kawan-kawannya, sudah
kuhancur lumatkan pemuda berambut setan itu" Desis
Sangkala sangat geram. Kemudian pemuda berwatak bejat itu
mengusap dadanya. Bagian itu terasa sesak akibat
berbenturan pukulan j arak jauh dengan Dewa Arak.
Tapi ini tidak menjadi bukti tenaga dalam Sangkala
berada di bawah Dewa Arak. Yang jelas kedudukan Dewa
Arak lebih menguntungkan. Sangkala tidak sempat
mengerahkan seluruh tenaganya ketika mengadu benturan
dengan lawan. Sebab waktunya tidak memungkinkan.
"Kelak akan kucari pemuda berambut setan itu. Akan
kubuktikan siapa di antara kami yang paling hebat!" Desis
Sangkala penuh dendam.
"Hhh...!"
Sangkala menghela napas berat. Dibiarkannya
angan-angannya melayang ke masa beberapa bulan lalu.
Sewaktu dirinya belum memiliki kekuatan seperti ini. Saat itu
dia sedang dikejar-kejar rombongan dari Desa Kawung yang
dipimpin Ki Ageng Sora.
Sangkala tidak tahu Ranjita dan Bongara ikut teijun
ke dalam danau untuk menangkapnya. Sayangnya Ranjita
tidak berani meneruskan pencariannya karena lubang
dinding danau yang mempunyai daya tarik luar biasa.
Rombongan dari Desa Kawung pun gagal menangkapnya.
(Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam
episode "Manusia Kelelawar")
Sebenarnya ke manakah perginya Sangkala?
Benarkah seperti yang diduga Ranjita? Benarkah Sangkala
masuk ke dalam rongga di salah satu dinding danau?
Kesimpulan yang didapat Ranjita memang tidak
keliru! Sangkala berenang melalui rongga itu. Bukan karena
sengaja, tapi secara kebetulan!
Kalau Ranjita langsung mundur begitu melihat
keanehan pada lobang itu, tidak demikian dengan Sangkala!
Ketidakinginan mati secara menyedihkan membuat Sangkala
bertindak nekat. Tanpa kenal takut didekatinya lubang itu.
Luar biasa! Meskipun jaraknya masih dua tombak,
tubuh Sangkala terseret ke arah lubang. Sangkala yang telah
nekat dan lebih rela mati di danau itu tidak melakukan
perlawanan. Maka dengan mudah tubuhnya tertarik ke
lubang hingga masuk ke dalamnya.
Ternyata kekuatan yang ada di balik lobang itu lebih
dahsyat. Sangkala yang telah lelah karena pengaruh luka-
lukanya tidak kuat bertahan. Dia pingsan!
Entah berapa lama pemuda itu tidak sadarkan diri.
Yang diketahuinya begitu sadar dia telah berada di sebuah
ruangan berhawa lembab. Di dekatnya terdapat sebuah
sumur yang airnya bergolak ke atas.
Dari keadaan ini Sangkala segera dapat menarik
kesimpulan. Tubuhnya dilemparkan ke sini oleh air yang
bergolak ke atas itu. Sangkala memperhatikan keadaan
sekelilingnya. Lumut dan tumbuhan air menghiasi sekeliling
ruangan.
"Akh.J"
Sangkala memekik kesakitan ketika berusaha
bangkit. Pemuda itu segera teringat akan luka-luka yang
dideritanya. Ya! Pada empat bagian tubuhnya telah
menancap pisau-pisau Ki Ageng Sora.
Teringat akan hal itu Sangkala mengarahkan
pandangan ke belakang pahanya. Pemuda berwajah bopeng
itu terkejut. Tidak dijumpainya pisau-pisau itu ada di sana.
Sangkala terheran-heran. Bukankah dia belum mencabutnya?
Mengapa pisau-pisau itu tidak ada lagi?
Rasa penasaran membuatnya memeriksa pung¬
gungnya. Hasil yang didapatkan Sangkala tak berbeda. Pisau-
pisau yang menancap punggung kanan dan kirinya juga
sudah tidak ada, vralaupun rasa sakit masih mendera.
Mungkinkah pisau-pisau itu terlepas sendiri ketika tubuhnya
tertarik ke rongga dinding danau kecil itu? Tanya Sangkala
dalam hati. Atau ada kemungkinan lain?
Tapi hanya sebentar Sangkala membiarkan benaknya
dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. Sesaat kemudian
dilupakannya. Dia tahu pertanyaan itu tak bisa dijawabnya.
Sangkala memutuskan untuk memeriksa ruangan
tempatnya terdampar. Meskipun rasa sakit mendera sekujur
tubuh dan tenaga yang ada hanya tinggal sisa-sisa, pemuda
itu berusaha bangkit. Dengan tertatih-tatih dan lebih
mendekati merangkak daripada berjalan, Sangkala
meninggalkan tempatnya berbaring. Pemuda itu mulai
memeriksa sekitar ruangan. Hasil yang didapatkannya benar-
benar mengejutkan!
Ruangan itu ternyata tidak mempunyai jalan keluar.
Tapi ada dua buah lubang. Yang satu sebuah lubang bergaris
tengah hampir satu tombak dan berjarak sekitar enam
tombak dari sumur aneh itu. Tapi lubang itu tertutup batu
besar dari luar. Besar dan tampak kokoh.
Sementara lubang yang lain tidak menghubungkan
tempat itu dengan dunia luar. Lubang yang ukurannya lebih
kecil dari yang pertama menghubungkan ruangan tempat
Sangkala berada dengan ruangan lain yang lebih kedi,
berbentuk persegi panjang. Ukurannya tak lebih dari tiga dua
tombak.
Tapi justru karena tempat yang kedi itu Sangkala
terpekik kaget. Langkahnya terhenti di pinggiran lubang.
Sepasang matanya hampir tidak berkedip. Sangkala menatap
ke salah satu dinding ruangan itu. Pemandangan yang
mengejutkan memang berada di sana. Tampak sebuah
kerangka manusia dalam keadaan duduk bersila. Kedua
tangannya dengan jari-jari terbuka berada di atas lutut.
Setelah berhasil menguasai perasaan, baru Sangkala
mengayunkan langkah mendekat. Rasa kagum dan sangat
ngeri menggayuti hatinya. Sangkala tahu kerangka itu pasti
milik seorang tokoh persilatan. Yang aneh, mengapa meski
telah mati tengkoraknya tidak rubuh? Ini merupakan
peristiwa yang mengejutkan. Sangkala menduga tokoh itu
sangat pandai dan berilmu tinggi. Tapi mengapa dia tewas
dalam keadaan seperti itu?
Sambil terus melangkah, Sangkala mengedarkan
pandangan berkeliling. Pada dinding yang berada di sebelah
ruangan dilihatnya guratan-guratan berbentuk tulisan.
Perasaan ingin tahu membuat Sangkala
mengarahkan langkahnya ke tempat guratan berada. Hanya
dalam beberapa tindak, dia telah berada di dekat dinding itu.
Seperti yang diduganya semula, guratan-guratan itu memang
berupa tulisan. Bekas murid Perguruan Banteng Putih itu
sempat kaget ketika mengetahui tulisan itu dibuat dengan jari
tangan manusia!
Sangkala semakin bertambah yakin orang yang telah
menjadi tengkorak itu memang seorang tokoh tingkat tinggi.
Sebab membutuhkan tenaga dalam tinggi untuk
mengguratkan jari pada dinding ruangan yang terbuat dari
batu keras itu.
***
Dengan penuh minat, Sangkala membaca tulisan
yang tertera di dinding.
Belasan tahun menanggung rindu
Menyiksa diri untuk menuntut ilmu
Semua itu demi si dara ayu
Yang menembakkan panah asmara di hatiku
Harapan hanya tinggal angan
Si dara ayu menolak pinangan
Tak ada guna semua kepandaian
Lebih baik kutemui kematian
"Hhh...!"
Sangkala menghela napas selesai membaca tulisan
itu. Kini telah diketahuinya sedikit riwayat hidup tokoh yang
telah menjadi tengkorak itu.
Tokoh itu ternyata mencintai seorang wanita. Untuk
menarik hatinya, ia berkeras sampai memiliki ilmu yang
tinggi. Tapi sayang cintanya ditolak si dara ayu. Tokoh itu
patah hati. Putus asa. Lalu bunuh diri. Rasa simpati muncul
di hati Sangkala. Nasib tokoh itu sama benar dengan dirinya.
Teringat akan tokoh yang telah menjadi tengkorak
membuat Sangkala mengalihkan pandangan; ke arahnya.
Diperhatikannya beberapa saat sebelum kakinya
dilangkahkan mendekat.
"Kasihan kau, Kisanak," desis Sangkala penuh haru
ingat akan dirinya sendiri. "Kau hidup sendirian. Tidak ada
yang menemani. Bahkan sampai mati kau masih tersiksa.
Tidak ada yang menguburmu. Tunggulah sebentar. Akan
kubuatkan tempat beristirahat yang layak untukmu."
Sangkala lalu menggali sebuah lubang di dalam
ruangan. Untung pemuda itu menemukan sebuah pedang.
Dengan senjata itu, dia membuat lubang kuburan. Susah
payah Sangkala melakukan sema itu. Keadaan dirinya
memang tidak memungkinkan. Ditambah lagi tanah di
tempat itu keras bukan main.
Akhirnya setelah memakan waktu cukup lama
terbentuk juga sebuah lubang untuk mengubur kerangka itu.
Semangat Sangkala pun bangkit. Tanpa disadari tubuhnya
mulai agak segar karena terbawa semangat. Sangkala
kemudian beranjak menghampiri tengkorak tokoh yang
malang itu. Untuk terakhir kali, dipandanginya kerangka itu.
Setelah merasa cukup, Sangkala mengulurkan tangan
ingin mengangkat kerangka itu dan menguburkannya.
Khawatir akan menyebabkan kerusakan, Sangkala bertindak
hati-hati sekali. Dicarinya bagian yang sekiranya tidak
menimbulkan kerusakan bila kerangka itu diangkat.
Dan ketika sudah merasa yakin akan pilihannya,
Sangkala menjulurkan tangan. Dengan hati-hati dicekalnya
kerangka itu dan diangkatnya. Tapi baru saja kerangka itu
terangkat sedikit, tiba-tiba....
Grrrggghhh...!
Bunyi berderak terdengar keras. Sangkala terperanjat
dan melangkah mundur. Ruangan itu terasa bergetar.
Dengan rasa tegang, Sangkala menunggu kejadian
selanjutnya. Ternyata bunyi berderak keras dan bergetarnya
ruangan itu terjadi karena bergesernya lantai ruangan
sehingga terdpta rongga! Di dalamnya tampak sebuah peti
kedi berwarna hitam dan berukir.
Pemandangan yang terpampang di hadapannya
membuat Sangkala merasa heran. Apa isi peti itu?
Pertanyaan itu bergelayut di benaknya. Tapi Sangkala tidak
memikirkan lebih jauh. Diputuskannya untuk mengubur
kerangka itu lebih dulu. Seperti sebelumnya, Sangkala
memasukkan kerangka itu dengan hati-hati.
Saat itulah terjadi peristiwa yang mengejutkan. Dari
bagian atas ruangan yang tepat berada di atas lubang tempat
peti hitam berada meluncur puluhan batang tombak! Bunyi
mendesing nyaring mengiringi luncuran tombak-tombak
hingga menancap di dasar lubang. Beberapa di antaranya
mengenai peti!
"Ah...!"
Sangkala bergidik melihatnya. Kalau tadi dia
bertindak ceroboh dan langsung memutuskan mengambil
peti itu, pasti sudah tewas tersate. Lubang berbentuk bujur
sangkar dengan panjang sisi satu tombak itu dipenuhi
luncuran tombak dalam jumlah tak kurang lima puluh
batang! Bagaimana dia bisa selamat?
Sangkala lalu melanjutkan pekerjaannya yang
tertunda. Ditimbuninya lubang yang baru dibuatnya dengan
batu-batu dan tanah. Tak lupa dipasangnya sebuah batu
berbentuk persegi sebagai nisannya. Setelah itu, Sangkala
mengalihkan perhatian pada lubang tempat peti hitam
berada. Tapi lubang tidak bisa dimasuki lagi. Karena
dipenuhi tancapan tombak.
Namun itu tidak menjadi halangan bagi Sangkala.
Tanpa menemui kesulitan dicabutnya tombak-tombak itu.
Satu persatu! Berdiri bulu kuduk pemuda berwajah bopeng
itu melihat ujung tombak bersemu kehijauan pertanda
mengandung racun! Sangkala ngeri membayangkan dirinya
menjadi sasaran tombak-tombak itu.
***
Dalam waktu singkat semua tombak-tombak itu
berhasil dicabut Sangkala. Sekarang lubang itu terlihat lagi.
Demikian pula peti kedi berukir itu.
"Hhh.J"
Sangkala menghela napas lega. Tubuhnya direbahkan
sebentar untuk beristirahat. Tampaknya pemuda berwajah
bopeng itu telah banyak mengeluarkan tenaga. Padahal, saat
itu keadaannya kurang menguntungkan. Tak heran bila dia
dilanda rasa lelah yang sangat. Sangkala tidak terlalu lama
beristirahat. Ketika rasa lelah mulai berkurang,
diputuskannya untuk meneruskan maksudnya.
"Hih!"
Jiiggg!
Meskipun dengan agak terhuyung, Sangkala berhasil
hinggap di dasar lubang tempat peti berada. Diambilnya peti
itu, dan dibawanya naik ke atas. Apa isi peti kedi ini?
Pertanyaan itu kembali muncul di benaknya.
Karena dorongan rasa ingin tahu yang memuncak,
Sangkala membukanya. Peti kedi itu ternyata tidak dikund.
Sehingga Sangkala tidak menemui kesulitan.
Klakkk!
Tutup peti berhasil dibukanya. Tampak setumpuk
lembaran kulit binatang berisikan tulisan. Sangkala
mengambil lembar pertama dan membacanya.
Muridku...
Apabila surat ini telah kau baca, berarti kau telah
menjadi muridku. Kuucapkan selamat! Karena kau akan
mewarisi ilmu-ilmu tingkat tinggi. Dengan berhasilnya kau
membaca surat ini, kau telah lulus dari dua buah ujian yang
kuberikan. Sekali lagi, selamat.
Tertanda: Gurumu.
Sangkala mengangguk-angguk tanda mengerti.
Diam-diam pemuda berwajah bopeng itu kagum akan siasat
yang dipergunakan tokoh misterius itu. J ika tadi dia bersikap
tidak peduli pada kerangka nya, pasti tidak akan menjadi
murid tokoh itu.
Tapi hal yang lebih menyeramkan akan dialami bila
dia melupakan kerangka yang akan dikuburnya. Bila saat itu
dia sampai terpancing, mungkin sekarang Sangkala telah
menjadi sate. Sangkala kembali mengulurkan tangan
mengambil lembaran yang kedua. Kemudian dibacanya.
Muridku....
Telah kuputuskan untuk mewariskan sebuah ilmu
yang lebih pantas dikatakan ilmu mukjizat. Ilmu ini
kunamakan jurus 'Kelelawar'. Karena kuambil dan
kuciptakan berdasarkan perilaku binatang itu dalam
mempertahankan hidupnya. Baik ketika menghadapi musuh
maupun calon korbannya.
Ilmu ini kuciptakan bertahun-tahun. Bahkan
belasan tahun. Tapi untukmu telah kubuat sedemikian rupa
sehingga kau hanya membutuhkan waktu empat puluh satu
hari untuk menguasainya.
Caranya adalah dengan bertapa. Selama empat
puluh satu hari kau harus bertapa di tempat aku dulu duduk
bersemadi sampai ajal menjemputku.
Muridku... perlu kau ketahui, di waktu kau bertapa
akan terdapat cobaan-cobaan. Hanya dua macam. Setiap
kali lulus dari satu cobaan, kau akan mendapat ganjaran.
Akhirnya kuucapkan selamat berjuang, muridku.
Kudoakan kau berhasil menyelesaikan tapamu.
Gurumu.
Sangkala merapikan kembali lembaran-lembaran
kulit binatang itu. Kemudian ditutupnya peti itu, dan
dikembalikan ke tempat semula.
4
Sejak saat itu Sangkala melaksanakan petunjuk yang
diberikan guru tanpa nama itu. Sangkala mulai bertapa.
Dibentuknya sikap seperti orang hendak bersemadi. Duduk
bersila dengan punggung lurus. Tapi kedua tangan Sangkala
tidak diletakkan di depan dada. Melainkan ditaruh di atas
kedua lututnya. Napasnya pun biasa. Tidak menuruti aturan
seperti orang bersemadi.
Pemberitahuan yang diberikan gurunya ternyata
bukan hanya bualan. Cobaan mulai datang. Tapi Sangkala
tidak tahu setelah bertapa berapa lama cobaan itu datang.
Cobaan itu terasa aneh bagi Sangkala. Pemuda
berwajah bopeng itu memejamkan mata, tapi dia seperti
melihat jelas cobaan yang melanda.
Cobaan pertama, muncul kobaran api di sekitar
tempatnya bertapa. Dia seperti berada di tengah-tengah.
Sangkala merasakan sekujur tubuhnya panas bukan main.
Semakin lama rasa panas yang mendera semakin menjadi-
jadi. Bahkan Sangkala merasakan tubuhnya seperti terbakar.
Kalau menuruti perasaan, mungkin Sangkala sudah
menyerah. Tapi teringat akan dendamnya pada orang-orang
yang mengucilkan kehidupannya membuat semangatnya
berkobar. Hingga bekas murid Perguruan Banteng Putih itu
memutuskan tidak akan menyerah.
Betapapun rasa panas mendera dan dalam pikiran
terlihat tubuhnya ditelan api sehingga tidak terlihat lagi,
Sangkala terus bertahan. Entah berapa lama siksaan api itu
melanda, Sangkala tidak tahu. Yang dirasakan hanya satu,
rasa panas yang sangat. Sampai akhirnya api itu mengecil dan
padam sama sekali.
Tapi itu tidak berarti ujian telah berakhir. Sama
sekali tidak! Begitu api padam, muncul cobaan lain. Angin
puyuh datang dan menyergap Sangkala. Kemudian
menerbangkannya ke sana kemari sekehendak hati.
Hampir saja Sangkala menjerit dan membatalkan
tapanya. Tapi kembali ingatan akan dendamnya membuat
pemuda itu berusaha bertahan. Dan seperti juga sebelumnya,
angin topan itu akhirnya lenyap. Seiring dengan lenyapnya
angin topan, Sangkala merasakan dirinya berada di sebuah
tempat yang asing. Semua serba putih. Tidak kelihatan bukit,
gunung, batu, pohon maupun rumput. Yang ada hanya
hamparan tanah berwarna putih. Tidak ada sesuatu pun di
atas tanah itu.
Sejenak Sangkala kebingungan. Kemudian tanpa
diketahui dari mana datangnya, di hadapan Sangkala telah
berdiri seorang kakek bertubuh sedang berpakaian coklat.
Sebenarnya perawakan tubuh kakek berpakaian coklat itu
gagah. Dadanya bidang, kekar, dan tegap berisi. Tapi, semua
itu tertutup oleh keadaan wajahnya. Wajah kakek itu penuh
bopeng seperti bekas kena penyakit cacar!
"Bersiaplah, Sangkala," ujar kakek berpakaian coklat.
Nada suara kakek bopeng itu begitu dingin. Demikian
pula tarikan wajah dan sorot matanya. Sepertinya bukan
milik manusia!
Sangkala agak bergidik juga melihatnya. Apalagi
ketika melihat gaya bicara kakek berpakaian coklat itu. Kedua
bibirnya tidak bergerak sedikit pun ketika berbicara. Sesuatu
yang unik dan tidak masuk akal. Demikian pendapat
Sangkala.
"Mengapa bengong, Sangkala?!" tegur kakek bopeng
tetap dengan nada dingin, "J angan membuang-buang waktu.
Aku akan mewariskan jurus 'Kelelawar' andalanku. Kau siap
menerimanya?"
"Si... siap. Guru!"
Sangkala berusaha memantapkan jawabannya. Tapi
karena rasa takut masih melanda, suaranya gemetar seperti
orang demam.
Namun rupanya kakek berpakaian coklat tidak
mempedulikan perasaan yang bergayut di hati Sangkala.
Begitu dilihatnya pemuda itu menyatakan kesediaan,
langsung saja diberikan petunjuk-petunjuk mengenai jurus
'Kelelawar'. Maka tanpa disadari Sangkala, meskipun pada
lahirnya dia bertapa, tapi badan halus atau apa pun namanya
tengah mendapat bimbingan gurunya.
Aneh lagi di tempat yang unik itu Sangkala tinggal
selama sepuluh tahun! Selama itu dia berlatih keras
mempelajari jurus 'Kelelawar'. Hingga Sangkala dapat
mengubah dirinya menjadi kelelawar. Tepat sepuluh tahun,
ketika dirasakan Sangkala telah menguasai jurus 'Kelelawar'
dengan baik, kakek bopeng mengajaknya bicara empat mata.
"Sangkala...!"
"Ya, Guru," jawab Sangkala penuh rasa hormat.
"Kau telah menguasai jurus 'Kelelawar'. Itu berarti
waktu perpisahan telah tiba. Jagalah dirimu baik-baik,
Sangkala. Sekarang tapamu telah selesai. Selamat tinggal..!"
kakek berpakaian coklat yang selama ini telah
membimbingnya kemudian lenyap dari pandangan.
Sangkala yang tidak menyangka perpisahan akan
teijadi secepat ini tampak kaget bukan main,
"Guru...!" seru Sangkala kalap, "Jangan tinggalkan
aku. Guru! Kembalilah, Guru! Guru...!"
Sangkala berlari ke sana kemari memanggil gurunya.
Tapi usahanya sia-sia. Gurunya tetap tidak menunjukkan diri.
Namun Sangkala tidak putus asa. Terus dicarinya kakek
bopeng itu. Tenggorokan dan kakinya sampai lelah tetap saja
tidak terlihat tanda-tanda gurunya akan muncul.
"Ah...! Guru...! Kembalilah, Guru...!" keluh Sangkala
setengah putus asa.
Pemuda berwajah bopeng itu menutup wajahnya
dengan kedua belah tangan. Cukup lama dia bersikap
demikian, sebelum akhirnya menyadari kenyataan gurunya
telah pergi. Maka diputuskan untuk menghentikan usahanya.
Kedua tangannya dijauhkan dari wajahnya. Kejadian
selanjutnya benar-benar membuat Sangkala membelalakkan
mata. Dia telah berada di tempat semula. Ruangan tempat
dia menemukan kerangka. Bahkan masih duduk tempat
kerangka itu semula berada.
"Ahhh...!"
Sebuah keluhan keluar dari mulut Sangkala. Keluhan
ketidak mengertian. Sungguh tidak dimengertinya semua
kejadian yang dialami. Apakah semua itu bukan mimpi dan
benar-benar nyata? Benarkah dia telah mempelajari jurus
'Kelelawar' dari seorang kakek bopeng selama sepuluh tahun
di sebuah tempat yang aneh? Tapi, mengapa sekarang dia
berada di tempat ini?
Sangkala menggoyang-goyangkan kepala membuang
semua pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Kemudian
dicobanya untuk mengingat-ingat. Sangkala pun teringat.
Dirinya sedang bertapa agar mendapat ilmu dahsyat dalam
waktu singkat. Apakah ini berarti tapanya telah selesai dan
dia telah mendapat jurus 'Kelelawar'?
Seketika itu pula timbul keinginan di hati Sangkala
untuk membuktikannya. Dan betapa gembiranya pemuda itu
ketika dirasakan di bawah pusarnya ada hawa aneh yang
berputaran keras. Sebagai seorang pesilat Sangkala tahu
hawa yang berputar itu adalah tenaga dalam.
"Benarkah aku telah memiliki ilmu yang tinggi?"
Karena penasaran, dicobanya bangkit berdiri. Ingin
dibuktikan sendiri benarkah dia telah menguasai jurus
'Kelelawar' dengan cara yang aneh?
Tapi Sangkala segera mengurungkan niatnya ketika
melihat keadaan dirinya. Tubuhnya kurus kering seperti tidak
berdaging. Hanya tinggal tulang dibungkus kulit!
Hampir saja Sangkala menjerit kaget. Pemuda itu
baru sadar telah sekian puluh hari tidak makan! Empat puluh
satu hari hanya bertapa tanpa makan dan minum. Itu
sebabnya, Sangkala membatalkan maksudnya. Khawatir
dirinya tidak akan sanggup melatih ilmunya.
Sangkala merubah keputusannya. Pemuda itu ingin
mencari makanan untuk mengembalikan keadaan tubuhnya
seperti semula. Tapi ternyata di tempat itu tidak ada sesuatu
yang dapat dimakan. Betapapun Sangkala berusaha mencari,
tetap saja tidak diketemukan. Maka dengan terpaksa
dilahapnya lumut dan jamur yang tumbuh di situ.
Selama beberapa hari Sangkala harus menghilangkan
rasa jijiknya untuk memakan tumbuh-tumbuhan itu.
Sebelum akhirnya dia berhasil keluar dari sana dengan cara
menghancurkan batu besar yang menutup lubang keluar
ruangan itu.
***
"Hhh...!"
Sangkala menghela napas berat ketika teringat
kembali akan nasibnya sekarang. Dia berlari tunggang-
langgang menyelamatkan selembar nyawanya. Itu teijadi
karena Dewa Arak ada di tengah-tengah musuhya.
Sangkala sadar selama ada Dewa Arak di Desa
Kawung sulit baginya untuk membalas dendam dengan
leluasa. Dewa Arak memiliki kepandaian yang tinggi dan
tidak berada di bawahnya. Padahal pemuda berambut putih
keperakan itu tidak sendiri, masih banyak kawan-kawannya
yang lain. Kalau mereka semua turun tangan, pasti dia akan
celaka.
Sangkala tidak ingin pengalaman seperti itu terulang
lagi. Dia benci menjadi orang kalah. Sejak dulu dirinya selalu
kalah. Sekarang pemuda itu tidak ingin kalah lagi. Maka
otaknya diputar mencari jalan keluar memecahkan masalah
ini.
Cukup lama Sangkala berpikir keras. Sampai
akhirnya dia berhasil menemukan cara yang dianggapnya
sangat jitu. Kalau Dewa Arak mempunyai pengikut, mengapa
dia tidak? Ya! Dia harus mempunyai pengikut agar dapat
mengimbangi kedudukan!
Puas akan keputusannya Sangkala tersenyum. Tapi
untuk mencari pengikut, luka dalamnya harus disembuhkan
lebih dulu. Memang, tidak parah. Tapi Sangkala tidak mau
meremehkan. Sesaat kemudian, bekas murid Perguruan
Banteng Putih itu terlelap dalam semadinya.
***
Sang Surya baru saja menampakkan diri di ufuk
timur dalam bentuk bola raksasa merah yang menyorotkan
sinar lembut ke bumi. Tiupan angin semilir, kicau burung,
serta kokok ayam jantan menyemaraki suasana pagi yang
sejuk.
Tapi kesejukan pagi itu tidak dirasakan orang-orang
yang berada di depan pintu gerbang Perguruan Harimau
Terbang. Sorot ketegangan tampak pada wajah kelima sosok
tubuh itu. Dua di antara mereka berpakaian kuning kentang
dengan sulaman kepala seekor harimau di bagian dada kiri.
Agaknya dua orang itu murid-murid Perguruan Harimau
Terbang. Sedangkan yang tiga orang adalah seorang laki-laki
setengah baya bertubuh kedi kurus dan berpakaian indah,
didampingi dua orang bertubuh tinggi besar dan bertampang
seram.
"Sayang sekali. Tuan. Aku tidak bisa memberikan
keterangan. Kami harap sabar menunggu hingga Ki Jayeng
Praja kembali," kata murid Perguruan Harimau Terbangyang
berambut kemerahan.
"Apa kau bilang?" sambut lelaki berpakaian indah
dengan nada tinggi. "Aku harus menunggu?! Hey! Dengar
baik-baik! Bila sampai siang nanti tidak juga kudapatkan
jawaban mengenai keadaan putriku, jangan salahkan jika aku
bertindak sendiri !' 1
"Keparat!"
Murid Perguruan Harimau Terbang yang lain
menggertakkan gigi mendengar ancaman itu. Tampak dia
sangat marah dan merasa tersinggung. Sepasang matanya
yang sipit semakin tidak terlihat karena kebiasaannya
menyipitkan mata jika sedang marah.
"Hehhh?! Kau berani memakiku?!" sergah lelaki
berpakaian indah. Lelaki setengah baya itu adalah saudagar
yang menitipkan putrinya pada pengawalan murid-murid
Perguruan Harimau Terbang.
"Bodong! Beri dia pelajaran!"
Bodong, salah satu dari dua lelaki bertubuh tinggi
besar dan bertampang seram, mengepal-ngepalkan kedua
tangannya hingga terdengar bunyi berkerotokan keras. Itu
dilakukan sambil mengayunkan kaki lebar-lebar ke arah
murid Perguruan Harimau Terbangyang bermata sipit.
Tapi lelaki bermata sipit sedikit pun tidak merasa
gentar. Tanpa ragu disambutnya kedatangan Bodong dengan
hangat. Dia ikut melangkah maju. Hingga mereka saling
mendekati. Sementara saudagar itu, rekan Bodong, dan
murid Perguruan Harimau Terbang yang lain menonton.
Mereka ingin melihat kejadian selanjutnya.
Dengan mata hampir tidak berkedip, ketiga orang itu
menyaksikan Bodong dan murid Perguruan Harimau
Terbang telah siap bertarung. Kedua orang itu saling tatap
sejenak dalam jarak satu tombak.
Mereka seperti sedang mengadu kekuatan pandang
mata. Dan sesaat kemudian. Bodong membuka serangan
dengan teriakan keras membahana.
Wuttt!
Angin menderu cukup keras ketika Bodong
mengayunkan kepalanya yang besar. Arah yang dituju ulu
hati!
"Hmh!"
Murid Perguruan Harimau Terbang mendengus.
Sikapnya menunjukkan dia tak menganggap serangan
Bodong suatu ancaman yang membahayakan.
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, lelaki bermata sipit itu
menarik kaki kanannya mundur. Pada saat yang bersamaan
tangan kirinya diayunkan menetak serangan lawan dengan
gerakan dari luar ke dalam! Maka,
Takkk!
Benturan keras dua tangan yang dialiri tenaga dalam
tidak dapat dihindarkan lagi. Tubuh mereka terhuyung
mundur. Bodong terhuyung dua langkah. Sementara
lawannya empat langkah. Seringai kesakitan terukir di wajah
murid Perguruan Harimau Terbang. Tenaga dalam Bodong
ternyata lebih unggul. J uga dalam kekuatan tulang
tangannya.
"Ha ha ha...!" Bodong tertawa tergelak menyadari
kelebihannya. "Sebentar lagi bukan tanganmu, tapi kepalamu
yang akan kuhancurkan!"
Usai berkata. Bodong melancarkan serangan bertubi-
tubi dengan pukulan kanan kiri. Kali ini bagian yang
diserangnya adalah wajah. Rupanya Bodong ingin
membuktikan sesumbarnya.
Murid Perguruan Harimau Terbang itu kelihatan
tidak berani bertindak gegabah. Disadari kalau lawan
memiliki kelebihan, baik dalam tenaga maupun kekuatan
tubuh. Maka diputuskannya untuk menghadapi dengan cara
lain.
Lelaki bermata sipit itu pun melaksanakan
rencananya.
"Hih!"
Serangan-serangan Bodong hanya mengenai tempat
kosong. Lewat beberapa jengkal di bawah kaki murid
Perguruan Harimau Terbang itu. Rupanya, lelaki bermata
sipit itu melompat ke atas untuk mengelakkan serangan
lawan. Tidak hanya itu. Begitu tubuhnya berada di atas,
kakinya dijejakkan ke arah kepala Bodong.
Wuttt!
Bodong menyadari akan bahaya yang mengancam.
Lelaki tinggi besar itu tahu j ejakan kaki murid Perguruan
Harimau Terbang bisa menghancurkan kepalanya. Maka
buru-buru dielakkannya serangan itu dengan melakukan
lompatan harimau.
"Hup!"
Dengan bertumpu pada kedua tangan. Bodong
menggulingkan tubuhnya di tanah. Dan segera bangkit
dengan cepat.
Bertepatan dengan berhasilnya Bodong memperbaiki
kedudukan, laki-laki bermata sipit itu telah siap melancarkan
serangan susulan. Keduanya bertukar pandang sekilas
dengan sikap waspada karena tahu lawan yang dihadapi tidak
dapat dipandang ringan.
Sesaat kemudian, dengan diawali teriakan keras yang
memecahkan keheningan suasana pagi, kedua orang itu
saling terjang. Pertarungan sengit pun tidak dapat dielakkan
lagi. Kedua belah pihak tampak memiliki kemampuan
seimbang. Masing-masing mempunyai kelebihan yang
berlainan.
Bodong memiliki kelebihan pada tenaga dalam dan
kekuatan tubuh. Tapi dalam hal kelincahan lawannya lebih
unggul. Dan karena kedua belah pihak menyadari
kelebihannya dan mempergunakannya dengan penuh, maka
pertarungan pun berlangsung seimbang.
5
Jurus demi jurus berlalu. Tak terasa pertarungan
sudah memasuki jurus kedua puluh lima. Selama itu belum
tampak tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai
pemenang. Padahal di luar kancah pertarungan telah terjadi
perubahan yang cukup menyolok. Orang yang menyaksikan
jalannya pertarungan tidak hanya tiga orang, tapi belasan
orang. Riuhnya bunyi pertarungan mengundang murid-
murid Perguruan Harimau Terbang lainnya untuk
mendatangi tempat itu.
"Kalau dibiarkan terus, pertarungan ini tidak akan
pernah berakhir," ujar murid Perguruan Harimau Terbang
yang berjenggot panjang. Sambil berkata demikian, lelaki itu
mengelus-elus jenggotnya. Kemudian dengan sekali genjot
tubuhnya melayang memasuki kancah pertarungan. Dan....
Jiiggg!
Ringan laksana sehelai daun kering, lelaki berjenggot
panjang mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tepat di
tengah-tengah arena pertarungan.
Tampak lelaki berjenggot panjang melakukan
tindakan yang tepat. Keberadaannya tepat pada saat Bodong
dan laki-laki bermata sipit tengah berjauhan. Agaknya dia
telah memperhitungkan tindakannya. Keberadaan lelaki itu
membuat mereka yang bertarung tidak dapat bergerak lagi.
"Kakang Subali..!" seru laki-laki bermata sipit
terkejut.
Lelaki berjenggot panjang yang ternyata bernama
Subali tidak bisa memberikan tanggapan. Sebab...,
"Ooo...! Rupanya kalian ingin mengeroyok?!" ejek
Bodong. "Silakan! Silakan...! Jangan kalian kira aku akan
gentar!"
"Tutup mulutmu. Kerbau Goblok!" maki Subali
geram. Lelaki itu tersinggung mendengar tuduhan Bodong.
"Aku bukan orang sepertimu! Cepat menyingkir dari sini
sebelum hilangkesabaranku!"
"Ha ha ha...!"
Bodong menanggapi peringatan Subali dengan tawa
tergelak sambil bertolak pinggang. Tampaknya dia tidak
memandang sebelah mata pun pada Subali.
"Kau kira aku gampang ditakut-takuti?! Ho ho ho.J
Kau keliru. Kambing Tua! J angankan hanya gertak sambal,
ancaman maut sekalipun aku tidak gentar!"
Hebat bukan main pengaruh ucapan Bodong. Wajah
Subali merah padam. Sepasang matanya berkilat-kilat
menyiratkan kemarahan. Dan bunyi gemeretak keluar dari
mulutnya.
"Ingat, Kerbau Goblok! Aku telah memberimu
kesempatan! Tapi kau menyia-nyiakan. J angan salahkan aku
j ika bertindak keras terhadapmu!''
"Diam, Kambing Tua! Jangan mengembik-ngembik
terus! Aku bosan mendengarnya! Hiyaaat...!"
Diiringi teriakan keras. Bodong meluruk ke arah
Subali. Kedua tangannya yang terkepal dipukulkan bertubi-
tubi ke arah dada lawan.
Bet, bet, bet!
Bunyi cukup keras yang mengiringi datangnya
pukulan menunjukkan serangan itu dilancarkan dengan
pengerahan tenaga dalam cukup tinggi!
Tapi Subali tetap tenang. Ditunggunya hingga
serangan Bodong semakin dekat. Ketika hal itu terjadi, lelaki
berjenggot panjang itu baru bertindak. Kakinya dilangkahkan
ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Hasilnya memang
jitu! Serangan-serangan Bodong menyambar lewat beberapa
jari di sebelah kirinya.
Saat itulah Subali bertindak! Tangan kirinya
diletakkan ke arah kuduk lawan. Bodong terkejut bukan
main. Sebisanya lelaki tinggi besar itu berusaha mengelak.
Dukkk!
"Uh...!"
Bodong mengeluh tertahan sebelum ambruk ke
tanah. Dia tidak berhasil mengelakkan serangan Subali.
Gerakan lelaki berjenggot panjang itu terlalu cepat
***
Sekilas Subali menatap Bodong yang pingsan.
Kemudian pandangannya dialihkan pada laki-laki berpakaian
indah dan rekan Bodong yang sejak tadi hanya menonton.
"Apa arti semua ini, J uragan Bilawa?" tanya Subali
seraya menghampiri mereka.
"Aku tidak ada urusan denganmu, Subali!" sergah
laki-laki berpakaian indah. "Cepat beritahukan kedatanganku
pada Jayeng Praj a!"
"Sayang sekali, J uragan Bilawa! Guruku sedang tidak
berada di tempat. Mari kita ke dalam dan membicarakan
urusan ini!"
"Aku tidak sudi ke dalam, Subali! Aku ingin bicara di
sini! Cepat, panggil Jayeng Praja kemari! Tak kusangka dia
akan bertindak sepengecut ini! " seru Juragan Bilawa dengan
suara semakin meninggi.
Wajah semua murid Perguruan Harimau Terbang
tampak merah padam menahan marah. Beberapa di antara
mereka telah mencabut senjata dan siap memenggal kepala
orang yang telah mengeluarkan hinaan kotor terhadap ketua
perguruan mereka.
Rupanya Subali cukup tanggap akan hal itu. Karena
dia pun didera perasaan yang sama. Tapi laki-laki beijenggot
panjang itu tidak mau bertindak sembrono. Tangan kanannya
segera diangkat untuk menenangkan rekan-rekannya.
"Juragan Bilawa! Ku mohon tarik kembali kata-
katamu, atau kau ingin ku lemparkan ke luar seperti anjing
buduk?!" ujar Subali dengan suara bergetar.
J uragan Bilawa tahu Subali tidak main-main dengan
ancamannya. Maka meskipun amarah yang hebat bergolak di
dalam dada, diputuskan untuk sedikit menenangkan diri.
Laki-laki berpakaian indah itu tidak ingin dilemparkan Subali
"Sudah kukatakan padamu, Subali. Aku tidak ingin
berurusan denganmu. Aku hanya mempunyai urusan dengan
Jayeng Praja, ketuamu!" tandas J uragan Bilawa tetap dengan
nada tinggi.
"Harus berapa kali kukatakan padamu. Juragan
Bilawa?! Guruku sedang pergi karena suatu urusan. Aku,
murid kepalanya, ditugaskan untuk menggantikan mengurus
perguruan ini. Apa pun masalah pribadi guruku!" jelas Subali.
"Hhh.J"
J uragan Bilawa menghembuskan napas berat.
Kelihatan jelas dia sangat kecewa mendengar keterangan
Subali. Laki-laki berpakaian indah itu tercenung di
tempatnya.
Kelakuan J uragan Bilawa menjadi perhatian murid-
murid Perguruan Harimau Terbang, dan tukang pukulnya.
Tapi mereka membiarkan saja. Sesaat kemudian...,
"Baiklah kalau memang demikian, Subali. Aku datang
untuk mengetahui nasib putriku...."
"Aku tidak mengerti maksudmu. Juragan Bilawa?"
tanya Subali pura-pura tidak tahu.
"Kau tidak usah berpura-pura, Subali!" tuding
Juragan Bilawa. "Aku datang kemari untuk menanyakan
bagaimana pekerjaan kalian. Apa yang terjadi dengan
putriku?! Mengapa dia tidak pernah sampai ke tempat yang
dituju?!"
"Hhh.J"
Subali menghela napas. Disadari tidak ada gunanya
lagi menyembunyikan masalah itu. Dia terpaksa harus
memberitahu dengan sejujurnya. Subali lalu menceritakan
semua yang diketahuinya tanpa ada yang disembunyikan.
"Jadi... putriku belum ditemukan?! Ohhh.J" keluh
Juragan Bilawa. Wajahnya pucat pasi, "Sutini..., apa yang
terjadi dengan dirimu...?"
Namun hanya sesaat Juragan Bilawa larut dalam
kesedihan. Sebentar kemudian dia telah berhasil menguasai
perasaan. Dengan wajah beringas, pandangannya diedarkan
berkeliling.
"Harus kalian ketahui... aku tidak bisa menerima hal
ini! Kalian harus bertanggung jawab atas lenyapnya putriku!"
Setelah mengeluarkan kata-kata itu, J uragan Bilawa
membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan tempat itu.
Tanpa banyak cakap, tukang pukulnya mengikuti sambil
memanggul tubuh Bodong. Mereka menuju kereta kuda.
Sesaat kemudian, debu mengepul tinggi mengiringi kepergian
kereta kuda yang bagus dan indah milik J uragan Bilawa.
Subali dan adik-adik seperguruannya memandang kereta
hingga lenyap di kejauhan.
"Hhh...!"
Subali menghela napas. Ditatapnya satu persatu
adik-adik seperguruannya. "Perguruan kita berada dalam
kesulitan besar. Aku tidak yakin guru dapat menemukan
putri Juragan Bilawa," ujar Subali prihatin.
Tidak ada tanggapan atas ucapannya. Murid-murid
Perguruan Harimau Terbang terdiam. Seperti juga Subali,
mereka merasa prihatin dengan musibah yang menimpa
perguruannya.
"Semoga guru berhasil menemukan putri Juragan
Bilawa. Dan mudah-mudahan tidak teijadi sesuatu yang
menimpa dirinya," Subali melanjutkan kata-katanya.
Ucapan itu dikeluarkan sambil mengayunkan kaki
memasuki bangunan perguruan. Di dalam ucapannya
memang terkandung harapan. Tapi semua murid Perguruan
Harimau Terbang tahu Subali sendiri tidak yakin dengan
ucapannya. Nada ketidakyakman dapat ditangkap jelas dalam
perkataannya.
Meskipun demikian, tak satu pun di antara mereka
membuka suara. Takut salah bicara. Lagi pula rasa prihatin
membuat mereka kehilangan semangat untuk berbicara.
Yang dapat dilakukan murid-murid Perguruan
Harimau Terbang hanya bisa berharap agar putri Juragan
Bilawa selamat. Walau mereka tahu harapan itu sangat kedi.
Tewasnya seluruh rombongan murid Perguruan Harimau
Terbang yang mengawalnya sudah merupakan pertanda
buruk.
Dengan benak diliputi masalah putri Juragan Bilawa,
murid-murid Perguruan Harimau Terbang kembali ke
tempatnya masing-masing. Dalam sekejap suasana hiruk-
pikuk pun lenyap. Yang tersisa hanya keheningan. Apalagi
ketika pintu gerbang Perguruan Harimau Terbang ditutup.
***
"Hiya...! Hiyaaa...!"
Ctarrr!
Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan untuk
memacu semangat kudanya, Jayeng Praja mengayunkan
pecut ke bagian belakang tubuh binatang itu. Usaha Ketua
Perguruan Harimau Terbang itu tidak sia-sia. Lari kuda
hitam tunggangannya jauh lebih cepat dari sebelumnya.
Jayeng Praja terpaksa menggunakan kuda karena
ingin cepat tiba di Perguruan Harimau Terbang. Dia ingin
segera menjelaskan permasalahan sebenarnya kepada
Juragan Bilawa. Terserah bagaimana tindakan yang akan
dilakukan orangtua Surini itu padanya.
Karena ingin buru-buru tiba, Jayeng Praja memacu
kudanya seperti orang kurang waras. Peijalanan yang
dilakukannya hampir tanpa henti. Dua hari kemudian, dia
telah keluar dari Desa Karang Gantung. Itu membuat
semangatnya bertambah. Dia hanya tinggal melewati sebuah
hutan kedi. Setelah itu. Desa Karang Awang akan
dimasukinya. Itulah desa tempat perguruannya berada.
Sang Surya telah hampir mencapai titik tengahnya
ketika kuda Jayeng Praja memasuki hutan kedi. Hutan yang
dikenal dengan nama Hutan Kapur. Meskipun di dalam
hutan, Jayeng Praja tidak mengendurkan lari kudanya.
Dengan kecepatan tinggi, binatang tunggangan berwarna
hitam itu menapaki jalan tanah di dalam hutan yang
ditumbuhi sedikit rumput. Mendadak...
Rrrttt!
"Hieeeh.J"
"Hey!"
Jayeng Praja berseru kaget ketika tiba-tiba kudanya
terjungkal ke depan seperti terkait sesuatu. Tubuh Ketua
Perguruan Harimau Terbang itu pun ikut terjungkal ke
depan. Tapi dengan sebuah salto yang manis dan indah
dilihat, Jayeng Praja berhasil mematahkan daya dorong
tubuhnya. Dan....
"Hup!"
Dengan mantap Jayeng Praja berhasil mendaratkan
kedua kakinya di tanah. Dan secepat itu pula dia memasang
sikap waspada.
Lelaki itu melempar pandang ke arah binatang
tunggangannya. Kudanya tergeletak di tanah. Tampaknya
binatang itu mengalami luka yang cukup parah.
"Paling tidak beberapa kakinya patah!"
Hanya sekilas Jayeng Praja memperhatikan.
Kemudian pandangannya dialihkan pada tempat kuda hitam
itu terjungkal. Dan..., kewaspadaannya pun semakin
ditingkatkan! Di tempat kuda hitam itu terjungkal terentang
seutas tambang. Ujung-ujung tambang sebesar ibu jari itu
diikatkan pada dua batang pohon yang mengapit jalan yang
dilalui kuda Jayeng Praja.
Melihat kenyataan itu, Jayeng Praja segera
mengetahui kejadian yang menimpa dirinya telah di
rencanakan. Ada seseorang atau mungkin lebih yang sengaja
ingin menghalangi perjalanannya. Yakin dengan kesimpulan
yang didapatnya, Jayeng Praja mengedarkan pandangan ke
arah timbunan semak-semak dan pepohonan yang berada di
sekitar tempat itu.
"Keluar kau. Pengecut! Jangan beraninya hanya
bermain kucing-kucingan. Ayo, hadapi aku secara terang-
terangan. Keluar kau...!" ucapan Jayeng Praja menggema ke
seluruh penjuru hutan. Ketua Perguruan Harimau Terbang
itu mengerahkan tenaga dalamnya.
Hasilnya langsung terlihat. Semak-semak da
pepohonan itu bergerak-gerak diiringi bunyi berkeresekan.
Sesaat kemudian, muncul sosok-sosok tubuh yang memiliki
perawakan dan raut wajah kasar. Begitu muncul, sosok-sosok
kasar itu langsung berpencar. Hanya dalam sekejap Jayeng
Praja telah terkurung. Lelaki itu mengedarkan pandangan
berkeliling menghitungjumlah mereka.
Lima belas orang, ujar Jayeng Praja dalam hati.
Sadar kalau orang-orang kasar itu tidak bermaksud
baik. Ketua Perguruan Harimau Terbang tampak bersikap
waspada. Urat-urat saraf dan otot-otot tubuhnya menegang.
Siap digunakan bila menghadapi hal-hal yang tidak
diinginkan.
Tapi kelima belas orang kasar itu tidak
menampakkan tanda-tanda akan melancarkan serangan.
Mereka berdiam diri saja. Semula Jayeng Praja heran melihat
tingkah para pengepungnya. Mengapa mereka tidak
menyerang? Tapi sesaat kemudian, Jayeng Praja mendapat
jawabannya.
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa keras menggelegar membuat sekitar
tempat itu bergetar hebat. Pertanda pemiliknya memiliki
tenaga dalam yang sangat kuat. Dan sebelum gema tawa itu
lenyap, sesosok bayangan kuning berkelebat. Tahu-tahu di
belakang belasan orang kasar itu berdiri angker sesosok
tubuh.
"Ha ha ha...! Mengapa tergesa-gesa sekali, Jayeng?!
Adakah urusan penting yang ingin kau selesaikan?" ejek
sosok yang bam datang
Sosok itu seorang lelaki berwajah kuning. Tubuhnya
yang kurus kering terbungkus pakaian dari kulit ular
berwarna kuning coklat.
"Ular Muka Kuning...! " desis Jayeng Praja kaget.
Agaknya mengenal tokoh itu.
Ular Muka Kuning adalah seorang seorang kepala
rampok yang memiliki kepandaian tinggi. Namun bukan hal
itu yang menyebabkan setiap orang takut kepadanya. Tapi
tindakannya yang keji dan telengas! Sepengetahuan Jayeng
Praja, kepala rampok itu tidak beroperasi di wilayah ini.
Mengapa dia berada di sini?
"Mengapa, Jayeng? Kau kaget?!" tanya Ular Muka
Kuning. Nada suaranya terdengar merendahkan lawan
bicaranya.
Pertanyaan itu membuat alun pikiran Jayeng Praja
terputus. "Dengan terus terang kukatakan aku memang
terkejut. Sepengetahuanku tempat ini tidak termasuk daerah
j arahanmu."
6
"Ha ha ha...!"
Ular Muka Kuning tergelak. Sebuah tawa penuh
kegembiraan. "Ucapanmu tidak salah, Jayeng. Daerah ini
memang bukan wilayahku. Aku juga tidak berminat menjarah
daerah-daerah di sekitar tempat ini! Apa yang akan
kudapatkan di tempat yang hanya ditinggali penduduk
miskin?!"
"Lalu..., mengapa kau dan rombonganmu berada di
sini?"
"Karena sebuah pekeijaan yang menjanjikan hadiah
besar,'' j awab Ular Muka Kuning tenang.
"Pekeijaan dengan imbalan besar?" Jayeng Praja
mengernyitkan dahi.
"Jangan berpura-pura bodoh, Jayeng!" sergah Ular
Muka Kuning. "Apa kau tidak dapat menerka pekeijaan yang
kumaksud?"
Wajah Jayeng Praja langsung berubah. Melihat sikap
Ular Muka Kuning dan penghadangan yang mereka lakukan,
sudah dapat diperkirakan pekeijaan itu. Tapi, Jayeng Praja
belum yakin. Benarkah pekeijaan itu ada hubungannya
dengan dirinya? Kalau benar, mengapa?
"Apakah pekeijaanmu ada hubungannya dengan
diriku. Ular Muka Kuning?"
"Ha ha ha...! Kau lucu sekali, Jayeng!" Ular Muka
Kuning tertawa geli. "Bukan hanya berhubungan. Tapi
memang menyangkut dirimu! Pekeijaan dengan imbalan
besar itu adalah membawamu hidup-hidup ke perguruanmu
untuk menyaksikan Perguruan Harimau Terbang lenyap dari
muka bumi! Ha ha ha...!"
"Gila!" Tanpa sadar Jayeng Praja menyerukan kata
itu.
"Kau kaget, Jayeng?"
"Bukan hanya kaget. Ular Muka Kuning. Tapi juga
heran. Aku tidak menyangka kau dan rombonganmu tak
ubahnya budak-budak yang dapat disuruh melakukan apa
saja. Katakan padaku, siapa yang menyuruhmu?!"
'' Rupanya kau termasuk orang yang tidak mempunyai
penghargaan atas sebuah tugas, Jayeng!" rutuk Ular Muka
Kuning. "Sebagai seorang pemilik jasa pengawalan,
seharusnya kau tahu, tidak pantas memberitahu orang yang
telah memberi tugas! Apalagi bila yang menanyakan calon
korban itu sendiri!"
Jayeng Praja terdiam. Disadari ada kebenaran yang
tidak bisa dipungkiri dalam pernyataan Ular Muka Kuning.
"Sekarang bersiap-siaplah, Jayeng Praja. Aku akan
memulai tugas yang diberikan padaku!" kali ini ucapan Ular
Muka Kuning terdengar penuh wibawa. "Anak-anak! Tangkap
dia!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang
kasar yang sejak tadi berdiam diri mendengarkan
pembicaraan itu langsung bertindak.
Srat, srat!
Bunyi terhunusnya senjata gerombolan Ular Muka
Kuning menyakitkan gendang telinga. Mereka bersenjata
golok!
"Uh!"
Jayeng Praja menundukkan wajah. Batang-batang
golok yang putih berkilat itu tertimpa sinar matahari dan
memantul ke wajahnya. Sinarnya menyilaukan mata. Yang
lebih menjengkelkan, anak buah Ular Muka Kuning
membolak-balik batang golok mereka. Hingga pantulan sinar
sang Surya mendarat tepat di wajah Jayeng Praja.
"Cepat lumpuhkan dia, anak-anak!"
Ular Muka Kuning yang sudah tidak sabar lagi segera
mengeluarkan perintah susulan.
Mendengar perintah itu, rombongan orang kasar
yang mengenakan rompi kulit ular berwarna kuning coklat
meluruk ke arah Jayeng Praja. Dari mulut mereka keluar
teriakan-teriakan keras membahana.
Singsingsing!
Diiringi bunyi mendesing nyaring, golok-golok itu
menyambar ke berbagai bagian tubuh Jayeng Praja.
***
Jayeng Praja tetap bersikap tenang. Perhatiannya
dipusatkan pada pendengaran. Sebab lawan menyerang dari
berbagai arah. Malah sebagian dari belakang, tempat yang tak
teijangkau sepasang matanya. Kalau mengandalkan
penglihatan saja, pasti dia akan celaka.
Begitu serangan-serangan lawan menyambar dekat,
Jayeng Praja bertindak cepat. Tanpa ragu-ragu senjata
andalannya yang selalu terselip di pinggang dikeluarkan.
Sebuah ruyung baja berbatang dua yang antara ujung satu
dengan lainnya disambung dengan sebuah rantai baja.
Jayeng Praja memutar senjatanya.
Wuk, wuk, wuk!
Bunyi menderu-deru seperti angin ribut segera
terdengar. Memang hebat tenaga dalam yang dimiliki Ketua
Perguruan Harimau Terbang itu.
Trang, trang, trang!
Terdengar bunyi berdentang nyaring ketika golok-
golok yang mengancam tubuh Jayeng Praja tertangkis batang
ruyung.
Teriakan-teriakan kaget keluar dari mulut anak buah
Ular Muka Kuning. Tangan yang menggenggam golok terasa
panas dan sakit. Bahkan senjata mereka hampir terlepas dari
genggaman.
"Menyingkirlah kalian...! Yang pantas menjadi
lawanku adalah pimpinan kalian. Ular Muka Kuning," ucap
Jayeng Praja penuh wibawa. Sambil memberikan peringatan,
Jayeng Praja memutar-mutar ruyungnya.
"Ha ha ha...!" Ular Muka Kuning tergelak, "Jangan
terlalu cepat berbangga diri, Jayeng! Asal kau tahu saja... itu
belum apa-apa. Yang mereka lakukan baru sebagian kedi dari
kemampuan yang dimiliki. Sabarlah! Tak lama lagi kau akan
melihat kedahsyatan anak buahku yang terkenal dengan
julukan Gerombolan Ular Maut! Ayo, Anak-anak! Tunjukkan
kemampuan kalian!"
Baru saja Ular Muka Kuning mengakhiri ucapannya,
anak buahnya yang berjuluk Gerombolan Ular Maut telah
bergerak. Terdengar sebuah siulan nyaring pendek. Jayeng
Praja tidak mengetahui dari mana asalnya. Yang jelas dari
salah seorang di antara anggota gerombolan itu.
Begitu bunyi siulan lenyap, teijadi perubahan besar
dengan tindakan Gerombolan Ular Maut. Semua anggota
meninggalkan tempatnya masing-masing dan berkumpul di
depan Jayeng Praj a.
Semula Jayeng Praja menduga siulan itu sebagai
tanda dimulainya serangan. Apalagi ketika sesaat kemudian,
terlihat ada gerakan-gerakan dari para pengeroyoknya. Ketua
Perguruan Harimau Terbang itu pun langsung waspada.
Ruyung di tangannya siap dilayangkan. Tapi, Jayeng Praja
menghentikan tindakannya ketika mengetahui lawan-
lawannya tidak menyerang. Malah berkumpul di depannya.
Sebagai seorang ahli silat yang berpengalaman,
Jayeng Praja segera mengetahui lawan mengubah taktik
pertarungan. Itu bisa diketahui oleh Jayeng Praja dari
kedudukan yang dibentuk lawan-lawannya. Belasan orang
kasar itu menyusun diri menjadi dua baris.
Jayeng Praja tidak perlu menunggu terlalu lama
untuk membuktikan kebenaran dugaannya. Sekejap
kemudian, dilihatnya sendiri kenyataan itu.
"Haaat...!"
Didahului teriakan nyaring lelaki berkulit
kemerahan, serangan perdana mereka meluncur.
Memang pantas dipuji bentuk penyerangan belasan
anak buah Ular Muka Kuning itu. Barisan depan menegang
Jayeng Praja. Dari atas, golok yang tercekal diayunkan ke
bagian tubuh atas lawan.
"Hmh...!"
Jayeng Praja mendengus, mengejek bentuk pe¬
nyerangan itu. Apakah hanya seperti ini kemampuan yang
dibanggakan Ular Muka Kuning?! Kalau benar, betapa picik
pandangannya!
Tapi Jayeng Praja tidak mau membiarkan benaknya
dikungkung pikiran-pikiran itu. Maka buru-buru diusirnya!
Kemudian perhatiannya dipusatkan untuk menghadapi
keroyokan lawan.
"Hih!"
Wuttt! Trangngng!
Bunyi berdentang keras terdengar ketika batang
ruyung Jayeng Praja berhasil mematahkan serangan lawan.
Kemudian seperti sebelumnya pun teijadi. Tubuh tujuh
anggota Gerombolan Ular Maut terj engkang ke belakang
dengan tangan terasa sakit. Sementara Jayeng Praja tidak
bergeming sedikit pun.
Tapi sebelum Ketua Perguruan Harimau Terbang itu
berbuat sesuatu, serangan susulan telah meluncur datang. Itu
berasal dari delapan orang yang berada di baris kedua!
Berbeda dengan tujuh rekannya, delapan anggota Ular Muka
Kuning itu melancarkan serangan lewat bawah. Dengan
bersamaan tapi teratur baik, mereka menggulingkan tubuh.
Delapan anak buah Ular Muka Kuning bam bangkit
berdiri setelah berada di dekat lawan. Seketika itu pula
mereka melancarkan serangan. Yang lebih gila sebagian dari
mereka menyerang kaki. Sedangkan sisanya melancarkan
serangan ke bagian sekitar perut.
Karuan saja Jayeng Praja terperanjat bukan main.
Tibanya serangan itu hanya berselisih waktu sedikit sekali
dengan serangan pertama tadi. Akibatnya, Jayeng Praja tidak
mempunyai kesempatan untuk menangkis. Terpaksa dia
melompat mundur menyelamatkan diri.
Usaha yang dilakukan Ketua Perguruan Harimau
Terbang memang tidak sia-sia. Serangan lawan berhasil
dipunahkan semua. Tapi seperti juga kejadian sebelumnya,
ketika Jayeng Praja belum sempat berbuat lebih jauh,
serangan berikutnya muncul. Kali ini dari tujuh orang
penyerang pertama. Demikian seterusnya, silih berganti.
Sekarang Jayeng Praja baru mengerti mengapa Ular
Muka Kuning begitu membanggakan anak buahnya. Ternyata
pimpinan rampok itu tidak membual! Gerombolan Ular Maut
memang sungguh luar biasa. Mereka mampu bekeija sama
dengan baik. Jayeng Praja benar-benar kewalahan. Sekali
pun tidak diberi kesempatan untuk melancarkan serangan
balasan. Jayeng Praja hanya dapat mengelak. Paling jauh
menangkis. Yangjelas, dia terus dipaksa mundur!
Jayeng Praja menggertakkan gigi. Jika keadaan
seperti ini dibiarkan terus dia akan rugi. Robohnya dia hanya
tinggal menunggu waktu. Sayang dirinya tidak mampu
berbuat sesuatu. Lawan-lawannya tidak memberi kesempatan
padanya untuk memperbaiki diri.
Tidak sampai tiga puluh jurus bertarung, napas
Jayeng Praja telah memburu. Ini tidak aneh. Usianya telah
lanjut dan dari sejak jurus pertama terus dipaksa
mengerahkan seluruh kemampuan secara penuh. Pada jurus
ke tiga puluh tujuh....
Srat, sret!
"Akh!"
Jayeng Praja mengeluh tertahan. Dua serangan
lawan tidak dapat dielakkan. Golok-golok itu menyerempet
pahanya.
Darah tampak merembas keluar dari bagian yang
terluka. Dengan sendirinya, gerakan Jayeng Praja agak
terhambat. Ketua Perguruan Harimau Terbang memang
berhasil mengelakkan serangan golok yang mengancam
bagian atas tubuhnya. Tapi, serangan lanjutan yang berupa
tendangan dan pukulan tidak mampu dielakkan.
Buk, buk, buk!
Bunyi berdebuk keras mengiringi terjengkang nya
tubuh Jayeng Praja ke belakang. Sesaat tubuh itu terhuyung-
huyung sebelum akhirnya jatuh terduduk di tanah.
"Cukup...!"
Bentakan keras Ular Muka Kuning membuat Jayeng
Praja selamat dari serangan Gerombolan Ular Maut. Serentak
mereka menghentikan gerakan.
"Ha ha ha...!" Ular Muka Kuning tertawa ketika telah
berada di dekat Jayeng Praja. "Bagaimana, Jayeng?! Apakah
kau masih meragukan kemampuan anak buahku? Masih
banyak kemampuan lain yang mereka miliki!"
"Aku sudah kalah. Ular Muka Kuning! Mau bunuh?
Silakan!" ujar Jayeng Praja tanpa rasa takut sedikit pun.
Padahal, saat itu keadaannya sangat tidak menguntungkan.
Jayeng Praja sudah tidak berdaya. Tubuhnya
terbaring di tanah. Tidak mampu bangkit lagi. Luka-luka
yang dideritanya cukup parah!
"Sayang sekali, Jayeng. Aku tidak dapat
melakukannya. Biarlah orang yang meminta jasaku yang
melakukannya," sahut Ular Muka Kuning ringan.
"Sungguh tidak kusangka kau seorang pengecut. Ular
Muka Kuning. Siapa orang yang telah menyuruhmu, sehingga
kau sangat takut kepadanya?" sindir Jayeng Praja seraya
tersenyum mengejek
"Tutup mulutmu. Bangsat! Hih!"
Tukkk!
"Akh!"
Jayeng Praja memekik kesakitan ketika Ular Muka
Kuning yang geram mendengar ejekannya menendang
mulutnya. Kelihatannya pelan saja. Tapi akibatnya hebat!
Beberapa buah gigi Jayeng Praja copot. Tak pelak lagi, darah
mengalir keluar.
Meskipun demikian, Jayeng Praja tidak menjadi
gentar. Walaupun dari sudut-sudut mulutnya mengalir darah,
dipaksakan juga untuk mengulas senyum mengejek.
"Perlu kau ketahui. Manusia Dungu!" lanjut Ular
Muka Kuning dengan nada tinggi, "Aku adalah orang yang
sangat menghargai janji. Aku telah berjanji membawamu
hidup-hidup dan menyerahkan padanya! Kau dengar itu.
Manusia Dungu?!''
Kemudian tanpa memberi kesempatan pada Jayeng
Praja untuk memberikan tanggapan. Ular Muka Kuning
mengalihkan perhatian pada anak buahnya.
"Bawa dia!" perintah pimpinan Gerombolan Ular
Maut itu penuh wibawa.
Salah seorang anak buahnya segera mendekati
Jayeng Praja. Saat itulah Ular Muka Kuning menotok Ketua
Perguruan Harimau Terbang untuk mencegah hal-hal yang
tidak diinginkan. Seketika itu pula tubuh Jayeng Praja lemas.
"Mari kita tinggalkan tempat ini..!" usai berkata. Ular
Muka Kuning mengayun langkah meninggalkan tempat itu.
Diikuti semua anak buahnya.
Tempat itu kembali dikungkung kesunyian. Tidak
ada lagi kegaduhan. Yang tinggal hanya kesunyian semata.
***
Jayeng Praja merasa heran melihat rombongan yang
dipimpin Ular Muka Kuning menempuh jalan yang akan
dilaluinya. Semakin lama hati Jayeng Praja semakin berdebar
tegang. Dia merasa pasti tempat yang dituju rombongan Ular
Muka Kuning adalah Perguruan Harimau Terbang!
Dugaan Jayeng Praja tidak keliru. Ular Muka Kuning
memang membawanya menuju Perguruan Harimau Terbang.
Itu sudah bukan dugaan lagi. Sebab saat ini mereka setelah
berada di luar bangunan perguruan.
Apa yang akan dilakukan Ular Muka Kuning dengan
mendatangi perguruannya? Jayeng Praja bertanya dalam
hati. Bukankah keberadaan mereka di depan pintu gerbang
akan menarik perhatian murid-murid Perguruan Harimau
Terbang?
Tapi betapa kagetnya Jayeng Praja melihat Ular
Muka Kuning dan rombongannya memasuki bangunan
perguruan. Apakah ini tidak salah? Tindakan ini akan
menyulut sebuah pertarungan!
Namun tampaknya kekhawatiran Jayeng Praja tidak
beralasan. Tanpa menemui kesulitan sedikit pun Ular Muka
Kuning dan rombongannya berhasil memasuki Perguruan
Harimau Terbang.
Jayeng Praja terkejut bukan main melihat tidak ada
seorang pun di dalam perguruan. Ke mana murid-muridnya?
Apa yang telah terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu
menghinggapi benak Ketua Perguruan Harimau Terbang.
Sementara itu rombongan Ular Muka Kuning terus
mengayunkan kaki semakin masuk ke dalam bangunan.
Tidak berapa lama kemudian mereka berhenti.
"Ah...! Kiranya kalian...! Bagaimana, berhasil?!"
terdengar sebuah suara menyambut kehadiran rombongan
Ular Muka Kuning.
Cukup keras juga ucapan itu dikeluarkan. Suaranya
menggema ke seluruh penjuru tempat itu. Tentu saja Jayeng
Praja mendengarnya. Sepasang alisnya tampak berkerut.
Suara itu seperti pernah didengarnya. Tapi dia lupa, kapan
dan di mana.
Meskipun demikian. Ketua Perguruan Harimau
Terbang itu tidak putus asa. Dicobanya untuk mengingat-
ingat. Barangkali saja akan berhasil
***
Di saat Jayeng Praja tengah berpikir keras, terdengar
tawa khas Ular Muka Kuning.
"Ha ha ha...! Tentu saja berhasil.... Asal kau tahu saja,
tidak ada kata gagal bagi Ular Muka Kuning. Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...! Bagus...! Bagus! Memang sudah kuduga
kau akan berhasil. Ular Muka Kuning," sambut pemilik suara
pertama yang sekarang diketahui Jayeng Praja sebagai orang
yang telah menyewa Ular Muka Kuning.
"Ha ha ha...! Terima kasih atas kepercayaan yang kau
berikan. O... ya, Ludira! Cepat berikan hasil pekerjaan kita...!"
perintah Ular Muka Kuning pada anak buahnya yang
memanggul Jayeng Praja.
"Baik, Ketua...!" lelaki kasar yang bernama Ludira
melemparkan tubuh Jayeng Praja.
Brukkk!
Seringai kesakitan tersungging di mulut Jayeng
Praja. Tubuhnya membentur tanah dengan keras. Namun
tidak sedikit pun keluar keluhan dari mulutnya.
Sebuah kebetulan terjadi. Jayeng Praja tergeletak di
tanah dengan wajah menghadap tempat pemilik suara itu
berada. Akibatnya benar-benar luar biasa. Sepasang mata
Jayeng Praja membelalak lebar. Tarikan wajahnya
menyiratkan keterkejutan yang sangat
"Kaaau..., kau...!" terbata-bata Jayeng Praja
mengeluarkan kata-kata karena lidahnya mendadak kelu.
"Benar, aku! Mengapa kaget?!" tanya si pemilik suara
mengejek.
Jayeng Praja menelan ludah untuk membasahi
tenggorokannya yang mendadak kering.
"Mengapa kau lakukan semua ini. Juragan Bilawa?!
Apa artinya?!" terdengar jelas, nada penasaran dalam
pertanyaan Ketua Perguruan Harimau Terbang.
"Kau tidak usah berpura-pura, Jayeng!" sergah orang
yang menyewa rombongan Ular Muka Kuning, yang ternyata
Juragan Bilawa. "Manaanakku?!"
"Hhh...!"
Jayeng Praja menghela napas. Sungguh tidak
disangka J uragan Bilawa telah mengetahuinya lebih dulu.
"Kau tidak bisa berbohong, Jayeng Praja!" ujar
J uragan Bilawa lagi sebelum lawan bicaranya sempat berkata.
"Aku telah tahu semuanya! Beberapa hari yang lalu utusan
orangtuaku datang menanyakan Sutini! Akhirnya aku tahu
telah teijadi sesuatu atas dirinya!"
Lelaki berpakaian indah itu menghentikan
ucapannya sebentar untuk mengambil napas, "Itu saja sudah
cukup untuk membuatku sakit hati! Apalagi ketika kutahu
kau tidak memberitahukannya padaku. Kau malah
menyembunyikannya, Jayeng Praja!"
"Itu tidak benar!" bantah Jayeng Praja cepat,
"Bukannya aku tidak mau memberitahukan mu. Juragan!
Tapi, aku sendiri belum mengetahuinya secara jelas. Aku
sedang mencari kepastiannya!"
"Ooo.... Begitu," ejek Juragan Bilawa, "Lalu...
bagaimana hasilnya?!"
Jayeng Praja tidak segera menjawab. Lelaki itu
tercenung seperti sedang mempertimbangkan.
"Tanpa kau beritahukan pun aku bisa menduganya,
Jayeng! Putriku tidak selamat kari?!"
Perlahan-lahan kepala Jayeng Praja mengangguk
"Keparat!" Juragan Bilawa menggeram seperti
harimau murka. "Kau telah menyebabkan kematian putriku,
Jayeng! Tak akan kubiarkan kau hidup. Kau harus mati.
Tentu saja tidak dengan cara yang enak. Kebetulan hanya
tinggal kau saja yang belum mendapat giliran. Semua
muridmu telah ku binasakan!"
' 'Apa?!" j erit Jayeng Praj a kaget.
Kini dia mengerti mengapa suasana perguruannya
begitu sunyi. Rupanya mereka telah dibinasakan Juragan
Bilawa. Jayeng Praja merasa sangat terpukul mendengarnya.
Dia tahu mengapa J uragan Bilawa dapat melakukan semua
itu. Pasti karena mendapat bantuan Ular Muka Kuning.
"Sekarang terimalah kematianmu, Jayeng Praja!"
Dan sebelum gema ucapannya lenyap, J uragan
Bilawa mencabut goloknya. Kemudian diayunkan ke batang
leher Jayeng Praja!
Wuttt!
Crasss!
"Aaakh...!"
Jayeng Praja menjerit memilukan ketika golok
Juragan Bilawa membabat lehernya hingga putus. Saat itu
juga, nyawanya melayang ke alam baka.
J uragan Bilawa menatap mayat Jayeng Praja sekilas.
Ada sorot kepuasan pada wajah dan sinar matanya. "Sutini...,
tenanglah kau di alam baka. Dendammu telah berhasil
kubalaskan," ucap Juragan Bilawa pelan seraya mengedarkan
pandangan ke langit.
Keadaan di tempat itu menjadi hening. Yang tinggal
hanya Juragan Bilawa. Ular Muka Kuning dan anak buahnya
telah meninggalkan tempat itu.
***
"Rasanya keadaan sudah aman, Ki. Mungkin
Sangkala telah pergi dari sini"
Ucapan itu dikeluarkan Arya. Pagi hari itu dia berada
di ruang tengah bangunan Perguruan Banteng Putih. Di dekat
pemuda berambut putih keperakan itu duduk Melati, Ki
Rawung, dan Pendekar Tinju Maut. Ki Rawung dan Pendekar
Tinju Maut tampak saling bertukar pandang.
"Aku tidak yakin. Dewa Arak," jawab Pendekar Tinju
Maut "Memang beberapa hari ini tidak ada kejadian yang
dibuat Sangkala. Tapi menurut ku itu tidak menjadi tanda
keadaan sudah aman."
"Barangkali dia telah meninggalkan desa ini, Ki,"
Melati ikut membuka suara, "Beberapa hari ini semua tempat
yang sekiranya dijadikan persembunyian Sangkala telah kita
periksa. Tapi tetap saja tidak kita temukan dirinya."
Arya mengangguk menyetujui pendapat kekasihnya.
"Aku tidak sependapat denganmu. Melati," Ki
Rawung membela Pendekar Tinju Maut "Aku lebih condong
pada pendapat Pendekar Tinju Maut"
"Dengan kata lain, Sangkala sedang menanti saat
yang tepat untuk bertindak Begitu, Ki?" duga Arya.
"Benar, Dewa Arak," Pendekar Tinju Maut
mengangguk
"Aku mempunyai alasan kuat tindakan Sangkala
tidak berhenti sampai di sini saja!" Ki Rawung menimpali.
Dewa Arak dan Melati menatap wajah Ki Rawung
lekat-lekat. Memang tidak ada kata-kata yang diucapkan.
Tapi, Ki Rawung tahu sepasang pendekar muda itu tengah
menunggu j awaban.
"Sangkala memiliki watak pendendam," ucapan Ki
Rawung memulai penjelasannya. "Aku yakin dia tidak
menghentikan tindakannya sampai di sini. Pasti semua yang
telah membuatnya sengsara akan dijadikan sasaran
pembalasan."
Kepala Desa Kawung menghentikan ucapannya.
Sekilas ditatapnya Dewa Arak dan Melati, ingin melihat
tanggapannya. Tapi, tidak ada ucapan yang dikeluarkan
mereka. Kelihatannya pasangan muda itu akan
mendengarkan penjelasan Ki Rawung hingga tuntas.
"Aku yakin Sangkala mempunyai dendam pada
semua orang di Desa Kawung ini. Tapi, bisa kupastikan sakit
atinya yang paling besar hanya ditujukan pada empat orang!
Sebab merekalah penggeraknya!" sambung Ki Rawung.
"Empat orang, Ki?!" akhirnya Melati tak kuat
menahan sabar. "Bisa kau beritahu siapa mereka?"
Ki Rawung melepaskan senyum getir. "Dua di antara
empat orang itu telah berhasil dibunuh Sangkala, Melati.
Bahkan baru-baru ini! Kau bisa menerka siapa?!"
Melati mengernyitkan dahi. Gadis berpakaian putih
itu tengah berpikir, "Maksudmu..,, Ranjita, Ki?!" duga Melati
agak ragu.
"Benar," Ki Rawung menganggukkan kepala, "Dan
yang satunya Ki Ageng Sora."
Melati dan Arya bertukar pandang. Mereka telah
mengetahui siapa Ki Ageng Sora. J uga Sangkala. Ki Rawung
telah menceritakan semua kejadian itu.
"Lalu... yang dua lagi, Ki?!" desak Melati.
"Bongara dan aku sendiri," jawab Ki Rawung
menunjuk dadanya.
"Ah...!"
Seruan kaget itu keluar dari mulut Arya dan Melati.
Sepasang muda-mudi berwajah elok itu tidak menyangka Ki
Rawung termasuk orang yang diincar Sangkala. Berbeda
dengan Arya dan Melati, Pendekar Tinju Maut tidak merasa
kaget sedikit pun. Dia telah mendengar cerita itu sebelumnya
dari Ki Ageng Sora.
Sekarang Dewa Arak dan Melati mengerti mengapa
Ki Rawung bersikeras mengatakan keadaan masih belum
aman. Tapi, mungkinlah tidak adanya tindakan dari Sangkala
hanya karena menunggu kesempatan? Tak adakah
kemungkinan lain?
"Bisa kuterima alasanmu, Ki. Bukan tidak mungkin
dugaanmu benar. Tapi..., apakah hanya karena menunggu
kesempatan Sangkala harus berdiam diri selama beberapa
hari? Rasanya dugaan ini kurang masuk akal!" ujar Arya.
Ki Rawung dan Pendekar Tinju Maut tercenung.
Mereka merasakan ucapan tokoh muda yang
menggemparkan dunia persilatan itu ada benarnya. Memang
rasanya hampir tidak masuk akal.
"Kau mempunyai dugaan lain. Dewa Arak?!" tanya
Pendekar Tinju Maut.
"Benar, Ki," Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Katakanlah, Dewa Arak. Kami ingin mendengarnya.
Barangkali saja dugaanmu benar," timpal Ki Rawung.
Arya tidak segera mengutarakan pendapatnya.
Pemuda itu terdiam sejenak memikirkan kata-kata yang
tepat.
"Dari kedatangannya yang bertubi-tubi kemari, bisa
kuperidrakan besarnya keinginan Sangkala untuk
melampiaskan dendam. Kejadian yang menimpa Trijati pun
menurutku sebagian kedi dipengaruhi dendam. Tapi,
kenyataan telah menunjukkan pada Sangkala bahwa pihak
yang akan menjadi pelampiasan dendamnya terlalu kuat
untuknya. Karena itu, dia bermain kudng-kudngan. Sangkala
melakukan siasat menyerang lalu lari."
Arya menghentikan ucapannya. Dilihatnya Pendekar
Tinju Maut dan Ki Rawung mengangguk-angguk. Mungkin
mereka telah dapat menebak kelanjutan ucapannya.
"Sekarang aku mengerti. Dewa Arak," potong
Pendekar Tinju Maut sebelum Arya menyambung ucapannya.
"Kalau aku tidak salah terka, kau menduga tidak ada teror
Sangkala karena dia sedang mencari tambahan kekuatan!
Bukankah begitu maksudmu. Dewa Arak?!"
"Benar, Ki!" jawab Dewa Arak mantap, "Aku yakin
Sangkala tengah mencari pengikut. Tapi, mudah-mudahan
saja dugaanku salah. Dan..," Dewa Arak menghentikan
ucapannya ketika melihat seorang murid Perguruan Banteng
Putih bergegas masuk
"Ki...!" ucapan Bongara, terdengar panik.
"Bongara...," tegur Ki Rawung, "Mengapa kau...."
"Maaf, Ki," potong Bongara cepat, "Sangkala sedang
menuju kemari!"
Serentak semua orang yang hadir saling
berpandangan. Mereka tampak sangat terkejut. Bahkan Ki
Rawung yang sempat tersinggung karena ucapannya
dipotong Bongara langsung terlupa.
"Sangkala?!" desis Ki Rawung, "Terang-terangan?!"
"Benar, Ki," Bongara mengangguk
"Ooo.... Rupanya dia telah berani muncul secara
terbuka...."
"Sangkala tidak datang sendirian, Ki."
"Maksudmu..?!"
Ki Rawung meminta penegasan. Sementara Dewa
Arak, Melati, dan Pendekar Tinju Maut menatap Bongara
tajam-tajam. Baru saja mereka bicarakan kemungkinan itu,
tahu-tahu Sangkala telah muncul dengan membawa
rombongan! Apakah ini merupakan kebetulan?
"Dia datang bersama serombongan orang-orang
wajah kasar, Ki. J umlah mereka tak kurang dari lima puluh
orang. Kulihat sebagian di antara mereka berpakaian kulit
ular," j elas Bongara.
"Mungkinkah itu Gerombolan Ular Maut?!" celetuk
Pendekar Tinju Maut.
"Gerombolan Ular Maut?!" ulang Dewa Arak seraya
mengarahkan tatapannya pada Pendekar Tinju Maut
"Rombongan perampok yang mempunyai pemimpin
seorang tokoh golongan hitam. Ular Muka Kuning
julukannya," jelas Pendekar Tinju Maut
"Kalau begitu mari kita keluar, Ki! Kita harus
bersiap-siap sebelum korban di pihak kita berjatuhan,"
sambil berkata. Dewa Arak mengayunkan kaki ke luar.
Langkahnya segera diikuti semua orang yang berada di situ.
"Dewa Arak...," tanpa menghentikan ayunan kakinya.
Pendekar Tinju Maut menyempatkan diri menyapa Arya.
"Ada apa, Ki?!" tanya pemuda berambut putih
keperakan itu seraya terus mengayunkan kaki.
'"Apakah kau tidak memikirkan kemungkinan buruk
bagi pihak kita?!"
Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Aku memikirkannya, Ki," jawab pemuda itu,
"Melihat keberanian Sangkala menunjukkan diri agaknya dia
merasa pihaknya lebih unggul. Kurasa sikap yang
ditunjukkannya tidak berlebihan. Jumlah mereka di luar
perkiraanku. Tapi..., apa yang dapat kita lakukan?! Mencari
bala bantuan untuk mengimbangi kekuatan lawan? Rasanya
sudah tidak mungkin. Tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali
menghadapi mereka, Ki!"
"Aku dapat menyediakan bala bantuan itu. Dewa
Arak," ujar Pendekar Tinju Maut yakin. "Malam ini mungkin
rekan-rekanku telah tiba. Maaf, aku lupa
memberitahukannya padamu. Beberapa bulan yang lalu, aku
dan beberapa kawan segolongan mempunyai sebuah
gagasan."
Pendekar Tinju Maut menghentikan ucapannya
sejenak, "Gagasan itu adalah menjalin persaudaraan dalam
tokoh golongan putih. Mengenai pemimpinnya belum
dipastikan. Menunggu hasil pertemuan malam ini. Sekarang
memang seharusnya aku pergi ke sana. Tapi, dengan
kedatangan Sangkala terpaksa aku mengurungkan
maksudku."
"Benar demikian, Ki?!" Dewa Arak memekik gembira.
Namun sesaat kemudian seri wajahnya memudar. "Kalau
boleh kutahu, di mana tempat berkumpulnya?"
"Legakan hatimu. Dewa Arak. Tempat mereka
berkumpul tidak jauh dari sini. Di sebuah tanah lapang luas
di dalam Hutan Kawung."
"Tapi..., bagaimana caranya kau menghubungi
mereka, Ki?! Kurasa tidak mungkin jika kau harus
mendatangi tempat itu dan kembali lagi kemari."
"Memang tidak. Dewa Arak. Aku tinggal melepas
sebuah tanda minta bantuan kepada mereka. Ah...! Aku
sungguh tidak menyangka semua ini akan sangat berarti.
Kalau begitu, sekarang juga akan kukirim tanda pada
mereka."
Pendekar Tinju Maut lalu mengeluarkan sebuah
busur kecil dari balik bajunya. Beberapa batang anak-anak
panah kecil tergenggam di tangannya. Tanpa menunggu lebih
lama, rekan Ki Ageng Sora itu memasang anak-anak panah
itu pada tali busur. Dan....
Twang, twang, twang...!
Bunyi berdentang nyaring terdengar ketika anak-
anak panah itu meluncur ke angkasa.
Sebuah peristiwa yang menakjubkan pun teijadi.
Entah bagaimana caranya, begitu kekuatan yang mendorong
anak panah itu habis, muncul bunga api berwarna-warni.
Tidak hanya sekali anak-anak panah itu diluncurkan
Pendekar Tinju Maut Tapi berkali-kali dengan selang waktu
tertentu. Saat itulah Dewa Arak memerintahkan Bongara
untuk menyambut kedatangan Sangkala dan gerombolannya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Bongara segera
melesat cepat. Lalu memerintahkan rekan-rekannya untuk
mempersiapkan diri. Tentu saja Dewa Arak dan Melati tidak
tinggal diam. Mereka ikut maju.
Di saat semua orang yang berada di Perguruan
Banteng Putih tengah dilanda kesibukan, di sebuah tanah
lapang luas yang terletak di dalam hutan pun teijadi
kegemparan. Itu teijadi ketika salah satu dari belasan orang
yang ada di situ menunjukkan jarinya ke angkasa.
"Aneh...! Apa yang teijadi? Mengapa di langit sana
berperdkan bunga-bunga api beraneka warna?! Sepertinya...
bunga api itu merupakan isyarat..."
Ucapan sosok tinggi kurus yang berpakaian merah
menarik perhatian sosok-sosok tubuh lainnya yang semula
duduk bersila membentuk lingkaran. Sementara tak jauh dari
tempat mereka terpancang obor- obor di tiang-tiang kayu.
"Ah!"
Seruan kaget dikeluarkan seorang kakek berperut
gendut.
"Kau lihat itu. Pedang Kilat?!" tanya kakek berperut
gendut menudingkan jari telunjuknya.
8
Sosok yang disapa Pedang Kilat, yang sebenarnya
mempunyai julukan Pendekar Pedang Kilat, melayangkan
pandangan ke arah yang ditunjuk kakek gendut. Seketika itu
pula wajahnya berubah.
"Gajah kedi! Bukankah itu isyarat meminta bantuan.
Aku yakin yang melepaskan Pendekar Tinju Maut. Berarti dia
berada dalam bahaya. Kita harus cepat menolongnya. Kau
bisa menebak dari mana arahnya?!"
Kakek gendut yang beijuluk Gajah Kedi mengang¬
gukkan kepala setelah tercenung sesaat. "Kalau tidak salah,
dari Desa Kawung!" jawab Gajah Kedi mantap.
"Kalau begitu, mari kita ke sana! Kita selamatkan
Pendekar Tinju Maut!" ajak Pendekar Pedang Kilat penuh
semangat
"Akur!" sambut Gajah Kecil, "Mari, kawan-kawan.
Kita selamatkan rekan kita yang sedang berada dalam
bahaya. Ayo!"
Belasan orang yang terdiri dari tokoh-tokoh silat
aliran putih itu pun bangkit dari duduknya. Sesaat kemudian
rombongan itu, dengan dipimpin Gajah Kedi dan Pendekar
Pedang Kilat, berbondong-bondong menuju Desa Kawung.
***
Ternyata bukan hanya rombongan Gajah Kedi yang
melihat perdkan bunga api berwarna-warni di angkasa.
Rombongan yang dipimpin Sangkala pun demikian?
"Apa arti semua itu. Ular Muka Kuning?!" tanya
Sangkala tidak mengerti.
"Itu merupakan isyarat Ketua," jawab Ular Muka
Kuning penuh hormat "Isyarat yang ditujukan pada kawan si
pelepas isyarat. Banyak artinya. Bisa merupakan tanda untuk
menyerang atau membatalkannya. Bisa juga berarti
permintaan bantuan."
"Keparat!" maki Sangkala sangat geram, "Kalau
begitu, itu isyarat untuk meminta bantuan. Aku yakin! Asal
tanda itu menurut dugaanku dari Perguruan Banteng Putih!"
"Kalau demikian, kita harus bergegas. Ketua!" sergah
seorang lelaki berkulit hitam kelam. Pakaian yang terbuat
dari kulit buaya membungkus tubuh kekarnya. "Sebelum bala
bantuan itu tiba, kita hancur leburkan Perguruan Banteng
Putih."
"Kau benar. Buaya Kulit Besi!" puji Sangkala.
"Usulmu bagus. Mari kita bergegas!"
Cuping hidung lelaki berkulit hitam legam kelihatan
kembang-kempis. Dia merasa bangga mendapat pujian dari
pemimpinnya.
Sangkala rupanya telah berhasil mendapatkan
pengikut. Tidak hanya Ular Muka Kuning dan rom¬
bongannya. Tapi juga gerombolan bajak sungai yang berada
di bawah pimpinan Buaya Kulit Besi. Jumlah anak buah
Buaya Kulit Besi jauh lebih banyak dari anak buah Ular Muka
Kuning.
Rombongan Sangkala mempercepat langkahnya. Tak
berapa lama kemudian, bangunan Perguruan Banteng Putih
telah terlihat. Ini membuat semangat Sangkala dan
rombongannya semakin besar! Seraya mengeluarkan
teriakan-teriakan keras, gerombolan golongan hitam itu
menyerbu.
Serbuan rombongan Sangkala mendapat sambutan
hangat dari murid-murid Perguruan Banteng Putih yang
dibantu Dewa Arak, Melati, Pendekar Tinju Maut dan Ki
Rawung.
Bagai telah diatur sebelumnya, masing-masing tokoh
langsung memilih lawan-lawannya. Dewa Arak bertemu
dengan Sangkala, Melati menghadapi Buaya Kulit Besi, dan
Pendekar Tinju Maut berhadapan dengan Ular Muka Kuning.
Sedangkan murid-murid Perguruan Banteng Putih yang
dibantu Ki Rawung berhadapan dengan gerombolan rampok
dan bajak sungai.
"Sangkala! Manusia Biadab! Sudah saatnya manusia
keji sepertimu dilenyapkan dari muka bumi!" seru Dewa Arak
lantang.
"Ha ha ha...! Jangan mimpi dapat mengalahkanku.
Dewa Arak! Kaulah yang akan kukirim ke neraka. Sekarang
tidak ada lagi orang yang akan menghalangiku untuk
melenyapkanmu. Bersiap-siaplah, Dewa Arak!" sambut
Sangkala tak kalah garang.
Selesai berkata, Sangkala melancarkan serangan.
Tahu akan kelihaian lawan, tanpa ragu-ragu dikeluarkannya
jurus 'Kelelawar' andalannya.
"Hih!"
Ringan dan cepat laksana bayangan, tubuh Sangkala
melayang. Kedua tangannya yang membentuk cakar aneh
meluncur menuju leher pemuda berambut putih keperakan
itu!
Cit, cit, dt!
Bunyi mencidt terdengar seiring meluncurnya
serangan Sangkala. Nyaring dan menyakitkan telinga! Bunyi
itu tidak hanya keluar karena jari-jari tangan Sangkala yang
merobek udara. Tapi juga berasal dari mulutnya. Inilah dri
khas penggunaan jurus 'Kelelawar'
Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Telah
dirasakannya kepandaian Sangkala. J angankan terkena
langsung, angin serangannya saja sudah cukup untuk
melayangkan nyawanya. Tentu saja bila mengenai bagian
yang mematikan seperti lehernya!
Itu sebabnya. Dewa Arak segera melompat ke
samping kanan dengan lompatan harimau. Hasilnya memang
tidak sia-sia. Serangan Sangkala mengenai tempat kosong. Di
saat serangan itu tiba. Dewa Arak sudah tidak berada di
tempatnya. Pemuda berambut putih keperakan itu sedang
melayang di udara.
"Hup!"
Dengan bertumpu pada kedua tangan. Dewa Arak
menggulingkan tubuhnya di tanah. Beberapa gulingan
dilakukan Arya sebelum akhirnya bangkit berdiri
Dan secepat itu pula arak yang berada di dalam guci
dituangkan ke mulut. Entah kapan dan bagaimana guci itu
diambil dari pinggangnya, sulit untuk dilihat. Yang jelas....
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melalui
tenggorokan Arya dalam perjalanan ke lambung. Hawa
hangat berputar di bawah pusarnya. Lalu perlahan-lahan
merayap naik ke kepala. Hasilnya kedua kaki Dewa Arak
tidak menapak dengan mantap di tanah.
Kelihatannya lucu dan menggelikan sikap pemuda
berambut putih keperakan itu. Tapi, jangan dipandang
remeh. Saat itulah ilmu 'Belalang Sakti'nya siap
dipergunakan! Dan serangan susulan Sangkala kembali
meluncur ketika Dewa Arak tengah terhuyung ke sana
kemari. Kali ini Sangkala melancarkan sampokan dengan
tangan kanan ke pelipis Dewa Arak.
Wusss!
Kembali serangan Sangkala kandas. Sampokannya
lewat beberapa jari di depan wajah Dewa Arak. Itu terjadi
karena Dewa Arak menarik mundur kakinya dengan gerakan
seperti orang mau jatuh.
Meskipun demikian, akibat sampokan Sangkala
cukup menggiriskan hati! Rambut dan pakaian Dewa Arak
berkibaran keras seiring lewatnya sampokan itu.
Tapi serangan Sangkala tidak terhenti. Begitu
sampokannya gagal, segera disusuli dengan serangan
lanjutan. Tangan kirinya ditusukkan ke arah ulu hati lawan.
Memang hebat serangan ini. Bila mengenai sasaran, sudah
dapat dipastikan nyawa Dewa Arak melayang ke alam baka.
Namun, lagi-lagi Dewa Arak berhasil menunjukkan
kehebatan ilmu 'Belalang Sakti'nya. Tanpa gugup sedikit pun,
punggungnya ditekuk ke belakang sampai bagian pinggang ke
atas mendatar. Maka, tusukan tangan Sangkala menggapai
angin beberapa jari di atas dada Dewa Arak!
Dan sebelum Sangkala sempat bertindak. Dewa Arak
telah mendahului. Masih dengan kedudukan seperti itu
dikirimkannya serangan pada Sangkala. Kaki kanannya
dilayangkan ke dada pemuda berwajah bopeng itu.
Wuttt!
"Hehhh?!"
Sangkala terpekik kaget. Sungguh tidak disangkanya
dalam keadaan seperti itu Dewa Arak mampu mengirimkan
serangan yang sangat berbahaya. Sangkala tahu tendangan
Dewa Arak mampu menghancurkan tulang-tulang dadanya.
Walaupun terkejut, bukan berarti Sangkala tidak
mampu berbuat sesuatu. Meski serangan itu meluncur tiba-
tiba dan tidak disangka-sangka. Ditambah dengan jaraknya
yang sangat dekat. Tapi pemuda berwatak bejat itu sanggup
menunjukkan kalau dirinya bukan orang yang mudah
dipecundangi.
Dalam keadaan terjepit, Sangkala menjejakkan
kakinya untuk melempar tubuhnya ke belakang. Gerakan itu
membuat serangan Dewa Arak tidak berhasil mendarat di
tempat yang semestinya.
Jiiggg!
Begitu Sangkala mendaratkan kedua kakinya di
tanah, Arya telah berhasil memperbaiki kedudukannya.
Sesaat kedua tokoh muda itu bertukar pandang. Sekejap
kemudian. Dewa Arak dan Sangkala kembali terlibat
pertarungan sengit.
* * *
Pertarungan yang berlangsung bukan saja antara
Dewa Arak dan Sangkala. Yang lain pun demikian. Riuh
rendah suara pertempuran memenuhi tempat itu. Untung
saja halaman depan Perguruan Banteng Putih luas, sehingga
cukup untuk menampung mereka. Padahal, beberapa
kelompok yang bertarung.
Namun di antara kelompok-kelompok itu yang paling
menarik dan seimbang adalah pertarungan Dewa Arak dan
Sangkala. Pada kelompok lain pertarungan berlangsung tidak
seimbang. Meskipun menarik untuk disaksikan.
Di kancah pertarungan Melati dan Buaya Kulit Besi
terlihat tidak seimbang. Keduanya telah mengeluarkan
senjata dan ilmu andalan masing-masing. 'Ilmu Pedang
Seribu Naga' Melati terlalu kuat untuk ditahan Buaya Kulit
Besi dengan tongkatnya. Kepala bajak sungai itu terus-
menerus didesak dan dihimpit. Padahal, pertarungan belum
sampai lima belas jurus!
Ular Muka Kuning lebih beruntung. Pendekar Tinju
Maut, meskipun tangguh, dapat diimbanginya. Seperti juga
pertarungan Dewa Arak, pertarungan kedua tokoh tua
berbeda aliran ini pun berlangsung seimbang.
Yang paling sial adalah Ki Rawung dan murid-murid
Perguruan Banteng Putih. Memang lawan yang dihadapi
berkepandaian setingkat dengan murid-murid Ki Ageng Sora.
Tapi karena jumlah gerombolan tokoh hitam itu jauh lebih
banyak, bahkan lebih dua kali lipat, mereka terdesak hebat.
Dan itu terjadi hanya dalam beberapa gebrakan.
Ketika pertarungan telah berlangsung lima belas
jurus, di pihak Perguruan Banteng Putih sudah tewas
beberapa orang. Sementara di pihak lawan hanya satu. Itu
pun hasil kerja keras Ki Rawung. Sudah dapat dipastikan tak
lama lagi murid-murid Perguruan Banteng Putih dan Ki
Rawung akan binasa. Mereka semua sudah terdesak hebat.
Tapi di saat itulah Buaya Kulit Besi yang terdesak
hebat oleh Melati memanggil anak buahnya.
"Hey! Manusia-manusia tolol...! Cepat bantu aku!
Betina ini alot juga...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, gerombolan
bajak sungai segera meninggalkan lawan mereka. Kemudian
teijun ke dalam kancah pertarungan Melati.
Dan memang dengan munculnya bala bantuan itu
Buaya Kulit Besi mulai bisa bernapas lega. Karena Melati
menghentikan desakannya. Gadis berpakaian putih itu
terpaksa melakukannya.
Bila hal itu tidak dilakukan, niscaya dia akan tewas.
Sebab begitu terjun dalam kancah pertarungan, gerombolan
bajak sungai langsung melancarkan serangan ke Melati
dengan senjata di tangan.
Dengan ikut campurnya gerombolan bajak sungai,
pertarungan Melati dan Buaya Kulit Besi tidak berat sebelah
lagi. Sekarang pimpinan bajak sungai dapat melancarkan
serangan balasan. Tidak hanya menghindar seperti tadi.
Sementara itu murid-murid Perguruan Banteng
Putih tetap tidak mampu menandingi lawan-lawannya,
meskipun jumlah mereka sekarang berimbang. Itu karena
Gerombolan Ular Maut bekerja sama dengan baik.
Semula, dengan keberadaan anak buah Buaya Kulit
Besi, Gerombolan Ular Maut tidak bisa melakukan keija
sama. Maka, begitu gerombolan bajak sungai meninggalkan
kancah pertarungan, mereka menggunakannya.
Hasilnya memang luar biasa! Murid-murid
Perguruan Banteng Putih tidak bisa unjuk gigi. Bahkan Ki
Rawung pun tidak mampu. J adi, kepergian anak buah Buaya
Kulit Besi tidak berarti sama sekali! Murid-murid Perguruan
Banteng Putih tetap terdesak hebat.
Bahkan sekarang keadaan jauh lebih
mengkhawatirkan. Ki Rawung tidak mampu berbuat sesuatu.
Jatuhnya korban di pihak murid-murid Perguruan Banteng
Putih tidak bisa dihindarkan lagi. Mereka saling berlomba
untuk mengeluarkan lolong kematian.
"Aaa...!"
Untuk yang kesekian kali seorang murid Perguruan
\
Banteng Putih mengeluarkan jeritan menyayat. Golok anak
buah Ular Muka Kuning menebas batang lehernya hingga
putus! Darah menyembur dari luka babatan, dan membasahi
persada.
Melati, Dewa Arak, dan Pendekar Tinju Maut geram
bukan main. Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya mereka
teijun ke dalam kancah pertarungan itu. Tapi apa daya?
Mereka sendiri sedang beijuang keras agar tidak mati konyol
di tangan lawan.
Di antara ketiga orang itu. Pendekar Tinju Mautlah
yang paling terpengaruh. Wataknya yang berangasan
membuatnya berang. Hingga mempengaruhi pemusatan
pikirannya. Dia mulai dapat didesak Ular Muka Kuning.
Bahkan pada jurus ketiga puluh tiga....
Bukkk!
"Akh...!"
Pendekar Tinju Maut memekik kesakitan ketika
pukulan Ular Muka Kuning menghantam bahunya.
Tubuh lelaki tua itu teij engkang ke belakang.
"Terimalah kematianmu. Tua Bangka!" seru Ular
Muka Kuning seraya melompat menegang lawan yang masih
terhuyung. Goloknya ditusukkan ke arah dada Pendekar
Tinju Maut.
Pendekar Tinju Maut membelalakkan mata. Dia
memutuskan menghadapi maut dengan mata terbuka.
Karena menyadari tidak ada kesempatan baginya untuk
mengelak maupun menangkis.
Di saat gawat itulah Melati melejit ke atas keluar dari
kepungan lawan. Dan selagi tubuhnya melayang, tangan
kirinya dihentakkan ke depan. Inilah jurus 'Naga Merah
Membuang Mustika'
Wusss! Bresss!
"Aaakh...!"
Jeritan memilukan keluar dari mulut Ular Muka
Kuning. Pukulan jarah jauh Melati mengenai dadanya dengan
telak. Darah segar menyembur dari mulut, hidung, dan
telinga. Pimpinan Gerombolan Ular Maut itu tewas seketika!
Memang mengenaskan sekali kematian Ular Muka
Kuning. Munculnya serangan yang tidak disangka-sangka
dan di saat tubuhnya tengah berada di udara menyulitkannya
untuk mengelak. Akibatnya, tokoh golongan hitam itu tewas
mengerikan!
"Ketua...!"
Desakan atas murid-murid Perguruan Banteng Putih
langsung sirna. Gerombolan Ular Maut memburu tubuh
ketuanya. Sedangkan Melati sudah disibukkan kembali oleh
lawan-lawannya.
Namun begitu melihat Gerombolan Ular Maut
meluruk ke arah mayat Ular Muka Kuning, Pendekar Tinju
Maut menghadangnya. Pertarungan pun tidak bisa dielakkan.
Seru dan semakin ramai ketika Ki Rawung dan murid-murid
Perguruan Banteng Putih ikut ambil bagian.
Mendadak terdengar bunyi riuh rendah. Sesaat
kemudian. Pendekar Pedang Kilat, Gajah Kedi, dan
rombongannya tiba. Tanpa banyak bicara mereka segera
teijun ke dalam kancah pertarungan.
Suasana di arena pertempuran pun berubah hebat.
Sebagian dari mereka membantu Pendekar Tinju Maut.
Sedangkan sisanya membantu Melati. Hingga Buaya Kulit
Besi terpaksa menghadapi Melati seorang diri lagi.
Ternyata rombongan yang baru tiba terdiri dari
tokoh-tokoh yang berkepandaian setingkat dengan Pendekar
Tinju Maut. Jumlah mereka pun cukup banyak. Dengan
mudah rombongan itu mematahkan perlawanan gerombolan
perampok dan bajak sungai. Kerja sama Gerombolan Ular
Maut tidak berguna. Rombongan Pendekar Pedang Kilat, de¬
ngan cerdik membuat mereka terpisah-pisah. Kemudian
dengan mudah mereka dirobohkan.
Tak sampai dua puluh jurus pertarungan terhenti.
Sisa gerombolan perampok dan bajak sungai menyerah.
Karena hanya tinggal beberapa orang. Sebagian besar dari
mereka tewas.
Baru saja rombongan golongan hitam itu meletakkan
senjata, terdengar lolongan panjang menyayat hati. Ternyata
suara itu dikeluarkan oleh Buaya Kulit Besi. Pimpinan bajak
sungai itu tewas dengan tulang dada hancur terkena
tendangan Melati.
Sekarang hanya tinggal satu pertarungan lagi.
Pertempuran Dewa Arak dan Sangkala yang masih
berlangsung sengit. Tak heran jika semua mata menatap
jalannya pertarungan tanpa berkedip.
"Terima kasih atas bantuanmu beserta rombongan.
Gajah Kecil," Pendekar Tinju Maut mengucapkan rasa
syukurnya.
"Lupakanlah," sahut Gajah Kedi tanpa mengalihkan
pandangan dari pertarungan.
Sementara itu di arena pertempuran, Sangkala tahu
hanya tinggal dirinya yang masih melakukan perlawanan.
Kenyataan ini membuatnya gugup. Apalagi ketika menyadari
Dewa Arak tidak akan mungkin dapat dikalahkan. Telah
seratus lima puluh jurus berlalu. Dewa Arak tetap tidak dapat
didesak. Bahkan dia yang mulai berhasil dijepit lawan.
Kenyataan ini membuat Sangkala tidak bersemangat
lagi melanjutkan pertarungan. Pemuda berwajah bopeng itu
memutuskan untuk kabur. Namun sayang kesempatan itu
tidak pernah didapat. Dan sepertinya tidak akan mungkin
didapatkan bila tidak dia sendiri yang membuatnya.
Berpikir demikian, Sangkala bertindak nekat.
Mendadak dilancarkannya pukulan bertubi-tubi ke dada
lawan. Pemuda itu berharap Dewa Arak akan mundur untuk
mengelak. Dengan demikian, dia mempunyai kesempatan
melarikan diri.
Sangkala salah duga! Dewa Arak tidak mundur, tapi
melompat ke atas melewati kepalanya. Dari atas, pemuda
berambut putih keperakan itu mengayunkan tangan
kanannya. Sangkala kaget bukan main! Rasa kalap
membuatnya tidak sempat memikirkan hal itu. Begitu
menyadari adanya ancaman, diusahakan sebisa-bisanya
mengelakkan serangan lawan. Tapi....
Plakkk!
"Ukh!"
Hanya keluhan tertahan yang dapat diperdengarkan
Sangkala. Nyawanya melayang ke akherat saat itu juga.
Tamparan Arya telah membuat kepalanya retak-retak.
Jiiggg!
Bertepatan dengan mendaratnya kedua kaki Dewa
Arak, tubuh Sangkala ambruk ke tanah.
"Hhh.J"
Dewa Arak menghembuskan napas berat. Sekarang
perasaannya sudah lega. Tidak ada ganjalan lagi di dalam
dada. Sumpahnya pada Sutini telah ditunaikan. Dia tidak
mempunyai hutang lagi.
"Kakang...!"
Suara panggilan yang sangat dikenalnya membuat
pemuda berambut putih keperakan itu menoleh. Dilihatnya
Melati, kekasihnya, tersenyum. Arya balas tersenyum.
Sementara di kejauhan terdengar bunyi ayam jantan
berkokok. Tak lama lagi sang Surya akan muncul di ufuk
timur. Sebuah lembaran hidup baru siap dimulai.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Kabut di Bukit Gondang
Emoticon