SATU
Suara tawa dan senda gurau seorang bocah begitu merdu menggelitik gendang
telinga, ditingkahi gemercik suara air sungai mengalir. Seorang bocah
laki-laki berusia sekitar lima tahun tengah bermain-main di tepi sungai,
berlarian, berkejaran dengan ayahnya. Sementara ibunya mengawasi disertai
senyuman, sambil berteduh di bawah sebatang pohon rindang. Kegembiraan
mewarnai raut wajah mereka.
"Ibuuu...!" jerit anak itu ketika jari-jari tangan ayahnya menggelitik
seluruh pinggangnya.
Sementara sang ibu hanya terkikik saja tanpa berusaha menolong. Bocah itu
menggeliat-geliat, mencoba membebaskan diri dari gelitik tangan ayahnya.
Setelah berhasil, dia langsung berlari menghampiri ibunya yang menyongsong
dengan kedua tangan terbuka. Sedangkan ayahnya pura-pura mengejar. Namun
belum juga laki-laki muda bertubuh tegap itu mencapai istri dan anaknya,
mendadak saja sebatang anak panah melesat cepat bagaikan kilat ke arah
wanita muda yang bagian bahunya terbuka itu.
"Lasmi, awas...!" teriak laki-laki itu memperingatkan.
Bagaikan kilat, laki-laki bertelanjang dada itu melesat dan berjumpalitan
di udara beberapa kali. Tangannya mengibas cepat menangkap anak panah yang
hampir saja menghunjam punggung anak laki-laki yang berada di dalam dekapan
ibunya. Tap!
Laki-laki muda itu tangkas sekali menangkap anak panah yang melesat cepat
bagai kilat. Dia langsung mendorong istrinya ke belakang. Sebatang anak
panah berwarna merah, kini tergenggam erat di tangannya. Kedua jnatanya
tajam agak memerah menatap ke satu arah. Sambil menggeram, dihentakkan
tangan yang menggenggam anak panah itu.
"Hih!"
Wut..!
Anak panah itu melesat cepat, bahkan melebihi lesatan menggunakan busur.
Dan seketika itu juga terdengar jeritan melengking tinggi dari sebuah semak
tidak jauh dari tempat itu. Beberapa saat kemudian, tampak sesosok tubuh
keluar dari dalam semak, lalu ambruk menggelepar di tanah. Tampak sebatang
anak panah memanggang lehernya. Orang itu tewas seketika.
"Cepat pulang...!" desis laki-laki itu.
"Kakang...."
Belum juga bisa bergerak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba di sekitar
mereka berlompatan empat orang. Laki-laki muda yang tidak mengenakan baju
itu langsung menggeser kakinya, mendekati istrinya yang tengah memeluk erat
putra mereka dalam gendongan.
Laki-laki muda itu menatap tajam empat laki-laki tua di depannya yang sorot
matanya memancarkan kekejaman. Mereka semua merupakan tokoh rimba persilatan
beraliran hitam. Laki-laki itu terus menggeser kakinya ke belakang sambil
membawa istri dan anaknya ke tempat yang cukup terlindung dan aman.
Kehadiran empat orang tua itu sudah diduga sebelumnya, meskipun mereka tidak
dikenal.
"Siapa kalian?" tanya laki-laki muda itu dingin.
"He he he...!" keempat orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh sambil saling
melirik.
"Kami hanya menjalankan tugas, Sundrata," jelas salah seorang yang
mengenakan baju warna merah menyala.
"Heh?! Kalian mengenalku...?! Siapa kalian ini?!'» laki-laki muda yang
panggil Sundrata itu terperanjat.
"Kau tidak perlu tahu siapa kami, Sundrata. Bersiaplah untuk mati!" dengus
orang tua yang mengenakan baju hitam.
"Kakang...," agak bergetar suara Lasmi yang berlindung di balik punggung
suaminya.
"Pergilah! Selamatkan anak kita," bisik Sundrata.
Lasmi memandangi keempat orang tua itu. Diserahkannya golok bergagang
gading pada suaminya. Kemudian wanita muda berparas cantik itu melangkah
Inundur perlahan-lahan. Terlihat jelas pada raut wajahnya kalau kecemasan
begitu mendalam tak dapat disembunyikan lagi. Dia tahu betul kalau dulu
suaminya adalah seorang pendekar yang sudah melanglang buana. Sedangkan
dirinya sendiri, meskipun bukan seorang wanita pendekar, tapi memiliki
sedikit ilmu olah kanuragan. Namun melihat empat laki-laki tua itu,
kecemasan benar benar menggaluti hatinya juga.
Sementara keempat laki-laki tua itu sudah bergerak menyebar. Sedangkan
Sundrata sudah mencabut golok bergagang gading yang berkilatan dijilat
cahaya matahari, sehingga menyilaukan mata. Sundrata memandangi keempat
orang tua itu satu persatu dengan sinar mata tajam menusuk.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba salah seorang yang mengenakan baju hijau tua, berteriak kencang
sambil melompat menerjang. Sundrata buru-buru merundukkan tubuhnya ketika
orang berbaju hijau itu mengibaskan tongkat yang digenggamnya. Maka, secepat
kilat, dibabatkan goloknya ke atas.
Trang!
Tubuh orang tua berbaju hijau itu melenting ke atas saat tongkatnya
terbabat golok lawan. Sedangkan Sundrata sendiri bergegas melompat ke
samping. Tapi belum juga berdiri sempurna, datang lagi satu serangan dari
orang berbaju merah. Orang itu menghantamkan gada besar berduri ke arah
kepala.
"Yeaaah...!"
Wuk!
"Uts...!"
Cepat Sundrata menarik tubuhnya ke belakang, maka gada berduri yang sangat
besar itu lewat di depan mukanya. Sunggijh dahsyat bukan main, sehingga
angin tebasan gada itu membuat tubuh Sundrata sedikit terhuyung.
Sementara Lasmi tidak jadi meninggalkan tempat itu. Hatinya begitu cemas
melihat suaminya dikeroyok empat orang tua. Didekapnya bocah kecil yang
kepalanya bersembunyi di dada ibunya erat-erat. Sementara pertarungan terus
berlangsung sengit. Serangan-serangan datang bertubi-tubi, mengancam nyawa
Sundrata. Tapi laki-laki muda itu temyata bukanlah orang sembarangan.
Tingkat kepandaian yang dimiliki ternyata cukup tinggi. Beberapa kali
serangan lawan yang sangat berbahaya berhasil dielakkan dengan manis. Bahkan
tidak jarang serangan balasan yang diberikan membuat lawan-lawannya jadi
kerepotan.
***
"Auwh...!”
Lasmi memekik ketika melihat suaminya terkena satu pukulan keras di
dadanya. Tampak Sundrata terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada.
Dari sudut bibimya mengalir darah kental.
Belum juga kebimbangan tubuhnya sempat dikuasai, kembali datang satu
totokan keras dari sebatang tongkat Sundrata mencoba berkelit dengan
memiringkan tubuhnya ke kiri. Tapi tanpa diduga sama sekali, sebuah cambuk
menggeletar menyengat pung-gungnya.
Ctar!
"Akh...!" Sundrata memekik keras.
Cambuk hitam di tangan orang berbaju biru kembali menyengat tubuh Sundrata,
sehingga membuat laki-laki muda itu tersuruk jatuh mencium tanah. Tampak di
punggungnya tergores luka akibat cambukan. Darah merembes keluar dari kulit
punggung yang sobek cukup panjang.
"Hiyaaa...!"
Mendadak saja orang yang berbaju hitam melompat sambil menghunjamkan
pedangnya ke arah Sundrata yang tengah tergolek di tanah. Buru-buru Sundrata
menggulirkan tubuhnya ke samping, dan pedang itu hanya menghunjam
tanah.
"Hup!"
Cepat Sundrata melompat bangkit berdiri. Disilangkan goloknya di depan
dada. Namun belum sem-pat melakukan sesuatu, orang tua berbaju merah
melompat menerjangnya. Gada besar berduri terayun deras ke arah kepala.
Cepat-cepat Sundrata menarik tubuh dan kepalanya ke belakang, seraya
mengibaskan goloknya ke arah pergelangan tangan lawan.
"Yeaaah...!"
Wuk!
"Ikh...!"
Buru-buru orang tua berbaju merah itu menarik pulang gadanya. Tapi dengan
cepat sekali dilentingkan tubuhnya ke atas, dan seketika itu juga,
dikirimkan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi.
Des!
"Akh!" entah untuk ke berapa kali Sundrata terpekik.
Tendangan orang berbaju merah itu tepat menghantam punggungnya Sehingga
membuat Sundrata terhuyung-huyung ke depan. Pada saat itu, orang berbaju
hitam melompat maju sambil menusukkan pedangnya.
Crab!
"Aaakh...!" satu jeritan panjang melengking terdengar keluar dari mulut
Sundrata.
“Yeaaah...!"
Orang tua berbaju hitam itu mencabut pedangnya keluar dari perut Sundrata,
dan seketika tu juga dilayangkan satu tendangan keras yang telak mendarat di
dada. Tak pelak lagi, dengan perut robek berlumuran darah, Sundrata
terpental ke belakang. Saat itu juga orang berbaju merah mengayunkan
gadanya.
“Yeaaah...!"
Wukl
Prak...!
Gada berduri itu langsung menghantam kepala Sundrata hingga hancur
berantakan. Sebelum tubuh laki-laki muda itu ambruk ke tanah, cambuk di
tangan orang tua berbaju biru kembali menggeletar menyengat leher. Itu pun
masih ditambah dengan hunjaman ujung tongkat orang tua berbaju hijau yang
menembus dada.
Tubuh Sundrata limbung, lalu ambruk ke tanah. Kepala yang pecah, tergulir
pisah dari lehemya. Lasmi yang menyaksikan semua kejadian itu menjerit
histeris. Langsung dibalikkan tubuhnya dan berlari sekencang-kencangnya. Dia
memang sudah tak sanggup lagi menyaksikan kematian suaminya yang begitu
tragis.
Jeritan Lasmi menghentak empat orang tua itu. Mereka saling berpandangan
sejenak, lalu tanpa berkata-kata lagi segera berlompatan mengejar. Sementara
Lasmi terus berlari menembus semak belukar berduri. Tak dipedulikan lagi
duri-duri tajam yang mengoyak kulit kakinya hingga berdarah. Dia terus
berlari sekuat tenaga disertai linangan air mata.
"Akh...!" tiba-tiba Lasmi terpekik ketika sepasang tangan mcrengkuh dan
menariknya dengan kasar.
Sebelum Lasmi bisa melakukan sesuatu, sepasang tangan itu sudah mendekap
pinggang dan mulutnya, lalu menarik masuk ke dalam gerumbul semak belukar.
Lasmi berusaha memberontak melepaskan diri sambil memeluk erat putra
laki-lakinya.
"Ssst.., diam!" terdengar suara berat dekat telinga wanita itu.
Pada saat itu terlihat empat orang tua berlarian melintasi mereka. Empat
orang tua itu tak menyadari kalau wanita yang diburu sudah terlewati. Tapi
belum jauh mereka lewat, keempat orang tua itu berhenti.
"Setan!" dengus orang tua berbaju merah.
"Ayo kita kejar terus, jangan sampai lolos!" ajak yang berbaju hijau.
"Tunggu dulu!" cegah yang berbaju hitam.
"Ada apa...?"
"Dia pasti tidak bisa lari jauh secepat ini, dan pasti bersembunyi," tegas
orang tua berbaju hitam.
"Jangan bodoh! Lasmi bukan perempuan sembarangan. Dia juga memiliki
kepandaian!" bentak orang tua berbaju merah.
"Ayo, jangan buang-buang waktu. Pasti dia belum jauh dari sini!" ajak yang
berbaju biru.
Keempat orang tua itu kembali berlari cepat. Begitu cepatnya, sehingga
dalam waktu sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata. Sementara di
balik semak, sepasang tangan kekar melepaskan dekapannya pada wanita itu.
Cepat-cepat Lasmi melepaskan diri dan bangkit berdiri, sedangkan anaknya
masih dipeluk erat-erat.
Lasmi berbalik dan memandangi seorang laki-laki muda berwajah tampan.
Rambutnya panjang, dan tergelung sedikit ke atas. Sedangkan pakaiannya
terbuat dari kulit harimau. Tampan dan gagah sekali, sampai-sampai Lasmi
terkesiap sesaat. Dilangkahkan kakinya mundur keluar dari dalam semak
belukar itu. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau hanya berdiri saja
memandangi.
"Sebaiknya Nisanak cepat tinggalkan tempat ini. Mereka pasti akan kembali
lagi," ujar pemuda itu ramah. Begitu lembut nada suaranya.
"Siapa kau?" tanya Lasmi.
"Yang jelas aku bukan bagian dari mereka," sahut pemuda itu seraya
tersenyum.
Lasmi memalingkan muka menatap ke arah kepergian empat orang tua itu.
Kemudian kembali dipandangnya pemuda yang baru saja menyelamatkannya dari
kejaran empat manusia kejam itu. Siapa pun pemuda ini, yang jelas memang
tidak bermaksud jahat. Dan yang pasti, bukan dari keempat laki-laki tua itu
tadi.
"Cepatlah pergi sebelum mereka kembali, Nisanak," ujar pemuda itu
lagi.
"Baiklah, terima kasih," ucap Lasmi.
Wanita itu bergegas membalikkan tubuhnya dan cepat pergi ke arah lain.
Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu memandangi saja, kemudian duduk
bersandar di bawah pohon rindang sambil menekuk kaki kanan. Satu tangan
ditumpangkan ke lutut. Tapi, belum juga pemuda itu bisa memejamkan mata,
empat orang tua tadi kembali muncul. Mereka tampak terkejut melihat seorang
laki-laki muda duduk bersandar di bawah pohon, lalu seketika berhenti dan
menghampiri.
"Anak muda, apakah kau melihat seorang perempuan membawa anak kecil di
sekitar sini?" tanya orang berbaju merah. Suaranya terdengar kasar
sekali.
"Sayang sekali, aku baru saja sampai dan akan beristirahat. Jadi tidak
bertemu seorang pun kecuali paman berempat," sahut pemuda itu kalem.
"Hm..., kau datang dari arah mana?" tanya orang tua berbaju biru.
"Sana!" sahut pemuda itu menunjuk ke arah perginya Lasmi.
"Kau tidak bertemu seorang pun?" tanya orang berbaju biru itu lagi.
"Ya, tidak jauh dari sini. Di dekat sungai ada pengail."
Keempat laki-laki tua itu saling berpandangan sejenak, lalu tanpa berkata
apa-apa lagi, mereka pergi ke arah yang berlawanan dengan yang ditempuh
Lasmi. Pemuda berbaju kulit harimau itu tersenyum tipis melirik keempat
orang tua itu, kemudian meme-jamkan matanya sambil bersandar ke pohon.
"Hhh..., baru juga mau tidur...," desah pemuda itu mengeluh.
Sementara itu Lasmi sudah tiba di tepi sungai yang tidak begitu besar,
namun aimya keruh sekali. Sehingga, aliran air itu merah kecoklatan. Di tepi
sungai duduk seorang pangail berbaju lusuh, mengenakan tudung tikar yang
sudah koyak menutupi sebagian wajahnya. Pengail itu menoleh saat mendengar
langkah kaki menuju ke arahnya.
"Kisanak, boleh aku bertanya?" agak bergetar dan tersendat suara
Lasmi.
"Hm...," pengail itu hanya menggumam kecil saja.
"Di mana arahnya Desa Kaung?" tanya Lasmi.
"Untuk apa ke Desa Kaung, Lasmi?"
"Heh...?!" Lasmi terkejut
Buru-buru wanita itu melangkah mundur, sedangkan pengail itu membuang
jorannya sambil bangkit berdiri. Dibukanya tudung yang menutupi kepala".
Seketika mata Lasmi membeliak lebar begitu melihat wajah tua yang rambutnya
telah memutih. Kumis panjangnya menyatu dengan jenggot putih, dan seluruhnya
berwama putih.
"Datuk...," desis Lasmi, bergetar suaranya.
"Kau bisa saja lolos dari mereka, Lasmi. Tapi tidak bisa lepas dariku. He
he he...," ujar laki-laki tua itu seraya terkekeh.
"Oh, tidak...," desis Lasmi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, dan
terus bergerak mundur.
Sementara laki-laki tua itu melangkah maju mendekati. Cepat-cepat Lasmi
berbalik dan berlari, tapi laki-laki tua itu lebih cepat lagi melompatinya
dan tahu-tahu sudah berdiri di depannya. Dia tertawa terkekeh memperiihatkan
baris-baris gigi yang kecil, masih teratur rapi.
"He he he.... Ke mana keperkasaan dan ke-angkuhanmu, Lasmi? Kau seperti
seekor kelinci saja!"
Wajah Lasmi yang bersimbah keringat jadi memerah pucat, dan terus bergerak
mundur sambil mendekap putranya erat-erat Sementara laki-laki tua itu
semakin dekat saja.
"Kau harus ikut denganku, Lasmi. Hap...!"
"Akh...!" Lasmi terpekik tertahan.
Kalau saja wanita itu tidak memiringkan tubuhnya ke kanan, tentu laki-laki
tua itu sudah merengkuhnya. Lepas dari terkaman laki-laki tua itu, Lasmi
langsung membalikkan tubuh dan berlari. Namun....
Bret!
"Auw...!"
Tangan laki-laki tua itu menjambret kain yang dikenakan Lasmi hingga koyak.
Tampak kulit punggung yang putih terbuka lebar, maka Lasmi buru-buru
menutupi. Tapi belum juga sempat berbuat sesuatu, laki-laki tua itu sudah
merengkuhnya ke dalam peluk-annya.
"Lepaskan...!" pekik Lasmi sambil memberontak. "Huh! Aku tidak perlu bocah
ini!" dengus laki-laki tua itu.
"Jangan...!"
Tapi laki-laki tua itu sudah merenggut anak laki-laki di dalam dekapan
ibunya. Dengan kasar disentakkan wanita itu hingga terhuyung, dan jatuh
tersuruk ke tanah.
"Ibuuu...!" jerit anak laki-laki itu.
"Oh, tidak! Jangaaan...!" jerit Lasmi dengan air mata berlinangan.
Tapi laki-laki tua itu malah tertawa terbahak-bahak. Dicengkerarnnya
tengkuk anak kecil itu. Dan sambil mendengus, mendadak saja dilemparkan anak
itu dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam.
"Tidaaak...!"
"Ibuuu...!"
"Ha ha ha...!"
Tubuh kecil yang hanya mengenakan celana tanpa baju itu melayang deras ke
udara, dan Lasmi hanya bisa meraung-raung. Laki-laki tua itu sudah mencekal
tangannya, dan memeluk pinggang ramping itu kuat-kuat Lasmi meraung-raung
sambil berusaha meronta melepaskan diri. Tapi pelukan orang tua itu demikian
kuat. Sementara tubuh kecil mulai melayang turun deras sekali.
"Ibuuu..., tolooong...!"
Tapi Lasmi hanya bisa menangis memandangi putranya yang tidak lama lagi
bakal terbanting ke tanah. Lemas sudah seluruh tubuhnya menyaksikan semua
ini. Namun belum juga anak itu menyentuh tanah, mendadak saja sebuah
bayangan berkelebat menyambar. Dan tahu-tahu di depan Lasmi berdiri seorang
pemuda tampan berbaju kulit harimau.
Sebelum ada yang menyadari, pemuda itu sudah cepat bergerak lagi. Tahu-tahu
tubuhnya melesat bagai kilat menyambar orang tua itu. Tentu saja hal ini
membuat orang tua itu terkejut setengah mati. Tak ada jalan lain, kecuali
cepat-cepat didorongnya tubuh Lasmi.
"Ahk...!" Lasmi terpekik.
Dan tanpa diduga sama sekali, pemuda berbaju kulit harimau itu menangkap
Lasmi. Dan dengan manis sekali dilentingkan tubuhnya ke atas, hinggap di
batang pohon, langsung saja pemuda itu melesat pergi dengan kecepatan tinggi
bersama Lasmi dan anak tunggalnya.
"Hei...!" orang tua itu terkejut setengah mati.
Sungguh tidak disangka kalau akan seperti ini kejadiannya. Dan tanpa
membuang-buang waktu lagi, dia melesat mengejar. Namun begitu kakinya
hinggap di cabang pohon tinggi, orang tua itu tak jadi melompat lagi.
"Sial!" dengusnya.
Laki-laki tua itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi bayangan
pemuda yang membawa Lasmi dan anaknya sudah tidak terlihat lagi. Daerah ini
begitu luas, meskipun pepohonan yang tumbuh tidak begitu lebar. Laki-laki
tua itu bersungut-sungut, dan kembali meluruk turun. Gerakannya ringan
sekali, pertanda tingkat ilmu olah kanuragan yang dimilikinya cukup
tinggi.
"Monyet keparat...!"
***
DUA
Lasmi merintih lirih sambil menggelengkan kepalanya dengan lemah.
Perlahan-lahan dibuka matanya, dan langsung beranjak bangun. Tatapannya
lurus tertuju pada seorang pemuda tampan mengenakan baju kulit harimau.
Tampak seorang bocah tergolek lelap di pangkuannya. Pemuda itu memandang
Lasmi yang beranjak turun dari pembaringan bambu. Hanya selembar tikar daun
pandan yang menjadi alas ranjang bambu itu.
"Dia tidur," jelas pemuda itu setelah Lasmi berada di depannya.
Lasmi mengambil anak kecil berusia sekitar lima tahun itu, dan memindahkan
ke pembaringan bambu yang tadi ditidurinya.
Sebentar dipandangi wajah anaknya, kemudian berbalik dan duduk di tepi
pembaringan ini. Pandangannya beredar ke sekeliling. Disadarinya kalau saat
ini berada di sebuah pondok kecil yang kelihatannya kumuh sekali.
"Cukup lama juga kau tidak sadar," jelas pemuda itu lagi.
"Di mana ini?" tanya Lasmi. "Di pondokku. Tidak bagus, tapi lumayan untuk
berteduh," sahut pemuda itu ringan. "Kau siapa?" tanya Lasmi lagi.
"Panggil saja Bayu," pemuda berbaju kulit harimau itu memperkenalkan diri.
"Boleh aku tahu siapa namamu?"
"Lasmi, dan ini anakku. Namanya Wijaya." Wajah Lasmi berubah mendung.
Kepalanya tertunduk, teringat akan suaminya yang tewas dikeroyok empat orang
tua yang tidak dikenal sama sekali. Perlahan diangkat kepalanya, langsung
memandang pemuda berbaju kulit harimau di depannya. Begitu sendu dan redup
sekali sinar mata wanita itu, namun demikian tidak menghilangkan kecantikan
wajahnya.
"Aku tidak kenal dirimu, dan kau juga tidak kenal diriku. Kenapa kau
menyelamatkanku?" tanya Lasmi pelan.
"Maaf jika kau merasa tidak senang," ucap pemuda berbaju kulit harimau yang
mengaku bemama Bayu, atau terkenal dengan julukan Pendekar Pulau
Neraka.
"Oh, tidak. Aku bahkan berterima kasih sekali padamu," buru-buru Lasmi
berkilah.
"Aku tadi hanya kebetulan saja lewat dan melihatmu dikejar-kejar empat
orang," jelas Bayu.
"Lalu, bagaimana kau menolongku dari...?" Lasmi memutuskan
kalimatnya.
"Ketika mendengar teriakanmu, aku yakin kau perlu pertolongan. Untung tidak
terlambat," sahut Bayu cepat
"Terima kasih," pelan sekali suara Lasmi, hampir tidak terdengar.
Kembali kepala Lasmi tertunduk. Dirayapinya ujung baju yang dikenakannya.
Seketika wanita ini tersadar kalau kain yang dikenakannya tadi agak basah,
dan kain itu juga koyak di punggung.
"Gantilah bajumu!" ujar Bayu sambil memberikan sebuah bungkusan yang berisi
pakaian.
"Dari mana kau dapatkan pakaian, itu?"
"Aku beli di Desa Kaung," sahut Bayu.
"Oh...! Jadi Desa Kaung tidak jauh lagi dari sini?" tanya Lasmi dengan
pandangan agak dalam.
"Benar. Hanya sebentar saja dari sini," jawab Bayu sambil memutar tubuh
membelakangi Lasmi.
Lasmi segera menukar pakaian sambil memandangi anaknya yang masih tertidur
lelap. Ditaruhnya kain yang baru dilepasnya di samping dipan bambu. Kemudian
dia beranjak bangkit dan melangkah menghampiri Bayu, lalu duduk di depan
pemuda berbaju kulit harimau itu. Bayu menawarkan pisang. Lasmi menerima,
dan langsung dikupas. Sedikit pisang ranum itu digigitnya.
Wanita itu memandang ke luar melalui pintu pondok yang terbuka setengah.
Kegelapan di luar sana menandakan kalau hari sudah malam. Lasmi sadar, kalau
dirinya tadi pingsan cukup lama juga. Hanya sebuah pelita kecil dari minyak
buah jarak menerangi pondok ini. Cahayanya yang redup seakan-akan tak mampu
mengusir kegelapan. Terlebih lagi menghangati udara dingin yang menusuk
menggigilkan.
"Siapa kau sebenarnya, Kakang...? Oh, maaf. Boleh aku memanggilmu begitu?"
Lasmi membuka suara lagi.
Bayu hanya tersenyum dan mengangguk kecil. "Aku hanya seorang pengembara,"
ujar Bayu.
"Pondok ini...? Bukankah pondok ini milikmu?"
"Benar. Aku membangunnya tadi siang. Kau dan anakmu perlu tempat untuk
berteduh. Maaf, aku tidak bisa membuat lebih baik lagi dari ini," kata Bayu
merendah.
"Ah...," Lasmi mendesah.
"Kau pasti lelah. Istirahatlah," ujar Bayu seraya bangkit berdiri.
"Mau ke mana?" tanya Lasmi ikut berdiri.
"Menjaga di luar."
Pendekar Pulau Neraka itu mengayunkan kakinya ke luar. Sebentar Lasmi
memandangi punggung pemuda berbaju kulit harimau itu, lalu pandangannya
beralih pada bocah kecil yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Lasmi
mengayunkan kakinya mendekati pintu yang ditutup Bayu dari luar. Ketika
pintu itu dibuka, tampak Bayu tengah duduk di bawah pohon di depan pondok
ini. Lasmi melangkah keluar dari pondok untuk menghampiri pemuda itu, lalu
duduk di samping-nya. Sementara Bayu hanya melirik saja sedikit. Seonggok
api unggun menyaia di depan mereka, sedikit mengusir udara dingin.
Untuk beberapa saat, mereka hanya membisu saja. Entah apa yang ada di dalam
pikiran masing-masing. Bayu menambahkan sepotong ranting ke dalam api.
Tampak percikan bunga api membumbung ke angkasa. Pendekar Pulau Neraka itu
berpaling memandang wanita di sebelahnya. Pada saat itu Lasmi juga tengah
memandang padanya. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sama-sama menarik
napas panjang sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu, Kakang," kata Lasmi
pelan.
"Tidak ada yang perlu kau katakan, sahut Bayu.
Lasmi menatap pemuda berbaju kulit harimau di sampingnya.
Digeleng-gelengkan kepalanya, kemudian napasnya ditarik panjang-panjang dan
dihembuskan kuat-kuat.
"Ada yang kau pikirkan?" tanya Bayu.
"Yaaah...," desah Lasmi terasa berat
"Asal kau tidak memikirkan diriku saja," Bayu mencoba berseloroh.
Gurauan Bayu membuat wanita itu tersenyum. Namun terasa hambar sekali,
bahkan nampak dipaksakan. Untung saja Bayu tidak melihatnya. Dan Lasmi
semakin sukar menghilangkan ganjalan yang ada di dalam dadanya. Dia ndak
ingin pemuda yang telah berbaik hati padanya ini ikut terlibat dalam
persoalan yang dihadapi. Persoalan pelik yang mengundang pertaruhan
nyawa.
"Justru kau yang menjadi pikiranku, Kakang," tegas Lasmi mendesah.
"Oh...?!" Bayu mengerutkan keningnya.
Pendekar Pulau Neraka itu berpaling, menatap dalam-dalam wanita di
sampingnya. Semakin berkerut kening pemuda berbaju kulit harimau itu ketika
melihat raut wajah Lasmi begitu muram terselaput mendung tebal. Perlahan
Bayu mengambil tangan wanita itu, lalu menggenggamnya. Lasmi tertunduk.
Dibiarkan saja pemuda itu menggenggam tangannya. Terasa ada sedikit
kehangatan dan kedamaian menyusup ke dalam hati. Tapi saat itu terlintas
bayangan wajah suaminya. Maka dengan halus Lasmi melepaskan genggaman tangan
pemuda tampan itu.
"Tampaknya ada yang menyusahkanmu, Nisanak. Katakan. Mungkin aku bisa
mengurangi beban yang kau pikul," pinta Bayu lembut.
Lasmi tersenyum getir, dan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Terlintas
beberapa wajah di depan matanya. Wajah-wajah yang dikenal maupun yang tidak
dikenalnya. Wajah-wajah tua bengis yang tadi siang hampir membuatnya celaka,
dan telah memisahkannya dari suaminya untuk selama-lamanya. Lasmi mendesah
panjang saat teriintas wajah seorang laki-laki tua dengan rambut putih,
kumis dan jenggot yang juga putih panjang. Perlahan-lahan digeleng-gelengkan
kepalanya, mencoba mengusir bayang-bayang yang melintas di depan mata.
"Kau terlalu lelah, Nisanak. IstirahatJah di dalam," kata Bayu
lembut.
"Aku akan menemanimu di sini," ujar Lasmi seraya memberi senyum yang
dipaksakan.
"Malam terlalu dingin, lagi pula pagi masih terlalu jauh. Kasihan anakmu
jika kau terlalu lelah besok pagi," Bayu mencoba mendesak.
Lasmi tidak bisa lagi memaksa kala diingatnya tentang anaknya. Ya..., saat
ini perhatiannya harus tertumpah penuh pada anak tunggalnya. Setelah menarik
napas panjang, wanita itu bangkit berdiri, lalu melangkah masuk ke dalam
pondok. Sementara Bayu hanya memandangi sampai wanita itu lenyap di dalam
pondok kecil yang dibangunnya siang tadi.
***
Pagi-pagi sekali Lasmi sudah keluar dari dalam pondok sambil menggendong
anaknya yang masih tampak mengantuk. Wanita itu tampak agak terkejut begitu
melihat Bayu berdiri tegak di dekat onggokan api unggun. Pendekar Pulau
Neraka itu membalikkan tubuh saat mendengar gerit pintu terbuka. Matanya
agak menyipit melihat Lasmi seakan-akan hendak pergi diam-diam. Bayu
menghampiri dan berdiri sekitar dua langkah lagi di depan pintu pondok, di
tempat Lasmi yang hanya bisa memandangi di ambang pintu.
"Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Bayu.
"Aku harus pergi. Maaf," sahut Lasmi pelan.
"Ke mana kau akan pergi?"
Lasmi tidak langsung menjawab, tapi malah memandangi bola mata jernih di
depannya. Perlahan wajahnya tertunduk. Sementara kepala kecil rebah di
dadanya, dengan mata seakan enggan untuk terbuka. Saat ini memang masih
terlalu pagi. Bahkan suasana pun masih terselimut kegelapan. Hanya sedikit
rona merah menyemburat dari pucuk-pucuk pepohonan di sebelah Timur.
"Maaf, mungkin aku terlalu ingin ikut campur urusanmu," ucap Bayu seraya
melangkah mundur beberapa tindak.
Sementara Lasmi masih tetap diam memandangi Pendekar Pulau Neraka itu.
Terasa sekali ada sesuatu ganjalan di hatinya, namun terasa sukar
diungkapkan. Sementara Bayu sudah berada sekitar satu batang tombak di
depannya. Perlahan Lasmi melangkah ke luar dari pondok, lalu berhenti di
depan Bayu sekitar lima langkah jaraknya.
"Maafkan aku, Kakang. Bukannya aku tidak berterima kasih. Tapi aku tidak
ingin kau ikut terlibat. Maaf...," ucap Lasmi perlahan.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja. "Anggap saja kita tidak pernah bertemu,
Kakang," kata Lasmi lagi.
"Hm...," hanya gumaman saja yang terlontar dari bibir Rendekar Pulau Neraka
itu.
Sebentar Lasmi memandangi pemuda tampan di depannya, kemudian memutar
tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara Bayu masih berdiri
tegak memandangi kepergian wanita muda dan cantik yang membawa anak dalam
gendongannya.
Bayu masih berdiri memandangi meskipun punggung Lasmi telah samar-samar
terselimut kabut. Kemudian wanita itu tak tertihat lagi, lenyap di balik
bayang-bayang kabut pepohonan. Bayu menarik napas panjang. Tampaknya memang
ada sesuatu pada diri wanita itu. Sesuatu yang seakan ndak ingin diketahui
siapa pun, tapi sangat mengganggu ketenangannya. Semua itu dapat terbaca
dari raut wajah maupun sorot matanya yang sangat lelah.
"Hm.... Kalau dia menuju ke Desa Kaung, pasti akan bertemu orang-orang yang
mengejamya," gumam Bayu perlahan. "Rasanya mustahil kalau tidak ada apa-apa
pada dirinya."
Entah kenapa, Bayu jadi bertanya-tanya tentang diri wanita yang mengaku
bemama Lasmi itu. Dan entah kenapa pula, Pendekar Pulau Neraka itu jadi
measa cemas. Dia sendiri tidak tahu, mengapa mendadak saja kecemasan
menyelinap di dalam hatinya?
Slap!
"Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka itu melesat bagai kilat menuju arah
kepergian Lasmi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja tubuhnya sudah
lenyap ditelan kabut yang masih cukup tebal menyelimuti daerah ini.
Kecemasan Bayu semakin menjadi, kala teringat kalau di Desa Kaung dia telah
melihat empat orang laki-laki tua yang mengejar Lasmi. Sedangkan jelas
sekali kalau wanita itu menuju Desa Kaung.
Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Namun
setelah jauh berlari, mendadak saja larinya dihentikan. Pendekar Pulau
Neraka baru tersadar kalau Lasmi hanya berjalan biasa saja, dan tidak
mungkin dalam waktu sebentar sudah bisa berjalan sejauh ini. Tapi sepanjang
jalan yang dilalui, wanita itu tidak dijumpainya.
"Hm...," gumam Bayu pelan.
Rasanya memang tidak mungkin jika hanya seorang wanita biasa bisa secepat
ini menghilang. Apalagi menempuh perjalanan cepat dalam kegelapan kabut yang
tebal. Dan Bayu teringat kata-kata empat orang tua yang mengejar Lasmi.
Mereka sepertinya sudah mengetahui siapa Lasmi itu.
Mengingat itu semua, Bayu mengedarkan pandangannya ke tanah berumput di
sekitamya. Kedua matanya menyipit melihat ada jejak kaki tertera halus.
Jejak yang diyakini masih baru, tapi jelas milik sese-orang yang memiliki
ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Apakah ini jejak-jejak kaki Lasmi?
Bayu jadi bertanya-tanya dalam hati. Setelah berpikir beberapa saat,
Pendekar Pulau Neraka itu kembali melesat, berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
***
Sementara itu suasana di Desa Kaung tampak tenang dan damai. Semua penduduk
terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Sepanjang jalan desa dipenuhi
pejalan kaki maupun penunggang kuda. Di antara orang-orang yang memadati
jalan tanah berdebu itu, terlihat seorang wanita mengenakan baju lusuh
berdebu tengah berjalan agak tertatih menggendong anaknya.
Sebagian wajahnya hampir tertutup kerudung kain berwarna biru gelap. Ayunan
kakinya cepat sambil memeluk anak laki-laki yang berusia sekitar lima tahun
erat-erat, seakan-akan takut kalau anak itu lepas dari pelukan. Tak ada
seorang pun yang memperhatikan, karena semua orang tengah disibukkan oleh
pekerjaan masing-masing.
Wanita itu berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari kayu tebal.
Pintu yang tingginya sekitar dua tombak dan sangat besar itu tertutup rapat.
Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu menatap pintu yang temyata
sebuah gerbang depan. Dibetulkan letak kerudung yang menutupi kepala dan
sebagian wajahnya. Kemudian dibetulkan letak gendongan pada anak laki-laki
kecil yang kelihatan tenang menyem-bunyikan kepalanya di dada.
"Bu...."
"Mudah-mudahan Kakek bersedia menerimamu, Nak," kata wanita itu
perlahan.
Perlahan sekali kakinya terayun mehdekati pintu besar yang terkunci rapat.
Tangan yang kecil dan halus mengetuk pintu itu. Kembali kepalanya menoleh ke
kanan dan ke kiri, seakan-akan takut ada yang melihatnya.
Tak lama kemudian pintu kayu itu terbuka sedikit. Suara gerit engsel yang
berkarat membuat sedikit wajah yang terlihat di balik kerudung tampak pucat.
Sebuah kepala dari seorang laki-laki muda yang cukup tampan menyembul ke
luar.
"Mau apa?" tanya laki-laki itu agak kasar.
"Aku ingin bertemu Datuk Maringgih," sahut wanita itu.
"Ada keperluan apa, dan siapa kau ini?" tanya laki-laki itu lagi seraya
merayapi wanita yang berdiri di depan pintu.
Tapi belum juga ada jawaban, tiba-tiba laki-laki itu terbeliak melihat anak
laki-laki kecil dalam pelukan wanita itu. Buru-buru dibukanya pintu
lebar-lebar, lalu dirinya keluar. Kemudian ditutup pintunya lagi setelah
menoleh sebentar ke belakang.
"Ada apa kau ke sini, Kak?" tanya laki-laki itu setengah berbisik, seakan
takut terdengar orang lain.
"Aku ingin menitipkan anakku, Parita," sahut wanita itu seraya melepaskan
kerudung yang menutupi wajahnya.
Tampak di balik kerudung itu tersembunyi seraut wajah cantik, milik seorang
wanita bemama Lasmi. Sementara pemuda yang dipanggil Parita menarik tangan
Lasmi dan mengajaknya ke tepi tembok yang agak tersembunyi. Lasmi menurut
saja sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Mana Kakang Sundrata?" tanya Parita masih dengan suara setengah
berbisik.
Lasmi tidak langsung menjawab, tapi malah menundukkan kepala. Tangannya
yang berjari lentik halus mengeius-elus rambut bocah kecil di dalam
gendongan. Parita meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya erat-erat.
Lasmi mengangkat kepala, menatap pemuda itu langsung pada titik bola
matanya.
"Datuk Maringgih sedang bersemadi. Kalau mau, kau bisa menunggu di
pondokku," usul Parita pelan.
"Terima kasih, aku tidak ingin merepotkanmu," ujar Lasmi, agak tersendat
suaranya.
"Sama sekali tidak, Kak. Bahkan aku senang bisa melihatmu kembali. Aku
ingin mendengar ceritamu. Ayo...?"
Lasmi ingin menolak, tapi Parita sudah lebih dulu menarik tangannya. Mereka
kemudian berjalan bersisian menyusuri tembok pagar yang tinggi dan tebal.
Lasmi kembali menutupi wajahnya dengan kerudung. Hanya bagian mata dan
sedikit hidung bagian atas yang terlihat Sementara anaknya kelihatan tenang
dalam gendongan.
Tiba di perempatan jalan, mereka berbelok ke kanan dan terus menyusuri
jalan kecil berdebu yang berlubang di beberapa bagian. Jalan ini agak sepi,
tidak seramai jalan utama desa yang selalu dipenuhi orang. Tak lama kemudian
mereka sampai di depan sebuah pondok kecil, namun kelihatan rapi dan
bersih.
Lasmi memandangi pondok itu sesaat. Diayunkan kakinya perlahan mendekati
pondok. Sedangkan Parita sudah lebih dahulu sampai. Dibukanya pintu pondok,
dan kemudian menunggu Lasmi di ambang pintu.
"Ayo masuk, Kak," ajak Parita.
Lasmi membuka kembali kerudungnya. Bibirnya tersenyum, lalu masuk ke dalam
pondok. Sebentar dipandangi bagian dalam pondok ini. Kemudian tubuhnya
berbalik dan menatap Parita yang masih berdiri di ambang pintu.
"Pondok ini tidak pernah berubah," kata Lasmi dengan mata agak
berkaca-kaca.
"Aku tidak ingin merubahnya, Kak," sahut Parita.
"Kenapa?"
"Di sini aku bisa melepas kerinduanku padamu."
Lasmi mendesah perlahan. Hatinya trenyuh mendengar kata-kata pemuda itu.
Kepalanya menunduk memandangi wajah anaknya. Temyata bocah itu sudah
tertidur. Mungkin kelelahan berada di dalam gendongan seharian penuh. Parita
mengetahui. Maka diambilnya anak itu dan dibawanya ke sebuah kamar. Lasmi
menghenyakkan tubuhnya di kursi. Tak lama berselang Parita muncul
lagi.
"Kau masih tetap sendiri, Parita?" tanya Lasmi.
"Ya," sahut Parita sambil duduk di depan wanita itu.
"Kenapa tidak menikah saja?"
Parita tidak menjawab, tapi malah memandangi wajah cantik di depannya. Dan
Lasmi jadi menggigit bibir sendiri. Hatinya menyesal telah bertanya masalah
pribadi. Dia tahu, kenapa Parita tidak ingin menikah dan lebih senang hidup
sendiri sambil mengabdikan diri di Padepokan Bambu Kuning.
Bagi murid-murid Padepokan Bambu Kuning yang sudah mencapai tingkat tinggi
memang diijinkan untuk mempunyai tempat tinggal di luar padepokan, atau
mengembara mencari pengalaman sambil menambah ilmu. Semua murid padepokan
memang ditanamkan untuk menimba ilmu di mana saja, bukan hanya di dalam
padepokan. Itulah keistimewaan Padepokan Bambu Kuning yang tidak pernah
membedakan ilmu apa pun. Tidak pernah memandang, apakah itu ilmu aliran
hitam atau putih. Bagi padepokan itu, semua aliran ilmu kedigdayaan adalah
sama. Yang penting tergantung dari yang menggunakannya.
"Istirahatlah dulu, Kak. Aku akan kembali ke padepokan, karena harus
menjaga agar semadi Datuk Maringgih tidak terganggu," jelas Parita seraya
bangkit berdiri.
"Kau akan mengatakan kedatanganku, Parita?" tanya Lasmi.
"Tidak, jika kau tidak ingin," sahut Parita.
"Kapan Datuk Maringgih selesai bersemadi?"
"Mungkin dua atau tiga hari lagi."
Lasmi tidak bertanya lagi, dan hanya memandangi saja pemuda itu. Sedangkan
Parita hanya bisa membalas. Melihat keletihan dan kelesuan pada wajah Lasmi,
pemuda itu merasa iba. Tak sedikit pun dihiraukan segala yang pernah terjadi
di masa lalu antara mereka berdua. Dan Parita memang tidak ingin
mengingatnya lagi. Tapi bagaimanapun juga, dia tidak bisa melupakan
Lasmi.
"Parita...," pelan suara Lasmi.
"Ada apa?" Parita menghampiri dan menarik kursi, kemudian duduk di depan
wanita itu.
"Kenapa kau tetap saja memanggilku kakak?" tanya Lasmi.
"Kau kakakku, Kak Lasmi. Sudah sepantasnya aku memanggilmu begitu. Bukankah
kau sendiri yang mengatakannya padaku?" Parita mengingatkan.
"Tapi..., ah. Maafkan aku, Parita," lirih sekali suara Lasmi.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kak. Yang sudah terjadi biarlah, tak perlu
diingat lagi," ujar Parita lembut.
"Kau baik sekali, Parita. Tidak pantas rasanya aku menerima kebaikanmu
seperti ini," semakin pelan suara Lasmi, dan terdengar agak tersendat.
"Sudahlah, Kak. Yang penting sekarang ini, istirahatlah. Kau pasti letih.
Lihat, bajumu kotor begini, dan..., bau," gurau Parita.
Lasmi tersenyum juga mendengar gurauan pemuda itu. Namun hanya senyuman
tipis, dan sebentar saja. Kini wajahnya sudah kembali mendung. Memang,
rasanya sejak kemarin dia belum bertemu air. Badannya begitu kotor dan bau
sekali, mirip gembel jalanan.
Parita akan bangkit berdiri, tapi Lasmi lebih cepat lagi menahan.
Digenggamnya tangan pemuda itu, dan ditatapnya dalam-dalam. Parita membalas
menggenggam tangan itu, dan menepuk-nepuk dengan lembut. Diberikannya sebuah
senyuman, tapi sungguh sulit dimengerti apa arti senyumannya itu.
"Aku harus kembali dulu. Tidak enak meninggalkan tugas pada saat Datuk
Maringgih sedang bersemadi," pamit Parita seraya bangkit berdiri.
"Kau melatih sekarang, Parita?"
"Ya, coba-coba saja," sahut Parita nyengir.
Lasmi tersenyum, dan membiarkan saja Parita pergi meninggalkan pondok ini.
Lasmi mengantarnya sampai di ambang pintu, lalu bergegas menutup pintu
setelah Parita lenyap dari pandangan. Wanita itu melangkah masuk ke dalam
kamar. Dipandanginya bocah laki-laki yang tampak lelap dalam tidumya.
Tersungging sebuah senyuman kecil, kemudian tubuhnya berbalik meninggalkan
kamar itu.
***
TIGA
Baru saja Parita melewati pintu gerbang Padepokan Bambu Kuning ketika
seorang laki-laki muda berusia belasan tahun menghampiri. Dia membungkukkan
badan memberi hormat dengan tangan terkepal di depan dada. Parita tahu,
kalau pemuda itu adalah murid padepokan ini.
"Ada apa?" tanya Parita.
"Guru Datuk Maringgih memanggil, katanya ingin bertemu di ruangan semadi,"
sahut pemuda belasan tahun itu.
Parita mengerutkan keningnya, tapi bergegas juga melangkah menuju bilik
semadi yang berada di samping kanan balai latihan utama. Agak heran juga
hatinya, karena gurunya ingin bertemu di ruangan semadi. Belum pemah hal ini
terjadi, apalagi di saat Guru Besar Padepokan Bambu Kuning itu tengah
melakukan semadi.
Parita berhenti sebentar di depan pintu bilik semadi. Hatinya masih
bertanya-tanya tentang panggilan mendadak ini. Panggilan yang terasa amat
aneh dan sukar dimengerti. Tapi akhirnya Parita mengetuk juga pintu yang
tertutup itu.
"Masuk...," terdengar suara berat dari dalam.
Parita membuka pintu dan melangkah masuk. Ruangan yang berukuran tidak
terlalu besar ini terasa pengap karena dipenuhi kepulan asap dari pedupaan.
Tampak di tengah-tengah ruangan duduk bersila seorang laki-laki berjubah
putih dengan ikat kepala putih juga. Seluruh rambut, jenggot, dan kumisnya
yang panjang berwama putih. Parita membungkuk sambil merapatkan kedua tangan
terkepal di depan dada.
"Mendekatlah, duduk di dekatku," kata laki-laki tua itu.
Parita mendekat dan duduk bersila di depan laki-laki tua berusia hampir
seratus tahun. Tubuhnya masih kelihatan gagah dengan sinar mata tajam,
mengandung daya pancar kewibawaan yang sangat besar.
"Ada apa Datuk memanggilku?" tanya Parita dengan sikap penuh rasa
hormat.
"Hm...," Datuk Maringgih hanya menggumam kecil sambil mengelus-elus
jenggotnya yang panjang sampai menutupi leher.
Sementara Parita hanya duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala, menekuri
lantai dingin bagai berada di puncak gunung yang tertinggi di dunia.
"Parita. Kuminta, bawalah Lasmi menemuiku di ruang pribadiku," kata Datuk
Maringgih.
Parita terkejut bukan main, tapi tidak berani mengangkat kepalanya. Bahkan
malah semakin dalam tertunduk. Sungguh tidak disangka kalau Datuk Maringgih
sudah mengetahui kedatangan Lasmi. Di balik rasa keterkejutannya, Parita
juga kagum luar biasa. Dalam keadaan terkurung di dalam bilik semadi,
ternyata laki-laki tua ini bisa mengetahui sekelilingnya. Itu merupakan
suatu kenyataan kalau Datuk Maringgih benar-benar sudah sempurna dalam
kemurnian jiwa dan raganya. Laki-laki tua ini bagaikan manusia setengah
dewa.
"Kau terkejut, Parita?"
"Oh, Datuk...," Parita tak bisa berkata-kata lagi.
"Aku bisa memahami, kenapa Lasmi kau bawa ke pondokmu. Aku tidak
menyalahkan, tapi malah kagum terhadap tindakanmu. Pergilah, dan bawa Lasmi
menemuiku," ujar Datuk Maringgih lagi.
"Segera, Datuk," sahut Parita.
Bergegas Parita menjura memberi hormat, kemudian keluar dari bilik semadi
itu. Perlahan ditutup kembali pintunya. Tapi belum juga melangkah, mendadak
ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Parita kembali membuka pintu bilik
semadi. Seketika matanya terbeliak lebar melihat ruangan itu sudah kosong,
tak ada lagi Datuk Maringgih di dalam.
"Oh...," desah Parita kagum.
Bergegas laki-laki muda itu menutup pintu bilik semadi, kemudian melangkah
cepat meninggalkan tempat itu. Ayunan kakinya lebar dan bergegas sekali.
Tidak dihiraukan lagi beberapa murid padepokan ini menjura memberi hormat
padanya.
***
Ragu-ragu Lasmi menaiki undakan menuju ruangan pribadi Guru Besar Padepokan
Bambu Kuning. Sementara Parita yang menggendong Wijaya mengikuti dari
belakang. Lasmi berhenti di depan pintu ruangan pribadi Datuk Maringgih.
Kepalanya menoleh, memandang Parita yang berada di belakang.
"Ayo, Datuk Maringgih ingin bertemu denganmu," desak Parita.
"Aku takut..," pelan suara Lasmi.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan. Masuklah...!" terdengar suara dari
dalam.
Lasmi memandang pemuda di belakangnya. Sedangkan Parita hanya menggerakkan
kepala, menyuruh wanita itu masuk. Dengan tangan gemetaran, Lasmi mendorong
pintu itu, dan mengayunkan kakinya masuk. Sementara Parita masih mengikuti
dari belakang. Lasmi tak mampu lagi mengangkat kepalanya. Apalagi untuk
memandang laki-laki tua itu yang duduk di sebuah dipan kayu beralaskan
permadani tebal berwama hijau daun. Lasmi duduk bersimpuh di lantai. Parita
mengikuti, duduk bersila di sampingnya.
"Kau datang sendiri, Lasmi?" terdengar berat dan berwibawa sekali nada
suara Datuk Maringgih.
"Berdua dengan anakku," jawab Lasmi pelan tanpa mengangkat kepalanya.
"Ini Wijaya, anaknya, Datuk," celetuk Parita.
Datuk Maringgih hanya memandang sebentar pada anak laki-laki di pangkuan
Parita, lalu kembali menatap Lasmi yang duduk dengan kepala tertunduk.
"Apa yang kau harapkan di sini?" tanya Datuk Maringgih lagi.
Lasmi tak bisa menjawab. Sukar rasanya menjawab pertanyaan itu. Dia sediri
tidak tahu, kenapa datang lagi ke tempat ini, setelah...
"Kau sudah bertekad untuk menjalani hidup bersama laki-laki pilihanmu
sendiri. Sedikit pun kau tidak suka mendengar nasihatku. Maka dengan berat
hati kululuskan permintaanmu, karena aku tahu kau tidak bisa lepas dari
laki-laki yang kau cintai...," terasa berat sekali nada suara Datuk
Maringgih.
"Ini anaknya Lasmi, Datuk," jelas Parita.
Datuk Maringgih hanya memandang sebentar pada anak laki-laki di pangkuan
Parita.
"Apa yang kau harapkan di sini, Lasmi? Kau kan sudah bertekad menjalani
hidup bersama laki-laki pilihanmu sendiri..," tegur Datuk itu pelan.
Sedangkan Lasmi hanya menunduk dan diam membisu.
"Aku bukannya tidak menyukai kehidupan seorang pendekar. Aku dulu juga
seorang pendekar, dan sekarang melahirkan pendekar-pendekar muda. Tapi aku
tahu betul, siapa itu Sundrata," sambung Datuk Maringgih.
'Tapi Kakang Sundrata sangat mencintaiku, Ayah," sergah Lasmi seraya
mengangkat kepalanya.
"Aku tahu, dan juga telah mendengar kau hidup bahagia sampai anakmu lahir.
Terus terang, aku ikut bahagia saat mendengar kelahiran anak
laki-lakimu."
"Tapi, kenapa Ayah tidak datang untuk melihat?"
"Itulah yang sukar kulakukan, Lasmi. Meskipun Sundrata seorang pendekar
yang berjalan di jalur lurus, tapi aku tahu siapa orang tuanya."
"Ayah...."
"Lasmi, aku memintamu datang ke sini bukan untuk berdebat!" potong Datuk
Maringgih cepat.
Lasmi langsung terdiam, dan kepalanya kembali tertunduk. Terdengar desahan
napas panjang dari Datuk Maringgih. Beberapa saat ruangan yang cukup besar
itu sunyi, tak ada yang mengeluarkan suara.
"Di mana suamimu?" tanya Datuk Maringgih setelah beberapa saat
terdiam.
"Dia..., dia...," Lasmi tak sanggup meneruskan.
"Suamimu tewas, bukan?" serobot Datuk Maringgih.
"Ayah sudah tahu...?!" Lasmi terkejut
"Aku sudah menduga semua ini akan terjadi. Dan itu tak mungkin bisa
dihindari lagi. Bagaimanapun juga, aku akan terlibat. Bahkan seluruh
penghuni Padepokan Bambu Kuning. Mungkin juga seluruh penduduk Desa Kaung
akan terlibat," agak dalam nada suara Datuk Maringgih.
Lasmi kembali diam membisu.
"Jika kau suka menuruti nasihatku, tak mungkin akan terjadi. Yaaah....
Semuanya sudah terjadi, tak perlu lagi disesali," sambung Datuk Maringgih
pelan.
"Maafkan Lasmi, Ayah," ucap Lasmi lirih.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Apa yang sudah terjadi tidak akan terulang
lagi. Apa pun yang kau lakukan, tetap menjadi tanggung jawabku."
"Ayah...," Lasmi tak kuasa lagi membendung air matanya.
"Jangan menangis, Lasmi. Aku tidak suka melihatmu menangis."
Sekuat tenaga Lasmi mencoba menahan tangisnya. Dia tahu kalau ayahnya tidak
senang mendengar tangisannya. Bahkan ketika ibunya meninggal pun, ayahnya
melarang untuk menangis. Lasmi ingat betul, saat air matanya baru bisa
ditumpahkan di dalam kamar. Sekarang ini dia ingin menangis, tapi tak
mungkin dilakukan di depan ayahnya. Lasmi merasa begitu berdosa, telah
mengabaikan segala nasihat dan kata-kata laki-laki tua yang sangat dihormati
ini. Bahkan melebihi rasa hormat yang ada pada dirinya sendiri.
Sekarang, setelah dihancurkan dan disakiti hatinya, laki-laki tua ini masih
mau menerima dengan tangan terbuka dan hati lapang. Sungguh mulia hati Datuk
Maringgih. Rasanya sukar bagi Lasmi untuk membalas kemuliaan yang dimiliki
ayahnya. Yaaah..., penyesalan memang tidak ada gunanya lagi. Apa pun yang
telah terjadi, hatinya harus tegar menghadapinya. Itu yang selalu dikatakan
Datuk Maringgih padanya.
"Pergilah ke kamarmu. Aku tidak pernah merubahnya sedikit pun," kata Datuk
Maringgih.
Lasmi mengambil anaknya dari pangkuan Parita. Rasanya sulit untuk
mengucapkan sesuatu, bahkan berbuat sesuatu pun tak sanggup lagi. Kini yang
bisa dilakukan hanyalah menuruti kata-kata ayahnya, tanpa mampu membantah
lagi.
"Lasmi, siapa nama anakmu?" tanya Datuk Maringgih sebelum Lasmi keluar dari
ruangan ini.
"Wijaya," sahut Lasmi.
"Wijaya...," gumam Datuk Maringgih pelan.
Datuk Maringgih bangkit dari duduknya, lalu melangkah menghampiri Lasmi.
Sebentar ditatapnya anak laki-laki di dalam gendongan wanita itu. Tangannya
terulur dan membelai kepala bocah itu. Hampir Lasmi meledak tangisnya, tapi
masih mampu menahannya. Sunguh tidak diduga kalau ayahnya akan menerima
Wijaya dengan penuh kasih.
Dan Lasmi semakin sukar menguasai perasaan hatinya ketika laki tua itu
mencium ubun-ubun kepala anaknya. Dia hanya bisa menggigit-gigit bibirnya
sambil menahan perasaan yang bercampur aduk dalam dada.
"Pergilah sebelum air matamu tumpah," kata Datuk Maringgih, agak tertahan
suaranya.
Sebentar Lasmi menatap ayahnya. Hampir tidak dipercaya kalau laki-laki tua
itu dapat berkata seperti tadi. Ini merupakan sesuatu yang belum pemah
didengar. Datuk Maringgih seakan mengijinkannya menangis, tapi tetap tidak
ingin di hadapannya. Bergegas Lasmi berjalan meninggalkan ruangan itu.
Sementara Datuk Maringgih memandangi sampai anaknya lenyap di balik pintu.
Laki-laki tua berjubah putih itu menarik napas dalam-dalam. Rupanya Lasmi
sudah tidak kuasa membendung tangisnya yang langsung pecah begitu sampai di
luar ruang pribadi. Meskipun tertahan, tapi isak tangis wanita itu sempat
juga terdengar. Datuk Maringgih berpaling memandang Parita yang masih duduk
bersila dengan kepala tertunduk. Laki-laki tua itu kembali duduk di
tempatnya semula.
"Mereka tahu Lasmi ada di sini, Parita?" tanya Datuk Maringgih setelah
menarik napas panjang.
"Tidak, Datuk," sahut Parita tetap tertunduk.
"Cepat atau lambat, mereka pasti akan tahu juga," desah Datuk Maringgih
dalam.
Perlahan-lahan Parita mengangkat kepalanya. Hatinya sedikit tertegun
melihat wajah laki-laki tua itu murung. Bahkan kedua bola matanya kelihatan
berkaca-kaca. Belum pernah Parita melihat gurunya seperti ini. Biasanya
Datuk Maringgih tegar dalam menghadapi apa pun. Bahkan ketika Lasmi
meninggalkannya bersama Sundrata, laki-laki tua ini tidak menampakkan
kesedihan. Apalagi kemurkaan. Raut wajahnya tetap datar. Tapi sekarang
ini.... Belum pernah Parita melihat raut wajah Datuk Maringgih begitu
mendung.
"Parita, kuminta kau menjaga Lasmi. Jika terjadi sesuatu, aku berharap agar
kau bisa menjaga keselamatannya. Aku percayakan Lasmi dan anaknya padamu,"
pinta Datuk Maringgih.
"Baik, Datuk," sahut Parita.
"Hm...."
***
Pagi yang cerah ini memang enak untuk berjalan-jalan menghirup udara segar.
Kesempatan seperti ini memang sangat jarang bisa dinikmati. Dan Lasmi tidak
akan menyia-nyiakan kesempatan indah ini. Anaknya dituntun, berjalan-jalan
mengelilingi bangunan Padepokan Bambu Kuning.
Di sini, di dalam lingkungan pagar tembok ini, Lasmi dilahirkan dan
dibesarkan. Hanya sekali dalam satu pekan dia bisa keluar. Itu pun tidak
bisa keluar dari Desa Kaung. Lasmi benar-benar menikmati udara segar di pagi
hari ini sambil mengenang saat-saat ketika masih tinggal di sini, di
lingkungan yang terpisah dari dunia luar. Padahal Padepokan Bambu Kuning
berdiri di tengah-tengah sebuah desa yang besar dan ramai.
"Pagi yang indah, Lasmi...."
"Oh...!" Lasmi tersentak ketika sebuah suara lembut menyapanya.
Lasmi tersenyum saat Parita tahu-tahu sudah berada dekat di sampingnya.
Pemuda itu menghampiri dan mengangkat Wijaya, lalu mendukungnya di pundak.
Bocah kecil itu tampak kesenangan berada di pundak Parita. Sedangkan Lasmi
hanya tersenyum saja. Cantik sekali wajahnya pagi ini. Begitu segar, bagai
bunga yang tumbuh bermekaran di sekelilmg bangunan padepokan ini.
"Aku kira kau sudah melupakan padepokan ini, Lasmi," ujar Parita seraya
mengayunkan kakinya mengikuti langkah kaki wanita di sampingnya.
"Aku tidak akan pernah melupakannya, Parita. Eh...! Kau tidak memanggilku
kakak lagi, Parita?"
"Kau yang memintaku begitu, bukan? Aku tidak yakin kalau kau cepat lupa.
Baru semalam...."
"Tidak. Aku memang senang kau tidak memanggilku kakak lagi. Gatal rasanya
di telinga."
"Aku akan membiasakannya meskipun terasa janggal di lidah."
"Ah! Kau tetap saja seperti dulu, Parita. Senang bergurau."
"Untuk menghilangkan ketegangan."
"Ketegangan...? Kau merasa tegang di sini, Parita?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Kuakui, ketegangan itu sering muncul sejak kau pergi."
Lasmi menatap pemuda di sampingnya, kemudian kembali memandang ke depan.
Dia tahu kalau sejak dulu Parita menyukainya Tapi Lasmi tidak pernah punya
perasaan lain pada pemuda ini, selain perasaan persaudaraan. Dan rupanya
Parita cukup rapi menyimpan ketidaksenangannya pada Sundrata.
"Aku lihat kau sudah pantas memiliki seorang gadis, Parita," kata
Lasmi.
Parita malah tertawa. Mungkin perkataan Lasmi barusan dianggap lucu.
Sedangkan Lasmi hanya tersenyum saja. Disadari begitu bodoh. Meskipun Parita
sudah pantas memiliki kekasih, tapi tidak akan mungkin pemuda ini mencari
gadis lain. Lasmi ingat suatu malam, ketika hendak meninggalkan Padepokan
Bambu Kuning ini bersama Sundrata. Parita berterus terang kalau dirinya
tidak akan mencari gadis lain, dan tetap akan menunggu Lasmi dalam keadaan
apa pun juga.
Waktu itu Lasmi menanggapinya dengan tawa saja. Keterusterangan Parita
dianggap sebagai gurauan yang sangat menggelitik waktu itu. Tapi rupanya
Parita memang bukan bergurau. Kata-katanya itu dibuktikan hingga
sekarang.
"Lasmi...," terdengar serius nada suara Parita.
Lasmi menggumam kecil, lalu menoleh menatap pemuda di sampingnya. Mereka
terus berjalan perlahan-lahan sambil menikmati udara segar pagi ini.
"Apa kau benar-benar tidak mengenal orang-orang yang membunuh suamimu?"
tanya Parita, serius nada suaranya.
"Tidak," sahut Lasmi, agak berkerut keningnya. "Kenapa kau tanyakan itu,
Parita?"
"Tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu saja. Barangkali saja bisa bertemu
mereka dan bisa membalas kematian suamimu," sahut Parita ringan.
"Untuk apa? Ayah pasti tidak akan merestui jika kau membalas dendam,
Parita. Dendam bukanlah penyelesaian terbaik. Bahkan sebaliknya akan
melahirkan dendam baru yang berkepanjangan dan tidak akan pernah mendapatkan
titik penyelesaian yang tak akan pemah berakhir sepanjang masa."
"Tidak ada dendam di hatiku, Lasmi." Tapi kalau mereka sengaja memburumu,
tentu tidak akan kubiarkan begitu saja."
"Terima kasih, kau baik sekali," ucap Lasmi terharu.
"Mereka bisa rnengalahkan suamimu. Tentu mereka mempunyai kepandaian yang
tinggi," kata Parita lagi agak menggumam.
Lasmi hanya diam saja, dan terus melangkah perlahan. Kembali dia teringat
pertarungan Sundrata melawan empat orang tua yang tidak dikenalnya sama
sekali. Dan dia juga tidak tahu persoalannya. Tapi yang nembuat Lasmi sukar
untuk melupakan adalah kemunculan seorang laki-laki tua yang tentu sudah
sangat dikenalnya.
Yaaah.... Kalau saja tidak muncul seorang pemuda berilmu tinggi yang
menolongnya pada saat yang tepat, entah apa yang akan terjadi pada dirinya
sekarang. Yang pasti dirinya tidak akan bisa melihat anaknya lagi. Lasmi
jadi teringat pemuda penolongnya. Seorang pemuda tampan, gagah, dan
berkemampuan tinggi sekali.
"Kau melamun, Lasmi?" tegur Parita.
"Oh, tidak...," Lasmi tersentak. Lamunannya seketika buyar.
Sementara Parita menurunkan Wijaya dari pundaknya. Dan bocah itu langsung
berlari-lari mendahului. Lincah dan riang sekali. Lasmi jadi merasa iri, dan
seperti ingin selamanya menjadi seorang anak kecil yang tidak pernah
memikirkan apa-apa selain kesenangan. Begitu cepatnya Wijaya melupakan semua
yang pemah terjadi pada dirinya. Sesuatu yang hampir merenggut
nyawanya.
"Parita, boleh aku tanya sesuatu padamu?" ujar Lasmi.
"Katakan saja," sahut Parita.
"Kau tahu, kenapa Ayah tidak pernah menyukai Kakang Sundrata?" tanya Lasmi
seperti untuk dirinya sendiri
"Aku rasa kau lebih tahu dariku, Lasmi," sahut Parita.
"Kalau aku tahu, tidak mungkin bertanya padamu."
"Kenapa tidak kau tanyakan saja pada ayahmu?"
"Mustahil, Parita. Ayah pasti tidak akan suka menjelaskan. Paling-paling
yang dikatakan hanya karena Kakang Sundrata keturunan seorang kepala begal.
Dan Ayah merasa tertipu karena menerimanya menjadi murid di sini. Aku yakin,
hanya itu. Tidak lebih...!"
"Aku rasa memang demikian, Lasmi. Aku bisa merasakan kekhawatiran ayahmu,"
tegas Parita bema-da lembut.
"Tapi Kakang Sundrata tidak menuruni sifat-sifat ayahnya. Bahkan justru
memusuhi anak buah ayahnya. Kau tahu, Parita. Dalam pengembaraan, tidak
sedikit Kakang Sundrata bertemu anak buah Ki Rampoa. Bahkan yang tidak
ditewaskan, disadarkannya kembali ke jalan yang benar."
Parita hanya diam saja. Entah kenapa, setiap kali Lasmi memuji Sundrata,
ada kepedihan di hatinya. Dan sama sekali itu tidak disukainya. Tapi Parita
tidak pernah memperiihatkan ketidaksukaannya di depan wanita ini.
"Lasmi, waktu kau.... Hm, maksudku ketika suamimu dikeroyok, kenapa kau
tidak membantu?" tanya Parita mengalihkan pembicaraan, karena Lasmi terus
memuji-muji mendiang suaminya.
"Aku tidak bisa melakukannya, Parita," sahut Lasmi lirih.
"Kenapa?"
"Aku terkena racun yang memunahkan sebagian kekuatanku."
Parita terhenyak. Ditatapnya wanita ini dalam -dalam.
"Dalam suatu pertempuran, aku terkena pukulan beracun seorang laki-laki tua
yang sangat tinggi ilmunya. Memang tidak terlihat sama sekali. Tapi setiap
kali menggunakan tenaga dalam, setiap kali tenagaku berkurang. Dan sekarang
aku tidak tahu lagi, apakah masih mampu atau tidak sama sekali."
"Kenapa kau tidak menceritakan hal ini pada ayahmu?"
Lasmi menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Tidak mungkin hal ini
diutarakan pada ayahnya. Karena Datuk Maringgih pasti tahu dengan siapa
Lasmi bertarung sehingga mendapatkan luka yang cukup parah. Bahkan bisa
membunuhnya secara perlahan-lahan. Kalau hal ini sampai diketahui, sukar
bagi Lasmi untuk membayangkannya.
***
EMPAT
Datuk Maringgih memandangi Parita yang duduk bersila di depannya
dalam-dalam. Sungguh hatinya terkejut begitu mendengar putrinya mengidap
racun dalam tubuhnya yang akan mengurangi kekuatan setiap kali menggunakan
ilmu tenaga dalam. Dan laki-laki itu tahu, siapa yang memiliki jenis racun
seperti itu. Hanya saja yang sukar untuk dimengerti, bagaimana mungkin Lasmi
bisa bentrok hingga menderita keracunan begitu parah?
"Datuk, jangan katakan ini pada Lasmi," pinta Parita. Permintaan yang sudah
beberapa kali diucapkan.
"Aku yang memberimu tugas untuk menjaga Lasmi jadi tidak mungkin
membocorkan rahasiaku sendiri, Parita," tegas Datuk Maringgih.
"Terima kasih, Datuk," ucap Parita lega.
"Selain itu, apa lagi yang kau dapatkan?" tanya Datuk. Maringgih.
"Lasmi juga menceritakan, kalau dirinya bisa terlepas dari maut karena
ditolong seseorang, Datuk," sahut Parita.
"Siapa?"
"Lasmi tidak suka menyebutkan namanya. Tapi hanya mengatakan kalau orang
itu masih muda dan berkepandaian tinggi sekali. Katanya, pakaiannya dari
kulit harimau. Seperti seorang pemburu, Datuk."
"Hm..., Pendekar Pulau Neraka," gumam Datuk Maringgih.
"Datuk mengenalnya?"
"Aku belum pernah bertemu, tapi nama besar Pendekar Pulau Neraka sering
kudengar."
"Apakah beraliran putih, Datuk?" tanya Parita.
"Entahlah. Sepak terjangnya sukar ditentukan. Tapi, banyak kalangan rimba
persilatan mengakuinya kalau dia beraliran putih. Meskipun tindakannya
terkadang masih menggemaskan."
"Maksud, Datuk?"
"Dia sukar mengendalikan kemarahan. Bahkan tidak pernah memberi ampun
lawan-lawannya. Ilmunya memang tinggi sekali, sehingga sukar diukur tingkat
kepandaiannya. Hm...," Datuk Maringgih menundukkan kepala.
"Ada apa, Datuk?" tanya Parita.
"Kau tidak tanya, di mana Lasmi bertemu Pendekar Pulau Neraka?" Datuk
Maringgih malah balik bertanya.
"Di sebelah Barat Desa Kaung," sahut Parita.
"Parita, kau pergilah. Cari Pendekar Pulau Neraka itu, dan sampaikan
undanganku padanya," perintah Datuk Maringgih.
"Datuk mengundangnya...?"
"Benar, sudah lama sekali aku ingin bertemu orang yang bernama Pendekar
Pulau Neraka itu. Mudah-mudahan aku bisa bertukar pengalaman
dengannya."
"Baik, Datuk."
"Cepatlah, jangan sampai keduluan yang lain. Terutama...." terdengar
ketukan di pintu. Laki-laki tua itu menatap pintu, demikian pula
Parita.
"Masuk...!" seru Datuk Maringgih.
Pintu terbuka, dan muncul seorang murid yang masih berusia belasan tahun.
Dia menjura memberi hormat, lalu melangkah ke depan tiga tindak.
"Ada apa?" tanya Datuk Maringgih.
"Ada seorang tamu hendak bertemu, Datuk," sahut muridnya.
"Siapa?"
"Orang itu tidak mau menyebutkan namanya. Katanya ingin bertemu langsung
dengan Datuk."
"Hm...," Datuk Maringgih menggumam kecil.
Sementara Parita sudah bangkit berdiri. Dia hendak melangkah ke luar, tapi
Datuk Maringgih cepat mencegah. Laki-laki tua itu bangkit dari duduknya,
lalu berjalan keluar dengan langkah tenang. Murid Padepokan Bambu Kuning
menyingkir memberi jalan. Parita mengikuti dari belakang.
***
Datuk Maringgih terkejut bukan main ketika melihat seorang laki-laki
berusia sekitar enam puluh tahun lebih, menunggunya di depan bangunan utama
Padepokan Bambu Kuning ini. Tubuhnya tinggi tegap, mengenakan pakaian dari
bulu binatang. Wajahnya terlihat kasar dengan brewok yang tidak teratur. Dua
orang yang tidak kalah kasamya mendampingi di samping kiri dan kanan.
"Ki Rampoa, apa maksudmu datang ke tempatku?" tanya Datuk Maringgih.
"Aku ingin meminta tanggung jawabmu, Datuk Maringgih!" sahut Ki Rampoa
lantang.
"Tanggung jawabku...?" Datuk Maringgih mengerutkan alisnya.
"Ya, karena kau telah membunuh putraku!" bentak Ki Rampoa lantang.
"Heh...! Tunggu dulu. Aku tidak mengerti maksudmu," sentak Datuk Maringgih
terkejut.
"Kau jangan berpura-pura, tua bangka! Aku tahu kalau Lasmi kembali lagi ke
sini setelah meracuni anakku, lalu mencincangnya seperti daging busuk. Hhh!
Sungguh licik! Kau gunakan kecantikan anak gadismu agar membangkang pada
ayahnya. Sebelum kau beri dia ilmu olah kanuragan, lalu kau menyuruh
menentangku. Benar-benar licik!"
"Jaga kata-katamu, Ki Rampoa!" bentak Datuk Maringgih gusar.
"Seharusnya kau jaga anakmu!"
"Bedebah...!" geram Datuk Maringgih gusar.
"Datuk Maringgih, aku tidak ingin bermain-main denganmu. Serahkan Lasmi,
atau kau memilih kehancuran padepokanmu ini!" Ki Rampoa memberi pilihan
bemada ancaman.
"Tidak dua-duanya!" tegas Datuk Maringgih.
"Bagus! Itu berarti aku yang akan menentukan pilihan. Dan aku memilih
keduanya," kata Ki Rampoa.
"Bajingan kau, Rampoa!" desis Datuk Maringgih.
"Ha ha ha...!" Ki Rampoa tertawa terbahak-bahak.
Gemeretak seluruh geraham Datuk Maringgih, tapi masih berusaha diredam
kemarahannya. Sikap dan kata-kata Ki Rampoa sungguh menyakitkan. Tapi juga
disadari kalau antara Padepokan Bambu Kuning dengan Partai Pasir Merah
sedang diadu domba. Datuk Maringgih sadar, kalau ada pihak lain yang
menginginkan kehancuran Partai Pasir Merah itu.
Dan orang tua berjubah putih itu tahu siapa orang-nya, hanya saja namanya
belum diketahui. Yang pasti adalah, empat orang yang mengeroyok Sundrata
hingga tewas. Mereka pasti meniupkan api di hati Ki Rampoa dengan
memanfaatkan hubungan antara putra Ki Rampoa dengan Lasmi. Dan tentunya,
mereka pasti tahu kalau di antara Padepokan Bambu Kuning dengan Partai Pasir
Merah terjadi perang dingin yang sudah berlarut-larut, meskipun putra-putri
pemimpin masing-masing mengikat tali perkawinan. Namun hal itu tidak juga
bisa membuat kedua kelompok itu menyatu. Bahkan kini malah semakin
genting.
"Perlu kau ketahui, Datuk Maringgih. Seluruh Padepokanmu sudah terkepung,
dan bendera perang tinggal kukibarkan. Maka.... Ha ha ha...!" keras sekali
suara Ki Rampoa.
Datuk Maringgih menggeretak menahan kemarahan.
"Aku perlu jawabanmu, Datuk Maringgih. Kutunggu jawabanmu besok pagi.
Ingat! Serahkan Lasmi padaku, atau seluruh padepokan ini akan hancur. Dan
tentunya Lasmi akan berada di tanganku.
Ha ha ha...!"
Ki Rampoa memutar tubuhnya, lalu melangkah pergi. Suara tawanya terus
bergerai lepas menggelegar. Mata Datuk Maringgih tajam memandangi dengan
wajah memerah. Inilah yang sudah diduga sejak Lasmi kembali.
Datuk Maringgih berbalik, tapi tidak jadi melangkah ketika Lasmi tahu-tahu
sudah berdiri di ambang pintu. Sebentar Datuk Maringgih memandang putrinya,
kemudian mengayunkan kakinya juga masuk ke dalam. Sedikit pun wanita itu
tidak ditolehnya. Lasmi bergegas menyusul dan mensejajarkan langkahnya di
samping laki-laki tua itu.
"Ayah, boleh aku bicara...?" pinta Lasmi.
Datuk Maringgih menghentikan langkahnya, lalu memutar tubuh sedikit dan
memandang wanita di depannya kini. Sedangkan Lasmi membalas tatapan mata
itu. Satu hal yang baru pertama kali ini dilakukannya. Selama ini pandangan
mata ayahnya tidak pernah ditentangnya. Tapi sekarang terpaksa harus
dilakukan. Memang dia telah mendengar semua yang dikatakan Ki Rampoa, ayah
dari suaminya.
"Ayah! Semua ini karena kesalahanku, tanggung jawabku...," kata Lasmi
mencoba bicara meskipun tahu ayahnya sedang diliputi kemarahan.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Datuk Maringgih.
"Demi keselamatan Padepokan Bambu Kuning, biar Lasmi menemui Ki Rampoa,"
tegas Lasmi.
"Edan! Apa kau sudah tidak bisa berpikir waras lagi, heh?!" rungut Datuk
Maringgih seraya menghempaskan tubuh di kursi.
"Lasmi masih waras, Ayah. Itu sebabnya kenapa Lasmi tidak ingin terjadi
pertumpahan darah di sini.
"Lasmi rela meskipun mati."
"Tidak! Kau anakku! Segala yang kau perbuat, menjadi tanggung jawabku!"
tegas kata-kata Datuk Maringgih.
"Tapi...."
"Sekali kukatakan tidak, tetap tidak!" sentak Datuk Maringgih tegas.
"Ayah ingin mengorbankan sekian banyak orang? Ayah ingin melihat padepokan
yang kita cintai ini hancur? Tidak, Ayah...! Seumur hidup, Lasmi akan
menyesal jika hal itu sampai terjadi. Semua orang akan mencibir. Bahkan
mengatakan kalau putri seorang Guru Besar Padepokan Bambu Kuning bisanya
hanya berlindung di ketiak ayahnya.
Apa kata sahabat-sahabat Ayah jika mereka mengetahui kalau Ayah
mengorbankan banyak nyawa hanya karena hendak melindungi anaknya yang telah
lari bersama laki-Jaki putra musuhnya? Apa kata mereka nanti, Ayah...?" agak
keras nada suara Lasmi.
Sementara Datuk Maringgih jadi terdiam membisu. Sungguh tidak diduga kalau
Lasmi akan berkata begitu. Dan itu memang tidak bisa dibantah kebenarannya.
Tapi juga tidak bisa dibiarkan begitu saja jika Ki Rampoa membawa Lasmi
seenaknya saja dari tempat ini. Bahkan kalau hal itu sampai terjadi, cibiran
akan datang lebih menyakitkan lagi.
Datuk Maringgih, seorang guru besar padepokan ternama tidak berkutik di
tangan seorang pemimpin gerombolan begal. Apa itu tidak akan menyakitkan...?
Bukan hanya cibiran, tapi juga tidak akan lagi ada yang memandang Padepokan
Bambu Kuning. Sebuah padepokan yang sudah terkena! menelorkan
pendekar-pendekar berkepandaian tinggi dan tangguh.
"Pergilah, aku akan pikirkan," ujar Datuk Maringgih.
"Ki Rampoa hanya memberi waktu...."
"Aku tahu, Lasmi.... Pergilah. Biarkan aku sendiri dulu," potong Datuk
Maringgih cepat.
"Baik, Ayah."
Lasmi bergegas meninggalkan ruangan itu. Sementara Datuk Maringgih masih
terduduk di kursi dengan wajah kusut Memang sukar mengambil keputusan dalam
saat seperti ini. Dia tahu kalau Lasmi bersikap demikian karena merasa
dirinya tidak akan mampu mempertahankan kejayaan dan martabat ayahnya.
Meskipun masih terlihat ketegaran, tapi Datuk Maringgih dapat merasakan
adanya kepurusasaan. Dan ini belum pemah dialami Lasmi. Kepurusasaan itu
datang karena dirasakan dirinya tidak berguna lagi.
***
Malam ini suasana di sekitar benteng Padepokan Bambu Kuning sungguh lain
dari biasanya. Ketegangan menyelimuti seluruh wajah-wajah penghuninya. Malam
begitu senyap. Bukan saja di sekitar Padepokan Bambu Kuning, tapi juga
menyelimuti seluruh Desa Kaung. Kedatangan Gerombolan Pasir Merah tentu
sudah diketahui seluruh penduduk desa. Terlebih lagi, mereka ini mengepung
Padepokan Bambu Kuning.
Tapi tidak demikian halnya dengan Lasmi. Dia tampak tenang, bahkan
menikmati udara malam di depan kamarnya yang langsung berhubungan dengan
taman samping bangunan utama Padepokan Bambu Kuning ini. Sama sekali
kejadian siang tadi tidak dihiraukan. Bahkan sikap Parita yang menemaninya
sejak petang tadi tidak dipedulikan.
"Kenapa kau mengambil keputusan nekad begitu, Lasmi?" desah Parita terasa
berat.
"Aku harus bertanggung jawab, Parita," sahut Lasmi.
"Itu bukan tanggung jawab, tapi perbuatan nekad. Aku tahu kau putus asa,
karena...."
"Tidak," potong Lasmi cepat.
"Lasmi! Jika kau suka berterus terang pada ayahmu, tentu bisa pulih seperti
semula," nada suara Parita terdengar membujuk.
"Untuk apa? Sudah lama aku menyimpan racun ini di tubuhku. Lagi pula Ki
Rampoa hanya menginginkan aku, dan mereka akan pergi dari sini."
"Tidak, Lasmi. Ki Rampoa tidak akan pergi meskipun kau menyerahkan diri.
Dia pasti akan tetap menggempur padepokan ini. Lasmi.... Kau harus menyadari
kalau semua ini bukan karena kesalahanmu, tapi ada orang ketiga yang
memanfaatkannya. Dan kau tahu, siapa-siapa saja orangnya," kata Parita
lagi.
Lasmi terdiam.
"Aku benar-benar tidak mengerti sikapmu, Lasmi. Aku tidak lagi melihat
Lasmi yang dulu kukenal. Lasmi yang tegar, berani, dan tidak mengenal putus
asa," keluh Parita pelan.
"Sudah malam, Parita. Kau perlu mengumpulkan tenaga untuk besok," kata
Lasmi seraya bangkit berdiri.
Sebelum Parita membuka mulut lagi, Lasmi sudah melangkah masuk. Tapi belum
juga pintu kamarnya ditutup, Parita sudah menerobos masuk. Lasmi tak bisa
mencegah lagi, terlebih pemuda itu mencekal tangannya kuat-kuat.
"Lasmi. Aku tidak tahu, harus mengatakan apa lagi padamu. Mungkin aku
memang sudah gila, atau mungkin mataku buta karena tidak bisa lagi melihat
tingginya gunung dan dalamnya lautan. Tapi aku tidak ingin membohongi dan
memendamnya terus menerus," jelas Parita sungguh-sungguh.
Lasmi hanya diam saja.
"Pandang aku, Lasmi. Apakah aku tidak pantas untuk mendampingimu? Apakah
terlalu hina di matamu?" sambung Parita lagi.
Lasmi masih tetap diam.
"Aku memang orang biasa yang tidak jelas asal-usulku. Kalau bukan ayahmu
yang membawaku ke sini, merawat, mendidik, dan mengasuhnya, mungkin aku
sudah jadi gembel jalanan. Terlalu besar budi ayahmu. Dan itu tidak akan
bisa kubalas sampai mati. Yaaah.... Aku memang tidak sepadan denganmu.
Maafkan aku, Lasmi. Tidak seharusnya aku berkata begini pada saat seperti
ini," keluh Parita.
Lasmi memandang pemuda itu dalam-dalam. Sementara Parita melepaskan
cekalannya pada pergelangan tangan wanita itu. Beberapa saat lamanya, mereka
hanya saling bertatapan. Perlahan Lasmi menggeser kakinya, dan duduk di
kursi rotan panjang. Parita menghampiri dan ikut duduk di samping wanita
itu. Tapi mereka masih juga berdiam diri membisu.
"Wijaya perlu seorang ayah, Lasmi," ujar Parita seraya memandang bocah
kecil yang melingkar di pembaringan.
"Kau membenci ayahnya," desah Lasmi.
"Tidak ada alasan bagiku untuk membenci Sundrata. Lagi pula bukan
kebencian, tapi..., cemburu," terdengar pelan nada suara Parita yang
terakhir.
Lasmi menatap pemuda itu dalam-dalam.
"Jangan menatapku begitu, Lasmi. Kau boleh saja muak padaku, tapi tidak
akan melunturkan cintaku padamu," tegas Parita lagi. Dia semakin berani
mengungkapkan perasaan hatinya.
"Aku sudah punya anak, Parita," kilah Lasmi.
"Aku tidak peduli."
"Aku bekas istri orang yang...."
"Cukup! Aku tidak suka mendengar macam-macam alasan lagi darimu, Lasmi.
Bagiku kata penolakan lebih sempurna daripada seribu macam alasan."
"Dengar dulu, Parita. Aku tidak ingin kau mencintaiku hanya karena kasihan.
Aku tidak ingin dikasihani. Lagi pula, kau tahu kalau racun yang bersarang
di tubuhku sewaktu-waktu bisa merenggut nyawaku. Aku tidak ingin hal ini
menjadi beban bagimu. Pikirkan semua ini sekali lagi, Parita."
"Ternyata kau lebih dewasa dari yang kubayangkan, Lasmi. Dan itu semakin
mempertebal rasa cintaku padamu."
"Parita..."
"Aku hanya meminta ketegasanmu saja, Lasmi" desak Parita.
"Jangan mendesakku, Parita. Kau tahu, baru beberapa hari Kakang Sundrata
meninggal. Lagi pula, kita semua sedang menghadapi situasi yang sulit Aku
janji, Parita. Jika semua sudah teratasi, dan kita masih diberi umur
panjang, aku akan memberi jawaban yang kau minta."
"Baiklah, aku akan bersabar. Tapi kumohon, jangan serahkan dirimu pada Ki
Rampoa," sahut Parita.
Lasmi hanya tersenyum saja.
"Demi aku, Lasmi. Demi Wijaya...," desak Parita.
"Baiklah, aku akan menghadapinya sendiri nanti," sahut Lasmi.
"Kau jangan macam-macam, Lasmi."
"Tidak! Kau lihat saja nanti."
"Aku tidak ingin kau nekad dan membunuh dirimu sendiri."
Lagi-lagi Lasmi hanya tersenyum, kemudian bangkit berdiri dan melangkah
menuju ke pembaringannya. Tubuh yang ramping itu langsung terbaring. Parita
masih duduk di kursi memandangi.
"Tutup pintunya, Parita," kata Lasmi.
Parita bangkit berdiri. Sebentar ditatapnya Lasmi yang terbaring
menelentang. Tampak bagian dadanya yang membusung sungguh indah dipandang.
Parita menghampiri dan berdiri saja di samping pembaringan. Lasmi membuka
matanya, dan langsung terkejut melihat Parita berada di dekatnya.
"Aku mencintaimu, Lasmi," bisik Parita lembut.
Lasmi menarik napas panjang. Dan sebelum wanita itu bisa berpikir lebih
jauh, tiba-tiba saja Parita membungkuk. Maka satu kccupan lembut mendarat di
bibir yang merah ranum itu. Sejenak Lasmi terhenyak. Tubuhnya mengejang
seketika. Dan begitu tersadar, Parita sudah tidak ada lagi di kamar ini.
Pintu sudah tertutup rapat.
"Ohhh...," Lasmi mendesah panjang.
Inilah ciuman pertama dari seorang laki-laki yang bukan suaminya. Sungguh
tidak diduga kalau Parita akan seberani itu. Dan dia sendiri tidak mengerti,
kenapa tidak menolak atau mencegahnya. Ciuman yang cepat, tapi begitu lembut
dan.... Ah..., Lasmi jadi tersenyum sendiri. Dulu dia pemah merasakan hal
serupa dengan yang sekarang.
Masih lekat di dalam ingatan, ketika semalaman dia tidak bisa tidur ketika
pertama kali Sundrata mencium bibimya. Dan selama tiga hari masih terasa
terus. Bahkan jadi malu jika bertemu pemuda itu. Kini perasaan itu datang
lagi. Apakah malam ini dia tidak bisa tidur juga? Tidak...! Ini bukan ciuman
pertama, tapi yang pertama dari laki-laki lain.
"Ah, Parita.... Kenapa baru sekarang kau berani...?" desah Lasmi
lirih.
Seandainya sejak dulu Parita seberani ini, tentu tidak akan ada masalah.
Sampai-sampai malam ini semua orang diliputi ketegangan yang amat sangat.
Tapi Lasmi memang mengakui, kalau Parita bukanlah seorang laki-laki yang
berani mengungkapkan perasaan hatinya pada seorang gadis. Bahkan bisa
dikatakan laki-laki pendiam dan tertutup pada gadis-gadis. Padahal dia cukup
tampan dan gagah, serta berkepandaian tinggi.
Lasmi benar-benar tidak bisa memejamkan mata sepicing pun. Ciuman Parita
benar-benar membuatnya jadi tidak menentu. Dia beranjak bangkit dari
pembaringan, dan melangkah menghampiri pintu. Sedikit dibukanya pintu dan
mengintip keluar.
"Heh...?!" Lasmi terkejut bukan main.
Sungguh tidak disangka kalau di depan kamarnya Parita masih ada, tengah
duduk memandangi kamarnya di bawah pohon. Buru-buru Lasmi menutup pintu dan
membalikkan tubuh. Disandarkan punggungnya di daun pintu kamar ini.
"Apa yang dilakukannya di situ...?" bisik Lasmi bertanya pada dirinya
sendiri.
Lasmi kembali ke pembaringannya. Direbahkan dirinya dan dicobanya untuk
melupakan pemuda itu. Dia mencoba tidur, tapi.... Huh! Lasmi mendengus dalam
hati.
"Aku bukan gadis ingusan lagi yang baru kenal cinta! Edan...! Kenapa jadi
begini...?" Lasmi memaki-maki dirinya sendiri.
Sementara malam terus beranjak semakin larut. Beberapa kali mulutnya
mengumpat, mencoba melupakan bayang-bayang wajah Parita. Bahkan menggantinya
dengan bayangan wajah suaminya. Tapi semakin keras berusaha, bayangan wajah
suaminya semakin mengabur. Dan malah wajah Parita semakin jelas mengganggu
pelupuk matanya.
"Konyol! Tidak lucu...!" dengus Lasmi memaki dirinya.
***
Emoticon