SATU
Suara tawa dan senda gurau seorang bocah begitu merdu menggelitik gendang
telinga, ditingkahi gemercik suara air sungai mengalir. Seorang bocah
laki-laki berusia sekitar lima tahun tengah bermain-main di tepi sungai,
berlarian, berkejaran dengan ayahnya. Sementara ibunya mengawasi disertai
senyuman, sambil berteduh di bawah sebatang pohon rindang. Kegembiraan
mewarnai raut wajah mereka.
"Ibuuu...!" jerit anak itu ketika jari-jari tangan ayahnya menggelitik
seluruh pinggangnya.
Sementara sang ibu hanya terkikik saja tanpa berusaha menolong. Bocah itu
menggeliat-geliat, mencoba membebaskan diri dari gelitik tangan ayahnya.
Setelah berhasil, dia langsung berlari menghampiri ibunya yang menyongsong
dengan kedua tangan terbuka. Sedangkan ayahnya pura-pura mengejar. Namun
belum juga laki-laki muda bertubuh tegap itu mencapai istri dan anaknya,
mendadak saja sebatang anak panah melesat cepat bagaikan kilat ke arah
wanita muda yang bagian bahunya terbuka itu.
"Lasmi, awas...!" teriak laki-laki itu memperingatkan.
Bagaikan kilat, laki-laki bertelanjang dada itu melesat dan berjumpalitan
di udara beberapa kali. Tangannya mengibas cepat menangkap anak panah yang
hampir saja menghunjam punggung anak laki-laki yang berada di dalam dekapan
ibunya. Tap!
Laki-laki muda itu tangkas sekali menangkap anak panah yang melesat cepat
bagai kilat. Dia langsung mendorong istrinya ke belakang. Sebatang anak
panah berwarna merah, kini tergenggam erat di tangannya. Kedua jnatanya
tajam agak memerah menatap ke satu arah. Sambil menggeram, dihentakkan
tangan yang menggenggam anak panah itu.
"Hih!"
Wut..!
Anak panah itu melesat cepat, bahkan melebihi lesatan menggunakan busur.
Dan seketika itu juga terdengar jeritan melengking tinggi dari sebuah semak
tidak jauh dari tempat itu. Beberapa saat kemudian, tampak sesosok tubuh
keluar dari dalam semak, lalu ambruk menggelepar di tanah. Tampak sebatang
anak panah memanggang lehernya. Orang itu tewas seketika.
"Cepat pulang...!" desis laki-laki itu.
"Kakang...."
Belum juga bisa bergerak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba di sekitar
mereka berlompatan empat orang. Laki-laki muda yang tidak mengenakan baju
itu langsung menggeser kakinya, mendekati istrinya yang tengah memeluk erat
putra mereka dalam gendongan.
Laki-laki muda itu menatap tajam empat laki-laki tua di depannya yang sorot
matanya memancarkan kekejaman. Mereka semua merupakan tokoh rimba persilatan
beraliran hitam. Laki-laki itu terus menggeser kakinya ke belakang sambil
membawa istri dan anaknya ke tempat yang cukup terlindung dan aman.
Kehadiran empat orang tua itu sudah diduga sebelumnya, meskipun mereka tidak
dikenal.
"Siapa kalian?" tanya laki-laki muda itu dingin.
"He he he...!" keempat orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh sambil saling
melirik.
"Kami hanya menjalankan tugas, Sundrata," jelas salah seorang yang
mengenakan baju warna merah menyala.
"Heh?! Kalian mengenalku...?! Siapa kalian ini?!'» laki-laki muda yang
panggil Sundrata itu terperanjat.
"Kau tidak perlu tahu siapa kami, Sundrata. Bersiaplah untuk mati!" dengus
orang tua yang mengenakan baju hitam.
"Kakang...," agak bergetar suara Lasmi yang berlindung di balik punggung
suaminya.
"Pergilah! Selamatkan anak kita," bisik Sundrata.
Lasmi memandangi keempat orang tua itu. Diserahkannya golok bergagang
gading pada suaminya. Kemudian wanita muda berparas cantik itu melangkah
Inundur perlahan-lahan. Terlihat jelas pada raut wajahnya kalau kecemasan
begitu mendalam tak dapat disembunyikan lagi. Dia tahu betul kalau dulu
suaminya adalah seorang pendekar yang sudah melanglang buana. Sedangkan
dirinya sendiri, meskipun bukan seorang wanita pendekar, tapi memiliki
sedikit ilmu olah kanuragan. Namun melihat empat laki-laki tua itu,
kecemasan benar benar menggaluti hatinya juga.
Sementara keempat laki-laki tua itu sudah bergerak menyebar. Sedangkan
Sundrata sudah mencabut golok bergagang gading yang berkilatan dijilat
cahaya matahari, sehingga menyilaukan mata. Sundrata memandangi keempat
orang tua itu satu persatu dengan sinar mata tajam menusuk.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba salah seorang yang mengenakan baju hijau tua, berteriak kencang
sambil melompat menerjang. Sundrata buru-buru merundukkan tubuhnya ketika
orang berbaju hijau itu mengibaskan tongkat yang digenggamnya. Maka, secepat
kilat, dibabatkan goloknya ke atas.
Trang!
Tubuh orang tua berbaju hijau itu melenting ke atas saat tongkatnya
terbabat golok lawan. Sedangkan Sundrata sendiri bergegas melompat ke
samping. Tapi belum juga berdiri sempurna, datang lagi satu serangan dari
orang berbaju merah. Orang itu menghantamkan gada besar berduri ke arah
kepala.
"Yeaaah...!"
Wuk!
"Uts...!"
Cepat Sundrata menarik tubuhnya ke belakang, maka gada berduri yang sangat
besar itu lewat di depan mukanya. Sunggijh dahsyat bukan main, sehingga
angin tebasan gada itu membuat tubuh Sundrata sedikit terhuyung.
Sementara Lasmi tidak jadi meninggalkan tempat itu. Hatinya begitu cemas
melihat suaminya dikeroyok empat orang tua. Didekapnya bocah kecil yang
kepalanya bersembunyi di dada ibunya erat-erat. Sementara pertarungan terus
berlangsung sengit. Serangan-serangan datang bertubi-tubi, mengancam nyawa
Sundrata. Tapi laki-laki muda itu temyata bukanlah orang sembarangan.
Tingkat kepandaian yang dimiliki ternyata cukup tinggi. Beberapa kali
serangan lawan yang sangat berbahaya berhasil dielakkan dengan manis. Bahkan
tidak jarang serangan balasan yang diberikan membuat lawan-lawannya jadi
kerepotan.
***
"Auwh...!”
Lasmi memekik ketika melihat suaminya terkena satu pukulan keras di
dadanya. Tampak Sundrata terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada.
Dari sudut bibimya mengalir darah kental.
Belum juga kebimbangan tubuhnya sempat dikuasai, kembali datang satu
totokan keras dari sebatang tongkat Sundrata mencoba berkelit dengan
memiringkan tubuhnya ke kiri. Tapi tanpa diduga sama sekali, sebuah cambuk
menggeletar menyengat pung-gungnya.
Ctar!
"Akh...!" Sundrata memekik keras.
Cambuk hitam di tangan orang berbaju biru kembali menyengat tubuh Sundrata,
sehingga membuat laki-laki muda itu tersuruk jatuh mencium tanah. Tampak di
punggungnya tergores luka akibat cambukan. Darah merembes keluar dari kulit
punggung yang sobek cukup panjang.
"Hiyaaa...!"
Mendadak saja orang yang berbaju hitam melompat sambil menghunjamkan
pedangnya ke arah Sundrata yang tengah tergolek di tanah. Buru-buru Sundrata
menggulirkan tubuhnya ke samping, dan pedang itu hanya menghunjam
tanah.
"Hup!"
Cepat Sundrata melompat bangkit berdiri. Disilangkan goloknya di depan
dada. Namun belum sem-pat melakukan sesuatu, orang tua berbaju merah
melompat menerjangnya. Gada besar berduri terayun deras ke arah kepala.
Cepat-cepat Sundrata menarik tubuh dan kepalanya ke belakang, seraya
mengibaskan goloknya ke arah pergelangan tangan lawan.
"Yeaaah...!"
Wuk!
"Ikh...!"
Buru-buru orang tua berbaju merah itu menarik pulang gadanya. Tapi dengan
cepat sekali dilentingkan tubuhnya ke atas, dan seketika itu juga,
dikirimkan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi.
Des!
"Akh!" entah untuk ke berapa kali Sundrata terpekik.
Tendangan orang berbaju merah itu tepat menghantam punggungnya Sehingga
membuat Sundrata terhuyung-huyung ke depan. Pada saat itu, orang berbaju
hitam melompat maju sambil menusukkan pedangnya.
Crab!
"Aaakh...!" satu jeritan panjang melengking terdengar keluar dari mulut
Sundrata.
“Yeaaah...!"
Orang tua berbaju hitam itu mencabut pedangnya keluar dari perut Sundrata,
dan seketika tu juga dilayangkan satu tendangan keras yang telak mendarat di
dada. Tak pelak lagi, dengan perut robek berlumuran darah, Sundrata
terpental ke belakang. Saat itu juga orang berbaju merah mengayunkan
gadanya.
“Yeaaah...!"
Wukl
Prak...!
Gada berduri itu langsung menghantam kepala Sundrata hingga hancur
berantakan. Sebelum tubuh laki-laki muda itu ambruk ke tanah, cambuk di
tangan orang tua berbaju biru kembali menggeletar menyengat leher. Itu pun
masih ditambah dengan hunjaman ujung tongkat orang tua berbaju hijau yang
menembus dada.
Tubuh Sundrata limbung, lalu ambruk ke tanah. Kepala yang pecah, tergulir
pisah dari lehemya. Lasmi yang menyaksikan semua kejadian itu menjerit
histeris. Langsung dibalikkan tubuhnya dan berlari sekencang-kencangnya. Dia
memang sudah tak sanggup lagi menyaksikan kematian suaminya yang begitu
tragis.
Jeritan Lasmi menghentak empat orang tua itu. Mereka saling berpandangan
sejenak, lalu tanpa berkata-kata lagi segera berlompatan mengejar. Sementara
Lasmi terus berlari menembus semak belukar berduri. Tak dipedulikan lagi
duri-duri tajam yang mengoyak kulit kakinya hingga berdarah. Dia terus
berlari sekuat tenaga disertai linangan air mata.
"Akh...!" tiba-tiba Lasmi terpekik ketika sepasang tangan mcrengkuh dan
menariknya dengan kasar.
Sebelum Lasmi bisa melakukan sesuatu, sepasang tangan itu sudah mendekap
pinggang dan mulutnya, lalu menarik masuk ke dalam gerumbul semak belukar.
Lasmi berusaha memberontak melepaskan diri sambil memeluk erat putra
laki-lakinya.
"Ssst.., diam!" terdengar suara berat dekat telinga wanita itu.
Pada saat itu terlihat empat orang tua berlarian melintasi mereka. Empat
orang tua itu tak menyadari kalau wanita yang diburu sudah terlewati. Tapi
belum jauh mereka lewat, keempat orang tua itu berhenti.
"Setan!" dengus orang tua berbaju merah.
"Ayo kita kejar terus, jangan sampai lolos!" ajak yang berbaju hijau.
"Tunggu dulu!" cegah yang berbaju hitam.
"Ada apa...?"
"Dia pasti tidak bisa lari jauh secepat ini, dan pasti bersembunyi," tegas
orang tua berbaju hitam.
"Jangan bodoh! Lasmi bukan perempuan sembarangan. Dia juga memiliki
kepandaian!" bentak orang tua berbaju merah.
"Ayo, jangan buang-buang waktu. Pasti dia belum jauh dari sini!" ajak yang
berbaju biru.
Keempat orang tua itu kembali berlari cepat. Begitu cepatnya, sehingga
dalam waktu sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata. Sementara di
balik semak, sepasang tangan kekar melepaskan dekapannya pada wanita itu.
Cepat-cepat Lasmi melepaskan diri dan bangkit berdiri, sedangkan anaknya
masih dipeluk erat-erat.
Lasmi berbalik dan memandangi seorang laki-laki muda berwajah tampan.
Rambutnya panjang, dan tergelung sedikit ke atas. Sedangkan pakaiannya
terbuat dari kulit harimau. Tampan dan gagah sekali, sampai-sampai Lasmi
terkesiap sesaat. Dilangkahkan kakinya mundur keluar dari dalam semak
belukar itu. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau hanya berdiri saja
memandangi.
"Sebaiknya Nisanak cepat tinggalkan tempat ini. Mereka pasti akan kembali
lagi," ujar pemuda itu ramah. Begitu lembut nada suaranya.
"Siapa kau?" tanya Lasmi.
"Yang jelas aku bukan bagian dari mereka," sahut pemuda itu seraya
tersenyum.
Lasmi memalingkan muka menatap ke arah kepergian empat orang tua itu.
Kemudian kembali dipandangnya pemuda yang baru saja menyelamatkannya dari
kejaran empat manusia kejam itu. Siapa pun pemuda ini, yang jelas memang
tidak bermaksud jahat. Dan yang pasti, bukan dari keempat laki-laki tua itu
tadi.
"Cepatlah pergi sebelum mereka kembali, Nisanak," ujar pemuda itu
lagi.
"Baiklah, terima kasih," ucap Lasmi.
Wanita itu bergegas membalikkan tubuhnya dan cepat pergi ke arah lain.
Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu memandangi saja, kemudian duduk
bersandar di bawah pohon rindang sambil menekuk kaki kanan. Satu tangan
ditumpangkan ke lutut. Tapi, belum juga pemuda itu bisa memejamkan mata,
empat orang tua tadi kembali muncul. Mereka tampak terkejut melihat seorang
laki-laki muda duduk bersandar di bawah pohon, lalu seketika berhenti dan
menghampiri.
"Anak muda, apakah kau melihat seorang perempuan membawa anak kecil di
sekitar sini?" tanya orang berbaju merah. Suaranya terdengar kasar
sekali.
"Sayang sekali, aku baru saja sampai dan akan beristirahat. Jadi tidak
bertemu seorang pun kecuali paman berempat," sahut pemuda itu kalem.
"Hm..., kau datang dari arah mana?" tanya orang tua berbaju biru.
"Sana!" sahut pemuda itu menunjuk ke arah perginya Lasmi.
"Kau tidak bertemu seorang pun?" tanya orang berbaju biru itu lagi.
"Ya, tidak jauh dari sini. Di dekat sungai ada pengail."
Keempat laki-laki tua itu saling berpandangan sejenak, lalu tanpa berkata
apa-apa lagi, mereka pergi ke arah yang berlawanan dengan yang ditempuh
Lasmi. Pemuda berbaju kulit harimau itu tersenyum tipis melirik keempat
orang tua itu, kemudian meme-jamkan matanya sambil bersandar ke pohon.
"Hhh..., baru juga mau tidur...," desah pemuda itu mengeluh.
Sementara itu Lasmi sudah tiba di tepi sungai yang tidak begitu besar,
namun aimya keruh sekali. Sehingga, aliran air itu merah kecoklatan. Di tepi
sungai duduk seorang pangail berbaju lusuh, mengenakan tudung tikar yang
sudah koyak menutupi sebagian wajahnya. Pengail itu menoleh saat mendengar
langkah kaki menuju ke arahnya.
"Kisanak, boleh aku bertanya?" agak bergetar dan tersendat suara
Lasmi.
"Hm...," pengail itu hanya menggumam kecil saja.
"Di mana arahnya Desa Kaung?" tanya Lasmi.
"Untuk apa ke Desa Kaung, Lasmi?"
"Heh...?!" Lasmi terkejut
Buru-buru wanita itu melangkah mundur, sedangkan pengail itu membuang
jorannya sambil bangkit berdiri. Dibukanya tudung yang menutupi kepala".
Seketika mata Lasmi membeliak lebar begitu melihat wajah tua yang rambutnya
telah memutih. Kumis panjangnya menyatu dengan jenggot putih, dan seluruhnya
berwama putih.
"Datuk...," desis Lasmi, bergetar suaranya.
"Kau bisa saja lolos dari mereka, Lasmi. Tapi tidak bisa lepas dariku. He
he he...," ujar laki-laki tua itu seraya terkekeh.
"Oh, tidak...," desis Lasmi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, dan
terus bergerak mundur.
Sementara laki-laki tua itu melangkah maju mendekati. Cepat-cepat Lasmi
berbalik dan berlari, tapi laki-laki tua itu lebih cepat lagi melompatinya
dan tahu-tahu sudah berdiri di depannya. Dia tertawa terkekeh memperiihatkan
baris-baris gigi yang kecil, masih teratur rapi.
"He he he.... Ke mana keperkasaan dan ke-angkuhanmu, Lasmi? Kau seperti
seekor kelinci saja!"
Wajah Lasmi yang bersimbah keringat jadi memerah pucat, dan terus bergerak
mundur sambil mendekap putranya erat-erat Sementara laki-laki tua itu
semakin dekat saja.
"Kau harus ikut denganku, Lasmi. Hap...!"
"Akh...!" Lasmi terpekik tertahan.
Kalau saja wanita itu tidak memiringkan tubuhnya ke kanan, tentu laki-laki
tua itu sudah merengkuhnya. Lepas dari terkaman laki-laki tua itu, Lasmi
langsung membalikkan tubuh dan berlari. Namun....
Bret!
"Auw...!"
Tangan laki-laki tua itu menjambret kain yang dikenakan Lasmi hingga koyak.
Tampak kulit punggung yang putih terbuka lebar, maka Lasmi buru-buru
menutupi. Tapi belum juga sempat berbuat sesuatu, laki-laki tua itu sudah
merengkuhnya ke dalam peluk-annya.
"Lepaskan...!" pekik Lasmi sambil memberontak. "Huh! Aku tidak perlu bocah
ini!" dengus laki-laki tua itu.
"Jangan...!"
Tapi laki-laki tua itu sudah merenggut anak laki-laki di dalam dekapan
ibunya. Dengan kasar disentakkan wanita itu hingga terhuyung, dan jatuh
tersuruk ke tanah.
"Ibuuu...!" jerit anak laki-laki itu.
"Oh, tidak! Jangaaan...!" jerit Lasmi dengan air mata berlinangan.
Tapi laki-laki tua itu malah tertawa terbahak-bahak. Dicengkerarnnya
tengkuk anak kecil itu. Dan sambil mendengus, mendadak saja dilemparkan anak
itu dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam.
"Tidaaak...!"
"Ibuuu...!"
"Ha ha ha...!"
Tubuh kecil yang hanya mengenakan celana tanpa baju itu melayang deras ke
udara, dan Lasmi hanya bisa meraung-raung. Laki-laki tua itu sudah mencekal
tangannya, dan memeluk pinggang ramping itu kuat-kuat Lasmi meraung-raung
sambil berusaha meronta melepaskan diri. Tapi pelukan orang tua itu demikian
kuat. Sementara tubuh kecil mulai melayang turun deras sekali.
"Ibuuu..., tolooong...!"
Tapi Lasmi hanya bisa menangis memandangi putranya yang tidak lama lagi
bakal terbanting ke tanah. Lemas sudah seluruh tubuhnya menyaksikan semua
ini. Namun belum juga anak itu menyentuh tanah, mendadak saja sebuah
bayangan berkelebat menyambar. Dan tahu-tahu di depan Lasmi berdiri seorang
pemuda tampan berbaju kulit harimau.
Sebelum ada yang menyadari, pemuda itu sudah cepat bergerak lagi. Tahu-tahu
tubuhnya melesat bagai kilat menyambar orang tua itu. Tentu saja hal ini
membuat orang tua itu terkejut setengah mati. Tak ada jalan lain, kecuali
cepat-cepat didorongnya tubuh Lasmi.
"Ahk...!" Lasmi terpekik.
Dan tanpa diduga sama sekali, pemuda berbaju kulit harimau itu menangkap
Lasmi. Dan dengan manis sekali dilentingkan tubuhnya ke atas, hinggap di
batang pohon, langsung saja pemuda itu melesat pergi dengan kecepatan tinggi
bersama Lasmi dan anak tunggalnya.
"Hei...!" orang tua itu terkejut setengah mati.
Sungguh tidak disangka kalau akan seperti ini kejadiannya. Dan tanpa
membuang-buang waktu lagi, dia melesat mengejar. Namun begitu kakinya
hinggap di cabang pohon tinggi, orang tua itu tak jadi melompat lagi.
"Sial!" dengusnya.
Laki-laki tua itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi bayangan
pemuda yang membawa Lasmi dan anaknya sudah tidak terlihat lagi. Daerah ini
begitu luas, meskipun pepohonan yang tumbuh tidak begitu lebar. Laki-laki
tua itu bersungut-sungut, dan kembali meluruk turun. Gerakannya ringan
sekali, pertanda tingkat ilmu olah kanuragan yang dimilikinya cukup
tinggi.
"Monyet keparat...!"
***
DUA
Lasmi merintih lirih sambil menggelengkan kepalanya dengan lemah.
Perlahan-lahan dibuka matanya, dan langsung beranjak bangun. Tatapannya
lurus tertuju pada seorang pemuda tampan mengenakan baju kulit harimau.
Tampak seorang bocah tergolek lelap di pangkuannya. Pemuda itu memandang
Lasmi yang beranjak turun dari pembaringan bambu. Hanya selembar tikar daun
pandan yang menjadi alas ranjang bambu itu.
"Dia tidur," jelas pemuda itu setelah Lasmi berada di depannya.
Lasmi mengambil anak kecil berusia sekitar lima tahun itu, dan memindahkan
ke pembaringan bambu yang tadi ditidurinya.
Sebentar dipandangi wajah anaknya, kemudian berbalik dan duduk di tepi
pembaringan ini. Pandangannya beredar ke sekeliling. Disadarinya kalau saat
ini berada di sebuah pondok kecil yang kelihatannya kumuh sekali.
"Cukup lama juga kau tidak sadar," jelas pemuda itu lagi.
"Di mana ini?" tanya Lasmi. "Di pondokku. Tidak bagus, tapi lumayan untuk
berteduh," sahut pemuda itu ringan. "Kau siapa?" tanya Lasmi lagi.
"Panggil saja Bayu," pemuda berbaju kulit harimau itu memperkenalkan diri.
"Boleh aku tahu siapa namamu?"
"Lasmi, dan ini anakku. Namanya Wijaya." Wajah Lasmi berubah mendung.
Kepalanya tertunduk, teringat akan suaminya yang tewas dikeroyok empat orang
tua yang tidak dikenal sama sekali. Perlahan diangkat kepalanya, langsung
memandang pemuda berbaju kulit harimau di depannya. Begitu sendu dan redup
sekali sinar mata wanita itu, namun demikian tidak menghilangkan kecantikan
wajahnya.
"Aku tidak kenal dirimu, dan kau juga tidak kenal diriku. Kenapa kau
menyelamatkanku?" tanya Lasmi pelan.
"Maaf jika kau merasa tidak senang," ucap pemuda berbaju kulit harimau yang
mengaku bemama Bayu, atau terkenal dengan julukan Pendekar Pulau
Neraka.
"Oh, tidak. Aku bahkan berterima kasih sekali padamu," buru-buru Lasmi
berkilah.
"Aku tadi hanya kebetulan saja lewat dan melihatmu dikejar-kejar empat
orang," jelas Bayu.
"Lalu, bagaimana kau menolongku dari...?" Lasmi memutuskan
kalimatnya.
"Ketika mendengar teriakanmu, aku yakin kau perlu pertolongan. Untung tidak
terlambat," sahut Bayu cepat
"Terima kasih," pelan sekali suara Lasmi, hampir tidak terdengar.
Kembali kepala Lasmi tertunduk. Dirayapinya ujung baju yang dikenakannya.
Seketika wanita ini tersadar kalau kain yang dikenakannya tadi agak basah,
dan kain itu juga koyak di punggung.
"Gantilah bajumu!" ujar Bayu sambil memberikan sebuah bungkusan yang berisi
pakaian.
"Dari mana kau dapatkan pakaian, itu?"
"Aku beli di Desa Kaung," sahut Bayu.
"Oh...! Jadi Desa Kaung tidak jauh lagi dari sini?" tanya Lasmi dengan
pandangan agak dalam.
"Benar. Hanya sebentar saja dari sini," jawab Bayu sambil memutar tubuh
membelakangi Lasmi.
Lasmi segera menukar pakaian sambil memandangi anaknya yang masih tertidur
lelap. Ditaruhnya kain yang baru dilepasnya di samping dipan bambu. Kemudian
dia beranjak bangkit dan melangkah menghampiri Bayu, lalu duduk di depan
pemuda berbaju kulit harimau itu. Bayu menawarkan pisang. Lasmi menerima,
dan langsung dikupas. Sedikit pisang ranum itu digigitnya.
Wanita itu memandang ke luar melalui pintu pondok yang terbuka setengah.
Kegelapan di luar sana menandakan kalau hari sudah malam. Lasmi sadar, kalau
dirinya tadi pingsan cukup lama juga. Hanya sebuah pelita kecil dari minyak
buah jarak menerangi pondok ini. Cahayanya yang redup seakan-akan tak mampu
mengusir kegelapan. Terlebih lagi menghangati udara dingin yang menusuk
menggigilkan.
"Siapa kau sebenarnya, Kakang...? Oh, maaf. Boleh aku memanggilmu begitu?"
Lasmi membuka suara lagi.
Bayu hanya tersenyum dan mengangguk kecil. "Aku hanya seorang pengembara,"
ujar Bayu.
"Pondok ini...? Bukankah pondok ini milikmu?"
"Benar. Aku membangunnya tadi siang. Kau dan anakmu perlu tempat untuk
berteduh. Maaf, aku tidak bisa membuat lebih baik lagi dari ini," kata Bayu
merendah.
"Ah...," Lasmi mendesah.
"Kau pasti lelah. Istirahatlah," ujar Bayu seraya bangkit berdiri.
"Mau ke mana?" tanya Lasmi ikut berdiri.
"Menjaga di luar."
Pendekar Pulau Neraka itu mengayunkan kakinya ke luar. Sebentar Lasmi
memandangi punggung pemuda berbaju kulit harimau itu, lalu pandangannya
beralih pada bocah kecil yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Lasmi
mengayunkan kakinya mendekati pintu yang ditutup Bayu dari luar. Ketika
pintu itu dibuka, tampak Bayu tengah duduk di bawah pohon di depan pondok
ini. Lasmi melangkah keluar dari pondok untuk menghampiri pemuda itu, lalu
duduk di samping-nya. Sementara Bayu hanya melirik saja sedikit. Seonggok
api unggun menyaia di depan mereka, sedikit mengusir udara dingin.
Untuk beberapa saat, mereka hanya membisu saja. Entah apa yang ada di dalam
pikiran masing-masing. Bayu menambahkan sepotong ranting ke dalam api.
Tampak percikan bunga api membumbung ke angkasa. Pendekar Pulau Neraka itu
berpaling memandang wanita di sebelahnya. Pada saat itu Lasmi juga tengah
memandang padanya. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sama-sama menarik
napas panjang sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu, Kakang," kata Lasmi
pelan.
"Tidak ada yang perlu kau katakan, sahut Bayu.
Lasmi menatap pemuda berbaju kulit harimau di sampingnya.
Digeleng-gelengkan kepalanya, kemudian napasnya ditarik panjang-panjang dan
dihembuskan kuat-kuat.
"Ada yang kau pikirkan?" tanya Bayu.
"Yaaah...," desah Lasmi terasa berat
"Asal kau tidak memikirkan diriku saja," Bayu mencoba berseloroh.
Gurauan Bayu membuat wanita itu tersenyum. Namun terasa hambar sekali,
bahkan nampak dipaksakan. Untung saja Bayu tidak melihatnya. Dan Lasmi
semakin sukar menghilangkan ganjalan yang ada di dalam dadanya. Dia ndak
ingin pemuda yang telah berbaik hati padanya ini ikut terlibat dalam
persoalan yang dihadapi. Persoalan pelik yang mengundang pertaruhan
nyawa.
"Justru kau yang menjadi pikiranku, Kakang," tegas Lasmi mendesah.
"Oh...?!" Bayu mengerutkan keningnya.
Pendekar Pulau Neraka itu berpaling, menatap dalam-dalam wanita di
sampingnya. Semakin berkerut kening pemuda berbaju kulit harimau itu ketika
melihat raut wajah Lasmi begitu muram terselaput mendung tebal. Perlahan
Bayu mengambil tangan wanita itu, lalu menggenggamnya. Lasmi tertunduk.
Dibiarkan saja pemuda itu menggenggam tangannya. Terasa ada sedikit
kehangatan dan kedamaian menyusup ke dalam hati. Tapi saat itu terlintas
bayangan wajah suaminya. Maka dengan halus Lasmi melepaskan genggaman tangan
pemuda tampan itu.
"Tampaknya ada yang menyusahkanmu, Nisanak. Katakan. Mungkin aku bisa
mengurangi beban yang kau pikul," pinta Bayu lembut.
Lasmi tersenyum getir, dan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Terlintas
beberapa wajah di depan matanya. Wajah-wajah yang dikenal maupun yang tidak
dikenalnya. Wajah-wajah tua bengis yang tadi siang hampir membuatnya celaka,
dan telah memisahkannya dari suaminya untuk selama-lamanya. Lasmi mendesah
panjang saat teriintas wajah seorang laki-laki tua dengan rambut putih,
kumis dan jenggot yang juga putih panjang. Perlahan-lahan digeleng-gelengkan
kepalanya, mencoba mengusir bayang-bayang yang melintas di depan mata.
"Kau terlalu lelah, Nisanak. IstirahatJah di dalam," kata Bayu
lembut.
"Aku akan menemanimu di sini," ujar Lasmi seraya memberi senyum yang
dipaksakan.
"Malam terlalu dingin, lagi pula pagi masih terlalu jauh. Kasihan anakmu
jika kau terlalu lelah besok pagi," Bayu mencoba mendesak.
Lasmi tidak bisa lagi memaksa kala diingatnya tentang anaknya. Ya..., saat
ini perhatiannya harus tertumpah penuh pada anak tunggalnya. Setelah menarik
napas panjang, wanita itu bangkit berdiri, lalu melangkah masuk ke dalam
pondok. Sementara Bayu hanya memandangi sampai wanita itu lenyap di dalam
pondok kecil yang dibangunnya siang tadi.
***
Pagi-pagi sekali Lasmi sudah keluar dari dalam pondok sambil menggendong
anaknya yang masih tampak mengantuk. Wanita itu tampak agak terkejut begitu
melihat Bayu berdiri tegak di dekat onggokan api unggun. Pendekar Pulau
Neraka itu membalikkan tubuh saat mendengar gerit pintu terbuka. Matanya
agak menyipit melihat Lasmi seakan-akan hendak pergi diam-diam. Bayu
menghampiri dan berdiri sekitar dua langkah lagi di depan pintu pondok, di
tempat Lasmi yang hanya bisa memandangi di ambang pintu.
"Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Bayu.
"Aku harus pergi. Maaf," sahut Lasmi pelan.
"Ke mana kau akan pergi?"
Lasmi tidak langsung menjawab, tapi malah memandangi bola mata jernih di
depannya. Perlahan wajahnya tertunduk. Sementara kepala kecil rebah di
dadanya, dengan mata seakan enggan untuk terbuka. Saat ini memang masih
terlalu pagi. Bahkan suasana pun masih terselimut kegelapan. Hanya sedikit
rona merah menyemburat dari pucuk-pucuk pepohonan di sebelah Timur.
"Maaf, mungkin aku terlalu ingin ikut campur urusanmu," ucap Bayu seraya
melangkah mundur beberapa tindak.
Sementara Lasmi masih tetap diam memandangi Pendekar Pulau Neraka itu.
Terasa sekali ada sesuatu ganjalan di hatinya, namun terasa sukar
diungkapkan. Sementara Bayu sudah berada sekitar satu batang tombak di
depannya. Perlahan Lasmi melangkah ke luar dari pondok, lalu berhenti di
depan Bayu sekitar lima langkah jaraknya.
"Maafkan aku, Kakang. Bukannya aku tidak berterima kasih. Tapi aku tidak
ingin kau ikut terlibat. Maaf...," ucap Lasmi perlahan.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja. "Anggap saja kita tidak pernah bertemu,
Kakang," kata Lasmi lagi.
"Hm...," hanya gumaman saja yang terlontar dari bibir Rendekar Pulau Neraka
itu.
Sebentar Lasmi memandangi pemuda tampan di depannya, kemudian memutar
tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara Bayu masih berdiri
tegak memandangi kepergian wanita muda dan cantik yang membawa anak dalam
gendongannya.
Bayu masih berdiri memandangi meskipun punggung Lasmi telah samar-samar
terselimut kabut. Kemudian wanita itu tak tertihat lagi, lenyap di balik
bayang-bayang kabut pepohonan. Bayu menarik napas panjang. Tampaknya memang
ada sesuatu pada diri wanita itu. Sesuatu yang seakan ndak ingin diketahui
siapa pun, tapi sangat mengganggu ketenangannya. Semua itu dapat terbaca
dari raut wajah maupun sorot matanya yang sangat lelah.
"Hm.... Kalau dia menuju ke Desa Kaung, pasti akan bertemu orang-orang yang
mengejamya," gumam Bayu perlahan. "Rasanya mustahil kalau tidak ada apa-apa
pada dirinya."
Entah kenapa, Bayu jadi bertanya-tanya tentang diri wanita yang mengaku
bemama Lasmi itu. Dan entah kenapa pula, Pendekar Pulau Neraka itu jadi
measa cemas. Dia sendiri tidak tahu, mengapa mendadak saja kecemasan
menyelinap di dalam hatinya?
Slap!
"Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka itu melesat bagai kilat menuju arah
kepergian Lasmi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja tubuhnya sudah
lenyap ditelan kabut yang masih cukup tebal menyelimuti daerah ini.
Kecemasan Bayu semakin menjadi, kala teringat kalau di Desa Kaung dia telah
melihat empat orang laki-laki tua yang mengejar Lasmi. Sedangkan jelas
sekali kalau wanita itu menuju Desa Kaung.
Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Namun
setelah jauh berlari, mendadak saja larinya dihentikan. Pendekar Pulau
Neraka baru tersadar kalau Lasmi hanya berjalan biasa saja, dan tidak
mungkin dalam waktu sebentar sudah bisa berjalan sejauh ini. Tapi sepanjang
jalan yang dilalui, wanita itu tidak dijumpainya.
"Hm...," gumam Bayu pelan.
Rasanya memang tidak mungkin jika hanya seorang wanita biasa bisa secepat
ini menghilang. Apalagi menempuh perjalanan cepat dalam kegelapan kabut yang
tebal. Dan Bayu teringat kata-kata empat orang tua yang mengejar Lasmi.
Mereka sepertinya sudah mengetahui siapa Lasmi itu.
Mengingat itu semua, Bayu mengedarkan pandangannya ke tanah berumput di
sekitamya. Kedua matanya menyipit melihat ada jejak kaki tertera halus.
Jejak yang diyakini masih baru, tapi jelas milik sese-orang yang memiliki
ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Apakah ini jejak-jejak kaki Lasmi?
Bayu jadi bertanya-tanya dalam hati. Setelah berpikir beberapa saat,
Pendekar Pulau Neraka itu kembali melesat, berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
***
Sementara itu suasana di Desa Kaung tampak tenang dan damai. Semua penduduk
terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Sepanjang jalan desa dipenuhi
pejalan kaki maupun penunggang kuda. Di antara orang-orang yang memadati
jalan tanah berdebu itu, terlihat seorang wanita mengenakan baju lusuh
berdebu tengah berjalan agak tertatih menggendong anaknya.
Sebagian wajahnya hampir tertutup kerudung kain berwarna biru gelap. Ayunan
kakinya cepat sambil memeluk anak laki-laki yang berusia sekitar lima tahun
erat-erat, seakan-akan takut kalau anak itu lepas dari pelukan. Tak ada
seorang pun yang memperhatikan, karena semua orang tengah disibukkan oleh
pekerjaan masing-masing.
Wanita itu berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari kayu tebal.
Pintu yang tingginya sekitar dua tombak dan sangat besar itu tertutup rapat.
Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu menatap pintu yang temyata
sebuah gerbang depan. Dibetulkan letak kerudung yang menutupi kepala dan
sebagian wajahnya. Kemudian dibetulkan letak gendongan pada anak laki-laki
kecil yang kelihatan tenang menyem-bunyikan kepalanya di dada.
"Bu...."
"Mudah-mudahan Kakek bersedia menerimamu, Nak," kata wanita itu
perlahan.
Perlahan sekali kakinya terayun mehdekati pintu besar yang terkunci rapat.
Tangan yang kecil dan halus mengetuk pintu itu. Kembali kepalanya menoleh ke
kanan dan ke kiri, seakan-akan takut ada yang melihatnya.
Tak lama kemudian pintu kayu itu terbuka sedikit. Suara gerit engsel yang
berkarat membuat sedikit wajah yang terlihat di balik kerudung tampak pucat.
Sebuah kepala dari seorang laki-laki muda yang cukup tampan menyembul ke
luar.
"Mau apa?" tanya laki-laki itu agak kasar.
"Aku ingin bertemu Datuk Maringgih," sahut wanita itu.
"Ada keperluan apa, dan siapa kau ini?" tanya laki-laki itu lagi seraya
merayapi wanita yang berdiri di depan pintu.
Tapi belum juga ada jawaban, tiba-tiba laki-laki itu terbeliak melihat anak
laki-laki kecil dalam pelukan wanita itu. Buru-buru dibukanya pintu
lebar-lebar, lalu dirinya keluar. Kemudian ditutup pintunya lagi setelah
menoleh sebentar ke belakang.
"Ada apa kau ke sini, Kak?" tanya laki-laki itu setengah berbisik, seakan
takut terdengar orang lain.
"Aku ingin menitipkan anakku, Parita," sahut wanita itu seraya melepaskan
kerudung yang menutupi wajahnya.
Tampak di balik kerudung itu tersembunyi seraut wajah cantik, milik seorang
wanita bemama Lasmi. Sementara pemuda yang dipanggil Parita menarik tangan
Lasmi dan mengajaknya ke tepi tembok yang agak tersembunyi. Lasmi menurut
saja sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Mana Kakang Sundrata?" tanya Parita masih dengan suara setengah
berbisik.
Lasmi tidak langsung menjawab, tapi malah menundukkan kepala. Tangannya
yang berjari lentik halus mengeius-elus rambut bocah kecil di dalam
gendongan. Parita meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya erat-erat.
Lasmi mengangkat kepala, menatap pemuda itu langsung pada titik bola
matanya.
"Datuk Maringgih sedang bersemadi. Kalau mau, kau bisa menunggu di
pondokku," usul Parita pelan.
"Terima kasih, aku tidak ingin merepotkanmu," ujar Lasmi, agak tersendat
suaranya.
"Sama sekali tidak, Kak. Bahkan aku senang bisa melihatmu kembali. Aku
ingin mendengar ceritamu. Ayo...?"
Lasmi ingin menolak, tapi Parita sudah lebih dulu menarik tangannya. Mereka
kemudian berjalan bersisian menyusuri tembok pagar yang tinggi dan tebal.
Lasmi kembali menutupi wajahnya dengan kerudung. Hanya bagian mata dan
sedikit hidung bagian atas yang terlihat Sementara anaknya kelihatan tenang
dalam gendongan.
Tiba di perempatan jalan, mereka berbelok ke kanan dan terus menyusuri
jalan kecil berdebu yang berlubang di beberapa bagian. Jalan ini agak sepi,
tidak seramai jalan utama desa yang selalu dipenuhi orang. Tak lama kemudian
mereka sampai di depan sebuah pondok kecil, namun kelihatan rapi dan
bersih.
Lasmi memandangi pondok itu sesaat. Diayunkan kakinya perlahan mendekati
pondok. Sedangkan Parita sudah lebih dahulu sampai. Dibukanya pintu pondok,
dan kemudian menunggu Lasmi di ambang pintu.
"Ayo masuk, Kak," ajak Parita.
Lasmi membuka kembali kerudungnya. Bibirnya tersenyum, lalu masuk ke dalam
pondok. Sebentar dipandangi bagian dalam pondok ini. Kemudian tubuhnya
berbalik dan menatap Parita yang masih berdiri di ambang pintu.
"Pondok ini tidak pernah berubah," kata Lasmi dengan mata agak
berkaca-kaca.
"Aku tidak ingin merubahnya, Kak," sahut Parita.
"Kenapa?"
"Di sini aku bisa melepas kerinduanku padamu."
Lasmi mendesah perlahan. Hatinya trenyuh mendengar kata-kata pemuda itu.
Kepalanya menunduk memandangi wajah anaknya. Temyata bocah itu sudah
tertidur. Mungkin kelelahan berada di dalam gendongan seharian penuh. Parita
mengetahui. Maka diambilnya anak itu dan dibawanya ke sebuah kamar. Lasmi
menghenyakkan tubuhnya di kursi. Tak lama berselang Parita muncul
lagi.
"Kau masih tetap sendiri, Parita?" tanya Lasmi.
"Ya," sahut Parita sambil duduk di depan wanita itu.
"Kenapa tidak menikah saja?"
Parita tidak menjawab, tapi malah memandangi wajah cantik di depannya. Dan
Lasmi jadi menggigit bibir sendiri. Hatinya menyesal telah bertanya masalah
pribadi. Dia tahu, kenapa Parita tidak ingin menikah dan lebih senang hidup
sendiri sambil mengabdikan diri di Padepokan Bambu Kuning.
Bagi murid-murid Padepokan Bambu Kuning yang sudah mencapai tingkat tinggi
memang diijinkan untuk mempunyai tempat tinggal di luar padepokan, atau
mengembara mencari pengalaman sambil menambah ilmu. Semua murid padepokan
memang ditanamkan untuk menimba ilmu di mana saja, bukan hanya di dalam
padepokan. Itulah keistimewaan Padepokan Bambu Kuning yang tidak pernah
membedakan ilmu apa pun. Tidak pernah memandang, apakah itu ilmu aliran
hitam atau putih. Bagi padepokan itu, semua aliran ilmu kedigdayaan adalah
sama. Yang penting tergantung dari yang menggunakannya.
"Istirahatlah dulu, Kak. Aku akan kembali ke padepokan, karena harus
menjaga agar semadi Datuk Maringgih tidak terganggu," jelas Parita seraya
bangkit berdiri.
"Kau akan mengatakan kedatanganku, Parita?" tanya Lasmi.
"Tidak, jika kau tidak ingin," sahut Parita.
"Kapan Datuk Maringgih selesai bersemadi?"
"Mungkin dua atau tiga hari lagi."
Lasmi tidak bertanya lagi, dan hanya memandangi saja pemuda itu. Sedangkan
Parita hanya bisa membalas. Melihat keletihan dan kelesuan pada wajah Lasmi,
pemuda itu merasa iba. Tak sedikit pun dihiraukan segala yang pernah terjadi
di masa lalu antara mereka berdua. Dan Parita memang tidak ingin
mengingatnya lagi. Tapi bagaimanapun juga, dia tidak bisa melupakan
Lasmi.
"Parita...," pelan suara Lasmi.
"Ada apa?" Parita menghampiri dan menarik kursi, kemudian duduk di depan
wanita itu.
"Kenapa kau tetap saja memanggilku kakak?" tanya Lasmi.
"Kau kakakku, Kak Lasmi. Sudah sepantasnya aku memanggilmu begitu. Bukankah
kau sendiri yang mengatakannya padaku?" Parita mengingatkan.
"Tapi..., ah. Maafkan aku, Parita," lirih sekali suara Lasmi.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kak. Yang sudah terjadi biarlah, tak perlu
diingat lagi," ujar Parita lembut.
"Kau baik sekali, Parita. Tidak pantas rasanya aku menerima kebaikanmu
seperti ini," semakin pelan suara Lasmi, dan terdengar agak tersendat.
"Sudahlah, Kak. Yang penting sekarang ini, istirahatlah. Kau pasti letih.
Lihat, bajumu kotor begini, dan..., bau," gurau Parita.
Lasmi tersenyum juga mendengar gurauan pemuda itu. Namun hanya senyuman
tipis, dan sebentar saja. Kini wajahnya sudah kembali mendung. Memang,
rasanya sejak kemarin dia belum bertemu air. Badannya begitu kotor dan bau
sekali, mirip gembel jalanan.
Parita akan bangkit berdiri, tapi Lasmi lebih cepat lagi menahan.
Digenggamnya tangan pemuda itu, dan ditatapnya dalam-dalam. Parita membalas
menggenggam tangan itu, dan menepuk-nepuk dengan lembut. Diberikannya sebuah
senyuman, tapi sungguh sulit dimengerti apa arti senyumannya itu.
"Aku harus kembali dulu. Tidak enak meninggalkan tugas pada saat Datuk
Maringgih sedang bersemadi," pamit Parita seraya bangkit berdiri.
"Kau melatih sekarang, Parita?"
"Ya, coba-coba saja," sahut Parita nyengir.
Lasmi tersenyum, dan membiarkan saja Parita pergi meninggalkan pondok ini.
Lasmi mengantarnya sampai di ambang pintu, lalu bergegas menutup pintu
setelah Parita lenyap dari pandangan. Wanita itu melangkah masuk ke dalam
kamar. Dipandanginya bocah laki-laki yang tampak lelap dalam tidumya.
Tersungging sebuah senyuman kecil, kemudian tubuhnya berbalik meninggalkan
kamar itu.
***
TIGA
Baru saja Parita melewati pintu gerbang Padepokan Bambu Kuning ketika
seorang laki-laki muda berusia belasan tahun menghampiri. Dia membungkukkan
badan memberi hormat dengan tangan terkepal di depan dada. Parita tahu,
kalau pemuda itu adalah murid padepokan ini.
"Ada apa?" tanya Parita.
"Guru Datuk Maringgih memanggil, katanya ingin bertemu di ruangan semadi,"
sahut pemuda belasan tahun itu.
Parita mengerutkan keningnya, tapi bergegas juga melangkah menuju bilik
semadi yang berada di samping kanan balai latihan utama. Agak heran juga
hatinya, karena gurunya ingin bertemu di ruangan semadi. Belum pemah hal ini
terjadi, apalagi di saat Guru Besar Padepokan Bambu Kuning itu tengah
melakukan semadi.
Parita berhenti sebentar di depan pintu bilik semadi. Hatinya masih
bertanya-tanya tentang panggilan mendadak ini. Panggilan yang terasa amat
aneh dan sukar dimengerti. Tapi akhirnya Parita mengetuk juga pintu yang
tertutup itu.
"Masuk...," terdengar suara berat dari dalam.
Parita membuka pintu dan melangkah masuk. Ruangan yang berukuran tidak
terlalu besar ini terasa pengap karena dipenuhi kepulan asap dari pedupaan.
Tampak di tengah-tengah ruangan duduk bersila seorang laki-laki berjubah
putih dengan ikat kepala putih juga. Seluruh rambut, jenggot, dan kumisnya
yang panjang berwama putih. Parita membungkuk sambil merapatkan kedua tangan
terkepal di depan dada.
"Mendekatlah, duduk di dekatku," kata laki-laki tua itu.
Parita mendekat dan duduk bersila di depan laki-laki tua berusia hampir
seratus tahun. Tubuhnya masih kelihatan gagah dengan sinar mata tajam,
mengandung daya pancar kewibawaan yang sangat besar.
"Ada apa Datuk memanggilku?" tanya Parita dengan sikap penuh rasa
hormat.
"Hm...," Datuk Maringgih hanya menggumam kecil sambil mengelus-elus
jenggotnya yang panjang sampai menutupi leher.
Sementara Parita hanya duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala, menekuri
lantai dingin bagai berada di puncak gunung yang tertinggi di dunia.
"Parita. Kuminta, bawalah Lasmi menemuiku di ruang pribadiku," kata Datuk
Maringgih.
Parita terkejut bukan main, tapi tidak berani mengangkat kepalanya. Bahkan
malah semakin dalam tertunduk. Sungguh tidak disangka kalau Datuk Maringgih
sudah mengetahui kedatangan Lasmi. Di balik rasa keterkejutannya, Parita
juga kagum luar biasa. Dalam keadaan terkurung di dalam bilik semadi,
ternyata laki-laki tua ini bisa mengetahui sekelilingnya. Itu merupakan
suatu kenyataan kalau Datuk Maringgih benar-benar sudah sempurna dalam
kemurnian jiwa dan raganya. Laki-laki tua ini bagaikan manusia setengah
dewa.
"Kau terkejut, Parita?"
"Oh, Datuk...," Parita tak bisa berkata-kata lagi.
"Aku bisa memahami, kenapa Lasmi kau bawa ke pondokmu. Aku tidak
menyalahkan, tapi malah kagum terhadap tindakanmu. Pergilah, dan bawa Lasmi
menemuiku," ujar Datuk Maringgih lagi.
"Segera, Datuk," sahut Parita.
Bergegas Parita menjura memberi hormat, kemudian keluar dari bilik semadi
itu. Perlahan ditutup kembali pintunya. Tapi belum juga melangkah, mendadak
ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Parita kembali membuka pintu bilik
semadi. Seketika matanya terbeliak lebar melihat ruangan itu sudah kosong,
tak ada lagi Datuk Maringgih di dalam.
"Oh...," desah Parita kagum.
Bergegas laki-laki muda itu menutup pintu bilik semadi, kemudian melangkah
cepat meninggalkan tempat itu. Ayunan kakinya lebar dan bergegas sekali.
Tidak dihiraukan lagi beberapa murid padepokan ini menjura memberi hormat
padanya.
***
Ragu-ragu Lasmi menaiki undakan menuju ruangan pribadi Guru Besar Padepokan
Bambu Kuning. Sementara Parita yang menggendong Wijaya mengikuti dari
belakang. Lasmi berhenti di depan pintu ruangan pribadi Datuk Maringgih.
Kepalanya menoleh, memandang Parita yang berada di belakang.
"Ayo, Datuk Maringgih ingin bertemu denganmu," desak Parita.
"Aku takut..," pelan suara Lasmi.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan. Masuklah...!" terdengar suara dari
dalam.
Lasmi memandang pemuda di belakangnya. Sedangkan Parita hanya menggerakkan
kepala, menyuruh wanita itu masuk. Dengan tangan gemetaran, Lasmi mendorong
pintu itu, dan mengayunkan kakinya masuk. Sementara Parita masih mengikuti
dari belakang. Lasmi tak mampu lagi mengangkat kepalanya. Apalagi untuk
memandang laki-laki tua itu yang duduk di sebuah dipan kayu beralaskan
permadani tebal berwama hijau daun. Lasmi duduk bersimpuh di lantai. Parita
mengikuti, duduk bersila di sampingnya.
"Kau datang sendiri, Lasmi?" terdengar berat dan berwibawa sekali nada
suara Datuk Maringgih.
"Berdua dengan anakku," jawab Lasmi pelan tanpa mengangkat kepalanya.
"Ini Wijaya, anaknya, Datuk," celetuk Parita.
Datuk Maringgih hanya memandang sebentar pada anak laki-laki di pangkuan
Parita, lalu kembali menatap Lasmi yang duduk dengan kepala tertunduk.
"Apa yang kau harapkan di sini?" tanya Datuk Maringgih lagi.
Lasmi tak bisa menjawab. Sukar rasanya menjawab pertanyaan itu. Dia sediri
tidak tahu, kenapa datang lagi ke tempat ini, setelah...
"Kau sudah bertekad untuk menjalani hidup bersama laki-laki pilihanmu
sendiri. Sedikit pun kau tidak suka mendengar nasihatku. Maka dengan berat
hati kululuskan permintaanmu, karena aku tahu kau tidak bisa lepas dari
laki-laki yang kau cintai...," terasa berat sekali nada suara Datuk
Maringgih.
"Ini anaknya Lasmi, Datuk," jelas Parita.
Datuk Maringgih hanya memandang sebentar pada anak laki-laki di pangkuan
Parita.
"Apa yang kau harapkan di sini, Lasmi? Kau kan sudah bertekad menjalani
hidup bersama laki-laki pilihanmu sendiri..," tegur Datuk itu pelan.
Sedangkan Lasmi hanya menunduk dan diam membisu.
"Aku bukannya tidak menyukai kehidupan seorang pendekar. Aku dulu juga
seorang pendekar, dan sekarang melahirkan pendekar-pendekar muda. Tapi aku
tahu betul, siapa itu Sundrata," sambung Datuk Maringgih.
'Tapi Kakang Sundrata sangat mencintaiku, Ayah," sergah Lasmi seraya
mengangkat kepalanya.
"Aku tahu, dan juga telah mendengar kau hidup bahagia sampai anakmu lahir.
Terus terang, aku ikut bahagia saat mendengar kelahiran anak
laki-lakimu."
"Tapi, kenapa Ayah tidak datang untuk melihat?"
"Itulah yang sukar kulakukan, Lasmi. Meskipun Sundrata seorang pendekar
yang berjalan di jalur lurus, tapi aku tahu siapa orang tuanya."
"Ayah...."
"Lasmi, aku memintamu datang ke sini bukan untuk berdebat!" potong Datuk
Maringgih cepat.
Lasmi langsung terdiam, dan kepalanya kembali tertunduk. Terdengar desahan
napas panjang dari Datuk Maringgih. Beberapa saat ruangan yang cukup besar
itu sunyi, tak ada yang mengeluarkan suara.
"Di mana suamimu?" tanya Datuk Maringgih setelah beberapa saat
terdiam.
"Dia..., dia...," Lasmi tak sanggup meneruskan.
"Suamimu tewas, bukan?" serobot Datuk Maringgih.
"Ayah sudah tahu...?!" Lasmi terkejut
"Aku sudah menduga semua ini akan terjadi. Dan itu tak mungkin bisa
dihindari lagi. Bagaimanapun juga, aku akan terlibat. Bahkan seluruh
penghuni Padepokan Bambu Kuning. Mungkin juga seluruh penduduk Desa Kaung
akan terlibat," agak dalam nada suara Datuk Maringgih.
Lasmi kembali diam membisu.
"Jika kau suka menuruti nasihatku, tak mungkin akan terjadi. Yaaah....
Semuanya sudah terjadi, tak perlu lagi disesali," sambung Datuk Maringgih
pelan.
"Maafkan Lasmi, Ayah," ucap Lasmi lirih.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Apa yang sudah terjadi tidak akan terulang
lagi. Apa pun yang kau lakukan, tetap menjadi tanggung jawabku."
"Ayah...," Lasmi tak kuasa lagi membendung air matanya.
"Jangan menangis, Lasmi. Aku tidak suka melihatmu menangis."
Sekuat tenaga Lasmi mencoba menahan tangisnya. Dia tahu kalau ayahnya tidak
senang mendengar tangisannya. Bahkan ketika ibunya meninggal pun, ayahnya
melarang untuk menangis. Lasmi ingat betul, saat air matanya baru bisa
ditumpahkan di dalam kamar. Sekarang ini dia ingin menangis, tapi tak
mungkin dilakukan di depan ayahnya. Lasmi merasa begitu berdosa, telah
mengabaikan segala nasihat dan kata-kata laki-laki tua yang sangat dihormati
ini. Bahkan melebihi rasa hormat yang ada pada dirinya sendiri.
Sekarang, setelah dihancurkan dan disakiti hatinya, laki-laki tua ini masih
mau menerima dengan tangan terbuka dan hati lapang. Sungguh mulia hati Datuk
Maringgih. Rasanya sukar bagi Lasmi untuk membalas kemuliaan yang dimiliki
ayahnya. Yaaah..., penyesalan memang tidak ada gunanya lagi. Apa pun yang
telah terjadi, hatinya harus tegar menghadapinya. Itu yang selalu dikatakan
Datuk Maringgih padanya.
"Pergilah ke kamarmu. Aku tidak pernah merubahnya sedikit pun," kata Datuk
Maringgih.
Lasmi mengambil anaknya dari pangkuan Parita. Rasanya sulit untuk
mengucapkan sesuatu, bahkan berbuat sesuatu pun tak sanggup lagi. Kini yang
bisa dilakukan hanyalah menuruti kata-kata ayahnya, tanpa mampu membantah
lagi.
"Lasmi, siapa nama anakmu?" tanya Datuk Maringgih sebelum Lasmi keluar dari
ruangan ini.
"Wijaya," sahut Lasmi.
"Wijaya...," gumam Datuk Maringgih pelan.
Datuk Maringgih bangkit dari duduknya, lalu melangkah menghampiri Lasmi.
Sebentar ditatapnya anak laki-laki di dalam gendongan wanita itu. Tangannya
terulur dan membelai kepala bocah itu. Hampir Lasmi meledak tangisnya, tapi
masih mampu menahannya. Sunguh tidak diduga kalau ayahnya akan menerima
Wijaya dengan penuh kasih.
Dan Lasmi semakin sukar menguasai perasaan hatinya ketika laki tua itu
mencium ubun-ubun kepala anaknya. Dia hanya bisa menggigit-gigit bibirnya
sambil menahan perasaan yang bercampur aduk dalam dada.
"Pergilah sebelum air matamu tumpah," kata Datuk Maringgih, agak tertahan
suaranya.
Sebentar Lasmi menatap ayahnya. Hampir tidak dipercaya kalau laki-laki tua
itu dapat berkata seperti tadi. Ini merupakan sesuatu yang belum pemah
didengar. Datuk Maringgih seakan mengijinkannya menangis, tapi tetap tidak
ingin di hadapannya. Bergegas Lasmi berjalan meninggalkan ruangan itu.
Sementara Datuk Maringgih memandangi sampai anaknya lenyap di balik pintu.
Laki-laki tua berjubah putih itu menarik napas dalam-dalam. Rupanya Lasmi
sudah tidak kuasa membendung tangisnya yang langsung pecah begitu sampai di
luar ruang pribadi. Meskipun tertahan, tapi isak tangis wanita itu sempat
juga terdengar. Datuk Maringgih berpaling memandang Parita yang masih duduk
bersila dengan kepala tertunduk. Laki-laki tua itu kembali duduk di
tempatnya semula.
"Mereka tahu Lasmi ada di sini, Parita?" tanya Datuk Maringgih setelah
menarik napas panjang.
"Tidak, Datuk," sahut Parita tetap tertunduk.
"Cepat atau lambat, mereka pasti akan tahu juga," desah Datuk Maringgih
dalam.
Perlahan-lahan Parita mengangkat kepalanya. Hatinya sedikit tertegun
melihat wajah laki-laki tua itu murung. Bahkan kedua bola matanya kelihatan
berkaca-kaca. Belum pernah Parita melihat gurunya seperti ini. Biasanya
Datuk Maringgih tegar dalam menghadapi apa pun. Bahkan ketika Lasmi
meninggalkannya bersama Sundrata, laki-laki tua ini tidak menampakkan
kesedihan. Apalagi kemurkaan. Raut wajahnya tetap datar. Tapi sekarang
ini.... Belum pernah Parita melihat raut wajah Datuk Maringgih begitu
mendung.
"Parita, kuminta kau menjaga Lasmi. Jika terjadi sesuatu, aku berharap agar
kau bisa menjaga keselamatannya. Aku percayakan Lasmi dan anaknya padamu,"
pinta Datuk Maringgih.
"Baik, Datuk," sahut Parita.
"Hm...."
***
Pagi yang cerah ini memang enak untuk berjalan-jalan menghirup udara segar.
Kesempatan seperti ini memang sangat jarang bisa dinikmati. Dan Lasmi tidak
akan menyia-nyiakan kesempatan indah ini. Anaknya dituntun, berjalan-jalan
mengelilingi bangunan Padepokan Bambu Kuning.
Di sini, di dalam lingkungan pagar tembok ini, Lasmi dilahirkan dan
dibesarkan. Hanya sekali dalam satu pekan dia bisa keluar. Itu pun tidak
bisa keluar dari Desa Kaung. Lasmi benar-benar menikmati udara segar di pagi
hari ini sambil mengenang saat-saat ketika masih tinggal di sini, di
lingkungan yang terpisah dari dunia luar. Padahal Padepokan Bambu Kuning
berdiri di tengah-tengah sebuah desa yang besar dan ramai.
"Pagi yang indah, Lasmi...."
"Oh...!" Lasmi tersentak ketika sebuah suara lembut menyapanya.
Lasmi tersenyum saat Parita tahu-tahu sudah berada dekat di sampingnya.
Pemuda itu menghampiri dan mengangkat Wijaya, lalu mendukungnya di pundak.
Bocah kecil itu tampak kesenangan berada di pundak Parita. Sedangkan Lasmi
hanya tersenyum saja. Cantik sekali wajahnya pagi ini. Begitu segar, bagai
bunga yang tumbuh bermekaran di sekelilmg bangunan padepokan ini.
"Aku kira kau sudah melupakan padepokan ini, Lasmi," ujar Parita seraya
mengayunkan kakinya mengikuti langkah kaki wanita di sampingnya.
"Aku tidak akan pernah melupakannya, Parita. Eh...! Kau tidak memanggilku
kakak lagi, Parita?"
"Kau yang memintaku begitu, bukan? Aku tidak yakin kalau kau cepat lupa.
Baru semalam...."
"Tidak. Aku memang senang kau tidak memanggilku kakak lagi. Gatal rasanya
di telinga."
"Aku akan membiasakannya meskipun terasa janggal di lidah."
"Ah! Kau tetap saja seperti dulu, Parita. Senang bergurau."
"Untuk menghilangkan ketegangan."
"Ketegangan...? Kau merasa tegang di sini, Parita?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Kuakui, ketegangan itu sering muncul sejak kau pergi."
Lasmi menatap pemuda di sampingnya, kemudian kembali memandang ke depan.
Dia tahu kalau sejak dulu Parita menyukainya Tapi Lasmi tidak pernah punya
perasaan lain pada pemuda ini, selain perasaan persaudaraan. Dan rupanya
Parita cukup rapi menyimpan ketidaksenangannya pada Sundrata.
"Aku lihat kau sudah pantas memiliki seorang gadis, Parita," kata
Lasmi.
Parita malah tertawa. Mungkin perkataan Lasmi barusan dianggap lucu.
Sedangkan Lasmi hanya tersenyum saja. Disadari begitu bodoh. Meskipun Parita
sudah pantas memiliki kekasih, tapi tidak akan mungkin pemuda ini mencari
gadis lain. Lasmi ingat suatu malam, ketika hendak meninggalkan Padepokan
Bambu Kuning ini bersama Sundrata. Parita berterus terang kalau dirinya
tidak akan mencari gadis lain, dan tetap akan menunggu Lasmi dalam keadaan
apa pun juga.
Waktu itu Lasmi menanggapinya dengan tawa saja. Keterusterangan Parita
dianggap sebagai gurauan yang sangat menggelitik waktu itu. Tapi rupanya
Parita memang bukan bergurau. Kata-katanya itu dibuktikan hingga
sekarang.
"Lasmi...," terdengar serius nada suara Parita.
Lasmi menggumam kecil, lalu menoleh menatap pemuda di sampingnya. Mereka
terus berjalan perlahan-lahan sambil menikmati udara segar pagi ini.
"Apa kau benar-benar tidak mengenal orang-orang yang membunuh suamimu?"
tanya Parita, serius nada suaranya.
"Tidak," sahut Lasmi, agak berkerut keningnya. "Kenapa kau tanyakan itu,
Parita?"
"Tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu saja. Barangkali saja bisa bertemu
mereka dan bisa membalas kematian suamimu," sahut Parita ringan.
"Untuk apa? Ayah pasti tidak akan merestui jika kau membalas dendam,
Parita. Dendam bukanlah penyelesaian terbaik. Bahkan sebaliknya akan
melahirkan dendam baru yang berkepanjangan dan tidak akan pernah mendapatkan
titik penyelesaian yang tak akan pemah berakhir sepanjang masa."
"Tidak ada dendam di hatiku, Lasmi." Tapi kalau mereka sengaja memburumu,
tentu tidak akan kubiarkan begitu saja."
"Terima kasih, kau baik sekali," ucap Lasmi terharu.
"Mereka bisa rnengalahkan suamimu. Tentu mereka mempunyai kepandaian yang
tinggi," kata Parita lagi agak menggumam.
Lasmi hanya diam saja, dan terus melangkah perlahan. Kembali dia teringat
pertarungan Sundrata melawan empat orang tua yang tidak dikenalnya sama
sekali. Dan dia juga tidak tahu persoalannya. Tapi yang nembuat Lasmi sukar
untuk melupakan adalah kemunculan seorang laki-laki tua yang tentu sudah
sangat dikenalnya.
Yaaah.... Kalau saja tidak muncul seorang pemuda berilmu tinggi yang
menolongnya pada saat yang tepat, entah apa yang akan terjadi pada dirinya
sekarang. Yang pasti dirinya tidak akan bisa melihat anaknya lagi. Lasmi
jadi teringat pemuda penolongnya. Seorang pemuda tampan, gagah, dan
berkemampuan tinggi sekali.
"Kau melamun, Lasmi?" tegur Parita.
"Oh, tidak...," Lasmi tersentak. Lamunannya seketika buyar.
Sementara Parita menurunkan Wijaya dari pundaknya. Dan bocah itu langsung
berlari-lari mendahului. Lincah dan riang sekali. Lasmi jadi merasa iri, dan
seperti ingin selamanya menjadi seorang anak kecil yang tidak pernah
memikirkan apa-apa selain kesenangan. Begitu cepatnya Wijaya melupakan semua
yang pemah terjadi pada dirinya. Sesuatu yang hampir merenggut
nyawanya.
"Parita, boleh aku tanya sesuatu padamu?" ujar Lasmi.
"Katakan saja," sahut Parita.
"Kau tahu, kenapa Ayah tidak pernah menyukai Kakang Sundrata?" tanya Lasmi
seperti untuk dirinya sendiri
"Aku rasa kau lebih tahu dariku, Lasmi," sahut Parita.
"Kalau aku tahu, tidak mungkin bertanya padamu."
"Kenapa tidak kau tanyakan saja pada ayahmu?"
"Mustahil, Parita. Ayah pasti tidak akan suka menjelaskan. Paling-paling
yang dikatakan hanya karena Kakang Sundrata keturunan seorang kepala begal.
Dan Ayah merasa tertipu karena menerimanya menjadi murid di sini. Aku yakin,
hanya itu. Tidak lebih...!"
"Aku rasa memang demikian, Lasmi. Aku bisa merasakan kekhawatiran ayahmu,"
tegas Parita bema-da lembut.
"Tapi Kakang Sundrata tidak menuruni sifat-sifat ayahnya. Bahkan justru
memusuhi anak buah ayahnya. Kau tahu, Parita. Dalam pengembaraan, tidak
sedikit Kakang Sundrata bertemu anak buah Ki Rampoa. Bahkan yang tidak
ditewaskan, disadarkannya kembali ke jalan yang benar."
Parita hanya diam saja. Entah kenapa, setiap kali Lasmi memuji Sundrata,
ada kepedihan di hatinya. Dan sama sekali itu tidak disukainya. Tapi Parita
tidak pernah memperiihatkan ketidaksukaannya di depan wanita ini.
"Lasmi, waktu kau.... Hm, maksudku ketika suamimu dikeroyok, kenapa kau
tidak membantu?" tanya Parita mengalihkan pembicaraan, karena Lasmi terus
memuji-muji mendiang suaminya.
"Aku tidak bisa melakukannya, Parita," sahut Lasmi lirih.
"Kenapa?"
"Aku terkena racun yang memunahkan sebagian kekuatanku."
Parita terhenyak. Ditatapnya wanita ini dalam -dalam.
"Dalam suatu pertempuran, aku terkena pukulan beracun seorang laki-laki tua
yang sangat tinggi ilmunya. Memang tidak terlihat sama sekali. Tapi setiap
kali menggunakan tenaga dalam, setiap kali tenagaku berkurang. Dan sekarang
aku tidak tahu lagi, apakah masih mampu atau tidak sama sekali."
"Kenapa kau tidak menceritakan hal ini pada ayahmu?"
Lasmi menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Tidak mungkin hal ini
diutarakan pada ayahnya. Karena Datuk Maringgih pasti tahu dengan siapa
Lasmi bertarung sehingga mendapatkan luka yang cukup parah. Bahkan bisa
membunuhnya secara perlahan-lahan. Kalau hal ini sampai diketahui, sukar
bagi Lasmi untuk membayangkannya.
***
EMPAT
Datuk Maringgih memandangi Parita yang duduk bersila di depannya
dalam-dalam. Sungguh hatinya terkejut begitu mendengar putrinya mengidap
racun dalam tubuhnya yang akan mengurangi kekuatan setiap kali menggunakan
ilmu tenaga dalam. Dan laki-laki itu tahu, siapa yang memiliki jenis racun
seperti itu. Hanya saja yang sukar untuk dimengerti, bagaimana mungkin Lasmi
bisa bentrok hingga menderita keracunan begitu parah?
"Datuk, jangan katakan ini pada Lasmi," pinta Parita. Permintaan yang sudah
beberapa kali diucapkan.
"Aku yang memberimu tugas untuk menjaga Lasmi jadi tidak mungkin
membocorkan rahasiaku sendiri, Parita," tegas Datuk Maringgih.
"Terima kasih, Datuk," ucap Parita lega.
"Selain itu, apa lagi yang kau dapatkan?" tanya Datuk. Maringgih.
"Lasmi juga menceritakan, kalau dirinya bisa terlepas dari maut karena
ditolong seseorang, Datuk," sahut Parita.
"Siapa?"
"Lasmi tidak suka menyebutkan namanya. Tapi hanya mengatakan kalau orang
itu masih muda dan berkepandaian tinggi sekali. Katanya, pakaiannya dari
kulit harimau. Seperti seorang pemburu, Datuk."
"Hm..., Pendekar Pulau Neraka," gumam Datuk Maringgih.
"Datuk mengenalnya?"
"Aku belum pernah bertemu, tapi nama besar Pendekar Pulau Neraka sering
kudengar."
"Apakah beraliran putih, Datuk?" tanya Parita.
"Entahlah. Sepak terjangnya sukar ditentukan. Tapi, banyak kalangan rimba
persilatan mengakuinya kalau dia beraliran putih. Meskipun tindakannya
terkadang masih menggemaskan."
"Maksud, Datuk?"
"Dia sukar mengendalikan kemarahan. Bahkan tidak pernah memberi ampun
lawan-lawannya. Ilmunya memang tinggi sekali, sehingga sukar diukur tingkat
kepandaiannya. Hm...," Datuk Maringgih menundukkan kepala.
"Ada apa, Datuk?" tanya Parita.
"Kau tidak tanya, di mana Lasmi bertemu Pendekar Pulau Neraka?" Datuk
Maringgih malah balik bertanya.
"Di sebelah Barat Desa Kaung," sahut Parita.
"Parita, kau pergilah. Cari Pendekar Pulau Neraka itu, dan sampaikan
undanganku padanya," perintah Datuk Maringgih.
"Datuk mengundangnya...?"
"Benar, sudah lama sekali aku ingin bertemu orang yang bernama Pendekar
Pulau Neraka itu. Mudah-mudahan aku bisa bertukar pengalaman
dengannya."
"Baik, Datuk."
"Cepatlah, jangan sampai keduluan yang lain. Terutama...." terdengar
ketukan di pintu. Laki-laki tua itu menatap pintu, demikian pula
Parita.
"Masuk...!" seru Datuk Maringgih.
Pintu terbuka, dan muncul seorang murid yang masih berusia belasan tahun.
Dia menjura memberi hormat, lalu melangkah ke depan tiga tindak.
"Ada apa?" tanya Datuk Maringgih.
"Ada seorang tamu hendak bertemu, Datuk," sahut muridnya.
"Siapa?"
"Orang itu tidak mau menyebutkan namanya. Katanya ingin bertemu langsung
dengan Datuk."
"Hm...," Datuk Maringgih menggumam kecil.
Sementara Parita sudah bangkit berdiri. Dia hendak melangkah ke luar, tapi
Datuk Maringgih cepat mencegah. Laki-laki tua itu bangkit dari duduknya,
lalu berjalan keluar dengan langkah tenang. Murid Padepokan Bambu Kuning
menyingkir memberi jalan. Parita mengikuti dari belakang.
***
Datuk Maringgih terkejut bukan main ketika melihat seorang laki-laki
berusia sekitar enam puluh tahun lebih, menunggunya di depan bangunan utama
Padepokan Bambu Kuning ini. Tubuhnya tinggi tegap, mengenakan pakaian dari
bulu binatang. Wajahnya terlihat kasar dengan brewok yang tidak teratur. Dua
orang yang tidak kalah kasamya mendampingi di samping kiri dan kanan.
"Ki Rampoa, apa maksudmu datang ke tempatku?" tanya Datuk Maringgih.
"Aku ingin meminta tanggung jawabmu, Datuk Maringgih!" sahut Ki Rampoa
lantang.
"Tanggung jawabku...?" Datuk Maringgih mengerutkan alisnya.
"Ya, karena kau telah membunuh putraku!" bentak Ki Rampoa lantang.
"Heh...! Tunggu dulu. Aku tidak mengerti maksudmu," sentak Datuk Maringgih
terkejut.
"Kau jangan berpura-pura, tua bangka! Aku tahu kalau Lasmi kembali lagi ke
sini setelah meracuni anakku, lalu mencincangnya seperti daging busuk. Hhh!
Sungguh licik! Kau gunakan kecantikan anak gadismu agar membangkang pada
ayahnya. Sebelum kau beri dia ilmu olah kanuragan, lalu kau menyuruh
menentangku. Benar-benar licik!"
"Jaga kata-katamu, Ki Rampoa!" bentak Datuk Maringgih gusar.
"Seharusnya kau jaga anakmu!"
"Bedebah...!" geram Datuk Maringgih gusar.
"Datuk Maringgih, aku tidak ingin bermain-main denganmu. Serahkan Lasmi,
atau kau memilih kehancuran padepokanmu ini!" Ki Rampoa memberi pilihan
bemada ancaman.
"Tidak dua-duanya!" tegas Datuk Maringgih.
"Bagus! Itu berarti aku yang akan menentukan pilihan. Dan aku memilih
keduanya," kata Ki Rampoa.
"Bajingan kau, Rampoa!" desis Datuk Maringgih.
"Ha ha ha...!" Ki Rampoa tertawa terbahak-bahak.
Gemeretak seluruh geraham Datuk Maringgih, tapi masih berusaha diredam
kemarahannya. Sikap dan kata-kata Ki Rampoa sungguh menyakitkan. Tapi juga
disadari kalau antara Padepokan Bambu Kuning dengan Partai Pasir Merah
sedang diadu domba. Datuk Maringgih sadar, kalau ada pihak lain yang
menginginkan kehancuran Partai Pasir Merah itu.
Dan orang tua berjubah putih itu tahu siapa orang-nya, hanya saja namanya
belum diketahui. Yang pasti adalah, empat orang yang mengeroyok Sundrata
hingga tewas. Mereka pasti meniupkan api di hati Ki Rampoa dengan
memanfaatkan hubungan antara putra Ki Rampoa dengan Lasmi. Dan tentunya,
mereka pasti tahu kalau di antara Padepokan Bambu Kuning dengan Partai Pasir
Merah terjadi perang dingin yang sudah berlarut-larut, meskipun putra-putri
pemimpin masing-masing mengikat tali perkawinan. Namun hal itu tidak juga
bisa membuat kedua kelompok itu menyatu. Bahkan kini malah semakin
genting.
"Perlu kau ketahui, Datuk Maringgih. Seluruh Padepokanmu sudah terkepung,
dan bendera perang tinggal kukibarkan. Maka.... Ha ha ha...!" keras sekali
suara Ki Rampoa.
Datuk Maringgih menggeretak menahan kemarahan.
"Aku perlu jawabanmu, Datuk Maringgih. Kutunggu jawabanmu besok pagi.
Ingat! Serahkan Lasmi padaku, atau seluruh padepokan ini akan hancur. Dan
tentunya Lasmi akan berada di tanganku.
Ha ha ha...!"
Ki Rampoa memutar tubuhnya, lalu melangkah pergi. Suara tawanya terus
bergerai lepas menggelegar. Mata Datuk Maringgih tajam memandangi dengan
wajah memerah. Inilah yang sudah diduga sejak Lasmi kembali.
Datuk Maringgih berbalik, tapi tidak jadi melangkah ketika Lasmi tahu-tahu
sudah berdiri di ambang pintu. Sebentar Datuk Maringgih memandang putrinya,
kemudian mengayunkan kakinya juga masuk ke dalam. Sedikit pun wanita itu
tidak ditolehnya. Lasmi bergegas menyusul dan mensejajarkan langkahnya di
samping laki-laki tua itu.
"Ayah, boleh aku bicara...?" pinta Lasmi.
Datuk Maringgih menghentikan langkahnya, lalu memutar tubuh sedikit dan
memandang wanita di depannya kini. Sedangkan Lasmi membalas tatapan mata
itu. Satu hal yang baru pertama kali ini dilakukannya. Selama ini pandangan
mata ayahnya tidak pernah ditentangnya. Tapi sekarang terpaksa harus
dilakukan. Memang dia telah mendengar semua yang dikatakan Ki Rampoa, ayah
dari suaminya.
"Ayah! Semua ini karena kesalahanku, tanggung jawabku...," kata Lasmi
mencoba bicara meskipun tahu ayahnya sedang diliputi kemarahan.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Datuk Maringgih.
"Demi keselamatan Padepokan Bambu Kuning, biar Lasmi menemui Ki Rampoa,"
tegas Lasmi.
"Edan! Apa kau sudah tidak bisa berpikir waras lagi, heh?!" rungut Datuk
Maringgih seraya menghempaskan tubuh di kursi.
"Lasmi masih waras, Ayah. Itu sebabnya kenapa Lasmi tidak ingin terjadi
pertumpahan darah di sini.
"Lasmi rela meskipun mati."
"Tidak! Kau anakku! Segala yang kau perbuat, menjadi tanggung jawabku!"
tegas kata-kata Datuk Maringgih.
"Tapi...."
"Sekali kukatakan tidak, tetap tidak!" sentak Datuk Maringgih tegas.
"Ayah ingin mengorbankan sekian banyak orang? Ayah ingin melihat padepokan
yang kita cintai ini hancur? Tidak, Ayah...! Seumur hidup, Lasmi akan
menyesal jika hal itu sampai terjadi. Semua orang akan mencibir. Bahkan
mengatakan kalau putri seorang Guru Besar Padepokan Bambu Kuning bisanya
hanya berlindung di ketiak ayahnya.
Apa kata sahabat-sahabat Ayah jika mereka mengetahui kalau Ayah
mengorbankan banyak nyawa hanya karena hendak melindungi anaknya yang telah
lari bersama laki-Jaki putra musuhnya? Apa kata mereka nanti, Ayah...?" agak
keras nada suara Lasmi.
Sementara Datuk Maringgih jadi terdiam membisu. Sungguh tidak diduga kalau
Lasmi akan berkata begitu. Dan itu memang tidak bisa dibantah kebenarannya.
Tapi juga tidak bisa dibiarkan begitu saja jika Ki Rampoa membawa Lasmi
seenaknya saja dari tempat ini. Bahkan kalau hal itu sampai terjadi, cibiran
akan datang lebih menyakitkan lagi.
Datuk Maringgih, seorang guru besar padepokan ternama tidak berkutik di
tangan seorang pemimpin gerombolan begal. Apa itu tidak akan menyakitkan...?
Bukan hanya cibiran, tapi juga tidak akan lagi ada yang memandang Padepokan
Bambu Kuning. Sebuah padepokan yang sudah terkena! menelorkan
pendekar-pendekar berkepandaian tinggi dan tangguh.
"Pergilah, aku akan pikirkan," ujar Datuk Maringgih.
"Ki Rampoa hanya memberi waktu...."
"Aku tahu, Lasmi.... Pergilah. Biarkan aku sendiri dulu," potong Datuk
Maringgih cepat.
"Baik, Ayah."
Lasmi bergegas meninggalkan ruangan itu. Sementara Datuk Maringgih masih
terduduk di kursi dengan wajah kusut Memang sukar mengambil keputusan dalam
saat seperti ini. Dia tahu kalau Lasmi bersikap demikian karena merasa
dirinya tidak akan mampu mempertahankan kejayaan dan martabat ayahnya.
Meskipun masih terlihat ketegaran, tapi Datuk Maringgih dapat merasakan
adanya kepurusasaan. Dan ini belum pemah dialami Lasmi. Kepurusasaan itu
datang karena dirasakan dirinya tidak berguna lagi.
***
Malam ini suasana di sekitar benteng Padepokan Bambu Kuning sungguh lain
dari biasanya. Ketegangan menyelimuti seluruh wajah-wajah penghuninya. Malam
begitu senyap. Bukan saja di sekitar Padepokan Bambu Kuning, tapi juga
menyelimuti seluruh Desa Kaung. Kedatangan Gerombolan Pasir Merah tentu
sudah diketahui seluruh penduduk desa. Terlebih lagi, mereka ini mengepung
Padepokan Bambu Kuning.
Tapi tidak demikian halnya dengan Lasmi. Dia tampak tenang, bahkan
menikmati udara malam di depan kamarnya yang langsung berhubungan dengan
taman samping bangunan utama Padepokan Bambu Kuning ini. Sama sekali
kejadian siang tadi tidak dihiraukan. Bahkan sikap Parita yang menemaninya
sejak petang tadi tidak dipedulikan.
"Kenapa kau mengambil keputusan nekad begitu, Lasmi?" desah Parita terasa
berat.
"Aku harus bertanggung jawab, Parita," sahut Lasmi.
"Itu bukan tanggung jawab, tapi perbuatan nekad. Aku tahu kau putus asa,
karena...."
"Tidak," potong Lasmi cepat.
"Lasmi! Jika kau suka berterus terang pada ayahmu, tentu bisa pulih seperti
semula," nada suara Parita terdengar membujuk.
"Untuk apa? Sudah lama aku menyimpan racun ini di tubuhku. Lagi pula Ki
Rampoa hanya menginginkan aku, dan mereka akan pergi dari sini."
"Tidak, Lasmi. Ki Rampoa tidak akan pergi meskipun kau menyerahkan diri.
Dia pasti akan tetap menggempur padepokan ini. Lasmi.... Kau harus menyadari
kalau semua ini bukan karena kesalahanmu, tapi ada orang ketiga yang
memanfaatkannya. Dan kau tahu, siapa-siapa saja orangnya," kata Parita
lagi.
Lasmi terdiam.
"Aku benar-benar tidak mengerti sikapmu, Lasmi. Aku tidak lagi melihat
Lasmi yang dulu kukenal. Lasmi yang tegar, berani, dan tidak mengenal putus
asa," keluh Parita pelan.
"Sudah malam, Parita. Kau perlu mengumpulkan tenaga untuk besok," kata
Lasmi seraya bangkit berdiri.
Sebelum Parita membuka mulut lagi, Lasmi sudah melangkah masuk. Tapi belum
juga pintu kamarnya ditutup, Parita sudah menerobos masuk. Lasmi tak bisa
mencegah lagi, terlebih pemuda itu mencekal tangannya kuat-kuat.
"Lasmi. Aku tidak tahu, harus mengatakan apa lagi padamu. Mungkin aku
memang sudah gila, atau mungkin mataku buta karena tidak bisa lagi melihat
tingginya gunung dan dalamnya lautan. Tapi aku tidak ingin membohongi dan
memendamnya terus menerus," jelas Parita sungguh-sungguh.
Lasmi hanya diam saja.
"Pandang aku, Lasmi. Apakah aku tidak pantas untuk mendampingimu? Apakah
terlalu hina di matamu?" sambung Parita lagi.
Lasmi masih tetap diam.
"Aku memang orang biasa yang tidak jelas asal-usulku. Kalau bukan ayahmu
yang membawaku ke sini, merawat, mendidik, dan mengasuhnya, mungkin aku
sudah jadi gembel jalanan. Terlalu besar budi ayahmu. Dan itu tidak akan
bisa kubalas sampai mati. Yaaah.... Aku memang tidak sepadan denganmu.
Maafkan aku, Lasmi. Tidak seharusnya aku berkata begini pada saat seperti
ini," keluh Parita.
Lasmi memandang pemuda itu dalam-dalam. Sementara Parita melepaskan
cekalannya pada pergelangan tangan wanita itu. Beberapa saat lamanya, mereka
hanya saling bertatapan. Perlahan Lasmi menggeser kakinya, dan duduk di
kursi rotan panjang. Parita menghampiri dan ikut duduk di samping wanita
itu. Tapi mereka masih juga berdiam diri membisu.
"Wijaya perlu seorang ayah, Lasmi," ujar Parita seraya memandang bocah
kecil yang melingkar di pembaringan.
"Kau membenci ayahnya," desah Lasmi.
"Tidak ada alasan bagiku untuk membenci Sundrata. Lagi pula bukan
kebencian, tapi..., cemburu," terdengar pelan nada suara Parita yang
terakhir.
Lasmi menatap pemuda itu dalam-dalam.
"Jangan menatapku begitu, Lasmi. Kau boleh saja muak padaku, tapi tidak
akan melunturkan cintaku padamu," tegas Parita lagi. Dia semakin berani
mengungkapkan perasaan hatinya.
"Aku sudah punya anak, Parita," kilah Lasmi.
"Aku tidak peduli."
"Aku bekas istri orang yang...."
"Cukup! Aku tidak suka mendengar macam-macam alasan lagi darimu, Lasmi.
Bagiku kata penolakan lebih sempurna daripada seribu macam alasan."
"Dengar dulu, Parita. Aku tidak ingin kau mencintaiku hanya karena kasihan.
Aku tidak ingin dikasihani. Lagi pula, kau tahu kalau racun yang bersarang
di tubuhku sewaktu-waktu bisa merenggut nyawaku. Aku tidak ingin hal ini
menjadi beban bagimu. Pikirkan semua ini sekali lagi, Parita."
"Ternyata kau lebih dewasa dari yang kubayangkan, Lasmi. Dan itu semakin
mempertebal rasa cintaku padamu."
"Parita..."
"Aku hanya meminta ketegasanmu saja, Lasmi" desak Parita.
"Jangan mendesakku, Parita. Kau tahu, baru beberapa hari Kakang Sundrata
meninggal. Lagi pula, kita semua sedang menghadapi situasi yang sulit Aku
janji, Parita. Jika semua sudah teratasi, dan kita masih diberi umur
panjang, aku akan memberi jawaban yang kau minta."
"Baiklah, aku akan bersabar. Tapi kumohon, jangan serahkan dirimu pada Ki
Rampoa," sahut Parita.
Lasmi hanya tersenyum saja.
"Demi aku, Lasmi. Demi Wijaya...," desak Parita.
"Baiklah, aku akan menghadapinya sendiri nanti," sahut Lasmi.
"Kau jangan macam-macam, Lasmi."
"Tidak! Kau lihat saja nanti."
"Aku tidak ingin kau nekad dan membunuh dirimu sendiri."
Lagi-lagi Lasmi hanya tersenyum, kemudian bangkit berdiri dan melangkah
menuju ke pembaringannya. Tubuh yang ramping itu langsung terbaring. Parita
masih duduk di kursi memandangi.
"Tutup pintunya, Parita," kata Lasmi.
Parita bangkit berdiri. Sebentar ditatapnya Lasmi yang terbaring
menelentang. Tampak bagian dadanya yang membusung sungguh indah dipandang.
Parita menghampiri dan berdiri saja di samping pembaringan. Lasmi membuka
matanya, dan langsung terkejut melihat Parita berada di dekatnya.
"Aku mencintaimu, Lasmi," bisik Parita lembut.
Lasmi menarik napas panjang. Dan sebelum wanita itu bisa berpikir lebih
jauh, tiba-tiba saja Parita membungkuk. Maka satu kccupan lembut mendarat di
bibir yang merah ranum itu. Sejenak Lasmi terhenyak. Tubuhnya mengejang
seketika. Dan begitu tersadar, Parita sudah tidak ada lagi di kamar ini.
Pintu sudah tertutup rapat.
"Ohhh...," Lasmi mendesah panjang.
Inilah ciuman pertama dari seorang laki-laki yang bukan suaminya. Sungguh
tidak diduga kalau Parita akan seberani itu. Dan dia sendiri tidak mengerti,
kenapa tidak menolak atau mencegahnya. Ciuman yang cepat, tapi begitu lembut
dan.... Ah..., Lasmi jadi tersenyum sendiri. Dulu dia pemah merasakan hal
serupa dengan yang sekarang.
Masih lekat di dalam ingatan, ketika semalaman dia tidak bisa tidur ketika
pertama kali Sundrata mencium bibimya. Dan selama tiga hari masih terasa
terus. Bahkan jadi malu jika bertemu pemuda itu. Kini perasaan itu datang
lagi. Apakah malam ini dia tidak bisa tidur juga? Tidak...! Ini bukan ciuman
pertama, tapi yang pertama dari laki-laki lain.
"Ah, Parita.... Kenapa baru sekarang kau berani...?" desah Lasmi
lirih.
Seandainya sejak dulu Parita seberani ini, tentu tidak akan ada masalah.
Sampai-sampai malam ini semua orang diliputi ketegangan yang amat sangat.
Tapi Lasmi memang mengakui, kalau Parita bukanlah seorang laki-laki yang
berani mengungkapkan perasaan hatinya pada seorang gadis. Bahkan bisa
dikatakan laki-laki pendiam dan tertutup pada gadis-gadis. Padahal dia cukup
tampan dan gagah, serta berkepandaian tinggi.
Lasmi benar-benar tidak bisa memejamkan mata sepicing pun. Ciuman Parita
benar-benar membuatnya jadi tidak menentu. Dia beranjak bangkit dari
pembaringan, dan melangkah menghampiri pintu. Sedikit dibukanya pintu dan
mengintip keluar.
"Heh...?!" Lasmi terkejut bukan main.
Sungguh tidak disangka kalau di depan kamarnya Parita masih ada, tengah
duduk memandangi kamarnya di bawah pohon. Buru-buru Lasmi menutup pintu dan
membalikkan tubuh. Disandarkan punggungnya di daun pintu kamar ini.
"Apa yang dilakukannya di situ...?" bisik Lasmi bertanya pada dirinya
sendiri.
Lasmi kembali ke pembaringannya. Direbahkan dirinya dan dicobanya untuk
melupakan pemuda itu. Dia mencoba tidur, tapi.... Huh! Lasmi mendengus dalam
hati.
"Aku bukan gadis ingusan lagi yang baru kenal cinta! Edan...! Kenapa jadi
begini...?" Lasmi memaki-maki dirinya sendiri.
Sementara malam terus beranjak semakin larut. Beberapa kali mulutnya
mengumpat, mencoba melupakan bayang-bayang wajah Parita. Bahkan menggantinya
dengan bayangan wajah suaminya. Tapi semakin keras berusaha, bayangan wajah
suaminya semakin mengabur. Dan malah wajah Parita semakin jelas mengganggu
pelupuk matanya.
"Konyol! Tidak lucu...!" dengus Lasmi memaki dirinya.
***
LIMA
Pagi-pagi sekali seluruh murid Padepokan Bambu Kuning sudah berkumpul di
halaman depan bangunan utama. Dan pagi ini, Lasmi sudah mengambil keputusan
yang membuat ayahnya jadi tertegun tidak mengerti bercampur khawatir. Tapi
laki-laki tua itu tidak bisa berbuat lain lagi, dan hanya bisa menyetujui
disertai sedikit nasihat Tapi lain lagi yang dirasakan Parita. Keputusan
Lasmi dirasakan terlalu bodoh dan hanya akan membunuh diri saja. Tidak
mungkin Lasmi bisa menandingi Ki Rampoa.
"Dia datang, Ayah," kata Lasmi tak berkedip memandang ke pintu
gerbang.
"Masih ada kesempatan untuk merubah pikiranmu, Lasmi," tegas Datuk
Maringgih.
"Apa pun yang terjadi, aku harus menghadapinya, Ayah. Keputusanku sudah
bulat," sahut Lasmi.
Wanita cantik yang kini mengenakan baju putih ketat itu melangkah tenang
menuruni undakan bangunan utama Padepokan Bambu Kuning. Saat itu Ki Rampoa
sudah berdiri tegak di tengah-tengah halaman didampingi dua orang laki-laki
bertubuh tinggi tegap dan wajah kasar mencerminkan kebengisan.
"He he he.... Sudah kuduga, kau pasti akan menyerah, Lasmi," ujar Ki Rampoa
diiringi tawanya yang terkekeh.
"Aku tidak akan menyerah begitu saja, Ki Rampoa!" ujar Lasmi lantang.
"Heh...?!" Ki Rampoa agak terperanjat
"Aku akan menantangmu bertarung dengan satu syarat!" sambung Lasmi
lagi.
"Phuih! Sejak kapan kau jadi besar kepala, heh?!" bentak Ki Rampoa.
"Dengar, Ki Rampoa. Meskipun kau ayah mertuaku, tapi kedatanganmu ke sini
bukan sebagai mertuaku. Kau menantang dan mengancam, maka akan kulayani
tantanganmu! Kita bertarung. Siapa yang menang, boleh menguasai yang kalah!
Bagaimana...?".
"Bocah setan!"'geram Ki Rampoa merasa terhina.
Kalau saja yang mengajukan penawaran tantangan itu Datuk Maringgih sendiri,
tentu tidak akan terhina seperti ini. Tapi yang memberikan penawaran justru
seorang wanita muda yang sudah tentu kemampuannya jauh di bawahnya. Merah
padam wajah Ki Rampoa. Dia menggeram mencoba menahan marah.
Ki Rampoa mengegoskan kepalanya sedikit, maka laki-laki yang berada di
samping kirinya terkekeh sambil melangkah maju beberapa tjndak.
"Beri dia pelajaran biar terbuka matanya, Kebo Ireng!" dengus Ki Rampos
gusar.
"He he he.... Terlalu cantik untuk disakiti, Ki," kata laki-laki yang
dipanggil Kebo Ireng seraya mengerling pada Lasmi.
"Aku berikan dia padamu, Kebo Ireng!" dengus Ki Rampoa.
"Ha ha ha...!" Kebo Ireng tertawa terbahak-bahak.
Dan sebelum hilang suara tawanya yang memekakkan itu, mendadak saja
laki-laki bertubuh tinggi besar berbaju kulit binatang itu melompat bagaikan
kilat hendak menerkam Lasmi. Cepat sekali terkamannya, dan kedua tangannya
terkembang lebar.
"Hait..!"
Sebelum ujung jari tangan Kebo Ireng berhasil menyentuh tubuh wanita itu,
secepat kilat Lasmi mencabut pedangnya. Dan sambil melompat ke samping,
dikebutkan pedangnya kuat-kuat.
Wut!
"Uts...!"
Kebo Ireng terkesiap sesaat, tapi cepat sekali meliukkan tubuhnya. Maka,
ujung pedang Lasmi hanya membabat sedikit di depan perutnya yang buncit.
Bumi terasa bergetar begitu kedua kaki Kebo Ireng menjejak tanah. Lasmi
mencoba ke samping beberapa tindak, lalu menyilangkan pedangnya di depan
dada.
"Bagus! Aku suka perempuan galak! He he he...!" Kebo Ireng terkekeh.
"Phuih!" Lasmi menyemburkan ludahnya.
Kebo Ireng menggeser kakinya ke samping. Kedua matanya memerah menatap
tajam, mengamati setiap gerak yang dilakukan wanita itu. Dan sambil
berteriak keras, laki-laki buncit itu melompat menerjang. Satu pukulan keras
bertenaga dalam dilontarkannya.
"Yeaaah...!"
Lasmi yang menyadari dirinya dalam keadaan terluka karena keracunan, tidak
mau mengambil resiko terlalu parah. Cepat-cepat tubuhnya berkelit melompat
ke samping sambil membabatkan pedang ke arah pinggang. Saat itu Kebo Ireng
tidak menyadari. Namun sebelum ujung pedang Lasmi berhasil merobek
pinggangnya, laki-laki tinggi besar itu lebih cepat berkelit. Dan secepat
itu pula dihentakkan kakinya ke samping.
Des!
"Akh...!" Lasmi memekik keras.
Tendangan menyamping Kebo Ireng memang tidak bisa diduga, dan Lasmi tak
mampu menghindar. Iganya telak terkena tendangan bertenaga dalam cukup
tinggi itu. Lasmi terpental ke samping, dan jatuh bergulingan di tanah
beberapa kali.
Belum juga Lasmi sempat bangkit berdiri, Kebo Ireng sudah mengayunkan satu
tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Kaki laki-laki buncit itu tepat
menghantam dada tanpa dapat dihindarkan lagi. Untuk kedua kalinya Lasmi
memekik keras, dan tubuh ramping itu terpental jauh membumbung tinggi ke
angkasa.
Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan berkelebat dan langsung menyambar
tubuh Lasmi yang melayang deras di angkasa. Semua yang menyaksikan, jadi
terpana. Karena tahu-tahu di atas atap sudah berdiri seorang pemuda berwajah
tampan memakai baju dari kulit harimau, memondong tubuh Lasmi yang terkulai.
Dari sudut bibir wanita itu mengalir darah.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Datuk Maringgih langsung mengenali pemuda
itu.
Sungguh ringan bagaikan kapas tertiup angin, pemuda berbaju kulit harimau
yang dikenali Datuk Maringgih sebagai Pendekar Pulau Neraka itu meluruk
turun. Kakinya tepat mendarat di depan laki-laki tua Guru Besar Padepokan
Bambu Kuning. Saat itu Parita bergegas menghampiri. Pemuda berbaju kulit
harimau itu menyerahkan Lasmi pada Parita yang langsung menerima, dan
membawanya masuk ke dalam.
***
"Anak Muda, siapa kau?!" bentak Ki Rampoa lantang.
"Perlukah kujawab pertanyaannya, Datuk?" pemuda berbaju kulit harimau itu
malah bertanya pada Datuk Maringgih seraya berpaling pada laki-laki tua
itu.
"Aku tahu siapa dirimu, Pendekar Pulau Neraka. Maaf, bukannya tidak senang
dengan kehadiranmu, tapi rasanya ini bukan waktu yang tepat," ujar Datuk
Maringgih sopan.
"Baiklah, tapi boleh aku menemui Lasmi?"
"Silakan."
Pemuda berbaju kulit harimau itu menganggukkan kepalanya sedikit, kemudian
memutar tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam bangunan utama Padepokan Bambu
Kuning. Pendekar Pulau Neraka melihat Lasmi terbaring di kursi panjang
ditemani Parita. Pemuda berbaju kulit harimau itu langsung menghampiri, dan
Parita hanya memandangi saja.
"Hm..., lukanya semakin parah," gumam pemuda berbaju kulit harimau itu
setelah memeriksa keadaan Lasmi.
"Maaf, apakah kau yang bernama Bayu?" tanya Parita ragu-ragu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu menoleh dan mengangguk membenarkan. Dia
memang Bayu, yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka dalam
rimba persilatan.
"Lasmi sudah bercerita banyak tentang dirimu," kata Parita lagi.
Bayu belum juga sempat membuka mulut, ketika terdengar keributan dari luar.
Kedua pemuda itu sama-sama berpaling menatap ke luar melalui pintu yang
terbuka lebar. Tampak di halaman depan terjadi pertarungan. Suara-suara
teriakan pertarungan disertai jeritan melengking dan denting senjata berbaur
menjadi satu.
"Rupanya mereka benar-benar hendak menghancurkan padepokan ini," gumam
Parita.
"Siapa mereka?" tanya Bayu.
"Partai Pasir Merah," sahut Parita.
Saat itu Datuk Maringgih masuk, dan langkahnya begitu cepat langsung
dihampirinya Lasmi yang masih belum sadarkan diri terbaring di kursi
panjang. Sebentar ditatapnya wanita itu, kemudian berpaling pada Parita dan
Pendekar Pulau Neraka.
"Parita, bawa Lasmi pergi. Selamatkan dia dan anaknya dari sini. Aku
mempercayakannya padamu," perintah Datuk Maringgih.
"Datuk...."
"Jangan membantah. Keadaan semakin gawat, Mereka terlalu tangguh untuk
dilawan," potong Datuk Maringgih cepat.
"Aku akan membantu mengusir mereka, Datuk," kata Bayu.
"Heh...?!"
Belum juga Datuk Maringgih mengatakan sesuatu, Pendekar Pulau Neraka sudah
melesat ke luar. Begitu sempuma ilmu yang dimiliki pemuda berbaju kulit
harimau itu, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan. Datuk
Maringgih dan Parita bergegas berlari ke luar.
Tampak Bayu sudah mengamuk menghajar orang-orang dari gerombolan begal yang
bernama Partai Pasir Merah. Amukan Pendekar Pulau Neraka itu sungguh dahsyat
bukan main. Dalam waktu sebentar saja sudah tidak terhitung, berapa jumlah
anggota Partai Pasir Merah yang terjungkal tewas.
Melihat pemuda berbaju kulit harimau memporak-porandakan barisan Partai
Pasir Merah, murid-murid Padepokan Bambu Kuning jadi bangkit semangatnya.
Tapi tidak demikian halnya Ki Rampoa. Dia begitu gusar karena orang-orangnya
semakin berkurang, tak ada yang sanggup membendung amukan Pendekar Pulau
Neraka.
"Hiyaaat..!"
Ki Rampoa melompat bagaikan kilat, dan mendarat tepat di depan Bayu yang
baru saja menjungkalkan tiga orang anggota Partai Pasir Merah dalam satu
ge-brakan saja.
"Cukup, Anak Muda!" bentak Ki Rampoa.
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja.
"Siapa kau?! Kenapa mencampuri urusanku?!" sentak Ki Rampoa.
"Kau tidak perlu tahu siapa diriku, Orang Tua!" dingin sekali nada suara
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Setan! Kalau begitu mampuslah kau! Hiyaaat...!"
Ki Rampoa yang memang sudah meluap kemarahannya, semakin tidak bisa
membendung lagi. Tubuhnya langsung melesat menerjang Pendekar Pulau Neraka.
Dan Bayu hanya berkelit menghindari terjangan laki-laki tua itu.
Sementara di sekitar situ, pertarungan masih terus berlangsung. Tampak Ki
Rampoa menggempur Pendekar Pulau Neraka dengan jurus-jurus dahsyat dan
berbahaya. Pertarungan kedua tokoh rimba persilatan itu membuat mereka yang
bertarung di dekatnya tak bisa menghindar dari terjangan yang tak menemui
sasaran. Dan mereka yang masih bisa menghindar, langsung menjauhkan
diri.
Seperti ada yang memberi komando saja, mereka yang bertarung, seketika
menghentikan pertarungannya. Dua kelompok kini terlihat menyingkir dari
arena pertarungan. Sementara itu Bayu dan Ki Rampoa terus bertarung sengit
Entah sudah berapa jurus yang dikeluarkan, namun tampaknya pertarungan masih
terus berjalan. Belum ada tanda-tanda akan berakhir.
Semakin lama pertarungan semakin meningkat. Debu mengepul di sekitar
pertarungan, membuat kedua tokoh rimba persilatan itu semakin sulit
terlihat. Apalagi gerakan-gerakan mereka dilakukan demikian cepat, sukar
diikuti pandangan mata biasa. Tapi tidak demikian halnya dengan Datuk
Maringgih. Laki-laki tua itu nampak begitu seksama memperhatikan jalannya
pertarungan. Dia memang ingin mengenal Pendekar Pulau Neraka, tapi kini
tanpa diduga sama sekali dapat menyaksikan pertarungan pendekar muda digdaya
itu. Sekejap pun perhatiannya tidak dialihkan.
Suatu saat, tiba-tiba saja Ki Rampoa dan Bayu saling berlompatan ke
belakang. Dan kini mereka berdiri tegak saling berpandangan tajam. Semua
yang menyaksikan menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tampak Ki Rampoa melebarkan kakinya ke samping, kemudian tangannya lurus
merentang ke depan. Perlahan kedua tangannya bergerak bagai melambai.
"Celaka...! Dia menggunakan jurus 'Ular Langit'!" desis Datuk Maringgih
mengenali jurus yang akan digunakan Ki Rampoa.
Guru Besar Padepokan Bambu Kuning itu tahu betul, betapa dahsyatnya jurus
'Ular Langit' yang dimiliki Ki Rampoa. Tampak kecemasan meliputi raut
wajahnya, terlebih lagi saat melihat Bayu bersikap tenang dan berdiri tegak
dengan kedua tangan terlipat ke depan.
Tapi mendadak saja kedua tangan Pendekar Pulau Neraka itu menghentak ke
depan, tepat ketika tangan Ki Rampoa juga menegang kaku dengan jari-jari
tangan meregang terbuka. Dan saat itu Ki Rampoa merapatkan kakinya.
Tiba-tiba dia bergerak cepat menyusur tanah tanpa ada gerakan sedikit pun
pada kedua kakinya.
Sementara Bayu menunggu sambil merapatkan kedua kakinya juga. Cepat sekali
tangan kanannya menghentak ke atas. Kemudian begitu tangan kanan turun ke
bawah, tangan kirinya cepat bergerak ke atas. Dan ketika kedua telapak
tangan Ki Rampoa dekat di depannya, secepat kilat Bayu menghentakkan kedua
tangannya ke depan.
Plak!
"Yeaaah...!" Tiba-tiba saja kedua kaki Pendekar Pulau Neraka terangkat ke
atas, dengan kedua tangan tetap menempel pada lawannya.
"Hets...!" Ki Rampoa mengempos tenaga dalamnya ketika merasakan adanya
tekanan ke bawah. Tapi mendadak saja kakinya amblas ke tanah hingga
lutut!
Dua pasang telapak tangan beradu dan saling menempel rapat. Tampak kedua
tubuh mereka bergetar. Masing-masing mengerahkan kekuatan tenaga dalam yang
disalurkan melalui jurus-jurus andalan.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja kedua kaki Pendekar Pulau Neraka terangkat dari tanah, tapi
kedua telapak tangannya tetap menempel pada telapak tangan Ki Rampoa. Dengan
posisi tubuh tegak lurus, Pendekar Pulau Neraka itu terus melayang naik
perlahan-lahan hingga sejajar seperti tiduran di atas permukaan tanah.
Gerakan tubuh Pendekar Pulau Neraka tidak berhenti. Tubuhnya terus naik
hingga posisi kepala berada di bawah, dan kaki yang merapat tegak lurus
berada di atas. Sedangkan telapak tangan dan kepalanya menempel pada tubuh
Ki Rampoa.
"Hefs...!"
Ki Rampoa mengempos tenaga dalamnya ketika merasakan adanya tekanan ke
bawah. Tapi mendadak saja kakinya amblas ke tanah hingga ke lutut. Tampak
raut wajah Ki Rampoa memerah, dan keringat sebesar-besar butiran jagung
menitik keluar di seluruh wajah, leher, dan tubuhnya.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu memutar tubuhnya, lalu melenting berbalik ke belakang
Ki Rampoa. Begitu tangannya terlepas, seketika itu juga kakinya menghentak
keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf
kesempumaan.
Buk!
"Akh...!"
Tendangan Bayu tepat menghantam punggung Ki Rampoa, membuat Ketua Partai
Pasir Merah itu terjungkal ke depan. Tapi kedua kaki yang terpendam ke tanah
membuat tubuhnya tertahan. Dan sebelum sempat disadari apa yang terjadi,
Bayu sudah mengirimkan satu pukulan keras sambil melentingkan tubuhnya
melewati kepala Ki Rampoa.
Des!
"Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya Ki Rampoa memekik melengking. Seketika itu juga
laki-laki tua itu terpental ke belakang setelah dadanya terhantam satu
pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Manis sekali Bayu menjejakkan kakinya
di tanah. Sementara itu Ki Rampoa bergulingan beberapa kali, dan berhenti
setelah menabrak pohon hingga hancur berkeping-keping.
"Ughk...!" Ki Rampoa mengeluh pendek.
Dia berusaha bangkit berdiri. Meskipun masih sanggup berdiri, tapi tubuhnya
limbung sambil tangannya menekap dada. Tampak dari mulut dan hidungnya
mengeluarkan darah kental berwama kehitaman. Pandangannya nanar
berkunang-kunang. Kakinya melangkah tertatih menghampiri Pendekar Pulau
Neraka yang berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada.
"Aku belum kalah, bocah! Tunggu pembalasanku...!" dengus Ki Rampoa
tersendat.
Ketua Partai Pasir Merah itu menggerakkan tangannya, maka dua orang
pembantu utamanya bergegas menghampiri. Mereka memapah laki-laki tua itu,
lalu membawanya pergi dari Padepokan Bambu Kuning. Kemenangan Bayu langsung
disambut sorak-sorai yang gegap gempita oleh seluruh murid Padepokan Bambu
Kuning.
***
Bayu memandangi Lasmi yang masih berbaring tak sadarkan diri. Agak lama
juga Pendekar Pulau Neraka itu berdiri memandangi di samping dipan kayu di
kamar wanita itu. Dia mendesah panjang dan menoleh memandang Parita yang
duduk di kursi memangku Wijaya. Di sampingnya, duduk Datuk Maringgih. Bayu
melangkah menghampiri dan duduk di depannya.
"Luka yang diderita semakin bertambah parah," ujar Bayu perlahan setengah
mendesah.
Datuk Maringgih hanya diam saja dengan wajah murung. Sementara Parita
memandangi wajah cantilk yang terpejam bagai tertidur nyenyak. Dalam hati
sangat disesali tindakan Lasmi yang nekad menantang Ki Rampoa. Padahal
tubuhnya dalam keadaan terluka cukup parah. Parita tahu kalau tadi Lasmi
mengerahkan kekuatan tenaga dalam, dan tidak mempedulikanj luka yang
dideritanya.
"Sebenamya dia sudah terluka cukup parah. Itulah sebabnya aku menyusul dan
mencarinya sampai ke sini," jelas Bayu lagi.
Datuk Maringgih memandang Pendekar Pulau Neraka itu dalam-dalam. Sungguh
tidak bisa dipercaya kalau Lasmi memang pernah bertemu pemuda yang sudah
kondang namanya ini, dan selalu menggemparkan dunia persilatan dalam setiap
kemunculannya. Dia memang sudah mendengar kalau Lasmi bertemu Bayu, tapi
belum yakin benar. Dan sekarang Bayu sendiri yang mengatakannya.
"Aku tahu, Parita yang mengatakannya padaku. Tapi aku kurang jelas, luka
apa yang diderita Lasmi," kata Datuk Maringgih pelan.
"Keracunan yang dapat menguras tenaga dan kekuatannya. Bahkan bisa
membunuhnya jika memaksakan menggunakan tenaga dalam," sahut Bayu.
"Datuk... Bukankah Datuk sudah mengetahui?" celetuk Parita yang sejak tadi
diam saja.
"Aku masih ragu, Parita," sahut Datuk Maringgih. Tapi, setelah mendengar
penuturanmu dan Pendekar Pulau Neraka, rasanya aku yakin kalau Lasmi
mengidap Racun Ular Merah. Hm..., rasanya sukar dipercaya kalau Lasmi bisa
bentrok dengan Datuk Parapat...," nada suara Datuk Maringgih seperti
bergumam.
"Datuk Parapat. .?!" Parita terlongong.
"Kau masih ingat peristiwa di Hutan Panjang, Parita?" tanya Datuk Maringgih
seraya menatap Parita.
"Masih, Datuk," sahut Parita.
"Kalau memang benar Lasmi bentrok dengannya, dan terkena Racun Ular Merah,
rasanya sukar untuk bisa tertolong lagi. Tak ada yang bisa menyembuhkan
kecuali...," ucapan Datuk Maringgih terputus.
"Kecuali apa, Datuk?" tanya Bayu.
"Hanya dia yang punya obat pemunahnya," sahut Datuk Maringgih lesu.
"Aku akan berusaha mendapatkannya, Datuk," tegas Bayu.
"Kau tidak mengenalnya, Pendekar Pulau Neraka."
"Tapi aku tahu, Datuk," celetuk Parita.
"Jangan! Dia bukan lawanmu."
"Lasmi harus diselamatkan, Datuk. Lagi pula bukan aku sendiri yang akan
pergi, tapi bersama Pendekar Pulau Neraka," sambung Parita mantap.
"Benar, Datuk. Kalau perlu dengan paksaan aku meminta obat pemunah
darinya," sambung Bayu seraya melirik Parita.
"Ah.... Apa yang harus kukatakan untuk berterima kasih padamu, Pendekar
Pulau Neraka," desah Datuk Maringgih.
"Tidak perlu, Datuk. Aku tahu Padepokan Bambu Kuning sangat dibutuhkan. Dan
Datuk sangat berjasa melahirkan pendekar-pendekar perkasa untuk menumpas
keangkaramurkaan. Aku merasa mendapat kehormatan bila bisa sedikit
menyumbangkan tenaga untukmu," ungkap Bayu bernada merendah.
"Ternyata apa yang kudengar tentang dirimu selama ini sungguh jauh dari
kenyataan," gumam Datuk Maringgih.
"Aku juga bukan manusia suci, Datuk."
"Tidak ada manusia suci di dunia ini. Semua manusia pasti pernah berbuat
kesalahan, asal kita menyadari kesalahan itu dan suka memperbaikinya."
"Benar, Datuk. Tapi sukar untuk memperbaiki kesalahan. Terlebih lagi
membersihkan nama yang sudah rusak, meskipun kita tidak pernah
melakukannya."
Datuk Maringgih tersenyum seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam
percakapan yang sebentar ini, sudah bisa diselami jiwa Pendekar Pulau
Neraka, meski belum seluruhnya. Tapi hatinya sudah bisa mengatakan kalau
Pendekar Pulau Neraka tidak seperti apa yang pernah didengarnya selama
ini.
Setiap kata yang diucapkannya mengandung arti yang dalam serta kerendahan
hati, sebagaimana layaknya seorang pendekar sejati. Namun sukar untuk
mengukur, sampai di mana tingkat kepandaiannya. Datuk Maringgih ingin punya
kesempatan lebih banyak lagi dengan pemuda berbaju kulit harimau ini membagi
pengalaman dan bertukar pikiran. Tapi sayang, Pendekar Pulau Neraka harus
pergi. Dan kepergiannya ini untuk kesembuhan Lasmi serta keutuhan Padepokan
Bambu Kuning.
***
ENAM
Pagi-pagi sekali Bayu dan Parita sudah keluar meninggalkan Padepokan Bambu
Kuning. Mereka sengaja berjalan kaki, karena memang Pendekar Pulau Neraka
tidak biasa menunggang kuda. Padahal dia sudah disediakan seekor kuda yang
tegap dan bagus untuknya. Terpaksa Parita mengikuti berjalan kaki, karena
tidak mungkin menunggang kuda sendirian, sementara Bayu hanya berjalan
saja.
Belum lagi matahari naik tinggi, mereka sudah berada di luar batas wilayah
Desa Kaung. Di situ, di tengah-tengah desa itu berdiri Padepokan Bambu
Kuning. Mereka terus berjalan menuju hutan tempat pertama kali Bayu bertemu
Lasmi. Mereka hendak memulainya dari sana sebelum ke tempat-tempat
lainnya.
"Kakang, boleh bertanya sesuatu padamu?" Parita membuka suara karena sejak
tadi mereka hanya diam saja. Dan Parita memang sudah membiasakan diri
memanggil Bayu dengan sebutan kakang.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Kenapa kau ingin membantu Lasmi?" tanya Parita. Meskipun agak tertekan,
tapi masih terasa ada nada kecemburuan pada suaranya.
"Bukan Lasmi, tapi Padepokan Bambu Kuning," sahut Bayu.
"Bukan Lasmi...?" ada kelegaan di dada Parita.
"Benar. Dan memang sebenarnya aku hendak ke Padepokan Bambu Kuning, tapi
kebetulan saja bertemu Lasmi di tengah jalan. Aku sendiri tidak tahu kalau
Lasmi berada di sana, dan ternyata juga putri Datuk Maringgih. Aku baru tahu
setelah kejadian kemarin," jelas Bayu.
"Boleh aku tahu tujuanmu ke Padepokan Bambu Kuning?" pinta Parita.
Bayu tidak langsung menjawab, dan hanya tersenyum saja. Dia melihat Parita,
usianya pasti lebih muda darinya. Dan Pendekar Pulau Neraka menganggap
Parita tidak akan bisa diharapkan. Tujuannya, ke Padepokan Bambu Kuning
hanya untuk bertemu Datuk Maringgih. Dan tidak mungkin diutarakan maksud
sebenamya kepada pemuda ini.
"Aku tidak akan memaksa jika kau tidak suka mengatakannya, Kakang," kata
Parita bisa mengerti keberatan Bayu.
"Terima kasih," ucap Bayu.
Kembali mereka terdiam, dan terus melangkah semakin masuk ke dalam hutan.
Tidak begitu lebat hutan ini, karena sering dijarah penduduk Desa Kaung,
baik untuk mencari kayu bakar ataupun berburu. Jadi mereka bisa leluasa
berjalan, tanpa harus menyibakkan semak. Banyak jalan setapak yang bercabang
dan berliku yang bisa dilalui.
Belum jauh mereka memasuki hutan, mendadak saja Bayu menghentikan
langkahnya. Dan belum juga mulutnya sempat dibuka, mendadak sebatang anak
panah melesat ke arahnya. Bahkan disusul puluhan anak panah yang bertebaran
bagai hujan.
"Awas...!" seru Bayu keras.
Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu berjumpalitan sambil
menggerak-gerakkan tangan kanannya menghalau anak panah yang bertebaran.
Sedangkan Parita langsung mencabut pedangnya yang berwarna kuning keemasan,
dan langsung diputar-putar cepat bagai baling-baling.
Begitu banyak anak panah yang rontok terbabat, tapi banyak juga yang
melesat lewat. Namun tak ada satu pun yang mengenai sasaran. Meskipun anak
panah itu datang bagaikan hujan, tapi kedua orang itu bukanlah tokoh
sembarangan. Lagi pula Parita sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup
tinggi, sehingga pemuda itu tidak mengalami kesulitan menghalau anak panah
yang menyerbu ke arahnya.
"Cepat ke belakangku, Parita!" seru Bayu.
"Hup...!"
Sambil mengebutkan pedangnya, Parita melompat ke belakang Pendekar Pulau
Neraka. Dan seketika itu juga, Bayu menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Maka tiba-tiba bertiup angin kencang bagai badai yang sangat dahsyat Suara
angin mengguruh menghalau anak-anak panah itu. Tak berapa lama kemudian,
terdengar jeritan-jeritan melengking saling sahut.
Terlihat tubuh-tubuh yang tersembunyi di balik semak dan pepohonan
berpentalan di udara, bersamaan beterbangannya pohon-pohon yang tercabut dan
bebatuan. Sementara Parita yang berada di belakang Bayu jadi terpana.
Sungguh baru kali ini matanya melihat ada orang bisa menciptakan badai
begitu dahsyat, hingga memporakporandakan isi hutan ini.
"Hap!
Bayu menarik tangannya hingga sejajar pinggang. Dan seketika itu juga badai
berhenti. Pandangannya tajam beredar berkeliling, merayapi sekitarnya yang
hancur berantakan akibat diterjang badai buatannya. Di antara pepohonan yang
bertumbangan saling tumpang tindih, terlihat tubuh-tubuh berlumuran darah
bergelimpangan. Bahkan ada beberapa yang tertimpa pohon, atau terhimpit
batu.
"Partai Pasir Merah...," desis Parita mengenali pakaian yang dikenakan
orang-orang itu.
"Hm.... Waspadalah," gumam Bayu memperingatkan.
Belum juga kering peringatan Pendekar Pulau Neraka itu, tiba-tiba
berlompatan empat sosok tubuh. Dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri
empat orang laki-laki tua yang rata-rata usianya sekitar tujuh puluh tahun.
Bayu menggumam tidak jelas. Pendekar Pulau Neraka memang pemah bertemu
mereka, ketika mengelabui untuk melindungi Lasmi dari kejarannya.
"Di dunia ini memang sukar menaruh kepercayaan pada seseorang," gumam orang
tua berbaju wama merah yang menyandang sebuah gada besar berduri.
Bayu tahu kalau kata-kata itu ditujukan untuk dirinya. Tapi dia hanya diam
saja, dan matanya sedikit tajam memandangi empat orang tua di depannya
ini.
"Sudah, Kakang. Jangan banyak omong. Penggal saja batang lehernya!" sungut
orang yang berbaju biru
"He he he..., itu masalah mudah. Kita harus tahu, apa maksudnya melindungi
Lasmi," sahut yang berbaju merah.
"Sudah pasti dia orang dari Padepokan Bambu Kuning," celetuk yang memakai
baju hitam.
"Benar! Yang satu itu sudah jelas dari sana, murid si tua bangka Datuk
Maringgih! Ha ha ha...!" sambung yang berbaju hijau.
"Keparat! Kalian hina guruku...!" geram Parita, merah wajahnya mendengar
gurunya dihina.
"Wuih! Dia bisa galak juga rupanya," ejek orang tua berbaju biru.
"Aku tahu siapa kalian! Empat Iblis dari Gunung Lor. Sudah lama aku ingin
memenggal kepala kalian!" dengus Parita.
Empat orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Sedikit pun tidak memandang
sebelah mata pada murid Padepokan Bambu Kuning itu. Sementara Bayu hanya
diam saja, dan sedikit melirik pada Parita. Agak kaget juga hatinya, karena
Parita mengenal keempat orang tua itu. Padahal, sebelumnya Parita mengatakan
tidak mengetahui, siapa keempat orang yang membunuh suami Lasmi.
Tapi Bayu tidak sempat lagi bertanya, karena mendadak saja orang tua yang
berbaju hijau sudah melompat menerjang Parita. Tongkatnya berkelebat cepat
menimbulkan suara mendesing. Parita langsung mengebutkan pedangnya menyampok
tongkat yang mengarah ke kepalanya itu.
Wuk!
Trang!
"Ih...!"
Orang tua berbaju hijau yang dikenal berjuluk Iblis Hijau itu terpekik
kaget. Sungguh tidak dikira kalau Parita memiliki tenaga dalam yang cukup
tinggi juga. Tadi dia begitu meremehkan, sehingga tidak mengerahkan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya. Hampir saja tongkatnya terlepas kalau tidak
cepat-cepat diputar ke atas. Dan Iblis Hijau kemudian melompat mundur dua
tindak. Sementara Parita sudah bersiap menerima serangan kembali.
Disilangkan pedangnya di dada.
"Bagus! Rupanya kau punya isi juga, bocah!" dengus Iblis Hijau.
"Dan kau sebentar lagi mampus di ujung pedangku!" balas Parita dingin.
.
"Bocah setan! Hiyaaat..!"
Iblis Hijau memuncak amarahnya, dan langsung melompat menyerang Parita. Dua
kali dikebutkan tongkatnya, dan kali ini tidak lagi memandang enteng pemuda
itu. Namun manis sekali Parita berhasil mengelakkan serangan orang tua
berbaju hijau itu. Bahkan dengan kecepatan luar biasa, murid Padepokan Bambu
Kuning itu mengibaskan pedangnya ke arah dada dan perut
***
Dua tebasan Parita mudah dapat dielakkan Iblis Hijau. Dan sebelum pemuda
itu menarik pulang pedangnya, Iblis Hijau sudah menghentakkan tongkatnya ke
arah dada. Pada saat itu posisi Parita memang terbuka sekali, dan tidak
mungkin lagi berkelit menghindar. Dengan cepat Parita mengibaskan pedangnya
membabat tongkat yang hampir menusuk dadanya.
Trang!
"Akh...!" Parita memekik tertahan. Seluruh jari-jari tangannya mendadak
terasa kaku, dan pedangnya tidak bisa lagi ditahan sehingga terpental lepas
dari genggaman tangannya. Pada saat itu Iblis Hijau sudah mengirimkan satu
tendangan keras ke arah perut
Qughk!
"Heghk...!"
Parita mengeluh pendek. Pemuda itu terbungkuk dan terhuyung-huyung ke
belakang. Tendangan Iblis Hijau begitu keras, mengandung tenaga dalam yang
cukup tinggi. Parita merasakan seluruh isi perutnya terkoyak, dan terasa
mual, seakan-akan ingin muntah. Pada saat itu, Iblis Biru melompat cepat
sambil mengayunkan cambuknya ke arah leher Parita.
Ctar!
Belum lagi ujung cambuk berduri itu berhasil menyentuh kulit leher Parita,
Bayu sudah lebih dahulu menghentakkan tangannya. Seketika itu juga Cakra
Maut yang menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu melesat
bagaikan kilat, langsung menyambar cambuk hitam berduri.
Tas!
"Heh...!" Iblis Biru terperanjat. Belum lagi lenyap keterkejutan Iblis Biru
karena cambuk mautnya terpotong, Bayu sudah melompat Langsung dikirimkan dua
pukulan keras bertenaga sempuma dibarengi satu tendangan menggeledek.
Iblis Biru terperangah. Buru-buru dilentingkan tubuhnya ke belakang. Dia
memang berhasil menghindari dua pukulan Pendekar Pulau Neraka. Tapi satu
tendangan Jemuda berbaju kulit harimau itu tidak bisa dihindari lagi, tepat
mendarat di dada. Des!
"Aaakh...!" Iblis Biru memekik-melengking. Orang tua berbaju biru itu
terjungkal deras ke belakang. Bumi serasa bergetar begitu tubuhnya keras
sekali menghantam tanah. Tampak dadanya melesak ke dalam, dan dari mulutnya
memuntahkan darah kental. Sebentar Iblis Biru menggeliat, lalu diam tak
berkutik lagi. Tendangan Bayu yang mengandung pengerahan tenaga dalam
sempuma itu sungguh luar biasa akibatnya. Ibte Biru langsung tewas
seketika.
Ketiga orang tua lainnya jadi terperanjat melihat Iblis Biru tewas hanya
dalam satu gebrakan saja. Mereka segera berlompatan mengurung Pendekar Pulau
Neraka, dan jadi melupakan Parita yang sedang berusaha menghilangkan rasa
mual di perutnya.
Bayu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. Cakra Maut sudah
kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Tiga laki-laki tua bergerak
memutari tubuhnya, sambil memain-mainkan senjatanya masing-masing. Sedikit
pun Bayu tidak berkedip memperhatikan setiap gerakan ketiga orang itu.
"Hiyaaa...!"
"Yaaa...!"
"Yeaaah...!"
Ketiga orang tua yang berjuluk Empat Iblis dari Gunung Lor itu berlompatan
secara bersamaan. Senjata mereka terayun keras mengarah ke tubuh Pendekar
Pulau Neraka. Saat itu pula Bayu melompat ke atas, seraya memutar tubuhnya
sambil melontarkan beberapa pukulan. Gerakan Bayu yang demikian aneh dan
cepat luar biasa itu sungguh mengejutkan ketiga laki-laki tua
itu.
Mereka bergegas menarik pulang serangannya. Tapi tindakan itu justru
membuat Bayu senang. Dan seketika itu juga Pendekar Pulau Neraka berputaran
di udara, lalu tangan kanannya mengibas ke araji orang berbaju hijau.
Secercah cahaya berkelebat cepat bagai kilat dari Cakra Maut yang melesat
lepas dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Swing!
"Aaa...!"
Iblis Hijau menjerit melengking tinggi. Tak dapat dihindari lagi, Cakra
Maut merobek leher laki-laki tua berbaju hijau itu hingga hampir buntung.
Tubuhnya ambruk dan menggelepar di tanah. Darah langsung mengucur deras dari
leher yang terpotong. Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas, maka Cakra
Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanannya.
Sementara dua orang lagi semakin terpana tidak percaya. Dan sebelum mereka
bisa berbuat sesuatu, Bayu sudah kembali bergerak cepat. Empat pukulan
langsung dilontarkan ke arah dua orang tua itu. Pukulan-pukulan itu begitu
cepat, dan tidak bisa dihindari lagi.
Dua jeritan melengking terdengar saling susul, kemudian dua tubuh tua
terjungkal keras ke atas tanah. Sebentar mereka menggelepar, lalu diam tak
berkutik lagi. Bayu berdiri tegak memandangi empat laki-laki tua yang kini
sudah jadi mayat. Memang temyata mereka bukanlah lawan yang berat bagi
Pendekar Pulau Neraka.
Meskipun memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, tapi masih jauh
berada di bawah Pendekar Pulau Neraka. Sehingga, dengan mudah pemuda berbaju
kulit harimau itu merobohkan mereka. Terlebih lagi, Bayu menggunakan senjata
mautnya yang sangat sukar ditandingi.
Bayu menghampiri Parita yang sudah menyelesaikan semadinya untuk
menghilangkan rasa mual dan sesak akibat bertaruhg dengan si Iblis Hijau
tadi. Parita agak terkejut juga melihat Empat Iblis dari Gunung Lor sudah
menggeletak tak bernyawa. Ditatapnya Bayu dalam-dalam, seakan-akan meminta
penjelasan.
"Siapa mereka sebenarnya, Parita?" Bayu mendahului bertanya.
"Mereka adalah wakil-wakil Datuk Parapat," sahut Parita seraya merayapi
empat orang tua yang sudah menggeletak jadi mayat.
"Hm..., pantas mereka hendak menangkap Lasmi," gumam Bayu.
Parita kembali mengalihkan pandangannya pada Pendekar Pulau Neraka. Lasmi
memang sudah menceritakan kalau pernah ditolong seorang pemuda berbaju kulit
harimau ketika dikejar-kejar empat orang. Saat itu Parita tidak menduga
kalau empat orang itu adalah mereka-mereka ini. Karena, Lasmi juga tidak
begitu jelas mengatakan empat orang yang mengejarnya.
"Kalau mereka wakil Datuk Parapat, berarti datuk itu tidak berada jauh dari
sini," duga Bayu setengah bergumam.
"Benar, Kakang. Tapi...," suara Parita terputus.
"Tapi apa, Parita?"
"Apa hubungan mereka dengan Partai Pasir Merah?" Parita seperti bertanya
sendiri.
"Apa pun hubungannya, kita harus secepatnya mendapatkan obat penawar Racun
Ular Merah darinya, Parita."
"Benar, Kakang. Ayo...! Jangan buang-buang waktu!"
Tapi belum juga mereka bergerak pergi, mendadak saja terdengar siulan
nyaring melengking tinggi. Parita dan Bayu saling berpandangan. Suara siulan
itu terdengar sangat jelas dan dekat sekali. Nadanya sangat tinggi dan
menyakitkan telinga. Bayu langsung merasakan adanya pengerahan tenaga dalam
pada suara siulan itu. Dan sebelum Parita diperingatkan, pemuda itu mendadak
sudah menjerit sambil menutup kedua telinganya.
"Gunakan hawa murni, Parita!" kata Bayu memberitahu.
"Akh...! Tidak bisa...!" jerit Parita.
"Hih!"
***
Cepat sekali Bayu memberi beberapa totokan di sekitar dada dan telinga
Parita. Seketika itu juga Parita jatuh lemas menggeletak di tanah. Dan
Pendekar Pulau Neraka itu sendiri segera duduk bersila, lalu merapatkan
kedua tangannya di depan dada. Sebentar ditariknya napas panjang. Langsung
tangannya digerak-gerakkan sebentar, dan diletakkan di lutut.
Sebentar kemudian seluruh tubuh Bayu sudah bersimbah keringat, dan perlahan
mulai bergetar. Sementara suara siulan itu semakin melengking tinggi. Bayu
terus bertahan, mencoba melawan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan
melalui siulan itu dengan pengerahan tenaga dalam juga. Sungguh dahsyat!
Seluruh tubuh Pendekar Pulau Neraka sampai bergetar, pertanda seluruh
kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan hingga pada tahap yang paling
tinggi.
Perlahan-lahan Bayu mengangkat kedua tangannya, dan merentang lebar ke
samping. Perlahan pula tangan itu bergerak turun naik seperti sayap seekor
burung bangau. Sukar dipercaya, pelan-pelan namun pasti, Bayu terangkat naik
masih dalam posisi duduk bersila. Semakin lama semakin tinggi, dan tangannya
terus merentang bergerak perlahan turun naik.
Setelah tubuhnya naik hingga mencapai dua tombak, tubuh Pendekar Pulau
Neraka berputar. Semula perlahan-lahan, namun semakin lama semakin cepat Dan
akhirnya yang terlihat hanya bayangan yang berputar cepat hingga menimbulkan
suara angin menggemuruh.
Tiba-tiba saja....
"Yeaaah...!" Bayu berteriak keras menggelegar.
Dan seketika tubuhnya meluruk turun deras, dengan tangan menukik ke bawah.
Maka ledakan keras terdengar begitu kedua kepalan tangan Pendekar Pulau
Neraka itu menghantam tanah dengan keras. Seluruh permukaan tanah berguncang
hebat bagai terjadi gempa. Kembali Bayu melesat ke angkasa, lalu berputaran
beberapa kali, dan mendarat manis di tanah. Maka saat itu pula suara siulan
berhenti.
Bayu menggeser kakinya menghampiri Parita. Dia sedikit membungkuk, dan
memberikan beberapa totokan. Parita menggeliat, kemudian menggelinjang
bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya Bayu, tapi langsung beralih ketika
seorang laki-laki tua mengenakan jubah hitam tiba-tiba muncul. Seluruh
rambut, kumis, dan jenggotnya sudah putih semua. Dia membawa sebatang
tongkat hitam dengan ujung berbentuk golok.
"Bayu, dia itu Datuk Parapat," Parita memberitahu.
"Hm...," Bayu hanya bergumam saja.
Pendekar Pulau Neraka itu memang sudah pernah bertemu laki-laki tua ini,
meskipun hanya sekejap saja. Itu terjadi ketika Bayu menyelamatkan Wijaya
yang hampir lumat terbanting ke tanah, dan langsung menyambar Lasmi untuk
dibawa pergi. Bayu sendiri tidak tahu, apakah orang tua ini sempat mengenali
atau tidak. Yang jelas, Bayu sempat mengenalinya sebelum melesat pergi
menyelamatkan dua nyawa sekaligus.
"Aku mengakui kehebatanmu, Anak Muda. Tapi itu belum berarti kau mampu
menandingiku," tegas laki-laki tua yang dikenali Parita bemama Datuk Parapat
itu.
"Kau yang bernama Datuk Parapat?" tanya Bayu langsung.
"Tidak salah lagi, Anak Muda," sahut Datuk Parapat membenarkan.
"Ketahuilah, aku sengaja berada di sini untuk mencarimu," kata Bayu
mantap.
"Aku tahu untuk apa kau mencariku, Anak Muda.
Sayang sekali Lasmi tidak bisa kuselamatkan," sergah Datuk Parapat
kalem.
"Datuk Parapat! Tidak ada gunanya kau menyiksa Lasmi!" celetuk Parita
lantang.
"Hm, siapa kau?!" dengus Datuk Parapat menatap Parita tajam.
"Aku Parita, murid Padepokan Bambu Kuning," sahut Parita.
"Bagus! Rupanya kau murid Datuk Maringgih. Katakan pada gurumu agar
janjinya segera ditepati. Serahkan Lasmi padaku, jika tidak ingin melihat
anak itu mati perlahan-lahan!" ancam Datuk Parapat.
"Urusanmu dengan Datuk Maringgih. Kenapa kau libatkan Lasmi?" kembali
Parita membuka suara.
"Kau belum tahu apa-apa, bocah. Dan sebaiknya tidak perlu ikut campur. Ini
urusanku dengan gurumu!" sentak Datuk Parapat mulai tidak senang.
"Masalah guruku, juga masalahku!"
"Hhh! Rupanya kau keras kepala juga, bocah!" dengus Datuk Parapat.
"Datuk Parapat! Sebaiknya serahkan saja obat pemunah Racun Ular Merah,"
kata Parita lagi.
"Bicaramu semakin kurang ajar saja, bocah. Kuperingatkan sekali lagi
padamu! Jika kau tidak mau diam, terpaksa kubungkam mulutmu!" ancam Datuk
Parapat
"Tidak semudah itu, Orang Tua!" tantang Parita. "Bocah gendeng. .!
Hih!"
Tiba-tiba saja Datuk Parapat menghentakkan tangan kirinya. Maka dari balik
lengan jubahnya melesat jarum kecil berwama merah berjumlah lima buah, dan
langsung meluruk deras ke arah Parita. Dan pemuda murid Padepokan Bambu
Kuning itu langsung mengibaskan pedangnya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Empat buah jarum merah berhasil dihalau, tapi sebuah jarum luput dari
babatan pedangnya. Dan Parita tak bisa lagi menghindar. Jarum itu menghunjam
bahu kanan, sehingga membuatnya terpekik kecil. Dan kini tirbuhnya
terhuyung-huyung ke belakang. Sebentar dia masih mampu berdiri, kemudian
ambruk tak bergerak lagi. Bayu tersentak kaget, dan segera bergerak
menggeser ke depan.
"Dia hanya pingsan, Anak Muda," jelas Datuk Parapat.
Bayu yang sudah siap hendak menyerang, langsung mengurungkan niatnya.
Ditatapnya dalam-dalam wajah tua di depannya. Kemudian berpaling memandang
pada Parita yang tergeletak di tanah. Memang benar, dada murid Padepokan
Bambu Kuning itu masih bergerak, tanda masih hidup.
"Aku tahu, kau bukan dari Padepokan Bambu Kuning. Kuharap kau tidak
mencampuri urusan ini, Anak muda," tegas Datuk Parapat lagi.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
***
TUJUH
Bayu melirik Parita sebentar, yang masih tergeletak tidak sadarkan diri.
Pada bahu kanannya terlihat sebuah jarum merah menghunjam tidak seberapa
dalam. Hanya setitik darah yang merembes keluar. Pendekar Pulau Neraka itu
kembali menatap Datuk Parapat Pandangannya kemudian beredar ke arah
mayat-mayat yang bergelimpangan tak tentu arah.
"Kau yang menghasut mereka menghancurkan Padepokan Bambu Kuning?" tanya
Bayu, agak datar nada suaranya.
"Ha ha ha...! Tanpa dihasut pun mereka memang ingin menghancurkan Padepokan
Bambu Kuning!" sahut Datuk Parapat enteng.
"Tampaknya kau seperti orang bijaksana. Tapi kenapa kau lakukan perbuatan
keji itu?" tanya Bayu ingin tahu.
"Untuk apa kau tanyakan itu, Anak Muda?" Datuk Parapat malah balik
bertanya.
"Karena aku ada kepentingan dengan Ketua Padepokan Bambu Kuning. Dan
sebelum kepentinganku terlaksana, tidak ada seorang pun yang boleh
mengganggu!" tegas jawaban Bayu.
"Anak Muda! Aku sering mendengar nama dan sepak terjangmu. Rasanya tidak
ada persoalan antara kau dengan Datuk Maringgih...," ujar Datuk Parapat
setengah bergumam.
"Itu urusanku, Datuk Parapat!" dengus Bayu.
"Kau tidak ingin urusanmu dicampuri, tapi kenapa kau mencampuri urusanku?"
agak gusar nada suara Datuk Parapat
"Aku bukan mencampuri urusanmu! Tapi aku tidak ingin ada orang lain yang
mengganggu Padepokan Bambu Kuning sebelum urusanku sendiri
terlaksana!"
"Kau terlalu besar kepala, Pendekar Pulau Neraka," desis Datuk Parapat
"Bukan hanya kau yang punya persoalan dengan Datuk Maringgih. Hm.... Jika.
kau ingin melenyapkan orang tua itu, kenapa kau tidak bergabung saja
denganku? Dan kenapa kau malah memusuhi orang-orang Partai Pasir
Merah?"
"Maaf, aku selalu bertindak sendiri. Aku tidak suka banyak orang," tolak
Bayu tegas.
"Anak Muda, aku tidak tahu urusanmu dengan Datuk Maringgih. Dan aku tidak
akan mau tahu. Tapi tindakanmu membuatku merasa gerah. Tak ada seorang pun
yang boleh menghalangiku. Kau mengerti itu, Pendekar Pulau Neraka...?"
mantap kata-kata Datuk Parapat.
"Tidak perlu penjelasan lagi, Datuk Parapat. Aku siap menghadapimu!" tegas
jawaban Bayu.
"Bagus! Sebaiknya lata mulai sekarang."
"Boleh."
Mereka sama-sama menggeser kakinya ke samping dengan arah berlawanan. Tak
ada lagi yang membuka suara, dengan bibir terkatup rapat. Sinar mata
bersorot tajam, seakan-akan sedang mengukur tingkat kepandaian
masing-masing.
Trak!
Datuk Parapat menepak tongkat yang berujung golok besar di tangan kanan
dengan telapak tangan kiri. Perlahan-lahan diarahkan ujung tongkatnya kepada
Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu menarik
tangan kiri sejajar dada, dan tangan kanan lurus ke depan dengan telapak
terbuka dan jari merapat.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Sambil memperdengarkan teriakan keras, mereka berlompatan menerjang. Datuk
Parapat mengebutkan tongkat berujung golok dengan kekuatan tenaga dalam
tinggi. Sementara Bayu meliukkan tubuhnya sambil mengirimkan satu pukulan
keras mengandung pengerahan tenaga dalam penuh.
Serangan pertama masing-masing pihak tak ada yang mengenai sasaran.
Kemudian mereka melakukan serangan kedua, disusul serangan-serangan
selanjutnya. Pertarungan pun tak dapat dihindari lagi. Masing-masing
langsung mengerahkan jurus-jurus andalan dahsyat dan sangat berbahaya.
Sedikit kelengahan saja, dapat berakibat fatal.
Jurus demi jurus cepat dilalui. Tak terasa mereka sudah menghabiskan lebih
dari dua puluh jurus. Tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda pertarungan
bakal terhenti. Bahkan belum ada tanda-tanda yang terdesak. Bukan hanya Bayu
yang merasakan kali ini mendapatkan lawan tangguh, tapi juga Datuk Parapat
punya perasaan sama. Terlebih lagi dia tidak menduga kalau pemuda ini mampu
menghadapinya sampai dua puluh jurus lebih.
"Berhenti...!" tiba-tiba terdengar bentakan.
Suara bentakan itu begitu keras, karena dikeluarkan dengan pengerahan
tenaga dalam tinggi. Akibatnya, mereka yang bertarung jadi terkejut. Mereka
langsung berlompatan mundur, dan hampir bersamaan pula menoleh ke arah
datangnya suara bentakan keras menggelegar tadi. Bukan main terkejutnya dua
orang yang tadi bertarung itu saat melihat di sekelilingnya sudah mengepung
puluhan orang bersenjata terhunus. Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka.
Karena, bentakan keras menggelegar tadi temyata datang dari seorang
laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun.
"Ki Rampoa...," desis Bayu.
"Hm...," sementara Datuk Parapat hanya menggumam saja.
Dua orang yang tadi bertarung sengit itu mengedarkan pandangannya
berkeliling. Entah, berapa jumlah orang di sekelilingnya. Yang jelas tempat
ini sudah terkepung rapat Tak ada lagi celah untuk bisa keluar dengan mudah.
Mereka semua menghunus senjata, dan tampaknya tinggal menunggu perintah
saja.
***
"Kalian berdua seperti anak-anak kecil saja. Untuk apa berselisih? Padahal
kalian punya tujuan yang sama," tegas Ki Rampoa.
Bayu dan Datuk Parapat saling berpandangan, dan sama-sama melangkah
menghampiri Ki Rampoa. yang didampingi dua orang pengawalnya. Mereka
berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan Ketua
Partai Pasir Merah itu.
"Kurasa di antara kita punya tujuan yang sama, meskipun urusannya berbeda,"
kata Ki Rampoa lagi.
Ketua Partai Pasir Merah itu menatap dalam-dalam Pendekar Pulau Neraka,
yang pernah membuatnya malu di Padepokan Bambu Kuning.
"Meskipun kau pernah membuatku malu, tapi aku tidak akan memperpanjang
urusan lagi, Anak Muda," kata Ki Rampoa pada Bayu.
"Ki Rampoa, apa sebenamya yang kau inginkan?" tanya Datuk Parapat.
"Aku...? Ha ha ha...! Kau menghendaki kematian Datuk Maringgih. Dan aku
menginginkan anaknya jadi budakku. Tapi...," ki Rampoa melirik pada Pendekar
Pulau Neraka. "Kau sendiri punya urusan dengan Datuk Maringgih. Kenapa kau
membelanya?"
"Itu urusanku!" sahut Bayu ketus.
"Ya, kita memang punya urusan masing-masing yang sama tujuannya. Hm...,
kenapa kita tidak bergabung? Bukankah dengan bersatu kita lebih mudah
mencapai tujuan?" usul Ki Rampoa lagi.
"Lalu, bagaimana dengan urusan di antara kita sendiri?" dengus Datuk
Parapat.
"Itu bisa diselesaikan nanti, Datuk Parapat," ujar Ki Rampoa. "Terutama
antara kau dan aku, Anak Muda. Masih ada persoalan yang belum
diselesaikan."
Bayu hanya menggumam kecil, lalu melirik Datuk Parapat. Kemudian ditatapnya
Ki Rampoa dalam-dalam. Bayu yakin kalau Ketua Partai Pasir Merah ini belum
mengetahui kepentingannya pada Datuk Maringgih. Sedangkan Bayu sendiri tidak
tahu, ada urusan apa antara Datuk Parapat dengan Datuk Maringgih. Sedangkan
antara Ki Rampoa dengan Ketua Padepokan Bambu Kuning itu, Bayu memang sudah
mengetahuinya.
"Maaf. Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu, Ki Rampoa," tegas Bayu.
"Aku juga tidak akan bergabung denganmu, begal!" dengus Datuk
Parapat.
"Ha ha ha...!" Ki Rampoa tertawa terbahak-bahak. "Kalian lihat! Seluruh
tempat ini sudah terkepung. Aku tidak akan mengatakan, dan pasti kalian
sudah bisa mengerti sendiri."
Kembali Bayu dan Datuk Parapat saling berpandangan. Meskipun mereka tokoh
tingkat tinggi rimba persilatan, tapi untuk menghadapi pengeroyokan begini
banyak, rasanya sukar juga. Dan kemungkinan untuk tetap bisa hidup kecil
sekali. Mereka mengaku kalah dalam hal gertakan, tapi tidak akan menyerah
begitu saja.
"Aku menantangmu bertarung, Ki Rampoa!" tegas Datuk Parapat.
"Aku yang menentukan di sini!" bentak Ki Rampoa.
"Hm..., kau takut rupanya," ejek Datuk Parapat.
"Phuih! Aku tidak akan terpancing, Datuk Parapat. Dengar, hanya ada satu
pilihan untukmu, dan juga kau!" Ki Rampoa menunjuk Pendekar Pulau
Neraka.
Memang sukar posisi yang dihadapi Datuk Parapat maupun Pendekar Pulau
Neraka saat ini. Mereka tidak punya pilihan lain, tapi tidak ingin mengikuti
keinginan Ketua Partai Pasir Merah ini. Sekali saja mengucapkan persetujuan,
selamanya nama mereka akan jatuh dalam kancah rimba persilatan. Dan itu
sudah pasti yang diinginkan Ki Rampoa. Mengeruk berbagai keuntungan dalam
sekali jalan. Bayu sendiri mengakui kecerdikan laki-laki itu.
Perlahan Bayu menggeser kakinya mendekati Datuk Parapat. Sementara Ki
Rampoa tersenyum-senyum merasa kemenangan sudah berada di pihaknya. Dia tahu
kalau Datuk Parapat dan Pendekar Pulau Neraka kebingungan menentukan
pilihan, tapi juga tidak ingin kecolongan lagi kali ini.
"Datuk! Bebaskan Parita, kita butuh tambahan tenaga," bisik Bayu
pelan.
Datuk Parapat menatap Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam.
"Aku tidak memaksa, itu terserahmu," kata Bayu lagi.
Laki-laki tua berjubah hitam itu hanya berdiam diri saja. Diliriknya Parita
yang masih tergolek tidak sadarkan diri. Kemudian ditatapnya Bayu, lalu
diedarkan pandangannya berkeliling. Tidak mudah bagi Datuk Parapat untuk
menentukan pilihan kali ini. Dia benar-benar menyadari kalau posisinya sulit
sekali.
Setelah berpikir beberapa saat, Datuk Parapat melangkah mendekati Parita.
Dibungkukkan sedikit tubuhnya, dan dicabutnya jarum merah di bahu pemuda
itu. Kemudian diberikannya beberapa totokan di sekitar dada dan leher. Tak
berapa lama kemudian Parita mulai sadarkan diri. Pemuda itu langsung
terlonjak bangkit, lalu menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Parita tampak
kebingungan melihat sekitarnya.
Bayu tersenyum pada Datuk Parapat. Sedangkan orang tua berjubah hitam itu
hanya diam saja tanpa memberi tanggapan sedikit pun. Kembali kakinya
melangkah menghampiri Bayu. Untuk beberapa saat tak ada yang membuka suara
sedikit pun.
"He he he...," Ki Rampoa terkekeh-kekeh. Sama sekali tidak dipedulikan
adanya Parita.
Ki Rampoa tidak memandang sebelah mata pun pada murid Padepokan Bambu
Kuning itu, karena telah tahu tingkat kemampuannya. Seandainya mereka
mencoba melawan pun, rasanya tidak terlalu sulit hanya dengan penambahan
satu orang yang sudah diketahui kemampuannya. Saat itu Bayu berbisik dekat
di telinga Parita. Dan murid Padepokan Bambu Kuning itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sebentar diliriknya Datuk Parapat. Sedangkan laki-laki tua
berjubah hitam itu hanya melirik sedikit saja.
"Siap...?" desis Bayu pada Datuk Parapat
"Ya. Bagaimana teman kecilmu itu?"
"Dia berani mengambil resiko."
"Bagus."
"Sekarang...!"
Tiba-tiba saja Datuk Parapat cepat memutar tongkat yang berujung golok. Dan
sebelum ada yang menyadari, laki-laki tua itu melompat menerjang Ki Rampoa.
Pada saat yang sama, Bayu sudah melesat menghajar orang-orang Partai Pasir
Merah. Demikian juga Parita yang langsung mencabut pedangnya.
"Setan! Seraaang...!" teriak Ki Rampoa seraya melompat menghindari
terjangan Datuk Parapat.
Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi. Sebentar saja suasana yang
semula sunyi, jadi berubah hiruk-pikuk oleh jerit dan pekik serta
teriakan-teriakan pertarungan. Tampak tubuh-tubuh mulai bergelim-pangan
bersimbah darah.
Bayu mengamuk, namun tidak ingin jauh-jauh dari Parita. Beberapa kali murid
Padepokan Bambu Kuning itu dibantunya. Suatu pertarungan yang sangat ganjil.
Tiga orang dikeroyok puluhan, bahkan ratusan orang yang terus merangsek
semakin rapat.
"Parita, jangan jauh dari belakangku!" seru Bayu.
"Baik, Kakang!",sahut Parita.
Bayu terus mengamuk, melontarkan pukulan dan tendangan bertenaga dalam
sangat tinggi. Setiap pukulan atau tendangannya menimbulkan jeritan
melengking menyayat, disusul ambruknya tubuh dalam keadaan tak bemyawa lagi.
Sedangkan pedang Parita sudah tidak lagi terlihat wama aslinya, merah
berlumuran darah. Mereka terus bergerak, mencoba mengoyak kepungan yang
rapat ini.
Bayu tak bisa lagi membagi perhatiannya kepada Datuk Parapat. Jarak mereka
semakin merenggang dan terus menjauh. Dalam keadaan seperti ini, memang
sulit untuk memperhatikan orang lain. Menyelamatkan diri sendiri saja terasa
sukar sekali. Bayu melepaskan Cakra Maut dari pergelangan tangannya. Senjata
maut andalannya itu digenggam, sehingga menjadi senjata yang sangat
berbahaya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Bayu melontarkan Cakra Maut begitu ada kesempatan. Seketika itu juga dia
melompat ke depan begitu beberapa orang di depannya bergelimpangan tersambar
senjata cakra bersegi enam itu. Parita yang mengetahui ini, tidak mau
ketinggalan. Tubuhnya langsung melesat sambil mengebutkan pedangnya.
"Yeaaah...!"
Bayu terus melontarkan Cakra Maut begitu menangkap kembali. Beberapa kali
hal itu dilakukan. Dan setiap kali Cakra Maut lepas melesat ke depan,
Pendekar Pulau Neraka itu melompat menerjang. Tindakan Pendekar Pulau Neraka
ini semakin memperbesar peluang untuk keluar dari kepungan ini. Dan Parita
memanfaatkannya untuk tidak jauh-jauh sambil menghemat tenaga.
"Cepat Parita...! Yeaaah...!" seru Bayu keras.
"Yaaa...!"
Parita langsung melentingkan tubuhnya ke udara melewati beberapa kepala.
Pedangnya berkelebatan cepat membabat beberapa orang. Dan begitu sampai di
luar kepungan, pemuda itu langsung berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Pada saat yang sama, Bayu melesat bagai kilat
meninggalkan tempat itu menuju arah yang sama dengan Parita.
"Keparat!" geram Ki Rampoa begitu mengetahui Bayu dan Parita berhasil
melarikan diri. "Kejar...! Jangan biarkan mereka hidup!"
Sebagian orang-orang Partai Pasir Merah berlarian mengejar Pendekar Pulau
Neraka dan Parita. Sementara sebagian lagi masih sibuk membendung amukan
Datuk Parapat. Laki-laki tua itu tersenyum tipis begitu mengetahui Bayu dan
Parita sudah berhasil kabur, sambil terus memperhebat
serangan-serangannya.
Sementara itu Bayu dan Parita sudah jauh meninggalkan tempat pertarungan
tadi. Mereka berhenti sambil mengatur pemapasan. Sayup-sayup masih terdengar
suara-suara pertarungan di kejauhan.
"Mereka mengejar, Parita," kata Bayu bisa menangkap suara banyak orang
berlari kearah ini.
"Kita seberangi sungai di bawah sana, Kakang," Parita menunjuk sebuah
sungai yang tidak begitu besar di bawah.
"Ayolah!"
Kembali kedua pemuda itu berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Sebenarnya Bayu paling tidak suka begini, tapi terpaksa harus
dilakukan. Rasanya memang tidak mungkin menghadapi begitu banyak orang yang
rata-rata berkemampuan cukup tinggi. Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka
juga harus menjaga keselamatan Parita. Sementara jauh di belakang mereka
puluhan orang berlarian sambil berteriak-teriak mengejar.
***
Parita menjatuhkan diri di atas rerumputan, dan napasnya tersengal.
Keringat mengucur deras membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Sementara Bayu
masih berdiri mengawasi lereng bukit. Tak lagi terdengar, apalagi terlihat
orang-orang Partai Pasir Merah yang mengejar. Meskipun wajah Pendekar Pulau
Neraka itu nampak memerah, tapi alunan napasnya begitu teratur.
"Mereka tidak mengejar lagi, Kakang," kata Parita sambil membersihkan
bercak darah pada pedangnya dengan daun-daun kering. Kemudian, pedang itu
dimasukkan ke dalam sarungnya di pinggang.
"Kelihatannya tidak," sahut Bayu.
"Hhh! kita tidak bisa mendapatkan obat penawar racun buat Lasmi," keluh
Parita.
Bayu berpaling memandang pemuda itu. Sedangkan yang dipandang hanya duduk
saja sambil memandang ke arah lain. Tarikan napasnya sudah mulai teratur,
tidak terengah lagi seperti tadi.
"Ayo, kita kembali ke padepokan," ajak Bayu.
"Kembali...?!" Parita menatap Bayu dalam-dalam.
Bayu menganggukkan kepalanya.
"Tapi, kita belum memperoleh obat penawar racun itu, Kakang."
"Sudah."
"Heh...?!" Parita terlonjak kaget
Pemuda itu langsung berdiri. Ditatapnya Bayu dalam-dalam, seakan tidak
mempercayai kalau Pendekar Pulau Neraka ini sudah memiliki obat penawar
Racun Ular Merah yang kini diidap Lasmi. Sementara Bayu sudah mengayunkan
kakinya berjalan. Parita bergegas memburu dan mensejajarkan langkahnya di
samping pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kakang, bagaimana kau mendapatkan obat itu?" tanya Parita ingin
tahu.
Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Sedangkan Parita jadi
penasaran sekali. Masih belum dipercayai kalau Bayu sudah memperoleh obat
itu. Dia tidak melihat Qatuk Parapat memberikan sesuatu. Bagaimana mungkin
obat itu bisa dimilikinya...?
"Kakang, apakah Datuk Parapat memberikan obat itu?" tanya Parita
mendesak.
"Tidak," sahut Bayu.
"Tidak...?! Lalu?" Parita jadi tidak mengerti.
"Aku mencurinya," sahut Bayu.
"Heh!? Bagaimana...?" suara Parita terputus.
"Memang tidak mudah, tapi aku berhasil mendapatkannya. Ah, sudahlah....
Yang penting sekarang kita harus segera sampai di padepokan."
"Kapan kau mencurinya, Kakang?" tanya Parita masih ingin tahu.
"Waktu dia melompat menerjang Ki Rampoa, aku cepat menjambret kantung kulit
di pinggangnya. Ternyata kantung itu berisi beberapa pil berwama merah. Aku
yakin pil ini obat penawar Racun Ular Merah," Bayu terpaksa menjelaskan
karena Parita mendesak terus.
"Hebat..!" puji Parita tulus.
"Tapi aku tidak suka melakukannya. Perbuatan pengecut!" dengus Bayu.
"Kau ini aneh, Kakang. Bukankah maksud kita memang ingin mendapatkan obat
itu. Dengan cara apa pun harus kita peroleh. Dan sekarang sudah didapat,
kenapa kau bilang tidak suka melakukannya?" Parita jadi tidak mengerti
dengan sikap Bayu.
"Hatiku yang tidak menyukai. Mencuri perbuatan licik dan pengecut."
"Tapi, kenapa Kakang melakukan juga?"
"Aku tidak tahu, tiba-tiba saja tersirat di hati. Dan aku juga tidak tahu,
kenapa bisa melakukannya."
"Kakang menyesal?"
"Mungkin."
Parita diam tidak bertanya lagi. Benar-benar sulit memahami sikap Pendekar
Pulau Neraka ini. Sangat aneh memang, dan sulit untuk diterima akal. Tapi
Parita tidak ingin memikirkan lagi. Dia sudah senang karena berhasil
mendapatkan obat penawar Racun Ular Merah. Dan itu berarti ada harapan bagi
Lasmi untuk bisa kembali sembuh seperti semula. Parita benar-benar bisa
mengharapkan Lasmi sembuh, karena ingin melihat wanita itu kembali cerah
seperti dulu. Bersemangat dan tidak putus asa.
Sementara mereka semakin jauh berjalan. Melalui bukit ini, memang jauh
perjalanan yang ditempuh untuk mencapai Desa Kaung. Tapi hanya ini jalan
satu-satunya, karena memang tidak mungkin kembali lagi melalui jalan
semula.
***
Bayu duduk bersila di lantai beralaskan permadani tebal berbulu halus. Di
depannya duduk Datuk Maringgih. Sementara di sudut ruangan tampak Parita
memangku Wijaya sambil menunggu Lasmi yang masih belum juga sadarkan diri,
meskipun sudah diberi obat penawar Racun Ular Merah.
Bayu bangkit berdiri, lalu melangkah keluar dari kamar ini. Datuk Maringgih
ikut berdiri. Sejak tadi dia selalu bertanya-tanya tentang sikap Bayu yang
lebih banyak diam. Sedangkan dari Parita, dia tahu kalau Bayu mendapatkan
obat penawar racun itu dengan cara memanfaatkan kelengahan Datuk
Parapat.
Bayu menghentikan langkahnya, ketika baru saja sampai di tengah taman yang
berhadapan tepat dengan kamar Lasmi. Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak
membalikkan tubuh. Sementara Datuk Maringgih menghampiri dan berdiri di
depannya.
"Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan saat ini, Bayu. Terlebih lagi kau
seorang pendekar. Mencuri memang bukan perbuatan baik. Tapi itu dilakukan
demi menyelamatkan nyawa seseorang," jelas Datuk Maringgih langsung pada
pokok persoalan.
"Tidak seharusnya aku berbuat begitu, Datuk. Aku. bisa menantangnya,
bertarung secara jantan," kata Bayu menyesali perbuatannya.
"Masih ada kesempatan, Bayu."
"Apa maksudmu, Datuk?" Bayu tidak mengerti.
"Parita sudah bercerita banyak padaku. Dan aku yakin kalau Datuk Parapat
tidak mudah dikalahkan begitu saja, meskipun dikeroyok puluhan orang."
"Hm...."
"Bayu. Kau tentu ingin tahu, kenapa Datuk Parapat sampai melukai Lasmi dan
terus memburunya," kata Datuk Maringgih, terdengar pelan nada
suaranya.
Bayu hanya diam saja. Memang ia ingin tahu, tapi tidak pernah ingin
menanyakannya. Pendekar Pulau Neraka menganggap hal itu mungkin persoalan
pribadi yang tidak perlu dicampuri.
"Sebenarnya Racun Ular Merah tidak membahayakan jiwa seseorang. Racun itu
bekerja lambat, tapi pasti akan mempengaruhi daya ingat. Bahkan membuat
orang yang terkena tidak bisa mengetahui lagi akan dirinya sendiri, di
samping juga akan melemahkan kekuatannya," jelas Datuk Maringgih mulai
menguraikan.
"Itu sebabnya aku tidak terlalu khawatir setelah mengetahui Lasmi mengidap
Racun Ular Merah. Karena aku tahu, setelah Lasmi lupa dan seluruh daya
kekuatannya musnah, dia akan menjadi manusia baru. Di situ, daya kerja Racun
Ular Merah menghilang. Dan dengan demikian aku bisa membinanya kembali,
meskipun harus dari awal lagi."
"Kenapa Datuk Parapat melakukan hal itu pada Lasmi?" tanya Bayu.
"Karena dia ingin memiliki Lasmi seutuhnya. Lasmi yang baru segala-galanya,
tanpa dipengaruhi ingatan masa lalu dan tidak mengenal dirinya sendiri
lagi."
"Hm...."
"Bayu, sebenamya persoalan ini sangat pribadi sifatnya. Bahkan begitu
pribadinya, sampai-sampai tak ada seorang pun yang mengetahui, kecuali aku
dan Datuk Parapat sendiri."
Sebentar Datuk Maringgih menarik napas panjang. Sementara Bayu hanya diam
saja menunggu. Memang sudah sejak semula diduga demikian, tapi dia tidak
tahu permasalahan yang sebenamya.
"Dulu ketika aku dan dia sama-sama masih muda, kami dikenal sebagai Dua
Datuk Sesat. Ilmu kepandaian yang kami miliki sukar ditandingi. Suatu saat,
aku bentrok dengan seorang gadis muda yang sangat cantik. Meskipun dapat
kukalahkan, tapi dia juga berhasil melukaiku. Yaaah..., mungkin ini sudah
menjadi takdir yang telah digariskan. Entah kenapa, aku menyukai gadis
itu.
Aku menyatakan cinta, dan ternyata dia membalasnya walau dengan satu syarat
Aku harus meninggalkan semua dunia hitamku. Syarat yang tidak terlalu berat,
dan aku menyanggupinya. Akhirnya kami hidup bersama. Tapi, kebahagiaan yang
kudapatkan ternyata membuat Datuk Parapat tidak senang. Dia terus mendesakku
agar Kembali ke dunia semula. Dan aku tetap bertahan untuk tidak kembali ke
dalam dunia hitam yang sudah lama kutinggalkan. Terlebih lagi setelah Lasmi
lahir, aku benar-benar tidak ingin lagi berkecimpung dalam dunia
hitam."
"Terus?" Bayu jadi tertarik.
"Untuk menghindari rongrongan Datuk Parapat, aku memutuskan meninggalkan
daerah Selatan, dan akhimya menetap di sini. Dulu daerah ini merupakan hutan
belantara yang sangat luas. Di sini, aku dan istri serta anakku memulai
hidup baru. Tapi kebahagiaan yang kureguk ternyata tidak lama. Suatu hari
istriku kudapatkan tewas tertikam. Dan aku tahu, siapa pelakunya. Datuk
Parapat! Hal ini membuat kemarahanku tak bisa dibendung lagi. Aku mencari
Datuk Parapat dan mengajaknya bertarung."
"Kau bertarung?" tanya Bayu.
"Ya. Tapi di antara kami tidak ada yang bisa menang. Akhirnya, setelah itu
antara aku dan dia terus bertentangan. Datuk Parapat tidak pernah jera, dan
selalu mengambil kesempatan untuk meruntuhkanku Terlebih setelah Padepokan
Bambu Kuning kudirikan. Semakin gencar dia hendak meruntuhkanku."
"Pertentangan yang berlarut-larut," gumam Bayu.
"Dua sahabat yang kini jadi musuh besar, Bayu." Bayu mencoba tersenyum,
membalas senyuman Datuk Maringgih yang terasa getir dan amat dipaksakan.
Kini Bayu mengerti, kenapa Datuk Parapat begitu bernafsu untuk mendapatkan
Lasmi. Ternyata dia ingin memisahkan Lasmi dari ayahnya, kemudian
menggunakannya untuk menghancurkan ayahnya sendiri. Datuk Parapat ingin
melihat bekas sahabatnya ini menderita sepanjang hidupnya. Pertentangan dua
datuk yang sangat pelik!
"Lalu, bagaimana dengan Ki Rampoa?" tanya Bayu jadi teringat Ketua Partai
Pasir Merah.
"Ah! Dia hanya orang gila, Bayu. Dia merasa sakit hati dan terancam karena
banyak muridku yang menentang segala tindakannya. Hatinya semakin sakit lagi
karena gagal menghancurkan dari dalam," sahut Datuk Maringgih.
"Maksud, Datuk?"
"Dia mencoba menyelundupkan anaknya ke sini. Aku juga tidak tahu kalau
Sundrata itu anaknya, dan menerimanya sebagai murid. Belakangan aku baru
tahu, tapi Sundrata sudah menjalin hubungan cinta dengan Lasmi. Aku sendiri
sebenarnya senang, karena ternyata Sundrata sangat jauh bertolak belakang
dengan ayahnya.
Bahkan menentang segala macam perbuatan orang-orang Partai Pasir Merah.
Tapi mengingat kalau dirinya anak seorang ketua begal, aku tidak bisa
menyetujui hubungannya dengan anakku. Tapi rupanya mereka mengambil jalan
nekad, lari dari sini dan mencoba hidup di luar. Yaaah..., selanjutnya kau
tentu sudah bisa mengetahui, Bayu."
Bayu hanya menganggukkan kepalanya. Mema ada orang mengatakan, buah tidak
akan jauh jatuh dari pohonnya. Tapi ternyata ada juga buah yang jatuh jauh,
bahkan menghilang dari asalnya. Seperti buah kelapa yang jatuh ke sungai dan
hanyut terbawa arus. Buah itu akan tumbuh di tempat yang jajuh dari
induknya, dan terus menyebarkan generasi baru ke tempat-tempat yang
jauh.
Ternyata Sundrata ingin membuktikan kalau seorang anak tidak selamanya
mengikuti jejak orang tuanya. Jalan hidup seorang memang tidak akan sama,
meskipun berasal dari satu rahim ibunya. Dan ini sudah dibuktikan Sundrata,
anak seorang begal besar yang sangat ditakuti.
Hanya sayangnya, kesadaran yang dimiliki Datuk Maringgih datangnya
terlambat. Kini Sundrata sudah tidak ada lagi, walaupun sudah menurunkan
buah keturunan yang akan meneruskan cita-citanya. Datuk Maringgih memang
menyesali, tapi tidak menunjukkan penyesalannya. Kehidupan keras yang
dilalui membuatnya begitu tegar bagai batu karang yang tak pernah goyah
meskipun setiap hari digempur gelombang.
***
DELAPAN
Pagi-pagi sekali, seluruh penghuni Padepokan Bambu Kuning dikejutkan
teriakan keras menggelegar yang menyuruh Bayu keluar. Saat itu Bayu dan
Datuk Maringgih tengah berbincang-bincang di ruang semadi. Semalaman mereka
tidak tidur, membicarakan tentang dunia persilatan yang semakin tidak
menentu. Teriakan keras itu tentu saja membuat mereka tersentak kaget.
Bergegas Bayu keluar dari bilik semadi, diikuti Datuk Maringgih. Mereka
langsung menuju bagian depan Padepokan Bambu Kuning ini. Tampak seorang
laki-laki tua berjubah hitam membawa sebatang tongkat berujung golok besar
berdiri angkuh di tengah-tengah halaman depan, membelakangi sinar matahari
yang saat itu baru saja menampakkan diri.
"Datuk Parapat, apa maksudmu datang ke sini?" tanya Datuk Maringgih.
"Aku mencari bocah keparat itu!" bentak Datuk Parapat lantang sambil
menunjuk Bayu yang berdiri di samping Datuk Maringgih.
"Bayu...? Dia tamuku di sini," kata Datuk Maringgih mencoba tenaftg.
"Aku tidak peduli dia tamumu, Maringgih. Yang jelas, dia harus bertanggung
jawab karena telah mencuri kantung obatku!"
"Kalau itu persoalannya, aku yang seharusnya bertanggung jawab. Bayu
melakukan itu karena aku yang meminta untuk mengobati Lasmi dari Racun Ular
Merah yang kau sebar ke dalam tubuh Lasmi!" tegas kata-kata Datuk
Maringgih.
"Maringgih, aku tidak bicara padamu! Aku bicara pada bocah setan itu!"
bentak Datuk Parapat gusar.
"Bayu tamuku, dan wajib kulindungi. Semua yang dilakukannya menjadi
tanggung jawabku," tegas kata-kata Datuk Maringgih.
"Keparat! Ternyata kau sama keparatnya dengan bocah setan itu,
Maringgih!"
"Hm.... Tidakkah kau bercermin pada dirimu sendiri, Parapat? Apakah kau
menganggap dirimu suci? Kita sudah sama-sama tahu tentang diri
masing-masing. Jadi, kuharap tidak perlu mengumpat dan berteriak-teriak
begitu. Katakan saja terus terang, apa maumu yang sebenamya?" bentak Datuk
Maringgih lantang.
"Kau menantangku, Maringgih?"
"Bukankah itu yang kau inginkan sejak dulu? Aku selalu siap melayani
tantanganmu. Bukan aku yang menantang, tapi kau!"
"Bedebah! Bersiaplah, Maringgih!"
"Aku selalu menunggu."
Datuk Parapat menggerakkan tongkat berujung golok besar. Diputar-putarnya
tongkat itu dengan cepat, lalu dihentakkan ke tanah. Dan sebelum laki-laki
tua itu menyerang, Bayu cepat melompat ke depan. Datuk Parapat menggeram,
menyemburkan ludahnya dengan sengit.
"Aku yang akan menghadapimu, Datuk Parapat," kata Bayu tegas.
"Phuih! Kau memang harus mampus, bocah setan!" dengus Datuk Parapat
menggeram marah.
"Bayu, biar kutandingi sendiri," kata Datuk Maringgih.
"Tidak, Datuk. Dia datang mencariku, dan aku sendiri yang akan
menghadapinya," tolak Bayu tegas.
"Bagus! Bersiaplah untuk mampus, bocah!" sambut Datuk Parapat dingin.
Setelah berkata demikian, Datuk Parapat berteriak nyaring, lalu cepat
sekali melesat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Dikebutkan ujung tongkatnya
yang berbentuk golok beberapa kali, mengincar bagian-bagian tubuh Bayu yang
mematikan. Namun Pendekar Pulau Neraka itu bergerak manis, menghindari
serangan itu. Bahkan mampu membalas dengan tak kalah dahsyat.
Mereka sudah pemah bentrok sekali, sehingga sudah mengetahui ketangguhan
masing-masing. Dan ini membuat mereka langsung mengeluarkan jurus-jurus
andalan dahsyat dan sangat mematikan. Sementara itu Datuk Maringgih hanya
bisa menyaksikan, dan tidak bisa lagi mencegah pertarungan itu.
Saat itu terlihat Parita berlari-lari dari arah pintu gerbang yang tertutup
rapat, langsung menghampiri Datuk Maringgih yang sedang asyik memperhatikan
jalannya pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka dengan Datuk Parapat
"Datuk...," terdengar suara Parita agak tersengal.
"Ada apa, Parita?" tanya Datuk Maringgih tanpa berpaling.
"Orang-orang Partai Pasir Merah menuju ke sini." lapor Parita
memberitahu.
Datuk Maringgih berpaling memandang muridnya ini.
"Di mana mereka?" tanya Datuk Maringgih.
"Belum sampai ke desa, Datuk," sahut Parita.
"Sambut mereka, dan usahakan jangan sampai masuk ke desa."
"Baik, Datuk."
Parita bergegas mengumpulkan murid Padepokan Bambu Kuning, dan bergerak
menuju ke luar desa untuk menyambut kedatangan orang-orang Partai Pasir
Merah. Sudah tentu mereka membawa senjata lengkap dan dalam keadaan siap
bertempur. Mereka tahu, kedatangan orang-orang Partai Pasir Merah tidak
bermaksud baik. Sementara itu pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka dan
Datuk Parapat masih terus berlangsung. Dan saat itu pula perhatian Datuk
Maringgih sudah terpecah.
***
Pertarungan sudah berjalan puluhan jurus, dan masing-masing sudah merasakan
pukulan maupun tendangan lawan. Namun belum ada yang bisa melukai. Mereka
masih sama-sama tangguh, dan belum ada yang mau menyerah. Entah, sudah
berapa puluh jurus dikeluarkan dalam pertarungan ini.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Bayu melesat ke atas sambil berteriak keras menggelegar. Dan
pada saat itu dilontarkan Cakra Maut yang sejak tadi belum
dipergunakan.
Senjata bersegi enam itu meiesat cepat bagaikan kilat. Saat itu juga dengan
kecepatan tinggi, Datuk Parapat mengebutkan senjatanya, menyambut senjata
maut Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!"
Trang!
Dua senjata beradu keras, hingga menimbulkan percikan api yang menyebar ke
segala arah. Saat itu Bayu meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan
bertenaga dalam sangat tinggi dan sudah mencapai taraf kesempumaan.
"Hop!"
Datuk Parapat langsung memegang tongkatnya dengan kedua tangan, lalu
diangkat ke atas melindungi kepala. Pukulan Bayu tak dapat ditarik lagi,
langsung menghajar bagian tengah senjata tongkat berujung golok besar
itu.
"Yeaaah...!"
Trak!
"Heh...?!" Datuk Parapat terperanjat Laki-laki tua itu agak terhuyung ke
belakang, sementara tongkatnya patah jadi dua bagian. Tapi yang dialami Bayu
juga sungguh mengejutkan. Pendekar Pulau Neraka itu kembali terpental ke
atas. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian mendarat
terhuyung-huyung di tanah. Tampak setetes darah menetes keluar dari sudut
bibirnya.
"Bedebah!" geram Datuk Parapat melihat senjata andalannya tidak bisa
digunakan lagi. Sambil mendengus marah, dilemparkan senjatanya ke arah Bayu.
Lemparan yang disertai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi itu membuat
potongan senjata itu meluncur deras melebihi anak panah lepas dari busur ke
arah Bayu.
"Uts!"
Cepat Bayu memiringkan tubuhnya, menghindari lemparan potongan senjata itu.
Dan begitu potongan senjata itu lewat, langsung dikebutkan tangan kanannya
ke depan dengan tubuh agak membungkuk.
"Yeaaah...!"
Wut!
Datuk Parapat yang masih memegang potongan lain dari senjatanya, langsung
melemparkan ke arah senjata Cakra Maut itu. Benturan keras terjadi di udara,
dan potongan senjata itu hancur berkeping-keping. Bayu langsung
menghentakkan tangannya, maka Cakra Maut terus melesat ke arah Datuk
Parapat
"Hup! Hiyaaa...!"
Datuk Parapat melentingkan tubuhnya, berputaran menghindari terjangan Cakra
Maut bersegi enam itu. Pada waktu yang sama, Bayu melompat. Langsung
dilontarkan dua pukulan bertenaga dalam tinggi.
Datuk Parapat tersentak kaget. Dia begitu sibuk menghindari serangan Cakra
Maut yang bergerak cepat seperti memiliki mata, dan kini harus pula
menghindari serangan Pendekar Pulau Neraka. Hal ini membuatnya jadi
kerepotan. Apalagi sudah tidak memiliki senjata lagi. Hingga....
"Modar...!"
Bayu menghantamkan satu pukulan keras ke arah dada.
Des!
"Aaakh...!"
Datuk Parapat memekik keras. Pukulan Bayu telak menghantam dada laki-laki
tua berjubah hitaam itu. Tak pelak lagi, pukulan yang mengandung tenaga
dalam sempuma itu membuat tubuh Datuk Parapat terlontar sejauh tiga batang
tombak. Dan sebelum tubuhnya mencapai tanah, Bayu sudah menghentakkan tangan
kanannya. Maka Cakra Maut yang baru saja menempel di pergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka itu kembali melesat cepat bagaikan kilat
Cras!
"Aaa...!"
Datuk Parapat menjerit melengking tinggi. Cakra Maut bersegi enam menancap
tepat di tenggorokan Datuk Parapat Tubuh tua berjubah hitam itu terbanting
keras ke atas tanah. Saat itu Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas
sambil melompat ke depan. Maka Cakra Maut melesat balik dan menempel di
pergelangan tangan kanannya, tepat saat tubuhnya mendarat di samping tubuh
Datuk Parapat yang sudah tidak bernyawa lagi. Darah langsung menggenang di
sekitar leher yang menganga lebar terkoyak oleh Cakra Maut
"Aku akui kau tangguh sekali," desah Bayu perlahan. Pendekar Pulau Neraka
itu melangkah mundur, lalu berpaling begitu mendengar suara langkah
menghampiri. Datuk Maringgih setengah berlari menghampiri Pendekar Pulau
Neraka itu.
"Bayu, orang-orang Partai Pasir Merah ada di batas desa. Murid-muridku
mencoba menghadang di sana," jelas Datuk Maringgih cepat.
"Aku akan ke sana, Datuk," tegas Bayu.
"Jangan! Sebaiknya kau di sini saja. Biar aku yang akan ke sana," cegah
Datuk Maringgih.
Bayu ingin membantah. Tapi sebelum membuka mulutnya, Datuk Maringgih sudah
berkata lagi.
"Kali ini benar-benar urusan pribadiku, Bayu."
"Baiklah. Tapi aku tidak bisa berdiam diri di sini, Datuk," Bayu mengalah,
dan memang tidak ingin berdebat.
"Ayolah, sebelum mereka memasuki desa."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas melompat pergi Tapi belum juga
mencapai pintu gerbang, terdengar suara panggilan keras. Mereka menghentikan
langkah dan menoleh. Tampak Lasmi berlari cepat menghampiri.
"Aku ikut," ujar Lasmi setelah dekat.
"Lasmi! Kau masih terluka," Datuk Maringgih ingin mencegah.
"Aku sudah sembuh, Ayah. Lihat, tadi aku bisa menggunakan ilmu lari cepat
tanpa ada gangguan apa pun," sergah Lasmi.
"Tapi, anakmu...?"
"Aku serahkan pada mbok pelayan."
Datuk Maringgih memandang Bayu, seakan-akan minta pendapat. Tapi Pendekar
Pulau Neraka itu hanya mengangkat pundaknya saja. Datuk Maringgih tidak bisa
lagi mencegah. Maka tanpa banyak bicara lagi mereka bertiga segera berlari
cepat memper-gunakan ilmu meringankan tubuh menuju batas desa. Dan selama
menggunakan ilmu meringankan tubuh,
Datuk Maringgih selalu memperhatikan putrinya.
Tampak jelas kalau Lasmi tidak mengalami kesulitan. Bahkan tampak gembira
karena bisa pulih seperti sediakala. Datuk Maringgih merasa yakin kalau
Lasmi benar-benar sudah sembuh, dan pulih seperti semula. Sementara itu Bayu
sudah jauh meninggalkan mereka.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka memang sudah
mencapai taraf kesempurnaan. Sebenarnya ilmu meringankan tubuh Datuk
Maringgih juga sudah sempuma, tapi Lasmi tidak mungkin ditinggalkan. Wanita
itu memang mustahil kalau bisa mengimbangi Pendekar Pulau Neraka maupun
ayahnya. Ilmu yang dimilikinya masih kalah jauh.
***
Kehadiran Pendekar Pulau Neraka yang disusul Datuk Maringgih dan Lasmi,
membangkitkan semangat murid-murid Padepokan Bambu Kuning yang semula sudah
kewalahan membendung arus serangan yang dilancarkan orang-orang Partai Pasir
Merah. Sebaliknya kedatangan mereka bertiga justru membuat orang-orang
Partai Pasir Merah jadi kalang kabut
Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka yang langsung terjun ke dalam kancah
pertempuran. Dalam waktu sebentar saja, sudah tidak terhitung korban yang
berjatuhan. Mata Bayu yang tajam bagai mata elang, langsung bisa melihat
Datuk Maringgih yang bertarung melawan Ki Rampoa.
"Untung kau cepat datang, Kakang," ujar Parita yang berhasil mendekati
Bayu.
"Hm..., sebaiknya kau jaga Lasmi. Dia belum begitu pulih benar," ujar
Bayu.
"Baik, Kakang."
Parita benar-benar tidak membantah, dan segera bergerak cepat mendekati
Lasmi yang mengamuk dengan pedang di tangan. Lasmi tersenyum begitu melihat
Parita. Dan mereka sama-sama membabat orang-orang Partai Pasir Merah tanpa
memberi ampun lagi. Keadaan yang tadinya dikuasai Partai Pasir Merah,
seketika berbalik. Kini murid-murid Padepokan Bambu Kuning benar-benar
menguasai keadaan. Bahkan beberapa anggota Partai Pasir Merah mencoba
melarikan diri.
Melihat keadaan ini, Bayu melesat keluar dari kancah pertarungan. Pendekar
Pulau Neraka berdiri tegak mengawasi pertarungan antara Datuk Maringgih
dengan Ki Rampoa. Tampak sekali kalau Datuk Maringgih selalu mendesak Ki
Rampoa. Jurus-jurus yang dilancarkan orang tua itu membuat Ki Rampoa
kelabakan setengah mati. Entah sudah berapa kali pukulan dan tendangan Datuk
Maringgih bersarang di tubuh lawannya. Tapi, rupanya Ki Rampoa tidak mudah
menyerah begitu saja. Dia terus mengadakan perlawanan, meskipun selalu
terdesak dan sulit mengatasi keadaannya sendiri.
Ki Rampoa tidak sempat lagi memperhatikan keadaan anak buahnya yang
kocar-kacir tak beraturan lagi. Dia sendiri benar-benar dibuat kalang kabut
oleh serangan-serangan Datuk Maringgih. Sebenarnya Ki Rampoa menyadari kalau
tingkat kepandaian yang dimilikinya berada setingkat di bawah Datuk
Maringgih. Tapi dia kali ini tidak bisa keluar dari kemelut ini.
Sementara itu sudah banyak anggota Partai Pasir Merah yang melarikan diri.
Dan sisanya yang masih bertahan tidak mampu lagi membendung amukan
murid-murid Padepokan Bambu Kuning. Hingga akhirnya, tak ada lagi
orang-orang Partai Pasir Merah yang tersisa. Pertarungan pun berakhir dengan
kemenangan berada di pihak Padepokan Bambu Kuning. Namun di tempat lain,
tampak Datuk Maringgih masih berusaha menyudahi pertarungannya dengan Ki
Rampoa.
"Aku akan membantu Ayah," kata Lasmi.
"Jangan!" cegah Bayu cepat
"Tapi...."
"Tinggal beberapa jurus lagi," potong Bayu.
Lasmi tidak bisa lagi membantah. Dan dugaan Bayu memang tepat Dua jurus
kemudian, satu pukulan telak berhasil disarangkan Datuk Maringgih ke dada Ki
Rampoa. Dan sebelum tubuh Ki Rampoa terjungkal, satu tendangan keras
menggeledek bersarang di perut-nya.
Ki Rampoa memekik melengking, dan terjungkal keras menghantam tanah.
Beberapa kali tubuhnya bergulingan, tapi masih mampu bangkit berdiri. Pada
saat itu Datuk Maringgih sudah melompat, dan kedua tangannya dikeprukkan ke
kepala Ki Rampoa.
Prak!
"Aaa...!"
Ki Rampoa menjerit melengking tinggi. Ketua Partai Pasir Merah itu
terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya yang pecah. Darah merembes
keluar dari sela-sela jari tangannya. Datuk Maringgih kembali menghentakkan
tangannya, memberikan satu pukulan dahsyat bertenaga dalam sempurna.
"Yeaaah...!"
Des!
Seketika tubuh Ki Rampoa menggeletar begitu pukulan menggeledek bersarang
di dadanya. Sebentar kemudian tubuhnya berputar dan ambruk ke tanah tanpa
ada suara sedikit pun keluar dari mulutnya. Hanya sebentar pula ketua begal
itu mampu menggeliat, kemudian diam tak berkutik lagi. Ki Rampoa tewas
dengan dada amblas dan kepala pecah berlumuran darah.
"Ayah...!" seru Lasmi langsung berlari memburu.
Datuk Maringgin berbalik. Lasmi menghambur memeluk ayahnya. Beberapa saat
mereka berpelukan, kemudian saling melepaskan diri. Mereka kini berjalan
menghampiri Bayu dan Parita.
"Bayu, kudengar kau mencariku karena ada urusan denganku. Benar?" kata
Datuk Maringgih langsung.
"Tidak," sahut Bayu.
Bayu memang sudah memutuskan untuk melupakan saja niat semula yang datang
ke Desa Kaung ini untuk mencari Datuk Maringgih. Maksudnya mencari orang tua
itu karena Bayu menduga kalau Datuk Maringgih terlibat dalam pembunuhan
orang tuanya. Setelah melihat kehidupan Datuk Maringgih, Bayu jadi tidak
percaya kalau orang tua ini ikut terlibat.
Datuk Maringgih tersenyum. Dirangkulnya pundak pemuda berbaju kulit harimau
itu, lalu diajaknya berjalan. Sementara Parita menghampiri Lasmi.
Dipandanginya wajah cantik itu.
"Aku menagih jawabanmu, Lasmi," kata Parita.
"Sebaiknya kau utarakan saja pada Ayah," sahut Lasmi seraya
tersenyum.
"Baiklah. Aku akan memintamu pada Guru setelah keadaan tenang kembali,"
janji Parita mantap.
Lasmi hanya tersenyum saja. Diayunkan kakinya, sementara Parita mengikuti
di samping wanita ini. Dalam hati, Lasmi mengharapkan Parita benar-benar
bicara pada ayahnya. Dia ingin ada laki-laki yang berani dan bertanggung
jawab untuk menggantikan Sundrata. Sementara di depan mereka, Datuk
Maringgih berjalan berdampingan dengan Pendekar Pulau Neraka. Entah apa yang
dibicarakan, tapi tampaknya wajah Bayu cerah sekali.
"Aku tidak menduga, ternyata kau putra sahabatku, Pendekar Pulau Neraka,"
ujar Datuk Maringgih.
"Ya. Hanya saja, sampai saat ini aku belum bisa menemukan ibu," desah Bayu
agak lirih.
"Aku akan membantumu, Bayu. Aku juga yakin, ibumu masih hidup dan berada di
suatu tempat.
"Terima kasih."
TAMAT
Episode Berikutnya:
Emoticon