SATU
Gunung Jati Anom tampak indah, menjulang tinggi bagai hendak menembus
langit. Puncaknya selalu berselimut kabut tebal, sehingga menghalangi
pandangan untuk sampai memandang ke batas puncak gunung itu. Udara di
sekitarnya pun terasa sejuk, bersih dengan desiran angin lembut. Suasana
seperti itu membuat seorang pemuda berbaju kulit harimau yang duduk
bersandar di bawah pohon cukup rindang, terkantuk dibelai hembusan angin
lembut menyejukkan.
Pluk!
“Hei...!”
Tiba-tiba saja pemuda itu terlonjak ketika merasakan sesuatu menimpa
kepalanya. Sebuah biji kenari yang cukup besar dan keras. Padahal dia tidak
duduk di bawah pohon kenari. Dengan terheran-heran, pemuda itu mendongak ke
atas. Tampak seekor monyet kecil duduk di dahan yang tepat berada di atas
kepalanya.
“Huh...!” gerutu pemuda berpakaian kulit harimau itu.
Monyet itu menjerit nyaring, dan kembali me lemparkan sebuah biji kenari
pada pemuda itu sambil berjingkrakan di atas dahan. Pemuda berbaju kulit
harimau itu tersentak. Kalau saja tadi tidak mengegoskan kepalanya, pasti
dia sudah terkena lemparan biji kenari lagi.
“Monyet kau!” bentak pemuda itu memaki.
Monyet kecil itu hanya menyeringai lebar, kemudian menjerit-jerit sambil
berjingkrakan. Seakan-akan dia memang sengaja ingin menggoda. Binatang itu
menggembungkan pipinya yang sudah melembung seperti balon. Lalu....
“Hei...!”
Bukan main terkejutnya pemuda itu. Tahu-tahu dari mulut monyet kecil itu
menyembur biji-biji buah kenari yang kecil-kecil ke arahnya. Beberapa biji
buah kenari itu sempat mengenai wajahnya. Tentu saja hal ini membuat wajah
pemuda itu memerah karena geram.
“Kurang ajar...! Awas kau!” geram pemuda itu.
Cepat bagaikan kilat, pemuda berbaju kulit harimau itu melesat ke atas,
mengejar monyet kecil tadi. Tapi monyet kecil itu memang sangat lincah
sekali. Dia melompat gesit dari dahan yang satu ke dahan lainnya. Sambil
berteriak ribut, seakan-akan menggoda pemuda itu agar terus mengejarnya.
Sesekali kepalanya berpaling, sambil menjulurkan lidahnya.
“Sial! Kenapa aku melayani binatang jelek ini...?” dengus pemuda berbaju
kulit harimau itu.
Menyadari tidak ada gunanya marah-marah pada seekor binatang, pemuda itu
menghentikan pengejaran. Sesaat kemudian dia sudah kembali meluruk turun.
Manis sekali kedua kakinya mendarat di tanah. Sebentar dipandanginya monyet
kecil tadi. Kemudian kembali duduk bersandar di pohon lain. Sementara monyet
itu masih duduk di dahan pohon yang tadi.
“Aku tidak ada waktu main-main denganmu, Monyet Kecil!” bentak pemuda
itu.
Monyet kecil itu hanya mencericit sambil menjulur-julurkan lidahnya.
“Huh!”
Pemuda itu memejamkan matanya, sambil tetap bersandar pada batang pohon
yang cukup besar. Tapi belum juga dia dapat beristirahat tenang, sesuatu
kembali menimpa kepalanya. Cepat dia membuka mata, dan....
“Setan...!” umpat pemuda itu geram. Dilihatnya monyet kecil itu kini sudah
berada di atas dahan, tepat di atas kepalanya.
Pemuda tampan itu bergegas bangkit. Dipandanginya monyet kecil itu
tajam-tajam. Kemudian melangkah pergi sambil mendengus kesal. Sedangkan
monyet itu mencericit, seperti mengejek. Tapi pemuda berbaju kulit harimau
itu tidak peduli. Dia terus saja berjalan pergi. Suara monyet kecil yang
mencericit ribut, terus terdengar di belakangnya. Rupanya binatang itu terus
mengikutinya. Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu sama sekali tidak peduli
lagi. Dia terus berjalan dengan ayunan langkah lebar-lebar.
“Dasar monyet..!” maki pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain adalah
Bayu alias Pendekar Pulau Neraka.
Bayu menghentikan langkah, dan berbalik. Bukan main terkejut hatinya,
karena monyet kecil itu memang benar masih mengikuti. Padahal dia sudah
cukup jauh meninggalkan tempat tadi. Kini monyet kecil itu menggelantung
pada dahan pohon yang cukup tinggi. Hal ini tentu saja membuat pemuda
berbaju kulit harimau itu tercenung.
“Apa sih maunya monyet ini..?”
Dipandanginya binatang berbulu coklat itu, yang kini sudah duduk di atas
dahan yang tidak begitu tinggi. Monyet kecil berbulu coklat juga memandang
ke arahnya. Seakan-akan hendak mengatakan sesuatu dengan pandangan matanya.
Kini dia tidak lagi mencericit ribut, melainkan duduk tenang sambil
menggaruk-garuk kepala.
“Kenapa kau mengikutiku terus?” tanya Bayu, seperti tidak sadar kalau dia
bertanya pada seekor monyet. Dan monyet kecil itu hanya mencericit kecil
sambil terus menggaruk-garuk kepala. Bayu memperhatikan tingkah binatang
kecil yang lucu ini. Entah kenapa, hatinya merasakan kalau monyet kecil ini
ingin mengatakan sesuatu. Sayangnya, bahasa yang mereka gunakan berbeda,
jadi tidak mungkin bisa dimengerti.
Monyet kecil itu kembali mencericit, kemudian melompat ke dahan lain.
Sambil bergelantungan, dia berlompatan dari satu dahan ke dahan lain. Sesaat
kemudian berhenti sebentar, dan berpaling ke arah pemuda berbaju kulit
harimau.
“Hm..., tampaknya dia menginginkan aku mengikuti,” gumam Bayu.
Setelah berpikir beberapa saat, Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas
dahan, dan berpijak pada dahan itu dengan ujung jari kakinya, lalu melenting
ke dahan lain. Mengikuti monyet kecil yang juga berlompatan dari dahan yang
satu ke dahan lainnya. Lucu sekali pemandangan di hutan itu, dua makhluk
yang berbeda jenis itu terlihat saling kejar-kejaran dari dahan yang satu ke
dahan lainnya.
Mereka terus berlompatan, hingga akhirnya sampai pada suatu tempat Bayu
meluruk turun dari atas dahan dengan satu gerakan yang indah dan ringan.
Sedangkan monyet kecil itu tetap berada di dahan pohon.
“Pantai Selatan...,”Gumam Bayu seraya memandang jauh ke depan.
Dari tempat dia berdiri, memang sudah terdengar suara deburan ombak
menghantam pantai berbatu karang. Juga tercium kuat udara laut yang khas.
Dari tempatnya berdiri, Bayu bisa melihat sebuah dermaga yang kelihatan
ramai. Sementara nun jauh dari dermaga itu, terlihat sebuah pulau kecil yang
memerah bagai terbakar. Itulah Pulau Neraka, di mana Bayu alias Pendekar
Pulau Neraka tumbuh besar bersama gurunya.
Bayu berpaling menatap monyet kecil yang duduk tenang di atas dahan.
Sungguh dia tidak mengerti, apa maksud monyet kecil ini membawanya kembali
ke daerah Pantai Selatan. Tapi monyet kecil itu malah membalas dengan
pandangan yang sangat tajam.
“Nguk...!”
Monyet kcil itu kembali melompat, dan terus bergelantungan sambil
berlompatan dari pohon yang satu ke pohon lain. Bayu bergegas mengikuti
binatang kecil berbulu coklat yang dirasakan sangat aneh itu. Dia jadi
penasaran, dan merasa yakin kalau binatang ini menyimpan satu maksud yang
tidak diketahuinya.
Pendekar Pulau Neraka terus berlompatan dari satu dahan ke dahan lainnya,
mengikuti gerakan monyet kecil. Menembus hutan lebat, dengan pepohonan yang
merapat, dan saling berkaitan. Tak berapa lama kemudian, kedua makhluk
berlainan jenis itu berhenti di suatu tempat yang tidak begitu lebat
pepohonannya.
Bayu tertegun melihat sebuah cungkup makam berada di tengah-tengah hutan
ini. Dan tampaknya cungkup makam ini tidak pernah terawat. Bagian atapnya
sudah banyak yang berlubang. Dan rerumputan liar menyemaki sekitarnya.
Pendekar Pulau Neraka memandangi monyet kecil yang berjalan tertatih
mendekati cungkup makam itu.
“Pusara siapa ini?” tanya Bayu agak berbisik, seolah-olah bertanya pada
dirinya sendiri.
Pendekar Pulau Neraka melangkah mendekati. Sejenak dipandanginya monyet
kecil yang tengah duduk bersila di samping makam. Cara duduknya, mirip
sekali dengan orang yang tengah melakukan semadi. Dan raut wajahnya.... Bayu
agak tersentak juga melihat bola mata binatang kecil berbulu coklat itu
merembang. Setitik air bening menggulir jatuh dari sudut matanya yang bulat
merah.
“Hei...! Kau menangis...!”
Monyet kecil itu mengangkat kepala, menatap lurus ke bola mata Bayu yang
sudah berada di seberang makam. Perlahan Bayu berlutut dan ikut duduk
bersila. Tangannya menjulur, meraba sebuah batu berlumut di atas makam tak
terawat itu.
“Aku tidak tahu pusara siapa ini. Tapi tampaknya kau ingin aku
memperbaikinya. Baiklah, akan kurapikan tempat ini agar kelihatan bersih dan
bagus kembali,” ujar Bayu perlahan.
“Nguk!”
Monyet kecil itu kelihatan senang. Seolah-olah bisa mengerti semua yang
dikatakan Pendekar Pulau Neraka. Bayu tersenyum. Kemudian bergegas bangkit.
Sebentar dipandanginya cungkup makam. Kemudian mengedarkan pandangannya ke
sekeliling.
“Kau tunggu di sini sebentar. Aku segera kembali,” kata Bayu lagi.
“Nguk!”
Monyet kecil itu mengangguk, seolah-olah mengiyakan permintaan Bayu.
Kembali Pendekar Pulau Neraka tersenyum. Entah kenapa, kini dia jadi
menyukai binatang yang tampaknya bisa mengerti setiap kata yang
diucapkannya.
“Hup!”
Cepat bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka melesat ke dalam hutan. Begitu
cepat dan sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Bayu, sehingga
dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah tak terlihat lagi. Monyet kecil
itu memandangi batu nisan yang berlumut. Kepalanya bergerak-gerak, dengan
bibir bergetar memperdengarkan suara kecil. Seakan-akan sedang mengatakan
sesuatu pada pusara bercungkup itu.
***
Selama tiga hari ini Bayu terpaksa tinggal di dalam hutan yang tidak jauh
dari Pesisir Pantai Selatan. Dan selama tiga hari itu dia bekerja keras
membersihkan dan membenahi cungkup makam yang tidak dia ketahui makam siapa.
Semua rumput dan ilalang liar yang menyemaki makam sudah diratakan habis.
Sekaligus juga mengganti cungkup, dan membenahi pagar makam dengan
bambu.
Saat itu senja sudah merayap turun. Dan Bayu baru saja selesai memasang
cungkup bagian atas. Kini Pendekar Pulau Neraka tengah memandangi hasil
pekerjaannya. Puas hatinya melihat tempat ini kelihatan bersih, dan makam
itu juga tidak terlihat kumuh lagi.
“Nguk...!”
Bayu berpaling dan tersenyum melihat monyet kecil yang membawanya ke tempat
ini, sudah berada di dekat kakinya. Pemuda berpakaian kulit harimau itu lalu
menjulurkan tangan, dan mengangkat binatang kecil itu, lalu menaruh di
pundaknya. Monyet kecil berbulu coklat itu tampak sangat gembira berada di
pundak Pendekar Pulau Neraka. Selagi Bayu menikmati hasil kerja yang belum
pernah dilakukannya selama ini, mendadak saja terlihat sesosok bayangan
berkelebat di balik pepohonan. Sesaat Pendekar Pulau Neraka ter-sentak.
Kemudian cepat mengejar bayangan yang hanya terlihat sekelebatan saja
itu.
“Kaaakh...!”
Monyet kecil yang berada di pundak Pendekar Pulau Neraka terjatuh. Namun
dia sempat berputaran dua kali, dan langsung melompat begitu kakinya
menjejak tanah berpasir. Gerakannya begitu cepat dan ringan sekali, seperti
seorang tokoh persilatan berilmu tinggi.
“Hei! Siapa kau...?!” bentak Bayu keras.
Namun tak ada jawaban. Pendekar Pulau Neraka berhenti berlari. Pandangannya
diedarkan berkeliling. Namun tidak lagi melihat bayangan yang tadi
berkelebat. Sedangkan monyet kecil berbulu coklat, kembali mendarat lunak di
pundak Pendekar Pulau Neraka.
“Hm..., kau tahu di mana dia, Sobat Kecil?” tanya Bayu setengah
bergumam.
“Nguk!” monyet kecil itu menggelengkan kepalanya.
Baru saja Bayu hendak bertanya lagi, mendadak saja....
Glarrr...!
“Heh...?!”
“Kaaakh...!”
Begitu terdengar ledakan menggelegar, terlihat api membumbung tinggi ke
angkasa dari arah cungkup makam. Bayu terkesiap sesaat, lalu cepat melesat
ke arah cungkup makam. Saat pemuda itu berlari, monyet kecil memegangi ikat
kepala Pendekar Pulau Neraka. Rupanya binatang cerdas ini tidak ingin
terjatuh lagi dari pundak Pendekar Pulau Neraka.
Hanya dengan beberapa kali lompatan saja, tahu-tahu Pendekar Pulau Neraka
sudah sampai di cungkup makam. Mendadak sepasang matanya terbelalak, melihat
cungkup makam itu terbakar, dan sekitarnya porak-poranda seperti baru saja
diamuk puluhan gajah.
“Kaaakh...!” monyet kecil itu menjerit keras sambil melompat ke arah
cungkup makam yang masih terbakar.
“Hei, jangan...!” sentak Bayu.
Cepat Pendekar Pulau Neraka melesat, dan menangkap tubuh kecil berbulu
coklat itu. Tapi monyet kecil ini memberontak, mencoba melepaskan diri. Bayu
terpaksa mendekapnya kuat-kuat di depan dada. Tapi lama-kelamaan akhirnya
perlawanan monyet kecil itu melemah. Dan kini malah memeluk leher Pendekar
Pulau Neraka dengan erat, seraya menyembunyikan wajahnya di dada Bayu yang
kekar dan bidang.
“Sudahlah, aku bisa mengerti perasaanmu. Nanti akan kubuatkan lagi yang
lebih bagus,” Bayu mencoba menghibur.
“Nguk!”
“Iya, besok pagi aku akan membuat cungkup baru.”
“Nguk!”
“Kenapa...?”
Bayu memandang bola mata bulat kecil merah itu Sepertinya binatang cerdas
ini hendak mengatakan sesuatu, tapi sukar bagi Pendekar Pulau Neraka untuk
bisa mengerti.
“Apa yang kau inginkan, Sobat Kecil?” tanya Bayu tidak mengerti.
Monyet kecil itu menjulurkan lidah ke luar. Tangannya digerakkan, menggorok
leher sendiri. Karuan saja Bayu tersentak kaget. Sungguh dia tidak mengira
kalau binatang ini bisa membuat isyarat yang mengerikan.
“Kau mau mati...?”
Monyet kecil itu menggeleng.
“Lalu...?” suara Bayu terputus.
Pendekar Pulau Neraka mendesah seraya mendongakkan kepalanya. Mulai bisa
dimengertinya kalau monyet kecil ini menyimpan dendam, dan menginginkan
dirinya untuk membalaskan dendamnya. Tapi pada siapa...? Dan kenapa binatang
ini menyimpan dendam? Dari sorot mata binatang kecil ini, Bayu bisa
merasakan adanya dendam yang begitu besar.
Pendekar Pulau Neraka meletakkan monyet kecil itu di pundak. Kemudian
menatap cungkup makam yang masih menyala terbakar. Perlahan dia berpaling,
menatap monyet kecil di pundaknya. Bayu baru menyadari kalau di leher
binatang cerdas ini melingkar seuntai kalung yang melilit ketat. Sebuah
kalung berwarna kuning keemasan. Dan baru kini pula dia menyadari kalau
binatang ini adalah peliharaan seseorang. Dan orang itu pasti yang terbaring
di dalam makam bercungkup itu. Hanya saja Bayu tidak tahu makam siapa. Untuk
bertanya pada monyet ini, memang tidak mungkin. Tidak ada seekor binatang
pun yang bisa diajak berbicara oleh manusia.
“Sudah hampir malam. Sebaiknya kita cari tempat istirahat. Besok baru akan
kubuatkan cungkup baru,” kata Bayu pelan.
“Nguk...!”
“Hm..., siapa yang membakar cungkup ini...?” gumam Bayu bertanya pada
dirinya sendiri. “Siapa pun dia, pasti tidak lagi memiliki hati manusia.
Membakar cungkup makam adalah perbuatan keji.”
“Nguk! Kaaakh...!”
“Iya, Sobat Kecil. Akan kucari orang yang membakar cungkup makam
majikanmu,” janji Bayu.
Monyet kecil itu berjingkrakan. Sepertinya merasa gembira mendengar janji
Pendekar Pulau Neraka. Dan Bayu hanya tersenyum saja. Terkadang, tingkah
binatang cerdas ini memang lucu, dan membuat hati siapa saja yang melihatnya
akan tergelitik. Tapi tak jarang malah membuat kening berkerut Monyet ini
seperti manusia saja. Memiliki hati dan perasaan. Juga cerdik dan dapat
mengerti setiap kata yang diucapkan Pendekar Pulau Neraka. Siapa pun orang
yang pernah memeliharanya, pasti sudah melatihnya dengan baik
sekali.
***
DUA
Bayu menghenyakkan tubuh di atas rerumputan yang cukup tebal. Dalam
beberapa hari ini, dia benar-benar merasakan seolah-olah ada sesuatu yang
lain dalam dirinya. Sesuatu yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Membangun kembali sebuah cungkup makam, memang baru pertama kali ini
dilakukan, tapi pekerjaan yang kelihatannya tidak memiliki arti ini sangat
besar artinya bagi Bayu. Dari sekian banyak kebajikan yang pernah dilakukan,
mungkin inilah kebajikan pertama yang benar-benar dinikmatinya.
“Seluruh tubuhku terasa penat, tapi aku puas dan bahagia sekali...,” desah
Bayu seraya memandangi cungkup makam yang sudah berdiri kembali setelah
ludes terbakar.
Bayu menguap beberapa kali. Tangannya memeluk monyet kecil berbulu coklat
yang semakin dekat dan manja padanya. Perlahan Pendekar Pulau Neraka
me-mejamkan mata. Dia merasakan seluruh tubuhnya benar-benar penat, dan
kelopak matanya begitu berat. Seakan-akan tidak sanggup lagi untuk terus
terbuka.
Sebentar saja sudah terdengar suara dengkur halus. Kelelahan dan kebanggaan
di dalam dirinya telah membuat Pendekar Pulau Neraka cepat tertidur. Dan
monyet kecil di dalam pelukannya juga sudah mendengkur. Malam ini memang
terasa begitu dingin sekali, dan angin yang berhembus agak kencang menambah
kenyamanan bagi kedua makhluk berlainan jenis itu tertidur lelap.
“Bayu..., bangunlah.”
Tiba-tiba saja terdengar suara halus di telinga Pendekar Pulau Neraka.
Sebentar Bayu menggeliat, menggosok-gosok telinganya. Tapi belum juga
membuka mata, kemudian kembali mendengkur.
“Bangunlah di dalam tidurmu, Bayu,” kembali terdengar suara halus.
Dengan mata masih terpejam, Pendekar Pulau Neraka bangkit. Dan langsung
duduk bersila. Semen-tara monyet kecil berbulu coklat yang masih terlelap,
berpindah ke pangkuannya. Perlahan Bayu membuka mata. Namun pan-dangannya
begitu kosong, tak terbetik sedikit pun cahaya di matanya. Sesaat kemudian
seberkas cahaya berpendar menyilaukan di depan wajahnya. Dan begitu cahaya
itu lenyap, tahu-tahu di depan Pendekar Pulau Neraka telah berdiri seorang
laki-laki tua dengan baju lusuh dan penuh tambalan. Dia berdiri di atas
kedua kakinya yang buntung sebatas paha.
“Eyang...,” desis Bayu begitu mengenali laki-laki tua itu.
Laki-laki tua berkaki buntung dan kedua matanya buta itu memang Eyang
Gardika. Seorang laki-laki tua yang merawat dan mendidik Bayu sejak masih
merah di Pulau Neraka (Jika pembaca ingin tahu lebih jelas tentang Eyang
Gardika, bacalah serial perdana Pendekar Pulau Neraka dalam episode “Geger
Rimba Persilatan”). Bayu cepat merapatkan kedua tangan di depan hidung,
memberi penghormatan pada orang tua yang telah menjadikan dirinya seperti
sekarang ini.
“Aku bangga memiliki murid sepertimu, Bayu. Meskipun ilmu-ilmu yang kau
miliki bersumber dari aliran sesat, tapi kau gunakan untuk kebajikan,
membantu yang lemah dan memberantas keangkaramurkaan. Satu perbuatan
kebajikan yang baru saja kau lakukan, merupakan satu kebanggaan tersendiri
di dalam hatiku,” ujar Eyang Gardika dengan suara berat dan agak
serak.
Bayu menatap kosong ke arah cungkup makam yang baru saja dibuatnya setelah
ludes dibakar oleh orang misterius kemarin. Kemudian pandangannya di-alihkan
kembali menatap laki-laki tua cacat di depan-nya. Meskipun kedua matanya
buta, namun mata hati Eyang Gardika sangat tajam. Bahkan melebihi mata
biasa.
“Kau tahu, kepada siapa kau baru berbuat kebajikan, Bayu?” tanya Eyang
Gardika.
Bayu hanya menggelengkan kepalanya saja.
“Orang yang terbaring di bawah cungkup itu adalah putraku. Hanggara
namanya.”
“Ohhh...,” Bayu mendesah panjang.
Dia memang pernah mendengar cerita dari mulut Eyang Gardika sendiri, kalau
laki-laki tua ini juga memiliki seorang anak laki-laki bernama Hanggara.
Usianya sebaya dengan dirinya. Itulah sebabnya mengapa Eyang Gardika
menambahkan kata-kata Hanggara pada nama di belakang Bayu. Dan pemuda itu
pun tidak keberatan kalau namanya menjadi Bayu Hanggara.
“Sayang, aku bukan lagi manusia sepertimu. Jadi tidak bisa menolongnya.
Sedangkan pada waktu itu aku tidak tahu, di mana kau berada,” kata Eyang
Gardika lagi.
“Maafkan aku, Eyang,” ucap Bayu.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Bayu. Aku rasa belum terlambat jika kau
bersedia mencari mereka dan membalas kematian Hanggara.”
Bayu menganggukkan kepala. Lalu menatap monyet kecil yang tertidur di atas
pangkuannya.
“Dia dapat menunjukkan di mana mereka.”
Bayu mengangkat kepalanya, menatap laki-laki tua cacat di depannya. Apa
yang sedang dipikirkan Pendekar Pulau Neraka saat itu rupanya dapat dibaca
Eyang Gardika.
“Dia bernama Tiren. Hanggara sangat menyayanginya. Dia sudah terlatih baik
dan dapat kau perintah melakukan apa saja. Kuharap kau bisa cocok dengannya,
Bayu,” kata Eyang Gardika lagi.
“Aku memang menyukainya, Eyang,” sahut Bayu.
“Bagus. Itu berarti di antara kalian sudah ada kecocokan. Hm..., aku rasa
sudah cukup. Aku pergi dulu, Bayu.”
Setelah berkata demikian, Eyang Gardika lenyap dengan meninggalkan cahaya
menyilaukan. Bayu kembali rebah begitu cahaya berkilauan itu lenyap dari
pandangan. Namun mendadak saja....
“Heh...!”
Pendekar Pulau Neraka tersentak bangun. Monyet kecil di pangkuannya juga
terbangun sambil men-cericit ribut Bayu bergegas berdiri. Dan monyet kecil
berbulu coklat itu pun cepat naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka.
“Eyang...,” desis Bayu seraya mengedarkan pandangan berkeliling.
Tapi hanya kegelapan saja yang terlihat di sekitarnya. Pandangannya
kemudian tertuju ke arah cungkup makam. Beberapa saat lamanya Pendekar Pulau
Neraka memandangi cungkup makam di depannya.
“Apakah aku tadi bermimpi...? Tapi..., ah, tidak. Aku tidak bermimpi. Eyang
Gardika benar-benar datang padaku tadi,” Bayu berbicara sendiri.
Pendekar Pulau Neraka menatap monyet kecil yang duduk di pundaknya.
“Tiren..., kau bernama Tiren, Sahabat Kecil?”
“Nguk...!” binatang cerdas itu mengangguk.
Bayu tersenyum. Kini dia yakin kalau tadi tidak bermimpi. Dan dia pun yakin
kalau tadi gurunya benar-benar datang. Kini Pendekar Pulau Neraka kembali
mengalihkan pandangan ke arah cungkup makam di depannya.
“Aku akan membalas kematian majikanmu, Tiren,” ujar Bayu perlahan.
“Kaaakh...!” monyet kecil berbulu coklat yang ternyata bernama Tiren itu
berteriak gembira.
Binatang lucu itu berjingkrakan di atas pundak Pendekar Pulau Neraka.
Pemuda berbaju kulit harimau itu tersenyum. Lalu mengelus-elus kepala Tiren,
menyuruhnya diam. Monyet kecil itu akhirnya diam, duduk tenang kembali di
pundak Bayu. Pada saat itu terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan di
kejauhan. Dan tak lama kemudian, kicauan burung mulai terdengar ramai.
“Sudah pagi. Sebaiknya kita berangkat sekarang, Tiren. Kau tahu tempat
mereka, bukan...?” ujar Bayu.
“Nguk!” sahut Tiren mengangguk.
“Ayolah. Kita buat perhitungan dengan mereka.”
“Nguk! Kaaakh...!”
“Ha ha ha...!”
***
Siang itu udara di sekitar Pantai Selatan memang cerah sekali. Matahari
bersinar terang. Langit begitu bersih, tanpa sedikit pun awan yang
menghalangi cahaya matahari. Seperti hari-hari yang lalu, hari ini pun
wilayah Pesisir Pantai Selatan kembali ramai. Begitu banyak para pendatang
yang singgah, dengan tujuan dan kesibukan masing-masing.
Di antara orang-orang yang hilir mudik, terlihat Pendekar Pulau Neraka
berjalan perlahan bersama sahabat barunya. Seekor monyet kecil berbulu
coklat yang nangkring di pundak. Tempat inilah tempat Bayu pertama kali
menginjakkan kakinya setelah keluar dari Pulau Neraka. Dan di sini pula dia
pertama kali membunuh orang untuk membalas kematian orang tuanya.
“Ibu..., di manakah kini kau berada...?” desah Bayu dalam hati.
Tiba-tiba saja Bayu teringat kepada ibunya yang sampai saat ini belum
ketahuan apakah masih hidup atau sudah mati. Sampai saat ini, dia hanya
menemu-kan pusara ayahnya di antara pusara-pusara lain di bekas reruntuhan
Padepokan Teratai Putih. Dan menurut salah seorang bekas murid Padepokan
Teratai Putih yang sempat menyelamatkan diri dari kehancuran, tidak
diperoleh keterangan kalau ibunya telah tewas.
“Jangir.... Mudah-mudahan dia masih ingat padaku.”
Bayu teringat bekas murid ayahnya yang masih hidup. Dari Jangir inilah
pemuda berbaju kulit harimau itu tahu kalau ibunya tidak tewas, tapi entah
berada di mana sekarang. Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya menuju ke
Timur. Rupanya ingin menemui bekas murid ayahnya. Dulu Bayu pernah
menemuinya, begitu mendengar ada murid-murid Padepokan Teratai Putih yang
masih hidup.
“Kita temui dulu sahabat lamaku, Tiren,” kata Bayu pada monyet kecil di
pundaknya.
“Nguk...!” sahut Tiren.
Bayu menepuk-nepuk kaki Tiren. Langkahnya pun semakin dipercepat, menyusuri
tepian Pantai Selatan yang selalu ramai. Dia terus berjalan dengan
langkah-langkah lebar, tidak mempedulikan beberapa pasang mata yang
memperhatikannya. Tiga orang laki-laki bertubuh tegap dengan wajah kasar,
memperhatikan Pendekar Pulau Neraka dari sebuah kedai. Dan dua orang
laki-laki tua yang duduk di atas bangkai perahu juga memperhatikan Bayu.
Namun Pendekar Pulau Neraka terus berjalan.
Bayu menghentikan ayunan kakinya ketika sampai di depan sebuah rumah kecil
yang atapnya terbuat dari anyaman daun rumbia. Seluruh dindingnya terbuat
dari bilik bambu. Sementara di beranda depan rumah, tampak seorang laki-laki
berusia sekitar enam puluh tahunan, duduk mencangkung di atas balai-balai
bambu. Laki-laki itu kelihatan sibuk menganyam benang jala.
“Paman Jangir...,” panggil Bayu setelah dekat.
Seketika laki-laki tua tanpa mengenakan baju itu menghentikan pekerjaannya.
Kepalanya diangkat, memandang Bayu yang berdiri tidak jauh di depannya.
Sejenak diamatinya pemuda berbaju kulit harimau itu tajam-tajam.
“Kau lupa padaku, Paman...?”
“Bayu.... Ah, apakah aku tidak salah lihat...?”
“Tidak, Paman. Aku memang Bayu.”
Laki-laki tua yang dipanggil Paman Jangir itu bergegas turun dari
balai-balai bambu. Pekerjaannya ditinggalkan, dan segera menyongsong
Pendekar Pulau Neraka. Sebentar dia memandang Bayu dari atas kepala hingga
ke ujung kaki, lalu memeluk dengan hangat Pendekar Pulau Neraka balas
memeluk sambil menepuk-nepuk punggung yang kurus dan coklat terbakar sinar
matahari.
“Ayo, masuk...,” ajak Paman Jangir.
Bayu tersenyum senang karena Paman Jangir ternyata tidak melupakan dirinya
meskipun sudah begitu lama mereka tidak bertemu. Pertama kali keduanya
bertemu adalah saat Bayu membalas kematian ayahnya pada Rengganis. Wanita
yang mendalangi penghancuran Padepokan Teratai Putih. Dari Paman Jangir
inilah Bayu mengetahui siapa itu Rengganis. Bahkan dari Paman Jangir pula
dia bisa mendapatkan nama-nama pembunuh ayahnya, dan orang-orang yang
membantu menghancurkan Padepokan Teratai Putih yang dipimpin Dewa Pedang,
orang tua Bayu.
“Duduk, Bayu...,” Paman Jangir mempersilakan setelah berada di dalam
“Terima kasih,” ucap Bayu seraya duduk di lantai yang beralaskan tikar
lusuh.
Rumah-rumah di sekitar Pesisir Pantai Selatan memang berbentuk panggung.
Hal ini dimaksudkan untuk menangkal kalau-kalau terjadi laut pasang.
Sehingga tidak perlu lagi mengungsi, dan tidak khawatir rumah mereka
terendam.
“Lama sekali kau tidak mengunjungiku lagi, Bayu,” ujar Paman Jangir.
“Maaf, Paman. Perjalananku jauh sekali. Jadi tidak sempat mengunjungimu,”
sahut Bayu.
“Apakah kau sudah menemui mereka semua?” tanya Paman Jangir langsung.
“Belum,” sahut Bayu seraya menggelengkan kepalanya.
“Tidak mengapa, Bayu. Kebanyakan dari mereka adalah para pengembara. Tentu
tidak mudah menemui mereka. Ah, sudahlah.... Aku senang bisa melihat kau
kembali dalam keadaan selamat,” kata Paman Jangir.
Bayu hanya tersenyum saja. Selama pengembaraannya, memang dia jarang
bertemu dengan orang-orang yang telah membunuh ayahnya sekaligus yang
menghancurkan Padepokan Teratai Putih. Dan bukannya tidak mungkin ada di
antara mereka yang sudah meninggal, karena dimakan usia. Masa dua puluh lima
tahun memang bukan kurun waktu yang pendek. Dan tidak ada seorang manusia
pun yang sanggup mempertahankan kehidupan untuk selamanya. Kematian pasti
akan menjemput juga.
“Bayu, kau datang ke sini tidak hanya sekadar singgah, bukan...?” tanya
Paman Jangir.
Bayu tidak segera menjawab. Dia hanya tersenyum mendengar pertanyaan
laki-laki tua yang dulunya pernah menjadi penghuni Padepokan Teratai Putih,
sekaligus merupakan murid setia Dewa Pedang.
“Istirahatlah dulu, Bayu. Anggap saja di sini rumahmu sendiri. Jadi jangan
sungkan-sungkan,” kata Paman Jangir lagi, seraya bangkit berdiri.
“Terima kasih, Paman,” ucap Bayu.
“Aku selesaikan dulu pekerjaanku, Bayu.”
“Silakan, Paman. Jangan karena kedatanganku, pekerjaan Paman jadi
telantar.”
“Ah, sama sekali tidak.”
Paman Jangir kembali melangkah ke luar untuk meneruskan pekerjaannya yang
tertunda. Sementara Bayu menyandarkan punggungnya ke dinding. Sebenarnya,
ingin dibantunya laki-laki tua ini. Tapi sungguh tidak dimengertinya tata
cara dan pekerjaan sebagai nelayan. Di samping itu, memang tubuhnya terasa
penat sekali.
“Kau tidur di atas sana, Tiren,” kata Bayu, seraya menunjuk palang
rumah.
“Nguk...!”
Tiren segera melompat, dan nangkring di atas palang kayu yang melintang di
tengah atap rumah. Bayu tersenyum ketika melihat binatang cerdas itu
langsung merebahkan tubuhnya di palang kayu. Kemudian dia sendiri merebahkan
tubuhnya, menopang kepala dengan kedua tangan.
“Hhh...”
***
Apa saja yang bisa dikerjakan, Bayu tidak segan-segan membantu Paman
Jangir. Selama dua hari Bayu tinggal, pekerjaan Paman Jangir memang lebih
ringan. Bahkan pagi ini Pendekar Pulau Neraka ikut melaut. Paman Jangir
merasakan seakan-akan dia melihat kembali Dewa Pedang. Meskipun sejak masih
bayi Pendekar Pulau Neraka tidak pernah melihat rupa ayahnya, namun watak
yang ada dalam dirinya tidak jauh berbeda dengan ayahnya. Dan itu dapat
dilihat jelas oleh Paman Jangir yang dulunya murid si Dewa Pedang.
Tapi tentu saja ada perbedaannya. Ketegasan dan kekerasan yang dimiliki
Bayu bukanlah ketegasan sikap seorang pendekar persilatan golongan putih.
Dan ini bisa terjadi karena selama dua puluh tahun lebih, dia tinggal dan
dididik oleh bekas tokoh hitam yang menyepi di Pulau Neraka. Setelah tokoh
itu dibuat cacat oleh musuh-musuhnya. Yang pasti, sedikit banyaknya,
watak-watak keras Eyang Gardika yang dulu dikenal berjuluk si Cakra Maut
tertanam di dalam pribadi pemuda ini.
“Menyenangkan juga hidup jadi nelayan, Paman,” kata Bayu seraya memandang
ikan hasil tangkapan mereka.
“Kau baru dua hari di sini, Bayu. Lama-lama kau juga akan bosan,” sahut
Paman Jangir.
Bayu hanya meringis saja. Memang tidak dipungkiri, segala sesuatu yang baru
pertama kali dilakukan akan terasa sangat menyenangkan. Tapi jika
terus-menerus dilakukan selama bertahun-tahun, bisa jadi membosankan. Namun
hidup memang selalu menuntut manusia melakukan pekerjaan untuk
mempertahankan hidup.
“Mau dikemanakan ikan-ikan ini, Paman?” tanya Bayu.
“Nanti juga ada yang datang membeli,” sahut Paman Jangir.
“Tengkulak...?”
“Bisa dikatakan begitu, Bayu. Memang harganya rendah, tapi buat nelayan tua
seperti paman ini, lebih baik begitu daripada membawa ke pasar sendiri.
Sudah tidak kuat...”
Lagi-lagi Bayu tersenyum.
“Yang penting masih bisa hidup, tidak menyusahkan orang lain, Bayu,”
sambung bekas murid Dewa Pedang itu lagi.
“Asal mereka tidak menyusahkan Paman saja.”
“Terkadang memang menjengkelkan. Mereka seenaknya saja menawar dengan harga
rendah. Tapi kalau tidak dijual, mau diapakan ikan-ikan ini...? Dimakan
sendiri juga tidak habis.”
“Kau suka ikan, Tiren...?” Bayu menatap monyet kecil di pundaknya.
Monyet kecil itu berjingkrak sambil mencericit. Tentu saja Bayu tertawa
melihat tingkah Tiren. Sedangkan Paman Jangir hanya tersenyum saja. Mana ada
monyet yang makan ikan...? Kalau buah, tidak perlu ditawarkan lagi.
“Dari mana kau dapatkan monyet itu, Bayu?” tanya Paman Jangir.
“Dari seseorang,” sahut Bayu asal saja.
“Cerdik sekali dia,” puji Paman Jangir.
Tiren kembali berjingkrakan sambil mencericit ribut. Merasa senang mendapat
pujian dari laki-laki tua ini. Dan Bayu hanya tertawa saja melihat tingkah
monyet kecil di pundaknya ini.
Memang, sejak kehadiran Tiren, Pendekar Pulau Neraka jadi sering tertawa.
Tingkah binatang cerdas ini memang lucu, dan segala yang dilakukannya selalu
menggelitik, membuat orang yang melihat jadi ingin tertawa.
“Itu mereka datang, Bayu,” Paman Jangir memberi tahu.
Bayu menatap empat orang laki-laki yang berjalan ke arahnya. Di pinggang
mereka menyembul gagang golok. Dan tampang-tampangnya juga bengis. Bayu
langsung dapat menebak kalau mereka paling juga cuma tukang pukul.
“Mereka orang-orangnya Juragan Basra. Yang paling depan itu Calong. Yang
pakai baju merah, Winaya. Dan dua lagi Cagak serta Landar,” Paman Jangir
memberi tahu keempat laki-laki berwajah bengis yang melangkah semakin
dekat.
“Hm...!” Bayu hanya menggumam saja sambil memperhatikan keempat orang
itu.
“Hati-hati, Bayu. Biasanya mereka main pukul saja kalau sedikit
tersinggung,” Paman Jangir memperingatkan.
“Hebat..,” gumam Bayu langsung merasa muak.
Begitu sudah dekat, empat laki-laki itu langsung melongok ke dalam
keranjang di depan Paman Jangir. Salah seorang di antaranya
membolak-balikkan ikan-ikan di dalam keranjang. Sedangkan Bayu yang duduk di
pinggiran perahu milik Paman Jangir, hanya memperhatikan saja.
“Banyak hasilmu, Jangir,” kata Calong diiringi senyuman sinis.
“Lumayan, mungkin memang lagi mujur,” sahut Paman Jangir.
Calong melirik Bayu yang kelihatan tidak peduli. Pendekar Pulau Neraka
memang tengah asyik bercanda dengan Tiren. Calong kembali menatap Paman
Jangir.
“Berapa kau akan jual?” tanya Calong lagi.
“Dua puluh kepeng,” sahut Paman Jangir. “Semuanya.”
“Dua puluh kepeng...? Ikan kecil-kecil begini!” sentak Calong sambil
menendang keranjang yang berisi ikan.
Kalau saja Paman Jangir tidak cepat menahan keranjangnya, pasti ikan-ikan
di dalam keranjang sudah tumpah. Sedangkan tiga orang lainnya tertawa
terbahak-bahak melihat perbuatan Calong.
“Dengar, Jangir. Aku cuma mau tiga kepeng. Dan itu tidak bisa ditawar lagi.
Kalau kau mau, aku berikan uangnya. Tapi kalau tidak, kau boleh buang ikanmu
itu ke laut!” keras sekali suara Calong.
“Baiklah, lima belas kepeng saja,” Paman Jangir menurunkan harga
ikannya.
“Sudah kubilang, tiga kepeng!”
“Ikan ini besar-besar, Den Calong. Lagi pula banyaknya dua kali lipat dari
biasa. Dan lagi, biasanya kan sepuluh kepeng.”
“Menjualnya lagi susah, tahu!” bentak Calong. “Sudah, kalau tidak mau uang
segitu, akan kubawa ikan ini. Dan kau boleh menangis tanpa menerima
uang!”
Calong memberi isyarat pada teman-temannya. Dua orang di antara mereka
langsung menggotong keranjang ikan. Dan Calong melemparkan tiga keping uang
logam yang bernilai satu kepeng sekepingnya. Tiga keping uang logam itu
jatuh di depan kaki Paman Jangir.
“Terimalah uang itu, dan tangkap lagi ikan yang lebih banyak! Ha ha ha...!”
Calong tertawa terbahakbahak.
“Kurang, Den...!” teriak Paman Jangir.
“Apa...? Kurang? Nih, kurangnya...!” sentak Calong.
Cepat sekali Calong mengibaskan tangan hendak menampar muka Paman Jangir.
Tapi hanya sedikit saja laki-laki tua ini menarik kepalanya ke belakang,
sehingga tamparan Calong lewat tanpa membawa hasil.
“Hei! Kau mau melawan, ya...?” bentak Calong bertambah gusar.
“Maaf, Den. Kalau tidak mau lima belas kepeng, aku mau jual sendiri ke
pasar,” kata Paman Jangir.
“Tua bangka keparat..! Kau rupanya sudah bosan hidup, heh...!” bentak
Calong geram.
Selesai berkata demikian, Calong langsung mencabut goloknya. Dan secepat
itu pula, goloknya dibabatkan ke leher Paman Jangir. Tapi tanpa diduga sama
sekali, bekas murid Dewa Pedang ini menarik kakinya selangkah ke belakang,
seraya menarik kepalanya ke belakang, menghindari tebasan golok.
“Setan...!” geram Calong, memuncak amarahnya.
Laki-laki berwajah bengis itu kembali menyerang dengan membabatkan golok
beberapa kali. Dan memang, Paman Jangir bukanlah orang tua sembarangan yang
mau menyerah begitu saja. Dengan lincah sekali, tubuhnya meliuk menghindari
serangan Calong.
“Phuih! Rupanya kau punya kepandaian juga, Jangir! Bagus...! Terima
seranganku! Hiyaaat...!”
Menyadari kalau orang tua ini tidak kosong, Calong langsung memberikan
serangan yang lebih cepat dan dahsyat. Sedangkan tiga orang temannya, hanya
menonton saja. Mereka juga terkejut melihat Paman Jangir yang selama ini
dikenal tidak pernah membantah dan mau dibayar berapa saja, ternyata
memiliki kepandaian juga.
Entah sudah berapa jurus Calong menyerang Paman Jangir. Tapi belum juga
dapat menjatuhkan orang tua yang kelihatan lemah itu. Bahkan untuk mendesak
saja, kelihatannya Calong mendapat kesulitan. Serangan-serangannya selalu
dapat dimentahkan Paman Jangir dengan mudah.
“Keparat...!” geram Calong, semakin memuncak amarahnya.
Belum juga Calong mendapat cara untuk menjatuhkan orang tua ini, mendadak
saja Paman Jangir memutar tubuhnya dengan cepat. Dan sebelum Calong
menyadari, tahu-tahu tangan bekas murid Dewa Pedang ini sudah menyodok ke
arah dada. Begitu cepatnya sodokan tangan kanan laki-laki tua ini, sehingga
Calong tidak dapat lagi menghindar.
Begkh!
“Akh...!” Calong memekik kaget.
Tubuh yang tegap berotot itu terpental ke belakang, dan jatuh dengan keras
di atas pasir. Calong menggeram marah seraya berusaha bangkit. Dadanya
terasa sesak, dan sukar bernapas. Rupanya sodokan tangan Paman Jangir tadi
cukup keras juga.
“Bunuh orang tua keparat itu...!” teriak Calong memerintah.
Seketika tiga orang temannya berlompatan menyerang seraya mencabut golok
masing-masing. Namun sebelum mereka sampai, Bayu sudah bertindak cepat
Pendekar Pulau Neraka sudah melesat, dan langsung melontarkan beberapa
pukulan keras tanpa disertai pengerahan tenaga dalam.
Begkh!
Duk!
Des!
Tiga lelaki kasar yang berlompatan menyerang Paman Jangir, mendadak
berpentalan balik. Mereka memekik keras dan jatuh bergulingan di atas pasir
yang panas terpanggang matahari. Mereka cepat berdiri dengan mata terbelalak
ketika melihat di samping Paman Jangir telah berdiri seorang pemuda berbaju
kulit harimau. Mereka lebih terkejut lagi, karena tangan pemuda itu
menggenggam tiga batang golok.
Tiga orang itu beringsut mundur. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu golok
mereka sudah pindah ke tangan Bayu. Dan hal ini tentu saja membuat hati
mereka ciut
“Bayar ikan itu dua puluh kepeng!” bentak Bayu tegas.
Calong dan ketiga temannya saling berpandangan. Meskipun Bayu hanya sekali
saja melakukan tindakan, namun sudah cukup membuat hati keempat orang
berwajah bengis ini bergetar. Bagaimana tidak...? Bukan sembarang orang bisa
merampas golok sambil melakukan penyerangan begitu cepat.
“Cepat bayar...!” bentak Bayu menggelegar.
Buru-buru Calong melempar sepundi uang ke arah Paman Jangir. Kemudian
bergegas kabur dari situ.
“Hei, tunggu...!” teriak Bayu.
Calong dan ketiga temannya berhenti berlari.
“Bawa ikan ini, kalian sudah membelinya!” ujar Bayu.
Kembali keempat orang kasar itu saling berpandangan. Akhirnya Calong
menyuruh Winaya dan Cagak membawa keranjang ikan. Dengan perasaan kecut,
Winaya dan Cagak terpaksa menuruti perintah Calong. Bayu melempar golok yang
dirampasnya ke dalam keranjang. Bergegas Winaya dan Cagak membawa ikan
dengan kaki gemetar.
“Ha ha ha...!” Paman Jangir tertawa terbahak-bahak melihat empat tukang
pukul Juragan Basra lari terbirit-birit, sambil membawa sekeranjang
ikan.
“Ayo kita pulang, Paman,” ajak Bayu.
“Ayo, Bayu. Kita mampir dulu di kedai Nyai Sinah. Uang ini pasti lebih dari
dua puluh kepeng,” sahut Paman Jangir balik mengajak.
“Siapa itu Nyai Sinah?” tanya Bayu sambil mengayunkan kakinya.
“Janda yang buka kedai di sudut desa,” sahut Paman Jangir memberi
tahu.
“Makanannya enak.”
“Makanannya atau orangnya...?” seloroh Bayu.
“Ha ha ha...!”
***
TIGA
Memang benar apa yang dikatakan Paman Jangir. Kedai Nyai Sinah terlihat
dipadati pengunjung. Nyai Sinah bukan saja seorang janda cantik, tapi
makanan yang dihidangkan juga enak. Maka tidak meng-herankan jika hampir
semua meja di kedai kecil ini penuh sesak, dan hampir tanpa sisa.
Bayu dan Paman Jangir mendapat meja yang berada agak di belakang, karena
meja-meja di bagian depan sudah penuh. Kebanyakan dari pengunjung yang
datang adalah para pelancong. Tapi tidak sedikit di antaranya penduduk asli.
Dan mereka yang datang, biasanya bukan hanya sekadar menikmati hidangan
saja. Tapi untuk menikmati kecantikan Nyai Sinah. Tidak heran jika di antara
para pengunjung ada yang suka berbuat usil. Nyai Sinah sendiri hanya
menanggapi dengan senyuman saja. Mungkin dia memang sudah memaklumi risiko
membuka kedai. Dan juga menyadari kalau kecantikan wajahnya itulah yang
membuat kedainya selalu dipenuhi pengunjung.
Brak!
Semua orang di kedai tersentak kaget ketika tiba-tiba pintu kedai didobrak
hingga hancur berantakan. Bersamaan dengan itu, muncul seorang laki-laki
bertubuh gemuk, dengan kepala setengah botak. Di belakangnya menyusul enam
orang laki-laki berwajah beringas. Beberapa pengunjung kedai yang rupanya
mengenal orang-orang itu bergegas ke luar dengan tergesa-gesa.
“Siapa dia, Paman?” tanya Bayu berbisik.
“Juragan Basra,” sahut Paman Jangir.
Laki-laki gemuk berkepala setengah botak itu menghampiri Bayu dan Paman
Jangir. Kembali satu persatu orang-orang di dalam kedai beranjak pergi
Sementara Bayu memandangi laki-laki gemuk itu. Bibirnya menyunggingkan
senyuman tipis saat melihat empat orang di belakang laki-laki gemuk yang
dikenalkan Paman Jangir bernama Juragan Basra.
“Ini dia orangnya, Juragan,” kata Calong seraya menunjuk Bayu.
“O..., jadi ini anak kemarin sore yang mau jadi jago di sini...,” sinis
sekali nada suara Juragan Basra.
Saat itu Nyai Sinah datang menghampiri dengan tergopoh-gopoh. Wanita cantik
itu membungkuk di depan Juragan Basra seraya memberikan senyuman
manis.
“Juragan, silakan duduk...,” ucap Nyai Sinah menyambut dengan ramah.
“Aku ke sini bukan mau makan. Minggir...!” bentak Juragan Basra
kasar.
Dengan sikap yang kasar pula Juragan Basra mendorong dada Nyai Sinah,
hingga wanita itu terlempar ke belakang. Nyai Sinah terpekik keras. Tapi,
untunglah Bayu bertindak cepat. Ditangkapnya janda cantik itu, sehingga
tidak sampai jatuh.
“Oh, terima kasih,” ucap Nyai Sinah.
“Hm...,” Bayu hanya tersenyum saja.
Pendekar Pulau Neraka menatap tajam laki-laki bertubuh gemuk di depannya.
Ketidaksukaannya langsung timbul melihat kekasaran Juragan Basra. Meskipun
hidupnya penuh kekerasan, namun Bayu tidak pernah memperlakukan wanita
dengan kasar begitu. Lain halnya kalau wanita itu memang lawannya.
“Jangir! Ke sini kau...!” bentak Juragan Basra kasar sambil menuding Paman
Jangir.
“Untuk apa?” tanya Paman Jangir, tetap tidak bergeming dari kursinya.
“Ke sini...!” bentak Juragan Basra berang.
Paman Jangir hanya diam saja, malah meneguk araknya hingga tandas tak
bersisa. Sedikit dia melirik Bayu yang kini berdiri di samping Nyai Sinah.
Laki-laki tua itu memberikan senyuman tipis. Bayu juga membalas dengan
senyuman yang sama. Sementara monyet kecil di pundak Pendekar Pulau Neraka
mulai mencericit ribut, berjingkrakan seperti hendak mengatakan
sesuatu.
“Tenang, Tiren,” Bayu menenangkan monyet berbulu coklat itu.
Tapi Tiren malah semakin ribut. Bayu terpaksa mengambil monyet kecil itu
dan memberikan pada Nyai Sinah. Mulanya wanita ini agak takut. Tapi begitu
melihat binatang ini tampak jinak, wanita itu pun membiarkan Tiren yang
langsung memeluk lehernya.
Kini, Tiren tidak melonjak-lonjak lagi setelah berada dalam dekapan Nyai
Sinah.
Sementara itu Juragan Basra sudah berada dekat di depan meja yang ditempati
Paman Jangir. Tiba-tiba saja laki-laki gemuk itu menggebrak meja, hingga
patah terbelah dua.
“Rupanya kau sudah bosan hidup, Tua Bangka!” desis Juragan Basra
menggeram.
“Maaf, selera makanku jadi hilang,” kata Paman Jangir tidak peduli.
Laki-laki tua itu bangkit berdiri.
“Ayo, Bayu. Kita pulang,” ajak Paman Jangir, sama sekali tidak
dipedulikannya Juragan Basra.
Bayu segera mengambil Tiren dari dekapan Nyai Sinah. Setelah membayar apa
yang dimakan, Pendekar Pulau Neraka mengikuti Paman Jangir.
“Berhenti, Keparat...!” bentak Juragan Basra semakin berang.
Tapi Paman Jangir dan Bayu tetap saja melangkah ke luar. Melihat kedua
orang itu seolah-olah tidak peduli sama sekali, tentu saja Juragan Basra
kian memuncak amarahnya.
“Bunuh mereka...!” perintah Juragan Basra yang sudah meluap
amarahnya.
Empat orang yang siang tadi dipecundangi Bayu, segera berlompatan sambil
mencabut golok masing-masing. Telinga Pendekar Pulau Neraka yang peka,
segera dapat mendengar angin serangan yang dilakukan empat orang di
belakangnya, dan....
“Hiyaaa...!
Bayu langsung memutar tubuh dengan cepat. Sekali saja tangannya dikibaskan,
empat orang yang menyerang dari belakang itu berpentalan sambil menjerit
keras. Sementara golok mereka berpentalan dari genggaman.
“Aku paling tidak suka kecurangan...!” desis Bayu. “Kau...! Maju ke
sini!”
Bayu langsung menunjuk Juragan Basra. Sementara empat tukang pukul juragan
gemuk itu, menggeliat bangkit sambil merintih kesakitan. Juragan Basra
tampak terkesiap, dan seketika wajahnya memucat. Tapi dua orang laki-laki
bertubuh kekar di belakangnya tetap kelihatan tenang. Seperti meremehkan
Pendekar Pulau Neraka.
“Sudah, Bayu. Ayo kita pulang,” ajak Paman Jangir.
Bayu masih tetap menatap tajam Juragan Basra.
“Sekali lagi kudengar kau mengusik pamanku, lehermu jaminannya,” ancam
Bayu.
Setelah berkata demikian, Bayu memutar tubuh dan melangkah ke luar.
Sedangkan Paman Jangir sudah lebih dahulu berada di luar kedai. Sepeninggal
kedua orang itu, Juragan Basra mengumpat dan memaki habis-habisan. Gerakan
yang cepat dari pemuda berbaju kulit harimau tadi rupanya membuat hati
laki-laki gemuk ini jadi ciut
Sambil mendengus dan menggerutu habis-habisan, Juragan Basra melangkah ke
luar kedai. Enam orang yang mendampinginya, mengikuti di belakang.
Tinggallah Nyai Sinah yang hanya bisa memandangi kedainya yang berantakan.
Janda cantik itu jatuh terduduk lemas.
***
Prang!
Jambangan bunga dari porselen hancur berantakan terkena tamparan Juragan
Basra yang cukup besar dan gempal. Peristiwa di kedai Nyai Sinah tadi
benar-benar membuatnya berang. Belum pernah dia dipermalukan seperti itu di
depan orang banyak. Terlebih lagi setelah melihat empat tukang pukulnya yang
selama ini selalu ditakuti, tidak berkutik sama sekali. Bahkan sudah
terpental dalam segebrakan saja.
Juragan Basra menghempaskan tubuhnya di kursi sambil menghembuskan napas
panjang. Sedangkan empat tukang pukulnya bersila di lantai. Dua orang lagi
yang bertubuh tegap berotot, berdiri di samping kiri dan kanan laki-laki
gemuk itu. Yang seorang mengenakan baju warna biru dengan dada terbuka
lebar, menampakkan bulu-bulu dada yang halus menghitam. Dia bersenjata
sepasang trisula yang terselip di kiri-kanan pinggangnya.
Sedangkan yang seorang lagi mengenakan baju warna kuning. Seutas cambuk
tergenggam di tangan kanan. Dan di pinggangnya menggantung sebilah pedang
bergagang hitam, dengan gagang berbentuk kepala tengkorak. Wajah mereka
tampak bengis, dengan sorot mata tajam, mencerminkan nafsu membunuh.
“Pangkeng...!” panggil Juragan Basra.
“Ya, Juragan,” sahut laki-laki bersenjata sepasang trisula.
“Dan kau, Bancak.”
“Ya, Juragan,” sahut orang bersenjata cambuk dan pedang.
“Urus mereka, dan penggal kepalanya. Buang mayat mereka ke laut untuk
tumbal penguasa lautan,” perintah Juragan Basra tegas.
“Jangan khawatir, Juragan. Besok pagi, mereka tidak akan bisa melihat
matahari lagi,” sahut Pangkeng enteng.
“Bagus! Laksanakan segera.”
“Baik, Juragan,” sahut Pangkeng dan Bancak hampir berbarengan.
“Huh! Tidak boleh ada seorang pun yang mempermainkan aku!” dengus Juragan
Basra geram.
Pangkeng dan Bancak meninggalkan ruangan depan rumah Juragan Basra yang
cukup megah. Juragan Basra memang bisa dibilang orang paling kaya di sekitar
Pesisir Pantai Selatan. Hampir semua perahu nelayan di perkampungan ini
adalah miliknya. Dan dialah yang menguasai pasar penjualan ikan. Walaupun
ada nelayan yang memiliki perahu sendiri, seperti Paman Jangir, mereka tidak
akan bisa menjual hasil tangkapannya ke tempat lain.
Meskipun dibawa ke pasar, tetap saja akan jatuh ke tangan Juragan Basra.
Meski harga di pasar lebih mahal sedikit. Namun tetap terasa sangat rendah.
Hal inilah yang membuat nelayan sulit memperbaiki kehidupan-nya. Bahkan
untuk merawat perahunya saja sudah terasa sulit. Akibatnya, tidak sedikit
yang menjual perahu pada Juragan Basra, karena tidak mampu lagi
merawatnya.
“Sepertinya aku tidak membutuhkan kalian lagi,” kata Juragan Basra seraya
menatap empat orang yang bersimpuh di depannya.
“Ampunkan kami, Juragan. Anak muda itu benar-benar tangguh. Dan
kepandaiannya pun sangat tinggi,” kata Calong mewakili yang lain.
“Dan itu berarti kalian tidak becus!”
Empat orang yang biasanya congkak itu hanya diam saja dengan kepala
tertunduk. Mereka memang tidak mungkin lagi bisa membantah. Karena tingkat
kepandaian mereka memang masih sangat jauh dibandingkan Pendekar Pulau
Neraka. Terbukti, dalam satu gebrakan saja dua kali mereka dibuat tidak
berkutik.
“Kalian masih mau kerja?” tanya Juragan Basra.
“Mau, Juragan,” sahut keempat orang itu serempak.
“Aku ada tugas yang lebih ringan. Tapi jika gagal..., kepala kalian
terpisah dari badan!” nada suara Juragan Basra terdengar dingin.
Empat orang berwajah kasar itu seketika meneguk ludahnya sendiri. Mereka
menatap dalam-dalam Juragan Basra. Tugas ringan, tapi leher mereka jadi
jaminannya... itu namanya bukan tugas ringan lagi.
“Apa yang harus kami lakukan, Juragan?” tanya Calong.
“Apa pun cara kalian, bawa Nyai Sinah ke sini”
“Hanya itu, Juragan...?”
“Ya. Dan aku minta, siang ini juga Nyai Sinah sudah ada di kamarku.”
“Pasti, Juragan..,” sahut Calong.
Calong dan ketiga temannya menghembuskan napas lega. Semula mereka mengira
kalau Juragan Basra akan memberi tugas yang tidak akan sanggup mereka
jalankan. Ternyata hanya tugas kecil, dan sangat ringan sekali. Mereka
memang sering melakukan pekerjaan seperti ini. Membawa gadis-gadis kampung
dengan cara paksa untuk pemuas nafsu binatang Juragan Basra.
“Berangkat sekarang.”
“Baik, Juragan.”
Empat laki-laki berwajah kasar itu bergegas keluar. Kini tinggallah Juragan
Basra sendiri, duduk terayun-ayun di kursi goyang. Bibirnya tersenyum
mem-bayangkan kecantikan wajah Nyai Sinah, dengan bentuk tubuh yang ramping,
indah, dan menggiurkan.
Memang, laki-laki gemuk ini sudah lama mengincar janda muda pemilik kedai
itu. Tapi Nyai Sinah selalu menolak dengan halus, meskipun setiap kali
Juragan Basra datang, wanita itu selalu melayaninya dengan ramah. Sama
seperti pengunjung kedai lainnya.
“He he he..., Nyai Sinah.... Kau akan kubuat umpan untuk memaksa mereka
menyerah dan bunuh diri. Ha ha ha...!”
***
“Masuk...!”
“Ah...!”
Nyai Sinah jatuh tersungkur didorong dengan kasar ke dalam sebuah ruangan
yang kotor dan pengap. Kedua tangannya yang terikat ke belakang membuat dia
sukar berdiri. Wanita pemilik kedai di Pesisir Pantai Selatan ini hanya bisa
merintih, sambil menarik tubuhnya ke tepi. Dan duduk bersandar pada dinding
papan yang kotor berdebu.
Brak!
Pintu ruangan sempit itu ditutup dengan keras, hingga menggetarkan seluruh
dinding ruangan. Seketika keadaan di dalam ruangan sempit dan kotor ini jadi
gelap. Tak ada setitik cahaya pun yang menerangi. Nyai Sinah mencoba
membiasakan penglihatannya di dalam kegelapan. Dia merenung, mencoba
mengingat apa yang terjadi, hingga dirinya sampai di ruangan ini.
Sungguh dia tidak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya. Yang jelas,
pada saat dia tengah tidur lelap. Tahu-tahu selembar kain menyelubungi
kepalanya. Dan seseorang menggotongnya, lalu membawa pergi dengan cepat.
Begitu selubung kain yang menutupi kepalanya dibuka, tahu-tahu sudah berada
di dalam ruangan sempit dan pengap berdebu ini.
Krieeet..!
Nyai Sinah semakin merapat ke dinding ketika mendengar suara pintu dibuka.
Bunyi berderit terdengar mengilukan hati. Cahaya lampu pelita yang menerobos
masuk membuat mata janda cantik pemilik kedai itu mengerjap silau. Dari
pintu yang terbuka, tiba-tiba muncul seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan
kepala agak botak. Sedangkan di belakangnya mengikuti seorang laki-laki
berwajah kasar dan bengis.
“He he he...,” laki-laki gemuk itu terkekeh.
“Juragan Basra..., apa yang akan kau lakukan padaku?” tanya Nyai Sinah
mencoba tenang.
“Ada yang perlu aku bicarakan denganmu, Nyai Sinah,” kata Juragan
Basra.
Laki-laki bertubuh gemuk itu memberikan isyarat pada orang berbaju hitam
yang membawa pelita kecil di belakangnya. Laki-laki yang ternyata adalah
Calong itu menempelkan pelita di dinding. Kemudian melangkah keluar. Pintu
ruangan pun kembali tertutup rapat setelah Calong berada di luar.
“Sudah lama aku ingin bicara berdua saja dengan-mu, Nyai Sinah,” kata
Juragan Basra menyeringai, memperlihatkan gigi-giginya yang kecil bagai biji
ketimun.
“Kenapa harus dengan cara seperti ini...?” Nyai Sinah menggeliat.
Janda pemilik kedai itu meringis ketika merasakan perih pada kedua tangan
yang terikat. Juragan Basra terkekeh seraya mendekati. Lalu membuka ikatan
yang membelenggu tangan Nyai Sinah.
“Aku sudah pernah melamarmu. Tapi kau tolak. Dan aku tidak mau mengulangi
untuk kedua kalinya,” kata Juragan Basra lagi.
Nyai Sinah hanya diam saja. Memang diakui kalau Juragan Basra pernah
melamarnya, tapi dengan halus ditolaknya. Dia sendiri heran, karena
laki-laki gemuk yang berangasan ini tidak marah menerima penolakannya.
Bahkan seperti memberi angin saja. Membiarkan kedai miliknya tetap buka.
Tapi memang Nyai Sinah tidak tahu kalau semua yang dilakukan Juragan Basra
selama ini punya maksud tertentu.
Janda cantik bertubuh sintal ini memang tidak pernah menyadari kalau
dirinya sudah masuk ke dalam jerat setan yang ditebarkan Juragan
Basra.
Dan dia tidak mungkin bisa keluar lagi dengan mudah dari jerat setan yang
ditebarkan dengan cara-cara yang begitu halus.
***
EMPAT
“Dengar, Nyai Sinah. Aku bisa membuatmu senang, dan juga bisa membuatmu
sengsara. Untuk mem-bunuhmu, sama mudahnya dengan membalik telapak tangan
bagiku,” kata Juragan Basra dingin.
Bergetar seluruh tubuh Nyai Sinah mendengar kata-kata bernada ancaman
begitu. Dia sadar kalau Juragan Basra sudah mengeluarkan ancaman, itu
berarti bukan ancaman kosong. Kini tak ada lagi yang bisa dilakukan Nyai
Sinah selain menunggu dengan dada berdebar keras.
“Kau pasti mengenal Jangir...,” kata Juragan Basra lagi.
Nyai Sinah hanya mengangguk saja. Dugaannya sudah pasti, tentu ada hubungan
dengan peristiwa tadi siang. Tapi, ada hubungan apa dengan dirinya...? Nyai
Sinah bukan cuma kenal Paman Jangir. Bahkan sudah menganggap laki-laki tua
itu sebagai pengganti orang tuanya.
“Aku tahu, kau begitu dekat dengan Jangir. Itulah sebabnya aku memintamu
datang ke sini,” lanjut Juragan Basra.
“Aku diculik!” protes Nyai Sinah.
“He he he..., maaf kalau mereka membuatmu takut. Aku tidak menyuruh mereka
menyakitimu.”
Nyai Sinah hanya diam saja. Di dalam benaknya, sudah merasa pasti kalau ada
sesuatu yang harus dilakukan untuk kepentingan Juragan Basra. Dan dia sudah
yakin kalau sesuatu itu pasti menyangkut antara hidup dan mati Paman Jangir.
Bahkan bukan tidak mungkin dirinya juga terancam.
“Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Nyai Sinah.
“Kau memang cerdas, Nyai,” puji Juragan Basra seraya tersenyum.
Tapi bagi Nyai Sinah, senyum laki-laki gemuk ini merupakan seringai seekor
serigala yang kelaparan melihat anak domba. Bukan senyuman manusia lagi.
Kembali wanita cantik bertubuh sintal ini bergidik. Diam-diam dia mulai
merasakan adanya kengerian yang menyelusup ke dalam hatinya.
“Katakan saja terus terang, apa yang kau inginkan dariku?” desak Nyai
Sinah.
Juragan Basra terkekeh panjang. Nyai Sinah hanya diam dengan mata terbuka
lebar. Laki-laki bertubuh gemuk itu mendekati. Kemudian membisikkan sesuatu
di telinga janda cantik ini. Sejenak Nyai Sinah terbelalak. Seolah-olah
tidak percaya mendengar bisikan Juragan Basra. Dipandanginya laki-laki
ber-tubuh gemuk itu dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kebenaran dari
apa yang tadi telah di-dengarnya.
“Ada satu lagi sebelum kau lakukan itu, Nyai Sinah,” kata Juragan Basra
lagi.
“Apa...?” kali ini suara Nyai Sinah terdengar bergetar.
“He he he...,” Juragan Basra hanya tertawa saja.
Belum juga Nyai Sinah bisa berpikir lebih jauh, mendadak saja laki-laki
gemuk itu sudah menerkam-nya. Nyai Sinah memekik kaget. Tubuhnya jatuh
telentang di lantai berdebu sambil mencoba me-lepaskan diri dari pelukan
Juragan Basra. Namun pelukan laki-laki gemuk itu demikian kuat
“Auw! Lepaskan...!” bentak Nyai Sinah.
“Hanya sebentar, Nyai..., tidak apa-apa...,” suara Juragan Basra mulai
terdengar mendengus.
Nyai Sinah terus menggeliat, mencoba melepas-kan diri dari himpitan tubuh
gemuk itu. Napasnya mulai tersengal sesak. Kepalanya menggeleng ke kanan dan
ke kiri, menghindari hujan ciuman yang daratkan Juragan Basra dengan penuh
nafsu.
Bret!
“Auh...!” lagi-lagi Nyai Sinah terpekik Dia tidak dapat lagi mempertahankan
diri. Baju yang dikena-kannya dikoyak dengan kasar. Kulit tubuhnya yang
putih halus, terbuka lebar di bawah himpitan tubuh gemuk. Nyai Sinah
berteriak-teriak, sambil terus berusaha melepaskan diri. Namun semua usaha
yang dilakukannya malah menambah gairah Juragan Basra melonjak.
Satu persatu pakaian yang dikenakan wanita itu direnggut paksa. Kini tak
ada lagi sehelai benang pun yang melekat di tubuhnya. Air bening mulai
menitik dari sudut matanya. Dan akhirnya perlawanan Nyai Sinah berhenti.
Wanita itu hanya bisa menangis dan merintih pedih.
Nyai Sinah tidak sanggup lagi membuka matanya. Dia hanya dapat mendengar
dengus napas memburu yang begitu dekat di wajahnya. Bukan hanya tubuhnya
saja yang terasa nyeri, tapi hatinya ikut hancur. Apa yang selama ini
dipertahankannya, meskipun sudah janda, luntur sudah malam ini. Tak ada lagi
yang bisa dilakukannya, selain menangis menyesali semua yang terjadi.
Memohon belas kasihan pun sudah tidak mungkin lagi.
Nyai Sinah baru membuka matanya ketika merasakan beban yang menghimpit
tubuhnya tidak terasa lagi. Mukanya langsung dipalingkan begitu melihat
Juragan Basra membenahi pakaiannya dengan bibir menyunggingkan senyuman
lebar. Tubuhnya yang gemuk, basah oleh keringat.
“Binatang kau, Basra...!” desis Nyai Sinah memaki.
“He he he...,” Juragan Basra hanya terkekeh saja.
Laki-laki gemuk itu menjawil dagu Nyai Sinah. Tapi janda cantik itu cepat
menepis. Juragan Basra terus terkekeh sambil melangkah keluar dari ruangan
sempit yang berdebu dan pengap ini. Kini tinggallah Nyai Sinah dalam
kesendiriannya, menangis sambil mengenakan pakaiannya kembali. Meskipun
bentuk-nya sudah tidak lagi beraturan.
***
Sementara itu, jauh dari tempat di mana Nyai Sinah tengah meratapi nasib
buruknya, Bayu tengah menikmati secangkir kopi yang dipadu dengan sepiring
pisang goreng. Pemuda berbaju kulit harimau ini duduk di beranda depan rumah
Paman Jangir sambil memandang ke laut lepas. Dari rumah Paman Jangir ini,
Pulau Neraka bisa dilihatnya dengan jelas. Ingin rasanya dia kembali ke
sana. Tempat yang begitu tenang, tanpa harus bergelimang dengan segala macam
urusan duniawi.
Namun Bayu tidak mungkin bisa kembali ke sana lagi. Eyang Gardika, gurunya,
sudah berpesan agar dirinya tidak kembali lagi walau apa pun yang terjadi.
Bayu memang bisa meredam keinginannya untuk kembali ke pulau tak berpenghuni
itu. Tapi tidak bisa melupakan masa-masa indahnya di sana. Dan sampai kapan
pun akan tetap teringat
“Hei..!” tiba-tiba Bayu tersentak.
Sekelebat, dilihatnya sebuah bayangan berkelebat di antara pepohonan yang
menyemak di samping rumah Paman Jangir. Belum lagi keterkejutannya lenyap,
tahu-tahu berkelebat sebuah bayangan lagi dari arah yang sama. Bayu baru
saja hendak bangkit ketika Paman Jangir keluar dari dalam.
“Kau lihat dua bayangan tadi, Bayu?” tanya Paman Jangir.
“Paman juga melihat?” Bayu balik bertanya.
“Aku tadi melihatnya dari jendela,” sahut Paman Jangir.
“Kira-kira siapa mereka, Paman...?”
Belum juga Paman Jangir sempat menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka,
mendadak terlihat sebuah bola api meluncur cepat ke arah rumah kecil ini
Bayu dan Paman Jangir tersentak sejenak. Namun dengan cepat, Pendekar Pulau
Neraka menyambar piring yang berisi pisang goreng di sampingnya.
“Yeaaah...!”
Sambil mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Pulau Neraka melemparkan piring
ke arah bola api tadi. Piring itu meluncur deras, menghantam bola api selagi
masih berada di udara. Satu ledakan keras terdengar begitu piring itu
menghantam bola api.
“Tampaknya kita kedatangan tamu malam ini, Paman,” kata Bayu, seraya
melompat keluar dari beranda.
“Kau mau ke mana, Bayu?” tanya Paman Jangir.
“Paman tunggu saja di situ.”
Bayu melompat cepat ke arah datangnya bola api tadi. Namun begitu tubuhnya
berada di udara. mendadak saja sebuah bayangan biru berkelebat cepat
menyambar ke arahnya. Bayu cepat-cepat memutar tubuh, menghindari terjangan
bayangan biru itu.
Dua kali Pendekar Pulau Neraka berjumpalitan di udara. Kemudian dengan
manis sekali mendarat di tanah berpasir halus. Dan begitu kakinya menjejak
tanah, tahu-tahu bayangan biru itu sudah kembali meluruk deras ke
arahnya.
“Hiyaaa...!”
Bayu cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan, menyongsong kedatangan
bayangan biru. Satu benturan keras tidak dapat dihindari lagi. Saat itu juga
terdengar ledakan keras menggelegar, tepat di saat kedua telapak tangan Bayu
membentur bayangan biru.
Bayu cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, berputaran beberapa kali
sebelum mendarat dengan manis sekali. Sedangkan bayangan biru tampak
bergulingan di atas tanah berpasir. Namun cepat bangkit kembali berdiri.
Kini, sekitar tiga tombak di depan Pendekar Pulau Neraka, sudah berdiri
seorang laki-laki bertubuh tegap mengenakan baju ketat berwarna biru.
Sehingga bentuk tubuhnya yang tegap dan berotot terlihat jelas. Bayu
mengenali laki-laki itu sebagai salah seorang yang menemani Juragan Basra
ketika melabrak Paman Jangir di kedai Nyai Sinah.
Laki-laki bertubuh tegap dengan raut wajah memancarkan kebengisan itu,
mencabut sepasang trisula kembar dari balik sabuk pinggangnya. Dengan
tangkas sekali senjata itu dimainkannya. Bayu memperhatikan dengan mata
hampir tidak berkedip. Dalam hati, dipujinya ketangkasan orang yang tak lain
adalah Pangkeng itu.
Bet! Bet!
“Hiyaaat..!”
Sambil berteriak nyaring, Pangkeng menerjang Pendekar Pulau Neraka.
Lesatannya begitu cepat dan ringan sekali. Sambaran kedua senjatanya
menimbul-kan suara angin menderu bagaikan topan. Bayu cepat melakukan
tindakan penyelamatan dengan melompat beberapa tindak ke kanan.
Tapi Pangkeng terus mendesak dengan jurus-jurusnya yang cepat dan dahsyat.
Sepasang senjata-nya yang berujung tiga dan berwarna keemasan, berkelebatan
cepat mengancam tubuh Pendekar Pulau Neraka. Beberapa kali Bayu terpaksa
harus menjatuhkan diri dan bergulingan di tanah. Bahkan beberapa kali pula
Pendekar Pulau Neraka terpaksa melen-tingkan tubuhnya ke udara. Rupanya
Pangkeng benar-benar tidak ingin memberi kesempatan pada pemuda berbaju
kulit harimau itu untuk menyerang.
Sementara Bayu tengah menghadapi Pangkeng, Paman Jangir hanya memperhatikan
saja dari depan rumah. Hatinya agak cemas juga melihat Bayu sama sekali
tidak diberikan kesempatan balas menyerang. Beberapa kali laki-laki tua ini
terkesiap, melihat ujung senjata Pangkeng hampir merobek tubuh Pendekar
Pulau Neraka.
“Hiyaaat..!”
“Heh...?!”
Paman Jangir tersentak kaget ketika tiba-tiba saja ada sebuah bayangan
kuning berkelebat ke arahnya. Cepat laki-laki tua itu melompat ke depan, dan
menjatuhkan diri di tanah. Setelah bergulingan beberapa kali, kemudian dia
melompat bangkit dengan cepat. Tapi belum lagi dia benar-benar siap,
tahu-tahu bayangan kuning tadi sudah kembali menyerang.
“Hup! Yeaaah...!”
Paman Jangir bergegas merunduk, menghindari terjangan bayangan kuning. Dan
sambil memutar tubuh bagai gasing, tangannya dihentakkan, memberi satu
pukulan keras disertai pengerahan seluruh tenaga dalam.
Plak!
“Akh...!”
Paman Jangir memekik kaget ketika tangannya menghantam bayangan kuning.
Cepat tubuhnya ditarik ke belakang. Paman Jangir merasakan seperti
menghantam sebongkah baru karang saja. Jari-jari tangannya terasa nyeri,
seperti hendak remuk rasanya. Kening laki-laki tua itu ber-kernyit ketika
melihat seorang laki-laki bertubuh tegap, mengenakan baju kuning, berdiri
tidak jauh di depannya.
Ctar!
Terdengar suara menggeletar ketika orang berbaju kuning itu melecutkan
cambuk hitamnya. Paman Jangir menarik kakinya ke belakang dua tindak. Dia
tahu kalau orang yang memegang cambuk adalah tangan kanan Juragan Basra.
Dialah yang dikenal bernama Bancak. Ilmu olah kanuragannya juga tinggi. Dan
sampai saat ini belum ada seorang pun yang dapat menandinginya. Di antara
tukang-tukang pukul Juragan Basra, Bancak memang paling ditakuti. Laki-laki
tegap itu tidak segan-segan membunuh, meski-pun karena persoalan sepele
saja.
***
“Kenapa kalian menyerang kami...?” tanya Paman Jangir.
“Jangan banyak tanya, Tua Bangka!” bentak Bancak lantang.
“Kalian pasti disuruh Juragan Basra,” tebak Paman Jangir.
“Benar. Juragan ingin kau mati.”
“Tidak semudah itu menentukan kematian orang, Bancak.”
“Banyak omong...! Hiyaaat..!”
Bancak yang memang paling tidak suka banyak bicara, langsung menyerang
Paman Jangir. Mau tidak mau, bekas murid Dewa Pedang ini harus melayani
tukang pukul andalan Juragan Basra, meskipun sadar kalau Bancak tidak mudah
ditundukkan.
Hal ini segera dirasakan Paman Jangir. Dalam beberapa jurus saja, dia sudah
mulai kewalahan. Usia tua memang menyulitkan baginya untuk mengatur
pernapasan. Terlebih lagi Bancak mengajak bertarung cepat. Seakan-akan
memang tidak ingin memberi kesempatan Paman Jangir mengambil napas.
Beberapa kali lecutan cambuk laki-laki berbaju kuning itu hampir mengenai
tubuh Paman Jangir. Namun sampai sejauh ini, belum ada satu serangan pun
yang berhasil mengenai sasaran. Sedangkan Paman Jangir sendiri hanya
memiliki beberapa kesempatan kecjl untuk balas menyerang. Dan itu pun dapat
dimentahkan dengan mudah. Serangan balasan yang dilakukan orang tua itu
tidak berarti sama sekali bagi Bancak
Ctar!
Satu lecutan cambuk yang menggelegar dahsyat, kali ini begitu cepat.
Sehingga Paman Jangir tidak punya kesempatan lagi untuk menghindar. Ujung
cambuk Bancak tepat menghantam dada kerempeng nelayan tua itu
“Akh...!” Paman Jangir memekik keras.
Laki-laki tua itu terhuyung-huyung ke belakang. Darah mengucur dari kulit
dada yang terkena sambaran ujung cambuk berduri halus. Dan belum lagi Paman
Jangir bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Bancak sudah kembali
melancarkan serangan dahsyat
Ctar!
Kembali melecutkan satu cambukan yang menggelegar dahsyat. Begitu
dahsyatnya cambukan Bancak, sehingga dari ujung cambuk yang berduri halus
itu memercik bunga api.
“Aaakh...!” kembali Paman Jangir menjerit
Cambukan Bancak merobek kulit wajah orang tua itu. Dan darah pun kembali
mengucur deras dari kulit wajahnya yang sobek cukup panjang dan dalam.
“Mampus kau! Hiyaaat..!”
Bancak melompat bagaikan kilat sambil melepas-kan satu pukulan menggeledek,
disertai pengerahan seluruh tenaga dalam. Serangan Bancak kali ini sukar
dihindari lagi.
Des!
“Aaa...!”
Paman Jangir terpental deras ke belakang disertai jeritan panjang
melengking. Keras sekali tubuh tua itu menghantam tanah berpasir. Sebentar
tubuhnya mampu menggeliat, sesaat kemudian diam tak berkutik lagi. Darah
segar mengucur deras dari mulutnya.
“Ha ha ha...!” Bancak tertawa terbahak-bahak melihat Paman Jangir
menggeletak tak bernyawa lagi. Laki-laki bertubuh tegap berbaju kuning itu
memutar tubuhnya, mengamati pertarungan antara Bayu dan Pangkeng.
Pertarungan itu tampaknya tidak akan berlangsung lama lagi. Dan sudah
kelihatan kalau kali ini Pangkeng terdesak.
“Yeaaah...!”
Pada satu kesempatan, satu pukulan menggeledek yang dilancarkan Bayu
berhasil mendarat telak di dada Pangkeng. Sehingga membuat tukang pukul
Juragan Basra ini terpental jauh ke belakang.
Tepat pada saat itu, Bancak sudah melompat cepat bagaikan kilat menyambar
Pangkeng sebelum tubuhnya menghantam tanah. Begitu berhasil me-nyambar tubuh
temannya, dia langsung melesat pergi dengan kecepatan yang sukar diikuti
mata biasa. Semula Bayu hendak mengejar, tapi terpaksa niatnya itu
diurungkan ketika teringat Paman Jangir. Pendekar Pulau Neraka terkesiap
begitu melihat Paman Jangir menggeletak berlumuran darah.
“Paman...!” jerit Bayu.
Bergegas Pendekar Pulau Neraka memburu. Sejenak dia tertegun melihat Paman
Jangir sudah tidak bergerak lagi. Darah segar masih mengucur deras dari luka
di dada dan muka. Mulutnya yang terbuka, penuh tersumpal gumpalan darah
kental kehitaman.
“Paman...”
Bayu berlutut di samping tubuh tua yang meng-geletak mandi darah itu.
Pendekar Pulau Neraka cepat memeriksa urat nadi di leher. Dia mengeluh dan
tertunduk lemas ketika tahu kalau Paman Jangir sudah tewas.
“Keparat..,” desis Bayu menggeram.
Pendekar Pulau Neraka mendongak. Sinar mata-nya yang tajam tampak memerah.
Dan mendadak wajahnya menegang kaku. Seluruh tubuhnya ber-getar, menahan
gejolak marah yang menggelegak bagaikan lahar di perut gunung.
“Keparat kau, Basra.... Kubunuh kau...!” jerit Bayu melengking.
Disertai teriakan menggelegar, Pendekar Pulau Neraka melampiaskan
kemarahannya. Sebatang pohon besar yang berada di dekatnya, hancur
berkeping-keping terkena pukulan bertenaga dalam penuh. Sebongkah baru
karang juga hancur terkena pukulan.
Bayu terus mengamuk, menumpahkan seluruh kemarahannya. Sesaat kemudian,
pemuda itu jatuh kembali berlutut di samping tubuh Paman Jangir. Kepalanya
tertunduk dalam dengan bahu ber-guncang. Meskipun batinnya menangis, tapi
raut wajahnya memerah, menahan kemarahan.
Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengangkat tubuh bekas murid ayahnya, dan
membawanya masuk ke dalam rumah. Ayunan kakinya begitu perlahan dan gontai.
Sementara malam terus merambat semakin larut. Tak lagi terdengar suara
selain deburan ombak menghantam karang.
Bayu meletakkan jasad Paman Jangir di atas dipan kayu di kamar laki-laki
tua itu. Lalu menutupinya dengan selembar kain yang sudah lusuh dan pudar
warnanya. Dipandanginya tubuh tua yang terbaring tak bernyawa lagi. Kini
sudah tak ada lagi orang yang dapat dijadikan tempat mengadu. Satu-satunya
orang yang tahu perihal keluarganya sudah tewas.
“Akan kubalas kematianmu, Paman. Aku janji...,” ujar Bayu, agak tersendat
suaranya.
***
LIMA
Sejak semalam, hingga matahari naik tinggi, Bayu berdiri mematung di depan
pusara yang tanahnya masih merah. Di dalam gundukan tanah itu terbaring
jasad Paman Jangir. Satu-satunya bekas murid Padepokan Teratai Putih yang
diketahui Pendekar Pulau Neraka. Semula, Bayu mengunjungi Paman Jangir untuk
meminta kepastian, apakah ibunya masih hidup atau sudah mati.
Tapi beberapa peristiwa yang dialaminya membuat Bayu menunda maksudnya.
Bahkan sampai Paman Jangir tewas di tangan tukang pukul Juragan Basra dia
tidak sempat bertanya. Pendekar Pulau Neraka berpaling ketika seekor monyet
kecil mencericit di atas dahan pohon. Monyet kecil yang ternyata adalah
Tiren, meluncur turun dan langsung hinggap di pundaknya. Bayu memberikan
senyuman tipis. Kemudian menepuk-nepuk kaki binatang berbulu coklat
itu.
“Kini tinggal kau satu-satunya sahabatku, Tiren,” kata Bayu pelan.
“Nguk!” Tiren seperti mengerti.
Monyet cerdas itu memeluk leher Bayu erat-erat dan menggosok-gosokkan
wajahnya ke pipi Bayu. Begitu manja sikapnya, seolah-olah hendak meng-hibur
hati Pendekar Pulau Neraka.
“Aku harus membalas kematian Paman Jangir, Tiren,” kata Bayu lagi. Suaranya
masih terdengar pelan.
“Nguk!” lagi-lagi Tiren menyahuti dengan suara yang khas.
Sebentar Bayu menatap baru nisan pusara Paman Jangir. Kemudian kepalanya
mendongak sejenak. Dengan perasaan berat, Pendekar Pulau Neraka memutar
tubuh, mulai berjalan perlahan-lahan meninggalkan pusara Paman Jangir.
Ayunan kaki Pendekar Pulau Neraka demikian perlahan, seakan-akan tidak ada
semangat hidup lagi. Baru kali inilah dia begitu kehilangan. Setelah Eyang
Gardika, dia sudah menganggap Paman Jangir sebagai pengganti orang tuanya.
Tapi belum sempat mengucapkan kata-kata itu, semua sudah terjadi. Paman
Jangir kini terbaring di tempat peristirahatan-nya yang terakhir.
Emoticon