LIMA
PENDEKAR PULAU NERAKA menolehkan kepala ketika mendengar derap kaki kuda
serombongan prajurit bergerak cepat menuju ke arahnya. Ada sekitar lima
puluh prajurit berkuda yang dipimpin seorang punggawa. Bayu mengenali
punggawa itu, karena memang pernah bertemu sebelumnya di taman belakang
Istana Kerajaan Kati Jirak. Prajurit berkuda itu berhenti di depan Pendekar
Pulau Neraka yang bergegas bangkit berdiri dan turun dari batu yang
didudukinya. Dilemparkannya kail yang hanya dari ranting bambu kecil ke
dalam sungai. Sejak pagi tadi, belum ada seekor ikan pun yang berhasil
dipancing.
"Punggawa Dipa Praga, hendak ke manakah membawa rombongan prajurit?" sapa
Bayu ramah.
"Aku datang untuk menjemputmu, Bayu," sahut Punggawa Dipa Praga.
"Menjemputku...?" Bayu mengerutkan keningnya.
"Benar! Dan kuharap kau tidak membuat kesulitan."
Punggawa Dipa Praga menjentikkan jarinya. Dua orang prajurit melompat turun
dari punggung kudanya. Mereka menghampiri Bayu sambil menggenggam tambang di
tangan. Bayu jadi tidak mengerti, dan hanya melangkah mundur dua
tindak.
"Tunggu! Untuk apa tambang ini...?" tanya Bayu minta penjelasan.
"Kau akan tahu nanti di istana, Bayu. Sebaiknya tidak perlu melawan!" tegas
nada suara Punggawa Dipa Praga. "Pengawal, ikat dia!"
"Hey...! Tunggu dulu! Aku bukan buronan, mengapa ingin mengikatku?!" sentak
Bayu semakin tidak mengerti akan sikap punggawa ini.
"Sekarang ini kau menjadi buronan Kerajaan Kali Jirak, Bayu!" tegas
Punggawa Dipa Praga sinis.
Bayu benar-benar tidak mengerti dengan semua ini, tapi tidak mau
menyerahkan diri begitu saja. Sementara prajurit-prajurit lainnya sudah
berlompatan turun dari kuda masing-masing. Mereka langsung bergerak
mengepung Pendekar Pulau Neraka ini. Bahkan sekarang ada enam prajurit yang
mengelilingi Bayu sambil memutar-mutar ujung tambang. Melihat gelagat yang
kurang menguntungkan ini, Bayu langsung bersiap-siap. Ditatapnya Punggawa
Dipa Praga dengan sinar mata tajam. Sedangkan Punggawa Dipa Praga
membalasnya dengan tidak kalah tajam pula.
'Punggawa, jelaskan. Apa maksud semua ini?" pinta Bayu.
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan, Bayu. Prajurit...! Tangkap bajingan
ini...!" perintah Punggawa Dipa Praga lantang.
"Eh...!"
Bayu tidak punya kesempatan untuk berbicara lagi. Enam orang prajurit yang
memegang tambang sudah bergerak melempar tambangnya ke atas melewati kepala
Pendekar Pulau Neraka itu. Dan mereka secara bersamaan melompat menangkap
ujung tambang yang dilemparkan itu.
Bayu bisa mengerti cara penangkapan ini. Dengan cepat dilentingkan tubuhnya
ke udara sambil meraih Cakra Maut Senjata itu kemudian digenggam dengan
tangan kanannya. Sambil berteriak keras, Pendekar Pulau Neraka itu bergerak
cepat mengibaskan tangannya membabat tambang-tambang yang membentuk jaring
di atas kepala.
Tas! Tas! Tas...!
Tambang-tambang itu seketika putus, maka enam orang prajurit itu
berpentalan karena pada saat itu mereka menarik tambang kuat kuat Tubuh
mereka bergelimpangan di tanah dengan wajah terbengong melihat tambang yang
terpotong-potong jadi beberapa bagian. Sementara Bayu dengan manis sekali
mendarat kembali di tanah. Dia memasang lagi Cakra Maut di pergelangan
tangannya.
"Bayu! Kuperingatkan sekati lagi, jangan membuat perlawanan!" bentak
Punggawa Dipa Praga gusar.
"Hm.... Siapa yang memerintahkanmu untuk menangkapku, Punggawa?" tanya
Bayu.
"Kau tidak perlu tahu. Ini perintah!" sentak Punggawa Dipa Praga.
"Baik! Kalau begitu, aku tidak akan menuruti perintahmu!"
"Keparat.. Serang...! Penggal kepalanya!" perintah Punggawa Dipa Praga
lantang.
Seketika itu juga prajurit-prajurit yang memang sejak tadi sudah menunggu
perintah, langsung menghambur menyerbu Pendekar Pulau Neraka. Bayu yang
tidak mengerti persoalannya, jadi ragu-ragu. Dia hanya bisa berkelit dan
berlompatan menghindar tanpa memberi serangan balasan. Namun
serangan-serangan yang datang demikian gencar.
Bahkan beberapa kali ujung tombak dan mata pedang hampir menghunjam tubuh
Pendekar Pulau Neraka. Semakin lama ruang gerak Bayu semakin terasa sempit.
Bahkan sukar baginya untuk berbuat banyak lagi. Prajurit-prajurit ini
benar-benar ingin mencincang tubuhnya.
Bayu memang paling tidak menyukai keadaan seperti ini. Darahnya langsung
mendidih ketika satu tendangan yang dilancarkan Punggawa Dipa Praga berhasil
bersarang di tubuhnya, dan membuatnya terhuyung ke belakang. Kalau saja
tidak cepat-cepat mengegos, tentu tubuhnya sudah terpanggang sebatang tombak
yang datang dari arah belakang.
"Phuih! Kalian benar-benar ingin membunuhku, rupanya!" dengus Bayu mulai
gusar.
"Hayo! Serang terus! Cincaaang...!" seru Punggawa Dipa Praga memberi
semangat para prajuritnya.
Mendengar teriakan-teriakan bernada perintah itu, Bayu jadi semakin
memuncak amarahnya. Seluruh darah di tubuhnya bergolak mendidih. Wajahnya
memerah menahan kemarahan yang hampir melesak sampai ke kepala.
"Keparat..!" desis Bayu geram ketika hampir saja sebuah pedang menebas
lehernya. Sambil menggeram marah, Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan
tangannya. Segera disampoknya tangan prajurit yang memegang pedang itu.
Sungguh cepat luar biasa gerakan Bayu. Sebelum prajurit itu bisa menyadari,
tahu-tahu terpekik keras dan tubuhnya terpental ke udara.
Sebelum prajurit itu ambruk ke tanah, Bayu sudah cepat memutar tubuhnya
sambil menggerakkan tangannya bagai kilat memberikan beberapa pukulan
beruntun. Seketika itu juga jerit dan pekikan melengking terdengar saling
sambut disusul tubuh-tubuh berpelantingan menggelepar di tanah. Dalam satu
gebrakan saja, tidak kurang dari sepuluh prajurit merintih menggelepar di
tanah.
***
MELIHAT sepuluh orang menggelepar dan merintih kesakitan, prajurit-prajurit
lainnya langsung berlompatan mundur. Saat itu mereka merasa gentar
menghadapi pemuda berbaju kulit harimau ini. Bayu berdiri tegak sambil
menatap tajam Punggawa Dipa Praga. Sementara punggawa itu melangkah mundur
beberapa tindak. Tampak jelas raut wajahnya memancarkan kegentaran pada
kedigdayaan Pendekar Pulau Neraka ini.
"Baik! Kali ini kau boleh merasa menang, Bayu. Tapi lain waktu kau akan
meratap memohon ampun padaku!" desis Punggawa Dipa Praga dingin.
"Aku khawatir malah sebaliknya kau yang meratap, Punggawa!" balas Bayu
tidak kalah dingin.
Punggawa Dipa Praga memberi isyarat pada prajurit-prajuritnya. Tanpa
diperintah dua kali, prajurit-prajurit itu segera berlompatan naik ke
punggung kuda masing-masing. Sebagian membantu temannya yang terluka. Bayu
memang sengaja hanya memberi sedikit luka pada mereka. Tidak ada maksud
sedikit pun dihatinya untuk membunuh.
Pelahan-lahan Punggawa Dipa Praga melangkah mundur menghampiri kudanya,
kemudian melompat naik ke punggung tunggangannya itu. Sebentar ditatapnya
Pendekar Pulau Neraka, kemudian digebah kudanya dengan kecepatan tinggi.
Debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa ketika puluhan kuda berpacu cepat
meninggalkan tepian sungai itu.
Bayu masih berdiri tegak memandangi kepergian para Prajurit Kerajaan Kali
Jirak itu. Hatinya jadi bertanya-tanya, kenapa prajurit-prajurit itu hendak
menangkapnya? Bahkan berniat membunuhnya? Pendekar Pulau Neraka jadi
teringat Raden Antawirya yang kini berada di dalam istana.
"Hm.... Apa yang terjadi pada Raden Antawirya?" gumam Bayu bertanya-tanya
sendiri.
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Pulau Neraka itu melesat pergi
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Arah yang dituju sudah jelas ke
Kota-raja Kali Jarak. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang sudah
mencapai taraf kesempurnaan, sehingga bisa berlari kencang seperti angin.
Kedua tapak kakinya bagai tak menjejak tanah, sehingga bagaikan terbang
saja.
Dan yang terlihat kini hanya bayangan tubuhnya saja yang berkelebat tak
berbentuk. Tanpa memerlukan waktu lama, Pendekar Pulau Neraka itu sudah tiba
di dekat tembok benteng istana bagian belakang. Sebentar diamati keadaan
sekitarnya, kemudian dia melompat naik ke atas tembok benteng yang tinggi
itu. Hanya sekali lesatan saja, Bayu sudah bisa mencapai bagian atas
tembok.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu mengamati keadaan dalam tembok benteng
ini. Tampak beberapa penjaga hilir mudik mengitari bangunan besar dan megah
itu. Perhatian Bayu terpusat ke sebuah jendela yang terbuka lebar. Dari
tempat ini dapat terlihat jelas keadaan dalam kamar melalui jendela yang
terbuka lebar itu.
Tampak Raden Antawirya tengah duduk di kursi menghadap jendela. Di depannya
berdiri seorang laki-laki yang rambutnya sudah memutih semua. Bayu tahu,
siapa laki-laki tua yang berdiri menghadap Raden Antawirya dan membelakangi
jendela itu. Meskipun tidak bisa melihat wajahnya, tapi sudah cukup bagi
Pendekar Pulau Neraka untuk mengetahui. Dia adalah Prabu Truna Dilaga.
"Hm..., apa yang mereka bicarakan...?" gumam Bayu bertanya di dalam
hati.
Cukup jauh jarak antara tempat ini dengan kamar itu. Tak mungkin Bayu bisa
mendengarkan percakapan di dalam kamar itu. Sebentar diedarkan pandangannya
berkeliling. Bibirnya kemudian tersenyum begitu melihat sebuah pohon cukup
besar, dan sepertinya berada dalam jangkauannya. "Hup...!"
Indah sekali gerakan Pendekar Pulau Neraka saat melentingkan tubuhnya ke
arah pohon itu. Cepat dan ringan sekali, sehingga tak ada yang mengetahui.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya hinggap di cabang pohon.
Sebentar kemudian Bayu sudah melesat ringan menuju atap, tepat di kamar
itu.
Tap!
Bayu langsung merapatkan tubuhnya begitu mencapai atap. Dari atap ini
percakapan di dalam kamar bisa terdengar. Tapi begitu telinganya dipasang
tajam-tajam, Pendekar Pulau Neraka itu jadi berkerut keningnya. Ternyata di
dalam kamar itu tidak terdengar satu suara pun. Pelahan-lahan Bayu menggeser
tubuhnya lebih ke tepi, lalu dijulurkan kepalanya ke bawah, mencoba melihat
ke dalam kamar.
"Sial...!" rutuk Bayu begitu melihat ke dalam kamar yang sudah kosong
Ternyata pada saat Bayu tiba di atap, Prabu Truna Dilaga dan Raden
Antawirya telah meninggalkan kamar itu. Bayu kembali menarik kepalanya
bergegas, karena mendengar suara langkah tidak jauh di bawah sana. Tampak
dua orang prajurit penjaga tengah berjalan melintasi jendela kamar itu. Bayu
merapatkan tubuhnya ke atap, agar tidak terlihat.
"Huh...! Apa yartg harus kulakukan sekarang...?" dengus Bayu dalam
hati.
Dua orang prajurit penjaga itu bukannya lewat, tapi malah berhenti di depan
jendela. Dan Bayu jadi dongkol setengah mati. Tubuhnya mulai terasa pegal
dalam posisi seperti ini. Sesekali diliriknya dua penjaga itu. Dan kini
Pendekar Pulau Neraka merutuk dalam hati, karena kedua penjaga itu malah
duduk di bawah pohon.
"Dasar, penjaga malas!" gerutu Bayu sengit.
Bayu menyadari tidak mungkin meninggalkan atap ini. Sedikit saja bergerak,
pasti kedua penjaga itu bisa mengetahuinya. Pendekar Pulau Neraka itu
bersungut-sungut dalam hati. Hatinya menyesal karena menyelinap begini tanpa
hasil yang diharapkan. Sedangkan dua orang prajurit penjaga itu malah
tertawa-tawa, sehingga membuat Bayu semakin menggerutu kesal dalam hati.
Bola mata Pendekar Pulau Neraka itu berputar, dan otaknya bekerja keras
mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk meloloskan diri dari ketersiksaan
seperti ini.
"Setan! Bisa sampai malam aku di sini...!" rutuk Bayu kesal.
***
SEMENTARA itu di ruangan lain, Raden Antawirya dan ayahnya sedang berdebat
sengit. Pemuda itu tidak menyukai tindakan ayahnya yang memerintahkan
Punggawa Dipa Praga menangkap Bayu. Bahkan memerintahkan membunuh jika
pemuda berbaju kulit harimau itu melawan.
"Kenapa Ayahanda melakukan itu?" dengus Raden Antawirya.
"Dalam keadaan seperti ini, aku tidak bisa mempercayai siapa pun. Terlebih
lagi pada orang yang belum kita kenal asal-usulnya, Antawirya," jawab Prabu
Truna Dilaga.
'Tapi, kenapa Ayah tidak bilang dulu padaku?"
"Aku masih sah sebagai raja di sini, Antawirya!" bentak Prabu Truna
Dilaga.
"Maaf, Ayahanda Prabu. Nanda tidak bermaksud menyinggung," ucap Raden
Antawirya.
"Ah, sudahlah. Nanti kalau Punggawa Dipa Praga kembali, kau boleh menanyai
teman barumu itu," jelas Prabu Truna Dilaga.
Pada saat itu seorang prajurit penjaga datang menghadap. Dilaporkan bahwa
Punggawa Dipa Praga hendak menghadap. Dan Prabu Truna Dilaga memerintahkan
Punggawa Dipa Praga segera menemuinya. Pengawal itu bergegas pergi setelah
memberi hormat. Tak lama berselang, muncul Punggawa Dipa Praga dalam keadaan
tubuh yang lusuh dan kotor berdebu. Punggawa itu langsung menjatuhkan diri
bersimpuh di depan Prabu Truna Dilaga.
"Mana anak muda itu?" tanya Prabu Truna Dilaga langsung. "Ampun, Gusti
Prabu. Hamba gagal menjalankan tugas," lapor Punggawa Dipa Praga.
"Apa...?!" Prabu Truna Dilaga mendelik.
"Anak muda yang bernama Bayu itu melawan, dan hamba mencoba meringkusnya,
Gusti Prabu. Tapi dia digdaya sekali. Sepuluh prajurit yang hamba bawa
terluka cukup parah," jelas Punggawa Dipa Praga.
"Sudah kukatakan, tidak mudah menangkap Bayu...," dengus Raden Antawirya
tersenyum tipis.
Prabu Truna Dilaga mendelik pada putranya yang duduk di sebelahnya,
kemudian kembali menatap Punggawa Dipa Praga yang masih duduk bersimpuh di
lantai. Kepala punggawa itu tertunduk dalam, seakan-akan tak sanggup
menerima sorot mata laki-laki tua itu yang sangat tajam menusuk.
"Huh! Dia sudah berani membangkang perintahku!" dengus Prabu Truna Dilaga.
"Punggawa...!"
"Hamba Gusti Prabu."
"Bawa prajurit pilihan lebih banyak lagi. Tangkap dia, dan kalau perlu
bunuh di tempat!" perintah Prabu Truna Dilaga.
"Hamba laksanakan, Gusti Prabu."
Punggawa Dipa Praga memberi sembah dengan merapatkan kedua tangannya di
depan hidung, kemudian beranjak meninggalkan ruangan itu. Prabu Truna Dilaga
mendengus berat. Kembali ditatap putranya yang tersenyum-senyum seakan-akan
meremehkan perintah ayahnya tadi pada Punggawa Dipa Praga.
"Kenapa kau tersenyum-senyum, Antawirya?" dengus Prabu Truna Dilaga bernada
kurang senang.
"Ampun, Ayahanda Prabu. Nanda hanya merasa tindakan Ayahanda Prabu terlalu
berlebihan. Nanda yakin, Bayu tidak akan mau menurut jika Ayahanda Prabu
mengerahkan sekian banyak prajurit. Dia bukan manusia sembarangan.
Kepandaiannya tinggi sekali, Ayahanda Prabu," ujar Raden Antawirya seraya
memberikan hormat.
"Seberapa jauh kau mengenalnya, Antawirya?" tanya Prabu Truna Dilaga
datar.
'Tidak begitu jauh. Tapi aku percaya kalau dia tidak seburuk yang Ayah
kira," jawab Raden Antawirya.
'Tapi kau harus melihat kenyataannya, Anakku. Dia sudah berani membangkang
perintahku."
Raden Antawirya hanya mengangkat bahunya saja. Pada saat itu Rara Kuminten
masuk ke ruangan ini. Sementara Raden Antawirya segera mohon diri dan
meninggalkan ruangan itu. Rara Kuminten memandangi putra mahkota itu,
kemudian menghampiri Prabu Truna Dilaga yang masih duduk di kursi kayu
berukir. Kemudian wanita itu duduk di depannya. Hanya sebuah meja kecil yang
menjadi pembatas antara mereka.
"Kenapa dia, Kanda?" tanya Permaisuri Rara Kuminten seraya melirik Raden
Antawirya yang baru saja lenyap di balik pintu.
"Dia tidak menyukai tindakanku," sahut Prabu Truna Dilaga masih bernada
kesal.
"Dia membela anak muda itu, Kanda?"
"Entahlah. Tapi kelihatannya memang begitu"
"Hm.... Ini sangat berbahaya, Kanda," gumam Permaisuri Rara Kuminten,
terdengar pelan suaranya.
Prabu Truna Dilaga menatap dalam-dalam wanita di depannya ini. Walaupun
usianya sudah berkepala empat, tapi masih kelihatan cantik menggairahkan.
Bahkan seperti masih berusia dua puluhan saja.
"Kanda Prabu! Kita tidak tahu, sudah berapa lama Antawirya berhubungan
dengan pemuda itu. Aku jadi curiga.... Jangan-jangan dia tidak ke Hutan
Kamiaka, tapi...," Rara Kuminten memutuskan kata-katanya.
'Teruskan, Dinda," pinta Prabu Truna Dilaga sambil mengerutkan
keningnya.
"Kanda, bukankah Raden Antawirya bukan putra kandung...?"
"Apa maksudmu, Dinda?"
"Kanda tidak memiliki seorang anak laki-laki. Dan Kanda hanya mempunyai
seorang putri yang kini hilang diculik hingga tak tahu kabar beritanya lagi.
Sedangkan Antawirya hanya anak dari seorang selir yang bersekongkol dengan
pemberontak yang mencoba meruntuhkan tahta. Malah Kanda sendiri yang
menjatuhkan hukuman mati kepada selir itu. Aku jadi curiga kalau
sesungguhnya Raden Antawirya diam-diam menyusun kekuatan hendak merebut
tahta," kata Permaisuri Rara Kuminten mengemukakan pikirannya.
Prabu Truna Dilaga terdiam sambil mengelus-elus janggutnya yang berwarna
dua. Apa yang dikatakan Permaisuri Rara Kuminten barusan memang tidak bisa
disalahkan. Raden Antawirya memang hanya anak selir. Itu pun sebenarnya anak
hasil hubungan gelap seorang selir dengan seorang punggawa. Karena wanita
itu selir, lalu Prabu Truna Dilaga mengangkat Antawirya menjadi anak.
'Tapi dia tidak tahu siapa orang tuanya yang sebenarnya, Dinda," kata Prabu
Truna Dilaga.
"Siapa tahu ada yang membocorkan rahasia ini, Kanda. Hampir semua penghuni
istana ini tahu siapa Antawirya sebenarnya. Aku tidak menuduh satu-satu. dan
kemungkinan itu juga bisa saja terjadi, bukan?"
"Bagaimana kalau dugaanmu salah?"
"Dugaan itu bisa salah dan bisa juga benar, Kanda. Dalam keadaan seperti
ini, segala kemungkinan tidak bisa diabaikan begitu saja. Tapi aku juga
tidak mengharapkan kalau dugaanku benar. Kanda bisa menyelidikinya dengan
menempatkan seorang telik sandi yang khusus mengamati segala tingkah laku
Raden Antawirya," tenang sekali nada suara Rara Kuminten.
Prabu Truna Dilaga mengangguk-anggukkan kepalanya, sedangkan Rara Kuminten
tersenyum manis. Wanita itu kemudian pindah duduknya ke samping laki-laki
tua itu dan langsung melingkarkan tangannya di pinggang. Prabu Truna Dilaga
menggamit bahu wanita itu dan memberi satu kecupan lembut di bibirnya.
"Ah, Kanda. Sebaiknya istirahat saja dikamar," rajuk Permaisuri Rara
Kuminten.
"Kau selalu membuatku bergairah, Dinda,'' puji Prabu Truna Dilaga seraya
bangkit berdiri.
"Biarpun sudah tua, Kanda tetap tampan dan penuh gairah," balas Rara
Kuminten.
Prabu Truna Dilaga tertawa senang. Diberikannya hadiah kecupan lembut di
bibir wanita itu. Rara Kuminten membalasnya dengan hangat pula. Mereka
berjalan meninggalkan ruangan itu sambil berangkulan.
***
ENAM
"Eh...!"
RADEN ANTAWIRYA terperanjat begitu masuk ke kamarnya. Entah dari mana,
tahu-tahu di dalam kamar itu sudah ada Pendekar Pulau Neraka. Buru-buru
Raden Antawirya menutup pintu kamar ini dan menguncinya. Juga, bergegas
ditutupnya jendela. Sedangkan Bayu duduk tenang di bangku dekat jendela.
Raden Antawirya menarik sebuah kursi dan duduk di depan Pendekar Pulau
Neraka itu.
"Kenapa kau ke sini, Bayu?" tanya Raden Antawirya, setengah berbisik
suaranya.
"Ada yang ingin kusampaikan padamu," jelas Bayu.
"Aku tahu, kau pasti akan protes tentang penyerangan para prajurit itu,
bukan?" tebak Raden Antawirya langsung.
"Bagaimana kau tahu?"
"Baru saja aku berdebat dengan Ayah. Aku juga tidak tahu, mengapa justru
Ayah mencurigaimu, Bayu. Maaf, aku tadi tidak sempat mencegah."
"Sejak semula sudah kuduga, ada yang tidak beres di sini...," gumam Bayu
pelan.
"Ketidakberesan itu semakin terlihat jelas, Bayu. Terutama sikap ayahku
yang begitu lain," sambung Raden Antawirya.
Bayu mengerutkan keningnya. Sungguh tidak disangka kalau pemikiran Raden
Antawirya sampai sejauh itu. Sampai-sampai ayahnya sendiri pun mendapat
kecurigaan.
"Terus terang, aku sendiri curiga ada yang tidak wajar pada diri Ayahanda
Prabu, Bayu. Aku tidak melihat lagi seorang ayah yang kukenal, yang
kukagumi, kuhormati, dan menjadi panutan dalam hidupku. Rasanya aku
berhadapan dengan sosok asing yang tidak pernah kukenal di dalam diri
Ayahanda Prabu," ungkap Raden Antawirya.
"Kenapa kau punya perasaan begitu, Raden?" tanya Bayu.
"Entahlah, Bayu Sejak aku kembali, keanehan semakin terasa di sekitarku.
Sepertinya aku berada di suatu tempat yang sangat asing dan tidak pernah
kukenal sebelumnya."
Bayu terdiam membisu.
"Bahkan Ayahanda Prabu sama sekali tidak menyinggung-nyinggung lagi tentang
penculikan Intan Wandira. Dia seperti melupakan anaknya, Bayu. Aku tidak
lagi melihat kesedihan dimatanya, bahkan beberapa kali kudengar perintah
yang rasanya tidak masuk akal," sambung Raden Antawirya.
"Kau tahu kenapa sebabnya?" tanya Bayu.
"Itulah yang membuatku tidak mengerti, Bayu," desah Raden Antawirya
lirih.
Bayu kembali terdiam, kemudian bangkit berdiri ketika mendengar suara
langkah kaki di luar jendela. Dari sela-sela jendela kamar ini, diintipnya
keadaan luar. Pendekar Pulau Neraka itu bersungut dalam hati saat melihat
dua penjaga berada tidak jauh di depan jendela. Dua penjaga yang tadi hampir
membuatnya kehilangan kesabaran Mereka duduk-duduk di bawah pohon seperti
tadi.
"Ada apa, Bayu?" tanya Raden Antawirya seraya ikut mengintip.
"Tidak apa-apa. Hanya penjaga," sahut Bayu kembali duduk di kursi.
Raden Antawirya ikut duduk kembali di kursinya semula.
"Raden, tetaplah berada di istana ini. Aku akan ke Hutan Kamiaka," kata
Bayu.
"He...! Untuk apa ke sana?" Raden Antawirya tersentak kaget.
"Aku akan menyelidiki, ada apa di hutan itu."
"Kalau begitu, aku ikut."
"Jangan, Raden Jika kau ikut denganku, mereka akan tahu tujuanku. Tetaplah
Raden di sini, sambil menyelidiki terus perkembangannya."
'Tapi...."
"Ingat, Raden. Orang yang kita buru belum jelas siapa. Dan kita berdua
yakin, kalau orang itu ada di dalam istana ini. Jika Raden keluar dari
istana, tentu ada yang membuntuti. Dan mereka akan mengetahui kalau Raden
berjalan bersamaku. Sangat berbahaya, Raden. Bisa-bisa mereka memanfaatkan
ini dan memutarbalikkan kenyataan. Raden tahu maksudku...?" Bayu mencoba
menjelaskan.
"Aku mengerti, Bayu. Hati-hatilah," sahut Raden Antawirya.
"Secepatnya akan kulaporkan keadaan di sana, Raden," kata Bayu
berjanji.
Raden Antawirya tersenyum dan menepuk pundak Pendekar Pulau Neraka itu.
Sebentar mereka terdiam, kemudian Bayu bangkit berdiri lagi. Dia mendengus
begitu mengintip ke luar jendela. Dua orang penjaga masih berada di sana,
duduk di bawah pohon.
"Aku akan membawa mereka pergi dari situ, Bayu," kata Raden Antawirya,
seperti mengerti arti dengusan Pendekar Pulau Neraka itu.
Bayu hanya mengangguk saja. Sebentar kemudian Raden Antawirya keluar dari
kamar ini. Pelahan Bayu membuka jendela sedikit agar bisa leluasa melihat
keadaan di luar. Tak lama terlihat Raden Antawirya memanggil kedua penjaga
yang kemudian bergegas menghampiri. Pada saat itu Bayu membuka jendela
lebar-lebar dan melesat ke luar. Raden Antawirya sempat melihat Bayu melesat
ke luar. Hatinya kagum dengan keindahan dan kecepatan gerak Pendekar Pulau
Neraka itu. Tak ada yang tahu, dan Pendekar Pulau Neraka itu sudah lenyap di
balik tembok dengan kecepatan luar biasa.
***
SUDAH dua hari Raden Antawirya menunggu, tapi tidak ada kabar berita dari
Pendekar Pulau Neraka yang pergi ke Hutan Kamiaka. Putra Mahkota Kerajaan
Kali Jirak itu jadi gelisah, dan jadi tidak kerasan mengurung diri dalam
kamar. Raden Antawirya keluar kamarnya, dan terus menuju ke istal. Pemuda
tampan berusia dua puluh tahun lebih itu mengambil kuda dan menungganginya
keluar dari lingkungan istana yang dipagari benteng tinggi dan kokoh. Kuda
putih itu berlari kencang menuju Utara. Raden Antawirya tidak tahu kalau
sejak dari istana, selalu dibuntuti seseorang.
Raden Antawirya menghentikan lari kudanya setelah melewati batas gerbang
kotaraja bagian Utara. Dua orang penjaga gerbang hanya bisa memandangi tak
mengerti karena Raden Antawirya cepat memacu kudanya dan lenyap didalam
hutan. Pemuda itu melompat turun dari punggung kudanya, lalu menoleh ke
belakang. Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan berkelebat menyelinap ke
dalam semak.
"Heh...?!" Raden Antawirya terperanjat.
Tanpa berpikir panjang lagi, putra mahkota itu melentingkan tubuhnya ke
udara, dan hinggap di cabang pohon. Lalu dia kembali melenting indah, dan
berputaran di udara. Dengan ringan sekali, pemuda itu berlompatan dari ujung
pohon yang satu ke ujung pohon lainnya. Dan dengan satu gerakan ringan,
Raden Antawirya meluruk turun, tepat di depan seseorang yang bersembunyi di
balik semak.
"Siapa kau...?!" bentak Raden Antawirya. "Oh...!" orang itu terperanjat
kaget.
Raden Antawirya menarik ke luar pedang dari sarungnya di pinggang, langsung
ditempelkan ke leher laki-laki muda berpakaian lusuh bagai seorang perambah
hutan. Pemuda itu menatap tajam dan menyuruh orang itu keluar dari semak.
Dengan sikap takut-takut, laki-laki muda berpakaian lusuh itu beranjak
keluar dari semak.
"Siapa kau?" tanya Raden Antawirya.
"Hamba.... Hamba hanya pencari kayu bakar, Raden...," sahut orang
itu.
"Hm...," Raden Antawirya tidak percaya pada jawaban laki-laki muda
berpakaian kumal ini.
Diamati seluruh tubuh dan wajahnya. Keningnya berkerut dan matanya sedikit
menyipit Dengan ujung pedang, diangkatnya wajah laki-laki itu. Kemudian
mengambil tangannya. Sambil mendengus, Raden Antawirya melemparkan tangan
orang itu Dia semakin ketat menempelkan mata pedangnya ke leher yang telah
penuh peluh.
"Mana kapakmu, Kisanak?" tanya Raden Antawirya bernada curiga."
"Anu, Raden..., ta.... Tadi terjatuh," sahut orang itu tergagap.
"Hm.... Kau terlalu bodoh mencari alasan, Kisanak," dengus Raden Antawirya
dingin.
Orang itu hanya menundukkan kepalanya saja. Keringat semakin deras
membanjiri tubuhnya. Raden Antawirya tahu, kalau orang ini bukan pencari
kayu bakar. Kapak seorang pencari kayu bakar tidak akan pernah tertinggal.
Lagi pula kulit tubuh dan buku-buku jari tangan orang ini tidak menyiratkan
kalau sering melakukan pekerjaan berat.
"Siapa kau sebenarnya, dan apa pekerjaanmu di sini?" tanya Raden Antawirya
dingin.
"Hamba.... Hamba.... Akh...!"
Raden Antawirya terkejut ketika tiba-tiba sebatang anak panah menancap
dalam di leher laki-laki itu. Cepat Raden Antawirya melompat ketika melihat
sebuah bayangan berkelebat cepat. Tapi bayangan itu lenyap lebih cepat
lagi.
"Huh!" Raden Antawirya mendengus kesal.
Bergegas dihampiri laki-laki itu, lalu diperiksanya. Tapi, laki-laki
berbaju kumal itu sudah tidak bernyawa lagi. Sebatang anak panah tertanam
dalam memanggang lehernya. Pelahan Raden Antawirya bangkit berdiri.
Diedarkan pandangannya berkeliling. Tak ada seorang pun yang terlihat
lagi.
"Hih!"
Raden Antawirya mencabut anak panah yang tertancap di leher orang itu.
Diamatinya anak panah yang berlumuran darah. Dengan selembar daun jati,
dibersihkan darah yang melekat pada batang anak panah.
"Hm..., hanya panah pemburu rusa...," gumam Raden Antawirya. Raden
Antawirya memeriksa tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Pemuda itu
terkejut ketika melihat sabuk yang tersembunyi dibalik sabuk kulit di
pinggang. Bergegas pemuda itu melepaskan sabuk berlapis emas dari pinggang
orang itu. Kedua matanya terbeliak kala mengenali sabuk itu.
"Sabuk tamtama...," desis Raden Antawirya. Raden Antawirya memang mengenali
sabuk itu. Semua Prajurit Kerajaan Kali Jirak yang berpangkat tamtama pasti
mengenakan sabuk ini. Dan yang lebih mengejutkan lagi, pada kepala sabuk
tergambar goresan bulan sabit dan sebilah pedang. Itu adalah lambang pasukan
rahasia kerajaan.
Raden Antawirya menggenggam erat-erat sabuk berlapis emas itu. Wajahnya
memerah menegang, dan gerahamnya bergemeletuk menahan geram. Dia kini tahu,
segala gerak geriknya selalu diawasi. Raden Antawirya menyimpan sabuk itu di
balik lipatan bajunya, kemudian berlari-lari kecil menuju kuda yang
ditinggalkannya. Dengan satu lompatan yang ringan, Raden Antawirya langsung
naik ke punggung kudanya. Dan seketika itu juga digebah kudanya kuat-kuat
Kuda putih itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggi, kemudian melesat kencang meninggalkan hutan itu.
Prak!
Raden Antawirya melemparkan sabuk berlapis emas ke atas meja, tepat di
depan ayahnya. Baik Prabu Truna Dilaga maupun Permaisuri Rara Kuminten
terkejut Mereka memandangi sabuk berlapis emas itu, kemudian menatap Raden
Antawirya yang tengah diliputi kemarahan.
"Untuk apa Ayahanda memata-mataiku?!" dengus Raden Antawirya ketus.
"Ada apa ini...?" Prabu Truna Dilaga seperti tidak mengerti.
Sedangkan Permaisuri Rara Kuminten hanya memandangi laki-laki tua itu
sambil menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. Begitu tipis, sehingga tak
ada yang memperhatikan.
"Sabuk ini kuambil dari seorang telik sandi yang memata-mataiku. Dia tewas
oleh seseorang yang menggunakan panah. Dan aku tahu, kalau panah itu untuk
berburu milik Ayah!" agak keras suara Raden Antawirya.
Selain sabuk berlapis emas, di atas meja juga tergeletak sebatang anak
panah yang masih sedikit berlumuran darah. Pada tangkai anak panah itu
terukir lambang Kerajaan Kali Jirak. Tak ada yang memiliki anak panah
berburu seperti itu selain Prabu Truna Dilaga.
"Ayah tidak perlu melakukan itu padaku. Aku bukan pemberontak, dan bukan
pula penjahat yang harus diawasi. Baik.... Jika Ayah sudah tidak
mempercayaiku lagi, aku akan pergi dan tidak akan kembali ke istana ini
lagi!" Setelah berkata demikian, Raden Antawirya segera berbalik dan cepat
meninggalkan ruangan itu.
"Antawirya...!" sentak Prabu Truna Dilaga. Tapi Raden Antawirya sudah
keburu lenyap di balik pintu, tanpa mempedulikan panggilan ayahnya. Prabu
Truna Dilaga terhenyak disertai hembusan napas panjang di samping
permaisurinya. Matanya memandangi dua benda di atas meja.
"Siapa saja bisa mengambilnya, Kanda. Panah itu tersedia banyak di gudang
senjata," kilah Rara Kuminten. "Dinda, siapa yang menggunakan panah milikku
ini?" tanya Prabu Truna Dilaga.
'Tamtama Tipang," sahut Rara Kuminten.
"Jika kau yang memberi panah itu, kau harus menghukumnya, Dinda!" tegas
Prabu Truna Dilaga.
"Untuk apa? Tugasnya dijalankan dengan baik. Lagi pula hanya panahmu yang
bermutu baik. Bidikannya tidak pernah meleset. Ingat, Kanda. Kita harus
menjaga rahasia ini."
'Tapi, kenapa harus menggunakan panahku Apa tidak ada panah lain? Panah
untuk berburu biasa kan banyak!"
"Aku sudah katakan, Kanda. Tidak ada yang sebaik panah milik Kanda Prabu.
Jika bidikan meleset, akan memperburuk keadaan."
Prabu Truna Dilaga mengeluh panjang. Entah apa yang ada di dalam hatinya
saat ini. Dia tadi tahu kalau Raden Antawirya begitu marah. Suatu perbuatan
bodoh jika memata-matai putra mahkota itu. Lebih bodoh lagi, panah yang
digunakan untuk membunuh pengintai itu miliknya sendiri.
Prabu Truna Dilaga memandangi permaisurinya dalam-dalam. Semua ini memang
rencana Permaisuri Rara Kuminten. Bahkan dia tidak tahu kalau wanita ini
menggunakan panah miliknya untuk melenyapkan pengintai itu.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan, Rara Kuminten?" tanya Prabu Truna
Dilaga. Pandangan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata wanita
itu.
"Aku...? Kenapa kau menatapku begitu, Kanda?"
"Jawab saja pertanyaanku, Rara Kuminten!" desis Prabu Truna Dilaga seraya
bangkit berdiri.
"Heh...?!" Permaisuri Rara Kuminten seperti kebingungan.
"Peran apa yang sedang kau mainkan? Siapa kau sebenarnya Rara Kuminten?"
jelas sekali kalau nada suara Prabu Truna Dilaga mencurigai permaisurinya
ini.
"Kanda..., ada apa ini? Mengapa kau berkata demikian...?" Rara Kuminten
tampak kebingungan.
"Kau yang mengatur semua ini, sehingga keluargaku pecah berantakan. Kenapa
kau lakukan semua ini, Rara Kuminten? Kenapa...?!" agak tinggi nada suara
Prabu Truna Dilaga.
"Kanda, mengapa kau marah padaku? Aku hanya melakukan yang terbaik untukmu.
Untuk kita semua, Kanda. Oh...," Rara Kuminten mendekap wajahnya. Terdengar
suara isak tertahan. Terlihat bahu wanita itu terguncang. Prabu Truna Dilaga
memandangi. Seketika keraguan tersirat didalam sinar matanya. Pelahan
dihampiri dan dipeluknya wanita itu. Luruh seketika hatinya mendengar suara
isak tangis permaisurinya ini.
"Dinda, aku hanya ingin meminta penjelasanmu. Kenapa kau lakukan semua
ini...?" pelan suara Prabu Truna Dilaga.
"Kau.... Kau menuduhku, Kanda. Kau kejam...!" jerit Rara Kuminten.
Wanita itu mendorong tubuh Prabu Truna Dilaga, kemudian berlari kencang
sambil terisak. Prabu Truna Dilaga bergegas bangkit dan berlari
mengejar.
"Dinda...! Dindaaa...!"
Tapi Rara Kuminten terus berlari tergesa-gesa, dan langsung membuka pintu
sebuah kamar. Cepat-cepat dimasukinya kamar itu, lalu dikuncinya dari dalam.
Prabu Truna Dilaga langsung menggedor pintu kamar itu begitu sampai.
"Dinda...! Buka pintu, Dinda! Buka pintu...!" teriak Prabu Truna Dilaga
sambil menggedor keras pintu kamar itu.
"Tidak! Kau sudah tidak percaya padaku lagi!" terdengar suara dari dalam
kamar.
"Buka pintunya dulu, Dinda. Kita bisa bicara baik-baik. Maafkan aku,
Dinda...," bujuk Prabu Truna Dilaga.
Tapi pintu kamar itu tetap saja terkunci dari dalam. Prabu Truna Dilaga
terus berusaha membujuk. Namun tetap saja tidak mendapat tanggapan. Pintu
tetap terkunci, bahkan kini tak ada sahutan dari dalam kamar. Prabu Truna
Dilaga menyandarkan punggungnya dengan lesu. Desahan panjang terdengar
begitu berat.
"Oh, Dewata Yang Agung... Dosa apa yang telah kuperbuat? Kenapa kau berikan
cobaan begini berat...?" keluh Prabu Truna Dilaga.
Dengan langkah lesu, laki-laki tua itu meninggalkan pintu kamar yang
tertutup. Dia menyesal telah begitu gegabah mencurigai dan melukai hati
permaisurinya. Prabu Truna Dilaga sungguh menyesali sikapnya yang terlalu
terbawa amarah.
"Oh, kenapa jadi begini? Mengapa saat-saat yang seharusnya bahagia jadi
hancur begini... Tak pernah aku berharap masa tuaku terbelenggu seperti ini.
Oh, Dewata Yang Agung...," keluh Prabu Truna Dilaga dalam hati.
***
SUDAH HAMPIR tiga hari Permaisuri Rara Kuminten tidak mau keluar dari kamar
pribadinya. Dan selama itu Prabu Truna Dilaga terus membujuknya agar ke
luar, tapi tak ada jawaban sedikit pun dari dalam. Pintu kamar itu terus
terkunci rapat. Bahkan Prabu Truna Dilaga tidak melihat seorang pelayan pun
masuk ke dalam kamar ini. Laki-laki tua itu jadi mencemaskan keadaan
istrinya.
Sementara itu, prajurit yang diperintah mencari Raden Antawirya hanya
membawa kabar yang semakin membuat hati Raja Kerajaan Kali Jirak itu semakin
hancur. Meskpun Raden Antawirya bukan anak kandung, tapi sangat dicintainya
seperti anak kandung sendiri. Sejak masih bayi, pemuda itu sudah diangkat
sebagai anaknya, sebelum putri kandungnya lahir dari permaisuri yang sah.
Kini semuanya tak ada lagi di sisinya. Bahkan permaisuri keduanya juga tidak
mau menemuinya sekarang, dan hanya mengurung diri selama tiga hari.
Sejak pagi tadi, Prabu Truna Dilaga duduk merenung di dalam taman belakang
istana. Sama sekali keindahan taman dan segarnya udara yang membawa harum
aroma bunga-bunga bermekaran tidak ternikmati. Tak ada seorang pengawal pun
di sekitar taman ini. Prabu Truna Dilaga ingin menyendiri, merenungi semua
yang tengah terjadi pada keluarganya. "Gusti Prabu...."
Prabu Truna Dilaga tersentak ketika mendengar suara, dan langsung
mengangkat kepalanya. Entah kapan, tahu-tahu didepannya sudah duduk
bersimpuh Punggawa Dipa Praga. Punggawa itu memberi sembah dengan merapatkan
kedua telapak tangannya di depan hidung.
"Ada apa, Punggawa?" tanya Prabu Truna Dilaga lesu
"Hamba ingin memberi laporan, Gusti Prabu," sahut Punggawa Dipa
Praga.
"Katakan."
"Hamba menemukan kuda milik Raden Antawirya, Gusti Prabu."
"Heh...!" Prabu Truna Dilaga tersentak kaget.
Laki-laki tua itu sampai terlonjak bangkit dari duduknya. Dipandanginya
Punggawa Dipa Praga dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya dengan
pendengarannya barusan.
"Ulangi lagi, Punggawa!" pinta Prabu Truna Dilaga.
"Hamba menemukan kuda milik Raden Antawirya, Gusti Prabu," Punggawa Dipa
Praga mengulangi laporannya.
"Di mana?"
"Di tepi padang rumput yang menuju Hutan Kamiaka."
"Di mana...?!" untuk kesekian kalinya Prabu Truna Dilaga tersentak
kaget.
"Di tepi padang rumput yang menuju Hutan Kamiaka, Gusti Prabu," sahut
Punggawa Dipa Praga mengulangi.
"Oh...! Apa maksudnya dia ke sana...?" desah Prabu Truna Dilaga seperti
bertanya untuk dirinya sendiri.
Tentu saja Punggawa Dipa Praga tidak bisa menjawab. Dia hanya diam saja
sambil menundukkan kepaja, tetap duduk bersimpuh di rerumputan.
"Punggawa, siapkan kuda dan prajurit pilihan serta beberapa panglima. Aku
akan melihat sendiri ke sana," perintah Prabu Truna Dilaga.
'Tapi, Gusti...."
"Lakukan perintahku!" bentak Prabu Truna Dilaga keras.
"Hamba laksanakan, Gusti Prabu."
Bergegas Punggawa Dipa Praga memberi sembah, lalu bangkit berdiri. Dengan
ayunan kaki lebar-lebar, punggawa itu meninggalkan taman belakang istana
ini. Prabu Truna Dilaga sendiri bergegas meninggalkan taman. Ada sedikit
cercah harapan mendengar laporan punggawanya tadi. Paling tidak, bisa
diketahui, di mana kini Raden Antawirya berada.
Baru saja Prabu Truna Dilaga meninggalkan taman, langkahnya terhenti.
Tampak Permaisuri Rara Kuminten keluar dari dalam kamarnya. Wanita itu
memandangi laki-laki tua di depannya yang juga tengah menatap ke arahnya.
Pelahan Prabu Truna Dilaga menghampiri, dan berhenti sekitar dua langkah
lagi di depan permaisurinya itu.
"Dinda, ada berita gembira untuk kita," ujar Prabu Truna Dilaga.
"Berita apa?" tanya Permaisuri Rara Kuminten.
"Punggawa menemukan kuda Antawirya. Aku sendiri yang akan membawa pulang
anak nakal itu," kata Prabu Truna Dilaga.
"Oh...," hanya itu yang bisa diucapkan Permaisuri Rara Kuminten.
"Aku pergi dulu, Dinda. Baik-baiklah di sini."
Sebelum Permaisuri Rara Kuminten membuka suara, Prabu Truna Dilaga sudah
cepat meninggalkannya. Permaisuri Rara Kuminten hanya memandangi saja
kepergian laki-laki tua itu. Setelah punggung Prabu Truna Dilaga tidak
terlihat, wanita itu kembali masuk ke kamarnya. "
***
TUJUH
PRABU TRUNA DILAGA memacu cepat kudanya didampingi lima orang panglima dan
Punggawa Dipa Praga serta tiga punggawa lagi. Di belakang mereka tampak
sekitar seratus prajurit pilihan dan bersenjata lengkap, ikut mengiringi
dengan kuda. Meskipun sudah berusia lanjut, tapi Prabu Truna Dilaga masih
terlihat trampil mengendalikan kuda. Derap langkah kaki kuda seakan-akan
hendak mengguncangkan bumi. Debu membumbung tinggi mengepul di udara.
Mereka baru saja melewati sungai kecil dan terus bergerak menerobos
lebatnya hutan. Namun semakin jauh, semakin jarang pepohonan yang terlihat.
Dan kemudian mereka sampai di tepi sebuah padang rumput yang sangat luas.
Prabu Truna Dilaga menghentikan laju kudanya. Salah seorang panglima memberi
aba-aba pada para prajurit agar berhenti. Mereka semua memandangi padang
rumput yang luas tak bertepi. Tampak di kejauhan sana, terlihat sebuah hutan
yang selama ini sangat ditakuti. Hutan Kamiaka!
Tapi bukan itu yang menjadi perhatian mereka, terutama Prabu Truna Dilaga.
Seekor kuda putih yang tengah merumput tenang itulah yang justru menarik
perhatian mereka. Semua tahu kalau kuda itu milik Raden Antawirya..
"Di mana Raden Antawirya....?" tanya Prabu Truna Dilaga.
Tentu saja tak ada yang bisa menjawab, karena mereka semua memang tak ada
yang tahu. Prabu Truna Dilaga memerintahkan untuk mengambil kuda itu.
Seketika dua orang prajurit memacu kudanya ke tengah padang untuk
melaksanakan perintah junjungannya. Tapi belum juga berkuda jauh, mendadak
saja kuda kedua prajurit itu meringkik keras, dan melemparkan penunggangnya.
Kedua prajurit itu terpental jauh ke tanah berumput. Mereka segera bangkit
berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri tegak, tiba-tiba dua buah benda
keperakan meluruk deras dan langsung menghantam tubuh kedua prajurit
itu.
"Akh!"
"Aaa...!"
Dua jeritan melengking tinggi terdengar mengiringi ambruknya kedua prajurit
itu. Prabu Truna Dilaga tersentak kaget. Para panglima segera memerintahkan
untuk membuat pertahanan melindungi raja mereka. Sedangkan Punggawa Dipa
Praga bergegas membantu laki-laki tua itu turun dari kuda, lalu membawanya
menyingkir ke dekat batu.
Belum juga hilang kepanikan para prajurit itu, tiba-tiba saja dari arah
hutan di belakang mereka bertebaran benda-benda kecil bulat berwarna
keperakan. Dan sekejap saja terdengar jeritan-jeritan melengking tinggi
disusul berjatuhannya para prajurit itu. Semua prajurit jadi kelabakan
karena tidak tahu, mana lawan yang harus diserang. Meskipun hanya sekali,
tapi tebaran benda-benda bulat kecil keperakan itu cukup membuat gentar
juga. Betapa tidak! Dalam sekejap saja, hampir separuh jumlah mereka sudah
bergelimpangan tak bernyawa lagi. Benda-benda bulat keperakan itu melubangi
tubuh para prajurit.
Pada saat prajurit-prajurit itu diliputi berbagai macam perasaan tak
menentu, tiba tiba saja dari arah hutan yang tadi dilalui, terdengar
suara-suara gaduh bagai teriakan-teriakan peperangan. Tapi tak ada seorang
pun terlihat didalam hutan itu. Hanya suara-suara saja yang terdengar.
Prajurit-prajurit Kerajaan Kali Jirak itu jadi pucat.
"Awas...!" tiba-tiba salah seorang panglima berteriak kencang.
Pada saat itu, dari dalam hutan bermunculan manusia berbaju merah
mengenakan topeng tengkorak perak. Mereka langsung menyerbu sambil
memperdengarkan suara-suara riuh menggetarkan hati. Seketika itu juga di
tepian padang rumput yang berbatasan dengan tepi hutan, terjadi pertempuran.
Teriakan-teriakan pertempuran dan jerit pekik melengking terdengar berbaur
menjadi satu, ditingkahi denting senjata beradu. Prajurit-prajurit yang
sudah kacau, semakin bertambah kacau lagi. Mereka bertempur tanpa mengikuti
petunjuk lagi. Musuh seakan-akan ada di mana-mana.
Sebentar saja, lebih dari separuh prajurit sudah bergelimpangan tak
bernyawa. Sementara di tempat yang cukup terlindung, Prabu Truna Dilaga dan
Punggawa Dipa Praga tampak cemas menyaksikan para prajuritnya tak mampu
membendung serangan manusia manusia bertopeng tengkorak itu.
Jumlah penyerang memang jauh lebih kecil, tapi mereka mengawali serangan
ini dengan terlebih dahulu menjatuhkan mental para prajurit. Terlebih lagi,
gerakan-gerakan mereka dalam bertempur demikian cepat. Apalagi kemampuan
mereka jauh lebih tinggi bila dibanding para Prajurit Kerajaan Kali
Jirak.
"Gusti, sebaiknya kita segera menyingkir dari sini," usul Punggawa Dipa
Praga.
"Bagaimana dengan mereka?" tanya Prabu Truna Dilaga mencemaskan para
prajuritnya yang semakin kewalahan saja.
"Tidak ada harapan, Gusti. Sebaiknya Gusti Prabu cepat menyingkir dari
sini," desah Punggawa Dipa Praga.
Prabu Truna Dilaga memang tidak punya pilihan lain lagi. Laki-laki tua itu
cepat melompat naik ke punggung kudanya, dan menggebah kuat-kuat. Punggawa
Dipa Praga bergegas mengikuti Tapi rupanya beberapa orang berbaju merah
bertopeng tengkorak itu melihat kepergian Prabu Truna Dilaga dan Punggawa
Dipa Praga.
Tampak enam orang manusia bertopeng tengkorak itu berlompatan mengejar.
Prabu Truna Dilaga dan Punggawa Dipa Praga terus memacu kudanya menerobos
kelebatan hutan dengan kecepatan tinggi. Tapi tiba-tiba saja sebuah benda
bulat kecil berwarna keperakan melesat bagai kilat dan langsung tepat
menghantam punggung Punggawa Dipa Praga.
"Aaa...!"
"Punggawa...!" jerit Prabu Truna Dilaga.
Prabu Truna Dilaga menarik tali kekang kudanya. Dan seketika itu juga kuda
yang ditungganginya berhenti Cepat-cepat dia melompat turun, dan menghampiri
Punggawa Dipa Praga yang tergeletak tak bernyawa lagi. Dari punggung hingga
dadanya berlubang sebesar jari.
"Biadab...!" geram Prabu Truna Dilaga mendesis. Sret! Prabu Truna Dilaga
langsung menarik ke luar pedangnya. Pada saat itu enam orang berbaju merah
dan bertopeng tengkorak perak sudah tiba. Mereka langsung mengepung
laki-laki tua itu. .
"Maju kalian semua,, keparat...!" bentak Prabu Truna Dilaga menggeram
marah.
Wuk! Wuk...!
Prabu Truna Dilaga mengebut-ngebutkan pedangnya di depan dada. Angin
kebutannya begitu keras, sehingga menimbulkan suara menderu bagai topan.
Enam orang bertopeng tengkorak itu bergerak mengelilinginya. Salah seorang
menganggukkan kepalanya, dan....
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seorang yang berada di depan langsung melompat menerjang sambil mengibaskan
pedang ke arah leher Prabu Truna Dilaga. Meskipun sudah berusia lanjut, tapi
Prabu Truna Dilaga tidak bisa dianggap sembarangan. Dengan cepat sekali
dikibaskan pedangnya menangkis.
Trang!
Dua pedang beradu keras. Dan sebelum orang bertopeng tengkorak itu bisa
menarik pulang kembali pedangnya, Prabu Truna Dilaga sudah melepaskan satu
tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi.
"Yeaaah...!"
Des!
Tendangan yang cepat dan tidak terduga itu tak dapat dihindari lagi. Orang
bertopeng tengkorak perak itu mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk
sedikit sambil terhuyung ke belakang. Tapi rupanya Prabu Truna Dilaga tidak
membiarkan begitu saja. Sambil berteriak keras, laki-laki tua itu melompat
sambil mengecutkan pedangnya ke arah leher. Namun belum juga pedang Prabu
Truna Dilaga membabat leher orang itu, seorang lainnya lebih cepat lagi
melesat seraya membabat pedang laki-laki tua itu.
Trang!
Prabu Truna Dilaga tersentak kaget. Persendian tangannya sampai nyeri, dan
seluruh tangan kanannya bergetar hebat ketika pedangnya beradu dengan sebuah
pedang lain. Buru-buru ditarik pulang pedangnya, lalu melompat mundur. Namun
belum juga laki laki tua itu siap, satu serangan dari tusukan pedang
mengarah ke lambung kiri.
Wuk!
"Uts...!"
Cepat-cepat Prabu Truna Dilaga menarik tubuhnya ke belakang, maka tusukan
pedang itu lewat di depan perutnya. Pada saat yang bersamaan, datang lagi
tebasan pedang dari arah kanan. Prabu Truna Dilaga tak mungkin berkelit
lagi. Dengan cepat dikibaskan pedangnya menyampok pedang yang mengarah ke
leher.
Tring!
Hampir saja pedang di dalam genggaman tangan Prabu Truna Dilaga terlepas,
kalau saja tidak segera dipindahkannya ke tangan kiri. Dan secepat itu pula
dikibaskan ke arah samping. Tepat ketika sebuah kaki melayang mengarah ke
kepala.
Cras!
"Aaa...!" orang itu menjerit keras. Tebasan pedang Prabu Truna Dilaga
membabat kaki orang itu hingga buntung. Dan sebelum orang itu jatuh ke
tanah, Prabu Truna Dilaga sudah melayangkan satu tendangan keras bertenaga
dalam tinggi. Tendangan itu tepat menghantam kepalanya. Terdengar suara
berderak dari kepala yang pecah. Orang bertopeng tengkorak perak itu
menggelepar di tanah. Seketika darah mengalir deras dari kaki yang buntung
dan kepala pecah.
Melihat satu temannya tewas, lima orang lainnya langsung menyerang dari
lima jurusan secara bersamaan. Prabu Truna Dilaga cepat memutar tubuhnya
sambil mengibaskan pedang dengan cepat ke segala arah. Beberapa kali pedang
laki-laki tua itu berbenturan. Dan setiap kali membentur pedang lawan,
terasa persendian tangannya nyeri.
Rupanya kelima orang itu tidak lagi menganggap remeh Prabu Truna Dilaga.
Meskipun sudah lanjut usia, tapi gerakan-gerakannya masih begitu gesit
Bahkan kecepatannya sungguh luar biasa, walaupun tenaga dalamnya mengalami
kemunduran. Ini terbukti, setiap kali terjadi benturan adu tenaga dalam,
Prabu Truna Dilaga merasakan nyeri pada tulangnya.
Jurus demi jurus berlalu. Dan ketika lewat dua puluh jurus, sudah terlihat
kalau Prabu Truna Dilaga mulai kewalahan menghadapi lima orang
pengeroyoknya. Beberapa kali tubuhnya harus menerima tendangan serta pukulan
lawan-lawannya. Tapi laki-laki tua itu masih cukup tangguh, dan masih bisa
memberi perlawanan, walaupun sudah tidak berarti banyak lagi.
"Yeaaah..,!"
Tiba-tiba satu tendangan keras mendarat di dada Prabu Truna Dilaga, sehingg
membuatnya terjungkal deras ke belakang. Bersamaan dengan itu, sebilah
pedang membabat pergelangan tangannya. Tapi Prabu Truna Dilaga masih bisa
menangkis dengan pedangnya sendiri.
Trang!
"Akh...!" Prabu Truna Dilaga memekik tertahan. Dia tak dapat lagi menguasai
pedangnya, sehingga terpental ke angkasa. Prabu Truna Dilaga mencoba
mengejar pedangnya, namun sebuah tendangan menghentikan usahanya. Kembali
tubuhnya terjajar menerima tendangan keras pada dadanya.
"Yeaaah...!"
Selagi Prabu Truna Dilaga terhuyung-huyung ke belakang, salah seorang
melompat cepat sambil berteriak nyaring. Pedangnya terangkat ke atas kepala,
lalu bagaikan kilat diayunkan hendak menebas kepala laki-laki tua itu. Tepat
pada saat mata pedang itu hampir membelah kepala Prabu Truna Dilaga,
mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat, langsung menerjang manusia
bertopeng tengkorak perak itu. Terjangan bayangan itu demikian cepat dan
keras sekali, sehingga tak bisa terelakkan lagi.
"Akh...!" orang itu menjerit keras. Tubuhnya terlontar jauh ke
belakang.
"Bayu...," desis Prabu Truna Dilaga begitu tiba-tiba di depannya sudah
berdiri seorang pemuda berbaju kulit harimau.
"Ayah...!"
Prabu Truna Dilaga berpaling begitu mendengar seseorang memanggilnya.
Tampak Raden Antawirya berlari-lari menghampirinya. Tapi yang membuat
laki-laki tua itu lebih terpaku, adalah dua orang yang tengah berlari-lari
kecil di belakang Raden Antawirya. Sementara Bayu berdiri tegak memandangi
empat orang manusia bertopeng tengkorak yang tampak seperti enggan bertemu
dengannya.
***
RUPANYA terjangan Pendekar Pulau Neraka itu demikian keras, sehingga orang
yang tertendang tadi langsung tewas seketika. Sedangkan empat orang sisanya
kini hanya saling berpandangan sejenak Tiba-tiba secara bersamaan mereka
berlompatan menyerang pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hiyaaa...!"
"Yeah...!"
Bayu langsung memiringkan tubuhnya ke kiri dan secepat itu pula dihentakkan
tangan kanannya ke depan. Seketika Cakra Maut melesat bagaikan kilat
menyambar salah seorang. Jeritan melengking tinggi terdengar, disusul
ambruknya satu orang bertopeng tengkorak. Bayu berteriak keras, lalu
tubuhnya melesat bagai kilat menerjang tiga orang lainnya. Dua kali
dikirimkan pukulan keras bertenaga dalam sempurna. Satu orang berhasil
menghindari, tapi satu orang lagi menjerit keras. Dadanya terhantam pukulan
yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hap! Yeaaah...!"
Bayu cepat memutar tubuhnya seraya menghentakkan tangan kanannya. Cakra
Maut yang baru saja akan menempel kembali di pergebngan tangan Pendekar
Pulau Neraka itu, kembali melesat dan menyambar leher salah seorang. Kembali
terdengar jerit melengking tinggi. Satu orang kembali roboh, karena lehernya
terbabat hampir buntung. Dengan ujung kakinya, Bayu menjentik sebilah pedang
yang tergolek di dekat kakinya. Pedang itu melayang di udara, dan dengan
tangkas sekali Bayu menangkapnya. Langsung saja dikibaskannya pedang itu ke
pedang lawan yang tinggal satu.
Trang!
"Akh...!" orang itu terpekik, dan pedangnya terpental lepas dari genggaman.
Sebelum lawan sampat menyadari apa yang baru terjadi, Bayu sudah melompat
Langsung saja dikirimkan satu tendangan ke arah dada. Tak dapat dikatakan
lagi, orang bertopeng tengkorak itu terjungkal ke belakang. Bayu langsung
memburu. Ditempelkannya ujung pedang ke leher orang itu.
"Hih!"
Dengan ujung jari kaki, Pendekar Pulau Neraka itu melepaskan topeng
tengkorak perak. Tapi mendadak Bayu terbeliak kaget Ternyata orang itu telah
menggigit lidahnya sendiri hingga buntung. Dan sebelum Bayu sempat
menyadari, mendadak orang berbaju merah itu mengangkat tubuhnya, sehingga
pedang yang menempel di leher itu langsung menembus.
Crab!
"Heh...!" Bayu tersentak kaget. Pendekar Pulau Neraka itu tidak bisa lagi
mencegah. Dilepaskan genggamannya pada tangkai pedang sehingga tubuh orang
berbaju merah itu jatuh ke tanah dengan leher terpanggang sebilah
pedang.
"Edan...!" dengus Bayu tidak percaya.
Bayu memutar tubuhnya ketika sebuah tangan menepuk pundaknya. Tampak
seorang laki-laki hampir setengah baya sudah berada didekatnya, diikuti tiga
orang yang telah berdiri di depannya. Dua orang mengapit seorang laki-laki
tua.
"Aku tidak tahu, apa yang harus kukatakan padamu, Anak Muda," ujar Prabu
Truna Dilaga.
"Ayah harus percaya kalau Bayu benar-benar akan membantu kita," selak Raden
Antawirya.
"Dan yang terpenting lagi, Kakang Bayu-lah yang menyelamatkan aku dan Paman
Patih," sambung gadis cantik yang ternyata adalah Intan Wandira, adik Raden
Antawirya.
Sepasang bola mata Prabu Truna Dilaga berkaca-kaca. Dihampirinya Pendekar
Pulau Neraka, dan langsung disodorkan tangannya. Bayu pun menyambutnya
hangat. Laki-laki tua itu malah menarik dan memeluknya erat sekali.
"Maafkan atas kebodohanku," ucap Prabu Truna Dilaga setelah melepaskan
pelukannya.
"Lupakan saja," hanya itu yang bisa diucapkan Bayu.
Prabu Truna Dilaga menepuk-nepuk pundak Pendekar Pulau Neraka itu, kemudian
berpaling pada Raden Antawirya dan Intan Wandira. Tangannya merentang dan
merengkuh kedua anaknya ini. Prabu Truna Dilaga semakin trenyuh hatinya kala
mengingat antara Raden Antawirya dan Intan Wandira sebenarnya bukan saudara
kandung, tapi pengorbanan yang dilakukan Raden Antawirya sungguh
besar.
***
DELAPAN
WAKTU terus berjalan. Siang pun berganti malam. Di depan api unggun, mereka
duduk melingkar sambil bercerita bertukar pengalaman masing-masing. Prabu
Truna Dilaga duduk didampingi kedua putranya. Sedangkan Pendekar Pulau
Neraka dan Patih Natabrata duduk di depannya.
"Hm..., jadi selama ini sebenarnya kalian tidak di Hutan Kamiaka?" tanya
Prabu Truna Dilaga setelah Intan Wandira mengakhiri pengalamannya.
"Benar, Ayah. Mereka mengurungku di dalam sebuah lembah yang ada di bukit
itu," sahut Intan Wandira menunjuk sebuah bukit yang tampak menghitam.
"Dan yang terpenting lagi, Ayah. Mereka dipimpin oleh seseorang yang selama
ini kita kenal baik. Bahkan sangat kita cintai, sambung Raden
Antawirya.
"Yaaah.... Sudah bisa kuduga, siapa yang kalian maksud. Selama ini aku
seperti buta, begitu terpengaruh padanya. Sungguh tidak kusangka kalau dia
biang keladinya," keluh Prabu Truna Dilaga lirih.
Sesaat mereka semua terdiam.
"Hanya yang tidak habis kumengerti, kenapa dia menggunakan nama Dewi
Iblis...? sambung Prabu Truna Dilaga pelan, seperti bertanya pada dirinya
sendiri.
"Dia murid Dewi Iblis, Gusti Prabu," sahut Patih Natabrata yang sejak tadi
diam saja.
"Oh...!" Prabu Truna Dilaga tampak terkejut.
"Kalau begitu dia adalah Titisan Dewi Iblis yang lama.... Lalu bagaimana
kau bisa tahu, Patih?"
"Dia sendiri yang mengatakannya pada hamba, Gusti Prabu. Dia mengharapkan
agar hamba bergabung dan mempengaruhi para prajurit. Tapi hamba sekali-kali
tidak akan berkhianat Gusti."
'Terima kasih...," ucap Prabu Truna Dilaga terharu.
"Mereka harus dihancurkan, Ayah. Sebelum mereka menghancurkan kita," tegas
Intan Wandira.
Prabu Truna Dilaga hanya terdiam membisu. Benar-benar tidak disangka kalau
permaisuri yang selama bertahun-tahun mendampingi dan sanggat dicintainya,
sesungguhnya menyimpan dendam di balik hatinya. Dendam seorang murid karena
gurunya tewas. Suatu cara kerja yang sangat rapi dan terencana baik. Bahkan
juga telah menghimpun kekuatan di tempat yang jarang diinjak
manusia.
Rupanya Rara Kuminten sengaja ingin membuat Prabu Truna Dilaga menderita
secara pelahan-lahan. Dia ingin menghancurkan dan mencerai beraikan keluarga
istana. Lalu menggerogoti dari dalam, melumpuhkan kekuatan yang akhirnya
akan mudah menghancurkannya. Siapa pun pasti akan memuji rencananya itu.
Tapi walaupun demikian Rara Kuminten sudah bisa berbangga, karena sebagian
rencananya sudah berjalan baik.
"Besok kita kembali ke istana," kata Prabu Truna Dilaga. 'Aku akan
menangkap sendiri si pengkhianat itu, kemudian menghancurkan
gerombolannya."
***
KEMBALINYA seluruh keluarga istana kerajaan disambut gembira seluruh
kerabat penghuni istana. Tapi di balik kegembiraan itu tersimpan satu
kehampaan. Ternyata Prabu Truna Dilaga tidak menemukan lagi permaisurinya di
dalam istana. Menurut pelayan pribadinya, Permaisuri Rara Kuminten
meninggalkan istana sebelum Prabu Truna Dilaga dan kedua putranya
masuk.
"Rupanya dia sudah mengetahui kegagalannya," desah Prabu Truna
Dilaga.
"Gusti Prabu, hamba akan menyiapkan seluruh prajurit," ujar Patih
Natabrata.
Prabu Truna Dilaga tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, dan hanya
menganggukkan kepalanya saja. Patih Natabrata bergegas meninggalkannya untuk
menghimpun kekuatan. Sementara di ruangan itu tinggal Bayu, Raden Antawirya,
dan Intan Wandira.
"Ayahanda Prabu, ijinkan nanda ikut berperang," tegas Raden Antawirya
memohon.
"Kau tetap di sini, Antawirya. Kau harus menjaga adikmu," Prabu Truna
Dilaga menolak.
'Tapi..."
"Dengar, Antawirya," potong Prabu Truna Dilaga cepat "Dalam keadaan seperti
ini, istana tidak boleh kosong. Selama aku pergi, seluruh tampuk kekuasaan
berada di tanganmu. Tidak mungkin kekuasaan kuserahkan pada adikmu."
Raden Antawirya terdiam tidak bisa membantah. Memang diakui, dia tidak akan
mungkin ikut menggempur anak buah si Dewi Iblis. Walaupun kecewa, tapi Raden
Antawirya tidak bisa mendesak lagi. Dia tahu kalau memiliki tugas yang tidak
kalah beratnya disini.
"Lalu, bagaimana dengan Bayu? Apakah akan ikut juga?" tanya Raden Antawirya
seraya melirik pada Pendekar Pulau Neraka.
"Kalau memang benar Rara Kuminten itu murid si Dewi Iblis, rasanya seribu
prajurit pun tidak akan sanggup menandinginya. Kau tahu sendiri, hanya
dengan pengikut-pengikutnya saja, seratus prajurit pilihan hancur tak
bersisa. Jadi aku membutuhkan bantuannya, Antawirya," sahut Prabu Truna
Dilaga.
"Ah, sayang sekali Aku tidak bisa menyaksikan pertarungan tingkat tinggi,"
desah Raden Antawirya agak mengeluh.
"Ini bukan tontonan, Antawirya. Ingat' Kau bukan anak kecil lagi. Kau calon
raja!"
"Maaf, Ayahanda Prabu," ucap Raden Antawirya buru-buru.
"Ah, sudahlah. Kelak kau akan bisa mengalami sendiri."
Pada saat itu Patih Natabrata kembali muncul diiringi dua orang panglima
yang sudah siap berangkat berperang. Pakaian yang dikenakan kedua panglima
itu sungguh menakjubkan, sampai-sampai Bayu kagum dibuatnya. Belum pernah
Bayu melihat pakaian perang begitu gemerlap.
"Seluruh pasukan terpilih sudah siap, Gusti Prabu," lapor Patih
Natabrata.
"Hm.... Patih, aku sendiri yang akan memimpin," tegas Prabu Truna
Dilaga.
"Gusti...!" Patih Natabrata terperanjat kaget.
Semula dikira kalau Prabu Truna Dilaga akan memberi restu saja, dan
menunjuknya untuk memimpin menumpas gerombolan yang hendak menghancurkan
kerajaan ini. Tapi sungguh tidak diduga sama sekali kalau Prabu Truna Dilaga
sendiri yang akan memimpin.
"Siapkan kuda dan perlengkapan perangku, Patih," perintah Prabu Truna
Dilaga.
"Gusti, kalau boleh hamba...."
"Laksanakan saja perintahku, Patih!" potong Prabu Truna Dilaga cepat.
"Hamba, Gusti."
Buru-buru Patih Natabrata memberi sembah, lalu bergegas meninggalkan
ruangan ini. Sedangkan dua orang panglima tetap tinggal. Merekalah yang akan
mengawal Prabu Truna Dilaga nanti. Sementara laki-laki tua itu bangkit
berdiri, lalu menepuk pundak kedua anaknya. Dengan langkah yang tegap dan
penuh kepastian, Prabu Truna Dilaga berjalan ke luar diiringi dua orang
panglima yang sudah siap dengan pakaian perang yang berwarna perak. Suara
bergemerincing terdengar begitu kedua panglima itu berjalan.
"Bayu, kuharap kau bisa kembali lagi ke sini nanti," ujar Raden Antawirya
berharap.
"Kau tidak akan mengecewakan harapan kami bukan, Kakang?" bujuk Intan
Wandira yang berjalan di sebelah kiri Bayu.
"Aku tidak bisa berjanji," kata Bayu setengah mendesah.
"Usahakan, Kakang. Hanya satu atau dua hari saja," desak Intan Wandira
merajuk.
"Aku mengharapkan sekali, Bayu. Aku yakin, Ayahanda Prabu akan kecewa jika
kau langsung pergi," sambung Raden Antawirya.
"Baiklah, akan kuusahakan. Tapi aku tidak bisa lama," Bayu akhirnya
menyerah juga.
"Terima kasih, Kakang," ucap Intan Wandira senang.
Mereka mengantarkan sampai di tangga depan istana. Sekitar seribu prajurit
sudah siap dengan senjata lengkap dan pakaian perang. Sebuah kereta perang
juga sudah siap. Patih Natabrata membantu Prabu Truna Dilaga menaiki kereta
perangnya. Seekor kuda yang gagah, tinggi dan tegap sudah disiapkan untuk
Pendekar Pulau Neraka. Prabu Truna Dilaga memberi aba-aba, maka rombongan
besar itu pun berangkat.
Derap langkah kaki kuda dan pasukan jalan kaki seakan-akan hendak
meruntuhkan bangunan istana ini. Prajurit-prajurit itu bersorak, meneriakkan
pekik-pekik peperangan pembangkit semangat. Sementara Raden Antarwirya dan
Intan Wandira memandangi sampai barisan terakhir meninggalkan pintu gerbang
istana. Hanya sekitar dua ratus prajurit saja yang masih tetap tinggal di
istana ini.
"Ayo, Intan," Raden Antawirya mencolek lengan gadis itu.
"Oh...!" Intan Wandira tersentak.
"Kau melamun...?"
"Tidak," sahut Intan Wandira.
"Aku tahu, kau pasti tertarik pada Bayu, bukan?" goda Raden
Antawirya.
"Ah, Kakang...."
Wajah Intan Wandira mendadak saja bersemu merah dadu. Raden Antawirya
tertawa terbahak-bahak sambil terus berjalan masuk ke dalam, menghindari
cubitan gadis itu. Untuk pertama kalinya, istana ini kembali dihiasi gelak
tawa. Intan Wandira berlari mengejar sambil memberengut, karena kakaknya
terus mengolok-olok. Wajah gadis itu semakin bertambah merah saja. Tapi
olok-olok Raden Antawirya tidak berhenti, meskipun Intan Wandira sudah
menjerit-jerit meminta berhenti. Istana Kali Jirak kembali semarak, dan
terasa hidup setelah beberapa lamanya terselimut kabut tebal
kehampaan.
***
KEDATANGAN para prajurit Kerajaan Kali Jirak rupanya sudah ditunggu. Belum
juga mereka mencapai bukit, orang-orang berbaju merah bertopeng tengkorak
sudah menyongsongnya. Maka pertempuran di kaki bukit itu tak dapat dihindari
lagi. Prabu Truna Dilaga tidak menyangka kalau pengikut Dewi Iblis begitu
banyak, hampir menyamai jumlah prajurit yang dibawanya. Tapi, kali ini
mereka adalah para prajurit terpilih yang rata-rata memiliki tingkat
kepandaian cukup tinggi. Mereka rata-rata memang berasal dari padepokan yang
tersebar di seluruh wilayah Kerajaan Kali Jirak.
Sementara itu Pendekar Pulau Neraka berusaha membuka jalan menuju ke bukit.
Pukulan-pukulan yang dilontarkan sungguh dahsyat Kedua tangannya bagai palu
godam dahsyat. Setiap kali pemuda berbaju kulit harimau itu melontarkan
pukulan, selalu terdengar jeritan melengking disusul robohnya satu atau dua
orang lawan. Sedangkan Prabu Truna Dilaga juga sungguh gagah.
Dengan pedang di tangan kanan dan tali kendali kereta di tangan kiri,
diterobosnya orang-orang bertopeng tengkorak. Cara bertempur yang
diperlihatkan Prabu Truna Dilaga, membangkitkan semangat para prajuritnya.
Dan mereka terus merangsek lawan, tak peduli dengan korban yang terus
berjatuhan. Rumput yang semula berwarna hijau, kini berubah merah
bergelimang darah. Mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah saling tumpang
tindih, dan tubuh-tubuh masih terus berjatuhan.
"Majuuu...!"
"Seraaang...!"
Teriakan-teriakan keras memberi petunjuk terus terdengar mengalahkan jerit
dan pekik serta teriakan pertempuran. Prajurit-prajurit Kerajaan Kali Jirak
terus merangsek semakin mendesak lawan, dan sedikit demi sedikit mulai
mendekati bukit. Pada saat itu Prabu Truna Dilaga melihat seorang wanita
mengenakan topeng tengkorak berdiri di atas sebongkah batu besar mengawasi
jalannya pertarungan. Di depannya masih terlihat barisan orang berbaju merah
yang semuanya mengenakan topeng tengkorak. Jumlah mereka masih cukup banyak,
dan tampaknya sudah tidak sabar menunggu perintah.
"Seraaang...!"
Tiba-tiba wanita bertopeng tengkorak perak itu berteriak keras sambil
mengangkat tangannya yang menggenggam tongkat tinggi-tinggi ke atas kepala.
Ujung tongkat yang berbentuk bintang, tampak berkilatan tertimpa cahaya
matahari. Bukit bagaikan hendak runtuh, bergetar ketika orang-orang berbaju
merah berlarian membantu teman-temannya yang semakin terdesak.
"Pasukan cadangan! Majuuu...!" tiba-tiba terdengar teriakan perintah dari
arah belakang. Kembali bumi bergetar. Barisan cadangan yang dipersiapkan
mambantu penyerangan, bergerak cepat berhamburan memasuki kancah
pertempuran
"Pasukan panah! Siaaap...!"
Kembali terdengar teriakan memerintah. Saat itu Bayu melihat pasukan panah
Kerajaan Kali Jirak sudah siap dengan busur terbentang. Pendekar Pulau
Neraka itu melompat menghampiri Prabu Truna Dilaga.
"Gusti, hentikan gerakan pasukan panah. Kita semua bisa hancur
terpanggang," ujar Bayu begitu dekat dengan Prabu Truna Dilaga. Prabu Truna
Dilaga berpaling, dan menjadi terkejut melihat pasukan panah sudah siap
melepaskan senjatanya. Bergegas diputar kereta perangnya, lalu digebah
kudanya ke garis belakang dengan kencang.
'Tunggu...!" seru Prabu Truna Dilaga lantang. Seorang panglima yang
bertugas memimpin pasukan panah mengurungkan aba-abanya untuk melepaskan
anak panah. Bergegas dihamprinya Prabu Truna Dilaga, dan langsung memberi
hormat.
"Tunggu tanda dariku. Jangan menggempur mereka dengan panah!" dengus Prabu
Truna Dilaga.
"Gusti Prabu, hamba mempersiapkan regu panah sayap kiri. Hamba mencoba
membuka jalan ke bukit melalui sayap kiri," jelas panglima itu.
Prabu Truna Dilaga memandang ke bagian sayap kiri. Tampak barisan orang
berpakaian merah begitu tangguh.
"Beri tanda pada panglima sayap kiri agar menarik pasukannya mundur,
kemudian cepat hujani mereka dengan panah!" perintah Prabu Truna Dilaga
melihat kebenaran panglimanya.
"Hamba, Gusti Prabu."
Panglima itu segera memberi tanda pada panglima di sayap kiri untuk menarik
mundur pasukannya. Dan begitu pasukan di sayap kiri bergerak mundur,
langsung panglima itu memerintahkan pasukan panahnya.
"Seraaang...!"
Seketika ratusan anak panah bertebaran memayungi udara. Dan sesaat kemudian
terdengar jerit pekik melengking, disusul ambruknya tubuh-tubuh bertopeng
tengkorak perak yang berada di bagian kiri. Serangan panah itu membuat
mereka jadi kalang kabut, dan berusaha mundur.
"Berhenti...!" seru panglima pasukan panah.
"Seraaang...!" panglima pasukan sayap kiri langsung memberi perintah.
Kini keadaan langsung terbalik. Orang-orang bertopeng yang semula menguasai
bagian sayap kiri, jadi berantakan. Prabu Truna Dilaga tersenyum. Dalam
hati, dia memuji kejelian pandangan panglimanya dalam menyusun pola
penyerangan. Kini semua bagian benar-benar dikuasai. Dan pola bertempur
orang orang bertopeng tengkorak perak itu semakin tidak terarah. Mereka
masing-masing berusaha menyelamatkan diri.
Keadaan seperti ini tentu menguntungkan sekali bagi pasukan Kerajaan Kali
Jirak. Prabu Truna Dilaga memberi isyarat pada masing-masing pasukan
cadangan di setiap bagian untuk bergerak menggempur. Maka seketika para
panglima masing-masing pasukan segera memberi perintah untuk menggempur
lawan yang memang sudah tidak bisa terkendali lagi
Penambahan kekuatan pasukan membuat lawan semakin terdesak hebat. Sementara
itu Dewi Iblis tak memiliki lagi pasukan cadangan. Mereka benar-benar kalah
dalam taktik pertempuran. Dan akibatnya memang merugikan diri sendiri,
meskipun kemampuan tata pertempuran mungkin lebih tinggi. Melihat tak ada
lagi harapan untuk bisa memenangkan pertempuran, perempuan bertopeng
tengkorak di atas batu bukit itu mencoba melarikan diri meninggalkan anak
buahnya yang masih bertahan. Tapi pada saat itu Bayu bisa melihat, dan
langsung melentingkan tubuhnya melewati beberapa kepala.
"Hiyaaa...!"
Apa yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka mendapat perhatian dari Prabu
Truna Dilaga. Laki-laki itu kini tak lagi ikut bertempur, karena merasa
sudah yakin bisa memenangkan pertempuran ini. Justru perhatiannya dipusatkan
pada Pendekar Pulau Neraka yang sedang berusaha mengejar wanita bertopeng
tengkorak perak yang mencoba melarikan diri melalui bukit.
Bayu terus berusaha mengejar. Sementara beberapa orang yang mencoba
menghadang, langsung menggelepar meregang nyawa. Pendekar Pulau Neraka itu
rupanya tidak tanggung-tanggung lagi dalam melontarkan pukulan. Kekuatannya
dikerahkan penuh, sehingga sekali hantam saja, lawannya langsung menggelepar
tewas menyemburkan darah dari mulutnya.
"Yeaaah...!"
***
SAMBIL berteriak kencang, Bayu melentingkan tubuhnya. Beberapa kali
tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat di depan perempuan
bertopeng tengkorak perak itu. Bayu berdiri tegak sambil melipat tangan di
depan dada. Sedangkan wanita berjubah merah dengan wajah tertutup topeng
tengkorak itu kelihatan terkejut.
"Hm.... Percuma kau mengenakan topeng, Rara Kuminten," dengus Bayu
dingin.
"Kau memang manusia sialan, Bayu! Mampus kau! Hiyaaat'"
Perempuan bertopeng tengkorak yang ternyata memang Rara Kuminten itu
langsung saja menyerang Pendekar Pulau Neraka setelah melepaskan topeng yang
menutupi wajahnya. Memang tidak ada gunanya lagi menutupi wajahnya di depan
Pendekar Pulau Neraka ini. Serangan-serangan yang dilancarkan Rara Kuminten
memang sungguh dahsyat luar biasa. Beberapa kali pukulannya hampir mendarat
di tubuh Pendekar Pulau Neraka, tapi selalu dapat dihindari. Bahkan Bayu
memberi serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Sementara pertarungan di kaki bukit masih berlangsung, maka di lereng bukit
ini juga terjadi pertarungan dahsyat antara Pendekar Pulau Neraka melawan
Rara Kuminten atau si Dewi Iblis. Hanya dua orang yang bertarung, tapi
seperti seratus prajurit yang bertarung. Sebentar saja sekitar pertarungan
sudah porak poranda. Batu-batu berhamburan, pepohonan bertumbangan terkena
pukulan yang tidak mengenai sasaran.
Sementara itu diam-diam Prabu Truna Dilaga meninggalkan kereta perangnya
yang berada di garis belakang. Laki-laki tua itu ingin juga menyaksikan
pertarungan di lereng bukit. Tanpa diketahui, Patih Natabrata juga
mengikuti. Rupanya dia juga tertarik menyaksikan pertarungan tingkat tinggi
itu. Hatinya tidak merasa khawatir, karena prajurit-prajurit Kerajaan Kali
Jirak semakin menguasai lawan-lawannya.
Sementara pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka dengan Dewi Iblis terus
berlangsung semakin sengit. Sebentar saja sudah puluhan jurus berlalu. Tapi
tampaknya pertarungan masih akan terus berjalan lama. Sekitar daerah
pertarungan sudah tidak berbentuk lagi. Bukit ini bagai terkikis dua tangan
raksasa.
Bayu menggunakan senjata Cakra Maut yang tergenggam di tangan kanan untuk
meredam serangan tongkat bintang Dewi Iblis. Beberapa kali Pendekar Pulau
Neraka itu melontarkan senjatanya, tapi Rara Kuminten selalu berhasil
menghindar. Dan setiap kali dua senjata itu beradu, seketika terdengar
ledakan dahsyat menggelegar disertai percikan bunga api serta kepulan asap
tebal.
"Modar...!" tiba-tiba Rara Kuminten berteriak keras. Dan seketika itu juga
tongkatnya mengibas ke kepala Pendekar Pulau Neraka. "Uts!"
Buru-buru Bayu merundukkan kepalanya. Tapi tanpa diduga sama sekali, Dewi
Iblis menghentakkan kakinya menendang ke arah perut. Kali ini Bayu tak bisa
menghindar lagi, sehingga tendangan kaki wanita berjubah merah itu tepat
bersarang di perutnya.
"Heghk..!" Bayu mengeluh pendek Pendekar Pulau Neraka terhuyung ke belakang
dan tubuhnya agak terbungkuk Dan sebelum pemuda berbaju kulit harimau itu
bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, secepat kilat Rara Kuminten
melayangkan satu pukulan keras tangan kiri. Pukulan itu tepat mendarat di
wajah Bayu.
Des!
"Akh...!" Bayu terpekik keras.
Pendekar Pulau Neraka itu terpental, dan jatuh ke tanah dengan kerasnya.
Pada saat itu Rara Kuminten sudah melompat. Diangkat tongkatnya
tinggi-tinggi ke atas kepala, siap dihunjamkan ke dada Pendekar Pulau Neraka
yang saat itu dalam keadaan terlentang di tanah.
"Mampus kau! Hiyaaat...!"
"Hih!"
Cepat-cepat Bayu menggulirkan tubuhnya ke samping, dan secepat itu pula
dikibaskan tangan kanannya. Cakra Maut melesat cepat bagai kilat. Kilatan
cahaya senjata cakra bersegi enam itu membuat Rara Kuminten terbeliak. Tapi
dalam keadaan tubuh di udara begitu, sukar untuk berkelit lagi. Apalagi
dalam keadaan posisi menyerang.
"Yeaaah...!"
Cepat Rara Kuminten mengibaskan tongkatnya hendak menyampok senjata Cakra
Maut itu. Tapi sungguh di luar dugaan, Bayu cepat menggerakkan tangan
kanannya. Maka Cakra Maut meliuk menghindari tebasan tongkat si Dewi Iblis.
Dan seketika itu juga Bayu menghentakkan tangan kanannya dengan jari-jari
terbuka lebar.
Crab!
"Aaa...!"
Rara Kuminten menjerit melengking. Cakra Maut langsung menembus dalam di
dadanya. Dewi Iblis itu terpental ke belakang dan jatuh bergulingan di
tanah. Pada saat itu Bayu melompat bangkit berdiri. Dihentakkan tangan
kanannya, maka Cakra Maut melesat balik, dan langsung menempel di
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Rara Kuminten berusaha bangkit berdiri, meskipun dadanya
berlubang mengucurkan darah. Tapi wanita itu tidak bisa berdiri tegak.
Tubuhnya limbung, dan darah terus mengucur dari dadanya yang berlubang
akibat tertembus Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka.
"Keparat kau, Bayu...!" geram Rara Kuminten.
"Hm...!" Bayu hanya menggumam saja.
Rara Kuminten melangkah tertatih menghampiri Pendekar Pulau Neraka sambil
merentangkan ujung tongkatnya ke depan. Sambil mengerahkan sisa seluruh
kekuatannya, perempuan berjubah merah itu melompat dengan ujung tongkat
terhunus ke depan. Sementara Bayu masih berdiri tegak menanti.
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke samping. Dan begitu ujung tongkat berada
di samping tubuhnya, Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat melayangkan satu
tendangan ke arah perut seraya menghentakkan tangannya menjepit tongkat itu
di ketiak. Tubuh perempuan berjubah merah itu terhuyung ke belakang, dan
tongkatnya terlepas dari genggaman. Cepat Bayu memutar tongkat lawannya,
lalu melemparkan diserta pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sing...!
Crab!
"Aaa...!"
Terdengar jeritan melengking tinggi, mengiringi kematian si Dewi Iblis,
Bayu menarik napas panjang memandangi mayat Rara Kuminten yang dadanya
terpanggang tongkatnya sendiri. Perempuan berjubah merah itu tewas seketika
sebelum tubuhnya mencapai bumi. Bayu menoleh ketika Prabu Truna Dilaga dan
Patih Natabrata menghampiri. Tampak bola mata Prabu Truna Dilaga
berkaca-kaca. Bagaimanapun juga, wanita itu telah mendampingi hidupnya
selama bertahun-tahun. Hanya saja tanpa disadari selama ini jalan pikirannya
selalu dipengaruhi wanita itu.
Saat itu rupanya pertarungan di kaki bukit sudah selesai Sisa-sisa pengikut
si Dewi Iblis langsung meletakkan senjata, menyerah. Mereka memang merasa
tidak akan mungkin bisa melanjutkan pertarungan. Apalagi tanpa pemimpin.
Tanpa berbicara apa pun, ketiga orang di lereng bukit berjalan menuruni
lereng. Bayu sempat melihat ada setitik air bening menggulir di pipi
laki-laki tua ini. Tapi cepat Prabu Truna Dilaga menghapus dengan punggung
tangannya, mencoba tabah menghadapi kenyataan pahit ini.
"Patih Natabrata! Sebaiknya kau cepat mempersiapkan pelantikan putra
mahkota untuk menggantikanku," pinta Prabu Truna Dilaga.
"Gusti, apakah Raden Antawirya akan tetap...," Patih Natabrata tidak
melanjutkan ucapannya.
"Mereka tidak boleh tahu, Patih. Ini rahasia antara aku dengan orang-orang
tua. Tak ada seorang pun yang boleh mengetahuinya. Biarkan mereka hidup
berbahagia. Aku tidak ingin mengusik kebahagiaan putra-putraku," jelas Prabu
Truna Dilaga.
"Hamba mengerti, Gusti."
"Bayu, aku mohon kau menjadi saksi pengangkatan putra mahkota menjadi Raja
Kerajaan Kali Jirak," pinta Prabu Truna Dilaga lagi.
Bayu tidak bisa menolak lagi, dan hanya menganggukkan kepala saja. Pendekar
Pulau Neraka itu bisa merasakan kebahagiaan yang menyelimuti hati Prabu
Truna Dilaga, tapi juga terselimut duka dalam menghadapi kenyataan pahit
ini.
Hidup.... Tak ada yang bisa meramalkan....
TAMAT
Episode berikutnya:
PERTENTANGAN DUA DATUK
Emoticon